KEPENTINGAN POLITIK LUAR NEGERI CHINA DI WILAYAH TAIWAN MELALUI ECONOMIC COOPERATION FRAMEWORK...

18
Briansyah Sujarwo Putro (105120400111044) Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya Jalan Veteran, Malang, 65145, Indonesia E-mail: [email protected] Abstraksi Kebijakan China yang meratifikasi kerjasama ECFA (Economic Cooperation Framework Agreement) bersama Taiwan pada tahun 2010 menjadi sebuah transformasi awal bagi terciptanya perbaikan hubungan lintas selat. Menariknya, didalam kerjasama ekonomi ECFA tersebut, pihak China justru tidak mendapatkan keuntungan yang bersifat resiprokal dibandingkan dengan apa yang Taiwan dapatkan. Didalam draft ECFA yang telah disepakati diantara pemerintah China dan Taiwan, dijelaskan bahwasanya pihak China telah bersedia menurunkan tarif impor 539 jenis barang yang berasal dari Taiwan dan sebaliknya, Taiwan melalui kesepakatannya hanya menurunkan tarif impor 267 jenis barang dari China. Meskipun kesepakatan ECFA tidak memberikan keuntungan yang bersifat resiprokal bagi China, namun secara politis, kerjasama ECFA merupakan sebuah strategi awal bagi China untuk dapat mencapai kepentingan nasionalnya di wilayah Taiwan melalui skema kerjasama integrasi ekonomi. Mengingat semenjak tahun 1949 Taiwan telah menjalin aliansi dengan Amerika Serikat melalui TRA (Taiwan Relations Act), maka penggunaan instrumen ekonomi sebagai alat untuk mencapai kepentingan politik luar negeri China di wilayah Taiwan merupakan salah satu langkah yang sangat strategis dibandingkan dengan menggunakan tindakan militerisasi untuk menekan Taiwan. Hal tersebut dikarenakan China tidak ingin mengambil resiko dengan menentang status quo diwilayah Taiwan secara langsung melalui tindakan ofensif, sehingga upaya perimbangan kepentingan China di wilayah Taiwan dilakukan melalui jalur-jalur secara damai, salah satunya melalui kerjasama ekonomi ECFA. Kata kunci: Perimbangan kepentingan,integrasi ekonomi, ECFA, hubungan lintas selat Abstract China's policy which ratified the ECFA (Economic Cooperation Framework Agreement) cooperation with Taiwan in 2010 became an initial transformation to the improvement of the cross-strait relations. Interestingly, in the ECFA economic cooperation , China is not the nature reciprocal benefit compared to what Taiwan get. The ECFA agreement between China and Taiwan explained that China had been willing to lower its import tariffs on 539 kinds of goods from Taiwan and vice versa, Taiwan through the deal had just lowering its import tariffs on 267 kinds of goods from China. Although the ECFA agreement does not provide the reciprocal benefit to China, politically, ECFA is an initial strategy for China to achieve its national interests in Taiwan through the cooperation scheme of economic integration. Because Taiwan has been established an alliance with the United States of America through TRA (Taiwan Relations Act) since 1949, China using this economic instruments as a tools to achieve its

Transcript of KEPENTINGAN POLITIK LUAR NEGERI CHINA DI WILAYAH TAIWAN MELALUI ECONOMIC COOPERATION FRAMEWORK...

Briansyah Sujarwo Putro (105120400111044)

Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya

Jalan Veteran, Malang, 65145, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstraksi

Kebijakan China yang meratifikasi kerjasama ECFA (Economic Cooperation Framework

Agreement) bersama Taiwan pada tahun 2010 menjadi sebuah transformasi awal bagi

terciptanya perbaikan hubungan lintas selat. Menariknya, didalam kerjasama ekonomi ECFA

tersebut, pihak China justru tidak mendapatkan keuntungan yang bersifat resiprokal

dibandingkan dengan apa yang Taiwan dapatkan. Didalam draft ECFA yang telah disepakati

diantara pemerintah China dan Taiwan, dijelaskan bahwasanya pihak China telah bersedia

menurunkan tarif impor 539 jenis barang yang berasal dari Taiwan dan sebaliknya, Taiwan

melalui kesepakatannya hanya menurunkan tarif impor 267 jenis barang dari China. Meskipun

kesepakatan ECFA tidak memberikan keuntungan yang bersifat resiprokal bagi China, namun

secara politis, kerjasama ECFA merupakan sebuah strategi awal bagi China untuk dapat

mencapai kepentingan nasionalnya di wilayah Taiwan melalui skema kerjasama integrasi

ekonomi. Mengingat semenjak tahun 1949 Taiwan telah menjalin aliansi dengan Amerika

Serikat melalui TRA (Taiwan Relations Act), maka penggunaan instrumen ekonomi sebagai alat

untuk mencapai kepentingan politik luar negeri China di wilayah Taiwan merupakan salah satu

langkah yang sangat strategis dibandingkan dengan menggunakan tindakan militerisasi untuk

menekan Taiwan. Hal tersebut dikarenakan China tidak ingin mengambil resiko dengan

menentang status quo diwilayah Taiwan secara langsung melalui tindakan ofensif, sehingga

upaya perimbangan kepentingan China di wilayah Taiwan dilakukan melalui jalur-jalur secara

damai, salah satunya melalui kerjasama ekonomi ECFA.

Kata kunci: Perimbangan kepentingan,integrasi ekonomi, ECFA, hubungan lintas selat

Abstract

China's policy which ratified the ECFA (Economic Cooperation Framework

Agreement) cooperation with Taiwan in 2010 became an initial transformation to the

improvement of the cross-strait relations. Interestingly, in the ECFA economic cooperation ,

China is not the nature reciprocal benefit compared to what Taiwan get. The ECFA agreement

between China and Taiwan explained that China had been willing to lower its import tariffs on

539 kinds of goods from Taiwan and vice versa, Taiwan through the deal had just lowering its

import tariffs on 267 kinds of goods from China. Although the ECFA agreement does not provide

the reciprocal benefit to China, politically, ECFA is an initial strategy for China to achieve its

national interests in Taiwan through the cooperation scheme of economic integration. Because

Taiwan has been established an alliance with the United States of America through TRA (Taiwan

Relations Act) since 1949, China using this economic instruments as a tools to achieve its

foreign policy interests in Taiwan rather than using the military option to suppress Taiwan .

Because China does not want to take a risk challenging the Taiwan region’s status quo through

the offensive action directly, so that the efforts of balancing its interests in Taiwan is being done

through the arbitration steps, one through ECFA.

Keywords : Balance of interests , economic integration , ECFA , cross-strait relations

1. Latar Belakang Masalah

Kebijakan China pada tanggal 29 Juni tahun 2010, yang menyetujui perjanjian kerangka

kerjasama ekonomi ECFA (Economic Cooperation Framework Agreement) bersama Taiwan

menjadikan peristiwa bersejarah bagi kemajuan hubungan lintas selat.1 Betapa tidak, hal ini

dikarenakan secara historikal hubungan bilateral antara China dan Taiwan selama ini tidak

pernah berjalan harmonis. Ketidak harmonisan ini dikarenakan melalui kebijakan “One China

Policy”, China menganggap bahwa Taiwan adalah bagian dari wilayah teritorialnya dan hanya

ada satu Cina yaitu Republik Rakyat Cina (RRC). Sedangkan bagi Taiwan, kebijakan satu China

tersebut lebih dikonstruksikan dengan menganggap terdapat dua negara dalam satu bangsa, yang

berarti Taiwan bukanlah bagian dari wilayah China dan secara substansi berarti Taiwan adalah

negara yang merdeka dan tidak terikat oleh pemerintahan China.2 Namun melalui kesepakatan

pembentukan kerangka kerjasama ekonomi ECFA yang disepakati pada tanggal 29 Juni tahun

2010 tersebut, seolah terjadi transformasi awal demi terciptanya perbaikan hubungan diantara

kedua negara tersebut.

Menjadi menarik, lantaran dalam perjanjian kerangka kerjasama ekonomi yang disepakati

China dan Taiwan melalui ECFA nyatanya tidak terjadi keseimbangan keuntungan disalah satu

pihak yang terlibat. Didalam draft ECFA disepakati bahwasanya pemerintah China telah

menyetujui untuk menurunkan tarif impor 539 jenis barang yang berasal dari Taiwan dan

sebaliknya, Taiwan melalui kesepakatannya hanya menurunkan tarif impor 267 jenis barang dari

China. Dengan adanya skema pengurangan tarif tersebut, Taiwan akan mendapatkan keuntungan

melalui penghematan biaya ekspor ke China sebesar US$ 13,838 juta, sedangkan China hanya

1 Li and Fung Research Center. Analysis of the Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) between the

Chinese Mainland and Taiwan. http://www.funggroup.com/eng/knowledge/research/china_dis_issue67.pdf. Diakses

pada tanggal 10 November 2013. 2 J. Bruce Jacoobs. One China, Diplomatic Isolation and A Separate Taiwan dalam Edward Friedman (ed.), China’s

Rise, Taiwan’s Dilemas and International Peace (new York: Routledge, 2006). Hal.85.

akan mendapatkan keuntungan sebesar US$ 2,858 juta.3 Sehingga melalui skema tersebut, China

tidak akan mendapatkan keuntungan resiprokal yang sesuai dengan apa yang Taiwan dapatkan

dalam perjanjian ECFA tersebut. Menjadi sebuah pertanyaan besar jika China yang saat ini

tampil sebagai negara yang memiliki kapabilitas ekonomi yang kuat, tidak seharusnya mudah

menyetujui draft kerjasama yang secara perbandingan keuntungan cenderung merugikan China

sendiri.

Kerjasama ECFA yang melibatkan China dan Taiwan ini bermula pada tanggal 29 Juni

2008. Pasca terpilihnya Ma Ying–jeou sebagai presiden Taiwan. Ketertarikan Presiden Taiwan,

Ma Ying-jeou, untuk membuka hubungan dengan China dikarenakan saat ini China memiliki

kapabilitas ekonomi yang kuat hingga mampu menjadi menjadi hemisfer ekonomi global pada

abad ke-21. Melalui pencapaian peningkatan ekonomi tersebut, tak ayal States Statistical Bureau

menyatakan bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi China telah melampaui pertumbuhan

ekonomi di negara Asia lainnya serta menjadikan China sebagai negara yang berkontribusi

meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia lebih dari 10% dalam beberapa tahun terakhir. 4

Disadari oleh pemerintah China, dengan semakin berjayanya China dalam konstelasi

ekonomi internasional, menjadikan instrumen ekonomi sebagai alat yang rasional bagi

pemerintah China untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Pertumbuhan ekonomi China yang

semakin pesat inilah yang pada akhirnya banyak mengubah pola kebijakan pemerintah China,

termasuk kebijakannya terhadap Taiwan. Semenjak tahun 2000, fokus politik luar negeri China

terhadap Taiwan lebih banyak diubah dari hard power menjadi soft power melalui instrument

ekonomi, dengan bukti ditandatanganinya kesepakatan ECFA pada tahun 2010.5

Perubahan kebijakan China ini, diakibatkan karena China mulai mengaggap bahwasanya

kekuatan militer dengan strategi ofensif sudah tidak relevan untuk digunakan mengintervensi

Taiwan agar tunduk dalam kebijakan China. Hal ini mengingat adanya peran AS (Amerika

Serikat) di wilayah Taiwan yang berusaha membantu Taiwan menghadang perilaku agresif

China yang berkeinginan untuk melakukan reunifikasi bersama Taiwan.6 Semenjak tanggal 10

April 1979, Taiwan telah melakukan kerjasama dengan AS melalui Taiwan Relations Act (TRA)

yang didalam kesepakatan tersebut selain terdapat kesepakatan perdagangan, pertukaran

3 Tsai-Lung (Honigmann) Hong. ECFA: A Pending Trade Agreement? Also a Comparison to CEPA. Hal.10 4 China FTA Network. http://fta.mofcom.gov.cn/english/index.shtml. Diakses pada tanggal 23 November 2013. 5 Lieutenant Colonel Douglas Frison. China’s less aggressive approach to Taiwan reunification: a change in

strategy or tactics? Laporan Penelitian U.S. Army War College Carlisle Barrack, Pennsylvania,2004. 6Ibid.

kebudayaan, juga terdapat kesepakatan penyediaan senjata oleh Amerika Serikat bagi pertahanan

Taiwan apabila suatu saat kondisi kedaulatan Taiwan terancam. 7

Melalui kesepakatan yang

dijalin tersebut, pada akhirnya menimbulkan hubungan struktural yang kuat diantara AS dan

Taiwan. Hal tersebut tentu mengakibatkan ketergantungan Taiwan terhadap AS sangatlah tinggi,

khususnya dalam sektor keamanan.

Keterlibatan AS dalam hubungan China-Taiwan pun pada akhirnya menimbulkan bipolar

balance of power di wilayah Taiwan. Disatu sisi AS yang merupakan kekuatan tunggal hegemon

pasca Perang Dingin berupaya mempertahankan posisinya sebagai negara adikuasa di wilayah

Taiwan, salah satunya melalui upaya balancing dengan Taiwan, namun disatu sisi lainnya

muncul China sebagai kekuatan baru di dalam dinamika sistem internasional yang berusaha

menghadang laju AS di Taiwan. Namun pertentangan antara China dan AS di wilayah Taiwan

tersebut tidak direspon secara koersif oleh kubu China. Pemerintah China dalam upaya

pencapaian kepentingan nasionalnya di wilayah Taiwan menganggap penggunaan kapabilitas

militer sudah sangat tidak relevan semenjak Taiwan mengadakan perjanjian TRA dengan AS.8

Mengingat tendensi hubungan bilateral kedua negara yang hingga saat ini masih belum

dapat dikatakan harmonis sepenuhnya, dipandang perlu dan urgen untuk dilakukan penelitian

tentang analisis kebijakan luar negeri China yang menyepakati Kerangka Kerjasama Ekonomi

(ECFA) dengan Taiwan pada tahun 2010.

2. Rumusan Masalah

Melihat dalam draft perjanjian ECFA yang secara komparatif cenderung menguntungkan

Taiwan (539 jenis barang dari Taiwan dapat melakukan perdagangan lintas negara dengan China

melalui kesepakatan pengurangan tarif impor, sedangkan bagi China, hanya ada 267 jenis

barang dari China yang disepakati untuk dikurangi tarif bea masuknya ke wilayah Taiwan),

mengapa China pada akhirnya menyetujui Kerangka Kerjasama Ekonomi (ECFA) dengan

Taiwan ?

3. Kerangka Teoritik

Tulisan ini menggunakan teori Balance of Interest (BoI) karya Randall L. Schweller.

Menurut teori BoI yang dimunculkan oleh Randall L. Schweller sejatinya berupa landasan

7 Taiwan Relations Act, Public Law 96-8th Congress. www.ait.org.tw/en/taiwan-relations-act.html. Diakses pada

tanggal 6 Desember 2013. 8 Op.cit. Lieutenant Colonel Douglas Frison.

teoritis untuk menyangggah asumsi Kenneth Waltz mengenai teori Balance of Power (BoP) dan

Stephen Walt dalam teori Balance of Threat (BoT). Dimana pada asumsi dasar Waltz dan Walt

dinyatakan bahwasanya negara akan berusaha mencari keamanan dengan membentuk kekuatan

tandingan melalui penciptaan aliansi, sehingga tatanan dunia akan berada pada stabilitas dibawah

kondisi anarki. Melalui fenomena tersebut, Schweller selama ini hanya melihat bahwasanya

didalam BoP maupun BoT, bentuk kerjasama yang dibangun oleh suatu negara dengan negara

lain melalui aliansi untuk menyeimbangkan kekuatan dan menghindari ancaman (balancing)

atau kerjasama yang dibangun oleh suatu negara dengan mendekatkan dirinya kepada negara

hegemon yang menjadi sumber ancaman (bandwagoning), hanya sebagai upaya untuk

pencapaian keamanan semata.9 Berbeda dengan asumsi Schweller, sebenarnya aliansi yang

dibangun oleh suatu negara baik berupa balancing ataupun bandwagoning, bukan hanya perkara

untuk mencari keamanan (achievement of security). Lebih dari itu, sebuah negara sebenarnya

akan berusaha mendapatkan keuntungan (profit) melalui hubungan kerjasamanya dengan negara

lain.10

Oleh karenanya, Schweller didalam teori BoI menjelaskan bahwasanya terdapat negara

revisionis yaitu negara yang tidak puas dengan konstelasi dinamika sistem internasional dan

berusaha untuk merevisi status quo melalui berbagai tindakan, diantaranya menentang secara

langsung atau justru melalui kegiatan bandwagoning demi mendapatkan profit yang

didambakannya. Upaya yang dilakukan oleh negara revisionis tersebut didasari kepada

pertimbangan faktor eksternal, yaitu ketidakpuasan atas konstelasi didalam dinamika sistem

internasional yang pada akhirnya memunculkan reaksi berupa tindakan menentang status quo.

Pada akhirnya, Schweller membawa konsep negara revisionis tersebut dalam teori BoI agar

mampu menjelaskan fenomena dan dinamika interaksi dalam hubungan internasional. Secara

spesifik, teori BoI Schweller dapat dikaji melalui level unit dan level sistemik.11

Pada tingkatan analisa level unit, Schweller lebih menitikberatkan analisanya kepada

tindakan dari sebuah negara yang berusaha mempertahankan dominasi kekuasaannya serta

9 M. Waltz, Stephen. Alliances: Balancing and Bandwagoning. http://www.ou.edu/uschina/texts/WaltAlliances.pdf.

Diakses pada tanggal 19 April 2014. 10 Randall Schweller. Bandwagoning for Profit : Bringing the Revisionist State Back In.

http://graduateinstitute.ch/files/live/sites/iheid/files/sites/political_science/shared/political_science/_previous/2011_

Spring_Semester/Dynamics_of_Conflict_and_Cooperation/schweller%20bandwagoning%20for%20profit.pdf.

Diakses pada tanggal 03 Desember 2013. 11 Thomas Gangale. Alliance Theory: Balancing, Bandwagoning, and Detente.

http://pweb.jps.net/~gangale/opsa/ir/Alliance_Theory.htm. Diakses tanggal 03 Desember 2012.

berusaha mencapai tujuan yang dikehendaki berdasarkan sifat negara dan biaya yang negara

tersebut keluarkan. Disatu sisi, pada tingkatan level sistemik, Schweller menjelaskan

bahwasanya didalam kondisi sistem internasional terdapat kekuatan relatif terhadap status quo.

Dimana kekuatan relatif ini dimaknai sebagai negara-negara yang tidak puas akan kondisi

konstelasi dinamika sistem internasional (negara revisionis), sehingga pada akhirnya negara

tersebut berusaha untuk bangkit demi mencapai posisi yang negara tersebut inginkan dengan

berusaha merubah status quo yang ada saat ini.12

Perubahan yang diinginkan oleh negara revisionis tersebut dikatakan berhasil manakala

jika kapabilitas power negara revisionis nyatanya jauh lebih besar dibandingkan kapabilitas

power dari negara-negara yang berada pada status quo. Sebaliknya, jika kapabilitas power negara

revisionis terlampau lemah dan kurang mencukupi untuk merubah status quo, maka negara

revisionis tidak akan mampu merubah konstelasi dinamika sistem internasional sesuai dengan

kehendak dan keinginannya. Namun dalam penelitian ini akan lebih dispesifikkan penelitian

yang mengarah pada analisis sistem unit. Hal ini berdasarkan pertimbangan faktor internal

(tujuan dan sifat) suatu negara dalam mencapai kapabilitas powernya melalui aktivitasnya dalam

tatanan internasional dengan melihat dinamika sistem internasional yang ada saat ini.13

3.1 Analisa Level Unit dalam BoI

Menurut Schweller, timbulnya kepentingan dari suatu negara dikarenakan apa yang

negara tersebut inginkan lebih dari apa yang negara tersebut miliki. Sehingga pada akhirnya

negara tersebut akan berusaha untuk memenuhi kepentingannya.14

Pemenuhan kepentingan

tersebut diantara satu negara dengan negara lainnya sangatlah bervariatif dan disesuaikan dengan

kebutuhannya, seperti kepentingan untuk menumbuhkan stabilitas keamanan, peningkatan

ekonomi, stabilitas politik dan integrasi budaya. Melalui analisis sistem unit ini, dapat dilihat

bagaimana negara berusaha untuk dapat mencapai power dan mempertahankan powernya

sebagai bentuk pencapaian kepentingannya dengan mempertimbangkan faktor eksternal, yaitu

konstelasi didalam dinamika sistem internasional saat ini.

Didalam analisis sistem unit ini, negara dianalisis berdasarkan kapabilitas powernya dan

kemampuannya sebagai subjek ataupun objek dalam berinteraksi dengan negara lain melalui

12 Op.Cit. Randall Schweller. 13 Ibid. 14 Ibid.

indikator sifat dan tujuan negara tersebut dalam mencapai kepentingannya dengan negara lain.

Setiap negara memiliki sifat dan tujuan yang berbeda diantara satu dengan lainnya. Hal tersebut

dikarenakan setiap negara memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memandang dinamika

sistem internasional saat ini. Bagi negara yang saat ini merasa posisinya telah terpuaskan dengan

kondisi status quo di wilayah tertentu, maka tujuan dan sifat negara tersebut tentu akan berbeda

dengan negara yang tidak terpuaskan oleh kondisi status quo dan begitupula sebaliknya. Lebih

jauh, Schweller membagi pola perilaku interaksi negara di dalam dinamika sistem internasional

melalui analogi perilaku hewan dalam hutan.

Dalam zoology yang diterangkan oleh Schweller, dijelaskan bahwa terdapat empat

klasifikasi tipe Negara berdasarkan pola perilaku dan tujuannya dalam berinteraksi dengan

Negara lain. Kalsifikasi yang pertama (1) adalah klasifikasi negara yang dianalogikan seperti

Lions. Dimana negara tersebut berada dalam posisi tawar yang tinggi sehingga memiliki tingkat

kepuasan yang tinggi pula.15

Negara dengan tipe ini tidak terlalu menginginkan perubahan secara

signifikan dalam dinamika sistem internasional karena kondisi kenyamanannya. Hanya saja

fokus utama perhatiannya adalah bagaimana tetap mempertahankan kapabilitas powernya untuk

tetap menjadi negara adidaya dengan posisi tawar yang tinggi. Upaya tersebut dijalankan dengan

meningkatkan balancing-nya. Namun, peperangan dapat saja dilakukan oleh negara bertipe

Lions ini untuk menciptakan keamanan atas ancaman dari negara revisionis.

Kemudian yang kedua (2) adalah negara dengan tipe Lambs. Dimana negara yang

dianalogikan negara bertipe Lambs ini adalah negara yang memiliki posisi tawar yang lemah dan

negara ini dianggap hanya sebagai objek dalam dinamika sistem internasional.16

Lemahnya

kapabilitas dalam beberapa aspek membuat negara ini hanya mampu bertindak bandwagoning

untuk berharap mendapatkan posisi yang lebih baik dalam sistem internasional. Bandwagoning

adalah upaya peningkatan kapabilitas power yang dilihat dari sudut pandang negara lemah.

Peningkatan kapabilitas power ini dapat dilakukan dengan cara mengekor kepada negara bertipe

Lions agar mendapatkan perlindungan dan keamanan.

Tipe yang ketiga (3) adalah tipe Jackals. Dalam tipe ini, negara dipandang sebagai aktor

yang oportunistik, yaitu negara yang berani untuk mengeluarkan biaya yang berlebih untuk

mendapatkan apa yang negara terebut inginkan ketika ada kesempatan untuk mendapatkan

15 Ibid. 16 Ibid.

kepentingannya terhadap negara lain. Negara dengan tipe Jackals adalah negara yang merasa

tidak puas dengan apa yang telah negara tersebut miliki, sehingga ketika ada kesempatan maka

negara dengan tipe ini akan berusaha untuk melakukan jackal bandwagoning, yaitu usaha untuk

mengharapkan imbalan ketika bekerjasama dengan negara bertipe Lions ataupun Wolves,

tergantung mana yang dianggap lebih menguntungkan bagi negara bertipe Jackals tersebut.17

Sifat negara jackal yang memanfaatkan jackal bandwagoning ini dikarenakan negara jackal

tersebut memiliki tujuan yang terbatas (limited aims), yaitu hanya menginginkan pencapaian

tujuan berupa peningkatan prestise didalam tatanan sistem internasional, sehingga tidak terlalu

mengambil resiko dengan melawan status quo.18

Kemudian yang terakhir (4) adalah negara dengan tipe Wolves. Negara yang masuk

dalam tipe ini adalah negara yang dikategorikan negara ambisius.19

Negara ini percaya bahwa

kapabilitas power yang dimilikinya akan mampu membawa perubahan secara struktural. Hasil

akhir yang ingin dicapai oleh negara bertipe Wolves tersebut adalah menggulingkan tatanan

sistem internasional yang sudah terbentuk saat ini dan merevisi sebuah sistem tatanan yang baru

sesuai dengan persepsi negara Wolves tersebut.

Melalui analogi zoology yang ditawarkan oleh Schweller ini, maka dalam dinamika

sistem internasional dapat ditarik kesimpulan bahwasanya yang menjadi negara dengan tipe

Lions adalah Amerika Serikat (AS) dengan kapabilitas super powernya. Dimana AS saat ini

sudah merasa bahwa tatanan sistem internasional telah memberikan kepuasan terhadap

negaranya. Posisi tawar yang tinggi dan pengaruhnya yang besar di dalam dinamika sistem

internasional semakin membuat AS berusaha untuk mempertahankan dominasi puncaknya.

Peningkatan dominasi ini salah satunya dapat dilakukan melalui pengupayaan balancing. Namun

fokus utama dari negara bertipe ini adalah mempertahankan status quo mereka sebagai bentuk

kepuasan mereka dalam tataran sistem internasional saat ini.

Kemudian negara yang bertipe Lambs adalah Taiwan. Dimana secara internasional

masih belum banyak negara yang mendukung secara de jure eksistensi Taiwan membuat

lemahnya posisi tawar negara ini. Taiwan berupaya meningkatkan posisi tawarnya, salah satunya

dengan menjalin bandwagoning bersama AS untuk berusaha meningkatkan posisinya terhadap

17 Lau, Olivia. Bandwagoning for Profit. http://www.olivialau.org/ir/archive/sch6.pdf. Diakses pada tanggal 11

April 2014. 18 Op.Cit. Randall Schweller. 19 Ibid.

ancaman yang dihadapinya. Negara Taiwan yang secara eskalasi memiliki wilayah kecil, pada

akhirnya dengan sokongan bantuan AS memiliki cukup kapabilitas power untuk

merepresentasikan national interest-nya melalui bantuan keamanan dari negara Lions.

Selanjutnya negara dengan tipe Jackals adalah China. Perlu untuk diketahui, bahwasanya

China merupakan negara yang berbeda ideologi dengan AS dan menjadi kompetitor AS dalam

upayanya menduduki dominsi puncak kekuasaan dalam tatanan internasional. Karena adanya

pertimbangan rasionalitas, China yang tidak puas dengan pola tatanan AS berupaya tidak

langsung melakukan serangan militer terhadap AS. China lebih banyak bersikap oportunis

dengan pihak yang dianggap memberikan keuntungan bagi dirinya karena China sendiri

menyadari sangatlah beresiko untuk melawan status quo yang ada saat ini secara langsung.

Melalui kepentingannya untuk dapat menyatukan kembali wilayah Taiwan menjadi bagian dari

provinsi China, maka China berupaya untuk membatasi peran AS di wilayah Taiwan dilakukan

dengan menggunakan instrumen kerjasama ekonomi yaitu perjanjian ECFA.

Disinilah terlihat bahwa China berperilaku seperti negara yang bertipe Jackals. China

berusaha membatasi peran Amerika Serikat di Taiwan sebagai bentuk ketidakpuasan China

terhadap hegemoni AS di wilayah Taiwan melalui penggunaan instrumen ekonomi. Penggunaan

instrumen ekonomi dipilih China karena negara tersebut tidak ingin hubungannya dengan

Amerika Serikat memburuk akibat kepentingan China di wilayah Tawan. Selain itu, dipilihnya

instrumen ekonomi juga mengindikasikan bahwasanya China ingin kebijakan luar negerinya di

wilayah Taiwan seirama dengan apa yang dinginkan oleh AS seperti yang tertuang dalam TRA,

yaitu penyelesaian konflik dan penentuan masa depan lintas selat harus dilakukan secara cara-

cara damai.20

Sehingga, sangatlah terlihat jelas, bagaimana China yang saat ini sebagai lesser

agresor berupaya menjadi negara soft-revisionis, membatasi peran negara hegemon, yaitu AS

diwilayah Taiwan dengan menyepakati langkah penyelesaian konflik lintas selat seperti yang di

inginkan oleh AS di dalam TRA. Berharap dengan menyepakati regulasi manajemen konflik

yang seirama dengan AS, maka akan semakin mudah bagi China untuk dapat lebih mendekatkan

dirinya ke wilayah Taiwan.

Dengan status Jackal yang limited aims, China tidak berupaya untuk menumbangkan

kekuatan dominan yang telah ada, melainkan berusaha menandingi atau bahkan menyamai posisi

dominan dari negara AS yang saat ini telah menjadi kekuatan dominan diwilayah Taiwan. Hal

20 Op.Cit. Taiwan Relations Act.

tersebut dikarenakan negara yang memiliki tujuan limited aims hanya meninginkan peningkatan

prestise dan status negara didalam wilayah Taiwan, bukan malah sebaliknya, yaitu mengambil

resiko dengan menentang status quo.21

Pada penelitian ini, karakteristik negara dengan tipe

Jackal akan lebih banyak dibahas. Hal ini dikarenakan karakteristik negara Jackal dinilai sangat

relevan dengan sifat negara China yang menjadi pokok pembahasan dalam isu yang diteliti oleh

penulis.

Kemudian contoh negara dengan tipe Wolves adalah Iran. Dengan segala kemampuan

power yang dimilikinya, Iran berusaha menjadi negara revisionis total yang berupaya merubah

tatanan sistem internasional karena ketidakpuasan akibat tatanan sistem internasional yang saat

ini dikendalikan oleh AS. Permintaan perubahan ini dilakukan secara nyata berupa kecaman dan

dapat berupa dalam bentuk tindakan secara militer (peperangan).

4. Penyajian Data dan Pembahasan

4.1 Kerjasama Amerika Serikat dan Taiwan melalui TRA

Kerjasama yang dibangun oleh AS dan juga Taiwan sejatinya merupakan hubungan yang

tidak resmi. Hal tersebut dikarenakan semenjak AS menyetujui Joint Communique dengan China

pada tanggal 1 Januari 1979, pemerintah AS hanya mengakui pemerintahan Beijing sebagai

pemerintahan yang sah untuk mengatur seluruh wilayah China, termasuk didalamnya wilayah

Taiwan. Namun kesepakatan Joint Communique yang telah disetujui oleh AS nyatanya tidak

memutus upaya AS untuk tetap dapat bekerjasama dengan pemerintah Taiwan, meskipun secara

tidak resmi melalui kerjasama dibidang budaya, ekonomi dan keamanan.22

Upaya pemerintah AS yang tetap berusaha menjalin hubungan tidak resmi dengan

pemerintah Taiwan didasarkan bukan karena pemerintah AS menginginkan kemerdekaan bagi

Taiwan. Lebih dari itu, upaya kerjasama yang dibangun AS bersama Taiwan sejatinya

merupakan cara bagi AS untuk dapat menjaga stabilitas dan perdamaian di Kawasan Asia

Timur, terlebih kepada hubungan lintas selat diantara China dan Taiwan.23

Kebijakan AS untuk

21 Ibid. 22US Relations with Taiwan. http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/35855.htm. Diakses pada tanggal 21 April 2014. 23 The Promise of the Taiwan Relations Act. http://www.state.gov/p/eap/rls/rm/2014/03/223461.htm. Diakses pada

tanggal 21 April 2014.

tetap dapat membangun hubungan tidak resmi dengan Taiwan, semakin diperkuat dengan

disepakatinya kerjasama Taiwan Relations Act (TRA) pada tanggal 10 April 1979.24

Didalam kerjasama TRA, selain terdapat kesepakatan perdagangan, pertukaran

kebudayaan diantara AS dan Taiwan, juga terdapat kesepakatan penyediaan senjata oleh

pemerintah AS bagi pertahanan Taiwan apabila suatu saat kondisi kedaulatan Taiwan terancam.

Berasarkan kesepakatan TRA tersebut, maka pada akhirnya hubungan diantara AS dan Taiwan

secara struktural semakin menguat dan hal tersebut tentu mengakibatkan ketergantungan Taiwan

terhadap AS sangatlah tinggi, khususnya dalam sektor keamanan. Sebenarnya, jauh sebelum

tercetusnya kerjasama TRA diantara AS dan Taiwan, pada tahun 1954, pemerintah AS dan

Tawian telah menjalin aliansi perjanjian yang memasukkan wilayah Taiwan sebagai wilayah

kemananan kolektif AS di Asia Timur (Mutual Defense Treaty). Namun kesepakatan tersebut

harus diakhiri pada tahun 1980, setahun pasca disepakatinya TRA. Semenjak terjalinnya TRA

pada tahun 1979, baik AS maupun Taiwan percaya bahwa ketegangan lintas selat yang terjadi

diantara China dan Taiwan dapat diredakan dan dapat diselesaikan melalui jalur-jalur secara

damai.25

4.2 Kerjasama China dan Taiwan melalui ECFA

Negosisasi dan dialog selama pembentukan perjanjian ECFA yang melibatkan China dan

Taiwan dilakukan oleh badan resmi representasi pemerintah dari masing-masing negara. Dimana

negosiator Taiwan diwakili oleh Chen Yunlin yang bertindak sebagai ketua dalam The Straits

Exchange Foundation (SEF), sedangkan dari China diwakili oleh Chiang Pin Kung yang

merupakan ketua dari Mainland’s Association for Relations Across the Taiwan Street (ARATS).

SEF sendiri merupakan sebuah badan semi-resmi yang dibentuk oleh pemerintah Taiwan untuk

menangani masalah teknis dan bisnis dengan pemerintah China. Disatu sisi ARATS yang

merupakan badan semi-resmi pemerintah China juga memiliki tiugas dan fungsi yang sama

dengan SEF, yaitu menangani masalah teknis dan kegiatan bisnis dengan pemerintah Taiwan.

Melalui dialog dan negosiasi yang secara intensif dilakukan oleh SEF dan ARATS

tersebut, hingga pada akhirnya ECFA resmi disepakati dengan ketentuan didalamnya adalah

pengurangan biaya tarif diantara masing-masing negara. Sebanyak lebih dari 800 jenis produk

24 Taiwan Relations Act, Public Law 96-8th Congress. www.ait.org.tw/en/taiwan-relations-act.html. Diakses pada

tanggal 21 April 2014. 25 Op.Cit. The Promise of the Taiwan Relations Act.

yang berasal dari kedua negara akan menikmati penurunan tarif impor secara berkala hingga

menjadi nol. Penurunan tarif impor tersebut akan dilakukan secara berkala dalam tempo waktu

selama dua tahun terhitung setelah diaktifkannya pelaksanaan perjanjian ECFA yang dimulai

pada tanggal 1 Januari 2011.26

Kesepakat kedua negara untuk menyetujui kerangka kerjasama

ekonomi ECFA, mengindikasikan bahwasanya kedua belah pihak saling optimis untuk

membawa hubungan lintas selat kearah yang lebih baik melalui instrumen kerjasama ekonomi.

Didalam naskah perjanjian ECFA sendiri, berisikan lima bab yang meliputi bab

pendahuluan, prinsip-priinsip umum, aturan perdagangan serta investasi, kerjasama ekonomi,

dan yang terakhir yaitu mengenai kesepakatan pelaksanaan program “Early Harvest” dan daftar

barang yang tercantum didalamnya.27

Oleh karenanya, isi perjanjian ECFA tersebut secara garis

besar berisi mengenai prinsip-prinsip umum dalam menjalin peningkatan kerjasama ekonomi

melalui kegiatan perdagangan, dan investasi diantara China dan Taiwan. Untuk merealisasikan

hal tersebut, maka didalam draft ECFA juga disepakati bahwasanya kedua negara akan bersedia

untuk membuka jalur perdagangan secara langsung. Perlu diketahui, bahwasanya sebelum terjadi

kesepakatan ECFA, baik China maupun Taiwan masing-masing tidak menyepakti untuk

membuka jalur ekspor-impor secara langsung akibat masalah pertikaian politik. Hingga pada

akhirnya kegiatan ekspor-impor diantara China dan Taiwan selama ini harus melewati pintu

gerbang investasi, yaitu melawati daerah daratan Hongkong (special administrative region of

China).28

ECFA sendiri dibentuk dan disepakati sebagai perjanjian yang berpegang pada prinsip-

prinsip kesetaraan, resiprositas dan progresif dengan tujuan akhir adalah sebagai instrumen untuk

memperkuat hubungan lintas selat melalui sektor perdagangan dan ekonomi.

Menariknya didalam kesepakatan pelaksanaan program “Early Harvest” dan daftar

barang yang tercantum didalamnya, China telah sepakat untuk menurunkan tarif impor bagi 539

jenis produk yang berasal dari Taiwan ( termasuk didalamnya 18 produk pertanian dan sejumlah

industri jasa). 29

Melalui skema tersebut, total nilai penurunan tarif impor perdagangan barang

dari Taiwan ke wilayah daratan China sebesar 16,14%. Sebaliknya, Taiwan telah sepakat untuk

menurunkan tarif 267 jenis barang yang berasal dari daratan China dengan total nilai penurunan

26 Economic Cooperation Framework Agreement. http://www.customs.gov.hk/en/trade_facilitation/ecfa/ecfa/.

Diakses pada tanggal 28 Januari 2014. 27 Naskah Pembukaan Cross-Straits Economic Cooperation Framework Agreement. 28 Tung, Chen-yuan. Trade Relations between Taiwan and China dalam In Jing Luo (ed.), China Today: An

Encyclopedia of Life in the People’s Republic (Westport, CT: Greenwood Press, 2005). Hal. 625. 29 Op.Cit. Hong, Zhao.

tarif sebesar 10,53%.30

Didalam kesepakatan tersebut, jika dikomparatifkan, maka keuntungan

yang didapatkan oleh China tidaklah sebanding dengan apa yang akan didapatkan oleh Taiwan.

China hanya akan mendapatakan keuntungan sebesar satu per enam dari total yang didapatkan

oleh Taiwan.

Menurut Fan Liqing, juru bicara di Taiwan Affairs Office, kesepakatan preferensial

ECFA yang diratifikasi pada tahun 2010 nyatanya telah banyak mempromosikan perdagangan di

lintas selat.31

Menariknya, selama berjalannya program “Early Harest” selama tiga tahun

pertama, Taiwan lebih banyak mendapatkan keuntungan melalui keterbukaan akses ke pasar

China. Perjanjian ECFA yang nyatanya memang ketika diratifikasi dan diimplementasikan tidak

memiliki keuntungan yang bersifat resiprokal bagi China, seolah menandakan bahwasanya

perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang memanjakan Taiwan. ECFA menjadi sebuah

perjanjian yang mengakomodir keinginan Taiwan untuk dapat terlibat dalam integrasi ekonomi

dengan China melalui perdagangan bebas.

Kebangkitan China yang menduduki supremasi kebangkitan ekonomi secara global,

nyatanya seolah tidak memiliki opsi tawar yang baik dalam kesepakatan ECFA. Padahal

seharusnya performa kemajuan ekonomi China selama ini dapat dijadikan kekuatan bagi

Chinauntuk meningkatkan posisinya di dalam kesepakatan ECFA agar mendapatkan keuntungan

yang resiprokal. Hal tersebut dikarenakan performa ekonomi merupakan salah satu ukuran

kekuatan nasional sebuah negara yang dapat dijadikan instrumen untuk mempengaruhi perilaku

negara lain.32

Hingga pada akhirnya menjadi sebuah pertanyaan besar ketika China yang dalam

implementasi ECFA tidak mendapatkan keuntungan yang seimbang masih bersedia menjalankan

perjanjian tersebut. Ada sebuah motif tersendiri yang ingin diraih oleh China di dalam ECFA

hingga sampai mempertahankan kesepakatan tersebut meskipun secara komparatif, keuntungan

yang diperoleh China jau lebih rendah dari apa yang didapatkan oleh Taiwan.

5. Analisa

5.1 Sifat Jackal Bandwagoning China melalui Perjanjian ECFA

30 Opcit. Xinhua. 31 Op.Cit. Mainland, Taiwan exempt tariffs on 806 products. 32 Hwang, Karl. New Thinking in Measuring National Power. Prepared for the WISC Second Global International

Studies Conference University of Ljubljana, Slovenia. Hal.2

Bagi China, upaya reunifikasi dengan menyatukan kembali wilayah Taiwan menjadi

bagian dari salah satu provinsinya adalah suatu keharusan. Betapa tidak, jika China gagal

mengupayakan hal tersebut, maka besar kemungkinan akan terjadi efek domino yang

membahayakan kedaulatan China. Ketika China gagal mempertahankan Taiwan menjadi bagian

dari wilayahnya, maka akan ada suatu angin segar bagi separatis di wilayah Tibet, Xinjiang dan

beberapa tempat lainnya untuk berupaya melakukan hal yang sama dengan Taiwan, yaitu

memisahkan diri dari China.33

Namun upaya China untuk menjalankan kepentingan politik luar negerinya diwilayah

Taiwan semakin sulit dengan kehadiran AS. Melalui kesepakatan Taiwan Relations Act (ACT)

pada tahun 1979, AS melihat bahwasanya wilayah Taiwan memiliki esensi penting yang harus

diperjuangkan. Sebuah esensi kepentingan AS untuk menghadang laju paham komunis agar tidak

semakin mengglobal membawa keterlibatan AS di wilayah Taiwan. Transformasi ideologi

kearah demokratis di wilayah Taiwan sangatlah diupayakan oleh AS.

Peran penting AS sebagai negara hegemon di wilayah Taiwan tidak serta merta

ditanggapi secara ofensif dan juga agresif oleh pemerintah China. Alih-alih menggunakan

instrumen militer untuk menekan Taiwan dan menghadang laju AS di wilayah Taiwan,

pemerintah China justru bersikap sebaliknya. China berusaha meningkatkaan mutual trust di

bidang politik, ekonomi dan transportasi diantara China dan Taiwan.34

Artinya, melalui kebijakan

pemerintah China tersebut, China tidak akan mengejar hegemoni di wilayah Taiwan melalui

penggunaan instrumen militer untuk menghentikan peran AS di wilayah Taiwan.

Ketika dielaborasikan kedalam fenomena sikap Jackal China didalam analogi zoology

yang dijelaskan oleh Schweller melalui teori BoI-nya, maka upaya China yang tidak meng-

counter peran AS secara ofensif didalam wilayah Taiwan sebenarnya bagian dari upaya

mengharapkan imbalan ketika bekerjasama (jackal bandwagoning) dari negara Lions, yaitu AS.

Tujuan dari upaya jackal bandwagoning adalah self-extension, yaitu mendapatkan nilai yang

didambakan, sehingga negara yang menerapkan jackal bandwagoning berani mengeluarkan

biaya yang sangat besar untuk mencapai nilai yang didambakannya tersebut.35

33 O’Hanlon, Michael. The Risk of War Over Taiwan is Real.

http://www.brookings.edu/research/opinions/2005/05/01asia-ohanlon. Diakses pada tanggal 11 Februari 2014. 34 Full Text; China’s National Deense in 2010. http://news.xinhuanet.com/english2010/china/2011-

03/31/c_13806851.htm. Diakses pada tanggal 12 Februari 2014. 35 Chonghan Wu, Charles. Hierarchy and Bandwagoning in Asia-The Rise of China and its Grand Strategy in the

Post-Cold War era. University of South Carolina, Columbia. Hal. 4

China yang menyadari bahwasanya yang terlibat sebagai aliansi Taiwan adalah negara

hegemoni, yaitu AS, sehingga atas dasar pertimbangan rasionalitas, China melihat strategi

terbaik adalah berusaha dengan menyeimbangkan kepentingan dengan AS dari pada berusaha

menentang posisi AS di Taiwan.36

Penyeimbangan kepentingan tersebut dilakukan pemerintah

China dengan tidak menggunakan tindakan ofensif dalam menyikapi peran AS di wilayah

Taiwan. Artinya, melalui kebijakan tersebut, secara tidak langsung mengindikasikan bahwasanya

pemerintah China juga menyepakati langkah AS seperti yang tertuang didalam perjanjiaan TRA

untuk menjaga stabilitas keamanan dan kedamaian di wilayah Taiwan melalui langkah-langkah

secara damai.37

Ratifikasi perjanjian ECFA oleh pemerintah China yang merupakan kesepakatan

kerjasama ekonomi diantara lintas selat, menjelaskan bahwasanya saat ini terdapat kemauan dari

pemerintah China untuk membangun mutual trust di bidang ekonomi dengan pemerintah

Taiwan. Namun sekali lagi, dikarenakan China merupakan aktor yang bersikap oportunis, maka

China memiliki nilai yang didambakan didalam kesepakatan ECFA tersebut. Sebuah nilai

keuntungan berupa terikatnya Taiwan oleh China pasca dilaksankannya perjanjian ECFA melalui

unifikasi secara damai.38

5.2 Perjanjian ECFA sebagai Tujuan China yang Terbatas (Limited Aims)

Untuk mencegah lepasnya Taiwan menjadi negara yang merdeka, China lebih

menggunakan pertimbangan rasionalitas. China merasa bahwasanya membangun mutual trust

dengan Taiwan melalui aspek perdagangan lebih ditekankan dari pada bertindak ekspansif

dengan menggunakan kapabilitas militer. Pertimbangan tersebut diambil oleh China karena

penggunaan instrumen militer sudah tidak lagi relevan dan tidak menguntungkan digunakan

untuk mengintervensi Taiwan agar tunduk dalam kebijakan China. Hal tersebut dikarenakan

semenjak disepakatinya perjanjian TRA yang dilakukan oleh AS dan juga Taiwan pada tahun

1979, pada akhirnya telah memposisikan AS untuk memberikan bantuan militerisasi kepada

pemerintahan Taipei jika suatu saat Beijing berusaha mengintervensi Taiwan melalui tindakan-

tindakan militerisasi.

36 Ibid. 37 Op.Cit. Taiwan Relations Act, Public Law 96-8th Congress. 38 Kien-tsu, Lin. The ECFA hoax and Chinese Swindlers.

http://www.taipeitimes.com/News/editorials/archives/2010/03/13/2003467879. Diakses pada tanggal 24 Februari

2014.

AS sendiri melihat bahwasanya situasi status quo di Selat Taiwan harus dipertahankan

untuk memelihara kedamaian. Namun disatu sisi, Beijing mengklaim bahwasanya dengan masih

dipertahankannya kondisi status quo di wilayah Taiwan, mencerminkan ketidakstabilan

sementara atas kondisi konflik yang sedang berlangsung.39

Artinya bagi Beijing, kondisi

hubungan lintas selat saat ini meskipun bagi sebagian pihak menganggap telah terjadi gencatan

senjata, namun tidak berarti telah menyelesaikan pokok dari konflik tersebut. Menyadari akan

persepsi penanganan masalah di Taiwan yang berbeda dengan AS, pemerintah China pada

akhirnya berusaha untuk mensinergikan kepentingannya agar sesuai dengan kondisi yang telah

ditetapkan oleh AS didalam perjanjian TRA, yaitu membangun dan menentukan masa depan

hubungan lintas selat secara damai.

Sejatinya semenjak tahun 2004, diera kepemimpinan presiden Hu Jintao, China telah

berupaya untuk membangun hubungan kerjasama dengan seluruh negara, khusunya dengan

negara di kawasan Asia Timur secara damai melalui slogan peaceful development.40

Peaceful

development dijelaskan sebagai bagian dari upaya China yang berusaha untuk mengemabangkan

dirinya dengan menjunjung tinggi asas perdamaian dunia melalui usahanya.

Oleh karenanya, tujuan utama diplomasi China diera globalisasi saat ini adalah berusaha

menciptakan lingkungan internasional yang damai dan stabil melalui pembangunan. Bahkan,

China menegaskan kepada dunia internasional, bahwa sikap China yang selama ini tidak perrnah

terlibat didalam berbagai tindakan agresi dan tidak pernah mencari hegemoni, semakin

mempertegas bahwasanya China merupakan salah satu negara yang gigih berjuang untuk

menciptakan dan menegakkan perdamaian bagi stabilitas regional dan dunia.41

Perjanjian kerangka kerjasama ekonomi ECFA bersama Taiwan yang diratifikasi oleh

China pada tahun 2010, merupakan salah satu bagian dari peaceful development yang seolah

menandakan bahwasanya saat ini China berkeinginan untuk merangkul negara-negara yang

pernah terlibat konflik atau sedang mengalami perselisihan dengan China, salah satunya Taiwan,

diajak untuk menjadi rekan yang bersahabat melalui hubungan kerjasama yang saling bersinergi.

Disinilah sebenarnya tujuan yang ingin dicapai China melalui ECFA. Dikarenakan sudah sangat

39 Chas W. Freeman,Jr. The Taiwan Problem and China’s Strategy for Resolving It. http://www.mepc.org/articles-

commentary/speeches/taiwan-problem-and-chinas-strategy-resolving-it?print. Diakses pada tanggal 3 Maret 2014. 40 Sidabutar, Ruth. Tekanan Internasional dan Respon Kebijakan Luar Negeri: China’s

Peaceful Development dalam Isu Lingkungan Global dan Pembangunan Ekonomi Negara . Hal.1 41 Ibid.

tidak relevan dan tidak rasional untuk menekan Taiwan dan menghadang laju AS di wilayah

Taiwan dengan menggunakan instrumen militer, maka China merubah kebijakan luar negerinya

terhadap Taiwan.

Melalui pencitraan dirinya yang memegang teguh perdamaian melalui slogal peaceful

development, China sejatinya berusaha memposisikan kebijakan luar negerinya terhadap Taiwan

agar sejalan dengan apa yang AS inginkan didalam perjanjian TRA, yaitu menginginkan

penyelesaian konflik lintas selat dan penentuan masa depan Taiwan melalui jalur-jalur secara

damai. Dengan berusaha menciptakan ritme yang seirama dengan AS, maka China tidak akan

mendapatkan hambatan dalam upayanya mendekatkan dirinya kepada Taiwan melalui cara-cara

yang damai. Oleh karenanya semenjak diratifikasinya ECFA, AS sendiri tidak berusaha

menentang kebijakan China dan Taiwan yang menyepakati kerangka kerjasama ekonomi ECFA,

meskipun banyak pihak yang berusaha meyakinkan bahwasnya kesepakatan tersebut secara

politik hanyalah bagian dari upaya China untuk mengambil alih posisi ketergantungan Taiwan

dari AS melalui sektor ekonomi.

Tujuan China saat ini bukanlah menumbangkan kekuatan dominan AS di wilayah

Taiwan, namun hanya berusaha menandingi atau bahkan menyamai posisi dominan dari negara

AS di wilayah Taiwan. Ketergantungan Taiwan akan posisi AS sangatlah tinggi, khususunya dari

sektor keamanan. Namun China berharap dengan dirinya meratifikasi perjanjian ECFA yang

meskipun dinilai tidak bersifat keuntungan resiprokal, dalam jangka panjang, Taiwan juga akan

mengalami kondisi ketergantungan terhadap China, salah satunya melalui sektor ekonomi. Selain

itu dengan diratifikasinya ECFA oleh China, maka akan semakin meningkatkan prestise citra

China didalam wilayah Taiwan tanpa harus mengambil resiko dengan menentang status quo

melalui jalur-jalur ofensif.

v. Penutup

Kebijakan China yang meyepakati untuk meratifikasi perjanjanjian kerangka kerjasama

ekonomi ECFA dengan Taiwan pada tanggal 29 Juni 2010 menjadi sebuah langka baru dalam

konstelasi hubungan lintas selat. Kesepakatan yang dibentuk melalui ECFA disinyalir membawa

perubahan transformatif bagi hubungan China dan juga Taiwan ke arah yang lebih kondusif.

Upaya China yang meratifikasi kerjasama ECFA yang digagas oleh Ma Ying–jeou, memang

pada awalnya terlihat bahwasanya China akan menciptakan hubungan yang bersahabat dengan

Taipei melalui integrasi ekonomi. Namun, dibalik kesepakatan tersebut terdapat sebuah

kepentingan politis China untuk mencapai kepentingannya di wilayah Taiwan. Sebuah

kepentingan China akan pencapaian national interest-nya di wilayah Taiwan yang pada akhirnya

membawa China bersedia untuk meratifikasi perjanjian ECFA.

China yang identik dengan tipe negara Jackal, didalam kesepakatan ECFA sejatinya

berupaya untuk mendapatkan sebuah imbalan dari negara Lions, yaitu AS. Perlu diketahui, saat

ini AS merupakan aliansi dari Taiwan dan oleh karenanya AS memiliki pengaruh yang besar

diwilayah Taiwan. Dengan menyepakati ECFA, berarti China berupaya untuk menyetujui

langkah AS didalam kesepakatan TRA yang menginginkan penciptaan dan penentuan kondisi

masa depan lintas selat secara damai. Bukan tanpa alasan, kenapa China berusaha untuk

menyamakan persepsinya dengan AS dalam menyikapi isu lintas selat. Hal tersebut dikarenakan

China menginginkan sebuah “imbalan” ketika negara tersebut menjalankan kepentingan politik

luar negerinya agar seirama dengan apa yang AS inginkan di wilayah Taiwan. Imbalan berupa

kemudahan bagi China untuk semakin dapat mendekatkan dirinya ke wilayah Taiwan tanpa

harus mendapatkan respon negatif dari kompatriot Taiwan, yaitu AS.