KEPENTINGAN POLITIK LUAR NEGERI CHINA DI WILAYAH TAIWAN MELALUI ECONOMIC COOPERATION FRAMEWORK...
Transcript of KEPENTINGAN POLITIK LUAR NEGERI CHINA DI WILAYAH TAIWAN MELALUI ECONOMIC COOPERATION FRAMEWORK...
Briansyah Sujarwo Putro (105120400111044)
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya
Jalan Veteran, Malang, 65145, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstraksi
Kebijakan China yang meratifikasi kerjasama ECFA (Economic Cooperation Framework
Agreement) bersama Taiwan pada tahun 2010 menjadi sebuah transformasi awal bagi
terciptanya perbaikan hubungan lintas selat. Menariknya, didalam kerjasama ekonomi ECFA
tersebut, pihak China justru tidak mendapatkan keuntungan yang bersifat resiprokal
dibandingkan dengan apa yang Taiwan dapatkan. Didalam draft ECFA yang telah disepakati
diantara pemerintah China dan Taiwan, dijelaskan bahwasanya pihak China telah bersedia
menurunkan tarif impor 539 jenis barang yang berasal dari Taiwan dan sebaliknya, Taiwan
melalui kesepakatannya hanya menurunkan tarif impor 267 jenis barang dari China. Meskipun
kesepakatan ECFA tidak memberikan keuntungan yang bersifat resiprokal bagi China, namun
secara politis, kerjasama ECFA merupakan sebuah strategi awal bagi China untuk dapat
mencapai kepentingan nasionalnya di wilayah Taiwan melalui skema kerjasama integrasi
ekonomi. Mengingat semenjak tahun 1949 Taiwan telah menjalin aliansi dengan Amerika
Serikat melalui TRA (Taiwan Relations Act), maka penggunaan instrumen ekonomi sebagai alat
untuk mencapai kepentingan politik luar negeri China di wilayah Taiwan merupakan salah satu
langkah yang sangat strategis dibandingkan dengan menggunakan tindakan militerisasi untuk
menekan Taiwan. Hal tersebut dikarenakan China tidak ingin mengambil resiko dengan
menentang status quo diwilayah Taiwan secara langsung melalui tindakan ofensif, sehingga
upaya perimbangan kepentingan China di wilayah Taiwan dilakukan melalui jalur-jalur secara
damai, salah satunya melalui kerjasama ekonomi ECFA.
Kata kunci: Perimbangan kepentingan,integrasi ekonomi, ECFA, hubungan lintas selat
Abstract
China's policy which ratified the ECFA (Economic Cooperation Framework
Agreement) cooperation with Taiwan in 2010 became an initial transformation to the
improvement of the cross-strait relations. Interestingly, in the ECFA economic cooperation ,
China is not the nature reciprocal benefit compared to what Taiwan get. The ECFA agreement
between China and Taiwan explained that China had been willing to lower its import tariffs on
539 kinds of goods from Taiwan and vice versa, Taiwan through the deal had just lowering its
import tariffs on 267 kinds of goods from China. Although the ECFA agreement does not provide
the reciprocal benefit to China, politically, ECFA is an initial strategy for China to achieve its
national interests in Taiwan through the cooperation scheme of economic integration. Because
Taiwan has been established an alliance with the United States of America through TRA (Taiwan
Relations Act) since 1949, China using this economic instruments as a tools to achieve its
foreign policy interests in Taiwan rather than using the military option to suppress Taiwan .
Because China does not want to take a risk challenging the Taiwan region’s status quo through
the offensive action directly, so that the efforts of balancing its interests in Taiwan is being done
through the arbitration steps, one through ECFA.
Keywords : Balance of interests , economic integration , ECFA , cross-strait relations
1. Latar Belakang Masalah
Kebijakan China pada tanggal 29 Juni tahun 2010, yang menyetujui perjanjian kerangka
kerjasama ekonomi ECFA (Economic Cooperation Framework Agreement) bersama Taiwan
menjadikan peristiwa bersejarah bagi kemajuan hubungan lintas selat.1 Betapa tidak, hal ini
dikarenakan secara historikal hubungan bilateral antara China dan Taiwan selama ini tidak
pernah berjalan harmonis. Ketidak harmonisan ini dikarenakan melalui kebijakan “One China
Policy”, China menganggap bahwa Taiwan adalah bagian dari wilayah teritorialnya dan hanya
ada satu Cina yaitu Republik Rakyat Cina (RRC). Sedangkan bagi Taiwan, kebijakan satu China
tersebut lebih dikonstruksikan dengan menganggap terdapat dua negara dalam satu bangsa, yang
berarti Taiwan bukanlah bagian dari wilayah China dan secara substansi berarti Taiwan adalah
negara yang merdeka dan tidak terikat oleh pemerintahan China.2 Namun melalui kesepakatan
pembentukan kerangka kerjasama ekonomi ECFA yang disepakati pada tanggal 29 Juni tahun
2010 tersebut, seolah terjadi transformasi awal demi terciptanya perbaikan hubungan diantara
kedua negara tersebut.
Menjadi menarik, lantaran dalam perjanjian kerangka kerjasama ekonomi yang disepakati
China dan Taiwan melalui ECFA nyatanya tidak terjadi keseimbangan keuntungan disalah satu
pihak yang terlibat. Didalam draft ECFA disepakati bahwasanya pemerintah China telah
menyetujui untuk menurunkan tarif impor 539 jenis barang yang berasal dari Taiwan dan
sebaliknya, Taiwan melalui kesepakatannya hanya menurunkan tarif impor 267 jenis barang dari
China. Dengan adanya skema pengurangan tarif tersebut, Taiwan akan mendapatkan keuntungan
melalui penghematan biaya ekspor ke China sebesar US$ 13,838 juta, sedangkan China hanya
1 Li and Fung Research Center. Analysis of the Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) between the
Chinese Mainland and Taiwan. http://www.funggroup.com/eng/knowledge/research/china_dis_issue67.pdf. Diakses
pada tanggal 10 November 2013. 2 J. Bruce Jacoobs. One China, Diplomatic Isolation and A Separate Taiwan dalam Edward Friedman (ed.), China’s
Rise, Taiwan’s Dilemas and International Peace (new York: Routledge, 2006). Hal.85.
akan mendapatkan keuntungan sebesar US$ 2,858 juta.3 Sehingga melalui skema tersebut, China
tidak akan mendapatkan keuntungan resiprokal yang sesuai dengan apa yang Taiwan dapatkan
dalam perjanjian ECFA tersebut. Menjadi sebuah pertanyaan besar jika China yang saat ini
tampil sebagai negara yang memiliki kapabilitas ekonomi yang kuat, tidak seharusnya mudah
menyetujui draft kerjasama yang secara perbandingan keuntungan cenderung merugikan China
sendiri.
Kerjasama ECFA yang melibatkan China dan Taiwan ini bermula pada tanggal 29 Juni
2008. Pasca terpilihnya Ma Ying–jeou sebagai presiden Taiwan. Ketertarikan Presiden Taiwan,
Ma Ying-jeou, untuk membuka hubungan dengan China dikarenakan saat ini China memiliki
kapabilitas ekonomi yang kuat hingga mampu menjadi menjadi hemisfer ekonomi global pada
abad ke-21. Melalui pencapaian peningkatan ekonomi tersebut, tak ayal States Statistical Bureau
menyatakan bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi China telah melampaui pertumbuhan
ekonomi di negara Asia lainnya serta menjadikan China sebagai negara yang berkontribusi
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia lebih dari 10% dalam beberapa tahun terakhir. 4
Disadari oleh pemerintah China, dengan semakin berjayanya China dalam konstelasi
ekonomi internasional, menjadikan instrumen ekonomi sebagai alat yang rasional bagi
pemerintah China untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Pertumbuhan ekonomi China yang
semakin pesat inilah yang pada akhirnya banyak mengubah pola kebijakan pemerintah China,
termasuk kebijakannya terhadap Taiwan. Semenjak tahun 2000, fokus politik luar negeri China
terhadap Taiwan lebih banyak diubah dari hard power menjadi soft power melalui instrument
ekonomi, dengan bukti ditandatanganinya kesepakatan ECFA pada tahun 2010.5
Perubahan kebijakan China ini, diakibatkan karena China mulai mengaggap bahwasanya
kekuatan militer dengan strategi ofensif sudah tidak relevan untuk digunakan mengintervensi
Taiwan agar tunduk dalam kebijakan China. Hal ini mengingat adanya peran AS (Amerika
Serikat) di wilayah Taiwan yang berusaha membantu Taiwan menghadang perilaku agresif
China yang berkeinginan untuk melakukan reunifikasi bersama Taiwan.6 Semenjak tanggal 10
April 1979, Taiwan telah melakukan kerjasama dengan AS melalui Taiwan Relations Act (TRA)
yang didalam kesepakatan tersebut selain terdapat kesepakatan perdagangan, pertukaran
3 Tsai-Lung (Honigmann) Hong. ECFA: A Pending Trade Agreement? Also a Comparison to CEPA. Hal.10 4 China FTA Network. http://fta.mofcom.gov.cn/english/index.shtml. Diakses pada tanggal 23 November 2013. 5 Lieutenant Colonel Douglas Frison. China’s less aggressive approach to Taiwan reunification: a change in
strategy or tactics? Laporan Penelitian U.S. Army War College Carlisle Barrack, Pennsylvania,2004. 6Ibid.
kebudayaan, juga terdapat kesepakatan penyediaan senjata oleh Amerika Serikat bagi pertahanan
Taiwan apabila suatu saat kondisi kedaulatan Taiwan terancam. 7
Melalui kesepakatan yang
dijalin tersebut, pada akhirnya menimbulkan hubungan struktural yang kuat diantara AS dan
Taiwan. Hal tersebut tentu mengakibatkan ketergantungan Taiwan terhadap AS sangatlah tinggi,
khususnya dalam sektor keamanan.
Keterlibatan AS dalam hubungan China-Taiwan pun pada akhirnya menimbulkan bipolar
balance of power di wilayah Taiwan. Disatu sisi AS yang merupakan kekuatan tunggal hegemon
pasca Perang Dingin berupaya mempertahankan posisinya sebagai negara adikuasa di wilayah
Taiwan, salah satunya melalui upaya balancing dengan Taiwan, namun disatu sisi lainnya
muncul China sebagai kekuatan baru di dalam dinamika sistem internasional yang berusaha
menghadang laju AS di Taiwan. Namun pertentangan antara China dan AS di wilayah Taiwan
tersebut tidak direspon secara koersif oleh kubu China. Pemerintah China dalam upaya
pencapaian kepentingan nasionalnya di wilayah Taiwan menganggap penggunaan kapabilitas
militer sudah sangat tidak relevan semenjak Taiwan mengadakan perjanjian TRA dengan AS.8
Mengingat tendensi hubungan bilateral kedua negara yang hingga saat ini masih belum
dapat dikatakan harmonis sepenuhnya, dipandang perlu dan urgen untuk dilakukan penelitian
tentang analisis kebijakan luar negeri China yang menyepakati Kerangka Kerjasama Ekonomi
(ECFA) dengan Taiwan pada tahun 2010.
2. Rumusan Masalah
Melihat dalam draft perjanjian ECFA yang secara komparatif cenderung menguntungkan
Taiwan (539 jenis barang dari Taiwan dapat melakukan perdagangan lintas negara dengan China
melalui kesepakatan pengurangan tarif impor, sedangkan bagi China, hanya ada 267 jenis
barang dari China yang disepakati untuk dikurangi tarif bea masuknya ke wilayah Taiwan),
mengapa China pada akhirnya menyetujui Kerangka Kerjasama Ekonomi (ECFA) dengan
Taiwan ?
3. Kerangka Teoritik
Tulisan ini menggunakan teori Balance of Interest (BoI) karya Randall L. Schweller.
Menurut teori BoI yang dimunculkan oleh Randall L. Schweller sejatinya berupa landasan
7 Taiwan Relations Act, Public Law 96-8th Congress. www.ait.org.tw/en/taiwan-relations-act.html. Diakses pada
tanggal 6 Desember 2013. 8 Op.cit. Lieutenant Colonel Douglas Frison.
teoritis untuk menyangggah asumsi Kenneth Waltz mengenai teori Balance of Power (BoP) dan
Stephen Walt dalam teori Balance of Threat (BoT). Dimana pada asumsi dasar Waltz dan Walt
dinyatakan bahwasanya negara akan berusaha mencari keamanan dengan membentuk kekuatan
tandingan melalui penciptaan aliansi, sehingga tatanan dunia akan berada pada stabilitas dibawah
kondisi anarki. Melalui fenomena tersebut, Schweller selama ini hanya melihat bahwasanya
didalam BoP maupun BoT, bentuk kerjasama yang dibangun oleh suatu negara dengan negara
lain melalui aliansi untuk menyeimbangkan kekuatan dan menghindari ancaman (balancing)
atau kerjasama yang dibangun oleh suatu negara dengan mendekatkan dirinya kepada negara
hegemon yang menjadi sumber ancaman (bandwagoning), hanya sebagai upaya untuk
pencapaian keamanan semata.9 Berbeda dengan asumsi Schweller, sebenarnya aliansi yang
dibangun oleh suatu negara baik berupa balancing ataupun bandwagoning, bukan hanya perkara
untuk mencari keamanan (achievement of security). Lebih dari itu, sebuah negara sebenarnya
akan berusaha mendapatkan keuntungan (profit) melalui hubungan kerjasamanya dengan negara
lain.10
Oleh karenanya, Schweller didalam teori BoI menjelaskan bahwasanya terdapat negara
revisionis yaitu negara yang tidak puas dengan konstelasi dinamika sistem internasional dan
berusaha untuk merevisi status quo melalui berbagai tindakan, diantaranya menentang secara
langsung atau justru melalui kegiatan bandwagoning demi mendapatkan profit yang
didambakannya. Upaya yang dilakukan oleh negara revisionis tersebut didasari kepada
pertimbangan faktor eksternal, yaitu ketidakpuasan atas konstelasi didalam dinamika sistem
internasional yang pada akhirnya memunculkan reaksi berupa tindakan menentang status quo.
Pada akhirnya, Schweller membawa konsep negara revisionis tersebut dalam teori BoI agar
mampu menjelaskan fenomena dan dinamika interaksi dalam hubungan internasional. Secara
spesifik, teori BoI Schweller dapat dikaji melalui level unit dan level sistemik.11
Pada tingkatan analisa level unit, Schweller lebih menitikberatkan analisanya kepada
tindakan dari sebuah negara yang berusaha mempertahankan dominasi kekuasaannya serta
9 M. Waltz, Stephen. Alliances: Balancing and Bandwagoning. http://www.ou.edu/uschina/texts/WaltAlliances.pdf.
Diakses pada tanggal 19 April 2014. 10 Randall Schweller. Bandwagoning for Profit : Bringing the Revisionist State Back In.
http://graduateinstitute.ch/files/live/sites/iheid/files/sites/political_science/shared/political_science/_previous/2011_
Spring_Semester/Dynamics_of_Conflict_and_Cooperation/schweller%20bandwagoning%20for%20profit.pdf.
Diakses pada tanggal 03 Desember 2013. 11 Thomas Gangale. Alliance Theory: Balancing, Bandwagoning, and Detente.
http://pweb.jps.net/~gangale/opsa/ir/Alliance_Theory.htm. Diakses tanggal 03 Desember 2012.
berusaha mencapai tujuan yang dikehendaki berdasarkan sifat negara dan biaya yang negara
tersebut keluarkan. Disatu sisi, pada tingkatan level sistemik, Schweller menjelaskan
bahwasanya didalam kondisi sistem internasional terdapat kekuatan relatif terhadap status quo.
Dimana kekuatan relatif ini dimaknai sebagai negara-negara yang tidak puas akan kondisi
konstelasi dinamika sistem internasional (negara revisionis), sehingga pada akhirnya negara
tersebut berusaha untuk bangkit demi mencapai posisi yang negara tersebut inginkan dengan
berusaha merubah status quo yang ada saat ini.12
Perubahan yang diinginkan oleh negara revisionis tersebut dikatakan berhasil manakala
jika kapabilitas power negara revisionis nyatanya jauh lebih besar dibandingkan kapabilitas
power dari negara-negara yang berada pada status quo. Sebaliknya, jika kapabilitas power negara
revisionis terlampau lemah dan kurang mencukupi untuk merubah status quo, maka negara
revisionis tidak akan mampu merubah konstelasi dinamika sistem internasional sesuai dengan
kehendak dan keinginannya. Namun dalam penelitian ini akan lebih dispesifikkan penelitian
yang mengarah pada analisis sistem unit. Hal ini berdasarkan pertimbangan faktor internal
(tujuan dan sifat) suatu negara dalam mencapai kapabilitas powernya melalui aktivitasnya dalam
tatanan internasional dengan melihat dinamika sistem internasional yang ada saat ini.13
3.1 Analisa Level Unit dalam BoI
Menurut Schweller, timbulnya kepentingan dari suatu negara dikarenakan apa yang
negara tersebut inginkan lebih dari apa yang negara tersebut miliki. Sehingga pada akhirnya
negara tersebut akan berusaha untuk memenuhi kepentingannya.14
Pemenuhan kepentingan
tersebut diantara satu negara dengan negara lainnya sangatlah bervariatif dan disesuaikan dengan
kebutuhannya, seperti kepentingan untuk menumbuhkan stabilitas keamanan, peningkatan
ekonomi, stabilitas politik dan integrasi budaya. Melalui analisis sistem unit ini, dapat dilihat
bagaimana negara berusaha untuk dapat mencapai power dan mempertahankan powernya
sebagai bentuk pencapaian kepentingannya dengan mempertimbangkan faktor eksternal, yaitu
konstelasi didalam dinamika sistem internasional saat ini.
Didalam analisis sistem unit ini, negara dianalisis berdasarkan kapabilitas powernya dan
kemampuannya sebagai subjek ataupun objek dalam berinteraksi dengan negara lain melalui
12 Op.Cit. Randall Schweller. 13 Ibid. 14 Ibid.
indikator sifat dan tujuan negara tersebut dalam mencapai kepentingannya dengan negara lain.
Setiap negara memiliki sifat dan tujuan yang berbeda diantara satu dengan lainnya. Hal tersebut
dikarenakan setiap negara memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memandang dinamika
sistem internasional saat ini. Bagi negara yang saat ini merasa posisinya telah terpuaskan dengan
kondisi status quo di wilayah tertentu, maka tujuan dan sifat negara tersebut tentu akan berbeda
dengan negara yang tidak terpuaskan oleh kondisi status quo dan begitupula sebaliknya. Lebih
jauh, Schweller membagi pola perilaku interaksi negara di dalam dinamika sistem internasional
melalui analogi perilaku hewan dalam hutan.
Dalam zoology yang diterangkan oleh Schweller, dijelaskan bahwa terdapat empat
klasifikasi tipe Negara berdasarkan pola perilaku dan tujuannya dalam berinteraksi dengan
Negara lain. Kalsifikasi yang pertama (1) adalah klasifikasi negara yang dianalogikan seperti
Lions. Dimana negara tersebut berada dalam posisi tawar yang tinggi sehingga memiliki tingkat
kepuasan yang tinggi pula.15
Negara dengan tipe ini tidak terlalu menginginkan perubahan secara
signifikan dalam dinamika sistem internasional karena kondisi kenyamanannya. Hanya saja
fokus utama perhatiannya adalah bagaimana tetap mempertahankan kapabilitas powernya untuk
tetap menjadi negara adidaya dengan posisi tawar yang tinggi. Upaya tersebut dijalankan dengan
meningkatkan balancing-nya. Namun, peperangan dapat saja dilakukan oleh negara bertipe
Lions ini untuk menciptakan keamanan atas ancaman dari negara revisionis.
Kemudian yang kedua (2) adalah negara dengan tipe Lambs. Dimana negara yang
dianalogikan negara bertipe Lambs ini adalah negara yang memiliki posisi tawar yang lemah dan
negara ini dianggap hanya sebagai objek dalam dinamika sistem internasional.16
Lemahnya
kapabilitas dalam beberapa aspek membuat negara ini hanya mampu bertindak bandwagoning
untuk berharap mendapatkan posisi yang lebih baik dalam sistem internasional. Bandwagoning
adalah upaya peningkatan kapabilitas power yang dilihat dari sudut pandang negara lemah.
Peningkatan kapabilitas power ini dapat dilakukan dengan cara mengekor kepada negara bertipe
Lions agar mendapatkan perlindungan dan keamanan.
Tipe yang ketiga (3) adalah tipe Jackals. Dalam tipe ini, negara dipandang sebagai aktor
yang oportunistik, yaitu negara yang berani untuk mengeluarkan biaya yang berlebih untuk
mendapatkan apa yang negara terebut inginkan ketika ada kesempatan untuk mendapatkan
15 Ibid. 16 Ibid.
kepentingannya terhadap negara lain. Negara dengan tipe Jackals adalah negara yang merasa
tidak puas dengan apa yang telah negara tersebut miliki, sehingga ketika ada kesempatan maka
negara dengan tipe ini akan berusaha untuk melakukan jackal bandwagoning, yaitu usaha untuk
mengharapkan imbalan ketika bekerjasama dengan negara bertipe Lions ataupun Wolves,
tergantung mana yang dianggap lebih menguntungkan bagi negara bertipe Jackals tersebut.17
Sifat negara jackal yang memanfaatkan jackal bandwagoning ini dikarenakan negara jackal
tersebut memiliki tujuan yang terbatas (limited aims), yaitu hanya menginginkan pencapaian
tujuan berupa peningkatan prestise didalam tatanan sistem internasional, sehingga tidak terlalu
mengambil resiko dengan melawan status quo.18
Kemudian yang terakhir (4) adalah negara dengan tipe Wolves. Negara yang masuk
dalam tipe ini adalah negara yang dikategorikan negara ambisius.19
Negara ini percaya bahwa
kapabilitas power yang dimilikinya akan mampu membawa perubahan secara struktural. Hasil
akhir yang ingin dicapai oleh negara bertipe Wolves tersebut adalah menggulingkan tatanan
sistem internasional yang sudah terbentuk saat ini dan merevisi sebuah sistem tatanan yang baru
sesuai dengan persepsi negara Wolves tersebut.
Melalui analogi zoology yang ditawarkan oleh Schweller ini, maka dalam dinamika
sistem internasional dapat ditarik kesimpulan bahwasanya yang menjadi negara dengan tipe
Lions adalah Amerika Serikat (AS) dengan kapabilitas super powernya. Dimana AS saat ini
sudah merasa bahwa tatanan sistem internasional telah memberikan kepuasan terhadap
negaranya. Posisi tawar yang tinggi dan pengaruhnya yang besar di dalam dinamika sistem
internasional semakin membuat AS berusaha untuk mempertahankan dominasi puncaknya.
Peningkatan dominasi ini salah satunya dapat dilakukan melalui pengupayaan balancing. Namun
fokus utama dari negara bertipe ini adalah mempertahankan status quo mereka sebagai bentuk
kepuasan mereka dalam tataran sistem internasional saat ini.
Kemudian negara yang bertipe Lambs adalah Taiwan. Dimana secara internasional
masih belum banyak negara yang mendukung secara de jure eksistensi Taiwan membuat
lemahnya posisi tawar negara ini. Taiwan berupaya meningkatkan posisi tawarnya, salah satunya
dengan menjalin bandwagoning bersama AS untuk berusaha meningkatkan posisinya terhadap
17 Lau, Olivia. Bandwagoning for Profit. http://www.olivialau.org/ir/archive/sch6.pdf. Diakses pada tanggal 11
April 2014. 18 Op.Cit. Randall Schweller. 19 Ibid.
ancaman yang dihadapinya. Negara Taiwan yang secara eskalasi memiliki wilayah kecil, pada
akhirnya dengan sokongan bantuan AS memiliki cukup kapabilitas power untuk
merepresentasikan national interest-nya melalui bantuan keamanan dari negara Lions.
Selanjutnya negara dengan tipe Jackals adalah China. Perlu untuk diketahui, bahwasanya
China merupakan negara yang berbeda ideologi dengan AS dan menjadi kompetitor AS dalam
upayanya menduduki dominsi puncak kekuasaan dalam tatanan internasional. Karena adanya
pertimbangan rasionalitas, China yang tidak puas dengan pola tatanan AS berupaya tidak
langsung melakukan serangan militer terhadap AS. China lebih banyak bersikap oportunis
dengan pihak yang dianggap memberikan keuntungan bagi dirinya karena China sendiri
menyadari sangatlah beresiko untuk melawan status quo yang ada saat ini secara langsung.
Melalui kepentingannya untuk dapat menyatukan kembali wilayah Taiwan menjadi bagian dari
provinsi China, maka China berupaya untuk membatasi peran AS di wilayah Taiwan dilakukan
dengan menggunakan instrumen kerjasama ekonomi yaitu perjanjian ECFA.
Disinilah terlihat bahwa China berperilaku seperti negara yang bertipe Jackals. China
berusaha membatasi peran Amerika Serikat di Taiwan sebagai bentuk ketidakpuasan China
terhadap hegemoni AS di wilayah Taiwan melalui penggunaan instrumen ekonomi. Penggunaan
instrumen ekonomi dipilih China karena negara tersebut tidak ingin hubungannya dengan
Amerika Serikat memburuk akibat kepentingan China di wilayah Tawan. Selain itu, dipilihnya
instrumen ekonomi juga mengindikasikan bahwasanya China ingin kebijakan luar negerinya di
wilayah Taiwan seirama dengan apa yang dinginkan oleh AS seperti yang tertuang dalam TRA,
yaitu penyelesaian konflik dan penentuan masa depan lintas selat harus dilakukan secara cara-
cara damai.20
Sehingga, sangatlah terlihat jelas, bagaimana China yang saat ini sebagai lesser
agresor berupaya menjadi negara soft-revisionis, membatasi peran negara hegemon, yaitu AS
diwilayah Taiwan dengan menyepakati langkah penyelesaian konflik lintas selat seperti yang di
inginkan oleh AS di dalam TRA. Berharap dengan menyepakati regulasi manajemen konflik
yang seirama dengan AS, maka akan semakin mudah bagi China untuk dapat lebih mendekatkan
dirinya ke wilayah Taiwan.
Dengan status Jackal yang limited aims, China tidak berupaya untuk menumbangkan
kekuatan dominan yang telah ada, melainkan berusaha menandingi atau bahkan menyamai posisi
dominan dari negara AS yang saat ini telah menjadi kekuatan dominan diwilayah Taiwan. Hal
20 Op.Cit. Taiwan Relations Act.
tersebut dikarenakan negara yang memiliki tujuan limited aims hanya meninginkan peningkatan
prestise dan status negara didalam wilayah Taiwan, bukan malah sebaliknya, yaitu mengambil
resiko dengan menentang status quo.21
Pada penelitian ini, karakteristik negara dengan tipe
Jackal akan lebih banyak dibahas. Hal ini dikarenakan karakteristik negara Jackal dinilai sangat
relevan dengan sifat negara China yang menjadi pokok pembahasan dalam isu yang diteliti oleh
penulis.
Kemudian contoh negara dengan tipe Wolves adalah Iran. Dengan segala kemampuan
power yang dimilikinya, Iran berusaha menjadi negara revisionis total yang berupaya merubah
tatanan sistem internasional karena ketidakpuasan akibat tatanan sistem internasional yang saat
ini dikendalikan oleh AS. Permintaan perubahan ini dilakukan secara nyata berupa kecaman dan
dapat berupa dalam bentuk tindakan secara militer (peperangan).
4. Penyajian Data dan Pembahasan
4.1 Kerjasama Amerika Serikat dan Taiwan melalui TRA
Kerjasama yang dibangun oleh AS dan juga Taiwan sejatinya merupakan hubungan yang
tidak resmi. Hal tersebut dikarenakan semenjak AS menyetujui Joint Communique dengan China
pada tanggal 1 Januari 1979, pemerintah AS hanya mengakui pemerintahan Beijing sebagai
pemerintahan yang sah untuk mengatur seluruh wilayah China, termasuk didalamnya wilayah
Taiwan. Namun kesepakatan Joint Communique yang telah disetujui oleh AS nyatanya tidak
memutus upaya AS untuk tetap dapat bekerjasama dengan pemerintah Taiwan, meskipun secara
tidak resmi melalui kerjasama dibidang budaya, ekonomi dan keamanan.22
Upaya pemerintah AS yang tetap berusaha menjalin hubungan tidak resmi dengan
pemerintah Taiwan didasarkan bukan karena pemerintah AS menginginkan kemerdekaan bagi
Taiwan. Lebih dari itu, upaya kerjasama yang dibangun AS bersama Taiwan sejatinya
merupakan cara bagi AS untuk dapat menjaga stabilitas dan perdamaian di Kawasan Asia
Timur, terlebih kepada hubungan lintas selat diantara China dan Taiwan.23
Kebijakan AS untuk
21 Ibid. 22US Relations with Taiwan. http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/35855.htm. Diakses pada tanggal 21 April 2014. 23 The Promise of the Taiwan Relations Act. http://www.state.gov/p/eap/rls/rm/2014/03/223461.htm. Diakses pada
tanggal 21 April 2014.
tetap dapat membangun hubungan tidak resmi dengan Taiwan, semakin diperkuat dengan
disepakatinya kerjasama Taiwan Relations Act (TRA) pada tanggal 10 April 1979.24
Didalam kerjasama TRA, selain terdapat kesepakatan perdagangan, pertukaran
kebudayaan diantara AS dan Taiwan, juga terdapat kesepakatan penyediaan senjata oleh
pemerintah AS bagi pertahanan Taiwan apabila suatu saat kondisi kedaulatan Taiwan terancam.
Berasarkan kesepakatan TRA tersebut, maka pada akhirnya hubungan diantara AS dan Taiwan
secara struktural semakin menguat dan hal tersebut tentu mengakibatkan ketergantungan Taiwan
terhadap AS sangatlah tinggi, khususnya dalam sektor keamanan. Sebenarnya, jauh sebelum
tercetusnya kerjasama TRA diantara AS dan Taiwan, pada tahun 1954, pemerintah AS dan
Tawian telah menjalin aliansi perjanjian yang memasukkan wilayah Taiwan sebagai wilayah
kemananan kolektif AS di Asia Timur (Mutual Defense Treaty). Namun kesepakatan tersebut
harus diakhiri pada tahun 1980, setahun pasca disepakatinya TRA. Semenjak terjalinnya TRA
pada tahun 1979, baik AS maupun Taiwan percaya bahwa ketegangan lintas selat yang terjadi
diantara China dan Taiwan dapat diredakan dan dapat diselesaikan melalui jalur-jalur secara
damai.25
4.2 Kerjasama China dan Taiwan melalui ECFA
Negosisasi dan dialog selama pembentukan perjanjian ECFA yang melibatkan China dan
Taiwan dilakukan oleh badan resmi representasi pemerintah dari masing-masing negara. Dimana
negosiator Taiwan diwakili oleh Chen Yunlin yang bertindak sebagai ketua dalam The Straits
Exchange Foundation (SEF), sedangkan dari China diwakili oleh Chiang Pin Kung yang
merupakan ketua dari Mainland’s Association for Relations Across the Taiwan Street (ARATS).
SEF sendiri merupakan sebuah badan semi-resmi yang dibentuk oleh pemerintah Taiwan untuk
menangani masalah teknis dan bisnis dengan pemerintah China. Disatu sisi ARATS yang
merupakan badan semi-resmi pemerintah China juga memiliki tiugas dan fungsi yang sama
dengan SEF, yaitu menangani masalah teknis dan kegiatan bisnis dengan pemerintah Taiwan.
Melalui dialog dan negosiasi yang secara intensif dilakukan oleh SEF dan ARATS
tersebut, hingga pada akhirnya ECFA resmi disepakati dengan ketentuan didalamnya adalah
pengurangan biaya tarif diantara masing-masing negara. Sebanyak lebih dari 800 jenis produk
24 Taiwan Relations Act, Public Law 96-8th Congress. www.ait.org.tw/en/taiwan-relations-act.html. Diakses pada
tanggal 21 April 2014. 25 Op.Cit. The Promise of the Taiwan Relations Act.
yang berasal dari kedua negara akan menikmati penurunan tarif impor secara berkala hingga
menjadi nol. Penurunan tarif impor tersebut akan dilakukan secara berkala dalam tempo waktu
selama dua tahun terhitung setelah diaktifkannya pelaksanaan perjanjian ECFA yang dimulai
pada tanggal 1 Januari 2011.26
Kesepakat kedua negara untuk menyetujui kerangka kerjasama
ekonomi ECFA, mengindikasikan bahwasanya kedua belah pihak saling optimis untuk
membawa hubungan lintas selat kearah yang lebih baik melalui instrumen kerjasama ekonomi.
Didalam naskah perjanjian ECFA sendiri, berisikan lima bab yang meliputi bab
pendahuluan, prinsip-priinsip umum, aturan perdagangan serta investasi, kerjasama ekonomi,
dan yang terakhir yaitu mengenai kesepakatan pelaksanaan program “Early Harvest” dan daftar
barang yang tercantum didalamnya.27
Oleh karenanya, isi perjanjian ECFA tersebut secara garis
besar berisi mengenai prinsip-prinsip umum dalam menjalin peningkatan kerjasama ekonomi
melalui kegiatan perdagangan, dan investasi diantara China dan Taiwan. Untuk merealisasikan
hal tersebut, maka didalam draft ECFA juga disepakati bahwasanya kedua negara akan bersedia
untuk membuka jalur perdagangan secara langsung. Perlu diketahui, bahwasanya sebelum terjadi
kesepakatan ECFA, baik China maupun Taiwan masing-masing tidak menyepakti untuk
membuka jalur ekspor-impor secara langsung akibat masalah pertikaian politik. Hingga pada
akhirnya kegiatan ekspor-impor diantara China dan Taiwan selama ini harus melewati pintu
gerbang investasi, yaitu melawati daerah daratan Hongkong (special administrative region of
China).28
ECFA sendiri dibentuk dan disepakati sebagai perjanjian yang berpegang pada prinsip-
prinsip kesetaraan, resiprositas dan progresif dengan tujuan akhir adalah sebagai instrumen untuk
memperkuat hubungan lintas selat melalui sektor perdagangan dan ekonomi.
Menariknya didalam kesepakatan pelaksanaan program “Early Harvest” dan daftar
barang yang tercantum didalamnya, China telah sepakat untuk menurunkan tarif impor bagi 539
jenis produk yang berasal dari Taiwan ( termasuk didalamnya 18 produk pertanian dan sejumlah
industri jasa). 29
Melalui skema tersebut, total nilai penurunan tarif impor perdagangan barang
dari Taiwan ke wilayah daratan China sebesar 16,14%. Sebaliknya, Taiwan telah sepakat untuk
menurunkan tarif 267 jenis barang yang berasal dari daratan China dengan total nilai penurunan
26 Economic Cooperation Framework Agreement. http://www.customs.gov.hk/en/trade_facilitation/ecfa/ecfa/.
Diakses pada tanggal 28 Januari 2014. 27 Naskah Pembukaan Cross-Straits Economic Cooperation Framework Agreement. 28 Tung, Chen-yuan. Trade Relations between Taiwan and China dalam In Jing Luo (ed.), China Today: An
Encyclopedia of Life in the People’s Republic (Westport, CT: Greenwood Press, 2005). Hal. 625. 29 Op.Cit. Hong, Zhao.
tarif sebesar 10,53%.30
Didalam kesepakatan tersebut, jika dikomparatifkan, maka keuntungan
yang didapatkan oleh China tidaklah sebanding dengan apa yang akan didapatkan oleh Taiwan.
China hanya akan mendapatakan keuntungan sebesar satu per enam dari total yang didapatkan
oleh Taiwan.
Menurut Fan Liqing, juru bicara di Taiwan Affairs Office, kesepakatan preferensial
ECFA yang diratifikasi pada tahun 2010 nyatanya telah banyak mempromosikan perdagangan di
lintas selat.31
Menariknya, selama berjalannya program “Early Harest” selama tiga tahun
pertama, Taiwan lebih banyak mendapatkan keuntungan melalui keterbukaan akses ke pasar
China. Perjanjian ECFA yang nyatanya memang ketika diratifikasi dan diimplementasikan tidak
memiliki keuntungan yang bersifat resiprokal bagi China, seolah menandakan bahwasanya
perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang memanjakan Taiwan. ECFA menjadi sebuah
perjanjian yang mengakomodir keinginan Taiwan untuk dapat terlibat dalam integrasi ekonomi
dengan China melalui perdagangan bebas.
Kebangkitan China yang menduduki supremasi kebangkitan ekonomi secara global,
nyatanya seolah tidak memiliki opsi tawar yang baik dalam kesepakatan ECFA. Padahal
seharusnya performa kemajuan ekonomi China selama ini dapat dijadikan kekuatan bagi
Chinauntuk meningkatkan posisinya di dalam kesepakatan ECFA agar mendapatkan keuntungan
yang resiprokal. Hal tersebut dikarenakan performa ekonomi merupakan salah satu ukuran
kekuatan nasional sebuah negara yang dapat dijadikan instrumen untuk mempengaruhi perilaku
negara lain.32
Hingga pada akhirnya menjadi sebuah pertanyaan besar ketika China yang dalam
implementasi ECFA tidak mendapatkan keuntungan yang seimbang masih bersedia menjalankan
perjanjian tersebut. Ada sebuah motif tersendiri yang ingin diraih oleh China di dalam ECFA
hingga sampai mempertahankan kesepakatan tersebut meskipun secara komparatif, keuntungan
yang diperoleh China jau lebih rendah dari apa yang didapatkan oleh Taiwan.
5. Analisa
5.1 Sifat Jackal Bandwagoning China melalui Perjanjian ECFA
30 Opcit. Xinhua. 31 Op.Cit. Mainland, Taiwan exempt tariffs on 806 products. 32 Hwang, Karl. New Thinking in Measuring National Power. Prepared for the WISC Second Global International
Studies Conference University of Ljubljana, Slovenia. Hal.2
Bagi China, upaya reunifikasi dengan menyatukan kembali wilayah Taiwan menjadi
bagian dari salah satu provinsinya adalah suatu keharusan. Betapa tidak, jika China gagal
mengupayakan hal tersebut, maka besar kemungkinan akan terjadi efek domino yang
membahayakan kedaulatan China. Ketika China gagal mempertahankan Taiwan menjadi bagian
dari wilayahnya, maka akan ada suatu angin segar bagi separatis di wilayah Tibet, Xinjiang dan
beberapa tempat lainnya untuk berupaya melakukan hal yang sama dengan Taiwan, yaitu
memisahkan diri dari China.33
Namun upaya China untuk menjalankan kepentingan politik luar negerinya diwilayah
Taiwan semakin sulit dengan kehadiran AS. Melalui kesepakatan Taiwan Relations Act (ACT)
pada tahun 1979, AS melihat bahwasanya wilayah Taiwan memiliki esensi penting yang harus
diperjuangkan. Sebuah esensi kepentingan AS untuk menghadang laju paham komunis agar tidak
semakin mengglobal membawa keterlibatan AS di wilayah Taiwan. Transformasi ideologi
kearah demokratis di wilayah Taiwan sangatlah diupayakan oleh AS.
Peran penting AS sebagai negara hegemon di wilayah Taiwan tidak serta merta
ditanggapi secara ofensif dan juga agresif oleh pemerintah China. Alih-alih menggunakan
instrumen militer untuk menekan Taiwan dan menghadang laju AS di wilayah Taiwan,
pemerintah China justru bersikap sebaliknya. China berusaha meningkatkaan mutual trust di
bidang politik, ekonomi dan transportasi diantara China dan Taiwan.34
Artinya, melalui kebijakan
pemerintah China tersebut, China tidak akan mengejar hegemoni di wilayah Taiwan melalui
penggunaan instrumen militer untuk menghentikan peran AS di wilayah Taiwan.
Ketika dielaborasikan kedalam fenomena sikap Jackal China didalam analogi zoology
yang dijelaskan oleh Schweller melalui teori BoI-nya, maka upaya China yang tidak meng-
counter peran AS secara ofensif didalam wilayah Taiwan sebenarnya bagian dari upaya
mengharapkan imbalan ketika bekerjasama (jackal bandwagoning) dari negara Lions, yaitu AS.
Tujuan dari upaya jackal bandwagoning adalah self-extension, yaitu mendapatkan nilai yang
didambakan, sehingga negara yang menerapkan jackal bandwagoning berani mengeluarkan
biaya yang sangat besar untuk mencapai nilai yang didambakannya tersebut.35
33 O’Hanlon, Michael. The Risk of War Over Taiwan is Real.
http://www.brookings.edu/research/opinions/2005/05/01asia-ohanlon. Diakses pada tanggal 11 Februari 2014. 34 Full Text; China’s National Deense in 2010. http://news.xinhuanet.com/english2010/china/2011-
03/31/c_13806851.htm. Diakses pada tanggal 12 Februari 2014. 35 Chonghan Wu, Charles. Hierarchy and Bandwagoning in Asia-The Rise of China and its Grand Strategy in the
Post-Cold War era. University of South Carolina, Columbia. Hal. 4
China yang menyadari bahwasanya yang terlibat sebagai aliansi Taiwan adalah negara
hegemoni, yaitu AS, sehingga atas dasar pertimbangan rasionalitas, China melihat strategi
terbaik adalah berusaha dengan menyeimbangkan kepentingan dengan AS dari pada berusaha
menentang posisi AS di Taiwan.36
Penyeimbangan kepentingan tersebut dilakukan pemerintah
China dengan tidak menggunakan tindakan ofensif dalam menyikapi peran AS di wilayah
Taiwan. Artinya, melalui kebijakan tersebut, secara tidak langsung mengindikasikan bahwasanya
pemerintah China juga menyepakati langkah AS seperti yang tertuang didalam perjanjiaan TRA
untuk menjaga stabilitas keamanan dan kedamaian di wilayah Taiwan melalui langkah-langkah
secara damai.37
Ratifikasi perjanjian ECFA oleh pemerintah China yang merupakan kesepakatan
kerjasama ekonomi diantara lintas selat, menjelaskan bahwasanya saat ini terdapat kemauan dari
pemerintah China untuk membangun mutual trust di bidang ekonomi dengan pemerintah
Taiwan. Namun sekali lagi, dikarenakan China merupakan aktor yang bersikap oportunis, maka
China memiliki nilai yang didambakan didalam kesepakatan ECFA tersebut. Sebuah nilai
keuntungan berupa terikatnya Taiwan oleh China pasca dilaksankannya perjanjian ECFA melalui
unifikasi secara damai.38
5.2 Perjanjian ECFA sebagai Tujuan China yang Terbatas (Limited Aims)
Untuk mencegah lepasnya Taiwan menjadi negara yang merdeka, China lebih
menggunakan pertimbangan rasionalitas. China merasa bahwasanya membangun mutual trust
dengan Taiwan melalui aspek perdagangan lebih ditekankan dari pada bertindak ekspansif
dengan menggunakan kapabilitas militer. Pertimbangan tersebut diambil oleh China karena
penggunaan instrumen militer sudah tidak lagi relevan dan tidak menguntungkan digunakan
untuk mengintervensi Taiwan agar tunduk dalam kebijakan China. Hal tersebut dikarenakan
semenjak disepakatinya perjanjian TRA yang dilakukan oleh AS dan juga Taiwan pada tahun
1979, pada akhirnya telah memposisikan AS untuk memberikan bantuan militerisasi kepada
pemerintahan Taipei jika suatu saat Beijing berusaha mengintervensi Taiwan melalui tindakan-
tindakan militerisasi.
36 Ibid. 37 Op.Cit. Taiwan Relations Act, Public Law 96-8th Congress. 38 Kien-tsu, Lin. The ECFA hoax and Chinese Swindlers.
http://www.taipeitimes.com/News/editorials/archives/2010/03/13/2003467879. Diakses pada tanggal 24 Februari
2014.
AS sendiri melihat bahwasanya situasi status quo di Selat Taiwan harus dipertahankan
untuk memelihara kedamaian. Namun disatu sisi, Beijing mengklaim bahwasanya dengan masih
dipertahankannya kondisi status quo di wilayah Taiwan, mencerminkan ketidakstabilan
sementara atas kondisi konflik yang sedang berlangsung.39
Artinya bagi Beijing, kondisi
hubungan lintas selat saat ini meskipun bagi sebagian pihak menganggap telah terjadi gencatan
senjata, namun tidak berarti telah menyelesaikan pokok dari konflik tersebut. Menyadari akan
persepsi penanganan masalah di Taiwan yang berbeda dengan AS, pemerintah China pada
akhirnya berusaha untuk mensinergikan kepentingannya agar sesuai dengan kondisi yang telah
ditetapkan oleh AS didalam perjanjian TRA, yaitu membangun dan menentukan masa depan
hubungan lintas selat secara damai.
Sejatinya semenjak tahun 2004, diera kepemimpinan presiden Hu Jintao, China telah
berupaya untuk membangun hubungan kerjasama dengan seluruh negara, khusunya dengan
negara di kawasan Asia Timur secara damai melalui slogan peaceful development.40
Peaceful
development dijelaskan sebagai bagian dari upaya China yang berusaha untuk mengemabangkan
dirinya dengan menjunjung tinggi asas perdamaian dunia melalui usahanya.
Oleh karenanya, tujuan utama diplomasi China diera globalisasi saat ini adalah berusaha
menciptakan lingkungan internasional yang damai dan stabil melalui pembangunan. Bahkan,
China menegaskan kepada dunia internasional, bahwa sikap China yang selama ini tidak perrnah
terlibat didalam berbagai tindakan agresi dan tidak pernah mencari hegemoni, semakin
mempertegas bahwasanya China merupakan salah satu negara yang gigih berjuang untuk
menciptakan dan menegakkan perdamaian bagi stabilitas regional dan dunia.41
Perjanjian kerangka kerjasama ekonomi ECFA bersama Taiwan yang diratifikasi oleh
China pada tahun 2010, merupakan salah satu bagian dari peaceful development yang seolah
menandakan bahwasanya saat ini China berkeinginan untuk merangkul negara-negara yang
pernah terlibat konflik atau sedang mengalami perselisihan dengan China, salah satunya Taiwan,
diajak untuk menjadi rekan yang bersahabat melalui hubungan kerjasama yang saling bersinergi.
Disinilah sebenarnya tujuan yang ingin dicapai China melalui ECFA. Dikarenakan sudah sangat
39 Chas W. Freeman,Jr. The Taiwan Problem and China’s Strategy for Resolving It. http://www.mepc.org/articles-
commentary/speeches/taiwan-problem-and-chinas-strategy-resolving-it?print. Diakses pada tanggal 3 Maret 2014. 40 Sidabutar, Ruth. Tekanan Internasional dan Respon Kebijakan Luar Negeri: China’s
Peaceful Development dalam Isu Lingkungan Global dan Pembangunan Ekonomi Negara . Hal.1 41 Ibid.
tidak relevan dan tidak rasional untuk menekan Taiwan dan menghadang laju AS di wilayah
Taiwan dengan menggunakan instrumen militer, maka China merubah kebijakan luar negerinya
terhadap Taiwan.
Melalui pencitraan dirinya yang memegang teguh perdamaian melalui slogal peaceful
development, China sejatinya berusaha memposisikan kebijakan luar negerinya terhadap Taiwan
agar sejalan dengan apa yang AS inginkan didalam perjanjian TRA, yaitu menginginkan
penyelesaian konflik lintas selat dan penentuan masa depan Taiwan melalui jalur-jalur secara
damai. Dengan berusaha menciptakan ritme yang seirama dengan AS, maka China tidak akan
mendapatkan hambatan dalam upayanya mendekatkan dirinya kepada Taiwan melalui cara-cara
yang damai. Oleh karenanya semenjak diratifikasinya ECFA, AS sendiri tidak berusaha
menentang kebijakan China dan Taiwan yang menyepakati kerangka kerjasama ekonomi ECFA,
meskipun banyak pihak yang berusaha meyakinkan bahwasnya kesepakatan tersebut secara
politik hanyalah bagian dari upaya China untuk mengambil alih posisi ketergantungan Taiwan
dari AS melalui sektor ekonomi.
Tujuan China saat ini bukanlah menumbangkan kekuatan dominan AS di wilayah
Taiwan, namun hanya berusaha menandingi atau bahkan menyamai posisi dominan dari negara
AS di wilayah Taiwan. Ketergantungan Taiwan akan posisi AS sangatlah tinggi, khususunya dari
sektor keamanan. Namun China berharap dengan dirinya meratifikasi perjanjian ECFA yang
meskipun dinilai tidak bersifat keuntungan resiprokal, dalam jangka panjang, Taiwan juga akan
mengalami kondisi ketergantungan terhadap China, salah satunya melalui sektor ekonomi. Selain
itu dengan diratifikasinya ECFA oleh China, maka akan semakin meningkatkan prestise citra
China didalam wilayah Taiwan tanpa harus mengambil resiko dengan menentang status quo
melalui jalur-jalur ofensif.
v. Penutup
Kebijakan China yang meyepakati untuk meratifikasi perjanjanjian kerangka kerjasama
ekonomi ECFA dengan Taiwan pada tanggal 29 Juni 2010 menjadi sebuah langka baru dalam
konstelasi hubungan lintas selat. Kesepakatan yang dibentuk melalui ECFA disinyalir membawa
perubahan transformatif bagi hubungan China dan juga Taiwan ke arah yang lebih kondusif.
Upaya China yang meratifikasi kerjasama ECFA yang digagas oleh Ma Ying–jeou, memang
pada awalnya terlihat bahwasanya China akan menciptakan hubungan yang bersahabat dengan
Taipei melalui integrasi ekonomi. Namun, dibalik kesepakatan tersebut terdapat sebuah
kepentingan politis China untuk mencapai kepentingannya di wilayah Taiwan. Sebuah
kepentingan China akan pencapaian national interest-nya di wilayah Taiwan yang pada akhirnya
membawa China bersedia untuk meratifikasi perjanjian ECFA.
China yang identik dengan tipe negara Jackal, didalam kesepakatan ECFA sejatinya
berupaya untuk mendapatkan sebuah imbalan dari negara Lions, yaitu AS. Perlu diketahui, saat
ini AS merupakan aliansi dari Taiwan dan oleh karenanya AS memiliki pengaruh yang besar
diwilayah Taiwan. Dengan menyepakati ECFA, berarti China berupaya untuk menyetujui
langkah AS didalam kesepakatan TRA yang menginginkan penciptaan dan penentuan kondisi
masa depan lintas selat secara damai. Bukan tanpa alasan, kenapa China berusaha untuk
menyamakan persepsinya dengan AS dalam menyikapi isu lintas selat. Hal tersebut dikarenakan
China menginginkan sebuah “imbalan” ketika negara tersebut menjalankan kepentingan politik
luar negerinya agar seirama dengan apa yang AS inginkan di wilayah Taiwan. Imbalan berupa
kemudahan bagi China untuk semakin dapat mendekatkan dirinya ke wilayah Taiwan tanpa
harus mendapatkan respon negatif dari kompatriot Taiwan, yaitu AS.