Paper Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Tinjauan Teoritis Ekonomi Sumber Daya Alam dan...

54
PAPER EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN Dr. Ir. BUDIMAN N. TINJAUAN TEORITIS EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN Oleh: MUHAMMAD RAZI NIM 41203401130016 PROGRAM PASCASARJANA ILMU EKONOMI KONSENTRASI PEMBANGUNAN SUMBER DAYA UNIVERSITAS NUSA BANGSA BOGOR 2015

Transcript of Paper Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Tinjauan Teoritis Ekonomi Sumber Daya Alam dan...

i

PAPER

EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Dr. Ir. BUDIMAN N.

TINJAUAN TEORITIS

EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Oleh:

MUHAMMAD RAZI

NIM 41203401130016

PROGRAM PASCASARJANA

ILMU EKONOMI KONSENTRASI PEMBANGUNAN SUMBER DAYA

UNIVERSITAS NUSA BANGSA

BOGOR

2015

ii

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

1. Latar Belakang .......................................................................................... 1

2. Dua pandangan terhadap Sumber Daya Alam .......................................... 1

3. Klasifikasi Sumber Daya Alam ................................................................. 3

4. Pengukuran Ketersediaan Sumber Daya Alam ......................................... 4

5. Pengukuran Kelangkaan Sumber Daya Alam ........................................... 6

II. EKONOMI SUMBER DAYA TANAH .......................................................... 8

1. Aspek Ekonomi Sumber Daya Tanah ....................................................... 9

2. Sewa Tanah (Land Rent) sebagai Surplus Ekonomi ................................. 9

3. Teori Sewa Tanah David Ricardo ............................................................. 11

4. Teori Sewa Tanah Von Thunen ................................................................ 12

5. Faktor-faktor yang Menentukan Harga Tanah .......................................... 13

III. EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN .......................................................... 15

1. Konsep Ekonomi Sumber Daya Hutan ..................................................... 15

2. Fungsi Hutan ............................................................................................. 19

3. Peranan Sumber Daya Hutan dalam Perekonomian ................................. 20

4. Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan ........................ 21

IV. EKONOMI SUMBER DAYA AIR ................................................................. 27

1. Pengertian .................................................................................................. 27

2. Kondisi Sumber Daya Air ......................................................................... 28

3. Siklus Air di Alam ..................................................................................... 32

4. Air sebagai Sumber Daya Ekonomi .......................................................... 35

5. Pengelolaan Sumber Daya Air .................................................................. 38

6. Strategi Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Air ........................ 39

V. VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN .... 42

1. Konsep Valuasi ESDAL ............................................................................ 42

2. Nilai Ekonomi Total SDAL ...................................................................... 44

3. Metode Valuasi Ekonomi SDAL .............................................................. 45

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 51

1

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ketersediaan sumber daya alam dan lingkungan (SDAL) yang meliputi air,

udara, tanah, hutan, barang tambang dan lainnya adalah hal esensial bagi kelangsungan

hidup manusia. Kerusakan atau kehilangan SDAL akan menimbulkan kerugian dan

menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, pengelolaan

SDAL yang baik mampu memberikan manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan

manusia. Pembangunan ekonomi di satu sisi diakui telah mampu meningkatkan

pertumbuhan ekonomi namun di sisi lain dewasa ini dikhawatirkan menimbulkan

kerusakan ekosistem yang mengancam kelangsungan hidup manusia.

Persoalan mendasar adalah bagaimana mengelola SDAL agar memiliki

manfaat besar bagi kehidupan manusia tapi dengan tidak mengorbankan kelestarian

SDAL itu sendiri. Untuk mendukung hal tersebut, maka diperlukan wawasan yang luas

tentang Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (ESDAL).

Kebijakan penggunaan, pengelolaan serta konservasi SDA harus ditangani

secara komprehensif karena sistem SDA sangat luas, kompleks dan saling tergantung

satu sama lain. Perubahan komponen SDA secara individu dalam satu ekosistem dapat

merubah sistem secara menyeluruh.

Perubahan penggunaan tanah dapat meningkatkan produksi pertanian di satu

sisi, tapi memiliki pengaruh terhadap tata air serta kualitas air dan udara di sisi lainnya.

Berbagai disiplin ilmu diperlukan dalam alokasi dan pemanfaatan SDA.

Pendekatan pemanfaatan sumber daya yang akan digunakan didekati melalui

teori ekonomi tanpa menghilangkan analisis ilmu yang lain yang relevan. Masalah

pemanfaatan dan alokasi sumber daya mencakup apa, berapa, metode/teknik serta

untuk kepentingan siapa barang tersebut dihasilkan.

2. Dua pandangan terhadap Sumber Daya Alam

Ada dua pandangan terhadap sumber daya alam menurut Fauzi (2006), yaitu:

(1) Pandangan konservatif – pesimis (perspektif Malthusian):

Pandangan ini berakar dari pemikiran Malthus β€œPrinciple of Population”, dimana

SDA yang terbatas tidak akan mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang

2

tumbuh secara eksponensial. Produksi SDA akan mengalami β€œDiminishing

Return”, dimana output per kapita akan cenderung mengalami penurunan

sepanjang waktu. Ketika terjadi diminishing return, standar hidup manusia akan

menurun sampai ke tingkat subsiten. Tingkat subsiten merupakan batas garis

kemiskinan. Kondisi ini akan terus berlangsung sampai terwujud ekonomi dalam

kondisi keseimbangan (steady state).

(2) Pandangan Ekploitatif (perspektif Ricardian):

Gambar 1. Perspektif Ricardian terhadap Sumber Daya Alam

SDA dianggap sebagai β€œmesin pertumbuhan” (engine of growth) yang akan

mentransformasikan SDA ke dalam β€œman-made capital” yang pada akhirnya

menghasilkan produktifitas yang tinggi di masa mendatang. Keterbatasan suplai

dari SD untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dapat disubstitusikan dengan cara

Sumber Daya Alam

Eksploitasi / Pemanfaatan

Pengurangan Tingkat Pengurasan

Ekstraksi > Daya Dukung

Pengurasan SDA

Kelangkaan SDA

Peningkatan Biaya Ekstraksi

Penurunan Permintaan

Pencarian SDA Pengganti Peningkatan Daur Ulang

Peningkatan Harga SDA

Peningkatan Penawaran

Inovasi: Pencarian SDA Baru, Peningkatan Effisiensi, Perbaikan Teknologi Daur Ulang, Perbaikan Konservasi

Pemanfaatan Lestari

Tidak

Ya

3

intensifikasi (eksploitasi SDA secara intensif) atau cara ekstensifikasi

(memanfaatkan SDA yang belum dieksploitasi). Bila terjadi kelangkaan SDA,

akan tercermin pada dua indikator ekonomi: meningkatnya harga input dan output

yang menyebabkan penurunan permintaan terhadap barang dan jasa yang

dihasilkan SDA. Namun peningkatan harga output akan menimbulkan insentif

bagi produsen SDA sehingga produsen akan berusaha meningkatkan suplai.

Ketersediaan SDA yang terbatas, maka kombinasi harga input dan output akan

menimbulkan insentif untuk melakukan substitusi dan peningkatan daur ulang.

Kelangkaan SDA akan menimbulkan insentif untuk mengembangkan inovasi

seperti pencarian deposit, peningkatan efisiensi produksi, peningkatan teknologi

daur ulang, sehingga mengurangi tekanan terhadap pengurasan SDA.

3. Klasifikasi Sumber Daya Alam

Secara Umum SDA diklasifikasikan sebagai berikut:

A. Berdasarkan Skala Penggunaan Waktu pembentukan SDA

1) Kelompok Stok:

Memiliki cadangan yang terbatas;

Eksploitasi SDA akan menghabiskan cadangan SDA;

Bila dimanfaatkan sekarang mungkin tidak tersedia lagi di masa

datang;

Disebut sebagai SDA yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable

resources) atau terhabiskan (exhaustible);

SDA dalam kelompok ini: mineral, logam, minyak dan gas bumi.

2) Kelompok Alur:

Jumlah fisik SDA dapat berubah sepanjang waktu;

Jumlah SDA yang dimanfaatkan sekarang dapat mempengaruhi

ketersediaannya di masa mendatang;

Disebut SDA yang dapat diperbaharui (renewable resources);

SDA dalam kelompok ini adalah: hutan, tanah, ikan, udara, angin.

B. Berdasarkan Penggunaan Akhir SDA

1) Sumber Daya Material:

Dimanfaatkan sebagai bagian dari suatu komiditas (bahan baku);

4

Dikelompokkan menjadi: material metalik dan material non metalik.

2) Sumber Daya Energi:

Digunakan untuk menggerakan energi melalui proses transformasi

panas maupun transformasi energi lainnya;

Termasuk dalam kelompok SDA ini: energi surya, angin, minyak.

Gambar 2. Bagan Klasifikasi Sumber Daya Alam

4. Pengukuran Ketersediaan Sumber Daya Alam

Ketika SDA sudah terdefinisikan, maka pertanyaan selanjutnya adalah

bagaimana mengukur ketersediaan SDA tersebut? Berdasarkan Konsep Rees (1990),

pengukuran SDA diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

A. Pengukuran Ketersediaan SDA yang Tidak Terbarukan (Non Renewable):

1) Sumber Daya Hipotetikal:

Pengukuran deposit yang belum diketahui namun diharapkan

ditemukan pada masa datang berdasarkan survei saat ini.

Ketersediaan SDA diukur dengan mengekstrapolasi laju pertumbuhan

produksi dan cadangan terbukti pada periode sebelumnya.

Sumber Daya Alam

Skala Waktu Pembentukan

Kel. Stok (Non Renewable)

Habis dikonsumsi: minyak, gas,

batubara

Dapat didaur ulang: besi,

tembaga, alumnm

Kel. Alur (Renewable)

Memiliki titik kritis: ikan, hutan, tanah

Tidak ada titik kritis: udara, angin,

pasang surut

Kegunaan Akhir

SDA Material

Mat. Metalik: emas, besi, aluminium

Mat. Non Metalik: tanah, pasir, air

SDA Energi

Energi matahari, minyak, angin, air

Ekstraksi > Titik Kritis

5

2) Sumber Daya Spekulatif: mengukur deposit yang mungkin ditemukan

ditemukan pada daerah yang sedikit dieksplorasi, dimana menurut

kondisi geologi yang ada kemungkinan besar ditemukan deposit.

3) Cadangan Kondisional: deposit sudah diketahui atau ditemukan dengan

teknologi dan harga yang pada saat ini belum bisa dimanfaatkan secara

ekonomis (belum memiliki nilai ekonomis).

4) Cadangan Terbukti: SDA sudah diketahui dan secara ekonomi dapat

dimanfaatkan dengan teknologi, harga dan permintaan pada saat ini.

B. Pengukuran Ketersediaan SDA yang Dapat Dibarukan (Renewable):

1) Potensi Maksimum:

Didasarkan pada pemahaman untuk mengetahui kapasitas SDA yang

digunakan untuk menghasilkan barang/jasa dalam waktu tertentu.

Pengukuran didasarkan pada perkiraan ilmiah atau teoritis.

Pengukuran ini lebih didasarkan kepada kemampuan biofisik alam

tanpa mempertimbangkan kendala sosial ekonomi yang ada.

2) Kapasitas Lestari:

Konsep pengukuran berkelanjutan.

Ketersediaan SDA diukur berdasarkan kemampuannya untuk

menyediakan kebutuhan bagi generasi kini dan juga generasi

mendatang.

Pada sumber daya perikanan dikenal dengan istilah Sustainable YieldΒΈ

yaitu: secara teoritis, alokasi produksi dapat dilakukan sepanjang

waktu, jika tingkat eksploitasi dikendalikan

3) Kapasitas Penyerapan:

Kemampuan SDA untuk dapat pulih seperti sediakala setelah

menyerap limbah akibat aktivitas manusia.

Kapasitas ini bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca dan

internal manusia.

4) Kapasitas Daya Dukung (Carrying Capacity): dimana didasarkan pada

pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas untuk mendukung

pertumbuhan organisme, misalnya ikan di kolam yang tumbuh

berkembang secara positif jika daya dukung lingkungan masih besar.

6

5. Pengukuran Kelangkaan Sumber Daya Alam

Aspek kelangkaan SDA menjadi penting karena terkait dengan munculnya

persoalan tentang bagaimana mengelola SDA yang optimal. Hanley et al. (1997)

menggunakan 3 (tiga) cara dalam mengukur kelangkaan SDA, sebagai berikut:

A. Pengukuran berdasarkan Harga Riil:

Dapat diterima oleh banyak pihak.

Tingginya harga SDA mencerminkan tingkat kelangkaan dari sumber daya

tersebut (teori ekonomi klasik).

Kelemahan pengukuran: kenaikan harga juga dipicu oleh distorsi pasar,

harga riil hanya mencerminkan harga pasar, tapi tidak mencerminkan

harga atas adanya biaya kesempatan (opportunity cost) sosial dari

kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekstraksi SDA tersebut.

B. Pengukuran berdasarkan Biaya per Unit (Unit Cost):

Didasarkan kepada prinsip: jika sumber daya menjadi langka, maka biaya

ekstraksi SDA tersebut meningkat, yang berarti biaya per unit meningkat.

C. Pengukuran berdasarkan Rente Kelangkaan (Scarcity Rent):

Didasarkan teori kapital sumber daya: rate of return

Scarcity Rent: selisih antara harga per unit output dengan biaya ekstraksi

marginal atau harga bersih (net price).

Manfaat yang diperoleh dari aset SDA harus setara dengan opportunity

cost dari aset yang lain, seperti saham.

Pada Gambar 3 terlihat SDA menghasilkan barang/jasa untuk proses industri

berbasis sumber daya alam (I1). SDA juga langsung dikonsumsi rumah tangga (I2).

Hasil proses industri berupa barang/jasa juga dikonsumsi oleh rumah tangga (I3).

Kegiatan produksi oleh industri dan konsumsi oleh rumah tangga menghasilkan

limbah yang dapat didaur ulang (D1 dan D2). Proses daur ulang ini ada yang langsung

kembali ke alam dan lingkungan, misalnya proses pemurnian kembali air dan udara,

dan ada yang kembali ke industri (D2), seperti pendaurulangan kertas, botol plastik.

Dari limbah ini sebagian komponen ada yang tidak dapat didaur ulang, sehingga

menjadi residual (D3) yang akan kembali ke lingkungan tergantung dari kemampuan

kapasitas penyerapan atau asimilasinya.

7

Gambar 3. Bagan Keterkaitan antara Sumber Daya Alam dan Aktifitas Ekonomi

Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Produksi

Limbah

Residual

Konsumsi

I1 I2

I3

D1 D2

D3

8

II. EKONOMI SUMBER DAYA TANAH

Tanah merupakan sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup

manusia, karena merupakan masukan (input) yang diperlukan untuk setiap bentuk

aktifitas manusia seperti: pertanian, perindustrian, pemukiman, transportasi, rekreasi.

Penggunaan tanah yang paling luas adalah untuk sektor pertanian, terutama di

wilayah pedesaan. Untuk daerah perkotaan, penggunaan tanah yang utama adalah

untuk pemukiman, perkantoran, transportasi, industri dan perdagangan dan lainnya. Di

negara maju penggunaan tanah yang terbaik dan tertinggi adalah untuk industri dan

perdagangan. Selanjutnya disusul oleh pemukiman, kemudian untuk pertanian dan

terakhir untuk pengembalaan dan tanah dikosongkan (bera).

Penggunaan tanah tergantung pada kemampuan tanah dan lokasi tanah.

Penggunaan tanah yang bergantung kepada kemampuan tanah ditentukan oleh tekstur

tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi.

Penggunaan tanah yang tergantung pada lokasi tanah, terutama adalah untuk

pemukiman, industri, rekreasi dan sebagainya. Dengan demikian tanah memiliki nilai

ekonomi dan pasar yang berbeda-berbeda. Tanah di perkotaan memiliki nilai pasar

yang tinggi karena di sana terletak sumber penghidupan manusia yang paling efisien

dan memberikan nilai produksi yang tinggi.

Secara umum, pemilik tanah menggunakan tanahnya untuk tujuan yang

memberikan nilai produksi tertinggi. Namun penggunaan tanah ini tergantung kepada

penilaian sipemilik sendiri apakah dinilai dengan uang atau dengan nilai yang tidak

dapat dijangkau (intangible) seperti nilai sosial.

Penggunaan tanah terbaik dan tertinggi tergantung kepada kapasitas tanah serta

tinggi rendahnya permintaan terhadap tanah itu sendiri. Untuk mengejar pemenuhan

kebutuhan manusia yang terus berkembang dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,

pemanfaatan sumber daya tanah sering kali kurang bijaksana dan untuk kebutuhan

jangka pendek.

Akibat penggunaan tanah yang kurang bijaksana adalah berkurangnya

persediaan tanah yang tinggi kualitasnya. Sehingga manusia akan tergantung kepada

tanah yang semakin rendahnya kualitasnya. Dengan semakin langkanya sumber daya

9

tanah, maka perlu pula pengelolaan sumber daya tanah secara optimal dan lestari untuk

mencapai kesejahteraan sosial yang maksimum.

1. Aspek Ekonomi Sumber Daya Tanah

Aspek ekonomi penting menurut teori ekonomi sumber daya tanah adalah sewa

tanah. Sewa tanah dapat dibedakan sebagai berikut:

1) Sewa tanah (contract rent) sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik,

dimana pemilik melakukan kontrak sewa menyewa dalam jangka waktu tertentu.

2) Keuntungan usaha (economic rents atau land rents) yang merupakan kelebihan

(surplus) pendapatan atas biaya produksi atau sebagai harga input tanah yang

memungkinkan faktor produksi tanah dapat digunakan dalam proses produksi.

Contract rent dan land rent merupakan dua konsep sewa yang penting

digunakan dalam ekonomi sumber daya tanah.

Contract Rent: sumbangan yang diberikan oleh tanah bersama faktor produksi lain

(tenaga kerja, modal dan manajemen) terhadap besarnya total produksi.

Land Rent: nilai sumbangan yang diberikan oleh tanah semata yang disebut bunga

tanah (land rent).

2. Sewa Tanah (Land Rent) sebagai Surplus Ekonomi

Secara sederhana sewa

tanah adalah sama dengan

surplus ekonomi, yaitu: suatu

kelebihan nilai produksi total di

atas biaya total yang mencakup

biaya jasa terhadap investasi.

Sewa tanah sebagai surplus

ekonomi tanah ditentukan oleh

faktor kesuburan tanah dan

lokasi tanah.

Total nilai produksi yang

dihasilkan LNSP dengan total biaya variabel input sebesar MNSR sehingga

menghasilkan sewa tanah sebesar LMRP.

Sewa (Land Rent)

10

A. Sewa tanah (land rent) ditentukan oleh kesuburan tanah:

Tanah A Tanah B Tanah C

Biaya produksi tanah A paling rendah, lebih tinggi pada tanah B, dan paling

tinggi pada tanah C karena kesuburan tanah berbeda. Peningkatan biaya produksi rata-

rata per unit output di tanah B dan C disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah.

Dengan biaya produksi yang rendah, tanah A memberikan land rent tertinggi,

sedangkan tanah B lebih kecil, sementara tanah C tidak menghasilkan land rent sama

sekali, karena tingginya biaya produksi.

B. Sewa tanah (land rent) ditentukan oleh lokasi tanah:

Tanah A yang berlokasi paling dekat dari pusat aktifitas manusia, relatif tidak

memiliki banyak biaya dalam penggunaannya, sehingga mampu memberikan land

rent yang paling tinggi.

11

Tanah B berlokasi lebih jauh, menimbulkan biaya transportasi dalam

penggunaannya, sehingga kemampuan memberikan land rent lebih rendah.

Tanah C yang berlokasi paling jauh, menimbulkan biaya transportasi paling

besar dalam penggunaannya, kemampuannya memberikan land rent paling rendah.

3. Teori Sewa Tanah David Ricardo

Dalam teori sewa tanah, David Ricardo mengatakan bahwa jenis tanah

berbeda-beda. Produktivitas tanah yang subur lebih tinggi, sehingga berarti untuk

menghasilkan satu satuan unit produksi diperlukan biaya rata-rata dan biaya marjinal

yang lebih rendah. Makin rendah tingkat kesuburan, maka makin tinggi pula biaya-

biaya untuk mengolah tanah dan dengan sendirinya keuntungan per hektar tanah

semakin kecil pula. Jadi sewa tanah yang lebih subur lebih tinggi dibanding sewa tanah

yang kurang subur. Konsep sewa tanah menurut David Ricardo ini didasarkan atas

perbedaan dalam kesuburan tanah dalam konteks β€œpertanian”.

Ricardo berasumsi bahwa pada daerah pemukiman baru, terdapat sumber daya

tanah yang subur dan berlimpah serta tidak ada pembayaran sewa atas penggunaan

tanah karena jumlah penduduk masih sedikit. Sewa tanah akan muncul ketika jumlah

penduduk bertambah dan permintaan atas tanah meningkat dan akhirnya menghendaki

digunakannya tanah yang kurang subur oleh masyarakat.

Satuan output yang dihasilkan pada 4 (empat) macam kesuburan tanah yang

berbeda dapat dijelaskan pada ilustrasi berikut:

Penggunaan tenaga kerja

dan modal yang sama pada

keempat bidang tanah yang

berbeda tingkat kesuburannya

(A: sangat tinggi, B: tinggi, C:

cukup, D: kurang) dengan

kapasitas produksi: A = 50, B =

40, C = 30, D = 25.

Karena pertumbuhan

penduduk, tanah B mulai digunakan untuk perlusan tanam, tanah B mulai

memiliki nilai sewa bila tanah C mulai digunakan untuk perluasan tanam, dan

12

tanah C mulai memiliki nilai sewa kalau tanah D digunakan untuk perluasan

tanam berikut. Dengan demikian tanah A memiliki nilai sewa tertinggi yang

ditunjukan oleh surplus ekonomi dari tanah D.

Menurut Rircardo, harga produk pertanian ditentukan oleh biaya produksi yang

sejalan dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan hasil pertanian. Harga produk

pertanian meningkat seiring perluasan areal pertanian dan penggunaan tanah subur

yang semakin intensif. Teori sewa tanah Ricardo hanya melihat kemampuan tanah

untuk membayar sewa tanah tanpa memperhatikan lokasi tanah.

4. Teori Sewa Tanah Von Thunen

Von Thunen (1826) hanya menambah kekurangan teori sewa tanah David

Ricardo yaitu mengenai jarak tanah dari pasar. Apakah tanah subur yang jaraknya

dekat dengan pasar dan yang jauh dari pasar akan sama sewanya? Hal ini setelah dikaji

ternyata beda karena semakin jauh dari pasar semakin mahal biaya transportasinya.

Von Thunen melihat daerah yang subur dekat pusat pasar memiliki sewa tanah lebih

tinggi dari pada tanah di daerah yang jauh dari pusat pasar. Von Thunen berpendapat

bahwa sewa tanah berkaitan dengan biaya trasportasi dari lokasi tanah yang jauh di

daerah ke pusat pasar.

Di pusat pasar, biaya transportasi nol (0) dan biaya total setinggi OC. Pada jarak

OK km biaya total menjadi KT, karena biaya transportasi meningkat sebesar UT.

Bila harang barang yang diangkut sebesar OP, maka pada jarak OK, tidak lagi

terdapat land rent. Pada hal di titik O (pusat pasar) land rent sebesar CP, artinya

land rent berbanding terbalik dengan jarak lokasi tanah dengan pusat pasar.

13

Ada beberapa hal yang mempengaruhi sewa tanah:

a. Kualitas tanah yang disebabkan oleh kesuburan tanah, pengairan, adanya fasilitas

listrik, jalan dan sarana lainnya;

b. Letaknya strategis untuk perusahaan/industri; dan

c. Banyaknya permintaan tanah yang untuk pabrik, bangunan rumah, perkebunan.

Von Thunen juga mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai

kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut

Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah

apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan

jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan.

Berdasarkan selisih antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing

jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan.

Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan

kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar.

Dalam model tersebut, Von Thunen membuat asumsi sebagai berikut:

a. Wilayah analisis bersifat terisolir, tidak terdapat pengaruh pasar dari kota lain;

b. Tipe permukiman adalah padat di pusat wilayah dan semakin kurang padat apabila

menjauh dari pusat wilayah;

c. Seluruh wilayah model memiliki iklim, tanah dan topografi yang seragam;

d. Fasilitas pengengkutan adalah primitif (sesuai dengan zamannya) dan relatif

seragam. Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa; dan

e. Kecuali perbedaan jarak ke pasar semua faktor alamiah yang mempengaruhi

penggunaan tanah adalah seragam dan konstan.

5. Faktor-faktor yang Menentukan Harga Tanah

Sebagaimana yang sudah disinggung di atas bahwa kegunaan, kelangkaan dan

permintaan atas sumber daya tanah sangat dipengaruhi oleh tingkat produktivitas dan

lokasi tanah. Produktivitas tanah tidak hanya ditentukan oleh hasil produksi pertanian

tetapi juga kandungan sumber daya lain yang bernilai ekonomis seperti mineral yang

ada di dalam tanah.

Lokasi tanah berkaitan dengan jarak sumber daya tanah dari pusat perkotaan,

pasar atau kegiatan perdagangan. Semakin dekat lokasi tanah ke pusat kegiatan itu

14

semakin rendah biaya transportasi, tetapi harga tanah menjadi tinggi. Saat ini nilai

waktu sangat tinggi, karena itu harga tanah yang berlokasi dekat dari tempat kerja yang

dapat ditempuh dengan waktu singkat terhindar dari kemacetan, akan semakin tinggi.

Disamping itu harga tanah juga berkaitan dengan fasilitas kehidupan yang

tersedia yaitu sarana dan prasarana umum, seperti: jaringan transportasi, alat

transportasi, listrik, air dan fasilitas umum lainnya di dekat lokasi tanah, akan semakin

meningkatkan harga tanah. Pembangunan sarana dan prasarana umum, akan

meningkatkan kegunaan dan kepuasan yang dapat diberikan oleh sebidang tanah, yang

dibarengi pula oleh meningkatnya permintaan masyarakat akan tanah (akibat

peningkatan pendapatan), maka harga tanah akan meningkat pula

Harga tanah yang semakin tinggi dapat pula disebabkan oleh sistem perizinan

yang rumit dan biroratis sehingga menimbulkan biaya pengurusan tanah yang tinggi

dan harga tanah yang tinggi.

Efek dari harga tanah yang semakin tinggi, maka akan terjadi inflasi. Artinya

harga tanah memacu peningkatan harga-harga barang lainnya, karena tanah yang

walaupun tidak produktif sering dapat digunakan sebagai jaminan untuk mendapat

kredit perbankan. Hal ini berarti tanpa menghasilkan apa-apa pun, tanah ternyata dapat

menghasilkan uang baru, karena dengan fasilitas kredit yang sangat besar dengan tanah

sebagai jaminan adalah sama dengan pencitaan uang giral. Harga tanah yang semakin

tinggi dapat mendorong ekonomi biaya tinggi.

Adapun pendekatan yang dapat digunakan untuk memperlambat kenaikan

harga tanah adalah:

1) Mengalihkan dana yang tersedia di masyarakat ke arah investasi yang lebih

produktif, bukan untuk spekulasi tanah.

2) Pengenaan pajak hendaknya disesuaikan dengan peruntukan tanah yang akan

diperjualbelikan di kemudian hari.

3) Tanah yang digunakan untuk kegiatan produktif dikenakan pajak yang relatif lebih

rendah, sedangkan hal ini berlaku sebaliknya pada tanah terlantar.

4) Tanah disamping kenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga dikenai pajak

penjualan yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) pada saat

tanah itu diperjualbelikan dengan besaran yang tinggi.

15

III. EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN

1. Konsep Ekonomi Sumber Daya Hutan

Hutan adalah lapangan tempat bertumbuhan berbagai pohon-pohon yang

secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

lingkungannya dan yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan (Wirakusumah, 2003).

Hutan adalah asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang

didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat membentuk

iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu (Suparmoko, 2008). Menurut Undang

Undang Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa

hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Ekonomi sumber daya hutan adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku

manusia dalam memanfaatkan sumber daya hutan, sehingga fungsinya dapat

dipertahankan dan ditingkatkan dalam jangka panjang. Dari sudut pandang sumber

daya ekonomi, pada hutan terdapat sekaligus tiga sumber daya ekonomi

(Wirakusumah, 2003), yaitu: lahan, vegetasi bersama semua komponen hayatinya

serta lingkungan itu sendiri sebagai sumber daya ekonomi yang pada akhir-akhir ini

tidak dapat diabaikan.

Hutan merupakan aset multiguna yang tidak hanya menghasilkan produksi

seperti kayu, arang, pulp dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain (non-use) seperti:

pelindung panas, pemecah angin dan pelindung tanah dari bahaya erosi. Hutan juga

menjadi habitat satwa dan hewan lainnya yang penting dalam menjaga ekosistem dan

keanekragaman hayati. Dengan kata lain hutan tidak hanya memberikan manfaat pada

saat mereka ditebang (eksploitasi), namun juga banyak memberikan manfaat tatkala

sumber daya ini dibiarkan (manfaat konservasi).

Terdapat empat pilar penting dalam praktek pengelolaan sumber daya hutan:

a. Common Pool Resources

Masyarakat bebas untuk melakukan pengelolaan dengan caranya sendiri.

Sebagian masyarakat mengelolanya secara arif. Namun lebih banyak lagi yang

mengelolanya secara tidak bijaksana. Dalam terminologi Garret Hardin (ahli

biologi dan ekologi manusia), ketidakarifan dalam pengelolaan sumber daya

16

tersebut menghasilkan suatu "tragedy of the common", yaitu suatu bentuk

kehancuran sumber daya akibat adanya pendayagunaan yang berlebihan.

Common pool resources dapat dibedakan menjadi open access resources dan

common property (common resources). Telaahan kritis terhadap masalah tersebut

menunjukkan, bahwa tragedi menurut terminologi Hardin itu "hanya terjadi" jika

tidak terdapat aturan main yang jelas tentang pendayagunaan sumber daya yang

bersangkutan, sehingga setiap anggota masyarakat berpacu untuk

memaksimumkan pemenuhan kebutuhan individualnya melalui pendayagunaan

sumber daya yang bersangkutan tanpa memperhatikan kebutuhan anggota

masyarakat lainnya maupun daya dukung sumber daya yang bersangkutan.

Kondisi seperti itu hanya cocok bagi open access resources, tapi tidak lazim

terjadi pada common property yang pada umumnya memiliki aturan-

pendayagunaan kolektif yang jelas.

b. State Property Resources

Berangkat dari motivasi yang kuat untuk mengatur pengelolaan sumber daya

hutan, maka pemerintah menetapkan hutan sebagai suatu "state property". Akuan

itu sebenarnya merupakan tafsiran distortif dari konsep "sumber daya publik".

Dalam konteks yuridis, akuan tersebut merupakan tafsiran distortif dari konstitusi

(UUD 45). Dalam konstitusi memang disebutkan, bahwa setiap sumber daya yang

merupakan hajat hidup orang banyak, seperti halnya sumber daya hutan, dikuasai

oleh negara. Di sini terdapat dua distorsi, yaitu: Pertama, pengertian "dikuasai" itu

bias menjadi "dimiliki". Kedua, negara itu direpresentasikan menjadi pemerintah.

Karena itu, negara (baca: pemerintah) lantas bertindak sebagai pemilik, pengelola,

dan pengawas terhadap tindakan pengelolaan sumber daya yang bersangkutan.

Untuk mengukuhkan akuan tersebut, pemerintah (dan adakalanya para akademisi)

kerap mengutip tesis Hardin di atas. Tragedi pendayagunaan sumber daya

"publik" dijadikan sebagai pembenar bagi tindakan negara (pemerintah) untuk

menguasai dan mengatur dalam arti yang seluas-luasnya. Pola pengelolaan seperti

itu menimbulkan sejumlah keberatan, antara lain: Pertama, terjadi konflik

kepentingan. Dalam ekonomi pasar, pemerintah (sebagai representasi negara)

memiliki fungsi tujuan untuk memaksimumkan layanan. Dengan demikian, jika

pemerintah juga melakukan kegiatan pengelolaan (baca: pengusahaan), maka itu

17

akan bertumburan dengan fungsi tujuan pokoknya untuk memberikan pelayanan.

Kedua, sumber daya hutan sangat berlimpah. Sementara itu pemerintah tidak

memiliki sumber daya (sumber daya manusia, teknologi, dan modal) yang cukup

untuk dapat mendayagunakan sumber daya tersebut secara optimal. Ketiga,

kelembagaan yang melekat pada bentuk pengelolaan sumber daya tersebut (baca:

birokrasi) tidak memiliki keluwesan yang memadai untuk menangkap dan

memahami kepentingan masyarakat.

c. Private Property Resources

Atas dasar keberatan-keberatan di atas, pada masa Orde Baru, sebagian fungsi

pengelolaan sumber daya hutan itu diserahkan kepada swasta, khususnya untuk

hutan produksi. Dengan cara itu, diharapkan terjadi peningkatan produksi hutan

(kayu) melalui mekanisme fragmentasi kawasan pengusahaan hutan dan injeksi

investasi oleh swasta. Kebijakan tersebut juga tidak luput dari keberatan-

keberatan, misalnya: (1) Penyerahan kepada swasta dianggap berlebihan. Satu

perusahaan HPH ada yang mengelola kawasan lebih dari sejuta hektar. Padahal

menurut FAO (1996), kemampuan setiap perusahaan untuk mengusahakan hutan

secara optimal adalah mencakup kawasan seluas 150-200 ribu hektar. (2) Karena

fungsi tujuan swasta adalah maksimisasi keuntungan, maka dalam kegiatan

pengusahaan hutannya kerap tidak mengindahkan azas-azas pelestarian

lingkungan. Bagi perusahaan HPH, melakukan tindakan pelestarian senantiasa

berkonotasi peningkatan biaya, dan dengan demikian dianggapnya sebagai

tindakan manajemen yang tidak efisien. (3) Perusahaan swasta tidak adaptif

terhadap kehidupan budaya, kebiasaan, dan tatanilai masyarakat lokal. Perusahaan

tidak jarang melakukan tindakan pencurian (kayu besi dan sarang burung, yang

secara kultural merupakan sumber daya "milik" masyarakat) dan perampasan

(rotan). Karena itu, bagi masyarakat lokal, perusahaan HPH bukan merupakan

"mitra" yang mengerti kepentingannya. (4) Seperti halnya negara, swasta juga

telah membiaskan pengertian penguasaan menjadi "pemilikan", sehingga dalam

praktek pengelolaannya swasta juga kerap berlaku-lajak.

d. Common Property Resources

Pengelolaan sumber daya hutan sebagai "milik negara" maupun "milik swasta"

telah meninggalkan jejak yang sama, yaitu kerusakan lingkungan dan

18

peminggiran masyarakat lokal. Jejak tersebut di tingkat lokal menimbulkan

konflik dengan frekuensi kejadian yang cukup signifikan. Selanjutnya, didukung

dengan ujicoba yang menghasilkan kesimpulan yang positif, maka advokasi

internasional secara tegas menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat lokal yang

seluas-luasnya merupakan solusi optimum terhadap masalah pengelolaan sumber

daya hutan. Di Indonesia telah banyak contoh nyata yang menunjukkan bahwa

masyarakat lokal itu memiliki kemampuan dan kemauan yang baik untuk

mengelola sumber daya hutan secara produktif dan lestari, misalnya seperti yang

dilakukan masyarakat Krui (Lampung Barat) dan masyarakat Meru Betiri (Jawa

Timur). Namun, agaknya, itu belum merupakan pertimbangan yang cukup

signifikan bagi upaya-upaya pelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat.

Para akademisi dan birokrat pada masa Orde Baru, secara terus-terang atau malu-

malu, kerap meragukan keandalan pengelolaan sumber daya hutan oleh

masyarakat. Keraguan itu kerap bersandar pada fenomena yang disebut sebagai

tragedy of the common, yaitu suatu kerusakan sumber daya akibat pendayagunaan

berlebihan tatkala sumber daya tersebut ditetapkan sebagai "milik umum".

Padahal tragedi itu bukan merupakan implikasi logis yang berlaku umum pada

setiap pengelolaan sumber daya milik umum, melainkan lebih cenderung sebagai

fenomena unik tatkala permintaan terhadap sumber daya tersebut jauh lebih besar

dibanding dengan kelimpahan sumber dayanya (resources endowment) atau

tatkala kelembagaan pada masyarakat lokal belum tertata dengan baik. Pergeseran

pola pengelolaan oleh negara, swasta, dan kemudian kolaborasi antara pemerintah

dengan masyarakat agaknya merupakan kebutuhan umum, yang berlaku bukan

cuma di Indonesia. Hobley (1996) melaporkan bahwa di India telah terjadi empat

tahap evolusi pola pengelolaan sumber daya hutan: kolonialisme, komersialisme,

konservasi, dan kolaborasi. Sedangkan di Nepal terjadi evolusi: privatisasi,

nasionalisasi, dan populisme. Penerapan partisipasi masyarakat dalam spektrum

yang luas di kedua negara tersebut ternyata menunjukkan hasil yang baik:

produktifitas tercapai tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan dan keberadaan

masyarakat lokal. India, Thailand, dan Nepal adalah negara-negara yang sudah

cukup maju dalam soal pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat. Negara

percaya bahwa masyarakat lokal itu memiliki kemampuan, pengetahuan, dan

19

kearifan yang handal untuk mengelola sumber daya hutan secara produktif dan

lestari. Kolaborasi dengan masyarakat merupakan kebutuhan dan keharusan,

karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai secara lebih efektif dan pada

saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi konflik yang interaktif. Di

ketiga negara tersebut, konrol pemerintah dalam hal pengelolaan hutan masing-

masing mencakup 22%, 40%, dan 43% dari total kawasan hutan yang tersedia

(Hobley, 1996). Sementara itu, di Indonesia, Departemen Kehutanan

mengendalikan tidak kurang dari 74% dari kawasan hutan yang tersedia.

Kebanyakan SDH tidak bersifat milik bersama (common property resources).

Hampir sebagian besar hutan dikuasai oleh pemerintah dan hak pengelolaan yang

diberikan kepada individu atau swasta melalui mekanisme perizinan.

Spesifikasi sumber daya hutan memiliki skala waktu (time scale) pertumbuhan

waktu yang sangat panjang mulai dari sejak ditanam sampai ditebang (panen) pada

beberapa jenis pohon tertentu bisa sampai 100 tahun. Lahan yang ditumbuhi hutan

memiliki nilai pilihan (option value).

Sifat-sifat khas SDH menurut Duerr (1962), Leslie (1964), Worrell (1960)

dalam Wirakusumah (2003), yaitu:

1) Proses produksi SDH tergantung alam dan memerlukan waktu lebih lama.

2) Memerlukan media atau persediaan yang cukup besar (luas dan volumenya),

dengan sendirinya menuntut manajemen yang tidak sederhana.

3) Kayu sebagai salah satu produk SDH tidak mudah dibedakan apakah merupakan

produksi akhir atau sebagai modal yang sedang dalam pertumbuhan.

4) Memiliki potensi menghasilkan banyak komoditi berupa barang dan jasa secara

bersamaan (joint products).

5) Belum diukur nilainya secara tepat oleh hukum permintaan dan penawaran.

2. Fungsi Hutan

Beberapa fungsi hutan adalah sebagai berikut:

1) Menyediakan hasil hutan (kayu dan non kayu) untuk keperluan masyarakat pada

umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor

sehingga menunjang pembangunan ekonomi nasional dan daerah.

20

2) Mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi serta memelihara

kesuburan tanah.

3) Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik seperti udara

bersih dan segar.

4) Memberikan keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar

alam, suaka margasatwa, taman perburuan, taman wisata serta sebagai

laboratorium ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata.

3. Peranan Sumber Daya Hutan dalam Perekonomian

Sumber daya hutan memiliki peranan dalam perekonomian, yaitu:

1) Sebagai penghasil devisa bagi negara yang sangat penting untuk perbaikan

ekonomi makro dan perdagangan global, terutama pada negara yang baru

berkembang dan berbasis pada sumber daya alam. Peran SDH sebagai penghasil

devisa dapat pula diwujudkan melalui kemampuan menyerap investasi seperti:

pembangunan industri pulp, industri kertas, industri kayu lapis, meubel.

2) Sebagai penggerak sektor ekonomi lain, dimana hasil hutan memberi dukungan

modal bagi pembangunan infrastruktur industri dalam negeri dan untuk

penyediaan teknologi yang berasal dari impor. Banyak kegiatan yang dibiayai

langsung dari hasil kayu tebangan untuk mendorong kegiatan perkebunan, sebagai

hasil konversi hutan. Demikian pula hasil hutan berupa kayu maupun bukan kayu,

adalah merupakan bahan baku industri, yang mendorong berkembangnya industri

dan jasa (pengangkutan dan pemasaran). Lebih jauh peranan SDH ini dapat

diidentifikasi dengan menggunakan analisa Input-Output.

3) Meningkatkan Pendapatan Nasional dengan jalan memberikan kontribusi

terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) melalui penerimaan devisa dan pajak

serta lapangan pekerjaan.

4) Sebagai penyedia lapangan kerja dalam lingkup: (a) kegiatan penanaman,

pemeliharaan dan perlindungan hutan; (b) kegiatan pemanenan hasil hutan

(penebangan dan pengangkutan); (c) kegiatan dalam industri hasil hutan meliputi

industri penggergajian, industri pulp dan kertas, industri wood working, industri

plywood, industri gondorukem, dan industri-industri yang bahan baku utamanya

dari hasil hutan seperti gula aren, damar, rotan; d) kegiatan jasa sektor kehutanan

21

antara lain perdagangan hasil hutan, rekreasi hutan, transportasi, pendidikan dan

jasa konsultan pembangunan sektor kehutanan.

5) Selaku penyedia pelayanan jasa lingkungan, dimana keberadaan SDH berfungsi

sebagai perlindungan plasma nutfah, keanekaragaman hayati, dan nilai-nilai

estetis yang potensial bernilai ekonomi apabila dapat dikelola dengan baik.

Pengembangan perekonomian pariwisata terutama ekowisata sangat dipengaruhi

oleh bentang alam, keindahan dan kekhasan SDH. Peranan sumber daya ini tidak

menghasilkan nilai uang langsung, tetapi menghasilkan nilai uang bagi sektor

pariwisata. Di masa depan peranan jasa lingkungan berupa perbaikan tata air,

pembersih udara dan nilai estetika mempunyai peranan yang sangat besar dalam

keberlanjutan ekonomi jangka panjang.

4. Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan

Prinsip dasar biologi pertumbuhan hutan menggunakan asumsi bahwa hutan

merupakan satu unit cobort yang homogen. Satu unit cobort adalah pertumbuhan hutan

yang menjadi basis analisis pengelolaan hutan adalah pertumbuhan agregat, dimana

variabel pertumbuhan dan kematian mewakili seluruh kelompok umur hutan.

Berdasarkan asumsi ini, maka volume pertumbuhan suatu pohon diukur dalam

volume kayu (wood volume) yang dinotasikan sebagai w(T), sebagaimana ditunjukkan

oleh Kurva Pertumbuhan Hutan Homogen di bawah.

Berdasarkan kurva pertumbuhan homogen (VAC) dapat digambarkan

hubungan antara laju pertumbuhan kayu w(T)/t dengan volume kayu w(T).

Kurva ini menggambarkan hubungan antara laju pertumbuhan kayu (w(T)/t)

dan volume kayu itu sendiri (w(T)). Laju pertumbuhan akan mencapai titik maksimum

pada w(Tmax) yakni pada periode Tmax.

22

Pengelolaan hutan dapat ditentukan dengan cara memperoleh volume kayu

yang paling maksimum (normal forest), di mana setiap pohon mengalami siklus hidup

yang sama selama periode rotasi, yaitu interval antara periode menebang.

Waktu tebang akan menentukan lamanya periode rotasi setiap pohon. Tujuan

pemanfaatan hutan adalah memilih periode rotasi yang akan menghasilkan produksi

yang lestari. Hal ini merupakan pendekatan Maximum Sustained Yield (MSY).

Pendekatan Produksi Maksimum Kayu Lestari (Maximum Sustained Yield)

dapat digambarkan sebagai berikut:

Kurva MAI (Mean Annual Increament) menggambarkan rata-rata volume

tahunan.

Pengelolaan hutan akan berusaha

memaksimumkan MAI.

Secara matematis, MAI

diturunkan dari fungsi w(T)/T terhadap

waktu:

πœ•(𝑀(𝑇)/𝑇)

πœ•π‘‡=

𝑀(𝑇)π‘‡βˆ’π‘€(𝑇)

𝑇2 Persamaan (5.1)

Disederhanakan menjadi:

𝑀(𝑇) =𝑀(𝑇)

𝑇 ↔

𝑀(𝑇)

𝑀(𝑇)=

1

𝑇 Persamaan (5.2)

w(T) adalah w(T)/t merupakan pertumbuhan marginal dari volume kayu

(Current Annual Increamment, CAI). Berdasarkan Persamaan (5.2), rotasi

penebangan yang memaksimumkan MAI akan diperoleh pada saat produksi

marginal sama dengan produksi rata-rata.

23

Bila digambarkan, rotasi pada MSY dimana MAI maksimum adalah:

Gambar disamping menunjukan bahwa

rotasi pada MSY akan diperoleh pada

saat kemiringan (slope) kurva VAC sama

dengan slope garis lurus produksi rata-

rata (w(T)/T)).

Pendekatan MSY memiliki beberapa kelemahan, yaitu: tidak

memperhitungkan harga dan biaya ekstraksi sumber daya hutan.

Hutan merupakan aset yang bisa ditebang sekarang atau pada masa yang akan

datang. Pilihan tersebut akan menimbulkan aspek intertemporal sumber daya hutan

yang menyebabkan munculnya opportunity cost yang digambarkan dengan discount

rate. Tingkat potongan (discount rate) adalah menyamakan atau mengkonversikan

nilai masa datang ke nilai sekarang yang equivalen dengan discount factor tertentu.

Rumusnya adalah:

π·π‘–π‘ π‘π‘œπ‘’π‘›π‘‘ π‘…π‘Žπ‘‘π‘’ =1

(1+𝑖)𝑛 i : tingkat suku bunga

n : jumlah waktu yang akan datang sejak dari sekarang

Contoh penggunaan :

Seorang pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) berkehendak untuk

membayar/menyetorkan Iuran Hasil Hutan (IHH) sekaligus untuk jangka waktu 5

tahun mendatang. Dengan memperhitungkan tingkat bunga 15 %, diperkirakan

jumlah IHH yang harus dibayarkan sekaligus sampai pada tahun ke-5 sebesar 3,85

milyar rupiah. Dengan tingkat bunga 15% dapat dihitung nilai sekarang yang

harus dibayar apabila pemegang HPH berkehendak membayar saat ini.

Persoalannya adalah berapakah nilai sekarang dari IHH sebesar 3,85 milyar rupiah

tersebut?

Nilai sekarang dari IHH tersebut adalah mendiskontokan uang 3,85 milyar rupiah

ke nilai sekarang, yaitu:

= 𝑅𝑝 3.850.000.000 π‘₯ 1

(1 + 0,15) π‘₯ 5= 𝑅𝑝 1.914.184.855,6

Jadi nilai IHH sebesar Rp 3.850.000.000 pada jangka waktu 5 tahun yang datang,

nilainya pada saat ini adalah Rp 1.914.184.885,6.

24

Terdapat 2 model dalam Penentuan Rotasi Optimum, yaitu:

(1) Model Fisher untuk Rotasi Tunggal

Misalkan nilai produk akhir hasil hutan yang diperoleh dari penebangan hutan

yang berumur T per hektar adalah R(T), biaya ekstraksi termasuk biaya

penebangan dan investasi adalah C(T), ratio penerimaan dan volume kayu

[R(T)/w(T)] meningkat terhadap T (site premium), sedangkan ratio biaya

ekstraksi dan volume kayu [C(T)/w(T)] menurun terhadap T (economic of

size).

Kedua kondisi tersebut mengimplikasikan kondisi berikut:

𝑅(𝑇)

𝑅(𝑇)>

𝑀(𝑇)

𝑀(𝑇) Persamaan (5.3)

Hal ini berarti laju pertumbuhan penerimaan hasil hutan lebih besar dari pada

persentase laju pertumbuhan volume hutan.

Misalkan pada nilai bersih pemanfaatan hutan didefinisikan sebagai selisih

antara penerimaan dan biaya:

𝑉(𝑇) = 𝑅(𝑇) βˆ’ 𝐢(𝑇) Persamaan (5.4)

Nilai V(T) sudah termasuk nilai yang diperoleh pemilik lahan (return to

landowner) atau stumpage value dan keuntungan yang diperoleh dari

pengelolaan hutan (return to logger).

Model Fisher melihat lahan yang ditanami pohon produk hutan dan kemudian

menentukan kapan hutan itu harus ditebang. Sekali hutan ditebang habis

(clear cut), maka lahan tersebut tidak dapat digunakan untuk pemanfaatan

lainnya.

Dengan menggunakan kerangka waktu yang kontinyu, masalah yang

dihadapi oleh pemilik HPH dalam memilih waktu tebang (T) yang tepat yang

akan memaksimumkan fungsi penerimaan dalam present value:

max 𝑃𝑉 = 𝑉(𝑇)π‘’βˆ’πœ•π‘‡ Persamaan (5.5)

dimana π‘’βˆ’πœ•π‘‡ adalah discount rate (suku bunga), PV (present value) adalah

nilai di masa yang akan datang dinilai pada waktu sekarang dengan

menggunakan discount rate.

Pemecahan masalah menurut Persamaan (5.5) adalah dengan menurunkan

persamaan tersebut terhadap T dan menyamakannya dengan nol:

25

πœ•π‘ƒπ‘‰(𝑇)

πœ•π‘‡= 0 ↔ [π‘‰βˆ—(𝑇) βˆ’ πœ•π‘‰(𝑇)π‘’βˆ’πœ•π‘‡ = 0 Persamaan (5.6)

Dimana [V*(T) merupakan turunan dari V(T) terhadap waktu.

Selanjutnya Persamaan (5.6) diserhanakan menjadi:

[π‘‰βˆ—(𝑇)

𝑉(𝑇)= πœ• Persamaan (5.7)

Dimana : biaya opportunitas dari aset (kapital).

Persamaan (5.7) merupakan Golden Rule dan s disebut juga dengan Fisher

Rotation, yaitu: hutan harus ditebang pada laju pertumbuhan dengan manfaat

yang diperoleh sama dengan biaya opportunitas aset/kapital. Dengan kata lain

jangan melakukan penebangan pada saat [V*(T)/V(T) > .

(2) Model Faustmann untuk Rotasi Berkelanjutan

Menurut model ini, pengelolaan hutan merupakan proses berkelanjutan,

ketika hutan ditebang, penanaman dilakukan kembali sehingga proses tebang

dan tanam dilakukan secara berkelanjutan. Proses ini disebut juga urutan

penebangan (sequent harvest) yang digambarkan sebagai berikut:

Dengan pola penebangan yang berkelanjutan, masalah yang dihadapi dalam

pengelolaan hutan adalah dengan memodifikasi Persamaan Fisher, yaitu

Persamaan (5.6) menjadi:

max 𝑃𝑉 = 𝑉(𝑇1)π‘’βˆ’πœ•π‘‡1 + 𝑉(𝑇2 βˆ’ 𝑇1)π‘’βˆ’πœ•π‘‡2 + 𝑉(𝑇3 βˆ’ 𝑇2)π‘’βˆ’πœ•π‘‡3

Persamaan (5.8)

Persamaan di atas mengasumsikan bahwa parameter ekonomi seperti harga,

biaya, dan discount rate tidak berubah sepanjang waktu. Demikian juga

dengan parameter biologi

Pertanyaan mendasar: kapan rotasi yang optimal, dalam hal ini T,T1,T2,T3

dan seterusnya yang memberikan manfaat present value yang maksimum?

Proses interval waktu di atas dapat disederhanakan, mengingat pada T2,

misalnya waktu ke depan tampak sama saja dengan pada saat T1, sehingga

strategi optimal penebangan juga sama pada setiap periode waktu yang

26

berurutan. Dengan demikian T1 = T2-T1 = T3-T2 =.....= T, sehingga

Persamaan 5.8 dapat disederhanakan menjadi:

max 𝑃𝑉 = 𝑉(𝑇)[π‘’βˆ’πœ•1𝑇 + π‘’βˆ’πœ•2𝑇 + π‘’βˆ’πœ•3𝑇 + β‹― ] Persamaan (5.9)

Komponen di dalam kurung [ ] merupakan bilangan urut (series) seperti

halnya proses discounting dengan waktu tak terhingga, sehingga Persamaan

(5.9) dapat disederhanakan menjadi:

𝑃𝑉 = 𝑉(𝑇)π‘’βˆ’πœ•π‘‡ + π‘‰π‘ƒπ‘’βˆ’πœ•π‘‡ = 𝑃𝑉(1 βˆ’ π‘’βˆ’πœ•π‘‡) = 𝑉(𝑇)π‘’βˆ’πœ•1𝑇

Persamaan (5.10)

selanjutnya dapat disederhanakan lagi menjadi:

𝑃𝑉 =𝑉(𝑇)π‘’βˆ’πœ•π‘‡

1βˆ’π‘’βˆ’πœ•π‘‡ =𝑉(𝑇)

π‘’βˆ’πœ•π‘‡βˆ’1 Persamaan (5.11)

Upaya untuk memaksimumkan nilai PV dari Persamaan (5.11) dilakukan

dengan jalan menurunkan persamaan tersebut terhadap waktu dan

menyamakannya dengan nol:

πœ•π‘ƒπ‘‰

πœ•π‘‡=

𝑉(𝑇)(π‘’πœ•π‘‡βˆ’1)βˆ’πœ•π‘’πœ•π‘‡π‘‰

(π‘’πœ•π‘‡βˆ’1)2 Persamaan (5.12)

Dengan penyederhanaan aljabar, persamaan di atas dapat ditulis menjadi:

π‘‰βˆ—(𝑇)

𝑉(𝑇)=

πœ•π‘’πœ•π‘‡

πœ•π‘’πœ•π‘‡βˆ’1 Persamaan (5.13)

selanjutnya dapat disederhanakan menjadi:

π‘‰βˆ—(𝑇)

𝑉(𝑇)=

πœ•

1βˆ’π‘’βˆ’πœ•π‘‡ Persamaan (5.14)

27

IV. EKONOMI SUMBER DAYA AIR

1. Pengertian

Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan

tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut

yang berada di darat. Sumber air adalah empat atau wadah air alami dan/atau buatan

yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. Daya air adalah

potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada sumber air yang dapat memberikan

manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta

lingkungannya.

Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di

dalamnya. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan,

keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam

kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mahluk hidup baik

pada waktu sekarang maupun pada generasi yang akan datang.

Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan,

penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal,

berhasilguna dan berdayaguna. Pengendalian dan penanggulangan daya rusak air

adalah upaya untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kerusakan lingkungan

yang disebabkan oleh daya rusak air yang dapat berupa banjir, lahar dingin, ombak,

gelombang pasang, dan lain-lain. Pengelolaan adalah upaya merencanakan,

melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi,

pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Penatagunaan

sumber daya air adalah upaya untuk menentukan zona pemanfaatan sumber air dan

peruntukan air pada sumber air.

Penyediaan sumber daya air adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan air dan

daya air untuk memenuhi berbagai keperluan dengan kualitas dan kuantitas yang

sesuai. Penggunaan sumber daya air adalah pemanfaatan sumber daya air dan

prasarananya sebagai media dan atau materi. Pengembangan sumber daya air adalah

upaya peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air tanpa merusak keseimbangan

lingkungan. Pengusahaan sumber daya air adalah upaya pemanfaatan sumber daya air

untuk tujuan komersial.

28

Peruntukan air dan daya air adalah penentuan prioritas alokasi air dan daya air

untuk masing-masing keperluan dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai. Hak guna

sumber daya air adalah hak untuk memperoleh dan menggunakan sumber daya air

untuk keperluan tertentu.

Daerah Aliran Sungai (DAS) atau yang disebut dengan Daerah Pengaliran

Sungai (DPS) adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang

menampung, menyimpan, dan mengalirkan air ke anak sungai dan sungai utama yang

bermuara ke danau atau laut. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan

sumber daya air dalam satu atau lebih Daerah Aliran Sungai dan atau satu atau lebih

pulau-pulau kecil, termasuk cekungan air tanah yang berada di bawahnya. Cekungan

air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas hidrogeologi dimana

semua kejadian hidrogeologi seperti proses pengimbuhan, pengaliran, pelepasan air

tanah berlangsung. Air tanah atau air bawah tanah adalah air yang terdapat dibawah

permukaan tanah pada lapisan tanah yang mengandung air.

Tata Pengaturan Air adalah segala usaha untuk mengatur pembinaan seperti

pemilikan, penguasaan, pengelolaan, penggunaan, pengusahaan dan pengawasan atas

air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam bukan hewani yang

terkandung di-dalamnya, guna mencapai manfaat yang sebesar-besarnya dalam

memenuhi hajat hidup dan peri kehidupan rakyat.

2. Kondisi Sumber Daya Air

Kajian global kondisi air di dunia yang disampaikan pada World Water Forum

II di Denhaag tahun 2000, memproyeksikan bahwa pada tahun 2025 akan terjadi krisis

air di beberapa negara. Meskipun Indonesia termasuk 10 negara kaya air namun krisis

air diperkirakan juga akan terjadi, sebagai akibat dari kesalahan pengelolaan air yang

tercermin dari tingkat pencemaran air yang tinggi, pemakaian air yang tidak efisien,

fluktuasi debit air sungai yang sangat besar, kelembagaan yang masih lemah dan

peraturan perundang-undangan yang tidak memadai. Ketersediaan air di Indonesia

mencapai sekitar 15.000 meter kubik per kapita per tahun. Kondisi ini masih di atas

rata-rata dunia yang hanya 8.000 meter kubik per kapita per tahun. Akan tetapi jika

ditinjau ketersediaannya per pulau akan sangat lain dan bervariasi. Pulau Jawa yang

luasnya mencapai tujuh persen dari total daratan wilayah Indonesia hanya mempunyai

29

empat setengah persen dari total potensi air tawar nasional, namun pulau ini dihuni

oleh sekitar 65 persen total penduduk Indonesia. Kondisi ini menggambarkan potensi

kelangkaan air di Pulau Jawa sangat besar. Jika dilihat ketersediaan air per kapita per

tahun, di Pulau Jawa hanya tersedia sekitar 1.750 meter kubik per kapita per tahun,

masih di bawah standar kecukupan yaitu 2000 meter kubik per kapita per tahun.

Jumlah ini akan terus menurun sehingga pada tahun 2020 diperkirakan hanya

akan tersedia sebesar 1.200 meter kubik per kapita per tahun. Apabila fenomena ini

terus berlanjut maka akan terjadi keterbatasan pengembangan dan pelaksanaan

pembangunan di daerah-daerah tersebut karena daya dukung sumber daya air yang

telah terlampaui. Potensi krisis air ini juga dikhawatirkan terjadi di Bali, Nusa

Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan .

Masalah air di Indonesia ditandai juga dengan kondisi lingkungan yang tidak

kondusif sehingga semakin mempercepat kelangkaan air. Kerusakan lingkungan

antara lain disebabkan oleh terjadinya degradasi daya dukung daerah aliran sungai

(DAS) hulu akibat kerusakan hutan yang tak terkendali sehingga luas lahan kritis

sudah mencapai 18,5 juta hektar. Disamping itu jumlah DAS kritis yang berjumlah 22

buah pada tahun 1984 telah meningkat menjadi 59 buah pada tahun 1998.

Fenomena degradasi hutan tmenyebabkan turunnya kemampuan DAS untuk

menyimpan air di musim kemarau sehingga frekuensi dan besaran banjir makin

meningkat. Sedimentasi juga semakin tinggi yang menyakibatkan pendangkalan di

waduk dan sungai sehingga menurunkan daya tampung dan pengalirannya. Pada tahun

1999 terdeteksi bahwa dari 470 DAS di Indonesia, 62 di antaranya dalam kondisi

kritis, yang diprediksi dari perbandingan aliran maksimum dan minimum sungai-

sungai yang sudah jauh melampaui batas normalnya. Keadaan ini diperparah oleh

degradasi dasar sungai akibat penambangan bahan galian golongan C di berbagai

sungai di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Barat yang telah

menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi prasarana dan sarana di sepanjang sungai.

Dengan semakin meningkatnya kebutuhan air dan terjadinya kelangkaan

ketersediaan air, orang mulai terpancing untuk berpikir dan memandang air sebagai

barang ekonomi (economic goods). Seperti yang tercantum dalam Dublin Priciples

(1992) Water has an economic value in all its competing uses and should be recognized

as an economic good. Kelangkaan air dianggap sebagai peluang ekonomi. Buat

30

mereka, kelangkaan air harus diatasi dengan efisiensi pemakaian, yang ditindaklanjuti

dengan pembatasan pemakaian air dengan cara menaikkan nilai ekonomi air sehingga

orang akan berhati-hati memakai air karena mahal. Saat sebagian orang tertarik untuk

menjual air langsung sebagai barang komoditi, beberapa pemakai air lainnya mulai

terganggu, karena bagi budidaya pertanian, ketersediaan air akan dapat menunjang

peningkatan produksi pangan, peningkatan pendapatan petani, lapangan pekerjaan dan

ketahanan pangan.

Kebutuhan air untuk sektor pertanian di beberapa negara Asia hampir

mencapai 90 persen dari tingkat ketersediaan air, demikian juga di Indonesia. Hal ini

karena sebagian besar masyarakat hidup dari pertanian dan ketahanan pangan menjadi

komponen utama bagi ketahanan bangsa. Semakin meningkatnya persaingan di antara

para pengguna air, maka pertimbangan ekonomis sering menjadi pertimbangan dalam

alokasi air. Air dapat mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi apabila dijual

langsung sebagai barang komoditi.

Ancaman terhadap alokasi air akibat kesenjangan ini telah mulai terjadi.

Beberapa industri yang mendapatkan air dari saluran irigasi dan air tanah, dengan cara

membeli atau menyewa tanah petani atau mengambil alokasi pergiliran pemberian air

irigasi bagi tanah yang dibeli/disewa tersebut, dan kadang-kadang masih menambah

beberapa pipa pengambilan bahkan dengan pemompaan. Untuk menambah jumlah air

yang dapat diambil, beberapa industri tersebut juga melakukan pendekatan kepada

petani bagian hulu agar dapat merelakan sebagian airnya dengan imbalan misal dengan

pembangunan saluran drainasi. Yang paling dirugikan pada keadaan ini adalah petani

dibagian hilir yang akan kekurangan air. Proses realokasi air irigasi untuk kepentingan

lain, akan memberikan pengaruh negatif pada ekonomi di pedesaan, berkurangnya air

irigasi, akan mengurangi luas tanam dan akan mengakibatkan hilangnya mata

pencaharian, penurunan produksi pangan dan gangguan sosial lainnya. (Rosegrant and

Ringler, 1998). Sebetulnya perubahan alokasi seperti di atas tidak diperbolehkan,

berkenaan dengan Undang-Undang No 7/2004, pasal 29 ayat (3) prioritas pemberian

air irigasi lebih tinggi dari pada pemberian air untuk kepentingan industri, namun

dengan pendekatan bahwa alokasi air itu melekat pada lahan pertanian, maka

seseorang yang menyewa atau membeli tanah pertanian tersebut dapat mengambil air

irigasi yang menjadi hak yang melekat atas lahan itu (Wignyosukarto, 2006).

31

Pengelolaan sumber daya air di Indonesia menghadapi problema yang sangat

rumit dan kompleks, mengingat air mempunyai beberapa fungsi baik fungsi sosial-

budaya, ekonomi dan lingkungan yang masing-masing dapat saling bertentangan.

Dengan terjadinya perubahan iklim global, semakin meningkatnya jumlah penduduk

dan intensitas kegiatan ekonomi, telah terjadi perubahan SDA yang sangat cepat.

Pembukaan lahan guna keperluan perluasan daerah pertanian, pemukiman dan

industri, yang tidak terkoordinasi dengan baik dalam suatu kerangka pengembangan

tata ruang, telah mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, erosi, tanah longsor,

banjir. Hal itu telah mengakibatkan terjadinya peningkatan konflik antara para

pengguna air baik untuk kepentingan rumah tangga, pertanian dan industri, termasuk

penggunaan air permukaan dan air bawah tanah di perkotaan. Saat ini sektor pertanian

menggunakan hampir 80% kebutuhan air total, sedangkan kebutuhan untuk industri

dan rumah tangga hanya 20%. Pada tahun 2020, diperkirakan akan terjadi kenaikan

kebutuhan air untuk rumah tangga dan industri sebesar 25% – 30%.

Beberapa daerah aliran sungai di Pulau Jawa telah mengalami degradasi yang

sangat memprihatinkan, erosi yang berlebihan telah mengakibatkan terjadinya

sedimentasi di beberapa waduk yang telah dibangun di sungai Citarum, Brantas,

Serayu-Bogowonto dan Bengawan Solo. Sedimentasi tersebut akan mengurangi usia

tampung waduk, usia tampung beberapa waduk tersebut diperkirakan hanya akan

mampu memenuhi kebutuhan air baku hingga tahun 2010 saja.

Pengambilan air tanah yang berlebihan di beberapa akuifer di kota-kota besar

di Pulau Jawa (Jakarta, Semarang, Surabaya) telah mengakibatkan terjadi intrusi air

laut dan penurunan elevasi muka tanah. Ketidaktersediaan sistem sanitasi dan

pengolah limbah industri yang baik, juga telah mengakibatkan terjadinya pencemaran

air tanah dan sungai oleh buangan air rumah tangga dan industri, terutama di musim

kemarau. Di saat lain, di musim hujan, banjir terjadi di mana-mana, akibat karena

semakin kecilnya daerah resapan, turunnya kapasitas sungai dan rusaknya sistem

drainasi internal.

Fisik dan struktur geologi perbukitan ini, dengan sempurna telah menyimpan

dan memelihara air dalam jumlah dan masa tinggal yang ideal. Sehingga dapat

mencukupi kebutuhan air bagi warga setempat di musim kemarau sampai datangnya

musim hujan berikutnya. β€œKemampuan bukit kars dan mintakat epikarst pada

32

umumnya telah mampu menyimpan tiga hingga empat bulan setelah berakhirnya

musim penghujan, sehingga sebagian besar sungai bawah tanah dan mata air mengalir

sepanjang tahun dengan kualitas air yang baik” (Haryono, 2001).

Mata air epikarst dikenal mempunyai kelebihan dalam hal:

(1) Kualitas air. Air yang keluar dari mata air epikarst sangat jernih karena sedimen

yang ada sudah terperangkap dalam material isian atau rekahan.

(2) Debit yang stabil. Mata air yang keluar dari mintakat epikarst dapat mengalir

setelah 2 - 3 bulan setelah musim hujan dengan debit relatif stabil.

(3) Mudah untuk dikelola. Mata air epi-karst umumnya muncul di kaki-kaki

perbukitan, sehingga dapat langsung ditampung tanpa harus memompa.

Kawasan karst ini menjadi sebuah tandon air alam raksasa bagi semua mata air

yang terletak di kedua kabupaten tersebut. Akifer yang unik menyebabkan sumber

daya air di kawasan kars terdapat sebagai sungai bawah permukaan, mata air, danau

dolin/telaga, dan muara sungai bawah tanah (resurgence). Kawasan karst disinyalir

merupakan akifer yang berfungsi sebagai tandon terbesar keempat setelah dataran

alluvial, volkan dan pantai.

3. Siklus Air di Alam

Siklus perjalanan air adalah ketika titik embun yang berada di atmosfer

mencapai titik jenuh, turun menjadi curahan hujan. Hujan jatuh di permukaan bumi,

di hutan-hutan, atau di rawa-rawa. Selanjutnya sebagian air hujan ini meresap ke dalam

tanah melalui proses infiltrasi; dan ketika tanah sudah mulai jenuh, air menggenang

dipermukaan tanah dan mencari tempat yang lebih rendah. Pada saat air permukaan

bergerak mencari daerah yang lebih rendah, terjadilah aliran air di permukaan tanah

yang disebut surface runoff. Jika air hujan jatuh pada tanah yang miring, maka

sebagian tetesan air hujan ini tidak sempat meresap ke dalam tanah, melainkan menjadi

aliran permukaan. Air yang mengalir di permukaan tanah tersebut akan bertambah

besar jumlahnya setelah bertemu dengan aliran air dari lokasi lain, mengalir menuju

lembah, dan memasuki aliran sungai. Jika jumlah air yang mengalir di permukaan jauh

lebih besar dibandingkan dengan yang meresap ke dalam tanah, dapat menyebabkan

banjir atau luapan aliran permukaan.

33

Air yang mengalir di sungai juga berasal dari air hujan yang meresap kedalam

tanah, seterusnya menembus lapisan yang mampu menyimpan air yang pada umumnya

merupakan lapisan pasir (disebut lapisan aquifer) dan pada tempat tertentu

memunculkan airnya kembali ke permukaan sebagai sumber atau mata air. Air dari

mata air ini, airnya terus mengalir ke dalam sungai. Sungai dengan segala sifat-

sifatnya, mengalirkan air jauh sampai ke laut. Air laut (biasanya asin) ketika mendapat

energi panas matahari mengalami penguapan, proses penguapan ini disebut evaporasi.

Air laut yang menguap ditiup angin menuju darat, mendaki lereng sampai ke puncak

gunung, mengumpul jadi satu, berubah menjadi embun. Maka turunlah hujan. Kalau

uap air yang naik ke lapisan atmosfeer masih berada di atas lautan, kemudian mencapai

titik jenuh, jatuh kembali ke laut sebagai hujan, dinyatakan siklus pendek.

Pola Aliran Air Permukaan di Daerah Aliran Sungai (DAS)

(Sumber: sonyssk.wordpress.com/2008/10/04/air-dan-tanah-sumber-kehidupan/)

DAS adalah suatu lahan yang sekitarnya terjadi aliran air ke sungai. DAS

menutupi permukaan tanah seluruh bumi. Pada DAS terdapat rumah, lingkungan, kota,

hutan, lahan pertanian, dan banyak lagi. DAS datang dalam segala bentuk dan ukuran

dan batas negara bahkan bisa lintas.

Aliran kecil bergabung membentuk sungai. Sebagaimana aliran, DAS yang

lebih kecil akan bergabung bersama-sama membentuk DAS yang lebih besar.

Dikarenakan kita tinggal di suatu DAS, maka berbagai kegiatan kita akan berdampak

langsung terhadap DAS. Semisal, jika ada polusi di area DAS, maka aliran sungai di

DAS tersebut akan terkena polusi akibat adanya aliran permukaan menuju ke sungai.

34

Ilustrasi Pentingnya Vegetasi Pohon dalam Menyimpan Air Hujan.

(Sumber: www.nccwep.org/stormwater/stormwater101/what_is_watershed.php)

Kapasitas infiltrasi tanah tergantung pada tekstur and struktur tanah, serta pada

kadar air tanah terdahulu karena curah hujan sebelumnya atau musim kemarau.

Kapasitas awal (dari tanah kering) yang tinggi tetapi, karena badai terus, hal itu akan

berkurang hingga mencapai nilai stabil disebut sebagai laju resapan akhir.

Skema Ilustrasi Hubungan Antara Curah Hujan, Infiltrasi dan Aliran Permukaan

(Runoff) (Sumber: Linsley et al. 1958).

35

4. Air sebagai Sumber Daya Ekonomi

Dewasa ini air sudah menjadi barang ekonomi dan mahal karena

keberadaannya semakin langka, bahkan banyak yang tercemar bermacam-macam

limbah dari hasil aktivitas manusia dan rumah tangga, limbah pertanian, peternakan,

industri dan lain sebagainya. Indikator atau tanda air telah tercemar adalah perubahan

suhu air, pH atau konsentrasi ion hidrogen, warna, bau dan rasa air, timbulnya

endapan, koloid bahan terlarut, mikroorganisme dan radioaktif air. Wilayah kota dan

kabupaten merupakan wilayah yang memiliki sumber daya air, berupa air permukaan

dan air tanah yang potensial. Hal tersebut nampak dari beberapa sungai yang

berukuran cukup besar dan mata air yang merupakan sumber potensial bagi

penyediaan kebutuhan air baku penduduk. Keseimbangan air tanah (neraca air) di

dapat dibuat berdasarkan besar input dan output yang ada. Input merupakan debit air

sungai yang ada, sedangkan output merupakan total penggunaan air untuk keperluan

domestik (rumah tangga), untuk irigasi dan untuk industri pariwisata.

Keseimbangan penggunaan air di suatu wilayah, seperti Kabupaten Gianyar,

berdasarkan sumbernya yaitu sebesar 3.369.871,8 m3/hari dengan total penggunaan

sebesar 1.759.792,046 m3/hari, sehingga masih terdapat cadangan air untuk wilayah

Kabupaten Gianyar sebesar 1.610.079,754 m3/hari (Made Sudita dan Made Antara,

2006). Surat Keputusan Bupati Gianyar Nomor 4 tahun 2003 tentang Penetapan Obyek

dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Gianyar, Sumber mata air di Desa manukaya

ditetapkan sebagai salah satu obyek dan daya tarik wisata. Selain peninggalan fisik

(pura), mata air di Sumber mata air yang dialirkan lewat pancuran memiliki daya tarik

tersendiri bagi wisatawan yang sedang berkunjung.

Air yang bersumber dari mata air ini juga dimanfaatkan untuk air Suci atau

Nunas Tirta, bahan baku air minum oleh PDAM Kabupaten Gianyar sebanyak 330,32

m3/bulan yang bersumber dari tiga titik pengambilan (Made Sudita dan Made Antara,

2006), kebutuhan air untuk Istana Presiden Tampaksiring, air irigasi subak Pulagan

Kumba seluas 183,5 ha dan untuk membersihkan diri atau melebur. Oleh masyarakat

setempat, dengan mandi (melebur) di pancuran tersebut diyakini dapat membuang sial

dan menyembuhkan penyakit. Wisatawan yang datang untuk mandi di permandian

umum sekitar Sumber mata air dominan wisatawan lokal, yang sampai saat ini belum

36

dipungut biaya apapun. Padahal ini merupakan aset yang perlu dikelola demi

kelestarian fungsi dan keberlangsungan sumber mata air.

Fluktuasi debit air yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air irigasi

sangat beragam dan berfluktuasi antar waktu, kondisi rona lingkungan sekitar mata air

sangat mempengaruhi debit air ini. Kecendrungan perubahan tataguna lahan dari

kawasan bukan terbangun menjadi kawasan terbangun dan sistem pengolahan lahan

yang tidak sesuai dengan peruntukan telah mencapai kawasan-kawasan lindung yang

seharusnya dikonservasi, seperti sempadan jurang dan sempadan sungai yang akan

berpengaruh terhadap sistem aliran air pemukaan (runoff) dan infiltrasi. Demikian pula

halnya dengan daerah aliran sungai bagian hulu (kawasan Sumber mata air) yang

merupakan daerah tangkapan hujan, telah mendapat tekanan menjadi daerah pertanian

yang intensif dan perubahan peruntukan dari lahan non terbangun menjadi kawasan

terbangun. Jika fenomena ini dibiarkan berlangsung terus tanpa ada usaha-usaha

menemukan solusinya, dikhawatirkan sumber air di kawasan Sumber mata air akan

semakin menyusut dan mungkin suatu hari akan hilang, sedangkan di pihak lain

sumber mata air dibutuhkan oleh berbabagai pihak untuk berbagai keperluan.

Karenanya, keberadaan air di kawasan Sumber mata air harus dikaji, khususnya terkait

nilai sosial (social benefit), nilai ekonomi total (total economic value) yang terkandung

di dalamnya, dan usaha-usaha pelestarian saat ini yang telah dan perlu dilakukan oleh

berbagai pihak.

Siklus Air Hujan

(Sumber: http://www.co.portage.wi.us/groundwater/undrstnd/runoff.htm)

37

Istilah runoff berarti limpasan, aliran permukaan, yaitu jumlah total air yang

mengalir ke sungai, atau jumlah limpasan langsung dan aliran dasar. Runoff sering juga

disebut streamflow untuk menyatakan debit aliran pada sungai dan water yield untuk

menyatakan volume air. Sedangkan runoff yang mengalir diatas permukaan tanah juga

disebut overland flow. Runoff terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu:

(1) Surface runoff

(2) Subsurface runoff atau interflow

(3) Baseflow atau groundwater runoff

Surface runoff terdiri dari aliran diatas permukaan tanah (overland flow) dan

air hujan yang langsung masuk ke sungai (channel flow) Penggabungan komponen

surface runoff dan subsurface runoff disebut direct runoff. Surface runoff biasanya

terjadi bila intensitas curah hujan melebihi intersepsi, infiltrasi dan surface storage

(tampungan permukaan). Surface runoff berubah selama hujan berlangsung, dapat juga

hilang selama hujan atau seketika setelah hujan berhenti.

Subsurface runoff adalah bagian curah hujan yang terinfiltrasi yang keluar

secara lateral melalui bagian atas horizon tanah hingga mencapai sungai (stream

channel). Subsurface runoff ini mengalir lebih lambat dari surface runoff dan

bergabung dengan surface runoff selama atau setelah hujan. Proporsi subsurface runoff

ini tergantung pada karakteristik geologi DAS dan sifat ruang-waktu curah hujan.

Fenomena ini biasa dijumpai pada daerah iklim basah dan pada DAS dengan kapasitas

infiltrasi yang tinggi dan DAS dengan lereng sedang sampai curam.

Baseflow adalah bagian air hujan yang terinfiltrasi hingga mencapai muka air

tanah (water table) dan kemudian mengalir ke sungai. Aliran ini berpindah sangat

lambat dan sedikit mempengaruhi puncak banjir (flood peaks) pada DAS yang kecil.

Baseflow tergantung pada permeabilitas tanah.

Komponen-komponen runoff diatas bisa saja tidak muncul secara teratur pada

suatu DAS. Sebagai contoh, pada daerah-daerah kering (arid areas) dari DAS yang

kecil hampir selalu terjadi surface runoff. Pada daerah basah (humid areas), subsurface

runoff lebih dominan. Tetapi, curah hujan terus-menerus dalam jangka waktu yang

panjang, di daerah arid juga dapat menghasilkan subsurface runoff, bahkan juga

baseflow. Oleh karena itu, jenis runoff yang terjadi pada suatu DAS ditentukan oleh

38

gabungan faktor-faktor berikut: iklim, fisiografik dan karateristik ruang-waktu (space-

time) dari curah hujan.

Untuk menentukan jumlah limpasan tahunan, kurangi jumlah evapotranspirasi

tahunan dari jumlah tahunan curah hujan.

π‘…π‘’π‘›π‘œπ‘“π‘“ (𝑅𝑂) = π‘ƒπ‘Ÿπ‘’π‘π‘–π‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘‘π‘–π‘œπ‘› βˆ’ πΈπ‘£π‘Žπ‘π‘œπ‘‘π‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘ π‘π‘–π‘Ÿπ‘Žπ‘‘π‘–π‘œπ‘›

𝑅𝑂 = 𝐷𝑅𝑂 + 𝐡𝐹 atau 𝑅𝑂 = 𝑂𝐹 + 𝑆𝑂𝐹 + 𝐼𝐹 + 𝐡𝐹

𝐷𝑅𝑂 = 𝑆𝑅𝑂 + 𝐼𝐹 atau 𝐷𝑅𝑂 = 𝑂𝐹 + 𝑆𝑂𝐹 + 𝐼𝐹

Direct runoff (DRO) adalah jumlah dari surface runoff (SRO) dan interflow (IF),

sedangkan surface runoff (SRO) adalah gabungan dari overland flow (OF) dan

saturation excess overland flow (SOF).

𝑆𝑅𝑂 = 𝑂𝐹 + 𝑆𝑂𝐹

5. Pengelolaan Sumber Daya Air

Pengelolaan sumber daya air semakin hari semakin dihadapkan ke berbagai

permasalahan. Permasalahan umum dalam pengelolaan sumber daya air pada dasarnya

terdiri atas tiga aspek yaitu terlalu banyak air, kekurangan air dan pencemaran air.

Peningkatan kebutuhan akan air telah menimbulkan eksploitasi sumber daya air secara

berlebihan sehingga mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan sumber daya

air yang pada gilirannya menurunkan kemampuan pasokan air. Gejala degradasi fungsi

lingkungan sumber daya air ditandai dengan fluktuasi debit air di musim hujan dan

kemarau yang semakin tajam, pencemaran air, berkurangnya kapasitas waduk dan

lainnya.

Pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan secara holistik, untuk

mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antar wilayah, antar sektor, dan

antar generasi. Semua pihak terkait perlu dilibatkan dalam setiap tahap pengambilan

keputusan dalam pengelolaan sumber daya air dari tahap perencanaan sampai dengan

operasi dan pemeliharaan. Dalam pengelolaan sumber daya air, pemerintah daerah

tidak boleh memandang air hanya sebagai komoditas ekonomi tetapi perlu

mempertimbangkan fungsi sosialnya. Pemakai air perlu memberikan kontribusi biaya

pengelolaan air, dengan prinsip pembayaran pengguna dan pembayaran polusi serta

adanya subsidi silang.

39

6. Strategi Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Air

Dampak perubahan iklim tidak hanya dialami oleh Indonesia namun juga

dialami negara-negara dibelahan dunia lainnya termasuk Jepang. Dari data yang ada

menunjukan bahwa telah terjadi anomali yang signifikan, khususnya dalam 25 tahun

terakhir seperti meningkatnya temperatur global, naiknya permukaan air laut dan

sering terjadinya kondisi ekstrim seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan. Bencana

alam seperti banjir, typhon juga terjadi di Jepang sebagai salah satu dampak terjadinya

perubahan iklim. Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terkena dampak

perubahan iklim karenanya perlu disiapkan rencana kegiatan secara detil dalam upaya

mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PU bekerjasama dengan

Japan International Cooperation Agency (JICA) merumuskan sebuah kebijakan dan

strategi pengelolaan SDA menghadapi perubahan iklim. Pemerintah Indonesia

besama-sama dengan pemerintah Jepang sangat peduli pada perubahan iklim sejak

Protocol Kyoto dengan menyusun beberapa strategi terkait dampak perubahan iklim.

Strategi-strategi tersebut yaitu strategi mitigasi dengan mengelola tata air pada

lahan-lahan gambut (low land) dalam rangka mengurangi kerentanan kebakaran pada

lahan gambut (pengendalian emisi gas rumah kaca) dan mendukung kegiatan

penghijauan di daerah aliran sungai yang kritis dan kawasan hulu sungai.

Selain itu strategi adaptasi yaitu dengan meningkatkan pengelolaan bangunan

infrastruktur sumber daya air untuk mendukung ketahanan pangan, pengembangan

pengelolaan resiko bencana banjir dan kekeringan, pengembangan perlindungan

pantai dari kenaikan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara, serta

meningkatkan kampanye hemat air.

Kedua strategi di atas sangat penting dilakukan karena perubahan iklim juga

dapat berdampak pada terjadinya krisis pangan, krisis air global dan krisis energi

sebagai akibat dari kondisi perubahan iklim yang ekstrem.

Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (Integrated Water Resources

Management, IWRM) merupakan suatu proses koordinasi dalam pengembangan dan

pengelolaan sumber daya air dan lahan serta sumber daya lainnya dalam suatu wilayah

sungai, untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan kesejahteraan sosial yang seimbang

tanpa meninggalkan keberlanjutan ekosistem. Pengelolaan sumber daya air terpadu

40

memfokuskan pada pengelolaan terpadu antara kepentingan bagian hulu dan

kepentingan bagian hilir sungai, pengelolaan terpadu antara kuantitas dan kualitas air,

antara air tanah dan air permukaan, serta antara sumber daya lahan dan sumber daya

air. Konsep IWRM ini diharapkan dapat mengatasi masalah kelangkaan air, banjir,

polusi hingga distribusi air yang berkeadilan.

Perkembangan dan implementasi konsep IWRM, dikenal slogan One River –

One Plan – One Management di Indonesia sangat berliku dan mengalami beragam

kendala. Namun hingga saat ini koordinasi antar sektor yang menguasai empat hal

yang perlu diterpadukan tersebut di atas, belum dapat berjalan dengan baik.

Penebangan hutan terus berlanjut hingga mengakibatkan bencana banjir serta

sedimentasi waduk dan muara sungai, pengambilan air tanah (blue water) yang lebih

sulit diperbaharui terus berlangsung tanpa memperhatikan kemungkinan penurunan

muka tanah dan intrusi air asin, penggalian pasir tidak terkendali, sehingga

mengakibatkan terjadinya degradasi dasar sungai yang membahayakan beberapa

infrastruktur lainnya.

Upaya untuk koordinasi pengelolaan sumber daya air pernah dilakukan oleh

pemerintah pada kesempatan memperingati Hari Air Sedunia XII tahun 2004 pada

tanggal 23 April 2004. Pada saat itu dicanangkan komitmen pemerintah dalam

pengelolaan SDA dengan penandatanganan Deklarasi Nasional Pengelolaan Air yang

Efektif dalam Penanggulangan Bencana oleh 11 menteri dalam koordinasi

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat yang terdiri dari Menko

Kesra, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, Menteri Pendidikan Nasional,

Menteri Kesehatan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pekerjaan

Umum, Menteri Kehutanan, Menteri Sosial, Menteri Negara Riset dan Teknologi,

serta Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Melihat kondisi SDA di Indonesia yang sudah mencapai tingkat krisis dan

berpengaruh terhadap kemiskinan, kekurangan pangan, menghambat pertumbuhan

ekonomi sosial budaya bangsa dan terganggunya ekosistem, maka Presiden Susilo

Bambang Yudoyono di Jakarta pada tanggal 28 April 2005 mencanangkan Gerakan

Nasional Kemitraan Penyelematan Air (GN-KPA) guna peningkatan keterpaduan

implementasi kebijakan pengelolaan untuk keberlanjutan fungsi sumber daya air. -

KPA menekankan bahwa urusan air adalah urusan semua pemegang kepentingan

41

(stakeholder) baik masyarakat, pengguna air lainnya dan pemerintah. GN-KPA

memuat 6 komponen strategis, yakni: (1) penataan ruang, pembangunan fisik,

pertanahan dan kependudukan; (2) rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi SDA;

(3) pengendalian daya rusak air; (4) pengelolaan kualitas dan pengendalian

pencemaran air; (5) penghematan penggunaan dan pengelolaan permintaan air; dan (6)

pendayagunaan sumber daya air secara adil, efisien dan berkelanjutan.

Bank Pembangunan Asia (ADB) mengimplementasikan Water Financing

Program 2006 – 2010, untuk membantu program IWRM di lima wilayah sungai di

Indonesia, diantaranya wilayah Sungai Citarum, Ciliwung-Cisadane, Ciujung, Progo-

Opak-Oya. ADB mempunyai 25 elemen sebagai indikator kondisi IWRM di sebuah

wilayah sungai, antara lain keberadaan: Organisasi Pengelola Wilayah Sungai (RBO),

partisipasi para pemegang kepentingan, perencanaan wilayah sungai, kesadaran

publik, alokasi air, hak atas air, ijin pembuangan limbah, pembiayaan IWRM,

nilai/harga air, peraturan pengelolaan air, infrastruktur yang mempunyai multimanfaat,

partisipasi sektor swasta melalui program CSR (corporate social responsibility),

pendidikan tentang pengelolaan wilayah sungai, pengelolaan daerah tangkapan air,

kebijakan tentang aliran penyangga kualitas lingkungan, manajemen bencana,

peramalan banjir, rehabilitasi kerusakan akibat banjir, monitoring kualitas air, upaya

perbaikan kualitas air, konservasi lahan basah (rawa), perlindungan dan peningkatan

ikan di sungai, pengelolaan air tanah, konservasi air dan sistem informasi guna

mendukung penentuan kebijakan.

Salah satu upaya untuk mengatasi persoalan kelangkaan air pada musim

kemarau yang kecenderungannya diikuti oleh kekeringan yang berkepanjangan, dan

kelimpahan air pada musim hujan yang diikuti pula oleh banjir dengan skala luas dan

waktu yang cukup lama adalah dengan melindungi sumber daya air. Salah satu upaya

menambah cadangan air tanah adalah dengan menambah kapasitas resapan air melalui

penanaman pohon dan pembuatan sumur resepan.

Tujuan konservasi sumber daya air adalah terlindunginya berbagai sumber

mata air di dalam dan luar kawasan hutan, meningkatkan kuantitas air tanah pada

musim kemarau, serta tertanggulanginya kelimpahan air pada musim hujan pada

daerah-daerah tertentu.

42

V. VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

1. Konsep Valuasi ESDAL

Valuasi ekonomi sumber daya alam dan lingkungan (SDAL) adalah upaya

untuk memberikan nilai kuantitatif (monetisasi) terhadap barang atau jasa yang

dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan atas dasar nilai pasar (market value)

ataupun nilai non pasar (non market value). Valuasi ekonomi ESDAL merupakan alat

ekonomi (economic tools) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk

mengestimasi nilai uang atau jasa yang dihasilkan oleh SDAL.

Ada perbedaan antara valuasi ekonomi (economic valuation) dengan apraisal

ekonomi (economic appraisal atau economic assessment) dimana apraisal ekonomi

berkaitan dengan penilaian rencana investasi pada suatu kegiatan ekonomi atau studi

kelayakan investasi. Pada umumnya studi kelayakan investasi menilai biaya dan

manfaat barang dan atau jasa yang bersifat nyata (tangible) dan ada pasarnya

(marketable good), baik dengan harga pasar atau harga bayangan (shadow price).

Tujuan kegiatan apraisal ekonomi adalah untuk menentukan nilai atau manfaat dan

kelayakan investasi berdasarkan kriteria pengambilan keputusan. Sementara valuasi

ekonomi upaya memberi nilai kuantitatif (monetasi) terhadap barang atau jasa yang

dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan baik atas dasar nili pasar (market value)

maupun nilai non pasar (non market value).

Pemahaman terhadap konsep valuasi ekonomi SDAL memungkinkan para

pengambil kebijakan dapat menentukan penggunaan SDAL yang efektif dan efisien.

Valuasi ekonomi SDAL dapat digunakan untuk menunjukan keterkaitan antara

konservasi SDAL dan pembangunan ekonomi, sehingga valuasi ekonomi dapat

menjadi alat penting dalam upaya meningkatkan apresiasi dan kesadaran masyarakat

terhadap SDAL dan lingkungan. Valuasi ekonomi SDAL merupakan suatu bentuk

penilaian yang komprehensif, tidak hanya nilai pasar (market value) dari barang tetapi

juga nilai jasa yang dihasilkan oleh SDAL yang sering tidak terkuantifikasi ke dalam

perhitungan menyeluruh SDAL.

Pendekatan perhitungan ekonomi untuk jasa ekosistem dan sumber daya

alam (economic valuation) dewasa ini semakin popular di dunia konservasi alam dan

perlindungan hutan. Conservation International (CI) kerap menggunakan metoda ini

43

untuk menjelaskan kepada pemangku kepentingan alasan betapa pentingnya

melindungi suatu kawasan hutan dari suatu kegiatan lain yang bersifat kontra

produktif. Hal tersebut sebagian besar timbul oleh anggapan bahwa pengambil

keputusan dan penentu kebijakan lebih memahami simbol-simbol ekonomi karena

berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat dibanding teori ekosistem.

Misalnya, dampak negatif perubahan lingkungan menjadi lebih konkrit apabila

perhitungan yang diketengahkan ternyata merupakan nilai intervensi manusia atas

dalih pembangunan yang dapat berakibat menurunnya mata-pencaharian masyarakat

di wilayah tertentu. Namun demikian, disamping popularitas dan semakin

diperlukannya metode ini, debat dan kritik semakin mewarnai pelaksanaannya

khususnya dalam hal bagaimana pendekatan ini melakukan telaah nilai intrinsik

sumber daya alam.

Keberatan dan kritik yang dilontarkan terhadap kajian ekonomi ini dipicu oleh

berbagai alasan yang umumnya dipengaruhi oleh dasar filosofi yang dianut oleh

kalangan tertentu. Misalnya kelompok ekosentris berpendapat bahwa setiap makhluk

bernyawa memiliki hak untuk hidup sehingga manusia tidak sepatutnya memberikan

nilai ekonomi terhadap mereka kalau sekedar demi memuluskan tujuan eksploitasi

SDA. Di lain pihak kalangan antroposentris berargumen bahwa SDA baru berarti bila

mampu memberikan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan masyarakat.

Pendapat ini tentu saja dibantah oleh kelompok pertama yang bersikeras bahwa

pendapat di atas akan menyebabkan eksploitasi berlebihan. Aliran yang

mempromosikan bahwa SDA dianggap bermanfaat jika sanggup memenuhi kebutuhan

manusia adalah sumber malapetaka kerusakan lingkungan selama ini. Pendapat ini

juga ada benarnya bila kita menilai kebutuhan manusia dalam pandangan sempit yaitu

hanya dari aspek pemenuhan materi.

Oleh karena itu, tujuan valuasi ekonomi SDAL adalah untuk menjamin

tercapainya tujuan maksimalisasi kesejahteraan individu yang berkaitan dengan

keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi.

Sedangkan manfaat valuasi ekonomi SDAL adalah untuk mengilustrasikan

hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk

melakukan pengelolaan sumber daya alam yang baik, menggambarkan keuntungan

dan kerugian yang berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan program

44

pengelolaan sumber daya alam sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan

dalam distribusi manfaat sumber daya alam.

2. Nilai Ekonomi Total SDAL

Berdasarkan tipologi valuasi ekonomi Barton (1994), Barbier (1993) dan

Freeman (2002), penentuan valuasi (nilai) ekonomi SDAL menggunakan Nilai Total

Valuasi (TEV) SDAL, dengan skema sebagai berikut:

π‘π‘–π‘™π‘Žπ‘– πΈπ‘˜π‘œπ‘›π‘œπ‘šπ‘– π‘‡π‘œπ‘‘π‘Žπ‘™ (𝑇𝐸𝑉) 𝑆𝐷𝐴𝐿 = π·π‘ˆπ‘‰ + πΌπ‘ˆπ‘‰ + 𝑂𝑉 + 𝐸𝑉 + 𝐡𝑉

Nilai Guna Langsung (DUV): mencakup seluruh manfaat SDA dan

lingkungan yang dapat diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi melalui

satuan harga berdasarkan mekanisme pasar. Nilai guna tersebut dibayar oleh seseorang

atau masyarakat yang secara langsung menggunakan dan mendapatkan manfaat dari

SDA dan lingkungan. Nilai DUV dihitung berdasarkan kontribusi SDA dan

lingkungan dalam membantu proses produksi dan konsumsi saat ini (komiditi yang

secara langsung dapat dikonsumsi atau bahan produksi barang atau jasa)

Nilai Guna Tidak Langsung (IUV): terdiri atas manfaat fungsional dari

proses ekologi yang secara terus-menerus memberikan konstribusinya terhadap

masyarakat dan ekosistem. Areal pertanian yang cukup luas memberikan manfaat

tidak langsung berupa kenyamanan udara, keindahan pemandangan, pengendali banjir,

Nilai Ekonomi Total (TEV)

Nilai Kegunaan / Use Value (UV)

Nilai Guna Langsung / Direct Use Value (DUV)

Nilai Guna Tidak Langsung / Indirect Use Value (IUV)

Nilai Non Kegunaan / Non-Use Value (NUV)

Nilai Guna Pilihan / Option Value (OV)

Nilai Keberadaan / Existance Value (EV)

Nilai Warisan / Bequest Value (BV)

45

erosi dan sedimentasi, serta pemasok sumber air tanah baik bagi petani maupun

masyarakat lainnya.

Nilai Guna Pilihan (OV): tidak dieksploitasi pada saat ini, tetapi "disimpan"

demi kepentingan yang akan datang. Manfaat ini bersifat bonus dimana konsumen mau

membayar untuk aset yang tidak digunakan, dengan alasan yang sederhana yakni

untuk menghindari risiko karena tidak memilikinya di masa mendatang.

Nilai Keberadaan (EV): muncul dari kepuasan seseorang atau komunitas atas

keberadaan suatu aset, walaupun yang bersangkutan tidak berminat untuk

menggunakannya. Dengan kata lain nilai diberikan seseorang atau masyarakat kepada

SDAL tertentu karena memberikan manfaat spiritual, estetika dan budaya.

Nilai Warisan (BV): diberikan oleh masyarakat yang hidup saat ini terhadap

SDA dan lingkungan tertentu agar tetap ada dan utuh untuk diberikan kepada generasi

akan datang. Nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan masa datang atau pilihan

dari orang lain untuk menggunakannya.

3. Metode Valuasi Ekonomi SDAL

Ada dua pendekatan yang digunakan dalam mengukur nilai ekonomi SDAL

menurut Turner, Pearce dan Bateman (1993), yaitu:

Monetary Valuation Method

D-Curve Approaches

Expression Inference Method

Contingent Valuation Method

Welfare Measures

Revealed Preference

Method

Travel Cost Method

Hedonic Pricing Method

Consumer Surplus

Measures

Non-D-Curve Approaches

Dose-Response Method

Replacement Cost

Mitigation Behavior

Opportunity Cost

46

D-CURVE APPROACHES

1. Expression Inference Method

a. Contingent Valuation Method (CVM)

Metode ini digunakan untuk membuat perkiraan nilai ekonomi untuk hampir

semua ekosistem atau jasa lingkungan. CVM dapat digunakan untuk

memperkirakan nilai-nilai penggunaan dan nilai-nilai non-penggunaan.

Merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk memperkirakan nilai-

nilai non-penggunaan, atau nilai-nlai "penggunaan pasif". Metode ini dilakukan

dengan cara meminta orang untuk langsung menyatakan kesediaan mereka

untuk membayar jasa lingkungan tertentu, berdasarkan skenario hipotetis. CVM

karena bersifat contingent (tergantung) di mana informasi yang diperoleh sangat

tergantung pada hipotesis yang dibangun.

CVM secara langsung melibatkan partisipasi masyarakat dalam survei dengan

cara menanyakan kepada masyarakat berapa banyak mereka akan bersedia

membayar untuk jasa lingkungan tertentu. Dalam beberapa kasus, orang

ditanyakan tentang seberapa besar jumlah kompensasi yang bersedia mereka

terima untuk jasa lingkungan tertentu. Hal ini disebut "kontingen" penilaian,

karena orang diminta untuk menyatakan kesediaan mereka untuk membayar,

tergantung pada skenario hipotetis tertentu dan deskripsi jasa lingkungan.

Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

Dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan.

Dengan teknik survei.

Didalam tahap operasional penerapan pendekatan CVM terdapat lima tahap

kegiatan (proses), yaitu sebagai berikut:

Tahap I: membuat hipotesis pasar.

Tahap II: mendapatkan nilai lelang (bids).

Tahap III: menghitung rataan WTP (willingness to pay) dan WTA

(willingness to accept).

Tahap IV: memperkirakan kurva lelang (bid curve).

Tahap V: mengagregatkan data.

47

2. Revealed Preferences Method

a. Travel Cost Method (TCM)

Merupakan metode tertua yang digunakan untuk pengukuran nilai ekonomi tidak

langsung. Metode ini seringkali digunakan untuk menganalisis permintaan

terhadap rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation) seperti memancing,

berburu, hiking dan lain sebagainya. Metode ini mengkaji biaya yang

dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi di atas.

Dengan mengetahui pola ekspenditur dari konsumen ini, maka dapat dikaji

berapa nilai yang diberikan konsumen kepada sumber daya alam dan lingkungan

yang dikunjunginya.

Metode TCM ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat:

Perubahan biaya akses (tiket masuk) di suatu tempat rekreasi.

Penambahan tempat rekreasi baru.

Perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi.

Penutupan tempat rekreasi yang ada.

Secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan nilai

ekonomi berdasarkan TCM yaitu:

Pendekatan sederhana melalui zonasi.

Pendekatan individual TCM menggunakan data sebagian besar dari survei.

b. Hedonic Pricing (HP)

Teknik Hedonic Pricing pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implisit

karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji

hubungan antara karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan

barang dan jasa. Misalnya, permintaan rumah yang dibangun di tepi danau akan

banyak ditentukan oleh karakteristik yang dihasilkan dari danau itu (keindahan,

kebersihan dan sebagainya). Di sisi lain, nilai properti (perumahan) juga banyak

ditentukan oleh kualitas lingkungan dan diasumsikan bahwa semakin buruk

kualitas lingkungan, maka semakin menurun nilai properti tersebut.

Analisis HP terdiri dari dua tahap, yaitu:

48

Tahap I: penentuan variabel kualitas lingkungan yang akan dijadikan studi

(fungsi HP) dan pengkajiannya memerlukan ketersediaan data spasial dan

data harga suatu objek yang akan dinilai.

Tahap II: penentuan fungsi permintaan dari kualitas lingkungan berdasarkan

informasi yang diperoleh dari Tahap I. Penentuan fungsi permintaan ini akan

dipengaruhi oleh informasi mengenai sisi penawaran pasar.

Masalah yang timbul dalam melakukan HP dengan menggunakan metode

regresi sederhana untuk menghitung tingkat permintaan, yaitu:

Ada variabel yang tidak termasuk dalam regresi (omitted variables) saat

pemilihan variabel bebas, di mana ada kemungkinan variabel yang

semestinya mempengaruhi fungsi permintaan tidak dimasukkan ke dalam

model sehingga akan menghasilkan nilai R2 yang kecil dan koefisien yang

bias.

Adanya multi kolinieritas, di mana variabel bebas yang dipilih dalam model

kemungkinan saling terkait satu sama lain sehingga menimbulkan

kolinieritas. Munculnya kolinieritas ini bisa saja menghasilkan tanda yang

salah untuk koefisien peubah bebas.

Pemilihan fungsi HP juga harus diperhatikan sebab apakah sudah tepat jika

fungsi tersebut dimodelkan secara linier dan bukan non-linier. Kesalahan

memilih fungsi ini akan menghasilkan interpretasi yang keliru.

NON D-CURVE APPROACHES

1. Dose-Response Method

Ini merupakan prosedur tidak langsung valuasi biaya lingkungan dan manfaat.

Dosis analisis metode Response hubungan antara mengatakan, polusi dan efek yang

dimilikinya, misalnya, efek kesehatan. Ini adalah proses karakterisasi hubungan

antara dosis agen diberikan, dan terjadinya efek yang merugikan kesehatan antara

terkena. Insiden efek ini kemudian diperkirakan sebagai fungsi dari paparan agen.

'Dosis' menunjukkan jumlah agen sementara 'respon' mengacu pada pengaruh agen

sekali diberikan. Hubungan dosis-respon ditentukan secara grafis dengan

menentukan efek dari berbagai dosis diberikan pada respon. Secara umum,

meningkatkan dosis agen berbahaya akan menghasilkan peningkatan proporsional

49

dalam kedua kejadian efek samping serta keparahan efek. Metode ini biasanya

diberikan ketika penduduk terkena tidak menyadari efek dari polusi karena tidak

langsung; itu juga digunakan di negara-negara berkembang di mana ada kurangnya

data untuk metode penilaian tersebut.

2. Replacement Cost

Damage Cost Method, Replacement Cost, dan Subtitute Cost Method merupakan

metode yang memperkirakan nilai jasa ekosistem berdasarkan biaya untuk

menghindari kerusakan akibat layanan yang hilang terkait, biaya penggantian jasa

ekosistem, atau biaya penyediaan jasa pengganti. Metode ini tidak memerlukan

pengukuran yang ketat dari nilai-nilai ekonomi, yang didasarkan pada kesediaan

masyarakat untuk membayar untuk suatu produk atau jasa. Sebaliknya, mereka

menganggap bahwa biaya untuk menghindari kerusakan atau mengganti ekosistem

atau jasa dengan memberikan perkiraan yang berguna dari nilai ekosistem atau jasa

tersebut. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa, jika orang mengeluarkan biaya

untuk menghindari kerusakan yang disebabkan oleh layanan ekosistem hilang, atau

untuk mengganti jasa ekosistem, maka layanan tersebut harus bernilai setidaknya

apa yang orang membayar untuk menggantikan mereka. Dengan demikian, metode

ini paling tepat diterapkan dalam kasus di mana penghindaran kerusakan atau

penggantian pengeluaran benar-benar telah dibuat.

3. Mitigation Behavior

Mitigation Behavior (perilaku mitigasi) adalah metode untuk melihat perilaku

masyarakat yang mengalami suatu peristiwa/bencana lingkungan yang belum

pernah dialami sebelumnya, misal bencana banjir. Orang tanpa pengalaman banjir

cenderung meremehkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh peristiwa semacam

itu.

Metode ini digunakan untuk melihat orang-orang yang terkena dampak bencana

banjir yang dibandingkan dengan orang yang tidak terpengaruh, tetapi juga tinggal

di daerah rawan banjir. Metode ini dilakukan dengan wawancara dengan orang-

orang yang terkena bencana (misal banjir). Hasil menunjukkan bahwa orang tanpa

pengalaman banjir yang dibayangkan konsekuensi dari banjir berbeda dari orang-

50

orang yang benar-benar mengalami kerugian parah akibat banjir. Orang-orang yang

tidak terkena banjir akan meremehkan dampak negatif akibat bencana tersebut.

Berdasarkan hasil, dapat disimpulkan bahwa komunikasi risiko tidak harus fokus

hanya pada aspek teknis; untuk memicu motivasi untuk perilaku mitigasi,

komunikasi yang sukses juga harus membantu orang untuk membayangkan

konsekuensi emosional negatif dari suatu bencana alam.

4. Opportunity Cost

Opportunity Cost of Capital (OCC) adalah nilai ekonomi yang hilang akibat

pemilihan penggunaan modal suatu investasi, ketika memilih investasi yang

lainnya. Pada umumnya OCC diukur melalui tingkat IRR (Internal Rate Return)

dari suku bunga pinjaman bank.

Penerapan otonomi daerah memberikan dampak tekanan yang tinggi terhadap

pengelolaan kawasan konservasi. Menimbulkan negoisasi-negoisasi dengan

pemerintah daerah setempat terutama pemanfaatan lahan. Tidak jarang

menimbulkan konflik kepentingan antara pengelola kawasan konservasi dengan

pemerintah daerah setempat dimana secara teritorial kawasan konservasi terletak di

daerah setempat. Apalagi kepentingan mengejar PAD (Pendapatan Asli Daerah)

oleh pemerintah daerah setempat dan pertimbangan OCC kawasan konservasi yang

lebih menguntungkan apabila dapat digunakan sebagai peruntukan lainnya seperti

pertanian.

51

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen Sumberdaya Air. 2004. Sebanyak 65 DAS dalam Kondisi Semakin Kritis.

Harian Kompas tanggal 20 Agustus 2004, hal. 15, Jakarta.

Dudley, N. and Stolton, S. Running Pure: The Importance of Forest Protected Areas

to Drinking Water. http://www.forest-alliance.org.

Fauzi, A., Ph.D. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan

Aplikasi, Cetakan Kedua. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hadi, D. P. dan Van Noordwijk, M. Agro-ecosystems, Their Population Densities and

Land Cover in Indonesia in The Context of Upland-Lowland Relationships.

ICRAF SE Asia, RUPES Working Paper.

Haryono. 2001. Nilai Hidrologis Bukit Kars. Makalah dalam Seminar Nasional Eko

Hidrolik, Teknik Sipil Universitas Gajah Mada.

Jonkowski, Jerzy. 2001. Geol 9111 Groundwater Environments. UNSW Groundwater

Centre, University of New South Wales, New South Wales.

Kementrian Lingkungan Hidup. 2003. Kajian Strategi Nasional Mengenai Mekanisme

Pembangunan Bersih di Sektor Kehutanan. Jakarta.

Mandel, S, 1981, Groundwater Resources: Investigation and Development, Academic

Press, New York.

Munasinghe, M., dan E. Lutz. 1993. Environmental Economics and Valuation in

Development Decisionmaking. Environmental Economics and Natural

Resource Management In Developing Countries. Edited by Mohan

Munasinghe, compiled by Adelaide Schwab. Committee of International

Development Institution on the Evironment (CIDIE), distributed for CIDIE by

The World Bank Washington, DC.

Noordwijk, Meine, F., et.al. 2004. Peranan Agroforestry dalam Mempertahankan

Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS). AGRIVITA Vol. 26. No. 1.

Pearce David, W. and Turner R. Kerry. 1990. Economic of Natural Resources and The

Environment. Harvester Weatsheaf New York London, Toronto Sydney

Tokyo.

Pearce, D. 1992. Economic Valuation and the Natural World. Working Papers, World

Development Report. Center for Social and Economic Research on the Global

Environment, London and Norwich, UK.

52

Ramdan, H., Yusran dan Dudung Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Otonomi Daerah: Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Alqaprint,

Jatinangor, Sumedang.

Reksohadiprodjo, Sukanto dan Andreas Budi P.B. 1997. Ekonomi Lingkungan, Suatu

Pengantar, Edisi Pertama, Cetakan Kelima. BPFE. Yogyakarta.

Rosa, H., Kandel, S., dan Dimas L. 2005. Kompensasi untuk Jasa Lingkungan dan

Masyarakat Pedesaan: Pelajaran dari Negara-Negara Amerika. RUPES

Program, ICRAF-SEA Bogor.

Savenije, H.H.G.,Van der Zaag, P. 2001. Demand Management and Water as an

Economic Good Paradigms with Pitfalls, Value of Water. Research Report

Series No. 8, IHE Delft The Netherlands.

Turner, R. Kerry, David W. Pearce dan Ian Bateman. 1993. Environmental

Economics: An Elementary Introduction. Johns Hopkins University Press.

Maryland, USA.

UNEP. 2004. Challenges of Water Scarcity, A Business Case for Financial

Institutions. Stockholm International Water Institute (SIWI).

WHO. 2003. Right to Water, Health and Human Rights Publication Series no. 3.

World Health Organization.