PEMBIBITAN TANAMAN TEMBAKAU

26
PEMBIBITAN TEMBAKAU (Nicotiana tabacum) KONVENSIONAL DAN KULTUR JARINGAN MAKALAH Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Produksi Tanaman Penyegar Disusun Oleh : KELOMPOK 1 NADIYAH MIA A. 150510120001 ALFREDO SIHOMBING 150510120025 NADYA JENETHA 150510120042 DEDDY PARDOSI 150510120187 AGROTEKNOLOGI A UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERTANIAN

Transcript of PEMBIBITAN TANAMAN TEMBAKAU

PEMBIBITAN TEMBAKAU (Nicotiana tabacum)KONVENSIONAL DAN KULTUR JARINGAN

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata KuliahProduksi Tanaman Penyegar

Disusun Oleh :

KELOMPOK 1

NADIYAH MIA A. 150510120001

ALFREDO SIHOMBING 150510120025

NADYA JENETHA 150510120042

DEDDY PARDOSI 150510120187

AGROTEKNOLOGI A

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS PERTANIAN

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

JATINANGOR

2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang maha Esa karena

atas karunia -Nya kami berhasil menyelesaikan makalah

yang telah penulis susun sebelumnya berdasarkan apa yang

telah kami dapatkan dari perkuliahan dan ditambah

beberapa sumber terpercaya yang kami anggap relevan untuk

melengkapi isi makalah ini.

Makalah ini kami susun dalam rangka memenuhi tugas

yang diberikan oleh dosen dalam mengikuti perkuliahan

Produksi Tanaman Penyegar dengan judul “Pembibitan

Tembakau (Nicotiana tabacum) Konvensional dan Kultur

Jaringan”

Walaupun pembuatan makalah ini dilakukan secara

terbatas namun diharapkan dapat memberikan informasi bagi

pembacanya.

Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih

banyak kekurangan baik dalam kandungan materi maupun cara

penyusunannya. Oleh karena itu Penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran agar menjadi pelajaran bagi

kami lebih baik untuk kedepannya.

Jatinangor, Maret 2015

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ……………………………......................………..…….. i

DAFTAR ISI …………………………………….........................……..………..

ii

DAFTAR TABEL

....................................... ...................

................................

DAFTAR LAMPIRAN

...........................................................

.........................

BAB I. PENDAHULUAN ………………………...……………..……………….

1.1. Latar belakang …….....

……………….......................................….…. 1

1.2. Tujuan Penelitian ………....................…………….....

……….………. 2

1.3. Rumusan Masalah ...........................…...

…………….……………..... 2

BAB II. PEMBAHASAN ……….…………….…….…………….……………… 3

2.1 Pembibitan …….…………….…….……………………….…….……... 3

2.1.1. Pembibitan sistem konvensional …….…………….…….…….. 3

2.1.2. Pembibitan sistem para-para …….…………….…….…………. 3

2.1.3. Pembibitan sistem semi floating …….…………….…………… 4

2.2 Aplikasi Kultur Jaringan pada Pembibitan Tembakau

………………….

2.2.1 Metode Kultur Jaringan pada Tembakau

2.2.2. Hasil dan Pembahasan

BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bibit merupakan faktor yang sangat menentukan dalam

budidaya tembakau karena kualitas bibit tembakau

sangat menentukan keberhasilan usaha dan produksinya.

Langkah pertama dalam pembibitan adalah mengadakan

benih yang bermutu dari varietas unggul. Benih yang

bermutu dan varietas unggul dapat menentukan hasil

tembakau. Varietas unggul tembakau dapat diperoleh

dari tetua-tetua yang memiliki sifat-sifat yang

unggul. Dengan telah lamanya pengembangan tembakau di

Indonesia (1860), maka diperkirakan Indonesia telah

memiliki plasma nutfah yang besar sebagai sumber

genetic untuk melakukan pemuliaan tanaman.

Benih merupakan sarana produksi yang menentukan

hasil tembakau karena setiap benih memiliki sifat

genetic dan morfofisiologis yang mempengaruhi

pertumbuhan dan produksi tanaman. Benih haruslah

memiliki kemurnian yang tinggi tidak tercampur benih

rusak, kotoranataupunbijigulma, dayakecambah di atas

80 % danbebashamadanpenyakit. Dengan demikian, untuk

pengadaan benih harus diseleksi dari pohon induk

ataupun proses pemuliaan yang benar serta teknologi

produksi benih yang memenuhi standar sehingga

diperoleh benih unggul dan bermutu.

Bibit dari para penangkar ini biasanya sangat

dipengaruhi oleh kondisi musim dan pasar bibit pada

waktu itu. Beberapa kekurangan bibit yang berasal dari

pembelian adalah: varietas tidak diketahui dengan

pasti, kadang-kadang tercampur, umur kurang tua, bibit

kecil dan etiolasi karena padat, perakaran kurang

bagus, kecil dan tidak seragam. Pembibitan tembakau

sangat mudah dan murah. Petani bisa mengusahakan

pembibitan sendiri sehingga mereka akan memperoleh

bibit yang sehat dan seragam, varietasnya jelas,

berbatang keras, berakar banyak, dan bisa memilih

dalam jumlah yang diinginkan.

Ada beberapa sistem dalam pembibitan tembakau yaitu

sistem konvensional, sistem para-para dan sistem semi

float.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui bagaimana sistem dan cara

pembibitan yang tepat dan perbandingan antara

pembibitan secara kultur jaringan terhadap pembibitan

secara konvensional, para-para dan semifloat.

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara pembibitan yang tepat?

2. Bagaimana perbandingan antara pembibitan secara

kultur jaringan terhadap pembibitan secara

konvensional, para-para, dan semifloat?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pembibitan

Langkah pertama dalam pembibitan adalah mengadakan

benih yang bermutu dari varietas unggul. Benih yang

bermutu dan varietas unggul dapat menentukan hasil

tembakau. Varietas unggul tembakau dapat diperoleh

dari tetua-tetua yang memiliki sifat-sifat yang

unggul.

a) Benih

Benih tembakau sangat kecil dengan indeks biji 50 –

80 mg/1 000 biji atau setiap gram mengandung 13.000

butir benih, dengan demikian untuk dapat menyebar

secara merata di atas bedengan tidak dapat disebarkan

secara langsung. Benih yang digunakan untuk pembibitan

harus dipersiapkan dari areal khusus pembibitan dan

diseleksi secara tepat. Benih harus memiliki daya

kecambah lebih dari 80 %. Untuk itu pengadaan benih

haruslah dikelola secara profesional baik oleh

instansi terkait (seperti Balitas Malang dan Badan

Penangkar Benih) dan swasta yang berkecimpung dalam

industri tembakau.

b) Persemaian Bedengan

Kegiatan pertama adalah pemilihan lahan untuk

pembibitan dengan kriteria : dekat dengan areal

pertanian, dekat dengan sumber air, tanahnya gembur

subur dan mudah diolah, lahan terbuka terhadap sinar

matahari, bebas dari tanaman famili Solanaseae pada

pertanaman sebelumnya dan bebas dari gangguan hewan

peliharaan.

1) Pengolahan Tanah Persemaian Bedengan

Dilakukan 30 – 35 hari sebelum penaburan benih.

Pengolahan tanah ini harus sudah dilakukan 70 – 80

hari sebelum tanam agar bibit siap salur pada waktu

tanam, karena umur bibit tembakau siap salur adalah

40 – 45 hari. Pengolahan tanah terdiri dari

pembajakan I dan pembajakan II dengan interval 1

sampai 2 minggu dan dengan kedalaman bajak 30 – 40

cm. Bedengan dibentuk dengan arah timur barat yang

berukuran lebar 1 m panjang 5 m tinggi 30 cm dan

jarak antar bedengan 75 – 100 cm.

2) Penaburan Benih

Dilakukan setelah bedengan semai siap tanam.

Sebelum penaburan benih dilakukan pemupukan dasar

dengan dosis 0,5 – 1 kg pupuk NPK/m2, 3 sampai 4

hari sebelum sebar. Benih tembakau dapat disebar di

bedengan dengan perendaman atau tanpa rendaman

sebelumnya. Perendaman benih dapat dilakukan selama

48 jam sebelum sebar. Penaburan benih dapat

dilakukan dengan gembor berisi air ditambah sabun

sebagai pendispersi agar benih tidak mengumpul.

Penyebaran benih tanpa perendaman dapat dilakukan

dengan mencampur benih dengan abu atau pasir halus

agar merata.

3) Penaungan

Pembibitan perlu diberi naungan untuk melindungi

benih dari cahaya matahari konstruksi atap naungan

terbuat dari bambu berbentuk setengah lingkaran

memanjang sepanjang bedengan. Naungan dapat

digunakan plastik Polyetilen berukuran 5,2 m x 1,2

m x 0,5 m. Plastik Polyotilen (atap) dapat dibuka

dari pukul 07.00 sampai 10.30 pada saat bibit

berumur 15 – 20 hari, pukul 07.00 – 12.00 pada saat

umur bibit 20 – 28 hari dan satu hari penuh setelah

umur bibit 28 hari. Di atas benih perlu dihamparkan

mulsa dari potongan jerami berukuran ± 25 cm. Mulsa

tersebut berfungsi untuk mencegah benih berpindah

pada saat penyiraman atau saat hujan, melindungi

kecambah dari matahari dan mengurangi penguapan

serta mencegah kerusakan permukaan bedengan.

4) Pemeliharaan pembibitan

Meliputi penyiraman, pemupukan, pengaturan naungan,

penjarangan mulsa, penyiangan, penjarangan tanaman,

pengendalian hama dan penyakit dan seleksi bibit.

Penyiraman pada pembibitan harus dilakukan secara

intensif untuk memperoleh pertumbuhan bibit yang

baik. Waktu dan volume penyiraman pada pembibitan

seperti tertera pada tabel berikut.

Keterangan : HSS = Hari Setelah Sebar

Sumber : Standar kultur Teknis PT. BAT Indonesia Klate

5) Pemupukan bedengan semai

Dilakukan 3-4 hari sebelum penaburan benih. Dosis

pemupukan adalah 35 g ZA, 100 g SP-36 dan 20 g ZK

per m2 bedengan. Atau dapat digunakan pupuk majemuk

NPK dengan dosis 0.1 – 1 kg/m2 bedengan. Pupuk

ditabur merata di atas bedengan dan dicampur dengan

lapisan tanah atas.

6) Hama dan penyakit

Yang sering menyerang pembibitan adalah ulat daun,

ulat pucuk, ulat tanah dan penyakit rebah kecambah

Phytium spp.

7) Penjarangan bibit (reseting)

Perlu dilakukan untuk menghindari kelembaban yang

berlebihan karena bibit terlalu padat yang dapat

menimbulkan serangan penyakit rebah kecambah atau

lanas. Disamping itu penjarangan juga diperlukan

agar bibit tidak mengalami etiolasi dan tidak

terjadi persaingan unsur hara sehingga bibit tumbuh

dengan vigor seragam. Reseting dilakukan pada umur

21 hari.

8) Seleksi bibit

Dilakukan tiga kali yaitu pada umur 10 – 13 hari,

20 – 23 hari dan 33 hari. Bibit siap salur memiliki

kriteria umur 38 – 40 hari, tinggi bibit 10 – 12

cm, diameter batang 0,8 – 1 cm, jumlah daun 5 -6

lembar, warna daun hijau dan tanaman sehat.

Pencabutan bibit dilakukan pada pagi atau sore hari

dengan menyiram bedengan sebelumnya. Pencabutan

dilakukan dengan menyatukan daun yang telah

sempurna.

c) Pembibitan Sistem Polybag

Kelebihan utama dari sistem ini adalah

mengurangi kerusakan akar pada saat pemindahan

bibit, mengurangi tingkat kematian bibit,

menghilangkan stagnasi dan menyeragamkan pertumbuhan

bibit. Dengan demikian penyulaman dapat ditekan

hingga tingkat nol. Cara pembibitan dengan sistem

polybag pada awalnya sama seperti sistem bedengan,

hanya setelah umur bibit 21 hari bibit dipindahkan

ke polybag. Media bibit sistem polybag terdiri dari

tanah dicampur dengan pupuk kandang dan pasir dengan

perbandingan : a) pada tanah berat 5 : 3 : 2, b)

pada tanah sedang 5 : 2 : 2 dan c) pada tanah ringan

5 : 3 : 1. Disamping itu media dicampur dengan pupuk

NPK dengan dosis 1,5 – 2 kg pupuk NPK setiap 1 m3

tanah. Ukuran plastik media adalah panjang 110 cm

dan diameter 110 cm. Tanah media dimasukkan ke dalam

plastik polybag. Tanah media tersebut sebelumnya

disterilisasi dengan metode solarisasi selama 14 –

20 hari. Selanjutnya bibit yang telah berumur 3

minggu (21 HSS) dipindahkan ke polybag dan dilakukan

penyiraman seperti pada pembibitan bedengan.

Pemeliharaan dan kriteria salur seperti pada

pembibitan bedengan, hanya pada pembibitan polybag

telah dilakukan seleksi bibit dan pengaturan jarak

tanam.

Ada beberapa sistem dalam pembibitan tembakau yaitu

sistem konvensional, sistem para-para dan sistem

semi float.

2.1.1. Pembibitan sistem konvensional

Pembibitan sistem konvensional adalah

pembibitan yang dilakukan di lahan atau tanah

dengan cara membuat bedengan-bedengan. Ukuran

bedengan bisa sangat bervariasi tetapi dibutuhkan

lahan seluas 150m² untuk pertanaman 1 Ha.

Keuntungan bedengan sistem ini adalah mudah dan

murah untuk dikerjakan, bisa memilih bibit

sepuasnya dan kadang-kadang ada kelebihan bibit

yang bisa dijual. Kekurangannya adalah petani

harus menyisakan lahan untuk bedengan, biasanya

ada serangan penyakit dan banyak memerlukan

tenaga kerja untuk pemeliharaan.

2.1.2. Pembibitan sistem para-para

Merupakan modifikasi sistem konvensional.

Bedengan dibuat di sekitar rumah petani dengan

luas menyesuaikan kebutuhan bibit yang akan di

tanam. Bedengan dibuat diatas para-para yang

terbuat dari bamboo atau bahan-bahan yang mudah

didapat disekitar tempat tinggal petani.

Keuntungannya adalah tidak perlu menyisakanlahan

produktif, bisa dibuat disekitar rumah sehingga

pemeliharaan menjadi lebih mudah, bisa mengurangi

serangan penyakit. Kekeurangannya adalah adanya

tambahan modal dan tenaga untuk mempersiapkan

para-para, harus mempersiapkan media untuk

bedengan dan jumlah bibit yang dihasilkan

biasanya terbatas sehingga kurang leluasa dalam

pemilihan bibit dan tidak ada sisa bibit.

2.1.3. Pembibitan sistem semi floating

Sistem semi floating adalah sistem

pembibitan yang sudah modern. Pembibitan

dilakukan didalam tray yang diletakkan di dalam

kolam air sehingga sangat menghemat penggunaan

tenaga kerja. Keuntungannya adalah sangat

praktis, tidak perlu disiram tiap hari dan tidak

perlu melakukan penyiangan, hemat tenaga kerja

dan bibit yang dihasilkan seragam dan

perakarannya tidak rusak. Bibit tidak mengalami

stress saat ditanam di lahan sehingga pertanaman

akan lebih sehat dan seragam. Kekurangannya

adalah adanya biaya tambahan untuk pembelian

tray, pembuatan kolam bedengan dan pembelian

media bedengan. Bibit yang dihasilkan juga

terbatas sehingga kurang leluasa memilih bibit

yang bagus.

2.2 Aplikasi Kultur Jaringan pada Pembibitan Tembakau

Kesalahan dalam proses pembibitan tembakau akan

berdampak pada proses pemeliharaan, panen dan pasca

panen. Hal ini juga akan berakibat membesarnya biaya

produksi. Budidaya tembakau konvensional dilakukan

dengan cara menyemaikan biji dimana untuk mendapatkan

perkecambahan yang seragam biji harus direndam dalam

air jernih selama dua hari dan diletakkan di tempat

yang memiliki penyinaran dan aliran udaranya bagus.

Selanjutnya air rendaman biji diganti dan biji

didinginkan selama 2 hari, baru dilakukan penaburan

benih di lahan (Chane, 1989). Basuki et al (1999)

melaporkan bahwa tingkat pemasakan buah per individu

tanaman tidak serempak, sehingga panen buah untuk

dijadikan benih tidak dapat dilakukan secara serempak.

Proses pembibitan yang baik merupakan hal yang mutlak

diperlukan untuk keberlangsungan budidaya tembakau dan

hasil daun yang akan di panen.

Inovasi dalam pembibitan mutlak diperlukan untuk

meningkatkan kualitas bibit yang akan ditanam. Hal ini

memerlukan proses yang tidak sederhana dan waktu yang

relatif lama, selain itu sifat-sifat genetis yang

diturunkan ke keturunannya melalui biji mungkin tidak

sama persis seperti induknya. Oleh karena itu

diperlukan metode kultur jaringan untuk budidaya

tembakau. Melalui metode kultur jaringan tembakau

dapat dibudidayakan dalam jumlah besar dengan waktu

yang relatif singkat, selain itu sifat keturunan yang

diperoleh akan sama persis seperti induknya. Kultur

jaringan menurut Suryowinoto (1991) dalam Hendaryono

(1994) berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman

menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti

induknya. Keberhasilan kultur jaringan tanaman

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya

sterilisasi, pemilihan bahan eksplan, faktor

lingkungan seperti pH, cahaya dan temperatur, serta

kandungan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) dalam medium

kultur (Hendaryono, 1994).

2.2.1 Metode Kultur Jaringan pada Tembakau

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Kultur Jaringan jurusan Biologi ITS Surabaya oleh

Fatmawati et al. Dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh

kombinasi zat pengatur tumbuh IAA dan BAP dan

mengetahui kombinasi konsentrasi yang optimum dalam

menginduksi tunas dan akar tembakau melalui teknik

kultur jaringan Adapun proses kultur jaringan tembakau

antara lain;

1. Sterilisasi Alat

Semua peralatan baik alat pembuatan media (botol

kultur) dan alat inokulasi eksplan (cawan petri,

scalpel blade, gunting eksplan, pinset, kertas saring

dan tissue) dilakukan sterilisasi dengan

mengunakan autoklaf.

2. Sterilisasi Media dan Pembuatan Stoj Zat Pengatur

Tumbuh (ZPT) IAA dan BAP.

Media yang digunakan adalah media Murashige dan

skoog yang disetrilkan dengan autoklav. Untuk ZPT

Pembuatan larutan stok IAA dan BAP 10 ppm,

dilakukan dengan menimbang bahan sebanyak 10 mg

lalu ditambahkan 50 ml aquades ke dalam erlenmeyer

berukuran 100 ml. Sambil diaduk, diteteskan

sedikit larutan KOH 1 N dengan hati-hati sampai

larut benar (jernih) (Hendaryono, 1994).

3. Sterilisasi Eksplan.

Ekspan yang digunakan adalah daun muda tembakau

Nicotiana tabacum L. var prancak 95 yang

dosterilisasi dengan cara dicelupkan dengan etanol

75 % yang selajutnya di bilas. Sterilisasi

dilakukan di dalam Laminar air flow.

4. Inokulasi Eksplan

Proses inokulasi dilakukan di laminar air flow dengan

kondisi aseptik. Alat-alat inokulasi ditata

didalam laminar air flow. Setiap alat tersebut

dicelupkan ke dalam alkohol 95% dan dilewatkan di

atas nyala api bunsen selama 1-2 menit. Daun

tembakau dipotong ±1x1 cm dan diinokulasikan ke

dalam botol kultur yang telah berisi ± 20 ml media

MS dengan posisi bagian abaksial menyentuh medium

(Dhaliwal et al., 2004). Penelitian ini menggunakan

20 kombinasi dengan empat kali ulangan. Tujuan

dari pengulangan adalah memperoleh komposisi yang

efektif untuk morfogenesis eksplan.

2.2.2. Hasil dan Pembahasan

Pengamatan terhadap eksplan tembakau N. tabacum L.

var. Prancak 95 yang ditumbuhkan selama 28 hari dalam

medium MS padat dengan 20 kombinasi ZPT menunjukkan

adanya respon pertumbuhan dan organogenesis. Respon

organogenesis eksplan secara in vitro terjadi dengan

dua cara yang berbeda yaitu secara langsung dan tidak

langsung. Organogenesis eksplan secara langsung

ditunjukkan dengan munculnya organ secara langsung

dari potongan tanaman utuh tanpa melalui terbentuknya

kalus. Sedangkan organogenesis secara tidak langsung

yaitu terjadi melalui terbentuknya kalus terlebih

dahulu, kemudian kalus berdiferensiasi membentuk organ

yang spesifik (George, 1993) Organogenesis eksplan

tembakau Nicotiana tabacum L. var Prancak 95 terjadi

secara tidak langsung, dimana organogenesis diawali

dengan munculnya kalus. Kalus merupakan jaringan yang

amorphous dan belum terdiferensiasi yang terbentuk

ketika sel tanaman mengalami pembelahan yang tidak

teratur. Kalus dapat diinisiasi secara invitro dengan

meletakkan irisan jaringan tanaman (eksplan) pada

medium pendukung pertumbuhan dalam kondisi steril

(George, 1993).

rata jumlah tunas pada eksplan N. tabacum pada penganatan 28

hari

Sumber. Fatmawati et al.

Berdasarkan table diatas dapat disimpulkan

bahwa adanya hasil postif pada percobaan pertumbuhan

tembakau dengan apalikasi kultur jaringan. Dapat

disimpulkan bahwa kombinasi ZPT antara IAA dan BAP

yang paling baik adalah 2 ppm BAP dan 0,5 ppm IAA

dimana tunas yang tumbuh sebanyak 34 buah. Skoog dan

Miller (1950) dalam Kieber (2002) mengungkapkan bahwa

dengan adanya auksin dan sitokinin dalam medium dapat

menstimulasi sel-sel jaringan parenkim tembakau untuk

membelah. Sitokinin telah diketahui memainkan peranan

penting dalam hampir semua aspek pertumbuhan dan

perkembangan tanaman termasuk di dalamnya pembelahan

sel, inisiasi dan pertumbuhan tunas, serta

perkembangan fotomorfogenesis. Fotomorfogenesis adalah

dimana perubahan morfologi terutama dalam hal kultur

jaringan karena adanya pengaruh cahaya.

Dari table juga dapat disimpulkan bahwa

penambahan BAP sebagai hormone sitokin tanpa IAA

sebagai auksin masih dapat mampu menginisiasi tunas

sedangkan pada media yang tidak di tambahkan BAP tidak

ada pertumbuhan akar. Hal ini sesuai dengan peryataan

George 1993 yang menyatakan bahwa jika rasio auksin

lebih rendah daripada sitokinin maka organogenesis

akan mengarah ke tunas, jika rasio auksin seimbang

dengan sitokinin maka akan mengarah ke pembentukan

kalus sedangkan jika rasio auksin lebih tinggi

daripada sitokinin organogenesis akan cenderung

mengarah ke pembentukan akar.

Gambar 1. Ekspan daun

tembakau pada media tanpa

penambahan IAA dan BAP

Gambar 2. Eksplan daun Tembakau pada media dengan

penambahan 0,5 ppm BAP dan 2 ppm IAA.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dengan menggunakan aplikasi kultur jaringan pada

budidaya tembakau dapat menghasilkn bibit tanaman yang

sehat dan mempunyai daya tumbuh yang baik serta serempak.

Dengan demikian pemeliharaan tembakau akan lebih efesien

ditinjau dari ketahanan tanaman terhadap penyakit dan

lingkungan yang tidak sesuai. Hal ini akan meningkatkan

produktivitas dan kualitas dari hasil budidaya tembakau

serta menurunkan biaya produksi

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, soesanti et al. 1999. Biologi dan Morfologi

Tembakau Madura. Monograf Balitas No.4. Balai

Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat : Malang

Chane, Chun .1989. Bertanam Tembakau. Agricultural

Technical Mission of China

Fatmawati et al. 2011. Pengaruh Kombinasi Zat Pengatur

Tumbuh IAA Dan BAP Pada Kultur Jaringan Tembakau

Nicotiana tabacum L. VAR. Prancak 95. ITS . Surabaya

George, Edwin F. 1993. Plant Propagation by Tissue

Culture, Part 1, 2nd Edition. Exegetic Limited :

England

Hendaryono, Daisy et al. 1994. Teknik Kultur Jaringan :

Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara

Vegetatif-Modern. Kanisius : Yogyakarta

Kieber, Joseph J. 2002. The Arabidopsis Book: Cytokinins.

American Society of Plant Biologists. University of

North Carolina, Biology Department : Carolina