Masyarakat Adat Lampung Sebatin - Raden Intan Repository

175
Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia IDHAM (Kajian Yuridis, Sosiologis dan Ekonomis)

Transcript of Masyarakat Adat Lampung Sebatin - Raden Intan Repository

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin

Dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam,

Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia

IDHAM

(Kajian Yuridis, Sosiologis dan Ekonomis)

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia iii

ABSTRAK

Perkawinan merupakan salah satu babak baru dalam hidup

manusia yang disebut stages a long the life cycle dengan diapreasiasi

dalam bentuk perayaan yang berbeda-beda. Seperti halnya

masyarakat adat Lampung Sebatin mengawali tatanan hidup baru

dalam perkawinan memadukan antara adat dan hukum Islam.

Perkawinan terbagi dua cara yaitu perkawinan nyakak/Jujokh dan

Semanda. Tata cara adat perkawinan tersebut memiliki nilai-nilai

dan norma-norma atau kaidah-kaidah. Masalah dalam penelitian ini

adalah bagaimana praktek perkawinan dan bagaimana deskripsi

kaitan hukum adat dan hukum Islam serta hukum postif di Indonesia

dalam Perkawinan masyarakat masyarakat adat Lampung Sebatin

Tujuan penelitian adalah memperoleh informasi tentang:

pertama, Praktek tata cara perkawinan adat Lampung Sebatin,

Kedua, hukum positif dan Islam dalam adat Perkawinan adat

Lampung Sebatin. Penelitian ini menggunakan metode penelitian

kualitatif dengan pendekatan sosiologi hukum memfokuskan pada

proses pelaksanaan perkawinan berdasarkan hukum Islam dan

Hukum adat dengan tujuan yang telah ditetapkan. Data penelitian

diperoleh menggunakan metode wawancara yang dilakukan

terhadap obyek penelitian atau responden.

Temuan penelitian ini menunjukan bahwa: Pertama: Praktek

perkawinan adat Lampung Sebatin dalam pelaksanaannya

menggunakan hukum Islam namun ada beberapa prosesi seperti pra

nikah dan setelah nikah. Adat perkawinan adat Lampung Sebatin

dibagi dalam dua yaitu nyakak/Jujokh dan Semanda dengan

tahapan-tahapan adat sebelum, tahapan adat pelaksanaan dan

tahapan adat setelah Perkawinan dan pola menetap setelah

menikah. Kedua, Hukum perkawinan dalam ajaran agama Islam

dengan Undang-Undang tentang perkawinan, dalam tata cara

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia iv

perkawinan nyakak/Jujokh dan Semanda pada umumnya dapat

dikatakan sudah sejalan, dalam pelaksanaannya pun sesuai dengan

pijakan dan rujukan yaitu Undang-undang tentang perkawinan

adalah Al-Qur’an, Al Sunnah, Qaidah Fiqhiyah dan Konsensus (Ijma)

Umat Islam di Indonesia.

Saran, Perkawinan adat Lampung Sebatin merupakan salah

satu budaya yang haruslah dapat menyesuaikan dengan

perkembangan budaya nasional maupun masyarkat Islam di

Indonesia agar budaya tetap bertahan dan terpelihara. Adat

perkawinan Lampung Sebatin pada pelaksanaannya agar tetap

menjadi aplikasi dari teori hukum Islam yang mengandung makna

bahwa perkawinan banyak tersemat dan dipertahankan oleh

perkawinan adat Lampung Sebatin. Diperlukan peran dari pemuda-

pemudi dan masyarakat dalam usaha merubah pola pikir remaja saat

ini untuk mencintai budaya dan adat dalam pelaksanaan tradisi

perkawinan masyarakat Lampung Sebatin dan diharapkan

khususnya untuk para pemuda-pemudi agar terus menjaga,

merawat, dan melestarikan adat perkawinan masyarakat yang

menjai bagian dari hukum keluarga Indonesia.

Kata Kunci : Perkawinan, Adat, Lampung Sebatin

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia v

ABSTRACT

Marriage is one of the new chapters in human life called

"stages a long the life cycle" which is appreciated in different forms of

celebration. Like the indigenous people of Lampung, Sebatin started a

new life order in marriage that combines adat and Islamic law.

Marriage is divided into two ways, namely "nyakak/Jujokh" and

"Semanda" marriages. The customary marriage procedures have

values and norms or rules. The problem in this study is how the

marriage practices of the Lampung Sebatin indigenous people are,

how are the juridical, sociological and economic aspects of the

Lampung Sebatin customary marriage practices and how are the

marriage practices of the Lampung Sebatin indigenous people in the

perspective of Islamic law, customary law and positive law in

Indonesia.

The purpose of the study was to obtain information about:

first, the practice of traditional marriage procedures in Lampung

Sebatin. Second, the juridical, sociological and economic aspects.

Third, Islamic Law, Customary Law and Positive Law of Lampung

Sebatin customary marriage. This study uses a qualitative research

method with a sociological approach to law focusing on the process of

implementing marriages based on Islamic law and customary law

with predetermined goals. Research data obtained using the interview

method conducted on the object of research or respondents.

The findings of this study indicate that; First: The practice of

Lampung Sebatin traditional marriage in its implementation uses

Islamic law but in processions such as pre-marital and post-wedding

using customary law. The traditional marriage customs of Lampung

Sebatin are divided into two, namely nyakak/Jujokh and Semanda

with traditional stages before, stages of customary implementation

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia

and stages of customs after marriage and patterns of settling after

marriage. Second, the juridical, sociological and economic aspects

include legal certainty, social and economic conditions in the series of

Lampung Sebatin traditional marriage processes. Third: The marriage

practice of the indigenous people of Lampung Sebatin is a form of

living law. When viewed from Islamic law, this is a form of customary

law wealth that is accepted in Islamic law.

The suggestion from this research is, the practice of Lampung

Sebatin traditional marriage in terms of the procession/ritual needs

to be reviewed, the practice of forced sebambangan marriage in a

sociological perspective will affect the happiness of the household, on

the other hand the amount of money 'jujokh', dowry and the number of

traditional processions will Incurring costs that are large enough that

sometimes they have to go into debt and sell existing assets. This

research still needs further in-depth research, the authors realize that

there are still many shortcomings and need to be explored as further

research.

Keywords: Marriage, Culture, Lampung Saibatin

vi Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia vii

صخلم

تلاافتحا لكش يف اىريدقت متيو، ةليوط ةايح ةرود لحارم ىمسي ناسنلإا ةايح يف ديدج لصف جاوزلا

ةعيرشلاو تاداعلا نيب عمجي جاوز يف ةايحلل اد يدج ام اظن اوأدب ، نيتابس جنوبمال يف نييلصلأا ناكسلا لثم .ةفلتخم

يقيرط ىلإ جاوزلا مسقني .ةيملاسلإا ميق اهل ةيديلقتلا جاوزلا تاءارجإ .ادنامسو خوجوج / كاكاين جاوز امىو ، نت

يفرعلا نوناقلا نيب ةقلاعلا فصو ةيفيكو جاوزلا ةسرامم ةيفيك يف ثحبلا اذى يف ةلكشملا نمكت .دعاوق وأ فارعأو

.يلصلأا نيتابيس جنوبمال عمتجم جاوز يف ايسينودنإ يف يعضولا نوناقلاو ةيملاسلإا ةعيرشلاو

غنوبمال ةيديلقتلا جاوزلا تاءارجإ ةسرامم ، لاوأ :لوح تامولعم ىلع لوصحلا ثحبلا فدى ناك

بولسأ ةساردلا هذى مدختست .يديلقتلا نيتابس جنوبمال جاوز يف ةيملاسلإا ةعيرشلاو ةيباجيلإا ةعيرشلا ، ايناث ، نيتابس

عم يفرعلا نوناقلاو ةيملاسلإا ةعيرشلا ساسأ ىلع جاوزلا قبيطت ةيلمع ىلع زكري يعامتجا ينوناق جهنمب يعونلا ثحبلا

وأ ثحبلا عوضوم ىلع تيرجأ يتلا ةلباقملا ةقيرط مادختساب ثحبلا تانايب ىلع لوصحلا مت .افلس ةددحم فادىأ

.نيثوحبملا

مدختست وقبيطت يف نيتابس جنوبمال يديلقتلا جاوزلا ةسرامم : لاوأ :يلي ام ىلإ ةساردلا هذى جئاتن ريشت

نيتابس جنوبمال جاوز تاداع مسقنت .هدعبو جاوزلا لبق جاوزلا لثم بكاوم ةدع كانى نكلو ، ةيملاسلإا ةعيرشلا

ذيفنتلل ةيفرعلا لحارملاو ، ةقباسلا ةيديلقتلا لحارملا عم ادنامسو خوجوج / كاكاين امىو ، نيمسق ىلإ ةيديلقتلا

جاوزلا نوناق عم يملاسلإا نيدلا ميلاعت يف جاوزلا نوناق ، ايناث .جاوزلا دعب ةيوستلا طمنو جاوزلا دعب ةيفرعلا لحارملاو

ساسلأا عم قفاوتي هذيفنت يف ، ىشامتي ونإ لوقلا نكمي ماع لكشب ادنامسلاو خوجيلا جاوز نم جاوزلا تاءارجإ يف ،

.ايسينودنإ يف نيملسملا عامجإو ويقفلا ةدعاقلاو ةنسلا ، نآرقلا وى جاوزلا نوناق يأ ، ةيعجرملاو

روطت عم فيكتلا ىلع ةرداق نوكت نأ بجي يتلا تافاقثلا دحأ وى يديلقتلا نيتابس جنوبمال جاوز ، حارتقا

لظت ، ةيلمعلا ةيحانلا نم .اهيلع ظافحلاو ءاقبلا ةفاقثلل نكمي ىتح ايسينودنإ يف يملاسلإا عمتجملاو ةينطولا ةفاقثلا

ظفاحي نيتابس غنوبمال يديلقتلا جاوزلا نأ ىلإ ريشت يتلا ةيملاسلإا ةعيرشلا ةيرظنل اق بيطت نيتابس جنوبمال جاوز تاداع

ذيفنت يف تاداعلاو ةفاقثلا اوبحيل مويلا نيقىارملا ةيلقع رييغتل ةلواحم يف عمتجملاو بابشلا رود ىلإ ةجاح كانى .ويلع

جاوزلا تاداع ىلع ظافحلا يف صاخ لكشب بابشلا رمتسي نأ لومأملا نمو ، نيتابياس جنوبمال عمتجمل جاوزلا ديلقت

.يسينودنلإا ةرسلأا نوناق نم .ويلع ظافحلاو وتياعرو ونم ءزج مى يذلا عمتجملا يف

نيتابيص جنوبالم ، تادآ ، جاوز :ةيحاتفملا تاملكلا

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Beberapa ketentuan dalam rumusan transliterasi yang

digunakan adalah sebagai berikut :

1. Istilah atau kata yang sudah biasa dan umum digunakan dalam

bahasa Indonesia dan nama-nama alam ditulis menurut aturan

umum sebagaimana biasanya, misalnya :

Arab Indonesia

Sahabat ةباحص

Ali ىلع

Umat مةأ

2. Istilah atau kata yang masih asing pemakaiannya dalam bahasa

Indonesia ditulis dengan ejaan yang menunjukkan kepada

sebutan huruf aslinya dengan rumusan sebagai berikut :

a. Konsonan

ARAB INDONESIA CONTOH

Arab Indonesia

Adīb بيدأ A/a ا

Bayān نايب B/b ب

Ta’liqāt تاقيلعت T/t ت

Tsubūt توبث Ts/ts ث

’Jâmi جامع J/j ج

Ĥadīts ثيدح Ĥ/ĥ ح

Khamr خمر Kh/kh خ

Dār دار D/d د

Madzhab مذىب Dz/dz ذ

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia ix

Ra ĥamūt رحموت R/r ر

Muzābanah ةنبازم Z/z ز

Sa’ādah سعادة S/s س

Istinsyāq قاشنتسا Sy/sy ش

Shahīh حيحص Sh/sh ص

Dharūrāt ضرورات Dh/dh ض

Istimbāth تابنتسا Th/th ط

Zhihār ظهار Zh/zh ظ

Illah‘ ة لع ‘ ع

Gharar غرر Gh/gh غ

Fiqh وقف F/f ف

Qaul لوق Q/q ق

Kaffārah ةراف ك K/k ك

’Luma عمل L/l ل

Mukātabah ةبتاكم M/m م

Nihāyah ةياهن N/n ن

Wushūl وصول و

Muntahā ىهتنم H/h ه

'Nisā ءاسن ' ء

Khiyār رايخ Y/y ي

b. Vokal

Dalam penulisan huruf vokal tunggal (monoftong) yang dalam

bahasa Arab dilambangkan dengan tanda baca atau harakat,

maka dalam penulisan ini ditulis dengan huruf vokal a untuk

fatĥah, i untuk kasrah dan u untuk dhammah.

Adapaun huruf vokal panjang (diftong) yang dilambangkan

dengan tanda baca atau harakat yang menyuarakan huruf ‘illah

sesudahnya, maka untuk vokal panjang a digunakan simbol ā,

untuk i digunakan ī dan untuk u digunakan ū.

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia

3. Pengecualian

Karena tidak diketemukannya padanan bagi beberapa huruf Arab

tertentu, maka dalam penulisan masih menggunakan beberapa

pengecualian, seperti :

a. Huruf Hamzah (ء) di awal kata ditulisdenganhuruf vocal (A),

seperti :

b. Huruf ة (ta’ marbūthah) yang dimatikan disamakan dengan ه

dan dilambangkan denga huruf h, seperti : أ مة = Ummah.

c. Huruf ال yang bertemu dengan huruf syamsiyah, maka huruf ل

yang semestinya ditulis dengan huruf I diganti dengan

lambang huruf syamsiyah yang mengikutinya, seperti :

ARAB INDONESIA

Ar-Risālah ةلاسر لا

At-Turāts ثار تلا

Asy-Syafi’i يعفاش ل ا

x Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Ahmad أحمد

Anas سنأ

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia xi

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama

NPM

Judul Disertasi

: IDHAM, S.Ag, SH, MH

: 1774030003

: Praktek Perkawinan Masyarakat adat Lampung

Sebatin Dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam,

Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia.

(Kajian Yuridis, Sosiologis dan Ekonomis)

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan Disertasi ini

berdasarkan hasil penelitian, pemikiran, dan pemaparan asli dari

saya sendiri. Jika terdapat karya orang lain, saya akan

mencantumkan sumber yang jelas.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan

apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan

ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima

sanksi akademik sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya dan

sanksi lain sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas

Islam Negeri Raden Intan Lampung.

Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar tanpa

paksaan dari pihak manapun.

Bandar Lampung, 1 Desember 2021

Yang membuat pernyataan,

I D H A M

1774030003

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia xii

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia xiii

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia xiv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT,

yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya, sehingga sampai

saat ini penulis diberikan hidayah, rahmat, kesehatan, serta karunia-

Nya dalam menyelesaikan Disertasi yang berjudul : Praktek

Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Saibatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di

Indonesia”. (Kajian Yuridis, Sosiologis dan Ekonomis) dapat

terselesaikan, shalawat beserta salam penulis sanjungkan kepada

junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat dan

pengikutnya.

Disertasi ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk

menyelesaikan studi pada program Strata Tiga (S3) Konsentrasi

Hukum Keluarga Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung guna

memperoleh gelar Doktor. Dalam menulis Disertasi ini penulis sadar

tidak dapat berjalan sendiri sehingga dari berbagai pihak yang

menuntun penulis dan memberikan motivasi untuk itu

mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Mukri, M.Ag selaku Rektor UIN

Raden Intan Lampung sekaligus Ketua Tim Penguji yang

membimbing, mengarahkan, dan memotivasi penulis hingga

Disertasi ini selesai .

2. Bapak Prof. Dr. Idham Kholid, M.Ag selaku Direktur Program

Pascasarjana (PPs) UIN Raden Intan Lampung sekaligus Penguji

V yang selalu memberikan motivasi untuk menyelesaikan

disertasi.

3. Ibu Dr. Siti Mahmudah, M.Ag selaku Ketua Prodi Hukum

Keluarga yang telah membantu dalam menyelesaikan setiap

masalah seputar kegiatan perkuliahan.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia xv

4. Bapak Dr. Liky Faizal., M.H selaku Sekretaris Prodi Hukum

Keluarga yang telah membantu dalam menyelesaikan setiap

masalah seputar kegiatan perkuliahan.

5. Bapak Prof. Dr. Dahmrah Khair, M.A selaku Promotor yang telah

banyak meluangkan waktu dalam membimbing, mengarahkan,

dan memotivasi penulis hingga Disertasi ini selesai.

6. Ibu Dr. Hj. Zuhraini., M.H. selaku Co Promotor 1 yang telah

banyak meluangkan waktu dalam membimbing, mengarahkan,

dan memotivasi penulis hingga Disertasi ini selesai.

7. Bapak Dr. H. Yusuf Baihaqi, Lc, M.A selaku Co Promotor II yang

telah banyak meluangkan waktu dalam membimbing,

mengarahkan, dan memotivasi penulis hingga Disertasi ini

selesai.

8. Bapak Prof. Dr. H. M. Suharto, S.H., M.A selaku Pengiji 1 yang

telah banyak meluangkan waktu dalam membimbing,

mengarahkan, dan memotivasi penulis hingga Disertasi ini

selesai.

9. Bapak dan Ibu dosen serta civitas akademika Program

Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung Fakultas Syariah

Konsentrasi Hukum Keluarga.

10. Semua pihak yang membantu memberikan motivasi terutama

isteri saya tercinta serta anak-anak saya tersayang, Keluarga

besar saya tercinta, Ketua Pembina Yayasan Pendidikan Saburai

dan seluruh jajaran, Ketua Yayasan Pendidikan Saburai, Rektor

Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai Ibu Dr. Lina Maulidiana, S.H,

M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai

Ibu Dr. Ino Susanti, S.H., M.H dan seluruh civitas akademika

Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai, teman-teman seperjuangan

tahun angkatan 2017 Program Pascasarjana UIN Raden Intan

Lampung, Bapak Hi. Endang Ali Maksum, Dr. Ahmad Fauzan, Dr.

Samsul Hilal, Dr. Dri Santoso, Bahtiar, Anwar dan sahabat-

sahabatku Dr. Fauzi, S.E, M.E., M.Kom, Akt, Dr. Rustam Efendi,

S.E, M.Si, Maulidin Ansori, S.Ag, M.H dan Dr. Lenny Nadriana,

S.H, M.H, dan rekan-rekan kerja di sekolah Pascasarjana

Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai Lampung serta semua pihak

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia

penulis ucapkan terimakasih semoga amal baiknya mendapat

balasan dari Allah SWT, Amin.

Penulis menyadari bahwa Disertasi ini masih jauh dari kata

sempurna, hal itu tidak lain karena keterbatasan kemampuan,

waktu, dan dana yang dimiliki. Untuk itu kiranya para pembaca

dapat memberikan saran yang membangun guna melengkapi

Disertasi ini. Semoga Disertasi ini dapat bermanfaat bagi pembaca

atau peneliti berikutnya untuk perkembangan keilmuan khususnya

ilmu Hukum Keluarga.

Bandar Lampung, 1 Desember 2021

I D H A M

1774030003

xvi Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia xvii

PERSEMBAHAN.

Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT,

Disertasi sederhana ini saya persembahkan sebagai tanda cinta,

sayang, dan hormat tak terhingga kepada:

1. Kedua orang tua saya, Abdul Manaf (Alm) dan bunda Siti Aisah

(Alm.) tercinta yang dahulu berharap agar penulis menempuh

pendidikan setingi-tinggi dan doa ibu dan bapak kini tercapai,

terima kasih atas doa, pengorbanan, kasih sayang, semangat,

motivasi serta nasihat-nasihat yang baik kepada saya, hanya do’a

yang dapat saya persembahkan kepada ayah dan ibu, mudah-

mudahan Allah menempatkan di tempat yang layak di alam kubur.

2. Istri saya tercinta Sudewi, SE, MM yang telah memberikan

dukungan baik lahir maupun batin, sehingga dapat menyelesaikan

disertasi ini.

3. Anak-anak saya tercinta, Muhammad Redho Pahlevi, Fernando

Narasendi, S.H, Intan Novia Putri Rizqillah, S.H, M.Kn, Jesica Putri

Clara Sendi, Muhhamad Ridwhan Al-Amin dan Jihan Safira yang

selalu menjaga, menyayangi dan mendoakan saya

4. Saudara-saudara saya terimakasih atas doa dan dukungannya

selama ini kepada saya

5. Kampus saya tercinta Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai. Ucapan

terima kasih kepada Bapak Ketua Pembina Hertanto Roestyanto,

S.E., M.M, Bapak Erie Hermawan Atmawidjaya dan jajaranya,

Ketua Yayasan Saburai Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S dan

jajaranya, Rektor Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai Ibu Dr. Lina

Maulidiana, S.H., M.H beserta seluruh Wakil-Wakil Rektor, Dekan

Fakultas Hukum Ibu Dr. Ino Susanti, S.H, M.H dan wakil-wakil

Dekan serta seluruh Dosen dan staff Fakultas Hukum yang telah

banyak memberikan motivasi dan semangat sehingga saya dapat

menyelesaikan studi Doktor ini.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia xviii

6. Sahabat-sahabat saya Dr. Rustam Effendi, S.E, M.Si, Dr. Fauzi, S.E,

M.Kom, A.kt. Maulidin Ansori, S.Ag, MH.

7. Almamater tercinta yang telah mendidik ku menjadi lebih baik

yang mampu berfikir untuk lebih maju.

8. Sahabat seperjuangan Hukum Keluarga angkatan 2017 khususnya

dan Program Pascasarjana Hukum Keluarga UIN Raden Intan

Lampung yang selalu mendukung dan menjadi inspirasi bagi

penulis untuk dapat bersemangat dalam kegiatan perkuliahan

khususnya dalam penulisan Disertasi ini.

9. Terakhir saya persembahkan Disertasi ini untuk Alm. Abang saya

Muhammad Ali Manaf dan Alm. adek saya Hadari Manaf, yang

insyaa Allah kelak kita bertemu di surga Allah, Amin.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia xix

DAFTAR ISI

Abstrak.................................................................................................... iii

Pedoman Transliterasi ................................................................................................. viii

Pernyataan Keaslian............................................................................. xi

Halaman Pengesahan...................................................................................................... xii

Dewan Penguji.................................................................................................................. xiii

Kata Pengantar .................................................................................................................. xiv

Persembahan ................................................................................................................... xvii

Daftar Isi ............................................................................................................................... xix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.................................................... 1

B. Identifikasi Masalah........................................................... 10

C. Batasan Masalah................................................................. 11

D. Perumusan Masalah .......................................................... 11

E. Tujuan Penelitian............................................................... 11

F. Manfaat Penelitian............................................................. 12

G. Pemikiran Terdahulu ........................................................ 12

H. Kerangka Pikir ............................................................................................ 22

I. Kerangka Teori........................................................................................... 25

J. Metode Penelitian.............................................................. 47

1. Jenis dan Sifat Penelitian ........................................ 47

2. Tempat Penelitian .................................................................. 50

3. Jenis dan Sumber Data ............................................. 51

4. Populasi dan Sampel ..................................................................... 52

5. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ........... 53

6. Analisa Data ....................................................................................... 54

K. Sistematika Penulisan ................................................................... 56

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia

BAB II PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM,

HUKUM ADAT DAN HUKUM POSITIF DI

INDONESIA

A. Perkawinan menurut Hukum Islam............................... 57

1. Pengertian dan Dasar Hukum................................. 57

2. Prinsip-prinsip Perkawinan .....................................................59

3. Tujuan Perkawinan .........................................................................63

4. Rukun dan Syarat Perkawinan.................................................65

5. Kewajiban dan Hak Suami Istri ............................................... 76

B. Perkawinan menurut Hukum Adat ................................................. 79

1. Pengertian Hukum Adat ...................................................... 79

2. Dasar Hukum Adat ......................................................................... 82

3. Sistem Perkawinan Adat ............................................................. 84

4. Bentuk-bentuk Perkawinan Adat .......................................... 85

5. Tujuan Perkawinan Adat ............................................................. 87

6. Prasyarat Perkawinan menurut Hukum Adat ................88

7. Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan menurut

Hukum Adat .............................................................................. 90

8. Larangan, Pencegahan dan pembatalan

perkawinan menurut Hukum Adat ........................ 91

9. Hukum dan Peradilan Adat .......................................................94

C. Perkawinan menurut Hukum Posistif ...........................................95

1. Pengertian dan Dasar Hukum ........................................... 95

2. Rukun dan Syarat Pernikahan ................................................ 96

3. Tujuan Pernikahan......................................................................... 99

4. Kewajiban dan Hak Suami Istri ............................................ 100

5. Kompilasi Hukum Islam (KHI) .................................................101

6. Peraturan Perkawinan Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 ...................................................................................... 116

xx Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia

BAB III ASPEK YURIDIS, SOSIOLOGIS DAN EKONOMIS

PADA PRAKTEK PERKAWINAN ADAT LAMPUNG

SEBATIN

A. Aspek Yuridis Praktek Perkawinan Adat Lampung

Sebatin ................................................................................. 139

B. Aspek Sosiologi Praktek Perkawinan Adat Lampung

Sebatin ................................................................................. 150

C. Aspek Ekonomi Praktek Perkawinan Adat Lampung

Sebatin ........................................................................................................... 157

BAB IV HISTORITAS DAN SIATEM PERKAWINAN

MASYARAKAT ADATLAMPUNG SEBATIN

A. Deskripsi Wilayah Penelitian ............................................................ 176

1. Letak Kondisi Geografis dan Demokrafis ........................... 176

2. Sejarah Terbentuknya Kabupaten Pesawaran.................180

3. Profil Masyarakat Kabupaten Pesawaran ........................... 182

B. Masyarakat Adat Lampung Sebatin.............................................. 192

1. Sistem Kekarabatan Masyarakat Adat Lampung

Sebatin .................................................................................................... 199

2. Masa periode Perubahan Pada Masyarakat

Sebatin ................................................................................................... 203

C. Bentuk Perkawinan Masyarakat Lampung Sebatin............. 218

1. Bentuk dan Sistem Perkawinan nyakak/Ngakuk .........219

2. Bentuk dan Sistem Perkawinan Semanda ......................... 227

3. Prosesi Pernikahan Masyarakat Lampung Sebatin 230

D. Perubahan masyarakat adat Lampung Sebatin ................. 253

1. Integrasi Budaya di dalam Masyarakat

Multikultural.................................................................................... 253

2. Multikultural pada masyarakat Lampung

Sebatin ................................................................................................ 255

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

xxi

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia

BAB V HUKUM KELUARGA ISLAM, HUKUM ADAT DAN

HUKUM PRAKTEK PERKAWINAN MASYARAKAT

ADAT LAMPUNG SEBATIN DALAM PERSPEKTIF

HUKUM POSITIF DI INDONESIA.

A. Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung

Sebatin ................................................................................. 270

B. Aspek Yuridis, Sosiologis dan Ekonomis pada

Praktek Perkawinan Adat Lampung Sebatin................ 291

C. Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung

Sebatin dalam persepektif Hukum Islam, Hukum

Adat dan Hukum Positif di Indonesia............................ 315

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI.

A. Kesimpulan ................................................................................................ 340

B. Rekomendasi ............................................................................................. 343

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 345

RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... 355

xxii

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah akad untuk membenarkan hubungan

antara seorang pria dan seorang wanita dan untuk membatasi

hak dan kewajiban antara dua orang yang bukan muhrim.

Islam mengajarkan bahwa “perkawinan mengandung nilai

kepastian hukum, yang berarti bahwa perkawinan itu harus

dilangsungkan dengan syarat-syarat tertentu, baik dalam

hubungannya dengan kedua belah pihak maupun dalam

hubungannya dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri. Dari

segi hukum, perkawinan adalah akad yang suci dan mulia antara

seorang pria dan seorang wanita, yang menjadi penyebab status

hukum suami istri, dan hubungan seksual disahkan dengan tujuan

untuk mencapai keluarga sakinah, Mawaddah dan Warrahmah

serta saling mendukung antara keduanya.

Perkawinan adalah peristiwa yang dialami oleh semua dan

menjadi sangat penting dan signifikan dalam perjalanan hidup

seseorang sebagai fitrah untuk melanjutkan keturunan.

Perkawinan sebagai Sunatullah adalah tindakan suci, yang

memiliki keutamaan ibadah karena merupakan pelaksanaan salah

satu perintah Allah SWT.

Pada hakikatnya perkawinan memberikan jalan keluar bagi

manusia untuk menjaga kehormatan, harkat dan martabat bagi

manusia itu sendiri, dengan perkawinan seharusnya dapat

melindungi manusia dari perzinahan.

Nikah adalah ikatan yang sangat kuat karena taat kepada

Allah swt., Dan bagi yang menunaikan adalah ibadah untuk

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 2

mewujudkan kehidupan keluarga yang bahagia baik di dunia

maupun di akhirat, mawaddah warohmah.

Dalam masyarakat manapun, baik yang maju maupun yang

sederhana, terdapat sejumlah nilai budaya yang saling berkaitan

sedemikian rupa sehingga merupakan suatu sistem dan sistem

tersebut merupakan pedoman konsep-konsep ideal dalam

kebudayaan yang menjadi daya dorong yang kuat bagi kehidupan

masyarakat. Setiap masyarakat memiliki karakternya masing-

masing, berbeda dengan masyarakat lainnya, yang merupakan

pedoman atau pola perilaku yang memandu individu-individu

yang terlibat dalam berbagai aktivitas sehari-hari. Perbedaan-

perbedaan ini disebabkan oleh masyarakat di mana orang-orang

ini terhubung dan berinteraksi.

Misalnya, pernikahan adalah sistem nilai budaya yang

memberikan arah dan cara pandang untuk mempertahankan

nilai-nilai kehidupan, terutama dalam hal pemeliharaan dan

perlindungan keturunan. Ketika allah swt., berfirman dalam surat

ke-2 (an-Nisā’ ayat 1):

ايها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم خلق منها ي احدة و ن نفس و م

الذي نساءا واتقوا للاه ا و زوجها وبث منهما رجالا كثيرا

كان عليكم رقيباا تساءلون به والرحام ان للاهArtinya: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang

telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah)

menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari

keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan

yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya

kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.

Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (QS.ke-2 (an-

Nisâ’: 1).1

1 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya Thoha Putra,

2002 ), h. 99

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 3

Dalam proses hidup dan kehidupan manusia di muka

bumi, kedua jenis manusia yang disebutkan dalam ayat di atas

sangat mendambakan pasangan hidup. Mendambakan pasangan

hidup merupakan fitrah sebelum dewasa,2 dan dorongan yang

sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama

mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara laki laki dan

perempuan. Kemudian mengarahkan pertemuan itu dalam suatu

bentuk ikatan yang sah melalui jenjang perkawinan.3

Ahmad Azhar Basyir mengatakan bahwa dengan jalan

perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi

secara terhormat sesuai kedudukannya sebagai makhluk yang

berkehormatan.4 Perkawinan merupakan ketetapan Ilahi dan

sunnah Rasul yang harus dijalani oleh setiap manusia.5 Bahkan

Rasulullah menghimbau kepada para pemuda yang telah sanggup

untuk kawin agar segeralah kawin.6 Menurut Rasulullah SAW,

kawin itu dapat menenangkan pandangan mata dan menjaga

kehormatan diri. Bahkan di lain riwayat Rasulullah saw. berkata

bahwa perkawinan itu adalah peraturannya. Barangsiapa yang

tidak menyukai aturannya, maka ia tidak termasuk golangannya.7

Perkawinan merupakan suatu peristiwa sangat penting

dalam kehidupan masyarakat, sebab perkawinan itu tidak hanya

menyangkut laki-laki dan perempuan yang akan menikah, tetapi

juga orang tua kedua belah” pihak, saudara-saudaranya,

bahkan”keluarga mereka masing-masing.8 Pernikahan juga

termasuk aset untuk kesempurnaan spiritual. Artinya laki-laki

2 Sadiqa Sadaf, „Komitmen Perkawinan Seorang Istri Pada Keluarga Broken Home‟ (UIN

Sunan Gunung Djati Bandung, 2013). 3 Towif Imani, „Pendekatan Logoterapi: Memutuskan Menikah Dengan Nilai Sosial Dan

Budaya Di Brebes‟, in Prosiding Seminar Nasional Bimbingan Dan Konseling, 2018, II, h. 346–52. 4 Ahmad, Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Jogyakarta: UlI. 2010). h. 1 5 M Yasin Soumena, „Pemberlakuan Aturan Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Islam

Leihetu-Ambon‟, DIKTUM: Jurnal Syariah Dan Hukum, 10.1 (2012), h. 40–51. 6 Hadits ini tercantum dalam Shahih Bukhari pada kitab al-Nikah, Jilid tiga, juz tujuh halaman

tiga dan Shahih Muslim pada kitab al-Nikah, Juz 2, h. 118-119. 7 Al-Shan‟any, Subul as-Salâm, Juz 3, (Kairo: Dâr Ihyâ‟ al Turâts al-Araby, 1980), h. 109 8 Soerojo Wingnjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Gunung

Agung.2004), h. 122.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 4

dan perempuan hidup dalam damai, cinta dan kasih sayang, yang

dalam bahasa Al-Qur'an dikenal sebagai mawaddah warahmah.9

M. Quraish Shihab mengartikan kata Mawadaah sebagai

kekosongan jiwa dari dada yang terbuka dan keinginan jahat. Dia

adalah plus cinta. Pria atau wanita yang menabur di tengah

Mawadaah, seperti orang yang mereka cintai, tidak lagi berpikir

untuk memutuskan hubungan. Ini karena hati mereka begitu

terbuka sehingga bahkan pintu Anda tertutup untuk kelahiran

dan hati (yang mungkin datang dari pasangan Anda).

Kata dorongan kuat-kuat adalah kondisi psikologis yang

terjadi di hati akibat melihat berbagai peristiwa, namun karena

itu mendorong pemangku kepentingan untuk memperkuatnya.

Oleh karena itu, semua pria dan wanita dalam kehidupan

keluarga yang serius dan berjuang untuk mengambil pasangannya

dengan baik dan bahkan menolak apa pun yang mengganggu dan

mengganggu mereka. Hal tersebut merupakan gambaran dari

tujuan pernikahan yang selalu didambakan oleh semua makhluk

hidup yang bernama manusia.

Kelompok masyarakat biasa yang terus menampung

prinsip hubungan berdasarkan prinsip keturunan, kemudian

pernikahan adalah nilai hidup untuk mengejar keturunan,

mempertahankan silsilah dan posisi sosial dalam masyarakat,

sehingga pernikahan merayakan semua bentuk. Terkadang,

pernikahan hanya memperingati dorongan historis, tetapi

kadang-kadang pernikahan terlalu berlebihan baik kerusakan dan

efek samping pada masyarakat.

Salah satu fenomena paling menakjubkan dari masyarakat

adat Lampung Sebatin, yang tetap menjadi komitmen kuat untuk

kegiatan perkawinan yang mereka lakukan, serta kepatuhan

dengan pembelajaran agama, juga mematuhi pengetahuan lokal

tentang yang dinyatakan dan percaya bahwa ini adalah kebenaran

dalam gender.

9 Syamsudin Syamsudin, „Nilai-Nilai Budaya Islam Dalam Adat Perkawinan Masyarakat Desa

Simpasai Kecamatan Lambu Kabupaten Bima‟ (Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2019), h.

43

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 5

Bagi masyarakat adat lampung Sebatin, pengetahuan lokal

tidak dapat diterima, tetapi kebenaran dalam berbagai

pengalaman hidup berulang (mendengarkan dan pandangan)

pada orang lain. Dengan mengacu pada banyak pengalaman

berulang dan mencurahkan fakta-fakta kebenaran konsekuensi

tradisional pernikahan sehingga tidak ada beberapa masyarakat

adat Lampung Sebatin sejak kali ini tetap terpelihara dengan kuat

dan menjaga pengetahuan lokal menjadi dasar dari langkah-

langkah dalam realisasi kegiatan pernikahan.”10

Pengaruh tradisi dalam masyarakat Lampung Sebatin

begitu kuat sehingga siapa pun yang ingin menikah harus

mematuhi aturan yang berlaku, juga aturan yang muncul dari

doktrin agama, dan yang dibuat oleh manusia itu sendiri.

Memiliki keluarga dalam masyarakat adat Lampung Sebatin

merupakan tanggung jawab yang besar dan perlu dijaga.

“Mungkin itu sebabnya kebiasaan pernikahan disakralkan dan

dirayakan di pesta-pesta yang paling semarak. Pernikahan, dan

bahkan lebih besar dari kematian,” tidak ada acara atau pesta

yang suci selain pernikahan.” Perkawinan bukanlah hubungan

antara dua kekasih, tetapi ikatan antara dua keluarga, sehingga

hubungan yang masih kuat (kelompok keluarga) memperumit

pernikahan. Reuni setelah resepsi dalam proses perkawinan

masyarakat adat Lampung Sebatin, menerapkan tata cara dan

persyaratan masing-masing melalui proses yang disebut

Nyakak/Ngakuk dan Semanda Semanda, mulai dari tahap akad

nikah, nikah, resepsi pernikahan dan keluarga dll..11

Masyarakat Lampung adat Lampung Sebatin mempunyai

adat istiadat yang mereka warisi secara turun temurun dari

generasi ke generasi berikutnya,12 walaupun sudah ada

perubahan dan pergeseran nilai-nilai kebudayaan sebagai akibat

pengaruh, keadaan, tempat, perkembangan zaman dan wilayah

10 Widia Erfita, „Tradisi Makhap Dalam Perkawinan Adat Pada Masyarakat Lampung Saibatin

Di Pekon Penggawa V Ulu Kecamatan Karya Penggawa Kabupaten Pesisir Barat‟, (2016), h.13 11 Meli Septania, Adelina Hasyim, and Hermi Yanzi, „Implementasi Nilai Kearifan Lokal

Dalam Proses Upacara Pernikahan Adat Lampung Saibatin‟, Jurnal Kultur Demokrasi, 5.5 (2017), h. 17 12 Ade Prabowo, Ali Imron, and Henry Susanto, „Simbol Dan Makna Tari Melinting Pada

Masyarakat Adat Lampung Saibatin Di Desa Wana‟, Pesagi (Jurnal Pendidikan Dan Penelitian

Sejarah), 6.4 (2018).

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 6

sekitar dimana mereka menetap, khususnya berkaitan dengan

perkawinan.13 Struktur masyarakat hukum adat Sebatin di

Provinsi Lampung menganut struktur masyarakat dengan sistem

kekerabatan patrilineal,14 sistem kekerabatan ini adalah

masyarakat atau ulun yang anggota keluarganya menarik garis

keturunan ayah. Pada masyarakat adat Lampung Sebatin,

perkawinan terbagi menjadi dua macam, yaitu Perkawinan

nyakak/Ngakuk dan Perkawinan Semanda (cambokh Sumbai).15

Perkawianan nyakak biasanya muli atau gadis diambil

oleh pihak laki-laki dan biasa dengan menggunakan dua (2) cara

yaitu dengan cara sebambangan dan cara Jujokh (lamaran) tapi

kalau semanda adalah kebalikan dimana muli atau si gadis yang

ngambil laki-laki atau makhanai.16

Perkawinan Nyakak menggunakan sebambangan, yaitu

pelarian laki-laki dan perempuan, di mana perkawinan itu mulia

tanpa lamaran formal. Dalam penggunaan Sebambangan, laki-laki

membawa wanita tercinta ke rumah dan rumah kerabatnya. Pria

itu kemudian meninggalkan surat kepada orang tua wanita itu.

Surat itu berisi pemberitahuan bahwa dia telah mengambil

seorang wanita dengan identitas seorang pria. Pria itu

meninggalkan uang di rumah seorang wanita bernama Tengepik

di Lampung. Uang itu ditempatkan di bawah tempat tidur dan

lemari wanita itu.

Pada dasarnya perkawinan bentuk jujokh akan mengalihkan hak-hak si perempuan dari kedua orang tuanya dan akan berpindah menjadi laki-laki, termasuk hak waris. Perempuan yang sudah menikah dan mengikuti suami maka tidak mendapatkan lagi harta waris dari bapaknya. Dengan adanya perubahan perolehan harta warisan karena disebabkan oleh pernikahan jujokh tersebut membuktikan bahwa hukum waris

13 Wita Herlina, Hermi Yanzi, and Yunisca Nurmalisa, „Analisis Kedudukan Anak Laki-Laki

Dan Perempuan Dalam Pembagian Waris Lampung Saibatin‟, Jurnal Kultur Demokrasi, 4.4 (2016). 14 Perkawinan patrilineal, perkawinan yang bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan

bapak, sehingga anak laki-laki (tetua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil istri (dengan

pembayaran jujur), dimana setelah terjadinya perkawinan, istri (masuk) dalam kekarabatan suami dan

melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya. St. Laksanto Utomo, Hukum

Adat, (Rajawali Pers, Raja Grafindo Persada, 2017), h. 91 15 Syamsudin; Septania, Hasyim, and Yanzi. h. 27 16 Wawancara dengan Mustika Bahrum, SE, MM adok Suntan Pengayom Makhga, Marga Way

Lima, tanggal 14 Januari 2020.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 7

adat Lampung Sebatin dalam prakteknya belum seluruhnya masyarakat mengikuti hukum warisan Islam, sebagaimana dalam Al-Qur’an dimana harta warisan antara laki-laki dan perempuan dua berbanding satu, artinya laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan perepuan mendapatkan satu bagian. 17

في اولدكم للذكر مثل حظ النثيين فان كن نساء يوصيكم للاه

فوق اثنتين فلهن ثلثا ما ترك وان كانت واحدة فلها الن صف

ا ترك ان كان له و لد فان لم نهما السدس مم ولبويه لكل واحد م

ه ه الثلث فان كان له اخوة فلم ورثه ابوه فلم يكن له ولد و

السدس من بعد وصية يوصي بها او دين اباؤكم وابناؤكم ل

كان عليما ان للاه ن للاه تدرون ايهم اقرب لكم نفعا فريضة م

حكيما

Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka

untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama

dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu

semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua

pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu

seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua

orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta

yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika

orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh

ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang

meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya

mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)

sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar

hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak

mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.

Ke-2 An-Nisâ: 11).

17 Al Qur‟an al Karim,surat Al Nisa‟ ayat 11.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 8

Perkawinan juga dilakukan semanda oleh masyarakat adat

Lampung Sebatin, mempelai pria tidak membayar Jujok (Bandy)

sama sekali karena orang tua istrinya tidak memiliki anak laki-laki

dan hanya anak perempuan. Orang tua istri ingin agar warisannya

diwarisi oleh cucu-cucu yang lahir dari anak perempuannya

(keturunannya tidak putus). Perkawinan memerlukan

kesepakatan dengan kerabat laki-laki, dan pengantin laki-laki

setelah menikah berada di pihak ayah mertuanya dan merupakan

putra dari putranya. Dalam hal ini, tanpa uang yang jujur, berarti

suami harus menuruti posisi normal istrinya selamanya.18

Pernikahan semacam ini sering disebut dengan semanda atau

cambokh sumbai.

Dalam hukum Islam, ada beberapa proses pendahuluan

(muqaddimataz-zawâj) sebelum menikah, salah satunya berlaku.

Namun pada kenyataannya terdapat perbedaan adat di setiap

daerah dalam hal perkawinan yang berlangsung secara turun

temurun. Aturan tidak tertulis ini erat kaitannya dengan budaya

masyarakat yang disebut masyarakat adat. Oleh karena itu,

hukum adat, khususnya perkawinan di berbagai wilayah

Indonesia, berbeda satu sama lain dan sangat dipengaruhi oleh

perbedaan suku, geografi, kepercayaan, dan karakteristik sosial.

Salah satu bentuk perkawinan yang masih berlaku adalah praktik

perkawinan adat Lampung Sebatin.19

Rasionalisasi realitas praktik agama dan adat menegaskan

bahwa ada kesamaan visi untuk pernikahan komunitas, hanya

dengan pertunjukan seremonial yang berbeda. Islam

menunjukkan bahwa tidak ada penyimpangan dalam ritual yang

dianggap tidak mengganggu ajaran Islam. Namun jika kondisi

upacara tersebut dalam tatanan yang diwujudkan dalam

masyarakat, maka terjadilah perubahan yang tidak seimbang

antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, yang

18 Annisa Tunjung Sari, “Kedudukan Anak Laki-Laki Tertua dari Hasil Perkawinan Leviraat

dalam Hukum Waris Adat Masyarakat Lampung Pepadun (Studi Kasus di Kampung Terbanggi Besar

Kecamatan Terbanggi Besar Lampung Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah)” (Program

Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2005), 32–33, http://eprints.undip.ac.id/15362 19 Yeni Agustin, Ali Imron, and Suparman Arif, „Tradisi Pemberian Adok Pada Masyarakat

Lampung Saibatin Di Pekon Negeri Ratu Kabupaten Tanggamus‟, PESAGI (Jurnal Pendidikan Dan

Penelitian Sejarah), 7.6 (2019).

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 9

merupakan akibat dari pengaruh dan arah tradisi dan adat

istiadat yang dianut masyarakat tersebut.20

Demikian pula orang masyarakat adat Lampung Sebatin

melakukan ritual sebagai tradisi yang terjadi selama perkawinan,

sebuah tradisi yang sudah turun temurun, namun sebagian besar

masyarakat adat Lampung Sebatin beragama Islam. Namun dalam

melaksanakan pernikahan, masih terdapat beberapa tradisi yang

dianggap tidak berkaitan dengan ajaran Islam, dan seringkali

menjadi masalah bahwa adat/tradisi lebih diutamakan daripada

syariat. Pada perkawinan sebambangan misalnya dihawatirkan

tidak bisa jadikan dibangun dan pondasi yang kuat dalam

membangun keluarga Sakinah21 Mawaddah22 Wa Rahmah23

dimana dalam perkawinan sebambangan bisa dilakukan dengan

pemaksaan terhadap muli atau gadis walau si muli atau gadis

tidak mencinta calon suaminya. Selanjutnya pada perkawinan

semanda bisa menghilangkan hak seoarang anak dalam

mendapatkan hak waris dari orang tuanya, di mana sesorang

yang telah menikah dengan semanda akan kehilangan segala hak

dari orang tuanya dan pindah kepada menjadi kewajiban

mertuanya.

Sebagai pendukung mayoritas masyarakat beragama

Islam, nilai yang harus dimenangkan dalam pawai pernikahan

adalah doktrin Islam yang mereka anut. Konsep-konsep tersebut

ditelaah dalam kaitannya dengan tradisi adat Lampung Sebatin

yang memiliki ajaran Islam, khususnya mengenai proses ritual

adat dalam perkawinan. Menurut penulis, ada beberapa hal yang

20 Umi Kholifatun, „Makna Gelar Adat Terhadap Status Sosial Pada Masyarakat Desa Tanjung

Aji Keratuan Melinting‟, (Universitas Negeri Semarang, 2016). 21 Sakinah menurut bahasa berarti kedamaian, ketenteraman, ketenangan, dan kebahagiaan.

Dalam sebuah pernikahan, Pengertian sakinah berarti membina atau membangun sebuah rumah tangga

yang penuh dengan kedamaian, ketentraman, ketenangan dan selalu berbahagia. 22 Mawaddah menurut bahasa berarti Cinta atau harapan. Dalam sebuah Pernikahan, Cinta

adalah hal penting yang harus ada dan selalu ada pada sebuah pasangan suami Istri. Dan Mawaddah

berarti Selalu mencintai baik dikala senang maupun sedih. Mengenai pengertian mawaddah menurut

Imam Ibnu Katsir adalah al mahabbah (rasa cinta), Dalam tafsir al Alusi penulis mengutip pendapat

Hasan, Mujahid dan Ikrimah yang menyatakan mawaddah adalah makna kinayah dari nikah yaitu jima‟

sebagai konsekuensi dari pernikahan. 23 Warrahmah memiliki kata dasar rohmah yang artinya kasih sayang. dan kata wa disini hanya

sebagai kata sambung yang maknanya dan. Wa-Rahmah Ini adalah hasil akhir dari sakinah dan

mawaddah yaitu kasih sayang, Ada juga yang mengatakan bahwa ar-rahmah bagi orang yang sudah

tua, sedangkan mawaddah berlaku bagi orang yang masih muda.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 10

menjadikan penelitian ini penting, berdasarkan penjelasan-

penjelasan yang telah dikemukakan di atas pada latar belakang

sebelumnya. Artinya, pertama-tama, tidak ada penelitian yang

membahas masalah common law.

Masyarakat Adat Lampung Sebatin. Kedua, terjadi proses

perkawinan “adat” masyarakat adat Lampung Sebatin (berubah).

Perubahan ini disebabkan oleh unsur budaya (distribusi), asimilasi

(asimilasi), perluasan akulturasi, serta minimnya nilai dan ajaran

budaya Islam, dan kebiasaan perkawinan masyarakat adat

Lampung Sebatin. Ketiga, pada kenyataannya masih ada

pengertian pernikahan yang masih kontroversial. Dalam hal ini,

bagaimana menyikapi fakta dan fenomena tersebut. Keempat,

kebiasaan pernikahan dalam budaya asli Lampung Sebatin

terlihat rumit karena banyak tahapan yang harus dilalui. Menurut

masyarakat adat Lampung Sebatin, pernikahan itu rumit karena

harus restu orang tua dan diakui oleh keluarga besar dan

masyarakat. Pada dasarnya, Islam mengajarkan hal yang sama.

Kelima, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah

mengubah banyak aspek kehidupan karena faktor ekonomi.

Keenam, banyak praktik perkawinan yang tidak dapat

dilaksanakan sepenuhnya.

Berdasarkan uraian ini, menarik untuk dikaji dan menggali

lebih dalam tentang nilai budaya dan nilai ajaran Islam dalam

konteks pernikahan adat Masyarakat Adat Lampung Sebatin.

Selain itu, akan digali lebih lengkap tentang Praktek Perkawinan

Masyarakat Adat Lampung Sebatin dalam perspektif Hukum

Islam dan Posisitif di Indenesia.”

B. Identifikasi Masalah.

Hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia khususnya

masyarakat adat Lampung Sebatin selama ini meninggalkan

persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepastian hukum:

hukum waris, harta bersama dalam perkawinan, dan kondisi

suami yang sudah menikah. Besarnya biaya pernikahan. Hukum

perkawinan, di sisi lain, menawarkan pilihan yang terkadang

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 1

1

bertentangan dengan keyakinan masyarakat dan juga

bertentangan dengan fakta peradilan.

C. Batasan Masalah.

Agar pembahasan dalam penelitian ini efektif, masalah

perlu dibatasi. Dalam hal ini batasan masalah yang peneliti

sebutkan :

1. Bentuk-bentuk praktek perkawinan masyarakat adat Lampung

Sebatin.

2. Kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga.

3. Lokasi penelitian pada masyarakat adat Lampung Sebatin yang

mendiami di daerah pada Kabupaten Pesawaran Provinsi

Lampung karena promopendus anggap dapat mewakili

masyarakat adat Lampung Sebatin di Provinsi Lampung.

D. Perumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang sebelumnya, masalah yang

akan diselidiki adalah: Praktek Perkawinan Masyarakat Adat

Lampung Sebatin Dalam Perspektif Hukum Kelurga Islam Di

Indonesia diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung

Sebatin?

2. Bagaimanakah Aspek Yuridis, Sosiologis dan Ekonomis pada

Praktek Perkawinan Adat Lampung Sebatin?

3. Bagaimanakah Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung

Sebatin dalam persepektif Hukum Islam, Hukum Adat dan

Hukum Positif di Indonesia?

E. Tujuan Penelitian

Dari permasalahan-permasalahan di atas maka tujuan

penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui, menganalisis Praktek Perkawinan

Masyarakat Adat Lampung Sebatin.

2. Untuk mengetahui, menganalisis Aspek Yuridis, Sosiologis dan

Ekonomis pada Praktek Perkawinan Adat Lampung Sebatin.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 12

3. Untuk mengetahui, menganalisis Praktek Perkawinan

Masyarakat Adat Lampung dalam persepektif Hukum Islam,

Hukum Adat dan Hukum Positif di Indonesia.

F. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis/Akademik

Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi

bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan

sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya tentang praktik

perkawinan adat Lampung Sebatin ditinjau dari hukum

keluarga Islam Indonesia..

2. Manfaat Praktis.

a. Hasil penelitian ini akan memberikan manfaat dan

kontribusi ilmiah bagi pengembangan teori kearifan lokal

(local culture) mengenai kontribusi dan praktik sistem

perkawinan Lampung Sebatin dalam analisis pandangan

hukum Islam tentang perkawinan Indonesia.

b. Memperkaya khazanah keilmuan khususnya budaya lokal

berbagai sistem perkawinan Indonesia, khususnya praktik

perkawinan adat Lampung Sebatin.

c. Diharapkan menjadi pertimbangan baru bagi para

pemangku kepentingan dalam menentukan kebijakan

masyarakat mengenai budaya dan adat perkawinan..

d. Sebagai salah satu syarat meraih gelar Doktor Ilmu Hukum

Keluarga di Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

G. Pemikiran Terdahulu

Penelitian ini difokuskan adalah Praktek Perkawinan

Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif Hukum

Kelurga Islam Di Indonesia.

Dalam penelitian ini, sebagai salah satu bahan acuan bagi

peneliti untuk melakukan penelitian, kami memaparkan hasil

penelitian selama ini dan memungkinkan untuk

menyempurnakan teori yang digunakan untuk mengkaji

penelitian yang dilakukan oleh penelitin sebelumya. Ini adalah

studi sebelumnya. :

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 1

3

1. Muh. Sudirman, Disertasi Doktor pada Universitas Islam

Negeri Alauddin Makassar, 2017. Judul, Eksistensi Adat

Perkawinan Masyarakat Bugis Pare-Pare Dalam Perspektif

Hukum Islam.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dipahami

bahwa ada tujuh bentuk tradisi yang masih bertahan,

meskipun bentuk-bentuk tradisi perkawinan masyarakat

Bugis pare-pare pada setiap tahapan pelaksanaannya

mengalami perubahan dalam beberapa hal. Bentuk

tradisional dari masalah adalah: Tradisi penyerahan

pattenre'āda, massarāpo, cemme passīling (majanbus), tudang

mpenni (Mappacci), madduppa botting, mappa sikarāwa,

penna reang.

Filosofi yang terdapat dalam syiar perkawinan

masyarakat Bugis pare-pare pada umumnya mengikuti prinsip-

prinsip ajaran Islam, namun pada beberapa bagian perlu

dilakukan penyesuaian sebagai berikut: 1) Tradisi kompetisi

tetap pada pertemuan mappa sikarāwa. Siapa pun yang berjalan

lebih dulu bertujuan untuk mengendalikan orang lain. Hal ini

tidak sesuai dengan tujuan pernikahan. 2) Menanam padi dalam

tradisi Madduppa botol dan tradisi Mappacci. Ini mengandung

unsur redundansi. Pendapat hukum ulama kota Pare-pare

tentang adat-istiadat orang Bugis yang menikah dapat dibagi

menjadi tiga golongan: Ini mengandung (a) unsur politeistik, (b)

unsur sesat, (c) unsur kemewahan, (d) kompleks, dan (e) unsur

imitasi buta. 2) Makruh, yang didasarkan pada kenyataan bahwa

ritual-ritual yang biasa dilakukan masyarakat pada umumnya

dalam perkawinan tidak lagi terkait dengan situasi sosial

masyarakat saat ini. Apalagi banyak yang menyimpang dari

makna sebenarnya dan harus ditata ulang. 3) Ritual yang

biasa dilakukan dalam pernikahan berjamaah antara lain

حيحصلا , amalan yang sesuai dengan konsep dan nilai-nilai

ajaran Islam, diterapkan di masyarakat, dan sesuai dengan

nash (syair dan hadits). pelaku atas dasar keberadaan.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 14

Karena kelebihan berada pada tingkat tahsniyat, ada

tingkat kebutuhan yang tidak mengancam keberadaan salah

satu الثرئيت اصض (tujuan hukum Islam) dan tidak menimbulkan

masalah.24

2. Zurifah Nurdin, Disertasi Doktor pada Universitas Negeri

Raden Intan Lampung, 2017. Judul, Potret Sistem Perkawinan

Anak Tambic di Kabupaten Empat Rawan Sumatera Selatan

(Studi Analisis Kerangka Pemahaman Fiqh dan Hukum

Perkawinan di Indonesia).

Kontruksi sitem perkawinan Taambik Anak bertujuan bukanlah

untuk mempertahankan kekerabatan ibu saja karena anak-anak

keturunanya tetap dalam pengasuhan dan tanggungjawab

keduanya, Wali anak tetap pada ayahnya, dan anak-anak tetap

menjadi dua ahli waris dan tidak saling mewarisi.

Pembayaran Jujur dan maskawin dan sebagian dana

perkawinan ditanggung laki-laki daan dibayar tunai. Nafkah

keluarga tetap menjadi tanggungjawab laki-laki, hubungaan

dengan keluarga asli suami agak renggang, istri adalah

penguasa harta sehingga kedudukan suami hanya legalitas

saja karena tampa memiliki ororitas yang kuat. Inilah yang

menyimpang dari nash di mana nash mengajarkan bahwa

apabila seoarang telah sah menjadi suami maka dia harus

memiliki legitimasi sebagai pemimpin, sebagaimana firman

Allah dalam surat an-Nisâ’ ayat 34.25

3. Lalu Sabardi, Disertasi Doktor pada Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya, 2011. Judul, Penyelesaian Sengketa

Perhimpunan Common law Sasak atas Pelanggaran Aturan

Perkawinan Adat Meralic.”

Isu penyelesaian sengketa pelanggaran common law

dalam masyarakat common law Sasak merupakan topik

hukum penting yang perlu ditelaah. Hal tersebut berupa

24 Qosim Khoiri Anwar, Habib Shulton Asnawi, and Annikmah Farida, „hak dan kewajiban

janda cerai mati dalam hukum adat lampung pepadun lampung tengah perspektif gender‟, Fikri: Jurnal

Kajian Agama, Sosial Dan Budaya, 3.2 (2018), h. 363–374. 25 Moh Adnan, „Tradisi Kawin Boyong Dalam Perkawinan Adat Masyarakat Gesikan: Studi

Kasus Di Desa Gesikan Kec. Grabagan Kab. Tuban‟ (Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim,

2008).

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 1

5

berbagai pertimbangan hukum mengenai pelaksanaan

perkawinan yang dibuat oleh masyarakat adat Sasak.

Prasyarat, tata cara, bentuk, dan penyebab serta

penyelesaian sengketa perkawinan cerai dalam masyarakat

hukum adat Sasak.

Pernikahan Meralick dimulai dengan janji antara

seorang gadis dan seorang perawan yang dikhianati bersama

untuk melarikan diri dari rumahnya. Kejadian ini terjadi

dalam semalam. Sang calon suami, dengan bantuan orang

yang dipercaya, membawa calon istrinya ke lokasi peseboan

(tersembunyi), rumah keluarga calon pengantin pria. Sebuah

tradisi menarik dalam budaya masyarakat Sasak di Nusa

Tenggara, Lombok Barat. Ini telah dipahami lebih secara

paralel (perkawinan pelarian) daripada sebelumnya. Oleh

karena itu, implikasi negatif, seperti konsep pernikahan yang

tidak terkendali, biasanya diciptakan oleh pasangan yang

tidak diberkati oleh orang tuanya. Akibat negatif tidak dapat

dihindari karena ketidaktahuan orang Sasak yang

menyederhanakan kata melanik dengan kata memaring.

Perkawinan yang menarik dapat menimbulkan

pelanggaran hukum adat dan kontroversi antara kedua

keluarga. Kemungkinan pelanggaran hukum adat meliputi Salak

Tingkah, Ngoros, Peruput, Merugul, Kepanjng, dan Pengampan.

Kontroversi yang muncul adalah karena perbedaan pendapat

mengenai wali nikah, namun pandangan terhadap proses

pelaksanaannya antara lain karena ketidaksesuaian.

Metode penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh

masyarakat hukum adat Sasak merupakan salah satu

mekanisme di luar pengadilan. Menurut pewaris Karma,

semua acara pernikahan yang menarik adalah yang pertama

dilakukan dengan melaporkan acara tersebut kepada

keluarga. Juga melalui Kurama Adat Kampong-Penful

Kampong walikota mendengarkan keinginan para pihak yang

berkonflik secara terpisah. Pengaturannya dilakukan oleh

walikota (Pemsungan), yang memimpin rapat dan meminta

pihak-pihak yang berkonflik untuk menyampaikan

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 16

keinginannya. Metode perdamaian dengan mekanisme

peradilan dilakukan dengan pemilihan di Inkuisisi dan

Pengadilan Negeri. Penyelesaian perselisihan dengan

Inkuisisi dilakukan oleh orang tua perempuan yang

menuntut penghapusan atau pencegahan perkawinan yang

menarik. Jika Anda sudah cukup umur, tetapi melanggar

norma perkawinan yang menarik dengan melakukan

perkawinan yang menarik, atau jika Anda tidak setuju dengan

praktik perkawinan yang menarik, prosesnya dilakukan:

pengantin wanita Penyelesaian perselisihan oleh Pengadilan

Agama dan Pengadilan Negeri yurisdiksi tempat terjadinya

kasus tersebut dilakukan melalui prosedur pidana dengan

mengadukan kasus perkawinan yang menarik sebagai kasus

pidana oleh polisi. Mengingat situasi di mana penggunaan

lembaga masyarakat untuk menyelesaikan konflik masih

digunakan, Sabaldi telah mengusulkan untuk memberikan

pelatihan yang memadai untuk bertahan hidup dan sejahtera

dengan mengedepankan peran pemerintah dan masyarakat.

Lembaga Majelis Adat Sasak sebagai struktur dalam

penegakan hukum adat Sasak kiranya dapat memfasilitasi

peran-peran dari berbagai lembaga penyelesaian sengketa

yang hidup di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai

lembaga penegak hukum negara khususnya Kepolisian

sehingga dalam penegakan hukum dapat diakomodir

kepentingan dan perasaan hukum masyarakat.

4. Maihasni, Disertasi Doktor pada Institut Pertanian Bogor,

2110. Judul, Eksistensi Tradisi Bajapuik dalam Perkawinan

Masyarakat Pariaman Minangkabau di Sumatera Barat

Pertukaran yang berlangsung dalam tradisi Bajapuik

masih mengalami perubahan dan penyesuaian, mulai dari

bentuk pertukaran kepada para pemain dalam peran yang

bersangkutan. Awalnya, bentuk pertukaran itu hanya berupa

uang yang terkumpul, serangkaian item perbaikan yang

dikumpulkan, uang yang hilang, uang untuk cello, diuangkan,

dan serangkaian item yang ditingkatkan. Selain perubahan

tersebut, aktor yang terlibat juga mengalami perubahan dan

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 1

7

penambahan. Pada awalnya, itu penting tidak hanya untuk

Mamakuninikumamak dan bosnya yang bodoh, tetapi juga

untuk orang tua dan calon pacarnya. Dia bisa menangani

uang Japuik yang masih naik, seiring dengan naiknya status

sosial pria yang menjadi menantunya itu. Dalam praktiknya,

tradisi Bajapuik memiliki makna bahwa tradisi Bajapuik

bukan hanya sesuatu yang berbentuk materi, tetapi dapat

dikondisikan oleh makna yang tidak bersifat materi. Untuk

itu, ada dua hal mendasar yang dapat dilakukan oleh

masyarakat pada umumnya, khususnya orang tua dan

pengambil kebijakan. Artinya, pertama, kami selalu berusaha

menanamkan nilai tradisi Bajapuik baik melalui cara formal

maupun formal. Tidak resmi. -Saluran resmi. Kedua, kami

akan bekerja sama dengan pemangku kepentingan seperti

KAN (Kepadatan Masyarakat Adat Nagari), LKAAM

(Kepadatan Adat Minan Kabau) dan BPAN (Badan Penasihat

Anak Nagari) untuk sangat mendukung keberadaan tradisi

dan pendapatan Bajapuik. Bagi kedua belah pihak,

pertimbangan pemindahan didasarkan pada status sosial

ekonomi (tingkat prestasi), terutama pekerjaan calon pacar.

Di sisi lain mengakibatkan pelaksanaan tradisi Bajapuik dari

inti keluarga. Ibu, bapak, anak, keluarga besar seperti:

Mamak, etek, mohoso, mintuo, kakek-nenek, dan tokoh

masyarakat seperti ninikmamak dan kepalomudo. Partisipasi

masing-masing aktor meluas hingga proses dan pelaksanaan

pertukaran dalam tradisi Bajapuik.

Pertukaran dalam tradisi Bajapuik didasarkan pada

nilai-nilai yang sama yang ditanamkan antara keluarga

perempuan dan keluarga laki-laki di kedua belah pihak.

Pertukaran yang terjadi dapat diidentifikasi dalam dua

kategori: nyata (penting) dan tidak ada (tidak penting). Secara

substansial/materiil, pertukaran dilakukan oleh keluarga

perempuan, memberikan laki-laki dengan status sosial

ekonomi (pekerjaan dan penghasilan) uang Jepang berupa

uang atau barang kepada keluarga laki-laki. Materi

membangunkan suami dan anak yang sudah menikah.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 18

Dari keluarga laki-laki, pertukaran (materi) nyata, bentuk pertama belum sepenuhnya hilang, tetapi uang Japuik pertama-tama dihabiskan untuk kebutuhan pengantin pria dan kemudian untuk pembelian apa yang dibutuhkan untuk menjalankan pesta. Meski bukan materi, namun seperti ketenaran/penghormatan yang jelas asal-usulnya dan status sosial yang tinggi di masyarakat. Oleh karena itu, pertukaran antara keluarga kedua belah pihak didasarkan pada nilai-nilai ekonomi dan sosial budaya. Selain itu, keberadaan tradisi Bajapuik dalam formasi sosial didorong oleh kerjasama antara keluarga besar (extended family) dan inti keluarga, karena solidaritas internal juga muncul dari keluarga perempuan.

Masalah uang japique, kewajiban keluarga perempuan, bisa dihilangkan berdasarkan nilai-nilai budaya. Ditegaskan pula bahwa arah nilai budaya dan ekonomi sebenarnya menjadi pertimbangan perilaku bagi keluarga kedua belah pihak dan sebagai penyumbang eksistensi tradisi Bajapuik. Baik model pertukaran dan mempertimbangkan kedua pertukaran melengkapi dan beradaptasi pada saat yang sama, yang mengarah pada kelanjutan tradisi Bajapuik. Kondisi ini pada akhirnya berkontribusi pada keberlang sungan tradisi Bajap.

5. Kaharuddin, Disertasi Doktor pada Universitas Gajah Mada, 2015. Nilai Filosofi Perkawinan Menurut Judul, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Republik Indonesia Tahun 1974.

Pada disertasi ini, Kaharuddin hanya terpaku pada penggalian nilai-nilai filosofis dalam perkawinan, baik dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Perkawinan. Nilai-nilai filosofis dalam perkawinan menurutnya antara lain: a. Nilai Keimanan b. Nilai Kepastian Hukum c. Nilai Keadilan d. Nilai Keseimangan e. Nilai Kemanfaatan dan Kemaslahatan f. Nilai Kebebasan dan Sukarela g. Nilai Musyawarah.26”

26 Kaharuddin, Nilai-Nilai Filosofi Perkawinan Menurut Hukum Perkawinan Islam dan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan (Jakarta: Mitra Wacana

Media, 2015)

Tabel Penelitian Terdahulu

No Nama/ Universitas

/Tahun Judul Metode Pendekatan Hasil/Temuan Kebaharuan

1. Muh. Sudirman.

Disertasi Doktor

pada Universitas

Islam Negeri

Alauddin Makassar. 2017

Eksistensi Praktek

Perkawinan di Masyarakat Bugisparepare Dilihat dari

Hukum Islam

Pendekatan Yuridis,

Sosiologis, , Filosofis,

Ada tujuh bentuk tradisi

perkawinan adat yang dilakukan oleh masyarakat

Bugisparet, dengan beberapa

modifikasi.

Bentuk tradisionalnya adalah: Tradisi penyerahan

pattenre'āda, massarāpo,

cemme passīling (majanbus),

tudang mpenni (Mappacci),

madduppa botting, mappa sikarāwa, penna reang.

Secara filosofis, simbol adat

perkawinan Bugisparepare

pada umumnya adalah yang terkandung di dalam ajaran

Islam, namun pada bagian

tertentu masih perlu

dilakukan penyesuaian-

penyesuaian,

Dari segi hukum, para pendeta

kota Parepare tentang adat istiadat masyarakat Bugis dalam

perkawinan dapat dibagi

menjadi tiga golongan:

1) Dilarang karena alasan tertentu.

(A) Mengandung unsur

kemusyrikan. (B) Mengandung unsur sesat. (C) Mengandung limbah. (D) Sulit dan

(E) Mengandung unsur iman

buta.

2) Ritual adat yang dilakukan

masyarakat dalam perkawinan umumnya tidak lagi berkaitan

dengan kondisi sosial,

sehingga Makruh 3) Ritual adat diperbolehkan

dalam perkawinan masyarakat

2.

Zurifah Nurdin.

Disertasi Doktor pada Universitas

Negeri Raden Intan

Lampung.

2017

Potret Sistem Perkawinan

Taambik Anak Di

Kabupaten Empattra One

di Sumatera Selatan

(Survei) Analisis Kerangka

Pemahaman Fiqh dan

Hukum Perkawinan

Indonesia).

Pendekatan Yuridis,

Sosiologis,

Antroplogis,

Filosofis, Historis,

Kontruksi sitem perkawinan

Taambik Anak bertujuan

bukanlah untuk

mempertahankan kekerabatan ibu saja karena

anak-anak keturunanya tetap

dalam pengasuhan dan

tanggungjawab keduanya Wali anak tetap pada

ayahnya, dan anak-anak tetap menjadi dua ahli waris

Nafkah keluarga tetap menjadi tanggungjawab laki-laki,

hubungaan dengan keluarga asli

suami agak renggang, istri

adalah penguasa harta sehingga

kedudukan suami hanya legalitas saja karena tampa memiliki

ororitas yang kuat Inilah yang menyimpang dari nash dimana nash mengajarkan bahwa apabila seseorang telah

Praktek Perkawinan M

asyarakat Adat Lam

pung Sebatin

Dalam

Perspektif

Hukum

Keluarga Islam, H

ukum Adat D

an Hukum

Positif Di Indonesia

19

dan tidak saling mewarisi.

Pembayaran Jujur dan

maskawin dan sebagian dana

perkawinan ditanggung laki- laki daan dibayar tunai..

sah menjadi suami maka dia

harus memiliki legitimasi sebagai

pemimpin, sebagaimana firman

Allah dalam surat An-nisa ayat

34.

3.

Lalu Sabardi

Disertasi Doktor pada

Fakultas Hukum

Universitas

Brawijaya,

2011.

Pelanggaran terhadap

penyelesaian aturan

perkawinan adat Engketa

di Perhimpunan Common

law Sasak.

Pendekatan Yuridis,

Sosiologis, Antroplogis,

Filosofis, Historis

Pertimbangan hukum

tentang pelaksanaan perkawinan yang menarik

oleh masyarakat adat Sasak.

Prasyarat, tata cara, bentuk,

dan penyebab serta

penyelesaian sengketa perkawinan cerai dalam

masyarakat adat Sasak.

Perkawinan Mararik adalah

perkawinan yang diawali

dengan janji bahwa seorang wanita dan seorang perawan

yang memiliki hubungan

pengkhianatan (pacaran)

akan membiarkan gadis itu kabur dari rumah.

Perkawinan yang menarik dapat

menimbulkan pelanggaran hukum adat dan kontroversi

antara kedua keluarga.

Kemungkinan pelanggaran

hukum adat meliputi Salak

Tingkah, Ngoros, Peruput, Merugul, Kepanjng, dan

Pengampan. Kontroversi yang

muncul adalah karena

perbedaan pendapat mengenai

wali nikah, namun pandangan terhadap proses pelaksanaannya

antara lain karena

ketidaksesuaian.

4

Maihasni

Disertasi Doktor pada Institut

Pertanian Bogor.

2110

Eksistensi Tradisi

Bajapuik Dalam

Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau

Sumatera Barat

Pendekatan Yuridis,

Sosiologis,

Antroplogis,

Filosofis,

Awalnya, bentuk pertukaran

itu hanya berupa uang yang

terkumpul, serangkaian item

perbaikan yang dikumpulkan, uang yang hilang, uang untuk

cello, pencairan, dan

serangkaian item yang

ditingkatkan. Sekali mamak ninik mamak,

Dari sebenarnya (materi)

pertukaran keluarga laki-laki,

uang Japuik pertama dihabiskan untuk kebutuhan pengantin pria,

kemudian bentuk pertama tidak

hilang sama sekali, tetapi pada

pembelian kebutuhan untuk pelaksanaan pesta Akan dikonversi. Itu tidak penting,

Praktek Perkawinan M

asyarakat Adat Lam

pung Sebatin

Dalam

Perspektif

Hukum

Keluarga Islam, H

ukum Adat D

an Hukum

Positif Di Indonesia

20

kepalanya bodoh

Dalam praktiknya, tradisi

Bajapuik berarti bahwa tradisi Bajapuik tidak hanya

dalam bentuk materi, tetapi

juga dapat dikondisikan oleh

makna immaterial.

tetapi itu adalah pujian bahwa

mereka memiliki asal yang jelas

dan status sosial yang tinggi di masyarakat.

Jika uang Japuik dianggap

sebagai kebutuhan wajib

keluarga perempuan, maka bisa dihilangkan berdasarkan nilai- nilai budaya..

5.

Kaharuddin

Disertasi Doktor

pada Universitas Gajah Mada.

2015.

Nilai-Nilai Filosofi

Perkawinan Menurut

Hukum Perkawinan Islam

Dan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan

Pendekatan Yuridis,

Sosiologis,

Antroplogis,

Filosofis, Historis.

Pada disertasi ini,

Kaharuddin hanya terpaku

pada penggalian nilai-nilai filosofis dalam perkawinan,

baik dalam sudut pandang

hukum Islam, maupun dalam

Undang-Undang Perkawinan.

.

Nilai-nilai filosofis dalam

perkawinan menurutnya antara

lain: a. Nilai Keimanan

b. Nilai Kepastian Hukum

c. Nilai Keadilan d. Nilai Keseimangan

e. Nilai Kemanfaatan dan

Kemaslahatan f. Nilai Kebebasan dan Sukarela

g. Nilai Musyawarah

Praktek Perkawinan M

asyarakat Adat Lam

pung Sebatin

Dalam

Perspektif

Hukum

Keluarga Islam, H

ukum Adat D

an Hukum

Positif Di Indonesia

21

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 22

H. Kerangka Pemikiran

Pernikahan adalah salah satu peristiwa terpenting dalam

kehidupan sosial kita. Pernikahan tidak hanya melibatkan wanita

dan pria, tetapi juga orang tua, saudara kandung, bahkan keluarga

mereka.

Dalam pengertian lain, “perkawinan atau perkawinan

adalah suatu akad yang memberi seorang laki-laki hak (legitimasi)

untuk menggunakan tubuh perempuan untuk kesenangan

seksual.” Menurut pendapat lain, perkawinan adalah antara

seorang perempuan dan seorang laki-laki. Mereka mengatakan

bahwa mereka formal dan transaksi dan kontrak yang sah dan

menegaskan hak abadi mereka untuk berhubungan seks satu

sama lain. Menurut Konjaraningrat, dari segi budaya, perkawinan

merupakan pengatur tingkah laku manusia yang berhubungan

dengan kehidupan seksual, yaitu tingkah laku seksual, khususnya

hubungan seksual.

Pengertian perkawinan di atas menunjukkan bahwa

perkawinan merupakan suatu bentuk kontrak sosial, yang hanya

disetujui oleh adat/agama, agama, negara, atau ketiganya. Dari

penjelasan tersebut, perkawinan dapat diartikan sebagai kontrak

sosial antara laki-laki dan perempuan, yang disahkan oleh adat

atau menurut norma hukum formal untuk berhubungan seks dan

memulai sebuah keluarga.27

Banyak budaya dan tradisi masyarakat Indonesia

mengartikan bahwa pernikahan tidak serta merta berarti ikatan

antara pria dan wanita dengan tujuan melahirkan keturunan dan

menjalani kehidupan keluarga di rumah. Menurut hukum adat,

perkawinan juga berarti hubungan hukum antara anggota istri

dan keluarga suaminya. Terjadinya perkawinan berarti

terbukanya kekerabatan untuk saling membantu dan memelihara

kekerabatan yang rukun dan damai.

Dengan pecahnya perkawinan menurut patrilineal,

matrilineal, dan kekeluargaan diharapkan akan lahir keturunan

dari perkawinan tersebut yang akan menjadi penerus orang tua

27 Sugeng Pujileksono, Petualangan Antropologi Sebuh Pengantar Ilmu Antropologi, (Malang:

UMM Press 2006,) h. 43-53.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 23

atau silsilah keluarga. Adanya silsilah yang menggambarkan

kedudukan seseorang sebagai anggota keluarga merupakan

barometer asal usul keturunan orang yang baik dan tertib.

Islam memberi perhatian yang besar dan rinci

menyangkut perkawinan. Perhatian itu disebabkan karena dalam

pandangan Islam persoalan manusia dan hubungan suami-istri

serta kesucian keturunan merupakan hal-hal yang harus

dipelihara lagi jelas kedudukannya.28

Hukum Islam adalah ajaran Tuhan yang diturunkan

kepada manusia melalui wahyu. Oleh karena itu, hukum Islam

tidak hanya berasal dari pemikiran manusia. Pikiran manusia yang

terbesar hanya berguna untuk memahami apa itu Syariah, atau

mencari tahu bagaimana menafsirkannya dan bagaimana

menerapkannya dalam kehidupan, tetapi Syariah itu sendiri

berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, hukum Islam tidak terlepas

dari landasan filosofis keimanan.29

Selain itu, hukum Islam memiliki satu kesatuan sistem di

mana pernyataan-pernyataan hukum benar-benar saling terkait,

tidak terpisahkan, dan saling mendukung, sebagaimana satu

pernyataan berfungsi sebagai penjelasan bagi yang lain.30 “

Bertolak dari prinsip dari kesatuan dalil tersebut maka

pemahaman terhadap syariat Islam tidak cukup hanya

berdasarkan tekstualnya namun harus juga memperhatikan pirit

(tujuan serta rahasia) syariat itu sendiri, sehingga syariat Islam

dapat menjadi rahmat yang membawa hikmah yang besar

bagiumat manusia.31

Upacara Perkawinan Menurut Hukum Islam telah

memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan

berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih. Adapun Tata

Cara atau Runtutan Perkawinan Dalam Islam adalah sebagai

berikut:

28 M. Quraish Shihab, Islam Yang Saya Pahami (Ciputat: Lentera Hati, 2018), h. 137 29 Hamka Haq, Syariat Islam Wacana dan Penerapannya (Makassar: Yayasan Al-Ahkan, 2003), h. 33. 30 Ibid, h 38 31 Syamsul Bahri, dkk., Metodologi Hukum Islam (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 90

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 24

تبخط .1 (Peminangan)

Seorang muslim yang akan mengawini seorang

muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena

dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini

Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang

sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi). Dalam

khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang.

2. Aqad Nikah

Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban

yang harus dipenuhi :

a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.

b. Adanya Ijab Qabul.

c. Adanya Maskawin.”

d. Adanya Wali.

e. Adanya Saksi

” Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah, terlebih

dahulu akan diberikan khutbah yang disebut Khutbatun Nikah

atau Khutbatul Hajat.

3. Walimah

Metode Urushi Warimatur bersifat mengikat dan harus

dinilai dengan cara yang paling sederhana, dan di Warima kita

harus mengundang orang miskin. Rasulullah shallallahu 'alaihi

wa sallam bersabda bahwa mengundang orang kaya saja berarti

makanan sama buruknya dengan makanan.

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam artinya:.

Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka

ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”.32

32 (HR: shahih Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 25

Tabel Kerangka Pemikiran.

J. Kerangka Teori.

Hukum Indonesia dikembangkan oleh tiga sistem hukum

yang masing-masing memiliki ciri khas: hukum Barat, hukum

adat, dan hukum Islam, ketiganyapun diberlakukan pada waktu

yang berbeda. Saat orang Belanda datang, mereka masuk ke

bidang hukum, hukum yang dikehendaki adalah hukum Barat,

padahal jauh sebelum mereka datang Islam telah masuk ke

Indonesia melalui India yang dibawah oleh kaum mistik dan sufi.

Islam diperlihatkan melalui perdagangan dan perkawinan,

dan jika ada saudagar yang akan kawin dengan seorang wanita

pribumi, maka perkawinannya itu harus dilangsungkan menurut

hukum Islam. Keluarga ini kemudian mengikat tali persaudaraan

dengan anggota masyarakat lain secara Islami dan segala

ketentuan-ketentuan disesuaikan dengan norma hukum Islam.

AL-QUR‟AN

DAN

HADITS

HUKUM KELUARGA DI INDONESIA

Praktek perkawinan adat Lampung Sebatin.

(ngakuk/nyakak, sebambangan, seserahan,

prosesi/ritual, mahar, cerai)

Kajian yuridis, sosiologis, ekonomis.

(Living Law, gender, sakinah finance)

Perkawinan

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 26

Hukum Islam sebagai bagian dari agama Islam telah diterapkan

dan berkembang di masyarakat Indonesia, di samping hukum

adat yang ada di Indonesia dan berakar secara normative dalam

kebudayaan Indonesia.

Adapun salah satu bentuk sistem perkawinan berdasarkan

adat ada pada masyarakat adat Lampung Sebatin adalah sistem

perkawinan jojokh, Sebambangan dan semanda. Dalam rangka

memahami praktek perkawinan masyarakat adat Lampung

Sebatin dalam bingkai pemahaman Studi Analisis Dalam

Perspektif Hukum Islam tentang perkawinan pada masyarakat

adat Lampung Sebatin peneliti menggunakan grand theory,

middle theory, applicated theory. Adapun teori yang digunakan

adalah teori living law, teori gender Mubadalah dari Faqihuddin

Abdul Kodir, dan teori Sakinah Finance oleh Luqyan Tamam dan

Murniarti Mukhlisin.

Teori yang digunakan ini saling melengkapi dan

menguatkan satu sama lainnya. Grand Theory penelitian ini

adalah al’urf dan al-‘ādah.

al-‘ādah secara bahasa adalah sesuatu yang sering

baAr saahab irad ,gnaluber ) عادة -سمعود –عاد ( itraber gnay )التكرار(

pengulangan33 dan ia merupakan perbuatan yang sering berulang

sehingga mudah terlaksananya bahkan dapat pula dikatakan

tabiat, kata adat mengandung konotasi netral.

Menurut istilah, ulama Ushul Fiqh disebutkan bahwa

yang dimaksud adat 34

ة عقال ( لمتكررمن غير عالق ا )االمر

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 27

)اال

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 28

)

adalah pekerjaan yang berulang-ulang terjadinya tanpa mengguna-kan rasional”.

33 Karena itu sesuatu yang baru dilakukan satu kali, belum dinamakan adat, walaupun tidak

ada ukuran seberapa banyak hal itu telah dilakukan. Amir Syafiruddin, Ushul Fiqh, (Jakarta, Logos

Wacana Ilmu, 1997), h. 363 34 Mustafha Ahmad az-Zarqâ‟, al-Maqdal „ala al Fiqhi al „Am , (Beirut; Dâr al-Fikr, 1968), Jil

3, h. 838

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 29

Jalaluddin Abdjiur Rahman, 35 adalah:

ما اعتا دها كل انسان في خاصه فسهل علية فعلها وشق عليه تركها

Artinya: “Suatu kebiasaan setiap diri manusia yang mudah

terlaksana dan sulit untuk meninggalkannya dan masih bersifat

individu belum bersifat umum”.

Buku Ushul Fiqhs karya Muhammad Abu Zafra

ما اعتداه الناس من معامال ت واستقامت عليه امورهم

Artinya: “Apa yang dibinasakan oleh manusia dalam pergaulannya

dan telah mantap dalam urusan-urusannya”.

Abdul Wahab Khalaf hetookgesêdatadatshari'ah

muhakkamah is ( ا لعا د ة محكمة) .36

Oleh karena itu, secara umum dapat disimpulkan bahwa

kebiasaan adalah suatu perbuatan atau perkataan yang dilakukan

orang secara terus menerus karena diterima karena suatu alasan

dan orang terus menerus mengkajinya. Pengertian adat dalam

istilah ushul fiqh adalah bahwa kebiasaan adalah kebiasaan yang

di dalamnya orang-orang saling mengenal dan menjadikannya

tradisi baik berupa perkataan maupun perbuatan yang berulang-

ulang. Konsep ini diambil dari firman Allah swt., dalam surat al-

‘Arâf:199.

a. Teori Urf

Di sisi lain, menurut Amir Lutfi 'urf, itu yang biasa dan

diketahui masyarakat umum dan kelompok masyarakat.

Konsep ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara adat

dan urf. Tidak semua adat setuju dengan tuduhan syar'i dan

tidak bisa dijadikan bukti atau bantuan hukum. Meskipun 'urf'

dapat digunakan sebagai bantuan hukum. Musthada Ahmad al-

Zarqâ' mengklaim bahwa adat sebenarnya lebih luas dari 'urf'.

Karena adat merupakan kombinasi dari semua perilaku yang

35 Jalaluddin Abdurahman, Ghâyah Ushûl ad-Daqâ‟iq Ilm al-Ushûl, (Mesir; Dâr al-Kutub,

1992), h. 343 36 Abdul Wahab Khalaf, Mashâdir al-Tasyrī‟ fī mâ lâ Nashah Fīh, (Quwaid: Dâr al-Qolam,

1983), h. 90

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 30

lahir dari kebiasaan individu, 'urf adalah kebiasaan kebanyakan

orang. Artinya, setiap 'urf' adalah kebiasaan. Tidak semua

kegunaan adalah selalu 'urf. Adat datang sebelum 'urf' karena

asal usul 'urf adalah adat dan 'urf itu sendiri sesuai dengan

pernyataan syar'i'.

Menurut Abdul Wahab, "urf" dapat dibedakan menjadi

"urfshâlihah" dan "urffâsidah". “Urfshâlihah sudah diketahui

manusia dan sesuai dengan daril syar’i, tidak membolehkan

yang haram dan tidak menghapus kewajibannya. Misalnya,

saling pengertian tentang jumlah penyamaran. “Urfshalilah

merupakan kebiasaan yang diterima banyak orang dan tidak

bertentangan dengan syar’i.” Hal ini disebabkan hadits yang

dilihat oleh Nabi. , Narasi oleh Ahmad.

: قما راي المسلمون حسنا فهو عندهللا حسن وما قال رسول هللا صلي هللا عليه وسلم راوا سيئلفهو عندهللا سيئ

Artinya: “Apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan

kebaikan, maka ia disisi Allah juga merupakan kebaikan. Dan

apa yang dipandang kaum muslimin merupakan keburukan,

maka ia juga dipandang Allah keburukan.” (HR Ahmad).37

‘Urf shâhihah Dapat dijadikan sebagai dalil, tetapi

'urffâsidah tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk

mempertahankan proses hukum dan peradilan. Tentu saja

Musicahide harus melestarikan dan menjaganya. Ini dianggap

sebagai keuntungan bahwa orang-orang saling memahami dan

setuju dan konsisten dengan syara. “Misalnya, orang saling

memahami untuk berbuat jahat.” Urffâsidah, meskipun

praktiknya terpadu, adalah kebiasaan yang terjadi di beberapa

tempat, tetapi bertentangan dengan syara, ”, hukum, dan

Kebiasaan.

Sedangkan Jalaludin Abdurrahman38 membagi ‘urf

dalam dua macam yaitu ‘urf qauliyyah dan ‘urf ‘amaliyyah. ‘urf

al qauliyah adalah kebiasaan kebanyakan umat manusia

37 Kitab Hadis 9. Kitab Ahmad. 38 Jalaludin Abdurahman, Ibid, h. 348

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 31

dengan menggunakan lafal, salah satu contohnya adalah

menggunakan kata daging untuk daging ikan, sapi atau yang

lainnya, Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur'an An-

Nahl: 14 :

ر البحر لتأكلوا من تستخرجو ا طري حم ه ل وهو الذي سخ ا منه ا و من فضله غوا ولتبت يه ف حلية تلبسونها وترى الفلك مواخر

ولعلكم تشكرون

Artinya:“Dan Dia, Allah, yang merendam laut (untukmu) agar

kamu dapat memakan daging (ikan) segar dari laut dan

menghilangkan perhiasan yang kamu miliki dari laut. Melihat

bahtera berlayar di atasnya memungkinkan kita untuk mencari

(menguntungkan) kebaikannya dan berterima kasih padanya.”

(QS. ke-16 An-Naĥl: 14).

Kaidah fikih yang 'urf' digunakan sebagai dasar metode

ijtihad dan sumber penciptaannya, yaitu: 39

لعرف.يرجع فيه الي اكل ما ورد به الشرع مطلقا ول ضابطا له فيه ول في الغة

Artinya:“Yang menyertainya adalah syara' mutlak, dan syara'

atau bahasa itu tidak memiliki ukuran, jadi tolong kirimkan

kembali ke 'urf'.”

Kaidah ( ا لعا د ة محكمة) kebiasaan itu adalah hukum, lalu

kaidah ) ما ورد به حسنا فهو عند هللا حسن ) apa-apa

yang diketahui baik

oleh umat manusia, maka baik pula menurut Allah swt., dan

كالمشروط شرطا المعروف عرفا ) ) sesuatu yang berlaku secara ‘urf

seperti sesuatu yang telah disyari’atkan.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kebiasaan yang

dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk perkataan dan

perbuatan, khususnya atau yang diterapkan secara umum, dan

39 Abdul Waid „Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh Terlengkap dan Up To Date‟. (Jogjakarta

Ircisod, 2006), h. 154

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 32

yang bertentangan dengan dalil syar'i, disebut “urffâsidah” dan

tidak digunakan sebagai berikut. Argumen dapat digunakan

selama “kebiasaan urfshahīhah konsisten dengan dalil syar’i

dan dapat digunakan sebagai argumen.

Untuk melihat apakah kebiasaan Anda mengandung

"urf shahīh" atau "urffâsid", Anda dapat melewati muqâshi

dasy-syarī'ah. Artinya, jika perbuatan atau perkataan itu tidak

melanggar Mucasid sebagai Syariah, yaitu jika melindungi

agama, melindungi jiwa, melindungi keturunan, melindungi

harta benda, menjaga kehormatan atau akal, maka adat adalah

hukum. yang disebut maqâshi das-syari' dan kebiasaan itu

pasti urffâsidah.

b. Teori Maslahat

Sedangkan middle theory yang digunakan dalam

Penelitian ini adalah mashla hahmursalah. Ini terdiri dari dua

kata: mashlahah dan mursalah. Mashlaha berarti keuntungan

atau pekerjaan yang mengandung keuntungan, Mursala

dilepaskan dari program yang mengandung keuntungan, dan

Mursala dilepaskan dari program Nash tertentu. Menurut

Imam Al Ghazali, Mashlaha adalah menyalahgunakan dan

menolak bahaya untuk mempertahankan tujuan Syariah, dan

Al Ghazari mengatakan bahwa kesejahteraan manusia tidak

harus berdasarkan syar, tetapi banyak. keinginan.

Apa yang dimaksud dengan mashlahahmursalah

هو كل مصلحة لم يرد في الشرع نص علي اهتبا رها او بنوعها

Artinya: “Adalah setiap kemaslahatan yang tidak terdapat

dalam nash syariat dalam mengambil pengajarannya pada

wujud dan macam-macam”.40

Menurut ahli ushul, mashlahah mursalah dapat

diartikan Kepentingan yang ditetapkan oleh syari'at untuk

mencapai dan menegakkan tujuan hukum yang menghasilkan

40 Mustafa Ahmad Zarqâ‟i, al-Madkhal al-Fiqh al-„Am al-Addid, (Damasiq: 1978), h. 90

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 31

kepentingan ummat. Oleh karena itu, mashlahah mursalah

adalah masalah yang sesuai dengan tujuan syariat Islam dan

tidak terhalang oleh sumber bukti tertentu yang

membenarkan atau membatalkan mashlahat. Imam Malik

sendiri menerima atas dasar Mashlaha Mursala.

Teori mashlahahmursalah Muslehuddin terkait dengan

gagasan bahwa tujuan Syariah adalah untuk kemaslahatan

masyarakat, yang memberikan manfaat dan menghilangkan

bahaya dari umat.41

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

mashlahah mursalah adalah kemaslahatan yang dilihat oleh

mereka yang tidak memiliki dalil dalam Al-Qur'an dan As-

Sunnah untuk membenarkan dan mengutuk dalil tersebut.

Mashlahah Mursalah, ada berbagai jenis yang ditinjau

dari sisi yang berbeda:

a. Mashlahah Dharuriyah (مصلحة ضرورية )

Artinya, kemaslahatan yang terkait dengan

kebutuhan dasar umat manusia di dunia dan di akhirat.

Manfaat ini meliputi perlindungan agama, perlindungan

jiwa, perlindungan akal, perlindungan keturunan, dan

pemeliharaan harta..

.Hājiyyah Mashlahah b ()مصلحة حاجية()

Ringkasnya, manfaat-manfaat inilah yang diperlukan

untuk menyempurnakan manfaat dasar di atas berupa

kegiatan memelihara dan memelihara kebutuhan dasar

manusia. Misalnya dalam bidang ibadah, diberikan

pengecualian untuk meringkas shalat. Di bidang Muamala,

diperbolehkan berburu binatang, jual beli pesanan, dan

lain-lain..

c. Maslahah Tahsīniyah ينية()مصلحة تحس

Dengan kata lain, ini adalah keunggulan yang

melengkapi dua keunggulan sebelumnya dalam bentuk

41 Muhammad Muslehuddin, Philosopy of Islamic Law and The Orientalis A Camparativ Study

of Islamic Legal System alih bahasa Wahyudi Asmin, (Yogyakarta; Tiara Wacana, 1991), h. 127

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 32

bebas. Misalnya, makan makanan bergizi dan berbagai cara

buang air besar.

Ada syarat tersebut antara lain:

1) Ada kesamaan antara topik Maslahah, yang dilihat

sebagai bukti bahwa itu dibuat untuk tujuan Syariah.

Mashlahah tidak dapat membantah pernyataan qath'iy.

Namun hal itu harus sejalan dengan kemaslahatan yang

benar-benar ingin dicapai secara syar'i. Misalnya, jenis

topik maslahah tidak diketahui, tetapi tidak diperkuat

dengan adanya pernyataan khas.

2) Keunggulan tersebut harus “rasional” dan konsisten

dengan pemikiran rasional agar dapat diterima oleh

kaum rasionalis.

3) Dengan menggunakan anjuran mashlahat ini untuk

menghilangkan permasalahan yang terjadi dengan raf'u

haraz lazim, jika mashlahat tidak dapat diterima karena

suatu alasan, orang pasti akan mengalami masalah

tersebut.42

4) Itu benar-benar harus mashlahah. Tujuannya agar

peraturan perundang-undangan membawa manfaat dan

kerugian. Jika topi Mashra didasarkan pada perkiraan

tanpa mempertimbangkan apakah itu bias untuk

undang-undang, berarti topi Mashra diambil hanya atas

dasar kecurigaan. Misalnya, dalam kasus Mashrahat,

yang merampas hak suaminya untuk menceraikan

istrinya, hak Taraku menjadi hak Qadi sepanjang situasi.

5) Maslahah pada dasarnya bersifat umum, artinya undang-

undang itu bermanfaat dan berbahaya. Jika mashlahah

dapar bermanfaat bagi kebanyakan orang yang benar-

benar dapat diwujudkan, maka tidak dapat diatur

undang-undangnya, karena hanya menguntungkan

pemimpin atau orang-orang tertentu saja tanpa

42 Syarat-syarat (a,b, dan c) adalah yang diajukan oleh imam Malik Aziz Dahlan. h. 427-428

dalam Ensiklopedia Hukum Islam. Muhammad Muslehuddin, Philosopy of Islamic Law and The

Orientalis A Camparativ Study of Islamic Legal System alih bahasa Wahyudi Asmin, (Yogyakarta;

Tiara Wacana, 1991), h. 427

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 33

memperhatikan kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain,

keuntungan harus menguntungkan semua orang.

6) Pembentukan hukum secara eksploitatif tidak melanggar

sistem hukum atau ketentuan dasar buku teks dan ijma.

Oleh karena itu, tuntutan kepentingan yang

menyetarakan hak laki-laki dan perempuan dari

perspektif pewarisan adalah maslaha yang tidak dapat

dibenarkan.

Kondisi di atas terangkum dalam lima jaminan dasar

bagi kesejahteraan manusia, meliputi keamanan keluarga, jiwa,

kecerdasan atau kehormatan, keamanan keluarga, keamanan

genetik, dan keamanan nasional. Lima jaminan dasar ini sesuai

dengan muqâsidas-syari'ah. Dengan kata lain, itu sesuai

dengan lima pilar kehidupan manusia: agama, akal, keturunan,

properti, dan perlindungan jiwa. “Lima prinsip ini adalah

kriteria untuk mengatakan jika ada yang salah. As-Syatibi

memiliki definisi muqâsidas-syari'ah.;

34.هذه الشر يعة ...وضعتلتحقيق مقاصد الشريعة في قيام مصالحهم في الدين والدنيا معاArtinya: “Sesungguhnya syari’at itu bertujuan mewujudkan

kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat”.

Fathi al-Duraini menyatakan bahwa hukum tidak

diciptakan dan ditampilkan untuk hukum itu sendiri, tetapi

untuk tujuan lain: untuk kemaslahatan. Muhammad Abu Zafra

juga menegaskan bahwa tujuan hukum Islam yang sebenarnya

adalah keuntungan, bukan salah satu hukum yang ada dalam

Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan mewujudkan dan

memelihara lima pokok kehidupan manusia, yaitu:

a. Dharūriyah berarti dasar. Artinya, manfaat dasar menjaga

dan melindungi keberadaan lima manfaat dasar. Kehilangan

keuntungan menghancurkan prasangka manusia. Menurut

asy-Syatibi, kelima prinsip, agama, dan makhluk dunia ini

43 Al Syâtibī, al Muwâfaqât al-Syari‟ah (Kairo: Mustafa Muhammad, Tth) jil I, h. 20

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 34

dapat berfungsi secara seimbang dan, jika dipelihara,

membawa kesejahteraan sosial dan manusia.44

b. Hājjiyyah adalah Kebutuhan untuk melindungi lima pohon

tetap aman, tetapi kebutuhannya kurang dari kebutuhan

ad-dharûriyah, sehingga manfaat tambahan untuk

perlindungan dan perlindungan. Non-pemeliharaan al-

hâjiyyah tidak mengancam keberadaan lima pohon, tetapi

menyebabkan kontraksi dan kontraksi baik dalam upaya

pencapaiannya maupun implementasinya. Sebagaimana

Allah berfirman, Dia memerintahkan umat manusia untuk

menghilangkan kesempitan dan kesempitan : 185

بكم اليسر ول يريد بكم العسر ولتكملوا العدة ... يريد للاه

على ما هدىكم ولعلكم تشكرون ولتكب روا للاه

Artinya: “…. Tuhan menginginkan kenyamanan bagi Anda,

bukan kesulitan bagi Anda. Berilah bilangan secukupnya dan

pujilah Allah atas petunjuk yang diberikan kepadamu agar

kamu bersyukur. (QS. ke-1 Al-Baqarah: 185).

c. Tahsniyyah adalah kelebihan yang meningkatkan kualitas

lima kebutuhan dasar hidup, yang terkait dengan

makârimal-akhlâk. Kegagalan untuk mempertahankan

manfaat ini melanggar kepatuhan dan merendahkan

martabat individu atau komunitas.

Oleh karena itu, jelas bahwa jika Anda setuju dengan

Macassid al-Syariah untuk tujuan mengetahui apa tujuan

pemberi resep, manfaatnya akan jelas, dan alasan utama

pertanyaan itu adalah kebijaksanaan. Pemberlakuan undang-

undang. Oleh karena itu, tujuan hukum merupakan salah satu

faktor terpenting dalam menentukan hukum Islam yang

diciptakan oleh ijtihad.

Landasan hukum mengapa semua hukum harus

memuat kepentingan umat adalah Al-Qur'an.

رسل مبشرين ومنذرين لئل يكون للناس علي هللا حجة بعد

الرسل وكان هللا عزيزا حكيما

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 33

44 As Syatibi, h.4

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 38

Artinya: Setelah dia mengutus para rasul, dia mengirim mereka

sebagai pembawa kabar baik dan peringatan agar tidak ada

alasan bagi orang-orang untuk menantang Allah. Dan Allah

Maha Tinggi dengan kekuatan dan kebijaksanaan.

Kemudian dijelaskan juga dalam surat yang lain,

sebagaimana berikut:

وما ارسلناك ال رحمة للعالمين

Artinya : Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk

(menjadi) rahmat bagi semesta alam.45

Pernyataan umum yang dikemukakan oleh para ulama

yang menjadikan mashlahahmursalah sebagai dalil adalah

sebagai berikut:

a. Meski Rasulullah tidak memerintahkannya, rekan-rekan

mengamalkan, menyunting Al-Qur'an dalam berbagai

mushaf. Agar buku ini tidak punah. Lalu ada contoh lain di

mana Umar Ibn Hatab memerintahkan penguasa untuk

memisahkan kekayaan dan harta pribadi dari kekuasaan

untuk menghindari manipulasi.

b. Menurut maqâsida sy-syari'ah, keberadaan mushlahah,

mengambil maslahah identik dengan menjalankan maqashid

secara syariah. Gunakan pernyataan maslahah karena itu

adalah sumber utama hukum yang terisolasi.

c. Jika Maslahah tidak disandingkan dengan mashraha dalam

segala hal sedangkan dalam maslahah kontek syar'iyah,

maka orang-orang mukalaf akan mengalami masalah dan

kekurangan..

45 Al Qur‟an Surat an-Nisâ‟; 165 dan surat al-Anbiyâ‟ ayat 107

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 39

Kesejahteraan umat manusia selalu menjadi

kenyataan, jadi jika tidak ada hukum berdasarkan Maslaha

Mursara jika terjadi masalah baru, hukum hanya akan diblokir

berdasarkan Maslaha, yang tidak berdasarkan Maslaha.

Pengakuan yang diterima dari syar'i. Oleh karena itu, manfaat

yang dibutuhkan umat manusia di segala usia diabaikan. Hal ini

tidak memadai dan tidak sesuai dengan niat Syari'at untuk

memberi manfaat bagi kehidupan manusia.46

c. Teori Receptio in Complexu.

Berdasarkan teori besar dan rata-rata di atas,

diperlukan teori terapan untuk mendapatkan hasil analisis

yang ilmiah dan objektif. ‘applied theory’. Adapun teori terapan

dalam penelitian ini adalah teori Receptio in Complexu. Secara

bahasa, Receptio in Complexu bermakna “Penerimaan secara

utuh” atau “meresepsi secara sempurna”. Mr.Lodewik Willem

Charistian Van Den Berg (1949-1972), sebagai pencetus teori

ini, ia mengatakan bahwa bagi pemeluk agama tertentu

berlaku hukum agamanya sendiri. Untuk kaum Hindu berlaku

hukum Hindu, untuk kaum Kristen berlakuk hukum Kristen

dan untuk kaum Islam berlaku hukum Islam.47 Menurut ahli

hukum dari Belanda ini hukum mengikuti agama yang dianut

seseorang. Ajaran ini telah diungkapkan sebelumnya oleh

Carel Frederik Winter, ahli mengenai Jawa-Javinci (lahir dan

meninggal di Yogyakarta 1799-1859). Kemudian dikembangkan

dan diberi nama oleh L.W.C Van Den Berg dengan teori

Receptio in Complexu.48”

46 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1977), h. 128 47 Pendapat L.W.C van den berg ini dikemukakan oleh beberapa ahli hukum, diantaranya :

Soekanto, meninjau Hukum adat di Indonesia Suatu Pengantar untuk Mempelajari hukum Adat,

(Jakarta; Rajawali Press, 1981), h. 53. Sajuti Thalib, Reseptio a Contrario, (Jakarta; Academica, 1980),

h. 5. Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum adat, suatu Pengantar, (Jakarta; Pradnya Paramitha, 1994),

h. 4. Buku asal karangan van den Berg sendiri mengenai hukum Islam berjudul: “De Beginselen van het

Mohammadaansche Reche, volgens de Imams Aboe Hanifah en Syafi‟i (Dasar-dasar hukum Islam

menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi‟i), (Batavia, Emst en Co.S‟Gravenhage, M. Nijhorf, 1883. Buku

ini dapat kritikan serius oleh Snouck Hurgronje yang tertuang dalam: “Verspreide geschriften van

Snouck Hurgronje” (Kumpulan karangan Snouck Hurgronje), (Bonn dan Lepzig, 1923) mengenai

hukum Islam, terjemahan INIS (Indonesia Netherlands Coorporation in Islamic Studies), (Jakarta;

INIS, 1995). Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta, PT Pradnya Paramitha, 1986), h. 3-20 48 Jika van den Berg berpendapat demikian, sebagaimana yang dikemukakan antara lain oleh

Soekanto di atas, kiranya perlu diteliti kembali. Dalam agama Kristen tidak ada hukum seperti pada

agama Islam; yang ada hanya moral (moral keagamaan). Hukum Injil tidak berpengaruh kepada umat

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 40

Menurut Van Den Berg yang dikutip oleh Soekanto,

hukum adat menurut doktrin ini mengikuti agamanya selama

dapat dibuktikan sebaliknya. Jika Anda menerima agama, Anda

juga harus mematuhi hukum agama. Ada penyimpangan dari

hak beragama jika satu atau lebih bagian, semua adat atau

bagian kecil dapat dibuktikan sebaliknya. Penyimpangan yang

disebutkan di sini adalah doktrin agama yang dimasukkan ke

dalam tradisi lokal selama pertunjukan kematian dan

pernikahan. Vandenberg umumnya berbicara tentang hukum

agama, tetapi penjelasannya berfokus pada hukum Islam,

sehingga pembahasan teoretisnya berfokus pada posisi Islam

umat Islam Indonesia.

Menurut teori ini, hukum yang berlaku di daerah yang

penduduknya menerima Islam adalah hukum Islam. Para

pendukung teori ini meyakini bahwa hukum kehidupan dalam

masyarakat Islam adalah hukum Islam. Teori ini berawal dari

pengamat kebijakan hukum kolonial pada saat itu, menerapkan

hukum Islam kepada penduduk asli Muslim. Hal ini sesuai

dengan aturan acuan, Buletin Negara 1854: 129 dan Buletin

Negara 1855: 2 pasal. 75, 78 dan 109. Pada tahun 1882 Staatsblad

1882: 152 diputuskan oleh reorganisasi peradilan. Tujuan utama

dari reorganisasi ini adalah untuk mendirikan Pengadilan

Inkuisisi baru selain Landrat (pengadilan distrik).

Banyak tulisan Vandenberg tentang Islam, termasuk

Islam Indonesia. Salah satu tulisannya adalah Hukum Keluarga

Jawa dan Madura dan Hukum Waris Islam. Buku ini adalah

Kristen karena umatnya berpegang kuat kepada ajaran Paulus yang anti kepada hukum agama karena

dipandangnya sebagai kutuk. Agama hindu memang ada hukum yang disadur dari Hindia Timur dan

disusun ke dalam bahasa Jawi. Di Jawa hal ini tidak ditemukan lagi, tetapi di Bali dan lampung masih

ada. Cuma nilai kemurniannya juga diragukan, sebab aturan-aturan Hindu yang asli telah bercampur

baur dengan tradisi lokal, bahkan juga dikatakan dengan Islam, seperti ada dongeng-dongeng dan

pelajaran budi pekerti. Sayangnya tidak dapat dikatakan hukum Hindu asli yang asli yang tertulis dan

tidak pula hukum (adat) yang hidup yang tidak tertulis (lihat van Vollenhoven), Orientatie in het

Adatrecht van Nederlansch-Indie (Orientasi dalam Humum Adat Indonesia), (E.J. Bril, Leiden, 1918-

1933), h. 161-162. Hal senada juga dikemukakan oleh Hazeu dalam Pepaken Cirebon, h. 124-126, 128

dan 141. Di Bali misalnya agama Hindu menyatu dengan adat Bali sehingga antara agama Hindu dan

adat Bali merupakan satu kesatuan dan tak dapat dipisahkan (Lihat Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang

Hukum, (Jakarta; Bina Aksar, 1981), h. 56-57. Kendati demikian, Van Den Berg lebih mentik beratkan

uraiannya tentang hukum Islam, sesuai dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam,

antara hukum adat dan hukum Islam

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 41

dukungan dan panduan Inkuisisi Jawa dan Madura, yang

disediakan oleh Stbl. 1882: 152. Dalam buku Hukum Keluarga

Jawa dan Hukum Waris Islam, Van den Berg menegaskan

pandangannya bahwa hukum Islam berlaku bagi umat Islam

Indonesia. Selain studi kolonialnya, dasar pemikiran

Vandenberg juga adalah penerimaannya terhadap konsep

V.O.C. Sebelumnya, pemerintah VOC menyetujui

diundangkannya Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam

(Civil Code of Mohamedash) yang diabadikan dalam resolusi 25

Mei 1760 (Pemerintah India). Isinya adalah kumpulan aturan

tentang perkawinan dan warisan menurut hukum Islam yang

digunakan oleh Pengadilan VOC untuk orang Indonesia yang

dikenal dengan Friger Summary. Ada juga kumpulan hukum

Islam tentang perkawinan dan warisan yang didirikan di daerah-

daerah di mana kebanyakan orang memeluk Islam dengan kuat,

seperti Cirebon, Semarang dan Makassar.

Menurut Sujuti Thalib, realitas hukum Islam berlaku

bagi penduduk asli Indonesia dan mulai berlaku jauh sebelum

tahun 1885. Hukum telah diperkuat, seperti yang termuat

dalam Stbl, 1854: 129 atau Stbl. 1855: 2 menegaskan penerapan

hukum Islam bagi umat Islam Indonesia dan dikatakan "Hakim

Indonesia harus mengadopsi hukum agama dan adat istiadat

masyarakat Indonesia." Ayat (4) menyatakan bahwa "Hakim

Eropa juga menerapkan hukum agama, naluri dan adat istiadat

di Pengadilan Tinggi dalam hal banding."

Oleh karena itu, Sajuti Thalib adalah hukum agama

Islam yang memuat istilah ilmu ketuhanan (peraturan atau

hukum ketuhanan) yang berlaku bagi umat Islam di bawah

peraturan hukum eksplisit Pemerintah Hindia Belanda pada

waktu itu. Saya berkesimpulan bahwa saya mengakui. Bahasa

Indonesia. Keadilan tidak hanya berlaku untuk mereka tetapi

juga untuk pengadilan Islam. Dari keterangan tersebut dapat

kita simpulkan bahwa hukum asal atau hukum yang menurut

Vandenberg bagi bangsa Indonesia adalah hukum agamanya

sendiri. Bagi umat Islam, karena agama yang dianutnya,

mereka harus menaati hukum-hukum agamanya. Itu disebut

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 42

Kafa menurut Alquran. Lebih lanjut Sajuti Thalib menyatakan

bahwa Van Den Berg adalah orang Belanda yang

menggarisbawahi apresiasinya atas kenyataan bahwa hukum

Islam berlaku di Indonesia. Vandenberg, dengan bantuan para

pemimpin Islam / Qadi, berusaha agar hukum perkawinan dan

warisan Islam diatur oleh hakim Belanda.

Kegiatan Maskawin Islam adalah umat Islam pertama

yang datang ke Indonesia untuk kegiatan perdagangan,

kelompok atau kelompok agama. Setiap individu berhak

menjadi penafsir maskawin secara individu, sesuai dengan

ajaran Islam. Oleh karena itu, para pedagang Hudramat adalah

pendakwah yang mandiri. Kegiatan maskawin oleh perantau

Minangkabau dan Bugis di setiap pelosok nusantara berfungsi

sebagai pedagang, nelayan, politisi dan guru. Oleh karena itu,

Vandenberg mengakui bahwa para pedagang Hudramaut, baik

melalui Gujarat India maupun langsung dari negara-negara

Arab, tidak melakukan pekerjaan maskawin. Tapi itu hanya

masalah pembangunan ekonomi dan kekayaan.

Islam diterima secara damai di seluruh nusantara, dan

itulah kenyataannya. Oleh karena itu, Vandenberg

menggunakan standar Kristen untuk menilai aktivitas

maskawin para pedagang parit keras ini. Dari segi ini dapat

dikatakan bahwa Van den Bergh mengatakan bahwa

kedatangan para saudagar Islam yang bermotif komersial juga

mempengaruhi perkembangan Islam yang damai di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, Vandenberg (Kristen) menyatakan

bahwa hukum yang berlaku bagi umat Islam Indonesia adalah

hukum Islam. Ia melihat bagaimana praktik penyebaran agama

berlangsung di lingkungan keagamaannya sendiri. Ketika adat

istiadat yang digunakan masyarakat sehari-hari adalah bagian

dari hukum agama mereka sendiri. Ini dimaksudkan dengan

berbagai penyimpangan yang diterima Vandenberg secara

keseluruhan (tidak rumit).49

49 Soepomo dan Djokosutono, Sejarah Politik Hukum Adat, (Jakarta; Djambatan, 1995). Jld II.

h. 30

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 43

Sebelum dan selama penjajahan Belanda di Indonesia,

masyarakat menerima dan menerapkan hukum Islam secara

utuh. Proses peradilan dan keputusan Inkuisisi mencakup

semua hukum perdata dalam kasus-kasus yang diajukan

berdasarkan hukum Islam. Teori ini memungkinkan peneliti

untuk mengkaji bagaimana perkawinan Indian Lampung

Sebatin memahami dan menerapkan sistem tersebut dalam

analisis hukum Islam. Selain itu ada istilah teori yang

kebalikannya yang artinya penerimaan yang konsisten, karena

hukum yang dibicarakan adalah tentang hubungan antara

hukum Islam dan hukum adat, hukum yang berlaku bagi Islam

adalah Islam.

Hukum artinya ada. Hukum adat, di sisi lain, hanya

dapat diterapkan jika tidak melanggar hukum Islam. Gagasan

ini dikemukakan oleh Hazairin (1906-1975) dan kemudian oleh

Sajuti Thalib (1929-1990). Menurut teori ini, Indonesia memiliki

hukum yang hidup, atau hukum adat, tetapi hukum agama

yang didominasi oleh masyarakat. Teori ini berfokus pada

hukum Islam, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama

Islam. Oleh karena itu, hukum Islam adalah hukum Islam dan

hukum adat. Sebagai seorang dokter di bidang common law,

Hazairin sangat menentang pandangan bahwa hukum Islam

hanya berlaku jika diadopsi oleh common law. Ia mengenal

hukum adat di Indonesia, sehingga ia juga mengetahui

kelemahan hukum adat dan kelebihan hukum Islam. Dan juga

dikenal sebagai salah satu guru besar dan ahli di bidang hukum

Islam. Hazairin menemukan kekeliruan dalam memahami

kedudukan hukum adat Indonesia dan hukum Islam.50 Teori ini

juga bertentangan dengan pandangan bahwa hukum Islam

adalah hukum umum dan hukum umum adalah hukum Islam.

50 Hazairin dalam penelitiannya mengupas tentang Hukum Adat Rejang yaitu ditulis dalam

bahasa Belanda dengan judul: “De Redjang” sebanyak 242 halaman. Karya ini merupakan gambarran

hukum yang hidup dalam masyarakat Rejang (sekarang masuk provinsi Bengkulu). Karya ini

diterbitkan oleh CAN dan Co. bandung pada tahun 1936 dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia oleh Firdaus Burhan pada tahun 1982.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 44

Hukum adat boleh menjadi bagian dari hukum Islam, tetapi

selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.51

Pada kesempatan lain, Hazairin pernah mengatakan

bahwa ia kini harus melihat bahwa hukum agama sedang

bersiap untuk dilepaskan dari ikatan common law. Kehidupan

Islam saat ini lebih berkembang dibandingkan pada masa

kolonial.52”

Ungkapan Hazairin ini merupakan kritik terhadap

ulama yang berusaha menjadikan hukum Islam positif bagi

umat Islam Indonesia. Tanpa menyadari pasal dan pasal mana

peraturan gubernur tersebut bermasalah, Hazairin tampaknya

menghujat produk peraturan gubernur yang menghalalkan

perzinahan. Implikasi dari hazairin di mana ada program gratis

yang dilakukan oleh segelintir orang tampaknya tidak

dibenarkan oleh hukum adat setempat, termasuk kecurangan

yang sudah biasa, tetapi itulah yang anda inginkan. Pemerintah

pidana adat tampaknya dibenarkan. Hukum pidana hanya

membenarkan sanksi hukum bagi perzinahan. Menurut hukum

pidana, sanksi hukum untuk perzinahan hanya dapat

diterapkan pada istri orang lain, anak di bawah umur, atau jika

dilakukan dengan perkosaan. Padahal dia sendiri suka

menghindar dari ancaman zina. Namun dari penjelasan di atas

terlihat bahwa Hazairin (yang seharusnya ada dalam Islam),

sebagaimana terlihat dalam Al-Qur'an, memerintahkan umat

Islam untuk mengikuti ajaran Islam secara utuh agar agama

semakin meningkat. Manusia.53

Persatuan Kepala Daerah (PPDB) menilai penerapan

hukum adat terhadap warisan melanggar asas sakral

51 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta; Tintamas 1986), h. 8. Disini Hazirin

mengemukakan bahwa menurut teori Respsi, hukum an sich bukanlah hukum, kecuali kalau ia telah

menjadi hukum adat. Tergantunglah kepada kesetiaan masyarakat adat penduduk setempat untuk

menjadikan hukum Islam yang bukan hukum itu menjadi hukum adat. 52 Bushar Muhammad, sebagaimana dikutip dari Utrecht, h. 183. Utrecht mengatakan bahwa

perkembangan penghidupan Iaslam itu tidak akan mungkin elepaskann diri dari asimilasi kea rah Barat.

Karena dalam Islam itu tidak ada bentuk-bentuk yang tersedia yang dapat menangkap perkembangan

masyarakat dan kebudayaan dikemudian hari sebagai akiobat modernisasi. Benar atau tidaknya

pendapat Utrcht, demikian Bushar Muhammad, pada saat sekarang ini usaha kita sedang diuji untuk

“kembali kepada kepribadiaan Indonesia”. 53 QS al-Baqarah 208

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 45

kelangsungan hidup umat Islam. Menurut hukum adat, anak-

anak yang tidak sah dan tidak Islami pun diwarisi. Apa yang

mereka pikir lebih buruk adalah bahwa inilah masalahnya.

Karena setiap orang memiliki kegunaan yang berbeda-beda,

ada yang sudah kadaluarsa.54 Oleh karena itu, organisasi

tersebut mengusulkan dan memprotes agar hukum Islam bagi

umat Islam Indonesia dapat dipulihkan, termasuk warisan.

Pada tanggal 3 Januari 1946, Kementerian Agama

membentuk kendali Inkuisisi, yang mengalihkan kewenangan

Kementerian Kehakiman atas agama kepada Kementerian

Agama. Di beberapa daerah, kekuasaan Pengadilan Agama

telah diperluas untuk masalah warisan selain perkawinan dan

perceraian, asalkan hukum adat setempat dapat

memutuskannya dalam Inkuisisi.55 Menariknya, ekstensi ini

tidak masuk akal. Penegakan putusan Pengadilan Agama atas

putusan Pengadilan Agama masih dalam pertimbangan,

bahkan Mahkamah Agung Bukittinggi telah memutuskan

bahwa Pengadilan Syariah telah memutuskan harta tersebut.

Menurut Daniel S. Lev, hasil terbaik tidak diperoleh di

yurisdiksi ini. Karena ada bukti bahwa pengadilan umum tidak

lagi cocok untuk mengadili kasus warisan Muslim jika

dibandingkan dengan pengadilan agama. Juga, menurut kasus

ini, tidak dapat dibuktikan bahwa pengadilan umum lebih

berlaku untuk hukum adat daripada Inkuisisi. Hakim

pengadilan umumnya orang Belanda, yang tidak memiliki

pemahaman yang mendalam tentang common law, dan sering

dipengaruhi oleh sistem hukum Barat (Belanda) dalam

mengambil keputusan.56

Keinginan Hazairin untuk menyerahkan kewenangan

warisan Muslim ini ke pengadilan umum merupakan upaya

kolonialis untuk mengubah kegiatan raja Islam Jawa ke Islam

untuk menyebarkan dan menangguhkan hukum, merupakan

pendapat yang tidak dapat dipisahkan. Di kalangan umatnya.

54 Ibid., h. 23 55 Hooker, M.B, Adat Law In Modern Indonesia, (Kuala Lumpur; Oxford university Preess,

1978), h. 103 56 Lihat Daniel S.Lev, Islamic Court…, h. 42, 336

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 46

Jika kegiatan ini dihentikan, maka pengetahuan umat Islam,

terutama kalangan bawah, akan sulit memahami bagaimana

sebenarnya warisan Islam itu terbagi. Hazairin mengatakan

butuh banyak waktu dan kecerdasan untuk mempelajari

hukum waris Islam.57 Namun, hukum Islam tidak boleh

didasarkan pada teori penerimaan dan harus berlaku untuk

semua Muslim.

Sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni

1945, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, menurut Hazairin,

siapa yang wajib menerapkan syariat Islam kepada umatnya.

Orang yang ingin menegakkan Pancasila antara semua aliran

dan agama melalui gotong royong dan membangunnya melalui

gotong royong.58

Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, pembukaan UUD 1945

yang tertuang dalam Piagam Jakarta diubah untuk

menghilangkan frasa "kewajiban menerapkan hukum Islam".

Pembukaan dan Pasal 29 Ayat 1. Selanjutnya Pasal 6 Ayat 1 yang

semula menyatakan bahwa “Presiden adalah orang asli

Indonesia”. Keputusan bahwa Islam adalah agama kelompok

Islam, dan akhirnya Piagam Jakarta secara aklamasi diadopsi

oleh sidang PPKI.”59

Menurut Hazairin, umat Islam Indonesia akan terus

hidup dalam perbedaan agama sampai hari kiamat, jika umat

Islam mengikuti teori resepsi. Oleh karena itu, umat Islam

harus hidup dengan meyakini dan mengamalkan Al-Qur'an

dan hukum Islam, bukan hukum adat. Hukum Islam bersumber

dari perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Common law tidak

57 Hazarin, Ibid. 58 Ibid., h. 10-13. Sebagaimana diketahui, bahwa tujuh kata dalam kalimat tersebut dihapus dan

hanya tinggal kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila ke satu. Perlu juga diketahui, bahwa

kata-kata “kewajiban” tersebut bukan dalam arti yang sangat luas, tetapi tertuju kepada bidang hukum,

terutama aspek hukum kekeluargaan. Kewajiban ini ditegaskan kembali oleh MPRS No. II tanggal 3

desember 1960 yang menyuruh mengatur syariat Islam itu dengan undang-undang dengan syarat hidup

kekeluargaan menurut sistem parental. 59 Terlepas dari kondisi yang mendesak demi terwujudnya Negara Republik Indonesia pada

waktu itu, menurut hemat penulis umat Islam Indonesia telah memberikan andil dan toleransi yang

sangat besar bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam tersebut. Kendati kalimat tersebut

dihilangkan, namun secara tersirat keinginan para tokoh Islam untuk memberlakukan hukum Islam bagi

para pemeluknya tetap atau selalu ada.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 47

dapat dan tidak boleh dikacaukan dengan hukum Islam.

Hazayrin juga berharap agar hukum pidana Islam

disistematisasikan dan dimasukkan dalam hukum pidana yang

termuat dalam Pasal 1 KUHP, “nullum delictum poena sine

praevia lege poernali”. Ini adalah ungkapan Latin yang sesuai

dengan norma-norma Al-Qur'an. 'NS.60

Bagi orang Indonesia yang tinggal di daerah yang

mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, wajib menaati

hukum Islam, bukan hukum adat atau hukum Barat. Ketaatan

ini untuk menopang keimanan umat Islam itu sendiri.

Selanjutnya, teori gender yang menjelaskan visi Islam tentang

kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Islam adalah way

of life yang membuat manusia memahami realitas kehidupan.

Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan oleh

Allah sebagai Ramatan Lil Alam. Oleh karena itu, jika

penciptaan keberadaan laki-laki dan perempuan di dalam Allah

memiliki misi seperti Califatura Phil Aldo, yang berkewajiban

untuk menyelamatkan dan memakmurkan alam untuk

mengenali tujuan manusia menyelamatkan peradaban, itu

adalah hasil yang logis. Oleh karena itu, perempuan Islam

memiliki peran yang esensial dan martabat yang sama sebagai

hamba Allah dan menjalankan tugas yang sama dengan laki-

laki. Prinsip dasar Al-Qur'an adalah bahwa hubungan antara laki-

laki dan perempuan adalah keadilan (al-adâlah), kesetaraan

(al-musâwah), kebugaran (al-ma'ruf), musyawarah (ash-syura),

sehingga produk bertentangan dengan penafsiran ini. Penafsiran

ini dianggap tidak tepat, terutama bila diterapkan pada situasi

saat ini, karena situasi dan kondisi jelas sangat berbeda

dengan masa lalu. Pada hakikatnya, spesies feminis hukum

Islam telah ada sejak lama, namun bentuknya masih sangat

sederhana. Dengan kata lain, kita hanya mengelompokkan dan

mengklasifikasikan masalah- masalah perempuan dan

tanggungan mereka yang diharamkan, yaitu masalah ibadah,

baik Muamara maupun Al-

60 Ibid., h. 62-70

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 48

ah wal al-syakhsiyah. Namun, dari perspektif gender dan

perspektif pertahanan rasional perempuan, ditegaskan bahwa

fiqh masih kering.

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat

disangkal karena mereka memiliki kualitas masing-masing.

Perbedaannya setidaknya bersifat biologis. Al-Qur'an

memperingatkan: Bagi laki-laki itu adalah bagian dari apa yang

mereka usahakan, dan bagi wanita itu adalah bagian dari apa

yang mereka usahakan dan memohon kepada Allah untuk

kebaikan-Nya. Allah mengetahui segalanya. Bagian

sebelumnya menunjukkan perbedaan, menunjukkan bahwa

masing-masing memiliki keahliannya sendiri. Namun, bagian

ini tidak menjelaskan apa bedanya dengan hak istimewa.

Namun, ternyata perbedaan yang ada tentunya karena fungsi

utama yang harus dijalankan masing-masing. Di sisi lain, dapat

dikatakan bahwa tidak ada perbedaan kecerdasan dan

kemampuan berpikir antara laki-laki dan perempuan. Al-

Qur'an memuji lagu pengantar tidur, yaitu lagu pengantar

tidur yang mengingat dan memikirkan peristiwa langit dan

bumi. Dzikir dan pikiran dapat membimbing manusia untuk

mengetahui rahasia alam semesta. Setelah Al-Qur'an

menjelaskan ciri-ciri Uluru Albab, ditegaskan bahwa "Tuhanmu

berfirman dan mengabulkan permintaanmu", jadi Lulu Albab

terbatas pada wanita dan juga pria. Di antaranya, laki-laki atau

perempuan. ") dari alam semesta ini.

The Women's Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa

gender adalah konsep budaya yang berusaha membedakan

antara peran, perilaku, spiritualitas, dan karakteristik

emosional laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam

masyarakat. Hillary M. Lips mendefinisikan gender sebagai

ekspektasi budaya perempuan dan laki-laki dalam bukunya

yang terkenal, Sex and Gender: An Introduction. Membicarakan

masalah gender berarti membicarakan masalah perempuan

dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat. Ada dua aliran

atau teori dalam debat gender, antara lain kesetaraan dan

keadilan gender, teori parenting dan teori alam. Namun,

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 49

dimungkinkan juga untuk mengembangkan dua konsep

teoretis, konsep teoretis yang diilhami keseimbangan yang

disebut teori kompromi atau keseimbangan..

a. Teori Nurture

Menurut teori parenting, perbedaan antara

perempuan dan laki-laki adalah hasil dari struktur

sosiokultural yang menimbulkan peran dan tugas yang

berbeda. Karena perbedaan tersebut, perempuan selalu

melupakan peran dan kontribusinya dalam kehidupan

keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Konstruksi sosial

menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kelas yang

berbeda. Laki-laki disamakan dengan borjuasi dan

perempuan disamakan dengan proletariat.

b. Teori Nature

Menurut teori alam, pembedaan antara laki-laki dan

perempuan adalah wajar dan harus diterima. Perbedaan

biologis memberikan tanda dan implikasi bahwa kedua

gender memiliki peran dan tugas yang berbeda. Beberapa

peran dan tugas dapat dipertukarkan, tetapi bukan karena

sifatnya yang berbeda. Dalam proses perkembangannya,

konsep parenting dianggap memiliki beberapa kelemahan

yang dianggap tidak membawa kedamaian dan

keharmonisan dalam kehidupan keluarga dan sosial:

ketidaksetaraan gender, jadi fokus pada teori alam.

Banyaknya ketimpangan gender dalam kehidupan yang

berbeda lebih banyak dialami oleh perempuan, namun

ketimpangan gender ini juga menimpa laki-laki.

c. Teori Equilibrium

Selain dua sekolah, ada kompromi yang disebut

keseimbangan. Hal ini menekankan pada konsep kemitraan

dan keselarasan dalam hubungan antara perempuan dan

laki-laki. Pandangan ini konsisten antara perempuan dan

laki-laki. Karena keduanya harus bekerja selaras dengan

kehidupan keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Untuk mewujudkan gagasan tersebut, kebijakan dan

strategi pembangunan harus memperhatikan kepentingan

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 50

dan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang.

Hubungan antara kedua elemen itu konsisten, tetapi saling

melengkapi. RH. Tony menyatakan bahwa keragaman peran

pada hakikatnya merupakan realitas kehidupan manusia,

baik oleh faktor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan,

maupun budaya. Hubungan antara laki-laki dan perempuan

tidak didasarkan pada konflik ganda atau berfungsi secara

struktural, tetapi masing-masing pihak memiliki kekuatan

dan kelemahan, sehingga perlu adanya serikat pekerja

untuk membangun persatuan yang harmonis berdasarkan

gender. Pihak lain perlu dilengkapi dan dilengkapi. Bekerja

sama dengan kesetaraan.

Oleh karena itu untuk memahami sistem

perkawinan masyarakat adat Lampung Sebatin perlu

penelaahan secara mendalam tentang sistem perkawinan

masyarakat adat Lampung Sebatin Baik hak dan kewajiban

suami istri, hubungan anak, harta benda, dan kekuasaan

waris. Pola-pola tersebut dibahas dan dikritisi oleh teori

yang dikemukakan, baik atas dasar teori maupun landasan

teori dalam kerangka pemikiran.

Kontribusi dan kritik yang baik merupakan langkah

terpenting dalam memahami praktik perkawinan

masyarakat adat Sebatin, yang sangat diperlukan untuk

membebaskan mereka yang berada dalam dilema sistem

perkawinan adat Sebatin. Sistem perkawinan lebih dinamis

dan dapat dikaitkan dengan hukum Islam dan hukum

perkawinan yang berlaku di Indonesia. Untuk itu,

mengungkap praktik perkawinan masyarakat adat Sebatin

memerlukan analisis yang serius dan beberapa pendekatan

yang relevan.

K. Metode Penelitian.

1. Jenis dan Pendekatan Penelitin

a. Jenis Penelitian.

Tujuan utama penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dan

tujuan utamanya adalah memfokuskan dan memahami

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 51

gambaran keseluruhan dari fenomena yang diteliti,

daripada mengubah fenomena dan fenomena sosial menjadi

variabel yang saling terkait. Diharapkan dapat memahami

fenomena secara mendalam dan membuat teori. Penulis

menggunakan setidaknya delapan jenis penelitian kualitatif:

studi kasus, studi dokumen/teks, observasi alam,

wawancara terfokus, grounded theory, dan studi sejarah.

b. Pendekatan Penelitian

Studi lapangan yang berfokus pada data sistem perkawinan

adat Lampung Sebatin ini mengambil pendekatan hukum,

sosiologis, filosofis dan historis.

1) Pendekatan Yuridis

Pendekatan yuridis/hukum adalah “pendekatan

penelitian berdasarkan hukum. Pemahaman akan suatu

peristiwa melalui pendekatan hukum yang berlaku di

Indonesia. Peneliti sendiri melihat, menelaah teori-teori

hukum yang ada lalu menganalisanya dengan kenyataan

dilapangan tentang sistem perkawinan Masyarakat adat

Lampung Sebatin.

2) Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis adalah suatu ilmu yang

menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap

dengan struktur, lapisan serta gejala sosial lainnya yang

saling berkaitan. Dengan demikian penelitian yang

peneliti lakukan ini sangatlah tepat menggunakan

pendekatan sosiologi sehingga praktek perkawinan

Masyarakat adat Lampung Sebatin serta konstruksinya

dalam perspektif pemahaman Hukum Islam dapat

difahami dengan mudah, karena sistem perkawinan

Masyarakat adat Lampung Sebatin dilaksanakan untuk

kepentingan sosial.61

3) Pendekatan Antropologis

Secara terminologi, antropologi diartikan sebagai ilmu

tentang manusia, khususnya asal-usul, aneka warna

61 Michael S. Northcott dalam Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama,

(Yogyakarta: PT LKIS, 2009), h. 271-273

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 52

bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaanya pada masa

lampau.62 Edward Taylor mendefiniskan antropologi

sebagai hasil prilaku yang pada gilirannya akan

mengakumulasikan dan dapat mentransmisikan

pengetahuannya. Dengan demikian pendekatan

antropologis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah

sudut pandang atau cara melihat (paradigma) melakukan

sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan

menggunakan kebudayaan dari gejala yang dikaji itu

sebagai acuan dalam melihat, meperlakukan dan

menelitinya. Pendekatan antropologis63 dalam

memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu

upaya memahami agama dengan cara melihat wujud

praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat.

4) Pendekatan Filosofis

Pendekatan filosofis merupakan suatu proses

rasional, dan proses rasional suatu hal yang menunjukan

fakta bahwa akal memainkan peran pundamental dalam

merefreksikan pengalaman dan keyakinan keagamaan

dalam suatu tradisi. Bagian dari proses refreksi itu

melibatkan peninjauan secara terbuka terhadap bahasa,

doktrin, simbol-simbol, model-model yang terdapat dan

digunakan dalam tradisi. Kemudian menunjukan fakta

bahwa dalam menguraikan tradisi itu harus

menggunakan akal sehat agar dapat memproduksi

argument-argumen yang dapat membuat klaim-kalim

yang benar.

Pendekatan filosofis penting dilakukan karena

peneliti berkeinginan untuk mengungkap pelaku praktek

perkawinan masyarakat adat Lampung dengan seluasnya

sampai titik maksimal dari daya tangkapnya, dengan

62 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai

Pustaka, 1995), h.50 63 Selanjutnya Pendekatan Antropologi dalam tulisan ini lebih dititik beratkan pada masalah

budaya. Karena demikian luasnya wilayah kebudayaan, studi antropologi dispesialisasikan kedalam

beberapa disiplin ilmu seperti antropologi budaya, antropologi sosial, antropologi visi

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 53

demikian peneliti mendapatkan makna, hikmah, nilai,

hakikat atau inti dari perkawinan Masyarakat adat

Lampung Sebatin, sehingga dapat dimengerti dan

dipahami secara seksama serta merasakan hikmah nilai

perkawinan Masyarakat adat Lampung Sebatin.

Pemakaian pendekatan filosfis dalam penelitian

sebab peneliti akan mengungkap seberapa dalam

dimensi intelektual yang dimilik dalam praktek

perkawinan Masyarakat adat Lampung Sebatin,

ungkapan ini dimaksudkan untuk menunjukan bahwa

akal dan rasionalitas berperan dalam pembentukan

keyakinan Masyarakat adat Lampung Sebatin sehingga

apa yang dilakoni bisa dianalaisis secara perspektif

tujuan perundang-undangan’

5) Pendekatan Historis

Historis merupakan suatu ilmu yang membahas

berbagai peristiwa dengan menggunakan unsur-unsur

tempat, waktu, objek, latar belakang dan prilaku

peristiwa tersebut. Pendekatan historis merupakan salah

satu upaya memahami peristiwa dengan penyelidikan

sistematis dari sejarah objek penelitian yang bertugas

mengklasifikasikan dan menelompokkan, menurut cara

tertentu, sejumlah data yang tersebar luas sehingga

suatu pandangan menyeluruh dapat diperoleh dari objek

penelitian tersebut dan isi makna yang dikandungnya.64

Sebab kehidupan terikat akan dimensi waktu, masa lalu,

masa sekarang dan masa yang akan datang. Masa lalu

bisa menjadi modal untuk meraih sukses masa depan

atau sebaliknya. Manusia adalah produk dari masa lalu

dan berkembang secara dinamis dan

”berkesinambungan.

2. Tempat Penelitian.

Survei ini dilakukan di antara masyarakat adat Lampung

Sebatin di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung.

64 Adeng Muhktar Ghazali, Ilmu Studi Agama (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), h. 74

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 54

3. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data.

Tipe data adalah tempat data diambil. Dalam survei

ini, data yang digunakan terdiri dari dua jenis data, yaitu:

1) Data Skunder.

Data sekunder merupakan data yang sudah tercatat

dalam buku atau pun suatu laporan namun dapat juga

merupakan hasil dari hasil labolatorium.

2) Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari

hasil survei lapangan (field survey) mengenai tujuan

survei yang dilakukan melalui observasi dan wawancara

dengan pakar.

b. Sumber Data

Sumber Data Sekunder terdiri dari :

1) Bahan Hukum Primer.

Bahan hukum primer bersumber dari:

a) Sumber hukum utama adalah komposisi hukum Islam,

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, dan buku-buku tentang Fikh dan

Hukum Islam.

b) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang

menjelaskan tentang bahan hukum primer. Yaitu,

suatu bentuk pengumpulan data melalui buku-buku

kepustakaan, jurnal hukum, teori-teori opini yang

berkaitan erat dengan pertanyaan yang diteliti, dan

wawancara.

c) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang

memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder, seperti kamus (hukum),

ensiklopedia, dan indeks kumulatif.65”

65 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, cetakan ke-12,

h. 113

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 55

4. Populasi dan Sampel

1) Populasi

“Populasi” adalah keseluruhan topik penelitian. Jika

seseorang ingin menyelidiki semua faktor yang ada di

wilayah studinya, maka penelitian itu adalah sensus atau

sensus atau sensus. Di sisi lain, menurut Sugishirono, ide

populasi adalah suatu wilayah generalisasi yang terdiri dari

objek/subyek dengan ciri dan karakteristik tertentu yang

peneliti telah putuskan untuk dipelajari dan ditarik

kesimpulannya.66

Subyek survei ini adalah masyarakat adat Lampung

Sebatin yang diwakili oleh berbagai tokoh adat dan agama

di Kabupaten Pesawaran.

2) Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi subjek

penelitian, dan tentunya populasi tersebut dapat

direpresentasikan secara representatif. Jika populasinya

besar dan peneliti tidak dapat mempelajari seluruh

populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga, dan

waktu, maka peneliti akan mengambil sampel dari populasi

tersebut. Dari sampel, kesimpulan diterapkan pada

populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus

benar-benar representatif. Ada empat parameter yang

dapat dipertimbangkan untuk menentukan keterwakilan

sampel:

a) Variabilitas populasi

b) Besar sampel

c) Teknik penentuan sampel

d) Kecermatan memasukkan ciri-ciri populasi dalam

sampel.

Pada penelitian ini yang menjadi sample adalah

terdiri dari Mustika Mustika Bahrum, SE, MM adok Sutan

Pengayom Makhga, dengan M. Tabrani, Adok Sutan

Pusaka Agung pangikhan makhga Way Khatai, Risodar.

66 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Cv. Afabeta, Bandung:

2011, h. 80

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 56

AH, Adok Khaja Pengulihan, tokoh adat Marga Way Lima,

Drs. Lahmudir Kadir, Kepala sekeretariat Majlis

Penyimbang Adat Lampung Kabuapten Pesawaran, Rudi

Irawan, SH, adok Khadin Berlian, Penyimbang adat

Marga Punduh.

5. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

a) Prosedur Pengumpulan Data.

(1) Studi Kepustakaan (library research)

Studi pustaka yakni dengan mengkaji jurnal, hasil

penelitian hukum, dan literatur dari beberapa buku

yang berhubungan dengan permasalahan penulisan

skripsi ini. Menjabarkan dan mengutip intisari dari

bahan hukum tersebut untuk kemudian dapat

dituangkan dalam penulisan ini.

(2) Studi lapangan (field research)

Data primer diperoleh melalui studi lapangan (field

research) dengan Wawancara (Interview) yaitu

Diterbitkan sebagai pedoman, kami mengumpulkan

data dengan melakukan wawancara langsung

menggunakan daftar pertanyaan yang dapat Anda buat

selama survei.

(3) Studi Observasi atau Pengamatan

Pengamatan atau observasi merupakan kegiatan yang

dilakukan makhluk cerdas, untuk memproses atau

objek dengan maksud untuk merasakan dan kemudian

memahami pengetahuan dari sebuah fenomena

berdasarkan pengetahuan dan ide-ide yang sudah

diketahui terlebih dahulu, untuk mendapatkan

informasi yang diperlukan untuk melanjutkan dengan

investigasi.

Para peneliti melakukan observasi di tempat,

mengamati dan berinteraksi dengan keluarga mereka.

Oleh karena itu, peneliti dapat secara langsung, bebas

dan cermat mengamati praktik perkawinan masyarakat

adat Lampung Sebatin dan makna filosofisnya, serta

menganalisis bagaimana struktur perkawinan

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 57

masyarakat adat Lampung Sebatin meningkat. Peneliti

observasional melakukan ini dengan serangkaian cara

yang dapat diperkirakan untuk mengetahui gerakan

dan perilaku. dan hal lainnya yang berhubungan

dengan keluarga masyarakat adat Lampung Sebatin,

dengan harapan mendapatkan informasi lai tentang

praktek perkawinan masyarakat adat Lampung Sebatin.

b) Pengolahan Data

Penelitian yang berjudul Praktek Perkawinan Adat di

Lampung Sebatin mengolah data melalui teknik deskripsi

analitis. Di sana, peneliti menggambarkan dan mempelajari

masalah masyarakat mengenai perilaku, situasi tertentu,

hubungan aktivitas, sikap, visi, dan proses yang terjadi. Dan

akibat dari fenomena tersebut.

Perspektif waktu dalam penelitian ini adalah masa lampau

untuk melihat perjalanan sejarahnya, dan kini setidaknya

merupakan masa yang masih ada dalam ingatan orang-

orang yang diteliti.

6. Analisis Data

Kajian terhadap praktik perkawinan masyarakat adat

Lampung Sebatin dilakukan dengan menggunakan paradigma

kualitatif sehingga dapat dimaknai sebagai kajian terhadap apa

yang dilihat. Prosedur analisis data mengacu pada analisis data

penelitian fenomenologis.

Langkah-langkah analisis data yang dilaporkan di atas

terintegrasi, saling berhubungan, dan dilakukan secara

berkesinambungan dari perumusan masalah ke lapangan

sebelum turun ke lapangan, menyusun, mengelompokkan,

menganalisis, dan menafsirkan data, dll. Konversikan ke

elemen. Mudah dimengerti. Pahami dari awal hingga akhir

survei.

Adapun langkah-langkah yang peneliti lakukan untuk

menganalisis data dari penelitian ini dapat dengan mudah

dijelaskan sebagai berikut:

a) Peneliti mengorganisasikan semua data atau semua

masalah yang berkaitan dengan praktik perkawinan adat

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 58

Lampung Sebatin yang telah mereka kumpulkan dan

membuat beberapa catatan tentang data-data yang mereka

anggap penting.

b) Menemukan dan mengklasifikasikan makna dari

pernyataan-pernyataan yang dirasakan melalui kerukunan

oleh pengurus perkawinan adat Lampung Sebatin. Artinya,

setiap pernyataan awalnya memiliki nilai yang sama.

Pernyataan non-topik dan penyesalan atau pertanyaan

rangkap dihilangkan, hanya menyisakan cakrawala makna

teks dan elemen pembentuk atau konstruktif dari fenomena

yang tidak mengalami penyimpangan.

c) Para peneliti telah menempatkan pernyataan-pernyataan

tersebut ke dalam unit-unit makna dan menuliskan

penjelasan tentang apa sebenarnya praktik pernikahan

orang Indian Lampung Sebatin itu. Untuk mengetahui

esensi dari fenomena tersebut, buatlah gambaran umum

tentang fenomena tersebut. Pengembangan lanjutan

deskripsi tekstur (menjelaskan bagaimana fenomena itu

terjadi)

d) Anda dapat menjelaskan esensi dari fenomena yang sedang

diselidiki, memahami makna pengalaman kriminal

sehubungan dengan fenomena tersebut, dan

mengungkapkan laporan hasilnya dalam laporan

pengalaman tertulis. Kerangka analisis ini diharapkan dapat

digunakan untuk mengelaborasi manipulasi analisis peran

aktor sosial dalam praktik perkawinan adat Lampung

Sebatin. Menurut Agus Salim, cara aktor sosial memainkan

perannya adalah menjelaskan di mana mereka tinggal,

mengalami masalah, memilih opsi, dan membuat pilihannya

secara konsisten. Karena Anda bisa.

Keberadaan promotor dan ko-promotor sangat penting

dan sangat penting karena dapat dipastikan hasil penelitian ini

dapat ditingkatkan. Sponsor dan co-sponsor dijamin untuk

memberikan penilaian tidak langsung tentang transferabilitas,

keandalan, dan keterverifikasian melalui proses orientasi

intensif. "

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 59

A. Sistematika Penulisan

Untuk mencapai tujuan penelitian, penulisan risalah ini

secara sistematis dibagi menjadi lima bab dalam sistem penulisan

sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan Bab ini menjelaskan tentang latar

belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistem penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka, bab ini memaparkan tinjauan

perkawinan menurut hukum Islam, hukum adat, dan hukum

positif Indonesia..

Bab III. Menguraikan Aspek Yuridis, Sosiologis Dan

Ekonomis Pada Praktek Perkawinan Adat Lampung Sebatin.

Bab IV. Historitas dan sistem perkawinan masyarakat adat,

pada bab ini dijelaskan mengenai deskripsi wilayah penelitian,

deskripsi masyarakat adat Lampung Sebatin dan masalah

kekerabatan dalam Islam dan masyarakat adat Lampung Sebatin

Bab V Sebagai hasil penelitian dan pembahasan, bab ini

menganalisis praktik perkawinan adat Lampung Sebatin dari

perspektif hukum positif Indonesia.

Bab VI. Kesimpulan dan Rekomendasi, bab ini berisi bab

kesimpulan yang melengkapi kesimpulan dan rekomendasi dari

risalah.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 60

BAB II

PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM,

HUKUM ADAT DAN HUKUM POSITIF

DI INDONESIA

A. Perkawinan Menurut Hukum Islam

1. Pengertian dan Dasar Hukum

Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut

bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis;

melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.1 Perkawinan

disebut juga “pernikahan”, berasal dari nikah (حاكن) yang

menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan,

dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah”

sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus),

juga untuk arti akad nikah.2

Menurut istilah hukum Islam, pernikahan adalah akad

yang ditetapkan syara‟ untuk membolehkan bersenang-

senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan

bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.

Pernikahan mempunyai peranan penting bagi manusia dalam

hidup dan perkembangannya. Untuk itu Allah Swt melalui

utusan-Nya memberikan suatu tuntunan mengenai

pernikahan ini sebagai dasar hukum. Adapun dasar hukum

perkawinan dalam Islam adalah firman Allah Swt dalam Al-

Qur’an surat Ar-Ruum ayat 21: 3

1 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), cet. Ke-4, h. 456 2 Abdul Rahman Ghazali M.A, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. Ke-3, h. 7 3 Departemen Agama R.I, Al Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar, 2004), h. 523

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 61

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum: 21).

Ayat di atas menjelaskan bahwasanya tujuan

pernikahan adalah untuk menciptakan rumah tangga yang

rukun, penuh cinta dan kasih sayang (sakinah, mawaddah wa

rahmah). Kehidupan seperti ini merupakan kebutuhan yang

telah menjadi fitrah atau naluri setiap manusia. Hal tersebut

bisa diperoleh apabila pasangan (suami isteri) bisa

menjalankan kehidupan rumah tangga sesuai dengan ajaran

yang telah disyari’atkan dalam agama Islam.

Selain ayat Al-Qur’an, adapun hadits-hadits Nabi yang

berisi anjuran anjuran untuk menikah yaitu:

“Dari Anas bin Malik r.a, bahwa Nabi SAW memuji Allah SWT

dan menyanjung-Nya. Kemudian beliau bersabda: “ Akan tetapi

aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku makan dan aku pun

mengawini perempuan. Maka barang siapa yang tidak suka

akan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari

Muslim)4

Berdasarkan dalil-dalil yang menjadi dasar hukum

disyari’atkannya perkawinan tersebut di atas, maka bisa

ditegaskan hukum asal perkawinan adalah mubah (boleh).

Namun berdasarkan ’illat-nya atau dilihat dari segi kondisinya,

maka perkawinan tersebut dapat berubah hukumnya menjadi

wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah.

Nikah itu akan berubah hukumnya menjadi wajib,

apabila seseorang dipandang telah mampu benar mendirikan

rumah tangga, sanggup memenuhi kebutuhan dan mengurus

kehidupan keluarganya, telah matang betul pertumbuhan

4 Az-Zabidi, Imam, Ringkasan Hadits Sahih Al-Bukhari, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002),cet.1.

h. 429

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 62

rohani dan jasmaninya. Dalam keadaan seperti ini, ia wajib

melaksanakan perkawinan, sebab kalau ia tidak kawin ia akan

cenderung berbuat dosa (zina).

Nikah dapat berubah hukumnya menjadi anjuran atau

sunah, kalau dilakukan oleh seseorang yang pertumbuhan

rohani dan jasmaninya dianggap telah wajar benar untuk

hidup berumah tangga. Kalau ia kawin dalam keadaan yang

demikian, ia akan mendapat pahala dan kalau ia belum mau

berumah tangga, asal mampu menjaga dirinya ia tidak berdosa.

Nikah berubah hukumnya menjadi makruh bila

dilakukan oleh orang-orang yang relatif maka (belum cukup

umur), belum mampu menafkahi dan mengurus rumah tangga.

Kalau orang kawin juga dalam usia demikian, ia akan

membawa sengsara bagi hidup dan kehidupan keluarganya.

Memang, dalam keadaan ini, ia tidak berdosa dalam

melaksanakan perkawinan, tetapi perbuatannya dapat

dikelompokan ke dalam kategori perbuatan tercela.

Hukumnya berubah menjadi haram kalau dilakukan

oleh seorang laki-laki dengan maksud menganiaya wanita atau

calon isterinya.

Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai

kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak

melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila ia

melakukan perkawinan, ia tidak menelantarkan isterinya.

Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena

perkawinan sebagai suatu lembaga mempunyai banyak segi

dan dapat dilihat dari berbagai sudut pandangan, misalnya dari

sudut pandang agama, hukum masyarakat, dan sebagainya.

Jika dipandang dari segi ajaran agama dan hukum Islam

perkawinan adalah suatu lembaga yang“suci.

2. Prinsip-Prinsip Perkawinan

Perkawinan atau pernikahan dalam fikih berbahasa

Arab disebut dengan dua kata, yaitu “nikâh dan zawâj.

Menurut fikih, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang

paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 63

sempurna. Pendapat-pendapat tentang pengertian

perkawinan antara lain adalah:

a. Menurut HaNabilah: nikah adalah akad yang menggunakan

lafadz nikah yang bermakna tajwīz dengan maksud

mengambil manfaat untuk bersenang-senang.5

b. Menurut Sajuti Thalib: perkawinan adalah suatu perjanjian

yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni,

kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.6

c. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum

Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang

sangat kuat untuk menaati perintah Allah, dan

melaksanakannya merupakan ibadah.7

Hukum Perkawinan dalam agama Islam mempunyai

kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu peraturan-

peraturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan

dengan jelas dan terperinci.8 Hukum Perkawinan Islam pada

dasarnya tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan

perkawinan saja, melainkan juga segala persoalan yang erat

hubungannya dengan perkawinan, misalnya: hak-hak dan

kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam

perkawinan, cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya

hidup yang harus diadakan sesudah putusnya perkwinan,

Pemeliharaan.

Prinsip-prinsip dalam perkawinan antara Lain :

a. Prinsip-prinsip Perkawinan menurut UU Perkawinan

nomor 1 tahun 1974

5 Abdurrahman Al-Jaziri,. Kitab „alâ Mazâhib al-Arba‟ah. (Beirut Libanon: Dâr Ihyâ al-Turats

al-„Arabi. 1986), h. 3 6 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara. 1996), h. 2 7 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 7 8 M Erfan Riadi, „Kedudukan Fatwa Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum Positif (Analisis

Yuridis Normatif)‟, Ulumuddin, 7.1 (2013).

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 64

1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling

membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat

mengembangkan pribadinya, membantu dalam

mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

2) Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu

perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus

dicatat menurut perturan perundang-undangan yang

belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama

halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting

dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran,

kematian yang dinyatakan dalam surat-surat

keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam

daftar pencatatan.

3) Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya

apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena

hukum dan agama dari yang bersangkutan

mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari

seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami

dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu

dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya

dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan

tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.

4) Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai

istri itu harus siap jiwa raganya untuk dapat

melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat

mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa

berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan

yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya

perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah

umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan

dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem

lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah

terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 65

masih di bawah umur. Sebab batas umur yang lebuh

rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan

laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan

dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan

dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini

menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria

maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16

tahun bagi wanita.

5) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka

Undang-Undang ini menganut prinsip untuk

mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin

perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (Pasal 19

Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus

dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang

Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.

6) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak

dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah

tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat,

sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam

keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama

suami istri.

b. Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam

Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip

dalam perkawinan, yaitu:

1) Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak

yang mengadakan perkawinan. Caranyanya adalah

diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk

mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk

melaksanakan perkawinan atau tidak.

2) Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria,

sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan

antara pria dan wanita yang harus diindahkan.

3) Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi

persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang

menyangkut kedua belah pihak maupun yang

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 66

berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu

sendiri.

4) Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk

satu keluarga atau rumah tangga tentram, damai, dan

kekal untuk selam-lamanya.

5) Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam

rumah tangga, di mana tanggung jawab pimpinan

keluarga ada pada suami.

Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan

menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang

Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada

perbedaan yang prinsipil atau mendasar.”

3. Tujuan Perkawinan

a. Adapun prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut

Undang-undang Perkawinan, disebutkan didalam

penjelasan umumnya sebagai berikut:

1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling

membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat

mengembangkan pribadinya, membantu dalam

mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

2) Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu

perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat

menurut perturan perundang-undangan yang belaku,

pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya

denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam

kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang

dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte

resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

3) Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya

apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena

hukum dan agama dari yang bersangkutan

mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 67

seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami

dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu

dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya

dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan

tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.

4) Undang-udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai

istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat

melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat

mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa

berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan

yang baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya

perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah

umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan

dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem

lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah

terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang

masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh

rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan

laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan

dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan

dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini

menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria

maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16

tahun bagi wanita.

5) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka

Undang-Undang ini menganut prinsip untuk

mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin

perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (Pasal 19

Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus

dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang

Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.

6) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak

dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah

tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat,

sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 68

keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama

suami istri.9

Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam

perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-

Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak

ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.

4. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan

hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya

perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut

mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya

merupakan sesuatu yang harus diadakan.10 Dalam suatu acara

perkawinan rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Dalam

arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak

lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi

bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat

dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya.

Sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan

tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan

dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap

unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri

dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.11

a. Rukun Nikah

Rukun nikah adalah sebagai berikut:

1) Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang

dan terlarang secara syar’i untuk menikah.

2) Adanya ījab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau

yang menggantikan posisi wali.

3) Adanya qabûl, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami

atau yang mewakilinya.

9 Budhy Prianto, Nawang Warsi Wulandari, and Agustin Rahmawati, „Rendahnya Komitmen

Dalam Perkawinan Sebagai Sebab Perceraian‟, Komunitas: International Journal of Indonesian Society

and Culture, 5.2 (2013). 10 Umi Khusnul Khatimah, „Hubungan Seksual Suami-Istri Dalam Perspektif Gender Dan

Hukum Islam‟, 2016. 11 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-

Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 59

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 69

4) Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu

menikah atau orang yang melakukan janji nikah dengan

pengantin laki-laki.

5) Dua orang saksi, adalah orang yang menyaksikan sah

atau tidaknya suatu pernikahan. Hadits Jabir bin

Abdullah Radhiyallahu Anhuma: Tidak ada nikah kecuali

dengan adanya wali dan dua saksi yang adil. (HR. al-

Khamsah kecuali an-Nasâ`i).12

b. Syarat Nikah

Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai

tersebut adalah:13

1) Syarat bagi calon mempelai pria antara lain beragama

Islam, laki laki, jelas orangnya, cakap bertindak hukum

untuk hidup berumah tangga, tidak terdapat halangan

perkawinan.

2) Bagi calon mempelai wanita antara lain beragama Islam,

perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuan,

tidak terdapat halangan perkawinan.

3) Bagi wali dari calon mempelai wanita antara lain: laki-

laki, beragama Islam, mempunyai hak perwaliannya,

tidak terdapat halangan untuk menjadi wali.

4) Syarat saksi nikah antara lain minimal dua orang saksi,

menghadiri ījab qabûl, dapat mengerti maksud akad,

beragama Islam dan dewasa.

5) Syarat-syarat ījab qabûl yaitu:

a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;

b) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai

pria;

c) Memakai kata-kata nikah atau semacamnya;

d) Antara ījab dan qabûl bersambungan;

e) Antara ījab dan qabûl jelas maksudnya;

f) Orang yang terkait dengan ījab tidak sedang

melaksanakan ikhram haji atau umrah;

12 Muhammad Amin Sayyad, „Urgensi Pencatatan Nikah Sebagai Rukun Nikah (Studi Kritis

Pemikiran Siti Musdah Mulia Dan Khoiruddin Nasution)‟, El-Mashlahah, 8.1 (2018). 13 Zainuddin Ali, Hukum Perdata …, h. 12

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 70

g) Majelis ījab dan qabûl itu harus dihadiri oleh minimal

empat orang, yaitu calon mempelai pria atau yang

mewakilinya, wali mempelai wanita atau yang

mewakilinya, dan dua orang saksi.

Sesudah pelaksanaan akad nikah, kedua

mempelai menandatangani akta perkawinan yang

telah disiapkan oleh pegawai pencatat nikah

berdasarkan ketentuan yang berlaku, diteruskan kepada

kedua saksi dan wali. Dengan penandatanganan akta

nikah dimaksud, perkawinan telah dicatat secara resmi

dan mempunyai kekuatan hukum. Akad nikah yang

demikian disebut sah atau tidak sah dapat dibatalkan

oleh pihak lain.

c. Mahar Dalam Perkawinan

1) Ketentuan teoritis tentang mahar dalam perkawinan.

Di kalangan ulama, di samping perkataan mahar

juga digunakan istilah lain, yakni “shadaqah, nihlah, dan

farīdhah” yang maksudnya adalah mahar. Dengan

pengertian etimologis tersebut, istilah mahar merupakan

pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki

kepada mempelai perempuan yang hukumnya wajib,

tetapi tidak ditentukan bentuk dan jenisnya, besar dan

kecilnya dalam Al-Qur’an ataupun al-hadis.14

Menurut Anderson, sejak jaman pra-Islam (arab

jahiliyah) telah ada berbagai macam corak perkawinan

patrilineal dan patrilokal, matrilineal dan, matrilokal,

hingga perkawinan temporer untuk sekedar bersenang-

senang (perkawinan mut’ah). Bentuk perkawinan

terhormat di masa itu yaitu perkawinan patrilineal

dimana pengantin pria membayar sejumlah uang (mahar)

kepada atau calon pengantin wanitanya.15

Dalam perkembangan berikutnya, mahar

berevolusi dan berkembang menjadi alat yang

14 Juhaya S. Pradja,M.A, perkawinan perceraian keluarga muslim, (Pustaka Setia, 2013), h. 69 15 John Anderson. Hukum Islam di dunia modern, alih bahasa machrun husein, (Surabaya:

Amarpress, 1990), h. 48

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 69

diharuskan untuk dibayar kepada keluarga pengantin

wanita sebagai imbalan atas hilangnya fungsi ekonomi

calon istri dan sebagai sarana untuk menciptakan

kestabilan ikatan dan hubungan di antara kedua keluarga

yang saling bermenantu. Dengan demikian, sebelum

datangnya Islam istilah mahar sudah digunakan dan

berfungsi sebagai fungsi ekonomi keluarga pihak wanita.

Kutipan di atas menegaskan adalah di jaman pra

Islam adalah apabila pria memberikan mahar atau

sejumlah uang pada saat perkawinan. Perkawinan

tersebut adalah bentuk perkawinan terhormat.

Mahar dalam hukum Islam, merupakan salah satu

ciri khas hukum perkawinan Islam, pemberian mahar

pada masa dulunya sangat berkaitan dengan kondisi

perempuan yang tidak memiliki hak dan kebebasan,

sehingga pemberian mahar pun dengan sendirinya

diperuntukan bagi wali si perempuan, sebagai

kompensasi karena ia sudah membesarkan dan resiko

akan kehilangan peran yang dimainkan si anak nantinya

di rumah suaminya. Hal inilah yang menyebabkan mahar

ditafsirkan sebagai harga beli seorang perempuan dari

walinya. Dulu seorang perempun yang telah menikah

dengan seorang pria, maka ia menjadi hak milik penuh

suaminya.16 Karenanya, seorang suami memiliki

wewenang terhadap istrinya untuk menjadikannya apa

saja, termasuk berwenang penuh dalam hubungan

biologis dan menikahnya dengan pria lain serta segala

bentuk perbuatan lain yang berkonotasi merendahkan

perempuan.17

Perumusan di atas menegaskan bahwa zaman

peradaban dahulu perkawinan hanya untuk bersenang-

senang wanita tidak memiliki hak dan kebebasan di

dalam perkawinan tersebut setelah zaman berevolusi

16 Noryamin Aini, "Tradisi Mahar Di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar Dan Struktur Sosial

Di Masyarakat Muslim Indonesia", AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, 17.1 (2014). 17 Amir Syarifuddin, hukum perkawinan Islam di indonesia, (kencana,2006), h. 20

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 68

perkawinan pun berkembang menjadi ikatan yang suci

dan sakral.

Menurut Ibnu Qayyim adalah: istilah mahar

dengan shadâq tidak berbeda fungsinya jika yang

dimaksudkan merupakan pemberian sesuatu dari

mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dalam

sebuah perkawinan. Istilah mahar hanya digunakan

dalam hal selain perkawinan, karena istilahnya bersifat

umum, sebagaimana shadaqah wajib dan shadaqah

sunnah. Shadaqah wajib adalah membayar zakat dan

membayar mahar. Menurut Taqiyuddin: bahwa

penyebutan mahar hukumnya sunnat, jika tidak

disebutkan, nikahnya tetap sah dan suami wajib

membayar mahar mitsil. Menurut Sayyid Sabiq

mendefinisikan mahar dengan harta atau manfaat yang

wajib diberikan oleh seorang mempelai pria dengan

sebab nikah atau watha.18

Menurut Khoirudin Nasution kata nihlah pada

ayat di atas memberikan pengertian bahwa status dari

pemberian mahar dalam perkawinan adalah suatu

pemberian sukarela tanpa pamrih sebagai simbol cinta

dan kasih sayang dari calon suami kepada calon istrinya,

dan bukan sebagai uang pengganti untuk memiliki si

wanita dan untuk mendapatkan layanan karena pada

prinsipnya pasangan suami istri adalah pasangan yang

saling melayani dan dilayani. Sehingga diharapkan

dengan adanya status mahar seperti ini apa-apa yang

menjadi tujuan utama sebuah keluarga membentuk

keluarga yang sakinah mawaddah warahmah antara

suami dan istri dapat berwujud. Pendapat ini

memberikan pengertian bahwa mahar adalah bukan

kewajiban mutlak suami yang harus ada (rukun atau

syarat) dalam pernikahan.

18 Amir Syarifuddin , Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,(Kencana, 2006), h. 22

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 70

Khoiruduin Nasution juga menemukan bahwa

istilah mahar secara sosiologis merupakan produk sosial

pra Islam yang berfungsi sebagai uang ganti

(pembayaran) pemeliharaan kepada orang tua wanita

yang akan dinikahi. Ketentuan ini didasarkan pada

struktur masyarakat yang didominasi oleh keturunan laki-

laki, sedangkan perempuan adalah, bukan warga yang

penuh. Semua harus diatur berdasarkan keuntungan

keluarga, bukan kebebasan dan kehendak pasangan.

Terutama anak-anak dan wanita, dengan memberikan

mahar dan hak waris.19

Dari uraian di atas menegaskan yaitu mahar

adalah seperti alat tukar barang atau uang atau ganti

karena menurutnya pada masa itu masyarakat

didominasi oleh laki-laki, bukan kebebasan perempuan

untuk memilih pasangannya.

Pendapat ulama mahzab tersebut memuat

konsekuensi hukum yang tegas dan jelas, bahwa status

hukum mahar merupakan keniscayaan dalam nikah

sehingga adanya mahar di setiap akad pernikahan,

sedangkan pandangan Khoirudin mengenai mahar tidak

mempunyai konsekuensi hukum. Di satu sisi mahar

hanya sebuah lambang, di sisi lain merupakan hak yang

harus diterima oleh calon isteri.20

Dari beberapa teori di atas tentang mahar penulis

menyimpulkan bahwa mahar adalah pemberian wajib

dari seorang suami kepada istrinya apabila ia ingin

meminang sang wanita tersebut menjadi istrinya dan

istri berhak sepenuhnya atas mahar tersebut apabila

sudah terjadinya (qabla dhukûl)”

2) Pengertian dan dasar hukum Mahar

”Mahar merupakan salah satu hak pihak

mempelai wanita dan menjadi kewajiban pihak mempelai

19 Khoirudin nasution, “persoalan mahar dan perkawinan : studi konvensional dan kontemporer” dalam Hermenia, vol 1 no.2 Juli-Desember 2002, h. 275-276

20 Khoiruddin nasution, Islam Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan1) Cet.1 (Yogyakarta: Academia dan Tazafa , 2004), h. 168.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 71

laki-laki. Salah satu keistimewaan Islam ialah

memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita,

yaitu memberinya hak untuk memegang urusan dan

memiliki sesuatu. Di zaman jahiliyah, hak perempuan itu

dihilangkan dan disia-siakan sehingga walinya dengan

semena-mena dapat menggunakan hartanya dan tidak

memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya

serta menggunakannya. Islam datang membuka

belenggu ini. Pada setiap upacara perkawinan, hukum

Islam mewajibkan pihak laki-laki untuk memberikan

maskawin atau mahar. Pemberian ini dapat dilakukan

secara tunai atau cicilan yang berupa uang atau barang.

Mahar atau maskawin adalah nama bagi harta yang

harus diberikan kepada perempuan karena terjadinya

akad perkawinan. Istilah lain dalam fiqih terdapat

beberapa istilah yaitu shadâq, nihlah, dan mahar lebih

dikenal pada masyarakat terutama di Indonesia sehingga

istilah selain mahar bukan hanya jarang digunakan,

melainkan masih banyak orang yang belum memahami

maknanya.

Dasar hukum adanya mahar dalam perkawinan

terdiri atas dasar hukum yang diambil di dalam kompilsi

hukum Islam, Al-Qur’an dan dasar hukum dari as-

sunnah. Mahar menurut ajaran Islam, bukanlah

dimaksudkan sebagai harga, pengganti atau nilai tukar

bagi wanita (calon istri) yang akan dinikahi. Mahar

hanyalah sebagai bagian dari lambang atau tanda bukti

bahwa calon suami menaruh cinta terhadap calon istri

yang akan dinikahi.

Hukum Islam pun mengatur tentang mahar

dalam Pasal 30 kompilasi hukum Islam yang

menyebutkan yakni: “Bahwa calon mempelai pria wajib

membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang

jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah

pihak”. Perkawinan yang dalam akadnya tidak dinyatakan

kesedian untuk membayar mahar oleh pihak calon suami

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 72

kepada calon istrinya, Dalam Islam dinamakan tafwind.

Masyarakat Indonesia yang beragama Islam, banyak yang

belum menyadari bahwa membayar mahar atau mas

kawin adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan

dalam perkawinan.

نه واتوا الن ساء صدقتهن نحلة فان طبن لكم عن شيء م

ر ـا مـانفسا فكلوه هني

ي

Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar)

kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian

yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka

menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu

dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah

pemberian itu dengan senang hati.” (QS. An Nisa: 4).

Ayat Al-Qur’an di atas merupakan dasar hukum

yang kuat bahwa laki-laki wajib membayar mahar

perempuan yang hendak dinikahinya dengan ikhlas

agar hak perempuan sejak awal telah ditegakan. para

ulama sepakat bahwa mahar itu wajib diberikan oleh

suami kepada istrinya, baik kontan maupun dengan

cara tempo. Pembayaran mahar harus sesuai dengan

perjanjian yang terdapat dalam akad perkawinan, tidak

dibenarkan menguranginya. Jika suami menambahnya,

hal ituh lebih baik dan sebagai sedekah, yang dicatat

sebagai mahar secara mutlak yang jenis dan jumlahnya

sesuai akad nikah. Salah satu kebiasaan tertua yang

dilegalisasi oleh ajaran Islam adalah keharusan suami

membayar mahar kepada istriya, baik dibayar dengan

cara kontan maupun tidak kontan. Hak istri atas harta

mahar secara mutlak bukan hak suaminya. Oleh karena

itu suami menanggung beban tanggung jawab dengan

memikul kewajiban untuk membayarnya.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 73

Cara-cara pelaksanaan pembayaran mahar sebagai

berikut:

a) Mahar dibayar dengan cara kontan

b) Mahar dibayar dengan cara ditangguhkan sampai

batas waktu yang disepakati;

c) Mahar”dibayar dengan cara dicicil sampai lunas:

d) Mahar dibayar dengan cara pemberian uang muka,

sisanya dianggap atau sekaligus sesuai perjanjian.

Besarnya mahar tidak ditetapkan dalam syariat

Islam. Sehubungan dengan mahar merupakan hak

mempelai wanita, pihak mempelai wanita berhak

memilih dan menetukan maharnya. Wanita berhak

meminta mahar dalam jumlah yang besar atau kecil,

dan dia pun berhak mengembalikan segala sesuatu nya

kepada pihak mempelai laki-laki.21 Oleh karena itu,

pihak mempelai wanita berhak meminta mahar dalam

bentuk emas, rumah, tanah, mobil, dan sebagainya.

Hanya yang paling berkah adalah permintaan mahar

yang murah dan sederhana.

Selain dengan harta (materi), mahar juga boleh

dengan selain harta (inmateril) seperti dengan bacaan

(mengajarkan) Al-Qur’an dan keIslaman (masuk

Islamnya suami sebagai mahar). Bentuk mahar seperti

ini dibolehkan oleh agama. Dasarnya adalah perbuatan

Nabi SAW. Yang membolehkan seorang laki-laki

mengawini seorang wanita dengan maharnya

mengajarkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada calon istrinya.

Juga berdasarkan perbuatan Nabi Syu’aib as yang

menikahkan putrinya dengan Nabi musa as, firman

Allah swt. Dalam Al-Qur’an surat Al- Qasash ayat 27.

21 Hafidz al-Ghofiri, „Konsep Besarnya Mahar Dalam Pernikahan Menurut Imam As-Shafi‟i.‟

(IAIN Ponorogo, 2017).

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 74

ت

قال ان ي اريد ان انكحك احدى ابنتي هتين على ان

تأجرني ثمني حجج فان اتممت عشرا فمن عندك وما

لحين من الصه اريد ان اشق عليك ستجدني ان شاء للاه

Artinya: “Dia (syu’aib) berkata sesungguhnya aku

bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah

seorang dari kedua anak perempuanku ini dengan

ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan

tahun jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu

adalah (suatu kebaikan) darimu, dan aku tidak

bermaksud memberatkan engkau. insya allah engkau

akan mendapatiku termasuk orang baik.” (QS.ke-28 Al-

Qashash: 27)

Syariat Nabi sebelum Nabi Muhammad saw.

Dapat dijadikan syari’at bagi Nabi muhammad saw asal

tidak bertentangan dengan syari’at yang disampaikan

oleh Nabi Muhammad saw. Jenis mahar adalah sesuatu

yang dapat dimilki dan dapat dijadikan pengganti

(dapat ditukarkan), artinya jenis (bentuk) mahar

tersebut dapat ditukarkan dengan benda atau barang

lain yang berbeda manfaatnya. Mengenai bentuk mahar

dan jenisnya sebenarnya tidak ada ketentuan minimal

atau maksimalnya, yang terpenting segala sesuatu yang

bernilai atau bermanfaat dapat dijadikan mahar. Mahar

dapat berupa emas, misalnya cincin, gelang, kalung,

dan sejenisnya. Dapat pula berupa makanan, misalnya

kurma, gabah, dan buah-buah, yang terpenting

diterrima oleh pihak perempuan yang akan dinikahinya.

Sifat-sifat mahar termasuk pada jenis dan

bentuk mahar, yakni ada yang berbentuk benda dan

adapula yang bukan benda, melainkan manfaatnya

suatu jasa tertentu, sebagaiman al-Qur’an atau menjadi

buruh. Mahar yang dimaksudkan jenis dan bentuknya

jelas, sedangkan besar kecil dan sedikit atau banyaknya

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 75

tidak bersifat mutlak. Hal itu sangat bergantung pada

kesepakatan kedua belah pihak, terutama pihak

mempelai perempuan.

Jenis mahar dalam pernikahan harus diketahui

dan disebutkan sehingga pihak mempelai perempuan

mengetahuinya. Apabila tidak disebutkan jenisnya,

perkawinan tersebut sama dengan tidak membayar

mahar. Menurut Ibnu Rusyd: pihak mempelai laki-laki

harus mengeluarkan barang yang akan dijadikan mahar

atau menjelaskan manfaat pekerjaan yang menjadi

maharnya. Meskipun cara tersebut dipandang

mempersamakan perkawinan dengan jual beli. Dan

menurut Imam Malik: menyatakan bahwa mahar

merupakan penghargaan bagi perempuan yang akan

dinikahi. Dalam jual beli pun barangnya harus jelas

sehingga tidak terjadi spekulasi yang mengandung

unsur Gharar. Demikian pula dalam pernikahan,

maharnya tidak dibenarkan mengandung unsur

spekulasi atau gharar.

Adapun macam-macam mahar adalah:

1) Mahar musamma: adalah mahar yang telah

ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam sighat akad.

Mahar musamma ada dua macam yaitu mahar

musamma mu’ajjal yaitu mahar yang segera

diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya.

mahar musamma ghair mu’ajjal, yaitu mahar yang

pemberiannya ditangguhkan

2) Mahar mitsil: adalah mahar yang jumlahnya

ditetapkan menurut jumlah yang biasa diterima oleh

keluarga pihak istri, karena pada waktu akad nikah

jumlah mahar itu belum ditetapkan bentuknya.22

Dari rumusan di atas maka penulis

menyimpulkan bahwa laki-laki wajib membayar mahar

perempuan yang hendak dinikahinya dengan ikhlas

22 Putra Halomoan, "Penetapan Mahar Terhadap Kelangsungan Pernikahan Ditinjau Menurut

Hukum Islam", Juris (Jurnal Ilmiah Syariah), 14.2 (2016), h. 107–108.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 76

agar hak perempuan sejak awal telah ditegakkan.

Mahar itu wajib diberikan oleh suami kepada istrinya,

baik kontan maupun dengan cara tempo. Pembayaran

mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat

dalam akad perkawinan, tidak dibenarkan

menguranginya. Jika suami menambahnya, hal itu lebih

baik dan sebagai sedekah, yang dicatat sebagai mahar

secara mutlak yang jenis dan jumlahnya sesuai akad

nikah.

5. Kewajiban dan Hak Suami Istri

Apabila akad nikah telah berlangsung dan memenuhi

syarat rukunnya, maka menimbulkan akibat hukum. Dengan

demikian, akad tersebut menimbulkan juga hak serta

kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga.”

a. Kewajiban dan Hak Suami Istri

Jika suami sama-sama menjalankan tanggung

jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah

ketenteraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah

kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian,

tujuan hidup berkeluarga akan terwujud sesuai dengan

tuntunan agama, yaitu sakinah, mawaddah, dan rahmah.

1) Hak Bersama Suami Isteri

a) Suami dan istri dihalalkan mengadakan hubungan

seksual. Perbuatan ini merupakan kebutuhan suami

istri yang dihalalkan secara timbal balik. Suami istri

halal melakukan apa saja terhadap istrinya, demikian

pula bagi istri terhadap suaminya.

b) Haram melakukan pernikahan, artinya baik suami

maupun istri tidak boleh melakukan pernikahan

dengan saudaranya masing-masing.

c) Adanya ikatan pernikahan, kedua belah pihak saling

mewarisi apabila salah seorang di antara keduanya

telah meninggal meskipun belum bersetubuh.

d) Anak mempunyai nasab yang jelas.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 77

e) Kedua pihak wajiib bertingkah laku dengan baik

sehingga dapat melahirkan kemesraan dalam

kedamaian hidup.23

2) Kewajiban Suami Istri

Suami istri wajib saling mencintai, menghormati

dan menyayangi satu sama lain. Suami istri berkewajiban

saling memikul rumah tangga, baik dalam tingkah laku di

masyarakat dan memelihara anak-anaknya.

Kehidupan rumah tangga menjadi keluarga yang

harmonis akan tercapai apabila suami isteri

melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing

dengan baik. Karena keluarga adalah hubungan antar

dua orang (suami isteri), jadi satu sama lainnya harus

saling mejalani kewajibannya masing-masing.

b. Kewajiban dan Hak Suami Terhadap Isteri

1) Hak Suami Atas Isteri

Di antara beberapa hak suami terhadap istrinya, yang

paling pokok adalah:

a) Ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat;

b) Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami;

c) Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat

menyusahkan suami;

d) Tidak bermuka masam di hadapan suami; dan

e) Tidak menunjukkan keadaan yang tidak disenangi

suami.

Kewajiban taat kepada suami hanya dalam hal-hal

yang dibenarkan dalam agama, bukan dalam hal

kemaksiatan kepada Allah Swt. Jika suami

memerintahkan istri untuk berbuat maksiat, maka ia

harus menolaknya. Di antara ketaatan istri kepada suami

adalah tidak keluar rumah kecuali dengan izinnya.

23 Tihami, Dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap..., h. 154

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 78

2) Kewajiban Suami Terhadap Istri

Sebagai kepala rumah tangga, suami mempunyai

kewajiban-kewajiban terhadap isterinya, yaitu sebagai

berikut:

a) Membayar maskawin

b) Memberi nafkah

c) Menggauli isterinya dengan baik

d) Memberikan pengertian dan mengajarkan ilmu agama

terhadap isterinya

e) Menjaga isterinya dengan baik

f) Mendidik isteri sesuai ajaran agama Islam

g) Tidak menganiaya isteri.

Suami wajib memenuhi hak istri berupa materi dan

nonmateri sesuai dengan penghasilan (kemampuannya)

yaitu memberi nafkah lahir (sandang, pangan, dan papan)

dan batin. Hal tersebut bisa gugur apabila sang istri

nusyuz (durhaka). Sebagai kepala rumah tangga suami

wajib untuk memenuhi kewajibannya.

c. Kewajiban Istri Terhadap Suami

Selain suami yang mempunyai kewajiban terhadap

isteri, isteri juga mempunyai kewajiban tersendiri terhadap

suami yang harus dilaksanakan agar tercipatanya keluarga

yang harmonis, diantaranya:

1) Mematuhi suami

2) Taat kepada suami

3) Tidak durhaka (nusyuz) kepada suami

4) Memelihara kehormatan dan harta suami

5) Berhias untuk suami.

Pokok dari kewajiban seorang istri terhadap suami

adalah taat dan patuh terhadap suami dan mengatur rumah

tangga dengan baik dalam segala hal. Karena keharmonisan

atau kerukunan keluarga salah satunya yaitu antara suami

dan isteri mengetahui apa kewajibannya terhadap

pasangannya dan jangan hanya saling menuntut haknya

masing-masing. Jadi dengan kata lain, suami dan istri sama-

sama punya kewajiban.”

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 79

B. Perkawinan Menurut Hukum Adat.

1. Pengertian“Hukum Adat

Kata adat bersal dari bahasa arab (عدة) yang mengadung

arti تكرار atau perulangan, yaitu sesuatu yang baru dilakukan,

kata adat berasal dari kata urf yang sering diartikan dengan

sesuatau yang dikenal.24 Adapun ‘Urf atau adat menurut

Ulama’ Ushul Fiqih adalah:

Kebiasaan mayoritas suatu kaum baik dalam perkataan dan

perbuaatan”25

Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh Masyarakat

dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa

perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama’ Ushul

Fiqih Urf disebut adat (adat-adat kebiasaan) sekalian dalam

pengertian istilah tidak ada perbedaan antara urf dengan adat-

adat kebiasaan, kerena adat di samping telah dikenal

dikalangan masyarakat juga telah biasa dikerjkan dikalangan

mereka, sekakan-akan merupakan hukum tertulis, hingga ada

sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.26

Kandungan kata urf terdapat perbedaan yaitu dari segi

berulangkalinya suatu perbuatan yang dilakukan dan tidak

meliputi penilaian dari segi baik dan buruknya suatu perbutan.

Jadi kata adat berkonotasi netral, sehingga ada adat

baik dan adat buruk. Sedangkan kata urf digunakan

memandang kualitas perbuatan yang dilakukan, digunakan,

dengan memandang kualitas perbuatan yang diakui

Masyarakat luas. Dengan demikian kata urf mengandung

konotasi baik.27 Perbedaan yang prinsip kedua kata tersebut

sama pengertiannya yaitu suatu perbuatan yang telah

berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang

banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara

berulangkali.28

24 Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, (Jakarta Kencana Ilmu,1999), h. 362 25 Sidy Nasar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta Grapindo Persada,2003), h. 236 26 Ahmad Sanusi dkk, Ushul Fiqih, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada 2015), h. 15 27 Ibid., h.336 28 Tholip Stiady,Intisari Hukum Adat Indonesia, (Alfa Beta, Bandung, 2013), h. 221

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 80

Dalam sejarah perundangan di Indonesia antara istilah

adat dan kebiasaan dibedakan, sehingga hukum adat tidak

sama dengan hukum kebiasaan. Kebiasaan yang dibenarkan

dan diakui di dalam perundangan merupakan hukum

kebiasaan, sedangkan hukum adat adalah hukum kebiasaan di

luar perundangan.29

Masyarakat hukum adat sering juga disebut dengan

“Masyarakat tradisional ”the indigenaosprople”, sedangakan

dalam kehidupan sehari-hari lebih sering dan popular disebut

dengan istilah “Masyarakat adat”. Masyarakat hukum adat

ialah komunitas Masyarakat yang patuh peraturan atau hukum

yang mengtur tingkah laku Manusia dalam hubungannya satu

sama yang lainnya. Dari seluruh kebiasaan dan kesusilaan yang

benar-benar hidup karena diyakini dan dianut, dan jika

dilanggar pelakunya mendapatkan sanksi dari penguasa adat.30

Hukum adat merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu

“adat receht” nomen reegflatur ini pertama kali diperkenalkan

secara ilmiyah oleh Prof. Dr. C. Snouck Hukgroj Dalam

bukunya yang berjudul De Atjenhers, menyebutkan istilah

hukum adat sebagai adat recht yaitu untuk memberi nama

sustu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup

dalam Masyarakat Indonesia.31

Secara sosiologis, hukum dan juga hukum adat

merupakan bagian dari kebudayaan yang merupakan suatu

pedoman berperilaku yang memberikan patokan-patokan

yang harus dilakukan, yang dilarang dan yang diperbolehkan

untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Sistem nilai-nilai,

menghasilkan patokan-patokan bagi suatu proses pisikologis

yang berwujud sebagai pola-pola berpikir, yang menentukan

sikap manusia dan sikap membentuk norma-norma yang

kemudian mengatur perilaku Manusia.32 Suatu pendekatan

sosiologis yang bersifat Pragmentaris, yang artinya

29 Ibid., h. 337 30 Laksono Utomo, Hukum Adat, (Jakarta Rajawali Press, 2016), h. 1 31 Sariaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini,dan Akan Datang, (Jakarta, PT. Fajar

Interperatama Mandiri Kencana, 2014), h. 1 32 Ibid., h. 47

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 81

menganalisa gejala-gejala sosial dengan agak mengabaikan

konteks kebudayaan secara menyeluruh. Sebaliknya,

pendekatan antropologis lebih diarahakan kepada pola-pola

dicita-citakan dalam masyarakat dengan kadang mengabaikan

realitas sosialnya.33

Dalam isteraksi sosial, interaksi antara sesama manusia

yang dilakukan secara berulang-rulang akan memberi

pengaruh terhadap tingkah laku bagi yang lainya, sehingga

dalam prosesnya terjadilah sebuah hubungan sosial. Apabila

hubungan sosial dilakukan secara sistematis, maka hubungan

sosial tersebut akan menjadi sebuah sistem sosial.34 Soepomo

mengatakan bahwa sebagian ahli hukum adat memberikan

suatu rumusan mengenai pengertian tentang hukum adat

sebagai berikut:35

Pertama : Hukum non statutarir yaitu Hukum Adat yang

meliputi hukum yang berdasarkan keputusan

hakim yang berisi asas-asas dalam lingkungan

masyarakat di mana yang memutuskan suatu

perkara.

Kedua : Hukum adat tidak tertulis hukum adat ini dipakai

sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis di

dalam perturan legislatif “unstatutori law” yaitu

sebagai konversi di badan hukum Negara

“parlemen” yang dipertahankan di dalam

kehidupan Manusia.36

Dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum

itu mulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran

dan perilaku, sedangkan perilaku yang dilakukan secara terus-

menerus dapat menimbulkan kebiasaan. Apabila kebiasaan itu

dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat, lambat laun akan

menjadi bagian adat dari masyarakat tersebut.37 Dengan

33 Soejono Sukamto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Gerafindo Persada, 2001), h. 370 34 Ibid., h. 18 35 Ibid., h. 2 36 Soepomo, Hubungan Individu Dalam Hukum Adat, (Jakarta: Paradinya Paramita, 1993), h. 46 37 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,

1992), h. 17

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 82

demikian, hukum adat itu mempunyai sanksi, sedangkan

istilah adat yang tidak mempunyai sanksi adalah kebiasaan

normatif, yaitu kebiasaan yang berwujud aturan tingkah laku

yang berlaku di dalam masyarakat.38 Apabila kebiasaan itu

dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat, lambat laun akan

menjadi adat dari masyarakat tersebut. Lebih lanjut menurut

Hilman Hadikusuma bahwa Gewoonte Recht hukum kebiasaan

dan hukum adat itu sama artinya yaitu adat atau kebiasaan

yang bersifat hukum, yang berhadapan dengan hukum

perundangan Wettenrecht.39

Hilman Hadikusuma bahwa di Belanda “Gewoonte

Recht” hukum kebiasaan dan hukum adat itu sama artinya,

yaitu adat atau kebiasaan yang bersifat hukum, yang

berhadapan dengan hukum perundangan “Wettenrecht”.

Tetapi di dalam sejarah perundangan di Indonesia antara

istilah adat dan kebiasaan dibedakan, sehingga hukum adat

tidak sama dengan hukum kebiasaan. Kebiasaan yang

dibenarkan dan diakui di dalam perundangan merupakan

hukum kebiasaan, sedangkan hukum adat adalah hukum

kebiasaan di luar perundangan. Dengan demikian, hukum adat

itu mempunyai sanksi, sedangkan istilah adat yang tidak

mempunyai sanksi adalah kebiasaan normatif, yaitu kebiasaan

yang berwujud aturan tingkah laku yang berlaku di dalam

Masyarakat.40”

2. Dasar Hukum Adat

Adat“kebiasaan Manusia baik perbuatan maupun

perkataan berjalan sesuai dengan aturan hidup manusia dan

keperluannya, apabila berkata ataupun berbuat sesuai dengan

pengertian dan apa yang biasa berlaku dimasyarakat. Ada

beberap macam Adat di bawah ini :

a. Adat Qauli (عادة قىلي), yaitu kebiasaan masyarakat dalam

mempergunakan lafal/ungkapan tertentu untuk

mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah

38 Ibid., h. 18 39 Soejono Sukamto,Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada, 2000), h. 373 40 Ibid., h. 18

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 83

dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.41

Misalnya: kata Lahm artinya daging, baik daging sapi, ikan,

atau hewan lainnya. Karena itu jika seseorang bersumpah,

“Demi Allah saya tidak makan daging”, tapi ternyata

kemudian orang memakan daging ikan, maka menurut adat

Masyarakat Arab, orang tersebut tidak melanggar sumpah.

b. Adat Fi’li (عادة فعلي), yaitu kebiasaan masyarakat yang

berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah

keperdataan.42 Misalnya kebiasaan jual beli barang-barang

yang murah dan bernilai, transaksi antara penjual dan

pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta serah

terima barang dan uang tanpa ucapan transaksi (akad)

apapun. Kebiasan saling mengambil rokok di antara teman

tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, tidak

dianggap mencuri.43

c. Adat umum (عادة عام), yaitu kebiasaan yang telah umum

berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia

tanpa memandang negara, bangsa dan agama. Misalnya:

menganggukkan kepala tanda menyetujui dan

menggelengkan kepala tanda menolak atau meniadakan.

Kalau ada yang berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap

ganjil.

d. Adat khusus (عادة خاص), yaitu kebiasaan yang dilakukan

sekelompok orang ditempat tertentu atau pada waktu

tertentu, tidak berlaku di semua tempat dan di sembarang

waktu. Misalnya: a) adat menarik garis keturunan melalui

garis ibu atau perempuan (matrilineal) di Lampung dan

melalui bapak (patrilineal) dikalangan suku Batak. Orang

Sunda menggunakan kata Paman hanya untuk adik dan

ayah, dan tidak digunakan untuk kata kakak dari ayah,

sedangkan orang Jawa menggunakan kata Paman itu untuk

adik dan untuk kakak dari ayah. Bagi masyarakat tertentu

penggunaan kata budak untuk anak-anak dianggap

41 Khoirul Umam, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia 1998), h. 161 42 Ibid, h. 237 43 Ibid., h. 367

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 84

menghina, karena itu hanya terpakai untuk hamba sahaya,

tetapi bagi masyarakat lainnya kata budak biasa dipakai

untuk anak-anak.44 Adat shahih (عادة صحصيح), yaitu kebiasaan

yang berlaku di tengah-tengah Masyarakat yang tidak

bertentangan dengan nash (al-Qur’an dan Sunnah,

kemudharatan. Misalnya memberikan hadiah kepada orang

tua dan kenalan dekat dalam waktu ulang tahun,

mengadakan acara halal bi halal atau silaturrahmi saat hari

raya, memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas

prestasi.

e. Adat Fasid ( دساف ةدعا ), yaitu adat yang berlaku di suatu tempat

meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan

dengan dalil-dalil syara’.45 Misalnya berjudi untuk

merayakan suatu peristiwa, pesta menghidangkan

minuman haram, kumpul kebo, membunuh anak

perempuan yang baru lahir.

3. Sistem ”Perkawinan Adat

Menurut hukum adat, sistem perkawinan ada 3 (tiga)

macam, yaitu:

a. Sistem Endogami

Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan

sorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan

ini jarang terjadi di Indonesia. menurut Van Vollenhoven

hanya ada satu daerah saja secara praktis mengenal sistem

endogami ini, yaitu daerah Toraja. Tapi sekarang di daerah

ini pun sistem akan lenyap dengan sendirinya kalau

hubungan darah itu dengan daerah lainnya akan menjadi

lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut di

daerah ini hanya terdapat secara praktis saja, lagipula

endogami sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan

kekeluargaan yang ada di daerah itu, yaitu parental.46

44 Ibid., h. 368 45 Ibid, h. 163 46 Soerjono Soekanto. Intisari Hukum Keluarga. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), h. 132

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 85

b. Sistem Exogami

Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku

lain. Menikah dengan suku sendiri merupakan larangan.

Namun demikian, seiring berjalan waktu, dan berputarnya

zaman, lambat laun mengalami proses perlunakan

sedemikian rupa, sehingga larangan perkawinan itu

diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang

sangat kecil saja. Sistem ini dapat dijumpai di daerah Gayo,

Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan

Seram.47

c. Sistem Eleutherogami

Sistem Eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di

atas, yang memiliki larangan-larangan dan keharusan-

keharusan. Eleutherogami tidak menganl larangan-larangan

dan keharusan-keharusan tersebut. larangan-larangan yang

terdapat dalam sistem ini adalah yang berhubungan dengan

ikatan kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan)

seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga

dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu. Atau

larangan kawin dengan musyarah (per-iparan) seperti

kawin denga ibu tiri, mertua, anak tiri.48 Dalam sistem ini

dapat dijumpai hampir di seluruh masyarakat Indonesia.

4. Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat

Di Indonesia dapat dijumpai tiga bentuk perkawinan

adat, antara lain:

a. Bentuk Perkawianan Jujur (Bridge-gift Marriage)

Kawin jujur merupakan bentuk perkawinan di mana

pihak laki-laki memberikan jujur kepada pihak perempuan.

Benda yang dapat dijadikan sebagai jujur biasanya benda-

benda yang memiliki magis. Pemberian jujur diwajibkan

adalah untuk mengembalikan keseimbangan magis yang

semula menjadi goyah, oleh karena terjadinya kekosongan

pada keluarga perempuan yang telah pergi karena menikah

47 Ibid., 48 Ibid., h. 132 - 133

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 86

tersebut. perkawinan jujur dijumpai pada masyarakat

patrineal. Ciri-ciri perkawinan jujur adalah patrilokal,

artinya isteri bertempat tinggal di kediaman suami atau di

keluarga suami.49 Di samping itu perkawinan jenis ini

bersifat exogami yaitu larangan menikah dengan warga

yang se-clan atau se-marga.

b. Bentuk perkawinan Semendo (Suitor Service Marriage)

Perkawinan Semendo pada hakikatnya bersifat matrilokal

dan exogami. Matrilokal berarti bahwa istri tidak

berkewajiban untuk bertempat tinggal di kediaman suami.

Dalam perkawinan ini biasa dijumpai dalam keadaan

darurat, di mana perempuan sulit mendapat jodoh atau

karena laki-laki tidak mampu untuk memberikan jujur.50

c. Bentuk Perkawinan Bebas (exchange Marriage)

Dalam bentuk kawin bebas tidak menentukan secara tegas

di mana suami dan isteri akan tinggal, hal ini tergantung

pada keinginan masing-masing pihak. Bentuk kawin bebas

ini bersifat endogami, artinya suatu anjuran untuk kawin

dengan warga kelompok kerabat sendiri.

Di samping tiga bentuk perkawinan adat di atas,

ditemukan bahwa berdasarkan cara terjadinya perkawinan pada

umumnya di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Perkawinan Pinang (meminang, melamar).51

Perkawinan pinang dimaksud bahwa pihak ke satu (laki-laki)

mengajak pihak lainnya (perempuan) untuk menjalin ikatan

perkawinan. Peminangan ini dilakukan oleh seorang utusan

atau seorang wakil, biasanya diungkapkan dengan bahasa

yang indah dan berkhias. Utusan yang meminang biasanya

seroang kerabat atau orang tuanya dengan persetujuan

kelompok kerabat dan orang tua.

49 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asa Hukum Adat. (Bandung, 1989), h. 128 50 Ibid., h. 24 51 Te. Her, Asas-Asas dan Sususnan Hukum Adat, Terjemahan Soebakti Poesponoto (Jakarta:

Pradnya Paramitha,1988), h. 188-199

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 87

b. Perkawinan Bawa Lari

Perkawinan bawa lari adalah bentuk perkawinan di mana

seorang laki-laki melarikan seorang wanita yang sudah

tunangan atau sudah dikawinkan dengan laki-laki lain. Juga

melarikan seorang wanita secara paksa. Maksud dari pada

perkawinan bawa lari atau sama-sama melarikan diri adalah

untuk menghindarkan diri dari berbagai keharusan sebagai

akibat dari perkawinan pinang, pihak orang tua dan saudara

– saudara atau keluarga.

c. Kawin Lari (Berlari untuk kawin)

Kawin lari adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan

muda-mudi tidak atas persetujuan keluarga yang terpaksa

dilakukan dikarenakan untuk menghindari prasyarat adat.

Pada umumnya perbuatan kawin lari adalah perbuatan yang

melanggar hukum adat, melanggar kekuasaan orang tua dan

kerabat pihak gadis. Namun demikian dikarenakan

masyarakat adat itu berpegang teguh pada azas kerukunan

dan kedamaian, maka perbuatan berlarian itu dapat

dimaafkan dengan penyelesaian perundingan kerabat kedua

belah pihak.

d. Perkawinan Mengabdi

Perkawinan jenis ini mengandung maksud bahwa suatu

perkawinan yang pembayarannya ditunda, atau suatu

perkawinan di mana suami dan istri sudah mulai hidup

berkumpul tetapi pembayaran mas kawinnya belum lunas

maka si suami bekerja mengabdi kepada kerabat mertuanya

sampai mas kawinnya terbayar lunas.

5. Tujuan Perkawinan Adat

Tujuan perkawinan dalam hukum adat bagi masyarakat

adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan

dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau

keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga

atau kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya,

kedamaian dan untuk mempertahankan kewarisan. Oleh

karena sistem keturunan dan kekerabatan antara suku bangas

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 88

Indonesia yang satu dengan yang lain berbeda-beda, maka

tujuan dari perkawinaan adat bagi masyarakat adat berbeda-

beda di antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa

yang lain, daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda,

serta akibat hukum dan upacara perkawinannya berbeda-

beda.

Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilinial,

perkawinan bertujuan mempertahankan garis keturunan

bapak, sehingga anak laki-laki (tertua), harus melaksanakan

bentuk perkawinan ambil istri (dengan pembayaran uang

jujur), di mana setelah terjadi perkawinan istri ikut (masuk)

dalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya

dalam susunan kekerabatan bapaknya. Sebaliknya pada

masyarakat kekerabatan adat yang matrilineal, perkawinan

bertujuan mempertahankan garis keturunan ibu, sehingga

anak wanita tertua (tertua) harus melaksanakan bentuk

perkawinan ambil suami (semanda). Di mana setelah terjadinya

suami ikut (masuk) dalam kekerabatan istri dan melepaskan

kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan orang

tuanya.”

6. Prasyarat Perkawinan Menurut Hukum Adat

a. Ada Persetujuan

Menurut hukum adat, setiap pribadi walaupun

sudah dewasa tidak bebas menyatakan kehendaknya untuk

melakukan perkawinan tanpa persetujuan orang tua atau

kerabatnya. Lebih-lebih pada masyarakat kekerabatan adat

yang sistim kliennya masih kuat seperti di Nusa Tenggara

Timur, di mana klien yang mengetahui dan memilihkan

calon istri bagi para anggota lelakinya.

Bagi setiap yang melaksanakan perkawinan tanpa

pengetahuan orang tua atau kerabatnya maka ia tersingkir

dari kerabatnya. Dalam rasan sanak persetujuan untuk

kawin diputuskan oleh mereka sendiri, lalu disampaikan

kepada orang tua untuk melakukan peminangan

(pelamaran) dalam rasan tua. Dalam rasan tua ada

kemungkinan bujang gadis tidak setuju melainkan

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 89

berdasarkan perundingan dan persetujuan pihak kedua

orang tua atau kerabat sendiri.

b. Ada Perjanjian

Perjanjian yang dilakukan sebelum atau pada waktu

perkawinan berlaku dalam hukum adat, bukan saja antara

kedua calon mempelai tetapi juga termasuk

keluarga/kerabat mereka. Hak ini menegaskan bahwa

dalam hukum adat terdapat kebebasan kepada siapapun

untuk melakukan perjanjian dan perkawinan.52 Pada

umumnya, perjanjian yang dibuat dalam hukum adat

merupakan perjanjian lisan atau tidak tertulis, tetapi

diumumkan di hadapan para anggota kerabat tetangga yang

hadir dalam upacara perkawinan. Dengan demikian

perjanjian dalam hukum adat dibuat berdasarkan asas

kepercayaan.53

c. Batas Umur

Hukum Adat tidak mengenal batas umur minimal

bagi orang yang akan melaksanakan perkawinan. Dalam

hukum adat tidak dikenal fiksi seperti halnya dalam Hukum

Perdata. Hukum Adat hanya mengenal secara insidential

saja apakah seseorang itu, berhubungan umur dan

perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak

cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan

hukum tertentu dalam hubungan hukum tentu pula.54

Maksud dari pernyataan ini adalah Hukum Adat

memperbolehkan perkawinan semua umur. Kedewasaan

seseorang di dalam hukum adat diukur dengan tanda-tanda

bangun tubuh, apabila anak perempuan sudah haid (datang

bulan), buah dada sudah menonjol, berarti dia sudah

dewasa. Bagi anak laki-laki ukurannya dapat dilihat pada

perubahan suara, sudah mengeluarkan air mani atau sudah

mempunyai nafsu sex. Jadi bukan diukur dengan umur

karena, orang tua di masa lampau kebanyakan tidak

52 Hilman, Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat. (Bandung: Alumni, 1983). h. 43 53 Ibid., h. 49 54 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 12

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 90

mencatat tanggal lahir anak-anaknya sebab kebanyakan

mereka masih buta huruf.55

Sudarsono juga menambahkan pula bahwa Hukum

Adat mengakui kenyataan apabila seorang pria dan wanita

itu kawin dan mendapatkan anak, mereka dinyatakan

dewasa, walupun umur mereka masih 15 tahun. Sebaliknya

apabila mereka dikawinkan tidak dapat menghasilkan anak

belum mampu berseksual, mereka dikatakan belum

dewasa.56

7. Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan Menurut Hukum Adat.

Tata cara perkawinan adat pada suatu perkawinan

berakar pada adat istiadat serta kepercayaan yang sudah ada

sejak dahulu kala, sebelum agama-agama (Hindu, Budha, Islam

dan Kristen) masuk di Indonesia telah dituruti dan senantiasa

dilakukan. Tata cara tersebut sudah mulai dilakukan pada hari-

hari sebelum pernikahan serta berlangsung sampai hari-hari

sesudah upacara nikah. Tata cara di berbagai daerah di

Indonesia adalah tidak sama sebab dilangsungkan menurut

adat kebiasaan di tempat masing-masing.

Tentang upacara perkawinan tidak diatur dalam

perundangan, kesemuanya diserahkan kepada para pihak yang

bersangkutan menurut adat atau agamanya masing-masing.

Jadinya perkawinan tanpa upacara adat kebiasaan dalam

masyarakat dapat saja dilakukan, asal saja dilakukan tata cara

perkawinan yang ditelah ditentukan dalam perundangan.

Dengan demikian upacara perkawinan itu pelaksanaanya

menyangkut hukum adat dan hukum agama.

Pada umumnya pelaksanaan upcara perkawinana adat

di Indonesia dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan

adat setempat dalam kaitannya dengan susunan masyarakat

atau kekerabatan yang dipertahankan masyarakat

bersangkutan. Bentuk perkawinan itu “istri ikut suami”(kawin

jujur), suami ikut istri (kawin semanda), atau suami istri bebas

55 http://binsarps.blogspot.co.id/2013/05/batas-umur-perkawinan.html didownload pada 2 Juli

2021 Jam 12:17 56 Ibid. h. 14

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 91

menentukan sendiri (kawin bebas) atau juga dalam bentuk

campuran dalam perkawinan antara adat/suku bangsa dalam

masyarakat yang kian bertambah maju.

Upacara perkawinan adat dalam segala bentuk dan

cara tersebut, pada umumnya dilaksanakan sejak masa

pertunangan (pacaran), atau tahap penyelesain tahap

berlarian, penyampaian lamaran, upacara adat perkawinan,

upacara adat perkawinan, upacara keagamaan dan terakhir

akhir acara kunjungan mempelai ke tempat orang tua atau

mertuanya.

8. Larangan, Pencegahan, dan Pembatalan Perkawinan Menurut

Hukum Adat

a. Larangan Perkawinan Menurut Hukum Adat

Pada umumnya perkawinan yang telah ditentukan

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak banyak

bertentangan dengan hukum adat yang berlaku diberbagai

daerah di Indonesia, namun di satu sisi ada hal-hal yang

berlainan karena pengaruh dari struktur masyarakat adat

yang unilateral, apakah menurut garis patrilineal atau garis

matrilineal dan mungkin juga pada masyarakat yang

bilateral di pedalaman. Istilah larangan dalam hukum adat

misalnya yang dipakai adalah : “sumbang, pamali, pantang,

tulah dan sabagainya.

Meluruskan hal tersebut di atas, Hadikusuman57

menjabarkan beberapa point terkait larangan perkawinan

adat sebagai berikut:

1) Karena adanya hubungan kekerabatan yaitu larangan

perkawinan bagi seorang pria melakukan perkawinan

dengan anak saudara laki-laki bibi (kelama) dan juga

larangan mengambil wanita untuk kawin dari pihak

kelama dari ayah;

2) Karena adanya perbedaan kedudukan yaitu larangan

perkawinan bagi pria golongan penyimbang dengan

wanita golongan di bawahnya;

57 Hilman, Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat. (Bandung: Alumni, 1983), h. 73

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 92

3) Karena pertalian sepersusuan yaitu larangan perkawinan

bagi sepersusuan;

4) Karena larangan hukum agama yaitu larangan seorang

pria dan wanita melakukan perkawinan karena

perbedaan agama atau kepercayaan.

b. Pencegahan Perkawinan Menurut Hukum Adat

Masyarakat hukum adat, terutama yang beragama

Islam pada umumnya tidak mengenal lembaga pencegahan

dan penolakan melangsungkan perkawinan sebagaimana

dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Bukan berkaitan tidak sama sekali dengan orang tua atau

kerabat yang berusaha dan mencegah dan menolak

terjadinya perkawinan anaknya, atau penyelesaian tidak

dibawa kepengadilan, cukup diselesaikan secara damai

dengan mereka, kecuali menyangkut perbuatan yang

sifatnya tindak pidana.

Masyarakat adat kebanyakan masih berbudaya malu

membawa persolan keluarga ke pengadilan. Selain

Masyarakat hukum adat yang berbeda-beda sistem

kekerabatanya mempunyai persyaratan yang berbeda-beda

terhadap lembaga perkawinan sehingga model

pencegahannya pun berbeda-beda. Kemungkinan adanya

pencegahan atau penolakan terhadap berlangsungnya

perkawinan, dapat dilihat dari berbagai kasus yang terjadi

yaitu perbedaan agama, perbedaan suku bangsa, perbedaan

kasta keturuanan, perbedaaan martabat adat, perselisihan

pembayaran mas kawin,58 dan pencegahan karena adanya

hubungan kekeluargaan yang ikat melalui sumpah adat

contohnya hubungan pela di Maluku. Ini biasanya

penolakan lamaran oleh pihak wanita, atau cukup

menganjurkan kepada anaknya untuk tidak melanggar

hukum adat dan hukum agama, dan melangsungkan

perkawinan atas kehendak sendiri tampa bermusyawarah

dengan orang tua atau kerabat. Dimasa lampau pencegahan

58 Hilman, Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat. (Bandung: Alumni, 1983), h. 78

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 93

dengan cara demikian dapat berlaku efektif, tetapi sekarang

kebanyakan orang tua atau kerabat sudah mengalah

terhadap kebebasan kehendak dari anak-anaknya dalam

mencari pasangan hidupnya.

c. Pembatalan perkawinan Menurut Hukum Adat

Pada umumnya masyarakat hukum adat di Indonesia

tidak mengenal lembaga pembatalan perkawinan, oleh

karena pada dasarnya hukum adat tidak berpegang pada

persyaratan perkawinan yang memerlukan persetujuan

kedua calon mempelai, batas umur, larangan poligami, cerai

kawin berulang, dan juga waktu tunggu untuk

melangusungkan perkawinanan. Yang ada dikenal adalah

pengaruh agama yang dianut, yaitu larangan perkawinan

yang berhubungan darah, berhubungan semenda,

hubungan susuan dan hubungan kekerabatan (klen

keturunan). Selain dari itu telah membudaya di kalangan

masyarakat hukum adat apabila terjadi perkawinan pantang

untuk dibatalkan. Pembatalan perkawinan berarti

mencoreng nama baik keluarga atau kerabat.

d. Kedudukan Suami Istri dan Harta

Menurut hukum adat pada umumnya yang berlaku

dalam masyarakat bangsa Indonesia, baik dalam masyarakat

kekerabatan bilateral maupun unilateral (patrlineal dan

matrilineal) maupun yang beralih (alternerend), kewajiban

untuk untuk menegakkan keluarga atau rumah tangga

(suami istri) bukan untuk semata-mata menjadi kewajiban

dan tanggungjawab dari suami istri itu sendiri. Masih ada

tanggung jawab dan kewajiban moral orang tua dan

kerabat, walaupun sifatnya masih immaterial dan tidak

langsung dalam bentuk perhatian dan pengawasan. Apalagi

jika ditegakkan itu keluarga atau rumah tangga yang masih

baru dengan suami isteri yang berumur muda.

Di samping itu berdirinya keluarga atau rumah

tangga tidak terlepas dari bentuk perkawinan yang terjadi

seperti bentuk perkawinan jujur, perkawinan semanda,

perkawinana bebas, perkawinanan poligami, perkawinanan

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 94

ganti tikar, perkawinan turun ranjang, perkawinan

berlarian, perkawinan berlarian, perkawinan meneruskan

(keturunan), perkawinan memasukkan (dalam kerabat) dan

sebagainya. Bentuk-bentuk perkawinan tersebut besar

pengaruhnya bagi kedudukan suami dan istri setelah

mengikat perkawinan, yang dapat berakibat hak dan

kedudukan suami dan istri tidak berimbang. Di samping itu

di mana tempat kediaman suami istri menetap setelah

perkawinan akan mempengaruhi tanggung jawab suami

istri dalam keluarga atau rumah tangga.

Hukum adat dewasa ini kebanyakan sudah

menyesuaikan diri dengan kebebasan zaman, ia tidak

melarang lagi wanita bebas keluar rumah, baik istri dan

suami masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum.

Tetapi dalam hal tertentu yang menyangkut adat, mengenai

harta adat, tanah adat, bangunan adat, tanah kerabat,

kedudukan adat, istri tidak berhak melakukan perbuatan

sendiri tampa persetujuan suami tampa persetujuan

kerabat.

9. Hukum dan Peradilan Adat

Apabila membicarakan tentang peradilan menurut

sistem hukum adat maka kita mengenal sistem peradilan

dalam menyelesaikan perselisihan diantara warga masyarakat

hukum adat, yang pada umumnya bersifat perdata dan sampai

sekarang masih berlaku. Peradilan adat bersifat insidental,

dalam artian sewaktu-waktu saja bila diperlukan. Sidang adat

berupa suatu pertemuan yang dilakukan dan dihadiri oleh para

pemuka adat, pemuka masyarakat, dan para wakil dari pihak

yang berselisih. Fungsi dan peran dari peradilan adat adalah

bersifat mengembalikan keseimbangan yang terganggu dalam

masyarakat setempat dan bukan mencari siapa yang benar

atau yang salah, melainkan mencari titik temu yang

merupakan kesepakatan antara pihak ke arah perdamaian dan

kerukunan.

Kasus-kasus perselisihan yang diselesaikan secara

damai itu berupa perkara-perkara kecil, seperti perselisihan

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 95

kedudukan adat, sengketa keluarga, kerabat atau

ketetanggaan, sengketa perkawinan dan perceraian,

perzinahan, hutang piutang, warisan dan lain-lain yang tidak

bawa ke peradilan.

C. PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF

1. Pengertian dan Dasar Hukum

Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974 dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan ialah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.59 Sedangkan pengertian

Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah

akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah. Pernikahan adalah pertalian yang sah antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

Undang-undang memandang perkawinan hanya dari

hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek.

Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa suatu perkawinan

yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat

yang ditetapkan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Perkawinan perupakan institusi yang sangat penting

dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan

hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang

wanita. Yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir

batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami-

isteri.60 Undang-undang 1 Tahun 1974 dan hukum Islam

memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari

aspek formal semata-mata, tetapi dilihat juga dari aspek

agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang

keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah

menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA dan

59 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, (Bandung: Rona Publishing, 2010), h. 8 60 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1994), Cet. Ke-26. h. 23.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 96

catatan sipil. Dalam konsepsi hukum perdata barat,

perkawinan itu dipandang dalam hukum keperdataan saja. UU

hanya mengenal “ perkawinan perdata ”, yaitu perkawinan

yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan

sipil.61

Perkawinan adalah suatu perbuatan yang

menimbulkan suatu akibat hukum antar dua pihak yaitu antara

suami dan isteri, maka dari itu perlu adanya aturan dan

undang-undang untuk mengaturnya, baik dari proses

perkawinan sampai dengan perceraian. Akibat hukum tersebut

diantaranya adalah hak dan kewajiban suami isteri.

2. Rukun dan Syarat Pernikahan

Pada dasarnya tidak semua laki-laki dan wanita dapat

melangsungkan perkawinan. Namun, yang dapat

melangsungkan pernikahan adalah mereka-mereka yang telah

memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh peraturan

perundang-undangan.

Dalam KUHPerdata, syarat untuk melangsungkan

perkawinan dibagi menjadi dua macam adalah : (1) syarat

materiil dan (2) syarat formil. Syarat materiil, yaitu syarat yang

berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan

pernikahan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu :

a. Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan

dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk

melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syaratnya

meliputi:

1) Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh

mempunyai seorang suami (pasal 27 BW);

2) Persetujuan antara suami isteri (pasal 28 KUH Perdata);

3) Terpenuhinya batas umur minimal. Bagi laki-laki

berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun (pasal

29 KUH Perdata);

61 Salim HS dan R.M Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta: Sinar Grafika, T.th), h. 61.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 97

4) Harus ada izin sementara dari orang tua atau walinya

bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah

kawin (pasal 35 sampai dengan pasal 49 KUH Perdata).

Syarat-syarat di atas adalah bagian pokok dari

proses berlangsungnya pernikahan. Maksud dari poin (a)

yaitu pasal 27 BW adalah dalam waktu yang sama seorang

laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang

perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya

satu orang laki-laki sebagai suaminya. Poin (b) yaitu pasal

28 KUHPerdata menjelaskan bahwa asas perkawinan

mengehendaki adanya kebebasan kata sepakat antara calon

suami istri. Poin (c) yaitu pasal 29 KUHPerdata mengartikan

bahwa seorang pemuda atau pemudi yang umurnya belum

mencapai yang telah disebutkan di dalamnya tidak

diperbolehkan mengikat dirinya dengan ikatan perkawinan.

Maksud dari poin (d) atau pasal 35 KUHPerdata adalah

untuk mengikat diri dalam perkawinan, anak-anak kawin

yang belum dewasa harus memperoleh izin dari kedua

orang tuanya.

b. Syarat materill relatif, ketentuan yang merupakan larangan

bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larang

itu ada dua macam, yaitu:

1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam

kekeluargaan sedarah dan karena dalam perkawinan;

2) Larangan kawin karena zina;

3) Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah

adanya perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun.

Syarat formal adalah syarat-syarat yang berkaitan

dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan.

Syarat ini dibagi dalam dua tahapan. Syarat-syarat yang harus

dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan adalah:

a. Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman

tentang maksud kawin (pasal 50 sampai dengan 51 KUH

Perdata). Permberitahuan tentang maksud kawin untuk

dilakukan kepada Pegawai Catatan Sipil. Pengumuman

untuk maksud kawin dilakukan sebelum dilangsungkan

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 98

perkawinan, dengan jalan menempelkan pada pintu utama

dari gedung di mana register-register catatan sipil

diselenggarakan, dan jangka waktunya selama 10 hari.

Maksud pengumuman ini adalah untuk memberitahukan

kepada siapa saja yang berkepentingan untuk mencegah

maksud dari perkawinan tersebut karena alasan-alasan

tertentu. Sebab, dapat saja terjadi bahwa suatu hal yang

menghalangi suatu perkawinan lolos dari perhatian

Pegawai Catatan Sipil. Pengumuman itu sebagai pengawas

yang dilakukan oleh masyarakat;

b. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan

dilangsungkannya perkawinan. Apabila kedua syarat di

atas, baik itu syarat intern, ekstern, maupun syarat

materiil dan formal sudah dipenuhi maka perkawinan itu

dapat dilangsungkan.

1) Kedua pihak harus telah mencapai umur yang

ditetapkan dalam undang-undang, yaitu untuk seorang

laki-laki 19 tahun dan untuk seorang perempuan 16

tahun;

2) Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak;

3) Untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin

harus lewat 300 hari dahulu sesudahnya putusan

perkawinan pertama;

4) Tidak ada

5) Untuk pihak yang masih di bawah umur, harus ada izin

dari orang tua atau walinya.

Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan,

bahwa seorang tidak diperbolehkan untuk kawin dengan

saudaranya, meskipun saudara tiri; seorang tidak

diperbolehkan kawin dengan iparnya; seorang paman dilarang

kawin dengan keponakannya dan sebagainya.

Tentang hal izin dapat diterangkan bahwa kedua orang

tua harus memberikan izin, atau ada kata sepakat antara ayah

dan ibu masing-masing pihak. Jikalau ada wali, wali ini pun

harus memberikan izin, dan kalau wali ini sendiri hendak

kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus ada

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 99

izin dari wali pengawas (tooziende voogd). Kalau kedua orang

tua sudah meninggal, yang memberi izin ialah kakek nenek,

baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedangkan izin wali masih

pula diperlukan.

Untuk anak-anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi

diakui oleh orang tuanya, berlaku pokok aturan yang sama

dengan pemberian izin, kecuali jikalau tidak terdapat kata

sepakat anatara kedua orang tua, hakim dapat diminta untuk

ikut campur tangan, dan kakek nenek tidak menggantikan

orang tua dalam hal memberikan izin.62

Ketentuan dari syarat-syarat di atas yang dituangkan

dalam perundang-undangan merupakan hal pokok yang harus

dipenuhi dalam melangsungkan suatu perkawinan, baik itu

syarat materiil dan formil dengan tujuan diakuinya sebuah

perkawinan tersebut oleh negara.

3. Tujuan Pernikahan

Tujuan yang hendak dicapai dalam perkawinan adalah

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU

Perkawinan). Kebahagiaan dan kekekalan yang dijadikan cita-

cita ini juga menunjukkan adanya aspek humanisme di dalam

perkawinan. Artinya, prinsip-prinsip kemanusiaan harus

menjadi jiwa dan semangat di dalam pembentukan dan

kelangsungan hidup berumah tangga, keinginan mendapat

rasa bahagia haruslah menyadari juga bahwa orang lain juga

menginginkan rasa bahagia tersebut.63

Oleh karena itu, perkawinan untuk membentuk

keluarga yang bahagia tidak lepas dari kondisi lingkungan dan

budaya dalam membina dan mempertahankan jalinan antar

keluarga suami-istri. Tanpa adanya kesatuan tujuan tersebut

akan mengakibatkan hambatan dalam membangun keluarga

yang bahagia.

62 Salim HS dan R.M Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, .... h. 62 63 H.Abdul Qadir, SH, M.Hum, Pencatatan Pernikahan Dalam Perspektif Undang-Undang

dan Hukum Islam, (Depok: Azza Media, 2014), Cet. Ke-1, h. 28

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 100

4. Kewajiban dan Hak Suami Istri

Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

Dalam Undang-undang perkawinan mengatur hak dan

kewajiban suami istri dalam bab V pasal 30 sampai dengan

pasal 34. UU perkawinan pasal 30 menyatakan bahwa: Suami

istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah

tangga yang menja di sendi dasar dari susunan masyarakat.

UU perkawinan pasal 31 mengatur tentang kedudukan

suami istri yang menyatakan:

a. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan

pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

b. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan

hukum.

c. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu

rumah tangga.

Undang-Undang perkawinan menyatakan secara tegas

bahwa kedudukan suami istri itu seimbang, dalam melakukan

perbuatan hukum. Sedangkan dalam hukum perdata apabila

izin suami tidak diperoleh karena ketidak hadiran suami atau

sebab lainnya, pengadilan dapat memberikan izin kepada istri

untuk menghadap hakim dan melakukan perbuatan hukum.

Undang-undang perkawinan mengatakan dengan tegas bahwa

suami adalah kepala rumah tangga, berbeda dengan hukum

adat dan hukum Islam. Menurut R. Wirdjona Prodjodikoro

yang dikutip oleh Lili Rasjidi, menyatakan bahwa dalam hukum

adat dan hukum Islam tidak menyatakan secara tegas.

Kemudian pasal 32 Undang-undang perkawinan menerangkan:

a. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tepat.

b. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1)

pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.

Tempat kediaman dalam ayat (1) dalam artian tempat

tinggal atau rumah yang bisa ditempati pasangan suami istri

dan juga anak-anak mereka. Oleh karena itu, mereka (suami

istri) harus mempunyai tempat kediaman yang tetap yang

ditentukan bersama, di samping mereka (suami istri) harus

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 10

1

saling mencintai, hormat-menghormati dan saling memberi

bantuan secara lahir dan batin. Suami sebagai kepala rumah

tangga melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan

hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan sang suami.

Demikian pula istri wajib mengatur urusan rumah

tangga sebaik-baiknya. Kemudian apabila salah satu dari

keduanya melalaikan kewajibannya, mereka dapat menuntut

ke pengadilan di wilayah mereka berdomisili. Hasil ini sesuai

dengan pasal 33 dan pasal 34 Undang-undang perkawinan.

Pada pasal 33 Undang-undang menerangkan bahwa suami istri

wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia

memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

Sedangkan pasal 34 Undang-undang perkawinan menegaskan:

a. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala

sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan

kemampuannya.

b. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

c. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-

masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

Kewajiban suami dalam pasal 34 ayat (1) menegaskan

suami wajib melindungi istri dan keluarganya, yaitu

memberikan rasa aman dan nyaman, dan istri wajib mengurus

urusan rumah tangga sebaik mungkin. Jika keduanya

melakukan sesuatu yang akibatnya melalaikan kewajibannya

maka baik istri maupun suami dapat mengajukan gugatan ke

pengadilan.

5. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur hak dan

kewajiban suami istri dalam bab VII pasal 77 sampai dengan

pasal 84. Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam menyatakan:

a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk

menegakkan keluarga sakinah, mawadah dan rahmah yang

menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

b. Suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-

menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin antara

yang satu dengan yang lain.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 102

c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan

memelihara anak-anak mereka, baik mengenai

pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasan dan

pendidikan agamanya.

d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.

e. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-

masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan agama.

Adapun pasal 78 KHI menjelaskan:

a. Suami istri harus mempunyai kediaman yang sah.

b. Rumah kediaman yang dimaksud oleh ayat (1) ditentukan

oleh suami istri bersama.

Dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang

kedudukan suami istri terdapat dalam pasal 79, yaitu:

a. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah

tangga.

b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan

pergaulan hidup bersama masyarakat.

c. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.

Pasal 80 KHI menjelaskan tentang kewajiban suami

terhadap istri dan keluarganya, yaitu:

1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah

tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah-

tangga yang penting diputuskan oleh suami istri bersama.

Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan

kemampuannya.

2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala

sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan

kemampuannya.

3. Suami wajib memberikan pendidikan dan kesempatan

belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi

agama, nusa dan bangsa.

4. Sesuai dengan penghasilan suami menanggung:

a) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 10

3

b) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya

pengobatan bagi istri dan anak.

c) Biaya pendidikan anak.

5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut dalam

ayat (4) huruf a dan b di atas berlaku di atas berlaku

sesudah ada tamkin dari istrinya.

6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban

terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf

a dan b.

7. Kewajiban suami sebgaimana yang dimaksud ayat (5) gugur

apabila istri nusyuz.

KHI Pasal 81 terdiri atas empat ayat yang menjelaskan

tentang tempat kediaman yang menyatakan:

a. Suami wajib meneyediakan tempat kediaman bagi istri dan

anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam masa

iddah.

b. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk

istri selama dalam ikatan atau dalam iddah talak atau iddah

wafat.

c. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan

anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka

merasa aman dan tenteram.

d. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan

kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan

lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat

perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang

Dalam Pasal 82 KHI menerangkan tentang kewajiban

suami yang beristri lebih dari seorang, yaitu:

a. Suami yang mempuyai istri lebih dari seorang

berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup

kepada masing-masing istri secara berimbang menurut

besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-

masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.

b. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat

menempatkan istrinya dalam satu tempat kediaman.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 104

Pasal 83 dan 84 KHI menjelaskan kewajiban istri

terhadap suaminya, yaitu: Pasal 83

a) Kewajiban uatama bagi seorang istri adalah berbakti

lahir dan batin di dalam batas-batas yang dibenarkan

oleh hukum Islam.

b) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah

tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

Pasal 84

a. Istri dapat dianggap nusyuz jka ia tidak mau

melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang

dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan

yang sah.

b. Selama istri dalam keadaan nusyuz, kewajiban suami

terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a

dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan

anaknya.

c. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku

kembali sesudah istri tidak nusyuz.

d. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari

istri harus didasarkan atas bukti yang sah.

Agar tidak dianggap nusyuz maka istri harus

melaksanakan kewajiban dalam rumah tangga yaitu,

berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas

yang dibenarkan oleh hukum Islam. Di samping itu istri

berkewajiban pula menyelenggarakan dan mengatur

keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-

baiknya.

Meski penuh dengan kritik (terutama dari kelompok

perempuan), karena agama dan Negara merupakan instusi

yang merasa lebih berhak untuk menguasai rencana

apapun, pada akhirnya UU RI. No. 1 Tahun 1974 secara resmi

disahkan sebagai satu-satunya hukum yang mengatur

tentang perkawinan bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi,

meskipun telah berbentuk suatu unifikasi hukum tentang

perkawinan, pada prakteknya, terutama yang terjadi di

Pengadilan Agama (PA), pendapat masing-masing hakim

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 10

5

sesuai dengan kitab fikih yang dirujuknya justru dominan

(dalam bagian terdahulu, telah dipaparkan setidaknya 13

kitab fikih yang dianjurkan untuk menjadi kitab rujukan bagi

para hakim di Pengadilan Agama (PA).

Akibat tidak adanya standar buku yang berlaku di

Pengadilan Agama (PA), keputusan yang diambil oleh para

hakim sering kali berbeda untuk kasus yang sama, sehingga

dapat dikatakan subyektifitas hakim sangat tinggi. Bahkan

hakim dapat mempergunakan keputusan hukum yang

diambil sebagai alat politik untuk menyerang pihak lain.194

Ditinjau dari sudut pandang teori hukum, hal ini berarti

bahwa produk-pruduk pengadilan agama bertentangan

dengan prinsip kepastian hukum.64 Di sisi lain, kitab-kitab

fikih yang dijadikan rujukan para hakim itu adalah produk

pemikiran ulama pada abad pertengahan (sejak abad ke-2

H), di mana konteks sosio politik kulturalnya berbeda

dengan konteks Indonesia saat itu. Implikasinya, hukum-

hukum fikih seharusnya tidak mentah-mentah begitu saja

digunakan hakim, namun harus disesuaikan konteks

Indonesia, sehingga perlu dirumuskan adanya fikih

Indonesia.

Berdasarkan alasan-alasan inilah, Mahkamah Agung

(MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, pada

tahun 1985 mengusulkan agar dirumuskan suatu Kompilasi

Hukum Islam (KHI) yang dimaksud sebagai buku standar

bagi para hakim di Pengadilan Agama (PA). Usulan ini pada

mulanya tidak mendapatkan respon. Namun ketika Menteri

Agama, Munawir Sadzali, mengusulkan hal yang sama,

mulailah masyarakat meresponnya. Respon yang paling

kongrit adalah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan

Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung, atas

prakarsa Presiden (saat itu Soeharto).65 Jika dilihat dari

64 Munawir Sadzali, Peradilan Agama dan Komilasi Hukum Islam, dalam Dadan Muttaqien,

dkk. (ed.), (Yogyakarta: UII Press, 1999), h.2 65 Ismail Suni, Kompilasi Hukum Islam Ditinjau dari Sudut Pertumbuhan Teori Hukum

Indonesia, dalam Abdurrahman, Ibid, h. 33

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 106

mana ide itu berasal, jelas sekali bersifat top-down, yaitu

dari pihak yang mempunyai kapasitas sebagai policy maker.

Selain itu, prakarsa Presiden menunjukkan betapa hal ini

berkaitan dengan kepentingan politis.

Kepentingan politis yang ikut mewarnai ide

dibentuknya Kompilasi Hukum Islam (KHI), tidak

terpisahkan dari kondisi politik saat itu, banyak literatur

menunjukkan bahwa antara pertengahan 1980-an hingga

akhir 1990-an merupakan masa politik akomodasi

masyarakat terhadap Islam. Setelah bertahun-tahun

pemerintahan Orde Baru bersifat vis a vis dengan Islam,

maka pada era 1980-an inilah, di saat Golkar dirasa akan

menyusut (salah satu bukti adalah meningkatnya suara

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada pemilu 1982),

pemerintah Orde Baru merasa berkepentingan meraih

dukungan dari kelompok Islam.

Menurut Bakhtiar Effendi, fenomena politik

akomodasi negara terhadap Islam, berspektrum luas

meliputi beberapa kebijakan, yaitu:

a. Struktural, ditandai dengan semakin terbukanya

kesempatan bagi para aktivis Islam untuk

mengintegrasikan diri ke dalam negara, baik melalui

saluran legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

Pembentukan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia

(ICMI) pada akhir tahun 1990, karena proksimitasnya

dengan negara, dapat dilihat dari sebagian leverage

struktural politik Islam.

b. Legislatif, berkaitan dengan disahkannya sejumlah Undang-

Undang (UU) yang dinilai akomodatif terhadap

kepentingan Islam. Misalnya Undang-Undang

Pengadilan Agama pada tahun 1989, Kompilasi Hukum

Islam (KHI) pada tahun 1991, SKB tentang BAZIS (Badan

Amal, Zakat, Infak, dan Sedekah) pada tahun 1991,

kebijakan baru tentang pemakaian jilbab pada tahun

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 10

7

1991, dan Penghapusan Sumbangan Dana Sosial

Berhadiah (SDSB) suatu bentuk lotere pada tahun 1993;

Infrastruktural, dengan disediakannya infrastruktur yang

disediakan bagi umat Islam, misalnya pembangunan

sarana peribadatan, pengiriman da’i-da’i di daerah

transmigrasi, dan bahkan pendirian Bank Muamalat

Indonesia (BMI);

c. Kultural, berkaitan dengan akomodasi kultural negara

terhadap budaya Islam, yang terwujud dalam

penggunaan idiom-idiom Islam.66

Melalui SKB Ketua Mahkamah Agung (MA) dan

Menteri Agama yang dikeluarkan pada Tanggal 21 Maret

1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang

Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum

Islam melalui Yurisprodensi, Dimulailah proyek tersebut

dengan diberi batasan waktu dua tahun. Hebatnya lagi,

pelaksanaan ini didukung oleh Keputusan Presiden Nomor

191 Tahun 1985 yang diterbitkan Tanggal 10 Desember 1985.

Dana yang disediakan untuk proyek ini adalah sebesar Rp.

30.000.000,- di mana biaya tersebut berasal dari pribadi

Presiden.67 SKB tersebut juga sekaligus menunjuk Pimpinan

Umum proyek ini, yaitu Bustanul Arifin, yang saat itu

menjabat sebagai Ketua Muda Urusan Lingkungan

Peradilan Agama Mahkamah Agung.

Selain menetapkan kepanitiaan yang akan

dilaksanakan proyek ini, ditetapkan juga pelaksaan bidang

Kitab/Yurisprudensi, bidang Wawancara, dan Bidang

Pengumpulan dan Pengelolaan Data. Yang ironis, di antara

sekian orang yang melibat dalam penyusunan KHI ini,

hanya ada seorang perempuan dan itupun diposisikan

sebagai sekretaris, suatu posisi yang stereotip dan

membekukan peran perempuan.

66 Bakhtiar Effendi, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di

Indonesia, dalam Prisma, No. 5 Th. XXIV Mei 1995, h. 24-25 67 Panji Masyarakat No. 503 TH. XXVII, 1 Mei 1986, dikutip dalam Abdurrahman, Ibid, h.34

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 108

Di dalam bagian lampiran SKB tersebut, ditegaskan

bahwa tugas pokok proyek tersebut adalah untuk

melaksanakan usaha pembangunan hukum Islam melalui

Yurisprudensi dengan jalan Kompilasi Hukum. Kemudian

dibentuk bidang-bidang yang tugas konkritnya dibagi

empat jalur, yaitu:

a. Jalur Kitab; yaitu yang mengumpulkan dan mengkaji 13

kitab yang selama ini digunakan sebagai pedoman dan

bahan rujukan oleh para Hakim di Pengadilan Agama

(PA). Selain 13 kitab tersebut, digunakan juga kitab-kitab

tambahan lainnya hingga mencapai hingga jumlah 38

kitab. Kitab sebanyak itu kemudian dibagikan kepada 7

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) untuk ditelaah dan

dikaji berkenaan dengan penyusunan kompilasi ini.

b. Jalur wawancara, yang dilakukan oleh bidang ini adalah

mewawancarai para ulama di seluruh Indonesia yang

dianggap dapat merepresentasikan masyarakat

Indonesia. Tercatat sebanyak 86 ulama yang menjadi

responden dalam proyek ini.

c. Jalur Yurisprudensi, yaitu dengan menghimpun putusan-

putusan Pengadilan Agama (PA) yang ada selama ini.

d. Jalur Studi Perbandingan. Negara yang dipilih untuk

studi perbandingan ini adalah Mesir, Maroko, dan Turki.

Alasan memilih ketiga negara tersebut dapat dikatakan

sangat pragmatis. Maroko misalnya, dipilih karena

negara ini dikenal menganut mazhab Maliki; Turki dipilih

karena dikenal sebagai negara sekuler, sedangkan pilihan

terhadap Mesir, hanya semata-mata karena negara ini

berada di antara Maroko dan Turki.68

Pada Desember 1987, proyek penyusunan KHI

tersebut telah selesai. KHI terdiri dari tiga buku yaitu; Buku

I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan

dan Buku III tentang Hukum Wakaf. Sebelum KHI ini

68 Munawir Sadzali, Ibid. h. 2-3. Untuk data mengenai jumlah ulama yang dijadikan responden

dapat dilihat dari Proyek Penyuluhan hukum Agama, Sejarah, h. 333-340

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 10

9

disahkan, pelaksanaan proyek beranggapan bahwa perlu

diadakan lokakarya untuk menjaring masukan dari

masyarakat luas. Lokakarya tersebut diadakan di Jakarta

pada 2-5 Februari 1988, dihadiri oleh 123 peserta yang

terdiri dari para Ketua Umum Majlis Ulama Propinsi, Ketua

Pengadilan Tinggi Agama (PTA) se-Indonesia, beberapa

Rektor IAIN, ormas-ormas Islam, dan organisasi

perempuan. Dalam lokakarya tersebut, peserta dibagi

menjadi tiga komisi (sesuai dengan sistematika dalam KHI),

dan pada tiap komisi, dibentuk Tim Perumus.

Masukan dari para peserta lokakarya yang telah

dirumuskan Tim Pengurus, kemudian diolah oleh

pelaksanaan proyek, hingga bulan Maret 1988 KHI ini telah

bener-benar selesai. Ketika KHI ini akan disahkan ada satu

problem yang harus dipecahkan, yaitu bahwa KHI yang

nantinya akan menjadi hukum materiil, seharusnya

diwadahi oleh suatu hukum formil. Untuk itulah,

pemerintah menggodog hukum formil, dan hasilnya adalah

Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 yang

disahkan pada tanggal 29 Desember 1989. Berdasarkan

hukum formil inilah, Kompilasi Hukum Islam (KHI) disahkan

melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 yang

dikeluarkan pada tanggal 10 Juni 1991.

Dilihat dari tata urutan hukum yang berlaku di

Indonesia, kedudukan Instruksi Presiden (Inpres) ini berada

di bawah Undang-Undang, namun dalam praktek,

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi referensi utama yang

digunakan Hakim untuk memutuskan perkara. Dalam

masalah perkawinan, para Hakim di Pengadilan Agama (PA)

merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini, di samping

Undang-Undang Perkawinan (UPP), sehingga seolah-olah

mempunyai kekuatan seperti Undang-Undang (UU). Posisi

yang sejajar secara implisist disebut dalam salah satu

Diktum Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991, yaitu

bahwa untuk memutuskan perkara yang berkaitan dengan

Perkawinan, Kewarisan, dan Wakaf, sedapat mungkin

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 110

menggunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di samping

peraturan perundang-undangan lainnya. Kalimat yang

terakhir ini, selain peraturan tersebut mengindikasikan

kesederajatan antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan

Undang-Undang.

Keterlibatan perempuan dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) sangat minim. Hal ini dapat dilihat dari panitia

pelaksana Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berjumlah 16

orang, hanya terdapat seorang perempuan, yakni Ny. Lies

Sugondo dan itupun menduduki sebagai sekretaris, sebagai

peran dan posisi yang sangat umum dilekatkan pada

stereotype perempuan. Begitu juga ketika perempuan ini

melaksanakan wawancara terhadap para ulama se-

Indonesia, yang bertugas sebagai pewawancara, di antara

27 orang, tak seorangpun yang terlibat. Dari sisi responden

(ulama), hanya ada empat orang perempuan yang menjadi

responden di antara 186 orang.

Subordinasi terhadap perempuan juga nampak

ketika berlangsung lokakarya dalam rangka

penyempurnaan KHI ini. Untuk komisi I yang membahas

tentang perkawinan. Di antara 44 anggota, hanya ada tiga

orang perempuan. Ketiganya merupakan setengah dari

jumlah perempuan yang terlibat dalam lokakarya tersebut,

di mana peserta perempuan dalam lokakarya ini hanya

berjumlah enam dari 123 pererta.

Kecil angka keterlibatan perempuan dalam

penyusunan KHI khususnya yang membahas tentang

perkawinan, mempengaruhi isi dari KHI itu sendiri. Jika

dilihat dari perspektif perempuan, materi yang dimuat

dalam buku I (tentang perkawinan) dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) sangat bias patriarkhi. Dari titik ini terlihat

bagaimana dari dulu agama dan negara selalu berusaha

untuk terus meminggirkan perempuan. Gagasan monogami

yang tidak pernah berhenti diperjuangkan perempuan

karena poligami sangat meminggirkan perempuan, ternyata

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 11

1

tidak pernah diperhatikan. Bahkan dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) ini, sangat jelas mendukung poligami.

Selain itu KHI sangat berperan dalam membakukan

peran perempuan, yang semuanya itu dibungkus dalam

suatu yang dianggap sebagai doktrin agama. Isteri yang

diharuskan berperan sebagai ibu tumah tangga (Pasal 79

ayat (1)) sementara suami sebagai kepala rumah tangga,

merujuk bagaimana interprestasi patriarkhi terhadap teks-

teks al-Qur’an maupun Hadis sangat dominan. Demikian

juga dengan posisi perempuan yang selama ini subordinat,

semakin dikukuhkan oleh KHI. Di mulai dengan adanya

pembatasan usia nikah, di mana batas minimal perempuan

lebih kecil daripada laki-laki. Yang hal ini berkaitan erat

dengan asumsi bahwa suami berkewajiban mendidik

isterinya.

Mengenai pembakuan peran dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tentang Perkawinan maupun dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) tersebut, diakui oleh Halimah Ginting,

Direktur Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH)

Jogjakarta, semakin mengukuhkan pembakuan peran yang

ada di masyarakat. Dengan adanya Pasal tersebut,

berdasarkan pengalamannya menangani korban, para suami

menganggap bahwa ia berhak mengatur istri dan anak-

anaknya sekehendak hatinya.69 Senada dengan Halimah,

Wahid Hasyim, aktifis LSM Rifka Anisa, dalam penelitiannya

tentang nusyūz, mengatakan bahwa ia sering menemukan

para suami merasa sangat superior dengan peran mereka

sebagai pemimpin keluarga dan bahkan mereka

menganggap bahwa peran tersebut merupakan kodrat laki-

laki. Implikasi dari peran tersebut, para istri sebagai pihak

yang dipimpin, harus taat pada suami. Maka, baik Halimah

maupun Wahid, sangat mendukung jika diadakan Revisi

terhadap Undang-Undang dan KHI.70

69 Sirajuddin, Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 17-19 70 Ratna mBatara Munti, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: LBH-

APIK, 2005), h. 26

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 112

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah

mengatur tentang perkawinan secara nasional, yang

berlaku bagi semua golongan dalam masyarakat Indonesia.

Undang-undang perkawinan ini adalah suatu unifikasi

hukum dalam hukum perkawinan yang mulai berlaku pada

tanggal 1 Oktober 1975 dengan Peraturan Pelaksananya

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan.

Berbeda dengan negara sekuler, perkawinan menurut

Undang-Undang Perkawinan di Indonesia bukan hanya

meliputi aspek keperdataan saja akan tetapi juga merupakan

aspek keagamaan, oleh karenanya sah atau tidaknya suatu

perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum agama

dan kepercayaan masing-masing rakyat Indonesia, sesuai

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.71

Adanya Pasal 2 ayat (1) ini menyebabkan Undang-

Undang Perkawinan dapat disebut tidak merupakan

unifikasi secara penuh karena hanya mengatur hal-hal yang

bersifat umum, artinya masih terdapat diferensiasi dalam

hal yang spesifik seperti masalah keabsahan perkawinan.

Diferensiasi ini tidak dapat dielakkan karena negara

Indonesia memiliki 5 agama yang dilindungi oleh hukum

negara dan mengenai perkawinan ini adalah hal yang

sensitif sebab berkaitan dengan keyakinan. Khusus bagi

yang beragama Islam diatur tersendiri dalam KHI.

Kompilasi Hukum Islam terbentuk karena

pemerintah melihat bahwa umat Islam Indonesia bukan

hanya sekedar merupakan kelompok mayoritas, akan tetapi

juga merupakan kelompok terbesar umat Islam di dunia,

maka dengan instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1990

71 Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku. Lihat Arso Sosroadmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 30

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 11

3

berlakulah apa yang dinamakan KHI sebagai hukum

material yang dipergunakan dalam lingkungan Peradilan

Agama. Berlakunya Kompilasi Hukum Islam ini diharapkan

akan meningkatkan peranan para Hakim Agama dalam

berijtihad.

Lahirnya Kompilasi Hukum Islam selain untuk

menggalakkan kembali ijtihad dikalangan umat Islam, juga

dimaksudkan untuk menyatukan persepsi di kalangan umat

Islam sendiri dalam melihat persoalan yang timbul di

masyarakat, sesuai dengan budaya Indonesia akan tetapi

tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunah. Tentang

perkawinan diatur dalam buku I KHI, baik mengenai

peminangan, hak dan kewajiban suami isteri, pemeliharaan

anak, perwalian, dan lain-lain. Dalam hal terjadinya

larangan perkawinan ini telah diatur oleh Undang-Undang

Perkawinan dan KHI. Adanya pengaturan mengenai

larangan perkawinan ini selain dimaksudkan untuk

penyempurnaan pengaturan ketentuan perkawinan untuk

mengantisipasi kemungkinan yang timbul di kemudian

hari.72

Walaupun Negara Indonesia tidak secara utuh

mengakui Negara Islam, namun Indonesia merupakan

Negara yang penduduk muslimnya terbesar di dunia. Upaya

konkrit pembaruan hukum keluarga di Indonesia dimulai

sekitar tahun 1960 yang berjuang lahirnya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.73

Kontruksi Perundang-Undangan tentang

Perkawinan di Indonesia. Batasan Usia Perkawinan Undang-

undang perkawinan No 1 tahun 1974 ternyata tidak kaku dan

cukup memberikan ruang toleransi, hal ini bisa terlihat dari

Pasal 7 ayat Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal

ini dapat meminta dispensasi kepada

72 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 2-3 73 Ratna Bantara Munti, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: LBH-

APIK, 2005), h. XV

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 114

Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua

orang tua pihak pria ataupun pihak wanita. Bagi umat Islam

tentu orang tua/wali para catin harus mengajukan ijin

dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah

Syar’iyah kabupaten di daerah catin tinggal. Setelah ijin

keluar baru akad nikah bisa dilaksanakan. Ijin tersebut akan

dijadikan dasar oleh PPN/Penghulu serta akan

mencantumkannya dalam lembaran NB daftar pemeriksaan

nikah poin II Calon Suami No 16 baris 33,34 dan poin III

Calon Isteri No.16 baris 71,72. Dengan demikian pernikahan

yang masih di bawah umur atas ijin pengadilan menjadi sah

dan berkekuatan hukum.

Selanjutnya dalam Undang-undang Republik

Indonesia No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak

Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) anak adalah

seseorang yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ayat (2)

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin

dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrimninasi.

Jika kita lihat sebagian Pasal pada undang-undang

No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang

No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak di atas, tentu

ada hal yang perlu di berikan elaborasi, terutama

menyangkut batasan anak dan batasan nikah, karena kedua

ukuran tersebut masih bisa menimbulkan perdebatan yang

panjang. Di satu sisi ia masih katagori anak-anak tapi disi

lain dikatakan sudah cukup untuk menikah. Hal ini menjadi

penting untuk ditindak lanjuti terutama oleh para

pemangku kepentingan mungkin para akademisi, ulama,

legislatif atau siapapun di Republik ini. Karena orang

tua/wali membutuhkan kejelasan dan perlindungan hukum

dalam membahagiakan anaknya, serta PPN/Penghulu

membutuhkan ketenangan dalam melaksanakan tugas

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 11

5

sebagai pelayanan prima kepada masyarakat, apalagi dalam

Undang-undang Perlindungan Anak Bab XII tercantum

ketentuan pidana. Tentu hal ini perlu pengkajian yang

konprehensip, agar tidak menjadi media bagi pihak lain

yang berkepentingan untuk menyudutkan dan atau

menyalahkan pihak lainnya, yang pada gilirannya aturan itu

bisa berjalan seiring, sejalan, saling mengayomi, saling

melengkapi dan tidak saling bersinggungan.

2. Taklik Talak Menurut Kompilasi Hukum Islam

Taklik talak dan perjanjian perkawinan dalam KHI

diatur Pasal 45 dan 46 secara khusus. Pada Pasal 51

disebutkan bahwa pelanggaran perjanjian tersebut

memberi hak pada istri untuk meminta pembatalan nikah

dan mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke

Pengadilan Agama. Berkenaan dengan perceraian KHI

menyebutkan bahwa taklik talak dapat digunakan sebagai

alasan bagi seorang istri untuk mengajukan gugatan

perceraian ke Pengadilan Agama. Pasal 116 KHI

menyebutkan beberapa alasan yang digunakan untuk

melakukan perceraian. Alasan yang di sebutkan dalam KHI

Poin a hingga f sama persis dengan alasan pada kedua

Undang-undang yang telah diuraikan di atas. Nilai beda KHI

terletak pada penambahan pada Poin g (suami melanggar

taklik talak) dan h (peralihan agama atau murtad yang

menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Kaitannya dengan perjanjian perkawinan UU No 1

Tahun 1974 memuat tentang perjanjian perkawinan namun

masih bersifat umum dan tidak menyebutkan tentang taklik

talak pada PP No 9 Tahun 1975 tidak disebutkan mengenai

taklik talak maupun perjanjian perkawinan yang lain.

Sedang pada KHI disebutkan tentang taklik talak dan

perjanjian perkawinan yang lain mengenai harta pribadi dan

harta bersama. Tentang alasan perceraian ketiga undang-

undang ini mengemukakan alasan yang sama untuk

terwujudnya perceraian, hanya saja pada KHI ada

penambahan poin yaitu Poin g (suami melanggar taklik

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 116

talak) dan Poin h (peralihan agama atau murtad yang

menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga).

Demikian halnya berkenaan dengan gugatan

perceraian UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun

1975 serta KHI menjelaskannya secara rinci yang

muatannya secara umum juga sama. Perbedaannya adalah

pada KHI pengaju gugatan adalah istri, sedang menurut dua

Undang-undang sebelumnya gugatan dapat dilakukan oleh

suami atau istri.

6. Peraturan Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan di

Indonesia, telah muncul sejak jaman penjajahan. Perjuangan

ini berjalan sampai zaman reformasi. Perjuangan inikadang

mendapat respon positif dari pemerintah yang berkuasa,

namun terkadang tidak mendapat dukungan pemerintah,

begitu juga terkait materi (isi undang-undang) yang akan

diperbaharui, sejumlah elemen masyarakat setuju untuk

diperbaharui, tetapi banyak juga yang tidak menyetujui. 74

Pro dan kontra sudah menjadi hal yang umum dalam

perjalanan pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia. Bab

ini berusaha menyajikan data-data tersebut secara umum,

yang Di mulai dari sejarah penjajahan Belanda. Untuk melihat

gambaran lebih rinci sejarah Hukum Perkawinan Islam

Indonesia dibagi dalam tiga periodesasi, yaitu:

Undang-Undang Perkawinan Masa Kolonial Belanda/Pra

Kemerdekaan Undang-Undang Perkawinan pada Masa Pasca

Kemerdekaan/Orde Lama Sejarah Lahirnya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Masa Orde Baru Latar belakang

penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Proses Penyusunan

Kompilasi Hukum Islam Kontruksi Perundang-Undangan

tentang Perkawinan di Indonesia.

74 Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2010), h. 133

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 11

7

Sebagaimana dijelaskan dalam keterangan di bawah ini, yaitu:

a. Undang-Undang Perkawinan Masa Kolonial Belanda/Pra

Kemerdekaan

Pada masa pra-kolonial, di Indonesia (secara riil saat

itu negara Indonesia belum terbentuk, yang ada adalah

kerajaan-kerajaan yang otonom yang tersebar di pulau

Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan sebagainya)

berlaku berbagai macam hukum adat dalam aneka sistem

sosial politik yang besar. Di Jawa misalnya, yang menurut

Jaspan terdiri dari tujuh suku (ethnic), berlaku hukum adat

yang berbeda-beda di ketujuh suku tersebut. Namun

berbagai macam hukum adat itu didasarkan pada sistem

sosial politik jawa saat itu, misalnya saja corak Hindu yaitu

adanya hirarki dalam masyarakat.75 Di samping itu, sistem

hukum pada masa tersebut, dalam sejumlah kasus,

ditentukan oleh sistem kekerabatan yang ada, misalnya

sistem kekerabatan matrilineal untuk daerah Minangkabau,

patrilineal untuk Batak, Lampung parental atau bilateral

untuk Jawa.

Ketika Islam masuk ke Indonesia, dan menyebar

hampir keseluruh kepulauan di Indonesia pada abad ke-13,

berbagai daerah di kepulauan ini menjadi daerah/kerajaan

Islam, yang berimplikasi juga pada diterimanya hukum

Islam sebagai salah satu hukum yang berlaku. Pada masa

itu, masyarakat di kepulauan Nusantara berusaha

menggabungkan antara hukum adat dan hukum Islam. Jika

dianggap ada pertentangan di antara keduanya, maka yang

dipilih adalah salah satunya. Misalnya hukum waris untuk

daerah Minangkabau dan Jawa, ketentuannya mengikuti

hukum adat masing masing, di mana untuk Minangkabau,

pewarisan bersifat kolektif dan ahli waris yang mendapat

harta warisan berdasarkan pada garis keturunan pihak ibu.

Sementara di Jawa, dengan sistem kekerabatan

75 MA Jaspan, Daftar Sementara Suku-Suku Bansa di Indonesia berdasarkan Klasifikasi letak

atau kep, ulauan, dikutip dalam laporan hasil penelitian Nursyahbani, Katjasungkana dkk., A Study of

Gender and Acces to Justice in Indonesia, (Jakarta: LBH, 1991), 1959, h. 3

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 118

parental/bilateral, harta warisan dibagi merata antara laki-

laki dan perempuan. Akibatnya, secara sosial dan politik,

sering terjadi ketegangan antara hukum adat dan hukum

Islam.76 Begitu juga hukum perkawinan yang berlaku saat

ini, merupakan hasil singkretisme hukum adat dan hukum

Islam. Salah satu contoh adalah tata cara perkawinan, di

mana biasanya akad nikah (ijāb qabūl) dilakukan dengan

cara Islam, sementara upacara perkawinan dilakukan sesuai

dengan adat masing-masing.

Pada masa awal kolonial Belanda, yaitu sekitar abad

ke-17-18 serta awal abad ke-19, pemerintah kolinial Belanda

berusaha mengambil hati masyarakat Indonesia dengan

tetap membiarkan sistem hukum yang berlaku di

masyarakat sebagai awalnya selama itu. Langkah lebih

lanjut untuk melegakan perasaan umat Islam, pada tahun

1760, pemerintah Belanda menerbitkan Compendium Freijer

yang menghimpun hukum perkawinan dan hukum

kewarisan Islam yang diberlakukan di pengadilan-

pengadilan untuk menyelesaikan sengketa di kalangan umat

Islam. Selain itu, pemerintah kolonial juga menerbitkan

berbagai macam kodifikasi hukum yang berlaku di daerah-

daerah adat, misalnya kitab Muharrar yang diperlakukan di

Pengadilan Negeri Semarang, memuat singkretisasi hukum

adat Jawa dan hukum Islam.77 Kebijakan yang dilakukan oleh

pemerintah kolonial tersebut, hanya terjadi pada zaman

VOC.

Setelah VOC berakhir, sekitar pertengahan abad ke-

19, pemerintah Kolonial Belanda mulai memberlakukan

pembagian sistem hukum di Indonesia (pada masa itu

bernama Hindia Belanda), yaitu Hukum Adat, (Ordonansi

hukum Negara Belanda) dan BW (Burgerlijk Wetboek/

76 Daniel S. Lev. Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia, dalam Claire Holt (ed.),

Culture and Politics in Indonesia, (New York: Cornell University Press, 1972), h. 216-318. Lihat juga

John R. Bowen, Qur‟an Justice, Gender: Internal Debates in Indonesian Islamic Jurisprudence, dalam

Histories of Religion, (Chicago: The University of Chicago, 1998), h. 57 77 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Indonesia dari Masa ke Masa, dalam Dadan Muttaqien,

dkk. (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dan Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII

Press, 1999), h. 8

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 11

9

Hukum Perdata yang berlaku bagi orang-orang Eropa atau

orang Indonesia keturunan Eropa).78 Pembagian tersebut

juga dapat dilihat pada pengaturan perkawinan pada masa

pemerintahan kolonial Belanda yang dipengaruhi

pemberlakuan hukum berdasarkan penggolongan

kewarganegaraan. Ada ketentuan untuk golongan Eropa

dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang

disamakan dengan mereka berlaku kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUHPer).79

1) Golongan Timur Asing (Cina) dan warga negara

keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab

Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit

perubahan Bagi golongan Timur Asing lain-lainnya dan

Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya

tersebut berlaku Hukum Adat mereka. Golongan pribumi

orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku

Huwelijkhs Ordonnantie Christen Indonesia (S.I 933

Nomer 74).80

2) Bagi orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku

hukum Agama yang telah diresiplir dalam Hukum Adat,

bagi orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat,

Hal ini tentu menciptakan ketidakseragaman dalam

pengaturannya. Oleh karena itu lahirlah Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP).81

Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada awal

abad 20, tepatnya pada tahun 1937, pemerintah kolonial

Belanda berupaya membentuk Undang-undang perkawinan

yang diawali dengan disebarnya rencana Ordonansi tentang

perkawinan tercatat, yang intinya membuka bagi suami

isteri Indonesia asli/pribumi untuk mencatatkan

(perkawinan dirinya). Isi pokok dari rancangan Ordonansi

78 Apong Herlina, dkk., laporan hasil penelitian, A Study of Gender and Acces to Justice in

Indonesia, 1999, h. 8 79 Negara RI, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), (Yogyakarta: Yunestesia,

2009), h. 17 80 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Mandar Maju,

2007), h. 102 81 Wirjono Pradjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia (Bandung:Vorkink, tt.), h.14

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 120

tersebut adalah asas monogami dalam perkawinan,

putusnya perkawinan hanya karena salah satu pihak

meninggal dunia atau karena salah satu pihak tidak berada

di tempat tinggalnya selama dua tahun tanpa ada kabar

berita, dan perkawinan orang-orang pribumi tersebut

mempunyai akibat hukum yang sama dengan perkawinan

yang tercatat dalam pencatatan sipil.

Rancangan Ordonansi ini mendapat dukungan dari

berbagai pihak, kaum perempuan yang tergabung dalam

bergabagi organisasi perempuan terbagi menjadi dua,ada

yang pro dan kontra. Mereka yang pro antara lain adalah

organisasi Poetri Boedi Sedjati dan Serikat Kaoem Ibu

Soematra. Sementara yang kontra adalah organisasi

perempuan underbow organisasi keagamaan, yang meski

pada dasarnya menentang poligami sejak Kongres I

Perempuan se-Hindia Belanda pada tahun 1928 juga

menentang adanya pencatatan perkawinan.

Rencana keras terhadap rancangan ini muncul dari

berbagai kelompok Islam, baik kelompok Islam tradisional,

seperti Nahdhatul Ulama, maupun Islam Modern, seperti

Muhammadiyah. Bahkan dapat dikatakan hampir seluruh

kelompok Islam menolak rancangan Ordonansi ini. Akibat

respon yang cukup keras, rancangan Ordonansi akhirnya

tidak diteruskan dan pengaturan perkawinan kembali pada

pola sebelumnya, yaitu berdasarkan penggolongan

tertentu.82

Pada kolonial ini telah terlihat terjadinya tarik-

menarik kepentingan antara tiga pihak, yaitu negara, dalam

hal ini pemerintah kolonial, agama dalam hal ini Islam dan

perempuan, namun yang dikalahkan adalah kepentingan

perempuan.

Undang-Undang Perkawinan pada Masa Pasca

Kemerdekaan/Orde Lama Sejak masa kemerdekaan, mulai

ada upaya untuk menciptakan unifikasi sistem hukum,

82 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung CV. Mandar Maju, 2007), h. 5

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 121

upaya ini sulit diwujudkan, karena di samping realitas

beragamnya kebudayaan dan kepentingan yang terjadi di

Indonesia, juga Karena adanya heterogenitas dari kerangka

hukum, baik hukum Adat, BW, maupun hukum Islam yang

tidak menyediakan dasar hukum yang konsisten bagi

terwujudnya satu kesatuan dari seperangkat nilai yang

ada.83 Namun meski menghadapi kesulitan, bangsa

Indonesia tidak pernah berhenti mengusulkan dan

mengupayakan unifikasi hukum, salah satunya terhadap

hukum perkawinan.84

Pada tahun 1950-an, pemerintah Indonesia mulai

melakukan pengaturan di bidang hukum perkawinan,

dengan dibentuknya Panitia Penyelidik Peraturan Hukum

Nikah, Talak, Rujuk (biasanya disingkat dengan NTR).

Panitia NTR ini, dengan mengevaluasi pengaturan

perkawinan yang berlaku (warisan pemerintah kolonial

Belanda), memuat dua macam Rancangan Undang-Undang

(RUU) Perkawinan, yaitu: Rancangan Undang-Undang

(RUU) Perkawinan yang bersifat umum dan Rancangan

Undang-Undang (RUU) perkawinan yang bersifat khusus

untuk masing-masing agama (Islam, Katholik, Kristen,

Hindu, Budha).85

Setelah diselesaikan pada tahun 1952, Rancangan

Undang-Undang (RUU) ini mendapat tanggapan dari

masyarakat, mulai dari organisasi perempuan sampai

dengan organisasi keagamaan. Tanggapan ini dilakukan

dalam rapat dengar pendapat (hearing). Hasil dari hearing

ini mereka yang hadir tampaknya berkeberatan dengan

Rancangan Undang-Undang (RUU) yang bersifat umum.

Menindak lanjuti hasil hearing tersebut, panitia NTR

melanjutkan penyusunan Rancangan Undang-Undang

83 Apong Herlina, dkk., Laporan Hasil Penelitian “The Study of Gender and Access to Justice

in Indonesia”, 1991, h. 5-6 84 Abdullah Tri Wahyudi, „Kewenangan Absolut Peradilan Agama Di Indonesia Pada Masa

Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi‟, YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum

Islam, 7.2 (2016), h. 285–304. 85 Jaih Mubarok, Pembaruan Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Simbiosa Rekatama

Media, 2015), h. 30

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 122

(RUU) yang bersifat khusus. Oleh karena itu mayoritas

bangsa Indonesia beragama Islam, maka yang

diprioritaskan adalah penyusunan Rancangan Undang-

Undang (RUU) Perkawinan untuk umat Islam, yang berhasil

diselesaikan pada tahun 1954 dan diajukan pada kabinet

tahun 1958. Panitia telah berhasil menyusun dua RUU

Perkawinan; pertama, RUU Perkawinan yang bersifat umum

yang diselesaikan pada tahun 1952; dan kedua, RUU

Perkawinan khusus bagi umat Islam yang diselesaikan pada

tahun 1954.86

Pada saat yang sama, Ny. Sumari dari Partai

Nasional Indonesia (PNI) bersama beberapa anggota DPR,

juga mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU)

Perkawinan yang berisi 32 Pasal. Rancangan Undang-

Undang (RUU) ini secara substansial berbeda dengan

Rancangan Undang-Undang (RUU) yang pertama, dimana

selain Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan

oleh Ny. Sumari ini dimaksudkan untuk unifikasi hukum

dalam arti Rancangan Undang-Undang (RUU) ini berlaku

bagi seluruh rakyat Indonesia, juga asas perkawinan yang

dianut berbeda. Rancangan Undang-Undang (RUU)

Perkawinan yang dianut oleh Ny. Sumari adalah asas

monogami, sementara yang dianut oleh Rancangan Undang-

Undang (RUU) Perkawinan yang diajukan pemerintah adalah

asas poligami.

Respon yang diberikan terhadap Rancangan

Undang-Undang (RUU) Perkawinan yang diajukan oleh Ny.

Sumari ini cukup positif, terutama dari kalangan organisasi

perempuan. Setidaknya terdapat 12 organisasi perempuan

yang mendukung Rancangan Undang-Undang (RUU) ini.

Sementara dalam kabinet, PNI yang merupakan

representasi dari Rancangan Undang-Undang (RUU)

Perkawinan versi Ny. Sumari, berhadapan dengan partai

86 Jaih Mubarok, Pembaruan Hukum Perkawinan, h. 30

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 123

Nahdlatul Ulama (NU) yang mendukung Rancangan

Undang-Undang (RUU) Perkawinan yang diajukan

pemerintah. Kedua partai ini merupakan partai besar dalam

kabinet. Keduanya mempertahankan pendapat masing-

masing, sehingga kemudian diambil jalan tengah sebagai

langkah kompromi, yaitu dengan dibentuknya Panitia

Sembilan, yang terdiri dari: tiga unsur PNI, tiga unsur Partai

NU, dan tiga unsur pemerintah. Akan tetapi, Panitia

Sembilan ternyata tidak dapat menyelesaikan permaslahan

yang terjadi, bahkan hingga tahun 1959 (saat peristiwa

dikeluarkannya Dekrit Presiden), Panitia Sembilan belum

mencapain kesepakatan. Hingga berakhirnya Orde Lama,

pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU)

Perkawinan ini tidak pernah tuntas.87

Namun meski tidak berhasil merumuskan

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan, paling tidak

pada tahun 1957, pemerintah memberlakukan Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor. 45 Tahun 1957 tentang

Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah

(PA/MS) untuk daerah luar Jawa dan Madura. Pembentukan

PA/MS ini dimaksudkan agar umat Islam yang sedang

menghadapi suatu masalah, khususnya yang berhubungan

dengan nikah, talak, dan rujuk, dapat mengajukan perkara

itu di PA/MS setempat. Sementara itu karena para hakim di

PA/MS tidak memiliki buku rujukan yang memuat suatu

ketentuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan

perkara, mereka dianjurkan pemerintah untuk merujuk

pada 13 kitab fikih, yaitu: al-Bājūrī, Fath al-Mu’īn, Syarqawī

‘alā at-Tahrīr, Qolyubī/Mahallī, Fath al-Wahhāb, Tuhfah,

Targhīb al-Musytaq, Qawānīn Syar’iyyah li al-Sayyid bin

Yahyā, Qawānīn Syar’iyyah li al-Sayyid Sadaqah Dahlān,

Syamsurī bi al-Faraid, Bughiyah al-Mustarsyidīn, al-Fikih

‘ala Mazāhib al-Arba’ah, dan Mughnī al-Muhtāj. Jika kita

lihat, kitab-kitab yang menjadi rujukan itu sebagian besar

87 Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di

Indonesia, (Yogyakarta: LkiS, 2005), h. 11

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 124

merupakan kitab-kitab fikih klasik karya ulama abad

pertengahan.88

Dari uraian di atas, kembali terlihat bagaiman tiga

kepentingan saling tertarik dan meski Rancangan Undang-

Undang (RUU) Perkawinan yang diusulkan oleh Ny. Sumari

telah didukung oleh banyak organisasi perempuan, tetap

saja perempuan tidak menang dalam pertempuran

kepentingan tersebut. Sejarah Lahirnya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Masa Orde Baru Berbicara tentang

hukum keluarga Islam (Islamic Family Law) yang berlaku di

Indonesia, tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjalanan

sistem hukum di Indonesia sejak pada masa kolonialisme

Belanda hingga sekarang. Yang menarik, sepanjang sejarah

Indonesia, diskursus mengenai hukum keluarga termasuk di

dalamnya adalah hukum perkawinan secara umum, paling

tidak melibatkan tiga pihak, yaitu; kepentingan agama,

negara dan perempuan. Sebagian besar orang Islam

misalnya, di mana moyoritas bangsa Indonesia memeluk

agama Islam, selalu merasa harus bertanggungjawab atas

umatnya, yang diwujudkan dengan upaya memasukkan

hukum Islam di Indonesia.

Di sini Islam sebagai sebuah institusi mempunyai

kepentingan yang signifikan atas keluarga, di mana keluarga

dianggap sebagai kelompok sosial terkecil yang berperan

penting dalam mensosialisasikan nilai-nilai agama terhadap

para anggotanya. Sedangkan negara juga mempunyai

kesadaran bahwa institusi keluarga tidak dapat diabaikan

begitu saja dalam sistem ketatanegaraan Republik

Indonesia. Disisi lain, perempuan yang dalam sepanjang

sejarah dikungkung dalam sistem patriarkhi yang tidak

mendukung kesetaraan hubungan antara laki-laki dan

88 Proyek Penyuluhan Hukum Agama, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Sejarah

Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dalam UU Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. (Jakarta: Departemen Agama, 1995/1996), h. 305-306

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 125

perempuan dalam keluarga, mendorong perempuan untuk

memperjuangkan kesetaraan.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama setelah

pemerintahan Orde lama ditumbangkan oleh rezim Orde

Baru, tepatnya pada tahun 1966, Menteri Kehakiman saat

itu menugaskan Lembaga Pemerintah Hukum Nasional

(LPHN) menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU)

Perkawinan yang bersifat nasional sesuai dengan falsafah

Pancasila.89191 Pada tahun 1968, kerja LPHN berhasil

menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan, dan naskah ini

diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong

Royong (DPR-GR). Di sisi lain, pada tahun 1967, pemerintah

berada pada dua kutub. Kutub yang satu bisa dikatakan

sebagai kutub pemerintah yang pada saat itu berpihak pada

kaum nasionalis (perpaduan Golkar dan PDI), sementara

kutub yang lain adalah PPP yang mewakili kelompok agama

Islam. Kutub pertama sangat mendukung Rancangan

Undang-Undang (RUU) Perkawinan tersebut, sementara

kutub kedua berkeberatan, bahkan pada dasarnya menolak.

Perbedaan ini mengakibatkan konflik berkepanjangan.

Perbedaan yang sangat tajam di DPR tentang

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan

mengundang reaksi publik secara luas di luar gedung DPR.

Masyarakat luas saat itu berfungsi sebagai kelompok

penekan (presure group) yang dapat mempengaruhi

keputusan DPR, di luar ruang sidang Fraksi Persatuan

Pembangunan (F-PP) yang sejak awal berkeberatan dan

mendesak pemerintah untuk mengubah Rancangan

Undang-Undang (RUU) tersebut sesuai dengan hukum

Islam, melakukan mobilisasi massa dan aksi besar-besaran.

Selain di Jakarta, aksi menolak Rancangan Undang-Undang

(RUU) Perkawinan ini juga terjadi di beberapa kota besar

lainnya. Menghadapi merebaknya aksi unjuk rasa ini,

89 Jaih Mubarok, Pembaruan Hukum Perkawinan, h. 31

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 126

pemerintah terpaksa berinisiatif melakukan lobby di luar

sidang. Mekanisme lobi ini selalu dikenal dalam kehidupan

politik manapun yang dilakukan ketika pembahasan di

dalam ruang sidang mengalami jalan buntu.90

Di sisi lain, meski usul inisiatif tentang Rancangan

Undang-Undang (RUU) Perkawinan ini berasal dari

perempuan, proses pembahasannya sangat sedikit

melibatkan perempuan. Dari segi kuantitas, di antara 10

orang yang ditunjuk sebagai panitia kerja yang tetap, hanya

ada seorang perempuan terlibat. Selain panitia tetap, juga

ada panitia pengganti yang beranggotakan 15 orang dan di

antara jumlah sekian ini hanya melibatkan dua orang

perempuan. Apalagi ternyata para perempuan yang menjadi

anggota panitia kerja tersebut jarang sekali menggunakan

hak bicaranya.

Pembahasan mengenai cikal bakal Undang-Undang

Repubik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

ini, pada akhirnya harus babak belur di antara tarik menarik

dua kepentingan. Kepentingan kaum nasionalis yang

beranggapan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU)

Perkawinan tersebut sudah sesuai dan dapat diterapkan di

Indonesia dengan heterogenitas masyarakatnya. Kelompok

yang mengklaim sebagai representasi dari kelompok Islam,

berpendapat bahwa isi dari Rancangan Undang-Undang

(RUU) Perkawinan itu banyak yang bertentangan dengan

ajaran Islam, sehingga tidak dapat digunakan oleh orang

Islam, yang merupakan komunitas terbesar di Indonesia.

Pada 31 Juni 1973 presiden menyampaikan RUU tentang

Perkawinan kepada DPR dan menarik kembali dua RUU

yang sudah diajukan sebelumnya. RUU yang diajukan ke

DPR pada 1973 inilah yang kemudian menjadi Undang-

Undang N0. 1 Tahun 1974.91

90 Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah, Ibid, h. 13 91 Hasan Basri, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, dalamAbdurrahman, Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 21

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 127

Ironisnya, di antara dua kutub itu, tidak ada satupun

yang memperjuangkan kepentingan perempuan. Kondisi

semacam ini semakin memperlemah posisi tawar

perempuan di DPR, hingga akhirnya Undang-Undang

Repubik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

yang dikeluarkan menjadi hasil kompromi antara dua

kepentingan dan sama sekali tidak berperspektif

perempuan. Salah satu contoh adalah asas monogami yang

dulu aspek Kongres I diperjuangkan oleh perempuan, harus

berkompromi dengan interpretasi sementara kaum

agamawan yang berkeyakinan asas perkawinan dalam Islam

adalah poligami. Undang-Undang Perkawinan berhasil

menyisipkan Pasal-Pasal pembakuan peran laki-laki dan

perempuan yang mengakomodir gambaran stereotip

perempuan di masyarakat dan pembagian kerja seksual

antara laki-laki dan perempuan. Padal 31 dan 34 Undang-

Undang ini misalnya, menyebutkan bahwa suami adalah

kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.

a. Pencatatan Perkawinan

Ada beberapa poin terkait dengan materi yang

dibahas dalam disertasi ini, antara laian:

1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan Pasal 2 Ayat 2, yaitu: “Tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.” Undang-Undang No 22

Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak

dan Rujuk Pasal 1 Ayat 1, yiatu: “Nikah yang dilakukan

menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah,

diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat

oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk

olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut

agama Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk,

diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.”

Pasal ini memberitahukan legalisasi bahwa

supaya nikah, talak, dan rujuk menurut agama Islam

supaya dicatat agar mendapat kepastian hukum.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 128

Dalam Negara yang teratur segala hak-hak yang

bersangkut pada dengan kependudukan harus

dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian, dan

sebagainya lagi pada perkawinan perlu dicatat ini

untuk menjaga jangan sampai ada kekacauan.

2) PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No 1

Tahun 1974 Tentang PerkawinanBab II Pasal 2 Ayat

1: Pencatatan Perkawinan dari mereka yang

melangsungkan perkawinannya menurut Agama

Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana

dimaksud dalam UU Nomor 32 tahun 1954 tentang

Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk. Ayat 2: Pencatatan

Perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agamanya dan

kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan

Sipil sebagaiman dimaksud dalam berbagai perundang-

undangan mengenai pencatatan

perkawinan. Ayat 3: Dengan tidak mengurangi

ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi

tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan

berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatn

perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 3 sampai Pasal 9 Peraturan Pemerintah.

3) Pasal 6 Ayat 1: Pegawai Pencatat yang menerima

pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan,

meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah

dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan

perkawinan menurut Undang-undang. Ayat 2: Selain

penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat

(1), Pegawai Pencatat meneliti pula; Kutipan Akta

Kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai.

Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal

lahir dapat dipergunakan surat keterangan yang

menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang

diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 129

dengan itu; Keterangan mengenai nama,

agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal

orang tua calon mempelai; Izin tertulis/izin

Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat

(2),(3), (4), dan (5) Undang-undang, apabila salah

seorang calon mempelai atau keduanya belum

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;

4) Izin Pengadilan sebagi dimaksud Pasal 14 Undang-

undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang

suami yang masih mempunyai isteri; Dispensasi

Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2)

Undang-undang; Izin kematian isteri atau suami yang

terdahuluatau dalam hal perceraian surat keterangan

perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau

lebih; Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh

Menteri Hankam/Pangab, apabila salah satu calon

mempelai atau keduanya anggota Angkatan

Bersenjata;

5) Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang

disahkan Pegawai Pencatat, apabila salah seorang

calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir

sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga

mewakilkan kepada orang lain.

b. Wali Nikah

Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan masalah kedudukan Wali dalam

pernikahan, memang tidak dibahas secara lebih

mendetail. Namun jika kita cermati dari Bab 2 (dua)

tentang syarat-syarat perkawinan, terutama pada Pasal

6 (enam) ayat 2 (dua) sampai dengan ayat 5 (lima) di sana

tampak jelas bahwa kedudukan wali dalam pernikahan

sangat penting terutama untuk “Memberikan ijin pada

calon istri yang belum genap berusia 21 tahun”. Untuk

melangsungkan perkawinan seorang yang belum

mencapai 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan

ijin dari kedua orang tua UU No. 1 Tahun 1974 , Pasal.6 : 2

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 130

Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua

telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu

menyatakan kehendaknya, maka ijin dimaksud ayat (2)

pasa ini cukup memperoleh dari orang tua yang masih

hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan

kehendaknya. Pasal. 6 : 3.

Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia

atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan

kehendaknya maka ijin diperoleh dari wali, orang yang

memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan

darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama

mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat

menyatakan kehendaknya. (ps.6 :4) Dalam hal ada

perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam ayat (2), (3) dan (4) Pasal ini, atau salah seorang di

antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka

Pengadilan dalam daerah hokum tempat tinbggal orang

yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan

orangbtersebut dapat memberikan izin setelah lebih

dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2),

(3) dan (4). (Ps. 6: 5). Sedangkan dari Bab 3 (tiga) Pasal 14

(empat belas) ayat 1 (satu) dan 2 (dua), dinyatakan bahwa

wali memiliki kewenangan untuk mencegah perkawinan.

Di sana dinyatkan bahwa: “Perkawinan dapat dicegah,

apabila ada pihak-pihak yang tidak memenuhi syarat-

syarat untuk melangsungkan perkawinan, Pasal 13. UU

No. 1 Tahun 1974.

Yang dapat mencegah perkawinan ialah para

keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah,

saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang

calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan

Pasal 14:1, UU No. 1 Tahun 1974.

Mereka yang disebut pada ayat (1) Pasal ini

berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan

apabila salah seorang dari calon mempelai berada di

bawah pengampunan, sehingga dengan perkawinan

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 131

tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi

calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai

hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam

ayat (1) Pasal ini, (Ps. 14 :2, UU No. 1 Th. 1974).

Kewenangan wali selanjutanya adalah dapat

membatalkan perkawinan. Sebagaimana tersebut dalam

Bab IV Pasal 23, bahwa, yang dapat membatalkan

perkawinan yaitu:

Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas

dari suami atau istri. Pejabat yang berwenang hanya

selama perkawinan belum diputuskan Pejabat yang

ditunjuk tersebut (2) Pasal 16 Undang – undang ini dan

setiap orang yang mempunyai kepentingan hokum

secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi

hanya setelah perkawinan ini putus.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,

masalah kedudukan wali dalam pernikahan dibahas

secara lebih mendetail. Bahkan wali dalam pernikahan

menjadi salah satu rukun dan syarat perkawinan di

Indonesia (Bab IV, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia).

Bahwa untuk dapat melaksanakan perkawinan harus ada:

Calon Mempelai, Calon Istri, Wali nikah,,Dua orang saksi

dan, Ijab dan Kabul.

Dalam Pasal 19 (sembilan belas) dinyatakan

bahwa wali nikah dalam Perkawinan merupakan rukun

yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang

bertindak untuk menikahkannya. Yang bertindak sebagai

wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat

hukum Islam yakni muslim, aqil dan bālig. (KHI. Ps. 20:1).

Wali Nikah terdiri dari Wali nasab dan wali hakim, (KHI.

Ps. 20: 2)

Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam

urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari

kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan

kekerabatan dengan calon mempelai wanita, meliputi :

KHI. Pasal 21 : 10.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 132

Kelompok kerabat laki–laki garis lurus ke atas

yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kelompok kerabat saudara laki- laki kandung atau

saudara laki- laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki

kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki- laki

mereka. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek,

saudara laki- laki kakek seayah dan keturunan laki-laki

mereka.

Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat

beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali,

maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih

dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai

wanita. Pasal 21 : 2.

Apabila dalam satu kelompok sama derajat

kekerabatannya maka yang berhak menjadi wali ialah

kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah. Pasal

21 : 3.

Apabila dalam satu kelompok derajat

kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung

atau sama- sama derajat ayah, mereka sama-sama

berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang

lebih tua dan memenuhi syarat- syarat wali Pasal 21 : 4.

Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya

tidak memenuhi syarat sebagai Wali nikah atau oleh

karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu

atau udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali

nikah yang lain menurut derajat berikutnya, KHI. Pasal

22.

Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali

nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin

menghadirkan atau tidak diketahui tempat tinggalnya

atau gaib atau adal atau enggan. KHI. Pasal 23 : 1. Dalam

hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat

bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan

Pengadilan Agama tentang wali tersebut. (Pasal 23 : 2).

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 133

Dari beberapa keterangan tersebut di atas

tampak bahwa kedudukan wali dalam pernikahan di

Indonesia sangat menentukan dan menjadi salah satu

syarat dan rukun dalam pelaksanaan perkawinan di

Indonesia.

c. Talak dan Cerai di Muka Pengadilan

Dalam pernikahan, perceraian merupakan suatu

peristiwa yang kadang tidak dapat dihindarkan oleh

pasangan menikah, baik mereka yang baru saja menikah

atau mereka yang sudah lama menikah. Perceraian

merupakan salah satu sebab putusnya ikatan perkawinan

di luar sebab lain yaitu kematian dan atau atas putusan

pengadilan seperti yang terdapat di dalam Pasal 38 UU

Perkawinan. Dalam hal perceraian dapat dilakukan dan

diputuskan apabila memiliki alasan-alasan, baik dari

pihak suami maupun istri.

Saat berproses atau berperkara di pengadilan,

baik itu di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri,

sangat disarankan pihak penggugat dan pihak tergugat

dapat didampingi oleh advokat (pengacara). Advokat

selain dapat mendampingi para pihak yang beracara, ia

juga dapat menjembatani dialog antara para pihak yang

akan bercerai terkait dengan kesepakatan-kesepakatan,

seperti harta gono gini, tunjangan hidup, hak asuh anak,

dan hal-hal penting lainnya.

Dasar hukum proses perceraian di Indonesia

adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Berdasarkan

UU tersebut, dimungkinkan salah satu pihak, yaitu suami

atau istri melakukan gugatan perceraian. Walaupun

demikian, ada pembeda antara penganut agama Islam

dan di luar Islam dalam soal perceraian ini. Pasangan

suami-istri Muslim dapat bercerai dengan didahului oleh

permohonan talak oleh suami atau gugatan cerai oleh

istri yang didaftarkan pada pengadilan agama. Untuk

pasangan non-Muslim dapat bercerai dengan

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 134

mengajukan gugatan cerai (baik suami maupun istri)

melalui pengadilan negeri.

Pasangan suami-istri beragama Islam yang salah

satunya berniat untuk bercerai harus tunduk pada

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku berdasarkan

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang

Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Dengan demikian, dalam proses perceraian

berdasarkan KHI terdapat dua istilah yaitu cerai gugat

dan cerai talak. Pasal 116 KHI menegaskan hal tersebut:

“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena

perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan

gugatan perceraian.”

Berdasarkan penjelasan Pasal 14 UU Perkawinan

dan PP 9/1975 diatur tentang cerai talak yaitu cerai yang

dijatuhkan suami di depan pengadilan yang sesuai

dengan hukum Islam. Talak menurut Pasal 117 KHI adalah

ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi

salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal tersebut

diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi: Seorang

suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya

mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis

kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat

tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar

diadakan sidang untuk keperluan itu.

Mengacu pada UU Perkawinan, PP 9/1975, dan

KHI bahwa seorang suami Muslim yang telah menikah

secara Islam dan berniat menceraikan istrinya, terlebih

dahulu mengajukan surat pemberitahuan tentang

maksud menceraikan istrinya diikuti dengan alasan-

alasan. Surat pemberitahuan tersebut disampaikan ke

Pengadilan Agama, tempat ia berdomisili. Dengan

demikian, sang suami meminta diadakan sidang oleh

Pengadilan Agama untuk maksud tersebut.

Pengadilan Agama akan mempelajari isi surat

pemberitahuan tersebut dan dalam selambat-lambatnya

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 135

30 (tiga puluh) hari akan memanggil penggugat beserta

istrinya guna meminta penjelasan tentang segala sesuatu

yang berhubungan dengan maksud perceraian tersebut.

Hukum Negara Indonesia hanya mengakui talak

yang diucapkan suami di depan Pengadilan Agama.

Adapun talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan

Agama hanya sah menurut hukum agama. Di dalam

artikel berjudul “Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan”

(Hukum Online), Nasrulloh Nasution, S.H. menyatakan

bahwa cerai talak yang dilakukan suami di luar

Pengadilan Agama menyebabkan ikatan perkawinan

antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum

sebagaimana diatur oleh Negara.

Selain perceraian pasangan Muslim hanya dapat

dilakukan di depan Pengadilan Agama, Pasal 115 KHI juga

menyebutkan bahwa perceraian dapat dilakukan setelah

Pengadilan Agama berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak. Tentang hal ini

dilakukan melalui mediasi oleh mediator yang ditunjuk

Pengadilan Agama. Adapun cerai gugat (gugatan cerai)

hanya dapat diajukan oleh istri sebagaimana terdapat

dalam Pasal 132 ayat (1) KHI:

Gugatan perceraian diajukan oleh istri atas

kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah

hukumnya mewilayai tempat tinggal penggugat kecuali

istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.

Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat

menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi

kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat (2)

KHI).

d. Taklik Talak/Janji Nikah

Taklik Talak Menurut UU Perkawinan No 1 Tahun

1974 Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 tidak

ditemukan Pasal yang secara khusus menyebutkan serta

mengatur tentang taklik talak dalam kapasitasnya

sebagai besar perjanjian perkawinan maupun sebagai

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 136

alasan perceraian Pasal 29 Undang-undang ini hanya

menyebutkan dibolehkannya bagi kedua mempelai untuk

mengadakan perjanjian tertulis sebelum melangsungkan

perkawinan. Dalam penjelasannya pada Pasal (29)

ditekankan bahwa perjanjian perkawinan yang dimaksud

tidak termasuk taklik talak di dalamnya. Adapun bunyi

Pasal (29) secara lengkap adalah sebagai berikut:

Pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan

kedua pihak atas persetujuan bersama dapat

mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh

pegawai pencatat perkawinan. Setelah mana isinya

berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak

ketiga tersangkut. Perjanjian tersebut tidak dapat

disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama

dan kesusilaan. Perjanjian tersebut berlaku sejak

perkawinan dilangsungkan.

Selama perkawinan berlangsung perjanjian

tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua

belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan

perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Adapun mengenai alasan perceraian UU

Perkawinan No 1 Tahun 1974 juga tidak menyebutkan

taklik talak sebagai alasan perceraian. Alasan Perceraian

menurut Undang-undang ini dalam penjelasan Pasal 39

ayat (2) adalah:

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,

pemadat, penjudi dan lain sebagainya dan sukar

disembuhkan.

2) Salah satu pihak meninggalkan yang lain dua tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan

yang sah atau karena hal di luar kemauannya.

3) Salah satu pihak mendapat hukuman lima tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan

berlangsung.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 137

4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau

penganiyaan berat yang membahayakan terhadap

pihak yang lain.

5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit

yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan

kewajiban sebagai suami istri.

e. Taklik Talak Menurut PP. No 9 Tahun 1975

PP No 9 Tahun 1975 mengatur tentang

pelaksanaan dari UU No 1 Tahun 1974. Sebagaimana UU

No 9 Tahun 1974 Undang-undang ini juga tidak memuat

taklik talak sebagai perjanjian perkawinan maupun

sebagai alasan perceraian Undang-undang ini tidak

memuat tentang perjanjian perkawinan, mengenai

alasan perceraian termuat dalam Pasal 19 yang isinya

sama persis dengan UU No 1 Tahun 1974.Yaitu sebagai

berikut:

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,

pemadat, penjudi dan lain sebagainya dan sukar

disembuhkan.

2) Salah satu pihak meninggalkan yang lain dua tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan

yang sah atau karena hal di luar kemauannya.

3) Salah satu pihak mendapat hukuman lima tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan

berlangsung.

4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau

penganiyaan berat yang membahayakan terhadap

pihak yang lain.

5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit

yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan

kewajiban sebagai suami istri.

Antara suami dan istri terus menerus terjadi

perselisian dan pertengkaran dan tidak ada harapan

rukun lagi dalam rumah tangga. Penjelasan mengenai

tentang gugatan perceraian adalah sebagai berikut:

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 138

Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri

atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.

Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas

atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat

kediaman yang tetap gugatan perceraian diajukan

kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat.

Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar

negeri gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di

tempat kediaman penggugat Ketua pengadilan

menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat

melalui perwakilan republik setempat.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 139

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan, Ed , Ensiklopidia Hukum Islam, Jakarta: pt Ikhtiar

Baru Van Hoev, 1999.

Al- Duraini,Fathin, al Manahij al Ushuliyyah bi al Ra’yi fi al Tasyri’,

Damasyik: Dar al Kutub al Hadist, 1975.

Al- al Syatibi, al Muwafaqat al Syari’ah ,Kairo: Mustafa Muhammad,

Tth jil I.

Ahmad Zarqa’I, Mustafa , Al Madkhal al Fiqh al ‘Am al Addid,

(Damasiq: 1978.

----------------------, Ushul Fiqh, Penerjemah, Saefullah Ma’ sum,

Dkk,Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Amin Abdullah, M, Studi Agama Normativitas atau Historitas?,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Bagus, Lorens Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2000.

Bushar, Muhammad, Asas-asas Hukum adat, suatu Pengantar,

Jakarta; Pradnya Paramitha, 1994.

Bahri, Syamsul dkk., Metodologi Hukum Islam, Yogyakarta: Teras,

2008.

Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman

Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi,

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

-------------------, Metode Penelitian Kualitatif; Komunikasi,

Ekonomi, dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-Ilmu Sosial

LainnyaJakarta: Kencana, 2006

-------------------, Metode Penelitian Kualitatif; Akutalisasi

Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: Raja

Grafindo, 2003.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 140

Bogdan, Robert& Steven J. Tylor, Intradaction to Qualitative Methods

Research, A Phenomenological Approach to Social Sciences, New

York: Jhon Willey & Son, 1975.

Conolly, Peter(ed), Aneka pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: PT

LKIS, 2009.

Dawam Raharjo,M, Pendekatan Ilmu Ilmiah terhadap Fenomena

Keagamaan.

Deden Ridwan, M, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan

Antar Displin Bandung: Nuansa Ilmu, 2001.

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, PT. Bumi Restu,

Jakarta, 1977.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Gidden,Anthony, Sosiology ,Cambridge; Polity Press, 1989

Hadikusuma,Hilman, Hukum Perkawinan menurut perundang,

Hukum adat, hukum agama, Bandung, Bandar Maju, 2007.

--------------------, Hukum Adat Indonesia, Bandung, Maju

Mandar, 2003

--------------------,Hukum Perkawinan Indonesia : menurut

perundang-undangan, hukum adat dan hukum agama,

Bandung; CV. Mandar Maju, 2007.

--------------------,Hukum Perkawinan Adat, Bandung: PT. Citra

Adtya Bakti, 1995.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1977.

Haq,Hamka, Syariat Islam Wacana dan Penerapannya, Makssar:

Yayasan Al-Ahkan, 2003.

Hooker, M.B, Adat Law In Modern Indonesia, Kuala Lumpur; Oxford

university Preess, 1978.

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta; Tintamas 1986.

Kontjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian

Rakyat 1992

Kuswarno, Engkus, Fenomenologi: Metode Penelittian Komunikasi,

Konsepsi, Pedoman, dan contoh Penelitian, Bandung: Widya

Padjajaran, 2009.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 141

Laksanto Utomo, St, Hukum Adat, Rajawali Pers, Raja Grafindo

Persada, 2017.

Lutfi’,Amir, Hukum Perubahan Struktur Kekuasaan; pelaksanaan

Hukum Islam dalam kesultanan Melayu Siak, 1901-1942, Pekan

Baru; Suska Press, 1991.

L. Peacock, James, The Antropological Lens, Harsh Ligh, Soft Focus,

Cambridge: University, Perss, 1998.

Mahadi, Ujang, Komunikasi Dakwah Kaum Migran, Disertasi, Unpad

Bandung, 2012.

Muhtar Ghazali, Adeng , Ilmu Studi Agama, Bandung: PT. Pustaka

Setia Bandung, 2015

Muhammad Muslehuddin, Philosopy of Islamic Law and The

Orientalis A Camparativ Study of Islamic Legal Sistem alih

bahasa Wahyudi Asmin, Yogyakarta; Tiara Wacana, 1991.

Michael S. Northcott dalam Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan

Studi Agama, Yogyakarta: PT LKIS, 2009.

Mulyana, Metode Penelitian Komunikasi¸ contoh-contoh Penelitian

Kualitaif dengan Pendekatan Praktis, Bandung: Remaja Rosada,

2007.

Meleong, Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:

Rosdakarya, 2002.

Nata,Abuddin, Metode Studi Islam, Cet. VI (Jakata: PT. Raja Grafindo

Persada,

Patilima, Metode Penelitian Kualitatif , Bandung: Alfabeta, 2007.

Pujileksono, Sugeng , Petualangan Antropologi Sebuh Pengantar Ilmu

Antropologi, Malang: UMM Press 2006.

Quraish Shihab, Mumahmmad, Islam Yang Saya Pahami, Ciputat:

Lentera Hati, 2018.

Rahmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi: dilengkapi

Contoh Analisis Statistik, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

Salaim,Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Klasipikasi, Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2006.

Suprayogo, Imam dan Tabrani, Metodologi Penelitian Sosial-

Agama,Bandung, Remaja Rosdakarya: 2001.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 142

Soepomo dan Djokosutono, Sejarah Politik Hukum Adat, Jakarta;

Djambatan, 1955, jil II

Soekanto, meninjau Hukum adat di Indonesia Suatu Pengantar untuk

Mempelajari hukum Adat, (Jakarta; Rajawali Press, 1981), h. 53.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitaif, Kualitatif dab R&D,

Bandung: Remaja Rosada, 2011.

Sastroadmodjo, Asro dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di

Indonesia, Jakarta; Bulan Bintang, 1975.

Suprayogo, Imam dan Tabrani, Metodelogi Penelitian Sosial-Agama,

Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Taufik Abdullah, dan M. Rusli Karim, Metode Penelitian Agama, cet.

II, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Thalib, Sajuti , Reseptio a Contrario, Jakarta; Academica, 1980.

Tunjung Sari, Annisa, “Kedudukan Anak Laki-Laki Tertua dari Hasil

Perkawinan Leviraat dalam Hukum Waris Adat Masyarakat

Lampung Pepadun (Studi Kasus di Kampung Terbanggi Besar

Kecamatan Terbanggi Besar Lampung Pemerintah Kabupaten

Lampung Tengah)” (Program Pascasarjana Universitas

Diponegoro, 2005), 32–33, http://eprints.undip.ac.id/15362

T. Karim,Abdullah, (ed) Metode Penelitian Agama; sebuah pengantar,

Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.

Wahab Khalaf, Abdul, Mashadir al Tasyri’ Fi ma la Nashshah Fih,

Kuwait: Dar al Qalam, 1983.

---------------, Ilmu Ushul Fiqh, Ali Bahasa, KH. Masdar Helmy

,Bandung: Gema Risalah Press, 1997.

Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat,

(Jakarta: Gunung Agung, 1984.

Waid, Abdul, Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh Terlengkap dan Up To

Date’. Jogjakarta, IRCiSoD, 2014.

Ahimsa-Putra, HS. Tanda, Simbol, Budaya dan Ilmu Budaya. Makalah

dalam Ceramah Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Gadjah Mada. Yogyakarta. 2002.

Ahimsa-Putra, HS. Kearifan Tradisional dan Lingkungan Fisik.

Makalah dalam workshop Inventarisasi Aspek-Aspek Tradisi,

diselenggarakan oleh Bidang Pelestarian dan Pengembangan

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 143

Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Jakarta. 2005.

Anwar, Syaiful,Naskah Seni TariLampung Pesisir Daerah Lampung. D

epartemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pusat Pengem

bangan Kebudayaan Lampung. Bandar Lampung. 1979.

Djausal, Anshori. Reorientasi Budaya dalam Pembangunan (naskah

orasi Kebudayaan Dewan Kesenian Lampung, di Taman

Budaya Lampung. Bandar Lampung. 1995.

Hadikusuma, Hilman, dkk. Adat Istiadat Daerah Lampung. Bagian

Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-

nilai Budaya Daerah Lampung. Bandar Lampung. 1996.

Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi II, Pokok-

pokok Etnografi. PT Rineksa Cipta. Jakarta. 1998.

Mayong, P. (penyunting). Geografi Budaya Daerah Lampung.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah d

an Nilai Tradisional, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebuda

yaan Daerah. Bandar Lampung. 1978.

Puspawidjaja, Rizani. Upacara Perkawinan Masyarakat Adat

Lampung. Bandar Lampung. 1978.

Syani, Abdul. Sosiologi, Skematika Teori dan Terapan. PT. Bumi

Aksara. Jakarta. 1994.

Syani, Abdul. Kebudayaan Daerah Setempat Sangat berarti Bagi Pem

bentukan Jatidiri Bangsa. Makalah, disampaikan

dalam forum Penyuluhan Kebudayaan Daerah Lampung dalam

Rangka Pembinaan dan Pengembangan Kebudayan Daerah La

mpung, di Balai Penataran Guru. Bandar Lampung. 1996.

Syani, Abdul. Peranan Pemimpin Formal dan Nonformal bagi Penge

mbangan Kebudayaan Nasional. Makalah, Penyuluhan Budaya,

di Balai Penataran Guru. Bandar Lampung. 1997.

Syani, Abdul. Kontribusi Pelestarian Nilai-nilai Budaya Tradisional

dalam Pembentukan Jatidiri Generasi Muda.Makalah,Penyuluh

an Permuseuman, di

Museum Negeri Ruwa Jurai. Bandar Lampung. 1998.

Sanusi, A. Effendi. Sastra Lisan LampungDialek Abung. Gunung

Pesagi. Bandar Lampung.1994.

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 144

Safei, Ahmad. Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai (Tulisan tentang asal-

usul Suku Lampung dan adat istiadatnya). Kotabumi. Propinsi

Lampung. 1972.

Udin, Nazaruddin, dkk. Sastra Lisan Lampung Dialek Pubiyan. Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 1998.

Mendely

Adnan, Moh, ‘Tradisi Kawin Boyong Dalam Perkawinan Adat

Masyarakat Gesikan: Studi Kasus Di Desa Gesikan Kec.

Grabagan Kab. Tuban’ (Universitas Islam Negeri Maulana Malik

Ibrahim, 2008)

Agustin, Yeni, Ali Imron, and Suparman Arif, ‘Tradisi Pemberian

Adok Pada Masyarakat Lampung Saibatin Di Pekon Negeri Ratu

Kabupaten Tanggamus’, PESAGI (Jurnal Pendidikan Dan

Penelitian Sejarah), 7.6 (2019)

Aini, Noryamin, ‘Tradisi Mahar Di Ranah Lokalitas Umat Islam:

Mahar Dan Struktur Sosial Di Masyarakat Muslim Indonesia’,

AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, 17.1 (2014)

al-Ghofiri, Hafidz, ‘Konsep Besarnya Mahar Dalam Pernikahan

Menurut Imam As-Shafi’i.’ (IAIN Ponorogo, 2017)

Alqas, Naufal Azmar, ‘Kedudukan Istri Dalam Perkawinan Jujur Pada

Masyarakat Adat Lampung Saibatin Di Kecamatan Pesisir

Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat’, 2019

Angkupi, Prima, ‘Formulasi Perkawinan Adat Lampung Dalam Bentuk

Peraturan Daerah Dan Relevansinya Terhadap Hak Asasi

Manusia’, ., 49.2 (2015), 315–37

Anwar, Qosim Khoiri, Habib Shulton Asnawi, and Annikmah Farida,

‘Hak Dan Kewajiban Janda Cerai Mati Dalam Hukum Adat

Lampung Pepadun Lampung Tengah Perspektif Gender’, Fikri:

Jurnal Kajian Agama, Sosial Dan Budaya, 3.2 (2018), 363–74

Ariyani, Farida, Hery Yufrizal, Eka Sofia Agustina, and Ali Mustofa,

‘Konsepsi Piil Pesenggiri Menurut Masyarakat Adat Lampung

Waykanan Di Kabupaten Waykanan’ (Aura Printing &

Publishing, 2015)

Bariah, Oyoh, ‘Rekonstruksi Pencatatan Perkawinan Dalam Hukum

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 145

Islam’, Majalah Ilmiah SOLUSI, 1.04 (2015)

Bastomi, Hasan, ‘Pernikahan Dini Dan Dampaknya (Tinjauan Batas

Umur Perkawinanmenurut Hukum Islam Dan Hukum

Perkawinan Indonesia)’, Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum Dan

Hukum Islam, 7.2 (2016), 354–84

Burhan, Muhammad, ‘Kedudukan Dan Hak Perempuan Sebagai Ahli

Waris Dalam Hukum Kewarisan Indonesia’, Jurnal Mahkamah:

Kajian Ilmu Hukum Dan Hukum Islam, 2.2 (2017), 283–326

Burhanudin, Achmad Asfi, ‘Kewajiban Orang Tua Atas Hak-Hak Anak

Pasca Perceraian’, Dalam Jurnal, E Journal Kopertais IV, 2015

Erfita, Widia, ‘Tradisi Makhap Dalam Perkawinan Adat Pada

Masyarakat Lampung Saibatin Di Pekon Penggawa V Ulu

Kecamatan Karya Penggawa Kabupaten Pesisir Barat’, 2016

Fathinnuddin, Muhammad, ‘Aplikasi Kewajiban Suami Terhadap Istri

Dikalangan Jama’ah Tabligh (Tinjauan Atas Penerapan Hak Dan

Kewajiban Suami Istri)’, 2014

FP, Aregina Nareswari, ‘Peran Notaris Dalam Pelaksanaan

Pembagian Dan Penyelesaian Sengketa Warisan Pada Sistem

Pewarisan Masyarakat Adat Lampung Saibatin Di Kepaksian

Buay Pernong’, Indonesian Notary, 1.003 (2019)

Halomoan, Putra, ‘Penetapan Mahar Terhadap Kelangsungan

Pernikahan Ditinjau Menurut Hukum Islam’, Juris (Jurnal Ilmiah

Syariah), 14.2 (2016), 107–18

Handayany, Gemy Nastity, ‘Kesejahteraan Gender Ditinjau Dari

Perpekstif Islam’, Jurnal Sipakalebbi, 1.3 (2014)

Herlina, Wita, Hermi Yanzi, and Yunisca Nurmalisa, ‘Analisis

Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Perempuan Dalam Pembagian

Waris Lampung Saibatin’, Jurnal Kultur Demokrasi, 4.4 (2016)

Imani, Towif, ‘Pendekatan Logoterapi: Memutuskan Menikah

Dengan Nilai Sosial Dan Budaya Di Brebes’, in Prosiding

Seminar Nasional Bimbingan Dan Konseling, 2018, II, 346–52

Irrubai, Mohammad Liwa, ‘Reaktualisasi Awik-Awik Dalam

Melestarikan Sosial Budaya Masyarakat Desa Landah

Kecamatan Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah’, SOSIO-

DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 4.2 (2017), 21–29

Isnaeni, Ahmad, and Kiki Muhamad Hakiki, ‘Simbol Islam Dan Adat

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 146

Dalam Perkawinan Adat lamPung PePadun’, KALAM, 10.1 (2016),

193–222

Khatimah, Umi Khusnul, ‘Hubungan Seksual Suami-Istri Dalam

Perspektif Gender Dan Hukum Islam’, 2016

Kholifatun, Umi, ‘Makna Gelar Adat Terhadap Status Sosial Pada

Masyarakat Desa Tanjung Aji Keratuan Melinting’ (Universitas

Negeri Semarang, 2016)

Kholik, Abdul, ‘Konsep Keluarga Sakinah Dalam Perspektif Quraish

Shihab’, Inklusif (Jurnal Pengkajian Penelitian Ekonomi Dan

Hukum Islam), 2.2 (2017), 17–32

Kusnadi, Kusnadi, ‘Pembagian Harta Waris Adat Lampung Sai Batin

Kabupaten Pesisir Barat Perspektif Hukum Islam’, Ijtimaiyya:

Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 10.2 (2017), 217–40

Mamahit, Laurensius, ‘Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Akibat

Perkawinan Campuran Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia’,

Lex Privatum, 1.1 (2013)

Nasution, Khoiruddin, ‘Menjamin Hak Perempuan Dengan Taklik

Talak Dan Perjanjian Perkawinan’, UNISIA, 31.70 (2008)

Nasution, Muhammad Syukri Albani, ‘Perspektif Filsafat Hukum

Islam Atas Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Perkawinan’,

Analisis: Jurnal Studi KeIslaman, 15.1 (2015), 63–80

Ningsih, Natalia, I Made Arya Utama, and I Made Sarjana, ‘Kekuatan

Mengikat Akta Notariil Perjanjian Perkawinan Terkait Harta

Bersama Yang Dibuat Pasca Pencatatan Perkawinan’, Acta

Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 2.1 (1960), 12–26

Nora, Yessi Eva, ‘Warna Lokal Dalam Cerpen Sebambangan Karya

Budi P. Hatees Dan Rancangan Pembelajaran Sastra Di Sekolah

Menengah Pertama (SMP)’, 2018

Prabowo, Ade, Ali Imron, and Henry Susanto, ‘Simbol Dan Makna

Tari Melinting Pada Masyarakat Adat Lampung Saibatin Di Desa

Wana’, PESAGI (Jurnal Pendidikan Dan Penelitian Sejarah), 6.4

(2018)

Pramudita, Ratih Okta, ‘Penyelesaian Kawin Lari (Sebambangan)

Pada Masyarakat Adat Lampung Saibatin Di Kecamatan Gunung

Alip, Tanggamus’, 2017

Prianto, Budhy, Nawang Warsi Wulandari, and Agustin Rahmawati,

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 147

‘Rendahnya Komitmen Dalam Perkawinan Sebagai Sebab

Perceraian’, Komunitas: International Journal of Indonesian

Society and Culture, 5.2 (2013)

Putri, Yustiani Yudha, Andi Gunawan, and Nurhayati H S Arifin,

‘Kajian Lanskap Permukiman Tradisional Masyarakat Lampung

Saibatin Di Pekon Kenali, Lampung Barat’, Jurnal Permukiman,

8.3 (2013), 153–67

Ramadhan, Tedy, ‘Pelaksanaan Hak-Hak Istri Yang Ditalaq Oleh

Suami: Studi Kasus Desa Pusaka Rakyat Kec. Tarumajaya Kab.

Bekasi’, 2010

Riadi, M Erfan, ‘Kedudukan Fatwa Ditinjau Dari Hukum Islam Dan

Hukum Positif (Analisis Yuridis Normatif)’, Ulumuddin, 7.1 (2013)

Rizki, Alal, ‘Istri Membebaskan Suami Dari Kewajibannya Prespektif

Fiqih Islam (Studi Analisis Kompilasi Hukum Islam Pasal 80

Ayat6)’ (IAIN Purwokerto, 2017)

Rochaeti, Etty, ‘Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono Gini)

Dalam Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam Dan

Hukum Positif’, Jurnal Wawasan Yuridika, 28.1 (2015), 650–61

Sadaf, Sadiqa, ‘Komitmen Perkawinan Seorang Istri Pada Keluarga

Broken Home’ (UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2013)

Salam, Nur, ‘Tinjauan Hukum Islam Tentang Prosesi Perkawinan

Adat Makassar Di Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa

(Tahun 2015-2016)’ (Universitas Islam Negeri Alauddin

Makassar, 2016)

Sapitri, Andresti, ‘Etika Politik Dalam Simbol-Simbol Adat Lampung

(Studi Pada Adat Lampung Saibatin Paksi Pak Sekala Bekhak

Kepaksian Belunguh Di Pekon Kenali Kecamatan Belalau

Kabupaten Lampung Barat)’ (UIN Raden Intan Lampung, 2019)

Sayyad, Muhammad Amin, ‘Urgensi Pencatatan Nikah Sebagai Rukun

Nikah (Studi Kritis Pemikiran Siti Musdah Mulia Dan

Khoiruddin Nasution)’, El-Mashlahah, 8.1 (2018)

Septania, Meli, Adelina Hasyim, and Hermi Yanzi, ‘Implementasi

Nilai Kearifan Lokal Dalam Proses Upacara Pernikahan Adat

Lampung Saibatin’, Jurnal Kultur Demokrasi, 5.5 (2017)

Soumena, M Yasin, ‘Pemberlakuan Aturan Perkawinan Adat Dalam

Masyarakat Islam Leihetu-Ambon’, DIKTUM: Jurnal Syariah

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 148

Dan Hukum, 10.1 (2012), 40–51

Syamsudin, Syamsudin, ‘Nilai-Nilai Budaya Islam Dalam Adat

Perkawinan Masyarakat Desa Simpasai Kecamatan Lambu

Kabupaten Bima’ (Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar,

2019)

Syukur, Syamzan, ‘Rekonstruksi Teori Islamisasi Di Nusantara:

Diskurusus Para Sejarawan Dan Antropolog’, Islam, Literasi Dan

Budaya Lokal, 2014, 71

Tahir, Masnun, ‘Hak-Hak Perempuan Dalam Hukum Keluarga Syiria

Dan Tunisia’, Al-Mawarid Journal of Islamic Law, 18 (2008),

56600

Wahyudi, Abdullah Tri, ‘Kewenangan Absolut Peradilan Agama Di

Indonesia Pada Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca

Reformasi’, YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum

Islam, 7.2 (2016), 285–304

YE, Ratu Hardyanti Basri, Risma Margaretha Sinaga, and Muhammad

Basri, ‘Pilihan Perkawinan: Adat Sebambangan Pada Masyarakat

Lampung Pepadun Di Kampung Banjar Ratu’, PESAGI (Jurnal

Pendidikan Dan Penelitian Sejarah), 6.4 (2018)

Praktek Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Sebatin Dalam Perspektif

Hukum Keluarga Islam, Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia 149

RIWAYAT HIDUP.

Penulis dianugerahi nama oleh ayahanda dan ibunda

dengan nama sangat singkat IDHAM. Dilahirkan pada

23 Desember 1969 di Pekon Ampai Kabupaten

Pesawaran. Putra ke lima dari enam bersaudara dari

pasangan Bapak Abdul Manaf dan ibu Siti Aisah.

Riwayat pendidikan penulis yang telah diselesaikan adalah :

a. Pendidikan di SDN Kampung Baru Punduh dan lulus pada tahun

1983.

b. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMP PGRI

Punduh, lulus pada tahun 1986.

c. Kemudian melanjutkan jenjang pendidikan di PGAN Palembang

yang selesai pada tahun 1990.

d. Pendidikan Strata 1 di IAIN Raden Intan Lampung, selesai pada

tahun 1995

e. Pendidikan Strata 1 di UTB Fakultas Hukum, seleesai tahun 2007.

f. Pendidikan Srata 2 di UBL, Fakultas Hukum, Hukum Bisnis selesai

tahun 2009.

g. Melanjutkan pada Pendidikan Srata 3 di UIN Bandar Lampung,

Fakultas Syariah , Hukum Keluarga Islam tahun 2017.

Dengan mengucapkan Alhamdulillah dan puji syukur atas

kehadirat Allah SWT serta dorongan dari semua pihak, saya

melanjutkan Srata 3 (Doktor) di UIN Raden Intan Lampung tahun

2017 Konsentrasi Hukum Keluarga sampai saat ini.

Bandar Lampung, 1 Desember 2021

I D H A M

1774030003