Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan (Dilihat dari Perspektif Agama, Filosofis,...

87
PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN (Kajian dari Perspektif Agama, Filosofis, Psikologis, dan Sosiologis) MAKALAH Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Agama, Filosofi, Psikologi, dan Sosiologi dari Kepemimpinan Pendidikan DOSEN : PROF. DR. H. ISHAK ABDULHAK PROF. DR. H. SOFYAN SAURI, M.Pd Oleh : ASEP WAHYU NIM. 4103810413003 DENNY KODRAT NIM. 4103810413007 SLAMET NIM. 4103810413018 Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 1

Transcript of Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan (Dilihat dari Perspektif Agama, Filosofis,...

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEPEMIMPINANPENDIDIKAN

(Kajian dari Perspektif Agama, Filosofis, Psikologis,dan Sosiologis)

MAKALAHDisusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Agama, Filosofi,

Psikologi, dan Sosiologi dari Kepemimpinan Pendidikan

DOSEN :PROF. DR. H. ISHAK ABDULHAK

PROF. DR. H. SOFYAN SAURI, M.Pd

Oleh :

ASEP WAHYU NIM. 4103810413003

DENNY KODRAT NIM. 4103810413007

SLAMET NIM. 4103810413018

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 1

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

2014

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Organisasi pendidikan merupakan organisasi yang unik.

Karena keunikannya, lembaga pendidikan tidak dapat

disejajarkan dengan lembaga-lembaga atau organisasi lainnya.

Keunikannya terletak dari misinya sebagai lembaga pencetak

manusia-manusia yang memiliki kepribadian, kecerdasan, dan

keterampilan tertentu agar dapat hidup sebagai manusia yang

produktif dan beradab. Karena keunikannya itu pulalah,

lembaga pendidikan harus diselenggarakan dan dikelola oleh

lembaga dan orang-orang yang berkompeten.

Penyelenggara pendidikan, baik pemerintah, pemerintah

daerah maupun komunitas masyarakat (yayasan) harus memiliki

kemampuan yang handal dalam hal penyusunan dan pengembangan

kurikulum, penyediaan sarana dan prasarana, pengadaan tenaga

pendidikan dan tenaga kependidikan, kemampuan pendanaan dan

berbagai hal yang menjadi standar nasional pendidikan. Hal

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 2

ini penting, sehingga penyelenggaraan pendidikan tidak

mengabaikan kualitas.

Selain penyelenggara, unsur pengelola pendidikan

(manajemen sekolah) memiliki peran yang tidak kalah penting.

Ia berada pada garis depan (front office line) yang

bertanggungjawab menyelenggarakan proses pembelajaran. Di

bawah kewenangannya, proses pembelajaran dan bagaimana

kualitas dari proses tersebut terjadi. Disinilah sejatinya

proses tranfer nilai (transfer of values) melalui proses imitasi,

pewarisan budaya, hingga proses pembentukan pengetahuan dan

keterampilan terjadi dengan memadai ataukah tidak memadai.

Oleh karenanya, pemahaman pengelola pendidikan terhadap

tujuan dan fungsi pendidikan akan sangat menentukan kualitas

lembaga pendidikan yang dikelolanya.

Era desentralisasi dan otonomi daerah telah membawa

implikasi besar terhadap penyelenggaraan dan pengelolaan

pendidikan. Kewenangan penyelenggaraan pendidikan dasar dan

menengah (kecuali madrasah) berdasarkan PP No. 38 tahun 2007

didelegasikan kewenangan penyelenggaraannya kepada

pemerintah daerah kabupaten/kota. Hanya Sekolah Luar Biasa

(SLB) dan sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah

yang berada pada perbatasan kabupaten/kota berada dalam

kewenangan pemerintah provinsi. Sementara itu, pemerintah

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 3

pusat berperan dalam menetapkan standar penyelenggaraan

pendidikan, yang meliputi : standar kompetensi lulusan

(SKL), standar isi, standar penilaian, standar pendidik dan

tenaga kependidikan, standar pembiayaan, standar sarana dan

prasarana, standar pengelolaan, serta standar proses di

jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Penyelenggara pendidikan dasar dan menengah

(Dikdasmen) di Kabupaten/kota dilaksanakan oleh dinas

pendidikan, meski pada kenyataannya, dinas pengelola

pendidikan ini diberi pula tanggung jawab mengelola urusan

lain, seperti urusan pemuda, olah raga, kebudayaan, bahkan

pariwisata. Oleh karenanya, dalam penyelenggaran pendidikan

di tingkat messo, dibutuhkan pula birokrasi penyelenggara

pendidikan yang kompeten. Penempatan personil, mulai dari

pimpinan hingga pelaksana dan pengelola pendidikan di

satuan-satuan pendidikan, harus benar-benar memperhatikan

aspek kompetensi. Prinsip merit system dan the right man on the right

place perlu secara konsisten diimplementasikan.

Pimpinan dinas yang menyelenggarakan pendidikan di

kabupaten/kota dan pimpinan satuan pendidikan harus memiliki

jiwa kepemimpinan (leadership). Tead, Terry, Hoyt (dalam

Kartono, 2003) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kegiatan

atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 4

didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing

orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan

kelompok. Itu berarti bahwa dalam diri seorang pemimpin

harus memiliki kelebihan dibandingkan pengikutnya, kelebihan

yang utama adalah kemampuannya untuk mengarahkan agar

pengikutnya tetap melaksanakan kegiatan sesuai dengan

tujuan-tujuan organisasi.

Dari sudut pandang penyelenggaraan pendidikan dewasa

ini, kepemimpinan menjadi sangat penting dan cenderung

menyisakan permasalahan, terutama bila dipandang dari 2

(dua) hal, pertama adanya kenyataan bahwa penggantian

pemimpin (suksesi kepemimipinan) seringkali mengubah kinerja

suatu unit, instansi atau organisasi; kedua, hasil penelitian

menunjukkan bahwa kepemimpinan menjadi salah satu faktor

internal yang mempengaruhi keberhasilan organisasi, namun

pada kenyataannya dipandang tidak penting. Sehingga yang

terjadi adalah organisasi memiliki pemimpin/kepala namun

gagal dalam menghadirkan leadership (Yukl, 1989). Hasil

penelitian tersebut membuktikan adanya jargon “ganti

pimpinan, ganti kebijakan”, bahkan sampai hal-hal teknis

seperti ganti tata ruang kantor, ganti kursi, atau ganti

warna dinding, bukan sistem yang bekerja.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 5

Dalam perspektif religi, Rasulullah Saw mengingatkan

bahwa setiap orang adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk

dirinya sendiri, hal ini sebagaimana tertuang dalam sebuah

hadits :

ال ع.ر ع�مر اب��ن� ع�ن� ال: ق�� كم" م.ص ال�له� رس�ول ق�� كم راٍع ك�لّ ول وك�لّ ه ع�ن� م�سئ$ ت� ّ ي.(ث,...� رع�ي( ق�" ال�حد ف4 ه م�ت� ع�لت(

Artinya: “Dari Ibnu Umar R.a ia berkata: bersabda Rasulullah

saw “Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan ditanya

tentang kepemimpinan kalian… al-hadits” (HR.Mutafaq `alaih).

Namun, terkadang manusia lupa tentang peranan dia

sebagai seorang pemimpin dan terkadang dia tidak tahu bahwa

kelak dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang

kepemimpinannya. Adapula manusia yang ditakdirkan menjadi

seorang pemimpin tapi ia tidak tahu apa yang harus diperbuat

sebagai seorang pemimpin. Disinilah diperlukan pengetahuan

dan keilmuan tentang kepemimpinan, sehingga seseorang yang

ditakdirkan menjadi pemimpin tidak gagap dan bingung dengan

jabatannya sehingga dapat menunaikan amanahnya.

Sekurang-kurangnya terdapat tiga masalah mendasar yang

menandai kekurangan ini. Pertama, adanya krisis komitmen.

Kebanyakan orang tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung

jawab untuk memikirkan dan mencari pemecahan masalah

kemaslahatan bersama, masalah harmoni dalam kehidupan dan

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 6

masalah kemajuan dalam kebersamaan. Kedua, adanya krisis

kredibilitas. Sangat sulit mencari pemimpin atau kader

pemimpin yang mampu menegakkan kredibilitas tanggung jawab.

Kredibilitas itu dapat diukur misalnya dengan kemampuan

untuk menegakkan etika, memikul amanah, setia pada

kesepakatan dan janji, bersikap teguh dalam pendirian, jujur

dalam memikul tugas dan tanggung jawab yang dibebankan

padanya, kuat iman dalam menolak godaan dan peluang untuk

menyimpang. Ketiga, masalah kebangsaan dan kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Saat ini tantangannya semakin

kompleks dan rumit.

Kepemimpinan sekarang tidak cukup lagi hanya

mengandalkan pada bakat atau keturunan. Pemimpin zaman

sekarang harus belajar, banyak membaca, dan memiliki

pengetahuan mutakhir serta pemahaman mengenai berbagai soal

yang menyangkut kepentingan orang-orang yang dipimpin.

Selain itu, pemimpin harus memiliki kredibilitas dan

integritas, mampu bertahan (survive) dalam berbagai macam

kondisi yang cepat berubah, serta melanjutkan misi

kepemimpinannya. Jika tidak memiliki kemampuan tersebut,

pemimpin tersebut hanya akan menjadi karikatur dan tertawaan

dalam kurun sejarah di kelak kemudian hari.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 7

Sementara itu, permasalahan lain dalam kepemimpinan

adalah dalam proses pengambilan keputusan. Permasalahan yang

muncul dalam pengambilan keputusan menjadi persoalan yang

tidak mudah bagi seorang pemimpin. Persoalan ego,

kepentingan, kondisi bawahan, materi keputusan menjadi

faktor-faktor yang mempengaruhi seorang pemimpin dalam

mengambil keputusan. Pemimpin harus berani mengambil

keputusan terhadap kebijakan tertentu sesuai dengan

mekanisme dan ketentuan yang ada.

Pengambilan keputusan pada dasarnya tidak dapat

didelegasikan kepada pengikut atau pegawai di bawahnya.

Sebab konsekuensi dari keputusan tetap berada di level

pemimpin. Stoner (2003:205) memandang pengambilan

keputusan sebagai proses pemilihan suatu arah tindakan

sebagai cara untuk memecahkan sebuah masalah tertentu.

Siagian (1993:24) mengartikan pengambilan keputusan sebagai

usaha sadar untuk menentukan satu alternatif dari berbagai

alternatif untuk memecahkan masalah. Beberapa peluang

masalah dapat muncul dalam proses pengambilan keputusan ini

disebabkan beberapa aspek, diantaranya: pertama, pembuat

keputusan (pemimpin) merupakan manusia dengan kompleksitas

karakteristiknya. Kedua, pembuat keputusan dalam organisasi

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 8

pendidikan berhadapan dengan manusia, mengurusi urusan

manusia, bukan berhubungan dengan mesin yang hanya

berhubungan secara mekanis. Ketiga, pembuat keputusan

dihadapkan pula dengan sistem nilai (values) yang hidup dalam

organisasi tersebut serta dalam masyarakat. Walhasil proses

pengambilan keputusan itu sejatinya bukanlah hal yang

sederhana, melainkan hal yang komplek dan rumit. Disinilah

kehadiran leadership itu diperlukan.

Dalam makalah singkat ini, akan dibahas “Pengambilan

Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan Kajian dari

Presfektif Agama, Filosofis, Psikologis,dan Sosiologis”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditetapkan

perumusan masalah sebagai berikut ini.

1. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dari perspektif agama?

2. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dari perspektif filsafat?

3. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dalam perspektif psikologis?

4. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dalam perspektif sosiologi?

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 9

C. Tujuan

Secara umum makalah ini bertujuan untuk

1. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dari perspektif agama.

2. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dari perspektif filsafat .

3. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dalam perspektif psikologis.

4. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dalam perspektif sosiologi.

Adapun secara khusus, makalah ini bertujuan untuk

1. mengetahui penerapan pengambilan keputusan dalam lingkup

messo dan mikro pendidikan menurut perspektif agama,

filosofis, psikologis dan sosiologis.

2. memenuhi salah satu tugas perkuliahan landasan agama,

filosofi, psikologi dan sosiologi dari kepemimpinan

pendidikan.

5. Manfaat

Secara teoritis makalah ini bermanfaat bagi

pengembangan ilmu manajemen khususnya menyangkut

kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Selain itu, makalah

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 10

ini menelaah berbagai macam teori pengambilan keputusan

dalam kepemimpinan ditinjau dari perspektif agama,

filosofis, psikologis dan sosiologi.

Adapun secara praktis, makalah ini bermanfaat bagi

pembacanya dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan terutama

dalam hal pengambilan keputusan sebagai pengelola maupun

sebagai penyelenggara organisasi pendidikan.

6. Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan pendekatan deduktif yakni

melalui metode studi kepustakaan, baik pada buku-buku,

artikel jurnal, atau pada online yang membahas mengenai

kepemimpinan, pengambilan keputusan, serta landasan-landasan

dalam pengambilan keputusan.

BAB II

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 11

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN

A. Kepemimpinan Pendidikan

Secara berturut-turut pada bagian ini akan dibahas berbagai

macam teori dan pendapat berkenaan dengan pengertian

kepemimpinan, teori kepemimpinan, tipe kepemimpinan,

kepemimpinan partisipatif dari aspek agama, filosofis,

psikologis dan sosiologis.

1. Pengertian Kepemimpinan

Pengertian kepemimpinan sangat beragam. Setiap ahli

mengemukakan pengertiannya berdasarkan cara pandangnya

masing-masing. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koontz,

O’Donnel & Weihrich (1990:147) yang mendefinisikan

kepemimpinan sebagai pengaruh, seni atau proses

mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha

mencapai tujuan kelompok dengan kemauan dan antusias.

James. M Black dalam bukunya Management, A guide to

Executive Command menulis bahwa “Leadership is capatibilty of

persuading others to work together undertheir direction as a team to accomplish

certain designated objectives” (kepemimpinan adalah kemampuan

meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 12

pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai atau melakukan

suatu tujuan tertentu).

Demikian pula, Kartono (2005:187) mendefinisikan

kepemimpinan sebagai satu bentuk dominasi yang didasari oleh

kapabilitas/kemampuan pribadi, yaitu mampu mendorong dan

mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu guna mencapai

tujuan bersama. Sedangkan Stoner, Freeman dan Gilbert (1996)

sebagaimana dikemukakan oleh Kambey (2003:125)

mendefinisikan kepemimpinan manajerial sebagai proses

mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan

tugas dari anggota kelompok. Sementara itu, Rost (dalam

Safira, 2004:3) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah

hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan

pengikut atau bawahan yang menginginkan perubahan nyata yang

mencerminkan tujuan bersamanya. Sedangkan Robbins (2003:

432) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk

mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Selanjutnya

Gibson, Ivancevich dan Donnely (1991:334) mendefinisikan

kepemimpinan sebagai suatu upaya penggunaan jenis pengaruh

bukan paksaan untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan

tertentu.

Adapun Tead, Terry, Hoyt (dalam Kartono,

2003) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah kegiatan atau

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 13

seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang

didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing

orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan

kelompok. Menurut Young (dalam Kartono, 2003) kepemimpinan

adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi

yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk

berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh

kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi

situasi yang khusus.

Moejiono (2002) memandang bahwa leadership sebenarnya

sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin

memiliki kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya

dengan pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance

induction theorists) cenderung memandang leadership sebagai

pemaksaan atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan

sebagai sarana untuk membentuk kelompok sesuai dengan

keinginan pemimpin.

Abdulrachman (2004:16) berpendapat bahwa: "tidak semua

pemimpin akan dapat mempengaruhi dan menggerakkan orang lain

dalam rangka mencapai suatu tujuan secara efektif dan

efisien, sebab orang lain baru dapat dipengaruhi/digerakkan

jika: (1) Ada kemampuan pada pemimpin untuk menggunakan

teknik kepemimpinan; (2) Ada sifat-sifat khusus pada

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 14

pemimpin yaitu sifat-sifat kepemimpinan yang mempengaruhi

jiwa orang-orang sehingga kagum dan tertarik pada pemimpin

tersebut".

Dengan demikian, untuk mampu mempengaruhi atau

menggerakkan orang lain agar dengan penuh kesadaran dan

senang hati bersedia melakukan dan mengikuti kehendak

pemimpin, maka pemimpin harus memiliki kemampuan dan

memiliki sifat-sifat khusus. Sedangkan sifat-sifat yang

harus dimiliki pemimpin menurut Harold Koontz dan Cyrill

O’Donnell (1990:21), yaitu:

a. Memiliki kecerdasan melebihi orang-orang yang

dipimpinnya.

b. Mempunyai perhatian terhadap kepentingan yang

menyeluruh.

c. Mantap dalam kelancaran berbicara.

d. Mantap berpikir dan emosi.

e. Mempunyai dorongan yang kuat dari dalam untuk

memimpin

f. Memahami kepentingan tentang kerjasama.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

kepemimpinan adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh

seseorang untuk mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan

orang lain agar dengan penuh pengertian, kesadaran dan

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 15

senang hati bersedia mengikuti kehendaknya tersebut untuk

mewujudkan suatu tujuan bersama.

2. Teori-Teori tentang Kepemimpinan

Secara singkat dapat dikemukakan bahwa teori tentang

kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam tiga pendekatan,

yaitu: pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan pendekatan

situasional (Lunenburg & Ornstein,1991:129-153, Handoko,

2001:295; Gomes-Mejia & Balkin, 2002: 290-312 2002, Wirjana

& Supardo, 2005:13).

a. Pendekatan Sifat.

Teori pendekatan sifat memusatkan perhatian pada diri

para pemimpin itu sendiri, oleh karena itu teori ini lebih

dikenal sebagai teori pembawaan. Dalam teori ini disebutkan

bahwa pemimpin memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu

yang menyebabkan ia dapat memimpin para pengikutnya. Sifat-

sifat tertentu itu menurut Ghiseli (1971) seperti yang

dikutip oleh Handoko (2001:297) antara lain: (1) kemampuan

sebagai sebagai pengawas, (2) kebutuhan akan prestasi dalam

pekerjaan, (3) kecerdasan, (4) ketegasan, (5) kepercayaan

diri, (6) inisiatif.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 16

Sedangkan Davis menyimpulkan 4 (empat) ciri/sifat utama

yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan

organisasi, yaitu : (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan

keluasan hubungan sosial, (3) motivasi diri dan dorongan

berprestasi, dan (4) sikap-sikap hubungan manusiawi.

b. Pendekatan Perilaku.

Pendekatan perilaku mencoba mengoreksi pendekatan

sifat. Menurut pendekatan perilaku, pendekatan sifat tidak

dapat menjelaskan apa yang menyebabkan kepemimpinan itu

efektif. Oleh karenanya, pendekatan perilaku tidak lagi

berdasarkan pada sifat seorang pemimpin melainkan mencoba

menentukan apa yang dilakukan oleh pemimpin efektif, seperti

bagaimana mereka mendelegasikan tugas, bagaimana mereka

berkomunikasi dan memotivasi bawahan, bagaimana mereka

menjalankan tugas-tugas dan sebagainya.

Aspek perilaku kepemimpinan menekankan fungsi-fungsi

yang dilakukan pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok

berjalan efektif, seseorang harus melaksanakan dua fungsi

utama, yaitu (1) fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas

(task-related) atau pemecahan masalah, dan (2) fungsi-fungsi

pemeliharaan kelompok (Group-maintenance) atau sosial.

Fungsi pertama menyangkut pemberian saran penyelesaian,

informasi, dan pendapat. Fungsi kedua mencakup segala

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 17

sesuatu yang dapat membantu kelompok berjalan lebih lancar,

memperoleh persetujuan kelompok lain, penengahan perbedaan

pendapat dan sebagainya.

Selain itu, perilaku kepemimpinan juga dapat dilihat

dari gaya pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan. Ada dua

orientasi gaya kepemimpinan yakni:

(1) gaya orientasi tugas (task oriented);

(2) gaya orientasi karyawan (employe-oriented).

Seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan berorientasi tugas

akan berusaha mendorong bawahannya melaksanakan tugas yang

sesuai dengan keinginannya. Jadi pelaksanaan pekerjaan lebih

penting dari pengembangan dan pertumbuhan karyawan.

Sedangkan pemimpin yang berorientasi pada karyawan lebih

melihat karyawan secara manusiawi, sehingga mereka akan

selalu memberikan motivasi, melibatkan karyawan dalam

pengambilan keputusan, menciptakan persahabatan dan saling

menghormati.

c. Pendekatan Situasional.

Banyak penelitian mengindikasikan bahwa tidak ada

satupun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap pemimpin

untuk berbagai kondisi. Oleh karenanya, lahirlah pendekatan

situasional. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 18

para pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, terutama

pada aktifitas pengambilan keputusan, dipengaruhi oleh

situasi dan kondisi tertentu.

Pendekatan situasional menekankan bahwa gaya

kepemimpinan sangat bergantung pada faktor-faktor seperti

situasi, karyawan, tugas, organisasi dan variabel-variabel

lingkungan lainnya. Stogdill et.al, (1956) sebagaimana

dikemukakan oleh Koontz, O’Donnel & Wehirich (1990:158-259)

mengatakan bahwa faktor-faktor situasi yang mempengaruhi

seorang pemimpin adalah pekerjaan yang sedang ditangani,

lingkungan organisasi, dan karakteristik orang yang mereka

hadapi. Sedangkan Fiedler (1974) mengemukakan ada tiga

dimensi utama dalam situasi kepemimpinan yang mempengaruhi

gaya pemimpin yang efektif yakni (1) kekuasaan posisi, (2)

struktur tugas dan (3) hubungan pemimpin-anggota.

Reksohadiprodjo & Handoko (2001:289) mencatat bahwa penemuan

Fiedler menunjukkan bahwa dalam situasi yang sangat

menguntungkan atau sangat tidak menguntungkan, tipe pemimpin

yang beorientasi pada tugas atau pekerjaan adalah sangat

efektif. Akan tetapi bila situasi yang menguntungkan atau

tidak menguntungkan hanya tipe pemimpin hubungan manusiawi

akan sangat efektif.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 19

Teori lain tentang kepemimpinan situasional adalah

Teori Hersey-Blanchard. Menurut Siagian (2003:139) pada

intinya teori ini menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan

seseorang tergantung pada dua hal, yaitu pemilihan gaya

kepemimpinan yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu

dan tingkat kematangan (kedewasaan) yang dipimpin. Dua

dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam teori ini ialah

perilaku seorang pimpinan yang berkaitan dengan tugas

kepemimpinannya dan hubungan atas-bawahan atau patron –

client. Tergantung pada orientasi tugas kepemimpinan dan

sifat hubungan atasan dan bawahan yang digunakan, gaya

kepemimpinan yang timbul dapat mengambil empat bentuk, yaitu

: memberitahukan, menjual, mengajak bawahan berperan serta

dan pendelegasian.

3. Gaya Kepemimpinan

Perilaku pemimpin dalam memimpin organisasi disebut

juga gaya kepemimpinan (Style of Leadership ). Setiap pemimpin

memiliki gayanya sendiri dalam memimpin. Oleh karenanya

banyak penelitian tentang gaya kepemimpinan seseorang.

Berbagai gaya kepemimpinan telah diteliti dan ditemukan

bahwa setiap pemimpin telah diteliti dan ditemukan bahwa

setiap pemimpin bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 20

berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan tidak mesti

suatu gaya kepemimpinan yang satu lebih baik atau lebih

jelek daripada gaya kepemimpinan yang lainya.

Studi kepemimpinan yang dilakukan oleh Universitas Ohio

dan Universitas Michigan maupun yang dilakukan oleh

Tannenbaum dan Schmidt seperti dikutip oleh Wahjosumidjo

(2001:40) semuanya berusaha mencari gaya kepemimpinan yang

efektif. Berkaitan dengan masalah gaya kepemimpinan, Ngalim

Purwanto (1992, 48-50) membagi tiga gaya kepemimpinan yang

pokok yaitu gaya kepemimpinan Otokratis, Demokratis, Laissez

faire.

a. Gaya Kepemimpinan Otokratis

Gaya kepemimpinan Otokratis ini meletakkan seorang

pemimpin sebagai sumber kebijakan. Pemimpin merupakan

segala-galanya. Bawahan dipandang sebagai orang yang

melaksanakan perintah. Oleh karena itu bawahan-bawahan hanya

menerima instruksi saja dan tidak diperkenankan membantah

maupun mengeluarkan ide atau pendapat. Dalam posisi demikian

anggota atau bawahan tidak terlibat dalam soal

keorganisasian. Pada tipe kepemimpinan ini segala sesuatunya

ditentukan oleh pemimpin sehingga keberhasilan organisasi

terletak pada pemimpin. Pada gaya kepemimpinan ini terjadi

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 21

dominasi yang berlebihan mudah menghidupkan oposisi atau

menimbulkan sifat apatis, atau sifat-sifat pada anggota-

anggota kelompok terhadap pemimpinnya.

b. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Gaya kepemimpinan ini memberikan tanggung jawab dan

wewenang kepada semua pihak, sehingga mereka ikut terlibat

aktif dalam organisasi. Anggota diberi kesempatan untuk

memberikan usul serta saran dan kritik demi kemajuan

organisasi. Gaya kepemimpinan ini memandang bawahan sebagai

bagian dari keseluruhan organisasinya, sehingga bawahan

mendapat tempat sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai

manusia. Pemimpin mempunyai tanggung jawab dan tugas untuk

mengarahkan, mengontrol dan mengevaluasi serta

mengkoordinasi.

Kepemimpinan demokratis senantiasa melibatkan

partisipasi bawahan atau pengikutnya untuk mengambil

keputusan. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan demokratis

kerap disebut dengan gaya kepemimpinan partisipatif.

Pemimpin tipe seperti ini kerap menjalankan kepemimpinan

dengan konsultasi. Ia tidak mendelegasikan wewenangnya untuk

membuat keputusan akhir dan untuk memberikan pengarahan

tertentu kepada bawahanya. Tetapi ia mencari berbagai

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 22

pendapat dan pemikiran dari pada bawahanya mengenai

keputusan yang akan diambil. Ia akan secara serius

mendengarkan dan menilai pikiran-pikiran para bawahanya dan

menerima sumbangan pikiran mereka . Sejauh pemikiran

tersebut bisa dipraktekkan .

Pemimpin dengan gaya partisipatif akan mendorong

kemampuan mengambil keputusan dari bawahannya sehingga

pikiran-pikiran mereka akan selalu meningkat dan makin

matang. Para bawahannya juga didorong agar meningkatkan

kemampuan mengendalikan diri dan menerima tanggung jawab

yang lebih besar. Pemimpin akan lebih “supportive” dalam

kontak dengan para bawahan dan bukan menjadi bersikap

diktator. Meskipun tentu saja, wewenang terakhir dalam

pengambilan keputusan terletak pada pimpinan.

Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi

anggota-angotanya agar bekerja secara produktif untuk

mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan dan usaha-usahanya,

ia selalu berpangkal pada kepentingaan dan kebutuhan

kelompoknya, dan memperimbangkan kesanggupan serta kemampuan

kelompoknya.

c. Gaya Kepemimpinan Laissez faire

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 23

Pada prinsipnya, gaya kepemimpinan ini memberikan

kebebasan mutlak kepada para bawahan. Semua keputusan dalam

pelaksanaan tugas dan pekerjaan diserahkan sepenuhnya kepada

bawahan. Dalam hal ini pemimpin bersifat pasif dan tidak

memberikan contoh-contoh kepemimpinan (Purwanto,1992:48)

Pemimpin mendelegasikan wewenang untuk mengambil

keputusan kepada para bawahannya dengan agak lengkap. Pada

prinsipnya pimpinan akan mengatakan “inilah pekerjaan yang

harus saudara lakukan. Saya tidak peduli bagaimana kalau

mengerjakannya, asalkan pekerjaan tersebut bisa diselesaikan

dengan baik “. Disini pimpinan menyerahkan tanggung jawab

atas pelaksanaan pekerjaan tersebut kepada para bawahannya.

Dalam konteks pimpinan menginginkan agar para bawahannya

bisa mengendalikan diri mereka sendiri dalam menyelesaikan

pekerjaan tersebut. Pimpinan tidak akan membuat peraturan-

peraturan tentang pelaksanaan pekerjaan tersebut dan hanya

para bawahan dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian yang

tinggi.

Dari beberapa gaya kepemimpinan tersebut akan mempunyai

tingkat efektivitas yang berbeda-beda, tergantung pada

faktor yang mempengaruhi perilaku pemimpin. Seorang pemimpin

dalam menjalankan kepemimpinannya sangat dipengaruhi oleh

faktor, baik yang berasal dari dalam diri pribadinya maupun

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 24

faktor yang berasal dari luar individu pemimpin tersebut.

Sifat dasar kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang

pemimpin adalah kepemimpinan yang demokratis atau

kepemimpinan partisipatif. Pemimpin demokratis akan mampu

mengambil keputusan sendiri dalam situasi tertentu. Jangan

ditafsirkan bahwa kepemimpinan demokratis selalu meminta

pertimbangan bawahan untuk semua hal.

4. Kepemimpinan Partisipatif

Kalau dicermati kepemimpinan partisipatif muncul dari

beberapa teori kepemimpinan maupun dari berbagai studi dan

penelitian tentang kepemimpinan. Di antaranya adalah teori

Path-Goal (jalan-tujuan). Teori ini menganalisa pengaruh

(dampak) kepemimpinan (terutama perilaku pemimpin) terhadap

motivasi bawahan, kepuasan, dan pelaksanaan kerja. Teori

path-goal memasukkan empat tipe atau gaya pokok perilaku

pemimpin yaitu kepemimpinan direktif, kepemimpinan suportif,

kepemimpinan partisipatif, dan kepemimpinan orientasi-

prestasi (Lunenburg & Ornstein, 1991: 143-144;

Reksohadiprojo dan Handoko, 2001:289-290). Menurut teori ini

kepemimpinan partisipatif adalah pemimpin meminta dan

menggunakan saran-saran bawahan, tetapi masih membuat

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 25

keputusan. Kebanyakan studi dalam organisasi menyimpulkan

bahwa dalam tugas-tugas yang tidak rutin karyawan lebih puas

di bawah pimpinan yang partisipatif daripada pemimpin yang

non partisipatif.

Kepemimpinan partisipatif menyangkut usaha-usaha oleh

seorang manajer untuk mendorong dan memudahkan partisipasi

orang lain dalam pengambilan keputusan yang jika tidak akan

dibuat tersendiri oleh manajer tersebut (Yukl, 1998:132).

Kepemimpinan ini mencakup aspek-aspek kekuasaan seperti

bersama-sama menanggung kekuasaan, pemberian kekuasaan dan

proses-proses mempengaruhi yang timbal-balik. Sedangkan yang

menyangkut aspek-aspek perilaku kepemimpinan seperti

prosedur-prosedur spesifik yang digunakan untuk

berkonsultasi dengan orang lain untuk memperoleh gagasan dan

saran-saran, serta perilaku spesifik yang digunakan untuk

proses pengambilan keputusan dan pendelegasian kekuasaan.

B. Landasan Agama, Filosofis, Psikologis, dan Sosiologis

1. Landasan Agama

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 26

Secara teologis, agama Islam telah menggariskan bahwa

apabila pemimpin akan mengambil keputusan diusahakan sejauh

mungkin dengan lemah lembut, bersiap untuk memaafkan,

bermusyawarah dan apabila keputusan telah diambil maka

terhadap keputusan itu harus patuh sebagaimana firman Allah

Swt dalam Al-Imran ayat 159 di bawah ini.

"Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah- lembut

terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah

mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,

mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka

dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka

bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

bertawakkal kepada-Nya." (QS Ali-Imran: 159)

Musyawarah merupakan jalan yang baik untuk

menyelesaikan persoalan-persoalan yang pelik, baik persoalan

keluarga, kelompok, bangsa atau persoalan apapun yang perlu

segera dicarikan jalan keluar sebagai pemecahannya. Dengan

musyawarah maka orang-orang yang ikut bermusyawarah merasa

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 27

dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Maka musyawarah

sesungguhnya bentuk partisipatif anggota organisasi dalam

pengambilan keputusan.

Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang

amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan

berumah tangga dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian

Al-Qur’an dan Hadist yang memerintahkan atau menganjurkan

umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah berbagai

persoalan yang mereka hadapi.

Dalam hal menyelesaikan urusan rumah tangga, Islam

memberikan petunjuk senagaimana tersurat dalam Q.S. Al-

Baqarah ayat 233.  

Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka

(sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka.

Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233) 

  Sesungguhnya makna ayat ini membicarakan bagaimana

seharusnya relasi suami- istri saat mengambil keputusan yang

berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak dilakukan. Di

dalam menyapih anak dari menyusu ibunya kedua orang tua

harus mengadakan musyawarah. Menyapih anak itu tidak boleh

dilakukan tanpa ada musyawarah. Seandainya salah dari

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 28

keduanya tidak menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa

karena ini menyangkut dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi

pada ayat di atas, al-Qur’an memberi petunjuk agar setiap

persoalan rumah tangga termasuk persoalan rumah tangga

lainnya dimusyawarahkan antara suami istri.

Musyawarah itu di pandang penting, antara lain karena

musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu

mempersatukan sekelompok orang atau umat di samping sebagai

salah satu sarana untuk menghimpun atau mencari pendapat

yang lebih dan baik.

Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus

dilakukan, baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan

penjelasan secara khusus. Oleh karena itu sistem

permusyawaratan yang akan dipakai sepenuhnya diserahkan

kepada umat sesuai dengan cara yang mereka anggap baik.

Para ulama berbeda pendapat mengenai obyek yang menjadi

kajian dari permusyawaratan itu sendiri, adakah

permusyawaratan itu hanya dalam soal-soal keduniawian dan

tidak tentang masalah-masalah keagamaan? Sebagian dari

mereka berpendapat bahwa musyawarah yang dianjurkan atau

diperintahkan dalam Islam itu khusus dalam masalah-masalah

yang diperbolehkan untuk dimusyawarahkan bukan persoalan-

persoalan yang sudah jelas hukumnya. Dalam sejarah

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 29

Rasulullah, beliau Saw tidak pernah memberikan contoh

memusyawarahkan status hukum khamar yang sudah jelas haram.

Tetapi Rasulullah Saw memberikan contoh memusyawarahkan

teknis penyergapan musuh dalam perang Badar.

Dengan kata lain, untuk persoalan-persoalan pokok (ushul)

yang sudah jelas hukum halal dan haramnya, umat Islam tidak

bisa melakukan musyawarah untuk mengubah status hukum

tersebut, misalnya dari status hukum halal berubah menjadi

halal, dan sebalik. Namun musyawarah dilakukan untuk

persoalan-persoalan dalam domain teknis atau untuk mencari

pendapat dan saran yang kuat. Oleh karenanya, dalam konteks

ini, para sahabat Rasulullah Saw sebelum mereka mengeluarkan

pendapat kepada beliau Saw selalu bertanya dulu apakah

pendapat Rasulullah itu merupakan wahyu atau pendapat

pribadi beliau yang masih memungkinkan untuk diberi saran.

Bila pendapat tersebut adalah wahyu, para shahabat melakukan

sami’na wa atha’na. Namun, bila pendapat tersebut bukan wahyu,

para shahabat banyak memberikan pendapat kepada Nabi

Muhammad Saw.

2. Landasan Filosofis

Landasan filosifis mengandung makna bahwa dalam

melakukan suatu pekerjaan atau tindasan didasari oleh cara

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 30

berpikir yang mendalam hingga diperhitungkan benar-benar

sisi negatif dan positifnya. Bila dikaitkan dengan

pengambilan keputusan, maka pemimpin dalam mengambil

keputusan harus menggunakan cara berpikir yang benar, hingga

terhindar dari keputusan-keputusan yang keliru.

Secara etimologi, kata filsafat berasal dari bahasa

Yunani “Philosophia” yang terdiri dari dua kata, yaitu

philos/philein yang berarti suka, cinta, mencintai dan shophia

yang berarti kebijaksanaan, hikmah, atau kependaian ilmu.

Philosophia berarti “cinta kepada kebijaksanaan” atau “ cinta

kepada ilmu”. Dalam bahasa Belanda, filsafat berasal dari

kata “wijsbegeerte” yang berarti keingingan untuk pandai atau

berilmu. Berfilsafat berarti berfikir secara mendalam

(radikal) atau dengan sungguh-sungguh sampai keakar-akarnya

terhadap suatu kebenaran. Dengan kata lain, berfilsafat

berarti mencari kebenaran atas sesuatu.

Mengingat filsafat telah lama lahir dan menjadi

landasan bagi semua ilmu yang ada, maka ilmu pendidikan pun

dalam perkembangan sejarahnya diwarnai oleh berbagai aliran

filsafat yang satu sama lain saling melengkapi atau

terkadang saling bertentangan.

Setidaknya ada 9 (sembilan) aliran filsafat yang

berpengaruh terhadap ilmu pendidikan, yakni filsafat

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 31

progresivisme, esensiaisme, idealisme, perenialisme,

progresivisme,rekontruksionisme, realisme, materialisme, dan

eksistensialisme.

a. Aliran Filsafat pendidikan Progresivisme

Aliran progresivisme mengakui dan berusaha

mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita

kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua

tantangan hidup. Progresivisme kerap disebut sebagai

instrumentalisme, eksperimentalisme, dan enviomentalisme.

instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa

kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup,

untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan

kepribadiaan manusia.

eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan

mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran

suatu teori.

environmentalisme, karena aliran ini menganggap

lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan

kepribadiaan.

Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara

lain, adalah William James, John Dewey, Hans Vaihinger,

Ferdinant Schiller dan Georges Santayana.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 32

Aliran progresivisme telah memberikan sumbangan yang

besar di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah

meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada

anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik

maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan

yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan

yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat

progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.

John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses

dan sosialisasi. Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak

didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman

lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara

sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang

baik tidak cukup di sekolah saja. Dengan demikian, sekolah

yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya

berintegrasi dengan lingkungan sekitar, karena sekolah

adalah bagian dari masyarakat. Oleh karenanya, sekolah harus

dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan

lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu

berada.

Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus

menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan

kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 33

atau kekhususan daerah itu. Fisafat progresivisme

menghendaki sisi pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah

sambil berbuat” atau learning by doing. Dengan kata lain, akal

dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik.

Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya

berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge)

melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai

(transfer of value) sehingga anak menjadi terampil dan

berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah

sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.

b. Aliran Filsafat pendidikan Esensialisme

Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang

didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak

awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman

Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan

progesivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan

terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan

dengan doktrin tertentu.

Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak

pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama,

yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang

mempunyai tata yang jelas. Esensialisme, sebagai filsafat

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 34

hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan

menitikberatkan pada Aku. Menurut esensialisme, pada tarap

permulaan seseorang belajar memahami akunya sendiri,

kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari

mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant,

segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera

memerlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh

pengalaman lebih dahulu. Bila orang berhadapan dengan benda-

benda, bukan berarti semua itu sudah mempunayi bentuk,

ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan waktu sudah ada

pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan.

Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi pada benda, tetapi

benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan

mengatur dalam ruang dan waktu.

Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat

didefinisikan sebagai substansi spiritual yang membina dan

menciptakan diri sendiri. Roose L. finney, seorang ahli

sosiologi dan filosof, menerangkan tentang hakikat sosial

dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan

ruhani yang pasif, hal ini berarti bahwa manusia pada

umumnya menerima apa saja yang telah ditentukan dan diatur

oleh alam sosial. Jadi, belajar adalah menerima dan mengenal

secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru yang

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 35

timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada

angkatan berikutnya.

c. Aliran Filsafat Pendidikan Perenialisme

Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali

atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme

memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun

praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang. Dari

pendapat ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil

pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk

bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perenialisme

berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah arah tujuan

yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat,

khususnya filsafat pendidikan.

Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan

filsafat yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah

seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi, dengan

berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan.

Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama

adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan

kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup,

orang akan mampu mengenal dan memahami faktor-faktor dan

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 36

problema yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan

penyelesaian masalahnya.

Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan

karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin

mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada

masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman

telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah,

filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan

alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak memberikan

sumbangan kepada perkembangan zaman dulu. Sekolah, sebagai

tempat utama dalam pendidikan, mempersiapkan anak didik ke

arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan.

Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan

pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata

lain, keberhasilan anak dalam nidang akalnya sangat

tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik

dan mengajarkan.

d. Aliran Filsafat pendidikan Rekonstruksionisme

Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris

reconstruct, yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks

filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan suatu

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 37

aliran yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan

yang bercorak modern.

Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham

dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis

kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340),

kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang

merupakan zaman yang mempumyai kebudayaan yang terganggu

oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran. Aliran

rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan

dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya,

pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat

melalui pendidikan yang tepat akan membina kembali manusia

dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi yang

akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan

umat manusia.Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi

bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang

diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan

dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita

demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti

diwujudkan menjadi kenyataan, sehingga mampu meningkatkan

kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta

keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan,

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 38

nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat

bersangkutan.

e. Aliran Filsafat pendidikan Idealisme

Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid

Socrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu

filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah

gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa

terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan

dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara

jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia ide.

Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata

hanyalah ide. Dalam hal ini, ide sendiri selalu tetap atau

tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami

gerak tidak dikategorikan ideal. Keberadaan ide tidak tampak

dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat

dipotret oleh jiwa murni.

Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan

alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita.

Pertama, yang tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku

makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang datang

dan pergi, ada yang hidup dan ada yang demikian seterusnya.

Kedua, adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 39

kekal dan sempurna (ide), gagasan dan pikiran yang utuh di

dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian

kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari

yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.

f. Aliran Filsafat Pendidikan Realisme

Aliran ini berpendapat bahwa dunia rohani dan dunia

materi merupakan hakikat yang asli dan abadi. Kneller

membagi realisme menjadi dua :

1) Realisme rasional, memandang bahwa dunia materi adalah

nyata dan berada di luar pikiran yang mengamatinya,

terdiri dari realisme klasik dan realisme religi.

2) Realisme natural ilmiah, memandang bahwa dunia yang kita

amati bukan hasil kreasi akal manusia, melainkan dunia

sebagaimana adanya, dan substansialitas,sebab akibat,

serta aturan-aturan alam merupakan suatu penampakan dari

dunia itu sendiri. Selain realisme rasional dan realisme

natural ilmiah, ada pula pandangan lain mengenai realisme,

yaitu neo-realisme dan realisme kritis. Neo-realisme

adalah pandangan dari Frederick Breed mengenai filsafat

pendidikan yang hendaknya harmoni dengan prinsip-prinsip

demokrasi, yaitu menghormati hak-hak individu. Sedangkan

realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant

yang mensintesiskan pandangan berbeda antara empirisme dan

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 40

rasionalisme, skeptimisme dan absolutisme, serta

eudaemonisme dengan prutanisme untuk filsafat yang kuat.

g. Aliran Filsafat Pendidikan Behaviorisme

Behaviorisme atau aliran perilaku merupakan filosoi dalam

psikologi yang berdasar pada proporsi bahwa semua yang

dilakukan manusia, termasuk tindakan, pikiran dan

perasaan, dapat dianggap sebagai perilaku.

h. Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme

Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah:

Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey,

Heracleitos. Abad ke-19 menghasilkan tokoh-tokoh pemikir,

diantaranya ialah Karl Marx (1818-1883) di kontinen Eropa

dan William James (1842-1910) di kontinen Amerika. Kedua

pemikir itu mengklaim telah menemukan kebenaran. Marx, yang

terpengaruh positivisme, melahirkan sosialisme dan James,

seorang relativis, melahirkan pragmatisme. Baik sosialisme

maupun pragmatisme dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat

menghadapi masalah besar, yaitu industrialisasi dan

pertumbuhan ekonomi.

Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan,

getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan

adalah kriteria bagi kebenaran. James berpendapat bahwa

kebenaran itu tidak terletak di luar dirinya, tetapi

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 41

manusialah yang menciptakan kebenaran. It is useful because it is true,

it is true because it is useful. Karena kriteria kebenaran itulah,

pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat yang mendukung

bisnis dan politik Amerika.

i. Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya

berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas

kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana

yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya

tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar,

tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat

relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas

menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam

filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme

mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu

dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang

berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal

kebebasan.

Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri,

dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti

dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita

akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer,

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 42

insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan

oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter

atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.

3. Landasan Psikologis

Agar memperoleh pemahaman yang utuh, maka akan dibahas

berbagai aliran dan bentuk dalam psikologi yang berhubungan

dengan pendidikan.

a. Aliran Psikologi

Aliran psikolgi terbagi dalam 2 (dua) aliran besar,

yakni aliran psikologi tingkahlaku dan aliran psikologi

kognitif.

1) Aliran psikologi tingkah laku

Aliran psikologi tingkah laku menekankan pada perilaku

manusia sebagai objeknya. Aliran ini terdiri dari teori

pengaitan, penguatan dan hirarki belajar.

a) Teori Pengaitan.

Teori pengaitan dipelopori oleh Edward L. Thorndike

dengan percobaannya yang menggunakan beberapa jenis hewan.,

ia mengemukakan suatu teori belajar yang dikenal dengan

teori “pengaitan” (connectionism). Teori tersebut menyatakan

belajar pada hewan dan manusia pada dasrnya berlangsung

menurut prinsip yang sam taitu, belajar merupakan peristiwa

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 43

terbentuknya ikatan (asosiasi) antara peristiwa-peristiwa

yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan

atas stimulus tersebut (Orton, 1991:39; Resnick dan Ford,

1981:13).

Selanjutnya Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick

dan Ford, 1981:13;Hudojo,1991:15-16) mengemukakan bahwa,

terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti

hukum-hukum berikut. (1) Hukum Kesiapan (law of readiness), (2)

Hukum Latihan (law of exercise), (3) hukum Akibat (law of effect).

b) Teori Penguatan B.F. Skinner

Skinner mengembangkan tori belajarnya juga dari hasil

percobaan dengan menggunakan hewan. Dari percobaannya,

Skinner menyimpulkan bahwa kita dapat membentuk tingkah laku

manusia melalui pengaturan kondisi lingkungan (operant

conditioning) dan penguatan.

Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu

penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif

sebagai stimulus, apabila penyajiannya mengiringi suatu

tingkah laku siswa yang cenderung dapat meningkatkan

terjadinya pengulangan tingkah laku itu, dalam hal ini

berarti tingkah laku tersebut diperkuat. Sedangkan

penguatan negatif adalah stimulus yang

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 44

dihilangkan/dihapuskan Karena cenderung menguatkan tingkah

laku.

c) Teori Hirarki Belajar dari Robert M. Gagne

Menurut Orton (1990:39), Gagne merupakan tokoh

Behaviorism gaya baru (modern neobehaviourist). Dalam

mengembangkan teorinya, Gagne memperhatikan objek-objek

dalam mempelajari matematika yang terdiri dari objek

langsung dan tidak langsung. Objek langsung adalah: fakta,

keterampilan, konsep dan prinsip, sedangkan objek tak

langsung adalah: transfer belajar, kemampuan menyelidiki,

kemampuan memecahkan masalah, disiplin diri, dan bersikap

positif terhadap matematika.

Gagne berpandangan bahwa belajar merupakan perubahan

tingkah laku yang kegiatan belajarnya mengikuti suatu

hirarki kemampuan yang dapat diobservasi dan diukur. Oleh

karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Gagne dikenal

dengan “ teori hirarki belajar” Gagne membagi belajar dalam

delapan tipe secara berurtan, yaitu: belajar sinyal

(isyarat), stimulus-respon, rangkaian gerak, rangkaian

verbal, memperbedakan, pembentukan konsep, dan pemecahan

masalah. Gagne berpendapat bahwa proses belajar pada setiap

tipe belajar tersebut terjadi dalam empat tahap secara

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 45

berurutan yaitu tahap: pemahaman, penguasaan, ingatan, dan

pengungkapan kembali.

Untuk menerapkan teori hirarki belajar Gagne ini pada

pembelajaran matematika perlu diterjemahkan secara

operasional yaitu: (1) untuk mengajarkan suatu topic

matematika guru perlu: (a) memperhatikan kemampuan prasyarat

yang diperlukan untuk mempelajari topic tersebut, (b)

menyusun dan mendaftar langkah-langkah kegiatan belajar

serta membedakan karakteristik belajar yang tersusun secara

hirarkis yang dapat didemonstrasikan oleh peserta didik

sehingga guru dapat mengamati dan mengukurnya. (2) guru

dapat memilih tipe belajar tertentu yang dianggap sesuai

untuk belajar topic matematika yang akan diajarkan.

Perkembangan kemampuan belajar menurut Gagne

(McNeil,1977) Multideskriminasi, yaitu belajar

membedakan stimuli yang mirip, misalnya huruf b dan d.

Belajar konsep, yaitu belajar membuat respon sederhana,

seperti huruf hidup, hurup mati, dsb.

Belajar Prinsip, yaitu mempelajari prinsip-prinsip atau

aturan-aturan konsep.

2) Aliran psikologi kognitif

a) Teori Perkembangan Intelektual Jean Piaget

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 46

Piaget adalah ahli psikologi Swiss yang latar

belakang pendidikan formalnya adalah falsafah dan biologi.

Piaget mengemukakan Teori Perkembangan Intelektual

(kognitif) Menurut Piaget ada empat tingkat perkembangan

Intelektual. (Mulyani 1988, Nana Syaodih, 1988, dan

Callahan, 1983):

1) Periode Sensorimotor pada umur 0 – 2 tahun

2) Periode Praoperasional pada umur 2 – 7 tahun

3) Periode operasi konkret pada umur 7 – 11 tahun

4) Periode operasi formal pada umur 11 – 15 tahun

b) Teori Belajar dari Jerome Bruner

Perkembangan mental anak menurut Bruner (Toeti

Soekamto, 1994) ada tiga tahap, yaitu:

1) Tahap Enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivitas

dalam upaya memahami lingkungan

2) Tahap Ikonik, anak memahami dunia melalui

gambaran-gambaran dan visualisasi verbal.

3) Tahap simbolik, anak telah memiliki gagasan

abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan

logika.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 47

Berdasarkan hasil observasi dan eksperimennya

mengenai kegiatan belajar-mengajar matematika Bruner

merumuskan empat teori umum tentang belajar matematika

yaitu:

1) Teorema penyusunan (contruction theorem)

2) Teorema pelambangan (notation theorem)

3) Teorema pembedaan dan keaneka ragaman (contrast and

variation theorem)

4) Teorema pengaitan (connectivity theorem)

Teori-teori Psikologi telah banyak membantu

membentuk Landasan Pendidikan didalamnya anak dapat

belajar dengan efektif. Landasan psikologis sangat

penting karena manusia memiliki karakter yang berbeda-

beda, sehinggap membutuhkan teori yang berbeda-beda untuk

diaplikasikan dalam kasus-kasus pendidikan. Mengingat

dekatnya hubungan teori-teori tersebut dengan pendidikan,

maka guru-guru modern patut mempelajarinya dan

mengaplikasikannya dalam kelas.

b. Bentuk psikologis pendidikan

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 48

Setidaknya ada 3 (tiga) bentuk psikologi pendidikan yang

penting untuk diketahui, yakni psikologi perkembangan,

psikologi belajar,dan psikologi sosial.

1) Psikologis Perkembangan

Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan.

Pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah (Nana Syaodih,

1989).

a) Pendekatan Pentahapan. Perkembangan individu

berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada

setiap tahap memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda

dengan ciri-ciri pada tahap-tahap yang lain.

b) Pendekatan Diferensial. Pendekatan ini dipandang

individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan

perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang-orang

membuat kelompok–kelompok. Anak-anak yang memiliki

kesamaan dijadikan satu kelompok. Maka terjadilah

kelompok berdasarkan jenis kelamin, kemampuan

intelek, bakat, ras, status sosial ekonomi, dan

sebagainya.

c) Pendekatan Ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat

karakteristik setiap individu, dapat saja disebut

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 49

sebagai pendekatan individual. Melihat perkembangan

seseorang secara individual.

Dari ketiga pendekatan ini, yang paling dilaksanakan

adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan pentahapan ada 2

macam yaitu bersifat menyeluruh dan yang bersifat khusus.

Yang menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan

sebagai faktor yang diperhitungkan dalam menyusun tahap-

tahap perkembangan, sedangkan yang bersifat khusus hanya

mempertimbang faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun

tahap-tahap perkembangan anak, misalnya pentahapan Piaget,

Koglberg, dan Erikson.

Psikologi perkembangan menurut Rouseau membagi masa

perkembangan anak atas empat tahap yaitu :

a) Masa bayi dari 0 – 2 tahun sebagian besar

merupakan perkembangan fisik.

b) Masa anak dari 2 – 12 tahun yang dinyatakan

perkembangannya baru seperti hidup manusia

primitif.

c) Masa pubertas dari 12 – 15 tahun, ditandai dengan

perkembangan pikiran dan kemauan untuk

berpetualang.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 50

d) Masa adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbuhan

seksual menonjol, sosial, kata hati, dan moral.

Remaja ini sudah mulai belajar berbudaya.

2) Psikologi Belajar

Menurut Pidarta (2007:206) belajar adalah perubahan

perilaku yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman

(bukan hasil perkembangan, pengaruh obat atau kecelakaan)

dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu

mengomunikasikannya kepada orang lain.

Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai

“suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh

suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil

interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi

ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar merupakan

suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk

mendapatkan perubahan tingkah laku Kedua, perubahan tingkah

laku yang terjadi harus secara sadar.

Dari pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan

usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku itu dipandang

sebagai Proses belajar, sedangkan perubahan tingkah laku itu

sendiri dipandang sebagai Hasil belajar. Hal ini berarti,

belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal yaitu proses

belajar dan hasil belajar.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 51

Para ahli psikologi cenderung untuk menggunakan pola-

pola tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi

prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar ini

selanjutnya lazim disebut dengan Teori Belajar.

a) Teori belajar klasik masih tetap dapat dimanfaatkan,

antara lain untuk menghapal perkalian dan melatih soal-

soal (Disiplin Mental). Teori Naturalis bisa dipakai

dalam pendidikan luar sekolah terutama pendidikan

seumur hidup.

b) Teori belajar behaviorisme bermanfaat dalam

mengembangkan perilaku-perilaku nyata, seperti rajin,

mendapat skor tinggi, tidak berkelahi dan sebagainya.

c) Teori-teori belajar kognisi berguna dalam mempelajari

materi-materi yang rumit yang membutuhkan pemahaman,

untuk memecahkan masalah dan untuk mengembangkan ide

(Pidarta, 2007:218).

3) Psikologi Sosial

Menurut Hollander (1981) psikologi sosial adalah

psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di

masyarakat, yang mengkombinasikan ciri-ciri psikologi

dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat

terhadap individu dan antar individu (Pidarta, 2007:219).

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 52

4. Landasan Sosiologis

Kegiatan pendidikan sesunggnya rekayasa sosial yang

memungkinkan terjadinya interaksi antara orang yang dewasa

dengan orang yang belum dewasa sehingga orang yang belum

dewasa itu menjadi dewasa. Proses rekayasa sosial itu

disusun secara terencana dan sistematis melalui tahapan-

tahapan tertentu, sehingga dapat diukur tingkat

kedewasaannya. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi

di lembaga sekolah yang dengan sengaja dibentuk oleh

pemerintah maupun masyarakat.

Perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan semakin

intensif. Dengan meningkatkan perhatian sosiologi pada

kegiatan pendidikan tersebut, maka lahirlah cabang sosiologi

pendidikan. Untuk terciptanya kehidupan bermasyarakat yang

rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam

perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat

kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-

masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam

norma yang dianut oleh pengikutnya: (1) paham

individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham

integralistik.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 53

a. Faham Individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu

lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh

berbuat apa saja menurut keinginannya masing-masing,

asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Dampak

individualisme menimbulkan cara pandang lebih mengutamakan

kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam

masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan

diri, antara anggota masyarakat satu dengan yang lain

saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat

selalu menang dalam bersaing dengan yang kuat sajalah yang

dapat eksis.

b. Faham Kolektivisme merupakan faham yang berlawanan dengan

faham individualisasi. Faham kolektivisme memberikan

kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan individu

secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi

masyarakatnya. Faham ini dianut oleh negara-negara

sosialis yang umumnya merupakan negara totaliter.

c. Faham Integralistik merupakan faham yang merupakan paduan

dari faham individualistic dan faham kolektivisme. Dalam

masyarakat yang menganut Faham integralistik, masing-

masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu

sama lain secara organis dan membentuk masyarakat.

Pengakuan secara seimbang terhadap hak-hak individu dan

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 54

hak-hak masyarakat. Negara Indonesia merupakan negara

yang dibentuk beradasarkan faham integralistik.

Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut

paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan

masyarakat: (1) kekeluargaaan dan gotong royong,

kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2) kesejahteraan

bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara

melindungi warga negaranya, (4) selaras serasi seimbang

antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di

Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia orang

perorang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

C. Pengambilan Keputusan

1. Pengertian Pengambilan Keputusan

Stoner (2003:205) memandang pengambilan keputusan

sebagai proses pemilihan suatu arah tindakan sebagai cara

untuk memecahkan sebuah masalah tertentu. Siagian (1993:24)

mengartikan pengambilan keputusan sebagai usaha sadar untuk

menentukan satu alternatif dari berbagai alternatif untuk

memecahkan masalah. Salusu (1996:47) mendefinisikan

pengambilan keputusan sebagai proses memilih suatu

alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai

situasi untuk menemukan dan menyelesaikan masalah

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 55

organisasi. Handoko (2001:129) melihat pengambilan keputusan

sebagai proses di mana serangkaian kegiatan dipilih sebagai

penyelesaian suatu masalah tertentu.

Dari beberapa pengertian tentang pengambilan keputusan

yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa

pengambilan keputusan merupakan proses pemilihan satu

alternatif dari beberapa alternatif untuk pemecahan masalah.

2. Dasar-dasar Pengambilan Keputusan

Menurut George Terry (dalam Hasan, 2002:12-13) dasar-

dasar pengambilan keputusan adalah :

a. Intuisi. Keputusan berdasarkan perasaan subjektif dari

pengambil keputusan. Sehingga sangat dipengaruhi oleh

sugesti dan faktor kejiwaan.

b. Rasional. Pengambilan keputusan bersifat objektif, logis,

transparan dan konsisten karena berhubungan dengan tingkat

pengetahuan seseorang.

c. Fakta. Pengambilan keputusan yang didasarkan pada

kenyataan objektif yang terjadi sehingga keputusan yang

dimabil dapat lebih sehat, solid dan baik.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 56

d. Wewenang. Pengambilan keputusan ini didasarkan pada

wewenang dari manajer yang memiliki kedudukan lebih tinggi

dari bawahannya.

e. Pengalaman. Pengambilan keputusan yang didasarkan pada

pengalaman seorang manajer.

3. Teknik Partisipasi Dalam Pengambilan Keputusan

Ada beberapa teknik peran serta sebagai bentuk

partisipasi dalam pengambilan keputusan yang dapat dilakukan

oleh kepala sekolah bersama dengan guru dan staf sekolah.

Menurut Lunenburg & Ornstein (1991:178-182) dan Salusu

(1996:235-260), teknik partispasi antara lain, yaitu :

Brainstorming, teknik delphi,kelompok mutu, konsep zone of

acceptance.

Brainstorming adalah teknik sumbang saran dari semua

anggota organisasi. Teknik ini mengutamakan demokrasi dalam

menyampaikan pendapat melalui persidangan yang relatif

kecil. Teknik delphi dikembangkan oleh Dalkey dan Helmer

(1963). Teknik ini menghindari tatap muka antara peserta

dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu juga mencegah

adanya pembicara vokal yang sering menguasai waktu lebih

banyak daripada peserta lainnya. Teknik ini biasanya dipakai

pada manajemen puncak yang biasanya tidak mempunyai cukup

waktu untuk bertemu satu dengan yang lain. Teknik ini

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 57

menghindari perdebatan akan tetapi tetap ada komunikasi dan

pertukaran gagasan dan informasi. Teknik kelompok mutu

biasa dipakai pada sektor implementasi. Teknik ini biasanya

merupakan suatu kelompok kecil yang terdiri atas pengawas

dengan sejumlah karyawan yang bekerja di bagian tertentu.

Kelompok mini adalah kelompok sukarela. Mereka bertemu

secara reguler untuk membicarakan berbagai masalah dan

pengambilan keputusan. Teknik zone of acceptance adalah teknik

dimana terjadi suatu situasi seseorang dapat menerima suatu

keputusan secara otomatis. Konsep ini mencoba menjawab

pertanyaan: ”Dalam kondisi apa bawahan harus diikutsertakan

dalam pengambilan keputusan ?”. Jadi bisa saja bawahan tidak

terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

4. Jenis-jenis Pengambilan Keputusan

Secara umum jenis pengambilan keputusan dapat

dikategorikan dalam dua bentuk, yakni keputusan terprogram

dan keputusan tidak terprogram (Siagian,1987:25-26; Salusu,

1996:63).

a. Keputusan Terprogram

Keputusan terprogram adalah tindakan menjatuhkan

pilihan yang berlangsung berulang kali dan diambil secara

rutin dalam organisasi. Keputusan terprogram biasanya

menyangkut pemecahan masalah-masalah yang sifatnya teknis

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 58

serta tidak memerlukan pengarahan dari tingkat manajemen

yang lebih tinggi.

b. Keputusan tidak terprogram

Keputusan tidak terprogram muncul sebagai akibat dari

suatu situasi di mana ada suatu kemendesakan untuk segera

mengambil tindakan dan memecahkan masalah yang timbul.

Biasanya keputusan ini bersifat repetitif, tidak terstruktur

dan sukar mengenali bentuk, hakekat dan dampaknya.

5. Langkah-Langkah Pengambilan keputusan

Simon (1957) mengemukakan proses pengambilan keputusan

pada dasarnya terdiri atas tiga langkah (Reksohadiprodjo &

Handoko, 2001:144-145; Hasan,2002:24), yaitu: (1) Kegiatan

Intelejen, menyangkut pencarian berbagai kondisi lingkungan

yang diperlukan bagi keputusan; (2) Kegiatan desain,

merupakan pembuatan, pengembangan dan penganalisaan berbagai

rangkaian kegiatan yang mungkin dilakukan; (3) Kegiatan

pemilihan, yakni memilih serangkain kegiatan tertentu dari

alternatif-alternatif yang tersedia. Proses pengambilan

keputusan secara rasional dan ilmiah pada dasarnya meliputi

tahapan sebagai berikut (Handoko, 2001:134-138): (1)

pemahaman dan perumusan masalah, (2) pengumpulan dan analisa

data yang relevan, (3) pengembangan alternatif-alternatif,

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 59

(4) evaluasi alternatif-alternatif, (5) pemilihan alternatif

terbaik, (6) implementasi keputusan, (7) evaluasi hasil-

hasil keputusan.

Pengambilan keputusan antara lain juga diartikan

sebagai suatu tehnik memecahkan suatu masalah dengan

mempergunakan tehnik-tehnik ilmiah. Secara singkat menurut

Siagian (1973) dapat dikatakan bahwa ada 7 langkah yang

perlu diambil dalam usaha memecahkan masalah dengan

mempergunakan teknik-teknik ilmiah.

a. Mengetahui hakekat dari pada masalah yang dihadapi,

dengan perkataan lain mendefinisikan masalah yang

dihadapi itu dengan setepat-tepatnya;

b. Mengumpulkan fakta dan data yang relevan;

c. Mengolah fakta dan data tersebut;

d. Menentukan beberapa alternatif yang mungkin ditempuh;

e. Memilih cara pemecahan dari alternatif-alternatif yang

telah diolah dengan matang;

f. Memutuskan tindakan apa yang hendak dilakukan;

g. Menilai hasil-hasil yang diperoleh sebagai akibat

daripada keputusan yang telah diambil.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengambilan Keputusan dalam Perspektif AgamaPengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 60

Dalam Islam, pengambilan keputusan secara musyawarah

telah menjadi wacana yang sangat menarik. Karena musyawarah

secara tekstual merupakan fakta wahyu yang tersurat dan

dapat menjadi ajaran normatif dalam kepemimpinan pendidikan

khususnya, dan dalam kehidupan pada umumnya.

Al-Qur’an Surat Al-Imron ayat 159 sebagaimana dikutip

pada bab II, telah memberikan pelajaran kepada manusia

(termasuk pemimpin) bahwa dalam mengadapi persoalan yang

pelik dan menyangkut hajat hidup orang banyak, sebaiknya

diambil keputusan melalui jalan musyawarah.Meskipun

keputusan yang diambil adalah sesuatu yang keliru.

Dari kandungan ayat itu tegas ditunjukkan 4 (empat)

sikap ideal ketika dan setelah melakukan musyawarah, yakni :

(1) Sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan

musyawarah, apalagi pemimpin harus menghindari tutur kata

yang kasar serta sikap keras kepala.

(2) Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Sikap ini harus

dimiliki peserta musyawarah, sebab musyawarah tidak akan

berjalan baik, bila peserta masih diliputi kekeruhan hati

apalagi dendam.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 61

(3) Memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan, itulah

sebabnya yang harus melatarbelakangi msyawarah adalah

permohonan maghfiroh dan ampunan ilahi.

(4) Setelah selesai bermusyawarah harus berserah diri

dengan bertawaqal kepada-Nya.

Selain itu, musyawarah memiliki beberapa sikap positif,

yakni :

(1) Musyawarah merupakan bentuk penghargaan terhadap orang

lain dan karenanya menghilangkan anggapan paternalistik

bahwa orang lain itu rendah.

(2) Meskipun Nabi adalah pribadi sempurna dan cerdas, namun

sebagai manusia ia memiliki kemampuan yang terbatas. Oleh

karenanya, beliau menganjurkan bahwa tidak ada satu kaum

pun yang bermusyawarah yang tidak ditunjuki kea rah

penyeleseaian terbaik dalam perkaranya.

(3) Mengkilangkan buruk sangka, karena dengan musyawarah

prasangka kepada orang lain akan tereleminasi.

(4) Mengeliminasi beban psikologis kesalahan. Kesalahan

mayoritas dari hasil musyawarah menjadi tanggung jawab

bersama dan lebih bdapat diteloransi daripada keputusan

individu. Hal-hal positif muncul karena musyawarah

menghasilkan masyurah : pendapat, nasihat, dan pertimbangan.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 62

Walaupun sangat dianjurkan dalam agama, praktik bermusyawarah

kerap digunakan dalam bidang-bidang lain.Bahkan adakalanya praktik

musyawarah suka digunakan untuk kepentingan penguasa untuk

kejayaan dan kelestarian kekuasaannya. Musyawarah seperti ini

sesungguhnya telah menyimpang dari tujuan yang hendak dicapai,

yakni kebenaran dan kebaikan bersama. Itu berarti bahwa harus

dihindari musyawarah dijadikan panggung legislasi demi kepentingan

yang tidak bernilai kebaikan.

Kewajiban untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan semua

persoalan sebenarnya berimplikasi pada keharusan adanya

pelembagaan musyawarah. Ini telah ditunjukkan dalam sejarah, baik

pada masa Rosululloh maupun Khulafaurrasyidin. Meskiputun tidak

disebutkan secara resmi lembaga apa, namun dari keberadaan tokoh

sahabat yang mendampingi Rosululloh dan para khalifah sebagai

mitra yang selalu dimintai pendapatnya, menunjukkan pelembagaan

sistem musyawarah dalam sistem politik.

B. Pengambilan Keputusan dalam Prespektif Filsafat Pendidikan

Pengambilan keputusan partisipatif penting dilakukan oleh

pemimpin pendidikan, karena secara filosofi tugas seorang pemimpin

adalah mengarahkan pengikut untuk mencapai tujuan organisasi

secara bersama-sama. Bangunan kerja sama ini akan semakin kokoh

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 63

apabila pemimpin mamu melibatkan bawahan dalam setiap kegiatan

organisasi, termasuk dalam pengambilan keputusan. Hubungan antara

pemimpin dengan bawahan akan semakin baik, sehingga mampu menjaga

stabilitas dan kondusifitas organisasi.

Dalam kaitannya dengan pendidikan dewasa ini, pemimpin

pendidikan harus mampu mengambil keputusan strategic (mungkin

melalui penyusunan kurikulum) agar arah pendidikan dikembalikan

pada arah yang sesungguhnya. Dalam kaitan ini, implementasi

rekontruksionisme patut untuk dipertimbangkan. Keberanian untuk

merestorasi pendidikan ini dipandang akan mampu menyelamatkan

generasi muda dari ancaman materialistik.

Filsafat rekontruksionisme memandang bahwa pendidikan perlu

mengubah tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup

kebudayaan yang baru untuk mencapai tujuan bersama. Pembinaan daya

intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia

melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar

pula, demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang

sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.

Diterapkannya faham rekontruksionisme dewasa ini seiring

sejalan dengan iklim politik pemerintah yang menuju pada

demokratisasi. Dalam hubungannya dengan pemerintahan, filsafat

rekontruksionisme mempersepsikan bahwa masa depan suatu bangsa

merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 64

demokratis, bukan dunia yang dikuasi oleh kelompok tertentu.

Nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya bukan hanya teori,

melainkan mesti menjadi kenyataan sehingga dapat diwujudkan suatu

dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan

kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran,serta keamanan

masyarakat tanpa membedakan warna ras, suku, nasionalisme, agama,

dan masyarakat bersangkutan.

Rekontruksionisme sejalan dengan pemikiran Alvin Toffler

dengan karyanya Future Shock. Dalam artikelnya Toffler dalam

(Gandhi,2011:192) menyatakan bahwa “Apa sebenarnya yang dilakukan

pendidikan hari ini, tidak lain adalah anakronisme tanpa harapan” Pendidikan

berjalan hanya menjadi serangkaian praktik dan asumsi yang

dikembangkan hanya melayani era industry, sedangkan situasi sosial

telah memasuki fase super insudtri. Akibatnya dapat ditebak.

Sekolah-sekolah kita limbung. Sekolah lebih sibuk mengurusi sistem

yang mati daripada menangani masyarakat baru yang sedang tumbuh.

Energi besarnya digunakan untuk mencetak manusia industry, yakni

manusia yang disiapkan untuk dapat hidup dalam sistem yang akan

mati sbelum mereka eksis. Untuk mencegah kegagapan masa depan yang

akan datang, harus diwujudkan sistem pendidikan superindustrial.

Maka dari itu, kita harus mencari tujuan-tujuan pendidikan dan

metode di masa datang, bukan justru masa lalu (Toffler,1970:353).

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 65

Walaupun dalam hal optimisme Toffler dan penganut

rekontruksionisme agak berbeda, namun intinya roh pendidikan harus

dilakukan perubahan yang nyata. Filsafat rekontruksionis

berkeyakinan bahwa perubahan dapat dimulai dari pendidikan.

Mengenai kurikulum pendidikan, Rekonstruksionisme

menganggapnya sebagai subjek matter yang berisikan masalah-masalah

sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang dihadapi umat

manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi siswa itu

sendiri. Isi kurikulum tersebut berguna dalam penyusunan disiplin

“sains sosial” dan proses penemuan ilmiah (inkuiri ilmiah) sebagai

metode kerja untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Sementara

peranan guru, paham rekonstruksionisme sama dengan paham-paham

progresivisme. Guru harus menyadarkan siswa terhadap masalah-

masalah yang dihadapi manusia, membantu siswa mengidentifikasi

masalah-masalah untuk dipecahkannya, sehingga siswa memiliki

kemampuan memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong siswa

untuk dapat berpikir alternatif dalam memecahkan masalah tersebut.

Mengenai kurikulum pendidikan, Rekonstruksionisme

menganggapnya sebagai subjek matter yang berisikan masalah-masalah

sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang dihadapi umat

manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi siswa itu

sendiri. Isi kurikulum tersebut berguna dalam penyusunan disiplin

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 66

“sains sosial” dan proses penemuan ilmiah (inkuiri ilmiah) sebagai

metode kerja untuk memecahkan masalah-masalah sosial.

Sementara peranan guru, paham rekonstruksionisme sama dengan

paham-paham progresivisme. Guru harus menyadarkan siswa terhadap

masalah-masalah yang dihadapi manusia, membantu siswa

mengidentifikasi masalah-masalah untuk dipecahkannya, sehingga

siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah tersebut. Guru harus

mendorong siswa untuk dapat berpikir alternatif dalam memecahkan

masalah tersebut.

Lebih jauh guru harus membantu menciptakan aktivitas belajar

yang berbeda secara serempak. Sekolah merupakan agen utama untuk

perubahan sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat. Tugas

sekolah adalah mengembangkan “rekayasa sosial”, dengan tujuan

mengubah secara radikal wajah masyarakat dewasa ini dan masyarakat

yang akan datang. Sekolah memelopori masyarakat ke arah masyarakat

baru yang diinginkan. Apabila tidak demikian, setiap individu dan

kelompok nantinya akan memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan

secaara sendiri-sendiri sebagai pengaruh dan progresivisme.

C. Pengambilan Keputusan dalam Perspektif Psikologi

Sangat sulit untuk menyangkal, bahwa terdapat relevansi

antara pengambilan keputusan dengan psikologi. Pengambilan

keputusan berhubungan dengan perilaku pemimpin, sedangkan

kepatuhan melaksanakan keputusan berhubungan dengan perilaku

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 67

pengikut. Perilaku pengikut dan perilaku pemimpin merupakan

perilaku manusia, yang merupakan kajian dari psikologi.

Perilaku pemimpin tercermin dari gaya kepemimpinan yang

dijalankan. Gaya itu dilatarbelakangi oleh sifat atau watak dari

pemimpin. Perilaku dan watak sangat berkaitan dengan psikologis

pemimpin. Dalam hubungannya dengan pengambilan keputusan, gaya

kepemimpinan yang baik adalah gaya yang mampu memecahkan berbagai

persoalan dengan tepat. Dalam hal ini gaya kepemimpinan yang

otokratis dan demokratis atau partisipatif merupakan gaya

kepemimpinan yang saling bertentangan, namun akan cocok bergantung

pada siatuasi yang ada.

Dalam situasi normal, pengambilan keputusan sebaiknya

dilakukan dengan melibatkan sebanyak mungkin orang lain. Pengikut

sebagai unsur yang akan menjalankan keputusan sebaiknya terlibat

dalam proses pengambilan keputusan. Keterlibatan pengikut dalam

pengambilan keputusan, secara psikologis akan melahirkan

partisifasi pengikut dalam proses pembuatan dan implementasi

keputusan. Untuk itu, dari sudut pandang psikologi maka

pengambilan keputusan partisipatif dipandang sebagai pengambilan

keputusan yang lebih baik dari yang lainnya. Likert (1976) dalam

studi tentang pola dan gaya kepemimpinan dan manajer selama tiga

dasawarsa berkesimpulan bahwa kepemimpinan partisipatiflah yang

paling efektif dalam organisasi dan manajemen.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 68

Likert memandang manajer yang efektif adalah manajer yang

berorientasi pada bawahan yang bergantung pada komunikasi untuk

tetap menjaga agar semua orang bekerja sebagai suatu unit. Semua

anggota kelompok, termasuk manajer atau pemimpin, menerapkan

hubungan suportif di mana mereka saling berbagi kebutuhan, nilai-

nilai aspirasi, tujuan, dan harapan bersama. Pendekatan ini

sebagai cara yang paling efektif dalam memimpin kelompok (Kootz,

O ‘Donnell & Weihrich, 1990:152). Gibson, Ivancevioch & Donnely

(1990:135) juga mengemukakan bahwa banyak ahli riset dan manajer

yang percaya bahwa sebagian besar anggota organisasi ingin

memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan

dan pengambilan keputusan. Mereka yakin bahwa semakin besarnya

partisipsi dalam proses tersebut akan meningkatkan keikatan kepada

organisasi, kepuasan kerja, pertumbuhan dan perkembangan pribadi

serta sikap menerima perubahan.Perkembangan dewasa ini memandang

bahwa pendidikan dan lembaga sekolah sebagai suatu sistem

organisasi yang membutuhkan manajemen yang andal.

Aspek penting dalam organisasi dan manajemen pendidikan

adalah soal kepemimpinan pendidikan. Dari aspek perilaku

organisasi pendidikan, pengambilan keputusan partisipatif menjadi

suatu model yang dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan

proses pendidikan di sekolah. Keterlibatan dan partisipasi segenap

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 69

komponen sekolah menjadi unsur yang menentukan kinerja dan

keberhasilan penyelenggaraan sekolah sebagai lembaga pendidikan.

D. Pengambilan Keputusan dalam Prespektif Sosiologi

Pengambilan keputusan secara partisipatif mensyaratkan

keterlibatan bawahan dan pimpinan secara aktif sesuai dengan tugas

dan tanggung jawabnya masing-masing. Dalam prespektif sosiologis,

pimpinan dan bawahan hendaknya menganggap satu keluarga besar,

dengan pimpinan sebagai kepala keluarganya. Asas yang digunakan

adalah kekeluargaan dan gotong royong sesuai dengan faham

integralistik. Tipe kepemimpinan yang membentuk bangunan

kekeluargaan adalah kepemimpinan demokratik atau partisipatif.

1) Pengambilan Keputusan Partisipatif

Kebanyakan dari para teoretikus mengemukakan empat

prosedur pengambilan keputusan, yakni: keputusan otokratik,

konsultasi, keputusan bersama dan pendelegasian. Keempat

prosedur pengambilan keputusan tersebut merupakan suatu

kontinum.

a) Keputusan otokratik : Manajer membuat keputusan

sendiri tanpa menanyakan opini atau saran dari orang

lain, dan orang-orang tersebut tidak mempunyai pengaruh

langsung terhadap keputusan tersebut, tidak ada

partisipasi.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 70

b) Konsultasi. Manajer menanyakan opini dan gagasan,

kemudian mengambil keputusannya sendiri setelah

mempertimbangkan secara serius saran-saran dan

perhatian mereka. Kepemimpinan ini memiliki tiga

varietas:

Pemimpin membuat keputusan tanpa konsultasi terlebih

dahulu, namun kemudian bersedia memodifikasi karena

adanya keberatan atau keprihatinan pengikutnya;

Pemimpin memberi usulan sementara dan secara aktif

mendorong orang untuk menyarankan cara-cara

memperbaikinya;

Pemimpin menggunakan sebuah masalah dan meminta

orang lain untuk berpartisipasi dalam mendiagnosis

dan mengembangkan bermacam-macam pemecahan umum,

namun kemudian membuat keputusan sendiri;

c) Keputusan bersama. Manajer bertemu dengan orang lain

untuk mendiskusikan masalah keputusan tersebut dan

mengambil keputusan bersama; manajer tidak mempunyai

pengaruh lagi terhadap keputusan terakhir seperti

peserta lainnya.

d) Pendelegasian. Manajer memberi kepada seorang individu

atau kelompok, kekuasaan serta tanggung jawab untuk

membuat keputusan; manajer tersebut biasanya memberi

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 71

spesifikasi mengenai batas-batas dalam mana pilihan

terakhir harus berada, dan persetujuan terlebih dahulu

mungkin atau mungkin tidak perlu diminta sebelum

keputusan tersebut dilaksanakan.

Dari empat prosedur pengambilan keputusan di atas,

yang pertama yakni tipe otokratik bukan menjadi

karakteristik pengambilan keputusan partisipatif. Karena

pengambilan keputusan berada pada kewenangan pemimpin

tanpa memberikan peluang kepada anggota untuk

berpartisipasi.

Prosedur pengambilan keputusan dengan konsultasi,

keputusan bersama, dan pendelegasian merupakan

karakteristik pengambilan keputusan partisipatif yang

dijakankan oeh kepemimpinan partisipatif. Tiga ciri ini

memiliki intensitas yang berbeda. Kalau pada karakteristik

konsultasi seorang pemimpin sudah memberikan peluang

kepada bawahannya untuk memberikan masukan. Walaupun

keputusan tetap berada pada dirinya. Intensistas pembuatan

dan penetapan keputusan tetap masih berada pada pimpinan.

Pada karakteristik keputusan bersama, baik pemimpin dan

anggota memiliki intensitas yang sama. Keputusan yang

dibuat berasal dari sejumlah pemikiran dan gagasan baik

oleh pemimpin dan bawahan. Pengambilan keputusan tidak

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 72

bisa dibuat tanpa keterlibatan yang penuh dari pimpinan

dan anggota. Sedangkan pada pendelegasian peran dari

pemimpin intensitasnya semakin rendah. Anggota organisasi

memiliki kewenangan penuh untuk membuat dan menjalankan

keputusan.

2) Kelebihan Pengambilan Keputusan Partisipatif

Ada beberapa keuntungan potensial pengambilan keputusan

partisipatif. Yukl, (1998: 134-135) mengemukakan bahwa secara

umum keuntungan pengambilan keputusan partisipatif adalah

meningkatkan kualitas sebuah keputusan bila peserta mempunyai

informasi dan pengetahuan yang tidak dipunyai pemimpin tersebut

dan bersedia bekerja sama dalam mencari suatu pemecahan yang

baik untuk suatu masalah keputusan. Di samping itu dapat

meningkatkan komitmen dan rasa tanggung-jawab bersama pada

sebuah keputusan.

Keuntungan dari gaya kepemimpinan partisipatif

(Rohmat,2010:59) adalah

a) Konsultasi ke bawah , dapat digunakan dalam rangka

meningkatkan kualitas keputusan dengan menarik keahlian yang

dimiliki para pengikut, sehingga para pengikut akan dapat

menerima semua putusan yang diambil dan menjalankannya.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 73

b) Konsultasi lateral, pemimpin melibatkan peran serta orang-

orang dalam berbagai sub unit untuk mengatasi keterbatasan

kemampuan yang dimiliki pemimpin. Konsultasi lateral

memudahkan koordinasi dan kerja sama di antara para pemimpin

dari berbagai sub untuk organisasi.

c) Konsultasi ke atas, memungkinkan seorang pemimpin untuk

menaruh keahlian seseorang atasan yang berkemampuan lebih

besar daripada manajer.

d) Konsultasi dengan pihak luar,memungkinkan bahwa keputusan-

keputusan yang mempengaruhi mereka dipahami dan dimengerti,

mengetahui kebutuhan-kebutuhan serta preferensi-preferensi

mereka, serta akan .memperkuat jaringan kerja eksternal.

3) Efektivitas Pengambilan Keputusan Partisipatif

Benarkan pengambilan keputusan partisipatif efektif

dijalankan dalam kepemimpinan pendidikan? Menurut Vroom &

Yetton (1973) dan Maeir & Verser (1982) efektivitas

keseluruhan dari sebuah keputusan tergantung pada dua

variabel intervensi yakni penerimaan keputusan dan kualitas

keputusan (Yukl 1998:137-138, Ubben,Hughes dan Norris

2004:47). Berbagai penjelasan dan penelitian telah diajukan

mengenai efektivitas kepemimpinan partisipatif dalam

pembuatan dan penerimaan keputusan (Anthony, 1978; Maier,

1963; Michael, 1973; Strauss, 1963).

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 74

Efektivitas partisipasi dalam pengambilan keputusan dan

penerimaan keputusan antara lain:

a) Orang-orang yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam

pengambilan keputusan cenderung untuk mengidentifikasikan

dirinya dengan hal tersebut dan merasakannya sebagai

keputusannya, yang akan lebih meningkatkan motivasi mereka

untuk melaksanakan keputusan tersebut dengan berhasil.

b) Partisipasi juga memberi suatu pengertian yang lebih baik

mengenai sifat masalah keputusan dan alasan mengapa suatu

alternatif tertentu diterima dan yang lainnya ditolak.

Para peserta memperoleh pengertian yang lebih baik

mengenai bagaimana mereka akan dipengaruhi oleh sebuah

keputusan yang kemungkinan besar akan mengurangi rasa

takut apa saja yang tidak beralasan dan ketegangan-

ketegangan mengenai hal tersebut.

c) Partisipasi juga memungkinkan orang memperoleh peluang

untuk melindungi kepentingan mereka jika benar-benar

terancam, dengan mengemukakan rasa prihatin mereka dan

membantu untuk mencari suatu pemecahan yang menanggapi

rasa keprihatinan tersebut.

d) Sebuah keputusan yang telah dibuat oleh sebuah proses

kelompok yang dianggap sah, memungkinkan para anggota

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 75

menggunakan tekanan sosial terhadap anggota yang lain agar

menjalankan keputusan itu dalam implementasinya.

Sedangkan efek dari partisipasi terhadap kualitas

keputusan (Yukl, 1998 : 138):

a) Partisipasi akan menghasilkan keputusan yang lebih baik

bila para bawahan mempunyai informasi yang relevan dan

bersedia untuk bekerja-sama dengan pemimpin tersebut dalam

membuat keputusan yang baik.

b) Apabila di antara para bawahan terjadi perbedaan pandangan

dan sulit diambil keputusan bersama, maka konsultasi

memungkinkan menghasilkan keputusan yang memiliki kualitas

lebih tinggi, karena pemimpin (manajer) akan

mempertahankan kontrol terhadap pilihan terakhir.

4) Keterbatasan Pengambilan Keputusan Partisipatif

Pengambilan keputusan partisipatif memiliki

keterbatasan (Yukl, 1998:140), yakni :

1) Bentuk partisipasi efektif pada situasi-situasi tertentu

namun tidak pada situasi lainnya (Vrom & Jago, 1988).

Karena partisipasi memakan waktu, kadang berteletele.

Dalam keadaan darurat untuk berkonsultasi dan berdiskusi

tidak efektif. Seorang pemimpin harus cepat dan tanggap

dalam membuat keputusan dan mengambil kebijakan sesuai

dengan situasi dan kebutuhan manajemen dan organisasi.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 76

2) Kecenderungan terjadinya partisipasi semu

(pseudoparticipation), di mana manajer mencoba untuk melibatkan

bawahan dalam tugas tetapi bukan dalam proses pengambilan

keputusan. Kebanyakan para manajer mencoba berkonsultasi

dengan bawahannya akan tetapi masukan dan gagasan dari

para bawahan tidak diakomodir dalam pembuatan keputusan

dan pengambilan kebijakan.

E. Pengambilan Keputusan Partisipatif dalam Kepemimpinan

Pendidikan

Berbicara mengenai implementasi pengambilan keputusan

dalam kepemimpinan partisipatif dalam kepemimpinan pendidikan

terkait erat dengan perilaku birokrasi pendidikan (pusat dan

daerah), kepala sekolah dan guru sebagai anggota organisasi

pendidikan dalam pengambilan keputusan. Peran serta ketiga

pemimpin pendidikan dalam pengambilan keputusan ditegaskan oleh

French (1960) dalam Salusu (1996:233) menegaskan bahwa peran

serta menunjukkan suatu proses antara dua atau lebih pihak yang

mempengaruhi satu terhadap yang lainnya dalam membuat rencana,

kebijaksanaan dan keputusan.

Pentingnya peran serta dalam proses pengambilan keputusan

diakui juga oleh Alutto dan Belasco (1972) yang mengatakan

bahwa dengan adanya peran serta ada jaminan bahwa pemeran serta

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 77

tetap mempunyai kontrol atas keputusan-keputusan yang diambil

(Salusu, 1996:234). Mengingat lingkungannya yang unik, maka

dalam makalah ini akan dibahas peran serta (partisipasi) kepala

sekolah dan guru termasuk staf sekolah dalam pengambilan

keputusan di sekolah.

1. Peran Pemimpin Pendidikan dalam Pengambilan Keputusan

Partisipatif

Dilihat dari fungsi birokrasi pendidikan dan kepala

sekolah sebagai pemimpin pendidikan, maka ia harus mampu

mengambil keputusan secara tepat. Dalam kaitannya dengan

pengambilan keputusan, pemimpin pendidikan hendaknya memberi

kesempatan kepada anggota organisasi untuk berpartisipasi dalam

pengambilan keputusan.

Dasar teori yang dapat dikaji dalam pengambilan keputusan

pendidikan dan partisipasi anggota organisasi adalah teori

kepemimpinan kontinum yang dikembangkan oleh Tannenbaum dan

Schmidt (Rawis, 2000:30). Dalam pandangan kedua ahli ini ada

dua bidang pengaruh yang ekstrim.

Pertama, bidang pengaruh pemimpin di mana pemimpin

menggunakan otoritasnya dalam gaya kepemimpinannya. Kedua,

bidang pengaruh kebebasan bawahan di mana pemimpin menunjukkan

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 78

gaya yang demokratis. Kedua bidang pengaruh ini dipergunakan

dalam hubungannnya dengan perilaku pemimpin melakukan aktivitas

pengambilan keputusan. Menurut dua ahli tersebut ada enam model

gaya pengambilan keputusan yang dapat dilakukan oleh pemimpin,

yakni :

1) Pemimpin membuat keputusan dan kemudian mengumumkan kepada

bawahannya. Model ini terlihat bahwa otoritas yang

dipergunakan atasan terlalu dominan, sedangkan daerah

kebebasan bawahan sempit sekali.

2) Pemimpin menjual keputusan. Pada gaya ini pemimpin masih

dominan. Bawahan belum banyak dilibatkan.

3) Pemimpin menyampaikan ide-ide dan mengundang pertanyaan.

Dalam model ini pemimpin sudah menunjukkan kemajuan.

Otoritas mulai berkurang dan bawahan diberi kesempatan untuk

mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bawahan mulai dilibatkan

dalam pengambilan keputusan.

4) Pemimpin memberikan keputusan bersifat sementara yang

kemungkinan dapat dirubah. Bawahan sudah mulai banyak

terlibat dalam rangka pengambilan keputusan. Otoritas pelan-

pelan mulai berkurang.

5) Pemimpin memberikan persoalan, meminta saran-saran dan

mengambil keputusan. Pada gaya ini otoritas yang

dipergunakan sedikit. Sedangkan kebebasan bawahan dalam

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 79

berpartisipasi mengambil keputusan sudah lebih banyak

dipergunakan. Pemimpin merumuskan batas-batasnya dan meminta

kelompok bawahan untuk mengambil keputusan. Partisipasi

bawahan sudah lebih dominan.

6) Pemimpin mengizinkan bawahan melakukan fungsi-fungsinya

dalam batas-batas yang telah dirumuskan oleh pemimpin.

Dalam analisis tentang pola kepemimpinan dapat

didasarkan pula pada tingkat kematangan (kedewasaan)

bawahan. Ada empat model kepemimpinan yang muncul

berdasarkan pada kematangan bawahan (Siagian, 2003:142-143),

yakni :

1) Semakin tinggi tingkat kematangan yang telah dicapai oleh

bawahan, pimpinan memberikan respons tidak saja dalam bentuk

pengurangan pengawasan atas berbagai kegiatan yang

dilaksanakan oleh para bawahannya, akan tetapi juga

mengurangi intensitas hubugannya dengan para bawahan

tersebut.

2) Pada tingkat kematangan yang masih rendah. Bawahan tidak

berkemampuan dan tidak berkemauan, para bawahan memerlukan

pengarahan yang jelas dan tegas serta spesifik sehingga

tidak terdapat kekaburan dalam pelaksanaan tugas para

bawahan yang bersangkutan.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 80

3) Pada tingkat kematangan bawahan yang tinggi. Bawahan

berkemampuan tetapi tidak berkemauan. Yang diperlukan adalah

perilaku pimpinan yang berorientasi tugas yang tinggi dan

tingkat hubungan yang intensif antara atasan dengan

bawahannya.

4) Pada tingkat kematangan yang lebih tinggi lagi. Bawahan

tidak berkemampuan tetapi berkemauan. Masalah-masalah

psikologis dapat timbul dan hanya dapat dipecahkan dengan

menggunakan gaya kepemimpinan yang bersifat mendukung tugas

para bawahan dan dengan demikian berarti tidak terlalu

banyak memberikan pengarahan. Yang dotonjolkan adalah gaya

partisipatif.

5) Pada tingkat kematangan yang sudah tinggi. Bawahan

berkemampuan dan berkemauan. Seorang pimpinan tidak perlu

lagi berbuat banyak karena para bawahannya seudah mampu dan

rela memikul tanggung-jawab sehingga tugas-tugas yang

dipercayakan kepada mereka sesuai dengan harapan pimpinan

yang bersangkutan.

2. Peran Bawahan dalam Pengambilan Keputusan

Sehubungan dengan peran bawahan dalam pengambilan

keputusan dalam kepemimpinan pendidikan, ada dua konsep yang

perlu dikaji, yakni persepsi dan aspirasi (Rawis, 2000:35). Gibson,

Ivancevich dan Donnelly (1996: 241) mengartikan persepsi

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 81

sebagai proses dari seseorang dalam memahami lingkungannya yang

melibatkan pengorganisasian dan penafsiran sebagai rangsangan

dalam suatu pengalaman psikologis. Sedangkan Robbins (2003:

169) mendefinisikan persepsi sebagai proses yang digunakan

individu dalam mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka

dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka.

Dalam konteks teori ini peran serta bawahan dalam

pengambilan keputusan adalah bagaimana mereka mempersepsikan

pandangan, penghayatan, perasaan mereka sebagai sesuatu yang

bermakna dan dapat disumbangkan bagi kemajuan pendidikan.

Aspirasi dalam bahasa Inggris aspiration yang berarti cita-

cita, keinginan (Nasution, 1990:14). Jadi aspirasi guru dan

staf adalah keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhan yang

dirasakan oleh bawahan untuk dipenuhi guna peningkatan

kesejahteraan kerja dalam rangka mereka berpartisipasi dalam

pengambilan keputusan.

Aspirasi bawahan pada umumnya ada yang tinggi dan ada yang

rendah. Menurut Thurnburg (Prayitno, 1989, dalam Rawis,

2000:40) ada faktor-faktor yang menimbulkan tinggi-rendahnya

tingkat aspirasi. Faktor yang menyebabkan aspirasi tinggi

adalah: (1) pengalaman sukses, (2) tugas-tugas yang sukar

menuntut kerja keras, (3) merasa terkontrol oleh diri sendiri,

(4) tugas-tugas yang relevan dengan kebutuhan akademis maupun

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 82

jabatan yang diharapkan, (5) infromasi yang berguna, (6)

kelompok orang yang homogen, (7) tujuan yang realistik untuk

dicapai. Sedangkan faktor yang menyebabkan aspirasi rendah

adalah: (1) pengalaman gagal, (2) tugas-tugas yang mudah

sehingga dengan usaha yang sedikit dapat menyelesaikannya, (3)

tergantung oleh kontrol orang lain, (4) tugas-tugas yang

dirasakan relevan dengan kebutuhan akademik maupun jabatan yang

diharapkan, (5) informasi dirasakan tidak berguna, (6) kelompok

yang heterogen, (7) tujuan yang tidak realistik.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 83

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Pengambilan keputusan merupakan aktivitas yang sangat

menentukan dalam suatu organisasi. Pengambilan keputusan

merupakan esensi/inti dari kepemimpinan. Seorang pemimpin

disebut pemimpin apabila dapat dan mampu mengambil

keputusan. Dalam kepemimpinan dikenal gaya-gaya

kepemimpinan. Salah satu di antaranya adalah kepemimpinan

partisipatif. Kepemimpinan partisipatif mengandaikan

adanya kondisi pemimpin memberikan ruang yang luas pada

keterlibatan yang utuh dan mendalam dari seluruh pimpinan

dan anggota organisasi untuk ikut serta dalam pengambilan

keputusan.

2. Pengambilan keputusan dapat dipandang dan dilandasi oleh

agama, filsafat, psikologi dan sosiologi. Berbasarkan

landasan agama, dianjurkan akan dalam pengambilan

keputusan, seorang pemimpin menempuh jalan musyawarah.

Dalam kepemimpinan pendidikan tentu saja musyawarah

melibatkan berbagai stakeholder, terutama guru. Secara

psikologis, pelibatan stakeholder dalam musyawarah akan

meningkatkan motivasi, gairah, dan tanggung jawab untuk

turut serta melaksanakan keputusan secara bersama-sama.

B. Saran

1. Pengambilan keputusan merupakan inti dari kepemimpinan

pendidikan. Oleh karena itu, pemimpin pendidikan dalam

pengambilan keputusan disarankan dilakukan secara

musyawarah dengan melibatkan bawahan atau para stakeholder

yang berkepentingan.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 84

2. Kepemimpinan pendidikan sangat ideal apabila menjalankan

gaya kepemimpinan partisipatif agar seiring sejalan dengan

hakikat musyawarah dalam pengambilan keputusan.

DAFTAR PUSTAKA

Bolman, Lee G dan Terence E, Deal, 1997, Reframing Organization: Artistry, Choice and Leadership, San Fransisco: Jossey-Bass.

Gandhi,2011.Filsafat Pendidikan.Mazhab-Mazhab filsafat pendidikan.Jogjakarta:Ar-Ruz Media.

Gibson, Ivancevich, Donnelly, 1990, Organisasi, Perilaku, Struktur dan Proses, Jilid, 1, University of Kentucky dan University of Houston (Editor: Djarkasih) Jakarta: Erlangga.

_________________________, 1991, Organisasi,Perilaku, Struktur dan Proses,Jilid 2. edisi kelima, University Of Kentucky danUniversity of Houston (penerjemah: SavitriSoekrisno & Agus Dharma) Jakarta: Erlangga.

Gomez-Meija L., & Balkin D.B., 2002, Management, New York USA:McGraw Hill. Hasan, I., 2002, Pokok-pokokMateri Teori Pengambilan Keputusan, Jakarta:Ghalia Indonesia.

Handoko, H., 2001, Manajemen edisi 2, Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Madah, Yogyakarta: BPFE.

Hersey, P., dan Blanchard, 1977, Management or Organizational Behavior:Utilizing Human Resources, New Jersey: PrenticeHall.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 85

Kambey, C. D., 2003, Landasan Teori Administrasi/Manajamen, SebuahIntisari, Manado: Yayasan Tri GaneshaNusantara.

Kartini, K., 2005, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Lunenburg, F.C., & Ornstein, A.C., 2000, Educational AdministrationConcepts and Practice, Third Edition, Belmont, CA:Wadsworth Thomson Learning.

Koontz, H., O’Donnell & Weihrich, H., 1990, Manajemen, Jilid 1 , edisikedelapan, Judul asli: Management EighthEdition, 1984, Inggris: Mc Graw-Hill, Inc.(Editor: Alfonsus Sirat), Jakarta:Erlangga.

_________________________________, 1990, Manajemen, Jilid 2,edisikedelapan, Judul asli: Management SecondEdition, 1984, Inggris: Mc Graw-Hill, Inc.(Editor penerjemah : Hutauruk G), Jakarta:Erlangga.

Nasution, S., 1990, Kamus Umum Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Jakarta: Mutiara Sumber Widya.

Nurkolis, 2003, Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: PT GramediaWidiasarana

Indonesia. Nurtain, 1989, Supervisi Pengajaran (teori dan Praktek), Jakarta:Depdikbud. _____________, 2004, Fasilitator Kepala Sekolah Dalam Pengimplementasian

Program Manajemen Berbasis Sekolah, Malang: SentraMediaReksohadiprodjo, S., dan Handoko, H., Organisasi Perusahan, Teori,

Struktur dan Perilaku, edisi 2, Fakultas Ekonomi UGMYogyakarta: BPFE.

Robbins, S.P., 2003, Perilaku Organisasi, judul asli OrganizationalBehavior, Tenth Edition, (alih bahasa : BenyaminMolan), Jakarta: PT Indeks-Gramedia.

Rohmat.2010. Kepemimpinan Pendidikan.Konsep danAplikasi.Jogjakarta:STAIN PRESSSafaruddin, Anzizhan.2004. Sistem Pengambilan KeputusanPendidikan. Jakarta:Grasindo Safaria, T., 2004, Kepemimpinan, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 86

Salusu, J., 1996, Pengambilan Keputusan Stratejik, Untuk Organisasi Publikdan

Organisasi Nonprofit,Jakarta:PT.GramediaWidiasaranaIndonesiaSiagian, S.P., 1993, Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan, Jakarta:CV Haji

Masagung.__________, 2003, Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta: PT RinekaCipta.__________, 2005, Fungsi-fungsi Manajerial, Jakarta: Bumi Aksara.Stoner, J.A.F., 1982, Manajemen, Jilid 2, edisi kedua, Jakarta:Erlangga. Stoner, J.A.F, & Winkel C., 2003, Perencanaan dan Pengambilan

Keputusan dalam Manajemen, (alih bahasa: SimamoraSahat), Jakarta: PT Rineka Cipta.

Terry, G., dan Leslie R., 2005, Dasas-dasar Manajemen (terjemahanoleh G.A.Ticoalu), Jakarta: Bumi Aksara.

Ubben, G., Hughes L.W., & Norris C.J., 2004, The Principal CreativeLeadership for Excellence in Schools, Boston-USA:Pearson Education Inc.

Usman, H., 2006, Manajemen : Teori, Praktik dan Riset Pendidikan,Jakarta: Bumi Aksara.

Veithzal, R., 2004, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Jakarta: PTRajaGrafindo Wexley, K.N., Yukl Garry A., 2003, Perilaku Organisasi dan Psikologi

Personalia, (alih bahasa: Shobaruddin M), Jakarta:Rineka Cipta.

Yukl, G., 1998, Kepemimpinan dalam Organisasi, judul asli: Leadership inOrganizations 3e & 5e, State University of New York atAlbany, (alih bahasa oleh Jusuf Udaya) UniversitasKatolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta: Prehallindo

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 87