Perbandingan Hukum Keluarga
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Perbandingan Hukum Keluarga
PENDAHULUAN
Manusia adalah mahkluk sosial sehingga dalam kehidupanbermasyarakat manusia tidak dapat hidup sendiri. Dalamkenyataannya, manusia hidupnya berdampingan yang satu dengan yanglainnya dan saling membutuhkan. Dalam masyarakat maka agarhubungan antara manusia yang satu dan yang lainnya dapat berjalandengan tertib maka diperlukan hukum yang mengatur hubungantersebut. Peraturan hukum yang berlaku di dalam suatu kelompoksosial, ketentuannya tidak tersebar bebas dan terpisah-pisah,melainkan ada dalam satu kesatuan keseluruhan yang masing-masingkeseluruhan itu berlaku sendiri-sendiri. Peraturan tersebut salahsatunya adalah Peraturan perundang-undangan dan hukum adat.
Untuk masalah perkawinan di Indonesia, berpedoman kepada Undang-undang R.I No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan bagimasyarakat hukum adat, berlaku hukum adatnya masing-masing, jikamasyarakat hukum adat itu menghendakinya. Hukum adat adalahserangkain aturan yang tidak tertulis tapi mempunyai sanksi kuatbagi masyarakat. Artinya walaupun tidak tertulis namun mempunyaiupaya memaksa bagi masyarakat.
Berikut ini adalah perbandingan Hukum perkawinan yang diaturdalam UU No.1 Tahun 1974 dengan Hukum Adat di Minangkabau DanAdat Batak.
1
I. UNDANG-UNDANG No. 1 1974
Pengertian dasar perkawinan berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
berdasarkan pasal 1 adalah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Arti dalam pasal 1 ini
adalah sangat dalam sekali dimana dinyatakan bahwa untuk
kebahagiaan, ini berarti selama berlangsungnya kehidupan
perkawinan hendaklah tiap-tiap pasangan harus membahagiakan
pasangannya dan tentunya dalam upaya membahagiakan pasangannya
haruslah bertindak yang menyenangkan, melindungi dan memberikan
cinta kasih. Berdasarkan makna kebahagiaan ini seharusnya juga
telah tersirat dan tersurat bahwa tindakan kekerasan dalam rumah
tangga tidak diperkenankan dan juga akan melanggar pasal 1 ini
dan sekaligus melanggar Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Selanjutnya kata Kekal dalam pasal ini juga mempunyai
implikasi yang dalam yaitu seharusnya dalam perkawinan tersebut
dihindari adanya perceraian perkawinan yang telah dilangsungkan
2
kecuali berdasarkan kondisi dan keadaan tidak memungkinkan atau
ada ketentuan-ketentuan yang dilanggar.
Selain itu dalam pasal 1 ini juga tertera “berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” ini menjelaskan bahwa unsur agama
dilibatkan dalam perkawinan dan ditegaskan dalam Pasal 2 dimana
dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan juga
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sehingga jelaslah bahwa perkawinan berdasarkan
Undang-Undang R.I Nomor 1 tahun 1974 terdapat unsur agama
didalamnya.
Adapun dalam undang-undang tersebut juga diatur dalam pasal
3 ayat 1 berbunyi : Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang
pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya
boleh mempunyai seorang suami, tetapi dalam ayat 2 berbunyi :
Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan, sehingga dapat disimpulkan bahwa undang-undang
ini memperbolehkan poligami yang bersyarat. Adapun syarat-syarat
perkawinan ditentukan sesuai Pasal 6 yaitu:
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai dan
2) untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua
orang tua.
3
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang
tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang
disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah
seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah
lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal
ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
Pasal 7 secara jelas mencantumkan bahwa (1) Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
4
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun,
walaupun ada perkecualiannya dalam hal penyimpangan terhadap ayat
(1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau
Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
pihak wanita.
Adapun mengenai harta benda diatur oleh Pasal 35 dan Pasal 36,
adapun Pasal 35 yaitu:
1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama.
2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36:
1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak.
2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya.
Adapun Perkawinan dapat putus diatur oleh Pasal 38 yaitu
a. kematian,
b. perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Mengenai kedudukan anak diatur oleh Pasal 42 yaitu:
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
5
dan Pasal 43 :
1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Adapun UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur
mengenai Waris.
II. HUKUM ADAT MINANG
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah
satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa
peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil
keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan
juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yakni pihak
keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri, menjadi
salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah
gadang mereka.
Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya
Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut :
1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.
2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari
suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari
atau luhak yang lain.
3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai
orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
6
4. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber
penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas
dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi
syarat menurut adat Minang
Ada lima ciri sistem matrilineal dalam masyarakat adat
Minangkabau, yaitu :
1. Keturuan dihitung menurut garis ibu;
2. Suku terbentuk dari garis ibu;
3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya
(eksogami);
4. Perkawinan bersifat semendo bertandang yaitu suami
mengunjungi rumah isterinya;
5. Hak-hak dan pusaka di wariskan oleh mamak kepada
keponakannya yaitu dari saudara laki-laki ibu kepada anak
dari saudara perempuan;
Dari lima ciri sistem matrilineal yang dikemukakan di atas
terlihat bahwa tiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan
diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya (eksogami).
Dikatakan bahwa sistem eksogami, seseorang hanya boleh menikah
dengan orang diluar sukunya. Artinya seseorang tidak
diperbolehkan menikah dengan orang dalam satu klan atau satu
sukunya.
Harta itu dibedakan atas empat bahagian, keempat pembahagian itu
adalah sebagai berikut:
1. Harta Pusaka Tinggi
7
2. Harta Pusaka Rendah
3. Harta Pencaharian
4. Harta Suarang
Walaupun ada perbedaan pendapat, namun demikian yang berkaitan
dengan pusaka tinggi, tidak ada perbesaan pendapat.
Harta Pusaka Tinggi
Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun
temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu.
Adanya harta pusaka tinggi berkaitan dengan sejarah lahirnya
kampuang dan koto yang diikuti dengan membuka sawah ladang
sebagai sumber kehidupan. Pembukaan tanah untuk sawah ladang ini
sebagai hasil galuah taruko oleh pendiri kampung dan koto. Hasil
usaha nenek moyang inilah yang diwarisi oleh generasi sekarang
dan paling kurang setelah lima generasi disebut sebagai harta
pusaka tinggi.
Harta pusaka tinggi yang berupa material seperti sawah
ladang, kebun dan lain-lain disebut juga pusako. Disamping itu
ada pula harta pusaka tinggi yang berupa moril yaitu gelar pusaka
kaum yang diwarisi secara turun temurun yang disebut dalam adat
sako.
Harta pusaka tinggi dikatakan juga pusako basalin (pusaka
bersalin), karena persalinan terjadi dari generasi ke generasi
selanjutnya.
Harta Pusaka Rendah
8
Mengenai harta pusaka rendah ada perbedaan pendapat dan hal
ini bisa mengundang permasalahan dalam pewarisan. H.K. Dt. Gunung
Hijau dalam kertas kerjanya waktu Seminar Hukum Adat Minangkabau
mengatakan, bahwa pusaka rendah adalah segala harta yang
diperdapat dari hasil usaha pekerjaan dan pencaharian sendiri.
Harta ini boleh dijual dan digadaikan menurut keperluan dengan
sepakat ahli waris. Pendapat ini mendapat tanggapan dari berbagai
pihak dan diantaranya dari Damsiwar SH., yang mengatakan bahwa
yang dimaksud harta pusaka rendah oleh H.K Dt Gunuang Hijau
sebenarnya adalah harta pencaharian. Selanjutnya dikatakan bahwa
harta pusaka rendah itu merupakan harta tambahan bagi sebuah kaum
dan ini diperoleh dengan membuka sawah, ladang atau perladangan
baru, tetapi masih di tanah milik kaum. Jadi tanah yang dibuka
itu sudah merupakan pusaka tinggi, hanya saja pembukaan sawah
ladangnya yang baru. Pendapat yang kedua terakhir merupakan
pendapat yang umum karena dilihat dari sudut harta selingkar
kaum. Maksudnya harta tambahan itu seluruh anggota kaum merasa
berhak secara bersama.
Harta pencaharian
Harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh dengan tembilang
emas. Harta pencaharian adalah harta pencaharian suami istri yang
diperolehnya selama perkawinan. Harta pencaharian yang diperoleh
dengan membeli atau dalam istilah adatnya disebut tembilang emas
berupa sawah, ladang, kebun dan lain-lain. Bila terjadi
perceraian maka harta pencaharian ini dapat mereka bagi.
9
Harta suarang
Suarang asal katanya “surang” atau “seorang”. Jadi harta
suarang adalah harta yang dimiliki oleh seseorang, baik oleh
suami maupun istri sebelum terjadinya perkawinan. Setelah terjadi
perkawinan status harta ini masih milik masing-masing. Jadi harta
suarang ini merupakan harta pembawaan dari suami dan harta istri,
dan merupakan harta tepatan. Karena harta ini milik “surang” atau
milik pribadi, maka harta itu dapat diberikannya kepada orang
lain tanpa terikat kepada suami atau istrinya. Oleh sebab itu
dalam adat dikatakan “suarang baragiah, pancaharian dibagi”
(suarang dapat diberikan, pencaharian dapat dibagi). Maksudnya
milik seorang dapat diberikan kepada siapa saja, tetapi harta
pencaharian bisa dibagi bila terjadi perceraian.
Pewarisan Harta Pusaka
Ada yang perlu untuk dijelaskan yang berkaitan dengan
pewarisan ini, yaitu waris, pewaris, warisan dan ahli waris.
Waris adalah orang yang menerima pusaka. Pewaris adalah orang
yang mewariskan. Warisan adalah benda yang diwariskan: Pusaka
peninggalan. Sedangkan ahli waris semua orang yang menjadi waris.
Hubungan antara yang mewariskan dengan yang menerima warisan
dapat dibedakan atas dua bahagian, yaitu:
Waris Nasab atau Waris Pangkat
10
Waris nasab maksudnya antara si pewaris dengan yang menerima
warisan terdapat pertalian darah berdasarkan keturunan ibu. Harta
pusaka tinggi yang disebut pusako secara turun temurun yang
berhak mewarisi adalah anggota kaum itu sendiri yaitu pihak
perempuan. Hal ini sesuai dengan garis keturunan matrilineal.
Mengenai pewarisan gelar pusaka yang disebut sako sepanjang adat
tetap berlaku dari mamak kepada kemenakan laki-laki. Dalam
kewarisan sako ini dikatakan: Ramo-ramo sikumbang jatiKatik endah
pulanga bakudoPatah tumbuah hilang baganti Pusako lamo baitu pulo
Waris nasab yang berkaitan dengan sako dapat pula dibagi atas dua
bahagian yaitu:
a. Warih Nan Salurui (waris yang selurus).
Dalam adat dikatakan saluruih ka ateh, saluruih kabawah nan
salingkuang cupak adat, nan sapayuang sapatagak. (selurus keatas
selurus kebawah, yang sepayung sepetagak). Artinya keturunan
setali darah sehingga delapan kali keturunan atau disebut juga
empat keatas, empat kebawah menurut ranji yang benar. Sebuah
contoh, jika anggota kaum sudah berkembang, yang pada mulanya
dari tiga orang nenek. Turunan laki-laki dari ketiga nenek ini
sama-sama berhak untuk memakai pusaka kaum yang dimiliki. Gelar
pusaka kaum tadi tidak boleh pindah atau digantikan kepada
lingkungan kaum lainnya, selain dari kaum keluarga ketiga nenek
yang sekaum ini dalam adat dikatakan “suku dapek disakoi, pusako
dipusakoi” (suku dapat disukui pusaka dapat dipusakai), maksudnya
gelar pusaka dapat digantikan dan harta pusaka boleh dipusakai.
b. Warih Nan Kabuliah (waris yang dibenarkan)
11
Dalam adat dikatakan “jauah dapek ditunjuakkan dakek dapek
dikakokkan, satitiak bapantang hilang, sabarih bapantang lupo”,
(jauh dapat ditunjukkan, dekat dapat dipegang, setitik berpantang
hilang, sebaris berpantang lupa). Maksudnya belahan yang asli
dari sebuah kaum yang sampai sekarang masih dapat dicari asal
usulnya secara terang. Dalam adat hal seperti ini disebut “gadang
nan bapangabuangan, panjang nan bapangarek-an, laweh nan
basibiran, anak buah nan bakakambangan”, (besar yang
berpengabuan, panjang yang berpengeretan, luas yang bersibiran,
anak buah yang berkekembangan). Sebab contoh sebuah anggota kaum
pindah kesebuah nagari yang berdekatan dan kemudian menetap
sebagai penduduk di nagari tersebut karena sudah berkembang maka
mereka ingin untuk mengangkat gelar kebesaran kaum. Pada kaum
yang ditinggalkannya mempunyai gelar pusaka Datuak Marajo. Di
tempat baru belahan kaum yang pindah ini dapat pula mengangkat
gelar Datuak Marajo. Sepanjang adat yang dapat memakai gelar
pusaka kaum adalah orang yang ada pertalian darah. Kemenakan
bertali adat, bertali budi tidak dibenarkan memakai gelar
kebesaan kaum karena tidak bertali darah. Adat mengatakan “sako
tatap pusako baranjak” (sako tetap, pusaka beranjak), artinya
gelar pusaka tidak dapat berpindah dari lingkungan keturunan asli
kecuali harta pusaka. Beranjaknya harta pusaka sperti adanya
pemindahan hak yang terjadi karena pupus, gadai dan lain-lain.
Gelar pusaka kaum tidak dibenarkan dipakai oleh orang di luar
kaum, ini dengan alasan bila terjadi akan membawa dampak negatif
dari kaum tersebut. Adat mengatakan dimano batang tagolek,
12
disinan cindawan tumbuah (dimana batang rebah disana cendawan
tumbuh). Ketentuan adat ini mempunyai pengertian bila gelar
pusaka itu dipakai oleh seseorang, maka menurut adat orang yang
memakai gelar pusaka ini akan diikuti kebesarannya oleh harta
pusaka yang ada pada kaum itu. Dengan arti kata semua harta
pusaka tinggi yang ada pada kaum itu berada di tangannya, dan
kaum tadi akan bermamak kepada penghulu baru ini yang tidak
seketurunan dengannya. Kalau ini terjadi dikatakan “kalah limau
dek banalu” (kalah limau karena benalu).
Warih Sabab atau Warih Badan (waris sebab atau waris badan).
Waris “sebab” maksudnya hubungan antara pewaris dengan yang
menerima warisan tidaklah karena hubungan darah, tetapi karena
sebab. Di dalam adat dikatakan “basiang dinan tumbuah, menimbang
dinan ado”, bersiang bila sudah ada yang tumbuh, menimbang bila
sudah ada). Waris sebab ini seperti karena bertali adat, berali
buat, dan bertali budi. Waris sebab hanya yang menyangkut harta
pusaka. Waris sebab ini dibedakan atas tiga bahagian, yaitu:
a. Warih Batali Adat (waris bertali adat).
Waris bertali adat seperti hubungan sesuku. Mungkin terjadi
sebuah kaum punah, dengan arti keturunan untuk melanjutkan kaum
itu tidak ada lagi menurut garis ke-ibuan, akhirnya harta pusaka
dari kaum yang punah tersebut dapat jatuh kepada kaumyang sesuku
dengannya di kampung tersebut.
13
b. Warih Batali Buek (waris bertali buat)
Buek artinya peraturan atau undang-undang. Waris bertali buek
maksudnya waris berdasarkan peraturan yaitu peraturan sepanjang
yang dibenarkan oleh adat.
Warih batali buek ini berlaku “manitiak mako ditampuang, maleleh
mako di palik, sasuai mako takanak, saukua mako manjadi” (menitik
maka ditampung, meleleh maka dipalit, sesuai maka dikenakan,
seukur maka menjadi). Sebagai contoh seorang bapak yang sudah
punah keluarganya maka atas mufakat dengan waris bertali adat si
bapak dapat memberikan harta pusaka kepada anaknya, tetapi tidak
gelar pusaka dari kaum.
c. Warih Batali Budi (waris bertali budi).
Menjadi waris karena kebaikan budi dari kaum yang
didatanginya karena rasa kasihan dan tingakah lakunya yang baik
sehingga sudah dianggap anak kemenakan, dia diberi hak atas harta
pusaka namun demikian tergantung pada kata mufakat dalam kaum
tersebut. Waris menurut adat Minangkabau tidak ada istilah
“putus” karena dalam warisan ini adat menggariskan “adanya” waris
yang bertali adat, bertali buek, bertali budi dan hal ini bila
ada kesepakatan kaum. Bila kaum itu punah warisan jatuh kepada
waris yang bertalian dengan suku dan bila yang sesuku tidak ada
pula harta pusaka kaum yang punah itu jatuh pada nagari. Ninik
mamak nagarilah yang menentukan. Adapun selebihnya Perkawinan
Adat Minangkabau sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.
14
III. HUKUM ADAT BATAK
Hukum Perkawinan adat Batak pada dasarnya sesuai dengan UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya saja ada beberapa
perbedaan yang menjadi khas adat Batak yaitu mengenai hak waris
sebagai berikut :
Pengertian Hukum Waris
Hukum waris dapat dikategorikan1 sebagai berikut :
1. Warisan
Harta kekayaan dari pewaris yang telah meninggal, baik harta yang
telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi.
2. Peninggalan
Harta warisan yang belum terbagi atau tidak terbagi bagi karena
salah seorang pewaris masih hidup.
3. Pusaka, dibagi menjadi 2
a. Pusaka Tinggi
Harta peninggalan dari zaman leluhur dan sifatnya tidak
dapat dibagi-bagi
b. Pusaka Rendah
Peninggalan dari kakek atau nenek dansifatnya tidak dapat
dibagi-bagi.
4. Harta Perkawinan
1 Hilman Hadikusuma (2003:10-13)
15
Harta kekayaan yang dimiliki oleh suami istri disebabkan adanya
ikatan perkawinan.
5. Harta Penantian.
Harta yang dikuasai dan dimiliki oleh suami istri ketika
perkawinan itu terjadi.
Hukum Waris Adat
Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta
kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya2
Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara
bagaimana dari abad kea bad penerusan dan peralihan dari harta
kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada
generasi3.
Hukum Adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta
kekayaan baik yang materiil maupun immaterial yang manakah dari
seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya4
Pembagian Waris
Yang merupakan obyek dalam hukum waris adat Batak adalah harta
warisan,yaitu harta benda yang dimiliki oleh si pewaris yang
diteruskan semasa hidupnya atau yangditinggalkan oleh pewaris
yang sudah meninggal dunia; dan diteruskan dalam keadaan
tidak terbagi-bagi, jenis-jenisnya adalah:
2 Ter Haar, 1950; 1973 Supomo, 19674 Soerojo Wignjodipoero
16
a. Harta Bawaan
Harta kekayaan yang dibawa oleh suami dan istri ke dalam
perkawinan sebagaimodal di dalam kehidupan rumah tangga yang
bebas dan berdiri sendiri. Telah menjadiasas umum yang berlaku di
dalam hukum adat bahwa suami dan istri yang memperolehharta yang
berasal dari warisan atau hibah, akan tetap menjadi milik suami
dan istri. Harta bawaan itu dapat berupa tanah, kebun dan
perhiasan lainnya. Pada masyarakat Batak pemberian harta benda
dari orang tua kepada anak-anaknya, baik laki-laki atau perempuan
disebut dengan "Holong Ate" (kasih sayang).
b. Harta Pencaharian Bersama Suami Istri
Harta ini adalah harta yang diperoleh oleh keluarga itu sebagai
hasil kerja samaantara suami dan istri dalam rangka biaya
kehidupan rumah tangga, selama berjalannyakehidupan rumah tangga.
Semua pendapatan dan penghasilan suami istri yang didapatselama
perkawinan mereka. Harta ini kelak dapat ditinggalkan dan
diteruskan kepadaketurunan mereka.
c. Kedudukan atau Jabatan dalam Adat
Kedudukan sebagai "Raja Adat” hal ini bersifat turun temurun,
akan tetapi biasanya jabatan ini hanya diturunkan atau diteruskan
oleh anak laki-laki
Masyarakat Batak yang menganut sistim kekeluargaan yang
Patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari ayah. Hal ini
terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang turun dari
marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa
17
kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat
dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita.
Dalam pembagian warisan orang tua yang mendapatkan warisan adalah
anak laki – laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari
orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan
mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan
untuk anak laki–laki juga tidak sembarangan, karena pembagian
warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki–laki yang paling
kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan mendapatkan
warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim,
pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi
karena berkaitan dengan system kekerabatan keluarga juga
berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan
Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan
budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun
besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat
bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut
dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian
orang yang lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam
hal pembagian warisannya.
Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak
kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat,
harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang
tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang
mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak
dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka
18
turun – temurun keluarga, karena yang berhak memperoleh pusaka
turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang
mewariskan.
Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di
sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal
pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh:
Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari
Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali) untuk hak
pakai dan untuk memenuhi hidup sampai menikah.
Dalam adat Batak yang masih terkesan Kuno, peraturan adat –
istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan
dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Pihak
paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu atau
disebut Siapudan, yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau
Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata
oleh semua anak laki – laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh
untuk pergi meninggalkan kampong halaman nya, karena anak
Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus ayahnya,
misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka itu
Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan).
Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka
hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak
perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya.
Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh
warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan
dari si pewaris sampai mereka berkeluarga.
19
IV. TINJAUAN UMUM KEDUDUKAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ADAT
Pada masyarakat patrilineal (Batak, Nias dan Bali, Lampung,
Ambon), kehadiran anak di luar perkawinan akan menjadikan suatu
permasalahan yang cukupmemprihatinkan baik bagi seorang perempuan
yang melahirkan. Dimana dengan adanya anak lahir di
luarperkawinan itu akan menimbulkan banyak pertentangan-
pertentangan di antara keluarga, kekerabatannya maupun dalam
masyarakat adat setempat.
Pada masyarakat patrilineal khususnya Batak, kedudukan anak luar
kawin meskipun anak laki-laki dianggap bukan sebagai ahli waris,
bukan sebagaipenerus marga dari orangtua (bapaknya) secara
biologis. Oleh karena anak laki-laki luar kawin dilahirkan dari
perkawinan yang tidak sah, sehingga anak luar kawin hanya ada
hubungan dengan ibu atau dengan kerabat ibunya saja.
Pada suku Bali, kedudukan anak luar kawin (astra) dimungkinkan
dapat diterima dalam masyarakatdengan alasan-alasan tertentu.
Misalnya mengesahkananak luar kawin dengan melakukan pembayaran
adat dan diupacarai adat, sehingga anak luar kawin dapatditerima
dan tinggal dalam masyarakat serta dapatberhubungan dengan
ibunya.
Sedangkan kekerabatan matrilineal, apabila seorang ibu yang tidak
kawin dan melahirkan anak (anak luar kawin), maka dalam hubungan
hukum anak luar kawin tersebut hanya mempunyai ibu dan tidak
mempunyai bapak
20
1. PENCATATAN
UU NO.1 TAHUN 1974
Diatur dalam Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi:“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yangberlaku.”
Mengapa perlu dilakukan pencatatan: untuk mempermudahpembuktian jika terjadi suatu permasalahan yang tidakdiinginkan dalam perkawinan, sebagai alat bukti perkawinan,agar dapat dilindungi oleh Negara.
HUKUM ADAT
Adat Minangkabau & Adat Batak:
Dalam hukum adat baik hukum adat minangkabau maupun bataktidak dikenal yang namanya pencatatan. Perlangsunganperkawinan biasanya ditandai dengan adanya upacaraperkawinan berdasarkan adat masing-masing (yaitu adat batakdan minangkabau) yang dipimpin oleh kepala adat. Dengan halitu, masyarakat dianggap mengetahui bahwa telah terjadisuatu perkawinan yang sah.
2. ASAS MONOGAMI
UU NO.1 TAHUN 1974
Diatur dalam pasal 3 ayat (1), dan pasal 4 ayat (2), yang berbunyi:Pasal 3 ayat (1):
21
“Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyaiseorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”
Bahwa undang-undang ini menganut asas monogami.
Pasal 4 ayat (2):
“Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepadaseorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:1) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,2) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,3) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.”
HUKUM ADAT
1) Perbandingan Pasal 3 ayat (1) dengan Hukum AdatMinangkabau:
Pada masa lalu, Budaya poligami bagi lelaki di Minangmasih dijunjung tinggi oleh masyarakat, tetapi turutmenjadi konflik. Sebagian orang dengan kelas ekonomistandar menganggap bahwa monogami lah yang lebih baikbaik berlaku, tetapi untuk kalangan orang berada, masihsering terjadi poligami. Hal ini didasari oleh wanita-wanita yang minang jaman dahulu yang tidak bersekolah,dan hanya diperbolehkan mengurus urusan rumah tanggasaja.
Tetapi, dengan berjalannya waktu, hal tersebut berubah,bahwa dengan dijunjungnya agama islam, dan mayoritas adatminangkabau beragama islam, maka asas monogamy lah yangdipakai.
22
2) Perbandingan Pasal 3 ayat (1) dengan Hukum Adat Batak5:
Dalam adat batak juga menganut asas monogami, bahwaseorang laki-laki hanya boleh menikahi satu perempuansaja, tidak boleh lebih, karena berdasarkan hukum agama,dan dalam perkawinan ini diikuti dengan sanksi adat danagama, yang tujuannya agar perkawinan tersebut kekalabadi.
Perbandingan Pasal 4 ayat (2) dengan Poligami AdatBatak6:
Dalam masyarakat batak zaman dulu, sebelum kekristenanmemasuki tano batak, poligami atau beristeri lebih darisatu adalah masalah biasa. Alasan utama yang mengabsahkantindakan poligami dari seorang suami adalah apabila istripertama tidak atau belum berhasil melahirkan anak setelahbeberapa lama perkawinan mereka. Atau istri pertama itumelahirkan anak-anak perempuan tapi tidak dikaruniai anaklaki-laki.
Dalam situasi demikian, seorang istri akan memberikanpersetujuannya, bahkan memberikan dorongan untuk kawinlagi dengan perempuan lain untuk mendapatkan anak-anakataupun untuk mendapatkan anak laki-laki. Sehinggapoligami pada zaman itu adalah sah menurut aturan adatdalihan natolu.Setelah kekristenan menggantikan religimasyarakat batak kuno, aturan gereja dengan tegasmelarang poligami. Warga yang melakukannya akandikucilkan (dipabali) dari keanggotaan gereja.
5 http://duniahukumonline.blogspot.com/2012/10/poligami-dalam-masyarakat-batak.html6 http://edymulyasaputra.blogspot.com/2009/12/poligami-dalam-tinjauan-asas-hukum-adat.html
23
3. SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
UU NO.1 TAHUN 1974
Diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), yang berbunyi:Pasal 6 ayat (1):“Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami isteridapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, sesuai puladengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujuioleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan.
Pasal 6 Ayat (2):“Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.”7
HUKUM ADAT
1) Perbandingan Pasal 6 ayat (1) degan Hukum AdatMinangkabau:
Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunyaPerkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut8:
Kedua calon mempelai harus beragama Islam. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal
dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal darinagari atau luhak yang lain.
Kedua calon mempelai dapat saling menghormati danmenghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
7 http://asiamaya.com/konsultasi_hukum/ist_hukum/umur_dewasa.htm8 http://bachremifananda.wordpress.com/2013/10/15/adat-perkawinan-minangkabau/
24
Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumberpenghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syaratdiatas dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinanyang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang.
2) Perbandingan Pasal 6 ayat (1) degan Hukum Adat Batak:
Kedua calon mempelai haruslah berbeda marga. Tidakboleh terjadinya suatu perkawinan terhadap orang-orangyang memiliki marga yang sama. Sifat ini dinamakanAsymmetrish connubium.
Kedua calon memepelai saling mencitai satu sama lain Persetujuan kedua orang tua dari kedua mempelai dalam
proses pelamaran atau yang disebut Mangarisika. Pihak pria harus membayarkan jujur kepada mempelai
wanita. Hal ini dinamakan Marhata Sinamot.
Perbandingan Pasal 6 ayat (2) dengan Kebiasaan Hukum Adat:
Hukum adat (baik minangkabau maupun batak)tidak mengenalbatas umur belum dewasa dan dewasa. Dalam hukum adat tidakdikenal fiksi seperti dalam hukum perdata. Hukum adatmengenal secara isidental saja apakah seseorang itu,berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakapatau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatanhukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula. Artinyaapabila ia dapat memperhitungkan dan memeliharakepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yangdihadapinya itu dapat digolongkan sebagai suatu kedewasaan.9
Namun apabila kedewasaan itu dihubungkan dengan perbuatankawin, hukum adat mengakui kenyataan bahwa apabila seorangpria dan seorang wanita itu kawin dan dapat anak, mereka
9 http://zahrasyalwati.blogspot.com/2012/01/perkawinan-dibawah-mmur-menurut-hukum.html
25
dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka itu baru 15 tahun.sebaliknya apabila mereka dikawinkan tidak dapatmenghasilkan anak karena belum mampu berseksual, merekadikatakan belum dewasa10.
4. PERJANJIAN PERKAWINAN
UU NO.1 TAHUN 1974
Diatur dalam Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi:“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak ataspersetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan olehPegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihakketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
HUKUM ADAT
Perbandingan Pasal 29 ayat (1) dengan Hukum Adat minangkabaudan Batak:Dalam adat minang dan batak, perjanjian kawin hanya terjadipada saat pelamaran saja, tentang bagaimana kedua mempelaisetuju dan mengikatkan anak nya dengan mempelai lain darikeluarga lain. Perjanjian juga biasanya mengatur masalahjujur yang diberikan terhadap para mempelai, apakah hanyadari salah satu pihak atau timbal balik. 11
5. HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
UU NO.1 TAHUN 197410 http://yonariza.files.wordpress.com/2013/08/hukum-adat-minangkabau.pdf11 http://yonariza.files.wordpress.com/2013/08/hukum-adat-minangkabau.pdf, Op.cit.
26
Diatur dalam pasal 35 ayat (2) yang berbunyi:“Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yangdiperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawahpenguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”
HUKUM ADAT
Perbandingan Pasal 35 ayat (2) dengan Hukum Adat Minangkabaudan Adat Batak:Pengaturan terhadap harta perkwainan secara keseluruhan samadengan apa yang diatur dalam UU No.1 tahun 1974, bahwa hartabawaan dan harta yang didapatkan sebelum perkawinandilangsungkan, berada dibawah kekuasaan setiap pihak masing-masing, sepanjang tidak diatur atau diperjanjikan lain.Tetapi untuk harta yang didapatkan setelah perkawinan,otomatis menjadi harta bersama, dan tidak dapat dipisahkan.
6. PUTUSNYA PERKAWINAN
UU NO.1 TAHUN 1974
Diatur dalam Pasal 38 yang berbunyi:“Perkawinan dapat putus karena:
a. kematian,b. perceraian, danc. atas keputusan Pengadilan.
HUKUM ADAT
Perbandingan Pasal 38 dengan Hukum Adat Minangkabau dan AdatBatak:Dalam hukum adat, sebab-sebab putusnya perkawinan yaitu:a. Isteri berzinah
27
b. Kemandulan isteric. Impotensi suamid. Suami meninggalkan isteri sangat lama ataupun isteri berkelakuan tidak
sopane. Suami tidak memberikan nafkah terhadap isteri dan anaknya.f. Adanya keinginan bersama dari kedua belah pihak, adanya persetujuan
antara suami dan isteri untuk bercerai.
Salah satu contohnya yaitu apabila isteri berzinah,perceraian yang disebabkan karena perzinahan sudah barantentu membawa akibat-akibat yang merugikan bagi isteri.Apabila ia tertangkap basah dan dibunuh, maka suaminya tidakusah membayar uang bangun. Apabila ia tidak dibunuh, maka iaatau keluarganya wajib membayar uang delik yang kadang-kadang sebesar jujur dan harus mengembalikan jujur dandisamping itu ia juga kehilangan haknya atas bagian hartagono-gini. Pada umumnya, perceraian-perceraian yang terjadiitu dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan dalam agama.12
12 Dinamika Hukum Kekerabatan Indonesia, Dian Sufiati, Jakarta,2012
28
KESIMPULAN
1. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada umumnya
merupakan intisari dari hukum adat perkawinan dari berbagai
suku di Indonesia termasuk hukum adat Minang dan hukum adat
Batak.
2. Adapun mengenai harta perkawinan UU No. 1 Tahun 1974 hanya
mengatur secara garis besar saja dimana detailnya
menyesuaikan dengan hukum adat masing-masing.
3. Mengenai perceraian umumnya hampir sama dengan UU No. 1
Tahun 1974 dan agama yang dianut oleh masing-masing adat.
4. Kedudukan Anak berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 hanyalah
perkawinan yang dicatat secara hukum perkawinan sehingga
anak yang diluar perkawinan tidak memiliki hak seperti anak
yang sah sesuai UU No. 1 Tahun 1974, tetapi berdasarkan
hukum adat ada kearifan dimana bila keluarga yang
bersangkutan memahami dan menyadari dan siap berbagi,
umumnya kedudukan anak diluar perkawinan masih dapat
diakomodasikan walaupun terkadang haknya masih dibawah anak
yang sah.
5. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, tidak mengatur
mengenai hak waris tetapi masing-masing adat seperti
Minagkabau dan Batak memiliki hukum mengenai hak waris
tersebut.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. http://bachremifananda.wordpress.com/2013/10/15/adat-
perkawinan-minangkabau/2. http://asiamaya.com/konsultasi_hukum/ist_hukum/
umur_dewasa.htm3. http://duniahukumonline.blogspot.com/2012/10/poligami-dalam-
masyarakat-batak.html4. http://edymulyasaputra.blogspot.com/2009/12/poligami-dalam-
tinjauan-asas-hukum-adat.html5. http://zahrasyalwati.blogspot.com/2012/01/perkawinan-
dibawah-mmur-menurut-hukum.html6. http://pernikahanadat.blogspot.com/2010/01/pernikahan-adat-
batak.html7. http://yonariza.files.wordpress.com/2013/08/hukum-adat-
minangkabau.pdf8. Dinamika Hukum Kekerabatan Indonesia, Dian Sufiati, Jakarta,
20129. UU R.I No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan10. http://adatperkawinanminangkabau.blogspot.com/2011/12/
adat-perkawinan-di-minang-kabau.html
30
11. http://dery1.wordpress.com/2010/05/18/hak-waris-adat- minang-adil-kah-renungan-dan-kajian/
12. Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Pewarisan Ditinjau DariSistem Hukum Kekerabatam Adat, Ellyne Dwi Poespasari,Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya
13. http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/16983/4/Chapter%20I.pdf
14. M. Ali Boediarto (2012). Hukum Waris – KompilasiAbstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung
15. Dr. Elfrida R. Gultom. SH., M.H.H (2012). Hukum WarisAdat di Indonesia
16. Bahan-Bahan Kuliah Hukum Adat di Fakultas HukumUniversitas Trisakti (2012)
17. Andrian, Andri Hadi, Arlyza Ismah, Elfrida Suryanti,windra Ruben (2013). Kedudukan Perempuan Dalam PembagianWaris Dalam Sistem Patrilineal Suku Batak. From Daya PerwiraDalimi (2012). Rangkuman Hukum Keluarga dan Waris Adat. Fromhttp://www.academia.edu/6489182
18. Ayankharyati (2012). Hukum Adat Waris. Fromhttp://ayankharyati.blogspot.com/2012/12/
19. Frans Cory Melando Ginting (2009) . Perkembangan HukumWaris Adat Pada Masyarakat Adat Batak Karo (Studi KecamatanMerdeka, Kabupaten Karo). Fromhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5440/1/10E00159.pdf
31