KEANEKARAGAMAN BURUNG DI PULAU GELEANG DAN PULAU BURUNG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

96
1 KEANEKARAGAMAN BURUNG DI PULAU GELEANG DAN PULAU BURUNG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA SKRIPSI Diajukan dalam Rangka Menyelesaikan Studi Strata I untuk Mencapai Gelar Sarjana Sains Oleh: Nama : Arif Setyo Nugroho Nim : 4450403015 Prodi : Biologi Jurusan : Biologi UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2008

Transcript of KEANEKARAGAMAN BURUNG DI PULAU GELEANG DAN PULAU BURUNG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

1

KEANEKARAGAMAN BURUNG DI PULAU GELEANG

DAN PULAU BURUNG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

SKRIPSI

Diajukan dalam Rangka Menyelesaikan Studi Strata I

untuk Mencapai Gelar Sarjana Sains

Oleh:

Nama : Arif Setyo Nugroho

Nim : 4450403015

Prodi : Biologi

Jurusan : Biologi

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2008

2

PENGESAHAN

Skripsi dengan judul: Keanekaragaman Burung di Pulau Geleang dan Pulau Burung Taman Nasional Karimunjawa

Telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang pada,

Hari : Rabu

Tanggal : 30 Januari 2008

Panitia Ujian

Ketua Sekretaris Dr. Kasmadi Imam S., M.Si Dra. Aditya Marianti, M.Si NIP. 130781011 NIP. 132046851 Pembimbing I Anggota Penguji Margareta R., S.Si., M.Si. 1. Drs. Nugroho Edi K., M.Si NIP. 132173340 NIP. 131863778 Pembimbing II 2. Margareta R., S.Si., M.Si.

NIP. 132173340 Drs. Bambang Priyono, M.Si 3. Drs. Bambang Priyono, M.Si NIP. 131803129 NIP. 131803129

3

ABSTRAK

Pulau Geleang dan Pulau Burung termasuk dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis, membandingkan tingkat kesamaan jenis, dan penyebaran burung berdasarkan stratifikasi tajuk vegetasi di Pulau Geleang dan Pulau Burung. Penelitian dilakukan selama tiga periode yaitu Juni 2006, November 2006 dan Juni 2007. Pengambilan data dilakukan dengan metode Indeks Point Abundance (IPA). Hasil penelitian menemukan sebanyak 18 jenis burung di P. Geleang dan 15 jenis burung di P. Burung. Indeks keanekaragaman jenis burung di P. Geleang tergolong rendah dengan sebaran populasi tidak merata. Nilai indeks keanekaragaman jenis berkisar antara 1,37 hingga 1,77 sedangkan nilai kemerataan berkisar antara 0,4 sampai 0,75. Indeks keanekaragaman jenis burung di P. Burung tergolong tinggi dengan sebaran populasi cukup merata. Nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 1,58 hingga 1,91 sedangkan nilai kemerataan berkisar antara 0,76 sampai 0,83. Burung yang paling dominan pada kedua pulau adalah Zosterops chloris. Indeks similaritas diantara kedua pulau sebesar 50%, dengan 11 jenis burung yang menghuni keduanya. Penggunaan ruang habitat secara vertikal pada stratifikasi tajuk vegetasi selalu berubah berdasarkan manfaat vegetasi bagi burung (mencari makan, istirahat, bersarang atau berlindung). Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa di P. Geleang burung lebih banyak menggunakan tajuk atas, sedangkan di P. Burung vegetasi tumbuhan bawah atau tanah lebih banyak digunakan.

Kata kunci: Keanekaragaman burung, P. Geleang dan P. Burung

4

(Mas Ranggasasmita, 1815)

Siang malam, dengan curahan hati membaca Para karya simpanan mulia

Supaya menjadi misal Masalahnya wangsit, jangan samar

Meski telah tersohor ahli ilmu

Namun masih mempelajari Karya simpanan mulia para wali

Dan simpanan mulianya Guru Sempurna

(Mas Ranggasasmita, 1815)

5

Teruntuk Ibu dan Ayah

yang menautkan cinta dengan darah, asa dan air mata

6

KATA PENGANTAR

“ Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah

Alloh memperbaikinya” (QS.7:56). Alhamdulillah, puji dan syukur penulis

panjatkan ke kehadirat Allah SWT, atas izin-Nya lah penulis dapat menyelesaikan

Skripsi yang berjudul: Keanekaragaman Burung di Pulau Geleang dan Pulau

Burung Taman Nasional Karimunjawa. Penelitian ini merupakan bagian dari

penelitian yang dilakukan oleh Ibu Margareta Rahayuningsih.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Semarang.

2. Dekan FMIPA Universitas Negeri Semarang.

3. Ketua Jurusan Biologi yang telah memberikan kemudahan administrasi dalam

penyusunan skripsi.

4. Ibu Margareta Rahayuningsih, S.Si., M.Si, yang banyak membantu dan

membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi.

5. Bapak Drs. Bambang Priyono, M. Si, atas kesabaran dalam mendampingi

penulis dalam menyusun skripsi.

6. Bapak Drs. Nugroho Edi K., M.Si. yang memberikan saran, masukan dan

motivasi dalam penyusunan skripsi.

7. Balai Taman Nasional Karimunjawa yang telah memberikan izin melakukan

penelitian.

8. Keluarga Bapak Sigid Adhi Brata, S.E., M.M. yang banyak membantu baik

moral maupun material dalam penyusunan skripsi .

7

9. Ibu, Ayah, dik Bayu dan dik Enda yang senantiasa mendoakan dan

memberikan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

10. Kang Doel, Dani, Fian, Mey, Aim, Aa’ Kin, rekan-rekan Green Community

dan Pelatuk BSC yang telah membantu dalam penelitian.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Saran dan kritik

dari berbagai pihak, sangat penulis harapkan demi perbaikan di kemudian hari.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Salam lestari !

Semarang, Desember 2007

Penulis

8

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................. ii

ABSTRAK.. ............................................................................................. iii

MOTTO ................................................................................................... iv

PERSEMBAHAN..................................................................................... v

KATA PENGANTAR.. ........................................................................... vi

DAFTAR ISI............................................................................................ viii

DAFTAR TABEL.................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR… ........................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ xii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................... 1

B. Permasalahan.......................................................................... 5

C. Penegasan Istilah.. .................................................................. 6

D. Tujuan Penelitian.................................................................... 7

E. Manfaat Penelitian.................................................................. 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Keanekaragaman Burung ....................................................... 9

B. Manfaat Burung...................................................................... 10

C. Habitat .................................................................................... 12

D. Komunitas Tumbuhan ............................................................ 13

9

E. Ancaman Terhadap Burung.................................................... 16

BAB III.METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 18

B. Alat dan Bahan........................................................................ 18

C. Prosedur Penelitian ................................................................. 19

D. Analisa data............................................................................. 23

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kekayaan Jenis........................................................................ 27

B. Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan................... 35

C. Dominansi................................................................................ 42

D. Tingkat Kesamaan Jenis antara P. Geleang dan P. Burung .... 49

E. Penyebaran Burung dan Penggunaan Stratifikasi Tajuk Vegetasi................................................................................... 51

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan................................................................................. 64

B. Saran....................................................................................... 65

Daftar Pustaka ........................................................................................... 66

Lampiran-lampiran.................................................................................... 68

10

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Keanekaragaman Jenis dan Status Burung yang Ditemukan di P. Geleang ........................................................................................... 31

2 Keanekaragaman Jenis dan Status Burung yang Ditemukan di P.

Burung............................................................................................ 34 3 Dominansi Burung di P. Geleang Pada Setiap Periode Penelitian.. 43 4 Dominansi Burung di P. Burung Pada Setiap Periode Penelitian.... 46 5 Pemanfaatan pohon oleh burung di P. Geleang............................... 59 6 Pemanfaatan pohon oleh burung di P. Burung................................ 61

11

DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman

1 Lokasi P. Geleang dan P. Burung TN. Karimunjawa...................... 18 2 Klasifikasi strata tajuk pohon secara vertikal.................................. 26 3 Histogram Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Setiap Penelitian di

P. Geleang........................................................................................ 28 4 Histogram Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Setiap Penelitian di

P. Burung.......................................................................................... 32 5 Grafik Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan Burung

di P. Geleang.................................................................................... 35 6 Grafik Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan Burung

di P. Burung..................................................................................... 38 7 Histogram Nilai Frekuensi Burung yang Ditemukan di P.

Geleang............................................................................................. 52 8 Histogram Nilai Frekuensi Burung yang Ditemukan di P.

Burung.............................................................................................. 53 9 Penyebaran Burung Berdasar Stratifikasi Tajuk Vegetasi di P.

Geleang............................................................................................ 55

10 Penyebaran Burung Berdasar Stratifikasi Tajuk Vegetasi Di P. Burung.............................................................................................. 56

12

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Frekuensi dan Frekuensi Relatif Burung di P. Geleang................... 68 2 Frekuensi dan Frekuensi Relatif Burung di P. Burung..................... 68 3 Kehadiran, Kelimpahan, Indeks Keanekaragaman, Indeks

Kemerataan dan Dominansi Burung di P. Geleang.......................... 69 4 Kehadiran, Kelimpahan, Indeks Keanekaragaman, Indeks

Kemerataan dan Dominansi Burung di P. Burung.......................... 70 5 Histogram Dominansi Burung di P. Geleang pada Setiap Periode

Penelitian.......................................................................................... 71 6 Histogram Dominansi Burung di P. Burung pada Setiap Periode

Penelitian.......................................................................................... 72 7 Tally Sheet Data Pengamatan Lapangan.......................................... 73 8 Penyebaran Burung di P. Geleang................................................... 74 9 Penyebaran Burung di P. Burung..................................................... 75

10 Foto burung yang dijumpai di P. Geleang dan P. Burung................ 76

11 Kondisi habitat P. Geleang dan P. Burung....................................... 80

12 Foto Peralatan dan Kegiatan Penelitian............................................ 82

13 Surat Ijin Memasuki Kawasan Konservasi (SIMAKSI)................... 83

13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keanekaragaman hayati Indonesia cukup tinggi, terdiri dari 10% spesies

tumbuhan berbunga yang ada di dunia, 12% binatang menyusui, 16% reptilia dan

amfibia, 17% burung, 25% ikan, dan 15% serangga, walaupun luas daratan

Indonesia hanya 1,32% seluruh luas daratan yang ada di dunia (Primack, 1998).

Burung merupakan bagian dari keanekaragaman hayati Indonesia yang

harus dijaga kelestariannya. Burung telah banyak dimanfaatkan manusia, baik

untuk kesenangan, maupun untuk memenuhi kebutuhan pangan. Burung dapat

dijadikan sebagai indikator kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman

hayati lainnya. Indonesia saat ini tercatat memiliki sekitar 1599 jenis burung

(IdOU, in prep). Menurut Cahyadin dalam (Anonim 2006.d) ada sekitar 101 jenis

burung di Indonesia yang terancam punah secara global. Diantara jumlah yang

terancam punah tersebut 17%-nya adalah jenis endemik di Indonesia.

Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu wilayah kepulauan di Laut

Jawa, yang terdiri dari 27 pulau. Secara umum Kepulauan Karimunjawa memiliki

tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah, padang lamun, algae, hutan pantai,

hutan bakau, dan terumbu karang. Kawasan Karimunjawa ditetapkan sebagai

Taman Nasional melalui SK Menteri Kehutanan No.78/Kpts-II/1999 tanggal 22

Februari 1999. Kawasan Taman Nasional Karimunjawa (TN. Karimunjawa)

mencakup 22 pulau dengan luas total 111.625 Ha meliputi perairan seluas

1

14

110.117,30 Ha dan daratan seluas 1.507,70 Ha (Balai TN. Karimunjawa, 2004).

Pulau Geleang (P. Geleang) dan Pulau Burung (P. Burung) merupakan pulau yang

terletak di TN Karimunjawa. Secara administratif P. Geleang dan P. Burung

termasuk wilayah Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten

Jepara, Propinsi Jawa Tengah.

Keindahan alam TN. Karimunjawa berpotensi sebagai objek tujuan wisata

menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. TN. Karimunjawa

mempunyai fungsi sosial ekonomi yang penting bagi masyarakat sekitarnya, yaitu

sebagai sumber mata pencaharian, baik perikanan, perkebunan, penyedia jasa

wisata dan transportasi. Sektor pariwisata sangat mendukung perkembangan

perekonomiam masyarakat Kecamatan Karimunjawa. Seiring perkembangan

kepariwisataan dan aktivitas manusia tidak selamanya membawa dampak positif

bagi lingkungan Karimunjawa. Aktivitas manusia telah menyebabkan degradasi

kualitas lingkungan. Degradasi secara kualitatif terjadi antara lain karena semakin

tingginya tingkat pencemaran air, pencemaran udara karena aktivitas transportasi,

dan hilangnya keanekaragaman hayati. Pranata (dalam Atkins 2004) menyatakan

bahwa meningkatnya jumlah wisatawan asing dapat menyebabkan meningkatnya

limbah dan polusi. Unsur dari limbah MCK (mandi, cuci dan kakus) dapat

menyebabkan alga dan biota pantai mengalami kematian atau eutrofikasi

(Anonim, 2006.f). Degradasi secara kuantitatif karena adanya perubahan fungsi

lahan (fragmentasi habitat burung) untuk kepentingan perkebunan, pertanian,

pemukiman, dan pembangunan fasilitas-fasilitas kepariwisataan. Peraliahan fungsi

lahan yang tidak mempertimbangkan aspek ekologis akan menjadikan ancaman

15

terhadap keberadaan satwa liar. Menurut Saleh (1998) salah satu cara untuk

menghindari terjadinya penurunan populasi satwa, termasuk burung adalah

dengan mempertahankan setiap habitat dan populasi satwa yang ada pada suatu

daerah tertentu sebagai kantong perlindungan populasi dan keanekaragaman

spesies.

TN. Karimunjawa merupakan Taman Nasional Laut sehingga pengelolaan

keanekaragaman hayati di TN. Karimunjawa lebih menitikberatkan pada

keanekaragaman hayati laut (bahari), sementara potensi keanekaragaman hayati

darat (khususnya keanekaragaman burung) belum dikelola secara maksimal.

Pengelolaan keanekaragaman hayati darat sama pentingnya seperti pengelolaan

keanekaragaman hayati bahari. Burung merupakan salah satu komponen

keanekaragaman hayati darat yang penting untuk dikonservasi. Burung

mempunyai peranan penting dalam ekosistem dan keseimbangan lingkungan.

Untuk melindungi dan mengelola suatu spesies diperlukan pemahaman

tentang hubungan biologis antara spesies tersebut dengan lingkungan serta status

populasinya (Primack, 1998). Informasi tersebut biasanya dikenal dengan istilah

natural history (sejarah alam atau sejarah kehidupan) yang lebih mengarah pada

kajian autekologi. Selain aspek ekologi, pemahaman terhadap species kunci

adalah prioritas dalam usaha konservasi (Primack, 1998). Spesies kunci adalah

spesies yang mempunyai nilai penting dalam menentukan kemampuan sejumlah

besar spesies lain di dalam komunitas. Jika spesies kunci hilang dari daerah

konservasi, maka spesies yang lain berpotensi turut menghilang. Natural history

sebagai kajian autekologi biasanya hanya dapat dipelajari melalui pengamatan

16

lapangan (Primack, 1998). Selama ini, kegiatan konservasi yang dilakukan hanya

sebatas pada inventarisasi burung saja, sehingga belum mempelajari aspek ekologi

untuk kepentingan konservasi.

Berdasarkan laporan inventarisasi burung tahun 2005, jenis burung Junai

mas (Caloenas nicobarica) tercatat pernah dijumpai di P. Burung (BTN.

Karimunjawa, 2005). Catatan tersebut sangat penting mengingat Junai mas adalah

salah satu jenis burung yang termasuk dalam The IUCN Red List Categories

(International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dengan

kategori near threatened (mendekati terancam). Selain Junai mas, beberapa jenis

burung Dara laut pernah teramati berada di gosong laut sekitar P. Burung. Dara

laut termasuk burung yang dilindungi oleh UU RI No 5 Th 1990 tentang

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem serta PP No.7 tahun 1999

tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Burung adalah makhluk dengan

tingkat mobilitas tinggi. Kemampuan terbang burung sangat memungkinkan

untuk keluar dari P. Burung ke pulau lainya. Secara geografis pulau yang terdekat

dari P. Burung adalah P. Geleang. Mengingat ukuran P. Geleang lebih luas dari P.

Burung dan jarak keduanya relatif berdekatan sangat memungkinkan terjadinya

aliran migrasi pada kedua pulau tersebut. P. Geleang sangat penting untuk

dikonservasi mengingat pada pulau tersebut terdapat sarang aktif Elang laut perut

putih (Haliaeetus leucogaster) yang termasuk CITES Apendiks II.

Berdasarkan fakta-fakta diatas habitat P. Geleang dan P. Burung perlu

dilindungi dan dijaga kelestariannya. Keberadaan jenis burung yang dilindungi

baik secara Nasional maupun Internasional adalah nilai lebih dari kedua pulau

17

tersebut. Studi keanekaragaman jenis burung di P. Geleang dan P. Burung

merupakan langkah awal dalam menyediakan data dasar yang sangat bermanfaat

dalam pengelolaan potensi keanekaragam hayati avifauna (burung) di P. Geleang

dan P. Burung TN. Karimunjawa.

B. Permasalahan

Seiring dengan peningkatan laju kerusakan alam dewasa ini, maka

konservasi keanekaragaman hayati, dalam konteks ini adalah keanekaragaman

jenis burung, menjadi sangat penting. Natural history dan pemahaman tentang

spesies kunci akan sangat mendukung keberhasilan pengelolaan konservasi,

termasuk di dalamnya adalah studi keanekaragaman jenis burung. Permasalahan

dalam penelitian ini adalah:

1. bagaimanakah keanekaragaman jenis burung di P. Geleang dan P. Burung,

Taman Nasional Karimunjawa?

2. bagaimanakah tingkat kesamaan jenis burung di P. Burung dan P.

Geleang?

3. bagaimanakah pola penyebaran burung berdasarkan penggunaan ruang

habitat secara vertikal pada stratifikasi tajuk vegetasi?

18

C. Penegasan Istilah

1. Burung

Burung dapat dideskripsikan sebagai hewan vertebrata yang

mempunyai bulu, tungkai atau lengan depan termodifikasi untuk terbang,

tungkai belakang teradaptasi untuk berjalan, berenang dan hinggap, paruh

tidak bergigi, jantung memiliki empat ruang, rangka ringan, memiliki kantong

udara, berdarah panas, tidak memiliki kandung kemih, dan bertelur (Welty,

1982). Burung yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jenis burung-

burung diurnal, yaitu burung yang beraktivitas pada siang hari.

2. Keanekaragaman Jenis

Menurut Magurran (1998) kajian keanekaragaman avifauna meliputi

tiga aspek yaitu keanekaragaman jenis, interaksi, dan wilayah makan (guild).

Pada penelitian ini kajian dibatasi hanya pada keanekaragaman jenis saja.

Dengan demikian metode pengukuran atau penghitungan keanekaragaman

jenis meliputi kekayaan jenis (richness species), indeks keanekaragaman

(diversity indices), indeks kemerataan (evenness indices), dan dominansi

(Magurran 1998, 2004).

3. Pulau Geleang

P. Geleang merupakan salah satu dari 22 pulau di TN. Karimunjawa.

Secara geografis, P. Geleang terletak pada 50 52’ 29.8” LS dan 1100 21’ 29.8”

BT dengan luas sekitar 24 ha. P. Geleang merupakan pulau yang tidak

berpenghuni. Memiliki vegetasi hutan pantai dengan didominasi oleh alang-

alang dan semak belukar. Beberapa bagian merupakan areal perkebunan

19

kelapa. Berdasarkan pengamatan, di pulau ini terdapat sarang aktif Elang laut

perut putih (Haliaeetus leucogaster).

4. Pulau Burung

P. Burung termasuk dalam kawasan TN. Karimunjawa. Secara

geografis P. Burung terletak pada 50 53’ 45,5’’ LS dan 1100 20’ 56,6’’ BT

dengan luas ± 1 ha. Memiliki vegetasi hutan pantai dengan didominasi cemara

laut, terdapat pula ficus dan sawo kecik. Salah satu jenis burung yang pernah

tercatat di P. Burung adalah Junai emas (Caloenas nicobarica) yang statusnya

terancam punah dan dimasukan dalam kategori CITES Apendiks I (BTN.

Karimunjawa, 2005).

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. mengetahui keanekaragaman jenis burung yang meliputi kekayaan jenis

(richness species), indeks keanekaragaman (diversity indices), dan indeks

kemerataan (evenness indices), dan dominansi burung di P. Geleang dan P.

Burung.

2. membandingkan tingkat kesamaan jenis antara P. Burung dan P. Geleang.

3. mengetahui penyebaran burung berdasarkan penggunaan ruang habitat

secara vertikal pada stratifikasi tajuk vegetasi.

20

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk mempelajari natural history mengenai

burung-burung yang menghuni P. Burung dan P. Geleang TN. Karimunjawa.

Secara ilmiah, penelitian ini memberikan data dan informasi mengenai

keanekaragaman jenis dan habitat burung serta penyebaran burung berdasarkan

penggunaan ruang habitat secara vertikal pada stratifikasi tajuk vegetasi. Untuk

kepentingan konservasi penelitian ini bermanfaat dalam pemantauan keberadaan

jenis burung terancam punah yang dilindungi baik secara Nasional maupun

Internasional. Untuk kepentingan pembangunan kawasan, data-data tersebut

berfungsi sebagai masukan dalam kebijakan pengelolaan kawasan dengan tetap

memperhatikan aspek konservasi.

21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keanekaragaman Burung

Keanekaragaman hayati meliputi berbagai jenis flora, fauna,

mikroorganisme, dan ekosistem dengan segala prosesnya. Keanekaragaman hayati

merupakan keanekaragaman organisme yang hidup di berbagai kawasan baik

daratan, lautan, dan ekosistem perairan lainnya, dimana di dalamnya terdapat

berbagai keanekaragaman yang mencakup keanekaragaman dalam satu spesies,

keanekaragaman antar spesies, dan keanekaragaman ekosistem atau kawasan

(Santosa, 2004).

Berdasarkan perbedaan skala geografik, kajian keanekaragaman jenis di

bagi dalam 3 tingkatan yaitu: diversitas alfa, diversitas beta, dan diversitas

gamma. Diversitas Alfa atau keanekaragaman alfa merupakan jumlah jenis di

dalam suatu habitat atau komunitas tunggal (Primack, 1998). Dalam diversitas

alfa dikelompokkan menjadi dua komponen yang berbeda yaitu kekayaan jenis

(species richness) dan kemerataan jenis (evenness) yang berdasarkan kelimpahan

relatif dan tingkat dominansi jenis (Magurran, 1998). Indeks yang

menggabungkan kedua komponen tersebut menjadi satu nilai tunggal disebut

indeks keanekaragaman. Dengan demikian metode pengukuran atau penghitungan

keanekaragaman jenis meliputi indeks kekayaan jenis (richness species), indeks

keanekaragaman (diversity indices), dan indeks kemerataan (evenness indices)

(Magurran 1998, 2004).

9

22

Keanekaragaman jenis burung di suatu tempat berbeda dengan tempat

lainnya tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Penelitian yang telah dilakukan oleh Idris (2002) dan Kurnia

(2003) menunjukkan bahwa tipe habitat mempengaruhi keanekaragaman burung.

Selain tipe habitat dan faktor-faktor lainnya, yang mempengaruhi

keanekaragaman burung di suatu tempat meliputi: luas wilayah, derajat

keterpencilan dari habitat lainnya, keanekaragaman tipe habitat dalam wilayah

tersebut, kualitas habitat secara umum, dan luas daerah ekoton.

B. Manfaat Burung

Satwa liar mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia, baik

ditinjau dari segi ekonomi, penelitian, pendidikan dan kebudayaan, maupun untuk

kepentingan rekreasi dan pariwisata (Alikodra dalam Saleh 1998). Burung telah

memberikan banyak manfaat dalam kehidupan manusia. Beberapa jenis burung

seperti ayam, kalkun, angsa, dan bebek telah didomestikasi sejak lama dan

merupakan sumber protein yang penting, baik daging maupun telurnya. Burung

juga dipelihara untuk kesenangan dan perlombaan, sebagai contoh adalah burung

merpati, perkutut, murai batu dan lain-lain. Jenis-jenis burung elang kerap

dipelihara untuk prestige dan untuk olahraga berburu. Banyak jenis burung telah

semakin langka di alam, karena diburu manusia untuk kepentingan perdagangan

(Anonim, 2006.e).

23

Burung memiliki nilai estetika dan rekreasi tinggi. Burung memiliki

bentuk dan warna yang indah dan beraneka ragam, tingkah laku yang menarik dan

suaranya yang merdu merupakan nilai estetika yang dapat dinikmati oleh manusia

(Saleh, 1998). Kegiatan pengamatan burung dapat memberikan sumbangan

penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Melalui kegiatan

pengamatan kehidupan burung, berbagai ilmu pengetahuan yang dapat di pelajari

antara lain ethiologi, ekologi, evolusi, biogeografi pulau, demografi, serta

pemantauan terhadap kondisi dan perubahan lingkungan hidup (MacKinnon,

1993).

Burung memiliki peranan penting dalam ekologi. Burung sangat peka

terhadap polusi. Burung berada pada urutan akhir dalam tingkatan rantai

makanan, sehingga cukup peka dengan penurunan kondisi makanannya. Oleh

sebab itu, burung dapat digunakan sebagai indikator perubahan kualitas

lingkungan (Buckley & Buckley, dalam Anonim, 2006.b)

Burung perlu dilestarikan karena mempunyai manfaat yang sangat besar.

Menurut Hernowo dan Prasetyo (dalam Anonim, 2006.d) mengatakan bahwa

burung berperan dalam mengendalikan serangga hama, membantu proses

penyerbukan bunga, mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, memiliki suara yang

khas sehingga dapat menimbulkan suasana menyenangkan, dapat digunakan

sebagai rekreasi, sebagai sumber plasma nutfah, dan sebagai objek untuk

pendidikan dan penelitian.

Jenis burung air diduga berperan penting dalam pertukaran energi antara

kehidupan daratan dan perairan, sehingga burung tersebut turut menentukan

24

dinamika produktivitas pada lahan basah. Burung air menyediakan sejumlah

pupuk alami bagi vegetasi pantai dan daerah-daerah yang lebih tinggi, dan

vegetasi tersebut berfungsi sebagai stabilisator lingkungan pantai terhadap

pengaruh erosi. Dengan cara demikian, kehadiran burung air tersebut juga dapat

mempercepat suksesi yang terjadi di lahan basah (Wibowo dkk. dalam Anonim,

2006.b). Burung air dijadikan sebagai salah satu kriteria penentu untuk

memasukkan sebuah ekosistem lahan basah ke dalam “Daftar Ramsar”, karena

burung air mempunyai peranan yang penting pada ekologi lahan basah (Wibowo

dkk. dalam Anonim, 2006.c).

C. Habitat

Habitat merupakan tempat hidup bagi suatu organisme, yang berarti

sebagai tempat tinggal atau tempat mencari makan. Dalam hal ini tempat hidup

bukan hanya berarti sebagai tempat tinggal saja, tetapi tempat tersebut harus

menyediakan makanan, dan juga memenuhi syarat sebagai tempat berlindung,

bermain, istirahat, berkembang biak, mengasuh, dan membesarkan anak-anaknya

(Alikodra dan Soedargo dalam Yudhistira, 2002).

Susanto (2000) menyatakan bahwa habitat sebagai lingkungan alam suatu

jenis makhluk hidup yang biasa dijumpai, dengan perubahan kondisi faktor-faktor

lingkungan berada dalam batas-batas yang sesuai dengan jenis yang bersangkutan,

sehingga perjalanan hidupnya berjalan lancar. Di dalam habitatnya makhluk hidup

sudah menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada sehingga mampu bertahan

hidup (survive), tumbuh (growth), dan berkembang biak (reproduksi).

25

Setiap makhluk hidup mempunyai habitat yang sesuai dengan

kebutuhannya. Habitat yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat yang

dibutuhkan oleh suatu spesies selama musim tertentu atau sepanjang tahun.

Kelengkapan habitat menurut Baeley (dalam Yudhistira, 2002) terdiri dari

berbagai jenis makanan, perlindungan, dan faktor-faktor lain yang diperlukan oleh

spesies untuk bertahan hidup dan bereproduksi secara berhasil. Hal ini

menunjukkan bahwa habitat merupakan hasil interaksi antar berbagai

komponennya, baik komponen biotik maupun abiotiknya. Di dalam habitat semua

komponen membentuk suatu sistem yang disebut ekosistem, dimana terjadi

interaksi antar komponennya, antar spesies saling berhubungan dan

mempengaruhi satu sama lain.

Di dalam suatu kawasan, habitat yang ada merupakan bagian penting bagi

distribusi dan jumlah burung. Bagi habitat yang tidak dilindungi, habitat mungkin

berubah, contohnya akibat penebangan hutan. Pengelolaan yang memadai sangat

bergantung pada pemahaman mengenai saling keterkaitan antara burung dan

habitatnya (Bibby et al., 2000). Burung merasa betah tinggal di suatu tempat

apabila terpenuhi tuntutan hidupnya antara lain habitat yang mendukung dan

aman dari gangguan.

D. Komunitas Tumbuhan

Organisme di alam tidak dapat hidup secara terpisah sendiri-sendiri.

Individu-individu ini akan berhimpun kedalam suatu kelompok membentuk

populasi yang kemudian populasi-populasi tersebut akan membentuk suatu

26

asosiasi yang biasa diberi nama komunitas biotik. Dalam suatu bentang alam

tertentu jenis–jenis tumbuhan berkecenderungan untuk berkelompok membentuk

masyarakat tumbuhan atau komunitas tumbuhan yang sering disebut juga dengan

vegetasi. Komunitas tumbuhan didefinisikan sebagai spesies tumbuhan yang

menempati tempat tertentu dan mengalami interaksi antar spesies. Terdapat

hubungan yang khas antara lingkungan dan organisme, sehingga komunitas di

suatu lingkungan bersifat spesifik (Anonim, 2006.a). Seringkali suatu komunitas

bergabung atau tumpang tindih dengan komunitas lain. Perubahan di suatu

habitat cenderung mengakibatkan perubahan komposisi komunitas. Hal ini

disebabkan oleh perbedaan tanggapan setiap spesies terhadap perubahan kondisi

fisik, kimia, maupun biotik.

Habitat burung berhubungan erat dengan keadaan struktur vegetasi yang

menunjang dalam memenuhi sumber pakan. Satwa liar akan lebih sering

ditemukan pada habitat yang menyediakan sumber daya melimpah, sebaliknya

akan jarang ditemukan pada habitat yang kurang menguntungkan (Wayne dan

Edward, 1982). Penggunaan habitat oleh burung tergantung pada penampakan

habitat yang menyediakan makanan. Perubahan vegetasi dalam suatu habitat dapat

mempengaruhi burung-burung yang hidup di dalamnya, baik mengenai komposisi

komunitas maupun kebiasaan hidupnya.

Wiens (1989) menyebutkan bahwa perubahan habitat dapat menyebabkan

terjadinya perubahan komposisi dan perilaku mencari makan beberapa jenis

burung. Perubahan habitat biasanya terjadi di hutan yang telah diubah menjadi

areal terbuka oleh adanya penebangan pohon. Adanya areal terbuka, beberapa

27

spesies burung akan mengalami perubahan strata tempat mencari makan dan luas

daerah jelajahnya bertambah.

Peranan dan manfaat kehadiran burung dalam suatu ekosistem perlu

dipertahankan, tidak hanya mempertahankan jenis dan populasinya saja tetapi

juga memelihara habitat dan ekosistemnya. Kerusakan habitat sangat mengancam

kelestarian burung. Kerusakan habitat yang berupa berkurangnya jumlah vegetasi

atau kehilangan jenis vegetasi sebagai sumber pakan dan tempat bersarang akan

menyebabkan penurunan populasi burung (vanBalen, 1984).

Beberapa jenis burung sangat membutuhkan pohon sebagai tempat

mencari makan maupun sebagai tempat bersarang dan bertelur. Pohon kaliandra

disenangi burung pengisap madu karena banyak menyediakan nektar. Pohon jenis

lain disenangi oleh burung, karena berulat banyak yang dapat dimakan. Menurut

Ballen (dalam Anonim, 2006.d) beberapa jenis tumbuhan yang banyak didatangi

burung antara lain:

1. Kiara, Caringin dan Loa (Ficus sp.) Ficus benjamina, Ficus variegata, dan

Ficus glaberrima buahnya banyak dimakan oleh burung seperti Punai

(Treron sp.).

2. Dadap (Erythrina variegata) bunganya menghasilkan nektar. Beberapa

jenis burung yang banyak dijumpai pada tanaman dadap yang tengah

berbunga antara lain: Betet (Psittacula alexandri), Serindit (Loriculus sp.),

jenis Jalak dari famili Sturnidae dan beberapa jenis burung madu.

3. Dangdeur (Gossampinus heptaphylla). Bunganya yang berwarna merah

menarik burung Takur ungkut-ungkut dan Srigunting.

28

4. Aren (Arenga pinnata). Ijuk dari batangnya sering dimanfaatkan oleh

burung sebagai bahan untuk pembuatan sarangnya.

5. Bambu (Bambusa sp.). Burung Blekok sawah (Ardeola speciosa) dan

Manyar (Ploceus sp.) bersarang di pucuk bambu. Sedangkan jenis burung

lainnya seperti: Burung Sikatan cacing (Cyornis banyumas), Celepuk

(Otus bakkamoena), Kipasan belang (Rhipidura javanica), Kepala tebal

bakau (Pachycephala cinerea) dan Perenjak kuning (Abroscopus

superciliaris) bertelur pada pangkal cabangnya, di antara dedaunan dan di

dalam batangnya.

E. Ancaman Terhadap Burung

Menurut Noor dan Alikodra (dalam Anonim, 2006.b) menyatakan bahwa

beberapa faktor yang dapat mengancam kehidupan burung antara lain: peralihan

peruntukan habitat, perburuan dan perdagangan satwa, serta pencemaran

lingkungan. Gangguan ini akan sangat mempengaruhi keberadaan dan populasi

burung di alam.

Pertambahan jumlah penduduk dan tekanan eksploitasi terhadap semua

sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi akan menyebabkan kemunduran

kualitas alam. Hutan akan didesak sampai kepuncak gunung dan burung-burung

akan diburu untuk dimakan, untuk olah raga ataupun dijual (MacKinnon et al.,

1993). Gangguan terhadap ekosistem alam secara terus-menerus dapat

mempersempit suatu habitat. Habitat yang relatif asli terbagi dalam pulau-pulau

yang di huni oleh lebih sedikit populasi binatang dan tumbuhan (Whitten et al.,

29

1999). Pulau dalam konteks ini dapat berarti pulau di tengah lautan, tetapi dapat

juga berupa sebuah habitat di tengah wilayah yang mempunyai sifat lain.

Sozer et al. (dalam Darmawan, 2006) mengungkapkan bahwa

perdagangan burung dan bagian-bagiannya (daging, telur, tulang, opset, dan bulu)

merupakan penyebab dari langkanya suatu jenis burung. Indikasi langkanya suatu

jenis burung di alam adalah langka di pasaran, sehingga harganya mahal. Keadaan

semacam itu akan memicu penangkapan di alam sehingga akan menambah jumlah

jenis langka.

30

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di P. Burung dan P. Geleang, Kecamatan

Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Adapun waktu

pelaksanaan penelitian adalah pada bulan Juni 2006, November 2006, dan Juni

2007.

Gambar 1. Lokasi Penelitian di P. Geleang dan P. Burung Taman Nasional Karimunjawa (Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Jateng, 2003)

B. Alat dan Bahan

Teropong binokuler maupun monokuler untuk pengamatan burung, tape

recorder untuk merekam suara atau kicauan burung, jam tangan digital untuk

mengukur waktu awal dan akhir penelitian dan mencatat waktu perjumpaan

P. Geleang

18

31

dengan jenis burung, kamera dan handycam untuk dokumentasi burung yang

dijumpai, Global Positioning System (GPS) untuk menentukan posisi koordinat

pada titik hitung, alat tulis menulis dan tallysheet untuk mencatat data, kompas

untuk penunjuk arah, meteran untuk mengukur keliling batang setinggi dada, tali

dan pancang untuk membuat plot profil vegetasi, busur untuk mengukur derajat

posisi cabang pohon, plastik untuk tempat preparat tumbuhan yang belum

teridentifikasi, kertas label untuk menandai preparat tumbuhan, buku indentifikasi

jenis burung: Seri Panduan Lapangan (field guide) Burung-burung di Sumatera,

Kalimantan, Jawa, dan Bali (MacKinnon et al., 1993) untuk membantu

identifikasi jenis burung, Buku Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia

(Rusilanoor, 1999) dan buku Kenalilah Flora Pantai Kita (Soegianto, 1983) untuk

membantu identifikasi jenis tumbuhan.

C. Prosedur Penelitian

Prosedur atau langkah kerja penelitian ditempuh dalam dua tahap, yaitu:

1. Persiapan

a. Pengumpulan pustaka yang memuat berbagai informasi tentang burung

dan habitatnya.

b. Identifikasi kawasan yang akan diteliti melalui peta lokasi.

c. Pengumpulan alat-alat penelitian.

32

2. Pelaksanaan

Seluruh data burung diambil dengan menggunakan metode Indeks Point

Abundance (IPA) atau lebih dikenal dengan metode titik hitung. Metode ini dipilih

mengingat kondisi P. Burung dan P. Geleang merupakan habitat rapat. Menurut

Bibby et al., (2000) metode titik hitung lebih sesuai untuk penelitian burung yang

tidak terlalu banyak berpindah dan juga lebih memungkinkan untuk dilakukan di

habitat yang rapat. Selain itu, tujuan penelitian untuk mempelajari penyebaran

burung berdasarkan penggunaan ruang stratifikasi tajuk vegetasi sehingga data

tersebut dapat diambil dari pencatatan keadaan disekitar masing-masing titik

hitung dan lebih mudah diasosiasikan dengan kehadiran atau ketidakhadiran

individu suatu jenis burung. Keuntungan lain atas penggunaan metode titik hitung

adalah tersedianya waktu yang cukup bagi pengamat untuk mengidentifikasi

burung yang dijumpai.

Pada metode titik hitung, pengamat berhenti disuatu lokasi yang telah

ditetapkan (sebuah titik hitung) selama periode waktu tertentu dan mencatat serta

menghitung burung baik yang terlihat maupun yang terdengar (Bibby et al.,

2000). Penempatan lokasi titik hitung dilakukan secara acak. Di P. Burung,

terdapat 5 titik hitung dengan jarak antara titik hitung satu dengan yang lainya

adalah 100 meter. Hal ini mengingat luas P. Burung hanya sekitar 1 ha. Lima titik

tersebut sudah cukup mewakili area P. Burung. Di P. Geleang dibuat 9 titik hitung

dengan jarak antar titik hitung sejauh 150 meter. Pemberian jarak 150 meter

dimaksudkan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya penghitungan ganda.

33

Dalam pengambilan sampel jarak saat mencatat dan menghitung burung

bahwa semua burung yang berjarak 0 meter harus dideteksi. Selebihnya,

pencatatan dan penghitungan dilakukan sampai batas kemampuan pengamat,

tetapi harus memperhatikan jarak pendeteksian mendekati kepastian untuk jarak-

jarak tertentu dari titik hitung lainya. Batas radius pengamatan sekit 20 m dari titik

pengamat berdiri. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penghitungan ganda

dari titik hitung sebelumnya. Lama pencatatan pada setiap titik hitung adalah 15

menit. Jika periode penghitungan terlalu lama akan memperbesar peluang

terjadinya penghitungan ganda atau tidak terdeteksinya burung dari luar yang

masuk. Burung-burung yang melintas jauh, ditemukan diluar titik hitung atau

ditemukan diluar waktu pengamatan dapat dicatat tetapi tidak dimasukan dalam

analisis data.

Beberapa jenis burung yang hanya terdengar suaranya harus dimasukan

dalam pencatatan. Pengukuran jumlah individu dihitung berdasarkan tingkat

frekuensi suara. Ketika terdengar lebih dari satu sumber suara, pengamat perlu

memperhatikan waktu dan jarak antar sumber suara untuk memastikan sumber

suara adalah individu yang sama atau individu berbeda.

Menurut Bibby et al., (2000) ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam

penggunaan metode IPA diantaranya: penempatan titik hitung harus mewakili

tingkat kepadatan burung, memastikan bahwa burung-burung yang langsung

berada pada titik hitung selalu dapat dideteksi, obyek dideteksi pada lokasi awal

sebelum secara alami bergerak atau bergerak akibat kehadiran pengamat, dan

34

pengukuran jarak harus dilakukan secara akurat. Metode IPA dapat dilaksanakan

secara teknis berdasarkan tahapan berikut ini:

a. menentukan titik awal sebagai titik hitung 1 secara acak.

b. melakukan pencatatan dan penghitungan selama 15 menit.

c. berjalan secara acak sejauh 150 meter (di P. Geleang) dan 100 meter (di P.

Burung) untuk menentukan lokasi titik hitung 2 kemudian melakukan

pencatatan dan penghitungan.

d. pencatatan dan penghitungan dilakukan sampai tidak ditemukan jenis baru

atau telah mewakili area penelitian.

Data-data yang yang perlu dicatat dalam penelitian ini antara lain:

a. jenis, jumlah individu, dan aktivitas burung yang diamati baik secara

langsung maupun tidak langsung (suara).

b. tipe kontak, misalnya melalui visual, suara, atau saat terbang.

c. waktu awal dan akhir pencatatan serta waktu kontak setiap jenis burung.

d. jenis tumbuhan yang ditempati.

e. ketinggian burung atau pengunaan ruang pada stratifikasi tajuk tumbuhan.

f. posisi koordinat lokasi titik hitung yang diambil dengan GPS.

g. jenis-jenis burung yang dilindungi, endemik, langka dan termasuk dalam

daftar CITES.

Untuk memudahkan operasional, maka dibuat tallysheet berdasarkan data

diatas. (Lampiran 7)

35

D. Analisis Data

1. Analisa Data Burung a. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)

Untuk menentukan nilai indeks keanekaragaman jenis burung

digunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (Bibby et al., 2000)

dengan rumus:

∑−= PiPiH ln'

∑∑ −

=burungtotal

ikespesiesburungPi

b. Indeks Kemerataan (E)

Untuk mengetahui kemerataan penyebaran individu suatu spesies

dalam komunitas digunakan indeks kemerataan. Indeks kemerataan

dihitung dengan menggunakan rumus Bibby et.al., (2000) yaitu:

S

HEln

'=

Keterangan : E = indeks kemerataan (nilai antara 0-1) H’ = indeks keanekaragaman Shannon – Wiener S = jumlah jenis

c. Analisis Penyebaran Burung

Analisis penyebaran jenis burung digunakan untuk melihat

penyebaran burung secara spasial dengan menggunakan nilai frekuensi

ditemukannya jenis burung dalam stasiun sensus pengamatan. Rumus

yang digunakan adalah:

36

∑∑=

sensusstasiunseluruhburungjenisditemukansensusstasiun

FJjenisFrekuensi )(

%100)( Xjenisseluruhfrekuensi

jenissuatufrekuensiFRrelatifFrekuensi =

d. Dominansi

Menentukan jenis burung yang dominan di dalam kawasan

penelitian, ditentukan dengan menggunakan rumus menurut Helvoort

(1973):

%100XNniDi =

Keterangan: Di = indeks dominansi suatu jenis burung’ ni = jumlah individu suatu jenis N = jumlah individu dari seluruh jenis Kriteria: Di = 0-2% jenis tidak dominan Di = 2-5% jenis sub dominan Di = > 5% jenis dominan e. Indeks Kesamaan Jenis Burung

%100)( xjba

jISJaccardssimilaritaIndeks−+

=

Komunitas tumbuhan sangat mempengaruhi komposisi jenis

burung dalam suatu komunitas. Indek kesamaan jenis (Similarity index)

digunakan untuk mengukur perubahan komposisi P. Burung dan P.

Geleang. Indeks similaritas yang digunakan adalah indeks similaritas

Jaccard (Magguran, 1998) :

37

Keterangan: SI = Indeks similaritas j = jumlah jenis yang terdapat pada kedua komunitas yang dibandingkan a = jumlah jenis pada komunitas A b = jumlah jenis pada komunitas B

2. Analisa Data Vegetasi a. Tingkat Penggunaan Jenis Tumbuhan

Nilai ini digunakan untuk mengetahui pemanfaatan vegetasi oleh

burung, menggunakan rumus modifikasi dari frekuensi (Darmawan, 2006)

%100)( xSpStFTtumbuhanFungsi =

Keterangan: Ft = Fungsi tumbuhan bagi burung St = Jumlah jenis burung yang menggunakan vegetasi Sp = Jumlah keseluruhan jenis burung yang ada di lokasi penelitian b. Profil Vegetasi

Pembuatan profil habitat dengan menggunakan plot berukuran 40m

X 20m. Data yang diambil adalah: kedudukan vegetasi, penutupan tajuk,

arah tajuk, tinggi tajuk, tinggi bebas batang cabang, dan diameter batang

setinggi dada. Profil habitat bermanfaat untuk pemodelan penggunaan

ruang habitat secara vertikal oleh burung.

Analisis penggunaan ruang oleh burung pada stratifikasi tajuk

(Gambar 2), dilakukan secara diskriptif kualitatif yaitu dengan melihat

hubungan antara tajuk vegetasi dengan kehadiran burung. Analisa ini

digunakan untuk melihat jenis-jenis burung yang menggunakan strata

tajuk vegetasi tertentu.

38

Tanah dan tumbuhan bawah

Gambar 2. Klasifikasi strata tajuk pohon secara vertikal

39

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kekayaan Jenis

Penelitian burung di P. Geleang dan P. Burung dilakukan sebanyak tiga

periode. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, November 2006 dan Juni

2007 untuk mengakomodasi perbedaan musim (musim kemarau dan musim

penghujan) serta musim migrasi burung. Hasil pengamatan dianalisa secara

terpisah berdasarkan periode waktu penelitian.

Di P. Geleang tercatat sebanyak 18 jenis burung (species) dari 11 suku

(familia) dan 6 bangsa (ordo) (Tabel 1). Berdasarkan penggolongannya, burung-

burung yang ditemui sebagian besar merupakan burung terestrial (landbirds),

kecuali Famili Ardeidae merupakan burung air (waterbirds) dan famili Laridae

merupakan burung laut (seabirds). Dari 18 jenis yang teramati, 9 diantaranya

merupakan burung dilindungi Undang–undang. Burung–burung tersebut adalah

Nectarinia jugularis, Egretta garzetta, Egretta sacra, Todirhampus chloris,

Haliaeetus leucogaster, Accipiter sp., Sterna anaethetus, Sterna sumatrana dan

Sterna bergii. Satu jenis yang dilindungi dan termasuk daftar CITES Apendiks II

adalah Haliaeetus leucogaster. Pada umumnya burung–burung penghuni P.

Geleang merupakan jenis burung penetap (residen) kecuali Accipiter sp. yang

diduga kuat sebagai burung migran. Pendugaan jenis Accipiter sp. sebagai burung

migran berdasar pada fakta-fakta berikut ini: burung tersebut hanya terbang

melintasi P. Geleang dan tidak menempati P. Geleang, jenis ini tidak dijumpai

pada periode sebelum dan sesudah perjumpaan dan hanya dijumpai pada satu

27

40

periode penelitian, waktu dijumpai jenis Accipiter sp. merupakan rentang waktu

musim migrasi burung, serta diketemukannya jenis burung migran yaitu Accipiter

soloensis di pulau lainya.

10 10 10

107

78

124

0

20

40

60

80

100

120

140

Juni 2006 Nov-0

6 Juni 2007

periode pe tian

jum

lah

Jumlah jenis

Jumlahindividu

neli

Gambar 3. Grafik Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Setiap Periode Penelitian di P. Geleang

Setiap periode penelitian di P. Geleang selalu mendapatkan jumlah jenis

yang sama sebanyak 10 jenis (Gambar 3). Meskipun demikian, komposisi jenis

dan jumlah individu berbeda pada setiap periode penelitian. Diantara jenis-jenis

burung yang ditemui, hanya enam jenis yang selalu ditemui dalam setiap periode

penelitian. Jenis-jenis tersebut adalah Artamus leucorhynchus, Zosterops chloris,

Nectarinia jugularis, Haliaeetus leucogaster, Todirhampus chloris, dan Butorides

striatus. Dengan melihat kehadiran jenis burung pada tiap periode, tidak semua

jenis burung benar-benar menetap di P. Geleang. Enam jenis burung yang selalu

dijumpai pada tiap periode penelitian mungkin menggunakan P. Geleang sebagai

41

habitat dalam arti habitat sebagai tempat tinggal, tempat bersarang, tempat

mengasuh anak-anaknya serta tempat mencari makan. Hal ini terkait dengan

pembagian relung dalam suatu komunitas. Agar jenis-jenis burung dapat hidup

bersama dalam suatu habitat maka perlu pembagian relung yang jelas, meliputi:

jenis makanan, tempat mencari makan hingga pembagian ruang habitat serta

penggunaan tajuk vegetasi. Keberadaan Haliaeetus leucogaster yang bersarang di

tajuk atas dan hampir menguasai seluruh tajuk atas di P. Geleang sangat

menentukan komposisi penyusun jenis burung di P. Geleang. Kebanyakan jenis

penetap P. Geleang adalah jenis burung penghuni tajuk bawah antara lain:

Todirhampus chloris dan Nectarinia jugularis serta burung-burung penghuni

semak dan tanah antara lain: Zosterops chloris dan Butorides striatus. Satu jenis

burung penghuni tajuk atas yang mampu berbagi ruang habitat dengan Haliaeetus

leucogaster adalah Artamus leucorhynchus. Burung ini adalah salah satu jenis

burung yang sangat kuat dalam mempertahankan wilayah teritorinya. Jika merasa

terancam karena kehadiran jenis burung lain dalam wilayah teritorinya, burung ini

dengan agresif akan mengusir jenis burung lain yang mencoba masuk dalam

wilayah teritorinya.

Dua belas jenis burung yang hanya ditemui pada salah satu periode

penelitian kemungkinan adalah burung pendatang di P. Geleang. Jenis burung-

burung ini menggunakan P. Geleang pada waktu sementara untuk tempat istirahat

atau tepat mencari makan. Ketidakhadiran burung dalam periode tertentu terkait

dengan musim migrasi burung dan kebiasaan migrasi temporal burung dalam

upaya mencari makan atau menghindari cuaca buruk. Pada periode November

42

2006 jumlah individu yang ditemui menunjukkan jumlah paling sedikit diantara

periode lainya (Gambar 3). Hal ini dikarenakan pada bulan tersebut merupakan

musim kemarau. Suhu lingkungan berkisar antara 380 C hingga 400 C. Vegetasi P.

Geleang yang didominasi alang-alang tidak menyediakan pakan yang cukup.

Kondisi demikian mendorong burung untuk bermigrasi temporal ke pulau lain

yang memiliki daya dukung lingkungan untuk kelanjutan hidupnya.

Penelitian burung di P. Burung mencatat sebanyak 15 jenis burung

(spesies) yang ditemukan, dari 11 suku (familia) dan 8 bangsa (ordo) (Tabel 2).

Berdasarkan penggolongannya 2 famili termasuk dalam burung air (waterbirds)

yaitu famili Ardeidae dan Rallidae, 2 famili termasuk burung laut (seabirds) yaitu

famili Laridae dan Fregatidae, sedangkan selebihnya merupakan burung terestrial

(landbirds). Tujuh jenis dari seluruh jenis yang ditemui merupakan burung yang

dilindungi Undang–Undang. Burung–burung tersebut adalah Nectarinia jugularis,

Egretta sacra, Todirhampus chloris, Accipiter sp., Caloenas nicobarica, Sterna

sumatrana dan Sterna bergii. Satu jenis yang dilindungi dan termasuk daftar

CITES Apendiks I adalah Caloenas nicobarica. Jenis burung migran yang

ditemui di P. Burung adalah Accipiter sp. Burung ini hanya mengunjungi P.

Burung dalam waktu sementara saja. Saat pengamatan Accipiter sp. terlihat hanya

sebatas melintasi P. Burung, tidak terlihat singgah atau mencari makan.

43

Tabel 1. Jenis - Jenis dan Status Burung yang Ditemukan di P. Geleang

Ordo/Familia/Nama ilmiah Nama daerah Status

Perlindungan Status Tinggal

Ordo 1 : Passeriformes Familia 1 : Nectariniidae

1 Nectarina jugularis Burung madu sriganti A, B, C, E R Familia 2 : Pachycephalidae

2 Artamus leucorhyncus Kekep babi tdl R Familia 3 : Zosteropidae

3 Zosterops cloris Kacamata laut tdl R Familia 4 : Muscicapidae

4 Rhinomyias umbratilis Sikatan rimba dada kelabu tdl R 5 Rhinomyias olivacea Sikatan rimba dada coklat tdl R

Familia 5 : Silviidae 6 Orthotomus ruficeps Cinenen kelabu tdl R

Familia 6 : Hirundinidae 7 Hirundo tahitica Layang-layang batu tdl R

Ordo 2 : Ciconiformes Familia 7 : Ardeidae

8 Egretta garzetta Kuntul kecil A, B, C R 9 Egretta sacra Kuntul karang A, B, C R

10 Butorides striatus Kokokan laut tdl R Ordo 3 : Coraciiformes Familia 8 : Alcedinidae 11 Todirhampus chloris Cekakak sungai A, B, C R Ordo 4 : Falconiformes Familia 9 : Accipitridae 12 Haliaeetus leucogaster Elang laut perut putih A, B, C, D, F R 13 Accipiter sp. Elang alap A, B, C, D M Ordo 5 : Columbiformes Familia 10 : Columbidae 14 Ducula rosacea Pergam katanjar tdl R 15 Ducula bicolor Pergam laut tdl R Ordo 6 : Charadiiformes Familia 11 : Laridae 16 Sterna anaethetus Dara laut batu A, B, C R 17 Sterna sumatrana Dara laut tengkuk hitam A, B, C R 18 Sterna bergii Dara laut jambul A, B, C R

Keterangan:

tdl = tidak dilindungi A = UU RI No 5 Th. 1990 (Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem) B = PP No 7 Tahun 1999 (Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa) C = PP No 8 Tahun 1999 (Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar) D = SK No 412/Kpts/Um/8/8/1970 E = SK Menteri Pertanian No. 66/Kpts/Um/2/1979 F = CITES Apendiks II R = Residen (penetap) M = Migran (bermigrasi pada musim tertentu)

44

Berbeda dengan P. Geleang, penelitian burung di P. Burung menemukan

jumlah jenis, jumlah individu dan komposisi jenis yang selalu berbeda pada setiap

periode penelitian. Jumlah jenis terbanyak ditemui pada periode Juni 2007

sebanyak 10 jenis burung. Pada periode Juni 2006 ditemukan sebanyak 9 jenis

burung, sedangkan jumlah jenis paling sedikit ditemui pada periode November

2006 sebanyak 8 jenis burung. Jumlah individu terbanyak ditemui pada periode

Juni 2006 sebanyak 79 individu, sedangkan paling sedikit ditemui pada periode

November 2006 sebanyak 46 individu (Gambar 4). Diantara jenis yang ditemui,

hanya lima jenis yang selalu ditemui dalam setiap periode penelitian. Jenis-jenis

tersebut adalah Nectarinia jugularis, Artamus leucorhynchus, Zosterops chloris,

Egretta sacra dan Todirhampus chloris.

9 810

79

46

72

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Juni 2006 November-0

6 Juni 2007

periode penel n

jum

lah

Jumlah jenis

Jumlah individu

itia

Gambar 4. Grafik Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Setiap Periode Penelitian di P. Burung

45

Perbedaan jumlah jenis dan jumlah individu pada setiap periode penelitian

lebih disebabkan oleh faktor musim (musim kemarau dan musim penghujan)

daripada musim migrasi burung. Bulan Juni termasuk dalam rentang waktu

musim migrasi burung, meskipun demikian kehadiran burung migran di P.

Burung tidak signifikan pada pertambahan jenis maupun jumlah individu. Burung

migran yang teramati hanya sekedar melintas (flying over) dan jumlahnya hanya

satu ekor. Biasanya raptor migran akan bermigrasi bersama-sama dalam

kelompok berjumlah banyak. Meskipun demikian, catatan keberadaan raptor

migran yang melintas di P. Burung adalah catatan menarik bahwa di Kepulauan

Karimunjawa dilalui jalur migrasi. Kemungkinan burung-burung tersebut singgah

di P. Karimunjawa atau di P. Kemujan yang lebih luas dan menyediakan daya

dukung yang cukup memadai.

Perbedaan musim kemarau dan penghujan erat kaitannya dengan

ketersediaan pakan bagi burung. Pada periode November 2006 adalah musim

kemarau. Vegetasi di P. Burung tidak mampu menyediakan pakan yang cukup

bagi burung. Hal ini yang menyebabkan burung bermigrasi temporal ke pulau

lainya. Letak geografis P. Burung relatif terpencil dari pulau besar maupun pulau

utama (main land). Keadaan ini diduga sebagai sebab P. Burung tidak dilalui oleh

jalur migrasi burung. Accipiter sp dan jenis raptor lainya, selain memerlukan

vegetasi yang bagus juga memerlukan geothermal (panas bumi) yang sesuai.

Keadaan geothermal akan sangat berpengaruh pada kemampuan terbangnya.

46

Tabel 2. Jenis - Jenis dan Status Burung yang Ditemukan di P. Burung

Ordo/Familia/Nama ilmiah Nama daerah Status

Perlindungan Status Tinggal

Ordo 1 : Passeriformes Familia 1 : Nectariniidae

1 Nectarina jugularis Burung madu sriganti A, B, C, E R Familia 2 : Pachycephalidae

2 Artamus leucorhyncus Kekep babi tdl R Familia 3 : Zosteropidae

3 Zosterops chloris Kacamata laut tdl R Familia 4 : Muscicapidae

4 Rhinomyias umbratilis Sikatan rimba dada kelabu tdl R Ordo 2 : Ciconiformes Familia 5 : Ardeidae

5 Egretta sacra Kuntul karang A, B, C R 6 Butorides striatus Kokokan laut tdl R

Ordo 3 : Coraciiformes Familia 6 : Alcedinidae

7 Todirhampus cloris Cekakak sungai A, B, C R Ordo 4 : Falconiformes Familia 7 : Accipitridae

8 Accipiter sp. Elang alap A, B, C, D M Ordo 5 : Columbiformes Familia 8 : Columbidae

9 Caloenas nicobarica Junai mas A, B, C, F R 10 Ducula bicolor Pergam laut tdl R

Ordo 6 : Charadiiformes Familia 9 : Laridae

11 Sterna sumatrana Dara laut tengkuk hitam A, B, C R 12 Sterna bergii Dara laut jambul A, B, C R

Ordo 7 : Procellariiformes Familia 10 : Fregatidae

13 Fregata minor Cikalang besar tdl R 14 Fregata ariel Cikalang kecil tdl R

Ordo 8 : Gruiformes Familia 11 : Rallidae

15 Amaurornis phoenicurus Kareo padi tdl R

Keterangan:

tdl = tidak dilindungi A = UU RI No 5 Th. 1990 (Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem) B = PP No 7 Tahun 1999 (Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa) C = PP No 8 Tahun 1999 (Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar) D = SK No 412/Kpts/Um/8/8/1970 E = SK Menteri Pertanian No. 66/Kpts/Um/2/1979 F = CITES Apendiks I R = Residen (penetap) M = Migran (bermigrasi pada musim tertentu)

47

B. Indeks Keanekaragaman Jenis dan Indeks Kemerataan

Keanekaragaman jenis dan struktur komunitas burung berbeda dari suatu

wilayah dengan wilayah yang lainnya (Karr dalam Johnsingh dan Joshua, 1994).

Keanekaragaman jenis di suatu wilayah ditentukan oleh berbagai faktor.

Keanekaragaman jenis mempunyai sejumlah komponen yang dapat memberi

reaksi secara berbeda-beda terhadap faktor geografi, perkembangan, dan fisik

(Odum, 1993). Jenis burung yang banyak dijumpai dalam suatu komunitas adalah

burung yang mempunyai densitas, dominansi, dan frekuensi yang besar. Nilai-

nilai tersebut akan mempengaruhi nilai penting suatu jenis burung dalam

komunitas tersebut.

0.75

0.410.59

1.74 1.77

1.37

0

0.5

1

1.5

2

Juni 2006 Nov-06 Juni 2007

periode penelitian

nila

i ind

eks

E

H'

Gambar 5. Grafik Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan Burung di P. Geleang

Keanekaragaman jenis merupakan salah satu aspek penting dalam kajian

komunitas. Hasil penelitian selama tiga periode pengamatan menunjukkan nilai

indeks keanekaragaman jenis di P. Geleang tertinggi pada periode November

2006 dan nilai indeks keanekaragaman terendah pada periode Juni 2007. Nilai

48

indeka keanekaragaman jenis burung di P. Geleang berkisar antara 1,37 hingga

1,77 (Gambar 5). Nilai ini menunjukkan keanekaragaman yang tergolong rendah

dalam suatu kawasan. Menurut Odum (1993) keanekaragaman jenis tergolong

tinggi bila kemerataan jenis (E’) mencapai nilai 0.8. Hasil penelitian di P. Geleang

menunjukkan nilai kemerataan di bawah 0.8, sehingga dapat dikatakan

keanekaragaman jenis burung di P. Geleang tergolong rendah. Nilai indeks

kemeraaan berkisar antara 0,41-0,75. Nilai indeks kemerataan ini tergolong

rendah, menunjukkan bahwa penyebaran individu jenis burung di P. Geleang

tidak merata.

Dari ketiga periode penelitian yang dilakukan, nilai indeks

keanekaragaman tertinggi terjadi pada periode November 2006, namun ternyata

memiliki indeks kemerataan paling rendah sebesar 0,41. Hal ini dikarenakan pada

periode itu kelimpahan individu setiap jenis tidak berimbang atau kemerataan

jenis individunya rendah. Diantara jenis-jenis penyusun komunitas terjadi

dominasi oleh jenis-jenis tertentu., sehinga distribusi jumlah tidak merata pada

setiap populasi dalam komunitas. Jumlah individu Zosterops chloris mencapai

36% dari jumlah total individu, 26% Nectarinia jugularis, 14% Artamus

leucorhynchus sedangkan 24% sisanya ditempati oleh tujuh jenis burung lainya

(Lampiran 3).

Pada periode Juni 2007 terjadi kenaikan jumlah individu yang cukup

signifikan sebesar 159% dari jumlah individu di periode November 2007. Jumlah

tersebut merupakan jumlah individu terbesar yang ditemui dari ketiga periode

penelitian. Nilai indeks kemerataan pada periode ini masih tergolong rendah,

49

yaitu sebesar 0,59. Hal ini dikarenakan adanya dominasi dari salah satu jenis.

Zosterops chloris mendominasi sebesar 61% dari jumlah total individu (Lampiran

3). Dengan adanya dominansi salah satu jenis tertentu akan menyebabkan

kemerataan individu jenis burung rendah.

Para ilmuwan mempunyai keserupaan pengertian bahwa pulau-pulau kecil

mendukung lebih sedikit jenis kehidupan dibandingkan pulau yang lebih besar.

Secara umum penurunan luas kawasan pulau sampai sepersepuluh akan

mengurangi setengah dari jumlah jenis (Whitten et.al , 1999). Namun pada

penelitian burung, selain memperhatikan luas wilayah, kita perlu memperhatikan

vegetasinya, baik komposisi maupun struktur vegetasi. Hal ini berkaitan dengan

kemampuan penyediaan makanan bagi burung dan ketersediaan ruang sebagai

habitat burung.

Burung adalah satwa dengan tingkat mobilisasi tinggi. Burung akan

mencari habitat yang paling sesuai bagi kelangsungan hidupnya. Mekanisme

migrasi temporal dan kemampuan terbang akan sangat mempengaruhi populasi,

kekayaan jenis maupun indeks keanekaragaman burung pada habitat tertentu.

Indeks keanekaragaman burung di P. Burung sangat berbeda dengan P. Geleang.

Hasil penghitungan nilai indeks keanekaragaman jenis di P. Burung pada ketiga

periode pengamatan menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis

tertinggi pada periode Juni 2007 yaitu sebesar 1,91 dengan nilai kemerataan

berkisar antara sebesar 0,83 (Gambar 6). Nilai keanekaragaman jenis terdsebut

tergolong tinggi pada suatu kawasan. Menurut Odum (1993) keanekaragaman

jenis tergolong tinggi bila keseragaman atau kesamarataan jenis (E’) mencapai

50

nilai 0.8. Hasil penelitian di P. Burung pada periode Juni 2007 menunjukkan nilai

kemerataan diatas 0.8, sehingga dapat dikatakan keanekaragaman jenis burung di

P. Burung tergolong tinggi. Nilai indeks kemerataan yang tergolong tinggi dapat

diartikan bahwa penyebaran individu jenis burung pada komunitas tersebut sangat

merata.

Indeks keanekaragaman jenis burung di P. Burung pada periode Juni 2006

tergolong tinggi yaitu sebesar 1,77 dengan nilai indeks kemerataan sebesar 0,8.

Nilai indeks kemerataan yang cukup tinggi menunjukkan bahwa penyebaran

individu jenis burung sangat merata. Indeks keanekaragaman yang tinggi dapat

diartikan bahwa komunitas yang ada di P. Burung sangat mendukung keberadaan

jenis burung dalam habitat tersebut. Tingginya nilai keanekaragaman mmberikan

indikasi bahwa keseimbangan antar jenis juga tinggi, sebagai tolok ukur stabilitas

suatu komunitas. Keseimbangan jenis burung di habitat P. Burung pada periode

Juni 2006 dan Juni 2007 dapat dikatakan cukup tinggi.

0.8 0.76 0.83

1.771.58

1.91

0

0.5

1

1.5

2

2.5

Juni 2006 Nov-06 Juni 2007

periode penelitian

nila

i ind

eks

E

H'

Gambar 6. Grafik Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan Burung di P. Burung

51

Nilai indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan paling rendah terjadi

pada periode November 2007. Hal ini disebabkan oleh kelimpahan individu

setiap jenis tidak berimbang atau kemerataan jenis individunya rendah.

Rendahnya kemerataan jenis indiividu dipengaruhi oleh dominansi suatu jenis

tertentu. Mungkin suatu jenis jumlahnya sangat banyak, tetapi jenis yang lain

jumlahnya sangat terbatas atau sedikit. Pada periode November 2007 terjadi

penurunan jumlah total individu yang cukup signifikan sebesar 60%-63% dari

periode lainya. Jumlah total jenis yang ditemui pada periode ini paling sedikit,

yaitu sebanyak 8 jenis burung. Dari jumlah total individu tersebut didominasi oleh

Zosterops chloris sebesar 41%, Todirhampus chloris sebesar 21,75%, Artamus

leucorhynchus sebesar 15%, Nectarinia jugularis sebesar 13% sedangkan 4 jenis

lainya sangat sedikit jumlah individu yang ditemui, yaitu satu individu tiap jenis

(Lampiran 4).

Terjadinya perbedaan indeks keanekaragaman dan kemerataan yang nyata

antara P. Geleang dan P. Burung dikarenakan masing-masing habitat mempunyai

karakteristik yang berbeda, baik struktur, luas maupun fungsinya. P. Gelenag

mungkin wilayahnya cukup luas, tetapi tidak menyediakan makanan dan ruang

tempat tinggal yang cukup memadai bagi burung. Disamping itu, keberadaan

Haliaeetus leucogaster sebagai predator menyebabkan beberapa jenis burung

lebih suka hidup di pulau lain yang lebih aman. P. Burung memiliki wilayah yang

sempit, tetapi vegetasinya cukup rapat. Komposisi penyusun vegetasi tersebut

bermacam-macam, mulai dari tumbuhan bawah yang tergolong sebagai mangrove

ikutan, seperti Ipomoea pescapre, Acanthus citrifolius, Rumput jarum, dan

52

tumbuhan semak. Tumbuhan khas pantai yang ditemui antara lain Gabusan,

Lakok-lakok, Pongamia sp, Excoecarea agalocha, Cemara laut, Terminalia

cattapa, dan Jati pasir. Tumbuhan lainnya yang berpotensi sebagai penyedia

bahan makanan bagi burung diantaranya Lempeni dan Sawo kecik.

Burung memerlukan ruang atau strata tajuk pohon sebagai tempat tinggal,

beraktivitas, maupun istirahat. Startifikasi tajuk vegetasi pada arsitektur pohon

juga mempengaruhi kehadiran burung pada habitat tersebut. Vegetasi P. Burung

sebagian besar merupakan pohon dengan stratifikasi tajuk bervariasi. Hal ini yang

diduga kuat pulau ini lebih disukai burung untuk dikunjungi. Beberapa burung

tidak menetap di P. Burung, hal ini terlihat dari jumlah terbanyak spesies yang

dijumpai pada setiap periode pengamatan, yaitu sebanyak 10 spesies dengan

jumlah total akumulasi spesies yang mencapai 15 spesies. Faktor lainya adalah

suhu lingkungan, dimana suhu lingkungan P. Geleang berkisar antara 350C hingga

400C sedangkan di P. Burung hanya berkisar antara 250C hingga 280C.

Sebagai pulau yang mempunyai wilayah jauh lebih luas dibandingkan P.

Burung, P. Geleang lebih berpotensi memiliki keanekaragaman jenis yang lebih

tinggi. Rendahnya keanekaragaman jenis di P. Geleang dikarenakan struktur

vegetasi di P. Geleang yang tidak kompleks, dengan didominasi oleh Alang-alang

dan semak belukar. Hampir 70% wilayah P. Geleang tertutup oleh Alang-alang

dan semak belukar, 30% yang lain ditumbuhi Kelapa, Ingas, Cemara laut, Kudho,

Jati pasir, dan tumbuhan mangrove ikutan. Formasi vegetasinya membentuk

zonasi yang tidak konsisten. Bagian tepi pulau yang berbatasan langsung dengan

pantai ditumbuhi oleh tumbuhan mangrove ikutan dan Cemara laut. Bagian yang

53

agak dalam ditumbuhi oleh Ingas, Jati pasir, dan Kudho, sedangkan bagian tengah

ditumbuhi Alang-alang dan semak belukar.

Meskipun hasil penelitian menunjukkan nilai keanekaragaman jenis

burung di Pulau Geleang termasuk rendah, tetapi dari beberapa jenis burung yang

ditemukan termasuk dalam jenis burung yang dilindungi. Pada saat pengamatan

ditemukan dua ekor anak burung Haliaeetus leucogaster yang berumur sekitar 3

bulan. Anak burung tersebut masih berada di dalam sarang yang terletak di pohon

Lannea grandis. Di P. Burung juga dijumpai Sterna sumatrana dan Caloenas

nicobarica yang sedang berbiak. Ditemukanya burung yang berbiak pada pulau-

pulau tersebut menandakan bahwa pulau itu merupakan habitat yang sesuai bagi

perkembangbiakan burung. Dengan terdapatnya spesies burung langka dan

dilindungi ini, maka diperlukan perhatian khusus agar spesies tersebut benar-

benar dapat hidup dan berkembangbiak secara optimal sehingga sisa populasi

yang ada dapat terhindar dari kepunahan.

Upaya perlindungan dan konservasi harus dilakukan. Disadari atau tidak

habitat burung di kawasan tersebut terancam mengalami penyempitan seiring

dengan meningkatnya fragmentasi, perubahan, dan kerusakan habitat di TN

Karimunjawa. Program konservasi perlu dilakukan mulai sekarang dengan

membentuk kerjasama dan koordinasi beberapa pihak seperti Balai Taman

Nasional Karimunjawa, lembaga pendidikan, LSM, pemilik pulau, dan

masyarakat sekitar. Peran dan keterlibatan masyarakat lokal dalam program

konservasi harus lebih aktif dan sangat mutlak diperlukan, karena masyarakat

lokal memiliki aktifitas yang lebih tinggi di sekitar kawasan. Pengelolaan kawasan

54

konservasi tidak hanya melibatkan masyarakat, tetapi menempatkan masyarakat

sebagai pelaku utama, biasa disebut sebagai konsep pengelolaan berbasis

komunitas atau masyarakat. Konsep ini menegaskan bahwa masyarakat bukan lagi

menjadi obyek konservasi dan pembangunan tetapi sebagai penentu konservasi

dan pembangunan itu sendiri. Penyusunan perencanaan dalam skala lokal

merupakan syarat awal dalam upaya membangun konservasi berbasis komunitas.

Perencanaan skala lokal yang dimaksud dapat dalam bentuk rencana induk

konservasi desa. Dalam perencanaan tersebut sudah tercantum tugas dan

tanggungjawab para pelaku, sumber pendanaan, insentif dan disinsentif serta

sanksi-sanksi hukum lainya. Pengelolaan secara buttom up oleh masyarakat

berarti pengelolaan dari, oleh dan untuk masyarakat. Pengelolaan sistem ini dinilai

mampu mengakomodasi semua kebutuhan dalam kerangka tujuan jangka pendek,

menengah dan panjang. Perencanaan disusun oleh masyarakat melalui dialog

dengan semua pihak yang berkepentingan bagi konservasi dan pembangunan di

daerah tersebut. Balai TN Karimunjawa hendaknya bertindak sebagai fasilitator

dan pendamping masyarakat dalam menjalankan konsep pengelolaan kawasan

berbasis masyarakat lokal.

C. Dominansi

Hasil penelitian di P. Geleang dan P. Burung menunjukkan bahwa

beberapa jenis memiliki kelimpahan yang sangat bervariasi. Salah satu burung

memiliki jumlah individu yang besar sehingga sangat dominan dalam suatu

komunitas. Sebagian jenis lainnya mempunyai kelimpahan yang kecil, maka jenis

ini dikatakan jenis non dominan (Rifklets 1978 dalam Idris 2002).

55

Berdasarkan kriteria dominansi Helvoort (1973), bahwa suatu jenis

dikategorikan dominan jika kelimpahan relatifnya lebih besar dari 5%, burung

dikategorikan subdominan jika kelimpahan relatifnya 2%-5%, serta dikategorikan

sebagai tidak dominan jika kelimpahan relatifnya 0-2%. Berdasarkan kriteria

tersebut burung-burung yang ditemui di P. Geleang selama periode penelitian

dikelompokkan dalam tabel berikut:

Tabel 3. Dominansi Burung di P. Geleang Pada Setiap Periode Penelitian Periode Penelitian

Kategori Jun-06 November 2006 Jun-07 Dominan Nectarinia jugularis Haliaeetus leucogaster Sterna bergii Sterna sumatrana Egreta sacra Artamus leucorhynchus Ducula rosacea Todirhampus chloris Nectarinia jugularis Sterna anaethatus Artamus leucorhynchus Zosterops chloris Zosterops chloris Nectarinia jugularis Zosterops chloris

Artamus leucorhynchus Hirundo tahitica Haliaeetus leucogaster Sub Dominan Haliaeetus leucogaster Accipiter sp. Todirhampus chloris Rhinomyias umbratilis Tidak Dominan Butorides striatus Butorides striatus Orthotomus ruficeps Egretta garzetta Rhinomyias olivacea Butorides striatus Todirhampus chloris Ducula bicolor

Pada setiap periode penelitian menunjukkan perbedaan komposisi jenis,

sehingga jenis-jenis burung yang selalu hadir dalam setiap periode penelitian saja

yang dapat dibandingkan dominansinya. Burung-burung yang dikategorikan

sebagai burung dominan pada periode Juni 2006 meliputi Zosterops chloris,

Nectarinia jugularis, Ducula rosacea, Sterna sumatrana dan Sterna anaeethatus.

Arthamus leucorhynchus dan Haliaeetus leucogaster termasuk kategori

subdominan, sedangkan Todirhampus chloris, Butorides striatus dan Egretta

garzetta dikategorikan sebagai burung tidak dominan (Tabel 3 dan Lampiran 5).

Periode November 2006 burung-burung yang dikategorikan sebagai burung

56

dominan meliputi Zosterops chloris, Nectarinia jugularis, Artmus leucorhynchus,

Haliaeetus leucogaster Todirhampus chloris dan Egretta sacra. Hirundo tahitica

dan Accipiter sp. termasuk dalam kategori sub dominan sedangkan Butorides

striatus dan Rhinomyias olivacea termasuk kategori tidak dominan. Pada periode

Juni 2006 burung-burung yang dikategorikan sebagai burung dominan meliputi

Zosterops chloris, Nectarinia jugularis, Artamus leucorhynchus dan Sterna bergii.

Haliaeetus leucogaster, Todirhampus chloris dan Rhinomyias umbratilis termasuk

kategori subdominan sedangkan Orthotomus ruficeps, Ducula bicolor dan

Butorides striatus termasuk kategori tidak dominan (Tabel 3 dan Lampiran 5).

Dari ketiga periode tersebut, Zosterops chloris selalu memiliki nilai

dominansi tinggi. Pada periode November 2006 dan Juni 2007, Nectarinia

jugularis dan Artamus leucorhynchus mendominsi setelah Zosterops chloris. Nilai

dominansi keduanya tertinggi pada periode November 2006 karena pada periode

itu jumlah individu Nectarinia jugularis dan Artamus leucorhynchus paling

banyak diantara periode lainnya. Dominansi tertinggi Zosterops chloris terjadi

pada periode Juni 2007 sebesar 61%.

Nilai dominansi suatu jenis tertentu pada kawasan habitat menunjukkan

karakter atau kondisi habitat tersebut. Burung adalah salah satu satwa yang peka

tehadap perubahan lingkungan. Keberadaan burung dapat digunakan sebagai

indikator kerusakan lingkungan. Burung-burung dengan nilai dominansi tinggi

(burung dominan) secara konservasi mungkin tidak mengkhawatirkan dalam hal

kepunahan jenis karena jumlah populasinya cukup besar. Burung-burung yang

jumlah populasinya terlalu besar sehingga sangat dominan dalam kawasan habitat

57

perlu diperhatikan karena akan memberikan pengaruh interaksi antar spesies

dalam sebuah komunitas.

Dominansi Zosterops chloris di P. Geleang cukup tinggi sebesar 61%

adalah indikasi ketidakseimbangan suatu komunitas. Ketidakseimbangan ini

muncul akibat ekosistem yang terganggu. Kondisi habitat yang ekstrim

menyebabkan beberapa jenis vegetasi tertentu saja yang mampu bertahan hidup,

sehingga hanya satwa tertentu saja yang mampu bertahan pada habitat tersebut.

Salah satu faktor pembatas pada habitat P. Geleang adalah suhu yang cukup

tinggi, berkisar antara 350C hingga 400C. Vegetasi yang dominan adalah Alang-

alang, semak dan tumbuhan bawah lainya. Kondisi ini menyediakan habitat yang

cocok bagi Zosterops chloris. Perilaku khas Zosterops chloris adalah bergerak

lincah dalam kelompok kecil dan terbang diantara pepohonan dan semak–semak

di semua bagian pohon, khususnya di hutan semak pantai (MacKinnon, 1993).

Zosterops chloris selain pemakan serangga kecil seringkali juga sebagai

penghisap madu. Pembagian relung makan ini mungkin akan menjadikan

permasalahan mengingat Nectarinia jugularis adalah jenis burung penghisap

madu dan Artamus leucorhynchus adalah jenis burung pemakan serangga. Ketiga

jenis tersebut tentu akan bersaing dalam hal mendapatkan makanan. Zosterops

chloris mungkin akan tetap mendominasi dalam persaingan karena selain

populasinya cukup besar, burung ini memiliki toleransi yang lebih luas dalam hal

bahan makanan. Jika populasi Zosterops chloris terus meningkat, tidak menutup

kemungkinan akan mendesak populasi Nectarinia jugularis atau Artamus

leucorhynchus. Pada kondisi habitat yang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan

58

bahan makanan, burung ini berpotensi sebagai hama tanaman termasuk tanaman

budidaya. Perubahan semacam ini tentu akan menjadikan permasalahan sosial.

Untuk kepentingan konservasi hal ini perlu diperhatikan, karena selain berpotensi

mengakibatkan kepunahan jenis lainnya, ledakan populasi Zosterops chloris dapat

menganggu keseimbangan ekosistem.

Sterna anaethatus mendominansi kedua setelah Zosterops chloris pada

periode Juni 2006, tetapi jenis ini tidak ditemui lagi pada periode berikutnya.

Burung ini tidak memanfaatkan P. Geleang sebagai habitat pokok. Sterna

anaethatus mempunyai kebiasaan hidup di tengah laut. Mendatangi tepi pantai

hanya saat cuaca buruk atau pada saat musim berbiak (MacKinnon, 1993).

Jenis yang memiliki nilai dominansi terkecil pada setiap periode adalah

Butorides striatus. Burung ini selalu tidak dominan dalam setiap periode

pengamatan. Selain jumlah individu yang ditemui sedikit, burung ini termasuk

burung pemalu (elusif). Nilai dominansi terkecil terjadi pada periode Juni 2007

dan Juni 2006. Menurut MacKinnon (1993) Butorides striatus tercatat berbiak

pada bulan Maret, Mei dan Juni. Sedikitnya jumlah individu yang teramati

mungkin dikarenakan burung tersebut sedang berbiak atau mengerami telur

(incubasi), sehingga tidak terdeteksi oleh peneliti. Secara global populasi

Butorides striatus masih cukup banyak, namun dalam konteks konservasi P.

Geleang keberadaan burung ini sangat penting dalam menjaga keseimbangan

ekosistem.

59

Tabel 4. Dominansi Burung di P. Burung Pada Setiap Periode Penelitian Periode Penelitian

Kategori Jun-06 November 2006 Jun-07 Dominan Egretta sacra Nectarinia jugularis Caloenas nicobarica Sterna bergii Artamus leucorhyncus Nectarinia jugularis Nectarinia jugularis Todirhampus cloris Zosterops chloris Artamus leucorhyncus Zosterops chloris Ducula bicolor Zosterops chloris Sterna sumatrana Sterna sumatrana Sub Dominan Fregata minor Egretta sacra Artamus leucorhyncus Fregata ariel Butorides striatus Todirhampus cloris Todirhampus cloris Accipiter sp. Sterna bergii Amaurornis phoenicurus

tidak ada tidak ada Egretta sacra Tidak Dominan Rhinomyias umbratilis

Tingkat dominansi burung di P. burung cukup unik karena tingkat

dominansinya hampir merata pada setiap jenis. Pada periode Juni 2006 burung-

burung yang dikategorikan dominan meliputi Zosterops chloris, Nectarinia

jugularis, Artamus leucorhynchus, Sterna sumatrana, Sterna bergii dan Egretta

sacra. Burung-burung kategori subdominan meliputi Todirhampus chloris,

Fregata minor dan Fregata ariel. Pada periode November 2006 burung-burung

yang termasuk kategori dominan meliputi Zosterops chloris, Nectarinia jugularis,

Artamus leucorhynchus dan Todirhampus chloris. Burung-burung subdominan

meliputi Egretta sacra, Butorides striatus, Accipiter sp. dan Amaurornis

phoenicurus. Dalam dua periode tersebut tidak ada burung yang termasuk dalam

kategori tidak dominan. Pada periode Juni 2007 burung-burung yang termasuk

dalam kategori dominan meliputi Zosterops chloris, Nectarinia jugularis, Ducula

bicolor, Sterna sumatrana, dan Caloenas nicobarica. Artamus leucorhynchus,

Todirhampus chloris dan Sterna bergii termasuk dalam kategori subdominan

60

sedangkan Rhinomyias umbratilis dan Egretta sacra termasuk dalam kategori

tidak dominan (Tabel 4 dan Lampiran 6).

Nilai dominansi terbesar pada periode Juni 2006 dan Juni 2007 adalah

Sterna sumatrana. Hal ini dikarenakan Sterna sumatrana mempunyai jumlah

individu terbesar, yaitu 29 individu pada periode Juni 2006 dan 19 individu pada

periode Juni 2007, tetapi jenis ini tidak ditemui pada periode November 2006.

Habitat yang paling disukai burung ini adalah pantai-pantai berkarang dan

berpasir (MacKinnon, 1993). Burung ini berkembangbiak di pulau-pulau kecil

lepas pantai. Saat ditemui di P. Burung, burung ini terlihat sedang

berkembangbiak. Untuk kepentingan konservasi jenis, habitat P. Burung perlu

dilestarikan terutama kondisi yang menyebabkan Sterna sumatrana memilih P.

Burung untuk berkembangbiak. Biasanya burung ini bertelur di gosong pantai

atau diatas pohon tumbang yang menjorok ke pantai.

Zosterops chloris mempunyai nilai dominansi terbesar pada periode

November 2006. Salah satu penyebab kelimpahan dan dominansi Zosterops

chloris di P. Burung kemungkinan karena tidak adanya predator yang

mengendalikan populasinya. Keberadaan predator menunjukkan bahwa suatu

ekosistem tertentu masih stabil. Faktor lainnya adalah ketersediaan makanan yang

cukup melimpah. Beberapa vegetasi seperti Jambon, Lakok-lakok, Gabusan dan

Lempeni pada saat pengamatan di P. Burung tampak sedang musim berbunga.

Pada bulan November adalah musim kemarau, sehingga memungkinkan

terjadinya imigrasi yang berasal dari P. Geleang atau pulau terdekat lainnya.

Faktor inilah yang mendukung dominansi dan kelimpahan Zosterops chloris.

61

Pada periode Juni 2007 Ducula bicolor mempunyai nilai dominansi yang

cukup tinggi setelah Sterna sumatrana yaitu sebesar 25%. Burung ini tidak

teramati pada periode Juni 2006 dan November 2007. Ducula bicolor tidak

menggunakan P. Burung sebagai habitat pokok. Burung ini hanya singgah

sementara waktu untuk mencari makan atau mencari variasi bahan makanan.

Ducula bicolor mempunyai kemampuan terbang yang kuat dan seringkali terbang

diantara pulau-pulau kecil lepas pantai untuk mencari makanan (MacKinnon,

1993).

Egretta sacra menunjukkan penurunan nilai dominansi yang cukup

signifikan. Burung ini termasuk kategori dominan pada periode Juni 2006,

kemudian turun menjadi subdominan pada periode November 2006 dan menjadi

tidak dominan pada periode Juni 2007 (Tabel 4 dan Lampiran 6). Jumlah individu

yang teramati mengalami penurunan. Untuk kepentingan konservasi jenis,

penurunan populasi Egretta sacra perlu diperhatikan. Banyak faktor yang

menyebabkan perubahan tersebut. Burung ini biasa berburu di perairan dangkal.

Makanan utamanya adalah ikan kecil, udang, dan ketam. Keberadaan organisme

tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan. Mungkin Egretta sacra

berpindah ke pulau lain yang lebih banyak menyediakan makanan. Kebiasaan

burung ini adalah mengunjungi tepi pantai, beristirahat pada batu-batuan atau

tebing karang dan berburu di tepi air (MacKinnon, 1993). Faktor kondisi

lingkungan dan fakor internal spesies burung mungkin juga mempengaruhi

penurunan jumlah populasi pada periode penelitian November 2006 dan Juni

2007.

62

Perubahan komposisi suatu habitat atau perubahan musim pada tumbuhan

berimplikasi langsung terhadap ketersediaan pakan. Ketersediaan pakan ataupun

ketidaktersediaan pakan akan turut merubah komposisi jenis burung maupun

jumlah populasi burung yang mendiami habitat tersebut. Kelimpahan dari

kebanyakan burung dibatasi oleh jenis pakannya, oleh karena itu untuk dapat

hidup bersama dalam suatu komunitas burung-burung tersebut harus berbeda

dalam jenis atau tipe pakan, cara atau teknik mendapatkannya dan berbeda pula

dalam preferensi habitat.

D. Tingkat Kesamaan Jenis antara P. Geleang dan P. Burung

Indeks similaritas atau indeks kesamaan jenis menunjukan tingkat

kemiripan spesies suatu komunitas dengan komunitas lainya. Hasil perhitungan

nilai indeks similaritas Jaccard antara P. Geleang dan P. Burung mempunyai nilai

indeks similaritas yang cukup tinggi, yaitu sebesar 50%. Ini menunjukkan bahwa

komponen penyusun komunitas burung antara P. Geleang dan P. Burung

mempunyai tingkat kesamaan sebesar 50%. Diantara 18 jenis burung yang

ditemui di P. Geleang dan 15 jenis burung yang ditemui di P. Burung, 11 jenis

diantaranya dapat ditemui pada kedua pulau tersebut. Tingkat perbedaan jenis

komponen penyusun komunitas antara P. Geleang dan P. Burung sebesar 50%.

Terdapat 7 jenis burung yang hanya dapat ditemui di P. Geleang dan tidak ditemui

di P. Burung. Burung tersebut adalah Haliaeetus leucogaster, Orthotomus

ruficeps, Sterna bergii, Hirundo tahitica, Rhinomyias olivacea, Ducula rosacea

dan Sterna anaeethatus. Empat jenis burung yang hanya ditemui di P. Burung dan

63

tidak ditemui di P. Geleang adalah Caloenas nicobarica, Fregata minor, Fregata

ariel dan Amaurornis phoenicurus. Kesamaan jenis ini didukung oleh letak antara

P. Geleang dan P. Burung yang tidak terlalu jauh, sehingga masih memungkinkan

adanya pertukaran (imigrasi dan emigrasi) diantara kedua pulau tersebut.

Faktor yang menyebabkan tingginya tingkat kemiripan komposisi jenis

penyusun komunitas burung di P. Geleang dan P. Burung dikarenakan letak kedua

pulau tersebut berdekatan. Letak geografis yang berdekatan dan sama-sama jauh

dari pulau utama (main land) sebagai sumber jenis, memungkinkan terjadinya

pertukaran jenis, imigrasi, dan emigrasi diantara kedua pulau tersebut.

Karakteristik habitat dan tipe vegetasi antara P. Geleang dan P. Burung sangat

berbeda, namun justru fakta tersebut yang rasional untuk menghubungkan

kesamaan jenis antara kedua habitat tersebut. P. Burung menyediakan struktur

vegetasi yang rapat dan kompleks. Vegetasi ini berpotensi untuk menyediakan

bahan makanan bagi burung. Luas wilayah P. Burung yang sangat sempit tidak

memungkinkan sebagai habitat pokok semua jenis burung. Untuk memenuhi

kebutuhan akan habitat/tempat tinggal, burung memilih P. Geleang yang jauh

lebih luas dan letaknya relatif lebih dekat. Faktor kebutuhan pakan dan habitat

yang dapat dipenuhi oleh kedua pulau tersebut menyebabkan tingginya kesamaan

jenis komponen penyusun komunitas burung pada P. Geleang dan p. Burung.

Keberadaan burung di suatu habitat sangat erat kaitannya dengan faktor -

faktor fisik lingkungan seperti tanah, air, temperatur, cahaya matahari serta aktor–

faktor biologis yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya (Welty dan Baptista,

1988). Kehadiran suatu burung pada habitat tertentu merupakan hasil pemilihan

64

habitat yang paling sesuai untuk kehidupannya. Menurut Krebs dan Davis (1978)

tidak ditemukannya suatu jenis burung di suatu habitat disebabkan oleh beberapa

faktor seperti ketidakcocokan habitat, perilaku (seleksi habitat), kehadiran jenis

lain (predator, parasit dan pesaing) dan faktor kimia-fisika lingkungan yang

berada di luar kisaran toleransi jenis burung yang bersangkutan.

P. Burung didukung oleh struktur vegetasi yang rapat dan komplek.

Kondisi vegetasi merupakan faktor penting bagi kelangsungan hidup burung.

Vegetasi merupakan sumber makanan dan tempat berlindung dari predasi.

Ketersediaan pakan dalam habitat yang ditempati merupakan salah satu faktor

utama bagi kehadiran populasi burung. Burung tidak memanfaatkan seluruh

habitatnya, melainkan ada seleksi terhadap beberapa bagian dari habitat tersebut

yang digunakan sesuai dengan kebutuhannya (Wiens, 1992). Hal ini memberikan

gambaran bahwa keanekaragaman jenis burung suatu wilayah tidak hanya

ditentukan oleh luas wilayah, tetapi juga kondisi vegetasi dan kondisi lingkungan.

Kemampuan adaptasi setiap jenis burung juga akan menetukan keberadaannya.

E. Penyebaran Burung dan Penggunaan Stratifikasi Tajuk Vegetasi

Penyebaran burung secara horizontal dapat dilihat melalui nilai frekuensi

atau lebih mengarahkan pada tingkat keseringan burung tersebut muncul atau

dapat ditemui pada suatu titik pengamatan. Jenis burung yang mempunyai jumlah

populasi terbesar atau jenis dominan dalam suatu habitat, kemungkinan besar

mempunyai nilai frekuensi yang tinggi pula.

65

0.78

0.44

0.33

0.22 0.22 0.22

0.11 0.11 0.11 0.11

0.89

0.78

0.67

0.44 0.44

0.33

0.22 0.22

0.11 0.11

1.00

0.89

0.78

0.67

0.33

0.22

0.11 0.11 0.11 0.11

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

Zost

erop

s ch

loris

Nec

tarin

a ju

gula

risD

ucul

a ro

sace

aA

rtam

us le

ucor

hync

hus

Hal

iaee

tus

leuc

ogas

ter

Ste

rna

sum

atra

naE

gret

ta g

arze

ttaTo

dirh

ampu

s ch

loris

Ste

rna

anae

that

usB

utor

ides

stri

atus

Zost

erop

s ch

loris

Nec

tarin

ia ju

gula

risA

rtam

us le

ucor

hync

hus

Todi

rham

pus

chlo

risH

alia

eetu

s le

ucog

aste

rE

gret

ta s

acra

Hiru

ndo

tahi

tica

Acc

ipite

r sp.

Rhi

nom

yas

oliv

acea

But

orid

es s

triat

us

Zost

erop

s ch

loris

Nec

tarin

a ju

gula

risH

alia

eetu

s le

ucog

aste

rA

rtam

us le

ucor

hync

hus

Rhi

nom

yias

um

brat

ilis

Todi

rham

pus

chlo

risO

rthot

omus

rufic

eps

Duc

ula

bico

lor

But

orid

es s

triat

usS

tern

a be

rgii

Jun-06 Nov 07 Jun-07

period ngamatan

nila

i fre

kuen

si

e pe

Gambar 7. Grafik Nilai Frekuensi Burung yang Ditemukan di P. Geleang

Zosterops chloris dan Nectarinia jugularis adalah burung dengan tingkat

penyebaran tertinggi dari ketiga periode penelitian (Gambar 7). Jenis-jenis

tersebut hampir dapat ditemui pada seluruh wilayah P. Geleang. Jenis-jenis ini

dimungkinkan mempunyai rentang toleransi kondisi lingkungan serta habitat yang

luas, sehingga mampu beradaptasi pada berbagai kondisi habitat. Persebaran

Zosterops chloris tertinggi pada periode Juni 2007, dimana jenis ini dapat ditemui

pada semua titik hitung pengambilan sampel (Gambar 7). Burung ini mempunyai

populasi atau jumlah individu cukup besar, sehingga penyebarannya luas. Selain

jumlah individu dan toleransi terhadap perubahan kondisi lingkungan, home range

atau wilayah jelajah juga mempengaruhi penyebaran burung. Haliaeetus

leucogaster mempunyai jumlah individu yang sangat kecil, tetapi dengan

66

kemampuan terbangnya, burung ini mampu mengitari hampir suluruh wilayah P.

Geleang. Persebaran tidak lepas dari pemenuhan kebutuhan akan makanan.

Haliaeetus leucogaster dan jenis burung pemangsa lainnya mempunyai kebiasaan

soaring atau terbang berputar-putar diangkasa untuk mencari mangsa. Home

range atau daerah jelajah burung ini cukup luas.

1

0.6 0.6 0.6 0.6

0.4 0.4

0.2 0.2

0.8

0.6 0.6 0.6

0.2 0.2 0.2 0.2

1

0.6

0.4 0.4 0.4 0.4

0.2 0.2 0.2 0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

Arta

mus

leuc

orhy

nchu

s

Ster

na s

umat

rana

Nec

tarin

a ju

gula

ris

Egre

tta s

acra

Todi

rham

pus

chlo

ris

Ster

na b

ergi

i

Zost

erop

s ch

loris

Freg

ata

arie

l

Freg

ata

min

or

Zost

erop

s ch

loris

Arta

mus

leuc

orhy

nchu

s

Todi

rham

pus

chlo

ris

Nec

tarin

a ju

gula

ris

Buto

rides

stri

atus

Amau

rorn

is p

hoen

icur

us

Egre

tta s

acra

Acci

pite

r sp.

Zost

erop

s ch

loris

Todi

rham

pus

chlo

ris

Ster

na s

umat

rana

Nec

tarin

a ju

gula

ris

Arta

mus

leuc

orhy

nchu

s

Duc

ula

bico

lor

Ster

na b

ergi

i

Egre

tta s

acra

Rhi

nom

yias

um

brat

ilis

Cal

oena

s ni

coba

rica

Jun-06 Nov 2006 Jun-07

period

fr ekue

nsi

e pengamatan

aini

l

Gambar 8. Grafik Nilai Frekuensi Burung yang Ditemukan di P. Burung

Hasil penelitian di P. Burung menunjukan bahwa Zosterops chloris

merupakan burung dengan penyebaran paling luas. Jenis-jenis lain yang

penyebarannya tergolong luas secara berturut-turut meliputi Arthamus

leucorhynchus, Todirhampus chloris, Nectarinia jugularis, dan Sterna sumatrana.

Jenis yang penyebaranya paling kecil adalah Caloenas nicobarica dan

Rhynomyias umbratilis (Gambar 8). Burung jenis ini mempunyai jumlah individu

67

yang sangat sedikit. Perilaku dan kebiasaan burung ternyata sangat berpengaruh

pada pola penyebarannya. Caloenas nicobarica lebih memilih pulau-pulau kecil

lepas pantai yang bebas dari pemangsa sebagai habitat. Waktu aktif burung ini

hanya pada senja hari, sedangkan pada siang hari lebih menyukai tempat-tempat

gelap dan terlindung. Hal ini merupakan salah satu faktor yang membatasi

penyebarannya.

Pengukuran diversitas spesies burung pada area studi dan menghubungkan

pada aspek vegetasi keanekaragaman jenis tumbuhan dan keanekaragaman lapisan

tumbuhan yang dilakukan MacArthur (1967) menunjukkan bahwa

keanekaragaman jenis burung tidak berkorelasi dengan keanekaragaman jenis

tumbuhan saja melainkan pada keanekaragaman lapisan tumbuhan dan

kompleksitas struktur vegetasi. Stratifikasi vegetasi yang bervariasi akan

memberikan relung atau bahkan mikrohabitat bagi burung. Perbedaan relung

dapat menghindari kompetisi dalam memperoleh makanan. Mikrohabitat adalah

ruang spesifik yang paling cocok sebagai tempat hidup burung. Di ruang inilah

burung akan beraktivitas, mencari makanan, istirahat, berkembangbiak, bersarang,

dan mengasuh anak-anaknya.

Jenis burung yang berbeda-beda dalam suatu habitat umumnya berkaitan

dengan tingkatan kanopi yang berbeda pula, yang menimbulkan suatu stratifikasi

vertikal sebagaimana yang terdapat pada tanaman. Penggunaan habitat oleh

burung berubah-ubah tergantung penampakan habitat yang menyediakan

makanan. Berubahnya aktivitas makan pada struktur vertikal di suatu pohon

sangat dipengaruhi oleh penyebaran pakan di pohon tersebut.

68

Gambar 9. Penyebaran Burung Berdasar Stratifikasi Tajuk Vegetasi di P. Geleang

Zoosterops chloris hampir dapat ditemui disemua strata tajuk vegetasi,

baik tajuk atas, tajuk tengah, tajuk bawah maupun pada tumbuhan bawah. Hal ini

terkait dengan ketersediaan sumberdaya pakan. Jenis burung pemangsa (raptor)

seperti Haliaeetus leucogaster dan Accipiter sp. umumnya hanya terdapat pada

tajuk atas sampai tajuk tengah (Gambar 9). Tajuk tengah digunakan sebagai

tempat istirahat dan bersarang. Strata tajuk yang paling banyak dihuni burung di

P. Geleang adalah tajuk tengah. Tajuk tengah dari pohon menunjukkan arsitektur

yang menarik dan banyak ditemukan percabangan. Tajuk ini lebih sering

digunakan untuk istirahat dan tempat perlindungan, baik dari perubahan cuaca

maupun pemangsaan predator.

69

Strata tajuk atas turut mewakili keberadaan burung yang hanya terbang

melintas (flying over) pada habitat tersebut, seperti Sterna bergii, Sterna

sumatrana dan Sterna anaeethatus. Habitat yang spesifik dari burung ini adalah

gosong laut di sekitar pantai. Meskipun demikian, burung-burung ini sering pula

memanfaatkan tajuk atas pohon di sepanjang garis pantai. Burung tidak selalu

menggunakan satu strata tajuk tertentu karena mobilitas burung yang cukup

tinggi. Tumbuhan bawah dan tanah merupakan strata khusus yang terpisah dari

arsitektur pohon. Pada strata ini lebih banyak dihuni burung semak dan burung

penghuni strata lainnya yang mencari makan sampai di semak-semak. Burung

yang hampir konsisten hanya ditemui di habitat ini adalah Orthotomus ruficeps.

Gambar 10. Penyebaran Burung Berdasar Stratifikasi Tajuk Vegetasi di P. Burung

70

Vegetasi P. Burung mempunyai kerapatan dan struktur stratifikasi yang

komplek (Gambar 10). Struktur stratifikasi semacam ini lebih banyak

menyediakan habitat bagi burung. Zosterops chloris menggunakan hampir semua

strata tajuk vegetasi di P. Burung. Strata tajuk atas lebih didominasi oleh

Accipiter sp. dan beberapa burung pantai yang melintas seperti Fregata minor

dan Fregata ariel. Tajuk tengah banyak dihuni burung pemakan serangga,

burung pemakan buah-buahan dan burung pemakan nektar. Burung yang

menghuni strata ini adalah Nectarinia jugularis, Artamus leucorhynchus,

Zosterops chloris, Rhinomyias umbratilis dan Ducula bicolor. Pada tajuk bawah

lebih didominasi oleh Todirhampus chloris dan Butorides striatus (Gambar 10).

Caloenas nicobarica lebih banyak beraktivitas dan mencari makan di

permukaan tanah, terutama tanah yang terlindung oleh semak tumbuhan bawah.

Burung ini menggunakan tajuk bawah pohon untuk istirahat, perlindungan, dan

bersarang saat musim kawin. Pada periode Juni 2007 Caloenas nicobarica sedang

berkembangbiak. Hal ini ditandai dengan ditemukannya individu immature.

Burung ini merupakan burung pengunjung terbatas di pulau-pulau kecil lepas

pantai dan umumnya jarang ditemukan. Termasuk burung krepuskular yang

mencari makan diatas permukaan tanah. Pada siang hari hanya aktif di tempat-

tempat gelap dan terlindung. Burung ini tercatat berkembangbiak di pulau-pulau

kecil Laut Jawa, termasuk kepulauan Karimunjawa (MacKinnon, 1993).

Amaurornis phoenicurus lebih menyukai semak-semak di sekitar

mangrove mulai dari bibir pantai hingga masuk kedaratan. Burung ini termasuk

burung pemalu (elusif) yang hampir menghabiskan waktunya didalam semak,

71

hanya sesekali keluar tempat terbuka untuk mencari makan. Sterna sumatrana dan

Sterna bergii lebih banyak beraktivitas di gosong laut, atau disekitar pohon

tumbang yang menjorok kelaut. Pada waktu tertentu burung ini memanfaatkan

tajuk atas pohon disepanjang bibir pantai untuk beristirahat. Pada periode Juni

2006 Sterna sumatrana teramati sedang berkembangbiak. Dalam memilih pohon

untuk sarang, Sterna sumatrana lebih menyukai pohon yang tumbang menjorok

ke tepi pantai. Telur – telur diletakan pada kayu tumbang. Tidak ada sarang yang

jelas, hanya sedikit pembatas dari serpihan kayu untuk menjaga agar telur tersebut

tidak menggelinding. Biasanya tiap sarang terdapat dua buah telur. Sterna

sumatrana berkembangbiak dan mengasuh anak-anaknya di P. Burung. Makanan

utama burung ini adalah ikan-ikan kecil dipermukaan air laut. Seperti burung-

burung lainnya, Sterna sumatrana juga melakukan migrasi temporal untuk

mencari makan. Hal inilah yang menyebabkan burung tersebut tidak ditemui saat

pengamatan periode November 2006.

Pemilihan pohon oleh burung sangat dipengaruhi oleh karakteristik pohon

dan kebutuhan burung akan pohon tersebut. Beberapa jenis pohon dikunjungi

burung untuk diambil bunganya, dimakan buahnya atau sebagai tempat untuk

mencari serangga bagi burung pemakan serangga. Burung juga memanfaatkan

pohon untuk berlindung, terutama pada pohon yang tinggi atau mempunyai

karakteristik arsitektur pohon yang menarik. Pergantian musim akan sangat

berpengaruh pada tipe pemanfaatan pohon oleh burung dan jenis pohon yang

dimanfaatkan oleh burung.

72

Tabel 5. Pemanfaatan Pohon Oleh Burung di P. Geleang

no Jenis Vegetasi Jenis Burung Pengguna Vegetasi Σ Ft

(%)

1 Kudho

Todirhampus chloris, Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis , Rhimomyias olivacea, Haliaeetus leucogaster 5 27,78

2 Gabusan Todirhampus chloris, Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis , Butorides striatus 4 27,78

3 Ketapang Todirhampus chloris, Zoosterops chloris, Artamus leucorinchus 3 16,67

4 Semak Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis, Artamus leucorinchus 3 16,67

5 Cemara laut Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis 2 16,676 Singkil Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis 2 11,117 Pongamia sp. Nectarinia jugularis, Egretta sacra 2 11,118 Morinda sp. Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis 2 11,119 Tembelekan Zoosterops chloris 1 5,56

Vegetasi yang paling banyak dimanfaatkan burung di P. Geleang secara

berurutan adalah Kudho, Gabusan, Ketapang, Jenis tumbuhan bawah (semak) dan

Cemara laut. Jenis vegetasi lain yang juga dimanfaatkan diantaranya Singkil,

Pongamia sp., Morinda sp., dan Tembelekan (Tabel 5). Kudho mempunyai

karakteristik pohon yang tinggi, besar dengan arsitektur percabangan yang

menarik. Selain dimanfaatkan buahnya, pohon ini digunakan burung untuk tempat

berlindung dan istirahat. Haliaeetus leucogaster memanfaatkan pohon ini untuk

bersarang. Dari data diatas tampak bahwa Haliaeetus leucogaster sangat

tergantung pada pohon Kudho (Lanea grandis) untuk bersarang. Pohon yang

dipilih adalah pohon yang paling besar dan paling tinggi diantara pohon-pohon

lain disekitarnya. Pohon yang digunakan untuk sarang mempunyai diameter

batang setinggi dada sepanjang 44 cm dengan tinggi 12 m. Haliaeetus leucogaster

juga mengambil daun Kudho untuk diletakan didalam sarang. Daun ini selalu

diganti dengan daun segar setiap hari. Peletakkan daun di dalam sangkar mungkin

73

dimaksudkan untuk mengusir lalat dan serangga yang akan menganggu

anakannya. Burung ini bergantung pada satu jenis pohon untuk bersarang,

sehingga sangat rentan terhadap perubahan lingkungan, terutama dengan

keberadaan Lanea grandis. Untuk kepentingan konservasi jenis, keberadaan

pohon Kudho perlu dilestarikan karena akan mempengaruhi kelangsungan hidup

Haliaeetus leucogaster di P. Geleang. Kesuksesan perkembangbiakan suatu

satwaliar adalah bentuk mekanisme pertahanan diri dari kepunahan.

Gabusan biasa dimanfaatkan burung pada bagian bunga, sedangkan

Cemara laut dan Ketapang digunakan untuk bertengger, istirahat dan

perlindungan. Zoosterops chloris dan Nectarinia jugularis memanfaatkan

tumbuhan bawah (semak) untuk mencari makan, istirahat, dan bersarang

sedangkan Artamus leucorhynchus memanfaatkan semak untuk mencari makanan

terutama serangga. Beberapa jenis burung memanfaatkan lebih dari satu jenis

pohon. Zosterops chloris hampir memanfaatkan semua jenis pohon yang ada.

Dengan memanfaatkan bunga, burung ini telah membantu proses penyerbukan

tumbuhan serta menjalankan fungsi ekologis lainnya. Burung ini tidak tergantung

pada satu jenis pohon sehingga memiliki toleransi yang cukup luas dengan

perubahan lingkungan dan komposisi vegetasi. Kemampuan semacam ini akan

mendukung burung tersebut untuk dapat bertahan hidup lebih lama pada semua

tipe habitat.

Todirhampus chloris terlihat menggunakan vegetasi yang berbeda untuk

kepentingan yang berbeda pula. Burung ini menggunakan jenis vegetasi tinggi

seperti Kudho untuk bertengger dan mencari panas matahari. Untuk kepentingan

74

bersarang, burung ini lebih menyukai tebing atau vegetasi yang berdekatan

dengan perairan. Sarang terbuat dari tanah dan tidak jarang menggunakan sisa

rumah rayap yang menempel di batang pohon.Gabusan dimanfaatkan burung ini

untuk bertengger mengincar mangsa, karena vegetasi ini banyak terdapat di tepi

pantai.

Egretta sacra adalah burung air yang sebagian besar hidupnya berada di

perairan. Burung ini lebih banyak menggunakan vegetasi tepi pantai dan

mangrove. Pongamia sp. Adalah salah satu vegetasi mangrove (mangrove ikutan)

yang dimanfaatkan Egretta sacra untuk bertengger (roosting tree). Burung ini

tidak tergantung pada satu jenis vegetasi tetapi justru membutuhkan habitat

berkarang dan pantai dangkal.

Tabel 6. Pemanfaatan Pohon Oleh Burung di P. Burung

no Jenis Vegetasi Jenis Burung Pengguna Vegetasi Σ Ft (%)

1 Cemara laut Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis, Artamus leucorinchus, Sterna sumatrana 4 26,67

2 Lako-lako Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis, Artamus leucorinchus 3 20,00

3 Sawo kecik Zoosterops chloris, Caloenas nicobarica 2 13,334 Bergat Egretta sacra, Ducula bicolor 2 13,335 Jambon Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis 2 13,336 Semak Zoosterops chloris, Artamus leucorinchus 2 13,337 Lempeni Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis 2 13,338 Gabusan Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis 2 13,339 Kudho Ducula bicolor 1 6,67

10 Waru laut Caloenas nicobarica 1 6,6711 Ingas Caloenas nicobarica 1 6,6712 Sentolok Artamus leucorinchus 1 6,67

Vegetasi yang paling banyak dimanfaatkan burung di P. Burung secara

berurutan adalah Cemara laut, Lako-lako, Sawo kecik, Bergat, Jambon, Lempeni,

Gabusan dan tumbuhan bawah atau semak (Tabel 6). Beberapa jenis lain yang

75

juga dimanfaatkan antara lain Kudho, Waru laut, Ingas dan Sentolok. Cemara laut

adalah pohon yang paling diminati burung di P. Burung. Pohon ini digunakan

sebagai roosting tree atau pohon tempat bertengger. Karakter pohon yang tinggi

dan besar sangat bermanfaat untuk perlindungan burung dari serangan pemangsa

ataupun cuaca yang kurang baik. Pohon lainnya yang banyak dimanfaatkan

burung adalah Lako-lako dan Gabusan. Bagian yang dimanfaatkan oleh burung

adalah bunganya. Pohon yang biasa dimanfaatkan bunga dan buahnya antara lain

Sawo kecik, Jambon, dan Lempeni.

Caloenas nicobarica memanfaatkan Waru laut, Ingas, dan Sawo kecik

untuk berlindung dan bersarang. Biasanya, burung ini memilih pohon yang

rimbun dan terlindung dari sinar matahari. Jenis vegetasi yang disukai Caloenas

nicobarica adalah jenis pohon dengan klasifikasi tiang, mempunyai percabangan

yang rapat, dan rimbun daunnya. Vegetasi semacam ini digunakan untuk

berlindung, karena Caloenas nicobarica sangat sensitif dengan pemangsa/predator

termasuk dengan aktifitas manusia.

Nectarinia jugularis cenderung menggunakan hampir semua jenis

vegetasi. Burung ini biasa memanfaatkan bunga untuk diambil madunya.

Nectarinia jugularis adalah salah satu jenis burung yang dilindungi Undang-

undang pada tingkat familia, karena burung tersebut berperan dalam membantu

penyerbukan tanaman. Semak dan tumbuhan bawah yang sedang berbunga juga

sering dikunjungi.

Artamus leucorhynchus lebih menyukai pohon-pohon tinggi menjulang,

atau batang cabang pohon kering sebagai roosting tree. Burung ini sangat

76

menyukai tempat-tempat panas yang tidak terlindung oleh tajuk vegetasi. Salah

satu vegetasi yang biasa digunakan untuk bertengger adalah Cemara laut. Artamus

leucorhynchus seringkali terlihat bertengger di tajuk atas bagian luar. Burung ini

juga mengunjungi vegetasi berbunga seperti Sentolok, Lako-lako, dan semak

untuk mencari serangga. Biasanya vegetasi yang sedang berbunga banyak terdapat

serangga.

Di P. Burung, Egretta sacra menggunakan Bergat sebagai tempat

berlindung dan kemungkinan juga sebagai tempat bersarang. Bergat adalah jenis

vegetasi pohon tinggi dengan tajuk yang cukup luas. Pada saat pengamatan,

Bergat yang digunakan adalah vegetasi yang termasuk klasifikasi tiang. Egretta

sacra lebih banyak menggunakan vegetasi yang tumbuh didekat bibir pantai

daripada vegetasi yang berada di tengah pulau. Vegetasi yang ada di P. Burung

banyak menyediakan bahan makanan bagi burung. Vegetasi juga melindungi

pulau dari abrasi dan gelombang laut. Hal ini sangat penting, mengingat luas P.

Burung cukup sempit. Untuk kepentingan konservasi, vegetasi ini perlu dilindungi

dari penebangan, untuk menjaga kelestarian kawasan serta sebagai habitat satwa

liar.

77

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Indeks keanekaragaman jenis di P. Geleang tergolong rendah dan penyebaran

individu jenis pada setiap populasi tidak merata. Terjadi persaingan jenis

burung nectarivorous dan insectivorous dengan Zosterops chloris dimana

jenis burung ini mendominasi pada komunitas burung di P. Geleang karena

jumlah populasinya sangat besar. Indeks keanekaragaman jenis di P. Burung

tergolong tinggi dan penyebaran jenis pada setiap populasi cukup merata.

2. Indeks similaritas antara P. Geleang dan P. Burung sebesar 50%. Hal ini

disebabkan oleh letak kedua pulau tersebut berdekatan, sehingga

memungkinkan terjadinya laju perpindahan burung (imigrasi dan emigrasi)

diantara kedua habitat tersebut. Secara ekologis P. Burung dan P. Geleang

memberikan daya dukung untuk kehidupan burung dengan karakteristik yang

berbeda. P. Burung banyak menyediakan bahan makanan bagi burung

sementara P. Geleang menyediakan habitat yang luas untuk burung.

3. Kelangsungan hidup Haliaeetus leucogaster di P. Geleang salah satunya

bergantung pada keberadaan Lanea grandis (Kudho) sebagai tempat

bersarang. Pohon yang biasa digunakan berdiameter ±44 cm dengan tinggi

±12 m. Tingkat kesukaan burung untuk menggunakan jenis vegetasi sangat

dipengaruhi oleh kepentingan vegetasi bagi burung. Beberapa burung

menggunakan lebih dari satu jenis vegetasi, bahkan burung memanfaatkan

65

78

vegetasi yang berbeda untuk kepentingan yang berbeda pula. Faktor-faktor

yang mempengaruhi pemilihan vegetasi oleh burung adalah: ketersediaan

pakan, roosting tree, tempat bersarang, dan tempat perlindungan.

B. Saran

1. Menjadikan kawasan P. Geleang dan P. Burung sebagai kawasan perlindungan

bagi burung mengingat pulau tersebut banyak dihuni oleh burung yang

dilindungi Undang-undang dan termasuk dalam daftar CITES dan digunakan

sebagai breeding area.

2. Perlu adanya penanaman pohon di P. Geleang, terutama pohon Kudho untuk

menyediakan habitat bagi Haliaeetus leucogaster. Jenis pohon yang banyak

menyediakan bahan makanan bagi burung juga perlu ditanam untuk

mengantisipasi populasi Zosterops chloris yang cukup besar misalnya:

Cemara laut, Lako-lako, Lempeni, Gabusan, Ketapang dan Pongamia sp.

3. Pengelolaan kepariwisataan hendaknya memperhatikan aspek ekologi.

Pembangunan resort dan aktivitas wisata di P. Geleang sebaiknya tidak terlalu

dekat dengan sarang Haliaeetus leucogaster serta tempat-tempat yang

berpotensi sebagai feeding ground, nesting area dan roosting tree bagi burung

secara keseluruhan.

4. Perlu dilakukan sosialisasi atas keberadaan burung-burung yang dilindungi

Undang-undang serta kampanye konservasi burung dengan memberikan

pelatihan dan melibatkan masyarakat dalam kegiatan konservasi dan

pemantauan burung.

79

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2006a. Komunitas Vegetasi.http://www.fp.uns.ac.id/hamasains/ekoton% 203.htm [10 Oktober 2006]

--------- 2006 b. Ancaman Terhadap Burung Pantai.http://www.wetlands.org.au/ shorebirds/indonesian/threats.htm [4 Mei 2006]

--------- 2006 c. Kerangka Penataan : Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat (Ramsar). http://www.wetlands.org [4 Mei 2006]

--------- 2006 d.Keanekaragaman Hayati Indonesia.http://www..icbb.org/indo- nesia/anekahayati.htm [4 Mei 2006]

--------- 2006 e. Burung.http://www.wikipedia.org/wiki/Burung [4 Mei 2006]

--------- 2006 f. Laporan Sementara Identifikasi Potensi Biota Laut Kepulauan Karimunjawa. Semarang : Program Pascasarjana Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro.

Atkins, Kate. 2004. Tourism and Development in The Karimunjawa National Park.. www.acicis.murdoch.edu.au/hi/field_topics/katkins.doc [4 Mei 2006]

BTN Karimunjawa. Tanpa tahun. Taman Nasional Karimunjawa. www.dephut.go.id. (11 april 2006)

BTN Karimunjawa. 2004. Draft Rencana Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2005-2030.. Semarang: Balai Taman Nasional Karimunjawa.

BTN Karimunjawa. 2005. Laporan Kegiatan Identifikasi Burung Air.Tidak Dipublikasikan. Balai Taman Nasional Karimunjawa.

Bibby C., Jones M., dan Marsden S. 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan Survey Burung. Bogor: Birdlife International Indonesian Programme.

Darmawan, M Prasetya. 2006. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat di Hutan Lindung Gunung Lumut Kalimantan Timur. Skripsi. Tidak dipublikasi. Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Jateng. 2000. Laporan Akhir Studi Optimalisasi Angkutan Antar Pulau di Kepulauan Karimunjawa. Semarang : Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Jateng.

Idris, N.D. 2002. Potensi Wisata Birdwatching di Kebun Raya Bogor. Skripsi. Tidak dipublikasi. Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

Johnsing, A.J.T. dan J. Joshua, 1994. Avifauina in three vegetation types on Mundanthurai Plateau. South India. Journal of Tropical Ecology, 10:323.

67

80

Krebs, J.R. and Davies, N.B.1978. Behavioural ecology: an evolutionary approach. 3rd ed. London : Blackwell Scientific Publications 105-202.

Kurnia, I. 2003. Studi Keragaman Jenis Burung Untuk Wisata Birdwatching di Kampus IPB Darmaga Bogor. Skripsi. Tidak dipublikasi. Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

MacArthur RH, Wilson EO. 1967. The Theory of Island Biogeography.New Jersey : Princenton University Press

MacKinnon. J., Karen, P., dan Bas Van Balen. 1993. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey : Princeton University Press.

Odum, P.E., 1993. Dasar-dasar ekologi, Diterjemahkan oleh Samingan,T., dan B. Srigandono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 291-296.

Primarck, R.B. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Saleh, Najamudin.1998. Kelimpahan dan Keanekaragaman Burung Air di Danau Tempe dalam Upaya Pelestariannya.Thesis.Tidak dipublikasikan.Pro- gram Pascasarjana.IPB

Santosa, K. 2004. Pengantar Ilmu Lingkungan. Semarang: UNNES Press.

Susanto, Pudyo. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta: PGSM Dirjen Dikti Depdiknas.

Van Balen, B. 1984. Birds Count and Birds Observation in The Neigbourhood of Bogor. Nature Conservation Dept. Agriculture. University Wageningan. The Netherlands.

Welty JC. 1982. The Life of Birds. Philadelphia: Sunders College Publishing.

Welty dan Baptista, 1988. Welty, J.C. and L. Baptista. 1988. The Life of Bird. New York: Sounders College Publishing.

Whitten, Tony.Roehayat Emon Soeriaatmadja dan Suraya A Afiff.1999. Ekologi Jawa dan Bali. Jakarta:Prenhallindo.

Wiens, J.A. 1989. The Ecology of Bird Communities.Vol 1. Foundation and Patterns Cambridge Studies in Ecology. Cambridge University Press. Cambridge.

Wiens, J.A., 1992. The ecology of bird communities. Vol. I. Foundantions and patterns., Cambridge University Press, 241-374.

Wyne-Edwards,V.C. 1982. Animal Dispertion in relation to Social Behavior. Hafner Publishing Company Inc. New York.

Yudhistira. 2002. Studi Populasi dan Habitat Kehicap Flores di Flores Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

81

Lampiran 1. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Burung di P. Geleang

Kehadiran F FR No Nama ilmiah A B C A B C A B C

1 Artamus leucorhynchus � � � 0.22 0.67 0.67 8.32 15.8 15.42 Zosterops chloris � � � 0.78 0.89 1 29.1 21.1 23.13 Nectarinia jugularis � � � 0.44 0.78 0.89 16.6 18.4 20.54 Haliaeetus leucogaster � � � 0.22 0.44 0.78 8.33 10.5 185 Orthotomus ruficeps � 0.11 2.576 Ducula bicolor � 0.11 2.577 Todirhampus chloris � � � 0.11 0.44 0.22 4.16 10.5 5.138 Rhinomyias umbratilis � 0.33 7.79 Butorides striatus � � � 0.11 0.11 0.11 4.16 2.63 2.57

10 Sterna bergii � 0.11 2.5711 Hirundo tahitica � 0.22 5.26 12 Egretta sacra � 0.33 7.9 13 Rhinomyias olivacea � 0.11 2.63 14 Accipiter sp. � 0.22 5.26 15 Ducula rosacea � 0.33 12.7 16 Sterna sumatrana � 0.22 8.32 17 Egretta garzetta � 0.11 4.16 18 Sterna anaeethatus � 0.11 4.16 Jumlah 10 10 10 2.65 4.21 4.33 100 100 100

Lampiran 2. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Burung di P. Burung

Kehadiran F FR No Nama ilmiah A B C A B C A B C

1 Nectarinia jugularis � � � 0.6 0.6 0.4 13 17.6 102 Artamus leucorhynchus � � � 1 0.6 0.4 21.7 17.6 103 Zosterops chloris � � � 0.4 0.8 1 8.7 23.7 254 Rhinomyias umbratilis � 0.2 55 Egretta sacra � � � 0.6 0.2 0.2 13 5.88 56 Butorides striatus � 0.2 5.88 7 Todirhampus chloris � � � 0.6 0.6 0.6 13 17.6 158 Accipiter sp. � 0.2 5.88 9 Caloenas nicobarica � 0.2 5

10 Ducula bicolor � 0.4 1011 Sterna sumatrana � � 0.6 0.4 13 1012 Sterna bergii � � 0.4 0.2 8.7 513 Fregata minor � 0.2 4.45 14 Fregata ariel � 0.2 4.45 15 Amaurornis phoenicurus � 0.2 5.88 Jumlah 4.6 3.4 4 100 100 100

82

Lampiran 3. Kehadiran, Kelimpahan, Indeks Keanekaragaman, Indeks Kemerataan dan Dominansi Burung di P. Geleang

Kehadiran Jumlah H' E Di No Nama ilmiah A B C A B C A B C A B C A B C

1 Artamus leucorhynchus � � � 3 11 10 0.1 0.276 0.203 0.044 0.063 0.088 2.81 14.1 8.065

2 Zosterops chloris � � � 45 28 76 0.364 0.368 0.3 0.158 0.084 0.13 42.06 35.9 61.293 Nectarinia jugularis � � � 8 20 17 0.194 0.349 0.272 0.084 0.08 0.118 7.48 25.64 13.71

4 Haliaeetus leucogaster � � � 4 4 3 0.123 0.152 0.09 0.053 0.035 0.039 3.74 5.13 2.419

5 Orthotomus ruficeps � 1 0.039 0.017 0.8066 Ducula bicolor � 2 0.067 0.029 1.6137 Todirhampus chloris � � � 2 5 3 0.074 0.176 0.09 0.032 0.04 0.039 1.87 6.41 2.419

8 Rhinomyias umbratilis � 3 0.09 0.039 2.419

9 Butorides striatus � � � 1 1 1 0.044 0.056 0.039 0.019 0.013 0.017 0.93 1.28 0.80610 Sterna bergii � 8 0.177 0.077 6.45211 Hirundo tahitica � 2 0.094 0.022 2.56 12 Egreta sacra � 4 0.152 0.035 5.13 13 Rhinomyias olivacea � 1 0.056 0.013 1.28 14 Accipiter sp. � 2 0.094 0.022 2.57 15 Ducula rosacea � 12 0.245 0.106 11.21 16 Sterna sumatrana � 11 0.234 0.102 10.28 17 Egretta garzetta � 1 0.044 0.019 0.93 18 Sterna anaethatus � 20 0.314 0.136 18.69 Jumlah 10 10 10 107 78 124 1.736 1.773 1.367 0.753 0.407 0.593 100 100 100

70

83

Lampiran 4. Kehadiran, Kelimpahan, Indeks Keanekaragaman, Indeks Kemerataan dan Dominansi Burung di P. Burung

Kehadiran Jumlah H' E Di No Nama ilmiah A B C A B C A B C A B C A B C

1 Nectarinia jugularis � � � 5 6 7 0.175 0.266 0.227 0.08 0.128 0.098 6.33 13.04 9.722 Artamus leucorhyncus � � � 10 7 3 0.262 0.287 0.132 0.119 0.138 0.058 12.66 15.23 4.183 Zosterops chloris � � � 20 19 13 0.348 0.365 0.309 0.158 0.176 0.134 25.32 41.3 18.064 Rhinomyias umbratilis � 1 0.059 0.026 1.395 Egretta sacra � � � 4 1 1 0.151 0.083 0.059 0.069 0.04 0.026 5.06 2.17 1.346 Butorides striatus � 1 0.083 0.04 2.17 7 Todirhampus cloris � � � 3 01 3 0.124 0.332 0.132 0.057 0.16 0.058 3.8 21.75 4.188 Accipiter sp. � 1 0.083 0.04 2.17 9 Caloenas nicobarica � 4 0.16 0.07 5.56

10 Ducula bicolor � 18 0.347 0.15 2511 Sterna sumatrana � � 29 19 0.368 0.352 0.167 0.153 36.71 26.3912 Sterna bergii � � 4 3 0.151 0.132 0.069 0.058 5.06 4.1813 Fregata minor � 2 0.093 0.042 2.53 14 Fregata ariel � 2 0.093 0.042 2.53 15 Amaurornis phoenicurus � 1 0.083 0.04 2.17 Jumlah 9 8 10 79 46 72 1.765 1.582 1.909 0.803 0.762 0.831 100 100 100

71

84

Lampiran 5 Grafik Dominansi Burung di P. Geleang Pada Setiap Periode Penelitian

0.930.931.872.813.74

7.4810.2811.21

18.69

42.06

1.281.282.562.575.135.136.41

14.10

25.64

35.90

0.810.811.612.422.422.42

6.458.07

13.71

61.29

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00Bu

torid

es s

triat

us

Egre

tta g

arze

tta

Todi

rham

pus

chlo

ris

Arta

mus

leuc

orhy

nchu

s

Hal

iaee

tus

leuc

ogas

ter

Nec

tarin

ia ju

gula

ris

Ster

na s

umat

rana

Duc

ula

rosa

cea

Ster

na a

naet

hatu

s

Zost

erop

s ch

loris

Buto

rides

stri

atus

Rhi

nom

yias

oliv

acea

Hiru

ndo

tahi

tica

Acci

pite

r sp.

Hal

iaee

tus

leuc

ogas

ter

Egre

ta s

acra

Todi

rham

pus

chlo

ris

Arta

mus

leuc

orhy

nchu

s

Nec

tarin

ia ju

gula

ris

Zost

erop

s ch

loris

Orth

otom

us ru

ficep

s

Buto

rides

stri

atus

Duc

ula

bico

lor

Hal

iaee

tus

leuc

ogas

ter

Todi

rham

pus

chlo

ris

Rhi

nom

yias

um

brat

ilis

Ster

na b

ergi

i

Arta

mus

leuc

orhy

nchu

s

Nec

tarin

ia ju

gula

ris

Zost

erop

s ch

loris

Juni 2006 Nov-06 Juni 2007

periode penelitian

nila

i dom

inan

si

72

85

Lampiran 6 Grafik Dominansi Burung di P. Burung Pada Setiap Periode Penelitian

2.53 2.533.8

5.06 5.066.33

12.66

25.32

36.71

2.17 2.17 2.17 2.17

13.0415.23

21.75

41.3

1.34 1.39

4.18 4.18 4.185.56

9.72

18.06

2526.39

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Freg

ata

min

or

Freg

ata

arie

l

Todi

rham

pus

clor

is

Egre

tta s

acra

Ster

na b

ergi

i

Nec

tarin

ia ju

gula

ris

Arta

mus

leuc

orhy

ncus

Zost

erop

s ch

loris

Ster

na s

umat

rana

Egre

tta s

acra

Buto

rides

stri

atus

Acci

pite

r sp.

Amau

rorn

is p

hoen

icur

us

Nec

tarin

ia ju

gula

ris

Arta

mus

leuc

orhy

ncus

Todi

rham

pus

clor

is

Zost

erop

s ch

loris

Egre

tta s

acra

Rhi

nom

yias

um

brat

ilis

Arta

mus

leuc

orhy

ncus

Todi

rham

pus

clor

is

Ster

na b

ergi

i

Cal

oena

s ni

coba

rica

Nec

tarin

ia ju

gula

ris

Zost

erop

s ch

loris

Duc

ula

bico

lor

Ster

na s

umat

rana

Juni 2006 Nov-06 Juni 2007

periode penelitian

n

ilai d

omin

ansi

73

86

Lampiran 7. Tally Sheet Data Pengamatan Lapangan

DATA PENGAMATAN

Hari/Tanggal : Start : Posisi GPS : Pulau : Finish : Elevasi : Habitat : Jalur : Suhu : Titik : Kelembaban :

Stratifikasi Tajuk No Nama daerah Nama Ilmiah Jml Waktu jumpa Vegetasi

TA TT TB Ta/S

Perilaku Ket

74

75

Keterangan :

1. Accipiter sp. 2. Haliaeetus leucogaster 3. Artamus leucorhynchus 4. Ducula rosacea 5. Ducula bicolor 6. Rhinomyias olivacea 7. Rhinomyias umbratilis 8. Zosterops chloris 9. Nectarinia jugularis 10. Orthotomus ruficeps 11. Egretta garzetta 12. Egretta sacra 13. Butorides striatus 14. Todirhampus chloris 15. Sterna sumatrana 16. Sterna bergii 17. Sterna anaethatus 18. Hirundo tahitica

87

Lampiran 8. Penyebaran Burung di P. Geleang

88

Keterangan :

1. Fregata minor 2. Fregata ariel 3. Artamus leucorhynchus 4. Ducula bicolor 5. Falco sp. 6. Nectarinia jugularis 7. Zosterops chloris 8. Todirhampus chloris 9. Rhinomyias umbratilis 10. Butorides striatus 11. Sterna bergii 12. Sterna sumatrana 13. Egretta sacra 14. Amaurornis phoenicurus 15. Caloenas nicobarica

76

Lampiran 9. Penyebaran Burung di P. Burung

89

Lampiran 10. Foto Burung yang Dijumpai di P. Geleang Dan P. Burung

Sterna sumatrana (Arif SN/MR 2006) Sterna sumatrana (Arif SN/MR 2006)

Sterna bergii (Arif SN/MR 2006) Butorides striatus (Arif SN/MR 2006)

Fregata ariel (MacKinnon, 1993) Fregata min r (MacKinnon, 1993)

90

Egretta sacra (Arif SN/MR 2007) Egretta garzetta (Arif SN/MR 2006)

Sarang Haliaeetus leucogaster Haliaeetus leucogaster (Arif SN/MR 2007) (Arif SN/MR 2007)

Ducula bicolor (Arif SN/MR 2006 Caloenas nicobarica

(Rahayuningsih, 2007)

91

Ducula rosacea (Arif SN/MR 2006) Amaurornis phoenicurus

(Arif SN, 2007)

Artamus leucorhynchus Hirundo tahitica (Dani S, 2007) (Arif SN/MR 2007)

Rhonomyias umbratilis Rhinomyias olivacea (MacKinnon, 1993) (MacKinnon, 1993)

92

Zosterops chlori (Arif SN/MR 2007) Orthotomus ruficeps (Arif SN/MR 2007)

Nectarinia jugularis Sterna anaethetus

(Arif SN/MR 2007) (MacKinnon, 1993)

93

Lampiran 11. Kondisi habitat P. Geleang dan P. Burung

Habitat P. Geleang didominasi Alang-alang dan tumbuhan bawah

(Arif SN/MR 2006)

Habitat P. Geleang dengan vegetasi pohon di bagian tepi

(Arif SN/MR 2006)

94

Habitat P. Burung berupa hutan pantai

(Arif SN/MR 2006)

Tampak dari dalam menunjukkan vegetasi P. Burung yang rapat

(Arif SN/MR 2006)

95

Lampiran 12. Foto Peralatan dan Kegiatan Penelitian

Peralatan yang digunakan selama penelitian (Arif/MR, 2006)

Kegiatan pengamatan burung Pengambilan gambar (digiscoping)

(Dodo/MR, 2006) (Abdullah/MR, 2006)

Pencatatan data vegetasi Pencatatan data burung (Dani/MR, 2006) (Abdullah/MR, 2006)

96