Konsep Megacities Mata Kuliah Perencanaan Kota
Transcript of Konsep Megacities Mata Kuliah Perencanaan Kota
1
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTAFAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
2015
“Megacities”PERENCANAAN KOTA RP-141314
Anggota :Rizki Nur Thoyyibah 3613100004
Erlina Maghfiroh 3613100022Diaz Kusumawardhani 3613100037
Della Safira 3613100076
I N S T I T U T T E K N O L O G I S E P U L U H N O P E M B E R
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Megacities”, sebagai tugas dari mata kuliah Perencanaan
Kota. Makalah ini berisi tentang perkembangan kota megacities.
Penulis berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah
banyak membantu dalam proses penyusunan dan penyelesaian
makalah ini. Dan terima kasih kami sampaikan kepada :
1. Dosen mata kuliah Perencanaan Kota Bapak Putu Gde
Ariastita, ST, MT yang telah memberi tugas serta
membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini.
2. Rekan rekan yang telah membantu terselesainya makalah
ini.
Tujuan dari pembuatan mata kuliah ini adalah diharapkan
penulis memahami konteks perencanaan kota khususnya konsep
pengembangan kota “megacities” yang merupakan konsep dasar
berekembangnya dari suatu kota.
Demikian makalah Perencanaan Kota ini yang kiranya masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat
memberikan masukan informasi serta wacana yang bermanfaat bagi
masyarakat pada umumnya.
Surabaya, 2 Maret 2015
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................2
DAFTAR ISI...................................................3
BAB I........................................................4
PENDAHULUAN..................................................4
1.1.Latar Belakang..........................................4
1.2. Rumusan Masalah........................................4
1.3. Tujuan penulisan.......................................5
1.4. Sistematika penulisan..................................5
BAB II.......................................................6
PEMBAHASAN...................................................6
2.1. Pengertian Megapolitan atau Megacities.................6
2.2. Teori Megacities.......................................6
2.3. Konsep Megacities......................................9
2.4.Perkembangan Megacities di Dunia.......................10
2.5.Perkembangan Megacities di AS..........................12
2.6.Perkembangan Megacities di Indonesia...................15
2.7.Kelebihan dan kekurangan Megacities....................18
BAB III.....................................................20
PENUTUP.....................................................20
3.1. Kesimpulan............................................20
3.2. Saran.................................................20
DAFTAR PUSTAKA..............................................21
Lampiran.....................................................22
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar BelakangKota merupakan perwujudan secara alamiah dari
perkembangan permukiman perkotaan yang semakin pesat.
Perkembangan tersebut mempengaruhi arah laju pertumbuhan suatu
kota. Terdapat tiga faktor utama yang sangat menentukan pola
perkembangan dan pertumbuhan kota diantaranya yaitu faktor
manusia, kegiatan manusia, dan pergerakan manusia
(Sutarjo,1989).
Penduduk suatu kota akan terus tumbuh dan berkembang.
Suatu kota akan mengalami peningkatan jumlah penduduk sehingga
menyebabkan kegiatan yang ada di dalamnya akan berlangsung
terus menerus. Kegiatan tersebut erat kaitannya dengan aspek
tata guna lahan dimana penduduk membutuhkan tempat untuk
melakukan segala kegitan yang menunjang keberlangsungan
hidupnya.
Megacities merupakan sebuah pola yang terbentuk akibat
dari suatu keadaan kota dengan tingkat demografi tertentu,
sehingga perlu adanya integrasi tata ruang wilayah kota
(metropolitan) dengan wilayah sekitarnya (mikropolitan) guna
menyesuaikan beban dengan daya dukung wilayah serta upaya
integrasi antar wilayah. Kepadatan penduduk yang tak
terkendali dan tidak adanya lahan kosong untuk membangun,
mengakibatkan terjadinya perluasan area dimana area
mikropolitan sebagai pendukung dari kegiatan pusat kota agar
dapat berkembang. Megacities merupakan upaya sinergitas
5
wilayah dalam mengatasi permasalahan urbanisasi, transportasi,
dan penataan ruang. Menurut Gotmann (1961) gejala sebuah
wilayah perkotaan menjadi megacities didorong oleh banyak
factor, tetapi semuanya mengarah pada aktivitas ekonomi,
demografi, dan sosial.
Dengan demikian konsep ini menghindari akibat buruk dari
membengkaknya sebuah kota akibat dari pertumbuhan penduduk
yang pesat yang dapat menyebabkan kematian pada suatu kota.
Perlu adanya pengelolaan yang tepat untuk mengimplementasikan
konsep megacities dengan kualitas pelayanan publik yang
terintegrasi dan sesuai dengan konsep megacities sebenarnya.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah
1. Apa pengertian dari megacities?
2. Apa saja konsep yang diterapkan oleh megacities tersebut?
3. Bagaimana perkembangan megacities di dunia?
4. Bagaimana fenomena megacities di Indonesia?
1.3. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
1. Mengetahui pengertian dari megacities itu sendiri
2. Memahami konsep dari megacities baik dilihat dari konsep
perwilayahan maupun statistik penduduk wilayah tersebut
3. Memahami perkembangan megacities di dunia sehingga dapat
mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi perkembangan
megacities tersebut
6
4. Dapat menjelaskan fenomena megacities di Indonesia yang
dilihat dari berbagai sudut
1.4. Sistematika penulisan
Adapun sistematika penulisan pada makalah ini adalah sebagai
berikut:
Pada makalah ini terdapat tiga bab yang berguna untuk
mempermudah pembaca dalam memahami isi dari makalah ini secara
keseluruhan.
Bab I Pendahuluan
merupakan bab pendahuluan dan awal dari makalah ini. Bab ini
berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,
serta sistematika penulisan dari makalah Perencanaan Kota.
Bab II Pembahasan
merupakan bab pembahasan yang berisi tentang
Bab III Penutup
merupakan bab akhir dari makalah ini yang berisi penutup.
Meliputi kesimpulan dari keseluruhan pembahasan makalah
7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Megapolitan atau Megacities
Megapolitan bukan suatu gejala maupun konsep baru dan
bukan satu-satunya istilah yang digunakan dalam kajian
geografi dan perencanaan. Istilah lainnya yang setara dengan
megapolitan adalah megapolis, megalopolis, megacity, mega
urban, atau supercity. Inti dari kata tersebut adalah mega/
megal yang memiliki arti besar.
Menurut Yunus (2006), megalopolitan atau ‘megapolitan’
terdiri dari polis dan mega/megal. Prud’Homme (1996) juga
menuliskan konsep mengenai ‘megacities’. Jika kata ‘politan’
diganti dengan kata ‘city’ akan lebih baik karena memiliki
sandaran teoritis (Prud’ Homme, 1996).
Secara umum megacities biasanya didefinisikan sebagai
wilayah metropolitan dengan populasi penduduk lebih dari 10
juta jiwa (Perlman, 1990) . Sebuah megacities dapat berupa
suatu metropolitan tunggal atau metropolitan tunggal dengan
mikropolitan yang bergabung menjadi suatu wilayah fungsional
yang terintegrasi. Konsep megapolitan menjelaskan bagaimana
antar kota mengalami keterkaitan ekonomi yang sangat kuat.
Cara pandang utama dalam melihat megapolitan adalah pendekatan
ekonomi regional. Sehingga megapolitan dijadikan sebagai
konsep akademis dalam pengembangan wilayah, bukan penggabungan
wilayah secara administratif.
2.2. Teori MegacitiesTeori model spasial terbentuknya megacities menurut Friedmann
8
Menurut Friedmann, perkembangan permukiman di perkotaan
disebabkan oleh dua proses yang terkait yaitu proses sosial-
ekonomi dan proses spasial. Beroperasinya proses sosial-
ekonomi dan proses spasial, menurut friedmann akan menciptakan
organisasi keruangan wilayah yang dicerminkan dalam ekspresi
spasial dari kota – kota yang ada dalam suatu wilayah.
Menurutnya, ada empat tahapan proses keruangan kota
untuk menjadi sebuah megacities, yaitu (1) tahapan
terbentuknya kota – kota lokal yang berdiri sendiri – sendiri;
(2) Tahapan terjadinya dominasi kota dalam perekonomian
regional terhadap kota – kota lain; (3) tahapan terjadinya
penggabungan antara kota – kota dominan (primary city) dengan
kota – kota yang lebih kecil dalam suatu wilayah dan (4)
Tahapan terjadinya penggabungan kota-kota dominan itu sendiri
menjadi suatu sistem kekotaan yang besar. Dan berikut ini
adlah tahapan proses keruangan kota untuk menjadi sebuah
megacities :
Tahapan 1 : Pembentukan Kota Mandiri Tingkat Lokal (The
Independent Local Centre Stage)
Pada tahapan awal ini, terdapat kota – kota dalam skala
kecil yang hanya berperan secara sosial dan ekonomi di tingkat
lokal saja. Akan tetapi secara keruangan masih merupakan
sebuah desa tapi sudah menunujkkan performa kota dengan basis
nonagraris. Oleh karena itu kota pada tahapan ini terpisah
satu sama lain dan dapat dikatakan sebagai kota mandiri.
9
Gambar 1. Ilustrasi kota – kota lokal mandiri menurut
Friedmann
Sumber : Yunus, hadi sabari.(2006). Megapolitan (Konsep Problematika danProspek)
Tahapan 2 : Pembentukan Kota Dominan Tingkat Regional (Single,
Dominant Centre Stage)
Pada tahapan ini, perkembangan kota dipengaruhi oleh
industrialisasi yang dipicu oleh revolusi industri. Revolusi
industri ini mengakibatkan banyak industri yang didirikan di
kota, khususnya di daerah pinggiran. Banyaknya industri yang
berkembang mengakibatkan berkembangnya working opportunities,
sehingga menarik penduduk pedesaan yang menganggur untuk masuk
ke dalam sektor ini dan pergi ke kota. Mulailah terjadi
perkembangan wilayah, khususnya perkembangan ekonomi yang baik
dan diikuti oleh perkembangan kesejahteraan secara signifikan.
Kota – kota yang ada secara fisiko-spasialnya mengalami
perkembangan cukup pesat dan ditandai urban sprawl di
pinggiran kota sehingga kota bertambah luas. Dari situlah juga
mulai muncul kegiatan sosial, ekonomi, politik di tingkat
regional dan beberapa kota – kota kecil yang bersangkutan
Tahapan 3 : Pembentukan Kota Pusat Nasional yang didukung Oleh
Pusat – Pusat Regional (National Centre, With Strong
Peripheral Sub Centre)10
Gambar 2. Ilustrasi pembentukan kota regional dominan
menurut Friedmann
Sumber : Yunus, hadi sabari.(2006). Megapolitan (Konsep Problematika danProspek)
Pada tahapan ini perkembangan kota regional yang sudah
ada berkembang menjadi semakin besar karena bergabungnya kota
– kota kecil di sekitarnya menjadi satu kesatuan urban sistem.
Dalam hal ini performa kota mulai terbentuk ke suatu
tahapan pembentukan metropolis atau konurbasi. Dalam hubungan
cebter-periphery yang semula mendominasi bentuk hubungan dalam
tahap ke dua, telah berubah menajdi hubungan antarmetropolitan
dan kondisi perekonomian telah terbawa dalam suatu kesatuan
urban sistem sehingga tahapan ini membawa peningkatan terhadap
perekonomian nantinya.
Tahapan 4 : Pembentukan Urban Sistem Terintegrasi Secara
Fungsional (Functionally Interdependent Urban Sistem)
Pada tahapan ini tercapai klimaks perkembangan fungsional
dari sebuah urban sistem dimana masing – masing metropolis
yang ada mencapaintegrasi sosial, ekonomi dan menjadi satu
kesatuan urban sistem dan secara keruangan di beberapa tempat
telah benar – benar telah terintegrasi. Masing – masing pusat
metropolis berfungsi sebagai pusat kegiatan dalam urban sistem
yang besar sehingga terjalin functionally interdependent
system urban metropolitan peripheries yang masih terlihat
dalam tahapan ketiga, tidak lagi terdapat dalam tahap keempat
11
Gambar 3. Ilustrasi pembentukan kota regional nasionalmenurut Friedmann
Sumber : Yunus, hadi sabari.(2006). Megapolitan (Konsep Problematika danProspek)
ini. Pada tahapan ini, disparitas pembanguann antarwilayah
dapat diminimasikan berhubung hampir setiap bagian wilayah
telah terintegrasi merata dengan dampak ekonomi yang telah
tercapai maksimasi potensi pertumbuhan perekonomian nasioanal
ditunjukkan dengan ilustrasi sebagai berikut :
Dari ilustrasi tersebut dapat dilihat aglomerasi kekotaan
yang mat besar yang kemudian megalopolis. Dan ditekankan bahwa
sebuah sebutan wilayah megalopolitan tidak pada jumlah
penduduknya, namun pada keterkaitan fungsional yang terjalin
antarberbagai metropolis yang tergabung menjadi satu yang
berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial, ekonomi, politik,
teknologi, pertukaran jasa dan informasi.
2.3. Konsep Megacities
Konsep megacities dapat dipandang dari 2 sudut pandang
teoritik. Pandangan pertama adalah megacities sebagai konsep
pengelolaan wilayah perkotaan, dan pandangan kedua adalah
megacities sebagai konsep statistik wilayah perkotaan serta
prinsip – prinsip dari konsep megacities.
A. Megacities sebagai konsep pengelolaan wilayah perkotaan
Dalam perkembangan pengelolaan kawasan perkotaan, konsep
pengelolaan megacities memang tidak dapat dihindari oleh
12
Gambar 4. Ilustrasi pembentukan urban sistem terintregasimenurut Friedmann
Sumber : Yunus, hadi sabari.(2006). Megapolitan (Konsep Problematika danProspek)
wilayah perkotaan yang makin meluas dan saling terhubung dalam
jejaring fisik, prasarana, sosial dan ekonomi. Gejala
megacities ini telah berkembang di negara maju maupun negara
berkembang, termasuk Indonesia. Konsep pengelolaan megacities
tidak dapat dihindarkan karena dianggap konsep yang paling
tepat untuk mengatasi berbagai persoalan dan mengendalikan
pembangunannya. Persoalan utama yang dihadapi kota-kota besar
antara lain adalah kegagalan dalam desentralisasi, penyediaan
pelayanan publik,pencangan secara ad-hoc, penataan ruang dan
fragmentasi (Stubbs dan Clarke, 1996). Jean Gottmann (1987)
menyatakan bahwa konsep metrocities sudah tidak memadai lagi
dan sudah harus beralih ke konsep megacities.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka wilayah
megacities dapat diartikan sebagai wilayah perkotaan berskala
besar yang terkait dengan perkotaan sekitarnya sebagai satu
kesatuan sosial, ekonomi, geografi dan ekologi yang saling
terhubung dalam satu kesatuan prasarana. Konsep megapolitan
juga digunakan untuk menentukan wilayah perkotaan dengan
jumlah penduduk yang besar. Pada tahun 1980, PBB
mengklasifikasikan kota dengan jumlah penduduk minimum 8 juta
jiwa sebagai megacity (Clarke, 1996). Sumber lainnya yang lebih
mutakhir (Perlman, 1990) mengutip angka minimum 10 juta
penduduk sebagai megacities. Meskipun sejumlah konsep
megacities didasarkan pada jumlah minimum 10 juta penduduk,
Gottmann dan Harper (1990) sendiri lebih cenderung menetapkan
jumlah minimum 25 juta penduduk. Dengan angka ini maka daftar
megacities di dunia akan berkurang.
B. Megacities sebagai konsep statistik wilayah perkotaan.
13
Sebagai statistik, konsep ini digunakan untuk
mengelompokkan penduduk. Di Amerika Serika juga akan mengubah
kategori perkotaan yang didasarkan SMA (statistical metropolitan area)
yang digunakan sejak 1949. Perubahan kategori rencananya akan
didasarkan pada CBSA (core-based statistical areas), yang akan
dinamakan dengan ”megacities area” (kota inti lebih dari 1
juta penduduk), “macrocities area” (kota inti 50.000 – 999.999
penduduk, dan “microcities area” (kota inti di bawah 50.000
penduduk ). Dengan perubahan tersebut, maka megacities akan
menjadi unit geografi terbesar yang digunakan US Census Bureau
(Out of Control 12 Juli 2005).
Prinsip-prinsip perencanaan strategis untuk mendukung
megacities antara lain :
a. Efisiensi, konsep megapolitan harus menurunkan waktu
tempuh dan biaya yang lebih murah.
b. Equality, kemudahan akses pelayanan publik.
c. Meminimalkan resiko lingkungan, yaitu perencanaan harus
memberikan kenyamanan kota, meminimalkan resiko banjir dan
pencemaran udara.
d. Generate income, yaitu integrasi kota-kota harus memberikan
kesempatan kerja dan berusaha bagi golongan miskin sehingga
menjadi mandiri dan berdaya.
e. Mencegah dampak buruk mekanisme pasar seperti kesenjangan
antar daerah karena adanya aliran modal pada daerah pusat
saja.
f. Benefit transfer antar wilayah, sebagian wilayah menjadi
penghasil uang dan sebagian lainnya memberikan perlindungan
dan habitat.
14
g. Identity dan Diversity ditujukan agar kota tidak rentan dan
rapuh terhadap krisis.
2.4.Perkembangan Megacities di DuniaPada tahun 1994 saja, telah berkembang 14 megapolitan di
dunia dengan jumlah penduduk masing-masing di atas 8 juta jiwa
(Clarke, 1996). Sembilan di antaranya berada di Asia, yaitu
Tokyo, Shanghai, Bombay, Beijing, Calcuta, Seoul, Jakarta,
Osaka dan Tianjin. Lima kota sisanya adalah New York, Sao
Paulo, Mexico City, Los Angeles, dan Buenos Aires.
Dapat dilihat juga bahwa sebagian besar megacity
tersebut ada di negara berkembang lihat tabel berikut ini.Tabel 1. Beberapa Megacities di Dunia Tahun 1994
15
Gambar 7. MumbaiSumber : wikipedia/megacities
Gambar 6. MexicoSumber : wikipedia/megacities
Gambar 5. TokyoSumber : wikipedia/megacities
Gambar 8. Sau PauloSumber : wikipedia/megacities
Sumber : Jurnal Isu megapolitan jabodetabekjur dalam konteks pengelolaan pembangunan
dan revisi UU no. 34/1999
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa megacities di kota
– kota dunia berkembang dari suatu wilayah metropolitan
sebagai pusat dan mikropolitan sebagai cabang yang mencakup
bagian percabangan dari pinggiran kota tersebut. Regional Seminar
on Megacities Management in the Asia and the Pacific yang diselenggarakan
di Manila tahun 1995 telah mengidentifikasi 5 persoalan dan 4
saran dalam perkembangan megacities di dunia (Stubbs dan
Clarke (1996) sebagai berikut :
Persoalan Saran- Kegagalan desentralisasi - Dinas pemerintah yang
berorientasi pasar dapat
lebih menjanjikan pelayanan- Kegagalan penyediaan
layanan publik secara cuma
– Cuma
- Privatisasi dapat lebih
efisien
- Kegagalan penanganan secara
ad-hoc
- LSM dan CBO (Community Based
Organization) dapat lebih
efektif
16
- Kegagalan rencana tata
ruang rinci
- Lembaga internasional dapat
bermanfaat.- Kegagalan fragmentasi
Dari identifikasi persoalan dalam pengembangan
megacities maka Pemerintah Pusat perlu menyadari dan mengenali
potensi megacities, menerapkan proses desentralisasi secara
berhati-hati, mempertimbangkan status khusus bagi megacities,
menyediakan kerangka hukum untuk privatisasi, mendorong kerja
sama horizontal antar-megacities, dan menyediakan bantuan
pembiayaan bagi pemerintah daerah (Stubbs dan Clarke, 1996).
Sedangkan Pemerintah Daerah perlu untuk bekerja sama dengan
LSM dan CBO, melakukan koordinasi horizontal, mengembangkan
kebijakan jangka panjang pada tingkat metrocities, dan harus
menerapkan privatisasi secara hati-hati (Stubbs dan Clarke,
1996). Perlu adanya lembaga internasional untuk mengenali
pentingnya dan mendukung ekonomi megacities, berperan sebagai
clearinghouse antar-megacities, melakukan koordinasi di tingkat
megacity, memahami lebih dalam kekhususan masing-masing
megacity (Stubbs dan Clarke, 1996).
2.5.Perkembangan Megacities di AS
Karakterisitik megacities yang digunakan di AS adalah sebagai
berikut:
1. Combines at least two existing metropolitan areas, but may include dozens of
them.
2. Totals more than 10 million projected residents by 2040.
3. Derives from contiguous metropolitan and micropolitan areas.
4. Constitutes an organic cultural region with a distinct history and identity.
17
5. Occupies a roughly similar physical environment.
6. Links large centers through major transportation infrastructure.
7. Forms a functional urban network via goods and services.
8. Creates a usable geography that is suitable for large-scale regional planning.
9. Lies within the U.S.
10. Consists of counties as the most basic unit.
Berdasarkan karakteristik diatas perkembangan megacities
di AS memiliki 10 wilayah megapolitan yang meliputi 35 negara
bagian dimana merupakan tempat bermukimnya 2/3 bagian penduduk
AS ditunjukkan dengan Gambar 9.
Gambar 9. Sebaran Megacities di AS
Sumber : Jurnal isu megapolitan jabodetabekjur dalam konteks pengelolaan pembangunan dan
revisi UU no. 34/1999
Konsep megapolitan di AS digunakan untuk melayani
penduduk sehingga menghasilkan transportasi yang efisien. Jika
dilihat pada Gambar 10, jelas bahwa pewilayahan megapolitan
18
dihubungkan oleh sistem transportasi yang sangat mendukung
pelayanan masyarakat untuk semua wilayah yang terkait dengan
megapolitan tanpa melebur batas administratif negara bagian.
Gambar 10. Jaringan jalan raya (Highway) di wilayah Megacities AS
Sumber : Jurnal isu megapolitan jabodetabekjur dalam konteks pengelolaan pembangunan dan
revisi UU no. 34/1999
Dengan adanya sistem transportasi yang efisien dalam
megapolitan tersebut maka ekonomi regional akan memiliki daya
saing yang tinggi. Untuk mendukung itu maka dilakukan
aglomerasi ekonomi yang tidak hanya menambah daya saing tetapi
sekaligus menjadi produk unggulan wilayah yang kemudian dapat
menjadi identitas (benchmarking) masing masing wilayah
megapolitan ditunjukkan dengan tabelTabel 2. 10 Kawasan Megacities di AS
19
Sumber : Jurnal isu megapolitan jabodetabekjur dalam konteks pengelolaan pembangunan dan
revisi UU no. 34/1999
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa wilayah
megapolitan dapat melintasi beberapa negara bagian atau
kawasan misal pada wilayah northeast melintasi 12 negara
bagian. Jadi wilayah megapolitan memang wilayah fungsional
tanpa menghilangkan batas administrasi negara bagian serta
wilayah megapolitan ini sendiri juga memiliki ciri khas
industri. Hal ini menunjukkan bahwa megapolitan di AS dibangun
untuk meningkatkan efisiensi melalui aglomerasi industri dan
sistem transportasi yang efisien.
2.6.Perkembangan Megacities di Indonesia
20
Perkembangan megacities di Indonesia dimulai dengan
adanya Jabodetabekjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, Cianjur) yang merupakan suatu kesatuan wilayah
fungsional terutama dalam aspek hubungan interaksi ekonomi
yang sangat intensif antar wilayah Jadebotabekjur dengan pusat
pertumbuhan di provinsi Jakarta, dan wilayah tata ekologis
Jadebodetabekjur sebagai suatu wilayah ekosistem, dimana
komponen antar wilayah memiliki ketergantungan dan saling
mempengaruhi. Tuntutan penerapan megacities di Jabodetabekjur
didasarkan atas upaya isu-isu pokok yaitu urbanisasi,
transportasi, banjir, dan sampah. Pelayanan urbanisasi
dikarenakan DKI Jakarta hanya memiliki luas 65 km2 tidak mampu
menampung 10 juta penduduk. Selain itu penanganan banjir dan
21
Gambar 11. Megacities di JabodetabekjurSumber : www.pu.go.id
sampah DKI Jakarta harus dilakukan secara sinergi dengan
wilayah sekitarnya.
Kesatuan wilayah Jabodetabekjur ini membentuk kerjasama
antar kota untuk memberikan pelayanan serta untuk membentuk
konfigurasi kekuatan daya saing menuju megacities yang dapat
bersaing dengan megacities ASEAN maupun dengan megacities
belahan negara lain. Jabodetabekjur telah mengalami
perkembangan yang begitu pesat. Dari segi jumlah penduduk kini
telah menembus angka kriteria ‘megacities’ yang dibuat oleh
(Perlman 1990; ESCAP 1993; ADB 1995a; dalam Clarke 1996) tidak
kurang dari 10 juta jiwa tinggal di Kota ditunjukkan dalam
tabel berikut.Tabel Luas, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Jabodetabekjur Tahun 2003
22
Gambar 12. Jakarta sebagai metropolitan pendukung
megacities Jabodetabekjur
Sumber : Jurnal isu megapolitan jabodetabekjur dalam konteks pengelolaan pembangunan dan
revisi UU no. 34/1999
Dalam tabel luas, jumlah dan kepadatan penduduk
Jabodetabekjur sudah masuk dalam kriteria megacities akan
tetapi fasilitas untuk tinggal di Jabodetabekjur ini tidak
sepenuhnya menggambarkan megacities seperti di negara maju.
Kenyataannya, dari segi output, kota ini ditandai oleh makin
sulit dan tidak nyamannya untuk dijadikan tempat tinggal.
Konsep ‘megacities’ sejalan dengan pengaturan kawasan
perkotaan yang variatif dan berjenjang. Kawasan perkotaan
dapat dikenali dari berbagai sifat dan karakternya yang
membentuk satu jalinan fungsional perkotaan. Dengan demikian,
megacities semestinya bukan saja ditujukan bagi Jabodetabekjur
seja tetapi dapat pula diberikan kepada kota-kota lain yang
memenuhi persyaratan sebagai megacities.
23
Pengembangan wilayah megacities dengan pengelolaan yang
terpadu diharapkan membawa banyak manfaat. Meskipun konsep
pengelolaan megacities diharapkan mendatangkan manfaat bagi
semua pihak, keberhasilannya sangat bergantung dari kejelasan
konsep dan penyelenggaraannya di lapangan. Dengan demikian,
untuk sementara keuntungan atau manfaat yang ada baru sebatas
pada harapan.
Selanjutnya manfaat adanya konsep megacities yang dapat
diharapkan pada Jabodetabekjur menurut Yazid (2006) sebagai
berikut :
1. Pengelolaan pembangunan yang terpadu dan berkelanjutan
2. Lokasi konsentrasi penduduk lebih tersebar seara
proporsional dan berjenjang
3. Penataan ruang yang terpadu dan disepakati bersama
24
Gambar 13. Jakarta dengan segala ketidaknyamanannya
Sumber : harsindo.com
4. Pemerataan kesempatan kerja/usaha
5. Penyediaan prasarana secara terpadu (air bersih,
transportasi, sampah, banjir)
6. Mempercepat pertumbuhan kawasan
7. Pembagian beban pembiayaan secara proporsional antara
pusat, provinsi dan daerah (insentif, kompensasi, subsidi
silang)
8. Pengelolaan sumberdaya alam yang terpadu
Di samping kedelapan manfaat di atas, dengan pengelolaan
megacities di Jabodetabekjur diharapkan juga akan terjadi
pengembangan kota menengah dan kecil dalam layanan jaringan
transportasi yang terpadu. Apabila konsep pengelolaan
Megacities di Jabodetabekjur gagal diselenggarakan sesuai
dengan yang direncanakan, maka yang akan mucul justru berbagai
persoalan seperti spekulasi berikut ini :
1. Beban pembiayaan pusat akan bertambah berat termasuk lintas
provinsi menjadi kewajiban pemerintah pusat apakah
pemerintah pusat mampu untuk melakukan pembiayaan tersebut
jika rencana pengelolaan tersebut gagal
2. Berubahnya gaya hidup pada Jabodetabekjur yang mempengaruhi
pola hidup hanya pada masyarakat kelas atas
3. Semakin menarik bagi investasi dan penduduk, sehingga beban
pemerintah semakin besar khususnya dalam permintaan
penyediaan lahan
4. Mendorong terbentuknya megacities di daerah lain sehingga
menambah beban pembiayaan bagi pusat untuk melakukan
integrasi kawasan khususnya dalam bidang transportasi
25
5. Kegagalan dalam mencapai kesepakatan dalam kerjasama
antardaerah sehingga pengelolaan tidak berjalan sebagaimana
yang diharapkan.
6. Manfaat tidak dirasakan secara merata, eksploitasi yang
kuat terhadap yang lemah yang melahirkan berbagai
ketimpangan permasalahan pada daerah urban.
Kondisi beberapa daerah yang tergabung dalam Jabodetabekjur,
sebagai berikut :
Depok
Depok dahulu adalah kota kecamatan dalam wilayah
Kabupaten Bogor, yang kemudian mendapat status kota
administratif pada tahun 1982. Sejak 20 April 1999, Depok
ditetapkan menjadi kotamadya (sekarang: kota) yang terpisah
dari Kabupaten Bogor. Kota Depok terdiri atas 11 kecamatan,
yang dibagi menjadi 63 kelurahan.
Depok merupakan kota penyangga Jakarta. Ketika menjadi
kota administratif pada tahun 1982, penduduknya hanya 240.000
jiwa, dan ketika menjadi kotamadya pada tahun 1999 penduduknya
1,2 juta jiwa. Tahun 1997 seiring dengan pesatnya Depok
sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor, sudah saatnya
diarahkan sebagai sebuah kota satelit yang mandiri. Maka
dimulailah serangkain rencana strategis untuk menjadikan Kota
Depok sebagai Kota yang mandiri.
Badrul Kamal merupakan tokoh penting dalam perkembangan
Kota Depok. Selama 5 tahun kepemimpinannya, Depok berkembang
sangat pesat dibandingkan sebelumnya. Sekolah-sekolah
dibangun, puskesmas dibangun, jalan-jalan diperbaiki, bahkan
Jalan Juanda yang menjadi kebanggaan hingga kini dibangun pada
26
tahun ke 3 usia pemerintahan Badrul Kamal, Untuk
mengantisipasi pesatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya
ekonomi warga, pada tahun itu pula dicanangkan pembangunan
ruas jalan tol. Peruntukan ruas jalan tol inilah yang
direncanakan dalam perencanaan tata ruang wilayah Kota Depok.
Untuk mewujudkan rencana itu kemudian Panitia Khusus RTRW Kota
Depok 2000-2010 dibentuk yang di ketuai oleh Agus Sutondo.
Maka melalui RTRW Kota Depok 2000-2010, Akhirnya perencanaan
ruas Jalan Tol Cinere-Jagorawi dan rencana ruas jalan tol
Depok-Antasari dapat terwujud yang nantinya akan menghubungkan
wilayah Jakarta, Depok dan Bogor.
Perkembangan Kota Depok dari
aspek geografis, demografis maupun sumber pendapatan begitu
pesat, terutama di bidang administrator pembangunan.
Ada beberapa indikator yang dapat dipergunakan sebagai
acuan tentang pertumbuhan ekonomi di Kota Depok. Pertama,
Indeks daya beli masyarakat Depok semakin meningkat dari tahun
ke tahun. Sisi daya beli terjadi peningkatan indeks daya beli
dari 576,76 pada tahun 2006 menjadi 586,49 pada tahun 2009.
Kedua, capaian Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Depok
pada tahun tahun 2009: 6,22%. Kontribusi paling dominan
terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan LPE, dari
subsektor perdagangan dan jasa.
Ketiga, terjadi peningkatan dari tahun ke tahun pada
peranan sektor tersier, yaitu dari 50,42% pada tahun 2006
menjadi 52,77% pada tahun 2009. Indikasi tersebut menandakan
bahwa masyarakat Depok sudah dapat memenuhi kebutuhan sektor
primer maupun sekunder.
27
Laju ekonomi yang meningkat tersebut, telah menjadikan Depok
sebagai kota jasa dan perdagangan. Hal itu terlihat secara
nyata dengan semakin banyaknya layanan sektor jasa dan
perdagangan yang bermunculan di Kota Depok, seperti restauran,
Mall, tempat-tempat usaha dan layanan jasa lainnya. Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2012 pertumbuhan
perekonomian Kota Depok mencapai 7,1%. Angka tersebut jauh
melebihi pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat sebesar 6,2%.
Tangerang Raya
Tangerang Raya adalah sebuah kawasan di sebelah barat
Jakarta, dengan luas sekitar 1.500 km2, dihuni oleh lebih dari
5 juta penduduk. Tangerang Raya saat ini terbagi menjadi 3
daerah otonom, yaitu Kabupaten Tangerang, Kota
Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan Tangerang Raya
sangat beragam. Merupakan perpaduan antara daerah pesisir
(Pantura) dengan daerah dataran rendah sampai menengah.
Merupakan kombinasi antara daerah agraris dengan industri,
pedesaan dengan metropolitan.
Tangerang Raya merupakan daerah penyangga bagi Jakarta,
yang berkedudukan sebagai ibu kota negara RI dan pusat bisnis
terbesar di indonesia. Dengan demikian, apa yang terjadi di
Jakarta segera berimbas ke Tangerang. Akibat melubernya jumlah
penduduk Jakarta, maka sebagian bermigrasi ke Tangerang,
dengan tetap mencari nafkah di Jakarta.
Tangerang adalah pintu gerbang utama Indonesia. Hal itu
karena keberadaan Bandara Internasional Soekarno Hatta yang
berada di wilayah Kota Tangerang. Namun posisi tersebut, tidak
28
serta merta mendongkrak sektor pariwisata Tangerang Raya.
Hampir 100 persen pendatang dari negara-negara lain hanya
numpang lewat di Tangerang. Bisa dikatakan sektor pariwisata
Tangerang tidak memiliki daya tarik, baik wisata perkotaan,
pantai atau agrowisata.
Tangerang dikenal pula sebagai kawasan 1.000 industri,
karena keberadaan aneka industri, terutama di sekitar
Balaraja, Cisoka dan Cikupa. Tangerang juga memiliki area
pesawahan yang masih sangat luas, meskipun keberadaannya terus
terdesak oleh industrialisasi dan perluasan kota.
Kenyataannya, beragam sektor strategis di Tangerang Raya,
kurang dikelola secara profesional. Hal ini dibuktikan dengan
masih banyaknya jumlah pengangguran dan penduduk yang miskin.
Geliat sektor perdagangan dan bisnis di sebagian kawasan,
ternyata hanya memberikan keuntungan bagi segelintir orang
saja, dan kurang menciptakan kemakmuran bagi rakyat banyak.
Tumbuh pesatnya Kecamatan Serpong misalnya, justru menyebabkan
banyak warga asli yang terpinggirkan.
Bekasi
Kota Bekasi merupakan salah satu kota yang terdapat di
provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini sekarang berada dalam
lingkungan megapolitan Jabodetabek dan menjadi kota besar ke
empat di Indonesia. Saat ini Kota Bekasi berkembang menjadi
tempat tinggal kaum urban dan sentra industri. Sebagai kawasan
hunian masyarakat urban, Bekasi banyak membangun kota-kota
mandiri, di antaranya Kota Harapan Indah, Kemang Pratama, dan
Galaxi City. Selain itu pengembang Summarecon Agung juga
sedang membangun kota mandiri Summarecon Bekasi seluas 240 ha
29
di kecamatan Bekasi Utara. Perekonomian Bekasi ditunjang oleh
kegiatan perdagangan, perhotelan, dan restoran. Pada awalnya
pusat pertokoan di Bekasi hanya berkembang di sepanjang jalan
Ir. H. Juanda yang membujur sepanjang 3 km dari alun-alun kota
hingga terminal Bekasi. Di jalan ini terdapat berbagai pusat
pertokoan yang dibangun sejak tahun 1978.
Selanjutnya sejak tahun 1993, kawasan sepanjang Jl. Ahmad
Yani berkembang menjadi kawasan perdagangan seiring dengan
munculnya beberapa mal serta sentra niaga. Pertumbuhan kawasan
perdagangan terus berkembang hingga jalan K. H. Noer Ali
(Kalimalang), Kranji, dan Kota Harapan Indah.
Selain itu keberadaan kawasan industri di kota ini, juga
menjadi mesin pertumbuhan ekonominya, dengan menempatkan
industri pengolahan sebagai yang utama. Lokasi industri di
Kota Bekasi terdapat di kawasan Rawa Lumbu dan Medan Satria.
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang dapat
menggambarkan kinerja perekonomian di suatu wilayah. Kecuali
pada tahun 2004, pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi selalu di
atas Jawa Barat dan Indonesia. Pada tahun 2004 ekonomi Kota
Bekasi tumbuh 5,38% dan pertumbuhan ini lebih tinggi dari Jawa
Barat (4,77%) tetapi di bawah LPE Indonesia yang mencapai
5,50%. Pada tahun 2005 dengan 5,65%, LPE Kota Bekasi sedikit
lebih tinggi dari Jawa Barat dan Indonesia dengan 5,62% dan
5,55%. Demikian pula pada tahun 2006, LPE Kota Bekasi yang
mencapai 6,07% masih lebih baik dibandingkan Jawa Barat dan
Indonesia yang hanya mencapai 6,01% dan 5,48%.
Sebagai kota satelit Jakarta, tingginya tingkat kemacetan
pada jam sibuk biasa terjadi terutama di jalan penghubung
30
antara Jakarta Timur dan Bekasi. Hal ini disebabkan oleh
tingginya pertumbuhan kendaraan bermotor, yang tidak diimbangi
dengan penambahan ruas jalan. Oleh sebab itu wilayah Kota
Bekasi dipersiapkan untuk pengembangan infrastruktur penunjang
Ibu Kota Jakarta. Lahan yang datar dinilai cocok untuk gedung,
sarana transportasi dan pusat bisnis. Rencana tata ruang Kota
Bekasi itu tertuang dalam konsep pengembangan Badan Kerjasama
Pembangunan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak
dan Cianjur (Jabodetabekjur).
Kota Bekasi dilintasi oleh Jalan Tol Jakarta-Cikampek,
dengan empat gerbang tol akses yaitu Pondok Gede Barat, Pondok
Gede Timur, Bekasi Barat, dan Bekasi Timur. Serta jalan
tol Lingkar Luar Jakarta dengan empat gerbang tol akses yaitu
Jati Warna, Jati Asih, Kalimalang, dan Bintara. Untuk
mengatasi kemacetan lalu lintas yang menghubungkan Pusat Kota
dengan Bekasi Utara, maka pemerintah bersama pengembang
Summarecon Agung telah membangun jalan layang sepanjang 1 km.
Disamping itu pemerintah juga berencana akan membangun jalan
layang Bulak Kapal di Jalan Joyomartono, Bekasi Timur.
2.7.Kelebihan dan kekurangan Megacities
Berdasarkan sumber mengenai perkembangan megacities di dunia,
baik Amerika Serikat maupun Indonesia dapat disimpulkan bahwa
kelebihan dan kekurangan megacities adalah sebagai berikut :
A. Kelebihan
Memberikan akses yang lebih mudah terhadap aktivitas
kegiatan. Dengan adanya perkembangan megacities, akses
perjalanan transportasi semakin mudah ditunjukkan dengan
31
integrasi transportasi yang dapat dijangkau oleh pelaku
kegiatan ekonomi sehingga perpindahan baik barang maupun
manusia semakin mudah.
Upaya penyebaran ekonomi ke wilayah lain. Perekmbangan
ekonomi wilayah ini nantinya akan menyebar dan meningkatkan
PDRB masing masing wilayah tidak hanya peningkatan ekonomi
di wilayah metropolitan tetapi ekonomi di mikropolitan juga
akan terkena dampak peningkatan sehingga tidak ada
kesenjangan ekonomi yang signifikan antara daerah
metropolitan dan mikropolitan.
B. Kelemahan
Kota yang menjadi megacities biasanya menjadi padat.
Padatnya kota dipengaruhi oleh banyaknya pelaku ekonomi
yang turut andil dalam bidang industri serta sektor
perdagangan jasa yang menyebabkan banyak dibangunnya
kawasan industri serta perdagangan dalam skala besar dan
membutuhkan lahan yang banyak sehingga kepadatan kota akan
terus bertambah.
Kepadatan penduduk menjadi tak terkendali. Diakibatkan
banyaknya jumlah pendatang yang tidak terkendali
menimbulkan aglomerasi kepadatan berada di sub sub
megapolitan.
Menurunnya tingkat daya dukung lingkungan. Dengan
boomingnya kawasan industri dan kawasan perdagangan dan
jasa di daerah megapolitan aktivitas polusi yang
ditimbulkan juga mengalami peningkatan menyebabkan kualitas
udara di kawasan megapolitan cenderung turun sehingga
berpengaruh pada keseimbangan daya dukung lingkungan.
32
Terjadi kesenjangan antara wilayah pinggiran dan wilayah
pusat kota. Kesenjangan tersebut terjadi karena adanya batu
loncatan antara pusat kota dan pinggiran karena cenderung
yang dikembangkan dalam basis ekonomi ini hanya pusat kota.
33
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Megacities merupakan suatu metropolitan tunggal dan dapat
bergabung dengan mikropolitan yang menjadi sebuah wilayah
fungsional ter integrasi dengan populasi penduduk lebih
dari 10 juta jiwa.
Berdasarkan konsep pengelolaan dan wilayah statistik
wilayah perkotaan, Megacities merupakan wilayah perkotaan
berskala besar yang terkait dengan perkotaan sekitarnya
sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, geografi dan
ekolologi yang saling terhubung dalam satu kesatuan
jejaring prasarana dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa.
Persoalan yang terdapat pada megacities adalah kegagalan
desentralisasi, kegagalan penyediaan layanan publik secara
cuma – cuma, kegagalan penanganan secara ad-hoc, kegagalan
rencana tata ruang rinci, dan kegagalan fragmentasi.
Perkembangan megacities di Indonesia dimulai dengan adanya
Jabodetabekjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Cianjur) yang merupakan suatu kesatuan wilayah fungsional.
Dari segi luas wilayah dan jumlah penduduk, Jabodetabekjur
sudah masuk dalam kriteria megacities akan tetapi fasilitas
untuk tinggal di Kota Jabodetabekjur ini tidak sepenuhnya
menggambarkan megacities seperti di negara maju.
Dapat disimpulkan juga bahwa kelebihan megacities adalah
memberikan akses yang lebih mudah terhadap aktivitas
kegiatan, membantu upaya penyebaran ekonomi ke wilayah
34
lain. Akan tetapi disamping ada kelebihan maka ada
kelemahan seperti kota yang menjadi megacities biasanya
menjadi padat, kepadatan penduduk menjadi tak terkendali,
menurunnya tingkat daya dukung lingkungan, dan terjadi
kesenjangan antara wilayah pinggiran dan wilayah pusat
kota.
3.2. Saran
Dengan adanya jabodetabekjur pemerintah dapat
meningkatkan infrastruktur untuk wilayah tersebut. Karena
pada realita di lapangan jabodetabekjur belum sepenunhnya
menggambarkan sebuah kota yang berkonsep megacities.
Infrastruktur yang seharusnya diberikan pemerintah meliputi
transportasi yang memadai dan terdistribusi dengan baik,
penyaluran air bersih dan listrik pada tiap pemukiman,
fasilitas pendidikan dan kesehatan yang dapat di jangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat.
35
DAFTAR PUSTAKA
Maksum, irfan ridwan.(2009).”Mengelola Megapolitan Jakarta :
Quo Vadis?”. Jurnal sosial humaniora 13 (2). 13-18
Najmulmunir, nandang.(2005).”Konsep Megapolitan dan
Implementasinya di Kawasan Jabodetabekjur”. Jurnal paradigma 6
(2).
Zulkaidi, denny.(2006).“Isu Megapolitan Jabodetabekjur dalam
Konteks Pengelolaan Pembangunan dan Revisi UU No. 34/1999”.
Jurnal PWK 17 (1)
Yunus, Hadi Sabari.2006.”Megapolitan Konsep, Problematika Dan
Prospek”. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
36
Lampiran
Notulensi
Pertanyaan 1
Hardianti : Mengapa cianjur bergabung dalam Jabodetabekjur?
Jawaban
Auliya : Mungkin karena cianjur berpotensi untuk mendukung
jakarta sebagai mikropolitan (belum mengetahui potensi
cianjur itu apa).
Anindita : Letak geografis berdekatan, memudahkan cianjur
dan jabodetabek untuk bekerjasama, seperti menunjang
pemenuhan pemukiman.
Apakah hanya letak geografi yg berdekatan saja yang hanya mendukung
megapolitan jakarta? (Pertanyaan dari Pak Nanda)
Joshua : Bukan hanya letak geografis saja, karena ekonomi
cianjur rendah dibandingkan sub urban lainnya. Serta
tujuannya untuk meningkatkan ekonomi cianjur sendiri.
Pertanyaan 2
Mega utami : Kriteria infrastruktur seperti apa yang
mencerminkan megacities?
Jawaban
Pisces : Kriteria infrastruktur yang baik adalah yang bisa
mengintregasikan makrocities dan mikrocities.
Pertanyaan 3
Afif : Kapan megacities dapat disebut necrocities (kota
mati/ yg mengalami kegagalan)?
37