PENDEKATAN RESOURCE-BASED VIEW ANALISIS UNTUK MEMPERTAHANKAN KEBERLANJUTAN LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI...

16
Maryam Mihardjo dan Kusmayadi DikLatPar Pendidikan dan Pelatihan Kepariwisataan Pendidikan dan Pelatihan Kepariwisataan PENDEKATAN RESOURCE-BASED VIEW ANALISIS UNTUK MEMPERTAHANKAN KEBERLANJUTAN LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI PARIWISATA Maryam Mihardjo 1 dan Kusmayadi 2 Abstrak PENDAHULUAN Kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan tinggi telah mendorong pertum- buhan lembaga pendidikan tinggi terutama pendidikan tinggi swasta (PTS). Hal ini disebabkan karena pendidikan tinggi mempunyai peranan dan tanggung jawab besar di masa yang akan datang. Berdasarkan data terakhir, saat ini terdapat 1.660 PTS di Indonesia, termasuk 257 PTS berada di lingkungan Kopertis Wilayah III DKI Jakarta. Jumlah tersebut terdiri atas 42 Universitas, enam Institut, 117 Sekolah Tinggi , 89 Akademi dan tiga buah Politeknik, jumlah ini dipastikan akan terus bertambah di masa yang akan datang. Di sisi lain, pertumbuhan lembaga pendidikan tersebut tidak diikuti oleh pening- katan kualitas. Hal ini seperti ditemukan dari hasil survey Polititical and Economic Risk Consultancy (PERC) tentang penilaian kualitas pendidikan di kawasan Asia, menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-102 atau setingkat di bawah Vietnam. Menurut survey tersebut, Indonesia memiliki sistem pendidikan terburuk di kawasan Asia. Adapun Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, yang disusul oleh Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina dan Malaysia. Berdasarkan kenyataan empiris di atas, maka dipastikan Indonesia sangat pesimis untuk mampu bersaing pada era persaingan tersebut. Penelitian lain (IMD, 2000 da- lam Taufik, 2001) yang telah mensurvei 47 negara menunjukkan bahwa secara kese- luruhan, tingkat kompetisi Indonesia berada pada posisi ke-45, Singapura urutan ke-2,

Transcript of PENDEKATAN RESOURCE-BASED VIEW ANALISIS UNTUK MEMPERTAHANKAN KEBERLANJUTAN LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI...

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi

DikLatPar  P e n d i d i k a n d a n P e l a t i h a n K e p a r i w i s a t a a nP e n d i d i k a n d a n P e l a t i h a n K e p a r i w i s a t a a n

PENDEKATAN RESOURCE-BASED VIEW ANALISIS UNTUK MEMPERTAHANKAN

KEBERLANJUTAN LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI PARIWISATA

Maryam Mihardjo1 dan Kusmayadi2

Abstrak

PENDAHULUAN  

Kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan tinggi telah mendorong pertum-buhan lembaga pendidikan tinggi terutama pendidikan tinggi swasta (PTS). Hal ini disebabkan karena pendidikan tinggi mempunyai peranan dan tanggung jawab besar di masa yang akan datang. Berdasarkan data terakhir, saat ini terdapat 1.660 PTS di Indonesia, termasuk 257 PTS berada di lingkungan Kopertis Wilayah III DKI Jakarta. Jumlah tersebut terdiri atas 42 Universitas, enam Institut, 117 Sekolah Tinggi , 89 Akademi dan tiga buah Politeknik, jumlah ini dipastikan akan terus bertambah di masa yang akan datang.

Di sisi lain, pertumbuhan lembaga pendidikan tersebut tidak diikuti oleh pening-katan kualitas. Hal ini seperti ditemukan dari hasil survey Polititical and Economic Risk Consultancy (PERC) tentang penilaian kualitas pendidikan di kawasan Asia, menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-102 atau setingkat di bawah Vietnam. Menurut survey tersebut, Indonesia memiliki sistem pendidikan terburuk di kawasan Asia. Adapun Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, yang disusul oleh Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina dan Malaysia.

Berdasarkan kenyataan empiris di atas, maka dipastikan Indonesia sangat pesimis untuk mampu bersaing pada era persaingan tersebut. Penelitian lain (IMD, 2000 da-lam Taufik, 2001) yang telah mensurvei 47 negara menunjukkan bahwa secara kese-luruhan, tingkat kompetisi Indonesia berada pada posisi ke-45, Singapura urutan ke-2,

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

ISSN 1411-1527 Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

2  

Malaysia urutan ke-25, Thailand dan Philippina masing-masing pada urutan ke-33 dan 38. Penelitian tersebut juga menempatkan kualitas sumber daya manusia Indone-sia secara keseluruhan berada pada posisi ke-46 dari 47 negara yang disurvey, kapabili-tas ilmu dan teknologi urutan ke-42, dan manajemen kapabilitas sumberdaya manusia berada pada urutan ke-44.

Kondisi ini merupakan tantangan yang sangat berat yang harus dihadapi oleh se-tiap lembaga pendidikan tinggi termasuk lembaga pendidikan tinggi pariwisata, bagaimana dapat bersaing dan memenangkan persaingan tersebut. Jawabannya han-ya satu adalah kualitas. Kualitas itu sendiri tidak dengan sendirinya dapat diperoleh melainkan harus diusahakan dengan berbagai pendekatan.

Paper ini bertujuan untuk mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan bagaimana suatu lembaga pendidikan tinggi di Indonesia mencapai suatu keunggulan kompetitif (competitive advantage) di lingkungan global. Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa resource-based view of the firm (RBV) telah muncul sebagai suatu penjelasan yang populer terhadap heterogenitas kinerja perusahaan.

PENDIDIKAN    TINGGI  DI  MASA  MENDATANG  

Di masa depan pengetahuan akan menjadi asset yang paling berharga yang menentukan arah masa depan seseorang. Lembaga pendidikan sebagai institusi yang membentuk kapabilitas manusia secara formal akan akan menghadapi tantangan yang sangat besar di masa-masa yang akan datang. Menurut Gordon (1995) kompetisi ekternal pada tahun 2005 antara lain akan terjadi (1) pergeseran akademik di dalam pendidikan menuju pendidikan yang tinggi, (2) adopsi secara luas oleh perusahaan dan pekerja professional terhadap standar kompetensi nasional yang lebih tinggi, (3) tumbuhnya penyedia program pendidikan maupun materi pendidikan.

Sementara itu menurut Mihardjo (1999) melihat kompetisi yang sangat ketat di berbagai bidang kehidupan telah menimbulkan pergeseran poros dunia dari Barat ke Timur atau dari Eropa ke Asia Timur. Pergeseran ini memberikan bentuk atau ciri pengembangan ilmu dan teknologi (iptek) antara lain: (1) Sumber daya manusia yang diperlukan adalah tenaga kerja tukang yang memiliki ketrampilan tinggi (highly-skilled craft worker) (2) Manajemen sumber daya manusia yang ditekankan untuk mengen-dalikan proses produksi yang digerakkan dengan mengikuti aturan-aturan yang berulang-ulang dan rutin, (3) Orientasi produksi yang bersifat massal, terpusat dan miskin akan nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan bermasyarakat, (4) Kebutuhan spesialisasi yang sangat dalam sehingga menimbulkan kekakuan atau kecanggungan bila harus berganti bidang pekerjaan yang lain.

Untuk mengantisipasi hal itu, William and Fray (1994) merumuskan enam strategi pengelolaan pendidikan tinggi sampai tahun 2004. Strategi tersebut adalah: (1) diversity and differentiation; (2) graduate employment; (3) qualification and the organization of teaching quality;

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi : 1 - 7 ISSN 1411-1527

3  

(4) opportunities offered by new technology; (5) increasing income from the private sector; dan (6) staff recruitement.

Diversifikasi dan diferensiasi. Lembaga pendidikan tinggi yang hanya menawarkan satu macam produk dipastikan akan segera mengalami stagnasi. Hal ini terjadi karena cepat berkembangnya pengetahuan dan teknologi yang mengakibatkan cepat usangnya ilmu dan teknologi. Di samping itu, produk pendidikan yang dita-warkan harus memberikan warna yang berbeda dengan pendidikan lain yang sejenis. Ini dapat dicapai apabila institusi memiliki core competence, yaitu sumber daya dan kem-ampuan yang dimiliki institusi sebagai sumber keunggulan bersaing terhadap institusi pesainnya. Apabila core competencies yang dimiliki institusi memiliki keunggulan superior dari pada institusi competitor-nya maka disebut distinctive competence.

Pemberdayaan lulusan. Penyerapan lulusan oleh industri selalu tidak seband-ing dengan jumlah banyaknya lulusan yang ditawarkan lembaga pendidikan tinggi. Terdapat dua kemungkinan yang utama hal ini dapat terjadi. Pertama, kesempatan kerja yang ditawarkan lebih sedikit dibandingkan dengan supply calon tenaga kerja yang akan mengisi jabatan pekerjaan tersebut. Kedua, lulusan tidak memenuhi krite-ria kompetensi yang dibutuhkan industri. Oleh karena itu, institusi harus membentuk jaringan kerja secara luas guna menempatkan lulusannya.

Kualifikasi dan pengelolaan kualitas pembelajaran. Kualifikasi lulusan dapat ditentukan berdasarkan tingkat kompetensi masing-masing, yang akan diperoleh melalui kualitas pembelajaran yang memadai. Perluasan kualifikasi lulusan ini dapat memberikan kesempatan mereka untuk memilih peluang kesempatan kerja yang lebih luas. Dengan demikian apabila kemampuan mengelola kualitas pembelajaran dengan baik, suatu institusi pendidikan akan dapat bersaing dengan institusi lainnya. Adanya kurikulum lokal yang lebih besar pada saat ini akan mendorong institusi untuk menentukan distinctive competence dalam pembelajaran.

Peluang pemanfaatan teknologi baru. Teknologi computer dan informati-ka ternyata telah merubah dunia secara revolusioner. Tatanan pendidikan dipastikan berubah secara cepat. Learning without walls, tampaknya sudah tidak dibendung lagi. Akankah pendidikan dalam kelas dapat berlangsung? Ini tergantung pada kemampu-an mengelola institusi ini menawarkan produk unggul bagi para calon mahasiswanya.

Peningkatan pendapatan dari sector swasta. Dipastikan tidak akan men-capai kualitas baik apabila orientasi pendidikan hanya mengejar kuantitas mahasiswa dan atau lulusan. Karena jumlah mahasiswa sebagai sumber pendapatan institusi. Untuk itu, pendapatan di luara tuition fee harus diusakan. Membentuk unit-unit bisnis strategis yang mendukung proses pembelajaran menjadi suatu keharusan. Atau meningkatkan distinctive competence untuk menjadi research university. Salah satau ciri re-search university adalah memiliki pusat kreativitas yang dapat digunakan sector swasta sebagai penyumbang dana. Menurut Van Ginkel (1994) “the university will remain the

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

ISSN 1411-1527 Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

4  

centre of creativity and innovation well into the middle if the next century, remain firmly fixed in the middle of society [but the] university will look rather diffrenet from university… knowledge management will occupy the centre stage”

Rekruitmen Staf. Dalam isntitusi pendidikan, staf dikelompokkan menjadi stam pengajar dan non pengajar. Staf pengajar sebagai motor utama dalam proses pembelajaran, sangat menentukan kualitas lulusan. Dedikasi yang tinggi, kapabilitas yang memadai, profesionalime yang menjadi dasar perekrutan akan mendorong insti-tusi pendidikan memiliki distinctive competence. Williams and Fry (1994) menyimpulkan: “The university of 2004 will be evolving towards one with a small core of high quality full-time staff, more formally specialised than at present in terms of teaching and research skills, under-taking core teaching themselves, but also acting as creators and facilitators of high technology learning materials and forming the nodes of networks of part-time staff”.

Belajar dari porses pendidikan tinggi di Amerika, Bruce Johnstone (1993): “Ameri-can higher education in the last decade of the twentieth century faces escalating costs, uneven de-mographics, faltering revenues and a serious erosion of public confidence–not of its fundamental im-portance, but of its institutional integrity and stewardship. The failure to surmount these challenges could well lead to losses that are serious and irrevocable”.

KUALITAS  PENDIDIKAN  TINGGI  

Kualitas pendidikan tinggi merupakan konsep yang multidimensional yang tidak dapat dengan mudah untuk dinilai hanya dengan satu indikator. Berbagai literature memberikan berbagai terminologi yang berbeda terhadap kualitas pendidikan tinggi ini. Peters and Waterman (1982) mendefinisikan kualitas sebagai sesuatu yang excellent. Pakar lain menyebutnya sebagai value (Feigenbaum, 1951), fitness to use (Juran and Gryna, 1988), conformance to specifications (Gilmore, 1974). Dalam kaitan service, Par-asuraman (1985) menyebutkan kualitas sebagai “meeting and/or exceeding customer expecta-tion. Sedangkan Cheng (1995) mendefinisikan kualitas pendidikan tinggi sebagai “... is the character of the set of elements in the input, and output of the education system that provides services that completely satisfy both internal and external strategic constituencies by meeting their explicit and implicit expectation”

Suhendro (1996) menekankan kualitas pendidikan pada tujuah aspek yaitu (1) relevansi atau ketergayutan tujuan dan sasaran, dalam arti derajat kesesuaian antara tujuan dan sasaran perguruan tinggi dengan aspirasi semua pihak yang berkepentingan serta dengan keperluan nyata masyarakat, industri dan pemerintah. (2) efisiensi (kesangkilan), dalam arti derajat kehematan dalam penggunaan sumberdaya untuk mencapai tujuan dan sasaran (keterkaitan antara masukan proses). (3) Produktivitas, dalam arti kuantitas keluaran (dalam hal ini hasil, karena dampak sukar dikuantifikasi) diperhitungkan terhadap satuan sumber daya tertentu yang digunakan (seperti: lulusan per satuan waktu; penelitian yang dipublikasi per staf akademik yang berkualifikasi tertentu; konsultasi pada industri per satuan waktu dan lain-lain yang menunjukkan

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi : 1 - 7 ISSN 1411-1527

5  

keterkaitan antara aproses dan keluaran). (4) Kemangkusan (efektivitas), dalam arti derajat kesesuaian antara tujuan dan sasaran dengan keluaran (hasil dengan memp-erhitungkan dampak). (5) Akuntabilitas, dalam arti pertanggungjawaban perguruan tinggi (pimpinan dan pribadi sivitas akademika) mengenai segala sesuatu yang dilaku-kan dalam rangka pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. (6) Pengelolaan sistem dalam arti kemampuan perguruan tinggi menyesuaikan di-ri/mengadaptasi diri terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat (lingkungan ker-ja, sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain). (7) Suasana akademik atau kesehatan organisasi, dalam arti derajat motivasi dan kepuasan kerja sivitas akademika dalam pelaksanaan fungsi pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.

MANAJEMAN  PENDIDIKAN  TINGGI  PROFESIONAL  

Barnett (1992) menyebutkan ada empat konsep mengenai lembaga pendidikan yaitu sebagai (1) provider kualitas personal, (2) pelatihan bagi karir penelitian, (3) persyaratan menajemen pembelajaran dan (4) modal dalam memperluas kesempatan berkarya. Pada awalnya pendidikan tinggi ditujukan untuk kelompok masyarakat elit yang diharapkan akan menjadi pemimpin di masa yang akan datang. Selanjutnya Newman (1910 in Gordon, 1995) sebuah universitas merupakan tempat tinggalnya komunitas mahasiswa dan tenaga pengajar dalam mencurahkan wacana ilmiah.

Dengan demikian terjadi interaksi antara pengajar dan peserta ajar yang mengakibatkan suatu perubahan yang terus menerus. Dalam konteks ini, suatu lembaga pendidikan tinggi adalah suatu proses yang menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Di dalam suatu proses, untuk menghasilkan output sudah barang tentu perlu adanya input. Input suatu perguruan tinggi adalah segala sesuatu yang dapat digunakan dalam proses untuk mencapai suatu tujuan. Input dapat diinterpretasikan sebagai tangible resources seperti mahasiswa, sumber daya manusia, dana, gedung, lahan, perpustkaan, laboratorium dan sebagainya dan intangible resources seperti pengetahuan, attitude, creativitas, ingenuity (kecerdasan) dan lain-lain (Anonim, 2001). Sedangkan Whelen (1999) yang dimaksud dengan sumber daya di sini adalah segala sesuatu yang dimiliki organisasi yang mencakup asset, kompetensi, proses, skilled atau knowledge yang dikendalikan oleh proses.

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

ISSN 1411-1527 Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

6  

Proses merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini distribusi, alokasi dan interaksi antar bagian dalam proses sendiri. Ketiga hubungan tersebut dapat ditunjukkan pada gambar berikut:

Input  

Cheng and Tam (1997) memandang bahwa secara alami qualitas lulusan akan baik apabila input yang masuk ke lembaga pendidikan tinggi pun berkualitas. Kualitas pendidikan, menurut pendekatan model input, akan dapat dicapai dengan cepat apabila dimiliki sumber daya dan input yang berkualitas. Indikator kualitas pendidikan harus mencakup kualitas intake (masukan) yang tinggi, peralatan dan fasilitas lebih berkualitas, rasio dosen mahasiswa lebih baik, suporting dana yang lebih dan dukungan alumni serta orang tua mahasiswa. Menurut Cameron (1984) model ini optimal apabila keterkaitan antara kualitas input dan output dirumuskan dengan jelas, dan suberdaya difokuskan untuk mencapai tujuan. Untuk mendapatkan kualitas input memang sangat sulit, karena selalu berbenturan antara kualitas dengan kuantitas mahasiswa. Kualitas input mahasiswa sering tampak merupakan indikator yang paling penting untuk mencapai sukses suatu institusi pendidikan tinggi.

Proses  

Proses pembelajaran di perguruan tinggi merupakan penggunaan (utilization) segenap sumber daya yang terlibat di dalam menghasilkan lulusan. Dalam kaitan ini, dosen, materi pembelajaran, sarana-prasarana akan sangat menentukan kompetensi lulusan. Kurikulum yang telah dirancang akan dapat mencapai hasil guna yang optimum mana kala proses yang dilakukan benar.

Proses pembelajaran untuk menuju kualitas menurut Sudibyo (2000) merupakan kata kunci dalam mencapai keberhasilannya. Keterampilan profesionalisme hanya akan diperoleh dari proses “mengalami/hands on activities”. Berdasarkan kenyataan ini, maka proses pembelajaran harus diberikan ‘proses mengalami’ terhadap mahasiswanya,

INPUT – Sumber daya – Hubungan dn

lingkungan

PROSES Menggunanakan

sumberdaya untuk mencapai tujuan

OUTPUT Hasil dan dampak

Efisiensi Productivity

Effectivity TUJUAN

Sumber: TPSDP Guidelines, 2000

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi : 1 - 7 ISSN 1411-1527

7  

dengan strategi pembelajaran dengan metode learner centered, di mana mahasiswa se-bagai subyek dalam proses pembelajaran. Metode ini mempersyaratkan partisipasi seluruh mahasiswa, dan dosen harus memberikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mahasiswanya. Suprojo (1995) menekankan bahwa hal ini dapat dil-akukan dengan:

a) Proses pembelajaran yang menekankan pada pendekatan cara mengajar untuk belajar (method of learning),

b) Proses belajar berkelompok lebih utama dari proses belajar secara individual dengan penekanan pada keragaman perspektif dalam menyelesaikan persoalan dari pada mencarikan satu jawaban yang benar dengan hampiran terbaik,

c) Proses pembelajaran yang lebih menekankan di tempat dari masalah yang muncul setempat dan sesaat sehingga mahasiswa semakin terbiasa dengan teknologi untuk menyumbang globalisasi, dan dosen akan menjadi lebih terampil dalam mencari-kan pengetahuan yang diperlukan oleh mahasiswa dalam memecahkan permasa-lahannya,

d) Proses pembelajaran yang menjadikan keseluruhan pengalaman belajarnya di perguruan tinggi sebagai pemahaman budaya asli (indigenous) dan permasalahan yang dijumpai dalam proses belajar di industri,

Pelaksanaan proses pembelajaran seperti di atas akan sangat tergantung pada bagaimana gaya dan teknik mengajarnya seorang dosen, karenanya perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a) Seorang dosen harus memperhatikan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran,

b) Dosen harus memperhatikan kemampuan dan apa yang menjadi kebutuhan ma-hasiswanya,

c) Mempertimbangkan sumber daya yang dan dapat digunakan secara optimal.

Dalam situasi pembelajaran demikian, maka keterlibatan setiap mahasiswa akan menjadi pengalaman di dalam menerima dan menerapkan ilmu dan pengetahuan yang diperolehnya. Peranan dosen lebih bersifat fasilitator bagi keberhasilan pendidi-kan mahasiswanya.

Output  

Terkadang sering terjadi kesenjangan output dengan demand dari industri. Hal ini terjadi antara lain karena proses pembelajaran masih kurang memenuhi syarat, kualitas input yang sangat rendah dan lain-lain.

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

ISSN 1411-1527 Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

8  

Menurut Gasvers (2001: 376), output yang dibutuhkan oleh industri adalah output yang (1) memiliki kemampuan solusi masalah berdasarkan konsep ilmiahm(2) memiliki keterampilan kelompok (teamwork), (3) mempelajari bagaimana belajar yang efektif; (4) berorientasi pada peningakatan terus menerus dengan tidak dibatasi pada target tertentu, setiap target yang tercapai akan terus ditingkatkan; (5) membutuhkan pengetahuan tertegrasi antar disiplin ilmu untuk solusi masalah industri yang komplek; (6) bekerja adalah suatu proses berinteraksi dengan orang lain dan memproses informasi secara aktif; (7) penggunaan teknologi merupakan bagian dari proses belajar untuk solusi masalah.

Selain itu, output pendidikan profesional menurut TP5D (2001) harus memiliki: (1) pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk mempraktekan profesinya; (2) pengetahuan cukup luas pada masalah sosial untuk meletakkan praktek profesionalnya dalam konteks kemasayarakatan dan untuk menyediakan frofesional leadership; (3) karakteristik kepribadian untuk bekerja secara efektif; (4) semangat terus belajar untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan profesionalnya; (5) kemampuan dalam melaksanakan atau menginterpretasikan riset yang akan menambah pengetahuan manusai.

Ada dua kategori output pendidikan profesional yaitu (1) kompetensi profesional dan (2) komepetensi attitude. Kompetensi profesional terdiri atas kompetensi konseptual, kompetensi teknikal, kompetensi integratif, kompetensi kontekstual, kompetensi adaptif, komunikasi interpersonal. Adapun kompetensi attitude dapat diukur melalui (1) Identitas profesional; (2) etika profesional; (3) career marketability dan (4) motivasi untuk terus belajar.

INDIKATOR  PENILAIAN  KUALITAS  PENDIDIKAN  

Seperti yang telah diuraikan di muka, kualitas pendidikan tinggi tidak dapat dinilai hanya dengan satu indicator, melainkan harus ditinjau dari berbagai aspek; input, proses, output dan impact. Paling tidak tujuh aspek kualitas yang diajukan Suhendro (1996) merupakan acuan dasar dalam menilai kualitas. Penilaian kualitas bukan tanggung jawab pihak lain, melainkan tanggung jawab manajemem institusi pendidikan tinggi itu sendiri, yang seringk dikenak dengan istilah self evaluation (evaluasi diri). Indicator-indikator tersebut diringkaskan sebagai RAISEL (Relevance, Aca-demic atmosphere, Internan management and organization, Sustainability, Eficiency and productivity, Leadership).

Relevance  (Ketergayutan)  

Suhendro (1996) menyebutkan yang dimaksud dengan ketergayutan (relevansi) lembaga pendidikan adalah tujuan dan sasaran, dalam arti derajat kesesuaian antara tujuan dan sasaran perguruan tinggi dengan aspirasi semua pihak yang berkepentingan

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi : 1 - 7 ISSN 1411-1527

9  

serta dengan keperluan nyata masyarakat, industri dan pemerintah. Adanya lulusan yang sulit memeperoleh pekerjaan di dunia industri, antara lain menunjukkan adanya ketidakgayutan antara pengetahuan dan keterampilan yang diberikan di bangku kuliah dengan kualifikasi yang diinginkan oleh industri.

Academic  Atmoshpere  

Secara sederhana yang dimaksud dengan suasana akademik adalah derajat kepua-san dan motivasi meliputi sivitas akademik dalam pelaksanaan tugas kewajibannya un-tuk nencapai tujuan kelembagaan. Banyak factor yang mempengaruhi suasana akad-emik. Di pihak sivitas akademika, faktor-faktor seperti tujuan, aspirasi dan tata nilai pribadi sangat berperan, sedangkan di pihak manajemen, pola yang dilandasi keterbukaan, kejelasan dan pengertian akan meningkatkan komitmen untuk pening-katan kinerja.

Suasana akademik yang dinyatakan dalam derajat motivasi dan kepuasan kerja meliputi sivitas akademika dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan fungsi-fungsi pen-didikan di jurusan. Suasana akademik biasanya diekspresikan dalam kultur organisasi, pola mananajemen dan tata hubungan antar pribadi yang meliputi tata cara kebiasaan kerja, penetapan kerja dan kesadaran tujuan, cara pengambilan keputusan, kepedulian sejawat, keterbukaan.

Internal  Management  and  Organization  

Untuk mencapai tujuan institusi, pengelolaan pembelajaran perlu dilakukan secara sungguh-sungguh, mengikuti manajemen yang sesuai dengan kebutuhan. Peli-batan seluruh elemen institusi di dalam proses merupakan bentuk partisipasi dalam

Manajemen internal dibutuhkan akan lebih efisien dalam menggunakan sumber daya pada saat kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan sumber daya sebagai proses. Apabila hal ini diperhatikan maka akan diperoleh (1) biaya rendah dan waktu yang pendek melalui penggunaan sumber daya secara tepat, (2) meningkatkan kon-sistensi dan perkiraan hasil (3) berfokus dan prioritas pada perbaikan dan memanfaat-kan kesempatan.

Sustainability  

Kemampuan Inovasi adalah derajat kelenturan Jurusan terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat. Dalam merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan fungsionalnya Jurusan Perhotelan selalu mengacu kepada segala sesuatu yang ada dan/atau terjadi di masyarakat (hal-hal yang digunakan sebagai acuan dalam perencanaan dan penyelenggaran kegiatan, hal ini dikenal sebagai situasi acuan bagi jurusan).

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

ISSN 1411-1527 Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

10  

Perubahan yang terjadi di masyarakat, pasti mempunyai dampak terhadap perguruan tinggi dan khususnya jurusan, karena situasi acuannya berubah. Analisis Kemampuan Inovasi sesungguhnya mempermsalahkan derajat kelenturan Jurusan terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan internal dan eksternal. Kemampuan Inovasi pada umumnya dapat disimpulkan dari peraturan dan peraturan yang ada menunjukan ada atau tidak ada kemungkinan pengambilan keputusan yang antisipatif dan proaktif. Kemampuan Inovasi diharapkan mencerminkan seberapa jauh pro-gram-program perguruan tinggi dirancang dengan mengacu pada perubahan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Efisiensi  dan  Produktivitas  

Efisiensi merupakan keterkaitan antara masukan/sumber daya dan proses. Dan menunjukkan derajat kehematan dalam penggunaan sumber daya dalam proses. Da-lam pengertian ini efisiensi mengungkapkan perbandingan antara sumberdaya yang digunakan dalam pelaksanaan suatu proses terhadap sumberdaya yang ada atau yang seharusnya dapat dikerahkan. Makin kecil angka perbandingan tersebut makin kecil efisiensi kegiatan atau yang bersangkutan.

Perlu sekali disadari bahwa banyak kegiatan di Perguruan Tinggi yang sukar seka-li bahkan tidak mungkin ditetapkannya efisiensinya, seperti bilamana dalam proses ke-giatan yang bersangkutan tidak dapat ditetapkan proses yang dapat dianggap baku.

Mempermasalahkan keterkaitan antara tujuan dan hasil, dan menunjukan derajat keseuaian antara tujuan yang dinyatakan dengan hasil yang dicapai. Pengertian ini tidak mempersoalkan dampak tetapi selalu memperhatikan dan menelaah dampak yang mungkin terjadi dalam mencapai tujuan.

Produktivitas merupakan keterkaitan antara proses tertentu, dihitung berdasarkan penggunaan sumberdaya tertentu. Perubahan dalam proses dapat pula mengakibatkan perubahan produktivitas. Mempermasalahkan keterkaitan antara proses dan hasil, dan menunjukan jumlah satuan hasil yang terjadi karena suatu proses tertentu. Dihitung berdasarkan penggunaan (per satuan/unit) sumberdaya tertentu, umpanya jumlah lu-lusan per tahun.

Leadership  

Leader isntitusi pendidikan tinggi merupakan penanggungjawab bagaimana membangun keseragaman (unity) setiap elemen instiusi dengan tujuan organsisasional. Para leader harus membuat dan memelihata lingkungan internal di mana setiap prang dapat terlibat secara penuh dalam mencapai tujuan institusi.

Manfaat kunci dari peningkatan leadership ini adalah (1) setiap orang akan me-mahami dan termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi (2) aktivitas dapat dieval-

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi : 1 - 7 ISSN 1411-1527

11  

uasi, disesuaikan dan diimplementasikan ke dalam satu gaya yang seragam, (3) mis-komunikasi antar unit di dalam organisasi dapat diminimalisir.

Penerapan rinsip-prinsip leadership ini akan secara khusus membawa pada bentuk (1) pertimbangan kebutuhan semua pihak yang terkait termasuk pelanggan, pemilik, pegawai, penyedia dana, pengguna, penduduk local dan masyarakat secara kese-luruhan, (2) menetapkan visi yang jelas terhadap masa depan isntitusi, (3) target dan tujuan yang menantang, (4) menciptakan dan mempertahankan nilai bersama, keadi-lan, dan panutan pada semua level dalam organisasi, (5) menetapkan kepercayaan dan menghilangkan ketakutan, (6) menyediakan lsumber daya, pelatihan dan kebebasan bertindak dengan tanggung jawab dan akuntabilitas, (7) menginspirasi, mendorong dan mengakui kontribusi seseorang.

RESOURCE-­‐BASED  VIEW  OF  THE  FIRM  

Globalisasi telah menjadi salah satu topik khusus dalam kajian akademis dan siklus bisnis dekade terakhir ini. Pertumbuhan dan perkembangan bisnis global telah bercermin pada peningkatan penelitian-penelitian akademik yang berkaitan dengan manajemen perusahaan. Penelitian Nehrt, Truitt, and Wright (1970) melaporkan bahwa hanya 16 proyek penelitian selama tahun 60-an yang berkenaan dengan konsep bisnis internasional. Namun setelah itu, terjadi pertumbuhan yang sangat dramatis.

Bagaimanapun demikian, ini menunjukkan bahwa upaya perusahaan untuk memperoleh competitif advantage dan perluasan performance perusahaan di dalam lingkungan global masih belum banyak dipahami (Prahalad & Doz, 1987).

Collins and Chyntia (1995: 118-128) mengungkapkan RBV (resource based view of the firm) atau bersaing berbasiskan kekuatan sumber daya yang dimiliki.

Bila dikaitkan dengan lembaga pendidikan, RBV mempersaratkan adanya evalua-si terhadap kekuatan sumber daya yang dimiliki sebagai dasar dari persaingan. Eval-uasi terhadap sumber daya tersebut meliputi aspek: inimitability, durability, appropriability, substitutability dan competitive superiority.

Aspek  Inimitability  

Salah satu ciri pendidikan di Indonesia adalah memiliki kurikulum nasional, di mana setiap lembaga harus mengikuti peraturan tersebut. Dengan demikian, produk pendidikan akan memperoleh muatan yang kurang lebih memiliki kesamaan. Namun aspek ini perlu dievaluasi agar lulusannya tidak dapat ditiru oleh lembaga manapun. Kondisi ini akan dapat dicapai manakala kualitas lulusan institusi pendidikan tinggi tidak dapat disamai oleh lulusan mana pun. Oleh karena itu, lembaga pendidikan tinggi harus memunculkan performans yang khas sebagai phsycal uniqueness yang tidak dapat ditiru oleh institusi lain. Physical uniqueness ini harus dimiliki agar kompetensi institusi dapat menjadi satu karakter yang khas. Untuk memunculkan satu physical uni-

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

ISSN 1411-1527 Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

12  

queness diperlukan suatu proses yang saling terkait (path dependency) sehingga harus mam-pu menciptakan kondisi di mana industri memiliki ketergantungan institusi pendidikan tersebut. Hal ini akan dapat diperoleh melalui PROSES PEMBELAJARAN secara terus menerus.

Aspek  Durability  

Disadari atau tidak, bahwa untuk proses pendidikan memerlukan waktu tertentu, namun bagaimana upaya lembaga pendidikan menciptakan kualitas dalam waktu yang tidak terlalu lama. Lulusan tepat waktu adalah kata kunci untuk bersaing sebagai ke-kuatan kita. Indikator aspek ini dapat dievaluasi dari lamanya waktu belajar dalam menempuh pendidikan.

Aspek  Appropriability  

Kekuatan untuk untuk bersaing adalah kualitas. Lulusan yang berkualitas adalah lulusan yang memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan industri. Kunci utama dari kekuatan bersaing ini dalah suberdaya yang menghasilkan lulusan tepat dan siap kerja.

Aspek  Substitutability    

Kelemahan intitusi pendidikan tinggi saat ini antara lain adalah mono-talen, se-hingga replacement pekerjaan tidak dapat di-endors secara optimal. Sumber daya manu-sia perlu mampu saling mengisi dengan meningkatkan talenta. Aspek ini dapat dit-erapkan dengan belajar lebih banyak, sehingga banyak job yang dapat dilakukan.

Aspek  Competitive  Superiority  

Melalui evaluasi aspek ini, diharapkan institusi pendidikan tinggi benar-benar memiliki core competence yang merupakan bagian dari kekuatan bersaing. Aspek ini san-gat penting untuk menjadi pesaing tangguh terhadap lembaga pendidikan lain. Menurut Hamel dan Henee keunggulan persaingan harus terus diperbaharui, dan pembaharuan hanya dapat dilakukan dengan belajar yang terus menerus (continous learning) yang dapat diperoleh dengan: 1. memiliki pola pikir dan pola tindak yang teratur menyesuaikan dengan visi dan

misi institusi ;

2. adanya kemauan untuk melakukan inovasi-inovasi di dalam belajar dan bekerja;

3. adanya arus informasi yang mengalir bebas di antara elemen organisasi;

4. adanya struktur organisasi yang ramping dan non hierarchical agar dapat mengem-bangkan kreativitas dan inisiatif;

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi : 1 - 7 ISSN 1411-1527

13  

5. adanya penekanan untuk menggunakan pengetahuan, keahlian dan sikap yang sudah maksimal;

6. memahami visi dan misi yang telah ditetapkan dan ada keingingan untuk melaksanakannya;

7. menerima serta menggunakan proses transrasional sebagai dasar bagi kreativitas, pembaruan serta penataan kembali sumber daya untuk bersaing.

Dengan menerapkan prisnsip-prinsip RBV, maka bersaing dengan kualitas dan sumber daya yang dimiliki akan

PENUTUP  

Persaingan saat ini dan di masa yang akan datang akan semakin ketat di berbagai level organsisasi. Untuk memenangkan persaingan tersebut hanya satu kata kunci ada-lah kualitas, yang didukung oleh penerapan strategi yang tepat dalam bersaing terse-but. Resource-based View of the firm adalah salah satu pendekatan untuk meningkat-kan daya saing dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.

DAFTAR  PUSTAKA  

Anonim, 2001. Barnett, R. 1992. Improving Higher Education – Total Quality Care,

SRHE/Open University Press, London. ** Barnett, R. 1992. Improving Higher Education–Total Quality

Care,SRHE/Open University Press, London.*** Barney, J. B. (1986). Strategic factor markets: Expectations, luck

and business strategy. Management Science, 32(10), 1231–1241. ***

Barney, J. B. (1991). Firm resources and sustained competitive ad-vantage. Journal of Management, 17(1), 99–120. ***

Bartlett, C. A., & Ghoshal, S. (1989). Managing across borders: The transnational solution. Cambridge, MA: Harvard Business School Press.

Birkinshaw, J., Morrison, A., & Hulland, J. (1995). Structural and competitive determinants of a global integration strategy. Stra-tegic Management Journal, 16(8), 637–655.

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

ISSN 1411-1527 Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

14  

Buckley, P. J., & Casson, M. (1976). The future of the multinational enterprise. London: MacMillan Press. Capron, L., & Hulland, J. (1999). Redeployment of brands, sales forces, and general mar-keting manage-ment expertise following horizontal acquisitions. Journal of Marketing, 63(2), 41–54.

Cameron, K.S. 1984, “The effectiveness of ineffective-ness”, Research in Organizational Behavior, Vol. 6, pp. 235-85. ***

Cheng, Y.C. (1995a), “School education quality: conceptu-alization, monitoring, and enhancement”, in Siu, P.K. and Tam T.K. (Eds), Quality in Education: Insights from Different Perspectives, Hong Kong Education Research Association, Hong Kong, pp. 123-47.***

Cheng, Y.C. and Tam, W.M. 1997. Multi models of quality in education. Education Journal, Vol. 5 No. 1, pp. 22-31. ***

Collis, D. J. (1991). A resource-based analysis of global competition: The case of the bearings industry. Strategic Management Jour-nal, 12,49–68. ***

Collis, D. J. (1994). How valuable are organisational capabilities [special issue]. Strategic Managemet Journal, 15, 143–152.

Collis, D. J., & Montgomery, C. A. (1995). Competing on resources: Strategy in the 1990s. Harvard Business Review, 73(4), 118–128.

Feigenbaum, A.V. 1951. Quality Control: Principles, Practice, and Administration,McGraw-Hill, New York, NY. ***

Gasvers, V. 2001. Total Quality Manajamen. Gramedia Pustaka Utama. ***

Ghoshal, S. (1987). Global strategy: An organising framework. Stra-tegic Management Journal, 8(5), 425–440.

Ghoshal, S., & Nohria, N. (1993). Horses for courses: Organisational forms for multinational corporations. Sloan Management Re-view, 34(2), 23–35.

Gordon. 1995. Higher education 2005: pointers, possibilities, pit-falls, principles. Quality Assurance In Education, 3(4), 21-29. ***

Grant, R. M. (1991). The resource-based theory of competitive ad-vantage: Implications for strategy formu-lation. California Man-agement Review, 33(3), 114–135.

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi : 1 - 7 ISSN 1411-1527

15  

Hall, R. (1989). The management of intellectual assets: A new cor-porate perspective. Journal of General Management, 15(1), 53–68.

Johnstone, D.B. 1993. “Learning productivity: a new imperative for American higher education”, Studies in Public Higher Education,No. 3, State University of New York, New York, NY. p. 147. ***

Juran, J.M. and Gryna, F.M. Jr (Eds). 1988. Juran’s Quality Control Handbook,4th ed., McGraw-Hill, New York, NY. ***

Mihardjo, M. 1999a. Strategi Pengelolaan Sumber Daya dalam Mempertahankan Kelangsungan Organisasi Lembaga Pendidi-kan Tinggi di masa krisis. Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah. Pusat Penelitian Akademi Pariwisata Trisakti. No. 7. Maret 1999. Hal. 1-8.

Mihardjo, M. 1999b. Effort in developing the quality and productivi-ty of Indonesian tourism human resources in anticipation of the 2003 AFTA. J. Ilm. Pariwisata 4(2). ***

Morrison, A. J., & Roth, K. (1992). A taxonomy of business level strategies in global industries. Strategic Management Journal, 13(6), 399–418.

Nehrt, L. C., Truitt, J. F., & Wright, R. W. (1970). International busi-ness research: Past, present and future. Bloomington, IA: Indi-ana University Bureau of Business Research. ***

Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and Berry, L.L. (1985), “A conceptual model of service quality and its implica-tions for future research“, Journal of Marketing, Vol. 4 No. 4, pp. 41-50. ****

Peters, T.J. and Waterman, R.H. 1982. In Search of Excellence,Harper & Row, New York, NY. ***

Prahalad, C. K., & Doz, Y. L. (1987). The multinational misson: Bal-ancing local demands and global vision. New York: Free Press.

Prahalad, C. K., and Doz, Y. L. 1987. The Multinational mission: balanching local demand and global vision. New York, Free Press. ***

Soehendro, B. 1996. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1996-2005. Depdikbud. Jakarta. ***

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

ISSN 1411-1527 Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

16  

Sudibyo, J. 2000. Kebijakan dan Sasaran STP Trisakti dalam Menghadapi Millenium Baru. Makalah Seminar Peningkatan Kualitas Dosesn. Jakarta, September 2000. ***

Suprojo, P. 1995. Penjelasan cara penyusunan kurikulum pendidi-kan tinggi program sarjana bagi setiap program studi di Univer-sitas Jember. Makalah pengantar diskusi. Desember. 1995.***

Taufik, Iman. 2001. Indonesian Recovery and Development. Ma-kalah Seminar daya Saing Indonesia di Era Global. ***

TP5D. 2001. Van Ginkel, H. (1994), “University 2050: the organization of creativi-

ty and innovation”, Universities in the 21st Century: A Lecture Series, Paul Hamlyn Founda-tion, London, pp. 65-86. ***

1 Hj. Maryam Mihardjo, Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Mantan Ketua Umum Himpunan Pendidikan Tinggi

Pariwisata, 2 Kusmayadi, Ketua Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat STP Trisakti, Master of Tourism Marketing

serta pemerhati masalah pariwisata.