PENGARUH BUDAYA JAWA TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEKTOR PUBLIK
Transcript of PENGARUH BUDAYA JAWA TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEKTOR PUBLIK
PENGARUH BUDAYA JAWA TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN
SEKTOR PUBLIK
Abstract
The journal was designed to reveal wheather there is effect of value in
Javanese culture on decision making done by governments. Javanese
culture has principle values which transmitted and thought to Javanese
people since their childhood. Therefore, these values are reflected on their
organization and society at large which demand to keep life in harmony
without conflict
Abstraksi
Jurnal ini mencoba untuk mengetahui apakah nilai dalam budaya jawa
mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pemerintah. Dalam budaya
jawa terdapat nilai dasar dalam interaksi masyarakat untuk menjaga
kehidupan yang harmonis tanpa perselisihan
Pendahuluan
Budaya adalah seperangkat nilai dan asumsi dasar
yang dipakai oleh suatu kelompok untuk memecahkan
masalah pokok yang mereka hadapi, untuk menjaga
kelangsungan hidup sosialnya dalam lingkungan internal
dan eksternal. Budaya jawa perlu diketahui sebab dapat
dikatakan bahwa budaya jawa telah mendominasi
pemerintahan di Indonesia dibanding nilai-nilai budaya
lain di Indonesia. Kuatnya pengaruh budaya pada suatu
masyarakat disebabkan nilai-nilai budaya telah
ditransformasikan secara turun menurun dengan cara yang
halus. Begitu kuatnya pengaruh budaya dalam suatu
masyarakat sehingga suatu budaya tidak saja
mempengaruhi persepsi masyarakatnya tetapi juga menjadi
kekuatan sosial yang membentuk perilaku masyarakat.
Kuatnya pengaruh budaya dalam membentuk persepsi
masyarakat akan memberikan pengaruh paling besar dalam
pengambilan keputusan (Robins, 1996), dan perilaku
sebagai bentukan dari nilai budaya yang sangat kental
mempengaruhi juga proses pengambilan keputusan.
Budaya Jawa
Orang Jawa sangat memegang teguh bahasa dan adat
istiadatnya sebagi budaya adi luhung yang tetap harus
dilestarikan dan diajarkan kepada anak keturunan mereka
sebagai nilai budaya agung yang akan membentuk manusia
Jawa seutuhnya. Orang Jawa sudah terbiasa untuk
menanamkan nilai-nilai budaya kepada anak mereka
semenjak masih kanak-kanak, nilai rukun dan nilai
hormat ditransformasikan ke generasi selanjutnya dengan
sangat halus sehingga pengaruhnya hampir tidak
disadari. Bagi anak-anak Jawa berlaku rukun baik kepada
sesama teman atau saudara adalah merupakan perilaku
yang sangat dibanggakan, demikian juga anak-anak yang
bisa berlaku hormat kepada orang yang lebih tua juga
menjadi tuntutan agar mereka dapat diterima dalam
pergaulan masyarakat.
Untuk kepentingan pergaulan dan aktivitas sehari-
hari dalam melakukan interaksinya dengan orang lain
baik secara intern maupun ekstern, masyarakat Jawa
mempunyai dua nilai dasar yang sangat dijunjung tinggi
yaitu:
1. Nilai rukun: tujuannya adalah untuk mempertahankan
masyarakat yang harmonis, selaras, tentram dan
tenang tanpa perselisihan. Untuk itu semua individu
diharapkan untuk berlaku rukun agar tidak
menimbulkan ketegangan dalam masyarakat. Cita-cita
masyarakat Jawa pada hakekatnya adalah masyarakat
yang harmonis, secara individual orang Jawa harus
mau mengorbankan dirinya untuk kepentingan umum.
Semua individu diharapkan selalu low profile, tidak
menonjolkan diri dan saling bersaing, harus mau
selalu berbagi, patuh dan tergantung serta
kooperatif. Disamping itu manusia Jawa dituntut
untuk nrimo dan pasrah terhadap kekuatan yang lebih
tinggi dan selalu menyadari bahwa hidupnya adalah
bagian suatu masyarakat luas (Mulder, 1983).
2. Nilai Hormat, didasarkan pada pendapat bahwa semua
hubungan dalam masyarakat harus teratur secara
hirarkis dan setiap orang dalam berbicara dan
berperilaku di kehidupan sehari-hari harus selalu
mengimplementasikan sikap hormat terhadap orang lain
sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Pandangan
tentang nilai hormat ini awalnya bersumber dari
cita-cita mewujudkan masyarakat yang teratur,
artinya setiap orang memahami tempat dan tugasnya
masing-masing. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi
harus diberi hormat, sedang sikap yang tepat kepada
yang lebih rendah kedudukannya adalah sikap
kebapakan dan tanggung jawab. Kesadaran akan
kedudukan sosial masing-masing sudah meresap ke
dalam kehidupan orang Jawa, jadi tidak mungkin orang
Jawa menyapa seseorang dan bercakap-cakap dengannya
tanpa sekaligus membandingkan kedudukannya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Geertz (1961) bahwa pikiran
pertama orang Jawa pada permulaan suatu pembicaraan
adalah: “tingkat kehormatan manakah yang harus saya
tunjukkan kepadanya?”.
Ungkapan rasa hormat juga tecermin dalam bahasa
Jawa yang terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda
dalam perkataan dan gramatika. Tingkat yang pertama
dikenal dengan ‘bahasa krama’ yang menunjukkan sikap
hormat. Sedangkan untuk menunjukkan tentang pribadi,
tindakan dan benda-benda yang erat hubungannya dengan
pribadi serta mengungkapkan sikap hormat yang sangat
tinggi dikenal dengan bahasa ‘krama inggil’. Selain
kedua bahasa sebalumnya, bahasa untuk mengungkapkan
suasana keakraban disebut bahasa ‘ngoko’. Selain itu
masih terdapat kombinasi antara karma dan ngoko. Selain
tercermin dalam bahasa, nilai hormat juga tercermin
dalam tiga sikap yang harus dipahami orang Jawa, sesuai
pendapat Geertz (1961):
a. Wedi, artinya takut, baik sebagai reaksi terhadap
ancaman fisik maupun sebagai rasa takut akibat
kurang baiknya suatu tindakan (takut terhadap orang
yang dihormati, yang lebih tua).
b. Isin, artinya malu, juga dalam arti malu-malu, merasa
bersalah dll. Belajar merasa malu adalah langkah
pertama untuk mempunyai kepribadian Jawa yang
matang.
c. Sungkan, berarti malu dalam arti yang lebih positif.
Berbeda dengan isin perasaan sungkan tidak perlu
dicegah, karena sungkan menggambarkan rasa hormat
yang sopan kepada yang lebih tua atau kepada atasan
yang dihormati.
Nilai hormat dalam kehidupan orang Jawa akan
selalu menjadi tuntutan yang harus ditunjukkan dalam
kehidupan sehari-hari. Meskipun menjadi tuntutan, sikap
hormat tidak dapat diartikan sebagi sikap “berikan
perintah dan kami akan melaksanakan”, menurut (F.M.
Suseno, 1999). Sebab mendengarkan perintah denga sikap
hormat dan penuh perhatian serta menyatakan persetujuan
belum menjamin menjamin bahwa perintah tersebut akan
dilaksanakan, mungkin saja hanya menunjukkan sikao
toleransi pada bawahan terhadap orang yang dihormati.
Dalam pandangan orang jawa, nilai hormat dan nilai
rukun harus menjadi prinsip hidup orang Jawa yang harus
didahulukan dari hukum positif yang lain. Padahal pada
kenyataannya, saat ini masyarakat Jawa hidup dalam
suatu tatanan masyarakat dengan tuntutan hukum positif
yang kuat, seperti berlaku adil dan berlaku jujur.
Sementara prinsip hidup yan berdasarkan nilai rukun dan
hormat menuntut seseorang harus mampu menguasai
perasaan dan nafsunya serta bersedia untuk meomorduakan
kepentingan pribadinya untuk kepentingan keselarasan
masyarakat. Dengan demikian pertimbangan moral yang
dilakukan individu mendapatkan batasan oleh nilai rukun
dan nilai hormat, sehingga untuk melakukan
pertimbangan-pertimbangan pribadinya orang Jawa
dilarang mengabaikan prinsip keselarasan. Dengan kata
lain masyarakat Jawa menuntut setiap anggota masyarakat
untuk tidak bertindak hanya berdasarkan pertimbangannya
sendiri walau pertimbangannya itu dinilai positif.
Oleh karena itu dapat dipahami adanya tuntutan
bersikap selaras dan tanggung jawab moral sering
menimbulkan konflik dalam interaksi sehari-hari orang
Jawa terutama dalam hubungannya dengan penyelenggaraan
fungsi pemerintahan yang diperankan para pejabat dalam
pengambilan keputusan. Semua tindakan dan keputusan
harus dilakukan dengan cara rasional sehingga mampu
mencapai tujuan yang ditentukan dan menciptakan
produktivitas dengan efisiansi tinggi. Padahal tindakan
yang rasional berdasarkan manajemen sering bertentangan
dengan prinsip keselarasan yang menjadi dasar orang
Jawa dalam beraktivitas.
Dari sini dapat diketahui apakah seseorang itu
lebih mementingkan keselarasan sehingga membatasi
otonomi moral manusia dalam menentukan keputusan
publik, atau adanya kesadaran bahwa sikap rukun dan
hormat itu penting sebagai tanggung jawab moral yang
harus dilakukan orang Jawa. Namun sebagai pengambil
keputusan, pejabat seringkali mengabaikan nilai hormat
dan nilai rukun untuk dapat bertanggung jawab pada
kepentingan politik.
Pengambilan Keputusan
Salah satu teori terkenal yang mengacu pada
pengambilan keputusan dan pilihan yang rasional adalah
teori yang dikemukakan oleh Herbert A. Simon dalam
bukunya berjudul ‘Administrative Behavior’. Berdasar teori
keputusan milik Simon, yang berisi konsep efisiensi
administrative yang rasional : ”Koreksi dari sebuah
keputusan administrasi merupakan sesuatu yang relatif.
Administrator yang rasional menitik beratkan pada
pemilihan cara yang efektif.” (Critical review buku:
Simon 1947). Rasionalitas didasarkan pada logika akhir
dan asumsi bahwa bagaimana memilih cara yang paling
baik untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Fakta
dan nilai terkait “cara dan tujuan” dalam proses
pengambilan keputusan dimana alternatif dipilih dengan
mempertimbangkan cara yang tepat untuk menjangkau
tujuan yang sering kali hanya sebagai instrumen untuk
tujuan akhir yang utama. Pengambilan keputusan dapat
pula diartikan sebagai proses seleksi dari berbagai
alternatif tindakan yang akan dilakukan. Proses yang
akan dilakukan adalah :
1. Pengidentifikasikan alternatif-alternatif. Sebelum
sebuah keputusan dibuat, alternatif yang masuk akal
harus dilakukan telaah sampai dengan akibat yang
akan ditimbulkan masing-masing alternatif. Untuk
mendapatkan alternatif yang terbaik dalam suatu
organisasi terlebih dahulu harus dilakukan
penelitian masalah internal dan eksternal
organisasi, dan juga harus diingat bahwa semua
tindakan tersebut mempunyai batasan waktu dan biaya.
2. Penilaian terhadap alternatif melalui sudut tujuan
yang akan dicapai untuk memperoleh alternatif yang
paling baik dengan tingkat keuntungan terbesar. Oleh
karena itu tujuannya harus jelas sehingga pengambil
keputusan mempunyai pegangan untuk melakukan
pengambilan keputusan.
3. Pemilihan alternatif. Menentukan alternatif dalam
hal ini adalah untuk memecahkan masalah guna
mencapai tujuan. Penentuan alternatif sering kali
akan menimbulkan masalah pada tujuan lainnya, hal
ini menjadi sebuah kendala sehingga pencapaian
tujuan tidak dapat dilakukan sekaligus.
Dalam sektor publik, Simon berpendapat bahwa
keputusan dibuat dalam konteks organisasi yang
memelihara kemantapan dan keseimbangan. Simon juga
berpendapat bahwa hubungan antara organisasi dengan
individu di dalamnya dapat dipahami sebagai
keseimbangan antara tujuan pribadi dengan preferensi
kebutuhan individu dan organisasi. Keduanya, yaitu
individu yang efektif dan organisasi yang rasional akan
cenderung ke arah efisiensi dimana mereka akan membuat
keputusan yang akan mencapai lebih banyak preferensi
organisasi yang masih ada dan nilai yang lebih
memungkinkan memberi sumber daya dan konsekuensi
lainnya.
Sebuah keputusan harus dianggap sebagai sarana,
bukan merupakan hasil, karena keputusan adalah respon
organisasional terhadap suatu masalah. Setiap keputusan
merupakan hasil dari proses dinamik yang terpengaruh
oleh bermacam-macam kekuatan. Untuk masalah yang jarang
dan mengandung ketidak pastian, pengambil keputusan
dituntut untuk mengetahui seluruh proses pengambilan
keputusan, sementara untuk masalah yang rutin dan sudah
ada kebijaksanaan untuk menanganinya, pengambil
keputusan tidak perlu mengetahui seluruh proses
pengambilan keputusannya, dan jika masalah seperti itu
muncul kembali maka tidak diperlakukan untuk
mengembangkan dan mengevaluasi seluruh alternatif.
Adapun proses pengambilan keputusan pada
hakekatnya terdiri dari 3 langkah utama menurut Herbert
A. Simon, 1947 :
1. Kegiatan Intilijen : menyangkut pencarian berbagai
kondisi lingkungan yang dibutuhkan untuk
pengambilan keputusan.
2. Kegiatan Desain : meliputi pembuatan, pengembangan
dan penganalisaan berbagai rangkaian yang mungkin
dilakukan.
3. Kegiatan Pemilihan : memilih dari serangkaian
kegiatan tertentu dan alternatif yang tersedia.
Dalam karyanya kemudian Simon menambahkan tahap yang
keempat yang disebutnya dengan tahap peninjauan / review,
tahap peninjauan tersebut mencakup suatu proses
penilaian terhadap pilihan-pilihan yang terdahulu,
untuk mempertimbangkan kemungkinan penyesuaian terhadap
pendekatan yang telah dilkukan sebagai persiapan untuk
pengamblan keputusan selanjutnya.
Dalam bukunya, Simon memberikan catatan bahwa
semua perilaku baik disadari maupun tidak disadari
melibatkan proses pemilihan terhadap tindakan tertentu
dari sejumlah tindakan yang secara fisik memungkinkan
bagi para aktor (pelaku) dan kepada orang-orang dimana
aktor memiliki pengaruh dan kewenangan. Istilah
pemilihan merujuk pada fakta bahwa seorang individu
memilih satu tindakan tertentu, maka sesungguhnya ada
pilihan tindakan lain yang tidak diambilnya. Simon
menggunakan definisi kewenangan yang digunakan oleh
Bernard (1938). Berdasarkan definisi tersebut, bawahan
akan menerima kewenangan atasan ketika bawahan ini
menyetujui perilakunya untuk diatur oleh keputusan dari
atasan, tanpa perlu menguji keputusan tersebut. Ketika
menggunakan kewenangannya, atasan tidak mencoba
meyakinkan bawahan tetapi hanya mengharapkan kepatuhan
mereka. Dalam kenyatannya, kewenangan biasanya juga
diikuti saran dan bujukan. Jika seorang atasan mencoba
untuk melaksanakan kewenangan diluar titik tertentu
(zona penerimaan oleh bawahan), maka biasanya bawahan
tidak akan mematuhinya. Besaran dari zona penerimaan
ini akan bergantung pada keberadaan sanksi apabila
tidak mematuhi perintah atasan. Struktur kewenangan
formal dalam sebuah organisasi biasanya terkait dengan
masalah pengangkatan, pendisiplinan dan pemberhatian
pegawai. Hubungan informal dari kewenangan umumnya
menjadi pendukung dari garis kewenangan formal ini.
Pendapat Simon tentang konsep rasionalitas
merupakan konsep yang kompleks. Cara menunjukkan dan
memperjelas kompleksitas ini adalah dengan menggunakan
istilah rasional dalam hubungannya dengan kata
keterangan yang sesuai. Aksi dapat disebut rasional
obyektif jika pada kenyatannya, itu adalah perilaku
yang benar untuk memaksimalkan nilai yang diberikan
dalam situasi tertentu. Tindakan adalah rasional
subyektif jika memaksimalkan pencapaian relatif
terhadap pengetahuan yang sebenarnya dari subyek.
Tindakan adalah rasional sadar pada tingkat bahwa
penyasuaian sarana untuk tujuan merupakan proses sadar.
Tindakan adalah rasional sengaja untuk tingkat bahwa
penyesuaian cara untuk tujuan telah sengaja dibawa
(oleh individu atau oleh organisasi). Tindakan adalah
rasionalitas organisatoris jika berorientasi pada
tujuan organisasi; tindakan adalah rasional pribadi
jika berorientasi pada tujuan individu.
Tingkat rasionalitas dalam tindakan akan berbeda
sesuai dengan keadaan dan situasi struktur organisasi.
Dalam pengambilan keputusan dan tindakan dengan
struktur yang sempurna dan memiliki informasi lengkap
maka tingkat rasionalitasnya akan terlihat jelas dan
gambling, sebab setiap kemunginan alternatif dapat
diramalkan dan dinilai manfaat dan biayanya. Sedangkan
pada situasi yang berstruktur buruk dimana informasi
tidak lengkap, gagasan tentang rasionalitas menjadi
kurang jelas. Tanpa informasi yang lengkap, setipa
daftar perincian alternatif yang tersedia akan menjadi
tidak lengkap pula. Dalam situasi yang tidak lengkap
tersebut maka akan sulit menentukan pilihan alternatif
yang tepat.
Selain faktor organisasi, perilaku individu juga
berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan, baik
mempengaruhi seluruh proses pengambilan keputusan
maupun pengaruh terhadap sebagian proses saja. Yang
termasuk dalam faktor perilaku individu:
1. Sistem tata nilai, akan berpengaruh pada saat
seorang pengambil keputusan untuk; menetapkan
sasaran, mengembangkan alternatif, memilih
alternatif, implementasi keputusan, kontrol dan
evaluasi.
2. Kepribadian, faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi seseorang secara sadar atau tidak sadar
yang membentuk seseorang menjadi berbeda dengan
lainnya. Dari penelitian Renwick dan Tosi tahun
1978, terdapat 3 variabel untuk melihat efek
kepribadian dalam proses pengambilan keputusan
yaitu: variable kepribadian yang terdiri dari sikap,
kepercayaan dan kebutuhan, kedua adalah situasi
eksternal dan ketiga adalah interaksi dari situasi
yang spesifik dengan kepribadian individu.
3. Kecenderungan mengambil resiko, merupakan salah satu
aspek kepribadian yang berpengaruh kuat terhadap
pengambilan keputusan.
4. Potensi ketidaksesuaian, sering terjadi munculnya
konflik dalam diri para pengambil keputusan yang
diakibatkan adanya sikap tidak konsisten setelah
keputusan diambil. Sehingga masalah ini sering
menyebabkan timbulnya kebimbangan dan pengambil
keputusan berpikir ulang atas keputusan yang telah
mereka buat.
Selain keputusan yang rasional, keputusan non
rasional dan keputusan irrasional juga dapat digunakan
dalam proses penentuan tindakan. Pengambilan keputusan
non rasional adalah pengambilan keputusan yang
mementingkan intuisi. Pengambilan keputusan berdasarkan
intuisi (non rasional) tidak berarti mengabaikan
analisis. Sebab intuisi yang tajam merupakan
kristalisasi dari hasil praktek analisis yang telah
dilakukan seseorang sehingga menjadikan seseorang dapat
secara cepat menganalisa suatu masalah dan melakukan
pengambilan keputusan secara reflek. Sedangkan
pengambilan keputusan irrasioanal dilakukan dengan cara
yang dilakukan dengan cara yang berbeda dari apa yang
seharusnya dia ketahui untuk mengambil keputusan
tersebut walaupun pengambil keputusan mengetahui
bagaiman melakukan analisa yang semestinya. Pengambilan
keputusan secara irrasional dilakukan karena adanya
dorongan yang kuat untuk melakukan pengambilan
keputusan yang berbeda dari yang seharusnya disarankan
oleh analisis yang berlaku dan pengambil keputusan
memilih untuk tidak melakukan analisa yang seharusnya
dilakukan.
Analisa Pengaruh Budaya Terhadap Pengambilan Keputusan
Memahami kebudayaan suatu masyarakat itu penting
bagi aktor pengambil keputusan untuk agar keputusan
yang diambil dapat bermanfaat bagi masyarakat (publik),
tidak malah menjadi problem baru karena keputusan yang
diambil atas suatu problem tertentu tidak sesuai dengan
kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Memahami
kebudayaan dalam konteks penentuan keputusan intinya
adalah menciptakan suatu kebijakan atau keputusan yang
tepat sasaran, efektif dan sesuai dengan kebudayaan.
Hubungannya dengan nilai rukun dan nilai hormat
yang terkandung dalam budaya Jawa dan dipandang sebagai
nilai budaya yang luhur serta pengaruhnya terhadap
pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan tertentu
(kesejahteraan publik), yang mengacu pada penentuan
keputusan yang rasional ataupun yang irrasional.
Hubungan ini dapat digambarkan secara sederhana sebagai
berikut:
Gambar 1.1
Kerangka pemikiran konseptual
Budaya Jawa:1. Nilai Rukun2. Nilai Hormat
PengambilanKeputusan:
1. KeputusanRasional
2. KeputusanIrrasional
Hubungan antara nilai rukun dan pengaruhnya
terhadap pengambilan keputusan yang diambil oleh
pemerintah selaku aktor penentu keputusan, jika rata-
rata pemerintah memliki nilai rukun yang rendah maka
pengambilan keputusan yang diambil menjadi semakin
rasional. Sedangkan jika pemerintah memiliki nilai
rukun yang tinggi maka akan mengambil keputusan yang
irrasional. Ini dapaat terjadi karena nilai budaya
sangat kuat pengaruhnya terhadap perilaku individu.
Selain itu nilai budaya juga dapat merubah persepsi
individu tentang suatu masalah. Nilai-nilai budaya Jawa
sudah tertanam dalam kepribadian seseorang sejak anak-
anak yang menjadi dasar dari perilaku kesehariannya.
Nilai rukun sebagai salah satu nilai luhur
masyarakat Jawa dan juga sebagai salah satu fokus dari
jurnal ini, berfungsi untuk mempertahankan
keharmonisan, ketentraman dan ketenangan dalam
kehidupan. Oleh karena itu, masyarakat Jawa menanamkan
dan membiasakan anak-anak mereka untuk bersifat rukun
guna menghindari perselisihan dan ketegangan dalam
masyarakat. Selain itu, masyarakat mendidik anak-anak
mereka untuk selalu low profile, tidak menonjolkan diri
dan saling bersaing, harus mau selalu berbagi, patuh
dan tergantung serta kooperatif.
Adanya tuntutan sebagai orang Jawa harus selalu
low profile bukanlah masalah yang gampang, sebab bagi
orang Jawa sendiri sering ada prinsip untuk
dipertahankan sampai kapanpun. Sehingga untuk
menghindari munculnya konflik dan jangan sampai
menyinggung perasaan orang lai, orang jawa terbiasa
melakukan ‘ethok-ethok’ atau sikap berpura-pura untuk
menjaga agar suatu hubungan tetap akrab, atau berpura-
pura menerima pendapat orang lain sedangkan perasaan
sebenarnya terhadap orang lain itu disembunyikan. Sikap
‘ethok-ethok’ ini dianggap sebagi seni dan positif.
1.Tuntutan untuk menjaga kerukunan dan berbagai
aspek lainnya seperti halnya keterangan di atas,
mempengaruhi keputusan yang diambil pemerintah (aktor
pengambil keputusan). Sering kali pengambilan keputusan
dilakukan secara irrasional sesuai intuisi yang
dimiliki yang bercermin dan berdasarkan pada upaya
mempertahankan kerukunan. Dalam hal ini mencegah
terjadinya kesenjangan sosial baik antara pemerintah
dengan masyarakat, pemerintah dengan individu maupun
individu dengan individu dalam masyarakat. Jadi,
semakin pemerintah mengedepankan nilai rukun maka
semakin tidak rasional keputusannya, dan semakin rendah
nilai kerukunan yang dipahami dan dianut maka akan
semakin rasional keputusan yang diambil.
Hampir sama dengan analisa hubungan antara nilai
rukun dan pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan
publik oleh pemerintah. Hubungan antara nilai hormat
dan pengambilan keputusan, menunjukkan bahwa Pemerintah
yang memiliki nilai hormat yang rendah akan mengambil
keputusan rasional dan pengambilan keputusan akan
menjadi irrasional jika pemerintah sebagai pengambil
keputusan mengedepankan nilai hormat yang tinggi. Jadi
terdapat perbedaan dalam pengambilan keputusan yang
disebabkan tinggi-rendahnya nilai hormat.
Nilai hormat lahir dari cita-cita masyarakat yan
teratur secara hirarkis. Pandangan itu menimbulkan efek
tuntutan kepada setiap orang untuk saling menghormati
yang tercermin secara jelas melalui penggunaan bahasa
keseharian orang Jawa. Mereka yang berkedudukan lebih
tinggi harus diberi hormat, sedang sikap yang tepat
kepada yang lebih rendah kedudukannya adalah sikap
kebapakan dan tanggung jawab. Cerminan sikap hormat
melalui sikap, utamanya dalam tiga sikap yang harus
dipahami orang Jawa yaitu: wedi, isin, dan sungkan. Ketiga
sikap ini merupakan suatu kesinambungan perasaan yang
mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan
psikologis terhadap tuntutan prinsip hormat.
Nilai hormat merupakan nilai yang dituntut dalam
kehidupan masyarakat Jawa dan juga sarana mewujudkan
cita-cita yang teratur secara hirarkis sosial. Tetapi
sikap hormat tidak dapat diartikan sebagai sikap
“berikan perintah dan kami akan melaksanakan”. Sebab
mendengarkan dengan sikap hormat yang disertai
persetujuan belum tentu menjamin bahwa perintah
tersebut akan dilaksanakan, mungkin itu hanya wujud
dari sikap toleransi kepada yang lebih tinggi
pangkatnya. Diperlukan keseimbangan dalam hal ini,
pengambil keputusan haruslah bijaksana agar keputusan
yang diambil dapat diterima (bawahan) secara jelas dan
dapat dilaksanakan dengan baik. Bukan merupakan
keputusan yang tidak sesuai dengan kehendak bawahan
yang akhirnya hanya menjadikan beban kapada bawahan,
dan bawahan menerima keputusan itu karena semata-mata
untuk menunjukkan rasa hormat dan toleransinya kepada
atasan (pengambil keputusan).
Pengaruh nilai hormat terhadap pengambilan
keputusan juga berawal dari sikap toleransi dan
tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat (publik).
Pemerintah dituntut bersifat kebapakan yang berarti
mengayomi dan bertanggung jawab atas kesejahteraan
masyarakat. Dihadapkan dengan tuntutan nilai hormat,
maka akan memberikan batasan kepada pemerintah untuk
mengambil sebuah keputusan. Sehingga semakin pemerintah
menjunjung nilai hormat atas masyarakat, maka
pemerintah akan mengambil keputusan dengan
mengedepankan intuisinya sehingga keputusannya
irrasional. Ketika pemerintah tidak menghiraukan nilai
hormat, maka pemerintah tidak terikat tuntutan untuk
mengedepankan nilai hormat atas masyarakat di atas
pengambilan keputusannya. Sehingga pemerintah tidak
terbatas dan dapat lebih mempertimbangka keputusan yang
rasional.
Daftar Pustaka
Kurniawan, Teguh, 2010. Critical Review Buku: Administrative
Behavior: A Study Of Decision Making Processes In Administrative
Organizations. Tugas 1-Sejarah Perkembangan Teori
Organisasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Program
Doktor Ilmu Administrasi Universitas Indonesia,
Jakarta.
Mulder, N., 1983, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa,
Gramedia, Jakarta.
Robins, S.P, 1996, Perilaku Organisasi, Prenhallindo,
Jakarta.
Suseno, F.M, 1999, Etika Jawa, Gramedia, Jakarta.
http://eprints.undip.ac.id/9130/ [03/06/12]
map-bms.wikipedia.org/wiki/Budaya_Jawa [03/0612]
www.solopos.com/.../pembangunan-nilai-nilai-budaya-jawa[03/06/12]
http://www.docstoc.com/docs/27326823/MAKALAH-KONSEP-SISTEM-INFORMASI-SISTEM-PENUNJANG-KEPUTUSAN [02/06/12]
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
JURNAL:
PENGARUH BUDAYA JAWA TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN
SEKTOR PUBLIK
TUGAS AKHIR – TEORI ADMINISTRASI PUBLIK (H)
Dosen:
Drs. Andy Fefta Wijaya, MDA, Ph.D
Oscar Radyan Danar, S.AP, M.AP
RIF’AN ZAMHARI
115030101111089