LAPORAN PENELITIAN KARIOTIPE CACING NIPAH ...

19
LAPORAN PENELITIAN KARIOTIPE CACING NIPAH Namalycastis rhodochorde (POLYCHAETA : NEREIDIDAE) Oleh : SITI IFADATIN, S.Si., M.Si JUNARDI, S.Si., M.Si FIRMAN SAPUTRA, S.Si DIBIAYAI OLEH DANA DIPA FMIPA UNTAN TAHUN 2009 SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN NOMOR : 1486/H22.8/PL/2009 TANGGAL 29 JULI 2009 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2009

Transcript of LAPORAN PENELITIAN KARIOTIPE CACING NIPAH ...

LAPORAN PENELITIAN

KARIOTIPE CACING NIPAH Namalycastis rhodochorde

(POLYCHAETA : NEREIDIDAE)

Oleh :

SITI IFADATIN, S.Si., M.Si

JUNARDI, S.Si., M.Si

FIRMAN SAPUTRA, S.Si

DIBIAYAI OLEH DANA DIPA FMIPA UNTAN TAHUN 2009

SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN

NOMOR : 1486/H22.8/PL/2009 TANGGAL 29 JULI 2009

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2009

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cacing Nipah (Namalycastis rhodochorde.) merupakan salah satu cacing

subfamili Namanereididae famili Nereididae dari kelas polychaeta (Glasby, 1999).

Namalycastis termasuk cacing yang hidup di daerah tropis dan subtropik dengan

ukuran panjang antara 100-200 cm (Glasby, et al., 2003). Cacing ini memiliki

peran sangat penting sebagai pendaur ulang nutrien (Beesley et al., 2000) dan

sumber protein (Batista et al., 2003). Pemberian cacing nipah sebagai pakan dapat

meningkatkan kandungan asam lemak tidak jenuh pada ikan dan udang (Olive,

1999).

Cacing nipah termasuk salah satu spesies polychaeta yang banyak dijumpai

di estuari Sei Kakap Kalimantan Barat. Cacing Namalycastis telah menjadi

komoditas yang diekspor antarnegara sebagai bahan baku pakan ikan dan udang

(Thomson & Alam, 2005). Potensi komersial cacing nipah juga dapat

dikembangkan di Kalimantan Barat. Saat ini pemanfaatan cacing nipah di

Kalimantan Barat umumnya hanya untuk umpan pancing. Cacing ini dijual di

pasar-pasar tradisional dengan harga relatif tinggi. Satu ekor cacing nipah hidup

dihargai Rp. 6.000-10.000 per ekor dengan berat antara 5-10 gram.

Budidaya adalah upaya yang tepat untuk komersialisasi dan mencegah

pengambilan berlebih (over fishing) cacing nipah di alam yang cenderung merusak

habitat. Informasi awal yang harus diketahui dalam biologi cacing nipah adalah

penentuan jenis kelamin. Determinasi kelamin cacing nipah selama ini hanya

diketahui berdasarkan karakter morfologi dan gamet yang dapat dibedakan antara

jantan dan betina pada individu dewasa. Pada individu pradewasa, jenis kelamin

dapat diketahui dengan melihat karakter kromosom.

1.2. Perumusan Masalah

Cacing nipah bersifat dioseus, dapat dibedakan antara individu jantan dan

betina namun hanya pada individu dewasa yang berbeda morfologi dan tingkat

kematangan gamet. Pada individu pradewasa jenis kelamin belum dapat dibedakan.

2

Determinasi kelamin pada cacing nipah merupakan faktor penting yang

berpengaruh untuk mengestimasi populasinya di alam. Pada budidaya, determinasi

kelamin juga akan berpengaruh pada keberhasilan reproduksi artifisial yang selama

ini belum berhasil dilakukan pada cacing nipah. Teknik pemeriksaan dengan

kromosom akan membantu untuk mengetahui lebih awal kenis kelamin cacing

nipah pada individu pradewasa. Penelitian ini akan mencoba mengetahui tipe dan

susunan kromosom (kariotipe) cacing nipah

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui tipe dan susunan kromosom (kariotipe) cacing nipah

2. Mengetahui perbedaan kromosom cacing nipah jantan dan betina

1.4. Manfaat Penelitian

Data hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin

cacing nipah yang dapat mendukung teknik fertilisasi artifisial dalam reproduksi

cacing nipah. Keberhasilan dalam reproduksi cacing ini akan membantu proses dan

metode budidaya dan produksi massal cacing nipah.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cacing Nipah (Namalycastis rhodochorde)

Cacing nipah (Namalycastis rhodochorde) merupakan salah satu cacing

subfamili Namanereididae famili Nereididae dari kelas polychaeta (Glasby, 1999).

Polychaeta telah ditemukan sebanyak 20.000 spesies yang dimasukkan ke dalam

namanereidinae, Namanereis dan Namalycastis. Perbedaan antara kedua genus

tersebut antara lain pada ukuran antenna, bentuk pygidium, ada tidaknya notoseta,

banyak sedikitnya telur matang dan bentuk telur matang (Glasby, 1999).

Cacing nipah termasuk cacing yang hidup di daerah tropis dan subtropik

dengan ukuran panjang antara 100-200 cm (Glasby, et.al., 2003). Di Kalimantan

Barat, cacing nipah banyak dijumpai di estuari Desa Sungai Kakap. Desa Sungai

Kakap merupakan desa pesisir yang memiliki estuaria mangrove yang didominasi

tumbuhan nipah (Nypa sp.) yang merupakan habitat alami cacing nipah.

2.2. Determinasi Kelamin Cacing Nipah

Tipe reproduksi polychaeta umumnya dapat dibedakan menjadi tiga,

hermaprodit simultan, hermaprodit sekuensial dan gonokhoristik (Sella, 2006).

Pada Nereididae, umumnya reproduksinya gonokhoristik, cacing memiliki jenis

kelamin yang terpisah, jantan dan betina. Penentuan jenis kelamin cacing nipah

dilakukan melalui pendekatan morfologi dan anatomi. Pendekatan morfologi

ditentukan berdasarkan panjang, bobot dan warna tubuh serta jumlah segmen.

Perbedaan morfologi jantan dan betina hanya dapat dilihat jika telah

memasuki fase dewasa. Pada fase pradewasa, jantan dan betina hanya dapat dilihat

berdasarkan ada tidaknya sperma dan ovum dalam selom. Individu dewasa cacing

nipah memiliki panjang dan robot tubuh lebih kecil serta jumlah segmen yang lebih

sedikit dibandingkan individu pradewasa. Perubahan morfologi melalui

pengurangan panjang, bobot dan jumlah segmen terjadi pada saat ekdisis. Setelah

ekdisis individu immature berubah menjadi mature, tidak ada data mengenai

lamanya waktu ekdisis.

4

Cacing yang akan memasuki fase remaja (submature) baik jantan maupun

betina memiliki dua pasang mata yang jelas yang akan digunakan untuk berenang

bebas saat memijah (Glasby et al., 2007). Penelitian ini hanya mendapatkan dua

jantan dan dua betina dewasa, oleh sebab itu tidak cukup data untuk mencari

perbedaan yang signifikan berdasarkan bobot dan panjang tubuh serta jumlah

segmen.

Cacing nipah jantan umumnya lebih pendek, bobot tubuh ringan dan jumlah

segmen yang sedikit dibandingkan betina. Perbedaan warna tubuh hanya tampak

pada individu dewasa, sedangkan pada jantan pradewasa sangat mirip betina.

Bagian ventral tubuh posterior cacing jantan dewasa berwarna kehijauan. Warna

tubuh N. rhodochorde jantan yang berwarna kehijauan juga didapatkan oleh M.

Lopuszanski Tahun 2002 di Delta Sungai Mekong (Glasby et al., 2007).

Betina dewasa memiliki panjang, bobot dan jumlah segmen yang lebih

banyak dibandingkan jantan dewasa. Perbedaan warna tubuh betina dan jantan

dewasa dapat dilihat pada bagian ventral tubuh. Betina dewasa memiliki warna

ventral tubuh putih pucat. Betina pradewasa mulai dapat dikenali dari adanya telur

yang berukuran 30µm dan bentuk yang bulat. Ukuran dan bentuk telur <30µm

umumnya amorf dan belum dapat dibedakan dengan eleosit.

2.3. Kromosom dan Kariotipe

Bahan genetik utama jasad eukariot terletak dalam inti sel (nukleus) dan

dikemas sedemikian rupa membentuk struktur yang disebut kromosom. Jumlah

kromosom pada kelompok jasad eukariot sangat bervariasi. Selain kromosom,

beberapa sel eukariot juga mempunyai DNA di luar kromosom yaitu DNA pada

mitokondria dan pada kloroplas (pada sel tumbuhan hijau).

DNA utama pada sel eukariot dikemas dengan sistem yang sangat efisien

dan kompak (Gambar 2.1). DNA dikemas menggunakan protein histon yang terdiri

dari lima macam yaitu H1, H2A, H2B, H3, dan H4. Protein histon digunakan untuk

menggulung molekul DNA sekitar 200 bp membentuk struktur disebut nukleosom.

Pembentukan struktur nukleosom menyebabkan kondensasi atau pengemasan DNA

menjadi enam kali lebih kompak. Rangkaian nukleosom membentuk struktur yang

5

disebut kromatin. Kromatin merupakan suatu kompleks yang terdiri atas DNA,

protein dan RNA (Yuwono, 2005).

Gambar 2.1. Pengemasan DNA dan protein membentuk kromosom

Pada aras struktur yang lebih tinggi kromatin membentuk struktur

menyerupai solenoid yang merupakan struktur pilinan nukleosom. Struktur

solenoid terkondensasi secara kompak membentuk struktur khas kromosom yang

dapat diamati pada saat sel berada pada metafase. Struktur solenoid selanjutnya

dirapatkan lagi dengan membentuk pilinan solenoid. Pilinan solenoid

meningkatkan derajat pengemasan menjadi 1000 kali pada saat interfase dan

menjadi 10.000 kali pada waktu kromosom berada pada fase mitotik. Pilinan

solenoid yang membentuk radial loop menyebabkan kromosom yang ukurannya

jauh lebih panjang dari sel dapat dikemas dalam sel yang kecil (Yuwono, 2005).

Pada metafase struktur kromosom dapat diamati menggunakan mikroskop

cahaya dengan teknik pengecatan menggunakan cat Giemsa. Struktur kromosom

yang terlihat dapat dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu: 1. lengan kromosom,

6

2. sentromer, dan 3. telomer (Gambar 2.2). Lengan kromosom adalah bagian

kromosom yang mengandung rangkaian gen, sentromer adalah bagian tengah

kromosom yang berfungsi dalam proses distribusi kromosom pada waktu terjadi

pembelahan sel, sedangkan telomer adalah bagian ujung kromosom (Yuwono,

2005).

Gambar 2.2. Struktur kromosom

Pengamatan kromosom menggunakan cat Giemsa dapat diamati adanya

perbedaan dalam pengikatannya terhadap cat tersebut pada bagian-bagian tertentu.

Bagian kromosom yang tidak terlalu rapat pengemasannya mengikat lebih sedikit

cat Giemsa, bagian ini disebut eukromatin. Bagian kromosom yang lebih rapat

mengikat cat Giemsa lebih banyak, bagian ini disebut heterokromatin. Pada jasad

tingkat tinggi kromosom dibedakan atas kromosom non-seks yang disebut autosom

dan kromosom seks yaitu kromosom X dan Y (Yuwono, 2005). Perbedaan dalam

pengikatan cat Giemsa dapat dilihat pada gambar kariotipe manusia (laki-laki)

dibawah ini.

7

Gambar 2.3. Kariotipe manusia (laki-laki)

Kariotipe adalah gambar fotografi yang menunjukkan jumlah dan bentuk

seluruh kromosom yang ada di dalam sel. Dalam teknik kariotipe kromosom

ditampilkan dalam urutan yang menunjukkan perpasangan kromosom homolog.

Kromosom homolog ditetapkan berdasarkan pasangan kromosom yang mempunyai

panjang, posisi sentromer dan pola pewarnaan yang sama (Gambar 2.3).

Teknik kariotipe telah digunakan pada banyak organisme untuk berbagai

tujuan. Tujuan utama adalah mengetahui jumlah kromosom setiap spesies sebagai

salah satu penciri spesies tersebut. Selain itu kariotipe digunakan untuk sistematika

(McBee et.al 1985; Cereali et.al 2008; Fukui 1996: Noleto et.al 2006), membedakan

jantan dan betina (Tosuji et.al., 2004), analisis genom (Yulianty et.al, 2006) dan

melihat pengaruh senyawa kimia terhadap aberasi kromosom (Dixon et.al, 1999).

8

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Sampel diambil dari Muara Sungai Kapuas, Pelaksana penelitian ini akan

dilaksanakan di Laboratorium Hewan Uji FMIPA Untan mulai bulan Agustus

sampai Nopember 2009

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah mikroskop, dissecting set,

alat-alat gelas, dan kamera, sedangkan bahan yang digunakan meliputi cacing

nipah, kolkisin, metanol, asam asetat, alkohol 70%, air laut, sodium sitrat, larutan

Giemsa, buffer fosfat 6,8.

3.3. Metode Penelitian

Pembuatan preparat kromosom

Untuk mendapatkan kromosom pada fase metafase digunakan ekor cacing

nipah yang mengalami regenerasi menggunakan metode Ikeda dan Sato (1991).

Cacing nipah yang digunakan untuk percobaan dipilih cacing yang sedang

mengalami regenerasi pada ujung posterior. Cacing kemudian dibius menggunakan

alkohol 5% dan dipotong lebih kurang 1-2 mm.

Potongan ekor dimasukkan dalam kolkisin yang dilarutkan dalam air laut pada

konsentrasi 0,04-0,05%, diinkubasi selama 15-24 jam pada suhu 17-20ºC. Ekor

dipindahkan ke dalam larutan hipotonik sodium sitrat 1% selama 30-40 menit pada

suhu ruang. Ekor difiksasi dengan larutan metanol:asam asetat (3:1) selama 40-60

menit pada suhu ruang. Spesimen yang telah difiksasi diletakkan pada gelas objek

dan dimaserasi menggunakan jarum bedah.

Preparat dikeringkan menggunakan alkohol dan diwarnai dengan larutan

Giemsa 2% yang dilarutkan dalam buffer fosfat pH 6,8. Preparat kemudian diamati

dengan mikroskop cahaya dan difoto. Pengukuran panjang lengan kromosom

menggunakan mikrometer okuler.

9

Pembuatan Kariotipe

Foto kromosom dianalisis dengan menggunakan program Adobe Photoshop

cs2 versi 9. Hasil foto kromosom dicetak hitam putih kemudian setiap kromosom

digunting dan dipasang-pasangkan untuk mengetahui pasangan kromosom

homolog berdasarkan ukuran, bentuk, dan pola pewarnaan.

10

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sel cacing nipah

Berdasarkan prosedur pembuatan kariotipe cacing nipah diperoleh

gambaran sel cacing nipah (Gambar 4.1). Sel cacing nipah tampak jelas tersusun

rapat berukuran sekitar 100 µm. Sel pada fase interfase tampak jelas inti selnya

berbentuk bulat terletak di tengah sel, terwarnai ungu oleh Giemsa, berukuran 30-

50 µm Sitoplasma sel tampak lebih terang dengan pewarnaan Giemsa.

Gambar 4.1. Sel cacing nipah

Keterangan: 1. inti sel; 2. sitoplasma

4.2. Kariotipe cacing nipah

Kariotipe merupakan salah satu cara untuk menentukan jumlah dan tipe

kromosom setiap organisme. Setiap organisme memiliki jumlah dan tipe kromosom

yang bervariasi sehingga kromosom juga merupakan salah satu penciri spesies.

Selain itu dengan teknik kariotipe dapat diketahui jenis kelamin, dan perubahan

dalam jumlah dan struktur kromosom (aberasi kromosom)

Berdasarkan teknik pembuatan kariotipe Ikeda dan Sato (1991) dibuat

kariotipe untuk cacing nipah (Namalycastis rhodochorde). Sampel diambil dari

11

bagian posterior cacing yang sedang mengalami pertumbuhan yang dapat dilihat

dari ukuran yang lebih kecil dibandingkan bagian lainnya. Bagian posterior cacing

dipotong 2 cm kemudian dimasukkan dalam larutan kolkisin. Kolkisin merupakan

senyawa kimia yang dapat menghambat pembentukan apparatus mitotik sehingga

menghambat terjadinya pembelahan sel. Dengan pemberian kolkisin, sel yang

sedang membelah, tahapan pembelahan selnya akan terhenti. Selanjutnya perlakuan

dengan larutan hipotonis (sodium sitrat 1%) untuk menjaga bentuk sel agar lebih

mudah diamati. Bagian posterior tersebut kemudian dimasukkan ke dalam larutan

fiksatif dan diwarnai dengan pewarna Giemsa 2 %.

Berdasarkan teknik pembuatan kariotipe tersebut dapat diperoleh gambaran

seperti kromosom, yaitu bentuk batang panjang dengan bagian tengah lebih sempit

(Gambar 4.2). Panjang kromosom berkisar antara 20 – 50 µm. Kromosom

terwarnai ungu oleh pewarna Giemsa dan terlihat menyebar. Dari hasil pengamatan

diperoleh jumlah kromosom yang sangat banyak dan menyebar tak beraturan,

sehingga tidak dapat dilihat kromosom per selnya. Kondisi ini kemungkinan

disebabkan membran sel rusak sehingga kromosom antar sel bercampur satu

dengan lainnya. Hal ini menyulitkan dalam menghitung jumlah kromosom untuk

setiap sel. Demikian juga dalam menentukan pasangan kromosom homolog dan tipe

kromosomnya. Membran sel yang rusak diduga disebabkan oleh perendaman dalam

larutan hipotonik yang terlalu lama.

Gambar 4.2. Kromosom cacing nipah (Namalycastis rhodochorde)

12

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Ukuran sel cacing nipah dengan pewarnaan Giemsa sekitar 100 µm. Inti sel

berukuran 30 – 50 µm terwarnai ungu dan sitoplasma terpulas lebih terang.

Kromosom terwarnai ungu oleh Giemsa dengan ukuran 20 – 50 µm. Jumlah

kromosom setiap sel belum dapat ditentukan.

Saran

Teknik kariotipe pada cacing nipah perlu diperbaiki lagi dengan optimasi

pada setiap tahap perlakuan untuk mendapatkan jumlah kromosom setiap sel dan

perbedaan jenis kelamin. Objek untuk pembuatan kariotipe menggunakan cacing

muda yang sedang regenerasi untuk memperoleh sel-sel yang aktif membelah.

13

DAFTAR PUSTAKA

Andries, JC. 2001. Endocrine and environmental control of reproduction in

polychaeta. Canadian Journal Zoology 79:254-270.

Batista.FM, PF. Costa, A. Ramos, AM. Passos, PP. Ferreira, LC. Fonseca. 2003.

Production of ragworm Nereis diversicolor (O.F. Muller, 1776), fed with a

diet for gilthead seabream Sparus auratus L. 1758: survival, growth, feed

utilization and oogenesis. Bol.Inst. Oceanogr. 19:447-451.

Beesley, P.L, GJB. Ross. CJ. Glasby. 2000. Polychaetes and allies: The Southern

synthesis. Fauna of Australia vol. 4A. Polychaeta, Myzostomida,

Pogonophora, Echiura, Sipuncula. Melbourne: SCIRO.

Cereali, SS, Pomini, E., Rosa, R., Zawadzki, LH., Froehlich, O., Caetano, LG.

2008. Genetics and Molecular Research. 7(3) : 583-591.

Costa, PF. 1999. Reproduction and growth in captivity of the polychaete Nereis

diversicolor O.F Muller, 1776, using two different kinds of sediment;

preliminary assays. Bol. Inst. Oceanogr. 15:352-355.

Dixon, DR, Wilson, JT., Pascoe, PL., Parry, JM. 1999. Anaphase Aberration in The

Embryos of The Marine Tubeworm Pomatoceros lamarckii (Polychaeta :

Serpulidae) : A New in vivo test assay for detecting Aneugenus and

Clastogenus in The Marine Environment. Mutagenesis vol. 14 no. 4 pp. 375-

383

Fukui, Y. 1996. Karyotype of The Sea Anemone Aiptasiomorpha sp. (Anthozoa,

Actiniaria) from Japan BiolBell 190: 6-7.

Glasby, CJ. 1999. The Namanereidinae (Polychaeta:Nereididae). Part 1. Taxonomy

and phylogeny. Rec. Aus. Mus. Supp.. 25:1-129.

Glasby, CJ, M. Mogi, K. Takahashi, 2003. Occurance of the polychaete

Namalycastis hawaiiensis Johnson, 1903 (Nereididae: Namanereidinae) in

Pandanus leaf axils on Palau West Pacific. The Beagle. Records of the

Museum and Art Galleries of the Northern Territory. 19: 97-99.

Noleto, RB., Kantek, DLZ., Swarca, AC., Dias, AL., Fenocchio, AS., Cestari, MM.

2006. Karyotype Characterization of Hydromedusa tectifera (Testudines,

Pleurodia) from The Upper Iguacu River in The Brazilian State of Parana.

Genetics and Molecular Biology. 29:2; 263-266.

Olive, PJW. 1999. Polychaete aquaculture and polychaete science: a mutual

synergism. Hydrobiologia 402: 175-183.

14

Thomson, JA, SK Alam. 2005. Analysis of customs trade data to characterize

importation of live bait. Fisheries 30:36-39.

Tosuji, H., Miyamoto, J., Hayata, Y., Sato, M. 2004. Karyotyping of Female and

Male Hediste japonica (Polychaeta, Annelids) in comparison with those of

two closely related species, H. diadore and H. atoka. Zoological Science 21 :

147-152.

Yulianty, M., Pujawati, ED., Badasaufari. 2006. Analisis Kariotipe pisang Mauli.

Bioscientiae vol. 3 no. 2 : 103-109.

Yuwono, T. 2005. Biologi Molekular. Penerbit Erlangga. Hal: 80-83

15

LAMPIRAN

BIODATA

1. Ketua Peneliti

Nama Lengkap dan gelar : Siti Ifadatin, S.Si., M.Si

NIP : 197103272000032001

Jabatan Fungsional : Lektor

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat Tanggal Lahir : Kebumen, 27 Maret 1971

Alamat institusi : Program Studi Biologi FMIPA Untan

Bidang Keahlian : Genetika

Pendidikan

a. Magister Sains Biologi, PPs Institut Pertanian Bogor, 2002

b. Sarjana Biologi, Universitas Gadjah Mada, 1997

Penelitian

2007 : Keanekaragaman genetik genus Garcinia asal Kalimantan

Barat berdasarkan penanda isozim (DIKTI)

2006 : Keanekaragaman genetik padi lokal Kalimantan Barat

berdasarkan penanda isozim (DIKTI)

2004 : Tinjauan taksonomi Brugmansia Pers berdasarkan analisis

isozim (Forum HEDS)

2002 : Kemiripan genetik enam populasi kelapa Dalam asal

Kalimantan Barat berdasarkan penanda RAPD (Random

Amplified Polymorphic DNA) (Tesis)

Pelatihan

2006 : Pelatihan penulisan artikel ilmiah terpusat, 16-18 November

2006, Surabaya. (Peserta)

2005 : Pelatihan teknik analisis isozim, Agustus 2005, Bogor

Publikasi

1. Siti Ifadatin dan E. R. P. Wardoyo. 2007. Keanekaragaman genetik padi

lokal Kalimantan Barat berdasarkan penanda isozim. Floribunda

Pontianak, Desember 2009

Siti Ifadatin, S.Si., M.Si.

NIP. 197103272000032001

16

2. Anggota Peneliti

Nama Lengkap dan gelar : Junardi, S.Si., M.Si

NIP : 132257938

Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat Tanggal Lahir : Lampung, 13 Juni 1972

Alamat institusi : Program Studi Biologi FMIPA Untan

Bidang Keahlian : Biologi Laut (Polychaeta)

Pendidikan:

c. Magister Sains Biologi, PPs Institut Pertanian Bogor, 2001

d. Sarjana Biologi, Universitas Lampung, 1997

Penelitian:

2008 : Aspek reproduksi dan Perkembangan Cacing Nipah Namalycastis

rhodochorde (Polychaeta: Nereididae) (Hibah Pekerti Tahun I,

DIKTI)

2007 : Struktur Populasi dan Preferensi Habitat Cacing Nipah

(Namalycastis sp.) di Perairan Sei Kakap Kalimantan Barat (DIKTI)

2004 : Keanekaragaman Cacing Laut (Polychaeta) dan Dekomposisi

Serasah Hutan Mangrove Peniti Besar Kalimantan Barat (DIKTI)

2004: Peneliti Struktur Komunitas Cacing Laut (Polychaeta) di Perairan

Mangrove Peniti Kalimantan Barat (PPD Forum HEDS)

2001 : Keanekaragaman, Pola Penyebaran dan Ciri-ciri Substrat

Polychaeta (Annelida) di Perairan Pantai Timur Lampung Selatan

(Tesis PPs IPB)

Pelatihan dan Workshop

2007 : Manajemen dan Teknik Identifikasi Polychaeta. Pelatihan

Manajeman Laboratorium 18 November 2007, Pontianak,

Kalimantan Barat (Pemateri).

2007 : Keanekaragaman Polychaeta. Pendidikan dan Pelatihan Dasar

(DIKLATSAR) Mahasiswa Biologi FMIPA Untan, 15 Desember

2007, Pontianak, Kalimantan Barat (Pemateri).

2007 : Pesky Polychaetes: A Workshop on Marine Polychaete Taxonomy,

Museum of Art and Gallery of The Northern Territory, Darwin,

October,1-5, AUSTRALIA (Peserta)

2005 : Pelatihan Identifikasi Biota Laut (Zooplankton), 5-15 September

2005, P2O-LIPI, Jakarta (Peserta)

2005 : International Field Biology Course IBOY-DIWPA III, Research

Center for Biology, Indonesia Institute of Science, December 12-

21, 2005, Cibinong (Peserta).

Publikasi

17

1. Junardi. 2009. Karakteristik Morfologi dan Habitat Cacing Nipah

Namalycastis rhodochorde (Polychaeta: Nereididae: Namanereididae) di

Kawasan Hutan Mangrove Estuaria Sei Kakap Kalimantan Barat Jurnal Sains

MIPA Vol 93:

2. Junardi dan E.R.P Wardoyo. 2008. Struktur Komunitas dan Karakteristik

Habitat Cacing Laut (Polychaeta) di Perairan Mangrove Peniti Kalimantan

Barat. Biodiversitas Vol 9 (3): 213-216.

3. Glasby, C.J., T. Miura. E. Nishi, and Junardi. 2007. A new species of

Namalycastis (Polychaeta: Nereididae: Namanereidinae) from the shores of

South-east Asia. The Beagle, Records of the Museum and Art Galleries of the

Northern Territory 23:21-27.

4. Junardi dan E.R.P. Wardoyo. 2006 Keanekaragaman Cacing Laut

(Polychaeta) dan Dekomposisi Serasah Hutan Mangrove Peniti Kalimantan

Barat. Pemberdayaan Masyarakat.

5. Junardi dan Nofrita. 2004. Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai

Indikator Kualitas Perairan Sungai Jawi. Suara Almamater. Vol. 19 (2):37-46.

6. Junardi dan S. Murwani. 2004. Keanekaragaman dan Pola Distribusi Genus

Polychaeta di Perairan Pantai Timur Lampung Selatan. Jurnal Sains dan

Teknologi 10 (1): 58-64.

Pontianak, Desember 2009

Junardi, S.Si, M.Si

NIP : 132257938

2. Anggota Peneliti

Nama Lengkap dan gelar : Firman Saputra, S.Si.

18

NIP : 198302112008121003

Jabatan Fungsional :

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat Tanggal Lahir : Pontianak, 11 Februari 1983

Alamat institusi : Program Studi Biologi FMIPA Untan

Bidang Keahlian : Parasitologi

Pendidikan:

a. Sarjana Biologi, Universitas Gadjah Mada, 2007

Penelitian:

2007 : Pengaruh Ekstrak Metanol Spons (Familia Tetilliade) terhadap

Toxoplasma gondii pada Mencit (Mus musculus)

2005 : Pengaruh Suplemen Spirulina terhadap Kadar Eritrosit Tikus

(Rattus norvegicus) yang Terdedah Radiasi

Pontianak, Desember 2009

Firman Saputra, S.Si.

NIP : 198302112008121003