Pendidikan Kimia

45
PENDIDIKAN KIMIA*) Oleh: Harry Firman Abstrak Tulisan ini mengemukakan pokok-pokok pikiran tentang berbagai aspek pendidikan kimia, baik aspek teoretik, praksis, maupun aspek penelitian, dengan maksud memberikan kerangka acuan bagi siapa saja yang berkepentingan untuk menganalisis, mengembangkan, dan meneliti desain dan implementasi pendidikan kimia di sekolah menengah. Paparan dalam tulisan ini dimulai dengan kajian hakekat kimia dan misi universal mata pelajaran kimia, yang selanjutnya digunakan untuk menganalisis cetak biru mata pelajaran kimia SMA/MA di Indonesia, isu dan permasalahan implementasinya di sekolah. Dengan menggunakan acuan sebuah model pembelajaran efektif dalam kimia kemudian tulisan ini mencoba menawarkan pergeseran-pergeseran paradigma pembelajaran yang perlu dilakukan di masa depan. Tulisan ini ditutup dengan suatu paparan tentang arah-arah dan isu sentral penelitian yang perlu dilakukan dalam konteks pendidikan kimia untuk memberikan rujukan untuk memperkuat praksis pendidikan kimia di lapangan. Dengan menggunakan alur kajian sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dikemukakan bahwa cukup kuat argumen untuk menyatakan adanya kesejajaran pendidikan kimia di Indonesia dengan di negara-negara lain dari sudut tujuan dan desain. Namun, dari beraneka ragam persoalan yang terjadi di lapangan, masih diperlukan upaya perubahan dalam praksis pendidikan di sekolah agar pembelajaran kimia secara efektif mampu mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan. Dalam pada itu tulisan ini menawarkan pergeseran paradigma pembelajaran, dari mengingat ke arah berpikir/bernalar, dari penyajian seluruh materi pokok dalam kurikulum ke arah fokus pada materi sentral, dari pembelajaran berbasis konten ke arah keseimbangan konten-proses, dari dominasi teoretik ke arah aplikasi, dari pembelajaran berpusat pada guru ke arah 1

Transcript of Pendidikan Kimia

PENDIDIKAN KIMIA*)

Oleh:Harry Firman

Abstrak

Tulisan ini mengemukakan pokok-pokok pikiran tentangberbagai aspek pendidikan kimia, baik aspek teoretik,praksis, maupun aspek penelitian, dengan maksud memberikankerangka acuan bagi siapa saja yang berkepentingan untukmenganalisis, mengembangkan, dan meneliti desain danimplementasi pendidikan kimia di sekolah menengah. Paparandalam tulisan ini dimulai dengan kajian hakekat kimia danmisi universal mata pelajaran kimia, yang selanjutnyadigunakan untuk menganalisis cetak biru mata pelajaran kimiaSMA/MA di Indonesia, isu dan permasalahan implementasinya disekolah. Dengan menggunakan acuan sebuah model pembelajaranefektif dalam kimia kemudian tulisan ini mencoba menawarkanpergeseran-pergeseran paradigma pembelajaran yang perludilakukan di masa depan. Tulisan ini ditutup dengan suatupaparan tentang arah-arah dan isu sentral penelitian yangperlu dilakukan dalam konteks pendidikan kimia untukmemberikan rujukan untuk memperkuat praksis pendidikan kimiadi lapangan.

Dengan menggunakan alur kajian sebagaimana dikemukakan diatas, dapat dikemukakan bahwa cukup kuat argumen untukmenyatakan adanya kesejajaran pendidikan kimia di Indonesiadengan di negara-negara lain dari sudut tujuan dan desain.Namun, dari beraneka ragam persoalan yang terjadi dilapangan, masih diperlukan upaya perubahan dalam praksispendidikan di sekolah agar pembelajaran kimia secara efektifmampu mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan. Dalam pada itutulisan ini menawarkan pergeseran paradigma pembelajaran,dari mengingat ke arah berpikir/bernalar, dari penyajianseluruh materi pokok dalam kurikulum ke arah fokus padamateri sentral, dari pembelajaran berbasis konten ke arahkeseimbangan konten-proses, dari dominasi teoretik ke arahaplikasi, dari pembelajaran berpusat pada guru ke arah

1

pembelajaran berpusat pada peserta didik, serta daripenyajian materi pelajaran yang murni akademik ke arahketerkaitan pada isu sosial dan lingkungan.

Menyadari kesulitan yang diantisipasi untuk mengubahparadigma pembelajaran karena berbagai sebab, termasukresistensi yang ada serta kehampaan pengetahuan rujukan bagipara praktisi, tulisan ini lebih lanjut menawarkan arah danfokus penelitian stratejik yang perlu dilakukan paraprofesional dalam bidang pendidikan kimia untuk menghasilkanpengetahuan-pengetahuan praktis pembelajaran kimia di sekolahmenengah. Implementasi praksis pendidikan kimia yang berbasispengetahuan hasil penelitian, diharapkan lebih memberikanjaminan akan efektivitas program pendidikan kimia di sekolah,sehingga kita mampu mengejar capaian-capaian bangsa laindalam pendidikan kimia.

*) Tulisan in menjadi bagian dari Handbook berjudul ”Ilmu dan Aplikasi Pendidikan” terbitan Pedagogiana Press tahun 2007 (Editor: Mohamad Ali, R. Ibrahim, Nana Syaodih Sukmadinata, Djudju Sudjana & Waini Rasyidin).

2

A. Hakekat Kimia

Concise Dictionary of Science & Computers (2004)

mendefinisikan kimia sebagai cabang dari ilmu pengetahuan

alam, yang berkenaan dengan kajian-kajian tentang struktur

dan komposisi materi, perubahan yang dapat dialami materi,

dan fenomena-fenomena lain yang menyertai perubahan materi.

Keragaman jenis materi serta luasnya fenomena yang bertali

temali dengan perilaku materi menyebabkan kimiawan

mengkhususkan kajian-kajiannya pada bidang-bidang spesifik.

Hal ini kemudian menyebabkan berkembangnya percabangan dalam

disiplin ilmu kimia berdasarkan kekhususan jenis materi dan

aspek khusus sifat materi yang dikajinya, seperti misalnya

kimia organik, kimia anorganik, kimia fisik, biokimia, dan

kimia lingkungan.

Kimia bukan disiplin yang berdiri sendiri, melainkan

terkait dengan berbagai disiplin ilmu lain. Keterkaitan kimia

dengan ilmu lain terjadi karena dua sebab. Pertama, adanya

pengetahuan (konsep, hukum, dan teori) dari disiplin lain

yang diaplikasikan untuk menjelaskan fenomena kimia. Kedua,

pengetahuan kimia diterapkan dalam disiplin ilmu lain. Dalam

pada itu tidak aneh bila ditemukan kaidah matematika dan

fisika diaplikasikan dalam kimia, dan pada saat yang sama

tidaklah sulit melihat aplikasi kimia dalam biologi, geologi,

kedokteran, pertanian, dll.

Sebagai sebuah ilmu pengetahuan alam, kajian-kajian

dalam kimia bertujuan untuk memahami sifat dan perubahan

3

materi di alam. Konsep, hukum, teori dalam kimia dihasilkan

kajian-kajian tersebut. Namun, sebagai akibat dari pemahaman

manusia terhadap sifat dan perubahan materi di alam, manusia

mampu meniru alam dalam menghasilkan produk-produk alam. Hal

inilah yang kemudian melahirkan pengetahuan kimia yang dapat

diaplikasikan untuk memuat berbagai bahan-bahan sintetik,

seperti misalnya plastik dan semikonduktor. Di samping itu

dengan pemahaman terhadap sifat dan perubahan di alam,

kimiawan menjadi mampu mengendalikan proses-proses alam agar

menguntungkan dan meningkatkan manfaatnya bagi manusia.

Teknologi pencegahan korosi, pencegahan pencemaran, produksi

obat-obatan, penyediaan pasokan air minum, merupakan satu

contoh kecil dari aplikasi kimia dalam pengendalian proses

alam. Oleh karena aplikasinya yang luas itu, kimia mempunyai

nilai ekonomi yang tinggi, sebagaimana ditunjukkan oleh

luasnya pasar dari produk-produk teknologi kimia seperti

pupuk, insektisida, obat-obatan, bahan bangunan, dan produk-

produk petrokimia.

Begitu luasnya aplikasi pengetahuan kimia, menyebabkan

sisi aplikasi dari kimia nampak lebih popular di masyarakat

daripada sisi ilmu murninya. Bersamaan dengan hal itu dampak-

dampak sosial yang ditimbulkan oleh salah guna pengetahuan

dan produk kimia juga popular di masyarakat. Sebagai contoh,

pencemaran lingkungan akibat penggunaan secara berlebih

pestisida dan deterjen, salah guna bahan-bahan pengawet dan

obat-obatan, bahan peledak, dan penggunaan zat kimia beracun

sebagai senjata kimia. Potret kimia yang tampil di masyarakat

seperti itu menyebabkan kimia dipandang sebagai ilmu yang

4

berbahaya. Padahal sesungguhnya seperti halnya disiplin ilmu

lain, kimia bersifat netral, sedangkan yang menyebabkannya

beguna atau berbahaya bagi manusia dan alam adalah orang yang

menggunakannya. Kimia akan menjadi ilmu yang berguna ditangan

orang-orang yang bertanggungjawab. Sebaliknya, kimia akan

menjadi berbahaya ditangan orang yang tidak bertanggungjawab.

Kimia memiliki akar sejarah pada zaman kuno, misalnya

penemuan teknik praktis pembuatan logam dari bijih-bijihnya

di Mesir dan Babilonia pada zaman kuno dan upaya transmutasi

unsur kimia oleh tokoh-tokoh alkimia pada Abad ke 15 dan 16.

Kajian-kajian teoretik para filosof alam di Yunani juga

memberikan sumbangan cukup berarti pada perkembangan kimia.

Perkembangan kimia menjadi lebih pesat sejak alat-alat ukur

kuantitatif berhasil diciptakan, yang memungkinkan ahli kimia

dapat melakukan eksperimentasi-eksperimentasi yang terukur

secara cermat (Marks, 1985). Hukum-hukum dasar kimia, seperti

hukum kekekalan massa, hukum perbandingan tetap, hukum

kelipatan perbandingan merupakan hasil eksperimen para

kimiawan di Eropa pada abad ke-18. Interpretasi sub-

mikroskopik terhadap hukum-hukum dasar itu melahirkan Teori

Atom Dalton yang sangat monumental, karena sejak itu kajian-

kajian kimia memasuki wilayah partikel sub-mikroskopik di

samping fenomena-fenomena makroskopik yang nampak.

Perkembangan selanjutnya terjadi pada saat sistem lambang

(simbol) unsur diciptakan, yang memungkinkan kimiawan

merepresentasikan zat kimia dan perubahannya dengan notasi-

notasi yang disepakati, sehingga fenomena kimia menjadi lebih

mudah dikomunikasikan.

5

Kimiawan melakukan pengamatan terhadap aspek-aspek

makroskopik zat-zat kimia yang dikaji, merepresentasikannya

dalam ungkapan-ungkapan simbolik, serta menginterpretasikan

fenomena yang diamati tersebut dalam representasi-

representasi sub-mikroskopik. Kajian dalam kimia melibatkan

tiga dimensi penalaran, yakni dimensi makroskopik (berkaitan

dengan apa yang terobservasi), dimensi simbolik (lambang,

formula, persamaan), dan dimensi sub-mikroskopik (atom,

molekul, ion, struktur molekul) (Bucat, 1995; Johnstone,

2000). Berpikir dalam tiga dimensi tersebut merupakan

tuntutan dispilin ilmu kimia, yang membedakannya dengan

disiplin ilmu lain. Namun pada saat yang sama, pekerjaan

berpindah-pindah di antara tiga dimensi kimia ini acapkali

dipandang sebagai penyebab kimia sebagai disiplin ilmu yang

sukar dipelajari.

Dewasa ini disiplin ilmu kimia berkembang secara pesat

berkat ditemukannya pengetahuan-pengetahuan baru sebagai

hasil penelitian yang dilakukan oleh kimiawan. Penelitian

merupakan mesin perkembangan kimia. Dalam melakukan

penelitian para ahli kimia menggunakan “metode ilmiah”

(scientific method) sebagai pendekatan dalam memecahkan masalah,

yang secara umum mencakup komponen-komponen observasi,

hipotesis, eksperimen, dan teori (Hill & Kolb, 2001;

Silberberg, 2003). Observasi terhadap fenomena alam merupakan

landasan untuk berpikir secara ilmiah. Informasi yang

diperoleh dalam observasi dinamakan data, dan jika data

tersebut terobservasi berulang-ulang melahirkan fakta. Fakta-

fakta ilmiah dirangkum dalam pernyataan singkat yang

6

dinamakan sebagai hukum ilmiah (scientific law), yang seringkali

diungkapkan sebagai formula matematis. Hukum kekekalan massa

yang ditemukan Lavoisier pada tahun 1789 merupakan salah satu

contoh hukum ilmiah (Marks, 1985).

Selanjutnya, gagasan-gagasan perlu dikemukakan untuk

menerangkan (memberikan eksplanasi) terhadap fakta-fakta

observasi tadi. Gagasan yang diusulkan untuk menerangkan

fakta dinamakan hipotesis. Hipotesis selanjutnya mengarahkan

eksperimen untuk menguji kebenarannya. Pada sebuah eksperimen

dilakukan pengukuran efek satu variable terhadap satu

variable lain, seraya variable-variabel selain variable

eksperimen yang mungkin berpengaruh dikendalikan (dibuat

konstan). Agar hasil eksperimen dapat diterima, ekperimen

tersebut harus dapat diulang (reproducible), bukan hanya oleh

perancang ekseprimen itu melainkan juga orang lain. Hasil

eksperimen mengarahkan apakah suatu hipotesis dapat diterima

atau ditolak. Hipotesis yang teruji kebenarannya melalui

eksperimen-eksperimen kemudian dinamakan teori, yang menjadi

karangka acuan dalam menerangkan fakta-fakta. Salah satu

sifat teori yang penting adalah tentatif, sebab di kemudian

hari dapat saja dimodifikasi jika terdapat fakta-fakta lain

yang tak dapat dapat diterangkan dengan teori itu, bahkan

ditolak bila banyak fakta yang bertolak belakang dengan teori

itu. Teori dalam kimia bersifat abstrak, oleh karenanya

seringkali divisualiasikan dalam bentuk model-model. Sebagai

contoh, teori kinetik molekul gas acapkali divisualisasikan

dengan mengunakan bola-bola yang senantiasa bergerak sebagai

model, dan gerakan bola-bola tersebut bertambah cepat jika

7

terjadi kenaikan temperatur gas. Contoh lain, pembentukan

pasangan elektron yang diperserokan digunakan untuk

memvisualisasikan bagaimana atom satu berikatan dengan atom-

atom lain dalam membentuk molekul.

Konten kimia yang berupa konsep, hukum, teori, pada

dasarnya merupakan produk dari rangkaian proses ilmiah yang

dikeumukakan di atas. Oleh karena itu kimia dan juga disiplin

lain dalam ilmu pengetahuan alam seringkali dipandang terdiri

atas dua elemen dasar, yakni produk dan proses. Aspek produk

dari kimia lebih tampak daripada aspek prosesnya, karena

publikasi kimia lebih mengutamakan aspek-aspek produknya.

Namun, kedua aspek kimia ini perlu dipandang sama pentignya,

sebab tidak ada pengetahuan kimia tanpa proses ilmiah yang

dilakukan kimiawan.

B. Misi Universal Mata Pelajaran Kimia

Sekalipun jauh sebelumnya telah diajarkan di perguruan

tinggi, namun baru pada akhir abad ke-19 kimia berhasil masuk

ke dalam kurikulum sekolah menengah atas di Eropa sebagai

sebuah mata pelajaran yang berdiri sendiri, dan tujuan

utamanya mempersiapkan siswa belajar kimia di perguruan

tinggi (Vossen, 1986). Tradisi ini kemudian menyebar ke

seluruh negara, sehingga pada saat ini dapat kita lihat kimia

menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri pada jenjang

pendidikan menengah atas. Perlombaan iptek antara Amerika

Serikat dan Uni Sovyet pada era perang dingin tahun 1960-an

telah mendorong lahirnya proyek-proyek pengembangan kurikulum

8

mata pelajaran ilmu pengetahuan alam, termasuk kimia di

Amerika Serikat dan Inggris. Beberapa proyek pengembangan

kurikulum dalam bidang kimia yang produknya mempengaruhi

dunia, termasuk Indonesia, antara lain Chemical Bond Approach

(Benfey et al., 1964), Chemistry – An Experimental Science

yang dikenal sebagai CHEM Study di Amerika Serikat (Pimentel,

1963), dan Nuffield Chemistry di Inggris, yang sifatnya lebih

akademik-teoretik, meliput spektrum yang sangat luas konsep-

konsep kimia teoretik. GBPP mata pelajaran kimia Kurikukum

1975 di Indonesia secara jelas mengadopsi CHEM Study.

Sekalipun materi kimia secara berkelanjutan mengalami reduksi

seiring dengan penyempurnaan kurikulum SMA di Indonesia,

kurikulum 1984 kemudian 1994 dan terakhir KBK, namun warna

CHEM Study masih mendominasi konten dan sistematika kurikulum

yang berlaku di Indonesia.

Seiring dengan semakin memasyarakatnya proses dan produk

kimia, fungsi mata pelajaran kimia berkembang lebih lanjut,

bukan hanya sebagai persiapan belajar di perguruan tinggi,

melainkan juga sebagai pengembangan literasi kimia. Akibatnya

terjadi pergeseran besar dalam mata pelajaran kimia ke arah

pemahaman dan aplikasi konsep, prinsip, dan proses kimia yang

terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dunia industri (Chia,

1997). Dalam perkembangan berikutnya, oleh karena beberapa

pengetahuan dasar kimia dipandang perlu dimiliki anak pada

saat menyelesaikan wajib belajar (umumnya 9 tahun), maka

sejumlah materi kimia dijadikan bagian integral dari isi mata

pelajaran ilmu pengetahuan alam pada kurikulum jenjang

9

pendidikan dasar, khususnya mata pelajaran Ilmu Pengetahuan

Alam (IPA) di sekolah menengah pertama (IEA, 1996).

Dijadikannya mata pelajaran kimia sebagai bagian dari

kurikulum pendidikan menengah, menunjukkan bahwa kimia

mempunyai nilai pendidikan (educational values) di samping

aplikasinya menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia.

Seringkali keberadaan kimia dalam kurikulum sekolah karena

ilmu tersebut dipandang menjadi fundasi untuk mempelajari

berbagai bidang ilmu dan teknologi di perguruan tinggi.

Pandangan ini yang melandasi pemikiran pengembang kurikulum

dan pengajar kimia untuk merancang materi pelajaran sangat

akademik-teoritik serta bercakupan luas karena harus meliput

semua pengetahuan dasar kimia.

Sesungguhnya keberadaan kimia dalam kurikulum sekolah

menengah bukan bertumpu pada alasan itu saja, sebab kalau

dilihat persentase lulusan SMA yang melanjutkan studi relatif

sangat kecil dibandingkan dengan populasi lulusan SMA itu

sendiri. Kalau dilihat dari sudut itu saja, pelajaran kimia

akan menjadi mubadzir bagi sebagian besar peserta didik.

Keberadaan kimia dalam kurikulum SMA, kecuali dipandang

sebagai ilmu dasar, juga dapat dijadikan “kendaraan” untuk

mengembangkan kecerdasan siswa, antara lain kemampuan

bernalar dan memecahkan permasalahan secara ilmiah. Selain

itu, kimia pun diyakini mampu membentuk watak manusia

sebagaimana ditunjukkan oleh watak kimiawan pada umumnya,

seperti kesabaran, ketekunan, kecermatan, ketelitian, dan

daya analisis yang kuat.

10

Alasan lain adalah realita bahwa manusia berada di

lingkungan kimia, dalam arti bahan kimia dan peristiwa kimia

ada di lingkungan kita, baik lingkungan alami maupun rekayasa

manusia (human-made), sehingga pemahaman terhadap fenomena-

fenomena itu akan menghindari manusia dari keterasingannya

terhadap lingkungan, serta dapat berbuat sesuatu terhadap

lingkungan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang lebih

bermanfaat baginya.

Seiring dengan pandangan di atas, sejak awal diajarkan

kepada peserta didik sekolah menengah hingga saat ini,

sekalipun isinya terkontekstualisasi pada situasi lokal dari

tempat ke tempat lainnya serta mengalami pemutakhiran sesuai

perkembangan, mata pelajaran kimia terorientasi pada misi

utama sebagai berikut (Noh, T. et al., 1997; Ling, 1997;

Tongwen, H. et al., 1997).

1. Pengembangan kenetraan (literasi) kimia, dalam arti

penumbuhan pemahaman terhadap pengetahuan (konsep, hukum,

teori, prosedur) dasar kimia yang dapat digunakan semua

orang untuk memahami fenomena kimia yang ada di

sekitarnya.

2. Memperkenalkan kimia kepada siswa sekolah menengah agar

mereka memiliki fundasi yang memadai dan tertarik untuk

mempelajari kimia atau disiplin lain yang terkait di

perguruan tinggi.

3. Pengembangan kemampuan berpikir ilmiah, dalam pengertian

penumbuhan kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan

cara berpikir dalam kimia, yang mengandalkan observasi,

analisis, dan eksperimentasi. Menjadi keunikan kimia untuk

11

berpikir dengan model, yakni menggunakan representasi

molekuler untuk menjelaskan fenomena makroskopis yang

diamati.

4. Penumbuhan kesadaran tanggungjawab moral berkenaan dengan

penggunaan proses dan produk kimia. Adalah realita jika

kimia di samping bermanfaat untuk manusia juga dapat pula

menimbulkan malapetaka akibat salah guna kimia. Oleh

karenanya mata pelajaran kimia dimuatani misi penumbuhan

kesadaran tanggungjawab moral peserta didik untuk mencegah

dampak sosial dan lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh

salah guna kimia.

C. Cetak Biru Mata Pelajaran Kimia di SMA/MA di Indonesia

Cetak biru pendidikan kimia jenjang pendidikan menengah

di Indonesia sejak tahun 2006 dapat dirunut dari standar-

standar nasional pendidikan, khususnya dokumen Standar

Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) Mata Pelajaran

Kimia (BNSP, 2006). Sekalipun kurikulum dikembangkan di

sekolah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun

2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dalam wujud

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), acuan utama dalam

pengembangannya adalah standar-standar nasional tersebut.

Dalam kaitan dengan pengembangan silabus mata pelajaran kimia

sebagai rencana pembelajaran, sekolah perlu merujuk pada SKL

dan SI Mata Pelajaran Kimia, dengan memperhatikan

karakteristik dan kebutuhan peserta didik, di samping potensi

dan kebutuhan lokal.

12

Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Kimia SMA/MA

(BSNP, 2006) memuat lima butir rumusan kompetensi lulusan

berikut ini.

1. Melakukan percobaan, antara lain merumuskan masalah,

mengajukan dan menguji hipotesis, menentukan variabel,

merancang dan merakit instrumen, mengumpulkan, mengilah

dan menafsirkan data, menarik kesimpulan, serta

mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan

tertulis;

2. Memahami hukum dasar dan penerapannya, cara perhitungan

dan pengukuran, fenomena reaksi kimia yang terkait dengan

kinetika, keseimbangan, kekekalan massa dan kekekalan

energi;

3. Memahami sifat berbagai larutan asam-basa, larutan koloid,

larutan elektrolit dan non-elektrolit, termasuk cara

pengukuran dan kegunaannya;

4. Memahami konsep reaksi oksidasi-reduksi dan elektrokimia

serta penerapannya dalam fenomena pembentukan energi

listrik, korosi logam, dan elektrolisis;

5. Memahami struktur molekul dan reaksi senyawa organik yang

meliputi benzena dan turunannya, lemak, karbohidrat,

protein, dan polimer serta kegunaanya dalam kehidupan

sehari-hari.

Nampak bahwa SKL Mata Pelajaran Kimia di SMA/MA menuntut

lulusan SMA (program IPA) untuk memiliki dua elemen

kompetensi yang esensial, yakni: (1) Menguasai sejumlah

pengetahuan dasar kimia yang esensial serta aplikasinya dalam

13

menafsirkan sifat materi di alam dan proses industri; serta

(2) Memiliki kecakapan dasar melakukan penyelidikan ilmiah

dalam bidang kimia. Elemen pertama pertama menjamin kenetraan

kimia peserta didik dan kesiapan peserta didik untuk

mempelajari kimia dan disiplin ilmu terkait kimia di

perguruan tinggi. Sementara itu elemen kedua berguna untuk

semua peserta didik tetapi tanpa kecuali, baik yang akan

melanjutkan pendidikan dalam bidang kimia di perguran tinggi,

maupun yang akan terjun ke masyarakat, sebab elemen

kompetensi ini “tranferrable”. Pada dasarnya kemampuan untuk

melakukan kerja ilmiah (penyelidikan ilmiah) dan nilai-nilai

personal terkait yang dikembangkan melalui pendidikan kimia

dapat diaplikasikan ketika peserta didik memecahkan masalah

dalam berbagai konteks permasalahan, termasuk masalah yang

dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk mengarahkan agar pembelajaran kimia di SMA/MA mampu

mengembangkan kompetensi sebagaimana tertera pada SKL mata

pelajaran kimia, dikembangkan Standar Isi (SI) Mata Pelajaran

Kimia di SMA/MA yang memuat informasi penting untuk

operasionalisasinya, yakni tujuan mata pelajaran, standar

kompetensi (SK), serta kompetensi dasar (KD). Dalam SI Mata

Pelajaran Kimia dinyatakan bahwa tujuan mata pelajaran kimia

di SMA/MA adalah agar peserta didik memiliki kemampuan-

kemampuan sebagai berikut.

1. Membentuk sikap positif terhadap kimia dengan menyadari

keteraturan dan keindahan alam serta mangagungkan

kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.

14

2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet,

kritis, dan dapat bekerjasama dengan orang lain.

3. Memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah

melalui percobaan atau eksperimen, dimana peserta didik

melakukan pengujian hipotesis dengan merancang percobaan

melalui pemasangan instrumen, pengambilan, pengolahan dan

penafsiran data, serta menyampaikan hasil percobaan secara

lisan dan tertulis.

4. Meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat

bermanfaat dan juga merugikan bagi individu, masyarakat,

dan lingkungan serta menyadari pentingya mengelola dan

melestarikan lingkungan demi kesejahteraan manusia.

5. Memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta

saling keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan

masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi.

Secara jelas tujuan pendidikan kimia di Indonesia bukan

hanya terfokus pada penanaman pengetahuan kimia, sebagaimana

masih banyak dipahami oleh banyak praktisi pendidikan kimia

saat ini, melainkan jauh lebih luas dari itu. Pendidikan

kimia bertujuan pula mengembangkan kemampuan memecahkan

masalah dengan metode ilmiah, menumbuhkan sikap ilmiah,

membentuk sikap positif terhadap kimia, serta memahami dampak

lingkungan dan sosial dari aplikasi kimia. Keseluruhan tujuan

pendidikan kimia perlu menjadi arah implementasi pendidikan

kimia di sekolah.

SKL mata pelajaran kimia SMA/MA menjadi target pencapaian

proses pendidikan kimia selama tiga tahun. Dari keseluruhan

15

SKL tersebut dialokasikan secara sistematis standar-standar

kompetensi (SK) yang pencapaiannya menjadi target-target

program pendidikan kimia pada kelas X, XI, dan XII. Rumusan-

rumusan SK mata pelajaran kimia pada masing-masing tingkatan

kelas tercantum pada Kotak 1. Sistematisasi standar-standar

kompetensi dilakukan oleh pengembang kurikulum dengan

memperhatikan ketepatan materi dengan misi pendidikan dan

struktur pengetahuan kimia dan. Oleh karena kelas X merupakan

program bersama, maka materi pembelajaran yang dipilih

merupakan pengetahuan yang menunjang literasi kimia peserta

didik, sedangkan materi pelajaran di kelas XI dan XII telah

menjurus ke arah keperluan peserta didik yang memilih program

IPA. Disiplin ilmu kimia tersusun dalam banyak hal

terstruktur, sehingga penyajian suatu materi pokok akan

efektif bila materi pokok penunjangnya telah dikuasai. Dengan

memperhatikan azas-azas penataan materi pelajaran seperti itu

maka dapat dijumpai sifat spiral atau heliks dari kurikulum,

dalam arti pengetahuan fundamental sebagai materi pelajaran

kelas X dan pendalaman materi pokok yang tersebut di kelas XI

dan XII. Sebagai contoh, struktur atom dalam perspektif teori

Bohr menjadi materi pokok di kelas X, sedangkan struktur atom

dalam perspektif mekanika kuantum menjadi materi pokok di

kelas XI. Selain itu, dapat dijumpai pula penempatan materi

pokok yang diperlukan oleh semua peserta didik di kelas X,

sementara materi pokok yang lebih relevan untuk peserta didik

yang mengambil program pilihan IPA diposisikan sebagai materi

pelajaran di kelas XI dan XII. Dokumen Standar Isi memuat

pula sejumlah kompetensi dasar (KD) sebagai jabaran dari

16

masing-masing standar kompetensi tersebut, baik dari aspek

spesifikasi materi pelajaran maupun kemampuan yang

ditargetkan. Rumusan kompetensi-kompetensi dasar dapat

dilihat pada dokumen SI mata pelajaran kimia di SMA/MA.

17

Kotak 1: Standar-Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia diSMA/MA

Kelas X:1. Memahami struktur atom, sifat-sifat periodik

unsur, dan ikatan kimia.2. Memahami hukum-hukum dasar kimia dan penerapannya

dalam perhitungan kimia.3. Memahami sifat-sifat larutan elektrolit dan non-

elektrolit, serta reaksi oksidasi-reduksi.4. Memahami sifat-sifat senyawa organik atas dasar

gugus fungsi dan senyawa makromolekul.

Kelas XI:1. Memahami struktur atom untui meramalkan sifat-

sifat periodik unsur, struktur molekul, dan sifat-sifat senyawa.

2. Memahami perubahan energi dan reaksi kimia dan cara pengukurannya.

3. Memahami kinetika reaksi, keseimbangan kimia, dan fator-faktor yang mempengaruhinya, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dan industri.

4. Memahami sifat-sifat larutan asam-basa, metode pengukuran, dan terapannya.

5. Menjelaskan sistem dan sifat koloid serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kelas XII:1. Menjelaskan sifat-sifat koligatif larutan non-

elektrolit dan elektrolit.2. Menerapkan konsep reaksi oksidasi-reduksi dan

elektrokimia dalam teknologi dan kehidupan sehari-hari.

3. Memahami karakteristik unsur-unsur penting, kegunaan dan bahayanya, serta terdapatnya di alam.

4. Memahami senyawa organik dan reaksinya, benzena dan turunannya, dan makromolekul.

18

D. Beberapa Isu-Isu dalam Pembelajaran kimia

Pekerjaan mengajar kimia penuh dengan tantangan.

Tantangan tersebut lahir sebagai akibat dari berbagai

perkembangan zaman yang sangat dinamis. Munculnya pemikiran-

pemikiran baru terhadap konsep-konsep dasar kimia, meluasnya

produk aplikasi kimia di masyarakat, berkembangnya teori-

teori pembelajaran, tuntutan masyarakat (orang tua, perguruan

tinggi, pemerintah, dll.) menjadikan kita perlu secara

berkesinambungan mengkaji ulang tentang “keyakinan” (belief),

pemahaman, sudut pandang, serta tradisi kita dalam

menjalankan tugas profesi guru kimia.

Salah satu masalah yang dihadapi sementara pengajar kimia

di SMA/MA adalah perolehan hasil belajar peserta didik yang

kurang memuaskan sekalipun pendidik telah berusaha secara

maksimum untuk mengajar dengan baik. Sesungguhnya masalah

seperti ini bukan hanya ada dalam pengajaran kimia saja

melainkan juga pengajaran mata pelajaran IPA lainnya, bukan

pula dialami bangsa kita saja melainkan juga hempir semua

bangsa, dan sama sekali tidak mencuat pada saat sekarang saja

melainkan juga sejak waktu lampau. Fenomena itu menjadi

petunjuk akan tingginya kompleksitas persoalan pembelajaran

pada umumnya dan pembelajaran kimia pada khususnya. Di

samping itu harus diakui bahwa ilmu pendidikan kimia belum

sampai pada taraf yang cukup matang untuk dapat berperan

sebagai “pemandu” bagi para pendidik dalam mengajarkan kimia.

19

Masih diperlukan pengkajian, penelitian, dan pemikiran yang

melibatkan para praktisi (guru kimia), pakar ilmu pendidikan

kimia, dan pakar ilmu kimia secara bersama-sama dalam

mengembangkan alternatif-alternatif pendekatan dan strategi

yang efektif dalam mengajarkan kimia. Langkah penting yang

perlu kita lakukan adalah memahami peta tali temali

permasalahan tersebut, sehingga analisis secara komprehensif

dapat kita lakukan, bahkan mungkin titik-titik cerah untuk

memecahkannya secara bertahap dapat kita antisipasi.

Dewasa ini terdapat banyak kritik terhadap proses dan

hasil pembelajaran kimia di sekolah menengah atas (termasuk

madrasah aliyah). Sejumlah kritik terarah pada kegiatan

belajar mengajar yang sangat berpusat pada guru (teacher

centered) sehingga pembelajaran nampak sebagai ceramah, yang

di dalamnya pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, hukum,

teori, dan prosedur) kimia ditransmisikan dari guru tanpa

menstimulasi peserta didik untuk “berpikir/bernalar”.

Sementara itu karakter kimia sebagai “experimental science”

tidak tampak dalam kegiatan belajar-mengajar kimia, sebab

pada umumnya sangat jarang peserta didik distimulasi untuk

melakukan observasi terhadap fenomena kimia, serta

menginterpretasikan fenomena tersebut dengan menggunakan

pengetahuan teoretiknya, apalagi merancang kegiatan

eksperimen untuk memecahkan suatu permasalahan. Kritik lain

terarah pada materi pelajaran yang di samping “sarat”, juga

sangat bersifat teoretik-akademik, tanpa menyinggung

aplikasinya untuk memahami peristiwa alam di sekitarnya atau

produk-produk teknologi yang hadir dalam kehidupan sehari-

20

harinya. Kesan yang diperoleh sebagian besar peserta didik

adalah mata pelajaran kimia steril dari kehidupannya sehari-

hari.

Terdapat berbagai justifikasi klasik bagi fenomena

pembelajaran kimia seperti yang dipaparkan di muka, antara

lain “kurikulum yang sarat materi”, miskinnya fasilitas

laboratorium, dan kalaupun ada fasilitas laboratorium, namun

tidak ada tenaga laboran, Ujian Sekolah dan SPMB yang lebih

banyak menuntut kompetensi menyelesaian soal-soal yang

bersifat numerik serta menekankan elemen-elemen teoretik.

Persoalan-persoalan tadi membuat kita terperangkap di dalam

suatu lingkaran setan yang tidak diketahui bagaimana memulai

era baru pembelajaran kimia, yaitu era dimana pembelajaran

tidak lagi dipenuhi dengan transmisikan pengetahuan teoretik

kimia tanpa mengembangkan “kecerdasasan siswa” sebagaimana

yang menjadi salah satu misi utama pendidikan.

Sesungguhnya, pakar dan praktisi pendidikan kimia sangat

berpengetahuan dalam soal “kondisi ideal” pembelajaran kimia.

Namun, yang acapkali membelenggu kita sehingga tidak cukup

kuat tekad dan upaya kita untuk melakukan tindakan nyata

mewujudkannya, adalah pengetahuan tadi belum mampu menjadi

bagian dari keyakinan (belief) kita. Oleh karenanya pengkajian-

pengkajian tentang hakekat pembelajaran kimia masih sangat

diperlukan untuk menguatkan keyakinan dalam diri kita bahwa

membelajarkan peserta didik dalam mata pelajaran kimia secara

aktif dan menstimulasi kemampuan observasi, bernalar serta

kreativitas, sebagaimana menjadi misi utama pendidikan untuk

mencerdaskan generasi muda.

21

E. Model Pembelajaran Efektif untuk Mata Pelajaran Kimia

Hingga saat ini belum ada teori yang secara komprehensif

dapat menjelaskan keberhasilan mengajar kimia. Namun demikian

penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjuk adanya

sejumlah faktor yang berpengaruh pada keberhasilan belajar

peserta didik, baik yang terkait pada individu peserta didik,

guru, lingkungan, serta proses pembelajaran (Cruickshank,

1990). Seberapa jauh masing-masing faktor berkontribusi pada

keberhasilan peserta didik belajar belum diketahui secara

pasti. Penelitian-penelitian yang dilakukan masih terlalu

sedikit sehingga hasilnya belum konklusif. Di samping itu

pengaruh faktor-faktor tadi tidak linear, terkait satu sama

lain, sehingga sulit untuk memprediksi faktor-faktor mana

yang secara umum lebih dominan, dan kekuatan pengaruh faktor-

faktor tersebut tampak unik untuk setiap individu peserta

didik.

Keberhasilan belajar peserta didik bertalian dengan

efektivitas pembelajaran. Pembelajaran yang efektif adalah

pembelajaran yang di dalamnya pendidik secara optimum

berperan sebagai fasilitator belajar yang menyediakan

kondisi-kondisi fisik dan psikologis yang memungkinkan

peserta didik meraih kompetensi-kompetensi yang ditargetkan

dalam kurikulum. Proses pembelajaran dapat ditingkatkan

efektivitasnya melalui upaya kerjasama sinergis guru dan

peserta didik dalam proses pembelajaran (Firman, 1999),

sebagaimana diperlihatkan dalam sebuah model yang tertera

pada Kotak 2.

22

Kotak 2: Model Sinergi Pendidik - Peserta Didik Dalam

Pembelajaran

Pada model tersebut pembelajaran yang efektif digambarkan

dalam perspektif kerjasama pendidik dan peserta didik. Dalam

interaksi pembelajaran, pendidik berperan untuk menata

organisasi dan sistematika penyajian materi pelajaran dan

kegiatan belajar siswa agar mampu menstimulasi motivasi dan

minat belajar, serta mentransformasikan pengetahuan agar

mudah tertangkap siswa. Sementara itu peserta didik

berkewajiban untuk secara antusias dan responsif terlibat

dalam proses pembelajaran, serta secara mandiri berupaya

untuk melakukan internalisasi terhadap materi pelajaran yang

baru dipahaminya.

23

MENGAJAR BELAJAR

Pengetahuan Ilmiah

Pengetahuan yang tercerna

Peserta

didik

Guru Menciptakan kondisi psikologis

yang kondusif untuk belajar

Transformasi Pengetahuan

OrganisasiSistematikaC o n t o hIlustrasiAnalogi

Strategi/taktik belajarKapasitas belajarM i n a t

M o t i v a s i

Fasilitator Belajar

Dari sudut peserta didik, pembelajaran yang efektif

menuntut motivasi belajar yang tinggi, strategi belajar

mandiri yang tepat, serta upaya belajar yang maksimum. Namun

demikian motivasi dan upaya belajar peserta didik tidak

tumbuh dengan sendirinya, melainkan terkait pada stimulasi

yang diberikan pendidik. Motivasi dan upaya belajar siswa

akan terstimulasi oleh adanya perhatian (atensi) guru

terhadap setiap individu peserta didik, keatraktifan kegiatan

pembelajaran, keterlibatan peserta didik secara aktif,

pembelajaran memenuhi keingintahuan dan dorongan untuk

aktualisasi diri, adanya penguatan (reinforcement) terhadap

perilaku positif dan hukuman yang edukatif terhadap perilaku

negatif. Proses belajar difasilitasi juga oleh adanya minat

belajar peserta didik. Minat belajar dapat dibangkitkan

melalui upaya guru untuk menggunakan variasi dalam metode

(mengatakan, menunjukkan, bertanya), variasi dalam kegiatan

(mendengarkan, mengatakan, menghitung, berdiskusi,

mengamati), variasi dalam penggunaan media dan “teaching

materials” (OHP, model, lembar kerja).

Ketercernaan (accessibility) pengetahuan yang diajarkan

menjadi unsur penting dalam upaya memfasiltasi belajar.

Ketika seorang guru mengajar ia perlu mentransformasikan

pengetahuan yang menjadi materi pelajaran ke dalam bentuk

tertentu yang mudah dimengerti sehingga tercerna.

Transformasi dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara

lain menstrukturisasi materi pembelajaran secara baik,

memperbanyak ilustrasi visual, contoh-contoh aplikasi

pengetahuan kimia, dan strategi-strategi lainnya yang

24

menjadikan pengetahuan kimia yang diajarkan mudah

terkonstruksi dalam pikiran peserta didik.

Ada lima prasyarat yang perlu dipenuhi oleh suatu

pembelajaran kimia, agar pembelajarn kimia itu menarik, mudah

dicerna, serta bermanfaat bagi siswa. Masing-masing adalah

sebagai berikut.

1) Pembelajaran kimia harus mampu mengembangkan pemahaman peserta

didik yang kuat terhadap pengetahuan dasar kimia.

Pemahaman terhadap pengetahuan kimia (fakta, konsep,

hukum, teori, dan prosedur) merupakan fundasi untuk memahami

gejala alam dan mempelajari pengetahuan kimia yang lebih

“advance” di perguruan tinggi, apabila peserta didik

melanjutkan studi dalam bidang kimia atau bidang lain

berbasis kimia. Persoalan besar yang menyebabkan kimia sulit

dipelajari adalah: (1) Karakter pengetahuannya yang “abstrak”

(karena membicarakan entitas yang miroskopis, seperti atom,

molekul, ikatan, dan struktur); (2) Berbicara dengan simbol-

simbol (persamaan reaksi, notasi-notasi, formula); serta (3)

Senantiasa meminta poeserta didik untuk melakukan perpindahan

domain berpikir, dari pengamatan terhadap fenomena

makroskopis (perubahan-perubahan yang teramati), tetapi

menafsirkan fenomena-fenomena makroskopis tersebut dengan

teori-teori yang abstrak (sub-mikroskopis), dan

merepresentasikan fenomena itu secara simbolik.

Dalam kaitan ini upaya-upaya guru untuk memvisualisasikan

penjelasan teoritik terhadap perubahan kimia akan

25

mengkongkritkan fenomena yang dipelajari, sehingga lebih

“masuk akal” peserta didik, akan sangat memfasilitasi mereka

belajar. Pada dasarnya seorang guru tidak dapat mentransfer

pengetahuannya ke pada peserta didik dengan harapan mereka

dapat menyerap pengetahuan tersebut. Yang guru dapat lakukan

adalah memfasilitasi peserta didik belajar dengan memberikan

kondisi-kondisi yang memudahkan siswa mengkonstruksi

pengetahuan dalam pikirannya. Untuk memfasilitasi peserta

didik belajar kimia, guru perlu memperlihatkan peristiwa

kimia secara nyata (melalui demonstrasi atau kegiatan lab),

mengajak peserta didik menginterpretasikan peristiwa yang

teramatinya dengan konsep/teori, serta mengajak mereka

menuliskannya dalam bentuk persamaan reaksi (simbol).

2) Pembelajaran kimia harus mampu mengembangkan kemampuan peserta

didik melakukan penyelidikan dan memecahkan masalah.

Kalau pembelajaran kimia berhasil mengembangkan kepekaan

peserta didik terhadap masalah yang hadir si lingkungannya,

merancang cara melakukan penyelidikan untuk mencari jawaban

atas permasalah tersebut dengan berpikir kritis tentang

masalah yang terkait pada kimia, artinya mata pelajaran kimia

telah berhasil turut “mencerdaskan” peserta didik. Kita

tidak dapat mengatakan bahwa seorang peserta didik itu pintar

atau cerdas apabila ia hanya mampu mengingat fakta, konsep,

hukum, teori kimia tanpa memahami arti fisisnya serta

mengerti kaitan pengetahuan itu satu sama lain. Dengan bekal

kemampuan menyelidik dan memecahkan masalah yang

26

ditumbuhkembangkan dalam pembelajaran kimia, peserta didik

dapat “mentransfernya” ke dalam masalah-masalah di luar

kimia, termasuk masalah di masyarakat. Di sinilah letak

kepentingan memberikan latihan memecahkan masalah kepada

peserta didik dalam pembelajaran kimia. Namun, yang

dimaksudkan dengan latihan di sini bukanlah “drill”,

melainkan mengembangkan kemampuan peserta didik menyusun

strategi memecahkan masalah, melakukan penyelidikan secara

ilmiah serta mencari hubungan serta kaitan-kaitan antar

fenomena. Seringkali guru mendemonstrasikan pemecahan masalah

melalui pemberian contoh-contoh pemecahan soal tanpa

menjelaskan mengapa dirinya menggunakan jalan (pathway)

pemecahan masalah seperti itu. Akibatnya, sering terjadi

ketika guru memberikan contoh pemecahan masalah nampak

peserta didik mengerti, namun ketika ke hadapan mereka diberi

masalah sejenis namun konteksnya dibuat sedikit berlainan

(modifikasi atau variasi), serta-merta peserta didik menjadi

kembali tidak mampu memecahkan masalah yang diberikan. Yang

perlu ditumbuhkan dalam pembelajaran adalah kemampuan

menyusun strategi untuk memecahkan masalah, bukan sekedar

meniru solusi-solusi yang diperlihatkan guru.

3) Pembelajaran kimia harus mampu memperluas wawasan peserta didik

mengenai dampak sosial dan lingkungan yang terkait pada penerapan atau

penggunaan proses dan produk kimia di masyarakat.

Tidak ada artinya pengetahuan seseorang apabila tidak

dapat diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari di masyarakat.

27

Dalam kaitannya dengan kimia, dewasa ini kehidupan sehari-

hari (daily life) peserta didik dipenuhi dengan pemanfaatan

proses dan bahan-bahan kimia (pembersih, obat-obatan,

pembasmi hama, dan sebagainya), yang apabila digunakan secara

berlebihan (tanpa kendali) akan merusak tubuh pengguna dan

pencemaran lingkungan. Pembelajaran kimia perlu menyentuh

dampak-dampak sosial dan lingkungan dari bahan kimia, di

samping manfaat-manfaat yang diberikannya, agar peserta didik

kelak mampu menjadi manusia dewasa yang penuh kearifan dalam

memperlakukan bahan kimia.

4) Pembelajaran kimia harus mampu memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis

peserta didik.

Minat dan keantusiasan peserta didik terhadap mata

pelajaran kimia akan timbul jika pembelajaran kimia mampu

memenuhi kebutuhan (needs) pribadi peserta didik. Motivasi

belajar akan tumbuh apabila proses pembelajaran kimia mampu

memenuhi dorongan fisik dan psikologis peserta didik. Pada

dasarnya peserta didik di SMA/MA mempunyai kebutuhan akan

“keaktifan” alih-alih “pasif”. Agar disenangi peserta didik,

pembelajaran kimia perlu “mengaktifkan” mereka, baik secara

fisik (kegiatan lab yang menggunakan keterampilan motorik),

maupun secara psikologis (berpikir, menghadapi tantangan &

pertanyaan). Di samping itu peserta didik, yang juga

merupakan mahluk sosial, mempunyai dorongan untuk

berinteraksi dengan teman sejawat (peer) mereka, sehingga

kegiatan-kegiatan pembelajaran dalam kelompok

28

(cooperative/collaborative learning) akan menumbuhkan kesenangan

belajar kimia.

5) Pembelajaran kimia harus mampu mencerahkan peserta didik tentang karir

masa depan yang terkait kimia.

Peserta didik di SMA/MA berada di persimpangan jalan untuk

memilih karir masa depannya. Seringkali pendidikan tidak

memberikan kejelasan bagi peserta didik tentang hal-ihwal

mengenai profesi-profesi yang dapat dimasukinya ke depan.

Dalam kaitan itu pembelajaran kimia perlu juga menyentuh

bidang-bidang profesi yang dapat dimasuki dengan bekal

pengetahuan kimia, seperti kimia, pertanian, farmasi,

teknologi makanan, teknologi material, bioteknologi,

metalurgi, teknologi kimia industri, dll. Peserta didik perlu

memperoleh pencerahan tentang apa yang dikerjakan para

profesional dalam tiap-tiap bidang masing-masing, serta

dimana peranan pengetahuan dasar kimia dalam membentuk

profesionalitas para ahli tersebut. Pembelajaran kimia yang

berhasil mencerahkan karir masa depan akan dapat mendorong

motivasi belajar peserta didik dalam mata pelajaran kimia.

F. Pergeseran Paradigma Pembelajaran

Apa yang harus kita lakukan prakteknya di dalam kelas

untuk menciptakan pembelajaran kimia yang efektif sebagaimana

dipaparkan pada butir E di atas? Tentu perlu upaya pengubahan

pola pembelajaran kimia di kelas kita, dan paparan pada butir

E diharapkan menimbulkan inspirasi bagi guru untuk merancang

29

pembelajaran yang akan dilakukan. Namun demikian tentu

perubahan yang drastis umumnya sangat sulit dilakukan.

Kebiasaan-kebiasaan kita yang telah mentradisi serta

keyakinan-keyakinan yang telah matap dalam benak kita,

menghambat fleksibilitas dan daya inovasi kita. Transisi

dari tradisi lama ke tradisi baru meminta waktu, karena

memang diperlukan waktu untuk terbentuknya pemahaman baru dan

keyakinan baru. Sedikit demi sedikit diharapkan terjadi

pergeseran (shifting) dari paradigma pembelajaran lama ke

paradigma pembelajaran baru (Firman, 2000), sebagaimana

dipaparkan lebih jauh di bawah ini.

1) Pergeseran dari mengingat ke arah berpikir/bernalar

Memori kerja (working memory) otak siswa sangat terbatas.

Di samping itu potongan-potongan pengetahuan yang terlepas-

lepas dan tidak dipahami makna fisiknya sulit untuk diakses

kembali. Oleh karenanya menyuruh peserta didik mengingat

banyak hal adalah sia-sia saja, karena mereka tidak dapat

menggunakannya. Beberapa potongan pengetahuan memang setelah

dipahami maknanya ada yang perlu diingat, tetapi hal seperti

itu tidak banyak, hanya menyangkut sejumlah materi sentral.

Yang lebih penting adalah melalui pembelajaran kimia kita

menstimulasi pengembangan kemampuan berpikir, mengaitkan

konsep-konsep yang nampak terpecah-pecah menjadi kesatuan

hubungan yang bermakna, mengajukan pertanyaan kritis terhadap

fenomena kimia yang diobservasinya, memecahkan masalah-

masalah kimia yang menuntut peserta didik mengidentifikasi

permasalahan, memilih konsep dan prinsip yang dapat dipakai

30

untuk memecahkan permasalahan itu, menata sistematika

prosedur pemecahan masalah, serta mencari data dan informasi

pendukung yang diperlukan.

2) Pergeseran dari menyampaikan secara verbal seluruh materi pelajaran ke

arah yang lebih menekankan materi kunci (sentral)

Ada kecenderungan kita untuk “memberikan” (baca:

menceritakan) semua materi pelajaran secara rinci kepada

peserta didik dalam proses pembelajaran, dan kita merasa

telah selesai mengajar apabila telah menyampaikan semuanya

kepada mereka. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa berbagai

penelitian menunjukkan apa yang dikatakan guru tidak serta-

merta menjadi apa yang ditangkap otak siswa, sehingga cara

membelajarkan peserta didik dengan “mentrasmisikan

pengetahuan” tidaklah efektif. Dengan gaya transmisi

pengetahuan, waktu yang tersedia akan selalu kurang untuk

meliput semua materi yang ada dalam GBPP, dan kita mengatakan

terget kurikulum sulit tercapai karena kurang waktu.

Dari keseluruhan materi pelajaran terdapat materi kunci

yang kedudukannya sentral, sedangkan yang lain lebih bersifat

marginal. Fokus pembelajaran di kelas hendaknya

terkonsentrasi pada materi sentral ini, sehingga tersedia

cukup waktu bagi peserta didik untuk memahami dan

menginternalisasi materi pelajaran yang diajarkan. Di samping

itu penggunaan alat-alat bantu (teaching aid) akan

memfasilitasi siswa dalam memahami materi pelajaran, seperti

halnya gambar visualisasi (melalui poster atau proyeksi OHP)

31

dan model tiga dimensi. Visualiasi terbukti sangat memudahkan

siswa memahami materi pelajaran, sehingga dapat memotong

waktu pembelajaran.

Bagaimana dengan materi pelajaran yang marjinal? Kita

perlu menyadari bahwa kita tidak sendirian dalam

membelajarkan peserta didik. Paling sedikit ada buku

pelajaran dan LKS yang tersedia, untuk dijadikan sumber

pengetahuan, dan peserta didik perlu mempunyai potensi

intelektual untuk memahami isi buku asalkan dilatih.

Melibatkan peserta didik, buku sumber, situs web, dan

peralatan laboratorium, secara interaktif merupakan

paradigma baru dalam pembelajaran yang banyak dianut di

negara maju.

3) Pergeseran dari pembelajaran berbasis kontent ke arah keseimbangan antara

kontent dan proses.

Kita sering kali lupa, hanya memandang pembelajaran

sebagai “transfer of knowledge”, seraya melupakan fungsi

utama lainnya dari mata pelajaran, yakni mengembangkan

intelektualitas peserta didik. Keterampilan proses, antara

lain kemampuan observasi, interpretasi dan analisis data,

aplikasi pengetahuan, merancang eksperimen, berkomunikasi,

dll. juga perlu dikembangkan melalui pembelajaran kimia.

Bila kita menanyai lulusan SMA/MA yang lulus 3-4 tahun yang

lalu tetapi tidak mempelajari kimia lagi di perguruan tinggi,

seberapa banyak materi pelajaran kimia yang masih diingatnya,

sangat pasti hanya sedikit pengetahuan kimia yang masih

32

diingatnya. Berbeda halnya dengan keterampilan proses, yang

mereka aplikasikan dalam bidang yang didalaminya di perguruan

tinggi atau bidang pekerjaan.

Pengetahuan dan keterampilan proses harus dipandang

seimbang sebagai tujuan pembelajaran. Penekanan pada

keterampilan proses tidak mesti memerlukan tambahan

peralatan dan adanya laboratorium lengkap dengan laborannya.

Pertanyaan guru untuk meminta peserta didik mempelajari suatu

grafik dan mencerikatakan tafsirannya sudah merupakan upaya

guru mengembangkan keterampilan proses. Demikian pula bila

guru meminta peserta didik menelaah tabel data hasil

percobaan (diberikan guru) dan selanjutnya mereka diminta

menyimpulkan, sebab hasil simpulannya itu merupakan konsep

atau prinsip yang diajarkan (katakanlah rumus tetapan

kesetimbangan, Kc), merupakan juga contoh pembelajaran yang

menekankan keseimbangan kontent-proses.

4) Pergeseran dari teoretik ke arah aplikasi

Penelitian menunjukan bahwa pelajaran menjadi kurang

menarik bagi peserta didik apabila materi pelajaran steril

dari aplikasinya dalam kehidupan nyata. Oleh karenannya

ketika kita memulai mengajarkan suatu materi pokok, kita

perlu terlebih dahulu memperkenalkan secara permukaan

aplikasi dari apa yang akan dipelajari mereka. Selanjutnya

pada fase akhir pembelajaran sangat penting untuk membuka

wawasan peserta didik tentang aplikasi atau keterkaitan

pengetahuan yang baru saja dipelajarinya dengan fenomena

nyata dalam kehidupan sehari-hari (Firman, 2001). Sebagai

33

contoh, setelah mempelajari reaksi redoks ada baiknya kelas

mendiskusikan bagaimana bahan pemutih bekerja pada pakaian

kita. Contoh lain adalah setelah peserta didik mempelajari

ikatan hidrogen, selayaknya mereka diajak untuk memberikan

menjelaskan ilmiah terhadap fenomena “es terapung dalam air”.

5) Pergeseran dari “teacher centered” ke arah “learner centered”

Sudah lama kita terbelenggu oleh pandangan bahwa guru

merupakan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan, dan dalam

proses pembelajaran pengetahuan tersebut dapat ditransfer

kepada peserta didik melalui “penjelasan guru”, bagaikan

mengalirkan air dari poci ke gelas kosong, dan peserta didik

diharapkan dapat menyerap segala apa yang disampaikan guru.

Pandangan ini tidak relevan lagi saat ini. Pada era informasi

global yang telah kita masuki, begitu banyak sumber informasi

yang dapat diakses peserta didik dari sumber-sumber tercetak

dan elektronik, misalnya buku-buku, surat kabar dan majalah,

tayangan TV, CD-ROM, serta informasi dalam berbagai situs

internet.

Dalam perkembangan dunia saat ini guru di negara maju

telah menggeser posisi dan perannya, dari sumber pengetahuan

menjadi fasilitator belajar. Hal ini bukan berarti guru

menjadi kehilangan posisi, tetapi mengokohkan diri sebagai

individu yang diperlukan untuk membelajarkan peserta didik

bagaimana cara belajar (learning how to learn). Tugas penting guru

yang tidak dapat disubstitusikan adalah mengembangkan

kemampuan peserta didik menggunakan sumber-sumber belajar

tadi dalam memahami sesuatu fenomena alam, serta memecahkan

34

masalah yang dihadapi dengan menafaatkan aneka sumber

informasi yang tersedia.

Perkembangan zaman menuntut pergeseran paradigma

pembelajaran dari asalnya yang didominasi guru (teacher

centered) ke arah yang lebih dipenuhi dengan aktivitas fisik

dan berpikir siswa (learner centered). Dalam kaitan itu guru

yang berfungsi sebagai fasilitator belajar bagi peserta

didiknya perlu menjadi perancang dan pengelola kegiatan

pembelajaran yang mengaktifkan siswa, serta menjadi konsultan

bagi peserta didik manakala mereka menghadapi kendala dalam

belajarnya.

6) Pergeseran dari penyajian secara steril ke arah keterkaitan pada isu sosial dan

lingkungan

Salah guna (misuse) proses dan produk kimia karena

ketidaktahuan (ignorance) atau karena lemahnya moral telah

menimbulkan permasalahan sosial dan lingkungan di masyarakat.

Tinjaulah kasus “import sampah bahan-bahan berbahaya”,

“penggunaan bahan-bahan kimia terlarang” untuk pewarna

makanan, obat-obatan, pendingin ruangan, dan sebagainya,

penggunaan produk industri kimia berlebihan (BBM, pembersih,

pemutih, insektisida), jelas-jelas menimbulkan persoalan

sosial dan lingkungan, baik secara lokal maupun global.

Seiring dengan kemunculan isu sosial dan lingkungan

sebagai dampak perkembangan aplikasi kimia, maka menjadi

tanggungjawab moral guru mata pelajaran kimia untuk lebih

menggukan “kendaraan” materi pelajaran kimia untuk

35

menciptakan kenetraan (literasi) peserta didik tentang

dampak-dampak tersebut. Misalnya, setelah peserta didik

belajar tentang struktur molekul metana serta senyawa

turunanannya, momentum ini sangat tepat untuk dijadikan bahan

diskusi tentang keberadaan freon, mengapa dulu dipakai, apa

dampaknya terhadap lingkungan sehingga kini dilarang, serta

akibat-akibat lebih jauh apabila manusia melanggar larangan

itu.

G. Penelitian Pendidikan Kimia

Telah dipaparkan di muka bahwa fenomena belajar kimia

mempunyai kompleksitas tinggi, sementara ilmu pendidikan

kimia belum sampai pada taraf cukup matang untuk mengarahkan

praksis pendidikan kimia di sekolah. Oleh karenanya tidak

semua persoalan pembelajaran kimia dapat dipecahkan, sehingga

terdapat banyak masalah pendidikan kimia yang sekalipun telah

teridentifikasi sejak lama, namun masih tinggal sebagai

masalah. Untuk itu masih diperlukan penelitian-penelitian

mendalam terhadap permasalahan-permasalahan pembelajaran

kimia yang terorganisasikan dalam jejaring penelitian yang

sistematik.

Peta penelitian dalam bidang pendidikan kimia di dunia

internasional mengindikasikan bahwa topik-topik penelitian

yang dilaporkan dalam publikasi ilmiah dalam satu dekade

terakhir terkonsolidasi pada sejumlah ranah (domain)

penelitian (Gabel, 1994; Bucat, 1995; DeJong, 1999), antara

lain analisis konsepsi/miskonsepsi peserta didik terhadap

konsep-konsep esensial yang menjadi materi pembelajaran

36

kimia, remediasi miskonsepsi kimia, diagnosis kesalahan

pemecahan masalah dalam kimia, analisis pembelajaran kimia,

inovasi-inovasi pembelajaran kimia, korelat-korelat hasil

belajar kimia, pengembangan alat asesmen hasil belajar kimia

(Lihat kotak 3). Secara lebih terinci, karakteristik masing-

masing ranah penelitian tersebut dipaparkan berikut ini.

37

Analisis konsepi/ miskonsep

si

Remediasi miskonsep

siDiagnosis pemecahan masalah

Analisis pembelajaran

Pengembangan & validasi

alat penilaian

Pengembangan & uji coba inovasi

Korelat-korelat hasil belajar kimia

Ranah Penelitian Pendidikan

Kimia

Kotak 3: Ranah-Ranah Penelitian Pendidikan Kimia

1) Analisis konsepsi siswa. Penelitian dalam ranah ini

mengidentifikasi konsepsi-konsepsi siswa mengenai konsep-

konsep esensial dalam silabus mata pelajaran kimia di SMP/MTs

dan SMA/MA dengan berbagai macam metode standar, antara lain

assessmen dengan tes diagnostik miskonsepsi, interviu klisnis

(dengan perekaman) terhadap peserta didik, atau pemetaan

konsep oleh peserta didik. Hasil studi dalam ranah ini

diharapkan dapat memperkaya pengetahuan tentang konsepsi-

konsepsi alternatif yang ada dalam pikiran siswa sekolah

menengah pada umumnya. Pengetahuan ini penting sebagai

landasan bagi guru untuk merancang strategi pembelajaran yang

efektif.

2) Remediasi miskonsepsi. Penelitian-penelitian dalam ranah ini

mengembangkan metode, teknik, dan media (konvensional dan

digital) pembelajaran yang dirancang untuk meremedi peserta

didik yang teridentifikasi mengalami miskonsepsi. Pada

umumnya penelitian dalam domain ini menggunakan teori

pengubahan konsep (conceptual change), yang mendeskripsikan

bagaimana suatu miskonsepsi yang sifatnya resisten pada benak

peserta didik diubah (Stavy, 1995). Pengetahuan yang

dihasilkan dari penelitian-penelitian dalam ranah ini sangat

dinantikan oleh pendidik untuk mengatasi masalah rutin yang

dihadapi, apalagi pada saat prinsip belajar tuntas (mastery

learning) perlu dilakukan dalam tugas profesional mereka

seperti saat kini.

38

3) Diagnosis kesulitan dalam memecahkan masalah hitungan kimia.

Kompetensi melakukan perhitungan-perhitungan numerik dalam

pembelajaran kimia, misalnya perhitungan stoikiometri,

kesetimbangan, termokimia, pH larutan asam-basa, buffer,

hidrolisis, kelarutan, elektrokimia, teridentifikasi sebagai

masalah nyata yang dihadapi siswa. Analisis lebih mendalam

perlu dilakukan terhadap titik kelemahan peserta didik dalam

proses pemecahan masalah, yang menyebabkan mereka memperoleh

jawaban salah. Metode standar yang dapat dipakai dalam

mengidentifikasi kelemahan tersebut adalah analisis terhadap

respon tertulis peserta didik pada penyelesaian soal hitungan

serta metode “thinking-aloud” (Bowen, 1994). Pada penelitian

seperti ini subyek penelitian diminta menyelesaikan soal

numerik sambil mengutarakan proses penalaran yang terjadi

dalam pikirkannya, dan peneliti merekamnya. Analisis terhadap

transkripsi rekaman tersebut memungkinkan peneliti dapat

menelusuri titik awal peserta didik berbuat salah.

Selanjutnya, atas dasar pengetahuan itu strategi-strategi

pembelajaran dalam konteks pemecahan masalah numerik kimia

dapat dikembangkan.

39

4) Analisis pembelajaran. Penelitian dalam ranah ini mengobservasi

dan merekam eksplanasi pendidik dan eksplanasi peserta didik

dalam situasi pembelajaran kimia yang yang dilakukan oleh

guru piawai ketika mengajarkan suatu materi pokok tertentu

pada silabus mata pelajaran kimia (Siregar, 1998).

Selanjutnya peneliti melakukan analisis terhadap transkripsi

interaksi belajar-mengajar tadi untuk menemukan bagaimana

guru memfasilitasi siswa dalam mengkontruksi konsep kimia.

Strategi guru dalam menerapkan pedagogi materi subyek yang

membuat materi pelajaran terpahami (tercerna) menjadi temuan-

temuan penting dari penelitian semacam ini. Dapat juga

perilaku pengajar guru piawai diperbandingkan dengan guru

pemula, sehingga pengetahuan praktis (practical knowledge of

teaching) guru yang menyebabkan kepiawaian dalam mengajar

kimia dapat diidentifikasi dan dihimpun untuk dijadikan

model.

5) Pengembangan dan ujicoba lapangan pembelajaran inovatif. Penelitian

dalam ranah ini pada dasarnya menerapkan teori, prinsip,

pendekatan baru dalam mengajar, atau penggunaan teknologi

yang prospektif untuk meningkatkan keberhasilan pembelajaran,

khususnya yang menyangkut materi pembelajaran yang sesuai.

Dalam penelitian pada konteks ini dikembangkan suatu program

pembelajaran dengan menerapkan teori, prinsip, pendekatan,

teknik yang dirujuk, misalnya konstruktivisme, pedagogi

materi subyek, CTL (contextual teaching-learning), SETS (science,

environment, technology, society), multimedia, dll.) kemudian

mengimplementasikannya dalam kelas oleh pendidik atau

40

peneliti. Penelitian semacam ini umumnya dilakukan secara

penelitian tindakan kelas (classroom action research) secara

kolaboratif antara peneliti dan pendidik di sekolah.

Pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian dalam ranah ini

memperkaya pilihan model, strategi, pendekatan, metode, dan

teknik pembelajaran yang telah teruji efektivitasnya dalam

konteks ujicobanya, sehingga pendidik dapat menggunakannya

dalam konteks kelasnya masing-masing.

6) Korelat-korelat hasil belajar kimia. Hingga saat ini pengetahuan

tentang faktor-faktor determinan keberhasilan belajar kimia

belum konklusif karena kurangnya penelitian yang dilakukan

dalam rahan ini. Akibatnya tidak tersedia rujukan yang dapat

dipegang oleh para praktisi pendidikan kimia di lapangan

dalam merencanakan pembelajaran. Sesungguhnya teori Gagne

mengungkapkan pentingnya struktur dalam pengembangan suatu

kemampuan, sehingga asaz keprasayatan untuk keberberhasilan

belajar suatu materi pokok kimia. Pengetahuan dan kemampuan

psikologis yang merupakan korelat-korelat dari hasil belajar

setiap materi pokok kimia perlu diungkap melalui studi-studi

korelasional. Pengetahuan tentang korelat-korelat hasil

belajar kimia ini akan sangat berguna bagi pendidik dalam

merencanakan pembelajaran kimia yang efektif.

41

7) Pengembangan dan validasi alat penilaian kompetensi. Praktek

penilaian kompetensi berbeda dari sekedar penilaian pemahaman

konsep. Ketiadaan alat penilaian kompetensi akan menyebabkan

hasil belajar yang dievaluasi hanyalah terbatas pada salah

satu aspek dari kompetensi saja yang mudah dinilai. Di sisi

lain ketiadaan alat uji kompetensi yang dapat dijadikan model

dalam mengembangkan soal ujian akhir semester, atau bahkan

ujian sekolah dan ujian nasional, akan menyebabkan praktek

pembelajaran kembali ke cara-cara lama yang menekankan

memorisasi pengetahuan (test driven instruction). Kegagalan dalam

proyek-proyek adopsi pendekatan inkuari, pembelajaran aktif,

keterampilan proses di masa lalu bertalian dengan ketiadaan

alat asesmen yang relevan. Oleh karenanya model-model

prosedur dan alat penilaian kompetensi, baik dalam format tes

atau format penilaian alternatif, perlu digagas, dikembangkan

dan divalidasi melalui penelitian.

Daftar Pustaka

Badan Standar Nasional Pendidikan (2006). Standar isi matapelajaran kimia SMA/MA. Jakarta: BNSP.

Badan Standar Nasional Pendidikan (2006). Panduan penyusunankurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar danmenengah. Jakarta: BNSP.

Benfey, O. T. et al. (1964). Chemical system. St Louis: McGraw-Hill Book.

Bowen, C. W. (1994). What is research in chemistry education.Journal of chemical education, 71(3), 184-190.

Bucat, B. & Fensham, P. (Eds.) (1995). Selected papers on chemicaleducation research: Implications for the teaching of chemistry. Delhi:The IUPAC committee on teaching of chemistry.

42

Chia, L. H. (1997). Chemical Education in Singapore. Dalam Y.Takeuchi & M. M. Ito (Eds.), Chemical education in Asia-Pacific.Tokyo: The Chemical Society of Japan.

Cruickshank, D. R. (1990). Research that informs teachers and teachereducator. Bloomington: Phi Delta Kappa.

De Jong, O., Schmidt, H., Burger, M. & Eybe, H. (1999).Empirical research into chemical education: The motivation, researchdomains, methods and infrastructure of a maturing scientific discipline.[Online] Tersedia: http://www.euchems.org/binaries/ [10Feb 2006]

Firman, H. (1999) Faktor-faktor yang mempengaruhikeberhasilan mengajar kimia di Sekolah Menengah umum.Makalah seminar pengajaran kimia di Sony Sugema Colllege (SSC), 14 maret1999.

Firman, H. (2000). Beberapa pokok pikiran tentangpembelajaran kimia di SLTA. Makalah diskusi guru mata pelajarankimia Madrasah Aliyah se Jawa barat di Balai Penataran Guru Bandung, 4November 2000.

Firman, H. (2001). Kimia Aplikatif: Seberapa Jauh perlutercakup dalam GBPP Mata Pelajaran Kimia Sekolah MenengahUmum? Makalah Seminar Pendidikan Kimia dalam rangka Dies NatalisHimpunan Mahasiswa Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia, 1 Juli2001.

Gabel, D. L. (Ed.) (1994). Handbook of research on science teachingand learning. New York: Macmillan.

Hill, J. W. & Kolb, D. K. (2001). Chemistry for changing times.Upper Saddle (NJ): Prentice-Hall).

International Asociation for the Educational Achievement(IEA) (1996). Science achievement in the middle school years: IEA’s thirdinternational mthematics and science sudy (TIMSS). Chesnut Hill(MA): TIMMS Inernational Study Center.

Johnstone, A. H. (2000). Chemical education research: Where from here.[Online] Tersedia:http://www.rsc.org/pdf.nchemed/papers/2000/ [8 Oktober2005].

Ling, L. M. (1997). Chemical Education in Hongkong. Dalam Y.Takeuchi & M. M. Ito (Eds.), Chemical education in Asia-Pacific.Tokyo: The Chemical Society of Japan.

43

Marks, J. (1985). Science and the mking of the modern world. London:Heinemann Educational Books.

Noh, T., Han, I., Woo, K. W. & Kang, S. (1997). Chemicaleducation in Korea. Dalam Y. Takeuchi & M. M. Ito (Eds.),Chemical education in Asia-Pacific. Tokyo: The Chemical Society ofJapan.

Pimentel, G. C. (Ed) (1963). Chemistry: An experimental science. SanFransisco (CA): W. H. Freeman.

Random House (2004). Concise dictionary of science & computers. NewYork: Helicon Publishing, 2004.

Silberberg, M. S. (2003). Chemistry: The molecular nature of matter andchange. New York: McGraw-Hill.

Siregar, N. (1998). Penelitian kelas: Teori, methodology & analisis.Bandung: IKIP Bandung Press.

Stavy, R. (1995). Conceptual Development of Basic Ideas inChemistry. Dalam Shawn M. Glynn & Reinders Duit (Eds),Learning science in the schools: Research reforming practice. Mahwah(NJ): Lawrence Erlbaum Associates.

Vossen, H. (1979). Kopendium didaktik kimia. Alih Bahasa:Soeparmo. Bandung CV Remadja Karya.

Tongwen, H., Wending, L., Yongxing, W., Zufu, C., Jiaxun, H.,Jianru, Z., Meiling, H. & Yue, W. (1997). Dalam Y.Takeuchi & M. M. Ito (Eds.), Chemical Education in Asia-Pacific.Tokyo: The Chemical Society of Japan.

---------------------Tentang Penulis

Harry Firman, dosen jurusan pendidikan kimia FPMIPAUniversitas Pendidikan Indonesia sejak tahun 1974, lulusanFakultas Pasca Sarjana IKIP Bandung (1983), pernah mengikutipendidikan non-gelar di State University of New York atAlbany (1996), University of Houston (1993), Ohio StateUniversity (1994). Selain menjadi dosen UPI, penulis pernahmenjadi anggota tim pengembang kurikulum mata pelajaran kimiadi Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (1992-1994), dekan

44

FPMIPA UPI (2000-2004), konsultan lokal untuk MistubishiResearch Institute, Inc. dalam Basic Education Sector Study diIndonesia (2002), anggota tim studi PISA di Pusat PenilaianPendidikan Balitbang Depdiknas (2004-2005), serta dosen danpeneliti tamu untuk kajian kerjasama internasional dalambidang pendidikan di Hiroshima University (2006). E-mailaddress: [email protected]

45