perlindungan hukum terhadap petani penggarap tanah ...

27
225 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00902.5 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETANI PENGGARAP TANAH NEGARA MILIK PERUM PERHUTANI Iwan Permadi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl MT Haryono No 169 Malang Email: permadi_iwan@yahoocom Abstract This paper aims to analyze the legal implications of farmers that are not allowed to work on public land controlled by Perum Perhutani which causes conflicts, especially on land abandoned by Perum Perhutani and determine the form of legal protection against farmers who work the state land ruled by Perhutani to prevent horizontal conflicts between society and Perhutani. The author uses the normative method that is supported by empirical data. Farmers are not allowed to work on land controlled by perhutani because it is considered by Perhutani to be State Land, wherea from the law perspective if the land controlled by Perhutani is abandoned the it becomes free state land that is not entitled. Forms of legal protection against Farmers who work the land ruled by Perhutani state is through preventive and repressive legal protection, namely through the issuance of land titles to the land controlled by the Perhutani but abandoned by Perhutani. Key words: legal protection, farmer, land controlled by Perhutani Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis implikasi hukum petani tidak diperbolehkan menggarap tanah negara yang dikuasai oleh Perum Perhutani yang mengakibatkan konflik khususnya pada tanah yang ditelantarkan oleh Perum Perhutani dan mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap Petani yang menggarap tanah negara yang dikuasai oleh Perhutani agar tidak terjadi konflik horizontal antara masyarakat dan Perhutani. Penulis menggunakan metode yuridis normatif yang didukung dengan data empirik Petani tidak diperbolehkan menggarap tanah yang dikuasai perhutani karena dianggap oleh Perhutani itu adalah Tanah Negara, padahal secara hukum apabila tanah yang dikuasai oleh Perhutani tersebut ditelantarkan maka akan menjadi tanah Negara bebas yang tidak mempunyai alas hak Bentuk perlindungan hukum terhadap Petani yang menggarap tanah negara yang dikuasai oleh Perhutani adalah melalui perlindungan hukum preventif dan represif, yaitu melalui pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang dikuasai oleh Perhutani tersebut tetapi ditelantarkan oleh Perhutani Kata kunci: perlindungan hukum, petani, tanah yang dikuasai Perhutani Latar Belakang Tanah adalah aset yang paling penting dalam kehidupan masyarakat karena tanah adalah sumber kehidupan Dalam negara agraris tanah merupakan sumber utama dalam berproduksi sehingga di Indonesia dalam hak kepemilikan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut

Transcript of perlindungan hukum terhadap petani penggarap tanah ...

225 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00902.5

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETANI PENGGARAP TANAH NEGARA MILIK PERUM PERHUTANI

Iwan Permadi

Fakultas Hukum Universitas BrawijayaJl . MT . Haryono No . 169 Malang

Email: permadi_iwan@yahoo .com

Abstract

This paper aims to analyze the legal implications of farmers that are not allowed to work on public land controlled by Perum Perhutani which causes conflicts, especially on land abandoned by Perum Perhutani and determine the form of legal protection against farmers who work the state land ruled by Perhutani to prevent horizontal conflicts between society and Perhutani. The author uses the normative method that is supported by empirical data. Farmers are not allowed to work on land controlled by perhutani because it is considered by Perhutani to be State Land, wherea from the law perspective if the land controlled by Perhutani is abandoned the it becomes free state land that is not entitled. Forms of legal protection against Farmers who work the land ruled by Perhutani state is through preventive and repressive legal protection, namely through the issuance of land titles to the land controlled by the Perhutani but abandoned by Perhutani.Key words: legal protection, farmer, land controlled by Perhutani

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis implikasi hukum petani tidak diperbolehkan menggarap tanah negara yang dikuasai oleh Perum Perhutani yang mengakibatkan konflik khususnya pada tanah yang ditelantarkan oleh Perum Perhutani dan mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap Petani yang menggarap tanah negara yang dikuasai oleh Perhutani agar tidak terjadi konflik horizontal antara masyarakat dan Perhutani. Penulis menggunakan metode yuridis normatif yang didukung dengan data empirik . Petani tidak diperbolehkan menggarap tanah yang dikuasai perhutani karena dianggap oleh Perhutani itu adalah Tanah Negara, padahal secara hukum apabila tanah yang dikuasai oleh Perhutani tersebut ditelantarkan maka akan menjadi tanah Negara bebas yang tidak mempunyai alas hak . Bentuk perlindungan hukum terhadap Petani yang menggarap tanah negara yang dikuasai oleh Perhutani adalah melalui perlindungan hukum preventif dan represif, yaitu melalui pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang dikuasai oleh Perhutani tersebut tetapi ditelantarkan oleh Perhutani .Kata kunci: perlindungan hukum, petani, tanah yang dikuasai Perhutani

Latar Belakang

Tanah adalah aset yang paling penting

dalam kehidupan masyarakat karena tanah

adalah sumber kehidupan . Dalam negara

agraris tanah merupakan sumber utama dalam

berproduksi sehingga di Indonesia dalam hak

kepemilikan, hak guna usaha, hak pakai, hak

sewa, hak membuka tanah, hak memungut

226 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251

hasil hutan dibatasi dalam Undang-Undang

Pokok Agraria . Sebagian besar petani di

Indonesia adalah buruh tani dan petani

gurem atau sering disebut sebagai Peasant

bukan farmer .1 Permasalahan mengenai

pertanahan bisa menimbulkan konflik yang

berkepanjangan antara orang dengan orang

maupun orang dengan badan hukum . Sengketa

pertanahan ini muncul karena kebutuhan

manusia akan tanah selalu bertambah seiring

dengan pertambahan penduduk . Hal tersebut

melahirkan paradigma bahwa kebutuhan

akan tanah pertanian bagi petani pada saat

ini sangatlah mendesak . Sementara banyak

tanah nganggur (terlantar) yang tidak digarap

adalah sebuah keniscayaan bagi petani yang

tidak mempunyai tanah garapan terutama

pada tanah-tanah yang dikuasai oleh Perum

Perhutani .

Petani lokal yang berdomisili di tepian

hutan, memandang bahwa secara tradisional

yang ada di kawasan itu merupakan sumber

penghidupan, cadangan perluasan tanah

garapan, dan sekaligus sebagai daerah food

security. Bagi penduduk lokal, gangguan

ekologi yang datang dari luar hutan akan

mengancam kehidupan sosial dan ekonomi

mereka . Sementara perusahaan pemegang hak

penguasaan hutan memandang bahwa kawasan

hutan merupakan tanah yang secara legal telah

dikuasakan negara kepadanya untuk dikelola

secara komersial dengan tujuan mendapatkan

keuntungan yang sebesar-besarnya . Persoalan

sosial tersebut yang menyebabkan konflik

yang dapat mengancam harmonisasi sosial .2

Otoritas penguasaan dan pengelolaann

sumber daya hutan diberikan kepada Perum

Perhutani berdasarkan Undang-undang

No . 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

(selanjutnya disebut UU Kehutanan), dimana

Perum Perhutani merupakan Badan Usaha

Milik Negara (BUMN) yang berada di bawah

Kementerian Kehutanan . Hak yang dimiliki

Perum Perhutani atas sumber daya hutan

adalah hak pengelolaan yang berasal dari

hak menguasai negara melalui tiga peran

pokok, yaitu sebagai penguasa tanah hutan,

perusahaan kehutanan (forest enterprise) dan

institusi konservasi hutan (forest conservation

institution) . Konsekuensi yuridis yang muncul

adalah petani yang menggarap tanah (termasuk

memanfaatkan hasil hutan) seringkali

menimbulkan konflik tanah kawasan hutan di

beberapa daerah3 .

Salah satu contoh tanah yang nganggur

(terlantar) tersebut adalah tanah yang

dikuasai oleh Perhutani dan dikerjakan

atau digarap langsung oleh Petani di

Kabupaten Pati yang ijin menggarapnya

ditolak oleh Perum Perhutani . Para petani

di Kabupaten Pati Jawa Tengah harus rela

melakukan perlawanan hanya untuk sebuah

1 Noertjahyo, JA., Dari Ladang Sampai Kabinet, Menggugat Nasib Petani, (Jakarta: Buku Kompas, 2005), hlm. 14 .

2 Abu Rokhmad, “Petani vs Negara: Studi tentang Konflik Tanah Hutan Negara dan Resolusinya dalam Perspektif Fiqh”, Makalah Annual Conference on Islamic Studies, http://arifrohmansocialworker.co.id, diakses 12 Maret 2016 .

3 Ibid .

Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 227

tanah garapan . Banyak petani di Indonesia

kekurangan tanah garapan . Sementara janji

Presiden Jokowi akan memberikan tanah

garapan untuk petani belum dipenuhi dan

masyarakat bawah khususnya petani seperti

di Kabupaten Pati harus memperjuangkan

nasibnya berjuang untuk memperoleh tanah

garapan . Para petani tentu akan menagih janji

Presiden yang akan memberikan jutaan tanah

garapan bagi petani yang belum punya tanah

garapan. Di Kabupaten Pati, banyak tanah

nganggur (terlantar) yang dikuasai Perum

Perhutani KPH Pati yang bisa digarap oleh

petani, namun realita yang terjadi justru pihak

Perhutani KPH Pati menjadi penyebab konflik

dengan petani sekitar hutan .4

Tanah yang dikuasai Perhutani KPH

Pati misalnya, terdapat ratusan hektar tanah

yang nganggur dan tidak tergarap . Namun

ironisnya petani harus bersaing dengan para

pemilik modal yang bisa dengan mudahnya

menyewa tanah tersebut . Akibatnya petani

semakin termarjinalkan . Contoh lain adalah

tentang kasus sengketa tanah antara petani dan

Perum Perhutani yang ada di Desa Genteng,

Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang.

Mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa

Genteng adalah bertani . Layaknya seorang

petani untuk meningkatkan perekonomiannya,

maka tanah sangat dibutuhkan . Begitu juga

dengan petani di Desa Genteng, mereka juga

butuh tanah untuk dikelola . Bukan hanya

tanah saja yang mereka butuhkan, modal,

teknologi juga mereka butuhkan5 .

Sengketa tanah yang terjadi di Desa Genteng

antara petani dan Perum Perhutani terjadi

karena pendudukan tanah yang dilakukan

oleh petani di tanah Perhutani . Masyarakat

yang membutuhkan tanah memanfaatkan

tanah dari Perhutani . Sementara Perhutani

ingin melakukan konservasi hutan agar

sumber airnya tidak kekeringan . Musyawarah

yang dilakukan belum menemukan solusi

sehingga sengketa tanah tersebut diajukan

pada Pemerintah Kabupaten Sumedang . Bagi

masyarakat petani Desa Genteng jaminan atas

tanah tertuang dalam Undang-Undang No .

5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

(selanjutnya disebut UU Pokok Agraria) .

Undang-undang ini dibuat untuk mengatur

mengenai hak-hak pertanahan bagi masyarakat

Indonesia secara menyeluruh . Di lain pihak

UU Kehutanan merupakan salah bentuk

jaminan bagi Perhutani untuk melakukan

konservasi hutan . Hal ini membuat banyak

petani Desa Genteng tergusur dari tanah

yang sedang dia kelola untuk menyambung

hidup . Dari contoh-contoh kasus sengketa

diatas, maka perlu dipikirkan bagaimana

bentuk perlindungan hukum kepada petani

yang menggarap tanah Negara yang dikuasai

oleh pihak Perhutani sebagai kepanjangan

tangan Negara . Terlebih lagi tanah-tanah

tersebut tidak digarap oleh Perhutani bahkan

4 Jatengheadline, “Perhutani Pati Tutup Mata Petani Menderita”, www.Jatengheadline.com, diakses 12 Maret 2016 .

5 Andri Parangin-angin, “Konflik Petani Dengan Perhutani (Studi Kasus Di Desa Genteng Kecamatan Sukasari Kabupaten Sumedang)”, http://stnprmsumedang.co.id, diakses 15 Maret 2016.

228 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251

terkesan ditelantarkan . Oleh karena itu, isu

hukum ini sangat menarik untuk diteliti dari

sisi perlindungan hukum kepada Petani yang

menggarap tanah Negara yang dikuasi oleh

Perhutani khususnya yang ditelantarkan atau

tidak digarap oleh Perhutani .

Berkaitan dengan latar belakang tersebut

maka penulis akan membatasi kajian

penulisan jurnal ini pada dua hal yakni

untuk menganalisis mengapa petani tidak

diperbolehkan menggarap tanah negara yang

dikuasi oleh Perhutani yang mengakibatkan

konflik dan bahkan ditelantarkan oleh Perhutani

dan Bagaimana bentuk perlindungan hukum

terhadap Petani yang menggarap tanah negara

yang dikuasai oleh Perhutani agar tidak terjadi

konflik horizontal lagi antara masyarakat dan

Perhutani . Penulisan jurnal ini didasarkan

pada hasil penelitian hukum normatif yang

didukung dengan data empirik .

Pembahasan

A. Konflik Horizontal antara Petani Penggarap Tanah dan Perum Perhutani

Banyak teori tentang petani yang

diungkapkan oleh para ahli . Menurut para

ahli, terdapat beberapa definisi. Menurut

Anwas,6 Petani adalah orang yang melakukan

cocok tanam dari tanah pertaniannya atau

memelihara ternak dengan tujuan untuk

memperoleh kehidupan dari kegiatan itu .

Petani menurut Slamet7 disebut petani ‘asli’

apabila memiliki tanah sendiri, bukan sekedar

penggarap maupun penyewa . Berdasarkan

hal tersebut, secara konsep, tanah merupakan

bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan seorang petani .

Poin penting dari konsep di atas bukan

hanya terletak pada soal, bahwa tanah adalah

alat produksi utama petani, melainkan bahwa

alat produksi tersebut mutlak dimiliki seorang

petani. Implikasinya, petani yang tidak

memiliki tanah sendiri tidak dianggap sebagai

petani sejati atau asli. Implikasi politisnya,

petani mutlak dan mempertahankan dan

menjaga hak kepemilikannya atas tanah .

Dengan demikian, kita bisa mengatakan

bahwa konsep petani asli memiliki kaitan

sosial-budaya-politik .8

Salah satu modal utama dalam usaha

pengembangan pertanian adalah tersedianya

tanah yang cukup memadai dan jenis-jenis

tanah yang cocok dengan karakteristik

tanaman yang akan dikembangkan, serta

tersedianya sumber daya manusia yang handal .

Tjodronegoro dan Wiradi, mengatakan bahwa

fungsi sosial dari tanah tidak hanya sebagai

tempat tinggal untuk memenuhi kebutuhan

papan dan sumber-sumber pendapatan sebagai

sandaran hidup petani, tetapi juga terdapat

fungsi-fungsi sosial yang memungkinkan

6 Organic HCS, “Sekilas Definisi dan Konsep, Petani dan Pertanian”, https://organichcs.com/2014/01/10/sekilas-definisi-konsep-petani-dan-pertanian/, diakses 9 Desember 2015.

7 Ibid .8 Ibid .

Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 229

mereka melakukan interaksi dan berkembang .

Namun, sejak awal tahun 2000-an, akibat

pembangunan dan ekonomi uang yang

memasuki pedesaan, timbul berbagai

persoalan penting berkaitan dengan tanah

itu . Oleh karena sebagian tanah pertanian

mereka telah berubah fungsi menjadi berbagai

fasilitas umum, seperti perkantoran, pasar,

jalan raya dan pemukiman penduduk, dan

mengalami perubahan, baik kepemilikan, luas

maupun fungsinya, maka kehidupan sosialpun

terpengaruh. Misalnya, masalah perubahan

nilai-nilai kehidupan sosial keluarga dan

nilai-nilai interaksi sosial . Dalam konteks

perubahan demikian, Scott menunjukkan

bahwa masalah-masalah itu berkaitan juga

kepada nilai-nilai hubungan patron-klien

dimana meningkatnya buruh tani yang tidak

berpatron. Menurut Vago, fenomena sosial

tersebut lahir dari sebuah akibat “pembangunan

terencana”. Sedangkan, hasil temuan Geertz,

di Mojokerto, Jawa Timur dan Tabanan di

Bali menyebutnya sebagai perubahan perilaku

masyarakat yang cukup signifikan berkaitan

dengan fungsi ekonominya, dimana struktur

sosial yang ada merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari luas tanah. Jadi, kemampuan

produksi di sektor pertanian bagi masyarakat

sangat berpengaruh pada pola dan nilai-nilai

kehidupannya .

Dalam kehidupan masyarakat, pada

umumnya disadari tidak ada gejala sosial

yang sama sekali terisolir dari gejala lainnya .

Artinya, pembangunan dan perubahan

merupakan dua variabel yang mempunyai

hubungan berakibat dalam kehidupan manusia

dimana antara kebutuhan akan pembangunan

dengan kebutuhan tanah pertanian selalu

terdapat banyak benturan kepentingan dengan

aspek lainnya. Di lingkungan masyarakat,

hal ini merupakan akibat proses transformasi

struktur ekonomi dan mobilitas penduduk

(dari perkotaan ke pedesaan) yang pada

gilirannya menuntut adanya transformasi

alokasi penggunaan sumber daya tanah

pertanian .

Sedangkan hubungan petani dan

hutan adalah, hutan rakyat adalah hutan

yang dibangun dan dikelola oleh rakyat,

kebanyakan berada di atas tanah milik atau

tanah adat, yang ditanami pohon-pohonan

yang terdiri dari berbagai jenis tanaman .

Luas hutan rakyat di Indonesia kurang lebih

mencapai 1.560.229 ha atau 1,13% dari

total kawasan hutan di Indonesia (133,69

juta ha) . Hutan bagi masyarakat yang

tinggal disekitarnya merupakan sumber

ketahanan pangan, karena masyarakat bisa

memanfaatkan hasil hutan dengan menanam

berbagai jenis tanaman kehutanan, pertanian,

dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan .9

Dalam hal ini diperlukan Peran Hutan

Rakyat . Hutan rakyat sebagai alternatif

untuk mengatasi masalah tanah kritis dan

meningkatkan pendapatan masyarakat, dalam

pengelolaannya masih dilakukan secara

9 Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor, Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat, (Bogor: Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor, 1990), hlm. 70-72.

230 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251

sederhana dan belum memperhatikan prinsip-

prinsip ekonomi yang menguntungkan

sehingga manfaat yang diperoleh belum

optimal karena lebih mengandalkan faktor

alam dengan teknik budidaya yang minim

serta kurang memperhatikan kelestarian

hasil . Hutan rakyat dianggap sebagai

tabungan untuk kebutuhan yang mendesak

dan merupakan usaha sampingan mereka .

Sehubungan dengan hal diatas maka perlu

dicari sistem pengelolaan hutan rakyat yang

memberi manfaat yang optimal, yang mampu

memberikan produksi kayu yang tinggi dan

meningkatkan kesejahteraan petani dengan

tetap memperhatikan daya dukung dan fungsi

hutan tersebut .

Hutan merupakan salah satu sumber dan

jenis konflik yang sering terjadi selama Orde

Baru dan hingga sekarang belum semua kasus

tuntas penyelesaiannya . Sebagai karunia Tuhan

yang wajib disyukuri, hutan dikelola dengan

prinsip-prinsip yang justru makin jauh dari

spirit Ilahiyyah . Ideologi developmentalism

yang dipilih sebagai paradigma pembangunan

rezim yang berkuasa telah menjadikan hutan

dan hasil-hasilnya sebagai komoditas semata,

seraya meminimalisir peran serta masyarakat

yang tinggal di sekitar hutan . Hutan tak

lagi menjadi sumber berkah bagi semua

karena negara dan warga saling berebut

dan tak mau berbagi . Sebagai kekayaan

yang dikuasai negara, hutan seharusnya

diurus dan dimanfaatkan optimal, serta

dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang

maupun generasi mendatang . Norma ideal

ini tak mudah diwujudkan . Banyaknya pihak

yang berkepentingan terhadap hutan dan

hasil-hasilnya, menjadi faktor utama mengapa

konflik ini tidak mudah diselesaikan.

Praktek pengelolaan dan pemanfaatan

sumber daya hutan di Jawa cenderung

diwarnai oleh fenomena konflik, yakni

konflik antara penduduk desa-desa di sekitar

hutan (populer dengan sebutan masyarakat

desa hutan/ selanjutnya disebut MDH)

dengan Perum Perhutani . Perbedaan persepsi

mengenai hutan dan berbagai kepentingan

dalam pemanfaatan hutan dituding sebagai

biang konflik. Konflik tersebut dapat diredam

oleh kekuatan represif Orde Baru . Selanjutnya

berkembang pada masa reformasi 1998, yang

ditandai dengan aksi penjarahan hutan oleh

masyarakat di sekeliling hutan dalam bentuk

pengambilan kayu yang identik dengan balas

dendam terhadap perlakuan Perhutani selama

ini .

Secara historis, kebijakan pemerintah

dalam eksploitasi hutan dalam rangka

memperoleh devisa negara cenderung

mengekor pada kebijakan pemerintah

kolonial Hindia-Belanda . Negara terlalu

mengeksploitasi hutan seraya hak-hak

MDH diabaikan . Kepentingan petani lokal

dan penduduk yang berdomisili di tepian

hutan dengan kepentingan perusahaan

pemegang hak pengelolaan hutan tidak

dapat dikompromikan . Petani memandang

bahwa secara tradisional hutan dan tanah

yang ada di kawasan itu merupakan sumber

Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 231

penghidupan, cadangan perluasan tanah

perladangan dan sekaligus sebagai daerah food

security . Sementara perusahaan pemegang

hak penguasaan hutan memandang bahwa

kawasan hutan merupakan tanah yang secara

legal telah dikuasakan oleh negara kepadanya

untuk dikelola secara komersial dengan tujuan

making as much profit as possible.

Kedua belah pihak dengan kepentingannya

masing-masing itu menjadikan pihak lain

sebagai ancaman yang harus dienyahkan .

Bagi penduduk lokal, gangguan ekologi

yang datang dari luar hutan akan mengancam

kehidupan sosial dan ekonomi mereka .

Sebaliknya bagi pengelola hutan, gangguan

dalam proses produksi yang datang dari sikap

tradisionalisme akan mendatangkan kerugian

atas investasinya . Persoalan sosial ini masih

berlangsung hingga saat ini dan tidak jarang

menimbulkan konflik yang dapat mengancam

harmonisasi sosial . Otoritas penguasaan

dan pengelolaan sumber daya hutan di

Jawa diberikan kepada Perum Perhutani

berdasarkan UU Kehutanan juncto PP No .

15 tahun 1972, PP No. 2 Tahun 1978 dan PP

No . 36 tahun 1986 tentang Pendirian Perum

Perhutani . Perum Perhutani merupakan Badan

Usaha Milik Negara (BUMN) yang bernaung

di bawah Departemen Kehutanan. Tegasnya,

hak yang dimiliki oleh Perum Perhutani atas

sumber daya hutan adalah hak pengelolaan

yang merupakan gempilan dari hak menguasai

negara (HMN) .

Perum Perhutani pada dasarnya

memainkan tiga peran pokok, yaitu sebagai

penguasa tanah hutan (government land oral),

perusahaan kehutanan (forest enterprise) dan

institusi konservasi hutan (forest conservation

institution) . Sedangkan komponen sumber

daya hutan yang dikuasai oleh Perum

Perhutani, antara lain adalah tanah hutan dan

hasil hutan (baik kayu maupun non-kayu) .

Tanah yang dikuasai Perhutani sangat luas

dengan komoditas yang bernilai ekonomi

sangat tinggi . Untuk melindungi keamanan

komoditas tersebut, diterbitkanlah PP No.

28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan .

Pasal 9 menegaskan bahwa:

“Selain dari petugas-petugas kehutanan atau orang-orang yang karena tugasnya atau kepentingannya dibenarkan berada di dalam kawasan hutan, siapapun dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk memotong, menebang, dan membelah pohon di dalam kawasan hutan; Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang; Setiap orang dilarang mengambil/ memungut hasil hutan lainnya tanpa izin dari pejabat yan berwenang.”

Pengaturan hukum untuk perlindungan

hutan yang demikian itu dimana Perum

Perhutani berada di garis depan merupakan

ekspresi dari model hukum represif (represive

law) yang dicirikan dengan pendekatan

keamanan (security approach), menekankan

sanksi-sanksi, dan mengedepankan penampilan

petugas-petugas polisi khusus kehutanan,

untuk membatasi atau bahkan menggusur akses

sumber daya hutan oleh masyarakat setempat .

232 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251

Konsekuensi yuridisnya, setiap penduduk

desa yang mengakses, memanfaatkan dan

menggunakan sumber daya hutan untuk

kebutuhan hidup (subsistensi), dikualifikasi

atau distigmatisasi sebagai pelanggar

hukum, perambah hutan, penjarah hasil

hutan, peladang liar, pencuri kayu, perusuh

keamanan hutan, dan lain-lain.

Kasus konflik tanah kawasan hutan

dengan Masyarakat yang tinggal di sekitar

kawasan hutan dan sudah bertahun-tahun

menggarap tanah tersebut mulai menuntut

hak atas tanahnya . Sementara pihak pengelola

hutan beralasan, tanah kawasan hutan tidak

bisa digarap oleh petani (termasuk tidak

bisa seenaknya memanfaatkan hasil-hasil

hutan) sebab kawasan itu masuk dalam

register kehutanan. Dalam kasus ini, BPN

tidak memproses (tuntutan petani) kecuali

ada pelepasan kawasan hutan dari menteri

kehutananan .

Sejak tiga dekade terakhir, praktek

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya

hutan cenderung diwarnai oleh fenomena

konflik, yakni konflik antara penduduk

desa-desa di sekitar hutan dengan Perum

Perhutani suatu perusahaan milik negara .

Perbedaan persepsi mengenai hutan dan

kepentingan-kepentingan dalam pemanfaatan

hutan dituding sebagai sumber konflik di

berbagai kawasan hutan. Dengan kata lain,

persoalan penguasaan hutan oleh negara

merupakan salah satu dari basis konflik sosial

di masyarakat sekitar hutan . Manakala negara

menguasai hutan, biasanya seluruh kebijakan-

kebijakan diarahkan untuk melindungi

haknya dan menempatkan orang lain di pihak

seberang. Dalam konteks civil society, terjadi

tarik-menarik antara negara (Perum Perhutani)

dan warga untuk menguasai sumber daya

hutan akan berlangsung secara konstan untuk

memperebutkan alokasi, kontrol, dan akses

terhadap sumber daya yang ada . Berdasarkan

kajian di lapangan, konflik tanah dapat

dibedakan menjadi dua macam akar masalah

konflik.

Pertama, konflik yang berlatar ketiadaan

akses masyarakat sekitar hutan untuk bisa

mengelola hutan. Dalam hal ini, seluruh

kawasan hutan dikuasai oleh Perum Perhutani

(perusahaan kehutanan negara) meskipun

wilayah hutan tersebut masuk wilayah desa .

Akibatnya, masyarakat di sekitar hutan tak

memiliki kesempatan untuk menggarap

tanah-tanah hutan tersebut . Sebagian besar

masyarakat pinggir hutan (yang sebagian

besar adalah petani penggarap dan buruh tani)

hidup dalam kemiskinan dan terpinggirkan .

Gelondongan kayu jati yang gagah berdiri,

bernilai jutaan rupiah per kubiknya hanya

sebagai pemandangan getir penduduk

setempat . Meskipun rumah dan lingkungan

hidup mereka dikelilingi oleh sumber daya

alam (kayu) yang sangat mahal, namun semua

itu milik orang lain (perusahaan, negara).

Kedua, adalah konflik hutan yang

berbasiskan (hak atas) tanah. Konflik ini

berlatar belakang pengambilalihan tanah-

tanah hasil membuka hutan atau tanah-tanah

garapan masyarakat oleh Perum Perhutani .

Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 233

Klaim penguasaan tanah hutan memiliki

dampak sangat serius bagi petani sekitar hutan

karena mereka harus berhadapan dengan

Perum Perhutani yang memiliki kekuatan

penuh untuk memeriksa, menggeledah,

menyita, menangkap dan menahan seseorang

yang diduga melakukan tindak pidana yang

menyangkut hutan .

Cara-cara menyelesaikan sengketa tanah

dengan hukum negara biasanya dilakukan oleh

pihak-pihak yang merasa memiliki bukti-bukti

hukum yang kuat . Hal itu ditunjukkan pada

kasus sengketa tanah yang melibatkan warga

dengan Perhutani . Penyelesaian sengketa

tanah kawasan hutan pada masa Orde Baru

menggunakan cara-cara demikian . Pemerintah

yang otoriter akan menggunakan hukum

represif untuk menyelesaikan masalahnya .

Norma hukum dalam menyelesaikan sengketa

tanah bersifat formal dan positif . Formal

artinya bersifat tertulis dan mengikat semua

individu yang menjadi subyek hukum, tak

peduli apakah ia sudah membaca, mempelajari

dan mengetahuinya atau tidak . Semua orang

yang telah memenuhi syarat seperti ditentukan

oleh hukum diandaikan sebagai subyek yang

terikat hukum . Inilah yang disebut asas

“fictie hukum“ yang artinya setiap orang

dianggap telah mengetahui adanya suatu

undang-undang yang telah diundangkan .

Positif artinya bersifat baku prosedurnya dan

berkepastian hukum . Semua orang yang akan

menggapai keadilan hukum disediakan aturan

bagaimana beracara di pengadilan dengan

ancaman sanksi yang jelas .

Untuk menyelesaikan konflik yang telah

terjadi, bukan hanya pendekatan keamanan dan

hukum yang dipilih oleh Perhutani . Banyak

peluang penggunaan cara-cara yang lebih

manusiawi yang juga dapat diimplementasikan

dalam menyelesaikan konflik tanah kawasan

hutan . Faktanya masih ada kesenjangan

antara konsep kebijakan dan implementasi di

lapangan . Perhutani menawarkan mekanisme

penyelesaian berupa program Pengelolaan

Hutan Bersama Masyarakat (PHBM/

selanjutnya disebut Managing Forest with

Community), yang pada era Orde Baru disebut

kerja sama model tumpangsari . PHBM

merupakan sistem pengelolaan sumber

daya hutan yang dilakukan oleh perusahaan

(Perum Perhutani) dan masyarakat kawasan

hutan dengan semangat berbagi agar manfaat

sumber daya hutan dapat terwujud secara

optimal . Semangat yang dibangun oleh Perum

Perhutani dengan PHBM ini adalah kemauan

(willingness) masyarakat sekitar hutan dan

pihak-pihak lain yang tertarik untuk berbagi

dalam pengelolaan sumber daya hutan

berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan-

keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan

dalam pengelolaan hutan .

Perum Perhutani merumuskan prinsip-

prinsip dasar PHBM adalah sebagai berikut:

a) jujur dan demokratis (fairness and

democracy); b) keterbukaan dan kebersamaan

(openness and togetherness); c) mau belajar

dan saling memahami (lesson learned and

understanding on each other); d) kejelasan

antara hak dan kewajiban (clarity of right

234 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251

and duty); e) pemberdayaan ekonomi

demokrasi (empowerment of democracy

economic); f) kerjasama lembaga (institution

cooperativeness); g) perencanaan partisipatif

(participation planning); h) sederhana dalam

sistem dan prosedur (simplicity in system and

procedure); i) perusahaan sebagai fasilitator;

j) kesesuaian antara pengelolaan dan

karakteristik area .

PHBM sebenarnya adalah pelaksanaan

dari amanat Pasal 30 UU No . 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan yang berbunyi:

“dalam rangka pemberdayaan

ekonomi masyarakat,setiap badan

usaha milik negara, badan usaha

milik daerah dan badan usaha milik

swasta Indonesia yang memperoleh

izin usaha pemanfaatan jasa

lingkungan, pemanfaatan hasil

industri hutan kayu diwajibkan

bekerja sama dengan koperasi

masyarakat setempat “

Dengan demikian, partisipasi masyarakat

dalam pengelolaan hutan menjadi sangat

penting . Program demikian sesungguhnya

bukan hal baru, karena sudah sejak lama

Perhutani mencoba bergandengan tangan

dengan warga yang tinggal di sekitar hutan .

Di samping itu, setelah masyarakat mengajak

bicara dengan Perhutani, dan menghasilkan

kesepakatan pengelolaan kawasan hutan yang

disebut Management Regime Mozaik (MR

Mozaik) . MR Mozaik merupakan kesepakatan

membagi tanah antara Perhutani dan

masyarakat. Misalnya, tanah satu hektar dibagi

menjadi dua: separuh ditanami pohon jati dan

separuh lainnya dijadikan tanah pertanian oleh

masyarakat. Pada waktu itu, ditetapkan tanah

percontohan MR Mozaik seluas 62 hektar .

Untuk itu para petani diwajibkan menanam,

memelihara dan menjaga pohon-pohon jati

milik perhutani .

B. Bentuk Alternatif Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat

yang majemuk, dalam kemajemukan timbul

berbagai hal, maka fenomena konflik atau

sengketa merupakan suatu keniscayaan .

Konflik-konflik atau sengketa dalam perebutan

sumber daya alam, ekonomi, sosial maupun

politik dapat selalu terjadi setiap saat, dan

bisa berujung menjadi suatu sengketa . Dalam

hubungan ini, Paul Bohannan10 menyatakan:

“conflict is useful. In fact society is impossible

without conflict. But society is worse than

impossible without control of conflict….”.

Suatu konflik atau sengketa yang tidak segera

diselesaikan dapat mengakibatkan suatu

persoalan keadilan .

Setiap masyarakat mempunyai mekanisme

tersendiri untuk menyelesaikan suatu konflik

atau sengketa, apakah melalui mekanisme

yang disediakan oleh hukum negara state institution, atau melalui mekanisme yang sudah dikenal oleh masyarakat folk institution. Pilihan untuk menyelesaikan konflik atau

10 Paul Bohannan, Dalam pengantar Buku Law & Warfare; Studies in The Antropology of Conflict, (Austin and London: University of Texas Press, 1980), p. xii.

Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 235

sengketa mereka adalah dapat melalui jalur formal peradilan (litigasi) atau jalur alternatif lain diluar pengadilan . Masyarakat perkotaan lebih memilih sistem hukum formal, namun pada umumnya pilihan ini dipandang korup, mahal, lamban dan berjarak.11 Fakta bahwa pada jalur formal peradilan terjadi penumpukan perkara di Mahkamah Agung, awal tahun 2005 meningkat menjadi 21 .000 perkara . Pada tahun 2009 Mahkamah Agung berhasil menurunkan tunggakan perkara, pada akhir Desember 2007 tunggakan mencapai 6.794 perkara, sedangkan akhir Desember hanya mencapai 5 .657 perkara .

Berdasarkan data tersebut adanya keterbatasan atau kurangnya kemampuan negara melayani masyarakatnya memperoleh keadilan dalam pelayanan hukum, maka beberapa persoalan yang akan muncul, mulai dari eigenrechting, sampai pada persoalan perubahan nilai-nilai dan penyimpangan terhadap nilai-nilai budaya dalam masyarakat bahkan legal gap yaitu, terdapat silang selisih antara apa yang dihukumkan secara resmi oleh kekuasaan nasional dan apa yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari sebagai hukum oleh masyarakat setempat .

Dalam seminar yang diselenggarakan Tim Justice dan organisasi LAPPAN di Ambon, 17

Februari 2005 menyatakan:

“Pilihan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa

informal bukan hanya disebabkan mekanisme ini murah, cepat danmudah. Tetapi aspek yang lebih penting adalah kepatuhan wargaterhadap suatu pendekatan yang memberikan rasa tertib dan tenteramdalam diri dan komunitasnya.”12

Manfaat dan pentingnya penyelesaian

sengketa yang dapat dilakukan oleh

masyarakat itu sendiri juga dikatakan oleh

Adrianus Meliala yaitu:13

Dalam kaitan itu diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolution yang tidak membuat masyarakat tergantung pada dunia hukum yang terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah. Mekanisme tersebut sebenarnya telah memiliki dasar hukum dan telah memiliki preseden serta pernah dipraktikkan di Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme tersebut juga memiliki potensi untuk semakin dikembangkan di Indonesia.

Istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan istilah asing, sehingga juga memiliki istilah dalam Bahasa Indonesia, antara lain seperti Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS), Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), dan Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) di luar pengadilan . Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan suatu “penyelesaian

11 Ibid., p. 13-14.12 Vja Ambon, 2005, “Mekanisme Penyelesaian Sengketa Informal di Kabupaten Buru, Kota Ambon dan

Kabupaten Maluku Tengah”, e-journal.stie-aub.ac.id, diakses 18 Desember 2015.13 Adrianus Meliala, “Penyelesaian Sengketa Alternatif; Posisi dan Potensinya di Indonesia”, www.

adrianusmeliala.co.id, diakses 10 Desember2015.

236 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251

sengketa di luar pengadilan yang dilakukan secara damai” .Pengertian mengenai ADR ini juga diaturdalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dimana dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ini yang dimaksud dengan ADR merupakan:

Suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan. ADR adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai bentuk penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus, seperti arbitrase.

Dalam Black’s Law dictionary dikatakan: Alternative Dispute Resolution is a procedure

for steling a dispute by means other than

litigation, such a arbitration or mediation;

ADR can be defined as encompassing

all legally permitted processes

of dispute resolution other than

litigation, while this definition (or

something like it) is widely used, ADR

proponents may object to it on the

ground that it privileges litigation by

piving by impression that litigation

is the normal or standard process of

dispute resolution, while alternative

processes are aberrant or deviant.

That impression is false. Litigation

is relatively rarely used process

of dispute resolution. Alternative

processes, especially negotiation

are used fare more frequently. Even

disputes involving lawyers are

resolved by negotiation far more

often than litigation. So ADR is not

defined as everything-but-litigation

because litigation is the norm.

Litigation is not the norm. ADR is

defined as everything-but-litigation

because litigation, as a matter of

law, is the default process of dispute

resolution” Stephen J Ware14.

George Applebey, dalam tulisannya yang

berjudul “An Overview of Alternative Dispute

Resolution”juga berpendapat bahwaADR

pertama-tama adalah merupakan suatu

eksperimen untuk mencari model-model:

a . Model-model baru dalam penyelesaian

sengketa;

b . Penerapan-penerapan baru terhadap

metode-metode lama;

c . Forum-forum baru bagi penyelesian

sengketa;

d . Penekanan yang berbeda dalam

pendidikan hukum .

Menurut Gunawan Wijaya15, Penyelesaian

Sengketa Alternatif pada dasarnya merupakan

14 B.A .Garner, Black’s Law Dictionary, (Eighth ed.), (cambridge: West a Thomson Business, 2004), p. 86.15 Gunawan Wijaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2001), hlm. 5.

Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 237

suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa . Dalam literatur hukum, penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution biasanya disebut Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi atau disebut ADR (Alternative Dispute Resolution) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa .

M . zaidun16, menerjemahkan ADR (Alternative Dispute Resolution) menjadi Mekanisme Alternatif penyelesaian Sengketa (MAPS), yang tumbuh pertama kali di di Amerika Serikat adalah merupakan jawaban atas ketidakpuasan (dissatisfaction) yang berkembang pada sistim (praktek) peradilan mereka yang bermuara pada persoalan waktu, biaya dan kemampuannya dalam menangani kasus-kasus komplek .

Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif berupa negosiasi, arbitrase, litigasi atau mediasi sudah lasim digunakan diberbagai negara di dunia, sejak tahun 1980-an . Di Amerika Utara maupun di Australia lazim ditemukan Court Annexedmediation atau Court Annexed Arbitration, karena model penyelesaian melalui negotiation dan mediation khususnya merupakan mekanisme alternatif penyelesaian sengketa secara koperatif yang dapat diintegrasikan dengan

sistem peradilan yang ada17 .

Upaya-upaya menyelesaikan sengketa

secara kooperatif diluar peradilan (untuk

sementara waktu) merupakan policy/

kebijakan pengadilan agar dapat menghasilkan

suatu keputusan bersama yang memberi

kemungkinan perasaan “keadilan bersama”

yang pada akhirnya akan dituangkan dalam

keputusan hakim (pengadilan)18 .

Prinsip “kooperatif” ini dalam

akar budaya Indonesia dapat dikatakan

mempunyai semangat yang sama dengan

prinsip “musyawarah” . Oleh karena itu

semangat untuk menyelesaikan berbagai

persoalan kemasyarakatan termasuk

persoalan hukum melalui upaya musyawarah

untuk mencapai mufakat jelas merupakan

nilai-nilai filosofis dan kultural yang benar-

benar dapat merupakan landasan bagi

pengembangan Mekanisme penyelesaian

Sengketa di Indonesia . Model-model

penyelesaian sengketa melalui negosiasi,

mediasi, dan konsiliasi merupakan model

penyelesaian sengketa yang mengandung dan

mengutamakan prinsip-prinsip musyawarah

untuk mencapai mufakat yang selaras dengan

budaya Indonesia19 .

Wiliam Ury,20 menyatakan ada tiga faktor

utama yang mempengaruhi proses penyelesaian

sengketa yaitu kepentingan (interest), hak-hak

16 M. Zaidun, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), dalam Bahan Ajar Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA) Universitas Airlangga 1945- 2004, (Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2004), hlm . 1 .

17 Ibid.18 Ibid., hlm. 3.19 Ibid.20 M. Zaidun, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), dalam Bahan Ajar Penyelesaian Sengketa

Alternatif (PSA) Universitas Airlangga 1945-2004, (Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2004), hlm . 5 .

238 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251

(rights), dan status kekuasaan (power). Para pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai hak-haknya terpenuhi dan ingin status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan .

Tujuan mekanisme penyelesaian sengketa menurut Goldberg dan rekan21 adalah :a . Mengurangi kemacetan pengadilan;b . Meningkatkan keterlibatan masyarakat

dan proses penyelesaian sengketa;c . Memperlancar jalur pengadilan;d . Memberikan kesempatan bagi

tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak .

Penyelesaian sengketa secara informal pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa22 . Secara umum Penyelesaian sengketa alternatif dapat digolongkan ke dalam:1 . Berdasarkan sifat keterlibatan pihak

ketiga yang menangani penyelesaian sengketa alternatif tersebut, yaitu : Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.

2 . Berdasarkan pada sifat putusan yang diberikan dalam proses penyelesaian sengketa alternatif tersebut : Mediasi, konsiliasi, Arbitrase.

3 . Berdasarkan sifat kelembagaannya: Lembaga ad hoc, dan Institusi

Penyelesaian sengketa Alternatif (Institusi permanen) .

4 . Berdasarkan ada tidaknya unsur asing atau luar negeri, karena dikenal ada Penyelesaian sengketa Nasional dan penyelesaian sengketa Internasional (asing) . Dikatakan Internasional karena proses penyelesaian sengketa mengandung unsur luar negeri (asing) .

Otoritas pada posisi setiap aktor konflik, akan menempatkan masing-masing aktor pada posisi superordinasi dan subordinasi . Ritzer dan Goodman membantu menerangkan otoritas yang dimaksud Dahrendorf, bahwa “setiap otoritas dalam asosiasi (masyarakat) bersifat dikotomis; dua, dan hanya dua kelompok konflik dapat terjadi dalam asosiasi mana pun . Mereka yang memegang otoritas dan mereka yang berada pada posisi subordinat memiliki kepentingan yang ‘substansi dan arahnya berlawanan’. Akhirnya, ketika posisi yang berada pada posisi subordinat akan selalu berupaya melakukan tindakan yang melawan posisi superordinat. Begitu sebaliknya, posisi superordinat akan tetap mempertahankan status quo sebuah konflik.23

Dahrendorf mengklasifikasikan ada tiga kelompok yang merupakan cikal bakal aktor konflik. Pertama, Kelompok Semu (quasi group) sebagaimana dikutip Ritzer dan Goodman24 yaitu himpunan pemangku posisi dengan kepentingan-kepentingan peran

21 Ibid .22 Gunawan Wijaya, op.cit.23 George Ritzer, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 454.24 George Ritzer, Ibid., hlm. 454.

Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 239

yang identik. Mengutip Malinowski, ciri-ciri

kelompok semu menurut Dahrendorf, sebagai

berikut:25

1 . Sebuh inti, sistem nilai yang bertujuan

mengejar tujuan bersama organisasi .

2 . Personal; orang-orang yang bertugas

mengaturnya .

3 . Norma tertentu .

4 . Peralatan material .

5 . Kegiatan tertentu yang teratur .

6 . Sebuah objektif .

Kedua, Kelompok Kepentingan .

Dahrendorf menggambarkan kedua kelompok

sebagai berikut:26

Mode perilaku bersama menjadi ciri dari

kelompok kepentingan yang direkrut dari

kelompok semu yang lebih besar . Kelompok

kepentingan adalah kelompok menurut

pengertian sosiologi; dan mereka adalah agen

sesungguhnya dari konflik kelompok. Mereka

memiliki struktur, bentuk organisasi, bentuk

organisasi, program atau tujuan, dan personel

anggota .

Selanjutnya, Dahrendorf mendalilkan

kemunculan kelompok-kelompok kepentingan

yang berasal dari kelompok semu, bahwa

kelompok semu dan kelompok kepentingan

berdasarkan atas posisi peranan di dalam

perserikatan yang dikoordinasi secara

memaksa. Jadi ‘situasi-kelas-nya’ memaksa

individu untuk menyesuaikan perilakunya dengan posisi yang ia harapkan dalam sebuah perserikatan .27 Sedangkan, aktor yang terlibat dalam konflik disebut dengan Kelompok Konflik atau kelompok yang benar-benar terlibat dalam konflik kelompok, muncul dari sekian banyak kelompok kepentingan tersebut .28

Dahrendorf menyebutkan ada kondisi yang mendukung kemunculan sebuah kelompok konflik, yang merupakan pendorong terjadinya konflik:29

1. Kondisi teknis organisasi, yang bergantung dengan pembentukan kepemimpinan pada kader dalam kelompok semu dan kodifikasi sistem gagasan atau piagam perjuangan . Dalam konteks ini, jelas sangat diperlukan kemampuan bagaimana membangun sistem kepemimpinan (leadership) dan bagaimana menciptakan ideologi yang bisa mempersatukan para anggota . Bisa dinyatakan dengan kalimat lain, tidak akan ada kelompok kepentingan jika tidak muncul orang yang diakui anggota sebagai layak menjadi pemimpin . Kemudian pemimpin itu meyakinkan pertanyaan-pertanyaan anggota, mengapa harus melakukan perjuangan, dan bagaimana sistematika perjuangan yang harus dipilih .

25 Rachmad K. Dwi Susilo, op.cit., hlm . 325 .26 George Ritzer, op.cit., hlm . 284 .27 Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri Sebuah Analisa-Kritik diterjemahkan oleh

Ali Mandan dari karya asli Class and Class Conflict in Industrial Society, (Jakarta: Rajawali, 1968), hlm. 234.28 George Ritzer, Douglas J. Goodman, op.cit., hlm . 284 .29 Rachmad K. Dwi Susilo, op.cit., hlm. 326-327.

240 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251

2. Kondisi politis, yang bergantung pada kelompok dominan untuk mengizinkan berdiri dan besarnya organisasi yang memiliki kepentingan berlawanan. Dengan kata lain, ini sangat berhubungan dengan kapasitas kelas pengatur (the ruling class) dalam mengorganisasikannya . Tanpa ada izin dari kelompok tersebut, tidak mungkin kelompok yang berbeda kepentingan bisa bergerak secara leluasa . Dalam konteks ini, kelompok kepentingan akan diuntungkan jika sistem negara tersebut semakin demokratis. Sebaliknya, kalau sistem politik dalam suatu negara bersifat totaliter, kelompok kepentingan semakin kecil kemungkinannya untuk muncul .

3. Kondisi sosial, yang berkaitan dengan kesempatan-kesempatan anggota kelompok semu untuk berkomunikasi dan kesempatan untuk merekrut anggota-anggota . Jika leadership, ideologi, dan suasana berorganisasi telah kondusif, maka yang diperlukan adalah kesempatan untuk berkomunikasi . Pemimpin perlu mengomunikasikan janji-janji perjuangan yang dikonkritkan dalam ideologi . Ia juga diperlukan untuk menyiasati perubahan-perubahan yang bisa dikatakan terjadi detik per detik . Ia juga diperlukan untuk mengorganisasi dan memobiliasi anggota, kapan harus bergerak dan kapan harus mundur menyusun kekuatan .

Selanjutnya, melihat kondisi yang sering

memengaruhi terjadinya konflik, dirumuskan

beberapa proposisi-proposisi turunan sebagai

berikut:30

1 . Semakin sedikit kondisi teknikal, sosial,

dan politik dari organisasi, semakin hebat

konflik terjadi.

2 . Semakin sedikit mobilitas antara

kelompok yang memiliki otoritas dan

tidak memiliki otoritas, semakin hebat

konflik akan terjadi.

3 . Semakin sedikit kondisi teknikal, sosial,

dan politik dari organisasi, semakin hebat

kekerasan akan terjadi .

4 . Semakin kecil kemampuan kelompok-

kelompok konflik mengembangkan

kesepakatan terkait dengan pengaturan,

semakin besar kekerasan akan terjadi .

5 . Semakin hebat konflik, semakin akan

terjadi reorganisasi dan perubahan

struktural .

6 . Semakin banyak kekerasan ada di konflik,

semakin besar tingkatan reorganisasi dan

perubahan struktural .

Dasar penjelasan konflik sosial, juga

terletak pada dua jenis kepentingan .

Dahrendorf menyebutnya dengan kepentingan

laten dan kepentingan manifest . Dahrendorf

menyebut harapan-harapan tak sadar ini

dengan kepentingan laten . Kepentingan

manifest adalah kepentingan laten yang

telah disadari . Dahrendorf melihat analisis

hubungan antara kepentingan laten dengan

kepentingan manifest sebagai tugas utama

teori konflik. Namun, aktor tidak perlu

30 Rachmad K. Dwi Susilo, Ibid., hlm. 327-328.

Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 241

menyadari kepentingan mereka agar bertindak

menurut kepentingan-kepentingan tersebut .31

Kepentingan laten belum mampu

menggerakkan para aktor untuk melakukan

konflik. Kepentingan laten32, diartikan

juga sebagai tingkah laku potensial yang

telah ditentukan bagi seseorang, karena dia

menduduki peran tertentu, dan ia bisa berubah

menjadi kepentingan nyata . Kemudian ketika

kelompok yang belum menyadari kepentingan

berubah menjadi sadar akan kepentingannya

atau berubah menjadi kepentingan manifest,

maka terbentuklah kelompok semu (quasi

group). Namun, Dahrendorf juga menyusun

hipotesis tentang kepentingan manifest

bahwa:

“Bobot dan intensitas kepentingan

nyata (kepentingan manifest)

menurun sejalan dengan

meningkatnya intensitas mobilitas

sosial dan keterbukaan kelompok-

kelompok yang bertentangan .

Semakin mudah bagi individu

untuk meninggalkan kelompoknya

yang bertentangan, semakin kecil

kemungkinan baginya untuk

mempertahankan keseluruhan

kepribadiannya dalam pertentangan

kelompok dan semakin sedikit

peranan wewenangnya yang

tersisa .”33

Konflik akibat pergeseran kepentingan

laten menjadi kepentingan manifes ini biasanya

tidak akan langsung terjadi berbenturan fisik

atau saling mencemooh . Sengketa (dispute),

dan konflik (conflict) adalah dua istilah yang

sering dipakai untuk menggambarkan suatu

situasi atau kondisi dimana orang-orang

sedang mengalami perselisihan yang bersifat

faktual maupun perselisihan-perselisihan

yang ada pada persepsi mereka saja34 .

Sebagian sarjana berpendapat bahwa secara

konseptual tidak terdapat perbedaan antara

konflik dan sengketa, akan tetapi sebagian

sarjana berpendapat bahwa istilah konflik

(conflict) dapat dibedakan dari istilah sengketa

(dispute):

Pertama, istilah konflik mengandung

pengertian yang lebih luas dari

pada sengketa karena konflik dapat

mencakup perselisihan-perselisihan

yang bersifat laten (latent) dan

perselisihan-perselisihan yang telah

mengemuka (manifest). Konflik atau

perselisihan yang telah mengemuka

disebut sengketa. Kedua, konflik

merujuk pada perselisihan-

perselisihan yang para pihaknya

sudah maupun belum teridetifikasi

atau dapat diidentifikasi secara jelas.

Ketiga, istilah konflik lebih sering

ditemukan dalam kepustakaan ilmu-

31 George Ritzer, Douglas J. Goodman, op.cit., hlm . 284 .32 Rachmad K. Dwi Susilo, op.cit., hlm . 325 .33 Ralf Dahrendorf, op.cit., hlm. 235.34 Takdir Rahmadi, Mediasi; Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: RadjaGrafindo

Persada, 2010), hlm. 1.

242 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251

ilmu sosial dan politik dari pada

dalam kepustakaan ilmu hukum . . .”

Dalam masyarakat adat suatu konflik

atau sengketa dapat terjadi karena adanya

pelanggaran adat yaitu : “…terganggunya

perimbangan (evenwicht, harmonie) antara

dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan

manusia seluruhnya dan orang seorang, antara

persekutuan dan teman semasyarakat35 . Jadi

segala perbuatan yang dianggap mengganggu

keseimbangan dalam masyarakat adat tersebut

merupakan pelanggaran adat (konflik,

sengketa), misalnya kasus tersinggungnya

wanita dayak Kalimantan Tengah atas

pernyataan guru besar sosiolog Universitas

Indonesia Thamrin Amal Tamagola pada

sidang kasus video porno Ilham Nazriel”,

Dalam adat dayak perilaku tidak senonoh itu

sendiri tidak dibenarkan dan akan dikenakan

jipen(denda adat) . Permasatanah ini telah

diselesaikan dengan melakukan sidang adat

dilanjutkan dengan permintaan maaf36 .

Latar belakang pemikiran masyarakat adat

tentang apakah yang dapat disebut konflik

atau sengketa (pelanggaran adat) adalah

didasarkan pada :

Alam pikiran tradisional Indonesia

(alam pikiran tradisional timur pada

umumnya) bersifat kosmis,meliputi

segala-galanya sebagai kesatuan

(totaliter) . Umat manusia menurut

aliran pikiran kosmis itu adalah

sebagian dari alam, tidak ada

pemisahan-pemisahan dari berbagai

macam lapangan hidup, tidak ada

pembatasan antara dunia lahir dan

dunia gaib, dan tidak ada pemisahan

antara manusia dan mahluk mahluk

lain . Segala sesuatu bercampur

baur, dan bersangkut paut, segala

sesuatu pengaruh mempengaruhi

mempengaruhi . Dunia manusia

adalah pertalian dengan segala hidup

di dalam alam…”37

Alam pikiran tradisional Indonesia (alam

pikiran tradisional timur pada umumnya)

yang bersifat kosmis dan meliputi segala-

galanya sebagai kesatuan (totaliter) juga

digambarkan oleh Ter Haar sebagai “… suatu

masyarakat yang terdiri dari gerombolan

yang bertalian satu sama lain; terhadap alam

yang tak kelihatan mata, terhadap dunia luar

dan terhadap alam kebendaan,…”38.

Sengketa atau konflik terkadang

diasosiasikan oleh masyarakat dengan

fenomena kekerasan dan merupakan suatu

keburukan oleh sebab itu konflik harus

dicegah atau dihapuskan . Pemikiran ini

memunculkan konsep conflict preventionatau

conflict avoidance. Tindakan kekerasan

seperti perkelahian, perusakan, pembakaran

harta benda dan pembunuhan sampai kepada

35 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 111.36 Kompas online, “Tamrin dan Istri Minta Maaf”, www.kompas.com/, Diakses, 22 Januari 2011.37 Soepomo, loc.cit.38 Ter Haar, Asa-asas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht), terjemahan Soebakti

Poesponoto, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hlm. 27.

Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 243

peperangan merupakan sebuah fenomena yang buruk dalam masyarakat sehingga melahirkan konsep conflict prevention, dimana konflik harus dicegah melalui berbagai kebijakan masyarakat atau pemerintah . Konsep ini makin menguat di Indonesia apabila dilihat kenyataan bahwa konflik-konflik yang terjadi sering disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan .

Pandangan lain yang mempersepsikan bahwa konflik bukan sesuatu yang buruk karena konflik harus dibedakan dengan tindakan kekerasan . “…konflik merupakan fenomena sosial yang bersifat semesta (universal) dan melekat (inherent) dalam kehidupan masyarakat, dalam pergaulan sosial antar individu maupun antar individu dengan kelompok…”39. Pencegahan dilakukan terhadap tindakan-tidakan kekerasan yang biasanya menyertai suatu konflik.Menghindari konflik dalam dinamika sosial masyarakat adalah tidak mungkin . Yang dapat dilakukan adalah bagaimana konflik tersebut harus dikelola (managed), dikendalikan (controlled), dan diselesaikan (settled) secara bersama dengan bijak dan damai, agar tidak berkembang menjadi kekerasan, anarki atau destruktif, menimbulkan disintegrasi atau menghancurkan sendi-sendi hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat40 .

Konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat menurut Nader dan Todd41 terjadi

melalui tahapan-tahapan: Grievance,yaitu berawal dari munculnya keluhan dari salah satu pihak terhadap pihak yang lain (individu atau kelompok), karena pihak yang mengeluh merasa hak-haknya dilanggar, diperlakukan secara tidak wajar, kasar, dipersalahkan, diinjak harga dirinya, dirusak nama baiknya, dilukai hatinya, dan lain-lain. Kondisi awal ini disebut sebagai tahapan pra-konflik (pre-conflict stage) yang cenderung mengarah kepada konfrontasi yang bersifat monadik (monadic). Pada tahap kedua, apabila kemudian pihak yang lain menunjukan reaksi negatif berupa sikap yang bermusuhan atas munculnya keluhan-keluhan dari pihak pertama, maka kondisi ini akan meningkat eskalasinya menjadi situasi konflik (conflict stage), sehingga konfrontasi antar pihak-pihak berlangsung secara diadik (diadic) . Pada tahap ketiga situasinya akan meningkat menjadi sengketa (dispute stage), disini konflik antar pihak-pihak tersebut akan ditunjukan dan dibawa kearena publik (masyarakat) dan kemudian diproses menjadi kasus perselisihan dalam institusi penyelesaian sengketa tertentu dengan melibatkan pihak ketiga . Sifat konfrontasi antar pihak-pihak yang berselisih menjadi triadik (triadic) .

Secara umum terjadinya konflik dalam masyarakat bersumber dari persoalan-persoalan seperti: (1) Penguasaan, pemanfaatan

dan distribusi sumber daya alam yang menjadi

39 I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam Untuk Menjamin Kemakmuran Rakyat (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2015). hlm. 73.

40 Ibid.41 Nader L dan H F Todd Jr (eds), Dispute Processes-Law in Ten Societies, (Columbia: Columbia University

Press, 1978), pp. 14-15.

244 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251

pendukung kehidupan manusia (natural

resource contol and distribution); (2) Ekspansi

batas wilayah kehidupan suatu kelompok

masyarakat (territoriality expantion); (3)

Kegiatan Ekonomi Masyarakat (economic

activities); (4) Kepadatan penduduk (density

of population)42.

Model-model penyelesaian konflik

atau sengketa yang dapat dilakukan oleh

masyarakat tergantung pada sistem nilai,

norma, politik, ekonomi dan keyakinan sangat

mempengaruhi pilihan bentuk institusi dan

model–model penyelesaian konflik dalam

masyarakat. Institusi penyelesaian konflik

yang dikenal masyarakat paling tidak ada 2

macam, yaitu:

1 . Institusi penyelesaian konflik yang

bersifat tradisional, yang bersumber

dari sistem politik dan hukum rakyat

dan berlangsung secara tradisional (folk

institutions) .

2 . Institusi penyelesaian sengketa yang

dibangun dari sistem politik dan hukum

Negara (state institutions)43 .

Nader dan Todd44, memberikan gambaran

tentang cara-cara dari pengkaji (ahli)

Antropologi Hukum untuk mengatasi

atau menyelesaikan keluhan-keluhan atau

perasaan tidak diperlakukan secara adil atau

sengketa-sengketa, yang berkembang dalam

kebudayaan-kebudayaan manusia, sebagai berikut:

(1) Membiarkan saja, atau dalam kata-kata

Felstiner (lumping it) . Pihak yang merasakan

perlakuan yang tidak adil, gagal dalam upaya

untuk menekankan tuntutannya.,(2) Mengelak

(avoidance), (3) Paksaan atau (coercion),

yaitu satu pihak memaksakan pemecahan

masalah pada pihak lain, (4) Perundingan

(negotiation), dua pihak yang berhadapan

merupakan para para pengambil keputusan .

(5) Mediasi, (mediation) yaitu pemecahan

masalah menurut perantara, (6) Arbitrase,

kedua pihak yang bersengketa sepakat untuk

meminta perantara pihak ketiga (arbitrator),(7)

Peradilan, adjudication.

Dalam praktek penyelesaian sengketa

dalam sistem hukum nasional dikenal

beberapa bentuk atau cara penyelesaian

sengketa yaitu negosiasi, mediasi, pencari

fakta, konsiliasi, penilaian ahli, arbitrase, dan

litigasi atau berperkara di pengadilan45 .

Terkait perlindungan hukum terhadap

petani, munculnya disvaritas dalam

pemanfaatan sumberdaya hutan dan

meningkatnya konflik pengelolaan

sumberdaya hutan . Implementasi paradigma

baru tersebut melahirkan sebuah sistem yang

dikenal dengan nama PHBM (Pengelolaan

Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat) .

Gerakan reformasi menjadi berkah

tersendiri bagi para petani untuk menemukan

jalan baru penyelesaian sengketa hak atas

42 I Nyoman Nurjaya, op.cit., hlm. 75.43 I Nyoman Nurjaya, loc.cit., hlm. 77.44 Nader L dan H F Todd Jr (eds), Dispute Processes-Law in Ten Societies, (Columbia: Columbia University

Press, 1978), p. 9. 45 Takdir Rahmadi, op.cit., hlm. 16-21.

Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 245

tanah mereka . Para petani mulai mengorganisir

diri untuk melawan ketidakadilan yang

selama ini diderita . Dibentuklah berbagai

organisasi (secara bahasa berarti badan,

institusi, lembaga, wadah) atau paguyuban

(dari kata guyub, yang artinya akur, kompak,

bersatu hati, rukun. Sedang paguyuban atau

peguyuban berarti kekerabatan, komunitas

atau masyarakat) kaum tani di berbagai

tempat di mana sengketa tanah terjadi .

Strategi organisasi juga dilakukan oleh

para petani yang tinggal di tepian kawasan

hutan saat berhadapan dengan Perhutani . Di

Blora, para petani yang berseteru dengan

Perhutani membentuk kelompok-kelompok

tani yang disebut Lembaga Rembug Hutan .

Institusi atau organisasi tersebut dalam istilah

sosiologi Berger dan Neuhaus disebut sebagai

’mediating structures’ (institusi-institusi

mediasi) di mana wujud konkretnya merujuk

pada lembaga keluarga, ketetanggaan,

keagamaan dan juga asosiasi keswadayaan .

Institusi mediasi merupakan lembaga-lembaga

sosial yang memiliki posisi di antara wilayah

kehidupan individu yang bersifat privat

dengan kehidupan sosial yang bersifat publik .

Dalam kultur politik liberal, institusi mediasi

merupakan sarana untuk pemberdayaan

individu-individu agar tidak mengalami

keterasingan saat menghadapi the bigness

atau realitas makro . Realitas sosial yang serba

makro ini merupakan ciri utama dari aktivitas

lembaga-lembaga modern, seperti korporasi,

konglomerasi, birokrasi, partai politik atau

organisasi besar lainnya .

Apabila institusi mediasi diakui dan

dimanfatkan maksimal dalam pengambilan

kebijakan publik khususnya mengenaikan

penyelesaian sengketa tanah maka warga

akan feeling at home . Berbagai kebijakan

dan pengaturan akan lebih bermakna bagi

warga . Pendayagunaan institusi mediasi

akan menghindarkan kecenderungan

pemegang kekuasaan bertindak coercive dan

individu juga tidak bersikap anarkis dalam

memperjuangkan aspirasi hukumnya . Dengan

demikian, kedua belah pihak dapat saling

menghormati keinginan masing-masing

hingga tercapai suatu model penyelesaian

sengketa tanah yang apik. Organisasi,

asosiasi, paguyuban atau apapun namanya,

memiliki fungsi penting sebagai sarana untuk

meraih tujuan . Tujuan merupakan akhir dari

tindakan, sedang tindakan itu sendiri adalah

alat untuk mencapai tujuan organisasi . Para

analisis gerakan sosial mengakui bahwa

organisasi merupakan strategi penting

untuk memobilisasi partisipasi massa dalam

meraih pengakuan hukum atas tanah yang

disengketakan. Dengan organisasi, posisi

tawar (bargaining position) petani semakin

naik sehingga perjuangan mereka akan lebih

efektif berjalan . Organisasi tersebut juga

berfungsi menyatukan upaya-upaya hukum-

sosial-politik petani yang terpecah-pecah

sehingga rentan gagal. Dengan organisasi,

mereka belajar melakukan tindakan secara

terencana dan sistematis .

Kesadaran untuk mengorganisasikan

diri ini merupakan refleksi dan respon atas

246 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251

ketidakadilan dan marjinalisasi yang mereka

alami . Strategi perlawanan ‘bungkam‘ selama

masa Orde Baru tidak bisa lagi dilanjutkan

dan sekarang mereka harus pro-akif

menyelesaikan masalahnya, apalagi konstelasi

politik telah pasca reformasi . Ciri perlawanan

hukum mereka lebih ekpresif, eksplosif,

terbuka dan massal. Mengapa demikian,

jawaban teoritiknya dapat ditemukan dalam

buku Dynamics of Contention . Gerakan

sosial hukum terjadi secara kondusif pada

masyarakat yang sedang berubah (transition) .

Dalam situasi transisi, biasanya pertikaian

(contention) meningkat karena didukung

sumber daya eksternal dan kesempatan

politik . Aktor-aktor perlawanan makin leluasa

merespon isu, memobilisasi struktur-struktur

sosial dan budaya sehingga memungkinkan

dilakukannya koordinasi, komunikasi dan

mewujudkan komitmen bersama untuk

memperjuangkan tuntutannya .

Akses informasi yang terbuka lebar

ini merupakan buah dari pengorganisasian

yang dilakukan para petani . Secara rutin dan

periode mereka mendapat informasi yang

dibutuhkan tentang apa saja yang berkaitan

dengan tuntutan mereka . Informasi itu bisa

datang dari elit-elit internal mereka yang

biasanya lebih terdidik dan melek tehadap

dunia luar . Dapat pula berasal dari sumber-

sumber bacaan seperti media massa dan

elektronik, selebaran atau buku-buku yang

mereka cari sendiri atau diberikan oleh orang

lain . Informasi yang lebih kritis umumnya

berasal dari aktor dari luar, misalnya aktivis

dari lembaga swadaya masyakarat dan pihak

lain yang konsen terhadap perjuangan petani .

Komunikasi hukum ini sangat penting

untuk kelangsungan dan keberhasilan

tuntutan mereka . Manfaat yang diharapkan

dari jaringan dan komunikasi hukum dengan

banyak pihak, antara lain adalah; pertama,

setidaknya mendapat dukungan moral dan

simpati atas penderitaan yang dialami oleh

para petani dan perjuangan yang sedang

berlangsung; kedua, memperoleh bantuan

hukum atas sengketa tanah yang sedangkan

diselesaikan; ketiga, mendapatkan masukan

dan saran bagaimana sebaiknya tersebut

diselesaikan; keempat, untuk mendapatkan

dukungan dan rekomendasi politik

agar sengketa dapat diselesaikan secara

menyeluruh; kelima, mendapatkan mediator

yang tepat sehingga para pihak mau duduk

bersama dan sederajat untuk menyelesaikan

masalahnya; keenam, mengkomunikasikan

dan men-sharing masalah-masalah hukum

yang mereka hadapi .

Komunitas petani hampir selalu

menggunakan strategi demontrasi untuk

memperjuangkan hak mereka . Ruang

demontrasinya sangat luas dan beragam,

mulai dari DPRD, Pemerintah Daerah

dan sampai Perhutani sebagai pihak yang

bermasalah langsung dengan para petani . Jika

berhadapan dengan mereka, para petani akan

menyampaikan tuntutannya secara mengenai

pokok masalah yang disengketakan . Misalnya

soal tanah-tanah warga yang diklaim oleh

perhutani, ketiadaan akses warga untuk ikut

Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 247

memanfaatkan hasil hutan dan sebagainya .

Seringkali, demontrasi di hadapan mereka juga

menemukan jalan buntu sehingga petani juga

mengagendakan tempat-tempat lain untuk

berdemo . Pembabatan pohon jati adalah salah

satu strategi MDH untuk menuntut haknya .

Motifnya adalah merusak atau menebang

pohon jati milik Perhutani dan bukan berniat

untuk blandong atau mencuri atau menjarah

kayu . Aksi ini sering dilakukan sebagai respon

terhadap perilaku aparat Perhutani yang

dianggap berlebihan kepada warga, terutama

di awal reformasi ketika warga kecewa dengan

perlakuan Perhutani selama ini . Setelah itu

aksi ini telah ditunggangi dengan kepentingan

tertentu, seperti motif ekonomi dan melibatkan

jaringan yang sistematis dan luas, seperti

masyarakat, para cukong atau penadah kayu

curian, oknum Perhutani, oknum TNI, oknum

Polri dan lain-lain .

Perlawanan menuntut balas biasanya

muncul ketika mereka merasa diperlakukan

tidak sepantasnya oleh para petugas

kehutanan, seperti misalnya mereka dipukuli

atau ditembak oleh petugas kehutanan .

Perlakuan semacam itu akan dibalas oleh

masyarakat dengan berbagai cara seperti

misalnya masyarakat akan sengaja merusak

tanaman-tanaman jati milik Perhutani, sengaja

menebangi pohon-pohon jati atau bahkan

mengancam para petugas Perhutani sampai

membakar dan merusak berbagai sarana

Perhutani yang ada di sekeliling mereka .

Strategi ini akhirnya juga mempengaruhi

sikap aparat Perhutani dan melembangkan

jalan untuk terjadinya dialog .

Dalam paradigma penyelesaian

sengketa non-litigasi, lobi bukanlah bagian

dari mekanisme penyelesaian sengketa .

Istilah lobi lebih menonjol digunakan di

arena politik, misalnya ketika keputusan

politik gagal disepakati secara bulat atau

aklamasi, maka masing-masing partai atau

fraksi melakukan lobi kepada pihak yang

berseberangan. Jadi, lobi adalah kegiatan

di dunia politik yang dimaksudkan untuk

mempengaruhi lembaga yang berkuasa,

untuk memastikan bahwa pandangan atau

kepentingan pribadi atau organisasi yang

bersangkutan terwakili dalam pemerintahan .

Meskipun lobi tidak dikenal dalam aturan

perundang-undangan, namun istilah ini lebih

terkenal dan telah menjadi bagian penting

dalam proses politik . Yang populer dalam

undang-undang adalah musyawarah untuk

mufakat dan bukan lobi . Menurut pengertian

praktis politisi, musyawarah dan mufakat

dapat disamakan artinya dengan lobi, namun

dalam bentuk yang berbeda . Jadi lobi adalah

turunan dari musyawarah . Jika musyawarah

dilakukan secara formal dan transparan, maka

lobi dilakukan secara informal dan tertutup .

Menurut Priyo Budi Santoso, lobi adalah

proses untuk menyamakan pandangan . Oleh

karena dilakukan secara informal, terselubung

dan tidak terbuka, lobi seringkali dipahami

sebagai kegiatan yang tidak selamanya

positif. Bisa-bisa saja, keputusan dari lobi

bertentangan dengan hasil-hasil musyawarah

asal saja ada kompensasi atau imbal-balik

248 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251

yang sepadan .

Mediasi merupakan model penyelesaian

alternatif sengketa tanah di mana pihak luar

yang tidak memihak dan netral dihadirkan

untuk ikut membantu pihak-pihak yang

bersengketa mendapatkan solusi yang saling

menguntungkan . Jika negosiasi mentok dan

tidak memperoleh hasil yang memadai oleh

sebab masing-masing pihak kokoh dengan

argumentasi dan pendiriannya, salah satu

pihak atau dua-duanya dapat menempuh jalur

mediasi. Pada prinsipnya, mediasi merupakan

negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang

netral (mediator) yang dapat diterima oleh

para pihak yang sedang bersengketa . Secara

teoritis, peran mediator sebatas memberikan

bantuan substantif, saran-saran dan nasehat,

sedang otoritas membuat keputusan tetap

pada pihak yang bersengketa .

Pelaksanaan mediasi pada kasus

penyelesaian sengketa tanah sangat berbeda

dengan model mediasi di pengadilan, di mana

sebagian besar mediatornya berasal dari

hakim . Sangat berbeda pula dengan mediasi

dalam sengketa bisnis . Dalam sengketa

tanah yang melibatkan para petani dengan

perusahaan perkebunan (sengketa tanah

perkebunan) atau Perum Perhutani (sengketan

tanah kawasan hutan), para petanilah yang

aktif meminta bantuan pihak ketiga (mediator)

untuk membantu menyelesaikan masalahnya .

Pihak ketiga yang diminta menjadi mediator

biasanya kepala daerah (bupati atau gubernur)

dan atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) . Yang perlu dicatat dan hal ini yang

membedakan dengan mediasi di pengadilan

atau mediasi singketa bisnis, termasuk

berbeda dengan konsep-konsep teoritis

adalah; pertama, bahwa kehadiran pihak

ketiga itu (mediator) belum tentu disetujui

oleh pihak lawan; kedua, pihak ketiga

tersebut juga bukan dari kalangan profesional

yang memang terdidik atau dididik untuk

menjadi mediator; ketiga, netralitas atau

ketidakberpihakan (impartial) dipertanyakan

oleh karena keduanya merupakan lembaga

politik .

Penunjukan mediator dari kalangan

yang kuat dan otoritatif (seperti kepala

daerah atau anggota dewan) sehingga dapat

mempengaruhi hasil-hasil perundingan,

sungguhpun memiliki legitimasi teoritis dari Moore dengan authoritative mediatornya dalam prakteknya ada tujuan-tujuan lain yang perlu mendapat perhatian . Rupanya menunjuk mediator yang otoritatif merupakan strategi para petani agar pihak lawan mau duduk bersama menyelesaikan masalahnya . Sedang menurut para petani, pihak-pihak yang dapat memaksa perusahaan perkebunan dan atau Perhutani mau duduk berunding adalah pihak pemerintah (kepala daerah) dan kekuatan politik (DPRD) . Oleh karena umumnya perusahaan sangat sulit untuk merealisasikan hasil-hasil kesekapatan, dengan penunjukan mediator yang otoritatif maka para pihak diikat agar tidak main-main dan segera melaksanakan kesepakatan. Selain itu, terutama para petani sangat berharap adanya tindak lanjut dari pemerintah oleh karena

Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 249

itulah pemerintah juga dilibatkan sejak awal sebagai mediator bila memang penyelesaian sengketanya harus ditetapkan dan dilegalkan dengan putusan pemerintah. Misalnya, pihak pemerintah dapat memaksa BPN untuk segera menerbitkan sertipikat atas nama warga .

Perhutani juga menawarkan mekanisme penyelesaian berupa program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM/ Managing Forest with Community), yang pada era Orde Baru disebut kerja sama model tumpangsari . PHBM merupakan sistem pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan oleh perusahaan (perum Perhutani) dan masyarakat kawasan hutan dengan semangat berbagi agar manfaat sumber daya hutan dapat terwujud secara optimal . Semangat yang dibangun oleh Perum

Perhutani dengan PHBM ini adalah kemauan

(willingness) masyarakat sekitar hutan dan

pihak-pihak lain yang tertarik untuk berbagi

dalam pengelolaan sumber daya hutan

berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan-

keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan

dalam pengelolaan hutan .

Perum Perhutani merumuskan prinsip-

prinsip dasar PHBM adalah sebagai berikut:

a) jujur dan demokratis (fairness and

democracy); b) keterbukaan dan kebersamaan

(openness and togetherness); c) mau belajar

dan saling memahami (lesson learned and

understanding on each other); d) kejelasan

antara hak dan kewajiban (clarity of right

and duty); e) pemberdayaan ekonomi

demokrasi (empowerment of democracy

economic); f) kerjasama lembaga (institution

cooperativeness); g) perencanaan partisipatif

(participation planning); h) sederhana dalam

sistem dan prosedur (simplicity in system and

procedure); i) perusahaan sebagai fasilitator;

j) kesesuaian antara pengelolaan dan

karakteristik area .

PHBM sebenarnya adalah pelaksanaan

dari amanat Pasal 30 UU No . 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan yang berbunyi:

dalam rangka pemberdayaan ekonomi

masyarakat,setiap badan usaha milik negara,

badan usaha milik daerah dan badan usaha

milik swasta Indonesia yang memperoleh

izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan,

pemanfaatan hasil industri hutan kayu

diwajibkan bekerja sama dengan koperasi

masyarakat setempat

Simpulan

1 . Petani tidak diperbolehkan menggarap

tanah milik perhutani karena dianggap

oleh Perhutani itu adalah Tanah Negara,

padahal secara hukum berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun

2010 Penertiban Dan Pendayagunaan

Tanah Terlantar apabila tanah yang

dikuasai oleh Perhutani tersebut

ditelantarkan maka akan menjadi tanah

Negara bebas yang tidak mempunyai alas

hak . Hal ini dianggap oleh petani bahwa

Perhutani juga dianggap tidak memiliki

hak atas tanah itu sehingga para petani

menggarap tanah tersebut . Hal inilah

yang mengakibatkan konflik yang harus

diselesaikan oleh Negara yang dalam

250 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251

hal ini diwakili oleh Badan Pertanahan

Nasional harus menyelesaikan masalah

ini agar tidak terjadi konflik yang dapat

mengakibatkan korban jiwa dan materiil .

2 . Bentuk perlindungan hukum terhadap

Petani yang menggarap tanah negara yang

dikuasai oleh Perhutani adalah melalui

perlindungan hukum preventif melalui

pemberian hak atas tanah terhadap tanah

yang dikuasai oleh Perhutani tersebut

tetapi ditelantarkan oleh Perhutani . Tanah

tersebut diberikan kepada petani melalui

program redistribusi tanah . Sedangkan

bentuk perlindungan hukum secara

represif, pihak-pihak yang berkonflik

dapat dimediasi melalui jalur non litigasi

dengan cara negoisasi agar pihak petani

dan perhutani tidak berkonflik secara

horizontal lagi .

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bohannan, Paul. Dalam pengantar Buku Law

& Warfare; Studies in The Antropology

of Conflict. Austin and London:

University of Texas Press, 1980.

Dahrendorf, Ralf. Konflik dan Konflik dalam

Masyarakat Industri Sebuah Analisa-

Kritik. Diterjemahkan oleh Ali Mandan

dari karya asli Class and Class Conflict

in Industrial Society. Jakarta: Rajawali,

1968 .

Garner, B.A . Black’s Law Dictionary . (Eighth

ed .) . Cambridge: West a Thomson

Business, 2004.

Haar, Ter. Asa-asas dan Susunan Hukum

Adat (Beginselen En Stelsel Van Het

Adatrecht). Terjemahan Soebakti

Poesponoto. Jakarta: Pradnya Paramita,

1985 .

JA., Noertjahyo. Dari Ladang Sampai

Kabinet, Menggugat Nasib Petani .

Jakarta: Buku Kompas, 2005.

Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor .

Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat.

Bogor: Lembaga Penelitian Institut

Pertanian Bogor, 1990.

L, Nader dan H F Todd Jr (eds). Dispute

Processes-Law in Ten Societies.

Columbia: Columbia University Press,

1978 .

Nurjaya, I Nyoman. Pengelolaan Sumber Daya

Alam Untuk Menjamin Kemakmuran

Rakyat. Jakarta: Badan Pembinaan

Hukum Nasional, Kementerian Hukum

dan Hak Asasi Manusia RI, 2015.

Rahmadi, Takdir. Mediasi; Penyelesaian

Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat .

Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2010.

Ritzer, George. Teori Sosiologi dari Sosiologi

Klasik sampai Perkembangan Terakhir

Postmoder. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2012.

Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 251

Soepomo . Bab-bab Tentang Hukum Adat .

Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Wijaya, Gunawan. Alternatif Penyelesaian

Sengketa. Jakarta: RadjaGrafindo

Persada. 2001, hlm. 5.

Zaidun . M . Mekanisme Alternatif

Penyelesaian Sengketa (MAPS). Dalam

Bahan Ajar Penyelesaian Sengketa

Alternatif (PSA) Universitas Airlangga .

Surabaya: Fakultas Hukum Universitas

Airlangga, 2004.

Naskah Internet

Jatengheadline . “Perhutani Pati Tutup

Mata Petani Menderita” . www .

Jatengheadline .com . Diakses 12 Maret

2016 .

Kompas online . “Tamrin dan Istri Minta

Maaf” . www .kompas .com/ . Diakses,

22 Januari 2011 .

Meliala, Adrianus. “Penyelesaian Sengketa

Alternatif; Posisi dan Potensinya di

Indonesia” . www .adrianusmeliala .

co .id . Diakses 10 Desember2015 .

Organic HCS. “Sekilas Definisi dan Konsep,

Petani dan Pertanian”, https://

organichcs .com/2014/01/10/sekilas-

definisi-konsep-petani-dan-pertanian/.

Diakses 9 Desember 2015 .

Vja Ambon . “Mekanisme Penyelesaian

Sengketa Informal di Kabupaten Buru,

Kota Ambon dan Kabupaten Maluku

Tengah” . Diakses 18 Desember 2015 .