PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS ...
PERGESERAN HARTA PUSAKO TINGGI MENJADI HARTA PUSAKO
RANDAH DI KENAGARIAN BATU TABA AMPEK ANGKEK AGAM
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Muhammad Sidik
NIM. 11140440000037
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2018 M/ 1439H
ABSTRAK
Muhammad Sidik. NIM 11140440000037. Pergeseran Harta Pusako Tinggi
Menjadi Harta Pusako Randah di Kenagarian Batu Taba Ampek Angkek Agam.
Skripsi Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2018 M. (79 halaman, dan
32 halaman lampiran).
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana praktik pewarisan harta
pusaka tinggi yang terjadi dalam masyarakat adat Minangkabau di Batu Taba dan
mengetahui bagaimana pergeseran harta pusaka tinggi menjadi harta pusaka rendah
itu terjadi dan penyebabnya, serta mengetahui bagaimana pandangan masyarakat adat
dan ulama di Kenagarian Batu Taba kecamatan Ampek Angkat Kabupaten Agam
terhadap pergeseran harta pusaka tinggi menjadi pusaka rendah tersebut
Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan (field research), dan
merupakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian ini bersifat analitik merupakan
kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar
memaparkan karakteristik tertentu. Tetapi juga menganalisa dan menjelaskan
mengapa atau bagaimana hal itu terjadi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan pendekatan sosiologi hukum. Kriteria data yang digunakan adalah
wawancara, studi pustaka, dan studi dokumentasi.
Pewarisan harta itu harus segaris keturunan ibu yaitu yang mendapatkan harta
pusaka tinggi itu hanya pihak perempuan yang ada dalam kaum itu dan apabila
diberikan secara ganggam bauntuak harta itu harus dijaga sampai punah keturunan
yang ada dalam keluarga itu. Apabila sudah punah atau tidak ada lagi anak
perempuan yang akan menjawab dari harta pusaka tersebut, maka harta itu di
kembalikan kepada kaumnya. Pergeseran harta pusaka tinggi di disebabkan oleh dua
hal, yang pertama harta pusaka tinggi disertifikatkan, harta pusaka tinggi itu tidak
boleh disertfikatkan, apabila sudah disertifikatkan maka harta itu secara otomatis
sudah berubah langsung statusnya menjadi harta pusaka rendah, yang kedua harta
pusaka tinggi dijual, bahwa penyebab orang menjual yang paling tinggi di nagari ini
adalah karena faktor ekonomi. Harta pusaka tinggi ini yang sebenarnya tidak boleh
dijual karena harta itu hanya boleh digadaikan saja apabila mempunyai 3 masalah
yaitu gadih tuo indak balaki, rumah gadang katirisan, mayik tabujua tangah rumah.
Zaman kini sudah modern tetapi eksistensi harta pusaka tinggi harus dijaga sampai
kapanpun. Harta pusaka ini akan merupakan tiang dari berdirinya sistem kekerabatan
di Minangkabau yang merupakan dengan sistem kekerabatan Matrilineal. Harta
pusaka tinggi hanya boleh dipakai dan diolah, tidak boleh disertifikatkan apalagi
sampai di perjualbelikan.
Kata kunci : Adat Minangkabau, Pergeseran Harta Pusaka, Harta
Pusaka Tinggi, Harta Pusaka Rendah, Kenagarian Batu
Taba,
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, MA
Daftar pustaka : 1968 - 2018
i
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرمحن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT, tuhan semesta alam, yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunianya kepada umat manusia di muka bumi ini,
khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan
bagi seluruh umat manusia.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat terselesainya atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum
2. Dr. H. Abdul Halim, MA. Ketua Progam Studi Hukum Keluarga beserta
Sekretaris Prodi Hukum Keluarga, Indra Rahmatullah, SHI.,MH yang
senantiasa memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam
mengerjakan skripsi ini.
3. Dr. Hj. Azizah, MA., Dosen pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar
dan terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses
penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Mesraini, M.Ag., Dosen penasehat akademik penulis, yang telah sabar
mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu penulis dalam
merumuskan desain judul skripsi ini.
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis selama
masa perkuliahan. yang tidak bisa penulis sebut semuanya tanpa mengurangi
rasa hormat penulis.
ii
6. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staf
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Staf Perpustakaan Daerah
Sumenep yang telah memberikan pelayanan kepada penulis serta memberikan
fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
7. Para narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data-
data terkait penelitian ini, bapak Raymond Ramli, Kasman, Zulhadia,
Yulnedi, Awis Karni Husein dan yang memberi data yang tidak dibolehkan
menyebutan namanya.
8. Teristimewa buat keluarga, ayahanda Ibrahim NK dan ibunda Ifda, yang tak
pernah berhenti untuk memberikan dukungan dan mendoakan penulis dalam
menempuh pendidikan. Kakak ku Muhammad Fajri dan adik ku Muhammad
Zikri, Muhammad Taufik Hidayat, dan Gina Raudhatul Jannah.
9. Teman-teman seperjuangan penulis Fajri Ilhami S.H, Muhammad Irsyad,
Ryandi Rahmat, Abdurrahman Halim, Herman Ardi S.H, Azmi Fathoni Arja,
Habiburrahman, Hussen, Mulyadi, yang senantiasa meluangkan waktu
berdiskusi.
10. Teman-teman Hukum Keluarga UIN Jakarta khususnya angkatan 2014, yang
telah berbagi ilmu dan bertukar pikiran dengan penulis. Semoga ilmu yang
kita dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat.
11. Teman-teman KMM (Keluarga Mahasiswa Minangkabau) Ciputat khususnya
angkatan 2014, yang telah berbagi ilmu dan selalu, mendoakan penulis
sehingga selesainya skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya untuk
mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Jakarta, 28 Mei 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBARAN PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................. 7
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah ........................ 8
D. Tujuan Penelitian .................................................................. 8
E. Manfaat Penelitian ................................................................. 9
F. Review Studi Terdahulu ........................................................ 9
G. Metodelogi Penelitian ............................................................. 12
H. Sistematika Penulisan ............................................................. 13
BAB II : KONSEP UMUM HARTA PUSAKA (WARIS) DALAM
HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT MINANGKABAU
A. Kewarisan dalam Hukum Islam ............................................ 15
1. Pengertian Hukum Waris Islam ..................................... 15
2. Dasar Hukum Waris ....................................................... 15
3. Harta Warisan dalam Islam ............................................ 18
4. Ahli Warits ..................................................................... 21
5. Bagian-Bagian yang Telah Ditentukan Dalam
iv
Al-Quran ......................................................................... 21
B. Pengertian Harta Pusaka ........................................................ 25
1. Dari Segi Wujud Bendanya ............................................ 27
2. Dari Segi Bentuknya ...................................................... 27
3. Macam Harta Pusaka dari Segi Asalnya ........................ 28
4. Macam Harta dari Segi Hak Penggunaannya .................. 33
5. Macam Harta yang Menyangkut Kehidupan Suami
Istri dalam Perkawinan ................................................... 34
6. Macam Harta dari Segi Tersangkutnya Hak Orang Lain
di dalamnya .................................................................... 36
C. Pembagian Harta Pusako Tinggi ........................................... 37
D. Kedudukan Harta Pusako Tinggi dalam Hukum Adat .......... 40
E. Harta Pusako Tinggi Sebagai Harta Kaum ............................ 41
1. Rumah Gadang Katirisan ............................................... 42
2. Gadih Tuo Indak Balaki ................................................. 43
3. Mayik Tabujua Tangah Rumah ...................................... 44
4. Mambangkik Batang Tarandam ..................................... 44
BAB III : PROFIL KENAGARIAN BATU TABA KECEMATAN IV
ANGKEK KABUPATEN AGAM
A. Gambaran Umum Kondisi Kenagarian Batu Taba ................ 46
B. Pola Umum Adat Minangkabau ............................................ 56
1. Adat Nan Sabana Adat ...................................................... 56
2. Adat Nan Diadatakan ........................................................ 58
3. Adat Nan Taradat .............................................................. 59
4. Adat Istiadat ...................................................................... 59
BAB IV : PERGESERAN NILAI HARTA PUSAKA TINGGI MENJADI
HARTA PUSAKA RENDAH DALAM HUKUM ADAT
MINANGKABAU
A. Faktor-Faktor Penyebab Pergeseran Harta Pusako Tinggi
Menjadi Harta Pusako Randah .............................................. 61
v
B. Pandangan Masyarakat Adat dan Ulama Terhadap
Pergeseran Harta Pusako ....................................................... 66
C. Pewarisan Adat Minangkabau di Kenagarian Batu Taba ...... 69
D. Nilai Filosofi dalam mempertahankan Harta Pusako
Tinggi .................................................................................... 70
E. Analisis Penulis ..................................................................... 71
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 78
B. Saran ...................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Harta warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu
baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada
keluarganya yang masih hidup. Hukum kewarisan Islam diatur dalam Al-Qur’an dan
Hadits. Al-Qur’an menentukan hubungan darah dan perkawinan. Ayat Al-Qur’an
yang mengandung kaidah hukum yang sangat strategis tentang hukum waris terdapat
dalam surat An-Nisaa’ ayat 7:1
ك ر ا ت م اء نصيب م س لن ل ون و ب ر ق ال ان و د ال و ك ال ر ا ت م ال نصيب م ج لر ل
ا وض ر ف ا م يب ر نص ث و ك أ ه ن ا قل م م ون م ب ر ق ال ان و د ال و ال
Artinya:”bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan.”
Ayat ini menjelaskan laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan dalam
hak mewarisi. Laki-laki dan perempuan dapat mewarisi baik dari orang tuanya
maupun keluarga dekatnya.2
Dalam Islam yang menjadi warisan itu adalah “sejumlah harta benda serta
segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih”. Artinya, peninggalan
yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak,
setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-
pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris”.3 Menurut fikih
1 Al-Qur’an, surah An-Nisa’ ayat 7 (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2015), h. 78.
2 Mukhtar Zamzami, Perempuan dan Keadilan: Dalam Hukum Kewarisan Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 58. 3 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2013), Cet. 4, h.13.
2
adalah apa yang ditinggalkan oleh orang mati berupa harta atau hak-hak yang karena
kematiannya itu menjadi hak ahli waris secara syar’i.4
Di Indonesia terdapat beberapa adat dan budaya yang beragam, termasuk juga
dalam hal harta dan warisan juga berbeda-beda di setiap daerahnya. Menurut
Soepomo, dalam buku Bab-bab Tentang Hukum Adat, menyatakan:
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-barang
yang tidak berwujud benda dari suatu generasi manusia kepada keturunannya.
Proses itu telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak
menjadi akut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya
bapak dan ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi
sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan
pengalihan harta benda tersebut.
Bila mengacu pada pandangan Soepomo di atas, dapat dikatakan bahwa
Hukum Kewarisan Adat memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas
hukum waris, harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu
dialihkan penguasaannya dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris.5
Indonesia memiliki empat sistem kekerabatan adat, diantaranya: Pertama,
sistem kekerabatan patrilineal. Sistem kekerabatan ini berdasarkan keturunan melalui
kebapakan yang menarik garis keturunannya dari pihak laki-laki terus ke atas.
Patrilineal itu terdapat di daerah adat Batak, Bali dan Ambon. Kedua, Sistem
kekerabatan matrilineal. Sistem kekerabatan ini berdasarkan pertalian keturunan
melalui keibuan yang menarik garis keturunannya dari pihak ibu terus ke atas.
Matrilineal itu terdapat di daerah adat Minangkabau, Kerinci dan Samendo. Ketiga,
sistem kekerabatan parental atau bilateral. Sistem kekerabatan ini berdasarkan
pertalian keturunan melalui ayah dan ibu yang menarik garis keturunannya melalui
pihak ayah dan ibu ke atas. Parental atau bilateral itu terdapat di daerah adat Aceh,
Jawa, Dayak, Bugis dan Kaili. Keempat, sistem kekerabatan Alternerend. Sistem
4 Wahbah az-Zuhaili, Terjemahan Fiqh Islam Wa Adillatuhu 10, (Jakarta: Gema Insani,
2011), cet I, h. 340. 5 Mukhtar Zamzami, Perempuan dan Keadilan: Dalam Hukum Kewarisan Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 54.
3
kekerabatan ini berdasarkan pertalian keturunan melalui kebapakan dan keibuan yang
menarik garis keturunannya melalui pihak ayah dan pihak ibu secara bergantian itu
dilakukan apabila ayah atau ibu mempunyai kelebihan di antara keduanya.
Alternerend itu terdapat di daerah adat Kaili, Pamona, Da’ dan Bare’e.6
Dalam kehidupan masyarakat di Minangkabau, adat dan agama sebagai
landasan utama dari kehidupan masyarakatnya. Walaupun agama Islam datang
kemudian setelah adat, sesuai dengan berjalannya sejarah masyarakat Minangkabau
antara agama dan adat menjadi sebuah pedoman. Sehingga orang Minangkabau
memiliki dua pedoman dalam menjalankan hidup di dunia ini. Hal ini sesuai dengan
pepatah adat Minangkabau7, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (adat
bersendikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah). Konsekuensi dari rumusan
pepatah adat ini tidak ada pertentangan antara adat dan Islam, bahkan saling mengisi.
Pada mulanya “adat” lazim dipakaikan tanpa membedakan mana yang
mempunyai sanksi dan yang tidak. Karena itu muncul “adat nan ampek” (adat yang
empat): pertama, Adat Nan Saban Adat (adat yang sebenarnya) yakni kenyataan yang
berlaku di dalam masyarakat sebagai hukum Tuhan (sunnatulah), seperti adat api
membakar, adat air membasahi. Ketentuan ini berlaku sepanjang masa tanpa terikat
oleh waktu dan tempat. Dan agam Islam termasuk adat nan sabana adat. Kedua, Adat
Nan Diadatkan (adat yang diadatkan) yakni yang dirancang dan diwariskan oleh
nenek moyang Minangkabau dalam mengatur kehidupan masyarakat, khususnya
bidang sosial, budaya dan hukum, seperti yang tertuang dalam “undang-undang nan
duopuluah, cupak nan ampek.”8seperti garis keturunan menurut ibu, sistem
6 Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Hal. 27
7 Pepatah ini mengidikasikan bahwa antara adat dan syara’ adalah dua ajran moral bagi orang
Minangkabau yang saling mendukung dan saling melengkapi keduanya. Apabila terjadi sebuah
masalah yang bertentangan antara adat dengan agama, maka agamala yang pertama kali harus diikuti. 8 Undang-undang nan Duopuluah itu mencakup: Empat bentuk susunan nagari, yakni taratak,
dusun, koto, nagari. Empat bentuk kata, yakni kata pusaka, kata mufakat, kata dahulu dan kata
kemudian. Empat tingkat adat, yakni adat yang sebenar adat, adat yang diadatkan, adat yang teradat,
dan adat istiadat. Empat bentuk undang-undang, yakni undang-undang luhak dan rantau, undang-
undang nagari, undang-undang dalam nagari dan undang-undang duopuluah. Cupak berarti alat
4
perkawinan eksogami dan pewarisan sako dan pusaka.9 Ketiga, Adat Nan Teradat,
yakni kebiasaan setempat dan bisa jadi tidak ada di tempat lain. Bisa juga bertambah
di tempat lain dan bisa juga hilang menurut kepentingan. Adat ini dirumuskan ninil
mamak setempat lalu diadatkan. Pepatah mengatakan: ”lain lubuak lain ikannyo, lain
padang lain balalangnyo”.10
Seperti adat perkawinan dan meminang. Keempat Adat
Istiadat, yakni kebiasaan yang berkaitan dengan tingkah laku dan kesenangan untuk
menampung keinginan masyarakat. Seperti main layangan sesudah panen, berburu di
musim panas, dan sebagainya.11
Dalam adat Minangkabau harta warisan dalam hukum adat yang akan
diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak terdiri atas: Pertama, Harta Pusaka
Tinggi, yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, baik yang berupa
tembilang basi yakni harta tua yang diwarisi turun temurun dari mamak kepada
kemenakan, maupun tembilang perak, yakni harta yang diperoleh dari hasil tua.
Kedua jenis harta pusaka tinggi ini menurut hukum adat akan jatuh kepada
kemenakan dan tidak boleh diwariskan kepada anak. Kedua, harta pusaka rendah,
yaitu harga yang turun-temurun dari satu generasi. Ketiga, harta pencarian,yaitu harta
yang diperoleh dengan melalui atau taruko. Harta pencaharian ini bila pemiliknya
meninggal dunia akan jatuh kepada jurainya sebagai harta pusaka rendah. Untuk harta
pencaharian ini sejak tahun 1952 niniak mamak dan alim ulama telah sepakat agar
harta warisan ini diwariskan kepada anaknya. Perihal ini masih ada pendapat lain,
yaitu “bahwa harta pencaharian harus diwariskan paling banyak (sepertiga) dari harta
penakar (sinonim dengan liter), yakni norma sebagai alat pengukur prilaku seseorang. Cupak yang
empat adalah: cupak usali (asli), cupak buatan, cupak tiruan dan cupak yang piawai. 9 Sako adalah sebuah warisan non materi yang diwariskan secara turun temurun sesuai dengan
aturan dalam pewarisnya. Pusaka adalah harta yang diwariskan secara turun temurun dari sebuah
kaum. 10
Setiap negeri atau masyarakat mempunyai adat dan kebiasaan yang berbeda-beda. 11
Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau. (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011)., Cet. I, h. 108.
5
pencaharian untuk kemenakan”.12
Keempat, harta suarang, yaitu harta bawaan suami
atau harta tepatan isteri yang telah ada sebelum perkawinan berlangsung.13
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan fokus kepada masalah pewarisan
harta pusaka tinggi di Minangkabau. Seperti yang kita ketahui, bahwa harta pusaka
tinggi itu diwariskan oleh niniak mamak kepada perempuan tertua di sebuah kaum
yang disebut dengan bundo kanduang. Orang-orang yang berhak dalam atas pusaka
tinggi ini adalah orang-orang yang segaris keturunan adat atau disebut juga orang
sekaum seketurunan, harta pusaka tinggi itu menjadi hak bersama kaum.
Kaum yang menerima harta pusaka tinggi, secara bersama-sama punya
kewajiban untuk menjaga, melestarikan, serta mengolah harta pusaka tinggi yang
diterima. Sedangkan kewenangan untuk mengatur penggunaan harta pusaka tinggi di
pegang oleh kaum wanita tertua. Untuk melindungi, memelihara, dan
mengembangkan harta pusaka tinggi ini di bawah wewenang niniak mamak, dengan
alasan sebagai orang niniak mamak, didahulukan salangkah dan ditinggikan
sarantiang (didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting).14
Harta Pusaka Tinggi ini diharapkan memberi manfaat yang besar untuk kaum
mereka, karena menurut pituah adat Minangkabau tentang harta pusaka tinggi kok
tajua indak dimakan bali, gadai indak dimakan sando (kalau dijual tidak bisa dibeli,
digadai tidak bisa dijadikan sitaan) karena harta pusaka tinggi ini adalah milik
bersama di suatu kaum.
Walaupun pituah adat melarang penjualan dan menggadaikan harta pusaka
tinggi tetapi ada beberapa pengecualian yang membolehkan untuk dijual atau
digadaikan yaitu: mayik tabujua di tangah rumah ( mayat terbujur di tengah rumah),
gadih tuo alun balaki (perempuan yang umurnya sudah tua belum menikah), Rumah
12
Mansur Dt. Nagari Basa, Hukum Waris Tanah dan Peradilan Agama, Menggali Hukum
Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, (Padang: Sri Dharma, 1968), h. 137 13
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2013), Cet. 4, h.53 14
Pepatah ini mengindikasikan bahwa agar ada jarak dengan yang dipimpinnya dan agar
jangan ada pemisah antara pemimpin dengan yang dipimmpin. Jadi, pemimin di Minangkabau selalu
dekat dengan yang dipimpinnya. Seorang pemimpin deibesarkan oleh orang yang dipimpinnya.
6
Gadang katirisan (rumah adat Minangkabau yaitu Rumah Gadang yang harus di
renovasi), dan mambangkik batang tarandam (memperbaiki perekonomian kaum).15
Jika kaum menerima waris ditimpa musibah sedangkan jalan lain untuk
mengatasinya tidak ada, maka dengan kesepakatan keseluruhan kaum barulah harta
itu boleh dijual atau digadaikan. Harta ini tidak boleh dijual asal-asalan saja tanpa ada
musibah yang membuat kaum terpaksa untuk menjual atau mengadaikannya.
Tetapi dengan perkembangan zaman masyarakat adat Minangkabau sudah
mulai melupakan adat dan merupakan hak bersama karena ingin menguasai harta itu
seutuhnya. Harta pusaka tinggi ini sudah mulai dilupakan dan dianggap menjadi harta
pribadi. Dengan menganggap harta itu harta pribadi oknum dari niniak mamak atau
dari bundo kanduang itu menjual harta pusaka tinggi itu tanpa ada alasan yang jelas,
karna dia hanya untuk memperkaya diri sendiri. Mereka menjual tidak dengan
kesepakatan kaum adat dan mereka menjualnya secara diam-diam.
Bukan hanya menjual saja tetapi niniak mamak mengizinkan bundo kanduang
ini membuat sertifikat dari harta pusaka tinggi ini menjadi harta sendiri dari bundo
kanduang tersebut. Di sini terjadi pengkhianatan dari harta kaum yang harus dijaga
dan dipelihara untuk anak keponakan generasi selanjutnya.
Dari penjualan dan pensertifikatan harta pusaka tinggi ini, tidak jarang yang
menimbulkan keretakan di antara masyarakat kaumnya dan menimbulkan sengketa
yang susah untuk didamaikan. Berdasarkan penelitian awal penulis, dalam
menyelesaikan sengketa pusaka tinggi ini, didamaikan oleh KAN (Kerapatan Adat
Nagari), apabila tidak mencapai mufakat maka harta tersebut tetap dibagi dan
diwariskan kepada penerima waris berikutnya. Akan tetapi harta pusaka tinggi itu di
tukar menjadi atau di ganti menjadi harta pusaka rendah.
Berdasarkan penelitian awal penulis, salah satu daerah yang menggunakan
penyelesaian sengketa pusaka tinggi seperti ini adalah di Kenagarian Batu Taba
15
http://dodirullyandapgsd.blogspot.com/2015/06/harta-pusaka-tinggi-di-minangkabau.html.
diakses pada 28 November 2017, pukul 20.07 WIB.
7
Kecamatan AMPEK Angkek Kabupaten Agam. Yang mana daerah ini merupakan
daerah yang kental dengan adat dan agama.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji dan meneiliti lebih dalam lagi
tentang Kenapa harta pusaka tinggi itu bergeser menjadi harta pusaka rendah,
bagaimana pandangan hukum Islam terhadap harta pusaka tinggi dan harta pusaka
rendah dan bagaimana pandangan masyakat Kenagarian Batu Taba Kecamatan
AMPEK Angkek Kabupaten Agam terhadap pergeseran harta pusaka tinggi menjadi
harta pusaka rendah.
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan dan pertanyaan yang
muncul, terdapat hal-hal yang sangat menarik untuk ditinjau dan diteliti lebih
mendalam dan dikritisi oleh penulis, khususnya mengenai latar belakang. Maka
penulis akan menuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “Pergeseran Harta
Pusako Tinggi Menjadi Harta Pusako Randah di Kenagarian Batu Taba Ampek
Angkek Agam.”
B. Identifikasi Masalah
1. Apa itu harta pusaka tinggi dan harta pusaka randah?
2. Siapakah yang berhak mewarisi harta pusaka tinggi?
3. Bolehkah harta pusaka tinggi diwarisi sebagai kewarisan dalam Islam?
4. Bagaimana praktek pewarisan harta pusaka tinggi itu terjadi dalam masyarakat
adat minangkabau di Kenagarian Batu Taba Kecamatan Ampek Angkek?
5. Mengapa terjadi pergeseran harta pusaka tinggi menjadi harta pusaka randah di
Kenagarian Batu Taba Kecamatan Ampek Angkek?
6. Bagaimana pandangan Masyarakat Adat dan Ulama di Kenagarian Batu Taba
Kecamatan Ampek Angkek terhadap pergeseran harta pusaka tinggi menjadi
pusaka rendah tersebut?
7. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktik harta pusaka tinggi dan
harta pusaka rendah di Kenagarian Batu Taba Kecamatan Ampek Angkek?
8
8. Bagaimana cara mempertahankan Harta Pusaka Tinggi yang ada sekarang ini
tidak dijual dan tidak disertifikatkan ?
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
Harta pusaka tinggi adalah salah satu harta turun temurun di daerah
Minangkabau dan pewarisan dari harta pusaka tinggi ini berbeda dengan pewarisan
harta-harta yang lainnya. Pewarisan harta pusaka tinggi di Minangkabau ini unik
untuk diteliti karena di setiap daerah yang ada di Minangkabau memiliki masalahnya
masing-masing dalam hal harta pusaka tinggi ini. Dengan perkembangan zaman ke
zaman yang modern masyarakat Minangkabau ini sudah mulai sibuk dengan
kesibukan masing-masing. Prakteknya niniak mamak atau datuak mewariskan harta
pusaka tinggi kepada kemenakan perempuannya yang disebut dengan bundo
kanduang. Agar pembahasan skripsi ini tidak menyimpang dan lebih terarah maka
penulis membatasi ruang lingkup penelitian di daerah Kenagarian Batu Taba,
Kecamatan AMPEK Angkek, Kabupaten Agam dan data yang akan diteliti di tahun
2018.
Selanjutnya, untuk mempermudah pembahasan, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana praktek pewarisan harta pusaka tinggi itu terjadi dalam masyarakat
adat Minangkabau di Kenagarian Batu Taba Kecamatan ampek Angkek?
2. Mengapa terjadi pergeseran harta pusaka tinggi menjadi harta pusaka randah di
Kenagarian Batu Taba Kecamatan Ampek Angkek?
3. Bagaimana pandangan Masyarakat Adat dan Ulama di Kenagarian Batu Taba
Kecamatan Ampek Angkek terhadap pergeseran harta pusaka tinggi menjadi
pusaka rendah tersebut?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan masalah ini bertumpu kepada pokok masalah yang di atas, untuk
mencari jawaban dari masalah-masalah yang timbul di daerah BatuTaba, yaitu:
9
1. Untuk mengetahui praktek pewarisan harta pusaka tinggi yang terjadi dalam
masyarakat adat Minangkabau di Kenagarian Batu Taba Kecamatan Ampek
Angkek.
2. Untuk mengetahui pergeseran Harta Pusaka Tinggi menjadi Harta Pusaka
Rendah itu terjadi dan penyebabnya.
3. Untuk mengetahui pandangan Masyarakat Adat dan Ulama di Kenagarian Batu
Taba kecamatan Ampek Angkat Kabupaten Agam terhadap pergeseran harta
pusaka tinggi menjadi pusaka rendah tersebut.
E. Manfaat Penelitian
Penulisan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan berkontribusi
yang berguna untuk:
1. Manfaat teoritis
Kegunaan ilmiah atau teoritis dapat memberikan sumbangan dan pengetahuan
terhadap pergeseran harta pusaka tinggi yang berubah menjadi harta pusaka
rendah di Minangkabau terutama di kenagarian Batu Taba Kecamatan Ampek
Angkek.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan
kepada pihak-pihak yang berkediaman atau bertempat tinggal di BatuTaba terkait
dengan pergeseran harta pusaka tinggi yang berubah menjadi harta pusaka
rendah di Minangkabau di kenagarian Batu Taba Kecamatan Ampek Angkek.
F. Review Studi Terdahulu
Pada penulisan skripsi ini, penulis melakukan studi kepustakaan dengan cara
mengamati karya ilmiah orang lain untuk dijadikan sebuah perbandingan dengan
skripsi yang akan ditulis, diantarnya:
NO JUDUL PEMBAHASAN PERBEDAAN
10
1 Sistem Pewarisan Kekerabatan
Matrilineal dan Perkembangannya
di Kecamatan Banuhampu
Kabupaten Agam Provinsi
Sumatera Barat. Yang ditulis oleh
Asri Thaher S.H, Magister
Kenotariatan UnAmpekersitas
Diponegoro, Semarang 2006
Dalam tesis ini
menjelaskan
perkembangan
dari pelaksanaan
pewarisan dalam
masyarakat
Minangkabau dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perkembangan
sistem pewarisan
Minangkabau di
Kecamatan
banuhampu.
Isi dari skripsi
penulis adalah
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
harta pusaka
tinggi menjadi
harta pusaka
rendah.
2 Hak Kebendaan Dalam Harta
Pusaka Tinggi Minangkabau (Studi
di Nagari Sulit Air, Kecamatan X
Koto Di Atas, Kabupaten Solok,
Sumatera Barat). Yang ditulis oleh
Muhammad Fajrul Mubarak Lc,
Magister Hukum Islam Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta 2017
Dalam tesis ini
menjelaskan
tentang
pengelolaan hak
kebendaan yang
terdapat dalam
harta pusaka
tinggi dan
tinjauan hukum
Islam terhadap
hak-hak
kebendaan pada
Yang jadi
pembahasan
dalam skripisi
penulis
berisikan
tentang
pandangan
hukum adat
dengan hukum
Islam terhadap
pergeseran
harta pusaka
11
pusaka tinggi.
tinggi menjadi
harta pusaka
rendah.
3 Pelaksanaan Pembagian Harta
Pusaka Pada Masyarakat
Minangkabau Perantau (Studi
Kasus Masyarakat Minangkabau
Perantau di Kota Semarang). Yang
ditulis oleh Abdi Syaifullah S.H,
Program Pascasarjana
UnAmpekersitas Diponegoro,
Semarang 2003
Dalam tesis ini
menjelaskan
pelaksanaan
pembagian harta
warisan
masyarakat
Minangkabau di
Kota Semarang,
hambatan-
hambatan yang
timbul dalam
pelaksanaan
pembagian
warisan
masyarakat
Minangkabau di
Kota Semarang,
dan faktor-faktor
apa saja yang
mempengaruhi
pembagian harta
warisan pada
masyarakat
Minangkabau.
Dalam skripsi
ini penulis
menjelaskan
pembagian
harta pusaka
tinggi kepada
kemenakan
dengan cara
ganggam
bauntuak.
12
G. Metodelogi Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang akan penulis pakai adalah penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang akan lebih banyak menggunakan kualitas subjektif, mencakup
penelaahan dan pengungkapan berdasarkan persepsi untuk mendapatkan
pemahaman terhadap fenomena sosial dan kemanusiaan16
.
2. Jenis pedekatan
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan
hukum sosiologi atau hukum empiric, yaitu penelitian yang berdasarkan bukti
kenyataan di lapangan atau realita sosial. Metode penelitian ini dengan
menggunakan pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang ditunjukan untuk
meneliti hasil wawancara mendalam.
3. Sumber data
a. Data primer
Data primer bisa didapat melalui wawancara dengan para oknum dalam
penjualan Harta Pusaka Tinggi, tokoh-tokoh adat dan tokoh masyarakat
niniak mamak atau penghulu di daerah Batu Taba.
b. Data sekunder
Data primer adalah buku-buku, jurnal, artikel dan sumber lain yang dianggap
perlu untuk bahan penelitian.
4. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dengan cara mewawancarai dengan para
oknum dalam penjualan harta pusaka tinggi tokoh-tokoh adat atau tokoh
masyarakat yaitu niniak mamak atau penghulu di daerah setempat dengan tunjuk
langsung oleh penulis.
16
Asep Hermawan, Kiat Praktis Menulis Skripsi, Tesis, Desertasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2004), Hal. 14.
13
Studi kepustakaan dengan cara mencari referensi buku-buku, jurnal,
artikel dan sumber lain yang membahas tentang penelitian penulis.
5. Teknik pengolahan data
Pengolahan data dimulai dengan pengkodean data dan kemudian data
tersebut dikategorisasikan melakukan kertas bantu, dan selanjutnya dilakukan
analisis.
6. Lokasi dan waktu penelitian
a. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan penulis di Kenagarian Batu Taba Kecamatan Ampek
Angkek Kabupaten Agam.
b. Waktu penelitian
Adapun waktu penelitian yang dilakukan dimulai pada bulan Desember 2017
sampai Maret 2018.
7. Teknik penulisan
Adapun teknik penulisan atau digunakan dalam skripsi ini mengacu
kepada “pedoman penulisan skripsi” yang diterbitkan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah 2017.
H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, perlu adanya suatu sistematika penulisan,
sehingga dapat diketahui secara jelas kerangka dari skripsi ini.
Bab Pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, identifikasi
masalah, pembatasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dari penelitian, manfaat
dari penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada bab kedua, diuraikan konsep umum harta pusaka (waris) dalam hukum
Islam dan hukum adat Minangkabau, meliputi: kewarisan dalam hukum Islam,
pengertian harta pusaka, pembagian harta pusako tinggi, kedudukan harta pusako
tinggi dalam hukum adat, harta pusako tinggi sebagai harta kaum.
14
Selanjutnya, pada bab ketiga disajikan tentang profil Kenagarian Batu Taba
Kecamatan Ampek Angkek Kabupaten Agam, meliputi: gambaran umum kondisi
Kenagarian Batu Taba dan pola umum adat Minangkabau.
Pada bab keempat menjelaskan pergeseran nilai harta pusaka tinggi menjadi
harta pusaka rendah dalam hukum adat minangkabau, meliputi: faktor-faktor
penyebab pergeseran harta pusako tinggi menjadi harta pusako randah, pandangan
masyarakat adat dan ulama terhadap pergeseran harta pusako, pewarisan adat
minangkabau di kenagarian batu taba, nilai filosofi dalam mempertahankan harta
pusako tinggi, analisis penulis.
Sedangkan bab kelima merupakan bab penutup. Dalam bab ini penulis
menyimpulkan hasil penelitian dan analisa yang penulis lakukan dari bab-bab
sebelumnya, di bab ini penulis juga memberikan beberapa saran.
15
BAB II
KONSEP UMUM HARTA PUSAKA (WARIS) DALAM HUKUM ISLAM
DAN HUKUM ADAT MINANGKABAU
A. Harta Pusaka (Waris) dalam Hukum Islam
1. Pengertian Hukum Waris Islam
Hukum waris dalam ajaran Islam disebut dengan istilah “faraid” adalah
bentuk jamak dari lafad “faridhah” yang berarti “mafrudhah”, yakni bagian yang
telah dipastikan kadarnya (ketentuannya), karena saham-saham yang telah
dipastikan kadarnya.1
Para ulama fikih memberikan defenisi ilmu faraid sebagai berikut:
a. Penentuan bagian-bagian ahli waris
b. Ketentuan bagian warisan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.
c. Ilmu fikih yang berkaitan dengan pembagian pusaka, serta mengetahui
perhitungan dan kadar harta pusaka yang wajib dimiliki oleh orang yang
berhak.
Menurut istilah hukum waris di Indonesia, ilmu faraid ini disebut dengan
“hukum waris” (erfrecht) yaitu hukum yang mengatur tentang apa yang harus
terjadi dengan harta kekayaan seorang yang sudah meninggal dunia.2
Dengan demikian penyebutan Faraid didasarkan pada bagian yang diterima
oleh ahli waris. 3
2. Dasar Hukum Waris
a. Ayat-Ayat Al-Qur‟an
QS. An-Nisa‟ ayat: 7:4
1 Asyhari abta dan Djunaidi abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidhl: Deskripsi Berdasarkan
Hukum Islam Praktis dan Terapan, (Surabaya, Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 1 2 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), h. 50.
3 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 5.
4 Al-Qur‟an, surat An-Nisa‟ ayat 7 (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2015), h. 78
16
ا جشك ا جشك اىىاىذان والقشبىن وىيىساء وصيب مم جاه وصيب مم ىيش
ا قو مىه أو مثش وصيبا مفشوضا اىىاىذان والقشبىن مم
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Ketentuan ayat di atas, merupakan landasan utama yang
menunjukkan bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama mempunyai hak warisnya, dan sekaligus
merupakan pengakuan Islam, bahwa perempuan merupakan subjek
hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Tidak demikian
bahwa pada masa jahiliyah, di mana wanita dipandan g sebagai
objek bagaikan benda biasa yang dapat diwariskan.5
Sebagai pertanda yang lebih nyata, bahwa Islam mengakui
wanita sebagai subjek hukum, dalam keadaan tertentu mempunyai
hak waris, sedikit maupun banyak yang telah dijelaskan dalam
beberapa ayat Al-Qur‟an.
QS. An-Nisa’ ayat 8-9:6
وإرا حضش اىقسمة أوىى اىقشبى واىيحامى واىمساميه فاسصقىهم مىه وقىىىا
ىهم قىل معشوفا
Artinya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim
dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
5 Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif
Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 20. 6 Al-Qur‟an, surat An-Nisa‟ ayat 8 dan 9 (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2015), h. 78
17
ية ضعافا خافىا عييهم فييحقىا للا وىيخش اىزيه ىى جشمىا مه خيفهم رس
وىيقىىىا قىل سذيذا
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.”
b. Al- Hadits
Hadits Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang
kewarisan adalah sebagai berikut:
1. Hadits dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari:7
ثىا ابه ثىا وهيب ، حذ ثىا مىسى به إسماعيو ، حذ طاووس ، عه حذ
عىهما ، عه اىىبي صيى للا عييه أبيه ، عه ابه عباس ، سضي للا
وسيم قاه : أىحقىا اىفشائض بأهيها فما بقي فهى لوىى سجو رمش.
Artinya: dari Ibnu Abbas r.a, Nabi Muhammad SAW berkata:
berikanlah faraid (bagian-bagian yang telah ditentukan) itu kepada
yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dan keturunan
laki-laki yang terdekat.
2. Hadits Rasulullah SAW dari Sa‟ad bin Abi Waqqash riwayat al-
Bukhari:8
ة مشضا فأشفيث مىه سعذ به أبي وق عه اص عه أبيه قاه مشضث بمن
عييه وسيم يعىدوي فقيث ياسسىه للا عيى اىمىت فأجاوي اىىبي صيى للا
ق بثيثي ماىي قاه ل قاه إن ىي مال مثيشا وىيس يشثىي إل ابىحي أفأجصذ
7 Muhammad ben Isma‟il al-Bukhari, sahih al-Bukhari,(Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2013), h. 1224 no.hadits 6737. 8 Muhammad ben Isma‟il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari,(Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2013), h. 1224 no.hadits 6733.
18
ش إول إن جشمث وىذك ثقيث فاىشطش قاه ل قيث اىثيث قاه اىثيث م
أغىياء خيش مه أن جحشمهم عاىة يحنففىن اىىاس
Artinya: dari Sa’ad bin Abi Waqqash dari bapaknya berkata: “saya
pernah sakit di Makkah, sakit yang membawa kematian. Saya
dikunjungi oleh Nabi SAW. Saya berkata kepada Nabi: “Ya Rasul
Allah, saya memiliki harta yang banyak, tidak ada yang akan mewarisi
harta kecuali seorang anak perempuan, bolehkah saya sedekahkan dua
pertiganya.”jawab nabi:”Tidak.” Sayaberkata lagi:”bagaimana kalau
separuhnya ya Rasul Allah?” jawab Nabi:”Tidak.” Saya berkata
lagi:”Sepertiga?”Nabi berkata:” Sepertiga itu sudah banyak.
Sesungguhnya bila kamu meninggalkan keluargamu berkecukupan
lebih baik dari meninggalkannya berkekurangan, sampai-sampai
meminta kepada orang lain”.
c. Ijtihad Ulama
Meskipun Al-Qur‟an dan Al-Hadis sudah memberikan ketentuan
terperinci mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih
diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam
Alquran maupun AL-Hadis. Misalnya mengenai bagian warisan banci (waria),
diberikan kepada siapa harta warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu
apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan suami atau istri dan sebagainya.
3. Harta Warisan dalam Islam
Harta warisan menurut Hukum Islam ialah segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli
warisnya dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta peninggalan dengan
harta warisan. Harta peninggalan adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh yang
meninggal dengan arti lain ialah apa yang berada pada seseorang yang
meninggal saat kematiannya, sedangkan harta warisan ialah harta yang berhak
diterima dan dimilki oleh ahli waris.9
Dalam Islam semua harta peninggalan orang yang mati baik yang
bersifat kebendaan atau hak disebut dengan istilah “tarikah/tirkah”. Tarikah inni
9 Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h . 53
19
tidaklah otomatis menjadi harta warisan yang akan diwariskan kepada ahli
waris.
Menurut Ibnu Hazm, tidak semua hal milik menjadi harta warisan,
tetapi hanya terbatas pada hak terhadap harta bendanya. Sendangkan menurut
ulama Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah: semua hak baik bersifat
kebendaan atau bukan, termasuk harta warisan.10
Dalam menetukan bentuk hak yang mungkin diwariskan menurut
perbedaan pemikiran ulama tersebut, Yusuf Musa mencoba membagi hak
tersebut kepada beberapa bentuk sebagai berikut:11
a. Hak kebendaan: yang dari segi haknya tidak dalam rupa benda/harta tetapi
karena hubungannya yang kuat dengan harta dinilai sebagai harta, seperti
hak lewat di jalan umum atau hak pengairan.
b. Hak-hak kebedaan tetapi menyangkut pribadi si meninggal, seperti mencabut
pemberian orang lain.
c. Hak-hak kebendaan tetapi menyangkut dengan kehendak si meninggal,
seperti hak khiyar (pilihan antara menlangsungkan atau membatalkan sebuah
akad)
d. Hak-hak bukan berbentuk benda dan menyangkut pribadi seseorang seperti
hak ibu untuk menyusukan anak.
Harta warisan atau harta peninggalan bisa juga dikatakan tirkah. Tirkah
adalah apa saja yang ditinggalkan seseorang sesudah meninggalnya, baik
berupa harta, hak-hak maliyah atau ghairu maliyah. Maka apa saja yang
ditinggalkan seseorang sesudah meninggalnya, oleh jumhur fuqaha‟
diistilahkan sebagai tirkah, baik mayat punya utang atau tidak. Baik utang
berupa ainiyah atau syahsiyyah.
10
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), h. 57 11
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h . 55.
20
Ada beberapa hak berkaitan dengan tirkah yang urutannya sebagai
berikut:12
a. Biaya jenazah
Mempersiapkan segala keperluan mayat dan mengakafaninya dengan
ukuran ongkos pada umumnya. Keperluan mayat ini merupakan ungkapan
dari suatu kegiatan apa saja yang diperlukan sejak wafatnya sampai ia
dikuburkan.
Mazhab Hanafi, Syafi‟i, dan Maliki berpendapat biaya jenazah istri
menjadi tanggungan suami, walaupun istrinya kaya, sedangkan menurut
mazhab Hambali biaya jenazah istri tidak merupakan tanggungan suami.13
b. Membayarkan utang si mayat
Yaitu utang-utang yang dituntut oleh seseorang dan utang-utang yang
menjadi tanggung jawab si mayat yang meningalkan warisan. Maka tirkah
(harta warisan) tidak boleh dibagi oleh ahli waris sebelum utang-utang
mayat dibayar.
Menurut jumhur ulama utang kepada Allah SWT termasuk dalam
kriteria utang jenazah (zakat, kafarah dan nazar) serta wajib dibayar terlebih
dahulu dari wasiat, walaupun utang-utang kepada Allah SWT ini tidak
diwasiatkan.
Ulama-ulama Syafi‟iyah menyatakan, pelunasan utang kepada Allah
SWT lebih diutamakan dari utang manusia. Sebaliknya, menurut pendapat
mazhab maliki, utang kepada Allah SWT dilunasi sesudah melunasi utang
kepada sesama manusia. Sedangkan menurut pendapat Imam Ahmad bin
Hanbal, tidak ada ketentuan mengenai mana yang wajib didahulukan utang
12
Muhammad Ali Ash Shabuniy, Terjemahan Hukum Waris Islam,(Surabaya: Al-Ikhlas,
1995), h. 49 13
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), h.
58.
21
kepada Allah SWT maksudnya adalah semua utang yang berkaitan dengan
hak Allah SWT seperti utang zakat, nazar, kafarah, dan lain-lain.14
c. Wasiat
Wasiat ialah pernyataan atau perkataan seseorang untuk memberikan
sebagian dari hartanya kepada orang lain, atau memberikan manfaat suatu
benda miliknya.
Wasiat merupakan hak yang diberikan oleh agama Islam kepada
seseorang atas harta bendanya tanpa persetujuan ahli waris.
4. Ahli Warits
Ahli waris yang berhak ialah orang-orang yang berhak atas harta
warisan orang yang meninggal dunia, disamping itu, mereka juga ada hubungan
yang sangat erat dengan si mayat.
Menurut hukum Islam, ahli waris di bagi menjadi dua, yaitu:15
a. Keluarga dekat yang kemudian mereka akan mendapatkan bagian “furudhul
muqaddarah” atau “furudul ashabah”.
b. Keluarga yang jauh: yang baginya masih diperselisihkan. Keluarga yang
jauh disebut “dzawil arham”.
5. Bagian-Bagian Yang Telah Ditentukan Dalam Al-Quran
Bagian-bagian yang telah disebutkan dalam Al-Qur‟an hanya ada enam
macam yaitu: 1/2, 1/4, 1/8,. Ketiga bagian ini disebut “macam pertama”, karena
hanya penyebutnya hanya dapat dimasuki sebagian atas sebagiannya.
Kemudian 2/3, 1/3, dan 1/6. Bagian-bagian ini disebut dengan “macam kedua”,
karena penyebutnya juga dapat dimasuki oleh sebagian atas sebagiannya.
Selain yang enam tersebut diatas, para fuqaha‟ menambahkan bagian
1/3 sisa yang akan diterangkan berikut ini:16
14
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), h.
60. 15
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidhl: Deskripsi Berdasarkan
Hukum Islam Praktis dan Terapan, (Surabaya, Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 43.
22
a. Bagian setengah (1/2)
Setengah merupakan bagian lima ahli waris, seorang laki-laki dan
empat perempuan, seperti berikut:17
1) Suami mendapatkan setengah, apabila dia tidak bersama anak atau cucu
dari anak laki-laki atau anak perempuannya (fur‟u waris).
2) Anak perempuan mendapatkan setengah dengan syarat:18
Ia tidak bersama
saudara laki-lakinya yang berhak mewarisi, yakni anak laki-laki mayit, Ia
anak perempuan tunggal.
3) Anak perempuan anak laki-laki, dia mendapatkan setengah apabila ia
sendiri dan tidak bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki juga tidak
bersama anak perempuan atau anak laki-laki.19
4) Saudari kandung, mendapatkan setengah apabila dia sendiri, tidak
bersama saudara kandung (mu‟asshibnya), dan tidak bersama fur‟u waris,
baik laki-laki maupun perempuan.
5) Saudari seayah apabila ia sendiri, tidak bersama saudara seayah
(mu‟ashibnya), saudara atau saudari kandung, dan tidak bersama fur‟u
waris, baik laki-laki maupun perempuan.
b. Bagian seperempat (1/4)
Bagian seperempat adalah bagian dua orang yaitu suami dan istri.
Keberadaan anak-anaknya bisa dijadikan dasar, sebagaimana kami jadikan
dasar pada keberadaan anak20
16
Asyhari Abta dan Drs. Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidhl: Deskripsi
Berdasarkan Hukum Islam Praktis dan Terapan, (Surabaya, Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 50. 17
Muhammad Ali Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 70. 18
Muhammad Ali Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 71 19
Asyhari Abta dan Drs. Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidhl: Deskripsi
Berdasarkan Hukum Islam Praktis dan Terapan, (Surabaya, Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 51. 20
Asyhari Abta dan Drs. Djunaidi Abd. Syakur, , Ilmu Waris Al-Faraidhl: Deskripsi
Berdasarkan Hukum Islam Praktis dan Terapan, (Surabaya, Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 52.
23
1) Suami mendapatkan seperempat apabila istri ada anak atau anaknya anak
(cucu), baik anak hasil perkawinan dengannya atau dengan suami yang
lain.21
2) Istri mendapatkan seperempat apabila suami tidak mempunyai anak.
c. Bagian seperdelapan (1/8)
Seperdelapan (1/8) merupakan bagian seorang saja di antara ahli
waris, yaitu istri atau beberapa istri. Maka seorang istri atau lebih
seperdelapan (1/8), apabila mayat mempunyai anak atau cucu, baik anak itu
dari istrinya itu atau dari istri yang lain.22
d. Bagian dua pertiga (2/3)
Para ahli waris yang mendapatkan bagian dua pertiga (2/3) ada empat
orang: anak perempuan, cucu perempuan, saudari kandung, saudari seayah.
Bahwa keempat ahli waris tersebut, mendapatkan 2/3, jika 2 orang atau
lebih.23
Syarat-syarat mewaris dua pertiga (2/3) adalah sebagai berikut:24
1) Dua orang anak perempuan atau lebih, bagiannya 2/3 apabila mereka
tidak bersama saudara laki-laki yang berhak ashabah, yakni anak laki-laki
diantara anak-anak si mayat, yaitu anak laki-laki.
2) Dua orang cucu perempuan anak dari anak laki-laki atau lebih, bila
mereka tidak bersama mu‟ashibnya dan tidak bersama dengan anak
perempuan atau laki-laki. (Dalilnya ijma‟ ulama bahwa cucu menempati
kedudukan anak ketika tidak ada anak).25
21
Muhammad Ali Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam,(Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 74. 22
Muhammad Ali Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam,(Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 75 23
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, , Ilmu Waris Al-Faraidhl: Deskripsi Berdasarkan
Hukum Islam Praktis dan Terapan (Surabaya, Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 53. 24
Muhammad Ali Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam,(Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 76 25
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, , Ilmu Waris Al-Faraidhl: Deskripsi Berdasarkan
Hukum Islam Praktis dan Terapan, (Surabaya, Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 53.
24
3) Dua orang saudari kandung atau lebih, dengan ketentuan bila tidak
bersama dengan mu‟ashibnya dan tidak bersama anak laki-laki dan
perempuan atau cucu laki-laki dan perempuan anak laki-laki
4) Dua saudari seayah atau lebih, jika tidak bersama mu‟ashibnya juga tidak
bersama anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki atau perempuan
anak laki-laki, saudara laki-laki atau perempuan kandung. (Dalilnya
adalah ijma‟ ulama bahwa saudara-saudara perempuan itu termasuk
saudara perempuan sekandung dan seayah).
e. Bagian satu pertiga (1/3)
Sepertiga (1/3) merupakan bagian dua orang di antara ahli waris,
yaitu: ibu dan saudara laki-laki atau perempuan seibu, dua orang tau lebih.
1) Ibu, mendapat 1/3 denga syarat: Mayit tidak mempunyai anak, atau
anaknya anak laki-laki (cucu dari anak laki-laki), mayat tidak mempunyai
saudara laki-laki atau perempuan, seorang atau lebih, sekandung atau
sebapak atau seibu, mewaris atau terhijab.26
2) Saudara laki-laki atau perempuan seibu, dua orang atau lebih dengan
syarat: Tidak ada ushul dan keturunan, jumlah mereka dua orang atau
lebih, baik mereka itu laki-laki atau perempuan keduannya atau yang satu
laki-laki dan lainnya perempuan.
f. Bagian seperenam (1/6)
Ahli waris yang mendapat bagian seperenam ada tujuh orang, yaitu:
ayah, ibu, cucu perempuan dari anak laki-laki, kakek, saudari seayah, nenek
dan saudara atau saudari seibu.
Secara rinci ahli waris yang mendapat bagian1/6 adalah:27
1) Ayah: apabila ia bersama dengan fur‟u waris. Hanya saja jika bersama
fur‟u waris perempuan maka ayah mendapat 1/6 tambah dengan ashabah.
26
Muhammad Ali Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam,(Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 79. 27
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, , Ilmu Waris Al-Faraidhl: Deskripsi Berdasarkan
Hukum Islam Praktis dan Terapan, (Surabaya, Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 53
25
2) Ibu: apabila ia bersama fur‟u waris laki-laki atau perempuan. Selain itu
ibu juga akan mendapat bagian 1/6 apabila bersama dua atau lebih
saudara atau saudari perempuan kandung maupun tidak kandung.
3) Kakek: apabila ia bersama dengan fur‟u waris seperti bagian ayah.
4) Cucu perempuan dari anak laki-laki: apabila ia mewarisi bersama dengan
seorang anak perempuan (1/2), baik ketika ia sendirian atau lebih. Sebab
jika bersama dua anak perempuan, maka bagian cucu perempuan anak
laki-laki adalah terhijab. Bagian 1/6 ini dimaksudkan untuk
menyempurnakan bagian seorang perempuan.
5) Saudari seayah: apabila ia mewarisi bersama dengan saudari sekandung
(1/2). Bagian seperenam ini diberikan sebagai pelengkap bagian 2/3 bagi
seorang wanita.
6) Saudara atau saudari seibu: apabila ia sendirian dan selam tidak bersama
denga fur‟u waris atau ashlul waris.
7) Nenek: ia mendapat 1/6 apabila dari jalur ibu atau ayah baik ia sendiri
atau lebih, baik mayit punya fur‟u waris atau tidak, baik ada saudara-
saudara atau tidak. Bagian 1/6 ini diberikan kepada nenek sepanjang tidak
ada ibu ( nenek dari ayah atau ibu) dan tidak ada ayah (bagi nenek dari
ayah).
B. Pengertian Harta Pusaka
Kekayaan dalam pemahaman adat Minangkabau terdiri dari dua jenis.
Pertama disebut sako atau kekayaan tanwujud (immaterial) yaitu perpindahan yang
berlaku dari orang yang mati kepada yang masih hidup dalam bentuk gelar kebesaran
menurut adat.28
Sako dalam pengertian Adat Minangkabau mengandung pengertian
berupa segala harta kekayaan asal yang tidak berujud, atau harta tua berupa hak atau
kekayaan tanpa ujud.
28
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h . 212.
26
Sako sebagai kekayaan tanpa ujud diwariskan secara turun-temurun menurut
jalur sebagai berikut:
1. Gelar penghulu diwariskan secara turun temurun kepada kemenakan yang laki-
laki.
2. Garis keturunan diwariskan secara turun temurun kepada anak perempuan.
3. Gelar bapak khusus pada daerah rantau Pariaman diwariskan secara turun temurun
kepada anak laki-laki.
4. Hukum adat beserta pepatah-petitih serta adat sopan santun dan tata krama
diwariskan kepada semua anak kemenakan dalam nagari, selingkup Adat Alam
Minangkabau.29
Kedua disebut pusaka atau lazimnya juga disebut sebagai harato pusaka, atau
Harta Pusaka.30
Harta pusaka adalah sesuatu yang bersifat material yang ada pada
seseorang yang meninggal yang dapat beralih kepada orang lain semata akibat
kematiaanya itu. Menurut tali warisnya masing-masing maka dikatakan juga harta
pusaka itu adalah harta kongsi perserikatan bersama oleh orang yang setali waris
dengan orang yang meninggalkan harta tersebut.
Harta pusaka adalah segala harta benda peninggalan orang yang sudah
meninggal. Harta itu menjadi harta perserikatan di dalam kaum oleh segala ahli
warisnya, menurut tali warisnya masing-masing, maka dikatakan juga harta pusaka
itu adalah perserikatan bersama oleh orang yang setali waris dengan orang yang
meninggalkan harta itu.
Harta pusaka itu tidak boleh dibagi menjadi hak perorangan oleh orang yang
menerima pusaka, melainkan wajib selamanya menjadi hak serikat dalam kaum yang
menerima pusaka itu turun temurun. Hasil-hasil yang keluar dari pusaka itu turun
keturunan tali waris orang yang empunya harta pusaka itu berlebih dari pada dimakan
29
Edison Piliang dan Hasrun Dt. Maraja Sungut, TAMBO MINANGKABAU “Budaya dan
Hukum Adat di Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2014), h. 262. 30
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusaka Tinggi dan Pencaharian di Minangkabu, (Jakarta:
Citra Harta Prima, 2011), h. 19.
27
setahun oleh yang sekaum yang empunya pusaka itu, maka kelebihan itu wajib
dipergunakan untuk penambah besarnya harta pusaka atau harta kongsi tadi.31
Barang-barang apa saja yang dapat diteruskan kepada generasi berikutnya.
Harta pusaka yang dimaksudkan banyak macamnya dan macam-macam tersebut
dapat ditinjau dari beberapa segi:
1. Dari Segi Wujud Bendanya
Dari segi wujud bendanya harta pusaka ada dua macam yaitu tanah dan
bukan tanah. Yang dimaksud dengan tanah adalah tanah dengan segala sesuatu
yang tumbuh di atasnya, apa yang tersimpan di dalamnya dan apa-apa yang
berada di atasnya. Yang dimaksud bukan tanah adalah segala sesuatu yang tidak
berwujud tanah. Yang bukan tanah dapat dipisahkan lagi kepada yang tidak
bergerak seperti rumah dan yang dapat bergerak ada yang menyangkut gelar
kebesaran seperti pakaian kebesaran berikut kerisnya dan ada pula yang sama
sekali tidak berhubungan dengan gelar kebesaran seperti ternak dan kendaraan.
Dari dua bentuk harta tersebut di atas, maka tanah menempati kedudukan
utama dalam harta pusaka, karena tanah dalam adat Minangkabau merupakan
salah satu unsur dalam organisasi matrilineal Minangkabau. Di samping itu bagi
orang Minangkabau dianggap sebagai salah satu kriteria yang menentukan
martabat seseorang dalam kehidupan nagari. Seseorang yang mempunyai tanah
asal dianggap orang asli dalam nagari yang dianggap lebih berhak atas
kebesaran-kebesaran dalam nagari.32
2. Dari Segi Bentuknya
Dari segi bentuknya, tanah dapat dipisahkan pada dua macam yaitu harta
hutan tinggi dan harta hutan rendah. Yang di maksud hutan tinggi adalah segala
tanah yang belum diolah dan belum dijadikan tanah pertanian, dengan arti masih
tetap tinggal sebagaimana yang dianugrahkan Allah. Adapun hutan rendah
31
Ibrahim Dt Sanggoeno Diradjo, TAMBO ALAM MINANGKABAU “Tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang”, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2012), h. 222. 32
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h . 213.
28
adalah segala tanah yang telah digarap dan diusahakan menjadi tanah pertanian
atau perumahan. Sedangkan tanah yang pernah diusahakan tetapi telah
ditinggalkan kembali sampai menjadi hutan, dikelompokkan lagi menjadi hutan
tinggi.
3. Macam Harta Pusaka dari Segi Asalnya
Dari segi bagaimana caranya harta atau tanah itu berada di tangan
seseorang yang mati dan yang akan beralih kepada ahli warisnya, ada tiga
macam:
a. Secara Dipusakai
Pengertian harta yang dipusakai atau harta pusaka adalah harta yang
didapat seseorang dari angkatan sebelumnya sebagai akibat kematian
angkatan tersebut. harta pusaka itu dipisahkan pula menjadi dua macam yaitu
harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Perbedaan penamaan tinggi dan
rendah itu terletak pada waktu jadinya harta itu.33
Menurut Hamka “pusaka tinggi ialah pusaka yang didapat dengan
tembilang besi, pusaka rendah didapat dengan tembilang emas”. Yang
dimaksud tembilang besi adalah harta yang diperoleh secara turun temurun
dari orag-orang terdahulu. Tembilang emas adalah hasil jerih payah sendiri.
Selain dari itu ada juga yang menyebutnya dengan “harta bersama”, artinya
harta yang diperoleh selama hidup berumah tangga. Bukan harta hasil warisan
dari orang tua atau pun pemberian orang lain.34
Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun temurun
dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu. Adanya harta pusaka
tinggi ini berkaitan dengan sejarah lahirnya kampung atau koto yang diikuti
33
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h . 216. 34
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, (Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010),
h. 147.
29
dengan membuka sawah ladang sebagai sumber kehidupan.35
Hak
penggunaannya secara turun temurun dari beberapa generasi sebelumnya
hingga bagi penerima harta itu sudah kabur asal-usulnya. Kekaburan asal-usul
harta pusaka tinggi itu disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: pertama,
sudah begitu jauh jarak waktu antara adanya harta itu dengan pihak yang
sedang mengusahakannya, sehingga tidak dapat lagi diperhitungkan dengan
tahunan. Kedua, karena harta itu sudah becampur baur dengan sumber lainnya
yang datang di kemudian harinya.
Menurut adat yang diadatkan, harta yang diperoleh suatu kaum atau
salah seorang dari anggota kaum dengan cara apapun, sesudah diturunkan satu
kali bergabung dengan harta pusaka yang diterima dari generasi sebelumnya.
Berdasarkan adat ini, maka dalam setiap angkatan generasi terjadilah
pencampuran harta yang diterimanya sacara pusaka hasil pencariannya
sendiri. Semakin jauh angakatan generasinya, semakin banyak terjadi
pencampuran dari harta tersebut. Dengan adanya penggabungan harta pada
setiap generasi dan pemisahan harta pada waktu terjadi pembelahan kesatuan
paruik, maka pihak yang menerima kemudian hari tidak tahu lagi secara pasti,
harta milik siapa sebenarnya dipusakainya itu. Harta yang seperti itulah yang
dinamai harta pusaka tinggi.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat dikemukakan ciri-ciri khusus
harta pusaka tinggi, yaitu:
1) Tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya
2) Yang memilikinya adalah kaum secara bersama
3) Tidak dapat berpindah tangan keluar kaum yang memilikinya kecuali bila
dilakukan oleh kaum secara bersama-sama pula
35
Amir Sjarifoedin Tj.A, Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku
Imam Bonjol, (Jakarta: Gria Media Prima, 2011), h. 98.
30
Harta pusaka rendah adalah harta yang dipusakai seseorang atau
kelompok, yang dapat diketahui secara pasti asal-usul harta itu.36
Mengenai harta pusaka rendah ada perbedaan pendapat. H.K Datuk
Gunung Hijau berpendapat bahwa pusaka rendah adalah segala harta
diperdapat dari hasil usaha pekerjaan dan pencaharian sendiri. Harta ini boleh
dijual dan digadaikan menurut keperluan dengan kesepakatan ahlli waris.
Menurut Damsiwar SH harta pusaka rendah adalah harta tambahan bagi
sebuah kaum dan ini diperoleh dengan membuka sawah atau ladang baru,
tetapi masih di tanah pusaka tinggi, hanya saja pembukaan sawah dan
ladangnya saja yang baru.37
Harta pusaka rendah dalam buku Amir
Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau adalah harta yang dipusakai seseorang atau kelompok yang
dapat diketahui secara pasti asal-usulnya harta itu. Ini dapat terjadi bila harta
itu diterimanya dari satu angkatan di atasnya seperti ayah atau mamaknya,
begitu pula dari dua tingkat diatasnnya yang masih dapat dikenalnya, seperti
ninik, baik oleh ayah atau ninik atau mamak, harta itu didapatnya melalui
usahanya sendiri.38
Seseorang yang mendapatkan harta dari hasil usaha sendiri, berhak
mendapatkan manfaat dari harta itu untuk kepentingan sendiri bersama anak
cucunya. Tetapi bila dia sudah meninggal, maka harta itu diwarisi secaara
tidak terbagi oleh angkatan di bawahnya. Dengan demikian, harta itu
digabungkan kepada harta pusaka. Harta pusaka rendah bila sekali diturunkan,
dengan sendirinya menjadi harta pusaka tinggi.
Warisan harta pusaka rendah yang telah diwarisi selama empat
generasi semacam inilah kita sebut dengan “harta susuk” yaitu harta pusaka
36
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan
Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010), h. 148 37
Amir Sjarifoedin Tj.A, Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku
Imam Bonjol, (Jakarta: Gria Media Prima, 2011), h. 100 38
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h . 217.
31
rendah yang disisipkan kedalam harta pusaka tinggi yang sudah diterima
secara turun temurun.
Harta pusaka rendah yang diterima anak laki-laki dari orang tuanya
boleh saja dihibahkan kepada keluarga istrinya, tetapi pada umumnya justru
dipasrahakan kepada saudaranya yang perempuan untuk menambah harta
pusaka kaumnya.39
b. Harta Pencaharian
Harta pencaharian adalah segala harta benda yang diperoleh dengan
usahanya sendiri, atau karena diberi orang lain.40
Harta hasil usaha sendiri itu
dapat dipisahkan kepada dua bentuk: Pertama, tembilang besi yaitu tanah
yang didapatnya melalui hasil taruko dari tanah ulayat kaum, kedua,
tembilang emas yaitu harta atau tanah yang didapatnya dengan cara membeli
atau memagang yang uang untuk maksud itu adalah dari hasil usahanya
sendiri.
Harta pencaharian ini harta yang dicari oleh suami dan istri, diperoleh
mereka selama dalam status perkawinan dan disebut Harta Gono-gini.41
c. Secara Hibah
Hibah adalah harta yang dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang
sebagai hasil pemberian dari orang lain bukan disebabkan oleh kematian dari
yang punya harta. Harta ini menjadi hak milik bagi yang menerima hibah.
Sejauh mana harta yang diterima itu menjadi hak milik bagi yang menerima,
akan dijelaskan dalam pembahasan yang akan datang. Dalam bentuk hak
milik penuh, harta hibah tersebut dapat diwariskan kepada anak cucu.42
39
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusaka Tinggi dan Pencaharian di Minangkabu, (Jakarta:
Citra Harta Prima, 2011), h. 98. 40
Ibrahim Dt Sanggoeno Diradjo, TAMBO ALAM MINANGKABAU “Tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang”, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2012), h. 224. 41
Amir Sjarifoedin Tj.A, Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku
Imam Bonjol, (Jakarta: Gria Media Prima, 2011), h. 100. 42
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h . 218
32
Hibah dalam Hukum adat Minangkabau dapat dibagi tiga macam:
1) Hibah semata adalah cara melepaskan harta untuk dapat dimiliki oleh pihak
lainnya, khususnya kepada anak, oleh seorang anggota suatu kaum, yang
disetujui oleh mamak kepala waris, diketahui oleh penghulu kaum itu, serta
disaksikan oleh mamak kepala waris kaum yang menerima dan diketahui
pula oleh penghulunya. Dalam adat dikatakan bahwa hibah batau-tau,
setahu mamak dan penghulu dari kaum yang memberi hibah dan setahu
mamak dan penghulu kaum yang menerima hibah. Jadi diketahui oleh
kedua belah pihak secara lengkap, dilakukan di hadapan semua ahli waris
kedua pihak, dan dilakukan di rumah pihak yang memberi hibah. Hibah ini
biasanya dilakukan kepada anak oleh seorang bapak, dan berlaku sepanjang
umur anak yang menerima hibah.43
2) Hibah beserta emas, adalah hibah dengan uang atau emas. Maksudnya
penerima hibah memberikan sejumlah emas atau uang kepada pemberi
hibah, jangka waktunya tetap seumur anak atau penerima hibah, tetapi bila
dia meninggal dunia maka harta hibah itu dapat kembali kepada pemberi
hibah atau kaumnya bila sejumlah emas atau uang yang diterima pemberi
hibah dahulunya telah dikembalikan kepada kaum penerima hibah.
3) Hibah selama-lamanya, adalah jenis hibah lepas dari pemberi hibah kepada
penerima hibah, biasanya diikuti oleh sejumlah emas atau uang tertentu,
dan harta ini tidak kembali lagi kepada kaum pemberi hibah untuk selama-
lamanya. Untuk hibah jenis ini harus diketahui oleh pucuk adat, dan
biasanya diberi tanda dengan batu atau kayu.44
Istilah ini hibah muncul setalah agama Islam masuk ke
Minangkabau. Sebelum Islam masuk ke Minangkabau, dalam adat istilah
43
Edison Piliang dan Hasrun Dt. Maraja Sungut, TAMBO MINANGKABAU “Budaya dan
Hukum Adat di Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2014), h.266. 44
Edison Piliang dan Hasrun Dt. Maraja Sungut, TAMBO MINANGKABAU “Budaya dan
Hukum Adat di Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2014), h.268.
33
pemberian berupa hibah ini adalah agiah (pemberian) laleh, agiah bakeh,
dan agiah pampeh.45
4. Macam harta dari segi hak penggunaannya
Dari segi hak dan penggunaannya, tanah dibagi menjadi dua bentuk, yaitu
hak bersama dan bukan hak bersama. Yang dimaksud hak bersama ialah harta
yang dimiliki haknya secara genggam beruntuk oleh kaum secara kolektif hingga
tidak dapat ditentukan bagian masing-masing anggota kaum dan tidak dapat pula
dibagi untuk pribadi anggota kaum tersebut.
Yang dimaksud bukan hak bersama ialah harta yang tidak dapat
dikelompokkan kepada harta bentuk pertama tersebut di atas, dengan arti dapat
dimiliki oleh pihak tertentu dalam kaum tanpa ikut sertanya pihak yang lain.
Dalam kategori ini tidak dipergunakan kata “hak pribadi”, walaupun dalam
beberapa keadaan pengertian bukan hak bersama dapat identik dengan hak
pribadi. Dalam penetuan hak atas harta di Minangkabau, kata “bukan milik
bersama” tidak sama dengan “milik pribadi” karena pengertian milik pribadi di
sini berarti dipunyai oleh seseorang yang tertentu dengan arti individual,
sedangkan adat Minangkabau menganut filsafat bersama dalam kemasyarakatan
yaitu dasar bersama, tujuan bersama dan cara bersama.
Dari penjelasan di atas, maka macam-macam harta menurut pembagian
tersebut dapat dimasukan ke dalam salah satu di antara dua kategori:
Hutan tinggi sebagai tanah ulayat adalah hak bersama oleh kaum atau
suku atau nagari yang memegang hak ulayat itu. Sifat kebersamaannya dapat
dilihat dari segi bahwa tanah tersebut belum dimasuki dan diolah sehingga
siapapun di antara anggota kaum yang memegang ulayat boleh mengolahnnya
menjadi tanah pertanian atau perumahan.
45
Amir Sjarifoedin Tj.A, Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku
Imam Bonjol, (Jakarta: Gria Media Prima, 2011), h. 118
34
Harta pusaka tinggi adalah hak bersama seluruh anggota kaum. Masing-
masing anggota kaum tidak dapat memilikinya secara hak pribadi, tetapi masing-
masing dapat mengambil manfaat dari padanya secara hak pakai yang
pemakaianya diatur oleh penghulu atau niniak mamak dari kaum itu.46
5. Macam harta yang menyangkut kehidupan suami istri dalam perkawinan
Bila terjadi perkawinan antara seseorang laki-laki dari suatu kaum dengan
perempuan dari kaum lain dalam perkawinan eksogami dan kedua suami istri
diam di rumah pihak istri, maka dalam kehidupan suami istri itu terdapat harta
untuk penunjang kehidupan mereka. Harta tersebut dapat terdiri dari bermacam-
macam berdasarkan sumbernya. Macam harta itu ditentukan oleh keadaan harta
yang dimiliki oleh suami atau istri sebelum berlangsungnya perkawinan, maupun
sesudahnya. Macam-macam harta itu adalah sebagai berikut:
1) Harta tetapan, yaitu harta yang telah ada di rumah si istri sebelum berlangsung
perkawinan. Harta tetapan yang dimilliki oleh istri ini mungkin merupakan
harta pusaka yang ada di rumah itu, atau mungkin bersala dari pencarian
sendiri.47
Harta itu disebut harta tetapan, karena dalam adat perkawinan di
Minangkabau, laki-laki yang pulang ke rumah istrinya. Pada waktu ia pulang
itu sudah didapatkannya harta itu disana. Harta tepatan atau dapatan ada dua
macam:
a) Harta pusaka yaitu harta yang oleh istri dimilikinya bersama secara
dipusakai, baik pusaka tinggi atau pusaka rendah. Harta tersebut, adalah
hak bersama istri bersama anggota keluarga lainnya.
b) Harta pencaharian yang didapat oleh istri sebagai hasil usahannya sendiri
atau dapat hibah secara perorangan. Harta dari kedua sumber itu adalah hak
pribadi istri dan tidak ada hak kaum di dalamnya.
46
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h . 221 47
Edison Piliang dan Hasrun Dt. Maraja Sungut, TAMBO MINANGKABAU “Budaya dan
Hukum Adat di Minangkabau,(Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2014), h.271
35
2) Harta bawaan, yaitu harta yang telah dimiliki oleh suami sebelum perkawinan
dan harta tersebut ditempatkan oleh suami di tempat istrinya, atau harta yang
diterima suami secara perorangan dalam perkawinan, yang keseluruhannya
disediakan suami untuk menunjang kehidupan keluarga itu. Penamaan ini
tentu muncul setelah adanya tanggung jawab seorang suami terhadap anak dan
istrinya. Ditinjau dari segi caranya suami memperoleh harta itu, harta bawaan
dapat dipisahkan dalam dua macam yaitu:48
a) Harta pusaka yang diterima suami dari mamak atau kaumnya, baik dalam
bentuk pusaka rendah atau pusaka tinggi. Harta tersebut dapat dibawa oleh
suami ke rumah istrinya adalah sebagai hak pakai dari kaumnya.
b) Harta pencaharian baik yang bernama tembilang besi maupun tembilang
emas atau harta yang diterimanya secara hibah. Keseluruhan harta
pencaharian itu terkelompok pula kepada adanya harta bersama atau hak
pribadi.
Bila suami meninggal dunia, maka berlakulah ketentuan adat yang
berbunyi:
Harta tetapan tinggal
Harta bawaan kembali
Harta surang dibagi
Harta sekutu dibelah
Berdasarkan ketentuan tersebut harta bawaan suami dikembalikan
lagi kepada kaumnya.49
3) Harta perkawinan, yaitu harta yang diperoleh selama berlangsung
perkawinan, baik atas usaha suami, atau atas usaha istri, atau atas usaha
48
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h . 221. 49
Edison Piliang dan Hasrun Dt. Maraja Sungut, TAMBO MINANGKABAU “Budaya dan
Hukum Adat di Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2014), h270.
36
bersama suami dan istri. Ketiga bentuk usaha tersebut nyata dalam
kehidupan perkawinan di Minangkabau.50
6. Macam harta dari segi tersangkutnya hak orang lain di dalamnya
Dari segi tersangkutnya hak orang lain pada harta dapat dibagi menjadi dua
macam yaitu: harta suarang dan harta serikat.
Harta suarang atau disebut juga dengan harta pesuarangan yaitu harta yang
dimiliki beberapa orang secara bersama-sama dengan hak yang sama. Harta serikat
yaitu harta yang didapat atas hasil usaha beberapa orang hingga dimiliki bersama
oleh orang-orang yang berusaha itu.
Demikian juga pada orang yang menjadi suami dan isteri, si suami dan
isteri mempunyai pekerjaan masing-masing, maka pendapatan dari usaha dari
keduanya dinamakan harta persuarangan. Apabila salah satu dari keduanya yang
bekerja maka harta itu tidak menjadi harta persuarangan.51
Harta serikat lebih banyak menampakkan harta yang didapat melalui usaha
bersama. Menurut adat Minangkabau: bersuarang beragih, bersakutu berbelah.
Cara berusahanya mungkin berusaha bersama dengan modal bersama atau modal
bersama dilakukan usahanya oleh pihak ketiga atau berusaha bersama
menjalankan modal pihak ketiga atau semata-mata berusaha bersama tenaga secara
menjual jasa atau satu pihak mempunyai modal dan yang lain yang berusaha
dengan modal itu.52
Keseluruhan usaha tersebut dinamai usaha berserikat dan hasil yang
diperdapat disebut harta serikat.
50
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h . 222. 51
Ibrahim Dt Sanggoeno Diradjo, TAMBO ALAM MINANGKABAU “Tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang”, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2012), h.225. 52
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h . 222.
37
C. Pembagian Harta Pusaka Tinggi
Secara garis besarnya di dalam adat Minangkabau harta pusaka terbagi kepada
dua bagian, yaitu harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi itu
ada juga yang menyebutnya dengan harta tua. Perbedaan itu terletak pada waktu
terjadinya harta itu.
Menurut Buya HAMKA “faraidh tidak dapat masuk kemari, karena harta
pusaka tinggi tidak dapat dibagi-bagi, tetapi diwariskan secara turun temurun kepada
anak kaum (suku) tersebut. kaum hanya dapat mengambil manfaat atau hasilnya saja
dari harta peninggalan itu.53
Menurut adat harta pasuka tinggi tidak boleh dibagi-bagi menjadi hak sendiri-
sendiri oleh orang yang menerima pusaka itu. tetapi boleh dibagi oleh berkaum yang
sama-sama menerima harta pusaka itu, buat mengerjakan menurut aturan mamak.
Pembagian itu namanya genggam beruntuk-untuk, bukan berarti pembagian
itu untuk jadi kepunyaan masing-masing yang menggenggam harta itu, tetapi harta itu
tetap kepunyaan bersama juga. Hanya hasil-hasil yang dikeluarkan dari harta pusaka
itu yang dibagi untuk yang menggenggam menurut aturan yang sudah diatur.
Misalnya hasil sawah atau hasil ladang yang dikerjakan oleh waris yang
menggenggamnya.54
Dengan sistem ganggam bauntuk ini akan selalu memberi manfaat secara
terus menerus dari satu generasi ke generasi yang lain. Karena itu pola harta pusaka
tinggi yang tidak boleh dijual ini menjadi landasan utama bagi terciptanya prinsip
kekeluargaan abadi dalam sistem kekeluargaan di Minangkabau.55
Dalam bukunya Syekh Ahmad Khatib yang berjudul “Ad Doi‟ al Masmu‟ Fil
Raddi „ala Tawarisi al „ikhwati wa Awadi al Akawati ma„a Wujud al Usuli wa al
53
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan
Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010), h. 147. 54
Ibrahim Dt Sanggoeno Diradjo, TAMBO ALAM MINANGKABAU “Tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang”, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2012), h. 222. 55
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusaka Tinggi dan Pencaharian di Minangkabu, (Jakarta:
Citra Harta Prima, 2011), h. 30
38
Furu‟i. yang artinya “dakwah yang di dengar tentang penolakan atas pewarisan
saudara dan anak saudara di samping ada orang tua dan anak”.
Syeckh Ahmad Khatib tidak setuju dengan pewarisan yang ditetapkan adat
Minangkabau. Ia lebih menekankan tentang pewarisan secara hukum Islam. Namun
pendapat beliau berbeda dengan muridnya, seperti Syekh Dr.H.Abd. Karim
Amrullah, yang melihat harta pusaka dalam bentuk yang sudah terpisah dari harta
pencarian.
Menurut Karim Amrullah, harta pusaka itu sama keadaannya dengan harta
wakaf atau musabalah yang pernah diperlakukan oleh Umar bin Khatab atas harta
yang didapatnya dikhaibar dibekukan tasharrufnya dan hasilnya dimaafaatkan untuk
kepentingan umum.56
Ketentuan adat Minangkabau tentang pewarisan harta pusaka tinggi ini
berbunyi sebagai berikut:
Biriek biriek tabang kasasak
Dari sasak turun ka halaman
Dari niniek turun ka mamak
Dari mamak turun ka kamanakan57
Dan ketentuan adat Minangkabau tentang pemilikan harta pusaka tinggi ini
adalah sebagai berikut:
Tajua indak dimakan bali
Digadai indak dimakan sando58
Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu dalam kewarisan.
Asas-asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan dan kehartabendaan,
56
Amir Sjarifoedin Tj.A, Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku
Imam Bonjol, (Jakarta: Gria Media Prima, 2011), h. 102 57
Maksudnya adalah sako dan pusaka yang didapat dari ninik diturnkan ke mamak dari
mamak diturunkan lagi untuk kemenakan. Sako dan pusaka merupakan warisan turun temurun
menurut garis keturunan ibu atau menurut kekerabatan bertali darah. Oleh karena itu, mamak dan
kemenakan sama-sama memiliki hak dan kewajiban. 58
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusaka Tinggi dan Pencaharian di Minangkabu, (Jakarta:
Citra Harta Prima, 2011), h. 20
39
karena hukum kewarisan suatu masyarakat ditentukan oleh struktur kemasyarakatan.
Adat Minangkabau mempunyai pengertian tersendiri tentang keluarga dan tentang
cara-cara perkawinan. Dari kedua hal itulah muncul ciri khas struktur kekerabatan
dalam adat Minangkabau, yang menimbulkan bentuk tersendiri pula dalam hukum
kewarisannya.
Amir Syarifuddin menjelaskan ada 3 asas pokok dalam hukum kewarisan adat
Minangkabau:59
1. Asas unilateral, yaitu hak kewarisan hanya berlaku dalam satu garis kekerabatan,
dan satu garis kekerabatan di sini adalah garis kekerbatan melalui ibu.
2. Asas kolektif, yaitu bahwa yang berhak atas harta pusaka bukanlah orang
perorang, tetapi suatu kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan asas ini maka
harta tidak dibagi-bagi dan disampaikan kepada kelompok penerimanya dalam
bentuk kesatuan yang tidak terbagi.
3. Asas keutamaan, yaitu bahwa dalam penerimaan harta pusaka atau penerimaan
dalam peranan untuk mengurus harta pusaka, terdapat tingkatan-tingkatan hak
yang menyebabkan satu pihak lebih berhak dibandingkan dengan yang lain, dan
selama yang lebih berhak itu masih ada maka yang lain belum dapat menerimanya.
Kekerabatan dalam adat disebabkan karena bertali darah (dilihat dari garis ibu),
bertali adat (satu suku), dan bertali emas (orang yang tidak bertali darah dan bertali
suku tapi atas kehendaknya ingin masuk ke dalam suatu suku tertentu).
Pewarisan harta pusaka ini diwariskan secara kolektif terhadap ahli warisnya,
karena harta pusaka ini adalah dikuasai oleh kaum secara kolektif juga, maka
kematian dalam kaum tidak banyak menimbulkan masalah. Harta itu tetap tinggal
pada rumah yang ditempati kaum untuk dimanfaatkan bersama oleh seluruh kaum.
59
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan
Umat Islam Indonesia (Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010), h. 150.
40
D. Kedudukan Harta Pusaka Tinggi dalam Hukum Adat
Dalam adat Minangkabau, harta pusaka tinggi ini merupakan harta yang
sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat adatnya. Minangkabau memiliki
sistem kekerabatan matrilineal. Sistem kekerabatan matrilineal adalah suatu sistem
yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu
jalinan kekerabatan garis keturunan ibu.
Dalam pandangan Adat Minangkabau harta benda (materi), mempunyai
fungsi yang tidak hanya sekedar jaminan hidup ekonomi, tetapi mempunyai fungsi
moral, sosial, harga diri disamping sebagai modal ekonomi. Ada beberapa fungsi
harta dalam Adat Minangkabau sebagai berikut:60
1. Harta itu adalah sebagai menghargai jerih payah nenek moyang. Sebagai pewaris
yang bermoral tinggi ditabukan untuk menjual harta pusaka tinggi.
2. Harta dianggap sebagai lambang ikatan berdunsanak, yang bertali darah.
Pemilikannya bersama melambangkan kedekatan hubungan sosial antara mereka
yang berdunsanak.
3. Harta itu sebagai jaminan hidup kaum, sepanjang masa.
4. Harta sebagai lambang harga diri, keluarga sekaum. Semiskin-miskin orang
Minangkabau, tanah satampok tetap punya.
Hukum tanah adat Minangkabau didasarkan pada prinsip keluarga jangka
panjang. Prinsip keluarga abadi, sepanjang masa.61
Harta pusaka tinggi ini masih kekal sebagai asas yang penting bagi adat
Minangkabau. Walaupun harta pusaka, terutama tanah besar kemungkinan sekarang
ini dibagikan di kalangan semandai, harta ini masih diwariskan mengikuti pola yang
Kalau pola harta pusaka tinggi dihapuskan, maka kami yakin adat
Minangkabau akan segera runtuh. Sebaliknya kalau pola harta pusaka tinggi kita
60
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusaka Tinggi dan Pencaharian di Minangkabu, (Jakarta:
Citra Harta Prima, 2011), h. 28. 61
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusaka Tinggi dan Pencaharian di Minangkabu, (Jakarta:
Citra Harta Prima, 2011), h. 28.
41
lestarikan dan kembangkan, kami yakin Adat Minangkabau akan bertambah kukuh
dalam percaturan budaya di Negara Indonesia.62
Kedudukan harta pusaka tinggi dalam perjalanan kehidupan Adat
Minangkabau sangat lah penting.
Pusaka tinggi inilah dijual tidak dimakan bali di gadai tidak dimakan sando
inilah tiang agung Minangkabau selama ini.63
E. Harta Pusaka Tinggi Sebagai Harta Kaum
Harta pusaka dalam pembahasan ini adalah harta pusaka dalam pengertian
khusus yaitu harta yang berada di tangan seseorang atau kaum sebagai peninggalan
dari generasi sebelumnya yang disebut dengan harta pusaka tinggi. Harta ini adalah
unsur penunjang tegaknya sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau.
Sebagaimana disebutkan dalam pembahasan terdahulu, harta pusaka
ditinggalkan oleh nenek moyang penemu harta itu untuk kepentingan bersama anak
cucunya di kemudian hari. Kepentingan itu ada dua tingkat yaitu kepentingan biasa
dalam kehidupan sehari-hari yang cukup dipenuhi dari hasil yang diperoleh dari harta
pusaka. Kedua kepentingan mendesak, yang seandainya tidak dapat ditutupi dengan
hasil harta pusaka, dapat ditutupi dengan harta pusaka itu sendiri.
Penggunaan harta pusaka dalam hubungannya dengan kepentingan yang
mendesak, dinyatakan dalam pepatah adat sebagai berikut:64
Rumah gadang katirisan
Gadih tuo indak balaki
Mayik tabujua tangah rumah
Mambangkik batang tarandam
62
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusaka Tinggi dan Pencaharian di Minangkabu, (Jakarta:
Citra Harta Prima, 2011), h. 30. 63
Amir Sjarifoedin Tj.A, Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku
Imam Bonjol, (Jakarta: Gria Media Prima, 2011), h. 103. 64
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h. 222.
42
Dari rangkaian pepatah tersebut di atas dapat dikatakan bahwa harta pusaka
tinggi hanya dipergunakan untuk empat keperluan itu saja.
1. Rumah gadang katirisan
Waktu membicarakan fungsi Rumah Gadang sudah dijelaskan bahwa
Rumah Gadang adalah pusat administrasi kekerabatan matrilineal. Secara fisik
Rumah Gadang dibangun untuk dapat menampung dan memberi perlindungan
untuk seluruh keluarga dalam lingkungan kesatuan paruik. Rumah Gadang
adalah lambang keutuhan organisasi kaum. Bila Rumah Gadang tersebut
mengalami kebocoran, akan dapat membawa kerusakan kepada bagian lain dari
Rumah Gadang itu. Di samping itu dapat pula mengganggu ketenangan dan
kesehatan penghuninya. Untuk keperluan memperbaikinya disediakan dana dari
harta pusaka.65
Dalam rumah gadang sebagai rumah yang dimiliki secara bersama,
ternyata sudah rusak seperti bocor atau sudah lapuk, maka boleh mengadai atau
sudah lapuk.
Milik bersama ternyata sudah banyak yang rusak seperti bocor sudah
lapuk, maka boleh mengadaikan sekedar kadar perbaikan.66
Rumah Gadang katirisan ini secara fisik juga berarti mendirikan Rumah
Gadang baru bila terjadi perkembangan anggota keluarga, sedangkan Rumah
Gadang lama tidak dapat menampung perkembangan itu.
Rumah Gadang katirisan, boleh dikerjakan dengan jalan gotong royong
seluruh suku: berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.67
Bahan-bahannya
dicari di hutan yang termasuk ulayat kaum. Begitu pula pada waktu
menegakkannya dilakukan secara bersama-sama. Pada waktu belakangan, semua
bahan perlu dibeli dan tenaga tukang perlu digaji. Karenanya dana yang
65
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h. 223. 66
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusaka Tinggi dan Pencaharian di Minangkabu, (Jakarta:
Citra Harta Prima, 2011), h. 10. 67
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984), h. 103.
43
disediakan dan diperlukan dari harta pusaka lebih besar dibandingkan dengan
pada waktu dulu.
Ditinjau dari segi Rumah Gadang sebagai lambang keutuhan keluarga
matrilineal, pepatah adat tersebut juga berarti untuk menjaga keutuhan kerabat
matrilineal dan memelihara dan mengembangkan harta yang dimiliki oleh kaum
itu. Pemakaian harta dipergunakan untuk menjaga dan mengembangkan harta iu
dalam pepetah adat disebutkan “mangabek padi jo daunnyo”68
2. Gadih tuo indak balaki
Menurut kebiasaan yang berlaku dahulu di Minangkabau, gadis yang
sudah menginjak dewasa sudah dikawinkan. Bila gadis sudah melewati umur
dewasa belum juga kawin adalah suatu yang kurang dan memalukan keluarga.
Untuk menutup malu dan kekurangan itu segala daya dan dana disediakan dari
harta pusaka.
Gadis besar belum bersuami dapat disebabkan oleh beberapa hal, di
antaranya belum cukup persediaan material yang dibutuhkan untuk suatu
perkawinan. Sesuai dengan adat matrilineal, dalam rangka mengambangkan
keluarga, diperlukan suami yang didatangkan itu tidak diharapkan bantuan
material untuk pelaksanaan segala sesuatu yang menyangkut keperluan
perkawinan. Bahkan ada di antara adat suatu nagari, laki-laki yang akan menjadi
sumando itu didatangkan dengan uang jemputan yang jumlahnya ditentukan oleh
pihak kaum laki-laki. Segala keperluan acara perkawinan itu berikut peralatan
dan tempat penganten harus disediakan oleh keluarga pihak perempuan. Karena
beratnya syarat mengadakan perkawinan itu terjadilah adanya gadis besar belum
mendapatkan jodoh.69
Gadis gadang yang belum bersuami juga akan memberi malu atau
menjadi aib kepada orang yang berkaum, yang berkarib baid dengan gadis itu.
68
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h. 223 69
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h. 224.
44
selain daripada malu, kadang-kadang gadis itu pula yang membuat kelakuan
yang memberi malu kepada kaum keluarganya.70
3. Mayik tabujua tangah rumah
Mayat terbujur di tengah rumah berarti biaya pengurusan jenazah dan
segala sesuatu yang menyangkut dengan peristiwa kematian. Urusan ini termasuk
kepada yang harus dibiayai dengan harta pusaka, menunujukan bahwa peristiwa
kematian itu membutuhkan biaya.71
Apabila mayat tidak terkubur mejadi aib dan malu besar kepada segenap
keluarganya, karena itu wajib kaum mencari akal bagaimana supaya mayat itu
dapat dikuburkan dengan patut menurut adat. Apabila tiada dapat akal lain untuk
menyelamatkan mayat itu ke kubut, maka wajiblah harta pusaka kaum itu dijual
atau digadaikan sekedar perlunya saja.72
Begitu pula adat menyediakan hidangan untuk orang yang melakukan
ta‟ziyah yang diadakan pada beberapa waktu yang tertentu seperti hari ketiga,
hari ketujuh, hari keempat puluh dari kematian. Pada setiap hari itu diperluan
biaya yang banyak. Acara-acara seperti itu tidak dituntut oleh syara‟ bahkan
menganggap perbuatan itu tidak baik.
4. Mambangkik batang tarandam
Dalam pengertian adat Minagkabau membangkitkan batang tarandam
berarti bertegak penghulu yang jabatan tersebut sudah lama ditaguhkan.
Apabila ninik mamak yang meninggal dunia dan gelar ninik mamak
tersebut tidak disandangkan kepada penungkatnya hari itu juga, gelar itu akan
terbenam. Adat mencabutkan batang terbenam atau mengangkat batang tarandam
70
Ibrahim Dt Sanggoeno Diradjo, TAMBO ALAM MINANGKABAU “Tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang”, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2012), h. 234. 71
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h. 224. 72
Ibrahim Dt Sanggoeno Diradjo, TAMBO ALAM MINANGKABAU “Tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang”, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2012), h. 234
45
lebih berat dari mengangkat penghulu biasa. Sekurang-kurangnya seekor kerbau
jadi korbannya.73
Jabatan itu tidak dapat ditangguhkan berlama-lama karena akan merusak
nama baik kaum itu, sebagaimana rusaknya kayu yang kelamaan direndam. Suku
yang tidak mempunyai penghulu adalah suatu aib, karena dianggap sebagai suku
yang pendatang. Oleh karena itu, suku yang dalam hal ini jurai atau paruik yang
dapat giliran berusaha untuk membangkit batang terendam.
Bila desakan untuk batagak penghulu termasuk usaha untuk menutupi
malu, maka pengertian membangkik batang terendam itu, berlaku juga untuk
menutupi malu yang tercoreng di kening kaum, yang berarti malu yang menimpa
kaum.
Bila diperhatikan keperluan mendesak yang dihadapi dengan harta pusaka
seperti diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa keseluruhannya
menyangkut kepentingan kaum secara kolektif. Ada yang langsung menyangkut
kepentingan kaum seperti memperbaiki rumah gadang tempat kediaman anggota
kaum dan keperluan batagak penghulu yang akan menjadi pimpinan seluruh
kaum. Adapun dua keperluan lagi walaupun terlihat keperluan pribadi yang
menonjol seperti mengawinkan gadis tua yang belum menikah atau mayat
terbujur ditengah rumah, tetapi secara tidak langsung keduanya juga untuk
kepentingan kaum. Mengawinkan gadis dalam kaum adalah untuk kelanjutan
keturunan generasi yang akan datang dari kaum, sedangkan menguburkan mayat
yang terbujur di tengah rumah untuk menjaga martabat kaum.74
Karena keseluruhannya menyangkut kepentingan kaum, adalah wajar bila
dana yang dipergunakan untuk itu diambil dari harta pusaka yang menjadi milik
kaum. Pada tahap pertama dengan segala usaha dicoba mengatasinya dengan
hasil yang diperoleh dari harta pusaka tanpa mengurangi harta pusaka itu sendiri.
73
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984), h. 104. 74
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h. 225.
46
Bila hal itu tidak mungkin, sedangkan masalahnya sudah termasuk mendesak,
maka berlakulah pepatah adat: “indak kayu janjang dikapiang, indak ameh
bungka diasah:. Artinya adat membenarkan mengurani harta pusaka secara gadai
atau dijual dengan cara yang dibenarkan oleh adat.
46
BAB III
PROFIL KENAGARIANAN BATU TABA KECEMATAN IV ANGKEK
KABUPATEN AGAM
A. Gambaran Umum Kondisi Kenagarianan Batu Taba
1. Sejarah Kenagarian Batu Taba
Nama Batu Taba berasal dari banyaknya batu yang ukurannya besar-besar
pada saat orang yang pertama datang ke daerah ini menemukan hamparan batu
bekas dari galodo1 gunung merapi, diperkirakan telah 500 tahun sebelum masehi.
Asal usul pendatang yang pertama kali datang ke Kenagarian Batu Taba terdiri
dari 6 suku yang berasal dari Balai Gurah diantaranya Suku Koto, Piliang, Guci,
Tanjuang, Sikumbang dan Jambak. Balai Gurah terletak arah timur dari
Kenagarian Batu Taba pendatang yang datang tersebut awalnya menelusuri hutan
yang mengarah ke barat dari Sitapuang ke Cangkiang dan disini mulai
penyebaran kedaerah sekitarnya.
Kenagarian Batu Taba mempunyai 10 kubu (pertanahan) antara lain:
kubu tuo, kubu rakik, kubu pisang, kubu maninjau, kubu bebeh, kubu randah,
kubu pinang, kubu sanang, kubu bio.
Pada zaman dahulu kubu (pertanahan) ini adalah tempat nenek moyang
bertahan pada saat terjadinya perang dengan Belanda.
Kenagarian Batu Taba terdiri dari 6 (enam) jorong yakni:
a. Cangkiang
Nama Cangkiang berasal dari nama pohon cangkiang dimana daerah
ini banyak ditumbuhi oleh pohon cangkiang, jadi para pendatang tersebut
menamakan daerah ini dengan sebutan “Cangkiang.”
b. Surau Gadang
1 Banjir bandang yang disertai dengan longsor yang membawa batu-batu besar.
47
Batu Taba sebelum berkembang terdapat satu-satunya mesjid/surau
yang paling besar/gadang didaerah ini oleh karena itu daerah ini dinamakan
dengan Surau Gadang.
c. Tanah Nyariang
Asal kata tanah nyariang adalah dahulunya di daerah ini sekitar tanah
lapang/lapangan bola sering berbunyi nyaring tanahnya apabila orang-orang
yang main bola berlari di lapangan tersebut. Maka daerah ini dinamakan
dengan Tanah Nyariang.
d. Panca
Asal kata Panca berasal dari kata terpancar, dahulu daerah ini
kawasan yang banyak air sehingga ketika para pendatang itu datang ke
daerah ini menemukan lokasi yang sangat mudah mendapatkan sumber mata
air. Dan ketika mereka menggali sumur untuk sumber air maka air itu
terpancar dari mata air yang tidak terlalu dalam. Maka dari situlah
dinamakan dengan “Panca.”
e. Tigo Jorong
Karena daerah sekitar jorong yang disebutkan diatas telah semakin
banyak penduduknya dan lahan pertanian telah dimiliki oleh para pendatang
terdahulu maka adanya niat sebagian masyarakat untuk pindah ke daerah
lain yaitu ke daerah Tigo Jorong. Daerah Tigo Jorong ini penduduknya
berasal dari Jorong Panca, Jorong Surau Gadang, Jorong Sungai Rotan.
Nama Tigo Jorong berasal dari adanya satu lantak/perbatasan yang dipunyai
oleh tiga daerah: Pertama, Jorong Kubu Ketapiang. Kedua, Jorong Koto
Panjang. Ketiga, Jorong Panca. Karena adanya tiga lantak/perbatasan
tersebut maka daerah ini dinamakan “Tigo Jorong.”
f. Sungai Rotan
Dahulu kebiasaan masyarakat untuk pergi mandi, mencuci,dll. Sering
dilakukan disebuah kolam/sungai. Dan didaerah ini di tepian sungainya
48
banyak ditumbuhi batang rotan. Maka mereka menamakan daerah ini dengan
sebutan “Sungai Rotan.”
2. Letak Geografis
Secara geografis Kenagarian Batu Taba Kecamatan IV Angkek dilihat dari
beberapa aspek tinjauan meliputi iklim:
a. Curah hujan : 4.500 mm
b. Jumlah bulan hujan : 4 bulan
c. Suhu rata-rata : 15,3 – 24,4 c
d. Tinggi tempat : 996 MDPL
e. Bentang wilayah : datar dan lereng gunung
Kenagarian Batu Taba dengan luas wilayah 376 Ha terdiri dari 6 Jorong.
Luas Kenagarian Batu Taba berdasarkan Jorong disajikan dalam tabel dibawah ini:
Tabel 1
Luas Kenagarian Batu Taba per Jorong
NO Nama Jorong Luas (Ha)
1 Cangkiang 189
2 Surau Gadang 19
3 Tanah Nyariang 54
4 Panca 50
5 Tigo Jorong 13
6 Sungai Rotan 51
Jumlah 376
Batas wilayah administrasi Kenagarian Batu Taba meliputi:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kenagarian pasia.
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kenagarian Bukik Batabuah Kecamatan
Canduang.
c. Sebelah timur berbatasan dengan Kenagarian Balai Gurah.
49
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Banuhampu dan Kota
Bukittinggi.
Jarak tempuh atau orbitasi:
a. Jarak tempuh ke ibu kota Kecamatan : 04 km
b. Waktu tempuh ke Kecamatan : 10 menit
c. Jarak tempuh ke ibu kota Kabupaten : 77 km
d. Waktu tempuh ke ibu kota Kabupaten : 2 jam
e. Jarak ke ibu kota Provinsi : 98 km
f. Waktu tempuh ke ibu kota Provinsi : 3 jam
3. Demografi Kenagarianan Batu Taba
Jumlah penduduk Kenagarian Batu Taba adalah 6.126 jiwa yang terdiri
dari 1.520 kepala keluarga. Komposisi penyebaran penduduk di 6 jorong di
wilayah Kenagarian Batu Taba sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2
Jumlah dan Penyebaran Penduduk
Kenagarian Batu Taba
NO JORONG JUMLAH
PENDUDUK
JUMLAH
KK
1 Cangkiang 595 158
2 Surau Gadang 734 193
3 Panca 1118 278
4 Tigo Jorong 1071 255
5 Tanah Nyariang 981 246
6 Sungai Rotan 1627 390
Jumlah 6126 1520
4. Kondisi Agama
50
Secara faktual kehidupan agama di Kenagarianan Batu Taba berjalan
dengan lancar. Hal ini dapat diperhatikan dalam realita kehidupan masyarakat
yang aman, damai, dan sejahtera. Penduduk Kenagarian Batu Taba semuanya
beragama Islam. Namun demikian seiring dengan kebijakan pemerintah provinsi
Sumatra Barat “babaliak kaKenagarian” di era otonimi daerah, belum mampu
diterjemahkan secara kongkrit di tengah-tengah kehidupan masyarakat Kenagarian
Batu Taba, sehingga muncul kekhawatiran makin luntur dan rendahnya
pemahaman agama bagi generasi muda apalagi Kenagarian Batu Taba merupakan
daerah transisi perbatasan antara 2 Kota dengan Kabupaten. Untuk mengantisipasi
hal ini, telah dilakukan berbagai langkah dan upaya oleh tokoh masyarakat di
Kenagarian Batu Taba untuk membangun masjid dan mushala serta melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan. Pada saat ini kehidupan beragama di Kenagarian
Batu Taba didukung oleh sarana ibadah ada 3 masjid dan 12 mushala yang
tersebar di 6 jorong.
Kenagarian Batu Taba dikembangkan lembaga pendidikan agama non
formal seperti MDA, TPA, dan TPQ. Hal tersebut sesuai dengan Perda No 5
Tahuun 2007, yakni agar setiap anak yang melanjutkan sekolah kejenjang yang
lebih tinggi harus mampu baca tulis Al-Qur’an, apalagi dengan perkembangan
zaman saat ini perlu dilakukan antisipasi untuk menangkal dampak negative
pengaruh globalisasi yang dapat merusak sendi-sendi agama, untuk itu keberadaan
lembaga pendidikan agama non formal MDA, TPA dan TPQ sangat penting untuk
memberikan bekal agama Islam kepada anak sejak dini agar mengenal dan
memahami kaidah-kaidah agaman dan berakhlaq mulia.
Tabel 3
Jumlah Guru dan Murid pada Sekolah Agama
Kenagarian Batu Taba
NO Nama Sekolah Jumlah Guru
(Orang)
Jumlah Murid
(Orang)
1 MDA AL-MUTTAQIN 3 50
51
2 MDTA NURUL YAKIN 6 110
3 MDA NURUL HUDA 3 103
4 MDA AL-IHSAN 3 75
5 MDA DARUL MA’MUR 5 112
6 MDA SDI DARUL
MA’MUR
16 188
7 MDA DARUL SALAM 3 94
8 PONDOK AL-QUR’AN
AL-MADANI
2 52
Sumber: Hasil Pengolahan Data Oleh Tim Pendataan Kenagarian
5. Kondisi Pendidikan
Pendidikan merupakan hal yang sangat membantu bagi kehidupan
masyarakat kedepannya. Karena pendidikan ini mempunyai peran yang sangat
penting bagi Bangsa dan sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan
manusia. Untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas di
Kenagarian Batu Taba, maka pendidikan merupakan faktor yang sangat penting
untuk ditingkatkan, baik dari pihak Kenagarianan atau dari masyarakat itu sendiri.
Dari tingkat pendidikan masyarakat di Kenagarian Batu Taba dapat dilihat
dari data di bawah ini:
Tabel 4
Tingkat Pendidikan Penduduk
Kenagarian Batu Taba
Tingkat Pendidikan Jumlah
SD 1054
SMP 1128
SMA 1429
DI/DII 69
DIII 103
52
S1 357
S2 12
Sumber: hasil pengolahan data oleh Tim Pendataan Kenagarian
Dukungan sarana dan prasaran pendidikan umum yang ada di Kenagarian
Batu Taba yaitu PAUD dan Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, SLTP, serta
SMKN. Keberadaan sekolah tersebut sudah banyak memberikan konstribusi
terhadap peningkatan sumber daya manusia penduduk Kenagarian Batu Taba,
selengkapnya dukungan sarana pendidikan di Kenagarian Batu Taba dapat dilihat
dalam tabel berikut:
Tabel 5
Sarana dan Prasarana Pendidikan
Kenagarian Batu Taba
NO Jenjang
Pendidikan
Jumlah
Sarpras
Jumlah
Penduduk Usia
Sekolah
Rata-rata
Jarak Sarpras
dari
Permukiman
1 PAUD/TK 2 192 500 m
2 SD 4 915 500 m
Sumber: Hasil Pengolahan Data Oleh Tim Pendataan Kenagarian
Tabel 6
Data Sekolah Dasar Berdasarkan Rasio Guru dan Siswa
NO Nama Sekolah Jumlah Guru
(Orang)
Jumlah
Murid
(Orang)
Rasio
Guru/Murid
1 TK/PAUD
TUNAS
MURNI
3 36 -
2 TK DARUL 14 156 -
53
MA’MUR
3 SDN 05 BATU
TABA
23 380 -
4 SDN 06 BATU
TABA
11 189 -
5 SDN 27 BATU
TABA
- - -
6 SD DARUL
MA’MUR
18 286 -
Sumber: Hasil Pengolahan Data Oleh Tim Pendataan Kenagarian
Dari data diatas terlihat bahwa rasio guru dan murid di Kenagarian Batu
Taba sudah mencukupi. Sesuai standar nasional pendidikan, rasio ideal guru dan
murid adalah maksimal 1 orang guru untuk 30 murid. Namun demikian, masih ada
beberapa sekolah yang kekurangan guru seperti guru agama dan guru olah raga,
sarana dan prasarana pendidikan yang ada belum didukung prasarana penunjang
pendidikan yang lengkap seperti lapangan olah raga, dll.
6. Kondisi Kesehatan
Kesehatan, peningkatan kualitas kesehatan masyarakat serta kebersihan
lingkungan merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam proses
pembangunan kesehatan, prasarana kesehatan masyarakat di Kenagarian Batu
Taba sebagai berikut:
Tabel 7
Jumlah Fasilitas Kesehatan Kenagarian Batu Taba
NO Jorong Puskesmas Pustu Polindes Posyandu Dokter Bidan
1 Sungai
Rotan
- 1 - 1 2 3
2 Panca - - 1 1 - 1
3 Surau - 1 - 1 - 2
54
Gadang
4 Tigo
Jorong
- - - 1 - -
5 Tanah
Nyarian
g
- - - 1 - -
6 Cangki
ang
- - - 1 - -
Sumber: Hasil Pengolahan Data Oleh Tim Pendataan Kenagarian
Dari data di atas, dengan jumlah penduduk 6126 jiwa maka jumlah fasilitas
kesehatan yang ada di Kenagarian Batu Taba belum memadai walaupun pustu
yang ada sekarang, kondisinya cukup memadai.
7. Kondisi Perekonomian
Keadaan ekonomi Kenagarian Batu Taba secara umum dipengaruhi oleh 3
(tiga) faktor: Pertama, faktor alam (sumber daya alam), kedua, faktor manusia
(sumber daya manusia), ketiga, faktor lingkungan sosial masyarakat. Ketiga faktor
tersebut merupakan potensi yang memungkinkan untuk dikelola dan
dikembangkan sehingga memberikan keuntungan dari segi ekonomi, namun
pemanfaatan sumber daya alam harus sesuai dengan konsep pembangunan
berwawasan lingkungan.
Ditinjau dari sumber ekonomi, masyarakat Kenagarian Batu Taba
mayoritas adalah bermata pencaharian sebagai petani, industry rumah tangga
seperti konveksi dan usaha kue. Selengkapnya sumber perekonomian masyarakat
Kenagarian Batu Taba berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat dalam tabel di
bawah ini:
55
Tabel 8
Mata Pencaharian Penduduk
Kenagarian Batu Taba
Jenis Pekerjaan Jumlah Jenis Pekerjaan Jumlah
Petani 267 orang Buruh bangunan 50 orang
Pedagang 221 orang Buruh tani 23 orang
PNS 83 orang Buruh haran lepas 15 orang
Karyawan swasta 79 orang Dokter 2 orang
Wiraswasta 1303 orang Dosen 3 orang
Wira usaha 46 orang Guru 92 orang
Buruh jahit 298 orang Pembantu r. tangga 1 orang
Pegawai BUMN 6 orang Imam masjid 2 orang
Honorer 12 orang Pegawai BUMD 2 orang
Polri 3 orang Montir 7 orang
Ibu rumah tangga 1060 orang Pelaut 1 orang
Pensiunan 46 orang Perawat 1 orang
Peternak 2 orang Sopir 41 orang
Tukang cukur 2 orang Tukang gigi 2 orang
Tukang las 2 orang Tukang sol sepatu 1 orang
Tukang listrik 2 orang Ustadz 5 orang
Wartawan 1 orang Bidan 4 orang
Sumber: Hasil Pengolahan Data Oleh Tim Pendataan Kenagarian
8. Kondisi Sosial Budaya
Dalam pelaksanaan secara umum adat Minangkabau mengajak kepada
masyarakat untuk senantiasa bertingkah laku baik dan bermoral mulia. Tata
kehidupan masyarakat Minangkabau didasarkan kepada falsafah hidup adat
56
Minangkabau yaitu “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” yang
mempunyai makna “syarak mangato adat mamakai.”2
Dalam tata kehidupan masyarakat Kenagarian Batu Taba memegang teguh
ajaran agama Islam yang berlaku Salingka Nagari. Setiap permasalahan
Kenagarianan dan masalah masyarakat selalu menggunakan jalan musyawarah
mufakat. Setiap pengambilan keputusan dengan melibatkan semua unsur
masyarakat seperti niniak mamak, cadiak pandai, alim ulama, bundo kanduang dan
pemuda yang terakomodir dalam wadah Lembaga Badan Permusywaratan
Kenagarian.
Peranan adat yang berlaku di salingka Kenagarian Batu Taba merupakan
penggerak utama dalam pelestarian nilai-nilai adat yang berlaku di Kenagarian
Batu Taba. Di era globalisasi sekaranag ini, perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi juga memberikan dampak negatif pada pelunturan nilai-nilai
agama dan adat istiadat. Di sinilah peran penting tokoh agama dan adat untuk
mengantisipasi dampak negatif yang masuk ke dalam Kenagarian Batu Taba yang
dapat merusak nilai-nilai agama dan adat istiadat.
B. Pola Umum Adat Minangkabau
Fatwa adat tidak belaku untuk semua ketentuan-ketentuan atau norma adat
Minangkabau, ada batasan lain yang berlaku yang menyebabkan adanya strata dari
adat itu. Dalam tambo adat Minangkabau diuraikan bahwa ada dua dasar dapat
dipakai untuk meneliti adat dan hukum adat Minangkabau itu yaitu: adat nan ampek.
1. Adat Nan Sabana Adat
Adat nan sabana adat adalah ketentuan yang diterima dari nabi Muhammad
SAW yang bedasarkan Al-Qur’an dan Hadis yang berlaku secara universal3. Adat
2 Pepatah Minangkabau syarak mangato adat mamakai bermakna apapun yang dikatakan oleh
Al-Qur’an, sunnah dan fiqih tidak ditentang oleh adat tetapi melainkan adat menjalankan apa saja yang
diperintahkan oleh Allah dan Nabi Muhammad. 3 Lembaga Kerapatan Adat Kenagarian , Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah,
(Padang: Sako Batuah, 2002),h. 11.
57
nan sabana adat ini berlaku berlaku di seluruh wilayah alam Minangkabau serta
daerah rantuanya. Aturan-atuaran itu dibuat dan disepakati bedasarkan syariat
agama Islam dan hukum alam yang nyata, dia tidak akan berobah atau dirobah
oleh manusia, kecuali atas kehendak tuhan semata.
Adat nan sabana adat adalah adat yang paling rendah lenturnya, yaitu adat
yang sangat susah sekali berubah. Bila diubah maka seluruh bangunan adat yang
ada juga akan ikut berubah pula. Adat nan saban adat ini tersirat dalam mamangan
adat berikut ini:4
Adat nan indak lakang dek paneh
Indak lapuak dek hujan
Paliang-paliang ba lumuik bak cindawan
Adat nan sabana adat merupakan undang-undang dasar dari hukum ada
Minangkabau, berlaku di seluruh daerah Minangkabau. Adapun bentuk adat yang
termasuk kategori adat nan sabana adat adalah:5
a. Silsilah keturunan menurut garis keturunan ibu (matrilineal)
b. Perkawinan hanya dapat dilangsungkan dengan pihak luar suku (eksogami)
c. Suami tinggal di rumah isteri
d. Harta pusaka tinggi yang turun temurun menurut garis ibu, yang tidak boleh
diperjual belikan
e. Falsafah alam takambang jadi guru dijadikan landasan utama pendidikan
alamiah dan rasional
Kelima hal inilah yang termasuk dalam kategori adat nan sabana adat yang
tidak bisa hilang oleh masyarakat Minangkabau yang berlaku sampai sekarang.
Masuknya agama Islam di Minangkabau dan berlakunya Islam sebagai
peraturan bagi kehidupan umat, maka ajaran Islam yang berdasarkan kepada
wahyu Allah SWT, diakui sebagai suatu yang pasti sebagaimana pastinya
kenyataan yang berlaku dalam alam. Dengan demikian ajaran Islam dimasukkan
4 Chairusdi, Sejarah Kebudayaan Minangkabau,(Padang: IAIN-IB PRESS, 2004), h. 38.
5 Fajri Ilhami, Tradisi Sasuduik dalam Peminangan Di Kenagarian Harau Lima Puluhkota
Sumatera Barat, (Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 45.
58
ke dalam kelompok adat yang sebenarnya. Memasukan ajaran Islam ke dalam
kelompok adat yang tertinggi tentu bukan untuk menjadikannya setingkat dengan
adat, tetapi karena kedudukannya yang tertinggi sebagai pedoman dalam
kehidupan.6
2. Adat Nan Diadatkan
Ajaran adat ini merupakan peninggalan dari peletak dasar adat
Minangkabau Datuk Perpatih Sabatang dan Katumangguangan serta suri di rajo,
antara lain hidup bersuku, kekerabatan menurut ibu.7Adat Nan Diadatkan adalah
aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang diadatkan bedasarkan hukum alam
yang nyata, untuk ini maka belaku ketentuan diasak indak layua, dicabuk indak
mati (dipindahkan tidak layu, dicabut tidak mati). Biasa disebut dengan adat nan
babua mati (adat yang harus patuhi). Berlaku di seluruh wilayah adat
Minangkabau. Untuk pertama kali adat yang dibuat bedasarkan musyawarah oleh
nenek moyang orang Minangkabau Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak
Katumangguangan. Adat strata ini dibuat bedasarkan mufakat niniak mamak dan
seluruh alam Minangkabau sesuai situasi dan kondisi pada zaman itu
Ruang lingkup adat nan diadatkan antara sidang adat atau kelarasan adat,
susunan pasukuan dan susunan organisasi datuak-datuak pemangku adat dalam
suatu Kenagarian di Minangkabau.8
a. Sakabek nan bak siriah, sarumpun nan bak sarai. Maksudnya adalah organisasi
masyarakat itu disusun menurut rumpun keluarga dalam garis ibu yang disebut
suku atau kaum.
b. Kayo basiliah, gadang balega. Maksudnya adalah bahwa pusaka tinggi yang
merupakan kekayaan kaum atau diturunkan kepada generasi berikut yang
6 Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h . 144. 7 LKAAM, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, (Padang: Surya Cirta Offset,
2002), h. 12. 8 A.M. Dt. Sori Marajo, Rumah Gadang Minangkabau (Limapuluh Kota: LKAAM Kabupaten
Limapuluh Kota, 2014), h. 1.
59
menjadi peralihan generasi menurut garis ibu di dalam satu jurai dari induk
yang sama, sedangkan sako atau gelar kebesaran sebagai pimpinan suku atau
kaum yang diturunkan secara bergilir dalam satu induk atau antara induk dalam
suku yang sama, menurut dari garis laki-laki bisa disebut dari niniak ka mamak
dari mamak ka kamanakan.
Adat yang diadatkan melingkupi seluruh segi kehidupan. Terutama segi
kehidupan sosial, budaya dan hukum. Keseluruhannya tersimpul dalam “undang
nan duo puluah dan cupak nan ampek”9
3. Adat Nan Taradat
Adat yang teradat adalah kebiasaan seseorang dalam kehidupan masyarakat
yang boleh ditambah atau dikurangi.10
Adat nan taradat adalah aturan-aturan atau
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam satu Kenagarian, dibuat dan disepakati
oleh niniak mamak dari satu Kenagarian bedasarkan kebutuhan dan kondisi
setempat. Sebagai wujud hak otonomi Kenagarian yang bersangkutan. Adat nan
taradat ini pada umumnya berbeda antara satu Kenagarian dengan Kenagarian lain,
walaupun bertentangan.
Adapun contoh adat nan taradat adalah, pengangkatan seseorang datuk
pemangku adat disuatu Kenagarian diwajibkan memotong satu ekor kerbau untuk
seseorang datuk yang dilantik atau digadangkan, kalau yang dilantik itu diangkat
lima orang datuk bersama-sama maka lima ekor pula kerbau yang akan disembelih
dalam merayakan pesta ini.
4. Adat Istiadat
Adat istiadat adalah aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang bersifat
bunga-bunga adat, terutama melaksanakan acara perhelatan atau pesta adat, dan
kebiasaan-kebiasaan rutin kehidupan dipedasaan. Adat istiadat ini tergantung pada
9 Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h . 144. 10
Chairusdi, Sejarah Kebudayaan Minangkabau,(Padang: IAIN-IB PRESS, 2004), h. 39.
60
kemampuan ekonomi masyarakat daerah setempat, sehingga antara daerah yang
satu dengan daerah yang lain akan berbeda
Adapun beberapa contoh adat istiadat ini adalah Menghadapi datangnya
bulan suci ramadhan. Seminggu sebelum ramadhan atau bulan puasa, ada acara
mandi balimau dan berniat yaitu mensucikan jasmani dan rohani. Ada yang
melakukan di rumah sendiri dan ada pula yang melakukan berpergian jauh yang
mereka anggap tempat keramat dan ada juga pergi ke tempat wisata seperti air
terjun, air hangat atau danau yang indah. Dalam bulan ramadhan ada acara
mengundang kaum kerabat dekat untuk buka puasa terutama bagi para pengantin
baru, tetapi ada daerah-daerah tertentu yang melakukan hal ini dengan mengantar
makanan yang mereka sebut maantaan pambukoan (mengantarkan makanan untuk
berbuka puasa).11
11
Julius Datuak Malako Nan Putiah, Mambangkik Batang Tarandam dalam Upaya
Mewariskan dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa h.11-16
61
BAB IV
PERGESERAN NILAI HARTA PUSAKA TINGGI MENJADI HARTA
PUSAKA RENDAH DALAM HUKUM ADAT MINANGKABAU
A. Faktor-Faktor Penyebab Pergeseran Harta Pusaka Tinggi Menjadi Harta
Pusaka Randah
Harta pusaka tinggi adalah milik bersama kaum yang sasuku. Namun dalam
pegelolaan harta pusaka tinggi, khususnya tanah berlaku ketentuan adat yang
berbunyi:1
Ganggam bauntuak, Hak bapunyo, Miliak ba masiang
Hal ini berarti bahwa untuk mengelola pusaka tinggi dibagi secara adil oleh
perempuan tertua yang masih ada di dalam suku itu. hasil dari harta pusaka tinggi
yang dikelola oleh masing-masing kelompok kaum dapat dimanfaatkan oleh kaum
itu.
Harta pusaka tinggi yang belum dibagi sesuai prinsip ganggam bauntuak, hak
bapunyo, miliak bamasiang, maka harta pusaka tinggi tetap dipegang oleh nenek
tertua dalam “sajurai” dengan cara menyerahkannya pengelolaannya secara
bergiliran, antara mereka samande.
Kalau pola pusaka tinggi dihapuskan, maka adat Minangkabau akan segera
runtuh. Sebaliknya kalau pola harta pusaka tinggi dilestarikan dan dikembangkan,
adat Minangkabau akan bertambah kukuh dalam percaturan budaya di negara ini.
Dengan pewarisan sebagai milik bersama ini akan tetap terpilihara keempat
fungsi harta pusaka tinggi yang terdapat dalam ketentuan adat Minangkabau. Dengan
pewarisan “milik bersama atau komunal bezit” ini sekaligus akan dapat
1 Amir M.S, Pewarisan Harato Pusaka Tinggi dan Pencaharian di Minangkabu, (Jakarta:
Citra Harta Prima, 2011), h. 29.
62
membendung arus deras individualism yang lahir dari proses indonesiasisasi dan
globalisasi yang berlandaskan pada pemilikan individual.2
Tetapi dengan perkembangan zaman yang semakin modern dan pemahaman
orang yang tidak mengerti tentang apa fungsi dan tujuan dari nenek moyang orang
Minangkabau dahulu dalam pemanfaatan harta pusaka tinggi. Harta pusaka tinggi ini
mulai terlupakan oleh orang banyak terutama di Kenagarian Batu Taba Kecamatan IV
Angkek. Meraka ingin menguasai harta pusaka tinggi ini dari hak pakai menjadi hak
milik. Maka disini terjadilah pergeseran harta pusaka tinggi menjadi harta pusaka
rendah.
Jadi penyebab pergesernya harta pusaka tinggi menjadi harta pusaka rendah di
daerah Kenagarian Batu Taba Kecamatan IV Angkek ada dua faktor yaitu:
1. Harta pusaka tinggi disertifikatkan
Pensertifikatkan harta pusaka tinggi ini sangatlah tidak dibolehkan,
apabila terjadi pensertifikatkan harta itu dengan sendirinya akan berubah menjadi
harta pusaka rendah karena dalam sertifikat harta itu akan menjadi nama sendiri
bukan atas nama kaum atau suku.
Pensertifikatkan harta pusaka tinggi bisa disebabkan oleh pemerintah,
karena pemerintah memberikan kemudahan dalam pensertifikatkan tanah. Seperti
program pemerintah PRONA (Program Nasional Agraria) yang mana
pensertifikatan tanah dengan mudah dan di subsidi oleh pemerintah. Dari sini
muncul alasan kenapa orang-orang atau oknum yang berniat menguasai harta
pusaka tinggi itu.3
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu informan Raymond
Ramli Sutan Diateh selaku KAN (Kerapatan Adat Nagari), beliau mengatakan
pensertifikatkan harta pusaka tinggi ini bisa dikatakan untuk pengamanan dari
harta itu supaya tidak jatuh ke tangan orang lain. Pensertifikatan itu harus diatas
2Amir M.S, Pewarisan Harato Pusaka Tinggi dan Pencaharian di Minangkabu, (Jakarta:
Citra Harta Prima, 2011), h. 30. 3 Zulhadia, Ketua Wali Nagari, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 8 Februari
2018.
63
kaum tetapi yang terjadi malah sebaliknya harta itu disertifikatkan atas nama
pribadi. Apabila atas nama pribadi secara tidak langsung pasti harta itu jatuhnya
menjadi harta pusaka rendah atau diwariskan kepada anaknya.4 Dalam
pensertifikatan juga tidak boleh menggunakan nama kaum tetapi harus
menggunakan nama sendiri. Sebagaimana bisa diambil contoh daerah asal mula
orang Minangkabau ini berasal yaitu daerah pariangan dimana daerah itu tidak
ada sertifikat satupun dalam harta penduduk disitu karena mereka memegang
teguh adat dan budaya Minangkabau seutuhnya.
Harta pusaka tinggi tidak boleh disertifikatkan dan dijual, maka dengan
pola ganggam bauntuak akan selalu memberi manfaat secara terus menerus dari
satu generasi ke generasi selanjutnya. Karena pola harta pusaka tinggi tidak
boleh disertifikatkan dan dijual sebagai landasan utama bagi terciptanya prinsip
keluarga dalam sistem kekeluargaan di Minangkabau. Karena itu harta pusaka
tinggi menjadi salah satu tonggak tuo atau tiang tua dari adat Minangkabau.
Lanjut beliau mengatakan, selain mengakibatkan berpindahnya menjadi harta
pusaka rendah, ada sanksi tersendiri bagi pelakunya yaitu sanksi moral. Adapun
salah satu contoh kasus yang mensertifikatan harta pusaka tinggi yang terjadi di
Kenagarian Bata Taba ialah seperti yang dilakukan salah satu informan yaitu
berinisialkan M, dia pernah mensertifikatkan tanah harta pusaka tinggi kaumnya,
yang mengakibatkan harta pusaka tinggi tersebut bergeser menjadi harta pusaka
rendah. Adapun sanksi moral yang dia dapat ialah dia tidak dihargai lagi oleh
orang kampung.
Hasil wawancara dengan salah satu informan yang telah melakukan
pensertifikatan yang berinisial M, beliau mengatakan bahwa pensetifikatan harta
pusaka tinggi saya lakukan setelah izin oleh niniak mamak, kenapa saya
sertifikatkan karena harta itu tidak ada lagi yang merawatnya dan tidak ada lagi
yang menggarap tanah tersebut. Situlah awalnya saya ingin mengambil tanah
4 Raymond Ramli Sutan Diateh, Ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari), Interview Pribadi,
Kenagarian Batu Taba, Tanggal 9 Februari 2018.
64
tersebut karena tidak ada yang lain merawat tanah yang terlantar tersebut. Setelah
harta harta pusaka tinggi saya sertifikatkan banyaklah orang tidak menyukai
pensertifikatkan itu. Harta itu saya sertifikatkan karena saya tidak mengerti apa
saja peraturan tentang harta pusaka itu. Niniak mamak ini mengizinkan saya dari
pensertifikatkan karena beliau merasa harta itu harus ada yang mengurus, beliau
merasa harta itu harus dikelola dan diambil manfaat dari harta tersebut.5
b. Harta Pusaka Tinggi Dijual
Seiring perkembangan zaman sudah hal yang pasti semua menjadi serba
mahal, termasuk itu harga tanah. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu
informan Raymond Ramli Sutan Diateh selaku KAN (Kerapatan Adat Nagari),
beliau mengatakan dengan serba mahalnya tanah, banyak sekali masyarakat
yang bernafsu unuk menjual tanah saat ini. Tentu ini bukan hal yang dilarang
untuk masyarakat. Akan tetapi yang banyak terjadi sekarang ini di Minangkabau
adalah masyarakat menjual tanah milik kaum ataupun harta pusaka tinggi yang
dijual hanya untuk mendapatkan kepuasan tersendiri.6 Sebagaimana yang
dikatakan oleh Zulhadia selaku Wali Nagari di Kenagarian Batu Taba, ini
merupakan sebuah perbuatan yang sangat dilarang oleh adat Minangkabau. Tidak
ada lagi hubungannya sama kaum. Sebenarnya harta pusaka tinggi ini adalah
sebagai ciri khas orang Minangkabau dalam kekayaannya.7
Raymond Ramli Sutan Diateh menambahkan, penjualan harta pusaka
tinggi disebabkan karena harta itu sudah disertifikatkan dan harga dari tanah
mahal makanya sekarang orang-orang itu menjual harta pusaka tinggi tersebut.
bukan karena tidak ada keturunan atau terputusnya keturunan dari pihak
5 Penjual Inisial “M”, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 15 Februari 2018.
6 Raymond Ramli Sutan Diateh, Ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari), Interview Pribadi,
Kenagarian Batu Taba, Tanggal 9 Februari 2018. 7 Zulhadia, Ketua Wali Nagari, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 8 Februari
2018.
65
perempuan tetapi karena orang-orang itu tidak paham apa itu harta pusaka tinggi
dan apa fungsi dan hak atas harta pusaka tinggi.8
Kasman Sutan Bagindo Labiah selaku niniak mamak mengatakan, bahwa
penyebab orang menjual yang paling tinggi di nagari ini adalah karena faktor
ekonomi, faktor ekonomi ini sangat mempengaruhi penjualan harta pusaka tinggi
ini, karena dengan berkembangnya zaman semua kebutuhan naik dan harga tanah
juga mulai naik, dan orang-orang sudah mulai hidup individual jadi harta ini
dijual karena tergiur dengan harga tanah yang mahal. tetapi kebanyakan yang
terjadi dari penjualan harta pusaka tinggi orang yang menjual harta itu akan
sakit-sakitan dan semua hartanya akan habis, karena mereka memakan harta yang
bukan hak mereka. Kalau faktor kepunahan keturunan tidak menjadi faktor
penyebab terjadinya penjualan harta tersebut di Kenagarian Batu Taba.9
Lanjut Kasman Sutan Bagindo Labiah mengatakan, kebanyakan yang
menjual harta pusaka tinggi itu banyak yang hidupnya sengsara, banyak yang
sakit-sakitan, bukan percaya kepada tahayul tetapi itulah kejadian setelah mereka
menjual harta pusaka tinggi, karena harta pusaka tinggi itu bukanlah hak mereka
yang menjual.10
Hal yang senada dikatakan oleh Zulhadia selaku walinagari
bahwa masyarakat yang menjual harta pusaka tinggi itu hidupnya tidak jelas dan
hidup dalam kesusahan.11
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu orang yang menjual harta
pusaka tinggi itu yang berinisial S beliau mengatakan, Saya sebagai bundo
kanduang, saya pernah menjual harta pusaka tinggi milik keluarga. Penyebab
dari penjualan harta pusaka tinggi yang saya lakukan karena saya terlilit banyak
8 Raymond Ramli Sutan Diateh, Ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari), Interview Pribadi,
Kenagarian Batu Taba, Tanggal 9 Februari 2018. 9 Kasman Sutan Bagindo Labiah, Niniak Mamak, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba,
Tanggal 6 Februari 2018. 10
Kasman Sutan Bagindo Labiah, Niniak Mamak, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba,
Tanggal 6 Februari 2018. 11
Zulhadia, Ketua Wali Nagari, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 8 Februari
2018.
66
hutang. Berhutang itu saya lakukan karena saya sendiri dan saya sering sakit-
sakitan jadi hasil dari harta pusaka tinggi tidak mencukupi untuk biaya hidup
saya selama ini makanya saya berhutang ke orang lain. Ketika orang yang saya
berhutang itu meminta hutangnya saya tidak sanggup untuk membayarnya, saya
menjual harta pusaka tinggi itu. hasil dari penjualan harta itu saya membayarkan
hutang-hutang. Tetapi tidak semua harta pusaka tinggi yang saya jual sebagian
yang lain sudah diserahkan kepada penerima yang selanjutnya. Saya tidak
mempunyai suami dan anak-anak dan tidak ada juga yang membantu ketika saya
sakit. Itulah alasan saya menjual harta pusaka tersebut.12
B. Pandangan Masyarakat Adat dan Ulama Terhadap Pergeseran Harta Pusaka
Harta pusaka tinggi merupakan harta yang dimiliki oleh suatu suku atau kaum
di Minangkabau yang mempunyai suku. Menurut salah seorang dari masyarakat
Kenagarian Batu Taba yaitu Bapak Yulnedi Sutan Rang Kayo Mudo: “Harta pusaka
tinggi merupakan harta kaum atau suku yang ada di daerah Minangkabau. Di
kenagarian Batu Taba apabila mereka tidak mempunyai datuak atau niniak mamak
maka dia tidak mempunyai harta pusaka tinggi di Kenagarian Batu Taba. Harta
pusaka tinggi ini yang sebenarnya tidak boleh dijual karena harta itu hanya boleh
digadaikan saja apabila mempunyai 3 masalah yaitu gadih tuo indak balaki, rumah
gadang katirisan, mayik tabujua tangah rumah. Zaman kini sudah modern tetapi
eksistensi harta pusaka tinggi harus dijaga sampai kapanpun. Harta pusaka ini akan
merupakan tiang dari berdirinya sistem kekerabatan di Minangkabau yang merupakan
dengan sistem kekerabatan Matrilineal.13
Menurut salah satu informan ulama di Kenagarian Batu Taba yaitu Awis
Karni Husein bahwa harta pusaka tinggi ada undang-undangnya ”hak milik, harto
yang punyo” yaitu hak milik orang dahulu yang punya. Ketika orang dahulu itu
12
Penjual Inisial “S”, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 11 Februari 2018. 13
Yulnedi Sutan Rang Kayo Mudo, Masyarakat Adat, Interview Pribadi, Kenagarian Batu
Taba, Tanggal 7 Februari 2018.
67
meninggal harta peninggalannya atau hartanya Allah SWT yang punya, itu yang
dinamakan dengan harta warisan. Belum boleh seseorangpun yang memiliki sebelum
ditetapkan dengan faraid atau hukum warisan Islam.14
Tetapi dalam adat Minangkabau ada pepatah adat yang menyatakan bahwa:
Dijua ndak makan bali digadai ndk dimakan sando, ini adalah peraturan dari Datuak
Parpatiah Nan Sabatang. Peraturan ini sedikit berbeda dengan agama.
Dijua ndak makan bali digadai ndk makan sando apakah sesuai dengan adat
basandi syarak syarak basandi kitabullah ? “Disini adat sedikit tidak sejalan dengan
syarak, jelas harta pusaka tinggi itu tidak sejalan dengan syarak. Lain hal apabila
orang dahulu menghibah-hibahkan hartanya kepada anak kemanakannya, menjadi
hak milik kemenakannyalah harta tersebut.
Sekarang harta itu tidak ada dihibahkannya kepada kemenakan perempuan
cuma adanya undang-undang dari Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Harta pusaka
tinggi itu yang miliki siapa ? apa milik anak kemenakannya, pernahkah dihibahkan?
tidak ada akad atau bukti tanah itu dihibahkan. Yang ada cuma undang-undang yang
dibuat dibukit Marapalam oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang dengan para pemuka
adat.
Seharusnya dahulu ketika orang yang mempunyai harta pusaka tinggi ini
meninggal hartanya dibagi dengan hukum faraidh. Orang tersebut memiliki anak dan
istrinya yang akan menerima harta tersebut. Setelah keluar undang-undang Datuak
Parpatiah Nan Sabatang “dibali indak makan jua digadai indak makan sando”. Maka
harta itu diturunkan kepada kemenakannya. Dalam hukum islam hubungan mamak
yang punya harta itu terputus dengan anak kemenakan yang menerima pada saat
sekarang ini. Di situlah bertentangan dengan agama dari itulah dasar kita memegang
karena harta pusaka tinggi adalah harta yang tinggi syubhatnya.
Apabila terjadi pergeseran tersebut sangatlah haram, karena apabila sudah
menjadi harta pusaka rendah, maka mereka memakan harta haram karena itu bukan
14
Awis Karni Husein, Ulama, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 5 Februari
2018.
68
menjadi hak milik mereka dan itu juga bukan harta yang diusahakan oleh orang tua
mereka.
Harta pusaka tinggi hanya boleh dipakai dan diolah, tidak boleh
disertifikatkan apalagi sampai diperjualbelikan. Harta itu bukan harta yang dimiliki
seutuhnya atau bukan “milkut tam”(miliki yang sempurna). jadi harta itu hanya boleh
dipakai dengan mengambil hasil upah kerja dari hasil lahannya tersebut dan sisanya
diwakafkan atau disedekahkan hasilnya dengan meniatkan pahalanya kepada pemilik
pertama dari harta tersebut.15
sebagaimana yang dikatakan oleh Yulnedi selaku
masyarakat adat di Kenagarian Batu Taba, banyak manfaat dari harta pusaka tinggi,
karena harta itu menghindarkan orang Minangkabau dari kemiskinan, menghindarkan
dari perilaku yang tidak baik dan mengajarkan kepada masyarakat Minangkabau
hidup bersama bukan hidup individu.16
Dalam peraturan agama Islam setiap orang yang meninggal Allah yang
mempunyai semua hartanya tersebut. Sebagaimana dalam Al-Qur’an dalam surat An-
Nisa’ ayat 7:17
ك ب تر بء صت ي س ه ن ث ر ق ال ا د ان ك ان ر ب ت بل صت ي ج هر ن
ب قم ي ي ث ر ق ال ا د ان ب ان ض ر ف ب ي ج ر ص ث ك أ
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan.
Harta pusaka tinggi yang memegang sekarang maka dia memakan harta yang
tinggi syubhatnya. Sebab yang memiliki atau hak milik sebenarnya bukanlah yang
memegang sekarang.18
15
Awis Karni Husein, Ulama, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 5 Februari
2018. 16
Yulnedi Sutan Rang Kayo Mudo, Masyarakat Adat, Interview Pribadi, Kenagarian Batu
Taba, Tanggal 7 Februari 2018. 17
Al-Qur’an, surat An-Nisa’ ayat 7 (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2015), h. 78.
69
C. Pewarisan Adat Minangkabau di Kenagarian Batu Taba
Kasman Sutan Bagindo Labiah selaku niniak mamak mengatakan,
pewarisannya itu harus segaris keturunan ibu yaitu yang mendapatkan harta pusaka
tinggi itu hanya pihak perempuan yang ada dalam kaum itu dan apabila diberikan
secara ganggam bauntuak harta itu harus dijaga sampai punah keturunan yang ada
dalam keluarga itu. apabila sudah punah atau tidak ada lagi anak perempuan yang
akan menjawab dari harta pusaka tersebut, maka harta itu di kembalikan kepada
kaumnya. apabila dalam kaum itu sudah tidak ada lagi yang perempuan atau punah,
maka harta itu di wariskan kepada kaum yang satu suku yang terdekat dengan jorong
atau desa itu. apabila tidak ada maka harta itu diwariskan kepada nagari yang terdekat
dengan nagari itu apabila tidak ada, dicari yang terdekat dengan Kecamatan tersebut
apabila masih tidak ada maka harta itu dikembalikan kepada nagari dimana harta itu
terletak.19
Raymond Ramli Sutan Diateh menambahkan, apabila punah harta itu tidak
dijual, harus dibalikkan ke kaum yang lain, karena harta pusaka tinggi itu baliknya
harus kembali lagi ke harta pusaka tinggi bukan ke harta pusaka randah.20
Sebagaimana yang dikatakan oleh Raymond Ramli Sutan Diateh, Harta
pusaka tinggi dikuasai mamak kepala kaum dan laki-laki sebagai penjaga dari harta
dan untuk perempuan diberi jatah dalam harta tersebut. mamak kepala kaum
membuat surat ganggam bauntuak untuk pihak perempuan dan membaginya secara
adil dengan pesan harta itu tidak boleh dijual dan tidak disuratkan (sertifikat) dan
apabila banyak keturunan kebawah di bagi juga dengan membuat surat ganggam
bauntuak. Harta itu dipakai atau tidak dipakai yang penting jatah pembagiannya
18
Awis Karni Husein, Ulama, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 5 Februari
2018. 19
Kasman Sutan Bagindo Labiah, Niniak Mamak, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba,
Tanggal 6 Februari 2018. 20
Raymond Ramli Sutan Diateh, Ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari), Interview Pribadi,
Kenagarian Batu Taba, Tanggal 9 Februari 2018.
70
sudah ada karena dia perempuan dalam kaum itu sebagai hak pakai bukan hak
milik.21
Kasman Sutan Bagindo Labiah menambahkan, Waris harta pusaka tinggi
diwariskan ke garis keturunan ibu, harta itu diwariskan ke anak perempuan yang ada
keturunannya bukan untuk kepada perempuan yang tua. Harta ini cuma harta pakai,
apabila dalam keluarga ada 2 orang perempuan dan 2 orang laki-laki maka harta
tersebut dibagi kepada 2 orang anak perempuan tersebut dengan membagi rata. Itulah
yang dikatakan dengan ganggam bauntuak.22
Dalam penjagaan harta pusaka tinggi ini yang berperan adalah pihak laki-laki.
Maka keamanan harta itu akan terjaga apabila pihak laki-laki memahami apa fungsi
dan tujuan dari harta pusaka tinggi tersebut. Dengan pahamnya laki-laki dengan harta
pusaka tinggi, maka harta itu akan terjaga dengan baik sampai hari kiamat.23
D. Nilai Filosofi dalam mempertahankan Harta Pusaka Tinggi
Raymond Ramli Sutan Diateh mengatakan, bahwa harta pusaka tinggi itu
adalah harta kaum atau harta bersama dari kata bersama sudah bisa dikatakan bahwa
harta itu akan membuat orang Minangkabau yang mempunyai harta pusaka tinggi itu
akan tetap hidup bersama-sama sampai kapanpun. Dengan terjaganya harta pusaka
tinggi itu akan membuat orang-orang Minangkabau terjaga dari kehidupan individual.
Dan selalu hidup bergotong royang dan bermusyawarah.24
Kasman Sutan Bagindo Labiah menambahkan, Mempertahankan harta
pusaka tinggi menghindarkan dari perpecahan dalam kekeluargaan. Harta pusaka
tinggi ini adalah harta kaum, kaum itu adalah orang yang satu suku dengan kita jadi
21
Raymond Ramli Sutan Diateh, Ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari), Interview Pribadi,
Kenagarian Batu Taba, Tanggal 9 Februari 2018. 22
Kasman Sutan Bagindo Labiah, Niniak Mamak, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba,
Tanggal 6 Februari 2018. 23
Yulnedi Sutan Rang Kayo Mudo, Masyarakat Adat, Interview Pribadi, Kenagarian Batu
Taba, Tanggal 7 Februari 2018. 24
Raymond Ramli Sutan Diateh, Ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari), Interview Pribadi,
Kenagarian Batu Taba, Tanggal 9 Februari 2018.
71
itu masih ada hubungan kekeluargaan dengan kita. Jadi dengan adanya harta itu
membuat kita memiliki hubungan yang harus dijaga sampai kapanpun. Menjaga harta
pusaka tinggi sama dengan menjaga keluarga supaya tidak terjadi perpecahan.25
Wali Nagari di Kenagarian Batu Taba yaitu Zulhadia juga menambahkan,
mempertahankan harta pusaka tinggi merupakan kewajiban yang harus dilakukan
karena kita sebagai orang Minangkabau. Harta pusaka tinggi itu adalah simbol
kekeluargaan kita sebagai orang Minangkabau. Dengan mempertahankan harta
pusaka tinggi itu kita menjaga adat Minangkabau tidak hilang karena harta itu salah
satu simbol yang semestinya harus di pertahankan. Harta pusaka tinggi adalah harta
kekeluargaan yang mengajarkan kita bagaimana hidup dalam kebersamaan dang
menjaga kita dalam hidup individual.26
E. Analisis Penulis
Adat Minangkabau sudah lama ada sebelum Agama Islam masuk ke daerah
Minangkabau. Adat Minangkabau sudah berusia 5.000 tahun. Sedangkan Agama
Islam masuk ke Minangkabau sejak 1.300 tahun yang lalu. Sejak terjadi pergumulan
antara aturan adat dengan ketentuan syarak dalam masyarakat Minangkabau, sampai
sekarang. Ada beberapa perubahan ketentutan adat berbunyi:27
Rumah Basandi Batu
Adat Basandi Alue Patuik
Kemudian berubah:
Adat Basandi Syarak
Syarak Basandi Adat
Bak Aie Jo Tabiang
25
Kasman Sutan Bagindo Labiah, Niniak Mamak, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba,
Tanggal 6 Februari 2018. 26
Zulhadia, Ketua Wali Nagari, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 8
Februari 2018 27
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusaka Tinggi dan Pencaharian di Minangkabu, (Jakarta:
Citra Harta Prima, 2011), h. 8.
72
Sanda Manyanda Kaduonyo
Perubahan terakhir menjadi:
Adat Basandi Syarak
Syarak Basandi Kitabullah,
Al-qur‟an
Adanya perubahan-perubahan ini membuktikan adanya pergumulan antara
ketentuan adat dan agama Islam dalam mengatur masyarakat Minangkabau.
Pergumulan itu merupakan penyesuaian antara adat dan agama Islam, dan bukan
suatu proses untuk saling menyingkirkan. Karena kedua aturan itu, adat dan agama
sama-sama dianggap baik dan berguna oleh masyarakat Minangkabau sepanjang
masa.
Tetapi dalam prakteknya adat Minangkabau dan agama Islam dalam hal harta
pusaka tinggi terdapat beberapa perbedaan yang sangat jelas di dalam sistem
kewarisannya. Oleh karena itu ada beberapa ulama-ulama Minangkabau berbeda
pendapat tentang harta pusaka tinggi ini, diantaranya:
1. Syeh Ahmad Khatib
Beliau adalah seorang ulama besar yang lahir di Minangkabau dan
kemudian beliau bermukim dan menjadi guru besar di Mekah. Beliau
menyatakan bahwa harta pusaka tinggi itu adalah haram dan proses
pewarisannya menurut adat Minangkabau sangat bertetntangan dengan agama
Islam.
Menurut Syeh Ahmad Khatib seluruh orang Minangkabau memakan
harta haram dan beliau konsekwensi dengan pendapatnya. Sehingga setelah
beliau tinggalkan Minangkabau dan berdiam di Makkah sampai wafatnya,
beliau tidak pernah pulang lagi.28
28
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984), h. 103
73
Dalil-dalil yang dikemukakan beliau bahwa harta pusaka tinggi dalah haram
sebagai berikut:29
a. Adanya unsur perampasan
b. Memakai harta orang lain secara tidak sah
c. Khianat terhadap amanat Allah
d. Merelakan perbuatan maksiat dengan tetap memperlakukan pewarisan
harta pusaka secara adat, mengahalakan sesuatu yang haram atau
meragukan sesuatu yang terang haramnya.
2. Tidak semua pengikut Syeh Ahmad Khatib sependapat dengan gurunya.
Menurut sebagian pengikut beliau, kesimpulan Syeh Ahmad Khatib
bisa dianggap benar, kalau harta pusaka itu hak pribadi bagi peneriman waris.
Kalau hak pribadi memang harus diwariskan secara hukum faraidh.
Syeh Ahmad Khatib tidak memisahkan antara harta pusaka tinggi dengan
harta pusaka rendah.
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pengikutnya yang tidak sependapat
adalah sebagai berikut:30
a. Bahwa harta pusaka adalah harta yang diterima secara berurutan dari
niniak kepada mamak. Karena itu wajar pula harta itu diturunkan kepada
kemenakan. Bukan kepada anak.
b. Bahwa hati seseorang telah dicondongkan oleh Allah kepada kemenakan.
Oleh karenanya tidak sampai hati untuk memberikannya kepada anak
yang juga dikasihinya. (Hati seseorang yang dimaksud adalah hati nenek
moyang yang dahulu manambang manaruko harta pusaka itu, yang sering
pula disebut dengan “tambilang basi”)
c. Bahwa kemenakanlah (dunsanak sesuku sendiri) yang kan memelihara si
mamak dalam keadaan susah, dan menanggung hutung-hutangnya selagi
29
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusaka Tinggi dan Pencaharian di Minangkabu, (Jakarta:
Citra Harta Prima, 2011), h. 20. 30
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusaka Tinggi dan Pencaharian di Minangkabu, (Jakarta:
Citra Harta Prima, 2011), h. 21.
74
masih hidup, maupun bila telah meninggal dunia manakala meninggalkan
warisan dalam bentuk hutang. Kita jangan lupa warisan tidak selalu dalam
peninggalan harta yang berharga, tetapi bisa juga dalam bentuk hutang
yang harus dilunasi. Oleh karena ittu harta ousaka diwariskan kepada
kemenakan.
d. Bahwa adat tidak boleh ditingglkan, karena adat itu bersandian syarak.
Oleh jarenanya harus dipakai keduanya, supaya jangan binaasa keduanya.
3. Inyaik DR. H. Karim Amarullah,
Ayahanda Buya Hamka adalah seorang murid Syeh Ahmad Khatib
yang lama belajar dengan beliau di Mekah.
Inyiak DR, pada mulanya memegang teguh ajaran gurunya, tetapi
setelah kembali menyadari juga bahwa harta pusaka tidak mungkin
diwariskan kepada anak, karena harta itu diterima secara turun temurun.
Beliau berpendapat bahwa harta pusaka itu sama keadaannya dengan
harta wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlakukan oleh Umar bin
Khattab atas harta yang didapatnya di khaybar yang telah dibekukan
tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum.31
Sahabat Abdullah bin Umar ra berkata :32
جر انخطبة أصبة أرضب ثخ ر ث ع ب أ ع للا ر ، رض ع اث ع
صهى للا عه سهى ستأير فب فقبل ب رسل للا إ أصجت فأتى انج
فس جر نى أصت يبال قظ أ شئت أرضب ثخ قبل إ ب تأير ث ف دي ي ع
ال ت ، ال جبع ، ر أ ق ثب ع قت ثب قبل فتصد تصد حجست أصهب
ف سج قبة ف انر ف انقرثى ق ثب ف انفقراء تصد ال رث م للا
31
Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h. 278. 32
Muhammad ben Isma’il al-Bukhari, sahih al-Bukhari,(Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2013), h. 503 no.hadits 2737.
75
طعى عرف ب ثبن أكم ي نب أ ف ال جبح عهى ي انض جم انس اث
ل ر يت ر يتأثم يبال .غ فقبل غ سر اث ثت ث .قبل : فحد
Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa sesungguhnya Umar bin Khattab ra
telah memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi
Muhammad SAW, seraya berkata,”Aku telah mendapatkan bagian tanah,
yang saya tidak memperoleh harta selain ini yang aku nilai paling berharga
bagiku. Maka bagaimana engkau, wahai Nabi? Engkau memerintahkan aku
dengan sebidang tanah ini?” Lalu Beliau menjawab,”Jika engkau
menghendaki, engkau wakafkan tanah itu (engkau tahan tanahnya) dan
engkau shadaqahkan hasilnya,” lalu Umar menyedekahkan hasilnya.
Sesungguhnya tanah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak
boleh diwaris, tetapi diinfakkan hasilnya untuk fuqara, kerabat, untuk
memerdekakan budak, untuk kepentingan di jalan Allah, untuk menjamu tamu
dan untuk ibnu sabil. Orang yang mengurusinya, tidak mengapa apabila dia
makan sebagian hasilnya menurut yang makruf, atau memberi makan
temannya tanpa ingin menimbunnya. [HR Bukhari no.2737].
Beliau mengemukakan Qa‟idah Ushul yang terkenal, yaitu Al „Adatu
Muhak Kamatun, Wal „Urfu Qa-Dhin”. Artinya, “Adat adalah diperkokoh,
dan urf (tradisi) adalah berlaku”.33
Pandangan ini juga diikuti oleh anak beliau Prof. Dr. Hamka.
HAMKA dalam bukunya berjudul AYAHKU mengatakan bahwa:
“Dan oleh sebab itu pula maka di antara adat dengan syarak di Minangkabau
itu payah menyisihkannya, melainkan berpadu satu sebagai perpaduan minyak
dengan air dalam susu. Sebab Islam bukan tempel-tempelan dalam adat
Minangkabau. Tetapi suatu susunan Islam yang dibuat menurut pandangan
orang Minangkabau. Bahkan kedudukan harta pusaka tinggi turun menurun
itu, tidak boleh dijual dan tidak boleh digadaikan, diperkuat oleh ulama-ulama
dengan hukum syariat.
Harta pusaka itu “dijual tidak dimakan beli, digadaikan tidak dimakan
sandra”.
33
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984), h. 103.
76
4. Perselisihan antara kaum adat dengan ulama telah ddiakhiri dengan
diadakannya pertemuan di Bukit Marapalam. Mereka sepakat bahwa orang
Minangkabau di samping beragama Islam, mematuhi juga adatnya.
5. Dalam Kongres Badan Pemusyawaratan Alim Ulama, Niniak mamak, Cerdik
pandai Minangkabau tanggal 4 s/d 5 Mei 1952 di Bukittinggi yang dihadiri
antara lain oleh Haji Agus Salim dan Buya Hamka, menyepakati bahwa
terhadap tanah pusaka tinggi berlaku hukum adat dan terhadap harta pencarian
berlaku hukum faraidh.
Di dalam adat Minangkabau ini ada juga yang namanya harta pusaka rendah.
Harta pusaka rendah adalah harta yang diperoleh oleh orang tua kita. Dan pewarisan
harta pusaka rendah ini dilakukan dengan hukum warisan islam. Harta pusaka rendah
ini bisa dijadikan harta pusaka tinggi tetapi tidak sebaliknya harta pusaka tinggi tidak
boleh dijadikan harta pusaka rendah.
harta pusaka tinggi adalah harta yang turun temurun yang diwariskan kepada
kemenakan-kemenakan perempuan di dalam adat Minangkabau. Harta pusaka tinggi
ini diwariskan dengan asas kolektif.
Konklusi dari penulis, bahwa sesungguhnya harta pusaka tinggi itu tidak
boleh berubah menjadi harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi adalah harta
kepunyaan kaum dan harta pusaka rendah adalah hasil dari apa yang diupayakan oleh
orang tua.
Harta pusaka tinggi adalah titipan dari nenek moyang dahulu untuk dijaga dan
dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kaum. Harta itu merupakan salah satu simbol
berdirinya sistem kekeluargaan matrilineal yang menjunjung tinggi kaum perempuan.
Adanya harta pusaka tinggi ini menjadikan sistem ekonomi bagi kaum itu stabil dan
tidak mengalami kemiskinan. Tidak adanya harta benda yang dipunya tetapi karena
adanya harta pusaka tinggi ini bisa membuat hidup ini akan berjalan damai dan
tentram.
Bisa dikatakan bahwa harta pusaka tinggi ini merupakan suatu alasan kenapa
nenek moyang orang Minangkabau meninggalkan harta itu untuk keponakannya,
77
karena menghidarkan anak cucu mereka hidup individual dan terlalu larut dalam
kehidupan yang zaman globalisasi. Supaya anak cucu mereka hidup bergotong
royong dan kerja sama.
Dikaitkan dengan agama Islam, pergeseran harta pusaka tinggi menjadi harta
pusaka rendah juga tidak boleh dilakukan karena pergeseran menjadi harta pusaka
rendah itu menyebabkan kita memakan yang bukan hak kita tetapi kita memakan hak
orang lain yaitu kaum. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman surat Al-Baqarah ayat
188:34
ا ه ك أ ت بو ن ك ح نى ان ب إ ا ث ن د ت م بط ج بن ى ث ك ى ث ك ان ي ا أ ه ك أ ال ت
ه ع ى ت ت أ ى ث بل بس ث ال ان ي أ ب ي ق فر
Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
Dari ayat di atas bisa dipahami bahwa tidak diperbolehkan dalam memakan
hak orang lain. Bisa dikatakan juga kalau harta pusaka tinggi itu di dalamnya terdapat
hak orang lain, karena harta pusaka tinggi itu dari dulunya merupakan pemberian
nenek moyang Minangkabau untuk kaumnya.
34
Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 188 (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2015), h. 29
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada pada bab-bab sebelumnya, maka penulis
menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan.:
1. Pewarisan harta itu harus segaris keturunan ibu yaitu yang mendapatkan harta
pusaka tinggi itu hanya pihak perempuan yang ada dalam kaum itu dan
apabila diberikan secara ganggam bauntuak harta itu harus dijaga sampai
punah keturunan yang ada dalam keluarga itu. Apabila sudah punah atau
tidak ada lagi anak perempuan yang akan menjawab dari harta pusaka
tersebut, maka harta itu di kembalikan kepada kaumnya. Apabila dalam
kaum itu sudah tidak ada lagi yang perempuan atau punah, maka harta itu
diwariskan kepada kaum yang satu suku yang terdekat dengan jorong atau
desa itu. apabila tidak ada maka harta itu diwariskan kepada nagari yang
terdekat dengan nagari itu apabila tidak ada dicari yang terdekat dengan
kecamatan tersebut apabila masih tidak ada maka harta itu dikembalikan
kepada nagari di mana harta itu terletak
2. Pergeseran harta pusaka tinggi di Kenagarian Batu Taba Kecamatan IV
Angkek disebabkan oleh dua hal :
a. harta pusaka tinggi disertifikatkan, harta pusaka tinggi itu tidak boleh
disertfikatkan, apabila sudah disertifikatkan maka harta itu secara
otomatis sudah berubah langsung statusnya menjadi harta pusaka rendah.
b. harta pusaka tinggi dijual, bahwa penyebab orang menjual yang paling
tinggi di nagari ini adalah karena faktor ekonomi, faktor ekonomi ini
sangat mempengaruhi penjualan harta pusaka tinggi ini, karena dengan
berkembangnya zaman semua kebutuhan naik dan harga tanah juga mulai
naik, dan orang-orang sudah mulai hidup individual jadi harta ini dijual
karena tergiur dengan harga tanah yang mahal.
3. pusaka tinggi ini yang sebenarnya tidak boleh dijual karena harta itu hanya
boleh digadaikan saja apabila mempunyai 3 masalah yaitu gadih tuo indak
79
balaki, rumah gadang katirisan, mayik tabujua tangah rumah. Zaman kini
sudah modern tetapi eksistensi harta pusaka tinggi harus dijaga sampai
kapanpun. Harta pusaka ini akan merupakan tiang dari berdirinya sistem
kekerabatan di Minangkabau yang merupakan dengan sistem kekerabatan
Matrilineal. Harta pusaka tinggi hanya boleh dipakai dan diolah, tidak boleh
disertifikatkan apalagi sampai diperjualbelikan.
harta pusako tinggi bukan harta yang dimiliki seutuhnya atau bukan “milkut
tam” (miliki yang sempurna). jadi harta itu hanya boleh dipakai dengan
mengambil hasil upah kerja dari hasil lahannya. Apabila terjadi pergeseran
tersebut sangatlah haram, karena apabila sudah menjadi harta pusaka rendah,
maka mereka memakan harta haram karena itu bukan menjadi hak milik
mereka dan itu juga bukan harta yang diusahakan oleh orang tua mereka.
Harta pusaka tinggi hanya boleh dipakai dan diolah, tidak boleh
disertifikatkan apalagi sampai diperjualbelikan. Jadi harta itu hanya boleh
dipakai dengan mengambil hasil upah kerja dari hasil lahannya tersebut dan
sisanya diwakafkan atau disedekahkan hasilnya dengan meniatkan pahalanya
kepada pemilik pertama dari harta tersebut.
B. Saran
1. Pemahaman tentang harta pusaka tinggi hendaknya dapat diaktualisasikan
dan diimplementasikan oleh setiap orang yang memegang amanah kaum
dalam nagari secara kongkrit untuk kehidupan anak kemenakan yang lebih
baik dan terjaganya kelangsungan harta pusaka sebagai identitas suatu kaum.
Pergeseran harta pusaka tinggi menjadi harta pusaka rendah ini tentunya
memerlukan pemikiran yang bijak dari berbagai unsur dalam masyarakat baik
dari kalangan ninik mamak, cerdik pandai maupun alim ulama agar
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat sebagai bagian
perubahan global tidak membawa dampak negatif terhadap nilai-nilai adat
yang telah tumbuh dan berkembang sejak zaman dahulu. Untuk itu menurut
penulis diperlukan peran aktif KAN, niniak mamak, cerdik pandai, alim
ulama dalam mencermati dan mengambil langkah-langkah prefentif terhadap
80
berbagai persoalan adat dan atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat,
agar kelestarian adat Minangkabau termasuk di dalamnya harta pusaka tinggi
yang merupakan ciri khas keberadaan sistem matrilineal dapat terjaga dengan
baik.
2. Disarankan untuk penulis selanjutnya yang ingin mengkaji tentang
keminangkabauan, diharapkan tidak membenturkan hukum adat
Minangkabau dengan hukum Islam. Karena apabila dibenturkan dengan
hukum Islam orang-orang awam akan salah menilai terhadap hukum adat
Minangkabau. Pembahasan adat Minangkabau tidaklah bertentangan dengan
hukum Islam. Sebagai mana pepatah orang Minangkabau “adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai”. Yang
artinya sendi dari adat itu adalah agama, sendi dari agama adalah Al-Qur’an
dan Sunnah, apapun yang dikatakan dalam agama itu akan dilaksanakan oleh
adat. Maka penulis menyarankan apabila mengakji tentang waris adat maka
hubungkan dengan hukum agama jangan dibenturkan dan jangan dipisahkan.
81
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
A.M. Dt. Sori Marajo, Rumah Gadang Minangkabau Lima Puluh Kota: Lkaam
Kabupaten Lima Puluh Kota, 2014.
Abta, Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidhl: Deskripsi
Berdasarkan Hukum Islam Praktis dan Terapan, Surabaya, Pustaka Hikmah
Perdana, 2005.
Ali, Zainuddin. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Pencaharian di Minangkabu,
Jakarta: Citra Harta Prima, 2011.
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press,
2010.
Ben, Isma’il al-Bukhari Muhammad, Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 2013.
Chairusdi, Sejarah Kebudayaan Minangkabau, Padang: Iain-Ib Press, 2004.
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pt Pustaka Panjimas, 1984.
Hermawan, Asep. Kiat Praktis Menulis Skripsi, Tesis, Desertasi, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2004.
Husein, Amin Nasution, Hukum Kewarisan, Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada, 2012.
Ibrahim Dt Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau “Tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang”, Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2012.
Ilhami, Fajri, Tradisi Sasuduik Dalam Peminangan di Nagari Harau Lima Puluh
Kota Sumatera Barat, Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
82
Julius Datuak Malako Nan Putiah, Mambangkik Batang Tarandam Dalam Upaya
Mewariskan dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi
Kehidupan Bangsa.
Lembaga Kerapatan Adat Nagari, Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah,
Padang: Sako Batuah, 2002.
Lkaam, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Padang: Surya Cirta
Offset, 2002.
Mansur Dt. Nagari Basa. Hukum Waris Tanah dan Peradilan Agama, Menggali
Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, Padang: Sri Dharma, 1968.
Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Piliang, Edison dan Hasrun Dt. Maraja Sungut, Tambo Minangkabau “Budaya dan
Hukum Adat di Minangkabau, Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2014.
Ash Shabuniy, Muhammad Ali, Terjemahan Hukum Waris Islam, Surabaya: Al-
Ikhlas, 1995.
Sjarifoedin, Amir Tj.A, Minangkabau dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai
Tuanku Imam Bonjol, Jakarta: Gria Media Prima, 2011.
Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia: dalam Perspektif Islam, Adat, dan Bw,
Bandung: Pt Refika Aditama, 2013.
Syarifuddin, Amir, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Jakarta: Pt Gunung Agung, 1982.
Yaswirma. Hukum Keluarga:Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat
dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, Jakarta: Pt Rajagrafindo
Persada, 2011.
83
Zamzami, Mukhtar. Perempuan dan Keadilan: dalam Hukum Kewarisan Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
Az-Zuhaili, Wahbah. Terjemahan Fiqih Islam Wa Adillatuhu 10, Depok: Gema
Insani, 2011.
B. Artikel dan Internet
Http://Dodirullyandapgsd.Blogspot.Com/2015/06/Harta-Pusako-Tinggi-
Diminangkabau.Html. Diakses Pada 28 November 2017, Pukul 20.07 Wib.
C. Wawancara
“Em”, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 15 Februari 2018.
“S”, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 11 Februari 2018.
Husein, Awis Karni, Ulama, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 5
Februari 2018.
Sutan, Diateh Raymond Ramli, Ketua Kan (Kerapatan Adat Nagari), Interview
Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 9 Februari 2018.
Sutan. Bagindo Labiah Kasman, Niniak Mamak, Interview Pribadi, Kenagarian Batu
Taba, Tanggal 6 Februari 2018.
Yulnedi, Masyarakat Adat, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 7
Februari 2018.
Zulhadia, Ketua Wali Nagari, Interview Pribadi, Kenagarian Batu Taba, Tanggal 8
Februari 2018.
HASIL WAWANCARA DENGAN WALI NAGARI KENAGARIAN BATUTA
BPK ZULHADIA
1. Bagaimana pendapat bapak terhadap penjualan dan pensertifikatkan
harta pusako tinggi ?
Harta pusaka tinggi seharusnya tidak boleh dijual atau disertifikatkan, kalau
harta pusaka tinngi itu ingin diperjelaskan kepemilikannya maka boleh
disertifikatkan dengan catatan harta pusaka tinggi itu harus di atas nama kaum
dan ditanda tangani oleh semua anggota kaum.
Harta pusako tinggi ini tidak boleh dijual asal-asalan saja karena harta ini
kepemilikannya adalah kaum. Sebagaimana pepatah orang dahulu “rumah
gadang katirisan, gadis tuo indak balaki, mayik tabujua tangah rumah,
mambangkik batang tarandam.”
Karena zaman sekarang sudah berubah dan harga tanah sekarang mahal, jadi
orang banyak yang berkejar untuk menjual harta tersebut karena dengan
menjual harta tersebut hasil penjualannya bisa dimanfaatkan sendiri. Tidak
ada lagi hubungannya sama kaum. Sebenarnya harta pusaka tinggi ini adalah
sebagai ciri khas orang Minangkabau dalam kekayaannya.
Apabila sudah terjadi yang namanya pensertifikatkan harta pusaka tinggi
dengan nama sendiri sudah barang tentu peluang untuk penjualan harta pusaka
itu tinggi. Pensertifikatkan dalam adat sebenarnya tidaklah dibolehkan, tetapi
banyak oknum yang mensertifikatkan untuk melakukan penjualan harta
tersebut karena tidak ada sertifikat dari tanah tersebut maka penjualan tanah
tersebut tidak bisa dilakukan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan tadi, karena harga dari tanah sekarang naik
dan proses untuk mensertifikatkan sudah dipermudah oleh pemerintah maka
banyak orang yang tidak tau adat dan agama berbondong-bondong untuk
mensertifikatkan harta tersebut.
Ini merupakan sebuah perbuatan yang sangat dilarang oleh adat
Minangkabau.Tidak ada lagi hubungannya sama kaum. Sebenarnya harta
pusaka tinggi ini adalah sebagai ciri khas orang Minangkabau dalam
kekayaannya.
2. Apakah wali nagari mengetahui harta pusako tinggi itu menjadi harta
pusako rendah ?
Dalam hal penjualan dan pensertifikatkan harta pusaka tinggi ini wali nagari
tidak mengetahui permasalahannya, wali nagari cuma mengetahuinya sesudah
harta itu dijual atau disertifikatkan karena mereka meminta tanda tangan wali
nagari.
Wali Nagari ada mengetahui satu permasalahan tentang harta pusako tinggi
ini dijual. Orang-orang atau staf dari pemerintah kenagaraian tidak boleh ikut
serta dalam penjualan harta apapun tetapi staf dari kenagarian boleh ikut
apabila diminta langsung oleh orang yang berperkara dalam hal mencarikan
solusi. Jadi dalam masalah yang diketahui wali nagari ini orang yang
berperkara ini dalam kaumnya tinggal berdua. Kedua orang ini adalah
bersaudara yang satu sebagai bundo kanduang yang memegang harta pusaka
tinggi kaumnya dan satu lagi adalah anak perempuan anak dari saudara
perempuan dari bundo kanduang tersebut. Dalam permasalahan ini berawal
dari harta pusaka yang dipegang oleh bundo kanduang itu dijual secara
sepihak tanpa ada persetujuan dari kaumnya. Alasan dia menjual adalah untuk
penunjang kehidupannya karena dia tidak punya suami dan tidak punya anak.
Kemenakannya itu menuntut karena harta itu dijual tanpa sepengetahuannya
dan syarat harta itu dijual harus atas kesepakatan kaum.
Dari awal harta ini sudah bisa untuk dijual atau digadaikan karena bundo
kanduang ini belum menikah dan itu masuk kepada pepatah Minangkabau
“gadih tuo indak balaki”, tapi karena tidak adanya musyawarah dan
menjualnya tidak kesepakatan kaum maka timbul sengketa dan masalah ini
sedang dalam proses penyelesaian karena bundo kanduangnya hampir semua
harta yang dia jual.
Dan ada juga mamak yang ingin menjual harta pusaka tinggi itu karena harga
tanah tinggi dan mengambil manfaat dari hasil penjualan harta pusaka tinggi.
Kebanyakan dari penjualan harta pusako tinggi orang yang melakukan
penjualan itu banyak yang menderita hidupnya, dan sakit-sakitan yang parah
sampai dia meningal dunia.
3. Bagaimana pendapat wali nagari terhadap harta pusako tinggi yang
bergeser menjadi harta pusako randah ?
Harta pusako tinggi ini kepemilikannya bersama kaum jadi harta pusako
tinggi yang menjadi harta pusaka rendah tidak dibolehkan karena harta pusako
tinggi itu akan tetap menjadi harta pusako tinggi selamanya selama tidak ada
hal yang menyebabkan harta itu digadaikan atau disertifikatkan.
4. Apakah tindakan dari wali nagari terhadap pergeseran ini?
Tidak ada tindakan dari pemerintahan nagari, sebab pemerintah nagari tidak
memepunyai aturan untuk mencegah dari pergeseran harta pusaka tinggi
menjadi harta pusaka rendah. Kecuali ada undang-undang adat dari niniak
mamak terhadap larangan menjual harta pusako tinggi itu sedangkan di
Nagari Batu taba tidak adanya aturan tersebut.
5. Apakah wali nagari tidak mengambil tindakan tegas terhadap penjualan
dan pensertifikatkan harta tersebut?
Nagari tidak bisa bertindak terhadap pergeseran harta pusako tinggi ini
menjadi harta pusako rendah karena yang berperan disini bukanlah kenagarian
tapi KAN (kerapatan adata nagari), karena semua sesuatu masalah di
Minangkabau diselesaikan dengan musyawarah. jadi yang berkuasa penuh
adalah niniak mamak dalam mengawasi harta pusaka tinggi ini, tetapi selama
ini belum ada peraturan yang mengikat niniak mamak tentang penjualan harta
pusako tinggi.
6. Apakah ada sanksi adat terhadapap orang yang menjual belikan dan
mensertifikasikan harta pusako tersebut?
Tidak ada sanksi tegas dalam hal penjualan dan pensertifikatkan harta pusaka
tinggi itu, karena harta pusaka tinggi ini adalah harta kaum jadi yang berhak
mengatur atau menjaga harta tersebut kaum itu. dan disini termasuk peran
mamak sebagai orang yang dituakan didalam kaumnya. Dia lah yang lebih
berhak memutuskan maslah dalam kaumnya.
7. Apa yang menjadi faktor dalam penjualan dan pensertifikatan harta
pusako tinggi tersebut?
faktor Penjualan harta pusako tinggi adalah:
1. Karena fasilitas dan kemudahan dalam pensertifikatkan tanah diberikan
oleh pemerintah pusat. Dari situ muncul alasan kenapa niniak mamak atau
oknum yang berniat untuk menguasai harta itu mensertifikatkannya.
2. Karena harga dari tanah sekarang mahal jadi oknum yang menjualkan
harta tersebut ingin mengambil manfaat dari penjualan harta tersebut.
3. tidak adanya generasi penerus atau punahnya keturunan perempuan yang
akan mewariskan harta pusaka tinggi dan takut lepas ketangan orang lain
makanya harta itu dijual dan hasil penjualannya bisa di manfaatkan oleh
anak keturunannya. Tindakan yang dilakukan orang tersebut salah menurut
adat karena pewarisan harta tersebut dilakukan apabila tidak ada atau
punah suku suattu kaum di jorong tersebut maka harta tersebut di wariskan
ke orang yang satu suku dari jorong terdekat, dan jika tidak ada maka di
wariskan ke nagari terdekat dari daerah itu. Tetapi dalam praakteknya
orang itu banyak yang “cadiak buruak” (pintar tapi jahat) maka dia menjual
harta tersebut untuk menjadi harta sendiri dan kekayaan sendiri.
8. Apakah bisa wali nagari membatalkan penjualan dan pensertifikatkan ?
dan apa alasannya ?
Dari pihak wali nagari tidak ada wewenang dalam membatalkan penjualan
harta tersebut karena yang memiliki wewenang yang penuh adalah niniak
mamak sebagai kepala suku atau pemimpin dalam sebuah kaum. Dan dia
sebagai penjaga dari harta pusako tinggi itu.
Persertifikatkan harta pusako tinggi, lebih baik tidak di sertifikatkan karena
apabila harta pusako tinggi sudah disertifikatkan harta itu kan berpindah
menjadi harta pusako randah karena sertifikat harta tersebut atas nama pribadi
dan ditakutkan dari pensertifikatkan harta tersebut timbul niat untuk menjual
dan menggadaikannya. Tetapi tidak ada kemungkinan juga apabila harta itu
disertifikatkan atas nama kaum, apabila harta pusako tinggi itu disertifikatkan
atas nama kaum harta itu akan terjaga dengan sebaik mungkin. Dalam
pensertifikatkan wali nagari tidak juga bisa membatalkannya apabila sudah
disetujui oleh KAN dan semua anggota kaum.
9. Bagaimana praktek pewarisan sesudah bergesernya menjadi harta
pusako rendah?
Setelah harta itu menjadi harta pusako randah pewarisan islam tidak bisa
berlaku disitu karena asal harta itu adalah pusako tinggi jadi harta itu tidak
bisa dibagi menjadi dengan hukum Islam karena bukan milik sepenuhnya.
10. Apakah filosofi dari mempertahan kan harta pusako tinggi itu tetap ada?
mempertahankan harta pusako tinggi merupakan wajib dilakukan karena kita
sebagai orang Minangkabau. Harta pusako tinggi itu adalah simbol
kekeluargaan kita sebagai orang Minangkabau. Dengan mempertahankan
harta pusako tinggi itu kita menjaga adat Minangkabau tidak hilang karena
harta itu salah satu simbol yang semestinya harus di pertahankan. Harta
pusako tinggi adalah harta kekeluargaan yang mengajarkan kita bagaimana
hidup dalam kebersamaan dang menjaga kita dalam hidup individual.
HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA KAN (Kerapatan Adat Nagari)
BPK H. RAYMOND RAMLI ST DIATEH
1. Bagaimana pendapat anda terhadap penjualan dan pensertifikatkan
harta pusako tinggi ?
Secara adat tidak boleh dijual dan disertifikatkan karena harta pusako tinggi
dibuat oleh orang tua dahulu (nenek moyang) diperuntukan untuk perempuan
minangkabau dengan pertimbangan wanita itu dihormati dan dijunjung tinggi
derajatmya. Penyebab dari pergeseran harta pusako tinggi menjadi harta
pusako randah adalah mamak karena mamak ini adalah penentu didalam
kaumnya. Apabila niniak mamak tidak paham dengan harta pusaka tinggi
maka harta itu akan hilang dan habis terjual.
Harta itu harus dijaga dengan sebaiknya karena harta pusako tinggi adalah
penunjang kehidupan kaum dalam kehidupan adat Minangkabau.
2. Apa yang menjadi faktor dalam penjualan dan pensertifikatan harta
pusako tinggi tersebut?
Pensertifikatan harta pusako tinggi ini bisa dikatakan untuk pengamanan dari
harta itu supaya tidak jatuh ke tangan orang lain. Dan pensertifikatan itu harus
diatas kaum tetapi yang terjadi malah sebaliknya harta itu disertifikatkan atas
nama pribadi. Apabila atas nama pribadi secara tidak langsung pasti harta itu
jatuhnya menjadi harta pusako randah atau diwariskan kepada anaknya.
Penjualan harta pusako tinggi disebabkan karena harta itu sudah
disertifikatkan dan harga dari tanah mahal makanya sekarang orang-orang itu
menjual harta pusako tinggi tersebut. bukan karena tidak ada keturunan atau
terputusnya keturunan dari pihak perempuan tetapi karena orang-orang itu
tidak paham apa itu harta pusako tinggi dan apa fungsi dan hak atas harta
pusako tinggi.
3. Bagaimana proses pergeseran harta pusako tinggi itu menjadi harta
pusako rendah?
Pada saat sekarang ini banyak yang meminta untuk dibuatkan sertifikat dari
harta ganggam baumpuak dan disinilah peran niniak mamak kepala kaum
apakah dia mau menandatangani surat untuk pensertifikatkan harta pusaka
tinggi itu. apabila ditanda tangani berarti niniak mamak itu tidak menjaga
harta pusako tinggi itu, itu yang banyak terjadi pada sekarang ini. Bahkan
mamak kepala kaum itu yang lebih bersemngat dalam pengurusan surat
pensertifikatan tanah itu dari pada mamak waris dari harta tersebut. Harta
pusako tinggi tersebut hanya sebagai hak pakai bukan hak memiliki. Apabila
disertifikatkan menjadi hak milik itu sudah berbuahlah posisi harta pusako
tinggi itu menjadi harta pusako randah. Mamak kepala kaum yang menolong
pembuatan sertifikat atau menandatangani pembuatan sertifikat dari harta
pusako tinggi, dialah yang disalahkan karena harta itu tidak boleh
disertifikatkan dalam memelihara harta pusako tinggi. Harta pusako tinggi
hanya boleh dikuasai secara adat bukan secara pribadi karena harta pusako
tinggi itu adalah harta bersama dan harus dinikmati bersama. Asal dari harta
pusako tinggi ini diperuntukkan untuk kaum perempuan minangkabau. Saat
sekarang ini banyak yang mensertifikatkan karena mamak itu tidak paham apa
itu harta pusaka tinggi dan apa itu harta puasaka rendah. dan KAN tidak bisa
melarang apapun dari hal tersebut karena mamak kepala kaum ini adalah
presiden dalam kaumnya.
4. Apakah ada sanksi adat terhadapap orang yang menjual beli kan dan
mensertifikasikan harta pusako tersebut?
Tidak ada sanksi terhadap penjualan dan pensertifikatkan harta pusako tinggi,
Karena harta pusako tingii adalah harta kepunyaan kaum jadi KAN hanya
bisa menyarankan tidak untuk dijual dan disertifikatkan. Apabila dijual
masalah semakin banyak terjadi seperti yang sudah terjadi sebelumnya.
Diantara kejadian yang sudah terjadi yaitu orang yang menjual dan
menjadikan harta pusako tinggi menjadi hak milik pribadi orangnya jatuh
miskin, sakit-sakitan dan sampai meninggal dunia. Disini bukan percaya
tahayul atau hal-hal gaib tapi bisa kita ambil hikmahnya itu bukan harta
pribadi itu adalah harta pusako tinggi yang diwariskan secara turun temurun
kepada kemenakan perempuan dan bukan untuk kemenakan laki-laki.
5. Bagaimana praktek pewarisan harta pusako tinggi sebelum menjadi
harta pusako rendah ?
Harta pusako tinggi Dikuasai mamak kepala kaum dan laki-laki
sebagai penjaga dari harta dan untuk perempuan di beri jatah dalam harta
tersebut. mamak kepala kaum membuat surat ganggam baumpuak untuk pihak
perempuan dan membaginya secara adil dengan pesan harta itu tidak boleh
dijual dan tidak disuratkan (sertifikat) dan apabila banyak keturunan kebawah
di bagi juga dengan membuat surat ganggam baumpuak. Harta itu dipakai
atau tidak dipakai yang penting jatah pembagiannya sudah ada karena dia
perempuan dalam kaum itu sebagai hak pakai bukan hak milik.
apabila punah harta itu tidak dijual, harus dibalik kan ke kaum yang
lain, karena harta pusako tinggi itu baliknya harus kembali lagi ke harta usako
tinggi bukan ke harta pusako randah.
6. Bagaimana praktek warisan sesudah bergesernya menjadi harta pusako
rendah?
Apabila dibuatkan sertifikatnya atas nama seseorang dan harta itu menjadi
harta pusako randah kebanyakan mereka membagi dengan menggunakan
hukum Islam. Tetapi apabila dibagi dengan hukum Islam tidak bisa karena
asal dari harta tersebut bukan milik sah dari harta tersebut.
7. Apakah KAN tidak mengambil tindakan tegas terhadap penjualan dan
pensertifikatkan harta tersebut?
KAN tidak bisa mengambil tindakan tegas terhadap pensertifikatkan dan
penjualan harta pusako tinggi. Tetapi KAN hanya bisa menyarankan untuk
harta itu tidak diperjual belikan atau disertifikatkan. Apabila disini terjadi
tindakan pidana KAN tidak bisa ikut campur dalam penyelesaiannya karena
dalam AD/ART KAN dituliskan bahwa mamak kepala kaum adalah presiden
dalam kaumnya dan apabila kaum sepakat KAN tidak bisa melarang. Biang
keladi dari pergeseran harta pusako tinggi menjadi harta pusako randah adalah
mamak karena mamak ini adalah penentu didalam kaumnya.
8. Apakah filosofi dari mempertahan kan harta pusako tinggi itu tetap ada?
Harta pusako tinggi itu adalah harta kaum atau harta bersama dari kata
bersama sudah bisa dikatakan bahwa harta itu akan membuat orang
Minangkabau yang mempunyai harta pusako tinggi itu akan tetap hidup
bersama-sama sampai kapanpun. Dengan terjaganya harta pusako tinggi itu
akan membuat orang-orang Minangkabau terjaga dari kehidupan individual.
Dan selalu hidup bergotong royang dan bermusyawarah.
HASIL WAWANCARA DENGAN ULAMA BUYA H. AWIS KARNI HUSEIN
1. Apakah harta pusako tinggi ini sesuai dengan ajaran islam?
Harta pusako tinggi ada undang-undangnya ”hak milik, harto yang punyo” yaitu hak
milik orang dahulu yang punya. Ketika orang dahulu itu meninggal harta
peninggalannya atau hartanya Allah SWT yang punya, itu yang dinamakan dengan harta
warisan. Belum boleh seseorangpun yang memiliki sebelum ditetapkan dengan faraid
atau hukum warisan islam.
Dijua ndak makan bali digadai ndk dimakan sando adalah peraturan dari Datuak
Parpatiah Nan Sabatang bertentangan dengan hukum agama.
Dijua ndak makan bali digadai ndk makan sando apakah sesuai dengan adat basandi
syarak syarak basandi kitabullah ? “Disini adat berlawanan dengan syarak, jelas
berlawanannya harta pusako tinggi itu berlawanan dengan syarak. Lain hal apabila orang
dahulu menghibah-hibahkan hartanya kepada anak kemanakannya, menjadi hak milik
kemenakannyalah harta tersebut.
Sekarang harta itu tidak ada dihibahkannya kepada kemenakan perempuan cuma adanya
undang-undang dari Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Harta pusako tinggi itu yang miliki
siapa ? apa milik anak kemenakannya, pernahkah dihibahkan? tidak ada akad atau bukti
tanah itu dihibahkan. Yang ada cuma undang-undang yang dibuat dibukit Marapalam
oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang dengan para pemuka adat.
Harta pusako tinggi yang memegang sekarang maka dia memakan harta yang tinggi
syubhatnya. Sebab yang memiliki atau hak milik sebenarnya bukanlah yang memegang
sekarang.
2. Bagaimana pendapat anda terhadap penjualan dan pensertifikatkan harta pusako
tinggi ?
Harta pusako tinggi itu hanya boleh dipakai dan diolah, tidak boleh disertifikatkan
apalagi sampai diperjualbelikan. Harta itu bukan harta yang dimiliki seutuhnya atau
bukan “milkut tam”(miliki yang sempurna). jadi harta itu hanya boleh dipakai dengan
mengambil hasil upah kerja dari hasil lahannya tersebut dan sisanya diwakafkan atau
disedekahkan hasilnya denga meniatkan pahalanya kepada pemilik pertama dari harta
tersebut.
3. Bagaimana pendapat anda terhadap harta pusako tinggi yang bergeser menjadi
harta pusako randah ?
Harta pusako tinggi tidak akan pernah bisa bergeser menjadi harta pusako randah karena
harta itu adalah harta orang dahulu yang membuka lahan yang seharusnya dibagikan
kepada anak cucunya bukan kepada kemenakannya. Harta pusako tinggi ini adalah harta
yang paling tinggi syubhatnya karena ketika pemilik harta aslinya meninggal harta ini
tidak dibagi dengan menggunakan hukum Islam. Apabila harta ini menjadi harta pusako
randah apakah baik untuk dinikmati hasil dari harta tersebut? tentu kita masih ragu-ragu
dalam penetapannya itu. Maka sebaiknya harta boleh dipakai jadi yang diambil hanya
upah kerja dari pengolahan lahannya bukan hasil keseluruhannya dan sisa dari
pengambilan upah kerja diwakafkan atau disedekahkan dengan meniatkan pahalanya
kepada pemilik asli dari harta tersebut. kalau dia memiliki harta pusako tinggi pasti dia
mengetahui nama datuknya yang memiliki atau yang menemukan harta tersebut.
4. Dari sekian banyak harta pusako yang disertifikatkan dan dijual apa tidak ada cara
untuk menjaga adat dari Minangkabau supaya tidak dijual dan disertifikatkan ?
Untuk menjaga harta pusako tinggi itu tidak disertifikatkan dan dijual bisa dengan
mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat adat Minangkabau terutama kepada niniak
mamak dan bundo kanduang. ilmu agama yang dimaksud di sini adalah ilmu faraid.
5. Bagaimana pandangan hukum islam tentang penjualan harta pusako tinggi dan
pensertifikatannya?
Pada zaman sekarang banyak masyarakat yang menjual harta tersebut. kebanyakan yang
menjual harta pusako tinggi itu banyak yang hidupnya sengsara, banyak yang sakit-
sakitan.
Seharusnya dahulu ketika orang yang mempunyai harta pusako tinggi ini meninggal
hartanya dibagi dengan hukum faraidh. Orang tersebut memiliki anak dan istrinya yang
akan menerima harta tersebut. Setelah keluar undang-undang Datuak Parpatiah Nan
Sabatang “dibali indak makan jua digadai indak makan sando”. Maka harta itu
diturunkan kepada kemenakannya. Dalam hukum islam hubungan mamak yang punya
harta itu terputus dengan anak kemenakan yang menerima pada saat sekarang ini. Di situ
lah bertentangan dengan agama dari situ lah kita memegang karena harta pusako tinggi
adalah harta yang tinggi syubhatnya.
Dalam peraturan agama Islam setiap orang yang meninggal Allah yang mempunyai
semua hartanya tersebut. Sebagaimana dalam Al-Qur’an dalam surat An-Nisa’ ayat 7:
ك ا تر م اء نصيب م لنس ل بون و ر ق ال ان و د ال و ك ال ا تر م ال نصيب م ج للر
د ال و روضاال ف ا م ر نصيب ث و ك ه أ ن ا قل م م بون م ر ق ال ان و
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Setiap yang maninggal baik dari pihak laki-laki dan perempuan sudah ada ketentuan
bagiannya masing-masing. Yang menetapkan dari ayat tersebut adalah Allah.
Dalam artian semua peninggalan orang yang mati adalah milik Allah. Buktinya Allah
menyampaikan aturan-aturannya dalam surat An-Nisa’ ayat 7-14. Dari sini bisa dikatakan
batal undang-undang Datuak Parpatiah Nan Sabatang kalau didampingi dengan hukum
islam.
Saya mendapatkan cerita ini dari Buya Dalin bahwa Syech Ahmad Khatib Al-
Minagkabawi tidak mau pulang dari mekkah ke Minangkabau, sedangkan ulama-ulama
besar Minangkabau meminta beliau untuk balik ke tanah Minangkabau, dan Syech
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menjawab “den indak ka pulang kareno urang
Minangkabau mamakan harato pusako tinggi”(saya tidak mau pulang ke Minangkabau
karena orang Minangkabau memakan harta pusaka tinggi). Itulah alasan yang beliau
keluarkan karena beliau mengetahui agama Isalam dan paham tentang masalah harta
dalam hukum Islam. Jadi orang yang memakan harta pusako tinggi itu adalah orang yang
memekan harta syubhat apalagi kalau dijual karena itu bukan hak yang menjual karena
bukan kita yang malaco (membuka lahan). Kalau mamak yang terdahulu menghibahkan
harta tersebut kepada kemenakan perempuannya dan seterusnya maka boleh harta itu kita
miliki. Karena dari harta pusako tinggi ini banyak timbul sengketa dalam permasalahan
kepemilikan harta tersebut.
HASIL WAWANCARA DENGAN NINIAK MAMAK H. KASMAN SUTAN
BAGINDO LABIAH
1. Bagaimana pendapat anda terhadap penjualan dan pensertifikatkan
harta pusako tinggi ?
Harta pusako tinggi tidak boleh disertifikatkan ,maupun dijual. Apabila terjadi
maka habis harta orang Minangkabau. Harta itu adalah hak bersama maka
harus dipakai secara bersama. Dalam hukum adat sebenarnya harta ini akan
ada sampai hari kiamat. Tetapi karena orang yang tidak paham dengan harta
ini mereka mensertifikatkan harta tersebut. orang yang mensertifikatkan dan
menjual harta itu adalah orang yang tidak paham apa fungsi dan tujuan kenapa
mamak dahulu meninggalkan hartanya untuk kemenakan-kemenakannya
sekarang ini. Harta itu harus dijaga dengan baik di sini tugas niniak mamak
dan laki-laki dalam kaum.
2. Bagaimana pendapat anda terhadap harta pusako tinggi yang bergeser
menjadi harta pusako randah ?
Harta pusako tinggi menjadi harta pusako randah itu sebenarnya tidak ada,
walaupun harta itu sudah dibagi-bagi harta itu tetap menjadi hara pusako
tinggi tetapi karena pada zaman sekarang ada namanya istilah harta pusako
tinggi menjadi harta pusako randah karena mereka ingin menguasai harta
tersebut seutuhnya menjdai hak milik bukan hak pakai lagi. Oleh karena itu
harta tersebut disertifikatkan, apabila harta itu sudah disertifikatkan untuk
menjual harta tersebut lebih mudah lagi.
Sebenarnya harta pusako tinggi itu tidak boleh dijual, hanya saja harta pusako
tinggi boleh digadaikan apabila mempunyai empat perkara. Bisa
digarisbawahkan hanya digadaikan saja tidak untuk dijual belikan.
3. Apa yang menjadi faktor dalam penjualan dan pensertifikatan harta
pusako tinggi tersebut?
Penyebab pensertifikatkan itu adalah karena orang ingin menjaga harta
tersebut supaya tidak timbul sengketa dan supaya harta itu terjaga dari tangan
orang yang ingin menguasainya, hal ini boleh dilakukan apabila
pensertifikatkan itu dilakukan diatas nama kaum tersebut. tetapi kebanyakan
terjadi pensertifikatan dilakukan atas nama sendiri bukan diatas nama kaum
dengan tujuan harta itu bisa dikuasi sendiri. Apabila sudah disertifikatkan niat
untuk menjual dari harta tersebutpun timbul.
Penyebab orang menjual yang paling tinggi di nagari ini adalah karena faktor
ekonomi, faktor ekonomi ini sangat mempengaruhi penjualan harta pusako
tinggi ini, karena dengan berkembangnya zaman semua kebutuhan naik dan
harga tanah juga mulai naik, dan orang-orang sudah mulai hidup individual
jadi harta ini dijual karena tergiur dengan harga tananh yang mahal. tetapi
kebanyakan yang terjadi dari penjualan harta pusako tinggi orang yang
menjual harta itu akan sakit-sakitan dan semua hartanya akan habis, karena
mereka memakan harta yang bukan hak mereka. Kalau faktor kepunahan
keturunan tidak menjadi faktor penyebab terjadinya penjualan harta tersebut.
4. Bagaimana cara menjaga harta pusako itu tidak di jual atau
disertifikatkan?
Dalam menjaga harta pusako tinggi para calon niniak mamak harus dibekali
dengan ajaran agama dan pemahaman mereka terhadap harta pusako tinggi,
dengan ajaran agama mereka akan takut mengambil hak orang lain yang ada
dalam harta tersebut. memberi pemahaman terhadap harta pusako tinggi
merupakan hal yang boleh dikatakan wajib karena harta pusako tinggi itu
adalah salah satu tanda bahwa adat Minangkabau terjaga sampai kapanpun.
Harta itu sebagai tiang tuo dari Minangkabau yang harus dijaga. Harta pusako
tinggi akan terus memberi manfaat dari generasi ke generasi berikutnya.
5. Apakah ada sanksi adat terhadap orang mensertifikasikan dan menjual
harta pusako tersebut?
Tidak ada sanksi adat terhadap pensertifikatkan dan penjualan harta pusako
tinggi, karena tidak ada ketentuan hukum adat terhadap pensertifikatan dan
penjualan harta pusako tinggi, tetapi itu semua balik kepada niniak
mamaknya, apabila niniak mamaknya paham terhadap harta pusaka tinggi
maka niniak mamaknya akan menjaga dari dua hal yang akan membuat harta
pusako tinggi itu habis.
6. Bagaimana praktek pewarisan harta pusako tinggi?
Pewarisannya itu harus segaris keturunan ibu yaitu yang mendapatkan harta
pusako tinggi itu hanya pihak perempuan yang ada dalam kaum itu dan
apabila diberikan secara ganggam bauntuak harta itu harus dijaga sampai
punah keturunan yang ada dalam keluarga itu. apabila sudah punah atau tidak
ada lagi anak perempuan yang akan menjawab dari harta pusako tersebut,
maka harta itu di kembalikan kepada kaumnya. apabila dalam kaum itu sudah
tidak ada lagi yang perempuan atau punah, maka harta itu di wariskan kepada
kaum yang satu suku yang terdekat dengan jorong atau desa itu. apabila tidak
ada maka harta itu diwariskan kepada nagari yang terdekat dengan nagari itu
apabila tidak ada dicari yang terdekat dengan kecamatan tersebut apabila
masih tidak ada maka harta itu dikembalikan kepada nagari dimana harta itu
terletak.
Waris harta pusako tinggi diwariskan ke garis keturunan ibu, harta itu d
wariskan ke anak perempuan yang ada keturunannya bukan untuk kepada
perempuan yang tua. Harta ini cuma harta pakai, apabila dalam keluarga ada 2
orang perempuan dan 2 orang laki-laki maka harta tersebut dibagi kepada 2
orang anak perempuan tersebut dengan membagi rata.
7. Bagaimana praktek sesudah bergesernya menjadi harta pusako rendah?
Harta pusako tinggi yang menjadi harta pusako randah tidak bisa dibwakan
dengan hukum Islam, karena harta itu adalah harta pusako tinggi jadi tidak
bisa dikatakan menjadi harta pusako randah. Orang yang menjadikannya harta
pusako randah adalah orang yang mencuri hak orang lain yang ada didalam
harta pusako tersebut.
8. Apakah filosofi dari mempertahankan harta pusako tinggi itu tetap ada?
Mempertahankan harta pusako tinggi menghindarkan dari perpecahan dalam
kekeluargaan. Harta pusako tinggi ini adalah harta kaum, kaum itu adalah
orang yang satu suku dengan kita jadi itu masih ada hubungan kekeluargaan
dengan kita. Jadi dengan adanya harta itu membuat kita memiliki hubungan
yang harus dijaga sampai kapanpun. Menjaga harta pusako tinggi sama
dengan menjaga keluarga supaya tidak terjadi perpecahan.
HASIL WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT KENAGARIAN BATU
TABA BAPAK YULNEDI SUTAN RANGKAYO MUDO
1. Sejauh mana anda mengetahui tentang harta pusaka tinggi yang ada di
kenagarian Batu Taba?
Harta pusaka tinggi merupakan harta kaum atau suku yang ada di daerah
Minangkabau. Di kenagarian Batu Taba apabila mereka tidak mempunyai
datuak atau niniak mamak maka dia tidak mempunyai harta pusaka tinggi di
kenagarian Batu Taba. Harta pusako tinggi ini yang sbenarnya tidak boleh
dijual karena harta itu hanya boleh digadaikan saja apabila mempunyai 3
masalah yaitu gadih tuo indak balaki, rumah gadang katirisan, mayik tabujua
tangah rumah. Zaman kini sudah modern tetapi eksistensi harta pusaka tinggi
harus dijaga sampai kapanpun. Harta pusako ini akan merupakan tiang dari
berdirinya sistem kekerabatan di Minangkabau yang merupakan dengan
sistem kekerabatan Matrilineal.
Pewarisannya itu harus segaris keturunan ibu yaitu yang mendapatkan harta
pusako tinggi itu hanya pihak perempuan yang ada dalam kaum itu dan
apabila diberikan secara ganggam bauntuak harta itu harus dijaga sampai
punah keturunan yang ada dalam keluarga itu. apabila sudah punah atau tidak
ada lagi anak perempuan yang akan menjawab dari harta pusako tersebut,
maka harta itu di kembalikan kepada kaumnya. apabila dalam kaum itu sudah
tidak ada lagi yang perempuan atau punah, maka harta itu di wariskan kepada
kaum yang satu suku yang terdekat dengan jorong itu. apabila tidak ada maka
harta itu diwariskan kepada nagari yang terdekat dengan nagari itu apabila
tidak ada dicari yang terdekat dengan kecamatan tersebut apabila masih tidak
ada maka harta itu dikembalikan kepada nagari dimana harta itu terletak.
Dalam penjagaan harta pusaka tinggi ini yang berperan adalh pihak laki-laki.
Maka keamanan harta itu akan terjaga apabila pihak laki-laki memahmi apa
fungsi dan tujuan dari harta pusaka tinggi tersebut. dengan pahamnya laki-laki
dengan harta pusaka tinggi, maka harta itu kan terjaga dengan baik samapi
hari kiamat.
2. Bagaimana pendapat anda terhadap penjualan dan pensertifikatkan
harta pusako tinggi ?
Orang yang mensertifikatkandan menjual harta pusako tinggi itu adalah orang
yang tidak beradat karena harta itu bukan harta sendiri itu adalah kaum jadi
harta itu tetaplah harta kaum tidak boleh menjadi harta sendiri melalui
pensertifikatan tersebut. pensertifikatan harta pusako tinggi itu adalah awal
masalah yang timbul dari sengketa harta pusako tinggi ini, apabila sudah
disertifikatkan orang yang mensertifikatkan itu meninggal maka harta itu
dibagi oleh anak-anaknya sebagaimana hal harta pusako randah. Inilah yang
tidak boleh dilakukan dalam harta pusako tinggi.
Dalam penjualan harta pusako tinggi sangat tidak dianjurkan dalam adat
Minangkabau karena dalam pepatah telah disebutkan “dijua indak dimakan
bali, digadai indak dimakan sando” harta itu tidak bisa dijual belikan,
makanya kita sebagai penerus dari nenek moyang yang telah menurunkan
harta pusako tinggi tersebut harus berterima kasih kepada beliau dengan cara
menjaga harta tersebut supaya terjaga sampai anak cucu selanjutnya.
3. Bagaimana pendapat anda terhadap harta pusako tinggi yang bergeser
menjadi harta pusako randah ?
Harta pusako tinggi itu akan tetap menjadi harta pusako tinggi sampai
kapanpun karena harta itu tidak akan pernah turun derjatnya dari yang tinggi
menjadi randah. Perubahan tersebut terjadi karena orang yang ingin
menguasainya maka dengan alasan tersebut mereka bisa menguasai harta
tersebut.
4. Sejauh mana anda mengetahui tentang harta pusako tinggi dan harta
pusako randah?
Harta pusako tinggi adalah harta kaum yang diwariskan turun temurun kepada
pihak perempuan. Harta pusako tinggi tidak bisa diwariskan dengan
menggunakan hukum faraidh, pewarisan harta pusako tinggi ini dilakukan
dengan menggunakan hukum adat. Dan harta pusako randah adalah harta
pencaharian orang tua yang bisa dijual dan dihibahkan kepada siapa saja yang
diinginkan oleh pemilik harta tersebut. pewarisan harta ini bisa dilakukan
dengan menggunakan hukum islam.
5. Apakah penjualan atau pensertifikatkan harta itu harus diberi sanksi ?
Seharusnya si pensertifikatan dan penjual harta pusako tinggi ini harus diberi
sanksi adat, karena mereka telah memulai percikan api permasalahan dalam
kaum tersebut. apabila tidak diberikan sanksi kaum-kaum yang lain akan
meniru karena tidak ada yang akan melarang terhadap pensertifikatan dan
penjualan harta tersebut.
6. Apakah harta pusaka tinggi masih pantas untuk dipertahankan?
Harta pusako tinggi itu sangat pantas untuk dipertahankan karena harta itu
adalah salah satu ciri-ciri dari orang Minangkabau. Harta itu akan
menghindarkan suatu kaum dari kemiskinan, dan banyak memberi manfaat
kepada kaum tersebut. apabila ada cacat kaum atau masalah kaum hasil dari
harta tersebut bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Apabila
tidak ada harta tersebut apakah anggota dari kaum itu mau mengeluarkan dana
untuk biaya penyelesaian masalah, bisa dikatakan kebanyakan yang terjadi
banyak yang tidak mau.
7. Apakah harta pusako tinggi itu memberi manfaat untuk kaum yang
mempunyainya?
Banyak manfaat dari harta pusako tinggi, karena harta itu menghindarkan
orang Minangkabau dari kemiskinan, menghindarkan dari perilaku yang tidak
baik dan mengajarkan kepada masyarakat Minangkabau hidup bersama bukan
hidup individu.
HASIL WAWANCARA DENGAN SALAH SATU ORANG YANG PERNAH MENJUAL
HARTA PUSAKA BERINISIAL “S” TINGGI KENAGARIAN BATU TABA
1. Apakah yang membuat anda menjual harta pusako tinggi ?
Saya sebagai bundo kanduang, saya pernah menjual harta pusaka tinggi milik keluarga.
Penyebab dari penjualan harta pusaka tinggi yang saya lakukan karena saya terlilit
banyak hutang. Berhutang itu saya lakukan karena saya sendiri dan saya sering sakit-
sakitan jadi hasil dari harta pusaka tinggi tidak mencukupi untuk biaya hidup saya selama
ini makanya saya berhutang ke orang lain. Ketika orang yang saya berhutang itu meminta
hutangnya saya tidak sanggup untuk membayarnya, saya menjual harta pusaka tinggi itu.
hasil dari penjualan harta itu saya membayarkan hutang-hutang. Tetapi tidak semua harta
pusaka tinggi yang saya jual sebagian yang lain sudah diserahkan kepada penerima yang
selanjutnya. Saya tidak mempunyai suami dan anak-anak dan tidak ada juga yang
membantu ketika saya sakit. Itulah alasan saya menjual harta pusaka tersebut.
2. Apakah anda mengetahui harta pusako tinggi di boleh atau tidak untuk dijualkan ?
Saya hanya mengetahui harta pusaka tinggi itu hanya boleh di gadaikan dan tidak boleh
dijual, tetapi saya melakukan ini karena terpaksa karena terlilit hhutang yang tidak
mampu saya bayar.
3. Apakah itu terjadi sudah kesepakatan kaum?
Dalam pejualan yang saya lakukan tidak ada kesepakatan dari kaum untuk menjual harta
tersebut dan saya menjualnya secara diam-diam. Tidak semua dari harta pusaka tinggi
yang saya jual tetapi sebagian dari harta itu saja, tetapi dari sinilah awal timbulnya
sengketa yang susah untuk diselesaikan.
4. Apakah tidak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah dengan tidak menjual
harta itu ?
Sebenarnya cara lain dari menghindari penjualan harta pusaka tinggi ini ada tetapi karena
hubungan saya dengan keluarga yang lain tidak baik adanya percekcokan itu yang
menyebabkan saya tidak bisa minta tolong.
5. Bagaimana hubungan keluarga kaum anda sekarang ini?
Terjadi perpecahan yang membuat saya dengan keluarga yang lain saya tidak lagi
memiliki hubungan yang baik. Sekarang ini mungkin bisa dikatakan kita tidak
mempunyai hubungan kekeluargaan lagi. Tetapi saya melakukan ini semua secara
terpaksa dan tidak ada lagi jalan yang bisa saya lakukan.
HASIL WAWANCARA DENGAN SALAH SATU ORANG YANG PERNAH MENJUAL
HARTA PUSAKA BERINISIAL “M” TINGGI KENAGARIAN BATU TABA
1. Apakah yang membuat anda mensertifikatkan harta pusako tinggi ?
Persetifikatan harta pusaka tinggi saya lakukan setelah izin oleh niniak mamak, kenapa
saya sertifikatkan karena harta itu tidak ada lagi yang merawatnya dan tidak ada lagi yang
menggarap tanah tersebut. Situlah awalnya saya ingin mengambil tanah tersebut karena
tidak ada yang lain merawat tanah yang terlantar tersebut. Setelah harta harta pusaka
tinggi saya sertifikatkan banyaklah orang tidak menyukai pensertifikatkan itu. Harta itu
saya sertifikatkan karena saya tidak mengerti apa saja peraturan tentang harta pusaka itu.
Niniak mamak ini mengizinkan saya dari pensertifikatkan karena beliau merasa harta itu
harus ada yang mengurus, beliau merasa harta itu harus dikelola dan diambil manfaat dari
harta tersebut.
2. Apakah mensertifikatkan harta pusako tinggi dibolehkan ?
Saya tidak mengerti harta pusaka tinggi dan bagaimana peraturan terhadap harta tersebut.
jadi saya ingin memakai harta itu. setelah harta itu saya sertifikatkan dari situlah
muculnya masalah dan sengketa.
3. Apakah itu terjadi sudah kesepakatan kaum?
Ketika saya meminta izin untuk mensertifikatkan kepada niniak mamak. Niniak mamak
langsung saja mengizinkan saya untuk mensertifikatkan harta pusaka tinggi tersebut. saya
juga tidak tau itu disepakati kaum atau tidak.
4. Bagaimana hubungan keluarga kaum anda sekarang ini?
Setelah saya melakukan kesalahan itu saya mendapatkan hukuman moral yaitu saya
disisihkan dalam keluarga dan itu membuat saya malu berada dikampung. Karena harta
itu sudah disertifikatkan dan ada sebagian yang sudah dijual. Masalah ini awal timbulnya
masalah sengketa tanah dan membuat saya tidak tahan dikampung saya berangkat keluar
kampung. Saya pulang kanpung hanya untu bertemu keluarga Cuma sehari dan
malamnya saya tidak nginap dikampung.
Wawancara dengan Walinagari Kenagaria Batu Taba Kecamatan IV Angkek
Wawancara dengan Ulama di Kenagarian Batu Taba Kecamatan IV Angkek
Wawancara dengan Niniak mamak di Kenagarian Batu Taba Kecamatan IV Angkek