84 IV KESESUAIAN HABITAT BURUNG AIR
-
Upload
tajakmada87 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of 84 IV KESESUAIAN HABITAT BURUNG AIR
84
IV KESESUAIAN HABITAT BURUNG AIR
Abstrak
Penelitian ini bertujuan menganalisis kesesuaian habitat burung air di
Percut Sei Tuan terkait komponen habitat yang menyusun model kesesuaian
habitat. Penelitian dilakukan pada bulan September 2010 sampai Maret 2011 di
empat lokasi penelitian dengan berbagai tipe habitat. Untuk mendapatkan tipe
habitat di Percut Sei Tuan menggunakan peta tutupan lahan 2009 dari Badan
Planologi Kementerian Kehutanan Indonesia dan klasifikasi tutupan lahan
menggunakan Google Map. Analisis spasial untuk mengidentifikasi kesesuaian
habitat menggunakan ArcGis 9.3. Faktor fisik dan kimia dianalisis menggunakan
regresi stepwise. Hasil pengamatan menunjukkan dari 10 tutupan lahan, burung
air hanya memilih lima tutupan lahan yaitu: hamparan lumpur, sawah, tambak,
belukar rawa dan hutan belukar. Analisis regresi stepwise terhadap faktor fisik
dan kimia perairan meliputi makanan, kedalaman sedimen, salinitas, pH,
ketinggian air, dan BOD menunjukkan pengaruh yang signifikan diatas 60%
terhadap kehadiran burung air di lokasi penelitian. Pemilihan lokasi makan oleh
burung air didasari oleh ketersediaan makanan, ketersediaan tempat mencari
makan dan faktor keamanan. Burung merandai khususnya Mycteria cinerea dan
Leptoptilos javanicus lebih sensitif terhadap kehadiran manusia dibandingkan
dengan burung pantai. Lokasi mencari makan burung pantai lebih luas
dibandingkan dengan burung merandai.
Kata kunci: Kesesuaian Habitat, Burung Air, Burung Merandai, Burung Pantai
85
IV SUITABILITY HABITAT OF WATERBIRDS
Abstract
The objective of the research was to analyze habitat suitability of
waterbirds in Percut Sei Tuan by studying habitat component for habitat
suitability models. The research was conducted in September 2010 until March
2011 in four sites, namely Bagan Percut, Pematang Lalang, Tanjung Rejo, and
Pantai Labu. Land cover description 2009 from Ministry of Forestry was used to
identify types of habitat and classification of land cover was used Google Map. A
spatial analysis using ArcGis 9.3 was used to identify habitat suitability. Physical
and chemical factor were analysis with stepwise regression. Only five from 10
land cover used to feeding ground by waterbird i.e. mud flat, rice field, fish pond,
forest marsh and shrub. The analysis to physical and chemical factor i.e.
macrozoobenthic (number of species and number of individual), height sediment,
water depth, pH, BOD, and salinity were showed significant influenceover 60% of
the presence ofwaterbirds. Food availability, habitat availability and degree of
disturbance affected to habitat selection of feeding ground by waterbirds. Human
distrusbancehad a high impact on the population and distribution of endangered
Mycteria cinerea and Leptoptilos javanicus. Shorebirds had larger feeding ground
than wading bird. Shorebirds and wading birds were not selected Tanjung Rejo
for feeding ground, and preferred Bagan Percut, Pematang Lalang and Pantai
Labu. Habitat suitability was classified into three category i.e. highly suitable,
suitable and unsuitable. The validation models showed that highly suitable
covered above 50% (wading birds and shorebirds). Totally, for highly suitable and
suitable class indicated that models covering 85% of the study areas. The Models
of habitat suitability were indicated that Percut Sei Tuan was an important habitat
for feeding ground of waterbirds.
Key Word: Suitability Habitat, Waterbirds, Wading Bird, Shorebird
86
PENDAHULUAN
Kesesuaian habitat adalah kemampuan habitat untuk mendukung
kelangsungan hidup dan reproduksi dari spesies (Majka et al.2007). Kesesuaian
habitat digunakan untuk mengetahui kualitas habitat dengan menggunakan
komponen-komponen habitat yang diduga penting bagi individu atau kelompok
spesies. Indeks kesesuaian habitat didasarkan pada asumsi bahwa individu atau
kelompok spesies akan memilih habitat yang paling sesuai untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pemilihan habitat adalah proses atau perilaku hewan untuk
memilih atau melakukan seleksi habitat. Habitat yang dipilih harus mampu
mendukung proses perkembangbiakan dan kelangsungan hidup (Majka et al.
2007; McClary & McGinley 2008).
Untuk meramalkan kehadiran/ketidak hadiran, distribusi atau ukuran
populasi hewan yang disebabkan oleh asosiasi spesies dan lingkungannya maka
dibuat model habitat. Model habitat digunakan untuk memprediksi pengaruh
perubahan habitat terhadap variasi spesies, distribusi spesies hewan dan sebaran
geografi, prediksi area dengan keanekaragaman spesies yang tinggi atau lokasi
dimana ditemukannya spesies terkonsentrasi (Williams 2003).
Model kesesuaian habitat telah banyak digunakan untuk melihat
preferensi, ketersediaan dan kualitas habitat ikan. Model ini dapat digunakan juga
untuk melihat pengaruh yang disebabkan oleh aktivitas manusia terhadap sistem
akuatik dan strategi untuk rehabilitasi habitat (Vélez-Espino 2006). Model HSI
digunakan untuk melihat kualitas dan kuantitas habitat, dan berkurangnya
program konservasi biologi. Lingkungan yang terganggu akan mempengaruhi
kualitas dan kuantitas habitat dan menimbulkan respon berupa meningkatnya
variasi kelimpahan dan distribusi populasi (Vélez-Espino 2006). Variabel habitat
yang dapat mempengaruhi kehidupan burung air diantaranya ketinggian air,
fluktuasi air, vegetasi, salinitas, topografi, tipe makanan, kemampuan memperoleh
makanan, ukuran lahan basah dan hubungan antar lahan basah (Ma et al. 2010).
Ada beberapa komponen yang menjadi perhatian utama dalam
menentukan habitat yang paling sesuai untuk burung air dalam memilih lokasi
mencari makan. Pemilihan komponen ini didasari pada asumsi bahwa semua
87
dimasukkan dalam dua kelompok (merandai dan pantai) dan dianggap
menggunakan lokasi mencari makan yang sama, berdasarkan asumsi tersebut
maka faktor yang dianggap paling menentukan tersebut diantaranya:
Air
Air merupakan salah satu komponen yang menentukan dalam pemilihan
lokasi makan oleh burung air, hal ini berhubungan dengan kehadiran makanan
yang dibutuhkannya dan kemampuannya memperoleh makanan. Indeks
kesesuaian bagi burung air didasarkan pada jumlah mangsa dan keberhasilan
burung untuk menangkap mangsa. Jumlah burung air pada lokasi mencari makan
sangat dipengaruhi oleh ketinggian air (Gawlik 2002; Kushlan 1976; 1986). Jika
terlalu tinggi atau terlalu dangkal maka kelimpahan burung sangat rendah.
Ketinggian air yang ideal berbeda-beda untuk masing-masing spesies burung
merandai. Ketinggian itu berkisar antara 0 – 40 cm, hal ini disebabkan burung
merandai memiliki kaki yang panjang.
Makanan dan Lokasi Makan
Jenis makanan burung merandai sangat bervariasi yaitu: ikan, invertebrata
akuatik dan terestrial, amphibi, reptil, krustase dan invertebrata. Kelimpahan
makanan merupakan salah satu faktor yang menentukan perilaku individu,
reproduksi atau dinamika populasi. Ketersediaan makanan sangat mempengaruhi
kelangsungan hidup, pemilihan tempat dan pengunaan habitat burung merandai
(Butler 1992). Fluktuasi populasi burung merandai (Ciconiiformes) secara spasial
dan temporal sangat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan (Erwin 1983).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi makan oleh
burung air diantaranya jarak antara patch dan jarak dari tempat bersarang atau
beristirahat. Bagi burung air, ketersediaan makanan dan waktu makan merupakan
faktor yang amat penting selama musim berbiak (Draugelis-Dale & Rassa 2008).
Burung merandai memperoleh makanan yang dibutuhkan secara soliter (sendiri)
atau berkelompok. Keberhasilan memperoleh mangsa bagi kelompok burung air
ditentukan oleh ketebalan sedimen dan tekstur sedimen. Umumnya burung air
memperoleh mangsa pada sedimen yang memiliki tekstur yang lembut dan
ketebalan 0 – 25 cm.
88
Cover (Pelindung)
Intensifikasi pertanian, pembangunan industri, rekreasi dan pemanenan
sumber daya merupakan aktivitas manusia yang menyebabkan kerusakan habitat
burung merandai. Dalam konservasi biologi hal yang menjadi perhatian adalah
hubungan antara area dan diversitas spesies, kelimpahan dan jumlah spesies yang
menggunakan suatu area (Paracuellos & Tellería 2004). Penggunaan ruang untuk
mencari makan oleh burung air sangat tergantung pada ketersediaan sumber
makanan, serta komposisi dan struktur komunitas burung air (Boldreghini &
Dall’Alpi 2008).
Lokasi makan yang terdegradasi atau terfragmentasi menyebabkan akibat
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi menyebabkan berkurangnya wilayah
mencari makan hal ini akan berpengaruh terhadap kehadiran burung air baik jenis
maupun jumlah. Hilangnya habitat dan degradasi habitat mencari makan pada
lokasi persinggahan burung pantai migran, umumnya disebabkan oleh adanya
kegiatan pertanian dan kebutuhan ekonomi. Hal ini merupakan faktor utama
penyebab berkurangnya populasi burung pantai (Brown et al. 2001).
Gangguan Manusia
Pengaruh gangguan manusia terhadap distribusi hewan merupakan hal
yang menjadi perhatian pada akhir-akhir ini. Ada dua masalah yang ditimbulkan
akibat gangguan manusia yaitu: kehadiran manusia menyebabkan hewan
menghindar dari habitat yang digunakan dan menyebabkan kematian,
keberhasilan reproduksi dan populasi (Gill et al. 2001).
Gangguan manusia, kerusakan habitat dan hilangnya lokasi mencari
makan merupakan faktor yang menyebabkan berkurangnya populasi burung air.
Burung air sangat rentan dengan kehadiran manusia. Kehadiran manusia
menimbulkan pengaruh negatif bagi burung air diantaranya perburuan dan
penangkapan burung. Kepadatan dan kekayaan spesies burung air meningkat
seiring dengan meningkatnya makanan dan tidak adanya atau berkurangnya
gangguan oleh manusia secara langsung seperti berkurangnya jumlah pengunjung
yang menggunakan perahu pada areal rekreasi (Borgnis 2009).
89
Model kesesuaian habitat
Model kesesuaian habitat dibangun untuk melihat habitat yang digunakan
untuk mencari makan dan istirahat burung air. Model ini ditujukan untuk
mengetahui kualitas habitat di wilayah penelitian apakah masih layak sebagai
lokasi makan burung air. Faktor yang diperhatikan adalah yang terkait langsung
dengan keberadaan burung air diantaranya:
1. Tipe lahan basah: hamparan lumpur (mudflat), sawah, dan tambak
2. Makanan
3. Ketinggian air
4. Kedalaman sedimen
5. Aktivitas manusia
6. Kimia Air (pH, Salinitas, BOD, DO)
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kondisi habitat burung air
(burung merandai dan burung pantai) terkait dengan faktor lingkungan di Percut
Sei Tuan dan membuat peta kesesuaian habitat burung air (burung merandai dan
burung pantai) di Percut Sei Tuan.
Bahan dan Metode
Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, Citra
google maps, peta tutupan lahan 2009, Komputer, ArcGis 9.3, ERDAS 9.1,
teropong binokuler, monokuler, GPS dan peta rupa bumi propinsi Sumatera Utara.
Cara kerja
1. Kesesuaian Habitat Burung air
Analisis spasial tingkat kesesuaian habitat burung air dimulai dengan
pengumpulan data primer dan sekunder meliputi peta digital, data survey
lapangan, dan literatur. Komponen lingkungan dititik beratkan pada faktor-faktor
penentu kualitas habitat burung air yaitu tipe penutupan lahan (berkaitan dengan
tingkat aksesibilitas dan ketersediaan makanan), ketinggian air, kedalaman
sedimen, faktor kimia air (salinitas, DO, BOD, dan pH) dan gangguan. Hasil
90
survey lapangan, digunakan sebagai dasar dalam penentuan nilai bobot setiap
variabel dan dukungan literatur, selanjutnya dibangun suatu model kesesuaian
habitat burung air.
Menentukan kesesuaian habitat dilakukan analisis terhadap komponen
habitat, sehingga di dapatkan peta kesesuaian habitat burung air yang meliputi:
tipe tutupan lahan (Fk1), makanan (Fk2), ketinggian air (Fk3), kedalaman
sedimen (Fk4), aktivitas manusia (Fk5), pH (Fk6), salinitas (Fk7), DO (Fk8) dan
BOD (Fk9). Selanjutnya dilakukan overlay dan analisis spasial sehingga didapat
persamaan berikut:
Skor = a Fk1 + b Fk2 + c Fk3 + d Fk4 + e FK5+f FK6+g FK7+h FK8+ i FK9
Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai indeks kesesuaian habitat burung
air dan validasinya.
2. Analisis dan Interpretasi Citra Satelit
Kegiatan identifikasi lahan basah sebagai habitat (feeding ground) burung
air di Percut dilakukan menggunakan teknologi penginderaan jauh dengan
memanfaatkan citra google maps. Peta rujukan didapatkan dari peta Sumatera
sumber dari Conservasi Internasional Indonesia (CI). Secara garis besar metode
penelitian yang dilakukan disajikan pada Gambar 29.
3. Klasifikasi Citra Google Maps
Klasifikasi citra google maps secara digital dilakukan untuk memperoleh
tutupan lahan kategori hamparan lumpur. Kategori lain mempergunakan tutupan
lahan dari Badan Planologi Kementerian Kehutanan tahun 2009. Klasifikasi
dimaksudkan untuk menginterpretasikan secara digital lahan basah yang berada di
Kawasan Percut Sei Tuan sebagai tempat mencari makan burung air.
Teknik klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi secara terbimbing
(supervised classification). Kawasan yang dapat diinterpretasikan meliputi
kawasan hamparan lumpur. Tutupan lahan hasil klasifikasi dari Badan Planologi
Kementrian Kehutanan dibagi menjadi sembilan yaitu: belukar rawa, hutan rawa
sekunder, pemukiman, perkebunan, pertanian lahan kering, sawah, semak belukar,
91
tambak dan tubuh air. Setelah lokasi-lokasi tersebut terklasifikasi kemudian
diadakan survey keberadaan lahan basah di lapangan (ground truth).
Gambar 29 Diagram alir penelitian.
4. Lokasi Makan Burung Air dan Faktor Kimia
Untuk mengetahui distribusi lokasi makan burung air dilakukan dengan
menandai lokasi-lokasi makan burung air menggunakan GPS berdasarkan peta
topografi, baik berupa hamparan lumpur, sungai, sawah, ladang maupun tambak
sehingga diperoleh titik-titik koordinat lokasi makan dan titik penyebaran pada
peta akhir. Banyak dan letak sampel contoh dipilih berdasarkan biaya, waktu dan
kemampuan pengamat. Pencatatan data meliputi: jenis burung, jumlah burung,
tempat habitat terpilih untuk makan, istirahat dan berjemur.
5. Pengolahan Data Spasial
Semua data hasil ground cek lapangan diolah dengan metode interpolasi
IDW (Inverse Distance weighted). Faktor-faktor penyusun model yang
berpengaruh terhadap model kesesuaian habitat burung disajikan pada Tabel 24.
Geokoreksi citra Google Maps
Peta yang berpeluang sebagai tempat mencari makan
Analisis spasial dan statistik
Skor = a fk1 + b fk2 + c fk3 + d fk4 + e FK5 + f fk6
Ya
Validasi
Cek lapangan (ground check) Burung air
dan makanan, Faktor fisik&kimia air
Interpretasi citra dan identifikasi Google Maps
Peta rupa bumi
Citra Google Maps
Peta tutupan lahan
Peta kesesuaian habitat burung air
Tidak
Interpolasi
Joint tabel
92
Regresi berganda stepwise dilakukan untuk mengetahui faktor yang paling
berpengaruh terhadap model. Penentuan skoring pada masing-masing faktor
penyusun model dilakukan berdasarkan metode rangking dengan melihat
pengaruh masing-masing faktor terhadap burung air, sesuai dengan kebutuhan
burung dalam memilih lokasi makan.
Urutan skoring dilakukan berdasarkan pertimbangan pada kebutuhannya,
makin baik kriteria yang digunakan maka makin tinggi nilai skoring yang
diberikan. Pengolahan peringkat dan bobot dilakukan pada masing-masing faktor.
Pemberian peringkat dan bobot didasarkan atas nilai kepentingan atau kesesuaian
bagi habitat burung air (Tabel 25 dan 26). Pembobotan menggunakan metode
proporsi/skala (rating method) dengan cara memberikan langsung bobot secara
eksplisit pada masing-masing faktor dengan mengalokasikan sejumlah nilai yang
jika dijumlahkan akan menjadi 100 atau 1,0 (Jaya 2007). Alur pengolahan data
sparsial dari lapangan disingkat pada Gambar 30.
0 < Wij< 100; ∑Wij = 100 untuk semua faktor
Pemodelan spasial kesesuaian habitat yang dibuat masuk kedalam kategori
coicidence modeling dengan melakukan overlay poligo (AGI 2010). Metode ini
dilakukan dengan menggunakan bobot terhadap peubah yang telah di skoring
sehingga skor total merupakan kombinasi yang linier (Jaya 2007).
atau
Dimana C = skor komposit untuk suatu unit spasial tertentu dan n =
jumlah peubah (variabel), Wi = bobot ke-i dan Xi = peubah atau variabel ke-i
Indeks kesesuaian habitat memiliki nilai 0 – 1, untuk mendapat nilai yang
sesuai dengan nilai kesesuaian habitat nilai total hasil perkalian antara skor dan
bobot dari faktor penyusun model dilakukan normalisasi.
93
Gambar 30 Pengolahan data sparsial menggunakan ArcGis 9.3.
Tabel 24 Faktor penyusun model kesesuian habitat burung merandai dan burung
pantai No Parameter Argumen
1. Tipe lahan basah Lahan basah yang digunakan untuk lokasi makan
burung merandai dan burung pantai
2. Makanan Burung merandai dan burung pantai memakan
berbagai jenis makanan diantara; makrozoobentos dan
ikan
3. Ketinggian air Dalam melakukan aktivitas makan burung merandai
dan burung pantai sangat dipengaruh oleh Ketinggian
air.
4. Ketebalan substrat Keberhasilan memperoleh makanan burung pantai
dipengaruhi oleh ketebalan substrat/sedimen
5. Gangguan/aktivitas
manusia
Burung merandai dan burung pantai memiliki reaksi
berbeda terhadap kehadiran manusia
6. Salinitas Salinitas mempengaruh makrozoobentos dan perilaku
burung air dalam mencari makan
7. pH Kehadiran makrozoobentos, perilaku dan fisiologi
burung air dalam mencari makan dipengaruhi oleh pH
(bisa berpengaruh langsung ataupun tidak langsung
dari makrozoobentos)
8. DO Kelimpahan makrozoobentos dipengaruhi oleh DO
dan secara tidak langsung akan mempengaruhi
perilaku dan fisiologi burung air dalam memperoleh
makanan dipengaruhi DO
9. BOD Kelimpahan makrozoobentos dipengaruhi oleh BOD
dan secara tidak langsung akan mempengaruhi
Perilaku dan fisiologi burung air dalam memperoleh
makanan
94
Tabel 25 Skoring dan bobot faktor penyusun model kesesuaian habitat burung
merandai
No. Parameter Tingkatan Skala Skor Bobot
1. Tipe lahan
basah
Mudflat/hutan rawa
Sawah/rawa belukar
Tambak
3
2
1
15
2. Makanan Mudflat
Sawah
Tambak
4 klas
3 klas
2 klas
3
2
1
20
3. Ketinggian air Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
< 40 cm
40 – 70 cm
70 – 90 cm
> 90 cm
4
3
2
1
15
4. Aktivitas
manusia
Rendah
Sedang
Tinggi
1 kegiatan
2 kegiatan
> 3 kegiatan
3
2
1
20
5. Salinitas <20
20-25
25-34
>34
2
4
3
1
10
6. pH <6
6-6.5
6.5-7
>7
2
4
3
1
10
7. DO <3
3-4
4-5
>5
2
4
3
1
5
8. BOD <1
1-2
2-4
>4
2
4
3
1
5
95
Tabel 26 Skoring dan bobot faktor penyusun model kesesuaian habitat burung
pantai
No. Parameter Tingkatan Skala Skor Bobot
1. Tipe lahan
basah
Mudflat/hutan rawa
Sawah/rawa belukar
Tambak
Sungai
4
3
2
1
15
2. Makanan Mudflat
Sawah
Tambak
4 klas
3 klas
2 klas
1 klas
4
3
2
1
20
3. Ketinggian air Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
< 40 cm
40 – 70 cm
70 – 90 cm
> 90 cm
4
3
2
1
10
4. Aktivitas
manusia
Rendah
Sedang
Tinggi
1 kegiatan
2 kegiatan
> 3 kegiatan
3
2
1
20
5. Sedimen <40 cm
40-60 cm
>60 cm
3
2
1
5
6. Salinitas <20
20-25
25-34
>34
2
4
3
1
10
7. pH <6
6-7
>7
2
3
1
10
8. DO <3
3-4
4-5
>5
2
4
3
1
5
9. BOD <1
1-2
2-4
>4
2
4
3
1
5
96
Analisis Data
Analisis data dilakukan melalui analisis spasial dan analisis statistika
dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi, berdasarkan metode tumpang
tindih (overlay), pengkelasan (class), pembobotan (weighting) dan pengharkatan
(scoring). Model matematika adalah:
a. Nilai Skor klasifikasi kesesuian habitat burung
11 FkxWSKOR
W1 = bobot untuk setiap parameter
Fk1 = faktor kelas dalam parameter
Skor = nilai dalam penetapan klasifikasi kesesuaian habitat
b.Nilai selang skor klasifikasi kesesuaian habitat burung
K
SSmaksSELANG
min
Smaks = nilai skor tertinggi
Smin = nilai skor terendah
K = banyaknya klasifikasi kesesuian habitat
Selang = nilai dalam penetapan selang klasifikasi kesesuaian habitat
c. Nilai indeks kesesuaian habitat burung air
SelangIKHnIKHNataudanSelangSIKHn 1/min
Smin = nilai skor terendah
Selang = nilai dalam penetapan selang klasifikasi kesesuaian habitat
IKHn-1 = Nilai indeks kesesuaian habitat sebelumnya
IKHn = Nilai indeks kesesuaian habitat ke n
d. Nilai validitas klasifikasi kesesuaian habitat burung air
%100XN
nVALIDASI
n = jumlah titik pertemuan dengan burung air pada satu klasifikasi
kesesuaian
N = jumlah total titik pertemuan dengan burung air hasil survey
Kriteria kesesuaian habitat (Majka et al. 2007)
100 = kesesuaian tinggi/sangat sesuai
80 = kesesuaian sedang/sesuai
60 = kesesuaian rendah/tidak sesuai
97
HASIL
Ada delapan komponen habitat yang digunakan untuk membangun model
kesesuaian habitat burung air di lokasi penelitian:
Tipe Tutupan Lahan
Tutupan lahan di area penelitian dapat dibagi menjadi 10 yaitu: lumpur,
belukar rawa, hutan rawa sekunder, pemukiman, perkebunan, pertanian lahan
kering, sawah, semak belukar, tambak dan tubuh air, hamparan lumpur memiliki
luas 2.652 km2, tambak 28.624 km
2 dan sawah 19.194 km
2 (Gambar 31, Tabel
27).
Burung air sangat tergantung pada lahan basah untuk mencari makan
meliputi: belukar rawa, hutan belukar, hamparan lumpur, sawah dan tambak.
Hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa burung air lebih memilih
hamparan lumpur yang terbentuk saat air laut surut di sepanjang garis pantai
dibandingkan sawah dan tambak. Luas area mencari makan bagi burung air sangat
mempengaruhi jumlah burung air. Total luas area lahan basah yang diperkirakan
menjadi lokasi mencari makan burung air mencapai 60%.
Tabel 27 Luas tutupan lahan di lokasi penelitian
No Tutupan lahan Luas (km2)
1. Belukar rawa 7.852
2. Hutan rawa sekunder 0.476
3. Lumpur 2.652
4. Pemukiman 4.284
5. Perkebunan 1.742
6. Pertanian lahan kering 27.654
7. Sawah 19.194
8. Semak belukar 5.643
9. Tambak 28.624
10. Tubuh air 0.580
98
Gambar 31 Tutupan lahan di lokasi penelitian.
Makanan
Makanan merupakan faktor yang paling menentukan kehadiran burung air.
Berdasarkan jumlah individu dan jumlah spesies burung air yang ditemukan
dilokasi penelitian secara garis besar dapat dibagi menjadi burung merandai dan
burung pantai. Jenis makanan yang ditemukan terdiri dari makrozoobentos
(bivalvia, gastropoda, crustacea dan polychaeta) dan ikan. Hamparan lumpur
memiliki jenis makrozoobentos lebih beragam, sebanyak empat klas (bivalvia,
gastropoda, crustacea dan polychaeta), dibandingkan dengan sawah dan tambak
yang hanya memiliki dua klas (gastropoda dan polychaeta). Masing-masing
hamparan lumpur memiliki jumlah jenis makrozoobentos yang berbeda. Sebaran
makrozoobentos di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 32.
99
Gambar 32 Sebaran makanan di lokasi penelitian.
Ketinggian Air
Keberhasilan memperoleh makanan bagi burung air sangat ditentukan oleh
ketinggian air. Ketinggian air sangat dipengaruhi oleh siklus pasang surut air laut.
Perbedaan siklus pasang surut air laut dan ketinggian air akan berpengaruh
terhadap ketersediaan hamparan lumpur sebagai tempat untuk mencari makan
(feeding ground) burung air. Pada saat pasang tinggi ketinggian air dapat
mencapai 200 cm, sedangkan pada saat pasang rendah umumnya ketinggian air
berkisar di 80-100 cm. Pada saat pasang mati, ketinggian air berkisar 50-80 cm.
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan dan interpolasi terhadap ketinggian air,
ada 13 kategori ketinggian air (Gambar 33). Ketinggian air terendah yang diukur
adalah dibawah 10 cm dan tertinggi 110 cm.
Burung merandai dapat mencari makanan (ikan) di sekitar perairan dengan
ketinggian air antara 0 sampai 40 cm sedangkan bagi burung pantai ketersediaan
lokasi makan sangat dipengaruhi oleh lamanya waktu pasang surut. Waktu pasang
100
surut yang terjadi di lokasi penelitian mengalami fluktuasi. Umumnya lama waktu
surut berkisar 2 sampai 4 jam.
Gambar 33 Sebaran ketinggian air di lokasi penelitian.
Kedalaman Sedimen
Ketebalan sedimen sangat menentukan kehadiran makanan burung air.
Makrozoobentos pada lokasi penelitian ditemukan pada kedalaman 0 sampai 40
cm. Keberhasilan burung air, khususnya burung pantai, dalam memperoleh
makanan sangat dipengaruhi oleh ketebalan sedimen dan tekstur sedimen.
Burung pantai memiliki ukuran paruh yang bervariasi, ada yang panjang
dan pendek. Burung yang memiliki paruh panjang dapat memperoleh makanan
sampai kedalaman 40 cm, sedangkan burung dengan paruh yang pendek hanya
mencari makan pada permukaan sedimen sampai kedalaman kurang lebih 10 cm.
Burung merandai yang memiliki paruh yang tebal hanya memperoleh makanan
dari permukaan sedimen. Distribusi sebaran kedalaman sedimen hasil pengukuran
di lapangan dan hasil interpolasi dibagi menjadi 16 kategori yang terendah lebih
kecil dari 10 cm dan tertinggi besar dari 130 cm (Gambar 34).
101
Gambar 34 Kedalaman sedimen di lokasi penelitian.
Gangguan (Aktivitas Manusia)
Gangguan yang terjadi di lokasi penelitian akan sangat mempengaruhi
keberhasilan burung air dalam memperoleh makanan. Gangguan ini akan
menyebabkan burung air menghindar atau terbang untuk mencari lokasi yang
aman, gangguan ini akan menghabiskan waktu dan energi burung air sehingga
mempengaruhi perolehan makanan. Pada beberapa kali pengamatan ditemukan
bahwa burung merandai berusaha menghindar dari kehadiran manusia dengan
terbang menjauh. Hasil analisis dengan ArcGis mendapatkan bahwa sebaran
aktivitas manusia di lokasi penelitian dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis
kegiatan (Gambar 35).
Gangguan yang ditemukan selama penelitian berlangsung terdiri dari:
1. Pemasangan jaring untuk menangkap ikan atau untuk menangkap burung air
2. Transportasi; lalu lalang perahu motor di sekitar lokasi penelitian akan
mempengaruhi kenyamanan burung air mencari makan
3. Pemasangan bubu atau perangkap kepiting
102
4. Pemancingan
5. Perburuan burung air
6. Penjualan burung air
7. Pengunaan wilayah makan sebagai area permainan billyard yang
mengakibatkan kegaduhan dari para pemain
Gambar 35 Aktivitas manusia di lokasi penelitian.
Salinitas
Burung air, terutama burung pantai, mencari makan di sepanjang pantai
yang memiliki kadar salinitas yang berbeda-beda. Burung air harus dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Keterkaitan burung air dengan keberadaan
makrozoobentos sebagai makanannya sangat dipengaruhi oleh salinitas. Salinitas
yang terlalu tinggi akan menyebabkan berkurangnya jumlah makrozoobentos dan
salinitas yang terlalu rendah juga akan memberikan pengaruh yang sama.
Hasil uji regresi stepwise menunjukkan bahwa salinitas selain
mempengaruhi keberadaan makrozoobentos juga mempengaruhi kehadiran
spesies burung air sebesar 75% dan individu burung air sebesar 54%. Salinitas
103
mempengaruhi kehadiran spesies makrozoobentos sebesar 72% dan individu
makrozoobentos 61%. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan salinitas di
lokasi penelitian berkisar antara 21‰ sampai 28 ‰. Hasil pengukuran ini
menunjukkan bahwa salinitas di lokasi penelitian masih baik. Hasil interpolasi
dengan ArcGis memperoleh sebanyak delapan kategori salinitas (Gambar 36).
Gambar 36 Sebaran salinitas di lokasi penelitian.
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kehadiran makrozoobentos sebagai sumber makanan burung air. Pengaruh pH
terhadap burung air secara langsung berkaitan dengan kehadiran sumber makanan
dalam hal ini makrozoobentos. Hasil uji regresi stepwise menujukkan pengaruh
pH terhadap jumlah spesies burung air 78% dan terhadap jumlah individu burung
air 53%. Pengaruh pH terhadap jumlah spesies makrozoobentos 73% dan terhadap
jumlah individu makrozoobentos 77%. pH yang terlalu tinggi maupun terlalu
rendah akan mempengaruhi kehadiran makrozoobentos dan fisiologi burung air
104
yang hidup dan mencari makan disekitar wilayah perairan terutama di sepanjang
garis pantai.
Hasil pengukuran di lapangan mendapatkan kisaran pH antara 6 sampai
6,9, dengan hanya 4 titik memiliki pH lebih dari 7 (7,1 – 7,2). Hasil interpolasi
berdasarkan data lapangan memperoleh tujuh kategori (Gambar 37). Mengingat
bahwa pH yang sesuai dengan baku mutu air laut untuk biota laut 7 – 8,5 maka
secara umum pH hasil pengukuran di lokasi penelitian masih cukup baik.
Gambar 37 Sebaran pH (derajat keasaman) di lokasi penelitian.
Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu faktor yang menentukan
kehadiran makrozoobentos sebagai sumber makanan burung air. Hubungan
langsung DO dengan kehadiran burung air di lokasi penelitian berkaitan langsung
dengan makrozoobentos sebagai sumber makanannya. Makrozoobentos sebagai
hewan yang hidup pada sedimen membutuhkan oksigen terlarut untuk
kehidupannya, DO yang terlalu tinggi akan mempengaruhi jumlah dan kehadiran
makrozoobentos.
105
Hasil analisis regresi stepwise menunjukkan bahwa pengaruh DO bagi
jumlah spesies burung air sebesar 64% dan pengaruh DO terhadap jumlah
individu burung air adalah 51%. Pengaruh DO terhadap jumlah individu
makrozoobentos sebesar 64% dan terhadap jumlah spesies makrozoobentos
sebesar 46%.
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan ditemukan kisaran DO antara
3,7 sampai 4,5 sehingga masih memenuhi baku mutu air laut untuk biota laut
sesuai KepMenLH No. 51 tahun 2004. Hasil ini menunjukkan DO di lokasi
penelitian masih baik. Hasil pengukuran di lapangan memperoleh empat kategori
DO (Gambar 38).
Gambar 38 Sebaran oksigen terlarut (DO) di lokasi penelitian.
Biochemical Oxygen Demand BOD
Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan salah satu faktor yang
menentukan kehadiran makrozoobentos sebagai sumber makanan burung air.
Hubungan langsung BOD dengan kehadiran burung air di lokasi penelitian
berkaitan langsung dengan makrozoobentos sebagai sumber makanannya.
106
Makrozoobentos sebagai hewan yang hidup pada sedimen membutuhkan oksigen
terlarut untuk kehidupanya, BOD yang terlalu tinggi akan mempengaruhi jumlah
dan kehadiran makrozoobentos.
Hasil analisis regresi stepwise menunjukkan pengaruh BOD bagi jumlah
spesies burung air sebesar 69% dan jumlah individu burung air sebessr 29%.
Pengaruh BOD bagi jumlah spesies makrozoobentos sebesar 68% dan jumlah
individu makrozoobentos sebesar 60%. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan
ditemukan kisaran BOD antara 1,1 mg/l sampai 2,9 mg/l, masih memenuhi baku
mutu air laut untuk biota laut sesuai KepMenLH No. 51 tahun 2004. Hasil
pengukuran di lapangan memperoleh sembilan kategori BOD (Gambar 39).
Gambar 39 Biochemical Oxygen Demand (BOD) di lokasi penelitian.
Kesesuaian habitat burung air yang dibangun dibagi menjadi dua
kelompok yaitu burung merandai dan burung pantai. Pembagian ini berdasarkan
atas perbedaan morfologi dan cara memperoleh makanan.
107
Kesesuaian Habitat Burung Merandai
Hasil analisis terhadap komponen habitat mendapatkan tiga kelas
kesesuaian habitat bagi burung merandai yaitu: sangat sesuai, sesuai dan tidak
sesuai. Sangat sesuai meliputi hamparan lumpur dan tambak, sesuai meliputi:
tambak, hutan belukar dan belukar rawa (Gambar 40).
Komponen habitat yang dipergunakan untuk membangun model kesesuain
habitat terdiri dari: tipe lahan basah (tutupan lahan), makanan, ketinggian air,
salinitas, pH, BOD, DO dan gangguan. Hasil penghitungan terhadap total skor
semua komponen habitat untuk membangun model kesesuaian habitat bagi
burung merandai berkisar antara 0 sampai 335 (Tabel 28).
Tabel 28 Pembagian selang kelas kesesuaian habitat burung merandai
Selang Skor Kategori Klasifikasi
kesesuaian
1-0.33 = 0.67 ≥ 0.80 HSI1 Sangat sesuai
0.67-0.33 =0.34 0.80 – 0.65 HSI2 Sesuai
0.34 ≤ 0.65 HSI3 Tidak sesuai
Untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap model yang dibangun
dilakukan uji validasi model kesesuaian habitat burung merandai dengan
mencocokkan hasil analisis spasial dengan data titik pertemuan burung merandai
yang ditemukan di lapangan. Hasil uji validasi menunjukkan tingkat akurasi untuk
memprediksi habitat burung merandai dengan kelas sangat sesuai mencapai
53,33% dan kelas sesuai 46,67% (Tabel 29).
Tabel 29 Penentuan klasifikasi kesesuaian habitat burung merandai di Percut Sei
Tuan
Tingkat
kesesuaian
Klas kesesuaian
Habitat
Jumlah titik
Pertemuan
Validasi
(%)
1 Sangat sesuai 8 53,33
2 Sesuai 7 46,67
3 Tidak sesuai
Total 15
109
Kesesuaian Habitat Burung Pantai
Hasil analisis terhadap komponen habitat mendapatkan tiga kelas
kesesuaian habitat bagi burung pantai yaitu: sangat sesuai, sesuai dan tidak sesuai.
Sangat sesuai meliputi hamparan lumpur, tambak, belukar rawa, hutan belukar
dan sawah, sesuai meliputi: tambak, sawah dan semak belukar (Gambar 41).
Komponen habitat yang dipergunakan untuk membangun model kesesuain
habitat terdiri dari: tipe lahan basah (tutupan lahan), makanan, ketinggian air,
ketebalan sedimen, salinitas, pH, DO, BOD dan gangguan. Hasil penghitungan
terhadap total skor untuk semua komponen habitat untuk membangun model
kesesuaian habitat bagi burung pantai berkisar antara 0 sampai 335 (Tabel 30).
Tabel 30 Pembagian selang kelas kesesuaian habitat burung pantai
Selang Skor Kategori Klasifikasi
kesesuaian
1-0.33 = 0.63 ≥ 0.80 HSI1 Sangat sesuai
0.63-0.33 = 0.34 0.80– 0.60 HSI2 Sesuai
0.34 ≤ 0.60 HSI3 Tidak sesuai
Untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap model yang dibangun
dilakukan uji validasi model kesesuaian habitat burung pantai dengan
mencocokkan hasil analisis spasial dengan data titik pertemuan burung pantai
yang ditemukan di lapangan. Hasil uji validasi menunjukkan tingkat akurasi untuk
memprediksi habitat burung pantai dengan kelas sangat sesuai mencapai 60% dan
sesuai 26,67% dan tidak sesuai 13,33% (Tabel 31).
Tabel 31 Penentuan klasifikasi kesesuaian habitat burung pantai di Percut Sei
Tuan
Tingkat
kesesuaian
Klas kesesuaian
Habitat
Jumlah titik
Pertemuan
Validasi
(%)
1 Sangat sesuai 9 60
2 Sesuai 4 26.67
3 Tidak sesuai 2 13.33
Total 15
111
PEMBAHASAN
Tipe tutupan lahan
Hanya lima dari 10 kategori tutupan lahan di lokasi penelitian yang
digunakan burung air untuk lokasi mencari makan, yaitu: hamparan lumpur,
tambak, hutan rawa, belukar rawa dan sawah. Kelima tutupan lahan tersebut
merupakan lahan basah. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa
hamparan lumpur yang terbentuk saat air laut surut merupakan lokasi mencari
makan yang paling sering digunakan oleh burung air (merandai dan pantai).
Lahan basah merupakan habitat penting bagi jenis-jenis burung termasuk burung
air. Burung air menggunakan lahan basah sebagai tempat untuk mencari makan,
bersarang dan tempat tinggal (Weller 2003).
Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa tambak dan pertanian lahan
kering merupakan tutupan lahan yang paling luas. Hal ini sesuai keadaan di
lapangan, terutama di Tanjung Rejo. Pertanian lahan kering yang banyak
ditemukan di lapangan adalah kebun kelapa sawit dan tanaman pertanian seperti
cabe dan jagung. Hamparan lumpur merupakan lokasi mencari makan yang paling
dipilih oleh burung air dibandingkan sawah dan tambak. Hal ini disebabkan
hamparan lumpur menyediakan sumber makanan yang dibutuhkan burung air
lebih beragam dibandingkan dengan sawah dan tambak. Sawah yang di lokasi
penelitian merupakan sawah tadah hujan (memiliki kecenderungan kering dan
tekstur tanah yang keras). Tambak di area penelitian memiliki ketinggian air
sampai mencapai 70 cm. Kondisi sawah dan tambak tidak menguntungkan bagi
burung air yang memiliki keterbatasan morfologinya (ukuran paruh dan kaki)
pada ketinggian air dan kemampuan memperoleh makan pada tanah bertekstur
lembut.
Intensifikasi pertanian, pembangunan industri, rekreasi dan pemanenan
sumber daya merupakan aktivitas manusia yang menyebabkan kerusakan habitat.
Dalam melakukan upaya konservasi biologi perlu diketahui hubungan antara satu
wilayah dengan keanekaragaman spesies, kelimpahan dan jumlah spesies yang
menggunakan suatu wilayah baik itu untuk mencari makan, bersarang maupun
beristirahat (Paracuellos & Tellería 2004). Penggunaan ruang untuk mencari
112
makan oleh burung air sangat tergantung pada ketersediaan sumber makanan,
komposisi dan struktur komunitas burung air (Boldreghini & Dall’Alpi 2008).
Makanan
Pemilihan habitat oleh burung air pada lahan basah sangat dipengaruhi
oleh ketersediaan sumber makanan dan kemudahan untuk memperoleh makanan
sesuai dengan kebutuhan harian masing-masing spesies burung air yang mencari
makanan pada suatu area tertentu. Umumnya burung air memiliki kecenderungan
mendatangi lokasi makan yang kaya akan sumber makanan dan lokasi makan
yang sama dari tahun ke tahun (bagi burung migran). Burung pantai migran
merupakan tipe predator yang senantiasa menggunakan lokasi persinggahan yang
sama setiap tahun untuk tempat beristirahat dan memperoleh makanan (Morrison
& Myers 1989).
Sumber makanan baik itu spesies makrozoobentos dan jumlah individu
makrozoobentos memperlihatkan pengaruh yang positif sebesar 94% dan 85%
terhadap kehadiran burung air. Ini menunjukkan makin banyak jumlah dan spesies
makrozoobentos pada suatu wilayah akan mempengaruhi keanekaragaman burung
air. Menurut Krebs (1978) dan Newton (1980) suplai makanan dan kelimpahan
makanan merupakan faktor yang mempengaruhi distribusi dan kelimpahan
populasi hewan. Kebutuhan makan burung pantai dipengaruhi oleh kepadatan
mangsa, ukuran mangsa, kandungan kalori, kemampuan mencerna, aktivitas, dan
kemampuan memperoleh makan (Zwarts et al. 1996). Burung merandai umumnya
pemakan ikan, crustacea, amfibia, reptil dan makrozoobentos lain (Erwin et al.
2003).
Kelimpahan dan ketersediaan makrozoobentos merupakan faktor yang
penting untuk menentukan kualitas habitat, distribusi dan perilaku burung pantai.
Distribusi dan kelimpahan makrozoobentos ini sangat dipengaruhi oleh ketinggian
dan kimia air, secara tidak langsung mempengaruhi distribusi dan perilaku burung
pantai dalam mengkonsumsi makrozoobentos untuk memenuhi kebutuhannya
(Colwell & Landrum 1993; Fredrickson-Knapp 2001; Lee 2007). Indek
kesesuaian bagi burung merandai didasarkan pada jumlah mangsa dan kemudahan
burung untuk menangkap mangsa (Gawlik 2002).
113
Pemilihan lokasi mencari makan oleh burung pantai dipengaruhi oleh
sedimen dan ketersediaan mangsa. Kondisi fisik sedimen yang terbentuk akibat
pasang surut akan mempengaruhi ketersediaan mangsa dan mempengaruhi
perilaku dan distribusi burung pantai. Sedimen yang lembut dan lembab akan
mempengaruhi keberhasilan memperoleh mangsa dalam sedimen dan pergerakan
burung pantai selama mencari makan serta mempermudah penetrasi paruh burung
untuk mendeteksi mangsa dan memperolehnya secara cepat (Velasquez &
Navarro 1993).
Ketinggian air
Hasil pengukuran di lapangan memperlihatkan ketinggian air terendah
pada saat air laut surut disekitar hamparan lumpur berkisar antara 40 sampai 70
cm. Bagi burung merandai ketinggian air mencapai 40 cm masih dapat
memperoleh makanan berupa ikan dan udang, sebaliknya burung pantai dalam
mencari makan benar-benar dalam keadaan surut. Ketinggian air yang masih
ditolerir hanya mencapai 1 cm. Bagi burung pantai ketersediaan hamparan lumpur
saat air surut merupakan habitat yang penting untuk mencari makanannya.
Sehingga siklus pasang surut merupakan salah satu faktor pembatas.
Hasil analisis regresi menunjukkan hubungan yang positif dan
berpengaruh sebesar 73% bagi kehadiran spesies burung air. Ini menunjukkan
spesies burung merandai dan burung pantai memiliki respon yang sama terhadap
ketinggian air di lokasi makan. Fluktuasi hidrologi pada lahan basah sangat
menentukan spesies burung air untuk memperoleh makan, hal ini terkait dengan
ketersediaan tempat untuk mencari makan. Penggunaan habitat dan kepadatan
burung pantai sangat dipengaruhi oleh ketinggian air. Umumnya burung pantai
banyak ditemukan pada lokasi yang memiliki ketinggian air rendah dan
keanekaragamannya berkorelasi positif dengan sistem hidrologi (Powell 1987).
Jumlah burung merandai pada lokasi mencari makan sangat dipengaruhi
oleh ketinggian air (Gawlik 2002; Kushlan 1976; 1986). Jika terlalu tinggi atau
terlalu dangkal maka kelimpahan burung sangat rendah. Ketinggian air yang ideal
berbeda-beda untuk masing-masing spesies. Ketinggian itu berkisar antara 0 – 40
cm, hal ini disebabkan burung merandai memiliki kaki yang panjang.
114
Kimia Air (Salinitas, pH, DO dan BOD)
Kimia perairan yang turut menentukan keberadaan burung air karena
terkait langsung dengan kehadiran sumber makanan maupun lokasi mencari
makan yang secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi
keberhasilan mencari makan dan memperoleh makanan sebagai sumber energi
bagi pertumbuhan dan perkembangan maupun untuk melanjutkan keturunan.
Pengaruh salinitas terhadap spesies burung air menunjukkan pengaruh
positif sebesar 74%, untuk jumlah individu burung air berpengaruh negatif sebesar
54%. Ini menunjukkan bahwa spesies burung air memiliki batas tolerasi terhadap
salinitas. Perubahan nilai salinitas pada suatu perairan akan mempengaruhi jumlah
individu burung air. Keanekaragaman dan jumlah burung air pada suatu area
makan dipengaruhi oleh salinitas. Jumlah dan keanekaragam burung air berkurang
seiring dengan meningkatnya salinitas (Warnock et al. 2002).
Secara umum pengaruh DO, BOD dan pH air berpengaruh secara tidak
langsung terhadap burung air hal ini terkait dengan kehadiran makrozoobentos
sebagai sumber makanannya, walaupun secara analisis regresi memperlihatkan
adanya hubungan terhadap ketiga faktor kimia air. Hubungan antara burung air
dengan faktor kimia air (salinitas, DO, BOD dan pH) lebih pada kehadiran sumber
makanan (makrozoobentos). Kunci keberhasilan memperoleh makan oleh burung
air lebih banyak dipengaruhi oleh faktor morfologi burung air diantaranya: ukuran
leher, panjang kaki dan panjang paruh (Bolduc 2002).
Pengaruh DO terhadap spesies burung air memperlihat hubungan positif
sebesar 78%, pengaruh DO terhadap jumlah individu burung air menunjukkan
hubungan negatif sebesar 51%. DO yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan
mempengaruhi kehadiran spesies maupun jumlah individu burung air. Pengaruh
DO terhadap jumlah individu burung air memperlihat hubungan yang negatif
yaitu peningkat DO akan menyebabkan menurunnya jumlah individu burung air.
Pengaruh pH terhadap spesies burung air memperlihat hubungan positif
sebesar 64%, pengaruh pH terhadap jumlah individu burung air menunjukkan
hubungan negatif sebesar 53%. pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan
mempengaruhi kehadiran spesies maupun jumlah individu burung air pada
wilayah mencari makan.
115
Pengaruh BOD terhadap spesies burung air memperlihat hubungan positif
sebesar 68%, pengaruh BOD terhadap jumlah individu burung air menunjukkan
hubungan negatif sebesar 23%. Spesies burung air kehadirannya sangat
dipengaruhi oleh kadar BOD. Perubahan BOD baik itu naik atau turun akan
memberi pengaruh positif. Pengaruh BOD terhadap jumlah individu burung air
sangat lemah. Kehadiran burung dilingkungan perairan juga dapat dijadikan
indikator pencemaran lingkungan lingkungan. Diduga hal ini berkaitan erat
dengan keadaan fisik dan kimia perairan tempat burung mencari makan dan
memperoleh makanan.
Faktor yang mempengaruhi distribusi burung air adalah salinitas. Salinitas
merupakan salah satu faktor yang menentukan kesesuaian habitat terkait dengan
ketersediaan makanan terutama bagi burung pantai migran, dimana distribusi dan
kelimpahan burung air dipengaruhi oleh distribusi mangsa dan keberhasilan
memperoleh makan (Ysebaert et al. 2000).
Keanekaragaman dan jumlah burung air pada suatu area makan
dipengaruhi oleh salinitas. Peningkatan salinitas akan menyebabkan berkurangnya
jumlah dan keanekaragam burung air dan makrozoobentos. Burung air akan
menghindari kadar salinitas yang tinggi untuk mencari makan maupun beristirahat
hal ini disebabkan peningkatan salinitas akan mengakibatkan sifat tahan air bulu
burung air, yang berakibat pada peningkatan termoregulasi (Warnock et al. 2002).
Kedalaman sedimen
Tekstur dan kedalaman sedimen yang terbentuk saat air surut menentukan
keberhasilan mencari makan burung pantai. Tekstur sedimen dan ketebalan
sedimen berkaitan erat dengan kehadiran sumber makanan (makrozoobentos)
pada suatu wilayah. Kepadatan makrozoobentos pada hamparan lumpur
dipengaruhi oleh ukuran sedimen. Kepadatan makrozoobentos berkurang dengan
meningkatnya ukuran sedimen (Yates et al. 1993). Umumnya makrozoobentos
hidup dan ditemukan pada sedimen yang lembut dan kedalaman mencapai 40 cm.
Hasil pengamatan memperlihatkan makin bertambah ketebalan sedimen jumlah
spesies maupun individu makrozoobentos berkurang.
116
Pengaruh sedimen terhadap spesies burung air memperlihatkan hubungan
positif sebesar 73% dan individu burung air memberi pengaruh negatif sebesar
38%. Hal ini menunjukan spesies burung air sangat tergantung pada tekstur
sedimen dalam mencari makanan. Tekstur sedimen yang lembut menentukan
keberhasilan memperoleh makanan bagi spesies burung pantai, sangat
berpengaruh pada kemampuan penetrasi paruh burung untuk menangkap mangsa
pada kedalaman tertentu, serta pergerakan burung untuk memperoleh mangsa.
Gangguan (Aktivitas Manusia)
Ancaman yang paling berbahaya bagi kehadiran burung air di lokasi
penelitian pada saat pengamatan berlangsung adalah pemasangan jaring yang
ditujukan untuk menangkap burung air khususnya burung pantai. Jaring ini
dibiarkan terpasang seharian atau sampai dua hari. Ancaman lainnya adalah
kegiatan perburuan dan penjualan burung pantai. Walau tidak melihat langsung
pemburu menembak burung pantai, pada beberapa kali pengamatan ditemukan
pemburu yang sedang berburu menggunakan senapang angin di sekitar areal
mencari makan burung air.
Aktivitas berburu, memancing dan rekreasi merupakan gangguan yang
ditimbulkan oleh manusia yang dapat mempengaruhi dinamika populasi hewan
dalam hal ini perilaku, kelimpahan dan distribusinya. Burung memiliki respon
bervariasi terhadap kehadiran manusia. Kehadiran dan aktivitas manusia pada
suatu ekosistem akan mempengaruhi kehadiran, distribusi dan kelimpahan
burung. Kemampuan mengkonsumsi makrozoobentos, komposisi mangsa dan
preferensi terhadap mangsa sangat dipengaruhi oleh adanya aktivitas manusia.
Kehadiran manusia akan menyebabkan burung mempercepat waktu mencari
makan dan terbang pada saat manusia terlalu dekat dengannya. Ada banyak faktor
yamg mempengaruhi keberadaan burung air pada suatu wilayah, sehingga sangat
sulit untuk mengukur seberapa besar pengaruh kehadiran manusia terhadap
burung air (De Boer 2002).
Burung memiliki respon bervariasi terhadap kehadiran manusia. Ukuran
tubuh burung mempengaruhi reaksinya terhadap kehadiran manusia, burung yang
berukuran besar lebih sensitif terhadap kehadiran manusia dibandingkan dengan
117
yang berukuran kecil. Umumnya burung migran memiliki toleransi lebih rendah
terhadap kehadiran manusia dibandingkan spesies residen (Lee et al. 2006;
Santoul et al. 2004).
Kesesuaian habitat burung air
Hasil analisis spasial penentuan kelas kesesuaian habitat bagi burung air
untuk mencari makan berdasarkan komponen habitat memperlihatkan tiga
kategori yaitu:1) sangat sesuai, skor tertinggi yang menunjukkan komponen
habitat paling optimum, 2) sesuai, merupakan feeding ground yang digunakan
pada saat hamparan lumpur belum terbentuk dan komponen habitat kurang
optimum, 3) tidak sesuai, komponen habitat yang terdapat pada wilayah ini tidak
memenuhi persyaratan sebagai feeding ground burung air. Kelas sangat sesuai
terdapat pada hamparan lumpur dan sawah, kelas sesuai terdapat pada sawah dan
tambak. Hasil analisis spasial menunjukkan perbedaan lokasi mencari makan
burung pantai dan merandai. Hal ini terlihat pada pemilihan lokasi mencari makan
yang berbeda antara burung merandai dan burung pantai.
Bagan Percut
Model kesesuaian habitat burung merandai dan burung pantai ditemukan
pada area berbeda yaitu hamparan lumpur dan belukar rawa. Burung pantai
memiliki luas area kelas sangat sesuai lebih luas dibandingkan dengan burung
merandai. Burung pantai ditemukan mencari makan di sepanjang hamparan
lumpur dan belukar rawa, sedangkan burung merandai hanya mempergunakan
sebagian kecil hamparan lumpur. Hal ini diduga berkaitan erat dengan sensitifitas
burung dalam merespon kehadiran manusia dan faktor kebisingan.
Pemilihan lokasi makan (Pematang Lalang dan Pantai Labu) oleh burung
merandai yang merupakan jenis diduga merupakan respon dari perubahan atau
konversi habitat yang terjadi di Bagan Percut dan Tanjung Rejo. Hal ini
menunjukkan jenis residen lebih peka terhadap perubahan habitat dibandingkan
dengan jenis migran, hal dibuktikan dengan jumlah individu burung pantai yang
mencari makan di Bagan Percut lebih banyak dibandingkan dengan lokasi lainnya.
118
Kemungkinan lain yang diduga mempengaruhi pemilihan Bagan Percut
sebagai lokasi makan oleh burung pantai karena hamparan lumpur yang terbentuk
lebih luas dibandingkan lokasi lainnya dan lamanya waktu surut karena adanya
penimbunan serta kebiasaan burung pantai yang senantiasa mendatangi lokasi
makan yang sama.
Pantai Labu
Model kesesuaian habitat burung merandai maupun burung pantai pada
wilayah ini ditemukan pada area yang sama yaitu hamparan lumpur dan tambak.
Luas area untuk kelas sangat sesuai dan sesuai bagi burung merandai lebih luas
dibandingkan dengan burung pantai. Hamparan lumpur yang luas tanpa adanya
fragmentasi dan gangguan manusia yang relatif rendah diduga menjadi faktor
penentu pemilihan lokasi makan terutama oleh burung merandai. Pada wilayah ini
terjadi konversi mangrove menjadi tambak dan pertanian lahan kering (kelapa
sawit).
Pematang Lalang
Model kesesuaian habitat burung merandai dan burung pantai pada
wilayah ini ditemukan pada area yang hampir sama yaitu hamparan lumpur, dan
tambak. Selaindihamparan lumpur dan tambak, burung pantai juga ditemukan di
belukar rawa. Pada wilayah ini kelas sesuai lebih luas dibandingkan dengan kelas
sangat sesuai. Hasil pengamatan dilapangan memperlihatkan bahwa tambak yang
ditemukan banyak yang tidak aktif dan dibiarkan terlantar menjadi tempat
pemancingan dan area pertanian lahan kering yang sebagian besar telah ditanami
sawit. Pengamatan mengalami kendala karena lokasi yang susah dicapai terutama
pada musim hujan, dan untuk mencapai hamparan lumpur harus melalui lahan
perkebunan kelapa sawit yang menjadi sengketa dengan warga.
Tanjung Rejo
Hasil analisis spasial menunjukkan tidak ditemukan tempat yang sesuai
dan sangat sesuai untuk mencari makan burung pantai dan burung merandai. Hal
ini diduga berhubungan erat dengan tingginya gangguan yang ditemukan antara
lain, area pamancingan ikan terutama waktu libur dan akhir pekan sehingga
119
menimbulkan suara yang mengganggu burung pantai dan burung merandai
mencari makan, perburuan dan penangkapan burung pantai. Pada dua kali
pengamatan ditemukannya jaring yang sengaja dipasang untuk menangkap burung
saat terbang, di sawah dan hamparan lumpur.
Susahnya mencapai wilayah ini dan transfortasi yang minim, diduga
mempengaruhi faktor pengawasan sangat kurang, terbukti dengan ditemukannya
tempat permainan billyar di sekitar burung air mencari makan lebih kurang 10 m
dan aktivitas perburuan.
Perbandingan Kesesuaian Habitat Burung Merandai dan Burung Pantai
Model kesesuaian habitat antara burung merandai dan burung pantai
secara umum ditemukan pada tempat yang sama, yaitu hamparan lumpur, sawah
dan tambak. Perbedaan model terlihat pada luas area dan pemilihan lokasi.
Burung merandai memilih mencari makan di Pematang Lalang dan Pantai Labu,
sedangkan burung pantai memilih Bagan Percut, Pematang Lalang dan Pantai
Labu. Burung pantai memiliki habitat mencari makan lebih luas dibandingkan
burung merandai. Hal ini diduga berhubungan erat dengan kondisi di lapangan
dan kebiasaan makan burung merandai yang mencari makan pada lahan yang
berair dangkal seperti sawah, tambak dan sungai. Sawah di lokasi penelitian
merupakan sawah tadah hujan sehingga memiliki tekstur tanah yang keras.
Pemilihan Pantai Labu dan Pematang Lalang sebagai lokasi mencari makan
dibandingkan dengan Bagan Percut dan Tanjung Rejo diduga karena ketersediaan
sumber makanan dan faktor keamanan, meskipun demikian burung merandai
memilih Tanjung Rejo sebagai tempat berbiak dan beristirahat.
Walaupun menyediakan sumber makanan yang berlimpah (Bagan Percut
maupun Tanjung Rejo), tetapi burung merandai lebih memilih Pematang Lalang
dan Pantai Labu sebagai lokasi makan hal ini diduga berkaitan erat dengan faktor
gangguan yang relatif rendah. Ukuran tubuh burung air turut menentukan tingkat
sensitifitas terhadap kehadiran manusia. Ini terlihat dari beberapa kali pengamatan
burung merandai akan terbang pada saat kehadiran manusia sangat dekat dengan
tempat mencari makan. Burung merandai lebih sensitif terhadap kehadiran
manusia di area lokasi mencari makan dibandingkan dengan burung pantai.
120
Burung berukuran besar lebih sensitif terhadap kehadiran manusia dibandingkan
dengan burung yang berukuran kecil (De Boer 2002).
Model yang dibangun dengan faktor penyusunnya menunjukkan bahwa
Percut Sei Tuan masih merupakan wilayah yang sesuai untuk mencari makan baik
burung merandai maupun burung pantai. Hasil validasi model dengan kondisi di
lapangan memperlihatkan ”kelas sangat sesuai diatas 50% (burung merandai dan
burung pantai). Hasil penjumlahan ”kelas sangat sesuai dan sesuai” menunjukkan
bahwa model yang dibangun memiliki tingkat kesesuaian diatas 85%.
SIMPULAN
Dari 10 tutupan yang terdapat di Percut Sei Tuan, hanya 5 tutupan lahan
yang digunakan oleh burung air sebagai lokasi mencari makan yaitu: lumpur,
belukar rawa, hutan rawa, tambak dan sawah. Komponen habitat yang menyusun
model kesesuaian habitat burung merandai terdiri dari: tutupan lahan, makanan,
ketinggian air, salinitas, pH, DO, BOD dan gangguan. Komponen habitat yang
menyusun model kesesuaian habitat burung pantai terdiri dari: tutupan lahan,
makanan, ketinggian air, kedalaman sedimen, salinitas, pH, DO, BOD dan
gangguan. Pengaruh faktor fisik dan kimia perairan lebih kuat terhadap spesies
burung air dibandingkan dengan jumlah individu.
Kelas kesesuaian habitat burung air terdiri dari dari tiga kategori yaitu:
sangat sesuai, sesuai dan tidak sesuai. Ada perbedaan lokasi mencari makan antara
burung pantai dan burung merandai. Burung merandai lebih memilih Pantai Labu
dan Pematang Lalang sebagai tempat mencari makan, sedangkan burung pantai
memilih Pantai Labu, Pematang Lalang dan Bagan Percut.Validasi model burung
merandai untuk kelas sangat sesuai (53%), sesuai (46,67%) dan burung pantai
untuk kelas sangat sesuai (60%), sesuai (26,7%) dan tidak sesuai (13,37%).