NILAI MORAL DALAM LIRIK LAGU GUGUR MAYANG ...

12
Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630 PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION Page | 17 NILAI MORAL DALAM LIRIK LAGU GUGUR MAYANG (Analisis Semiotika Budaya) Selamet Riadi (Dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP-UNIQHBA Bagu) ABSTRAK Lirik lagu Gugur Mayang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan budaya masyarakat Sasak. Di dalamnya, arat akan pesan- pesan moral bagi generasi Sasak khususnya. Pesan-pesan moral itu diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol khas masyarakat Sasak seperti gugur mayang (gugurnya kembang mayang), besengkale (mendapatkan bahaya/musibah), kahuripan (kehidupan), dan lain-lain. Kata Kunci : nilai, moral, lirik, gugur mayang 1. PENDAHULUAN Indonesia sebagai bangsa yang multukultural kaya akan keanekaragaman budayanya. Warna-warni kebudayaan masyarakat Indonesia terlihat dari berbagai aktivitas budaya yang dilakukan oleh setiap suku bangsa di Indonesia. Istimewanya, setiap suku memiliki kebudayaan yang berbeda dan beragam. Hal itu merupakan kebanggaan dan keistimewaan tersendiri bagi bangsa dan negara Indonesia untuk terus memelihara dan mempertahankan eksistensi kebudayaan tersebut. Suku Sasak yang merupakan salah satu suku di wilayah Nusa Tenggara Barat masih tetap memelihara dan mempertahankan eksistensi budayanya hingga saat ini walaupun beberapa bagian dari budaya itu sudah hilang, berubah, atau tergantikan karena tergerus budaya modern. Padahal, merupakan kewajiban setiap suku bangsa terutama generasi muda untuk melestarikan masing-masing kebudayaannya seperti yang diamanatkan oleh undang- undang. Suku Sasak sebagai salah satu suku bangsa yang ada di Nusantara tentu memiliki warna-warni kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat suku lain. Hal ini merupakan ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing suku bangsa. Beberapa tradisi budaya, seperti upacara pemberian nama, pernikahan, dan kematian sampai saat ini masih terus dipertahankan masyarakat Sasak. Secara umum, lima unsur pokok kebudayaan, yaitu mitos, bahasa, sejarah, seni, dan ilmu pengetahuan masih dapat ditemukan pada masyarakat Sasak. Wujud kebudayaan dalam bidang seni yang masih melekat dan eksis di masyarakat Sasak adalah lagu-lagu daerah. Lagu daerah tidak hanya sebagai sarana bagi masyarakat suku Sasak dalam mengekspresikan diri. Namun, dalam setiap lirik lagunya terkandung makna dan pesan moral yang mendalam bagi masyarakat terutama generasi muda. Seiring perubahan dan perkembangan zaman lagu Sasak banyak mengalami

Transcript of NILAI MORAL DALAM LIRIK LAGU GUGUR MAYANG ...

Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630

PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id

PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION

Page | 17

NILAI MORAL DALAM LIRIK LAGU GUGUR MAYANG

(Analisis Semiotika Budaya) Selamet Riadi

(Dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP-UNIQHBA Bagu)

ABSTRAK Lirik lagu Gugur Mayang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan budaya masyarakat

Sasak. Di dalamnya, arat akan pesan- pesan moral bagi generasi Sasak khususnya. Pesan-pesan moral itu

diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol khas masyarakat Sasak seperti gugur mayang (gugurnya

kembang mayang), besengkale (mendapatkan bahaya/musibah), kahuripan (kehidupan), dan lain-lain.

Kata Kunci : nilai, moral, lirik, gugur mayang

1. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai bangsa yang

multukultural kaya akan keanekaragaman

budayanya. Warna-warni kebudayaan

masyarakat Indonesia terlihat dari berbagai

aktivitas budaya yang dilakukan oleh setiap

suku bangsa di Indonesia. Istimewanya,

setiap suku memiliki kebudayaan yang

berbeda dan beragam. Hal itu merupakan

kebanggaan dan keistimewaan tersendiri

bagi bangsa dan negara Indonesia untuk

terus memelihara dan mempertahankan

eksistensi kebudayaan tersebut.

Suku Sasak yang merupakan

salah satu suku di wilayah Nusa Tenggara

Barat masih tetap memelihara dan

mempertahankan eksistensi budayanya

hingga saat ini walaupun beberapa bagian

dari budaya itu sudah hilang, berubah, atau

tergantikan karena tergerus budaya modern.

Padahal, merupakan kewajiban setiap suku

bangsa terutama generasi muda untuk

melestarikan masing-masing kebudayaannya

seperti yang diamanatkan oleh undang-

undang.

Suku Sasak sebagai salah satu suku

bangsa yang ada di Nusantara tentu memiliki

warna-warni kebudayaan yang berbeda

dengan masyarakat suku lain. Hal ini

merupakan ciri khas yang dimiliki oleh

masing-masing suku bangsa. Beberapa

tradisi budaya, seperti upacara pemberian

nama, pernikahan, dan kematian sampai

saat ini masih terus dipertahankan

masyarakat Sasak. Secara umum, lima unsur

pokok kebudayaan, yaitu mitos, bahasa,

sejarah, seni, dan ilmu pengetahuan masih

dapat ditemukan pada masyarakat Sasak.

Wujud kebudayaan dalam bidang seni

yang masih melekat dan eksis di masyarakat

Sasak adalah lagu-lagu daerah. Lagu daerah

tidak hanya sebagai sarana bagi masyarakat

suku Sasak dalam mengekspresikan diri.

Namun, dalam setiap lirik lagunya

terkandung makna dan pesan moral yang

mendalam bagi masyarakat terutama

generasi muda.

Seiring perubahan dan perkembangan

zaman lagu Sasak banyak mengalami

Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630

PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id

PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION

Page | 18

perubahan dan penambahan. Jika pada

awalnya musik Sasak hanya berupa kayaq

dan cilokaq, maka saat ini musik sasak juga

diwarnai dengan genre musik lain seperti

lagu popular, reggey, dan dangdut yang

dinyanyikan dengan bahasa Sasak. Selain itu,

alat musik yang digunakan pun merupakan

kolaborasi antara alat musik tradisional dan

modern. Bahkan, tema-tema lagu yang

dibawakan saat ini lebih banyak berkaitan

dengan tema-tema percintaan muda-mudi.

Berbeda sekali dengan lagu-lagu daerah yang

dulu banyak bertema sosial dan religi

sehingga syarat dengan pesan moral yang

terkandung di dalam liriknya. Lirik lagu Sasak

memiliki kepadatan makna yang luas jika

dibandingkan lagu Sasak yang modern

(Rosyidi, 2013 : 4).

Salah satu lagu daerah Sasak yang masih

seringkali dinyanyikan dalam balutan musik

modern adalah lagu Gugur Mayang.

Walaupun dinyanyikan dalam nuansa musik

modern, namun tidak mengurangi nilai dan

pesan moral yang terkandung dalam lirik

lagu tersebut.

Sampai saat ini, tidak ada yang

mengetahui pasti pencipta lirik lagu gugur

mayang. Satu informasi yang belum bisa

dipastikan kebenarannya mengatakan

bahwa lirik lagu ini ditulis oleh keturunan

dari Dende Terong Kuning, seorang Putri dari

wilayah Kuripan atau Kerajaan Kahuripan.

Berdasarkan setitik informasi tersebut

peneliti kemudian mengaitkan lagu gugur

mayang ini dengan sebuah cerita rakyat NTB

yang ditulis ulang oleh Samsuni berjudul Ki

Rangga, karena pada bait kedua dalam lirik

lagu gugur mayang terdapat kata Gusti

Rangge yang merujuk pada seseorang yang

bernama Rangga (Rangge dalam bahasa

Sasak). Tidak Cuma itu, isi cerita dalam cerita

rakyat KI Rangga sangat korelatif dengan

pesan yang ingin disampaikan dalam lirik

lagu. Cerita Ki Rangga dan lirik lagu gugur

mayang keduanya menceritakan tentang

penghianatan seorang pemuda yang pada

awalnya begitu dibanggakan namun budi

baik dibalas dengan kejahatan.

Terlepas dari ada tidaknya hubungan

antara keduanya, lirik lagu gugur mayang

memiliki pesan moral yang tinggi dan

mendalam yang ingin disampaikan oleh

pengarang atau penulis lagu. Hal ini senada

dengan apa yang disampaikan oleh

Nurgiantoro (2013 :430) bahwa nilai moral

dalam karya sastra biasanya mencerminkan

pandangan hidup pengarang yang

bersangkutan, pandangannya tentang nilai-

nilai kebenaran dan hal itulah yang ingin

disampaikan kepada pembaca. Selanjutnya,

Nurgiantoro (2013 : 441- 442)

mengungkapkan bahwa ajaran moral yang

mencakup seluruh persoalan hidup dan

kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke

dalam persoalan hubungan manusia dengan

diri sendiri, hubungan manusia dengan

manusia lain dalam lingkup sosial dan

Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630

PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id

PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION

Page | 19

lingkungan alam, dan hubungan manusia

dengan Tuhannya.

Berdasarkan latar belakang itulah

peneliti sangat tertantang untuk memaknai

dan menganalisis kata demi kata, baris demi

baris, dan bait demi bait lagu gugur mayang

untuk mendapatkan makna utuh dan pesan

atau nilai moral yang tersembunyi dan ingin

disampaikan oleh pengarang atau penulis

lagu.

2. LANDASAN TEORI a. Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotik

berasal dari kata Yunani ”semeion” yang

berarti ”tanda”. Tanda itu sendiri

didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar

konvensi sosial yang terbangun sebelumnya,

dapat dianggap memiliki sesuatu yang lain

(Sobur, 2006:95).

Semiotika adalah studi tentang tanda

dan cara tanda-tanda itu bekerja. Semiotika

adalah suatu ilmu atau metode analisis

untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah

perangkat yang dipakai dalam upaya

berusaha mencari jalan di dunia ini,

ditengah-tengah manusia dan bersama-sama

manusia. Semiotika atau dalam istilah

Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak

mempelajari bagaimana kemanusiaan

(humanity) memaknai hal-hal (things).

Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak

dapat dicampuradukkan dengan

mengkomunikasikan (to communicate).

Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak

hanya membawa informasi, dalam hal mana

objek- objek itu hendak berkomunikasi,

tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur

dari tanda (Barthes, 1988:179; Kurniawan,

2001:53 dalam Sobur,2003:15). Semiotika

mempunyai tiga bidang studi utama, yaitu:

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas

studi tentang berbagai tanda yang

berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda

itu dalam menyampaikan makna, dan

cara tanda-tanda itu terkait dengan

manusia.

2. Kode atau system yang

mengorganisasikan tanda. Studi ini

mencakup cara berbagai kode

dikembangkan guna memenuhi

kebutuhan suatu masyarakat atau

budaya atau untuk mengeksploitasi

saluran komunikasi yang tersedia untuk

mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda

bekerja. Ini pada gilirannya bergantung

pada penggunaan kode-kode dan tanda-

tanda itu untuk keberadaan dan

bentuknya sendiri.

b. Semiologi Komunikasi Saussure

Semiologi adalah 'sains tentang tanda'.

Ferdinand De Saussure, seorang ahli

linguistik dalam pendekatan terhadap tanda-

tanda menyatakan bahwa bahasa di mata

Saussure tak ubahnya seperti sebuah karya

musik. Untuk memahami sebuah simponi,

harus diperhatikan keutuhan karya musik

secara keseluruhan dan bukan kepada

permainan individual dari setiap pemain

Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630

PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id

PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION

Page | 20

musik. Untuk memahami bahasa, individu

harus melihatnya secara “sinkronis”, sebagai

suatu jaringan hubungan antara bunyi dan

makna (Sobur, 2003:44).

Yang cukup penting dalam upaya

menangkap hal pokok dari Saussure adalah

prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu

adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda

itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier

(penanda) dan signified (petanda). Menurut

Saussure bahasa merupakan suatu sistem

tanda (sign). Tanda dalam pendekatan

Saussure merupakan kesatuan dari suatu

bentuk penanda (signifier) dengan sebuah

ide atau (petanda). Jadi penanda adalah

aspek material dari bahasa (Sobur, 2003:46).

Tanda merupakan kesatuan dari suatu

bentuk penanda (signifier) dengan sebuah

ide atau petanda (signified). Dengan kata

lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna”

atau “coretan yang bermakna”. Jadi,

penanda adalah aspek material dari bahasa,

apa yang dikatakan atau didengar dan apa

yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah

gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi

petanda adalah aspek mental dari bahasa.

Dalam tanda bahasa yang konkret, kedua

unsur tersebut tidak bisa dilepaskan. Tanda

bahasa selalu mempunyai dua segi, yaitu :

penanda (signifier) dan petanda (signified).

Satu penanda tanpa petanda tidak berarti

apa-apa dan karena itu tidak merupakan

tanda. Sebaliknya suatu petanda tidak

mungkin disampaikan atau ditangkap lepas

dari penanda, petanda atau yang ditandakan

itu termasuk tanda sendiri dan dengan

demikian merupakan suatu faktor linguistis

(Sobur, 2003:46).

c. Perspektif Interpretif dalam Ilmu

komunikasi Komunikasi adalah salah satu aktifitas

manusia yang diakui dan dilakukan setiap

orang. Hal ini menunjukkan bahwa manusia

sangatlah dipengaruhi oleh komunikasi dan

cara mereka berkomunikasi. Manusia dapat

saling berbagi rasa, pikiran, ide dan gagasan

berdasarkan pengalaman yang mereka miliki.

Pengalaman ini disebut materi yang dimiliki

oleh komunikator untuk dibagikan kepada

orang lain. Pada tahap selanjutnya pesan

diterjemahkan oleh penerima berdasar

kerangka pengalaman yang dimilikinya

menurut konvensi budaya yang menjadi latar

belakangnya. Hal ini dapat diartikan bahwa

dengan adanya perbedaan budaya sangat

dimungkinkan ditemukannya perbedaan

makna pesan.

Proses komunikasi mempunyai sudut

pandang yang berbeda dalam melihat suatu

fenomena sosial. Setiap individu akan

mempunyai pandangan yang berbeda

terhadap suatu hal, atau mungkin akan

saling melengkapi. Kemudian sudut pandang

(perspektif) akan menghasilkan suatu

interpretasi terhadap suatu fenomena sosial.

Glenn dan Marty mengemukakan bahwa ada

dua perspektif yang menjadi dasar untuk

melakukan sebuah penelitian komunikasi.

Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630

PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id

PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION

Page | 21

Mereka mempunyai berbeda dalam

memandang pendekatan komunikasi. Glen

lebih tertarik kepada penelitian yang bersifat

empiris, sedangkan Marty lebih menyukai

menginterpretasikan teks (Griffin, 2000: 6).

Kemudian mereka mengemukakan dua

perspektif dalam memahami teori

komunikasi, yaitu perspektif objektif dan

perspektif interpretif. Menurut mereka

”theory as an umbrella term for all careful,

systematic and self-conscious discussion and

analysis of communication phenomena”

(Griffin, 2000: 6). Sebuah perspektif sangat

penting dalam melakukan sebuah penelitian

komunikasi, yakni berfungsi sebagai payung

yang menaungi analisis dari fenomena

komunikasi. Sebelum melakukan penelitian

komunikasi, peneliti harus tahu dengan tepat

perspektif mana yang digunakan dalam

penelitian. Karena perspektif merupakan

grand theory yang menjadi landasan dasar

dari sebuah penelitian komunikasi.

Pertama adalah perspektif obyektif,

perspektif ini biasanya digunakan dalam

penelitian kuantitatif yang menggunakan

paradigma post positivistik. Perspektif ini

menekankan keobjektifan peneliti dalam

melakukan penelitiannya, sehingga

kebenaran bersifat tunggal dan mutlak. Dan

yang kedua adalah perspektif interpretif,

perspektif ini biasanya digunakan untuk

melakukan penelitian kualitatif. Dengan

perspektif interpretif ini, penelitian yang

dilakukan tidak bersifat obyektif, melainkan

subyektif. Perspektif ini menekankan

keberpihakan peneliti dalam melakukan

penelitiannya. Kedua perspektif ini memiliki

kelebihan dan kekurangan masing- masing,

seperti yang dikatakan Griffin dalam

bukunya, not all objective and interpretative

communication theory are equally good, for

each type, some are better than others

(Griffin, 2000: 20). Menurut Griffin tidak ada

salah satu perspektif yang lebih unggul,

kedua-duanya mencari kebenaran dan

makna dari sisi yang berbeda dari suatu

fenomena sosial.

Penelitian ini bersifat kualitatif dan

menggunakan perspektif interpretif.

Interpretif peduli terhadap makna, berbeda

dengan objektif yang menganggap

kebenaran itu tunggal, interpretif

mempunyai asumsi bahwa kebenaran dan

makna itu tidak memiliki batas-batas umum.

Ciri-ciri perspektif interpretif yang baik

adalah dapat memahami orang lain, dapat

menjelaskan nilai, memiliki standar estetika,

hasil kesepakatan bersama, dan dapat

memberikan kontribusi kepada pihak yang

diteliti (Griffin, 2000: 31). Dalam perspektif

interpretif tidak ada kebenaran yang bersifat

mutlak atau kesalahan tidak bersifat absolut.

Semua fenomena sosial dinilai dari sudut

pandang tertentu dimana ia berada dalam

suatu kelompok masyarakat. Semua akan

tergantung dari sudut pandang yang mereka

yakini.

Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630

PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id

PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION

Page | 22

Penelitian ini menggunakan perspektif

yang kedua, yaitu perspektif interpretif. Para

ahli komunikasi yakin bahwa perspektif

interpretif ini sangat bersifat subyektif, hasil

dari penelitian ini sangat bergantung pada

interpretasi peneliti (Griffin, 2000: 10).

Dengan demikian penelitian tentang

representasi nilai moral dalam lirik lagu

gugur mayang ini dapat dikatakan bersifat

subyektif. Mungkin saja hasil interpretasi

dari penelitian ini akan berbeda apabila

peneliti lain yang melakukan penelitian ini

karena sifat yang subyektif dari masing-

masing peneliti.

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan metode analisis teks dengan

pendekatan semiotika. Metode semiotika

bersifat kualitatif-interpretatif, atau dapat

dijelaskan bahwa metode tersebut

memfokuskan pada “tanda” dan “teks”

sebagai objek kajian, serta bagaimana

peneliti “menafsirkan” dan “memahami

kode” dibalik tanda dan teks tersebut dan

memberikan kesimpulan yang komprehensif

mengenai hasil penafsiran dan pemahaman

yang telah dilakukan.

Pendekatan semiotika dalam penelitian

ini digunakan karena peneliti ingin

mengungkapkan makna yang terkandung

dalam objek penelitian ini, yaitu lirik lagu

Sasak gugur mayang. Dengan menggunakan

metode semiotika, makna dan tanda yang

terkandung dalam lirik lagu tersebut dapat

dianalisis, sehingga makna yang terkandung

dalam lagu tersebut dapat terungkap.

Terdapat tiga teknik pengumpulan data

dalam penelitian ini, yaitu : teknik

dokumentasi, studi pustaka, dan teknik

analisis teks. Teknik dokumentasi digunakan

untuk pengumpulan data primer dengan

cara memanfaatkan dokumentasi dengan

menggunakan lirik Lagu gugur mayang

sebagai alat utama guna mengkaji objek

penelitian. Penelitian dilakukan dengan

mengamati dan menganalisis simbol-simbol

dalam lagu tersebut. Adapun, teknik studi

pustaka bertujuan melengkapi data

penelitian yang mengacu pada wacana-

wacana pustaka sebagai pembanding

ataupun sebagai referensi dalam penelitian.

Melalui penelusuran literatur atau mencari

data mengenai teori seperti semiotika

makna, simbol, pesan, serta untuk

mendapatkan data lain yang berhubungan

dengan penelitian ini. Sedangkan teknik

analisis teks dilakukan dengan membagi

keseluruhan lirik lagu menjadi beberapa bait

dan selanjutnya per bait akan dianalisis

dengan menggunakan teori semiotika dari

Saussure.

Analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah analisis kualitatif.

Metode kualitatif digunakan untuk

mendapatkan data yang mendalam, suatu

data yang mengandung makna. Makna

adalah data yang sebenarnya, data yang

pasti yang merupakan suatu nilai dibalik data

Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630

PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id

PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION

Page | 23

yang tampak. Oleh karena itu dalam

penelitian kualitatif tidak menekankan pada

generalisasi, tetapi lebih menekankan pada

makna (Sugiyono, 2005:201).

1. Mencari lirik lagu gugur mayang;

2. Melakukan pendefenisian terhadap lirik

lagu kemudian dioperasionalkan melalui

kategorisasi untuk memperoleh jawaban

dari tujuan yang di inginkan yaitu untuk

mengetahui gambaran tentang nilai

moral yang terdapat dalam lirik lagu

gugur mayang;

3. Analisis atau penafsiran tanda-tanda

komunikasi digunakan sebagai upaya

mengetahui gambaran makna tentang

nilai moral dalam lirik lagu gugur

mayang.

Dalam penelitian kualitatif, data

diperoleh dari berbagai sumber, dengan

menggunakan teknik pengumpulan data

yang bermacam-macam, dan dilakukan

secara terus menerus hingga data tersebut

mendalam. Kualitatif merupakan yang

memaparkan peristiwa serta situasi dan

bukan semata-mata mencari kebenaran

tetapi lebih pada pemahaman subjek

terhadap dunia sekitar.

4. PEMBAHASAN

Gugur mayang kahuripan Kembang gadung sedin gunung Awun-awun panas jelo Aseq ate lalo telang Side nune

Umbak umbul leq tembuang Rendo tangis gumi sasak Pasek dese ilang sirne Kahuripan besengkale gusti rangge Gong medaye side nune Semu ayu bales ale Eling-eling ringu baye Mangde jari tutur mudi leq semeton jari

Gugur mayang kahuripan

Kata gugur adalah kata kerja (v) yang

bermakna rontok atau jatuh sebelum masak

(KBBI : 464). Biasanya kata gugur dikaitkan

dengan bakal buah atau bunga berjatuhan

atau berguguran sebelum waktunya, hal ini

sesuai dengan kata yang mengikutinya yaitu

kata mayang (pinang). Kata gugur seringkali

berkonotasi dengan kematian dalam situasi

yang tidak menguntungkan dalam konteks

revolusi, perang, persaingan, dan kontestasi

sosial. Adapun mayang dalam lirik lagu

tersebut berarti pinang, yaitu buah yang

memiliki arti penting bagi kehidupan

masyarakat Sasak (terutama waktu dulu).

Buah pinang tidak hanya digunakan sebagai

temannya sirih waktu menyirih (mamaq),

namun bunga maupun buah pinang banyak

digunakan pada saat ritual adat masyarakat

Sasak. Dalam konteks lagu ini, mayang

merupakan simbol yang mewakili pemuda

Sasak, melambangkan kekuatan, harapan,

dan keindahan.

Selanjutnya, kata kahuripan (dalam larik

yang sama) bermakna kehidupan. Dalam

versi lainnya kata ini disebut leq kuripan (di

Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630

PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id

PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION

Page | 24

Kuripan), yaitu kata yang mengacu pada

sebuah tempat yang disebut Kuripan atau

nama sebuah kerajaan di Lombok yang

dinamakan Kerajaan Kuripan. Secara

etimologis kata kahuripan merupakan

bentukan dari bentuk dasar urip (hidup) +

konfik (ke-, -an) yang bermakna

“kehidupan”.

Jika ketiga kata (Gugur mayang

kahuripan) dalam bait pertama dan baris

pertama ini dimaknai berdasarkan

pemaknaan setiap kata tersebut maka

maknanya adalah gugur atau matinya

kehidupan tunas atau generasi muda yang

dikonotasikan dengan gugurnya buah/bunga

mayang sebelum waktunya dipetik.

Tentunya, yang dimaksud dengan “matinya

kehidupan generasi muda” adalah bukan

secara fisik namun, secara psikis yang berarti

matinya semangat (ghiroh) generasi muda

mempertahankan budaya dan nilai-nilai arif

bijaksana yang terdapat di dalamnya.

Baris kedua kembang gadung sedin

gunung, merepresentasikan situasi dan

kondisi masyarakat Sasak yang dalam serba

sulit. Gadung merupakan makanan pokok

masa penjajahan karena ketiadaan jagung

dan beras. Dalam hubungannya,

kembang dan gadung secara simbolis

mewakili aspek material kehidupan, menjadi

tanda-tanda dari materi, tubuh, dan

kebutuhan fisik (makanan, sandang, dan

papan).

Manusia memiliki kebutuhan dasar

tertentu yang harus mereka penuhi bahkan

ketika mereka mengalami kesulitan. Frasa

kembang gadung melambangkan kebutuhan

dasar ini, mengacu pada makanan pokok

yang dikonsumsi oleh orang Sasak ketika

jagung dan beras tidak tersedia. Sedangkan

ungkapan sedin gunung melambangkan

tempat yang tidak mudah dijangkau. Kata ini

memperkuat makna kata sebelumnya

(kembang gadung) bahwa kesulitan yang

dialami masyarakat Sasak dalam

kesehariannya waktu itu benar-benar tidak

terbayangkan. Untuk memperoleh gadung

saja masyarakat harus menempuh banyak

bahaya dan rintangan yang dimetaforkan

dengan istilah sedin gunung. Sedin gunung

secara metaforis mewakili tempat yang

berbahaya, sulit, dan situasi yang

rumit. Seperti situasi hegemoni Jawa dan Bali

di Lombok (Kraan, 1981; Satrya HD, 2018),

dimana masyarakat Lombok ditundukkan

dan identitas budaya mereka dikaburkan. Ini

menyiratkan hukum kekuasaan, bahwa

mereka yang datang di Lombok berusaha

untuk menguasainya dan meminggirkan

orang Sasak ( leq sedin gunung ). Ini adalah

kenyataan pahit yang dialami oleh orang

Sasak di bawah pemerintahan Kerajaan

Karang Asem Bali, Kerajaan Jawa Majapahit,

serta kolonialisme Belanda dan Jepang.

Gambaran penderitan masyarakat Sasak

masih direpresentasikan pada baris ketiga

bait pertama awun-awun panas jelo. Frase

Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630

PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id

PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION

Page | 25

ini mengacu pada kehidupan sulit yang

penuh dengan rintangan. Kata awun -

awun berarti kabut, yang melambangkan

halangan dan rintangan

kehidupan. Meskipun keberadaan kabut

biasanya tidak lama, yaitu pada pagi hari dan

hilang di siang harinya namun pada bait lagu

gugur mayang, kabut (awun- awun) ini

berlangsung cukup lama, yaitu sampai siang

harinya (panas jelo). Hal ini menggambarkan

bahwa penderitaan (kembang gadung, sein

gunung, awun- awun) masyarakat Sasak

cukup lama, yaitu sejak Kerajaan Karang

Asem Bali, Kerajaan Jawa Majapahit, serta

kolonialisme Belanda dan Jepang.

Selanjutnya, baris aseq ate lalo

telang menyimpulkan kesedihan yang

mendalam, kesedihan yang disebabkan oleh

kekerasan dan situasi serta kondisi. Frasa

tersebut melambangkan kompleksitas hidup,

termasuk sulitnya meninggalkan tanah air

bahkan saat keadaan menuntutnya. Aseq

ate (sedih hati) adalah sebuah ungkapan

yang menyampaikan kesedihan yang

mendalam. Kemudian, lalo telang (pergi

menghilang) yang berarti pergi merantau ke

negara lain merupakan jalan keluar yang

dilakukan masyarakat Sasak. Demi keluar

dari kesulitan ekonomi, masyarakat Sasak

banyak yang hijrah ke Malaysia untuk

mencari ringgit (uang) sebagai sarana

mengentaskan kemiskinan mereka (Haris,

2002).

Sedangkan frase Side nune dalaam

bahasa Sasak digunakan masyarakat untuk

panggilan anak yang

disayangi. Kata nune berarti seorang anak

laki-laki. Pada saat yang sama berkonotasi

kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi

rintangan dan kompleksitas kehidupan.

Bait kedua, umbul-umbul leq

tembuang / rendo tangis gumi sasak / pasek

dese ilang sirne / Kahuripan besengkale.

Pada bait kedua ini, lagi-lagi menceritakan

situasi dan kondisi yang dialami oleh orang

masyarakat Sasak, frasa umbak

umbul melambangkan cobaan berat yang

terjadi seperti gulungan umbak tinggi di laut

Selatan (Lek

Tembuang). Umbak artinya ombak laut,

sedangkan umbul berarti muncul. Cobaan

berat yang dialami masyarakat Sasak

menimbulkan kesedihan mendalam yang

digambarkan dalam baris kedua rendo tangis

gumi sasak (riuh tangis masyarakat bumi

Sasak). rnedo tangis , dengan demikian,

mengacu pada air mata yang ditumpahkan

ketika situasi masih sangat terasa. Air mata

ini menetes di gumi Sasak (tanah orang

Sasak) karena pasek dese hilang sirne.

Frase pasek dese merujuk kepada

pemuda Sasak. Kata pasek berarti sejenis

paku dari bilah bambu yang diruncingkan

untuk menguatkan bagian kayu yang

disambung. Pasek dalam GM merupakan

ikon pemimpin, pemuda, dan harapan

masyarakat. Dalam budaya Sasak,

Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630

PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id

PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION

Page | 26

Kata pasek juga berarti orang pertama

(pemimpin) yang menempati sebuah

wilayah, yang memiliki pengaruh sosial yang

kuat. Hilang sirne bermakna hilang

lenyap. Jika diartikan secara utuh baris

ketiga bait kedua tersebut maknanya adalah

lenyap, hilang, atau meninggalnya pemuda,

panutan, atau pemimpin sasak. Sebenarnya,

hilang atau lenyap yang dimaksudkan di sini

tidak secara fisik, melainkan psikis, yaitu

hilangnya semangat, prinsip dan identitas

Sasak. Dengan kehilangannya (pasek dese),

identitas Sasak pun ikut hilang hilang.

Kemudian, baris ke empat Kahuripan

besengkale bermakna hidup selalu penuh

dengan sengkale (bencana, rintangan); tidak

ada kehidupan tanpa sengkale, dan karena

itu sengkale merupakan prasyarat yang tak

terelakkan bagi kehidupan.

Bait ketiga, Gong medaye side nune/

semu ayu bales ale / iling-iling ring ubaye /

Mangde jari tutur mudi leq semeton jari,

merupakan peringatan untuk generasi sasak

(side nune). Hal ini diungkapkan dengan frase

gong medaye (gong/gaung peringatan) yang

ditujukan kepada pemuda sasak.

Baris berikutnya, semu ayu bales ale ,

berarti 'kebaikan dibalas dengan kejahatan

'. Ungkapan semu ayu menunjukkan kualitas

kebaikan, seperti yang diwujudkan melalui

sikap atau perbuatan, sementara itu,

frase semu ayu menunjukkan kebaikan yang

diberikan dengan tulus, satu yang tidak

selalu ditanggapi dengan baik oleh orang

lain. Secara implisit, Sifat baik yang

ditunjukkan oleh semu ayu dengan jelas

menekankan bahwa orang Sasak memiliki

karakter yang kuat dan baik (Lombok : lurus).

Sementara itu, Bales ale menunjukkan sikap

yang jahat. Kata besengkale artinya

'rintangan', karena manusia merupakan

makhluk yang mengalami

banyak sengkale; Dalam konteks sejarah,

Orang Jawa dan Bali telah

menjadi sengkale bagi orang Sasak, karena

mereka telah mencegah Sasak menemukan

identitas mereka sendiri. Identitas Sasak saat

ini adalah hasil konstruksi orientalis, yang

mengidentifikasi Lombok sebagai bagian dari

Jawa (Kraan, 1981). Identitas Sasak

dikonseptualisasikan tidak dalam istilahnya

sendiri, tetapi dalam istilah bangsa lain

(Sudirman & Bahri, 2014; Tim Penyusun,

1977; Tim Penyusun Depdikbud, 1977),

khususnya ketujuh negara yang telah

menggunakan kendali kolonial di atas

Lombok. Kolonialisme semacam itu

diidentifikasikan sebagai kejahatan dengan

itu kebaikan orang Sasak telah terbayar.

Bahkan saat mereka memberi kebaikan,

mereka hanya mengalami rasa sakit. Mereka

kehilangan jati diri dan hidup mereka di

bawah penjajahan dan kekuasaan

hegemonik negara asing.

Baris berikutnya, iling-iling ring ubaye ,

menunjukkan kesadaran

akan ubaye (bahaya) leq kuripan (dalam

hidup). Artinya, dalam hidup, seseorang akan

Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630

PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id

PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION

Page | 27

mengalami bahaya dan rintangan. Iling-

iling merepresentasikan tingkah laku

manusia, sedangkan ubaye melambangkan

sifat kehidupan duniawi. Manusia yang tidak

memiliki iling (kesadaran) akan

mengalami ubaye, dan karena itu mereka

harus selalu waspada saat berperilaku diri

mereka sendiri dalam kehidupan sehari-hari

mereka. Iling (kesadaran) adalah ikon

kemanusiaan dan kesadarannya yang lebih

tinggi, dan itu kesadaran inilah yang

memungkinkan orang Jawa, Bali, dan

pengaruh Belanda atas orang Sasak untuk

bertahan.

Kata iling juga berkorelasi dengan lolon

buaq (pohon palem), pohon lurus yang

menjadi ikon Sasak. Begitulah kualitas

karakter masyarakat Sasak, khususnya

kesadaran mereka tentang yang baik dan

yang buruk dalam hidup serta perlu

menghindari salah langkah. Sikap seperti itu

juga terbukti dalam frasa adeng-adeng entan

bekelampan (bepergian dengan hati-hati),

yang secara simbolis mengacu pada

perbuatan iling diri.

Baris terakhir dalam lagu GM, Mangde

jari tutur mudi leq semeton jari

menggarisbawahi pentingnya harapan,

mengakui perjuangan panjang untuk

mempertahankan Identitas Sasak, untuk

mengatasi cobaan dan kesulitan hidup, dan

tetap sadar akan sengkale, umbak, ubaye,

dan awun-awun . Ini bisa diwujudkan melalui

wacana dan pesan yang terus menerus

disediakan untuk masa depan generasi

sasak.

5. KESIMPULAN

Masyarakat Sasak kaya akan peninggalan

tradisi dan budaya yang sarat dengan norma

dan nilai moralitas. Salah satu manifestasi

budaya yang tetap eksis hingga saat ini yaitu

lagu daerah yang salah satunya adalah lagu

Gugur Mayang. Lagu ini sarat akan pesan

moral yang terkandung di dalamnya. Hal ini

bisa dilihat dari ketiga bait lirik lagu tersebut.

Bait pertama dan kedua menggambarkan

kesedihan masyarakat Sasak yang

disebabkan oleh dahsyatnya ujian, bahaya

dan rintangan yang dikonotasikan dalam

frase seperti gugur mayang (jatuh buah) ,

Kahuripan (hidup) , kembang gadung (bunga

gadung) , awun-awun (awan) , aseq

ate (prihatin) , lalo telang (kesedihan),

umbak umbul (timbulnya umbak), rendo

tangis (riuh tangis), ilang sirne (hilang

lenyap), besengkale (mendapat bahaya).

Kemudin bait ketiga merupakan peringatan

keras bahwa kebaikan bisa saja dibalas

dengan kejahatan. Dan pda baris terakhir

penulis syair lagu mengingatkan agar

kejadian pahit masa silam tidak terulang

sehingga perlu diingatkan kepada generasi

setelahnya. Hal ini dimanifestasikan dalam

frase gong medaye (gong peringatan), semu

ayu (budi kebaikan), balas ale (dibalas

kejahtan), eling-eling (ingat-ingatlah), dan

jari tutur muri (menjadi cerita kemudian

hari).

Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630

PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id

PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION

Page | 28

Kesimpulannya, lagu GM memiliki pesan

moral kepada generasi muda Sasak agar

selalu bertindak dengan bijaksana dan penuh

kehati-hatian dalam menjalani kehidupan ini.

Karena kehidupan ini penuh dengan bahaya

dan rintangan (ubaye), bahkan kebaikan

yang diperbuat sekalipun bisa saja dibalas

dengan kejahatan. Kemudian, generasi muda

sasak jangan sampai meninggalkan dan

melupakan nilai-nilai luhur budaya Sasak

hanya karena teknologi dan budaya luar

yang dianggap lebih bergengsi. Karena

pemuda sasak merupakan pasek dese,

pemimpin dan harapan untuk generasi yang

lebih baik. Jangan sampai pasek dese ilang

sirne, menghilang secara psikis, yaitu

hilangnya semangat mempertahankan

budaya-budaya luhur masyarakat sasak.

Terakhir, peringatan ini harus tetap hidup

dari generasi ke generasi demi menjaga nilai

moralitas dalam budaya Sasak.

REFERENSI Fadjri, M. (2015). Mentalitas dan Ideologi dalam Tradisi Historigrafi Sasak Lombok pada Abad XIX-XX.

Disertasi . Universitas Gadjah Mada. Faruk (2012). Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fathurrahman, HLA (2017). Kosmologi Sasak, Risalah Inan Paer . Mataram: Jenius.