Ulumul Hadits: Pengertian Sejarah Perkembangan Dan Cabang-Cabang Ulumul Hadits
Kodifikasi Hadits
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Kodifikasi Hadits
Makalah Studi Hadist
“Kodifikasi Hadist”
Dosen Pengampu : Arbain Nurdin M.Pd
Kelompok 3 :
Fadzila Yudi Mardana (12650026)
M. Rizal Karunia Haris (12650016)
Amaliatul Mujtahidah (12650066)
Rana Firdausi Nuzulia (12650110)
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadits merupakan sumber ke dua umat islam setelah
Al-Qur'an, yang memiliki peran sangat penting dalam
ketetapan hukum Islam. Hadits merupakan segala sesuatu
yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW, baik berupa perkataan, dan perbuatan beliau dalam
kehidupan sehari hari.
Munculnya hadits – hadits palsu merupakan alasan
utama untuk mengadakan kodifikasi hadits. Selain itu,
para ulama hadits telah tersebar ke berbagai negeri,
dikawatirkan hadits akan menghilang bersama wafatnya
mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak
menaruh perhatian memelihara hadits, dan banyak berita
– berita yang diada – adakan oleh kaum penyebar bid’ah.
Oleh karenanya, kodifikasi hadist sangat penting dan
harus dilakukan oleh para ulama waktu itu.
Di dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan
sejarah kodifikasi hadist. Mulai dari pengertian,
penyebab, penulisan, pengumpulan dan lain sebagainya.
Selain untuk memaparkan kodifikasi hadist, makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas kelompok dalam study al-
Hadist.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud kodifikasi hadits ?
2. Apa yang menyebabkan terjadinya kodifikasi
hadits ?
3. Bagaiman proses kodifikasi hadits ?
4. Kitab apa saja yang lahir setelah kodifikasi
hadist ?
5. Bagaimana biografi para pembuku hadits ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui arti kodifikasi hadits
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya kodifikasi
hadits
3. Untuk mengetahui proses kodifikasi hadits
4. Untuk mengetahui kitab – kitab yang lahir setelah
kodifiasi hadits
5. Untuk mengetahui biografi pembuku hadits
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1. Definisi Kodifikasi Hadist
Kodifikasi atau tadwin hadith secara resmi di
sinonimkan dengan tadwin al hadith Rasmiyan, tentunya akan
berbeda dengan penulisan hadith atau kitabah al hadith.
Secara etimologi kata kodifikasi berasal kata codification
yang berarti penyusunan menurut aturan/ sistem
tertentu. Atau dari kata tadwin dapat berarti perekaman
(recording), penulisan (writing down), pembukuan (booking),
pendaftaran (listing, registration). Lebih dari itu, kata tadwin
juga berarti pendokumentasian, penghimpunan atau
pengumpulan serta penyusunan. Maka kata tadwin tidak
semata- mata berarti penulisan, namun ia mencakup
penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.
Adapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti
bahwa suatu kegiatan dilakukan oleh lembaga
administratif yang diaukui oleh masyarakat, baik
langkah yang ditempuh tersebut diakui atau tidak oleh
masyarakat itu sendiri.
Jadi yang dimaksud dengan kodifikasi hadith secara
resmi adalah penulisan hadith nabi yang dilakukan oleh
pemerintah yang disusun menurut aturan dan sistem
tertentu yang diakui oleh masyarakat.
Adapun perbedaan antara kodifikasi hadith secara
resmi dan penulisan hadith adalah :
1. Kodifikasi Hadist secara resmi dilakukan oleh suatu
lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat,
sedang penulisan hadist dilakukan perorangan.
2. Kegiatan kodifikasi hadist tidak hanya menulis, tapi
juga mengumpulkan, menghimpun dan mendokumentasinya.
3. Tadwin Hadist dilakukan secara umum yang melibatkan
segala perangkat yang dianggapkompeten terhadapnya,
sedang penulisan hadist dilakukan oleh orang-orang
tertentu.
2.2. Faktor-Faktor Pendorong Kodifikasi Hadist
Mulai dari tahun pertama hijriyah, hadits tidaklah
di bukukan. Hadits itu berpindah dari mulut ke mulut.
Masing – masing perawi meriwayatkannya berdasarkan
kepada kekuatan hafalannya.1
Pada tahun 99 H, seorang khalifah dari bani Umayyah
yang terkenal adil dan wara' yaitu 'Umar ibn Abdil Aziz
tergerak hatinya untuk membukukan hadits. Beliau sadar
jika semakin banyak perawi yang meninggal dunia. Beliau
khawatir jikalau hadist itu tidak segera dibukukan,
maka akan lenyap bersama para penghafal tersebut.2
Selain itu motif utama Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
berinisiatif demikian:
a. Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan Al
– Hadits seperti waktu yang sudah – sudah. Karena
beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya Al –
Hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan
belum didewankannya dalam dewan hadits.
1 Solahudin Agus, dkk Ulumul Hadits, pustaka ilmu, 2012 hlm. 592 Ibid hlm 60
b. Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan
memelihara Al – Hadits dari hadits – hadits
maudlu’ yang dibuat oleh orang – orang untuk
mempertahankan idiologi golongannyadan
mempertahankan mazhabnya, yang mulai tersiar sejak
awal berdirinya kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib
r.a.
c. Alasan tidak terdewannya Al – Hadits secara resmi
di zaman Rasulullah saw. Dan Khulafaur Rasyidin,
karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya
dengan Al – Quran, telah hilang, disebabkan Al –
Qur’an telah dikumpulkan dalam satu mush-af dan
telah merata di seluruh pelosok. Ia telah dihafal
di otak dan diresapkan di hati sanubari beribu –
ribu orang.
d. Kalau di zaman Khulafaur Rasyidin belum pernah
dibayangkan dan terjadi peperangan antara orang
muslim dengan orang kafir, demikian juga perang
saudara orang – orang muslim, yang kian hari kian
menjadi-jadi, yang sekaligus berakibat
berkurangnya jumlah ulama ahli hadits, maka pada
saat itu konfrontasi tersebut benar – benar
terjadi.3
Untuk itu beliau mengintruksikan kepada seluh pejabat
dan ulama yang memegang kekuasaan di wilayah
kekuasaannya untuk mengumpulkan Al – Hadits.
3 Mudatsir , Ilmu Hadits, cv.pustaka setia, 1999 hlm. 106
2.3. Proses Kodifikasi
Kodifikasi secara resmi ialah kodifikasi atas
prakarsa penguasa. Ide penghimpunan hadist nabi secara
tertulis untuk pertama kalinya dikemukan oleh Khalifah
Umar bin Khatab (w. 23 H/644 M). Namun, ide tersebut
tidak dilaksanakan oleh Umar karena kwatir umat Islam
terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an .
Baru pada masa Khalifah Umar bin Aziz lah,
pembukuan / pengumpulan hadits di laksanakan. Beliau
sadar dan sangat waspada semakin sedikitnya perawi
hadits. Beliau khawatir, jika tidak segera di bukukan,
maka akan benyak hadits yang hilang terbawa mati oleh
perawi – perawi hadits tersebut.4
2.3.1 Pengumpulan Hadist
A. Pada masa pertama
Pada tahun 100 H, sang khalifah memerintahkan
kepada para gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad
bin Amer bin Hazm untuk membukukan hadist-hadist dari
penghafalnya.5
Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada gubernur,
yaitu:”perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari
hadist rasul, lalu tulislah karena aku takut akan
lenyap ilmu disebabkan meninggalnya para ulama, dan
jangan diterima selain hadist Rasul SAW, dan
4 Solahudin Agus, dkk Ulumul Hadits, pustaka ilmu, hlm. 61 - 625 Terjemah Ibanatul Ahkam, mutiara Ilmu hlm. xiv
hentikanlah disebarluakan ilmu dan diadakan majelis-
majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya
dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu
dirahasikan.”
Selain kepada gubernur Madinah, Khalifah juga
menulis surat kepada gubernur lain supaya mengusahakan
pembukuan hadist. Khalifah juga secara menulis surat
kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Abaidilllah
bin Syihab az-Zuhri. Kemudian Syihab az-Zuhri mulai
melaksanakan perintah khalifah tersebut sehingga
menjadi salah satu ulama yang pertama kali membukukan
hadist.
B. Pada masa kedua
Pada abad kedua hijrah terdapat dua generasi,
yaitu generasi shighar al-tabi’in dan generasi atba’u
al-tabi’in. Generasi pertama, mereka yang hidup sampai
setelah tahun 140 hijrah.
Sedangkan generasi kedua, mereka yang hidup
setelah periode sahabat dan tabi’in, dalam tingkatan
periwayatan hadits dan penyebaran agama Islam kepada
umat, generasi ini mempunyai peranan sangat besar dalam
menghadapi ahl al-bida’ wa al-ahwa’, dan berusaha
sekuat tenaga dalam menghalau segala bentuk kebohongan
hadits (al-wadl’u fi al-hadits) yang dipelopori oleh
kelompok al-Zanadiyah. Umumnya, mereka sangat berhati-
hati ketika melakukan seleksi hadits untuk dibukukan
dan sekaligus disusunnya dalam bentuk susunan bab.
Selain itu, keberhasilan mereka adalah menyusu ilm al-
rijal, yang ditandai dengan adanya buku-buku yang
ditulis oleh al-Laits ibn Sa’ad, Ibn al-Mubarak,
Dlamrah ibn Rabi’ah dan lain-lain.
Selain itu, abad kedua juga terkenal dengan
banyaknya ulama yang muncul.
o Di Mekah ada Ibnu Juraij (w 150 H) dengan
kitab “as-sunan”, “at-Thaharah”, “as-shalah”,
“at-tafsir” dan “al-Jaami”.
o Di madinah Muhammad bin Ishaq bin Yasar (w
151 H) menyusun kitab “as-sunan” dan “al-
Maghazi”, atau Malik bin Anas (w 179 H)
menyusun “al-Muwaththa”.
o Di Bashrah Sa’id bin ‘Arubah (w 157 H)
menyusun “as-sunan” dan “at-tafsiir”, Hammad
bin Salamah (w 168 H) menyusun “as-sunan”.
o Di Kufah Sufyan ast-Tsauri (w 161 H) menyusun
“at-Tafsir”, “al-Jami al-Kabir”, al-Jami as-
Shaghir”, “al-Faraaidh”, “al-Itiqad”
o Al-‘Auza’I di Syam, Husyaim di Washith,
Ma’mar di Yaman, Jarir bin Abdul hamid di ar-
Rai, Ibnul Mubarak di Khurasan.
2.3.2 Penulisan.
A. Penulisan hadist secara menyeluruh
Pada awalnya penyusunan hadits dalam kitab, hadits
– hadits Nabi tidak dipisahkan dari fatwa para sahabat
dan tabi’in, tidak pula diadakan pemilihan bab – bab
tertentu. Semua itu dibukukan besama – sama. Maka
terdapatlah dalam kitab – kitab itu hadits – hadits
marfu’, hadits – hadits mauquf, dan hadits – hadits
maqthu’.
Adapun sistematika penulisan kitab hadits tersebut
adalah dengan menghimpun hadits – hadits yang tergolong
dalam munasabah, atau hadits – hadits yang ada
hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya
dihimpun dalam satu bab, kemudian disusun menjadi
beberapa bab sehingga menjadi satu kitab. Para ulama
masih mencampur adukkan antara hadits dengan atsar
sahabat dan tabi’in.
B. Penulisan hadist secara terpisah
Masa ini dapat dianggap masa yang paling sukses
dalam pembukuan hadits, sebab pada masa ini Ulama
Hadits telah berhasil memisahkan Hadits – Hadits Nabi
dari yang bukan Hadits (fatwa sahabat dan tabi’in) dan
telah berhasil pula mengadakan penyaringan yang sangat
teliti terhadap apa saja yang dikatakan Hadits Nabi
(diteliti matan dan sanadnya). Masa ini disebut “masa
menghimpun dan mentasbih Hadits”.6
6 http://aan888.blogspot.com/2013/05/makalah-sejarah-kodifikasi-hadist.html, diakses pada : jum’at / September / 19 / 2014
Sistem pembukuan hadits pada masa ini, adalah
sebagai berikut :
1. Penulis menghimpun semua serangan yang dilancarkan
oleh Ulama – Ulama Kalam kepada pribadi Ulama –
Ulama Hadits sendiri
misalnya si Fulan tidak adil atau tidak dlabit,
jadi tidak dapat diterima haditsnya, atau ditujukan
kepada Hadits – Haditsnya sendiri (dikatakan hadits ini
tidak dapat diterima karena mengandung khufarat atau
bertentangan dengan dalil lain dan sebagainya, jadi tak
mungkin dating dari Nabi). Kemudian si penulis
menanggapi dan menjawab semua serangan tersebut dengan
alasan – alasan yang kuat, sehingga dapat menjaga nama
baik Ulama Hadits dan membersihkan Hadits – Hadits yang
dicatatnya.
2. Penulis menghimpun hadits secara “musnad”
yakni menghimpun semua hadits dari tiap – tiap
sahabat tanpa memperhatikan masalah – masalahnya (isi
haditsnya) dan nilai (ada yang shahih, hasan, dan
dlaif).
3. Penulis menghimpun hadits – hadits secara bab – bab
Seperti kitab Fiqh dan tiap bab memuat hadits –
hadits yang sama maudlu’nya / masalahnya. Misalnya bab
shalat, bab zakat, dan sebagainya.
4. Penulisan Hadits Shahih
Dalam pembahasan terdahulu sudah disebut bahwa
kitab – kitab dan karangan – karangan yang dihimpun
atas perintah resmi pembukuan sunnah pada periode dua,
tidak banyak urgensi pembukuan antara hadits yang
shahih dan yang tidak shahih antara yang menganulir
dengan yang dianulir, dan urgensi pengklasifikasian
secara spesifik hadits dalam satu bab, melainkan hanya
berdasarkan mensabah semata, di mana dengan penyusunan
seperti itu menyulitkan pemahaman terhadap hadits
kecuali bagi mereka yang ahli.
Oleh karena itu, para penulis haditssengaja
menyusun kitab khusus hadits yang sanad – sanadnya
shahih dan matan – matannya terhindar dari illat
(cacat), yang disusunnya menurut bab – bab fiqh, sirat,
tafsir. Kitab tersebut disusunnya dengan senantiasa
menjaga aturan dan kaidah yang sudah diteliti oleh
ulama ahli ushul hadits dalam menentukan standar
keshahihan hadits dan pertimbangan – pertimbangannya.
2.3.3 Pembukuan
A. Sistem Ulama Abad Kesatu Membukukan Hadits
Pada masa ini, belum ada pembukuan hadits. Karena
dilarang oleh Nabi Muhammad saw. Karena takut jika
hadits tercampur dengan al-Qur’an
B. Sistem Ulama Abad Kedua Membukukan Hadits
Para ulama abad kedua membukukan hadits dengan
tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits-
hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke
dalam bukunya itu, bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga
dimasukkan. Semua itu dibukukan bersama-sama. Maka
terdapatlah dalam kitab-kitab itu hadits marfu’, hadits
mauquf dan hadits maqthu’.
C. Sistem Ulama Abad Ketiga Membukukan Hadits
Mereka memisahkan hadits dari fatwa-fatwa itu.
Mereka bukukan hadits saja dalam buku-buku hadits
berdasarkan statusnya. Akan tetapi satu kekurangan pula
yang harus kita akui, ialah mereka tidak memisah-
misahkan hadits. Yakni mereka mencampurkan hadits
shahih dengan hadits hasan dan dengan hadits dla’if.
Segala hadits yang mereka terima, dibukukan dengan
tidak menerangkan keshahihannya.
Selain itu, masa ini juga terkenal dngan masa
pemurnian dan penyempurnaan hadist. Berlangsung sejak
pemerintahan al-Ma'mun sampai awal pemerintahan al-
Muqtadir dari khalifah Dinasti Abbasiyah. Ulama-ulama
hadist memusatkan pemeliharaan pada keberadaan hadist,
terutama kemurnian hadist Nabi saw, sebagai antisipasi
mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadist yang semakin
marak
Oleh sebab itu para ulama melakukan kunjungan ke
daerah-daerah untuk menemui para perawi hadist yang
jauh dari pusat Kota. Imam Al Bukhary lah yang mula-
mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk
mencari hadits. Beliau pergi ke Maroko, Naisabur,
Baghdad, Makah, Madinah dan masih banyak lagi Kota yang
dia kunjungi.
Beliau membuat langkah mengumpulkan hadits-hadits
yang tersebar diberbagai daerah. 16 tahun lamanya al
Bukhary menjelajah untuk menyiapkan kitab shahihnya.
Pada abad ini banyak beredar buku-buku kumpulan
hadits seperti, al-Kutub al-Sittah, dan al-Masanid,
yang sampai sekarang menjadi rujukan dalam bidang
hadits. Semua buku tersebut merupakan sumbangan besar
dalam perkembangan ilmu hadits dari ulama yang
mempunyai wawasan keilmuan yang luas, seperti Imam
Ahmad ibn Hanbal, Ali ibn al-Madini, al-Bukhari, Imam
Muslim, Ishaq ibn Rahwaih dan lain-lain.7
2.4 Kitab-kitab Al-Hadist
2.4.1 Al-Mushannaf (abad ke 2 H)
Kitab ini merupakan catatan hadist, fiqih, akidah,
dll. Pada periode berikutnya kelak, ulama memisahkan
mana yang hadist dan mana yang bukan. Maka tidak
mengherankan kalau kitab karya Ibnu Malik disebut kitab
7 Sejarah Kodifikasi Hadits http://sejarah.kompasiana.com/2013/05/29/sejarah-kodifikasi-hadits-560244.html, diakses pada : Sabtu / September / 20 / 2014
fiqih yang bermuatan hadist, atau kitab hadist yang
bermuatan fiqih.
Di Makkah terdapat al-Mushanaf karya Abdul Malik
Ibn Abdul Aziz Ibn Juraij al-Bashiri (w. 150 H).
Di Madinah Al-Muwatha’ karya Malik Ibn Ana (93-279
H). Dari segi penyusunan, kitab ini dapat
dikelompokkan dalam mushanaf. Serta karya Muhammad
Ibn Ishaq (w. 151 H).
Di Bashrah muncul Al-Mushanaf karya Al Rabi’ Ibn
Shibah (w. 160 H), karya Said Ibn Abi Arubah (w.
156 H), dan karya Jamad Ibn Salamah (w. 161 H).
Di Kuffah tertulis Al-Mushanaf karya Sufyan Al-
Shaui (w. 97-161 H), dan di Yaman karya Khalid Ibn
Jamil Al-Abd, serta karya Ma’mar Ibn Rasyid (w. 95-
153 H).
Sementara itu, di Khurasan muncul Al-Mushanaf karya
Imam Abdur Rahman Ibn Amr Al-Auza’ (88-157 H).8
2.4.2 Al-Mushnad (abad ke 2-3 H)
Pada perkembangan selanjutnya, agaknya telah
muncul persoalan baru yang berkaitan dengan perbedaan
nilai hadist Nabi dari fatwa para sahabat dan tabi’in.
Dengan mencabut fatwa sahabat dan tabi’in, tersusunlah
8 http://anwarpamungkas.wordpress.com/2011/10/29/kodifikasi-hadist/ , diakses pada : Sabtu / September / 20 / 2014
kitab-kitab yang berisi kumpulan hadist nabi yag
diriwayatkan para sahabat saja. kitab jenis ini
kemudian disebut kitab musnad. Ciri utama kitab jenis
ini adalah bahwa penyusunannya didasarkan atas nama
sahabat yang meriwaytakannya oleh Abu Bakar
dikelompokkan menjadi satu, kemudian diriwayatkan oleh
Abu Hurairah dan seterusnya.
Gerakan ini muncul pada akhir abad kedua atau
awal abad ketiga, dipelopori oleh Abu Daud Sulaiman
Ibn Al-Jarad Al-Thayalisi (133-204 H), kitab-kitab Al-
Musnad disusun antara lain oleh:
• Asas Ibn Musa Al-Amawi (w. 212 H).
• ‘Ubaidillah Ibn Musa Al-‘Abbasi (w. 213 H).
• Musaddad Al-Bashari (w. 224 H).
• Yahya Ibn Abdul Hamid Al-Hamani Al-Kufi.
• Al-Syafi’i (150-240 H). Menurut Al-Biqa’i, musnad
karya Imam Syafi’i bukan susunan beliau sendiri
tetapi dari Al-Umm, kemudian dikumpulkan dalam
kitab tersendiri oleh Al-Asham.
• Ahmad Ibn Hanbal (164-241 H)
• Ishaq Ibn Rahawaih (151-238).
• ‘Ustam Ibn Abi Syaibah (156-239 H)9
2.4.3 Kitab-Kitab Shahih dan Al Jami’ (abad ke 3-4
H)
9 Ibid
Kendati tehnik isnad telah diterapkan dalam
kitab-kitab hadist sebagai disebut dimuka, namun
target pemilihan hadist yang shahih dari yang dhoif
belum tercapai, sehingga orang yang berhujjah dengan
hadist-hadist shahih mengalami kesulitan.
Ulama yang disebut-sebut sebagai pelopor penyusun
kitab hadist dengan metode ideal, yang menyatkan bahwa
hanya hadist shahih saja yang dimuat dalam kitabnya
adalah Imam Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari (194-256
H). Metode penyusunan ini kemudian diikuti oleh
muridnya, Imam Muslim (204-261 M).
2.4.4 Kitab-Kitab Sunan (abad ke 3-4 H)
Tampaknya era penyusunan kitab-kitab shahih
merupakan puncak penyusunan kitab hadist dari segi
akurasi periwayatan. Sesudah itu, muncul gerakan kitab
sunan, yang di dalamnya tidak hanya memuat hadist
shahih, tetapi termasuk juga di dalamnya hadist yang
dhaif. Bahkan kendati dhaif itu dicantumkan di dalam
kitab sunan, tetapi juga diberi komentar bahwa hadist
yang ini dhaif.10
2.4.5 Kitab Al-Mustadrak (abad ke 4 H)
Al-Mustadrak aalah jenis kitab hadist yang
menghimpun hadist-hadist shahih yang tidak
diriwayatkan dalam kitab-kiab hadist shahih lain, dan
hadist-hadist shahih yang ditinggalkan oleh Al-Bukhari
10 Ibid
dan Al-Muslim. Dalam memasukkan hadist ke dalam kitab
tersebut, penulisannya menerapkan persyaratan
keshahihan yang digunakan persyaratan keshahihan yang
digunakan oleh Bukhari dan Muslim. Menurut bahasa, Al-
Mustadrak mengandung arti berkenaan dengan temuan.
Agaknya, ia disebut Al-Mustadrak karena penulisannya
menemukan hadist yang amat berharga karena
keshahihannya, tetapi tidak sempat diliput oleh
Bukhari dan Muslim. Kitab yang terkenanl jenis ini
adalah:
Al-Mustadrak karya Al-Imam Al Hakim An-
Naisaburi
Al-Mustadrak karya Abu Dzar Al-Harawi
Al-Ilzamat karya Daruquthni11
2.4.6 Kitab Al-Mustakhraj (abad ke 4 H)
Adalah jenis kitab yang disusun dengan mengambil
hadist. Kitab-kitab Mustakhraj, ialah kitab-kitab yang
mengambil hadist dari sebuah kitab ulama hadist, misal
dari kitab Al-Bukhari, lalu menyebut satu persatu
dengan sanadnya sendiri, yakni mencari sanadmya
sendiri dari selain jalan Al-Bukhari hingga berjumpa
dengan Al-Bukhari pada guru Al-Bukhari, atau di
atasnya lagi. Yang termasuk jenis kitab ini adalah:
Al-Mustakhraj Al-Ismaili ‘Ala Al-Bukhari
11 Ibid
Mustakhraj Abu ‘Awanah ‘Ala Muslim
Mustakhraj Abu ‘Ali Al-Tusi ‘Ala Al-Tirmizi
Mustakhraj Muhammad Ibn Malik Ibn Al-Iman ‘Ala
Sunan Abu Dawud.12
2.4.7 Gerakan Penghimpunan, Komentar Dan Syarah
Pada abad ini dan beberapa kurun waktu
selanjutnya para ulama mengikuti jejak al-bukhari dan
muslim, menyusun kitab-kitab hadist dengan cermat,
bertekad hanya memasukkan hadist shahih saja dalam
kitabnya. Di samping itu ada juga yang mengumpulkan
kitab shahih bukhari dan muslim. Misalnya Imam Ismail
Ibn Ahmad Ibnul Furat (w. 414 H) menulis Al-Jami’
Bainana Al-Shahihaini; begitu juga Muhammad Ibn Abi
Nashr Al-Humaidi Al Andalusi, menulis kitab dengan
judul seperti ini. Kemudian, karena penghimpunan
hadist-hadist dirasa sudah maksimal, di sisi lain para
ulama hadist menyadari bahwa hadist-hadist yang telah
dihimpun itu akan dijadikan rujukan oleh generasi
mendatang, maka mereka merasa perlu membutuhkan
komentar-komentar tersebut. Ibnu Hajar mensyarahi
kitab shahih al-Bukhari dengan nama kitabnya fathul
bari. Pensyarahan terhadap kitabnya Al-Kawatib Ad-
Durri, dan oleh Al-Qasthalani (851-923 H) dengan nama
Isyad Al-Sari.
12 Ibid
Literature hadits yang berhasil di susun pada
abad ketiga (Masa kejayaan Hadist) yang sampai saat
ini dapat di temukan :
1. Al-musnad, imam ahmad
2. Al-jami’ al shahih, imam al-bukhari
3. Shahih muslim, imam muslim
4. Al-sunnah al-kubra dan mujtaba, imam al-nawawi
5. Al-sunnah, imam abu dawud
6. Al-jami’ al-shahih atau sunan, imam tirmidhi
7. Al-sunnah, imam ibnu majjah al-qazwayni.
Menurut perkiran ahli hadits literature tersebut
telah mengakar sebagian besar riwayat dari rasulullah
SAW, sehingga mereka sepakat tujuh kitab tersebut
sebagai induk kitab hadits (ummahat kutub al-hadits).
Dari tujuh literature hadits di atas dapat di bedakan
menjadi tiga istilah, yaitu:
Al-musnad, yang di susun berdasarkan entri nama
sahabat.
Al-jami’ al-shahih, yang di maksud oleh penyusunnya
untuk menghimpun hadits yang shahih saja.
Al-sunnah, yang di maksud oleh penyusunnya
menghimpun semua kategori hadits, shahih, hasan
atau dha’if.
Selanjutnya timbul juga peristilahan untuk
memudahkan penyebutan literature secara bersama yaitu:
Al-shahihaini, untuk kitab Bukhari dan Muslim.
Al-Thalatha’, untuk kitab Abu Dawud, Tirmidzi,
nsa’i.
Al-Arba’ah, untuk kitab Abu Dawud, Tirmidzi,
Nasa’i, dan Ibnu Majjah.
Al-Sittah, untuk kitab Al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majjah.
Al-Sab’ah, untuk kitab Al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majjah, dan
Ahmad13
2. 5. Biografi Tokoh-Tokoh Pembuku Hadist
Sebagaimana diketahui bahwa sanad itu adalah rawi
–rawi hadist yang dijadikan sandaran oleh pentahrij
hadist dalam mengemukakan suatu matan hadist, nilai
suatu hadist sangat dipengaruhi oleh: hal – hal.,
sifat-sifat, tingkah laku, biografi, mazhab-mazhab yang
dianutnya dan cara menerima dan menyampaikan hadist
dari para rawi.
Salah satu cabang ilmu rijalul hadist adalah ilmu
tawarihir ruwah yang membahas tentang kapan dan dimana
seorang rawi itu dilahirkan, dari siapa ia menerima
hadits, siapa orang yang pernah mengambil hadist dari
padanya, dan akhirnya diterangkan pula kapan dan dimana
ia wafat.
13 Ibid
Berikut ini sekilas biografi tentang tokoh al
kutub al tis'ah yang meliputi : Imam al Bukhori, Imam
Muslim, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmidzi, Imam an-
Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Imam Malik, imam Hakim, dan
Imam al Darimi.14
1. Imam Al Bukhari ( 194-252 H/810-870 M )
a. Riwayat Hidup Imam Al Bukhari
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim bin Almughroh bin Al Bardizbah Al
bukhoro, adalah ulama’ hadist yang sangat masyhur,
kelahiran Bukhara, suatu kota di Uzbekistan, wilayah
uni soviet, yang merupakan simpang jalan antara rusia,
Persi, Hindia, dan Tiongkok.
Beliau dilahirkan setelah selesai sholat jum’at
pada tanggal 13 syawal 194 h (810 M). seorang
muhaditsin yang jarang tandingannya ini, sangat wara’,
sedikit makan, banyak membaca al-Qur’an baik siang
maupun malam, serta gemar berbuat kebajikan kepada
murid-muridnya. Ayahnya adalah seorang ulama’ hadist
yang pernah belajar dibawah bimbingan sejumlah tokoh
termasyhur sat itu seperti Anas bin Malik, Hammad ibnu
Zaid, dan ibnu Mubarak.
Imam Al-Bukhori wafat pada malam sabtu selesai
sholat isya’, tepatnya pada malam Idul fithri tahun 252
h (870 M) dan dikebumikan di Khirtank, Samarkand.
14 http://hidayatusy-syifa.blogspot.com/2011/10/biografi-tokoh-tokoh-hadits.html diakses pada : September / 23 / 2014
b. Karya-karya imam al bukhori
karya-karya beliau banyak sekali, diantaranya :
Al Jami’ah Musnad Al Shohih Al Mukhtashar Min Umur
Rasulillah Wa Sunanih Wa Ayyamihi yang biasa di
sebut “Shahih Bukhori”. yakni kumpulan hadist –
hadist yang beliau persiapkan selama 16 tahun
lamanya. Kitab ini berisikan hadist–hadist shahih
secara keseluruhan.
Banyak ulama’ yang membuat syarah dari shohih Bukhori
antara lain :
a. Ibnu hajar ( w. 856 H ) mengarang Fathul Bari
b. Al Ayni Al hanafi (wafat 855 H ) mengarang
Umdah al Qari’
c. Qasthalani ( wafat 923 H ) mengarang Irsyad Al
syari’
d. Jalaluddin al suyuthi ( wafat 911 H ) mengarang
At Tausyih
Qadhaya Al Shohabah Wa At Tabi’in. kitab ini
disusun ketika berusia 18 tahun, dan sekarang tidak
diketahui keberadaannya.
Al Tarikhu Al Kabir ( 8 jilid ) yang telah terbit
tiga kali
Al Tarikhu Al Autsah
Al Adabu Al Munfarid, Birru Al Walidain, dan
sebagainya.
c. Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Disaat usianya beliau belum mencapai sepuluh
tahun, Imam Al Bukhori telah mulai belajar hadist,
sehingga tidak mengherankan ketika berusia 16 tahun
telah hafal matan sekaligus rawi dari beberapa buah
kitab karangan ibnu mubarak dan waqi’. Beliau merantau
ke negeri syam, mesir, jazirah arab sampai dua kali, ke
Bashrah empat kali, ke hijaz bermukim enam tahun, dan
pergi ke Baghdad bersama ahli para hadist yang lain
sampai 8 kali. Menurut pengakuannya, kitab hadist yang
ditulisnya membutuhkan jumlah guru tidak kurang dari
1.080 orang guru hadist.
Beliau telah memperoleh hadist dari beberapa
hafidh, antara lain: Maky bin Ibrahim, Abdullah bin
Usman Al Mawarzy, Abdullah bin Musa, Abu Ashim Asy
syaibani, dan Muhammad bin Abdullah Al Anshori.
Ulama’-. ulama’ besar yang mengambil hadist dari beliau
antara lain : Imam Muslim, Abu Zur’ah, At-Turmudzi,
Ibnu Khuzaimah dan An-Nasa’i.
2. Imam Muslim ( 204 – 216 H/820-875 M)
a. Riwayat Hidup Imam Muslim
Nama lengkap beliau adalah Abu Al Husain Muslim
bin Al Hajaj bin Muslim bin Kausaz Al Qusyairi Al
Naisaburi. Beliau dinisbatkan kepada Naisaburi karena
dilahirkan di Naisabur, Iran. Ia dilahirkan pada tahun
204 H ( 820 M ) dan wafat pada hari ahad bulan rajab
tahun 261 H ( 875 M ) dan dimakamkan di Naisabur.
b. Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Imam Muslim belajar hadist pada usia kurang lebih
12 tahun yaitu pada tahun 218 H (833 M ). Beliau pernah
pergi ke hijaz, irak, syam, mesir dan tempat-tempat
lain untuk memperdalam tentang ilmu hadist.
Ulama’- ulama’ besar yang pernah berguru kepada
beliau seperti : Abu Hatim, Musa bin Haran, Abu Isa At-
Tirmidzi, Yahya ibnu Said, ibnu Khuzaimah, Awwanah, dan
Ahmad ibnu Al Mubarak.
c. Karya-karya imam muslim
Diantara karya-karya beliau adalah :
Shahih Muslim, kitab ini berisikan sebanyak 7.273
buah hadist, termasuk yang diulang-ulang, kalau
dikurangi yang diulang maka tinggal 4.000 buah
hadist. Kitab sahih muslim ini yang paling
terkenal. Diantara sekian kitab yang memberi
syarah terhadap kitab itu adalah Imam Nawawi
( wafat 672 H ), yang diberi judul al manhaj fi
syarh shahih muslim ibnu hajaj.
Musnadul Kabir, kitab yang menerangkan tentang
nama-nama Rijalul hadist
al Jami’ul Kabir
Kitabul I’lal wa kitabu auhamil muhaditsin
Kitabut tamyiz, kitabu man laisa lahu illa rawin
wahidun, kitab al thabaqat al thabi’in dan kitab
muhadhoromin.
3. Imam Abu Dawud ( 202-275 H/ 817-889 M)
a. Riwayat Hidup Imam Abu Dawud
Nama lengkap beliau adalah Abu Dawud Sulaiman bin
Asy’ats bin Ishaq As Sijistany. Beliau dinisbatkan
kepada tempat kelahirannya yaitu di Sijistan ( antara
Iran dan Afghanistan ). Beliau dilahirkan pada tajhun
202 H ( 817 M) dan wafat pada tahun 275 H ( 889 M ) di
Bashrah, Irak.
b. perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Beliau merantau mengelilingi negeri-negeri tetangga
untuk mencari hadist dan ilmu-ilmu hadist yang
lain .kemudian mengumpulkan, menyusun, dan menulis
hadist-hadist yang telah diterima dari ulama’-ulama’
Iraq, Khurasan, Syam, dan mesir.
c. karya-karya imam abu dawud
Diantara karya-karya beliau adalah : sunan Abu
Dawud, karyanya yang terbesar dan berfaedah bagi
mujtahid, al Marasil, masail Imam Ahmad, al Zuhd,
Tasmiyah al ikhwan, al Bhats wan Nushur, Ibtida’ al
Wahyi dan al Nasikh wal Manksukh.
4. Imam At-Tirmidzi ( 200-279 H/824-892 M)
a. Riwayat hidup imam at-tirmidzi
Nama lengkap beliau adalah abu isa Muhammad ibnu
isa Ibnu Tsurah ibn musa ibn Dhahak al Sulami al Bughi
al tirmidzi. Adalah seorang Muhadits yang lahir di kota
Turmudz, kota kecil di pinggir utara sungai Amuderya,
sebelah utara Iran.
Beliau dilahirkan di kota Turmudz pada bulab
Dzulhijjah 200 H ( 824 M). imam at-tirmidzi dan imam al
bukhori adalah satu daerah ma wara’un nahar. Beliau
wafat di Turmudz 13 rajab 279 H ( 829 M).
b. Perhatian terhadap ilmu hadist
Beliau mengambil hadist dari ulama hadist
kenamaan, seperti qutaibah ibn sa’id, ishaq ibn musa,
dan al bukhori. Mayoritas ulama’ sepakat bahwa pada
akhir hayatnya al tirmidzi mengalami kebutaan, akan
tetapi apakah kebutaannya itu sejak lahir masih menjadi
perselisihan diantara ulama hadist.[6]
c. Karya-karyanya
Sunan At-Tirmidzi, penulisannya selesai pada
tanggal 10 Dzulhijah 270 H. salah satu syarah yang
mengomentarinya adalah karangan Abdurrahman Mubarakpuri
dengan judul Tuhfat Al Ahwadzi ( 4 jilid ). Tawarih, al
I’lal, syamail, al asma’ wal kuna, al atsar al
mauqufah,dan al I’lalul kabir.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari pembahasan makalah tersebut diatas, kami
dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Secara garis besar, penyebab terjadinya kodifikasi
hadits adalah untuk menghilangkan kekhawatiran
akan hilangnya Al – Hadits dan memelihara Al –
Hadits dari bercampurnya dengan hadits – hadits
palsu.
2. Proses - proses kodifikasi hadits melalui beberapa
tahap, yaitu: pengumpulan hadits, penulisan hadits
secara menyeluruh, penulisan hadits secara
terpisah, dan penulisan hadits shahih.
3. Banyak kitab – kitab yang lahir setelah proses
kodifikasi hadits yang membantu kita mengenal
hadits – hadits Nabi Muhammad saw.
Walaupun diakui hafalan merupakan salah satu
tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan
pengembangan pengetahuan, dan konon orang-orang Arab
terkenal mempunyai kekuatan hafalan yang tinggi,
bahkan para penghafal masih banyak yang beranggapan
bahwa penulisan hadis tidak diperkenankan, namun
ternyata tradisi penulisan hadis sudah dilakukan sejak
zaman Nabi.
Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa
Nabi, tapi bukan berarti semua hadis Nabi sudah
dibukukan sejak zaman Nabi tersebut. Hal ini bisa kita
lihat dari tidak dibukukannya hadis secara resmi saat
itu, sedang sahabat yang menulis hadis itu lebih
didorong oleh keinginan dirinya sendiri. Padahal
koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek
kehidupan Nabi tidak ditemukan tanda-tandanya.
Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan
sahabatnya. Mereka selalu bertemu dan berinteraksi
dengan beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash
Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol yang
menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak
dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah
Nabi, di kala beliau tak ada di rumah, dan berbicara
dengan para istri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul
dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan,
di dalam safar dan di dalam hadlar.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan
tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat.
Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman
hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan
perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui
segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini,
bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati apa-
apa yang diperintahkan Nabi.
Al Hadi, Abu Azam. 2008. Studi Al-Hadith. Jember : Pena
Salsabila.
Abduh Almanar, Muhammad. 2011. Studi Ilmu Hadist. Jakarta :
GP Press
http://hidayatusy-syifa.blogspot.com/2011/10/biografi-
tokoh-tokoh hadits.html
Pengantar Studi Hadist.ppt
Sejarah Kodifikasi Hadits - ANNEAHIRA.COM, Sabtu / September / 20 / 2014
Sejarah Kodifikasi Hadits | Muslim.Or.Id - Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah, Sabtu / September / 20 / 2014
Kodifikasi Hadist | Kaha Anwar http://anwarpamungkas.wordpress.com/2011/10/29/kodifikasi-hadist/ , Sabtu / September / 20 / 2014
Sejarah Kodifikasi Hadits http://sejarah.kompasiana.com/2013/05/29/sejarah-kodifikasi-hadits-560244.html, Sabtu / September / 20 /2014
http://aan888.blogspot.com/2013/05/makalah-sejarah-kodifikasi-hadist.html, jum’at / September / 19 / 2014