Perbandingan Hukum Keluarga

32
PENDAHULUAN Manusia adalah mahkluk sosial sehingga dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak dapat hidup sendiri. Dalam kenyataannya, manusia hidupnya berdampingan yang satu dengan yang lainnya dan saling membutuhkan. Dalam masyarakat maka agar hubungan antara manusia yang satu dan yang lainnya dapat berjalan dengan tertib maka diperlukan hukum yang mengatur hubungan tersebut. Peraturan hukum yang berlaku di dalam suatu kelompok sosial, ketentuannya tidak tersebar bebas dan terpisah-pisah, melainkan ada dalam satu kesatuan keseluruhan yang masing-masing keseluruhan itu berlaku sendiri-sendiri. Peraturan tersebut salah satunya adalah Peraturan perundang-undangan dan hukum adat. Untuk masalah perkawinan di Indonesia, berpedoman kepada Undang- undang R.I No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan bagi masyarakat hukum adat, berlaku hukum adatnya masing-masing, jika masyarakat hukum adat itu menghendakinya. Hukum adat adalah serangkain aturan yang tidak tertulis tapi mempunyai sanksi kuat bagi masyarakat. Artinya walaupun tidak tertulis namun mempunyai upaya memaksa bagi masyarakat. Berikut ini adalah perbandingan Hukum perkawinan yang diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 dengan Hukum Adat di Minangkabau Dan Adat Batak. 1

Transcript of Perbandingan Hukum Keluarga

PENDAHULUAN

Manusia adalah mahkluk sosial sehingga dalam kehidupanbermasyarakat manusia tidak dapat hidup sendiri. Dalamkenyataannya, manusia hidupnya berdampingan yang satu dengan yanglainnya dan saling membutuhkan. Dalam masyarakat maka agarhubungan antara manusia yang satu dan yang lainnya dapat berjalandengan tertib maka diperlukan hukum yang mengatur hubungantersebut. Peraturan hukum yang berlaku di dalam suatu kelompoksosial, ketentuannya tidak tersebar bebas dan terpisah-pisah,melainkan ada dalam satu kesatuan keseluruhan yang masing-masingkeseluruhan itu berlaku sendiri-sendiri. Peraturan tersebut salahsatunya adalah Peraturan perundang-undangan dan hukum adat.

Untuk masalah perkawinan di Indonesia, berpedoman kepada Undang-undang R.I No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan bagimasyarakat hukum adat, berlaku hukum adatnya masing-masing, jikamasyarakat hukum adat itu menghendakinya. Hukum adat adalahserangkain aturan yang tidak tertulis tapi mempunyai sanksi kuatbagi masyarakat. Artinya walaupun tidak tertulis namun mempunyaiupaya memaksa bagi masyarakat.

Berikut ini adalah perbandingan Hukum perkawinan yang diaturdalam UU No.1 Tahun 1974 dengan Hukum Adat di Minangkabau DanAdat Batak.

1

I. UNDANG-UNDANG No. 1 1974

Pengertian dasar perkawinan berdasarkan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

berdasarkan pasal 1 adalah ikatan lahir bathin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Arti dalam pasal 1 ini

adalah sangat dalam sekali dimana dinyatakan bahwa untuk

kebahagiaan, ini berarti selama berlangsungnya kehidupan

perkawinan hendaklah tiap-tiap pasangan harus membahagiakan

pasangannya dan tentunya dalam upaya membahagiakan pasangannya

haruslah bertindak yang menyenangkan, melindungi dan memberikan

cinta kasih. Berdasarkan makna kebahagiaan ini seharusnya juga

telah tersirat dan tersurat bahwa tindakan kekerasan dalam rumah

tangga tidak diperkenankan dan juga akan melanggar pasal 1 ini

dan sekaligus melanggar Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan.

Selanjutnya kata Kekal dalam pasal ini juga mempunyai

implikasi yang dalam yaitu seharusnya dalam perkawinan tersebut

dihindari adanya perceraian perkawinan yang telah dilangsungkan

2

kecuali berdasarkan kondisi dan keadaan tidak memungkinkan atau

ada ketentuan-ketentuan yang dilanggar.

Selain itu dalam pasal 1 ini juga tertera “berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa” ini menjelaskan bahwa unsur agama

dilibatkan dalam perkawinan dan ditegaskan dalam Pasal 2 dimana

dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan juga

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku, sehingga jelaslah bahwa perkawinan berdasarkan

Undang-Undang R.I Nomor 1 tahun 1974 terdapat unsur agama

didalamnya.

Adapun dalam undang-undang tersebut juga diatur dalam pasal

3 ayat 1 berbunyi : Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang

pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya

boleh mempunyai seorang suami, tetapi dalam ayat 2 berbunyi :

Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk

beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak

yang bersangkutan, sehingga dapat disimpulkan bahwa undang-undang

ini memperbolehkan poligami yang bersyarat. Adapun syarat-syarat

perkawinan ditentukan sesuai Pasal 6 yaitu:

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon

mempelai dan

2) untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai

umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua

orang tua.

3

3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah

meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan

kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup

diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang

tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam

keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin

diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga

yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus

keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat

menyatakan kehendaknya.

5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang

disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah

seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan

pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat

tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas

permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah

lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2),

(3) dan (4) pasal ini.

6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal

ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan

lain.

Pasal 7 secara jelas mencantumkan bahwa (1) Perkawinan hanya

diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)

4

tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun,

walaupun ada perkecualiannya dalam hal penyimpangan terhadap ayat

(1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau

Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun

pihak wanita.

Adapun mengenai harta benda diatur oleh Pasal 35 dan Pasal 36,

adapun Pasal 35 yaitu:

1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

bersama.

2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta

benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau

warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang

para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36:

1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak

atas persetujuan kedua belah pihak.

2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri

mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum

mengenai harta bendanya.

Adapun Perkawinan dapat putus diatur oleh Pasal 38 yaitu

a. kematian,

b. perceraian dan

c. atas keputusan Pengadilan.

Mengenai kedudukan anak diatur oleh Pasal 42 yaitu:

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”

5

dan Pasal 43 :

1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan

diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Adapun UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur

mengenai Waris.

II. HUKUM ADAT MINANG

Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah

satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa

peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil

keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan

juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yakni pihak

keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri, menjadi

salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah

gadang mereka.

Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya

Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut :

1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.

2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari

suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari

atau luhak yang lain.

3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai

orang tua dan keluarga kedua belah pihak.

6

4. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber

penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.

Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas

dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi

syarat menurut adat Minang

Ada lima ciri sistem matrilineal dalam masyarakat adat

Minangkabau, yaitu :

1. Keturuan dihitung menurut garis ibu;

2. Suku terbentuk dari garis ibu;

3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya

(eksogami);

4. Perkawinan bersifat semendo bertandang yaitu suami

mengunjungi rumah isterinya;

5. Hak-hak dan pusaka di wariskan oleh mamak kepada

keponakannya yaitu dari saudara laki-laki ibu kepada anak

dari saudara perempuan;

Dari lima ciri sistem matrilineal yang dikemukakan di atas

terlihat bahwa tiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan

diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya (eksogami).

Dikatakan bahwa sistem eksogami, seseorang hanya boleh menikah

dengan orang diluar sukunya. Artinya seseorang tidak

diperbolehkan menikah dengan orang dalam satu klan atau satu

sukunya.

Harta itu dibedakan atas empat bahagian, keempat pembahagian itu

adalah sebagai berikut:

1. Harta Pusaka Tinggi

7

2. Harta Pusaka Rendah

3. Harta Pencaharian

4. Harta Suarang

Walaupun ada perbedaan pendapat, namun demikian yang berkaitan

dengan pusaka tinggi, tidak ada perbesaan pendapat.

Harta Pusaka Tinggi

Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun

temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu.

Adanya harta pusaka tinggi berkaitan dengan sejarah lahirnya

kampuang dan koto yang diikuti dengan membuka sawah ladang

sebagai sumber kehidupan. Pembukaan tanah untuk sawah ladang ini

sebagai hasil galuah taruko oleh pendiri kampung dan koto. Hasil

usaha nenek moyang inilah yang diwarisi oleh generasi sekarang

dan paling kurang setelah lima generasi disebut sebagai harta

pusaka tinggi.

Harta pusaka tinggi yang berupa material seperti sawah

ladang, kebun dan lain-lain disebut juga pusako. Disamping itu

ada pula harta pusaka tinggi yang berupa moril yaitu gelar pusaka

kaum yang diwarisi secara turun temurun yang disebut dalam adat

sako.

Harta pusaka tinggi dikatakan juga pusako basalin (pusaka

bersalin), karena persalinan terjadi dari generasi ke generasi

selanjutnya.

Harta Pusaka Rendah

8

Mengenai harta pusaka rendah ada perbedaan pendapat dan hal

ini bisa mengundang permasalahan dalam pewarisan. H.K. Dt. Gunung

Hijau dalam kertas kerjanya waktu Seminar Hukum Adat Minangkabau

mengatakan, bahwa pusaka rendah adalah segala harta yang

diperdapat dari hasil usaha pekerjaan dan pencaharian sendiri.

Harta ini boleh dijual dan digadaikan menurut keperluan dengan

sepakat ahli waris. Pendapat ini mendapat tanggapan dari berbagai

pihak dan diantaranya dari Damsiwar SH., yang mengatakan bahwa

yang dimaksud harta pusaka rendah oleh H.K Dt Gunuang Hijau

sebenarnya adalah harta pencaharian. Selanjutnya dikatakan bahwa

harta pusaka rendah itu merupakan harta tambahan bagi sebuah kaum

dan ini diperoleh dengan membuka sawah, ladang atau perladangan

baru, tetapi masih di tanah milik kaum. Jadi tanah yang dibuka

itu sudah merupakan pusaka tinggi, hanya saja pembukaan sawah

ladangnya yang baru. Pendapat yang kedua terakhir merupakan

pendapat yang umum karena dilihat dari sudut harta selingkar

kaum. Maksudnya harta tambahan itu seluruh anggota kaum merasa

berhak secara bersama.

Harta pencaharian

Harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh dengan tembilang

emas. Harta pencaharian adalah harta pencaharian suami istri yang

diperolehnya selama perkawinan. Harta pencaharian yang diperoleh

dengan membeli atau dalam istilah adatnya disebut tembilang emas

berupa sawah, ladang, kebun dan lain-lain. Bila terjadi

perceraian maka harta pencaharian ini dapat mereka bagi.

9

Harta suarang

Suarang asal katanya “surang” atau “seorang”. Jadi harta

suarang adalah harta yang dimiliki oleh seseorang, baik oleh

suami maupun istri sebelum terjadinya perkawinan. Setelah terjadi

perkawinan status harta ini masih milik masing-masing. Jadi harta

suarang ini merupakan harta pembawaan dari suami dan harta istri,

dan merupakan harta tepatan. Karena harta ini milik “surang” atau

milik pribadi, maka harta itu dapat diberikannya kepada orang

lain tanpa terikat kepada suami atau istrinya. Oleh sebab itu

dalam adat dikatakan “suarang baragiah, pancaharian dibagi”

(suarang dapat diberikan, pencaharian dapat dibagi). Maksudnya

milik seorang dapat diberikan kepada siapa saja, tetapi harta

pencaharian bisa dibagi bila terjadi perceraian.

Pewarisan Harta Pusaka

Ada yang perlu untuk dijelaskan yang berkaitan dengan

pewarisan ini, yaitu waris, pewaris, warisan dan ahli waris.

Waris adalah orang yang menerima pusaka. Pewaris adalah orang

yang mewariskan. Warisan adalah benda yang diwariskan: Pusaka

peninggalan. Sedangkan ahli waris semua orang yang menjadi waris.

Hubungan antara yang mewariskan dengan yang menerima warisan

dapat dibedakan atas dua bahagian, yaitu:

Waris Nasab atau Waris Pangkat

10

Waris nasab maksudnya antara si pewaris dengan yang menerima

warisan terdapat pertalian darah berdasarkan keturunan ibu. Harta

pusaka tinggi yang disebut pusako secara turun temurun yang

berhak mewarisi adalah anggota kaum itu sendiri yaitu pihak

perempuan. Hal ini sesuai dengan garis keturunan matrilineal.

Mengenai pewarisan gelar pusaka yang disebut sako sepanjang adat

tetap berlaku dari mamak kepada kemenakan laki-laki. Dalam

kewarisan sako ini dikatakan: Ramo-ramo sikumbang jatiKatik endah

pulanga bakudoPatah tumbuah hilang baganti Pusako lamo baitu pulo

Waris nasab yang berkaitan dengan sako dapat pula dibagi atas dua

bahagian yaitu:

a. Warih Nan Salurui (waris yang selurus).

Dalam adat dikatakan saluruih ka ateh, saluruih kabawah nan

salingkuang cupak adat, nan sapayuang sapatagak. (selurus keatas

selurus kebawah, yang sepayung sepetagak). Artinya keturunan

setali darah sehingga delapan kali keturunan atau disebut juga

empat keatas, empat kebawah menurut ranji yang benar. Sebuah

contoh, jika anggota kaum sudah berkembang, yang pada mulanya

dari tiga orang nenek. Turunan laki-laki dari ketiga nenek ini

sama-sama berhak untuk memakai pusaka kaum yang dimiliki. Gelar

pusaka kaum tadi tidak boleh pindah atau digantikan kepada

lingkungan kaum lainnya, selain dari kaum keluarga ketiga nenek

yang sekaum ini dalam adat dikatakan “suku dapek disakoi, pusako

dipusakoi” (suku dapat disukui pusaka dapat dipusakai), maksudnya

gelar pusaka dapat digantikan dan harta pusaka boleh dipusakai.

b. Warih Nan Kabuliah (waris yang dibenarkan)

11

Dalam adat dikatakan “jauah dapek ditunjuakkan dakek dapek

dikakokkan, satitiak bapantang hilang, sabarih bapantang lupo”,

(jauh dapat ditunjukkan, dekat dapat dipegang, setitik berpantang

hilang, sebaris berpantang lupa). Maksudnya belahan yang asli

dari sebuah kaum yang sampai sekarang masih dapat dicari asal

usulnya secara terang. Dalam adat hal seperti ini disebut “gadang

nan bapangabuangan, panjang nan bapangarek-an, laweh nan

basibiran, anak buah nan bakakambangan”, (besar yang

berpengabuan, panjang yang berpengeretan, luas yang bersibiran,

anak buah yang berkekembangan). Sebab contoh sebuah anggota kaum

pindah kesebuah nagari yang berdekatan dan kemudian menetap

sebagai penduduk di nagari tersebut karena sudah berkembang maka

mereka ingin untuk mengangkat gelar kebesaran kaum. Pada kaum

yang ditinggalkannya mempunyai gelar pusaka Datuak Marajo. Di

tempat baru belahan kaum yang pindah ini dapat pula mengangkat

gelar Datuak Marajo. Sepanjang adat yang dapat memakai gelar

pusaka kaum adalah orang yang ada pertalian darah. Kemenakan

bertali adat, bertali budi tidak dibenarkan memakai gelar

kebesaan kaum karena tidak bertali darah. Adat mengatakan “sako

tatap pusako baranjak” (sako tetap, pusaka beranjak), artinya

gelar pusaka tidak dapat berpindah dari lingkungan keturunan asli

kecuali harta pusaka. Beranjaknya harta pusaka sperti adanya

pemindahan hak yang terjadi karena pupus, gadai dan lain-lain.

Gelar pusaka kaum tidak dibenarkan dipakai oleh orang di luar

kaum, ini dengan alasan bila terjadi akan membawa dampak negatif

dari kaum tersebut. Adat mengatakan dimano batang tagolek,

12

disinan cindawan tumbuah (dimana batang rebah disana cendawan

tumbuh). Ketentuan adat ini mempunyai pengertian bila gelar

pusaka itu dipakai oleh seseorang, maka menurut adat orang yang

memakai gelar pusaka ini akan diikuti kebesarannya oleh harta

pusaka yang ada pada kaum itu. Dengan arti kata semua harta

pusaka tinggi yang ada pada kaum itu berada di tangannya, dan

kaum tadi akan bermamak kepada penghulu baru ini yang tidak

seketurunan dengannya. Kalau ini terjadi dikatakan “kalah limau

dek banalu” (kalah limau karena benalu).

Warih Sabab atau Warih Badan (waris sebab atau waris badan).

Waris “sebab” maksudnya hubungan antara pewaris dengan yang

menerima warisan tidaklah karena hubungan darah, tetapi karena

sebab. Di dalam adat dikatakan “basiang dinan tumbuah, menimbang

dinan ado”, bersiang bila sudah ada yang tumbuh, menimbang bila

sudah ada). Waris sebab ini seperti karena bertali adat, berali

buat, dan bertali budi. Waris sebab hanya yang menyangkut harta

pusaka. Waris sebab ini dibedakan atas tiga bahagian, yaitu:

a. Warih Batali Adat (waris bertali adat).

Waris bertali adat seperti hubungan sesuku. Mungkin terjadi

sebuah kaum punah, dengan arti keturunan untuk melanjutkan kaum

itu tidak ada lagi menurut garis ke-ibuan, akhirnya harta pusaka

dari kaum yang punah tersebut dapat jatuh kepada kaumyang sesuku

dengannya di kampung tersebut.

13

b. Warih Batali Buek (waris bertali buat)

Buek artinya peraturan atau undang-undang. Waris bertali buek

maksudnya waris berdasarkan peraturan yaitu peraturan sepanjang

yang dibenarkan oleh adat.

Warih batali buek ini berlaku “manitiak mako ditampuang, maleleh

mako di palik, sasuai mako takanak, saukua mako manjadi” (menitik

maka ditampung, meleleh maka dipalit, sesuai maka dikenakan,

seukur maka menjadi). Sebagai contoh seorang bapak yang sudah

punah keluarganya maka atas mufakat dengan waris bertali adat si

bapak dapat memberikan harta pusaka kepada anaknya, tetapi tidak

gelar pusaka dari kaum.

c. Warih Batali Budi (waris bertali budi).

Menjadi waris karena kebaikan budi dari kaum yang

didatanginya karena rasa kasihan dan tingakah lakunya yang baik

sehingga sudah dianggap anak kemenakan, dia diberi hak atas harta

pusaka namun demikian tergantung pada kata mufakat dalam kaum

tersebut. Waris menurut adat Minangkabau tidak ada istilah

“putus” karena dalam warisan ini adat menggariskan “adanya” waris

yang bertali adat, bertali buek, bertali budi dan hal ini bila

ada kesepakatan kaum. Bila kaum itu punah warisan jatuh kepada

waris yang bertalian dengan suku dan bila yang sesuku tidak ada

pula harta pusaka kaum yang punah itu jatuh pada nagari. Ninik

mamak nagarilah yang menentukan. Adapun selebihnya Perkawinan

Adat Minangkabau sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan.

14

III. HUKUM ADAT BATAK

Hukum Perkawinan adat Batak pada dasarnya sesuai dengan UU

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya saja ada beberapa

perbedaan yang menjadi khas adat Batak yaitu mengenai hak waris

sebagai berikut :

Pengertian Hukum Waris

Hukum waris dapat dikategorikan1 sebagai berikut :

1. Warisan

Harta kekayaan dari pewaris yang telah meninggal, baik harta yang

telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi.

2. Peninggalan

Harta warisan yang belum terbagi atau tidak terbagi bagi karena

salah seorang pewaris masih hidup.

3. Pusaka, dibagi menjadi 2

a. Pusaka Tinggi

Harta peninggalan dari zaman leluhur dan sifatnya tidak

dapat dibagi-bagi

b. Pusaka Rendah

Peninggalan dari kakek atau nenek dansifatnya tidak dapat

dibagi-bagi.

4. Harta Perkawinan

1 Hilman Hadikusuma (2003:10-13)

15

Harta kekayaan yang dimiliki oleh suami istri disebabkan adanya

ikatan perkawinan.

5. Harta Penantian.

Harta yang dikuasai dan dimiliki oleh suami istri ketika

perkawinan itu terjadi.

Hukum Waris Adat

Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta

kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya2

Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara

bagaimana dari abad kea bad penerusan dan peralihan dari harta

kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada

generasi3.

Hukum Adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta

kekayaan baik yang materiil maupun immaterial yang manakah dari

seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya4

Pembagian Waris

Yang merupakan obyek dalam hukum waris adat Batak adalah harta

warisan,yaitu harta benda yang dimiliki oleh si pewaris yang

diteruskan semasa hidupnya atau yangditinggalkan oleh pewaris

yang sudah meninggal dunia; dan diteruskan dalam keadaan

tidak terbagi-bagi, jenis-jenisnya adalah:

2 Ter Haar, 1950; 1973 Supomo, 19674 Soerojo Wignjodipoero

16

a. Harta Bawaan

Harta kekayaan yang dibawa oleh suami dan istri ke dalam

perkawinan sebagaimodal di dalam kehidupan rumah tangga yang

bebas dan berdiri sendiri. Telah menjadiasas umum yang berlaku di

dalam hukum adat bahwa suami dan istri yang memperolehharta yang

berasal dari warisan atau hibah, akan tetap menjadi milik suami

dan istri. Harta bawaan itu dapat berupa tanah, kebun dan

perhiasan lainnya. Pada masyarakat Batak  pemberian harta benda

dari orang tua kepada anak-anaknya, baik laki-laki atau perempuan

disebut dengan "Holong Ate" (kasih sayang).

b. Harta Pencaharian Bersama Suami Istri

Harta ini adalah harta yang diperoleh oleh keluarga itu sebagai

hasil kerja samaantara suami dan istri dalam rangka biaya

kehidupan rumah tangga, selama berjalannyakehidupan rumah tangga.

Semua pendapatan dan penghasilan suami istri yang didapatselama

perkawinan mereka. Harta ini kelak dapat ditinggalkan dan

diteruskan kepadaketurunan mereka.

c. Kedudukan atau Jabatan dalam Adat

Kedudukan sebagai "Raja Adat” hal ini bersifat turun temurun,

akan tetapi biasanya jabatan ini hanya diturunkan atau diteruskan

oleh anak laki-laki

Masyarakat Batak yang menganut sistim kekeluargaan yang

Patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari ayah. Hal ini

terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang turun dari

marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa

17

kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat

dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita.

Dalam pembagian warisan orang tua yang mendapatkan warisan adalah

anak laki – laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari

orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan

mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan

untuk anak laki–laki juga tidak sembarangan, karena pembagian

warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki–laki yang paling

kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan mendapatkan

warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim,

pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi

karena berkaitan dengan system kekerabatan keluarga juga

berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan

Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan

budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun

besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat

bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut

dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian

orang yang lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam

hal pembagian warisannya.

Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak

kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat,

harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang

tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang

mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak

dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka

18

turun – temurun keluarga, karena yang berhak memperoleh pusaka

turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang

mewariskan.

Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di

sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal

pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh:

Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari

Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali) untuk hak

pakai dan untuk memenuhi hidup sampai menikah.

Dalam adat Batak yang masih terkesan Kuno, peraturan adat –

istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan

dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Pihak

paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu atau

disebut Siapudan, yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau

Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata

oleh semua anak laki – laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh

untuk pergi meninggalkan kampong halaman nya, karena anak

Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus ayahnya,

misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka itu

Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan).

Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka

hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak

perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya.

Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh

warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan

dari si pewaris sampai mereka berkeluarga.

19

IV. TINJAUAN UMUM KEDUDUKAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ADAT

Pada masyarakat patrilineal (Batak, Nias dan Bali, Lampung,

Ambon), kehadiran anak di luar perkawinan akan menjadikan suatu

permasalahan yang cukupmemprihatinkan baik bagi seorang perempuan

yang melahirkan. Dimana dengan adanya anak lahir di

luarperkawinan itu akan menimbulkan banyak pertentangan-

pertentangan di antara keluarga, kekerabatannya maupun dalam

masyarakat adat setempat.

Pada masyarakat patrilineal khususnya Batak, kedudukan anak luar

kawin meskipun anak laki-laki dianggap bukan sebagai ahli waris,

bukan sebagaipenerus marga dari orangtua (bapaknya) secara

biologis. Oleh karena anak laki-laki luar kawin dilahirkan dari

perkawinan yang tidak sah, sehingga anak luar kawin hanya ada

hubungan dengan ibu atau dengan kerabat ibunya saja.

Pada suku Bali, kedudukan anak luar kawin (astra) dimungkinkan

dapat diterima dalam masyarakatdengan alasan-alasan tertentu.

Misalnya mengesahkananak luar kawin dengan melakukan pembayaran

adat dan diupacarai adat, sehingga anak luar kawin dapatditerima

dan tinggal dalam masyarakat serta dapatberhubungan dengan

ibunya.

Sedangkan kekerabatan matrilineal, apabila seorang ibu yang tidak

kawin dan melahirkan anak (anak luar kawin), maka dalam hubungan

hukum anak luar kawin tersebut hanya mempunyai ibu dan tidak

mempunyai bapak

20

1. PENCATATAN

UU NO.1 TAHUN 1974

Diatur dalam Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi:“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yangberlaku.”

Mengapa perlu dilakukan pencatatan: untuk mempermudahpembuktian jika terjadi suatu permasalahan yang tidakdiinginkan dalam perkawinan, sebagai alat bukti perkawinan,agar dapat dilindungi oleh Negara.

HUKUM ADAT

Adat Minangkabau & Adat Batak:

Dalam hukum adat baik hukum adat minangkabau maupun bataktidak dikenal yang namanya pencatatan. Perlangsunganperkawinan biasanya ditandai dengan adanya upacaraperkawinan berdasarkan adat masing-masing (yaitu adat batakdan minangkabau) yang dipimpin oleh kepala adat. Dengan halitu, masyarakat dianggap mengetahui bahwa telah terjadisuatu perkawinan yang sah.

2. ASAS MONOGAMI

UU NO.1 TAHUN 1974

Diatur dalam pasal 3 ayat (1), dan pasal 4 ayat (2), yang berbunyi:Pasal 3 ayat (1):

21

“Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyaiseorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”

Bahwa undang-undang ini menganut asas monogami.

Pasal 4 ayat (2):

“Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepadaseorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:1) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,2) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,3) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.”

HUKUM ADAT

1) Perbandingan Pasal 3 ayat (1) dengan Hukum AdatMinangkabau:

Pada masa lalu, Budaya poligami bagi lelaki di Minangmasih dijunjung tinggi oleh masyarakat, tetapi turutmenjadi konflik. Sebagian orang dengan kelas ekonomistandar menganggap bahwa monogami lah yang lebih baikbaik berlaku, tetapi untuk kalangan orang berada, masihsering terjadi poligami. Hal ini didasari oleh wanita-wanita yang minang jaman dahulu yang tidak bersekolah,dan hanya diperbolehkan mengurus urusan rumah tanggasaja.

Tetapi, dengan berjalannya waktu, hal tersebut berubah,bahwa dengan dijunjungnya agama islam, dan mayoritas adatminangkabau beragama islam, maka asas monogamy lah yangdipakai.

22

2) Perbandingan Pasal 3 ayat (1) dengan Hukum Adat Batak5:

Dalam adat batak juga menganut asas monogami, bahwaseorang laki-laki hanya boleh menikahi satu perempuansaja, tidak boleh lebih, karena berdasarkan hukum agama,dan dalam perkawinan ini diikuti dengan sanksi adat danagama, yang tujuannya agar perkawinan tersebut kekalabadi.

Perbandingan Pasal 4 ayat (2) dengan Poligami AdatBatak6:

Dalam masyarakat batak zaman dulu, sebelum kekristenanmemasuki tano batak, poligami atau beristeri lebih darisatu adalah masalah biasa. Alasan utama yang mengabsahkantindakan poligami dari seorang suami adalah apabila istripertama tidak atau belum berhasil melahirkan anak setelahbeberapa lama perkawinan mereka. Atau istri pertama itumelahirkan anak-anak perempuan tapi tidak dikaruniai anaklaki-laki.

Dalam situasi demikian, seorang istri akan memberikanpersetujuannya, bahkan memberikan dorongan untuk kawinlagi dengan perempuan lain untuk mendapatkan anak-anakataupun untuk mendapatkan anak laki-laki. Sehinggapoligami pada zaman itu adalah sah menurut aturan adatdalihan natolu.Setelah kekristenan menggantikan religimasyarakat batak kuno, aturan gereja dengan tegasmelarang poligami. Warga yang melakukannya akandikucilkan (dipabali) dari keanggotaan gereja.

5 http://duniahukumonline.blogspot.com/2012/10/poligami-dalam-masyarakat-batak.html6 http://edymulyasaputra.blogspot.com/2009/12/poligami-dalam-tinjauan-asas-hukum-adat.html

23

3. SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

UU NO.1 TAHUN 1974

Diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), yang berbunyi:Pasal 6 ayat (1):“Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami isteridapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, sesuai puladengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujuioleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan.

Pasal 6 Ayat (2):“Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.”7

HUKUM ADAT

1) Perbandingan Pasal 6 ayat (1) degan Hukum AdatMinangkabau:

Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunyaPerkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut8:

Kedua calon mempelai harus beragama Islam. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal

dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal darinagari atau luhak yang lain.

Kedua calon mempelai dapat saling menghormati danmenghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.

7 http://asiamaya.com/konsultasi_hukum/ist_hukum/umur_dewasa.htm8 http://bachremifananda.wordpress.com/2013/10/15/adat-perkawinan-minangkabau/

24

Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumberpenghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.

Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syaratdiatas dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinanyang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang.

2) Perbandingan Pasal 6 ayat (1) degan Hukum Adat Batak:

Kedua calon mempelai haruslah berbeda marga. Tidakboleh terjadinya suatu perkawinan terhadap orang-orangyang memiliki marga yang sama. Sifat ini dinamakanAsymmetrish connubium.

Kedua calon memepelai saling mencitai satu sama lain Persetujuan kedua orang tua dari kedua mempelai dalam

proses pelamaran atau yang disebut Mangarisika. Pihak pria harus membayarkan jujur kepada mempelai

wanita. Hal ini dinamakan Marhata Sinamot.

Perbandingan Pasal 6 ayat (2) dengan Kebiasaan Hukum Adat:

Hukum adat (baik minangkabau maupun batak)tidak mengenalbatas umur belum dewasa dan dewasa. Dalam hukum adat tidakdikenal fiksi seperti dalam hukum perdata. Hukum adatmengenal secara isidental saja apakah seseorang itu,berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakapatau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatanhukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula. Artinyaapabila ia dapat memperhitungkan dan memeliharakepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yangdihadapinya itu dapat digolongkan sebagai suatu kedewasaan.9

Namun apabila kedewasaan itu dihubungkan dengan perbuatankawin, hukum adat mengakui kenyataan bahwa apabila seorangpria dan seorang wanita itu kawin dan dapat anak, mereka

9 http://zahrasyalwati.blogspot.com/2012/01/perkawinan-dibawah-mmur-menurut-hukum.html

25

dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka itu baru 15 tahun.sebaliknya apabila mereka dikawinkan tidak dapatmenghasilkan anak karena belum mampu berseksual, merekadikatakan belum dewasa10.

4. PERJANJIAN PERKAWINAN

UU NO.1 TAHUN 1974

Diatur dalam Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi:“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak ataspersetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan olehPegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihakketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

HUKUM ADAT

Perbandingan Pasal 29 ayat (1) dengan Hukum Adat minangkabaudan Batak:Dalam adat minang dan batak, perjanjian kawin hanya terjadipada saat pelamaran saja, tentang bagaimana kedua mempelaisetuju dan mengikatkan anak nya dengan mempelai lain darikeluarga lain. Perjanjian juga biasanya mengatur masalahjujur yang diberikan terhadap para mempelai, apakah hanyadari salah satu pihak atau timbal balik. 11

5. HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

UU NO.1 TAHUN 197410 http://yonariza.files.wordpress.com/2013/08/hukum-adat-minangkabau.pdf11 http://yonariza.files.wordpress.com/2013/08/hukum-adat-minangkabau.pdf, Op.cit.

26

Diatur dalam pasal 35 ayat (2) yang berbunyi:“Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yangdiperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawahpenguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”

HUKUM ADAT

Perbandingan Pasal 35 ayat (2) dengan Hukum Adat Minangkabaudan Adat Batak:Pengaturan terhadap harta perkwainan secara keseluruhan samadengan apa yang diatur dalam UU No.1 tahun 1974, bahwa hartabawaan dan harta yang didapatkan sebelum perkawinandilangsungkan, berada dibawah kekuasaan setiap pihak masing-masing, sepanjang tidak diatur atau diperjanjikan lain.Tetapi untuk harta yang didapatkan setelah perkawinan,otomatis menjadi harta bersama, dan tidak dapat dipisahkan.

6. PUTUSNYA PERKAWINAN

UU NO.1 TAHUN 1974

Diatur dalam Pasal 38 yang berbunyi:“Perkawinan dapat putus karena:

a. kematian,b. perceraian, danc. atas keputusan Pengadilan.

HUKUM ADAT

Perbandingan Pasal 38 dengan Hukum Adat Minangkabau dan AdatBatak:Dalam hukum adat, sebab-sebab putusnya perkawinan yaitu:a. Isteri berzinah

27

b. Kemandulan isteric. Impotensi suamid. Suami meninggalkan isteri sangat lama ataupun isteri berkelakuan tidak

sopane. Suami tidak memberikan nafkah terhadap isteri dan anaknya.f. Adanya keinginan bersama dari kedua belah pihak, adanya persetujuan

antara suami dan isteri untuk bercerai.

Salah satu contohnya yaitu apabila isteri berzinah,perceraian yang disebabkan karena perzinahan sudah barantentu membawa akibat-akibat yang merugikan bagi isteri.Apabila ia tertangkap basah dan dibunuh, maka suaminya tidakusah membayar uang bangun. Apabila ia tidak dibunuh, maka iaatau keluarganya wajib membayar uang delik yang kadang-kadang sebesar jujur dan harus mengembalikan jujur dandisamping itu ia juga kehilangan haknya atas bagian hartagono-gini. Pada umumnya, perceraian-perceraian yang terjadiitu dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan dalam agama.12

12 Dinamika Hukum Kekerabatan Indonesia, Dian Sufiati, Jakarta,2012

28

KESIMPULAN

1. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada umumnya

merupakan intisari dari hukum adat perkawinan dari berbagai

suku di Indonesia termasuk hukum adat Minang dan hukum adat

Batak.

2. Adapun mengenai harta perkawinan UU No. 1 Tahun 1974 hanya

mengatur secara garis besar saja dimana detailnya

menyesuaikan dengan hukum adat masing-masing.

3. Mengenai perceraian umumnya hampir sama dengan UU No. 1

Tahun 1974 dan agama yang dianut oleh masing-masing adat.

4. Kedudukan Anak berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 hanyalah

perkawinan yang dicatat secara hukum perkawinan sehingga

anak yang diluar perkawinan tidak memiliki hak seperti anak

yang sah sesuai UU No. 1 Tahun 1974, tetapi berdasarkan

hukum adat ada kearifan dimana bila keluarga yang

bersangkutan memahami dan menyadari dan siap berbagi,

umumnya kedudukan anak diluar perkawinan masih dapat

diakomodasikan walaupun terkadang haknya masih dibawah anak

yang sah.

5. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, tidak mengatur

mengenai hak waris tetapi masing-masing adat seperti

Minagkabau dan Batak memiliki hukum mengenai hak waris

tersebut.

29

DAFTAR PUSTAKA

1. http://bachremifananda.wordpress.com/2013/10/15/adat-

perkawinan-minangkabau/2. http://asiamaya.com/konsultasi_hukum/ist_hukum/

umur_dewasa.htm3. http://duniahukumonline.blogspot.com/2012/10/poligami-dalam-

masyarakat-batak.html4. http://edymulyasaputra.blogspot.com/2009/12/poligami-dalam-

tinjauan-asas-hukum-adat.html5. http://zahrasyalwati.blogspot.com/2012/01/perkawinan-

dibawah-mmur-menurut-hukum.html6. http://pernikahanadat.blogspot.com/2010/01/pernikahan-adat-

batak.html7. http://yonariza.files.wordpress.com/2013/08/hukum-adat-

minangkabau.pdf8. Dinamika Hukum Kekerabatan Indonesia, Dian Sufiati, Jakarta,

20129. UU R.I No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan10. http://adatperkawinanminangkabau.blogspot.com/2011/12/

adat-perkawinan-di-minang-kabau.html

30

11. http://dery1.wordpress.com/2010/05/18/hak-waris-adat- minang-adil-kah-renungan-dan-kajian/

12. Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Pewarisan Ditinjau DariSistem Hukum Kekerabatam Adat, Ellyne Dwi Poespasari,Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya

13. http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/16983/4/Chapter%20I.pdf

14. M. Ali Boediarto (2012). Hukum Waris – KompilasiAbstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung

15. Dr. Elfrida R. Gultom. SH., M.H.H (2012). Hukum WarisAdat di Indonesia

16. Bahan-Bahan Kuliah Hukum Adat di Fakultas HukumUniversitas Trisakti (2012)

17. Andrian, Andri Hadi, Arlyza Ismah, Elfrida Suryanti,windra Ruben (2013). Kedudukan Perempuan Dalam PembagianWaris Dalam Sistem Patrilineal Suku Batak. From Daya PerwiraDalimi (2012). Rangkuman Hukum Keluarga dan Waris Adat. Fromhttp://www.academia.edu/6489182

18. Ayankharyati (2012). Hukum Adat Waris. Fromhttp://ayankharyati.blogspot.com/2012/12/

19. Frans Cory Melando Ginting (2009) . Perkembangan HukumWaris Adat Pada Masyarakat Adat Batak Karo (Studi KecamatanMerdeka, Kabupaten Karo). Fromhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5440/1/10E00159.pdf

31

32