perlindungan hukum terhadap petani penggarap tanah ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of perlindungan hukum terhadap petani penggarap tanah ...
225 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00902.5
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETANI PENGGARAP TANAH NEGARA MILIK PERUM PERHUTANI
Iwan Permadi
Fakultas Hukum Universitas BrawijayaJl . MT . Haryono No . 169 Malang
Email: permadi_iwan@yahoo .com
Abstract
This paper aims to analyze the legal implications of farmers that are not allowed to work on public land controlled by Perum Perhutani which causes conflicts, especially on land abandoned by Perum Perhutani and determine the form of legal protection against farmers who work the state land ruled by Perhutani to prevent horizontal conflicts between society and Perhutani. The author uses the normative method that is supported by empirical data. Farmers are not allowed to work on land controlled by perhutani because it is considered by Perhutani to be State Land, wherea from the law perspective if the land controlled by Perhutani is abandoned the it becomes free state land that is not entitled. Forms of legal protection against Farmers who work the land ruled by Perhutani state is through preventive and repressive legal protection, namely through the issuance of land titles to the land controlled by the Perhutani but abandoned by Perhutani.Key words: legal protection, farmer, land controlled by Perhutani
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis implikasi hukum petani tidak diperbolehkan menggarap tanah negara yang dikuasai oleh Perum Perhutani yang mengakibatkan konflik khususnya pada tanah yang ditelantarkan oleh Perum Perhutani dan mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap Petani yang menggarap tanah negara yang dikuasai oleh Perhutani agar tidak terjadi konflik horizontal antara masyarakat dan Perhutani. Penulis menggunakan metode yuridis normatif yang didukung dengan data empirik . Petani tidak diperbolehkan menggarap tanah yang dikuasai perhutani karena dianggap oleh Perhutani itu adalah Tanah Negara, padahal secara hukum apabila tanah yang dikuasai oleh Perhutani tersebut ditelantarkan maka akan menjadi tanah Negara bebas yang tidak mempunyai alas hak . Bentuk perlindungan hukum terhadap Petani yang menggarap tanah negara yang dikuasai oleh Perhutani adalah melalui perlindungan hukum preventif dan represif, yaitu melalui pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang dikuasai oleh Perhutani tersebut tetapi ditelantarkan oleh Perhutani .Kata kunci: perlindungan hukum, petani, tanah yang dikuasai Perhutani
Latar Belakang
Tanah adalah aset yang paling penting
dalam kehidupan masyarakat karena tanah
adalah sumber kehidupan . Dalam negara
agraris tanah merupakan sumber utama dalam
berproduksi sehingga di Indonesia dalam hak
kepemilikan, hak guna usaha, hak pakai, hak
sewa, hak membuka tanah, hak memungut
226 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251
hasil hutan dibatasi dalam Undang-Undang
Pokok Agraria . Sebagian besar petani di
Indonesia adalah buruh tani dan petani
gurem atau sering disebut sebagai Peasant
bukan farmer .1 Permasalahan mengenai
pertanahan bisa menimbulkan konflik yang
berkepanjangan antara orang dengan orang
maupun orang dengan badan hukum . Sengketa
pertanahan ini muncul karena kebutuhan
manusia akan tanah selalu bertambah seiring
dengan pertambahan penduduk . Hal tersebut
melahirkan paradigma bahwa kebutuhan
akan tanah pertanian bagi petani pada saat
ini sangatlah mendesak . Sementara banyak
tanah nganggur (terlantar) yang tidak digarap
adalah sebuah keniscayaan bagi petani yang
tidak mempunyai tanah garapan terutama
pada tanah-tanah yang dikuasai oleh Perum
Perhutani .
Petani lokal yang berdomisili di tepian
hutan, memandang bahwa secara tradisional
yang ada di kawasan itu merupakan sumber
penghidupan, cadangan perluasan tanah
garapan, dan sekaligus sebagai daerah food
security. Bagi penduduk lokal, gangguan
ekologi yang datang dari luar hutan akan
mengancam kehidupan sosial dan ekonomi
mereka . Sementara perusahaan pemegang hak
penguasaan hutan memandang bahwa kawasan
hutan merupakan tanah yang secara legal telah
dikuasakan negara kepadanya untuk dikelola
secara komersial dengan tujuan mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya . Persoalan
sosial tersebut yang menyebabkan konflik
yang dapat mengancam harmonisasi sosial .2
Otoritas penguasaan dan pengelolaann
sumber daya hutan diberikan kepada Perum
Perhutani berdasarkan Undang-undang
No . 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(selanjutnya disebut UU Kehutanan), dimana
Perum Perhutani merupakan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang berada di bawah
Kementerian Kehutanan . Hak yang dimiliki
Perum Perhutani atas sumber daya hutan
adalah hak pengelolaan yang berasal dari
hak menguasai negara melalui tiga peran
pokok, yaitu sebagai penguasa tanah hutan,
perusahaan kehutanan (forest enterprise) dan
institusi konservasi hutan (forest conservation
institution) . Konsekuensi yuridis yang muncul
adalah petani yang menggarap tanah (termasuk
memanfaatkan hasil hutan) seringkali
menimbulkan konflik tanah kawasan hutan di
beberapa daerah3 .
Salah satu contoh tanah yang nganggur
(terlantar) tersebut adalah tanah yang
dikuasai oleh Perhutani dan dikerjakan
atau digarap langsung oleh Petani di
Kabupaten Pati yang ijin menggarapnya
ditolak oleh Perum Perhutani . Para petani
di Kabupaten Pati Jawa Tengah harus rela
melakukan perlawanan hanya untuk sebuah
1 Noertjahyo, JA., Dari Ladang Sampai Kabinet, Menggugat Nasib Petani, (Jakarta: Buku Kompas, 2005), hlm. 14 .
2 Abu Rokhmad, “Petani vs Negara: Studi tentang Konflik Tanah Hutan Negara dan Resolusinya dalam Perspektif Fiqh”, Makalah Annual Conference on Islamic Studies, http://arifrohmansocialworker.co.id, diakses 12 Maret 2016 .
3 Ibid .
Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 227
tanah garapan . Banyak petani di Indonesia
kekurangan tanah garapan . Sementara janji
Presiden Jokowi akan memberikan tanah
garapan untuk petani belum dipenuhi dan
masyarakat bawah khususnya petani seperti
di Kabupaten Pati harus memperjuangkan
nasibnya berjuang untuk memperoleh tanah
garapan . Para petani tentu akan menagih janji
Presiden yang akan memberikan jutaan tanah
garapan bagi petani yang belum punya tanah
garapan. Di Kabupaten Pati, banyak tanah
nganggur (terlantar) yang dikuasai Perum
Perhutani KPH Pati yang bisa digarap oleh
petani, namun realita yang terjadi justru pihak
Perhutani KPH Pati menjadi penyebab konflik
dengan petani sekitar hutan .4
Tanah yang dikuasai Perhutani KPH
Pati misalnya, terdapat ratusan hektar tanah
yang nganggur dan tidak tergarap . Namun
ironisnya petani harus bersaing dengan para
pemilik modal yang bisa dengan mudahnya
menyewa tanah tersebut . Akibatnya petani
semakin termarjinalkan . Contoh lain adalah
tentang kasus sengketa tanah antara petani dan
Perum Perhutani yang ada di Desa Genteng,
Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang.
Mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa
Genteng adalah bertani . Layaknya seorang
petani untuk meningkatkan perekonomiannya,
maka tanah sangat dibutuhkan . Begitu juga
dengan petani di Desa Genteng, mereka juga
butuh tanah untuk dikelola . Bukan hanya
tanah saja yang mereka butuhkan, modal,
teknologi juga mereka butuhkan5 .
Sengketa tanah yang terjadi di Desa Genteng
antara petani dan Perum Perhutani terjadi
karena pendudukan tanah yang dilakukan
oleh petani di tanah Perhutani . Masyarakat
yang membutuhkan tanah memanfaatkan
tanah dari Perhutani . Sementara Perhutani
ingin melakukan konservasi hutan agar
sumber airnya tidak kekeringan . Musyawarah
yang dilakukan belum menemukan solusi
sehingga sengketa tanah tersebut diajukan
pada Pemerintah Kabupaten Sumedang . Bagi
masyarakat petani Desa Genteng jaminan atas
tanah tertuang dalam Undang-Undang No .
5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
(selanjutnya disebut UU Pokok Agraria) .
Undang-undang ini dibuat untuk mengatur
mengenai hak-hak pertanahan bagi masyarakat
Indonesia secara menyeluruh . Di lain pihak
UU Kehutanan merupakan salah bentuk
jaminan bagi Perhutani untuk melakukan
konservasi hutan . Hal ini membuat banyak
petani Desa Genteng tergusur dari tanah
yang sedang dia kelola untuk menyambung
hidup . Dari contoh-contoh kasus sengketa
diatas, maka perlu dipikirkan bagaimana
bentuk perlindungan hukum kepada petani
yang menggarap tanah Negara yang dikuasai
oleh pihak Perhutani sebagai kepanjangan
tangan Negara . Terlebih lagi tanah-tanah
tersebut tidak digarap oleh Perhutani bahkan
4 Jatengheadline, “Perhutani Pati Tutup Mata Petani Menderita”, www.Jatengheadline.com, diakses 12 Maret 2016 .
5 Andri Parangin-angin, “Konflik Petani Dengan Perhutani (Studi Kasus Di Desa Genteng Kecamatan Sukasari Kabupaten Sumedang)”, http://stnprmsumedang.co.id, diakses 15 Maret 2016.
228 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251
terkesan ditelantarkan . Oleh karena itu, isu
hukum ini sangat menarik untuk diteliti dari
sisi perlindungan hukum kepada Petani yang
menggarap tanah Negara yang dikuasi oleh
Perhutani khususnya yang ditelantarkan atau
tidak digarap oleh Perhutani .
Berkaitan dengan latar belakang tersebut
maka penulis akan membatasi kajian
penulisan jurnal ini pada dua hal yakni
untuk menganalisis mengapa petani tidak
diperbolehkan menggarap tanah negara yang
dikuasi oleh Perhutani yang mengakibatkan
konflik dan bahkan ditelantarkan oleh Perhutani
dan Bagaimana bentuk perlindungan hukum
terhadap Petani yang menggarap tanah negara
yang dikuasai oleh Perhutani agar tidak terjadi
konflik horizontal lagi antara masyarakat dan
Perhutani . Penulisan jurnal ini didasarkan
pada hasil penelitian hukum normatif yang
didukung dengan data empirik .
Pembahasan
A. Konflik Horizontal antara Petani Penggarap Tanah dan Perum Perhutani
Banyak teori tentang petani yang
diungkapkan oleh para ahli . Menurut para
ahli, terdapat beberapa definisi. Menurut
Anwas,6 Petani adalah orang yang melakukan
cocok tanam dari tanah pertaniannya atau
memelihara ternak dengan tujuan untuk
memperoleh kehidupan dari kegiatan itu .
Petani menurut Slamet7 disebut petani ‘asli’
apabila memiliki tanah sendiri, bukan sekedar
penggarap maupun penyewa . Berdasarkan
hal tersebut, secara konsep, tanah merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan seorang petani .
Poin penting dari konsep di atas bukan
hanya terletak pada soal, bahwa tanah adalah
alat produksi utama petani, melainkan bahwa
alat produksi tersebut mutlak dimiliki seorang
petani. Implikasinya, petani yang tidak
memiliki tanah sendiri tidak dianggap sebagai
petani sejati atau asli. Implikasi politisnya,
petani mutlak dan mempertahankan dan
menjaga hak kepemilikannya atas tanah .
Dengan demikian, kita bisa mengatakan
bahwa konsep petani asli memiliki kaitan
sosial-budaya-politik .8
Salah satu modal utama dalam usaha
pengembangan pertanian adalah tersedianya
tanah yang cukup memadai dan jenis-jenis
tanah yang cocok dengan karakteristik
tanaman yang akan dikembangkan, serta
tersedianya sumber daya manusia yang handal .
Tjodronegoro dan Wiradi, mengatakan bahwa
fungsi sosial dari tanah tidak hanya sebagai
tempat tinggal untuk memenuhi kebutuhan
papan dan sumber-sumber pendapatan sebagai
sandaran hidup petani, tetapi juga terdapat
fungsi-fungsi sosial yang memungkinkan
6 Organic HCS, “Sekilas Definisi dan Konsep, Petani dan Pertanian”, https://organichcs.com/2014/01/10/sekilas-definisi-konsep-petani-dan-pertanian/, diakses 9 Desember 2015.
7 Ibid .8 Ibid .
Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 229
mereka melakukan interaksi dan berkembang .
Namun, sejak awal tahun 2000-an, akibat
pembangunan dan ekonomi uang yang
memasuki pedesaan, timbul berbagai
persoalan penting berkaitan dengan tanah
itu . Oleh karena sebagian tanah pertanian
mereka telah berubah fungsi menjadi berbagai
fasilitas umum, seperti perkantoran, pasar,
jalan raya dan pemukiman penduduk, dan
mengalami perubahan, baik kepemilikan, luas
maupun fungsinya, maka kehidupan sosialpun
terpengaruh. Misalnya, masalah perubahan
nilai-nilai kehidupan sosial keluarga dan
nilai-nilai interaksi sosial . Dalam konteks
perubahan demikian, Scott menunjukkan
bahwa masalah-masalah itu berkaitan juga
kepada nilai-nilai hubungan patron-klien
dimana meningkatnya buruh tani yang tidak
berpatron. Menurut Vago, fenomena sosial
tersebut lahir dari sebuah akibat “pembangunan
terencana”. Sedangkan, hasil temuan Geertz,
di Mojokerto, Jawa Timur dan Tabanan di
Bali menyebutnya sebagai perubahan perilaku
masyarakat yang cukup signifikan berkaitan
dengan fungsi ekonominya, dimana struktur
sosial yang ada merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari luas tanah. Jadi, kemampuan
produksi di sektor pertanian bagi masyarakat
sangat berpengaruh pada pola dan nilai-nilai
kehidupannya .
Dalam kehidupan masyarakat, pada
umumnya disadari tidak ada gejala sosial
yang sama sekali terisolir dari gejala lainnya .
Artinya, pembangunan dan perubahan
merupakan dua variabel yang mempunyai
hubungan berakibat dalam kehidupan manusia
dimana antara kebutuhan akan pembangunan
dengan kebutuhan tanah pertanian selalu
terdapat banyak benturan kepentingan dengan
aspek lainnya. Di lingkungan masyarakat,
hal ini merupakan akibat proses transformasi
struktur ekonomi dan mobilitas penduduk
(dari perkotaan ke pedesaan) yang pada
gilirannya menuntut adanya transformasi
alokasi penggunaan sumber daya tanah
pertanian .
Sedangkan hubungan petani dan
hutan adalah, hutan rakyat adalah hutan
yang dibangun dan dikelola oleh rakyat,
kebanyakan berada di atas tanah milik atau
tanah adat, yang ditanami pohon-pohonan
yang terdiri dari berbagai jenis tanaman .
Luas hutan rakyat di Indonesia kurang lebih
mencapai 1.560.229 ha atau 1,13% dari
total kawasan hutan di Indonesia (133,69
juta ha) . Hutan bagi masyarakat yang
tinggal disekitarnya merupakan sumber
ketahanan pangan, karena masyarakat bisa
memanfaatkan hasil hutan dengan menanam
berbagai jenis tanaman kehutanan, pertanian,
dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan .9
Dalam hal ini diperlukan Peran Hutan
Rakyat . Hutan rakyat sebagai alternatif
untuk mengatasi masalah tanah kritis dan
meningkatkan pendapatan masyarakat, dalam
pengelolaannya masih dilakukan secara
9 Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor, Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat, (Bogor: Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor, 1990), hlm. 70-72.
230 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251
sederhana dan belum memperhatikan prinsip-
prinsip ekonomi yang menguntungkan
sehingga manfaat yang diperoleh belum
optimal karena lebih mengandalkan faktor
alam dengan teknik budidaya yang minim
serta kurang memperhatikan kelestarian
hasil . Hutan rakyat dianggap sebagai
tabungan untuk kebutuhan yang mendesak
dan merupakan usaha sampingan mereka .
Sehubungan dengan hal diatas maka perlu
dicari sistem pengelolaan hutan rakyat yang
memberi manfaat yang optimal, yang mampu
memberikan produksi kayu yang tinggi dan
meningkatkan kesejahteraan petani dengan
tetap memperhatikan daya dukung dan fungsi
hutan tersebut .
Hutan merupakan salah satu sumber dan
jenis konflik yang sering terjadi selama Orde
Baru dan hingga sekarang belum semua kasus
tuntas penyelesaiannya . Sebagai karunia Tuhan
yang wajib disyukuri, hutan dikelola dengan
prinsip-prinsip yang justru makin jauh dari
spirit Ilahiyyah . Ideologi developmentalism
yang dipilih sebagai paradigma pembangunan
rezim yang berkuasa telah menjadikan hutan
dan hasil-hasilnya sebagai komoditas semata,
seraya meminimalisir peran serta masyarakat
yang tinggal di sekitar hutan . Hutan tak
lagi menjadi sumber berkah bagi semua
karena negara dan warga saling berebut
dan tak mau berbagi . Sebagai kekayaan
yang dikuasai negara, hutan seharusnya
diurus dan dimanfaatkan optimal, serta
dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang
maupun generasi mendatang . Norma ideal
ini tak mudah diwujudkan . Banyaknya pihak
yang berkepentingan terhadap hutan dan
hasil-hasilnya, menjadi faktor utama mengapa
konflik ini tidak mudah diselesaikan.
Praktek pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya hutan di Jawa cenderung
diwarnai oleh fenomena konflik, yakni
konflik antara penduduk desa-desa di sekitar
hutan (populer dengan sebutan masyarakat
desa hutan/ selanjutnya disebut MDH)
dengan Perum Perhutani . Perbedaan persepsi
mengenai hutan dan berbagai kepentingan
dalam pemanfaatan hutan dituding sebagai
biang konflik. Konflik tersebut dapat diredam
oleh kekuatan represif Orde Baru . Selanjutnya
berkembang pada masa reformasi 1998, yang
ditandai dengan aksi penjarahan hutan oleh
masyarakat di sekeliling hutan dalam bentuk
pengambilan kayu yang identik dengan balas
dendam terhadap perlakuan Perhutani selama
ini .
Secara historis, kebijakan pemerintah
dalam eksploitasi hutan dalam rangka
memperoleh devisa negara cenderung
mengekor pada kebijakan pemerintah
kolonial Hindia-Belanda . Negara terlalu
mengeksploitasi hutan seraya hak-hak
MDH diabaikan . Kepentingan petani lokal
dan penduduk yang berdomisili di tepian
hutan dengan kepentingan perusahaan
pemegang hak pengelolaan hutan tidak
dapat dikompromikan . Petani memandang
bahwa secara tradisional hutan dan tanah
yang ada di kawasan itu merupakan sumber
Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 231
penghidupan, cadangan perluasan tanah
perladangan dan sekaligus sebagai daerah food
security . Sementara perusahaan pemegang
hak penguasaan hutan memandang bahwa
kawasan hutan merupakan tanah yang secara
legal telah dikuasakan oleh negara kepadanya
untuk dikelola secara komersial dengan tujuan
making as much profit as possible.
Kedua belah pihak dengan kepentingannya
masing-masing itu menjadikan pihak lain
sebagai ancaman yang harus dienyahkan .
Bagi penduduk lokal, gangguan ekologi
yang datang dari luar hutan akan mengancam
kehidupan sosial dan ekonomi mereka .
Sebaliknya bagi pengelola hutan, gangguan
dalam proses produksi yang datang dari sikap
tradisionalisme akan mendatangkan kerugian
atas investasinya . Persoalan sosial ini masih
berlangsung hingga saat ini dan tidak jarang
menimbulkan konflik yang dapat mengancam
harmonisasi sosial . Otoritas penguasaan
dan pengelolaan sumber daya hutan di
Jawa diberikan kepada Perum Perhutani
berdasarkan UU Kehutanan juncto PP No .
15 tahun 1972, PP No. 2 Tahun 1978 dan PP
No . 36 tahun 1986 tentang Pendirian Perum
Perhutani . Perum Perhutani merupakan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang bernaung
di bawah Departemen Kehutanan. Tegasnya,
hak yang dimiliki oleh Perum Perhutani atas
sumber daya hutan adalah hak pengelolaan
yang merupakan gempilan dari hak menguasai
negara (HMN) .
Perum Perhutani pada dasarnya
memainkan tiga peran pokok, yaitu sebagai
penguasa tanah hutan (government land oral),
perusahaan kehutanan (forest enterprise) dan
institusi konservasi hutan (forest conservation
institution) . Sedangkan komponen sumber
daya hutan yang dikuasai oleh Perum
Perhutani, antara lain adalah tanah hutan dan
hasil hutan (baik kayu maupun non-kayu) .
Tanah yang dikuasai Perhutani sangat luas
dengan komoditas yang bernilai ekonomi
sangat tinggi . Untuk melindungi keamanan
komoditas tersebut, diterbitkanlah PP No.
28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan .
Pasal 9 menegaskan bahwa:
“Selain dari petugas-petugas kehutanan atau orang-orang yang karena tugasnya atau kepentingannya dibenarkan berada di dalam kawasan hutan, siapapun dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk memotong, menebang, dan membelah pohon di dalam kawasan hutan; Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang; Setiap orang dilarang mengambil/ memungut hasil hutan lainnya tanpa izin dari pejabat yan berwenang.”
Pengaturan hukum untuk perlindungan
hutan yang demikian itu dimana Perum
Perhutani berada di garis depan merupakan
ekspresi dari model hukum represif (represive
law) yang dicirikan dengan pendekatan
keamanan (security approach), menekankan
sanksi-sanksi, dan mengedepankan penampilan
petugas-petugas polisi khusus kehutanan,
untuk membatasi atau bahkan menggusur akses
sumber daya hutan oleh masyarakat setempat .
232 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251
Konsekuensi yuridisnya, setiap penduduk
desa yang mengakses, memanfaatkan dan
menggunakan sumber daya hutan untuk
kebutuhan hidup (subsistensi), dikualifikasi
atau distigmatisasi sebagai pelanggar
hukum, perambah hutan, penjarah hasil
hutan, peladang liar, pencuri kayu, perusuh
keamanan hutan, dan lain-lain.
Kasus konflik tanah kawasan hutan
dengan Masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan hutan dan sudah bertahun-tahun
menggarap tanah tersebut mulai menuntut
hak atas tanahnya . Sementara pihak pengelola
hutan beralasan, tanah kawasan hutan tidak
bisa digarap oleh petani (termasuk tidak
bisa seenaknya memanfaatkan hasil-hasil
hutan) sebab kawasan itu masuk dalam
register kehutanan. Dalam kasus ini, BPN
tidak memproses (tuntutan petani) kecuali
ada pelepasan kawasan hutan dari menteri
kehutananan .
Sejak tiga dekade terakhir, praktek
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
hutan cenderung diwarnai oleh fenomena
konflik, yakni konflik antara penduduk
desa-desa di sekitar hutan dengan Perum
Perhutani suatu perusahaan milik negara .
Perbedaan persepsi mengenai hutan dan
kepentingan-kepentingan dalam pemanfaatan
hutan dituding sebagai sumber konflik di
berbagai kawasan hutan. Dengan kata lain,
persoalan penguasaan hutan oleh negara
merupakan salah satu dari basis konflik sosial
di masyarakat sekitar hutan . Manakala negara
menguasai hutan, biasanya seluruh kebijakan-
kebijakan diarahkan untuk melindungi
haknya dan menempatkan orang lain di pihak
seberang. Dalam konteks civil society, terjadi
tarik-menarik antara negara (Perum Perhutani)
dan warga untuk menguasai sumber daya
hutan akan berlangsung secara konstan untuk
memperebutkan alokasi, kontrol, dan akses
terhadap sumber daya yang ada . Berdasarkan
kajian di lapangan, konflik tanah dapat
dibedakan menjadi dua macam akar masalah
konflik.
Pertama, konflik yang berlatar ketiadaan
akses masyarakat sekitar hutan untuk bisa
mengelola hutan. Dalam hal ini, seluruh
kawasan hutan dikuasai oleh Perum Perhutani
(perusahaan kehutanan negara) meskipun
wilayah hutan tersebut masuk wilayah desa .
Akibatnya, masyarakat di sekitar hutan tak
memiliki kesempatan untuk menggarap
tanah-tanah hutan tersebut . Sebagian besar
masyarakat pinggir hutan (yang sebagian
besar adalah petani penggarap dan buruh tani)
hidup dalam kemiskinan dan terpinggirkan .
Gelondongan kayu jati yang gagah berdiri,
bernilai jutaan rupiah per kubiknya hanya
sebagai pemandangan getir penduduk
setempat . Meskipun rumah dan lingkungan
hidup mereka dikelilingi oleh sumber daya
alam (kayu) yang sangat mahal, namun semua
itu milik orang lain (perusahaan, negara).
Kedua, adalah konflik hutan yang
berbasiskan (hak atas) tanah. Konflik ini
berlatar belakang pengambilalihan tanah-
tanah hasil membuka hutan atau tanah-tanah
garapan masyarakat oleh Perum Perhutani .
Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 233
Klaim penguasaan tanah hutan memiliki
dampak sangat serius bagi petani sekitar hutan
karena mereka harus berhadapan dengan
Perum Perhutani yang memiliki kekuatan
penuh untuk memeriksa, menggeledah,
menyita, menangkap dan menahan seseorang
yang diduga melakukan tindak pidana yang
menyangkut hutan .
Cara-cara menyelesaikan sengketa tanah
dengan hukum negara biasanya dilakukan oleh
pihak-pihak yang merasa memiliki bukti-bukti
hukum yang kuat . Hal itu ditunjukkan pada
kasus sengketa tanah yang melibatkan warga
dengan Perhutani . Penyelesaian sengketa
tanah kawasan hutan pada masa Orde Baru
menggunakan cara-cara demikian . Pemerintah
yang otoriter akan menggunakan hukum
represif untuk menyelesaikan masalahnya .
Norma hukum dalam menyelesaikan sengketa
tanah bersifat formal dan positif . Formal
artinya bersifat tertulis dan mengikat semua
individu yang menjadi subyek hukum, tak
peduli apakah ia sudah membaca, mempelajari
dan mengetahuinya atau tidak . Semua orang
yang telah memenuhi syarat seperti ditentukan
oleh hukum diandaikan sebagai subyek yang
terikat hukum . Inilah yang disebut asas
“fictie hukum“ yang artinya setiap orang
dianggap telah mengetahui adanya suatu
undang-undang yang telah diundangkan .
Positif artinya bersifat baku prosedurnya dan
berkepastian hukum . Semua orang yang akan
menggapai keadilan hukum disediakan aturan
bagaimana beracara di pengadilan dengan
ancaman sanksi yang jelas .
Untuk menyelesaikan konflik yang telah
terjadi, bukan hanya pendekatan keamanan dan
hukum yang dipilih oleh Perhutani . Banyak
peluang penggunaan cara-cara yang lebih
manusiawi yang juga dapat diimplementasikan
dalam menyelesaikan konflik tanah kawasan
hutan . Faktanya masih ada kesenjangan
antara konsep kebijakan dan implementasi di
lapangan . Perhutani menawarkan mekanisme
penyelesaian berupa program Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM/
selanjutnya disebut Managing Forest with
Community), yang pada era Orde Baru disebut
kerja sama model tumpangsari . PHBM
merupakan sistem pengelolaan sumber
daya hutan yang dilakukan oleh perusahaan
(Perum Perhutani) dan masyarakat kawasan
hutan dengan semangat berbagi agar manfaat
sumber daya hutan dapat terwujud secara
optimal . Semangat yang dibangun oleh Perum
Perhutani dengan PHBM ini adalah kemauan
(willingness) masyarakat sekitar hutan dan
pihak-pihak lain yang tertarik untuk berbagi
dalam pengelolaan sumber daya hutan
berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan-
keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan
dalam pengelolaan hutan .
Perum Perhutani merumuskan prinsip-
prinsip dasar PHBM adalah sebagai berikut:
a) jujur dan demokratis (fairness and
democracy); b) keterbukaan dan kebersamaan
(openness and togetherness); c) mau belajar
dan saling memahami (lesson learned and
understanding on each other); d) kejelasan
antara hak dan kewajiban (clarity of right
234 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251
and duty); e) pemberdayaan ekonomi
demokrasi (empowerment of democracy
economic); f) kerjasama lembaga (institution
cooperativeness); g) perencanaan partisipatif
(participation planning); h) sederhana dalam
sistem dan prosedur (simplicity in system and
procedure); i) perusahaan sebagai fasilitator;
j) kesesuaian antara pengelolaan dan
karakteristik area .
PHBM sebenarnya adalah pelaksanaan
dari amanat Pasal 30 UU No . 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yang berbunyi:
“dalam rangka pemberdayaan
ekonomi masyarakat,setiap badan
usaha milik negara, badan usaha
milik daerah dan badan usaha milik
swasta Indonesia yang memperoleh
izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, pemanfaatan hasil
industri hutan kayu diwajibkan
bekerja sama dengan koperasi
masyarakat setempat “
Dengan demikian, partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan hutan menjadi sangat
penting . Program demikian sesungguhnya
bukan hal baru, karena sudah sejak lama
Perhutani mencoba bergandengan tangan
dengan warga yang tinggal di sekitar hutan .
Di samping itu, setelah masyarakat mengajak
bicara dengan Perhutani, dan menghasilkan
kesepakatan pengelolaan kawasan hutan yang
disebut Management Regime Mozaik (MR
Mozaik) . MR Mozaik merupakan kesepakatan
membagi tanah antara Perhutani dan
masyarakat. Misalnya, tanah satu hektar dibagi
menjadi dua: separuh ditanami pohon jati dan
separuh lainnya dijadikan tanah pertanian oleh
masyarakat. Pada waktu itu, ditetapkan tanah
percontohan MR Mozaik seluas 62 hektar .
Untuk itu para petani diwajibkan menanam,
memelihara dan menjaga pohon-pohon jati
milik perhutani .
B. Bentuk Alternatif Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat
yang majemuk, dalam kemajemukan timbul
berbagai hal, maka fenomena konflik atau
sengketa merupakan suatu keniscayaan .
Konflik-konflik atau sengketa dalam perebutan
sumber daya alam, ekonomi, sosial maupun
politik dapat selalu terjadi setiap saat, dan
bisa berujung menjadi suatu sengketa . Dalam
hubungan ini, Paul Bohannan10 menyatakan:
“conflict is useful. In fact society is impossible
without conflict. But society is worse than
impossible without control of conflict….”.
Suatu konflik atau sengketa yang tidak segera
diselesaikan dapat mengakibatkan suatu
persoalan keadilan .
Setiap masyarakat mempunyai mekanisme
tersendiri untuk menyelesaikan suatu konflik
atau sengketa, apakah melalui mekanisme
yang disediakan oleh hukum negara state institution, atau melalui mekanisme yang sudah dikenal oleh masyarakat folk institution. Pilihan untuk menyelesaikan konflik atau
10 Paul Bohannan, Dalam pengantar Buku Law & Warfare; Studies in The Antropology of Conflict, (Austin and London: University of Texas Press, 1980), p. xii.
Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 235
sengketa mereka adalah dapat melalui jalur formal peradilan (litigasi) atau jalur alternatif lain diluar pengadilan . Masyarakat perkotaan lebih memilih sistem hukum formal, namun pada umumnya pilihan ini dipandang korup, mahal, lamban dan berjarak.11 Fakta bahwa pada jalur formal peradilan terjadi penumpukan perkara di Mahkamah Agung, awal tahun 2005 meningkat menjadi 21 .000 perkara . Pada tahun 2009 Mahkamah Agung berhasil menurunkan tunggakan perkara, pada akhir Desember 2007 tunggakan mencapai 6.794 perkara, sedangkan akhir Desember hanya mencapai 5 .657 perkara .
Berdasarkan data tersebut adanya keterbatasan atau kurangnya kemampuan negara melayani masyarakatnya memperoleh keadilan dalam pelayanan hukum, maka beberapa persoalan yang akan muncul, mulai dari eigenrechting, sampai pada persoalan perubahan nilai-nilai dan penyimpangan terhadap nilai-nilai budaya dalam masyarakat bahkan legal gap yaitu, terdapat silang selisih antara apa yang dihukumkan secara resmi oleh kekuasaan nasional dan apa yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari sebagai hukum oleh masyarakat setempat .
Dalam seminar yang diselenggarakan Tim Justice dan organisasi LAPPAN di Ambon, 17
Februari 2005 menyatakan:
“Pilihan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa
informal bukan hanya disebabkan mekanisme ini murah, cepat danmudah. Tetapi aspek yang lebih penting adalah kepatuhan wargaterhadap suatu pendekatan yang memberikan rasa tertib dan tenteramdalam diri dan komunitasnya.”12
Manfaat dan pentingnya penyelesaian
sengketa yang dapat dilakukan oleh
masyarakat itu sendiri juga dikatakan oleh
Adrianus Meliala yaitu:13
Dalam kaitan itu diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolution yang tidak membuat masyarakat tergantung pada dunia hukum yang terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah. Mekanisme tersebut sebenarnya telah memiliki dasar hukum dan telah memiliki preseden serta pernah dipraktikkan di Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme tersebut juga memiliki potensi untuk semakin dikembangkan di Indonesia.
Istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan istilah asing, sehingga juga memiliki istilah dalam Bahasa Indonesia, antara lain seperti Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS), Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), dan Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) di luar pengadilan . Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan suatu “penyelesaian
11 Ibid., p. 13-14.12 Vja Ambon, 2005, “Mekanisme Penyelesaian Sengketa Informal di Kabupaten Buru, Kota Ambon dan
Kabupaten Maluku Tengah”, e-journal.stie-aub.ac.id, diakses 18 Desember 2015.13 Adrianus Meliala, “Penyelesaian Sengketa Alternatif; Posisi dan Potensinya di Indonesia”, www.
adrianusmeliala.co.id, diakses 10 Desember2015.
236 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251
sengketa di luar pengadilan yang dilakukan secara damai” .Pengertian mengenai ADR ini juga diaturdalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dimana dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ini yang dimaksud dengan ADR merupakan:
Suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan. ADR adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai bentuk penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus, seperti arbitrase.
Dalam Black’s Law dictionary dikatakan: Alternative Dispute Resolution is a procedure
for steling a dispute by means other than
litigation, such a arbitration or mediation;
ADR can be defined as encompassing
all legally permitted processes
of dispute resolution other than
litigation, while this definition (or
something like it) is widely used, ADR
proponents may object to it on the
ground that it privileges litigation by
piving by impression that litigation
is the normal or standard process of
dispute resolution, while alternative
processes are aberrant or deviant.
That impression is false. Litigation
is relatively rarely used process
of dispute resolution. Alternative
processes, especially negotiation
are used fare more frequently. Even
disputes involving lawyers are
resolved by negotiation far more
often than litigation. So ADR is not
defined as everything-but-litigation
because litigation is the norm.
Litigation is not the norm. ADR is
defined as everything-but-litigation
because litigation, as a matter of
law, is the default process of dispute
resolution” Stephen J Ware14.
George Applebey, dalam tulisannya yang
berjudul “An Overview of Alternative Dispute
Resolution”juga berpendapat bahwaADR
pertama-tama adalah merupakan suatu
eksperimen untuk mencari model-model:
a . Model-model baru dalam penyelesaian
sengketa;
b . Penerapan-penerapan baru terhadap
metode-metode lama;
c . Forum-forum baru bagi penyelesian
sengketa;
d . Penekanan yang berbeda dalam
pendidikan hukum .
Menurut Gunawan Wijaya15, Penyelesaian
Sengketa Alternatif pada dasarnya merupakan
14 B.A .Garner, Black’s Law Dictionary, (Eighth ed.), (cambridge: West a Thomson Business, 2004), p. 86.15 Gunawan Wijaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2001), hlm. 5.
Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 237
suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa . Dalam literatur hukum, penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution biasanya disebut Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi atau disebut ADR (Alternative Dispute Resolution) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa .
M . zaidun16, menerjemahkan ADR (Alternative Dispute Resolution) menjadi Mekanisme Alternatif penyelesaian Sengketa (MAPS), yang tumbuh pertama kali di di Amerika Serikat adalah merupakan jawaban atas ketidakpuasan (dissatisfaction) yang berkembang pada sistim (praktek) peradilan mereka yang bermuara pada persoalan waktu, biaya dan kemampuannya dalam menangani kasus-kasus komplek .
Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif berupa negosiasi, arbitrase, litigasi atau mediasi sudah lasim digunakan diberbagai negara di dunia, sejak tahun 1980-an . Di Amerika Utara maupun di Australia lazim ditemukan Court Annexedmediation atau Court Annexed Arbitration, karena model penyelesaian melalui negotiation dan mediation khususnya merupakan mekanisme alternatif penyelesaian sengketa secara koperatif yang dapat diintegrasikan dengan
sistem peradilan yang ada17 .
Upaya-upaya menyelesaikan sengketa
secara kooperatif diluar peradilan (untuk
sementara waktu) merupakan policy/
kebijakan pengadilan agar dapat menghasilkan
suatu keputusan bersama yang memberi
kemungkinan perasaan “keadilan bersama”
yang pada akhirnya akan dituangkan dalam
keputusan hakim (pengadilan)18 .
Prinsip “kooperatif” ini dalam
akar budaya Indonesia dapat dikatakan
mempunyai semangat yang sama dengan
prinsip “musyawarah” . Oleh karena itu
semangat untuk menyelesaikan berbagai
persoalan kemasyarakatan termasuk
persoalan hukum melalui upaya musyawarah
untuk mencapai mufakat jelas merupakan
nilai-nilai filosofis dan kultural yang benar-
benar dapat merupakan landasan bagi
pengembangan Mekanisme penyelesaian
Sengketa di Indonesia . Model-model
penyelesaian sengketa melalui negosiasi,
mediasi, dan konsiliasi merupakan model
penyelesaian sengketa yang mengandung dan
mengutamakan prinsip-prinsip musyawarah
untuk mencapai mufakat yang selaras dengan
budaya Indonesia19 .
Wiliam Ury,20 menyatakan ada tiga faktor
utama yang mempengaruhi proses penyelesaian
sengketa yaitu kepentingan (interest), hak-hak
16 M. Zaidun, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), dalam Bahan Ajar Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA) Universitas Airlangga 1945- 2004, (Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2004), hlm . 1 .
17 Ibid.18 Ibid., hlm. 3.19 Ibid.20 M. Zaidun, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), dalam Bahan Ajar Penyelesaian Sengketa
Alternatif (PSA) Universitas Airlangga 1945-2004, (Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2004), hlm . 5 .
238 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251
(rights), dan status kekuasaan (power). Para pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai hak-haknya terpenuhi dan ingin status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan .
Tujuan mekanisme penyelesaian sengketa menurut Goldberg dan rekan21 adalah :a . Mengurangi kemacetan pengadilan;b . Meningkatkan keterlibatan masyarakat
dan proses penyelesaian sengketa;c . Memperlancar jalur pengadilan;d . Memberikan kesempatan bagi
tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak .
Penyelesaian sengketa secara informal pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa22 . Secara umum Penyelesaian sengketa alternatif dapat digolongkan ke dalam:1 . Berdasarkan sifat keterlibatan pihak
ketiga yang menangani penyelesaian sengketa alternatif tersebut, yaitu : Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.
2 . Berdasarkan pada sifat putusan yang diberikan dalam proses penyelesaian sengketa alternatif tersebut : Mediasi, konsiliasi, Arbitrase.
3 . Berdasarkan sifat kelembagaannya: Lembaga ad hoc, dan Institusi
Penyelesaian sengketa Alternatif (Institusi permanen) .
4 . Berdasarkan ada tidaknya unsur asing atau luar negeri, karena dikenal ada Penyelesaian sengketa Nasional dan penyelesaian sengketa Internasional (asing) . Dikatakan Internasional karena proses penyelesaian sengketa mengandung unsur luar negeri (asing) .
Otoritas pada posisi setiap aktor konflik, akan menempatkan masing-masing aktor pada posisi superordinasi dan subordinasi . Ritzer dan Goodman membantu menerangkan otoritas yang dimaksud Dahrendorf, bahwa “setiap otoritas dalam asosiasi (masyarakat) bersifat dikotomis; dua, dan hanya dua kelompok konflik dapat terjadi dalam asosiasi mana pun . Mereka yang memegang otoritas dan mereka yang berada pada posisi subordinat memiliki kepentingan yang ‘substansi dan arahnya berlawanan’. Akhirnya, ketika posisi yang berada pada posisi subordinat akan selalu berupaya melakukan tindakan yang melawan posisi superordinat. Begitu sebaliknya, posisi superordinat akan tetap mempertahankan status quo sebuah konflik.23
Dahrendorf mengklasifikasikan ada tiga kelompok yang merupakan cikal bakal aktor konflik. Pertama, Kelompok Semu (quasi group) sebagaimana dikutip Ritzer dan Goodman24 yaitu himpunan pemangku posisi dengan kepentingan-kepentingan peran
21 Ibid .22 Gunawan Wijaya, op.cit.23 George Ritzer, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 454.24 George Ritzer, Ibid., hlm. 454.
Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 239
yang identik. Mengutip Malinowski, ciri-ciri
kelompok semu menurut Dahrendorf, sebagai
berikut:25
1 . Sebuh inti, sistem nilai yang bertujuan
mengejar tujuan bersama organisasi .
2 . Personal; orang-orang yang bertugas
mengaturnya .
3 . Norma tertentu .
4 . Peralatan material .
5 . Kegiatan tertentu yang teratur .
6 . Sebuah objektif .
Kedua, Kelompok Kepentingan .
Dahrendorf menggambarkan kedua kelompok
sebagai berikut:26
Mode perilaku bersama menjadi ciri dari
kelompok kepentingan yang direkrut dari
kelompok semu yang lebih besar . Kelompok
kepentingan adalah kelompok menurut
pengertian sosiologi; dan mereka adalah agen
sesungguhnya dari konflik kelompok. Mereka
memiliki struktur, bentuk organisasi, bentuk
organisasi, program atau tujuan, dan personel
anggota .
Selanjutnya, Dahrendorf mendalilkan
kemunculan kelompok-kelompok kepentingan
yang berasal dari kelompok semu, bahwa
kelompok semu dan kelompok kepentingan
berdasarkan atas posisi peranan di dalam
perserikatan yang dikoordinasi secara
memaksa. Jadi ‘situasi-kelas-nya’ memaksa
individu untuk menyesuaikan perilakunya dengan posisi yang ia harapkan dalam sebuah perserikatan .27 Sedangkan, aktor yang terlibat dalam konflik disebut dengan Kelompok Konflik atau kelompok yang benar-benar terlibat dalam konflik kelompok, muncul dari sekian banyak kelompok kepentingan tersebut .28
Dahrendorf menyebutkan ada kondisi yang mendukung kemunculan sebuah kelompok konflik, yang merupakan pendorong terjadinya konflik:29
1. Kondisi teknis organisasi, yang bergantung dengan pembentukan kepemimpinan pada kader dalam kelompok semu dan kodifikasi sistem gagasan atau piagam perjuangan . Dalam konteks ini, jelas sangat diperlukan kemampuan bagaimana membangun sistem kepemimpinan (leadership) dan bagaimana menciptakan ideologi yang bisa mempersatukan para anggota . Bisa dinyatakan dengan kalimat lain, tidak akan ada kelompok kepentingan jika tidak muncul orang yang diakui anggota sebagai layak menjadi pemimpin . Kemudian pemimpin itu meyakinkan pertanyaan-pertanyaan anggota, mengapa harus melakukan perjuangan, dan bagaimana sistematika perjuangan yang harus dipilih .
25 Rachmad K. Dwi Susilo, op.cit., hlm . 325 .26 George Ritzer, op.cit., hlm . 284 .27 Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri Sebuah Analisa-Kritik diterjemahkan oleh
Ali Mandan dari karya asli Class and Class Conflict in Industrial Society, (Jakarta: Rajawali, 1968), hlm. 234.28 George Ritzer, Douglas J. Goodman, op.cit., hlm . 284 .29 Rachmad K. Dwi Susilo, op.cit., hlm. 326-327.
240 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251
2. Kondisi politis, yang bergantung pada kelompok dominan untuk mengizinkan berdiri dan besarnya organisasi yang memiliki kepentingan berlawanan. Dengan kata lain, ini sangat berhubungan dengan kapasitas kelas pengatur (the ruling class) dalam mengorganisasikannya . Tanpa ada izin dari kelompok tersebut, tidak mungkin kelompok yang berbeda kepentingan bisa bergerak secara leluasa . Dalam konteks ini, kelompok kepentingan akan diuntungkan jika sistem negara tersebut semakin demokratis. Sebaliknya, kalau sistem politik dalam suatu negara bersifat totaliter, kelompok kepentingan semakin kecil kemungkinannya untuk muncul .
3. Kondisi sosial, yang berkaitan dengan kesempatan-kesempatan anggota kelompok semu untuk berkomunikasi dan kesempatan untuk merekrut anggota-anggota . Jika leadership, ideologi, dan suasana berorganisasi telah kondusif, maka yang diperlukan adalah kesempatan untuk berkomunikasi . Pemimpin perlu mengomunikasikan janji-janji perjuangan yang dikonkritkan dalam ideologi . Ia juga diperlukan untuk menyiasati perubahan-perubahan yang bisa dikatakan terjadi detik per detik . Ia juga diperlukan untuk mengorganisasi dan memobiliasi anggota, kapan harus bergerak dan kapan harus mundur menyusun kekuatan .
Selanjutnya, melihat kondisi yang sering
memengaruhi terjadinya konflik, dirumuskan
beberapa proposisi-proposisi turunan sebagai
berikut:30
1 . Semakin sedikit kondisi teknikal, sosial,
dan politik dari organisasi, semakin hebat
konflik terjadi.
2 . Semakin sedikit mobilitas antara
kelompok yang memiliki otoritas dan
tidak memiliki otoritas, semakin hebat
konflik akan terjadi.
3 . Semakin sedikit kondisi teknikal, sosial,
dan politik dari organisasi, semakin hebat
kekerasan akan terjadi .
4 . Semakin kecil kemampuan kelompok-
kelompok konflik mengembangkan
kesepakatan terkait dengan pengaturan,
semakin besar kekerasan akan terjadi .
5 . Semakin hebat konflik, semakin akan
terjadi reorganisasi dan perubahan
struktural .
6 . Semakin banyak kekerasan ada di konflik,
semakin besar tingkatan reorganisasi dan
perubahan struktural .
Dasar penjelasan konflik sosial, juga
terletak pada dua jenis kepentingan .
Dahrendorf menyebutnya dengan kepentingan
laten dan kepentingan manifest . Dahrendorf
menyebut harapan-harapan tak sadar ini
dengan kepentingan laten . Kepentingan
manifest adalah kepentingan laten yang
telah disadari . Dahrendorf melihat analisis
hubungan antara kepentingan laten dengan
kepentingan manifest sebagai tugas utama
teori konflik. Namun, aktor tidak perlu
30 Rachmad K. Dwi Susilo, Ibid., hlm. 327-328.
Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 241
menyadari kepentingan mereka agar bertindak
menurut kepentingan-kepentingan tersebut .31
Kepentingan laten belum mampu
menggerakkan para aktor untuk melakukan
konflik. Kepentingan laten32, diartikan
juga sebagai tingkah laku potensial yang
telah ditentukan bagi seseorang, karena dia
menduduki peran tertentu, dan ia bisa berubah
menjadi kepentingan nyata . Kemudian ketika
kelompok yang belum menyadari kepentingan
berubah menjadi sadar akan kepentingannya
atau berubah menjadi kepentingan manifest,
maka terbentuklah kelompok semu (quasi
group). Namun, Dahrendorf juga menyusun
hipotesis tentang kepentingan manifest
bahwa:
“Bobot dan intensitas kepentingan
nyata (kepentingan manifest)
menurun sejalan dengan
meningkatnya intensitas mobilitas
sosial dan keterbukaan kelompok-
kelompok yang bertentangan .
Semakin mudah bagi individu
untuk meninggalkan kelompoknya
yang bertentangan, semakin kecil
kemungkinan baginya untuk
mempertahankan keseluruhan
kepribadiannya dalam pertentangan
kelompok dan semakin sedikit
peranan wewenangnya yang
tersisa .”33
Konflik akibat pergeseran kepentingan
laten menjadi kepentingan manifes ini biasanya
tidak akan langsung terjadi berbenturan fisik
atau saling mencemooh . Sengketa (dispute),
dan konflik (conflict) adalah dua istilah yang
sering dipakai untuk menggambarkan suatu
situasi atau kondisi dimana orang-orang
sedang mengalami perselisihan yang bersifat
faktual maupun perselisihan-perselisihan
yang ada pada persepsi mereka saja34 .
Sebagian sarjana berpendapat bahwa secara
konseptual tidak terdapat perbedaan antara
konflik dan sengketa, akan tetapi sebagian
sarjana berpendapat bahwa istilah konflik
(conflict) dapat dibedakan dari istilah sengketa
(dispute):
Pertama, istilah konflik mengandung
pengertian yang lebih luas dari
pada sengketa karena konflik dapat
mencakup perselisihan-perselisihan
yang bersifat laten (latent) dan
perselisihan-perselisihan yang telah
mengemuka (manifest). Konflik atau
perselisihan yang telah mengemuka
disebut sengketa. Kedua, konflik
merujuk pada perselisihan-
perselisihan yang para pihaknya
sudah maupun belum teridetifikasi
atau dapat diidentifikasi secara jelas.
Ketiga, istilah konflik lebih sering
ditemukan dalam kepustakaan ilmu-
31 George Ritzer, Douglas J. Goodman, op.cit., hlm . 284 .32 Rachmad K. Dwi Susilo, op.cit., hlm . 325 .33 Ralf Dahrendorf, op.cit., hlm. 235.34 Takdir Rahmadi, Mediasi; Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: RadjaGrafindo
Persada, 2010), hlm. 1.
242 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251
ilmu sosial dan politik dari pada
dalam kepustakaan ilmu hukum . . .”
Dalam masyarakat adat suatu konflik
atau sengketa dapat terjadi karena adanya
pelanggaran adat yaitu : “…terganggunya
perimbangan (evenwicht, harmonie) antara
dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan
manusia seluruhnya dan orang seorang, antara
persekutuan dan teman semasyarakat35 . Jadi
segala perbuatan yang dianggap mengganggu
keseimbangan dalam masyarakat adat tersebut
merupakan pelanggaran adat (konflik,
sengketa), misalnya kasus tersinggungnya
wanita dayak Kalimantan Tengah atas
pernyataan guru besar sosiolog Universitas
Indonesia Thamrin Amal Tamagola pada
sidang kasus video porno Ilham Nazriel”,
Dalam adat dayak perilaku tidak senonoh itu
sendiri tidak dibenarkan dan akan dikenakan
jipen(denda adat) . Permasatanah ini telah
diselesaikan dengan melakukan sidang adat
dilanjutkan dengan permintaan maaf36 .
Latar belakang pemikiran masyarakat adat
tentang apakah yang dapat disebut konflik
atau sengketa (pelanggaran adat) adalah
didasarkan pada :
Alam pikiran tradisional Indonesia
(alam pikiran tradisional timur pada
umumnya) bersifat kosmis,meliputi
segala-galanya sebagai kesatuan
(totaliter) . Umat manusia menurut
aliran pikiran kosmis itu adalah
sebagian dari alam, tidak ada
pemisahan-pemisahan dari berbagai
macam lapangan hidup, tidak ada
pembatasan antara dunia lahir dan
dunia gaib, dan tidak ada pemisahan
antara manusia dan mahluk mahluk
lain . Segala sesuatu bercampur
baur, dan bersangkut paut, segala
sesuatu pengaruh mempengaruhi
mempengaruhi . Dunia manusia
adalah pertalian dengan segala hidup
di dalam alam…”37
Alam pikiran tradisional Indonesia (alam
pikiran tradisional timur pada umumnya)
yang bersifat kosmis dan meliputi segala-
galanya sebagai kesatuan (totaliter) juga
digambarkan oleh Ter Haar sebagai “… suatu
masyarakat yang terdiri dari gerombolan
yang bertalian satu sama lain; terhadap alam
yang tak kelihatan mata, terhadap dunia luar
dan terhadap alam kebendaan,…”38.
Sengketa atau konflik terkadang
diasosiasikan oleh masyarakat dengan
fenomena kekerasan dan merupakan suatu
keburukan oleh sebab itu konflik harus
dicegah atau dihapuskan . Pemikiran ini
memunculkan konsep conflict preventionatau
conflict avoidance. Tindakan kekerasan
seperti perkelahian, perusakan, pembakaran
harta benda dan pembunuhan sampai kepada
35 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 111.36 Kompas online, “Tamrin dan Istri Minta Maaf”, www.kompas.com/, Diakses, 22 Januari 2011.37 Soepomo, loc.cit.38 Ter Haar, Asa-asas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht), terjemahan Soebakti
Poesponoto, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hlm. 27.
Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 243
peperangan merupakan sebuah fenomena yang buruk dalam masyarakat sehingga melahirkan konsep conflict prevention, dimana konflik harus dicegah melalui berbagai kebijakan masyarakat atau pemerintah . Konsep ini makin menguat di Indonesia apabila dilihat kenyataan bahwa konflik-konflik yang terjadi sering disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan .
Pandangan lain yang mempersepsikan bahwa konflik bukan sesuatu yang buruk karena konflik harus dibedakan dengan tindakan kekerasan . “…konflik merupakan fenomena sosial yang bersifat semesta (universal) dan melekat (inherent) dalam kehidupan masyarakat, dalam pergaulan sosial antar individu maupun antar individu dengan kelompok…”39. Pencegahan dilakukan terhadap tindakan-tidakan kekerasan yang biasanya menyertai suatu konflik.Menghindari konflik dalam dinamika sosial masyarakat adalah tidak mungkin . Yang dapat dilakukan adalah bagaimana konflik tersebut harus dikelola (managed), dikendalikan (controlled), dan diselesaikan (settled) secara bersama dengan bijak dan damai, agar tidak berkembang menjadi kekerasan, anarki atau destruktif, menimbulkan disintegrasi atau menghancurkan sendi-sendi hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat40 .
Konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat menurut Nader dan Todd41 terjadi
melalui tahapan-tahapan: Grievance,yaitu berawal dari munculnya keluhan dari salah satu pihak terhadap pihak yang lain (individu atau kelompok), karena pihak yang mengeluh merasa hak-haknya dilanggar, diperlakukan secara tidak wajar, kasar, dipersalahkan, diinjak harga dirinya, dirusak nama baiknya, dilukai hatinya, dan lain-lain. Kondisi awal ini disebut sebagai tahapan pra-konflik (pre-conflict stage) yang cenderung mengarah kepada konfrontasi yang bersifat monadik (monadic). Pada tahap kedua, apabila kemudian pihak yang lain menunjukan reaksi negatif berupa sikap yang bermusuhan atas munculnya keluhan-keluhan dari pihak pertama, maka kondisi ini akan meningkat eskalasinya menjadi situasi konflik (conflict stage), sehingga konfrontasi antar pihak-pihak berlangsung secara diadik (diadic) . Pada tahap ketiga situasinya akan meningkat menjadi sengketa (dispute stage), disini konflik antar pihak-pihak tersebut akan ditunjukan dan dibawa kearena publik (masyarakat) dan kemudian diproses menjadi kasus perselisihan dalam institusi penyelesaian sengketa tertentu dengan melibatkan pihak ketiga . Sifat konfrontasi antar pihak-pihak yang berselisih menjadi triadik (triadic) .
Secara umum terjadinya konflik dalam masyarakat bersumber dari persoalan-persoalan seperti: (1) Penguasaan, pemanfaatan
dan distribusi sumber daya alam yang menjadi
39 I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam Untuk Menjamin Kemakmuran Rakyat (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2015). hlm. 73.
40 Ibid.41 Nader L dan H F Todd Jr (eds), Dispute Processes-Law in Ten Societies, (Columbia: Columbia University
Press, 1978), pp. 14-15.
244 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251
pendukung kehidupan manusia (natural
resource contol and distribution); (2) Ekspansi
batas wilayah kehidupan suatu kelompok
masyarakat (territoriality expantion); (3)
Kegiatan Ekonomi Masyarakat (economic
activities); (4) Kepadatan penduduk (density
of population)42.
Model-model penyelesaian konflik
atau sengketa yang dapat dilakukan oleh
masyarakat tergantung pada sistem nilai,
norma, politik, ekonomi dan keyakinan sangat
mempengaruhi pilihan bentuk institusi dan
model–model penyelesaian konflik dalam
masyarakat. Institusi penyelesaian konflik
yang dikenal masyarakat paling tidak ada 2
macam, yaitu:
1 . Institusi penyelesaian konflik yang
bersifat tradisional, yang bersumber
dari sistem politik dan hukum rakyat
dan berlangsung secara tradisional (folk
institutions) .
2 . Institusi penyelesaian sengketa yang
dibangun dari sistem politik dan hukum
Negara (state institutions)43 .
Nader dan Todd44, memberikan gambaran
tentang cara-cara dari pengkaji (ahli)
Antropologi Hukum untuk mengatasi
atau menyelesaikan keluhan-keluhan atau
perasaan tidak diperlakukan secara adil atau
sengketa-sengketa, yang berkembang dalam
kebudayaan-kebudayaan manusia, sebagai berikut:
(1) Membiarkan saja, atau dalam kata-kata
Felstiner (lumping it) . Pihak yang merasakan
perlakuan yang tidak adil, gagal dalam upaya
untuk menekankan tuntutannya.,(2) Mengelak
(avoidance), (3) Paksaan atau (coercion),
yaitu satu pihak memaksakan pemecahan
masalah pada pihak lain, (4) Perundingan
(negotiation), dua pihak yang berhadapan
merupakan para para pengambil keputusan .
(5) Mediasi, (mediation) yaitu pemecahan
masalah menurut perantara, (6) Arbitrase,
kedua pihak yang bersengketa sepakat untuk
meminta perantara pihak ketiga (arbitrator),(7)
Peradilan, adjudication.
Dalam praktek penyelesaian sengketa
dalam sistem hukum nasional dikenal
beberapa bentuk atau cara penyelesaian
sengketa yaitu negosiasi, mediasi, pencari
fakta, konsiliasi, penilaian ahli, arbitrase, dan
litigasi atau berperkara di pengadilan45 .
Terkait perlindungan hukum terhadap
petani, munculnya disvaritas dalam
pemanfaatan sumberdaya hutan dan
meningkatnya konflik pengelolaan
sumberdaya hutan . Implementasi paradigma
baru tersebut melahirkan sebuah sistem yang
dikenal dengan nama PHBM (Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat) .
Gerakan reformasi menjadi berkah
tersendiri bagi para petani untuk menemukan
jalan baru penyelesaian sengketa hak atas
42 I Nyoman Nurjaya, op.cit., hlm. 75.43 I Nyoman Nurjaya, loc.cit., hlm. 77.44 Nader L dan H F Todd Jr (eds), Dispute Processes-Law in Ten Societies, (Columbia: Columbia University
Press, 1978), p. 9. 45 Takdir Rahmadi, op.cit., hlm. 16-21.
Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 245
tanah mereka . Para petani mulai mengorganisir
diri untuk melawan ketidakadilan yang
selama ini diderita . Dibentuklah berbagai
organisasi (secara bahasa berarti badan,
institusi, lembaga, wadah) atau paguyuban
(dari kata guyub, yang artinya akur, kompak,
bersatu hati, rukun. Sedang paguyuban atau
peguyuban berarti kekerabatan, komunitas
atau masyarakat) kaum tani di berbagai
tempat di mana sengketa tanah terjadi .
Strategi organisasi juga dilakukan oleh
para petani yang tinggal di tepian kawasan
hutan saat berhadapan dengan Perhutani . Di
Blora, para petani yang berseteru dengan
Perhutani membentuk kelompok-kelompok
tani yang disebut Lembaga Rembug Hutan .
Institusi atau organisasi tersebut dalam istilah
sosiologi Berger dan Neuhaus disebut sebagai
’mediating structures’ (institusi-institusi
mediasi) di mana wujud konkretnya merujuk
pada lembaga keluarga, ketetanggaan,
keagamaan dan juga asosiasi keswadayaan .
Institusi mediasi merupakan lembaga-lembaga
sosial yang memiliki posisi di antara wilayah
kehidupan individu yang bersifat privat
dengan kehidupan sosial yang bersifat publik .
Dalam kultur politik liberal, institusi mediasi
merupakan sarana untuk pemberdayaan
individu-individu agar tidak mengalami
keterasingan saat menghadapi the bigness
atau realitas makro . Realitas sosial yang serba
makro ini merupakan ciri utama dari aktivitas
lembaga-lembaga modern, seperti korporasi,
konglomerasi, birokrasi, partai politik atau
organisasi besar lainnya .
Apabila institusi mediasi diakui dan
dimanfatkan maksimal dalam pengambilan
kebijakan publik khususnya mengenaikan
penyelesaian sengketa tanah maka warga
akan feeling at home . Berbagai kebijakan
dan pengaturan akan lebih bermakna bagi
warga . Pendayagunaan institusi mediasi
akan menghindarkan kecenderungan
pemegang kekuasaan bertindak coercive dan
individu juga tidak bersikap anarkis dalam
memperjuangkan aspirasi hukumnya . Dengan
demikian, kedua belah pihak dapat saling
menghormati keinginan masing-masing
hingga tercapai suatu model penyelesaian
sengketa tanah yang apik. Organisasi,
asosiasi, paguyuban atau apapun namanya,
memiliki fungsi penting sebagai sarana untuk
meraih tujuan . Tujuan merupakan akhir dari
tindakan, sedang tindakan itu sendiri adalah
alat untuk mencapai tujuan organisasi . Para
analisis gerakan sosial mengakui bahwa
organisasi merupakan strategi penting
untuk memobilisasi partisipasi massa dalam
meraih pengakuan hukum atas tanah yang
disengketakan. Dengan organisasi, posisi
tawar (bargaining position) petani semakin
naik sehingga perjuangan mereka akan lebih
efektif berjalan . Organisasi tersebut juga
berfungsi menyatukan upaya-upaya hukum-
sosial-politik petani yang terpecah-pecah
sehingga rentan gagal. Dengan organisasi,
mereka belajar melakukan tindakan secara
terencana dan sistematis .
Kesadaran untuk mengorganisasikan
diri ini merupakan refleksi dan respon atas
246 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251
ketidakadilan dan marjinalisasi yang mereka
alami . Strategi perlawanan ‘bungkam‘ selama
masa Orde Baru tidak bisa lagi dilanjutkan
dan sekarang mereka harus pro-akif
menyelesaikan masalahnya, apalagi konstelasi
politik telah pasca reformasi . Ciri perlawanan
hukum mereka lebih ekpresif, eksplosif,
terbuka dan massal. Mengapa demikian,
jawaban teoritiknya dapat ditemukan dalam
buku Dynamics of Contention . Gerakan
sosial hukum terjadi secara kondusif pada
masyarakat yang sedang berubah (transition) .
Dalam situasi transisi, biasanya pertikaian
(contention) meningkat karena didukung
sumber daya eksternal dan kesempatan
politik . Aktor-aktor perlawanan makin leluasa
merespon isu, memobilisasi struktur-struktur
sosial dan budaya sehingga memungkinkan
dilakukannya koordinasi, komunikasi dan
mewujudkan komitmen bersama untuk
memperjuangkan tuntutannya .
Akses informasi yang terbuka lebar
ini merupakan buah dari pengorganisasian
yang dilakukan para petani . Secara rutin dan
periode mereka mendapat informasi yang
dibutuhkan tentang apa saja yang berkaitan
dengan tuntutan mereka . Informasi itu bisa
datang dari elit-elit internal mereka yang
biasanya lebih terdidik dan melek tehadap
dunia luar . Dapat pula berasal dari sumber-
sumber bacaan seperti media massa dan
elektronik, selebaran atau buku-buku yang
mereka cari sendiri atau diberikan oleh orang
lain . Informasi yang lebih kritis umumnya
berasal dari aktor dari luar, misalnya aktivis
dari lembaga swadaya masyakarat dan pihak
lain yang konsen terhadap perjuangan petani .
Komunikasi hukum ini sangat penting
untuk kelangsungan dan keberhasilan
tuntutan mereka . Manfaat yang diharapkan
dari jaringan dan komunikasi hukum dengan
banyak pihak, antara lain adalah; pertama,
setidaknya mendapat dukungan moral dan
simpati atas penderitaan yang dialami oleh
para petani dan perjuangan yang sedang
berlangsung; kedua, memperoleh bantuan
hukum atas sengketa tanah yang sedangkan
diselesaikan; ketiga, mendapatkan masukan
dan saran bagaimana sebaiknya tersebut
diselesaikan; keempat, untuk mendapatkan
dukungan dan rekomendasi politik
agar sengketa dapat diselesaikan secara
menyeluruh; kelima, mendapatkan mediator
yang tepat sehingga para pihak mau duduk
bersama dan sederajat untuk menyelesaikan
masalahnya; keenam, mengkomunikasikan
dan men-sharing masalah-masalah hukum
yang mereka hadapi .
Komunitas petani hampir selalu
menggunakan strategi demontrasi untuk
memperjuangkan hak mereka . Ruang
demontrasinya sangat luas dan beragam,
mulai dari DPRD, Pemerintah Daerah
dan sampai Perhutani sebagai pihak yang
bermasalah langsung dengan para petani . Jika
berhadapan dengan mereka, para petani akan
menyampaikan tuntutannya secara mengenai
pokok masalah yang disengketakan . Misalnya
soal tanah-tanah warga yang diklaim oleh
perhutani, ketiadaan akses warga untuk ikut
Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 247
memanfaatkan hasil hutan dan sebagainya .
Seringkali, demontrasi di hadapan mereka juga
menemukan jalan buntu sehingga petani juga
mengagendakan tempat-tempat lain untuk
berdemo . Pembabatan pohon jati adalah salah
satu strategi MDH untuk menuntut haknya .
Motifnya adalah merusak atau menebang
pohon jati milik Perhutani dan bukan berniat
untuk blandong atau mencuri atau menjarah
kayu . Aksi ini sering dilakukan sebagai respon
terhadap perilaku aparat Perhutani yang
dianggap berlebihan kepada warga, terutama
di awal reformasi ketika warga kecewa dengan
perlakuan Perhutani selama ini . Setelah itu
aksi ini telah ditunggangi dengan kepentingan
tertentu, seperti motif ekonomi dan melibatkan
jaringan yang sistematis dan luas, seperti
masyarakat, para cukong atau penadah kayu
curian, oknum Perhutani, oknum TNI, oknum
Polri dan lain-lain .
Perlawanan menuntut balas biasanya
muncul ketika mereka merasa diperlakukan
tidak sepantasnya oleh para petugas
kehutanan, seperti misalnya mereka dipukuli
atau ditembak oleh petugas kehutanan .
Perlakuan semacam itu akan dibalas oleh
masyarakat dengan berbagai cara seperti
misalnya masyarakat akan sengaja merusak
tanaman-tanaman jati milik Perhutani, sengaja
menebangi pohon-pohon jati atau bahkan
mengancam para petugas Perhutani sampai
membakar dan merusak berbagai sarana
Perhutani yang ada di sekeliling mereka .
Strategi ini akhirnya juga mempengaruhi
sikap aparat Perhutani dan melembangkan
jalan untuk terjadinya dialog .
Dalam paradigma penyelesaian
sengketa non-litigasi, lobi bukanlah bagian
dari mekanisme penyelesaian sengketa .
Istilah lobi lebih menonjol digunakan di
arena politik, misalnya ketika keputusan
politik gagal disepakati secara bulat atau
aklamasi, maka masing-masing partai atau
fraksi melakukan lobi kepada pihak yang
berseberangan. Jadi, lobi adalah kegiatan
di dunia politik yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi lembaga yang berkuasa,
untuk memastikan bahwa pandangan atau
kepentingan pribadi atau organisasi yang
bersangkutan terwakili dalam pemerintahan .
Meskipun lobi tidak dikenal dalam aturan
perundang-undangan, namun istilah ini lebih
terkenal dan telah menjadi bagian penting
dalam proses politik . Yang populer dalam
undang-undang adalah musyawarah untuk
mufakat dan bukan lobi . Menurut pengertian
praktis politisi, musyawarah dan mufakat
dapat disamakan artinya dengan lobi, namun
dalam bentuk yang berbeda . Jadi lobi adalah
turunan dari musyawarah . Jika musyawarah
dilakukan secara formal dan transparan, maka
lobi dilakukan secara informal dan tertutup .
Menurut Priyo Budi Santoso, lobi adalah
proses untuk menyamakan pandangan . Oleh
karena dilakukan secara informal, terselubung
dan tidak terbuka, lobi seringkali dipahami
sebagai kegiatan yang tidak selamanya
positif. Bisa-bisa saja, keputusan dari lobi
bertentangan dengan hasil-hasil musyawarah
asal saja ada kompensasi atau imbal-balik
248 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251
yang sepadan .
Mediasi merupakan model penyelesaian
alternatif sengketa tanah di mana pihak luar
yang tidak memihak dan netral dihadirkan
untuk ikut membantu pihak-pihak yang
bersengketa mendapatkan solusi yang saling
menguntungkan . Jika negosiasi mentok dan
tidak memperoleh hasil yang memadai oleh
sebab masing-masing pihak kokoh dengan
argumentasi dan pendiriannya, salah satu
pihak atau dua-duanya dapat menempuh jalur
mediasi. Pada prinsipnya, mediasi merupakan
negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang
netral (mediator) yang dapat diterima oleh
para pihak yang sedang bersengketa . Secara
teoritis, peran mediator sebatas memberikan
bantuan substantif, saran-saran dan nasehat,
sedang otoritas membuat keputusan tetap
pada pihak yang bersengketa .
Pelaksanaan mediasi pada kasus
penyelesaian sengketa tanah sangat berbeda
dengan model mediasi di pengadilan, di mana
sebagian besar mediatornya berasal dari
hakim . Sangat berbeda pula dengan mediasi
dalam sengketa bisnis . Dalam sengketa
tanah yang melibatkan para petani dengan
perusahaan perkebunan (sengketa tanah
perkebunan) atau Perum Perhutani (sengketan
tanah kawasan hutan), para petanilah yang
aktif meminta bantuan pihak ketiga (mediator)
untuk membantu menyelesaikan masalahnya .
Pihak ketiga yang diminta menjadi mediator
biasanya kepala daerah (bupati atau gubernur)
dan atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) . Yang perlu dicatat dan hal ini yang
membedakan dengan mediasi di pengadilan
atau mediasi singketa bisnis, termasuk
berbeda dengan konsep-konsep teoritis
adalah; pertama, bahwa kehadiran pihak
ketiga itu (mediator) belum tentu disetujui
oleh pihak lawan; kedua, pihak ketiga
tersebut juga bukan dari kalangan profesional
yang memang terdidik atau dididik untuk
menjadi mediator; ketiga, netralitas atau
ketidakberpihakan (impartial) dipertanyakan
oleh karena keduanya merupakan lembaga
politik .
Penunjukan mediator dari kalangan
yang kuat dan otoritatif (seperti kepala
daerah atau anggota dewan) sehingga dapat
mempengaruhi hasil-hasil perundingan,
sungguhpun memiliki legitimasi teoritis dari Moore dengan authoritative mediatornya dalam prakteknya ada tujuan-tujuan lain yang perlu mendapat perhatian . Rupanya menunjuk mediator yang otoritatif merupakan strategi para petani agar pihak lawan mau duduk bersama menyelesaikan masalahnya . Sedang menurut para petani, pihak-pihak yang dapat memaksa perusahaan perkebunan dan atau Perhutani mau duduk berunding adalah pihak pemerintah (kepala daerah) dan kekuatan politik (DPRD) . Oleh karena umumnya perusahaan sangat sulit untuk merealisasikan hasil-hasil kesekapatan, dengan penunjukan mediator yang otoritatif maka para pihak diikat agar tidak main-main dan segera melaksanakan kesepakatan. Selain itu, terutama para petani sangat berharap adanya tindak lanjut dari pemerintah oleh karena
Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 249
itulah pemerintah juga dilibatkan sejak awal sebagai mediator bila memang penyelesaian sengketanya harus ditetapkan dan dilegalkan dengan putusan pemerintah. Misalnya, pihak pemerintah dapat memaksa BPN untuk segera menerbitkan sertipikat atas nama warga .
Perhutani juga menawarkan mekanisme penyelesaian berupa program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM/ Managing Forest with Community), yang pada era Orde Baru disebut kerja sama model tumpangsari . PHBM merupakan sistem pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan oleh perusahaan (perum Perhutani) dan masyarakat kawasan hutan dengan semangat berbagi agar manfaat sumber daya hutan dapat terwujud secara optimal . Semangat yang dibangun oleh Perum
Perhutani dengan PHBM ini adalah kemauan
(willingness) masyarakat sekitar hutan dan
pihak-pihak lain yang tertarik untuk berbagi
dalam pengelolaan sumber daya hutan
berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan-
keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan
dalam pengelolaan hutan .
Perum Perhutani merumuskan prinsip-
prinsip dasar PHBM adalah sebagai berikut:
a) jujur dan demokratis (fairness and
democracy); b) keterbukaan dan kebersamaan
(openness and togetherness); c) mau belajar
dan saling memahami (lesson learned and
understanding on each other); d) kejelasan
antara hak dan kewajiban (clarity of right
and duty); e) pemberdayaan ekonomi
demokrasi (empowerment of democracy
economic); f) kerjasama lembaga (institution
cooperativeness); g) perencanaan partisipatif
(participation planning); h) sederhana dalam
sistem dan prosedur (simplicity in system and
procedure); i) perusahaan sebagai fasilitator;
j) kesesuaian antara pengelolaan dan
karakteristik area .
PHBM sebenarnya adalah pelaksanaan
dari amanat Pasal 30 UU No . 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan yang berbunyi:
dalam rangka pemberdayaan ekonomi
masyarakat,setiap badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah dan badan usaha
milik swasta Indonesia yang memperoleh
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan,
pemanfaatan hasil industri hutan kayu
diwajibkan bekerja sama dengan koperasi
masyarakat setempat
Simpulan
1 . Petani tidak diperbolehkan menggarap
tanah milik perhutani karena dianggap
oleh Perhutani itu adalah Tanah Negara,
padahal secara hukum berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun
2010 Penertiban Dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar apabila tanah yang
dikuasai oleh Perhutani tersebut
ditelantarkan maka akan menjadi tanah
Negara bebas yang tidak mempunyai alas
hak . Hal ini dianggap oleh petani bahwa
Perhutani juga dianggap tidak memiliki
hak atas tanah itu sehingga para petani
menggarap tanah tersebut . Hal inilah
yang mengakibatkan konflik yang harus
diselesaikan oleh Negara yang dalam
250 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 225-251
hal ini diwakili oleh Badan Pertanahan
Nasional harus menyelesaikan masalah
ini agar tidak terjadi konflik yang dapat
mengakibatkan korban jiwa dan materiil .
2 . Bentuk perlindungan hukum terhadap
Petani yang menggarap tanah negara yang
dikuasai oleh Perhutani adalah melalui
perlindungan hukum preventif melalui
pemberian hak atas tanah terhadap tanah
yang dikuasai oleh Perhutani tersebut
tetapi ditelantarkan oleh Perhutani . Tanah
tersebut diberikan kepada petani melalui
program redistribusi tanah . Sedangkan
bentuk perlindungan hukum secara
represif, pihak-pihak yang berkonflik
dapat dimediasi melalui jalur non litigasi
dengan cara negoisasi agar pihak petani
dan perhutani tidak berkonflik secara
horizontal lagi .
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bohannan, Paul. Dalam pengantar Buku Law
& Warfare; Studies in The Antropology
of Conflict. Austin and London:
University of Texas Press, 1980.
Dahrendorf, Ralf. Konflik dan Konflik dalam
Masyarakat Industri Sebuah Analisa-
Kritik. Diterjemahkan oleh Ali Mandan
dari karya asli Class and Class Conflict
in Industrial Society. Jakarta: Rajawali,
1968 .
Garner, B.A . Black’s Law Dictionary . (Eighth
ed .) . Cambridge: West a Thomson
Business, 2004.
Haar, Ter. Asa-asas dan Susunan Hukum
Adat (Beginselen En Stelsel Van Het
Adatrecht). Terjemahan Soebakti
Poesponoto. Jakarta: Pradnya Paramita,
1985 .
JA., Noertjahyo. Dari Ladang Sampai
Kabinet, Menggugat Nasib Petani .
Jakarta: Buku Kompas, 2005.
Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor .
Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat.
Bogor: Lembaga Penelitian Institut
Pertanian Bogor, 1990.
L, Nader dan H F Todd Jr (eds). Dispute
Processes-Law in Ten Societies.
Columbia: Columbia University Press,
1978 .
Nurjaya, I Nyoman. Pengelolaan Sumber Daya
Alam Untuk Menjamin Kemakmuran
Rakyat. Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI, 2015.
Rahmadi, Takdir. Mediasi; Penyelesaian
Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat .
Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2010.
Ritzer, George. Teori Sosiologi dari Sosiologi
Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmoder. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
Iwan Permadi, Perlindungan Hukum terhadap Petani Penggarap Tanah ... 251
Soepomo . Bab-bab Tentang Hukum Adat .
Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Wijaya, Gunawan. Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Jakarta: RadjaGrafindo
Persada. 2001, hlm. 5.
Zaidun . M . Mekanisme Alternatif
Penyelesaian Sengketa (MAPS). Dalam
Bahan Ajar Penyelesaian Sengketa
Alternatif (PSA) Universitas Airlangga .
Surabaya: Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, 2004.
Naskah Internet
Jatengheadline . “Perhutani Pati Tutup
Mata Petani Menderita” . www .
Jatengheadline .com . Diakses 12 Maret
2016 .
Kompas online . “Tamrin dan Istri Minta
Maaf” . www .kompas .com/ . Diakses,
22 Januari 2011 .
Meliala, Adrianus. “Penyelesaian Sengketa
Alternatif; Posisi dan Potensinya di
Indonesia” . www .adrianusmeliala .
co .id . Diakses 10 Desember2015 .
Organic HCS. “Sekilas Definisi dan Konsep,
Petani dan Pertanian”, https://
organichcs .com/2014/01/10/sekilas-
definisi-konsep-petani-dan-pertanian/.
Diakses 9 Desember 2015 .
Vja Ambon . “Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Informal di Kabupaten Buru,
Kota Ambon dan Kabupaten Maluku
Tengah” . Diakses 18 Desember 2015 .