konstruksi pssi di layar televisi
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of konstruksi pssi di layar televisi
KONSTRUKSI PSSI DI LAYAR TELEVISI
(Analisis Wacana Kritis Pemberitaan
dan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI)
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS
KONSTRUKSI PSSI DI LAYAR TELEVISI
(Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Konflik Liga Primer Indonesia (LPI)
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI)
di Pemberitaan SCTV dan Metro TV)
SKRIPSI
Disusun Oleh :
MUHAMMAD ZULFI IFANI
06/195310/SP/21465
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011
KONSTRUKSI PSSI DI LAYAR TELEVISI
Liga Primer Indonesia (LPI)
i
KONSTRUKSI PSSI DI LAYAR TELEVISI
(Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Konflik Liga Primer Indonesia (LPI) dan Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia (PSSI) di Pemberitaan SCTV dan MetroTV)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Spesialisasi Ilmu Komunikasi
Disusun Oleh :
Muhammad Zulfi Ifani
06/195310/SP/21465
Disetujui oleh:
Dosen Pembimbing
Wisnu Martha Adiputra, S.IP., M.Si.
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertanggungjawabkan dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Pada hari : Rabu
Tanggal : 1 Juni 2011
Pukul : 11.00 – 12.15
Tempat : Ruang Sidang Jurusan Ilmu Komunikasi
Tim Penguji:
Penguji Utama/ Dosen Pembimbing ___________________________
Wisnu Martha Adiputra, S.IP., M.Si.
Penguji Samping I
___________________________
I Gusti Ngurah Putra, MA.
Penguji Samping II
___________________________
Drs. Kuskridho Ambardi, MA., Ph.D.
iii
HALAMAN PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
N a m a : Muhammad Zulfi Ifani
No. Mahasiswa : 06/195310/SP/21465
Angkatan : 2006
Jurusan : Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM
Judul skripsi:
KONSTRUKSI PSSI DI LAYAR TELEVISI
(Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Konflik Liga Primer Indonesia (LPI) dan Persatuan
Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) di Liputan 6 SCTV dan MetroTV)
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi saya tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan juga tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain, kecuali
yang secara tertulis diacu dalam naskah itu dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan saya bersedia menerima
sanksi apabila kemudian hari diketahui tidak benar.
Yogyakarta, 10 Oktober 2011
Yang membuat pernyataan
Muhammad Zulfi Ifani
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal
belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang
terdahulu sebelum kamu?" (QS. Al Baqarah 214)
“Kita Manusia ini, hidup di dunia hanya sekali, untuk bertaruh:
Sesudah mati akan mendapat kebahagiaan atau kesengsaraan.”
(KH. Ahmad Dahlan)
"Sesuatu yang tidak kamu jaga dengan benar, cepat atau lambat
pasti akan menghilang dari hidupmu." (MZI)
Untuk Bapak dan Mamak:
Terimakasih telah menjadi orang tua terhebat di dunia
Untuk Kakak dan Adik:
Lewati batas kemampuan diri kita, pasti bisa!
Dan untuk semua yang telah berperan mendewasakan saya.
Skripsi ini adalah bukti bahwa saya terus meningkatan diri.
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Tidak terasa waktu terus berlalu, dan ternyata butuh waktu 1½ tahun untuk
menyelesaikan tugas akhir ini. 5 tahun sudah saya tinggal di Jogja untuk menyelesaikan
gelar sarjana. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam yang telah memberikan waktu
dan kesempatan hingga hamba-Nya ini dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pula,
sholawat serta salam kepada junjungan kita semua Nabi Besar Muhammad SAW.
Ucapan terimakasih, penulis haturkan kepada:
1. Cak Drs. Budhy Komarul Zaman, M.A., selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Gadjah Mada. Sekaligus segenap dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi
UGM, Mas Nunung, Mas Shulhan, Mas Wawan, Mas Budi Ir, Mas Budi Sayoga,
Bang Abrar, Mas Widodo, Mbak Rajiyem, Mbak Yayuk, dan seluruh
dosen/asisten dosen.
2. Mas Wisnu Martha Adiputra, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
membantu penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa juga Mas Wawan Kurniawan KY
dan Bang Ana Nadhya Abrar, dosen pembimbing skripsi terdahulu yang telah
memberitahu saya arti kerja keras dan fokus demi skripsi.
3. Kedua orang tercinta, ayahanda Tahrir Adnan, Ibunda Robikah, serta kakak-
adikku Zulfa Hananiawati dan Kaukab Rahmaputra. “Ternyata skripsi memang
berat dan butuh ekstra fokus agar bisa selesai pada waktunya.”
4. Sahabat-sahabat saya selama 4 tahun terakhir, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah,
baik di Komisariat UGM dan di Cabang Bulaksumur-Karangmalang. Immawan
Ari Hendra, Yusro, Wahyu, Wisda, Ozy, Fauzan, Priyo, Ulum, Faris (terus
berproses!), Malik, Irfa, Chanief, Irawan, Shony, dan Cahyo. Immawati Intarti,
Qolbi, Luluk, Lya, Imi, Ana, Dimi, Davina, Yuar, Hening,. Dan immawan/ti lain
yang tidak bisa saya sebut satu persatu. “Terimakasih atas kebersamaannya selama ini.
Kemanapun kita pergi setelah dari kampus, jangan pernah lupakan ikatan ini...”
vi
5. Keluarga Besar Muhammadiyah di mana pun berada. Pak Amien Rais (sosok
idola bagi saya), Buya Syafi’i Ma’arif, Ust. Yunahar Ilyas, Ust. Fathurrahman
Kamal, Ust. Muhsin Hariyanto (logika-logika anda mengagumkan), Ust. Abdul
Kholiq (semangat yang luar biasa di usia senja), Mas Adi Acep (semangat dan
inspirasinya luar biasa!),
6. Keluarga Besar Pondok Pesantren (atau Padepokan) Budi Mulia, khususnya
santri Angkatan X (2007-2010). Salam erat buat Mang Udin, Mas Imam Kabir,
Mas Hendro, Mas Badik, Bang Zul, Mas Ardian, Mas Muzrin, Mas Agus, Mas
Adib, Mas Bagus, Mas Andrian, Mas Imam Mus, Afsal, Ganjar, Miftah, Iko,
Nunung, Kris, Alfian, Furqi, Cahyadi (Selamat menikah!), dan Afi. “Untuk sebuah
kebersamaan, ternyata 3 tahun adalah waktu yang terlalu singkat.”
7. Kawan-kawan seperjuangan di Komunikasi UGM, khususnya angkatan 2006.
Kurnia Dhani (thanks buat kebersamaanya di Eagle Awards), Adrian Jonathan
(calon professor film), Iim (segera pulang ke Jogja, boy. Selesaikan skripsi baru
kembali ke Jakarta lagi), Koyah (bingung antara jadi artis India atau dosen-kah?),
Fathur (artis dan akademisi multitalent), Mayang (tempat berdiskusi tentang
Komunikasi dan Islam), Bang Dendi (salah satu kakak terbaik yang pernah
kukenal. Ayo Bang, segera lulus!), Mas Danang (segera lulus juga mas!), Mbak
Ratih (6 bulan bersama untuk Multikulturalisme), dan kawan-kawan lain yang
tidak bisa disebutkan satu persatu.
8. Rekan-rekan di Keluarga Remaja Islam Magelang (Karisma), organisasi tempat
saya mengabdi di Magelang selama 7 tahun terakhir. Terimakasih buat Afeb,
Safari, Wigati, Avis, Mbak Uzi, Mbak Sittati, Mas Fais, Radian, Deva, Apit, Emi,
dan kawan-kawan lain. “Kalian semua mengajari saya akan arti amanah dan berjuang,
baik dalam kondisi banyak maupun sedikit. QS Muhammad:7 adalah spirit yang tidak
akan pernah padam.”
9. Tim KKN Unit 97 tahun 2009 di Sambelia, Lombok Timur, NTB. Tim KKN
yang luar biasa, yang rela backpacking selama 2 hari dari Jogja sampai ke
Sambelia. Terimakasih kepada Mas Shulhan (our greatest DPL), Frenkie (Pak
vii
Kormanit), Gempil, Kiting, Gareng, Bayu, Adel, Akbar, Henry, Ipung, Memy
(penduduk lokal), Paul (yang akhirnya dapat pacar dari lokasi KKN), Tatang,
Theyeng, Reta, Ria, Laras, Meuthia (Sukses buat Asal Usul-nya), Anne, Ayik, Ita,
dan Mbak Tiwi. “KKN Wisata yang kita gagas memang benar-benar wisata. Pantai-pantai
di Lombok memang luar biasa indah!”
10. Segenap keluarga besar Eagle Awards Metro TV 2011. Keluarga besar yang
memang penuh talenta luar biasa. Para panitia Eka, Mas Agus, Mas Jastis, Mas
Fajar. Kawan-kawan finalis lainnya: Belo dengan Mutiara Pesisir Pantai-nya, Afif
dan Muthe dengan Presiden Republik Abu-abu-nya, Jamal dan Bang Ayi dengan
Garamku Tak Asin Lagi, lalu Robert dan David dengan Hutanku Sekolahku. Para
tutor, Bang Lianto, Bang John Bosco, Mas Sastha Sunu, Mas Abduh Aziz, dll.
Juga keluarga besar subyek kami, Bapa Sico Ximenes beserta keluarga besar di
Naibonat. 3 bulan bersama terasa amat sebentar untuk berkarya. Karena memang
berkarya sebenarnya adalah selepas masa karantina Eagle Awards.
11. Kawan-kawan almamater sekolah di Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam
(khususnya MTs angkatan 2003 – Himsastra 731), SMA Negeri I Magelang, SD
Muhammadiyah Kupang. Juga kawan-kawan satu almamater organisasi di OSIS
SMA N I Magelang, Dewan Islam Sekolah, Jurnalistik Sibema, Jaringan Rohis
As-Shofwah Magelang, Pelajar Islam Indonesia, BPPM Balairung, Jamaah
Muslim Fisipol, dan Jamaah Shalahuddin.
12. Dan semua kerabat, rekan, handai taulan yang tidak bisa disebutkan satu persatu
yang telah banyak membantu saya menyelesaikan gelar sarjana. Terimakasih!
Obrigado! Jazakallah khoir!
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman Pengesahan ii
Halaman Pernyataan iii
Halaman Persembahan iv
Ucapan Terimakasih v
Daftar Isi vii
Daftar Bagan, Gambar dan Tabel xi
BAB I
Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 5
D. Manfaat Penelitian 5
E. Kerangka Pemikiran
1. Jurnalisme Televisi 6
2. Proses Penyiaran Berita Televisi 9
3. Media dan Konstruksi Berita 11
4. Pendekatan Ekonomi-Politik Media 16
F. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian 19
2. Obyek Penelitian 20
3. Analisis Data 21
BAB II
Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough
dan Sepakbola Dalam Kajian Media 25
ix
A. Wacana, Ideologi dan Hegemoni dalam Berita 25
1. Wacana 25
2. Ideologi 28
3. Hegemoni 29
4. Berita dalam Belenggu Wacana, Ideologi dan Hegemoni 31
B. Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough 34
1. Biografi Norman Fairclough 34
2. Model Analisis Wacana Norman Fairclough 36
3. Perbandingan Model Analisis Wacana 40
C. Sepakbola dalam Kajian Media 42
1. Sejarah Sepakbola 42
2. Sepakbola Indonesia: Jalan Perlawanan dan Kontroversi 44
3. Sepakbola dan Industri Media 50
4. Pemberitaan Sepakbola di Indonesia 54
BAB III
Liputan SCTV, Metro TV dan Liga Primer Indonesia 57
A. Liputan 6 SCTV : Aktual, Tajam Dan Terpercaya 59
1. Sejarah dan Dinamika 59
2. Visi dan Misi 61
3. Slogan dan Logo 62
4. Program Berita yang Diproduksi 59
5. Struktur Redaksi 60
B. Metro TV: Knowledge to Elevate 65
1. Sejarah dan Dinamika 65
2. Visi dan Misi 66
3. Slogan dan Logo 67
4. Program Berita yang Diproduksi 67
5. Struktur Redaksi 68
x
C. Liga Primer Indonesia: Change The Game! 69
1. Sejarah dan Dinamika 69
2. Klub-klub Peserta 70
3. Masa Depan LPI 76
BAB IV
Analisis Berita Liputan 6 SCTV dan Metro TV 77
A. Analisis Teks 82
1. Liputan 6 SCTV 82
2. Metro TV 141
B. Analisis Praktik Diskursif (Discourse Practice) 174
1. Liputan 6 SCTV 174
2. Metro TV 177
C. Analisis Praktik Sosiokultural (Sociocultural Practice) 180
D. Analisis Order of Discourse 182
1. Genre 183
2. Intertekstualitas 185
BAB V
Penutup 192
A. Kesimpulan: Ketika PSSI Jadi Musuh Bersama 193
B. Saran: Media Adalah Bagian dari Resolusi Konflik 205
Daftar Pustaka 207
xi
DAFTAR BAGAN, GAMBAR & TABEL
Bagan 01. Proses Penyiaran Berita 9
Bagan 02. Pemberitaan Model McQuail 11
Bagan 03. Hubungan Antara Bahasa, Realitas Dan Budaya 13
Bagan 04. Skema Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough 21
Bagan 05. Berita Sebagai Konstruksi Realitas 32
Bagan 06. Penjabaran Kerangka Analisis Norman Fairclough 38
Bagan 07. Survey Menonton Olahraga 52
Gambar 01. Logo SCTV 62
Gambar 02. Logo Liputan 6 SCTV 63
Gambar 03. Logo Metro TV 67
Tabel 01. Nilai Berita 6
Tabel 02. Perbedaan Jurnalisme Cetak dan Penyiaran 8
Tabel 03. Unsur-unsur dalam Analisis Teks 22
Tabel 04. Kerangka Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough 24, 37
Tabel 05. Perbandingan Model Kerangka Analisis 41
Tabel 06. Prestasi PSSI di Turnamen 48
Tabel 07. Liga Sepakbola di Layar Televisi 52
Tabel 08. Program Berita Olahraga di Layar Televisi 55
Tabel 09. Program Berita di SCTV 63
Tabel 10. Program Berita di Metro TV 67
Tabel 11. Klub-klub Peserta LPI 71
Tabel 12. Daftar Berita tentang LPI di Liputan 6 SCTV 77
Tabel 13. Daftar Berita tentang LPI di Metro TV 80
Tabel 14. Kesimpulan Analisis Berita di SCTV 194
Tabel 14. Kesimpulan Analisis Berita di Metro TV 199
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Penghujung tahun 2010 lalu ditandai dengan euforia besar-besaran masyarakat
atas sepakbola nasional. Langkah Timnas Indonesia di Piala AFF yang begitu
gagah, meski akhirnya tumbang di partai final membuat masyarakat begitu antusias
memperhatikan jejak langkah persepakbolaan Indonesia. Di antara euforia itu, ada
langkah monumental lainnya dengan hadirnya Liga Primer Indonesia (LPI)
sebagai liga alternatif disamping Liga Super Indonesia (Indonesian Super League, ISL)
yang diselenggarakan oleh PSSI.
Sayang, LPI yang diharapkan menjadi lokomotif liga perubahan dengan
slogannya Change The Game! justru harus berhadapan vis-a-vis dengan PSSI yang
dipimpin oleh Nurdin Halid. Tokoh yang terakhir ini bisa jadi merupakan musuh
nomor satu masyarakat Indonesia saat ini. Berbagai kritik, hujatan sampai
cemoohan ditujukan padanya dengan satu tujuan: mundur dari kursi Ketua Umum
PSSI. Namun, semua itu baginya hanya angin lalu. Seperti dikutip
DetikSport.com1, "Saya tidak akan mundur karena tekanan. Saya tidak akan
mundur karena menghargai demokrasi dan tatanan PSSI. Jika kita gagal juara, itu
very very unlucky,”
Ada berbagai alasan yang bisa dirangkum mengapa berbagai suara
kelompok masyarakat memintanya untuk mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI.
Pertama, adalah statusnya sebagai mantan narapidana korupsi. Status ini sempat
digugat oleh FIFA, akan tetapi tidak dihiraukan oleh PSSI. Bahkan selama
beberapa tahun ia sempat memimpin PSSI dari balik jeruji penjara. Kedua, prestasi
Timnas dan Liga Indonesia cenderung stagnan dalam keterpurukan sejak dipimpin
oleh Nurdin (dari 17 November 2003 – saat ini). Timnas tetap terpuruk di pentas
internasional, sedang penyelenggaraan liga kacau balau. Ketiga, berbagai saran dan
kritik yang selama ini ditujukan kepada PSSI sebagian besar tidak pernah
1 Hargai Demokrasi, Nurdin Halid Tolak Mundur. Diakses pada 25 April 2011. Terarsip di http://www.detiksport.com/sepakbola/read/2010/12/29/232000/1535546/76/hargai-demokrasi-nurdin-halid-tolak-mundur
2
diperhatikan, semisal tujuh butir rekomendasi Kongres Sepakbola Nasional di
Malang 30-31 Maret 2010. Padahal salah satu butir paling penting dari
rekomendasinya adalah reformasi dan restrukturisasi organisasi. Maknanya sangat
jelas, harus ada perubahan kepemimpinan di tubuh PSSI. Sayang, poin yang amat
penting ini berlalu saja tanpa implementasi.
Berbagai lini media digunakan untuk menekan Nurdin Halid dan jajaran
PSSInya. Kritik di media cetak maupun elektronik sudah dikerahkan. Di jejaring
sosial Facebook, tidak terhitung lagi ada berapa grup yang menamakan diri
“Nurdin Halid Turun” bahkan di twitter topik #NurdinTurun sempat jadi world
trending topic. Berbagai bukti ini menjelaskan betapa Nurdin Halid beserta
jajarannya telah jadi musuh di negeri sendiri.
Angin perubahan non-struktural lalu muncul dari Arifin Panigoro, seorang
konglomerat yang juga menggemari sepakbola. Sebelumnya, bersama Grup Bisnis
Medco Foundation, Arifin Panigoro sejak tahun 2005 sudah bekerjasama dengan
PSSI dengan menyelenggarakan Liga Medco U-16 dan U-17. Kekecewaan
terhadap penyelenggaraan Liga Super Indonesia (Indonesian Super League, ISL) oleh
PSSI menjadi hulu bergulirnya Liga Primer Indonesia. ISL dianggap tidak pernah
berkembang ke arah profesional, khususnya dalam pendanaan. Sudah sejak lama
penyelenggaraan klub di ISL menggunakan dana APBD yang jumlahnya bisa
mencapai puluhan miliar. Hal ini jelas bertentangan dengan Permendagri No.
58/2005 tentang pengelolaan keuangan. Dimana daerah dilarang menggunakan
APBD untuk kegiatan sepak bola profesional. Faktanya, hampir semua klub di
ISL masih bergantung pada APBD. Semisal, Persija Jakarta pada musim 2010 yang
diberi dana mencapai 40 miliar dari Pemda DKI, belum termasuk belasan klub
ISL lainnya.
Tidak selesai di masalah APBD, perangkat pertandingan ISL pun juga
amburadul. Kerap kali wasit berat sebelah dalam memutuskan, penonton pun
tidak bisa diatur sehingga kerusuhan sering terjadi. Terakhir, ada kerusuhan antar
suporter Persib vs Arema FC (Minggu, 23/01/2011). Carut marut itulah yang
membuat kubu Arifin Panigoro bulat untuk menyelenggarakan kompetisi
alternatif di luar ISL.
3
Akan tetapi, bukan berarti LPI berjalan dengan mudah. PSSI dengan
berbagai cara menentang keberadaan LPI. Pertama, dengan cara memberi sanksi
semua pihak yang terlibat di dalam LPI, pemain, wasit, pelatih, agen, dan pengurus
klub tanpa terkecuali. Pemain asing misalnya, akan dicabut ijin bermainnya,
pemain lokal ditutup peluangnya untuk timnas dan pelatih pun akan dicabut
lisensinya. Kedua, klub-klub ISL yang memutuskan berlaga di LPI pun didegradasi
ke divisi I (divisi kasta ketiga di bawah ISL dan divisi utama), sampai saat ini ada
tiga klub ISL yang resmi bermain ke LPI yaitu Persebaya (1927), Persema Malang
dan Persibo Bojonegoro. Dan ketiga, PSSI menggunakan peringatan resmi dari
FIFA untuk menekan LPI. Menurut PSSI, FIFA yang akan memberikan hukuman
bila LPI terus diselenggarakan. Resiko terberatnya adalah Timnas Indonesia akan
dilarang mengikuti agenda sepakbola internasional.
“Perang” antara Penyelenggara LPI vs PSSI inilah yang kemudian menjadi
headline di berbagai media. Sesuai dengan dogma klasik dunia pemberitaan “bad
news is good news”, media lalu mengambil keuntungan dari kontroversi ini untuk
meningkatkan audiens. Tentu tidak sebatas keuntungan ekonomi semata. Lebih
jauh dari itu, media punya peran yang strategis untuk membentuk wacana di
tengah masyarakat. Wacana yang dimaksud, diyakini bukan sekedar komunikasi
murni tetapi merupakan strategi dalam berkomunikasi. Artinya, wacana tidak lagi
digunakan untuk mencapai kebenaran semata, melainkan lebih dari itu untuk
merebut kekuasaan.
Selain itu, harus diingat kembali bahwa setiap usaha dari media untuk
menceritakan kembali sebuah realitas dalam media adalah usaha untuk
mengkonstruksi realitas. Dengan demikian, isi media tidak lain bukanlah realitas
itu sendiri, melainkan adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality)
dalam bentuk wacana2.
Dari pengamatan sekilas yang peneliti lihat misalnya, pemberitaan
mengenai LPI tidak merata diangkat oleh televisi. Tidak semua televisi melihat
LPI sebagai kejadian yang harus diberitakan (memiliki nilai berita). Fokus pada
dua stasiun televisi berita, MetroTV dan TvOne, memperlihatkan hal yang
2 Ibnu Hamad. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit. Hal. 11-12.
4
kontras. MetroTV amat gencar memberitakan dan memberikan opini mengenai
LPI. Terlihat sekali pemihakan yang dilakukan oleh MetroTV. Bisa jadi ini
membenarkan pendapat umum bahwa Metro TV memang kritis terhadap apa saja
yang berbau pemerintahan dan status-quo.
Sedangkan TvOne, berbalik 180º, nyaris tidak memberitakan LPI. Secara
sederhana, ini memperlihatkan bagaimana ekonomi-politik pemberitaan masuk
sampai ke ranah sepakbola sekalipun. Hal yang mencengangkan, nilai-nilai
sportifitas yang seharusnya menjadi spirit dari olahraga, justru dikalahkan oleh
politisasi kepentingan.
Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk mendalami kontroversi yang
makin memanas ini, khususnya di layar televisi – bukan di media cetak. Dan pada
penelitian ini, stasiun televisi yang dipilih adalah MetroTV dan Liputan 6 SCTV.
Dari hasil penelusuran cuplikan berita, MetroTV & Liputan 6 SCTV ternyata
cukup intens memberitakan. Gencarnya pemberitaan ini tentu tidak terlepas dari
indikasi misi khusus MetroTV & Liputan 6 SCTV atas peristiwa ini.
Penelitian ini akan menggunakan analisis wacana kritis yang dikembangkan
oleh Norman Fairclough. Mengutip pernyataan Deddy N. Hidayat3, analisis ini
akan mempelajari bagaimana kekuasaan disalahgunakan atau bagaimana dominasi
serta ketidakadilan dijalankan dan direproduksi melalui teks. Termasuk di
dalamnya nanti akan dipelajari pula bagaimana produksi wacana berlangsung dan
relasi kuasa apa saja yang ada di belakangnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut:
“Bagaimana Liputan 6 SCTV dan Metro TV Mengkonstruksikan Pemberitaan
Konflik Liga Primer Indonesia (LPI) dan PSSI pada Bulan Januari 2011?”
3 Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS. Hal. xiii.
5
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui konstruksi pemberitaan yang diwacanakan oleh MetroTV dan
Liputan 6 SCTV tentang konflik LPI dan PSSI.
2. Mengetahui latarbelakang dari konstruksi tertentu pada pemberitaan Liputan
6 SCTV dan Metro TV tentang LPI.
3. Mengkaji secara kritis, bahwa netralitas media terhadap suatu debat publik
tidak akan pernah terjadi.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Akademis
Secara akademis, penelitian skripsi ini diharapkan dapat memperkaya penelitian
berbasis metode analisis wacana kritis, khususnya metode yang dikembangkan
oleh Norman Fairclough. Selain itu, perspektif ekonomi-politik media juga akan
diangkat untuk melihat bagaimana produksi pesan media di tengah arus besar
determinasi ekonomi-politik media.
2. Manfaat Praktis
Sedangkan secara praktis penelitian ini memberikan pemahaman baru mengenai
bagaimana melihat lebih dalam terhadap siaran media televisi. Bahwa media akan
secara sengaja memiliki pendekatan tertentu terhadap isu-isu besar yang
berpotensi kontroversial.
E. KERANGKA PEMIKIRAN
1. Jurnalisme Televisi
Jurnalisme atau jurnalistik berasal dari kata journal, artinya catatan harian, atau
catatan mengenai kejadian sehari-hari, yang bisa juga diartikan sebagai surat kabar.
Dari akar kata itu, McDougall4 mendefinisikan jurnalisme sebagai kegiatan
menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa. Dalam konteks
makro, jurnalisme adalah hal yang amat penting bagi negara demokratis manapun.
4 Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat. 2006. Jurnalistik: Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 15.
6
Definisi jurnalisme lain, menurut A. Muis5 tidak jauh dari hal-hal yang
berkaitan dengan unsur media massa, penulisan berita dan waktu tertentu
(aktualitas). Seorang jurnalis memiliki dua tugas pokok: pertama, melaporkan berita
dan kedua, membuat interpretasi dan memberikan pendapat yang didasarkan pada
beritanya.
Seperti lazimnya definisi-definisi lainnya, definisi jurnalisme amat beragam.
Fraser Bond6 menyatakan bahwa perbedaan itu muncul karena adanya pandangan
yang berbeda. Bagi yang suka mengolok-olok, jurnalistik tidaklah lebih dari suatu
usaha dagang berita. Sedangkan bagi mereka yang idealis, jurnalisme adalah
tanggungjawab dan previlege (hak pribadi) yang mulia. Kedua pendapat
bertetantangan ini sebenarnya menghendaki adanya kebebasan dalam jurnalisme.
Yang pertama berbunyi, “berikanlah kepada publik apa yang dikehendakinya”.
Sedang yang kedua berbunyi, “berikanlah kepada publik kebenaran yang harus
dimilikinya”.
Jurnalisme yang bertumpu pada berita, tentunya berujung pada pemahaman
bahwa tidak semua peristiwa bisa dan pantas untuk diberitakan. Ada kriteria-
kriteria khusus yang dapat digunakan untuk mengukur nilai berita. Kriteria nilai
berita misalnya dirumuskan oleh Hariss, Leiter dan Johnson7:
Nilai Berita Keterangan
Konflik Peristiwa yang berhubungan dengan pertentangan antar
manusia, bangsa dan negara perlu dilaporkan kepada khalayak.
Dengan begitu khalayak akan dapat mengambil sikap.
Kemajuan Peristiwa tentang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
senantiasa perlu dilaporkan kepada khalayak. Dengan demikian
khalayak mengetahui kemajuan peradaban manusia.
Penting Peristiwa yang penting bagi khalayak dalam kehidupan sehari-
hari perlu segera dilaporkan kepada khalayak.
Dekat Peristiwa yang memiliki kedekatan emosi dan jarak geografis
5 Askurifai Baksin. 2006. Jurnalistik Televisi: Teori dan Praktik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Hal. 47.
6 Ibid. Hal. 48. 7 Ana Nadhya Abrar. 2005. Penulisan Berita. Yogyakarta: Univ. Atma Jaya Yogyakarta. Hal. 3-5
7
dengan khalayak perlu segera dilaporkan. Makin dekat satu
lokasi peristiwa dengan tempat khalayak, informasinya akan
makin disukai khalayak.
Aktual Peristiwa yang baru saja terjadi perlu segera dilaporkan kepada
khalayak. Ukuran aktual sebuah surat kabar biasanya sampai 2
hari. Artinya, peristiwa yang terjadi 2 hari lalu masih aktual
untuk diberitakan hari ini.
Unik Peristiwa yang unik, jarang/tidak pernah terjadi, perlu segera
diberitakan kepada khalayak. (Misal, gajah bermain bola.)
Manusiawi Peristiwa yang bisa menyentuh emosi khalayak, seperti bisa
membuat menangis, terharu, tertawa, dsb, perlu segera
dilaporkan. Sehingga khalayak dapat tergerak dan meningkatkan
sense kemanusiaannya.
Berpengaruh Peristiwa yaang berpengaruh terhadap kehidupan orang banyak
perlu segera dilaporkan kepada khalayak. (Misal, kenaikan harga
beras dan pupuk)
Jurnalisme adalah satu kesatuan. Hanya saja, penerapannya dalam karya
terbentang dari media cetak sampai elektronik. Di layar televisi, ada perbedaan
yang signifikan bila dibandingkan dengan media cetak. Utamanya sifatnya yang
“segera”, menjadikan televisi mampu mendekatkan peristiwa dan tempat kejadian
dengan para khalayaknya8. Bencana Merapi beberapa waktu lalu misalnya, laporan
berita dari televisi begitu ditunggu karena sifatnya yang audio-visual.
Santana menambahkan bahwa pada surat kabar sebagian isi berita disusun
oleh wartawan lalu diteruskan oleh editor. Sedangkan pada televisi, para editor
akan menentukan kemana saja wartawannya akan dikirimkan. Oleh beberapa
akademisi, hal ini menyebabkan berita televisi dinilai kurang memiliki orisinalitas9.
Adapun beberapa poin perbedaan antara jurnalisme cetak dan penyiaran
adalah sebagai berikut10:
8 Askurifai Baksin. Op.Cit. Hal. 59-60. 9 Septiawan K. Santana. 2005. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor. Hal. 114. 10 Askurifai Baksin. Op.Cit. Hal. 60-61.
8
No
Media
Cetak/Periodik
Media Elektronik/Penyiaran
Radio Televisi
1. Isi pesan tercetak, dapat
dibaca kapan saja dan
dimana saja.
Isi pesan audio, hanya
dapat didengar sekilas
sewaktu siaran.
Isi pesan audio-visual,
hanya dapat didengar
dan dilihat sekilas
sewaktu siaran.
2. Isi pesan dapat dibaca
berulang-ulang.
Isi pesan tidak dapat
diulang.
Isi pesan tidak dapat
diulang.
3. Hanya dapat
menyajikan peristiwa
yang telah terjadi.
Dapat menyajikan
peristiwa yang sedang
terjadi.
Dapat menyajikan
peristiwa yang sedang
terjadi.
4. Tidak dapat menyajikan
pendapat narasumber
secara orisinal.
Dapat menyajikan
pendapat narasumber
(audio) secara orisinal.
Dapat menyajikan
pendapat narasumber
(audio-visual) secara
orisinal.
5. Pesan dibatasi halaman
dan kolom.
Pesan dibatasi waktu. Pesan dibatasi waktu.
6. Makna berkala dibatasi
oleh hari, minggu dan
bulan.
Makna berkala dibatasi
oleh detik, menit dan
jam.
Makna berkala dibatasi
oleh detik, menit dan
jam.
7. Distribusi melalui
transportasi
darat/laut/udara.
Distribusi melalui
pemancaran/transmisi.
Distribusi melalui
pemancaran/transmisi.
8. Bahasa yang digunakan
formal.
Bahasa yang digunakan
formal dan non formal
(bahasa tutur).
Bahasa yang digunakan
formal dan non formal
(bahasa tutur).
9. Kalimat dapat panjang
dan terperinci.
Kalimat singkat, padat,
jelas dan sederhana.
Kalimat singkat, padat,
jelas dan sederhana.
9
Ashadi Siregar11 pada akhirnya merekomendasikan bahwa jurnalisme televisi
secara teknis perlu menyesuaikan diri dengan karakter medianya. Dari sini sudah
terformat kaidah kerja mendasar yaitu menjadikan fakta sosial sebagai tontonan.
Karenanya karakter yang khas dari jurnalisme televisi adalah memungut fakta
sosial yang "ditulis" dengan kamera, dan menulis narasi kata untuk telinga.
2. Proses Penyiaran Berita Televisi
Proses suatu peristiwa dari sebuah realitas hingga menjadi sebuah berita,
merupakan proses yang panjang. Proses itu bermula dari redaktur yang
menugaskan reporter untuk meliput, kemudian reporter mencari dan
mengumpulkan hal-hal yang diperlukan. Setelah materi terhimpun, masuklah ke
proses penulisan dan penyuntingan (editing). Saat prosesi penyuntingan dilakukan,
materi berita juga akan diperkaya dengan data-data lain12.
Gambaran dari proses tersebut, menurut Setyobudi adalah sebagai berikut13:
Bagian produksi
Post Production Tape Library ON AIR
Bagian Pemberitaan
(news department)
Field Production Editing
Pada dasarnya, menurut Weiner14 hakikat dari proses penyiaran berita
televisi, dalam hal ini jurnalisme, adalah keseluruhan proses dari mulai
pengumpulan fakta, penulisan, penyuntingan sampai penyiaran berita. Pada tahap
pengumpulan fakta, lazimnya ada empat metode yang dapat digunakan. Yaitu:
observasi, wawancara, konferensi pers dan rilis pers. Fakta yang dikumpulkan lalu
ditulis ke dalam berita.
11 Ashadi Siregar. Trend Jurnalisme Televisi. Disampaikan pada Seminar Dialog Liputan 6 SCTV. Yogyakarta, 5 April 1997.
12 Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat. Op.Cit. Hal. 71. 13 Ciptono Setyobudi. 2006. Teknologi Broadcasting TV. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 43. 14 Ana Nadhya Abrar. Op.Cit. Hal. 1.
10
Kemudian, berita menurut Charnley adalah laporan teratur yang berisikan
fakta atau opini yang menarik dan penting bagi sejumlah besar orang15. Sebagai
sebuah produk, berita bahkan merupakan pusat dari segala aktivitas jurnalisme itu
sendiri16.
Pada proses penulisan berita ini ada dua unsur yang sangat penting, yaitu
batas pemberitaan dan layak berita17. Batas pemberitaan yang dimaksud adalah
aturan-aturan yang membatasi dimana suatu berita boleh atau tidak untuk
diberitakan. Di Indonesia, ada tiga batasan yang digunakan, yaitu UU, kode etik
jurnalistik dan code of conduct yang dimiliki oleh media. Batasan bukan berarti
mengekang kebebasan media, akan tetapi justru karena itu media tetap eksis
sebagai kekuatan keempat dari negara (fourth estate).
Sedangkan, layak berita yang dimaksud adalah gabungan antara nilai berita
dan tujuan berita. Nilai berita merupakan titik awal untuk meliput sebuah berita.
Lalu, tujuan berita menjadi filter yang menentukan apakah suatu peristiwa yang
memiliki nilai berita, pantas atau tidak untuk diberitakan. Pada proses layak berita
ini, wartawan menyerahkan berita yang telah ditulisnya kepada redaktur. Redaktur-
lah yang memberi keputusan disiarkan atau tidak. Fungsi redaktur untuk
menyelaraskan suatu berita dengan tujuan media inilah yang disebut dengan
gatekeeping model.
Kurt Lewin yang pertama memperkenalkan istilah ini menyatakan bahwa
fungsi gatekeeper tidak ubahnya seorang ibu atau istri yang menentukan makanan
apa yang layak untuk disajikan. Gatekeeper posisinya amat strategis karena dapat
mengkontrol pengetahuan masyarakat, dengan cara mendorong suatu sisi
pemberitaan dan menghilangkan sisi yang lainnya18.
Runtutan penjelasan ini senada dengan model pemberitaan yang
digambarkan oleh McQuail19:
15 Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat. Op.Cit. Hal. 39. 16 Dennis McQuail. 1994. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga. Hal. 189. 17 Ana Nadhya Abrar. Op.Cit. Hal. 19. 18 “Gatekeeping”. Diakses pada 28 Januari 2011. Terarsip di
http://www.utwente.nl/cw/theorieenoverzicht/Theory%20clusters/Media%2C%20Culture%20and%20Society/gatekeeping.doc/
19 Dennis McQuail. 1994. Op.Cit. Hal. 194.
11
Peristiwa Kriteria Berita
(Nilai Berita)
Laporan Berita
(Penulisan
Berita)
Minat Berita
(Proses
Gatekeeping)
3. Media dan Konstruksi Berita
Analisis wacana kritis yang dikembangkan di dunia Ilmu Komunikasi, berasal dari
pemahaman akan paradigma kritis. Paradigma ini terutama bersumber dari
pemikiran yang berkembang di Frankfurt School. Ketika madzhab ini berkembang
di Frankfurt, di Jerman tengah berlangsung propaganda besar-besaran akan
kehebatan Hitler. Media lalu menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik,
menjadi sarana pemerintah untuk mengobarkan semangat perang. Dari sinilah lalu
muncul pemikiran bahwa media bukanlah entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai
oleh kelompok dominan20.
Paradigma yang dimaksudkan di sini adalah sebuah cara pandang
fundamental tentang pokok persoalan dalam suatu cabang ilmu pengetahuan. Ia
membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab
dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang
diperoleh21. Atau menurut Servaes, paradigma adalah frame of meaning. Selain
paradigma, biasa dikenal juga istilah yang serupa seperti pendekatan, perspektif,
metode atau teori22.
Paradigma ini meyakini bahwa media adalah sarana dari kelompok dominan
untuk mengontrol dan bahkan memarjinalkan kelompok yang tidak dominan. Di
sini, ada beberapa pertanyaan mendasar tentang media dalam kerangka berpikir
paradigma kritis:
1. Siapa yang mengontrol media?
2. Kenapa ia mengontrol?
3. Keuntungan apa yang bisa diambil dari kontrol tersebut?
4. Kelompok mana yang tidak dominan dan menjadi obyek dari
pengontrolan?
20 Eriyanto. Op.Cit. Hal. 23. 21 St. Guntur Narwaya. 2006. Matinya Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Resist Book. Halaman 93. 22 Engkus Kuswarno. “Perubahan Paradigma Penelitian Komunikasi”. Dalam Deddy Mulyana dan
Solatun (ed). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Halaman 414.
12
Dominasi dalam hal ini menurut Ben Agger23 sifatnya adalah struktural.
Yakni, kehidupan masyarakat sehari-hari dipengaruhi oleh institusi sosial yang
lebih makro seperti ekonomi, politik, budaya, diskursus, gender dan ras. Nantinya,
paradigma kritis mengantar masyarakat untuk mengungkap dan memahami akar
global dan rasional dari dominasi yang mereka alami selama ini. Dan memang ciri
utama dari paradigma kritis adalah sikapnya yang selalu curiga dan
mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini.
Sindhunata menambahkan bahwa aliran ini tidak bisa dilepaskan dari
keprihatinan akan akumulasi dan kapitalisme modal yang besar, yang makin hari
makin mempengaruhi kehidupan bermasyarakat24. Modal inilah yang kini
menggerakkan dan menentukan masyarakat.
Pemahaman akan paradigma kritis ini kemudian masuk ke berita sebagai
produk dari media. Berita yang dimaknai sebagai “hasil rekonstruksi tertulis dari
realitas sosial yang terdapat dalam kehidupan25”, lalu dilihat secara kritis. Realitas
tidak serta merta dilihat sebagai seperangkat fakta, melainkan hasil dari pandangan
tertentu dari pembentukan realitas26. Prinsipnya utamanya adalah setiap hasil dari
proses rekonstruksi realitas adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed
reality), dalam bentuk cerita atau wacana yang bermakna27.
Oleh karena itu, menurut Stuart Hall, paradigma kritis tidak hanya
mengubah pandangan mengenai realitas yang dipadangi alamiah semata. Tetapi
juga berargumentasi bahwa media adalah kunci utama dari pertarungan kekuasaan
tersebut28.
Dalam proses pembentukan realitas tersebut, Hall lalu menggaris bawahi 2
titik tekan utama. Pertama, adalah bahasa. Sebagaimana yang dipahami oleh
strukturalis, bahasa merupakan sistem penandaan. Suatu realitas dapat ditandakan
23 Ben Agger. 2008. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hal. 8.
24 Eriyanto. Op. Cit. Halaman 24. 25 Ana Nadhya Abrar. Op.Cit. Hal. 2. 26 Ibid. Halaman 29. 27 Ibnu Hamad. Op.Cit. Hal. 11-12. 28 Eriyanto. Op. Cit. Halaman 24.
13
secara berbeda pada peristiwa yang sama. Menurut Christian & Christian29
hubungan antara bahasa, realitas dan budaya adalah sebagai berikut:
Language
Reality creates Creates Creates reality
Culture
Kedua, yaitu politik penandaan. Yakni bagaimana praktik sosial dalam
membentuk makna, mengontrol dan menentukan makna. Ideologi bermain amat
penting di sini. Sehingga, pengertian dari realitas nantinya tergantung pada
bagaimana sesuatu tersebut ditandakan dan dimaknai30.
Sedangkan, Hamad31 berbeda pendapat dengan Stuart Hall. Menurutnya,
ada tiga tindakan yang biasa digunakan oleh media untuk melakukan konstruksi
realitas, yaitu:
1. Dalam hal pilihan kata (symbol).
Sekalipun media dianggap hanya melaporkan peristiwa (realitas). Akan
tetapi, pilihan simbol tetap berada pada wilayah media dan wartawan.
Semisal, kutipan tertentu yang diambil dari tokoh tertentu. Kutipan itu tentu
hanya bagian kecil dari pembicaraannya yang panjang.
2. Dalam melakukan pembingkaian (framing).
Atas nama kaidah jurnalistik, seringkali peristiwa yang panjang, lebar dan
rumit coba disederhanakan melalu mekanisme framing fakta-fakta dalam
bentuk berita sehingga layak terbit/tayang. Caranya adalah dengan
mengemas realitas ke dalam sebuah struktur (yang dipengaruhi oleh
berbagai kepentingan ekonomi, politik dan sosial) sehingga sebuah isu
punya makna.
29 Ibid. Hal. 13. 30 Ibid. Halaman 29-31. 31 Ibnu Hamad. Op.Cit. Hal. 17-25.
14
3. Melakukan fungsi agenda setting
Dalam hal ini justru ketika media memberikan tempat pada suatu peristiwa,
maka peristiwa tersebut akan diperhatikan oleh masyarakat. Semakin besar
tempatnya, semakin besar pula perhatian yang akan didapatkan.
Bila paradigma pluralis (sering juga disebut positivis, empiris atau liberal)
menganggap bahwa wartawan dan media adalah entitas yang otonom, dan berita
yang dihasilkan pun menggambarkan realitas yang ada di lapangan. Penyebutan
paradigma pluralis berasal dari pemahaman jurnalisme di Amerika Serikat yang
pendekatan behavioris. Di sini masyarakat dianggap sebagai entitas yang plural,
yang memiliki berbagai kepentingan. Kepentingan-kepentingan yang berbeda
tersebut akan ditampilkan apa adanya di media. Berbagai kepentingan tersebut
akan menemukan sendiri titik ekuilibriumnya/mencapai konsensus tanpa harus
diarahkan dan dipaksa.
Sebaliknya, paradigma kritis justru mempertanyakan posisi media dan
wartawan dalam keseluruhan struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam
masyarakat. Perbedaan tersebut selengkapnya dijelaskan oleh Eriyanto32 pada
bagan di bawah ini:
PLURALIS KRITIS
FAKTA
Ada fakta real yang diatur oleh kaidah-
kaidah tertentu yang berlaku universal.
Fakta merupakan hasil dari proses
pertarungan antara kekuatan ekonomi,
politik dan sosial yang ada dalam
masyarakat.
Berita adalah cermin dan refleksi dari
kenyataan. Oleh karena itu, berita
haruslah sama dan sebangun dengan
fakta yang hendak diliput.
Berita tidak mungkin merupakan cermiin
dan refleksi dari realitas. Karena berita
yang terbentuk hanya cerminan dari
kepentingan kekuatan dominan.
POSISI MEDIA
Media adalah sarana yang bebas dan
netral tempat semua kelompok
Media hanya dikuasai oleh kelompok
dominan dan menjadi sarana untuk
32 Eriyanto. Op.Cit. Hal. 32-33.
15
masyarakat saling berdiskusi yang tidak
dominan.
memojokkan kelompok lain.
Media menggambarkan diskusi apa yang
ada dalam masyarakat.
Media hanya dimanfaatkan dan menjadi
alat kelompok dominan.
POSISI WARTAWAN
Nilai dan ideologi wartawan di luar
proses peliputan berita.
Nilai dan ideologi wartawan tidak dapat
dipisahkan dari proses peliputan dan
pelaporan suatu peristiwa.
Wartawan berperan sebagai pelapor. Wartawan berperan sebagai partisipan dari
kelompok yang ada dalam masyarakat.
Tujuan peliputan dan penulisan berita:
ekplanasi dan menjelaskan apa adanya
memburukkan kelompok.
Tujuan peliputan dan penulisan berita:
pemihakan kelompok sendiri dan atau
pihak lain.
Penjaga gerbang (gate keeping). Sensor diri.
Landasan etis. Landasan ideologis.
Profesionalisme sebagai keuntungan. Profesionalisme sebagai kontrol.
Wartawan sebagai bagian dari tim untuk
mencari kebenaran.
Sebagai pekerja yang mempunyai posisi
berbeda dalam kelas sosial.
HASIL LIPUTAN
Liputan dua sisi, dua pihak dan kredibel. Mencerminkan ideologi wartawan dan
kepentingan sosial, ekonomi atau politik
tertentu.
Obyektif, menyingkirkan opini dan
pandangan subyektif dari pemberitaan.
Tidak obyektif karena wartawan adalah
bagian dari kelompok/struktur sosial
tertentu yang lebih besar.
Menggunakan bahasa yang tidak
menimbulkan penafsiran yang beraneka.
Bahasa menunjukkan bagaimana kelompok
sendiri diunggulkan dan memarjinalkan
kelompok lain.
16
4. Pendekatan Ekonomi-Politik Media
Sudah jamak diketahui pendekatan ekonomi-politik media sangat berpengaruh
terhadap media. Pendekatan ekonomi misalnya, diyakini adalah faktor penting
dalam praktik dan teks media. Media dalam sudut pandang ekonomi adalah
lembaga profit-making. Hal itu dicapai dengan cara menjual para khalayak ke
pengiklan, media harus memproduksi program sebaik dan semenarik mungkin.
Pendekatan ekonomi pula menegaskan bahwa pola kepemilikan amat berpengaruh
terhadap media itu sendiri33.
Raymond Williams34 menyatakan bahwa karakter komersial dari televisi
dapat dilihat dari beberapa level: Pertama, saat televisi memproduksi program
tertentu yang disesuaikan dengan pasar. Kedua, saat televisi jadi saluran iklan.
Ketiga, saat televisi dijadikan alat pembentukan nilai budaya dan politik oleh
masyarakat kapitalis yang dominan.
Selain sisi ekonomi, sebagai lembaga profit-making. Media juga menjalankan
fungsi ideologis. Hal ini dibenarkan oleh premis teori marxis yang melihat media
sebagai “kelas yang mengatur” dalam sistem kapitalisme modern. Media bukanlah
sebatas medium lalu lintas pesan antar unsur-unsur sosial dalam suatu masyarakat,
melainkan jauh lebih dari itu media merupakan alat penundukan dan pemaksaan
konsensus oleh kelompok yang dominan35. Oleh karena itu, penting untuk melihat
media tidak hanya dari pendekatan ekonomi semata, namun juga pendekatan
politik.
Vincent Mosco kemudian mendefinisikan pendekatan ekonomi politik
dalam dua pengertian, sempit dan luas. Pengertian sempit, dimaknai sebagai kajian
relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan yang bersama-sama membentuk produksi,
distribusi dan konsumsi sumber daya termasuk sumber daya komunikasi. Sedang
dalam pengertian luas, pendekatan ini mengkaji kontrol dan pertahanan kehidupan
sosial36.
33 Norman Fairclough. Op. Cit. Hal. 44-45. 34 Ibid. 35 Agus Sudibyo. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKIS. Hal. 1-2. 36 Citra Antasari. Pendekatan Politik Ekonomi: Pengaruh Terhadap Kebijakan Redaksional. Dalam
Hermin Indah Wahyuni (ed). 2010. Komunikasi dan Dunia Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: FISIPOL UGM. Halaman 28.
17
Lebih lanjut, Mosco37 melihat bahwa pendekatan ekonomi politik
merupakan perspektif yang paling utama dalam riset komunikasi dan dianggap
sebagai pendekatan yang paling menyeluruh. Pendekatan ini dimulai dengan kajian
historis melalui pandangan kritis dari ekonomi politik sebagai pendekatan umum
dengan analisis sosial yang dilengkapi pendekatan ekonomi politik yang berkaitan
dengan kajian kebijakan dan budaya.
Pendekatan ekonomi politik dalam media nantinya akan mengarahkan kita
kepada dua model ekonomi politik media, yaitu liberal dan kritis38. Model liberal
lahir sebagai kritik atas merkantilisme dinilai tidak efisien dan tidak produktif. Ia
melihat iklan dan pemodal sebagai instrumen professional dalam media. Kedua
pihak ini dianggap memahami kerja media dan memberikan kontribusi bagi
kelangsungan industri media. Sebaliknya, bagi model kritis, yang lahir sebagai
kritik terhadap model liberal, iklan dan pemodal justru melakukan dominasi dan
pemaksaan atas media. Sehingga, media kehilangan kebebasan dan
independensinya.
Pendekatan ekonomi-politik sendiri berkembang sejak abad ke-18 sebagai
respon dari akselerasi kapitalisme. Beberapa poin mendasar yang mendirikan
pendekatan ekonomi-politik adalah sebagai berikut39:
1. Kritik utamanya ditujukan kepada kecenderungan determisme
ekonomi, yang melihat faktor-faktor ekonomi sebagai satu-satunya
faktor yang menentukan dinamika masyarakat modern.
2. Keyakinan para ekonom neoklasik harus dikritik, karena mereka
menganggap pasar akan menyedikan kompetisi yang stabil dan
sempurna. Realitanya, kondisi ekuilibrium hanyalah mitos. Yang lazim
terjadi kemudian adalah dominasi dan monopoli.
3. Negara bukanlah lembaga pengatur yang obyektif dan mandiri. Justru di
bawah kendali kapitalisme, baik domestik maupun global, negara
37 Novi Kurnia. 2008. Posisi dan Resistensi: Ekonomi Politik Perfilman Indonesia. Yogyakarta: Fisipol, UGM. Hal. 35.
38 Iswandi Syahputra. 2006. Jurnalisme Infotainment: Kancah Baru Jurnalistik dalam Televisi. Yogyakarta: Pilar Media. Hal. 96-97.
39 Agus Sudibyo. Op.Cit. Hal. 6-7
18
seringkali subyektif dengan melakukan intervensi yang bias kepentingan
pasar.
Mosco40 menambahkan tiga karakter dasar pendekatan ekonomi-politik
media, yaitu realis, inklusif dan kritis. Realis yang dimaksud adalah pendekatan
ekonomi-politik tidak tergantung pada teori abstrak atau deskripsi empiris.
Karakter inklusif bermakna bahwa kehidupan sosial tidak dapat dirangkum dalam
satu teori apa pun. Sehingga pendekatan ini amat terbuka bagi debat multi
perspektif dan lintas disiplin. Kemudian karakter kritis bermakna pendekatan ini
peka terhadap segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan.
Adapun beberapa varian pendekatan ekonomi-politik media adalah sebagai
berikut41:
Varian Tokoh Penjelasan
Instrumentalis Edward S. Herman &
Noam Chomsky
Media dipandang sebagai alat dominasi
kelas. Kelas dominan menggunakan
kekuatan ekonomi untuk memastikan
bahwa arus informasi publik sesuai dengan
misi dan tujuan mereka.
Strukturalis Michael Schudson Media dipandang sebagai sesuatu yang
monolitik, statis dan determinan.
Konstruktivis Peter Golding &
Graham Murdock
Media dengan strukturnya dipandang
sebagai sesuatu hal yang belum sempurna
dan terus dinamis bergerak. Ini merupakan
jalan tengah antara varian instrumentalis
dengan strukturalis.
Pemberitaan sebagai produk dari media adalah hal yang amat penting dalam
pendekatan ekonomi-politik. Ideologi suatu media sebagai basis bertindak, tidak
hanya dapat dilihat dari isi media (media content) tersebut, melainkan yang paling
penting justru latar belakang pendiri institusi media tersebut42. Hal ini dengan
40 Ibid. Hal. 6-7. 41 Ibid. Halaman 11-12. 42 Citra Antasari. Op. Cit. Halaman 26.
19
mudah dilihat dari pemberitaan ANTV dan TvOne dalam kasus Lumpur Lapindo
(atau Lumpur Sidoarjo) misalnya.
Pendapat mengenai latar belakang pendiri institusi media di atas, kurang
lebih senada dengan pendapat dari Oliver Boyd-Barret43. Menurutnya, pendekatan
ekonomi politik dalam masyarakat mempunyai signifikansi kritis yang biasanya
dihubungkan dengan kepemilikan dan kontrol media yang mengaitkan industri
media dengan elit politik, ekonomi dan sosial.
Pada akhirnya, seperti yang ditulis oleh Croteau dan Hoyness44 bahwa
proses penulisan pesan pada media terlalu banyak diintervensi oleh berbagai
kepentingan. Realitanya, produksi pesan di media justru diarahkan oleh individu-
individu yang memiliki keputusan dan penafsiran tertentu.
F. METODOLOGI PENELITIAN
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis
mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih
luas. Dalam metode ini, bahasa dilihat sebagai proses dialektika dengan struktur
sosial sehingga analisis akan dipusatkan pada bagaimana bahasa terbentuk dan
dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu. Pemakaian bahasa, menurut
Foucault dianggap sebagai bentuk praktik sosial daripada aktivitas individu.
Implikasinya wacana dianggap sebagai bentuk dari tindakan, adanya hubungan
timbal balik antara wacana dan struktur sosial.
Penelitian berbasis analisis wacana kritis ini berpijak pada gagasan Marx
yang memandang masyarakat sebagai sistem kelas. Masyarakat dipandang sebagai
sebuah dominasi dan media menjadi bagian dari sistem dominasi tersebut.
Sehingga, dipercaya media adalah alat dari kelompok dominan untuk
memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok
yang tidak dominan.
Analisis wacana kritis pada dasarnya merupakan titik puncak dari
publikasi Fairclough Language and Power (1989) yang melihat analisis wacana
43 Novi Kurnia. Op.Cit. Hal. 36. 44 David Croteau & William Hoyness. 2003. Media Society. California: Pine Forge Press. Hal. 76.
20
sebagai integrasi antara: (a)analisis teks, (b) analisis proses dari produksi, konsumsi
dan distribusi teks, dan (c) analisis sosio-kultural dari peristiwa diskursif45.
Dalam penelitian, analisis wacana kritis memiliki fokus penelitian
untuk mencari nilai-nilai yang dianggap menjembatani wartawan dengan peristiwa
sehingga terbentuklah sebuah berita. Hal ini berbeda dengan paradigma positivis-
empiris yang mengharuskan adanya obyektifitas dan kenetralan, sehingga analisa
diarahkan untuk mencari adanya atau tidaknya bias dalam meneliti sebuah
pemberitaan.
Tujuan dari analisis wacana kritis adalah mengkritisi ideologi yang
melatarbelakangi sebuah wacana dengan jalan menelanjangi asumsi-asumsi
kebenaran yang seringkali sudah menjadi common sense di masyarakat46.
2. Obyek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah liputan berita langsung (hard news) yang disiarkan
oleh Liputan 6 SCTV dan MetroTV pada bulan Januari 2011. Waktu tersebut
dipilih karena pemberitaan konflik Liga Primer Indonesia vs PSSI sedang ramai
diangkat ke ranah publik.
Sedangkan, pemilihan kedua stasiun televisi ini karena citranya yang
menonjol dalam pemberitaan. Liputan 6 SCTV merupakan simbol dari stasiun
televisi yang kritis di akhir era orde baru. Sedangkan, Metro TV di masa kini
adalah stasiun televisi khusus berita yang terkenal kritis dalam menangggapi
berbagai realita sosial.
Sebenarnya, masih ada Tv One yang juga merupakan stasiun televisi
khusus berita 24 jam seperti Metro TV. Akan tetapi, dalam tema konflik LPI vs
PSSI, Tv One sejak awal sudah melakukan konstruksi wacana. Caranya dengan
tidak memberitakan LPI sama sekali.
45 Norman Fairclough. Ibid. Hal. 23. 46 Rigakittyndya Tiamono. Dalam Narendra, Pitra (ed.). 2008. Metodologi Riset Komunikasi.
Yogyakarta: BPPI & PKMBP. Hal. 140.
21
3. Analisis Data
Analisis data yang diperoleh nantinya akan menggunakan model analisis yang
dikembangkan oleh Norman Fairclough. Model ini menghubungkan analisis teks
pada level mikro dengan konteks sosial yang lebih besar lagi, seringkali mode ini
disebut juga sebagai model perubahan sosial (social change).
Titik perhatian utama dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai
praktik kekuasaaan. Untuk melihat bagaimana pengguna bahasa membawa nilai
tertentu, dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Melihat bahasa dalam perspektif
ini membawa konsekuensi tertentu. Bahasa secara sosial dan historis adalah
bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena
itu, analisis harus dipusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk
dari relasi sosial dan konteks tertentu47.
Fairclough kemudian membagi analisis ini ke dalam dua level yaitu:
communicative events dan order of discourse. Tahapan communicative events
menitikberatkan pada analisis teks yang dipertajam dengan paparan discourse practice
dan sociocultural practice sebagai konteks peristiwa pemberitaan yang ditampilkan.
Pada saat melakukan analisis, ketiga tahapan ini akan dilakukan secara bersama-
sama.
Sedangkan level selanjutnya order of discourse, meliputi analisis
intertekstualitas dan genre. Pemahaman Fairclough tentang analisis wacana kritis
setidaknya bisa dirangkum ke dalam bagan seperti ini:
Sumber: Eriyanto48
47 Eriyanto. Op.Cit. Hal. 7. 48 Ibid. Hal. 288.
PRAKTEK SOSIAL
PRAKTEK DISKURSIF
TEKS
22
1) Analisis Communicative Events
i. Analisis Teks
Analisis teks menurut Fairclough tidak hanya melihat bagaimana
suatu teks digambarkan, tapi juga bagaimana hubungan antar teks
didefinisikan. Hubungan tersebut dapat dilihat lewat unsur:
representasi, relasi, intertekstualitas dan identitas.
Unsur Yang Ingin Dilihat
Representasi Bagaimana peristiwa, orang, kelompok, keadaan atau
apapun ditampilkan dan digambarkan dalam teks.
Representasi dapat dilihat melalui representasi anak
kalimat, kombinasi antar anak kalimat dan rangkaian
antar kalimat.
Relasi Bagaimana hubungan antar wartawan, khalayak dan
partisipan berita ditampilkan dan digambarkan
dalam teks.
Relasi akan dilihat dari pola hubungan antara tiga aktor
(wartawan, khalayak media dan partisipan publik)
ditampilkan dalam teks.
Identitas Bagaimana identitas wartawan, khalayak dan
partisipan berita ditampilkan dan digambarkan
dalam teks.
Identitas dapat dilihat dari bagaimana identitas wartawan
ditampilkan dan dikonstruksi dalam teks pemberitaan.
Sumber: Eriyanto49
ii. Analisis Discourse Practice
Analisis discourse practice dilakukan pada level pembuatan teks
(text processing). Fairclough melihat bagaimana produksi dan
konsumsi teks. Yang dilihat adalah sisi wartawan, hubungan
antar wartawan dan struktur organisasi dan praktik
kerja/rutinitas kerja.
49 Ibid. Hal. 289.
23
iii. Analisis Sociocultural Practice
Analisis sociocultural practice dilakukan pada level social (social
analysis). Tahapan ini didasarkan pada asumsi bahwa konteks
sosial yang ada di luar media mempengaruhi wacana yang
muncul dalam media. Analisis ini memang tidak berkaitan
langsung dengan produksi teks media, akan tetapi ia
menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami.
Fairclough lalu membagi analisis tahap ini ke tiga level: Analisis
ini terdiri dari tiga level: situasional, institusional dan sosial50.
Proses analisis dibagi ke dalam tiga tahap yaitu analisis
deskriptif, dimana berita dianalisis secara tekstual. Analisis
interpretatif, dimana berita diinterpretasikan dengan mengacu
dengan praktik wacana yang dilakukan. Analisis teks dilakukan
dengan menghubungkan dengan bagaimana proses produksi
berita. Ketiga, analisis eksplanasi sebagai penjelasan dan
penafsiran tahap kedua.
2) Analisis Order of Discourse
Analisis ini akan dilihat dari segi intertekstualitas dan genre.
Intertekstualitas yang dimaksud di sini adalah istilah dimana teks atau
ungkapan dibentuk oleh teks yang hadir sebelumnya, saling
menanggapi dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi
bagian lainnya. Intertekstualitas dalam berita dapat dideteksi dari
pengutipan narasumber, apakah secara langsung atau tidak langsung.
Sedangkan, genre merupakan cara penggunaan bahasa yang biasanya
disesuaikan dengan lingkup praktek sosialnya. Atau mengutip Bakhtin,
adalah bagian dari konvensi yang disesuaikan dengan tindakan51.
Tahapan terakhir ini menegaskan bahwa wacana media adalah
suatu bidang yang kompleks. Apa yang muncul dari teks media
sesungguhnya adalah bagian akhir dari suatu proses yang kompleks
50 Ibid. Hal. 322. 51 Ibid. Hal. 313.
24
dengan kekuatan, regulasi dan negosiasi yang menghasilkan fakta
tertentu. Adapun kerangka analisa dapat digambarkan sebagai berikut:
Tingkatan Metode
Teks Critical linguistics
Discourse Practice (News Room) Wawancara mendalam
Sociocultural Practice (Sejarah) Studi/penelusuran pustaka
Sumber: Eriyanto52
52 Ibid. Hal. 326.
25
BAB II
ANALISIS WACANA KRITIS NORMAN FAIRCLOUGH
DAN SEPAKBOLA DALAM KAJIAN MEDIA
Setelah memahami latar belakang konflik antara Penyelenggara LPI dan PSSI yang
menjadi bahan pemberitaan di berbagai media. Penelitian ini akan memahami lebih
lanjut tentang posisi media yang memiliki peran strategis untuk membentuk wacana
di tengah masyarakat. Karena harus diingat kembali bahwa setiap usaha dari media
untuk menceritakan kembali sebuah realitas adalah usaha untuk mengkonstruksi
realitas itu sendiri. Dengan demikian, isi media tidak lain bukanlah realitas itu sendiri,
melainkan adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk
wacana .
Wacana sebagai suatu bentuk konstruksi atas realita sosiologis membutuhkan
alat atau cara untuk disebarkan. Alat tersebut adalah biasa dikenal sebagai hegemoni.
Nantinya bersama ideologi, wacana dan hegemoni adalah satu mata rantai konsep
yang tidak dapat dipisahkan.
Setelah, mata rantai wacana - ideologi - hegemoni dijelaskan, akan dijelaskan
pula secara lebih detail metode penelitian yang digunakan, yaitu, analisis wacana kritis
milik Norman Fairclough. Di antara beberapa model analisis wacana lain, Jorgensen
dan Philips1 menyebut model Fairclough adalah model yang paling canggih. Dalam
hal ini, dikarenakan perkembangannya yang amat cepat di bidang komunikasi, budaya
dan masyarakat. Selain itu, oleh beberapa pihak model kritis Fairclough diidentikkan
dengan model perubahan sosial.
A. WACANA, IDEOLOGI DAN HEGEMONI DALAM BERITA
1. Wacana
Wacana yang kita pahami selama ini seringkali salah diartikan. Seringkali wacana
terlalu remeh diartikan, senada dengan dengan kritik dari Golding & Ferguson2
1 Marianne W. Jorgensen & Louise J. Philips. 2007. Analisis Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 162.
2 Deddy N. Hidayat. Dalam Eriyanto. Op. Cit. Hal. x.
26
yang menyatakan bahwa misi wacana yang seharunya adalah “changing the world”
turun kasta hanya menjadi “changing the word”.
Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Hal itu harus dirunut kembali pada
makna wacana (discourse) yang seharusnya. Karena makna suatu ungkapan bahasa
merupakan pokok persoalan yang mendasar dalam filsafat bahasa.
Wacana berasal dari bahasa latin “discursus” yang berarti lari kian-kemari
(dis – dari, dalam arah yang berbeda dan currere -lari)3. James Lull menyatakan
bahwa wacana dalam arti sederhana adalah cara obyek atau ide diperbincangkan
secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang
tersebar luas4.
Cakupan wacana amatlah luas, sebuah tulisan adalah wacana (merujuk
pada definisi di Websters), sebuah pidato pun juga wacana. Norman Fairclough
sendiri memaknai wacana sebagai5:
Pertama, 'wacana' dalam pengertian abstrak, sebagai kategori yang
menunjuk elemen luas semiotik (sebagai lawan dan dalam hubungannya
dengan lainnya, non-semiotika, unsur-unsur) dari kehidupan sosial (bahasa,
tapi juga visual semiosis, 'bahasa tubuh' dll ). Pada makna ini, Fairclough
akhirnya lebih suka menggunakan istilah “semiosis”.
Kedua, 'wacana' sebagai kategori untuk menunjuk cara-cara tertentu yang
mewakili aspek-aspek tertentu dari kehidupan sosial. Misalnya, untuk
membedakan wacana politik yang berbeda, yang mewakili untuk masalah
ketimpangan, merugikan, kemiskinan, pengecualian sosial, dengan cara
yang berbeda.
Alex Sobur6 lalu membuat klasifikasi tersendiri terhadap wacana, yaitu
wacana tulis, teks dan konteks:
3 Alex Sobur. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 9. 4 Ibid. Hal. 11. 5 Norman Fairclough. Diakses pada 16 Februari 2011. Terarsip di
http://www.ling.lancs.ac.uk/staff/norman/critdiscanalysis.doc 6 Alex Sobur. Op.Cit. Hal. 50-60.
27
a. Wacana Tulis
Dalam wacana tulis tersimpan pemahaman bahwa tulisan dapat membawa
pikiran pembacanya ke dalam bentuk tertentu tanpa haru menggunakan
bahasa lisan. Paul Ricoeur memberi contoh bahwa lewat tulisan, tercipta
kemungkinan penerusan tata aturan ke ruang dan waktu yang berbeda tanpa
distorsi yang berarti. Dalam konteks wacana, dengan tulisan dimungkinkan
suatu negara menjajah negara lain melalui penataan politis jarak jauh.
b. Teks
Teks adalah seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang pengirim
kepada seorang penerima melalui medium tertentu dengan kode tertentu.
Bagi Roland Barthes, teks sendiri adalah suatu obyek kenikmatan. Di sini, ada
hubungan erat antara tulisan dengan teks. Bila tulisan adalah bentuk fiksasi
dari bahasa lisan, maka teks adalah kelanjutannya: bentuk fiksasi dari wacana
lisan.
c. Konteks
Guy Cook menyebutkan bahwa ada 3 hal sentral dalam memahami wacana:
teks, konteks dan wacana. Di sini, konteks bermakna semua situasi dan hal
yang berada di luar teks dan mempengaruhi penggunaan bahasa, seperti
partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang
dimaksudkan, dsb.
Pada titik inti wacana, Foucault7 menegaskan bahwa wacana adalah alat
kuasa pengetahuan. Wacana tertentu akan menghasilkan kebenaran dan
pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Karena kebenaran tidaklah
datang dari langit, melainkan juga diproduksi. Cara menyebarkan wacana untuk
kuasa pengetahuan itulah yang sering dikenal sebagai hegemoni. Bersama ideologi,
wacana dan hegemoni adalah kesatuan konsep yang tidak dapat dipisahkan.
7 Eriyanto. Op.Cit. Hal. 66-67.
28
2. Ideologi
Ideologi adalah sebuah konsep yang merujuk pada keyakinan, perilaku dan nilai
kolektif dari sebuah kelompok. Ideologi dapat berarti positif atau negatif, tapi
dalam kerangka berpikir kritis, ideologi memang lebih dimaknai secara negatif8.
Seperti yang dikatakan oleh Aarst van Zoest, bahwa teks tidak akan pernah lepas
dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembacanya ke arah
suatu ideologi9.
Bagi Fairclough, ideologi adalah makna yang melayani kekuasaan10. Lebih
tepatnya, ideologi sebagai konstruksi makna memberikan kontribusi bagi
produksi, reproduksi dan transformasi relasi-relasi dominasi. Sedangkan Louis
Althusser11 berpendapat bahwa ideologi adalah ilusi yang diperlukan, yang
dipinjam dari dunia luar untuk memahami identitas dan tujuan dalam hidup kita.
Faktanya, tidak seorang pun dari kita, memiliki akses langsung ke yang nyata,
dunia. Karena hubungan kita dengan dunia sebenarnya telah disaring oleh
representasi, setidaknya oleh bahasa. Dan ideologi adalah sumber utama
representasi tersebut.
Dalam praktik wacana kritis, posisi ideologi sangat sentral. Karena teks,
percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari
ideologi tertentu. Ideologi dalam teori klasik dipahami sebagai cara untuk
mereproduksi dan melegitimasi dominasi dari kelompok dominan. Caranya adalah
dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi tersebut dapat
diterima secara taken for granted. Dan wacana adalah mediumnya12.
Menurut Van Dijk inilah yang disebut sebagai kesadaran palsu, yaitu
bagaimana kelompok dominan memanipulasi ideologi kepada kelompok yang
tidak dominan melalui kampanye disinformasi, kontrol media, dsb13. Hal ini
8 Stephen W. Littlejohn & Karen Foss. 2009. Encyclopedia of Communication. USA: Sage Pub. Hal.497.
9 Alex Sobur. Op. Cit. Hal. 60. 10 Marianne W. Jorgensen & Louise J. Philips. 2007. Analisis Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 139.
11 Stephen W. Littlejohn & Karen Foss. Op.Cit. Hal. 499. 12 Eriyanto. Op.Cit. Hal. 13. 13 Ibid. Hal. 13.
29
senada dengan pendapat Littlejohn dan Foss, bahwa cara kerja ideologi memang
cenderung tanpa disadari dan bahkan mempertahankan status quo14.
Dalam pemahaman kritis seperti di atas, ideologi akan memiliki 2 implikasi
penting: Pertama, bahwa ideologi secara inheren bersifat sosial, bukan
individual/personal. Ia pasti akan disebarkan di antara anggota kelompok,
komunitas atau organisasi. Kedua, meski bersifat sosial, ia akan digunakan secara
internal di antara anggota komunitas atau kelompok. Dalam hal ini, ideologi juga
akan membentuk identitas kelompok, yang membedakan satu kelompok dengan
kelompok lainnya.
Dalam perspektif Althusser15, hubungan ideologi dengan media massa
dijelaskan dalam empat kategori. Pertama menyatakan bahwa media dalam
konteks ideologi modern akan banyak berperan sebagai ideological state
apparatus. Kedua, media massa mampu melakukan proses interpelasi ideologi.
Ketiga, media massa atau teks media mampu menjadi instrumen efektif-efisien
bagaimana nilai atau wacana dominan didistribusikan dan dipenetrasikan dalam
benak orang sehingga bisa menjadi konsensus kolektif. Sedangkan keempat,
dalam perkembangan media modern, media justru juga mempunyai ideologi
dan praksis hegemoni tersendiri. Pembahasan tentang hegemoni inilah yang
kemudian akan dibahas secara khusus.
3. Hegemoni
Di atas sudah dijelaskan bagaimana pentingnya wacana dan ideologi. Bila wacana
dan ideologi amat penting untuk mengontrol kelompok lain yang berbeda. Lalu
muncul pertanyaan, bagaimana wacana dan ideologi harus disebarkan? Di sinilah
letak pentingnya teori tentang hegemoni.
Hegemoni sebagai sebuah teori begitu identik dengan pencetusnya,
Antonio Gramsci. Hegemoni mendalami perang ideologi dan kepentingan antara
individu berbeda dalam kelompok masyarakat. Menurut Gramsci, kelompok yang
berkuasa bisa mempertahankan kekuasaannya melalui kekerasan militer,
14 Stephen W. Littlejohn & Karen Foss. Op.Cit. Hal. 497. 15 Eriyanto. 2002. Analisi Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media . Yogyakarta: LKIS. Hal. 93-108.
30
persetujuan masyarakat (consent) atau kombinasi dari keduanya16. Hegemoni terjadi
ketika pillihan kedua dilaksanakan, dimana kelompok berkuasa atau ideologi
tertentu “dipaksakan” atas orang/kelompok lain, lewat subversi atau kooptasi
yang cenderung halus dan damai ketimbang paksaan langsung/kekerasan17.
Bagi paradigma kritis, hegemoni merupakan konsep yang amat penting.
Karena masyarakat seringkali tidak menyadari bahwa tindakan dan keyakinan yang
mereka anut justru memperkuat kepentingan kelompok dominan yang ada. Di sini
adalah fungsi dari paradigma kritis untuk menganalisis praktek-praktek sosial,
norma, dan kondisi yang ada untuk menantang dominasi ideologi tertentu. Atau
dalam bahasa paradigma kritis, inilah tujuan tranformasi sosial yang dicita-
citakan18.
Untuk mencapai dominasi ideologi, Gramsci berbeda secara diametral
dengan Lenin. Bila Lenin berpendapat bahwa suatu ideologi hanya dapat
mencapai hegemoni melalui kontestasi dan perjuangan, Gramsci justru percaya
ideologi akan dapat dihegemoni tanpa paksaan langsung. Hasil akhir dari
hegemoni adalah saat kepercayaan, sikap, dan nilai-nilai dari suatu ideologi
tertentu tampak seperti alami dan logis (common sense)19.
Common sense inilah kunci akhir dari hegemoni. Karena hegemoni tidaklah
se-sederhana perihal dominasi ideologi. Hegemoni beroperasi dimana semua hal
dalam kehidupan sosial ini akan dijadikan common sense, praktisnya saat kita
akhirnya melihat segala sesuatu memang seperti itu adanya dan tidak lagi ada nalar
kritis untuk mengkritiknya20.
Dalam kerja jurnalistik seringkali hegemoni itu tidak terasa. Atau dalam
bahasa Stuart Hall, hegemoni justru menjadi ritual yang seringkali tidak disadari
oleh wartawan itu sendiri21. Misalnya, nilai berita name makes news, sehingga suara
pejabat dan pengusaha jauh lebih berharga ketimbang seorang petani miskin. Atau
nilai berita bad news is good news, yang mengakibatkan demonstrasi mahasiswa selalu
diliput dengan intens hanya saat terjadi rusuh dengan aparat keamanan.
16 David Croteau dan William Hoyness. 2003. Media Society. California: Pine Forge Press. Hal. 165. 17 Stephen W. Littlejohn & Karen Foss. Op.Cit. Hal. 239. 18 Ibid. Hal. 239. 19 Ibid. Hal. 499. 20 David Croteau dan William Hoyness. Op.Cit. Hal. 166. 21 Eriyanto. Op.Cit. Hal. 105.
31
Dan bagi analisis wacana, menurut Fairclough, hegemoni memiliki posisi
yang sentral. Menurutnya, konsep hegemoni memberikan kita alat untuk
menganalisis bagaimana praktik kewacanaan menjadi bagian dari praktik sosial
yang luas, yang melibatkan hubungan kekuasaan22.
4. Berita dalam Belenggu Wacana, Ideologi dan Hegemoni
Pada dasarnya media tidaklah pernah netral. Itu karena media tidak berada dalam
suatu ruang vakum. Melainkan ia berada di tengah realitas sosial itu sendiri.
Althusser menilai bahwa media adalah sarana legitimasi bagi pihak yang berkuasa.
Akan tetapi pandangan ini oleh Gramsci dinilai mengabaikan resistensi ideologis
dari kelas yang tersubordinasi oleh media. Karena bagi Gramsci, media adalah
arena pergulatan ideologi yang saling berkompetisi23.
Stuart Hall mengamini pandangan tentang ketidaknetralan media
tersebut24. Menurutnya, media adalah arena dimana kepemimpinan kultural
(cultural leadership) dan hegemoni dijalankan. Media dalam hal ini terlibat langsung
dalam “the politics of signification”, yaitu saat media melahirkan gambaran yang
membuat suatu peristiwa memiliki makna tertentu. Media tidaklah merefleksikan
realitas, melainkan merepresentasinya, atau justru mereproduksi realitas itu sendiri.
David Croteau dan William Hoyness lalu melihat apa yang terjadi dalam
media sebagai “ideology as normalization” 25. Teks-teks media, termasuk berita,
adalah lokasi dimana norma-norma sosial dasar (basic social norms) diartikulasikan.
Nantinya apa yang normal dan menyimpang (deviant) akan ikut dirumuskan pula
dalam teks media untuk kemudian menjadi norma sosial itu sendiri.
Menurut Ibnu Hamad, berita sebagai konstruksi realitas dalam belenggu
wacana bisa digambarkan seperti ini26:
22 Marianne W. Jorgensen & Louise J. Philips. Op. Cit. Hal. 142. 23 Alex Sobur. Op.Cit. Hal. 30. 24 David Croteau dan William Hoyness. Op.Cit. Hal. 168. 25 Ibid. Hal. 163. 26 Ibnu Hamad. Tanpa tahun. Perkembangan Analisis Wacana Dalam Ilmu Komunikasi: Sebuah Telaah Ringkas. Diakses pada 8 Maret 2011 . Terarsip di www.scribd.com/doc/45888147/Dr-Ibnu-Hamad.
Bagan di atas dijelaskan Hamad sebagai berikut27: Bahwa proses konstruksi
realitas oleh pelaku (2) dalam media massa dimulai dengan adanya realitas pertama
berupa keadaan, benda, pikiran, orang, pristiwa, dan sebagainya (1). Secara umum,
sistem komunikasi adalah faktor yang mempengaruhi sang pelaku dalam membuat
wacana. Dalam sistem komunikasi libertarian, wacana yang terbentuk akan
berbeda dalam sistem komunikasi yang otoritarian. Secara lebih khusus, dinamika
internal dan eksternal (4) yang mengenai diri si pelaku konstruksi tentu saja sangat
mempengaruhi proses kontruksi. Ini juga menunjukkan bahwa pembentukan
wacana tidak berada dalam ruang vakum. Pengaruh itu bisa datang dari pribadi si
pembuat dalam bentuk kepentingan idealis, ideologis, dan sebagainya maupun dari
kepentingan eksternal dari khalayak sasaran sebagai pasar, sponsor dan sebagainya
(5).
27 Ibid.
33
Untuk melakukan konstruksi realitas, pelaku konstruksi memakai suatu
strategi tertentu (6). Tidak terlepas dari pengaruh eksternal dan internal, strategi
konstruksi ini mencakup pilihan bahasa mulai dari kata hingga paragraf; pilihan
fakta yang akan dimasukkan/dikeluarkan dari wacana yang populer disebut
strategi framing, dan pilihan teknik menampilkan wacana di depan publik atau
strategi priming (7). Selanjutnya, hasil dari proses ini adalah wacana (discourse)
atau realitas yang dikonstruksian (8) berupa tulisan (text), ucapan (talk), tindakan
(act) atau peninggalan (artifact). Oleh karena discourse yang terbentuk ini telah
dipengaruhi oleh berbagai faktor, kita dapat mengatakan bahwa di balik wacana itu
terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang
diperjuangkan (9).
Akibat dari penyimpangan pemberitaan, Paul Johnson pernah
menyampaikannya sebagai seven deadly sins (tujuh dosa mematikan), yaitu: terjadinya
dramatisasi fakta palsu, distorsi informasi, terlanggarnya wilayah privat,
pembunuhan karakter, eksploitasi seks, teracuninya pikiran anak-anak dan
penyalahgunaan kekuasaan28.
Dalam konteks Indonesia, Sasa Djuarsa29 menyatakan ada 4 dosa dari
media, yaitu: Pertama, ekploitasi judul, terutama yang bersifat agitatif, provokatif,
emosional bahkan seronok. Kedua, dominasi opini elit dan kelompok mayoritas,
sehingga masyarakat kelas bawah/minoritas etnis dan agama kurang bisa bersuara.
Tentu hal ini mengancam pembentukan ruang publik media yang demokratis.
Ketiga, berita “konon kabarnya”, yang bertentangan dengan prinsip obyektifitas
dalam jurnalistik karena hanya menjelaskan opini, fakta atau ilustrasi menurut
sumber yang tidak mau disebut namanya. Sumber berita “konon katanya” bisa
menjadi proses pemfiksian terhadap informasi faktual. Keempat, informasi yang
tidak investigatif. Penyajian informasi yang tidak investigatif ini membuat media
hanya akan berkutat pada berita-berita trivialistik yang menengahkan gosip, seks,
kekerasan dan hiburan sebagai daya pikat utamanya.
28 Tim Redaksi LP3ES. 2006. Jurnalisme Liputan 6 SCTV: Antara Peristiwa dan Ruang Publik. Jakarta: LP3ES. Hal. 233.
29 Ibid. Hal. 234.
34
Pemberitaan seperti yang disebutkan di atas bertentangan dengan model
jurnalisme modern yang dicetuskan oleh Johan Galtung, yaitu jurnalisme damai
(peace journalism)30. Jurnalisme damai didasarkan pada standar jurnalisme modern,
yang berpegang pada azas imparsialitas, faktualitas, obyektifitas sekaligus
dilengkapi dengan prinsip-prinsip yang bertujuan untuk menghindarkan kekerasan
-solusi. Jurnalisme ini mengedukasi para wartawan agar tidak menjadi bagian dari
pertikaian, melainkan harus menjadi bagian dari upaya solusi.
Dalam jurnalisme damai, prinsip jurnalisme 5 W + 1 H, ditambah dengan
unsur S, yaitu solution. Artinya pers memberi ruang yang cukup untuk pemikiran
lain yang netral, yang rasional, dan kredibel, agar terjadi diskusi sosial untuk
mencari solusi yang paling kecil resikonya.
B. ANALISIS WACANA KRITIS NORMAN FAIRCLOUGH
1. Biografi Norman Fairclough
Norman Fairclough, sebagai salah seorang pencetus analisis wacana adalah Guru
Besar Emeritus Linguistik di Universitas Lancaster, Inggris. Fokus analisis
wacana kritis yang ditemukannya adalah dalam melihat bagaimana pengaruh
relasi kekuasaan pada isi dan struktur teks31.
Sebagai seorang guru besar emeritus, Fairclough tidak lagi mengajar
secara formal di bangku perguruan tinggi. Namun ia masih berkontribusi dalam
kursus analisis wacana kritis pada program Magister of Arts di Studi Budaya
Inggris di Buchares dan kursus intensif analis wacana kritis pada program
doktoral di Denmark32.
Sejak awal tahun 1980-an, riset Fairclough memang difokuskan pada
analisis wacana kritis, termasuk di dalamnya pula riset tentang posisi bahasa
dalam relasi sosial atas kekuasaan dan ideologi. Juga bagaimana bahasa
menempatkan diri dalam proses perubahan sosial. Minatnya kini adalah bahasa
30 Dede Drajat. Tanpa Tahun. Jurnalisme Damai Versus Jurnalisme Kekerasan (Alternatif Meminimalisir Potensi Konflik). Diakses pada 8 Maret 2011. Terarsip di http://balitbang.depkominfo.go.id/addfile/jurnal/komtisby/KomMTi-4/3_JURNALISME%20DAMAI_dededrajat.doc
31 “Norman Fairclough”. Diakses pada 3 Maret 2011. Terarsip di http://en.wikipedia.org/wiki/Norman_Fairclough
32 "Emeritus Professor Norman Fairclough". Diakses pada 3 Maret 2011. Terarsip di http://ling.lancs.ac.uk/profiles/Norman-Fairclough
35
(dalam arti wacana) sebagai elemen dari perubahan sosial terkini, yang merujuk
pada globalisasi, neo-liberalisme, neo-kapitalisme, pengetahuan ekonomi dan
sebagainya. Termasuk juga dalam 3 tahun belakangan ini, Fairclough sangat
intens meneliti perubahan yang terjadi di Eropa Tengah dan Timur, khususnya
di Rumania dengan perspektif analisis wacana kritisnya33.
Risetnya di Rumania berbasis pada klaim teoritis bahwa wacana adalah
elemen dari kehidupan sosial yang secara dialektis terkait dengan elemen yang
lainnya, dan bahkan memberi efek konstruktif dan transformatif pada elemen
lainnya. Selain itu, Fairclough juga meyakini bahwa wacana adalah elemen yang
menonjol dan potensial dari kehidupan sosial kini. Sehingga, banyak perubahan
sosial terkini diinisiasi dan digerakkan oleh perubahan wacana. Maka dari itu,
analisis wacana, termasuk di dalamnya analisis linguistik, akan memiliki
kontribusi yang besar untuk penelitian sosial, khususnya saat diintegrasikan
dengan penelitian lintas disiplin34.
Sebagai seorang guru besar, ada beberapa buku yang telah ditulisnya.
Sebagian besar memang fokus di tema politik dan linguistik, antara lain35:
1. Language and Power (1989). London: Longman.
2. Discourse and Social Change (1992). Cambridge: Polity Press
3. Media Discourse (1995). London: Edward Arnold.
4. Critical Discourse Analysis (1995). Boston: Addison Wesley.
5. Discourse in Late Modernity - Rethinking Critical Discourse Analysis (1999).
Edinburgh: Edinburgh University Press. (bersama Lilie Chouliaraki)
6. New Labour, New Language? (2000). London: Routledge.
7. Language and Power (2nd edition) (2001). London: Longman.
8. Analysing Discourse: Textual Analysis for Social Research (2003). London:
Routledge.
9. Language and Globalization (2006). London: Routledge.
10. Discourse and Contemporary Social Change (2007)(Ed.). Bern.
33 Ibid. 34 Ibid. 35 “Norman Fairclough”. Op.Cit.
36
2. Model Analisis Wacana Fairclough
Di antara beberapa model analisis wacana, seperti model Fowler, dkk, Van
Leuween, Van Dijk dan Mills, Fairclough adalah model yang paling canggih36.
Dalam hal ini, model Fairclough adalah pendekatan yang paling cepat
perkembangannya di bidang komunikasi, budaya dan masyarakat.
Model Fairclough sering dikenal dengan istilah model perubahan sosial
(social change). Karena inti dari model ini adalah pernyataan bahwa wacana
merupakan bentuk penting praktik sosial yang mereproduksi dan mengubah
pengetahuan, identitas dan hubungan sosial yang mencakup hubungan
kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh struktur dan praktik sosial yang lain.
Maka dari itu, atas nama emansipasi, model analisis wacana kritis memihak pada
kelompok-kelompok sosial yang tertindas. Kritik disampaikan dengan tujuan
mempercepat tercapainya perubahan sosial yang radikal37.
Model ini merupakan bentuk analisis wacana yang berorientasi pada teks
dan berusaha menyatukan tiga tradisi, yaitu: tradisi tekstual dari bidang linguistik,
tradisi makro-sosiologis praktik sosial dan tradisi interpretatif dan mikro-
sosiologis dalam bidang sosiologis38.
Kunci dari model Fairclough adalah model tiga dimensi, teks, praktik
kewacanaan (discourse practice) dan praktik sosio-kultural (sociocultural practice),
seperti yang digambarkan di bawah ini:
36 Marianne W. Jorgensen & Louise J. Philips. Op. Cit. Hal. 162. 37 Ibid. Hal. 121-123. 38 Ibid. Hal. 123-124.
37
Sumber: Fairclough39
Tujuan umum dari model tiga dimensi ini adalah memberikan kerangka
analitis. Sehingga dari bagan tiga dimensi di atas, Fairclough melihat teks sebagai
hal yang memiliki konteks baik berdasarkan “process of production” atau “text
production”; “process of interpretation” atau “text consumption” maupun
berdasarkan praktik sosio-kultural. Juga harus dicatat, ada prinsip dasar bahwa
“teks tidak bisa dipahami atau dianalisis secara terpisah, melainkan hanya bisa
dipahami dalam kaitannya dengan jaring-jaring teks lain dan hubungannya
dengan konteks sosial”40. Dengan demikian, untuk memahami wacana
(naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan
”realitas” di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks,
konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks.
Secara lebih detail, penjabaran dari kerangka analisis tiga dimensi yang
dicetuskan oleh Fairclough adalah sebagai berikut:
39 Fairclough, Norman. Op.Cit. Hal. 98. 40 Marianne W. Jorgensen & Louise J. Philips. Op. Cit. Hal. 130-131.
38
TEKS Data dikumpulkan
dengan satu/lebih
metode analisis
naskah (sintagmatis
atau paradigmatis)
Representasi
Bagaimana
orang,
kelompok,
keadaan atau
apa pun
ditampilkan &
digambarkan
dalam teks.
Relasi
Bagaimana
hubungan
antara
wartawan,
khalayak dan
partisipan
berita
ditampilkan
dan
digambarkan
dalam teks.
Identitas
Bagaimana
identitas
wartawan,
khalayak dan
partisipan
berita
ditampilkan
dan
digambarkan
39
dalam teks.
INTERTEKSTUALITAS
Teks dan
ungkapan
dibentuk oleh
teks yang
dibentuk
datang
sebelumnya,
saling
menanggapi
dan salah satu
bagian dari
teks tersebut
mengantisipasi
yang lainnya.
DISCOURSE
PRACTICE
Data dikumpulkan
dengan:
1. Pengamatan
Terlibat pada
Produksi Naskah,
2. Wawancara
mendalam dengan
pembuat naskah,
3. Data sekunder
tentang pembuatan
naskah
Memusatkan
perhatian pada
bagaimana
praktek
produksi dan
konsumsi
teks.
Individu
Wartawan
Relasi antara
wartawan dengan
struktur media
Praktik
Kerja/Rutinitas
Kerja
SOCIOCULTURAL
PRACTICE
Data dikumpulkan
dengan:
1. Depth interview
dengan pembuat
naskah dan ahli
Situasional
Institusional
Sosial
40
paham dengan
tema penelitian
2. Secondary data
yang relevan
dengan tema
penelitian
3. Penelusuran
Literatur yang
relevan dengan
tema penelitian
Sumber: Eriyanto41 dan Ibnu Hamad42
3. Perbandingan Model Analisis Wacana
Sebagai bentuk metode ilmiah yang relatif baru yang berkembang pasca tahun
1970-an. Analisis wacana sebagai alternatif dari analisis isi yang kuantitatif, telah
berkembang sedemikian rupa. Hingga saat ini ada beberapa model analisis
wacana yang dikenal secara luas, seperti French Discourse Analysis (Sara Mills),
Critical Linguistics (Roger Fowler, Theo van Leeeuwen), Discourse Historical
Approaches (Ruth Wodak, dkk), Social Cognitive Approach (Teun A. van Dijk) dan
juga Sociocultural Change Approach (Norman Fairclough)43.
Secara lokal di Indonesia sendiri, analisis wacana menurut Ibnu Hamad44
mulai marak pada dekade 90-an. Kehadiran buku-buku yang berkenaan dengan
wacana antara lain dari Fairclough (1995a dan 1995b), Mills (1997), Gee (1999,
2005) dan Titscher dkk (2000) serta penerbitan buku penunjang lokal seperti
Alex Sobur (2001), Eriyanto (2001), dan Ibnu Hamad (2004), memperkuat
metode dan pelaksanaan riset dengan memakai analisis wacana baik sebagai
analisis teks maupun sebagai analisis wacana kritis (critical discourse analysis).
41 Eriyanto. Op.Cit. Hal. 289-326.. 42 Ibnu Hamad. Op.Cit. 43 M. Sulhan. Analisis Wacana : Kekuatan ‘Tak Terlihat’ Media Massa. Slide Mata Kuliah Metode Penelitian Kualitatif. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol, UGM.
44 Ibnu Hamad. Op.Cit.
41
Meski secara umum berbeda, beberapa model tadi juga memiliki
persamaan45, antara lain: Pertama, ideologi menjadi sentral dari semua model
analisis wacana. Kedua, kekuasaan (power) juga begitu penting dalam melihat
wacana. Wacana dipandang sebagai alat untuk memperbesar kekuasaan dalam
masyarakat. Ketiga, selain untuk memperbesar kekuasaan/dominasi kelompok
tertentu, wacana juga digunakan untuk memarjinalkan kelompok lain yang
bertentangan dengan kekuasaan. Dan keempat, semua model analisis
menggunakan bahasa sebagai alat untuk mendeteksi ideologi dalam teks.
Secara mendetail ada perbedaan antara beberapa model tersebut, seperti
yang dipetakan di bawah ini:
MODEL TINGKAT ANALISIS
Mikro (teks) Meso Makro (sosial)
Roger Fowler, dkk
Critical Linguistics √ √
Theo van Leuween
Critical Linguistics √ √
Sara Mills
French Discourse Analysis √ √
Teun A. van Dijk
Social Cognitive Approach √ √ √
Norman Fairclough
Sociocultural Change Approach √ √ √
Sumber: Eriyanto46
Analisis tingkat mikro, bermakna analisis di level teks/naskah pesan
tersebut. Di level meso, bermakna analisis produsen teks. Sedangkan di level
makro, bermakna analisis di level konteks sosial-kultural.
Dari tabel di atas, terlihat bahwa model yang disusun Fowler, dkk, Mills
dan Leuween hanya menganalisis teks lalu menghubungkannya dengan konteks
sosial. Berbeda dengan model yang lain, van Dijk dan Fairclough melakukan
45 Eriyanto. Op. Cit. Hal. 342-343. 46 Ibid. Hal. 344.
42
“konfirmasi” terlebih dahulu kepada produsen teks tersebut. Hal ini mereka
lakukan karena mereka menganggap ada kesenjangan yang sangat besar antara
teks yang amat mikro dengan konteks yang amat makro. Sehingga, celah di
antara keduanya perlu dihadirkan untuk menjelaskan duduk wacana.
C. SEPAKBOLA DALAM KAJIAN MEDIA
1. Sejarah Sepakbola
Sepakbola (Soccer / Football) bisa jadi adalah olahraga bola terpopuler di dunia saat
ini. Federasi sepakbola dunia, FIFA, menyatakan bahwa di abad ini, diperkirakan
ada sekitar 250 juta pemain bola dan lebih dari 1,3 milyar orang tertarik dengan
olahraga ini di seluruh dunia47. Olahraga ini memang relatif mudah dan sederhana
dimainkan, karena dapat dimainkan dimana pun di belahan dunia. Popularitas
sepakbola, bisa diukur dari jumlah penontonnya. Tahun 2002 misalnya,
diperkirakan ada lebih dari 28 milyar penonton menikmati sepakbola di seluruh
dunia.
Sepakbola sebenarnya adalah permainan tua yang berasal dari dataran
Inggris sejak abad pertengahan, pertandingan sepakbola rakyat sudah dimainkan di
kota dan desa menurut adat-istiadat lokal dan dengan peraturan yang sangat
minimalis. Namun saat itu, bola masih bisa dibawa dengan tangan, seperti
permainan Rugby saat ini 48.
Akan tetapi menurut catatan FIFA49, jauh sebelum masyarakat Inggris
memainkan bola. Dinasti Han (2-3 SM) dari Cina telah memainkan hal yang
serupa. Mereka menyebutnya sebagai Tsu’ Chu, permainan menendang bola kulit
yang berisikan bulu dan rambut berdiameter 30-20 cm menuju jaring kecil pada
bambu panjang. Penggunaan tangan pun tidak diijinkan dalam permainan ini.
Selain itu, masih menurut catatan FIFA50, dari Jepang juga ada budaya
“Kemari” yang dimulai 500-600 tahun kemudian dan masih dimainkan hingga saat
ini. Permainan ini tidak sekompetitif dari Tsu’ Chu karena tidak memperebutkan
47 Richard C. Giulianotti, Jack D. Rollin & Bernard Joy. Football (Soccer). Chicago: Encyclopedia Britannica.
48 Richard C. Giulianotti, Jack D. Rollin & Bernard Joy. Ibid. 49 “History of Football – The Origins”. Diakses pada 16 Maret 2011. Terarsip di
http://www.fifa.com/classicfootball/history/game/historygame1.html 50 Ibid
43
penguasaan bola, melainkan cukup dilakukan dalam sebuah lingkaran dimana
pemain harus mengoper bola agar tidak terjatuh.
Selanjutnya, perkembangan sepakbola modern pada abad ke-19 secara erat
dihubungkan dengan proses industrialisasi dan urbanisasi di Inggris Raya.
Kebanyakan penduduk golongan pekerja kota dan industri lambat laun kehilangan
hiburan. Sehingga muncul hiburan dalam bentuk pertandingan sepakbola pada
akhir minggu. Ketika antusiasme masyarakat dalam menonton sepakbola sudah
sangat baik, penonton rata-rata di Inggris naik dari 4.600 pada tahun 1888 sampai
7.900 pada 1895, naik ke 13.200 pada 1905 dan mencapai 23.100 saat pecahnya
Perang Dunia I. Lebih penting lagi, monumen lahirnya sepakbola modern adalah
ketika pada tahun 1863 berdiri asosiasi sepakbola pertama, The Football Association
(FA), yang diinisiasi oleh para mahasiswa dan alumni Universitas Cambridge51.
Sepakbola modern di Inggris yang melahirkan sistem liga lalu menyebar ke
berbagai penjuru dunia. Model liga ini berada dalam lingkup nasional sebuah
negara, termasuk di dalamnya ada kejuaraan liga, pertandingan piala tahunan, dan
dilengkapi sistem promosi-degradasi. Liga sejenis ini dibentuk di Belanda pada
1889, tetapi baru bersifat profesional pada 1954. Jerman dengan musim
pertamanya tahun 1903. Di Perancis, di mana permainan diperkenalkan tahun
1870, liga profesional belum dimulai sampai 1932, sesaat sesudah profesionalisme
telah diambil oleh negara Amerika Selatan, Argentina dan Brasil52.
Abad ke-20 lalu menjadi ujung tombak berkembangnya sepakbola. Setelah
menyebar ke seantero Eropa, dirasa perlunya pengaturan internasional. Solusi pun
ditemukan pada 1904, ketika wakil dari Belgia, Denmark, Perancis, Belanda,
Spanyol, Swedia, dan Swiss mendirikan Federation Internationale de Football Association
(FIFA), federasi sepakbola internasional. Puncak kepopuleran sepakbola adalah
dengan diselenggarakannya cabang Sepakbola di Olimpiade London 1908, dan
juga Piala Dunia Sepakbola pertama tahun 1930 di Uruguay. Namun, sempat pula
terjadi perpecahan di tubuh FIFA. Ketika itu, Inggris sempat keluar dari
51 Richard C. Giulianotti, Jack D. Rollin & Bernard Joy. Op. Cit. 52 Ibid.
44
keanggotan FIFA karena memprotes agresi Jerman, Austria dan Hungaria dalam
perang dunia53.
Menuju abad ke-21, sepakbola makin rumit untuk diorganisir sebagai
konsekwensi logis dari globalisasi menuju sepakbola internasional. Berbagai
konflik kepentingan kemudian mewarnai kelompok-kelompok kepentingan yang
berada di FIFA, mulai dari pemain, agen, jaringan televisi, sponsor kompetisi,
klub, federasi sepakbola nasional, asosiasi sepakbola di level benua, seluruhnya
memiliki pandangan yang berbeda tentang keuntungan finansial yang ada. Ini
belum termasuk dengan regulasi transfer yang sangat problematis. Di Eropa,
pemain bisa berpindah bebas ke klub manapun saat ia tidak berada dalam kontrak
apa pun (aturan Bosman). Sedangkan, di Afrika dan Amerika, pemain justru
berada pada kontrak panjang yang bahkan bisa bersifat seumur hidup. Dan masih
banyak masalah lainnya54.
2. Sepakbola Indonesia: Jalan Perlawanan dan Kontroversi
Kedatangan bangsa Belanda secara tidak langsung telah membawa perubahan bagi
budaya lokal. Dengan lahirnya UU Agraria 1870 misalnya, terjadi perkembangan
pesat pada modernisasi dan kehidupan ekonomi masyarakat. Salah satu imbas dari
perkembangan tersebut adalah masuknya budaya barat ke nusantara, misalnya
olahraga55.
Sebenarnya, jauh sebelum kehadiran penjajah dari Eropa pun olahraga
telah berkembang di nusantara. Di zaman pra sejarah misalnya, sudah dikenal
olahraga lokal seperti renang, dayung, tari perang maupun gulat atau bela diri.
Sedangkan di zaman kerajaan Hindu Jawa, olahraga mengalami diversifikasi untuk
Golongan Ksatria dan Brahmana. Golongan Brahmana cenderung mendapat
olahraga untuk menyehatkan jasmani dan rohani, Golongan Ksatria mendapatkan
olahraga yang memang difokuskan untuk berperang. Namun memang, olahraga
53 Ibid. 54 Richard C. Giulianotti, Jack D. Rollin & Bernard Joy. Ibid. 55 Srie Agustina Palupi. Sepakbola Jawa 1920-1942. Jurnal Lembaran Sejarah Volume II/2000, UGM. Terarsip di http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/jurnal.php?jrnlId=26
45
modern seperti sepakbola dan atletik baru ditemukan setelah kedatangan bangsa
barat56.
Sepakbola di Indonesia adalah oleh-oleh dari para pegawai instansi Hindia-
Belanda yang datang dari Belanda. Mereka menggunakan sepakbola untuk
menjaga kebugaran sekaligus refreshing. Pada awalnya, yang bisa bermain pun
amat terbatas, hanya orang Belanda kemudian Tionghoa. Baru kemudian
Bumiputra, itupun hanya Bumiputra tingkat atas yang selevel dengan orang
Belanda. Walhasil, penyebaran pun kemudian dengan cepat dan massif terjadi di
kalangan bumiputra. Selain karena memang olahraga ini sederhana, sebelumnya
bumiputra juga telah mengenal permainan yang mirip sepakbola, yaitu takraw
dengan bola rotan57.
Di antara olahraga-olahraga modern yang muncul, sepakbola memang
menempati kepopuleran yang amat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
perkumpulan sepakbola untuk bangsa Belanda, Tionghoa maupun Bumiputra.
Pasca kesadaran berbangsa yang mengkristal lewat Sumpah Pemuda 1928
lahir, perkumpulan sepakbola yang awalnya hanya menjadi wadah olahraga semata
ikut pula bergeser ke arah pergerakan sosial-politik dan alat perjuangan
kemerdekaan58. Mengutip dari pernyataan JJ Rizal, setiap pembukaan kongres
Budi Utomo selalu dibuka dengan sepakbola. Bahkan dr. Sutomo sering
mengiaskan perlawanan dirinya terhadap kolonial dengan sepakbola59.
Perkumpulan/klub sepakbola pun mulai bergeliat. Klub pertama yang
berdiri adalah Road-Wit (merah putih) pada 1893, lalu 2 tahun kemudian lahir
Victory di Surabaya. Pemerintah Hindia Belanda lalu membuat perkumpulan resmi
NIVB. Perkumpulan ini memiliki turnamen resmi se-Jawa Steden Tuurnoi yang
berlangsung sampai tahun 1936.
Di samping kedudukan NIVB yang makin kuat dan terorganisir. Praktis,
perkumpulan dari Golongan Tionghoa dan Bumiputra pun juga ikut berkembang,
meski tidak sepesat yang dialami oleh NIVB. Apapun itu, secara subtansi, awal
abad ke-19 sepakbola terus mengalami perkembangan di nusantara.
56 Ibid. 57 Ibid. 58 Srie Agustina Palupi. Ibid. 59 Mata Najwa, Rabu 19 Januari 2011.
46
Lalu terjadilah depresi ekonomi hebat dunia pada tahun 1920-an. Kejadian
ini menyebabkan pemerintah kolonial Hindia-Belanda semakin represif dalam
menjajah. Pemerintahan Gubernur De Jonge dianggap reaksioner dan otoriter
dalam mentolerir segala macam tindakan yang berbau perlawanan. Di sini,
sepakbola menjadi salah satu kunci perubahan. Pertama, karena olahraga ini
memberi tawaran hiburan untuk melepaskan diri dari kepenatan dan rasa tertekan.
Kedua, olahraga ini telah menjadi sarana pengumpulan massa yang amat efektif.
Puncak dari popularitas sepakbola sebagai sarana pergerakan kemerdekaan
adalah dengan lahirnya PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia) pada 19
April 1930 di Yogyakarta. Nantinya nama ini diubah dalam kongres PSSI di Solo
menjadi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia yang juga menetapkan Ir.
Soeratin Sosrogondo, seorang insinyur lulusan Jerman, sebagai Ketua Umumnya60.
Bagi PSSI, NIVB perlu mengetahui eksistensi PSSI, namun tidak perlu
meminta NIVB untuk bekerjasama dengan PSSI. Inilah cikal bakal pergerakan
yang dimaksud, bagaimana kemandirian bangsa mulai dipupuk dari sepakbola.
Lambat laun, tapi pasti, PSSI terus berkembang ke arah yang lebih baik
tanpa campur tangan dari Pemerintah Hindia Belanda. Meski di internal kalangan
Bumiputera banyak ditentang, PSSI terus melaju. Bahkan di tahun 1933 klub
anggota PSSI dapat mengalahkan klub anggota NIVU (perubahan nama dari
NIVB) di final kejuaraan PSSI III di Surabaya. Kemenangan ini lalu membuka
mata para pengurus NIVU untuk mengadakan gentlemen’s agreement bekerjasama
dengan PSSI pada 15 Januari 1937.
Dalam kerangka berpikir pergerakan kemerdekaan, perjanjian ini adalah
pengakuan secara de jure maupun de facto terhadap PSSI yang berdasarkan
kesetaraan hak dan derajat. Dua hal ini begitu lama dinantikan oleh para
Bumiputera selama penjajahan Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.
Bahkan pada Piala Dunia 1938, Hindia-Belanda pun lolos ke Piala Dunia.
Kemudian, terjadi ketegangan antara NIVU dengan PSSI yang diketuai oleh Ir.
Soeratin Sosrosoegondo,. NIVU ingin pemainnya yang dikirim, sedangkan PSSI
berpendapat sebaliknya. Namun, akhirnya kesebelasan dikirimkan tanpa
60 Sejarah Sepakbola Indonesia. Diakses pada 16 Maret 2011. Terarsip di http://www.mataelang.net/2011/03/sejarah-sepakbola-indonesia/
47
mengikutsertakan pemain PSSI dan menggunakan bendera NIVU yang diakui
FIFA. Keputusan tersebut diprotes PSSI dengan pembatalan secara sepihak
perjanjian gentlemen’s agreement dengan NIVU pada kongres PSSI 1938 di Solo61.
Dalam hal ini, JJ Rizal62, Sejarawan dari Universitas Indonesia, menegaskan
bahwa cara mengamati sepakbola dengan hanya melihatnya dari sisi olahraga
adalah bukan keliru, tetapi melupakan inti terpenting sepakbola yaitu sebagai api
penggerak dan pengobar spirit kebangsaan dan keadabannya sebagai masyarakat
bermartabat. Mungkin karena itu pula negeri-negeri yang dianggap miskin dan
terbelakang mampu melahirkan pesepakbola dan ketangguhan dalam
bersepakbola. Inilah bentuk spirit sepakbola yang akhirnya dijadikan medium
politik untuk membuktikan bahwa bangsa-bangsa terjajah pun juga manusia yang
punya keunggulan.
Di era pasca kemerdekaan, di tahun 1948 pada PON (Pekan Olahraga
Nasional) pertama kali di Solo, sepakbola sudah menjadi salah satu cabang yang
diperlombakan. Selain itu, PSSI pun mengalami pasang surut prestasi. Di era
sebelum tahun 70-an, banyak pemain Indonesia yang bisa bersaing di tingkat
internasional sebut saja era Ramang dan Tan Liong Houw, kemudian era Sucipto
Suntoro dan belakangan era Ronny Pattinasarani.
Sedangkan untuk kompetisi resmi. Sejak tahun 1979 sudah dimulai
Kompetisi Liga Utama, atau yang biasa dikenal dengan Galatama, sebelumnya
hanya ada kompetisi amatir warisan dari era pra-kemerdekaan yang dikenal dengan
Liga Perserikatan. Baru di tahun 1994, kedua liga ini kemudian melebur menjadi
Liga Indonesia divisi utama dengan format separuh liga-separuh turnamen.
Kemudian dalam rangka menyongsong profesionalisme klub-klub pesertanya,
Liga Indonesia kemudian berganti menjadi Liga Super Indonesia (Indonesian Super
League) dengan format penuh liga.
Hingga saat ini, beberapa kompetisi yang digelar PSSI adalah sebagai
berikut63:
61 Ibid. 62 JJ Rizal. “Sepakbola Bapak Bangsa”. Diakses pada 16 Maret 2011. Terarsip di
http://spartacks.net/2011/sepakbola-bapak-bangsa/ 63 Sejarah Sepakbola Indonesia. Op.Cit.
48
1. Divisi Super (Indonesia Super League, dimulai 2008)
2. Divisi utama
3. Divisi satu
4. Divisi dua
5. Divisi tiga (amatir)
6. Kelompok umur
� Dibawah usia 15 tahun (U-15)
� Dibawah usia 17 tahun (U-170
� Dibawah Usia 19 tahun (U-19)
� Dibawah usia 23 tahun (U-23)
7. Sepakbola Wanita
8. Futsal.
Di level regional dan internasional, PSSI telah menjadi anggota FIFA sejak
tanggal 1 November 1952 pada saat kongress FIFA di Helsinki. Setelah diterima
menjadi anggota FIFA, PSSI juga diterima sebagai anggota AFC (Asian Football
Confederation) pada tahun 1952. Bahkan di level regional Asia Tenggara, PSSI
menjadi pelopor pendirian AFF (Asean Football Federation) tahun 1984 di era
kepemimpinan Kardono. Sedangkan, data tentang prestasi yang pernah dicapai
PSSI sampai saat ini adalah sebagai berikut:
Piala Dunia Piala Dunia Perancis 1938: Babak I
(dengan nama Hindia Belanda)
Piala Asia 1996 : Babak I
2000 : Babak I
2004 : Babak I
2007 : Babak I
Piala AFF
(Tiger Cup)
1996 – Runner-up
1998 – Peringkat 3
2000 – Runner-up
2002 – Runner-up
2004 – Runner-up
2007 – Babak penyisihan grup
49
2008 – Semifinalis
2010 - Finalis
Sumber64
Sedangkan periodesasi kepemimpinan PSSI adalah sebagai berikut65:
1930 – 1940 Soeratin Sosrosoegondo
1941 – 1949 Artono Martosoewignyo
1950 – 1959 Maladi
1960 – 1964 Abdul Wahab Djojohadikoesoemo
1964 – 1967 Maulwi Saelan
1967 – 1974 Kosasih Poerwanegara
1975 – 1977 Bardosono
1977 – 1977 Moehono
1977 – 1981 Ali Sadikin
1982 – 1983 Sjarnoebi Said
1983 – 1991 Kardono
1991 – 1999 Azwar Anas
1999 – 2003 Agum Gumelar
2003 – sekarang Nurdin Halid
Di kepemimpinan terakhir inilah, PSSI benar-benar sedang mengalami
tekanan hebat. Nurdin Halid yang divonis sebagai tersangka dalam tiga kasus:
impor gula pasir illegal (2004), korupsi pengadaan minyak goreng (2004) dan
pelanggaran kepabeanan impor (2005) ternyata masih duduk kokoh sebagai Ketua
Umum PSSI66. Padahal vonis tersangka tersebut jelas-jelas menyalahi statuta FIFA
pasal 35 ayat 2.
Sebenarnya masalah status hukum Nurdin hanyalah serpihan kecil dari
gunung masalah yang ada di tubuh PSSI. Masih ada banyak masalah lain di PSSI
yang begitu nyata, seperti: Pertama, pengelolaan kompetisi yang buruk dan tidak
64 Tim Nasional Indonesia (Sejarah, Prestasi dan Harapan). Diakses pada 16 Maret 2011. Terarsip di http://sepakbola.showbiznotes.net/tim-nasional-indonesia-sejarah-prestasi-dan-harapan/
65 Sejarah Sepakbola Indonesia. Op.Cit. 66 Abi Hasantoso, dkk. 2010. Buku Putih Reformasi Sepakbola Indonesia. Jakarta: Gerakan Reformasi Sepakbola Nasional Indonesia. Hal. 89.
50
professional (masih bergantung pada APBD). Kedua, pembinaan usia dini yang
tidak maksimal. Ketiga, pelanggaran-pelanggaran hukum maupun statuta PSSI itu
sendiri. Dan keempat, yang sangat penting juga adalah minimnya prestasi.
Beberapa argumen tersebut, kemudian dicari solusinya lewat Kongres
Sepakbola Nasional bulan Maret 2010 di Malang. Butir terpenting dari kongres
tersebut adalah adanya reformasi & restrukturisasi di tubuh organisasi PSSI.
Sayang, hingga saat ini reformasi dan restrukturisasi tersebut masih jauh panggang
dari api.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila publik kemudian marah dan
kecewa yang diluapkan dengan demonstrasi di berbagai daerah menuntut
mundurnya Nurdin Halid. Selain demonstrasi, kelahiran Liga Primer Indonesia
(Januari 2011) pun tidak lepas dari akumulasi kekecewaan para pecinta sepakbola
terhadap PSSI.
Sepakbola memang alat politik di Indonesia. Bila dulu digunakan untuk
menggugat kesetaraan hak dan derajat antara pribumi dengan kolonial. Hari ini,
justru digunakan sebagai sarana untuk melanggengkan kepentingan elit status quo.
3. Sepakbola dan Industri Media
Di era terkini, sepakbola sebagai bentuk olahraga semakin banyak dipengaruhi
oleh berbagai kekuatan, seperti bisnis (sebagai sarana iklan dan promosi),
pemerintahan (sebagai simbol ideologi nasionalisme) dan media massa (sebagai
sarana untuk meningkatkan pembaca/pemirsa)67.
Dalam hubungannya dengan media. Sebagai sebuah industri, sepakbola
tidak bisa lepas dan melepaskan diri dari media. Ada hubungan mutualisme di
antara keduanya. Sepakbola membutuhkan publisitas, sedangkan televisi butuh
program yang memiliki rating tinggi. Kedua kepentingan ini nantinya akan
bermuara pada keuntungan finansial bagi kedua pihak.
67 John Horne & Wolfram Manzenreiter. Football, Culture, Globalisation. Dalam John Horne & Wolfram Manzenreiter (Ed). 2004. Football Goes East. London: Routledge. Hal. 12.
51
Dan memang urgensi sepakbola tidak hanya berada di ranah sosial-politik
semata, tetapi juga di ranah ekonomi68. Minat tersebut tercermin tidak hanya oleh
berapa juta orang yang menghadiri pertandingan di setiap musim, namun juga
lewat ratusan juta – bahkan milyaran penonton di televisi dan mereka yang secara
langsung maupun tidak langsung mengambil keuntungan ekonomi dari kehadiran
sepakbola di media. Bahkan di akar rumput, sepakbola bisa menghadirkan rasa
nyaman, tenang dan sejahtera yang semu bagi penonton yang menikmatinya.
Dari sisi sejarah, kehadiran sepakbola di media pertama kalinya adalah saat
Arsenal melawan Sheffield United pada tahun 1927 di Radio BBC. Sedang televisi
pertama kali menyiarkan pertandingan sepakbola saat Inggris melawan Skotlandia
pada 9 April 1938. Perkembangan selanjutnya adalah munculnya program
cuplikan (highlight) pertandingan di BBC mulai tahun 195569.
Siaran langsung pun praktis bermula ketika pada tahun 1978, ketika itu
London Weekend Television (LWT) membeli hak siar ekslusif pertandingan Liga
Inggris. Hak siar ini terus meroket tiap tahunnya, bahkan pada tahun 2010 – 2013
hak siar ini telah dibeli oleh ESPN seharga 1,72 Milyar poundsterling70.
Di Indonesia sendiri potensi komersial sepakbola sebenarnya cukup bagus.
Hak siar Liga Super Indonesia saat ini dipegang oleh ANTV sebesar 100 milyar
rupiah untuk 10 tahun sejak 2007. Jumlah itu disayangkan beberapa pihak
tergolong kecil bila dibanding keuntungan komersial yang didapatkan oleh ANTV.
Menurut perhitungan Buku Putih Reformasi Sepakbola Indonesia, seharusnya
nilai siar Liga Super Indonesia bisa dimaksimalkan hingga 1,5 trilyun rupiah,
mengingat ratingnya dan jumlah pemirsanya yang tinggi71.
Bukti bahwa sepakbola memang olahraga yang paling ditonton di
Indonesia bisa dilihat dari survey yang dilakukan oleh TNS Sport, sebuah lembaga
ternama dari Inggris72.
68 Stephen Dobson & John Goddard. 2001. The Economic of Football. London: Cambridge University Press. Hal. xv.
69 Ibid. Hal. 80. 70 Premiere League. Diakses pada 17 Maret 2011. Tearsip di
http://en.wikipedia.org/wiki/Premier_League#Media_coverage 71 Abi Hasantoso, dkk. Op.Cit. Hal. 44. 72Ibid. Hal. 31.
Survey ini membuktikan bahwa potensi sepakbola Indonesia di media jauh
lebih menarik dari olahraga apa pun (
29%). Potensi ini seharusnya bisa dikonversi oleh
mendatangkan sebanyak mungkin mutual
sepakbola.
Dalam prakteknya, ANTV sebagai pemegang hak siar ekslusif mampu
menyiarkan 156 partai dari 306 partai sepanjang musim. Ketidakmampuan untuk
menyiarkan seluruh pertandingan terjadi karena keterbatasan peralatan dan
sumber daya lainnya.
Secara umum, program siaran langsung sepakbola memang mendapat
tanggapan yang semarak dari khalayak. Terbukti dari hingga saat ini ada beberapa
liga sepakbola yang disiarkan
Stasiun TV
TVRI J-League
Piala Dunia
Indosiar Liga Serie
Liga Primer
Indonesia
RCTI Liga Serie
Liga
Eropa
73 Diolah dari berbagai sumber di internet.
Survey menonton olahraga
Survey ini membuktikan bahwa potensi sepakbola Indonesia di media jauh
lebih menarik dari olahraga apa pun (Pertama, sepakbola 86%. Kedua, Motosport
29%). Potensi ini seharusnya bisa dikonversi oleh penyelenggara liga untuk
mendatangkan sebanyak mungkin mutual-profit, baik bagi media maupun
Dalam prakteknya, ANTV sebagai pemegang hak siar ekslusif mampu
menyiarkan 156 partai dari 306 partai sepanjang musim. Ketidakmampuan untuk
eluruh pertandingan terjadi karena keterbatasan peralatan dan
Secara umum, program siaran langsung sepakbola memang mendapat
tanggapan yang semarak dari khalayak. Terbukti dari hingga saat ini ada beberapa
liga sepakbola yang disiarkan di layar televisi, antara lain73:
Liga Periode
League 1994 - 1995
Piala Dunia 1994 (bersama TPI & SCTV)
Liga Serie-A Italia 2011 - sekarang
Liga Primer
Indonesia
2011 - sekarang
Liga Serie-A Italia 1990an -
Liga Champion
Eropa
1990an - sekarang
Diolah dari berbagai sumber di internet.
Survey ini membuktikan bahwa potensi sepakbola Indonesia di media jauh
, Motosport
penyelenggara liga untuk
profit, baik bagi media maupun
Dalam prakteknya, ANTV sebagai pemegang hak siar ekslusif mampu
menyiarkan 156 partai dari 306 partai sepanjang musim. Ketidakmampuan untuk
eluruh pertandingan terjadi karena keterbatasan peralatan dan
Secara umum, program siaran langsung sepakbola memang mendapat
tanggapan yang semarak dari khalayak. Terbukti dari hingga saat ini ada beberapa
1994 (bersama TPI & SCTV)
sekarang
sekarang
sekarang
53
Liga Champion Asia 2009 - sekarang
Piala Dunia 1998, 2006, 2010 (bersama MNC Group)
La Liga Spanyol 2007 - sekarang
Piala AFF (Tiger) 2010
Bundesliga Jerman 2002 - 2007
Metro TV Liga Primer
Indonesia
Hanya satu pertandingan
Persebaya 1927 vs Bandung FC
Trans 7 Liga Serie-A Italia 2008 - 2009
Liga Primer
Indonesia
2011 - sekarang
ANTV Liga Super Indonesia 2007 – sekarang
(sebelumnya sejak 1995 menyiarkan Liga
Kansas)
TV One La Liga Spanyol 2009 - sekarang
Liga Primer Inggris 2008 - 2009
Global &
MNC TV
Liga Primer Inggris 2010 - sekarang
Kondisi ini tentu menggembirakan bagi sebagian besar khalayak televisi
yang menggemari sepakbola. Dengan mudah mereka mendapatkan hiburan gratis.
Akan tetapi, meski terjadi simbiosis mutualisme antara media, khalayak
dan penyelenggara sepakbola. Kritik juga muncul, karena kekuatan ekonomi,
utamanya dicurigai menggunakan sepakbola untuk menyebarkan budaya
kapitalisme seperti yang ditulis oleh John Horne & Wolfram Manzenreiter dalam
Football Goes East. Mereka mengutip pernyataan dari Pierre Bordieu yang
menyatakan bahwa televisi adalah “kuda troya” yang membawa logika kapitalisme
ke dalam sepakbola74. Bahkan kini sangat susah membedakan mana sisi olahraga
dan mana sisi hiburan dari sepakbola.
74 John Horne & Wolfram Manzenreiter. Op. Cit. Hal. 11.
54
4. Pemberitaan Sepakbola di Indonesia
Hampir setiap media saat ini memiliki porsi khusus terhadap berita olahraga,
khususnya lagi sepakbola. Bahkan, dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa
sepertiga dari pembaca surat kabar dilaporkan membeli koran untuk membaca
bagian olahraga. Sedangkan, televisi memiliki posisi yang strategis karena
kapasitasnya untuk mengirimkan siaran langsung olahraga75.
Di wilayah wartawan sendiri pun berita olahraga dikerjakan secara serius
oleh para professional. Sebagian besar dari mereka diberi pendidikan jurnalistik
yang setara dengan rekan kerja mereka di desk pemberitaan lain76. Berbeda dengan
wartawan di desk berita lain, wartawan olahraga adalah wartawan yang sangat
bergantung pada pengamatan langsung terhadap obyek, meskipun memang
sumber-sumber berita lain masih digunakan.
Berita olahraga, atau khususnya sepakbola, adalah berita yang memiliki
setidaknya dua nilai berita. Yaitu, nilai kedekatan (proximity) dan human interest77.
Nilai pertama kedekatan, bisa diaplikasikan pada berita sepakbola lokal atau
nasional yang memberitakan pertandingan atau prestasi dari klub sepakbola atau
Timnas Indonesia. Sedangkan, nilai kedua human interest berkaitan dengan sub-nilai
berita ketegangan dan minat pribadi. Dimana khalayak akan tertarik dan penasaran
untuk mengetahui hasil pertandingan sepakbola klub yang dia dukung sebagai
bagian dari minat pribadinya.
Dalam hal pemberitaan olahraga, setidaknya ada dua model media.
Pertama, adalah media yang memang fokus sepenuhnya pada olahraga seperti Sky
Sports, ESPN, Tabloid Bola dan Soccer. Sedangkan model kedua, adalah media
yang menjadikan olahraga sebagai salah satu produk beritanya. Di Indonesia
sendiri, televisi hampir semuanya masuk ke model kedua.
Adapun beberapa program berita olahraga yang secara khusus disiarkan
stasiun televisi adalah sebagai berikut78:
75 Doobo Shim. "Sport News in the Local Media - Green Bay Packers' Return to Glory". Diakses pada 8 April 2011. Terarsip di http://www.thesportjournal.org/article/sport-news-local-media-green-bay-packers-return-glory
76 Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat. Op.Cit. Hal. 207. 77 Ibid. Hal. 62 -65. 78 Diolah dari berbagai sumber: metrotvnews.com, tvonenews.tv, trans7.co.id, dan antv.co.id.
55
Stasiun TV Nama Program Jam Tayang Keterangan
Metro TV Metro Sports Setiap hari,
23.30 / 02.30 WIB
Berita olahraga secara
umum.
Spirit Football Sabtu, 13.00 WIB Berita sepakbola secara
umum, khususnya liga
sepakbola di Eropa.
12 Pas Ahad, 13.00 WIB Berita sepakbola lokal
dan nasional.
Tv One Kabar Arena Setiap hari,
23.30 WIB.
Berita olahraga secara
umum.
Trans 7 Galeri Sepak Bola
Indonesia
Sabtu–Ahad,
13.30 WIB
Berita sepakbola lokal
dan nasional.
Highlight Otomotif Sabtu, 14.30 WIB Berita dari dunia
otomotif, baik dari sisi
olahraga maupun gaya
hidup.
Sport7 Setiap hari,
06.00 WIB
Berita olahraga secara
umum.
One Stop Football Sabtu-Ahad,
14.30 WIB
Berita sepakbola
mancanegara, khususnya
liga sepakbola di Eropa.
ANTV Lensa Olahraga Setiap hari,
05.30 & 00.30 WIB.
Berita olahraga secara
umum.
Kampiun Sabtu, 14.30 WIB Berita sepakbola
nasional.
Total Football Ahad, 14.30 WIB Berita sepakbola
mancanegara, khususnya
liga sepakbola di Eropa.
56
Bagi beberapa pihak, maraknya pemberitaan ini berkorelasi dengan
prestasi olahraga79. Pada tahun 1970-an misalnya, pemberitaan olahraga di media
begitu marak. Hal ini berkorelasi dengan event olahraga yang menghasilkan
prestasi untuk Indonesia. Sehingga, olahraga bagi bangsa adalah kebanggaan moral
untuk membentuk karakter bangsa. Piala AFF 2010 lalu bisa jadi pelajaran
berharga. Bahwa membaiknya prestasi Timnas Indonesia berkorelasi positif
dengan pemberitaan yang semakin intens.
Lebih jauh lagi dalam memahami pemberitaan olahraga sebagai bagian dari
wacana. Berita olahraga pun ternyata tidak bisa melepaskan diri dari proses
pembentukan wacana. Dalam kasus Liga Primer Indonesia sendiri, tidak semua
televisi melihat LPI sebagai kejadian yang harus diberitakan (memiliki nilai berita).
MetroTV misalnya, amat gencar memberitakan dan menawarkan opini positif
mengenai LPI. Sedangkan TvOne dan ANTV, berbalik 180º, nyaris tidak
memberitakan LPI. Kalaupun diberitakan itupun sangat minim, dan selalu
dihubungkan dengan kemelut di internal PSSI. Sehingga, stigma LPI pun di dua
stasiun televisi milik Bakrie ini selalu diidentikkan dengan “liga illegal”. Stigma
yang sangat negatif tentunya.
79Pemberitaan Jadi Indikasi Prestasi Olahraga Nasional. Diakses pada 7 April 2011. Terarsip di http://www.mediaindonesia.com/index.php/read/2010/10/27/177976/149/3/Pemberitaan_Jadi_Indikasi_Prestasi_Olahraga_Nasional/
57
BAB III
LIPUTAN 6 SCTV, METRO TV
DAN LIGA PRIMER INDONESIA
Industri televisi Indonesia, khususnya televisi swasta, sebenarnya bukanlah industri
yang berumur tua. Industri ini baru berkembang pesat pada dekade 90-an.
Sebelumnya praktis industri televisi hanya dimonopoli oleh pemain tunggal: TVRI.
Baru pada awal dekade 80-an, industri televisi mendapat angin segar dengan lahirnya
deregulasi ekonomi di beberapa bidang. Pada masa ini state regulation yang sebelumnya
begitu kuat mengatur, tidak bisa terus menerus dipertahankan, atau setidak-tidaknya
harus dikombinasikan dengan prinsip-prinsip market regulation1.
Seperti lazimnya karakteristik orde baru yang otoritarian, wilayah televise pun
tidka ketinggalan dimasuki oleh kekuasaan rezim. Dengan berbagai cara industri
media dibuat barrier to entry yang besar2. Pertama, dengan cara memproteksi para
pemodal dalam negeri dari ekspansi modal asing. Ketika itu Soeharto menolak PP
No. 20/1994 yang mengijinkan investor asing untuk memiliki 100% perusahaan di
Indonesia.
Kedua, proteksi dilakukan terhadap para pemodal yang mempunyai hubungan
khusus dengan Cendana. Caranya dengan menggunakan SIUPP sebagai senjata.
Akibat dari dua model proteksi ini adalah industri media yang seragam
kepemilikannya, praktis ketika itu tidak ada media televisi yang secara diametral
beroposisi terhadap pemerintah. Ketika itu, RCTI dimiliki oleh Bambang Trihatmojo,
SCTV dimiliki oleh Henry Pribadi dan Sudwikatmono, TPI dimiliki oleh Tutut,
Indosiar dimiliki oleh Salim Group (pengusaha yang begitu dekat dengan Soeharto),
sedangkan ANTV dimiliki oleh Bakrie Group dan Agung Laksono (Tokoh Golkar).
Kehadiran beberapa televisi swasta pada awal 90an ternyata memiliki imbas
yang besar terhadap perubahan masyarakat. Data dari PPPI3 pada 1997 menunjukkan
1 Agus Sudibyo. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Jakarta: ISAI. Hal. 13. 2 Ibid. Hal. 14. 3 Leen D’Haenens, Effendi Gazali dan Chantal Verelest. Pembuat Berita TV Memandang Lahan Serta
Racikan Mereka di Masa Jaya dan Berlalunya Rezim Soeharto. Dalam Dedy N. Hidayat (Ed.). Pers Dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 170.
58
lonjakan besar kepemilikan pesawat televisi, dari hanya 7,6 juta pada awal 1990
menjadi 20 juta pada 1997. Perubahan besar masyarakat terkait dengan teknologi
komunikasi tersebut, secara tidak langsung adalah senjata makan tuan bagi
pemerintah. Hegemoni ‘ideologi’ bentukan pemerintah pelan tapi pasti mulai tergerus
oleh proses demokratisasi yang terjadi di akar rumput4.
Lalu lahirlah Reformasi 1998 yang membawa angin segar bagi semua elemen
pers dan penyiaran di Indonesia. Pemerintahan Habibie yang meneruskan Soeharto
melahirkan deregulasi di bidang informasi dan komunikasi. Walhasil, bila selama 32
tahun era Orde Baru hanya berdiri 289 media cetak, 6 stasiun televisi dan 740 radio.
Setahun pasca reformasi jumlah media cetak melonjak menjadi 1.687 penerbitan atau
bertambah 6 kali lipat5. Tidak terkecuali di industri televisi, sepanjang tahun 2000 –
2001 lahirlah 5 televisi swasta nasional, yaitu Metro TV, TV 7 (kini Trans7), Trans
TV, Lativi (kini TvOne) serta Global TV. Kelahiran 5 televisi swasta baru ini juga
berkaitan dengan kebijakan Gus Dur yang menghapuskan Departemen Penerangan6.
Kondisi televisi pra dan pasca reformasi 1998, hanya akan menjadi pengantar
semata. Setidaknya ada kondisi sosio-politik yang amat berbeda, sehingga secara tidak
langsung terjadi diferensiasi dalam produk jurnalistik. Pasca reformasi jurnalistik
televisi tak lagi disetir oleh kekuatan negara, melainkan lebih condong ke arah pasar
(market). Kini ada 11 televisi yang memiliki program berita tersendiri, secara kasat
mata tentu ini menjadi gejala yang baik menuju semangat diversity of content.
Bab ini akan secara khusus membahas profil dua stasiun televisi swasta yang
dijadikan obyek penelitian. Stasiun pertama adalah SCTV, khususnya Liputan 6,
mengingat segala bentuk program berita di stasiun SCTV disajikan dalam program
berita Liputan 6, mulai dari Liputan 6 Pagi, Siang, Petang, Malam dan Terkini.
Sedangkan, stasiun kedua yang diangkat adalah Metro TV. Metro TV sendiri adalah
stasiun televisi khusus berita pertama di Indonesia yang berdiri sejak 1999, meski
baru mulai siaran tahun 2000. Stasiun yang mengkhususkan diri pada berita ini adalah
anak perusahaan dari Media Group yang dimiliki oleh Surya Paloh, seorang tokoh
Golkar di masa orde baru.
4 Ibid. Hal. 171. 5 Setiap Hari Terbit Lima Media Massa Baru Pasca-Reformasi. Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di
http://www.antaranews.com/view/?i=1203045456&c=NAS&s= 6 Askurifai Baksin. Op.Cit. Hal. 26.
59
Selain kedua stasiun televisi tersebut, sebagai bagian dari obyek penelitian, Liga
Primer Indonesia (LPI) juga akan dibahas lebih lanjut. Sebagai liga perjuangan, liga
alternatif tentu ada beberapa poin mendasar yang membedakannya dengan liga
binaan PSSI, Liga Super Indonesia (LSI).
A. LIPUTAN 6 SCTV : Aktual, Tajam Dan Terpercaya
1. Sejarah dan Dinamika
SCTV adalah stasiun televisi swasta kedua yang lahir setelah RCTI. SCTV
merupakan singkatan dari Surya Citra Televisi Indonesia. “Surya” di sini
bermakna Surabaya-Raya, karena memang pada awalnya SCTV bermula dari
Surabaya. Sedangkan, “Citra” bermakna televisi ini berada di bawah kelompok
Bimantara Citra7. Sedikit banyak, SCTV begitu identik dengan RCTI, karena
sampai Agustus 1993 ia ditempelkan ke RCTI. Tidak heran bila dulu, SCTV
lebih dikenal sebagai ‘adik’ RCTI8.
Berawal dari Jl. Darmo Permai, Surabaya, Agustus 1990, siaran SCTV
diterima secara terbatas untuk wilayah Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan,
Mojokerto, Surabaya, Sidoardjo dan Lamongan) yang mengacu pada izin
Departemen Penerangan No. 1415/RTF/K/IX/1989 dan SK No.
150/SP/DIR/TV/1990. Satu tahun kemudian, pada tahun 1991, pancaran
siaran SCTV meluas hingga Bali dan sekitarnya9.
Baru pada tahun 1993, berbekal SK Menteri Penerangan No. 111/1992
SCTV melakukan siaran nasional ke seluruh Indonesia. Untuk mengantisipasi
perkembangan industri televisi dan juga dengan mempertimbangkan Jakarta
sebagai pusat kekuasaan maupun ekonomi, secara bertahap mulai tahun 1993
sampai dengan 1998, SCTV memindahkan basis operasi siaran nasionalnya dari
Surabaya ke Jakarta. Puncaknya, pada tahun 1999, secara resmi SCTV melakukan
siarannya secara nasional dari Jakarta10.
7 Tim Redaksi LP3ES. 2006. Jurnalisme Liputan 6 SCTV: Antara Peristiwa dan Ruang Publik. Jakarta: LP3ES. Hal. 45.
8 Leen D’Haenens, Effendi Gazali dan Chantal Verelest. Op. Cit. Hal. 177. 9 “Sejarah Perusahaan”. Diakses pada 10 Februari 2011. Tearsip di
http://www.sctv.co.id/company/pages.php?id=1 10 Ibid.
60
Liputan 6 SCTV sendiri mulai mengudara pada Mei 1996. Bisa jadi
Liputan 6 merupakan solusi dari berpindahnya Seputar Indonesia ke RCTI atas
dasar UU Penyiaran 1994. Saat itu, Seputar Indonesia yang sebelumnya disiarkan
bersama oleh RCTI dan SCTV harus dibuat sendiri dalam stasiun, tanpa
melibatkan lagi pihak Production House. Maka dari itu, PT Sindo Citra Media
yang memproduksi Seputar Indonesia mau tidak mau harus melepas program
berita ini ke salah satu televisi. Pilihan pun jatuh ke RCTI.
Melihat kondisi ini, Sumita Tobing, seorang jurnalis senior di Harian
Prioritas dan TVRI, berinisiatif untuk mengajukan proposal pendirian Newsroom
SCTV. Tidak lama kemudian, gayung pun bersambut, proposal tersebut disetujui
oleh Pieter F. Gontha, salah satu pemilik SCTV.
Menurut Sumita Tobing, berdirinya Liputan 6 SCTV didasarkan semangat
untuk mendirikan newsroom yang berpihak pada publik11. Newsroom model ini
adalah antitesis dari kelaziman di era orde baru yang cenderung menjadi alat
propaganda pemerintah.
Pemberian nama Liputan 6 ini, menurut Riza Primadi (mantan Pemred
Divisi Pemberitaan SCTV) merujuk kepada program pemberitaan di Inggris dan
Amerika, seperti Six O’clock Reports atau Seven O’clock Reports. Kebetulan juga,
alokasi waktu awalnya adalah pukul 6 petang.
Pada awalnya Liputan 6 hadir 30 menit setiap hari ketika petang datang,
lalu beranak pinak dengan hadirnya Liputan 6 Pagi (Agustus 1996), Liputan 6
Siang (Maret 1997) dan Liputan 6 Malam (Februari 2003). Di sela-sela jam
tayang tersebut ternyata serin pula terjadi peristiwa atau masalah yang perlu
untuk segera diketahui oleh publik. Maka lahirlah kemudian, Breakingnews dan
Liputan 6 Terkini12.
Selain paket berita di Liputan 6, Divisi Pemberitaan SCTV mendapat
alokasi 20% dari keseluruhan program SCTV. Beberapa program lain yang
dikerjakan oleh jurnalis SCTV antara lain: talkshow (namanya berganti-ganti dari
Di Balik Berita menjadi Topik Minggu Ini), dokumenter (dulu Visi Warta, sekarang
11 Tim Redaksi LP3ES. Op. Cit. Hal. 51 12 Iskandar Siahaan. 2006. Dalam Tim Redaksi LP3ES. Jurnalisme Liputan 6 SCTV: Antara Peristiwa
dan Ruang Publik. Jakarta: LP3ES. Hal. xiv.
61
Potret), liputan parlemen (Wakil Kita), Dokudrama (Derap Hukum), Features
(Kisah di Antara Kita), Kriminalitas (Buser), dan Dialog Interaktif (Klinika). Nama
program bisa saja berubah, tapi substansinya tetap sama13.
Bila dirunut dari sejarahnya, Liputan 6 memang terkenal sebagai newsroom
yang kritis. Pada era orde baru misalnya, Liputan 6 tercatat beberapa kali
bersinggungan langsung dengan pemerintah. Suatu kejadian yang amat langka
ketika itu, yang entah disadari atau tidak justru meningkatkan citra Liputan 6 di
mata pemirsa. Misalnya, insiden “cabut gigi” Sarwono Kusumaatmaja di saat-saat
genting reformasi tahun 1998.
Setelah insiden itu, Pemimpin Redaksi Liputan 6, Don Bosco Selamun dan
Sumita Tobing diberhentikan sementara dari Liputan 6. Akan tetapi, hikmahnya
pasca kejadian ini media-media lain justru semakin berani bersuara lebih keras:
meminta Soeharto mundur. Hal yang sebelumnya sangat tabu ketika itu.
Selain itu, salah satu produk jurnalisme monumental dari Liputan 6 SCTV
adalah Investigasi kekerasan di STPDN, pada medio 2003. Tayangan ekslusif
berjudul Siksa di Balik Tembok STPDN menampar telak wajah STPDN.
Meskipun menuai kecaman keras dari Alumni STPDN dan Depdagri, Liputan 6
tidak bergeming dan terus memberitakan. Justru apresiasi positif ditunjukkan
oleh masyarakat luas. Masyarakat justru sadar bahwa ada realita yang selama ini
terus-menerus ditutupi.
2. Visi dan Misi
Visi
Menjadi stasiun televisi unggulan yang memberikan kontribusi terhadap
pembangunan dan pencerdasan kehidupan bangsa.
Misi
Membangun SCTV sebagai jaringan stasiun televisi swasta terkemuka di
Indonesia dengan:
1. Menyediakan beragam program yang kreatif, inovatif dan berkualitas
yang membangun bangsa.
13 Ibid.
2. Melaksanakan tata kelola perusahan yang baik (good corporate
governance).
3. Memberikan nilai tambah kepada seluruh stakeholder.
3. Slogan & Logo
Logo 1990
Logo SCTV 2004
Sejak Januari 2005,
identitas diri sebagai stasiun televisi keluarga.
perlu adanya “politik identitas”. Suatu identitas yang menunjukkan ciri khas dari
SCTV dibandingkan stasiun lainn
Dengan logo baru yang bergambar matahari terbit, SCTV ingin
menampilkan wajahnya sebagai cahaya penerang yang melingkupi serta
memberikan kehidupan, menjaga agar impian dan harapan bangsa tetap hidup
dan masa depan yang lebih baik tetap bersinar. Sloga
“SCTV Ngetop”, diubah menjadi “
Logo dan slogan baru tersebut, digunakan sebagai simbol dan semangat
serta motivasi untuk menjadikan SCTV sebagai televisi keluarga pilihan pemirsa
(menjangkau umur seluruh anggota
dan yang selalu tinggal di hati pemirsa
adalah sebagai berikut:
14 SCTV. Diakses pada 10 Februari 2011. Terarsip di 15 Tim Redaksi LP3ES. Op. Cit16 Ibid.
Melaksanakan tata kelola perusahan yang baik (good corporate
governance).
Memberikan nilai tambah kepada seluruh stakeholder.
Logo 1990-1993
Logo SCTV 1990–2004
Logo SCTV 2004–2005
Logo SCTV sejak 2005
Sumber: Wikipedia.Org14
Januari 2005, Manajemen SCTV memandang perlu menegaskan kembali
sebagai stasiun televisi keluarga. Dalam bahasa manajemen SCTV
perlu adanya “politik identitas”. Suatu identitas yang menunjukkan ciri khas dari
SCTV dibandingkan stasiun lainnya.
Dengan logo baru yang bergambar matahari terbit, SCTV ingin
menampilkan wajahnya sebagai cahaya penerang yang melingkupi serta
memberikan kehidupan, menjaga agar impian dan harapan bangsa tetap hidup
dan masa depan yang lebih baik tetap bersinar. Slogan SCTV yang dahulunya
“SCTV Ngetop”, diubah menjadi “Satu Untuk Semua” 15.
Logo dan slogan baru tersebut, digunakan sebagai simbol dan semangat
serta motivasi untuk menjadikan SCTV sebagai televisi keluarga pilihan pemirsa
(menjangkau umur seluruh anggota keluarga), televisi yang inovatif dan kreatif
dan yang selalu tinggal di hati pemirsa16. Sedangkan, logo dari Liputan 6 SCTV
adalah sebagai berikut:
SCTV. Diakses pada 10 Februari 2011. Terarsip di http://id.wikipedia.org/wiki/SCTV Op. Cit. Hal. 49.
62
Melaksanakan tata kelola perusahan yang baik (good corporate
anajemen SCTV memandang perlu menegaskan kembali
Dalam bahasa manajemen SCTV
perlu adanya “politik identitas”. Suatu identitas yang menunjukkan ciri khas dari
Dengan logo baru yang bergambar matahari terbit, SCTV ingin
menampilkan wajahnya sebagai cahaya penerang yang melingkupi serta
memberikan kehidupan, menjaga agar impian dan harapan bangsa tetap hidup
n SCTV yang dahulunya
Logo dan slogan baru tersebut, digunakan sebagai simbol dan semangat
serta motivasi untuk menjadikan SCTV sebagai televisi keluarga pilihan pemirsa
keluarga), televisi yang inovatif dan kreatif
Sedangkan, logo dari Liputan 6 SCTV
63
Logo sebelum 2008
Logo 2008 - sekarang
Slogan: “Aktual, Tajam dan Terpercaya”, menurut Karni Ilyas maknanya
mendalam17. Aktual yang dimaksud adalah kecepatan, artinya tim redaksi
haruslah terdepan dalam mendapatkan dan mengabarkan berita. Sementara tajam
adalah menyangkut daya kritis. Daya kritis yang dimaksud Karni Ilyas adalah
melihat segala sesuatu secara berimbang. Dan terpercaya adalah dapat dipercaya
(credible). Kepercayaan ini adalah alasan yang mendasari orang membeli koran
tiap harinya atau meluangkan waktu untuk menonton berita televisi.
4. Program Berita yang Diproduksi
Program Genre Hari Waktu
Liputan 6 Pagi Hardnews Setiap hari 04.30 – 06.00 WIB
Liputan 6 Siang Hardnews Setiap hari 12.00 – 12.30 WIB
Liputan 6 Petang Hardnews Setiap hari 17.00 -17.30 WIB
Liputan 6 Malam Hardnews Setiap hari 00.30 – 01.00 WIB
Liputan 6 Terkini Hardnews Setiap hari 09.00, 11.00, 14.00, 16.00,
20.00, 22.30 WIB
Liputan 6 Bandung,
Surabaya, Makassar
dan Yogyakarta
Hardnews Senin –
Jumat
06.00 – 06.30 WIB
Buser Hardnews
(khusus
kriminal)
Rabu -
Sabtu
01.00 – 01.30 WIB
Potret Menembus
Batas
Dokumenter Kamis 00.00 – 00.30 WIB
17 Ibid. 81-82.
64
Barometer Dialog Rabu 22.30 – 23.30 WIB
Sigi Feature Rabu 23.30 – 24.00 WIB
Dikutip dari berbagai sumber18
5. Struktur Redaksi
Ketua Dewan Redaksi : Fofo Sariaatmadja
Kepala Liputan 6 News Center
: Don Bosco Selamun
Kepala Departemen
Liputan6.com
: Marthin Budi Laksono
Redaktur Eksekutif
: Aribowo Suprayogi, MI Stephen Vincent
Redaktur
:
Arfan Yap Bano, Yus Arianto, Anri
Syaiful, Agung Binarko, Syaiful Halim
Penulis
: Bogi Triyadi, Zumrotul Muslimin,
Ahmad Yani Yustiawan, Rinaldo,
Ahmad Salman
Grafis dan Visual
: Wawan Isab R., Budi Iswara, Y. Arie
Wicaksono, Rio Pangkerego, Rio
Husnady
Mobile Visual
: Ahmad Nur, Hasto Ajie, Ali Romdhoni,
Andiyanto
Reporter : Anastasia Putri, Carlos Pardede, David
Silahooij, Riko Anggara, Fira Isrofillah,
Nova Rini, Indah Dian Novita,
Mochamad Achir, Rahmat Supana,
18 Diolah dari liputan6.com, sctv.co.id dan id.wikipedia.org
65
Sufiani Tanjung, Zwasty Andria,
Hardjuno Pramundito, Rachmalia
Zuamitha, Raditiyo Wicaksono, Winny
Arfiani
Alamat:
PT Surya Citra Media, Tbk. SCTV Tower - Senayan City. Jln. Asia Afrika Lot.
19 Lt.18, Jakarta 10270.
B. METRO TV: Knowledge To Elevate
1. Sejarah dan Dinamika
Metro TV adalah stasiun khusus berita pertama di Indonesia. Mengudara sejak
awal 25 November 2000, awalnya Metro TV hanya mengudara 8 jam sejak sore
hari dengan wilayah siaran Jakarta. Metro TV adalah salah satu anak usaha dari
Media Group milik Surya Paloh.
Sebelum mendirikan Media Group, di masa orde baru Surya Paloh pernah
mendirikan Harian Prioritas. Harian ini sebenarnya adalah refleksi dari pemikiran
Surya Paloh yang memang kritis terhadap pemerintahan, meski ketika itu juga ia
adalah tokoh Golkar. Penyajian khas dari Prioritas memang cenderung satir dan
sarkastis dalam melihat fenomena aktual. Akhirnya pada 1987, Prioritas dibredel
karena dianggap terlalu vokal terhadap pemerintahan19.
Kemudian Surya Paloh membeli kepemilikan Media Indonesia pada 1988
dari Teuku Yousli Syah20. Ketika itu, pembagian tugasnya adalah sebagai berikut:
Surya Paloh sebagai Direktur Utama, Teuku Yousli Syah sebagai Pemimpin
Umum dan Pemimpin Perusahaan dipegang oleh Lestary Luhur. Kini, Media
Indonesia adalah surat kabar harian yang memiliki oplah terbesar kedua setelah
Kompas.
Waktu berjalan, pada akhir 1990-an Media Group melihat potensi
kemajuan teknologi komunikasi yang ada dengan ide mendirikan stasiun televisi
khusus berita. Ide itu kemudian diwujudkan dalam Metro TV, stasiun televisi
19 Gigih Sari Alam. Perpolitikan Surya Paloh dan Media Indonesia. Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di http://www.scribd.com/doc/12617151/Sejarah-Media-Indonesia
20 Sejarah Singkat Media Indonesia. Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di http://www.mediaindonesia.com/read/2009/02/23/38398/11/11/Sejarah_Singkat
66
khusus berita 24 jam seperti CNN di Amerika. Setahun setelah berdiri, pada
2001 Metro TV sudah menyiarkan beritanya selama 24 jam. Di tahun 2009,
Metro TV telah dapat ditangkap secara terestrial di 280 kota terbesar di
Indonesia. Siaran Metro TV juga dapat ditangkap lewat televisi kabel di seluruh
Indonesia. Sedangkan lewat Satelit Palapa 2, siaran Metro TV dapat dinikmati di
seluruh ASEAN, Hongkong, China Selatan, India, Makau, Taiwan, Papua
Nugini dan sebagian Australia dan Jepang21.
Tujuan dari didirikannya Metro TV adalah untuk menyebarkan berita dan
informasi ke seluruh Indonesia. Selain secara dominan diisi oleh program berita,
Metro TV juga menayangkan beragam program mengenai teknologi, kesehatan,
pengetahuan umum, sejarah, seni-budaya dan lain-lain. Secara persentase, 70%
program Metro TV adalah berita yang disiarkan dalam bahasa Indonesia, Inggris
dan Mandarin, sedangkan 30% lainnya adalah program non-berita yang
edukatif22. Kini, Metro TV menjadi tempat kerja untuk lebih dari 1200
karyawannya23.
Selanjutnya pula untuk memudahkan koordinasi berbagai informasi dan
daerah. Metro TV kemudian mendirikan beberapa biro daerah yang terletak di 6
kota besar, yaitu: Biro Yogyakarta, Medan, Makassar, Pekanbaru, Surabaya dan
Bandung24.
2. Visi dan Misi25
Visions:
To become a distinct Indonesian television station by ranking number one for
its news, offering quality entertainment and lifestyle programming. Providing
unique advertising opportunities and achieving loyalty with its viewers and
advertisers.
Missions:
21 Diyah Astuti. 2009. Laporan Akhir Kuliah Kerja Komunikasi Reporter dan Camera Person di Metro TV Biro Yogyakarta. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Budaya, UII.
22 Ibid. 23 Tentang Kami. Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di http://www.metrotvnews.com/read/about 24 Wawancara dengan Reporter Metro TV, Rory Asyari dan Pitono. Yogyakarta, 11 April 2011. 25 Tentang Kami. Op. Cit.
1. To stimulate and promote the nation's and country's advancement towards a
democratic atmosphere, in order to excel in global competition, with high
appreciation of moral and ethic.
2. To add a valuable presence to the television industry by
perspective, by improving the way information is presented and by offering
quality entertainment alternatives.
3. To achieve a significant level of growth by developing and leveraging its
assets, to increase the quality of life and the welfare
produce significant profit for its share holders.
3. Slogan & Logo
Logo Metro TV 2000
Slogan: Be Smart Be Informed
4. Program Berita
Program
Metro Pagi
8-11 Show
Metro Siang
Metro Hari Ini
Headline News
Metro Malam
Metro Xin Wen
Jakarta Jakarta
Editorial Media
Indonesia
To stimulate and promote the nation's and country's advancement towards a
democratic atmosphere, in order to excel in global competition, with high
appreciation of moral and ethic.
To add a valuable presence to the television industry by providing a new
perspective, by improving the way information is presented and by offering
quality entertainment alternatives.
To achieve a significant level of growth by developing and leveraging its
assets, to increase the quality of life and the welfare of its employees, and to
produce significant profit for its share holders.
Logo Metro TV 2000-2010
Be Smart Be Informed
Logo Metro TV sejak 20 Mei 2010
Slogan: Knowledge to Elevate
Program Berita yang Diproduksi
Genre Hari Waktu
Hardnews &
Talkshow
Setiap Hari 04.30 –
Talkshow Senin - Jumat 08.00 –
Hardnews Setiap Hari 12.00 –
Hardnews &
Talkshow
Setiap Hari 18.00 –
Hardnews Setiap Jam
Hardnews Setiap Hari 00.00 –
Hardnews Senin - Jumat 14.00 –
Hardnews Senin - Jumat 13.30 –
Tajuk rencana Setiap Hari 07.00 –
67
To stimulate and promote the nation's and country's advancement towards a
democratic atmosphere, in order to excel in global competition, with high
providing a new
perspective, by improving the way information is presented and by offering
To achieve a significant level of growth by developing and leveraging its
of its employees, and to
Logo Metro TV sejak 20 Mei 2010
Knowledge to Elevate
Waktu
– 07.00 WIB
– 11.00 WIB
– 13.00 WIB
– 19.00 WIB
-
– 01.00 WIB
– 14.30 WIB
– 14.00 WIB
– 08.00 WIB
68
Top 9 News Hardnews Senin - Jumat 21.00 – 21.30 WIB
Metro Sports Hard & soft-
news
Setiap Hari 23.30 / 02.30 WIB
Spirit Football Hard & soft
news
Setiap Sabtu 13.00 -13.30 WIB
12 Pas Hard & soft
news
Setiap Ahad 13.00 – 13.30 WIB
Sumber: http://www.metrotvnews.com
Catatan: Program berita yang ditampilkan hanya sebagian. Karena 70% program
Metro TV adalah berita, sedang 30% lainnya adalah program edukatif non-berita.
5. Struktur Redaksi
CEO/Presiden Media Group : Surya Paloh
Presiden Direktur Metro TV : Wisnu Hadi
Direktur Pemberitaan : Suryapratomo
Direktur Sales & Marketing : Lestary Luhur
Direktur Finansial &
Administrasi
: Ana Widjaja
Direktur Teknik : John Balonso
Editor In-Chief : Elman Saragih
Presiden Komisioner : Djafar Husin Assegaf
Komisioner : Prahastoeti Adhitama
Alamat:
Jl. Pilar Mas Raya Kav. A-D, Kedoya - Kebon Jeruk, Jakarta 11520 - Indonesia
Tlp:021-58300077, Fax: 021-58300066
69
C. LIGA PRIMER INDONESIA: Change The Game!
1. Sejarah dan Dinamika26
Sebuah acara silaturahmi antara 20 klub sepakbola nasional bersama Gerakan
Reformasi Sepakbola Nasional Indonesia (GRSNI) di Graha Jenggala, Jakarta 17
September 2010, melahirkan sebuah deklarasi. Deklarasi tersebut pada intinya
berisi keprihatinan klub sepakbola nasional atas terpuruknya kondisi sepakbola
nasional.
Klub-klub sepakbola tersebut kemudian mengambil inisiatif bersama
untuk mendeklarasikan Liga Primer Indonesia (LPI) di Semarang, 24 Oktober
2010. Ada 17 perwakilan klub yang datang saat itu, yaitu: Semen Padang, PSPS
Pekanbaru, PSMS Medan, Medan Chief Football, Persebaya, Arema Indonesia,
Persema Malang, Persibo Bojonegoro, Persis Solo, Semarang United, Maung
Bandung Raya, Bogor Raya, Batavia United, Jakarta 1980, PSM Makassar,
Manado United, dan Bali Dewata27.
Semangat klub dalam membangun LPI juga merupakan sebuah komitmen
untuk peningkatan standar sepakbola, baik secara organisasi maupun keuangan.
Klub-klub memandang bahwa sistem bantuan permodalan, dan sistem bagi hasil
pendapatan dalam LPI, dapat membuat klub mandiri secara keuangan serta
profesional dalam pengelolaan.
Demi mencapai kemandirian, konsorsium LPI memberikan bantuan
modal awal kepada setiap klub peserta agar terlepas dari ketergantungan pada
dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Modal awal tersebut
bervariasi antarklub, sesuai hasil audit yang telah diselenggarakan. Perbedaan
mendasar dengan LSI ini adalah pada kepemilikan saham. Seperti diketahui, LSI
dikelola oleh PT Liga Indonesia dengan 95% saham menjadi milik PSSI, sisanya
5% dimiliki oleh Nirwan Bakrie. Sementara, LPI akan dikelola PT Liga Primer
Indonesia dengan klub perserta memiliki 100% saham28.
26 Disadur dari Tentang LPI (dengan sedikit perubahan). Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di http://ligaprimerindonesia.co.id/node/1
27 17 Tim Hadiri Deklarasi Liga Primer Indonesia. Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di http://www.bola.net/indonesia/17-tim-hadiri-deklarasi-liga-primer-indonesia.html
28 LPI Atau Liga Primer Indonesia. Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di http://www.wartaberita.net/2010/12/lpi-atau-liga-primer-indonesia.html
70
Selain itu, LPI menganut azas pembagian pendapatan secara transparan
dan bertanggung jawab kepada klub peserta. Sesuai kesepakatan bersama klub,
pembagian pendapatan LPI akan dilakukan berdasarkan dua skema. Yaitu skema
untuk pendapatan liga (misal: sponsor liga, hak siar, dan lain-lain), dan skema
atas pendapatan pertandingan (misal: sponsor lokal, hak siar, tiket, dan lain-lain).
Untuk tahun pertama PT Liga Primer Indonesia berkonsentrasi menggelar
LPI. Tahun kedua barulah dibuat kompetisi strata kedua di bawah LPI agar bisa
menerapkan degradasi. Sebanyak 19 tim memastikan akan berkompetisi pada
musim 2011 nanti. Kompetisi akan menggunakan sistem kompetisi penuh atau
double round robin dimana setiap klub akan melakoni laga kandang dan tandang.
Perbedaan lain yang cukup mendasar dengan LSI adalah penggunaan wasit
asing dan marquee player. Wasit asing dihadirkan mengingat begitu banyaknya
keluhan akan kualitas dan kinerja wasit lokal yang seringkali bertindak berat
sebelah terhadap tim tuan rumah.
Sedangkan, marquee player adalah pemain bintang yang didatangkan oleh
konsorsium untuk meningkatkan popularitas LPI di mata khalayak. Konsep ini
telah sukses dijalankan di A League Australia dan MLS di Amerika Serikat.
Pemain bintang model ini didatangkan dengan gaji di atas rata-rata, yang
nantinya dibiayai oleh sponsor29. Beberapa marquee player yang telah hadir antara
lain: Lee Hendrie (Bandung FC), Amaral (Manado United), Abdelhadi Laakkad
(Medan Chief) dan masih banyak lagi.
Meski terus mendapatkan tekanan oleh PSSI karena dianggap liga yang
ilegal. Akhirnya pada 8 Januari 2011, LPI secara resmi dibuka di Stadion
Manahan, Solo dengan pertandingan Solo FC melawan Persema.
2. Klub-klub Peserta
Untuk musim pertama total ada 19 klub yang menjadi peserta. Tiga di antaranya
merupakan klub yang pindah dari liga PSSI, yaitu Persibo Bojonegoro, Persema
Malang dan PSM Makassar. Selebihnya 16 klub merupakan klub yang khusus
didirikan untuk mengikuti LPI.
29 Marquee Player, Konsep LPI Datangkan Bintang Dunia. Diakses pada 12 April 2011. Terarsip di http://www.bola.net/indonesia/marquee-player-konsep-lpi-datangkan-bintang-dunia-3d60d9.html
Lebih jelasnya, klub
No Klub
1. Aceh United
2. Bali De Vata
3. Bandung FC
4. Batavia Union
30 Diolah dari www.wartaberita.net
Lebih jelasnya, klub-klub tersebut adalah sebagai berikut30:
Klub Keterangan
Aceh United
Pelatih:
Lionel Charbonnier (Prancis)
Stadion:
Harapan Bangsa, Banda Aceh (40.000)
Bali De Vata
Pelatih:
Willy Scheepers (Belanda)
Stadion:
Kapten I Wayan Dipta, Gianyar (25.000)
Dahulu bernama Bali Dewata United.
Namun, untuk LPI kemudian
nama menjadi Bali Devata FC.
Bandung FC
Pelatih:
Nandar Iskandar
Stadion:
Siliwangi, Bandung (25.000)
Batavia Union
www.wartaberita.net, www.ligaprimerindonesia.co.id, dan google.co.id
71
Harapan Bangsa, Banda Aceh (40.000)
Kapten I Wayan Dipta, Gianyar (25.000)
Dahulu bernama Bali Dewata United.
Namun, untuk LPI kemudian berganti
nama menjadi Bali Devata FC.
72
Pelatih:
Roberti Bianchi (Brasil)
Stadion:
Stadion Kamal Muara, Jakarta (20.000)
Klub ini merupakan pecahan dari klub
berplat merah Persitara Jakarta Utara
yang berlaga di Liga PSSI.
5. Bogor Raya
Pelatih:
John Arwandy
Stadion:
Stadion Cibinong, Bogor (15.000)
6. Cendrawasih Papua
Pelatih:
Uwe Erkebrecher (Jerman)
Stadion:
Stadion Mandala Jayapura (30.000)
Cendrawasih Papua merupakan tim
binaan para mantan pemain Persipura
yang tergabung dalam Asosiasi Mantan
Pemain Persipura (AMPP).
7. Jakarta 1928
Pelatih:
Bambang Nurdiansyah
Stadion:
Lebak Bulus (25.000)
73
8. Minangkabau FC
Pelatih:
Divaldo Alves (Portugal)
Stadion:
Agus Salim, Padang (28.000)
9. Solo FC
Pelatih:
Branko Babic (Serbia)
Stadion:
Manahan Solo (24.000)
10. PSM
Pelatih:
Michael Feichtenbeiner (Jerman)
Stadion:
Andi Mattalata, Makassar (20.000)
Klub ini merupakan hasil merger dari
PSM yang sebelumnya berlaga di LSI
dengan Makassar City.
11. Manado United
Pelatih:
Muhammad Al Hadad
Stadion:
Klabat, Manado (20.000)
74
12. Medan Chiefs
Pelatih:
Jorg. Steinebruner (Jerman)
Stadion:
Teladan, Medan (20.000)
Medan Chiefs merupakan penjelmaan
dari Klub Pro Titan. Pro Titan memang
sudah lama bergelut di kancah sepakbola
nasional sebagai klub yang mandiri.
13. Medan Bintang
Pelatih:
Rene Van Eck (Belanda)
Stadion:
Teladan, Medan (20.000)
14. Persebaya 1927
Pelatih:
Aji Santoso
Stadion:
Gelora 10 Nopember (35.000)
Persebaya memutuskan bergabung ke
LPI dan berganti nama menjadi
Persebaya 1927. Namun, Persebaya tetap
punya tim yang berlaga di kompetisi
Divisi Utama Liga Indonesia, yang
dikenal dengan Persebaya DU.
75
15. Persema
Pelatih:
Timo Scheuneman (Jerman)
Stadion:
Gajayana, Malang (30.000)
Klub yang berjuluk Laskar Ken Arok ini
merupakan pelanggan tetap kompetisi
Liga Indonesia. Meski harus
mendapatkan sanksi, Persema tidak
gentar untuk pindah ke LPI.
16. Persibo
Pelatih:
Sartono Anwar
Stadion:
Letjen H. Sudirman, Bojonegoro
(15.000)
Prestasi Persibo sebelum pindah ke LPI
adalah juara divisi I dan utama Liga PSSI.
17. Real Mataram
Pelatih:
Jose Basualdo (Argentina)
Stadion:
Maguwoharjo, Yogyakarta (30.000)
Real Mataram, “Mataram Sejati”,
dimaksudkan untuk menunjukkan jati
diri sebagai warga Mataram atau
Yogyakarta.
76
18. Semarang United
Pelatih:
Edy Paryono
Stadion:
Jatidiri, Semarang (25.000)
19. Tangerang Wolves
Pelatih:
Paulo Camargo (Brasil)
Stadion:
Benteng (25.000)
3. Masa Depan LPI
Di era PSSI pimpinanan Nurdin Halid, LPI memang santer diberitakan sebagai
liga yang ilegal (break away league). LPI menurut Nurdin Halid harus dihentikan
karena tidak sesuai dengan statuta FIFA. Bila tidak, Indonesia akan terancam
sanksi tidak dapat mengikuti agenda internasional FIFA. Sempat juga terbersit
ide PSSI untuk merangkul LPI dengan menjadikannya setara dengan Liga Amatir
Divisi 3. Suatu ide yang ditolak mentah-mentah oleh konsorsium LPI.
Akan tetapi, pasca lengsernya Nurdin Halid pada Kongres PSSI di
Pekanbaru, 26 Maret 2011. FIFA melalui Komite Normalisasi yang dipimpin
oleh Agum Gumelar diberi dua opsi oleh FIFA untuk membubarkan atau justru
merangkul LPI. Pada akhirnya, opsi kedua-lah yang lebih dipilih oleh Komite
Normalisasi. LPI tidak akan diberhentikan, melainkan akan menunggu hingga
kompetisi selesai dan diajak berada dalam forum kongres yang baru31. Sehingga,
di masa mendatang LPI diharapkan akan berafiliasi secara resmi dengan PSSI,
meski format resminya belum bisa dipastikan saat ini.
31 LPI Akan Mengikuti Forum Kongres Baru. Diakses pada 12 April 2011. Terarsip di http://bola.okezone.com/read/2011/04/11/49/444829/lpi-akan-mengikuti-forum-kongres-baru
77
BAB IV
ANALISIS BERITA LIPUTAN 6 SCTV DAN METRO TV
Teks-teks berita yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah narasi berita yang
ditayangkan di liputan 6 SCTV dan Metro TV selama rentang waktu bulan Januari
2011. Pemberitaan selama bulan Januari dipilih karena pada bulan ini konflik antara
LPI dan PSSI berawal dan mencapai puncaknya. Dalam rentang waktu tersebut
diidentifikasi 63 berita di Liputan 6 SCTV dan 34 berita di Metro TV yang membahas
tentang LPI. Jumlah yang terhitung intens, bila dibandingkan dengan TvOne ataupun
ANTV yang nyaris tidak memberitakan LPI sama sekali (lebih lanjut tentang TvOne
dan ANTV sudah dibahas di BAB I). Adapun keseluruhan berita yang diidentifikasi
adalah sebagai berikut:
� LIPUTAN 6 SCTV
Tanggal Judul Berita Program
03/01 LPI Segera Digelar, PSSI Menganggap Liar Liputan 6 Petang
PSM Mundur dari LSI Liputan 6 Pagi
04/01 BTN PSSI Tetap Sertakan Irfan Bachdim Liputan 6 Pagi
Ketentuan PSSI Merisaukan Masyarakat Liputan 6 Siang
Mantan Atlet Nasional Sayangkan
Kehadiran LPI
Liputan 6 Malam
05/01 Manado United Berbenah Jelang LPI
Digelar
Liputan 6 Pagi
Pengamat Bola: LPI Sangat Positif Liputan 6 Petang
Penggemar Sayangkan Ancaman PSSI Liputan 6 Pagi
Suporter Makassar Minta LPI Dibubarkan Liputan 6 Malam
Ternyata LPI Belum Urus Izin Pembukaan
Liga
Liputan 6 Malam
06/01 Bali Devata Optimistis Berprestasi di LPI Liputan 6 Pagi
Persema Izinkan Irfan Bachdim Masuk
Timnas
Liputan 6 Malam
78
Persema Malang Tiba di Solo Liputan 6 Malam
Persis Bubar Pasoepati Siap Transfer
Dukungan
Liputan 6 Pagi
Polda Jateng Belum Izinkan Pertandingan
LPI
Liputan 6 Siang
Polisi Akan Amankan Laga Perdana LPI Liputan 6 Terkini
Kisruh LPI-PSSI, Kepentingan Politik Liputan 6 Petang
Pencinta Sepakbola di Solo Dukung LPI Liputan 6 Pagi
07/01 Rumah Arifin Panigoro Didemo Pendukung
PSSI
Liputan 6 Malam
Presiden Takkan Hadiri Pembukaan LPI Liputan 6 Malam
Persema Gelar Latihan, Warga Berdatangan Liputan 6 Siang
Jelang Laga Perdana, Stadion Manahan
Terus Dibenahi
Liputan 6 Petang
08/01 FIFA Tidak Berhak Hukum LPI Liputan 6 Petang
Ketua PSSI Solo Hadiri Pembukaan LPI Liputan 6 Petang
Laga Perdana LPI Siap Digelar Liputan 6 Pagi
LPI Vs LSI, Siapa Pemenangnya Liputan 6 Petang
Pembukaan Kompetisi LPI Dimulai Siang
Ini
Liputan 6 Siang
09/01 Diancam FIFA, LPI Jalan Terus Liputan 6 Pagi
Irfan Bachdim Pikat Publik Malang Liputan 6 Pagi
PSSI Banyumas 100 Persen Dukung LPI Liputan 6 Pagi
PSSI dan LPI Diharapkan Berdamai Liputan 6 Pagi
10/01 Persebaya Tundukkan Bandung FC Liputan 6 Malam
11/01 Komisi X Jembatani PSSI dan LPI Liputan 6 Pagi
Dua Pemain Persebaya Dicoret Liputan 6 Pagi
Main di LPI, Dua Pemain Persebaya Dicoret
Riedl
Liputan 6 Siang
13/01 PSSI Tutup Pintu Dialog Liputan 6 Petang
14/01 Persema Balik Kecam PSSI Liputan 6 Malam
79
LPI Tidak Gentar Liputan 6 Petang
15/01 PSSI Larang Younghusband Liputan 6 Pagi
Amarcio Fortes, Pemain Termahal di
Indonesia
Liputan 6 Petang
19/01 PSSI Pastikan Surat FIFA Asli Liputan 6 Malam
20/01 PSSI Cabang Solo Dibekukan Liputan 6 Pagi
PSIS Hengkang dari Kompetisi PSSI Liputan 6 Petang
Launching Klub LPI di Medan Ricuh Liputan 6 Terkini
DPR Sesalkan Pencoretan Nama Irfan Liputan 6 Siang
21/01 Younghusband Resmi Gabung ke Jakarta
1928
Liputan 6 Siang
Pendukung PSM Protes Sikap Pengurus Liputan 6 Pagi
22/01 Nurdin Sentil LPI Liputan 6 Petang
Kongres PSSI Diwarnai Unjuk Rasa Liputan 6 Petang
Tak Boleh Masuk, Perwakilan Persebaya
Marah
Liputan 6 Terkini
23/01 Bogor FC Jalani Laga Perdana Sore Ini Liputan 6 Siang
Laga PSM Makassar Didemo Warga Liputan 6 Siang
Persik Kediri Serius Pindah ke LPI Liputan 6 Petang
Topeng Para Koruptor di Tugu Proklamasi Liputan 6 Pagi
24/01 Suporter Persewangi Kritik Sikap PSSI Liputan 6 Pagi
Dikartu Merah, Pemain Pukul Wasit Liputan 6 Pagi
26/01 PSM Makassar Resmi Dicoret PSSI Liputan 6 Malam
27/01 LPI Buka Pintu untuk Persik dan Persib Liputan 6 Pagi
Manajemen Persib Belum Beri Kepastian Liputan 6 Petang
Siang Ini, Keputusan Persib ke LPI
Diputuskan
Liputan 6 Siang
28/01 Pemain Persib Tak Terpengaruh Rencana ke
LPI
Liputan 6 Pagi
29/01 Persebaya 1927 Bekuk Bogor Raya Liputan 6 Petang
31/01 PSM Makassar Taklukkan Aceh United Liputan 6 Pagi
80
� METRO TV
Tanggal Judul Berita Program
03/01 BLI Bahas Sanksi untuk Klub yang Gabung
ke LPI
Metro Sport
04/01 Kemenegpora dan KONI Dukung
Kompetisi LPI
Metro Sport
Polri tetap Jamin Keamanan Pertandingan
LPI
Metro Sport
Manager Persema Malang: Di LPI Lebih
Adil dan Merdeka
Metro Sore
06/01 Kompetisi LPI Akhirnya Mendapat Izin dari
Polri
Metro Hari Ini
Lapangan Manahan Dimaksimalkan untuk
LPI
Headline News
Polda Jateng Memberi Izin Laga LPI Headline News
PSSI Bersikukuh LPI Ilegal Metro Sport
07/01 Massa Tolak LPI Serbu Rumah Arifin
Panigoro
Headline News
Riedl Tak akan Panggil Irfan Bachdim ke
Timnas
Metro Pagi
Izin Kompetisi LPI Metro Hari Ini
Timo Schunemann: Terima Kasih Pak
Menpora
Headline News
PSSI Solo Mendukung LPI Metro Pagi
Persema Maksimalkan Laga Perdana LPI Headline News
PSSI Dituntut Boikot LSI Headline News
08/01 Tiket VIP Laga LPI di Solo Ludes Headline News
Tiket VIP Laga LPI di Solo Ludes_2 Headline News
Warga Solo Siap Ikuti Pembukaan LPI Headline News
Tujuh Pemain LPI Absen dalam Seleksi U-
23
Headline News
81
Panitia LPI Sediakan 19.500 Tiket Metro Siang
Persema Tak Bisa Turunkan Pemain Asing Headline News
Persema Buka Kemenangan di Laga Perdana
LPI
Headline News
Irfan Bachdim Tetap Berlaga di LPI Headline News
Irfan Bachdim Cetak 2 Gol di Babak
Pertama LPI
Headline News
08/01 Tiket VIP Laga LPI di Solo Ludes Headline News
Tiket VIP Laga LPI di Solo Ludes_2 Headline News
09/01 Jelang Laga LPI Stadion Letjen Haji
Sudirman Berbenah
Metro Siang
Evaluasi Laga Pertama LPI Metro Pagi
10/01 Metro TV Siarkan Langsung Laga Ketiga
LPI
Metro Hari Ini
Pelatih: Persebaya Siap Hadapi Bandung FC Headline News
Persebaya 1927 Tekuk Bandung FC 2-1 Headline News
12/01 Jakarta 1928 Datangkan Younghusband
Bersaudara
Metro Pagi
17/01 Irfan dan Kim Tidak Masuk Tim U-23 Headline News
21/01 Ratusan Suporter Persita Menjebol Stadion Metro Sport
Dari sejumlah berita di atas, untuk memudahkan analisis akan diambil beberapa
berita yang dinilai kuat mengkonstruksi konflik antara LPI dan PSSI, yaitu Liputan 6
SCTV sejumlah 13 berita dan Metro TV sejumlah 8 berita. Berita-berita tersebut akan
dianalisis dengan model analisis wacana kritis Norman Fairclough, yaitu analisis dua
tahap: peristiwa komunikatif (communicative events) dan order of discourse. Tahap
communicative events menitikberatkan pada analisis teks yang dipertajam dengan paparan
praktik wacana (discourse practice) dan praktik sosiokultural (sociocultural practice) sebagai
konteks peristiwa pemberitaan yang ditampilkan. Pada saat melakukan analisis, ketiga
tahapan ini akan dilakukan secara bersama-sama. Sedangkan level selanjutnya order of
discourse, akan meliputi analisis intertekstualitas dan genre.
82
A. ANALISIS TEKS
Teks berita yang dianalisis adalah berita yang bertipe hard news. Menurut
Fairclough1, tipe hard news adalah tipe berita yang strukturnya konsisten memiliki
headline, lead paragraf yang memberikan entry point ke berita dan serangkaian
paragraf yang mengelaborasi cerita. Dalam pemberitaan Liputan 6 SCTV
maupun Metro TV, tipe hard news yang ditampilkan, diartikulasikan dengan
kombinasi antara penggunaan bahasa resmi dan bahasa percakapan (dialog).
Bahasa resmi digunakan untuk narasi berita, sedangkan bahasa percakapan untuk
kutipan langsung dari narasumber.
Adapun wacana konflik LPI versus PSSI yang dikonstruksi oleh Liputan 6
SCTV dan Metro TV adalah sebagai berikut:
1. LIPUTAN 6 SCTV
1) Judul Berita : LPI Segera Digelar, PSSI Menganggap Liar
Program : Liputan 6 Petang
Tanggal/Jam : 3 Januari 2011
VISUAL AUDIO
Saudara, akhir pekan ini akan digelar
kompetisi sepakbola dengan tajuk
Liga Primer Indonesia. Induk
Sepakbola di Indonesia PSSI
menyebut semua kompetisi yang
tidak direkomendasi oleh PSSI
adalah liar.
Kini nasib salah satu pemain yang
ikut di Liga Primer, Irfan Bachdim
menjadi tidak menentu.
1 Dalam Ahmad Faisol. 2003. Perpecahan Antar Kelompok Elit Politik Dalam Naskah Pemberitaan Televisi. Skripsi. Yogyakarta: FISIPOL UGM. Hal. 96.
83
VO: Narator
Para pemain PSM Makassar mulai
melakukan latihan menjelang musim
kompetisi yang akan bergulir.
Tetapi, PSM Makassar tidak lagi
berkompetisi di liga yang digelar
oleh PSSI, yaitu Liga Super
Indonesia karena menyatakan
mundur dan berganti mengikuti
Liga Primer Indonesia.
Pihak Liga Primer Indonesia
menyatakan kesiapannya
menyelenggarakan kompetisi yang
diikuti 19 klub pada akhir pekan ini.
Arya Abiseka (Direktur LPI)
Kami sudah siap. Artinya, pemain dari
kedua tim sudah siap, timnya sudah siap,
persiapan acara pembukaan sudah siap.
Ya, pada dasarnya kami sudah siap
untuk menggelar LPI.
84
VO: Narator
Menanggapi akan digelarnya Liga
Primer Indonesia. PSSI tidak akan
memberikan toleransi terhadap
segala kegiatan sepakbola yang
dilakukan di luar ijin atau
rekomendasi PSSI. Pihak PSSI tidak
mengakui atau liar.
Nugraha Besoes (Sekjen PSSI)
Oleh karena itu, PSSI menyesalkan,
menyayangkan dan jelas tidak mengakui
keberadaan sebuah kegiatan atau
kompetisi sepakbola yang diadakan di
luar PSSI sebagai wadah tunggal
organisasi sepakbola yang resmi di
Indonesia.
VO: Narator
Keberadaan Liga Primer Indonesia
dianggap illegal oleh PSSI.
Sementara di satu sisi,
keberadaannya membuat lebih
banyak kompetisi yang bersaing
untuk kemajuan sepakbola nasional.
85
VO: Narator
Kini, Irfan Bachdim salah satu
pemain nasional yang dilaporkan
bermain di Liga Primer menjadi
tidak menentu nasibnya di Timnas
Indonesia.
Kurnia Supriyatna melaporkan dari
Jakarta.
Berita yang ditayangkan pada Liputan 6 SCTV, 3 Januari 2011 ini bercerita
tentang kehadiran LPI yang ditolak oleh Pengurus PSSI. Kedua belah pihak,
baik LPI maupun PSSI memiliki argumen tersendiri yang digunakan untuk
membela diri.
a. Representasi
Dalam teks berita di atas digunakan judul “LPI Segera Digelar, PSSI
Menganggap Liar”. Pilihan kata “liar” ini menunjukkan bahwa LPI telah
bertindak di luar aturan dari PSSI, juga merupakan cara Liputan 6 SCTV
untuk menaikkan berita secara bombastis, seperti yang lazimnya dilakukan
oleh koran kuning. Karena bila ditelisik lebih lanjut “liar” adalah pilihan
Liputan 6 SCTV, bukan Nugraha Besoes, yang mewakili PSSI. Secara sengaja
Liputan 6 SCTV berusaha mengkonstruksi konflik antara kedua belah pihak
ini dengan pilihan kata yang sarkastis.
Secara visual, Liputan 6 SCTV juga menampilkan frase “Kisruh PSSI”
untuk ditampilkan sebagai judul. Kata “kisruh” memperlihatkan bagaimana
konflik ini dilihat sebagai ketidakbecusan PSSI di internal, layaknya kisruh
dalam rumah tangga. Ditambah lagi dengan kutipan wawancara dari Arya
Abiseka wakil LPI yang menegaskan kesiapannya, membuktikan bahwa LPI
86
pun bisa berjalan tanpa harus dibantu oleh PSSI. PSSI menjadi tidak berharga
lagi posisinya.
Pada akhirnya, representasi dalam rangkaian antar anak kalimat
memperlihatkan bagaimana LPI seharusnya didukung bukan dianggap “liar”
oleh PSSI. Pernyataan Nugraha Besoes yang menyatakan bahwa PSSI tidak
mengakui kompetisi di luar PSSI disanggah oleh Liputan 6 SCTV dengan
menempatkan voice over narator di akhir berita yang menyatakan: “Keberadaan
Liga Primer Indonesia dianggap illegal oleh PSSI. Sementara di satu sisi, keberadaannya
membuat lebih banyak kompetisi yang bersaing untuk kemajuan sepakbola nasional.
Kini, Irfan Bachdim salah satu pemain nasional yang dilaporkan bermain di Liga Primer
menjadi tidak menentu nasibnya di Timnas Indonesia.” Narasi ini bila dipahami,
memberi kesan penolakan terhadap pernyataan dari Nugraha Besoes
sebelumnya.
b. Relasi
Wacana relasi konflik yang dibentuk dalam berita ini adalah antara LPI dan
PSSI. Presenter yang menyatakan bahwa nasib Irfan Bachdim, pemain timnas
yang sedang diidolakan, menjadi tidak menentu. Peristiwa ini tentu berbahaya
untuk kepentingan sepakbola nasional.
Liputan 6 SCTV kemudian mengambil sudut relasi dengan lebih
condong kepada kepentingan masyarakat luas terhadap sepakbola nasional.
Ini ditegaskan dalam narasi, “... Sementara di satu sisi, keberadaannya membuat
lebih banyak kompetisi yang bersaing untuk kemajuan sepakbola nasional.”
Liputan 6 SCTV ingin berada di luar konflik sebagai pengamat semata.
Akan tetapi, pemilihan sudut sebagai perwakilan kepentingan masyarakat luas,
diterjemahkan dengan menempatkan Irfan Bachdim yang terancam bilamana
LPI dilarang untuk digelar. Pilihan yang sulit bagi khalayak, sehingga secara
tidak langsung ada unsur untuk mengarahkan khalayak agar mendukung
digelarnya LPI.
c. Identitas
Identitas yang ditampilkan Liputan 6 SCTV dalam berita ini, kurang lebih
sama dengan relasi yang dikonstruksi, yaitu dengan menggunakan identitas
kepentingan masyarakat luas. Secara normatif, Liputan 6 SCTV tentu ingin
87
bersikap netral sebagai pengamat. Akan tetapi, dalam praktiknya pemberitaan
jusru lebih condong mendukung LPI. Ini dibuktikan dengan konstruksi berita
bahwa LPI harus didukung sebagai bagian peningkatan kualitas sepakbola
nasional.
2) Judul Berita : BTN PSSI Tetap Sertakan Irfan Bachdim
Program : Liputan 6 Siang
Tanggal/Jam : 4 Januari 2011
VISUAL AUDIO
Meski Liga Primer Indonesia (LPI)
tidak diakui dan pemainnya
diancam tidak bisa memperkuat
timnas. Kenyataanya, Badan
Timnas tetap memanggil beberapa
pemain yang bermain di LPI untuk
memperkuat Timnas U-23. Irfan
Bachdim dan Kim Kurniawan
termasuk dalam daftar nama yang
dipanggil.
VO: Narator
Persema Malang sudah
memutuskan keluar dari Liga
Super Indonesia. Klub berjuluk
Laskar Ken Arok ini memilih
bermain di Liga Primer Indonesia
(LPI) yang digagas pengusaha
Arifin Panigoro & tidak diakui
oleh PSSI. Persema tampaknya
telah siap menghadapi segala
resiko.
PSSI sendiri mengancam akan
88
memberikan sanksi kepada tim
yang keluar dari Liga Super
Indonesia. Pemainnya pun
diancam tidak bisa memperkuat
tim nasional.
Nurdin Halid (Ketua Umum PSSI)
Pemain yang ikut sama klub itu, harus
dihukum. Bukan lagi cuma timnas, di
seluruh dunia dia tidak akan lagi bisa
bermain sepakbola.
VO: Narator
Namun kenyataanya, Badan Tim
Nasional tetap memanggil
sejumlah pemain klub LPI untuk
mengikuti seleksi Timnas U-23.
Para pemain itu antara lain: Irfan
Bachdim dan Kim Kurniawan dari
Persema Malang, Djayusman
Triadi, Fandy Edy dan Rachmat
dari PSM Makassar, Novan Setyo
dari Persibo Bojonegoro serta
Lucky Wahyu dan Andik
Firmansyah dari Persebaya
Surabaya.
89
VO: Narator
Timnas U-23 diproyeksikan untuk
bertanding dalam ajang Pra-
Olimpiade dan SEA Games.
Meski dihadapkan kemungkinan
tidak bisa memperkuat timnas.
Irfan Bachdim dan pemain
naturalisasi Kim Kurniawan tetap
memilih untuk bermain di
Persema di Liga Primer Indonesia.
Irfan Bachdim (Pemain Persema Malang)
Saya awali karir di Persema. Semua
pemain sudah seperti keluarga saya.
Mereka teman dan keluarga saya.
Itulah alasan saya tetap di sini.
Kim Kurniawan (Pemain Persema Malang)
Saya tidak terlalu peduli dengan soal
ini. Saya hanya ingin bermain
sepakbola. Suatu saat saya ingin
bermain untuk tim nasional Indonesia.
90
VO: Narator
Liga Primer Indonesia sendiri
rencananya akan mulai bergulir
tanggal 8 Januari nanti.
Tim liputan 6 SCTV melaporkan.
Berita pada tanggal 4 Januari 2011 ini menjelaskan konflik sepakbola
Indonesia yang berimbas kepada Timnas Indonesia, dengan menampilkan
tanggapan dari Nurdin Halid selaku Ketua Umum PSSI dengan dua pemain
Persema Malang yang memutuskan untuk mengikuti LPI.
a. Representasi
Sejak awal Liputan 6 SCTV menggunakan pilihan kata “meski” dan
“kenyataanya” untuk merepresentasikan inkonsistensi yang dilakukan oleh
PSSI terhadap LPI. LPI dianggap liga illegal dan tidak diakui oleh PSSI,
namun “kenyataannya” PSSI masih memanggil beberapa pemain yang berlaga
di LPI untuk memperkuat Timnas Indonesia.
Inkonsistensi yang dilakukan oleh PSSI kemudian ditegaskan dengan
wawancara dengan Nurdin Halid: “Pemain yang ikut sama klub itu, harus
dihukum. Bukan lagi cuma timnas, di seluruh dunia dia tidak akan lagi bisa bermain
sepakbola”. Selanjutnya, wawancara justru dibantah oleh narator dan tampilan
visual yang menjelaskan bahwa: “Namun kenyataanya, Badan Tim Nasional tetap
memanggil sejumlah pemain klub LPI untuk mengikuti seleksi Timnas U-23. Para
pemain itu antara lain: Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan dari Persema Malang,
Djayusman Triadi, Fandy Edy dan Rachmat dari PSM Makassar, Novan Setyo dari
Persibo Bojonegoro serta Lucky Wahyu dan Andik Firmansyah dari Persebaya
91
Surabaya”. Representasi rangkaian antar anak kalimat ini semakin menegaskan
inkonsistensi yang dilakukan oleh PSSI.
Representasi yang ditampilkan oleh Liputan 6 SCTV juga semakin
memojokkan PSSI ketika dua pemain Persema, Irfan Bachdim dan Kim
Kurniawan, yang diancam oleh Nurdin Halid justru tidak merasa gentar.
Mereka berdua siap dengan segala resiko yang akan dihadapi di LPI, termasuk
pula tidak dapat memperkuat Timnas Indonesia saat ini.
Selain itu, secara visual, penampilan judul “Konflik Liga Sepakbola” di
layar televisi menunjukkan bagaimana Liputan 6 SCTV melihat apa yang
sedang terjadi. Karena sehari sebelumnya, digunakan frase “Kisruh PSSI”
namun kemudian bergeser ke “Konflik Liga Sepakbola” untuk
memperlihatkan bahwa LPI pun adalah bagian dari konflik ini. Sehingga, ada
resiko yang harus ditanggung oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Resiko ini kemudian ditegaskan dengan narasi: “... Persema tampaknya telah siap
menghadapi segala resiko. PSSI sendiri mengancam akan memberikan sanksi kepada tim
yang keluar dari Liga Super Indonesia. Pemainnya pun diancam tidak bisa memperkuat
tim nasional”.
b. Relasi
Relasi yang ingin dikonstruksi oleh Liputan 6 SCTV adalah benturan antara
PSSI dan LPI, khususnya lewat pemain dari klub Persema Malang. Persema
Malang yang diwakili oleh dua bintangnya, Irfan Bachdim dan Kim
Kurniawan, justru tidak gentar dengan ancaman yang dinyatakan oleh PSSI.
Hal ini ditegaskan secara verbal oleh kedua pemain tersebut setelah
wawancara dengan Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI.
Dalam berita ini, Liputan 6 SCTV lebih memilih sudut relasi sebagai
bagian dari Persema Malang, yang dibuktikan dengan narasi yang menyatakan
bahwa: “Persema tampaknya telah siap menghadapi segala resiko”. Ketegasan ini
kemudian juga dilengkapi oleh redaksi Liputan 6 SCTV dengan menampilkan
inkonsistensi PSSI dengan tetap memanggil pemain LPI ke timnas.
92
c. Identitas
Identitas yang ditampilkan dalam berita ini, tidak jauh berbeda dengan relasi
yang dikonstruksi. Berita ini mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Persema
Malang. Pemilhan identitas ini juga merupakan bagian dari konstuksi Liputan
6 SCTV untuk menggiring khalayak televisi bersimpati terhadap kondisi
dilematis yang dihadapi pemain Persema.
3) Judul Berita : Suporter Makassar Minta LPI Dibubarkan
Program : Liputan 6 Malam
Tanggal/Jam : 5 Januari 2011
VISUAL AUDIO
Sementara itu saudara, sejumlah
pendukung Nurdin Halid berunjuk
rasa didepan Monumen Mandala,
Makassar, Sulawesi Selatan.
Mereka meminta pembubaran
Liga Primer Indonesia karena
dianggap memecah belah
sepakbola Indonesia. Mereka juga
mengecam pengurus PSM
Makassar yang keluar dari liga
super.
93
VO: Narator
Saudara berbeda dari daerah lain.
Sejumlah pendukung Nurdin
Halid berunjuk rasa di Makassar.
Sembari membawa brosur dan
spanduk mereka meminta Nurdin
Halid menghentikan kompetisi
Liga Primer Indonesia bentukan
Arifin Panigoro.
Mereka juga mengecam tindakan
pengurus PSM Makassar yang
berpindah ke LPI. Massa menilai
tindakan tersebut merugikan
masyarakat Sulawesi Selatan.
VO: Narator
Usai menyampaikan dukungannya.
Puluhan orang ini mendatangi
tempat latihan PSM Makassar di
lapangan Karebosi.
Berita pada tanggal 5 Januari 2011 ini bercerita tentang sejumlah orang yang
mendukung posisi Nurdin Halid untuk menghentikan LPI. Massa tersebut
juga mengecam tindakan PSM yang berpindah dari ISL ke LPI.
94
a. Representasi
Pemilihan frase “sementara itu” dan juga “berbeda dari daerah lain” seakan-
akan menunjukkan bahwa tindakan massa ini adalah tindakan yang abnormal.
Karena memang di daerah lain justru terjadi gelombang besar dukungan
terhadap LPI dan tuntutan mundur terhadap Nurdin Halid, Ketua Umum
PSSI.
Selanjutnya, penggunaan kata “sejumlah”, “puluhan” dan tampilan visual
yang menampilkan hanya beberapa orang yang berdemo menegaskan bahwa
demo ini memang abnormal. Liputan 6 SCTV seolah-olah ingin mengatakan
bahwa mereka hanyalah segelintir orang yang tidak dapat mewakili suara
suporter Indonesia di Kota Makassar secara umum. Ekstrimnya, mereka
hanyalah segelintir orang yang mendapatkan bayaran untuk berdemo.
Penegasan judul “Pendukung Nurdin Halid Berdemo” mereduksi demo
ini menjadi konflik personal antara Nurdin Halid versus LPI. Padahal di saat
bersamaan Nurdin Halid sedang dihujat di hampir seluruh daerah. Sehingga,
khalayak televisi digiring untuk berpendapat bahwa dukungan terhadap
Nurdin Halid adalah tindakan konyol dan abnormal.
b. Relasi
Relasi yang ingin dikonstruksi oleh Liputan 6 SCTV ini adalah konflik antara
PSSI, yang diwakili oleh Nurdin Halid, dan LPI. Akan tetapi, dalam praktek
pemberitaanya, pendukung Nurdin Halid tersebut direpresentasikan sebagai
kelompok minoritas. Selain itu, tidak satu pun perwakilan dari pendemo
diberikan kesempatan untuk menjelaskan tindakan mereka. Penjelasan berita
hanya didapatkan dari presenter dan voice over dari narator. Pola pemberitaan
seperti ini tentu tidaklah obyektif, karena berita kemudian hanyalah sepihak,
berupa tafsiran realitas yang dilihat dan diobservasi oleh wartawan.
c. Identitas
Identitas yang dikonstruksi di sini menampilkan berita dari sisi kelompok
pendemo. Hal itu dapat dilihat dengan tuntutan pembubaran LPI dan
kecaman terhadap PSM yang berpindah dari ISL ke LPI. Termasuk pula,
95
kedatangan pendemo ke Lapangan Karebosi untuk mendemo PSM. Sayang,
dari sisi representasi maupun relasi, ditampilan bahwa kelompok ini hanyalah
minoritas kecil yang tidak diidentik dengan suara masyarakat Sulawesi Selatan
secara keseluruhan.
4) Judul Berita : Ternyata LPI Belum Urus Izin Pembukaan Liga
Program : Liputan 6 Malam
Tanggal/Jam : 5 Januari 2011
VISUAL AUDIO
Sementara itu saudara, pihak
konsorsium Liga Primer Indonesia
atau LPI hingga Rabu sore belum
mengajukan maupun mengurus
perizinan pembukaan liga
sepakbola yang akan
diselenggarakan di Solo, Sabtu
mendatang. Padahal
penyelenggaraan kompetisi
sepakbola ini tinggal 2 hari lagi.
VO: Narator
Meski, pihak konsorsium PT. Liga
Primer Indonesia hingga saat ini
belum menguajukan iji
penyenggaraan pembukaan
kompetisi Liga Primer Indonesia.
Namun, panitia mengaku sudah
berkomunikasi dengan Mabes
Polri.
96
VO: Narator
Secara terpisah Kabareskrim
Mabes Polri Komjen Polisi Ito
Sumardi mengizinkan panitia LPI
untuk menggelar acara
pembukaan.
VO: Narator
Sementara Kadiv Humas Mabes
Polri Irjen Anton Bacrul Alam
malah mengatakan Polri tidak akan
memberi izin penyelenggaraan.
Jika konflik antara pengurus PSSI
dengan LPI belum diselesaikan
secara kekeluargaan.
Arya Abiseka (General Manajer LPI)
Kita sampai saat ini masih sedikit
bingung. Karena ada 2 petinggi
kepolisian yang mengeluarkan 2
pernyataan yang kontradiksi, atau
berbeda sama sekali.
Jadi, kita sendiri belum mendapatkan
informasi resmi dari kepolisian terhadap
maksud kami.
97
Berita pada tanggal 5 Januari 2011 ini bercerita tentang penyelenggaraan LPI
yang masih simpang siur karena izin yang belum keluar. Pihak yang
berwenang, Polri maupun LPI ditampilkan langsung sebagai narasumber
untuk menjelaskan permasalahan yang sedang terjadi.
a. Representasi
Di awal berita Liputan 6 SCTV menjelaskan bahwa Pihak Penyelenggara LPI
belum mengajukan izin ke Polri untuk menyelenggarakan LPI. Namun, di
tahapan berita selanjutnya, ternyata permasalahan tersebut bukan berasal dari
pihak LPI, melainkan pihak Polri yang tidak bersepakat di internal. Hal ini
ditampilkan dalam narasi: “Secara terpisah Kabareskrim Mabes Polri Komjen Polisi
Ito Sumardi mengizinkan panitia LPI untuk menggelar acara pembukaan. Sementara
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Anton Bachrul Alam malah mengatakan Polri tidak
akan memberi izin penyelenggaraan. Jika konflik antara pengurus PSSI dengan LPI
belum diselesaikan secara kekeluargaan.”
Ketidakjelasan ini menyiratkan pesan bahwa LPI sudah bekerja secara
kooperatif terhadap Polri. Hanya saja, sikap kontradiktif justru muncul karena
perbedaan pendapat antara Kabareskrim dan Kadivhumas Polri.
Ketidakjelasan ini menimbulkan tanda tanya, karena baik Kabareskrim
maupun Kadivhumas tidak mendapat ruang untuk dikutip pernyataannya
secara langsung. Penempatan narasi oleh Liputan 6 SCTV ketimbang
wawancara langsung, menimbulkan kesan bahwa ada yang ditutupi oleh
wartawan. Khalayak hanya diberitahu realitas berdasarkan observasi yang
dilakukan oleh wartawan yang sangat subyektif.
Justru di akhir berita, LPI kemudian direpresentasikan sebagai pihak yang
tidak bersalah karena hanya menunggu kepastian dari Polri. Seperti yang
disampaikan oleh Arya Abiseka, General Manager LPI: “Kita sampai saat ini
masih sedikit bingung. Karena ada 2 petinggi kepolisian yang mengeluarkan 2 pernyataan
yang kontradiksi, atau berbeda sama sekali. Jadi, kita sendiri belum mendapatkan
informasi resmi dari kepolisian terhadap maksud kami.”
98
b. Relasi
Relasi yang ingin dikonstruksi oleh Liputan 6 SCTV ini adalah kontradiksi di
internal Polri terhadap izin LPI. Di satu sisi Kabareskrim mengizinkan,
namun di sisi lain Kadivhumas menolak memberikan izin. Pihak LPI yang di
awal berita bersalah karena belum mengajukan izin justru mendapat blessing in
disguise. Karena, faktanya pihak LPI telah berkomunikasi dengan Polri dan
kini sebatas menunggu konfirmasi perizinan.
Artinya, pada berita ini Liputan 6 SCTV memilih menggunakan sudut
pandang penyelenggara LPI. Penjelasan pihak Polri yang saling bertentangan
ini dijelaskan lewat narator, sedangkan LPI justru diberi ruang untuk dikutip
secara langsung. Pemberitaan dengan pola ini tentulah tidak seimbang dan
cenderung berpihak.
c. Identitas
Identitas yang dikonstruksi oleh wartawan Liputan 6 SCTV cenderung
memihak kepada LPI. Ini dibuktikan dengan narator yang selalu mewakili
pernyataan pihak Polri. Sedangkan pihak LPI justru diberi ruang untuk
dikutip secara langsung. Khalayak pun secara tidak sadar digiring untuk
mendukung LPI, karena permasalahan izin ini bukanlah urusan LPI lagi,
melainkan Polri.
99
5) Judul Berita : Pengamat Bola “LPI Sangat Positif”
Program : Liputan 6 Petang
Tanggal/Jam : 5 Januari 2011 / 17.37 WIB
VISUAL AUDIO
Saudara, pengamat sepakbola
berpendapat kompetisi sepakbola
yang berlangsung bebas akan
menguntungkan dunia sepakbola
nasional. Sementara PSSI masih
bertahan pada posisi menolak liga
yang berada di luar kendali PSSI.
Seperti Liga Primer Indonesia.
VO: Narator
Dunia sepakbola Indonesia terus
mendapatkan tantangan.
Kemunculan Liga Primer
Indonesia terus menuai tentangan
dari PSSI.
Pengamat sepakbola Anton
Sanjoyo menyatakan kompetisi
sepakbola yang berlangsung bebas
di lebih banyak liga akan
menguntungkan persepakbolaan
Indonesia.
100
Anton Sanjoyo (Pengamat Sepakbola)
PSSI sendiri yang saya sayangkan
sikapnya yang begitu arogan menanggapi
kasus ini. Karena seakan-akan
sepakbola ini milik mereka sendiri.
Padahal sepakbola ini kan milik
bangsa Indonesia. Siapa pun berhak
menggelar kompetisi.
VO: Narator
Sementara itu, PSSI
menyayangkan beberapa pejabat
yang seakan mendukung
keberadaan liga di luar kendali
PSSI.
Max Boboy (Direktur Hukum & Peraturan PSSI)
Saya tidak paham, pejabat-pejabat
tinggi ini memicu orang untuk terus
berkonflik. Dalam hal berbicara,
sebenarnya lebih gampang dia berbicara
semuanya terpulang kepada PSSI.
101
VO: Narator
PSSI menegaskan sesuai aturan
PSSI, pemain yang bermain di liga
lain seperti Liga Primer Indonesia
akan terkena sanksi.
Kurnia Supriyatna Supriyatna
melaporkan dari Jakarta.
Berita pada tanggal 5 Januari 2011 ini bercerita tentang penyelenggaraan LPI
yang dinilai positif oleh pengamat Sepakbola, Anton Sanjoyo. Sedangkan,
PSSI justru menyalahkan beberapa pejabat negara yang mendukung LPI.
a. Representasi
Berita LPI kali ini menampilkan secara lebih adil LPI. Ada pro dan kontra
yang ditampilkan secara berimbang, dari sisi pengamat sepakbola maupun
pengurus PSSI dan dikutip secara langsung.
Akan tetapi, bila ditelisik lebih dalam, pernyataan yang disampaikan oleh
pengamat sepakbola ini semakin menguatkan posisi LPI. Pengamat yang
diidentikkan sebagai pihak yang independen justru menilai LPI sangat positif
untuk memperkuat sepakbola nasional. Sedangkan, dari pihak yang kontra
terhadap LPI, lagi-lagi harus ditampilkan pengurus PSSI. Seakan-akan tidak
ada pihak lain yang menolak LPI selain pengurus PSSI itu sendiri.
Argumen yang disampaikan oleh PSSI pun kemudian terkesan tidak
cerdas, ketika harus menyalahkan orang lain. Seperti kata pepatah, buruk
muka cermin dibelah. Pernyataan Max Boboy yang menuding beberapa
pejabat negara memback-up penyelenggaraan LPI adalah buktinya, “Saya tidak
paham, pejabat-pejabat tinggi ini memicu orang untuk terus berkonflik. Dalam hal
berbicara, sebenarnya lebih gampang dia berbicara semuanya terpulang kepada PSSI.”
102
Di situ, Max Boboy seakan-akan menegaskan bahwa sepakbola adalah
urusan PSSI, sehingga pihak-pihak yang tidak berwenang jangan ikut campur.
Pernyataan ini bertentangan secara langsung dengan pendapat Anton Sanjoyo
yang menyatakan, “PSSI sendiri yang saya sayangkan sikapnya yang begitu arogan
menanggapi kasus ini. Karena seakan-akan sepakbola ini milik mereka sendiri. Padahal
sepakbola ini kan milik bangsa Indonesia. Siapa pun berhak menggelar kompetisi”.
Pendapat Anton Sanjoyo ini bisa jadi juga merupakan terjemah atas
tampilan visual Liputan 6 SCTV yang memberi judul “Kritik untuk PSSI”.
Sayang, Max Boboy mewakili PSSI yang diberi kesempatan untuk menjawab
kritik tersebut, justru berbicara di luar konteks dengan menyerang pihak-
pihak lain. Suatu dialog yang dapat dimaknai sebagai dialog yang tidak
nyambung.
b. Relasi
Liputan 6 SCTV menampilkan relasi yang cenderung lebih adil dalam berita
ini. Baik pihak yang pro maupun kontra dengan LPI ditampilkan secara
langsung, bukan dengan voice over oleh narator. Perbedaannya adalah pada
berita kali ini, pihak pro bukan diwakili oleh penyelenggara melainkan oleh
pengamat sepakbola. Sedangkan, seperti biasa pihak kontra selalu diwakili
oleh PSSI.
Pihak pro menyatakan bahwa sepakbola merupakan milik bangsa
Indonesia, jangan sampai dimonopoli. Sedangkan, pihak kontra justru
menyalahkan beberapa pejabat negara yang mendukung LPI. Dialog
kemudian terlihat tidak fokus arahnya, karena pihak PSSI tidak mampu
menjelaskan mengapa LPI dilarang, melainkan justru menyerang pihak-pihak
yang mendukungnya.
c. Identitas
Identitas yang ingin dikonstruksi oleh Liputan 6 SCTV adalah netralitas
dalam menyampaikan berita. Liputan 6 SCTV lebih fokus kepada bagaimana
konflik dirangkum apa adanya, dua pihak yang berbeda pendapat
dipertemukan dalam satu berita. Narasi yang ada hanya merangkum pendapat
103
narasumber yang ada, tanpa secara dominan memberikan opini yang
mengarahkan pada pihak tertentu.
6) Judul Berita : Polda Jateng Belum Izinkan Pertandingan LPI
Program : Liputan 6 Siang
Tanggal/Jam : 6 Januari 2011
VISUAL AUDIO
Pembukaan Liga Primer Indonesia
atau LPI di Stadion Manahan Solo
sudah tinggal 2 hari lagi. Namun
hingga kini belum ada izin dari
pihak kepolisian. Warga Solo
berharap LPI tetap bisa digelar
karena dianggap bisa memajukan
persepakbolaan di tanah air.
VO: Narator
Di stadion Manahan Solo ini
rencananya Liga Primer Indonesi
atau LPI akan mulai digelar pada
tanggal 8 Januari nanti. Berbagai
persiapan pun sudah terlihat
terlihat dilakukan di stadion
berkapasitas 30 ribu penonton ini.
Namun, liga sepakbola yang
digagas Arifin Panigoro dan tidak
diakui PSSI ini masih terkendala
masalah perizinan. Meski perizinan
sudah diajukan, namun pihak
kepolisian belum memberikan izin.
104
Pihak Polresta Solo masih belum
bisa memberikan keputusan
karena masih menunggu
keputusan dari Mabes Polri. Polisi
juga meminta panitia meminta
melengkapi surat rekomendasi dari
PSSI.
Kombes Pol. Nana Sudjana (Kapolresta Solo)
Jadi ada satu persyaratan di sini yang
belum dicukupi, yaitu surat
rekomendasi dari induk persepakbolaan
atau induk organisasi sepakbola, yaitu
PSSI.
VO: Narator
Panitia pelaksana LPI di Solo
mengaku tidak bisa berbuat
banyak dan menyerahkan
sepenuhnya kepada penyelenggara
LPI tingkat pusat di Jakarta.
105
Roy Saputro (Ketua Panpel LPI di Solo)
Kalau persiapan dari Panpel sudah
60% agar besok tanggal 8
penyelenggaraannya bisa lancar.
VO: Narator
Belum keluarnya izin disesalkan
warga Solo.
Komentar Warga Solo
Karena mungkin PSSInya iri. Karena
uang itu tidak dikeluarkan dari
APBN.
106
Komentar Warga Solo
LPI itu tetap jalan, mas. Karena
masyarakat Solo itu sukanya
sepakbola.
VO: Narator
Dalam pembukaan nanti
rencananya akan digelar
pertandingan perdana antara tuan
rumah Solo FC melawan Persema
Malang.
Wiwik Susilo melaporkan dari
Jawa Tengah.
Berita pada tanggal 6 Januari 2011 ini bercerita tentang pembukaan LPI di
Solo yang masih simpang siur karena izin penyelenggaraan yang masalah
perizinan yang belum selesai. Beberapa warga Solo juga dimintai komentarnya
mengenai permasalahan tersebut.
a. Representasi
Wacana konflik antara LPI dengan PSSI pada berita ini dimulai dari narator
yang menyatakan bahwa “Namun, liga sepakbola yang digagas Arifin Panigoro dan
tidak diakui PSSI ini masih terkendala masalah perizinan. Meski perizinan sudah
diajukan, namun pihak kepolisian belum memberikan izin.” Kata “namun”
107
mengandung penegasan kontradiktif. Bahwa persiapan LPI sudah dilakukan
semaksimal mungkin, akan tetapi PSSI dan Polri sebagai pihak yang
berwenang memberikan izin masih memberikan penolakan.
Kesiapan pihak LPI tersebut dikonfirmasi oleh Ketua Panpel Solo,
sedangkan pernyataan Polri yang masih menolak dikonfirmasi oleh Kombes
Nana Sudjana (Kapolresta Solo). Akan tetapi, pernyataan dari PSSI yang juga
menolak sebatas dijadikan teks “lain” melalui voice over dari narator, “... dan
tidak diakui PSSI ini masih terkendala masalah perizinan.”
Namun, sikap Polri dan PSSI yang menolak LPI di Solo kemudian
dibenturkan dengan pendapat warga Solo. Narator menggunakan kalimat
“Belum keluarnya izin disesalkan warga Solo.” untuk menghubungkan pendapat
Polri dengan warga Solo. Warga Solo yang diwawancarai semuanya
mendukung kehadiran LPI di Solo. Warga pertama mengkritik sikap PSSI
yang menolak, “Karena mungkin PSSInya iri. Karena uang itu tidak dikeluarkan
dari APBN”. Sedangkan warga kedua, “LPI itu tetap jalan, mas. Karena
masyarakat Solo itu sukanya sepakbola”. Dua pendapat warga ini
direpresentasikan sebagai perwakilan suara warga Solo yang mendukung
penuh kehadiran LPI di Solo. Apalagi yang akan bermain adalah klub
kebanggaan warga Solo, Solo FC melawan Persema Malang. Ketika warga
lokal sudah mendukung kehadiran LPI, kenapa dari pusat harus menolaknya?
Itu kira-kira kesan yang ingin ditampilkan oleh Liputan 6 SCTV.
Dengan melihat representasi antar anak kalimat. Terkesan Liputan 6
SCTV memang mengambil posisi untuk lebih mendukung LPI yang
diperkuat dengan dukungan warga Solo, ketimbang menyetujui sikap Polri
dan PSSI yang menolaknya. Caranya dengan memberikan narasi dan
pernyataan dari Polri dan PSSI diawal berita untuk kemudian dibenturkan
dengan pendapat umum warga Solo tentang LPI.
b. Relasi
Berita ini membenturkan relasi antara Polri dan PSSI dengan Warga Solo
terkait penyelenggaraan LPI. Di satu sisi Polri dan PSSI menolaknya dengan
108
tidak (atau belum ketika itu) memberikan perizinan, sedangkan warga Solo di
sisi berseberangan mendukung kehadiran LPI.
Liputan 6 SCTV dalam berita ini berperan seperti orang ketiga di luar
berita yang memberitakan konflik ini apa adanya. Bahwasanya ada pihak-
pihak yang berbeda pendapat. Dan kemudian perbedaan pendapat tersebut
ditampilkan di layar televisi.
c. Identitas
Identitas yang ingin dikonstruksi oleh Liputan 6 SCTV adalah netralitas
dalam menyampaikan berita. Liputan 6 SCTV ingin bertindak sebagai
pengamat dari luar konflik. Akan tetapi, pola penulisan berita dengan
menampilkan pendapat panitia penyelenggara LPI dan warga Solo di akhir
berita memberi kesan bahwa Liputan 6 SCTV ingin agar LPI tetap
berlangsung sesuai jadwal yang telah ditentukan, tanpa dihalangi Polri
maupun PSSI.
7) Judul Berita : Polisi Akan Amankan Laga Perdana LPI
Program : Liputan 6 Terkini
Tanggal/Jam : 6 Januari 2011 / --
VISUAL AUDIO
Saudara, pihak kepolisian di Jawa
Tengah akhirnya akan segera
mengeluarkan izin penyelenggaraan
Liga Primer Indonesia atau LPI di
Solo. Setelah pihak LPI
mengantongi rekomendasi dari PSSI
pengurus cabang setempat. Pihak
kepolisian juga menyatakan siap
mengamankan kompetisi baru
tersebut agar lancar dan tertib.
109
Irjen Pol. Edward Aritonang (Kapolda Jawa
Tengah)
Kalau Jawa Tengah sudah mengantongi
dari BOPI. Tidak ada alasan untuk
tidak mengijinkan. Jadi kira-kira induk
organisasinya mengijinkan dan Polri
akan mengeluarkan ijin keramaian dan
akan mengamankan. Terimakasih.
VO: Narator
Pernyataan Kapolda Jawa Tengah
Irjen Pol. Edward Aritonang ini
langsung disambut tepuk tangan
panitia pelaksana Liga Primer
Indonesia atau LPI di Solo, Jawa
Tengah. Rasa haru bercampur
gembira pun tak bisa disembunyikan
setelah Kapolda Jawa Tengah akan
segera mengeluarkan izin keramaian
bagi penyelenggaraan pembukaan
dan pertandingan perdana LPI
antara Solo FC melawan Persema
Malang di Stadion Manahan, Sabtu
mendatang.
110
VO: Narator
Kepastian izin penyelenggaraan
diperoleh setelah Polda Jawa
Tengah melakukan koordinasi
dengan Mabes Polri di Jakarta.
Dalam koordinasi melalui telepon
tersebut, pihak Mabes Polri sempat
mempertanyakan rekomendasi dari
induk olahraga sepakbola di
Indonesia untuk LPI di Solo.
Karena pihak PSSI pengurus cabang
Solo sudah memberikan
rekomendasi tersebut ke Polda Jawa
Tengah. Pihak kepolisian pun
menyatakan persoalan rekomendasi
penyelenggaraan LPI di Solo sudah
tidak ada masalah.
VO: Narator
Polemik sepakbola nasional itu
muncul setelah PSSI tidak mengakui
LPI. Dan menganggap LPI itu
ilegal.
Berita pada tanggal 6 Januari 2011 ini merupakan kelanjutan berita di siang
hari yang menyelesaikan simpang siur pembukaan LPI di Solo karena masalah
perizinan yang belum selesai. Izin akhirnya didapatkan setelah Polda Jawa
Tengah berkomunikasi dengan Mabes Polri dan Pengcab PSSI Solo.
111
a. Representasi
Wacana konflik antara LPI dengan PSSI pada berita ini tersirat dari
pernyataaan Kapolda Jawa Tengah Irjen. Edward Aritonang: “Kalau Jawa
Tengah sudah mengantongi dari BOPI. Tidak ada alasan untuk tidak mengijinkan. Jadi
kira-kira induk organisasinya mengijinkan dan Polri akan mengeluarkan ijin keramaian
dan akan mengamankan. Terimakasih”. Dengan mengakui BOPI yang
memberikan izin, secara tidak langsung Polri menafikan posisi PSSI yang
sebelumnya menolak dengan tegas. Bahkan izin dari PSSI pun bukan
dikeluarkan oleh PSSI pusat, melainkan dari Pengcab PSSI Solo.
Pemilihan judul berita “Polisi Akan Amankan Laga Perdana LPI” juga
menegaskan akan adanya jaminan dari Polri terhadap hal-hal yang tidak
diinginkan. Di tengah kondisi yang memanas ketika itu, segala kemungkinan
terburuk dapat terjadi. Sehingga, dukungan dari Polri di media massa
sangatlah penting untuk memastikan LPI akan berlangsung secara aman.
Secara visual, pemilihan judul “Polemik Sepakbola” juga menjelaskan
adanya permasalahan dalam dunia sepakbola nasional, khususnya perizinan
pembukaan LPI di Solo. Hal ini ditegaskan di akhir berita: “Polemik sepakbola
nasional itu muncul setelah PSSI tidak mengakui LPI. Dan menganggap LPI itu
ilegal”.
Masalah itu kemudian dianggap selesai ketika Polri mengeluarkan izin.
Padahal sebelumnya Polri menegaskan bahwa induk olahraga, PSSI, harus
pula memberikan rekomendasi. Akan tetapi, dalam praktiknya PSSI justru
kemudian dilangkahi. Dalam hal ini, PSSI hanyalah “teks” lain yang dijelaskan
lewat suara narator. Tanpa kemudian secara obyektif diberi ruang untuk
dikonfirmasi tanggapannya.
b. Relasi
Berita ini seperti rekonsiliasi dari berita sebelumnya yang membenturkan
antara Polri dengan LPI dan warga Solo. Relasi yang sebelumnya
bertentangan, kemudian berubah menjadi saling mendukung setelah Polri
memberikan izin dan jaminan pengamanan. Di sini Liputan 6 SCTV berperan
112
seperti orang ketiga di luar berita yang seakan-akan mengetahui segala
permasalahan untuk kemudian memberitakan konflik ini pada khalayak.
c. Identitas
Identitas yang ingin dikonstruksi oleh wartawan Liputan 6 SCTV adalah
netralitas dalam menyampaikan berita. Liputan 6 SCTV ingin memberitakan
konflik apa adanya. Akan tetapi, penempatan PSSI hanya sebagai teks lain
yang diceritakan melalui narator memberi kesan bahwa Liputan 6 SCTV ingin
agar LPI tetap berlangsung sesuai jadwal yang telah ditentukan. Kesan ini juga
makin bertambah ketika Liputan 6 SCTV menceritakan penyelenggara LPI
yang secara emosional haru dan bergembira dengan keputusan dari Polri
tersebut.
8) Judul Berita : Rumah Arifin Panigoro Didemo Pendukung
PSSI
Program : Liputan 6 Malam
Tanggal/Jam : 7 Januari 2011 / --
VISUAL AUDIO
Saudara, ratusan warga yang
tergabung dalam Suporter Nasional
Sepakbola Indonesia (SNSI) Jumat
petang berunjuk rasa ke rumah
pengusaha Arifin Panigoro di
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pendemo menentang pergelaran
laga Liga Primer Indonesia (LPI)
yang akan berlangsung Sabtu di
Solo, Jawa Tengah. Menurut
pendemo LPI akan memecah belah
persepakbolaan Tanah Air.
113
Namun aksi ratusan pendukung
pengurus PSSI ini tak berlangsung
lama. Sebab polisi melarang unjuk
rasa di perumahan. Demonstran
diizinkan untuk menyampaikan
orasi beberapa menit dan
membentangkan spanduk. Dalam
orasinya mereka juga meminta
Menteri Pemuda dan Olahraga Andi
Mallarangeng bersikap tegas
menindakan keberadaan LPI yang
cacat hukum. Usai orasi, pengunjuk
rasa membubarkan diri dengan
tertib.
VO: Narator
Ratusan pendukung PSSI
mendatangi rumah pengusaha Arifin
Panigoro memprotes sikap
pengusaha itu yang akan menggelar
Liga Primer Indonesia, di Solo,
Sabtu.
114
VO: Narator
Namun unjuk rasa batal terlaksana
karena polisi melarang unjuk rasa di
area perumahan. Meski dilarang,
pendemo diijinkan untuk
menyampaikan sikap dan
membentangkan spanduk
bertuliskan “Arifin Panigoro jangan
pecah belah sepakbola Indonesia”.
VO: Narator
Mereka juga meminta Menteri
Pemuda dan Olahraga Andi
Mallarangeng bersikap tegas
menindakan keberadaan LPI. Usai
demo, pengunjuk rasa
membubarkan diri.
Berita pada tanggal 7 Januari 2011 ini bercerita tentang rumah Arifin
Panigoro, inisiator LPI, yang didemo oleh ratusan massa. Demo ini tidak
berlangsung dengan lancar dan singkat karena dihalangi oleh Polisi.
a. Representasi
Wacana konflik antara LPI dengan PSSI pada berita ditampilkan dari
pendemo yang mendatangi rumah Arifin Panigoro untuk memprotes
penyelenggaraan LPI. Akan tetapi, pendemo yang menjadi aktor utama dalam
berita ini justru tidak diberi kesempatan untuk dikutip secara langsung,
melainkan diwakili oleh suara narator dan presenter. Pola ini menunjukkan
115
keberpihakan Liputan 6 SCTV pada salah satu pihak. Dan, menurut Eriyanto,
pola ini biasanya digunakan untuk mengambil berita dari individu atau
kelompok yang tidak disukai oleh media.
Selain itu penggunaan judul “Rumah Arifin Panigoro Didemo
Pendukung PSSI”, semakin menegaskan posisi LPI vis-a-vis PSSI. Pendemo
yang mengatasnamakan diri Supporter Nasional Sepakbola Indonesia (SNSI),
justru diberitakan oleh Liputan 6 SCTV sebagai “Pendukung/Massa PSSI”.
Sekali lagi, hal ini mereduksi setiap kelompok yang kontra dengan LPI
sebagai kelompok bayaran PSSI. Bila dirunut ke belakang, dari beberapa
pemberitaan sebelumnya, setiap individu atau kelompok yang menentang LPI
selalu diidentikkan dengan PSSI. Seakan-akan, tidak ada pihak lain di luar
PSSI yang juga menentang kehadiran LPI. Berbeda dengan LPI yang dibela
oleh pejabat negara, penyelenggaranya, pengamat sepakbola sampai dengan
warga.
b. Relasi
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara pendukung
PSSI dan Arifin Panigoro. Relasi ini menegaskan bahwa konflik antara LPI
dan PSSI adalah kenyataan, bukan sekedar permainan wacana dari media,
apalagi penyelenggaran LPI hanya tinggal 1 hari. Di berita ini, Liputan 6
SCTV berperan seperti orang ketiga di luar berita yang “paling mengetahui”
realita yang ada, untuk kemudian memberitakannya pada konflik ini pada
khalayak. Disebut paling mengetahui, karena bahkan aktor utama demonstrasi
di lapangan justru tidak diberikan ruang sedikit pun untuk menjelaskan
tindakannya.
c. Identitas
Identitas yang secara normatif ingin dikonstruksi oleh wartawan Liputan 6
SCTV adalah netralitas sebagai pengamat dalam menyampaikan berita.
Liputan 6 SCTV ingin memberitakan konflik apa adanya. Akan tetapi,
pemilihan judul “Pendukung PSSI” bertentangan dengan realita bahwa
pendemo justru menamakan diri sebagai Suporter Nasional Sepakbola
116
Indonesia (SNSI). Pemilihan judul tersebut memberi kesan bahwa Liputan 6
SCTV terlibat dalam konstruksi wacana konflik LPI dan PSSI.
9) Judul Berita : LPI Vs LSI, Siapa Pemenangnya?
Program : Liputan 6 Petang
Tanggal/Jam : 8 Januari 2011 / --
VISUAL AUDIO
Bagaimana cara menuntaskan
konflik yang terjadi antara PSSI dan
penyelenggara Liga Primer
Indonesia?
Para siswa sekolah menengah atas di
Surabaya, Jawa Timur, memiliki cara
yang unik. Yaitu dengan cara
referendum bola. Seperti apa
referendum ala anak-anak? Berikut
laporan kami.
VO: Narator
Liga Primer atau Liga Super
Indonesia? Untuk menentukannya
siswa SMA Ta’miriyah.
Layaknya pemilu panitia memanggil
calon pemilih yang sudah terdaftar.
Sang pemilih tidak mencoblos tanda
gambar di bilik suara. Tapi,
menendang bola ke arah salah satu
kontestan, LPI atau LSI.
Untuk menghindari kecurangan.
Usai menentukan pilihan, jari sang
117
pemilih ditandai tinta referendum.
VO: Narator
Ada juga saksi dengan topeng
pemain timnas Irfan Bachdim dan
Christian Gonzales.
Siapa pemenangnya? Ternyata suara
untuk LPI lebih unggul dibanding
LSI.
LPI adalah liga yang digagas
pengusaha Arifin Panigoro dan
mulai digelar hari ini di Solo, Jawa
Tengah. Sedangkan, LSI digelar
induk olahraga nasional, PSSI, yang
kini dipimpin oleh Nurdin Halid.
Anas (Siswa SMA Ta’miriyah)
Saya menendangnya milih LPI. Karena
LPI itu liga yang digulirkan tanpa
mengambil dana APBD.
Dengan adanya LPI, saya berharap
adanya bibit-bibit baru yang tumbuh di
Indonesia.
118
Sucipto (Wakil Kepala Sekolah)
Dengan memilih salah satu liga tertinggi
sepakbola yang mengacu pada prestasi
mudah-mudahan pilihan anak-anak ini
tidak salah.
VO: Narator
Tentu saja model referendum ini
bukanlah cara untuk menuntaskan
kisruh yang terjadi antara PSSI
dengan LPI.
Namun, suara para siswa SMA di
Surabaya ini setidaknya
menggambarkan keinginan
terwujudnya kompetisi yang fair dan
professional dalam pertandingan
sepakbola.
Dan lebih penting lagi, prestasi
Indonesia semakin meningkat di
ajang olahraga paling populer ini.
Berita pada tanggal 8 Januari 2011 yang bertepatan dengan pembukaan LPI di
Solo ini bercerita mengenai Referendum Bola yang dilakukan oleh Siswa SMA
Ta’miriyah Surabaya untuk memilih Liga Primer (LPI) atau Liga Super
Indonesia (ISL).
119
a. Representasi
Sejak awal wacana konflik antara LPI vs PSSI sudah dikonstruksi oleh
Liputan 6 SCTV dengan pemilihan judul “LPI vs LSI, Siapa Pemenangnya?”.
Penggunaan kata “vs” menunjukkan adanya pertarungan antar keduanya,
apalagi ditambah dengan frase “siapa pemenangnya?” makin menegaskan
pertarungan tersebut. Salah satu tentu akan jadi pemenang, dan yang lain akan
kalah.
Pengambilan narasumber pun juga merepresentasikan kecenderungan
Liputan 6 SCTV untuk mendukung LPI. Narasumber yang diambil hanya
siswa yang menendang bola ke arah LPI, tidak dengan LSI. Menurut siswa
tersebut, “Saya menendangnya milih LPI. Karena LPI itu liga yang digulirkan tanpa
mengambil dana APBD. Dengan adanya LPI, saya berharap adanya bibit-bibit baru
yang tumbuh di Indonesia.”. Siswa yang menendang ke arah LSI tidak diberikan
kesempatan untuk diwawancarai, bahkan tidak dijelaskan sedikit pun melalui
narasi para siswa yang memilih LSI.
Selain hanya siswa yang memilih LPI yang diwawancarai, penegasan
kemudian disampaikan oleh pihak Sekolah yang menyatakan bahwa, “Dengan
memilih salah satu liga tertinggi sepakbola yang mengacu pada prestasi mudah-mudahan
pilihan anak-anak ini tidak salah”. Penegasan salah satu liga tertinggi sepakbola
yang melengkapi pendapat sebelumnya yang memilih LPI, seakan-akan
memberi restu dan penegasan bahwa LPI lebih baik daripada LSI yang
dibentuk oleh PSSI.
Di akhir berita, Liputan 6 SCTV memberi kesimpulan: “Namun, suara
para siswa SMA di Surabaya ini setidaknya menggambarkan keinginan terwujudnya
kompetisi yang fair dan professional dalam pertandingan sepakbola”. Kesimpulan
seperti ini, tidak jauh berbeda dengan kutipan wawancara yang dimasukkan ke
dalam berita. Dengan berpegang pada referendum siswa SMA, keberpihakan
kepada LPI oleh Liputan 6 SCTV tidak bisa dipungkiri lagi.
b. Relasi
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah antara siswa SMA sebagai
penonton sepakbola dengan dua liga yang sedang berkonflik, LPI dengan ISL
120
milik PSSI. Siswa SMA sebagai pihak independen yang sebatas menonton
bola untuk mencari hiburan harus memilih salah satu dari dua liga tersebut
yang akan didukung. Dan pilihan mayoritas pun jatuh ke LPI.
Liputan 6 SCTV berperan seperti pengamat, orang ketiga di luar berita
yang mengetahui segala permasalahan untuk kemudian memberitakannya
pada khalayak. Akan tetapi, arah pemberitaan Liputan 6 SCTV dengan
mengambil narasumber secara sepihak dan kesimpulan di akhir berita,
menunjukkan keberpihakannya ke LPI.
c. Identitas
Identitas yang ingin dikonstruksi oleh wartawan Liputan 6 SCTV adalah
netralitas dalam menyampaikan berita. Liputan 6 SCTV ingin memberitakan
konflik apa adanya. Liputan 6 SCTV menempatkan diri sebagai bagian dari
masyarakat luas yang ingin melihat sepakbola Indonesia berkembang dan
berprestasi, seperti akhir berita yang berbunyi “Dan lebih penting lagi, prestasi
Indonesia semakin meningkat di ajang olahraga paling populer ini.”
Akan tetapi netralitas ini kemudian dipertanyakan ketika Liputan 6 SCTV
tidak adil dalam menempatkan narasumber. Pendukung LPI diberi ruang
untuk menyampaikan pendapat, sedangkan LSI bahkan tidak diberi ruang
narasi sama sekali.
121
10) Judul Berita : Diancam FIFA, LPI Jalan Terus
Program : Liputan 6 Pagi
Tanggal/Jam : 9 Januari 2011 / 05.42 WIB
VISUAL AUDIO
Liga Primer Indonesia sudah
bergulir pada pertandingan perdana
hari kemarin.
Menteri Pemuda dan Olahraga Andi
Mallarangeng berharap Liga Primer
Indonesia (LPI) bisa meningkatkan
prestasi olahraga nasional.
Di sisi lain, Arifin Panigoro,
merupakan penggagas Liga Primer
Indonesia pun menyatakan tidak
gentar terhadap ancaman sanksi dari
FIFA.
VO: Narator
Sebelum Liga Primer Indonesia
mulai digelar hari ini. Ancaman
sudah muncul dari organisasi
federasi sepakbola dunia, FIFA.
Direktur Asosiasi Pengembangan
FIFA, Thierry Regenass
memberitakan. Pihaknya akan
memberikan sanksi kepada LPI,
karena liga yang diikuti 19 klub ini
bukan agenda resmi PSSI.
122
Max Boboy (Direktur Hukum dan Peraturan PSSI)
Bahwa sanksi yang akan diberikan oleh
FIFA itu adalah terhadap pemain-
pemain, ofisial, wasit, pelatih dan
perangkat pertandingan yang terlibat di
situ.
VO: Narator
Namun Menteri Pemuda dan
Olahraga menyayangkan ancaman
FIFA tersebut.
Menpora juga menyayangkan sikap
PSSI yang tidak berkonsultasi lebih
dahulu sebelum melaporkan LPI ke
FIFA. Padahal pemerintah sudah
mengacu pada undang-undang saat
memberi izin kepada LPI.
Andi Mallarangeng (Menpora)
Dalam undang-undang itu yang mengatur
tentang olahraga profesional adalah
Badan Olahraga Professional. Yang
diberi kewenangan-kewenangan berdasar
aturan perundangan negara. Dan karena
itu, maka BOPI-lah yang membuat
perizinan dalam olahraga professional.
Kita tidak mencampuri urusan dalam
negeri PSSI. Tetapi, melakukan apa yang
sudah menjadi kewenangan dari sebuah
negara.
123
VO: Narator
Menanggapi sanksi dari FIFA,
penggagas Liga Primer Indonesia
Arifin Panigoro tetap akan terus
berjalan sesuai dengan rencana.
Arifin Panigoro (Penggagas LPI)
Reporter: Bagaimana FIFA itu, pak?
FIFA yang mana? Gak ada. Saya juga
kontak FIFA kok. EGP (Emang gue
pikirin), jalan terus.
VO: Narator
Sementara pelatih Persema Malang
Timo Scheneuman puas dengan
hasil kemenangan yang diraih oleh
para pemainnya.
Namun, Timo mengaku
menyesalkan pernyataan Riedl yang
menyatakan tidak akan
menggunakan pemain LPI untuk
memperkuat Timnas.
124
Timo Schunemann (Pelatih Persema Malang)
Younghusband, pemain Filipina, tidak
punya klub, tapi ingin bermain di
Indonesia. Mereka tidak punya klub,
tapi kemarin main di piala AFF. Itu
kalau tidak punya klub kan di luar
FIFA.
VO: Narator
Beda pendapat boleh-boleh saja.
Tapi target emas di SEA Games dan
bisa bermain di pialan dunia tentu
menjadi impian seluruh pencinta
sepakbola tanah air.
Tim liputan 6 melaporkan.
Berita yang ditayangkan pada tanggal 9 Januari 2011 ini adalah berita pertama
setelah pertandingan pembukaan LPI di Solo sehari sebelumnya. Berita ini
bercerita tentang LPI yang akan terus digelar meski diancam oleh FIFA.
a. Representasi
Penggunaan judul dengan kata “diancam” oleh FIFA, menandakan adanya
permasalahan antara LPI dengan FIFA. Dengan pemilihan kata “ancam”, LPI
kemudian didentikkan sebagai liga yang nakal dan melanggar aturan baku
FIFA yang ada. Ancaman tersebut kemudian dikonfirmasi melalui narator
yang menjelaskan bahwa Thierry Regenass, Direktur Asosiasi Pengembangan
125
FIFA, menyatakan bahwa pihaknya akan memberikan sanksi kepada LPI.
Sedangkan, pihak PSSI kemudian melalui kutipan langsung dari Max Boboy
yang menjelaskan bahwa, “Sanksi yang akan diberikan oleh FIFA itu adalah
terhadap pemain-pemain, ofisial, wasit, pelatih dan perangkat pertandingan yang terlibat
di situ.” Dari sini terlihat adanya kesamaan sikap antara PSSI dengan FIFA,
PSSI yang jauh sebelumnya menentang kehadiran LPI lalu mendapatkan
dukungan dari FIFA.
Akan tetapi, ancaman sanksi itu kemudian dibenturkan dengan sikap para
pendukung LPI yang tidak merisaukannya. Menpora RI sebagai pihak yang
bertanggungjawab terhadap olahraga secara umum di Indonesia justru
menyayangkan ancaman FIFA tersebut. Narasi menyebutkan bahwa,
“Menpora juga menyayangkan sikap PSSI yang tidak berkonsultasi lebih dahulu sebelum
melaporkan LPI ke FIFA. Padahal pemerintah sudah mengacu pada undang-undang
saat memberi izin kepada LPI”. Di sini, ditampilkan kesan bahwa PSSI bertindak
gegabah dengan melaporkan LPI ke PSSI. Karena Pemerintah melalui
Menpora justru telah bertindak sesuai undang-undang dengan mengizinkan
LPI. PSSI sekali lagi salah dalam hal ini. Setelah bersalah karena arogan
menolak LPI, PSSI juga gegabah ketika terburu-buru melaporkan ke FIFA.
Logika representasi rangkaian antar anak kalimat juga digunakan oleh
Liputan 6 SCTV untuk menimbulkan kesan FIFA dan PSSI yang tidak
memiliki dukungan dan argumen yang kuat. Karena selain hanya
menggunakan voice over dari narator, ruang untuk penjelasan dari PSSI pun
sangat sedikit.
Lebih dari setengah dari berita kemudian berisi sanggahan dari pihak
yang mendukung LPI, mulai dari Menpora RI, Arifin Panigoro dan Pelatih
Persema Malang Timo Schunemann. Ketiga pihak ini memiliki argumen yang
bervariasi untuk menentang ancaman dari FIFA. Seperti Menpora yang
menggunakan dasar hukum UU, Arifin Panigoro yang mengaku juga telah
berkomunikasi dengan FIFA, hingga Pelatih Persema Malang yang
menyesalkan Pelatih Timnas Alfred Riedl yang tidak akan mengggunakan
pemain LPI untuk Timnas.
126
b. Relasi
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara FIFA dan PSSI
dengan para pendukung LPI, mulai dari Menpora RI, Penyelenggara LPI dan
pelatih klub LPI.
Meski kemudian, terjadi ketidakseimbangan pengambilan narasumber.
Dimana porsi pendukung LPI dilebihkan dibandingkan pihak yang kontra
terhadap LPI. Liputan 6 SCTV sebenarnya ingin berperan mewakili suara
masyarakat luas yang hanya menginginkan kemajuan sepakbola nasional. Hal
ini terlihat pada narasi di akhir berita: “Beda pendapat boleh-boleh saja. Tapi target
emas di SEA Games dan bisa bermain di piala dunia tentu menjadi impian seluruh
pencinta sepakbola tanah air”.
c. Identitas
Identitas yang ingin dikonstruksi oleh wartawan Liputan 6 SCTV adalah
netralitas dalam menyampaikan berita. Liputan 6 SCTV ingin memberitakan
konflik apa adanya dengan menampilkan konflik beserta pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya, layaknya guru yang memberitahu muridnya. Khalayak
hanya dilihat sebagai pihak yang pasif menerima pemberitaan dari Liputan 6
SCTV.
Akan tetapi, identitas netral tersebut dipertanyakan ketika kemudian
Liputan 6 SCTV tidak seimbang dalam menempatkan narasumber.
Narasumber dari pihak kontra LPI, ditampilkan hanya dalam bentuk narasi
dan kutipan langsung yang singkat. Sedangkan, narasi dan narasumber dari
pihak yang pro dengan LPI mendapat ruang yang jauh lebih luas.
127
11) Judul Berita : PSSI Tutup Pintu Dialog
Program : Liputan 6 Petang
Tanggal/Jam : 13 Januari 2011 / 17.51 WIB
VISUAL AUDIO
Saudara, Pengurus PSSI menutup
pintu dialog dengan penyelenggara
Liga Primer Indonesia (LPI).
Hari ini Sekjen PSSI menegaskan
lagi rencana pihaknya untuk
menjatuhkan sanksi pada pihak yang
terlibat di LPI. Termasuk pemain,
wasit dan agen penyelenggara LPI.
Namun, penggagas LPI mengaku
tidak terpengaruh ancaman FIFA
tersebut.
VO: Narator
Inilah surat dari federasi sepakbola
dunia, FIFA, yang ditujukan kepada
PSSI. Surat tersebut berisi
permintaan agar PSSI segera
menuntaskan konflik internal terkait
penyelenggaraan Liga Primer
Indonesia atau LPI.
Menurut Sekjen PSSI, Nugraha
Besoes, FIFA memberi batas akhir
pada PSSI paling lambat akhir
februari mendatang. Dan inilah
bentuk sanksi yang akan diberikan.
128
Nugraha Besoes (Sekjen PSSI)
Atas dasar tersebut dan sesuai dengan
statuta FIFA. PSSI harus menindak,
menjatuhkan sanksi kepada seluruh klub
yang terlibat, ofisial atau pengurus yang
terlibat, termasuk pada pemain yang
terdaftar pada PSSI, termasuk
perwakilan para pemain yang terlibat
dalam LPI.
VO: Narator
Jika tidak dipatuhi. Menurut
Nugraha, FIFA bisa menjatuhkan
sanksi pada PSSI dan timnas. Antara
lain, tidak boleh ikut kejuaraan
internasional selama 2 tahun.
Namun penggagas sekaligus
penyelenggara LPI, Arifin Panigoro
bergeming. Pengusaha minyak bumi
ini mengaku tidak terpengaruh
ancaman FIFA dan tidak akan
menghentikan LPI.
FIFA yang mana? Gak ada. Saya juga
kontak FIFA kok. Orang bertanding,
ya boleh-boleh aja.
EGP (Emang gue pikirin), jalan terus.
Jalan terus.
129
Arifin Panigoro (Penggagas LPI)
VO: Narator
Beberapa waktu lalu Menteri
Pemuda dan Olahraga
menyayangkan sikap PSSI yang
tergesa-gesa melaporkan kasus LPI
ke FIFA, tanpa melalui proses
mediasi antar kedua pihak.
Kurnia Sutiya melaporkan dari
Jakarta.
Berita pada ditayangkan pada tanggal 13 Januari 2011 ini bercerita ancaman
sanksi dari FIFA hingga kemudian PSSI memutuskan untuk menutup
peluang dialog dengan penyelenggara LPI.
a. Representasi
Sejak awal penggunaan judul “PSSI Tutup Pintu Dialog” telah menandakan
adanya konflik antara LPI dan PSSI. Judul secara visual pun lebih detail dalam
menggambarkan konflik tersebut, “PSSI Tutup Pintu Dialog Dengan PSSI”.
Pemilihan kata tutup dialog ini sangat bertentangan dengan demokrasi yang
penuh dengan semangat keterbukaan. Agaknya dalam hal ini, PSSI kemudian
diposisikan sebagai pihak yang tidak demokratis dalam menyelesaikan suatu
permasalahan. Dan pilihan kata “tutup” bukan disampaikan oleh wakil dari
PSSI, melainkan merupakan pilihan kata dari redaksi Liputan 6 SCTV yang
disampaikan oleh narator dan presenter.
Bila ditelisik, pemilihan frase “tutup dialog” sepertinya disimpulkan dari
narasi yang berbunyi: “Menurut Sekjen PSSI, Nugraha Besoes, FIFA memberi batas
akhir pada PSSI paling lambat akhir februari mendatang. Dan inilah bentuk sanksi
yang akan diberikan”. Sehingga, PSSI lebih memilih langsung bertindak
menutup LPI, ketimbang memilih berdialog.
130
Sekali lagi, FIFA yang diberitakan dari hari sebelumnya akan memberi
sanksi, hanya diberitakan melalui voice over oleh narator. Dan pernyataan
itupun hanya disampaikan oleh PSSI, pihak yang sejak awal memang
berseteru dengan LPI.
Sebaliknya, tanggapan yang menentang ancaman tersebut lalu muncul
dari dua pihak, yaitu Arifin Panigoro dan Menpora RI. Arifin Panigoro seperti
berita di hari sebelumnya hanya menyatakan: “FIFA yang mana? Gak ada. Saya
juga kontak FIFA kok. Orang bertanding, ya boleh-boleh aja. EGP (Emang gue
pikirin), jalan terus. Jalan terus”. Jawaban ini menegaskan pendirian
penyelenggara LPI untuk terus melanjutkan kompetisi tanpa takut dengan
sanksi dari pihak manapun.
Apalagi di akhir berita, narator menyatakan dukungan dari Menpora RI
terhadap LPI: “Beberapa waktu lalu Menteri Pemuda dan Olahraga menyayangkan
sikap PSSI yang tergesa-gesa melaporkan kasus LPI ke FIFA, tanpa melalui proses
mediasi antar kedua pihak.” Kata “menyayangkan” yang digunakan oleh narator,
seperti menegaskan bahwa tindakan PSSI melaporkan LPI ke FIFA adalah
tindakan yang salah dan ceroboh.
b. Relasi
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara FIFA dan PSSI
dengan para pendukung LPI, yaitu Menpora RI dan penyelenggara LPI.
Narasumber yang ditampilkan cukup adil, karena FIFA dan Menpora
ditampilkan lewat narasi. Sedang, PSSI dan LPI dikutip secara langsung.
Konflik yang terjadi antara LPI vs PSSI kemudian diceritakan oleh Liputan 6
SCTV dengan model orang ketiga di luar konflik.
c. Identitas
Identitas yang ingin dikonstruksi oleh wartawan Liputan 6 SCTV adalah
netralitas dalam menyampaikan berita. Liputan 6 SCTV ingin memberitakan
konflik apa adanya dengan menampilkan konflik beserta pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya, layaknya guru yang memberitahu muridnya. Akan tetapi,
representasi PSSI yang memilih untuk menutup dialog. Dengan jelas, dapat
131
diartikan sebagai sikap Liputan 6 SCTV untuk memberi citra PSSI yang
otoriter dan sewenang-wenang.
12) Judul Berita : DPR Sesalkan Pencoretan Nama Irfan
Program : Liputan 6 Siang
Tanggal/Jam : 20 Januari 2011 / --
VISUAL AUDIO
Saudara, anggota Komisi X DPR-
RI. Komisi bidang pendidikan,
pemuda dan olahraga menyesalkan
pencoretan nama pemain berbakat
dari timnas.
Bagi anggota komisi, PSSI
seharusnya mewadahi pemain
berprestasi demi kepentingan dunia
sepakbola Indonesia. DPR menilai
PSSI dan pelatih Alfred Riedl telah
melanggar undang-undang.
VO: Narator
Pernah bermain gemilang di Tim
Nasional bukan jaminan bisa terus
memperkuat Timnas di masa
mendatang. Itu terjadi misalnya,
pada diri Irfan Bachdim.
Irfan tidak masuk dalam deretan
pemain Timnas U-23 yang baru
gara-gara keikutsertaannya di ajang
Liga Primer Indonesia (LPI)
bersama klub Persema Malang.
132
VO: Narator
Anggota Komisi X DPR. Komisi
bidang pendidikan, pemuda, dan
olahraga menyesalkan pencoretan
nama pemain berbakat dari timnas.
PSSI sudah seharusnya mewadahi
pemain berprestasi demi
kepentingan dunia sepakbola
Indonesia. PSSI bahkan bisa
dianggap melanggar undang-undang
yang menekankan bahwa
pengelolaan olahraga tidak boleh
diskriminatif.
Gede Pasek Suardika (Anggota Komisi X DPR RI)
Jadi kita minta Menpora memberi tahu
kepada Riedl tentang aturan yang ada di
Indonesia. Bahwa tidak boleh dalam
pemilihan pemain di timnas dengan cara-
cara berpikir diskriminatif. Dia melawan
pasal 5 UU No 3/2005.
133
VO: Narator
Selain Irfan Bachdim, Andik
Virmansyah dan Lucky Wahyu dari
Persebaya 1927 juga dicoret dari
daftar calon pemain Timnas U-23
karena ikut berlaga di LPI.
Suciani Tanjung dan Dimas
Prasetyo melaporkan dari Jakarta.
Berita pada anggota ditayangkan pada tanggal 20 Januari 2011 ini bercerita
tentang kritik dari DPR RI terkait pencoretan Irfan Bachdim dari Timnas U-
23 karena penampilannya di LPI.
a. Representasi
Penggunaan judul “DPR Sesalkan Pencoretan Irfan” di awal berita
menunjukkan adanya konstruksi konflik. Bila pada berita sebelumnya, PSSI
berhadapan dengan Menpora, Penyelenggara LPI atau pengamat sepakbola,
kali ini DPR turun tangan terlibat. Keterlibatan DPR mau tidak mau
menunjukkan betapa pentingnya masalah ini. Sehingga, lembaga tertinggi
negara dalam bidang legislasi harus turun tangan ikut menyelesaikan.
Penggunaan kata “DPR” ketimbang “Anggota DPR”, juga diyakini
merupakan bagian dari konstruksi wacana oleh Liputan 6 SCTV untuk
memberi tekanan lebih kepada PSSI dan Alfred Riedl. Pada berita ini terjadi
pars prototo, dimana suara seorang Gede Pasek Suardika, dari Fraksi Demokrat,
dianggap telah mewakili suara DPR. Padahal, dalam banyak diskusi dan
dialog. PSSI seringkali dianggap sebagai jelmaan dari Partai Golkar melalui
Nurdin Halid, sehingga kritik dan serangan terhadap PSSI diartikan pula
sebagai konflik politik.
134
Berita ini juga secara representatif memposisikan PSSI sebagai musuh
dari masyarakat dan pemerintah karena bertindak sewenang-wenang. Ini
ditegaskan dari narasi yang berbunyi, “PSSI sudah seharusnya mewadahi pemain
berprestasi demi kepentingan dunia sepakbola Indonesia. PSSI bahkan bisa dianggap
melanggar undang-undang yang menekankan bahwa pengelolaan olahraga tidak boleh
diskriminatif.” Sikap PSSI yang terus dipersalahkan dan tidak diberi ruang
untuk menjelaskan, memberi kesan bahwa PSSI dimarjinalkan perannya
dalam konflik ini.
Secara umum, rangkaian berita ini pula secara dominan hanya diisi narasi
dan kutipan dialog wartawan dengan Gede Pasek, tanpa sedikit pun memberi
ruang tanggapan kepada PSSI atau Alfred Riedl. Akibatnya, khalayak tidak
akan pernah tahu apa motif dari tindakan PSSI dan Alfred Riedl dalam kasus
ini.
b. Relasi
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah dominasi antara DPR terhadap
PSSI dan Alfred Riedl terhadap konflik LPI. DPR yang merupakan lembaga
tertinggi yang mewakili rakyat memberi penegasan terhadap LPI. Dalam hal
ini LPI tidak langsung disinggung, melainkan dengan menggunakan Irfan
Bachdim yang dicoret namanya. LPI secara tidak langsung didukung karena
dengan pernyataan Anggota DPR yang berbunyi: “... Bahwa tidak boleh dalam
pemilihan pemain di timnas dengan cara-cara berpikir diskriminatif. Dia melawan pasal
5 UU No 3/2005”.
Liputan 6 SCTV dalam hal ini memberitakan konflik hanya dari sudut
pihak yang kontra terhadap PSSI. Sehingga kesan keberpihakan terhadap LPI
cukup terasa.
c. Identitas
Dalam berita ini, Liputan 6 SCTV menggunakan identitas sebagai pihak yang
mendukung LPI. Pihak yang dimintai pendapat pun hanya sebatas Anggota
DPR yang kontra dengan sikap PSSI. Padahal belum tentu, DPR bersepakat
terhadap hal tersebut sehingga berhak digeneralisir.
135
Identitas pihak yang mendukung PSSI itu dalam teks berita ditampilkan
secara tersirat dengan pernyataan: “Pernah bermain gemilang di Tim Nasional
bukan jaminan bisa terus memperkuat Timnas di masa mendatang. Itu terjadi misalnya,
pada diri Irfan Bachdim. Irfan tidak masuk dalam deretan pemain Timnas U-23 yang
baru gara-gara keikutsertaannya di ajang Liga Primer Indonesia (LPI) bersama klub
Persema Malang”. Artinya Irfan seharusnya boleh masuk Timnas karena dia
bermain gemilang, atau justru LPI harus dilegalkan oleh PSSI.
13) Judul Berita : Nurdin Sentil LPI
Program : Liputan 6 Petang
Tanggal/Jam : 22 Januari 2011 / 17.18 WIB
VISUAL AUDIO
Pelaksanaan Kongres Persatuan
Sepak Bola Seluruh Indonesia
(PSSI) di Tabanan, Bali, diwarnai
aroma perseteruan PSSI dengan
penyelenggara Liga Primer
Indonesia (LPI). Saat membuka
kongres, Ketua Umum PSSI Nurdin
Halid sempat menyentil keberadaan
LPI yang dianggapnya tidak sesuai
dengan statuta FIFA. Namun,
kenyataannya LPI tetap berjalan
dengan menggaet banyak penonton,
sponsor dan pemain bintang.
136
VO: Narator
Berbeda dengan sebelumnya,
kongres PSSI yang tengah digelar di
Tabanan, Bali, cukup menyita
perhatian publik. Ini tak lepas dari
berbagai persoalan yang dihadapi
PSSI, di antaranya menyangkut
perseteruan PSSI dengan
penyelenggara Liga Primer
Indonesia atau LPI.
PSSI menganggap LPI sebagai hal
yang ilegal. Ketidaksetujuan Nurdin
Halid kembali disampaikan saat
membuka kongres PSSI.
Nurdin Halid (Ketua Umum PSSI)
PSSI tidak memberikan persetujuan dan
pengakuan kepada LPI atau kita kenal
dengan Liga Primer Indonesia.
Bukan karena faktor suka atau tidak
suka. Bukan karena ada faktor benci
dan dendam. Bukan karena ada dusta di
antara kita. Tetapi, kegiatan tersebut
bertentangan dengan visi, misi PSSI dan
statuta FIFA.
137
VO: Narator
Meski ditentang PSSI, kenyataannya
LPI telah bergulir sejak 8 Januari
lalu. Liga yang digagas pengusaha
Arifin Panigoro ini menjadi
tandingan bagi Liga Super Indonesia
(LSI) yang diselenggarakan PSSI.
LPI hadir dengan mengusung
kemandirian klub.
VO: Narator
LPI dan LSI memang memiliki
sejumlah perbedaan mendasar. Di
antaranya, dalam hal pendanaan.
Sebagian besar klub peserta LSI
masih menggunakan uang rakyat
yakni dari APBD. Sementara klub
peserta LPI tidak menggunakan
dana APBD karena mendapat
suntikan modal dari LPI.
Struktur saham mayoritas dikuasai
PSSI, yakni 95%. Sedangkan di LPI,
100 persen saham dikuasai oleh
klub.
Sementara dalam hal pembagian
keuntungan. Di LSI keuntungan 100
persen untuk PSSI dan PT Liga
Indonesia. Sedangkan di LPI, 80
persen keuntungannya dibagikan
untuk klub dan 20 persen untuk
138
pembinaan.
VO: Narator
Berbagai perbedaan itu membuat
tiga klub yang sebelumnya bermain
di LSI, seperti Persema Malang,
Persibo Bojonegoro, dan PSM
Makassar, memilih pindah ke LPI.
Sementara, Persebaya terpecah
menjadi dua. Salah satunya
Persebaya 1927 bermain di LPI.
Satu lagi klub yang sudah
menyatakan minat untuk pindah ke
LPI adalah PSIS Semarang.
Tim liputan 6 SCTV melaporkan.
Berita yang ditayangkan pada tanggal 22 Januari 2011 ini bercerita tentang
Kongres PSSI di Tabanan, Bali. Pada pembukaan kongres tersebut, Nurdin
Halid menyentil penyelenggaran LPI yang dinilainya tidak sesuai dengan
statuta FIFA.
a. Representasi
Penggunaan judul “Nurdin Sentil LPI” di awal berita menunjukkan adanya
konstruksi konflik. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “sentil”
maknanya tidak jauh berbeda dengan “mengkritik” atau “menegur”, namun
ada konteks/nuansa tersendiri dari penggunaan kata ini. “Sentil” seringkali
digunakan untuk menegur anak-anak, eufemisme. Anak-anak memang nakal,
tapi bukan berarti mereka salah, karena belum tentu mereka sadar akan
tindakan yang mereka pilih. Artinya, bila Liputan 6 SCTV memilih
menggunakan kata “sentil”, tentu ada maksud tertentu yang ingin
dikonstruksi. Liputan 6 SCTV ingin mengkonstruksi bahwa sebenarnya LPI
139
tidak salah, melainkan sedikit nakal layaknya anak-anak yang ingin mencoba
hal-hal yang baru.
Penegasan akan adanya konflik antara LPI dan PSSI, juga dikontruksi
oleh Liputan 6 SCTV melalui judul visual “Perseteruan PSSI vs LPI”. Kata
“perseteruan” dan “vs” menjelaskan bahwa ada konflik yang terjadi antara
kedua belah pihak ini. Salah satu akan menang, sedang yang lainnya akan
kalah.
Pernyataan dari presenter pun menegaskan konflik tersebut, “... Saat
membuka kongres, Ketua Umum PSSI Nurdin Halid sempat menyentil keberadaan LPI
yang dianggapnya tidak sesuai dengan statuta FIFA. Namun, kenyataannya LPI tetap
berjalan dengan menggaet banyak penonton, sponsor dan pemain bintang”. Penggunaan
kata sambung “namun” ini menjelaskan hal yang kontras. Bahwa LPI ditolak
oleh PSSI, namun nyatanya berjalan dengan lancar dan sukses karena
didukung oleh penonton, sponsor dan pemain bintang. Suatu hal yang
tentunya tidak diharapkan oleh PSSI.
Dari sisi representasi antar rangkaian kalimat juga bisa dilihat bagaimana
representasi yang ditampilkan oleh Liputan 6 SCTV. Nurdin Halid memang
diberi ruang untuk dikutip secara langsung. Akan tetapi, anak kalimat berita
setelah Nurdin, seluruhnya menyanggah pernyataan Nurdin. Narasi setelah
Nurdin, seluruhnya fokus pada nilai positif kehadiran LPI. Narasi itu antara
lain bercerita tentang lancarnya penyelenggaraan LPI sejak dibuka,
kemandirian klub dari APBD, pembagian keuntungan antara penyelenggara
LPI dengan klub-klub pesertanya yang lebih menarik dibanding ISL hingga
ketertarikan beberapa klub ISL untuk pindah ke LPI dijadikan nilai tambah
yang amat positif dari LPI.
Narasi yang begitu panjang bila dibandingkan dengan pernyataan Nurdin
Halid tentang ke-illegalan LPI, memberi kesan bahwa pernyataan Nurdin
kemudian tidak didukung oleh banyak pihak, termasuk juga realita di
lapangan.
140
b. Relasi
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara LPI dan PSSI.
PSSI diwakili langsung lewat pendapat Ketua Umum Nurdin Halid,
sedangkan suara LPI justru diwakili oleh Liputan 6 SCTV lewat presenter dan
naratornya. Liputan 6 SCTV secara terang-terangan membela LPI dengan
menampikan narasi yang menilai LPI secara positif sebagai counter dari
pernyataan Nurdin Halid. Pola ini dalam analisis wacana sering digunakan
untuk mendiskreditkan pihak tertentu. Caranya dengan mengutip pernyataan
pihak tersebut, untuk kemudian dievaluasi dan dikritik lewat narasi media.
c. Identitas
Dalam berita ini, Liputan 6 SCTV menggunakan identitas seakan-akan
sebagai Humas LPI yang menyanggah pernyataan Nurdin Halid. Narasi dari
narator dengan mudah dapat ditafsirkan seperti itu. Semisal: “Meski ditentang
PSSI, kenyataannya LPI telah bergulir sejak 8 Januari lalu. Liga yang digagas
pengusaha Arifin Panigoro ini menjadi tandingan bagi Liga Super Indonesia (LSI) yang
diselenggarakan PSSI. LPI hadir dengan mengusung kemandirian klub”.
Penggunaan argumen seperti lancarnya penyelenggaraan LPI sejak
dibuka, kemandirian klub dari APBD, pembagian keuntungan antara
penyelenggara LPI dengan klub-klub pesertanya yang lebih menarik
dibanding ISL hingga ketertarikan beberapa klub ISL untuk pindah ke LPI
merupakan nilai tambah yang amat tinggi untuk LPI.
141
2. METRO TV
1) Judul Berita : BLI Bahas Sanksi untuk Klub yang Gabung ke
LPI
Program : Metro Sports
Tanggal/Jam : 3 Januari 2011 / 23.39 WIB
VISUAL AUDIO
Belum juga digulirkan, Liga Primer
Indonesia terus mendapatkan
hadangan dari Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia, PSSI.
Hari ini Badan Liga Indonesia (BLI)
mengadakan pertemuan dengan 15
klub anggota Liga Super Indonesia
(ISL) untuk membahas pemberian
sanksi bagi tiga klub yang
mengundurkan diri dari kompetisi.
VO: Narator
Badan Liga Indonesia (BLI) Senin
malam mengadakan pertemuan
tertutup dengan 15 klub peserta
Liga Super Indonesia di Hotel
Grand Melia, Jakarta.
Ketua BLI Djoko Driyono
mengatakan agenda yang
dibicarakan dalam pertemuan adalah
menyiapkan beberapa opsi antisipasi
akibat mudurnya tiga klub peserta
ISL, yaitu PSM Makassar, Persema
Malang, dan Persibo Bojonegoro
dari ISL. Selain itu dibicarakan pula
142
sanksi yang akan diterima ketiga
klub karena mundur dari kompetisi.
Sanksi tersebut antara lain sanksi
turun kasta ke Divisi Utama serta
pengembalian kewajiban yang sudah
diterima oleh ketiga klub semasa
mengikuti kompetisi maupun
konsekuensi yang harus dibayarkan.
Joko Driyono (Ketua BLI)
Konsekuensi regulasi, mereka terdegradasi
ke divisi utama dan sanksi lain dari
komisi disiplin.
Kemudian, item yang kedua tentu ada
kewajiban-kewajiban. Misalnya,
pengembalian hak-hak yang telah
dibayarkan selama mengikuti kompetisi
ini.
Sementara itu, tekanan juga
diberikan Wakil Ketua Umum PSSI
Nirwan Dermawan Bakrie yang
menyarankan kepada pemain dari
ketiga klub yang tidak setuju
bergabung dengan LPI, untuk
datang ke BLI.
Nantinya BLI akan mencarikan klub
untuk mereka agar masih memiliki
peluang untuk membela tim
nasional.
143
Nirwan D. Bakrie (Wakil Ketua Umum PSSI)
Kepada pemain-pemain yang telah
melakukan kontrak ternyata klubnya itu
pindah ke kompetisi yang tidak diakui
PSSI.
Di dalam kontrak itu mereka bisa
memutuskan kontrak sepihak, karena
klub-klub ini tidak bertanding di dalam
PSSI punya kompetisi yang dikelola oleh
Badan Liga Indonesia.
Munculnya LPI yang didasari oleh
kekecewaan terhadap PSSI telah
menarik beberapa klub mundur dari
kompetisi PSSI. Sebagian lainnya
bahkan membentuk tim baru untuk
berpartisipasi. Liga Primer sendiri
akan mulai digulirkan 8 Januari
mendatang.
Dari Jakarta, Danar Saputro, Metro
TV.
Berita yang ditayangkan pada tanggal 3Januari 2011 ini bercerita tentang sikap
yang akan diambil PSSI terkait dengan LPI dan beberapa klub dari ISL yang
berpindah haluan ke LPI.
a. Representasi
Di awal berita presenter menggunakan kata “hadangan” untuk menunjukkan
penolakan dari PSSI terkait LPI. Lengkapnya, presenter menyatakan bahwa:
“Belum juga digulirkan, Liga Primer Indonesia terus mendapatkan hadangan dari
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, PSSI”. Timbul kesan bahwa PSSI
144
melarang sesuatu yang belum terjadi, atau mengandaikan bila berjalan akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sehingga harus dihadang/dihalangi.
Pengunaan kata “hadang” mengkonstruksi adanya konflik yang terjadi antara
LPI dengan PSSI. Kata “hadang” juga dipilih, karena konotasi hadang
bermakna menghalangi seseorang atau sesuatu yang berjalan.
Berita dilanjutkan dengan cerita tentang pertemuan tertutup PSSI dengan
klub anggota ISL mengenai masa depan kompetisi. Lalu, diputuskan bahwa
klub-klub yang menyeberang ke LPI akan diberi sanksi dan denda. Pertemuan
yang tertutup memberi kesan bahwa PSSI tidak demokratis dalam mengambil
keputusan. Sangat dimungkinkan ada proses pengambilan keputusan yang
tidak demokratis bila diadakan dalam forum tertutup. Sehingga, hanya
beberapa poin saja yang dijelaskan di luar forum oleh Nirwan Bakrie dan
Joko Driyono.
Narasi yang digunakan oleh Metro TV juga sekedar menyadur dari
kutipan dialog langsung antara wartawan dengan Nirwan Bakrie maupun Joko
Driyono. Hanya saja pemilihan kata “tekanan” pada narasi pengantar menuju
Nirwan Bakrie menegaskan adanya konflik yang terjadi. Padahal, bisa saja
dipilih kata “solusi”, mengingat Nirwan Bakrie memang memberi pilihan
solusi kepada pemain yang ingin bertahan di ISL.
Sedangkan pendapat atau pernyataan dari klub-klub yang berpindah dari
ISL ke LPI tidak diberikan ruang untuk dikutip secara langsung. Melainkan,
diwakili oleh narasi dari Metro TV di akhir berita: “Munculnya LPI yang didasari
oleh kekecewaan terhadap PSSI telah menarik beberapa klub mundur dari kompetisi
PSSI. Sebagian lainnya bahkan membentuk tim baru untuk berpartisipasi”. Narasi ini
seperti mengevaluasi pernyataan dari Nirwan Bakrie dan Joko Driyono, untuk
kemudian dijelaskan duduk permasalahannya agar khalayak tidak salah
menafsirkan berita. Bahwasanya, klub-klub yang berpindah itupun tidak
sepenuhnya bersalah, karena akar permasalahan sebenarnya ada pada PSSI
sendiri.
145
b. Relasi
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah antara PSSI, klub-klub yang
berpindah ke LPI dan Metro TV. Metro TV mengkonstruksi adanya konflik
LPI dan PSSI, dengan mewacanakan sikap PSSI yang akan memberi sanksi
terhadap klub-klub yang berpindah ke LPI. Sikap PSSI tersebut diwakili
secara langsung oleh Nirwan Bakrie dan Joko Driyono, termasuk pula narasi
dari Metro TV yang sekedar menyadur pernyataan kedua pengurus PSSI ini.
Sedangkan, pendapat dari klub-klub LPI memang tidak diberi ruang
langsung untuk diwawancarai. Akan tetapi, pendapat tersebut sudah diwakili
oleh narasi Metro TV di akhir berita yang menjelaskan akar permasalahan
yang terjadi. Sehingga, secara tidak langsung kesan yang ditampilkan adalah
Metro TV kemudian menjadi Humas bagi klub-klub tersebut, yang membela
pilihan mereka.
c. Identitas
Pada berita ini, Metro TV awalnya berdiri secara mandiri di luar konflik.
Metro TV menjelaskan sikap yang diambil oleh PSSI terkait klub-klub yang
berpindah ke LPI. Akan tetapi di akhir berita, Metro TV justru menempatkan
identitas layaknya Humas bagi klub-klub tersebut, dengan membela
keputusan untuk berpindah ke LPI. Terutama dengan penekanan pada
pernyataan, “Munculnya LPI yang didasari oleh kekecewaan terhadap PSSI telah
menarik beberapa klub mundur dari kompetisi PSSI.” Di sini, Metro TV ingin agar
khalayak tidak menerima mentah-mentah pernyataan dari pengurus-pengurus
PSSI sebelumnya. Karena akar masalah justru muncul dari dalam PSSI
sendiri.
2) Judul Berita : Polri tetap Jamin Keamanan Pertandingan LPI
Program : Metro Sports
Tanggal/Jam : Selasa, 4 Januari 2011 23:43 WIB
VISUAL AUDIO
146
Gertakan PSSI yang meminta
Polri agar melarang kompetisi
Liga Primer Indonesia (LPI),
ternyata bukan gertak sambal
biasa. Mabes Polri mengaku telah
menerima permintaan PSSI.
Tetapi, tidak menemukan ada
unsur pidana pada kompetisi Liga
Primer Indonesia.
VO: Narator
Pernyataan tersebut disampaikan
Kabareskrim Mabes Polri
Komisaris Jenderal Polisi Ito
Sumardi di Jakarta, Selasa.
Menurut Ito, dalam
pengaduannya PSSI menyatakan
bahwa Liga Primer Indonesia
sebagai turnamen ilegal sudah
ditindaklanjuti Mabes Polri.
Namun hingga kini, dari
penyelidikan belum ada bukti
yang menunjukkan turnamen
bikinan pengusaha Arifin
Panigoro ini melanggar hukum
pidana.
Meski demikian penyelidikan tim
Mabes Polri masih berjalan. Dan,
pihak keamanan tetap menjamin
147
keamanan pertandingan yang
digelar LPI.
Komjen Pol. Ito Sumardi (Kabareskrim Polri)
Reporter: Laporan sudah masuk, pak?
Iya, kan kalau masuk nanti akan
dilakukan penyelidikan dulu. Hasil
penyelidikan baru nanti kita
sampaikan bahwa ini bukan
perbuatan pidana. Itu akan
disampaikan kepada pelapor.
Reporter: Akankah mengirim
keamanan lebih dibandingan
pertandingan lainnya, pak?
Itu di wilayah masing-masing kepala
satuan kewilayahan, Kapolda atau
Kapolres. Dia sudah tahu protapnya
atau SOP-nya. Mereka sudah tahu.
Setiap ada namanya yang menyangkut
potensi gangguan kantibmas, itu akan
diantisipasi saat itu juga.
Reporter: Tapi tidak akan melarang
ya, pak?
Ndak lah...
Berita yang ditayangkan pada tanggal 4 Januari 2011 ini bercerita tentang
sikap PSSI yang melihat bahwa LPI bukanlah tindakan pidana dan akan
mengamankan jalannya LPI.
148
a. Representasi
Pemilihan judul “Polri tetap Jamin Keamanan Pertandingan LPI”
menandakan posisi Metro TV yang melihat bahwa kondisi LPI belumlah
aman sepenuhnya karena terus dihadang oleh PSSI. Pernyataan “jamin
keamanan” menandakan adanya jaminan khusus dari pihak yang berwenang
di Indonesia terhadap jalannya kompetisi. Dengan adanya jaminan ini,
diharapkan pihak-pihak yang kontra akan berpikir panjang sebelum berencana
membuat kisruh LPI. Pilihan judul ini adalah murni konstruksi dari Metro
TV. Karena dialog antara wartawan Metro TV dengan Kabareskrim Polri
tidak menyinggung sama sekali masalah jaminan keamanan tersebut.
Selain itu, pilihan kata “gertak” dan “gertak sambal” yang disampaikan
presenter di awal memberi kesan negatif pada PSSI. Menggertak adalah
perilaku menakut-nakuti pihak lain, namun konotasinya negatif. Apalagi
“gertak sambal” yang lebih sering dikaitkan dengan ancaman yang tidak bisa
dibuktikan, yang biasa dilakukan seorang pengecut. Pilihan kata ini tentu
sudah diproses di internal redaksi Metro TV, sehingga kesan mendiskreditkan
PSSI tidak bisa dielakkan lagi.
Konflik antara LPI vs PSSI juga dikontruksi lewat narasi yang
menyatakan bahwa: “Menurut Ito, dalam pengaduannya PSSI menyatakan bahwa
Liga Primer Indonesia sebagai turnamen ilegal sudah ditindaklanjuti Mabes Polri.
Namun hingga kini, dari penyelidikan belum ada bukti yang menunjukkan turnamen
bikinan pengusaha Arifin Panigoro ini melanggar hukum pidana”. Pernyataan PSSI
yang menyebut LPI sebagai liga ilegal merupakan pernyataan yang kasar.
Ilegal menurut KBBI, berarti tidak sah secara hukum. Padahal belum ada
keputusan hukum yang mengikat dari pengadilan/kepolisian dalam hal ini.
Bahkan kemudian disebutkan dalam narasi bahwa belum ada bukti yang
menunjukkan turnamen itu melanggar hukum pidana. Narasi ini menjelaskan
betapa tuduhan yang dialamatkan kepada PSSI semuanya tidak benar dan
mengada-ada.
Wartawan Metro TV dalam wawancara dengan Kabareskrim pun terlihat
mengarahkan pertanyaan. Pertama, dengan menanyakan akankah mengirim
Polri pengamanan lebih banyak. Padahal, ketika itu belum ada kepastian izin
149
untuk LPI sehingga pertanyaan ini jelas melangkahi proses yang ada. Bahkan
jawaban ini kemudian diterjemahkan dalam judul berita yang menyatakan
bahwa “Polri tetap Jamin Keamanan Pertandingan LPI”. Konstruksi wacana
yang dengan mudah terlihat. Kedua, pertanyaan yang mengunci, “Tapi tidak
akan melarang ya, pak?”. Pertanyaan ini sejak awal sudah mengandaikan bahwa
LPI harus berjalan dan jangan sampai dilarang. Berbeda dengan model
pertanyaan serupa, “Bagaimana sikap Polri, apakah akan melarang atau
memperbolehkan?” atau “Apakah Polri sudah memberi izin?” yang lebih netral.
b. Relasi
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah antara PSSI, Polri, LPI, dan
wartawan. Polri kemudian ditampilkan sebagai aktor utama (dominan) dalam
berita ini yang memberikan keputusan kepada LPI maupun PSSI. Dalam hal
ini Polri dikonstruksikan berseberangan dengan PSSI, karena menolak
laporan PSSI yang menyatakan bahwa LPI adalah liga ilegal dan melanggar
hukum pidana.
Di sisi lain, PSSI dan LPI tidak diberikan ruang dalam berita ini untuk
diwawancarai. PSSI dan LPI hanya ditempatkan sebagai orang di luar berita
lewat narasi Metro TV. Narasi dan pertanyaan dari wartawan Metro TV
secara tidak langsung menempatkan LPI di pihaknya. Ini ditampilkan dengan
pemilihan judul yang condong menempatkan Polri di pihak LPI dan juga
narasi yang menentang tuduhan-tuduhan PSSI terhadap LPI. Sedangkan,
wartawan Metro TV kemudian mengeluarkan beberapa pertanyaan yang
bernada mendukung LPI, tentang keamanan yang diperbanyak dan juga agar
tidak melarang LPI.
c. Identitas
Sejak awal berita, Metro TV sudah bersikap mendukung LPI. Pemilihan
judul, yang diteruskan dengan narasi yang menyudutkan PSSI sebagai pihak
kontra LPI, yang diakhiri dengan pertanyaan yang menjurus kepada
Kabareskrim sudah jelas menjelaskan bagaimana Metro TV melihat konflik
150
ini. Metro TV tidak ingin LPI dihadang oleh PSSI dan meminta Polri untuk
memberi jaminan pengamanan.
3) Judul Berita : Manajer Persema Malang: “Di LPI Lebih Adil
& Merdeka”
Program : Metro Sore
Tanggal/Jam : 4 Januari 2011 / 14.44
VISUAL AUDIO
Dan pemirsa saat ini sedang
berlangsung konferensi pers di
Balai Kota Malang, Jawa Timur.
Kita akan kembali bergabung
bersama Valdia Baraputri untuk
mengetahui kepastian, apakah
Irfan Bachdim dan Kim Jeffrey
Kurniawan akan bergabung
dengan Persema dan Liga Primer
Indonesia.
Valdia silahkan...
Valdia Baraputri (Reporter)
Ya Tasya, saat ini konferensi pers
di Balais Sidang Balai Kota
Malang baru saja berlangsung.
Dan saat ini yang sedang
memberikan sambutan adalah
Walikota Malang, Peni Suparto,
selaku penanggung jawab dari
Klub Persema Malang.
151
Peni Suparto (Walikota Malang)
Di LPI kita akan bermain secara
fairplay dan sebenar-benarnya.
Karena itu tujuan Persema Malang
bergabung ke LPI sama dengan tujuan
PSSI, yaitu membangun sepakbola
nasional yang profesional. Nah, sama
tujuannya, PSSI juga ingin
membangun sepakbola yang
professional. Lalu Persema juga ingin
membangun, tapi lewatnya LPI.
Karena Persema merasa lebih nyaman,
lebih merdeka dan fairplay di LPI.
Saya tidak akan cerita yang lebih jauh
lagi, yang kecil-kecil. Bagaimana
Persema dikhianati dan digarap di
setiap pertandingan. Walaupun
wasitnya sudah dikenakan sanksi,
tapi Persema tetap dikalahkan. Nah,
karena itu, ini tidak fairplay dan
tidak profesional. Di LPI nanti hal
seperti itu dijamin tidak akan ada.
152
VO: Peni Suparto (Walikota Malang)
Karena itu kalau tujuan Persema dan
tujuan PSSI. Maka tidak mungkin
PSSI menjatuhkan sanksi ke
Persema. Bagaimana kalau ada sanksi
dari PSSI? Kami Persema mempunyai
hal untuk membela diri.
VO: Peni Suparto (Walikota Malang)
Dan kalau sepakbola sudah masuk ke
Timnas, itu yang berlaku adalah
sudah hukum sepakbola internasional.
Karena siapa saja yang profesional.
Siapa saja yang kualitasnya di atas,
tidak mungkin timnas tidak
mengambil orang yang professional itu.
Pasti akan diambil.
153
VO: Peni Suparto (Walikota Malang)
Berita yang ditayangkan pada tanggal 4 Januari 2011 ini merupakan siaran
langsung dari Malang, dimana sedang diadakan Konferensi Pers Persema
Malang tentang sikap mereka yang berpindah dari ISL ke LPI.
a. Representasi
Sejak awal berita, judul sudah terkesan provokatif dengan menyatakan bahwa
“Di LPI Lebih Adil & Merdeka”. Kalimat ini dikutip dari pernyataan
langsung Peni Suparto, manajer Persema Malang. Pilihan judul ini bukan
tanpa alasan, karena mencermikan konflik yang terjadi antara LPI dan PSSI.
Dimana PSSI dikesankan tidak becus menangani kompetisi, sehingga harus
muncul liga alternatif yang lebih baik, karena adil dan merdeka.
Secara visual, judul berita pun ditulis “PSSI vs LPI”. Artinya konflik ini
begitu nyata adanya sehingga kata “vs” digunakan. Layaknya pertandingan
sepakbola atau tinju, nantinya akan ada pihak yang menang maupun pihak
yang kalah sebagai konsekuensi adanya pertarungan.
Penempatan Peni Suparto sebagai Penanggungjawab Persema
mempertegas adanya konflik LPI dan PSSI. Karena Peni Suparto,
sebenarnyan memiliki jabatan lain yang lebih tinggi, Walikota Malang. Akan
tetapi, jabatan tersebut secara legitimasi tidak lebih kuat dari
“penanggungjawab” Persema Malang dalam wacana konflik.
Berita yang hanya berisikan pernyataan dari Peni Suparto ini
menunjukkan bagaimana Metro TV merepresentasikan konflik. Peni Suparto
yang berbicara sebagai pihak yang mendukung LPI, sekaligus kontra dengan
PSSI tentu akan berbicara sepihak. Sehingga, seharusnya ada komentar dari
pihak yang dapat memberikan second opinion, bisa pengurus PSSI atau
pengamat (netral). Nyatanya, tidak ada evaluasi atau pendapat alternatif sama
sekali, termasuk dalam narasi dan pernyataan verbal dari presenter sekalipun.
Khalayak televisi hanya diberikan informasi dan opini secara sepihak
mendukung LPI.
Dari segi visual, Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan juga ditampilkan
sembari Peni Suparto berbicara. Irfan dan Kim adalah pemain naturalisasi
154
yang sedang menjadi idola di masyarakat Indonesia. Menampilkan mereka
berdua yang sedang terlibat dalam pusaran konflik antara LPI dan PSSI, bisa
menimbulkan rasa empati dan simpati pada khalayak televisi untuk
mendukung bergulirnya LPI.
Pemilihan konferensi pers ini untuk dijadikan siaran langsung juga
menunjukkan Metro TV melihat begitu bernilainya konflik ini. Persema
Malang yang di ISL hanya menjadi tim papan tengah, menjadi sangat bernilai
ketika akhirnya berpindah haluan ke LPI.
b. Relasi
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara PSSI, LPI, dan
Persema Malang. Persema Malang yang diwakili oleh Peni Suparto bertindak
sebagai pihak yang paling dominan. Sedangkan, PSSI hanya sebagai teks lain
yang diceritakan oleh Peni Suparto secara negatif, seperti pernyataan: “Saya
tidak akan cerita yang lebih jauh lagi, yang kecil-kecil. Bagaimana Persema dikhianati
dan digarap di setiap pertandingan. Walaupun wasitnya sudah dikenakan sanksi, tapi
Persema tetap dikalahkan”.
Metro TV dalam hal ini tidak memberikan ruang kepada PSSI untuk
membela diri, bahkan untuk diberitakan melalui narasi pun tidak. Sehingga,
relasi yang terbangun di sini adalah LPI, Persema Malang bersama dengan
Metro TV yang secara sepihak mendiskreditkan PSSI.
c. Identitas
Sejak awal berita, identitas Metro TV sudah condong ke pihak LPI dibanding
PSSI. Pemilihan judul yang mendukung Persema untuk berlaga di LPI,
dilengkapi dengan fokus berita hanya pada Peni Suparto menegaskan identitas
tersebut. Selain itu, PSSI pun dimarjinalkan dengan tidak diberi ruang untuk
menanggapi, baik melalui wawancara narasumber maupun narasi berita.
155
4) Judul Berita : Polda Jateng Memberi Izin Laga LPI
Program : Headline News
Tanggal/Jam : Kamis, 6 Januari 2011 / 15:06 WIB
VISUAL AUDIO
Selamat sore. Inilah headline
news pukul 15.00 WIB.
Kepolisian Daerah Jawa Tengah
mengeluarkan izin keramaian bagi
penyelenggaraan pertandingan
Liga Primer Indonesia (LPI).
Dan, pertandingan pertama LPI
rencananya akan digelar di
Stadion Manahan, Kota
Surakarta, antara Solo FC versus
Persema Malang.
VO: Narator
Usai bertemu dengan Walikota
Solo Joko Widodo dan Ketua
Pengurus Cabang PSSI Surakarta,
Hadi Rudyatmo. Kapolda Jawa
Tengah, Inspektur Jenderal
Edward Aritonang menyatakan
izin keramaian akan diberikan
kepada panitia. Dan polisi akan
mengamankan jalannya acara
pembukaan serta pertandingan
LPI yang berlangsung di Stadion
Manahan Kota Surakarta, Jawa
Tengah.
Menurut Edward Aritonang,
156
tidak ada alasan bagi polisi untuk
tidak memberikan izin keramaian,
jika Badan Olah Raga Profesional
(BOPI) telah memberikan lampu
hijau untuk penyelenggaraan
event tersebut.
Sementara itu, Walikota Surakarta
Joko Widodo menyatakan
dukungannya terhadap LPI.
Menurutnya, LPI sangat legal dan
menjadi simbol revolusi dunia
sepak bola Indonesia. Wali Kota
bahkan menduga PSSI takut
bersaing dengan LPI. Sehingga
LPI dianggap kompetisi illegal.
Edward Aritonang (Kapolda Jawa Tengah)
Kalau Jawa Tengah sudah
mengantongi rekomendasi itu, BOPI.
Tidak ada alasan untuk tidak
menjaga. Jadi kira-kira itu
konteksnya untuk mengijinkan. Dan,
Polri akan mengeluarkan ijin
keramaian dan akan mengamankan.
Terimakasih.
157
Joko Widodo (Walikota Solo)
Sangat legal. Apanya yang nggak
legal? Semaki banyak kompetisi, akan
semakin baik persepakbolaan kita.
Inilah yang saya bilang tadi, revolusi
dunia sepak bola Indonesia.
Reporter: Menurut bapak bagaimana
bila PSSI mengatakan LPI illegal?
Ya ga tahu. Mungkin takut
persaingan. Mungkin lho ya. Tapi
menurut saya ndak lah. Saya masih
positif thinking terhadap PSSI, bahwa
LPI adalah partner yang baik untuk
PSSI.
Berita yang ditayangkan pada Headline News tanggal 6 Januari 2011 ini
bercerita tentang izin penyelenggaraan LPI yang akhirnya dikeluarkan oleh
Polda Jawa Tengah setelah berkoordinasi dengan Walikota dan Pengcab PSSI
Solo.
a. Representasi
Wacana konflik antara LPI dan PSSI juga dapat dilihat dalam representasi
berita ini. Pemilihan kata dan narasumber. Narasumber yang ditampilkan
hanya mendukung keberadaan LPI, tanpa mewakili sikap PSSI yang
menolaknya.
Pernyataan dari Kapolda Jawa Tengah yang menyatakan bahwa: “Kalau
Jawa Tengah sudah mengantongi rekomendasi itu, BOPI. Tidak ada alasan untuk tidak
menjaga. Jadi kira-kira itu konteksnya untuk mengijinkan. Dan, Polri akan
mengeluarkan ijin keramaian dan akan mengamankan. Terimakasih”. Khalayak tidak
dijelaskan terlebih dahulunya adanya konflik antara LPI dan PSSI yang
menyebabkan perijinan kemudian terlambat dikeluarkan. Hanya dijelaskan
158
bahwa BOPI akhirnya mengeluarkan izin dan Polda Jawa Tengah akan
mengawal jalannya pembukaan.
Posisi PSSI yang didiskreditkan dalam berita ini juga dijelaskan lewat
narasi yang menyadur pernyataan dari Walikota Solo, Joko Widodo:
“Sementara itu, Walikota Surakarta Joko Widodo menyatakan dukungannya terhadap
LPI. Menurutnya, LPI sangat legal dan menjadi simbol revolusi dunia sepak bola
Indonesia. Wali Kota bahkan menduga PSSI takut bersaing dengan LPI. Sehingga LPI
dianggap kompetisi illegal.” Menampilkan Walikota Solo di dalam berita memberi
kesan bahwa LPI telah didukung sepenuhnya oleh warga Solo, sehingga tidak
sepatutnya untuk terus dihalang-halangi oleh PSSI.
Pernyataan Walikota Solo yang digunakan untuk mengakhiri berita ini
dalam kerangka representasi antar anak kalimat menunjukkan penegasan.
Bahwasanya PSSI yang menghalangi bergulirnya LPI adalah pengecut karena
tidak berani bersaing secara sehat. Bahkan PSSI juga dikesankan sebagai
melawan kehendak masyarakat luas, karena menghadang pengembangan
sepakbola nasional. Secara sempurna, PSSI didelegitimasi peran dan posisinya
dalam berita ini.
Bahkan wartawan pun juga menggunakan pertanyaan yang memancing
emosi Joko Widodo. Ketika Joko Widodo menyatakan bahwa LPI adalah
legal. Justru wartawan mempertanyakan kembali dengan membawa identitas
PSSI, “Menurut bapak, bagaimana bila PSSI mengatakan LPI illegal?” Pertanyaan
seperti ini tentunya seperti meragukan pendapat dari Joko Widodo, sehingga
meminta penegasan kembali. Dari awalnya jawaban yang netral tanpa
melibatkan pihak yang berkonflik. Wartawan kemudian menggiring Joko
Widodo ke dalam pusaran konflik, “Ya ga tahu. Mungkin takut persaingan.
Mungkin lho ya...”.
b. Relasi
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara Walikota, Polri
(melalui Polda Jawa Tengah), LPI dan PSSI. Pihak yang paling dominan
dalam berita ini adalah Polri dan Walikota Solo. Polri adalah simbol dari
keamanan negara, sedangkan Walikota Solo adalah simbol dari masyarakat
159
Solo. Artinya, persetujuan dari kedua pihak ini tentang LPI memberikan
legitimasi yang amat tinggi bagi LPI di depan khalayak.
Sedangkan, PSSI yang didiskreditkan dalam naskah berita ini tidak diberi
ruang untuk menanggapi, sekalipun lewat suara narator atau presenter berita.
Akibatnya PSSI posisinya menjadi termarjinalkan bila dibandingkan dengan
Polri, Walikota ataupun Metro TV yang mengkontruksi berita ini.
c. Identitas
Sejak awal berita, identitas Metro TV sudah terang-terangan condong ke LPI.
Pemilihan judul yang menyatakan Polda Jateng memberi Izin melegitimasi
kehadiran LPI dari pihak yang berwenang. Walikota Solo kemudian
ditampilkan untuk dikutip dukungannya terhadap LPI, dengan menyatakan
ke-legalan-nya. Bahkan, Walikota pun dipancing untuk ikut mengomentari
PSSI. Hasilnya PSSI dikritik seperti pecundang yang tidak berani
berkompetisi secara adil.
5) Judul Berita : Izin Kompetisi LPI
Program : Metro Hari Ini
Tanggal/Jam : Kamis, 6 Januari 2011 / 17:56 WIB
VISUAL AUDIO
Meski jajaran PSSI pusat
mengharamkan keberadaan Liga
Primer Indonesia yang mulai
bergulir Januari ini. Tidak
membuat Pengurus Cabang PSSI
Solo mentaati regulasi tersebut.
160
VO: Narator
Pernyataan dukungan tersebut
terhadap hal itu disampaikan oleh
Ketua Pengurus Cabang PSSI
Surakarta, Hadi Rudyatmo saat
berada di Mapolresta Surakarta,
terkait dengan pemberiaan izin
rekomendasi pertandingan LPI.
VO: Narator
Menurut Hadi Rudiyatmo,
dengan bergulirnya Liga Primer
Indonesia ini. Maka akan semakin
menguntungkan. Karena
berpotensi memunculkan
semakin banyak kompetisi maka
talenta pemain sepak bola di
tanah air. Itulah salah satu alasan
PSSI Surakarta yang berbeda
dengan PSSI Pusat.
Dengan munculnya kompetisi
kompetisi baru ini diharapkan
mampu membawa sepak bola
Indonesia pada atmosfer
permainan yang fairplay.
161
Hadi Rudiyatmo (Ketua PSSI Surakarta)
PSSI Pengcab Solo tidak keberatan
dengan adanya pertandingan Solo FC
melawan Persema Malang. Itu yang
pertama.
Yang kedua, lebih baik kita
mengadakan pertandingan daripada
membatalkan. Yang sudah sedari awal
disampaikan oleh Kapolda Jateng.
Saya berharap rakyat Solo, Jawa
Tengah dan Nasional. Kalau situasi
kondusif. Diharapkan masyarakat
tidak akan takut untuk berkunjung
ke Solo.
Berita yang ditayangkan pada tanggal 6 Januari 2011 ini melanjutkan berita
sebelumnya, saat Polda Jawa Tengah akhirnya memberi izin penyelenggaraan
LPI di Solo. Pernyataan dukungan kemudian muncul dari Ketua Pengcab
PSSI Surakarta, FX Hadi Rudiyatmo.
a. Representasi
Wacana konflik antara LPI dan PSSI dalam berita ini ditampilkan lewat
presenter yang menyatakan bahwa: “Meski jajaran PSSI pusat mengharamkan
keberadaan Liga Primer Indonesia yang mulai bergulir Januari ini. Tidak membuat
Pengurus Cabang PSSI Solo mentaati regulasi tersebut”. Ada dua poin yang perlu
digaris bawahi, yaitu pilihan kata “mengharamkan” dan anak kalimat “tidak
membuat Pengurus Cabang PSSI Solo mentaati regulasi tersebut”. Kata
mengharamkan biasanya digunakan dalam konteks keagamaan, yang identik
dengan aturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Oleh karena itu,
“mengharamkan” di sini mengandaikan bahwa PSSI amat sangat berkuasa
162
sehingga bisa melarang sesuatu layaknya Tuhan. Nuansa yang dikonstruksi
tentu akan beda bilamana kata yang digunakan “melarang”.
Penempatan anak kalimat yang kontras, “tidak membuat Pengurus
Cabang PSSI Solo mentaati regulasi tersebut” juga memiliki makna tersendiri.
Bahwa, sehebat apa pun kuasa PSSI hingga bisa “mengharamkan”, ternyata
tidak berguna di hadapan Pengurus PSSI Solo. PSSI Solo tidak gentar
menghadapi resiko yang akan terjadi bilamana regulasi dari “tuhan” tersebut
dilanggar. Legitimasi dan kekuasaan PSSI pun menjadi tidak berguna lagi.
Pencantuman FX Hadi Rudiyatmo sebagai Ketua Pengcab PSSI Solo,
tanpa menyebutkan jabatannya sebagai Wakil Walikota Solo, menegaskan
bahwa memang PSSI sudah kehilangan wibawa di akar rumput. Keputusan
PSSI untuk melarang LPI, ternyata ditolak secara mentah-mentah oleh
anggotanya sendiri di daerah.
Pola pemberitaan ini mirip dengan berita beberapa hari sebelumnya, saat
Persema Malang mengadakan konferensi pers. Pola yang dibentuk adalah
narasi dan kutipan wawancara yang berasal dari satu pihak, dalam hal ini
Pengcab PSSI Solo yang mendukung LPI. Sedangkan, pihak yang kontra,
PSSI, tidak diberikan ruang sedikit pun, baik melalui wawancara maupun
narasi. Narasi yang disadur dari pernyataan FX Hadi Rudiyatmo misalnya, “...
dengan bergulirnya Liga Primer Indonesia ini. Maka akan semakin menguntungkan.
Karena berpotensi memunculkan semakin banyak kompetisi maka talenta pemain sepak
bola di tanah air. Itulah salah satu alasan PSSI Surakarta yang berbeda dengan PSSI
Pusat. Dengan munculnya kompetisi kompetisi baru ini diharapkan mampu membawa
sepak bola Indonesia pada atmosfer permainan yang fairplay”.
Ada dua penekanan yang dikonstruksi oleh Metro TV dalam hal ini, yaitu
agar diadakan semakin banyak kompetisi demi perkembangan sepakbola
tanah air dan masalah fairplay pada kompetisi. Argumen yang disampaikan
Pengcab PSSI Solo untuk membela diri ini seakan-akan menempatkan PSSI
sebagai common enemy. Karena PSSI dianggap secara diktator tidak
memberikan ruang untuk berkembangnya bakat-bakat pemain sepakbola
nasional di luar liga bentukan PSSI. Selain itu, permasalahan fairplay,
bermakna ada problem akut di liga bentukan PSSI yang penuh dengan
163
ketidakadilan, bahkan mafia skor. Padahal dalam dunia olahraga manapun
unsur sportifitas yang paling mendasar adalah fairplay, bagaimana bermain
secara jujur dan adil. Tanpa adanya hal ini, mustahil olahraga memliki makna.
Lebih menarik lagi di akhir berita, FX Hadi Rudiyatmo menyatakan:
“Saya berharap rakyat Solo, Jawa Tengah dan Nasional. Kalau situasi kondusif.
Diharapkan masyarakat tidak akan takut untuk berkunjung ke Solo”. Pernyataan ini
seakan mewakili suara masyarakat yang memang menginginkan LPI
dihadirkan di Solo.
b. Relasi
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara PSSI dengan
PSSI Solo terkait LPI. PSSI Solo yang diwakili oleh FX Hadi Rudiyatmo
menjadi pihak yang dominan dan tunggal. Berita yang dikonstruksi oleh
Metro TV hanya memberi ruang kepada pihak yang pro LPI dan kontra
dengan PSSI, sedangkan PSSI sendiri tidak diberi ruang sama sekali.
Sedangkan, Metro TV sebagai media, cenderung memposisikan diri di
pihak LPI. Ini tercermin dari pilihan untuk menjadikan pernyataan tunggal
dari FX Hadi Rudiyatmo ditambah dengan pilihan kata “mengharamkan”
oleh presenter.
c. Identitas
Sejak awal berita, identitas Metro TV sudah condong ke LPI. Pemilihan kata
dan penyusunan naskah berita oleh presenter, cenderung mendelegitimasi
posisi PSSI di hadapan PSSI Solo. Penempatan narasumber tunggal FX Hadi
Rudiyatmo juga menegaskan bahwa Metro TV ingin mengkonstruksi agar
legalitas dan urgensi kehadiran LPI diterima oleh khalayak televisi.
164
6) Judul Berita : Kompetisi LPI Akhirnya Mendapat Izin dari
Polri
Program : Headline News
Tanggal/Jam : 6 Januari 2011 / 17:47 WIB
VISUAL AUDIO
Mabes Polri akhirnya
memberikan izin resmi kepada
Liga Primer Indonesia, LPI,
untuk menggelar kompetisi
sepakbola antarklub. Izin itu
sekaligus mengakhiri polemik
seputar legalitas LPI yang
dipersoalkan PSSI.
VO: Narator
Polri mengeluarkan rekomendasi
setelah mendapatkan
rekomendasi dari Badan Olahraga
Professional (BOPI) sebagai
wadah untuk olahraga
professional yang ditunjuk oleh
pemerintah.
Dalam jumpa pers di Gedung
Kemenpora, Kabag Intelkam
Mabes Polri, Komjen Pol.
Wahyono mengakui bahwa Liga
Primer Indonesia (LPI) adalah
kompetisi sepak bola profesional.
Dan bukan olahraga amatir yang
harus mengantongi rekomendasi
165
PSSI.
Karena itu, Polri harus
mengeksekusi rekomendasi
Badan Olahraga Professional,
seperti BOPI atas kompetisi yang
diselenggarakan oleh LPI.
Keputusan Mabes Polri ini akan
segera disebarkan izin itu ke
semua jajaran Polri di daerah.
Termasuk Polda Jawa Tengah
dan Polres Solo, tempat laga
perdana kompetisi LPI akan
digelar. Hari Sabtu, 8 Januari
2011, antara Persema Malang
versus Solo FC.
Komjen Pol. Wahyono (Kabag Intelkam Polri)
Kalau yang bersifat amatir harus ada
rekomendasi, tapi kalau yang bersifat
professional itu harus ada ijin
penyelenggaraan yang dikeluarkan oleh
lembaga atau badan yang sudah
ditunjuk oleh pemerintah berdasar
peraturan menteri, yaitu BOPI.
Manakala BOPI telah menetapkan
keputusannya, memberikan
perijinannya. Sudah barang tentu Polri
harus memberikan ijin untuk
memberikan perlindungan dan
pelayanan bagi masyarakat yang
166
menyelenggarakan kegiatan ini. Dalam
bentuk implikasinya pada keramaian
umum.
Berita yang ditayangkan pada tanggal 6 Januari 2011 ini senada dengan 2
berita sebelumnya. Setelah Polda Jawa Tengah memberi izin penyelenggaraan
LPI di Solo. Polri bersama di Gedung Kemenpora juga merilis perizinan
untuk penyelenggaraan LPI.
a. Representasi
Wacana konflik antara LPI dan PSSI dalam berita ini ditampilkan lewat
presenter yang menyatakan bahwa: “Mabes Polri akhirnya memberikan izin resmi
kepada Liga Primer Indonesia, LPI, untuk menggelar kompetisi sepakbola antarklub.
Izin itu sekaligus mengakhiri polemik seputar legalitas LPI yang dipersoalkan PSSI”.
Penggunaan anak kalimat “... mengakhiri polemik” menandakan bahwa ada
konflik yang sebelumnya terjadi antara LPI dan PSSI namun telah berakhir
berkat izin dari Mabes Polri. Dan pemenangnya adalah LPI.
Judul “Kompetisi LPI Akhirnya Mendapat Izin dari Polri” pun senada
menggambarkan representasi bahwa konflik telah berakhir. Kemudian,
keberpihakan juga terlihat dari narasi yang menjelaskan bahwa “... bahwa Liga
Primer Indonesia (LPI) adalah kompetisi sepak bola profesional. Dan bukan olahraga
amatir yang harus mengantongi rekomendasi PSSI”. Narasi ini memberi kesan
bahwa sikap PSSI yang “mengharamkan” LPI adalah salah alamat. Karena
izin LPI yang benar berasal dari BOPI, lembaga di bawah Kemenpora.
Pola yang ditampilkan oleh Metro TV masih senada dengan beberapa
berita sebelumnya. Dimana pihak yang pro dengan LPI ditampilkan secara
langsung sebagai narasumber, namun pihak yang kontra, PSSI, tidak
ditampilkan sama sekali. Kalaupun ditampilkan, hanya menjadi bagian dari
kritik pihak pro LPI. Sehingga, citranya pun menjadi negatif dan buruk.
Dalam berita ini, PSSI digambarkan menghalang-halangi perizinan Polri
untuk LPI.
167
b. Relasi
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara PSSI dan Polri
dengan LPI. Polri pada awalnya tidak akan memberikan izin kepada LPI
karena dilarang oleh induk olahraganya, PSSI. Ternyata dalam perjalanannya,
izin kemudian dikeluarkan oleh BOPI yang merupakan induk olahraga
professional di Indonesia. Relasi pun kemudian berubah dengan cepat
menjadi LPI dan Polri menghadapi PSSI. Dan Polri dalam berita ini menjadi
aktor dominan yang
Sedangkan, Metro TV sebagai media, cenderung memposisikan diri di
pihak LPI dan kontra terhadap PSSI. Caranya dengan membuat narasi yang
menyatakan “... bahwa Liga Primer Indonesia (LPI) adalah kompetisi sepak bola
profesional. Dan bukan olahraga amatir yang harus mengantongi rekomendasi PSSI”.
Bagian kalimat “harus mengantongi rekomendasi PSSI” adalah konstruksi
dari Metro TV, karena tidak diucapkan oleh Komjen Wahyono dari Polri.
Konstruksi dilakukan untuk mendelegitimasi posisi PSSI di depan khalayak.
c. Identitas
Tidak jauh berbeda dengan penjelasan pada bagian relasi. Sejak awal berita,
identitas Metro TV sudah condong ke LPI. Pernyataan dari narator berita
mengenai LPI yang tidak membutuhkan rekomendasi PSSI, memberi kesan
delegitimasi posisi PSSI di hadapan LPI. Sehingga, LPI tidak perlu ambil
pusing terkait sikap PSSI yang kontra selama ini. Peniadaan narasumber dari
PSSI untuk menanggapi keputusan perizinan dari Polri juga semakin
menegaskan identitas pro LPI yang digunakan oleh Metro TV.
168
7) Judul Berita : PSSI Dituntut Boikot LSI
Program : Metro Siang
Tanggal/Jam : Jumat, 7 Januari 2011 11:57 WIB
VISUAL AUDIO
Puluhan orang dari Komunitas
Suporter Indonesia Bersatu
melakukan aksi damai di
Bundaran Hotel Indonesia untuk
menolak digelarnya kompetisi
tandingan Liga Primer Indonesia.
VO: Narator
Dalam orasinya mereka menolak
kepada beberapa pihak atas segala
bentuk upaya melemahkan PSSI
dengan alasan apapun.
Mereka menuntut PSSI
memboikot serta membatalkan
kompetisi LPI. Karena dalam
ajang ini dinilai memiliki agenda
tersembunyi dan dapat
menjatuhkan PSSI.
169
VO: Narator
Massa juga mendesak agar PSSI
menjatuhkan sanksi tegas kepada
klub sepak bola yang mengikuti
kompetisi LPI.
Mereka mengaku aksi ini
dilakukan sebagai bentuk
dukungan kepada PSSI. Mereka
menyangkal aksi mereka sebagai
aksi bayaran atau tandingan
karena mereka bagian dari
solidaritas PSSI.
Berita yang ditayangkan pada tanggal 7 Januari 2011 ini bercerita tentang
puluhan orang yang mendemo penyelenggaraan LPI di Bundaran HI, Jakarta.
Demonstrasi ini juga berbarengan dengan demo sekelompok orang yang
mengatasnamaka Supporter Nasional Seluruh Indonesia (SNSI) ke rumah
Arifin Panigoro.
a. Representasi
Sejak awal wacana konflik antara LPI dan PSSI sudah disuguhkan melalui
sekelompok orang yang berdemo menuntut pembubaran LPI. Akan tetapi,
Metro TV pada berita ini berusaha mengkerdilkan posisi para pendemo.
Pertama, dengan cara memilih judul “PSSI Dituntut Boikot LPI”, konstruksi
kalimat sebagai peristiwa (event) alih-alih aksi (action) membuat peran pendemo
terpinggirkan pada judul. Seolah-olah secara mendadak ada tuntutan PSSI
untuk memboikot LPI, tanpa ditampilkan siapa sebenarnya yang menuntut
PSSI. Kedua, dengan pemilihan frase “puluhan orang” oleh presenter di awal
berita. Jumlah ini tentu amat sedikit, apalagi bila dibandingkan ratusan bahkan
ribuan orang yang di saat bersamaan mendemo Nurdin Halid agar turun dari
kursi Ketua Umum PSSI.
170
Selain itu representasi yang mengkerdilkan pendemo juga didapatkan
melalui cara Metro TV menampilkan sumber berita. Menurut Norman
Fairclough, sumber berita yang tidak disukai atau posisinya diametral dengan
media lazimnya akan dinarasikan pendapatnya untuk kemudian dievaluasi dan
dikritik. Pola ini terbukti dalam berita, seperti yang terlihat di akhir berita:
“Mereka mengaku aksi ini dilakukan sebagai bentuk dukungan kepada PSSI. Mereka
menyangkal aksi mereka sebagai aksi bayaran atau tandingan karena mereka bagian
dari solidaritas PSSI”. Narasi ini sangat mungkin memang dikonstruksi oleh
Metro TV. Bisa langsung dikonstruksi saat menulis naskah berita, bisa juga
melalui reporter lapangan yang menanyakan hal tersebut. Dalam hal ini,
pendemo yang seharusnya netral kemudian digugat netralitasnya dengan
tuduhan sebagai kelompok bayaran PSSI.
b. Relasi
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara pendukung
PSSI dengan LPI. Pendukung yang berdemo kemudian menjadi pihak
dominan, dimana berita secara keseluruhan menceritakan pernyataan dari
pendemo. Pendemo kemudian terlalu diidentikkan dengan PSSI, sehingga
pada akhir berita dikesankan bahwa demo ini merupakan suruhan dari PSSI,
bukan inisiatif murni mereka.
Sedangkan, Metro TV sebagai media, cenderung memposisikan diri di
pihak yang netral dengan memberitakan peristiwa ini apa adanya, sebagai
orang ketiga di luar forum. Hanya saja bila ditelisik lebih mendalam, pada
pemilihan judul, kata “puluhan orang”, dan tidak adanya wawancara langsung
dengan pendemo memberi kesan bahwa Metro TV tidak sepenuhnya netral,
melainkan sedikit berpihak membela LPI.
c. Identitas
Tidak jauh berbeda dengan penjelasan pada bagian relasi. Metro TV
mengidentifikasikan diri sebagai pihak yang mandiri memberitakan LPI demo
ini. Akan tetapi perlu digarisbawahi pula cara pengambilan sumber berita,
171
dimana wawancara langsung ditiadakan memberi kesan Metro TV
mengkerdilkan peran pendemo.
8) Judul Berita : FIFA Tak Akui Keberadaan LPI
Program : Metro Sports
Tanggal/Jam : 7 Januari 2011 / 23.38
VISUAL AUDIO
Federasi Sepakbola Internasional,
FIFA, menyatakan tidak
mengakui keberadaan Liga
Primer Indonesia.
Menurut Direktur Pengembangan
dan Anggota Asosiasi FIFA,
Thierry Regenass. FIFA akan
terus memantau keberadaan LPI
dan mengancam memberikan
sanksi bila LPI benar-benar
digulirkan.
VO: Narator
Tentangan terhadap Liga Primer
Indonesia terus mendapat
tantangan. Kali ini datangnya dari
Federasi Sepakbola Internasional,
FIFA.
Meski belum mendapat laporan
resmi mengenai Liga Primer
Indonesia, FIFA akan terus
memantau. Bila tetap
dilaksanakan, akan berhadapan
dengan sanksi FIFA.
172
VO: Narator
Menurut Direktur Pengembangan
dan Anggota Asosiasi FIFA,
Thierry Regenass. Pihaknya tidak
mengenal kompetisi sepak bola
profesional yang diselenggarakan
di luar anggotanya, dalam hal ini
PSSI.
VO: Narator
Sementara itu, menanggapi
ancaman tersebut. Juru bicara
LPI, Abi Hasantoso justru
mengakui itu sebagai hal yang
baik. Karena ancaman tersebut
membuktikan ada perhatian dari
FIFA. Dan hal itu justru akan
membuka pintu dialog.
Berita yang ditayangkan pada tanggal 7 Januari 2011 ini bercerita tentang
FIFA yang akan memberikan sanksi bilamana LPI tetap akan digulirkan.
a. Representasi
Wacana konflik yang dikonstruksi dalam berita ini adalah antara FIFA
bersama PSSI menghadapi LPI yang dianggap membandel. Seperti yang
disampaikan oleh presenter: “Tentangan terhadap Liga Primer Indonesia terus
mendapat tantangan. Kali ini datangnya dari Federasi Sepakbola Internasional, FIFA.”
Frase “terus mendapat tantangan” bermakna bahwa selama ini sudah ada
173
berbagai tantangan yang menghadang, dan FIFA hanyalah satu dari sekian
tantangan tersebut. Tantangan yang dimaksud sebelumnya tentu adalah PSSI,
PSSI sudah berkali-kali menyampaikan penolakannya terhadap LPI dan
bahkan akan memberikan sanksi kepada beberapa klub yang berpindah dari
ISL ke LPI.
Paragraf berita yang berbunyi, “Meski belum mendapat laporan resmi mengenai
Liga Primer Indonesia, FIFA akan terus memantau. Bila tetap dilaksanakan, akan
berhadapan dengan sanksi FIFA”, memberi kesan bahwa sebenarnya FIFA
belum paham akan masalah yang terjadi. Dalam hal ini, FIFA justru akan
gegabah bilamana terburu-buru memberikan sanksi.
Akhirnya, melalui setting representasi antar rangkaian anak paragraf.
Metro TV mengakhiri berita dengan narasi yang disadur dari pernyataan Abi
Santoso bahwa, “Sementara itu, menanggapi ancaman tersebut. Juru bicara LPI, Abi
Hasantoso justru mengakui itu sebagai hal yang baik. Karena ancaman tersebut
membuktikan ada perhatian dari FIFA. Dan hal itu justru akan membuka pintu
dialog”. Frase “sementara itu” yang digunakan sebagai kata sambung
memberikan makna keadaan yang kontras berlawanan. LPI justru melihat ini
bukan sebagai ancaman sanksi, melainkan sebagai peluang untuk berdialog
langsung dengan FIFA. Suatu kondisi yang tentu sangat positif dicitrakan
dalam sebuah konflik.
b. Relasi
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara FIFA dan PSSI
dengan LPI. FIFA dan LPI kemudian menjadi pihak yang dominan dalam
berita, sedangkan PSSI sebatas teks lain imbas dari relasi tersebut. FIFA
adalah pihak yang memberikan ancaman kepada LPI, ada permasalahan
ketika diungkap FIFA sebenarnya belum mengetahui secara pasti duduk
permasalahan yang ada. LPI di lain pihak justru menanggapi ancaman
tersebut dengan santai, dan melihat ancaman ini sebagai pintu untuk
berdialog.
Wartawan sendiri dalam berita ini relasinya cukup netral, dengan
menempatkan dua pihak yang berseteru yaitu FIFA dan LPI untuk
174
memberikan argumennya. Akan tetapi, penggunaan narasi untuk mewakili
narasumber asli memberi kesan bahwa ada informasi yang dipotong atau
direduksi demi kepentingan konstruksi wacana Metro TV.
c. Identitas
Tidak jauh berbeda dengan penjelasan pada bagian relasi. Metro TV
mengidentifikasikan diri sebagai pihak yang mandiri memberitakan konflik
LPI dan PSSI, yang kemudian melebar sampai ke FIFA sebagai induk
organiasasi PSSI. Dan, bila dibandingkan dengan Liputan 6 SCTV, Metro TV
lebih tegas dalam menampilkan identitasnya yang pro LPI.
B. ANALISIS PRAKTIK DISKURSIF (DISCOURSE PRACTICE)
1. Liputan 6 SCTV
Berdasarkan analisis teks yang telah dilakukan di atas, penelitian ini menunjukkan
adanya unsur keberpihakan dan ketidakberimbangan dalam pemberitaan konflik
LPI dan PSSI di Liputan 6 SCTV. Dari 13 berita yang dijadikan obyek analisis
wacana, terhitung Liputan 6 SCTV lebih banyak menampilkan berita dari sudut
pandang yang pro terhadap LPI. Pengambilan narasumber pun senada dengan
sudut pandang, dimana narasumber yang mendukung LPI lebih banyak
ditampilkan, seperti Humas LPI, Panpel LPI, Warga Solo, Pemain klub di LPI,
pengamat sepakbola bahkan juga anak-anak SMA. Sedangkan, dalam
keseluruhan berita, pihak PSSI seakan-akan membela dirinya sendiri dari
berbagai gugatan yang ada. Bahkan saat ada berita demonstrasi terhadap LPI dan
Arifin Panigoro sekalipun, Liputan 6 SCTV mengidentikkan pendemo tersebut
sebagai bagian dari PSSI dan Nurdin Halid, bukan pihak yang netral sebagai
pencinta sepakbola nasional.
Selain itu, ada dua berita yang menarik yaitu saat beberapa warga Solo
dijadikan sebagai narasumber dan referendum sepakbola siswa SMA yang
kemudian memenangkan LPI. Secara tidak langsung, ini merupakan bagian dari
cara Liputan 6 SCTV untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa masyarakat
luas di akar rumput sudah menyetujui kehadiran LPI. Pihak yang kontra
kemudian tidak diberikan ruang untuk menjelaskan sikapnya, sehingga seolah-
175
olah diposisikan sebagai musuh bersama karena menentang kehendak
masyarakat luas.
Ketika media, termasuk televisi, tidak memberitakan suatu konflik secara
berimbang, maka diyakini pasti ada kepentingan-kepentingan yang terlibat di
dalamnya. Dan untuk menyelidiki kepentingan yang bermain di belakang
pemberitaan Liputan 6 SCTV, maka perlu dilakukan analisis discourse practice.
Analisis tingkat ini akan melihat bagaimana produksi teks dilakukan oleh pihak
media. Dengan menganalisis Liputan 6 SCTV dari sisi wartawan dan rutinitas
kerja media diharapkan dapat diperoleh jawaban tentang kepentingan apa saja
yang berada di balik Liputan 6 SCTV.
Sejak awal SCTV memang dikenal sebagai news room yang kritis. Kasus
penyerangan Kantor PDI di jalan Diponegoro Juli 1996, “Cabut Gigi” Sarwono
Kusumaatmaja di akhir orde baru, sampai dengan investigasi kekerasan di IPDN
menjadi simbol kekritisan tersebut. Bahkan Liputan 6 SCTV juga merupakan
news room pertama yang mendapat sertifikat ISO 9001:2000 pada tahun 20022.
Selain itu menurut Joy Astro3, presenter SCTV, setiap alur produksi telah
memiliki deskripsi kerjanya masing-masing. Produksi berita SCTV selalu
berdasarkan falsafah sederhana, yaitu semua berawal dari rapat proyeksi dan
berakhir di rapat proyeksi. Rapat proyeksi ini biasanya dihadiri oleh pemimpin
redaksi, senior manager peliputan, penayangan, pemrosesan, produser eksekutif,
produser program, produser bidang, korkam dan presenter, yang akan
membahas seluruh perencanaan dalam proses pencarian berita.
Hasil perencanaan tersebut kemudian dilanjutkan dengan plotting reporter
lapangan oleh produser bidang. Plotting reporter tersebut meliputi angle, isi,
visual, narasumber, kelengkapan dan keseimbangan berita. Reporter kemudian
menjalankan liputannya masing-masing. Akan tetapi, pada dasarnya reporter dan
kameramen pun dapat melakukan improvisasi sepanjang hal tersebut sesuai
dengan prinsip Liputan 6 SCTV: Tajam, Aktual dan Terpercaya. Karena, pada
dasarnya reporter dan kameramen adalah orang yang paling tahu dengan realita
2 Divisi Pemberitaan SCTV Menerima ISO 9001:2000. Diakses pada 21 April 2011. Tearsip di http://berita.liputan6.com/lainlain/200206/36667/class=%27vidico%27
3 Dalam Rigakittyndya Tiamono. 2006. Identitas Perempuan Indonesia dalam Berita Televisi. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol, UGM. Hal. 127.
176
di lapangan. Artinya, arahan yang muncul dari rapat proyeksi fungsinya hanyalah
sebatas pedoman liputan.
Misalnya, ketika bahan reportase yang dibawa oleh reporter kemudian tidak
berjalan dengan mulus. Dalam banyak kasus, narasumber tidak mau memberi
jawaban atau justru muncul isu besar lainnya di luar rapat proyeksi yang
didapatkan dari narasumber4. Di sinilah improvisasi oleh reporter diperbolehkan
dan bahkan direkomendasikan.
Setelah proses reportase selesai, berita kemudian dibawa lagi ke rapat
proyeksi untuk dirapatkan. Rapat ini kemudian akan menentukan berita mana
yang layak ditayangkan. Hal ini pula yang terjadi pada berita-berita konflik LPI
dan PSSI.
Joy Astro juga mengakui bahwasanya dalam pemberitaan di Liputan 6
SCTV tidak akan terlepas dari unsur manusiawi, berupa pengaruh opini redaksi
yang dimasukkan ke dalam pemberitaan5. Kelemahan pemberitaan tersebut juga
termasuk ketidak sensitifan dalam melihat rutinitas kerja.
Televisi setiap hari menemui informasi dan isu yang melimpah ruah. Mereka
juga menghadapi begitu banyak narasumber yang potensial untuk diwawancarai.
Selain itu juga ada deadline “kecepatan” yang menjadi momok besar. Di stasiun
televisi, unsur kecepatan sangatlah penting. Berita akan segera menjadi basi
ketika stasiun televisi lain telah memberitakannya beberapa menit sebelumnya.
Oleh karena itu, tentu saja semuanya tidak semua informasi bisa
diberitakan. Harus ada standar yang harus dikedepankan. Standar itu merupakan
“nilai berita”, yang merupakan basis profesionalitas dari suatu pemberitaan. Nilai
berita juga akan memudahkan redaksi Liputan 6 SCTV dalam mencari dan
mengolah berita.
Konflik LPI dan PSSI yang ditayangkan oleh SCTV nilai beritanya amat
tinggi. Yang pertama, adalah konflik sebagai nilai berita klasik, bad news is good
news. Yang kedua, bahwa sepakbola adalah hajat hidup orang banyak sekaligus
tambang emas rating bagi televisi. Sehingga pemberitaan sepakbola ketika itu
digunakan pula untuk menarik pasar khalayak sebanyak mungkin.
4 Ibid. Hal. 128. 5 Ibid.
177
Kondisi ini membenarkan tesis umum yang menjelaskan bahwa pasca
reformasi tidak lagi disetir oleh kekuatan negara, melainkan lebih condong ke
arah pasar. Televisi, khususnya Liputan 6 SCTV, kemudian harus mencari isu
berita yang bisa diangkat tiap harinya. Isu yang kemudian dikonstruksi menurut
Joy Astro bukanlah sesuatu yang salah6. Karena menurut Liputan 6 SCTV,
konstruksi isu bukanlah adu domba, melainkan lebih kepada penyadaran kepada
publik bahwa sebenarnya ada isu yang penting, namun tidak semua orang
menyadarinya.
2. Metro TV
Bila dibandingkan dengan Liputan 6 SCTV, keberpihakan Metro terhadap LPI
jauh lebih terlihat dalam pemberitaannya. Dari 8 berita yang dianalisis misalnya,
hanya ada 1 berita yang menampikan PSSI secara langsung, selebihnya PSSI
hanya ditampilkan lewat narasi berita maupun sebagai bagian dari kritik
partisipan berita. Berbeda jauh dengan Liputan 6 SCTV yang memberi banyak
ruang kepada pengurus PSSI untuk membela diri, hampir seluruh berita Metro
TV hanya diwakili oleh pihak-pihak yang pro terhadap LPI, seperti manajer dan
pelatih klub LPI, Walikota Solo, Ketua Pengcab PSSI Solo dan juru bicara LPI.
Di Metro TV sendiri, ada pola yang sama dengan Liputan 6 SCTV, terkait
pola pemberitaan. Dimana berita tentang pendemo yang menuntut
dibubarkannya LPI dikerdilkan signifikansinya. Metro TV kemudian
mengkonstruksi pendemo tersebut sebagai kelompok yang diperintah oleh PSSI,
dibarengi dengan penekanan pada jumlah yang hanya puluhan orang, sangat
minim dibanding demonstrasi anti PSSI dan Nurdin Halid.
Selain itu, dari 34 berita yang diidentifikasi mengkonstruksi LPI. Ternyata
ada 19 berita yang diposisikan sebagai headline news. Headline merupakan pilihan
redaksional, yang menunjukkan berita apa saja yang dianggap lebih penting
daripada berita lainnya agar diketahui khalayak televisi tiap jamnya. Bila di media
cetak headline di taruh di halaman depan, maka di televisi headline ditampilkan
pada tiap jamnya.
6 Ibid. Hal. 132.
178
Kembali pada argumen mendasar analisis wacana, media diyakini pasti
memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga kemudian secara sengaja
berpihak dan tidak berimbang dalam melakukan pemberitaan. Oleh karena itu,
untuk menyelidiki kepentingan yang bermain di belakang Metro TV, maka perlu
dilakukan analisis discourse practice.
Bila dilihat dalam perspektif historis. Metro TV mewarisi kekritisan yang
dibawa oleh Media Group milik Surya Paloh. Di era orde baru kekritisan Surya
Paloh amat terkenal, sekalipun ia merupakan tokoh Golkar. Ia tak segan-segan
mengkritik pemerintahan orde baru yang sebenarnya penjelmaan dari Golkar itu
sendiri. Tidak mengherankan bila media yang dimilikinya Harian Prioritas,
menjadi media pertama yang dibredel oleh Pemerintahan Orde Baru di era
SIUPP. Pada dasarnya, Prioritas adalah refleksi pemikiran Surya Paloh yang
memang kritis terhadap pemerintahan. Ketika itu, penyajian khas dari Prioritas
memang cenderung satir dan sarkastis dalam melihat fenomena aktual. Akhirnya,
pada 1987, Prioritas dibredel karena dianggap terlalu vokal terhadap
pemerintahan7.
Bila diamati secara lebih teliti, karakter satir dan sarkastis tersebut dengan
mudah bisa dilihat lewat Metro TV maupun Media Indonesia saat ini. Lihat saja,
beberapa judul berita dan editorial seperti, “Kebrutalan TNI di Kebumen”,
“Kebusukan di Senayan”, “Sanksi FIFA Bukan Kiamat”, dan masih banyak lagi.
Akan tetapi, hal ini menurut reporter Metro TV, Rory Asyari, bukanlah bagian
dari hiperbolisme, melainkan lebih dekat kepada rasa (seni) kalimat8.
Sedangkan, untuk rutinitas kerja yang dilakukan oleh wartawan Metro TV
kurang lebih sama dengan apa yang dilakukan di redaksi Liputan 6 SCTV.
Bahwa, setiap alur produksi telah memiliki deskripsi kerjanya yang mendetail dan
sistematis. Setiap hari, selalu ada rapat rapat proyeksi yang akan membahas
seluruh perencanaan dalam proses pencarian berita. Rapat proyeksi tersebut
dilaksanakan pada malam hari untuk mencari berita pagi hingga siang hari,
7 Gigih Sari Alam. Perpolitikan Surya Paloh dan Media Indonesia. Diakses pada 11 April 2011. Terarsip di http://www.scribd.com/doc/12617151/Sejarah-Media-Indonesia
8 Wawancara dengan Reporter Metro TV, Rory Asyari dan Pitono. Yogyakarta, 11 April 2011.
179
sedangkan rapat proyeksi pagi hari untuk mencari berita dari siang hingga
malam9.
Hasil dari rapat proyeksi tersebut adalah penugasan yang tertulis untuk
setiap reporter lapangan. Sebelum reportase, reporter harus datang ke kantor
redaksi untuk melihat penugasan, baru kemudian turun ke lapangan untuk
melakukan reportase. Setelah proses reportase selesai, berita kemudian dibawa
lagi ke rapat proyeksi untuk dirapatkan. Rapat ini kemudian akan menentukan
berita mana yang layak maupun tidak layak untuk ditayangkan.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dengan Liputan 6 SCTV. Metro
TV kemudian menjadikan berita sebagai dagangannya. Konflik LPI dan PSSI
dalam hal ini adalah berita yang amat tinggi nilainya. Pertama, karena konflik
akan selalu menjadi berita yang layak dijual, bad news is good news. Kedua, karena
sepakbola adalah hajat hidup orang banyak. Sepakbola memang bukanlah urusan
perut yang menentukan hidup-mati seseorang, akan tetapi magnetnya sangat kuat
untuk menarik rasa primordial dan nasionalisme dari khalayak.
Kesimpulannya, adalah proses gatekeeping dalam media. Ketika media
memberitakan sesuatu, media tersebut pada dasarnya melakukan proses
penyaringan. Setidaknya ada 4 tahap penyaringan yang dilakukan oleh media
menurut Chomsky dan Herman10, yaitu: Pertama, ukuran, kepemilikan dan
orientasi ekonomi dari media. Kedua, pengiklan, apakah berita yang ditayangkan
akankah mendiskreditkan atau justru mendukung pengiklan. Ketiga, sumber
media massa. Sejauh mana media menempatkan narasumber, apakah variatif
ataukah hanya lingkaran narasumber tertentu. Keempat, adalah flak. Yaitu
komentar negatif yang umumnya berupa selebaran, petisi, telepon dan
sebagainya tentang sebuah program.
Proses gatekeeping itu pula yang terjadi pada pemberitaan LPI dan PSSI di
Liputan 6 SCTV maupun Metro TV. Kecuali poin keempat, ketiga poin yang
menyaring dapat dilihat mempengaruhi konstruksi berita-berita konflik LPI dan
PSSI.
9 Ibid. 10 Ibid. Hal. 132-133.
180
C. ANALISIS PRAKTIK SOSIOKULTURAL
Analisis sociocultural practice berpijak pada asumsi bahwa konteks sosial yang
berada di luar media ikut mempengaruhi wacana yang muncul di media. Analisis
ini tidak berhubungan langsung dengan teks, akan tetapi ia menentukan
bagaimana kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat memaknai dan
menyebarkan ideologi yang dominan kepada masyarakat.
Dalam kerangka analisis ini, konflik antara LPI dan PSSI tidak bisa
dilepaskan dari posisi penting sepakbola di mata masyarakat Indonesia. Apalagi
di tahun 2010 lalu masyarakat Indonesia sedang merasakan euforia besar
terhadap sepakbola. Puncaknya adalah langkah gagah Timnas Indonesia di Piala
AFF 2010, meski akhirnya tumbang di partai final melawan Malaysia.
Akibatnya, PSSI yang sejak lama telah diminta untuk melakukan reformasi
struktural pun semakin mendapatkan tekanan. Nurdin Halid yang sejak lama
dipaksa mundur, justru membela diri11, “Saya tidak akan mundur karena tekanan.
Saya tidak akan mundur karena menghargai demokrasi dan tatanan PSSI. Jika
kita gagal juara, itu very very unlucky.”
Ada berbagai alasan yang mendasari mengapa berbagai suara kelompok
masyarakat memintanya untuk mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI. Pertama,
statusnya sebagai mantan narapidana korupsi pada tahun 2005 dan 2007. Status
ini sejak lama digugat, akan tetapi tidak dihiraukan oleh PSSI. Bahkan selama
beberapa tahun ia sempat memimpin PSSI dari balik jeruji penjara. Tentu ini hal
yang amat buruk bagi dunia olahraga, karena dipimpin oleh seorang narapidana.
Kedua, Timnas dan Liga Indonesia yang cenderung terus terpuruk sejak
dipimpin oleh Nurdin Halid (dari 17 November 2003 – 26 Maret 2011). Timnas
terpuruk di pentas regional maupun internasional, sedang penyelenggaraan liga
nasional kacau balau, penuh dengan kekerasan dan mafia wasit. Ketiga, berbagai
saran dan kritik yang selama ini ditujukan kepada PSSI tidak pernah
diperhatikan, semisal tujuh butir rekomendasi Kongres Sepakbola Nasional di
Malang 30-31 Maret 2010. Salah satu butir paling penting dari rekomendasi
11 Hargai Demokrasi, Nurdin Halid Tolak Mundur. Diakses pada 25 April 2011. Terarsip di http://www.detiksport.com/sepakbola/read/2010/12/29/232000/1535546/76/hargai-demokrasi-nurdin-halid-tolak-mundur
181
tersebut adalah reformasi dan restrukturisasi organisasi. Sayang, poin yang amat
penting ini berlalu begitu saja.
Berbagai lini media kemudian dikerahkan masyarakat untuk terus menekan
Nurdin Halid dan jajarannya. Kritik di media cetak maupun elektronik sudah
dikerahkan. Di jejaring sosial Facebook, tidak terhitung lagi ada berapa grup
yang menamakan diri “Nurdin Halid Turun”. Di twitter, topik #NurdinTurun
sempat jadi world trending topic. Selama Januari-Februari 2011 terjadi demonstrasi
besar-besaran di berbagai penjuru Indonesia untuk menuntut Nurdin Halid
mundur. Ribuan pendemo selama beberapa hari bahkan menggembok dan
mengepung Kantor PSSI di Gelora Bung Karno. Bukti-bukti ini secara
sosiokultural telah menjelaskan betapa Nurdin Halid beserta jajaran pengurus
PSSI adalah public enemy number one.
Perubahan pun muncul dari berbagai lini. Seperti yang dilakukan Arifin
Panigoro, dengan menginisiasi LPI. perbedaan mendasar antara LPI dengan ISL
adalah pada penggunaan APBD untuk menjalankan klub. LPI adalah liga
professional yang murni dijalankan tanpa menggunakan APBD. Sayang, ide
menarik justru menimbulkan konflik antara Penyelenggara LPI dan PSSI.
Dalam kerangka analisis wacana, khususnya pada analisis sociocultural practice,
dapat dipahami bahwa keberpihakan yang ditunjukkan oleh Liputan 6 SCTV dan
Metro TV tidaklah hanya berdasarkan kepentingan internal, discourse practice,
bahwa kedua media tersebut secara historis dan politik memang kritis terhadap
berbagai ketimpangan dan kondisi status quo. Melainkan, ada faktor eksternal,
berupa akumulasi opini publik yang sejak lama telah meminta Nurdin Halid
beserta jajaran Pengurus PSSI untuk mundur.
Kondisi sosiokultural seperti di atas, tentu tidak akan pernah terwujud bila
sepakbola tidak mendapat perhatian yang amat luas oleh masyarakat. Setidaknya
ada 3 alasan yang mendasarinya (seperti yang telah dijelaskan di BAB II). Pertama,
bahwa sepakbola adalah alat perjuangan. Seperti yang disampaikan oleh Sejarawan
JJ Rizal12, bahwa inti terpenting sepakbola adalah sebagai api penggerak dan
pengobar spirit kebangsaan dan keadabannya sebagai masyarakat bermartabat.
12 JJ Rizal. “Sepakbola Bapak Bangsa”. Diakses pada 16 Maret 2011. Terarsip di http://spartacks.net/2011/sepakbola-bapak-bangsa/
182
Inilah bentuk spirit sepakbola yang dijadikan medium politik untuk membuktikan
bahwa bangsa-bangsa terjajah pun juga manusia yang punya keunggulan.
Indonesia yang saat ini terpuruk butuh kebanggaan, dan sepakbola adalah salah
satu jawaban itu.
Kedua, bahwa sebagai bagian dari modernitas, sepakbola adalah industri
yang amat raksasa. Di Liga Sepakbola Indonesia saja berputar uang ratusan miliar
sampai dengan triliunan tiap musimnya. Dan sepakbola memang olahraga yang
paling disukai di Indonesia, seperti hasil survey yang dilakukan oleh TNS Sport13.
Ketiga, adalah politisasi yang merusak spirit sportifitas dalam sepakbola.
Nurdin Halid yang sejak 2007 telah dilarang untuk maju sebagai Ketua Umum
PSSI, ternyata menggunakan kekuasaannya untuk merubah statuta FIFA. Statuta
FIFA yang menuliskan bahwa "The members of the Executive Committee... must not
have been previously found guilty of a criminal offence". Justru ditelikung artinya menjadi
"Anggota Komite Eksekutif... harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu
tindakan kriminal pada saat kongres serta berdomisili di wilayah Indonesia."
FIFA bahkan akhirnya menyetujui hal tersebut melalui Direktur Asosiasi dan
Pengembangan FIFA, Thierry Regenass, yang hadir pada Munaslub PSSI di
Jakarta, April 2009.
Ketiga argumen di atas bersama dengan berbagai kegagalan PSSI sejak 2003,
kemudian meletupkan revolusi suporter Indonesia. Puncaknya adalah kisruh di
Kongres PSSI, 26 Maret 2011 di Palembang, yang akhirnya memaksa Nurdin
Halid beserta Nugraha Besoes, Sekjen PSSI, lengser dari jabatannya. Kondisi
sosiokultural inilah yang kemudian dilihat oleh Liputan 6 SCTV dan Metro TV
untuk kemudian mewarnai konstruksi wacana konflik antara LPI dan PSSI.
D. ANALISIS ORDER OF DISCOURSE
Analisis order of discourse adalah bagian dari analisis wacana Fairclough yang
melihat berita dari segi intertekstualitas dan genre. Intertekstualitas adalah
sebuah istilah dimana teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang
sebelumnya. Sedangkan istilah genre adalah bagian dari konvensi yang
13 Abi Hasantoso, dkk. Op.Cit. Hal. 31.
183
dihubungkan dengan tindakan. Sebuah genre tidak hanya menampilkan tipe teks
tertentu, tetapi juga proses produksi, distribusi dan konsumsi dari teks.
1. Genre
Dengan melihat teks-teks yang disampaikan oleh Liputan 6 SCTV dan Metro
TV, dengan demikian genrenya adalah berita. Sedangkan, tipe aktivitasnya adalah
hard news, yang memposisikan pembuat berita sebagai subyek dan khalayak
sebagai pembaca/pemirsa. Pengertian dari hard news sendiri adalah berita yang
menyangkut hal-hal penting yang langsung terkait dengan kehidupan pembaca,
pendengar atau pemirsa. Karena dianggap penting, maka media segera
melaporkannya. Pada koran biasanya ditampilkan di halaman depan, pada televisi
dan radio pada jam prime time. Sedang pada situs portal berita, biasanya akan
segera di-upload dan di-update14.
Berita pun pada dasarnya tidaklah sama antara media cetak dengan media
penyiaran/elektronik. Beberapa perbedaan mendasar yang disebutkan oleh
Askurifai Baksin adalah sebagai berikut15:
No
Media Cetak/Periodik Media Elektronik/Penyiaran
Radio Televisi
1. Isi pesan tercetak, dapat
dibaca kapan saja dan
dimana saja.
Isi pesan audio, hanya
dapat didengar sekilas
sewaktu siaran.
Isi pesan audio-visual,
hanya dapat didengar
dan dilihat sekilas
sewaktu siaran.
2. Isi pesan dapat dibaca
berulang-ulang.
Isi pesan tidak dapat
diulang.
Isi pesan tidak dapat
diulang.
3. Hanya dapat menyajikan
peristiwa yang telah
terjadi.
Dapat menyajikan
peristiwa yang sedang
terjadi.
Dapat menyajikan
peristiwa yang sedang
terjadi.
4. Tidak dapat menyajikan
pendapat narasumber
Dapat menyajikan
pendapat narasumber
Dapat menyajikan
pendapat narasumber
14 Septiawan Santana K. Op. Cit. Hal. 21. 15 Askurifai Baksin. Op.Cit. Hal. 60-61.
184
secara orisinal. (audio) secara orisinal. (audio-visual) secara
orisinal.
5. Pesan dibatasi halaman
dan kolom.
Pesan dibatasi waktu. Pesan dibatasi waktu.
6. Makna berkala dibatasi
oleh hari, minggu dan
bulan.
Makna berkala dibatasi
oleh detik, menit dan
jam.
Makna berkala dibatasi
oleh detik, menit dan
jam.
7. Distribusi melalui
transportasi
darat/laut/udara.
Distribusi melalui
pemancaran/transmisi.
Distribusi melalui
pemancaran/transmisi.
8. Bahasa yang digunakan
formal.
Bahasa yang digunakan
formal dan non formal
(bahasa tutur).
Bahasa yang digunakan
formal dan non formal
(bahasa tutur).
9. Kalimat dapat panjang
dan terperinci.
Kalimat singkat, padat,
jelas dan sederhana.
Kalimat singkat, padat,
jelas dan sederhana.
Singkatnya, menurut JB Wahyudi16, dibanding karya jurnalistik cetak, film,
maupun radio, karya jurnalistik televisi adalah yang paling sempurna karena
dapat mengutip narasumber yang relevan secara langsung dan orisinal, dalam
bentuk audio visual.
Hard news sendiri dalam berita televisi harus mencakup inti-inti 5W+1H.
Uraian kemudian dimulai dari yang terpenting menuju yang kurang penting atau
yang sering diistilahkan sebagai piramida terbalik, bagian atasnya lebar semakin
ke bawah semakin menyempit. Isi berita ada di bagian awal berita, sedangkan
semakin ke bawah adalah sisipan-sisipan keterangan. Kalimat pertama dalam hard
news yang disebus sebagai lead/teras berita harus mengandung nilai yang
terpenting yang dijadikan sebagai topik bahasan berita. Di hard news pula,
wartawan hanya berfungsi menyajikan fakta dan pendapat narasumber, sehingga
tidak dibenarkan adanya opini pribadi17.
16 JB Wahyudi. 1996. Dasar-dasar Jurnalistik Radio dan Televisi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hal. 9.
17 Ibid. Hal. 45.
185
Bentuk piramida terbalik yang menjadi ciri khas dari hard news, secara
otomatis membuat wartawan harus segera mengurutkan laporannya. Bagian yang
paling atas merupakan ruang untuk ringkasan isi berita (summary statement). Baru
setelah itu dilanjutkan dengan penjelasan. Yakni pengembangan detil-detil, fakta-
fakta dan hal-hal lain18. Menurut, Friendlander dan Lee19, keuntungan dari
penggunaan prinsip piramida terbalik ini adalah, pertama, para pembaca dapat
segera mengetahui isi berita dengan hanya membaca lead dan beberapa paragraf
awal. Kedua, memudahkan redaktur untuk memotong berita yang terlalu
panjang, lewat materi berita yang tidak begitu penting di ujung bagian bawah
berita.
Karakteristik khas lain dari hard news dalam berita televisi adalah sifatnya
yang informatif, faktual dan aktual. Semisal, berita tentang keluarnya izin
penyelenggaran LPI oleh Polri, termasuk dalam kategori berita yang memiliki
nilai berita tinggi. Sehingga, harus disajikan secepatnya dengan uraian
berdasarkan piramida terbalik dan mengandung unsur 5W+1H.
2. Intertektualitas
Sedangkan, intertekstualitas yang dimaksud adalah istilah dimana teks atau
ungkapan dibentuk oleh teks yang hadir sebelumnya, saling menanggapi dan
salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi bagian lainnya.
Intertekstualitas dalam berita dapat dideteksi dari pengutipan narasumber,
apakah secara langsung atau tidak langsung.
Ada beberapa berita yang bisa ditelusuri intertekstualitasnya. Pertama, berita
mengenai LPI yang belum mendapatkan perijinan. Di Liputan 6 SCTV, berita ini
disiarkan pada tanggal 6 Januari. Sedangkan, di Kompas berita ini juga dicetak
pada 6 Januari.
Berita di Liputan 6 SCTV menyatakan bahwa:
(Voice Kapolresta Solo)Jadi ada satu persyaratan di sini yang belum dicukupi, yaitu
surat rekomendasi dari induk persepakbolaan atau induk organisasi sepakbola, yaitu
PSSI.
18 Septiawan Santana K. Op. Cit. Hal. 23. 19 Ibid.
186
(VO Narator)Panitia pelaksana LPI di Solo mengaku tidak bisa berbuat banyak
dan menyerahkan sepenuhnya kepada penyelenggara LPI tingkat pusat di Jakarta.
(Voice Roy Saputra, Panitia Lokal LPO)Kalau persiapan dari Panpel sudah 60%
agar besok tanggal 8 penyelenggaraannya bisa lancar.
Sedangkan di Kompas Juru Bicara LPI Abi Hasantoso menyatakan bahwa:
Juru bicara LPI, Abi Hasantoso, menjelaskan, izin pertandingan memang belum
dikeluarkan oleh Polresta Solo. Namun, proses perizinan masih terus berlangsung.
Panitia lokal di Solo masih menunggu jawaban dari Kapolresta Solo.
”Besok pagi (Kamis) kami ada pertemuan dengan Kapolresta Solo dan Kapolda Jawa
Tengah. Pertemuan itu untuk menjelaskan tentang LPI kepada jajaran aparat
keamanan,” ujar Abi.
Abi menambahi, pihak LPI optimistis kepolisian akan memberikan izin pertandingan
perdana. LPI juga dimaksudkan untuk memperbaiki sepak bola nasional.
Kedua berita ini pada dasarnya berasal dari tanggal yang berbeda sama.
Akan tetapi, karena sifat siaran televisi yang aktual dan langsung, berita bisa
langsung disiarkan hari itu juga. Sedangkan, Kompas harus menunggu sehari
berikutnya untuk terbit, imbasnya berita pun muncul pada hari yang bersamaan.
Pada dasarnya, berita di Kompas mendahului berita di Liputan 6 SCTV. Berita di
Kompas menyatakan bahwa panitia masih mengurus perizinan LPI dengan
Polresta Solo. Sedangkan, berita di Liputan 6 SCTV mengkonfirmasi hal tersebut
dengan kutipan wawancara dengan Kapolresta Solo yang menyatakan bahwa
perizinan belum dapat dikeluarkan karena ada persyaratan yang belum dicukupi,
yaitu surat rekomendasi dari yaitu PSSI.
Kedua berita ini, baik di Liputan 6 SCTV maupun Kompas memiliki
karakteristik wacana yang mirip. Keduanya cenderung meninggikan posisi tawar
LPI terhadap Polri atau PSSI. Caranya dengan pengambilan narasumber yang
didominasi oleh pihak pro LPI. Di Liputan 6 SCTV selain Panitia Pelaksana LPI
di Solo, beberapa warga juga dimintai pendapatnya tentang LPI. Sedangkan,
berita di Kompas pada tanggal 6 Januari tersebut secara lebih ekstrim hanya
187
menggunakan narasumber pro LPI, seperti Panitia Pelaksana, Juru Bicara LPI
dan Supporter Pasoepati yang berdemo menuntut LPI diberi izin.
Kedua, berita tersendatnya perijinan LPI akhirnya terselesaikan oleh izin yang
akhirnya dikeluarkan oleh Polri. Liputan 6 SCTV dan METRO TV
memberitakannya pada tanggal 6 Januari, sedangkan Jawa Pos tanggal 7 Januari.
Peristiwa ini terjadi pada hari yang sama, akan tetapi perbedaan deadline
produksi berita membuat berita disiarkan pada hari yang berbeda.
Berita di Liputan 6 SCTV menyatakan bahwa:
(VO Kapolda Jawa Tengah)Kalau Jawa Tengah sudah mengantongi dari BOPI.
Tidak ada alasan untuk tidak mengijinkan. Jadi kira-kira induk organisasinya
mengijinkan dan Polri akan mengeluarkan ijin keramaian dan akan mengamankan.
Terimakasih.
(VO Narator)Kepastian izin penyelenggaraan diperoleh setelah Polda Jawa Tengah
melakukan koordinasi dengan Mabes Polri di Jakarta. Dalam koordinasi melalui
telepon tersebut, pihak Mabes Polri sempat mempertanyakan rekomendasi dari induk
olahraga sepakbola di Indonesia untuk LPI di Solo. Karena pihak PSSI pengurus
cabang Solo sudah memberikan rekomendasi tersebut ke Polda Jawa Tengah. Pihak
kepolisian pun menyatakan persoalan rekomendasi penyelenggaraan LPI di Solo sudah
tidak ada masalah.
Berita di Metro TV menyatakan bahwa:
(VO Narator)Dalam jumpa pers di Gedung Kemenpora, Kabag Intelkam Mabes
Polri, Komjen Pol. Wahyono mengakui bahwa Liga Primer Indonesia (LPI) adalah
kompetisi sepak bola profesional. Dan bukan olahraga amatir yang harus mengantongi
rekomendasi PSSI. Karena itu, Polri harus mengeksekusi rekomendasi Badan
Olahraga Professional, seperti BOPI atas kompetisi yang diselenggarakan oleh LPI.
(VO Kabag Intelkam)Kalau yang bersifat amatir harus ada rekomendasi, tapi kalau
yang bersifat professional itu harus ada ijin penyelenggaraan yang dikeluarkan oleh
lembaga atau badan yang sudah ditunjuk oleh pemerintah berdasar peraturan menteri,
yaitu BOPI. Manakala BOPI telah menetapkan keputusannya, memberikan
perijinannya. Sudah barang tentu Polri harus memberikan ijin untuk memberikan
188
perlindungan dan pelayanan bagi masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan ini.
Dalam bentuk implikasinya pada keramaian umum.
Sedangkan, di Jawa Pos 7 Januari dengan berita yang berjudul “Menpora-
Polisi Abaikan PSSI” ditulis bahwa:
Tapi, kemarin Kadivhumas Mabes Polri Irjen Anton Bachrul Alam
menegaskan bahwa izin tersebut sudah keluar. ’’Kami sudah mengeluarkan
izin, tapi bukan izin penyelenggaraan,’’ katanya. Mantan Kapolda Jatim
tersebut menjelaskan, dalam persoalan izin itu, kepolisian berwenang
mengeluarkan izin keramaian umum. Izin tersebut dikeluarkan karena
pertandingan perdana LPI itu bersinggungan dengan keramaian umum. Dari
izin tersebut, polisi siap mengawal jalannya pertandingan. Untuk
pengamanan, Mabes Polri memberikan kewenangan sepenuhnya ke jajaran
Polda Jawa Tengah.
Perwira dengan dua bintang di pundak itu menjelaskan, izin keramaian
tersebut diterbitkan setelah BOPI memberikan izin penyelenggaraan
pertandingan. Anton menuturkan, pihaknya merujuk pada pasal 3 ayat 6
Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga Nomor Per-0342/Menpora/
IX/2009 tentang Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI). Aturan itu
berbunyi, BOPI bertugas memberikan izin penyelenggaraan pertandingan
dan perlombaan olahraga profesional. Selain itu, kata dia, pertandingan
perdana LPI tersebut sudah mendapat rekomendasi atau persetujuan dari
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Provinsi Jawa Tengah.
’’Semua rekomendasi sudah komplet. Jadi, kami sudah bisa mengeluarkan
izin,’’ terang dia.
Dari berita di Liputan 6 SCTV dan Metro TV dikesankan bahwa Polri telah
memberi restu kepada LPI. Ternyata ada hal-hal yang belum diberitakan dan
kemudian ditulis oleh Jawapos. Hal tersebut adalah mengenaik perizinan, bahwa
izin yang dikeluarkan bukanlah izin penyelenggaran LPI, melainkan izin
keramaian umum. Dari segi konstruksi wacana, tentu bisa diprakirakan bahwa
ada wacana yang ingin dikonstruksi oleh Liputan 6 SCTV dan Metro TV, yaitu
189
kepastian penyelenggaraan LPI. Namun, bisa jadi hal tersebut muncul karena
terbatasnya durasi siaran berita di televisi. Dan memang berita cetak, bisa
menampilkan berita secara lebih mendetail dibanding televisi yang lebih
mengutamakan kecepatan (aktualitas) siaran.
Selain itu, berita ini menggunakan narasumber yang sama. Jawapos dan
Metro mengambil langsung dari Polri di Jakarta, sedangkan Liputan 6 SCTV
mengambil dari Polda Jawa Tengah. Inti beritanya pun sama, bahwa Polri
memberikan izin (keramaian) berdasar rekomendasi dari BOPI, bukan PSSI,
untuk kemudian diteruskan ke Polda setempat.
Ketiga, Intertekstualitas yang bisa ditelusuri adalah berita tentang LPI yang
diancam oleh FIFA, disiarkan di Metro TV tanggal 7 Januari 2011, Liputan 6
SCTV tanggal 9 Januari 2011, dan diberitakan di Koran Tempo tanggal 8 Januari
2011.
Berita di Metro TV adalah sebagai berikut:
(VO Narator)Tentangan terhadap Liga Primer Indonesia terus mendapat tantangan.
Kali ini datangnya dari Federasi Sepakbola Internasional, FIFA.
(VO Narator)Meski belum mendapat laporan resmi mengenai Liga Primer Indonesia,
FIFA akan terus memantau. Bila tetap dilaksanakan, akan berhadapan dengan
sanksi FIFA.
(VO Narator)Menurut Direktur Pengembangan dan Anggota Asosiasi FIFA,
Thierry Regenass. Pihaknya tidak mengenal kompetisi sepak bola profesional yang
diselenggarakan di luar anggotanya, dalam hal ini PSSI.
(VO Narator)Sementara itu, menanggapi ancaman tersebut. Juru bicara LPI, Abi
Hasantoso justru mengakui itu sebagai hal yang baik. Karena ancaman tersebut
membuktikan ada perhatian dari FIFA. Dan hal itu justru akan membuka pintu
dialog.
Kemudian, diberitakan oleh Koran Tempo sebagai berikut:
Sebelumnya, Direktur Keanggotaan dan Pengembangan FIFA Thierry
Regenass mengatakan kepada kantor berita Reuters di Doha kemarin soal
kemungkinan pemberian sanksi tersebut. Regenass mengatakan pihaknya
sejauh ini belum menerima pemberitahuan resmi apa pun tentang LPI dari
190
PSSI, tapi ia mengaku tahu liga itu mulai bermain hari ini. Pihaknya juga
menyadari situasinya. "Dan ke depan mungkin akan ditangani oleh Komite
Darurat FIFA dan sanksi akan diambil," kata Regenass, yang berada di
Doha untuk menghadiri putaran final Piala Asia.
Menurut Abi Hasantoso, LPI menganggap ancaman FIFA itu sebagai
berkah, karena mereka akan bisa menyampaikan secara langsung segala
keburukan yang terjadi dalam penyelenggaraan liga oleh PSSI selama ini
kepada FIFA. "Sebab, selama ini yang bisa bertemu FIFA hanya orang
PSSI," kata Abi.
Abi mengatakan LPI juga tak bakal menanggapi ancaman tersebut karena
Thierry Regenass hanya Direktur Keanggotaan dan Pengembangan FIFA.
"Dia tidak kami anggap, kecuali kalau yang bicara Presiden atau Sekjen
FIFA. Dia (Regenass) itu orangnya PSSI, maksudnya temannya Nugraha
(Besoes, Sekretaris Jenderal PSSI) dan Nurdin (Halid, Ketua Umum PSSI),
makanya mengancam kami," ujarnya.
Liputan 6 SCTV pada hari berikutnya juga memberitakan:
(VO Narator)Liga Primer Indonesia sudah bergulir pada pertandingan perdana hari
kemarin. Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng berharap Liga Primer
Indonesia (LPI) bisa meningkatkan prestasi olahraga nasional. Di sisi lain, Arifin
Panigoro, merupakan penggagas Liga Primer Indonesia pun menyatakan tidak gentar
terhadap ancaman sanksi dari FIFA.
(VO Narator)Sebelum Liga Primer Indonesia mulai digelar hari ini. Ancaman sudah
muncul dari organisasi federasi sepakbola dunia, FIFA. Direktur Asosiasi
Pengembangan FIFA, Thierry Regenass memberitakan. Pihaknya akan memberikan
sanksi kepada LPI, karena liga yang diikuti 19 klub ini bukan agenda resmi PSSI.
Bahwa sanksi yang akan diberikan oleh FIFA itu adalah terhadap pemain-pemain,
ofisial, wasit, pelatih dan perangkat pertandingan yang terlibat di situ.
(VO Narator)Namun Menteri Pemuda dan Olahraga menyayangkan ancaman
FIFA tersebut. Menpora juga menyayangkan sikap PSSI yang tidak berkonsultasi
lebih dahulu sebelum melaporkan LPI ke FIFA. Padahal pemerintah sudah mengacu
pada undang-undang saat memberi ijin kepada LPI.
191
(Voice Menpora)Dalam undang-undang itu yang mengatur tentang olahraga
profesional adalah Badan Olahraga Professional. Yang diberi kewenangan-kewenangan
berdasar aturan perundangan negara. Dan karena itu, maka BOPI-lah yang membuat
perijinan dalam olahraga professional. Kita tidak mencampuri urusan dalam negeri
PSSI. Tetapi, melakukan apa yang sudah menjadi kewenangan dari sebuah negara.
(VO Narator)Menanggapi sanksi dari FIFA, penggagas Liga Primer Indonesia
Arifin Panigoro tetap akan terus berjalan sesuai dengan rencana.
Secara berturut-turut selama 3 hari, berita tentang ancaman FIFA
diberitakan oleh ketiga media ini. Berita tersebut bersumber dari pernyataan dari
Thierry Regenass, Direktur Asosiasi Pengembangan FIFA. Akan tetapi, secara
bersamaan pula ketiga media besar ini memberitakan bahwa ancaman tersebut
diabaikan LPI, karena mereka justru sangat terbuka untuk berdiskusi dengan
FIFA. Dan dari ketiga media tersebut, Koran Tempo mampu menulis berita
yang lebih detail, dengan kutipan wawancara dari Abi Hasantoso (Juru Bicara
LPI) yang menyatakan bahwa Regenass adalah orang yang berpihak pada PSSI.
Selain berbeda cara penyampaiannya dibanding dengan Liputan 6 SCTV maupun
Metro TV, karena di dua stasiun televisi ini hanya menggunakan narator,
pendapat ini juga merupakan kunci yang mampu menjelaskan duduk
permasalahan sebenarnya.
Kesimpulan, dari penelusuran intertekstualitas yang ada, dapat diambil
kesimpulan bahwa sebagian besar media massa di dalam negeri secara bersama-
sama mendukung adanya LPI untuk kepentingan perkembangan sepakbola
nasional. LPI diharapkan sebagai lokomotif terhadap reformasi total terhadap
dunia persepakbolaan di Indonesia. Maka, benarlah anggapan yang menyatakan
bahwa media massa berperan penting dalam mensukseskan LPI, secara khusus
dan secara umum ikut serta melengserkan kepemimpinan PSSI di bawah Nurdin
Halid.
192
BAB V
PENUTUP
Penelitian dengan menggunakan metode analisis wacana kritis Fairclough ini sejak
awal bertujuan untuk mempelajari bagaimana kekuasaan disalahgunakan atau
bagaimana dominasi serta ketidakadilan dijalankan dan direproduksi melalui teks.
Termasuk di dalamnya dipelajari pula bagaimana produksi wacana berlangsung dan
relasi kuasa apa saja yang ada di belakangnya.
Analisis pada BAB IV menemukan fakta empirik bahwa industri televisi
Indonesia, khususnya televisi swasta, mengalami pergeseran berkenaan dengan
pergantian rezim pemerintahan. Bila pada masa orde baru state regulation begitu kuat
mengatur, pasca reformasi justru market regulation yang menguasai. Kini, tidak ada lagi
pemerintah yang secara otoriter mengatur batasan-batasan isi media, melainkan
media sendiri yang menentukan hal tersebut berdasarkan kecenderungan yang
diinginkan oleh pasar/khalayak.
Tidak bisa dipungkiri pula bahwa sepakbola sebagai sebuah olahraga, hiburan
sekaligus industri menarik keterlibatan berbagai pihak. Sepakbola sejak zaman pra-
kemerdekaan digunakan pula sebagai simbol perjuangan kebangsaan. Hingga hari ini
ini, sepakbola begitu ditunggu prestasinya oleh segenap bangsa Indonesia. Sehingga,
ketika sepakbola terpuruk dan kemudian dipolitisasi, revolusi terhadap PSSI pun
terjadi dimana-mana dan lewat berbagai lini media, termasuk di dua stasiun televisi
SCTV dan Metro TV. Pemberitaan yang intensif ini, tentu tidak dapat dilepaskan dari
tendensi kepentingan yang dimiliki oleh kedua televisi tersebut terhadap
persepakbolaan nasional, khususnya lewat penyelenggaraan LPI.
Penelitian skripsi ini kemudian fokus kepada teks-teks berita hard news di
Liputan 6 SCTV dan Metro TV. Dua stasiun televisi ini dipilih karena newsroom-nya
yang dikenal menonjol. Selain itu, stasiun khusus berita lain yang seharusnya bisa
digunakan sebagai obyek, yaitu TvOne ternyata tidak memberitakan sama sekali
tentang LPI. Keputusan TvOne untuk tidak memberitakan LPI, dalam kerangka
analisis wacana, tentu didasarkan atas kepentingan dan konstruksi wacana tertentu.
193
Secara keseluruhan, ada 13 berita dari Liputan 6 SCTV dan 8 berita dari Metro
TV yang dianalisis. Dari latar belakang hingga analisis yang telah disampaikan, ada
beberapa kesimpulan dan saran dari penelitian ini.
A. KESIMPULAN: Ketika PSSI Jadi Musuh Bersama
Kesimpulan yang akan diangkat adalah ringkasan poin-poin analisis yang telah
dibahas di BAB IV. Mulai dari representasi, relasi, identitas, discourse practice, dan
sociocultural practice secara umum. Selain itu, Merujuk pada tujuan penelitian pada
Bab I. Maka ada tiga poin yang harus dijelaskan dalam Bab V ini, yakni: Pertama,
konstruksi pemberitaan yang diwacanakan oleh MetroTV dan Liputan 6 SCTV
tentang konflik LPI dan PSSI. Kedua, latarbelakang dari konstruksi tertentu
pada pemberitaan Liputan 6 SCTV dan Metro TV tentang LPI. Dan ketiga,
pembuktian kajian kritis bahwa netralitas media terhadap suatu debat publik
tidak akan pernah terjadi.
Dimulai dari representasi, ada persamaan dan perbedaan yang dimiliki
oleh Liputan 6 SCTV dan Metro TV. Persamaannya adalah konflik LPI dan
PSSI secara empiris dikonstruksi melalui pemberitaan kedua stasiun televisi
tersebut. Sedangkan, perbedaannya adalah Liputan 6 SCTV ‘sedikit’ lebih
obyektif dalam melakukan representasi. Indikasinya adalah diksi pemberitaan
yang lebih halus dan pemilihan narasumber yang lebih variatif, cover both sides.
Metro TV di lain pihak justru begitu gemar menggunakan kosakata yang
sarkastis, seperti “gertak sambal” dan “mengharamkan”. Narasumber pun, dari 8
berita di Metro TV, hanya ada satu berita yang meluangkan ruang untuk
wawancara dengan PSSI sebagai pihak yang dimarjinalkan dalam wacana ini.
Sedangkan, Liputan 6 SCTV lebih bersikap ‘fair’, dengan 6 dari 13 beritanya
meluangkan ruang untuk wawancara dengan PSSI. Akan tetapi, secara umum
memang representasi yang dikonstruksi dalam dua stasiun ini adalah LPI sebagai
pembela kepentingan sepakbola nasional dan PSSI sebagai musuh bersama yang
terus melakukan hadangan.
Dalam hal relasi, melalui analisis teks ditemukan fakta bahwa kedua
televisi ini mengkonstruksi wacana konflik antara LPI dan PSSI. Kedua belah
pihak yang berkonflik ini hampir selalu dibenturkan dalam berita. Meski harus
194
diakui sebagian besar berita yang disiarkan menampilkan PSSI sebagai common
enemy yang melawan kepentingan masyarakat luas terhadap kemajuan sepakbola
Indonesia. Posisi ini secara eksplisit adalah pola marjinalisasi yang dilakukan oleh
Liputan 6 SCTV dan Metro TV. Selain itu, PSSI hampir selalu ditampilkan
sendirian membela diri terkait penolakannya terhadap LPI. PSSI memang
sempat ‘dibela’ oleh FIFA, akan tetapi FIFA yang membelanya kemudian
dikonstruksi sebagai pihak yang belum paham masalah dan hanya mendapat
informasi sepihak. Sedangkan, LPI secara positif ditampilkan membela
kepentingan masyarakat luas. Ini dibuktikan dalam beberapa berita, ada banyak
partisipan berita yang membela LPI, seperti DPR, Menpora, Pengamat
Sepakbola, Klub LPI, Masyarakat (Warga Solo dan Siswa SMA), bahkan hingga
wartawan televisi itu sendiri.
Untuk identitas, ada perbedaan yang cukup signifikan antara Liputan 6
SCTV dan Metro TV. Liputan 6 SCTV lebih dominan menampilkan diri sebagai
pengamat, sebagai orang ketiga di luar konflik, untuk kemudian memberitakan
hal tersebut kepada khalayak. Sedangkan, Metro TV secara terang-terangan, baik
melalui narasi maupun wartawan di lapangan, sering menampilkan identitasnya
yang lebih memihak pada LPI. Bahkan berbagai dukungan tersebut, dapat
disimpulkan seakan-akan Metro TV adalah juru bicara atau humas dari LPI.
Kesimpulan dari analisis representasi, relasi dan identitas di atas, dapat
dirangkum ke dalam tabel di bawah ini:
Berita SCTV Indikasi Representasi
Indikasi Relasi
Indikasi Identitas
LPI Segera Digelar, PSSI Menganggap Liar
1. Penggunaan kata: - PSSI yang menyebut LPI ‘liar’. - ‘Kisruh PSSI’ sebagai judul berita. 2. Sanggahan melalui VO SCTV terhadap pernyataan PSSI
Konflik yang dibentuk adalah antara LPI dan PSSI. SCTV sebagai pengamat di luar konflik.
SCTV memposisikan diri sebagai perwakilan masyarakat luas.
BTN PSSI Tetap Sertakan Irfan Bachdim
1. PSSI dianggap inkonsisten karena menolak LPI, tapi tetap memanggil pemainnya.
Benturan antara PSSI dan LPI, khususnya lewat pemain dari klub Persema Malang.
SCTV mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Persema Malang.
195
2. Penggunaan judul “Konflik Liga Sepakbola” 1. Pemain LPI (Persema) tidak takut dengan ancaman PSSI.
Suporter Makassar Minta LPI Dibubarkan
1. Demonstran direpresentasikan sebagai tindakan abnormal. 2. Pemilihan kata ‘sejumlah’ dan ‘puluhan’ menandakan minoritas. 3. Judul “Pendukung Nurdin Halid Berdemo” mereduksi demo ini menjadi konflik antara Nurdin Halid versus LPI.
Konflik antara PSSI, yang diwakili oleh demonstran pro-Nurdin Halid dan LPI.
SCTV menampilkan berita dari sisi kelompok pendemo.
Ternyata LPI Belum Urus Izin Pembukaan Liga
1. Permasalahan ijin bukan dari pihak LPI, melainkan karena internal Polri yang tidak bersepakat. 2. Di akhir berita, LPI direpresentasikan tidak bersalah karena hanya menunggu kepastian dari Polri.
Kontradiksi di internal Polri antara Kabareskrim dan Kadivhumas terhadap izin LPI.
SCTV cenderung menampilkan diri sebagai wakil dari LPI.
Pengamat Bola “LPI Sangat Positif”
1. Pernyataan pengamat menguatkan posisi LPI. 2. PSSI menjawab secara egois, bahwa sepakbola adalah urusan PSSI. 3. Penggunaan judul ‘Kritik untuk
Debat antara pendukung LPI (pengamat) dengan PSSI.
SCTV mencoba netral dalam berita ini dengan menampilkan dua belah pihak yang berbeda pendapat.
196
PSSI’ diterjemahkan lewat pernyataan pengamat sepakbola.
Polda Jateng Belum Izinkan Pertandingan LPI
1. Pernyatan presenter “namun” mengandung penegasan kontradiktif. 2. Kesiapan pihak LPI dikonfirmasi oleh Ketua Panpel Solo dan didukung oleh warga Solo. 3. Representasi anak kalimat, mengarahkan dukungan SCTV terhadap LPI.
Benturan antara Polri dan PSSI dengan Warga Solo terkait penyelenggaraan LPI.
SCTV netral dalam berita ini dengan menampilkan dua belah pihak yang berbeda pendapat.
Polisi Akan Amankan Laga Perdana LPI
1. Pernyataan Kapolda Jateng yang mengijinkan LPI. 2. Judul berita “Polisi Akan Amankan Laga Perdana LPI” merepresentasikan pemihakan Polri terhadap LPI. 3. PSSI tidak diberikan ruang, hanyan dijelaskan lewat narator.
Berita ini merupakan rekonsiliasi dari benturan antara Polri dengan LPI dan warga Solo pada hari sebelumnya.
SCTV lebih memihak kepada LPI, dengan meninggalkan PSSI di luar berita.
Rumah Arifin Panigoro Didemo Pendukung PSSI
1. Pendemo tidak diberi kesempatan untuk berbicara, hanya diwakili oleh suara narrator & presenter. 2. Judul “Rumah Arifin Panigoro Didemo Pendukung PSSI” mengindikasikan adanya
Benturan antara PSSI yang diwakili oleh para pendemo dengan Arifin Panigoro.
SCTV menempatkan diri secara netral sebagai pengamat realitas.
197
permasalahan antara Arifin dengan PSSI.
LPI Vs LSI, Siapa Pemenangnya?
1. Pemilihan kata “vs” dan frasa “siapa pemenangnya?” pada judul menegaskan konflik antara LPI dan PSSI (LSI). 2. Narasumber yang dipilih hanya mereka yang memihak pada LPI. 3. Kesimpulan narrator di akhir berita yang menegaskan pernyataan narasumber.
Siswa SMA melihat LPI dan LSI yang sedang berkonflik. Sebagian besar siswa lebih memilih LPI.
SCTV cenderung tidak netral ketika hanya memberi ruang wawancara kepada pendukung LPI, tidak LSI.
Diancam FIFA, LPI Jalan Terus
1. Judul dengan kata “diancam” oleh FIFA, menandakan adanya permasalahan antara LPI dengan FIFA. 2. Akan tetapi, secara representasi antar anak kalimat, pernyataan tersebut dibantah oleh pihak-pihak yang mendukung LPI seperti Menpora RI, Arifin Panigoro dan Pelatih Persema Malang Timo Schunemann.
Berita ini mengkonstruksi konflik antara FIFA dan PSSI dengan para pendukung LPI, Menpora RI, Penyelenggara LPI dan pelatih klub LPI.
SCTV ingin memberitakan konflik secara netral dengan menampilkan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Akan tetapi, narasumber dari pihak kontra LPI ditampilkan sangat singkat. Sedangkan, pihak yang pro-LPI lebih panjang.
PSSI Tutup Pintu Dialog
1. Pemilihan judul dengan kata ‘tutup’ adalah pilihan dari redaksi SCTV, member kesan bahwa PSSI tidak
Berita ini mengkonstruksi konflik antara FIFA dan PSSI dengan para pendukung LPI,
SCTV menampilkan konflik beserta pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Akan tetapi,
198
terbuka & arogan. 2. Penggunaan judul “PSSI Tutup Pintu Dialog” juga telah menandakan adanya konflik antara LPI dan PSSI. 3. Secara representasi anak kalimat, berita ini diakhir dengan tanggapan yang menentang PSSI dari Arifin Panigoro dan Menpora RI.
yaitu Menpora RI dan penyelenggara LPI.
representasi PSSI yang memilih untuk menutup dialog. Dengan jelas, dapat diartikan sebagai sikap Liputan 6 SCTV untuk memberi citra PSSI yang otoriter dan sewenang-wenang.
DPR Sesalkan Pencoretan Nama Irfan
1. Penggunaan kata “DPR” ketimbang “Anggota DPR”, memberikan penekanan lebih terhadap berita. 2. PSSI ditampilkan sebagai musuh dari masyarakat dan pemerintah karena bertindak sewenang-wenang. 3. Berita hanya mengutip dialog dengan anggota DPR Gede Pasek, tanpa memberi ruang tanggapan kepada PSSI atau Alfred Riedl.
Dominasi DPR terhadap PSSI dan Alfred Riedl terhadap konflik LPI.
SCTV memposisikan identitasnya sebagai pihak yang mendukung LPI.
Nurdin Sentil LPI
1. Judul “Nurdin Sentil LPI” menunjukkan adanya konstruksi konflik. 2. Secara visual ditampilkan pula judul “Perseteruan PSSI vs LPI”. 3. Nurdin Halid dikutip secara
Berita ini mengkonstruksi konflik antara LPI dan PSSI. PSSI diwakili oleh Nurdin Halid, sedangkan LPI justru diwakili oleh SCTV lewat presenter dan naratornya.
SCTV secara eksplisit bertindak seakan-akan sebagai Humas LPI dengan menyanggah pernyataan-pernyataan Nurdin Halid.
199
langsung. Akan tetapi, seluruh narasi SCTV setelahnya menyanggah Nurdin.
Berita Metro TV
Indikasi Representasi
Indikasi Relasi
Indikasi Identitas
BLI Bahas Sanksi untuk Klub yang Gabung ke LPI (3 Januari 2011)
4. Penggunakan kata “hadangan” untuk sikap PSSI terhadap LPI. 5. Pertemuan PSSI yang tertutup memberi kesan tidak demokratisnya pengambilan keputusan. 6. Di akhir berita, pernyataan Nirwan Bakrie dan Joko Driyono dari PSSI disanggah oleh Metro TV.
Ada konstruksi konflik antara PSSI dan LPI. PSSI member pernyataaan terkait LPI, sedangkan Metro TV membela LPI di akhir berita.
Metro TV memposisikan diri di pihak LPI dengan cara memberi kesimpulan di akhir berita. Agar khalayak tidak menerima mentah-mentah pernyataan dari PSSI.
Polri tetap Jamin Keamanan Pertandingan LPI (4 Januari 2011)
7. Judul “Polri tetap Jamin Keamanan Pertandingan LPI” menandakan situasi LPI yang belum aman sepenuhnya karena terus dihadang oleh PSSI. 8. Pilihan kata “gertak” dan “gertak sambal” yang disampaikan presenter di awal berita memberi kesan PSSI yang pengecut. 9. Wartawan Metro TV dalam wawancara dengan Kabareskrim pun terlihat
Relasi yang dikonstruksi adalah antara PSSI, Polri, LPI, dan reporter. Dalam hal ini Polri dikonstruksikan berseberangan dengan PSSI, karena menolak laporan PSSI terkait ke-ilegal-an LPI.
Metro TV memposisikan diri sebagai pendukung LPI. Pemilihan judul, narasi dan diakhiri dengan pertanyaan yang menjurus kepada Kabareskrim menegaskan posisi tersebut.
200
mengarahkan pertanyaan dengan berandai-andai bahwa LPI harus berjalan dan jangan sampai dilarang.
Manajer Persema Malang: “Di LPI Lebih Adil & Merdeka” (4 Januari 2011)
10. Pemilihan judul terkesan provokatif dengan menyatakan bahwa “Di LPI Lebih Adil & Merdeka”. 11. Secara sepihak, narasumber hanya diangkat dari pendukung LPI. 12. Konferensi pers yang dijadikan siaran langsung juga menunjukkan Metro TV menilai konflik ini amat penting.
Berita ini mengkonstruksi konflik antara PSSI, LPI, dan Persema Malang. Dimana LPI dan Persema Malang diwakili oleh Manajernya yang sangat dominan dalam berita.
Metro TV menggunakan identitas sebagai pendukung LPI. Hal ini terlihat dari pemilihan judul dan fokus berita yang berpusat hanya pada Peni Suparto.
Polda Jateng Memberi Izin Laga LPI (6 Januari 2011)
13. Di awal berita, khalayak langsung dijelaskan bahwa BOPI akhirnya mengeluarkan izin dan Polda Jawa Tengah akan mengawal jalannya pembukaan. 14. Pernyataan Walikota Solo memberi kesan bahwa LPI telah didukung oleh warga Solo, sehingga tidak sepatutnya untuk PSSI. 15. Di akhir berita, reporter memancing Walikota dengan pertanyaan yang menjebak. Hingga
Berita ini mengkonstruksi konflik antara LPI dan PSSI melalui Walikota, Kapolda Jawa Tengah, LPI dan PSSI. Dimana Kapolda dan Walikota Solo mendominasi berita dengan dukungan terhadap LPI.
Metro TV secara eksplisit mendukung LPI. Sejak dari pemilihan judul hingga narasumber yang diangkat, ditampilkan untuk
201
akhirnya, Walikota menyatakan bahwa PSSI tidak berani untuk bersaing secara sehat.
Izin Kompetisi LPI (6 Januari 2011)
16. Penggunaan kata “mengharamkan” dan anak kalimat “tidak membuat Pengurus Cabang PSSI Solo mentaati regulasi tersebut” menegaskan adanya konflik antara LPI dan PSSI. Kedua kata ini juga lahir dari presenter, bukan kutipan narasumber. 17. FX Hadi Rudiyatmo ditampilkan sebagai Ketua Pengcab PSSI Solo, tanpa menyebutkan jabatannya sebagai Wakil Walikota Solo, menegaskan bahwa memang PSSI sudah kehilangan wibawa di akar rumput. 18. Kesimpulan di akhir berita menegaskan bahwa masyarakat Solog memang menginginkan kehadiran LPI.
Berita ini mengkonstruksi konflik antara PSSI dengan PSSI Solo terkait LPI. Dimana PSSI Solo menjadi pihak yang dominan dan tunggal.
Metro TV sudah mendukung LPI sejak awal. Indikasinya pemilihan kata dan penyusunan naskah berita oleh presenter, mendelegitimasi posisi PSSI di hadapan PSSI Solo.
Kompetisi LPI Akhirnya Mendapat Izin dari Polri (6 Januari 2011)
19. Penggunaan anak kalimat “... mengakhiri polemik” menandakan bahwa ada konflik yang sebelumnya terjadi
Adanya konflik segitiga antara PSSI, Polri dan LPI. Akan tetapi, dengan keluarganya ijin dari BOPI, Polri
Identitas Metro TV layaknya Humas LPI itu sendiri. Pernyataan dari narator berita mengenai LPI yang tidak
202
antara LPI dan PSSI namun telah berakhir berkat izin dari Mabes Polri. Dan pemenangnya adalah LPI. 20. Narasi ini memberi kesan bahwa sikap PSSI yang “mengharamkan” LPI adalah salah alamat. Karena izin LPI yang benar berasal dari BOPI, lembaga di bawah Kemenpora. 21. Secara umum, PSSI digambarkan sebagai pihak yang menghalangi perizinan Polri untuk LPI.
kemudian lebih memihak kepada LPI ketimbang PSSI.
membutuhkan rekomendasi PSSI, memberi kesan delegitimasi posisi PSSI di hadapan LPI.
PSSI Dituntut Boikot LSI (7 Januari 2011)
22. Konflik ditampilkan lewat sekelompok orang yang berdemo menuntut pembubaran LPI. 23. Akan tetapi, Metro TV mengkerdilkan posisi pendemo dengan menempatkan jumlah ‘puluhan’ dan judul sebagai peristiwa. 24. Selain itu, pendemo juga dikerdilkan dengan tidak diambil sebagai narasumber. Justru hanya dinarasikan pendapatnya untuk
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara pendukung PSSI dengan LPI. Pendukung yang berdemo kemudian menjadi pihak dominan, dimana berita secara keseluruhan menceritakan pernyataan dari pendemo.
Seperti biasa Metro TV memberitakan LPI dengan mengkerdilkan & mendiskreditkan pihak-pihak yang menolak LPI.
203
dievaluasi dan dikritik.
FIFA Tak Akui Keberadaan LPI (7 Januari 2011)
1. Konflik dikonstruksi dengan benturan yang terjadi antara FIFA bersama PSSI dengan LPI yang dianggap membandel. 2. Laporan yang belum diterima secara resmi oleh FIFA memberi kesan bahwa sebenarnya FIFA belum paham akan masalah yang terjadi. Bahkan gegabah memberi pernyataan. 3. Rangkaian berita diakhiri dengan narasi dari pihak LPI yang melihat kasus ini sebagai peluang untuk berdialog dengan FIFA.
Relasi yang dikonstruksi dari berita ini adalah benturan antara FIFA dan PSSI dengan LPI. FIFA dan LPI kemudian menjadi pihak yang dominan dalam berita, sedangkan PSSI sebatas teks lain imbas dari relasi tersebut.
Metro TV mengidentifikasikan diri dalam konflik ini dengan lebih condong ke LPI. Metro lebih memilih menampilkan LPI, agar mereka bisa membela diri.
Analisis teks berupa representasi, relasi dan identitas menjawab tujuan
pertama dari penelitian ini yaitu konstruksi pemberitaan yang diwacanakan oleh
Liputan 6 SCTV dan MetroTV tentang konflik LPI dan PSSI. Singkat cerita,
kedua media ini mengkonstruksi konflik antara LPI dan PSSI dengan
menampilkan kedua belah pihak sebagai pihak yang berseteru dalam
pemberitaan. Akan tetapi, kedua belah pihak tidak ditampilkan secara seimbang,
melainkan kedua media lebih tersebut lebih condong mendukung kehadiran LPI.
Kemudian, dari tahapan discourse practice, pemberitaan kritis yang
mengkonstruksi konflik yang dilakukan oleh Liputan 6 SCTV dan Metro TV
didasarkan atas motif yang senada. Pertama, sisi historis dimana kedua media ini
memang terkenal kritis dalam melihat ketimpangan dan penyalahgunaan
204
kekuasaan. Dalam hal ini PSSI adalah organisasi yang sudah bobrok dan korup,
sehingga harus segera direformasi. Kedua, sebagai konsekuensi dari liberalisasi
dunia penyiaran pasca reformasi. Semua media swasta kemudian harus memiliki
komoditas yang menarik tiap waktunya. Berita adalah salah satu komoditas
tersebut. Sehingga, setiap harinya harus ada isu berita yang bisa diangkat untuk
menarik khalayak.
Dari tahapan sociocultural practice, kondisi eksternal di luar media memang
“mengharuskan” media untuk berpihak. Kondisi tersebut adalah kebobrokan
dan politisasi PSSI yang sudah terlalu nyata. Revolusi jalanan dari suporter
sepakbola di Indonesia pun sedang mencapai puncaknya. Sehingga, mau tidak
mau media sebagai salah satu instrumen perubahan, harus turut serta melibatkan
diri dalam perubahan tersebut. Dan dalam hal ini, LPI adalah simbol perubahan
yang harus diselamatkan.
Dalam hal ini, terbukti sudah bahwa media berperan penting dalam
perubahan. Slogan Liputan 6 SCTV, “Aktual, Tajam dan Terpercaya” dan Metro
TV, Knowledge to Elevate, bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Slogan itu
menjadi landasan bagi dari konstruksi pemberitaan yang kritis terhadap suatu
wacana, sehingga perubahan dapat terjadi lebih cepat.
Kedua analisis ini, discourse practice dan sociocultural practice, menjawab dua
tujuan dari penelitian, yaitu latarbelakang dari konstruksi pemberitaan Liputan 6
SCTV dan Metro TV tentang LPI dan membenarkan kajian kritis bahwa
netralitas media terhadap suatu debat publik tidak akan pernah terjadi. Kedua
media ini memiliki sisi historis yang sama-sama kritis. Faktor kebebasan pers
yang diwarnai dengan dominasi market regulation di era reformasi juga menjadi
faktor yang amat berpengaruh. Pada era ini, praktis khalayak adalah segala-
galanya bagi televisi swasta. Maka dari itu, program pemberitaan pada televisi
swasta memiliki orientasi yang tidak berbeda dengan acara hiburan sekalipun:
untuk menarik khalayak, meningkatkan rating dan kemudian mendapatkan
pemasukan dari iklan.
Sedangkan, permasalahan netralitas terhadap debat publik tidaklah
semata-mata berkaitan dengan persoalan ekonomi-politik semata, seperti
dominasi pemilik media, iklan dan rating. Akan tetapi jauh lebih luas dari itu,
205
berkaitan erat pula dengan persoalan sosiokultural di dalam masyarakat. Dalam
sebuah proses perubahan, media adalah salah satu aktor yang memiliki peran
strategis. Peran media adalah katalisator perubahan, caranya dengan
mengkonstruksi wacana dalam pemberitaan, seperti wacana konflik antara LPI
dan PSSI ini. Kehadiran media sebagai katalisator berpotensi besar untuk
mempercepat terjadinya perubahan. Argumen di atas membuktikan bahwa
memang media tidak bisa sepenuhnya bersikap netral dalam menghadapi debat
publik. Karena di sana ada berbagai kepentingan yang mengambil peran dan
mempengaruhi pemberitaan dari media.
Penelitian ini pun masih memiliki beberapa keterbatasan. Pertama,
bahwa di tahapan analisis discourse practice, peneliti tidak maksimal dalam meneliti
proses pemberitaan yang terjadi di internal kedua televisi tersebut. Akses yang
terbatas ke dalam news room dua televisi ini menyebabkan sebagian besar data di
analisis discourse practice hanyalah data sekunder yang didapatkan dari buku atau
penelitian lain. Kedua, analisis baru mencapai tahap analisis teks dari transkrip
pemberitaan. Sedangkan, aspek visual dari berita televisi belum dianalisis secara
metodologis. Seharusnya, dalam pemberitaan televisi, analisis teks bisa
disempurnakan dengan dukungan dari analisis semiotika visual.
B. SARAN: Media Adalah Bagian dari Resolusi Konflik
Secara umum, kecenderungan media hari ini adalah media yang terbelenggu
dengan kapital, yang berbeda secara diametral dengan media di era orde baru.
Media model ini tidak melihat nilai berita sebagai suatu nilai kemanusiaan,
sebagai informasi yang harus diberitakan demi kepentingan masyarakat luas.
Akan tetapi, lebih melihat berita sebagai suatu komoditas. Kapitalisme dalam
media, merujuk pada pendapat dari Chomsky dan Herman, terangkum dalam
empat poin, yaitu: kepemilikan dan orientasi ekonomi, pihak pengiklan, sumber
media massa dan flak. Pihak pertama dan kedua inilah yang kemudian begitu
berpengaruh. Sehingga, secara empiris bisa dibuktikan bahwa isu sebesar LPI,
nyaris tidak diberitakan oleh TvOne ataupun ANTV tentu berkaitan dengan pola
kepemilikan modal yang ada pada kedua televisi ini. Seharusnya media menyadari
bahwa loyalitas utama bukanlah pada pemilik media ataupun pengiklan,
206
melainkan kepada masyarakat seperti yang dicetuskan oleh Bill Kovach dan Tom
Rosentiel dalam bukunya The Elements of Journalism.
Alangkah lebih baik pula, bila penelitian serupa di lain waktu dapat
menemukan media yang melakukan perang konstruksi wacana dalam
pemberitaanya. Karena dalam penelitian ini, dua media yang menjadi obyek
penelitian ternyata mengkonstruksi wacana yang hampir serupa tentang LPI dan
PSSI. Perang antar media dalam konstruksi wacana tentu akan sangat menarik
bila dianalisis menggunakan analisis wacana.
Selain itu, prinsip cover both sides juga harus diutamakan agar terjadi diskusi
yang seimbang dan tidak berpihak. Perubahan memang penting, namun
memberi ruang yang seimbang kepada dua belah pihak yang berkonflik tidak
kalah pentingnya. Proses marjinalisasi PSSI begitu nyata terjadi dalam
pemberitaan LPI, khususnya pada kedua stasiun televisi yang diteliti pada
penelitian ini. Pada akhirnya, perubahan akan terjadi ketika khalayak memilih
untuk memihak kepada salah satu pihak, atau justru netral dan tidak memilih
pihak manapun.
Dalam suasana konflik, perlu juga dirujuk mengenai konsepsi jurnalisme
damai yang dicetuskan oleh Johann Galtung. Jurnalisme harus didasarkan pada
prinsip-prinsip yang bertujuan untuk menghindarkan kekerasan. Caranya dengan
mengedukasi para wartawan agar tidak menjadi bagian dari konflik, melainkan
harus menjadi bagian dari solusi lewat upaya pemberitaan.
Pada akhirnya, semoga di lain waktu penelitian serupa dapat diperdalam
dan dipertajam dalam analisisnya, khususnya pada analisis teks dan discourse
practice. Analisis teks harus mampu menggabungkan analisis teks narasi dan visual
yang merupakan dwi tunggal dalam pemberitaan televisi. Selain itu, keluasan
wawasan peneliti bersama dengan sensifitas dalam melihat kejanggalan teks
adalah poin yang krusial dalam menganalisis teks. Sedangkan pada discourse
practice, penelitian sejenis diharapkan mampu menelisik lebih mendalam atas latar
belakang konstruksi wacana yang dilakukan oleh sebuah media. Media tentu tak
akan pernah bisa netral sepenuhnya, akan tetapi di balik semua pilihan yang
berpihak pastilah ada penjelasan yang melatarbelakanginya. Penjelasan itulah
yang harus ditelisik dan dijelaskan dalam penelitian.