analisis perhitungan pajak penghasilan (pph) pasal 21 atas ...
pasal perlindungan konsumen
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of pasal perlindungan konsumen
BAB III
POLITIK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN SEBAGAIMANA
TERKANDUNG DALAM UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. Sejarah dan Pengaturan Perlindungan Konsumen di
Dunia Serta Prakteknya di Beberapa Negara
Pada awalnya, manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidup akan barang/jasa, dipenuhi oleh dirinya
sendiri. Namun dalam perkembangnya, ada manusia yang
menekuni diri untuk memenuhi kebutuhan orang lain
(tanpa dibayar selanjutnya berubah menjadi�
dibayar). Pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan orang
lain dengan mengharapkan imbalan/pembayaran,
berkembang menjadi sebuah pekerjaan yang ditekuni
oleh banyak orang.
Pekerjaan tersebut, tidak lagi dilakukan
secara manual, akan tetapi berubah menjadi produksi
massal yang dibuat oleh mesin (sejalan dengan
lahirnya revolusi industri) Di sisi lain, karena
perkembangan jaman manusia banyak memerlukan
berbagai kebutuhan (prioritas pertama adalah adanya
barang/jasa tersebut untuk memenuhi kebutuhan
pribadi dan keluarga), maka pelaku usaha memproduksi
barang/jasa secara besar-besaran/massal. Produksi
160
barang/jasa secara besar-besaran tersebut berdampak
mengesampingkan kualitas (prioritas utama hanya
kuantitas), maka munculah adagium Caveat Emptor
(berhati-hatilah konsumen). Konsumen meningkat
kesadaran dan pengetahuannya, muncul gerakan
konsumen dunia/global, menuntut hak-haknya adagium
tadi berubah menjadi Caveat Venditor (berhati-hatilah
pelaku usaha).
Perkembangan kedua caveat di atas sangat erat
kaitannya dengan strategi bisnis yang digunakan oleh
pelaku usaha. Pada masa strategi bisnis pelaku usaha
berorientasi terutama pada kemampuannya untuk
menghasilkan produk (production orientasi atau product-out
policy), maka pada masa itu konsumen harus waspada
dalam mengkonsumsi barang yang ditawarkan oleh
pelaku usaha. Pada masa ini, konsumen tidak banyak
memilih peluang untuk memilih barang atau jasa yang
akan dikonsumsinya. Mulai dari selera, daya beli,
dan kebutuhannya. Dengan perkataan lain, dalam
memenuhi kebutuhannya, konsumen lebih banyak dalam
posisi didikte oleh produsen. Seiring dengan� �
perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan
dan pemerataan memperoleh pendidikan dalam
masyarakat, konsumenpun mengalami peningkatan daya
161
kritis dalam memilih barang dan/jasa untuk memenuhi
kebutuhannya.1)
Ketika suatu bangsa memasuki tahap Negara
kesejahteraan, tuntutan terhadap intervensi
pemerintah melalui pembentukan hukum yang melindungi
pihak yang lemah sangatlah kuat.2) Pada periode ini
negara mulai memperhatikan antara lain kepentingan
tenaga kerja, konsumen, usaha kecil dan lingkungan
hidup.3)
Sebenarnya perlidungan konsumen bukan
merupakan masalah baru. Dalam buku �Konsumenrecht �
karya E.H.Hondius disebutkan Plato telah
mengkonstatir, bahwa para penjual bahan makanan jika
menentukan harga, menyamaratakan saja harga itu1 ) YLKI, Makalah, Perlindungan Konsumen Indonesia , Suatu Sumbangan
Pemikiran Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Jakarta, YLKI, 1991, hlm. 4-6.
2 ) Erman Rajagukguk, Peranan Hukum di Indonesia : Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial , Pidato disampaikan
dalam rangka Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia (1950-2000), Kampus UI-Depok, 5 Pebruari 2000 (Jakarta:
Februari 2000), h.14. Morton J. Horwitz, The Transformation of AmericanLaw 1780-1860 (Cambrige: Harvard University Press, 1977), h.253-254.
LihatInosentius Samsul� , Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak , Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004, Jakarta, 2004 , hlm.2.3 ) Dalam sejarah pertumbuhan hukum perlindungan konsumen, masalah-
masalah tenaga kerja, usaha kecil dan perlindungan lingkungan hidup merupakan bagian dari ruang lingkup pengertian konsumen. Karen S.� �
Fishman, An Overview of Consumer Law , dalam Donald P. Rothschild & David W. Carroll, Consumer Protection Reporting Service , Volume One (Maryland:
National Law Publishing Corporation, 1986), h.7-9. Sebenarnya system hukum perlindungan konsumen juga demikian, terbukti dari
pencantuman beberapa undang-undang terkait, termasuk Undang-undang di bidang ketenagakerjaan dan lingkungan hidup dalam Penjelasan Umum
Undang-undang Perlindungan Konsumen. Ibid.
162
tanpa mempertimbangkan perbedaan mutu bahan yang
baik dan yang tidak baik. Sejak tahun 1891, yaitu
dengan berdirinya The Consumer League di New York City,
Amerika Serikat, gerakan perlindungan konsumen
mulai berkembang secara terorganisir. Kemudian,
sejak tahun 1903 bergabung dengan kelompok baru
lainnya dan membentuk kembali cabang yang terbesar
di dua puluh negara bagian. Saat itu diperjuangkan
antara lain tentang The Original Food and Drug Act, yang
kemudian menjadi Consumer Reaseach. Terbitan ini
memberi informasi tentang nilai dan kualitas
berbagai macam barang.4)
Gerakan perlindungan konsumen melihat betapa
pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan
pemikiran yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen
merupakan generasi keempat hak asasi manusia, yang� �
merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi
manusia dalam perkembangan umat manusia di masa-masa
yang akan datang.5)
4 ) Ari Purnadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, Yuridika, No.1 dan 2, Tahun VII, Januari-Februari-Maret-April, 1999, hlm 49.
5 ) Jimly Asshiddiqie, Dimensi Konseptual dan Prosedural Pemajuan Hak Asasi Manusia Dewasa ini, Perkembangan ke Arah Pengertian Hak Asasi Manusia Generasi
Keempat , Paper Diskusi Terbatas tentang Perkembangan Pemikiran mengenai Hak Asasi Manusia , Institute for Democracy and Human Right , (Jakarta : The
Habibie Center, 2000), h.12. Dasar pemikiran adanya generasi keempat hak-hak asasi manusia adalah bahwa untuk masa yang akan datang konsep
hak asasi manusia tidak saja dalam konteks hubungan vertical antara rakyat dan Negara, tetapi dalam hubungan horizontal, sesama warga
masyarakat, dalam hal ini antara konsumen dan produsen, karena praktek eksploitasi tidak saja dalam hubungan vertical tetapi juga
dalam hubungan horizontal. LihatInosentius Samsul� , Perlindungan
163
Dalam banyak karangan/tulisan mengenai
perlindungan konsumen memang ditunjukkan bahwa
masalah perlindungan konsumen sudah sejak lama
menjadi pokok perhatian meskipun tidak secara
spesifik dibicarakan. Namun, berbicara dan membahas
masalah perlindungan konsumen sebagai masalah hukum
tersendiri adalah suatu hal yang baru, bukan saja di
Indonesia, melainkan juga di Negara yang telah lama
maju dalam bidang industri, seperti Nederland yang
baru mencurahkan perhatiannya pada masalah ini dalam
waktu tiga puluh tahun terakhir ini.6)
Umumnya di Negara maju, alasan utama yang
dipandang sebagai penyebab lahirnya bagian hukum
perlindungan konsumen ini adalah karena
berkembangnya industri secara cepat dan menunjukkan
kompleksitas yang tinggi sehingga perlu ditampung
salah satu akibat negatif industrialisasi yang
menimbulkan banyak korban karena memakai atau
mengonsumsi produk-produk industri.7)
Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak , Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, Jakarta,
2004 , hlm.8-9.6 ) Lihat... Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,
Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 27.7 ) Dalam kehidupan ekonomi, liberalisme dan individualisme yang
menjadi paham kaum Smithian (penganut Adam Smith) melahirkan sistem liberalisme ekonomi yang menjadi dasar sistem ekonomi pasar-bebas
(laissez-faire) , sebagai sukma kapitalisme. Hatta (dan juga Soekarno) menolak paham individualisme, dan menegaskan paham Indonesia
Merdeka adalah rasa bersama atau kebersamaan� � � � . ( Pidato Soekarno dan Pidato Hatta pada tanggal 15 Juli 1945 di depan Sidang BPUPKI ). Hatta
memberikan kelengkapannya menjadi paham ...kebersamaan berdasar�
164
Menurut Janus Sidabalok, ide, gagasan, atau
keinginan untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen berkembang dari kasus-kasus yang timbul di
masyarakat, terutama yang diselesaikan melalui
pengadilan. Biasanya Negara-negara yang memakai
sistem hukum Anglo Saxon, yang mendasarkan
perkembangan hukumnya pada putusan-putusan
pengadilan lebih banyak merespon ide atau gagasan
perlindungan konsumen ini. Karena itu, Amerika
Serikat dan Inggris dapat disebutkan sebagai contoh
dalam perkembangan hukum mengenai perlindungan
konsumen ini.8)
Perkembangan hukum di kedua Negara tersebut
berdasarkan kepada putusan-putusan pengadilan (cases
study). Tidak berarti bahwa Negara-negara lain yang
memakai sistem hukum Eropa Kontinental tidak
memperhatikannya, tetapi harus diakui bahwa respon
hukum mereka relatif lambat karena perkembangan
hukum di Negara-negara Eropa Kontinental lebih
banyak didasarkan pada perubahan/pembaruan undang-
undang.9)
atas asas kekeluargaan....� Mohammad Hatta selanjutnya menjadi arsitek Pasal 33 Undang U ndang Dasar 1945 . Dalam n askah asli
Penjelasan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 ditegaskan, bahwa�... kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuranorang-seorang...� , dengan kata lain menolak kapitalisme dan pasar-
bebas yang menyertainya. Ibid , hlm. 28.8 ) Ibid, hlm. 37.9 ) Ibid.
165
Negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat
Ekonomi Eropa, misalnya baru menyikapi persoalan
perlindungan konsumen (khususnya tanggung jawab
produk-pen), pada tahun 1985 melalui Petunjuk
Pengarahan (Directive) yang dikeluarkan Dewan Masyarakat Eropa
pada tanggal 25 Juli 1985 di Brussel dan
ditandatangani oleh J. Poos sebagai Presiden Dewan.
Barulah kemudian, tanggal 11 September 1986 Ratu
Beatrix menandatangani perubahan sebagai penyesuaian
ke dalam Burgerlijk Wetboek.10)
Seiring dengan keinginan untuk memberikan
perlindungan terhadap kepentingan konsumen, maka
mulailah dipikirkan kepentingan-kepentingan apa dari
konsumen yang perlu mendapat perlindungan.
Kepentingan-kepentingan itu, seperti diulas di atas
dapat dirumuskan dalam bentuk hak.11)
Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dalam
pidatonya di hadapan Kongres Amerika Serikat pada
tahun 1962, pada waktu mengemukakan gagasan tentang
perlunya perlindungan konsumen, beliau sekaligus
menyebutkan empat hak konsumen yang perlu mendapat
perlindungan secara hukum, yaitu12):
1. Hak memperoleh keamanan (the right to safety);
2. Hak memilih (the right to choose);
10 ) Ibid.11 ) Ibid.12 ) Ibid .hlm. 38.
166
3. Hak mendapat informasi (the right to be informed);
4. Hak untuk didengar (the right to heard).
Keempat hak dasar tersebut merupakan bagian
dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang
dicanangkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada
tanggal 10 Desember 1948.
Sementara itu, Masyarakat Ekonomi Eropa juga
menetapkan hak-hak dasar konsumen (warga masyarakat
eropa) yang perlu mendapat perlindungan di dalam
perundang-undangan negara-negara Eropa, yaitu13):
1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan;
2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi;
3. Hak mendapat ganti rugi; dan
4. Hak untuk didengar.
Di dalam Pedoman Perlindungan Bagi Konsumen
yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-
Guidelines for Consumer Protection) melalui Resolusi PBB No.
39/248 pada tanggal 9 April 1985, pada Bagian II
tentang Prinsip-Prinsip Umum, Nomor 3 dikemukakan
bahwa kebutuhan-kebutuhan konsumen yang diharapkan
dapat dilindungi oleh setiap Negara di dunia
adalah14):
1. Perlindungan dari barang-barang yang berbahaya
bagi kesehatan dan keamanan konsumen;13 ) Ibid.14 ) Ibid .hlm. 38-39. Tahun 1978 PBB mendirikan badan khusus yang dinamakan ECOSOC yang
membuat resolusi tentang perlindungan konsumen.
167
2. Perlindungan kepentingan-kepentingan ekonomis
konsumen;
3. Hak konsumen untuk mendapatkan informasi sehingga
mereka dapat memilih sesuatu yang sesuai dengan
kebutuhannya; 15)
4. Pendidikan konsumen;
5. Tersedianya ganti rugi bagi konsumen;
6. Kebebasan dalam membentuk lembaga konsumen atau
lembaga lain yang sejenis dan memberikan
kesempatan bagi lembaga-lembaga tersebut untuk
mengemukakan pandangan mereka dalam proses
pengambilan keputusan.
Resolusi ini lahir berkat perjuangan panjang
selama kurang lebih sepuluh tahun dari lembaga-
lembaga konsumen di seluruh dunia yang dipimpin oleh
International Organization of Consumers Union (IOCU).16)
Di Amerika Serikat misalnya, oleh Stern dan
Eovaldi dikemukakan tiga tujuan utama pengaturan
perlindungan konsumen, yaitu17) :15 ) Informasi tentang produk produsen biasanya selain disediakan oleh
produsen, juga oleh pemerintah dan organisasi konsumen. Informasi dari kalangan pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan,
siaran berita, penyusunan peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi, atau tindakan pemerintah tentang
sesuatu produk. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan, informasi itu sebagai suatu keharusan.
16 ) Ibid ., hlm. 39.17 ) Louis W. Stern and Thomas L. Eovaldi, Legal Aspects of Marketing
Strategy : Antitrust and Consumer Protection Issues, New Jersey, USA : Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, hal.525. Lihat... Janus
Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia , Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 28.
168
1. Restricting the communication of false information,
2. Requiring the disclosure of information about products,
3. Preventing the marketing of products that are unsafe or fail to
meet government safety standards.
Jelaslah bahwa pengaturan perlindungan
konsumen di Amerika Serikat berkaitan erat dengan
kemajuan teknologi, khususnya teknologi manufaktur
dan teknologi informasi, yang pada intinya bermaksud
untuk melindungi hak-hak konsumen sebagai manusia,
di samping untuk menciptakan atau mendorong
persaingan yang sehat dalam berusaha.18)
Menurut M. Abduh, Penyelenggaraan�
kesejahteraan masyarakat yang dilakukan pemerintah
itu disebut bestuurszorg, berarti bahwa bestuurszorg
merupakan salah satu ciri dari pemerintahan
welfarestate. �Peran pemerintah sangat besar untuk
menyelesaikan sengketa, perselisihan, ataupun
kerugian yang terjadi pada masyarakat pemakai suatu
produk tertentu. �19)18 ) Ibid ., hlm. 28.19 ) Amerika yang tadinya dikenal sebagai kapitalis, liberalis,
individualistis, sudah banyak melakukan langkah-langkah ke arah sistem kepentingan umum menuju kesejahteraan bersama yang dikenal dengan sistem welfarestate . Amerika Serikat merupakan negara yang paling banyak berperan terhadap perlindungan konsumen (costumer
protection ). Histori dari perlindungan konsumen itu ditandai dengan muculnya gerakan-gerakan konsumen ( costumer movement ) di akhir abad
ke-19. Liga konsumen pertama kali di bentuk di New York pada tahun 1981, dan pada tahun 1989 terbentuklah perkumpulan konsumen untuk
tingkat nasional di Amerika Serikat yaitu Liga Konsumen Nasional( The National Consumers League� ). Lihat Muhamad Abduh, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum USU, Sabtu 22 Oktober
169
Hal ini menimbulkan konsekuensi adanya campur
tangan pemerintah (staatsbemoeienis) dalam pergaulan
hidup masyarakat. Di sini terlihat adanya aspek-
aspek hukum publik yang terkait, di mana aspek
hukum publik yang menjadi sumber dan berpengaruh
pada hukum perlindungan konsumen.
Hingga pada masa sekarang dapat dilihat bahwa
perlindungan konsumen di Amerika telah berkembang
dengan pesat. Sejalan dengan keadaan di atas maka
pada tahun 1985, PBB menghimpun seluruh anggotanya
untuk memberlakukan hak-hak konsumen di negaranya
masing-masing.
Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi
konsumen yang tergabung dalam The Internatinal
Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan empat
dasar hak lainnya, yaitu:
1. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
2. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
3. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
4. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih
dan sehat.20)
1988, Profil Hukum Administrasi Negara Indonesia (HANI) Dikaitkan dengan UU Tentang Peradilan Umum Tata Usaha Negara (PERATUN), hlm.
23-24.20 ) Lahirnya suatu badan yang disebut Internasional organisasi
(I.O.C.U) tahun 1960 dipelopori oleh Belanda kemudian berpindah ke London, Pada Tanggal 15 Maret tahun 1993 IOCU berubah menjadi
Consumer International (C.I), dimana YLKI dan LP2K menjadi CI anggotanya sekitar 203 negara dan sekarang tinggal 93 negara. Lihat
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen , Raja
170
Secara eksplisit hak-hak di atas dituangkan
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen pada Pasal 4, sementara satu
hak terakhir dirumuskan secara terbuka. Hak-hak
konsumen yang disebutkan dalam Pasal 4 UUPK lebih
luas dibandingkan dengan hak-hak konsumen yang
disampaikan Presiden Amerika Serikat JF. Kennedy
atau Organisasi Konsumen Sedunia (IOCU).
Bagaimanapun ragamnya rumusan hak-hak konsumen
yang telah dikemukakan diatas, namun secara garis
besarnya menurut Ahmadi Miru dalam bukunya Hukum�
Perlindungan Konsumen dapat dibagi dalam tiga hak�
yang menjadi prinsip dasar, yaitu :
1. hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari
kerugian, baik kerugian personal, maupun harta
kekayaan;
2. hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan
harga yang wajar; dan
3. hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut
terhadap permasalahan yang dihadapi.21)
UU Perlindungan Konsumen yang fungsional,
telah menjadi salah satu syarat bagi keanggotaan
dalam Uni Eropa (UE). Negara yang ingin menjadi
anggota UE bukan hanya harus memiliki sistem ekonomi
pasar yang berfungsi dengan baik, mata uang yang
Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 39.21 ) Ibid , hlm. 47.
171
stabil dan sistem demokrasi yang kokoh, tapi juga
harus mengambil alih norma-norma dan ketentuan
hukum, yang telah disepakati oleh negara-negara UE.
Ketentuan hukum yang penting, antara lain adalah
yang menyangkut soal lingkungan hidup dan peraturan
bagi perlindungan konsumen.
Sejak terjadinya krisis BSE (bovine-spongiform-
enchepalophaty) atau lebih populer dikenal sebagai
kasus sapi gila (mad cow) dan skandal lainnya yang
menyangkut bahan pangan, dan juga kasus
Thalidomide22), soal perlindungan konsumen di UE
menjadi masalah utama publik. Oleh karena para warga
membutuhkan penerangan dan perlindungan terhadap
bahan yang berbahaya, maka UE menetapkan ketentuan
dan standar baru dan lebih ketat di bidang
perlindungan konsumen, yang harus diimplementasikan
oleh semua negara anggota.
Sedangkan perkembangan perlindungan konsumen
di Indonesia, pada tahun 1973 lahir yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI), kemudian pada tahun 1988
Lahir Lembaga pembinaan perlindungan Konsumen
(LP2K). Produk YLKI Rancang UU perlindungan
Konsumen, YLKI juga memberi bantuan hukum kepada
22 ) Kasus Thalidomide , yaitu kasus obat yang digunakan pada masa kehamilan yang menyebabkan cacat lahir. Disinyalir terdapat sekitar
8.000 (delapan ribu) bayi yang memiliki cacat lahir tersebar di lebih 30 (tiga puluh) negara, 450 (empat ratus lima puluh) bayi di antaranya
terdapat di Inggris.
172
konsumen, bentuk gugatan YLKI adalah Class Action dan
kelompok.
Selanjutnya prospek perkembangan perlindungan
konsumen di Indonesia yaitu dengan lahirnya sertifikat
halal. Masalah-masalah yang bersifat makro (universal
product yang dibuat adalah produk yang tidak merusak
lingkungan hidup dan lapisan ozon)
2. Perlindungan Konsumen Dalam Iklim Perdagangan Bebas
Pada pergantian abad 21, Indonesia dihadapkan
pada berbagai tantangan ekonomi yang serius, yakni
di antaranya pemberlakuan perdagangan bebas23) WTO
(World Trade Organization) di tahun 2005 untuk kawasan
Asia Tenggara, di mana yang terjadi adalah
persaingan yang semakin ketat di pasar
internasional, berbagai pengurangan bahkan
penghapusan hambatan perdagangan internasional yang
kini mulai diberlakukan, telah benar-benar memasukan
para pelaku bisnis Indonesia dalam persaingan yang
ketat, menghadapi pelaku-pelaku bisnis negara lain.
23 ) Istilah perdagangan bebas sebagai kata benda merujuk pada suatu kondisi pertukaran barang dan jasa antar-negara yang berlangsung
tanpa adanya hambatan ekspor-impor atau kalaupun hambatan itu ada, maka jumlah, jenis dan tingkatannya haruslah seminimal mungkin.
Dalam ekonomi dikenal dua (2) jenis hambatan perdagangan ekspor- impor yakni : tariff dan nontariff. Hambatan nontariff umumnya
berupa, antara lain kuota dan lisensi impor/ekspor . LihatA.F. Elly�Erawaty , Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas , Sambutan, Tim Editor Ida
Susanti/Bayu Seto, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan bekerjasama dengan Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hlm.4.
173
Globalisasi merupakan gelombang dahsyat yang
saat ini sedang melanda dunia. Karena begitu
dahsyatnya kekuatan arus gelombang globalisasi ini,
maka tidak satu pun negara di dunia yang dapat
mengelak dari pengaruhnya. Isu yang paling mengemuka
dalam globalisasi adalah penerapan sistem Pasar
Bebas yang saat ini sedang melaju kencang melanda
dunia dengan segala konsekuensinya. Ide Pasar Bebas
tersebut awalnya berasal dari negara-negara maju
yang tentunya tidak bebas dari kepentingan, dan
untuk mempercepat laju perkembangannya mereka telah
merancang kendaraan supercanggih yang bernama World
Trade Organization (WTO). Dengan diterapkannya Pasar
Bebas yang sifatnya global tersebut, maka hanya ada
satu aturan main yang berlaku, yaitu aturan Pasar
Internasional. Siapa pun yang ingin berperan dalam
Pasar Dunia harus mengikuti aturan main tersebut dan
isu kuat yang saat ini sedang berkembang di Pasar
Dunia adalah Penerapan Standar Internasional ISO dan
Penerapan Sertifikasi ISO sebagai syarat minimal
dari produk-produk yang akan ditawarkan di Pasar
Dunia.24)
Salah satu konsekuensi dari globalisasi dan
perdagangan bebas adalah meluasnya ruang gerak arus
24 ) Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen , Kata Pengantar, Penerbit PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003, hlm. v.
174
transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas
wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa
yang ditawarkan bervariasi. Kondisi yang demikian
pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen
karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa
yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin
terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis
dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan
keinginan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain,
kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat
mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen
menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada
posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas
bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya
oleh pelaku usaha.
Selain itu perlu diingat apa yang dikatakan
oleh Henry Kissinger (Trinity College, 1998), bahwa
globalisasi adalah nama lain dari dominasi Amerika
Serikat. Sementara Friedman mengatakan, �culturally
speaking, globalization has tended to involve the spread (for better or
worse) of Americanization ��25) dan ide pendorongnya adalah
kapitalisme pasar-bebas (free-market capitalism).26)
Kecenderungan ini telah memunculkan daya tolak di25 ) Thomas L. .Friedman, The Lexus and The Olive Tree: Understanding
Globalization , New York: Achor Books, 2001, page 9.26 ) Thomas Friedman, The World is Ten Years Old: New Era Globalization , di dalam
Charles W. Kegley Jr. dan Eugene R. Wittkopf (eds.) The Global Agenda: Issues and Perspectives , Sixth Edition, New York : McGraw-Hill, 2001,
page 302.
175
seluruh jagat, baik berdasar alasan ekonomi,
politik, sosial, kultural ataupun semangat
nasionalisme.
Kemenangan sistem kapitalisme dalam percaturan
dunia ini ternyata secara popular telah pula
mengglobal. Globalisasi berdasar persaingan bebas
dan pasar-bebas nya, memang tak bisa tidak akan
berperangai kapitalisme rakus dalam wujud barunya.
Perlu dicatat bahwa globalisasi terbukti telah
menumbuhkan inequality yang makin parah, antara lain
telah melahirkan the Winner-Take-all Society,
disempowerment dan impoverishment terhadap si lemah,
sehingga diungkapkan secara luas dan popular bahwa
the gap between the haves and the have-nots makin melebar. Ini
akan merupakan awal krisis dan mungkin kegagalan
bagi global capitalism, sebagaimana (mungkin)
dimaksudkan oleh George Soros, bahwa :
�we have a global economy without a global society �.. a global society does not mean a global state, toabolish the existence of states neither feasible nordesirable .� 27)
Sementara itu, Thorow mempertegas kecenderungan
ini,
��the world is going to have a global economy without aglobal government28)
27 ) Goerge Soros, The Crisis of Global Capitalism, New York: Public Affairs, 1998, page xxvii-xxviii.
176
Globalisasi telah pula menimbulkan banyak
kekecewaan (discontents) yang sebelumnya tidak
diperkirakan, sebagaimana dikemukakan oleh Stiglitz,
antara lain seperti kemiskinan, pengangguran,
kepastian hidup, ketidakstabilan, kerusakan budaya
dst. , sebagaimana kutipan :
many have actually been made worse off.. jobs��destroyed and their lives become more insecure ..development will continue tu create poverty andinstability .culture eroded.. Without reform the�backlash that has already started will mount anddiscontent with globalization will grow . The way�globalization has been managed need to be radically�rethought..� 29)
Fenomena globalisasi ekonomi berkembang
sedemikian kuat dan cepatnya sehingga memaksa
negara-negara didunia duduk berunding untuk
memperbaiki norma-norma aturan global di bidang
perdagangan antarnegara. Kecenderungan demikian ini
pada saatnya membentuk suatu norma yang sangat kuat
dan mengatasi sistem hukum dan konstitusi yang
berlaku dan mengikat di masing-masing negara
anggota. Globalisasi itu mendorong muncul dan
berkembangnya regionalisme ekonomi yang pada
gilirannya memerlukan pola-pola pengaturan baru
28 ) Lester C. Thurow, Creating Wealth : , London: Nicholas Brealy, 2000,� page 8.
29 ) Joseph E.Stiglitz, Globalization and Its Discontents , London: Allen Lane/Penguin, 2002, page . 247-251 dan x.
177
dalam hubungan antar negara. Sehingga memaksa
pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan
ekonomi yang terkadang tidak sesuai dengan nilai-
nilai yang telah diamanatkan oleh konstitusi.
Mekanisme pasar dengan cacatnya tidak akan
mampu mengisi kevakuman peran yang diperlukan bagi
suatu �global government � untuk bisa beroperasi dengan
efektif dan efisien. Kompetisi (competition) adalah
kata kunci globalisasi. Ini meliputi kompetisi
berbagai bidang, politik, ekonomi, hukum, budaya dan
mungkin termasuk agama (berbenturan dengan nilai
budaya dan agama lain).
Makin jelas bahwa wujud globalisasi semacam
ini tidak dapat diterima, wujud akhir yang ideal
belum terbentuk, reformasi secara radikal terhadap
trend globalisasi semacam ini tentulah diperlukan
dan menjadi tuntutan global. Hendaknya tidak
terpaku pada fenomena global tentang kapitalisme
versus komunisme. Tetapi harus mampu
mengartikulasikan secara normatif-ilmiah sistem
ekonomi Indonesia dan kemudian melaksanakannya
sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Berbicara iklim perdagangan bebas, tidak
terlepas dari ruang lingkup internasional.
Sementara, masalah internasional sudah sejak awal
kemerdekaan sudah dibicarakan oleh para faunding
178
father. Untuk mememuhi permintaan ketua Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, Radjiman
Wediodiningrat, berkaitan dengan dasar, filosofische
grondslag (landasan kefilsafatan), atau, suatu
Weltanschauung (pandangan dunia), yang di atasnya kita
mendirikan negara Indonesia itu, "Negara Indonesia�
Merdeka", maka anggota Ir Sukarno pada tanggal 1
Juni 1945, mewedarkan (memaparkan) apa yang menjadi
isi hati beliau, dan apa yang beliau wedarkan itu
ternyata adalah suatu dasar. Dasar itu terdiri dari� �
lima, di antaranya dua dasar yang saling
bergandengan erat satu sama lain, yaitu � � Dasar pertama,
adalah dasar Kebangsaan, suatu dasar yang selalu�
mendengung di dalam jiwa (beliau), sejak tahun 1918,
25 tahun lebih. � Dasar kedua, adalah dasar
lnternasionalisme. Tetapi yang dimaksudkan dengan
internasionalisme bukan Kosmopolitisme yang tidak�
mau adanya kebangsaan. Dasar ini dikemukakan karena�
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia�
Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada
kekeluargaan bangsa-bangsa. Kita harus menuju� �
persatuan dunia; persaudaraan dunia. Kedua dasar�
tersebut tadi, adalah dua dasar yang saling
bergandengan erat satu sama lain, karena:� �
Internationalisme tidak dapat hidup subur, kalau�
tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.
179
Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak
hidup dalam tamansarinya internasionalisme".30)
Selain itu, mengenai globalisasi ekonomi telah
digambarkan sejak lama dalam Konperensi Ekonomi
melalui pidato Wakil Presiden Mohammad Hatta di
Yogyakarta pada 3 Februari 1946. Pada konperensi itu
Hatta menyatakan perlunya suatu koordinasi
dipersiapkan untuk masa depan ekonomi Indonesia,
yaitu bagaimana mengatur perekonomian Indonesia
supaya pembangunan itu sejalan dan bersambung dengan
pembangunan diseluruh dunia. Bagi yang memahami
sejarah semestinya harus siap (bukan kagum) terhadap
globalisme dan datangnya era dalam arus globalisasi
saat ini. Dalam menghadapi perkembangan globalisme
seperti saat ini serta memperhatikan respons
terhadapnya ternyata tidak makin mudah menyajikan
pemahaman ekonomi Indonesia.
Konsekuensi dari globalisasi ekonomi tersebut
mendesak pemerintah dan pelaku usaha saat ini untuk
segera memulihkan kegiatan bisnis dan perekonomian
sering kali dihadapkan pada persoalan perlindungan
konsumen. Pasokan barang dan jasa melalui kegiatan
promosi yang gencar tidak selamanya dapat dipahami
dengan baik oleh masyarakat, dan bahkan seringkali30 ) � � 14Lahirnya Pancasila dalam Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi hlm. -
16, juga dalam Bung Karno dalam Lahirnya Pancasila� � 22/23. Lihat�So ediman Kartohadiprodjo , P ancasila dan/dalam Undang-Undang Dasar 1945,
Kata Pengantar, Penerbit Binacipta ; 1968 , hlm. 112-113.
180
mengakibatkan masyarakat menjadi korban. Sifat
berfikir objektif sering dikalahkan oleh kegiatan
promosi yang dikemas sedemikian rupa sehingga
mengubur sikap rasional konsumen. Situasi dan
kondisi yang mengharuskan Indonesia terlibat secara
aktif dalam pasar bebas dan globalisasi membuat
masalah yang dihadapi konsumen semakin kompleks.
Melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994, Negara kita
telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade
Organization (WTO). 31)
Dengan diterbitkannya Undang-undang No. 7
Tahun 1994, tanggal 2 November 1994 tentang
pengesahan (ratifikasi) Agreement Establising the World
Trade Organization tersebut, maka Indonesia telah resmi
menjadi anggota WTO, dengan Indonesia menjadi
anggota WTO berarti terikat dengan adanya hak dan
kewajiban dan bukan hanya menciptakan peluang tetapi
juga ancaman.
WTO adalah organisasi perdagangan dunia yang
berfungsi untuk mengatur dan memfasilitasi
perdagangan internasional, dan menciptakan
persaingan sehat di bidang perdagangan internasional
bagi para anggotanya, sedangkan secara filosofis
31 ) PERLINDUNGAN KONSUMEN. Minggu, 06 Februari 2011. Diposkan oleh nita nurrachmawati atmasari di 03:48 Diunduh tanggal 21 Desember 2011 jam
21.11 WIB.
181
tujuan WTO adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan
pendapatan, menjamin terciptanya lapangan pekerjaan,
meningkatkan produksi dan perdagangan serta
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dunia.
Fungsi dari WTO adalah sebagai forum bagi para
anggotanya untuk melakukan perundingan perdagangan
serta mengadministrasikan semua hasil perundingan
dan peraturan-peraturan perdagangan internasional,
sedangkan prinsip dasar dari GATT/WTO sendiri adalah
:
a. Perlakuan yang sama untuk semua anggota
Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang
mensyaratkan semua komitmen yang dibuat atau
ditandatangani dalam rangka GATT-WHO harus
diperlakukan secara sama kepada semua Negara
anggota WTO tanpa syarat.
b. Pengikatan Tarif
Prinsip ini diatur dalam pasal II GATT 1994,
dimana setiap Negara anggota GATT atau WTO harus
memiliki daftar produk yang tingkat daftar bea
masuk atau tarifnya harus diikat (legally bound).
c. Perlakuan Nasional
Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1994, yang
mensyaratkan suatu Negara tidak diperkenankan
untuk memperlakukan secara diskriminasi antara
182
produk impor dengan produk dalam negeri dengan
tujuan untuk melakukan proteksi.
WTO memiliki visi untuk menciptakan persaingan
sehat di bidang perdagangan internasional bagi para
anggotanya, sedangkan secara filosofis tujuan WTO
adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan
pendapatan, menjamin terciptanya lapangan kerja,
meningkatkan produksi dan perdagangan serta
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dunia.
Adapun WTO itu sendiri adalah perdagangan antara
Negara-negara dimana telah ada perjanjian di dalam
organisasi tersebut. Di Indonesia perdagangan adalah
memproduksikan barang dan jasa kepada konsumen, hal
ini apabila terjadi kerugian pada konsumen itu
sendiri dapat dilindungi oleh Undang-undang No.8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yaitu bab
IV tanggung jawab pelaku usaha pasal 19 ayat 1,
pelaku usaha bertanggung jawab ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/atau yang dihasilkan
dan diperdagangkan.
WTO juga mengatur bahwa setiap Negara dapat
menghambat perdagangan suatu barang yang
mengakibatkan atau berdampak buruk terhadap
kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan dalam artian
WTO melindungi semua yang ada pada kegiatan
183
perdagangan kepada Negara yang merupakan anggota
WTO.
Dalam aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh
WTO, sebenarnya perlindungan konsumen lebih mendapat
perhatian dan perlindungan hukum, misalnya
perlindungan hak kekayaan intelektual, standar-
standar barang dan jasa yang diperdagangkan, serta
sanksi bagi negara-negara yang memproduksi barang
dan jasa yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum.
Dalam TRIPs (Trade Related Intelectual Properties) antara lain
disebutkan bahwa negara anggota wajib melaksanakan
ketentuan tentang penggunaan merek sebagai upaya
untuk melindungi konsumen sebagai korban peniruan
merek. Selain itu, pada peraturan yang tercantum
dalam GATT (General Agreement on Tariffs and Trade)
mengisyaratkan pencantuman indikator atas asal
barang impor sebagai upaya untuk melindungi
konsumen.32)
Seperti diamanatkan dalam konsideran UUPK,
bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era
globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia
usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang
dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak
32 ) Dhaniswara K. Harjono. Ibid , hlm.71-72 dalam PERLINDUNGAN KONSUMEN. Minggu, 06 Februari 2011. Diposkan oleh nita nurrachmawati atmasari
di 03:48 Diunduh tanggal 21 Desember 2011 jam 21.11 WIB.
184
dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang
dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa
mengakibatkan kerugian konsumen; dan bahwa semakin
terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses
globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan
kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu,
jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang
diperolehnya di pasar.
Menurut Inosentius Samsul, dalam beberapa
kesepakatan perdagangan bebas multilateral, jelas
posisi hukum perlindungan konsumen sebagai
pengecualian, dalam arti setiap negara dapat saja
membuat peraturan yang substansi dinilai membatasi
masuknya produk dari suatu negara ke negara yang
bersangkutan, namun karena dimaksudkan untuk
melindungi konsumen, maka hal tersebut dapat
dibenarkannya. Prinsip ini menjadi pegangan yang
sangat kuat oleh Masyarakat Eropa (European
Communtiy) dan North Area Free Trade Area (NAFTA). Namun,
sayangnya pada aspek ini saya melihat Indonesia
ketinggalan jauh. Visi perlindungan konsumen dalam
berbagai kesepakatan perdaganan regional tidak
memadai seperti dalam kerangka ASEAN, demikian juga
dalam berdagangan bilateral. Hal inilah yang
kemudian menjadi sebab selalu munculnya masalah
masuknya produk berkualitas rendah dan membahayakan
185
konsumen. Artinya, persoalan tersebut terletak pada
otoritas pemerintah kita, bukan negara lain.
Kecenderungan yang terjadi selama ini sejauh
pengamatan saya adalah kita menyalahkan negara
lain. Padahal secara sistem, masalah penetapan
stadar produk merupakan kewenangan negara masing-
masing yang dibenarkan oleh prinsip-prinsip
perdagangan bebas. Oleh karena itu, pembenahan yang
dilakukan oleh Pemerintah ke depan adalah membenahi
reguasi yang berkaitan dengan standar-standar
produk yang dapat diimpor ke Indonesia. 33)
Dalam masyarakat modern, sistem distribusi
yang rumit termasuk lintas Negara, mengakibatkan
hubungan antara konsumen dan produsen menjadi rumit
atau kompleks. Konsumen tidak dapat mengenal siapa
pembuat barang, bahkan produsen suatu barang
tertentu berada di Negara lain. Hal ini
memperlihatkan pula, bahwa hukum perlindungan
konsumen mempunyai kaitan yang erat dengan
globalisasi perdagangan dan industri dalam aktivitas
ekonomi suatu Negara. Oleh karena itu, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Erman Rajagukguk, bahwa :
33 ) Inosentius Samsul, 10 Tahun Mencari Format Politik Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, makalah Seminar 10 Tahun UU No. 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung, bertempat di Ruang Laboratorium
Fakultas Hukum UNPAS, Jln, Lengkong Besar N0. 68 Bandung, pada hari Senin, 20 April 2009.
186
perlindungan konsumen harus mendapat�perhatian yang lebih, satu dan lainhal, karena investasi asing telahmenjadi bagian pembangunan ekonomiIndonesia, di mana ekonomi Indonesiajuga berkaitan dengan ekonomi dunia.Persaingan perdagangan internasionaldapat membawa implikasi negatif bagikonsumen.34)
Selanjutnya pada kesempatan lain, Erman
Rajagukguk menyatakan bahwa : Perlindungan konsumen�
tidak saja terhadap barang-barang berkualitas rendah
tetapi juga terhadap barang-barang yang membahayakan
kehidupan manusia. Umpamanya, makanan, obat, dan
minuman.35)
Sebuah sistem global berupa undang-undang yang
wajib dilaksanakan, telah tercipta. Dalam sistem
ini, semua hal menjadi milik perusahaan besar,
sedangkan kewajiban menjadi milik pemerintah, dan
demokrasi tertinggal di belakang. WTO, yang
34 ) Erman Rajagukguk, Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Era� Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati�
(Penyunting), Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung: Mandar Maju, 2000), h.2. Pemikiran ini sejalan dan dapat dibandingkan pula dengan
Mario Gomez, Sosial Economic Rights and Human Right Commision,� � Human Rights Quartely . Vol. 17 (1995), h.155 atau Yemi Osinbajo Olukonyisolla�
Ajayi, Human Rights and Economic Development in Developing� Countries,� The International Lawyer , vol.28 No. 3 (1994), h.731-732.
LihatInosentius Samsul� , Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak , Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004, Jakarta, 2004 , hlm.3.35 ) Eman Rajagukguk, Agenda Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia�
Menyongsong Abad XXI, UNISIA, No. 33/XVIII/I/1997,� Lihat�Ibid , hlm.8-9.
187
didirikan pada tahun 1995, merupakan agen baru
perdagangan global yang berkuasa, yang telah
mengubah GATT (Perjanjian Bea-Masuk dan Perdagangan)
menjadi sebuah perjanjian yang mampu memaksakan
perdagangan global. WTO adalah salah satu mekanisme
utama dari globalisasi korporasi. Pendukungnya
mengatakan bahwa WTO berdasarkan pada perdagangan�
bebas (� free-trade). Namun sebenarnya WTO merupakan
suatu sistem perdagangan bergaya korporatis
(corporate-managed) yang komprehensif. Bahkan WTO jauh
sekali dari filosofi perdagangan bebas abad ke-18
yang dikembangkan oleh David Ricardo atau Adam
Smith, yang berasumsi bahwa baik tenaga kerja maupun
modal kerja tidak boleh lintas batas negara.
Sistem perdagangan bergaya korporatis itu
didominasi oleh efisiensi ekonomi yang tergambar
dalam pencapaian profit perusahaan secara cepat.
Keputusan-keputusan yang mempengaruhi ekonomi hanya
dinikmati oleh sektor swasta, sedangkan biaya-biaya
sosial dan lingkungan menjadi beban publik. Sistem
yang kadang-kadang disebut model neoliberal ini� �
mengesampingkan undang-undang lingkungan, usaha
perlindungan kesehatan, dan standar tenaga kerja,
dalam menyediakan sumber daya manusia dan sumber
daya alam yang murah bagi perusahaan-perusahaan
transnasional (TNC/Trans-National Corporation).
188
Dalam ideologi neo-liberal, mitos yang
mengatakan bahwa setiap negara dapat berkembang
dengan cara lebih banyak mengekspor dibandingkan
impor, dianggap sangat penting. Sepertinya para
pendukung ideologi ini lupa bahwa, bila suatu negara
mengekspor mobil, misalnya, negara tujuan ekspor
tersebut menjadi pengimpornya. Sebenarnya pasar
bebas adalah adanya arus informasi yang sempurna
yang memberi kemungkinan pada pembeli dan penjual
untuk memilih barang dan jasa secara rasional, serta
adanya kemudahan keluar masuk barang ke dalam pasar
tanpa halangan.
Menurut A.F. Elly Erawaty, untuk mencapai
kondisi perdagangan bebas logikanya perlu cukup
waktu sebab konsekuensi yang ditimbulkan dari
kondisi semacam itu tidak sedikit. Penghapusan
hambatan perdagangan internasional di 1 (satu) sisi
memang dapat membawa kebaikan sebagaimana banyak
dikemukakan oleh para pendukungnya. Misalnya,
perdagangan bebas memungkinkan arus masuk produk
impor lebih deras, banyak dan beragam sehingga
menambah pilihan bagi konsumen. Kondisi ini juga
(diharapkan) dapat mengakibatkan terciptanya
persaingan di antara produsen asing dan domestik
yang pada gilirannya akan memicu produsen lokal
untuk melakukan efisiensi ekonomi, menurunkan harga,
189
dan memperbaiki kualitas, untuk kebaikan konsumen
dan produsen.36)
Lebih jauh, perdagangan bebas menurut para
pendukungnya, akan meningkatkan volume perdagangan
satu Negara yang berarti juga meningkatnya
pertumbuhan ekonomi Negara bersangkutan, ini berarti
kemakmuran rakyat negeri tersebut juga terjamin.
Namun, sayangnya banyak fakta khususnya di Negara
berkembang yang tidak selalu mengafirmasi argument
tersebut.37)
Dalam kenyataannya, menurut Customers Internasional
(CI) anggapan dasar ini tidak selalu menjadi
kenyataan, mengingat dalam praktek, banyak sekali
peraturan-peraturan yang justru bernuansa anti
persaingan, seperti :
- Tied selling. Penjual memaksa pembeli untuk membeli
barang dan jasa lebih dari pada yang dibutuhkan
pembeli.
- Resale price maintenance. Penjual merancang harga yang
dapat dibebankan kepada konsumen.
- Exclusive dealing. Dua penjual atau lebih menciptakan
monopoli lokal dengan persetujuan untuk berbagai
pasar ke dalam wilayah-wilayah.
36 ) LihatA.F. Elly Erawaty� , Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas , Sambutan, Tim Editor Ida Susanti/Bayu Seto, Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan bekerjasama dengan Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 , hlm.4-5.
37 ) Lihat�Ibid , hlm.5.
190
- Reciprocal exclusivity. Penjual menyetujui hanya menjual
barang dan jasa dari pemasok saja.
- Refusal to deal. Satu pemasok memaksa seorang pembeli
untuk mentaati satu mandat tertentu di bawah
ancaman penarikan barang dan jasa.
- Differential pricing. Pemasok menentukan harga berbeda
kepada pembeli yang berbeda atas dasar selain mutu
dan jumlah yang dipesan.
- Predatory pricing. Penjual menentukan perbedaan harga
dengan tujuan untuk mendorong pesaing keluar dari
bisnis.
Masih menurut Customers Internasional, dari
perspektif kepentingan konsumen pasar bebas juga
memperoleh berbagai tantangan, seperti :
- Cross border business agreement
Merger dan akuisisi. Satu perusahaan atau lebih
bergerak untuk menciptakan monopoli di luar
batas yuridikasi satu negara.
Kartel internasional. Satu tindakan bersama dari
beberapa perusahaan dari berbagai negara untuk
membagi pasar dan menetapkan harga.
Persekongkolan bisnis strategis. Persekongkolan diantara
perusahaan yang bersaing untuk mengembangkan
produk atau penelitian.
- Industrial policy
191
Kartel eksport. Persetujuan diantara perusahaan atas
harga eksport.
Kartel import. Satu tanggapan defensip oleh
perusahaan-perusahaan yang membeli barang dari
kartel eksport.
Kartel domestik. Satu cara dari perusahaan untuk
membatasi akses pasar bagi perusahaan asing.
- Trade policy
Undang-undang anti dumping. Satu cara untuk menangkal
perusahaan asing membanjiri barang dan jasa yang
lebih murah daripada harga yang ditetapkan oleh
perusahaan di dalam negeri
Penerapan target import.
Penetapan kuota eksport.
Dari apa yang telah dipaparkan Customers
Internasional di atas, dengan jelas terlihat bahwa
kedudukan konsumen di dalam era perdagangan bebas
sangat lemah dan kita tahu bahwa, setiap orang
adalah konsumen, termasuk pelaku usaha, yang juga
sebagai konsumen listrik, konsumen BBM, konsumen
telekomunikasi, atau konsumen air.
Selain itu kita pun adalah konsumen jasa
layanan publik, konsumen jasa layanan kematian,
konsumen jasa transportasi (baik darat, laut maupun
udara), konsumen media massa, konsumen jasa bantuan
hukum, konsumen jasa pendidikan, konsumen jasa
192
kesehatan, konsumen barang, konsumen makanan, dll.,
yang kesemuanya ini dalam era perdagangan bebas,
pelaku usaha luar negeri bisa membuka usaha-usaha
tersebut dan hal ini akan semakin membuktikan bahwa
konsumen sangat berpotensi memiliki kedudukan sangat
lemah.
Pesatnya pertumbuhan industri dengan
berkembangnya pasar bebas, tak lain akibat arus
globalisasi yang membuat persaingan antar produsen
semakin ketat, terutama untuk menarik konsumen.
Usaha-usaha peningkatan kesadaran masyarakat akan
arti mutu, jaminan mutu, dan akan hak-haknya atas
pelayanan purna jual dari produsen disertai adanya
pengawasan yang konsisten dan berkesinambungan dari
instansi yang berwenang akan lebih menjamin
persaingan yang lebih bebas dan bersih dari para
produsen dan pelaku dunia usaha lainnya.
Dengan meningkatnya kesadaran pelaku usaha
akan arti mutu dan jaminan mutu melalui peningkatan
kinerja perusahaan, diharapkan akan meningkatkan
pula kesadaran mereka bahwa kegiatan usaha bisa
lebih langgeng dalam persaingan bisnisnya hanya
apabila mereka dapat menjamin mutu produknya tanpa
perlu melakukan tindakan kecurangan. Masyarakat
konsumen di Indonesia akhirnya hanya akan memilih
193
produk-produk yang dipercayainya dapat memberikan
jaminan mutu serta bebas dari tindakan kecurangan.
Fundamentalisme pasar saat ini menyeret
perekonomian Indonesia ke dalam globalisasi.38) Di
sinilah negara sejak awalnya harus turun-tangan,
mengatur dan mengendalikan pasar agar posisi rakyat
yang �sentral dan substansial � tidak direduksi ke
posisi marginal-� residual, tidak sebaiknya
menempatkan modal dalam posisi sentral-�
substansial.� 39) Sifat pasar-bebas bila tidak diatur38 ) Lihat Susan George , Republik Pasar Bebas , Jakarta: INFID, 2002, hlm. 82-
86. Lihat pula Ahmad Syafii Maarif menjelask an bahwa pengaruh kapitalisme global, seharusnya dapat diminimalisasi, kalau tak ada
kerapuhan dari dalam. Kultur kita rapuh, kalau rapuh, bagaimana bertahan sekian lama. Salah satu indikator kerapuhan itu adalah kepekaan kita lemah dan semakin lemah, ter utama karena kepemimpinan
kita tak punya kepekaan dan tidak bertanggung jawab. Maarif mengatakan hal ini ada kaitan dengan sejarah, bahwa bangsa ini
mem ikul berat sebagai bangsa yang terjajah selama 350 tahun, sehingga kultur bangsa terjajah tetap membayangi. Rendahnya posisi
tawar dalam kontrak-kontrak karya pertambangan, minyak dan gas, adalah salah satu contohnya. Kapitalisme masuk dengan memanfaatkan
parlemen kita dalam pembuatan undang-undang, juga pemerintah. Kita menjual semua yang kita punya, sumber daya alam dan semuanya sumber
daya ekonomi yang kita punya. Sebagian undang-undang yang dihasilkan memperlihatkan kepandiran bangsa ini. Di sisi lain, orang tak bisa
menahan rayuan konsumtivisme yang disebarkan kapitalisme global karena filternya lemah. Ahmad Syafii Maarif, Kearifan Syafii Maarif,
Kompas , e disi Minggu, 5 Oktober 2008, hlm. 12.39 ) Sri-Edi Swasono, op. cit ., hlm. 5, 38, 112-114. Sangat relevan dengan
apa yang dikemukakan Ahmad Erani Yustika, bahwa pada dekade 1980-an merupakan titik awal penasbihan ide ekonomi tanpa regulasi dan� �
secara cepat menjalar ke semua arah (negara). Mula-mula liberalisasi finansial dipraktikkan lebih dulu dan baru diikuti barang/jasa,
dimana yang terakhir ini ditandai via ratifikasi GATT/WTO di Marakesh pada tahun 1994. Namun ketangguhan keyakinan itu tidak
berumur lama sebab kurang dari dua dekade, prinsip-prinsip itu kehilangan pamor. Ekonomi tanpa regulasi terbukti merupakan gagasan
paling tidak kreatif yang pernah muncul dalam sejarah pemikran
194
atau dikendalikan pastilah menggusur orang miskin,
bukan menggusur kemiskinan40). Istilah invisible hand,
hanya sekali saja disebut Adam Smith pada halaman
572 dalam bukunya setebal lebih dari 1.200 halaman
yang terbit pada tahun 1776.41) Ekonomi pasar-bebas
mengeksploitasinya secara berlebih.42)
Dalam ekonomi pasar bebas banyak di antara
bangsa Indonesia kagum pada dongeng-dongeng fiksi� �
tentang the end of nation states (berakhirnya negara-negara
nasional) dan tentang the borderless world (dunia tanpa
batas-batas), yang secara empirik adalah nonsense.
Nasionalisme (Persatuan Indonesia) telah dilunturkan
secara sistematis. Rumusan Nasionalisme ekonomi
untuk Indonesia menghendaki secara mutlak suatu
restrukturisasi ekonomi Indonesia dari struktur
ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi bangsa
merdeka dengan mayoritas bangsa sebagai pelaku dan
ekonomi. Masalahnya bukan terletak pada logika berpikir, tetapi kealpaan unutuk menempatkan individu sebagai makhluk multifaset.
Perilaku menyimpang individu merupakan keniscayaan yang ditanggalkan kaum liberalis, sehingga regulasi untuk membatasi
tabiat buruk tidak masuk hitungan. Ahmad Erani Yustika, �MenelanjangiLiberalisme� , Kompas , e disi Senin, 13 Oktober 2008, hlm. 6. Lihat Eli�
Ruslina, Dasar Perekonomian Indonesia Telah Terjadi Penyimpangan MandatKonstitusi , Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Depok, 2010.40 ) Kenyataannya, kepemilikan asset dan modal lebih menentukan siapa
pemenang dalam pertarungan ekonomi tanpa regulasi, sehingga ketimpangan pendapatan dan keterbelakangan merupakan fakta keras
yang sulit dibantah. Loc. cit. Lihat Eli Ruslina,� Ibid.41 ) Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika , Yogyakarta: Pustep UGM, 2008,
hlm. 9. Ibid.42 ) Sri-Edi Swasono, l oc. cit ., 7. Ibid.
195
tulang punggungnya.43) Paham kebersamaan dan asas
kekeluargaan sebagai dasar tercapainya kesejahteraan
sosial, kemakmuran bersama dan keadilan sosial,
serta cita-cita menjadi Tuan di Negeri sendiri,� �
berubah kembali ke sindroma lama, yaitu menjadi Kuli�
di Negeri Sendiri �, sedangkan pembangunan Indonesia� �
berubah pula menjadi sekedar pembangunan � di
Indonesia. Artinya bangsa Indonesia hanya akan�
sekedar menjadi jongos aborijin globalisasi di tanah
air sendiri.44)
Di samping itu, adanya sekelompok
penyelenggara negara yang mengemban sikap sebagai
pedagang� � dan mengabaikan nasionalisme ekonomi.
Sebagai contohnya adalah Undang-undang Migas
(Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001) yang dapat
digolongkan sebagai undang-undang yang mendorong
�Indonesia is for sale.� 45)
43 ) Sri-Edi Swasono, ibid. , hlm. 43. Pandangan nasionalisme ekonomi menurut Sr itua Arief, dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia mengenai P erkara Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang P engujian Undang-u ndang Penanaman Modal.
Ibid.44 ) Jongos aborijin adalah pribumi sebagai pembantu (kuli/buruh),
maksudnya bahwa bangsa Indonesia belum menjadi tuan� di negerisendiri.� Padahal sesuai dengan Konstitusi Indonesia, Pembangunan
Nasional seharusnya men cakup upaya terbentuknya suatu masyarakat yang maju (berkehidupan cerdas) dan hidup berkeadilan. Ibid.
45 ) N egara lain seperti Malaysia, minyak adalah suatu cabang produksi yang strategis, sehingga tidak ada kepemilikan terhadap cabang
produksi minyak ini oleh swasta. Putusan Mahkamah Konstitusi, op. cit. hlm. 125. Ibid.
196
Dari permasalahan yang diuraikan di atas,
persoalan-persoalan yang cukup prinsip yang dihadapi
pelaku usaha dalam rangka memberikan perlindungan
terhadap konsumen, di antaranya adalah :
- Menghadapi perusahaan multinasional/transnasional
(TNC/Trans-National Corporation)
- Menghadapi aturan-aturan WTO.
- Masalah birokrasi.
- Masalah Fiskal.
- Masalah Perizinan, dan
- Masalah Biaya tinggi yang belum dipangkas.
Di sisi lain, menurut konsep demokrasi modern,
kebijaksanaan publik tidaklah berisi cetusan pikiran
atau pendapat dari para pejabat negara yang mewakili
rakyat, akan tetapi pendapat atau opini publik juga
mempunyai porsi yang sama besarnya untuk tercermin
(terwujud) di dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan
publik. Setiap kebijaksanaan publik tentu harus
selalu berorientasi kepada kepentingan publik (public
interest). Di dalam UUPK sendiri berkaitan dengan
perlindungan konsumen dalam iklim perdagangan bebas,
terdapat beberapa ketentuan yang mengaturnya,
197
seperti dalam salah satu konsideran 46), Pasal 2147)
dan Pasal 34. 48)
Berdasarkan uraian di atas, maka semua
kebijaksanaan publik yang berkenaan dengan
Perlindungan Konsumen terutama dalam menghadapi
pasar bebas, harus memuat cetusan pikiran atau
46 ) bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan
beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan
sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.
(Alinea kedua konsideran UUPK)47 ) Pasal 21 UUPK :
(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan
oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.48 ) Pasal 34 ayat (2) UUPK : � Dalam melaksanakan tugas, Badan
Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional. � Dalam pelaksanaan tugas-tugas, BPKN (Badan
Perlindungan Konsumen Nasional-pen) dapat bekerja sama dengan pihak lain, termasuk organisasi konsumen internasional (Pasal 34 ayat (2)
UUPK). Kemungkinan bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional ini perlu mengingat bahwa batas peredaran barang
dan/atau jasa sekarang ini sudah tidak ada lagi, sudah melampaui batas-batas Negara melalui media perdagangan bebas, yang disebut
dengan globalisasi perdagangan. Dengan cara ini konsumen kita dapat terlindungi dari kemungkinan negative perilaku para pelaku usaha
asing, baik karena produk yang diedarkannya di Indonesia maupun melalui kerja sama-kerja sama (usaha patungan) dengan pengusaha
Indonesia. Kemungkinan ini tentu tidak dapat dihindari atas usaha sendiri pemerintah Indonesia ataupun oleh BPKN. Dengan demikian,
kerja sama dengan badan perlindungan konsumen luar negeri pun merupakan suatu keharusan. Maka penting sekali agar BPKN dapat
bekerja sama dengan pihak asing sehingga melalui masukan-masukan dari mereka, pemerintah dapat mengambil kebijakan tentang
perlindungan konsumen yang bernuansa internasional. LihatJanus�Sidabalok , Hukum Perlin dungan Konsumen di Indonesia , PT C itra Aditya
198
pendapat dari konsumen atau memiliki keseimbangan
dengan cetusan pikiran atau pendapat dari para
pejabat negara sebagai mewakili rakyat, bukan atas
nama kelompok atau golongan bahkan tidak untuk atas
nama pribadi.
3. Politik Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Dengan semakin kritisnya masyarakat,
terbukanya era globalisasi dan kecanggihan teknologi
serta kompetisi antar pelaku usaha yang semakin
ketat, mulai terlihat kecenderungan pelaku usaha
untuk menyelaraskan produknya dengan keinginan
konsumen, meski ada sebagian dari mereka yang masih
mempertahankan kultur dengan modal minimal untuk�
meraih laba sebesar-besarnya. Mereka meninggalkan�
paradigma product out, yaitu memproduksi barang dan
jasa sebanyak-banyaknya tanpa diimbangi quality control
memadai.
Kini paradigmanya market in, komunitas pelaku
usaha juga berubah dari paradigma let be consumer beware
ke paradigma let be producer beware. Kemudian, jika
dahulu prosesi transaksi produsen-konsumen dilakukan
tanpa adanya UU perlindungan konsumen, maka kini
Bakti , Bandung, 2006 , hlm. 191.
199
masyarakat konsumen Indonesia telah mempunyai dasar
hukum (legal base) untuk menuntut hak-haknya.
Kondisi dan paradigma di atas sebenarnya sudah
tertuang dalam politik hukum perlindungan konsumen
yang ada dalam UUPK sebagai legal base tadi, namun
tentunya ke depan diperlukan penyempurnaan,
mengingat sejarah dan latar belakang pembuatan
undang-undang ini demikian singkat49) dan merupakan49 ) Untuk hadirnya suatu UU tentang Perlindungan Konsumen yang
terdiri dari 15 Bab dan 65 pasal, ternyata dibutuhkan waktu tidak kurang dari 25 tahun sejak gagasan awal tentang undang-undang ini
dikumandangkan (1975-2000). Tak dapat disangkal, sebagai hasil kerja buatan manusia, terdapat beberapa hal yang kurang lengkap atau
kurang sempurna dari undang-undang ini (selanjutnya merupakan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional BKPN). Sekalipun demikian, ia�
merupakan suatu kebutuhan seluruh rakyat Indonesia yang kesemuanya adalah konsumen pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan
atau jasa konsumen. Apalagi pikiran globalisasi telah melanda dunia. Keterbukaan pasar saat ini dan kedudukan konsumen yang lebih
lemah dibanding dengan pelaku usaha, maka kebutuhan perlindungan konsumen tersebut merupakan suatu conditio sine qua non.� � Lihat...Az.
Nasution, S.H, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UUNomor 8 Tahun 1999-L.N. 1999 NO. 42 , Jakarta, 17 Maret 2003, -pemantauperadilan.com
UUPK dilahirkan pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, dimana masa ini adalah masa transisi (penggantian pemerintahan setelah
terjadi reformasi) dari masa pemerintahan Presiden Soeharto. Masa pemerintahan Presiden BJ Habibie itu sendiri hanya berlangsung 62
minggu dan ketika itu selain UU PK juga dilahirkan sekira 42 UU lain. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen merupakan produk reformasi yaitu reformasi hukum. Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai
dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan desa, pembaharuan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai
dari UUD sampai ke tingkat Peraturan Desa dan pembaruan dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum ke arah
kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dengan perkataan lain dalam agenda reformasi hukum telah tercakup pengertian reformasi kelembagaan ( institutional reform ), reformasi
200
permintaan pihak IMF, selain perkembangan jaman dan
perubahan masyarakat yang menuntut adanya
penyempurnaan.
Dalam penyempurnaan politik hukum yang erat
hubungannya dengan pembangunan, keterlibatan hukum
atas politik ataupun sebaliknya, sangat diperlukan.
Suatu peraturan perundang-undangan bukan saja
merupakan produk hukum melainkan juga merupakan
produk politik. Secara teknis dapat dikatakan bahwa
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
adalah menemukan kerangka tata hukum nasional dan
kemudian mencari politik hukum nasional dan
selanjutnya juga mengidentifikasi bagaimana politik
hukum ini diterapkan dalam bidang-bidang pembangunan
yang membentuk kerangka hukum nasional tersebut.
Politik hukum harus mecakup kepentingan-
kepentingan dalam masyarakat, baik kepentingan yang
bersifat sosial maupun kepentingan pribadi.50) Setiap
kepentingan dalam masyarakat harus mendapat
pengayoman atau perlindungan dari hukum, termasuk
kepentingan ekonomi. Perlindungan adanya kepentingan
ekonomi menjadi urgen, karena titik berat
perundang-undangan ( instrumental reform ), dan reformasi budaya hukum( cultural reform).
50 ) Thoga H. Hutagalung, Peranan Hukum Dan Keadilan Dalam Pembangunan Masyarakat Yang Sejahtera (Bahan Kuliah Filsafat Hukum) , Armico, Bandung,
1990, hlm. 13. Dalam halaman yang sama Roscoe Pound membagi kepentingan itu dalam 3 kategori, yaitu kepentingan individual, kepentingan publik, dan kepentingan sosial.
201
pembangunan sekarang masih berorientasi pada
pembangunan ekonomi. Di sinilah letaknya hubungan
antara kepentingan ekonomi dan hukum yang perlu
diakomodasi dalam politik hukum.
Politik hukum harus mampu memberikan
perlindungan terhadap masyarakat agar dapat
memberikan nilai dan tingkat keadaan ekonomi yang
lebih baik dalam suatu negara. Tentunya dalam
politik hukum, peranan hukum dalam ekonomi tidak
hanya berperan sebagai pengendali semata, tetapi
harus juga berperan di depan untuk melakukan
pembaharuan, yaitu mengubah pola berpikir masyarakat
itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja berkaitan dengan
peran hukum dalam pembangunan mengatakan bahwa hukum
tidak semata-mata menciptakan ketertiban sebagai
tujuan utama dari hukum, tetapi berperan juga
sebagai sarana pembaharuan masyarakat.51)
Demikian pun dalam politik hukum perindungan
konsumen, UUPK telah mengatur perlindungan
kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga
diharapkan terciptanya perekonomian yang sehat,51 ) Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam
Pembangunan Nasional , Binacipta bandung, tanpa tahun, hlm. 11-13. Lihat juga Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia,
Binacipta Bandung, 1988, hlm. 10-20. Konteks hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sebagai istilah
aslinya law as a tool of social engineering telah mengalami reduksi makna yaitu menyangkut pula aspek birokrasinya, sehingga konsepnya law as a
tool of social and bureaucratic engineering (lihat Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis , Kencana Jakarta, 2006, hlm. 4).
202
terlebih dalam menghadapi suasana persaingan
perdagangan bebas.52)
Perlindungan konsumen merupakan masalah
kepentingan manusia oleh karenanya menjadi harapan
bagi semua bangsa di dunia untuk dapat
mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen
adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang
satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling
ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan
pemerintah. Selain itu yang lebih penting adalah
bahwa konsumen itu adalah setiap orang yang
menggunakan barang dan/atau jasa. Politik hukum
perlindungan konsumen harus berusaha membuat kaidah-
kaidah yang akan menentukan bagaimana seharusnya
pelaku usaha berbuat dan menurut J.B Daliyo, bagian
dari substansi politik hukum (perlindungan konsumen)
akan terletak di bidang studi mengenai teknik
perundang-undangan.53)
Seperti telah disampaikan Soediman
Kartohadiprodjo, bahwa politik hukum adalah
pemikiran yang menjadi dasar Negara turut campur
52 ) Perdagangan bebas adalah sebuah sistem ekonomi antar negara disuatu kawasan untuk memberikan kebebasan dalam eksport-import
barang dan jasa tanpa bea/pajak. Tetapi Perdagangan Bebas akan mempengaruhi situasi dan kondisi Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial
Budaya dan Pertahanan Keamanan (IPOLEKSOSBUDHANKAM) di kawasantersebut.
53 ) J.B Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum , Penerbit Kerjasama APTIK dengan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm. 142.
203
pada hukum. Berkaitan dengan itu, maka pemahaman
makna kepentingan umum/kepentingan konsumen dalam
negara kesejahteraan adalah penting untuk memberikan
jawaban tentang bagaimana melindungi kepentingan
umum bagi warga masyarakat. Masalah ini sering
muncul dalam mengimplementasikan konsep-konsep hukum
dalam pembangunan, untuk itu perlu pemahaman yang
mendalam dan landasan operasional, sehingga dapat
mengurangi berbagai penyimpangan atas dasar
kepentingan umum.54) Sudah barang tentu, tingkat
kepastian dan perlindungan hukum untuk masyarakat
54 ) Mengenai masalah ini lihat Prajudi Atmosudirdjo Dalam bukunya Hukum Administrasi Negara , Ghalia Indonesia Jakarta, hlm.27-29, telah
mengajukan 2 masalah besar mengenai bagaimana menjalankan kehendak pemerintah dan melayani masyarakat umum. Pertama bagaimana melindungi kepentingan umum daripada masyarakat dan kepentingan
privat daripada para warga masyarakat? Kedua Persoalan pada administrasi negaranya itu sendiri, yaitu bagaimana mengembangkan
sistem pengambilan keputusan yang efisien (cepat, cermat, dan tepat) dan teori atau doktrin tentang kepentingan umum dan hak asasi
warga masyarakat, apa yang harus ditanam dan dikembangkan, yang mudah dimengerti dan praktis operasional.
204
dalam politik hukum perlindungan konsumen55),
merupakan sarana hukum yang harus menjawabnya.
Sedangkan berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 beserta amandemennya, politik hukum
perlindungan konsumen di Indonesia adalah:
a. Kebersamaan peranan konsumen dan pelaku usaha;
b. Keseimbangan kemajuan konsumen dan pelaku usaha;
c. Efisiensi yang berkeadilan dalam hubungan
transaksional antara konsumen dan pelaku usaha;
d. Berkelanjutan dalam pengembangan konsumen dan
pelaku usaha;
e. Berwawasan lingkungan dalam pengembangan konsumen
dan pelaku usaha;
f. Kemandirian konsumen dan pelaku usaha. 56)
Berkenaan dengan pemikiran bahwa politik hukum
itu adalah menyangkut pekerjaan negara, maka
implementasi politik hukum perlindungan konsumen
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang55 ) Politik hukum perlindungan konsumen sendiri, menurut Johannes
Gunawan dapat dirumuskan sebagai pemikiran dasar tentang campur tangan negara melalui badan eksekutif, legislatif dan yudikatif
pada penciptaan hukum, penerapan hukum, dan pengembangan hukum perlindungan konsumen di suatu negara. Politik hukum perlindungan
konsumen sebagaimana terkandung di dalam UUD 1945 akan menentukan struktur perubahan UUPK, dan selanjutnya struktur perubahan tersebut akan menentukan orientasi, substansi, konstruksi,
sistematika, gramatika UUPK yang baru. Lihat� Johannes Gunawan, Penyelesaian Sengketa Konsumen. Kelembagaan Perlindungan Konsumen.
Panduan Focus Group Discussion (FGD) Penyempurnaan Materi Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional Bidang Penelitian Dan Pengembangan Tahun 2011, hlm.3.
56 ) Ibid.
205
Perlindungan Konsumen dapat berarti implementasi
politik hukum perlindungan konsumen yang dilakukan
oleh negara terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Seperti dijelaskan Johannes Gunawan, bahwa
politik hukum perlindungan konsumen yang berlaku
saat ini dapat diketahui dari UUPK dan UUPK telah
menganut kesederajatan posisi konsumen dan pelaku
usaha, dengan meniadakan ketimpangan posisi konsumen
dan pelaku usaha yang terjadi sebelum UUPK. Di masa
depan masih terdapat berbagai hal yang perlu
redefinisi atau modifikasi pengaturan di dalam
amandemen UUPK, sehingga kesederajatan posisi
konsumen dan pelaku usaha dapat lebih terwujud. 57)
Demikian pun menurut Inosentius Samsul,
politik hukum perlindungan konsumen dalam UUPK
sangat jelas. Politik hukum yang paling utama adalah
meningkatkan posisi tawar konsumen tanpa harus
mengabaikan kepentingan pelaku usaha. Oleh karena
itu, kehadiran UUPK dapat melahirkan suatu praktek
kegiatan ekonomi yang adil, demokratis, dan efisien,
serta berdaya saing tinggi, sehingga produk bangsa
kita tidak saja dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia, tetapi sesuai dengan standar kebutuhan57 ) Johannes Gunawan, Membangun Politik Hukum Perlindungan Konsumen
Berlandaskan Kesederajatan Konsumen dan Pelaku Usaha , Makalah disampaikan pada Diskusi yang diadakan LPKSM Sukmantara dan UNPAS, tanggal 18 April 2005 di Aula UNPAS.
206
konsumen mancanagara. Dengan demikian, seharusnya
kehadiran dari UUPK sekaligus mendorong perbaikan
sistem produksi, distribusi, dan perdagangan barang
dan jasa yang lebih aman dan efisien. Dengan
demikian salah satu substansi dari politik hukum
perlindungan konsumen adalah pemenuhan standar
produk sesuai dengan standar produk internasional.
Pada sisi lain, politik hukum perlindungan konsumen
harus pula memperhatikan lokalitas sejalan dengan
desentralisasi. Misalnya, adalah upaya penguatan
lembaga-lembaga lokal, serta pemanfaatan produk-
produk lokal dalam memenuhi kebutuhan konsumen. 58)
Sebagai bentuk politik hukum lain dalam UUPK,
dengan terbentuknya UU No. 8 Tahun 1999, maka
Indonesia menganut pemikiran bahwa perlu Undang-
Undang khusus, namun tetap diakui norma-norma hukum
perlindungan konsumen pada undang-undang sektoral.
Untuk mempertegas kerangka pemikiran ini, maka
penjelasan UUPK menyatakan bahwa Undang-undang
tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan
merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur
tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada
terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan58 ) Inosentius Samsul, 10 Tahun Mencari Format Politik Hukum Perlindungan
Konsumen di Indonesia, makalah Seminar 10 Tahun UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum
Universitas Pasundan, Bandung, bertempat di Ruang Laboratorium Fakultas Hukum UNPAS, Jln, Lengkong Besar N0. 68 Bandung, pada hari
Senin, 20 April 2009.
207
Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang.59)
Keberadaan UUPK sebagai UU Payung perlu dilihat dari
perspektif ini. Artinya, tidak ada niat dari
keberadan UUPK untuk mengesampingkan undang-undang
sektoral yang sudah ada dan yang akan ada. Secara
eksplisit disebutkan untuk memperkuat sistem hukum
yang sudah ada. Dalam tataran praktis kita dapat
mengatakan bahwa Undang-Undang Perbankan (sebagai
contoh-pen) telah memuat ketentuan yang melindungi
kepentingan nasabah, namun norma yang terdapat dalam
UU Perbankan perlulah diperkuat dengan visi dan
prinsip perlindungan konsumen. Posisi sebagai
undang-undangan payung ini yang menjadi dasar untuk
mengatakan bahwa hubungan undang-undang sektoral
dengan UUPK bukanlah hubungan lex specialis dan lex
generalis. Melainkan hubungan yang bersifat saling
melengkapi dan memperkuat (complementary).60)
Politik hukum berikutnya yang terdapat dalam
UUPK yakni menyangkut elemen substansi, struktur,
dan budaya hukum perlindungan konsumen. Analisis
Elemen substansi, struktur, dan budaya hukum
perlindungan konsumen. Persoalan penting apabila
dilihat dari 3 (tiga) elemen sistem hukum
perlindungan konsumen yaitu substansi, struktur, dan
59 ) Dalam penjelasan umum UUPK disebutkan ada 23 Undang-Undang sektoral yang sudah memuat norma perlindungan konsumen.
60 ) Inosentius Samsul, Loc.cit.
208
budaya hukum, khususnya yang berkaitan dengan
peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen,
aparat penegak hukum perlindungan konsumen,
sarana/prasarana perlindungan konsumen, budaya hukum
masyarakat, dan informasi/sosialisasi UUPK.61)
Pertama, Substansi Hukum. Harus diakui ada
beberapa kelemahan UUPK, baik kelemahan dalam arti
ketidakjelasan rumusan, maupun kelemahan dalam arti
memang sama sekali belum diatur. Kelemahan yang
kurang jelas misalnya, apakah pengertian konsumen
sudah memadai ? Siapakah yang disebut konsumen dalam
sistem hukum kita? Orang perorangan kah, atau juga
termasuk badan hukum/perkumpulan. Sebagian pakar
menafsirkan setiap orang yang dirumuskan dalam Pasal
1 angka 2 UUPK adalah orang perorangan dalam arti
natural person. Kalau demikian, bagaimana dengan
pengguna yang bukan masuk dalam katagori natural� �
person ? Sedangkan kekosongan yang memang belum
diatur adalah mengenai konsep tanggungjawab mutlak
(strict liability). Menurut Inosentius, beban pembuktian
terbalik, bukanlah konsep strict liability yang
sesungguhnya. Konsep ini diharapkan dapat memperkuat
sistem perlindungan konsumen di masa-masa yang akan
datang. 62)
61 ) Inosentius Samsul, op.cit.62 ) Ibid.
209
Kedua, Struktur Hukum. Aparatur penegak hukum
seperti polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan bahkan
aparatur pemerintah merupakan bagian dari struktur
hukum ini. Dari segi aparatur, saya dapat
mengatakan bahwa selama 10 tahun ini, masih diwarnai
oleh pemahaman yang sangat terbatas, bahkan kurang
memadai pada hampir semua elemen aparatur penegak
hukum. Polisi masih ragu, apakah delik konsumen
delik aduan atau delik biasa. Hakim dalam beberapa
kasus walaupun dalam surat gugatan telah mendasarkan
pada UUPK, tetapi memeriksa dan memutus perkara
tidak menggunakan UUPK. 63)
Ketiga, Budaya Hukum. Khusus untuk budaya hukum,
saya hanya menyoroti suatu perkembangan positif,
yaitu kesadaran dari masyarakat untuk menyampaikan
keluhanya ke surat kabar. Setiap hari harian Kompas
memuat surat pembaca di halaman 7 yang sebagian
besar isinya mengenai pelanggaran terhadap hak-hak
konsumen. Bagi saya, keberanian konsumen untuk
menyampaikan complain melalui surat kabar merupakan
suatu perkembangan yang sangat menggembirakan.
Walaupun, saya tetap melihat budaya hukum kita yang
masih didominasi oleh pemikiran kuantitas. Artinya
kalau jumlahnya kecil nggak usah dipersoalkan.
Bahkan, kalau yang meninggal baru satu pun tidak
63 ) Ibid.
210
apa-apa, karena masih untung yang meninggal� �
jumlahnya tidak lebih dari satu orang.64)
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) adalah perangkat peraturan
perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan
perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha
sehingga tercipta perekonomian yang sehat.
Menurut Johannes Gunawan, sejak tanggal 20
April 1999 telah dimulai lembaran baru dalam upaya
perlindungan konsumen di Indonesia, karena pada
tanggal tersebut disahkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Sejak saat tersebut telah memperoleh pengaturan
tersendiri. Tentu timbul pertanyaan, mengapa
konsumen Indonesia yang sejak bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya tidak pernah
memperoleh perhatian, apalagi perlindungan hukum
secara khusus, tetapi secara tiba-tiba pada tahun
tersebut mendapatkan prioritas perhatian dan
perlindungan hukum yang luar biasa.65)
Untuk membahas politik hukum perlindungan
konsumen dalam UUPK, tentunya perlu diketahui juga
bagian-bagian dari suatu undang-undang, yang menurut64 ) Ibid.65 ) Lihat Johannes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia dan
Perdagangan Bebas , dalam Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas , Percikan gagasan tentang hukum IV Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.113.
211
Maria Farida Indrati Soeprapto, bentuk suatu
peraturan perundang-undangan agar memenuhi fungsinya
sebagai sumber pengenal (kenvorm), dibagi atas empat
bagian besar, yaitu :
a. Penamaan,
b. Pembukaan,
c. Batang tubuh, dan
d. Penutup.66)
Dari keempat bagian tersebut, jika dikaitkan
dengan UUPK, maka bagian yang paling berkaitan
dengan politik hukum perlindungan konsumen menurut
hemat penulis adalah bagian Pembukaan, Batang tubuh,
Penutup dan Penjelasan Umum67). 66 ) a. Penamaan . Penamaan (institule ) suatu peraturan perundang-undangan
adalah uraian singkat tentang isi peraturan perundang-undangan, yang didahului dengan penyebutan jenis, nomor dan tahun
pembentukannya, serta kalimat singkat yang mencerminkan isi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
b. Pembukaan . Pembukaan (aanhef ) suatu peraturan perundang- undangan terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu konsiderans dan
dasar hukum pembentukannya serta judul peraturan perundang- undangan tersebut.
c. Batang tubuh . Batang tubuh suatu peraturan perundang-undangan memuat rumusan-rumusan yang merupakan materi muatan peraturan
perundang-undangan tersebut.d. Penutup . Penutup suatu peraturan perundang-undangan merupakan
bagian akhir suatu peraturan perundang-undangan yang terdiri atas rumusan perintah pengundangan, pengesahan, pengundangan,
penandatanganan dari pejabat yang berwenang, dan penyebutan Lembaran Negara peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Lihat Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang undangan. Dasar- Dasar dan Pembentukannya , Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998,
hlm.157-158.67 ) Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan pada umumnya terdiri
atas dua bagian besar, yaitu Penjelasan Umum yang berisi penjelasan yang bersifat umum, misalnya latar belakang pemikiran secara
sosiologis, politis, budaya, dan sebagainya yang menjadi
212
Apabila kita mengamati struktur/isi undang-
undang ini, maka ruang lingkup perlindungan konsumen
dapat dilihat dalam struktur UU tersebut. UUPK
berisi 15 bab dengan jumlah pasal 65 buah, yang
secara lengkap dapat dirinci sebagai berikut :
Bab I : Ketentuan Umum (Ps. 1)
Bab II : Asas dan Tujuan (Ps. 2-3)
Bab III : Hak dan Kewajiban (Ps. 4-7)
Bab IV : Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
(Ps. 8-17)
Bab V : Ketentuan Pencantuman Klausula Baku (Ps.
18)
Bab V I : Tanggungjawab Pelaku Usaha (Ps. 19-28)
Bab V II : Pembinaan dan Pengawasan (Ps. 29-30)
Bab V III : Badan Perlindungan Konsumen Nasional
(Ps. 31-43)
Bab IX : Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (Ps. 44)
Bab X : Penyelesaian Sengketa (Ps. 45-48)
Bab XI : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Ps.
49-58)
Bab XII : Penyidikan (Ps. 59)
Bab XIII : Sanksi (Ps. 60-63) pertimbangan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan
tersebut. Di samping penjelasan yang bersifat umum terdapat pula Penjelasan Pasal demi Pasal yang merupakan penjelasan pasal-pasal
yang bersangkutan. Lihat Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang undangan. Dasar-Dasar dan Pembentukannya , Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1998, hlm.174.
213
Bab XIV : Ketentuan Peralihan (Ps. 64)
Bab XV : Ketentuan Penutup (Ps. 65)
Dari struktur UUPK tersebut, khususnya jika
melihat ke 15 bab tersebut, kita dapat melihat
bagaimana gambaran politik hukum perlindungan
konsumen dalam undang-undang ini, melalui beberapa
pemikiran yang menjadi dasar Politik Hukum
Perlindungan Konsumen.
Di Indonesia, signifikansi pengaturan hak-hak
konsumen melalui Undang-undang merupakan bagian dari
implementasi sebagai suatu negara kesejahteraan,
karena Undang-Undang Dasar 1945 di samping sebagai
konstitusi politik juga dapat disebut konstitusi
ekonomi, yaitu konstitusi yang mengadung ide negara
kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh
sosialisme sejak abad 19. 68)
Oleh karena itu kebijakan pembangunan hukum
ekonomi harus merupakan skema kebijakan yang di
dalamnya melibatkan partisipasi publik, dari
berbagai kelompok dan golongan dan menjadi pedoman
bagi pemegang mandat untuk merealisasikannya
sehingga hukum dapat berfungsi dengan baik.69)
68 ) Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen (Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak) , Penerbit Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas
Universitas Indonesia, 2004, hlm. 7.69 ) Sebagaimana dijelaskan oleh Hoebel bahwa paling tidak ada empat
fungsi dasar hukum yaitu :1) Menetapkan hubungan antara anggota masyarakat, dengan menunjukan
jenis-jenis tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang
214
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)
merupakan piranti hukum yang melindungi konsumen
tidak dimaksudkan untuk mematikan pelaku usaha
tetapi justru sebaliknya akan dapat mendorong
lahirnya pelaku usaha yang tangguh dan handal
sehingga mampu bersaing di pasar global yang
terbentang di hadapan kita. Untuk itu sering muncul
di benak kita, apakah kelebihan UUPK jika
dibandingkan dengan Undang-Undang lain ?
Melihat potret UUPK tersebut di atas, maka
secara umum tampak berbagai rambu-rambu yang
merupakan politik hukum perlindungan konsumen telah
ditempatkan sebagai upaya pemberdayaan para
konsumen. Hak-hak konsumen diupayakan secara memadai
dan optimal, dipermudah aksesnya untuk mendapatkan
ganti rugi dan jumlah tuntutan yang menyangkut
kepentingan konsumen. Selanjutnya terdapat rumusan
tentang sistem pertanggungjawaban pelaku usaha yang
pada prinsipnya sudah terdapat politik hukum yangdilarang;
2) Menentukan pembagian kekuasaan dan memerinci siapa-siapa saja yang boleh secara syah menentukan paksaan serta siapa yang harus
menaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yangefektif;
3) Menyelesaikan sengketa; dan4) Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, dengan cara merumuskan kembali hubungan antara para anggota masyarakat itu.
Edwin M. Schur, Law and Society , a Sociological Perspective; New York; Random House, 1968. hlm. 78-82. dalam Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama,
Bandung, 2004, hlm. 152.
215
mengarah pada keseimbangan antara konsumen dengan
pelaku usaha, terutama dengan dicantumkannya hak dan
kewajiban para pihak. Dengan demikian yang dimaksud
dengan politik hukum perlindungan konsumen telah
tercermin dalam peraturan perundang-undangan tentang
konsumen (UUPK), yang mencakup unsur/komponen
struktural, substansial dan komponen kultural.
UUPK yang sudah dibuat tidak selalu dapat
dilihat sebagai penjamin kepastian hukum bagi
konsumen dalam mencari/menjamin keadilan atau
memperoleh hak-hak nya. Masih cukup banyak
ketentuan-ketentuan dalam UUPK yang tumpul, tidak
mempan memotong kesewenang-wenangan pelaku usaha
atau kebijakan pemerintah yang merugikan konsumen,
dan tidak mampu menegakkan keadilan serta tidak
dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus
diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus
penyelewengan terhadap hak-hak konsumen yang
seharusnya bisa dijawab oleh undang-undang ini.
Dengan kata lain, implementasi politik hukum
perlindungan konsumen yang dilakukan oleh negara
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen masih cukup banyak yang perlu
disesuaikan dengan kondisi perkembangan masyarakat
saat ini, untuk itu kita akan melihat bagaimana
216
politik hukum perlindungan konsumen yang ada dalam
UUPK.
Implementasi politik hukum dalam pengembangan
UUPK, hanya mungkin terealisasi sebagai suatu aksi
penuntutan pemenuhan hak yang efektif
implementasinya jika ditunjang (atau setidak-
tidaknya tidak terkendala) oleh kekuatan struktur
dan/atau kultur yang ada. Menurut Soetandyo
Wignjosoebroto, struktur dan kultur yang konservatif
tentu merupakan penghalang serius yang akan
menggagalkan segala upaya untuk memberantas buta
hukum dan buta hak di kalangan warga masyarakat yang
mencita-citakan kesamaan kedudukan di hadapan
kekuasaan dan hukum.70)
Politik hukum yang baik adalah yang mampu
diimplementasikan dan sekaligus dapat mencapai hasil
yang diinginkan. Namun kebanyakan dari kita
seringkali beranggapan bahwa setelah politik hukum
itu disahkan oleh pihak yang berwenang, dengan
sendirinya politik hukum ini akan dapat
dilaksanakan, dan hasilnya pun akan mendekati
seperti yang diharapkan oleh pembuat politik hukum
tersebut. Padahal, sebenarnya sifat politik hukum
itu komplek dan saling tergantung, karena menyangkut
berbagai faktor dan kepentingan, sehingga dapat70 ) Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat. Perkembangan dan
Masalah , Bayumedia Publishing, Malang, 2008, hlm. 175.
217
diprediksi sebelumnya, akan sedikit yang
terealisasi.71) Politik hukum dalam praktiknya lebih
di pengaruhi oleh karakter figur pimpinan eksekutif
(baik pusat maupun daerah), dibanding dengan
legislatif maupun yudikatif, termasuk politik hukum
perlindungan konsumen.
Politik hukum perlindungan konsumen yang
diatur dalam UUPK menjamin adanya kepastian hukum
dan pemberdayaan konsumen terhadap segala perolehan
kebutuhan konsumen, yang bermula dari benih hidup�
dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman, dan
segala kebutuhan diantara keduanya. Kepastian hukum�
itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk
memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan
pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya
serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila
dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia
kebutuhan konsumen tersebut. Pemberdayaan konsumen
itu adalah dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan
dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga
mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan
menghindari berbagai ekses negatif pemakaian,
penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
71 ) Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional , disampaikan untuk kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 18 Agustus 1997, hlm.
8. Bandingkan dengan pendapat beliau di dalam makalahnya, Aktualisasi Hak Asasi Manusia di Indonesia , (PAHAM), Fakultas Hukum Unpad, Bandung,
Desember 1998.
218
kebutuhannya. Disamping itu, juga kemudahan dalam
proses menjalankan sengketa konsumen yang timbul
karena kerugian yang timbul karena kerugian harta
bendanya, keselamatan/kesehatan tubuhnya, penggunaan
dan/atau pemanfaatan produk konsumen.
Dengan kata lain, politik hukum perlindungan
konsumen yang diatur dalam UUPK telah mencakup
substansi hukum, struktur hukum, kultur/budaya
hukum, dan penegakan hukum dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Politik hukum perlindungan konsumen dalam UUPK
yang menyangkut substansi sudah terakomodasi dalam
UUPK secara sistematis, namun hal-hal/bidang-
bidang tertentu masih diatur dalam peraturan
perundangan terpisah, seperti tentang HAKI dan
lingkungan hidup. Penjelasan umum UUPK menyebutkan
: �Di samping itu, Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan
merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur
tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada
terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang
materinya melindungi kepentingan konsumen.Di
kemudian hari masih terbuka kemungkinan
terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya
memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi
219
konsumen. Dengan demikian, Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang
mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di
bidang perlindungan konsumen.
Politik hukum perlindungan konsumen dalam UUPK
yang menyangkut substansi dapat juga dilihat dari
adanya ketentuan yang mengatur mengenai sanksi
yang mencakup sanksi administratif, perdata dan
pidana, kebijakan bagi pelaku usaha kecil,
pengaturan mengenai beban pembuktian terbalik,
ketentuan pencantuman klausula baku, ketentuan
penentuan ganti rugi, selain itu pengaturan
mengenai pembentukan tiga lembaga perlindungan
konsumen, yang salah satunya adalah pembentukan
Badan Perlindungan Konsumen Nasional dimana salah
satu tugasnya adalah menyebarluaskan informasi
melalui media mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada
konsumen; Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan
untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi
terhadap konsumen (wise consumerism).
2. Sementara itu politik hukum perlindungan konsumen
yang menyangkut struktur, UUPK menyediakan upaya
bagi konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha
untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu
diselesaikan melalui pengadilan maupun di luar
220
pengadilan (BPSK), bahkan pengaduan konsumen dapat
disampaikan ke BPKN, LPKSM, maupun ke Dinas
Perindag setempat.
Untuk itu, UUPK mengatur upaya untuk
mengoptimalkan baik kualitas maupun kuantitas
lembaga-lembaga/instansi-instansi yang diamanatkan
untuk dibentuk oleh UUPK, seperti BPKN di tiap
propinsi, BPSK ditiap kabupaten/kota dan LPKSM.
Selain itu, penyamaan persepsi dan sosialisasi
UUPK ke institusi pangadilan, kejaksaan dan
kepolisian, maupun ke lembaga legislatif.
3. Sedangkan politik hukum perlindungan konsumen
dalam UUPK yang menyangkut kultur, dapat dilihat
dari pengaduan/keluhan konsumen yang sudah mulai
diselesaikan baik melalui pengadilan maupun
melalui BPSK, selain di sampaikan melalui media
masa, BPKN, LPKSM maupun melalui Dinas Perindag
setempat. Hak konsumen akan informasi yang baik,
benar dan jujur perlu digalakan melalui program
sosialisasi. Peningkatan kesadaran konsumen juga
ditunjang dengan mendorong pembinaan dan
pembentukan LPKSM.
4. Dalam hal penegakannya, UUPK yang sudah dibuat
tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin
kepastian hukum bagi konsumen dalam
mencari/menjamin keadilan atau memperoleh hak-hak
221
nya. Masih cukup banyak ketentuan-ketentuan dalam
UUPK yang tumpul, tidak mempan memotong
kesewenang-wenangan pelaku usaha atau kebijakan
pemerintah yang merugikan konsumen, dan tidak
mampu menegakkan keadilan serta tidak dapat
menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus
diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus
penyelewengan terhadap hak-hak konsumen yang
seharusnya bisa dijawab oleh undang-undang ini.
Dengan kata lain, penegakan politik hukum
perlindungan konsumen yang dilakukan oleh negara
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen masih cukup banyak yang
belum sesuai dengan kondisi perkembangan
masyarakat saat ini.
Penegakan politik hukum perlindungan konsumen
dalam UUPK, hanya mungkin terealisasi sebagai
suatu aksi penuntutan pemenuhan hak yang efektif
implementasinya jika ditunjang (atau setidak-
tidaknya tidak terkendala) oleh kekuatan struktur
dan/atau kultur yang ada. Menurut Soetandyo
Wignjosoebroto, struktur dan kultur yang
konservatif (mis, sikap nrimo-pen) tentu merupakan� �
penghalang serius yang akan menggagalkan segala
upaya untuk memberantas buta hukum dan buta hak di
kalangan warga masyarakat yang mencita-citakan
222
kesamaan kedudukan di hadapan kekuasaan dan
hukum.72)
Politik hukum perlindungan konsumen dalam UUPK
dalam penegakannya menghadapi berbagai kendala
yang disebabkan oleh banyak faktor, yang menurut
Yohannes Gunawan, salah satu faktor tersebut
adalah kekeliruan, kekurangan, dan kelemahan
pengaturan di dalam UUPK yang dimaksud di atas
terdapat dalam aspek :
a. Gramatika Undang-undang;
b. Sistematika Undang-undang;
c. Tanggungjawab Pelaku Usaha;
d. Penyelesaian Sengketa Konsumen; dan
e. Kelembagaan.73)
Namun demikian, UUPK hadir sebagai instrumen
bagi semua orang khususnya para konsumen di
Indonesia untuk mendapatkan perlindungan, sekalipun
undang-undang tersebut belum optimal melindungi
konsumen. Akan tetapi kehadiran undang-undang
tersebut sangat dibutuhkan dan mutlak untuk mengatur
pesatnya lalu-lintas perdagangan barang/dan atau
72 ) Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat. Perkembangan danMasalah , Bayumedia Publishing, Malang, 2008, hlm. 175.
73 ) Johannes Gunawan, Penyelesaian Sengketa Konsumen. Kelembagaan Perlindungan Konsumen . Panduan Focus Group Discussion (FGD)
Penyempurnaan Materi Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Badan Perlindungan Konsumen Nasional Bidang Penelitian Dan Pengembangan Tahun 2011, hlm.2.
223