KARET alam
Transcript of KARET alam
DEPOLIMERISASI LATEKS KARET ALAM SECARA KIMIA
MENGGUNAKAN SENYAWA HIDROGEN PEROKSIDA –
NATRIUM NITRIT – ASAM ASKORBAT
Oleh
RESTU YULIA TRIBAWATI
F34104003
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DEPOLIMERISASI LATEKS KARET ALAM SECARA KIMIA
MENGGUNAKAN SENYAWA HIDROGEN PEROKSIDA –
NATRIUM NITRIT – ASAM ASKORBAT
Oleh
RESTU YULIA TRIBAWATI
F34104003
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DEPOLIMERISASI LATEKS KARET ALAM SECARA KIMIA
MENGGUNAKAN SENYAWA HIDROGEN PEROKSIDA –
NATRIUM NITRIT – ASAM ASKORBAT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
RESTU YULIA TRIBAWATI
F34104003
Dilahirkan pada tanggal 9 Juli 1987
Di Lampung
Tanggal Lulus : 23 Januari 2009
Disetujui,
Bogor, Januari 2009
Prof. Dr. Ir. Djumali M., DEA Adi Cifriadi, M.Si
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Restu Yulia Tribawati. F34104003. Depolimerisasi Lateks Karet Alam Secara Kimia Menggunakan Senyawa Hidrogen Peroksida - Natrium Nitrit - Asam Askorbat. Di bawah bimbingan Djumali Mangunwidjaja dan Adi Cifriadi. 2009.
RINGKASAN
Karet alam dapat diperoleh dengan menyadap tanaman Hevea brasiliensis. Komoditi ini menunjang perekonomian Indonesia, karena telah menyumbangkan nilai ekspor yang cukup besar. Penggunaan karet alam juga semakin meningkat, ditandai dengan beragamnya aplikasi produk yang dapat dihasilkan dari bahan baku karet alam. Salah satu produknya yang dapat meningkatkan nilai tambah adalah produk perekat (adhesive).
Salah satu ciri karet alam adalah bobot molekulnya yang tinggi hingga mencapai 1-2 juta. Jika rantai molekulnya lebih pendek, diharapkan dapat meningkatkan daya rekatnya. Untuk memperoleh rantai molekul yang pendek dapat dilakukan modifikasi struktur karet alam. Salah satu caranya adalah dengan depolimerisasi, yaitu proses pemutusan rantai polimer karet sehingga dapat menurunkan bobot molekul karet.
Depolimerisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menambahkan suatu oksidator seperti H2O2 (hidrogen peroksida), reduktor seperti NaNO2 (natrium nitrit), serta senyawa yang dapat memperkuat reaksi redoks seperti asam askorbat. Depolimerisasi dilakukan pada suhu 700C dengan bantuan pengadukan selama waktu tertentu.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh dosis senyawa hidrogen peroksida dan natrium nitrit, serta waktu reaksi terhadap proses depolimerisasi lateks karet alam untuk menurunkan bobot molekul karet alam dan memperoleh kombinasi dosis senyawa pendegradasi terbaik untuk menurunkan bobot molekul karet alam.
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah lateks kebun yang kemudian disentrifugasi untuk memperoleh lateks pekat. Sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah amoniak (NH3) sebagai pengawet serta surfaktan emal dan emulgen. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan menggunakan dua faktor perlakuan, yaitu dosis bahan pendegradasi dan waktu reaksi depolimerisasi. Dosis bahan pendegradasi dibagi menjadi dua perlakuan yaitu variasi dosis NaNO2 dan variasi dosis H2O2. Variasi dosis NaNO2 terdiri atas tiga taraf, yaitu dosis H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar 1,1,1 bsk (bagian per seratus karet), 1,2,2 bsk, dan 1,3,3 bsk. Sedangkan variasi dosis H2O2 terdiri atas tiga taraf, yaitu dosis H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar 1,1,1 bsk, 2,1,1 bsk, dan 3,1,1 bsk. Faktor waktu reaksi terdiri dari 4 taraf, yaitu 2, 4, 6, dan 8 jam. Parameter utama terhadap karet hasil depolimerisasi meliputi viskositas intrinsik dan bobot molekul, sedangkan untuk parameter pembanding meliputi viskositas Mooney dan plastisitas Wallace (Po). Karakteristik karet depolimerisasi semakin baik jika nilai dari parameter-parameter tersebut semakin rendah.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan variasi dosis NaNO2, dosis H2O2, dan waktu reaksi memberikan pengaruh nyata terhadap viskositas Mooney karet depolimerisasi. Nilai viskositas Mooney yang dihasilkan berkisar
antara 38,8 hingga 94,7 (ML(1’+4’)1000C), sedangkan viskositas Mooney kontrol adalah 99 (ML(1’+4’)1000C). Nilai terendah diperoleh dari perlakuan depolimerisasi dosis H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar 1,2,2 bsk selama 8 jam, yaitu 38,8 (ML(1’+4’)1000C).
Pada pengujian plastistas Wallace (Po), analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan variasi dosis NaNO2, dosis H2O2, dan waktu reaksi memberikan pengaruh nyata terhadap parameter ini. Nilai pengujian Po dari karet depolimerisasi berkisar antara 26 hingga 52, sedangkan nilai Po untuk kontrol (lateks pekat) adalah 63. Nilai terendah diperoleh dari perlakuan depolimerisasi dosis H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar 1,2,2 bsk selama 8 jam, yaitu sebesar 26.
Perlakuan variasi dosis NaNO2 memberikan pengaruh nyata terhadap viskositas intrinsik dan bobot molekul. Sedangkan perlakuan variasi dosis H2O2 tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap viskositas intrinsik dan bobot molekul. Nilai viskositas intrinsik yang dihasilkan berkisar antara 279,31 hingga 425,73, sedangkan viskositas intrinsik kontrol sebesar 541,66. Bobot molekul karet depolimerisasi berkisar antara 4,82x105 hingga 8,52 x 105 , sedangkan bobot molekul kontrol adalah 1,18 x 106. Nilai viskositas intrinsik dan bobot molekul terendah diperoleh dari perlakuan depolimerisasi dosis H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar 1,3,3 bsk selama 8 jam, yaitu sebesar 279,31 dan 4,82 x 105.
Perlakuan waktu reaksi memberikan pengaruh nyata terhadap viskositas Mooney, plastisitas Wallace (Po), viskositas intrinsik, dan bobot molekul pada perlakuan variasi dosis NaNO2. Sedangkan pada perlakuan variasi dosis H2O2, waktu reaksi berpengaruh nyata terhadap viskositas Mooney dan plastisitas Wallace (Po), namun tidak berpengaruh nyata terhadap viskositas intrinsik dan bobot molekul. Pada semua dosis bahan pendegradasi, hasil pengukuran semakin rendah pada waktu reaksi yang semakin lama.
Perlakuan depolimerisasi dengan dosis H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar 1,3,3 bsk dan waktu reaksi selama 8 jam dipilih sebagai perlakuan terbaik karena menghasilkan karet dengan bobot molekul terendah, yaitu sebesar 4,82 x 105.
PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul
”Depolimerisasi Lateks Karet Alam Secara Kimia Menggunakan Senyawa
Hidrogen Peroksida – Natrium Nitrit – Asam Askorbat” ini adalah hasil karya
saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas
ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Januari 2009
Restu Yulia Tribawati
F34104003
BIODATA PENULIS
Penulis kemudian memperoleh Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan
diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis aktif di
organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai
pengurus pada tahun 2005/2006 dan 2006/2007. Pada tahun 2007, penulis
melaksanakan Praktek Lapang di PT. Centralpertiwi Bahari, Lampung dan
menyelesaikan laporan Praktek Lapang dengan judul ” Mempelajari Berbagai
Teknologi Proses Pengolahan Udang di PT. Centralpertiwi Bahari, Lampung”.
Penulis melaksanakan penelitian di Balai Penelitian Teknologi Karet
Bogor dari bulan Maret hingga September 2008 dan menyusun skripsi dengan
judul ”Depolimerisasi Lateks Karet Alam Secara Kimia Menggunakan Senyawa
Hidrogen Peroksida – Natrium Nitrit – Asam Askorbat”, sebagai salah satu syarat
untuk mendapat gelar sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Penulis dilahirkan di lampung pada tanggal 9 Juli
1987, dari ayah Suparwan dan ibu Eny Sulaningsih. Penulis
menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 1
Sidodadi pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1
Sidomulyo, Lampung Selatan dan lulus pada tahun 2001.
Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah
Umum Al-Kautsar, Bandar Lampung hingga lulus pada
tahun 2004.
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kahadirat Allah SWT berkat limpahan rahmat, karunia,
dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Depolimerisasi Lateks Karet Alam Secara Kimia Menggunakan Senyawa
Hidrogen Peroksida – Natrium Nitrit – Asam Askorbat”.
Dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi, penulis banyak
mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA selaku pembimbing akademik
yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini.
2. Adi Cifriadi, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
arahan dalam penulisan skripsi ini.
3. Drs. Chilwan Pandji, Apt. M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan
arahan berkaitan dengan skripsi ini.
4. Dr. Ary Achyar Alfa, M.Si dan Dr. Yoharmus Syamsu sebagai ahli bidang
teknologi karet yang telah memberikan arahan berkaitan dengan skripsi ini.
5. Segenap karyawan Balai Penelitian Teknologi Karet (BPTK) Bogor atas
bantuan selama masa penelitian : Mbak Woro, Mbak Desi, Teh Yati, Pak Aos,
Pak Ridwan, Mbak Hani, Mbak Shanti, Mas Ijal, Mas Syarif, Pak Nata, Teh
Vera, dan Mbak Sumy.
6. Teman-teman satu penelitian di BPTK : Juli Romaito, Ghany, Jatmiko, Novi,
dan Desty, atas kerjasama dan suka-duka yang dialami bersama.
7. Sahabat-sahabatku : Mirsa, Muli, Mega, Rini, Shinta, Galih, Fandie, Fajri,
Bimo, dan Aang Zen, atas segala kasih sayang kepada penulis selama ini.
8. Mas Darto, Mas Kukun, Haekal, Arief, Bewok, Irawan, Boby, Jajat, dua besar
TIN 41 (Supardi dan Ikhsan), Nini, Kero, dan teman-teman TIN 41 yang lain
sebagai keluarga penulis selama masa perkuliahan.
9. Segenap karyawan Departemen TIN dan FATETA, Pak Mul, Pak Anwar, Bu
Nina, Teh Yuli, Bu Ratna, Bu Ega, dan lainnya.
10. Bapak, Ibu, dan kedua adik (Pretty dan Indri) yang selalu mendukung dan
memberi doa kepada penulis.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak berkaitan dengan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap agar skripsi
ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2009
Penulis.
I. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Karet alam dapat diperoleh dengan menyadap tanaman Hevea
brasiliensis. Karet alam merupakan salah satu komoditas pertanian yang
sangat penting dan cukup banyak menghasilkan devisa bagi Indonesia untuk
menunjang perekonomian. Pada saat ini, Indonesia merupakan produsen
karet alam nomor dua di dunia setelah Thailand. Pada 2007 produksi karet
Indonesia mencapai 2,55 juta ton atau naik sekitar 5,6% dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Saat ini, Indonesia menguasai sekitar 28%
produksi karet dunia, yang produksinya sebagian besar diekspor ke Amerika
Serikat, Jepang, China, Singapura, Korea Selatan, Jerman, dan Kanada. Nilai
ekspor karet alam Indonesia pada 2007 mencapai 4,6 miliar dolar AS, atau
sekitar 40 persen dari nilai ekspor komoditas pertanian (www.bisnis.com).
Penggunaan karet alam juga semakin meningkat, ditandai dengan
beragamnya aplikasi produk yang dapat dihasilkan dari bahan baku karet
alam. Salah satu produknya yang dapat meningkatkan nilai tambah adalah
produk perekat (adhesive).
Salah satu ciri karet alam adalah bobot molekulnya yang tinggi
hingga mencapai 1-2 juta (Honggokusumo, 1978). Lateks karet alam dapat
digunakan sebagai perekat, karena partikel karetnya memiliki daya lengket.
Jika rantai molekulnya lebih pendek, diharapkan dapat meningkatkan daya
rekat dari karet alam (Alfa dan Syamsu, 2004).
Karet alam tanpa modifikasi hanya mampu dijadikan perekat untuk
bahan-bahan berpori. Untuk meningkatkan kegunaan karet alam sebagai
perekat, maka hal tersebut dapat diatasi dengan modifikasi struktur karet
alam. Salah satu cara untuk memodifikasi sifat karet alam adalah dengan
merubah struktur molekulnya, seperti dengan depolimerisasi, hidrogenasi,
siklisasi, klorinasi, kopolimerisasi, dan sebagainya. Degradasi rantai
molekul karet bertujuan untuk melunakkan atau menurunkan viskositas
karet, dan untuk memperoleh karet dengan rantai molekul yang lebih
pendek.
Pada penelitian terdahulu, senyawa pendegradasi yang dapat
digunakan pada depolimerisasi karet alam adalah hidrogen peroksida (H2O2)
sebagai senyawa oksidator dan natrium hipoklorit (NaOCl) sebagai senyawa
reduktor. Depolimerisasi tersebut termasuk jenis depolimerisasi secara kimia
dan termal dengan menggunakan bahan kimia dan pemanasan dalam oven
bersuhu 700C selama 16 jam. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pristiyanti
(2006), dilakukan depolimerisasi lateks karet alam menggunakan H2O2
sebanyak 2 bsk, NaOCl sebanyak 7 bsk, serta dengan pemeraman lateks
menggunakan toluen selama 3 hari sebelum bahan pendegradasi,
menghasilkan karet depolimerisasi dengan bobot molekul viskositas sebesar
3,06 x 105.
Dalam penelitian ini akan digunakan hidrogen peroksida (H2O2),
natrium nitrit (NaNO2), dan senyawa pereduksi lain yang dapat memperkuat
reaksi redoks, yaitu asam askorbat. Dosis bahan pendegradasi dan waktu
pemanasan yang digunakan lebih rendah dibandingkan penelitian terdahulu,
sehingga diharapkan dapat lebih efisien dengan karakteristik hasil karet
depolimerisasi yang lebih baik.
1.2. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui pengaruh dosis senyawa hidrogen peroksida dan natrium
nitrit, serta waktu reaksi terhadap proses depolimerisasi lateks karet alam
untuk menurunkan bobot molekul karet alam.
2. Memperoleh kombinasi dosis senyawa pendegradasi terbaik untuk
menurunkan bobot molekul karet alam.
1.3. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Depolimerisasi karet alam secara kimia untuk mengetahui pengaruh
dosis senyawa hidrogen peroksida dan natrium nitrit, serta waktu reaksi
terhadap penurunan bobot molekul karet alam.
2. Pengujian viskositas Mooney, viskositas intrinsik, bobot molekul, dan
plastisitas (Po) untuk menentukan pengaruh dosis senyawa hidrogen
peroksida dan natrium nitrit, serta waktu reaksi terhadap karakteristik
hasil depolimerisasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. TANAMAN KARET
Karet alam dapat diperoleh dari tanaman Hevea brasiliensis yang
menghasilkan getah berupa cairan berwarna putih ketika permukaan kulit
pohonnya disadap. Tanaman yang berasal dari negara Brazil ini merupakan
sumber utama bahan karet alam dunia. Karet alam juga dapat dihasilkan dari
tanaman lain yaitu Castilla elastica dan Ficus elastica (famili Moraceae),
Funtumia elastica, Dyera sp., dan Landolphia sp. (famili Apocinaceae),
Palaquium gutta (famili Sapotaceae), Parthenium argentatum dan
Taraxacum kokbsaghyz (famili Compositae), dan Manihot glaziovii (famili
Euphorbiaceae) (Goutara et al., 1985).
Tanaman karet Hevea brasiliensis merupakan divisi Spermatophyta,
subdivisi Angiospermae, kelas Dycotyledone, ordo Euphorbiales, famili
Euphorbiaceae, genus Hevea, dan spesies Hevea brasiliensis. Tanaman
tersebut dapat tumbuh pada segala jenis tanah. Tanaman karet mempunyai
toleransi terhadap pH tanah yang cukup besar, yaitu antara 3,8-8, meskipun
yang dianggap optimum adalah 4-6,5 (Goutara et al., 1985).
Di Indonesia, tanaman karet tumbuh baik pada tanah dengan
ketinggian antara 600-700 m di atas permukaan laut. Pada tempat yang lebih
tinggi, pertumbuhannya akan menjadi lebih lambat dan produktifitasnya
rendah (Goutara et al., 1985).
Tanaman karet dapat ditanam pada tanah yang kurang subur untuk
menanam tanaman perkebunan yang lain. Pada tanah yang subur, karet
mulai dapat disadap setelah umur 4-5 tahun. Sedangkan pada tanah yang
kurang subur, tanaman karet baru bisa disadap pada umur 7 tahun (Goutara
et al., 1985).
2.2. LATEKS Hevea brasiliensis
Lateks merupakan sistem koloid dimana partikel karet yang dilapisi
oleh protein dan fosfolipid terdispersi di dalam air. Protein di lapisan luar
memberikan muatan pada partikel karet. Lateks merupakan suatu dispersi
butir-butir karet dalam air, dimana di dalam dispersi tersebut juga larut
beberapa garam dan zat organik seperti gula dan protein (Goutara et al.,
1985).
Air getah (lateks) yang pada dewasa ini dipakai untuk pembuatan
berbagai barang berasal dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Air getah
(lateks) kira-kira mengandung 25-40% bahan karet mentah (crude rubber)
dan 60-75% serum (air dengan zat-zat yang melarut di dalamnya). Bahan
karet mentah antara lain mengandung 90-95% karet murni, 2-3% protein,
1-2% asam-asam lemak, 0,2% gula, dan 0,5% garam-garam mineral (Loo,
1980).
Komposisi lateks Hevea brasiliensis dapat dilihat jika lateks
disentrifugasi dengan kecepatan 18.000 rpm yang hasilnya adalah sebagai
berikut :
1. Fraksi lateks (37%) : Karet (isopren), protein, lipida, dan ion logam.
2. Fraksi Frey Wyssling (1-3%) : Karotenoid, lipida, air, karbohidrat dan
inositol, protein dan turunannya.
3. Fraksi serum (48%) : Senyawaan nitrogen, asam nukleat dan nukleotida,
senyawa organik, ion anorganik, dan logam.
4. Fraksi dasar (14%) : Air, protein dan senyawaan nitrogen, karet dan
karotenoid, lipida dan ion logam.
Getah karet diperoleh dengan menyadap kulit batang karet dengan
pisau sadap sehingga keluar getah yang disebut lateks. Lateks adalah hasil
fotosintesis dalam bentuk sukrosa ditranslokasikan dari daun melalui
pembuluh tapis ke dalam pembuluh lateks. Di dalam pembuluh lateks
terdapat enzim seperti invertase yang akan mengatur proses perombakan
sukrosa untuk pembentukan karet (Manitto, 1981).
Gambar 1. Penyadapan Lateks Hevea brasiliensis
Proses pengumpulan lateks harus memperhatikan kebersihan alat dan
kemungkinan terjadinya pengotoran pada lateks. Kotoran yang sulit
dihilangkan menyebabkan terjadinya prokoagulasi. Menurut Barney (1973),
pembentukan asam-asam dalam lateks yang tidak diberi pengawet akan
menyebabkan penggumpalan secara alami. Kontaminasi mikroorganisme
dari udara, perusakan karbohidrat, protein, dan lipid dalam lateks serta
aktivitas enzim tertentu akan memfermentasikan bagian-bagian bukan karet
dalam lateks menjadi asam lemak eteris dan asam lemak bebas.
Penambahan bahan kimia pengawet seperti amonia (NH3) dan
formalin bertujuan untuk meningkatkan kemantapan lateks. Sebagai
pengawet, amonia lebih banyak dipergunakan daripada bahan kimia lain
karena memiliki beberapa keunggulan. Amonia harganya lebih murah,
mudah menguap, dan konsentratnya dalam bentuk gas lebih mudah
digunakan. Sedangkan kekurangannya yaitu bau, sensitif terhadap seng
dioksida, dan konsentrasinya terus berkurang karena reaksi yang lambat
dengan bahan penyusun bukan karet (Cook, 1956).
Prakoagulasi dapat dicegah melalui penambahan amonia pada
konsentrasi antara 0,3% - 1%. Penambahan amonia akan meningkatkan pH
lateks menjadi 9 - 10, sehingga muatan negatif pada partikel-partikel karet
akan meningkat. Melalui penambahan amonia, ion-ion Mg+ yang dapat
mengganggu kemantapan lateks dapat dihindari dengan terbentuknya
senyawa kompleks. Ion-ion fosfat yang secara alamiah terdapat dalam serum
akan bereaksi dengan amonia membentuk senyawa magnesium amonium
fosfat (MgNH4PO4). Amonia juga dapat berfungsi sebagai bakterisida atau
penghambat pertumbuhan bakteri pembentuk asam (Honggokusumo, 1978).
Amonia banyak dipakai dan umumnya memberikan hasil yang
memuaskan apabila diberikan pada dosis yang tepat. Bila amonia digunakan
dalam pembuatan krep, maka harus diperhatikan bahwa dalam jumlah yang
terlampau besar, amonia dapat mempengaruhi warna dari krep tersebut
(Loo, 1980).
2.3. KARET ALAM
Menurut Triwijoso dan Siswantoro (1989), karet alam adalah suatu
polimer alami yang tersusun dari satuan unit ulang (monomer) trans/cis 1,4-
isoprena dengan rumus umum (C5H8)n dimana n adalah bilangan yang
menunjukkan jumlah monomer di dalam rantai polimer. Semakin besar
harga n maka molekul karet semakin panjang, semakin besar bobot molekul,
dan semakin kental (viscous). Nilai n dapat berkisar antara 3000-15000.
Karet alam bergabung secara ikatan kepala ke ekor (head to tail).
CH3
CH2=C-CH-CH3
Gambar 2. Struktur Kimia Monomer Karet Alam (Cowd, 1991)
H3C H CH3 H
C=C C=C
-H2C CH2 CH2 CH2- n
Gambar 3. Struktur Ruang 1,4 cis poliisoprena (Honggokusumo, 1978)
Karet alam memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan karet
sintesis, yaitu daya elastis atau daya lenting sempurna dan plastisitas yang
baik sehingga mudah diolah. Daya ausnya juga tinggi, tidak mudah panas
(low heat built up), dan tahan terhadap keretakan (groove cracking
resistance). Bobot molekul karet alam berkisar antara 1 sampai 2 juta. Karet
alam memiliki berat jenis 0,92 kg/m3. Adanya rantai molekul pendek
menyebabkan daya rekat yang tinggi.
Jenis karet alam sebagai bahan olahan setengah jadi yang siap
diproses lebih lanjut untuk membuat barang jadi adalah sebagai berikut :
a. karet konvensional (Ribbed smoked sheet, white crepes, dan estate
brown crepe)
b. lateks pekat
c. karet bongkah atau block rubber
d. karet spesifikasi teknis
2.4. LATEKS PEKAT
Lateks pekat diperoleh dengan cara memekatkan lateks kebun.
Pembuatan lateks pekat bertujuan untuk menghasilkan lateks dengan kadar
karet kering (KKK) sekitar 60%, sehingga memudahkan dalam pengolahan
barang jadi karet. Lateks pekat yang diperdagangkan umumnya dibuat
dengan metode pemusingan (centrifuged latex) atau pendadihan (creamed
latex). Selain metode-metode tersebut, pembuatan lateks pekat juga dapat
dilakukan dengan metode penguapan (evaporasi), penyaringan (filtrasi),
dialisis tekanan, dan elektrodekantasi. Metode yang paling sering digunakan
adalah metode sentrifuse (pemusingan) karena menghasilkan kapasitas
produksi yang besar, viskositas lateks lebih rendah (tidak kental), dan hasil
lateks lebih murni (tidak tercampur endapan dan kotoran) (Solichin, 1995).
Pemekatan lateks kebun dengan cara pemusingan dilakukan dengan
menggunakan alat pemusing yang mempunyai kecepatan antara 6000-7000
rpm (putaran per menit). Pemekatan lateks berlangsung sesuai dengan
hukum Stokes, yang secara matematis dapat dirumuskan dengan persamaan
(Suryawan, 2002) :
2gr2 (d1 - d2)
9η
Keterangan :
V : kecepatan gerak partikel ke atas
g : percepatan gravitasi atau sentrifugal
r : jari-jari partikel karet
d1 : rapat jenis serum
d2 : rapat jenis partikel karet
η : viskositas serum
Prinsip pembuatan lateks pekat dengan cara pemusingan didasarkan
pada perbedaan berat jenis antara partikel karet dan serum. Serum
mempunyai berat jenis lebih besar daripada partikel karet, yaitu 1,02 kg/m3,
sedangkan partikel karet hanya 0,91 kg/m3. Dengan demikian partikel karet
memiliki kecenderungan untuk naik ke permukaan, sedangkan serum
cenderung berada di bawahnya. Partikel karet dalam lateks mengalami gerak
Brown karena terjadi gaya tolak-menolak antarpartikel karet yang
bermuatan. Gerak Brown ini akan memperlambat terjadinya pemisahan
antara partikel karet dan serum. Lateks kebun yang dimasukkan ke dalam
alat sentrifugasi (separator) akan mendapat gaya sentripetal dan gaya
sentrifugal yang mengarah keluar. Gaya sentrifugal yang bekerja pada lateks
jauh lebih besar daripada percepatan gaya berat dan gerak Brown, sehingga
akan terjadi pemisahan antara partikel karet dan serum. Bagian serum yang
mempunyai berat jenis lebih besar akan terlempar ke bagian luar (lateks
skim) dan partikel karet akan terkumpul pada bagian pusat alat sentrifugasi
dan selanjutnya akan keluar dari bagian bawah (lateks pekat). Lateks pekat
ini mengandung karet kering sekitar 60%, sedangkan lateks skimnya masih
mengandung karet kering antara 3-8 % (Goutara et al., 1985).
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu lateks pekat pusingan adalah
pengawetan lateks kebun, KKK lateks kebun, pengendapan lateks kebun,
penambahan sabun ammonium laurat sebelum ataupun sesudah pemusingan,
alat dan cara pemusingan, penyimpanan, pengangkutan, dan cara
pengambilan sampel lateks pekat. Lateks pekat bermutu tinggi diperoleh
V=
dengan melakukan pengontrolan dan perlakuan yang baik sejak dari lateks
kebun sampai pada pengambilan sampel lateks pekat (Solichin, 1995).
2.5. DEPOLIMERISASI
Depolimerisasi merupakan salah satu cara modifikasi karet alam
dengan cara degradasi rantai molekul karet. Degradasi polimer dapat terjadi
secara mekanis, termal, kimiawi, fotokimia, dan biodegradasi. Secara
kimiawi degradasi polimer dapat terjadi dengan bantuan senyawa pemutus
rantai molekul polimer. Tujuan depolimerisasi adalah untuk melunakkan
atau sekedar menurunkan viskositas karet, dan untuk memperoleh karet
dengan rantai molekul yang sangat pendek atau karet cair.
Depolimerisasi ditandai dengan adanya putusnya ikatan rantai utama
sehingga menyebabkan pemendekan panjang rantai dan penurunan bobot
molekul. Reaksi ini juga terjadi pada gugus samping, namun pengaruhnya
tidak sebesar bila dibandingkan dengan reaksi pada gugus utama. Perubahan
sifat fisik mengakibatkan pembentukan ikatan kimia baru melalui
mekanisme ikatan silang sehingga konversi molekul menjadi lebih tinggi
(Surdia, 2000).
Menurut Alfa dan Syamsu (2004), penambahan senyawa pemutus
rantai molekul sistem redoks, campuran hidrogen peroksida dengan natrium
hipoklorit, dikombinasikan dengan hidroksilamin netral sulfat akan
menghasilkan lateks dengan viskositas Mooney karet mentah rendah dan
memiliki daya rekat baik.
Menurut Gunanti (2004), depolimerisasi molekul karet terjadi karena
adanya radikal OH hasil penguraian hidrogen peroksida (H2O2). Radikal OH
yang terbentuk bersifat sangat reaktif dan dapat bereaksi secara tidak
terkontrol dengan molekul polimer karet alam (poliisoprena). Radikal OH
yang terbentuk menarik salah satu atom H yang terdapat pada polimer karet
terutama menyerang ikatan karbon rangkap, sehingga dihasilkan radikal
bebas yang aktif. Radikal bebas pada molekul isoprena tersebut mudah
bereaksi dan berikatan dengan oksigen yang ada dalam lateks dan
membentuk molekul yang tidak stabil hingga mengalami reaksi autooksidasi
sampai terjadi pemutusan ikatan. Pada akhir reaksi pemutusan, terbentuk
gugus karbonil. Gugus karbon aktif yang dihasilkan langsung bereaksi
dengan gugus aktif dari reduktor yang dihasilkan gugus karbonil yang tidak
bermuatan. Gugus karbon yang dihasilkan memiliki gugus ujung berupa
keton dan aldehid.
Karet alam dengan bobot molekul yang rendah (150000-400000)
memiliki sifat lekat yang baik, sehingga dapat disebut sebagai karet lunak.
Sifat dan bentuknya inilah yang dapat dijadikan dasar dalam industri perekat
berbahan lateks (Roberts, 1988).
2.6. HIDROGEN PEROKSIDA
Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan oksidator kuat yang dapat
terurai menjadi dua produk yaitu air dan oksigen dengan reaksi sebagai
berikut.
2 H2O2 2 H2O + O2 + energi
Adapun struktur molekul hidrogen peroksida dapat dilihat pada
gambar.
H
O O
H
Gambar 4. Struktur Hidrogen Peroksida
(www.wikipedia.org)
Menurut Petrucci (1987), hidrogen peroksida merupakan senyawa
pengoksidasi dengan potensial standar yang besar.
H2O2 (aq) + 2H+ (aq) + 2 e- 2 H2O E0 = +1,77 V
Hidrogen peroksida merupakan senyawa oksidator kuat yang
memiliki kemampuan potensial oksidasi lebih tinggi dibandingkan dengan
klorin, klorin dioksida, dan potasium permanganat. Reaksi senyawa ini akan
menghasilkan radikal hidroksil.
Hidrogen peroksida sudah lama dikenal sebagai oksidator yang dapat
mendegradasi rantai molekul karet. Pada suhu ruang pengaruh peroksida ini
terhadap degradasi rantai molekul berlangsung lambat, tetapi berlangsung
cepat dengan adanya bahan peptiser (pemutus rantai) yang berfungsi sebagai
pemindah radikal bebas. Pencampuran reduktor dengan peroksida sebagai
bahan pendegradasi akan meningkatkan kinerja degradasi pada suhu rendah
(Alfa et al., 2003).
Pada konsentrasi tertentu, serta suhu yang semakin meningkat, maka
akan meningkatkan kerja dari hidrogen peroksida, namun akan semakin
cepat juga waktu hidupnya (lifetime). Tingkat destruksi senyawa ini adalah
2,2 kali setiap kenaikan suhu 10 0C. Adanya alkalinitas juga mempercepat
destruksi hidrogen peroksida (www.lenntech.com).
2.7. NATRIUM NITRIT
Natrium nitrit (NaNO2) merupakan reduktor yang sangat kuat yang
digunakan sebagai bahan peptiser dan diharapkan mampu mempercepat
reaksi degradasi molekul karet oleh peroksida pada suhu rendah. Dalam
bentuk murni, senyawa ini memiliki penampakan bubuk kristal berwarna
putih hingga kuning muda. Senyawa ini sangat larut dalam air dan bersifat
higroskopis. Secara perlahan, oksigen dalam udara mengoksidasi sehingga
terbentuk natrium nitrat (NaNO3) (www.wikipedia.com).
Gambar 5. Struktur Natrium Nitrit
Pada industri karet, natrium nitrit digunakan sebagai inhibitor
polimerisasi pada karet sintesis, bahan pencepat, bahan antioksidan atau
antiozonan, dan senyawa pembantu dalam pembuatan busa karet
(www.genchemcorp.com).
Na+N
O-O
2.8. ASAM ASKORBAT
Vitamin C adalah nutrien dan vitamin yang larut dalam air dan
penting untuk kehidupan serta untuk menjaga kesehatan. Vitamin ini juga
dikenal dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam askorbat.
Vitamin C termasuk golongan antioksidan karena sangat mudah teroksidasi
oleh panas, cahaya, dan logam, oleh karena itu penggunaan vitamin C
sebagai antioksidan semakin sering dijumpai (www.wikipedia.com).
Gambar 6. Struktur Asam Askorbat
2.9. SURFAKTAN
Surfaktan (surface active agent) adalah suatu bahan yang dapat
mengubah atau memodifikasi tegangan permukaan dan antar muka antara
fluida yang tidak saling larut atau molekul yang mengadsorbsi molekul lain
pada antar muka dua zat (Particle Engineering Research, 2005).
Dalam satu molekulnya, surfaktan memiliki dua gugus yang berbeda
polaritasnya, yaitu gugus polar dan non polar. Gugus polar memperlihatkan
afinitas (daya ikat) yang kuat dengan pelarut polar (contohnya air), sehingga
sering disebut gugus hidrofilik. Gugus non polar biasa disebut hidrofob atau
lipofilik yang berasal dari bahasa Yunani phobos (takut) dan lipos (lipid)
(Salanger, 2002).
Penambahan kaustik soda dan surfaktan dimaksudkan untuk
menstabilkan lateks. Surfaktan yang ditambahkan akan melapisi partikel-
partikel polimer yang terdispersi di dalam air. Surfaktan akan menjaga
kestabilan lateks terutama terhadap gerakan mekanis yang timbul karena
guncangan atau pengadukan (Stevens, 2001).
OH
OH
HO
OO
HO
Berdasarkan sifat kimianya, surfaktan dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Surfaktan Anionik
Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada
bagian hidrofiliknya atau aktif permukaannya (surface-active). Sifat
hidrofiliknya disebabkan karena keberadaan gugus sulfat atau sulfonat.
Salah satu contoh surfaktan anionik adalah emal. Emal mempunyai
kestabilan yang tinggi pada emulsi polimerisasi, tidak berwarna, larut
dalam air panas, stabil dalam larutan asam, alkali, dan air sadah. Gugus
fungsi utama yang terdapat dalam emal adalah (CH3(CH2)11OSO3)Na.
emal yang dilarutkan akan mengion membentuk turunan anionnya yaitu
ion alkil sulfat (CH3(CH2)11OSO3) (Huntsman, 2000).
2. Surfaktan Kationik
Surfaktan kationik yang dilarutkan akan mengion membentuk
turunan kationnya. Kation yang berhubungan dengan lateks adalah ion
ammonium yang satu atom hidrogennya telah digantikan oleh senyawa
organik (halida atau asetat). Contoh surfaktan kationik adalah
Lissolamine A, Vantoc A, Fixano C, dan Aerosol M.
3. Surfaktan Nonionik
Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak mengandung
gugus fungsional bermuatan baik positif maupun negatif dan tidak
mengalami ionisasi di dalam larutan. Menurut Salanger (2002),
surfaktan nonionik mempunyai kelebihan dibandingkan surfaktan
anionik dan kationik yaitu tidak dipengaruhi oleh kesadahan dan
perubahan pH, sehingga sangat kompatibel bila dikombinasikan dengan
tipe surfaktan lainnya. Karakter lain dari surfaktan nonionik adalah tidak
sensitif terhadap cairan elektrolit, pH, surfaktan ionik, dan dapat
digunakan pada salinitas tinggi serta pada air sadah.
Salah satu jenis surfaktan nonionik adalah emulgen. Nama lain
emulgen adalah Polyethylen Lauryl Ether dengan rumus molekul
C12H25(OCH2CH2)46OH. Emulgen berbentuk padatan lilin putih (white
waxy solid). Sifat emulgen yaitu larut dalam air, etanol, toluen, dapat
dicampur dengan bahan panas, minyak alami dan sintetik, lemak alkohol
dan lemak, tetapi tidak larut dengan minyak mineral dan minyak sayur
(www.mpfinechemical.com).
2.10. VISKOSITAS INTRINSIK DAN PENENTUAN BOBOT MOL EKUL
Bobot molekul merupakan variabel penting yang berhubungan
langsung dengan sifat-sifat fisika polimer. Polimer dengan bobot molekul
tinggi bersifat lebih kuat, tetapi bobot molekul yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan kesulitan dalam pemrosesannya.
Metode yang banyak dilakukan untuk penetapan berat molekul
polimer adalah osmometri, hamburan cahaya (light scattering), dan
ultrasentrifugasi. Metode yang paling mudah untuk penetapan bobot
molekul yang rutin dan distribusi bobot molekul polimer melalui
pengukuran viskositas larutan (Stevens, 2001).
Metode viskositas mempunyai kelebihan daripada metode lain, yaitu
lebih cepat dan mudah dalam pengerjaannya, menggunakan alat yang lebih
murah, serta perhitungan hasil pengukurannya lebih sederhana.
Pada dasarnya metode viskositas intrinsik adalah untuk mengukur
waktu yang diperlukan pelarut dan larutan polimer untuk mengalir di antara
dua garis pada viskometer atau mengukur laju alir cairan yang melalui
tabung berbentuk silinder (Bird, 1993). Waktu alir diukur pada saat pelarut
atau larutan polimer mengalir di antara dua tanda, x dan y. Waktu alir
larutan polimer lebih besar daripada waktu alir pelarutnya. Semakin tinggi
konsentrasi polimer dalam larutan, maka akan semakin lama waktu alir yang
dibutuhkan untuk melewati kapiler (Cowd, 1991).
Untuk mengukur bobot molekul viskositas, maka harus dihitung
terlebih dahulu viskositas larutan polimer (η) dan viskositas pelarut murni
(η0), sehingga viskositas jenis (ηsp) larutan polimer akan ditentukan oleh
persamaan :
ηsp =
Perbandingan ηsp/c, dimana c adalah konsentrasi larutan polimer disebut
viskositas reduksi. Nilai ηsp/c pada limit pelarutan disebut juga nilai
η – η0
η0
viskositas intrinsik dan diberi lambang [η], yang secara matematis dapat
dijelaskan sebagai ;
ηsp
c
Karena massa jenis berbagai larutan yang dipakai dalam suatu percobaan
hampir sama dengan massa jenis pelarut, maka sebagai pendekatan dapat
diandaikan viskositas tiap larutan hasil pengenceran berbanding lurus
dengan waktu alirnya, sehingga persamaan menjadi :
t2 – t1
t1
dimana t2 adalah waktu alir untuk larutan, sedangkan t1 adalah waktu alir
untuk pelarut. Dengan diperolehnya waktu alir pada berbagai pengenceran,
maka nilai ηsp dan ηsp/c dapat dihitung. Selanjutnya nilai ηsp/c diplotkan dalam
grafik linier terhadap konsentrasi c. Plot data ini diekstrapolasi ke
konsentrasi 0 menghasilkan nilai [η] (Cowd, 1991).
Mark dan Houwink menemukan bahwa angka viskositas intrinsik
dapat dikaitkan dengan penentuan bobot molekul relatif melalui rumus :
[η] = KMa
dimana M adalah bobot molekul relatif, sedangkan K dan a adalah tetapan
yang khas untuk sistem polimer-pelarut tertentu. K dan a harus ditentukan
dengan menggunakan paling sedikit dua sampel polimer yang mempunyai
bobot molekul relatif berbeda, dan nilainya harus diukur dengan
menggunakan metode seperti osmometri atau hamburan sinar. Karena semua
nilai yang digunakan merupakan nilai rata-rata, maka dapat dilihat bahwa
viskometri bukan metode mutlak untuk menentukan bobot molekul pasti,
melainkan rata-rata relatif (Cowd, 1991).
Viskositas diukur pada konsentrasi sekitar 0,5 g/100 ml pelarut,
dengan cara menetapkan lamanya aliran sejumlah volume larutan melalui
kapiler yang panjangnya tetap. Lamanya aliran dalam detik dicatat sebagai
waktu untuk larutan polimer melewati antara dua tanda batas pada
viskometer. Viskositas ditetapkan pada suhu konstan, biasanya 30,0± 0,010C
(Stevens, 2001).
lim c � 0 = [η]
= ηsp
Metode viskositas mempunyai kelebihan daripada metode lain, yaitu
lebih cepat, lebih mudah, alatnya murah, serta perhitungan hasilnya lebih
sederhana. Metode yang biasa dipakai untuk mengukur viskositas pelarut
dan larutan polimer adalah penggunaan viskometer Ostwald dan viskometer
Ubbelohde (Cowd, 1991).
Gambar 7. Viskometer (A) Ostwald-Fenske (B) Ubbelohde
Pada viskometer Ubbelohde, pengukuran tidak tergantung pada
volume cairan yang dipakai, karena viskometer dirancang untuk bekerja
dengan cairan mengalir melalui kapiler tanpa cairan di bawahnya.
Keunggulan viskometer ini jika dibandingkan dengan viskometer Ostwald,
yaitu dapat mencapai berbagai konsentrasi, larutan polimer dapat diencerkan
dalam viskometer dengan menambahkan sejumlah pelarut yang telah
terukur. Pengukuran dilakukan dengan viskometer berada dalam penangas
air bersuhu tetap untuk mencegah naik-turunnya viskositas akibat perubahan
suhu (Cowd, 1991).
III. BAHAN DAN METODE
3.1. BAHAN DAN ALAT
3.1.1. Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks
kebun yang diperoleh dari Kebun Percobaan Balai Penelitian Bioteknologi
Perkebunan di Ciomas, Bogor. Bahan kimia yang digunakan adalah
hidrogen peroksida (H2O2), natrium nitrit (NaNO2), asam askorbat,
amoniak (NH3), aseton, surfaktan emal dan emulgen, serta toluen p.a.
untuk pengujian viskositas intrinsik.
3.1.2. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah viskometer
Ubbelohde, viskometer Mooney, pengukur Po (Wallace Rapid
Plastimeter), alat sentrifugasi, pengaduk (agitator), pemanas air
(waterbath), oven, desikator, neraca analitik, termometer, kipas angin,
serta peralatan gelas.
3.2. METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan meliputi penyiapan lateks pekat hasil
sentrifugasi lateks kebun dan proses depolimerisasi menggunakan senyawa
pendegradasi hidrogen peroksida (H2O2), natrium nitrit (NaNO2), dan asam
askorbat.
3.2.1. Penyiapan Lateks Pekat
Lateks pekat yang digunakan sebagai bahan baku untuk proses
depolimerisasi merupakan hasil sentrifugasi lateks kebun. Sebelumnya
lateks kebun ditambahkan pengawet amoniak sebanyak 0,2% (v/v) agar
tidak cepat menggumpal dan diuji kadar karet keringnya (KKK). Sebelum
sentrifugasi, lateks kebun ditambahkan surfaktan emal dan emulgen
masing-masing sebanyak 1 bsk (bagian per seratus karet) untuk
menstabilkan lateks. Sentrifugasi akan menghasilkan lateks pekat dengan
KKK 60%±2. Pada lateks pekat, ditambahkan kembali pengawet amoniak
sebanyak 0,2% (v/v). Lateks pekat diambil sampelnya untuk pengujian
KKK, viskositas Mooney, viskositas intrinsik, dan Po (plastisitas Wallace).
Gambar 8. Diagram Alir Pembuatan Lateks Pekat Metode Sentrifugasi
3.2.2. Depolimerisasi Lateks Pekat
Proses depolimerisasi lateks pekat yang digunakan merupakan cara
kimia dengan melibatkan reaksi oksidasi-reduksi untuk memutuskan rantai
polimer dari poliisoprena menjadi rantai yang lebih pendek. Senyawa yang
bertindak sebagai oksidator adalah hidrogen peroksida (H2O2), sedangkan
reduktornya adalah natrium nitrit (NaNO2). Sedangkan senyawa asam
askorbat berfungsi untuk mengaktifkan kinerja dari senyawa pendegradasi.
Lateks pekat ditambahkan dengan surfaktan emal sebanyak 1 bsk,
kemudian diaduk sambil dialiri udara di atas sampel dengan kipas angin.
Pengadukan dan pengaliran udara ini dilakukan sampai bau amoniak tidak
tercium. Setelah itu, ditambahkan H2O2, NaNO2, dan asam askorbat
berturut-turut dengan selisih waktu antar penambahan senyawa-senyawa
tersebut sekitar 5 menit. Variasi kadar H2O2, NaNO2, dan asam askorbat
Lateks kebun
Penstabilan lateks
Amonia 0,2% Pengujian KKK
Sentrifugasi
Emal 1 bsk Emulgen 1 bsk
Lateks pekat
Pengujian KKK, viskositas Mooney, viskositas
intrinsik, Po
Amonia 0,2%
yang ditambahkan dalam satuan bsk (bagian per seratus karet) adalah
1:1:1, 1:2:2, 1:3:3, 2:1:1, dan 3:1:1.
Senyawa H2O2, NaNO2, dan asam askorbat ditambahkan ke dalam
lateks pekat sambil terus dilakukan pengadukan. Kemudian sampel
didepolimerisasi menggunakan gelas piala yang dipanaskan dalam
waterbath hingga suhu sampel mencapai 700C dan diaduk menggunakan
agitator pada kecepatan sekitar 124 rpm. Variasi waktu depolimerisasi
untuk setiap kadar senyawa pendegradasi adalah 2, 4, 6, dan 8 jam.
Setelah selesai proses depolimerisasi, sampel yang dihasilkan
disebut lateks depolimerisasi. Lateks ini kemudian disaring dan diturunkan
suhunya hingga ±350C, serta digumpalkan menggunakan aseton.
Gumpalan karet kemudian digiling dengan mesin penggiling sehingga
berbentuk krep. Krep yang terbentuk dikeringkan dalam oven dengan suhu
700C hingga kering. Krep hasil depolimerisasi diuji viskositas Mooney,
viskositas intrinsik, dan Po.
Gambar 9. Diagram Alir Depolimerisasi Lateks Pekat
Lateks pekat
Emal 1 bsk
Pengadukan dan pengaliran udara di atas sampel
Lateks pekat rendah amoniak
H2O2, NaNO2, asam askorbat
Depolimerisasi 2,4,6,8 jam Suhu 700C
Lateks depolimerisasi
Penyaringan
Penggumpalan
Aseton
Penggilingan
Pengeringan Suhu 700C
Krep karet Pengujian
viskositas Mooney, viskositas intrinsik,
Po
3.3. RANCANGAN PERCOBAAN
Analisis data hasil percobaan dilakukan dengan analisis statistik.
Desain eksperimen yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial
dengan menggunakan dua faktor perlakuan, yaitu dosis bahan pendegradasi
dan waktu reaksi depolimerisasi. Dosis bahan pendegradasi dibagi menjadi
dua perlakuan yaitu variasi dosis NaNO2 dan variasi dosis H2O2. Variasi
dosis NaNO2 terdiri atas tiga taraf, yaitu dosis 1,1,1 bsk, 1,2,2 bsk, dan 1,3,3
bsk. Sedangkan variasi dosis H2O2 terdiri atas tiga taraf, yaitu dosis 1,1,1
bsk, 2,1,1 bsk, dan 3,1,1 bsk. Faktor waktu reaksi terdiri dari 4 taraf, yaitu 2,
4, 6, dan 8 jam. Faktor dosis bahan pendegradasi akan ditetapkan sebagai
perlakuan ke-i, sedangkan faktor waktu reaksi akan ditetapkan sebagai
perlakuan ke-j. Rancangan percobaannya yaitu :
Keterangan :
Y ijk : pengamatan pada perlakuan ke-i dan ke-j ulangan ke-k
µ : rataan umum
A i : pengaruh perlakuan dosis bahan pendegradasi ke-i
Bj : pengaruh waktu reaksi ke-j
(AB) ij : pengaruh interaksi dosis bahan pendegradasi ke-i dengan waktu
reaksi ke-j
εijk : kesalahan pada perlakuan ke-i dan ke-j pada ulangan ke-k
Y ijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. PENYIAPAN LATEKS PEKAT
Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai
Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun
merupakan bahan baku awal yang akan digunakan untuk membuat lateks
pekat sehingga harus selalu dianalisis karakteristiknya untuk mengetahui
mutu lateks kebun, sebagai kontrol, dan meminimalkan keragaman lateks.
Saat baru disadap, lateks kebun yang tidak segera diproses lebih
lanjut harus diberi pengawet agar tidak cepat menggumpal. Salah satu
senyawa kimia yang dapat digunakan adalah amonia (NH3). Untuk
mengawetkan lateks kebun sebelum disentrifugasi, dapat ditambahkan
amonia sebanyak 0,2 % dari volume lateks. Konsentrasi ini dipilih karena
merupakan jumlah minimal amonia dapat mencegah penggumpalan lateks
dalam waktu yang tidak terlalu lama sebelum sentrifugasi. Jumlah amonia
yang terlalu besar akan menyebabkan proses depolimerisasi berlangsung
tidak optimal, karena kondisi keasaman (pH) sistem akan mempengaruhi
efektifitas reaksi depolimerisasi.
Mutu lateks pekat yang dihasilkan ditentukan berdasarkan spesifikasi
menurut ASTM. Menurut ASTM tahun 1997, lateks pekat dibagi menjadi
tiga jenis berdasarkan sistem pengawetan dan metode pembuatannya, yaitu :
1. Jenis I : Lateks pekat pusingan yang diawetkan dengan amonia
saja atau dengan pengawet formaldehida yang kemudian
dilanjutkan dengan pengawetan amonia.
2. Jenis II : Lateks pekat pendadihan yang diawetkan dengan amonia
saja atau dengan pengawet formaldehida yang kemudian
dilanjutkan dengan pengawetan amonia.
3. Jenis III : Lateks pekat pusingan yang diawetkan dengan kadar
amonia rendah dan bahan-bahan pengawet sekunder.
Jenis lateks pekat yang digunakan dalam penelitian ini menurut
ASTM tahun 1997 termasuk ke dalam jenis I, karena menggunakan
pengawet amonia sebanyak 0,2% sebelum pemekatan dan ditambahkan lagi
amonia sebanyak 0,2% setelah pemekatan. Penambahan kembali amonia ke
dalam lateks pekat bertujuan untuk mencegah penggumpalan selama
penyimpanan lateks dalam jangka waktu yang cukup lama.
Selain pengawet, bahan lain yang juga harus ditambahkan adalah
surfaktan, yaitu surfaktan emal dan emulgen masing-masing sebanyak 1 bsk.
Surfaktan berfungsi sebagai penstabil lateks selama proses sentrifugasi.
Gugus hidrofilik pada surfaktan akan berinteraksi dengan air, sedangkan
gugus hidrofobiknya akan berinteraksi dengan lapisan fosfolipid pada
partikel karet. Dengan demikian, dispersi partikel karet di dalam air pada
sistem lateks akan lebih stabil.
Penggunaan lateks pekat dalam penelitian ini bertujuan agar hasil
penelitian ini dapat diaplikasikan dalam industri yang umumnya
menggunakan lateks pekat untuk menurunkan biaya pengangkutan,
penyimpanan, dan pemrosesan. Pemekatan lateks kebun dilakukan dengan
metode sentrifugasi menggunakan mesin centrifuge.
Kadar Karet Kering (KKK) merupakan parameter terukur yang
menunjukkan persentase jumlah karet dalam lateks. Menurut Triwijoso et al.
(1989), lateks kebun segar mempunyai nilai KKK sebesar 30-34%. Pada
kondisi penyadapan yang sangat bagus, tidak ada hujan selama 24 jam
sebelum penyadapan, cuaca cerah, maka KKK lateks kebun dapat mencapai
35%.
Kadar karet kering pada lateks kebun yang digunakan adalah sebesar
32,7%. Nilai ini termasuk dalam kisaran lateks kebun bermutu baik, karena
lebih dari 30%. Lateks pekat yang dihasilkan dari sentrifugasi mempunyai
nilai KKK sebesar 58,54%. Menurut Triwijoso et al. (1989), KKK lateks
pekat hasil sentrifugasi adalah 60% ± 2. KKK lateks pekat lebih tinggi
daripada lateks kebun, karena pada saat proses sentrifugasi, bahan-bahan
bukan karet telah terpisah dari lateks bersamaan dengan serum.
Selain KKK, lateks pekat juga diuji viskositas Mooney-nya sebagai
indikator atau pembanding yang menunjukkan kecenderungan perubahan
bobot molekul karet alam. Dari hasil uji viskositas Mooney, dapat diketahui
bahwa contoh lateks pekat mempunyai nilai sebesar 99,0
(ML(1’+4’)1000C). Kisaran nilai tersebut menunjukkan bahwa sampel karet
kontrol yang digunakan memiliki sifat aliran bahan yang viskous.
Nilai plastisitas Wallace (Po) juga digunakan sebagai pembanding
dengan bobot molekul dan viskositas Mooney. Dari uji Po, dapat diketahui
bahwa contoh karet kontrol mempunyai nilai sebesar 63,0.
Nilai viskositas intrinsik karet kontrol dari lateks pekat adalah
sebesar 541,66. Dari viskositas intrinsik ini, dapat dilakukan konversi
menjadi bobot molekul karet kontrol. Hasil perhitungan bobot molekul
viskositas karet kontrol ini adalah 1,18x106.
4.2. DEPOLIMERISASI LATEKS PEKAT
Depolimerisasi merupakan salah satu cara mengubah struktur
molekul karet menjadi lebih lunak dan mempunyai bobot molekul rendah.
Tahap lebih lanjut yang diharapkan adalah dapat diaplikasikan sebagai
bahan baku produk yamg membutuhkan sifat lekat yang baik, seperti perekat
dan active plastisizer.
Keberhasilan proses depolimerisasi tergantung pada kestabilan atau
kemantapan lateks selama proses depolimerisasi berlangsung. Selama proses
depolimerisasi, harus diusahakan agar koagulasi partikel karet dapat
dicegah. Oleh karena itu, sebelum dilakukan proses depolimerisasi, perlu
ditambahkan surfaktan sebagai anti koagulan. Dari penelitian terdahulu,
seperti yang pernah dilakukan oleh Pristiyanti (2006), untuk membuat lateks
depolimerisasi hanya dibutuhkan surfaktan emal. Akan tetapi jika lateks
depolimerisasi akan diolah lebih lanjut menjadi karet siklo maka surfaktan
emal dan emulgen dapat dikombinasikan untuk mempertahankan kestabilan
lateks.
Surfaktan emal yang termasuk jenis surfaktan anionik lebih dapat
mempertahankan kestabilan lateks dibandingkan surfaktan emulgen, karena
surfaktan emal mempunyai muatan negatif, sehingga sesuai digunakan pada
lateks yang mengandung partikel karet yang juga bermuatan negatif. Muatan
negatif pada surfaktan emal dapat menurunkan tegangan antar muka antara
partikel karet dan serumnya, sehingga dispersi partikel karet dalam lateks
semakin stabil.
Prinsip kerja dari surfaktan adalah gugus hidrofob surfaktan akan
berinteraksi dengan permukaan partikel karet, sedangkan gugus
hidrofiliknya akan berinteraksi dengan air untuk membentuk pelindung
partikel karet. Penambahan surfaktan harus sesuai, karena jika terlalu sedikit
maka surfaktan tidak dapat menstabilkan lateks sehingga memungkinkan
lateks menggumpal. Dosis emal sebesar 1 bsk dipilih berdasarkan penelitian
terdahulu, karena dosis ini merupakan dosis terkecil yang dapat
mempertahankan kestabilan lateks selama depolimerisasi. Dosis surfaktan
yang terlalu besar akan menyebabkan lateks sukar digumpalkan dengan
asam format, sehingga untuk menggumpalkannya memerlukan pelarut
organik seperti alkohol dan aseton. Penggunaan alkohol dan aseton untuk
menggumpalkan lateks kurang disukai dalam industri, karena harganya yang
mahal.
Beberapa parameter yang dapat diukur untuk mengetahui
keberhasilan proses depolimerisasi adalah viskositas Mooney, plastisitas
Wallace (Po), serta viskositas intrinsik dan bobot molekul. Viskositas
intrinsik dan bobot molekul merupakan parameter utama depolimerisasi
karena menunjukkan nilai yang pasti terhadap tujuan depolimerisasi, yaitu
menurunkan bobot molekul karet. Sedangkan parameter viskositas Mooney
dan plastisitas Wallace (Po) digunakan sebagai pembanding terhadap
viskositas intrinsik dan bobot molekul, karena hasil pengukurannya hanya
memberikan indikator kecenderungan perubahan bobot molekul karet.
4.2.1. Depolimerisasi Lateks Karet Alam Secara Kimia
Proses degradasi rantai polimer karet alam dapat terjadi secara kimia
melalui suatu reaksi reduksi-oksidasi (redoks) dengan bantuan senyawa-
senyawa tertentu. Pada sistem reaksi redoks, senyawa yang umumnya
berperan sebagai oksidator adalah hidrogen peroksida, sedangkan senyawa
reduktornya adalah nitrit (NO2-) atau klorit (OCl-).
Pada penelitian ini, digunakan senyawa hidrogen peroksida sebagai
oksidator. Senyawa ini memiliki nilai potensial sel sebesar +1,77.
Sedangkan senyawa nitrat memiliki nilai potensial sel sebesar +0,96, lebih
besar nilainya dibandingkan senyawa klorit yang memiliki nilai potensial sel
sebesar +0,89. Pada nilai potensial sel yang lebih besar, senyawa kimia akan
lebih mudah berperan sebagai oksidator (Petrucci, 1987).
Penambahan hidrogen peroksida (H2O2) akan mendegradasi rantai
molekul melalui pembentukan senyawa radikal bebas. Mekanisme reaksi
pembentukan radikal bebas oleh H2O2 adalah sebagai berikut.
ROOR 2 OR
H2O2 2 OH* (radikal hidroksil)
Selain membentuk radikal, sebagian senyawa hidrogen peroksida
juga akan mengalami reaksi diproporsionasi, yaitu suatu jenis reaksi reduksi
oksidasi yang terjadi bila senyawa tunggal dioksidasi dan direduksi (Oxtoby
et. al., 1999). Senyawa ini ditambahkan pertama kali ke dalam lateks,
sehingga sebagian akan mengalami reaksi disproporsionasi membentuk air
dan oksigen yang ditandai dengan munculnya gelembung-gelembung gas
pada sistem. Reaksi disproporsionasi hidrogen peroksida menurut Oxtoby et.
al. (1999) adalah sebagai berikut.
2 H2O2 (l) 2 H2O(l) + O2(g)
Senyawa yang ditambahkan ke dalam lateks selanjutnya adalah
natrium nitrit (NaNO2). Sama seperti hidrogen peroksida, senyawa ini juga
mudah mengalami reaksi pembentukan radikal bebas yang akan menyerang
rantai polimer karet. Menurut Fitch dalam Kiatkamjornwong et. al. (2000),
pembentukan radikal bebas dari senyawa NaNO2 dapat dijelaskan
berdasarkan persamaan reaksi berikut.
NaNO2 + H2O HNO2 + NaOH
2 HNO2 H2N2O4
H2N2O4 N2O3 + H2O
N2O3 NO2* + NO* (radikal)
Reaksi rantai radikal bebas menurut Bolland dan Gee dalam Roberts
(1988) terjadi berdasarkan tiga tahapan, yaitu inisiasi, propagasi, dan
terminasi.
Inisiasi Produksi RO2*
Propagasi R* + O2 RO2*
RO2* + RH ROOH + R*
Terminasi R* + R*
R* + RO* produk non-radikal
RO2* + RO2*
Pada tahapan inisiasi dan propagasi, radikal bebas (R*) akan bereaksi
dengan oksigen (O2), yang terbentuk dari reaksi disproporsionasi hidrogen
peroksida, membentuk senyawa RO2* (radikal). Pada rantai polimer karet,
atom hidrogen yang berikatan dengan atom karbon (C) pada posisi alilik
diserang oleh RO2* (radikal) yang selanjutnya melakukan reaksi berantai
radikal bebas. Pada proses ini, rantai poliisopren akan diserang oleh oksigen,
atau terjadi proses autooksidasi berantai yang menyebabkan pemutusan
ikatan-ikatan pada rantai polimer karet. Mekanisme reaksi autooksidasi pada
rantai poliisopren menurut Roberts (1988) dapat dilihat pada Gambar 10
berikut.
RH + RO2* – CH2 – C = CH – CH– CH2 – C = CH – CH2 – * O2 – CH2 – C = CH – CH – CH2 – C = CH – CH2 – O – O* – CH2 – C = CH – CH – CH2 – C*– CH – CH2 – O O O2 – CH2 – C = CH – CH – CH2 – C – CH – CH2 – RH O O R* + – CH2 – C = CH – CH – CH2 – C – CH – CH2 – O O – CH2 – C = CH – CH – CH2 – C – CH – CH2 – O O *
– CH2 – C = CH + O = CH – CH2 – C = O + O = CH – CH2 –
Gambar 10. Mekanisme Reaksi Pemutusan Rantai Poliisopren Melalui
Autooksidasi
Pada Gambar 10, dapat dilihat bahwa terjadi reaksi autooksidasi pada
rantai poliisopren, dimana oksigen akan menyerang atom H alilik dan akan
membentuk ikatan dengan oksigen yang menyerang atom H alilik di posisi
CH3
CH3
CH3
CH3 CH3
CH3
CH3
CH3 O
O*
CH3 CH3 OOH
CH3 CH3 O*
CH3 CH3
yang lain. Karena autooksidasi terjadi secara berantai dan terus-menerus,
maka rantai polimer yang teroksidasi dan masih mengandung radikal bebas
akan bereaksi dengan isopren, sehingga dihasilkan rantai polimer yang
mengandung gugus COOH serta radikal bebas. Pada rantai polimer yang
masih mengandung radikal bebas, akan mudah terjadi autooksidasi yang
menyebabkan pemutusan rantai polimer. Pada akhir reaksi, akan dihasilkan
rantai polisopren yang mengandung gugus aldehid (CHO) dan keton (CO).
4.2.1. Pengaruh Dosis Senyawa Pendegradasi dan Waktu Reaksi Terhadap
Karakteristik Krep Karet Hasil Depolimerisasi
a. Viskositas Mooney
Viskositas Mooney merupakan salah satu parameter dalam
penelitian depolimerisasi, karena dapat memberikan gambaran perubahan
bobot molekul sampel. Proses depolimerisasi dapat dikatakan berhasil jika
viskositas Mooney lateks depolimerisasi lebih rendah daripada viskositas
Mooney kontrol (lateks pekat). Histogram analisis viskositas Mooney
dapat dilihat pada Gambar 11.
0102030405060708090
100
Vis
kosi
tas
Mo
on
ey
(ML
(1'+
4')1
00
oC
)
1,1,1 1,2,2 1,3,3 2,1,1 3,1,1
H2O2,NaNO2,as.askorbat (bsk)
2 jam
4 jam
6 jam
8 jam
kontrol
Gambar 11. Histogram Pengaruh Dosis Senyawa Pendegradasi dan Waktu
Reaksi Terhadap Viskositas Mooney
Viskositas Mooney karet alam menunjukkan panjangnya rantai
molekul karet atau berat molekul. Pada umumnya, semakin tinggi berat
molekul (BM) karet, maka semakin panjang rantai molekulnya dan
semakin tinggi sifat tahanan aliran bahannya atau dengan kata lain
karetnya semakin viskous.
Pengukuran viskositas Mooney dilakukan dengan Mooney
viscometer. Cara kerjanya berdasarkan pengukuran nilai torsi rotor yang
dapat berputar. Nilai viskositas Mooney yang didapat berlawanan dengan
nilai plastisitas, sebab semakin plastis sampel karet yang diuji, maka
semakin cepat rotor berputar, yang berarti tenaga yang dibutuhkan untuk
memutar rotor semakin kecil, hal ini menunjukkan viskositasnya rendah.
Jika karet yang diuji kurang plastis, maka viskositasnya akan tinggi,
karena rotor berputar lambat dan memerlukan tenaga yang besar.
Sebaliknya, karet lunak atau lebih plastis akan mempunyai viskositas yang
rendah, karena tenaga untuk memutar rotor kecil.
Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa viskositas Mooney lateks
depolimerisasi yang dihasilkan adalah berkisar antara 38,8 hingga 94,7
(ML(1’+4’)1000C), sedangkan viskositas Mooney kontrol adalah 99
(ML(1’+4’)1000C). Hal tersebut menunjukkan bahwa proses
depolimerisasi telah dapat memperpendek rantai molekul atau menurunkan
bobot molekul karet alam, karena terjadi penurunan nilai viskositas
Mooney dari lateks karet alam.
Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa penurunan viskositas Mooney
terjadi pada semua variasi dan dosis H2O2 dan NaNO2 dengan semakin
bertambahnya waktu reaksi. Pada masing-masing dosis, viskositas Mooney
paling rendah didapat dari lateks depolimerisasi yang direaksikan selama 8
jam, yaitu sebesar 52,2 (ML(1’+4’)1000C) pada dosis 1,1,1 bsk, 38,8
(ML(1’+4’)1000C) pada dosis 1,2,2 bsk, 40,2 (ML(1’+4’)1000C) pada
dosis 1,3,3 bsk, 85,7 (ML(1’+4’)1000C) pada dosis 2,1,1 bsk, dan 82,4
(ML(1’+4’)1000C) pada dosis 3,1,1 bsk.
Penurunan viskositas Mooney yang cukup signifikan terjadi pada
lateks depolimerisasi dengan dosis H2O2, NaNO2, dan asam askorbat
sebesar 1,2,2 bsk, yaitu berkisar antara 86 hingga 38,8 (ML(1’+4’)1000C).
Sedangkan pada lateks depolimerisasi dengan dosis H2O2, NaNO2, dan
asam askorbat sebesar 1,3,3 bsk, nilai viskositas Mooney-nya sedikit lebih
besar yaitu berkisar antara 86,65 hingga 40,2 (ML(1’+4’)1000C). Pada
lateks depolimerisasi dengan dosis H2O2, NaNO2, dan asam askorbat
sebesar 1,1,1 bsk, viskositas Mooney-nya berkisar antara 85 hingga 52,2
(ML(1’+4’)1000C). Nilai viskositas Mooney yang masih cukup tinggi
terjadi pada lateks depolimerisasi dengan dosis H2O2, NaNO2, dan asam
askorbat sebesar 2,1,1 bsk dan 3,1,1 bsk, yaitu berkisar antara 94,7 hingga
85,7 serta antara 92,8 hingga 82,4.
0
20
40
60
80
100
120
0 2 4 6 8 10
Waktu reaksi (jam)
Nila
i Vis
kosi
tas
Moo
ney
(ML(
1'+4
')100
oC
)
Dosis H2O2:NaNO2=1:1
Dosis H2O2:NaNO2=1:2
Dosis H2O2:NaNO2=1:3
Gambar 12. Grafik Penurunan Viskositas Mooney Pada Perlakuan Variasi
Dosis NaNO2 dan Waktu Reaksi
Dari Gambar 12, dapat dilihat bahwa pada variasi dosis NaNO2,
nilai viskositas Mooney dari karet alam hasil depolimerisasi pada reaksi
selama 2 jam menunjukkan nilai yang hampir sama, berkisar pada 85
hingga 86,65 (ML(1’+4’)1000C). Pada waktu reaksi 4 jam, nilai terendah
dihasilkan oleh lateks depolimerisasi dengan dosis NaNO2 2 bsk, yaitu
sebesar 77,5 (ML(1’+4’)1000C). Sedangkan pada dosis NaNO2 sebesar 3
bsk, penurunan nilai viskositas Mooney tidak terlalu signifikan, yaitu
sebesar 86 (ML(1’+4’)1000C). Pada waktu reaksi 6 jam dan 8 jam, nilai
terendah berturut-turut dihasilkan dari lateks depolimerisasi dengan dosis
NaNO2 sebesar 1 bsk (63,5 (ML(1’+4’)1000C)) dan 2 bsk (38,85
(ML(1’+4’)1000C)).
0
20
40
60
80
100
120
0 2 4 6 8 10
Waktu reaksi (jam)
Nila
i Vis
kosi
tas
Moo
ney
(ML(
1'+4
')10
0 oC
)
Dosis H2O2:NaNO2=1:1
Dosis H2O2:NaNO2=2:1
Dosis H2O2:NaNO2=3:1
Gambar 13. Grafik Penurunan Viskositas Mooney Pada Perlakuan Variasi
Dosis H2O2 dan Waktu Reaksi
Dari Gambar 13, dapat dilihat bahwa pada variasi dosis H2O2,
semua nilai viskositas Mooney terendah pada waktu reaksi 2, 4, 6, dan 8
jam dihasilkan oleh lateks depolimerisasi dengan dosis H2O2 sebesar
1 bsk. Nilai viskositas Mooney meningkat saat dosis H2O2 sebesar 2 bsk
untuk semua waktu reaksi, namun turun saat dosis H2O2 sebesar 3 bsk.
Penurunan nilai yang terjadi pada kedua dosis tersebut tidak terlalu
signifikan, yaitu pada waktu reaksi 2 jam, 4 jam, 6 jam, dan 8 jam
berturut-turut sebesar 94,7 dan 92,8, 91 dan 88, 87,3 dan 86, serta sebesar
85,7 dan 82,4.
Secara umum, nilai viskositas Mooney terbaik pada perlakuan
variasi dosis NaNO2 adalah pada dosis bahan pendegradasi sebesar 1,2,2
bsk. Sedangkan pada perlakuan variasi dosis H2O2, nilai viskositas
Mooney terbaik adalah pada dosis sebesar 1,1,1 bsk. Perbedaannya dengan
dosis 2,1,1 bsk dan dosis 3,1,1 bsk cukup signifikan.
Analisis keragaman dilakukan dengan metode statistik dengan
tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, dimana analisis untuk dosis bahan
pendegradasi dilakukan secara terpisah antara perlakuan dosis H2O2 dan
NaNO2. Dengan demikian, akan diketahui pengaruh dosis H2O2, dosis
NaNO2, dan waktu reaksi terhadap viskositas Mooney. Hasil analisis
keragaman dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil analisis
keragaman, diketahui bahwa perlakuan variasi dosis NaNO2, dosis H2O2,
dan waktu reaksi memberikan pengaruh nyata terhadap viskositas Mooney
karet depolimerisasi.
Uji lanjut Duncan yang dilakukan pada variasi dosis bahan
pendegradasi NaNO2 menunjukkan bahwa viskositas Mooney lateks
depolimerisasi pada dosis H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar 1,2,2
bsk dan 1,1,1 bsk tidak saling berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan
lateks depolimerisasi pada dosis 1,3,3 bsk. Sedangkan pada dosis 1,1,1 bsk
dan 1,3,3 bsk, uji lanjut menunjukkan bahwa keduanya tidak saling
berbeda nyata. Untuk variasi dosis H2O2, viskositas Mooney lateks
depolimerisasi dosis 1,1,1 bsk, 2,1,1 bsk, dan 3,1,1 bsk semuanya saling
berbeda nyata.
Uji lanjut Duncan yang dilakukan pada variasi waktu reaksi
menunjukkan bahwa viskositas Mooney lateks depolimerisasi pada waktu
reaksi 2, 4, 6, dan 8 jam semuanya saling berbeda nyata, baik pada variasi
dosis NaNO2 maupun pada variasi dosis H2O2.
b. Plastisitas Wallace (Po)
Pengukuran plastisitas dilakukan dengan Plastimeter Wallace,
yaitu mengukur kemampuan karet untuk menahan pembebanan tetap
selama waktu dan suhu tertentu. Plastisitas awal (Po) adalah plastisitas
karet mentah yang langsung diuji tanpa perlakuan khusus sebelumnya.
Perbedaan pengujiannya dengan viskositas Mooney adalah pada perlakuan
terhadap sampel. Pengujian viskositas Mooney dilakukan dengan proses
shearing (gesekan) yang mirip dengan proses pencampuran karet dan
bahan-bahan lain dalam pembuatan kompon karet. Sedangkan pengujian
Po hanya berdasarkan pampatan (tekanan) terhadap sampel karet.
Histogram analisis plastisitas Wallace (Po) dapat dilihat pada
Gambar 14.
0
10
20
30
40
50
60
70
Nila
i Po
1,1,1 1,2,2 1,3,3 2,1,1 3,1,1
H2O2,NaNO2,as.askorbat (bsk)
2 jam
4 jam
6 jam
8 jam
kontrol
Gambar 14. Histogram Pengaruh Dosis Senyawa Pendegradasi dan Waktu
Reaksi Terhadap Plastisitas Wallace (Po)
Dari Gambar 14, dapat diketahui bahwa pada semua perlakuan
depolimerisasi menggunakan senyawa H2O2, NaNO2, dan asam askorbat,
didapatkan nilai pengujian Po berkisar antara 26 hingga 52. Sedangkan
nilai Po untuk kontrol (lateks pekat) adalah 63. Hal ini menunjukkan
bahwa bobot molekul yang dihasilkan juga akan mengalami penurunan.
Secara umum, hasil pengujian Po menunjukkan perbandingan yang sama
dengan pengujian viskositas Mooney, yaitu mengalami penurunan nilai
jika dibandingkan dengan kontrol.
Penurunan nilai Po terjadi pada semua perlakuan dosis senyawa
pendegradasi dengan bertambahnya waktu reaksi. Nilai Po terendah
didapat pada lateks depolimerisasi yang direaksikan selama 8 jam, yaitu
pada dosis 1,1,1 bsk, 1,2,2 bsk, 1,3,3 bsk, 2,1,1 bsk, dan 3,1,1 bsk
berturut-turut sebesar 30, 26, 34, 47, dan 45.
0
10
20
30
40
50
60
70
0 2 4 6 8 10
Waktu reaksi (jam)
Nila
i Po Dosis H2O2:NaNO2=1:1
Dosis H2O2:NaNO2=1:2
Dosis H2O2:NaNO2=1:3
Gambar 15. Grafik Penurunan Viskositas Wallace Pada Perlakuan Variasi
Dosis NaNO2 dan Waktu Reaksi
0
10
20
30
40
50
60
70
0 2 4 6 8 10
Waktu reaksi (jam)
Nila
i Po Dosis H2O2:NaNO2=1:1
Dosis H2O2:NaNO2=2:1
Dosis H2O2:NaNO2=3:1
Gambar 16. Grafik Penurunan Viskositas Wallace Pada Perlakuan Variasi
Dosis H2O2 dan Waktu Reaksi
Pada Gambar 15 dan 16 , dapat dilihat bahwa pada variasi dosis
NaNO2, penurunan nilai Po yang cukup signifikan terjadi pada lateks
depolimerisasi dengan dosis H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar
1,2,2 bsk, yaitu berkisar antara 43 hingga 26. Sedangkan pada lateks
depolimerisasi dengan dosis H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar
1,3,3 bsk, nilai Po-nya sedikit lebih besar yaitu berkisar antara 41 hingga
34. Pada lateks depolimerisasi dengan dosis H2O2, NaNO2, dan asam
askorbat sebesar 1,1,1 bsk, nilai Po berkisar antara 46 hingga 30. Nilai Po
yang masih cukup tinggi terjadi pada lateks depolimerisasi dengan dosis
H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar 2,1,1 bsk, yaitu berkisar antara
52 hingga 47 serta pada dosis 3,1,1 bsk, yaitu berkisar antara 50,5 hingga
45.
Analisis keragaman dilakukan dengan metode statistik dengan
tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, dimana analisis untuk dosis bahan
pendegradasi dilakukan secara terpisah antara perlakuan dosis H2O2 dan
NaNO2. Dengan demikian, akan diketahui pengaruh dosis H2O2, dosis
NaNO2, dan waktu reaksi terhadap plastisitas (Po). Hasil analisis
keragaman dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan hasil analisis
keragaman, diketahui bahwa perlakuan variasi dosis NaNO2, dosis H2O2,
dan waktu reaksi memberikan pengaruh nyata terhadap plastistas Wallace
(Po).
Uji lanjut Duncan yang dilakukan pada variasi dosis bahan
pendegradasi NaNO2 menunjukkan bahwa plastisitas Wallace (Po) lateks
depolimerisasi pada dosis H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar 1,1,1
bsk dan 1,2,2 bsk tidak saling berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan
lateks depolimerisasi pada dosis 1,3,3 bsk. Sedangkan untuk variasi dosis
H2O2, plastisitas Wallace (Po) lateks depolimerisasi dosis 1,1,1 bsk, 2,1,1
bsk, dan 3,1,1 bsk semuanya saling berbeda nyata.
Uji lanjut Duncan yang dilakukan pada variasi waktu reaksi
menunjukkan bahwa plastisitas Wallace (Po) lateks depolimerisasi pada
waktu reaksi 2, 4, 6, dan 8 jam semuanya saling berbeda nyata, baik pada
variasi dosis NaNO2 maupun pada variasi dosis H2O2.
c. Viskositas Intrinsik dan Bobot Molekul Relatif Rata-Rata Viskositas (M v)
Viskositas intrinsik termasuk parameter utama yang digunakan
dalam penelitian depolimerisasi karet alam ini. Seperti pengujian lainnya
(Po), juga terdapat hubungan antara viskositas intrinsik dengan viskositas
Mooney, yaitu hubungan linier. Histogram analisis viskositas intrinsik dan
bobot molekul relatif rata-rata viskositas dapat dilihat pada Gambar 17 dan
Gambar 18.
0
100
200
300
400
500
600
Vis
kosi
tas
Intri
nsik
1,1,1 1,2,2 1,3,3 2,1,1 3,1,1
H2O2,NaNO2,as.askorbat(bsk)
2 jam
4 jam
6 jam
8 jam
kontrol
Gambar 17. Histogram Pengaruh Dosis Senyawa Pendegradasi dan Waktu
Reaksi Terhadap Viskositas Intrinsik
0
200000
400000
600000
800000
1000000
1200000
Bob
ot M
olek
ul
1,1,1 1,2,2 1,3,3 2,1,1 3,1,1
H2O2,NaNO2,as.askorbat(bsk)
2 jam
4 jam
6 jam
8 jam
kontrol
Gambar 18. Histogram Pengaruh Dosis Senyawa Pendegradasi dan Waktu
Reaksi Terhadap Bobot Molekul Relatif Rata-Rata Viskositas
Viskositas intrinsik kontrol (lateks pekat tanpa perlakuan) adalah
sebesar 541,66. Hasil pengujian viskositas intrinsik sampel karet
depolimerisasi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Viskositas
intrinsik lateks depolimerisasi sekitar 279,31 hingga 425,73.
Viskositas intrinsik dapat dikonversi menjadi bobot molekul
dengan menggunakan persamaan Mark dan Houwink Sakurada, yaitu
[η] = K . Mv a, sehingga bobot molekul (Mv) dapat diperoleh dengan
rumus Mv = ([η] / K) 1/a. Nilai tetapan K adalah sebesar 17,4 x 10-3 ml/g
untuk toluen pada suhu 350C dan a adalah tetapan sebesar 0,74 untuk
molekul karet dengan pelarut toluen.
Dari konversi viskositas intrinsik kontrol (lateks pekat) menjadi
bobot molekul relatif rata-rata, diperoleh hasil sebesar 1,18 x 106. Bobot
molekul (Mv) lateks pekat ini memperlihatkan ciri dari karet alam tanpa
perlakuan kimiawi yang mempunyai bobot molekul 1 x 106 hingga 2 x
106. Bobot molekul lateks depolimerisasi mengalami penurunan
dibandingkan bobot molekul kontrol. Bobot molekul lateks depolimerisasi
berkisar antara 4,82 x 105 hingga 8,52 x 105. Bobot molekul lateks
depolimerisasi yang lebih rendah daripada kontrol menunjukkan bahwa
senyawa pendegradasi mampu memotong rantai molekul karet alam.
Seperti halnya hasil pada pengujian viskositas Mooney dan Po,
penurunan viskositas intrinsik dan bobot molekul (Mv) karet juga terjadi
pada hampir semua perlakuan dosis senyawa pendegradasi dengan
bertambahnya waktu reaksi. Viskositas intrinsik terendah didapat pada
lateks depolimerisasi yang direaksikan selama 8 jam, yaitu sebesar pada
dosis 1,2,2 bsk, 1,3,3 bsk, 2,1,1 bsk, dan 3,1,1, berturut-turut sebesar
309,2, 279,31, 374,71, dan sebesar 374,67. Sedangkan pada dosis 1,1,1
bsk, viskositas intrinsik terendah didapatkan pada lateks depolimerisasi
yang direaksikan selama 6 jam, yaitu sebesar 396,76. Nilai viskositas
intrinsik waktu reaksi 8 jam pada dosis ini sedikit lebih besar, yaitu
sebesar 398,36.
Dari Gambar 17 dan 18 dapat dilihat bahwa viskositas intrinsik dan
bobot molekul (Mv) lateks depolimerisasi pada dosis H2O2, NaNO2, dan
asam askorbat sebesar 1,3,3 bsk mempunyai nilai paling kecil
dibandingkan dengan lateks depolimerisasi dengan dosis bahan
pendegradasi lainnya. Lateks depolimerisasi pada dosis 1,3,3 bsk tersebut
mempunyai viskositas intrinsik antara 279,31 hingga 370,39 (bobot
molekulnya 4,82 x 105 hingga 7,06 x 105). Lateks depolimerisasi dengan
dosis H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar 1,2,2 bsk mempunyai
viskositas intrinsik antara 309,2 hingga 408,16 (bobot molekul relatifnya
5,53 x 105 hingga 8,05 x 105). Lateks depolimerisasi dengan dosis H2O2,
NaNO2, dan asam askorbat sebesar 1,1,1 bsk mempunyai viskositas
intrinsik antara 398,36 hingga 414,32 (bobot molekul relatifnya 7,79 x 105
hingga 8,23 x 105). Lateks depolimerisasi dengan dosis H2O2, NaNO2, dan
asam askorbat sebesar 2,1,1 bsk dan 3,1,1 bsk mempunyai nilai viskositas
intrinsik yang hampir sama, yaitu antara 374,71 hingga 425,09 (bobot
molekul relatifnya 7,17 x 105 hingga 8,5 x 105) dan antara 374,67 hingga
425,73 (bobot molekul relatifnya 7,17 x 105 hingga 8,52 x 105).
Penurunan bobot molekul (Mv) paling besar terjadi pada lateks
depolimerisasi dari lateks pekat dengan dosis H2O2, NaNO2, dan asam
askorbat sebesar 1,3,3 bsk dan pada waktu reaksi 8 jam. Derajat
depolimerisasi (DP) lateks karet alam adalah sekitar 17350, sedangkan
untuk karet hasil depolimerisasi dengan bobot molekul terendah nilai DP-
nya adalah sekitar 7090. Maka nilai degradasi menjadi monomer dari karet
depolimerisasi dengan bobot molekul viskositas terendah didapat sebesar
1,44. Artinya, efektivitas reaksi depolimerisasi yang telah dilakukan masih
sangat rendah, karena rantai hanya putus menjadi 1,44 bagian dari rantai
polimer awal. Grafik penurunan bobot molekul lateks depolimerisasi pada
masing-masing perlakuan variasi dosis NaNO2 dan H2O2 dapat dilihat
pada Gambar 19 dan 20 berikut.
0
200000
400000
600000
800000
1000000
1200000
1400000
0 2 4 6 8 10
Waktu reaksi (jam)
Bob
ot M
olek
ul
Dosis H2O2:NaNO2=1:1
Dosis H2O2:NaNO2=1:2
Dosis H2O2:NaNO2=1:3
Gambar 19. Grafik Penurunan Bobot Molekul Pada Perlakuan Variasi
Dosis NaNO2 dan Waktu Reaksi
0
200000
400000
600000
800000
1000000
1200000
1400000
0 2 4 6 8 10
Waktu reaksi (jam)
Bob
ot M
olek
ul
Dosis H2O2:NaNO2=1:1
Dosis H2O2:NaNO2=2:1
Dosis H2O2:NaNO2=3:1
Gambar 20. Grafik Penurunan Bobot Molekul Pada Perlakuan Variasi
Dosis H2O2 dan Waktu Reaksi
Analisis keragaman dilakukan dengan metode statistik dengan
tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, dimana analisis untuk dosis bahan
pendegradasi dilakukan secara terpisah antara perlakuan dosis H2O2 dan
NaNO2. Dengan demikian, akan diketahui pengaruh dosis H2O2, dosis
NaNO2, dan waktu reaksi terhadap viskositas intrinsik dan bobot molekul.
Hasil analisis keragaman dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6.
Berdasarkan hasil analisis keragaman, diketahui bahwa perlakuan
variasi dosis NaNO2 memberikan pengaruh nyata terhadap viskositas
intrinsik dan bobot molekul. Sedangkan perlakuan variasi dosis H2O2 tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap viskositas intrinsik dan bobot
molekul. Perlakuan waktu reaksi memberikan pengaruh nyata terhadap
viskositas intrinsik dan bobot molekul pada perlakuan variasi dosis
NaNO2, namun tidak berpengaruh nyata pada perlakuan variasi dosis
H2O2.
Uji lanjut Duncan untuk variasi dosis bahan pendegradasi
menunjukkan bahwa viskositas intrinsik lateks depolimerisasi pada dosis
H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar 1,1,1 bsk berbeda nyata dengan
lateks depolimerisasi pada dosis 1,2,2 bsk dan 1,3,3 bsk. Viskositas
intrinsik lateks depolimerisasi pada dosis 1,2,2 bsk dan 1,3,3 bsk tidak
saling berbeda nyata.
Uji lanjut Duncan untuk variasi waktu reaksi (pada variasi dosis
NaNO2) menunjukkan bahwa viskositas intrinsik lateks depolimerisasi 8
jam berbeda nyata dengan lateks depolimerisasi 4 dan 2 jam, namun tidak
berbeda nyata dengan lateks depolimerisasi 6 jam. Sedangkan viskositas
intrinsik antara lateks depolimerisasi 2, 4, dan 6 jam tidak saling berbeda
nyata.
Dari hasil pengujian secara umum, baik pada viskositas Mooney,
Po, maupun viskositas intrinsik, nilai pengukuran yang didapatkan pada
dosis yang sama akan semakin turun dengan semakin lama waktu reaksi
depolimerisasinya. Salah satu faktor penentu keberhasilan proses
depolimerisasi pada penelitian ini adalah pengadukan dan pemanasan
lateks. Dengan semakin lama waktu pengadukan dan pemanasan lateks,
maka senyawa-senyawa pendegradasi akan semakin efektif bereaksi
dengan partikel karet, sehingga kemampuan untuk memutus rantai polimer
(poliisopren) akan semakin tinggi.
Untuk variasi dosis bahan pendegradasi, dilakukan variasi pada
dosis NaNO2 dan dosis H2O2. Secara umum, lateks depolimerisasi yang
dihasilkan pada variasi dosis NaNO2 (dosis 1,1,1 bsk, dosis 1,2,2 bsk, dan
dosis 1,3,3 bsk) memiliki nilai pengukuran viskositas Mooney, plastisitas
Wallace (Po), viskositas intrinsik, dan bobot molekul yang lebih rendah
dibandingkan dengan lateks depolimerisasi yang dihasilkan pada variasi
dosis H2O2 (dosis 1,1,1 bsk, dosis 2,1,1 bsk, dan dosis 3,1,1 bsk).
Pada variasi dosis NaNO2, perlakuan terbaik pada viskositas
Mooney (sebesar 38,85) dan Po (sebesar 26) dihasilkan dari lateks
depolimerisasi dengan dosis 1,2,2 bsk. Namun perlakuan terbaik pada
pengukuran bobot molekul dihasilkan dari lateks depolimerisasi dengan
dosis 1,3,3 bsk. Sedangkan pada variasi dosis H2O2, perlakuan terbaik
pada pengukuran viskositas Mooney, Po, dan bobot molekul dihasilkan
dari lateks depolimerisasi dengan dosis sebesar 1,1,1 bsk.
Senyawa hidrogen peroksida dalam proses depolimerisasi
berfungsi sebagai oksidator yang akan menyerang rantai polimer karet,
sehingga terbentuk rantai yang lebih pendek. Pada dosis bahan
pendegradasi 1,1,1 bsk, jumlah hidrogen peroksida seimbang dengan
jumlah natrium nitrit dan asam askorbat yang ditambahkan. Sedangkan
pada dosis 2,1,1 bsk dan dosis 3,1,1 bsk, jumlah hidrogen peroksida cukup
banyak menyerang rantai poliisopren, sehingga radikal bebas yang
dihasilkan cukup banyak. Namun senyawa ini mempunyai waktu hidup
yang pendek atau mudah terdestruksi pada saat suhu tinggi. Pada kedua
dosis tersebut, jumlah natrium nitrit dan asam askorbat yang ditambahkan
tidak seimbang atau lebih sedikit, sehingga kemampuan untuk memutus
rantai juga akan rendah. Hal ini mempengaruhi karakteristik dari lateks
depolimerisasi yang dihasilkan, yaitu pada dosis 1,1,1 bsk lebih baik
dibandingkan dengan dosis 2,1,1 bsk dan 3,1,1 bsk.
Sedangkan pada variasi dosis NaNO2, jumlah hidrogen peroksida
cukup untuk melakukan pemutusan rantai poliisopren. Dengan dosis
NaNO2 dan asam askorbat yang semakin banyak, maka kemampuan untuk
memindah radikal bebas dan memutus rantai polimer juga semakin tinggi.
Hal ini mempengaruhi karakteristik dari lateks depolimerisasi yang
dihasilkan, yaitu karakteristik lebih baik pada dosis NaNO2 dan asam
askorbat yang lebih besar. Dengan demikian, diketahui bahwa pada proses
depolimerisasi secara reduksi-oksidasi menggunakan senyawa H2O2,
NaNO2, dan asam askorbat, karakteristik hasilnya akan lebih baik jika
jumlah NaNO2 dan asam askorbat yang ditambahkan lebih besar daripada
jumlah H2O2 yang digunakan.
Pengukuran viskositas Mooney, plastisitas Wallace (Po), viskositas
intrinsik, dan bobot molekul relatif rata-rata merupakan faktor kunci yang
menentukan perlakuan terbaik. Perlakuan depolimerisasi dengan dosis
H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar 1,3,3 bsk dan waktu reaksi
selama 8 jam dipilih sebagai perlakuan terbaik karena menghasilkan karet
dengan bobot molekul (Mv) terendah, yaitu sebesar 4,82 x 105.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
Proses depolimerisasi lateks karet alam menggunakan senyawa
hidrogen peroksida (H2O2) sebagai oksidator, natrium nitrit (NaNO2)
sebagai reduktor, serta asam askorbat sebagai penguat reaksi reduksi
oksidasi pada suhu dan waktu tertentu mampu memutuskan ikatan pada
rantai molekul karet, sehingga menurunkan bobot molekulnya.
Variasi dosis bahan pendegradasi NaNO2 berpengaruh nyata
terhadap penurunan viskositas Mooney, plastisitas Wallace (Po), viskositas
intrinsik, dan bobot molekul karet depolimerisasi. Penurunan nilai viskositas
Mooney dan plastisitas Wallace (Po) yang terbesar diperoleh dari karet
depolimerisasi dengan dosis H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar 1,2,2
bsk, yaitu sebesar 38,85 (ML(1’+4’)1000C) dan 26,0. Sedangkan untuk
viskositas intrinsik dan bobot molekul, penurunan nilai yang terbesar
diperoleh dari karet depolimerisasi dengan dosis 1,3,3 bsk, yaitu sebesar
279,31 dan 4,82 x 105.
Variasi dosis bahan pendegradasi H2O2 berpengaruh nyata terhadap
penurunan viskositas Mooney dan plastisitas Wallace (Po), namun tidak
berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai viskositas intrinsik dan bobot
molekul karet depolimerisasi. Penurunan viskositas Mooney dan plastisitas
Wallace (Po) yang terbesar diperoleh dari karet depolimerisasi dengan dosis
H2O2, NaNO2, dan asam askorbat sebesar 1,1,1 bsk, yaitu sebesar 52,25
(ML(1’+4’)1000C) dan 30,0. Sedangkan untuk viskositas intrinsik dan bobot
molekul, penurunan nilai yang terbesar diperoleh dari karet depolimerisasi
dengan dosis 3,1,1 bsk, yaitu sebesar 374,67 dan 7,17 x 105.
Waktu reaksi berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai viskositas
Mooney, plastisitas Wallace (Po), viskositas intrinsik, dan bobot molekul
karet depolimerisasi pada semua dosis bahan pendegradasi. Semakin lama
waktu reaksi depolimerisasi, maka penurunan nilai parameter yang
digunakan akan semakin besar.
Proses depolimerisasi secara reduksi-oksidasi menggunakan senyawa
H2O2, NaNO2, dan asam askorbat akan menghasilkan karet depolimerisasi
dengan karakteristik yang lebih baik jika jumlah NaNO2 dan asam askorbat
yang ditambahkan lebih besar daripada jumlah H2O2 yang digunakan.
Perlakuan terbaik yang diperoleh dari penelitian ini adalah karet
depolimerisasi yang memiliki nilai viskositas intrinsik dan bobot molekul
terendah, yaitu sebesar 279,31 dan 4,82 x 105 pada dosis bahan pendegradasi
sebesar 1,3,3 bsk dan waktu reaksi selama 8 jam.
5.2. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian depolimerisasi dengan jumlah dosis bahan
pendegradasi yang lebih besar untuk menghasilkan karet depolimerisasi
dengan karakteristik yang lebih baik.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai kecepatan pengadukan yang tepat
untuk proses depolimerisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Alfa, A.A, I. Sailah, dan Y. Syamsu. 2003. Pengaruh Perlakuan Lateks Karet Alam Dengan H2O2-NaOCl Terhadap Karakter Lateks dan Kelarutan Karet Siklo Dari Lateks. Simposium Nasional Polimer IV. Jakarta.
Alfa, A.A, dan Y. Syamsu. 2004. Degraded and Stabilized Natural Rubber Latex
– Prospect for Veneer Adhesive. Seminar Kimia Malaya. Barney, J.A. 1973. Natural Rubber Productions Lectures Notes. Balai Penelitian
Perkebunan Bogor. Bogor. Bird, T. 1993. Kimia Fisik Untuk Universitas. PT. Gramedia, Jakarta. Cook, G. Philips. 1956. Latex, Natural, and Synthetic. A Reinhold Pilot Book,
New York. Cowd, M.A. 1991. Kimia Polimer. Penerbit ITB, Bandung. Goutara, B. Djatmiko, dan W. Tjiptadi. 1985. Dasar Pengolahan Karet.
Agroindustri Press, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gunanti, Stivani Dwi. 2004. Kajian Kemantapan Viskositas Mooney Karet Hasil
Depolimerisasi Lateks Karet Alam yang Diberi Perlakuan Hidroksilamin Netral Sulfat (HNS). Skripsi. Fateta, IPB. Bogor.
Honggokusumo, S. 1978. Pengetahuan Lateks. Kursus Pengolahan Barang Jadi
Karet. Balai Penelitian Perkebunan Bogor. Bogor. Huntsman. 2000. Surfactant Handbook. 2nd edition. Kiatkamjornwong, S., R. Nuisin, G. Hui Ma, dan S. Omi. 2000. Synthesis of
Styreric Toner Particles By SPG Emulsification Technique. Chinese Journal of Polymer Science.
Loo, Thio Goan. 1980. Mengelola Karet Alam. PT. KINTA, Jakarta. Manitto, P. 1981. Biosintesis Produk Alami. Ellis Horwood Limited. Particle Engineering Research Center. 2005. Surfactants. University of Florida.
www.unmc.edu/pharmacy/wwwcourse/p_surfactants_00_files/p_surfactants.ppt.
Petrucci, Ralph H. 1987. Kimia Dasar : Prinsip dan Terapan Modern. California
State University, San Bernardino.
Pristiyanti, E.N.W. 2006. Pengaruh Pengembangan Partikel Karet Terhadap Depolimerisasi Lateks Dengan Reaksi Reduksi-Oksidasi. Skripsi. Fateta, IPB. Bogor.
Roberts, A.D. 1988. Natural Rubber Science and Technology. Oxford University
Press. Salanger, J.L. 2002. Surfactants Types and Uses. Version 2. Teaching Aid In
Surfactant Science and Engineering in English. Universidad De Los Andes, Merida-Venezuela.
Santoso, A.M. 2003. Pedoman Pemilihan dan Sifat-Sifat Elastomer, Kursus
Teknologi Barang Jadi Karet Padat. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor.
Solichin. 1995. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Viskositas Mooney dalam
Pengolahan SIR 3 CV. Dalam. Jurnal Lateks, vol. 6 nomor 2 Oktober 1991. Pusat Penelitian Perkebunan Sembawa, Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia.
Solichin. 2000. Pengaruh Bahan Non-Rubber Terhadap Oksidasi, Storage
Hardening, dan Sifat Vulkanisasi Karet. Dalam. Warta Pusat Penelitian Karet, Volume 19. Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia.
Surdia, N.M. 2000. Degradasi Polimer. Indonesian Polymer Journal. Vol. 3 no. 1.
Bandung. Suryawan, D. 2002. Pedoman Praktek Pengolahan Lateks Pekat, Kursus
Teknologi Barang Jadi Dari Lateks. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor.
Stevens, M.P. 2001. Kimia Polimer. Pradnya Paramitra, Jakarta. Triwijoso, S.U. dan Oerip Siswantoro. 1989. Pedoman Teknis Pengawetan dan
Pemekatan Lateks Hevea. Balai Penelitian Perkebunan Bogor. Bogor. www.bisnis.com
www.genchemcorp.com www.lenntech.com www.mpfinechemical.com www.wikipedia.org
Lampiran 1. Prosedur Pengujian KKK, Viskositas Mooney, Viskositas Intrinsik, Bobot Molekul, dan Plastisitas Wallace (Po)
1. Penetapan Kadar Karet Kering (KKK) (ASTM D-1076-97)
Lateks sebanyak 5-10 gram (W1) dituangkan dalam cawan
alumunium, kemudian digumpalkan dengan aseton seluruhnya. Gumpalan
lateks yang dihasilkan digiling membentuk krep dengan ketebalan tidak lebih
dari 2 mm. Lembaran krep kemudian dikeringkan pada suhu 700C hingga
kering sempurna. Kemudian krep didinginkan dalam desikator dan ditimbang
(W2). Kadar karet kering lateks dihitung dengan rumus sebagai berikut.
W1 = bobot sampel W2 = bobot krep kering 2. Penetapan Viskositas Mooney (ASTM D-1076-97)
Contoh sebanyak ±25 gram diletakkan di atas rotor dan di bawah rotor,
kemudian ditutup. Sebelumnya alat dipanaskan hingga suhu 1000C, setelah
dipanaskan selama 1 menit, rotor dijalankan. Tenaga untuk memutar rotor
dibaca pada skala setelah 4 menit, sehingga persamaannya menjadi sebagai
berikut.
M = (1’ + 4 ‘) L100/ 0C
Keterangan :
M = Angka viskositas Mooney karet
L = Ukuran rotor (cm)
1 = Waktu pemanasan pendahuluan yang dinyatakan dalam menit (1’)
4 = Waktu pemanasan pengujian yang dinyatakan dalam menit (4’)
3. Penetapan Viskositas Intrinsik (η) dengan Viskometer Ubbelohde
Contoh sebanyak ± 0,125 gram dilarutkan dalam 25 ml toluen p.a.
hingga larut sempurna menjadi larutan dengan konsentrasi 0,5%. Pertama
yang diukur adalah waktu alir toluen. Sebanyak 10 ml toluen dimasukkan
W1 %KKK = X 100% W2
dalam viskometer, kemudian viskometer dimasukkan ke dalam penangas yang
telah berisi air dengan suhu konstan (350C) dan sampel siap diukur waktu
alirnya. Setelah waktu alir toluen selesai, dilanjutkan dengan pengukuran
waktu alir sampel. Sebanyak 10 ml sampel konsentrasi 0,5% dimasukkan ke
dalam viskometer dan diukur waktu alirnya.
Setiap sampel diukur pada lima konsentrasi larutan (0,5%, 0,4%, 0,3%,
0,2%, dan 0,1%) dan setiap konsentrasi diukur minimal pada lima waktu alir
dengan selisih yang tidak terlalu besar. Konsentrasi yang berbeda diperoleh
dengan melakukan pengenceran pada viskometer dengan menambahkan
sejumlah toluen.
Setelah didapatkan lima waktu alir, kemudian dihitung rata-rata waktu
alir toluen (t0), dan waktu alir tiap konsentrasi sampel (t1-t5). Setelah itu
dihitung η relatif yaitu t1 / t0 sampai dengan t5 / t0. Setelah itu dihitung η
spesifik, yaitu (η relatif1 – 1) sampai dengan (η relatif5 – 1). Setelah itu
dihitung η reduksi yaitu (η spesifik1 / konsentrasi1) sampai dengan (η spesifik5/
konsentrasi5) dan mengeplotkan data tersebut ke dalam grafik linier sehingga
diperoleh persamaan y = a + bx, dimana x adalah konsentrasi dan y adalah η
reduksi. Dari plot data tersebut diekstrapolasi ke konsentrasi nol sehingga
menghasilkan nilai viskositas intrinsik [η] dari suatu larutan contoh.
4. Penetapan Bobot Molekul Viskositas
Penetapan bobot molekul viskositas menggunakan data nilai viskositas
intrinsik dengan persamaan Mark dan Houwink Sakurada :
[η] = K . Mv a
Sehingga Mv = ([η] / K) 1/a
Keterangan :
Mv = Bobot molekul viskositas
[η] = Viskositas intrinsik
K (350C) = 17,4 x 10-3 ml/g untuk toluen
a = 0,74 untuk sampel karet dengan pelarut toluen
(K dan a tergantung dari jenis pelarut yang digunakan dan suhu viskometer
yang digunakan)
5. Penetapan Plastisitas Wallace (Po) (SNI 06-1903-1990)
Contoh uji sebanyak 15-20 gram digiling dengan gilingan laboratorium
dingin sehingga lembaran akhir krep mempunyai ketebalan 1,6-1,8 mm.
Lembaran karet (tidak boleh ada lobang) dilipat dua dan ditekan perlahan
dengan telapak tangan hingga ketebalannya antara 3,2-3,6 mm. Contoh uji
dipotong dengan wallace punch sebanyak 6 buah dengan posisi :
Potongan 1 diletakkan di antara dua lembar kertas sigaret (TST) lalu
diukur plastisitas awalnya (Po) sesuai dengan operasional alat Plastimeter
Wallace.
1 2 1
2 1 2
Lampiran 2. Rekapitulasi Hasil Pengukuran Viskositas Mooney, Plastisitas Wallace (Po), Viskositas Intrinsik, dan Bobot Molekul
1. Hasil Pengukuran Viskositas Mooney
H2O2, NaNO2, asam askorbat (bsk)
Waktu 1,1,1 1,2,2 1,3,3 2,1,1 3,1,1
2 jam 85 86 86.65 94.7 92.8
4 jam 80.35 77.5 86 91 88
6 jam 63.5 73 75.3 87.3 86
8 jam 52.25 38.85 40.2 85.7 82.4
Kontrol 99
2. Hasil Pengukuran Plastisitas Wallace (Po)
H2O2, NaNO2, asam askorbat (bsk)
Waktu 1,1,1 1,2,2 1,3,3 2,1,1 3,1,1
2 jam 46 43 41 52 50.5
4 jam 39.5 40.5 40.5 50 48
6 jam 33 37 38 49 47
8 jam 30 26 34 47 45
Kontrol 63
3. Hasil Pengukuran Viskositas Intrinsik
H2O2 , NaNO2, asam askorbat (bsk)
Waktu 1,1,1 1,2,2 1,3,3 2,1,1 3,1,1
2 jam 414.32 408.16 370.39 425.09 425.73
4 jam 413.19 374.41 364.46 400.2 414.43
6 jam 396.76 359.54 349.39 398.35 412.78
8 jam 398.36 309.2 279.31 374.71 374.67
Kontrol 541.66
4. Hasil Pengukuran Bobot Molekul
H2O2 , NaNO2, asam askorbat (bsk)
Waktu 1,1,1 1,2,2 1,3,3 2,1,1 3,1,1
2 jam 8,23.105 8,05.105 7,06.105 8,50.105 8,52.105
4 jam 8,20.105 7,16.105 6,92.105 7,85.105 8,22.105
6 jam 7,75.105 6,79.105 6,52.105 7,79.105 8,17.105
8 jam 7,79.105 5,53.105 4,82.105 7,17.105 7,17.105
Kontrol 1,18.106
Lampiran 3. Analisis Statistik Viskositas Mooney
1. Variasi Dosis NaNO2
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
Value
Label N
1.00 1,1,1 8
2.00 1,2,2 8
dosis
3.00 1,3,3 8
1.00 2 jam 6
2.00 4 jam 6
3.00 6 jam 6
waktu
4.00 8 jam 6
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: mooney
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 6857.193(a) 11 623.381 185.346 .000
Intercept 118891.527 1 118891.527 35349.314 .000
dosis 41.101 2 20.550 6.110 .015
waktu 6405.323 3 2135.108 634.819 .000
dosis * waktu 410.769 6 68.462 20.355 .000
Error 40.360 12 3.363
Total 125789.080 24
Corrected Total 6897.553 23
a R Squared = .994 (Adjusted R Squared = .989)
Post Hoc Tests dosis Homogeneous Subsets mooney Duncan a,b
Subset
dosis N 1 2
1,2,2 8 68.8375
1,1,1 8 70.2750 70.2750
1,3,3 8 72.0375
Sig. .143 .079
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 3.363. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000. b Alpha = .05. waktu Homogeneous Subsets mooney Duncan a,b
Subset
waktu N 1 2 3 4
8 jam 6 43.7667
6 jam 6 70.6000
4 jam 6 81.2833
2 jam 6 85.8833
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 3.363. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
2. Variasi Dosis H2O2
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
Value
Label N
1.00 1,1,1 8
2.00 2,1,1 8
dosis
3.00 3,1,1 8
1.00 2 jam 6
2.00 4 jam 6
3.00 6 jam 6
waktu
4.00 8 jam 6
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: mooney
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 3379.643(a) 11 307.240 97.925 .000
Intercept 163020.167 1 163020.167 51958.619 .000
dosis 1791.603 2 895.802 285.514 .000
waktu 1077.857 3 359.286 114.513 .000
dosis * waktu 510.183 6 85.031 27.101 .000
Error 37.650 12 3.138
Total 166437.460 24
Corrected Total 3417.293 23
a R Squared = .989 (Adjusted R Squared = .979)
Post Hoc Tests dosis Homogeneous Subsets mooney Duncan a,b
Subset
dosis N 1 2 3
1,1,1 8 70.2750
3,1,1 8 87.3000
2,1,1 8 89.6750
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 3.138. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000. b Alpha = .05. waktu Homogeneous Subsets mooney Duncan a,b
Subset
waktu N 1 2 3 4
8 jam 6 73.4500
6 jam 6 78.9333
4 jam 6 86.4500
2 jam 6 90.8333
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 3.138. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
Lampiran 4. Analisis Statistik Plastisitas Wallace (Po)
1. Variasi Dosis NaNO2
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
Value
Label N
1.00 1:1:1 8
2.00 1:2:2 8
dosis
3.00 1:3:3 8
1.00 2 jam 6
2.00 4 jam 6
3.00 6 jam 6
waktu
4.00 8 jam 6
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: po
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 704.865(a) 11 64.079 107.922 .000
Intercept 33562.760 1 33562.760 56526.754 .000
dosis 12.271 2 6.135 10.333 .002
waktu 590.115 3 196.705 331.292 .000
dosis * waktu 102.479 6 17.080 28.766 .000
Error 7.125 12 .594
Total 34274.750 24
Corrected Total 711.990 23
a R Squared = .990 (Adjusted R Squared = .981)
Post Hoc Tests
dosis
Homogeneous Subsets
po Duncan a,b
Subset
dosis N 1 2
1:2:2 8 36.6875
1:1:1 8 37.1250
1:3:3 8 38.3750
Sig. .278 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .594. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000. b Alpha = .05. waktu Homogeneous Subsets po Duncan a,b
Subset waktu N 1 2 3 4 8 jam 6 30.0833 6 jam 6 36.0000 4 jam 6 40.1667 2 jam 6 43.3333
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .594. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
2. Variasi Dosis H2O2
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
Value
Label N
1.00 1:1:1 8
2.00 2:1:1 8
dosis
3.00 3:1:1 8
1.00 2 jam 6
2.00 4 jam 6
3.00 6 jam 6
waktu
4.00 8 jam 6
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: po
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1368.115(a) 11 124.374 341.140 .000
Intercept 51014.260 1 51014.260 139924.829 .000
dosis 970.146 2 485.073 1330.486 .000
waktu 305.781 3 101.927 279.571 .000
dosis * waktu 92.188 6 15.365 42.143 .000
Error 4.375 12 .365
Total 52386.750 24
Corrected Total 1372.490 23
a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .994)
Post Hoc Tests
dosis
Homogeneous Subsets
po
Duncan a,b
Subset
dosis N 1 2 3
1:1:1 8 37.1250
3:1:1 8 50.1875
2:1:1 8 51.0000
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .365. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000. b Alpha = .05.
waktu
Homogeneous Subsets
po
Duncan a,b
Subset
waktu N 1 2 3 4
8 jam 6 42.0833
6 jam 6 43.6667
4 jam 6 47.3333
2 jam 6 51.3333
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .365. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
Lampiran 5. Analisis Statistik Viskositas Intrinsik
1. Variasi Dosis NaNO2
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
Value Label N
dosis 1.00 1:1:1 8
2.00 1:2:2 8
3.00 1:3:3 8
waktu 1.00 2 jam 6
2.00 4 jam 6
3.00 6 jam 6
4.00 8 jam 6
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: intrinsik
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 38146.443(a) 11 3467.858 2.851 .043
Intercept 3275211.225 1 3275211.225 2692.597 .000
dosis 16723.618 2 8361.809 6.874 .010
waktu 16621.751 3 5540.584 4.555 .024
dosis * waktu 4801.074 6 800.179 .658 .685
Error 14596.515 12 1216.376
Total 3327954.183 24
Corrected Total 52742.958 23
a R Squared = .723 (Adjusted R Squared = .470)
Post Hoc Tests
dosis
Homogeneous Subsets
intrinsik
Duncan a,b
Subset
dosis N 1 2
1:3:3 8 340.8863
1:2:2 8 362.8263
1:1:1 8 404.5313
Sig. .232 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1216.376. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000. b Alpha = .05.
waktu
Homogeneous Subsets
intrinsik
Duncan a,b
Subset
waktu N 1 2
8 jam 6 327.4550
6 jam 6 368.5617 368.5617
4 jam 6 384.0200
2 jam 6 397.6217
Sig. .064 .194
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1216.376. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
2. Variasi Dosis H2O2
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
Value Label N
1.00 1:1:1 8 2.00 2:1:1 8
dosis
3.00 3:1:1 8 1.00 2 jam 6 2.00 4 jam 6 3.00 6 jam 6
waktu
4.00 8 jam 6
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: intrinsik
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 6424.178(a) 11 584.016 .400 .930
Intercept 3910851.841 1 3910851.841 2677.980 .000
dosis 222.796 2 111.398 .076 .927
waktu 5209.869 3 1736.623 1.189 .355
dosis * waktu 991.512 6 165.252 .113 .993
Error 17524.487 12 1460.374
Total 3934800.506 24
Corrected Total 23948.665 23
a R Squared = .268 (Adjusted R Squared = -.403)
Lampiran 6. Analisis Statistik Bobot Molekul
1. Variasi Dosis NaNO2
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
Value
Label N
1.00 1:1:1 8
2.00 1:2:2 8
dosis
3.00 1:3:3 8
1.00 2 jam 6
2.00 4 jam 6
3.00 6 jam 6
waktu
4.00 8 jam 6
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: BM
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected
Model 369157836620.125(a) 11 33559803329.103 2.747 .048
Intercept 17364881619423.390 1 17364881619423.390 1421.357 .000
dosis 171079412439.001 2 85539706219.501 7.002 .010
waktu 149796155732.126 3 49932051910.709 4.087 .033
dosis * waktu 48282268449.000 6 8047044741.500 .659 .684
Error 146605408697.500 12 12217117391.459
Total 17880644864741.000 24
Corrected Total 515763245317.625 23
a R Squared = .716 (Adjusted R Squared = .455)
Post Hoc Tests
dosis
Homogeneous Subsets
BM
Duncan a,b
Subset
dosis N 1 2
1:3:3 8 760597.1250
1:2:2 8 827676.3750
1:1:1 8 963555.3750
Sig. .248 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 12217117391.459. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000. b Alpha = .05.
waktu
Homogeneous Subsets
BM
Duncan a,b
Subset
waktu N 1 2
8 jam 6 726177.6667
6 jam 6 844405.6667 844405.6667
4 jam 6 894581.0000
2 jam 6 937274.1667
Sig. .089 .191
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 12217117391.459. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
2. Variasi Dosis H2O2
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
Value
Label N
1.00 1:1:1 8
2.00 2:1:1 8
dosis
3.00 3:1:1 8
1.00 2 jam 6
2.00 4 jam 6
3.00 6 jam 6
waktu
4.00 8 jam 6
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: BM
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected
Model 65807361323.459(a) 11 5982487393.042 .398 .931
Intercept 22021601818410.080 1 22021601818410.080 1466.739 .000
dosis 2639168515.584 2 1319584257.792 .088 .916
waktu 50780264902.126 3 16926754967.376 1.127 .377
dosis * waktu 12387927905.751 6 2064654650.959 .138 .988
Error 180167852719.500 12 15013987726.625
Total 22267577032453.000 24
Corrected Total 245975214042.959 23
a R Squared = .268 (Adjusted R Squared = -.404)