KEBIJAKAN SPASIAL PENGELOLALAAN SAMPAH KABUPATEN BANDUNG

23
KEBIJAKAN SPASIAL PENGELOLAAN SAMPAH KABUPATEN BANDUNG MAKALAH Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Kebijakan Spasial ZAINUL ICHSAN 3314202811 MAGISTER TEKNIK SANITASI LINGKUNGAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2015

Transcript of KEBIJAKAN SPASIAL PENGELOLALAAN SAMPAH KABUPATEN BANDUNG

KEBIJAKAN SPASIAL

PENGELOLAAN SAMPAH KABUPATEN BANDUNG

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Analisis Kebijakan Spasial

ZAINUL ICHSAN

3314202811

MAGISTER TEKNIK SANITASI LINGKUNGAN

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

2015

BAB I

PENDAHULUAN

Proses globalisasi membawa efek yang sangat signifikan yaitu membuat dunia ini

seperti seakan tanpa batas , hal ini membuat keterkaitan antar negara, antarkota maupun

antar bangsa menjadi semakin erat, terjalin dalam suatu ikatan kerjasama, bahkan sering

kita mendengar adanya kerjasama antar pemerintah kota.

Seiring dengan proses globalisasi tersebut kita melihat bahwa perkembangan kota-

kota di Indonesia tidak dapat terlepas dari perkembangan ekonomi global, dengan demikian

perlu kiranya diantisipasi bahwa pola perkembangan kota-kota di Indonesia akan

terpengaruh/dipengaruhi oleh situasi dan kondisi global tersebut, jumlah kota besar akan

bertambah banyak dan wilayah kota semakin melebar dan mendesak daerah-daerah

pinggiran kota. Efek tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada

perkembangan kota-kota besar di Indonesia seperti : Jabodetabek,Bandung Raya,

Kedungsepur (Semarang dsk), Gerbangkertasusila (Surabaya dsk), Mebidang (Medan dsk),

Palembang, Mamminasata (Makassar dsk) dan Sarbagita (Denpasar dsk) yang berkembang

semakin pesat kearah kota/kawasan metropolitan.

Kota atau kawasan metropolitan merupakan perwujudan perkembangan yang

alamiah dari suatu permukiman perkotaan yang berkembang sangat pesat. Perkembangan

tersebut menyebabkan jumlah penduduk dan luas wilayah yang sangat besar, dengan

karateristik dan persoalan yang berbeda serta spesifik. Oleh karenanya suatu kota dan atau

kawasan metropolitan memerlukan pengelolaan tersendiri dalam hal pemecahan persoalan

yang dihadapi, penyediaan prasarana dan layanan perkotaan, serta pengelolaan

lingkungannya. Hal-hal tersebut menuntut pemikiran tersendiri bagikota besar yaitu perlunya

penyediaan kesempatan kerja yang lebih baik, perlunya penyediaan permukiman/tempat

tinggal yang memadai, perlunya penyediaan prasarana dan sarana transportasi/ekonomi

perkotaan dan pelestarian lingkungan.

BAB II

DASAR TEORI

II.1 KEBIJAKAN PENATAAN RUANG

Indonesia dengan jumlah penduduk 215 juta jiwa pada tahun 2002, telah mencapai

pertumbuhan ekonomi yang mantap sejak akhir tahun 1990. Rata-rata PDB per kapita

mencapai Rp. 7.260.000 pada tahun 2003. Akan tetapi baik penduduk maupun ekonomi

terdistribusi tidak merata baik di tingkat regional maupun provinsi, sebagian besar

terkonsentrasi di P. Jawa. Kawasan Metropolitan utama di Jawa seperti Jakarta dan

Surabaya telah berkembang tanpa koordinasi yang memadai, dengan tingkat perpindahan

penduduk yang cukup mencolok ke kawasan metropolitan. Dalam rangka pencapaian

perkembangan sosial ekonomi secara keseluruhan, dan juga lebih harmonisnya

pembangunan di kawasan urban, semi urban dan rural maka Pemerintah Indonesia melalui

Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen PU telah menyusun perencanaan

penataan ruang yang dilaksanakan berdasarkan UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang,

dimana pengertian penataan ruang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan

ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang merupakan proses

penyusunan rencana tata ruang (RTR), baik untuk wilayah administratif (provinsi, kabupaten

dan kota), maupun untuk kawasan fungsional (misal kawasan perkotaan dan perdesaan)

seperti ditunjukkan oleh gambar 1

Gambar 1 – Perencanaan Tata Ruang sesuai UU No. 26 Tahun 2007

Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi RTR atau pelaksanaan

pembangunan oleh berbagai sektor yang mengisi fungsi-fungsi ruang yang tercantum dalam

pasal 33 tentang pemanfaatan Ruang dan pasal 34 tentang pemanfaatan ruang wilayah

seperti pada gambar di bawah ini

Gambar 2 – Pemanfaatan Ruang secara umum sesuai Pasal 33 UU No. 26 Tahun 2007

Gambar 3 – Pemanfaatan Ruang Wilayah sesuai pasal 34 No. 26 Tahun 2007

Pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas proses pengawasan (pemantauan,

pelaporan, dan evaluasi) serta penertiban (pengenaan sanksi dan perizinan) terhadap

pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya.

Gambar 4 – Pengendalian Pemanfaatan Ruang sesuai UU 26 Tahun 2007

Upaya pengendalian pemanfaatan ruang akan memberikan feedback bagi proses

perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang. Ketiga unsur penataan ruang saling

terkait erat satu sama lain membentuk suatu siklus yang interaktif-dinamis seperti terlihat

pada gambar 5.

Gambar 5- Siklus Interaktif Dinamis

Melekat dalam setiap unsur perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan

ruang, karakteristik penataan ruangsangat terkait erat dengan sistem politik, ekonomi,

sosial, budaya, lingkungan, dan bahkan pertahanan-keamanan.Oleh karenanya penataan

ruang menekankan pendekatan kesisteman yang kompleks berlandaskan 4 (empat) prinsip

utama yakni : (1). holistik dan terpadu, (2). keseimbangan antar fungsi kawasan (misal antar

kota-desa, lindung-budidaya, pesisir-daratan, atau hulu-hilir), (3). keterpaduan penanganan

secara lintas sektor/stakeholdersdan lintas wilayah administratif, serta (4). pelibatan peran

serta masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan danpengendalian pemanfaatan

ruang. Pada dasarnya upaya penataan ruang perlu diarahkan pada pencapaian visi strategis

ke depan yang akan menjiwai seluruh gerak langkah penyelenggaraannya. Visi strategis

penyelenggaraan penataan ruang dimaksud adalah “terwujudnya ruang Nusantara yang

nyaman, produktif, dan berkelanjutan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat

Indonesia”. Sejalan dengan perkembangannya baik tingkat pertumbuhan ekonomi,

peningkatan penduduk dengan data jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan

perkembangan yang cukup pesat dari 32,8 juta atau 22,3% dari total penduduk nasional

(1980), meningkat menjadi 55,4 juta atau 30,9% (1990), menjadi 74 juta atau 37% (1998),

menjadi 90 juta jiwa atau 44% (2002), dan diperkirakan akan mencapai angka 150 juta atau

60% dari total penduduk nasional (2015) dengan laju pertumbuhan penduduk kota rata-rata

4,49% (1990-1995). Dengan jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat dari waktu

ke waktu akan memberikan implikasi pada meningkatnya tekanan padapemanfaatan ruang

kota seperti pembangunan prasarana dan sarana di Kota-kota besardan Kawasan

Metropolitan, sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang

khusus dan diberikan perhatian yang lebih besar terhadap perlindungan lingkungannya.

Karena polusi air dan udara semakin bertambah dengan meningkatnya volume limbahcair

domestik dan limbah padat demikian pula kemacetan lalu lintas maka tindakan perlindungan

lingkungan sangat dibutuhkan, misalnya dengan mendorong penerapan zoning regulation,

penerapan mekanisme insentif dan disinsentif, prinsip-prinsip smart growth atau growth

management, dan sebagainya.

II.2. SISTEM PENATAAN RUANG

Dinamika dan perkembangan masyarakat bangsa Indonesia secara keseluruhan

juga telah mengalami perubahan terutama tuntutan otonomi daerah sejak tahun 1997,

dimana pada tahun 1999 telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 22 tahun1999 tentang

Pemerintahan Daerah yang telah mengalami banyak perubahan yaitu Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2004, UU No. 23 Tahun 2014 dan yang trakhir UU No.2 Tahun 2015 , yang

menekankan otonomi daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang

Perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian diubah dengan

Undang-undang Nomor 33 tahun 2004. Perkembangan tersebut tentu saja membawa

konsekuensi logis terhadap UU 24 tahun 1992 yang harus dilakukan revisi agar Penataan

Ruang dapat menjawab setiap tantangan di bidang penataan ruang dalam era otonomi

daerah sehingga muncullah UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Bila merujuk

pada Undang-Undang 26 tahun 2007, kedudukan sistem penataan ruang Nasional

merupakan salah satu bagian dalam perwujudan tujuan sistem perencanaan pembangunan

Nasional, yaitu untuk menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antar

pemanfaatan ruang di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam sistem

perencanaan pembangunan Nasional maupun perencanaan tata ruang keduanya

menekankan suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui

urutan pilihan (prioritas) secara berhierarki, dengan memperhitungkan sumberdaya yang

tersedia. Jika perencanaan pembangunan Nasional berwujud spasial dan non spasial, maka

perencanaan tata ruang lebih menekankan pada aspek spasial yang mencakup

perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna

air, tata guna udara, dan tata guna sumberdaya alam lainnya seperti pada gambar 6

Gambar 6 Muatan Rencana Tata Ruang sesuai UU No. 26 Tahun 2007

Adapun produk yang dihasilkan dari upaya/proses perencanaan tata ruang adalah

Rencana Tata Ruang. Pengertian Rencana Tata Ruang pada dasarnya merupakan bentuk

intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidupdalam aktivitas sosial-

ekonomi dan aktivitas lainnya dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras,

seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian

lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability). Produk RTR

secara garis besar terdiri atas RTRW Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota

untuk wilayah administratif yang berhirarki, serta RTR Kawasan fungsional sesuai gambar 3

Secara konseptual, sistem perencanaan tata ruang di atas dapat diperlihatkan

seperti pada Gambar 7, dimana pada masing-masing hirarki akan dibedakan berdasarkan

tingkat kedalamannya (rencana umum, rencana operasional, hingga rencana operasional

teknis).

Gambar 7 – Sistem Perencanaan Nasional

II.3 INTEGRASI PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN PENATAAN RUANG

Pelestarian lingkungan yang merupakan perhatian dari perencanaan tata ruang,

bertujuan untuk mendorong secara sistematis kesadaran masyarakat terhadap lingkungan,

misalnya dengan penerapan 3R (reduction-reuse-recycling) dari limbah padat dan

pengelolaan lingkungan yang tepat sangat dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat

berorientasi siklus di kawasan perkotaan dan Kota-kota besar serta KawasanMetropolitan.

Dalam hal ini pendekatan partisipatoris menjadi salah satu pilihan pendekatan, demikian

pula untuk perlindungan lingkungan. Tanpa pengelolaan lingkungan yang sesuai, Kota-kota

besar dan Kawasan Metropolitan dapat terjerumus menjadi wilayah yang tidak sehat dan

tidak nyaman untuk dihuni serta berpotensi memunculkan perkembangan kota yang

semrawut dan tidak terarah yang dibeberapa kota sudah terjadi, isu lainnya adalah

menyangkut perkembangan kota-kota yang tidak terarah, cenderung membentuk konurbasi

antara kota inti dengan kota-kota sekitarnya. Konurbasi dimaksud dicirikan dengan

munculnya 9 kota metropolitan dengan penduduk di atas 1 juta jiwa (Jakarta, Surabaya,

Bandung, Medan, Bekasi, Tangerang, Semarang, Palembang dan Makassar) dan 9 kota

besar (Bandar Lampung, Malang, Padang, Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, Solo,

Yogyakarta,dan Denpasar). Konurbasi yang terjadi pada kota-kota tersebut menimbulkan

berbagai permasalahan kompleks, seperti kemiskinan perkotaan, pelayanan prasarana dan

sarana kota yang terbatas, kemacetan lalu lintas, dan pencemaran lingkungan.

Ada sebagian kota metropolitan sudah menjadi kota yang tidak memiliki daya tarik

lingkungan. Beberapa inisiatif telah dilakukan oleh sektor pemerintah dan swasta seperti

program keindahan kampung. Kassi-kassi dengan penghijauan dan bunga-bunga, akan

tetapi hasilnya masih belum maksimal. Sampah berserakan di mana-mana, sepanjang jalan,

kanal, sungai dan pantai yang menyebabkan terkontaminasinya air dan perairan.

Pemeliharaan selokan dan saluran drainase menurunkan kapasitas drainase dan

menyebabkan genangan dan banjir di tempat-tempat yang rendah. Karena tidak terdapat

Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik, maka kontaminasi akan semakin buruk jika tidak

segera diambil tindakan yang tepat, baik oleh pemerintah maupun oleh penduduk setempat.

Dengan memperhatikan keseluruhan uraian di atas, untuk mengatasi berbagai

permasalahan aktual dalam pembangunan Kota Metropolitan, maka prinsip-prinsip penataan

ruang tidak dapat diabaikan lagi. Dalam konteks ini, upaya pengendalian pembangunan dan

berbagai dampaknya perlu diselenggarakan secara terpadu lintas sektor dan lintas wilayah

melalui instrumen penataan ruang. Melalui instrumen ini pula, maka daya dukung

lingkungan dari suatu wilayah menjadi pertimbangan yang sangat penting. Kekurangan

dalam pembuangan limbah padat telah menjadi salah satu persoalan serius di kawasan

perkotaan, kota-kota kecil, sedang dan besar serta di Metropolitan, yang harus ditangani

secara terpadu untuk mengembalikan kawasan tersebut menjadi bersih. Persoalan sampah

yang sering ditemui di jalan-jalan, selokan dan kanal drainase serta lokasi Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang sulit ditentukan merupakan tantangan masalah

dalam pelaksanaan konsep menjaga kelestarian lingkungan agar seimbang dan selaras.

Tempat Pembuangan Akhir sampah pada dasarnya merupakan akhir dari proses

penanganan sampah yang aman dan ramah lingkungan. Namun adanya keterbatasan biaya

dan kapasitas SDM serta andalan pola kumpul-angkut-buang yang ada selama ini, telah

berdampak pada pembebanan yang terlalu berat di TPA baik ditinjau dari kebutuhan lahan

maupun beban pencemaran lingkungan. Permasalahan TPA sampah yang akhir-akhir ini

telah mengemuka secara nasional antara lain kasus longsornya TPA Leuwigajah yang

menelan korban jiwa lebih dari 140 orang, friksi TPA Bantar Gebang Bekasi dan TPST

Bojong menunjukkantingkat keterpurukan masalah penanganan sampah. Tanpa adanya

komitmen dan upaya yang sungguh-sungguh dari para pelaksana pembangunan bidang

persampahan, kondisi demikian dikhawatirkan hanya akan menuai bencana demi bencana.

Persoalan TPA sampah pada dewasa ini terletak pada masalah pengelolaannya, untuk

mendorong pengelolaan TPA sampah secara baik misalnya melalui sistem sanitary landfill

dapat dilakukan dengan kerjasama antara pemerintah daerah terkait dalam bentuk usaha

bersama (badan usaha bersama atau BUB).

II.5 PENENTUAN LOKASI TPA SAMPAH

Penentuan lokasi TPA sampah, dapat berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara

Pemilihan Lokasi TPA Sampah dengan beberapa pertimbangan-pertimbangan antara lain;

1. TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut;

2. Disusun berdasarkan 3 tahapan yaitu : pertama, Tahap regional yang merupakan

tahapan

untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang

terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. kedua, Tahap penyisih yang merupakan

tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang

dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Ketiga, Tahap penetapan yang

merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh Instansi yang berwenang.

3. Dalam hal suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA

Sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasiTPA sampah ini dengan kriteria

pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian ;

A. Kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak atau tidak

layak sebagai berikut ;

1) Kondisi geologi

a. tidak berlokasi di zona holocene fault

b. tidak boleh di zona bahaya geologi

2) Kondisi hidrogeologi

a. tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari3 meter

b. tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6cm/det

c. jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter di hilir aliran

d. dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas, maka

harus diadakan masukan teknologi

3) kemiringan zona harus kurang dari 20 %

4) jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk penerbangan

turbo jet dan harus lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain.

5) tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang

25 tahun

B. Kriteria penyisih yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi TPA terbaik yaitu

teridiri dari kriteria regional ditambah dengan kriteria berikut ;

1) iklim

a. hujan : intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik

b. angin : arah angin dominan tidak menuju kepermukiman dinilai makin baik

2) utilitas : tersedia lebih lengkap dinilai lebih baik

3) lingkungan biologis

a. habitat : kurang bervariasi dinilai makin baik

b. daya dukung : kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin baik

4) ketersediaan tanah

a. produktifitas tanah : tidak produktif dinilai lebih tinggi

b. kapasitas dan umur : dapat menampung lahan lebihbanyak dan lebih lama dinilai

lebih baik

c. ketersediaan tanah penutup : mempunyai tanah penutup yang cukup, dinilai lebih

baik

d. status tanah : makin bervariasi dinilai tidak baik.

5) Demografi : kepadatan penduduk lebih rendah dinilai makin baik

6) batas administrasi : dalam batas administrasi dinilai semakin baik

7) Kebisingan : semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik

8) Bau : semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik

9) estetika : semakin tidak terlihat dari luar dinilai semakin baik

10) ekonomi : semakin kecil biaya satuan pengelolaan sampah (per m3/ton) dinilai

semakin baik

C. Produk yang dihasilkan

Produk yang dihasilkan sebagai berikut :

1) tahap regional yaitu peta dasar skala 1 : 25.000, yang berisi :

a. centroid sampah yang terletak di wilayah tersebut

b. kondisi hidrogeologi

c. badan-badan air

d. TPA sampah yang sudah ada

e. Pembagian zona-zona

- zona 1 = zona tidak layak

- zona 2 = zona layak untuk TPA sampah kota

2) tahap penyisih yaitu rekomendasi lokasi TPA sampah kota dilengkapi :

a. peta posisi calon-calon lokasi yang potensial

b. peta detail dengan skala 1 : 25.000 dari sedikitnya2 lokasi yang terbaik

3) tahap penetapan yaitu keputusan penetapan lokasi TPAsampah kota

Pemilihan lokasi perlu mempertimbangkan aspek-aspekpenataan ruang sebagai berikut :

1. Lokasi TPA sampah diharapkan berlawanan arah denganarah perkembangan daerah

perkotaan (Urbanized Area).

2. Lokasi TPA sampah harus berada di luar dari daerah perkotaan yang didorong

pengembangannya (Urban Promotion Area)

3. Diupayakan transportasi menuju TPA sampah tidak melalui jalan utama menuju

perkotaan/daerah padat.

Selain hal-hal tersebut di atas, perencanaan TPA sampah perkotaan perlu memperhatikan

hal-hal sebagai berikut :

1. Rencana pengembangan kota dan daerah, tata guna lahan serta rencana pemanfaatan

lahan bekas TPA.

2. Kemampuan ekonomi pemerintah daerah setempat dan masyarakat, untuk menentukan

teknologi sarana dan prasarana TPA yang layak secara ekonomis, teknis dan lingkungan.

3. Kondisi fisik dan geologi seperti topografi, jenis tanah, kondisi badan air sekitarnya,

pengaruh pasang surut, angin iklim, curah hujan, untuk menentukan metode pembuangan

akhir sampah.

4. Rencana pengembangan jaringan jalan yang ada, untukmenentukan rencana jalan

masuk

TPA.

5. Rencana TPA di daerah lereng agar memperhitungkan masalah kemungkinan terjadinya

longsor.

6. Tersedianya biaya operasi dan pemeliharaan TPA.

7. Sampah yang dibuang ke TPA harus telah melalui pengurangan volume sampah sedekat

mungkin dengan sumbernya.

8. Sampah yang dibuang di lokasi TPA adalah hanya sampah perkotaan yang bukan

berasal

dari industri, rumah sakit yang mengandung B3.

9. Kota-kota yang sulit mendapatkan lahan TPA di wilayahnya, perlu melaksanakan model

TPA regional serta perlu adanya institusi pengelola kebersihan yang bertanggungjawab

dalam pengelolaan TPA tersebut secara memadai.

10. Aksesibilitas jalan menuju TPA sampah harus tersediaguna memudahkan kendaraan

pengangkut membuang limbah/sampah sampai ditempatnya, kebutuhan lahan yang relatif

cukup luas disesuaikan dengan konsep pengelolaan TPAsampah misalnya Buffer zone

untuk menghindari dampak dari bau, kebisingan, lalat dan vektor penyakit dengan

ditanami pohon pelindung dengan ketebalan berkisar antara 20 m sampai dengan 50 m

dari batas luar daerah operasional TPA yang didukungdengan penanaman jenis pohon

yang cepat tumbuh dalam waktu 1 tahun mencapai 4 m,dan tidak mudah patah akibat

pengaruh angin misalnya sengon, mahoni, tanjung danlain-lain dengan kerapatan/jarak

antar pohon 2 m. Selain itu ditetapkan pula Free Zoneyang merupakan zona bebas

dimana kemungkinan masih dipengaruhi leachate, sehingga harus merupakan Ruang

Terbuka Hijau dan apabila dimanfaatkan disarankan bukan merupakan tanaman pangan,

dengan ketebalan 50 sampai dengan 80 m dari batas luar buffer zone, sehingga TPA

sampah dapat difungsikan secara terpadu dengan pengelolaannya, sistem pengolahan

limbah organik dan non organik dilakukan secara terpisah agar setiap dampak/implikasi

limbah dapat disortir sesuai dengan sifat dan jenisnya sehingga dapat diketahui limbah

yang mengandung B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) disertai penanganannya,

pengolahan limbah juga harus memperhatikan dampak terhadap lingkungan seperti air

buangan dari limbah organik, materi limbah padat yang tidak dapat diolah atau didaur

ulang sehingga perlu penanganan pemusnahan, pemisahan limbah padatpun harus sesuai

dengan sifat dan jenis limbah tersebut. Pendekatan pengelolaan sampah yang berasal dari

limbah organik dengan cara diproses menjadi pupuk atau kompos, merupakan pendekatan

yang perlu pula menjadi alternatif pilihan pengelolaan limbah, karena dapat memberikan

nilai tambah baik secara ekologis, psikologis dan ekonomis.

Oleh karenanya pula dengan mengacu pada PP 16 tahun 2005 tentang Pengembangan

Sistem

Penyediaan Air Minum yang di dalamnya mengatur masalah persampahan (bagian ketiga

pasal 19-22), bahwa penanganan sampah yang memadai perlu dilakukan untuk

perlindungan

air baku air minum dan secara tegas dinyatakan bahwa TPA sampah wajib dilengkapi

dengan

zona penyangga dan metoda pembuangan akhirnya dilakukan secara sanitary landfilluntuk

kota besar dan metropolitan dan controlled landfilluntuk kota kecil dan sedang. Selain itu

perlu pula dilakukan pemantauan kualitas hasil pengolahan leachate secara berkala.

Perhatian terhadap kelestarian lingkungan melalui penanganan dan pengelolaan TPA

sampah

yang baik menjadi hal penting, TPA sampah yang didesain sesuai dengan ketentuan dapat

difungsikan pula menjadi kawasan hijau sehingga sejalan dengan kebijakan penataan ruang

yang menerapkan ketentuan bahwa setiap wilayah/kawasan menyediakan RTH minimal

sebesar 30 % dari luas wilayah/kawasan tersebut. RTH yang tersedia bukan hanya

mengandung nilai-nilai estetika tetapi juga mengandung nilai psikologis bagi masyarakat.

Dapat dibayangkan apabila setiap kawasan permukiman, perkotaan dan kota-kota besar

bahkan Metropolitan tidak terdapat ruang terbuka hijau yang bermanfaat untuk taman

bermain,

kesegaran udara, dan keindahan lingkungan bagi masyarakat maka yang terjadi adalah

lingkungan permukiman kumuh, sensitivitas masyarakat sangat tinggi, polusi udara yang

berpengaruh pada psikologis dan lingkungan yang tidak asri karena tidak adanya

penghijauan.

BAB III

ALASAN PEMILIHAN JUDUL DAN LOKASI

Alasan Pemilihan Judul dan Lokasi ini dikarenakan Kabupaten Bandung merupakan

salah satu Kota metropolitan dan menjadi ibukota dari Provinsi Jawa Barat. Letak

Kabupaten Bandung yang strategis sebagai kota penyangga dalam menopang laju

perkembangan wilayah dengan berbagai aspeknya serta dinamika perubahan yang begitu

pesat memberikan konstribusi yang cukup besar dalam masalah menjaga kebersihan

lingkungan. Munculnya berbagai permasalahan lingkungan khususnya yang dikaitkan

dengan kecenderungan akan meningkatnya eksploitasi sumber daya dan lingkungan di

berbagai daerah sebagai implikasi diterapkannya desentralisasi penyelenggaraan

pemerintahan memerlukan adanya suatu kebijakan yang rasional, terpadu, dan holistik.

BAB IV

FAKTOR – FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT

Isu Strategis Pengelolaan Sampah di Kabupaten Bandung

Analisis terhadap kondisi eksisting pengelolaan sampah di Kabupaten Bandung,

menunjukkan adanya beberapa pokok permasalahan penting , yaitu :

(1) Kapasitas Pengelolaan Sampah

Yang menjadi permasalahan utama dalam pengelolaan sampah di Kabupaten

Bandung adalah tingginya beban pengelolaan yang tidak diimbangi dengan

kemampuan dalam aspek operasional dari Dinas Kebersihan yang menjadi

pelaksana teknis pengelolaan.

a. Tingginya Beban Pelayanan

Beban pelayanan pengelolaan sampah di Kabupaten dikategorikan tinggi disebabkan

karena 2 faktor utama yaitu : besarnya jumlah penduduk dan luasnya wilayah

administrasi, sehingga pelayanan saat ini terkesan tidak terfokus.

b. Rendahnya Kualitas dan Tingkat Pelayanan

Tingkat pelayanan Dinas Kebersihan dilihat dari jumlah penduduk yang mampu dilayani

oleh sistem eksisting, baru mencapai 20,8 %. Demikian halnya dari Tingkat

Keterangkutan sampah ke TPSA, baru mencapai 20,8 %.Kualitas operasional yang

masih rendah terlihat dari tingkat kebersihan diseluruh TPS yang ada, masih jauh dari

kondisi bersih. Disamping itu, tingkat kebersihan di permukiman, sarana kota, badan air

dan fasilitas lainnya,menujukkan rendahnya kualitas pelayanan yang ada.

(2) Kemampuan Kelembagaan

Lembaga atau instansi pengelola persampahan merupakan motor penggerak seluruh

kegiatan pengelolaan sampah dari sumber sampai ke TPA. Kondisi kebersihan suatu kota

atau wilayah merupakan output dari rangkaian pekerjaan manajemen pengelolaan

persampahan yang keberhasilannya dipengaruhi oleh banyak faktor. Kapasitas dan

kewenangan instansi pengelola persampahan menjadi sangat penting karena besarnya

tanggung jawab yang harus dipikul dalam menjalankan roda pengelolaan yang biasanya

tidak sederhana bahkan cenderung cukup rumit sejalan dengan makin tingginya dan

kompleknya aktifitas kota. Saat ini Dinas Kebersihan di Kabupaten Bandung sesungguhnya

mengemban dua fungsi yaitu sebagai regulator dan operator. Penggabungan kedua fungsi

ini mengakibatkan tidak berjalannya fungsi pengawasan. Kehadiran Badan Perencana

Daerah dalam pengelolaan sampah di Kabupaten Bandung ini akan menjadi sebuah

peluang untuk peningkatan kinerja Dinas Kebersihan. Fungsi yang tepat untuk diemban oleh

Bapeda adalah fungsi regulator, sehingga Dinas Kebersihan dapat menjalankan fungsi

operator dengan lebih efektif. Ketimpangan fungsi tersebut juga tidak didukung dengan SDM

yang memadai baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Kemampuan SDM intern Dinas

Kebersihan dalam 2 tahun mendatang selayaknya harus mendapat perhatian besar.

(3) Kemampuan Pembiayaan

Saat ini alokasi APBD untuk pengelolaan persampahan di Kabupaten Bandung baru 0,8%.

Hal ini menunjukkan perhatian Eksekutif kota dan Legislatif perlu ditingkatkan. Pemikiran

bahwa pengelolaan sampah ala kadarnya sudah harus segera ditinggalkan. Dan segera

disadari bahwa untuk menjadikan kota bersih memerlukan biaya tinggi. Demikian halnya,

dengan efektifitas retribusi yang masih sangat rendah baik dari segi kuantitas maupun

kualitas mekanisme penarikannya, menyebabkan pengelolaan sampah di Kabupaten

Bandung semata hanya menjadi beban APBD.

(4) Peran Serta Masyarakat

a. Potensi masyarakat belum dikembangkan.Sudah sejak lama sesungguhnya

masyarakat telah mampu melakukansebagian sistem pengelolaan sampah baik

secara individual maupun skala lingkungan terutama di lingkungan permukiman. Hal

ini diperkuat dengan ketentuan yang digariskan dalam Peraturan Daerah, sehingga

sudah selayaknya kemampuan masyarakat ini akan menjadi potensi yang dapat

dikembangkan

b. Rendahnya investasi Dunia Usaha

Di Kabupaten Bandung saat ini minat sektor swasta bisa dikatakan mulai ada, walau

masih dalam tahap studi kelayakan. Namun implementasinya masih belum ada. Hal

ini perlu diantisipasi dengan adanya pengaturan dan penetapan wilayah garapan

yang akan diserahkan pada swasta.

(5) Lemahnya Penegakan dan Penaatan Hukum

Secara umum, peraturan pengelolaan sampah di Kabupaten Bandung sudah cukup

lengkap dari kehadiran perangkatnya, akan tetapi kesempurnaan materi peraturan

memerlukan penyempurnaan.

Tantangan Pengelolaan Sampah di Kabupaten Bandung

Berdasarkan observasi terhadap sistem secara menyeluruh dari berbagai

aspeknya, tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan sampah di Kabupaten

Bandung, adalah sebagai berikut :

a. Kebutuhan peningkatan cakupan pelayanan dari 20,8% saat ini, menjadi 60% di

tahun 2010 dan 70% di tahun 2015, untuk mencapai total pelayanan secara nasional

yang selaras dengan Milenium Development Goals, selain memerlukan investasi

sarana dan prasarana persampahan yang cukup besar juga harus di dukung oleh

kesiapan manajemen dan dukungan peraturan perundangan yang memadai

b. Kebutuhan peningkatan kemampuan lembaga yang memungkinkan dilaksanakannya

pengelolaan sampah secara lebih profesional dengan dukungan SDM ahli yang

memadai serta dimungkinkan kerjasama dengan Kota Bandung dan Kota Cimahi,

dalam pengadaan TPA secara regional. Demikian juga pengembangan kemampuan

memfasilitasi pengembangan sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat.

Disamping itu, penataan kelembagaan dalam konteks pemisahan peran regulator

dan operator pun menjadi tantangan dalam tahun-tahun mendatang.

c. Pengembangan komitmen pihak eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian dana

dalam penataan sistem pengelolaan sampah secara terintegrasi dan berkelanjutan

d. Penggalian sumber dana untuk investasi dan biaya O/M baik dari APBD maupun

modal swasta, yang harus sinergis dengan penerapan pola pemulihan biaya (cost

recovery) secara bertahap yang merupakan tantangan yang harus di carikan

solusinya.

e. Pengintegrasian 3R di dalam sistem operasi pengelolaan dari hulu ke hilir yang

selama ini masih belum dan sulit untuk dilakukan merupakan tantangan yang

memerlukan kesungguhan terutama dalam masalah pengembangan komunitas

(Community Development).

f. Pengembangan sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat terutama di

daerah-derah perdesaan, menjadi tantangan yang membutuhkan pemikiran

sungguh-sungguh sehingga dapat diimplementasikan.

g. Kondisi TPSA yang ada yang masih dioperasikan secara open dumping,memerlukan

upaya rehabilitasi agar pencemaran lingkungan dapat diminimalkan.

h. Penegakan dan Penaatan Hukum, atas pelanggaran pembuangan sampah

merupakan tantangan aparat hukum bagaimana penerapan Perda dapat

dilaksanakan secara sungguh-sungguh.

i. Adopsi teknologi pengolahan sampah yang kini banyak ditawarkan pihak investor

yaitu Pembangkit Tenaga Listrik sampah, merupakan peluang, disebabkan hal ini

akan mampu mengurangi beban pelayanan Pemerintah, akan tetapi merupakan

tantangan terutama dari faktor masalah pembiayaan dan dampaknya terhadap

lingkungan. Karena itu, apabila PLTSa akan menjadi salah satu alternatif dalam

mengatasi masalah pengelolaan sampah di Kabupaten Bandung, selayaknya

menjadi komplemen atau pendukung bukan menjadi strategi utama.

j. Dalam Jangka pendek diperlukan upaya pembinaan wilayah pengelolaan sampah

berbasis masyarakat. Disamping penyadaran masyarakat umum diseluruh kota agar

mau berpartisipasi aktif dalam membiayai pengelolaan sampah kota. Dalam jangka

panjang diharapkan muncul peran aktif masyarakat dalam bentuk tindakan nyata

dalam mengelola sampah yang ditimbulkannya. Dalam jangka panjang kehadiran

masyarakat bermodal (swasta) untuk mengelola sampah di wilayah strategis perlu

dikembangkan.

BAB V

IMPLIKASI TEORI KEBIJAKAN SPASIAL TERHADAP PENGELOLAAN SAMPAH

KABUPATEN BANDUNG

Kebijakan Spasial di Kabupaten Bandung telah diatur dalam Peraturan Daerah No. 3

Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung Tahun

2007 sampai dengan Tahun 2027. Kebijakan ruang ini memang harus terintegrasi dengan

pengelolaan persampahan karena untuk pemilihan lokasi sarana dan prasarana

persampahan seperti Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan

Akhir (TPA) serta mekanisme pengangkutan pasti memerlukan penyediaan ruang. RTRW

Kabupaten Bandung didalamnya terdapat delapan pasal yang isinya mengatur tentang

Kebijakan pengelolaan persampahan.

Keterlibatan Kebijakan Ruang Kabupaten Bandung dengan pengelolaan

persampahan sebagaimana tercantum dalam Perda No.3 Tahun 2008 adalah sebagai

berikut :

Kebijakan pemanfaatan ruang meliputi Kebijakan pengembangan struktur ruang

yang didalamnya mengatur tentang Kebijakan Pengembangan Infrastruktur Wilayah,

yang mana salah satunya adalah Kebijakan pengelolaan persampahan. (Pasal 9, 10,

16, Perda 3/2008).

Strategi untuk melaksanakan kebijakan pengembangan fasilitas pengelolaan

sampah yaitu melalui pengembangan sistem pelayanan persampahan dengan

pendekatan pengurangan, pemanfaatan kembali, daur ulang dan pemulihan. (Pasal

33, Perda 3/2008)

Pengembangan sistem pengelolaan sampah dilakukan melalui : a). Proses

pengumpulan dan pengangkutan sampah dilaksanakan melalui sistem terpilah; b).

Peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengelola persampahan harus dilakukan

secara regular (Pasal 47 ayat 2, Perda 3/2008)

Pengembangan Fasilitas Pengolahan Sampah diarahkan di Legok Nangka atau Citiis

Kecamatan Nagreg, Babakan Kecamatan Ciparay (Pasal 61 ayat 1, Perda 3/ 2008)

Lokasi Stasiun Peralihan Antara Sampah diarahkan di Kecamatan Soreang,

Bojongsoang, dan Majalaya. (Pasal 61 ayat 3, Perda 3/ 2008)

Penentuan lokasi Sarpras Persampahan apabila hasil kajian teknis dan sosial

dinyatakan layak, lokasi dapat menggunakan lahan tersedia kecuali lahan konservasi

(Pasal 61 ayat 4, Perda 3/ 2008)

Pengaturan pengelolaan sampah diatur lebih rinci dalam masterplan persampahan.

(Pasal 61 ayat 4, Perda 3/ 2008)

Untuk perencanaan lokasi fasilitas-fasilitas yang merupakan pendukung kegiatan

budidaya (fasiltas umum/sosial maupun fasilitas komersil), baik yang dibiayai oleh

pemerintah atau swasta atau merupakan kerjasama antara pemerintah dan pihak

swasta, antara lain: fasilitas Pendidikan, kesehatan, pelayanan ekonomi, fasilitas

pemerintahan, TPU/TPBU, fasilitas pengelolaan lingkungan (IPAL, Persampahan,

air bersih, sanitasi lingkungan) dan fasilitas penunjang transportasi (SPBU, rest

area), fasilitas kebudayaan dan pariwisata serta fasilitas pendukung kegiatan

budidaya lainnya tidak diatur secara spesifik dalam zonasi rencana pola ruang tetapi

lebih ditentukan berdasarkan kajian teknis, keserasian lingkungan serta estetika

ruang. (Pasal 86, Perda 3/ 2008)

Tahapan pengembangan prasarana dan sarana wilayah sebagaimana yang meliputi

prasarana sumber daya air dan irigasi, drainase dan persampahan, serta prasarana

energi dan telekomunikasi didasarkan pada kriteria pemecahan persoalan

mendesak, pemenuhan kebutuhan masyarakat, serta dukungan pada ekonomi

wilayah dan pengembangan wilayah. (Pasal 101 ayat 5, Perda 3/ 2008)

Pemerintah Kabupaten dapat bermitra dengan pihak swasta dan masyarakat dalam

penyediaan barang publik/sarana prasarana umum, seperti taman, pasar, rumah

sakit, jalan, air bersih, pengelolaan sampah dan sejenisnya sesuai ketentuan

perundang – undangan (Pasal 102 ayat 2, Perda 3/ 2008).

Program Pengelolaan Persampahan seperti yang tercantum pada pasal 114 Perda No.3

Tahun 2008 tentan RTRW Kabupaten Bandung adalah sebagai berikut :

a. Penyusunan studi kelayakan lokasi Fasilitas Pengelolaan Sampah (FPS) di

Kecamatan Nagreg;

b. Pengelolaan Fasilitas Pengelolaan Sampah (FPS) diarahkan untuk dilakukan dengan

sistem sanitary landfill(lahan urug terkendali);

c. Pengelolaan Fasilitas Pengelolaan Sampah (FPS) Metropolitan Bandung yang

terletak di wilayah Kabupaten Bandung diarahkan untuk dilakukan dengan sistem

sanitary landfill(lahan urug terkendali);

d. Penentuan lokasi Stasiun Peralihan Antara (SPA) di Kecamatan Bojongsoang,

Kecamatan Soreang, dan Kecamatan Majalaya;

e. Pengembangan sistem pengelolaan sampah;

f. Pengembangan pengelolaan sampah dengan konsep minimisasi, penggunaan

kembali, daur ulang, dan pemanfaatan kembali dengan menekankan pada program

pengomposan, daur ulang, dan waste to energy;

g. Penataan FPS dan eks-FPS Sampah;

h. Penyusunan studi penentuan lokasi dan kelayakan lokasi FPS alternatif apabila

lokasi-lokasi FPS di atas tidak layak secara teknis maupun sosial-ekonomi;

i. Revisi Perda No 31 Tahun 2000 dan SKBupati Nomor 13 Tahun 2001 tentang

pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Persampahan menyesuaikan dengan adanya

Rancangan Undang-Undang tentang persampahan yang saat ini sedang disusun.

BAB VI

LESSON LEARNED

Dari Uraian diatas dapat kita ambil pelajaran yang kita jadikan kesimpulan bahwa

Kebijakan Spasial berperan mengintegrasikan kebijakan pembangunan ekonomi dan

pelestarian lingkungan.

Penentuan lokasi TPA sampah harus mengacu pada Kebijakan spasial dan

ketentuan lainnya yang terkait.

Kebijakan spasial dalam hal ini Penataan Ruang sebelum dan sesudah

penyelenggaraan TPA sampah perlu dikendalikan secara ketat dan konsisten.

DAFTAR PUSTAKA

1. Undang – Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007

2. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008

3. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 3 Tahun 2008 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung Tahun 2007 – 2027

4. SNI 03-3241-1994 tentang tata cara pemilihan TPA Sampah

5. A. Hermanto Dardak, Kebijakan Penataan Ruang Pengelolaan Persampahan,

2007