Kesesuaian Lahan Budidaya Lobster (Panulirus spp.) Sistem ...

11
Jurnal Airaha, Vol.10, No.02 (Dec 2021): 222 232, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638 222 Kesesuaian Lahan Budidaya Lobster (Panulirus spp.) Sistem Keramba Jaring Apung Menggunakan Pendekatan Sistem Informasi Geografis Suitability Farming of Floating Net Cage for Lobster (Panulirus spp.) by Geographic Information System Approach Arif Prasetya * , La Ode Abdul Fajar Hasidu Program Studi Ilmu Perikanan, Universitas Sembilanbelas November Kolaka, *Korespondensi : [email protected] Received: September 2021 Accepted: October 2021 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan memetakan beberapa parameter oseanografi yang sesuai untuk kegiatan budidaya lobster sistem keramba jaring apung dan menghasilkan rekomendasi berupa peta spasial kelayakan lahan budidaya lobster sistem keramba jaring apung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2021 di perairan Kabupaten Kolaka. Pengambilan data oseanografi dilakukan pada 58 stasiun, selanjutnya melakukan spasial analisis menggunakan program Arc GIS 10. Metode menggunakan analisis interpolasi dan klasifikasi spasial, kemudian melakukan overlay data pada seluruh parameter oseanografi untuk memberikan skoring berdasarkan matriks kesesuaian, sehingga menghasilkan peta spasial kesesuaian lahan. Berdasarkan peta kesesuaian lahan, diperoleh luas lahan yang sangat sesuai untuk budidaya lobster sistem keramba jaring apung adalah 7973 ha dan cukup sesuai seluas 20090 ha, sedangkan seluas 9519 tidak sesuai untuk kegiatan budidaya lobster sistem keramba jaring apung di perairan Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Kata Kunci: Keramba Jaring Apung; Kesesuaian Lahan; Lobster; SIG ABSTRACT This research is to identify and mapping some parameters of oceanography that suitable for lobster aquaculture activities with floating net cage systems and produce recommendations of a spatial map of the feasibility of floating net cage lobster farming. This research was conducted in July 2021 located in the coastal area of Kolaka. The oceanography data was collected from 58 stations and analyzed by Arc GIS 10 software. To produce a map of land suitability, the data was analyzed by interpolation and spatial clasification method before being overlaid in every oceanography parameter to be scored based on a suitability matrix. Regarding the land suitability map, it exhibited that the width of the Kolaka coastal area which is suitable for lobster farming with the floating net cage system was 7.973 Ha. Meanwhile, 9.519 Ha coastal area was not suitable. Keywords: Floating Net Cage, Land Suitability; Lobster; GIS PENDAHULUAN Lobster (Panuliris spp) adalah salah satu komoditas perikanan yang potensial dan bernilai ekonomis penting. Lobster laut merupakan jenis hewan invertebrata yang memiliki kulit yang keras dan tergolong dalam kelompok arthropoda (Baharawi, 2015). Pemintaan pasar domestik dan ekspor ke Negara Hongkong, Taiwan, Singapura, Jepang dan Cina terhadap lobster terus meningkat. Namun, sampai saat ini belum ada usaha pembenihan udang lobster laut yang berhasil menghasilkan benih untuk memenuhi kebutuhan usaha budidaya (Palo et al., 2014). Produksi perikanan Kabupaten Kolaka tahun 2017 pada perikanan tangkap sebesar 20.167 Hektar sementara budidaya sistem keramba masih sebesar 84,12 Hektar. Potensi perikanan budidaya masih sangat besar khususnya untuk budidaya jaring apung.

Transcript of Kesesuaian Lahan Budidaya Lobster (Panulirus spp.) Sistem ...

Jurnal Airaha, Vol.10, No.02 (Dec 2021): 222 – 232, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638

222

Kesesuaian Lahan Budidaya Lobster (Panulirus spp.) Sistem Keramba Jaring Apung

Menggunakan Pendekatan Sistem Informasi Geografis

Suitability Farming of Floating Net Cage for Lobster (Panulirus spp.) by Geographic

Information System Approach

Arif Prasetya*, La Ode Abdul Fajar Hasidu

Program Studi Ilmu Perikanan, Universitas Sembilanbelas November Kolaka,

*Korespondensi : [email protected]

Received: September 2021 Accepted: October 2021

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan memetakan beberapa parameter oseanografi

yang sesuai untuk kegiatan budidaya lobster sistem keramba jaring apung dan menghasilkan

rekomendasi berupa peta spasial kelayakan lahan budidaya lobster sistem keramba jaring

apung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2021 di perairan Kabupaten Kolaka.

Pengambilan data oseanografi dilakukan pada 58 stasiun, selanjutnya melakukan spasial

analisis menggunakan program Arc GIS 10. Metode menggunakan analisis interpolasi dan

klasifikasi spasial, kemudian melakukan overlay data pada seluruh parameter oseanografi

untuk memberikan skoring berdasarkan matriks kesesuaian, sehingga menghasilkan peta

spasial kesesuaian lahan. Berdasarkan peta kesesuaian lahan, diperoleh luas lahan yang

sangat sesuai untuk budidaya lobster sistem keramba jaring apung adalah 7973 ha dan cukup

sesuai seluas 20090 ha, sedangkan seluas 9519 tidak sesuai untuk kegiatan budidaya lobster

sistem keramba jaring apung di perairan Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Kata Kunci: Keramba Jaring Apung; Kesesuaian Lahan; Lobster; SIG

ABSTRACT

This research is to identify and mapping some parameters of oceanography that suitable for

lobster aquaculture activities with floating net cage systems and produce recommendations of

a spatial map of the feasibility of floating net cage lobster farming. This research was

conducted in July 2021 located in the coastal area of Kolaka. The oceanography data was

collected from 58 stations and analyzed by Arc GIS 10 software. To produce a map of land

suitability, the data was analyzed by interpolation and spatial clasification method before

being overlaid in every oceanography parameter to be scored based on a suitability matrix.

Regarding the land suitability map, it exhibited that the width of the Kolaka coastal area

which is suitable for lobster farming with the floating net cage system was 7.973 Ha.

Meanwhile, 9.519 Ha coastal area was not suitable.

Keywords: Floating Net Cage, Land Suitability; Lobster; GIS

PENDAHULUAN

Lobster (Panuliris spp) adalah salah

satu komoditas perikanan yang potensial dan

bernilai ekonomis penting. Lobster laut

merupakan jenis hewan invertebrata yang

memiliki kulit yang keras dan tergolong

dalam kelompok arthropoda (Baharawi,

2015). Pemintaan pasar domestik dan ekspor

ke Negara Hongkong, Taiwan, Singapura,

Jepang dan Cina terhadap lobster terus

meningkat. Namun, sampai saat ini belum

ada usaha pembenihan udang lobster laut

yang berhasil menghasilkan benih untuk

memenuhi kebutuhan usaha budidaya (Palo

et al., 2014).

Produksi perikanan Kabupaten Kolaka

tahun 2017 pada perikanan tangkap sebesar

20.167 Hektar sementara budidaya sistem

keramba masih sebesar 84,12 Hektar. Potensi

perikanan budidaya masih sangat besar

khususnya untuk budidaya jaring apung.

Jurnal Airaha, Vol.10, No.02 (Dec 2021): 222 – 232, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638

223

Tingkat kematian benih bening lobster

(BBL) di alam sangat tinggi, faktor

lingkungan perairan dan adanya predator

diklaim sebagai dua faktor utama tingginya

tingkat kematian benih lobster. Tingkat

kelangsungan hidup benih lobster di perairan

Indonesia hanya 0,01%. Artinya, jika ada

100.000 ekor benih lobster yang ditetaskan,

hanya 10 ekor yang kemudian mampu

bertahan hidup di alam (Priyambodo et al.,

2017).

Lobster belum menjadi pilihan utama

dikarenakan belum adanya pengetahuan

pembudidaya lokal tentang lokasi yang ideal

untuk budidaya, sistem teknologi yang

digunakan dan rentannya kematian yang

diakibatkan oleh penyakit dan perairan yang

tidak cocok.

Rendahnya produktivitas budidaya

pembesaran lobster dengan berbagai kendala

yang dihadapi, mendorong masyarakat untuk

terus menjual hasil tangkapan benih

dibandingkan melakukan budidaya

pembesaran sampai ukuran konsumsi. Benih

bening lobster (BBL) berukuran 2–3 cm

pernah mencapai Rp30.000/ekor sehingga

sangat menguntungkan bagi masyarakat

penangkap dan pengumpul benih. KJA yang

awalnya digunakan untuk budidaya kerapu

dan lobster, beralih fungsi sebagai media

untuk memasang kolektor atau pengumpul

benih lobster (Erlania et al., 2014).

Tahun 2021 KKP merevisi Permen KP

yang mengatur kegiatan pengelolaan lobster

dengan melarang lalu lintas perdagangan

BBL ke luar negeri dan lebih

memprioritaskan untuk kebutuhan budidaya

dalam negeri. Tantangan bagi pemerintah

daerah, peneliti dan pembudidaya lokal

bagaimana untuk memanfaatkan potensi

benih lobster agar meningkatkan pendapat

daerah dan masyarakat nelayan terutama

kebutuhan pangan masyarakat Indonesia

Khususnya di Kabupaten Kolaka.

Salah satu faktor penentu keberhasilan

kegiatan marikultur adalah pemilihan lokasi

yang tepat. Tingkat kesuburan perairan

merupakan parameter penting yang harus

diperhatikan, sehubungan dengan hal

tersebut, data dan informasi tentang kondisi

kualitas perairan di lokasi budidaya lobster

sangatlah diperlukan (Junaidi et al., 2018).

Perkembangan kegiatan marikultur di

Indonesia masih banyak yang mengalami

kesalahan dalam perencanaan, penyebabnya

adalah kurangnya pengetahuan tentang

lingkungan perairan yang tidak cocok bagi

kegiatan marikultur, serta data berbagai

faktor yang tidak sesuai pada lokasi kegiatan

marikultur, masih banyak yang mengalami

kesalahan dalam perencanaan, penyebabnya

adalah kurangnya pengetahuan tentang

lingkungan perairan yang tidak cocok bagi

kegiatan budidaya laut maupun adanya data

parameter kualitas air yang tidak sesuai di

lokasi tersebut. Untuk kegiatan budidaya

laut agar dapat berhasil, sangatlah penting

untuk menempatkan kegiatan budidaya laut

tersebut dengan benar (A. A. Mustafa et al.,

2018).

Dengan demikian, pengetahuan dan

penentuan lokasi calon budidaya lobster

sebaiknya diperhatikan dan dipersiapkan

sebaik mungkin untuk meminimalisir risiko

dalam kegiatan budidaya.

Penelitian ini bertujuan (1)

Mengidentifikasi dan memetakan beberapa

parameter oseanografi yang sesuai untuk

kegiatan budidaya lobster sistem keramba

jaring apung, (2) Menghasilkan

rekomendasi berupa peta spasial kelayakan

lahan budidaya lobster sistem keramba jaring

apung.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan

Juli 2021, lokasi penelitian di sepanjang

perairan dekat pesisir Kabupaten Kolaka,

Provinsi Sulawesi Tenggara.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat untuk mengumpulkan data berupa

: GPS Garmin, Thermometer, Hand

Refractometer, DO Meter, Secchi Disk dan

data citra satelit. Analisis data menggunakan

komputer dilengkapi software ArcGis 10

untuk mengolah, menginterpretasi beberapa

parameter oseanografi secara spasial dan

menghasilkan peta kesesuaian lahan.

Metode Pengumpulan Data

Jurnal Airaha, Vol.10, No.02 (Dec 2021): 222 – 232, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638

224

Pengumpulan data menggunakan

metode survei dan pengukuran langsung di

lapangan. Pengambilan data dilakukan pada

58 stasiun yang tersebar di lokasi bagian

utara dan selatan perairan Kolaka. Penentuan

stasiun secara purposive sampling yaitu dari

pengamatan langsung di lapangan. Parameter

oseanografi in situ yaitu koordinat stasiun,

suhu perairan, salinitas, oksigen terlarut,

substrat dan tingkat kecerahan. Data

parameter ex situ kecepatan arus dan

kedalaman perairan didapatkan dari citra

satelit.

Analisis Data

Analisis kesesuaian lahan

menggunakan program Arc GIS 10. Metode

menggunakan analisis interpolasi dan

klasifikasi spasial, kemudian melakukan

overlay data pada seluruh parameter

oseanografi untuk memberikan skoring

berdasarkan matriks kesesuaian, sehingga

menghasilkan peta spasial kesesuaian lahan.

Kriteria kesesuaian disusun berdasarkan

parameter lingkungan yang dipersyaratkan

dengan mengacu pada matriks kesesuaian

(Tabel 1), karena memberikan pengaruh

yang lebih kuat sebagai faktor pembatas

parameter lingkungan. Klasifikasi kesesuaian

terbagi ke dalam tiga kelas, yaitu sangat

sesuai, cukup sesuai dan tidak sesuai

(Sirajuddin, 2009).

Perhitungan Indeks Kesesuaian (IK)

berdasarkan rumus (Noor, 2009) :

IK= ∑ [Ni/Nmax] × 100%

Keterangan :

IK : Indeks Kesesuaian

Ni : Nilai Parameter ke-i (Bobot x Skor)

Nmax : Nilai Maksimum Kelas.

Tabel 1. Matriks Kesesuaian Lahan Budidaya Lobster Sistem KJA

Parameter Kriteria Kesesuaian

Sangat Sesuai Cukup Sesuai Tidak Sesuai

Keterlindungan Terlindung

(teluk, selat)

Cukup Terlindung

(perairan dangkal

dengan karang

penghalang)

Terbuka

(perairan terbuka)

Kedalaman (m) 8,0 - 20,0 5,0 - <8,0 ; >20,0 -

25,0 <5,0 ; >25,0

Arus (m/s) 0,20 - 0,40 0,05 - <0,20 ; >0,40 -

≤0,50 <0,05 ; >0,50

Substrat

Pasir, Pecahan

Karang,

Karang

Pasir Berlumpur Lumpur

Kecerahan (m) >15 5 - <15 <5

Suhu (°C) 27,0 - 33,0 20,0 - <27,0 <20,0 ; >33,0

Oksigen Terlarut

(mg/l) 5,0 - 8,0 3,0 - <5,0 <3,0 ; >8,0

Salinitas (ppt) 30,0 - 35,0 25,0 - <30,0 <25,0 ; >35,0

Sumber: Modifikasi dari (Amin, 2001) (Akbar. S, 2002), (Effendi, 2003),(Buitrago

et al., 2005) (Adipu et al., 2013), (Yusuf & Soedarto, 2013), (Hastari et al.,

2017), (Ngabito & Auliyah, 2018).

HASIL DAN BAHASAN

Kondisi Parameter Oseanografi

Hasil pengukuran lapangan

menunjukan nilai yang variatif terhadap nilai

toleransi kesesuaian perairan, terutama

terjadi perbedaan kondisi lingkungan antara

perairan bagian utara Kolaka, yaitu

Kecamatan Kolaka sampai Iwoimenda dan

selatan Perairan Kolaka, Kecamatan

Wondulako sampai Toari. Total 58 stasiun

Jurnal Airaha, Vol.10, No.02 (Dec 2021): 222 – 232, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638

225

pengambilan data lingkungan, menunjukkan

beberapa perbedaan signifikan terutama

diperairan yang intensitas kegiatan di darat

tinggi seperti pertambangan, bisa

mempengaruhi kualitas perairan terutama

untuk kegiatan budidaya.

Data hasil pengukuran parameter

lingkungan oseanografi pada lima puluh

delapan (58) stasiun pengamatan disajikan

dalam bentuk tabel.

Keterlindungan

Perairan Kolaka termasuk wilayah

Teluk Bone, secara geografis, persentase

wilayah yang memiliki posisi keterlindungan

sangatlah kurang. Pulau terdepan yang cukup

besar dan melindungi yaitu Pulau

Padamarang masih cukup jauh untuk

melindungi pesisir Kolaka dari terjangan

angin dan ombak, ombak dan angin pada

musim Barat di perairan Kolaka seringkali

sangat kencang dan bisa menyebabkan

gelombang yang cukup tinggi. Menurut

(Beveridge, 1996), lokasi budidaya ikan laut

sangat dipengaruhi oleh keterlindungan agar

terhindar dari pengaruh gelombang yang

besar dan angin kuat yang mampu merusak

ketahanan struktur keramba serta

menyulitkan teknis operasional budidaya.

Kedalaman

Hasil pengolahan data citra satelit

National Oceanic and Atmospheric

Administration (NOAA) Etopo1 yang di

overlay dengan data koordinat lapangan

didapatkan kedalaman berkisar antara 14-30

meter. Nilai kedalaman tersebut ada yang

sesuai untuk budidaya KJA lobster, tetapi

ada juga yang tidak menjadi rekomendasi

untuk kelayakan lokasi budidaya. Menurut

(A. Mustafa, 2013) yang meninjau lokasi

budidaya lobster di Vietnam, bahwa

kedalaman yang baik untuk budidaya lobster

adalah 3-5 m untuk keramba jaring tancap

dan 6-20 meter untuk keramba jaring apung

pada saat surut terendah. Peta sebaran

kedalaman dapat dilihat pada Gambar 1.

Arus

Berdasarkan hasil pengolahan data

citra satelit untuk data arus pada National

Ocean and Atmospheric Administration's

Environmental Research Division's Data

Access Program (ERDDAP) diolah ArcGIS,

ditemukan kisaran arus 0,24-0,58 m/s. Peta

sebaran arus dapat dilihat pada Gambar 2.

Nilai kecepatan arus ini jika dikorelasikan

dengan tabel matriks kesesuaian

dikategorikan cukup sesuai.

Gambar 1. Peta Sebaran Kedalaman Perairan Pesisir Kolaka

Jurnal Airaha, Vol.10, No.02 (Dec 2021): 222 – 232, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638

226

Kecepatan arus di wilayah bagian utara

perairan Kolaka relatif lebih kuat

dibandingkan dengan wilayah bagian selatan,

ini disebabkan oleh struktur geografis bagian

utara yang didominasi oleh dataran tinggi

berupa tebing dan kemiringan lereng curam

sehingga aliran udara dari sisi timur kuat

berhembus.

Kecepatan arus yang optimal sebagai

tempat pertumbuhan lobster yaitu 0,2 m/s

sampai dengan 0,4 m/s. Arus sangat berperan

dalam proses sirkulasi di daerah keramba.

Sirkulasi ini sangat penting bagi kehidupan

lobster karena dapat mempengaruhi keadaan

sekitar linhgkungan hidup. Sirkulasi yang

optimum dapat menyediakan ketersediaan

suplai oksigen bagi proses respirasi lobster,

selain itu adanya sirkulasi dari arus laut juga

dapat dengan cepat mengurai sisa-sisa

makanan yang ada dalam keramba agar tidak

terjadi endapan residu dan dapat

menyebabkan timbulnya senyawa berbahaya

yang terbentuk dari sisa-sisa pakan seperti

amonia (Putra, 2021).

Substrat

Berdasarkan data lapangan ditemukan

substrat dasar perairan Kolaka bervariatif,

mulai dari substrat lumpur, pasir berlumpur

dan berpasir. Cukup luasnya vegetasi

mangrove di kawasan pesisir Kolaka bisa

menjadi ancaman sedimentasi lumpur di

calon lokasi budidaya lobster. Kondisi

tersebut akan mempengaruhi kecerahan

perairan sehingga mengakibatkan kekeruhan

tinggi dan mengganggu proses fotosintesis

(Ngabito & Auliyah, 2018).

Kabupaten Kolaka memiliki aktifitas

pertambangan di daratan yang cukup tinggi,

terutama di daratan bagian selatan Kolaka

sehingga mengakibatkan laju sedimentasi

tinggi yang menjadi ancaman bagi usaha

budidaya (Rachmansyah et al., 2017).

Substrat dasar perairan yang sesuai matriks

kesesuaian yaitu pasir pecahan karang dan

pasir berlumpur teridentifikasi dominan di

wilayah bagian utara, sementara bagian

selatan didominasi substrat lumpur akibat

sedimentasi dan dominasi vegetasi mangrove

di wilayah pesisir perairan Kabupaten

Kolaka.

Gambar 2. Peta Sebaran Kecepatan Arus Perairan Pesisir Kolaka

Kecerahan

Kecerahan merupakan parameter

penunjang bagi kesuksesan usaha budidaya,

kecerahan berhubungan dengan pertikel-

partikel yang tersuspensi dalam air. Padatan

tersuspensi pada suatu perairan sangat

berpengaruh terhadap kecerahan perairan.

Semakin tinggi jumlah padatan tersuspensi

Jurnal Airaha, Vol.10, No.02 (Dec 2021): 222 – 232, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638

227

pada suatu perairan, maka akan menurunkan

nilai kecerahan perairan tersebut. Tingginya

nilai padatan tersuspensi mengakibatkan

perairan alami menjadi lebih keruh dan

bahkan membentuk endapan organik di dasar

perairan. Endapan bahan organik ini dapat

mengurangi kandungan oksigen perairan

melalui proses oksidasi secara alami,

termasuk respirasi mikroba dan dekomposisi

secara aerobik yang dapat berdampak buruk

bagi biota budidaya (Juliana & Panigoro,

2017).

Hasil pengukuran lapangan berada

pada kisaran 5-14 meter. Kecerahan rendah

dikarenakan beberapa lokasi dekat dari

vegetasi mangrove, muara sungai dan lokasi

pelabuhan perusahaan tambang. Menurut

(Buitrago et al., 2005) bahwa kondisi

optimal kecerahan suatu perairan untuk

kegiatan budidaya adalah >3 m. Sementara

menurut (A. A. Mustafa et al., 2018)

kecerahan perairan dikategorikan tinggi di

kisaran 13-15 m, sedang-tinggi 8-17 m, dan

buruk-sedang 4-11 m. Peta sebaran

kecerahan dapat dilihat pada Gambar 3.

Suhu

Suhu adalah salah satu parameter

lingkungan yang berpengaruh terhadap

tingkat daya tahan hidup biota laut (Nontji,

1987). Biota laut kebanyakan bersifat

sebagai hewan berdarah dingin atau

poikilotermik, termasuk juga lobster dimana

suhu dapat menjadi faktor yang

mempengaruhi persebaran dan proses biologi

dalam kehidupan di laut(Nybakken, 1992).

Berdasarkan penelitian Putra (2021) tercatat

rentan suhu perkembangan lobster yaitu

berkisar antara 28-30 ºC.

Berdasarkan hasil pengukuran di

lapangan, sebaran suhu di perairan Kolaka

yaitu antara 28-30 ºC, perairan bagian utara

suhu perairan cenderung lebih rendah

dikarenakan terdapat beberapa stasiun

berdekatan dengan wilayah muara setelah

dilakukan overlay data daerah aliran sungai,

tapi masih bisa ditolerir untuk kegiatan

budidaya. Berdasarkan matriks kesesuaian

parameter lingkungan, sebaran suhu diatas

termasuk sangat sesuai untuk budidaya

lobster. Menurut Cobb (Pranata et al., 2017),

lobster banyak ditemukan pada perairan

dengan suhu berkisar antara 26-30 ºC atau

lebih menyukai air yang dingin. Sebaran

suhu di perairan Kolaka dapat di lihat pada

Gambar 4.

Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut atau Dissolved

Oxygen (DO) merupakan zat yang paling

penting dalam sistem kehidupan di perairan

karena berperan penting dalam proses

Gambar 3. Peta Sebaran Kecerahan Perairan Pesisir Kolaka

Jurnal Airaha, Vol.10, No.02 (Dec 2021): 222 – 232, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638

228

metabolisme serta respirasi (Bayu et al.,

2018), sementara menurut (Rauf & Saenong,

2015) mengatakan untuk melakukan

budidaya lobster, kadar oksigen terlarut yang

sesuai untuk budidaya lobster sistem KJA

berkisar 3 – 10 mg/l.

Berdasarkan data lapangan yang

didapatkan dan diolah, didapatkan sebaran

oksigen terlarut 4,15-6,80 mg/l. Terlihat dari

sebaran DO, wilayah perairan bagian utara

Kolaka cukup tinggi, dikarenakan arus yang

cukup kuat dan banyak aliran sungai dari

celah daratan tinggi mengalir ke perairan,

sementara wilayah perairan bagian selatan

cukup stabil di kisaran 4-5 mg/l. Kisaran

data tergolong baik berdasarkan matriks

kesesuaian parameter oksigen terlarut, Peta

sebaran oksigen terlarut perairan bisa dilihat

pada Gambar 5.

Gambar 5. Peta Sebaran Oksigen Terlarut Perairan Pesisir Kolaka

Gambar 4. Peta Sebaran Suhu Perairan Pesisir Kolaka

Jurnal Airaha, Vol.10, No.02 (Dec 2021): 222 – 232, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638

229

Salinitas

Lobster termasuk jenis udang laut yang

sangat sensitif terhadap perubahan salinitas

dan suhu. Kualitas air yang buruk bisa

menyebabkan udang karang kurang sehat

dan mati karena stress dan tidak ada nafsu

makan. Oleh karena itu, sangat penting untuk

mengetahui dan menjaga kestabilan kondisi

air (Setyono, 2006).

Kisaran salinitas 29-34 ppt mampu

mendukung kehidupan benih lobster dengan

baik dan secara langsung mampu

mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah

makanan dan daya kelangsungan hidup

lobster di alam (Fitriansyah et al., 2020).

Sebaran salinitas perairan dari hasil

pengukuran lapangan dan olah data

didapatkan kisaran 30-38 ppt, terlihat

perairan bagian utara Kolaka Kecamatan

Samaturu hingga Iwoimenda cukup rendah

dan wilayah bagian selatan Kolaka terlihat

cukup tinggi bahkan mencapai 38 ppt.

berdasarkan matriks kesesuaian, nilai

tersebut cukup tinggi atau tidak cocok untuk

kegiatan budidaya lobster. Peta sebaran

salinitas dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Peta Sebaran Salinitas Perairan Pesisir Kolaka

Gambar 7. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Lobster KJA Perairan Kolaka

Jurnal Airaha, Vol.10, No.02 (Dec 2021): 222 – 232, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638

230

Hasil Kesesuaian Lahan Perairan untuk

Budidaya Lobster KJA

Proses analisis kesesuaian parameter

lingkungan untuk budidaya lobster keramba

jaring apung dilakukan dengan metode

overlay dan pemberian skor berdasarkan

matriks kesesuaian dari berbagai penelitian

sebelumnya tentang lingkungan dan

budidaya lobster, proses analisis spasial

menghasilkan tiga kelas kesesuaian lahan

yaitu Sangat Sesuai, Cukup Sesuai dan Tidak

Sesuai seperti terlihat pada Gambar 7.

Berdasarkan peta hasil kesesuaian

lahan perairan (Gambar 7) menggunakan

aplikasi ArGIS 10.4, diperoleh bahwa area

yang dapat mendukung kegiatan budidaya

lobster KJA di perairan Kolaka seluas 7973

ha masuk klasifikasi sangat sesuai, seluas

20090 ha merupakan area yang cukup sesuai

untuk budidaya dan 9519 ha merupakan area

yang tidak sesuai untuk kegiatan budidaya

lobster sistem keramba jaring apung.

Kesimpulan

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa

nilai kisaran seluruh parameter lingkungan

yaitu: suhu permukaan laut 28-30 °C,

salinitas 30-38 ppt, kecerahan 5-14 m,

oksigen terlarut 4,15-6,80 mg/l, kecepatan

arus 0,25-0,60, kedalaman perairan 10-27 m.

Hasil klasifikasi kesesuaian lahan budidaya

lobster KJA di perairan Kolaka didapatkan

bahwa, kelas sangat sesuai seluas 7973 ha,

kelas cukup sesuai seluas 20090 ha dan

seluas 9519 ha merupakan area perairan

yang ridak sesuai atau tidak bisa di

laksanakan aktifitas budidaya terutama

lobster dengan sistem keramba jaring apung

di perairan pesisir Kabupaten Kolaka.

Ucapan Terima Kasih

Peneliti mengucapkan banyak

terimakasih kepada KEMENDIKBUD

DIRJEN DIKTI dan Universitas Sembilan

belas November Kolaka yang telah

mendukung atas terlaksananya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adipu, Y., Lumenta, C., & Sinjal, H. J.

(2013). Kesesuaian Lahan Budidaya

Laut Di Perairan Kabupaten Bolaang

Mongondow Selatan, Sulawesi Utara.

Jurnal Perikanan Dan Kelautan Tropis,

9(1), 19–26.

Akbar. S, S. (2002). Pembenihan dan

pembesaran ikan kerapu bebek (p. 103).

Penebar Swadaya.

Amin. (2001). Penataan ruang kawasan

pesisir. Pustaka Ramadhan.

Baharawi, S. (2015). Seri Panduan Perikanan

Skala Kecil Perikanan lobster laut

Panduan Penangkapan dan Penanganan.

In WWF-Indonesia. WWF-Indonesia.

Bayu, R., Haris, K., & Apung, K. J. (2018).

Studi Parameter Fisika Kimia Air

Untuk Keramba Jaring Apung. 13.

Beveridge, M. C. M. (1996). Cage

aquaculture fishing news books.

Oxford/Blackwell.

Buitrago, J., Rada, M., Hernández, H., &

Buitrago, E. (2005). A single-use site

selection technique, using GIS, for

aquaculture planning: choosing

locations for mangrove oyster raft

culture in Margarita Island, Venezuela.

Environmental Management, 35(5),

544–556.

Effendi, H. (2003). Telaah Kualitas Air Bagi

Pengelolaan Sumberdaya dan

Lingkungan Perairan. Bogor

Agricultural University (IPB).

https://repository.ipb.ac.id/handle/1234

56789/79927

Erlania, Radiarta, I. N., & Sugama, K.

(2014). Dynamics of lobster (Panulirus

spp.) seeds abundance in Gerupuk Bay,

West Nusa Tenggara: A challenge for

lobster aquaculture technology

development. J. Ris Akuakultur, 9(3),

475–486.

Fitriansyah, I., Ramli, M., Ode, L., & Afu,

A. (2020). Kecamatan Moramo

Kabupaten Konawe Selatan Study of

Seed Lobster Abundance ( Panulirus

spp .) based on Oceanography

Characteristics in Ranooha Raya

Seawaters of Moramo , South Konawe

Jurnal Airaha, Vol.10, No.02 (Dec 2021): 222 – 232, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638

231

Pendahuluan Udang karang atau lebih

dikenal dengan lobster , terdiri dari.

5(November), 281–289.

Hastari, I. F., Kurnia, R., & Kamal, M. M.

(2017). Analisis kesesuaian budidaya

KJA Ikan Kerapu menggunakan SIG Di

Perairan Ringgung Lampung. Jurnal

Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis,

9(1), 151–159.

Juliana, & Panigoro, C. (2017). Kesesuaian

Lahan Budidaya Ikan Kerapu (

Ephinephelus Ssp) Berdasarkan

Parameter Fisik, Kimia Dan Biologi Di

Perairan Langge Kabupaten Gorontalo

Utara. 1(1), 1–6.

Junaidi, M., Nurliah, & Azhar, F. (2018).

Conditions of Water Quality to Support

Lobster Cultivation in North Lombok

Regency , West Nusa Tenggara

Province. J. Sains Teknologi &

Lingkungan, 4(2), 108–119.

Mustafa, A. (2013). Budidaya Lobster

(Panulirus sp.) di Vietnam dan

Indonesia. Media Akuakultur, 8(2), 73.

Mustafa, A. A., Tarunamulia, T., Hasnawi,

H., & Radiarta, I. N. (2018). Evaluasi

Kesesuaian Perairan Untuk Budidaya

Ikan Dalam Keramba Jaring Apung Di

Kabupaten Maluku Tenggara Barat

Provinsi Maluku. Jurnal Riset

Akuakultur, 13(3), 277.

https://doi.org/10.15578/jra.13.3.2018.2

77-287

Ngabito, M., & Auliyah, N. (2018).

Kesesuaian lahan budidaya ikan kerapu

(epinephelus sp.) Sistem keramba jaring

apung di kecamatan monano. Jurnal

Galung Tropika, 7(3), 204.

https://doi.org/10.31850/jgt.v7i3.377

Nontji, A. (1987). Laut nusantara.

Djambatan.

Noor, A. (2009). Model pengelolaan kualitas

lingkungan berbasis daya dukung

(carrying capacity) perairan teluk bagi

pengembangan budidaya keramba

jaring apung ikan kerapu (Studi kasus

di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru

Propinsi Kalimantan Selatan).

Nybakken, J. W. (1992). Biologi Laut: Suatu

Pendekatan Ekologis (Jakarta: PT.

Gramedia).

Palo, M., Studi Pemanfaatan Sumberdaya

Perikanan, P., & Hasanuddin, U.

(2014). The Use of an Environmental

Friendly Artificial Atractor to Collect

Spiny Lobster Seed (Panulirus spp)

Musbir dkk. 95. Jurnal IPTEKS PSP,

1(2), 95–102.

Pranata, B., Sabariah, V., & Suhaemi, S.

(2017). Aspek Biologi dan Pemetaan

Daerah Penangkapan Lobster (Panulirus

spp) di Perairan Kampung Akudiomi

Distrik Yaur Kabupaten Nabire. Jurnal

Sumberdaya Akuatik Indopasifik, 1(1),

1. https://doi.org/10.30862/jsai-fpik-

unipa.2017.vol.1.no.1.12

Priyambodo, B., Jones, C. M., & Sammut, J.

(2017). Improved collector design for

the capture of tropical spiny lobster,

Panulirus homarus and P. ornatus

(Decapoda: Palinuridae), pueruli in

Lombok, Indonesia. Aquaculture, 479,

321–332.

https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.20

17.05.033

Putra, R. R. (2021). Studi Parameter

Pendukung Lingkungan Terhadap

Pembesaran Lobster ( Panulirus spp . )

Metode Keramba Dasar.

Rachmansyah, R., Makmur, M., &

Kamaruddin, K. (2017). Pendugaan

Laju Sedimentasi Dan Dispersi Limbah

Partikel Organik Dari Budi Daya

Bandeng Dalam Keramba Jaring Apung

Di Laut. Jurnal Penelitian Perikanan

Indonesia, 10(2), 89–99.

Rauf, A., & Saenong, M. (2015). Penentuan

Kesesuaian Lokasi Budidaya Lobster

Determining the Suitability of the

Location of Lobster Cultivation Using

the Gis Application in the Coastal Area

of Puntondo. 55–62.

Setyono, D. E. D. (2006). Budidaya

Pembesaran Udang Karang. Jurnal

Oseanografi, 31(4), 39–48.

Sirajuddin, M. (2009). Informasi Awal

Tentang Kualitas Biofisik Perairan

Teluk Waworada Untuk Budidaya

Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Early

Information About Bio-physical Quality

Jurnal Airaha, Vol.10, No.02 (Dec 2021): 222 – 232, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638

232

of Seaweed Culture (Eucheuma

cottonii) in Waworada Bay, Bima

Regency.

Yusuf, M., & Soedarto, J. P. (2013). Analisis

kesesuaian lokasi untuk budidaya laut

berkelanjutan di kawasan Taman

Nasional Karimunjawa. Jurnal Ilmu

Kelautan, 8(1), 20–29.