Konstruksi Teori John Rawls Dikaitkan dengan Etika Profesi Hukum

22
REVIEW ARTICLE MATA KULIAH TANGGUNG JAWAB PROFESI THE SECOND PRINCIPLE AND DISTRIBUTIVE JUSTICE R.M. AGUNG PUTRANTO WIBOWO 1206209684 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM SARJANA REGULER DEPOK

Transcript of Konstruksi Teori John Rawls Dikaitkan dengan Etika Profesi Hukum

REVIEW ARTICLE

MATA KULIAH TANGGUNG JAWAB PROFESI

THE SECOND PRINCIPLE AND DISTRIBUTIVE JUSTICE

R.M. AGUNG PUTRANTO WIBOWO

1206209684

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

PROGRAM SARJANA REGULER

DEPOK

2015

Konstruksi Pemikiran John Rawls dalam Suatu Etika Penegakan

Hukum yang Baik oleh Profesi Hukum

Abstrak

Kisruh yang terjadi belakangan ini antar sesama lembaga

penegak hukum menjadikan penulis sejenak berpikir, mengapa

persoalan hukum begitu terangnya dipertontonkan sebagai ajang

kepentingan politik? Ternyata memang benar bunyi adagium

politik dan hukum yang diibaratkan sebagai tulang dan daging.

John Rawls dalam teorinya mengemukakan dua persyaratan

kelembagaan yang dikenakan oleh fair equality of opportunity, yaitu

mencegah akumulasi properti dan kekayaan yang berlebihan, dan

mempertahankan kesempatan yang sama terhadap pendidikan untuk

semua.

Pada prakteknya di Indonesia, pengangkatan para pejabat

institusi penegak hukum tidak hanya dilihat berdasarkan unsur

pendidikan dan pengalamannya saja, namun terdapat pula

keterlibatan unsur politik dalam hal pengangkatan pejabat

institusi penegak hukum. Sehingga apabila berkaca dari teori

Rawls, maka kesempatan yang sama untuk dapat mengisi jabatan

pada suatu institusi penegak hukum tidak terlepas dari campur

tangan politik.

Fair Equality of Opportunity

Pemikiran mengenai fair equality of opportunity berkembang

karena adanya penolakan dari keturunan bangsawan, dan ide

bahwa orang-orang yang ditugaskan menempati posisi atau

jabatan pada saat itu dilihat dari kelahiran. Equal opportunity

adalah cara lain dari pemikiran liberal yang menggabungkan

nilai kesetaraan (selain persamaan hak dan kebebasan dasar).

Konsekuensi logis dari konsepsi negara hukum sebagaimana

yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 adalah

bahwasanya pemerintahan dijalankan berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan

Julius Stahl terkait 4 unsur dari negara hukum (rechtstaat),

yakni perlindungan hak-hak asasi manusia, pemisahan atau

pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-

negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica),

pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van

bestuur), dan peradilan administrasi dalam perselisihan.1

Dalam sistem hukum negara Indonesia, peraturan-peraturan

yang dibuat oleh pemerintah tidak terlepas dari unsur politis

sebagai konsekuensi logis dari sistem pemilihan kepala

pemerintahan negara Indonesia yang mana tugas itu diemban oleh

Presiden yang dipilih melalui suatu pemilihan umum.2 Adapun

peserta pemilihan umum adalah partai politik, sehingga mau

tidak mau, suka tidak suka, politik akan selalu bersinggungan

erat di dalam sistem negara hukum.

Rawls berpendapat terdapat tiga alasan terhadap prinsip

fair equality of opportunity, yaitu yang pertama, bahwa FEO adalah

bagian integral dari warga negara yang bebas memiliki status

dan kedudukan yang sama dan sederajat. Seperti kebebasan dasar

yang sama, FEO merupakan salah satu dasar sosial mengenai

kehormatan diri. Untuk dikecualikan dari posisi sosial atas

dasar ras, jenis kelamin, agama, dan sebagainya, hal itu1 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia

Pustaka, 1998).2 Lihat Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945

merupakan penghinaan terhadap martabat seseorang sebagai

pribadi dan warga negara yang sama. Kedua, orang-orang yang

kehilangan kesempatannya. Alasan utama yang ketiga terhadap

FEO adalah bahwa hal itu melengkapi the difference principle. "Peran

prinsip fair opportunity adalah untuk memastikan bahwa sistem

kerjasama merupakan salah satu keadilan prosedural murni.

Prinsip Perbedaan, kemudian bekerja bersama-sama dengan FEO;

keduanya diperlukan untuk membuat distribusi yang adil dari

pendapatan dan kekayaan.

Terkait dengan profesi hukum, Abdulkadir Muhammad

menegaskan bahwa profesi hukum merupakan salah satu profesi

yang menuntut pemenuhan nilai moral dalam pengembanannya. Hal

itu disebabkan seorang penegak hukum bertanggung jawab

terhadap diri sendiri, anggota masyarakat bahkan kepada Tuhan

Yang Maha Esa.3 Sehingga wajar jabatan seorang penegak hukum

adalah suatu jabatan yang mulia di masyarakat.

Memang dalam hal perekrutan calon pejabat penegak hukum

tidak menyimpangi prinsip fair equality of opportunity secara umum,

akan tetapi terdapat pembatasan hal itu di Indonesia melalui

Pasal 1 Keputusan Mendikbud No. 17/Kep/O/1992 tentang

Kurikulum Nasional Bidang Hukum, program pendidikan sarjana

bidang hukum bertujuan untuk mengahasilkan sarjana hukum yang:

1. Menguasai hukum Indonesia

2. Mampu menganalisis masalah hukum di masyarakat

3. Mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk

memecahkan masalah konkret dengan bijaksana dan tetap

berdasarkan prinsip-prinsip hukum

3 Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997).

4. Menguasai dasar ilmiah untuk dapat mengembangkan ilmu

hukum dan hukum itu sendiri

5. Peka terhadap masalah keadilan dan masalah sosial

Pada dasarnya, FEO ditafsirkan sebagai semacam

kompensasi bagi mereka yang secara sosial kurang beruntung

namun secara alami diuntungkan, sehingga memungkinkan mereka

untuk sepenuhnya mendidik kapasitas mereka dan bersaing pada

masa sekolah yang sama dengan mereka yang memiliki bakat alami

dengan yang lahir dari keadaan sosial yang lebih baik. Dalam

hal ini yang penting adalah secara sosial ada jaminan terhadap

harga diri semua warga negara tanpa memperhatikan kemampuan

alami mereka.

Poinnya adalah bahwa tujuan utama dari FEO untuk

memberikan warga pada umumnya, tidak hanya sekedar bakat alami

berbakat, dengan sarana untuk mengembangkan dan melatih

kemampuan alami mereka sehingga mereka dapat mengambil

keuntungan penuh dari berbagai peluang terbuka bagi orang-

orang dengan kemampuan yang sama, dan mencapai harga diri

dalam status mereka sebagai warga negara yang setara.

Jika teori tersebut ditarik kepada konteks profesi

hukum, maka yang hendak Rawls perjuangkan melalui teori FEO-

nya yakni adanya peluang yang sama bagi para sarjana hukum

untuk dapat mengisi pos-pos jabatan penegakan hukum agar

tercipta suasana meritrokasi pada sistem hukum Indonesia. Hal

tersebut juga berimplikasi pada pencegahan praktek nepotisme

yang marak terjadi pada institusi-institusi penegak hukum

tertentu, misalnya seorang anak Kapolri mendapat hak istimewa

dalam hal rekrutmen Polri karena orang tuanya merupakan

pejabat tinggi di institusi tersebut.

The Difference Principle atau Prinsip Perbedaan pada Profesi

Hukum

Menurut John Rawls, Prinsip Perbedaan merupakan sebuah

prinsip untuk institusi, bukan untuk perseorangan. Hal ini

tidak berarti bahwa Prinsip Perbedaan tidak dapat diterapkan

kepada perseorangan, bahkan prinsip ini membuat banyak

kewajiban kepadanya. Pengertiannya lebih mengarah kepada

Prinsip Perbedaan diaplikasikan dalam langkah pertama dalam

mengatur konvensi ekonomi dan institusi hukum agar berjalan

sebagaimana mestinya; keadilan sosial.

Rawls berpendapat bahwa hukum sebagai keadilan, daripada

bertujuan untuk mengamankan kemanfaatan yang sama dari

kebebasan dasar, tujuannya untuk memaksimalkan kemanfaatan

nilai dari kebebasan yang lebih buruk. Bahwa Prinsip Perbedaan

merupakan prinsip utama sebagai pedoman musyawarah masyarakat

demokrasi untuk mencapai kata mufakat, ketika terjadi

perdebatan antara mereka mengenai kebaikan umum dan keputusan

legislator saat mereka membuat hukum terkait kebaikan umum

untuk masyarakat demokrasi. Dapat terlihat bahwa Prinsip

Perbedaan berlaku kepada perseorangan secara tidak langsung.

Pengaturan mengenai penerapan langsung Prinsip Perbedaan

terhadap struktur institusi ekonomi dan penerapan tidak

langsungnya kepada masyarakat ditunjukkan pada pendapat Rawls

yang menyatakan bahwa “subjek utama keadilan adalah struktur

dasar masyarakat”. Struktur dasar masyarakat terdiri atas

penyusunan dari institusi politik, sosial dan ekonomi yang

membuat kerjasama sosial menjadi mungkin dan produktif.

Institusi dasar yang merupakan bagian dari struktur dasar

termasuk diantaranya adalah:

a. pertama, konstitusi politik dan bentuk pemerintahan

juga sistem hukum yang mendukung

b. kedua, sistem kekayaan, baik publik maupun privat yang

berlaku di seluruh masyarakat untuk memperjelas siapa

yang memiliki hak eksklusif dan tanggung jawab untuk

menggunakan barang dan sumber daya diantara

perseorangan

c. ketiga adalah sistem pasar dan seluruh pembelian dan

penjualan terhadap barang ekonomi dan lebih umum lagi

kepada struktur dan norma dari sistem produksi,

penjualan dan distribusi barang dan sumber daya

diantara perseorangan

d. keempat adalah keluarga sebagai unit terkecil dalam

suatu masyarakat dalam beberapa bentuk yaitu dari

sebuah perspektif politik yang merupakan mekanisme

utama yang wajib dimiliki seluruh masyarakat untuk

mengasuh dan mendidik anak

Peran the difference principle adalah sebagai suatu syarat agar

keadilan sosial dapat berjalan dengan baik, sebab keadilan

akan sulit tercipta di tengah arus kebebasan politik yang

cenderung melumat kaum miskin sebagai penghambat kesejahteraan

dan kemakmuran dunia. Untuk mencegah hal demikian terjadi,

perlu adanya penerapan Prinsip Perbedaan pada profesi hukum.

Sejatinya Prinsip Perbedaan pada profesi hukum berbicara

tentang perilaku dan cara mengambil keputusan seorang pejabat

penegak hukum, bagaimana seorang penegak hukum mampu

memberikan rasa adil di masyarakat, bagaimana ia menggunakan

hukum untuk membela kaum tertindas, bagaimana hukum berperan

sebagai pelindung bagi masyarakat yang membutuhkan, juga bagi

mereka yang hak-haknya terancam dibinasakan oleh keserakahan

politik.

Dengan demikian Prinsip Perbedaan menurut diaturnya

struktur dasar masyarakat adalah sedemikian rupa sehingga

kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan,

pendapatan, dan otoritas (kewenangan) seorang penegak hukum

diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang

diuntungkan terutama dari golongan miskin.

Misalnya saja penanaman modal (investasi) yang besar

dalam bidang industri dibutuhkan untuk menambah lapangan kerja

serta tersedianya barang dan jasa. Dalam hal menambah lapangan

kerja dan memproduksi barang dan jasa, penanaman modal akan

sangat memberikan keuntungan yang besar kepada mereka yang

paling kurang diuntungkan. Dengan begitu, penanaman modal akan

amat berprospek pada kenaikan pendapatan mereka yang kurang

diuntungkan, melalui kenaikan upah dan lapangan kerja yang

baru. Meskipun demikian, orang (investor) tak akan bersedia

menanggung resiko investasi besar-besaran jika tidak punya

peluang untuk memperoleh keuntungan yang besar pula dari

usahanya. Dalam keadaan demikian itulah pajak keuntungan yang

rendah dapat menciptakan insentif penanaman modal. Prinsip

Perbedaan akan menuntut peraturan pajak seperti itu jika para

investor dituntut untuk memaksimalkan prospek hidup golongan

yang paling kurang diuntungkan. Oleh karena itu para investor

harus menikmati bagian kekayaan dan kekuasaan yang lebih besar

daripada orang lain dalam masyarakat. Menurut Prinsip

Perbedaan, ketidak samaan dalam prospek kebutuhan-kebutuhan

utama harus dibenarkan jika memang dimaksudkan serta bertujuan

untuk memaksimalkan prospek hidup mereka yang paling kurang

diuntungkan.4

Fair Equality of Opportunity and The Difference Principle

Teori kedua (second principle) dari Rawl adalah mengenai

“Equality Principle”, yang membagi menjadi dua prinsip yaitu; Fair

Equality of Opportunity (FEO) dan Prinsip Perbedaan (the difference

principle). Secara umum, konsep FEO berbicara tentang setiap

orang punya kesamaan dasar yang sama melekat pada mereka,

sehingga semua orang dianggap sejajar. Ketika John Rawls

menyadari bahwa ada perbedaan antara manusia dengan manusia

lainnya, maka Prinsip Perbedaan (the difference principle) yang

memperhatikan mereka yang paling kurang beruntung. Secara

sederhana Prinsip Perbedaan dapat dimaknai sebagai prinsip

yang memandang bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus

diatur agar memberikan manfaat paling besar bagi mereka yang

paling kurang beruntung. Dalam hal ini, FEO berperan penting

untuk menunjang agar prinsip ini dapat diterapkan. FEO

menunjukkan peluang bagi mereka yang paling kurang mempunyai

peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan, dan

otoritas. Mereka inilah yang diberikan perlindungan khusus.

Beberapa ahli berpendapat bahwa seharusnya Prinsip

Perbedaan harus dipisahkan dari Kerjasama Sosial dan digunakan

sebagai Prinsip Keadilan Global. Hal ini dimungkinkan apabila

Prinsip Perbedaan dan Keadilan Distribusi (distributive justice)

dilihat secara lebih umum seperti halnya Keadilan Alokasi yang

dikemukakan Rawls. Adapun Keadilan Alokasi adalah suatu

kondisi di mana seluruh kekayaan dikumpulkan tanpa

4 Damanhuri Fattah, “Teori Keadilan Menurut John Rawls,” Jurnal TAPIs Vol.9 No.2, (Juli-Desember 2013) hal 35-36.

memperhatikan dari mana asalnya, kemudian dibagikan kepada

setiap individu berdasarkan aturan tertentu. Dalam perspektif

ini, individu yang merasakan nikmat belum tentu terlibat

proses menghasilkan nikmat tersebut. Keadilan Alokasi

selanjutnya bisa mengarah kepada utilitarianisme yang memahami

bahwa pendistribusian produksi secara agregat dilakukan tanpa

mempedulikan bagaimana atau siapa yang memproduksinya, untuk

memberikan kenikmatan yang maksimal.

Telah dijelaskan di atas bahwa Prinsip Perbedaan,

kemudian bekerja bersama-sama dengan FEO yang mana diperlukan

untuk membuat distribusi yang adil dari pendapatan dan

kekayaan. Terlepas dari bobroknya politik dan hukum di

Indonesia, dengan mengamini bahwa harus terdapat kesempatan

yang sama pada setiap orang untuk dapat memperoleh pekerjaan

yang akan berimplikasi pada kesejahteraan orang yang

bersangkutan sebagai tolak ukur kelayakan hidup, minimal

saluran-saluran politik dan institusi-institusi penegak hukum

di Indonesia harus memiliki ideologi berupa keadilan dan

kesejahteraan sosial serta berfokus pada hal tersebut. Meski

pada prakteknya acap kali ditemukan penyimpangan yang berujung

pada usaha memperkaya diri sendiri.

Adapun peran Prinsip Perbedaan (the difference principle),

sebagai suatu syarat yang menjamin tujuan ideal dari konsep

FEO bagi masyarakat. Prinsip Perbedaan hadir di masyarakat

untuk menjamin hak-hak masyarakat yang kurang diuntungkan,

akan tetapi mereka punya bakat alami untuk dapat berkontribusi

secara maksimal di lingkungan masyarakat. Disinilah hukum

mengisi ketidak pastian akan nasib masyarakat yang kurang

diuntungkan. Hukum harus selalu berpihak kepada keadilan,

karena hukum yang tidak berpihak pada keadilan rentan

menimbulkan konflik di masyarakat akibat kesenjangan sosial

dan ketidak puasan terhadap para penguasa. Adapun penguasa

yang dimaksud adalah para pejabat eksekutif pemerintahan yakni

Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan

Republik Indonesia dan para penegak hukum yang secara teknis

bekerja dalam ruang lingkup kekuasaan yudikatif berdasarkan

teori pemisahan kekuasaan (trias politica).

Untuk menjamin tegaknya keadilan, para penegak hukum

sebagai pembela kepentingan masyarakat yang kurang

diuntungkan, terlebih dahulu harus memperoleh jaminan

keadilan. Jika dikaitkan dengan profesi hukum, maka jelas

jaminan keadilan itu berupa upah dan tunjangan yang layak demi

mencegah praktek kolusi, korupsi dan nepotisme terjadi dan

akan mencabik-cabik supremasi hukum. Menurut hemat penulis,

prinsip jaminan keadilan yang terlebih dahulu harus diperoleh

oleh para penegak hukum adalah prinsip keadilan distributif

(distributive justice).

Keadilan Distributif Terhadap Profesi Hukum

Prinsip-prinsip keadilan distributif sangat bervariasi.

Meskipun demikian, ada tiga prinsip yang paling sering

diterapkan. Prinsip pertama dikenal dengan teori equity. Secara

garis besar prinsip ini mengandung dua hal pokok. Bagian yang

diterima seseorang harus sebanding dengan sumbangan yang

diberikan, baik dalam bentuk tenaga, pikiran, uang, maupun

yang lain. Di samping itu, kesebandingan bagian yang diterima

seseorang juga harus dilihat dengan bagian yang diterima orang

lain. Karenanya, bagian yang diterima berdasarkan sumbangan

yang diberikan juga harus sebanding dengan bagian orang lain

yang juga berdasarkan sumbangan orang yang bersangkutan.5

Dalam hal ini, negara selaku yang memberikan upah kepada

para pejabat penegak hukum harus memperhatikan sumbangsih

mereka atas jasanya di masyarakat. Dengan memperhatikan

tanggung jawab terhadap publik yang begitu besar, bahkan ada

profesi hukum yang pertanggung jawabannya kepada Tuhan Yang

Maha Esa, maka pejabat penegak hukum harus pula dilindungi

hak-haknya melalui keadilan distributif. Apabila keadilan

distributif itu tidak diterapkan kepada profesi penegak hukum,

maka kemungkinannya mereka akan menjadi makelar perkara hukum

demi mendapatkan keuntungan yang bertujuan memperkaya diri

sendiri maupun kelompok. Praktek seperti ini sudah sangat

lumrah terjadi di Indonesia, bahkan cakupannya tidak hanya

diantara para pejabat penegak hukum saja melainkan hingga ke

kalangan legislator.

Prinsip kedua yang dapat digunakan dalam distribusi

adalah kesetaraan atau ekualitas. Bila prinsip ini digunakan,

akan terdapat variasi penerimaan yang kecil. Dimungkinkan ada

variasi bila ada jenis-jenis pekerjaan atau bagian-bagian

dalam satu organisasi atau kelompok. Variasi itu terjadi antar

kelompok, bukan di dalam masing-masing kelompok. Kritik paling

banyak terhadap prinsip ini datang berkaitan dengan pengabaian

terhadap potensi dan produktivitas kerja. Orang yang lebih

pandai, terampil atau produktif mestinya mendapat imbalan

lebih tinggi, sementara prinsip ini tidak terlalu

mempertimbangkannya. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa

prinsip ini tepat diterapkan pada pola hubungan bukan kerja,

5 Faturochman, “Keadilan Sosial: Suatu Tinjauan Psikologi”, Buletin Psikologi VII No.1 (Juni 1999) hal 5-6.

misalnya keluarga. Dalam suasana kerja, prinsip ini dapat

diterapkan bila orientasinya adalah keharmonisan hubungan

sesama pekerja.6

Berkaitan dengan profesi hukum, hal seperti pada prinsip

di atas sebenarnya relevan dengan profesi seorang advokat.

Meski pada prakteknya advokat bekerja secara tim, namun tim

yang mampu memenangkan suatu perkara biasanya akan memperoleh

imbalan lebih tinggi dibandingkan dengan tim yang tidak

berhasil memenangkan suatu perkara. Penulis sepakat pada

prinsip keadilan distributif yang menekankan pada kesetaraan,

mampu membuat keharmonisan hubungan sesama pekerja, karena

justru di antara sesama penegak hukum harusnya menjalin

hubungan dalam hal mencari kebenaran dan keadilan yang hakiki.

Prinsip ketiga mengutamakan kebutuhan sebagai

pertimbangan untuk distribusi. Di sini dapat diinterpretasi

bahwa sesorang akan mendapat bagian sesuai dengan kebutuhannya

dan dalam hubungan kerja makin banyak kebutuhannya maka makin

besar upah yang diterima. Jika dikaitkan dengan profesi

penegak hukum yang notabene melakukan pekerjaannya pada sektor

jasa, maka kebutuhan yang diperlukan pun tidak terlalu banyak.

Telah dipaparkan sebelumnya bahwa Prinsip Perbedaan

tidak dapat diterapkan tanpa FEO. Ada sedikitnya tiga cara

bagaimana FEO melengkapi Prinsip Perbedaan, antara lain:

1. FEO membatasi derajat ketidaksetaraan pendapatan dan

kekayaan yang diperbolehkan dalam Prinsip Perbedaan

serta meningkatkan posisi relatif dari pihak yang

paling kurang beruntung

2. FEO meningkatkan posisi absolut dari pihak dengan

pendapatan terburuk dengan cara yang tidak terdapat

6 Ibid

dalam Prinsip Perbedaan. Bandingkan dua kelompok

masyarakat, Democratic Equality dan Natural Aristocracy, yang

pertama menerapkan FEO sedangkan yang kedua hanya

menerapkan Prinsip Perbedaan. Kelompok pertama

menyelenggarakan pendidikan dan kesehatan bagi seluruh

masyarakatnya tentu dengan proporsi yang didasarkan

atas faktor-faktor tertentu, sedangkan kelompok kedua

tidak, dikarenakan FEO hanya terdapat dalam kelompok

pertama tadi. Hal ini tentu saja menguntungkan bagi

masyarakat dengan kondisi terburuk pada kelompok

pertama (yang tidak bisa memperoleh pendidikan dan

kesehatan tanpa FEO). Hasilnya, masyarakat pada

Democratic Equality lebih makmur daripada Aristocratic Natural.

3. FEO mengatur konsentrasi kekayaan yang diperbolehkan

dalam difference principle. Hal ini terjadi karena FEO

berimplikasi bahwa sistem pasar bebas harus berada

dalam kerangka institusi politik dan hukum yang

mengendalikan tren ekonomi untuk mencegah konsentrasi

kemakmuran dan dominasi politik.

Profesi Hukum dan Perspektif Moral

Karakteristik tertentu dari individu telah terbukti

sangat berperan dalam menilai keadilan. Mereka yang memiliki

sifat hedonis, berorientasi politis, dan ingin cepat maju

berbeda dalam menilai keadilan bila dibandingkan dengan orang

yang pro sosial dan spiritualitasnya tinggi. Kelompok pertama

biasanya kurang setuju dengan prinsip distribusi ekual,

sementara kelompok kedua justru sebaliknya.7

7 N.T. Feather, “Human Values and Their Relation to Justice”, Journal of Social Issues No.50 (1994).

Pada kasus-kasus pejabat penegak hukum yang melakukan

perbuatan menyimpang, sistem hukum di Indonesia juga turut

memberikan kontribusi. Celah untuk disuap dan menyuap para

pejabat penegak hukum menjadikan diri sendiri sebagai satu-

satunya benteng pertahanan tiap individu.

Sejatinya hukum lahir dari masyarakat, untuk itu hukum

harus mengadopsi nilai-nilai mulia yang dianut oleh manusia

beradab. Hukum dibentuk secara umum dengan tujuan menegakan

keadilan tanpa pandang bulu, misalnya penggunaan terminologi

“barangsiapa” pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sedangkan

manusia selaku yang berbuat dan menindak hukum, adalah seorang

individu yang bebas dan kontroversial, hal itu dikarenakan

manusia terlahir dengan hak-hak asasi yang sama dan setara

namun pada perjalanannya, ia dibentuk oleh lingkungan sekitar.

Hukum bersifat institusional, moralitas bersifat kontroversial

dan personal. Hukum bersifat otoriter, mengatasi masalah

dengan tindakan otoriter pula. Sedangkan moralitas berbeda dan

mandiri, dalam arti moralitas selalu terbuka terhadap adu

argumentasi untuk mencapai kata-kata yang sama. Hukum bersifat

heterogen yang mengikat kita tanpa terkecuali, sedangkan

moralitas bersifat otonomi yang mengikat kita dengan keputusan

dan keinginan kita sendiri.

Dalam hukum, terdapat suatu moralitas hukum yang

spesifik, yang terdiri atas pencerminan pendapat-pendapat

moral yang terdapat dalam masyarakat pada umumnya dan yang

dikembangkan dalam praktek di bidang hukum dan yang terikat

dalam lembaga-lembaga dan ajaran-ajaran hukum. Moralitas hukum

ini merupakan bidang khusus para ahli hukum dan para sarjana

hukum. Seringkali moralitas ini harus dilindungi terhadap

pendapat mayoritas dan terhadap kepentingan-kepentingan

politik dan sosial yang penting, misalnya saja proses hukum

yang wajar dalam pengadilan-pengadilan terhadap intervensi

politik. Oleh karena itu good law enforcement governance adalah

salah satu acuan bagi profesi hukum sebagai seni atau gaya

moral penegakan hukum yang baik demi terciptanya keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian yang

dimaksudkan dengan “baik” dalam istilah “penegakan hukum yang

baik”, lebih memerlukan suatu butir-butir moral-legal dalam

pelaksanaannya.

Kunci utama dalam memahami penegakan hukum yang baik

(good law enforcement governance), adalah pemahaman atas prinsip-

prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip penegakan

hukum yang baik, akan dapat diperoleh tolak ukur kinerja suatu

penegakan hukum. Baik dan tidak baiknya penyelenggaraan

penegakan hukum, dapat dinilai apabila pelaksanaannya telah

bersinggungan dengan seluruh unsur prinsip-prinsip penegakan

hukum yang baik, mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi dengan

elemen-elemennya, seperti legitimasi, akuntabilitas,

perlindungan bagi hak asasi manusia, kebebasan, transparansi,

pembagian kekuasaan dan kontrol masyarakat. Oleh karena itu,

suatu pelaksanaan penegakan hukum oleh profesi hukum dapat

disebut berperspektif moral baik, apabila pelaksanaannya

memenuhi elemen-elemen prinsip demokrasi tersebut.

Dengan demikian membangun “penegakan hukum yang baik”

sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku para pejabat penegak

hukum. Kejujuran adalah hal yang paling penting untuk

dikembangkan dalam pembinaan sumber daya insani, karena

kejujuran tidak ada modulnya. Kejujuran sangat dipengaruhi

oleh keimanan dan integritas seseorang. Sebagai konsekuensi,

pemerintah dengan sendirinya dituntut untuk meningkatkan

kemampuan sumber daya insaninya sesuai dengan bidang tugasnya,

kesejahteraannya, termasuk menentukan sikap dan perilakunya,

agar mampu berpikir dengan baik dan benar.8

Implementasi Good Law Enforcement Governance di Indonesia

Penegakan hukum dalam definisinya yang luas, tidak hanya

berkenaan dengan apa yang dilakukan para pejabat di wilayah

yudisial semata, tetapi juga yang berlangsung di wilayah

eksekutif, administrasi dan legislatif. Maka, wacana tentang

syarat gaya moral pelaksanaan penegakan hukum yang baik,

dimasukkan pula ke dalam proses bagaimana hukum itu dibentuk

dan ditegakkan. Pentingnya memahami penegakan hukum yang baik,

dengan hak dan kewajiban yang dimiliki agar masyarakat

mengetahui bahwa tolak ukur yang diperlukan guna menilai

kinerja para pejabat penegakan hukum itu ada, kemudian

didayagunakan secara efektif melaksanakan kontrol sosial

secara optimal, sehingga dapat diharapkan kualitas keputusan-

keputusan para pejabat penegak hukum akan terjaga. Tingginya

kualitas keputusan-keputusan para pejabat penegak hukum yang

tertengarai memenuhi tolak ukur predictability, accountability,

transparency dan widely participated, akan mengindikasikan tingginya

kadar demokrasi di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara.

Merupakan tuntutan dalam kehidupan hukum yang demokratis

dan

berwawasan kemasyarakatan untuk memberikan tolok-ukur setiap

proses penegakan hukum oleh para pejabat yang berwenang, atas

8 Kusnu Goesniadhie, “Perspektif Moral Penegakan Hukum yang Baik”, Jurnal Hukum No.2 Vol.17 (April 2010).

dasar kriteria mengenai gaya moral pelaksanaannya. Para

pejabat penegakan hukum dan anggota masyarakat yang

berkepentingan mesti sama-sama mengetahui kriteria untuk

memberikan tolak ukur ada atau tidaknya penegakan hukum yang

baik dalam praktek-praktek penegakan hukum yang akan berdampak

pada kehidupan mereka. Dengan memahami secara baik seluk-beluk

dan liku-liku penegakan hukum yang baik, para penegak hukum

dan para pejabat pemerintahan akan berhati-hati dalam

bertindak guna menjaga kualitas moral-politik dan moral-legal

segala bentuk keputusan-keputusannya.

Sementara itu, dengan mengetahui apa yang dimaksud

dengan penegakan hukum yang baik, masyarakat pun akan dapat

memberikan tolak ukur dan menilai apakah badan legislatif,

baik di pusat maupun di daerah, telah menguasai dan mampu

melaksanakan gaya moral penegakan hukum yang baik atau belum.

Masyarakat akan dapat menilai kepatuhan anggota-anggota badan

legislatif pada ketentuan-ketentuan yang ada mengenai

mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan demi terjaganya

sistem hukum nasional. Kepatuhan pada mekanisme dan prosedur

serta sistem yang ada, pada gilirannya akan menjamin

terpenuhinya tuntutan predictability dan accountability. Dengan

mengetahui apa yang dimaksud dengan penegakan hukum yang baik,

masyarakat akan dapat mengamati dan memberikan tolak ukur

apakah para pelaksana penegakan hukum sebagai fungsionaris

dalam suatu proses peradilan, hakim, jaksa, polisi dan

pengacara, telah bertindak sesuai dengan persyaratan gaya

moral penegakan hukum yang baik atau belum. Pengetahuan dan

kepahaman masyarakat mengenai sesuatu yang baik dalam wilayah

yudisial, juga akan dapat digunakan untuk menilai proses

penyelesaian berbagai perkara hukum yang telah atau yang masih

harus diselesaikan melalui pengadilan.9

The Just Saving Principle

John Rawls dianggap sebagai tokoh yang pertama kali

mencetuskan pemikiran mengenai adanya suatu “utang” yang

dimiliki masyarakat generasi saat ini kepada masyarakat

generasi masa depan. Ia berargumen bahwa tugas utama dari

generasi mendatang adalah menggunakan modal materiil dengan

secukupnya guna mempertahankan kebiasaan untuk hidup secara

berkelanjutan dari waktu ke waktu. John Rawls menyebut tugas

utama ini sebagai Just Savings Principle. Meskipun Just Savings Principle

hanya merupakan salah satu aspek kecil dari pemikirannya

mengenai teori keadilan, prinsip ini telah banyak

diperbincangkan dan dikritisi karena ajarannya terbilang

sangat berkontradiksi dengan prinsip-prinsip lain pada umumnya

yang berkaitan dengan keadilan antar generasi.

Johh Rawls menyatakan pemikirannya tersebut

dilatarbelakangi oleh kesadarannya bahwa apa yang dihutangkan

generasi saat ini kepada generasi mendatang bergantung pada

bagaimana standar kehidupan minimum pada masyarakat

ditetapkan. Ia mengklaim bahwa suatu standar kehidupan minimum

dapat digunakan untuk menentukan pada tingkat mana sebuah

masyarakat memaksimalkan ekspektasi terhadap standar

kehidupannya terutama pada masyarakat kelas bawah. Pada

dasarnya, Just Savings Principle merupakan sebuah teori tambahan atas

teori Prinsip Perbedaan atau Difference Principle yang didesain

untuk memberikan suatu batasan pada generasi mendatang.

9 Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum dan Moral Pemerintahan yangBaik”, Jurnal Analisis Hukum (2002).

Apabila Difference Principle tidak memiliki komponen antar generasi,

maka kita sebagai masyarakat generasi saat ini secara langsung

maupun tidak langsung akan mengeksploitasi masyarakat paling

kurang beruntung pada generasi mendatang semata-mata untuk

keuntungan paling kurang beruntung pada generasi saat ini.

Pemikiran mengenai Just Saving Principle sangat penting untuk

didalami. Apabila dikaitkan dengan teori Difference Principle maka

kita sebagai manusia generasi saat ini tidak akan meningkatkan

apapun untuk generasi mendatang, melainkan hanya untuk

bertahan hidup saja dengan kondisi saat ini atau yang sudah

ada sebelumnya tanpa perhitungan mengenai apa yang akan

dialami oleh generasi mendatang.

Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan konteks profesi

hukum, maka yang dapat ditinggalkan oleh para sarjana hukum

generasi saat ini terhadap generasi yang akan datang selain

produk hukum yang pro sosial dan pro terhadap hak-hak asasi

manusia, juga meninggalkan yurispridensi yang dapat menjadi

acuan bagi putusan-putusan hakim pada generasi mendatang,

dengan tujuan menjaga supremasi hukum sebagai suatu norma yang

mulia di masyarakat agar selalu berjalan berdampingan

mengikuti perkembangan masyarakat yang cepat berubah.

Penutup

Profesi penegak hukum menuntut individu untuk berwawasan

luas dan berperspektif keadilan bagi mereka yang paling kurang

diuntungkan. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut perlu adanya

suatu pemahaman bahwa profesi hukum merupakan profesi yang

istimewa dan luhur di masyarakat. Oleh karena itu, dalam hal

mengisi jabatan penegak hukum di Indonesia perlu dibuka

seluas-luasnya kepada publik dan diberikan kesempatan yang

sama untuk mengisi jabatan tersebut.

Adapun pada prakteknya, dibenarkan adanya Prinsip

Perbedaan agar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

sebagai amanat Pancasila, sila ke-5 dapat teraplikasikan dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Prinsip

Perbedaan berfungsi melindungi golongan yang paling kurang

diuntungkan, bagaimana hal itu dapat terwujud tentu kembali

pada karakteristik individu para profesi penegak hukum.

Terwujudnya asas penegakan hukum yang baik di masyarakat

tidak terlepas dari adanya kesadaran tiap profesi penegak

hukum untuk saling bekerja dan mencari keadilan di masyarakat,

dan kesemuanya membutuhkan gaya moral yang baik yang

mencerminkan sikap tindak dan cara berpikir para penegak

hukum.

Adapun yang tak kalah pentingnya, bagaimana kemudian

hukum positif yang hidup dan berkembang pada generasi saat ini

mampu menjaga marwah supremasi hukum pada generasi yang akan

datang, hal itu diperlukan untuk menjaga konsistensi asas

penegakan hukum yang baik antar generasi.

Daftar Pustaka

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia

Pustaka. 1998

Dwisvimiar, Inge. “Keadilan dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Hukum”. Jurnal Dinamika Hukum 3 Vol. 11 (September 2011).

Fadhillah. “Refleksi Terhadap Makna Keadilan Sebagai Fairness

Menurut John Rawls dalam Perspektif Keindonesiaan”.

Jurnal Madani 2 (Nopember 2007).

Faturochman. “Keadilan Sosial: Suatu Tinjauan Psikologi”.

Buletin Psikologi 1 (Juni 1999): 13-27.

Fattah, Damanhuri. “Teori Keadilan Menurut John Rawls”. Jurnal

TAPIs 2 Vol. 9 (Juli-Desember 2013).

Feather, N.T (1994). Human Values and Their Relation to

Justice. Journal of Social

Issues 50: 129-151.

Goesniadhie, Kusnu. “Perspektif Moral Penegakan Hukum yang

Baik”. Jurnal Hukum 2 Vol. 17 (April 2010): 195-216.

Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Bandung: Citra Aditya

Bakti. 1997

Wignjosoebroto, Soetandyo, “Hukum dan Moral Pemerintahan yang

Baik”. Jurnal

Analisis Hukum. 2002. Jangan Tunggu Langit Runtuh.

hukumonline.com.