Pendidikan Kimia
Transcript of Pendidikan Kimia
PENDIDIKAN KIMIA*)
Oleh:Harry Firman
Abstrak
Tulisan ini mengemukakan pokok-pokok pikiran tentangberbagai aspek pendidikan kimia, baik aspek teoretik,praksis, maupun aspek penelitian, dengan maksud memberikankerangka acuan bagi siapa saja yang berkepentingan untukmenganalisis, mengembangkan, dan meneliti desain danimplementasi pendidikan kimia di sekolah menengah. Paparandalam tulisan ini dimulai dengan kajian hakekat kimia danmisi universal mata pelajaran kimia, yang selanjutnyadigunakan untuk menganalisis cetak biru mata pelajaran kimiaSMA/MA di Indonesia, isu dan permasalahan implementasinya disekolah. Dengan menggunakan acuan sebuah model pembelajaranefektif dalam kimia kemudian tulisan ini mencoba menawarkanpergeseran-pergeseran paradigma pembelajaran yang perludilakukan di masa depan. Tulisan ini ditutup dengan suatupaparan tentang arah-arah dan isu sentral penelitian yangperlu dilakukan dalam konteks pendidikan kimia untukmemberikan rujukan untuk memperkuat praksis pendidikan kimiadi lapangan.
Dengan menggunakan alur kajian sebagaimana dikemukakan diatas, dapat dikemukakan bahwa cukup kuat argumen untukmenyatakan adanya kesejajaran pendidikan kimia di Indonesiadengan di negara-negara lain dari sudut tujuan dan desain.Namun, dari beraneka ragam persoalan yang terjadi dilapangan, masih diperlukan upaya perubahan dalam praksispendidikan di sekolah agar pembelajaran kimia secara efektifmampu mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan. Dalam pada itutulisan ini menawarkan pergeseran paradigma pembelajaran,dari mengingat ke arah berpikir/bernalar, dari penyajianseluruh materi pokok dalam kurikulum ke arah fokus padamateri sentral, dari pembelajaran berbasis konten ke arahkeseimbangan konten-proses, dari dominasi teoretik ke arahaplikasi, dari pembelajaran berpusat pada guru ke arah
1
pembelajaran berpusat pada peserta didik, serta daripenyajian materi pelajaran yang murni akademik ke arahketerkaitan pada isu sosial dan lingkungan.
Menyadari kesulitan yang diantisipasi untuk mengubahparadigma pembelajaran karena berbagai sebab, termasukresistensi yang ada serta kehampaan pengetahuan rujukan bagipara praktisi, tulisan ini lebih lanjut menawarkan arah danfokus penelitian stratejik yang perlu dilakukan paraprofesional dalam bidang pendidikan kimia untuk menghasilkanpengetahuan-pengetahuan praktis pembelajaran kimia di sekolahmenengah. Implementasi praksis pendidikan kimia yang berbasispengetahuan hasil penelitian, diharapkan lebih memberikanjaminan akan efektivitas program pendidikan kimia di sekolah,sehingga kita mampu mengejar capaian-capaian bangsa laindalam pendidikan kimia.
*) Tulisan in menjadi bagian dari Handbook berjudul ”Ilmu dan Aplikasi Pendidikan” terbitan Pedagogiana Press tahun 2007 (Editor: Mohamad Ali, R. Ibrahim, Nana Syaodih Sukmadinata, Djudju Sudjana & Waini Rasyidin).
2
A. Hakekat Kimia
Concise Dictionary of Science & Computers (2004)
mendefinisikan kimia sebagai cabang dari ilmu pengetahuan
alam, yang berkenaan dengan kajian-kajian tentang struktur
dan komposisi materi, perubahan yang dapat dialami materi,
dan fenomena-fenomena lain yang menyertai perubahan materi.
Keragaman jenis materi serta luasnya fenomena yang bertali
temali dengan perilaku materi menyebabkan kimiawan
mengkhususkan kajian-kajiannya pada bidang-bidang spesifik.
Hal ini kemudian menyebabkan berkembangnya percabangan dalam
disiplin ilmu kimia berdasarkan kekhususan jenis materi dan
aspek khusus sifat materi yang dikajinya, seperti misalnya
kimia organik, kimia anorganik, kimia fisik, biokimia, dan
kimia lingkungan.
Kimia bukan disiplin yang berdiri sendiri, melainkan
terkait dengan berbagai disiplin ilmu lain. Keterkaitan kimia
dengan ilmu lain terjadi karena dua sebab. Pertama, adanya
pengetahuan (konsep, hukum, dan teori) dari disiplin lain
yang diaplikasikan untuk menjelaskan fenomena kimia. Kedua,
pengetahuan kimia diterapkan dalam disiplin ilmu lain. Dalam
pada itu tidak aneh bila ditemukan kaidah matematika dan
fisika diaplikasikan dalam kimia, dan pada saat yang sama
tidaklah sulit melihat aplikasi kimia dalam biologi, geologi,
kedokteran, pertanian, dll.
Sebagai sebuah ilmu pengetahuan alam, kajian-kajian
dalam kimia bertujuan untuk memahami sifat dan perubahan
3
materi di alam. Konsep, hukum, teori dalam kimia dihasilkan
kajian-kajian tersebut. Namun, sebagai akibat dari pemahaman
manusia terhadap sifat dan perubahan materi di alam, manusia
mampu meniru alam dalam menghasilkan produk-produk alam. Hal
inilah yang kemudian melahirkan pengetahuan kimia yang dapat
diaplikasikan untuk memuat berbagai bahan-bahan sintetik,
seperti misalnya plastik dan semikonduktor. Di samping itu
dengan pemahaman terhadap sifat dan perubahan di alam,
kimiawan menjadi mampu mengendalikan proses-proses alam agar
menguntungkan dan meningkatkan manfaatnya bagi manusia.
Teknologi pencegahan korosi, pencegahan pencemaran, produksi
obat-obatan, penyediaan pasokan air minum, merupakan satu
contoh kecil dari aplikasi kimia dalam pengendalian proses
alam. Oleh karena aplikasinya yang luas itu, kimia mempunyai
nilai ekonomi yang tinggi, sebagaimana ditunjukkan oleh
luasnya pasar dari produk-produk teknologi kimia seperti
pupuk, insektisida, obat-obatan, bahan bangunan, dan produk-
produk petrokimia.
Begitu luasnya aplikasi pengetahuan kimia, menyebabkan
sisi aplikasi dari kimia nampak lebih popular di masyarakat
daripada sisi ilmu murninya. Bersamaan dengan hal itu dampak-
dampak sosial yang ditimbulkan oleh salah guna pengetahuan
dan produk kimia juga popular di masyarakat. Sebagai contoh,
pencemaran lingkungan akibat penggunaan secara berlebih
pestisida dan deterjen, salah guna bahan-bahan pengawet dan
obat-obatan, bahan peledak, dan penggunaan zat kimia beracun
sebagai senjata kimia. Potret kimia yang tampil di masyarakat
seperti itu menyebabkan kimia dipandang sebagai ilmu yang
4
berbahaya. Padahal sesungguhnya seperti halnya disiplin ilmu
lain, kimia bersifat netral, sedangkan yang menyebabkannya
beguna atau berbahaya bagi manusia dan alam adalah orang yang
menggunakannya. Kimia akan menjadi ilmu yang berguna ditangan
orang-orang yang bertanggungjawab. Sebaliknya, kimia akan
menjadi berbahaya ditangan orang yang tidak bertanggungjawab.
Kimia memiliki akar sejarah pada zaman kuno, misalnya
penemuan teknik praktis pembuatan logam dari bijih-bijihnya
di Mesir dan Babilonia pada zaman kuno dan upaya transmutasi
unsur kimia oleh tokoh-tokoh alkimia pada Abad ke 15 dan 16.
Kajian-kajian teoretik para filosof alam di Yunani juga
memberikan sumbangan cukup berarti pada perkembangan kimia.
Perkembangan kimia menjadi lebih pesat sejak alat-alat ukur
kuantitatif berhasil diciptakan, yang memungkinkan ahli kimia
dapat melakukan eksperimentasi-eksperimentasi yang terukur
secara cermat (Marks, 1985). Hukum-hukum dasar kimia, seperti
hukum kekekalan massa, hukum perbandingan tetap, hukum
kelipatan perbandingan merupakan hasil eksperimen para
kimiawan di Eropa pada abad ke-18. Interpretasi sub-
mikroskopik terhadap hukum-hukum dasar itu melahirkan Teori
Atom Dalton yang sangat monumental, karena sejak itu kajian-
kajian kimia memasuki wilayah partikel sub-mikroskopik di
samping fenomena-fenomena makroskopik yang nampak.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada saat sistem lambang
(simbol) unsur diciptakan, yang memungkinkan kimiawan
merepresentasikan zat kimia dan perubahannya dengan notasi-
notasi yang disepakati, sehingga fenomena kimia menjadi lebih
mudah dikomunikasikan.
5
Kimiawan melakukan pengamatan terhadap aspek-aspek
makroskopik zat-zat kimia yang dikaji, merepresentasikannya
dalam ungkapan-ungkapan simbolik, serta menginterpretasikan
fenomena yang diamati tersebut dalam representasi-
representasi sub-mikroskopik. Kajian dalam kimia melibatkan
tiga dimensi penalaran, yakni dimensi makroskopik (berkaitan
dengan apa yang terobservasi), dimensi simbolik (lambang,
formula, persamaan), dan dimensi sub-mikroskopik (atom,
molekul, ion, struktur molekul) (Bucat, 1995; Johnstone,
2000). Berpikir dalam tiga dimensi tersebut merupakan
tuntutan dispilin ilmu kimia, yang membedakannya dengan
disiplin ilmu lain. Namun pada saat yang sama, pekerjaan
berpindah-pindah di antara tiga dimensi kimia ini acapkali
dipandang sebagai penyebab kimia sebagai disiplin ilmu yang
sukar dipelajari.
Dewasa ini disiplin ilmu kimia berkembang secara pesat
berkat ditemukannya pengetahuan-pengetahuan baru sebagai
hasil penelitian yang dilakukan oleh kimiawan. Penelitian
merupakan mesin perkembangan kimia. Dalam melakukan
penelitian para ahli kimia menggunakan “metode ilmiah”
(scientific method) sebagai pendekatan dalam memecahkan masalah,
yang secara umum mencakup komponen-komponen observasi,
hipotesis, eksperimen, dan teori (Hill & Kolb, 2001;
Silberberg, 2003). Observasi terhadap fenomena alam merupakan
landasan untuk berpikir secara ilmiah. Informasi yang
diperoleh dalam observasi dinamakan data, dan jika data
tersebut terobservasi berulang-ulang melahirkan fakta. Fakta-
fakta ilmiah dirangkum dalam pernyataan singkat yang
6
dinamakan sebagai hukum ilmiah (scientific law), yang seringkali
diungkapkan sebagai formula matematis. Hukum kekekalan massa
yang ditemukan Lavoisier pada tahun 1789 merupakan salah satu
contoh hukum ilmiah (Marks, 1985).
Selanjutnya, gagasan-gagasan perlu dikemukakan untuk
menerangkan (memberikan eksplanasi) terhadap fakta-fakta
observasi tadi. Gagasan yang diusulkan untuk menerangkan
fakta dinamakan hipotesis. Hipotesis selanjutnya mengarahkan
eksperimen untuk menguji kebenarannya. Pada sebuah eksperimen
dilakukan pengukuran efek satu variable terhadap satu
variable lain, seraya variable-variabel selain variable
eksperimen yang mungkin berpengaruh dikendalikan (dibuat
konstan). Agar hasil eksperimen dapat diterima, ekperimen
tersebut harus dapat diulang (reproducible), bukan hanya oleh
perancang ekseprimen itu melainkan juga orang lain. Hasil
eksperimen mengarahkan apakah suatu hipotesis dapat diterima
atau ditolak. Hipotesis yang teruji kebenarannya melalui
eksperimen-eksperimen kemudian dinamakan teori, yang menjadi
karangka acuan dalam menerangkan fakta-fakta. Salah satu
sifat teori yang penting adalah tentatif, sebab di kemudian
hari dapat saja dimodifikasi jika terdapat fakta-fakta lain
yang tak dapat dapat diterangkan dengan teori itu, bahkan
ditolak bila banyak fakta yang bertolak belakang dengan teori
itu. Teori dalam kimia bersifat abstrak, oleh karenanya
seringkali divisualiasikan dalam bentuk model-model. Sebagai
contoh, teori kinetik molekul gas acapkali divisualisasikan
dengan mengunakan bola-bola yang senantiasa bergerak sebagai
model, dan gerakan bola-bola tersebut bertambah cepat jika
7
terjadi kenaikan temperatur gas. Contoh lain, pembentukan
pasangan elektron yang diperserokan digunakan untuk
memvisualisasikan bagaimana atom satu berikatan dengan atom-
atom lain dalam membentuk molekul.
Konten kimia yang berupa konsep, hukum, teori, pada
dasarnya merupakan produk dari rangkaian proses ilmiah yang
dikeumukakan di atas. Oleh karena itu kimia dan juga disiplin
lain dalam ilmu pengetahuan alam seringkali dipandang terdiri
atas dua elemen dasar, yakni produk dan proses. Aspek produk
dari kimia lebih tampak daripada aspek prosesnya, karena
publikasi kimia lebih mengutamakan aspek-aspek produknya.
Namun, kedua aspek kimia ini perlu dipandang sama pentignya,
sebab tidak ada pengetahuan kimia tanpa proses ilmiah yang
dilakukan kimiawan.
B. Misi Universal Mata Pelajaran Kimia
Sekalipun jauh sebelumnya telah diajarkan di perguruan
tinggi, namun baru pada akhir abad ke-19 kimia berhasil masuk
ke dalam kurikulum sekolah menengah atas di Eropa sebagai
sebuah mata pelajaran yang berdiri sendiri, dan tujuan
utamanya mempersiapkan siswa belajar kimia di perguruan
tinggi (Vossen, 1986). Tradisi ini kemudian menyebar ke
seluruh negara, sehingga pada saat ini dapat kita lihat kimia
menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri pada jenjang
pendidikan menengah atas. Perlombaan iptek antara Amerika
Serikat dan Uni Sovyet pada era perang dingin tahun 1960-an
telah mendorong lahirnya proyek-proyek pengembangan kurikulum
8
mata pelajaran ilmu pengetahuan alam, termasuk kimia di
Amerika Serikat dan Inggris. Beberapa proyek pengembangan
kurikulum dalam bidang kimia yang produknya mempengaruhi
dunia, termasuk Indonesia, antara lain Chemical Bond Approach
(Benfey et al., 1964), Chemistry – An Experimental Science
yang dikenal sebagai CHEM Study di Amerika Serikat (Pimentel,
1963), dan Nuffield Chemistry di Inggris, yang sifatnya lebih
akademik-teoretik, meliput spektrum yang sangat luas konsep-
konsep kimia teoretik. GBPP mata pelajaran kimia Kurikukum
1975 di Indonesia secara jelas mengadopsi CHEM Study.
Sekalipun materi kimia secara berkelanjutan mengalami reduksi
seiring dengan penyempurnaan kurikulum SMA di Indonesia,
kurikulum 1984 kemudian 1994 dan terakhir KBK, namun warna
CHEM Study masih mendominasi konten dan sistematika kurikulum
yang berlaku di Indonesia.
Seiring dengan semakin memasyarakatnya proses dan produk
kimia, fungsi mata pelajaran kimia berkembang lebih lanjut,
bukan hanya sebagai persiapan belajar di perguruan tinggi,
melainkan juga sebagai pengembangan literasi kimia. Akibatnya
terjadi pergeseran besar dalam mata pelajaran kimia ke arah
pemahaman dan aplikasi konsep, prinsip, dan proses kimia yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dunia industri (Chia,
1997). Dalam perkembangan berikutnya, oleh karena beberapa
pengetahuan dasar kimia dipandang perlu dimiliki anak pada
saat menyelesaikan wajib belajar (umumnya 9 tahun), maka
sejumlah materi kimia dijadikan bagian integral dari isi mata
pelajaran ilmu pengetahuan alam pada kurikulum jenjang
9
pendidikan dasar, khususnya mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA) di sekolah menengah pertama (IEA, 1996).
Dijadikannya mata pelajaran kimia sebagai bagian dari
kurikulum pendidikan menengah, menunjukkan bahwa kimia
mempunyai nilai pendidikan (educational values) di samping
aplikasinya menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia.
Seringkali keberadaan kimia dalam kurikulum sekolah karena
ilmu tersebut dipandang menjadi fundasi untuk mempelajari
berbagai bidang ilmu dan teknologi di perguruan tinggi.
Pandangan ini yang melandasi pemikiran pengembang kurikulum
dan pengajar kimia untuk merancang materi pelajaran sangat
akademik-teoritik serta bercakupan luas karena harus meliput
semua pengetahuan dasar kimia.
Sesungguhnya keberadaan kimia dalam kurikulum sekolah
menengah bukan bertumpu pada alasan itu saja, sebab kalau
dilihat persentase lulusan SMA yang melanjutkan studi relatif
sangat kecil dibandingkan dengan populasi lulusan SMA itu
sendiri. Kalau dilihat dari sudut itu saja, pelajaran kimia
akan menjadi mubadzir bagi sebagian besar peserta didik.
Keberadaan kimia dalam kurikulum SMA, kecuali dipandang
sebagai ilmu dasar, juga dapat dijadikan “kendaraan” untuk
mengembangkan kecerdasan siswa, antara lain kemampuan
bernalar dan memecahkan permasalahan secara ilmiah. Selain
itu, kimia pun diyakini mampu membentuk watak manusia
sebagaimana ditunjukkan oleh watak kimiawan pada umumnya,
seperti kesabaran, ketekunan, kecermatan, ketelitian, dan
daya analisis yang kuat.
10
Alasan lain adalah realita bahwa manusia berada di
lingkungan kimia, dalam arti bahan kimia dan peristiwa kimia
ada di lingkungan kita, baik lingkungan alami maupun rekayasa
manusia (human-made), sehingga pemahaman terhadap fenomena-
fenomena itu akan menghindari manusia dari keterasingannya
terhadap lingkungan, serta dapat berbuat sesuatu terhadap
lingkungan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang lebih
bermanfaat baginya.
Seiring dengan pandangan di atas, sejak awal diajarkan
kepada peserta didik sekolah menengah hingga saat ini,
sekalipun isinya terkontekstualisasi pada situasi lokal dari
tempat ke tempat lainnya serta mengalami pemutakhiran sesuai
perkembangan, mata pelajaran kimia terorientasi pada misi
utama sebagai berikut (Noh, T. et al., 1997; Ling, 1997;
Tongwen, H. et al., 1997).
1. Pengembangan kenetraan (literasi) kimia, dalam arti
penumbuhan pemahaman terhadap pengetahuan (konsep, hukum,
teori, prosedur) dasar kimia yang dapat digunakan semua
orang untuk memahami fenomena kimia yang ada di
sekitarnya.
2. Memperkenalkan kimia kepada siswa sekolah menengah agar
mereka memiliki fundasi yang memadai dan tertarik untuk
mempelajari kimia atau disiplin lain yang terkait di
perguruan tinggi.
3. Pengembangan kemampuan berpikir ilmiah, dalam pengertian
penumbuhan kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan
cara berpikir dalam kimia, yang mengandalkan observasi,
analisis, dan eksperimentasi. Menjadi keunikan kimia untuk
11
berpikir dengan model, yakni menggunakan representasi
molekuler untuk menjelaskan fenomena makroskopis yang
diamati.
4. Penumbuhan kesadaran tanggungjawab moral berkenaan dengan
penggunaan proses dan produk kimia. Adalah realita jika
kimia di samping bermanfaat untuk manusia juga dapat pula
menimbulkan malapetaka akibat salah guna kimia. Oleh
karenanya mata pelajaran kimia dimuatani misi penumbuhan
kesadaran tanggungjawab moral peserta didik untuk mencegah
dampak sosial dan lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh
salah guna kimia.
C. Cetak Biru Mata Pelajaran Kimia di SMA/MA di Indonesia
Cetak biru pendidikan kimia jenjang pendidikan menengah
di Indonesia sejak tahun 2006 dapat dirunut dari standar-
standar nasional pendidikan, khususnya dokumen Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) Mata Pelajaran
Kimia (BNSP, 2006). Sekalipun kurikulum dikembangkan di
sekolah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dalam wujud
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), acuan utama dalam
pengembangannya adalah standar-standar nasional tersebut.
Dalam kaitan dengan pengembangan silabus mata pelajaran kimia
sebagai rencana pembelajaran, sekolah perlu merujuk pada SKL
dan SI Mata Pelajaran Kimia, dengan memperhatikan
karakteristik dan kebutuhan peserta didik, di samping potensi
dan kebutuhan lokal.
12
Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Kimia SMA/MA
(BSNP, 2006) memuat lima butir rumusan kompetensi lulusan
berikut ini.
1. Melakukan percobaan, antara lain merumuskan masalah,
mengajukan dan menguji hipotesis, menentukan variabel,
merancang dan merakit instrumen, mengumpulkan, mengilah
dan menafsirkan data, menarik kesimpulan, serta
mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan
tertulis;
2. Memahami hukum dasar dan penerapannya, cara perhitungan
dan pengukuran, fenomena reaksi kimia yang terkait dengan
kinetika, keseimbangan, kekekalan massa dan kekekalan
energi;
3. Memahami sifat berbagai larutan asam-basa, larutan koloid,
larutan elektrolit dan non-elektrolit, termasuk cara
pengukuran dan kegunaannya;
4. Memahami konsep reaksi oksidasi-reduksi dan elektrokimia
serta penerapannya dalam fenomena pembentukan energi
listrik, korosi logam, dan elektrolisis;
5. Memahami struktur molekul dan reaksi senyawa organik yang
meliputi benzena dan turunannya, lemak, karbohidrat,
protein, dan polimer serta kegunaanya dalam kehidupan
sehari-hari.
Nampak bahwa SKL Mata Pelajaran Kimia di SMA/MA menuntut
lulusan SMA (program IPA) untuk memiliki dua elemen
kompetensi yang esensial, yakni: (1) Menguasai sejumlah
pengetahuan dasar kimia yang esensial serta aplikasinya dalam
13
menafsirkan sifat materi di alam dan proses industri; serta
(2) Memiliki kecakapan dasar melakukan penyelidikan ilmiah
dalam bidang kimia. Elemen pertama pertama menjamin kenetraan
kimia peserta didik dan kesiapan peserta didik untuk
mempelajari kimia dan disiplin ilmu terkait kimia di
perguruan tinggi. Sementara itu elemen kedua berguna untuk
semua peserta didik tetapi tanpa kecuali, baik yang akan
melanjutkan pendidikan dalam bidang kimia di perguran tinggi,
maupun yang akan terjun ke masyarakat, sebab elemen
kompetensi ini “tranferrable”. Pada dasarnya kemampuan untuk
melakukan kerja ilmiah (penyelidikan ilmiah) dan nilai-nilai
personal terkait yang dikembangkan melalui pendidikan kimia
dapat diaplikasikan ketika peserta didik memecahkan masalah
dalam berbagai konteks permasalahan, termasuk masalah yang
dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengarahkan agar pembelajaran kimia di SMA/MA mampu
mengembangkan kompetensi sebagaimana tertera pada SKL mata
pelajaran kimia, dikembangkan Standar Isi (SI) Mata Pelajaran
Kimia di SMA/MA yang memuat informasi penting untuk
operasionalisasinya, yakni tujuan mata pelajaran, standar
kompetensi (SK), serta kompetensi dasar (KD). Dalam SI Mata
Pelajaran Kimia dinyatakan bahwa tujuan mata pelajaran kimia
di SMA/MA adalah agar peserta didik memiliki kemampuan-
kemampuan sebagai berikut.
1. Membentuk sikap positif terhadap kimia dengan menyadari
keteraturan dan keindahan alam serta mangagungkan
kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.
14
2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet,
kritis, dan dapat bekerjasama dengan orang lain.
3. Memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah
melalui percobaan atau eksperimen, dimana peserta didik
melakukan pengujian hipotesis dengan merancang percobaan
melalui pemasangan instrumen, pengambilan, pengolahan dan
penafsiran data, serta menyampaikan hasil percobaan secara
lisan dan tertulis.
4. Meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat
bermanfaat dan juga merugikan bagi individu, masyarakat,
dan lingkungan serta menyadari pentingya mengelola dan
melestarikan lingkungan demi kesejahteraan manusia.
5. Memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta
saling keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan
masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi.
Secara jelas tujuan pendidikan kimia di Indonesia bukan
hanya terfokus pada penanaman pengetahuan kimia, sebagaimana
masih banyak dipahami oleh banyak praktisi pendidikan kimia
saat ini, melainkan jauh lebih luas dari itu. Pendidikan
kimia bertujuan pula mengembangkan kemampuan memecahkan
masalah dengan metode ilmiah, menumbuhkan sikap ilmiah,
membentuk sikap positif terhadap kimia, serta memahami dampak
lingkungan dan sosial dari aplikasi kimia. Keseluruhan tujuan
pendidikan kimia perlu menjadi arah implementasi pendidikan
kimia di sekolah.
SKL mata pelajaran kimia SMA/MA menjadi target pencapaian
proses pendidikan kimia selama tiga tahun. Dari keseluruhan
15
SKL tersebut dialokasikan secara sistematis standar-standar
kompetensi (SK) yang pencapaiannya menjadi target-target
program pendidikan kimia pada kelas X, XI, dan XII. Rumusan-
rumusan SK mata pelajaran kimia pada masing-masing tingkatan
kelas tercantum pada Kotak 1. Sistematisasi standar-standar
kompetensi dilakukan oleh pengembang kurikulum dengan
memperhatikan ketepatan materi dengan misi pendidikan dan
struktur pengetahuan kimia dan. Oleh karena kelas X merupakan
program bersama, maka materi pembelajaran yang dipilih
merupakan pengetahuan yang menunjang literasi kimia peserta
didik, sedangkan materi pelajaran di kelas XI dan XII telah
menjurus ke arah keperluan peserta didik yang memilih program
IPA. Disiplin ilmu kimia tersusun dalam banyak hal
terstruktur, sehingga penyajian suatu materi pokok akan
efektif bila materi pokok penunjangnya telah dikuasai. Dengan
memperhatikan azas-azas penataan materi pelajaran seperti itu
maka dapat dijumpai sifat spiral atau heliks dari kurikulum,
dalam arti pengetahuan fundamental sebagai materi pelajaran
kelas X dan pendalaman materi pokok yang tersebut di kelas XI
dan XII. Sebagai contoh, struktur atom dalam perspektif teori
Bohr menjadi materi pokok di kelas X, sedangkan struktur atom
dalam perspektif mekanika kuantum menjadi materi pokok di
kelas XI. Selain itu, dapat dijumpai pula penempatan materi
pokok yang diperlukan oleh semua peserta didik di kelas X,
sementara materi pokok yang lebih relevan untuk peserta didik
yang mengambil program pilihan IPA diposisikan sebagai materi
pelajaran di kelas XI dan XII. Dokumen Standar Isi memuat
pula sejumlah kompetensi dasar (KD) sebagai jabaran dari
16
masing-masing standar kompetensi tersebut, baik dari aspek
spesifikasi materi pelajaran maupun kemampuan yang
ditargetkan. Rumusan kompetensi-kompetensi dasar dapat
dilihat pada dokumen SI mata pelajaran kimia di SMA/MA.
17
Kotak 1: Standar-Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia diSMA/MA
Kelas X:1. Memahami struktur atom, sifat-sifat periodik
unsur, dan ikatan kimia.2. Memahami hukum-hukum dasar kimia dan penerapannya
dalam perhitungan kimia.3. Memahami sifat-sifat larutan elektrolit dan non-
elektrolit, serta reaksi oksidasi-reduksi.4. Memahami sifat-sifat senyawa organik atas dasar
gugus fungsi dan senyawa makromolekul.
Kelas XI:1. Memahami struktur atom untui meramalkan sifat-
sifat periodik unsur, struktur molekul, dan sifat-sifat senyawa.
2. Memahami perubahan energi dan reaksi kimia dan cara pengukurannya.
3. Memahami kinetika reaksi, keseimbangan kimia, dan fator-faktor yang mempengaruhinya, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dan industri.
4. Memahami sifat-sifat larutan asam-basa, metode pengukuran, dan terapannya.
5. Menjelaskan sistem dan sifat koloid serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kelas XII:1. Menjelaskan sifat-sifat koligatif larutan non-
elektrolit dan elektrolit.2. Menerapkan konsep reaksi oksidasi-reduksi dan
elektrokimia dalam teknologi dan kehidupan sehari-hari.
3. Memahami karakteristik unsur-unsur penting, kegunaan dan bahayanya, serta terdapatnya di alam.
4. Memahami senyawa organik dan reaksinya, benzena dan turunannya, dan makromolekul.
18
D. Beberapa Isu-Isu dalam Pembelajaran kimia
Pekerjaan mengajar kimia penuh dengan tantangan.
Tantangan tersebut lahir sebagai akibat dari berbagai
perkembangan zaman yang sangat dinamis. Munculnya pemikiran-
pemikiran baru terhadap konsep-konsep dasar kimia, meluasnya
produk aplikasi kimia di masyarakat, berkembangnya teori-
teori pembelajaran, tuntutan masyarakat (orang tua, perguruan
tinggi, pemerintah, dll.) menjadikan kita perlu secara
berkesinambungan mengkaji ulang tentang “keyakinan” (belief),
pemahaman, sudut pandang, serta tradisi kita dalam
menjalankan tugas profesi guru kimia.
Salah satu masalah yang dihadapi sementara pengajar kimia
di SMA/MA adalah perolehan hasil belajar peserta didik yang
kurang memuaskan sekalipun pendidik telah berusaha secara
maksimum untuk mengajar dengan baik. Sesungguhnya masalah
seperti ini bukan hanya ada dalam pengajaran kimia saja
melainkan juga pengajaran mata pelajaran IPA lainnya, bukan
pula dialami bangsa kita saja melainkan juga hempir semua
bangsa, dan sama sekali tidak mencuat pada saat sekarang saja
melainkan juga sejak waktu lampau. Fenomena itu menjadi
petunjuk akan tingginya kompleksitas persoalan pembelajaran
pada umumnya dan pembelajaran kimia pada khususnya. Di
samping itu harus diakui bahwa ilmu pendidikan kimia belum
sampai pada taraf yang cukup matang untuk dapat berperan
sebagai “pemandu” bagi para pendidik dalam mengajarkan kimia.
19
Masih diperlukan pengkajian, penelitian, dan pemikiran yang
melibatkan para praktisi (guru kimia), pakar ilmu pendidikan
kimia, dan pakar ilmu kimia secara bersama-sama dalam
mengembangkan alternatif-alternatif pendekatan dan strategi
yang efektif dalam mengajarkan kimia. Langkah penting yang
perlu kita lakukan adalah memahami peta tali temali
permasalahan tersebut, sehingga analisis secara komprehensif
dapat kita lakukan, bahkan mungkin titik-titik cerah untuk
memecahkannya secara bertahap dapat kita antisipasi.
Dewasa ini terdapat banyak kritik terhadap proses dan
hasil pembelajaran kimia di sekolah menengah atas (termasuk
madrasah aliyah). Sejumlah kritik terarah pada kegiatan
belajar mengajar yang sangat berpusat pada guru (teacher
centered) sehingga pembelajaran nampak sebagai ceramah, yang
di dalamnya pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, hukum,
teori, dan prosedur) kimia ditransmisikan dari guru tanpa
menstimulasi peserta didik untuk “berpikir/bernalar”.
Sementara itu karakter kimia sebagai “experimental science”
tidak tampak dalam kegiatan belajar-mengajar kimia, sebab
pada umumnya sangat jarang peserta didik distimulasi untuk
melakukan observasi terhadap fenomena kimia, serta
menginterpretasikan fenomena tersebut dengan menggunakan
pengetahuan teoretiknya, apalagi merancang kegiatan
eksperimen untuk memecahkan suatu permasalahan. Kritik lain
terarah pada materi pelajaran yang di samping “sarat”, juga
sangat bersifat teoretik-akademik, tanpa menyinggung
aplikasinya untuk memahami peristiwa alam di sekitarnya atau
produk-produk teknologi yang hadir dalam kehidupan sehari-
20
harinya. Kesan yang diperoleh sebagian besar peserta didik
adalah mata pelajaran kimia steril dari kehidupannya sehari-
hari.
Terdapat berbagai justifikasi klasik bagi fenomena
pembelajaran kimia seperti yang dipaparkan di muka, antara
lain “kurikulum yang sarat materi”, miskinnya fasilitas
laboratorium, dan kalaupun ada fasilitas laboratorium, namun
tidak ada tenaga laboran, Ujian Sekolah dan SPMB yang lebih
banyak menuntut kompetensi menyelesaian soal-soal yang
bersifat numerik serta menekankan elemen-elemen teoretik.
Persoalan-persoalan tadi membuat kita terperangkap di dalam
suatu lingkaran setan yang tidak diketahui bagaimana memulai
era baru pembelajaran kimia, yaitu era dimana pembelajaran
tidak lagi dipenuhi dengan transmisikan pengetahuan teoretik
kimia tanpa mengembangkan “kecerdasasan siswa” sebagaimana
yang menjadi salah satu misi utama pendidikan.
Sesungguhnya, pakar dan praktisi pendidikan kimia sangat
berpengetahuan dalam soal “kondisi ideal” pembelajaran kimia.
Namun, yang acapkali membelenggu kita sehingga tidak cukup
kuat tekad dan upaya kita untuk melakukan tindakan nyata
mewujudkannya, adalah pengetahuan tadi belum mampu menjadi
bagian dari keyakinan (belief) kita. Oleh karenanya pengkajian-
pengkajian tentang hakekat pembelajaran kimia masih sangat
diperlukan untuk menguatkan keyakinan dalam diri kita bahwa
membelajarkan peserta didik dalam mata pelajaran kimia secara
aktif dan menstimulasi kemampuan observasi, bernalar serta
kreativitas, sebagaimana menjadi misi utama pendidikan untuk
mencerdaskan generasi muda.
21
E. Model Pembelajaran Efektif untuk Mata Pelajaran Kimia
Hingga saat ini belum ada teori yang secara komprehensif
dapat menjelaskan keberhasilan mengajar kimia. Namun demikian
penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjuk adanya
sejumlah faktor yang berpengaruh pada keberhasilan belajar
peserta didik, baik yang terkait pada individu peserta didik,
guru, lingkungan, serta proses pembelajaran (Cruickshank,
1990). Seberapa jauh masing-masing faktor berkontribusi pada
keberhasilan peserta didik belajar belum diketahui secara
pasti. Penelitian-penelitian yang dilakukan masih terlalu
sedikit sehingga hasilnya belum konklusif. Di samping itu
pengaruh faktor-faktor tadi tidak linear, terkait satu sama
lain, sehingga sulit untuk memprediksi faktor-faktor mana
yang secara umum lebih dominan, dan kekuatan pengaruh faktor-
faktor tersebut tampak unik untuk setiap individu peserta
didik.
Keberhasilan belajar peserta didik bertalian dengan
efektivitas pembelajaran. Pembelajaran yang efektif adalah
pembelajaran yang di dalamnya pendidik secara optimum
berperan sebagai fasilitator belajar yang menyediakan
kondisi-kondisi fisik dan psikologis yang memungkinkan
peserta didik meraih kompetensi-kompetensi yang ditargetkan
dalam kurikulum. Proses pembelajaran dapat ditingkatkan
efektivitasnya melalui upaya kerjasama sinergis guru dan
peserta didik dalam proses pembelajaran (Firman, 1999),
sebagaimana diperlihatkan dalam sebuah model yang tertera
pada Kotak 2.
22
Kotak 2: Model Sinergi Pendidik - Peserta Didik Dalam
Pembelajaran
Pada model tersebut pembelajaran yang efektif digambarkan
dalam perspektif kerjasama pendidik dan peserta didik. Dalam
interaksi pembelajaran, pendidik berperan untuk menata
organisasi dan sistematika penyajian materi pelajaran dan
kegiatan belajar siswa agar mampu menstimulasi motivasi dan
minat belajar, serta mentransformasikan pengetahuan agar
mudah tertangkap siswa. Sementara itu peserta didik
berkewajiban untuk secara antusias dan responsif terlibat
dalam proses pembelajaran, serta secara mandiri berupaya
untuk melakukan internalisasi terhadap materi pelajaran yang
baru dipahaminya.
23
MENGAJAR BELAJAR
Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan yang tercerna
Peserta
didik
Guru Menciptakan kondisi psikologis
yang kondusif untuk belajar
Transformasi Pengetahuan
OrganisasiSistematikaC o n t o hIlustrasiAnalogi
Strategi/taktik belajarKapasitas belajarM i n a t
M o t i v a s i
Fasilitator Belajar
Dari sudut peserta didik, pembelajaran yang efektif
menuntut motivasi belajar yang tinggi, strategi belajar
mandiri yang tepat, serta upaya belajar yang maksimum. Namun
demikian motivasi dan upaya belajar peserta didik tidak
tumbuh dengan sendirinya, melainkan terkait pada stimulasi
yang diberikan pendidik. Motivasi dan upaya belajar siswa
akan terstimulasi oleh adanya perhatian (atensi) guru
terhadap setiap individu peserta didik, keatraktifan kegiatan
pembelajaran, keterlibatan peserta didik secara aktif,
pembelajaran memenuhi keingintahuan dan dorongan untuk
aktualisasi diri, adanya penguatan (reinforcement) terhadap
perilaku positif dan hukuman yang edukatif terhadap perilaku
negatif. Proses belajar difasilitasi juga oleh adanya minat
belajar peserta didik. Minat belajar dapat dibangkitkan
melalui upaya guru untuk menggunakan variasi dalam metode
(mengatakan, menunjukkan, bertanya), variasi dalam kegiatan
(mendengarkan, mengatakan, menghitung, berdiskusi,
mengamati), variasi dalam penggunaan media dan “teaching
materials” (OHP, model, lembar kerja).
Ketercernaan (accessibility) pengetahuan yang diajarkan
menjadi unsur penting dalam upaya memfasiltasi belajar.
Ketika seorang guru mengajar ia perlu mentransformasikan
pengetahuan yang menjadi materi pelajaran ke dalam bentuk
tertentu yang mudah dimengerti sehingga tercerna.
Transformasi dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara
lain menstrukturisasi materi pembelajaran secara baik,
memperbanyak ilustrasi visual, contoh-contoh aplikasi
pengetahuan kimia, dan strategi-strategi lainnya yang
24
menjadikan pengetahuan kimia yang diajarkan mudah
terkonstruksi dalam pikiran peserta didik.
Ada lima prasyarat yang perlu dipenuhi oleh suatu
pembelajaran kimia, agar pembelajarn kimia itu menarik, mudah
dicerna, serta bermanfaat bagi siswa. Masing-masing adalah
sebagai berikut.
1) Pembelajaran kimia harus mampu mengembangkan pemahaman peserta
didik yang kuat terhadap pengetahuan dasar kimia.
Pemahaman terhadap pengetahuan kimia (fakta, konsep,
hukum, teori, dan prosedur) merupakan fundasi untuk memahami
gejala alam dan mempelajari pengetahuan kimia yang lebih
“advance” di perguruan tinggi, apabila peserta didik
melanjutkan studi dalam bidang kimia atau bidang lain
berbasis kimia. Persoalan besar yang menyebabkan kimia sulit
dipelajari adalah: (1) Karakter pengetahuannya yang “abstrak”
(karena membicarakan entitas yang miroskopis, seperti atom,
molekul, ikatan, dan struktur); (2) Berbicara dengan simbol-
simbol (persamaan reaksi, notasi-notasi, formula); serta (3)
Senantiasa meminta poeserta didik untuk melakukan perpindahan
domain berpikir, dari pengamatan terhadap fenomena
makroskopis (perubahan-perubahan yang teramati), tetapi
menafsirkan fenomena-fenomena makroskopis tersebut dengan
teori-teori yang abstrak (sub-mikroskopis), dan
merepresentasikan fenomena itu secara simbolik.
Dalam kaitan ini upaya-upaya guru untuk memvisualisasikan
penjelasan teoritik terhadap perubahan kimia akan
25
mengkongkritkan fenomena yang dipelajari, sehingga lebih
“masuk akal” peserta didik, akan sangat memfasilitasi mereka
belajar. Pada dasarnya seorang guru tidak dapat mentransfer
pengetahuannya ke pada peserta didik dengan harapan mereka
dapat menyerap pengetahuan tersebut. Yang guru dapat lakukan
adalah memfasilitasi peserta didik belajar dengan memberikan
kondisi-kondisi yang memudahkan siswa mengkonstruksi
pengetahuan dalam pikirannya. Untuk memfasilitasi peserta
didik belajar kimia, guru perlu memperlihatkan peristiwa
kimia secara nyata (melalui demonstrasi atau kegiatan lab),
mengajak peserta didik menginterpretasikan peristiwa yang
teramatinya dengan konsep/teori, serta mengajak mereka
menuliskannya dalam bentuk persamaan reaksi (simbol).
2) Pembelajaran kimia harus mampu mengembangkan kemampuan peserta
didik melakukan penyelidikan dan memecahkan masalah.
Kalau pembelajaran kimia berhasil mengembangkan kepekaan
peserta didik terhadap masalah yang hadir si lingkungannya,
merancang cara melakukan penyelidikan untuk mencari jawaban
atas permasalah tersebut dengan berpikir kritis tentang
masalah yang terkait pada kimia, artinya mata pelajaran kimia
telah berhasil turut “mencerdaskan” peserta didik. Kita
tidak dapat mengatakan bahwa seorang peserta didik itu pintar
atau cerdas apabila ia hanya mampu mengingat fakta, konsep,
hukum, teori kimia tanpa memahami arti fisisnya serta
mengerti kaitan pengetahuan itu satu sama lain. Dengan bekal
kemampuan menyelidik dan memecahkan masalah yang
26
ditumbuhkembangkan dalam pembelajaran kimia, peserta didik
dapat “mentransfernya” ke dalam masalah-masalah di luar
kimia, termasuk masalah di masyarakat. Di sinilah letak
kepentingan memberikan latihan memecahkan masalah kepada
peserta didik dalam pembelajaran kimia. Namun, yang
dimaksudkan dengan latihan di sini bukanlah “drill”,
melainkan mengembangkan kemampuan peserta didik menyusun
strategi memecahkan masalah, melakukan penyelidikan secara
ilmiah serta mencari hubungan serta kaitan-kaitan antar
fenomena. Seringkali guru mendemonstrasikan pemecahan masalah
melalui pemberian contoh-contoh pemecahan soal tanpa
menjelaskan mengapa dirinya menggunakan jalan (pathway)
pemecahan masalah seperti itu. Akibatnya, sering terjadi
ketika guru memberikan contoh pemecahan masalah nampak
peserta didik mengerti, namun ketika ke hadapan mereka diberi
masalah sejenis namun konteksnya dibuat sedikit berlainan
(modifikasi atau variasi), serta-merta peserta didik menjadi
kembali tidak mampu memecahkan masalah yang diberikan. Yang
perlu ditumbuhkan dalam pembelajaran adalah kemampuan
menyusun strategi untuk memecahkan masalah, bukan sekedar
meniru solusi-solusi yang diperlihatkan guru.
3) Pembelajaran kimia harus mampu memperluas wawasan peserta didik
mengenai dampak sosial dan lingkungan yang terkait pada penerapan atau
penggunaan proses dan produk kimia di masyarakat.
Tidak ada artinya pengetahuan seseorang apabila tidak
dapat diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari di masyarakat.
27
Dalam kaitannya dengan kimia, dewasa ini kehidupan sehari-
hari (daily life) peserta didik dipenuhi dengan pemanfaatan
proses dan bahan-bahan kimia (pembersih, obat-obatan,
pembasmi hama, dan sebagainya), yang apabila digunakan secara
berlebihan (tanpa kendali) akan merusak tubuh pengguna dan
pencemaran lingkungan. Pembelajaran kimia perlu menyentuh
dampak-dampak sosial dan lingkungan dari bahan kimia, di
samping manfaat-manfaat yang diberikannya, agar peserta didik
kelak mampu menjadi manusia dewasa yang penuh kearifan dalam
memperlakukan bahan kimia.
4) Pembelajaran kimia harus mampu memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis
peserta didik.
Minat dan keantusiasan peserta didik terhadap mata
pelajaran kimia akan timbul jika pembelajaran kimia mampu
memenuhi kebutuhan (needs) pribadi peserta didik. Motivasi
belajar akan tumbuh apabila proses pembelajaran kimia mampu
memenuhi dorongan fisik dan psikologis peserta didik. Pada
dasarnya peserta didik di SMA/MA mempunyai kebutuhan akan
“keaktifan” alih-alih “pasif”. Agar disenangi peserta didik,
pembelajaran kimia perlu “mengaktifkan” mereka, baik secara
fisik (kegiatan lab yang menggunakan keterampilan motorik),
maupun secara psikologis (berpikir, menghadapi tantangan &
pertanyaan). Di samping itu peserta didik, yang juga
merupakan mahluk sosial, mempunyai dorongan untuk
berinteraksi dengan teman sejawat (peer) mereka, sehingga
kegiatan-kegiatan pembelajaran dalam kelompok
28
(cooperative/collaborative learning) akan menumbuhkan kesenangan
belajar kimia.
5) Pembelajaran kimia harus mampu mencerahkan peserta didik tentang karir
masa depan yang terkait kimia.
Peserta didik di SMA/MA berada di persimpangan jalan untuk
memilih karir masa depannya. Seringkali pendidikan tidak
memberikan kejelasan bagi peserta didik tentang hal-ihwal
mengenai profesi-profesi yang dapat dimasukinya ke depan.
Dalam kaitan itu pembelajaran kimia perlu juga menyentuh
bidang-bidang profesi yang dapat dimasuki dengan bekal
pengetahuan kimia, seperti kimia, pertanian, farmasi,
teknologi makanan, teknologi material, bioteknologi,
metalurgi, teknologi kimia industri, dll. Peserta didik perlu
memperoleh pencerahan tentang apa yang dikerjakan para
profesional dalam tiap-tiap bidang masing-masing, serta
dimana peranan pengetahuan dasar kimia dalam membentuk
profesionalitas para ahli tersebut. Pembelajaran kimia yang
berhasil mencerahkan karir masa depan akan dapat mendorong
motivasi belajar peserta didik dalam mata pelajaran kimia.
F. Pergeseran Paradigma Pembelajaran
Apa yang harus kita lakukan prakteknya di dalam kelas
untuk menciptakan pembelajaran kimia yang efektif sebagaimana
dipaparkan pada butir E di atas? Tentu perlu upaya pengubahan
pola pembelajaran kimia di kelas kita, dan paparan pada butir
E diharapkan menimbulkan inspirasi bagi guru untuk merancang
29
pembelajaran yang akan dilakukan. Namun demikian tentu
perubahan yang drastis umumnya sangat sulit dilakukan.
Kebiasaan-kebiasaan kita yang telah mentradisi serta
keyakinan-keyakinan yang telah matap dalam benak kita,
menghambat fleksibilitas dan daya inovasi kita. Transisi
dari tradisi lama ke tradisi baru meminta waktu, karena
memang diperlukan waktu untuk terbentuknya pemahaman baru dan
keyakinan baru. Sedikit demi sedikit diharapkan terjadi
pergeseran (shifting) dari paradigma pembelajaran lama ke
paradigma pembelajaran baru (Firman, 2000), sebagaimana
dipaparkan lebih jauh di bawah ini.
1) Pergeseran dari mengingat ke arah berpikir/bernalar
Memori kerja (working memory) otak siswa sangat terbatas.
Di samping itu potongan-potongan pengetahuan yang terlepas-
lepas dan tidak dipahami makna fisiknya sulit untuk diakses
kembali. Oleh karenanya menyuruh peserta didik mengingat
banyak hal adalah sia-sia saja, karena mereka tidak dapat
menggunakannya. Beberapa potongan pengetahuan memang setelah
dipahami maknanya ada yang perlu diingat, tetapi hal seperti
itu tidak banyak, hanya menyangkut sejumlah materi sentral.
Yang lebih penting adalah melalui pembelajaran kimia kita
menstimulasi pengembangan kemampuan berpikir, mengaitkan
konsep-konsep yang nampak terpecah-pecah menjadi kesatuan
hubungan yang bermakna, mengajukan pertanyaan kritis terhadap
fenomena kimia yang diobservasinya, memecahkan masalah-
masalah kimia yang menuntut peserta didik mengidentifikasi
permasalahan, memilih konsep dan prinsip yang dapat dipakai
30
untuk memecahkan permasalahan itu, menata sistematika
prosedur pemecahan masalah, serta mencari data dan informasi
pendukung yang diperlukan.
2) Pergeseran dari menyampaikan secara verbal seluruh materi pelajaran ke
arah yang lebih menekankan materi kunci (sentral)
Ada kecenderungan kita untuk “memberikan” (baca:
menceritakan) semua materi pelajaran secara rinci kepada
peserta didik dalam proses pembelajaran, dan kita merasa
telah selesai mengajar apabila telah menyampaikan semuanya
kepada mereka. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa berbagai
penelitian menunjukkan apa yang dikatakan guru tidak serta-
merta menjadi apa yang ditangkap otak siswa, sehingga cara
membelajarkan peserta didik dengan “mentrasmisikan
pengetahuan” tidaklah efektif. Dengan gaya transmisi
pengetahuan, waktu yang tersedia akan selalu kurang untuk
meliput semua materi yang ada dalam GBPP, dan kita mengatakan
terget kurikulum sulit tercapai karena kurang waktu.
Dari keseluruhan materi pelajaran terdapat materi kunci
yang kedudukannya sentral, sedangkan yang lain lebih bersifat
marginal. Fokus pembelajaran di kelas hendaknya
terkonsentrasi pada materi sentral ini, sehingga tersedia
cukup waktu bagi peserta didik untuk memahami dan
menginternalisasi materi pelajaran yang diajarkan. Di samping
itu penggunaan alat-alat bantu (teaching aid) akan
memfasilitasi siswa dalam memahami materi pelajaran, seperti
halnya gambar visualisasi (melalui poster atau proyeksi OHP)
31
dan model tiga dimensi. Visualiasi terbukti sangat memudahkan
siswa memahami materi pelajaran, sehingga dapat memotong
waktu pembelajaran.
Bagaimana dengan materi pelajaran yang marjinal? Kita
perlu menyadari bahwa kita tidak sendirian dalam
membelajarkan peserta didik. Paling sedikit ada buku
pelajaran dan LKS yang tersedia, untuk dijadikan sumber
pengetahuan, dan peserta didik perlu mempunyai potensi
intelektual untuk memahami isi buku asalkan dilatih.
Melibatkan peserta didik, buku sumber, situs web, dan
peralatan laboratorium, secara interaktif merupakan
paradigma baru dalam pembelajaran yang banyak dianut di
negara maju.
3) Pergeseran dari pembelajaran berbasis kontent ke arah keseimbangan antara
kontent dan proses.
Kita sering kali lupa, hanya memandang pembelajaran
sebagai “transfer of knowledge”, seraya melupakan fungsi
utama lainnya dari mata pelajaran, yakni mengembangkan
intelektualitas peserta didik. Keterampilan proses, antara
lain kemampuan observasi, interpretasi dan analisis data,
aplikasi pengetahuan, merancang eksperimen, berkomunikasi,
dll. juga perlu dikembangkan melalui pembelajaran kimia.
Bila kita menanyai lulusan SMA/MA yang lulus 3-4 tahun yang
lalu tetapi tidak mempelajari kimia lagi di perguruan tinggi,
seberapa banyak materi pelajaran kimia yang masih diingatnya,
sangat pasti hanya sedikit pengetahuan kimia yang masih
32
diingatnya. Berbeda halnya dengan keterampilan proses, yang
mereka aplikasikan dalam bidang yang didalaminya di perguruan
tinggi atau bidang pekerjaan.
Pengetahuan dan keterampilan proses harus dipandang
seimbang sebagai tujuan pembelajaran. Penekanan pada
keterampilan proses tidak mesti memerlukan tambahan
peralatan dan adanya laboratorium lengkap dengan laborannya.
Pertanyaan guru untuk meminta peserta didik mempelajari suatu
grafik dan mencerikatakan tafsirannya sudah merupakan upaya
guru mengembangkan keterampilan proses. Demikian pula bila
guru meminta peserta didik menelaah tabel data hasil
percobaan (diberikan guru) dan selanjutnya mereka diminta
menyimpulkan, sebab hasil simpulannya itu merupakan konsep
atau prinsip yang diajarkan (katakanlah rumus tetapan
kesetimbangan, Kc), merupakan juga contoh pembelajaran yang
menekankan keseimbangan kontent-proses.
4) Pergeseran dari teoretik ke arah aplikasi
Penelitian menunjukan bahwa pelajaran menjadi kurang
menarik bagi peserta didik apabila materi pelajaran steril
dari aplikasinya dalam kehidupan nyata. Oleh karenannya
ketika kita memulai mengajarkan suatu materi pokok, kita
perlu terlebih dahulu memperkenalkan secara permukaan
aplikasi dari apa yang akan dipelajari mereka. Selanjutnya
pada fase akhir pembelajaran sangat penting untuk membuka
wawasan peserta didik tentang aplikasi atau keterkaitan
pengetahuan yang baru saja dipelajarinya dengan fenomena
nyata dalam kehidupan sehari-hari (Firman, 2001). Sebagai
33
contoh, setelah mempelajari reaksi redoks ada baiknya kelas
mendiskusikan bagaimana bahan pemutih bekerja pada pakaian
kita. Contoh lain adalah setelah peserta didik mempelajari
ikatan hidrogen, selayaknya mereka diajak untuk memberikan
menjelaskan ilmiah terhadap fenomena “es terapung dalam air”.
5) Pergeseran dari “teacher centered” ke arah “learner centered”
Sudah lama kita terbelenggu oleh pandangan bahwa guru
merupakan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan, dan dalam
proses pembelajaran pengetahuan tersebut dapat ditransfer
kepada peserta didik melalui “penjelasan guru”, bagaikan
mengalirkan air dari poci ke gelas kosong, dan peserta didik
diharapkan dapat menyerap segala apa yang disampaikan guru.
Pandangan ini tidak relevan lagi saat ini. Pada era informasi
global yang telah kita masuki, begitu banyak sumber informasi
yang dapat diakses peserta didik dari sumber-sumber tercetak
dan elektronik, misalnya buku-buku, surat kabar dan majalah,
tayangan TV, CD-ROM, serta informasi dalam berbagai situs
internet.
Dalam perkembangan dunia saat ini guru di negara maju
telah menggeser posisi dan perannya, dari sumber pengetahuan
menjadi fasilitator belajar. Hal ini bukan berarti guru
menjadi kehilangan posisi, tetapi mengokohkan diri sebagai
individu yang diperlukan untuk membelajarkan peserta didik
bagaimana cara belajar (learning how to learn). Tugas penting guru
yang tidak dapat disubstitusikan adalah mengembangkan
kemampuan peserta didik menggunakan sumber-sumber belajar
tadi dalam memahami sesuatu fenomena alam, serta memecahkan
34
masalah yang dihadapi dengan menafaatkan aneka sumber
informasi yang tersedia.
Perkembangan zaman menuntut pergeseran paradigma
pembelajaran dari asalnya yang didominasi guru (teacher
centered) ke arah yang lebih dipenuhi dengan aktivitas fisik
dan berpikir siswa (learner centered). Dalam kaitan itu guru
yang berfungsi sebagai fasilitator belajar bagi peserta
didiknya perlu menjadi perancang dan pengelola kegiatan
pembelajaran yang mengaktifkan siswa, serta menjadi konsultan
bagi peserta didik manakala mereka menghadapi kendala dalam
belajarnya.
6) Pergeseran dari penyajian secara steril ke arah keterkaitan pada isu sosial dan
lingkungan
Salah guna (misuse) proses dan produk kimia karena
ketidaktahuan (ignorance) atau karena lemahnya moral telah
menimbulkan permasalahan sosial dan lingkungan di masyarakat.
Tinjaulah kasus “import sampah bahan-bahan berbahaya”,
“penggunaan bahan-bahan kimia terlarang” untuk pewarna
makanan, obat-obatan, pendingin ruangan, dan sebagainya,
penggunaan produk industri kimia berlebihan (BBM, pembersih,
pemutih, insektisida), jelas-jelas menimbulkan persoalan
sosial dan lingkungan, baik secara lokal maupun global.
Seiring dengan kemunculan isu sosial dan lingkungan
sebagai dampak perkembangan aplikasi kimia, maka menjadi
tanggungjawab moral guru mata pelajaran kimia untuk lebih
menggukan “kendaraan” materi pelajaran kimia untuk
35
menciptakan kenetraan (literasi) peserta didik tentang
dampak-dampak tersebut. Misalnya, setelah peserta didik
belajar tentang struktur molekul metana serta senyawa
turunanannya, momentum ini sangat tepat untuk dijadikan bahan
diskusi tentang keberadaan freon, mengapa dulu dipakai, apa
dampaknya terhadap lingkungan sehingga kini dilarang, serta
akibat-akibat lebih jauh apabila manusia melanggar larangan
itu.
G. Penelitian Pendidikan Kimia
Telah dipaparkan di muka bahwa fenomena belajar kimia
mempunyai kompleksitas tinggi, sementara ilmu pendidikan
kimia belum sampai pada taraf cukup matang untuk mengarahkan
praksis pendidikan kimia di sekolah. Oleh karenanya tidak
semua persoalan pembelajaran kimia dapat dipecahkan, sehingga
terdapat banyak masalah pendidikan kimia yang sekalipun telah
teridentifikasi sejak lama, namun masih tinggal sebagai
masalah. Untuk itu masih diperlukan penelitian-penelitian
mendalam terhadap permasalahan-permasalahan pembelajaran
kimia yang terorganisasikan dalam jejaring penelitian yang
sistematik.
Peta penelitian dalam bidang pendidikan kimia di dunia
internasional mengindikasikan bahwa topik-topik penelitian
yang dilaporkan dalam publikasi ilmiah dalam satu dekade
terakhir terkonsolidasi pada sejumlah ranah (domain)
penelitian (Gabel, 1994; Bucat, 1995; DeJong, 1999), antara
lain analisis konsepsi/miskonsepsi peserta didik terhadap
konsep-konsep esensial yang menjadi materi pembelajaran
36
kimia, remediasi miskonsepsi kimia, diagnosis kesalahan
pemecahan masalah dalam kimia, analisis pembelajaran kimia,
inovasi-inovasi pembelajaran kimia, korelat-korelat hasil
belajar kimia, pengembangan alat asesmen hasil belajar kimia
(Lihat kotak 3). Secara lebih terinci, karakteristik masing-
masing ranah penelitian tersebut dipaparkan berikut ini.
37
Analisis konsepi/ miskonsep
si
Remediasi miskonsep
siDiagnosis pemecahan masalah
Analisis pembelajaran
Pengembangan & validasi
alat penilaian
Pengembangan & uji coba inovasi
Korelat-korelat hasil belajar kimia
Ranah Penelitian Pendidikan
Kimia
Kotak 3: Ranah-Ranah Penelitian Pendidikan Kimia
1) Analisis konsepsi siswa. Penelitian dalam ranah ini
mengidentifikasi konsepsi-konsepsi siswa mengenai konsep-
konsep esensial dalam silabus mata pelajaran kimia di SMP/MTs
dan SMA/MA dengan berbagai macam metode standar, antara lain
assessmen dengan tes diagnostik miskonsepsi, interviu klisnis
(dengan perekaman) terhadap peserta didik, atau pemetaan
konsep oleh peserta didik. Hasil studi dalam ranah ini
diharapkan dapat memperkaya pengetahuan tentang konsepsi-
konsepsi alternatif yang ada dalam pikiran siswa sekolah
menengah pada umumnya. Pengetahuan ini penting sebagai
landasan bagi guru untuk merancang strategi pembelajaran yang
efektif.
2) Remediasi miskonsepsi. Penelitian-penelitian dalam ranah ini
mengembangkan metode, teknik, dan media (konvensional dan
digital) pembelajaran yang dirancang untuk meremedi peserta
didik yang teridentifikasi mengalami miskonsepsi. Pada
umumnya penelitian dalam domain ini menggunakan teori
pengubahan konsep (conceptual change), yang mendeskripsikan
bagaimana suatu miskonsepsi yang sifatnya resisten pada benak
peserta didik diubah (Stavy, 1995). Pengetahuan yang
dihasilkan dari penelitian-penelitian dalam ranah ini sangat
dinantikan oleh pendidik untuk mengatasi masalah rutin yang
dihadapi, apalagi pada saat prinsip belajar tuntas (mastery
learning) perlu dilakukan dalam tugas profesional mereka
seperti saat kini.
38
3) Diagnosis kesulitan dalam memecahkan masalah hitungan kimia.
Kompetensi melakukan perhitungan-perhitungan numerik dalam
pembelajaran kimia, misalnya perhitungan stoikiometri,
kesetimbangan, termokimia, pH larutan asam-basa, buffer,
hidrolisis, kelarutan, elektrokimia, teridentifikasi sebagai
masalah nyata yang dihadapi siswa. Analisis lebih mendalam
perlu dilakukan terhadap titik kelemahan peserta didik dalam
proses pemecahan masalah, yang menyebabkan mereka memperoleh
jawaban salah. Metode standar yang dapat dipakai dalam
mengidentifikasi kelemahan tersebut adalah analisis terhadap
respon tertulis peserta didik pada penyelesaian soal hitungan
serta metode “thinking-aloud” (Bowen, 1994). Pada penelitian
seperti ini subyek penelitian diminta menyelesaikan soal
numerik sambil mengutarakan proses penalaran yang terjadi
dalam pikirkannya, dan peneliti merekamnya. Analisis terhadap
transkripsi rekaman tersebut memungkinkan peneliti dapat
menelusuri titik awal peserta didik berbuat salah.
Selanjutnya, atas dasar pengetahuan itu strategi-strategi
pembelajaran dalam konteks pemecahan masalah numerik kimia
dapat dikembangkan.
39
4) Analisis pembelajaran. Penelitian dalam ranah ini mengobservasi
dan merekam eksplanasi pendidik dan eksplanasi peserta didik
dalam situasi pembelajaran kimia yang yang dilakukan oleh
guru piawai ketika mengajarkan suatu materi pokok tertentu
pada silabus mata pelajaran kimia (Siregar, 1998).
Selanjutnya peneliti melakukan analisis terhadap transkripsi
interaksi belajar-mengajar tadi untuk menemukan bagaimana
guru memfasilitasi siswa dalam mengkontruksi konsep kimia.
Strategi guru dalam menerapkan pedagogi materi subyek yang
membuat materi pelajaran terpahami (tercerna) menjadi temuan-
temuan penting dari penelitian semacam ini. Dapat juga
perilaku pengajar guru piawai diperbandingkan dengan guru
pemula, sehingga pengetahuan praktis (practical knowledge of
teaching) guru yang menyebabkan kepiawaian dalam mengajar
kimia dapat diidentifikasi dan dihimpun untuk dijadikan
model.
5) Pengembangan dan ujicoba lapangan pembelajaran inovatif. Penelitian
dalam ranah ini pada dasarnya menerapkan teori, prinsip,
pendekatan baru dalam mengajar, atau penggunaan teknologi
yang prospektif untuk meningkatkan keberhasilan pembelajaran,
khususnya yang menyangkut materi pembelajaran yang sesuai.
Dalam penelitian pada konteks ini dikembangkan suatu program
pembelajaran dengan menerapkan teori, prinsip, pendekatan,
teknik yang dirujuk, misalnya konstruktivisme, pedagogi
materi subyek, CTL (contextual teaching-learning), SETS (science,
environment, technology, society), multimedia, dll.) kemudian
mengimplementasikannya dalam kelas oleh pendidik atau
40
peneliti. Penelitian semacam ini umumnya dilakukan secara
penelitian tindakan kelas (classroom action research) secara
kolaboratif antara peneliti dan pendidik di sekolah.
Pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian dalam ranah ini
memperkaya pilihan model, strategi, pendekatan, metode, dan
teknik pembelajaran yang telah teruji efektivitasnya dalam
konteks ujicobanya, sehingga pendidik dapat menggunakannya
dalam konteks kelasnya masing-masing.
6) Korelat-korelat hasil belajar kimia. Hingga saat ini pengetahuan
tentang faktor-faktor determinan keberhasilan belajar kimia
belum konklusif karena kurangnya penelitian yang dilakukan
dalam rahan ini. Akibatnya tidak tersedia rujukan yang dapat
dipegang oleh para praktisi pendidikan kimia di lapangan
dalam merencanakan pembelajaran. Sesungguhnya teori Gagne
mengungkapkan pentingnya struktur dalam pengembangan suatu
kemampuan, sehingga asaz keprasayatan untuk keberberhasilan
belajar suatu materi pokok kimia. Pengetahuan dan kemampuan
psikologis yang merupakan korelat-korelat dari hasil belajar
setiap materi pokok kimia perlu diungkap melalui studi-studi
korelasional. Pengetahuan tentang korelat-korelat hasil
belajar kimia ini akan sangat berguna bagi pendidik dalam
merencanakan pembelajaran kimia yang efektif.
41
7) Pengembangan dan validasi alat penilaian kompetensi. Praktek
penilaian kompetensi berbeda dari sekedar penilaian pemahaman
konsep. Ketiadaan alat penilaian kompetensi akan menyebabkan
hasil belajar yang dievaluasi hanyalah terbatas pada salah
satu aspek dari kompetensi saja yang mudah dinilai. Di sisi
lain ketiadaan alat uji kompetensi yang dapat dijadikan model
dalam mengembangkan soal ujian akhir semester, atau bahkan
ujian sekolah dan ujian nasional, akan menyebabkan praktek
pembelajaran kembali ke cara-cara lama yang menekankan
memorisasi pengetahuan (test driven instruction). Kegagalan dalam
proyek-proyek adopsi pendekatan inkuari, pembelajaran aktif,
keterampilan proses di masa lalu bertalian dengan ketiadaan
alat asesmen yang relevan. Oleh karenanya model-model
prosedur dan alat penilaian kompetensi, baik dalam format tes
atau format penilaian alternatif, perlu digagas, dikembangkan
dan divalidasi melalui penelitian.
Daftar Pustaka
Badan Standar Nasional Pendidikan (2006). Standar isi matapelajaran kimia SMA/MA. Jakarta: BNSP.
Badan Standar Nasional Pendidikan (2006). Panduan penyusunankurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar danmenengah. Jakarta: BNSP.
Benfey, O. T. et al. (1964). Chemical system. St Louis: McGraw-Hill Book.
Bowen, C. W. (1994). What is research in chemistry education.Journal of chemical education, 71(3), 184-190.
Bucat, B. & Fensham, P. (Eds.) (1995). Selected papers on chemicaleducation research: Implications for the teaching of chemistry. Delhi:The IUPAC committee on teaching of chemistry.
42
Chia, L. H. (1997). Chemical Education in Singapore. Dalam Y.Takeuchi & M. M. Ito (Eds.), Chemical education in Asia-Pacific.Tokyo: The Chemical Society of Japan.
Cruickshank, D. R. (1990). Research that informs teachers and teachereducator. Bloomington: Phi Delta Kappa.
De Jong, O., Schmidt, H., Burger, M. & Eybe, H. (1999).Empirical research into chemical education: The motivation, researchdomains, methods and infrastructure of a maturing scientific discipline.[Online] Tersedia: http://www.euchems.org/binaries/ [10Feb 2006]
Firman, H. (1999) Faktor-faktor yang mempengaruhikeberhasilan mengajar kimia di Sekolah Menengah umum.Makalah seminar pengajaran kimia di Sony Sugema Colllege (SSC), 14 maret1999.
Firman, H. (2000). Beberapa pokok pikiran tentangpembelajaran kimia di SLTA. Makalah diskusi guru mata pelajarankimia Madrasah Aliyah se Jawa barat di Balai Penataran Guru Bandung, 4November 2000.
Firman, H. (2001). Kimia Aplikatif: Seberapa Jauh perlutercakup dalam GBPP Mata Pelajaran Kimia Sekolah MenengahUmum? Makalah Seminar Pendidikan Kimia dalam rangka Dies NatalisHimpunan Mahasiswa Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia, 1 Juli2001.
Gabel, D. L. (Ed.) (1994). Handbook of research on science teachingand learning. New York: Macmillan.
Hill, J. W. & Kolb, D. K. (2001). Chemistry for changing times.Upper Saddle (NJ): Prentice-Hall).
International Asociation for the Educational Achievement(IEA) (1996). Science achievement in the middle school years: IEA’s thirdinternational mthematics and science sudy (TIMSS). Chesnut Hill(MA): TIMMS Inernational Study Center.
Johnstone, A. H. (2000). Chemical education research: Where from here.[Online] Tersedia:http://www.rsc.org/pdf.nchemed/papers/2000/ [8 Oktober2005].
Ling, L. M. (1997). Chemical Education in Hongkong. Dalam Y.Takeuchi & M. M. Ito (Eds.), Chemical education in Asia-Pacific.Tokyo: The Chemical Society of Japan.
43
Marks, J. (1985). Science and the mking of the modern world. London:Heinemann Educational Books.
Noh, T., Han, I., Woo, K. W. & Kang, S. (1997). Chemicaleducation in Korea. Dalam Y. Takeuchi & M. M. Ito (Eds.),Chemical education in Asia-Pacific. Tokyo: The Chemical Society ofJapan.
Pimentel, G. C. (Ed) (1963). Chemistry: An experimental science. SanFransisco (CA): W. H. Freeman.
Random House (2004). Concise dictionary of science & computers. NewYork: Helicon Publishing, 2004.
Silberberg, M. S. (2003). Chemistry: The molecular nature of matter andchange. New York: McGraw-Hill.
Siregar, N. (1998). Penelitian kelas: Teori, methodology & analisis.Bandung: IKIP Bandung Press.
Stavy, R. (1995). Conceptual Development of Basic Ideas inChemistry. Dalam Shawn M. Glynn & Reinders Duit (Eds),Learning science in the schools: Research reforming practice. Mahwah(NJ): Lawrence Erlbaum Associates.
Vossen, H. (1979). Kopendium didaktik kimia. Alih Bahasa:Soeparmo. Bandung CV Remadja Karya.
Tongwen, H., Wending, L., Yongxing, W., Zufu, C., Jiaxun, H.,Jianru, Z., Meiling, H. & Yue, W. (1997). Dalam Y.Takeuchi & M. M. Ito (Eds.), Chemical Education in Asia-Pacific.Tokyo: The Chemical Society of Japan.
---------------------Tentang Penulis
Harry Firman, dosen jurusan pendidikan kimia FPMIPAUniversitas Pendidikan Indonesia sejak tahun 1974, lulusanFakultas Pasca Sarjana IKIP Bandung (1983), pernah mengikutipendidikan non-gelar di State University of New York atAlbany (1996), University of Houston (1993), Ohio StateUniversity (1994). Selain menjadi dosen UPI, penulis pernahmenjadi anggota tim pengembang kurikulum mata pelajaran kimiadi Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (1992-1994), dekan
44
FPMIPA UPI (2000-2004), konsultan lokal untuk MistubishiResearch Institute, Inc. dalam Basic Education Sector Study diIndonesia (2002), anggota tim studi PISA di Pusat PenilaianPendidikan Balitbang Depdiknas (2004-2005), serta dosen danpeneliti tamu untuk kajian kerjasama internasional dalambidang pendidikan di Hiroshima University (2006). E-mailaddress: [email protected]
45