konstruksi pssi di layar televisi

218
KONSTR (Analisis Wacana dan P J FAKU U RUKSI PSSI DI LAYAR TELEVISI a Kritis Pemberitaan Konflik Liga Primer Indonesia (LP Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) di Pemberitaan SCTV dan Metro TV) SKRIPSI Disusun Oleh : MUHAMMAD ZULFI IFANI 06/195310/SP/21465 JURUSAN ILMU KOMUNIKASI ULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011 I PI)

Transcript of konstruksi pssi di layar televisi

KONSTRUKSI PSSI DI LAYAR TELEVISI

(Analisis Wacana Kritis Pemberitaan

dan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI)

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS

KONSTRUKSI PSSI DI LAYAR TELEVISI

(Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Konflik Liga Primer Indonesia (LPI)

Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI)

di Pemberitaan SCTV dan Metro TV)

SKRIPSI

Disusun Oleh :

MUHAMMAD ZULFI IFANI

06/195310/SP/21465

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2011

KONSTRUKSI PSSI DI LAYAR TELEVISI

Liga Primer Indonesia (LPI)

i

KONSTRUKSI PSSI DI LAYAR TELEVISI

(Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Konflik Liga Primer Indonesia (LPI) dan Persatuan Sepakbola

Seluruh Indonesia (PSSI) di Pemberitaan SCTV dan MetroTV)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Spesialisasi Ilmu Komunikasi

Disusun Oleh :

Muhammad Zulfi Ifani

06/195310/SP/21465

Disetujui oleh:

Dosen Pembimbing

Wisnu Martha Adiputra, S.IP., M.Si.

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2011

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertanggungjawabkan dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta.

Pada hari : Rabu

Tanggal : 1 Juni 2011

Pukul : 11.00 – 12.15

Tempat : Ruang Sidang Jurusan Ilmu Komunikasi

Tim Penguji:

Penguji Utama/ Dosen Pembimbing ___________________________

Wisnu Martha Adiputra, S.IP., M.Si.

Penguji Samping I

___________________________

I Gusti Ngurah Putra, MA.

Penguji Samping II

___________________________

Drs. Kuskridho Ambardi, MA., Ph.D.

iii

HALAMAN PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

N a m a : Muhammad Zulfi Ifani

No. Mahasiswa : 06/195310/SP/21465

Angkatan : 2006

Jurusan : Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM

Judul skripsi:

KONSTRUKSI PSSI DI LAYAR TELEVISI

(Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Konflik Liga Primer Indonesia (LPI) dan Persatuan

Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) di Liputan 6 SCTV dan MetroTV)

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi saya tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan juga tidak

terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain, kecuali

yang secara tertulis diacu dalam naskah itu dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan saya bersedia menerima

sanksi apabila kemudian hari diketahui tidak benar.

Yogyakarta, 10 Oktober 2011

Yang membuat pernyataan

Muhammad Zulfi Ifani

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal

belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang

terdahulu sebelum kamu?" (QS. Al Baqarah 214)

“Kita Manusia ini, hidup di dunia hanya sekali, untuk bertaruh:

Sesudah mati akan mendapat kebahagiaan atau kesengsaraan.”

(KH. Ahmad Dahlan)

"Sesuatu yang tidak kamu jaga dengan benar, cepat atau lambat

pasti akan menghilang dari hidupmu." (MZI)

Untuk Bapak dan Mamak:

Terimakasih telah menjadi orang tua terhebat di dunia

Untuk Kakak dan Adik:

Lewati batas kemampuan diri kita, pasti bisa!

Dan untuk semua yang telah berperan mendewasakan saya.

Skripsi ini adalah bukti bahwa saya terus meningkatan diri.

v

UCAPAN TERIMA KASIH

Tidak terasa waktu terus berlalu, dan ternyata butuh waktu 1½ tahun untuk

menyelesaikan tugas akhir ini. 5 tahun sudah saya tinggal di Jogja untuk menyelesaikan

gelar sarjana. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam yang telah memberikan waktu

dan kesempatan hingga hamba-Nya ini dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pula,

sholawat serta salam kepada junjungan kita semua Nabi Besar Muhammad SAW.

Ucapan terimakasih, penulis haturkan kepada:

1. Cak Drs. Budhy Komarul Zaman, M.A., selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi

Universitas Gadjah Mada. Sekaligus segenap dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi

UGM, Mas Nunung, Mas Shulhan, Mas Wawan, Mas Budi Ir, Mas Budi Sayoga,

Bang Abrar, Mas Widodo, Mbak Rajiyem, Mbak Yayuk, dan seluruh

dosen/asisten dosen.

2. Mas Wisnu Martha Adiputra, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak

membantu penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa juga Mas Wawan Kurniawan KY

dan Bang Ana Nadhya Abrar, dosen pembimbing skripsi terdahulu yang telah

memberitahu saya arti kerja keras dan fokus demi skripsi.

3. Kedua orang tercinta, ayahanda Tahrir Adnan, Ibunda Robikah, serta kakak-

adikku Zulfa Hananiawati dan Kaukab Rahmaputra. “Ternyata skripsi memang

berat dan butuh ekstra fokus agar bisa selesai pada waktunya.”

4. Sahabat-sahabat saya selama 4 tahun terakhir, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah,

baik di Komisariat UGM dan di Cabang Bulaksumur-Karangmalang. Immawan

Ari Hendra, Yusro, Wahyu, Wisda, Ozy, Fauzan, Priyo, Ulum, Faris (terus

berproses!), Malik, Irfa, Chanief, Irawan, Shony, dan Cahyo. Immawati Intarti,

Qolbi, Luluk, Lya, Imi, Ana, Dimi, Davina, Yuar, Hening,. Dan immawan/ti lain

yang tidak bisa saya sebut satu persatu. “Terimakasih atas kebersamaannya selama ini.

Kemanapun kita pergi setelah dari kampus, jangan pernah lupakan ikatan ini...”

vi

5. Keluarga Besar Muhammadiyah di mana pun berada. Pak Amien Rais (sosok

idola bagi saya), Buya Syafi’i Ma’arif, Ust. Yunahar Ilyas, Ust. Fathurrahman

Kamal, Ust. Muhsin Hariyanto (logika-logika anda mengagumkan), Ust. Abdul

Kholiq (semangat yang luar biasa di usia senja), Mas Adi Acep (semangat dan

inspirasinya luar biasa!),

6. Keluarga Besar Pondok Pesantren (atau Padepokan) Budi Mulia, khususnya

santri Angkatan X (2007-2010). Salam erat buat Mang Udin, Mas Imam Kabir,

Mas Hendro, Mas Badik, Bang Zul, Mas Ardian, Mas Muzrin, Mas Agus, Mas

Adib, Mas Bagus, Mas Andrian, Mas Imam Mus, Afsal, Ganjar, Miftah, Iko,

Nunung, Kris, Alfian, Furqi, Cahyadi (Selamat menikah!), dan Afi. “Untuk sebuah

kebersamaan, ternyata 3 tahun adalah waktu yang terlalu singkat.”

7. Kawan-kawan seperjuangan di Komunikasi UGM, khususnya angkatan 2006.

Kurnia Dhani (thanks buat kebersamaanya di Eagle Awards), Adrian Jonathan

(calon professor film), Iim (segera pulang ke Jogja, boy. Selesaikan skripsi baru

kembali ke Jakarta lagi), Koyah (bingung antara jadi artis India atau dosen-kah?),

Fathur (artis dan akademisi multitalent), Mayang (tempat berdiskusi tentang

Komunikasi dan Islam), Bang Dendi (salah satu kakak terbaik yang pernah

kukenal. Ayo Bang, segera lulus!), Mas Danang (segera lulus juga mas!), Mbak

Ratih (6 bulan bersama untuk Multikulturalisme), dan kawan-kawan lain yang

tidak bisa disebutkan satu persatu.

8. Rekan-rekan di Keluarga Remaja Islam Magelang (Karisma), organisasi tempat

saya mengabdi di Magelang selama 7 tahun terakhir. Terimakasih buat Afeb,

Safari, Wigati, Avis, Mbak Uzi, Mbak Sittati, Mas Fais, Radian, Deva, Apit, Emi,

dan kawan-kawan lain. “Kalian semua mengajari saya akan arti amanah dan berjuang,

baik dalam kondisi banyak maupun sedikit. QS Muhammad:7 adalah spirit yang tidak

akan pernah padam.”

9. Tim KKN Unit 97 tahun 2009 di Sambelia, Lombok Timur, NTB. Tim KKN

yang luar biasa, yang rela backpacking selama 2 hari dari Jogja sampai ke

Sambelia. Terimakasih kepada Mas Shulhan (our greatest DPL), Frenkie (Pak

vii

Kormanit), Gempil, Kiting, Gareng, Bayu, Adel, Akbar, Henry, Ipung, Memy

(penduduk lokal), Paul (yang akhirnya dapat pacar dari lokasi KKN), Tatang,

Theyeng, Reta, Ria, Laras, Meuthia (Sukses buat Asal Usul-nya), Anne, Ayik, Ita,

dan Mbak Tiwi. “KKN Wisata yang kita gagas memang benar-benar wisata. Pantai-pantai

di Lombok memang luar biasa indah!”

10. Segenap keluarga besar Eagle Awards Metro TV 2011. Keluarga besar yang

memang penuh talenta luar biasa. Para panitia Eka, Mas Agus, Mas Jastis, Mas

Fajar. Kawan-kawan finalis lainnya: Belo dengan Mutiara Pesisir Pantai-nya, Afif

dan Muthe dengan Presiden Republik Abu-abu-nya, Jamal dan Bang Ayi dengan

Garamku Tak Asin Lagi, lalu Robert dan David dengan Hutanku Sekolahku. Para

tutor, Bang Lianto, Bang John Bosco, Mas Sastha Sunu, Mas Abduh Aziz, dll.

Juga keluarga besar subyek kami, Bapa Sico Ximenes beserta keluarga besar di

Naibonat. 3 bulan bersama terasa amat sebentar untuk berkarya. Karena memang

berkarya sebenarnya adalah selepas masa karantina Eagle Awards.

11. Kawan-kawan almamater sekolah di Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam

(khususnya MTs angkatan 2003 – Himsastra 731), SMA Negeri I Magelang, SD

Muhammadiyah Kupang. Juga kawan-kawan satu almamater organisasi di OSIS

SMA N I Magelang, Dewan Islam Sekolah, Jurnalistik Sibema, Jaringan Rohis

As-Shofwah Magelang, Pelajar Islam Indonesia, BPPM Balairung, Jamaah

Muslim Fisipol, dan Jamaah Shalahuddin.

12. Dan semua kerabat, rekan, handai taulan yang tidak bisa disebutkan satu persatu

yang telah banyak membantu saya menyelesaikan gelar sarjana. Terimakasih!

Obrigado! Jazakallah khoir!

viii

DAFTAR ISI

Halaman Judul i

Halaman Pengesahan ii

Halaman Pernyataan iii

Halaman Persembahan iv

Ucapan Terimakasih v

Daftar Isi vii

Daftar Bagan, Gambar dan Tabel xi

BAB I

Pendahuluan 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 4

C. Tujuan Penelitian 5

D. Manfaat Penelitian 5

E. Kerangka Pemikiran

1. Jurnalisme Televisi 6

2. Proses Penyiaran Berita Televisi 9

3. Media dan Konstruksi Berita 11

4. Pendekatan Ekonomi-Politik Media 16

F. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian 19

2. Obyek Penelitian 20

3. Analisis Data 21

BAB II

Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough

dan Sepakbola Dalam Kajian Media 25

ix

A. Wacana, Ideologi dan Hegemoni dalam Berita 25

1. Wacana 25

2. Ideologi 28

3. Hegemoni 29

4. Berita dalam Belenggu Wacana, Ideologi dan Hegemoni 31

B. Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough 34

1. Biografi Norman Fairclough 34

2. Model Analisis Wacana Norman Fairclough 36

3. Perbandingan Model Analisis Wacana 40

C. Sepakbola dalam Kajian Media 42

1. Sejarah Sepakbola 42

2. Sepakbola Indonesia: Jalan Perlawanan dan Kontroversi 44

3. Sepakbola dan Industri Media 50

4. Pemberitaan Sepakbola di Indonesia 54

BAB III

Liputan SCTV, Metro TV dan Liga Primer Indonesia 57

A. Liputan 6 SCTV : Aktual, Tajam Dan Terpercaya 59

1. Sejarah dan Dinamika 59

2. Visi dan Misi 61

3. Slogan dan Logo 62

4. Program Berita yang Diproduksi 59

5. Struktur Redaksi 60

B. Metro TV: Knowledge to Elevate 65

1. Sejarah dan Dinamika 65

2. Visi dan Misi 66

3. Slogan dan Logo 67

4. Program Berita yang Diproduksi 67

5. Struktur Redaksi 68

x

C. Liga Primer Indonesia: Change The Game! 69

1. Sejarah dan Dinamika 69

2. Klub-klub Peserta 70

3. Masa Depan LPI 76

BAB IV

Analisis Berita Liputan 6 SCTV dan Metro TV 77

A. Analisis Teks 82

1. Liputan 6 SCTV 82

2. Metro TV 141

B. Analisis Praktik Diskursif (Discourse Practice) 174

1. Liputan 6 SCTV 174

2. Metro TV 177

C. Analisis Praktik Sosiokultural (Sociocultural Practice) 180

D. Analisis Order of Discourse 182

1. Genre 183

2. Intertekstualitas 185

BAB V

Penutup 192

A. Kesimpulan: Ketika PSSI Jadi Musuh Bersama 193

B. Saran: Media Adalah Bagian dari Resolusi Konflik 205

Daftar Pustaka 207

xi

DAFTAR BAGAN, GAMBAR & TABEL

Bagan 01. Proses Penyiaran Berita 9

Bagan 02. Pemberitaan Model McQuail 11

Bagan 03. Hubungan Antara Bahasa, Realitas Dan Budaya 13

Bagan 04. Skema Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough 21

Bagan 05. Berita Sebagai Konstruksi Realitas 32

Bagan 06. Penjabaran Kerangka Analisis Norman Fairclough 38

Bagan 07. Survey Menonton Olahraga 52

Gambar 01. Logo SCTV 62

Gambar 02. Logo Liputan 6 SCTV 63

Gambar 03. Logo Metro TV 67

Tabel 01. Nilai Berita 6

Tabel 02. Perbedaan Jurnalisme Cetak dan Penyiaran 8

Tabel 03. Unsur-unsur dalam Analisis Teks 22

Tabel 04. Kerangka Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough 24, 37

Tabel 05. Perbandingan Model Kerangka Analisis 41

Tabel 06. Prestasi PSSI di Turnamen 48

Tabel 07. Liga Sepakbola di Layar Televisi 52

Tabel 08. Program Berita Olahraga di Layar Televisi 55

Tabel 09. Program Berita di SCTV 63

Tabel 10. Program Berita di Metro TV 67

Tabel 11. Klub-klub Peserta LPI 71

Tabel 12. Daftar Berita tentang LPI di Liputan 6 SCTV 77

Tabel 13. Daftar Berita tentang LPI di Metro TV 80

Tabel 14. Kesimpulan Analisis Berita di SCTV 194

Tabel 14. Kesimpulan Analisis Berita di Metro TV 199

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Penghujung tahun 2010 lalu ditandai dengan euforia besar-besaran masyarakat

atas sepakbola nasional. Langkah Timnas Indonesia di Piala AFF yang begitu

gagah, meski akhirnya tumbang di partai final membuat masyarakat begitu antusias

memperhatikan jejak langkah persepakbolaan Indonesia. Di antara euforia itu, ada

langkah monumental lainnya dengan hadirnya Liga Primer Indonesia (LPI)

sebagai liga alternatif disamping Liga Super Indonesia (Indonesian Super League, ISL)

yang diselenggarakan oleh PSSI.

Sayang, LPI yang diharapkan menjadi lokomotif liga perubahan dengan

slogannya Change The Game! justru harus berhadapan vis-a-vis dengan PSSI yang

dipimpin oleh Nurdin Halid. Tokoh yang terakhir ini bisa jadi merupakan musuh

nomor satu masyarakat Indonesia saat ini. Berbagai kritik, hujatan sampai

cemoohan ditujukan padanya dengan satu tujuan: mundur dari kursi Ketua Umum

PSSI. Namun, semua itu baginya hanya angin lalu. Seperti dikutip

DetikSport.com1, "Saya tidak akan mundur karena tekanan. Saya tidak akan

mundur karena menghargai demokrasi dan tatanan PSSI. Jika kita gagal juara, itu

very very unlucky,”

Ada berbagai alasan yang bisa dirangkum mengapa berbagai suara

kelompok masyarakat memintanya untuk mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI.

Pertama, adalah statusnya sebagai mantan narapidana korupsi. Status ini sempat

digugat oleh FIFA, akan tetapi tidak dihiraukan oleh PSSI. Bahkan selama

beberapa tahun ia sempat memimpin PSSI dari balik jeruji penjara. Kedua, prestasi

Timnas dan Liga Indonesia cenderung stagnan dalam keterpurukan sejak dipimpin

oleh Nurdin (dari 17 November 2003 – saat ini). Timnas tetap terpuruk di pentas

internasional, sedang penyelenggaraan liga kacau balau. Ketiga, berbagai saran dan

kritik yang selama ini ditujukan kepada PSSI sebagian besar tidak pernah

1 Hargai Demokrasi, Nurdin Halid Tolak Mundur. Diakses pada 25 April 2011. Terarsip di http://www.detiksport.com/sepakbola/read/2010/12/29/232000/1535546/76/hargai-demokrasi-nurdin-halid-tolak-mundur

2

diperhatikan, semisal tujuh butir rekomendasi Kongres Sepakbola Nasional di

Malang 30-31 Maret 2010. Padahal salah satu butir paling penting dari

rekomendasinya adalah reformasi dan restrukturisasi organisasi. Maknanya sangat

jelas, harus ada perubahan kepemimpinan di tubuh PSSI. Sayang, poin yang amat

penting ini berlalu saja tanpa implementasi.

Berbagai lini media digunakan untuk menekan Nurdin Halid dan jajaran

PSSInya. Kritik di media cetak maupun elektronik sudah dikerahkan. Di jejaring

sosial Facebook, tidak terhitung lagi ada berapa grup yang menamakan diri

“Nurdin Halid Turun” bahkan di twitter topik #NurdinTurun sempat jadi world

trending topic. Berbagai bukti ini menjelaskan betapa Nurdin Halid beserta

jajarannya telah jadi musuh di negeri sendiri.

Angin perubahan non-struktural lalu muncul dari Arifin Panigoro, seorang

konglomerat yang juga menggemari sepakbola. Sebelumnya, bersama Grup Bisnis

Medco Foundation, Arifin Panigoro sejak tahun 2005 sudah bekerjasama dengan

PSSI dengan menyelenggarakan Liga Medco U-16 dan U-17. Kekecewaan

terhadap penyelenggaraan Liga Super Indonesia (Indonesian Super League, ISL) oleh

PSSI menjadi hulu bergulirnya Liga Primer Indonesia. ISL dianggap tidak pernah

berkembang ke arah profesional, khususnya dalam pendanaan. Sudah sejak lama

penyelenggaraan klub di ISL menggunakan dana APBD yang jumlahnya bisa

mencapai puluhan miliar. Hal ini jelas bertentangan dengan Permendagri No.

58/2005 tentang pengelolaan keuangan. Dimana daerah dilarang menggunakan

APBD untuk kegiatan sepak bola profesional. Faktanya, hampir semua klub di

ISL masih bergantung pada APBD. Semisal, Persija Jakarta pada musim 2010 yang

diberi dana mencapai 40 miliar dari Pemda DKI, belum termasuk belasan klub

ISL lainnya.

Tidak selesai di masalah APBD, perangkat pertandingan ISL pun juga

amburadul. Kerap kali wasit berat sebelah dalam memutuskan, penonton pun

tidak bisa diatur sehingga kerusuhan sering terjadi. Terakhir, ada kerusuhan antar

suporter Persib vs Arema FC (Minggu, 23/01/2011). Carut marut itulah yang

membuat kubu Arifin Panigoro bulat untuk menyelenggarakan kompetisi

alternatif di luar ISL.

3

Akan tetapi, bukan berarti LPI berjalan dengan mudah. PSSI dengan

berbagai cara menentang keberadaan LPI. Pertama, dengan cara memberi sanksi

semua pihak yang terlibat di dalam LPI, pemain, wasit, pelatih, agen, dan pengurus

klub tanpa terkecuali. Pemain asing misalnya, akan dicabut ijin bermainnya,

pemain lokal ditutup peluangnya untuk timnas dan pelatih pun akan dicabut

lisensinya. Kedua, klub-klub ISL yang memutuskan berlaga di LPI pun didegradasi

ke divisi I (divisi kasta ketiga di bawah ISL dan divisi utama), sampai saat ini ada

tiga klub ISL yang resmi bermain ke LPI yaitu Persebaya (1927), Persema Malang

dan Persibo Bojonegoro. Dan ketiga, PSSI menggunakan peringatan resmi dari

FIFA untuk menekan LPI. Menurut PSSI, FIFA yang akan memberikan hukuman

bila LPI terus diselenggarakan. Resiko terberatnya adalah Timnas Indonesia akan

dilarang mengikuti agenda sepakbola internasional.

“Perang” antara Penyelenggara LPI vs PSSI inilah yang kemudian menjadi

headline di berbagai media. Sesuai dengan dogma klasik dunia pemberitaan “bad

news is good news”, media lalu mengambil keuntungan dari kontroversi ini untuk

meningkatkan audiens. Tentu tidak sebatas keuntungan ekonomi semata. Lebih

jauh dari itu, media punya peran yang strategis untuk membentuk wacana di

tengah masyarakat. Wacana yang dimaksud, diyakini bukan sekedar komunikasi

murni tetapi merupakan strategi dalam berkomunikasi. Artinya, wacana tidak lagi

digunakan untuk mencapai kebenaran semata, melainkan lebih dari itu untuk

merebut kekuasaan.

Selain itu, harus diingat kembali bahwa setiap usaha dari media untuk

menceritakan kembali sebuah realitas dalam media adalah usaha untuk

mengkonstruksi realitas. Dengan demikian, isi media tidak lain bukanlah realitas

itu sendiri, melainkan adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality)

dalam bentuk wacana2.

Dari pengamatan sekilas yang peneliti lihat misalnya, pemberitaan

mengenai LPI tidak merata diangkat oleh televisi. Tidak semua televisi melihat

LPI sebagai kejadian yang harus diberitakan (memiliki nilai berita). Fokus pada

dua stasiun televisi berita, MetroTV dan TvOne, memperlihatkan hal yang

2 Ibnu Hamad. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit. Hal. 11-12.

4

kontras. MetroTV amat gencar memberitakan dan memberikan opini mengenai

LPI. Terlihat sekali pemihakan yang dilakukan oleh MetroTV. Bisa jadi ini

membenarkan pendapat umum bahwa Metro TV memang kritis terhadap apa saja

yang berbau pemerintahan dan status-quo.

Sedangkan TvOne, berbalik 180º, nyaris tidak memberitakan LPI. Secara

sederhana, ini memperlihatkan bagaimana ekonomi-politik pemberitaan masuk

sampai ke ranah sepakbola sekalipun. Hal yang mencengangkan, nilai-nilai

sportifitas yang seharusnya menjadi spirit dari olahraga, justru dikalahkan oleh

politisasi kepentingan.

Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk mendalami kontroversi yang

makin memanas ini, khususnya di layar televisi – bukan di media cetak. Dan pada

penelitian ini, stasiun televisi yang dipilih adalah MetroTV dan Liputan 6 SCTV.

Dari hasil penelusuran cuplikan berita, MetroTV & Liputan 6 SCTV ternyata

cukup intens memberitakan. Gencarnya pemberitaan ini tentu tidak terlepas dari

indikasi misi khusus MetroTV & Liputan 6 SCTV atas peristiwa ini.

Penelitian ini akan menggunakan analisis wacana kritis yang dikembangkan

oleh Norman Fairclough. Mengutip pernyataan Deddy N. Hidayat3, analisis ini

akan mempelajari bagaimana kekuasaan disalahgunakan atau bagaimana dominasi

serta ketidakadilan dijalankan dan direproduksi melalui teks. Termasuk di

dalamnya nanti akan dipelajari pula bagaimana produksi wacana berlangsung dan

relasi kuasa apa saja yang ada di belakangnya.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat dirumuskan

adalah sebagai berikut:

“Bagaimana Liputan 6 SCTV dan Metro TV Mengkonstruksikan Pemberitaan

Konflik Liga Primer Indonesia (LPI) dan PSSI pada Bulan Januari 2011?”

3 Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS. Hal. xiii.

5

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui konstruksi pemberitaan yang diwacanakan oleh MetroTV dan

Liputan 6 SCTV tentang konflik LPI dan PSSI.

2. Mengetahui latarbelakang dari konstruksi tertentu pada pemberitaan Liputan

6 SCTV dan Metro TV tentang LPI.

3. Mengkaji secara kritis, bahwa netralitas media terhadap suatu debat publik

tidak akan pernah terjadi.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Akademis

Secara akademis, penelitian skripsi ini diharapkan dapat memperkaya penelitian

berbasis metode analisis wacana kritis, khususnya metode yang dikembangkan

oleh Norman Fairclough. Selain itu, perspektif ekonomi-politik media juga akan

diangkat untuk melihat bagaimana produksi pesan media di tengah arus besar

determinasi ekonomi-politik media.

2. Manfaat Praktis

Sedangkan secara praktis penelitian ini memberikan pemahaman baru mengenai

bagaimana melihat lebih dalam terhadap siaran media televisi. Bahwa media akan

secara sengaja memiliki pendekatan tertentu terhadap isu-isu besar yang

berpotensi kontroversial.

E. KERANGKA PEMIKIRAN

1. Jurnalisme Televisi

Jurnalisme atau jurnalistik berasal dari kata journal, artinya catatan harian, atau

catatan mengenai kejadian sehari-hari, yang bisa juga diartikan sebagai surat kabar.

Dari akar kata itu, McDougall4 mendefinisikan jurnalisme sebagai kegiatan

menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa. Dalam konteks

makro, jurnalisme adalah hal yang amat penting bagi negara demokratis manapun.

4 Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat. 2006. Jurnalistik: Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 15.

6

Definisi jurnalisme lain, menurut A. Muis5 tidak jauh dari hal-hal yang

berkaitan dengan unsur media massa, penulisan berita dan waktu tertentu

(aktualitas). Seorang jurnalis memiliki dua tugas pokok: pertama, melaporkan berita

dan kedua, membuat interpretasi dan memberikan pendapat yang didasarkan pada

beritanya.

Seperti lazimnya definisi-definisi lainnya, definisi jurnalisme amat beragam.

Fraser Bond6 menyatakan bahwa perbedaan itu muncul karena adanya pandangan

yang berbeda. Bagi yang suka mengolok-olok, jurnalistik tidaklah lebih dari suatu

usaha dagang berita. Sedangkan bagi mereka yang idealis, jurnalisme adalah

tanggungjawab dan previlege (hak pribadi) yang mulia. Kedua pendapat

bertetantangan ini sebenarnya menghendaki adanya kebebasan dalam jurnalisme.

Yang pertama berbunyi, “berikanlah kepada publik apa yang dikehendakinya”.

Sedang yang kedua berbunyi, “berikanlah kepada publik kebenaran yang harus

dimilikinya”.

Jurnalisme yang bertumpu pada berita, tentunya berujung pada pemahaman

bahwa tidak semua peristiwa bisa dan pantas untuk diberitakan. Ada kriteria-

kriteria khusus yang dapat digunakan untuk mengukur nilai berita. Kriteria nilai

berita misalnya dirumuskan oleh Hariss, Leiter dan Johnson7:

Nilai Berita Keterangan

Konflik Peristiwa yang berhubungan dengan pertentangan antar

manusia, bangsa dan negara perlu dilaporkan kepada khalayak.

Dengan begitu khalayak akan dapat mengambil sikap.

Kemajuan Peristiwa tentang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

senantiasa perlu dilaporkan kepada khalayak. Dengan demikian

khalayak mengetahui kemajuan peradaban manusia.

Penting Peristiwa yang penting bagi khalayak dalam kehidupan sehari-

hari perlu segera dilaporkan kepada khalayak.

Dekat Peristiwa yang memiliki kedekatan emosi dan jarak geografis

5 Askurifai Baksin. 2006. Jurnalistik Televisi: Teori dan Praktik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Hal. 47.

6 Ibid. Hal. 48. 7 Ana Nadhya Abrar. 2005. Penulisan Berita. Yogyakarta: Univ. Atma Jaya Yogyakarta. Hal. 3-5

7

dengan khalayak perlu segera dilaporkan. Makin dekat satu

lokasi peristiwa dengan tempat khalayak, informasinya akan

makin disukai khalayak.

Aktual Peristiwa yang baru saja terjadi perlu segera dilaporkan kepada

khalayak. Ukuran aktual sebuah surat kabar biasanya sampai 2

hari. Artinya, peristiwa yang terjadi 2 hari lalu masih aktual

untuk diberitakan hari ini.

Unik Peristiwa yang unik, jarang/tidak pernah terjadi, perlu segera

diberitakan kepada khalayak. (Misal, gajah bermain bola.)

Manusiawi Peristiwa yang bisa menyentuh emosi khalayak, seperti bisa

membuat menangis, terharu, tertawa, dsb, perlu segera

dilaporkan. Sehingga khalayak dapat tergerak dan meningkatkan

sense kemanusiaannya.

Berpengaruh Peristiwa yaang berpengaruh terhadap kehidupan orang banyak

perlu segera dilaporkan kepada khalayak. (Misal, kenaikan harga

beras dan pupuk)

Jurnalisme adalah satu kesatuan. Hanya saja, penerapannya dalam karya

terbentang dari media cetak sampai elektronik. Di layar televisi, ada perbedaan

yang signifikan bila dibandingkan dengan media cetak. Utamanya sifatnya yang

“segera”, menjadikan televisi mampu mendekatkan peristiwa dan tempat kejadian

dengan para khalayaknya8. Bencana Merapi beberapa waktu lalu misalnya, laporan

berita dari televisi begitu ditunggu karena sifatnya yang audio-visual.

Santana menambahkan bahwa pada surat kabar sebagian isi berita disusun

oleh wartawan lalu diteruskan oleh editor. Sedangkan pada televisi, para editor

akan menentukan kemana saja wartawannya akan dikirimkan. Oleh beberapa

akademisi, hal ini menyebabkan berita televisi dinilai kurang memiliki orisinalitas9.

Adapun beberapa poin perbedaan antara jurnalisme cetak dan penyiaran

adalah sebagai berikut10:

8 Askurifai Baksin. Op.Cit. Hal. 59-60. 9 Septiawan K. Santana. 2005. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor. Hal. 114. 10 Askurifai Baksin. Op.Cit. Hal. 60-61.

8

No

Media

Cetak/Periodik

Media Elektronik/Penyiaran

Radio Televisi

1. Isi pesan tercetak, dapat

dibaca kapan saja dan

dimana saja.

Isi pesan audio, hanya

dapat didengar sekilas

sewaktu siaran.

Isi pesan audio-visual,

hanya dapat didengar

dan dilihat sekilas

sewaktu siaran.

2. Isi pesan dapat dibaca

berulang-ulang.

Isi pesan tidak dapat

diulang.

Isi pesan tidak dapat

diulang.

3. Hanya dapat

menyajikan peristiwa

yang telah terjadi.

Dapat menyajikan

peristiwa yang sedang

terjadi.

Dapat menyajikan

peristiwa yang sedang

terjadi.

4. Tidak dapat menyajikan

pendapat narasumber

secara orisinal.

Dapat menyajikan

pendapat narasumber

(audio) secara orisinal.

Dapat menyajikan

pendapat narasumber

(audio-visual) secara

orisinal.

5. Pesan dibatasi halaman

dan kolom.

Pesan dibatasi waktu. Pesan dibatasi waktu.

6. Makna berkala dibatasi

oleh hari, minggu dan

bulan.

Makna berkala dibatasi

oleh detik, menit dan

jam.

Makna berkala dibatasi

oleh detik, menit dan

jam.

7. Distribusi melalui

transportasi

darat/laut/udara.

Distribusi melalui

pemancaran/transmisi.

Distribusi melalui

pemancaran/transmisi.

8. Bahasa yang digunakan

formal.

Bahasa yang digunakan

formal dan non formal

(bahasa tutur).

Bahasa yang digunakan

formal dan non formal

(bahasa tutur).

9. Kalimat dapat panjang

dan terperinci.

Kalimat singkat, padat,

jelas dan sederhana.

Kalimat singkat, padat,

jelas dan sederhana.

9

Ashadi Siregar11 pada akhirnya merekomendasikan bahwa jurnalisme televisi

secara teknis perlu menyesuaikan diri dengan karakter medianya. Dari sini sudah

terformat kaidah kerja mendasar yaitu menjadikan fakta sosial sebagai tontonan.

Karenanya karakter yang khas dari jurnalisme televisi adalah memungut fakta

sosial yang "ditulis" dengan kamera, dan menulis narasi kata untuk telinga.

2. Proses Penyiaran Berita Televisi

Proses suatu peristiwa dari sebuah realitas hingga menjadi sebuah berita,

merupakan proses yang panjang. Proses itu bermula dari redaktur yang

menugaskan reporter untuk meliput, kemudian reporter mencari dan

mengumpulkan hal-hal yang diperlukan. Setelah materi terhimpun, masuklah ke

proses penulisan dan penyuntingan (editing). Saat prosesi penyuntingan dilakukan,

materi berita juga akan diperkaya dengan data-data lain12.

Gambaran dari proses tersebut, menurut Setyobudi adalah sebagai berikut13:

Bagian produksi

Post Production Tape Library ON AIR

Bagian Pemberitaan

(news department)

Field Production Editing

Pada dasarnya, menurut Weiner14 hakikat dari proses penyiaran berita

televisi, dalam hal ini jurnalisme, adalah keseluruhan proses dari mulai

pengumpulan fakta, penulisan, penyuntingan sampai penyiaran berita. Pada tahap

pengumpulan fakta, lazimnya ada empat metode yang dapat digunakan. Yaitu:

observasi, wawancara, konferensi pers dan rilis pers. Fakta yang dikumpulkan lalu

ditulis ke dalam berita.

11 Ashadi Siregar. Trend Jurnalisme Televisi. Disampaikan pada Seminar Dialog Liputan 6 SCTV. Yogyakarta, 5 April 1997.

12 Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat. Op.Cit. Hal. 71. 13 Ciptono Setyobudi. 2006. Teknologi Broadcasting TV. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 43. 14 Ana Nadhya Abrar. Op.Cit. Hal. 1.

10

Kemudian, berita menurut Charnley adalah laporan teratur yang berisikan

fakta atau opini yang menarik dan penting bagi sejumlah besar orang15. Sebagai

sebuah produk, berita bahkan merupakan pusat dari segala aktivitas jurnalisme itu

sendiri16.

Pada proses penulisan berita ini ada dua unsur yang sangat penting, yaitu

batas pemberitaan dan layak berita17. Batas pemberitaan yang dimaksud adalah

aturan-aturan yang membatasi dimana suatu berita boleh atau tidak untuk

diberitakan. Di Indonesia, ada tiga batasan yang digunakan, yaitu UU, kode etik

jurnalistik dan code of conduct yang dimiliki oleh media. Batasan bukan berarti

mengekang kebebasan media, akan tetapi justru karena itu media tetap eksis

sebagai kekuatan keempat dari negara (fourth estate).

Sedangkan, layak berita yang dimaksud adalah gabungan antara nilai berita

dan tujuan berita. Nilai berita merupakan titik awal untuk meliput sebuah berita.

Lalu, tujuan berita menjadi filter yang menentukan apakah suatu peristiwa yang

memiliki nilai berita, pantas atau tidak untuk diberitakan. Pada proses layak berita

ini, wartawan menyerahkan berita yang telah ditulisnya kepada redaktur. Redaktur-

lah yang memberi keputusan disiarkan atau tidak. Fungsi redaktur untuk

menyelaraskan suatu berita dengan tujuan media inilah yang disebut dengan

gatekeeping model.

Kurt Lewin yang pertama memperkenalkan istilah ini menyatakan bahwa

fungsi gatekeeper tidak ubahnya seorang ibu atau istri yang menentukan makanan

apa yang layak untuk disajikan. Gatekeeper posisinya amat strategis karena dapat

mengkontrol pengetahuan masyarakat, dengan cara mendorong suatu sisi

pemberitaan dan menghilangkan sisi yang lainnya18.

Runtutan penjelasan ini senada dengan model pemberitaan yang

digambarkan oleh McQuail19:

15 Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat. Op.Cit. Hal. 39. 16 Dennis McQuail. 1994. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga. Hal. 189. 17 Ana Nadhya Abrar. Op.Cit. Hal. 19. 18 “Gatekeeping”. Diakses pada 28 Januari 2011. Terarsip di

http://www.utwente.nl/cw/theorieenoverzicht/Theory%20clusters/Media%2C%20Culture%20and%20Society/gatekeeping.doc/

19 Dennis McQuail. 1994. Op.Cit. Hal. 194.

11

Peristiwa Kriteria Berita

(Nilai Berita)

Laporan Berita

(Penulisan

Berita)

Minat Berita

(Proses

Gatekeeping)

3. Media dan Konstruksi Berita

Analisis wacana kritis yang dikembangkan di dunia Ilmu Komunikasi, berasal dari

pemahaman akan paradigma kritis. Paradigma ini terutama bersumber dari

pemikiran yang berkembang di Frankfurt School. Ketika madzhab ini berkembang

di Frankfurt, di Jerman tengah berlangsung propaganda besar-besaran akan

kehebatan Hitler. Media lalu menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik,

menjadi sarana pemerintah untuk mengobarkan semangat perang. Dari sinilah lalu

muncul pemikiran bahwa media bukanlah entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai

oleh kelompok dominan20.

Paradigma yang dimaksudkan di sini adalah sebuah cara pandang

fundamental tentang pokok persoalan dalam suatu cabang ilmu pengetahuan. Ia

membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab

dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang

diperoleh21. Atau menurut Servaes, paradigma adalah frame of meaning. Selain

paradigma, biasa dikenal juga istilah yang serupa seperti pendekatan, perspektif,

metode atau teori22.

Paradigma ini meyakini bahwa media adalah sarana dari kelompok dominan

untuk mengontrol dan bahkan memarjinalkan kelompok yang tidak dominan. Di

sini, ada beberapa pertanyaan mendasar tentang media dalam kerangka berpikir

paradigma kritis:

1. Siapa yang mengontrol media?

2. Kenapa ia mengontrol?

3. Keuntungan apa yang bisa diambil dari kontrol tersebut?

4. Kelompok mana yang tidak dominan dan menjadi obyek dari

pengontrolan?

20 Eriyanto. Op.Cit. Hal. 23. 21 St. Guntur Narwaya. 2006. Matinya Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Resist Book. Halaman 93. 22 Engkus Kuswarno. “Perubahan Paradigma Penelitian Komunikasi”. Dalam Deddy Mulyana dan

Solatun (ed). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Halaman 414.

12

Dominasi dalam hal ini menurut Ben Agger23 sifatnya adalah struktural.

Yakni, kehidupan masyarakat sehari-hari dipengaruhi oleh institusi sosial yang

lebih makro seperti ekonomi, politik, budaya, diskursus, gender dan ras. Nantinya,

paradigma kritis mengantar masyarakat untuk mengungkap dan memahami akar

global dan rasional dari dominasi yang mereka alami selama ini. Dan memang ciri

utama dari paradigma kritis adalah sikapnya yang selalu curiga dan

mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini.

Sindhunata menambahkan bahwa aliran ini tidak bisa dilepaskan dari

keprihatinan akan akumulasi dan kapitalisme modal yang besar, yang makin hari

makin mempengaruhi kehidupan bermasyarakat24. Modal inilah yang kini

menggerakkan dan menentukan masyarakat.

Pemahaman akan paradigma kritis ini kemudian masuk ke berita sebagai

produk dari media. Berita yang dimaknai sebagai “hasil rekonstruksi tertulis dari

realitas sosial yang terdapat dalam kehidupan25”, lalu dilihat secara kritis. Realitas

tidak serta merta dilihat sebagai seperangkat fakta, melainkan hasil dari pandangan

tertentu dari pembentukan realitas26. Prinsipnya utamanya adalah setiap hasil dari

proses rekonstruksi realitas adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed

reality), dalam bentuk cerita atau wacana yang bermakna27.

Oleh karena itu, menurut Stuart Hall, paradigma kritis tidak hanya

mengubah pandangan mengenai realitas yang dipadangi alamiah semata. Tetapi

juga berargumentasi bahwa media adalah kunci utama dari pertarungan kekuasaan

tersebut28.

Dalam proses pembentukan realitas tersebut, Hall lalu menggaris bawahi 2

titik tekan utama. Pertama, adalah bahasa. Sebagaimana yang dipahami oleh

strukturalis, bahasa merupakan sistem penandaan. Suatu realitas dapat ditandakan

23 Ben Agger. 2008. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hal. 8.

24 Eriyanto. Op. Cit. Halaman 24. 25 Ana Nadhya Abrar. Op.Cit. Hal. 2. 26 Ibid. Halaman 29. 27 Ibnu Hamad. Op.Cit. Hal. 11-12. 28 Eriyanto. Op. Cit. Halaman 24.

13

secara berbeda pada peristiwa yang sama. Menurut Christian & Christian29

hubungan antara bahasa, realitas dan budaya adalah sebagai berikut:

Language

Reality creates Creates Creates reality

Culture

Kedua, yaitu politik penandaan. Yakni bagaimana praktik sosial dalam

membentuk makna, mengontrol dan menentukan makna. Ideologi bermain amat

penting di sini. Sehingga, pengertian dari realitas nantinya tergantung pada

bagaimana sesuatu tersebut ditandakan dan dimaknai30.

Sedangkan, Hamad31 berbeda pendapat dengan Stuart Hall. Menurutnya,

ada tiga tindakan yang biasa digunakan oleh media untuk melakukan konstruksi

realitas, yaitu:

1. Dalam hal pilihan kata (symbol).

Sekalipun media dianggap hanya melaporkan peristiwa (realitas). Akan

tetapi, pilihan simbol tetap berada pada wilayah media dan wartawan.

Semisal, kutipan tertentu yang diambil dari tokoh tertentu. Kutipan itu tentu

hanya bagian kecil dari pembicaraannya yang panjang.

2. Dalam melakukan pembingkaian (framing).

Atas nama kaidah jurnalistik, seringkali peristiwa yang panjang, lebar dan

rumit coba disederhanakan melalu mekanisme framing fakta-fakta dalam

bentuk berita sehingga layak terbit/tayang. Caranya adalah dengan

mengemas realitas ke dalam sebuah struktur (yang dipengaruhi oleh

berbagai kepentingan ekonomi, politik dan sosial) sehingga sebuah isu

punya makna.

29 Ibid. Hal. 13. 30 Ibid. Halaman 29-31. 31 Ibnu Hamad. Op.Cit. Hal. 17-25.

14

3. Melakukan fungsi agenda setting

Dalam hal ini justru ketika media memberikan tempat pada suatu peristiwa,

maka peristiwa tersebut akan diperhatikan oleh masyarakat. Semakin besar

tempatnya, semakin besar pula perhatian yang akan didapatkan.

Bila paradigma pluralis (sering juga disebut positivis, empiris atau liberal)

menganggap bahwa wartawan dan media adalah entitas yang otonom, dan berita

yang dihasilkan pun menggambarkan realitas yang ada di lapangan. Penyebutan

paradigma pluralis berasal dari pemahaman jurnalisme di Amerika Serikat yang

pendekatan behavioris. Di sini masyarakat dianggap sebagai entitas yang plural,

yang memiliki berbagai kepentingan. Kepentingan-kepentingan yang berbeda

tersebut akan ditampilkan apa adanya di media. Berbagai kepentingan tersebut

akan menemukan sendiri titik ekuilibriumnya/mencapai konsensus tanpa harus

diarahkan dan dipaksa.

Sebaliknya, paradigma kritis justru mempertanyakan posisi media dan

wartawan dalam keseluruhan struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam

masyarakat. Perbedaan tersebut selengkapnya dijelaskan oleh Eriyanto32 pada

bagan di bawah ini:

PLURALIS KRITIS

FAKTA

Ada fakta real yang diatur oleh kaidah-

kaidah tertentu yang berlaku universal.

Fakta merupakan hasil dari proses

pertarungan antara kekuatan ekonomi,

politik dan sosial yang ada dalam

masyarakat.

Berita adalah cermin dan refleksi dari

kenyataan. Oleh karena itu, berita

haruslah sama dan sebangun dengan

fakta yang hendak diliput.

Berita tidak mungkin merupakan cermiin

dan refleksi dari realitas. Karena berita

yang terbentuk hanya cerminan dari

kepentingan kekuatan dominan.

POSISI MEDIA

Media adalah sarana yang bebas dan

netral tempat semua kelompok

Media hanya dikuasai oleh kelompok

dominan dan menjadi sarana untuk

32 Eriyanto. Op.Cit. Hal. 32-33.

15

masyarakat saling berdiskusi yang tidak

dominan.

memojokkan kelompok lain.

Media menggambarkan diskusi apa yang

ada dalam masyarakat.

Media hanya dimanfaatkan dan menjadi

alat kelompok dominan.

POSISI WARTAWAN

Nilai dan ideologi wartawan di luar

proses peliputan berita.

Nilai dan ideologi wartawan tidak dapat

dipisahkan dari proses peliputan dan

pelaporan suatu peristiwa.

Wartawan berperan sebagai pelapor. Wartawan berperan sebagai partisipan dari

kelompok yang ada dalam masyarakat.

Tujuan peliputan dan penulisan berita:

ekplanasi dan menjelaskan apa adanya

memburukkan kelompok.

Tujuan peliputan dan penulisan berita:

pemihakan kelompok sendiri dan atau

pihak lain.

Penjaga gerbang (gate keeping). Sensor diri.

Landasan etis. Landasan ideologis.

Profesionalisme sebagai keuntungan. Profesionalisme sebagai kontrol.

Wartawan sebagai bagian dari tim untuk

mencari kebenaran.

Sebagai pekerja yang mempunyai posisi

berbeda dalam kelas sosial.

HASIL LIPUTAN

Liputan dua sisi, dua pihak dan kredibel. Mencerminkan ideologi wartawan dan

kepentingan sosial, ekonomi atau politik

tertentu.

Obyektif, menyingkirkan opini dan

pandangan subyektif dari pemberitaan.

Tidak obyektif karena wartawan adalah

bagian dari kelompok/struktur sosial

tertentu yang lebih besar.

Menggunakan bahasa yang tidak

menimbulkan penafsiran yang beraneka.

Bahasa menunjukkan bagaimana kelompok

sendiri diunggulkan dan memarjinalkan

kelompok lain.

16

4. Pendekatan Ekonomi-Politik Media

Sudah jamak diketahui pendekatan ekonomi-politik media sangat berpengaruh

terhadap media. Pendekatan ekonomi misalnya, diyakini adalah faktor penting

dalam praktik dan teks media. Media dalam sudut pandang ekonomi adalah

lembaga profit-making. Hal itu dicapai dengan cara menjual para khalayak ke

pengiklan, media harus memproduksi program sebaik dan semenarik mungkin.

Pendekatan ekonomi pula menegaskan bahwa pola kepemilikan amat berpengaruh

terhadap media itu sendiri33.

Raymond Williams34 menyatakan bahwa karakter komersial dari televisi

dapat dilihat dari beberapa level: Pertama, saat televisi memproduksi program

tertentu yang disesuaikan dengan pasar. Kedua, saat televisi jadi saluran iklan.

Ketiga, saat televisi dijadikan alat pembentukan nilai budaya dan politik oleh

masyarakat kapitalis yang dominan.

Selain sisi ekonomi, sebagai lembaga profit-making. Media juga menjalankan

fungsi ideologis. Hal ini dibenarkan oleh premis teori marxis yang melihat media

sebagai “kelas yang mengatur” dalam sistem kapitalisme modern. Media bukanlah

sebatas medium lalu lintas pesan antar unsur-unsur sosial dalam suatu masyarakat,

melainkan jauh lebih dari itu media merupakan alat penundukan dan pemaksaan

konsensus oleh kelompok yang dominan35. Oleh karena itu, penting untuk melihat

media tidak hanya dari pendekatan ekonomi semata, namun juga pendekatan

politik.

Vincent Mosco kemudian mendefinisikan pendekatan ekonomi politik

dalam dua pengertian, sempit dan luas. Pengertian sempit, dimaknai sebagai kajian

relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan yang bersama-sama membentuk produksi,

distribusi dan konsumsi sumber daya termasuk sumber daya komunikasi. Sedang

dalam pengertian luas, pendekatan ini mengkaji kontrol dan pertahanan kehidupan

sosial36.

33 Norman Fairclough. Op. Cit. Hal. 44-45. 34 Ibid. 35 Agus Sudibyo. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKIS. Hal. 1-2. 36 Citra Antasari. Pendekatan Politik Ekonomi: Pengaruh Terhadap Kebijakan Redaksional. Dalam

Hermin Indah Wahyuni (ed). 2010. Komunikasi dan Dunia Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: FISIPOL UGM. Halaman 28.

17

Lebih lanjut, Mosco37 melihat bahwa pendekatan ekonomi politik

merupakan perspektif yang paling utama dalam riset komunikasi dan dianggap

sebagai pendekatan yang paling menyeluruh. Pendekatan ini dimulai dengan kajian

historis melalui pandangan kritis dari ekonomi politik sebagai pendekatan umum

dengan analisis sosial yang dilengkapi pendekatan ekonomi politik yang berkaitan

dengan kajian kebijakan dan budaya.

Pendekatan ekonomi politik dalam media nantinya akan mengarahkan kita

kepada dua model ekonomi politik media, yaitu liberal dan kritis38. Model liberal

lahir sebagai kritik atas merkantilisme dinilai tidak efisien dan tidak produktif. Ia

melihat iklan dan pemodal sebagai instrumen professional dalam media. Kedua

pihak ini dianggap memahami kerja media dan memberikan kontribusi bagi

kelangsungan industri media. Sebaliknya, bagi model kritis, yang lahir sebagai

kritik terhadap model liberal, iklan dan pemodal justru melakukan dominasi dan

pemaksaan atas media. Sehingga, media kehilangan kebebasan dan

independensinya.

Pendekatan ekonomi-politik sendiri berkembang sejak abad ke-18 sebagai

respon dari akselerasi kapitalisme. Beberapa poin mendasar yang mendirikan

pendekatan ekonomi-politik adalah sebagai berikut39:

1. Kritik utamanya ditujukan kepada kecenderungan determisme

ekonomi, yang melihat faktor-faktor ekonomi sebagai satu-satunya

faktor yang menentukan dinamika masyarakat modern.

2. Keyakinan para ekonom neoklasik harus dikritik, karena mereka

menganggap pasar akan menyedikan kompetisi yang stabil dan

sempurna. Realitanya, kondisi ekuilibrium hanyalah mitos. Yang lazim

terjadi kemudian adalah dominasi dan monopoli.

3. Negara bukanlah lembaga pengatur yang obyektif dan mandiri. Justru di

bawah kendali kapitalisme, baik domestik maupun global, negara

37 Novi Kurnia. 2008. Posisi dan Resistensi: Ekonomi Politik Perfilman Indonesia. Yogyakarta: Fisipol, UGM. Hal. 35.

38 Iswandi Syahputra. 2006. Jurnalisme Infotainment: Kancah Baru Jurnalistik dalam Televisi. Yogyakarta: Pilar Media. Hal. 96-97.

39 Agus Sudibyo. Op.Cit. Hal. 6-7

18

seringkali subyektif dengan melakukan intervensi yang bias kepentingan

pasar.

Mosco40 menambahkan tiga karakter dasar pendekatan ekonomi-politik

media, yaitu realis, inklusif dan kritis. Realis yang dimaksud adalah pendekatan

ekonomi-politik tidak tergantung pada teori abstrak atau deskripsi empiris.

Karakter inklusif bermakna bahwa kehidupan sosial tidak dapat dirangkum dalam

satu teori apa pun. Sehingga pendekatan ini amat terbuka bagi debat multi

perspektif dan lintas disiplin. Kemudian karakter kritis bermakna pendekatan ini

peka terhadap segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan.

Adapun beberapa varian pendekatan ekonomi-politik media adalah sebagai

berikut41:

Varian Tokoh Penjelasan

Instrumentalis Edward S. Herman &

Noam Chomsky

Media dipandang sebagai alat dominasi

kelas. Kelas dominan menggunakan

kekuatan ekonomi untuk memastikan

bahwa arus informasi publik sesuai dengan

misi dan tujuan mereka.

Strukturalis Michael Schudson Media dipandang sebagai sesuatu yang

monolitik, statis dan determinan.

Konstruktivis Peter Golding &

Graham Murdock

Media dengan strukturnya dipandang

sebagai sesuatu hal yang belum sempurna

dan terus dinamis bergerak. Ini merupakan

jalan tengah antara varian instrumentalis

dengan strukturalis.

Pemberitaan sebagai produk dari media adalah hal yang amat penting dalam

pendekatan ekonomi-politik. Ideologi suatu media sebagai basis bertindak, tidak

hanya dapat dilihat dari isi media (media content) tersebut, melainkan yang paling

penting justru latar belakang pendiri institusi media tersebut42. Hal ini dengan

40 Ibid. Hal. 6-7. 41 Ibid. Halaman 11-12. 42 Citra Antasari. Op. Cit. Halaman 26.

19

mudah dilihat dari pemberitaan ANTV dan TvOne dalam kasus Lumpur Lapindo

(atau Lumpur Sidoarjo) misalnya.

Pendapat mengenai latar belakang pendiri institusi media di atas, kurang

lebih senada dengan pendapat dari Oliver Boyd-Barret43. Menurutnya, pendekatan

ekonomi politik dalam masyarakat mempunyai signifikansi kritis yang biasanya

dihubungkan dengan kepemilikan dan kontrol media yang mengaitkan industri

media dengan elit politik, ekonomi dan sosial.

Pada akhirnya, seperti yang ditulis oleh Croteau dan Hoyness44 bahwa

proses penulisan pesan pada media terlalu banyak diintervensi oleh berbagai

kepentingan. Realitanya, produksi pesan di media justru diarahkan oleh individu-

individu yang memiliki keputusan dan penafsiran tertentu.

F. METODOLOGI PENELITIAN

1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis

mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih

luas. Dalam metode ini, bahasa dilihat sebagai proses dialektika dengan struktur

sosial sehingga analisis akan dipusatkan pada bagaimana bahasa terbentuk dan

dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu. Pemakaian bahasa, menurut

Foucault dianggap sebagai bentuk praktik sosial daripada aktivitas individu.

Implikasinya wacana dianggap sebagai bentuk dari tindakan, adanya hubungan

timbal balik antara wacana dan struktur sosial.

Penelitian berbasis analisis wacana kritis ini berpijak pada gagasan Marx

yang memandang masyarakat sebagai sistem kelas. Masyarakat dipandang sebagai

sebuah dominasi dan media menjadi bagian dari sistem dominasi tersebut.

Sehingga, dipercaya media adalah alat dari kelompok dominan untuk

memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok

yang tidak dominan.

Analisis wacana kritis pada dasarnya merupakan titik puncak dari

publikasi Fairclough Language and Power (1989) yang melihat analisis wacana

43 Novi Kurnia. Op.Cit. Hal. 36. 44 David Croteau & William Hoyness. 2003. Media Society. California: Pine Forge Press. Hal. 76.

20

sebagai integrasi antara: (a)analisis teks, (b) analisis proses dari produksi, konsumsi

dan distribusi teks, dan (c) analisis sosio-kultural dari peristiwa diskursif45.

Dalam penelitian, analisis wacana kritis memiliki fokus penelitian

untuk mencari nilai-nilai yang dianggap menjembatani wartawan dengan peristiwa

sehingga terbentuklah sebuah berita. Hal ini berbeda dengan paradigma positivis-

empiris yang mengharuskan adanya obyektifitas dan kenetralan, sehingga analisa

diarahkan untuk mencari adanya atau tidaknya bias dalam meneliti sebuah

pemberitaan.

Tujuan dari analisis wacana kritis adalah mengkritisi ideologi yang

melatarbelakangi sebuah wacana dengan jalan menelanjangi asumsi-asumsi

kebenaran yang seringkali sudah menjadi common sense di masyarakat46.

2. Obyek Penelitian

Objek dari penelitian ini adalah liputan berita langsung (hard news) yang disiarkan

oleh Liputan 6 SCTV dan MetroTV pada bulan Januari 2011. Waktu tersebut

dipilih karena pemberitaan konflik Liga Primer Indonesia vs PSSI sedang ramai

diangkat ke ranah publik.

Sedangkan, pemilihan kedua stasiun televisi ini karena citranya yang

menonjol dalam pemberitaan. Liputan 6 SCTV merupakan simbol dari stasiun

televisi yang kritis di akhir era orde baru. Sedangkan, Metro TV di masa kini

adalah stasiun televisi khusus berita yang terkenal kritis dalam menangggapi

berbagai realita sosial.

Sebenarnya, masih ada Tv One yang juga merupakan stasiun televisi

khusus berita 24 jam seperti Metro TV. Akan tetapi, dalam tema konflik LPI vs

PSSI, Tv One sejak awal sudah melakukan konstruksi wacana. Caranya dengan

tidak memberitakan LPI sama sekali.

45 Norman Fairclough. Ibid. Hal. 23. 46 Rigakittyndya Tiamono. Dalam Narendra, Pitra (ed.). 2008. Metodologi Riset Komunikasi.

Yogyakarta: BPPI & PKMBP. Hal. 140.

21

3. Analisis Data

Analisis data yang diperoleh nantinya akan menggunakan model analisis yang

dikembangkan oleh Norman Fairclough. Model ini menghubungkan analisis teks

pada level mikro dengan konteks sosial yang lebih besar lagi, seringkali mode ini

disebut juga sebagai model perubahan sosial (social change).

Titik perhatian utama dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai

praktik kekuasaaan. Untuk melihat bagaimana pengguna bahasa membawa nilai

tertentu, dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Melihat bahasa dalam perspektif

ini membawa konsekuensi tertentu. Bahasa secara sosial dan historis adalah

bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena

itu, analisis harus dipusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk

dari relasi sosial dan konteks tertentu47.

Fairclough kemudian membagi analisis ini ke dalam dua level yaitu:

communicative events dan order of discourse. Tahapan communicative events

menitikberatkan pada analisis teks yang dipertajam dengan paparan discourse practice

dan sociocultural practice sebagai konteks peristiwa pemberitaan yang ditampilkan.

Pada saat melakukan analisis, ketiga tahapan ini akan dilakukan secara bersama-

sama.

Sedangkan level selanjutnya order of discourse, meliputi analisis

intertekstualitas dan genre. Pemahaman Fairclough tentang analisis wacana kritis

setidaknya bisa dirangkum ke dalam bagan seperti ini:

Sumber: Eriyanto48

47 Eriyanto. Op.Cit. Hal. 7. 48 Ibid. Hal. 288.

PRAKTEK SOSIAL

PRAKTEK DISKURSIF

TEKS

22

1) Analisis Communicative Events

i. Analisis Teks

Analisis teks menurut Fairclough tidak hanya melihat bagaimana

suatu teks digambarkan, tapi juga bagaimana hubungan antar teks

didefinisikan. Hubungan tersebut dapat dilihat lewat unsur:

representasi, relasi, intertekstualitas dan identitas.

Unsur Yang Ingin Dilihat

Representasi Bagaimana peristiwa, orang, kelompok, keadaan atau

apapun ditampilkan dan digambarkan dalam teks.

Representasi dapat dilihat melalui representasi anak

kalimat, kombinasi antar anak kalimat dan rangkaian

antar kalimat.

Relasi Bagaimana hubungan antar wartawan, khalayak dan

partisipan berita ditampilkan dan digambarkan

dalam teks.

Relasi akan dilihat dari pola hubungan antara tiga aktor

(wartawan, khalayak media dan partisipan publik)

ditampilkan dalam teks.

Identitas Bagaimana identitas wartawan, khalayak dan

partisipan berita ditampilkan dan digambarkan

dalam teks.

Identitas dapat dilihat dari bagaimana identitas wartawan

ditampilkan dan dikonstruksi dalam teks pemberitaan.

Sumber: Eriyanto49

ii. Analisis Discourse Practice

Analisis discourse practice dilakukan pada level pembuatan teks

(text processing). Fairclough melihat bagaimana produksi dan

konsumsi teks. Yang dilihat adalah sisi wartawan, hubungan

antar wartawan dan struktur organisasi dan praktik

kerja/rutinitas kerja.

49 Ibid. Hal. 289.

23

iii. Analisis Sociocultural Practice

Analisis sociocultural practice dilakukan pada level social (social

analysis). Tahapan ini didasarkan pada asumsi bahwa konteks

sosial yang ada di luar media mempengaruhi wacana yang

muncul dalam media. Analisis ini memang tidak berkaitan

langsung dengan produksi teks media, akan tetapi ia

menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami.

Fairclough lalu membagi analisis tahap ini ke tiga level: Analisis

ini terdiri dari tiga level: situasional, institusional dan sosial50.

Proses analisis dibagi ke dalam tiga tahap yaitu analisis

deskriptif, dimana berita dianalisis secara tekstual. Analisis

interpretatif, dimana berita diinterpretasikan dengan mengacu

dengan praktik wacana yang dilakukan. Analisis teks dilakukan

dengan menghubungkan dengan bagaimana proses produksi

berita. Ketiga, analisis eksplanasi sebagai penjelasan dan

penafsiran tahap kedua.

2) Analisis Order of Discourse

Analisis ini akan dilihat dari segi intertekstualitas dan genre.

Intertekstualitas yang dimaksud di sini adalah istilah dimana teks atau

ungkapan dibentuk oleh teks yang hadir sebelumnya, saling

menanggapi dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi

bagian lainnya. Intertekstualitas dalam berita dapat dideteksi dari

pengutipan narasumber, apakah secara langsung atau tidak langsung.

Sedangkan, genre merupakan cara penggunaan bahasa yang biasanya

disesuaikan dengan lingkup praktek sosialnya. Atau mengutip Bakhtin,

adalah bagian dari konvensi yang disesuaikan dengan tindakan51.

Tahapan terakhir ini menegaskan bahwa wacana media adalah

suatu bidang yang kompleks. Apa yang muncul dari teks media

sesungguhnya adalah bagian akhir dari suatu proses yang kompleks

50 Ibid. Hal. 322. 51 Ibid. Hal. 313.

24

dengan kekuatan, regulasi dan negosiasi yang menghasilkan fakta

tertentu. Adapun kerangka analisa dapat digambarkan sebagai berikut:

Tingkatan Metode

Teks Critical linguistics

Discourse Practice (News Room) Wawancara mendalam

Sociocultural Practice (Sejarah) Studi/penelusuran pustaka

Sumber: Eriyanto52

52 Ibid. Hal. 326.

25

BAB II

ANALISIS WACANA KRITIS NORMAN FAIRCLOUGH

DAN SEPAKBOLA DALAM KAJIAN MEDIA

Setelah memahami latar belakang konflik antara Penyelenggara LPI dan PSSI yang

menjadi bahan pemberitaan di berbagai media. Penelitian ini akan memahami lebih

lanjut tentang posisi media yang memiliki peran strategis untuk membentuk wacana

di tengah masyarakat. Karena harus diingat kembali bahwa setiap usaha dari media

untuk menceritakan kembali sebuah realitas adalah usaha untuk mengkonstruksi

realitas itu sendiri. Dengan demikian, isi media tidak lain bukanlah realitas itu sendiri,

melainkan adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk

wacana .

Wacana sebagai suatu bentuk konstruksi atas realita sosiologis membutuhkan

alat atau cara untuk disebarkan. Alat tersebut adalah biasa dikenal sebagai hegemoni.

Nantinya bersama ideologi, wacana dan hegemoni adalah satu mata rantai konsep

yang tidak dapat dipisahkan.

Setelah, mata rantai wacana - ideologi - hegemoni dijelaskan, akan dijelaskan

pula secara lebih detail metode penelitian yang digunakan, yaitu, analisis wacana kritis

milik Norman Fairclough. Di antara beberapa model analisis wacana lain, Jorgensen

dan Philips1 menyebut model Fairclough adalah model yang paling canggih. Dalam

hal ini, dikarenakan perkembangannya yang amat cepat di bidang komunikasi, budaya

dan masyarakat. Selain itu, oleh beberapa pihak model kritis Fairclough diidentikkan

dengan model perubahan sosial.

A. WACANA, IDEOLOGI DAN HEGEMONI DALAM BERITA

1. Wacana

Wacana yang kita pahami selama ini seringkali salah diartikan. Seringkali wacana

terlalu remeh diartikan, senada dengan dengan kritik dari Golding & Ferguson2

1 Marianne W. Jorgensen & Louise J. Philips. 2007. Analisis Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 162.

2 Deddy N. Hidayat. Dalam Eriyanto. Op. Cit. Hal. x.

26

yang menyatakan bahwa misi wacana yang seharunya adalah “changing the world”

turun kasta hanya menjadi “changing the word”.

Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Hal itu harus dirunut kembali pada

makna wacana (discourse) yang seharusnya. Karena makna suatu ungkapan bahasa

merupakan pokok persoalan yang mendasar dalam filsafat bahasa.

Wacana berasal dari bahasa latin “discursus” yang berarti lari kian-kemari

(dis – dari, dalam arah yang berbeda dan currere -lari)3. James Lull menyatakan

bahwa wacana dalam arti sederhana adalah cara obyek atau ide diperbincangkan

secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang

tersebar luas4.

Cakupan wacana amatlah luas, sebuah tulisan adalah wacana (merujuk

pada definisi di Websters), sebuah pidato pun juga wacana. Norman Fairclough

sendiri memaknai wacana sebagai5:

Pertama, 'wacana' dalam pengertian abstrak, sebagai kategori yang

menunjuk elemen luas semiotik (sebagai lawan dan dalam hubungannya

dengan lainnya, non-semiotika, unsur-unsur) dari kehidupan sosial (bahasa,

tapi juga visual semiosis, 'bahasa tubuh' dll ). Pada makna ini, Fairclough

akhirnya lebih suka menggunakan istilah “semiosis”.

Kedua, 'wacana' sebagai kategori untuk menunjuk cara-cara tertentu yang

mewakili aspek-aspek tertentu dari kehidupan sosial. Misalnya, untuk

membedakan wacana politik yang berbeda, yang mewakili untuk masalah

ketimpangan, merugikan, kemiskinan, pengecualian sosial, dengan cara

yang berbeda.

Alex Sobur6 lalu membuat klasifikasi tersendiri terhadap wacana, yaitu

wacana tulis, teks dan konteks:

3 Alex Sobur. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 9. 4 Ibid. Hal. 11. 5 Norman Fairclough. Diakses pada 16 Februari 2011. Terarsip di

http://www.ling.lancs.ac.uk/staff/norman/critdiscanalysis.doc 6 Alex Sobur. Op.Cit. Hal. 50-60.

27

a. Wacana Tulis

Dalam wacana tulis tersimpan pemahaman bahwa tulisan dapat membawa

pikiran pembacanya ke dalam bentuk tertentu tanpa haru menggunakan

bahasa lisan. Paul Ricoeur memberi contoh bahwa lewat tulisan, tercipta

kemungkinan penerusan tata aturan ke ruang dan waktu yang berbeda tanpa

distorsi yang berarti. Dalam konteks wacana, dengan tulisan dimungkinkan

suatu negara menjajah negara lain melalui penataan politis jarak jauh.

b. Teks

Teks adalah seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang pengirim

kepada seorang penerima melalui medium tertentu dengan kode tertentu.

Bagi Roland Barthes, teks sendiri adalah suatu obyek kenikmatan. Di sini, ada

hubungan erat antara tulisan dengan teks. Bila tulisan adalah bentuk fiksasi

dari bahasa lisan, maka teks adalah kelanjutannya: bentuk fiksasi dari wacana

lisan.

c. Konteks

Guy Cook menyebutkan bahwa ada 3 hal sentral dalam memahami wacana:

teks, konteks dan wacana. Di sini, konteks bermakna semua situasi dan hal

yang berada di luar teks dan mempengaruhi penggunaan bahasa, seperti

partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang

dimaksudkan, dsb.

Pada titik inti wacana, Foucault7 menegaskan bahwa wacana adalah alat

kuasa pengetahuan. Wacana tertentu akan menghasilkan kebenaran dan

pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Karena kebenaran tidaklah

datang dari langit, melainkan juga diproduksi. Cara menyebarkan wacana untuk

kuasa pengetahuan itulah yang sering dikenal sebagai hegemoni. Bersama ideologi,

wacana dan hegemoni adalah kesatuan konsep yang tidak dapat dipisahkan.

7 Eriyanto. Op.Cit. Hal. 66-67.

28

2. Ideologi

Ideologi adalah sebuah konsep yang merujuk pada keyakinan, perilaku dan nilai

kolektif dari sebuah kelompok. Ideologi dapat berarti positif atau negatif, tapi

dalam kerangka berpikir kritis, ideologi memang lebih dimaknai secara negatif8.

Seperti yang dikatakan oleh Aarst van Zoest, bahwa teks tidak akan pernah lepas

dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembacanya ke arah

suatu ideologi9.

Bagi Fairclough, ideologi adalah makna yang melayani kekuasaan10. Lebih

tepatnya, ideologi sebagai konstruksi makna memberikan kontribusi bagi

produksi, reproduksi dan transformasi relasi-relasi dominasi. Sedangkan Louis

Althusser11 berpendapat bahwa ideologi adalah ilusi yang diperlukan, yang

dipinjam dari dunia luar untuk memahami identitas dan tujuan dalam hidup kita.

Faktanya, tidak seorang pun dari kita, memiliki akses langsung ke yang nyata,

dunia. Karena hubungan kita dengan dunia sebenarnya telah disaring oleh

representasi, setidaknya oleh bahasa. Dan ideologi adalah sumber utama

representasi tersebut.

Dalam praktik wacana kritis, posisi ideologi sangat sentral. Karena teks,

percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari

ideologi tertentu. Ideologi dalam teori klasik dipahami sebagai cara untuk

mereproduksi dan melegitimasi dominasi dari kelompok dominan. Caranya adalah

dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi tersebut dapat

diterima secara taken for granted. Dan wacana adalah mediumnya12.

Menurut Van Dijk inilah yang disebut sebagai kesadaran palsu, yaitu

bagaimana kelompok dominan memanipulasi ideologi kepada kelompok yang

tidak dominan melalui kampanye disinformasi, kontrol media, dsb13. Hal ini

8 Stephen W. Littlejohn & Karen Foss. 2009. Encyclopedia of Communication. USA: Sage Pub. Hal.497.

9 Alex Sobur. Op. Cit. Hal. 60. 10 Marianne W. Jorgensen & Louise J. Philips. 2007. Analisis Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 139.

11 Stephen W. Littlejohn & Karen Foss. Op.Cit. Hal. 499. 12 Eriyanto. Op.Cit. Hal. 13. 13 Ibid. Hal. 13.

29

senada dengan pendapat Littlejohn dan Foss, bahwa cara kerja ideologi memang

cenderung tanpa disadari dan bahkan mempertahankan status quo14.

Dalam pemahaman kritis seperti di atas, ideologi akan memiliki 2 implikasi

penting: Pertama, bahwa ideologi secara inheren bersifat sosial, bukan

individual/personal. Ia pasti akan disebarkan di antara anggota kelompok,

komunitas atau organisasi. Kedua, meski bersifat sosial, ia akan digunakan secara

internal di antara anggota komunitas atau kelompok. Dalam hal ini, ideologi juga

akan membentuk identitas kelompok, yang membedakan satu kelompok dengan

kelompok lainnya.

Dalam perspektif Althusser15, hubungan ideologi dengan media massa

dijelaskan dalam empat kategori. Pertama menyatakan bahwa media dalam

konteks ideologi modern akan banyak berperan sebagai ideological state

apparatus. Kedua, media massa mampu melakukan proses interpelasi ideologi.

Ketiga, media massa atau teks media mampu menjadi instrumen efektif-efisien

bagaimana nilai atau wacana dominan didistribusikan dan dipenetrasikan dalam

benak orang sehingga bisa menjadi konsensus kolektif. Sedangkan keempat,

dalam perkembangan media modern, media justru juga mempunyai ideologi

dan praksis hegemoni tersendiri. Pembahasan tentang hegemoni inilah yang

kemudian akan dibahas secara khusus.

3. Hegemoni

Di atas sudah dijelaskan bagaimana pentingnya wacana dan ideologi. Bila wacana

dan ideologi amat penting untuk mengontrol kelompok lain yang berbeda. Lalu

muncul pertanyaan, bagaimana wacana dan ideologi harus disebarkan? Di sinilah

letak pentingnya teori tentang hegemoni.

Hegemoni sebagai sebuah teori begitu identik dengan pencetusnya,

Antonio Gramsci. Hegemoni mendalami perang ideologi dan kepentingan antara

individu berbeda dalam kelompok masyarakat. Menurut Gramsci, kelompok yang

berkuasa bisa mempertahankan kekuasaannya melalui kekerasan militer,

14 Stephen W. Littlejohn & Karen Foss. Op.Cit. Hal. 497. 15 Eriyanto. 2002. Analisi Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media . Yogyakarta: LKIS. Hal. 93-108.

30

persetujuan masyarakat (consent) atau kombinasi dari keduanya16. Hegemoni terjadi

ketika pillihan kedua dilaksanakan, dimana kelompok berkuasa atau ideologi

tertentu “dipaksakan” atas orang/kelompok lain, lewat subversi atau kooptasi

yang cenderung halus dan damai ketimbang paksaan langsung/kekerasan17.

Bagi paradigma kritis, hegemoni merupakan konsep yang amat penting.

Karena masyarakat seringkali tidak menyadari bahwa tindakan dan keyakinan yang

mereka anut justru memperkuat kepentingan kelompok dominan yang ada. Di sini

adalah fungsi dari paradigma kritis untuk menganalisis praktek-praktek sosial,

norma, dan kondisi yang ada untuk menantang dominasi ideologi tertentu. Atau

dalam bahasa paradigma kritis, inilah tujuan tranformasi sosial yang dicita-

citakan18.

Untuk mencapai dominasi ideologi, Gramsci berbeda secara diametral

dengan Lenin. Bila Lenin berpendapat bahwa suatu ideologi hanya dapat

mencapai hegemoni melalui kontestasi dan perjuangan, Gramsci justru percaya

ideologi akan dapat dihegemoni tanpa paksaan langsung. Hasil akhir dari

hegemoni adalah saat kepercayaan, sikap, dan nilai-nilai dari suatu ideologi

tertentu tampak seperti alami dan logis (common sense)19.

Common sense inilah kunci akhir dari hegemoni. Karena hegemoni tidaklah

se-sederhana perihal dominasi ideologi. Hegemoni beroperasi dimana semua hal

dalam kehidupan sosial ini akan dijadikan common sense, praktisnya saat kita

akhirnya melihat segala sesuatu memang seperti itu adanya dan tidak lagi ada nalar

kritis untuk mengkritiknya20.

Dalam kerja jurnalistik seringkali hegemoni itu tidak terasa. Atau dalam

bahasa Stuart Hall, hegemoni justru menjadi ritual yang seringkali tidak disadari

oleh wartawan itu sendiri21. Misalnya, nilai berita name makes news, sehingga suara

pejabat dan pengusaha jauh lebih berharga ketimbang seorang petani miskin. Atau

nilai berita bad news is good news, yang mengakibatkan demonstrasi mahasiswa selalu

diliput dengan intens hanya saat terjadi rusuh dengan aparat keamanan.

16 David Croteau dan William Hoyness. 2003. Media Society. California: Pine Forge Press. Hal. 165. 17 Stephen W. Littlejohn & Karen Foss. Op.Cit. Hal. 239. 18 Ibid. Hal. 239. 19 Ibid. Hal. 499. 20 David Croteau dan William Hoyness. Op.Cit. Hal. 166. 21 Eriyanto. Op.Cit. Hal. 105.

31

Dan bagi analisis wacana, menurut Fairclough, hegemoni memiliki posisi

yang sentral. Menurutnya, konsep hegemoni memberikan kita alat untuk

menganalisis bagaimana praktik kewacanaan menjadi bagian dari praktik sosial

yang luas, yang melibatkan hubungan kekuasaan22.

4. Berita dalam Belenggu Wacana, Ideologi dan Hegemoni

Pada dasarnya media tidaklah pernah netral. Itu karena media tidak berada dalam

suatu ruang vakum. Melainkan ia berada di tengah realitas sosial itu sendiri.

Althusser menilai bahwa media adalah sarana legitimasi bagi pihak yang berkuasa.

Akan tetapi pandangan ini oleh Gramsci dinilai mengabaikan resistensi ideologis

dari kelas yang tersubordinasi oleh media. Karena bagi Gramsci, media adalah

arena pergulatan ideologi yang saling berkompetisi23.

Stuart Hall mengamini pandangan tentang ketidaknetralan media

tersebut24. Menurutnya, media adalah arena dimana kepemimpinan kultural

(cultural leadership) dan hegemoni dijalankan. Media dalam hal ini terlibat langsung

dalam “the politics of signification”, yaitu saat media melahirkan gambaran yang

membuat suatu peristiwa memiliki makna tertentu. Media tidaklah merefleksikan

realitas, melainkan merepresentasinya, atau justru mereproduksi realitas itu sendiri.

David Croteau dan William Hoyness lalu melihat apa yang terjadi dalam

media sebagai “ideology as normalization” 25. Teks-teks media, termasuk berita,

adalah lokasi dimana norma-norma sosial dasar (basic social norms) diartikulasikan.

Nantinya apa yang normal dan menyimpang (deviant) akan ikut dirumuskan pula

dalam teks media untuk kemudian menjadi norma sosial itu sendiri.

Menurut Ibnu Hamad, berita sebagai konstruksi realitas dalam belenggu

wacana bisa digambarkan seperti ini26:

22 Marianne W. Jorgensen & Louise J. Philips. Op. Cit. Hal. 142. 23 Alex Sobur. Op.Cit. Hal. 30. 24 David Croteau dan William Hoyness. Op.Cit. Hal. 168. 25 Ibid. Hal. 163. 26 Ibnu Hamad. Tanpa tahun. Perkembangan Analisis Wacana Dalam Ilmu Komunikasi: Sebuah Telaah Ringkas. Diakses pada 8 Maret 2011 . Terarsip di www.scribd.com/doc/45888147/Dr-Ibnu-Hamad.

Bagan di atas dijelaskan Hamad sebagai berikut27: Bahwa proses konstruksi

realitas oleh pelaku (2) dalam media massa dimulai dengan adanya realitas pertama

berupa keadaan, benda, pikiran, orang, pristiwa, dan sebagainya (1). Secara umum,

sistem komunikasi adalah faktor yang mempengaruhi sang pelaku dalam membuat

wacana. Dalam sistem komunikasi libertarian, wacana yang terbentuk akan

berbeda dalam sistem komunikasi yang otoritarian. Secara lebih khusus, dinamika

internal dan eksternal (4) yang mengenai diri si pelaku konstruksi tentu saja sangat

mempengaruhi proses kontruksi. Ini juga menunjukkan bahwa pembentukan

wacana tidak berada dalam ruang vakum. Pengaruh itu bisa datang dari pribadi si

pembuat dalam bentuk kepentingan idealis, ideologis, dan sebagainya maupun dari

kepentingan eksternal dari khalayak sasaran sebagai pasar, sponsor dan sebagainya

(5).

27 Ibid.

33

Untuk melakukan konstruksi realitas, pelaku konstruksi memakai suatu

strategi tertentu (6). Tidak terlepas dari pengaruh eksternal dan internal, strategi

konstruksi ini mencakup pilihan bahasa mulai dari kata hingga paragraf; pilihan

fakta yang akan dimasukkan/dikeluarkan dari wacana yang populer disebut

strategi framing, dan pilihan teknik menampilkan wacana di depan publik atau

strategi priming (7). Selanjutnya, hasil dari proses ini adalah wacana (discourse)

atau realitas yang dikonstruksian (8) berupa tulisan (text), ucapan (talk), tindakan

(act) atau peninggalan (artifact). Oleh karena discourse yang terbentuk ini telah

dipengaruhi oleh berbagai faktor, kita dapat mengatakan bahwa di balik wacana itu

terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang

diperjuangkan (9).

Akibat dari penyimpangan pemberitaan, Paul Johnson pernah

menyampaikannya sebagai seven deadly sins (tujuh dosa mematikan), yaitu: terjadinya

dramatisasi fakta palsu, distorsi informasi, terlanggarnya wilayah privat,

pembunuhan karakter, eksploitasi seks, teracuninya pikiran anak-anak dan

penyalahgunaan kekuasaan28.

Dalam konteks Indonesia, Sasa Djuarsa29 menyatakan ada 4 dosa dari

media, yaitu: Pertama, ekploitasi judul, terutama yang bersifat agitatif, provokatif,

emosional bahkan seronok. Kedua, dominasi opini elit dan kelompok mayoritas,

sehingga masyarakat kelas bawah/minoritas etnis dan agama kurang bisa bersuara.

Tentu hal ini mengancam pembentukan ruang publik media yang demokratis.

Ketiga, berita “konon kabarnya”, yang bertentangan dengan prinsip obyektifitas

dalam jurnalistik karena hanya menjelaskan opini, fakta atau ilustrasi menurut

sumber yang tidak mau disebut namanya. Sumber berita “konon katanya” bisa

menjadi proses pemfiksian terhadap informasi faktual. Keempat, informasi yang

tidak investigatif. Penyajian informasi yang tidak investigatif ini membuat media

hanya akan berkutat pada berita-berita trivialistik yang menengahkan gosip, seks,

kekerasan dan hiburan sebagai daya pikat utamanya.

28 Tim Redaksi LP3ES. 2006. Jurnalisme Liputan 6 SCTV: Antara Peristiwa dan Ruang Publik. Jakarta: LP3ES. Hal. 233.

29 Ibid. Hal. 234.

34

Pemberitaan seperti yang disebutkan di atas bertentangan dengan model

jurnalisme modern yang dicetuskan oleh Johan Galtung, yaitu jurnalisme damai

(peace journalism)30. Jurnalisme damai didasarkan pada standar jurnalisme modern,

yang berpegang pada azas imparsialitas, faktualitas, obyektifitas sekaligus

dilengkapi dengan prinsip-prinsip yang bertujuan untuk menghindarkan kekerasan

-solusi. Jurnalisme ini mengedukasi para wartawan agar tidak menjadi bagian dari

pertikaian, melainkan harus menjadi bagian dari upaya solusi.

Dalam jurnalisme damai, prinsip jurnalisme 5 W + 1 H, ditambah dengan

unsur S, yaitu solution. Artinya pers memberi ruang yang cukup untuk pemikiran

lain yang netral, yang rasional, dan kredibel, agar terjadi diskusi sosial untuk

mencari solusi yang paling kecil resikonya.

B. ANALISIS WACANA KRITIS NORMAN FAIRCLOUGH

1. Biografi Norman Fairclough

Norman Fairclough, sebagai salah seorang pencetus analisis wacana adalah Guru

Besar Emeritus Linguistik di Universitas Lancaster, Inggris. Fokus analisis

wacana kritis yang ditemukannya adalah dalam melihat bagaimana pengaruh

relasi kekuasaan pada isi dan struktur teks31.

Sebagai seorang guru besar emeritus, Fairclough tidak lagi mengajar

secara formal di bangku perguruan tinggi. Namun ia masih berkontribusi dalam

kursus analisis wacana kritis pada program Magister of Arts di Studi Budaya

Inggris di Buchares dan kursus intensif analis wacana kritis pada program

doktoral di Denmark32.

Sejak awal tahun 1980-an, riset Fairclough memang difokuskan pada

analisis wacana kritis, termasuk di dalamnya pula riset tentang posisi bahasa

dalam relasi sosial atas kekuasaan dan ideologi. Juga bagaimana bahasa

menempatkan diri dalam proses perubahan sosial. Minatnya kini adalah bahasa

30 Dede Drajat. Tanpa Tahun. Jurnalisme Damai Versus Jurnalisme Kekerasan (Alternatif Meminimalisir Potensi Konflik). Diakses pada 8 Maret 2011. Terarsip di http://balitbang.depkominfo.go.id/addfile/jurnal/komtisby/KomMTi-4/3_JURNALISME%20DAMAI_dededrajat.doc

31 “Norman Fairclough”. Diakses pada 3 Maret 2011. Terarsip di http://en.wikipedia.org/wiki/Norman_Fairclough

32 "Emeritus Professor Norman Fairclough". Diakses pada 3 Maret 2011. Terarsip di http://ling.lancs.ac.uk/profiles/Norman-Fairclough

35

(dalam arti wacana) sebagai elemen dari perubahan sosial terkini, yang merujuk

pada globalisasi, neo-liberalisme, neo-kapitalisme, pengetahuan ekonomi dan

sebagainya. Termasuk juga dalam 3 tahun belakangan ini, Fairclough sangat

intens meneliti perubahan yang terjadi di Eropa Tengah dan Timur, khususnya

di Rumania dengan perspektif analisis wacana kritisnya33.

Risetnya di Rumania berbasis pada klaim teoritis bahwa wacana adalah

elemen dari kehidupan sosial yang secara dialektis terkait dengan elemen yang

lainnya, dan bahkan memberi efek konstruktif dan transformatif pada elemen

lainnya. Selain itu, Fairclough juga meyakini bahwa wacana adalah elemen yang

menonjol dan potensial dari kehidupan sosial kini. Sehingga, banyak perubahan

sosial terkini diinisiasi dan digerakkan oleh perubahan wacana. Maka dari itu,

analisis wacana, termasuk di dalamnya analisis linguistik, akan memiliki

kontribusi yang besar untuk penelitian sosial, khususnya saat diintegrasikan

dengan penelitian lintas disiplin34.

Sebagai seorang guru besar, ada beberapa buku yang telah ditulisnya.

Sebagian besar memang fokus di tema politik dan linguistik, antara lain35:

1. Language and Power (1989). London: Longman.

2. Discourse and Social Change (1992). Cambridge: Polity Press

3. Media Discourse (1995). London: Edward Arnold.

4. Critical Discourse Analysis (1995). Boston: Addison Wesley.

5. Discourse in Late Modernity - Rethinking Critical Discourse Analysis (1999).

Edinburgh: Edinburgh University Press. (bersama Lilie Chouliaraki)

6. New Labour, New Language? (2000). London: Routledge.

7. Language and Power (2nd edition) (2001). London: Longman.

8. Analysing Discourse: Textual Analysis for Social Research (2003). London:

Routledge.

9. Language and Globalization (2006). London: Routledge.

10. Discourse and Contemporary Social Change (2007)(Ed.). Bern.

33 Ibid. 34 Ibid. 35 “Norman Fairclough”. Op.Cit.

36

2. Model Analisis Wacana Fairclough

Di antara beberapa model analisis wacana, seperti model Fowler, dkk, Van

Leuween, Van Dijk dan Mills, Fairclough adalah model yang paling canggih36.

Dalam hal ini, model Fairclough adalah pendekatan yang paling cepat

perkembangannya di bidang komunikasi, budaya dan masyarakat.

Model Fairclough sering dikenal dengan istilah model perubahan sosial

(social change). Karena inti dari model ini adalah pernyataan bahwa wacana

merupakan bentuk penting praktik sosial yang mereproduksi dan mengubah

pengetahuan, identitas dan hubungan sosial yang mencakup hubungan

kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh struktur dan praktik sosial yang lain.

Maka dari itu, atas nama emansipasi, model analisis wacana kritis memihak pada

kelompok-kelompok sosial yang tertindas. Kritik disampaikan dengan tujuan

mempercepat tercapainya perubahan sosial yang radikal37.

Model ini merupakan bentuk analisis wacana yang berorientasi pada teks

dan berusaha menyatukan tiga tradisi, yaitu: tradisi tekstual dari bidang linguistik,

tradisi makro-sosiologis praktik sosial dan tradisi interpretatif dan mikro-

sosiologis dalam bidang sosiologis38.

Kunci dari model Fairclough adalah model tiga dimensi, teks, praktik

kewacanaan (discourse practice) dan praktik sosio-kultural (sociocultural practice),

seperti yang digambarkan di bawah ini:

36 Marianne W. Jorgensen & Louise J. Philips. Op. Cit. Hal. 162. 37 Ibid. Hal. 121-123. 38 Ibid. Hal. 123-124.

37

Sumber: Fairclough39

Tujuan umum dari model tiga dimensi ini adalah memberikan kerangka

analitis. Sehingga dari bagan tiga dimensi di atas, Fairclough melihat teks sebagai

hal yang memiliki konteks baik berdasarkan “process of production” atau “text

production”; “process of interpretation” atau “text consumption” maupun

berdasarkan praktik sosio-kultural. Juga harus dicatat, ada prinsip dasar bahwa

“teks tidak bisa dipahami atau dianalisis secara terpisah, melainkan hanya bisa

dipahami dalam kaitannya dengan jaring-jaring teks lain dan hubungannya

dengan konteks sosial”40. Dengan demikian, untuk memahami wacana

(naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan

”realitas” di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks,

konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks.

Secara lebih detail, penjabaran dari kerangka analisis tiga dimensi yang

dicetuskan oleh Fairclough adalah sebagai berikut:

39 Fairclough, Norman. Op.Cit. Hal. 98. 40 Marianne W. Jorgensen & Louise J. Philips. Op. Cit. Hal. 130-131.

38

TEKS Data dikumpulkan

dengan satu/lebih

metode analisis

naskah (sintagmatis

atau paradigmatis)

Representasi

Bagaimana

orang,

kelompok,

keadaan atau

apa pun

ditampilkan &

digambarkan

dalam teks.

Relasi

Bagaimana

hubungan

antara

wartawan,

khalayak dan

partisipan

berita

ditampilkan

dan

digambarkan

dalam teks.

Identitas

Bagaimana

identitas

wartawan,

khalayak dan

partisipan

berita

ditampilkan

dan

digambarkan

39

dalam teks.

INTERTEKSTUALITAS

Teks dan

ungkapan

dibentuk oleh

teks yang

dibentuk

datang

sebelumnya,

saling

menanggapi

dan salah satu

bagian dari

teks tersebut

mengantisipasi

yang lainnya.

DISCOURSE

PRACTICE

Data dikumpulkan

dengan:

1. Pengamatan

Terlibat pada

Produksi Naskah,

2. Wawancara

mendalam dengan

pembuat naskah,

3. Data sekunder

tentang pembuatan

naskah

Memusatkan

perhatian pada

bagaimana

praktek

produksi dan

konsumsi

teks.

Individu

Wartawan

Relasi antara

wartawan dengan

struktur media

Praktik

Kerja/Rutinitas

Kerja

SOCIOCULTURAL

PRACTICE

Data dikumpulkan

dengan:

1. Depth interview

dengan pembuat

naskah dan ahli

Situasional

Institusional

Sosial

40

paham dengan

tema penelitian

2. Secondary data

yang relevan

dengan tema

penelitian

3. Penelusuran

Literatur yang

relevan dengan

tema penelitian

Sumber: Eriyanto41 dan Ibnu Hamad42

3. Perbandingan Model Analisis Wacana

Sebagai bentuk metode ilmiah yang relatif baru yang berkembang pasca tahun

1970-an. Analisis wacana sebagai alternatif dari analisis isi yang kuantitatif, telah

berkembang sedemikian rupa. Hingga saat ini ada beberapa model analisis

wacana yang dikenal secara luas, seperti French Discourse Analysis (Sara Mills),

Critical Linguistics (Roger Fowler, Theo van Leeeuwen), Discourse Historical

Approaches (Ruth Wodak, dkk), Social Cognitive Approach (Teun A. van Dijk) dan

juga Sociocultural Change Approach (Norman Fairclough)43.

Secara lokal di Indonesia sendiri, analisis wacana menurut Ibnu Hamad44

mulai marak pada dekade 90-an. Kehadiran buku-buku yang berkenaan dengan

wacana antara lain dari Fairclough (1995a dan 1995b), Mills (1997), Gee (1999,

2005) dan Titscher dkk (2000) serta penerbitan buku penunjang lokal seperti

Alex Sobur (2001), Eriyanto (2001), dan Ibnu Hamad (2004), memperkuat

metode dan pelaksanaan riset dengan memakai analisis wacana baik sebagai

analisis teks maupun sebagai analisis wacana kritis (critical discourse analysis).

41 Eriyanto. Op.Cit. Hal. 289-326.. 42 Ibnu Hamad. Op.Cit. 43 M. Sulhan. Analisis Wacana : Kekuatan ‘Tak Terlihat’ Media Massa. Slide Mata Kuliah Metode Penelitian Kualitatif. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol, UGM.

44 Ibnu Hamad. Op.Cit.

41

Meski secara umum berbeda, beberapa model tadi juga memiliki

persamaan45, antara lain: Pertama, ideologi menjadi sentral dari semua model

analisis wacana. Kedua, kekuasaan (power) juga begitu penting dalam melihat

wacana. Wacana dipandang sebagai alat untuk memperbesar kekuasaan dalam

masyarakat. Ketiga, selain untuk memperbesar kekuasaan/dominasi kelompok

tertentu, wacana juga digunakan untuk memarjinalkan kelompok lain yang

bertentangan dengan kekuasaan. Dan keempat, semua model analisis

menggunakan bahasa sebagai alat untuk mendeteksi ideologi dalam teks.

Secara mendetail ada perbedaan antara beberapa model tersebut, seperti

yang dipetakan di bawah ini:

MODEL TINGKAT ANALISIS

Mikro (teks) Meso Makro (sosial)

Roger Fowler, dkk

Critical Linguistics √ √

Theo van Leuween

Critical Linguistics √ √

Sara Mills

French Discourse Analysis √ √

Teun A. van Dijk

Social Cognitive Approach √ √ √

Norman Fairclough

Sociocultural Change Approach √ √ √

Sumber: Eriyanto46

Analisis tingkat mikro, bermakna analisis di level teks/naskah pesan

tersebut. Di level meso, bermakna analisis produsen teks. Sedangkan di level

makro, bermakna analisis di level konteks sosial-kultural.

Dari tabel di atas, terlihat bahwa model yang disusun Fowler, dkk, Mills

dan Leuween hanya menganalisis teks lalu menghubungkannya dengan konteks

sosial. Berbeda dengan model yang lain, van Dijk dan Fairclough melakukan

45 Eriyanto. Op. Cit. Hal. 342-343. 46 Ibid. Hal. 344.

42

“konfirmasi” terlebih dahulu kepada produsen teks tersebut. Hal ini mereka

lakukan karena mereka menganggap ada kesenjangan yang sangat besar antara

teks yang amat mikro dengan konteks yang amat makro. Sehingga, celah di

antara keduanya perlu dihadirkan untuk menjelaskan duduk wacana.

C. SEPAKBOLA DALAM KAJIAN MEDIA

1. Sejarah Sepakbola

Sepakbola (Soccer / Football) bisa jadi adalah olahraga bola terpopuler di dunia saat

ini. Federasi sepakbola dunia, FIFA, menyatakan bahwa di abad ini, diperkirakan

ada sekitar 250 juta pemain bola dan lebih dari 1,3 milyar orang tertarik dengan

olahraga ini di seluruh dunia47. Olahraga ini memang relatif mudah dan sederhana

dimainkan, karena dapat dimainkan dimana pun di belahan dunia. Popularitas

sepakbola, bisa diukur dari jumlah penontonnya. Tahun 2002 misalnya,

diperkirakan ada lebih dari 28 milyar penonton menikmati sepakbola di seluruh

dunia.

Sepakbola sebenarnya adalah permainan tua yang berasal dari dataran

Inggris sejak abad pertengahan, pertandingan sepakbola rakyat sudah dimainkan di

kota dan desa menurut adat-istiadat lokal dan dengan peraturan yang sangat

minimalis. Namun saat itu, bola masih bisa dibawa dengan tangan, seperti

permainan Rugby saat ini 48.

Akan tetapi menurut catatan FIFA49, jauh sebelum masyarakat Inggris

memainkan bola. Dinasti Han (2-3 SM) dari Cina telah memainkan hal yang

serupa. Mereka menyebutnya sebagai Tsu’ Chu, permainan menendang bola kulit

yang berisikan bulu dan rambut berdiameter 30-20 cm menuju jaring kecil pada

bambu panjang. Penggunaan tangan pun tidak diijinkan dalam permainan ini.

Selain itu, masih menurut catatan FIFA50, dari Jepang juga ada budaya

“Kemari” yang dimulai 500-600 tahun kemudian dan masih dimainkan hingga saat

ini. Permainan ini tidak sekompetitif dari Tsu’ Chu karena tidak memperebutkan

47 Richard C. Giulianotti, Jack D. Rollin & Bernard Joy. Football (Soccer). Chicago: Encyclopedia Britannica.

48 Richard C. Giulianotti, Jack D. Rollin & Bernard Joy. Ibid. 49 “History of Football – The Origins”. Diakses pada 16 Maret 2011. Terarsip di

http://www.fifa.com/classicfootball/history/game/historygame1.html 50 Ibid

43

penguasaan bola, melainkan cukup dilakukan dalam sebuah lingkaran dimana

pemain harus mengoper bola agar tidak terjatuh.

Selanjutnya, perkembangan sepakbola modern pada abad ke-19 secara erat

dihubungkan dengan proses industrialisasi dan urbanisasi di Inggris Raya.

Kebanyakan penduduk golongan pekerja kota dan industri lambat laun kehilangan

hiburan. Sehingga muncul hiburan dalam bentuk pertandingan sepakbola pada

akhir minggu. Ketika antusiasme masyarakat dalam menonton sepakbola sudah

sangat baik, penonton rata-rata di Inggris naik dari 4.600 pada tahun 1888 sampai

7.900 pada 1895, naik ke 13.200 pada 1905 dan mencapai 23.100 saat pecahnya

Perang Dunia I. Lebih penting lagi, monumen lahirnya sepakbola modern adalah

ketika pada tahun 1863 berdiri asosiasi sepakbola pertama, The Football Association

(FA), yang diinisiasi oleh para mahasiswa dan alumni Universitas Cambridge51.

Sepakbola modern di Inggris yang melahirkan sistem liga lalu menyebar ke

berbagai penjuru dunia. Model liga ini berada dalam lingkup nasional sebuah

negara, termasuk di dalamnya ada kejuaraan liga, pertandingan piala tahunan, dan

dilengkapi sistem promosi-degradasi. Liga sejenis ini dibentuk di Belanda pada

1889, tetapi baru bersifat profesional pada 1954. Jerman dengan musim

pertamanya tahun 1903. Di Perancis, di mana permainan diperkenalkan tahun

1870, liga profesional belum dimulai sampai 1932, sesaat sesudah profesionalisme

telah diambil oleh negara Amerika Selatan, Argentina dan Brasil52.

Abad ke-20 lalu menjadi ujung tombak berkembangnya sepakbola. Setelah

menyebar ke seantero Eropa, dirasa perlunya pengaturan internasional. Solusi pun

ditemukan pada 1904, ketika wakil dari Belgia, Denmark, Perancis, Belanda,

Spanyol, Swedia, dan Swiss mendirikan Federation Internationale de Football Association

(FIFA), federasi sepakbola internasional. Puncak kepopuleran sepakbola adalah

dengan diselenggarakannya cabang Sepakbola di Olimpiade London 1908, dan

juga Piala Dunia Sepakbola pertama tahun 1930 di Uruguay. Namun, sempat pula

terjadi perpecahan di tubuh FIFA. Ketika itu, Inggris sempat keluar dari

51 Richard C. Giulianotti, Jack D. Rollin & Bernard Joy. Op. Cit. 52 Ibid.

44

keanggotan FIFA karena memprotes agresi Jerman, Austria dan Hungaria dalam

perang dunia53.

Menuju abad ke-21, sepakbola makin rumit untuk diorganisir sebagai

konsekwensi logis dari globalisasi menuju sepakbola internasional. Berbagai

konflik kepentingan kemudian mewarnai kelompok-kelompok kepentingan yang

berada di FIFA, mulai dari pemain, agen, jaringan televisi, sponsor kompetisi,

klub, federasi sepakbola nasional, asosiasi sepakbola di level benua, seluruhnya

memiliki pandangan yang berbeda tentang keuntungan finansial yang ada. Ini

belum termasuk dengan regulasi transfer yang sangat problematis. Di Eropa,

pemain bisa berpindah bebas ke klub manapun saat ia tidak berada dalam kontrak

apa pun (aturan Bosman). Sedangkan, di Afrika dan Amerika, pemain justru

berada pada kontrak panjang yang bahkan bisa bersifat seumur hidup. Dan masih

banyak masalah lainnya54.

2. Sepakbola Indonesia: Jalan Perlawanan dan Kontroversi

Kedatangan bangsa Belanda secara tidak langsung telah membawa perubahan bagi

budaya lokal. Dengan lahirnya UU Agraria 1870 misalnya, terjadi perkembangan

pesat pada modernisasi dan kehidupan ekonomi masyarakat. Salah satu imbas dari

perkembangan tersebut adalah masuknya budaya barat ke nusantara, misalnya

olahraga55.

Sebenarnya, jauh sebelum kehadiran penjajah dari Eropa pun olahraga

telah berkembang di nusantara. Di zaman pra sejarah misalnya, sudah dikenal

olahraga lokal seperti renang, dayung, tari perang maupun gulat atau bela diri.

Sedangkan di zaman kerajaan Hindu Jawa, olahraga mengalami diversifikasi untuk

Golongan Ksatria dan Brahmana. Golongan Brahmana cenderung mendapat

olahraga untuk menyehatkan jasmani dan rohani, Golongan Ksatria mendapatkan

olahraga yang memang difokuskan untuk berperang. Namun memang, olahraga

53 Ibid. 54 Richard C. Giulianotti, Jack D. Rollin & Bernard Joy. Ibid. 55 Srie Agustina Palupi. Sepakbola Jawa 1920-1942. Jurnal Lembaran Sejarah Volume II/2000, UGM. Terarsip di http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/jurnal.php?jrnlId=26

45

modern seperti sepakbola dan atletik baru ditemukan setelah kedatangan bangsa

barat56.

Sepakbola di Indonesia adalah oleh-oleh dari para pegawai instansi Hindia-

Belanda yang datang dari Belanda. Mereka menggunakan sepakbola untuk

menjaga kebugaran sekaligus refreshing. Pada awalnya, yang bisa bermain pun

amat terbatas, hanya orang Belanda kemudian Tionghoa. Baru kemudian

Bumiputra, itupun hanya Bumiputra tingkat atas yang selevel dengan orang

Belanda. Walhasil, penyebaran pun kemudian dengan cepat dan massif terjadi di

kalangan bumiputra. Selain karena memang olahraga ini sederhana, sebelumnya

bumiputra juga telah mengenal permainan yang mirip sepakbola, yaitu takraw

dengan bola rotan57.

Di antara olahraga-olahraga modern yang muncul, sepakbola memang

menempati kepopuleran yang amat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya

perkumpulan sepakbola untuk bangsa Belanda, Tionghoa maupun Bumiputra.

Pasca kesadaran berbangsa yang mengkristal lewat Sumpah Pemuda 1928

lahir, perkumpulan sepakbola yang awalnya hanya menjadi wadah olahraga semata

ikut pula bergeser ke arah pergerakan sosial-politik dan alat perjuangan

kemerdekaan58. Mengutip dari pernyataan JJ Rizal, setiap pembukaan kongres

Budi Utomo selalu dibuka dengan sepakbola. Bahkan dr. Sutomo sering

mengiaskan perlawanan dirinya terhadap kolonial dengan sepakbola59.

Perkumpulan/klub sepakbola pun mulai bergeliat. Klub pertama yang

berdiri adalah Road-Wit (merah putih) pada 1893, lalu 2 tahun kemudian lahir

Victory di Surabaya. Pemerintah Hindia Belanda lalu membuat perkumpulan resmi

NIVB. Perkumpulan ini memiliki turnamen resmi se-Jawa Steden Tuurnoi yang

berlangsung sampai tahun 1936.

Di samping kedudukan NIVB yang makin kuat dan terorganisir. Praktis,

perkumpulan dari Golongan Tionghoa dan Bumiputra pun juga ikut berkembang,

meski tidak sepesat yang dialami oleh NIVB. Apapun itu, secara subtansi, awal

abad ke-19 sepakbola terus mengalami perkembangan di nusantara.

56 Ibid. 57 Ibid. 58 Srie Agustina Palupi. Ibid. 59 Mata Najwa, Rabu 19 Januari 2011.

46

Lalu terjadilah depresi ekonomi hebat dunia pada tahun 1920-an. Kejadian

ini menyebabkan pemerintah kolonial Hindia-Belanda semakin represif dalam

menjajah. Pemerintahan Gubernur De Jonge dianggap reaksioner dan otoriter

dalam mentolerir segala macam tindakan yang berbau perlawanan. Di sini,

sepakbola menjadi salah satu kunci perubahan. Pertama, karena olahraga ini

memberi tawaran hiburan untuk melepaskan diri dari kepenatan dan rasa tertekan.

Kedua, olahraga ini telah menjadi sarana pengumpulan massa yang amat efektif.

Puncak dari popularitas sepakbola sebagai sarana pergerakan kemerdekaan

adalah dengan lahirnya PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia) pada 19

April 1930 di Yogyakarta. Nantinya nama ini diubah dalam kongres PSSI di Solo

menjadi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia yang juga menetapkan Ir.

Soeratin Sosrogondo, seorang insinyur lulusan Jerman, sebagai Ketua Umumnya60.

Bagi PSSI, NIVB perlu mengetahui eksistensi PSSI, namun tidak perlu

meminta NIVB untuk bekerjasama dengan PSSI. Inilah cikal bakal pergerakan

yang dimaksud, bagaimana kemandirian bangsa mulai dipupuk dari sepakbola.

Lambat laun, tapi pasti, PSSI terus berkembang ke arah yang lebih baik

tanpa campur tangan dari Pemerintah Hindia Belanda. Meski di internal kalangan

Bumiputera banyak ditentang, PSSI terus melaju. Bahkan di tahun 1933 klub

anggota PSSI dapat mengalahkan klub anggota NIVU (perubahan nama dari

NIVB) di final kejuaraan PSSI III di Surabaya. Kemenangan ini lalu membuka

mata para pengurus NIVU untuk mengadakan gentlemen’s agreement bekerjasama

dengan PSSI pada 15 Januari 1937.

Dalam kerangka berpikir pergerakan kemerdekaan, perjanjian ini adalah

pengakuan secara de jure maupun de facto terhadap PSSI yang berdasarkan

kesetaraan hak dan derajat. Dua hal ini begitu lama dinantikan oleh para

Bumiputera selama penjajahan Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.

Bahkan pada Piala Dunia 1938, Hindia-Belanda pun lolos ke Piala Dunia.

Kemudian, terjadi ketegangan antara NIVU dengan PSSI yang diketuai oleh Ir.

Soeratin Sosrosoegondo,. NIVU ingin pemainnya yang dikirim, sedangkan PSSI

berpendapat sebaliknya. Namun, akhirnya kesebelasan dikirimkan tanpa

60 Sejarah Sepakbola Indonesia. Diakses pada 16 Maret 2011. Terarsip di http://www.mataelang.net/2011/03/sejarah-sepakbola-indonesia/

47

mengikutsertakan pemain PSSI dan menggunakan bendera NIVU yang diakui

FIFA. Keputusan tersebut diprotes PSSI dengan pembatalan secara sepihak

perjanjian gentlemen’s agreement dengan NIVU pada kongres PSSI 1938 di Solo61.

Dalam hal ini, JJ Rizal62, Sejarawan dari Universitas Indonesia, menegaskan

bahwa cara mengamati sepakbola dengan hanya melihatnya dari sisi olahraga

adalah bukan keliru, tetapi melupakan inti terpenting sepakbola yaitu sebagai api

penggerak dan pengobar spirit kebangsaan dan keadabannya sebagai masyarakat

bermartabat. Mungkin karena itu pula negeri-negeri yang dianggap miskin dan

terbelakang mampu melahirkan pesepakbola dan ketangguhan dalam

bersepakbola. Inilah bentuk spirit sepakbola yang akhirnya dijadikan medium

politik untuk membuktikan bahwa bangsa-bangsa terjajah pun juga manusia yang

punya keunggulan.

Di era pasca kemerdekaan, di tahun 1948 pada PON (Pekan Olahraga

Nasional) pertama kali di Solo, sepakbola sudah menjadi salah satu cabang yang

diperlombakan. Selain itu, PSSI pun mengalami pasang surut prestasi. Di era

sebelum tahun 70-an, banyak pemain Indonesia yang bisa bersaing di tingkat

internasional sebut saja era Ramang dan Tan Liong Houw, kemudian era Sucipto

Suntoro dan belakangan era Ronny Pattinasarani.

Sedangkan untuk kompetisi resmi. Sejak tahun 1979 sudah dimulai

Kompetisi Liga Utama, atau yang biasa dikenal dengan Galatama, sebelumnya

hanya ada kompetisi amatir warisan dari era pra-kemerdekaan yang dikenal dengan

Liga Perserikatan. Baru di tahun 1994, kedua liga ini kemudian melebur menjadi

Liga Indonesia divisi utama dengan format separuh liga-separuh turnamen.

Kemudian dalam rangka menyongsong profesionalisme klub-klub pesertanya,

Liga Indonesia kemudian berganti menjadi Liga Super Indonesia (Indonesian Super

League) dengan format penuh liga.

Hingga saat ini, beberapa kompetisi yang digelar PSSI adalah sebagai

berikut63:

61 Ibid. 62 JJ Rizal. “Sepakbola Bapak Bangsa”. Diakses pada 16 Maret 2011. Terarsip di

http://spartacks.net/2011/sepakbola-bapak-bangsa/ 63 Sejarah Sepakbola Indonesia. Op.Cit.

48

1. Divisi Super (Indonesia Super League, dimulai 2008)

2. Divisi utama

3. Divisi satu

4. Divisi dua

5. Divisi tiga (amatir)

6. Kelompok umur

� Dibawah usia 15 tahun (U-15)

� Dibawah usia 17 tahun (U-170

� Dibawah Usia 19 tahun (U-19)

� Dibawah usia 23 tahun (U-23)

7. Sepakbola Wanita

8. Futsal.

Di level regional dan internasional, PSSI telah menjadi anggota FIFA sejak

tanggal 1 November 1952 pada saat kongress FIFA di Helsinki. Setelah diterima

menjadi anggota FIFA, PSSI juga diterima sebagai anggota AFC (Asian Football

Confederation) pada tahun 1952. Bahkan di level regional Asia Tenggara, PSSI

menjadi pelopor pendirian AFF (Asean Football Federation) tahun 1984 di era

kepemimpinan Kardono. Sedangkan, data tentang prestasi yang pernah dicapai

PSSI sampai saat ini adalah sebagai berikut:

Piala Dunia Piala Dunia Perancis 1938: Babak I

(dengan nama Hindia Belanda)

Piala Asia 1996 : Babak I

2000 : Babak I

2004 : Babak I

2007 : Babak I

Piala AFF

(Tiger Cup)

1996 – Runner-up

1998 – Peringkat 3

2000 – Runner-up

2002 – Runner-up

2004 – Runner-up

2007 – Babak penyisihan grup

49

2008 – Semifinalis

2010 - Finalis

Sumber64

Sedangkan periodesasi kepemimpinan PSSI adalah sebagai berikut65:

1930 – 1940 Soeratin Sosrosoegondo

1941 – 1949 Artono Martosoewignyo

1950 – 1959 Maladi

1960 – 1964 Abdul Wahab Djojohadikoesoemo

1964 – 1967 Maulwi Saelan

1967 – 1974 Kosasih Poerwanegara

1975 – 1977 Bardosono

1977 – 1977 Moehono

1977 – 1981 Ali Sadikin

1982 – 1983 Sjarnoebi Said

1983 – 1991 Kardono

1991 – 1999 Azwar Anas

1999 – 2003 Agum Gumelar

2003 – sekarang Nurdin Halid

Di kepemimpinan terakhir inilah, PSSI benar-benar sedang mengalami

tekanan hebat. Nurdin Halid yang divonis sebagai tersangka dalam tiga kasus:

impor gula pasir illegal (2004), korupsi pengadaan minyak goreng (2004) dan

pelanggaran kepabeanan impor (2005) ternyata masih duduk kokoh sebagai Ketua

Umum PSSI66. Padahal vonis tersangka tersebut jelas-jelas menyalahi statuta FIFA

pasal 35 ayat 2.

Sebenarnya masalah status hukum Nurdin hanyalah serpihan kecil dari

gunung masalah yang ada di tubuh PSSI. Masih ada banyak masalah lain di PSSI

yang begitu nyata, seperti: Pertama, pengelolaan kompetisi yang buruk dan tidak

64 Tim Nasional Indonesia (Sejarah, Prestasi dan Harapan). Diakses pada 16 Maret 2011. Terarsip di http://sepakbola.showbiznotes.net/tim-nasional-indonesia-sejarah-prestasi-dan-harapan/

65 Sejarah Sepakbola Indonesia. Op.Cit. 66 Abi Hasantoso, dkk. 2010. Buku Putih Reformasi Sepakbola Indonesia. Jakarta: Gerakan Reformasi Sepakbola Nasional Indonesia. Hal. 89.

50

professional (masih bergantung pada APBD). Kedua, pembinaan usia dini yang

tidak maksimal. Ketiga, pelanggaran-pelanggaran hukum maupun statuta PSSI itu

sendiri. Dan keempat, yang sangat penting juga adalah minimnya prestasi.

Beberapa argumen tersebut, kemudian dicari solusinya lewat Kongres

Sepakbola Nasional bulan Maret 2010 di Malang. Butir terpenting dari kongres

tersebut adalah adanya reformasi & restrukturisasi di tubuh organisasi PSSI.

Sayang, hingga saat ini reformasi dan restrukturisasi tersebut masih jauh panggang

dari api.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila publik kemudian marah dan

kecewa yang diluapkan dengan demonstrasi di berbagai daerah menuntut

mundurnya Nurdin Halid. Selain demonstrasi, kelahiran Liga Primer Indonesia

(Januari 2011) pun tidak lepas dari akumulasi kekecewaan para pecinta sepakbola

terhadap PSSI.

Sepakbola memang alat politik di Indonesia. Bila dulu digunakan untuk

menggugat kesetaraan hak dan derajat antara pribumi dengan kolonial. Hari ini,

justru digunakan sebagai sarana untuk melanggengkan kepentingan elit status quo.

3. Sepakbola dan Industri Media

Di era terkini, sepakbola sebagai bentuk olahraga semakin banyak dipengaruhi

oleh berbagai kekuatan, seperti bisnis (sebagai sarana iklan dan promosi),

pemerintahan (sebagai simbol ideologi nasionalisme) dan media massa (sebagai

sarana untuk meningkatkan pembaca/pemirsa)67.

Dalam hubungannya dengan media. Sebagai sebuah industri, sepakbola

tidak bisa lepas dan melepaskan diri dari media. Ada hubungan mutualisme di

antara keduanya. Sepakbola membutuhkan publisitas, sedangkan televisi butuh

program yang memiliki rating tinggi. Kedua kepentingan ini nantinya akan

bermuara pada keuntungan finansial bagi kedua pihak.

67 John Horne & Wolfram Manzenreiter. Football, Culture, Globalisation. Dalam John Horne & Wolfram Manzenreiter (Ed). 2004. Football Goes East. London: Routledge. Hal. 12.

51

Dan memang urgensi sepakbola tidak hanya berada di ranah sosial-politik

semata, tetapi juga di ranah ekonomi68. Minat tersebut tercermin tidak hanya oleh

berapa juta orang yang menghadiri pertandingan di setiap musim, namun juga

lewat ratusan juta – bahkan milyaran penonton di televisi dan mereka yang secara

langsung maupun tidak langsung mengambil keuntungan ekonomi dari kehadiran

sepakbola di media. Bahkan di akar rumput, sepakbola bisa menghadirkan rasa

nyaman, tenang dan sejahtera yang semu bagi penonton yang menikmatinya.

Dari sisi sejarah, kehadiran sepakbola di media pertama kalinya adalah saat

Arsenal melawan Sheffield United pada tahun 1927 di Radio BBC. Sedang televisi

pertama kali menyiarkan pertandingan sepakbola saat Inggris melawan Skotlandia

pada 9 April 1938. Perkembangan selanjutnya adalah munculnya program

cuplikan (highlight) pertandingan di BBC mulai tahun 195569.

Siaran langsung pun praktis bermula ketika pada tahun 1978, ketika itu

London Weekend Television (LWT) membeli hak siar ekslusif pertandingan Liga

Inggris. Hak siar ini terus meroket tiap tahunnya, bahkan pada tahun 2010 – 2013

hak siar ini telah dibeli oleh ESPN seharga 1,72 Milyar poundsterling70.

Di Indonesia sendiri potensi komersial sepakbola sebenarnya cukup bagus.

Hak siar Liga Super Indonesia saat ini dipegang oleh ANTV sebesar 100 milyar

rupiah untuk 10 tahun sejak 2007. Jumlah itu disayangkan beberapa pihak

tergolong kecil bila dibanding keuntungan komersial yang didapatkan oleh ANTV.

Menurut perhitungan Buku Putih Reformasi Sepakbola Indonesia, seharusnya

nilai siar Liga Super Indonesia bisa dimaksimalkan hingga 1,5 trilyun rupiah,

mengingat ratingnya dan jumlah pemirsanya yang tinggi71.

Bukti bahwa sepakbola memang olahraga yang paling ditonton di

Indonesia bisa dilihat dari survey yang dilakukan oleh TNS Sport, sebuah lembaga

ternama dari Inggris72.

68 Stephen Dobson & John Goddard. 2001. The Economic of Football. London: Cambridge University Press. Hal. xv.

69 Ibid. Hal. 80. 70 Premiere League. Diakses pada 17 Maret 2011. Tearsip di

http://en.wikipedia.org/wiki/Premier_League#Media_coverage 71 Abi Hasantoso, dkk. Op.Cit. Hal. 44. 72Ibid. Hal. 31.

Survey ini membuktikan bahwa potensi sepakbola Indonesia di media jauh

lebih menarik dari olahraga apa pun (

29%). Potensi ini seharusnya bisa dikonversi oleh

mendatangkan sebanyak mungkin mutual

sepakbola.

Dalam prakteknya, ANTV sebagai pemegang hak siar ekslusif mampu

menyiarkan 156 partai dari 306 partai sepanjang musim. Ketidakmampuan untuk

menyiarkan seluruh pertandingan terjadi karena keterbatasan peralatan dan

sumber daya lainnya.

Secara umum, program siaran langsung sepakbola memang mendapat

tanggapan yang semarak dari khalayak. Terbukti dari hingga saat ini ada beberapa

liga sepakbola yang disiarkan

Stasiun TV

TVRI J-League

Piala Dunia

Indosiar Liga Serie

Liga Primer

Indonesia

RCTI Liga Serie

Liga

Eropa

73 Diolah dari berbagai sumber di internet.

Survey menonton olahraga

Survey ini membuktikan bahwa potensi sepakbola Indonesia di media jauh

lebih menarik dari olahraga apa pun (Pertama, sepakbola 86%. Kedua, Motosport

29%). Potensi ini seharusnya bisa dikonversi oleh penyelenggara liga untuk

mendatangkan sebanyak mungkin mutual-profit, baik bagi media maupun

Dalam prakteknya, ANTV sebagai pemegang hak siar ekslusif mampu

menyiarkan 156 partai dari 306 partai sepanjang musim. Ketidakmampuan untuk

eluruh pertandingan terjadi karena keterbatasan peralatan dan

Secara umum, program siaran langsung sepakbola memang mendapat

tanggapan yang semarak dari khalayak. Terbukti dari hingga saat ini ada beberapa

liga sepakbola yang disiarkan di layar televisi, antara lain73:

Liga Periode

League 1994 - 1995

Piala Dunia 1994 (bersama TPI & SCTV)

Liga Serie-A Italia 2011 - sekarang

Liga Primer

Indonesia

2011 - sekarang

Liga Serie-A Italia 1990an -

Liga Champion

Eropa

1990an - sekarang

Diolah dari berbagai sumber di internet.

Survey ini membuktikan bahwa potensi sepakbola Indonesia di media jauh

, Motosport

penyelenggara liga untuk

profit, baik bagi media maupun

Dalam prakteknya, ANTV sebagai pemegang hak siar ekslusif mampu

menyiarkan 156 partai dari 306 partai sepanjang musim. Ketidakmampuan untuk

eluruh pertandingan terjadi karena keterbatasan peralatan dan

Secara umum, program siaran langsung sepakbola memang mendapat

tanggapan yang semarak dari khalayak. Terbukti dari hingga saat ini ada beberapa

1994 (bersama TPI & SCTV)

sekarang

sekarang

sekarang

53

Liga Champion Asia 2009 - sekarang

Piala Dunia 1998, 2006, 2010 (bersama MNC Group)

La Liga Spanyol 2007 - sekarang

Piala AFF (Tiger) 2010

Bundesliga Jerman 2002 - 2007

Metro TV Liga Primer

Indonesia

Hanya satu pertandingan

Persebaya 1927 vs Bandung FC

Trans 7 Liga Serie-A Italia 2008 - 2009

Liga Primer

Indonesia

2011 - sekarang

ANTV Liga Super Indonesia 2007 – sekarang

(sebelumnya sejak 1995 menyiarkan Liga

Kansas)

TV One La Liga Spanyol 2009 - sekarang

Liga Primer Inggris 2008 - 2009

Global &

MNC TV

Liga Primer Inggris 2010 - sekarang

Kondisi ini tentu menggembirakan bagi sebagian besar khalayak televisi

yang menggemari sepakbola. Dengan mudah mereka mendapatkan hiburan gratis.

Akan tetapi, meski terjadi simbiosis mutualisme antara media, khalayak

dan penyelenggara sepakbola. Kritik juga muncul, karena kekuatan ekonomi,

utamanya dicurigai menggunakan sepakbola untuk menyebarkan budaya

kapitalisme seperti yang ditulis oleh John Horne & Wolfram Manzenreiter dalam

Football Goes East. Mereka mengutip pernyataan dari Pierre Bordieu yang

menyatakan bahwa televisi adalah “kuda troya” yang membawa logika kapitalisme

ke dalam sepakbola74. Bahkan kini sangat susah membedakan mana sisi olahraga

dan mana sisi hiburan dari sepakbola.

74 John Horne & Wolfram Manzenreiter. Op. Cit. Hal. 11.

54

4. Pemberitaan Sepakbola di Indonesia

Hampir setiap media saat ini memiliki porsi khusus terhadap berita olahraga,

khususnya lagi sepakbola. Bahkan, dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa

sepertiga dari pembaca surat kabar dilaporkan membeli koran untuk membaca

bagian olahraga. Sedangkan, televisi memiliki posisi yang strategis karena

kapasitasnya untuk mengirimkan siaran langsung olahraga75.

Di wilayah wartawan sendiri pun berita olahraga dikerjakan secara serius

oleh para professional. Sebagian besar dari mereka diberi pendidikan jurnalistik

yang setara dengan rekan kerja mereka di desk pemberitaan lain76. Berbeda dengan

wartawan di desk berita lain, wartawan olahraga adalah wartawan yang sangat

bergantung pada pengamatan langsung terhadap obyek, meskipun memang

sumber-sumber berita lain masih digunakan.

Berita olahraga, atau khususnya sepakbola, adalah berita yang memiliki

setidaknya dua nilai berita. Yaitu, nilai kedekatan (proximity) dan human interest77.

Nilai pertama kedekatan, bisa diaplikasikan pada berita sepakbola lokal atau

nasional yang memberitakan pertandingan atau prestasi dari klub sepakbola atau

Timnas Indonesia. Sedangkan, nilai kedua human interest berkaitan dengan sub-nilai

berita ketegangan dan minat pribadi. Dimana khalayak akan tertarik dan penasaran

untuk mengetahui hasil pertandingan sepakbola klub yang dia dukung sebagai

bagian dari minat pribadinya.

Dalam hal pemberitaan olahraga, setidaknya ada dua model media.

Pertama, adalah media yang memang fokus sepenuhnya pada olahraga seperti Sky

Sports, ESPN, Tabloid Bola dan Soccer. Sedangkan model kedua, adalah media

yang menjadikan olahraga sebagai salah satu produk beritanya. Di Indonesia

sendiri, televisi hampir semuanya masuk ke model kedua.

Adapun beberapa program berita olahraga yang secara khusus disiarkan

stasiun televisi adalah sebagai berikut78:

75 Doobo Shim. "Sport News in the Local Media - Green Bay Packers' Return to Glory". Diakses pada 8 April 2011. Terarsip di http://www.thesportjournal.org/article/sport-news-local-media-green-bay-packers-return-glory

76 Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat. Op.Cit. Hal. 207. 77 Ibid. Hal. 62 -65. 78 Diolah dari berbagai sumber: metrotvnews.com, tvonenews.tv, trans7.co.id, dan antv.co.id.

55

Stasiun TV Nama Program Jam Tayang Keterangan

Metro TV Metro Sports Setiap hari,

23.30 / 02.30 WIB

Berita olahraga secara

umum.

Spirit Football Sabtu, 13.00 WIB Berita sepakbola secara

umum, khususnya liga

sepakbola di Eropa.

12 Pas Ahad, 13.00 WIB Berita sepakbola lokal

dan nasional.

Tv One Kabar Arena Setiap hari,

23.30 WIB.

Berita olahraga secara

umum.

Trans 7 Galeri Sepak Bola

Indonesia

Sabtu–Ahad,

13.30 WIB

Berita sepakbola lokal

dan nasional.

Highlight Otomotif Sabtu, 14.30 WIB Berita dari dunia

otomotif, baik dari sisi

olahraga maupun gaya

hidup.

Sport7 Setiap hari,

06.00 WIB

Berita olahraga secara

umum.

One Stop Football Sabtu-Ahad,

14.30 WIB

Berita sepakbola

mancanegara, khususnya

liga sepakbola di Eropa.

ANTV Lensa Olahraga Setiap hari,

05.30 & 00.30 WIB.

Berita olahraga secara

umum.

Kampiun Sabtu, 14.30 WIB Berita sepakbola

nasional.

Total Football Ahad, 14.30 WIB Berita sepakbola

mancanegara, khususnya

liga sepakbola di Eropa.

56

Bagi beberapa pihak, maraknya pemberitaan ini berkorelasi dengan

prestasi olahraga79. Pada tahun 1970-an misalnya, pemberitaan olahraga di media

begitu marak. Hal ini berkorelasi dengan event olahraga yang menghasilkan

prestasi untuk Indonesia. Sehingga, olahraga bagi bangsa adalah kebanggaan moral

untuk membentuk karakter bangsa. Piala AFF 2010 lalu bisa jadi pelajaran

berharga. Bahwa membaiknya prestasi Timnas Indonesia berkorelasi positif

dengan pemberitaan yang semakin intens.

Lebih jauh lagi dalam memahami pemberitaan olahraga sebagai bagian dari

wacana. Berita olahraga pun ternyata tidak bisa melepaskan diri dari proses

pembentukan wacana. Dalam kasus Liga Primer Indonesia sendiri, tidak semua

televisi melihat LPI sebagai kejadian yang harus diberitakan (memiliki nilai berita).

MetroTV misalnya, amat gencar memberitakan dan menawarkan opini positif

mengenai LPI. Sedangkan TvOne dan ANTV, berbalik 180º, nyaris tidak

memberitakan LPI. Kalaupun diberitakan itupun sangat minim, dan selalu

dihubungkan dengan kemelut di internal PSSI. Sehingga, stigma LPI pun di dua

stasiun televisi milik Bakrie ini selalu diidentikkan dengan “liga illegal”. Stigma

yang sangat negatif tentunya.

79Pemberitaan Jadi Indikasi Prestasi Olahraga Nasional. Diakses pada 7 April 2011. Terarsip di http://www.mediaindonesia.com/index.php/read/2010/10/27/177976/149/3/Pemberitaan_Jadi_Indikasi_Prestasi_Olahraga_Nasional/

57

BAB III

LIPUTAN 6 SCTV, METRO TV

DAN LIGA PRIMER INDONESIA

Industri televisi Indonesia, khususnya televisi swasta, sebenarnya bukanlah industri

yang berumur tua. Industri ini baru berkembang pesat pada dekade 90-an.

Sebelumnya praktis industri televisi hanya dimonopoli oleh pemain tunggal: TVRI.

Baru pada awal dekade 80-an, industri televisi mendapat angin segar dengan lahirnya

deregulasi ekonomi di beberapa bidang. Pada masa ini state regulation yang sebelumnya

begitu kuat mengatur, tidak bisa terus menerus dipertahankan, atau setidak-tidaknya

harus dikombinasikan dengan prinsip-prinsip market regulation1.

Seperti lazimnya karakteristik orde baru yang otoritarian, wilayah televise pun

tidka ketinggalan dimasuki oleh kekuasaan rezim. Dengan berbagai cara industri

media dibuat barrier to entry yang besar2. Pertama, dengan cara memproteksi para

pemodal dalam negeri dari ekspansi modal asing. Ketika itu Soeharto menolak PP

No. 20/1994 yang mengijinkan investor asing untuk memiliki 100% perusahaan di

Indonesia.

Kedua, proteksi dilakukan terhadap para pemodal yang mempunyai hubungan

khusus dengan Cendana. Caranya dengan menggunakan SIUPP sebagai senjata.

Akibat dari dua model proteksi ini adalah industri media yang seragam

kepemilikannya, praktis ketika itu tidak ada media televisi yang secara diametral

beroposisi terhadap pemerintah. Ketika itu, RCTI dimiliki oleh Bambang Trihatmojo,

SCTV dimiliki oleh Henry Pribadi dan Sudwikatmono, TPI dimiliki oleh Tutut,

Indosiar dimiliki oleh Salim Group (pengusaha yang begitu dekat dengan Soeharto),

sedangkan ANTV dimiliki oleh Bakrie Group dan Agung Laksono (Tokoh Golkar).

Kehadiran beberapa televisi swasta pada awal 90an ternyata memiliki imbas

yang besar terhadap perubahan masyarakat. Data dari PPPI3 pada 1997 menunjukkan

1 Agus Sudibyo. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Jakarta: ISAI. Hal. 13. 2 Ibid. Hal. 14. 3 Leen D’Haenens, Effendi Gazali dan Chantal Verelest. Pembuat Berita TV Memandang Lahan Serta

Racikan Mereka di Masa Jaya dan Berlalunya Rezim Soeharto. Dalam Dedy N. Hidayat (Ed.). Pers Dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 170.

58

lonjakan besar kepemilikan pesawat televisi, dari hanya 7,6 juta pada awal 1990

menjadi 20 juta pada 1997. Perubahan besar masyarakat terkait dengan teknologi

komunikasi tersebut, secara tidak langsung adalah senjata makan tuan bagi

pemerintah. Hegemoni ‘ideologi’ bentukan pemerintah pelan tapi pasti mulai tergerus

oleh proses demokratisasi yang terjadi di akar rumput4.

Lalu lahirlah Reformasi 1998 yang membawa angin segar bagi semua elemen

pers dan penyiaran di Indonesia. Pemerintahan Habibie yang meneruskan Soeharto

melahirkan deregulasi di bidang informasi dan komunikasi. Walhasil, bila selama 32

tahun era Orde Baru hanya berdiri 289 media cetak, 6 stasiun televisi dan 740 radio.

Setahun pasca reformasi jumlah media cetak melonjak menjadi 1.687 penerbitan atau

bertambah 6 kali lipat5. Tidak terkecuali di industri televisi, sepanjang tahun 2000 –

2001 lahirlah 5 televisi swasta nasional, yaitu Metro TV, TV 7 (kini Trans7), Trans

TV, Lativi (kini TvOne) serta Global TV. Kelahiran 5 televisi swasta baru ini juga

berkaitan dengan kebijakan Gus Dur yang menghapuskan Departemen Penerangan6.

Kondisi televisi pra dan pasca reformasi 1998, hanya akan menjadi pengantar

semata. Setidaknya ada kondisi sosio-politik yang amat berbeda, sehingga secara tidak

langsung terjadi diferensiasi dalam produk jurnalistik. Pasca reformasi jurnalistik

televisi tak lagi disetir oleh kekuatan negara, melainkan lebih condong ke arah pasar

(market). Kini ada 11 televisi yang memiliki program berita tersendiri, secara kasat

mata tentu ini menjadi gejala yang baik menuju semangat diversity of content.

Bab ini akan secara khusus membahas profil dua stasiun televisi swasta yang

dijadikan obyek penelitian. Stasiun pertama adalah SCTV, khususnya Liputan 6,

mengingat segala bentuk program berita di stasiun SCTV disajikan dalam program

berita Liputan 6, mulai dari Liputan 6 Pagi, Siang, Petang, Malam dan Terkini.

Sedangkan, stasiun kedua yang diangkat adalah Metro TV. Metro TV sendiri adalah

stasiun televisi khusus berita pertama di Indonesia yang berdiri sejak 1999, meski

baru mulai siaran tahun 2000. Stasiun yang mengkhususkan diri pada berita ini adalah

anak perusahaan dari Media Group yang dimiliki oleh Surya Paloh, seorang tokoh

Golkar di masa orde baru.

4 Ibid. Hal. 171. 5 Setiap Hari Terbit Lima Media Massa Baru Pasca-Reformasi. Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di

http://www.antaranews.com/view/?i=1203045456&c=NAS&s= 6 Askurifai Baksin. Op.Cit. Hal. 26.

59

Selain kedua stasiun televisi tersebut, sebagai bagian dari obyek penelitian, Liga

Primer Indonesia (LPI) juga akan dibahas lebih lanjut. Sebagai liga perjuangan, liga

alternatif tentu ada beberapa poin mendasar yang membedakannya dengan liga

binaan PSSI, Liga Super Indonesia (LSI).

A. LIPUTAN 6 SCTV : Aktual, Tajam Dan Terpercaya

1. Sejarah dan Dinamika

SCTV adalah stasiun televisi swasta kedua yang lahir setelah RCTI. SCTV

merupakan singkatan dari Surya Citra Televisi Indonesia. “Surya” di sini

bermakna Surabaya-Raya, karena memang pada awalnya SCTV bermula dari

Surabaya. Sedangkan, “Citra” bermakna televisi ini berada di bawah kelompok

Bimantara Citra7. Sedikit banyak, SCTV begitu identik dengan RCTI, karena

sampai Agustus 1993 ia ditempelkan ke RCTI. Tidak heran bila dulu, SCTV

lebih dikenal sebagai ‘adik’ RCTI8.

Berawal dari Jl. Darmo Permai, Surabaya, Agustus 1990, siaran SCTV

diterima secara terbatas untuk wilayah Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan,

Mojokerto, Surabaya, Sidoardjo dan Lamongan) yang mengacu pada izin

Departemen Penerangan No. 1415/RTF/K/IX/1989 dan SK No.

150/SP/DIR/TV/1990. Satu tahun kemudian, pada tahun 1991, pancaran

siaran SCTV meluas hingga Bali dan sekitarnya9.

Baru pada tahun 1993, berbekal SK Menteri Penerangan No. 111/1992

SCTV melakukan siaran nasional ke seluruh Indonesia. Untuk mengantisipasi

perkembangan industri televisi dan juga dengan mempertimbangkan Jakarta

sebagai pusat kekuasaan maupun ekonomi, secara bertahap mulai tahun 1993

sampai dengan 1998, SCTV memindahkan basis operasi siaran nasionalnya dari

Surabaya ke Jakarta. Puncaknya, pada tahun 1999, secara resmi SCTV melakukan

siarannya secara nasional dari Jakarta10.

7 Tim Redaksi LP3ES. 2006. Jurnalisme Liputan 6 SCTV: Antara Peristiwa dan Ruang Publik. Jakarta: LP3ES. Hal. 45.

8 Leen D’Haenens, Effendi Gazali dan Chantal Verelest. Op. Cit. Hal. 177. 9 “Sejarah Perusahaan”. Diakses pada 10 Februari 2011. Tearsip di

http://www.sctv.co.id/company/pages.php?id=1 10 Ibid.

60

Liputan 6 SCTV sendiri mulai mengudara pada Mei 1996. Bisa jadi

Liputan 6 merupakan solusi dari berpindahnya Seputar Indonesia ke RCTI atas

dasar UU Penyiaran 1994. Saat itu, Seputar Indonesia yang sebelumnya disiarkan

bersama oleh RCTI dan SCTV harus dibuat sendiri dalam stasiun, tanpa

melibatkan lagi pihak Production House. Maka dari itu, PT Sindo Citra Media

yang memproduksi Seputar Indonesia mau tidak mau harus melepas program

berita ini ke salah satu televisi. Pilihan pun jatuh ke RCTI.

Melihat kondisi ini, Sumita Tobing, seorang jurnalis senior di Harian

Prioritas dan TVRI, berinisiatif untuk mengajukan proposal pendirian Newsroom

SCTV. Tidak lama kemudian, gayung pun bersambut, proposal tersebut disetujui

oleh Pieter F. Gontha, salah satu pemilik SCTV.

Menurut Sumita Tobing, berdirinya Liputan 6 SCTV didasarkan semangat

untuk mendirikan newsroom yang berpihak pada publik11. Newsroom model ini

adalah antitesis dari kelaziman di era orde baru yang cenderung menjadi alat

propaganda pemerintah.

Pemberian nama Liputan 6 ini, menurut Riza Primadi (mantan Pemred

Divisi Pemberitaan SCTV) merujuk kepada program pemberitaan di Inggris dan

Amerika, seperti Six O’clock Reports atau Seven O’clock Reports. Kebetulan juga,

alokasi waktu awalnya adalah pukul 6 petang.

Pada awalnya Liputan 6 hadir 30 menit setiap hari ketika petang datang,

lalu beranak pinak dengan hadirnya Liputan 6 Pagi (Agustus 1996), Liputan 6

Siang (Maret 1997) dan Liputan 6 Malam (Februari 2003). Di sela-sela jam

tayang tersebut ternyata serin pula terjadi peristiwa atau masalah yang perlu

untuk segera diketahui oleh publik. Maka lahirlah kemudian, Breakingnews dan

Liputan 6 Terkini12.

Selain paket berita di Liputan 6, Divisi Pemberitaan SCTV mendapat

alokasi 20% dari keseluruhan program SCTV. Beberapa program lain yang

dikerjakan oleh jurnalis SCTV antara lain: talkshow (namanya berganti-ganti dari

Di Balik Berita menjadi Topik Minggu Ini), dokumenter (dulu Visi Warta, sekarang

11 Tim Redaksi LP3ES. Op. Cit. Hal. 51 12 Iskandar Siahaan. 2006. Dalam Tim Redaksi LP3ES. Jurnalisme Liputan 6 SCTV: Antara Peristiwa

dan Ruang Publik. Jakarta: LP3ES. Hal. xiv.

61

Potret), liputan parlemen (Wakil Kita), Dokudrama (Derap Hukum), Features

(Kisah di Antara Kita), Kriminalitas (Buser), dan Dialog Interaktif (Klinika). Nama

program bisa saja berubah, tapi substansinya tetap sama13.

Bila dirunut dari sejarahnya, Liputan 6 memang terkenal sebagai newsroom

yang kritis. Pada era orde baru misalnya, Liputan 6 tercatat beberapa kali

bersinggungan langsung dengan pemerintah. Suatu kejadian yang amat langka

ketika itu, yang entah disadari atau tidak justru meningkatkan citra Liputan 6 di

mata pemirsa. Misalnya, insiden “cabut gigi” Sarwono Kusumaatmaja di saat-saat

genting reformasi tahun 1998.

Setelah insiden itu, Pemimpin Redaksi Liputan 6, Don Bosco Selamun dan

Sumita Tobing diberhentikan sementara dari Liputan 6. Akan tetapi, hikmahnya

pasca kejadian ini media-media lain justru semakin berani bersuara lebih keras:

meminta Soeharto mundur. Hal yang sebelumnya sangat tabu ketika itu.

Selain itu, salah satu produk jurnalisme monumental dari Liputan 6 SCTV

adalah Investigasi kekerasan di STPDN, pada medio 2003. Tayangan ekslusif

berjudul Siksa di Balik Tembok STPDN menampar telak wajah STPDN.

Meskipun menuai kecaman keras dari Alumni STPDN dan Depdagri, Liputan 6

tidak bergeming dan terus memberitakan. Justru apresiasi positif ditunjukkan

oleh masyarakat luas. Masyarakat justru sadar bahwa ada realita yang selama ini

terus-menerus ditutupi.

2. Visi dan Misi

Visi

Menjadi stasiun televisi unggulan yang memberikan kontribusi terhadap

pembangunan dan pencerdasan kehidupan bangsa.

Misi

Membangun SCTV sebagai jaringan stasiun televisi swasta terkemuka di

Indonesia dengan:

1. Menyediakan beragam program yang kreatif, inovatif dan berkualitas

yang membangun bangsa.

13 Ibid.

2. Melaksanakan tata kelola perusahan yang baik (good corporate

governance).

3. Memberikan nilai tambah kepada seluruh stakeholder.

3. Slogan & Logo

Logo 1990

Logo SCTV 2004

Sejak Januari 2005,

identitas diri sebagai stasiun televisi keluarga.

perlu adanya “politik identitas”. Suatu identitas yang menunjukkan ciri khas dari

SCTV dibandingkan stasiun lainn

Dengan logo baru yang bergambar matahari terbit, SCTV ingin

menampilkan wajahnya sebagai cahaya penerang yang melingkupi serta

memberikan kehidupan, menjaga agar impian dan harapan bangsa tetap hidup

dan masa depan yang lebih baik tetap bersinar. Sloga

“SCTV Ngetop”, diubah menjadi “

Logo dan slogan baru tersebut, digunakan sebagai simbol dan semangat

serta motivasi untuk menjadikan SCTV sebagai televisi keluarga pilihan pemirsa

(menjangkau umur seluruh anggota

dan yang selalu tinggal di hati pemirsa

adalah sebagai berikut:

14 SCTV. Diakses pada 10 Februari 2011. Terarsip di 15 Tim Redaksi LP3ES. Op. Cit16 Ibid.

Melaksanakan tata kelola perusahan yang baik (good corporate

governance).

Memberikan nilai tambah kepada seluruh stakeholder.

Logo 1990-1993

Logo SCTV 1990–2004

Logo SCTV 2004–2005

Logo SCTV sejak 2005

Sumber: Wikipedia.Org14

Januari 2005, Manajemen SCTV memandang perlu menegaskan kembali

sebagai stasiun televisi keluarga. Dalam bahasa manajemen SCTV

perlu adanya “politik identitas”. Suatu identitas yang menunjukkan ciri khas dari

SCTV dibandingkan stasiun lainnya.

Dengan logo baru yang bergambar matahari terbit, SCTV ingin

menampilkan wajahnya sebagai cahaya penerang yang melingkupi serta

memberikan kehidupan, menjaga agar impian dan harapan bangsa tetap hidup

dan masa depan yang lebih baik tetap bersinar. Slogan SCTV yang dahulunya

“SCTV Ngetop”, diubah menjadi “Satu Untuk Semua” 15.

Logo dan slogan baru tersebut, digunakan sebagai simbol dan semangat

serta motivasi untuk menjadikan SCTV sebagai televisi keluarga pilihan pemirsa

(menjangkau umur seluruh anggota keluarga), televisi yang inovatif dan kreatif

dan yang selalu tinggal di hati pemirsa16. Sedangkan, logo dari Liputan 6 SCTV

adalah sebagai berikut:

SCTV. Diakses pada 10 Februari 2011. Terarsip di http://id.wikipedia.org/wiki/SCTV Op. Cit. Hal. 49.

62

Melaksanakan tata kelola perusahan yang baik (good corporate

anajemen SCTV memandang perlu menegaskan kembali

Dalam bahasa manajemen SCTV

perlu adanya “politik identitas”. Suatu identitas yang menunjukkan ciri khas dari

Dengan logo baru yang bergambar matahari terbit, SCTV ingin

menampilkan wajahnya sebagai cahaya penerang yang melingkupi serta

memberikan kehidupan, menjaga agar impian dan harapan bangsa tetap hidup

n SCTV yang dahulunya

Logo dan slogan baru tersebut, digunakan sebagai simbol dan semangat

serta motivasi untuk menjadikan SCTV sebagai televisi keluarga pilihan pemirsa

keluarga), televisi yang inovatif dan kreatif

Sedangkan, logo dari Liputan 6 SCTV

63

Logo sebelum 2008

Logo 2008 - sekarang

Slogan: “Aktual, Tajam dan Terpercaya”, menurut Karni Ilyas maknanya

mendalam17. Aktual yang dimaksud adalah kecepatan, artinya tim redaksi

haruslah terdepan dalam mendapatkan dan mengabarkan berita. Sementara tajam

adalah menyangkut daya kritis. Daya kritis yang dimaksud Karni Ilyas adalah

melihat segala sesuatu secara berimbang. Dan terpercaya adalah dapat dipercaya

(credible). Kepercayaan ini adalah alasan yang mendasari orang membeli koran

tiap harinya atau meluangkan waktu untuk menonton berita televisi.

4. Program Berita yang Diproduksi

Program Genre Hari Waktu

Liputan 6 Pagi Hardnews Setiap hari 04.30 – 06.00 WIB

Liputan 6 Siang Hardnews Setiap hari 12.00 – 12.30 WIB

Liputan 6 Petang Hardnews Setiap hari 17.00 -17.30 WIB

Liputan 6 Malam Hardnews Setiap hari 00.30 – 01.00 WIB

Liputan 6 Terkini Hardnews Setiap hari 09.00, 11.00, 14.00, 16.00,

20.00, 22.30 WIB

Liputan 6 Bandung,

Surabaya, Makassar

dan Yogyakarta

Hardnews Senin –

Jumat

06.00 – 06.30 WIB

Buser Hardnews

(khusus

kriminal)

Rabu -

Sabtu

01.00 – 01.30 WIB

Potret Menembus

Batas

Dokumenter Kamis 00.00 – 00.30 WIB

17 Ibid. 81-82.

64

Barometer Dialog Rabu 22.30 – 23.30 WIB

Sigi Feature Rabu 23.30 – 24.00 WIB

Dikutip dari berbagai sumber18

5. Struktur Redaksi

Ketua Dewan Redaksi : Fofo Sariaatmadja

Kepala Liputan 6 News Center

: Don Bosco Selamun

Kepala Departemen

Liputan6.com

: Marthin Budi Laksono

Redaktur Eksekutif

: Aribowo Suprayogi, MI Stephen Vincent

Redaktur

:

Arfan Yap Bano, Yus Arianto, Anri

Syaiful, Agung Binarko, Syaiful Halim

Penulis

: Bogi Triyadi, Zumrotul Muslimin,

Ahmad Yani Yustiawan, Rinaldo,

Ahmad Salman

Grafis dan Visual

: Wawan Isab R., Budi Iswara, Y. Arie

Wicaksono, Rio Pangkerego, Rio

Husnady

Mobile Visual

: Ahmad Nur, Hasto Ajie, Ali Romdhoni,

Andiyanto

Reporter : Anastasia Putri, Carlos Pardede, David

Silahooij, Riko Anggara, Fira Isrofillah,

Nova Rini, Indah Dian Novita,

Mochamad Achir, Rahmat Supana,

18 Diolah dari liputan6.com, sctv.co.id dan id.wikipedia.org

65

Sufiani Tanjung, Zwasty Andria,

Hardjuno Pramundito, Rachmalia

Zuamitha, Raditiyo Wicaksono, Winny

Arfiani

Alamat:

PT Surya Citra Media, Tbk. SCTV Tower - Senayan City. Jln. Asia Afrika Lot.

19 Lt.18, Jakarta 10270.

B. METRO TV: Knowledge To Elevate

1. Sejarah dan Dinamika

Metro TV adalah stasiun khusus berita pertama di Indonesia. Mengudara sejak

awal 25 November 2000, awalnya Metro TV hanya mengudara 8 jam sejak sore

hari dengan wilayah siaran Jakarta. Metro TV adalah salah satu anak usaha dari

Media Group milik Surya Paloh.

Sebelum mendirikan Media Group, di masa orde baru Surya Paloh pernah

mendirikan Harian Prioritas. Harian ini sebenarnya adalah refleksi dari pemikiran

Surya Paloh yang memang kritis terhadap pemerintahan, meski ketika itu juga ia

adalah tokoh Golkar. Penyajian khas dari Prioritas memang cenderung satir dan

sarkastis dalam melihat fenomena aktual. Akhirnya pada 1987, Prioritas dibredel

karena dianggap terlalu vokal terhadap pemerintahan19.

Kemudian Surya Paloh membeli kepemilikan Media Indonesia pada 1988

dari Teuku Yousli Syah20. Ketika itu, pembagian tugasnya adalah sebagai berikut:

Surya Paloh sebagai Direktur Utama, Teuku Yousli Syah sebagai Pemimpin

Umum dan Pemimpin Perusahaan dipegang oleh Lestary Luhur. Kini, Media

Indonesia adalah surat kabar harian yang memiliki oplah terbesar kedua setelah

Kompas.

Waktu berjalan, pada akhir 1990-an Media Group melihat potensi

kemajuan teknologi komunikasi yang ada dengan ide mendirikan stasiun televisi

khusus berita. Ide itu kemudian diwujudkan dalam Metro TV, stasiun televisi

19 Gigih Sari Alam. Perpolitikan Surya Paloh dan Media Indonesia. Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di http://www.scribd.com/doc/12617151/Sejarah-Media-Indonesia

20 Sejarah Singkat Media Indonesia. Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di http://www.mediaindonesia.com/read/2009/02/23/38398/11/11/Sejarah_Singkat

66

khusus berita 24 jam seperti CNN di Amerika. Setahun setelah berdiri, pada

2001 Metro TV sudah menyiarkan beritanya selama 24 jam. Di tahun 2009,

Metro TV telah dapat ditangkap secara terestrial di 280 kota terbesar di

Indonesia. Siaran Metro TV juga dapat ditangkap lewat televisi kabel di seluruh

Indonesia. Sedangkan lewat Satelit Palapa 2, siaran Metro TV dapat dinikmati di

seluruh ASEAN, Hongkong, China Selatan, India, Makau, Taiwan, Papua

Nugini dan sebagian Australia dan Jepang21.

Tujuan dari didirikannya Metro TV adalah untuk menyebarkan berita dan

informasi ke seluruh Indonesia. Selain secara dominan diisi oleh program berita,

Metro TV juga menayangkan beragam program mengenai teknologi, kesehatan,

pengetahuan umum, sejarah, seni-budaya dan lain-lain. Secara persentase, 70%

program Metro TV adalah berita yang disiarkan dalam bahasa Indonesia, Inggris

dan Mandarin, sedangkan 30% lainnya adalah program non-berita yang

edukatif22. Kini, Metro TV menjadi tempat kerja untuk lebih dari 1200

karyawannya23.

Selanjutnya pula untuk memudahkan koordinasi berbagai informasi dan

daerah. Metro TV kemudian mendirikan beberapa biro daerah yang terletak di 6

kota besar, yaitu: Biro Yogyakarta, Medan, Makassar, Pekanbaru, Surabaya dan

Bandung24.

2. Visi dan Misi25

Visions:

To become a distinct Indonesian television station by ranking number one for

its news, offering quality entertainment and lifestyle programming. Providing

unique advertising opportunities and achieving loyalty with its viewers and

advertisers.

Missions:

21 Diyah Astuti. 2009. Laporan Akhir Kuliah Kerja Komunikasi Reporter dan Camera Person di Metro TV Biro Yogyakarta. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Budaya, UII.

22 Ibid. 23 Tentang Kami. Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di http://www.metrotvnews.com/read/about 24 Wawancara dengan Reporter Metro TV, Rory Asyari dan Pitono. Yogyakarta, 11 April 2011. 25 Tentang Kami. Op. Cit.

1. To stimulate and promote the nation's and country's advancement towards a

democratic atmosphere, in order to excel in global competition, with high

appreciation of moral and ethic.

2. To add a valuable presence to the television industry by

perspective, by improving the way information is presented and by offering

quality entertainment alternatives.

3. To achieve a significant level of growth by developing and leveraging its

assets, to increase the quality of life and the welfare

produce significant profit for its share holders.

3. Slogan & Logo

Logo Metro TV 2000

Slogan: Be Smart Be Informed

4. Program Berita

Program

Metro Pagi

8-11 Show

Metro Siang

Metro Hari Ini

Headline News

Metro Malam

Metro Xin Wen

Jakarta Jakarta

Editorial Media

Indonesia

To stimulate and promote the nation's and country's advancement towards a

democratic atmosphere, in order to excel in global competition, with high

appreciation of moral and ethic.

To add a valuable presence to the television industry by providing a new

perspective, by improving the way information is presented and by offering

quality entertainment alternatives.

To achieve a significant level of growth by developing and leveraging its

assets, to increase the quality of life and the welfare of its employees, and to

produce significant profit for its share holders.

Logo Metro TV 2000-2010

Be Smart Be Informed

Logo Metro TV sejak 20 Mei 2010

Slogan: Knowledge to Elevate

Program Berita yang Diproduksi

Genre Hari Waktu

Hardnews &

Talkshow

Setiap Hari 04.30 –

Talkshow Senin - Jumat 08.00 –

Hardnews Setiap Hari 12.00 –

Hardnews &

Talkshow

Setiap Hari 18.00 –

Hardnews Setiap Jam

Hardnews Setiap Hari 00.00 –

Hardnews Senin - Jumat 14.00 –

Hardnews Senin - Jumat 13.30 –

Tajuk rencana Setiap Hari 07.00 –

67

To stimulate and promote the nation's and country's advancement towards a

democratic atmosphere, in order to excel in global competition, with high

providing a new

perspective, by improving the way information is presented and by offering

To achieve a significant level of growth by developing and leveraging its

of its employees, and to

Logo Metro TV sejak 20 Mei 2010

Knowledge to Elevate

Waktu

– 07.00 WIB

– 11.00 WIB

– 13.00 WIB

– 19.00 WIB

-

– 01.00 WIB

– 14.30 WIB

– 14.00 WIB

– 08.00 WIB

68

Top 9 News Hardnews Senin - Jumat 21.00 – 21.30 WIB

Metro Sports Hard & soft-

news

Setiap Hari 23.30 / 02.30 WIB

Spirit Football Hard & soft

news

Setiap Sabtu 13.00 -13.30 WIB

12 Pas Hard & soft

news

Setiap Ahad 13.00 – 13.30 WIB

Sumber: http://www.metrotvnews.com

Catatan: Program berita yang ditampilkan hanya sebagian. Karena 70% program

Metro TV adalah berita, sedang 30% lainnya adalah program edukatif non-berita.

5. Struktur Redaksi

CEO/Presiden Media Group : Surya Paloh

Presiden Direktur Metro TV : Wisnu Hadi

Direktur Pemberitaan : Suryapratomo

Direktur Sales & Marketing : Lestary Luhur

Direktur Finansial &

Administrasi

: Ana Widjaja

Direktur Teknik : John Balonso

Editor In-Chief : Elman Saragih

Presiden Komisioner : Djafar Husin Assegaf

Komisioner : Prahastoeti Adhitama

Alamat:

Jl. Pilar Mas Raya Kav. A-D, Kedoya - Kebon Jeruk, Jakarta 11520 - Indonesia

Tlp:021-58300077, Fax: 021-58300066

69

C. LIGA PRIMER INDONESIA: Change The Game!

1. Sejarah dan Dinamika26

Sebuah acara silaturahmi antara 20 klub sepakbola nasional bersama Gerakan

Reformasi Sepakbola Nasional Indonesia (GRSNI) di Graha Jenggala, Jakarta 17

September 2010, melahirkan sebuah deklarasi. Deklarasi tersebut pada intinya

berisi keprihatinan klub sepakbola nasional atas terpuruknya kondisi sepakbola

nasional.

Klub-klub sepakbola tersebut kemudian mengambil inisiatif bersama

untuk mendeklarasikan Liga Primer Indonesia (LPI) di Semarang, 24 Oktober

2010. Ada 17 perwakilan klub yang datang saat itu, yaitu: Semen Padang, PSPS

Pekanbaru, PSMS Medan, Medan Chief Football, Persebaya, Arema Indonesia,

Persema Malang, Persibo Bojonegoro, Persis Solo, Semarang United, Maung

Bandung Raya, Bogor Raya, Batavia United, Jakarta 1980, PSM Makassar,

Manado United, dan Bali Dewata27.

Semangat klub dalam membangun LPI juga merupakan sebuah komitmen

untuk peningkatan standar sepakbola, baik secara organisasi maupun keuangan.

Klub-klub memandang bahwa sistem bantuan permodalan, dan sistem bagi hasil

pendapatan dalam LPI, dapat membuat klub mandiri secara keuangan serta

profesional dalam pengelolaan.

Demi mencapai kemandirian, konsorsium LPI memberikan bantuan

modal awal kepada setiap klub peserta agar terlepas dari ketergantungan pada

dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Modal awal tersebut

bervariasi antarklub, sesuai hasil audit yang telah diselenggarakan. Perbedaan

mendasar dengan LSI ini adalah pada kepemilikan saham. Seperti diketahui, LSI

dikelola oleh PT Liga Indonesia dengan 95% saham menjadi milik PSSI, sisanya

5% dimiliki oleh Nirwan Bakrie. Sementara, LPI akan dikelola PT Liga Primer

Indonesia dengan klub perserta memiliki 100% saham28.

26 Disadur dari Tentang LPI (dengan sedikit perubahan). Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di http://ligaprimerindonesia.co.id/node/1

27 17 Tim Hadiri Deklarasi Liga Primer Indonesia. Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di http://www.bola.net/indonesia/17-tim-hadiri-deklarasi-liga-primer-indonesia.html

28 LPI Atau Liga Primer Indonesia. Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di http://www.wartaberita.net/2010/12/lpi-atau-liga-primer-indonesia.html

70

Selain itu, LPI menganut azas pembagian pendapatan secara transparan

dan bertanggung jawab kepada klub peserta. Sesuai kesepakatan bersama klub,

pembagian pendapatan LPI akan dilakukan berdasarkan dua skema. Yaitu skema

untuk pendapatan liga (misal: sponsor liga, hak siar, dan lain-lain), dan skema

atas pendapatan pertandingan (misal: sponsor lokal, hak siar, tiket, dan lain-lain).

Untuk tahun pertama PT Liga Primer Indonesia berkonsentrasi menggelar

LPI. Tahun kedua barulah dibuat kompetisi strata kedua di bawah LPI agar bisa

menerapkan degradasi. Sebanyak 19 tim memastikan akan berkompetisi pada

musim 2011 nanti. Kompetisi akan menggunakan sistem kompetisi penuh atau

double round robin dimana setiap klub akan melakoni laga kandang dan tandang.

Perbedaan lain yang cukup mendasar dengan LSI adalah penggunaan wasit

asing dan marquee player. Wasit asing dihadirkan mengingat begitu banyaknya

keluhan akan kualitas dan kinerja wasit lokal yang seringkali bertindak berat

sebelah terhadap tim tuan rumah.

Sedangkan, marquee player adalah pemain bintang yang didatangkan oleh

konsorsium untuk meningkatkan popularitas LPI di mata khalayak. Konsep ini

telah sukses dijalankan di A League Australia dan MLS di Amerika Serikat.

Pemain bintang model ini didatangkan dengan gaji di atas rata-rata, yang

nantinya dibiayai oleh sponsor29. Beberapa marquee player yang telah hadir antara

lain: Lee Hendrie (Bandung FC), Amaral (Manado United), Abdelhadi Laakkad

(Medan Chief) dan masih banyak lagi.

Meski terus mendapatkan tekanan oleh PSSI karena dianggap liga yang

ilegal. Akhirnya pada 8 Januari 2011, LPI secara resmi dibuka di Stadion

Manahan, Solo dengan pertandingan Solo FC melawan Persema.

2. Klub-klub Peserta

Untuk musim pertama total ada 19 klub yang menjadi peserta. Tiga di antaranya

merupakan klub yang pindah dari liga PSSI, yaitu Persibo Bojonegoro, Persema

Malang dan PSM Makassar. Selebihnya 16 klub merupakan klub yang khusus

didirikan untuk mengikuti LPI.

29 Marquee Player, Konsep LPI Datangkan Bintang Dunia. Diakses pada 12 April 2011. Terarsip di http://www.bola.net/indonesia/marquee-player-konsep-lpi-datangkan-bintang-dunia-3d60d9.html

Lebih jelasnya, klub

No Klub

1. Aceh United

2. Bali De Vata

3. Bandung FC

4. Batavia Union

30 Diolah dari www.wartaberita.net

Lebih jelasnya, klub-klub tersebut adalah sebagai berikut30:

Klub Keterangan

Aceh United

Pelatih:

Lionel Charbonnier (Prancis)

Stadion:

Harapan Bangsa, Banda Aceh (40.000)

Bali De Vata

Pelatih:

Willy Scheepers (Belanda)

Stadion:

Kapten I Wayan Dipta, Gianyar (25.000)

Dahulu bernama Bali Dewata United.

Namun, untuk LPI kemudian

nama menjadi Bali Devata FC.

Bandung FC

Pelatih:

Nandar Iskandar

Stadion:

Siliwangi, Bandung (25.000)

Batavia Union

www.wartaberita.net, www.ligaprimerindonesia.co.id, dan google.co.id

71

Harapan Bangsa, Banda Aceh (40.000)

Kapten I Wayan Dipta, Gianyar (25.000)

Dahulu bernama Bali Dewata United.

Namun, untuk LPI kemudian berganti

nama menjadi Bali Devata FC.

72

Pelatih:

Roberti Bianchi (Brasil)

Stadion:

Stadion Kamal Muara, Jakarta (20.000)

Klub ini merupakan pecahan dari klub

berplat merah Persitara Jakarta Utara

yang berlaga di Liga PSSI.

5. Bogor Raya

Pelatih:

John Arwandy

Stadion:

Stadion Cibinong, Bogor (15.000)

6. Cendrawasih Papua

Pelatih:

Uwe Erkebrecher (Jerman)

Stadion:

Stadion Mandala Jayapura (30.000)

Cendrawasih Papua merupakan tim

binaan para mantan pemain Persipura

yang tergabung dalam Asosiasi Mantan

Pemain Persipura (AMPP).

7. Jakarta 1928

Pelatih:

Bambang Nurdiansyah

Stadion:

Lebak Bulus (25.000)

73

8. Minangkabau FC

Pelatih:

Divaldo Alves (Portugal)

Stadion:

Agus Salim, Padang (28.000)

9. Solo FC

Pelatih:

Branko Babic (Serbia)

Stadion:

Manahan Solo (24.000)

10. PSM

Pelatih:

Michael Feichtenbeiner (Jerman)

Stadion:

Andi Mattalata, Makassar (20.000)

Klub ini merupakan hasil merger dari

PSM yang sebelumnya berlaga di LSI

dengan Makassar City.

11. Manado United

Pelatih:

Muhammad Al Hadad

Stadion:

Klabat, Manado (20.000)

74

12. Medan Chiefs

Pelatih:

Jorg. Steinebruner (Jerman)

Stadion:

Teladan, Medan (20.000)

Medan Chiefs merupakan penjelmaan

dari Klub Pro Titan. Pro Titan memang

sudah lama bergelut di kancah sepakbola

nasional sebagai klub yang mandiri.

13. Medan Bintang

Pelatih:

Rene Van Eck (Belanda)

Stadion:

Teladan, Medan (20.000)

14. Persebaya 1927

Pelatih:

Aji Santoso

Stadion:

Gelora 10 Nopember (35.000)

Persebaya memutuskan bergabung ke

LPI dan berganti nama menjadi

Persebaya 1927. Namun, Persebaya tetap

punya tim yang berlaga di kompetisi

Divisi Utama Liga Indonesia, yang

dikenal dengan Persebaya DU.

75

15. Persema

Pelatih:

Timo Scheuneman (Jerman)

Stadion:

Gajayana, Malang (30.000)

Klub yang berjuluk Laskar Ken Arok ini

merupakan pelanggan tetap kompetisi

Liga Indonesia. Meski harus

mendapatkan sanksi, Persema tidak

gentar untuk pindah ke LPI.

16. Persibo

Pelatih:

Sartono Anwar

Stadion:

Letjen H. Sudirman, Bojonegoro

(15.000)

Prestasi Persibo sebelum pindah ke LPI

adalah juara divisi I dan utama Liga PSSI.

17. Real Mataram

Pelatih:

Jose Basualdo (Argentina)

Stadion:

Maguwoharjo, Yogyakarta (30.000)

Real Mataram, “Mataram Sejati”,

dimaksudkan untuk menunjukkan jati

diri sebagai warga Mataram atau

Yogyakarta.

76

18. Semarang United

Pelatih:

Edy Paryono

Stadion:

Jatidiri, Semarang (25.000)

19. Tangerang Wolves

Pelatih:

Paulo Camargo (Brasil)

Stadion:

Benteng (25.000)

3. Masa Depan LPI

Di era PSSI pimpinanan Nurdin Halid, LPI memang santer diberitakan sebagai

liga yang ilegal (break away league). LPI menurut Nurdin Halid harus dihentikan

karena tidak sesuai dengan statuta FIFA. Bila tidak, Indonesia akan terancam

sanksi tidak dapat mengikuti agenda internasional FIFA. Sempat juga terbersit

ide PSSI untuk merangkul LPI dengan menjadikannya setara dengan Liga Amatir

Divisi 3. Suatu ide yang ditolak mentah-mentah oleh konsorsium LPI.

Akan tetapi, pasca lengsernya Nurdin Halid pada Kongres PSSI di

Pekanbaru, 26 Maret 2011. FIFA melalui Komite Normalisasi yang dipimpin

oleh Agum Gumelar diberi dua opsi oleh FIFA untuk membubarkan atau justru

merangkul LPI. Pada akhirnya, opsi kedua-lah yang lebih dipilih oleh Komite

Normalisasi. LPI tidak akan diberhentikan, melainkan akan menunggu hingga

kompetisi selesai dan diajak berada dalam forum kongres yang baru31. Sehingga,

di masa mendatang LPI diharapkan akan berafiliasi secara resmi dengan PSSI,

meski format resminya belum bisa dipastikan saat ini.

31 LPI Akan Mengikuti Forum Kongres Baru. Diakses pada 12 April 2011. Terarsip di http://bola.okezone.com/read/2011/04/11/49/444829/lpi-akan-mengikuti-forum-kongres-baru

77

BAB IV

ANALISIS BERITA LIPUTAN 6 SCTV DAN METRO TV

Teks-teks berita yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah narasi berita yang

ditayangkan di liputan 6 SCTV dan Metro TV selama rentang waktu bulan Januari

2011. Pemberitaan selama bulan Januari dipilih karena pada bulan ini konflik antara

LPI dan PSSI berawal dan mencapai puncaknya. Dalam rentang waktu tersebut

diidentifikasi 63 berita di Liputan 6 SCTV dan 34 berita di Metro TV yang membahas

tentang LPI. Jumlah yang terhitung intens, bila dibandingkan dengan TvOne ataupun

ANTV yang nyaris tidak memberitakan LPI sama sekali (lebih lanjut tentang TvOne

dan ANTV sudah dibahas di BAB I). Adapun keseluruhan berita yang diidentifikasi

adalah sebagai berikut:

� LIPUTAN 6 SCTV

Tanggal Judul Berita Program

03/01 LPI Segera Digelar, PSSI Menganggap Liar Liputan 6 Petang

PSM Mundur dari LSI Liputan 6 Pagi

04/01 BTN PSSI Tetap Sertakan Irfan Bachdim Liputan 6 Pagi

Ketentuan PSSI Merisaukan Masyarakat Liputan 6 Siang

Mantan Atlet Nasional Sayangkan

Kehadiran LPI

Liputan 6 Malam

05/01 Manado United Berbenah Jelang LPI

Digelar

Liputan 6 Pagi

Pengamat Bola: LPI Sangat Positif Liputan 6 Petang

Penggemar Sayangkan Ancaman PSSI Liputan 6 Pagi

Suporter Makassar Minta LPI Dibubarkan Liputan 6 Malam

Ternyata LPI Belum Urus Izin Pembukaan

Liga

Liputan 6 Malam

06/01 Bali Devata Optimistis Berprestasi di LPI Liputan 6 Pagi

Persema Izinkan Irfan Bachdim Masuk

Timnas

Liputan 6 Malam

78

Persema Malang Tiba di Solo Liputan 6 Malam

Persis Bubar Pasoepati Siap Transfer

Dukungan

Liputan 6 Pagi

Polda Jateng Belum Izinkan Pertandingan

LPI

Liputan 6 Siang

Polisi Akan Amankan Laga Perdana LPI Liputan 6 Terkini

Kisruh LPI-PSSI, Kepentingan Politik Liputan 6 Petang

Pencinta Sepakbola di Solo Dukung LPI Liputan 6 Pagi

07/01 Rumah Arifin Panigoro Didemo Pendukung

PSSI

Liputan 6 Malam

Presiden Takkan Hadiri Pembukaan LPI Liputan 6 Malam

Persema Gelar Latihan, Warga Berdatangan Liputan 6 Siang

Jelang Laga Perdana, Stadion Manahan

Terus Dibenahi

Liputan 6 Petang

08/01 FIFA Tidak Berhak Hukum LPI Liputan 6 Petang

Ketua PSSI Solo Hadiri Pembukaan LPI Liputan 6 Petang

Laga Perdana LPI Siap Digelar Liputan 6 Pagi

LPI Vs LSI, Siapa Pemenangnya Liputan 6 Petang

Pembukaan Kompetisi LPI Dimulai Siang

Ini

Liputan 6 Siang

09/01 Diancam FIFA, LPI Jalan Terus Liputan 6 Pagi

Irfan Bachdim Pikat Publik Malang Liputan 6 Pagi

PSSI Banyumas 100 Persen Dukung LPI Liputan 6 Pagi

PSSI dan LPI Diharapkan Berdamai Liputan 6 Pagi

10/01 Persebaya Tundukkan Bandung FC Liputan 6 Malam

11/01 Komisi X Jembatani PSSI dan LPI Liputan 6 Pagi

Dua Pemain Persebaya Dicoret Liputan 6 Pagi

Main di LPI, Dua Pemain Persebaya Dicoret

Riedl

Liputan 6 Siang

13/01 PSSI Tutup Pintu Dialog Liputan 6 Petang

14/01 Persema Balik Kecam PSSI Liputan 6 Malam

79

LPI Tidak Gentar Liputan 6 Petang

15/01 PSSI Larang Younghusband Liputan 6 Pagi

Amarcio Fortes, Pemain Termahal di

Indonesia

Liputan 6 Petang

19/01 PSSI Pastikan Surat FIFA Asli Liputan 6 Malam

20/01 PSSI Cabang Solo Dibekukan Liputan 6 Pagi

PSIS Hengkang dari Kompetisi PSSI Liputan 6 Petang

Launching Klub LPI di Medan Ricuh Liputan 6 Terkini

DPR Sesalkan Pencoretan Nama Irfan Liputan 6 Siang

21/01 Younghusband Resmi Gabung ke Jakarta

1928

Liputan 6 Siang

Pendukung PSM Protes Sikap Pengurus Liputan 6 Pagi

22/01 Nurdin Sentil LPI Liputan 6 Petang

Kongres PSSI Diwarnai Unjuk Rasa Liputan 6 Petang

Tak Boleh Masuk, Perwakilan Persebaya

Marah

Liputan 6 Terkini

23/01 Bogor FC Jalani Laga Perdana Sore Ini Liputan 6 Siang

Laga PSM Makassar Didemo Warga Liputan 6 Siang

Persik Kediri Serius Pindah ke LPI Liputan 6 Petang

Topeng Para Koruptor di Tugu Proklamasi Liputan 6 Pagi

24/01 Suporter Persewangi Kritik Sikap PSSI Liputan 6 Pagi

Dikartu Merah, Pemain Pukul Wasit Liputan 6 Pagi

26/01 PSM Makassar Resmi Dicoret PSSI Liputan 6 Malam

27/01 LPI Buka Pintu untuk Persik dan Persib Liputan 6 Pagi

Manajemen Persib Belum Beri Kepastian Liputan 6 Petang

Siang Ini, Keputusan Persib ke LPI

Diputuskan

Liputan 6 Siang

28/01 Pemain Persib Tak Terpengaruh Rencana ke

LPI

Liputan 6 Pagi

29/01 Persebaya 1927 Bekuk Bogor Raya Liputan 6 Petang

31/01 PSM Makassar Taklukkan Aceh United Liputan 6 Pagi

80

� METRO TV

Tanggal Judul Berita Program

03/01 BLI Bahas Sanksi untuk Klub yang Gabung

ke LPI

Metro Sport

04/01 Kemenegpora dan KONI Dukung

Kompetisi LPI

Metro Sport

Polri tetap Jamin Keamanan Pertandingan

LPI

Metro Sport

Manager Persema Malang: Di LPI Lebih

Adil dan Merdeka

Metro Sore

06/01 Kompetisi LPI Akhirnya Mendapat Izin dari

Polri

Metro Hari Ini

Lapangan Manahan Dimaksimalkan untuk

LPI

Headline News

Polda Jateng Memberi Izin Laga LPI Headline News

PSSI Bersikukuh LPI Ilegal Metro Sport

07/01 Massa Tolak LPI Serbu Rumah Arifin

Panigoro

Headline News

Riedl Tak akan Panggil Irfan Bachdim ke

Timnas

Metro Pagi

Izin Kompetisi LPI Metro Hari Ini

Timo Schunemann: Terima Kasih Pak

Menpora

Headline News

PSSI Solo Mendukung LPI Metro Pagi

Persema Maksimalkan Laga Perdana LPI Headline News

PSSI Dituntut Boikot LSI Headline News

08/01 Tiket VIP Laga LPI di Solo Ludes Headline News

Tiket VIP Laga LPI di Solo Ludes_2 Headline News

Warga Solo Siap Ikuti Pembukaan LPI Headline News

Tujuh Pemain LPI Absen dalam Seleksi U-

23

Headline News

81

Panitia LPI Sediakan 19.500 Tiket Metro Siang

Persema Tak Bisa Turunkan Pemain Asing Headline News

Persema Buka Kemenangan di Laga Perdana

LPI

Headline News

Irfan Bachdim Tetap Berlaga di LPI Headline News

Irfan Bachdim Cetak 2 Gol di Babak

Pertama LPI

Headline News

08/01 Tiket VIP Laga LPI di Solo Ludes Headline News

Tiket VIP Laga LPI di Solo Ludes_2 Headline News

09/01 Jelang Laga LPI Stadion Letjen Haji

Sudirman Berbenah

Metro Siang

Evaluasi Laga Pertama LPI Metro Pagi

10/01 Metro TV Siarkan Langsung Laga Ketiga

LPI

Metro Hari Ini

Pelatih: Persebaya Siap Hadapi Bandung FC Headline News

Persebaya 1927 Tekuk Bandung FC 2-1 Headline News

12/01 Jakarta 1928 Datangkan Younghusband

Bersaudara

Metro Pagi

17/01 Irfan dan Kim Tidak Masuk Tim U-23 Headline News

21/01 Ratusan Suporter Persita Menjebol Stadion Metro Sport

Dari sejumlah berita di atas, untuk memudahkan analisis akan diambil beberapa

berita yang dinilai kuat mengkonstruksi konflik antara LPI dan PSSI, yaitu Liputan 6

SCTV sejumlah 13 berita dan Metro TV sejumlah 8 berita. Berita-berita tersebut akan

dianalisis dengan model analisis wacana kritis Norman Fairclough, yaitu analisis dua

tahap: peristiwa komunikatif (communicative events) dan order of discourse. Tahap

communicative events menitikberatkan pada analisis teks yang dipertajam dengan paparan

praktik wacana (discourse practice) dan praktik sosiokultural (sociocultural practice) sebagai

konteks peristiwa pemberitaan yang ditampilkan. Pada saat melakukan analisis, ketiga

tahapan ini akan dilakukan secara bersama-sama. Sedangkan level selanjutnya order of

discourse, akan meliputi analisis intertekstualitas dan genre.

82

A. ANALISIS TEKS

Teks berita yang dianalisis adalah berita yang bertipe hard news. Menurut

Fairclough1, tipe hard news adalah tipe berita yang strukturnya konsisten memiliki

headline, lead paragraf yang memberikan entry point ke berita dan serangkaian

paragraf yang mengelaborasi cerita. Dalam pemberitaan Liputan 6 SCTV

maupun Metro TV, tipe hard news yang ditampilkan, diartikulasikan dengan

kombinasi antara penggunaan bahasa resmi dan bahasa percakapan (dialog).

Bahasa resmi digunakan untuk narasi berita, sedangkan bahasa percakapan untuk

kutipan langsung dari narasumber.

Adapun wacana konflik LPI versus PSSI yang dikonstruksi oleh Liputan 6

SCTV dan Metro TV adalah sebagai berikut:

1. LIPUTAN 6 SCTV

1) Judul Berita : LPI Segera Digelar, PSSI Menganggap Liar

Program : Liputan 6 Petang

Tanggal/Jam : 3 Januari 2011

VISUAL AUDIO

Saudara, akhir pekan ini akan digelar

kompetisi sepakbola dengan tajuk

Liga Primer Indonesia. Induk

Sepakbola di Indonesia PSSI

menyebut semua kompetisi yang

tidak direkomendasi oleh PSSI

adalah liar.

Kini nasib salah satu pemain yang

ikut di Liga Primer, Irfan Bachdim

menjadi tidak menentu.

1 Dalam Ahmad Faisol. 2003. Perpecahan Antar Kelompok Elit Politik Dalam Naskah Pemberitaan Televisi. Skripsi. Yogyakarta: FISIPOL UGM. Hal. 96.

83

VO: Narator

Para pemain PSM Makassar mulai

melakukan latihan menjelang musim

kompetisi yang akan bergulir.

Tetapi, PSM Makassar tidak lagi

berkompetisi di liga yang digelar

oleh PSSI, yaitu Liga Super

Indonesia karena menyatakan

mundur dan berganti mengikuti

Liga Primer Indonesia.

Pihak Liga Primer Indonesia

menyatakan kesiapannya

menyelenggarakan kompetisi yang

diikuti 19 klub pada akhir pekan ini.

Arya Abiseka (Direktur LPI)

Kami sudah siap. Artinya, pemain dari

kedua tim sudah siap, timnya sudah siap,

persiapan acara pembukaan sudah siap.

Ya, pada dasarnya kami sudah siap

untuk menggelar LPI.

84

VO: Narator

Menanggapi akan digelarnya Liga

Primer Indonesia. PSSI tidak akan

memberikan toleransi terhadap

segala kegiatan sepakbola yang

dilakukan di luar ijin atau

rekomendasi PSSI. Pihak PSSI tidak

mengakui atau liar.

Nugraha Besoes (Sekjen PSSI)

Oleh karena itu, PSSI menyesalkan,

menyayangkan dan jelas tidak mengakui

keberadaan sebuah kegiatan atau

kompetisi sepakbola yang diadakan di

luar PSSI sebagai wadah tunggal

organisasi sepakbola yang resmi di

Indonesia.

VO: Narator

Keberadaan Liga Primer Indonesia

dianggap illegal oleh PSSI.

Sementara di satu sisi,

keberadaannya membuat lebih

banyak kompetisi yang bersaing

untuk kemajuan sepakbola nasional.

85

VO: Narator

Kini, Irfan Bachdim salah satu

pemain nasional yang dilaporkan

bermain di Liga Primer menjadi

tidak menentu nasibnya di Timnas

Indonesia.

Kurnia Supriyatna melaporkan dari

Jakarta.

Berita yang ditayangkan pada Liputan 6 SCTV, 3 Januari 2011 ini bercerita

tentang kehadiran LPI yang ditolak oleh Pengurus PSSI. Kedua belah pihak,

baik LPI maupun PSSI memiliki argumen tersendiri yang digunakan untuk

membela diri.

a. Representasi

Dalam teks berita di atas digunakan judul “LPI Segera Digelar, PSSI

Menganggap Liar”. Pilihan kata “liar” ini menunjukkan bahwa LPI telah

bertindak di luar aturan dari PSSI, juga merupakan cara Liputan 6 SCTV

untuk menaikkan berita secara bombastis, seperti yang lazimnya dilakukan

oleh koran kuning. Karena bila ditelisik lebih lanjut “liar” adalah pilihan

Liputan 6 SCTV, bukan Nugraha Besoes, yang mewakili PSSI. Secara sengaja

Liputan 6 SCTV berusaha mengkonstruksi konflik antara kedua belah pihak

ini dengan pilihan kata yang sarkastis.

Secara visual, Liputan 6 SCTV juga menampilkan frase “Kisruh PSSI”

untuk ditampilkan sebagai judul. Kata “kisruh” memperlihatkan bagaimana

konflik ini dilihat sebagai ketidakbecusan PSSI di internal, layaknya kisruh

dalam rumah tangga. Ditambah lagi dengan kutipan wawancara dari Arya

Abiseka wakil LPI yang menegaskan kesiapannya, membuktikan bahwa LPI

86

pun bisa berjalan tanpa harus dibantu oleh PSSI. PSSI menjadi tidak berharga

lagi posisinya.

Pada akhirnya, representasi dalam rangkaian antar anak kalimat

memperlihatkan bagaimana LPI seharusnya didukung bukan dianggap “liar”

oleh PSSI. Pernyataan Nugraha Besoes yang menyatakan bahwa PSSI tidak

mengakui kompetisi di luar PSSI disanggah oleh Liputan 6 SCTV dengan

menempatkan voice over narator di akhir berita yang menyatakan: “Keberadaan

Liga Primer Indonesia dianggap illegal oleh PSSI. Sementara di satu sisi, keberadaannya

membuat lebih banyak kompetisi yang bersaing untuk kemajuan sepakbola nasional.

Kini, Irfan Bachdim salah satu pemain nasional yang dilaporkan bermain di Liga Primer

menjadi tidak menentu nasibnya di Timnas Indonesia.” Narasi ini bila dipahami,

memberi kesan penolakan terhadap pernyataan dari Nugraha Besoes

sebelumnya.

b. Relasi

Wacana relasi konflik yang dibentuk dalam berita ini adalah antara LPI dan

PSSI. Presenter yang menyatakan bahwa nasib Irfan Bachdim, pemain timnas

yang sedang diidolakan, menjadi tidak menentu. Peristiwa ini tentu berbahaya

untuk kepentingan sepakbola nasional.

Liputan 6 SCTV kemudian mengambil sudut relasi dengan lebih

condong kepada kepentingan masyarakat luas terhadap sepakbola nasional.

Ini ditegaskan dalam narasi, “... Sementara di satu sisi, keberadaannya membuat

lebih banyak kompetisi yang bersaing untuk kemajuan sepakbola nasional.”

Liputan 6 SCTV ingin berada di luar konflik sebagai pengamat semata.

Akan tetapi, pemilihan sudut sebagai perwakilan kepentingan masyarakat luas,

diterjemahkan dengan menempatkan Irfan Bachdim yang terancam bilamana

LPI dilarang untuk digelar. Pilihan yang sulit bagi khalayak, sehingga secara

tidak langsung ada unsur untuk mengarahkan khalayak agar mendukung

digelarnya LPI.

c. Identitas

Identitas yang ditampilkan Liputan 6 SCTV dalam berita ini, kurang lebih

sama dengan relasi yang dikonstruksi, yaitu dengan menggunakan identitas

kepentingan masyarakat luas. Secara normatif, Liputan 6 SCTV tentu ingin

87

bersikap netral sebagai pengamat. Akan tetapi, dalam praktiknya pemberitaan

jusru lebih condong mendukung LPI. Ini dibuktikan dengan konstruksi berita

bahwa LPI harus didukung sebagai bagian peningkatan kualitas sepakbola

nasional.

2) Judul Berita : BTN PSSI Tetap Sertakan Irfan Bachdim

Program : Liputan 6 Siang

Tanggal/Jam : 4 Januari 2011

VISUAL AUDIO

Meski Liga Primer Indonesia (LPI)

tidak diakui dan pemainnya

diancam tidak bisa memperkuat

timnas. Kenyataanya, Badan

Timnas tetap memanggil beberapa

pemain yang bermain di LPI untuk

memperkuat Timnas U-23. Irfan

Bachdim dan Kim Kurniawan

termasuk dalam daftar nama yang

dipanggil.

VO: Narator

Persema Malang sudah

memutuskan keluar dari Liga

Super Indonesia. Klub berjuluk

Laskar Ken Arok ini memilih

bermain di Liga Primer Indonesia

(LPI) yang digagas pengusaha

Arifin Panigoro & tidak diakui

oleh PSSI. Persema tampaknya

telah siap menghadapi segala

resiko.

PSSI sendiri mengancam akan

88

memberikan sanksi kepada tim

yang keluar dari Liga Super

Indonesia. Pemainnya pun

diancam tidak bisa memperkuat

tim nasional.

Nurdin Halid (Ketua Umum PSSI)

Pemain yang ikut sama klub itu, harus

dihukum. Bukan lagi cuma timnas, di

seluruh dunia dia tidak akan lagi bisa

bermain sepakbola.

VO: Narator

Namun kenyataanya, Badan Tim

Nasional tetap memanggil

sejumlah pemain klub LPI untuk

mengikuti seleksi Timnas U-23.

Para pemain itu antara lain: Irfan

Bachdim dan Kim Kurniawan dari

Persema Malang, Djayusman

Triadi, Fandy Edy dan Rachmat

dari PSM Makassar, Novan Setyo

dari Persibo Bojonegoro serta

Lucky Wahyu dan Andik

Firmansyah dari Persebaya

Surabaya.

89

VO: Narator

Timnas U-23 diproyeksikan untuk

bertanding dalam ajang Pra-

Olimpiade dan SEA Games.

Meski dihadapkan kemungkinan

tidak bisa memperkuat timnas.

Irfan Bachdim dan pemain

naturalisasi Kim Kurniawan tetap

memilih untuk bermain di

Persema di Liga Primer Indonesia.

Irfan Bachdim (Pemain Persema Malang)

Saya awali karir di Persema. Semua

pemain sudah seperti keluarga saya.

Mereka teman dan keluarga saya.

Itulah alasan saya tetap di sini.

Kim Kurniawan (Pemain Persema Malang)

Saya tidak terlalu peduli dengan soal

ini. Saya hanya ingin bermain

sepakbola. Suatu saat saya ingin

bermain untuk tim nasional Indonesia.

90

VO: Narator

Liga Primer Indonesia sendiri

rencananya akan mulai bergulir

tanggal 8 Januari nanti.

Tim liputan 6 SCTV melaporkan.

Berita pada tanggal 4 Januari 2011 ini menjelaskan konflik sepakbola

Indonesia yang berimbas kepada Timnas Indonesia, dengan menampilkan

tanggapan dari Nurdin Halid selaku Ketua Umum PSSI dengan dua pemain

Persema Malang yang memutuskan untuk mengikuti LPI.

a. Representasi

Sejak awal Liputan 6 SCTV menggunakan pilihan kata “meski” dan

“kenyataanya” untuk merepresentasikan inkonsistensi yang dilakukan oleh

PSSI terhadap LPI. LPI dianggap liga illegal dan tidak diakui oleh PSSI,

namun “kenyataannya” PSSI masih memanggil beberapa pemain yang berlaga

di LPI untuk memperkuat Timnas Indonesia.

Inkonsistensi yang dilakukan oleh PSSI kemudian ditegaskan dengan

wawancara dengan Nurdin Halid: “Pemain yang ikut sama klub itu, harus

dihukum. Bukan lagi cuma timnas, di seluruh dunia dia tidak akan lagi bisa bermain

sepakbola”. Selanjutnya, wawancara justru dibantah oleh narator dan tampilan

visual yang menjelaskan bahwa: “Namun kenyataanya, Badan Tim Nasional tetap

memanggil sejumlah pemain klub LPI untuk mengikuti seleksi Timnas U-23. Para

pemain itu antara lain: Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan dari Persema Malang,

Djayusman Triadi, Fandy Edy dan Rachmat dari PSM Makassar, Novan Setyo dari

Persibo Bojonegoro serta Lucky Wahyu dan Andik Firmansyah dari Persebaya

91

Surabaya”. Representasi rangkaian antar anak kalimat ini semakin menegaskan

inkonsistensi yang dilakukan oleh PSSI.

Representasi yang ditampilkan oleh Liputan 6 SCTV juga semakin

memojokkan PSSI ketika dua pemain Persema, Irfan Bachdim dan Kim

Kurniawan, yang diancam oleh Nurdin Halid justru tidak merasa gentar.

Mereka berdua siap dengan segala resiko yang akan dihadapi di LPI, termasuk

pula tidak dapat memperkuat Timnas Indonesia saat ini.

Selain itu, secara visual, penampilan judul “Konflik Liga Sepakbola” di

layar televisi menunjukkan bagaimana Liputan 6 SCTV melihat apa yang

sedang terjadi. Karena sehari sebelumnya, digunakan frase “Kisruh PSSI”

namun kemudian bergeser ke “Konflik Liga Sepakbola” untuk

memperlihatkan bahwa LPI pun adalah bagian dari konflik ini. Sehingga, ada

resiko yang harus ditanggung oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Resiko ini kemudian ditegaskan dengan narasi: “... Persema tampaknya telah siap

menghadapi segala resiko. PSSI sendiri mengancam akan memberikan sanksi kepada tim

yang keluar dari Liga Super Indonesia. Pemainnya pun diancam tidak bisa memperkuat

tim nasional”.

b. Relasi

Relasi yang ingin dikonstruksi oleh Liputan 6 SCTV adalah benturan antara

PSSI dan LPI, khususnya lewat pemain dari klub Persema Malang. Persema

Malang yang diwakili oleh dua bintangnya, Irfan Bachdim dan Kim

Kurniawan, justru tidak gentar dengan ancaman yang dinyatakan oleh PSSI.

Hal ini ditegaskan secara verbal oleh kedua pemain tersebut setelah

wawancara dengan Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI.

Dalam berita ini, Liputan 6 SCTV lebih memilih sudut relasi sebagai

bagian dari Persema Malang, yang dibuktikan dengan narasi yang menyatakan

bahwa: “Persema tampaknya telah siap menghadapi segala resiko”. Ketegasan ini

kemudian juga dilengkapi oleh redaksi Liputan 6 SCTV dengan menampilkan

inkonsistensi PSSI dengan tetap memanggil pemain LPI ke timnas.

92

c. Identitas

Identitas yang ditampilkan dalam berita ini, tidak jauh berbeda dengan relasi

yang dikonstruksi. Berita ini mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Persema

Malang. Pemilhan identitas ini juga merupakan bagian dari konstuksi Liputan

6 SCTV untuk menggiring khalayak televisi bersimpati terhadap kondisi

dilematis yang dihadapi pemain Persema.

3) Judul Berita : Suporter Makassar Minta LPI Dibubarkan

Program : Liputan 6 Malam

Tanggal/Jam : 5 Januari 2011

VISUAL AUDIO

Sementara itu saudara, sejumlah

pendukung Nurdin Halid berunjuk

rasa didepan Monumen Mandala,

Makassar, Sulawesi Selatan.

Mereka meminta pembubaran

Liga Primer Indonesia karena

dianggap memecah belah

sepakbola Indonesia. Mereka juga

mengecam pengurus PSM

Makassar yang keluar dari liga

super.

93

VO: Narator

Saudara berbeda dari daerah lain.

Sejumlah pendukung Nurdin

Halid berunjuk rasa di Makassar.

Sembari membawa brosur dan

spanduk mereka meminta Nurdin

Halid menghentikan kompetisi

Liga Primer Indonesia bentukan

Arifin Panigoro.

Mereka juga mengecam tindakan

pengurus PSM Makassar yang

berpindah ke LPI. Massa menilai

tindakan tersebut merugikan

masyarakat Sulawesi Selatan.

VO: Narator

Usai menyampaikan dukungannya.

Puluhan orang ini mendatangi

tempat latihan PSM Makassar di

lapangan Karebosi.

Berita pada tanggal 5 Januari 2011 ini bercerita tentang sejumlah orang yang

mendukung posisi Nurdin Halid untuk menghentikan LPI. Massa tersebut

juga mengecam tindakan PSM yang berpindah dari ISL ke LPI.

94

a. Representasi

Pemilihan frase “sementara itu” dan juga “berbeda dari daerah lain” seakan-

akan menunjukkan bahwa tindakan massa ini adalah tindakan yang abnormal.

Karena memang di daerah lain justru terjadi gelombang besar dukungan

terhadap LPI dan tuntutan mundur terhadap Nurdin Halid, Ketua Umum

PSSI.

Selanjutnya, penggunaan kata “sejumlah”, “puluhan” dan tampilan visual

yang menampilkan hanya beberapa orang yang berdemo menegaskan bahwa

demo ini memang abnormal. Liputan 6 SCTV seolah-olah ingin mengatakan

bahwa mereka hanyalah segelintir orang yang tidak dapat mewakili suara

suporter Indonesia di Kota Makassar secara umum. Ekstrimnya, mereka

hanyalah segelintir orang yang mendapatkan bayaran untuk berdemo.

Penegasan judul “Pendukung Nurdin Halid Berdemo” mereduksi demo

ini menjadi konflik personal antara Nurdin Halid versus LPI. Padahal di saat

bersamaan Nurdin Halid sedang dihujat di hampir seluruh daerah. Sehingga,

khalayak televisi digiring untuk berpendapat bahwa dukungan terhadap

Nurdin Halid adalah tindakan konyol dan abnormal.

b. Relasi

Relasi yang ingin dikonstruksi oleh Liputan 6 SCTV ini adalah konflik antara

PSSI, yang diwakili oleh Nurdin Halid, dan LPI. Akan tetapi, dalam praktek

pemberitaanya, pendukung Nurdin Halid tersebut direpresentasikan sebagai

kelompok minoritas. Selain itu, tidak satu pun perwakilan dari pendemo

diberikan kesempatan untuk menjelaskan tindakan mereka. Penjelasan berita

hanya didapatkan dari presenter dan voice over dari narator. Pola pemberitaan

seperti ini tentu tidaklah obyektif, karena berita kemudian hanyalah sepihak,

berupa tafsiran realitas yang dilihat dan diobservasi oleh wartawan.

c. Identitas

Identitas yang dikonstruksi di sini menampilkan berita dari sisi kelompok

pendemo. Hal itu dapat dilihat dengan tuntutan pembubaran LPI dan

kecaman terhadap PSM yang berpindah dari ISL ke LPI. Termasuk pula,

95

kedatangan pendemo ke Lapangan Karebosi untuk mendemo PSM. Sayang,

dari sisi representasi maupun relasi, ditampilan bahwa kelompok ini hanyalah

minoritas kecil yang tidak diidentik dengan suara masyarakat Sulawesi Selatan

secara keseluruhan.

4) Judul Berita : Ternyata LPI Belum Urus Izin Pembukaan Liga

Program : Liputan 6 Malam

Tanggal/Jam : 5 Januari 2011

VISUAL AUDIO

Sementara itu saudara, pihak

konsorsium Liga Primer Indonesia

atau LPI hingga Rabu sore belum

mengajukan maupun mengurus

perizinan pembukaan liga

sepakbola yang akan

diselenggarakan di Solo, Sabtu

mendatang. Padahal

penyelenggaraan kompetisi

sepakbola ini tinggal 2 hari lagi.

VO: Narator

Meski, pihak konsorsium PT. Liga

Primer Indonesia hingga saat ini

belum menguajukan iji

penyenggaraan pembukaan

kompetisi Liga Primer Indonesia.

Namun, panitia mengaku sudah

berkomunikasi dengan Mabes

Polri.

96

VO: Narator

Secara terpisah Kabareskrim

Mabes Polri Komjen Polisi Ito

Sumardi mengizinkan panitia LPI

untuk menggelar acara

pembukaan.

VO: Narator

Sementara Kadiv Humas Mabes

Polri Irjen Anton Bacrul Alam

malah mengatakan Polri tidak akan

memberi izin penyelenggaraan.

Jika konflik antara pengurus PSSI

dengan LPI belum diselesaikan

secara kekeluargaan.

Arya Abiseka (General Manajer LPI)

Kita sampai saat ini masih sedikit

bingung. Karena ada 2 petinggi

kepolisian yang mengeluarkan 2

pernyataan yang kontradiksi, atau

berbeda sama sekali.

Jadi, kita sendiri belum mendapatkan

informasi resmi dari kepolisian terhadap

maksud kami.

97

Berita pada tanggal 5 Januari 2011 ini bercerita tentang penyelenggaraan LPI

yang masih simpang siur karena izin yang belum keluar. Pihak yang

berwenang, Polri maupun LPI ditampilkan langsung sebagai narasumber

untuk menjelaskan permasalahan yang sedang terjadi.

a. Representasi

Di awal berita Liputan 6 SCTV menjelaskan bahwa Pihak Penyelenggara LPI

belum mengajukan izin ke Polri untuk menyelenggarakan LPI. Namun, di

tahapan berita selanjutnya, ternyata permasalahan tersebut bukan berasal dari

pihak LPI, melainkan pihak Polri yang tidak bersepakat di internal. Hal ini

ditampilkan dalam narasi: “Secara terpisah Kabareskrim Mabes Polri Komjen Polisi

Ito Sumardi mengizinkan panitia LPI untuk menggelar acara pembukaan. Sementara

Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Anton Bachrul Alam malah mengatakan Polri tidak

akan memberi izin penyelenggaraan. Jika konflik antara pengurus PSSI dengan LPI

belum diselesaikan secara kekeluargaan.”

Ketidakjelasan ini menyiratkan pesan bahwa LPI sudah bekerja secara

kooperatif terhadap Polri. Hanya saja, sikap kontradiktif justru muncul karena

perbedaan pendapat antara Kabareskrim dan Kadivhumas Polri.

Ketidakjelasan ini menimbulkan tanda tanya, karena baik Kabareskrim

maupun Kadivhumas tidak mendapat ruang untuk dikutip pernyataannya

secara langsung. Penempatan narasi oleh Liputan 6 SCTV ketimbang

wawancara langsung, menimbulkan kesan bahwa ada yang ditutupi oleh

wartawan. Khalayak hanya diberitahu realitas berdasarkan observasi yang

dilakukan oleh wartawan yang sangat subyektif.

Justru di akhir berita, LPI kemudian direpresentasikan sebagai pihak yang

tidak bersalah karena hanya menunggu kepastian dari Polri. Seperti yang

disampaikan oleh Arya Abiseka, General Manager LPI: “Kita sampai saat ini

masih sedikit bingung. Karena ada 2 petinggi kepolisian yang mengeluarkan 2 pernyataan

yang kontradiksi, atau berbeda sama sekali. Jadi, kita sendiri belum mendapatkan

informasi resmi dari kepolisian terhadap maksud kami.”

98

b. Relasi

Relasi yang ingin dikonstruksi oleh Liputan 6 SCTV ini adalah kontradiksi di

internal Polri terhadap izin LPI. Di satu sisi Kabareskrim mengizinkan,

namun di sisi lain Kadivhumas menolak memberikan izin. Pihak LPI yang di

awal berita bersalah karena belum mengajukan izin justru mendapat blessing in

disguise. Karena, faktanya pihak LPI telah berkomunikasi dengan Polri dan

kini sebatas menunggu konfirmasi perizinan.

Artinya, pada berita ini Liputan 6 SCTV memilih menggunakan sudut

pandang penyelenggara LPI. Penjelasan pihak Polri yang saling bertentangan

ini dijelaskan lewat narator, sedangkan LPI justru diberi ruang untuk dikutip

secara langsung. Pemberitaan dengan pola ini tentulah tidak seimbang dan

cenderung berpihak.

c. Identitas

Identitas yang dikonstruksi oleh wartawan Liputan 6 SCTV cenderung

memihak kepada LPI. Ini dibuktikan dengan narator yang selalu mewakili

pernyataan pihak Polri. Sedangkan pihak LPI justru diberi ruang untuk

dikutip secara langsung. Khalayak pun secara tidak sadar digiring untuk

mendukung LPI, karena permasalahan izin ini bukanlah urusan LPI lagi,

melainkan Polri.

99

5) Judul Berita : Pengamat Bola “LPI Sangat Positif”

Program : Liputan 6 Petang

Tanggal/Jam : 5 Januari 2011 / 17.37 WIB

VISUAL AUDIO

Saudara, pengamat sepakbola

berpendapat kompetisi sepakbola

yang berlangsung bebas akan

menguntungkan dunia sepakbola

nasional. Sementara PSSI masih

bertahan pada posisi menolak liga

yang berada di luar kendali PSSI.

Seperti Liga Primer Indonesia.

VO: Narator

Dunia sepakbola Indonesia terus

mendapatkan tantangan.

Kemunculan Liga Primer

Indonesia terus menuai tentangan

dari PSSI.

Pengamat sepakbola Anton

Sanjoyo menyatakan kompetisi

sepakbola yang berlangsung bebas

di lebih banyak liga akan

menguntungkan persepakbolaan

Indonesia.

100

Anton Sanjoyo (Pengamat Sepakbola)

PSSI sendiri yang saya sayangkan

sikapnya yang begitu arogan menanggapi

kasus ini. Karena seakan-akan

sepakbola ini milik mereka sendiri.

Padahal sepakbola ini kan milik

bangsa Indonesia. Siapa pun berhak

menggelar kompetisi.

VO: Narator

Sementara itu, PSSI

menyayangkan beberapa pejabat

yang seakan mendukung

keberadaan liga di luar kendali

PSSI.

Max Boboy (Direktur Hukum & Peraturan PSSI)

Saya tidak paham, pejabat-pejabat

tinggi ini memicu orang untuk terus

berkonflik. Dalam hal berbicara,

sebenarnya lebih gampang dia berbicara

semuanya terpulang kepada PSSI.

101

VO: Narator

PSSI menegaskan sesuai aturan

PSSI, pemain yang bermain di liga

lain seperti Liga Primer Indonesia

akan terkena sanksi.

Kurnia Supriyatna Supriyatna

melaporkan dari Jakarta.

Berita pada tanggal 5 Januari 2011 ini bercerita tentang penyelenggaraan LPI

yang dinilai positif oleh pengamat Sepakbola, Anton Sanjoyo. Sedangkan,

PSSI justru menyalahkan beberapa pejabat negara yang mendukung LPI.

a. Representasi

Berita LPI kali ini menampilkan secara lebih adil LPI. Ada pro dan kontra

yang ditampilkan secara berimbang, dari sisi pengamat sepakbola maupun

pengurus PSSI dan dikutip secara langsung.

Akan tetapi, bila ditelisik lebih dalam, pernyataan yang disampaikan oleh

pengamat sepakbola ini semakin menguatkan posisi LPI. Pengamat yang

diidentikkan sebagai pihak yang independen justru menilai LPI sangat positif

untuk memperkuat sepakbola nasional. Sedangkan, dari pihak yang kontra

terhadap LPI, lagi-lagi harus ditampilkan pengurus PSSI. Seakan-akan tidak

ada pihak lain yang menolak LPI selain pengurus PSSI itu sendiri.

Argumen yang disampaikan oleh PSSI pun kemudian terkesan tidak

cerdas, ketika harus menyalahkan orang lain. Seperti kata pepatah, buruk

muka cermin dibelah. Pernyataan Max Boboy yang menuding beberapa

pejabat negara memback-up penyelenggaraan LPI adalah buktinya, “Saya tidak

paham, pejabat-pejabat tinggi ini memicu orang untuk terus berkonflik. Dalam hal

berbicara, sebenarnya lebih gampang dia berbicara semuanya terpulang kepada PSSI.”

102

Di situ, Max Boboy seakan-akan menegaskan bahwa sepakbola adalah

urusan PSSI, sehingga pihak-pihak yang tidak berwenang jangan ikut campur.

Pernyataan ini bertentangan secara langsung dengan pendapat Anton Sanjoyo

yang menyatakan, “PSSI sendiri yang saya sayangkan sikapnya yang begitu arogan

menanggapi kasus ini. Karena seakan-akan sepakbola ini milik mereka sendiri. Padahal

sepakbola ini kan milik bangsa Indonesia. Siapa pun berhak menggelar kompetisi”.

Pendapat Anton Sanjoyo ini bisa jadi juga merupakan terjemah atas

tampilan visual Liputan 6 SCTV yang memberi judul “Kritik untuk PSSI”.

Sayang, Max Boboy mewakili PSSI yang diberi kesempatan untuk menjawab

kritik tersebut, justru berbicara di luar konteks dengan menyerang pihak-

pihak lain. Suatu dialog yang dapat dimaknai sebagai dialog yang tidak

nyambung.

b. Relasi

Liputan 6 SCTV menampilkan relasi yang cenderung lebih adil dalam berita

ini. Baik pihak yang pro maupun kontra dengan LPI ditampilkan secara

langsung, bukan dengan voice over oleh narator. Perbedaannya adalah pada

berita kali ini, pihak pro bukan diwakili oleh penyelenggara melainkan oleh

pengamat sepakbola. Sedangkan, seperti biasa pihak kontra selalu diwakili

oleh PSSI.

Pihak pro menyatakan bahwa sepakbola merupakan milik bangsa

Indonesia, jangan sampai dimonopoli. Sedangkan, pihak kontra justru

menyalahkan beberapa pejabat negara yang mendukung LPI. Dialog

kemudian terlihat tidak fokus arahnya, karena pihak PSSI tidak mampu

menjelaskan mengapa LPI dilarang, melainkan justru menyerang pihak-pihak

yang mendukungnya.

c. Identitas

Identitas yang ingin dikonstruksi oleh Liputan 6 SCTV adalah netralitas

dalam menyampaikan berita. Liputan 6 SCTV lebih fokus kepada bagaimana

konflik dirangkum apa adanya, dua pihak yang berbeda pendapat

dipertemukan dalam satu berita. Narasi yang ada hanya merangkum pendapat

103

narasumber yang ada, tanpa secara dominan memberikan opini yang

mengarahkan pada pihak tertentu.

6) Judul Berita : Polda Jateng Belum Izinkan Pertandingan LPI

Program : Liputan 6 Siang

Tanggal/Jam : 6 Januari 2011

VISUAL AUDIO

Pembukaan Liga Primer Indonesia

atau LPI di Stadion Manahan Solo

sudah tinggal 2 hari lagi. Namun

hingga kini belum ada izin dari

pihak kepolisian. Warga Solo

berharap LPI tetap bisa digelar

karena dianggap bisa memajukan

persepakbolaan di tanah air.

VO: Narator

Di stadion Manahan Solo ini

rencananya Liga Primer Indonesi

atau LPI akan mulai digelar pada

tanggal 8 Januari nanti. Berbagai

persiapan pun sudah terlihat

terlihat dilakukan di stadion

berkapasitas 30 ribu penonton ini.

Namun, liga sepakbola yang

digagas Arifin Panigoro dan tidak

diakui PSSI ini masih terkendala

masalah perizinan. Meski perizinan

sudah diajukan, namun pihak

kepolisian belum memberikan izin.

104

Pihak Polresta Solo masih belum

bisa memberikan keputusan

karena masih menunggu

keputusan dari Mabes Polri. Polisi

juga meminta panitia meminta

melengkapi surat rekomendasi dari

PSSI.

Kombes Pol. Nana Sudjana (Kapolresta Solo)

Jadi ada satu persyaratan di sini yang

belum dicukupi, yaitu surat

rekomendasi dari induk persepakbolaan

atau induk organisasi sepakbola, yaitu

PSSI.

VO: Narator

Panitia pelaksana LPI di Solo

mengaku tidak bisa berbuat

banyak dan menyerahkan

sepenuhnya kepada penyelenggara

LPI tingkat pusat di Jakarta.

105

Roy Saputro (Ketua Panpel LPI di Solo)

Kalau persiapan dari Panpel sudah

60% agar besok tanggal 8

penyelenggaraannya bisa lancar.

VO: Narator

Belum keluarnya izin disesalkan

warga Solo.

Komentar Warga Solo

Karena mungkin PSSInya iri. Karena

uang itu tidak dikeluarkan dari

APBN.

106

Komentar Warga Solo

LPI itu tetap jalan, mas. Karena

masyarakat Solo itu sukanya

sepakbola.

VO: Narator

Dalam pembukaan nanti

rencananya akan digelar

pertandingan perdana antara tuan

rumah Solo FC melawan Persema

Malang.

Wiwik Susilo melaporkan dari

Jawa Tengah.

Berita pada tanggal 6 Januari 2011 ini bercerita tentang pembukaan LPI di

Solo yang masih simpang siur karena izin penyelenggaraan yang masalah

perizinan yang belum selesai. Beberapa warga Solo juga dimintai komentarnya

mengenai permasalahan tersebut.

a. Representasi

Wacana konflik antara LPI dengan PSSI pada berita ini dimulai dari narator

yang menyatakan bahwa “Namun, liga sepakbola yang digagas Arifin Panigoro dan

tidak diakui PSSI ini masih terkendala masalah perizinan. Meski perizinan sudah

diajukan, namun pihak kepolisian belum memberikan izin.” Kata “namun”

107

mengandung penegasan kontradiktif. Bahwa persiapan LPI sudah dilakukan

semaksimal mungkin, akan tetapi PSSI dan Polri sebagai pihak yang

berwenang memberikan izin masih memberikan penolakan.

Kesiapan pihak LPI tersebut dikonfirmasi oleh Ketua Panpel Solo,

sedangkan pernyataan Polri yang masih menolak dikonfirmasi oleh Kombes

Nana Sudjana (Kapolresta Solo). Akan tetapi, pernyataan dari PSSI yang juga

menolak sebatas dijadikan teks “lain” melalui voice over dari narator, “... dan

tidak diakui PSSI ini masih terkendala masalah perizinan.”

Namun, sikap Polri dan PSSI yang menolak LPI di Solo kemudian

dibenturkan dengan pendapat warga Solo. Narator menggunakan kalimat

“Belum keluarnya izin disesalkan warga Solo.” untuk menghubungkan pendapat

Polri dengan warga Solo. Warga Solo yang diwawancarai semuanya

mendukung kehadiran LPI di Solo. Warga pertama mengkritik sikap PSSI

yang menolak, “Karena mungkin PSSInya iri. Karena uang itu tidak dikeluarkan

dari APBN”. Sedangkan warga kedua, “LPI itu tetap jalan, mas. Karena

masyarakat Solo itu sukanya sepakbola”. Dua pendapat warga ini

direpresentasikan sebagai perwakilan suara warga Solo yang mendukung

penuh kehadiran LPI di Solo. Apalagi yang akan bermain adalah klub

kebanggaan warga Solo, Solo FC melawan Persema Malang. Ketika warga

lokal sudah mendukung kehadiran LPI, kenapa dari pusat harus menolaknya?

Itu kira-kira kesan yang ingin ditampilkan oleh Liputan 6 SCTV.

Dengan melihat representasi antar anak kalimat. Terkesan Liputan 6

SCTV memang mengambil posisi untuk lebih mendukung LPI yang

diperkuat dengan dukungan warga Solo, ketimbang menyetujui sikap Polri

dan PSSI yang menolaknya. Caranya dengan memberikan narasi dan

pernyataan dari Polri dan PSSI diawal berita untuk kemudian dibenturkan

dengan pendapat umum warga Solo tentang LPI.

b. Relasi

Berita ini membenturkan relasi antara Polri dan PSSI dengan Warga Solo

terkait penyelenggaraan LPI. Di satu sisi Polri dan PSSI menolaknya dengan

108

tidak (atau belum ketika itu) memberikan perizinan, sedangkan warga Solo di

sisi berseberangan mendukung kehadiran LPI.

Liputan 6 SCTV dalam berita ini berperan seperti orang ketiga di luar

berita yang memberitakan konflik ini apa adanya. Bahwasanya ada pihak-

pihak yang berbeda pendapat. Dan kemudian perbedaan pendapat tersebut

ditampilkan di layar televisi.

c. Identitas

Identitas yang ingin dikonstruksi oleh Liputan 6 SCTV adalah netralitas

dalam menyampaikan berita. Liputan 6 SCTV ingin bertindak sebagai

pengamat dari luar konflik. Akan tetapi, pola penulisan berita dengan

menampilkan pendapat panitia penyelenggara LPI dan warga Solo di akhir

berita memberi kesan bahwa Liputan 6 SCTV ingin agar LPI tetap

berlangsung sesuai jadwal yang telah ditentukan, tanpa dihalangi Polri

maupun PSSI.

7) Judul Berita : Polisi Akan Amankan Laga Perdana LPI

Program : Liputan 6 Terkini

Tanggal/Jam : 6 Januari 2011 / --

VISUAL AUDIO

Saudara, pihak kepolisian di Jawa

Tengah akhirnya akan segera

mengeluarkan izin penyelenggaraan

Liga Primer Indonesia atau LPI di

Solo. Setelah pihak LPI

mengantongi rekomendasi dari PSSI

pengurus cabang setempat. Pihak

kepolisian juga menyatakan siap

mengamankan kompetisi baru

tersebut agar lancar dan tertib.

109

Irjen Pol. Edward Aritonang (Kapolda Jawa

Tengah)

Kalau Jawa Tengah sudah mengantongi

dari BOPI. Tidak ada alasan untuk

tidak mengijinkan. Jadi kira-kira induk

organisasinya mengijinkan dan Polri

akan mengeluarkan ijin keramaian dan

akan mengamankan. Terimakasih.

VO: Narator

Pernyataan Kapolda Jawa Tengah

Irjen Pol. Edward Aritonang ini

langsung disambut tepuk tangan

panitia pelaksana Liga Primer

Indonesia atau LPI di Solo, Jawa

Tengah. Rasa haru bercampur

gembira pun tak bisa disembunyikan

setelah Kapolda Jawa Tengah akan

segera mengeluarkan izin keramaian

bagi penyelenggaraan pembukaan

dan pertandingan perdana LPI

antara Solo FC melawan Persema

Malang di Stadion Manahan, Sabtu

mendatang.

110

VO: Narator

Kepastian izin penyelenggaraan

diperoleh setelah Polda Jawa

Tengah melakukan koordinasi

dengan Mabes Polri di Jakarta.

Dalam koordinasi melalui telepon

tersebut, pihak Mabes Polri sempat

mempertanyakan rekomendasi dari

induk olahraga sepakbola di

Indonesia untuk LPI di Solo.

Karena pihak PSSI pengurus cabang

Solo sudah memberikan

rekomendasi tersebut ke Polda Jawa

Tengah. Pihak kepolisian pun

menyatakan persoalan rekomendasi

penyelenggaraan LPI di Solo sudah

tidak ada masalah.

VO: Narator

Polemik sepakbola nasional itu

muncul setelah PSSI tidak mengakui

LPI. Dan menganggap LPI itu

ilegal.

Berita pada tanggal 6 Januari 2011 ini merupakan kelanjutan berita di siang

hari yang menyelesaikan simpang siur pembukaan LPI di Solo karena masalah

perizinan yang belum selesai. Izin akhirnya didapatkan setelah Polda Jawa

Tengah berkomunikasi dengan Mabes Polri dan Pengcab PSSI Solo.

111

a. Representasi

Wacana konflik antara LPI dengan PSSI pada berita ini tersirat dari

pernyataaan Kapolda Jawa Tengah Irjen. Edward Aritonang: “Kalau Jawa

Tengah sudah mengantongi dari BOPI. Tidak ada alasan untuk tidak mengijinkan. Jadi

kira-kira induk organisasinya mengijinkan dan Polri akan mengeluarkan ijin keramaian

dan akan mengamankan. Terimakasih”. Dengan mengakui BOPI yang

memberikan izin, secara tidak langsung Polri menafikan posisi PSSI yang

sebelumnya menolak dengan tegas. Bahkan izin dari PSSI pun bukan

dikeluarkan oleh PSSI pusat, melainkan dari Pengcab PSSI Solo.

Pemilihan judul berita “Polisi Akan Amankan Laga Perdana LPI” juga

menegaskan akan adanya jaminan dari Polri terhadap hal-hal yang tidak

diinginkan. Di tengah kondisi yang memanas ketika itu, segala kemungkinan

terburuk dapat terjadi. Sehingga, dukungan dari Polri di media massa

sangatlah penting untuk memastikan LPI akan berlangsung secara aman.

Secara visual, pemilihan judul “Polemik Sepakbola” juga menjelaskan

adanya permasalahan dalam dunia sepakbola nasional, khususnya perizinan

pembukaan LPI di Solo. Hal ini ditegaskan di akhir berita: “Polemik sepakbola

nasional itu muncul setelah PSSI tidak mengakui LPI. Dan menganggap LPI itu

ilegal”.

Masalah itu kemudian dianggap selesai ketika Polri mengeluarkan izin.

Padahal sebelumnya Polri menegaskan bahwa induk olahraga, PSSI, harus

pula memberikan rekomendasi. Akan tetapi, dalam praktiknya PSSI justru

kemudian dilangkahi. Dalam hal ini, PSSI hanyalah “teks” lain yang dijelaskan

lewat suara narator. Tanpa kemudian secara obyektif diberi ruang untuk

dikonfirmasi tanggapannya.

b. Relasi

Berita ini seperti rekonsiliasi dari berita sebelumnya yang membenturkan

antara Polri dengan LPI dan warga Solo. Relasi yang sebelumnya

bertentangan, kemudian berubah menjadi saling mendukung setelah Polri

memberikan izin dan jaminan pengamanan. Di sini Liputan 6 SCTV berperan

112

seperti orang ketiga di luar berita yang seakan-akan mengetahui segala

permasalahan untuk kemudian memberitakan konflik ini pada khalayak.

c. Identitas

Identitas yang ingin dikonstruksi oleh wartawan Liputan 6 SCTV adalah

netralitas dalam menyampaikan berita. Liputan 6 SCTV ingin memberitakan

konflik apa adanya. Akan tetapi, penempatan PSSI hanya sebagai teks lain

yang diceritakan melalui narator memberi kesan bahwa Liputan 6 SCTV ingin

agar LPI tetap berlangsung sesuai jadwal yang telah ditentukan. Kesan ini juga

makin bertambah ketika Liputan 6 SCTV menceritakan penyelenggara LPI

yang secara emosional haru dan bergembira dengan keputusan dari Polri

tersebut.

8) Judul Berita : Rumah Arifin Panigoro Didemo Pendukung

PSSI

Program : Liputan 6 Malam

Tanggal/Jam : 7 Januari 2011 / --

VISUAL AUDIO

Saudara, ratusan warga yang

tergabung dalam Suporter Nasional

Sepakbola Indonesia (SNSI) Jumat

petang berunjuk rasa ke rumah

pengusaha Arifin Panigoro di

Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Pendemo menentang pergelaran

laga Liga Primer Indonesia (LPI)

yang akan berlangsung Sabtu di

Solo, Jawa Tengah. Menurut

pendemo LPI akan memecah belah

persepakbolaan Tanah Air.

113

Namun aksi ratusan pendukung

pengurus PSSI ini tak berlangsung

lama. Sebab polisi melarang unjuk

rasa di perumahan. Demonstran

diizinkan untuk menyampaikan

orasi beberapa menit dan

membentangkan spanduk. Dalam

orasinya mereka juga meminta

Menteri Pemuda dan Olahraga Andi

Mallarangeng bersikap tegas

menindakan keberadaan LPI yang

cacat hukum. Usai orasi, pengunjuk

rasa membubarkan diri dengan

tertib.

VO: Narator

Ratusan pendukung PSSI

mendatangi rumah pengusaha Arifin

Panigoro memprotes sikap

pengusaha itu yang akan menggelar

Liga Primer Indonesia, di Solo,

Sabtu.

114

VO: Narator

Namun unjuk rasa batal terlaksana

karena polisi melarang unjuk rasa di

area perumahan. Meski dilarang,

pendemo diijinkan untuk

menyampaikan sikap dan

membentangkan spanduk

bertuliskan “Arifin Panigoro jangan

pecah belah sepakbola Indonesia”.

VO: Narator

Mereka juga meminta Menteri

Pemuda dan Olahraga Andi

Mallarangeng bersikap tegas

menindakan keberadaan LPI. Usai

demo, pengunjuk rasa

membubarkan diri.

Berita pada tanggal 7 Januari 2011 ini bercerita tentang rumah Arifin

Panigoro, inisiator LPI, yang didemo oleh ratusan massa. Demo ini tidak

berlangsung dengan lancar dan singkat karena dihalangi oleh Polisi.

a. Representasi

Wacana konflik antara LPI dengan PSSI pada berita ditampilkan dari

pendemo yang mendatangi rumah Arifin Panigoro untuk memprotes

penyelenggaraan LPI. Akan tetapi, pendemo yang menjadi aktor utama dalam

berita ini justru tidak diberi kesempatan untuk dikutip secara langsung,

melainkan diwakili oleh suara narator dan presenter. Pola ini menunjukkan

115

keberpihakan Liputan 6 SCTV pada salah satu pihak. Dan, menurut Eriyanto,

pola ini biasanya digunakan untuk mengambil berita dari individu atau

kelompok yang tidak disukai oleh media.

Selain itu penggunaan judul “Rumah Arifin Panigoro Didemo

Pendukung PSSI”, semakin menegaskan posisi LPI vis-a-vis PSSI. Pendemo

yang mengatasnamakan diri Supporter Nasional Sepakbola Indonesia (SNSI),

justru diberitakan oleh Liputan 6 SCTV sebagai “Pendukung/Massa PSSI”.

Sekali lagi, hal ini mereduksi setiap kelompok yang kontra dengan LPI

sebagai kelompok bayaran PSSI. Bila dirunut ke belakang, dari beberapa

pemberitaan sebelumnya, setiap individu atau kelompok yang menentang LPI

selalu diidentikkan dengan PSSI. Seakan-akan, tidak ada pihak lain di luar

PSSI yang juga menentang kehadiran LPI. Berbeda dengan LPI yang dibela

oleh pejabat negara, penyelenggaranya, pengamat sepakbola sampai dengan

warga.

b. Relasi

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara pendukung

PSSI dan Arifin Panigoro. Relasi ini menegaskan bahwa konflik antara LPI

dan PSSI adalah kenyataan, bukan sekedar permainan wacana dari media,

apalagi penyelenggaran LPI hanya tinggal 1 hari. Di berita ini, Liputan 6

SCTV berperan seperti orang ketiga di luar berita yang “paling mengetahui”

realita yang ada, untuk kemudian memberitakannya pada konflik ini pada

khalayak. Disebut paling mengetahui, karena bahkan aktor utama demonstrasi

di lapangan justru tidak diberikan ruang sedikit pun untuk menjelaskan

tindakannya.

c. Identitas

Identitas yang secara normatif ingin dikonstruksi oleh wartawan Liputan 6

SCTV adalah netralitas sebagai pengamat dalam menyampaikan berita.

Liputan 6 SCTV ingin memberitakan konflik apa adanya. Akan tetapi,

pemilihan judul “Pendukung PSSI” bertentangan dengan realita bahwa

pendemo justru menamakan diri sebagai Suporter Nasional Sepakbola

116

Indonesia (SNSI). Pemilihan judul tersebut memberi kesan bahwa Liputan 6

SCTV terlibat dalam konstruksi wacana konflik LPI dan PSSI.

9) Judul Berita : LPI Vs LSI, Siapa Pemenangnya?

Program : Liputan 6 Petang

Tanggal/Jam : 8 Januari 2011 / --

VISUAL AUDIO

Bagaimana cara menuntaskan

konflik yang terjadi antara PSSI dan

penyelenggara Liga Primer

Indonesia?

Para siswa sekolah menengah atas di

Surabaya, Jawa Timur, memiliki cara

yang unik. Yaitu dengan cara

referendum bola. Seperti apa

referendum ala anak-anak? Berikut

laporan kami.

VO: Narator

Liga Primer atau Liga Super

Indonesia? Untuk menentukannya

siswa SMA Ta’miriyah.

Layaknya pemilu panitia memanggil

calon pemilih yang sudah terdaftar.

Sang pemilih tidak mencoblos tanda

gambar di bilik suara. Tapi,

menendang bola ke arah salah satu

kontestan, LPI atau LSI.

Untuk menghindari kecurangan.

Usai menentukan pilihan, jari sang

117

pemilih ditandai tinta referendum.

VO: Narator

Ada juga saksi dengan topeng

pemain timnas Irfan Bachdim dan

Christian Gonzales.

Siapa pemenangnya? Ternyata suara

untuk LPI lebih unggul dibanding

LSI.

LPI adalah liga yang digagas

pengusaha Arifin Panigoro dan

mulai digelar hari ini di Solo, Jawa

Tengah. Sedangkan, LSI digelar

induk olahraga nasional, PSSI, yang

kini dipimpin oleh Nurdin Halid.

Anas (Siswa SMA Ta’miriyah)

Saya menendangnya milih LPI. Karena

LPI itu liga yang digulirkan tanpa

mengambil dana APBD.

Dengan adanya LPI, saya berharap

adanya bibit-bibit baru yang tumbuh di

Indonesia.

118

Sucipto (Wakil Kepala Sekolah)

Dengan memilih salah satu liga tertinggi

sepakbola yang mengacu pada prestasi

mudah-mudahan pilihan anak-anak ini

tidak salah.

VO: Narator

Tentu saja model referendum ini

bukanlah cara untuk menuntaskan

kisruh yang terjadi antara PSSI

dengan LPI.

Namun, suara para siswa SMA di

Surabaya ini setidaknya

menggambarkan keinginan

terwujudnya kompetisi yang fair dan

professional dalam pertandingan

sepakbola.

Dan lebih penting lagi, prestasi

Indonesia semakin meningkat di

ajang olahraga paling populer ini.

Berita pada tanggal 8 Januari 2011 yang bertepatan dengan pembukaan LPI di

Solo ini bercerita mengenai Referendum Bola yang dilakukan oleh Siswa SMA

Ta’miriyah Surabaya untuk memilih Liga Primer (LPI) atau Liga Super

Indonesia (ISL).

119

a. Representasi

Sejak awal wacana konflik antara LPI vs PSSI sudah dikonstruksi oleh

Liputan 6 SCTV dengan pemilihan judul “LPI vs LSI, Siapa Pemenangnya?”.

Penggunaan kata “vs” menunjukkan adanya pertarungan antar keduanya,

apalagi ditambah dengan frase “siapa pemenangnya?” makin menegaskan

pertarungan tersebut. Salah satu tentu akan jadi pemenang, dan yang lain akan

kalah.

Pengambilan narasumber pun juga merepresentasikan kecenderungan

Liputan 6 SCTV untuk mendukung LPI. Narasumber yang diambil hanya

siswa yang menendang bola ke arah LPI, tidak dengan LSI. Menurut siswa

tersebut, “Saya menendangnya milih LPI. Karena LPI itu liga yang digulirkan tanpa

mengambil dana APBD. Dengan adanya LPI, saya berharap adanya bibit-bibit baru

yang tumbuh di Indonesia.”. Siswa yang menendang ke arah LSI tidak diberikan

kesempatan untuk diwawancarai, bahkan tidak dijelaskan sedikit pun melalui

narasi para siswa yang memilih LSI.

Selain hanya siswa yang memilih LPI yang diwawancarai, penegasan

kemudian disampaikan oleh pihak Sekolah yang menyatakan bahwa, “Dengan

memilih salah satu liga tertinggi sepakbola yang mengacu pada prestasi mudah-mudahan

pilihan anak-anak ini tidak salah”. Penegasan salah satu liga tertinggi sepakbola

yang melengkapi pendapat sebelumnya yang memilih LPI, seakan-akan

memberi restu dan penegasan bahwa LPI lebih baik daripada LSI yang

dibentuk oleh PSSI.

Di akhir berita, Liputan 6 SCTV memberi kesimpulan: “Namun, suara

para siswa SMA di Surabaya ini setidaknya menggambarkan keinginan terwujudnya

kompetisi yang fair dan professional dalam pertandingan sepakbola”. Kesimpulan

seperti ini, tidak jauh berbeda dengan kutipan wawancara yang dimasukkan ke

dalam berita. Dengan berpegang pada referendum siswa SMA, keberpihakan

kepada LPI oleh Liputan 6 SCTV tidak bisa dipungkiri lagi.

b. Relasi

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah antara siswa SMA sebagai

penonton sepakbola dengan dua liga yang sedang berkonflik, LPI dengan ISL

120

milik PSSI. Siswa SMA sebagai pihak independen yang sebatas menonton

bola untuk mencari hiburan harus memilih salah satu dari dua liga tersebut

yang akan didukung. Dan pilihan mayoritas pun jatuh ke LPI.

Liputan 6 SCTV berperan seperti pengamat, orang ketiga di luar berita

yang mengetahui segala permasalahan untuk kemudian memberitakannya

pada khalayak. Akan tetapi, arah pemberitaan Liputan 6 SCTV dengan

mengambil narasumber secara sepihak dan kesimpulan di akhir berita,

menunjukkan keberpihakannya ke LPI.

c. Identitas

Identitas yang ingin dikonstruksi oleh wartawan Liputan 6 SCTV adalah

netralitas dalam menyampaikan berita. Liputan 6 SCTV ingin memberitakan

konflik apa adanya. Liputan 6 SCTV menempatkan diri sebagai bagian dari

masyarakat luas yang ingin melihat sepakbola Indonesia berkembang dan

berprestasi, seperti akhir berita yang berbunyi “Dan lebih penting lagi, prestasi

Indonesia semakin meningkat di ajang olahraga paling populer ini.”

Akan tetapi netralitas ini kemudian dipertanyakan ketika Liputan 6 SCTV

tidak adil dalam menempatkan narasumber. Pendukung LPI diberi ruang

untuk menyampaikan pendapat, sedangkan LSI bahkan tidak diberi ruang

narasi sama sekali.

121

10) Judul Berita : Diancam FIFA, LPI Jalan Terus

Program : Liputan 6 Pagi

Tanggal/Jam : 9 Januari 2011 / 05.42 WIB

VISUAL AUDIO

Liga Primer Indonesia sudah

bergulir pada pertandingan perdana

hari kemarin.

Menteri Pemuda dan Olahraga Andi

Mallarangeng berharap Liga Primer

Indonesia (LPI) bisa meningkatkan

prestasi olahraga nasional.

Di sisi lain, Arifin Panigoro,

merupakan penggagas Liga Primer

Indonesia pun menyatakan tidak

gentar terhadap ancaman sanksi dari

FIFA.

VO: Narator

Sebelum Liga Primer Indonesia

mulai digelar hari ini. Ancaman

sudah muncul dari organisasi

federasi sepakbola dunia, FIFA.

Direktur Asosiasi Pengembangan

FIFA, Thierry Regenass

memberitakan. Pihaknya akan

memberikan sanksi kepada LPI,

karena liga yang diikuti 19 klub ini

bukan agenda resmi PSSI.

122

Max Boboy (Direktur Hukum dan Peraturan PSSI)

Bahwa sanksi yang akan diberikan oleh

FIFA itu adalah terhadap pemain-

pemain, ofisial, wasit, pelatih dan

perangkat pertandingan yang terlibat di

situ.

VO: Narator

Namun Menteri Pemuda dan

Olahraga menyayangkan ancaman

FIFA tersebut.

Menpora juga menyayangkan sikap

PSSI yang tidak berkonsultasi lebih

dahulu sebelum melaporkan LPI ke

FIFA. Padahal pemerintah sudah

mengacu pada undang-undang saat

memberi izin kepada LPI.

Andi Mallarangeng (Menpora)

Dalam undang-undang itu yang mengatur

tentang olahraga profesional adalah

Badan Olahraga Professional. Yang

diberi kewenangan-kewenangan berdasar

aturan perundangan negara. Dan karena

itu, maka BOPI-lah yang membuat

perizinan dalam olahraga professional.

Kita tidak mencampuri urusan dalam

negeri PSSI. Tetapi, melakukan apa yang

sudah menjadi kewenangan dari sebuah

negara.

123

VO: Narator

Menanggapi sanksi dari FIFA,

penggagas Liga Primer Indonesia

Arifin Panigoro tetap akan terus

berjalan sesuai dengan rencana.

Arifin Panigoro (Penggagas LPI)

Reporter: Bagaimana FIFA itu, pak?

FIFA yang mana? Gak ada. Saya juga

kontak FIFA kok. EGP (Emang gue

pikirin), jalan terus.

VO: Narator

Sementara pelatih Persema Malang

Timo Scheneuman puas dengan

hasil kemenangan yang diraih oleh

para pemainnya.

Namun, Timo mengaku

menyesalkan pernyataan Riedl yang

menyatakan tidak akan

menggunakan pemain LPI untuk

memperkuat Timnas.

124

Timo Schunemann (Pelatih Persema Malang)

Younghusband, pemain Filipina, tidak

punya klub, tapi ingin bermain di

Indonesia. Mereka tidak punya klub,

tapi kemarin main di piala AFF. Itu

kalau tidak punya klub kan di luar

FIFA.

VO: Narator

Beda pendapat boleh-boleh saja.

Tapi target emas di SEA Games dan

bisa bermain di pialan dunia tentu

menjadi impian seluruh pencinta

sepakbola tanah air.

Tim liputan 6 melaporkan.

Berita yang ditayangkan pada tanggal 9 Januari 2011 ini adalah berita pertama

setelah pertandingan pembukaan LPI di Solo sehari sebelumnya. Berita ini

bercerita tentang LPI yang akan terus digelar meski diancam oleh FIFA.

a. Representasi

Penggunaan judul dengan kata “diancam” oleh FIFA, menandakan adanya

permasalahan antara LPI dengan FIFA. Dengan pemilihan kata “ancam”, LPI

kemudian didentikkan sebagai liga yang nakal dan melanggar aturan baku

FIFA yang ada. Ancaman tersebut kemudian dikonfirmasi melalui narator

yang menjelaskan bahwa Thierry Regenass, Direktur Asosiasi Pengembangan

125

FIFA, menyatakan bahwa pihaknya akan memberikan sanksi kepada LPI.

Sedangkan, pihak PSSI kemudian melalui kutipan langsung dari Max Boboy

yang menjelaskan bahwa, “Sanksi yang akan diberikan oleh FIFA itu adalah

terhadap pemain-pemain, ofisial, wasit, pelatih dan perangkat pertandingan yang terlibat

di situ.” Dari sini terlihat adanya kesamaan sikap antara PSSI dengan FIFA,

PSSI yang jauh sebelumnya menentang kehadiran LPI lalu mendapatkan

dukungan dari FIFA.

Akan tetapi, ancaman sanksi itu kemudian dibenturkan dengan sikap para

pendukung LPI yang tidak merisaukannya. Menpora RI sebagai pihak yang

bertanggungjawab terhadap olahraga secara umum di Indonesia justru

menyayangkan ancaman FIFA tersebut. Narasi menyebutkan bahwa,

“Menpora juga menyayangkan sikap PSSI yang tidak berkonsultasi lebih dahulu sebelum

melaporkan LPI ke FIFA. Padahal pemerintah sudah mengacu pada undang-undang

saat memberi izin kepada LPI”. Di sini, ditampilkan kesan bahwa PSSI bertindak

gegabah dengan melaporkan LPI ke PSSI. Karena Pemerintah melalui

Menpora justru telah bertindak sesuai undang-undang dengan mengizinkan

LPI. PSSI sekali lagi salah dalam hal ini. Setelah bersalah karena arogan

menolak LPI, PSSI juga gegabah ketika terburu-buru melaporkan ke FIFA.

Logika representasi rangkaian antar anak kalimat juga digunakan oleh

Liputan 6 SCTV untuk menimbulkan kesan FIFA dan PSSI yang tidak

memiliki dukungan dan argumen yang kuat. Karena selain hanya

menggunakan voice over dari narator, ruang untuk penjelasan dari PSSI pun

sangat sedikit.

Lebih dari setengah dari berita kemudian berisi sanggahan dari pihak

yang mendukung LPI, mulai dari Menpora RI, Arifin Panigoro dan Pelatih

Persema Malang Timo Schunemann. Ketiga pihak ini memiliki argumen yang

bervariasi untuk menentang ancaman dari FIFA. Seperti Menpora yang

menggunakan dasar hukum UU, Arifin Panigoro yang mengaku juga telah

berkomunikasi dengan FIFA, hingga Pelatih Persema Malang yang

menyesalkan Pelatih Timnas Alfred Riedl yang tidak akan mengggunakan

pemain LPI untuk Timnas.

126

b. Relasi

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara FIFA dan PSSI

dengan para pendukung LPI, mulai dari Menpora RI, Penyelenggara LPI dan

pelatih klub LPI.

Meski kemudian, terjadi ketidakseimbangan pengambilan narasumber.

Dimana porsi pendukung LPI dilebihkan dibandingkan pihak yang kontra

terhadap LPI. Liputan 6 SCTV sebenarnya ingin berperan mewakili suara

masyarakat luas yang hanya menginginkan kemajuan sepakbola nasional. Hal

ini terlihat pada narasi di akhir berita: “Beda pendapat boleh-boleh saja. Tapi target

emas di SEA Games dan bisa bermain di piala dunia tentu menjadi impian seluruh

pencinta sepakbola tanah air”.

c. Identitas

Identitas yang ingin dikonstruksi oleh wartawan Liputan 6 SCTV adalah

netralitas dalam menyampaikan berita. Liputan 6 SCTV ingin memberitakan

konflik apa adanya dengan menampilkan konflik beserta pihak-pihak yang

terlibat di dalamnya, layaknya guru yang memberitahu muridnya. Khalayak

hanya dilihat sebagai pihak yang pasif menerima pemberitaan dari Liputan 6

SCTV.

Akan tetapi, identitas netral tersebut dipertanyakan ketika kemudian

Liputan 6 SCTV tidak seimbang dalam menempatkan narasumber.

Narasumber dari pihak kontra LPI, ditampilkan hanya dalam bentuk narasi

dan kutipan langsung yang singkat. Sedangkan, narasi dan narasumber dari

pihak yang pro dengan LPI mendapat ruang yang jauh lebih luas.

127

11) Judul Berita : PSSI Tutup Pintu Dialog

Program : Liputan 6 Petang

Tanggal/Jam : 13 Januari 2011 / 17.51 WIB

VISUAL AUDIO

Saudara, Pengurus PSSI menutup

pintu dialog dengan penyelenggara

Liga Primer Indonesia (LPI).

Hari ini Sekjen PSSI menegaskan

lagi rencana pihaknya untuk

menjatuhkan sanksi pada pihak yang

terlibat di LPI. Termasuk pemain,

wasit dan agen penyelenggara LPI.

Namun, penggagas LPI mengaku

tidak terpengaruh ancaman FIFA

tersebut.

VO: Narator

Inilah surat dari federasi sepakbola

dunia, FIFA, yang ditujukan kepada

PSSI. Surat tersebut berisi

permintaan agar PSSI segera

menuntaskan konflik internal terkait

penyelenggaraan Liga Primer

Indonesia atau LPI.

Menurut Sekjen PSSI, Nugraha

Besoes, FIFA memberi batas akhir

pada PSSI paling lambat akhir

februari mendatang. Dan inilah

bentuk sanksi yang akan diberikan.

128

Nugraha Besoes (Sekjen PSSI)

Atas dasar tersebut dan sesuai dengan

statuta FIFA. PSSI harus menindak,

menjatuhkan sanksi kepada seluruh klub

yang terlibat, ofisial atau pengurus yang

terlibat, termasuk pada pemain yang

terdaftar pada PSSI, termasuk

perwakilan para pemain yang terlibat

dalam LPI.

VO: Narator

Jika tidak dipatuhi. Menurut

Nugraha, FIFA bisa menjatuhkan

sanksi pada PSSI dan timnas. Antara

lain, tidak boleh ikut kejuaraan

internasional selama 2 tahun.

Namun penggagas sekaligus

penyelenggara LPI, Arifin Panigoro

bergeming. Pengusaha minyak bumi

ini mengaku tidak terpengaruh

ancaman FIFA dan tidak akan

menghentikan LPI.

FIFA yang mana? Gak ada. Saya juga

kontak FIFA kok. Orang bertanding,

ya boleh-boleh aja.

EGP (Emang gue pikirin), jalan terus.

Jalan terus.

129

Arifin Panigoro (Penggagas LPI)

VO: Narator

Beberapa waktu lalu Menteri

Pemuda dan Olahraga

menyayangkan sikap PSSI yang

tergesa-gesa melaporkan kasus LPI

ke FIFA, tanpa melalui proses

mediasi antar kedua pihak.

Kurnia Sutiya melaporkan dari

Jakarta.

Berita pada ditayangkan pada tanggal 13 Januari 2011 ini bercerita ancaman

sanksi dari FIFA hingga kemudian PSSI memutuskan untuk menutup

peluang dialog dengan penyelenggara LPI.

a. Representasi

Sejak awal penggunaan judul “PSSI Tutup Pintu Dialog” telah menandakan

adanya konflik antara LPI dan PSSI. Judul secara visual pun lebih detail dalam

menggambarkan konflik tersebut, “PSSI Tutup Pintu Dialog Dengan PSSI”.

Pemilihan kata tutup dialog ini sangat bertentangan dengan demokrasi yang

penuh dengan semangat keterbukaan. Agaknya dalam hal ini, PSSI kemudian

diposisikan sebagai pihak yang tidak demokratis dalam menyelesaikan suatu

permasalahan. Dan pilihan kata “tutup” bukan disampaikan oleh wakil dari

PSSI, melainkan merupakan pilihan kata dari redaksi Liputan 6 SCTV yang

disampaikan oleh narator dan presenter.

Bila ditelisik, pemilihan frase “tutup dialog” sepertinya disimpulkan dari

narasi yang berbunyi: “Menurut Sekjen PSSI, Nugraha Besoes, FIFA memberi batas

akhir pada PSSI paling lambat akhir februari mendatang. Dan inilah bentuk sanksi

yang akan diberikan”. Sehingga, PSSI lebih memilih langsung bertindak

menutup LPI, ketimbang memilih berdialog.

130

Sekali lagi, FIFA yang diberitakan dari hari sebelumnya akan memberi

sanksi, hanya diberitakan melalui voice over oleh narator. Dan pernyataan

itupun hanya disampaikan oleh PSSI, pihak yang sejak awal memang

berseteru dengan LPI.

Sebaliknya, tanggapan yang menentang ancaman tersebut lalu muncul

dari dua pihak, yaitu Arifin Panigoro dan Menpora RI. Arifin Panigoro seperti

berita di hari sebelumnya hanya menyatakan: “FIFA yang mana? Gak ada. Saya

juga kontak FIFA kok. Orang bertanding, ya boleh-boleh aja. EGP (Emang gue

pikirin), jalan terus. Jalan terus”. Jawaban ini menegaskan pendirian

penyelenggara LPI untuk terus melanjutkan kompetisi tanpa takut dengan

sanksi dari pihak manapun.

Apalagi di akhir berita, narator menyatakan dukungan dari Menpora RI

terhadap LPI: “Beberapa waktu lalu Menteri Pemuda dan Olahraga menyayangkan

sikap PSSI yang tergesa-gesa melaporkan kasus LPI ke FIFA, tanpa melalui proses

mediasi antar kedua pihak.” Kata “menyayangkan” yang digunakan oleh narator,

seperti menegaskan bahwa tindakan PSSI melaporkan LPI ke FIFA adalah

tindakan yang salah dan ceroboh.

b. Relasi

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara FIFA dan PSSI

dengan para pendukung LPI, yaitu Menpora RI dan penyelenggara LPI.

Narasumber yang ditampilkan cukup adil, karena FIFA dan Menpora

ditampilkan lewat narasi. Sedang, PSSI dan LPI dikutip secara langsung.

Konflik yang terjadi antara LPI vs PSSI kemudian diceritakan oleh Liputan 6

SCTV dengan model orang ketiga di luar konflik.

c. Identitas

Identitas yang ingin dikonstruksi oleh wartawan Liputan 6 SCTV adalah

netralitas dalam menyampaikan berita. Liputan 6 SCTV ingin memberitakan

konflik apa adanya dengan menampilkan konflik beserta pihak-pihak yang

terlibat di dalamnya, layaknya guru yang memberitahu muridnya. Akan tetapi,

representasi PSSI yang memilih untuk menutup dialog. Dengan jelas, dapat

131

diartikan sebagai sikap Liputan 6 SCTV untuk memberi citra PSSI yang

otoriter dan sewenang-wenang.

12) Judul Berita : DPR Sesalkan Pencoretan Nama Irfan

Program : Liputan 6 Siang

Tanggal/Jam : 20 Januari 2011 / --

VISUAL AUDIO

Saudara, anggota Komisi X DPR-

RI. Komisi bidang pendidikan,

pemuda dan olahraga menyesalkan

pencoretan nama pemain berbakat

dari timnas.

Bagi anggota komisi, PSSI

seharusnya mewadahi pemain

berprestasi demi kepentingan dunia

sepakbola Indonesia. DPR menilai

PSSI dan pelatih Alfred Riedl telah

melanggar undang-undang.

VO: Narator

Pernah bermain gemilang di Tim

Nasional bukan jaminan bisa terus

memperkuat Timnas di masa

mendatang. Itu terjadi misalnya,

pada diri Irfan Bachdim.

Irfan tidak masuk dalam deretan

pemain Timnas U-23 yang baru

gara-gara keikutsertaannya di ajang

Liga Primer Indonesia (LPI)

bersama klub Persema Malang.

132

VO: Narator

Anggota Komisi X DPR. Komisi

bidang pendidikan, pemuda, dan

olahraga menyesalkan pencoretan

nama pemain berbakat dari timnas.

PSSI sudah seharusnya mewadahi

pemain berprestasi demi

kepentingan dunia sepakbola

Indonesia. PSSI bahkan bisa

dianggap melanggar undang-undang

yang menekankan bahwa

pengelolaan olahraga tidak boleh

diskriminatif.

Gede Pasek Suardika (Anggota Komisi X DPR RI)

Jadi kita minta Menpora memberi tahu

kepada Riedl tentang aturan yang ada di

Indonesia. Bahwa tidak boleh dalam

pemilihan pemain di timnas dengan cara-

cara berpikir diskriminatif. Dia melawan

pasal 5 UU No 3/2005.

133

VO: Narator

Selain Irfan Bachdim, Andik

Virmansyah dan Lucky Wahyu dari

Persebaya 1927 juga dicoret dari

daftar calon pemain Timnas U-23

karena ikut berlaga di LPI.

Suciani Tanjung dan Dimas

Prasetyo melaporkan dari Jakarta.

Berita pada anggota ditayangkan pada tanggal 20 Januari 2011 ini bercerita

tentang kritik dari DPR RI terkait pencoretan Irfan Bachdim dari Timnas U-

23 karena penampilannya di LPI.

a. Representasi

Penggunaan judul “DPR Sesalkan Pencoretan Irfan” di awal berita

menunjukkan adanya konstruksi konflik. Bila pada berita sebelumnya, PSSI

berhadapan dengan Menpora, Penyelenggara LPI atau pengamat sepakbola,

kali ini DPR turun tangan terlibat. Keterlibatan DPR mau tidak mau

menunjukkan betapa pentingnya masalah ini. Sehingga, lembaga tertinggi

negara dalam bidang legislasi harus turun tangan ikut menyelesaikan.

Penggunaan kata “DPR” ketimbang “Anggota DPR”, juga diyakini

merupakan bagian dari konstruksi wacana oleh Liputan 6 SCTV untuk

memberi tekanan lebih kepada PSSI dan Alfred Riedl. Pada berita ini terjadi

pars prototo, dimana suara seorang Gede Pasek Suardika, dari Fraksi Demokrat,

dianggap telah mewakili suara DPR. Padahal, dalam banyak diskusi dan

dialog. PSSI seringkali dianggap sebagai jelmaan dari Partai Golkar melalui

Nurdin Halid, sehingga kritik dan serangan terhadap PSSI diartikan pula

sebagai konflik politik.

134

Berita ini juga secara representatif memposisikan PSSI sebagai musuh

dari masyarakat dan pemerintah karena bertindak sewenang-wenang. Ini

ditegaskan dari narasi yang berbunyi, “PSSI sudah seharusnya mewadahi pemain

berprestasi demi kepentingan dunia sepakbola Indonesia. PSSI bahkan bisa dianggap

melanggar undang-undang yang menekankan bahwa pengelolaan olahraga tidak boleh

diskriminatif.” Sikap PSSI yang terus dipersalahkan dan tidak diberi ruang

untuk menjelaskan, memberi kesan bahwa PSSI dimarjinalkan perannya

dalam konflik ini.

Secara umum, rangkaian berita ini pula secara dominan hanya diisi narasi

dan kutipan dialog wartawan dengan Gede Pasek, tanpa sedikit pun memberi

ruang tanggapan kepada PSSI atau Alfred Riedl. Akibatnya, khalayak tidak

akan pernah tahu apa motif dari tindakan PSSI dan Alfred Riedl dalam kasus

ini.

b. Relasi

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah dominasi antara DPR terhadap

PSSI dan Alfred Riedl terhadap konflik LPI. DPR yang merupakan lembaga

tertinggi yang mewakili rakyat memberi penegasan terhadap LPI. Dalam hal

ini LPI tidak langsung disinggung, melainkan dengan menggunakan Irfan

Bachdim yang dicoret namanya. LPI secara tidak langsung didukung karena

dengan pernyataan Anggota DPR yang berbunyi: “... Bahwa tidak boleh dalam

pemilihan pemain di timnas dengan cara-cara berpikir diskriminatif. Dia melawan pasal

5 UU No 3/2005”.

Liputan 6 SCTV dalam hal ini memberitakan konflik hanya dari sudut

pihak yang kontra terhadap PSSI. Sehingga kesan keberpihakan terhadap LPI

cukup terasa.

c. Identitas

Dalam berita ini, Liputan 6 SCTV menggunakan identitas sebagai pihak yang

mendukung LPI. Pihak yang dimintai pendapat pun hanya sebatas Anggota

DPR yang kontra dengan sikap PSSI. Padahal belum tentu, DPR bersepakat

terhadap hal tersebut sehingga berhak digeneralisir.

135

Identitas pihak yang mendukung PSSI itu dalam teks berita ditampilkan

secara tersirat dengan pernyataan: “Pernah bermain gemilang di Tim Nasional

bukan jaminan bisa terus memperkuat Timnas di masa mendatang. Itu terjadi misalnya,

pada diri Irfan Bachdim. Irfan tidak masuk dalam deretan pemain Timnas U-23 yang

baru gara-gara keikutsertaannya di ajang Liga Primer Indonesia (LPI) bersama klub

Persema Malang”. Artinya Irfan seharusnya boleh masuk Timnas karena dia

bermain gemilang, atau justru LPI harus dilegalkan oleh PSSI.

13) Judul Berita : Nurdin Sentil LPI

Program : Liputan 6 Petang

Tanggal/Jam : 22 Januari 2011 / 17.18 WIB

VISUAL AUDIO

Pelaksanaan Kongres Persatuan

Sepak Bola Seluruh Indonesia

(PSSI) di Tabanan, Bali, diwarnai

aroma perseteruan PSSI dengan

penyelenggara Liga Primer

Indonesia (LPI). Saat membuka

kongres, Ketua Umum PSSI Nurdin

Halid sempat menyentil keberadaan

LPI yang dianggapnya tidak sesuai

dengan statuta FIFA. Namun,

kenyataannya LPI tetap berjalan

dengan menggaet banyak penonton,

sponsor dan pemain bintang.

136

VO: Narator

Berbeda dengan sebelumnya,

kongres PSSI yang tengah digelar di

Tabanan, Bali, cukup menyita

perhatian publik. Ini tak lepas dari

berbagai persoalan yang dihadapi

PSSI, di antaranya menyangkut

perseteruan PSSI dengan

penyelenggara Liga Primer

Indonesia atau LPI.

PSSI menganggap LPI sebagai hal

yang ilegal. Ketidaksetujuan Nurdin

Halid kembali disampaikan saat

membuka kongres PSSI.

Nurdin Halid (Ketua Umum PSSI)

PSSI tidak memberikan persetujuan dan

pengakuan kepada LPI atau kita kenal

dengan Liga Primer Indonesia.

Bukan karena faktor suka atau tidak

suka. Bukan karena ada faktor benci

dan dendam. Bukan karena ada dusta di

antara kita. Tetapi, kegiatan tersebut

bertentangan dengan visi, misi PSSI dan

statuta FIFA.

137

VO: Narator

Meski ditentang PSSI, kenyataannya

LPI telah bergulir sejak 8 Januari

lalu. Liga yang digagas pengusaha

Arifin Panigoro ini menjadi

tandingan bagi Liga Super Indonesia

(LSI) yang diselenggarakan PSSI.

LPI hadir dengan mengusung

kemandirian klub.

VO: Narator

LPI dan LSI memang memiliki

sejumlah perbedaan mendasar. Di

antaranya, dalam hal pendanaan.

Sebagian besar klub peserta LSI

masih menggunakan uang rakyat

yakni dari APBD. Sementara klub

peserta LPI tidak menggunakan

dana APBD karena mendapat

suntikan modal dari LPI.

Struktur saham mayoritas dikuasai

PSSI, yakni 95%. Sedangkan di LPI,

100 persen saham dikuasai oleh

klub.

Sementara dalam hal pembagian

keuntungan. Di LSI keuntungan 100

persen untuk PSSI dan PT Liga

Indonesia. Sedangkan di LPI, 80

persen keuntungannya dibagikan

untuk klub dan 20 persen untuk

138

pembinaan.

VO: Narator

Berbagai perbedaan itu membuat

tiga klub yang sebelumnya bermain

di LSI, seperti Persema Malang,

Persibo Bojonegoro, dan PSM

Makassar, memilih pindah ke LPI.

Sementara, Persebaya terpecah

menjadi dua. Salah satunya

Persebaya 1927 bermain di LPI.

Satu lagi klub yang sudah

menyatakan minat untuk pindah ke

LPI adalah PSIS Semarang.

Tim liputan 6 SCTV melaporkan.

Berita yang ditayangkan pada tanggal 22 Januari 2011 ini bercerita tentang

Kongres PSSI di Tabanan, Bali. Pada pembukaan kongres tersebut, Nurdin

Halid menyentil penyelenggaran LPI yang dinilainya tidak sesuai dengan

statuta FIFA.

a. Representasi

Penggunaan judul “Nurdin Sentil LPI” di awal berita menunjukkan adanya

konstruksi konflik. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “sentil”

maknanya tidak jauh berbeda dengan “mengkritik” atau “menegur”, namun

ada konteks/nuansa tersendiri dari penggunaan kata ini. “Sentil” seringkali

digunakan untuk menegur anak-anak, eufemisme. Anak-anak memang nakal,

tapi bukan berarti mereka salah, karena belum tentu mereka sadar akan

tindakan yang mereka pilih. Artinya, bila Liputan 6 SCTV memilih

menggunakan kata “sentil”, tentu ada maksud tertentu yang ingin

dikonstruksi. Liputan 6 SCTV ingin mengkonstruksi bahwa sebenarnya LPI

139

tidak salah, melainkan sedikit nakal layaknya anak-anak yang ingin mencoba

hal-hal yang baru.

Penegasan akan adanya konflik antara LPI dan PSSI, juga dikontruksi

oleh Liputan 6 SCTV melalui judul visual “Perseteruan PSSI vs LPI”. Kata

“perseteruan” dan “vs” menjelaskan bahwa ada konflik yang terjadi antara

kedua belah pihak ini. Salah satu akan menang, sedang yang lainnya akan

kalah.

Pernyataan dari presenter pun menegaskan konflik tersebut, “... Saat

membuka kongres, Ketua Umum PSSI Nurdin Halid sempat menyentil keberadaan LPI

yang dianggapnya tidak sesuai dengan statuta FIFA. Namun, kenyataannya LPI tetap

berjalan dengan menggaet banyak penonton, sponsor dan pemain bintang”. Penggunaan

kata sambung “namun” ini menjelaskan hal yang kontras. Bahwa LPI ditolak

oleh PSSI, namun nyatanya berjalan dengan lancar dan sukses karena

didukung oleh penonton, sponsor dan pemain bintang. Suatu hal yang

tentunya tidak diharapkan oleh PSSI.

Dari sisi representasi antar rangkaian kalimat juga bisa dilihat bagaimana

representasi yang ditampilkan oleh Liputan 6 SCTV. Nurdin Halid memang

diberi ruang untuk dikutip secara langsung. Akan tetapi, anak kalimat berita

setelah Nurdin, seluruhnya menyanggah pernyataan Nurdin. Narasi setelah

Nurdin, seluruhnya fokus pada nilai positif kehadiran LPI. Narasi itu antara

lain bercerita tentang lancarnya penyelenggaraan LPI sejak dibuka,

kemandirian klub dari APBD, pembagian keuntungan antara penyelenggara

LPI dengan klub-klub pesertanya yang lebih menarik dibanding ISL hingga

ketertarikan beberapa klub ISL untuk pindah ke LPI dijadikan nilai tambah

yang amat positif dari LPI.

Narasi yang begitu panjang bila dibandingkan dengan pernyataan Nurdin

Halid tentang ke-illegalan LPI, memberi kesan bahwa pernyataan Nurdin

kemudian tidak didukung oleh banyak pihak, termasuk juga realita di

lapangan.

140

b. Relasi

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara LPI dan PSSI.

PSSI diwakili langsung lewat pendapat Ketua Umum Nurdin Halid,

sedangkan suara LPI justru diwakili oleh Liputan 6 SCTV lewat presenter dan

naratornya. Liputan 6 SCTV secara terang-terangan membela LPI dengan

menampikan narasi yang menilai LPI secara positif sebagai counter dari

pernyataan Nurdin Halid. Pola ini dalam analisis wacana sering digunakan

untuk mendiskreditkan pihak tertentu. Caranya dengan mengutip pernyataan

pihak tersebut, untuk kemudian dievaluasi dan dikritik lewat narasi media.

c. Identitas

Dalam berita ini, Liputan 6 SCTV menggunakan identitas seakan-akan

sebagai Humas LPI yang menyanggah pernyataan Nurdin Halid. Narasi dari

narator dengan mudah dapat ditafsirkan seperti itu. Semisal: “Meski ditentang

PSSI, kenyataannya LPI telah bergulir sejak 8 Januari lalu. Liga yang digagas

pengusaha Arifin Panigoro ini menjadi tandingan bagi Liga Super Indonesia (LSI) yang

diselenggarakan PSSI. LPI hadir dengan mengusung kemandirian klub”.

Penggunaan argumen seperti lancarnya penyelenggaraan LPI sejak

dibuka, kemandirian klub dari APBD, pembagian keuntungan antara

penyelenggara LPI dengan klub-klub pesertanya yang lebih menarik

dibanding ISL hingga ketertarikan beberapa klub ISL untuk pindah ke LPI

merupakan nilai tambah yang amat tinggi untuk LPI.

141

2. METRO TV

1) Judul Berita : BLI Bahas Sanksi untuk Klub yang Gabung ke

LPI

Program : Metro Sports

Tanggal/Jam : 3 Januari 2011 / 23.39 WIB

VISUAL AUDIO

Belum juga digulirkan, Liga Primer

Indonesia terus mendapatkan

hadangan dari Persatuan Sepakbola

Seluruh Indonesia, PSSI.

Hari ini Badan Liga Indonesia (BLI)

mengadakan pertemuan dengan 15

klub anggota Liga Super Indonesia

(ISL) untuk membahas pemberian

sanksi bagi tiga klub yang

mengundurkan diri dari kompetisi.

VO: Narator

Badan Liga Indonesia (BLI) Senin

malam mengadakan pertemuan

tertutup dengan 15 klub peserta

Liga Super Indonesia di Hotel

Grand Melia, Jakarta.

Ketua BLI Djoko Driyono

mengatakan agenda yang

dibicarakan dalam pertemuan adalah

menyiapkan beberapa opsi antisipasi

akibat mudurnya tiga klub peserta

ISL, yaitu PSM Makassar, Persema

Malang, dan Persibo Bojonegoro

dari ISL. Selain itu dibicarakan pula

142

sanksi yang akan diterima ketiga

klub karena mundur dari kompetisi.

Sanksi tersebut antara lain sanksi

turun kasta ke Divisi Utama serta

pengembalian kewajiban yang sudah

diterima oleh ketiga klub semasa

mengikuti kompetisi maupun

konsekuensi yang harus dibayarkan.

Joko Driyono (Ketua BLI)

Konsekuensi regulasi, mereka terdegradasi

ke divisi utama dan sanksi lain dari

komisi disiplin.

Kemudian, item yang kedua tentu ada

kewajiban-kewajiban. Misalnya,

pengembalian hak-hak yang telah

dibayarkan selama mengikuti kompetisi

ini.

Sementara itu, tekanan juga

diberikan Wakil Ketua Umum PSSI

Nirwan Dermawan Bakrie yang

menyarankan kepada pemain dari

ketiga klub yang tidak setuju

bergabung dengan LPI, untuk

datang ke BLI.

Nantinya BLI akan mencarikan klub

untuk mereka agar masih memiliki

peluang untuk membela tim

nasional.

143

Nirwan D. Bakrie (Wakil Ketua Umum PSSI)

Kepada pemain-pemain yang telah

melakukan kontrak ternyata klubnya itu

pindah ke kompetisi yang tidak diakui

PSSI.

Di dalam kontrak itu mereka bisa

memutuskan kontrak sepihak, karena

klub-klub ini tidak bertanding di dalam

PSSI punya kompetisi yang dikelola oleh

Badan Liga Indonesia.

Munculnya LPI yang didasari oleh

kekecewaan terhadap PSSI telah

menarik beberapa klub mundur dari

kompetisi PSSI. Sebagian lainnya

bahkan membentuk tim baru untuk

berpartisipasi. Liga Primer sendiri

akan mulai digulirkan 8 Januari

mendatang.

Dari Jakarta, Danar Saputro, Metro

TV.

Berita yang ditayangkan pada tanggal 3Januari 2011 ini bercerita tentang sikap

yang akan diambil PSSI terkait dengan LPI dan beberapa klub dari ISL yang

berpindah haluan ke LPI.

a. Representasi

Di awal berita presenter menggunakan kata “hadangan” untuk menunjukkan

penolakan dari PSSI terkait LPI. Lengkapnya, presenter menyatakan bahwa:

“Belum juga digulirkan, Liga Primer Indonesia terus mendapatkan hadangan dari

Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, PSSI”. Timbul kesan bahwa PSSI

144

melarang sesuatu yang belum terjadi, atau mengandaikan bila berjalan akan

terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sehingga harus dihadang/dihalangi.

Pengunaan kata “hadang” mengkonstruksi adanya konflik yang terjadi antara

LPI dengan PSSI. Kata “hadang” juga dipilih, karena konotasi hadang

bermakna menghalangi seseorang atau sesuatu yang berjalan.

Berita dilanjutkan dengan cerita tentang pertemuan tertutup PSSI dengan

klub anggota ISL mengenai masa depan kompetisi. Lalu, diputuskan bahwa

klub-klub yang menyeberang ke LPI akan diberi sanksi dan denda. Pertemuan

yang tertutup memberi kesan bahwa PSSI tidak demokratis dalam mengambil

keputusan. Sangat dimungkinkan ada proses pengambilan keputusan yang

tidak demokratis bila diadakan dalam forum tertutup. Sehingga, hanya

beberapa poin saja yang dijelaskan di luar forum oleh Nirwan Bakrie dan

Joko Driyono.

Narasi yang digunakan oleh Metro TV juga sekedar menyadur dari

kutipan dialog langsung antara wartawan dengan Nirwan Bakrie maupun Joko

Driyono. Hanya saja pemilihan kata “tekanan” pada narasi pengantar menuju

Nirwan Bakrie menegaskan adanya konflik yang terjadi. Padahal, bisa saja

dipilih kata “solusi”, mengingat Nirwan Bakrie memang memberi pilihan

solusi kepada pemain yang ingin bertahan di ISL.

Sedangkan pendapat atau pernyataan dari klub-klub yang berpindah dari

ISL ke LPI tidak diberikan ruang untuk dikutip secara langsung. Melainkan,

diwakili oleh narasi dari Metro TV di akhir berita: “Munculnya LPI yang didasari

oleh kekecewaan terhadap PSSI telah menarik beberapa klub mundur dari kompetisi

PSSI. Sebagian lainnya bahkan membentuk tim baru untuk berpartisipasi”. Narasi ini

seperti mengevaluasi pernyataan dari Nirwan Bakrie dan Joko Driyono, untuk

kemudian dijelaskan duduk permasalahannya agar khalayak tidak salah

menafsirkan berita. Bahwasanya, klub-klub yang berpindah itupun tidak

sepenuhnya bersalah, karena akar permasalahan sebenarnya ada pada PSSI

sendiri.

145

b. Relasi

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah antara PSSI, klub-klub yang

berpindah ke LPI dan Metro TV. Metro TV mengkonstruksi adanya konflik

LPI dan PSSI, dengan mewacanakan sikap PSSI yang akan memberi sanksi

terhadap klub-klub yang berpindah ke LPI. Sikap PSSI tersebut diwakili

secara langsung oleh Nirwan Bakrie dan Joko Driyono, termasuk pula narasi

dari Metro TV yang sekedar menyadur pernyataan kedua pengurus PSSI ini.

Sedangkan, pendapat dari klub-klub LPI memang tidak diberi ruang

langsung untuk diwawancarai. Akan tetapi, pendapat tersebut sudah diwakili

oleh narasi Metro TV di akhir berita yang menjelaskan akar permasalahan

yang terjadi. Sehingga, secara tidak langsung kesan yang ditampilkan adalah

Metro TV kemudian menjadi Humas bagi klub-klub tersebut, yang membela

pilihan mereka.

c. Identitas

Pada berita ini, Metro TV awalnya berdiri secara mandiri di luar konflik.

Metro TV menjelaskan sikap yang diambil oleh PSSI terkait klub-klub yang

berpindah ke LPI. Akan tetapi di akhir berita, Metro TV justru menempatkan

identitas layaknya Humas bagi klub-klub tersebut, dengan membela

keputusan untuk berpindah ke LPI. Terutama dengan penekanan pada

pernyataan, “Munculnya LPI yang didasari oleh kekecewaan terhadap PSSI telah

menarik beberapa klub mundur dari kompetisi PSSI.” Di sini, Metro TV ingin agar

khalayak tidak menerima mentah-mentah pernyataan dari pengurus-pengurus

PSSI sebelumnya. Karena akar masalah justru muncul dari dalam PSSI

sendiri.

2) Judul Berita : Polri tetap Jamin Keamanan Pertandingan LPI

Program : Metro Sports

Tanggal/Jam : Selasa, 4 Januari 2011 23:43 WIB

VISUAL AUDIO

146

Gertakan PSSI yang meminta

Polri agar melarang kompetisi

Liga Primer Indonesia (LPI),

ternyata bukan gertak sambal

biasa. Mabes Polri mengaku telah

menerima permintaan PSSI.

Tetapi, tidak menemukan ada

unsur pidana pada kompetisi Liga

Primer Indonesia.

VO: Narator

Pernyataan tersebut disampaikan

Kabareskrim Mabes Polri

Komisaris Jenderal Polisi Ito

Sumardi di Jakarta, Selasa.

Menurut Ito, dalam

pengaduannya PSSI menyatakan

bahwa Liga Primer Indonesia

sebagai turnamen ilegal sudah

ditindaklanjuti Mabes Polri.

Namun hingga kini, dari

penyelidikan belum ada bukti

yang menunjukkan turnamen

bikinan pengusaha Arifin

Panigoro ini melanggar hukum

pidana.

Meski demikian penyelidikan tim

Mabes Polri masih berjalan. Dan,

pihak keamanan tetap menjamin

147

keamanan pertandingan yang

digelar LPI.

Komjen Pol. Ito Sumardi (Kabareskrim Polri)

Reporter: Laporan sudah masuk, pak?

Iya, kan kalau masuk nanti akan

dilakukan penyelidikan dulu. Hasil

penyelidikan baru nanti kita

sampaikan bahwa ini bukan

perbuatan pidana. Itu akan

disampaikan kepada pelapor.

Reporter: Akankah mengirim

keamanan lebih dibandingan

pertandingan lainnya, pak?

Itu di wilayah masing-masing kepala

satuan kewilayahan, Kapolda atau

Kapolres. Dia sudah tahu protapnya

atau SOP-nya. Mereka sudah tahu.

Setiap ada namanya yang menyangkut

potensi gangguan kantibmas, itu akan

diantisipasi saat itu juga.

Reporter: Tapi tidak akan melarang

ya, pak?

Ndak lah...

Berita yang ditayangkan pada tanggal 4 Januari 2011 ini bercerita tentang

sikap PSSI yang melihat bahwa LPI bukanlah tindakan pidana dan akan

mengamankan jalannya LPI.

148

a. Representasi

Pemilihan judul “Polri tetap Jamin Keamanan Pertandingan LPI”

menandakan posisi Metro TV yang melihat bahwa kondisi LPI belumlah

aman sepenuhnya karena terus dihadang oleh PSSI. Pernyataan “jamin

keamanan” menandakan adanya jaminan khusus dari pihak yang berwenang

di Indonesia terhadap jalannya kompetisi. Dengan adanya jaminan ini,

diharapkan pihak-pihak yang kontra akan berpikir panjang sebelum berencana

membuat kisruh LPI. Pilihan judul ini adalah murni konstruksi dari Metro

TV. Karena dialog antara wartawan Metro TV dengan Kabareskrim Polri

tidak menyinggung sama sekali masalah jaminan keamanan tersebut.

Selain itu, pilihan kata “gertak” dan “gertak sambal” yang disampaikan

presenter di awal memberi kesan negatif pada PSSI. Menggertak adalah

perilaku menakut-nakuti pihak lain, namun konotasinya negatif. Apalagi

“gertak sambal” yang lebih sering dikaitkan dengan ancaman yang tidak bisa

dibuktikan, yang biasa dilakukan seorang pengecut. Pilihan kata ini tentu

sudah diproses di internal redaksi Metro TV, sehingga kesan mendiskreditkan

PSSI tidak bisa dielakkan lagi.

Konflik antara LPI vs PSSI juga dikontruksi lewat narasi yang

menyatakan bahwa: “Menurut Ito, dalam pengaduannya PSSI menyatakan bahwa

Liga Primer Indonesia sebagai turnamen ilegal sudah ditindaklanjuti Mabes Polri.

Namun hingga kini, dari penyelidikan belum ada bukti yang menunjukkan turnamen

bikinan pengusaha Arifin Panigoro ini melanggar hukum pidana”. Pernyataan PSSI

yang menyebut LPI sebagai liga ilegal merupakan pernyataan yang kasar.

Ilegal menurut KBBI, berarti tidak sah secara hukum. Padahal belum ada

keputusan hukum yang mengikat dari pengadilan/kepolisian dalam hal ini.

Bahkan kemudian disebutkan dalam narasi bahwa belum ada bukti yang

menunjukkan turnamen itu melanggar hukum pidana. Narasi ini menjelaskan

betapa tuduhan yang dialamatkan kepada PSSI semuanya tidak benar dan

mengada-ada.

Wartawan Metro TV dalam wawancara dengan Kabareskrim pun terlihat

mengarahkan pertanyaan. Pertama, dengan menanyakan akankah mengirim

Polri pengamanan lebih banyak. Padahal, ketika itu belum ada kepastian izin

149

untuk LPI sehingga pertanyaan ini jelas melangkahi proses yang ada. Bahkan

jawaban ini kemudian diterjemahkan dalam judul berita yang menyatakan

bahwa “Polri tetap Jamin Keamanan Pertandingan LPI”. Konstruksi wacana

yang dengan mudah terlihat. Kedua, pertanyaan yang mengunci, “Tapi tidak

akan melarang ya, pak?”. Pertanyaan ini sejak awal sudah mengandaikan bahwa

LPI harus berjalan dan jangan sampai dilarang. Berbeda dengan model

pertanyaan serupa, “Bagaimana sikap Polri, apakah akan melarang atau

memperbolehkan?” atau “Apakah Polri sudah memberi izin?” yang lebih netral.

b. Relasi

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah antara PSSI, Polri, LPI, dan

wartawan. Polri kemudian ditampilkan sebagai aktor utama (dominan) dalam

berita ini yang memberikan keputusan kepada LPI maupun PSSI. Dalam hal

ini Polri dikonstruksikan berseberangan dengan PSSI, karena menolak

laporan PSSI yang menyatakan bahwa LPI adalah liga ilegal dan melanggar

hukum pidana.

Di sisi lain, PSSI dan LPI tidak diberikan ruang dalam berita ini untuk

diwawancarai. PSSI dan LPI hanya ditempatkan sebagai orang di luar berita

lewat narasi Metro TV. Narasi dan pertanyaan dari wartawan Metro TV

secara tidak langsung menempatkan LPI di pihaknya. Ini ditampilkan dengan

pemilihan judul yang condong menempatkan Polri di pihak LPI dan juga

narasi yang menentang tuduhan-tuduhan PSSI terhadap LPI. Sedangkan,

wartawan Metro TV kemudian mengeluarkan beberapa pertanyaan yang

bernada mendukung LPI, tentang keamanan yang diperbanyak dan juga agar

tidak melarang LPI.

c. Identitas

Sejak awal berita, Metro TV sudah bersikap mendukung LPI. Pemilihan

judul, yang diteruskan dengan narasi yang menyudutkan PSSI sebagai pihak

kontra LPI, yang diakhiri dengan pertanyaan yang menjurus kepada

Kabareskrim sudah jelas menjelaskan bagaimana Metro TV melihat konflik

150

ini. Metro TV tidak ingin LPI dihadang oleh PSSI dan meminta Polri untuk

memberi jaminan pengamanan.

3) Judul Berita : Manajer Persema Malang: “Di LPI Lebih Adil

& Merdeka”

Program : Metro Sore

Tanggal/Jam : 4 Januari 2011 / 14.44

VISUAL AUDIO

Dan pemirsa saat ini sedang

berlangsung konferensi pers di

Balai Kota Malang, Jawa Timur.

Kita akan kembali bergabung

bersama Valdia Baraputri untuk

mengetahui kepastian, apakah

Irfan Bachdim dan Kim Jeffrey

Kurniawan akan bergabung

dengan Persema dan Liga Primer

Indonesia.

Valdia silahkan...

Valdia Baraputri (Reporter)

Ya Tasya, saat ini konferensi pers

di Balais Sidang Balai Kota

Malang baru saja berlangsung.

Dan saat ini yang sedang

memberikan sambutan adalah

Walikota Malang, Peni Suparto,

selaku penanggung jawab dari

Klub Persema Malang.

151

Peni Suparto (Walikota Malang)

Di LPI kita akan bermain secara

fairplay dan sebenar-benarnya.

Karena itu tujuan Persema Malang

bergabung ke LPI sama dengan tujuan

PSSI, yaitu membangun sepakbola

nasional yang profesional. Nah, sama

tujuannya, PSSI juga ingin

membangun sepakbola yang

professional. Lalu Persema juga ingin

membangun, tapi lewatnya LPI.

Karena Persema merasa lebih nyaman,

lebih merdeka dan fairplay di LPI.

Saya tidak akan cerita yang lebih jauh

lagi, yang kecil-kecil. Bagaimana

Persema dikhianati dan digarap di

setiap pertandingan. Walaupun

wasitnya sudah dikenakan sanksi,

tapi Persema tetap dikalahkan. Nah,

karena itu, ini tidak fairplay dan

tidak profesional. Di LPI nanti hal

seperti itu dijamin tidak akan ada.

152

VO: Peni Suparto (Walikota Malang)

Karena itu kalau tujuan Persema dan

tujuan PSSI. Maka tidak mungkin

PSSI menjatuhkan sanksi ke

Persema. Bagaimana kalau ada sanksi

dari PSSI? Kami Persema mempunyai

hal untuk membela diri.

VO: Peni Suparto (Walikota Malang)

Dan kalau sepakbola sudah masuk ke

Timnas, itu yang berlaku adalah

sudah hukum sepakbola internasional.

Karena siapa saja yang profesional.

Siapa saja yang kualitasnya di atas,

tidak mungkin timnas tidak

mengambil orang yang professional itu.

Pasti akan diambil.

153

VO: Peni Suparto (Walikota Malang)

Berita yang ditayangkan pada tanggal 4 Januari 2011 ini merupakan siaran

langsung dari Malang, dimana sedang diadakan Konferensi Pers Persema

Malang tentang sikap mereka yang berpindah dari ISL ke LPI.

a. Representasi

Sejak awal berita, judul sudah terkesan provokatif dengan menyatakan bahwa

“Di LPI Lebih Adil & Merdeka”. Kalimat ini dikutip dari pernyataan

langsung Peni Suparto, manajer Persema Malang. Pilihan judul ini bukan

tanpa alasan, karena mencermikan konflik yang terjadi antara LPI dan PSSI.

Dimana PSSI dikesankan tidak becus menangani kompetisi, sehingga harus

muncul liga alternatif yang lebih baik, karena adil dan merdeka.

Secara visual, judul berita pun ditulis “PSSI vs LPI”. Artinya konflik ini

begitu nyata adanya sehingga kata “vs” digunakan. Layaknya pertandingan

sepakbola atau tinju, nantinya akan ada pihak yang menang maupun pihak

yang kalah sebagai konsekuensi adanya pertarungan.

Penempatan Peni Suparto sebagai Penanggungjawab Persema

mempertegas adanya konflik LPI dan PSSI. Karena Peni Suparto,

sebenarnyan memiliki jabatan lain yang lebih tinggi, Walikota Malang. Akan

tetapi, jabatan tersebut secara legitimasi tidak lebih kuat dari

“penanggungjawab” Persema Malang dalam wacana konflik.

Berita yang hanya berisikan pernyataan dari Peni Suparto ini

menunjukkan bagaimana Metro TV merepresentasikan konflik. Peni Suparto

yang berbicara sebagai pihak yang mendukung LPI, sekaligus kontra dengan

PSSI tentu akan berbicara sepihak. Sehingga, seharusnya ada komentar dari

pihak yang dapat memberikan second opinion, bisa pengurus PSSI atau

pengamat (netral). Nyatanya, tidak ada evaluasi atau pendapat alternatif sama

sekali, termasuk dalam narasi dan pernyataan verbal dari presenter sekalipun.

Khalayak televisi hanya diberikan informasi dan opini secara sepihak

mendukung LPI.

Dari segi visual, Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan juga ditampilkan

sembari Peni Suparto berbicara. Irfan dan Kim adalah pemain naturalisasi

154

yang sedang menjadi idola di masyarakat Indonesia. Menampilkan mereka

berdua yang sedang terlibat dalam pusaran konflik antara LPI dan PSSI, bisa

menimbulkan rasa empati dan simpati pada khalayak televisi untuk

mendukung bergulirnya LPI.

Pemilihan konferensi pers ini untuk dijadikan siaran langsung juga

menunjukkan Metro TV melihat begitu bernilainya konflik ini. Persema

Malang yang di ISL hanya menjadi tim papan tengah, menjadi sangat bernilai

ketika akhirnya berpindah haluan ke LPI.

b. Relasi

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara PSSI, LPI, dan

Persema Malang. Persema Malang yang diwakili oleh Peni Suparto bertindak

sebagai pihak yang paling dominan. Sedangkan, PSSI hanya sebagai teks lain

yang diceritakan oleh Peni Suparto secara negatif, seperti pernyataan: “Saya

tidak akan cerita yang lebih jauh lagi, yang kecil-kecil. Bagaimana Persema dikhianati

dan digarap di setiap pertandingan. Walaupun wasitnya sudah dikenakan sanksi, tapi

Persema tetap dikalahkan”.

Metro TV dalam hal ini tidak memberikan ruang kepada PSSI untuk

membela diri, bahkan untuk diberitakan melalui narasi pun tidak. Sehingga,

relasi yang terbangun di sini adalah LPI, Persema Malang bersama dengan

Metro TV yang secara sepihak mendiskreditkan PSSI.

c. Identitas

Sejak awal berita, identitas Metro TV sudah condong ke pihak LPI dibanding

PSSI. Pemilihan judul yang mendukung Persema untuk berlaga di LPI,

dilengkapi dengan fokus berita hanya pada Peni Suparto menegaskan identitas

tersebut. Selain itu, PSSI pun dimarjinalkan dengan tidak diberi ruang untuk

menanggapi, baik melalui wawancara narasumber maupun narasi berita.

155

4) Judul Berita : Polda Jateng Memberi Izin Laga LPI

Program : Headline News

Tanggal/Jam : Kamis, 6 Januari 2011 / 15:06 WIB

VISUAL AUDIO

Selamat sore. Inilah headline

news pukul 15.00 WIB.

Kepolisian Daerah Jawa Tengah

mengeluarkan izin keramaian bagi

penyelenggaraan pertandingan

Liga Primer Indonesia (LPI).

Dan, pertandingan pertama LPI

rencananya akan digelar di

Stadion Manahan, Kota

Surakarta, antara Solo FC versus

Persema Malang.

VO: Narator

Usai bertemu dengan Walikota

Solo Joko Widodo dan Ketua

Pengurus Cabang PSSI Surakarta,

Hadi Rudyatmo. Kapolda Jawa

Tengah, Inspektur Jenderal

Edward Aritonang menyatakan

izin keramaian akan diberikan

kepada panitia. Dan polisi akan

mengamankan jalannya acara

pembukaan serta pertandingan

LPI yang berlangsung di Stadion

Manahan Kota Surakarta, Jawa

Tengah.

Menurut Edward Aritonang,

156

tidak ada alasan bagi polisi untuk

tidak memberikan izin keramaian,

jika Badan Olah Raga Profesional

(BOPI) telah memberikan lampu

hijau untuk penyelenggaraan

event tersebut.

Sementara itu, Walikota Surakarta

Joko Widodo menyatakan

dukungannya terhadap LPI.

Menurutnya, LPI sangat legal dan

menjadi simbol revolusi dunia

sepak bola Indonesia. Wali Kota

bahkan menduga PSSI takut

bersaing dengan LPI. Sehingga

LPI dianggap kompetisi illegal.

Edward Aritonang (Kapolda Jawa Tengah)

Kalau Jawa Tengah sudah

mengantongi rekomendasi itu, BOPI.

Tidak ada alasan untuk tidak

menjaga. Jadi kira-kira itu

konteksnya untuk mengijinkan. Dan,

Polri akan mengeluarkan ijin

keramaian dan akan mengamankan.

Terimakasih.

157

Joko Widodo (Walikota Solo)

Sangat legal. Apanya yang nggak

legal? Semaki banyak kompetisi, akan

semakin baik persepakbolaan kita.

Inilah yang saya bilang tadi, revolusi

dunia sepak bola Indonesia.

Reporter: Menurut bapak bagaimana

bila PSSI mengatakan LPI illegal?

Ya ga tahu. Mungkin takut

persaingan. Mungkin lho ya. Tapi

menurut saya ndak lah. Saya masih

positif thinking terhadap PSSI, bahwa

LPI adalah partner yang baik untuk

PSSI.

Berita yang ditayangkan pada Headline News tanggal 6 Januari 2011 ini

bercerita tentang izin penyelenggaraan LPI yang akhirnya dikeluarkan oleh

Polda Jawa Tengah setelah berkoordinasi dengan Walikota dan Pengcab PSSI

Solo.

a. Representasi

Wacana konflik antara LPI dan PSSI juga dapat dilihat dalam representasi

berita ini. Pemilihan kata dan narasumber. Narasumber yang ditampilkan

hanya mendukung keberadaan LPI, tanpa mewakili sikap PSSI yang

menolaknya.

Pernyataan dari Kapolda Jawa Tengah yang menyatakan bahwa: “Kalau

Jawa Tengah sudah mengantongi rekomendasi itu, BOPI. Tidak ada alasan untuk tidak

menjaga. Jadi kira-kira itu konteksnya untuk mengijinkan. Dan, Polri akan

mengeluarkan ijin keramaian dan akan mengamankan. Terimakasih”. Khalayak tidak

dijelaskan terlebih dahulunya adanya konflik antara LPI dan PSSI yang

menyebabkan perijinan kemudian terlambat dikeluarkan. Hanya dijelaskan

158

bahwa BOPI akhirnya mengeluarkan izin dan Polda Jawa Tengah akan

mengawal jalannya pembukaan.

Posisi PSSI yang didiskreditkan dalam berita ini juga dijelaskan lewat

narasi yang menyadur pernyataan dari Walikota Solo, Joko Widodo:

“Sementara itu, Walikota Surakarta Joko Widodo menyatakan dukungannya terhadap

LPI. Menurutnya, LPI sangat legal dan menjadi simbol revolusi dunia sepak bola

Indonesia. Wali Kota bahkan menduga PSSI takut bersaing dengan LPI. Sehingga LPI

dianggap kompetisi illegal.” Menampilkan Walikota Solo di dalam berita memberi

kesan bahwa LPI telah didukung sepenuhnya oleh warga Solo, sehingga tidak

sepatutnya untuk terus dihalang-halangi oleh PSSI.

Pernyataan Walikota Solo yang digunakan untuk mengakhiri berita ini

dalam kerangka representasi antar anak kalimat menunjukkan penegasan.

Bahwasanya PSSI yang menghalangi bergulirnya LPI adalah pengecut karena

tidak berani bersaing secara sehat. Bahkan PSSI juga dikesankan sebagai

melawan kehendak masyarakat luas, karena menghadang pengembangan

sepakbola nasional. Secara sempurna, PSSI didelegitimasi peran dan posisinya

dalam berita ini.

Bahkan wartawan pun juga menggunakan pertanyaan yang memancing

emosi Joko Widodo. Ketika Joko Widodo menyatakan bahwa LPI adalah

legal. Justru wartawan mempertanyakan kembali dengan membawa identitas

PSSI, “Menurut bapak, bagaimana bila PSSI mengatakan LPI illegal?” Pertanyaan

seperti ini tentunya seperti meragukan pendapat dari Joko Widodo, sehingga

meminta penegasan kembali. Dari awalnya jawaban yang netral tanpa

melibatkan pihak yang berkonflik. Wartawan kemudian menggiring Joko

Widodo ke dalam pusaran konflik, “Ya ga tahu. Mungkin takut persaingan.

Mungkin lho ya...”.

b. Relasi

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara Walikota, Polri

(melalui Polda Jawa Tengah), LPI dan PSSI. Pihak yang paling dominan

dalam berita ini adalah Polri dan Walikota Solo. Polri adalah simbol dari

keamanan negara, sedangkan Walikota Solo adalah simbol dari masyarakat

159

Solo. Artinya, persetujuan dari kedua pihak ini tentang LPI memberikan

legitimasi yang amat tinggi bagi LPI di depan khalayak.

Sedangkan, PSSI yang didiskreditkan dalam naskah berita ini tidak diberi

ruang untuk menanggapi, sekalipun lewat suara narator atau presenter berita.

Akibatnya PSSI posisinya menjadi termarjinalkan bila dibandingkan dengan

Polri, Walikota ataupun Metro TV yang mengkontruksi berita ini.

c. Identitas

Sejak awal berita, identitas Metro TV sudah terang-terangan condong ke LPI.

Pemilihan judul yang menyatakan Polda Jateng memberi Izin melegitimasi

kehadiran LPI dari pihak yang berwenang. Walikota Solo kemudian

ditampilkan untuk dikutip dukungannya terhadap LPI, dengan menyatakan

ke-legalan-nya. Bahkan, Walikota pun dipancing untuk ikut mengomentari

PSSI. Hasilnya PSSI dikritik seperti pecundang yang tidak berani

berkompetisi secara adil.

5) Judul Berita : Izin Kompetisi LPI

Program : Metro Hari Ini

Tanggal/Jam : Kamis, 6 Januari 2011 / 17:56 WIB

VISUAL AUDIO

Meski jajaran PSSI pusat

mengharamkan keberadaan Liga

Primer Indonesia yang mulai

bergulir Januari ini. Tidak

membuat Pengurus Cabang PSSI

Solo mentaati regulasi tersebut.

160

VO: Narator

Pernyataan dukungan tersebut

terhadap hal itu disampaikan oleh

Ketua Pengurus Cabang PSSI

Surakarta, Hadi Rudyatmo saat

berada di Mapolresta Surakarta,

terkait dengan pemberiaan izin

rekomendasi pertandingan LPI.

VO: Narator

Menurut Hadi Rudiyatmo,

dengan bergulirnya Liga Primer

Indonesia ini. Maka akan semakin

menguntungkan. Karena

berpotensi memunculkan

semakin banyak kompetisi maka

talenta pemain sepak bola di

tanah air. Itulah salah satu alasan

PSSI Surakarta yang berbeda

dengan PSSI Pusat.

Dengan munculnya kompetisi

kompetisi baru ini diharapkan

mampu membawa sepak bola

Indonesia pada atmosfer

permainan yang fairplay.

161

Hadi Rudiyatmo (Ketua PSSI Surakarta)

PSSI Pengcab Solo tidak keberatan

dengan adanya pertandingan Solo FC

melawan Persema Malang. Itu yang

pertama.

Yang kedua, lebih baik kita

mengadakan pertandingan daripada

membatalkan. Yang sudah sedari awal

disampaikan oleh Kapolda Jateng.

Saya berharap rakyat Solo, Jawa

Tengah dan Nasional. Kalau situasi

kondusif. Diharapkan masyarakat

tidak akan takut untuk berkunjung

ke Solo.

Berita yang ditayangkan pada tanggal 6 Januari 2011 ini melanjutkan berita

sebelumnya, saat Polda Jawa Tengah akhirnya memberi izin penyelenggaraan

LPI di Solo. Pernyataan dukungan kemudian muncul dari Ketua Pengcab

PSSI Surakarta, FX Hadi Rudiyatmo.

a. Representasi

Wacana konflik antara LPI dan PSSI dalam berita ini ditampilkan lewat

presenter yang menyatakan bahwa: “Meski jajaran PSSI pusat mengharamkan

keberadaan Liga Primer Indonesia yang mulai bergulir Januari ini. Tidak membuat

Pengurus Cabang PSSI Solo mentaati regulasi tersebut”. Ada dua poin yang perlu

digaris bawahi, yaitu pilihan kata “mengharamkan” dan anak kalimat “tidak

membuat Pengurus Cabang PSSI Solo mentaati regulasi tersebut”. Kata

mengharamkan biasanya digunakan dalam konteks keagamaan, yang identik

dengan aturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Oleh karena itu,

“mengharamkan” di sini mengandaikan bahwa PSSI amat sangat berkuasa

162

sehingga bisa melarang sesuatu layaknya Tuhan. Nuansa yang dikonstruksi

tentu akan beda bilamana kata yang digunakan “melarang”.

Penempatan anak kalimat yang kontras, “tidak membuat Pengurus

Cabang PSSI Solo mentaati regulasi tersebut” juga memiliki makna tersendiri.

Bahwa, sehebat apa pun kuasa PSSI hingga bisa “mengharamkan”, ternyata

tidak berguna di hadapan Pengurus PSSI Solo. PSSI Solo tidak gentar

menghadapi resiko yang akan terjadi bilamana regulasi dari “tuhan” tersebut

dilanggar. Legitimasi dan kekuasaan PSSI pun menjadi tidak berguna lagi.

Pencantuman FX Hadi Rudiyatmo sebagai Ketua Pengcab PSSI Solo,

tanpa menyebutkan jabatannya sebagai Wakil Walikota Solo, menegaskan

bahwa memang PSSI sudah kehilangan wibawa di akar rumput. Keputusan

PSSI untuk melarang LPI, ternyata ditolak secara mentah-mentah oleh

anggotanya sendiri di daerah.

Pola pemberitaan ini mirip dengan berita beberapa hari sebelumnya, saat

Persema Malang mengadakan konferensi pers. Pola yang dibentuk adalah

narasi dan kutipan wawancara yang berasal dari satu pihak, dalam hal ini

Pengcab PSSI Solo yang mendukung LPI. Sedangkan, pihak yang kontra,

PSSI, tidak diberikan ruang sedikit pun, baik melalui wawancara maupun

narasi. Narasi yang disadur dari pernyataan FX Hadi Rudiyatmo misalnya, “...

dengan bergulirnya Liga Primer Indonesia ini. Maka akan semakin menguntungkan.

Karena berpotensi memunculkan semakin banyak kompetisi maka talenta pemain sepak

bola di tanah air. Itulah salah satu alasan PSSI Surakarta yang berbeda dengan PSSI

Pusat. Dengan munculnya kompetisi kompetisi baru ini diharapkan mampu membawa

sepak bola Indonesia pada atmosfer permainan yang fairplay”.

Ada dua penekanan yang dikonstruksi oleh Metro TV dalam hal ini, yaitu

agar diadakan semakin banyak kompetisi demi perkembangan sepakbola

tanah air dan masalah fairplay pada kompetisi. Argumen yang disampaikan

Pengcab PSSI Solo untuk membela diri ini seakan-akan menempatkan PSSI

sebagai common enemy. Karena PSSI dianggap secara diktator tidak

memberikan ruang untuk berkembangnya bakat-bakat pemain sepakbola

nasional di luar liga bentukan PSSI. Selain itu, permasalahan fairplay,

bermakna ada problem akut di liga bentukan PSSI yang penuh dengan

163

ketidakadilan, bahkan mafia skor. Padahal dalam dunia olahraga manapun

unsur sportifitas yang paling mendasar adalah fairplay, bagaimana bermain

secara jujur dan adil. Tanpa adanya hal ini, mustahil olahraga memliki makna.

Lebih menarik lagi di akhir berita, FX Hadi Rudiyatmo menyatakan:

“Saya berharap rakyat Solo, Jawa Tengah dan Nasional. Kalau situasi kondusif.

Diharapkan masyarakat tidak akan takut untuk berkunjung ke Solo”. Pernyataan ini

seakan mewakili suara masyarakat yang memang menginginkan LPI

dihadirkan di Solo.

b. Relasi

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara PSSI dengan

PSSI Solo terkait LPI. PSSI Solo yang diwakili oleh FX Hadi Rudiyatmo

menjadi pihak yang dominan dan tunggal. Berita yang dikonstruksi oleh

Metro TV hanya memberi ruang kepada pihak yang pro LPI dan kontra

dengan PSSI, sedangkan PSSI sendiri tidak diberi ruang sama sekali.

Sedangkan, Metro TV sebagai media, cenderung memposisikan diri di

pihak LPI. Ini tercermin dari pilihan untuk menjadikan pernyataan tunggal

dari FX Hadi Rudiyatmo ditambah dengan pilihan kata “mengharamkan”

oleh presenter.

c. Identitas

Sejak awal berita, identitas Metro TV sudah condong ke LPI. Pemilihan kata

dan penyusunan naskah berita oleh presenter, cenderung mendelegitimasi

posisi PSSI di hadapan PSSI Solo. Penempatan narasumber tunggal FX Hadi

Rudiyatmo juga menegaskan bahwa Metro TV ingin mengkonstruksi agar

legalitas dan urgensi kehadiran LPI diterima oleh khalayak televisi.

164

6) Judul Berita : Kompetisi LPI Akhirnya Mendapat Izin dari

Polri

Program : Headline News

Tanggal/Jam : 6 Januari 2011 / 17:47 WIB

VISUAL AUDIO

Mabes Polri akhirnya

memberikan izin resmi kepada

Liga Primer Indonesia, LPI,

untuk menggelar kompetisi

sepakbola antarklub. Izin itu

sekaligus mengakhiri polemik

seputar legalitas LPI yang

dipersoalkan PSSI.

VO: Narator

Polri mengeluarkan rekomendasi

setelah mendapatkan

rekomendasi dari Badan Olahraga

Professional (BOPI) sebagai

wadah untuk olahraga

professional yang ditunjuk oleh

pemerintah.

Dalam jumpa pers di Gedung

Kemenpora, Kabag Intelkam

Mabes Polri, Komjen Pol.

Wahyono mengakui bahwa Liga

Primer Indonesia (LPI) adalah

kompetisi sepak bola profesional.

Dan bukan olahraga amatir yang

harus mengantongi rekomendasi

165

PSSI.

Karena itu, Polri harus

mengeksekusi rekomendasi

Badan Olahraga Professional,

seperti BOPI atas kompetisi yang

diselenggarakan oleh LPI.

Keputusan Mabes Polri ini akan

segera disebarkan izin itu ke

semua jajaran Polri di daerah.

Termasuk Polda Jawa Tengah

dan Polres Solo, tempat laga

perdana kompetisi LPI akan

digelar. Hari Sabtu, 8 Januari

2011, antara Persema Malang

versus Solo FC.

Komjen Pol. Wahyono (Kabag Intelkam Polri)

Kalau yang bersifat amatir harus ada

rekomendasi, tapi kalau yang bersifat

professional itu harus ada ijin

penyelenggaraan yang dikeluarkan oleh

lembaga atau badan yang sudah

ditunjuk oleh pemerintah berdasar

peraturan menteri, yaitu BOPI.

Manakala BOPI telah menetapkan

keputusannya, memberikan

perijinannya. Sudah barang tentu Polri

harus memberikan ijin untuk

memberikan perlindungan dan

pelayanan bagi masyarakat yang

166

menyelenggarakan kegiatan ini. Dalam

bentuk implikasinya pada keramaian

umum.

Berita yang ditayangkan pada tanggal 6 Januari 2011 ini senada dengan 2

berita sebelumnya. Setelah Polda Jawa Tengah memberi izin penyelenggaraan

LPI di Solo. Polri bersama di Gedung Kemenpora juga merilis perizinan

untuk penyelenggaraan LPI.

a. Representasi

Wacana konflik antara LPI dan PSSI dalam berita ini ditampilkan lewat

presenter yang menyatakan bahwa: “Mabes Polri akhirnya memberikan izin resmi

kepada Liga Primer Indonesia, LPI, untuk menggelar kompetisi sepakbola antarklub.

Izin itu sekaligus mengakhiri polemik seputar legalitas LPI yang dipersoalkan PSSI”.

Penggunaan anak kalimat “... mengakhiri polemik” menandakan bahwa ada

konflik yang sebelumnya terjadi antara LPI dan PSSI namun telah berakhir

berkat izin dari Mabes Polri. Dan pemenangnya adalah LPI.

Judul “Kompetisi LPI Akhirnya Mendapat Izin dari Polri” pun senada

menggambarkan representasi bahwa konflik telah berakhir. Kemudian,

keberpihakan juga terlihat dari narasi yang menjelaskan bahwa “... bahwa Liga

Primer Indonesia (LPI) adalah kompetisi sepak bola profesional. Dan bukan olahraga

amatir yang harus mengantongi rekomendasi PSSI”. Narasi ini memberi kesan

bahwa sikap PSSI yang “mengharamkan” LPI adalah salah alamat. Karena

izin LPI yang benar berasal dari BOPI, lembaga di bawah Kemenpora.

Pola yang ditampilkan oleh Metro TV masih senada dengan beberapa

berita sebelumnya. Dimana pihak yang pro dengan LPI ditampilkan secara

langsung sebagai narasumber, namun pihak yang kontra, PSSI, tidak

ditampilkan sama sekali. Kalaupun ditampilkan, hanya menjadi bagian dari

kritik pihak pro LPI. Sehingga, citranya pun menjadi negatif dan buruk.

Dalam berita ini, PSSI digambarkan menghalang-halangi perizinan Polri

untuk LPI.

167

b. Relasi

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara PSSI dan Polri

dengan LPI. Polri pada awalnya tidak akan memberikan izin kepada LPI

karena dilarang oleh induk olahraganya, PSSI. Ternyata dalam perjalanannya,

izin kemudian dikeluarkan oleh BOPI yang merupakan induk olahraga

professional di Indonesia. Relasi pun kemudian berubah dengan cepat

menjadi LPI dan Polri menghadapi PSSI. Dan Polri dalam berita ini menjadi

aktor dominan yang

Sedangkan, Metro TV sebagai media, cenderung memposisikan diri di

pihak LPI dan kontra terhadap PSSI. Caranya dengan membuat narasi yang

menyatakan “... bahwa Liga Primer Indonesia (LPI) adalah kompetisi sepak bola

profesional. Dan bukan olahraga amatir yang harus mengantongi rekomendasi PSSI”.

Bagian kalimat “harus mengantongi rekomendasi PSSI” adalah konstruksi

dari Metro TV, karena tidak diucapkan oleh Komjen Wahyono dari Polri.

Konstruksi dilakukan untuk mendelegitimasi posisi PSSI di depan khalayak.

c. Identitas

Tidak jauh berbeda dengan penjelasan pada bagian relasi. Sejak awal berita,

identitas Metro TV sudah condong ke LPI. Pernyataan dari narator berita

mengenai LPI yang tidak membutuhkan rekomendasi PSSI, memberi kesan

delegitimasi posisi PSSI di hadapan LPI. Sehingga, LPI tidak perlu ambil

pusing terkait sikap PSSI yang kontra selama ini. Peniadaan narasumber dari

PSSI untuk menanggapi keputusan perizinan dari Polri juga semakin

menegaskan identitas pro LPI yang digunakan oleh Metro TV.

168

7) Judul Berita : PSSI Dituntut Boikot LSI

Program : Metro Siang

Tanggal/Jam : Jumat, 7 Januari 2011 11:57 WIB

VISUAL AUDIO

Puluhan orang dari Komunitas

Suporter Indonesia Bersatu

melakukan aksi damai di

Bundaran Hotel Indonesia untuk

menolak digelarnya kompetisi

tandingan Liga Primer Indonesia.

VO: Narator

Dalam orasinya mereka menolak

kepada beberapa pihak atas segala

bentuk upaya melemahkan PSSI

dengan alasan apapun.

Mereka menuntut PSSI

memboikot serta membatalkan

kompetisi LPI. Karena dalam

ajang ini dinilai memiliki agenda

tersembunyi dan dapat

menjatuhkan PSSI.

169

VO: Narator

Massa juga mendesak agar PSSI

menjatuhkan sanksi tegas kepada

klub sepak bola yang mengikuti

kompetisi LPI.

Mereka mengaku aksi ini

dilakukan sebagai bentuk

dukungan kepada PSSI. Mereka

menyangkal aksi mereka sebagai

aksi bayaran atau tandingan

karena mereka bagian dari

solidaritas PSSI.

Berita yang ditayangkan pada tanggal 7 Januari 2011 ini bercerita tentang

puluhan orang yang mendemo penyelenggaraan LPI di Bundaran HI, Jakarta.

Demonstrasi ini juga berbarengan dengan demo sekelompok orang yang

mengatasnamaka Supporter Nasional Seluruh Indonesia (SNSI) ke rumah

Arifin Panigoro.

a. Representasi

Sejak awal wacana konflik antara LPI dan PSSI sudah disuguhkan melalui

sekelompok orang yang berdemo menuntut pembubaran LPI. Akan tetapi,

Metro TV pada berita ini berusaha mengkerdilkan posisi para pendemo.

Pertama, dengan cara memilih judul “PSSI Dituntut Boikot LPI”, konstruksi

kalimat sebagai peristiwa (event) alih-alih aksi (action) membuat peran pendemo

terpinggirkan pada judul. Seolah-olah secara mendadak ada tuntutan PSSI

untuk memboikot LPI, tanpa ditampilkan siapa sebenarnya yang menuntut

PSSI. Kedua, dengan pemilihan frase “puluhan orang” oleh presenter di awal

berita. Jumlah ini tentu amat sedikit, apalagi bila dibandingkan ratusan bahkan

ribuan orang yang di saat bersamaan mendemo Nurdin Halid agar turun dari

kursi Ketua Umum PSSI.

170

Selain itu representasi yang mengkerdilkan pendemo juga didapatkan

melalui cara Metro TV menampilkan sumber berita. Menurut Norman

Fairclough, sumber berita yang tidak disukai atau posisinya diametral dengan

media lazimnya akan dinarasikan pendapatnya untuk kemudian dievaluasi dan

dikritik. Pola ini terbukti dalam berita, seperti yang terlihat di akhir berita:

“Mereka mengaku aksi ini dilakukan sebagai bentuk dukungan kepada PSSI. Mereka

menyangkal aksi mereka sebagai aksi bayaran atau tandingan karena mereka bagian

dari solidaritas PSSI”. Narasi ini sangat mungkin memang dikonstruksi oleh

Metro TV. Bisa langsung dikonstruksi saat menulis naskah berita, bisa juga

melalui reporter lapangan yang menanyakan hal tersebut. Dalam hal ini,

pendemo yang seharusnya netral kemudian digugat netralitasnya dengan

tuduhan sebagai kelompok bayaran PSSI.

b. Relasi

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara pendukung

PSSI dengan LPI. Pendukung yang berdemo kemudian menjadi pihak

dominan, dimana berita secara keseluruhan menceritakan pernyataan dari

pendemo. Pendemo kemudian terlalu diidentikkan dengan PSSI, sehingga

pada akhir berita dikesankan bahwa demo ini merupakan suruhan dari PSSI,

bukan inisiatif murni mereka.

Sedangkan, Metro TV sebagai media, cenderung memposisikan diri di

pihak yang netral dengan memberitakan peristiwa ini apa adanya, sebagai

orang ketiga di luar forum. Hanya saja bila ditelisik lebih mendalam, pada

pemilihan judul, kata “puluhan orang”, dan tidak adanya wawancara langsung

dengan pendemo memberi kesan bahwa Metro TV tidak sepenuhnya netral,

melainkan sedikit berpihak membela LPI.

c. Identitas

Tidak jauh berbeda dengan penjelasan pada bagian relasi. Metro TV

mengidentifikasikan diri sebagai pihak yang mandiri memberitakan LPI demo

ini. Akan tetapi perlu digarisbawahi pula cara pengambilan sumber berita,

171

dimana wawancara langsung ditiadakan memberi kesan Metro TV

mengkerdilkan peran pendemo.

8) Judul Berita : FIFA Tak Akui Keberadaan LPI

Program : Metro Sports

Tanggal/Jam : 7 Januari 2011 / 23.38

VISUAL AUDIO

Federasi Sepakbola Internasional,

FIFA, menyatakan tidak

mengakui keberadaan Liga

Primer Indonesia.

Menurut Direktur Pengembangan

dan Anggota Asosiasi FIFA,

Thierry Regenass. FIFA akan

terus memantau keberadaan LPI

dan mengancam memberikan

sanksi bila LPI benar-benar

digulirkan.

VO: Narator

Tentangan terhadap Liga Primer

Indonesia terus mendapat

tantangan. Kali ini datangnya dari

Federasi Sepakbola Internasional,

FIFA.

Meski belum mendapat laporan

resmi mengenai Liga Primer

Indonesia, FIFA akan terus

memantau. Bila tetap

dilaksanakan, akan berhadapan

dengan sanksi FIFA.

172

VO: Narator

Menurut Direktur Pengembangan

dan Anggota Asosiasi FIFA,

Thierry Regenass. Pihaknya tidak

mengenal kompetisi sepak bola

profesional yang diselenggarakan

di luar anggotanya, dalam hal ini

PSSI.

VO: Narator

Sementara itu, menanggapi

ancaman tersebut. Juru bicara

LPI, Abi Hasantoso justru

mengakui itu sebagai hal yang

baik. Karena ancaman tersebut

membuktikan ada perhatian dari

FIFA. Dan hal itu justru akan

membuka pintu dialog.

Berita yang ditayangkan pada tanggal 7 Januari 2011 ini bercerita tentang

FIFA yang akan memberikan sanksi bilamana LPI tetap akan digulirkan.

a. Representasi

Wacana konflik yang dikonstruksi dalam berita ini adalah antara FIFA

bersama PSSI menghadapi LPI yang dianggap membandel. Seperti yang

disampaikan oleh presenter: “Tentangan terhadap Liga Primer Indonesia terus

mendapat tantangan. Kali ini datangnya dari Federasi Sepakbola Internasional, FIFA.”

Frase “terus mendapat tantangan” bermakna bahwa selama ini sudah ada

173

berbagai tantangan yang menghadang, dan FIFA hanyalah satu dari sekian

tantangan tersebut. Tantangan yang dimaksud sebelumnya tentu adalah PSSI,

PSSI sudah berkali-kali menyampaikan penolakannya terhadap LPI dan

bahkan akan memberikan sanksi kepada beberapa klub yang berpindah dari

ISL ke LPI.

Paragraf berita yang berbunyi, “Meski belum mendapat laporan resmi mengenai

Liga Primer Indonesia, FIFA akan terus memantau. Bila tetap dilaksanakan, akan

berhadapan dengan sanksi FIFA”, memberi kesan bahwa sebenarnya FIFA

belum paham akan masalah yang terjadi. Dalam hal ini, FIFA justru akan

gegabah bilamana terburu-buru memberikan sanksi.

Akhirnya, melalui setting representasi antar rangkaian anak paragraf.

Metro TV mengakhiri berita dengan narasi yang disadur dari pernyataan Abi

Santoso bahwa, “Sementara itu, menanggapi ancaman tersebut. Juru bicara LPI, Abi

Hasantoso justru mengakui itu sebagai hal yang baik. Karena ancaman tersebut

membuktikan ada perhatian dari FIFA. Dan hal itu justru akan membuka pintu

dialog”. Frase “sementara itu” yang digunakan sebagai kata sambung

memberikan makna keadaan yang kontras berlawanan. LPI justru melihat ini

bukan sebagai ancaman sanksi, melainkan sebagai peluang untuk berdialog

langsung dengan FIFA. Suatu kondisi yang tentu sangat positif dicitrakan

dalam sebuah konflik.

b. Relasi

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara FIFA dan PSSI

dengan LPI. FIFA dan LPI kemudian menjadi pihak yang dominan dalam

berita, sedangkan PSSI sebatas teks lain imbas dari relasi tersebut. FIFA

adalah pihak yang memberikan ancaman kepada LPI, ada permasalahan

ketika diungkap FIFA sebenarnya belum mengetahui secara pasti duduk

permasalahan yang ada. LPI di lain pihak justru menanggapi ancaman

tersebut dengan santai, dan melihat ancaman ini sebagai pintu untuk

berdialog.

Wartawan sendiri dalam berita ini relasinya cukup netral, dengan

menempatkan dua pihak yang berseteru yaitu FIFA dan LPI untuk

174

memberikan argumennya. Akan tetapi, penggunaan narasi untuk mewakili

narasumber asli memberi kesan bahwa ada informasi yang dipotong atau

direduksi demi kepentingan konstruksi wacana Metro TV.

c. Identitas

Tidak jauh berbeda dengan penjelasan pada bagian relasi. Metro TV

mengidentifikasikan diri sebagai pihak yang mandiri memberitakan konflik

LPI dan PSSI, yang kemudian melebar sampai ke FIFA sebagai induk

organiasasi PSSI. Dan, bila dibandingkan dengan Liputan 6 SCTV, Metro TV

lebih tegas dalam menampilkan identitasnya yang pro LPI.

B. ANALISIS PRAKTIK DISKURSIF (DISCOURSE PRACTICE)

1. Liputan 6 SCTV

Berdasarkan analisis teks yang telah dilakukan di atas, penelitian ini menunjukkan

adanya unsur keberpihakan dan ketidakberimbangan dalam pemberitaan konflik

LPI dan PSSI di Liputan 6 SCTV. Dari 13 berita yang dijadikan obyek analisis

wacana, terhitung Liputan 6 SCTV lebih banyak menampilkan berita dari sudut

pandang yang pro terhadap LPI. Pengambilan narasumber pun senada dengan

sudut pandang, dimana narasumber yang mendukung LPI lebih banyak

ditampilkan, seperti Humas LPI, Panpel LPI, Warga Solo, Pemain klub di LPI,

pengamat sepakbola bahkan juga anak-anak SMA. Sedangkan, dalam

keseluruhan berita, pihak PSSI seakan-akan membela dirinya sendiri dari

berbagai gugatan yang ada. Bahkan saat ada berita demonstrasi terhadap LPI dan

Arifin Panigoro sekalipun, Liputan 6 SCTV mengidentikkan pendemo tersebut

sebagai bagian dari PSSI dan Nurdin Halid, bukan pihak yang netral sebagai

pencinta sepakbola nasional.

Selain itu, ada dua berita yang menarik yaitu saat beberapa warga Solo

dijadikan sebagai narasumber dan referendum sepakbola siswa SMA yang

kemudian memenangkan LPI. Secara tidak langsung, ini merupakan bagian dari

cara Liputan 6 SCTV untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa masyarakat

luas di akar rumput sudah menyetujui kehadiran LPI. Pihak yang kontra

kemudian tidak diberikan ruang untuk menjelaskan sikapnya, sehingga seolah-

175

olah diposisikan sebagai musuh bersama karena menentang kehendak

masyarakat luas.

Ketika media, termasuk televisi, tidak memberitakan suatu konflik secara

berimbang, maka diyakini pasti ada kepentingan-kepentingan yang terlibat di

dalamnya. Dan untuk menyelidiki kepentingan yang bermain di belakang

pemberitaan Liputan 6 SCTV, maka perlu dilakukan analisis discourse practice.

Analisis tingkat ini akan melihat bagaimana produksi teks dilakukan oleh pihak

media. Dengan menganalisis Liputan 6 SCTV dari sisi wartawan dan rutinitas

kerja media diharapkan dapat diperoleh jawaban tentang kepentingan apa saja

yang berada di balik Liputan 6 SCTV.

Sejak awal SCTV memang dikenal sebagai news room yang kritis. Kasus

penyerangan Kantor PDI di jalan Diponegoro Juli 1996, “Cabut Gigi” Sarwono

Kusumaatmaja di akhir orde baru, sampai dengan investigasi kekerasan di IPDN

menjadi simbol kekritisan tersebut. Bahkan Liputan 6 SCTV juga merupakan

news room pertama yang mendapat sertifikat ISO 9001:2000 pada tahun 20022.

Selain itu menurut Joy Astro3, presenter SCTV, setiap alur produksi telah

memiliki deskripsi kerjanya masing-masing. Produksi berita SCTV selalu

berdasarkan falsafah sederhana, yaitu semua berawal dari rapat proyeksi dan

berakhir di rapat proyeksi. Rapat proyeksi ini biasanya dihadiri oleh pemimpin

redaksi, senior manager peliputan, penayangan, pemrosesan, produser eksekutif,

produser program, produser bidang, korkam dan presenter, yang akan

membahas seluruh perencanaan dalam proses pencarian berita.

Hasil perencanaan tersebut kemudian dilanjutkan dengan plotting reporter

lapangan oleh produser bidang. Plotting reporter tersebut meliputi angle, isi,

visual, narasumber, kelengkapan dan keseimbangan berita. Reporter kemudian

menjalankan liputannya masing-masing. Akan tetapi, pada dasarnya reporter dan

kameramen pun dapat melakukan improvisasi sepanjang hal tersebut sesuai

dengan prinsip Liputan 6 SCTV: Tajam, Aktual dan Terpercaya. Karena, pada

dasarnya reporter dan kameramen adalah orang yang paling tahu dengan realita

2 Divisi Pemberitaan SCTV Menerima ISO 9001:2000. Diakses pada 21 April 2011. Tearsip di http://berita.liputan6.com/lainlain/200206/36667/class=%27vidico%27

3 Dalam Rigakittyndya Tiamono. 2006. Identitas Perempuan Indonesia dalam Berita Televisi. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol, UGM. Hal. 127.

176

di lapangan. Artinya, arahan yang muncul dari rapat proyeksi fungsinya hanyalah

sebatas pedoman liputan.

Misalnya, ketika bahan reportase yang dibawa oleh reporter kemudian tidak

berjalan dengan mulus. Dalam banyak kasus, narasumber tidak mau memberi

jawaban atau justru muncul isu besar lainnya di luar rapat proyeksi yang

didapatkan dari narasumber4. Di sinilah improvisasi oleh reporter diperbolehkan

dan bahkan direkomendasikan.

Setelah proses reportase selesai, berita kemudian dibawa lagi ke rapat

proyeksi untuk dirapatkan. Rapat ini kemudian akan menentukan berita mana

yang layak ditayangkan. Hal ini pula yang terjadi pada berita-berita konflik LPI

dan PSSI.

Joy Astro juga mengakui bahwasanya dalam pemberitaan di Liputan 6

SCTV tidak akan terlepas dari unsur manusiawi, berupa pengaruh opini redaksi

yang dimasukkan ke dalam pemberitaan5. Kelemahan pemberitaan tersebut juga

termasuk ketidak sensitifan dalam melihat rutinitas kerja.

Televisi setiap hari menemui informasi dan isu yang melimpah ruah. Mereka

juga menghadapi begitu banyak narasumber yang potensial untuk diwawancarai.

Selain itu juga ada deadline “kecepatan” yang menjadi momok besar. Di stasiun

televisi, unsur kecepatan sangatlah penting. Berita akan segera menjadi basi

ketika stasiun televisi lain telah memberitakannya beberapa menit sebelumnya.

Oleh karena itu, tentu saja semuanya tidak semua informasi bisa

diberitakan. Harus ada standar yang harus dikedepankan. Standar itu merupakan

“nilai berita”, yang merupakan basis profesionalitas dari suatu pemberitaan. Nilai

berita juga akan memudahkan redaksi Liputan 6 SCTV dalam mencari dan

mengolah berita.

Konflik LPI dan PSSI yang ditayangkan oleh SCTV nilai beritanya amat

tinggi. Yang pertama, adalah konflik sebagai nilai berita klasik, bad news is good

news. Yang kedua, bahwa sepakbola adalah hajat hidup orang banyak sekaligus

tambang emas rating bagi televisi. Sehingga pemberitaan sepakbola ketika itu

digunakan pula untuk menarik pasar khalayak sebanyak mungkin.

4 Ibid. Hal. 128. 5 Ibid.

177

Kondisi ini membenarkan tesis umum yang menjelaskan bahwa pasca

reformasi tidak lagi disetir oleh kekuatan negara, melainkan lebih condong ke

arah pasar. Televisi, khususnya Liputan 6 SCTV, kemudian harus mencari isu

berita yang bisa diangkat tiap harinya. Isu yang kemudian dikonstruksi menurut

Joy Astro bukanlah sesuatu yang salah6. Karena menurut Liputan 6 SCTV,

konstruksi isu bukanlah adu domba, melainkan lebih kepada penyadaran kepada

publik bahwa sebenarnya ada isu yang penting, namun tidak semua orang

menyadarinya.

2. Metro TV

Bila dibandingkan dengan Liputan 6 SCTV, keberpihakan Metro terhadap LPI

jauh lebih terlihat dalam pemberitaannya. Dari 8 berita yang dianalisis misalnya,

hanya ada 1 berita yang menampikan PSSI secara langsung, selebihnya PSSI

hanya ditampilkan lewat narasi berita maupun sebagai bagian dari kritik

partisipan berita. Berbeda jauh dengan Liputan 6 SCTV yang memberi banyak

ruang kepada pengurus PSSI untuk membela diri, hampir seluruh berita Metro

TV hanya diwakili oleh pihak-pihak yang pro terhadap LPI, seperti manajer dan

pelatih klub LPI, Walikota Solo, Ketua Pengcab PSSI Solo dan juru bicara LPI.

Di Metro TV sendiri, ada pola yang sama dengan Liputan 6 SCTV, terkait

pola pemberitaan. Dimana berita tentang pendemo yang menuntut

dibubarkannya LPI dikerdilkan signifikansinya. Metro TV kemudian

mengkonstruksi pendemo tersebut sebagai kelompok yang diperintah oleh PSSI,

dibarengi dengan penekanan pada jumlah yang hanya puluhan orang, sangat

minim dibanding demonstrasi anti PSSI dan Nurdin Halid.

Selain itu, dari 34 berita yang diidentifikasi mengkonstruksi LPI. Ternyata

ada 19 berita yang diposisikan sebagai headline news. Headline merupakan pilihan

redaksional, yang menunjukkan berita apa saja yang dianggap lebih penting

daripada berita lainnya agar diketahui khalayak televisi tiap jamnya. Bila di media

cetak headline di taruh di halaman depan, maka di televisi headline ditampilkan

pada tiap jamnya.

6 Ibid. Hal. 132.

178

Kembali pada argumen mendasar analisis wacana, media diyakini pasti

memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga kemudian secara sengaja

berpihak dan tidak berimbang dalam melakukan pemberitaan. Oleh karena itu,

untuk menyelidiki kepentingan yang bermain di belakang Metro TV, maka perlu

dilakukan analisis discourse practice.

Bila dilihat dalam perspektif historis. Metro TV mewarisi kekritisan yang

dibawa oleh Media Group milik Surya Paloh. Di era orde baru kekritisan Surya

Paloh amat terkenal, sekalipun ia merupakan tokoh Golkar. Ia tak segan-segan

mengkritik pemerintahan orde baru yang sebenarnya penjelmaan dari Golkar itu

sendiri. Tidak mengherankan bila media yang dimilikinya Harian Prioritas,

menjadi media pertama yang dibredel oleh Pemerintahan Orde Baru di era

SIUPP. Pada dasarnya, Prioritas adalah refleksi pemikiran Surya Paloh yang

memang kritis terhadap pemerintahan. Ketika itu, penyajian khas dari Prioritas

memang cenderung satir dan sarkastis dalam melihat fenomena aktual. Akhirnya,

pada 1987, Prioritas dibredel karena dianggap terlalu vokal terhadap

pemerintahan7.

Bila diamati secara lebih teliti, karakter satir dan sarkastis tersebut dengan

mudah bisa dilihat lewat Metro TV maupun Media Indonesia saat ini. Lihat saja,

beberapa judul berita dan editorial seperti, “Kebrutalan TNI di Kebumen”,

“Kebusukan di Senayan”, “Sanksi FIFA Bukan Kiamat”, dan masih banyak lagi.

Akan tetapi, hal ini menurut reporter Metro TV, Rory Asyari, bukanlah bagian

dari hiperbolisme, melainkan lebih dekat kepada rasa (seni) kalimat8.

Sedangkan, untuk rutinitas kerja yang dilakukan oleh wartawan Metro TV

kurang lebih sama dengan apa yang dilakukan di redaksi Liputan 6 SCTV.

Bahwa, setiap alur produksi telah memiliki deskripsi kerjanya yang mendetail dan

sistematis. Setiap hari, selalu ada rapat rapat proyeksi yang akan membahas

seluruh perencanaan dalam proses pencarian berita. Rapat proyeksi tersebut

dilaksanakan pada malam hari untuk mencari berita pagi hingga siang hari,

7 Gigih Sari Alam. Perpolitikan Surya Paloh dan Media Indonesia. Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di http://www.scribd.com/doc/12617151/Sejarah-Media-Indonesia

8 Wawancara dengan Reporter Metro TV, Rory Asyari dan Pitono. Yogyakarta, 11 April 2011.

179

sedangkan rapat proyeksi pagi hari untuk mencari berita dari siang hingga

malam9.

Hasil dari rapat proyeksi tersebut adalah penugasan yang tertulis untuk

setiap reporter lapangan. Sebelum reportase, reporter harus datang ke kantor

redaksi untuk melihat penugasan, baru kemudian turun ke lapangan untuk

melakukan reportase. Setelah proses reportase selesai, berita kemudian dibawa

lagi ke rapat proyeksi untuk dirapatkan. Rapat ini kemudian akan menentukan

berita mana yang layak maupun tidak layak untuk ditayangkan.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dengan Liputan 6 SCTV. Metro

TV kemudian menjadikan berita sebagai dagangannya. Konflik LPI dan PSSI

dalam hal ini adalah berita yang amat tinggi nilainya. Pertama, karena konflik

akan selalu menjadi berita yang layak dijual, bad news is good news. Kedua, karena

sepakbola adalah hajat hidup orang banyak. Sepakbola memang bukanlah urusan

perut yang menentukan hidup-mati seseorang, akan tetapi magnetnya sangat kuat

untuk menarik rasa primordial dan nasionalisme dari khalayak.

Kesimpulannya, adalah proses gatekeeping dalam media. Ketika media

memberitakan sesuatu, media tersebut pada dasarnya melakukan proses

penyaringan. Setidaknya ada 4 tahap penyaringan yang dilakukan oleh media

menurut Chomsky dan Herman10, yaitu: Pertama, ukuran, kepemilikan dan

orientasi ekonomi dari media. Kedua, pengiklan, apakah berita yang ditayangkan

akankah mendiskreditkan atau justru mendukung pengiklan. Ketiga, sumber

media massa. Sejauh mana media menempatkan narasumber, apakah variatif

ataukah hanya lingkaran narasumber tertentu. Keempat, adalah flak. Yaitu

komentar negatif yang umumnya berupa selebaran, petisi, telepon dan

sebagainya tentang sebuah program.

Proses gatekeeping itu pula yang terjadi pada pemberitaan LPI dan PSSI di

Liputan 6 SCTV maupun Metro TV. Kecuali poin keempat, ketiga poin yang

menyaring dapat dilihat mempengaruhi konstruksi berita-berita konflik LPI dan

PSSI.

9 Ibid. 10 Ibid. Hal. 132-133.

180

C. ANALISIS PRAKTIK SOSIOKULTURAL

Analisis sociocultural practice berpijak pada asumsi bahwa konteks sosial yang

berada di luar media ikut mempengaruhi wacana yang muncul di media. Analisis

ini tidak berhubungan langsung dengan teks, akan tetapi ia menentukan

bagaimana kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat memaknai dan

menyebarkan ideologi yang dominan kepada masyarakat.

Dalam kerangka analisis ini, konflik antara LPI dan PSSI tidak bisa

dilepaskan dari posisi penting sepakbola di mata masyarakat Indonesia. Apalagi

di tahun 2010 lalu masyarakat Indonesia sedang merasakan euforia besar

terhadap sepakbola. Puncaknya adalah langkah gagah Timnas Indonesia di Piala

AFF 2010, meski akhirnya tumbang di partai final melawan Malaysia.

Akibatnya, PSSI yang sejak lama telah diminta untuk melakukan reformasi

struktural pun semakin mendapatkan tekanan. Nurdin Halid yang sejak lama

dipaksa mundur, justru membela diri11, “Saya tidak akan mundur karena tekanan.

Saya tidak akan mundur karena menghargai demokrasi dan tatanan PSSI. Jika

kita gagal juara, itu very very unlucky.”

Ada berbagai alasan yang mendasari mengapa berbagai suara kelompok

masyarakat memintanya untuk mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI. Pertama,

statusnya sebagai mantan narapidana korupsi pada tahun 2005 dan 2007. Status

ini sejak lama digugat, akan tetapi tidak dihiraukan oleh PSSI. Bahkan selama

beberapa tahun ia sempat memimpin PSSI dari balik jeruji penjara. Tentu ini hal

yang amat buruk bagi dunia olahraga, karena dipimpin oleh seorang narapidana.

Kedua, Timnas dan Liga Indonesia yang cenderung terus terpuruk sejak

dipimpin oleh Nurdin Halid (dari 17 November 2003 – 26 Maret 2011). Timnas

terpuruk di pentas regional maupun internasional, sedang penyelenggaraan liga

nasional kacau balau, penuh dengan kekerasan dan mafia wasit. Ketiga, berbagai

saran dan kritik yang selama ini ditujukan kepada PSSI tidak pernah

diperhatikan, semisal tujuh butir rekomendasi Kongres Sepakbola Nasional di

Malang 30-31 Maret 2010. Salah satu butir paling penting dari rekomendasi

11 Hargai Demokrasi, Nurdin Halid Tolak Mundur. Diakses pada 25 April 2011. Terarsip di http://www.detiksport.com/sepakbola/read/2010/12/29/232000/1535546/76/hargai-demokrasi-nurdin-halid-tolak-mundur

181

tersebut adalah reformasi dan restrukturisasi organisasi. Sayang, poin yang amat

penting ini berlalu begitu saja.

Berbagai lini media kemudian dikerahkan masyarakat untuk terus menekan

Nurdin Halid dan jajarannya. Kritik di media cetak maupun elektronik sudah

dikerahkan. Di jejaring sosial Facebook, tidak terhitung lagi ada berapa grup

yang menamakan diri “Nurdin Halid Turun”. Di twitter, topik #NurdinTurun

sempat jadi world trending topic. Selama Januari-Februari 2011 terjadi demonstrasi

besar-besaran di berbagai penjuru Indonesia untuk menuntut Nurdin Halid

mundur. Ribuan pendemo selama beberapa hari bahkan menggembok dan

mengepung Kantor PSSI di Gelora Bung Karno. Bukti-bukti ini secara

sosiokultural telah menjelaskan betapa Nurdin Halid beserta jajaran pengurus

PSSI adalah public enemy number one.

Perubahan pun muncul dari berbagai lini. Seperti yang dilakukan Arifin

Panigoro, dengan menginisiasi LPI. perbedaan mendasar antara LPI dengan ISL

adalah pada penggunaan APBD untuk menjalankan klub. LPI adalah liga

professional yang murni dijalankan tanpa menggunakan APBD. Sayang, ide

menarik justru menimbulkan konflik antara Penyelenggara LPI dan PSSI.

Dalam kerangka analisis wacana, khususnya pada analisis sociocultural practice,

dapat dipahami bahwa keberpihakan yang ditunjukkan oleh Liputan 6 SCTV dan

Metro TV tidaklah hanya berdasarkan kepentingan internal, discourse practice,

bahwa kedua media tersebut secara historis dan politik memang kritis terhadap

berbagai ketimpangan dan kondisi status quo. Melainkan, ada faktor eksternal,

berupa akumulasi opini publik yang sejak lama telah meminta Nurdin Halid

beserta jajaran Pengurus PSSI untuk mundur.

Kondisi sosiokultural seperti di atas, tentu tidak akan pernah terwujud bila

sepakbola tidak mendapat perhatian yang amat luas oleh masyarakat. Setidaknya

ada 3 alasan yang mendasarinya (seperti yang telah dijelaskan di BAB II). Pertama,

bahwa sepakbola adalah alat perjuangan. Seperti yang disampaikan oleh Sejarawan

JJ Rizal12, bahwa inti terpenting sepakbola adalah sebagai api penggerak dan

pengobar spirit kebangsaan dan keadabannya sebagai masyarakat bermartabat.

12 JJ Rizal. “Sepakbola Bapak Bangsa”. Diakses pada 16 Maret 2011. Terarsip di http://spartacks.net/2011/sepakbola-bapak-bangsa/

182

Inilah bentuk spirit sepakbola yang dijadikan medium politik untuk membuktikan

bahwa bangsa-bangsa terjajah pun juga manusia yang punya keunggulan.

Indonesia yang saat ini terpuruk butuh kebanggaan, dan sepakbola adalah salah

satu jawaban itu.

Kedua, bahwa sebagai bagian dari modernitas, sepakbola adalah industri

yang amat raksasa. Di Liga Sepakbola Indonesia saja berputar uang ratusan miliar

sampai dengan triliunan tiap musimnya. Dan sepakbola memang olahraga yang

paling disukai di Indonesia, seperti hasil survey yang dilakukan oleh TNS Sport13.

Ketiga, adalah politisasi yang merusak spirit sportifitas dalam sepakbola.

Nurdin Halid yang sejak 2007 telah dilarang untuk maju sebagai Ketua Umum

PSSI, ternyata menggunakan kekuasaannya untuk merubah statuta FIFA. Statuta

FIFA yang menuliskan bahwa "The members of the Executive Committee... must not

have been previously found guilty of a criminal offence". Justru ditelikung artinya menjadi

"Anggota Komite Eksekutif... harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu

tindakan kriminal pada saat kongres serta berdomisili di wilayah Indonesia."

FIFA bahkan akhirnya menyetujui hal tersebut melalui Direktur Asosiasi dan

Pengembangan FIFA, Thierry Regenass, yang hadir pada Munaslub PSSI di

Jakarta, April 2009.

Ketiga argumen di atas bersama dengan berbagai kegagalan PSSI sejak 2003,

kemudian meletupkan revolusi suporter Indonesia. Puncaknya adalah kisruh di

Kongres PSSI, 26 Maret 2011 di Palembang, yang akhirnya memaksa Nurdin

Halid beserta Nugraha Besoes, Sekjen PSSI, lengser dari jabatannya. Kondisi

sosiokultural inilah yang kemudian dilihat oleh Liputan 6 SCTV dan Metro TV

untuk kemudian mewarnai konstruksi wacana konflik antara LPI dan PSSI.

D. ANALISIS ORDER OF DISCOURSE

Analisis order of discourse adalah bagian dari analisis wacana Fairclough yang

melihat berita dari segi intertekstualitas dan genre. Intertekstualitas adalah

sebuah istilah dimana teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang

sebelumnya. Sedangkan istilah genre adalah bagian dari konvensi yang

13 Abi Hasantoso, dkk. Op.Cit. Hal. 31.

183

dihubungkan dengan tindakan. Sebuah genre tidak hanya menampilkan tipe teks

tertentu, tetapi juga proses produksi, distribusi dan konsumsi dari teks.

1. Genre

Dengan melihat teks-teks yang disampaikan oleh Liputan 6 SCTV dan Metro

TV, dengan demikian genrenya adalah berita. Sedangkan, tipe aktivitasnya adalah

hard news, yang memposisikan pembuat berita sebagai subyek dan khalayak

sebagai pembaca/pemirsa. Pengertian dari hard news sendiri adalah berita yang

menyangkut hal-hal penting yang langsung terkait dengan kehidupan pembaca,

pendengar atau pemirsa. Karena dianggap penting, maka media segera

melaporkannya. Pada koran biasanya ditampilkan di halaman depan, pada televisi

dan radio pada jam prime time. Sedang pada situs portal berita, biasanya akan

segera di-upload dan di-update14.

Berita pun pada dasarnya tidaklah sama antara media cetak dengan media

penyiaran/elektronik. Beberapa perbedaan mendasar yang disebutkan oleh

Askurifai Baksin adalah sebagai berikut15:

No

Media Cetak/Periodik Media Elektronik/Penyiaran

Radio Televisi

1. Isi pesan tercetak, dapat

dibaca kapan saja dan

dimana saja.

Isi pesan audio, hanya

dapat didengar sekilas

sewaktu siaran.

Isi pesan audio-visual,

hanya dapat didengar

dan dilihat sekilas

sewaktu siaran.

2. Isi pesan dapat dibaca

berulang-ulang.

Isi pesan tidak dapat

diulang.

Isi pesan tidak dapat

diulang.

3. Hanya dapat menyajikan

peristiwa yang telah

terjadi.

Dapat menyajikan

peristiwa yang sedang

terjadi.

Dapat menyajikan

peristiwa yang sedang

terjadi.

4. Tidak dapat menyajikan

pendapat narasumber

Dapat menyajikan

pendapat narasumber

Dapat menyajikan

pendapat narasumber

14 Septiawan Santana K. Op. Cit. Hal. 21. 15 Askurifai Baksin. Op.Cit. Hal. 60-61.

184

secara orisinal. (audio) secara orisinal. (audio-visual) secara

orisinal.

5. Pesan dibatasi halaman

dan kolom.

Pesan dibatasi waktu. Pesan dibatasi waktu.

6. Makna berkala dibatasi

oleh hari, minggu dan

bulan.

Makna berkala dibatasi

oleh detik, menit dan

jam.

Makna berkala dibatasi

oleh detik, menit dan

jam.

7. Distribusi melalui

transportasi

darat/laut/udara.

Distribusi melalui

pemancaran/transmisi.

Distribusi melalui

pemancaran/transmisi.

8. Bahasa yang digunakan

formal.

Bahasa yang digunakan

formal dan non formal

(bahasa tutur).

Bahasa yang digunakan

formal dan non formal

(bahasa tutur).

9. Kalimat dapat panjang

dan terperinci.

Kalimat singkat, padat,

jelas dan sederhana.

Kalimat singkat, padat,

jelas dan sederhana.

Singkatnya, menurut JB Wahyudi16, dibanding karya jurnalistik cetak, film,

maupun radio, karya jurnalistik televisi adalah yang paling sempurna karena

dapat mengutip narasumber yang relevan secara langsung dan orisinal, dalam

bentuk audio visual.

Hard news sendiri dalam berita televisi harus mencakup inti-inti 5W+1H.

Uraian kemudian dimulai dari yang terpenting menuju yang kurang penting atau

yang sering diistilahkan sebagai piramida terbalik, bagian atasnya lebar semakin

ke bawah semakin menyempit. Isi berita ada di bagian awal berita, sedangkan

semakin ke bawah adalah sisipan-sisipan keterangan. Kalimat pertama dalam hard

news yang disebus sebagai lead/teras berita harus mengandung nilai yang

terpenting yang dijadikan sebagai topik bahasan berita. Di hard news pula,

wartawan hanya berfungsi menyajikan fakta dan pendapat narasumber, sehingga

tidak dibenarkan adanya opini pribadi17.

16 JB Wahyudi. 1996. Dasar-dasar Jurnalistik Radio dan Televisi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hal. 9.

17 Ibid. Hal. 45.

185

Bentuk piramida terbalik yang menjadi ciri khas dari hard news, secara

otomatis membuat wartawan harus segera mengurutkan laporannya. Bagian yang

paling atas merupakan ruang untuk ringkasan isi berita (summary statement). Baru

setelah itu dilanjutkan dengan penjelasan. Yakni pengembangan detil-detil, fakta-

fakta dan hal-hal lain18. Menurut, Friendlander dan Lee19, keuntungan dari

penggunaan prinsip piramida terbalik ini adalah, pertama, para pembaca dapat

segera mengetahui isi berita dengan hanya membaca lead dan beberapa paragraf

awal. Kedua, memudahkan redaktur untuk memotong berita yang terlalu

panjang, lewat materi berita yang tidak begitu penting di ujung bagian bawah

berita.

Karakteristik khas lain dari hard news dalam berita televisi adalah sifatnya

yang informatif, faktual dan aktual. Semisal, berita tentang keluarnya izin

penyelenggaran LPI oleh Polri, termasuk dalam kategori berita yang memiliki

nilai berita tinggi. Sehingga, harus disajikan secepatnya dengan uraian

berdasarkan piramida terbalik dan mengandung unsur 5W+1H.

2. Intertektualitas

Sedangkan, intertekstualitas yang dimaksud adalah istilah dimana teks atau

ungkapan dibentuk oleh teks yang hadir sebelumnya, saling menanggapi dan

salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi bagian lainnya.

Intertekstualitas dalam berita dapat dideteksi dari pengutipan narasumber,

apakah secara langsung atau tidak langsung.

Ada beberapa berita yang bisa ditelusuri intertekstualitasnya. Pertama, berita

mengenai LPI yang belum mendapatkan perijinan. Di Liputan 6 SCTV, berita ini

disiarkan pada tanggal 6 Januari. Sedangkan, di Kompas berita ini juga dicetak

pada 6 Januari.

Berita di Liputan 6 SCTV menyatakan bahwa:

(Voice Kapolresta Solo)Jadi ada satu persyaratan di sini yang belum dicukupi, yaitu

surat rekomendasi dari induk persepakbolaan atau induk organisasi sepakbola, yaitu

PSSI.

18 Septiawan Santana K. Op. Cit. Hal. 23. 19 Ibid.

186

(VO Narator)Panitia pelaksana LPI di Solo mengaku tidak bisa berbuat banyak

dan menyerahkan sepenuhnya kepada penyelenggara LPI tingkat pusat di Jakarta.

(Voice Roy Saputra, Panitia Lokal LPO)Kalau persiapan dari Panpel sudah 60%

agar besok tanggal 8 penyelenggaraannya bisa lancar.

Sedangkan di Kompas Juru Bicara LPI Abi Hasantoso menyatakan bahwa:

Juru bicara LPI, Abi Hasantoso, menjelaskan, izin pertandingan memang belum

dikeluarkan oleh Polresta Solo. Namun, proses perizinan masih terus berlangsung.

Panitia lokal di Solo masih menunggu jawaban dari Kapolresta Solo.

”Besok pagi (Kamis) kami ada pertemuan dengan Kapolresta Solo dan Kapolda Jawa

Tengah. Pertemuan itu untuk menjelaskan tentang LPI kepada jajaran aparat

keamanan,” ujar Abi.

Abi menambahi, pihak LPI optimistis kepolisian akan memberikan izin pertandingan

perdana. LPI juga dimaksudkan untuk memperbaiki sepak bola nasional.

Kedua berita ini pada dasarnya berasal dari tanggal yang berbeda sama.

Akan tetapi, karena sifat siaran televisi yang aktual dan langsung, berita bisa

langsung disiarkan hari itu juga. Sedangkan, Kompas harus menunggu sehari

berikutnya untuk terbit, imbasnya berita pun muncul pada hari yang bersamaan.

Pada dasarnya, berita di Kompas mendahului berita di Liputan 6 SCTV. Berita di

Kompas menyatakan bahwa panitia masih mengurus perizinan LPI dengan

Polresta Solo. Sedangkan, berita di Liputan 6 SCTV mengkonfirmasi hal tersebut

dengan kutipan wawancara dengan Kapolresta Solo yang menyatakan bahwa

perizinan belum dapat dikeluarkan karena ada persyaratan yang belum dicukupi,

yaitu surat rekomendasi dari yaitu PSSI.

Kedua berita ini, baik di Liputan 6 SCTV maupun Kompas memiliki

karakteristik wacana yang mirip. Keduanya cenderung meninggikan posisi tawar

LPI terhadap Polri atau PSSI. Caranya dengan pengambilan narasumber yang

didominasi oleh pihak pro LPI. Di Liputan 6 SCTV selain Panitia Pelaksana LPI

di Solo, beberapa warga juga dimintai pendapatnya tentang LPI. Sedangkan,

berita di Kompas pada tanggal 6 Januari tersebut secara lebih ekstrim hanya

187

menggunakan narasumber pro LPI, seperti Panitia Pelaksana, Juru Bicara LPI

dan Supporter Pasoepati yang berdemo menuntut LPI diberi izin.

Kedua, berita tersendatnya perijinan LPI akhirnya terselesaikan oleh izin yang

akhirnya dikeluarkan oleh Polri. Liputan 6 SCTV dan METRO TV

memberitakannya pada tanggal 6 Januari, sedangkan Jawa Pos tanggal 7 Januari.

Peristiwa ini terjadi pada hari yang sama, akan tetapi perbedaan deadline

produksi berita membuat berita disiarkan pada hari yang berbeda.

Berita di Liputan 6 SCTV menyatakan bahwa:

(VO Kapolda Jawa Tengah)Kalau Jawa Tengah sudah mengantongi dari BOPI.

Tidak ada alasan untuk tidak mengijinkan. Jadi kira-kira induk organisasinya

mengijinkan dan Polri akan mengeluarkan ijin keramaian dan akan mengamankan.

Terimakasih.

(VO Narator)Kepastian izin penyelenggaraan diperoleh setelah Polda Jawa Tengah

melakukan koordinasi dengan Mabes Polri di Jakarta. Dalam koordinasi melalui

telepon tersebut, pihak Mabes Polri sempat mempertanyakan rekomendasi dari induk

olahraga sepakbola di Indonesia untuk LPI di Solo. Karena pihak PSSI pengurus

cabang Solo sudah memberikan rekomendasi tersebut ke Polda Jawa Tengah. Pihak

kepolisian pun menyatakan persoalan rekomendasi penyelenggaraan LPI di Solo sudah

tidak ada masalah.

Berita di Metro TV menyatakan bahwa:

(VO Narator)Dalam jumpa pers di Gedung Kemenpora, Kabag Intelkam Mabes

Polri, Komjen Pol. Wahyono mengakui bahwa Liga Primer Indonesia (LPI) adalah

kompetisi sepak bola profesional. Dan bukan olahraga amatir yang harus mengantongi

rekomendasi PSSI. Karena itu, Polri harus mengeksekusi rekomendasi Badan

Olahraga Professional, seperti BOPI atas kompetisi yang diselenggarakan oleh LPI.

(VO Kabag Intelkam)Kalau yang bersifat amatir harus ada rekomendasi, tapi kalau

yang bersifat professional itu harus ada ijin penyelenggaraan yang dikeluarkan oleh

lembaga atau badan yang sudah ditunjuk oleh pemerintah berdasar peraturan menteri,

yaitu BOPI. Manakala BOPI telah menetapkan keputusannya, memberikan

perijinannya. Sudah barang tentu Polri harus memberikan ijin untuk memberikan

188

perlindungan dan pelayanan bagi masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan ini.

Dalam bentuk implikasinya pada keramaian umum.

Sedangkan, di Jawa Pos 7 Januari dengan berita yang berjudul “Menpora-

Polisi Abaikan PSSI” ditulis bahwa:

Tapi, kemarin Kadivhumas Mabes Polri Irjen Anton Bachrul Alam

menegaskan bahwa izin tersebut sudah keluar. ’’Kami sudah mengeluarkan

izin, tapi bukan izin penyelenggaraan,’’ katanya. Mantan Kapolda Jatim

tersebut menjelaskan, dalam persoalan izin itu, kepolisian berwenang

mengeluarkan izin keramaian umum. Izin tersebut dikeluarkan karena

pertandingan perdana LPI itu bersinggungan dengan keramaian umum. Dari

izin tersebut, polisi siap mengawal jalannya pertandingan. Untuk

pengamanan, Mabes Polri memberikan kewenangan sepenuhnya ke jajaran

Polda Jawa Tengah.

Perwira dengan dua bintang di pundak itu menjelaskan, izin keramaian

tersebut diterbitkan setelah BOPI memberikan izin penyelenggaraan

pertandingan. Anton menuturkan, pihaknya merujuk pada pasal 3 ayat 6

Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga Nomor Per-0342/Menpora/

IX/2009 tentang Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI). Aturan itu

berbunyi, BOPI bertugas memberikan izin penyelenggaraan pertandingan

dan perlombaan olahraga profesional. Selain itu, kata dia, pertandingan

perdana LPI tersebut sudah mendapat rekomendasi atau persetujuan dari

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Provinsi Jawa Tengah.

’’Semua rekomendasi sudah komplet. Jadi, kami sudah bisa mengeluarkan

izin,’’ terang dia.

Dari berita di Liputan 6 SCTV dan Metro TV dikesankan bahwa Polri telah

memberi restu kepada LPI. Ternyata ada hal-hal yang belum diberitakan dan

kemudian ditulis oleh Jawapos. Hal tersebut adalah mengenaik perizinan, bahwa

izin yang dikeluarkan bukanlah izin penyelenggaran LPI, melainkan izin

keramaian umum. Dari segi konstruksi wacana, tentu bisa diprakirakan bahwa

ada wacana yang ingin dikonstruksi oleh Liputan 6 SCTV dan Metro TV, yaitu

189

kepastian penyelenggaraan LPI. Namun, bisa jadi hal tersebut muncul karena

terbatasnya durasi siaran berita di televisi. Dan memang berita cetak, bisa

menampilkan berita secara lebih mendetail dibanding televisi yang lebih

mengutamakan kecepatan (aktualitas) siaran.

Selain itu, berita ini menggunakan narasumber yang sama. Jawapos dan

Metro mengambil langsung dari Polri di Jakarta, sedangkan Liputan 6 SCTV

mengambil dari Polda Jawa Tengah. Inti beritanya pun sama, bahwa Polri

memberikan izin (keramaian) berdasar rekomendasi dari BOPI, bukan PSSI,

untuk kemudian diteruskan ke Polda setempat.

Ketiga, Intertekstualitas yang bisa ditelusuri adalah berita tentang LPI yang

diancam oleh FIFA, disiarkan di Metro TV tanggal 7 Januari 2011, Liputan 6

SCTV tanggal 9 Januari 2011, dan diberitakan di Koran Tempo tanggal 8 Januari

2011.

Berita di Metro TV adalah sebagai berikut:

(VO Narator)Tentangan terhadap Liga Primer Indonesia terus mendapat tantangan.

Kali ini datangnya dari Federasi Sepakbola Internasional, FIFA.

(VO Narator)Meski belum mendapat laporan resmi mengenai Liga Primer Indonesia,

FIFA akan terus memantau. Bila tetap dilaksanakan, akan berhadapan dengan

sanksi FIFA.

(VO Narator)Menurut Direktur Pengembangan dan Anggota Asosiasi FIFA,

Thierry Regenass. Pihaknya tidak mengenal kompetisi sepak bola profesional yang

diselenggarakan di luar anggotanya, dalam hal ini PSSI.

(VO Narator)Sementara itu, menanggapi ancaman tersebut. Juru bicara LPI, Abi

Hasantoso justru mengakui itu sebagai hal yang baik. Karena ancaman tersebut

membuktikan ada perhatian dari FIFA. Dan hal itu justru akan membuka pintu

dialog.

Kemudian, diberitakan oleh Koran Tempo sebagai berikut:

Sebelumnya, Direktur Keanggotaan dan Pengembangan FIFA Thierry

Regenass mengatakan kepada kantor berita Reuters di Doha kemarin soal

kemungkinan pemberian sanksi tersebut. Regenass mengatakan pihaknya

sejauh ini belum menerima pemberitahuan resmi apa pun tentang LPI dari

190

PSSI, tapi ia mengaku tahu liga itu mulai bermain hari ini. Pihaknya juga

menyadari situasinya. "Dan ke depan mungkin akan ditangani oleh Komite

Darurat FIFA dan sanksi akan diambil," kata Regenass, yang berada di

Doha untuk menghadiri putaran final Piala Asia.

Menurut Abi Hasantoso, LPI menganggap ancaman FIFA itu sebagai

berkah, karena mereka akan bisa menyampaikan secara langsung segala

keburukan yang terjadi dalam penyelenggaraan liga oleh PSSI selama ini

kepada FIFA. "Sebab, selama ini yang bisa bertemu FIFA hanya orang

PSSI," kata Abi.

Abi mengatakan LPI juga tak bakal menanggapi ancaman tersebut karena

Thierry Regenass hanya Direktur Keanggotaan dan Pengembangan FIFA.

"Dia tidak kami anggap, kecuali kalau yang bicara Presiden atau Sekjen

FIFA. Dia (Regenass) itu orangnya PSSI, maksudnya temannya Nugraha

(Besoes, Sekretaris Jenderal PSSI) dan Nurdin (Halid, Ketua Umum PSSI),

makanya mengancam kami," ujarnya.

Liputan 6 SCTV pada hari berikutnya juga memberitakan:

(VO Narator)Liga Primer Indonesia sudah bergulir pada pertandingan perdana hari

kemarin. Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng berharap Liga Primer

Indonesia (LPI) bisa meningkatkan prestasi olahraga nasional. Di sisi lain, Arifin

Panigoro, merupakan penggagas Liga Primer Indonesia pun menyatakan tidak gentar

terhadap ancaman sanksi dari FIFA.

(VO Narator)Sebelum Liga Primer Indonesia mulai digelar hari ini. Ancaman sudah

muncul dari organisasi federasi sepakbola dunia, FIFA. Direktur Asosiasi

Pengembangan FIFA, Thierry Regenass memberitakan. Pihaknya akan memberikan

sanksi kepada LPI, karena liga yang diikuti 19 klub ini bukan agenda resmi PSSI.

Bahwa sanksi yang akan diberikan oleh FIFA itu adalah terhadap pemain-pemain,

ofisial, wasit, pelatih dan perangkat pertandingan yang terlibat di situ.

(VO Narator)Namun Menteri Pemuda dan Olahraga menyayangkan ancaman

FIFA tersebut. Menpora juga menyayangkan sikap PSSI yang tidak berkonsultasi

lebih dahulu sebelum melaporkan LPI ke FIFA. Padahal pemerintah sudah mengacu

pada undang-undang saat memberi ijin kepada LPI.

191

(Voice Menpora)Dalam undang-undang itu yang mengatur tentang olahraga

profesional adalah Badan Olahraga Professional. Yang diberi kewenangan-kewenangan

berdasar aturan perundangan negara. Dan karena itu, maka BOPI-lah yang membuat

perijinan dalam olahraga professional. Kita tidak mencampuri urusan dalam negeri

PSSI. Tetapi, melakukan apa yang sudah menjadi kewenangan dari sebuah negara.

(VO Narator)Menanggapi sanksi dari FIFA, penggagas Liga Primer Indonesia

Arifin Panigoro tetap akan terus berjalan sesuai dengan rencana.

Secara berturut-turut selama 3 hari, berita tentang ancaman FIFA

diberitakan oleh ketiga media ini. Berita tersebut bersumber dari pernyataan dari

Thierry Regenass, Direktur Asosiasi Pengembangan FIFA. Akan tetapi, secara

bersamaan pula ketiga media besar ini memberitakan bahwa ancaman tersebut

diabaikan LPI, karena mereka justru sangat terbuka untuk berdiskusi dengan

FIFA. Dan dari ketiga media tersebut, Koran Tempo mampu menulis berita

yang lebih detail, dengan kutipan wawancara dari Abi Hasantoso (Juru Bicara

LPI) yang menyatakan bahwa Regenass adalah orang yang berpihak pada PSSI.

Selain berbeda cara penyampaiannya dibanding dengan Liputan 6 SCTV maupun

Metro TV, karena di dua stasiun televisi ini hanya menggunakan narator,

pendapat ini juga merupakan kunci yang mampu menjelaskan duduk

permasalahan sebenarnya.

Kesimpulan, dari penelusuran intertekstualitas yang ada, dapat diambil

kesimpulan bahwa sebagian besar media massa di dalam negeri secara bersama-

sama mendukung adanya LPI untuk kepentingan perkembangan sepakbola

nasional. LPI diharapkan sebagai lokomotif terhadap reformasi total terhadap

dunia persepakbolaan di Indonesia. Maka, benarlah anggapan yang menyatakan

bahwa media massa berperan penting dalam mensukseskan LPI, secara khusus

dan secara umum ikut serta melengserkan kepemimpinan PSSI di bawah Nurdin

Halid.

192

BAB V

PENUTUP

Penelitian dengan menggunakan metode analisis wacana kritis Fairclough ini sejak

awal bertujuan untuk mempelajari bagaimana kekuasaan disalahgunakan atau

bagaimana dominasi serta ketidakadilan dijalankan dan direproduksi melalui teks.

Termasuk di dalamnya dipelajari pula bagaimana produksi wacana berlangsung dan

relasi kuasa apa saja yang ada di belakangnya.

Analisis pada BAB IV menemukan fakta empirik bahwa industri televisi

Indonesia, khususnya televisi swasta, mengalami pergeseran berkenaan dengan

pergantian rezim pemerintahan. Bila pada masa orde baru state regulation begitu kuat

mengatur, pasca reformasi justru market regulation yang menguasai. Kini, tidak ada lagi

pemerintah yang secara otoriter mengatur batasan-batasan isi media, melainkan

media sendiri yang menentukan hal tersebut berdasarkan kecenderungan yang

diinginkan oleh pasar/khalayak.

Tidak bisa dipungkiri pula bahwa sepakbola sebagai sebuah olahraga, hiburan

sekaligus industri menarik keterlibatan berbagai pihak. Sepakbola sejak zaman pra-

kemerdekaan digunakan pula sebagai simbol perjuangan kebangsaan. Hingga hari ini

ini, sepakbola begitu ditunggu prestasinya oleh segenap bangsa Indonesia. Sehingga,

ketika sepakbola terpuruk dan kemudian dipolitisasi, revolusi terhadap PSSI pun

terjadi dimana-mana dan lewat berbagai lini media, termasuk di dua stasiun televisi

SCTV dan Metro TV. Pemberitaan yang intensif ini, tentu tidak dapat dilepaskan dari

tendensi kepentingan yang dimiliki oleh kedua televisi tersebut terhadap

persepakbolaan nasional, khususnya lewat penyelenggaraan LPI.

Penelitian skripsi ini kemudian fokus kepada teks-teks berita hard news di

Liputan 6 SCTV dan Metro TV. Dua stasiun televisi ini dipilih karena newsroom-nya

yang dikenal menonjol. Selain itu, stasiun khusus berita lain yang seharusnya bisa

digunakan sebagai obyek, yaitu TvOne ternyata tidak memberitakan sama sekali

tentang LPI. Keputusan TvOne untuk tidak memberitakan LPI, dalam kerangka

analisis wacana, tentu didasarkan atas kepentingan dan konstruksi wacana tertentu.

193

Secara keseluruhan, ada 13 berita dari Liputan 6 SCTV dan 8 berita dari Metro

TV yang dianalisis. Dari latar belakang hingga analisis yang telah disampaikan, ada

beberapa kesimpulan dan saran dari penelitian ini.

A. KESIMPULAN: Ketika PSSI Jadi Musuh Bersama

Kesimpulan yang akan diangkat adalah ringkasan poin-poin analisis yang telah

dibahas di BAB IV. Mulai dari representasi, relasi, identitas, discourse practice, dan

sociocultural practice secara umum. Selain itu, Merujuk pada tujuan penelitian pada

Bab I. Maka ada tiga poin yang harus dijelaskan dalam Bab V ini, yakni: Pertama,

konstruksi pemberitaan yang diwacanakan oleh MetroTV dan Liputan 6 SCTV

tentang konflik LPI dan PSSI. Kedua, latarbelakang dari konstruksi tertentu

pada pemberitaan Liputan 6 SCTV dan Metro TV tentang LPI. Dan ketiga,

pembuktian kajian kritis bahwa netralitas media terhadap suatu debat publik

tidak akan pernah terjadi.

Dimulai dari representasi, ada persamaan dan perbedaan yang dimiliki

oleh Liputan 6 SCTV dan Metro TV. Persamaannya adalah konflik LPI dan

PSSI secara empiris dikonstruksi melalui pemberitaan kedua stasiun televisi

tersebut. Sedangkan, perbedaannya adalah Liputan 6 SCTV ‘sedikit’ lebih

obyektif dalam melakukan representasi. Indikasinya adalah diksi pemberitaan

yang lebih halus dan pemilihan narasumber yang lebih variatif, cover both sides.

Metro TV di lain pihak justru begitu gemar menggunakan kosakata yang

sarkastis, seperti “gertak sambal” dan “mengharamkan”. Narasumber pun, dari 8

berita di Metro TV, hanya ada satu berita yang meluangkan ruang untuk

wawancara dengan PSSI sebagai pihak yang dimarjinalkan dalam wacana ini.

Sedangkan, Liputan 6 SCTV lebih bersikap ‘fair’, dengan 6 dari 13 beritanya

meluangkan ruang untuk wawancara dengan PSSI. Akan tetapi, secara umum

memang representasi yang dikonstruksi dalam dua stasiun ini adalah LPI sebagai

pembela kepentingan sepakbola nasional dan PSSI sebagai musuh bersama yang

terus melakukan hadangan.

Dalam hal relasi, melalui analisis teks ditemukan fakta bahwa kedua

televisi ini mengkonstruksi wacana konflik antara LPI dan PSSI. Kedua belah

pihak yang berkonflik ini hampir selalu dibenturkan dalam berita. Meski harus

194

diakui sebagian besar berita yang disiarkan menampilkan PSSI sebagai common

enemy yang melawan kepentingan masyarakat luas terhadap kemajuan sepakbola

Indonesia. Posisi ini secara eksplisit adalah pola marjinalisasi yang dilakukan oleh

Liputan 6 SCTV dan Metro TV. Selain itu, PSSI hampir selalu ditampilkan

sendirian membela diri terkait penolakannya terhadap LPI. PSSI memang

sempat ‘dibela’ oleh FIFA, akan tetapi FIFA yang membelanya kemudian

dikonstruksi sebagai pihak yang belum paham masalah dan hanya mendapat

informasi sepihak. Sedangkan, LPI secara positif ditampilkan membela

kepentingan masyarakat luas. Ini dibuktikan dalam beberapa berita, ada banyak

partisipan berita yang membela LPI, seperti DPR, Menpora, Pengamat

Sepakbola, Klub LPI, Masyarakat (Warga Solo dan Siswa SMA), bahkan hingga

wartawan televisi itu sendiri.

Untuk identitas, ada perbedaan yang cukup signifikan antara Liputan 6

SCTV dan Metro TV. Liputan 6 SCTV lebih dominan menampilkan diri sebagai

pengamat, sebagai orang ketiga di luar konflik, untuk kemudian memberitakan

hal tersebut kepada khalayak. Sedangkan, Metro TV secara terang-terangan, baik

melalui narasi maupun wartawan di lapangan, sering menampilkan identitasnya

yang lebih memihak pada LPI. Bahkan berbagai dukungan tersebut, dapat

disimpulkan seakan-akan Metro TV adalah juru bicara atau humas dari LPI.

Kesimpulan dari analisis representasi, relasi dan identitas di atas, dapat

dirangkum ke dalam tabel di bawah ini:

Berita SCTV Indikasi Representasi

Indikasi Relasi

Indikasi Identitas

LPI Segera Digelar, PSSI Menganggap Liar

1. Penggunaan kata: - PSSI yang menyebut LPI ‘liar’. - ‘Kisruh PSSI’ sebagai judul berita. 2. Sanggahan melalui VO SCTV terhadap pernyataan PSSI

Konflik yang dibentuk adalah antara LPI dan PSSI. SCTV sebagai pengamat di luar konflik.

SCTV memposisikan diri sebagai perwakilan masyarakat luas.

BTN PSSI Tetap Sertakan Irfan Bachdim

1. PSSI dianggap inkonsisten karena menolak LPI, tapi tetap memanggil pemainnya.

Benturan antara PSSI dan LPI, khususnya lewat pemain dari klub Persema Malang.

SCTV mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Persema Malang.

195

2. Penggunaan judul “Konflik Liga Sepakbola” 1. Pemain LPI (Persema) tidak takut dengan ancaman PSSI.

Suporter Makassar Minta LPI Dibubarkan

1. Demonstran direpresentasikan sebagai tindakan abnormal. 2. Pemilihan kata ‘sejumlah’ dan ‘puluhan’ menandakan minoritas. 3. Judul “Pendukung Nurdin Halid Berdemo” mereduksi demo ini menjadi konflik antara Nurdin Halid versus LPI.

Konflik antara PSSI, yang diwakili oleh demonstran pro-Nurdin Halid dan LPI.

SCTV menampilkan berita dari sisi kelompok pendemo.

Ternyata LPI Belum Urus Izin Pembukaan Liga

1. Permasalahan ijin bukan dari pihak LPI, melainkan karena internal Polri yang tidak bersepakat. 2. Di akhir berita, LPI direpresentasikan tidak bersalah karena hanya menunggu kepastian dari Polri.

Kontradiksi di internal Polri antara Kabareskrim dan Kadivhumas terhadap izin LPI.

SCTV cenderung menampilkan diri sebagai wakil dari LPI.

Pengamat Bola “LPI Sangat Positif”

1. Pernyataan pengamat menguatkan posisi LPI. 2. PSSI menjawab secara egois, bahwa sepakbola adalah urusan PSSI. 3. Penggunaan judul ‘Kritik untuk

Debat antara pendukung LPI (pengamat) dengan PSSI.

SCTV mencoba netral dalam berita ini dengan menampilkan dua belah pihak yang berbeda pendapat.

196

PSSI’ diterjemahkan lewat pernyataan pengamat sepakbola.

Polda Jateng Belum Izinkan Pertandingan LPI

1. Pernyatan presenter “namun” mengandung penegasan kontradiktif. 2. Kesiapan pihak LPI dikonfirmasi oleh Ketua Panpel Solo dan didukung oleh warga Solo. 3. Representasi anak kalimat, mengarahkan dukungan SCTV terhadap LPI.

Benturan antara Polri dan PSSI dengan Warga Solo terkait penyelenggaraan LPI.

SCTV netral dalam berita ini dengan menampilkan dua belah pihak yang berbeda pendapat.

Polisi Akan Amankan Laga Perdana LPI

1. Pernyataan Kapolda Jateng yang mengijinkan LPI. 2. Judul berita “Polisi Akan Amankan Laga Perdana LPI” merepresentasikan pemihakan Polri terhadap LPI. 3. PSSI tidak diberikan ruang, hanyan dijelaskan lewat narator.

Berita ini merupakan rekonsiliasi dari benturan antara Polri dengan LPI dan warga Solo pada hari sebelumnya.

SCTV lebih memihak kepada LPI, dengan meninggalkan PSSI di luar berita.

Rumah Arifin Panigoro Didemo Pendukung PSSI

1. Pendemo tidak diberi kesempatan untuk berbicara, hanya diwakili oleh suara narrator & presenter. 2. Judul “Rumah Arifin Panigoro Didemo Pendukung PSSI” mengindikasikan adanya

Benturan antara PSSI yang diwakili oleh para pendemo dengan Arifin Panigoro.

SCTV menempatkan diri secara netral sebagai pengamat realitas.

197

permasalahan antara Arifin dengan PSSI.

LPI Vs LSI, Siapa Pemenangnya?

1. Pemilihan kata “vs” dan frasa “siapa pemenangnya?” pada judul menegaskan konflik antara LPI dan PSSI (LSI). 2. Narasumber yang dipilih hanya mereka yang memihak pada LPI. 3. Kesimpulan narrator di akhir berita yang menegaskan pernyataan narasumber.

Siswa SMA melihat LPI dan LSI yang sedang berkonflik. Sebagian besar siswa lebih memilih LPI.

SCTV cenderung tidak netral ketika hanya memberi ruang wawancara kepada pendukung LPI, tidak LSI.

Diancam FIFA, LPI Jalan Terus

1. Judul dengan kata “diancam” oleh FIFA, menandakan adanya permasalahan antara LPI dengan FIFA. 2. Akan tetapi, secara representasi antar anak kalimat, pernyataan tersebut dibantah oleh pihak-pihak yang mendukung LPI seperti Menpora RI, Arifin Panigoro dan Pelatih Persema Malang Timo Schunemann.

Berita ini mengkonstruksi konflik antara FIFA dan PSSI dengan para pendukung LPI, Menpora RI, Penyelenggara LPI dan pelatih klub LPI.

SCTV ingin memberitakan konflik secara netral dengan menampilkan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Akan tetapi, narasumber dari pihak kontra LPI ditampilkan sangat singkat. Sedangkan, pihak yang pro-LPI lebih panjang.

PSSI Tutup Pintu Dialog

1. Pemilihan judul dengan kata ‘tutup’ adalah pilihan dari redaksi SCTV, member kesan bahwa PSSI tidak

Berita ini mengkonstruksi konflik antara FIFA dan PSSI dengan para pendukung LPI,

SCTV menampilkan konflik beserta pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Akan tetapi,

198

terbuka & arogan. 2. Penggunaan judul “PSSI Tutup Pintu Dialog” juga telah menandakan adanya konflik antara LPI dan PSSI. 3. Secara representasi anak kalimat, berita ini diakhir dengan tanggapan yang menentang PSSI dari Arifin Panigoro dan Menpora RI.

yaitu Menpora RI dan penyelenggara LPI.

representasi PSSI yang memilih untuk menutup dialog. Dengan jelas, dapat diartikan sebagai sikap Liputan 6 SCTV untuk memberi citra PSSI yang otoriter dan sewenang-wenang.

DPR Sesalkan Pencoretan Nama Irfan

1. Penggunaan kata “DPR” ketimbang “Anggota DPR”, memberikan penekanan lebih terhadap berita. 2. PSSI ditampilkan sebagai musuh dari masyarakat dan pemerintah karena bertindak sewenang-wenang. 3. Berita hanya mengutip dialog dengan anggota DPR Gede Pasek, tanpa memberi ruang tanggapan kepada PSSI atau Alfred Riedl.

Dominasi DPR terhadap PSSI dan Alfred Riedl terhadap konflik LPI.

SCTV memposisikan identitasnya sebagai pihak yang mendukung LPI.

Nurdin Sentil LPI

1. Judul “Nurdin Sentil LPI” menunjukkan adanya konstruksi konflik. 2. Secara visual ditampilkan pula judul “Perseteruan PSSI vs LPI”. 3. Nurdin Halid dikutip secara

Berita ini mengkonstruksi konflik antara LPI dan PSSI. PSSI diwakili oleh Nurdin Halid, sedangkan LPI justru diwakili oleh SCTV lewat presenter dan naratornya.

SCTV secara eksplisit bertindak seakan-akan sebagai Humas LPI dengan menyanggah pernyataan-pernyataan Nurdin Halid.

199

langsung. Akan tetapi, seluruh narasi SCTV setelahnya menyanggah Nurdin.

Berita Metro TV

Indikasi Representasi

Indikasi Relasi

Indikasi Identitas

BLI Bahas Sanksi untuk Klub yang Gabung ke LPI (3 Januari 2011)

4. Penggunakan kata “hadangan” untuk sikap PSSI terhadap LPI. 5. Pertemuan PSSI yang tertutup memberi kesan tidak demokratisnya pengambilan keputusan. 6. Di akhir berita, pernyataan Nirwan Bakrie dan Joko Driyono dari PSSI disanggah oleh Metro TV.

Ada konstruksi konflik antara PSSI dan LPI. PSSI member pernyataaan terkait LPI, sedangkan Metro TV membela LPI di akhir berita.

Metro TV memposisikan diri di pihak LPI dengan cara memberi kesimpulan di akhir berita. Agar khalayak tidak menerima mentah-mentah pernyataan dari PSSI.

Polri tetap Jamin Keamanan Pertandingan LPI (4 Januari 2011)

7. Judul “Polri tetap Jamin Keamanan Pertandingan LPI” menandakan situasi LPI yang belum aman sepenuhnya karena terus dihadang oleh PSSI. 8. Pilihan kata “gertak” dan “gertak sambal” yang disampaikan presenter di awal berita memberi kesan PSSI yang pengecut. 9. Wartawan Metro TV dalam wawancara dengan Kabareskrim pun terlihat

Relasi yang dikonstruksi adalah antara PSSI, Polri, LPI, dan reporter. Dalam hal ini Polri dikonstruksikan berseberangan dengan PSSI, karena menolak laporan PSSI terkait ke-ilegal-an LPI.

Metro TV memposisikan diri sebagai pendukung LPI. Pemilihan judul, narasi dan diakhiri dengan pertanyaan yang menjurus kepada Kabareskrim menegaskan posisi tersebut.

200

mengarahkan pertanyaan dengan berandai-andai bahwa LPI harus berjalan dan jangan sampai dilarang.

Manajer Persema Malang: “Di LPI Lebih Adil & Merdeka” (4 Januari 2011)

10. Pemilihan judul terkesan provokatif dengan menyatakan bahwa “Di LPI Lebih Adil & Merdeka”. 11. Secara sepihak, narasumber hanya diangkat dari pendukung LPI. 12. Konferensi pers yang dijadikan siaran langsung juga menunjukkan Metro TV menilai konflik ini amat penting.

Berita ini mengkonstruksi konflik antara PSSI, LPI, dan Persema Malang. Dimana LPI dan Persema Malang diwakili oleh Manajernya yang sangat dominan dalam berita.

Metro TV menggunakan identitas sebagai pendukung LPI. Hal ini terlihat dari pemilihan judul dan fokus berita yang berpusat hanya pada Peni Suparto.

Polda Jateng Memberi Izin Laga LPI (6 Januari 2011)

13. Di awal berita, khalayak langsung dijelaskan bahwa BOPI akhirnya mengeluarkan izin dan Polda Jawa Tengah akan mengawal jalannya pembukaan. 14. Pernyataan Walikota Solo memberi kesan bahwa LPI telah didukung oleh warga Solo, sehingga tidak sepatutnya untuk PSSI. 15. Di akhir berita, reporter memancing Walikota dengan pertanyaan yang menjebak. Hingga

Berita ini mengkonstruksi konflik antara LPI dan PSSI melalui Walikota, Kapolda Jawa Tengah, LPI dan PSSI. Dimana Kapolda dan Walikota Solo mendominasi berita dengan dukungan terhadap LPI.

Metro TV secara eksplisit mendukung LPI. Sejak dari pemilihan judul hingga narasumber yang diangkat, ditampilkan untuk

201

akhirnya, Walikota menyatakan bahwa PSSI tidak berani untuk bersaing secara sehat.

Izin Kompetisi LPI (6 Januari 2011)

16. Penggunaan kata “mengharamkan” dan anak kalimat “tidak membuat Pengurus Cabang PSSI Solo mentaati regulasi tersebut” menegaskan adanya konflik antara LPI dan PSSI. Kedua kata ini juga lahir dari presenter, bukan kutipan narasumber. 17. FX Hadi Rudiyatmo ditampilkan sebagai Ketua Pengcab PSSI Solo, tanpa menyebutkan jabatannya sebagai Wakil Walikota Solo, menegaskan bahwa memang PSSI sudah kehilangan wibawa di akar rumput. 18. Kesimpulan di akhir berita menegaskan bahwa masyarakat Solog memang menginginkan kehadiran LPI.

Berita ini mengkonstruksi konflik antara PSSI dengan PSSI Solo terkait LPI. Dimana PSSI Solo menjadi pihak yang dominan dan tunggal.

Metro TV sudah mendukung LPI sejak awal. Indikasinya pemilihan kata dan penyusunan naskah berita oleh presenter, mendelegitimasi posisi PSSI di hadapan PSSI Solo.

Kompetisi LPI Akhirnya Mendapat Izin dari Polri (6 Januari 2011)

19. Penggunaan anak kalimat “... mengakhiri polemik” menandakan bahwa ada konflik yang sebelumnya terjadi

Adanya konflik segitiga antara PSSI, Polri dan LPI. Akan tetapi, dengan keluarganya ijin dari BOPI, Polri

Identitas Metro TV layaknya Humas LPI itu sendiri. Pernyataan dari narator berita mengenai LPI yang tidak

202

antara LPI dan PSSI namun telah berakhir berkat izin dari Mabes Polri. Dan pemenangnya adalah LPI. 20. Narasi ini memberi kesan bahwa sikap PSSI yang “mengharamkan” LPI adalah salah alamat. Karena izin LPI yang benar berasal dari BOPI, lembaga di bawah Kemenpora. 21. Secara umum, PSSI digambarkan sebagai pihak yang menghalangi perizinan Polri untuk LPI.

kemudian lebih memihak kepada LPI ketimbang PSSI.

membutuhkan rekomendasi PSSI, memberi kesan delegitimasi posisi PSSI di hadapan LPI.

PSSI Dituntut Boikot LSI (7 Januari 2011)

22. Konflik ditampilkan lewat sekelompok orang yang berdemo menuntut pembubaran LPI. 23. Akan tetapi, Metro TV mengkerdilkan posisi pendemo dengan menempatkan jumlah ‘puluhan’ dan judul sebagai peristiwa. 24. Selain itu, pendemo juga dikerdilkan dengan tidak diambil sebagai narasumber. Justru hanya dinarasikan pendapatnya untuk

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara pendukung PSSI dengan LPI. Pendukung yang berdemo kemudian menjadi pihak dominan, dimana berita secara keseluruhan menceritakan pernyataan dari pendemo.

Seperti biasa Metro TV memberitakan LPI dengan mengkerdilkan & mendiskreditkan pihak-pihak yang menolak LPI.

203

dievaluasi dan dikritik.

FIFA Tak Akui Keberadaan LPI (7 Januari 2011)

1. Konflik dikonstruksi dengan benturan yang terjadi antara FIFA bersama PSSI dengan LPI yang dianggap membandel. 2. Laporan yang belum diterima secara resmi oleh FIFA memberi kesan bahwa sebenarnya FIFA belum paham akan masalah yang terjadi. Bahkan gegabah memberi pernyataan. 3. Rangkaian berita diakhiri dengan narasi dari pihak LPI yang melihat kasus ini sebagai peluang untuk berdialog dengan FIFA.

Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara FIFA dan PSSI dengan LPI. FIFA dan LPI kemudian menjadi pihak yang dominan dalam berita, sedangkan PSSI sebatas teks lain imbas dari relasi tersebut.

Metro TV mengidentifikasikan diri dalam konflik ini dengan lebih condong ke LPI. Metro lebih memilih menampilkan LPI, agar mereka bisa membela diri.

Analisis teks berupa representasi, relasi dan identitas menjawab tujuan

pertama dari penelitian ini yaitu konstruksi pemberitaan yang diwacanakan oleh

Liputan 6 SCTV dan MetroTV tentang konflik LPI dan PSSI. Singkat cerita,

kedua media ini mengkonstruksi konflik antara LPI dan PSSI dengan

menampilkan kedua belah pihak sebagai pihak yang berseteru dalam

pemberitaan. Akan tetapi, kedua belah pihak tidak ditampilkan secara seimbang,

melainkan kedua media lebih tersebut lebih condong mendukung kehadiran LPI.

Kemudian, dari tahapan discourse practice, pemberitaan kritis yang

mengkonstruksi konflik yang dilakukan oleh Liputan 6 SCTV dan Metro TV

didasarkan atas motif yang senada. Pertama, sisi historis dimana kedua media ini

memang terkenal kritis dalam melihat ketimpangan dan penyalahgunaan

204

kekuasaan. Dalam hal ini PSSI adalah organisasi yang sudah bobrok dan korup,

sehingga harus segera direformasi. Kedua, sebagai konsekuensi dari liberalisasi

dunia penyiaran pasca reformasi. Semua media swasta kemudian harus memiliki

komoditas yang menarik tiap waktunya. Berita adalah salah satu komoditas

tersebut. Sehingga, setiap harinya harus ada isu berita yang bisa diangkat untuk

menarik khalayak.

Dari tahapan sociocultural practice, kondisi eksternal di luar media memang

“mengharuskan” media untuk berpihak. Kondisi tersebut adalah kebobrokan

dan politisasi PSSI yang sudah terlalu nyata. Revolusi jalanan dari suporter

sepakbola di Indonesia pun sedang mencapai puncaknya. Sehingga, mau tidak

mau media sebagai salah satu instrumen perubahan, harus turut serta melibatkan

diri dalam perubahan tersebut. Dan dalam hal ini, LPI adalah simbol perubahan

yang harus diselamatkan.

Dalam hal ini, terbukti sudah bahwa media berperan penting dalam

perubahan. Slogan Liputan 6 SCTV, “Aktual, Tajam dan Terpercaya” dan Metro

TV, Knowledge to Elevate, bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Slogan itu

menjadi landasan bagi dari konstruksi pemberitaan yang kritis terhadap suatu

wacana, sehingga perubahan dapat terjadi lebih cepat.

Kedua analisis ini, discourse practice dan sociocultural practice, menjawab dua

tujuan dari penelitian, yaitu latarbelakang dari konstruksi pemberitaan Liputan 6

SCTV dan Metro TV tentang LPI dan membenarkan kajian kritis bahwa

netralitas media terhadap suatu debat publik tidak akan pernah terjadi. Kedua

media ini memiliki sisi historis yang sama-sama kritis. Faktor kebebasan pers

yang diwarnai dengan dominasi market regulation di era reformasi juga menjadi

faktor yang amat berpengaruh. Pada era ini, praktis khalayak adalah segala-

galanya bagi televisi swasta. Maka dari itu, program pemberitaan pada televisi

swasta memiliki orientasi yang tidak berbeda dengan acara hiburan sekalipun:

untuk menarik khalayak, meningkatkan rating dan kemudian mendapatkan

pemasukan dari iklan.

Sedangkan, permasalahan netralitas terhadap debat publik tidaklah

semata-mata berkaitan dengan persoalan ekonomi-politik semata, seperti

dominasi pemilik media, iklan dan rating. Akan tetapi jauh lebih luas dari itu,

205

berkaitan erat pula dengan persoalan sosiokultural di dalam masyarakat. Dalam

sebuah proses perubahan, media adalah salah satu aktor yang memiliki peran

strategis. Peran media adalah katalisator perubahan, caranya dengan

mengkonstruksi wacana dalam pemberitaan, seperti wacana konflik antara LPI

dan PSSI ini. Kehadiran media sebagai katalisator berpotensi besar untuk

mempercepat terjadinya perubahan. Argumen di atas membuktikan bahwa

memang media tidak bisa sepenuhnya bersikap netral dalam menghadapi debat

publik. Karena di sana ada berbagai kepentingan yang mengambil peran dan

mempengaruhi pemberitaan dari media.

Penelitian ini pun masih memiliki beberapa keterbatasan. Pertama,

bahwa di tahapan analisis discourse practice, peneliti tidak maksimal dalam meneliti

proses pemberitaan yang terjadi di internal kedua televisi tersebut. Akses yang

terbatas ke dalam news room dua televisi ini menyebabkan sebagian besar data di

analisis discourse practice hanyalah data sekunder yang didapatkan dari buku atau

penelitian lain. Kedua, analisis baru mencapai tahap analisis teks dari transkrip

pemberitaan. Sedangkan, aspek visual dari berita televisi belum dianalisis secara

metodologis. Seharusnya, dalam pemberitaan televisi, analisis teks bisa

disempurnakan dengan dukungan dari analisis semiotika visual.

B. SARAN: Media Adalah Bagian dari Resolusi Konflik

Secara umum, kecenderungan media hari ini adalah media yang terbelenggu

dengan kapital, yang berbeda secara diametral dengan media di era orde baru.

Media model ini tidak melihat nilai berita sebagai suatu nilai kemanusiaan,

sebagai informasi yang harus diberitakan demi kepentingan masyarakat luas.

Akan tetapi, lebih melihat berita sebagai suatu komoditas. Kapitalisme dalam

media, merujuk pada pendapat dari Chomsky dan Herman, terangkum dalam

empat poin, yaitu: kepemilikan dan orientasi ekonomi, pihak pengiklan, sumber

media massa dan flak. Pihak pertama dan kedua inilah yang kemudian begitu

berpengaruh. Sehingga, secara empiris bisa dibuktikan bahwa isu sebesar LPI,

nyaris tidak diberitakan oleh TvOne ataupun ANTV tentu berkaitan dengan pola

kepemilikan modal yang ada pada kedua televisi ini. Seharusnya media menyadari

bahwa loyalitas utama bukanlah pada pemilik media ataupun pengiklan,

206

melainkan kepada masyarakat seperti yang dicetuskan oleh Bill Kovach dan Tom

Rosentiel dalam bukunya The Elements of Journalism.

Alangkah lebih baik pula, bila penelitian serupa di lain waktu dapat

menemukan media yang melakukan perang konstruksi wacana dalam

pemberitaanya. Karena dalam penelitian ini, dua media yang menjadi obyek

penelitian ternyata mengkonstruksi wacana yang hampir serupa tentang LPI dan

PSSI. Perang antar media dalam konstruksi wacana tentu akan sangat menarik

bila dianalisis menggunakan analisis wacana.

Selain itu, prinsip cover both sides juga harus diutamakan agar terjadi diskusi

yang seimbang dan tidak berpihak. Perubahan memang penting, namun

memberi ruang yang seimbang kepada dua belah pihak yang berkonflik tidak

kalah pentingnya. Proses marjinalisasi PSSI begitu nyata terjadi dalam

pemberitaan LPI, khususnya pada kedua stasiun televisi yang diteliti pada

penelitian ini. Pada akhirnya, perubahan akan terjadi ketika khalayak memilih

untuk memihak kepada salah satu pihak, atau justru netral dan tidak memilih

pihak manapun.

Dalam suasana konflik, perlu juga dirujuk mengenai konsepsi jurnalisme

damai yang dicetuskan oleh Johann Galtung. Jurnalisme harus didasarkan pada

prinsip-prinsip yang bertujuan untuk menghindarkan kekerasan. Caranya dengan

mengedukasi para wartawan agar tidak menjadi bagian dari konflik, melainkan

harus menjadi bagian dari solusi lewat upaya pemberitaan.

Pada akhirnya, semoga di lain waktu penelitian serupa dapat diperdalam

dan dipertajam dalam analisisnya, khususnya pada analisis teks dan discourse

practice. Analisis teks harus mampu menggabungkan analisis teks narasi dan visual

yang merupakan dwi tunggal dalam pemberitaan televisi. Selain itu, keluasan

wawasan peneliti bersama dengan sensifitas dalam melihat kejanggalan teks

adalah poin yang krusial dalam menganalisis teks. Sedangkan pada discourse

practice, penelitian sejenis diharapkan mampu menelisik lebih mendalam atas latar

belakang konstruksi wacana yang dilakukan oleh sebuah media. Media tentu tak

akan pernah bisa netral sepenuhnya, akan tetapi di balik semua pilihan yang

berpihak pastilah ada penjelasan yang melatarbelakanginya. Penjelasan itulah

yang harus ditelisik dan dijelaskan dalam penelitian.