Jurnal Hukum Lex Generalis Vol.2 No.2 (Februari 2021) Tema ...

119
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021) Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua) https://jhlg.rewangrencang.com/ i

Transcript of Jurnal Hukum Lex Generalis Vol.2 No.2 (Februari 2021) Tema ...

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

i

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

ii

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis

Volume 2 Nomor 2 (Februari 2021)

Tema Hukum Islam (Bulan Kedua)

Pemimpin : Ivan Drago, S.H.

Supervisor : Fazal Akmal Musyarri, S.H., M.H.

Editorial : Juan Maulana Alfedo, S.H.

Andriani Larasati, S.H.

Okta Zeruya Samdra Pandapotan, S.H.

Desain : Jacky Leonardo

Tata Letak : Ruth Hasiana Menda Nainggolan

Mitra Bestari : Nurul Ula Ulya, S.H., M.H.

Kontributor : Ahmad Habib Al Fikry

Desi Fitriyani dkk.

Dian Kurnia Hayati

Nabilah Anika dkk.

Josua Satria Collins

Redaksi Jurnal Hukum Lex Generalis

Klinik Hukum Rewang Rencang

Jl. Borobudur Agung No.26 Malang, Kode Pos 65142

Telp: 087777844417

Email: [email protected]

Website: Https://jhlg.rewangrencang.com/

Isi Jurnal Hukum Lex Generalis dapat Dikutip dengan Menyertakan Sumbernya

(Citation is permitted with acknowledgement of the source)

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

iii

DISTRIBUTION PARTNERS

Official Partners

IPMHI

Rep: Isti Latifah Astri

(About Partner)

KRD FH UMM

Rep: Bayu Aji Satria

(About Partner)

FOSIL FH USU

Rep: Friska Nadia Ananda

(About Partner)

KPJ FH UR

Rep: Rifqi Anugrah Tama

(About Partner)

PUKASH FH UMM

Rep: Muhammad Raihan Iman

(About Partner)

KSHI FH UNDIP

Rep: Norma Lathifatunnisa

(About Partner)

FK2H FH UNEJ

Rep: Vicko Taniady

(About Partner)

KSPD “Verfassung” FH UMS

Rep: Anis Khairiyah

(About Partner)

LKHI FSH UIN SUSKA

Rep: Mhd. Jundi Zia Ulhaq

(About Partner)

FKPH FH UB

Rep: Lintang Rachmi A.

(About Partner)

LIMTARA FH UNTIRTA

Rep: Azi Ferdinandi Kusnandi

(About Partner)

LRD FSH UINWS

Rep: Adinda Agis F. C.

(About Partner)

Individual Partners

1. Monique Alya Sutanto (Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan)

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

iv

DAFTAR ISI

Ahmad Habib Al Fikry

Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam

Perspektif Hukum Islam ..................................................................................... 88

Desi Fitriyani dan Winda Sari

E-Islamic Law : Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah Menormatifkan

Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif ....................................................109

Dian Kurnia Hayati

Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap

(1999-2004) ........................................................................................................121

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam .....................................142

Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro

Potensi Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum

Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli ...............................................174

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

v

KATA PENGANTAR DIREKTUR UTAMA REWANG RENCANG

Masjid Istiqlal sejak pertama kali dibangun dan diresmikan, hingga detik ini

merupakan Masjid terbesar di Indonesia sekaligus Asia Tenggara. Masjid Istiqlal

memiliki arti “Merdeka” dalam Bahasa Arab. Salah satu bentuk syukur Indonesia

atas kemerdekaan yang telah diraih oleh negara ini. Bahkan saya juga terkesima

mengetahui bahwa terdapat makna toleransi dan persahabatan dalam

pembangunan Masjid nan megah ini, karena arsiteknya tak lain dan tak bukan

adalah Frederich Silaban, seorang Kristen Protestan. (Sumber)

Akhirnya di kesempatan yang baik ini, bersamaan dengan tanggal peresmian

Masjid Istiqlal 43 Tahun silam, keluarga besar Klinik Hukum Rewang Rencang

dengan senang hati turut berpartisipasi menyemarakkan perayaan luar biasa ini.

Yang mana bukan hanya sebagai tempat ibadah Umat Islam akan tetapi juga

sebagai tonggak sejarah atas rasa syukur kita terhadap kemerdekaan Indonesia.

Selamat membaca jurnal bertema Hukum Islam ini.

Malang, 21 Februari 2021

Ivan Drago, S.H.

CEO Rewang Rencang

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

vi

KATA PENGANTAR EDITORIAL

Selamat bahagia para pembaca, rekan sivitas akademika, praktisi dan

masyarakat umum pemerhati hukum. Selamat datang di Rewang Rencang :

Jurnal Hukum Lex Generalis. Jurnal ini kami buat sebagai bentuk dedikasi kami

terhadap dunia keilmuan hukum untuk menampung karya-karya tentang Hukum.

Adapun lima tujuan utama Jurnal Hukum Lex Generalis sebagai berikut:

1. Sebagai wadah penampung karya yang berhubungan dengan ilmu hukum;

2. Sebagai sarana memperluas wawasan pemerhati hukum;

3. Sebagai glosarium, ensiklopedia atau kamus umum ilmu hukum;

4. Sebagai garda rujukan umum untuk keperluan sitasi ilmiah;

5. Sebagai referensi ringan terkhusus bagi sivitas akademika yang berbahagia.

Kami sangat senang jika anda sekalian dapat memanfaatkan wawasan dan

ilmu yang termuat dalam Jurnal ini. Sebagai penutup, Editorial berterimakasih

banyak kepada para pihak yang telah mensukseskan Jurnal Hukum Lex Generalis

yang terbit pada bulan Februari 2021 bertema “Hukum Islam” dan akan terbit

setiap bulan dengan tema atau topik berbeda, semoga dapat berlanjut hingga

kesempatan berikutnya.

Malang, 18 Februari 2021

Juan Maulana Alfedo, S.H.

Dewan Editorial RR : JHLG

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

vii

KATA PENGANTAR MITRA BESTARI

Definisi Hukum memiliki makna yang sangat variatif, termasuk ketika

berbicara mengenai hukum dalam perspektif Islam atau seringkali disebut dengan

Hukum Islam. Dalam Buku Pengantar hukum yang ditulis oleh Rohidin, Kata

hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu يحكم-حكم

hakama-yahkumu yang kemudian bentuk mashdar-nya menjadi حكما hukman.

Lafadz الحكم al-hukmu adalah bentuk tunggal dari bentuk jamak الحكام al-ahkâm.

Berdasarkan akar kata حكم hakama tersebut kemudian muncul kata الحكمة al-

hikmah yang memiliki arti kebijaksanaan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang yang

memahami hukum kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari maka

dianggap sebagai orang yang bijaksana. Hukum juga dapat diartikan

“pengendali”, yakni bahwa keberadaan hukum adalah mengendalikan seseorang

dari hal-hal yang dilarang oleh agama.

Makna “mencegah atau menolak” juga menjadi salah satu arti dari lafadz

hukmu yang memiliki akar kata hakama tersebut. Mencegah ketidakadilan,

mencegah kedzaliman, mencegah penganiayaan, dan menolak mafsadat lainnya.

Al-Fayumi dalam buku Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Hukum Islam di

Indonesia ia menyebutkan bahwa Hukum bermakna memutuskan, menetapkan,

dan menyelesaikan setiap permasalahan. Muhammad Daud Ali menyebutkan

bahwa kata hukum yang berasal dari lafadz Arab tersebut bermakna norma,

kaidah, ukuran, tolok ukur, pedoman, yang digunakan untuk menilai dan melihat

tingkah laku manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Selanjutnya islâm adalah bentuk mashdar dari akar kata aslama-yuslimu-

islâman dengan mengikuti wazn af’ala-yuf’ilu-if’âlan yang mengandung arti ,ألنقياد

ketundukan dan kepatuhan serta bisa juga bermakna Islam, damai, dan والطاعة

selamat. Secara definitif, Islam bermakna sebagai sebuah ketundukan dan

penyerahan diri seorang hamba saat berhadapan dengan Tuhannya. Hal ini berarti

bahwa manusia dalam berhadapan dengan Tuhannya (Allah) haruslah merasa

kerdil, bersikap mengakui kelemahan dan membenarkan kekuasaan Allah SWT.

Kemampuan akal dan budi manusia dalam ilmu pengetahuan tidaklah sebanding

dengan ilmu dan kemampuan Allah SWT.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

viii

Kemampuan manusia bersifat kerdil hanya terbatas pada kemampuan

menganalisis, menyusun kembali bahan-bahan alamiah yang telah ada untuk

diolah menjadi bahan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, tetapi tidak

mampu menciptakan dalam arti mengadakan dari yang tidak ada menjadi ada

(invention). Maka dari itu Hukum Islam adalah hukum yang berasal atau

bersumber dari Allah sebagai sebuah pedoman untuk menuntun manusia menuju

keselamatan, kedamaian, dan menjadi pengendali dan pencegah dari kedzaliman,

ketidakadilan, dan semua hal yang dilarang agama.

Oleh karena itu Hukum Islam tidak hanya memiliki sifat mengatur

hubungan manusia secara horizontal dengan manusia, bagaimana manusia

menjadi subjek hukum yang berlaku sosial sebagai makhluk sosial, namun

terdapat juga sifat Hukum Islam yang memiliki pengaturan secara vertikal

mengenai pelarangan dan pengendalian hal-hal yang dilarang dan diperintah oleh

Hukum Islam sebagai sebuah tanggung jawab kepatuhan dan penyerahan hamba

kepada Allah SWT yang mana dalam kategori ini tanggung jawabnya bersifat

individual dan vertikal.

Dalam hukum yang bersifat horizontal, seperti penjelasan sebelumnya

bahwa dasar keberlakuan Hukum Islam selain sebuah ketundukan adalah

dikarenakan manusia terlalu kerdil dalam ilmu pengetahuan serta tidak sebanding

dengan kemampuan Allah. Sehingga Allah yang menetapkan hukum segala

sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia, manusia tidak dapat

menginvensi hukum. Dalam pernyataan ini seakan Hukum Islam bersifat statis,

padahal problematika manusia bersifat dinamis. Oleh karena itu penjelasan yang

tepat untuk mengklarifikasinya adalah bahwa Allah merupakan penetap hukum

dasar, sedangkan manusia diberi kemampuan untuk mengembangkan hukum

dengan tetap bertumpu pada dasarnya.

Hal ini direpresentasikan dengan adanya Nabi sebagai pembawa hukum,

yang mana secara historis nabi hanya memiliki waktu 23 tahun untuk

mengembangkan sistem hukum. Sedangkan di pihak lain, aktivitas legislatif umat

Muslim adalah persoalan yang tidak bisa dihentikan hanya karena keterbatasan

usia seorang nabi. Kenyataan itulah yang kemudian memunculkan ilmu

metodologi penemuan hukum yang dinamakan ushul fiqh.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

ix

Manusia memang tidak bisa menciptakan hukum, namun kemampuan

akalnya mampu menemukan hukum yang standard dan rumus dasarnya sudah

ditetapkan secara top-down oleh Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena itu ushul

fiqh tidak serta merta berdiri tanpa pijakan. Akan tetapi terdapat Al Quran dan As

Sunnah yang menjadi konstitusi tertinggi yang melandasi dasar ijtihad dan upaya

penemuan hukum yang menggunakan akal. Pada intinya, para ulama dapat

berkreasi dalam menemukan solusi permasalahan asalkan sesuai dengan prinsip

umum yang sudah distandarkan.

Aktivitas ijtihad inilah yang kemudian dipakai oleh para ulama di Indonesia

untuk menentukan pembentukan hukum yang sesuai dengan karakter bangsa

Indonesia dengan tetap menggunakan standar utama yang telah ditetapkan oleh

Allah. Perjalanan Ijtihad ini tidak bisa dikatakan singkat. Berdirinya Majelis

Ulama Indonesia hingga terinternalisasinya Hukum Islam dalam peraturan

perundang-undangan dengan nomenklatur undang-undang dan peraturan

tersendiri merupakan proses penguatan pengikatan dan keberlakuan Hukum Islam

khususnya di Indonesia. Kajian Hukum Islam adalah kontriutor terbesar dalam

mendukung kekayaan literasinya.

Jurnal ini merupakan salah satu bentuk kontribusi dalam pengkajian Hukum

Islam demi menemukan gagasan penyelesaian masalah berdasarkan perspektif

Hukum Islam demi mencegah atau menolak dari ketidakadilan, kedzoliman dan

larangan lain yang standarnya ditetapkan oleh Hukum Islam. Jurnal ini berisi 5

tulisan yang mengkaji pandangan Hukum Islam terhadap fenomena

perkembangan zaman dengan segala kompleksitas permasalahannya baik

dibidang komunikasi, ekonomi, budaya dan juga sosial. Salah satu jurnal dalam

tulisan ini juga mengangkat mengenai arah pembangunan Hukum Islam dengan

perspektif teknologi bagaimana keberlakuan Hukum Islam dimasa yang akan

datang dapat lebih efektif dan tersosialisasi serta dapat menambah daya guna

Hukum Islam dalam eksistensinya berjalan bersama dengan hukum positif di

Indonesia. Kami selaku Mitra Bestari berharap agar semakin banyak kajian

Hukum Islam di Indonesia khususnya dengan mengingat problematika manusia

modern yang semakin kompleks.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

x

Semoga nilai nilai dalam Hukum Islam dapat digali dan secara kontributif

menjadi problem solving bagi permasalahan yang ada di Indonesia baik yang

berhubungan dengan ekonomi, sosial, budaya, komunikasi dan lain sebagainya,

Untuk yang terakhir kali, kami mengucapkan terimakasih kepada para penulis

yang telah menuangkan gagasannya demi perkembangan literasi hukum di

Indonesia khususnya yang berhubungan dengan Hukum Islam.

Jakarta, 21 Februari 2021

Nurul Ula Ulya, S.H., M.H.

Mitra Bestari

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

xi

Undangan untuk Berkontribusi

Dewan Editorial Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis mengundang

para akademisi hukum, praktisi hukum, pemerhati hukum dan masyarakat umum

untuk menyumbang karya-karyanya baik berupa makalah, opini hukum, esai, dan

segala bentuk karya tulis ilmiah untuk dimuat dalam edisi-edisi JHLG dengan

tema berbeda setiap bulannya. Untuk informasi lebih lanjut silahkan akses:

Https://jhlg.rewangrencang.com/

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

88

HUKUMAN KEBIRI KIMIA BAGI PELAKU KEKERASAN SEKSUAL

TERHADAP ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(THE LAW OF CHEMISTRY FOR SEXUAL VIOLENCE AGAINST

CHILDREN IN ISLAMIC LAW PERSPECTIVE)

Ahmad Habib Al Fikry

Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation :

Al Fikry, Ahmad Habib. Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak

dalam Perspektif Hukum Islam. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2

(Februari 2021).

ABSTRAK

Pedofilia sebagai perilaku seksual abnormal yang melibatkan anak sebagai

korban, menjadi perhatian karena data menunjukkan angka yang

mengkhawatirkan. Selain menciderai hak perlindungan anak, pedofilia juga

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Indonesia menjalankan

amanat konstitusi dengan memberikan kepastian hukum melalui berlakunya

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan anak. Salah

satu diskursus yang diatur di dalamnya adalah sanksi pidana bagi pelaku

kekerasan seksual anak guna memberikan efek jera dan menghentikan perbuatan.

Tindakan kebiri kimia menjadi salah satu sanksi pidana yang mengancam pedofil.

Tata cara tindakan ini diatur lebih khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70

Tahun 2020. Disahkannya peraturan tersebut, menuai pro kontra dari masyarakat.

Penulis tertarik untuk meneliti diskursus ini dalam perspektif hukum islam.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan hukuman kebiri kimia

dalam hukum islam. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan

pendekatan peraturan perundang-undangan, sumber hukum islam, dan kasus

sehingga ditemukan bahwa hukuman kebiri kimia merupakan hukuman tadzir.

Hal tersebut dapat menjadi dasar pengetahuan bahwa hukuman ini dapat berlaku

dan hakim dapat memutus. Dalam hal penentuan hukuman, hukum pidana islam

mengenal pertimbangan unsur formal, materil, dan moral. Menurut penulis,

pedofilia merupakan perbuatan yang telah memenuhi ketiga unsur tersebut

sehingga dapat dikenai hukuman atau jarimah. Hukumannya disebut tadzir,

merupakan hukuman yang diputus oleh hakim sebagai upaya pencegahan bagi

pelaku supaya tidak melakukan kejahatan kembali. Hukuman kebiri kimia

merupakan hukuman yang memperhatikan pelaku dan korban. Dalam hal ini

pelaku hanya akan ditekan hasrat seksual tanpa menghilangkannya. Selain itu,

pelaku juga mendapatkan rehabilitasi. Adapun korban akan mendapatkan

perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.

Kata Kunci: Hukum Islam, Kebiri Kimia, Pedofilia

Ahmad Habib Al Fikry

Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam

Perspektif Hukum Islam

89

ABSTRACT

Chemicals a punishment for perpetrators of sexual violence against children or

pedophiles. Pedophilia is abnormal sexual behavior by making children the object

of satisfying sexual desire. Data on sexual violence against children in Indonesia

shows an alarming number. Such actions certainly injure human rights, especially

child protection, and are contrary to statutory regulations. The state provides

legal certainty and upholds justice through the existence and enactment of laws

and regulations concerning child protection. One of the discourses regulated in it

is about criminal sanctions for perpetrators of sexual violence against children in

order to provide a deterrent effect and stop the act. Chemical castration is one of

the criminal sanctions that threaten pedophiles. The procedure for this action is

regulated more specifically in the Government Regulation of the Republic of

Indonesia Number 70 of 2020. The adoption of this regulation as an implementer

of the previous regulation reaps pros and cons from the community. The author's

interest in researching this discourse from the perspective of Islamic law gives the

answer that chemical castration punishment is a tadzir punishment. In

determining punishment for an act, Islamic criminal law recognizes the existence

of formal, material and moral considerations. Sexual violence against children is

an act that is considered to have fulfilled these three elements so that it can be

subject to punishment or Jarimah. Pedophile punishment is Jarimah tadzir, which

is a sentence decided by a judge in order to provide education and preventive

measures for the perpetrator from committing another crime.

Keywords: Islamic Law, Chemical Castration, Pedhopilia

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

90

A. PENDAHULUAN

Kekerasan seksual merupakan tindakan baik berupa ucapan maupun

perbuatan yang dilakukan seseorang dengan tujuan menguasai dan membuat

orang lain terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki oleh orang yang

bersangkutan tersebut. Dalam kekerasan seksual, terdapat dua unsur yaitu

pemaksaan yang dalam hal ini juga berarti tidak adanya persetujuan dari pihak

lain. Dan yang kedua unsur korban tidak mampu maupun belum mampu

memberikan persetujuan, misalnya kekerasan seksual terhadap anak.1

Pasal 1 angka 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendefinisikan

kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang,

dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau

fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang

menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan

bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan.atau relasi gender, yang berakibat

atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual,

kerugian ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.2 Lebih lanjut, Pasal 11 ayat (2)

RUU P-KS menyebut bahwa kekerasan seksual terdiri atas pelecehan seksual,

eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan,

pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan/atau

penyiksaan seksual.3 Mengenai salah satu kekerasan seksual yaitu perkosaan,

Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa perkosaan adalah usaha

melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan

dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar.

Sedangkan Pasal 16 RUU P-KS mengartikan perkosaan sebagai kekerasan seksual

yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat,

atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan

yang sesungguhnya untuk melakukan hubungan seksual. 4

1 Siti Amira Hanifah, Wacana Kekerasan Seksual di Dunia Akademik Pada Media Online,

Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018, p.38. 2 Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penghapusan

Kekerasan Seksual, Ps.1 angka 1. 3 Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penghapusan

Kekerasan Seksual, Ibid.. 4 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual:

Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2001, p.40.

Ahmad Habib Al Fikry

Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam

Perspektif Hukum Islam

91

Adapun anak merupakan kelompok yang rentan dan sering menjadi objek

kekerasan seksual salah satunya perkosaan. Karena memiliki keterbatasan fisik

yang dalam hal ini berada dalam posisi diri yang lemah sehingga tidak maupun

belum mampu memberikan persetujuan maupun penolakan untuk melakukan

hubungan seksual dengan pelaku kekerasan seksual terhadap anak atau pedofilia.

Hal tersebut memiliki relevansi dengan definisi anak dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2020 adalah seseorang yang belum berusia

18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.5

Data Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Komisi Nasional Perempuan

Tahun 2020 menyebutkan terdapat kasus kekerasan seksual terhadap anak

perempuan dalam ranah privat sebanyak 2.807 kasus. Sedangkan dalam ranah

publik sebanyak 2.064 kasus.6 Berbeda dengan data SIMFONI PPA, hingga Juni

2020 terjadi kasus kekerasan seksual pada anak sebanyak 1.848.7 Adapun Komisi

Perlindungan Anak Indonesia mencatat terdapat kasus kekerasan seksual terhadap

anak dalam bentuk perkosaan dan pencabulan pada tahun 2020 sebanyak 236

kasus.8 Banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak tersebut menunjukan

bahwa anak berada dalam usia dengan situasi yang tidak aman dan rentan

mengalami kekerasan seksual.

Kekerasan seksual terhadap anak menjadi perhatian khusus bagi negara.

Indonesia sebagai negara hukum menjalankan amanat konstitusi dengan

mengeluarkan peraturan sebagai upaya untuk menghentikan kasus kekerasan

seksual terhadap anak dan memberikan efek jera bagi pelaku. Salah satu aturan

hukum yang baru disahkan yang berkaitan dengan diskursus ini adalah Peraturan

Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan

Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan

Pengumuman Identitas Pelaku Kekeraan Seksual Terhadap Anak.

5 Ibid.. 6 Aflina Mustafaina, dkk., Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan

Seksual untuk Membangun Ruang Aman bagi Perempuan dan Anak Perempuan. Catatan

Kekerasan Terhadap Perempuan Komnas Perempuan Tahun 2020, Penerbit Komisi Nasional Anti

Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta, 2020, p.1. 7 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Angka Kekerasan

Terhadap Anak Tinggi di Masa Pndemi, KEMENPPPA Sosialisasikan Protokol Perlindungan

Anak, diakses dari https://www.kemenpppa.go.id, diakses pada 18 Januari 2021, jam 12.18 WIB. 8 Rega Maradewa, Update Data Infografis KPAI Per 31-08-2020, diakses dari

https://www.kpai.go.id/berita/infografis/update-data-infografis-kpai-per-31-08-2020, diakses pada

18 Januari 2021, jam 12.20 WIB.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

92

Peraturan mendapat pro kontra dari masyarakat karena di dalamnya

mengatur tentang hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap

anak yang diadopsi dari negara-negara barat seperti Eropa dan Amerika menjadi

hal yang menarik bagi penulis untuk diteliti dalam perspektif hukum islam. Maka,

Rumusan Masalah yang diangkat yaitu “Bagaimana hukuman kebiri kimia bagi

pelaku kekerasan seksual terhadap anak dalam perspektif hukum islam?”

B. PEMBAHASAN

1. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual menurut Heise adalah tindakan kekerasan verbal maupun

fisik, pemaksaan maupun ancaman pada nyawa yang diarahkan pada seorang

perempuan baik anak maupun dewasa sehingga menyebabkan kerugian fisik,

psikologis, penghinaan, maupun perampasan kebebasan.9 Kekerasan seksual

adalah tindakan penyerangan yang bersifat seksual yang ditujukan kepada

perempuan baik bersifat fisik maupun non fisik dan tanpa memedulikan ada atau

tidaknya hubungan personal antara pelaku dengan korban.10 Bentuk-bentuk

kekerasan seksual menurut RUU P-KS terdiri atas:11

a. Pelecehan Seksual

Adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik

atau non fisik kepada orang lain yang berhubungan dengan tubuh

seseorang dan terkait hasrat seksual sehingga mengakibatkan orang lain

terintimidasi, terhinda, direndahkan, atau dipermalukan.

b. Eksploitasi Seksual

Adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan,

ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama atau

identitas atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan agar

seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain

dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait

hasrat seksual guna menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

9 A. Zaqiah Saudi, Hukuman Kebiri bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak Ditinjau dari

Hukum Islam, Skripsi, Universitas Islam Negeri Alaudin, Makassar, 2016, p.37. 10 Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum, Penerbit Universitas Islam

Indonesia Press, Yogyakarta, 2003, p.36. 11 A. Zaqiah Saudi, Op.Cit..

Ahmad Habib Al Fikry

Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam

Perspektif Hukum Islam

93

c. Pemaksaan Kontrasepsi

Kekerasan seksual yang dilakukan dengan mengatur, menghentikan

dan/atau merusak organ, fungsi dan/atau sistem reproduksi biologis orang

lain, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian

kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, sehingga orang tersebut

kehilangan kontrol terhadap organ, fungsi dan/atau sistem reproduksinya

yang mengakibatkan Korban tidak dapat memiliki keturunan.

d. Pemaksaan Aborsi

Kekerasan seksual dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan

aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian

kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi

seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan.

e. Perkosaan

Kekerasan seksual dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau

tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu

memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual.

f. Pemaksaan Perkawinan

Kekerasan seksual dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan

kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan,

atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan

persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.

g. Pemaksaan Pelacuran

Adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan,

ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau

martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang

dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain.

h. Perbudakan Seksual

Kekerasan seksual dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut

kebebasan seseorang, dengan tujuan agar orang itu melayani kebutuhan

seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu.

i. Penyiksaan Seksual

Kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk menyiksa korban.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

94

2. Pedofilia

a. Definisi Pedofilia

End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) International

memberikan definisi kekerasan seksual secara sempit yang

menitikberatkan anak sebagai korban, bahwa kekerasan seksual terhadap

anak adalah hubungan atau interaksi seorang anak dengan seseorang

yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara kandung

atau orang tua dimana anak dipergunakan sebagai objek pemuas

kebutuhan seksual pelaku. Kekerasan seksual terhadap anak ini

menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan, bahkan tekanan yang

tidak harus melibatkan kontak fisik secara langsung antara pelaku dengan

korban. Bentuknya berupa tindakan perkosaan maupun pencabulan.12

Adapun Lyness berpendapat bahwa kekerasan seksual terhadap anak

adalah tindakan menyentuh maupun mencium organ seksual anak,

tindakan seksual maupun pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan

media maupun benda porno, menunjukan alat kelamin kepada anak dan

lainnya.13 Kekerasan seksual merupakan jenis penganiayaan yang terbagi

menjadi 2 kategori berdasarkan identitas pelaku, yaitu:

1) Familial Abuse

Familial Abuse adalah kekerasan seksual yang terjadi antara pelaku

dan korban yang memiliki hubungan darah dan satu dalam keluarga

inti. Mayer mengemukakan bahwa kategori ini terdiri atas

penganiayaan yang berkaitan dengan tindakan untuk menstimulasi

pelaku secara seksual, perkosaan berupa oral maupun hubungan

dengan alat kelamin, masturbasi, stimulasi oral pada penis atau

klitoris, dan perkosaan secara paksa meliputi kontak seksual.14

12 A. P. Sari, Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak dan Hubungan Pelaku dengan

Korban, diakses dari https://www.kompas.com/index.php/read/xml/2009/01/28/, diakses pada 18

Januari 2021, jam 14.17 WIB. 13 Maslihah, Kekerasan Terhadap Anak Model Transisional dan Dampak Jangka Panjang,

Edukid: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Vol.I, No.1, (2006), p.25-33. 14 Crosson-Tower Cyntia, Understanding Child Abuse and Neglect, Penerbit Allyn &

Bacon, Boston, 2002.

Ahmad Habib Al Fikry

Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam

Perspektif Hukum Islam

95

2) Extra Familial Abuse

Adalah kekerasan seksual terjadi antara pelaku dan korban tidak

memiliki hubungan darah maupun satu dalam keluarga inti. Mayer

berpendapat bahwa pelaku dalam kekerasan seksual ini biasanya

orang dewasa yang mengenali korban dan telah membangun

hubungan dengan anak yang menjadi korban.15

Berkaitan dengan penjelasan di atas, bahwa kekerasan seksual yang

dilakukan oleh orang dewasa maupun orang yang lebih tua dari usia anak kepada

anak-anak merupakan istilah dari pedofilia. Pedofilia merupakan salah satu jenis

penyimpangan seksual kategori parafilia. Parafilia adalah perasaan seksual yang

mengacu dalam obyek maupun aktivitas seksual yang tidak biasa.16 Senada

dengan pedofilia yang dijelaskan oleh Sawatri Supardi dalam bukunya yang

berjudul “Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual”, bahwa pedofilia adalah

kelainan psikoseksual individu yang memiliki hasrat seksual abnormal terhadap

anak-anak.17

b. Pedofilia Dalam Perspektif Hukum Islam

Pedofilia selain bertentangan dengan norma moral, sosial, hukum, juga

bertentangan dengan norma agama. Islam adalah agama sempurna yang mengatur

segala ketentuan yang berkaitan dengan aspek kehidupan bagi manusia. Salah satu

hal yang diatur dalam Islam adalah perilaku seksual. Bahwa Islam tentu tidak

menghendaki segala perilaku seksual yang menyimpang, salah satunya adalah

kekerasan seksual terhadap anak. Pedofilia juga dapat dikaitkan dengan perbuatan

yang melanggar perintah Allah SWT yang dijelaskan sebagai berikut:

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga

pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci

bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”

(QS An-Nur: 30)18

15 Crosson-Tower Cyntia, Understanding Child Abuse and Neglect, Penerbit Allyn &

Bacon, Boston, 2002. 16 Kartono Kartini, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Penerbit Mandar Maju,

Bandung, 2009, p.12. 17 Sawitri Supardi Sadarjoen, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Penerbit PT

Refika Aditama, Bandung, 2005, p.71. 18 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemah, Menara Kudus, Kudus,

2006.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

96

Jika dihubungkan dengan definisi dan jenis pedofilia, bahwa perbuatan itu

merupakan perbuatan yang melanggar QS An-Nur: 30 sebagai sumber hukum

Islam. Pedofilia sendiri berasal dari ketidakmampuan seseorang dalam menahan

hasrat seksual yang dilampiaskan kepada korban yang tidak lain adalah anak.

Dalam hal ini, apabila telah terjadi pedofilia maka perintah menjaga pandangan

dan memelihara kemaluannya telah tidak dilaksanakan.

Lebih lanjut, Al-Sam’ani memberikan definisi haram adalah sesuatu yang

mengakibatkan pelakunya mendapatkan dosa.19 Inheren dengan hal tersebut,

pedofilia merupakan perbuatan haram dan bertentangan dengan penjelasan dalam

hadis berikut:

Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, apakah seseorang dari kita yang

mendatangi syahwatnya itu juga memperoleh pahala? Rasullah bersabda:

Adakah engkau semua mengerti, bagaimana jikalau syahwat itu

diletakkannya dalam sesuatu yang haram, adakah orang itu memperoleh

dosa? Maka demikian itu pulalah jikalau ia meletakkan syahwatnya itu

dalam hal yang dihalalkan, iapun memperoleh pahala.” (HR. Muslim).20

Pedofilia berasal dari syahwat yang dalam hal ini dilakukan kepada anak-

anak. Hal tersebut tentu wujud meletakkan syahwat dalam hal yang diharamkan.

Berhubungan dengan pendapat Al-Sam’ani bahwa perbuatan haram akan

mendapatkan dosa. Pada dasarnya, hal itu telah melanggar syara’ dan dapat

dikenakan hukuman atau jarimah.

Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh

Allah dengan hukuman had atau ta’zir.21 Adapun jinayah menurut Abdul Qadir

Audah adalah istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan

tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya. Abdul Qadir Audah sebagaimana

dikutip dalam buku Ahmad Wardi Muslich yang berjudul Hukum Pidana Islam,

menyebutkan jenis jarimah yang terbagi menurut hukumannya, terdiri atas:22

19 Abi Al-Muzafar Mansur bin Muhammad bin ‘Abd Al-Jabar Al-Sam’ani. Qawati’u Al-

Adilat Fi Al-Usul Juz 1. Dar Al-Kutub Al’Ilmiyyah, t.t, Bairut, p.10. 20 Imam Nawawi, Terjemah Lengkap Riyadhus Shalihin, Tahqiq dan Takhrij Hadits, 2012,

p.158. 21 Al Hasan Al-Mawadi, Al-Hakam As-Sulthaniyah, Penerbit Mushthafa Al-Halaby, Mesir,

1975, p.219. 22 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2005, p.1.

Ahmad Habib Al Fikry

Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam

Perspektif Hukum Islam

97

1) Jarimah Hudud

Adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had, yaitu hukuman

yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah (hak

masyarakat). Hukuman had tidak memiliki batasan minimal maupun

maksimal dan tidak bisa lepas oleh perseorangan maupun negara yang

mewakili masyarakat.

2) Jarimah Qishash dan Diat

Adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash dan diat yang

telah ditentukan oleh syara’yang merupakan hak manusia (individu)

dan bisa dimaafkan terkait hukumannya.

3) Jarimah Tadzir

Adalah hukuman terhadap perilaku yang berdosa yang tidak terdapat

sanksi had dan kifaratnya atau dapat diartikan sebagai hukuman yang

ditentukan oleh hakim atas perbuatan pidana. Hukuman ini tidak

memiliki batasan hukuman, maka hakim yang berhak menentukan

hukumannya.

Hukum islam memberikan perspektif terkait pedofilia dari aspek tindakan

yang merupakan melanggar dan bertentangan dengan syariat dan hukum islam.

Dapat diketahui bahwa pedofilia memiliki jenis seperti pedofilia homoseksual dan

pedofilia heteroseksual.23 Adapun dalam pemberian hukuman, hukum islam

mengenal adanya hukuman atau jarimah hudud dan jarimah tadzir. Dalam hal ini,

perbuatan pedofilia memiliki kemungkinan sampai pada perbuatan perzinahan

yang apabila hal tersebut terjadi maka seseorang mendapatkan jarimah hudud

yang merupakan hak Allah. Selain itu, ketika di dunia pelaku akan mendapatkan

hukuman tadzir berdasarkan hukum pidana islam yang diputus oleh hakim.

3. Hukuman Kebiri Kimia

a) Hukuman Kebiri Kimia dalam Hukum Positif

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2020

merupakan peraturan yang mengatur tentang hukuman kebiri kimia di Indonesia.

23 Ahmad Sandi, Hukum Kebiri Bagi Pelaku Pedofilia dalam Perspektif Hukum Islam dan

Peluang Penerapannya di Indonesia, Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,

Jakarta, 2015, p.22.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

98

Peraturan ini merupakan bentuk konkret dalam mengatasi kasus kekerasan seksual

terhadap anak yang semakin marak terjadi di Indonesia. Kasus kekerasan seksual

terhadap di Indonesia begitu mengkhawatirkan terbukti dengan peningkatan grafik

tahunan kasus ini yang dihimpun oleh Komisi Nasional Perempuan, SIMFONI

PPA dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Lebih lanjut, peraturan ini juga sebagai upaya pemenuhan hak asasi manusia

khususnya anak yaitu perlindungan terhadap anak sesuai amanat Pasal 28B ayat

(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi

“setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”24 Lebih khusus,

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala

kegiatan menjamin dan melindungi anak dan haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.25

Salah satu bentuk perlindungan anak dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak26 jo. Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-

Undang, adalah perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan seksual yang

mana diancam hukuman bagi pelaku kekerasan seksual.27

24 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ps.28B ayat

(2). 25 Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2002, LN

Tahun 2002 No.109, Ps.1 angka 2. 26 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,

Perpu No.1 Tahun 2016, LN Tahun 2016 No.99, TLN No.5882. 27 Indonesia, Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, UU No.17 Tahun 2016, LN

Tahun 2016 No.99, TLN No.5882.

Ahmad Habib Al Fikry

Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam

Perspektif Hukum Islam

99

Hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak sebagai upaya

perlindungan anak adalah kebiri kimia. Kebiri kimia adalah pemberian zat kimia

melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah

dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga

menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat,

gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,

dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual yang berlebih

yang disertai rehabilitasi.28 Tindakan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu

paling lama 2 tahun sesuai dengan penjelasan Pasal 5 dalam peraturan yang sama.

Adapun kebiri kimia dilakukan melalui tahapan penilaian klinis, kesimpulan, dan

pelaksanaan. Dalam kebiri kimia bagi pelaku persetubuhan, terdapat rehabilitasi

berupa rehabilitasi psikiatrik, sosial, dan medik yang diberikan paling lambat 3

bulan setelah kebiri kimia. Rehabilitasi dilakukan atas perintah jaksa secara

terkoordinasi, terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan.29

b) Hukuman Kebiri Kimia dalam Perspektif Hukum Islam

Kebiri kimia merupakan salah satu hukuman yang dinilai menjadi alternatif

untuk memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Hal

tersebut juga sesuai dengan tujuan hukum yang meskipun memberikan

penderitaan dan merenggut kebebasan individu namun untuk kepentingan

masyarakat, yaitu memberikan efek jera. Bahwa ancaman pidana yang dibuat

negara dan dijatuhkan kepada tindak pidana atas kejahatan yang dilakukan supaya

orang tersebut merasa jera sehingga tidak akan mengulangi hal yang sama.30

Dalam hukum pidana islam dikenal adanya pertimbangan yang menentukan

suatu perbuatan masuk ke dalam jarimah atau bukan. Bahwa seperti yang telah

dibahas dalam bab sebelumnya, pedofilia atau kekerasan seksual terhadap anak

merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam hukuman salah

satunya adalah tadzir. Adapun pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut:

28 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri

Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku

Kekerasan Seksual Terhadap Anak, PP No.70 Tahun 2020, LN Tahun 2020 No.269, TLN

No.6585, Ps.1 angka 2. 29 Indonesia, PP No.70 Tahun 2020, Ibid.. 30 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan,

Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, p.14-17.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

100

1) Unsur formal (al-rukn al-syar’i)

Yaitu terdapat larangan maupun perbuatan yang disertai ancaman

hukuman sesuai pada nash.

2) Unsur materil (al-rukn al-madi)

Yaitu perbuatan yang menyebabkan adanya jarimah.

3) Unsur moral (al-rukn al abadi)

Yaitu obyek yang dikenai hukuman atau pelaku kejahatan yang dapat

mempertanggung jawabkan (mukallaf) perbuatannya sehingga dapat

dituntut atas perbuatan kejahatannya.

Menyelami lebih dalam terkait pedofilia atau kekerasan seksual terhadap

anak merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam yang dijelaskan dalam Al-

Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum Islam. Berikut adalah aturan dalam Al-

Qur’an yang melarang perbuatan pedofilia: “Dan janganlah kamu mendekati zina,

sesungguhnya perbuatan zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan sesuatu

yang buruk.” (QS Al-Isra’: 32)

Bahwa pedofilia merupakan perbuatan yang dapat memungkinkan

terjadinya zina. Dalam hal ini, sesuai dengan definisinya yang menjelaskan

pedofilia sebagai perilaku seksual yang abnormal berupa menyentuh, mencium,

hingga perkosaan terhadap anak guna memenuhi hasrat seksual pelaku. Pedofilia

tentu perbuatan yang keji dan buruk karena bertentangan dengan norma apa pun

yang berlaku di dunia ini.

“Dan (kami juga telah mengetus) Luth pada kaumnya. Ingatlah tatkala ia

berkata pada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fashiyah

itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun di dunia ini sebelum

kamu. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu

kepada mereka, bukan kepada wanita. Malah kamu ini adalah kaum yang

melampaui batas.” Jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan:

“Usirlah mereka (Luth dan pengikutnya) dari kotamu ini. Sesungguhnya

mereka adalah orang yang berpura-pura menyucikan diri.” Kemudian kami

selamatkan dia dan pengikutnya kecuali isterinya dan termasuk orang-

orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan kepada mereka

hujan (batu) maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang

berdosa itu.” (QS Al-A’raaf: 80-84).31

31 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemah, Loc.Cit..

Ahmad Habib Al Fikry

Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam

Perspektif Hukum Islam

101

Mengenai penjelasan surat tersebut relevan dengan jenis pedofilia yang

salah satunya adalah pedofilia homoseksual. Perbuatan pedofilia homoseksual

dilarang dalam Islam dan telah jelas bahwa pada zaman kenabian Nabi Luth

terdapat kaum sodom atau homoseksual dan melakukan perbuatan keji untuk

memenuhi nafsu seksual kepada sesama laki-laki. Hal tersebut sangat

bertentangan dengan Islam sehingga Allah memberikan azab kepada kaum

tersebut atau dapat dikatakan dengan hukuman had yang merupakan hak Allah

untuk memberikan hukuman tersebut. Uraian ini menjelaskan bahwa pedofilia

telah memenuhi unsur formal sehingga perbuatannya termasuk kategori jarimah.

Unsur materiil perbuatan pedofilia juga terpenuhi. Dalam hal ini, pedofilia

merupakan perbuatan yang melanggar hukum positif yaitu Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi

Undang-Undang jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun

2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat

Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekeraan

Seksual Terhadap Anak. Yang mana apabila perbuatan ini dilakukan maka akan

menyebabkan adanya hukuman sesuai dengan penjelasan dalam peraturan

perundang-undangan tersebut.

Pedofilia pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki usia lebih dari

usia korban atau pelaku merupakan usia dewasa. Sehingga pelaku dapat memiliki

kuasa yang lebih kepada anak untuk melakukan ancaman, kekerasan, daya paksa,

tipu muslihat untuk melakukan kekerasan seksual. Bahwa apabila pelaku

kekerasan seksual kepada anak merupakan orang dewasa yang menurut undang-

undang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya, maka unsur moral dalam

pertimbangan ini terpenuhi.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

102

Pertimbangan masuknya perbuatan ke dalam kategori jarimah tentu inheren

dengan peran Hakim sebagai penegak keadilan dalam memutus perkara yang

berkaitan dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Hal tersebut

berhubungan karena nantinya bermuara kepada putusan hukuman yang salah

satunya adalah tindakan kebiri kimia. Dalam hukum islam, hakim dapat

menetapkan hukuman atas batas minimum maupun maksimal yang dikenal

dengan hukuman tadzir. Hal ini juga berhubungan dengan penjelasan sebelumnya

bahwa salah satu jenis jarimah adalah jarimah tadzir.

Tadzir memiliki arti mencegah dan menolak serta dapat diartikan dengan

mendidik.32 Wahbah Zahili berpendapat bahwa tadzir merupakan pencegahan

karena ia dapat mencegah pelaku supaya tidak mengulangi perbuatannya. Adapun

arti mendidik dalam hal ini adalah mendidik pelaku sehingga dapat menyadari dan

memperbaiki perbuatannya sehingga akan meninggalkan perbuatan itu. Al-

Mawardi memberikan definisi tadzir adalah hukuman yang bersifat pendidikan

atas perbuatan dosa yang hukuman tersebut belum ditetapkan oleh syara’.33

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa hukuman kebiri

kimia merupakan bentuk hukuman tadzir yang dalam hal ini hukuman dapat

ditetapkan oleh hakim guna mencegah dan mendidik pelaku kekerasan seksual

terhadap anak supaya tidak melakukan tindak pidana kembali dan

menghentikannya. Hal tersebut juga koheren dengan tujuan tindakan kebiri kimia

untuk menekan hasrat seksual yang berlebih.

Para ulama turut menanggapi hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan

seksual terhadap anak. Berikut adalah tanggapan setuju dan dukungan ulama atas

hukuman kebiri kimia:

No. Nama Keterangan

1. KH Mashul Ismail

(Ulama Mojokerto)

Hukuman bagi pelaku kejahatan harus seimbang

dengan perbuatannya. Selain itu, bentuk hukuman

harus bisa memberikan efek jera kepada pelaku

kejahatan agar perbuatan jahatnya tidak terulang

(Tanggapan kasus predator anak di Mojokerto).34

32 Wardi Muslich, A. Loc.Cit, 2005, p.248. 33 Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Suthaniyah, Dar Al-Fikr, Beirut, 1966, p.236. 34 Enggran Eko Budianto, Ini Pandangan Ulama Soal Kebiri Kimia untuk Predator Anak di

Mojokerto, diakses dari https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4682651/ini-pandangan-

ulama-soal-kebiri-kimia-untuk-predator-anak-di-mojokerto, diakses pada 15 Februari 2021, jam

18.23 WIB.

Ahmad Habib Al Fikry

Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam

Perspektif Hukum Islam

103

2. Hasan Ubaidilah

(Ulama Nahdlatul

Ulama)

Hukuman kebiri kimia sangat baik diterapkan

karena termasuk kejahatan extraordinary crime.

Pedofilia menurutnya dapat merusak generasi

bangsa maka dari itu masuk ke dalam kejahatan

luar biasa.35

3. H. Syamsudin

(Ulama

Muhammadiyah)

Hukuman kebiri kimia tepat dilaksanakan di

Indonesia. Hal tersebut karena hukuman ini masuk

ke dalam hukuman tadzir guna memberikan efek

jera bagi pelaku.36

Selain itu, terdapat pandangan lain dari ulama yang menyatakan

ketidaksetujuan mengenai hukuman kebiri kimia bagi pedofil. Berikut

penjelasannya:

No. Nama Keterangan

1. Majelis

Permusyawatan

Ulama (MPU) Aceh

MPU Aceh telah menerbitkan fatwa nomor 2 tahun

2018 terkait hukum kebiri. Bahwa MPU Aceh tidak

menyetujui adanya tindakan hukuman kebiri kimia.

Fatwa tersebut juga berdasarkan pertimbangan

pendapat dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

yang mengatakan bahwa kebiri tidak akan

memberikan efek jera dan aksi kebiri tidak

spontan.37

2. Majelis Ulama

Indonesia (MUI)

Dalam perspektif hukum islam, pengebirian

terhadap manusia dilarang karena sebagian besar

ulama sepakat hal tersebut mengubah ciptaan

Allah.38

Menurut penulis, hukum islam memberikan perspektif bahwa hukuman

kebiri kimia dapat saja diberikan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak

karena hukuman tersebut termasuk ke dalam hukuman tadzir, yang dalam hal ini

belum ditetapkan oleh syara’. Penentuan hukuman kebiri kimia diserahkan kepada

hakim yang berwenang dalam memutus perkara. Hal tersebut berdasarkan pada

pertimbangan petugas yang memiliki kompetensi di bidang medis dan psikiatri

yang dilakukan dalam tahapan tindakan kebiri kimia.

35 Wawancara Hasan Ubaidillah pada 18 Oktober 2017. Lihat pada Melina Dwi Ratnasari,

Pandangan Ulama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Jawa Timur terhadap Penerapan

Sanksi Pidana Kebiri pada Pelaku Pedofilia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016

Menurut Hukum Islam, Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2018,

p.50. 36 Melina Dwi Ratnasari, Ibid., p.60-65. 37 CNN Indonesia, Ulama Aceh Tak Setuju Hukum Kebiri, Usul Penjara Seumur Hidup,

diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210104230825-12-589433/ulama-aceh-

tak-setuju-hukum-kebiri-usul-penjara-seumur-hidup, diakses pada 15 Februari 2021, jam 20.51

WIB. 38 Fitang Budhi Adhitia, Tolak Hukuman Kebiri Kimia, MUI: Itu mengubah Ciptaan Allah

SWT, diakses dari https://www.idntimes.com/news/indonesia/fitang-adhitia/tolak-hukuman-kebiri-

kimia-mui-itu-mengubah-ciptaan-allah-swt, diakses pada 15 Februari 2021, jam 20.58 WIB.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

104

Penjelasan tersebut mengarah kepada kesetujuan penulis akan pemberian

hukuman kebiri kimia bagi pedofil. Adapun landasan argumentasi penulis adalah

pertama, dalam hukum islam dikenal adanya pembagian hukuman berdasarkan

berat ringannya hukuman yang salah satunya adalah hukuman tadzir. Dalam hal

ini, hukuman pedofilia termasuk hukuman tadzir yang ditetapkan oleh Hakim.

Kedua, dalam menentukan kejahatan suatu perbuatan hingga hukumannya,

penegak hukum akan mempertimbangkan segala unsur yang memenuhi. Dalam

hukum pidana Islam, unsur tersebut terdiri atas unsur formal, materil, dan moral.

Yang mana berdasarkan penelitian penulis, ketiga unsur tersebut telah terpenuhi

dalam tindakan kekerasan seksual terhadap anak. Oleh karenanya, pedofilia

merupakan suatu kejahatan yang dapat dihukum berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Ketiga, hukuman ini atas dasar pertimbangan yang ideal karena dalam

pemberian hukuman kebiri kimia ini melalui tahapan penilaian klinis, kesimpulan,

dan pelaksanaan. Selain itu, apabila terdapat pendapat mengenai mengubah

ciptaan Allah SWT, maka menurut penulis hal tersebut tidak relevan. Bahwa

esensi dari kebiri kimia adalah bukan untuk menghilangkan secara keseluruhan

hasrat seksual namun hanya menekan. Dalam pemberian hukuman tersebut juga

disertai rehabilitasi psikiatri, sosial, dan medik.

Terakhir, penulis melihat dari sisi korban. Secara teoritis mengatakan bahwa

pedofilia merupakan perbuatan kekerasan seksual dengan anak sebagai objeknya.

Hal tersebut tentu menciderai hak asasi manusia khususnya perlindungan anak.

Pedofilia akan memberikan dampak besar bagi korban mulai dari fisik, psikologis,

kesehatan dan sosial. Selain itu, perlu diingat bahwa bukan hanya norma hukum

yang dilanggar namun norma agama juga.

C. PENUTUP

Kekerasan seksual pada anak atau pedofilia merupakan bentuk kejahatan

yang melanggar hukum positif. Negara memiliki peran penting dalam

menghentikan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang marak terjadi. Bentuk

upaya mengatasi permasalahan ini adalah berlakunya undang-undang

perlindungan anak dan pemberian sanksi pidana terhadap pedofil.

Ahmad Habib Al Fikry

Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam

Perspektif Hukum Islam

105

Tindakan kebiri kimia merupakan salah satu bentuk hukuman pidananya.

Hukuman ini tepat diberikan karena dalam hukum islam mengenal adanya

hukuman tadzir. Dalam hal ini dapat berarti bahwa hakim dapat memutus perkara

dengan putusan hukuman kebiri kimia. Selain itu, unsur formal, materil, dan

moral telah terpenuhi guna menentukan hukuman. Hukuman ini meskipun sebagai

pemberian efek jera pelaku, namun tetap memperhatikan hak pelaku seperti

adanya penentuan lamanya hukuman hingga rehabilitasi.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

106

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Al-Mawardi, Al-Hasan. 1966. Al-Ahkam As-Suthaniyah. (Beirut: Dar Al-Fikr).

Al-Mawadi, Al Hasan. 1975. Al-Hakam As-Sulthaniyah. (Mesir: Penerbit

Mushthafa Al-Halaby).

Cyntia, Crosson-Tower. 2002. Understanding Child Abuse and Neglect. (Boston:

Penerbit Allyn & Bacon).

Departemen Agama Republik Indonesia. 2006. Al Quran dan Terjemah. (Kudus:

Menara Kudus).

Hamzah, Andi dan A. Sumangelipu. 1984. Pidana Mati di Masa Lalu, Kini, dan

Masa Depan. (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia).

Kartini, Kartono. 2009. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual.

(Bandung: Penerbit Mandar Maju).

Martha, Aroma Elmina. 2003. Perempuan Kekerasan dan Hukum. (Yogyakarta:

Penerbit Universitas Islam Indonesia Press).

Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Penerbit Sinar

Grafika).

Mustafaina, Aflina, dkk.. 2020. Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan

Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman bagi Perempuan dan

Anak Perempuan. Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Komnas

Perempuan Tahun 2020. (Jakarta: Penerbit Komisi Nasional Anti Kekerasan

terhadap Perempuan). Sadarjoen, Sawitri Supardi. 2005. Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual.

(Bandung: Penerbit PT Refika Aditama).

Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban

Kekerasan Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan. (Bandung:

Penerbit Refika Aditama).

Publikasi

Maslihah. Kekerasan Terhadap Anak Model Transisional dan Dampak Jangka

Panjang. Edukid: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini. Vol.I. No.1. (2006).

Karya Ilmiah

Hanifah, Siti Amira. 2018. Wacana Kekerasan Seksual di Dunia Akademik Pada

Media Online. Skripsi. (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah).

Ratnasari, Melina Dwi. 2018. Pandangan Ulama Nahdlatul Ulama dan

Muhammadiyah Jawa Timur terhadap Penerapan Sanksi Pidana Kebiri

pada Pelaku Pedofilia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2016 Menurut Hukum Islam. Skripsi. (Surabaya: Universitas Islam Negeri

Sunan Ampel Surabaya).

Sandi, Ahmad. 2015. Hukum Kebiri Bagi Pelaku Pedofilia dalam Perspektif

Hukum Islam dan Peluang Penerapannya di Indonesia. Skripsi. (Jakarta:

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah).

Saudi, A. Zaqiah. 2016. Hukuman Kebiri bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak

Ditinjau dari Hukum Islam. Skripsi. (Makassar: Universitas Islam Negeri

Alaudin).

Ahmad Habib Al Fikry

Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam

Perspektif Hukum Islam

107

Website

Adhitia, Fitang Budhi. Tolak Hukuman Kebiri Kimia, MUI: Itu mengubah

Ciptaan Allah SWT. diakses dari

https://www.idntimes.com/news/indonesia/fitang-adhitia/tolak-hukuman-

kebiri-kimia-mui-itu-mengubah-ciptaan-allah-swt, diakses pada 15 Februari

2021.

Budianto, Enggran Eko. Ini Pandangan Ulama Soal Kebiri Kimia untuk Predator

Anak di Mojokerto. diakses dari https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-

4682651/ini-pandangan-ulama-soal-kebiri-kimia-untuk-predator-anak-di-

mojokerto. diakses pada 15 Februari 2021.

CNN Indonesia. Ulama Aceh Tak Setuju Hukum Kebiri, Usul Penjara Seumur

Hidup. diakses dari

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210104230825-12-

589433/ulama-aceh-tak-setuju-hukum-kebiri-usul-penjara-seumur-hidup.

diakses pada 15 Februari 2021.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Angka

Kekerasan Terhadap Anak Tinggi di Masa Pndemi, KEMENPPPA

Sosialisasikan Protokol Perlindungan Anak. diakses dari

https://www.kemenpppa.go.id, diakses pada 18 Januari 2021.

Maradewa, Rega. Update Data Infografis KPAI Per 31-08-2020. diakses dari

https://www.kpai.go.id/berita/infografis/update-data-infografis-kpai-per-31-

08-2020. diakses pada 18 Januari 2021.

Sari, A. P.. Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak dan Hubungan Pelaku

dengan Korban. diakses dari

https://www.kompas.com/index.php/read/xml/2009/01/28/. diakses pada 18

Januari 2021.

Sumber Hukum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Menjadi Undang-Undang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2016 Nomor 99. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5882.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2016 Nomor 99. Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5882.

Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik,

Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual

Terhadap Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor

269. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6585.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

108

Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penghapusan Kekerasan

Seksual.

Sumber Hukum

Al-Qur’an.

Hadis Riwayat Muslim.

Sumber Lain

Al-Sam’ani, Abi Al-Muzafar Mansur bin Muhammad bin ‘Abd Al-Jabar.

Qawati’u Al-Adilat Fi Al-Usul Juz 1. (Bairut: Dar Al-Kutub Al’Ilmiyyah,

t.t).

Nawawi, Imam. 2012. Terjemah Lengkap Riyadhus Shalihin. Tahqiq dan Takhrij

Hadits.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

109

E-ISLAMIC LAW : SOLUSI KULTURISASI HUKUM ISLAM SEBAGAI

LANGKAH MENORMATIFKAN TUJUAN HUKUM ISLAM MENJADI

HUKUM POSITIF

(E-ISLAMIC LAW: A CULTURIZING SOLUTION OF ISLAMIC LAW AS A

STEPS TO TORIZE THE OBJECTIVES OF ISLAMIC LAW TO BE

POSITIVE LAW)

Desi Fitriyani dan Winda Sari

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation :

Fitriyani, Desi dan Winda Sari. E-Islamic Law: Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah

Menormatifkan Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif. Rewang Rencang : Jurnal Hukum

Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021).

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menunjukkan bahwasanya tujuan hukum Islam sangat

tepat diinterpretasikan sehingga harus dimuat menjadi norma dalam hukum positif

di Indonesia. Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum

normatif dengan studi kepustakaan, dengan pendekatan konseptual. Namun, yang

menjadi problematika adalah kulturisasi di masyarakat terkait tujuan hukum islam

belumlah masif. Oleh karena itu, penulis menawarkan E-Islamic Law yang

merupakan sebuah aplikasi sebagai media kulturisasi yang menjadi solusi untuk

menjawab problematika tersebut. Dengan penerapan E-Islamic Law, maka

menjadi jembatan sehingga muatan tujuan hukum nantinya dapat menjadi norma

hukum positif di Indonesia.

Kata Kunci: E-Islamic Law, Kulturisasi, Tujuan Hukum Islam

ABSTRACT

This research presents Islamic law's objectives that are chosen as the solution to

be adopted. So, it should be contained as the positive law norm in Indonesia. In

this research, the researchers used normative legal research methods and

literature study, through a conceptual approach. Unfortunately, the societies'

culture regarding the objectives of Islamic law is still weak and being

problematic. Therefore, the researchers present the E-Islamic Law application as

a culturalization medium to solve it. E-Islamic Law acts as a bridge, so the

content of legal objectives will be a positive legal norm in Indonesia.

Keywords: E-Islamic Law, Culturalization, Islamic Law's Purposes

Desi Fitriyani dan Winda Sari

E-Islamic Law : Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah Menormatifkan

Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif

110

A. PENDAHULUAN

Napak tilas perkembangan hukum Islam telah menjadi Moral Design1

pengimplementasian hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, sejarah umat Islam

di Indonesia pada hakikatnya telah melekat pada sosok dari bangsa itu sendiri.

Kedekatan itu terjadi karena jumlah umat Islam yang mayoritas dan dominan,

sehingga hukum Islam seharusnya mampu menentukan pola berpikir dan pola

pembentukan hukum bangsa Indonesia.

Hukum Islam di Indonesia telah meletakkan pula pelataran nasionalisme

yang akhirya menghasilkan kemerdekaan Indonesia.2 Melihat napak tilas

tersebut, memunculkan beragam corak pemikiran teori hukum disertai

perkembangan dinamika pemikiran dan penerapan hukum Islam di Indonesia

(dari masa pra kemerdekaan sampai masa pasca kemerdekaan). Salah satunya

adalah teori eksistensi, yakni teori yang menerangkan tentang keberadaan hukum

Islam dalam hukum nasional Indonesia.3

Menurut teori ini, bentuk eksistensi (keberadaan) hukum Islam dalam

hukum nasional terdiri atas: 1) hukum Islam adalah bagian integral dari hukum

nasional Indonesia; 2) hukum Islam bersifat mandiri, dalam arti kekuatan dan

wibawanya diakui dan dijamin oleh hukum nasional serta diberi status sebagai

hukum nasional; 3) norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring

bahan-bahan hukum nasional Indonesia; serta, 4) hukum Islam merupakan bahan

dan unsur utama hukum nasional Indonesia.4 Teori eksistensi ini pada hakikatnya

merumuskan keadaan hukum nasional Indonesia dari masa lalu, masa kini dan

masa yang akan datang, menegaskan bahwa hukum Islam berada dalam hukum

nasional Indonesia, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Ia ada dalam

berbagai lapangan kehidupan hukum maupun dalam praktik hukum.

1 Moral design yang dimaksud adalah Indonesia harus mampu mewujudkan moral yang

terkandung dalam konstitusinya. 2 Ajub Ishak, Posisi Hukum Islam dalam Hukum Nasional di Indonesia, Jurnal Al-Qadau,

Vol.4, No.1 (Juni 2017), p.57-70. 3 Dahliah Haliah Ma’u, Eksistensi Hukum Islam di Indonesia (Analisis Kontribusi dan

Pembaruan Hukum Islam Pra dan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia), Jurnal Ilmiah Al-

Syir’ah, Vol.15, No.1 (2017), p.14-30. 4 Dahliah Haliah Ma’u, Ibid..

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

111

Berlandaskan pemikiran diatas, semakin meyakinkan kebutuhan dan

pentingnya kehadiran hukum Islam di Indonesia. Hukum Islam tidak serta merta

hadir karena landasan filosofis semata, namun berangkat pula melalui pondasi

kebutuhan sosiologis masyarakat yang dapat dilihat pada muatan tujuan hukum

Islam yang bersifat universal.5 Universal dalam arti memiliki tujuan yang bersifat

luas dan dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh masyarakat di luar garis

pluralisme keyakinan yang melekat pada diri setiap individu. Sifat ini kemudian

menjadikan tujuan hukum Islam sangat mampu untuk dituangkan dalam

peraturan perundang-undangan. Sehingga tidak hanya berlaku untuk masyarakat

beragama Islam saja melainkan untuk masyarakat pada umumnya.

Tujuan hukum Islam antara lain memelihara agama, jiwa, akal, keturunan

dan harta. Di Indonesia sendiri, keberlakuan hukum Islam menjadi hukum positif

tidak hanya sekedar hukum yang diinginkan saja (Ius Constituendum) tetapi

berimplikasi pula terhadap hal-hal khusus, berupa substansi hukum Islam yang

telah menjadi Ius Constitutum atau hukum yang berlaku saat ini.6 Beberapa

muatan tujuan tersebut telah dilegitimasikan. Namun, beberapa tujuan hukum

Islam lainnya belum di akomodasi masuk ke dalam produk legislasi.

Berikut pula hukum Islam yang telah diberlakukan negara sebagai hukum

positif di lingkungan peradilan namun masih sangat terbatas, yaitu hukum

perkawinan yang bisa dilihat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, kewarisan (salah satunya dalam Pasal 171 ayat (1) Kompilasi

Hukum Islam (KHI)7) dan wakaf (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

tentang Wakaf) atau dalam arti sebagian dari hukum perdata. Sedangkan sebagian

besar, diantaranya bidang muamalat, jinayat, hukum acara dan hukum negara,

seperti masih dalam bentuknya sebagai fikih atau pedoman dalam beramal pun

sangat minim dalam produk legislasi Indonesia.

5 Ghoffar Shidiq, Teori Maqashid al-Syariah dalam Hukum Islam, Majalah Ilmiah Sultan

Agung, Vol.44, No.118 (2020), p.117-130. 6 H. John Kenedi, Penerapan Syariat Islam dalam Lintasan Sejarah dan Hukum Positif di

Indonesia, Jurnal Nuansa, Vol.X, No.1 (Juni 2017), p.74-84. 7 Pasal 171 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, Hukum kewarisan adalah hukum yang

mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan

siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Desi Fitriyani dan Winda Sari

E-Islamic Law : Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah Menormatifkan

Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif

112

Hal tersebut disebabkan karena kurangnya kultur hukum yang bernuansa

Islam serta pemasifan informasi dan edukasi terkait pentingnya tujuan hukum

Islam. Inilah yang kemudian menyebabkan pengembangan hukum Islam dalam

hukum nasional masih belum maksimal. Ketidakmasifan dan/atau

ketidakmaksimalan ini pada realitanya menjadikan hukum Islam seolah hadir

sebagai pelengkap pluralisme hukum di Indonesia semata, tanpa

pengimplementasian dan penormaan yang dinamis dan tepat.

Padahal hal-hal yang belum diatur tersebut sangatlah krusial untuk diadakan

dan di normatifkan di Indonesia. Sebab, hal-hal yang diatur dalam tujuan hukum

Islam dapat membantu upaya pemerintah dalam pencapaian cita-cita dan tujuan

pembangunan nasional yakni membangun manusia Indonesia seutuhnya,

tercukupi kebutuhan lahir dan batin, sejahtera, beriman dan bertaqwa serta

mengamalkan Pancasila. Pembentukan dan penetapan hukum Islam pada produk

legislasi nasional bertujuan untuk memberlakukan nilai-nilai Islam yang menjadi

kaidah hukum yang hidup dimasyarakat dalam produk hukum nasional.8

Ketiadaan atau kekosongan norma hukum yang memuat tujuan hukum

Islam secara komprehensif tentunya menjadi sebuah problematika, sehingga perlu

dimasukkan dalam produk hukum nasional. Memasukkan hukum Islam dalam

produk legislasi tentu menghadapkan kita pada rintangan yang harus dihadapi.

Maka kemudian muncullah dua Rumusan Masalah dalam artikel ini yang akan

dibahas dsecara komprehensif pada bagian pembahasan, yaitu:

1. Pertama, apa yang menjadi poin penting sehingga tujuan hukum Islam

harus di akomodasi untuk menjadi norma hukum positif di Indonesia?

2. Kedua, bagaimana langkah pemasifan informasi dan kulturisasi tujuan

hukum Islam untuk mempermudah pengimplementasian pada penormaan

hukum Islam?

Kedua rumusan masalah tersebut akan dibahas lebih jauh dalam sub

pembahasan di bagian selanjutnya.

8 Islamiyati, Pengaruh Sistem Hukum Islam terhadap Politik Hukum Nasional,

Diponegoro Private Law Review, Vol.3, No.1 (Oktober 2018), p.295-306.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

113

B. PEMBAHASAN

1. Pentingnya Tujuan Hukum Islam untuk Menjadi Norma Hukum

Positif di Indonesia.

Tujuan utama disyari’atkannya hukum Islam atau disebut dengan Muqashid

Syari’ah yang diperkenalkan oleh Asy Syatibi9 adalah untuk kemaslahatan umat

manusia, guna mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan kesulitan atau

menarik manfaat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka terdapat lima tujuan

hukum Islam, yaitu10 :

1) Memelihara agama. Dalam rangka memelihara agama, maka penulis

mendorong untuk di normatifkannya ketentuan terkait pemidanaan untuk

orang yang menawarkan jasa kepada orang lain dan bahwa karena

perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan

mental atau fisik seseorang. Mengapa hal tersebut perlu diatur? Karena

hal tersebut akan meningkatkan niat seseorang untuk berbuat kejahatan.

Selain itu akan mengganggu keyakinan dari seseorang akan Tuhan-Nya.

2) Memelihara jiwa, maka dalam hukum Islam mewajibkan menusia secara

pasti untuk makan, minum, berpakaian dan lain-lain. Adapun muatan

norma yang akan penulis tawarkan adalah larangan meminum minuman

yang memabukkan. Norma ini berkaitan dengan tujuan hukum Islam

yaitu memelihara akal. Adapun contoh realisasi tujuan hukum Islam ini

adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

3) Memelihara akal. Akal merupakan pembeda antara manusia dengan

makhluk lainnya. Oleh karena itu, manusia diwajibkan untuk memelihara

akalnya dengan jalan melarang manusia untuk melakukan segala sesuatu

yang melemahkan akalnya. Sejalan dengan hal tersebut, maka norma

yang penulis tawarkan adalah larangan meminum minuman yang akan

memabukkan (kecuali dengan tujuan medis). Mengapa perlu diatur?

9 Muhyidin, Muqashid Al-Syariah (Tujuan-Tujuan Hukum Islam) Sebagai Pondasi Dasar

Pengembangan Hukum”, Gema Keadian, Vol.6, No.1 (Juni 2019), p.13-32. 10 Afridawati, Stratifikasi Al-Mashid Al-Khamsah (Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan

Harta) dan Penerapannya dalam Masalah, Jurnal Al-Qishthu, Vol.13, No.1 (2015), p.15-30.

Desi Fitriyani dan Winda Sari

E-Islamic Law : Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah Menormatifkan

Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif

114

Karena jika seseorang kehilangan akal sehatnya, maka mereka dapat

melakukan hal yang berada di luar kendalinya yang akan mengganggu

hak orang lain. Tentu jika hal tersebut terjadi akan menciderai Pasal 28J

ayat (2) UUD NRI 1945.11

4) Memelihara Keturunan, hal ini bertujuan untuk mencegah bercampurnya

nasab (keturunan) dan menjaga kemuliaan manusia. Dalam hukum

Belanda (Pasal 284 KUHP), perzinahan adalah persetubuhan yang

dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan

perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Sedangkan

dalam hukum Islam, perzinahan adalah siapapun mereka jika melakukan

persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya.12 Norma

yang penulis tawarkan ialah larangan melakukan persetubuhan jika tak

memiliki hubungan sebagai suami dan istri. Mengapa perlu diatur?

Karena jika tidak diatur, maka akan terjadi percampuran keturunan yang

bermuara pada kesulitan menentukan ayah biologis dari sang anak.

Sehingga yang akan terdampak dari perzinahan adalah anak itu sendiri.

5) Memelihara harta. Hukum Islam mengharamkan perbuatan mencuri

bahkan diberikan hukuman terhadapnya. Selain itu juga dalam rangka

memelihara harta, maka hukum Islam pun telah mengatur ketentuan

tentang jual-beli, sewa, dan hal lainnya. Adapun saat ini yang penting

untuk diatur ialah larangan penggunaan jasa pinjaman yang disertai

bunga yang tidak sesuai dengan nilai pertumbuhan ekonomi.

Melihat lima tujuan hukum Islam itu, maka dapat dilihat betapa pentingnya

tujuan hukum Islam untuk menjadi norma dalam hukum positif di Indonesia.

Untuk lebih jelasnya, maka Penulis akan memperlihatkan kekosongan hukum saat

ini serta memaparkan urgensi mengenai ketentuan tujuan hukum Islam untuk

dinormatifkan melalui tabel di bawah ini.

11 Bunyi Pasal 28J ayat (1) UUD NRI 1945 “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,

setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan

maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan

ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. 12 Syamsul Huda, Zina dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.12, No.2 (Desember 2015), p.377-397.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

115

Tujuan

Hukum

Islam

Hukum

Positif Urgensi

Memelihara

agama

Dalam

Pasal 28I

ayat (1) dan

Pasal 29

ayat (2)

UUD NRI

1945

Kendatipun dasar hukum akan adanya pengakuan

serta penjaminan bagi setiap orang untuk

memeluk agama dan kepercayaannya masing-

masing, namun aturan melakukan perbuatan yang

dapat merusak agama belum diatur. Padahal, jika

aturan tersebut dirusak maka akan berdampak

pada keamanan nasional.

Memelihara

jiwa dan

memelihara

akal

Undang-

Undang

Nomor 18

Tahun 2012

tentang

Pangan

Dalam rangka memelihara jiwa, maka dalam

Islam dilarang untuk memakan atau meminum

yang dapat merusak jiwa mereka. Oleh karena itu

perlunya pengaturan larangan meminum minuman

yang akan memabukkan (kecuali dengan tujuan

medis). Mengapa hal tersebut perlu di atur? karena

jika seseorang kehilangan akal sehatnya maka

mereka dapat melakukan hal yang berada di luar

kendalinya yang akan mengganggu hak orang lain.

Tentu jika hal tersebut terjadi akan menciderai

Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Saat ini

memang telah ada Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2012 tentang Pangan namun ketentuan

tersebut belum mampu mengakomodir kebutuhan

hukum yang ada.

Memelihara

Keturunan

Pasal 284

KUHP

Muatan yang dilarang dalam Pasal 284 KUHP

adalah ketika seorang perempuan atau laki-laki

melakukan persetubuhan dengan seorang

perempuan atau laki-laki yang telah memiliki

suami atau isteri. Sedangkan dalam hukum Islam

melarang persetubuhan antara seorang perempuan

dan laki-laki yang tidak terikat hubungan suami

isteri dan hubungan tersebutlah yang merupakan

zina. Konsep hukum Islam terkait zina tersebut

perlu dimuat dalam hukum nasional, dikarenakan

jika tidak diatur maka akan terjadi percampuran

keturunan yang bermuara pada kesulitan

menentukan ayah biologis dari sang anak. Dengan

demikian yang akan terdampak dari perzinahan

tidak lain adalah anak itu sendiri.

Desi Fitriyani dan Winda Sari

E-Islamic Law : Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah Menormatifkan

Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif

116

Memelihara

harta

Undang-

Undang

Nomor 21

Tahun 2008

tentang

Perbankan

Syariah

Saat ini memang telah ada Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah, namun agar dapat memutus ranah agar

tidak terjadinya riba, maka larangan membuat jasa

pinjaman disertai bunga yang tidak sesuai dengan

nilai pertumbuhan ekonomi perlu diatur.

Tabel 2.1 Urgensi Tujuan Hukum Islam

Sumber: Kreasi Penulis

2. E-Islamic Law : Metode Kulturisasi Hukum Islam di Masyarakat

untuk Menjadikan Tujuan Hukum Islam Menjadi Norma Hukum

Positif di Indonesia.

Melihat pentingnya tujuan hukum Islam, maka sudah sepatutnya tujuan

hukum Islam dimuat menjadi norma hukum positif. Akan tetapi, untuk

mewujudkan hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Terdapat problematika

dalam merealisasikannya. Problematikanya tidak lain adalah kurangnya kultur

hukum yang bernuansa Islam serta pemasifan informasi dan edukasi terkait

pentingnya tujuan hukum Islam, yang menyebabkan pengembangan hukum Islam

dalam hukum nasional masih belum maksimal. Selain itu juga, masyarakat belum

memahami bahwasanya tujuan hukum Islam bersifat universal, dimana telah

sesuai dengan setiap zaman, di daerah maupun kondisi apapun, sehingga

kemanfaatannya perlu diterapkan untuk kebaikan bersama.

Sebagai upaya untuk menjawab problematikan tersebut, maka perlu

diterapkan suatu metode sehingga kulturisasi hukum Islam di masyarakat dapat

berjalan maksimal. Kulturisasi yang dimaksud oleh Penulis adalah memberikan

informasi sekaligus menjadi ajang perkenalan mengenai muatan hukum Islam.

Dengan pahamnya masyarakat terkait dengan hukum Islam, masyarakat akan

merasa hukum Islam sangat cocok diterapkan sebagai suatu norma. Jika demikian,

maka kulturisasi tersebut telah berhasil. Adapun langkah yang penulis tawarkan

agar kulturisasi hukum Islam dapat berjalan adalah melalui aplikasi E-Islamic

Law. E-Islamic Law merupakan suatu aplikasi yang dirancang oleh Penulis,

sehingga metode kulturisasi dapat dilakukan dengan mudah karena berada dalam

genggaman masyarakat. Berikut gambaran E-Islamic Law.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

117

Gambar 1. Muatan E-Islamic Law

Sumber: Kreasi Penulis

Penjelasan mengenai menu pada aplikasi E-Islamic Law ini sebagai berikut:

a. Sejarah, pada menu ini tersedia gambaran terkait sejarah hukum islam di

dunia dan di Indonesia khususnya.

b. Tujuan Hukum Islam, nantinya tujuan hukum Islam tersebut akan penulis

interpretasikan yang bermuara pada rekomendasi norma-norma yang

perlu di muat dalam hukum nasional.

c. Perkembangan, menu ini akan berisi seputar perkembangan hukum Islam

di Indonesia seperti telah adanya Kompilasi Hukum Islam.

d. Tanya Jawab Seputar Hukum, menu ini berisi tanya jawab seputar hukum

yang akan di jawab dengan mengaitkannya dengan hukum Islam.

e. Rekomendasi Norma Hukum Islam, pada menu ini dapat menjadi batu

loncatan penampungan dan penyaluran gagasan terkait tujuan hukum

Islam yang berpotensi untuk di jadikan hukum positif di Indonesia.

Rekomendasi tersebut akan terkirim pada sistem badan legislasi, yang

artinya kulturisasi dan segala perkembangan hukum Islam dapat

dipertimbangkan oleh badan legislasi kedepannya.

Desi Fitriyani dan Winda Sari

E-Islamic Law : Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah Menormatifkan

Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif

118

Alasan penulis menawarkan aplikasi ini dikarenakan masyarakat tidak dapat

lepas dari gawai dalam hal ini aplikasi. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Studi Baidu mengacu pada riset GfK menunjukkan bahwa

penggunaan aplikasi mobile sebesar 97 persen.13 Dengan penerapan E-Islamic

Law ini, maka kulturisasi hukum Islam di kalangan masyarakat akan terbangun.

Jika telah terbangun, maka tentunya tujuan hukum Islam untuk masuk menjadi

muatan norma dapat di realisasikan.

C. PENUTUP

1. Kesimpulan

Pengembangan hukum Islam masih mengalami hambatan dalam pemasifan

informasi, edukasi dan kultur masyarakat sehingga muatan tujuan hukum Islam

belum maksimal masuk dalam norma hukum nasional. Hal inilah yang kemudian

menimbulkan sebuah dilematika, sebab tujuan hukum Islam antara lain

memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta sangat perlu untuk

dimasukkan dalam muatan norma hukum positif di Indonesia. Penormaan dalam

produk legislasi tersebut tak lain untuk menjadikan tujuan hukum Islam sebagai

penyaring dan penarik kemaslahatan umat manusia.

Menjawab problematika tersebut, maka langkah yang dilakukan ialah

kulturisasi muatan tujuan hukum Islam dalam bentuk aplikasi yang bernama “E-

Islamic Law”. Aplikasi ini terdiri atas lima menu yaitu sejarah hukum Islam,

tujuan, perkembangan, tanya jawab seputar hukum yang disertai dengan sebuah

notifikasi terkait jawaban tanya jawab dan isu-isu terkini terkait hukum Islam,

serta menu rekomendasi norma hukum Islam yang bermuara pada penampungan

dan peyaluran gagasan tujuan hukum Islam yang berpotensi dinormatifkan kepada

badan legislasi. Dengan demikian, tentunya tingkat pemahaman, kulturisasi dan

rekomendasi akan pemuatan hukum Islam akan semakin masif melalui adanya

aplikasi ini yang dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat dengan

langkah yang secara mudah dan cepat.

13 Corry Anestia, Pengguna Mobile Lebih Suka Pakai Aplikasi Dibanding Browser, diakses

dari https://www.liputan6.com/tekno/read/2477796/pengguna-mobile-lebih-suka-pakai-aplikasi-

dibanding-browser, diakses pada 9 Januari 2021.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

119

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran atau rekomendasi yang

diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut:

a. Sebagai keberlanjutan dari aplikasi “E-Islamic Law”, maka diperlukan

pengimplementasian dan komitmen bersama badan legislasi (dalam hal

ini parlemen) untuk memasukkan segala rekomendasi muatan tujuan

hukum Islam untuk dinormatifkan menjadi hukum nasional. Dengan

demikian, maka eksistensi hukum Islam semakin komprehensif dan

terjaga dalam peradaban.

b. Masyarakat diharapkan tetap mendukung keanekaragam kultur hukum di

Indonesia yang salah satunya yaitu hukum Islam, dengan menjadikan

hukum Islam sebagai filter hukum nasional serta mengimplementasikan

kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menjadikan nilai dan tujuan

hukum Islam sebagai dasarnya.

Desi Fitriyani dan Winda Sari

E-Islamic Law : Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah Menormatifkan

Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif

120

DAFTAR PUSTAKA

Publikasi

Afridawati. Stratifikasi Al-Mashid Al-Khamsah (Agama, Jiwa, Akal, Keturunan

dan Harta ) dan Penerapannya dalam Masalah. Jurnal Al-Qishthu. Vol 13,

No.1 (2015).

Ajub, Ishak. Posisi Hukum Islam dalam Hukum Nasional di Indonesia. Jurnal Al-

Qadau. Vol.4. No.1 (2017).

Huda, Syamsul. Zina dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana. Hunafa: Jurnal Studia Islamika. Vol.12. No.2 (2015).

Islamiyati. Pengaruh Sistem Hukum Islam terhadap Politik Hukum Nasional.

Diponegoro Private Law Review. Vol.3, No.1 (Oktober 2018).

Kenedi, H. John. Penerapan Syariat Islam dalam Lintasan Sejarah dan Hukum

Positif di Indonesia. Jurnal Nuansa. Vol.X. No.1 (2017).

Ma’u, Dahliah Haliah. Eksistensi Hukum Islam di Indonesia (Analisis Kontribusi

dan Pembaruan Hukum Islam Pra dan Pasca Kemerdekaan Republik

Indonesia). Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol.15. No.1 (2017).

Muhyidin. Muqashid Al-Syariah (Tujuan-Tujuan Hukum Islam) Sebagai Pondasi

Dasar Pengembangan Hukum, Gema Keadian, Vol.6, No.1 (Juni 2019). Shidiq, Ghoffar. Teori Maqashid al-Syariah dalam Hukum Islam. Majalah Ilmiah

Sultan Agung. Vol.44. No.118 (2020).

Website

Anestia, Corry. Pengguna Mobile Lebih Suka Pakai Aplikasi Dibanding Browser.

diakses dari https://www.liputan6.com/tekno/read/2477796/pengguna-

mobile-lebih-suka-pakai-aplikasi-dibanding-browser. diakses pada 9 Januari

2021.

Sumber Hukum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3019.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159. Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4459.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227. Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5360.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi

Hukum Islam. Lembaran Lepas Sekretariat Negara Tahun 1991.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

121

KONSENSUS SETENGAH HATI: PERJALANAN PERADILAN AGAMA

MENUJU SISTEM SATU ATAP (1999-2004)

(HALFHEARTED CONSENSUS: THE JOURNEY OF RELIGIOUS COURTS

TOWARDS ONE-ROOF SYSTEM (1999-2004))

Dian Kurnia Hayati

Alumnus Departemen Sejarah FIB Universitas Indonesia

Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation :

Hayati, Dian Kurnia. Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu

Atap (1999-2004). Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021).

ABSTRAK

Penelitian ini membahas perbedaan pandangan antara pihak Pengadilan Agama,

Departemen Agama, dan Mahkamah Agung dalam proses integrasi Peradilan

Agama di bawah satu atap. Metode yang digunakan adalah metode sejarah dengan

pendekatan perundang-undangan. Sumber utama yang digunakan adalah arsip

primer berupa risalah sidang RUU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan

Kehakiman, RUU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, majalah,

dan surat kabar sezaman. Temuan baru dalam artikel ini adalah pro dan kontra

dalam proses integrasi Peradilan Agama bukan hanya disebabkan oleh aspek

idealisme hukum, tetapi perbedaan kepentingan di antara pihak-pihak terkait.

Dengan demikian, disimpulkan bahwa faktor-faktor integrasi Peradilan Agama

tidak terbatas pada landasan ideal untuk mewujudkan independensi peradilan

dalam bingkai reformasi, tetapi berkaitan erat dengan aspek ekonomi dan politik.

Kata Kunci: Departemen Agama, Mahkamah Agung, Peradilan Agama,

Reformasi, Sistem Satu Atap

ABSTRACT

This research discusses the different views between the Religious Courts, the

Ministry of Religion and the Supreme Court in the process of integrating the

Religious Courts under one roof. The method used is the historical method with a

statutory approach. The main source used is the primary archive in the form of

trial minutes of the Draft Law No. 35 of 1999 concerning Judicial Power, Draft

Law No. 4 of 2004 concerning Judicial Power, contemporary magazines and

newspapers. The new findings in this article are that the pros and cons of the

integration process of the Religious Courts are not only caused by aspects of legal

idealism, but also by differences in interests among the parties concerned. Thus, it

is concluded that the factors of integration of the Religious Courts are not limited

to the ideal basis for realizing judicial independence within the framework of

reform, but are closely related to economic and political aspects.

Keywords: Department of Religion, Supreme Court, Religious Court,

Reformation, One Roof System

Dian Kurnia Hayati

Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap

(1999-2004)

122

A. PENDAHULUAN

Pasca Soeharto mundur, Indonesia hidup dalam lingkup tuntutan tiga

lapisan zaman sejarah: beban masa lalu, kebutuhan mendesak masa kini dan

tantangan masa depan. Habibie tidak mengganti kebijakan sebelumnya, tetapi

berupaya memperbaiki rezim Soeharto dengan kebijakan reformasi.1 Abdul Halim

menilai perubahan situasi politik itu sebagai konfigurasi politik demokratis yang

memiliki beberapa indikator penting, yaitu iklim yang memberikan kesempatan

bagi tumbuhnya demokrasi politik, kemauan politik pemerintah yang berkuasa,

dan perubahan arus bawah. Peran rakyat sangat dominan dalam mendesak elite

penguasa dan mendorong kekuatan masyarakat sipil. Sehingga, negara tidak lagi

menjadi aktor utama dan satu-satunya yang menentukan rumusan politik.2

Hal tersebut berangkat dari realitas hukum era Orde Baru yang tidak

transparan serta penuh dengan praktik nepotisme, khususnya di bidang kekuasaan

kehakiman. Penempatan perwira-perwira militer sebagai ketua Mahkamah Agung

dan proses perekrutan hakim-hakim agung yang cenderung tertutup merupakan

beberapa contoh intervensi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman.3

Hal tersebut memengaruhi citra dan wibawa hukum. Ditinjau dari aspek internal,

Mahkamah Agung juga mengalami permasalahan berupa penumpukan perkara

akibat dari prosedur administrasi yang tidak efektif dan efisien.4

Langkah awal yang dilakukan dalam reformasi di bidang hukum adalah

penerapan sistem peradilan satu atap di bidang kekuasaan kehakiman untuk

menggantikan sistem peradilan dua atap. Peradilan satu atap (one roof system) di

Indonesia bertujuan untuk menjadikan sistem hukum sebagai subjek Reformasi

(variabel independent). Hal ini didasarkan pada hipotesis bahwa hukum

merupakan sarana pengintegrasi untuk mempercepat evolusi (accelerated

evolution vehicle) berupa transisi dari tertib hukum yang represif dan otoriter

menuju kehidupan masyarakat yang demokratis.

1 Taufik Abdullah, dkk., Indonesia dalam Arus Sejarah 8: Orde Baru dan Reformasi,

Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2012, p.649- 651. 2 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik

Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, Penerbit Badan Litbang dan Diklat

Departemen Agama RI, Jakarta, 2008, p.390-391. 3 A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Penerbit

ELSAM, Jakarta,2004, p.117. 4 Varia Peradilan, Mahkamah Agung Minta Diakhiri Dualisme Pimpinan Badan Peradilan

di Indonesia, Varia Peradilan, 5 Januari 1993, p.5.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

123

Hal ini ditandai dengan lahirnya Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998

tentang yang mengkaji kembali mengenai fungsi eksekutif, legislatif, dan

yudikatif di Indonesia. Dalam perkembangannya, hal ini direalisasikan melalui

amendemen UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman pada tahun 1999 yang

mencantumkan kebijakan penyatuan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha

Negara, Peradilan Militer dan Peradilan Agama di bawah Mahkamah Agung.

Tetapi, dalam prosesnya, penyatuan Peradilan Agama menuai pro dan kontra.

Dalam kajian-kajian hukum, integrasi peradilan di bawah atap Mahkamah

Agung menonjolkan landasan ideal untuk “mewujudkan kekuasaan kehakiman

yang merdeka dari kekuasaan eksekutif” sebagai faktor utama.5 Hal tersebut

disebabkan oleh kebijakan Orde Baru yang menempatkan kekuasaan kehakiman

di bawah bayangan dan intervensi kekuasaan eksekutif sehingga menimbulkan

sentimen yang mendalam lembaga yudikatif terhadap kekuasaan eksekutif.6

Selain itu, banyak penyimpangan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan

aparatur penegak hukum sehingga hukum tidak bisa tegak karena peradilannya

korup (judicial corruption). Oleh karena itu, analisis dari kajian-kajian hukum

hanya menekankan pada idealisme reformasi sebagai landasan dalam kebijakan

sistem peradilan satu atap. Kajian akademik mengenai integrasi Peradilan Agama

juga didominasi oleh perspektif ahli hukum dan Mahkamah Agung dibandingkan

perspektif Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia.

Dalam penelitian ini, penulis berupaya membuktikan bahwa landasan idealis

mengenai cita hukum bukan faktor yang berdiri sendiri, tetapi merupakan salah

satu dari faktor utama yang didukung oleh momentum Reformasi. Metode yang

digunakan adalah metode sejarah yang terdiri atas empat tahap, yaitu heuristik

(pencarian sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi, dan historiografi.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, yaitu

analisis terhadap norma dalam peraturan perundang-undangan, khususnya RUU

Kekuasaan Kehakiman 1999 dan 2003. Penulis juga menggunakan surat kabar

dan majalah sezaman, seperti harian Pelita, Kompas, dan majalah Varia Peradilan.

5 Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, Prenada Media, Jakarta,

2009, p.9. dan Yusril Ihza Mahendra, Kedaulatan Negara dan Peradilan Agama, Harian Pelita, 27

Juni 1989, p.4. 6 A. Muhammad Asrun, Op.Cit., p.235.

Dian Kurnia Hayati

Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap

(1999-2004)

124

B. PEMBAHASAN

1. Embrio Reformasi Hukum 1993-1998

Upaya untuk menerapkan sistem peradilan satu atap bertujuan untuk

mengurangi dan menghilangkan intervensi kekuatan eksekutif dan legislatif

terhadap kekuasaan yudikatif. Kajian-kajian hukum umumnya mengemukakan

bahwa kebijakan hukum tersebut berawal dari sejak era reformasi di bawah

kepemimpinan B.J. Habibie. Pada kenyataannya, ide tersebut bukan sebuah hal

baru. Embrio reformasi hukum telah muncul dalam rapat konsultasi antara komisi

III DPR dengan Mahkamah Agung pada 16 November 1992 di ruang rapat DPR

yang dihadiri oleh fraksi ABRI, PDI, PPP dan FKP. Dalam rapat tersebut, H.R.

Purwoto S. Gandasubrata, ketua Mahkamah Agung, menyatakan bahwa,

“Dualisme terasa kurang menguntungkan karena urusan rumah tangga

kekuasaan kehakiman tidak diurus oleh aparatur kekuasaan kehakiman

sendiri, tetapi oleh “orang luar” yakni oleh aparat departemen yang

bersangkutan yang dirasakan “melu handarbeni.”7

Dalam rapat tersebut, Komisi III DPR dan empat fraksi juga menyepakati bahwa

dualisme kekuasaan kehakiman bersifat menyimpang dan berupaya untuk

menyelesaikannya secara konstitusional. Pertemuan tersebut menandakan lahirnya

gagasan untuk menyatukan badan-badan peradilan ke dalam Mahkamah Agung.

Dalam perkembangan selanjutnya, GBHN 1993 juga menyatakan bahwa

sasaran umum Pembangunan Jangka Panjang Kedua di bidang hukum adalah

terbentuk dan berfungsinya sistem hukum nasional yang bersumberkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memperhatikan kemajemukan tatanan

hukum yang berlaku, yaitu pluralisme kesadaran hukum warga negara.8

Perubahan kebijakan ini tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada

1990-an yang memasuki tahap tinggal landas. Pesatnya transaksi dagang

internasional memerlukan landasan hukum yang stabil dan selaras dengan

perkembangan zaman. Tanpa struktur hukum baru, Indonesia diprediksikan

mengalami hambatan dalam beradaptasi dengan ekonomi global abad ke-21.

7 Varia Peradilan, Mahkamah Agung Minta Diakhiri Dualisme Pimpinan Badan Peradilan

di Indonesia, Varia Peradilan, 5 Januari 1993, p. 5-13. 8 Nur Fadhil Lubis, The State’s Legal Policy And The Development of Islamic Law in

Indonesia’s New Order, dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra (ed.), Sharia and Politics in

Indonesia, Institute for Southeast Asian Studies, Singapura, 2003, p.7.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

125

Sayangnya, kepentingan ekonomi masih belum mampu diimbangi dengan sistem

hukum Indonesia yang masih dipengaruhi oleh hukum kolonial Belanda.9

Dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan

Hukum Nasional pada bulan Juli 1994, para pakar hukum juga sepakat bahwa

perkembangan hukum telah terabaikan selama 50 tahun kemerdekaan karena

faktor ekonomi, sehingga diperlukan percepatan transformasi sistem hukum yang

tradisional, kolonial dan pluralistik ke arah sistem hukum nasional yang utuh dan

modern.10 Situasi politik tersebut yang mendukung penerapan gagasan sistem

peradilan satu atap dalam upaya modernisasi kekuasaan kehakiman. Akan tetapi,

sayangnya gagasan ini kemudian kembali surut hingga terjadinya momentum

krisis moneter di Asia pada tahun 1997-1998.

2. Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap

Gagasan mengenai sistem peradilan satu atap baru mendapatkan momentum

setelah Reformasi 1998. Hal ini disebabkan oleh akomodasi terhadap tuntutan atas

pembenahan hukum dan lembaga peradilan yang tercantum dalam GBHN 1999-

2004.11 Dalam Bab IV huruf A butir 2, pembangunan bidang hukum bertujuan

untuk menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan

mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui

perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan

tidak sesuai melalui legislasi. Hal tersebut direspons oleh Mahkamah Agung

dalam pernyataan hukumnya tanggal 15 Januari 1999 bahwa “perubahan dan

penghapusan pasal 11 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman mutlak harus segera dilakukan.” Bersamaan dengan

pernyataan hukum, Mahkamah Agung mengajukan pokok-pokok revisi UU No.

14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman serta konsep rumusan organisasi

dan tata kerja dalam prospektif kekuasaan kehakiman yang utuh dan mandiri.12

9 Firaz Gaffar dan Ifdhal Kasim (ed.), Reformasi Hukum di Indonesia: Hasil Studi

Perkembangan, Penerbit Cyber Consult, Jakarta, 1999, p.4. 10 Firaz Gaffar dan Ifdhal Kasim, Ibid., p.3. 11 Warkum Sumito, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di

Indonesia, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, 2005, p.222. dalam Malik Ibrahim, Peradilan

Satu Atap (The One Roof System) di Indonesia dan Pengaruhnya terhadap Peradilan Agama, Asy-

Syi’rah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol.47, No.2 (Desember 2013), p.659. 12 Taufik Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum

di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 2003, p.56.

Dian Kurnia Hayati

Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap

(1999-2004)

126

Dalam surat tertanggal 4 Juni 1999, Menko Wasbangpan, Hartarto,

merekomendasikan urgensi penyatuan pembinaan badan-badan peradilan di

bawah Mahkamah Agung. Presiden Habibie menyetujui dan mengajukan RUU

tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman

kepada DPR. Hal tersebut juga diperkuat dengan penetapan Hartarto sebagai ketua

Tim Kerja Terpadu Pengkajian Pelaksanaan TAP MPR RI yang terdiri atas unsur

Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman, Departemen Agama, Departemen

Pertahanan dan Keamanan, serta akademisi.

Dalam perkembangan selanjutnya, penyatuan Peradilan Agama mengalami

perdebatan dan proses yang lebih panjang dibanding tiga badan peradilan lainnya.

Benturan kepentingan antara Mahkamah Agung yang mengawasi bidang yustisial

dan Departemen Agama yang membina dan mengawasi organisasi, finansial dan

administrasi Peradilan Agama menghambat proses pembahasan RUU Kekuasaan

Kehakiman di DPR. Beberapa pihak menilai hal tersebut menyebabkan tumpang

tindih, inefisiensi, dan lembaga peradilan yang tidak imparsial. Di sisi lain,

gagasan penyatuan Peradilan Agama menimbulkan respons yang keras dari para

pejabat Departemen Agama dan ulama dari Majelis Ulama Indonesia.

Pihak Departemen Agama yang didukung oleh Prof. Bustanul Arifin, ketua

Komisi Hukum MUI dan Prof. Ismail Sunny, pimpinan Muhammadiyah,

bersikukuh agar Peradilan Agama tetap berada di bawah naungan Departemen

Agama dan tidak akan dipindahkan ke Mahkamah Agung. Bagi Bustanul Arifin,

kemandirian hukum tidak berhubungan dengan penyatuan Peradilan Agama di

bawah MA. MUI bahkan mengimbau agar sidang paripurna DPR menolak RUU

Kekuasaan Kehakiman yang menyatukan Peradilan Agama dan peradilan umum.

Jika DPR mengesahkan RUU, Presiden Habibie diharapkan tidak menyetujuinya.

Bustanul Arifin juga meminta agar RUU direvisi kembali.13 Menteri Agama dan

Muladi, Menteri Hukum dan HAM juga menyatakan keberatan terhadap

penyatuan semua peradilan di bawah Mahkamah Agung karena persoalan

administratif pada Peradilan Agama tidak dapat langsung diserahkan ke MA.14

13 Kompas, MUI Menolak Perubahan RUU Kekuasaan Kehakiman, Kompas, 30 Juli 1999,

p.8. 14 Republika, RUU Perubahan Kekuasaan Kehakiman: FPP Minta Peradilan Agama Tetap

di Bawah Depag, Republika, Jumat, 16 Juli 1999, p.3.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

127

Pembahasan perubahan RUU perubahan UU No. 14 Tahun 1970 di DPR

juga sarat dengan konflik. Sejak awal, lembaga eksekutif tidak memiliki satu

suara terkait penyatuan Peradilan Agama. Menteri Kehakiman, yang seharusnya

menjadi wakil pemerintah dalam sidang DPR menolak kebijakan itu sehingga

digantikan oleh sehingga Hartarto kembali dipilih sebagai wakil pemerintah.15

Dalam laporan Komisi I, pembicaraan tingkat III RUU Kekuasaan

Kehakiman ditangani dengan prosedur singkat. Tapi dalam realisasinya, “prosedur

singkat” itu mengesankan pada hak prerogatif DPR dalam mengesahkan RUU

walau banyak pihak yang tidak setuju. Dalam pembicaraan tingkat IV, Aisyah

Aminy mengakui bahwa walau perubahan hanya dilakukan pada pasal 11 dan 22,

terkandung masalah yang cukup luas karena perbedaan pandangan tentang istilah

“kemandirian” yang dibedakan menjadi kemandirian fungsional atau kemandirian

struktural. Pembahasan tentang pengalihan organisasi, administrasi dan finansial

Peradilan Agama juga tak dapat diselesaikan dalam rapat internal sehingga

pimpinan DPR RI bidang Korpol melobi ketua keempat fraksi, Menteri

Kehakiman, Menteri Agama dan pimpinan Komisi I DPR RI pada 27 Juli 1999.16

Proses pembahasan RUU pada Kamis, 29 Juli 1999 juga diwarnai

kericuhan. Anggota Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),

Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) dan Lembaga Swadaya Masyarakat

lainnya menyatakan “walk out.” Hal itu karena Ketua Komisi I, Aisyah Aminy

tidak mengizinkan LSM memberikan pendapat selama proses pembahasan.

Panitia pelaksana mengklaim telah menerima saran dan pendapat dari kalangan

masyarakat, seperti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan,

YLBHI, IKADIN, unsur Universitas Indonesia, MUI, dan ketua-ketua PTA untuk

dipertimbangkan17 Hal ini mengundang kemarahan berbagai pihak yang tidak

diakomodasi oleh DPR. Ketua II Serikat Pengacara Indonesia, Benny K. Harmani

menyatakan sidang pembahasan RUU sangat tertutup bagi partisipasi publik.18

15 Surat Nomor R.29/PU/VI/1999 tentang RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 16 Laporan Komisi I DPR-RI dalam Pembicaraan Tingkat IV/Pengambilan Keputusan

Mengenai RUU tentang Perubahan UU No.14 Tahun 1970. 17 Ibid.. 18 Kompas, MUI Menolak Perubahan RUU Kekuasaan Kehakiman, Kompas, 30 Juli 1999,

p.8.

Dian Kurnia Hayati

Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap

(1999-2004)

128

Dalam sidang pembahasan, Fraksi Persatuan Pembangunan menolak tegas

penyatuan peradilan agama. Melalui juru bicaranya, Amin Bunyamin, Peradilan

Agama perlu dikecualikan dari pembahasan RUU Perubahan Kekuasaan

Kehakiman. Hal ini didasarkan oleh konsistensi pengawasan peradilan di bawah

Departemen Agama, kekhususan pejabat struktural dan fungsional, serta materi

hukum yang mengacu pada hukum Islam. Penggabungan Peradilan Agama

dikhawatirkan akan merusak citra peradilan di mata umat Islam. Awalnya usulan

tersebut ditolak pemerintah, FKP, FPDI dan FABRI.19

Dalam perubahan UU No. 14 Tahun 1970 ditambahkan satu pasal di antara

pasal 11 dan 12, yaitu pasal 11 A yang menyatakan bahwa pengalihan organisasi,

administrasi dan finansial dilakukan secara bertahap paling lama 5 tahun sejak

UU berlaku. Khusus Peradilan Agama, waktu pengalihan tidak ditentukan. Hal

tersebut diperkuat dengan penjelasan ayat (2) yang berbunyi: “Selama belum

dilakukan pengalihan, maka organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan

Agama masih tetap berada di bawah kekuasaan Departemen Agama.”.20

Risalah sidang IV RUU Kekuasaan Kehakiman 1999 juga dicantumkan:

“[...] jangka waktu pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial bagi

Peradilan Agama mengingat kekhususan yang ada yakni di bidang

perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah, tidak

ditentukan sebagaimana halnya badan peradilan yang lain.”21

Pemerintah berusaha meyakinkan bahwa hal tersebut tidak menunjukkan

adanya pemberlakuan eksklusif bagi badan peradilan tertentu sehingga diharapkan

“pada saatnya yang tepat kewenangan organisatoris, administratif, dan finansial

semua badan-badan peadilan akan beralih di bawah kekuasaan Mahkamah

Agung.” Penyatuan Peradilan Agama juga didukung oleh Fraksi Partai Bulan

Bintang yang diwakili Bondan Abdul Majid, keberadaan badan-badan peradilan,

termasuk peradilan agama, seharusnya dinaungi oleh Mahkamah Agung guna

efektivitas kinerja Mahkamah Agung dalam menangani perkara yang masuk.22

19 Republika, RUU Perubahan Kekuasaan Kehakiman: FPP Minta Peradilan Agama Tetap

di Bawah Depag, Republika, Jumat, 16 Juli 1999, p.3 20 PPID DPR RI, RUU Republik Indonesia Nomor Tahun tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 21 PPID DPR RI, Sambutan Pemerintah atas Persetujuan RUU Republik Indonesia tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. 22 PPID DPR RI, Risalah Sidang Proses Pembahasan RUU Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Kekuasaan Kehakiman pada 24 September 2002.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

129

Walaupun perjalanannya menuai reaksi kontra, DPR tetap menyetujui RUU

tersebut hanya dalam 14 hari menjadi UU No. 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan

Kehakiman.23 Dengan berlakunya UU Kekuasaan Kehakiman yang baru, maka

dalam jangka waktu lima tahun akan berlangsung penyatuan lingkungan-

lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Bagi praktisi peradilan,

peresmian UU No. 35 Tahun 1999 merupakan tonggak sejarah bagi terwujudnya

kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman secara utuh, terutama dalam

bidang finansial dan administrasi.

Dalam perkembangan selanjutnya, hal tersebut menuai reaksi beragam dari

kalangan intelektual. H.M. Tahir Azhary menyatakan bahwa kemandirian hakim

tidak semata-mata tergantung pada penyatuan lingkungan Peradilan Agama di

bawah Mahkamah Agung, tetapi ditentukan oleh kemandirian hakim dalam

mengambil keputusan. Bahkan Prof. Bustanul Arifin dan Prof. Ismail Sunny

berpendapat bahwa sampai kiamat pun Peradilan Agama tidak akan pernah

beralih ke Mahkamah Agung. Di sisi lain, H. Taufiq tetap optimis bahwa

peralihan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung hanya tinggal menunggu waktu

saja.24 Dengan adanya pro dan kontra tersebut, kedudukan Peradilan Agama

masih berada di posisi mengambang.

3. Peradilan Agama dan Departemen Agama: Bukan Sekadar Struktur

Penolakan Departemen Agama terhadap sistem satu atap berdasarkan

beberapa alasan: Pertama, peralihan pembinaan administrasi, organisasi dan

finansial Peradilan Agama berimplikasi berkurangnya wewenang Departemen

Agama. Hal tersebut berkaitan dengan landasan historis bahwa Peradilan Agama

menjadi tulang punggung dan modal dasar keberadaan Departemen Agama sejak

1946. Hal ini dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk melikuidasi

Departemen Agama, terutama jika lembaga pendidikan agama juga disatukan

dengan Departemen Pendidikan dan urusan haji dialihkan ke Departemen Dalam

Negeri. Kekhawatiran ini dipahami mengingat Departemen Agama merupakan

salah satu pilar utama yang mengurus urusan-urusan keagamaan.

23 Kompas, Dalam Tempo 14 Hari: RUU Kehakiman Disetujui DPR, Kompas, 31 Juli

1999, p.9. 24 Wahyu Widiana, Penyatuatapan PA pada Mahkamah Agung, makalah disampaikan

dalam Seminar Nasonal dan Temu Alumni Fakultas Syariah, Fakultas Syariah UIN Sunan

Kalijaga, Yogyakarta, 2004, p.94.

Dian Kurnia Hayati

Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap

(1999-2004)

130

Kedua, adanya kekhawatiran bahwa Departemen Agama tidak dapat terlibat

dalam penyelesaian masalah Peradilan Agama dengan Mahkamah Agung,

sedangkan Peradilan Agama telah memiliki hubungan emosional dengan

Departemen Agama sejak puluhan tahun. Ketiga, perubahan perilaku hakim-

hakim Peradilan Agama sehingga tidak lagi mencerminkan sikap dan perilaku

ulama yang mengaktualisasikan prinsip-prinsip Islam, melainkan berperilaku

sebagaimana hakim-hakim peradilan negeri. Hal ini dikarenakan hakim Peradilan

Agama tidak lagi berasal dari lulusan lembaga pendidikan yang dikelola oleh

Departemen Agama, akan tetapi perguruan tinggi umum yang masih

menggunakan kurikulum hukum sekuler. Namun Mahkamah Agung menjamin

bahwa hakim dan pegawai Pengadilan Agama tetap dari lulusan lembaga

pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama.25

Menurut Malik Ibrahim, alasan-alasan penolakan tersebut secara sepintas

tampak rasional. Akan tetapi di sisi lain terdapat sejumlah persoalan yang

dihadapi Peradilan Agama sebagai penegak hukum dan keadilan. Pertama, sistem

ketatanegaraan Indonesia mengharuskan semua badan peradilan, termasuk badan

Peradilan Agama berada pada satu atap di bawah Mahkamah Agung sesuai Pasal

24 UUD 1945. Jika Peradilan Agama tetap berada di bawah Departemen Agama,

maka terjadi dualisme pengawasan dan pembinaan yang kurang efektif. Kedua,

Pengadilan Agama sulit berkembang karena keterbatasan anggaran Departemen

Agama. Anggaran tidak sebanding dengan hal-hal yang harus dibiayai, yakni

Peradilan Agama, pendidikan agama, urusan haji dan lain sebagainya. Apabila

Peradilan Agama disandingkan dengan pendidikan, maka pendidikan lah yang

akan lebih diprioritaskan. Ketiga, hal tersebut berkaitan dengan citra Peradilan

Agama yang dianggap negatif oleh masyarakat. Pengadilan Agama dipandang

tidak lebih dari KUA (Kantor Urusan Agama) dan hakim-hakimnya tidak

dianggap sebagai hakim. Itulah sebabnya warga Peradilan Agama berkeinginan

kuat untuk bergabung dengan Mahkamah Agung.

25 Malik Ibrahim, Peradilan Satu Atap (The One Roof System) di Indonesia dan

Pengaruhnya terhadap Peradilan Agama, Asy-Syi’rah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol.47,

No.2 (Desember 2013), p.652-653.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

131

Malik Ibrahim juga menegaskan adanya ketidakpuasan warga Peradilan

Agama terhadap kebijakan Departemen Agama yang diterapkan pada lingkungan

peradilan agama, diantaranya mengenai tunjangan hakim agama. Ketika

Pemerintah hendak memberikan tunjangan fungsional kepada para hakim di

Indonesia, pihak Departemen Agama tidak menyetujuinya karena keterbatasan

anggaran. Tunjangan hakim Pengadilan Agama hanya dapat ditingkatkan menjadi

60% dari hakim Peradilan Umum pada tahun 1996. Dalam hal ini, Taufiq, mantan

Wakil Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan

Agama mengusulkan agar menaikkan status Badan Peradilan Agama dari

Direktorat di bawah Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam

(eselon satu), menjadi Direktorat Jenderal Peradilan Agama (eselon dua). Namun,

tawaran tersebut tidak sempat diwujudkan.

Untuk mencegah penyatuan peradilan, Departemen Agama juga berupaya

meningkatkan anggaran Peradilan Agama dan kantor-kantor Pengadilan Agama

dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA), akan tetapi tidak efektif.26 Puncak peristiwa

tersebut terjadi pada 27 Juli 1999 ketika ketua-ketua PTA dari seluruh Indonesia

diundang ke Jakarta untuk menghadiri rapat di Departemen Agama untuk

menjelaskan kebijakan Departemen Agama untuk mempertahankan Peradilan

Agama. Merespons hal tersebut, para ketua PTA menyusun surat yang ditujukan

kepada Menteri Agama, Malik Fadjar, dan ditembuskan kepada Dewan

Perwakilan Rekyat dan Mahkamah Agung.27

Benturan kepentingan antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dan

Peradilan Agama dengan Departemen Agama yang menyebabkan posisi Peradilan

Agama menjadi semakin tidak menentu. Berdasarkan perspektif a Mahkamah

Agung, warga di Pengadilan Agama merasakan keprihatinan selama Pengadilan

Agama berada di bawah naungan Departemen Agama. Oleh karena itu, sikap

Departemen Agama terkesan menghambat proses reformasi sistem peradilan.

26 Malik Ibrahim, Peradilan Satu Atap (The One Roof System) di Indonesia dan

Pengaruhnya terhadap Peradilan Agama, Asy-Syi’rah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol.47,

No.2 (Desember 2013), p.652-653. 27 A. Mukti Arto, Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012, p.155 dan PPHIM, Kiprah dalam Proses Integrasi PA ke MA

(Jejak Langkah dan Dinamika PPHIM), Penerbit PPHIM dan Ramah Publisher, Jakarta, 2007,

p.106. dalam Taufik Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata

Hukum di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 2003, p.59-60.

Dian Kurnia Hayati

Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap

(1999-2004)

132

Walau Peradilan Agama menyepakati gagasan satu atap, hal tersebut

berangkat dari motif yang berbeda dengan Mahkamah Agung. Berdasarkan data

penelitian Wahyu Widiana yang mengambil sampel 518 responden kategori

lingkungan Peradilan Agama di Indonesia pada tahun 1999, dari 482 orang (93%)

menyatakan setuju dan 2,9% menyatakan tidak setuju. Sementara itu, responden

dari kategori luar Peradilan Agama yang berjumlah sebanyak 379 orang, 291 atau

76,8% diantaranya menyatakan tidak setuju dan hanya sebanyak 53 orang (14%

diantaranya) yang menyatakan setuju. Suatu hal yang menarik adalah sebanyak

93% yang menyatakan setuju sistem satu atap dilandasi alasan material (63,3%)

dibandingkan alasan struktural (22,2%).

Pada akhir masa Orde Baru, pembangunan gedung kantor Pengadilan

Agama masih menggunakan standar balai nikah dengan luas 150 m2. Dari 314

Pengadilan Agama, masih terdapat sembilan kantor Pengadilan Agama yang baru

dibentuk dengan mengontrak pada rumah perseorangan. Rata-rata bangunan balai

sidang Pengadilan Tinggi Agama memiliki luas 300 m2. Berkaitan dengan

kendaraan dinas 25 Pengadilan Tinggi Agama, masing-masing memiliki satu

kendaraan dinas roda empat dan 37 kendaraan dinas roda dua yang tidak layak

pakai karena telah berumur lebih dari 10 tahun. Sementara itu, 74 Pengadilan

Agama memiliki masing-masing satu kendaraan donas roda empat yang layak

pakai. Di samping itu, terdapat 237 Pengadilan Agama yang tidak memiliki

kendaraan dinas roda dua yang layak pakai.28

Berkaitan dengan kondisi perlengkapan sidang (dekorum), terdapat

beberapa permasalahan sebagai berikut: 1) masing-masing Pengadilan Agama dan

Pengadilan Tinggi Agama hanya memiliki satu ruang sidang yang tidak seimbang

dengan volume perkara yang mencapai 8 sidang per hari; 2) meja dan kursi sidang

untuk majelis hakim dan panitera sangat sederhana dan belum mendukung

kewibawaan peradilan; 3) sebagian besar Pengadilan Agama belum memiliki

sound system untuk penyelenggaraan persidangan. Di sisi lain, anggaran Peradilan

Agama sangat minim, yaitu Rp. 72.000.000,00 pada tahun anggaran 1994/1995

yang hanya cukup untuk 30 orang pejabat pengadilan agama.29

28 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Rencana Induk Pengembangan

Peradilan Agama 2000-2009, Penerbit CV Mopeng Kridatama, Jakarta, 2000, p.43-66. 29 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Ibid..

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

133

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa persetujuan warga Peradilan

Agama terhadap sistem satu atap lebih disebabkan oleh hal-hal yang bersifat

materi. Terutama menyangkut sarana dan prasarana, gaji/tunjangan hakim agama

dan biaya operasional dibandingkan alasan struktural Peradilan Agama sebagai

pelaksana kekuasaan kehakiman yang berupaya melepaskan diri dari kekuasaan

eksekutif.30 Dengan demikian, landasan filosofi hukum bukan satu-satunya faktor

utama integrasi Peradilan Agama.

Sebagai upaya kompromi, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa,

“... kedudukan Pengadilan Agama sementara waktu tetap dibiarkan dibina di

bawah organisasi pemerintah, yaitu Departemen Agama. Namun, pada

saatnya nanti administrasi pembinaan Peradilan Agama tidak mungkin

terus-menerus disendirikan, besar kemungkinan perkembangannya akan

mengalami hambatan. Karena itu, memang perlu dilakukan langkah-langkah

konkrit, terencana dan sistematis sehingga pada saatnya nanti administrasi

pembinaan Peradilan Agama juga diintegrasikan kedalam sistem pembinaan

oleh Mahkamah Agung.”31

Bagi praktisi hukum dan pihak Mahkamah Agung, integrasi Peradilan

Agama merupakan kehendak reformasi dalam rangka penguatan lembaga

yudikatif. Jika tidak demikian, Peradilan Agama akan ketinggalan dibanding

lembaga peradilan lainnya, dan sangat merugikan Umat Islam karena tidak

memiliki lembaga peradilan yang representatif.

4. Peradilan Agama Era Reformasi: Menuju Peradilan Satu Atap

Dengan pencantuman Peradilan Agama dalam UUD 1945 amandemen

(Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), posisi lembaga

tersebut sangat kuat dan kokoh.32 Sebagai konsekuensi logis amendemen UUD

1945 tahun 2001 khususnya perubahan tatanan kekuasaan kehakiman, maka

peraturan-peraturan dibawahnya harus diamendemen pula, termasuk UU tentang

Kekuasaan Kehakiman. Pada tahun 2003, sistem satu atap direalisasikan dengan

amendemen lima UUD 1945 yaitu tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah

Agung, Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Kejaksaan yang

dipersiapkan oleh Departemen Hukum dan perundang-undangan.

30 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

Kencana, Jakarta, 2008, p.302-303. 31 Jaenal Aripin, Ibid.. 32 Taufik Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum

di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 2003, p.58.

Dian Kurnia Hayati

Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap

(1999-2004)

134

Dalam pengajuan RUU, revisi UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama belum masuk ke dalam daftar RUU yang dibahas karena masih terdapat

pro dan kontra di kalangan masyarakat muslim. Selain itu, Departemen Hukum

dan Perundang-undangan menganggap bahwa RUUPA dipersiapkan sendiri oleh

Departemen Agama yang belum siap menyerahkannya ke Mahkamah Agung.33

Selama proses pembahasan RUU sejak bulan Juni – 17 Desember 2003,

unsur Departemen Agama selalu hadir pada rapat Panitia Kerja dan bersikap

bahwa institusi tersebut belum siap menyerahkan Peradilan Agama dengan

pertimbangan para ulama dan tokoh masyarakat. Sikap Departemen Agama dan

Majelis Ulama Indonesia berbeda dengan hakim dan pegawai di Pengadilan

Agama yang menginginkan peralihan ke Mahkamah Agung. Sebagai respons

terhadap hal tersebut, H. Taufik dan beberapa tokoh mengambil prakarsa untuk

mempertemukan Departemen Agama, ulama, ketua-ketua Pengadilan Tinggi

Agama seluruh Indonesia, dan sejumlah anggota DPR yang difasilitasi oleh Pusat

Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat.34

Dalam pertemuan tersebut, pihak Departemen Agama dan hakim PTA

masih belum menemukan kesepakatan, tetatpi secara perlahan terdapat

kesepahaman di antara pelbagai pihak. Hal yang harus dilakukan adalah

pendekatan dengan para ulama agar dapat memahami alasan penyatuan tersebut.

Di sisi lain, DPR terus melakukan pembahasan RUU Kekuasaan Kehakiman dan

menekankan agar pengalihan Peradilan Agama harus dibatasi waktunya agar

terdapat kejelasan. Namun, gagasan tersebut digagalkan dengan alasan pimpinan

Departemen Agama dan ulama MUI masih menganggap waktunya belum tepat.

Direktur Direktorat Pembinaan Peradilan Agama atas nama Direktur Jenderal

Bimbingan Ibadah dan Penyelenggaraan Haji mengirim surat resmi pada 12

November 2003 ke Dirjen Peraturan Perundang-undangan tentang sikap

penolakan Departemen Agama.35 Berbeda dengan sentimen dari pihak Mahkamah

Agung yang lahir dari kebijakan otoriter rezim Orde Baru, sentimen Departemen

Agama telah ada sejak tahun 1946 karena ketegangan antara golongan nasionalis

sekuler dan nasionalis Islam yang mengancam eksistensi dari lembaga tersebut.

33 Jaenal Aripin, Op.Cit., p.304-305. 34 Jaenal Aripin, Ibid., p.305-306. 35 Wahyu Widiana, Op.Cit., p.306.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

135

Oleh karena itu, alasan historis dan teologis tersebut mendorong Departemen

Agama untuk mempertahankan sistem lama yang kurang efisien dibandingkan

manajemen satu atap yang lebih sederhana.36

Dalam tanggapannya tanggal 24 September 2002, Fraksi Partai Bulan

Bintang yang diwakili oleh Bondan Abdul Majid menyatakan bahwa “keberadaan

badan-badan peradilan seharusnya memang di bawah Mahkamah Agung.” Selain

itu, reformasi hukum dan peradilan harus dilanjutkan dengan perubahan UU

lainnya, termasuk UU Peradilan Agama. Fraksi TNI/Polri juga mendukung

pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dalam lingkungan peradilan

militer dan Peradilan Agama dilaksanakan paling lambat pada akhir Juni 2004.37

Meskipun wakil dari Departemen Agama menolak, pembahasan tetap

dilanjutkan hingga panitia kerja menetapkannya sebagai salah satu pasal RUU.

Akhirnya, Dirjen BPIH atas nama Menteri Agama mengirim surat ke MUI dan

memohon agar MUI memberikan solusinya. H. Taufik kemudian menemui

Menteri Agama, Said Agil Husin Al-Munawwar, untuk menyampaikan keinginan

warga Peradilan Agama agar segera menyetujui sistem satu atap. Said Agil yang

didampingi Direktur Pembinaan Peradilan Agama, H. Wahyu Widiana, MA,

menyetujui dengan syarat ulama juga menyepakati. H. Taufik lalu melakukan

pendekatan dengan ulama-ulama berpengaruh di MUI, diantaranya K.H. Sahal

Mahfudz, K.H. Ali Yafie dan K.H. Amidhan. Akhirnya, ulama menyetujui dengan

syarat keterlibatan Departemen Agama dan MUI dalam proses pembinaan

peradilan agama.38 Namun, dalam Rapat Kerja Nasional dan Ijtima Ulama Komisi

Fatwa MUI se-Indonesia pada 16 Desember 2003, hanya dicantumkan

“memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama

Indonesia”, bukan Departemen Agama dan MUI.

Dalam UU No. 4 Tahun 2004, beberapa ketentuan tentang Peradilan Agama

mencantumkan bahwa pengalihan organisasi, administrasi dan finansial Peradilan

Agama ke Mahkamah Agung dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2005.

36 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi

dalam Sistem Hukum Indonesia, Pustaka Alvabet, Tangerang, 2008, p.329. 37 PPID DPR RI. Risalah Sidang Proses Pembahasan RUU Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Kekuasaan Kehakiman. 38 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

Kencana, Jakarta, 2008, p.302-303.

Dian Kurnia Hayati

Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap

(1999-2004)

136

Pelaksanaannya dilakukan oleh keputusan presiden yang harus dikeluarkan paling

lambat 60 hari sebelum tanggal 30 Juni 2004. Di sisi lain, Mahkamah Agung juga

mempersiapkan pembentukan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. Selain

itu, status pegawai dan aset milik lingkungan Peradilan Agama berubah menjadi

pegawai dan aset Mahkamah Agung. Hal tersebut diikuti oleh pengalihan status

pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama yang berada di bawah

Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama

di bawah struktural Mahkamah Agung.

Sistem peradilan satu atap mulai terealisasi setelah lahirnya Keppres No. 21

Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial di

Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dari Departemen

Kehakiman & HAM ke Mahkamah Agung yang dilakukan pada tanggal 31 Maret

2004, sedangkan pengalihan Peradilan Agama pada tanggal 30 Juni 2004.

Penyerahan tersebut dilakukan pada tanggal 30 Juni 2004 di Lapangan Benteng

Jakarta. Pengalihan ini dimulai dari Direktorat Pembinaan Peradilan Agama,

Pengadilan Agama se-Indonesia, Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).39

Setelah sistem satu atap, secara organisatoris, 343 Pengadilan Agama

(tingkat pertama) dan 24 Pengadilan Tinggi Agama (tingkat banding) telah resmi

berada di bawah Mahkamah Agung. Walaupun demikian, alinea keempat pada

penjelasan umum UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

mencantumkan bahwa Menteri Agama atau Kementerian Agama dan MUI masih

mempunyai akses dalam membina Peradilan Agama. Hal ini dapat dilihat antara

lain dari pembinaan Hukum Islam sebagai hukum materi Peradilan Agama dan

Sarjana Syari’ah yang merupakan produk perguruan tinggi binaan Kementerian

Agama, merupakan sumber daya manusia pokok yang disyaratkan sebagai aparat

hukum di lingkungan Peradilan Agama.40

Secara umum, faktor yang paling berpengaruh terhadap penyatuan Peradilan

Agama terbagi menjadi dua, yaitu aspek internal dan eksternal. Aspek internal

adalah keinginan dari warga PA sendiri yang berpandangan bahwa dengan berada

di bawah MA, diharapkan keberadaan PA akan semakin eksis dan bermartabat.

39 Kompas, Peradilan Agama Dialihkan ke MA, Kompas, Jumat, 2 Juli 2004, p.7. 40 Malik Ibrahim, Op.Cit., p.665-666.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

137

Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh adalah amanat UU No. 35 Tahun

1999 jo. UU No. 4 tahun tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

Kehakiman. Walau demikian, pembinaan Peradilan Agama oleh Mahkamah

Agung dilakukan harus mendengarkan saran Departemen Agama dan MUI.

Setelah diintegrasikan di bawah Mahkamah Agung, secara perlahan terjadi

peningkatan organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama.41

Menurut Malik Ibrahim, sejak berada satu atap di bawah naungan Mahkamah

Agung, maka pengaruhnya terhadap keberadaan Peradilan Agama adalah: (1)

Kedudukan Peradilan Agama telah sejajar dengan lembaga peradilan lainnya yang

ada di Indonesia; (2) Alokasi anggaran Peradilan Agama mengalami peningkatan

yang signifikan bila dibandingkan dengan sebelum terjadinya penyatuatapan,

yaitu dari Rp. 3,5 miliar, lalu meningkat menjadi Rp. 71 miliar, dan terakhir Rp.

200 miliar;42 (3) Pembinaan terhadap Peradilan Agama baik terkait aspek

organisasi, administrasi dan finansial oleh lembaga setingkat Direktorat Jenderal

(eselon satu), sehingga terdapat peningkatan dibandingkan sebelumnya karena

dilakukan oleh lembaga setingkat direktorat (eselon dua); (4) Keberadaan Ketua

Muda Mahkamah Agung pada lingkungan Peradilan Agama sebagai pembina

teknis tetap dipertahankan; (5) Persaingan di antara aparat di lingkungan

Pengadilan Agama dengan aparat di lingkungan peradilan lainnya akan semakin

sehat sehingga terdapat peluang yang sama untuk bersaing menduduki jabatan

tertentu di lingkungan Mahkamah Agung.

Berkaitan dengan aksesibilitas peradilan, kajian Cate Summer dan Timothy

Lindsay menyatakan bahwa Peradilan Agama sukses dalam empat aspek, yaitu

pengembangan akses yang lebih baik untuk perempuan. Dua per tiga pendaftar

perkara adalah pihak perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dan

perempuan memiliki hal yang sama untuk mengajukan cerai dan diselesaikan

sesuai dengan hukum syariah. Peradilan Agama juga mampu memberikan akses

unuk mengatasi masalah legalitas perkawinan bagi warga kurang mampu melalui

sidang keliling sehingga mengurangi biaya perkara.43

41 Taufik Hamami, Op.Cit., p.61. 42 Pelita, Anggaran Peradilan Agama Terbatas, Harian Pelita, Jumat, 24 Maret 2006, p.7. 43 Cate Summer dan Tim Lindsay, Courting Reform: Indonesia’s Islamic Courts and

Justice for the Poors, Lowy Institute for International Policy, New South Wales, 2011, p.7-14.

Dian Kurnia Hayati

Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap

(1999-2004)

138

Kesamaan peluang dalam menduduki jabatan hakim Pengadilan Agama

berkaitan dengan proses rekrutmen hakim agama yang masih dipengaruhi oleh

hukum sipil. Sesuai dengan sistem hukum sipil pada umumnya, hakim-hakim

Pengadilan Agama bisa direkrut dari fakultas hukum Islam dari UIN (Universitas

Islam Negeri) dan IAIN (Institut Agama Islam Negeri) maupun dari fakultas

hukum perguruan tinggi. Umumnya, calon hakim mendapat pelatihan sebelum

terjun ke pengadilan. Sayangnya, kurikulum dalam pelatihan masih bersifat teknis

dan belum memadai untuk mengembangkan kemampuan hakim dalam

menginterpretasi undang-undang untuk menemukan hukum baru. Dengan

demikian, pola pikir hakim masih terpusat pada kodifikasi hukum yang bersifat

sekuler. Di sisi lain, kurikulum pendidikan hukum Islam di UIN dan IAIN masih

berfokus pada kitab-kitab fiqih sehingga mahasiswa kompetensi di bidang praktik

hukum masih kurang memadai.44

Dalam perkembangannya, kualitas hakim-hakim telah ditingkatkan.

Sebagian besar hakim Pengadilan Agama bergelar magister dan doktor hukum

atau hukum Islam. Hakim Pengadilan Agama tidak lagi tepaku pada peraturan

perundang-undangan dalam memutus perkara, tetapi juga Kompilasi Hukum

Islam, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, serta melakukan ijtihad terhadap

kitab-kitab fiqih di samping Al-Qur’an dan Hadis.45

C. PENUTUP

Cikal bakal gagasan reformasi hukum khususnya kekuasaan kehakiman,

telah dimulai sejak 1990-an untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan bisnis

internasional. Pada periode tersebut, mulai terdapat penerimaan terhadap

pemikiran baru di bidang modernisasi hukum. Setelah kejatuhan Orde Baru, era

Reformasi menjadi momentum penting yang membuka kesempatan bagi realisasi

modernisasi dan restrukturisasi lembaga kekuasaan kehakiman. Hal tersebut

diperkuat dengan amendemen UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman yang

mencantumkan kebijakan sistem peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung.

44 Euis Nurlaelawati dan Abdurrahman Rahim, The Training, Appoinment, and Supervision

of Islamic Judges in Indonesia, Pasific Law and Policy Journal, Vol.21, No.1 (2012), p.63-64. 45 Euis Nurlaelawati dan Abdurrahman Rahim, Ibid..

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

139

Berbeda dengan lembaga peradilan lainnya, Peradilan Agama memiliki

hambatan tersendiri karena adanya penolakan dari Departemen Agama. Perbedaan

pandangan antara Departemen Agama dan Mahkamah Agung lahir dari sentimen

historis yang terjadi jauh sebelum era Reformasi. Dalam hal ini, terdapat

perbedaan kepentingan antara Departemen Agama yang bersikap kontra dengan

Mahkamah Agung dan warga Peradilan Agama di sisi lainnya. Bagi Departemen

Agama, sikap tersebut dilandasi oleh hubungan historis, sosiologis, finansial dan

kekhususan kewenangan Peradilan Agama dibandingkan lembaga peradilan lain

yang bercorak hukum sekuler.

Sementara itu, Mahkamah Agung mengusahakan integrasi dilandasi oleh

citra Mahkamah Agung sebagai lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi,

landasan filosofis mengenai independensi hakim dan anggaran. Di sisi lain, warga

Peradilan Agama menyepakati gagasan integrasi didorong oleh faktor ekonomi,

yaitu keterbatasan sarana dan prasarana pengadilan dibandingkan struktural.

Seiring dengan upaya akomodasi dari Mahkamah Agung dan tekanan politik dari

berbagai pihak, Departemen Agama akhirnya terpaksa menerima konsensus

tersebut dengan persyaratan khusus bahwa ulama tetap memiliki akses dalam

membina Peradilan Agama. Dengan demikian, kebijakan mengenai integrasi

Peradilan Agama menuju sistem satu atap tidak hanya berkaitan dengan landasan

struktural untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, tetapi tidak

terlepas dari faktor-faktor lain yang mengelilinginya, terutama ekonomi sebagai

faktor internal dan iklim politik sebagai faktor eksternal.

Dian Kurnia Hayati

Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap

(1999-2004)

140

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdullah, Taufik, dkk.. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah 8: Orde Baru dan

Reformasi. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve)

Aripin, Jaenal. 2008. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di

Indonesia. (Jakarta: Penerbit Kencana).

___________. 2009. Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia. (Jakarta:

Penerbit Prenada Media).

Arto, A. Mukti. 2012. Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.

(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar).

Asrun, A. Muhammad. 2004. Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah

Soeharto. (Jakarta: Penerbit ELSAM).

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. 2000. Rencana Induk

Pengembangan Peradilan Agama 2000-2009. (Jakarta: Penerbit CV

Mopeng Kridatama).

Gaffar, Firaz dan Ifdhal Kasim (ed.). 1999. Reformasi Hukum di Indonesia: Hasil

Studi Perkembangan. (Jakarta: Penerbit Cyber Consult).

Halim, Abdul. 2008. Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum

Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi.

(Jakarta: Penerbit Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI).

Hamami, Taufik. 2003. Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam

Sistem Tata Hukum di Indonesia. (Bandung: Penerbit Alumni).

Lukito, Ratno. 2008. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik

dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia. (Tangerang: Penerbit Pustaka

Alvabet).

PPHIM. 2007. Kiprah dalam Proses Integrasi PA ke MA (Jejak Langkah dan

Dinamika PPHIM). (Jakarta: Penerbit PPHIM dan Ramah Publisher).

Salim, Arskal dan Azyumardi Azra (ed.). 2003. Sharia and Politics in Indonesia.

(Singapura: Penerbit Institute for Southeast Asian Studies).

Sumito, Warkum. 2005. Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan

Sosial Politik di Indonesia. (Malang: Penerbit Bayumedia Publishing).

Summer, Cate dan Tim Lindsay. 2011. Courting Reform: Indonesia’s Islamic

Courts and Justice for the Poors. (New South Wales: Lowy Institute for

International Policy).

Publikasi

Ibrahim, Malik. Peradilan Satu Atap (The One Roof System) di Indonesia dan

Pengaruhnya terhadap Peradilan Agama. Asy-Syi’rah Jurnal Ilmu Syari’ah

dan Hukum. Vol.47. No.2 (Desember 2013).

Nurlaelawati, Euis dan Abdurrahman Rahim. The Training, Appoinment, and

Supervision of Islamic Judges in Indonesia. Pasific Law and Policy Journal.

Vol.21, No.1 (2012).

Karya Ilmiah

Widiana, Wahyu. 2004. Penyatuatapan PA pada Mahkamah Agung. makalah

disampaikan dalam Seminar Nasonal dan Temu Alumni Fakultas Syariah.

Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

141

Surat Kabar

Kompas. Dalam Tempo 14 Hari: RUU Kehakiman Disetujui DPR. Kompas. 31

Juli 1999.

Kompas. MUI Menolak Perubahan RUU Kekuasaan Kehakiman. Kompas. 30 Juli

1999.

Kompas. Peradilan Agama Dialihkan ke MA. Kompas. Jumat, 2 Juli 2004.

Mahendra, Yusril Ihza. Kedaulatan Negara dan Peradilan Agama. Harian Pelita.

27 Juni 1989.

Pelita. Anggaran Peradilan Agama Terbatas. Harian Pelita. Jumat, 24 Maret

2006.

Republika. RUU Perubahan Kekuasaan Kehakiman: FPP Minta Peradilan

Agama Tetap di Bawah Depag. Republika. Jumat, 16 Juli 1999.

Varia Peradilan. Mahkamah Agung Minta Diakhiri Dualisme Pimpinan Badan

Peradilan di Indonesia. Varia Peradilan. 5 Januari 1993.

Sumber Hukum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970

Nomor 74. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49. Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3400.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147. Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8. Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4358.

Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi,

Administrasi, Dan Finansial Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Peradilan

Tata Usaha Negara, Dan Peradilan Agama Ke Mahkamah Agung.

Sumber Lain

Surat Nomor R.29/PU/VI/1999 tentang RUU tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman.

Laporan Komisi I DPR-RI dalam Pembicaraan Tingkat IV/Pengambilan

Keputusan Mengenai RUU tentang Perubahan UU No.14 Tahun 1970.

PPID DPR RI. Risalah Sidang Proses Pembahasan RUU Nomor 14 Tahun 1970

tentang Kekuasaan Kehakiman.

PPID DPR RI. Risalah Sidang Proses Pembahasan RUU Nomor 14 Tahun 1970

tentang Kekuasaan Kehakiman pada 24 September 2002.

PPID DPR RI. RUU Republik Indonesia Nomor Tahun tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman.

PPID DPR RI. Sambutan Pemerintah atas Persetujuan RUU Republik Indonesia

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

142

PERS SEBAGAI PILAR DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

(PRESS AS A PILLAR OF DEMOCRACY IN ISLAMIC PERSPECTIVE)

Josua Satria Collins

Indonesia Judicial Research Society (IJRS)

Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation :

Collins, Josua Satria. Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam. Rewang Rencang :

Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021).

ABSTRAK

Demokrasi menjadikan pers sebagai media komunikasi paling efektif. Dalam

Islam, Al-Qur’an telah mengatur bagaimana pers harusnya bergerak dan

berkembang. Di tengah era digital, keragamaan jaringan komunikasi dan

informasi secara alami menantang Pers Islam untuk aktif dan arif. Penulis ingin

mencari tahu mengapa pers menjadi bagian penting dalam demokrasi dan

bagaimana konsep pers dalam perspektif Islam. Melalui analisa data sekunder,

didapati bahwa pers dalam kerangka demokrasi berperan sebagai civic forum,

pengawas pemerintah, dan agen mobilisasi dukungan warga. Pers Islam menjadi

alat Pendidik (Muaddib), Pelurus Informasi (Musaddid), Pembaharu (Mujaddid),

Pemersatu (Muwahid), dan Pejuang (Mujahid). Bila pelaku Pers Islam mampu

mempertahankan potensi dan karakternya, maka diharapkan media massa Islam

akan tetap kokoh.

Kata Kunci: Demokrasi, Islam, Pers

ABSTRACT

Democracy makes the press the most effective communication medium. In Islam,

Qur’an has regulated how the press should move and develop. In the midst of the

digital era, the diversity of communication and information networks naturally

challenges the Islamic Press to be active and wise. The author wants to find out

why the press is an important part of democracy and how the concept of the press

is from an Islamic perspective. Through secondary data analysis, it was found

that the press within the framework of democracy acts as a civic forum,

government watchdog, and agent for mobilizing citizen support. The Islamic press

has become a tool for educators (Muaddib), information officers (Musaddid),

reformers (Mujaddid), unifier (Muwahid), and fighters (Mujahid). If the actors of

the Islamic Press are able to maintain their potential and character, then the

Islamic mass media will remain strong.

Keywords: Democracy, Islam, Press

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

143

A. PENDAHULUAN

Dewasa ini, informasi dapat dikatakan sebagai salah satu kebutuhan primer

dari manusia. Hal ini seiring dengan semakin canggihnya teknologi komunikasi.

Di tengah kesibukan tiap orang oleh pekerjaannya sehari-hari, setiap orang

tentunya perlu tahu banyak hal yang terjadi di lingkungannya. Melalui informasi

tersebut, ia dapat menempatkan diri dengan sewajarnya sesuai perkembangan

masyarakatnya. Oleh karenanya, lazim dikatakan bahwa peradaban pada masa

kini merupakan peradaban masyarakat informasi.1 Sejatinya, kodrat pembawaan

dan kebutuhan esensial dari manusia adalah berkomunikasi. Melalui komunikasi,

manusia dapat menyatakan diri, berbicara, menerima dan menyampaikan pesan,

berdialog, serta menyerap apa yang dilihat dan didengarnya.2 Tanpa komunikasi,

tentunya mustahil bagi seseorang untuk dapat memperoleh informasi.3

Salah satu media komunikasi yang paling efektif menyediakan informasi

bagi manusia adalah Pers. Pers tumbuh sebagai sarana untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat akan informasi yang telah menjadi kebutuhan pokok

masyarakat saat ini. Sebagai hasil karya budaya masyarakat manusia, pers atau

media massa memberikan tempat bagi individu dan masyarakat, yang berasal dari

berbagai latar belakang, asal-usul sosial, dan peradaban yang dimiliki, untuk

menyatakan atau mengeluarkan ekspresi, gagasan, pemikiran dan aksinya.4

Pers merupakan bagian dari sumber informasi untuk memotret kehidupan,

pusat propaganda, dan awal mula terjadinya konflik dan menyisipkan pesan

terselubung dari bangsa sendiri maupun bangsa asing.5 Pers tidak membuat

peristiwa, namun hanya sekedar mempersambungkannya kepada orang banyak

dalam bentuk berita. Pers sebatas menjadi perantara yang mengkomunikasikan

atau mempersambungkan informasi.6

1 Aprini Erlina, Sejarah Pertumbuhan Pers Islam Indonesia: Studi Kasus Panji Masyarakat

pada Masa Kepemimpinan Prof. Dr. Hamka (1959-1981), Skripsi, UIN S.A., Jakarta, 2006, p.1. 2 Umar Natuna, Kebebasan Pers dalam Perspektif Islam, diakses dari

http://www.haluankepri.com/rubrik/opini/87583-kebebasan-pers-dalam-perspektif-islam.html,

diakses pada 15 Januari 2021. 3 Aprini Erlina, Op.Cit.. 4 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-

Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.128. 5 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.3. 6 M. Wonohito, Sistim Pers Pancasila, Proyek Pembinaan dan Pengembangan Pers

Departemen Penerangan Republik Indonesia, Jakarta, 1976, p.13.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

144

Pers merupakan salah satu unsur penting dalam masyarakat selain

pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Pers dianggap penting karena merupakan

jembatan informasi antara masyarakat dan pemerintah yang menjalin hubungan

trikotomi. Dikatakan sebagai jembatan informasi karena pers dapat

menyebarluaskan informasi dari pemerintah kepada masyarakat dengan sangat

mudah dan cepat, dengan dukungan kemajuan teknologi media massa seperti saat

ini. Demikian pula sebaliknya, pemerintah dapat mengetahui opini publik tentang

kebijakan yang diterapkan di masyarakat melalui pers. Sebagai contoh, dengan

liputan demonstrasi yang biasanya dilakukan oleh masyarakat saat menolak

kebijakan pemerintah atau kegiatan polling pendapat yang dilakukan di

masyarakat tentang suatu aturan baru yang diberlakukan oleh pemerintah.7

Pers selain sebagai jembatan informasi antara masyarakat dan pemerintah

dapat pula menjadi kontrol sosial, mentrasfer nilai-nilai sosial budaya di

masyarakat.8 Keberadaan pers diakui sebagai institusi sosial yang memiliki fungsi

politik, ekonomi dan sosial-kultural.9 Peran pers adalah hal yang mutlak dalam

proses demokrasi.10 Salah satu ciri menonjol negara demokrasi adalah adanya

kebebasan untuk berekspresi yang diwujudkan dalam bentuk menyampaikan

gagasan melalui pers. Era globalisasi saat ini telah memberikan peranan yang

lebih besar kepada dunia pers dalam menyalurkan ekspresi masyarakat. Artinya,

dunia pers dalam perspektif demokrasi telah menemukan jati diri dan

kebebasannya.11

Kajian-kajian mengenai Islam merupakan pokok pembahasan yang masih

terus berkembang hingga saat ini, baik oleh bangsa Indonesia sendiri maupun oleh

orang asing.12 Dalam perspektif Islam pun, pers memiliki tempat tersediri yang

juga penting. Pers yang diidamkan oleh Islam biasa disebut dengan Pers Islam.

7 Sri Hadijah Arnus, “Pers Islam di Era Konvergensi Media,” p. 128. 8 Sri Hadijah Arnus, Ibid., p.127. 9 Bambang Wahyudi dan M. Faried Cahyono, Pers, Hukum, dan Kekuasaan, (Yogyakarta:

Yayasan Bentang Budaya, 1994), p.61. 10 Alex Sobur, Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di

Indonesia, MediaTor Jurnal Komunikasi, Vol.5, No.2 (2004), p.1. 11 Marhamah, Pers dalam Perpektif Islam (Tabayyun), diakses dari

https://layarberita.com/2017/02/10/pers-dalam-perpektif-islam-tabayyun/, diakses pada 15 Januari

2021. 12 Didik Pradjoko, Gerakan Dakwah Islam di Vorstenlanden: Kajian atas Artikel Dakwah

dalam Surat Kabar dan Majalah di Yogyakarta dan Surakarta 1916-1933, Skripsi, Universitas

Indonesia, Depok, 1999, p.1.

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

145

Dalam Al-Qur’an, telah diatur bagaimana pers harusnya bergerak dan

berkembang di dalam menyediakan informasi dan mencerdaskan masyarakat. Di

dalamnya, Pers Islam juga sudah seyogyanya mengadvokasi isu-isu keumatan dari

Islam itu sendiri.13

Di tengah era digital, meruahnya jaringan komunikasi dan aneka ragam

telekomunikasi-informasi bagi pembaca, secara alami menantang peran Pers Islam

sebagai pelaku media yang aktif dan arif.14 Perlu dipahami bahwa penguasa media

global didominasi oleh kaum pemodal yang memiliki pesan “terselubung” sesuai

misi pemodal. Pers tidak lagi berperan sebagai pengarah, pengendali, pembentuk

opini yang benar. Banyak media telah dikendalikan oleh mesin bisnis, para

investor, kaum beruang yang lebih melihat peluang pasar.15 Lembaga pers ini pun

memiliki manajemen yang lebih berkulitas dan kokoh daripada Pers Islam. Selain

itu, secara kuantitas dan kualitas, tidak sebanding dengan media Islam.16

Lebih parah lagi, media-media tersebut sering digunakan untuk

menghantam Islam, baik secara halus ataupun vulgar.17 Media-media tersebut

menanamkan stigma islamofobia (ketakutan pada Islam) kepada masyarakat

dunia. Bahkan di Indonesia sendiri, media Islam selalu distigmakan sebagai media

radikal, penebar teror, hoaks, ujaran kebencian, anti kebhinekaan, intoleran,

antipancasila, anti NKRI, dan sebagainya.18 Hal ini berujung pada maraknya

pemblokiran media-media Islam yang dilakukan Kementrian Komunikasi dan

Informatika Republik Indonesia beberapa waktu belakangan, tanpa adanya

konfirmasi terlebih dahulu kepada pengelola media.19

13 Hafidz Muftisany, Sumbangsih Pers Islam, diakses dari

http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/04/10/nml5428-sumbangsih-pers-islam,

diakses pada 15 Januari 2021. 14 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.1. 15 Riva Sakina, Kisah Ironi Global TV dan Terpuruknya Pers Islam, diakses dari

http://www.fimadani.com/kisah-ironi-global-tv-dan-terpuruknya-pers-islam/, diakses pada 15

Januari 2021. 16 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.14. 17 Riva Sakina, Op.Cit.. 18 Desastian, Dewan Pers Islam Segera Hadir, Media Islam dan MUI saling Bersinergi,

diakses dari http://www.panjimas.com/news/2017/02/03/dewan-pers-islam-segera-hadir-media-

islam-dan-mui-saling-bersinergi/, diakses pada 15 Januari 2021. 19 Nahi Munkar, Solusi Cegah Pemblokiran Sepihak, MUI Akan Bentuk Semacam Dewan

Pers Islam, diakses dari https://www.nahimunkar.com/solusi-cegah-pemblokiran-sepihak-mui-

bentuk-semacam-dewan-pers-islam/, diakses pada 15 Januari 2021.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

146

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis ingin menekankan kepada

pentingnya Pers dalam demokrasi. Selain itu, penulis menganalisis konsep pers

dalam perspektif Islam. Berdasarkan paparan latar belakang yang telah

dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan diangkat oleh Penulis adalah:

1. Mengapa pers menjadi bagian penting dalam demokrasi?

2. Bagaimana konsep pers dalam perspektif Islam?

B. PEMBAHASAN

1. Pers dalam Iklim Demokrasi

Sosiolog dan pakar komunikasi, Marshall McLuhan, mengatakan bahwa

pers pada hakekatnya adalah eksistensi manusia (the extension of man).20 Pers

dalam Bahasa Inggris disebut dengan istilah Press. Secara harfiah, kata Press

tersebut memiliki arti “cetak”.21 Ensiklopedi Pers Indonesia menyatakan bahwa

yang dimaksud dengan Pers secara umum adalah sebuah sebutan bagi penerbitan,

Perusahaan, atau kalangan yang berkaitan dengan media massa atau wartawan.22

Dalam Longman Dictionary of Contemporary English, dikatakan bahwa pers

adalah work of writing for, editing, or publishing (Pekerjaan yang berkaitan

dengan menulis, mengedit, atau menerbitkan). Kemudian, The New Grolier

Webster International Dictionary memberi empat pengertian untuk pers, yakni23:

a. The Occupation of conducting a news medium, including publishing,

editing, writing, or broadcasting;

b. An academic field concerned with the procedures invalued in conducting

a news medium;

c. A type of writing ideally characterized by objectivity, but sometimes

writtern to appeal to current public taste;

d. Reporting.

20 Umar Natuna, Kebebasan Pers dalam Perspektif Islam, diakses dari

http://www.haluankepri.com/rubrik/opini/87583-kebebasan-pers-dalam-perspektif-islam.html,

diakses pada 15 Januari 2021. 21 Musrifah, Misi dan Orientasi Pers Islam: Studi pada Buletin Risalah Jumat Majelis

Tabligh PWM di Yogyakarta, Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta,

2001, p.9. 22 Aprini Erlina, Sejarah Pertumbuhan Pers Islam Indonesia: Studi Kasus Panji

Masyarakat pada Masa Kepemimpinan Prof. Dr. Hamka (1959-1981), Skripsi, UIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta, 2006, p.1. 23 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2009, p.7.

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

147

Dari beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa Pers merupakan

sarana memberikan informasi kepada khalayak ramai, sehingga masyarakat

mengetahui fakta-fakta atau berita-berita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari

atau hal-hal yang berkaitan dengan suatu peristiwa penting. Istilah pers tidak

hanya sebatas pada para jurnalis dan media tempat jurnalis tersebut bekerja, akan

tetapi mencakup segala aktivitas jurnalistik yang dilakukan oleh sebuah media.24

Sejarah media massa telah dimulai semenjak manusia mengenal tulisan

ribuan tahun yang lalu. Media massa telah membantu dalam menciptakan

kesadaran sosial dan juga telah memberi manusia dengan cara yang lebih mudah

dalam menjalani hidup. Media Massa mulai berkembang pada tahun 3300

Sebelum Masehi, ketika bangsa mesir menyempurnakan huruf hieroglif.

Kemudian pada tahun 1500 SM, bangsa Semit menyusun huruf dengan konsonan.

Setelah itu sekitar tahun 800 SM, huruf Vokal dimasukkan ke dalam alfabet oleh

Bangsa Yunani. Berdasarkan penelitian, mengkonfirmasi bahwa buku cetak

pertama adalah Diamond Sutra yang ditulis di Cina pada tahun 868 Sebelum

Masehi. Teknologi percetakan kemudian berkembang ke Eropa. Pada tahun 1400,

Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak. Buku pertama yang dicetak ialah

the Gutenberg Bible. Pada 1468, William Caxton menghasilkan buku dengan

iklan cetak pertama di Inggris. Surat kabar berkembang sekitar tahun 1600.25

Di Indonesia, media komunikasi massa telah ada sejak masa kolonial

Belanda. Media komunikasi massa itu antara lain seperti pers, radio dan film.

Media komunikasi ini pada umumnya dikuasai oleh pemerintah Belanda dan

orang-orang Cina. Media komunikasi ini menjadi alat pemerintah kolonial untuk

melaksanakan propaganda. Dengan media komunikasi massa, bangkitlah

semangat juang rakyat untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajahan

sehingga tercapai tujuan utamanya yaitu memperoleh kemerdekaan. Media massa

menjadi alat yang sangat penting dalam perjuangan bangsa Indonesia. Terbukti

dari tercapainya kesepakatan untuk mencapai kesatuan dan persatuan bangsa

Indonesia melalui Sumpah Pemuda pada tanggal 8 Oktober 1928.

24 Musrifah, Misi dan Orientasi Pers Islam: Studi pada Buletin Risalah Jumat Majelis

Tabligh PWM di Yogyakarta, Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta,

2001, p.9. 25 Vartikel, Sejarah Media Massa, diakses dari https://vartikel.com/7163/sejarah-media-

massa/, diakses pada 15 Januari 2021.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

148

Pada masa kolonial Jepang adalah masa dimana media komunikasi massa

mengalami satu tahap kemajuan. Kebudayaan dan kesenian maju dengan pesat. Di

mana-mana lahir seniman-seniman atau komponis-komponis nasionalis yang

menggubah lagu-lagu Indonesia. Media massa memegang peranan penting dalam

perjuangan kemerdekaan Indonesia. Melalui media massa, para pejuang

mengetahui bahwa Jepang sudah menyerah kalah kepada Sekutu.26 Dalam masa

pembangunan ini, peranan media massa sangat penting. Media massa menjadi alat

penjunjung pelaksanaan pembangunan Indonesia. Selain itu, Media massa dapat

memberikan motivasi kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam

pembangunan. Media massa juga dapat memberitahukan tentang perkembangan

sebuah masyarakat, bangsa ataupun sebuah negara.

Pada masa Orde Baru, Media massa di Indonesia berada dalam kondisi tidak

berdaya dari kepentingan pihak pengusaha. Tekanan-tekanan itu dilakukan dengan

alasan demi stabilitas nasional dan kepentingan pembangunan ekonomi. Pada

masa orde baru sangat jarang menyampaikan kritikan-kritikan serta

pandangannya, sekalipun ada penyampaian kritikan tersebut dilakukan dengan

hati-hati. Jika media masa tersebut tidak hati-hati dalam memberikan

pandangannya maka media massa tersebut pencabutan izin usahanya atau

pencabutan SIUPP. Terdapat dua faktor penyebab media massa melemah, yaitu:

(1) Ketidakberdayaan para pengelola media massa menghadapi tekanan politik

eksternal dalam mendefinisikan dan menggambarkan “realitas sosial”. (2) secara

struktural, politik media massa yang berlaku pada orde baru diasumsikan semakin

memperkokoh integritas dalam sistem komunikasi politik.27

Dalam ilmu komunikasi, pandangan mengenai kekuatan media massa dalam

mempengaruhi individu dan masyarakat selalu mengalami perubahan. Menurut

Severin dan Tankard, media massa pada awalnya dianggap berpengaruh amat

besar seperti digambarkan dalam teori pseudo yang dikenal sebagai bullet theory.

Dalam teori ini, pengaruh media dilihat seperti sebuah peluru yang ketika

ditembakkan tidak akan tertahankan dan akan masuk ke dalam obyek yang dituju.

26 26 Hisham Budiatma, Sejarah Perkembangan Media Komunikasi di Indonesia, diakses

dari http://usaha321.net/sejarah-perkembangan-media-komunikasi-di-indonesia.html, diakses pada

15 Januari 2021. 27 Nia Kurniati Syam, Sistem Media Massa Indonesia di Era Reformasi: Perspektif Teori

Normatif Media Massa, MediaTor Jurnal Komunikasi, Vol.7, No.1 (2006), p.72.

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

149

Media masa pada saat ini di manfaatkan oleh politisi menjadi arena

perjuangan politis dan menyediakan tempat untuk memanipulasi politis dan

dominasi, serta menjadi pusat kekuatan dalam kehidupan sosial atau dengan kata

lain, media sebagai arena perjuangan, resistensi, dan konstruksi berbagai alternatif

sosial.28 Media komunikasi tulis cetak (pers) menjadi alat penting sebagai saluran

komunikasi politik yang memungkinkan setiap warga negara bukan saja

mengetahui berbagai isu atau masalah politik nasional, tetapi juga sebagai media

yang mampu menjadikan warga negara didengar kepentingannya oleh para politisi

atau wakil rakyat. Dalam pembicaraan-pembicaraan tentang demokrasi, dari

model langsung pada zaman Yunani Kuno dengan model negara kota (city state)

atau polis sampai demokrasi perwakilan yang saat ini dipraktekkan di berbagai

negara, aspek komunikasi (dan saat ini media komunikasi) tidak bisa diabaikan

sebagai bagian penting berjalannya system politik yang demokratis.29

Media masa dalam demokrasi sering dikaitkan dengan warga negara yang

merealisasikan atau mewujudkan kewarganegaraannya. Fungsi media massa atau

pers dalam demokrasi mencakup:

a. Pers atau media sebagai civic forum

Dalam pers atau media sebagai Civic Forum, media massa harus berfungsi

secara umum sebagai saluran pemerintah dan untuk berkomunikasi secara

efektif. Dari gagasan ini, pers harus mampu memberi peluang pada

perdebatan di kalangan warga negara tentang berbagai isu publik. Oleh

karena itu menurut Norris, media massa harus menyajikan liputan politik

yang komprehensif dan mudah untuk diakses oleh seluruh sektor atau

kelompok warga.30

b. Pers sebagai pengawas pemerintah atau lembaga-lembaga publik

Pers sebagai pengawas pemerintah yang dianggap sebagai salah satu

kekuatan untuk menjamin adanya check and balances dari berbagai

kekuasaan yang ada.

c. Pers sebagai agen mobilisasi dukungan warga terhadap suatu posisi politis

Media massa atau pers sukses bila media mampu mendorong warga negara

belajar tentang politik dan permasalahan publik/bersama sehingga warga

negara dapat menentukan pilihan-pilihan politik mereka secara lebih cerdas.

28 Sulkhan Chakim, Media Massa Sebagai Agen Sosialisasi Ideologi, KOMUNIKA, Vol.5,

No.2 (Juli-Desember 2011), p.2. 29 I Gusti Ngurah Putra, Demokrasi dan Kinerja Pers Indonesia, makalah disampaikan

dalam seminar “Menggugat Profesionalisme Wartawan” yang diselenggarakan oleh Dewan Pers,

Yogyakarta, 23 November 2005.

30 I Gusti Ngurah Putra, Ibid..

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

150

2. Perkembangan Pers Islam di Dunia

Keberadaan koran Islam pertama kali muncul di Mesir yakni Al-Waqai Al-

Misriyah (Peristiwa Mesir) pada 20 November 1828 di era kepemimpinan

Muhammad Ali. Disusul koran Haqiqah Al-Akhbar (Taman Berita) di Beirut,

Lebanon, pada 1858. Sedangkan di Turki pada 1860, terbit Koran Cevaib (Pesan).

Adapun majalah perdana terbit pertama kali pada 1884, ketika Jamaluddin Al-

Afghani dan Muhamad Abduh menerbitkan Al-Urwah Al-Wutsqa (Ikatan yang

Kukuh). Disusul majalah Al-Azhar di Kairo pada tahun 1889. Di Eropa, terbit pula

majalah Islam Alam Al-Islam (Dunia Islam) pada 1913, yang lalu disusul Liwa Al-

Islam (Bendera Islam) di Jerman.31

Di London, Inggris, terbit Al-Ghuraba tahun 1972 oleh Perhimpunan

Mahasiswa Muslim. Pada tahun 1979, terbit An-Nadzir (Tanda Peringatan) yang

dikelola oleh Ikhwanul Muslimin. Pada 1982, terbit Shaut Al-Urubah (Suara

Arab) di Brussel, Belgia disusul majalah Al-Kalimah At-Thoyibah (Suara yang

Baik) di Wina, Austria. Terbit pula majalah bulanan At-Thaliah (Garis Depan) di

London pada tahun 1983. Di Asia Tengah, terbit Turjuman (Ulasan Tatar) pada

1879 yang dipelopori oleh jurnalis Bey Gasprinskii dan Ahmed Bey Aghayef

yang mendirikan Review Irsyad (Petunjuk). Pada 1906, Jan El Baduri menerbitkan

Al-Din wa Al-Daulah (Agama dan Adab). Di Iran tahun 1979, terbit koran Iran

dan Syaraf (Kehormatan) dan Al-Majalisi tahun 1906 di Teheran. Di India, terbit

Aligarh Institute Gazette pada 1866, sedangkan di Cina terbit Uhowa pada 1929.

3. Sejarah Pers Islam di Indonesia

Pada umumnya, bahasa yang digunakan oleh Pers Islam adalah Bahasa

Indonesia atau Melayu. Hanya sebagian kecil yang menggunakan bahasa daerah

seperti Bahasa Jawa (Heroe Tjakrta, Al-Kirom, Papadang, Papadaging

Moehammadijah, Soenggoeting Moehammadijah, Swara Islam, Tjablaka, dan

Wali Sanga), Bahasa Sunda (Balantara Islam, Soeara Merdeka, Taufieq dan

Simpaj), serta dua surat kabar yang mempergunakan bahasa campuran yakni

Bahasa Indonesia dan Jawa (Sarotama dan Tjoendamanni) serta sebuah surat

kabar berbahasa Madura (Al-Chair).32

31 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.12. 32 Mohammad Rosyid, Ibid., p.13.

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

151

Pers Islam muncul seiring dengan menguatnya semangat Nasionalisme. Para

perintis Pers Islam Indonesia, pada awalnya tumbuh sebagai akibat dari

keterlibatan mereka dalam penerbitan-penerbitan milik Belanda. Proses ini sudah

dimulai sejak kebijakan politik etis Belanda yang sangat kental dalam media-

media Pers milik Belanda tersebut.33 Mesin cetak pertama kali dikenalkan ke

nusantara, bahkan Asia Tenggara, oleh missionaries Kristen Jesuit tahun 1588 di

Filipina. Namun, baru 1744 ketika Vendunieuws muncul sebagai surat kabar

pertama di Batavia. Kemudian Bataviasche Coloniale Courant (1801) menyusul.

Keduanya merupakan surat kabar yang kebanyakan berisi berita pelelangan dan

iklan. Berikutnya, perkembangan surat kabar tak lagi terbendung. Pemilikan dan

peruntukan surat kabar mulai dari orang asing hingga yang diperuntukkan bagi

masyarakat melayu yaitu Al Djuab (1795-1801) bersemi saat itu. Namun, yang

seringkali dikenang adalah Bintang Hindia yang di asuh oleh Abdul Rivai, karena

mulai memberikan gambaran mengenai Hindia sebagai sebuah bangsa.34

Pers Islam berkembang pesat di Indonesia seiring tumbuhnya kesadaran

nasional dan berdirinya organisasi-organisasi Islam di awal abad ke-20. Kondisi

tersebut hampir bersamaan pula dengan munculnya gerakan pembaharuan Islam

atau gerakan reformasi Islam di Timur Tengah. Gerakan reformis ini berasal dari

Mesir yang digaungkan oleh Muhammad Abduh dan Rashid Ridha yang

menyebarkan faham Tajdid Islam. Gerakan pembaharuan tersebut bertujuan untuk

menyesuaikan paham-paham agama Islam dengan perkembangan baru yang

diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan

adanya upaya pembaharuan tersebut, para pemimpin Islam berharap umat Islam

dapat terbebas dari ketertinggalannya, bahkan dapat mencapai kemajuan yang

setara dengan bangsa-bangsa lain.35 Gerakan itu tersebar melalui dua majalah

terkemuka Mesir yakni Urwatul Wutsqo dan Al-Manar.36

33 Aprini Erlina, Sejarah Pertumbuhan Pers Islam Indonesia: Studi Kasus Panji

Masyarakat pada Masa Kepemimpinan Prof. Dr. Hamka (1959-1981), Skripsi, UIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta, 2006, p.3. 34 Beggy Rizkiyansyah, Lahirnya Pers Islam di Indonesia, diakses dari

http://uhamka.ac.id/khazanah-islam/lahirnya-pers-islam-di-indonesia/, pada 20 Januari 2021. 35 Raisye Soleh Haghia, Pedoman Masyarakat (1935-1942) : Pelopor Pembaruan Pers

Islam di Indonesia, Tesis, Universitas Indonesia, Depok, 2014, p.37-38. 36 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

152

Pada tahun 1906 selepas pulang dari Kairo, Syekh Tahir Jalaluddin

menerbitkan Al Imam di Singapura. Bersama Syekh Al Hadi (Singapura) serta

Haji Abbas bin Muhammad Taha (Aceh) merintis Al Imam menjadi media massa

Islam pertama di tanah Melayu-Nusantara. Tentu saja saat itu belum ada negara

bernama Indonesia, Singapura ataupun Malaysia. Yang ada ialah wilayah-wilayah

yang dijajah oleh Inggris dan Belanda. Al Imam mampu menerobos batas-batas

kolonial itu, hingga mampu menciptakan bayangan akan sebuah komunitas

bernama Bangsa Melayu. Sebuah bayangan yang mampu menembus sekat-sekat

wilayah yang diciptakan penjajah dan mengikat Bangsa Melayu menjadi satu

dalam ikatan Agama Islam. Pernyataan itu ditandai oleh Al Imam dengan

pemakaian istilah “Umat Timur”, “Umat Melayu”, “Umat Kita sebelah sini”,

“Umat Islam kita di sini” oleh Al Imam untuk menyebut Bangsa Melayu.37

Sejak awal, Al Imam memang bersuara menyatakan penyesalannya akan

nasib umat Islam di tanah Melayu-Nusantara yang terjajah dimana-mana. Dalam

sebuah edisinya, mereka menyebut Tanah Sumatera, Tanah Manado, Tanah Jawa,

Tanah Borneo dalam genggaman Belanda, hingga Tanah Melayu Peninsula dalam

cengkeraman Inggris. Harapan mereka tak lain agar Umat Islam mampu meraih

kemerdekaannya. Al Imam berdiri mengibarkan Islam sebagai dasarnya,

menyebarkan dakwah Islam, dan mengikuti jejak jejak Al Manar dengan

semangat pembaruan dan pemurnian Islam. Al Imam menegaskan haluannya

untuk “mengingatkan mereka yang terlupa; membangunkan mereka yang

terlelap; menunjukkan arah yang benar kepada mereka yang tersesat; memberi

suara kepada mereka yang berbicara dengan bijak; mengajak umat Islam

berupaya sebisa mungkin untuk hidup menurut perintah Allah; serta mencapai

kebahagiaan terbesar di dunia dan memperoleh kenikmatan Tuhan di Akhirat.”38

Nyatanya, pengaruh Abduh dan Ridha memang besar bagi Al Imam.

Majalah Al Manar mewarnai Al Imam begitu kental. Bahkan Al Imam memuat

tafsir Muhammad Abduh yang dimuat oleh Al Manar. Tafsir ini mereka muat

tahun 1908, atau dua tahun setelah terbitnya Al Imam. Pemuatan tafsir tersebut

pun membuka pintu reformasi agama di Tanah Melayu dan di Hindia Belanda.

37 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13. 38 Mohammad Rosyid, Ibid..

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

153

Apabila sebelumnya tafsir yang dipakai di Hindia Belanda umumnya adalah tafsir

Jalalain (Al-Suyuthi) yang hanya dipelajari di pesantren, maka kini Al Imam

membuat tafsir yang dapat dibaca oleh kalangan yang lebih luas. Melalui media

massa cetak pula, Al Imam membuka pintu pembelajaran bagi umat Islam, yang

biasanya hanya di lakukan di pesantren. Hal ini turut melepas “monopoli” ulama

tradisional di Pesantren sebagai satu-satunya pemegang otoritas keilmuan.39

Jejak Al Imam meresap begitu mendalam bagi umat Islam di Hindia

Belanda. Hingga tahun 1911 di Sumatera Barat, terbitlah sebuah majalah bernama

Al Munir. Al Munir didirikan sebagai wadah bagi kaum muda yang

menggelorakan pembaruan Islam di Sumatera Barat. Didirikan oleh Haji Abdullah

Ahmad, Al Munir menjadikan Al Imam sebagai contohnya. Haji Abdullah Ahmad

sendiri sebelumnya adalah perwakilan Al Imam di Padang Panjang. Kunjungannya

ke Singapura memungkinkan dirinya untuk mempelajari manajemen penerbitan

ala Al Imam dan keterampilan teknis menerbitkan majalah. Sentralnya peran Haji

Abdullah Ahmad, hingga ia sering dipanggil Haji Abdullah Al Munir.40

Haji Abdullah Ahmad tidak sendirian dalam membesarkan Al Munir. Ia

membesarkannya bersama dua orang sahabatnya, Haji Abdul Karim Amrullah

(ayah dari Buya Hamka) dan Syekh Jamil Jambek. Mereka merupakan murid

langsung dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi. Sepulang dari Mekkah,

mereka kembali ke Sumatera Barat untuk menggerakkan paham pembaharuan

agama di sana. Maka tak heran jika Al Munir bertujuan untuk menuju agama

Islam yang sejati serta menegakkan syariat Nabi Muhammad yang benar dengan

dorongan menghidupkan kembali tradisi Nabi dan mengutuk Bid’ah dalam

praktik ibadah Umat Muslim. Seperti Al Imam, Al Munir juga memiliki hubungan

yang erat dengan Al Manar di bawah kendali Rashid Ridha. Seringkali, Al Munir

merujuk pada fatwa-fatwa yang terdapat dalam Al Manar. Umpamanya mengenai

pakaian barat yang dahulu sering dilarang oleh ulama tradisional karena indentik

dengan orang kafir. Pendapat Rashid Ridha yang menolak pendapat ini kemudian

dijadikan rujukan oleh Haji Abdullah Ahmad.41

39 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13. 40 Mohammad Rosyid, Ibid.. 41 Mohammad Rosyid, Ibid..

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

154

Pada praktiknya, Al Munir tidak hanya bersuara keras terhadap praktik

bid’ah, tetapi juga pada pemerintah kolonial Belanda. Kritik-kritik keras terhadap

pemerintah kolonial membuat mereka mendapatkan tekanan dan pengawasan dari

pemerintah kolonial saat itu. Al Munir pun kerap bersuara mengenai kemerdekaan

bangsa di Hindia Belanda. Namun ketatnya pengawasan pemerintah kolonial,

membuat mereka menyampaikannya secara hati-hati dan terselubung, misalnya

dengan membahas kemerdekaan Turki, Mesir dan India dari jeratan penjajah.

Bahkan ketika membahas suatu tulisan tentang ilmu pengetahuan-pun, ujungnya

akan membahas bagaimana mencapai kemerdekaan.42

Pada masa jayanya, Al Munir tidak hanya berpusat pada media massa, tetapi

juga memiliki usaha percetakan. Penyebaran Al Munir tidak hanya di Sumatera

Barat, namun sampai ke Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Malaya. Dalam

penerbitannya, Al munir memuat tulisan mengenai persatuan umat Islam,

pengetahuan agama, serta hukum agama yang berkaitan dengan adat.

Keistimewaan Al Munir adalah ia menjadi majalah yang masih menggunakan

huruf arab melayu. Namun pemakaian huruf arab melayu memang berada di tepi

jurang. Membanjirnya mesin cetak yang memakai huruf latin membuat

pencetakan dengan huruf arab melayu sulit bersaing. Hal ini pula yang turut

menerpa Al Munir. Namun terbakarnya kantor mereka menjadi pertanda lonceng

kematiannya. Di Sumatera Barat tak hanya Al Munir, pers yang berlandaskan

Islam. Hadir pula Al Itqan, Al Bayan dan Munirul Manar yang diterbitkan

perguruan Sumatera Thawalib. Saat itu memang masa-masa keemasan pers di

Sumatera Barat. Tetapi di pulau Jawa, tempat lahirnya Sarekat Islam, gaung Pers

Islam juga terdengar kencang. Melahirkan berbagai media massa yang

menyokong perjuangan mereka.43

Sarekat Islam semenjak di bawah kemudi Hadji Omar Said Tjokroaminoto

berperan besar dalam pergerakan Islam di tanah air. Dengan kharisma dan pidato

yang memukau, Tjokroaminoto memiliki banyak pengikut. Bahkan, tak sedikit

yang menganggapnya sebagai Ratu Adil. Namun, kepiawaian Raja Jawa tanpa

mahkota ini tak hanya di mimbar rapat-rapat umum, tapi hingga media massa.

42 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13. 43 Mohammad Rosyid, Ibid..

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

155

Oetoesan Hindia adalah media massa pertama yang menjadi corong Sarekat

Islam. Terbit pada tahun 1913, Oetoesan Hindia adalah harian yang digawangi

oleh Tjokroaminoto. Beberapa bulan kemudian, Sarekat Islam cabang Bandung

menerbitkan Hindia Serikat yang salah satunya dibidani oleh Abdul Muis. Di

Batavia, Sarekat Islam menerbitkan Pantjaran Warta yang dikemudikan oleh

Goenawan. Di Semarang, Sarekat Islam Semarang menerbitkan Sinar Djawa.44

Sarekat Islam semakin bergerak maju ketika pada tahun 1916 mereka

menerbitkan Al Islam. Di kemudikan oleh Tjokroaminoto dan Haji Abdullah

Ahmad (Al Munir), Al Islam bersuara lebih kencang dalam hal politik. Ia menjadi

jembatan bagi gerakan politik Islam. Al Islam menyatakan dirinya sebagai,

“Tempat soeara anak Hindia yang tjinta agama dan tanah ajernjya.” Dengan

darah pembaruan agama yang dibawa Haji Abdullah Ahmad serta kecenderungan

politik radikal Tjokroaminoto, Al Islam menggelorakan pembaruan agama dan

politik. Al Islam semakin merangsek wacana di Hindia Belanda saat itu, dengan

berani menyuarakan hak untuk memerintah bagi bangsa sendiri. Untuk

menyuarakannya, Al Islam menggulirkan istilah Bangsa Islam tanah Hindia. Al

Islam tidak sendirian. Tokoh SI lainnya, Haji Agus Salim, bersama Abdul Muis

menerbitkan harian Neratja yang juga berorientasi politik. Haji Agus Salim pun

nantinya dikenal sebagai orang dibalik Hindia Baru (1925-1926), Bendera Islam

(bersama Tjokroaminoto) dan Fajar Asia (Tjokroaminoto-H. Agus Salim

kemudian Kartosuwirjo; 1927-1930). Harian Fajar Asia saat itu adalah kerikil

tajam bagi pemerintah kolonial. Harian itu terkenal gigih membuka kebusukan

praktek poenale sanctie (yang menggiring puluhan ribu anak bangsa bekerja

sebagai kuli kontrak di perkebunan Sumatera), heerendienst (kerja rodi) dan

erfpacht (yang mengeksploitasi tanah dengan sistem sewa kontrak), dimana buruh

dihisap, tenaganya diperas habis-habisan serta berbagai kebiadaban yang

mengiringinya. Tajamnya kritik H. Agus Salim melalui Fajar Asia (kemudian)

Mustika, membuatnya dikenal sebagai pembela hak-hak buruh.45

44 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13. 45 Mohammad Rosyid, Ibid..

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

156

Di Yogjakarta, munculah nama tokoh Muhammadiyah, H. Fachrodin. Ia

adalah diantara murid-murid langsung KH Ahmad Dahlan dan merupakan saudara

kandung dari Ki Bagus Hadikusumo. Nama H. Fachrodin malang melintang di

berbagai media massa saat itu. Ia pernah menjadi koresponden tetap dari Doenia

Bergerak (terbit 1914), sebuah surat kabar berhaluan kiri. Selain itu, H. Fachrodin

pernah menjadi redaktur Medan Muslimin (1915), sebuah surat kabar radikal

dibawah pimpinan, “Haji Merah” Haji Misbach. Berikutnya, H. Fachrodin

menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi), Srie Diponegoro (1918), Soewara

Moehammadijah (1915), dan Bintang Islam. Di tengah Bintang Islam-lah, nama

H. Fachrodin banyak meninggalkan kesan. Berdiri tahun 1922, Bintang Islam

menjadi majalah dwi mingguan Islam yang dikelola secara professional. Tirasnya

mencapai 1500 eksemplar dan menjangkau hingga Singapura, Perak dan Johor.

Bintang Islam memuat berita seputar Islam di tanah air dan luar negeri. Bahkan

Bung Hatta pernah menjadi koresponden Bintang Islam saat masih di Amsterdam.

Hingga wafat, H. Fachrodin menjabat selaku hoofdredacteur Bintang Islam.46

Tulisan H. Fachrodin menyebar di berbagai media saat itu. Pembahasannya,

mulai dari Islam, Kristen, hingga kepeduliannya terhadap nasib rakyat yang begitu

menderita. Ia pernah menulis tentang “Christen dan Moehammadijah” dan “Islam

Njawa Kemadjoean” (di Soewara Moehammadijah), “Verslag saja selama

bepergian ke Mekkah” (di Soewara Moehammadijah & Islam Bergerak), dan

kritik yang tajam yang mengantarkannya ke penjara oleh pemerintah kolonial.

Penyebabnya karena kala itu Ia menulis nasib rakyat yang menderita, “Kebon tebu

jang ditanam diatas tanah kita dengan djalan jang koerang menjenangkan,

sehingga menjebabkan kelaparannja anak-anak boemi…” (Srie Diponegoro).

Selepas wafatnya H. Fachrodin, Majalah Bintang Islam kemudian mengenang

beliau dalam edisi khusus “Fachrodin Nummer”. “Pandai beliau menoelis dan

mengarang pada kemoediannja itoe, ialah dari kawan-kawannja jang selaloe

bergaoelan dan bermain-main…, Begitoe joega, kerap sekali beliaoe membawa

pertanjakan kepada orang jang lebih pandai, tentang apa sahadja, sehingga

dimengertilah matjam-matjam pengetahoean.” (Bintang Islam 14-15 (1930)).47

46 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13. 47 Mohammad Rosyid, Ibid..

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

157

Pers Islam semakin bertaburan menghiasi pergerakan di Indonesia. Tak

hanya di Sumatera Barat dan Jawa, tetapi merambah hingga Kalimantan hingga

Ambon. Di Kalimantan, hadir Persatuan (Samarinda) dan Pelita Islam

(Banjarmasin). Di Bangkalan, Madura, terdengar Al Islah (yang kemudian

dibredel tahun 1936). Di Ambon, hadir SUISMA yang terbit tiga kali dalam

sebulan. Namun, wilayah yang mencolok kala itu adalah Sumatera Utara,

khususnya Medan. Medan kemudian dikenal sebagai gudangnya Pers Islam. Sebut

saja Suluh Islam (KH Abdul Madjid Abdullah), Medan Islam, Al Hidayah,

Menara Puteri (Rangkayo Rasuna Said) hingga Panji Islam (ZA Ahmad yang

kelak menjadi tokoh Masyumi).48

Sepanjang kurun pergerakan nasional (1900-1942), tahun terbit dan

beredarnya surat kabar-surat kabar Islam tidak seluruhnya bersamaan. Katalog

Surat Kabar Koleksi Perpustakaan Nasional mencatat bahwa Pers Islam yang

terbit pada masa pergerakan nasional terdapat sekitar 85 judul yang tersebar di

seluruh Indonesia. Menurut tempat terbitnya, maka surat kabar Islam tersebut

dapat dibagi menjadi:49

Kota Jumlah Terbitan Surat Kabar Islam

Yogyakarta 16 judul

Surabaya 12 judul

Jakarta 6 judul

Solo 5 judul

Bandung 4 judul

Garut 4 judul

Semarang 3 judul

Kediri 2 judul

Malang 2 judul

Tulungagung 1 judul

Boyolali 1 judul

Besuki 1 judul

Wates 1 judul

Bogor 1 judul

48 Beggy Rizkiyansyah, Lahirnya Pers Islam di Indonesia, diakses dari

http://uhamka.ac.id/khazanah-islam/lahirnya-pers-islam-di-indonesia/, diakses pada 20 Januari

2021. 49 Yahya Andi Saputra, Lembaran Hijau: Suara Rakyat Tertindas, Pers Islam pada Masa

Pergerakan Nasional, Skripsi, Universitas Indonesia, Depok, 1988, p.22.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

158

Tasikmalaya 1 judul

Serang 1 judul

Cianjur 1 judul

Sukabumi 1 judul

Cirebon 1 judul

Padang 4 judul

Medan 3 judul

Kotaraja 2 judul

Bukit Tinggi 2 judul

Sibolga 1 judul

Palembang 1 judul

Makassar 3 judul

Gorontalo 2 judul

Manado 1 judul

Total 85 Judul

Tabel 2.1 Terbitan Pers Islam Menurut Wilayah dan Jumlah

Sumber: Yahya Andi Saputra

Dari tabel ini, terlihat bahwa persebaran Pers Islam terbesar adalah di Pulau

Jawa, dengan jumlah 63 judul surat kabar. Hal demikian dapat dimaklumi karena

menurut kenyatannya, Pulau Jawa merupakan titik pusat bagi kegiatan Hindia

Belanda. Jawa bukan saja sebagai pusat kegiatan politik, administrasi dan

ekonomi bagi Hindia Belanda. Akan tetapi dibandingkan dengan pulau-pulau

lainnya, Jawa juga sebagai suatu pusat penduduk dengan kurang lebih 70% dari

jumlah seluruh penduduk Hindia Belanda waktu itu.50

Kiprah organisasi masyarakat Islam dalam berdakwah juga memanfaatkan

media massa Islam. Contohnya adalah Muhammadiyah dengan Penyiar Islam,

Pancaran Amal, Suara Muhammadiyah, Almanak Muhammadiyah, Panji

Masyarakat, dan Suara Aisyiyah. Kemudian Alwashliyah dengan Medan Islam.

NU dengan Al Jihad, Al Islam, dan Berita NU. Ada juga yang dikelola oleh

Persatuan Islam Indonesia yakni Al Islam dan Al Fatwaa (ditulis dalam huruf

Arab berbahasa Melayu), At Taqwa (berbahasa Sunda), dan Panji Islam. Pelajar

Islam Indonesia (PII) juga tak ingin kalah dengan menerbitkan Islam Bergerak.51

50 Yahya Andi Saputra, Lembaran Hijau: Suara Rakyat Tertindas, Pers Islam pada Masa

Pergerakan Nasional, Skripsi, Universitas Indonesia, Depok, 1988, p.22. 51 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13-14.

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

159

4. Pers dalam Perspektif Islam

Islam sangat mendukung kegiatan jurnalistik, yang tujuannya tak lain dan

tak bukan untuk mendakwahkan kebenaran ajaran Islam terhadap orang lain.52

Dakwah yang memanfaatkan media massa ini disebut dengan istilah Dakwah Bil

Qalam.53 Media massa yang mengusung tema tentang Islam seringkali menyebut

dirinya sebagai Jurnalistik Islam atau Pers Islam.54 Pers Islam pada dasarnya

adalah pers yang tujuannya menyebarkan nilai-nilai Islam atau sebagai media

dakwah bagi umat Islam, menyuarakan aspirasi umat Islam, dan pers atau media

massa yang dimiliki oleh Umat Islam.55

Redaktur Senior Harian Republika, Ikhwanul Kiram, berpendapat

bahwasannya terdapat dua hal yang membuat media bisa dikatakan media Islami.

Pertama, baik media umum atau media Islam selama praktiknya berpegang teguh

pada kode etik jurnalistk. Kedua, Pers tersebut bertujuan untuk memperhatikan

kepentingan Umat Islam melalui informasi yang disampaikannya, baik melalui

media cetak, radio, televisi dan online.56

Terdapat beberapa pengertian yang dilontarkan dari berbagai kalangan

terkait Pers Islam, diantaranya:

a. Menurut Ensiklopedia Pers Indonesia, yang dimaksud dengan Pers Islam

adalah “Penerbitan yang bernafaskan atau melakukan syiar Islam dan

dalam artian juga Pers Islam merupakan orang-orang Islam yang terjun

ke dalam bidang perusahaan pers, yang memperjuangkan cita-cita Islam

agar dapat dilaksanakan.”57

52 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-

Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.128. 53 Musrifah, Misi dan Orientasi Pers Islam: Studi pada Buletin Risalah Jumat Majelis

Tabligh PWM di Yogyakarta, Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta,

2001, p.4. 54 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-

Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.130. 55 Sri Hadijah Arnus, Ibid., p.138. 56 Hafidz Muftisany, Sumbangsih Pers Islam, diakses dari

http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/04/10/nml5428-sumbangsih-pers-islam,

diakses pada 15 Januari 2021. 57 Aprini Erlina, Sejarah Pertumbuhan Pers Islam Indonesia: Studi Kasus Panji

Masyarakat pada Masa Kepemimpinan Prof. Dr. Hamka (1959-1981), Skripsi, UIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta, 2006, p.1.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

160

b. Penelitian dari Litbang Republika dan The Asia Foundation tentang

Islam and Civil Society mendefinisikan Pers Islam sebagai: “Pers yang

dalam kegiatan jurnalistiknya melayani kepentingan umat Islam, baik

yang berupa materi (misalnya kepentingan politik) maupun nilai-nilai”.58

c. Menurut Asep Saeful Romli, Pers Islam merujuk kepada, “Proses atau

aktivitas jurnalistik yang bernafaskan nilai-nilai Islam”.59

d. Baharun mengatakan bahwa Pers Islam adalah “Segala liputan dan

tulisan lainnya yang senantiasa mendasarkan pemberitaannya atas

kebenaran Islam dengan cara dan metode yang diatur dalam Islam yakni

al-mau’idzoh al-khasanah”.60

e. H. Syu’ban Asa mengartikan Pers Islam sebagai “Media massa yang

punya misi Islam dan komitmen dengan ajaran Islam”.61

f. M. Syafi’i Anwar mengatakan bahwa Pers Islam adalah, “Suatu bentuk

jurnalisme yang tidak hanya melaporkan berita dan masalah secara

lengkap, jelas, jujur, serta aktual, tetapi juga memberikan interpretasi

serta petunjuk ke arah perubahan, transformasi, berdasarkan cita-cita

etik dan profetik Islam. Ia menjadi jurnalisme yang secara sadar dan

bertanggungjawab memuat kandungan nilai-nilai dan cita Islam”.62

g. Dedy Djamaluddin Malik menggolongkan Pers Islam sebagai Crusade

Journalism, yakni “Jurnalistik yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu,

dalam hal ini adalah nilai-nilai Islam”.63

58 Aprini Erlina, Sejarah Pertumbuhan Pers Islam Indonesia: Studi Kasus Panji

Masyarakat pada Masa Kepemimpinan Prof. Dr. Hamka (1959-1981), Skripsi, UIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta, 2006, p.1. 59 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-

Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.132. 60 Musrifah, Misi dan Orientasi Pers Islam: Studi pada Buletin Risalah Jumat Majelis

Tabligh PWM di Yogyakarta, Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta,

2001, p.2. 61 Musrifah, Ibid.. 62 Asep Syamsul Romli, Jurnalistik Islami: ‘Ideologi’ Media Dakwah, diakses dari

http://romeltea.com/jurnalistik-islami-ideologi-media-dakwah/, diakses pada 15 Januari 2021. 63 Aprini Erlina, Ibid..

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

161

Karakter Pers Islam adalah diterbitkan oleh umat Islam, menyuarakan

aspirasi muslim, menampilkan aktivitas keislaman dan mendakwahkan Islam.64

Artinya, bagi umat Islam selain mentransfer nilai-nilai sosial, pers juga dapat

menjadi media dakwah yang sangat efektif untuk menyampaikan ajaran-ajaran

Islam dan nilai-nilai islami. Dikatakan sebagai media dakwah yang efektif karena

pers dapat menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada khalayak yang sangat luas

dengan mudah dan cepat secara serentak.65 Kinerja media Islam adalah

menyampaikan pesan kalimatun sawa, amar makruf nahi munkar dan

mewujudkan rahmatan lil alamin.66 Dosen Jurnalistik dan Pemikiran Islam

Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Adian Husaini, mengatakan bahwa Pers Islam

bagi Umat Islam merupakan perjuangan dan bagian dari dakwah yang menjadi

kewajiban setiap Umat Islam. Sehingga, Pers Islam dan Umat Islam tidak dapat

dipisahkan. Ia mencontohkan bahwa sejak zaman dulu, Rasulullah S.A.W.

mengajak raja-raja melalui surat.67

Meski begitu, substansi berita dalam Pers Islam tetap harus mengedepankan

aktualitas (timeliness), kedekatan (proximity) antara materi pemberitaan dengan

perasaan pembaca, kemajuan (progress) menyajikan pemberitaan yang bernilai

kesuksesan, keterkenalan (prominance) menampilkan sosok yang masyhur agar

dapat ditiru pembaca, dan berpegang pada fungsi menghibur (entertainment),

mendidik (education) dan mempengaruhi khalayak (public opinion leader).

Sehingga, dakwah yang disampaikan dalam Pers Islam tidak monoton dan

cenderung membosankan. Sebagaimana contoh riil muslimin di Berlin, Jerman,

yang memaksimalkan dakwah dengan TV internet (Muslim TV / MTV). MTV

merupakan gagasan Nury Senay. Dipancarkan pasca dibakarnya Masjid Sehitlik,

masjid terbesar di Berlin, oleh orang tak dikenal. MTV diperankan menangkal

islamofobia di Jerman yang jumlah muslimnya diprediksi mencapai 4,3 juta.68

64 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13-14. 65 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-

Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.128. 66 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.12. 67 Hafidz Muftisany, Sumbangsih Pers Islam, diakses dari

http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/04/10/nml5428-sumbangsih-pers-islam,

diakses pada 15 Januari 2021. 68 Mohammad Rosyid, Ibid..

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

162

Setidaknya ada lima peran Pers Islam, yakni69:

a. Sebagai Pendidik (Muaddib). Yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang

Islami. Ia harus lebih menguasai ajaran Islam dari rata-rata khalayak

pembaca. Lewat media massa, ia mendidik umat Islam agar

melaksanakan perintah Allah S.W.T. dan menjauhi larangan-Nya. Ia

memikul tugas mulia untuk mencegah Umat Islam berperilaku yang

menyimpang dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh

buruk media massa non-Islami yang anti-Islam.

b. Sebagai Pelurus Informasi (Musaddid). Setidaknya, terdapat tiga hal

yang harus diluruskan oleh para Jurnalis Muslim. Pertama, informasi

tentang ajaran dan Umat Islam. Kedua, informasi tentang karya-karya

atau prestasi umat Islam. Ketiga, lebih dari itu Jurnalis Muslim dituntut

mampu menggali –melakukan investigative reporting– tentang kondisi

umat Islam di berbagai penjuru dunia. Peran Musaddid dapat dirasakan

relevansi dan urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan

umatnya yang datang dari pers Barat biasanya biased (menyimpang,

berat sebelah) dan distorsif, manipulatif alias penuh rekayasa untuk

memojokkan Islam yang tidak disukainya. Di sini, Jurnalis Muslim

dituntut berusaha mengikis fobia Islam (Islamophobia) yang merupakan

produk propaganda pers Barat yang anti-Islam.

c. Sebagai Pembaharu (Mujaddid). Yakni penyebar paham pembaharuan

akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam).

Jurnalis Muslim hendaknya menjadi “juru bicara” para pembaharu, yang

menyerukan umat Islam memegang teguh Al-Qur’an dan as-Sunnah,

memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya

(membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul, dan isme-isme asing

non-Islami), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat.

d. Sebagai Pemersatu (Muwahid). Yaitu harus mampu menjadi jembatan

yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik

jurnalistik yang berupa impartiality (tidak memihak pada golongan

tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi (both side

information)) harus ditegakkan. Jurnalis Muslim harus membuang jauh-

jauh sikap sektarian yang baik secara ideal maupun komersial tidaklah

menguntungkan. (Jalaluddin Rakhmat dalam Rusjdi Hamka & Rafiq,

1989)

e. Sebagai Pejuang (Mujahid). Yaitu pejuang-pembela Islam. Melalui

media massa, jurnalis Muslim berusaha keras membentuk pendapat

umum yang mendorong penegakkan nilai-nilai Islam, menyemarakkan

syiar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif dan rahmatan

lil’alamin, serta menanamkan ruhul jihad di kalangan umat.

69 Asep Syamsul Romli, Jurnalistik Islami: ‘Ideologi’ Media Dakwah, diakses dari

http://romeltea.com/jurnalistik-islami-ideologi-media-dakwah/, diakses pada 15 Januari 2021.

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

163

Ulfah Rahmaniar menyebutkan karakteristik Pers Islam yaitu:70

a. Pers Islam sebagai upaya dakwah bil qalam yang mengemban misi amar

ma’ruf nahi mungkar.

b. Menyebarkan informasi tentang perintah dan larangan Allah S.W.T.

c. Berusaha mempengaruhi khalayak agar berpihak sesuai ajaran Islam.

d. Senantiasa menghindari gambar-gambar ataupun ungkapan-ungkapan

yang tidak islami (pornografi dan pornoaksi).

e. Menaati kode etik jurnalistik.

f. Menulis dan melaporkan yang dilakukan secara jujur tidak memutar

balikkan data dan fakta yang ada.

Pers Islam harus menghadirkan pesan Qur’ani yang bermuatan amanah,

etis, menjaga maslahah, meninggalkan berita yang mafsadah, dan akuntabel,

berpijak pada Kode Etik Jurnalistik, serta berpegang pada Al-Qur’an. Ayat Al-

Qur’an yang menjadi pijakan bagi insan Pers Islam diantaranya71:

a. Al-Hujurat: 6

“Hai orang yang beriman, jika datang padamu orang fasik membawa

berita, periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah

pada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan

kamu menyesal atas perbuatanmu”.

b. Al-Hujurat: 11

“Hai kaum yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum

yang lain, boleh jadi yang diolok-olok lebih baik daripada yang

mengolok-olok”.

Ayat-ayat ini mengandung sebuah pelajaran penting agar masyarakat tidak

mudah terpancing atau mudah menerima begitu saja berita yang tidak jelas

sumbernya. Apalagi ayat tentang tabayyun ini berada di dalam surah Al-Hujurat,

surat yang sarat dengan pesan etika, moralitas dan prinsip-prinsip mu’amalah.

Sehingga, Sayyid Quthb mengkategorikannya sebagai surat yang sangat agung

lagi padat (surat jalilah dhakhmah). Hal ini karena memang komitmen seorang

muslim dengan adab dan etika agama dalam kehidupannya menunjukkan kualitas

akalnya (adabul abdi unwanu aqlihi).72

70 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-

Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.132. 71 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.14. 72 Marhamah, Pers dalam Perpektif Islam (Tabayyun), diakses dari

https://layarberita.com/2017/02/10/pers-dalam-perpektif-islam-tabayyun/, diakses pada 15 Januari

2021.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

164

Dosen Jurnalistik dan Pemikiran Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor,

Adian Husaini, berpendapat bahwa Pers Islam terikat dengan norma-norma Islam

dalam produknya. Misalnya, tidak boleh memberitakan aib saudaranya yang tidak

diperlukan, tidak boleh mengadu domba dan harus betul-betul menunjukan

kemaslahatan.73 Ketua Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia, Muhammad

Antoni, mengatakan bahwa sejatinya setiap Pers Islam, baik cetak maupun online,

dalam bekerja sudah memenuhi standar jurnalistik. Hal ini disebabkan, pengertian

jurnalistik sendiri adalah meneruskan tugas kenabian dengan menyampaikan

kabar gembira yang bisa menyelamatkan umat, dalam hal ini pembaca.74

Dengan demikian, keberadaan media massa Islam harus tetap istikomah

agar peran rahmatan lil’alamin tetap terjaga. Prinsip komunikasi dalam Pers

Islam harus memenuhi standar dari Al-Qur’an atau Qur’ani (al-bayan). Standar

tersebut diantaranya75:

a. Qawlan Syadidan (Q.S. an-Nisa:9), yakni tegas, jumowo, jujur, dan

straight to the point;

b. Qawlan Balighan (Q.S. an-Nisa:63), yaitu harus jelas, terang, konsisten,

dan tepat sasaran;

c. Qawlan Maysuran (Q.S. al-Isra’:28), yakni pantas;

d. Qawlan Layyinan (Q.S. Thaha:44) yakni lemah-lembut, santun, dan

andap-asor;

e. Qawlan Kariman (Q.S. al-Isra’:23), yakni mulia, halus, dan ora

semengit.

f. Qawlan Ma’rufan (Q.S. an-Nisa:5), yakni menggunakan kata yang baik,

tidak kemlete, dan undak-unduk.

Dalam Islam, juga diakui Kebebasan Pers. Kebebasan ini mencakup

kebebasan berpikir, kebebasan berbicara dan kebebasan mengungkapkan sesuatu

melalui lisan, tulisan (pena) dan tindakan (action). Islam menjamin kebebasan

berpikir yang disalurkan melalui riset, observasi atau penelitian. Dalam Islam

kegiatan semacam ini adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan guna

mencerdaskan umat.

73 Hafidz Muftisany, Sumbangsih Pers Islam, diakses dari

http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/04/10/nml5428-sumbangsih-pers-islam,

diakses pada 15 Januari 2021. 74 Affan, Menuju Pers Islam yang Profesional, diakses dari http://mqradio.co/menuju-pers-

islam-yang-profesional.html#.WRekcGiGPIU, diakses pada 15 Januari 2021. 75 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.3.

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

165

Namun dalam Islam, kebebasan berpikir, berpendapat dan kebebasan

mengungkapkan pendapatnya tidak boleh kebablasan. Islam melarang pelecehan

atau kegiatan yang menjatuhkan nama baik orang lain. Ada beberapa batasan

kebebasan pers dalam Islam. Pertama, yang berkaitan dengan perzinahan. Allah

berfirman” “Sesungguhnya orang yang menuduh wanita yang baik-baik, lagi

beriman (berbuat zina) mereka kena laknat dunia dan akhirat, dan bagi mereka

azab yang besar.” (Qs. An-Nur: 23). Kedua, pemberitaan yang berorientasi cabul

atau porno. Dalam hal ini, Allah sangat mengecam keras. “Sesungguhnya orang

yang ini agar beritanya terkait dengan perbuatan yang amat keji tersiar

dikalangan orang-orang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan

akhirat.” (Qs. An-Nur: 19). Ketiga, berita yang berisi tentang berburuk sangka

dan mengunjing. Keempat, membocorkan rahasia negara. Dan kelima, mencela,

mengumpat dan menghamburkan fitnah.76

Dr. Abdul Karim Zaidan mengemukakan beberapa batasan dalam kita

mengeluarkan pendapat, mengutarakan isi pikiran atau berita serta tayangan.

Pertama, hendaknya berbicara, berpendapat dan menyampaikan sesuatu itu

didasari niat karena Allah S.W.T. dan demi kebaikan masyarakat luas. Kedua,

tidak bertujuan membanggakan diri, pamer, melecehkan orang lain, demi meraih

keuntungan dan jabatan. Dan ketiga, senantiasa menjunjung tinggi etika, tidak

boleh melecehkan privasi orang lain, menghina, menjatuhkan harga diri,

membunuh karakter orang lain.77

Sehingga, dapat dikatakan bahwa kebebasan pers dalam Islam adalah

kebebasan yang membebaskan (profetik) manusia dari hal-hal yang merusak

kodrat dan fitrahnya. Oleh karenanya dalam pemberitaan yang bernuansa Islam,

mestinya sajian berita, tayangan dan opini yang harus mampu memuliakan

manusia, bukan sebaliknya menjatuhkan martabatnya di muka umum.78 Bila

dikaitkan dengan pers umum, sejatinya tidak terlalu banyak perbedaan antara

Media Massa Islam dengan media massa pada umumnya. Hal ini dikarenakan

kedua jenis pers tersebut sama-sama menyampaikan informasi (to inform),

76 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.3. 77 Mohammad Rosyid, Ibid.. 78 Mohammad Rosyid, Ibid..

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

166

memberi pendidikan (to educate) dan menghibur (to entertain). Pembedanya,

adanya Pers Islam menyampaikan dakwah yakni menyeru kebajikan dan

mencegah kemungkaran berlandaskan ajaran Islam. Keberhasilan pers adalah

mampu membentuk opini publik. Begitu pula keberhasilan Pers Islam adalah

kemampuan membentuk opini publik yang terbangun atas sendi keislaman.79

Redaktur Senior Harian Republika, Ikhwanul Kiram, mengatakan bahwa

“Yang namanya pers yang berpegang pada kode etik jurnalistik, saya mengatakan

itu Islami. Setiap pewarta pada hakikatnya melakukan check and balances pada

setiap berita yang akan disiarkan kepada khalayak. Jadi, Pemberitaan berimbang

itu Islami.”. Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan, M. Rus

Sihombing, mengatakan bahwa tidak ada perbedaan secara khusus antara Pers

Islam dan pers umum. Artinya, kaidah jurnalistik bisa berlaku untuk media apa

pun, termasuk dalam jurnalistik yang fokus pada agama. Perbedaaannya menurut

Rus, hanya pada subjek dan materi pemberitaan saja. Pers Islam lebih fokus

memberitakan ajaran Islam kepada pembaca atau segmentasi Umat Islam.80

Di era demokrasi ini, perkembangan pers semakin menjadi-jadi. Melalui

media massa, perang pemikiran yang sengit, penyebaran ilmu serta penguasaan

opini di masyarakat dapat dikuasai.81 Akan tetapi, sangat disayangkan banyak

sekali beredar informasi palsu atau hoaks di masyarakat melalui media massa.

Penyebaran berita bohong tersebut pun berlindung dibalik semangat kebebasan

pers dan mengaitkannya dengan Hak Asasi Manusia. Bahkan, berita bohong

tersebut berujung pada konflik di masyarakat dan menimbulkan perpecahan.

Dalam Islam, kebenaran merupakan hal yang mutlak dimiliki oleh Pers

Islam. Islam menolak setiap klaim yang tidak berdasarkan pada dalil dan bukti.

Dalam Islam, berfikir, tadabbur, meneliti dan mengkaji merupakan kewajiban.82

79 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.11-12. 80 Hafidz Muftisany, Sumbangsih Pers Islam, diakses dari

http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/04/10/nml5428-sumbangsih-pers-islam,

diakses pada 15 Januari 2021. 81 Beggy Rizkiyansyah, Lahirnya Pers Islam di Indonesia, diakses dari

http://uhamka.ac.id/khazanah-islam/lahirnya-pers-islam-di-indonesia/, diakses pada 20 Januari

2021. 82 Umar Natuna, Kebebasan Pers dalam Perspektif Islam, diakses dari

http://www.haluankepri.com/rubrik/opini/87583-kebebasan-pers-dalam-perspektif-islam.html,

diakses pada 15 Januari 2021.

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

167

Pers Islam mengemban misi amar ma’ruf nahi mungkar. Karena itu, terkait

dengan realita pelaksanaan kebebasan pers, Islam memberikan panduan kepada

masyarakat ketika menerima informasi dengan prinsip tabayyun. Tabayyun

merupakan cara bagi masyarakat untuk mencari kejelasan tentang sesuatu hingga

jelas benar keadaannya. Atau dapat dikatakan juga tabayyun merupakan cara

masyarakat untuk meneliti dan menyeleksi berita yang diterimanya.83

Allah mengingatkan untuk tidak mengikuti sesuatu yang belum diketahui

secara jelas masalahnya atau jangan mengambil kesimpulan terlebih dalulu

sebelum mengetahui secara jelas. Hal ini dikarenakan semua yang kita lakukan

akan dipertanggungjawabkan semuanya di hadapan Allah. Hal ini sebagaimana

firman Allah dalam QS al-Isra ayat 36: “Dan Janganlah kamu mengikuti apa yang

kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya

itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”.84

Selain sikap waspada dan tidak mudah percaya begitu saja terhadap sebuah

informasi yang datang dari seorang fasik, Allah juga mengingatkan agar tidak

menyebarkan berita yang tidak jelas sumbernya tersebut sebelum jelas

kedudukannya. Hal ditegaskan dalam Al-Qur’an, yakni85:

a. ”(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke

mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui

sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal

dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An-Nur: 15).

b. “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya

malaikat pengawas yang selalu hadir”. (QS. Qaf: 18).

Ketetapan berita yang harus disampaikan kepada kahalayak juga tersirat

dalam QS. Al Naml: 22 yang berbunyi:

“Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku

telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa

kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.”

83 Marhamah, Pers dalam Perpektif Islam (Tabayyun), diakses dari

https://layarberita.com/2017/02/10/pers-dalam-perpektif-islam-tabayyun/, diakses pada 15 Januari

2021. 84 Marhamah, Ibid.. 85 Marhamah, Ibid..

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

168

Ayat diatas menceritakan tentang kisah Nabi Sulaiman yang memanggil

burung hud-hud yang terlambat datang. Ketika Nabi Sulaiman menanyakan apa

sebenarnya yang mengakibatkan burung tersebut terlambat datang, maka

berceritalah burung hud-hud tentang kaum sabah yang dipimpin oleh Ratu Bilqis

yang menyembah matahari, kepada Nabi Sualaiman. Kabar yang disampaikan

burung hud-hud itu benar dan akurat sehingga Nabi Sulaiman memaafkan

keterlambatan burung hud-hud tersebut.86 Larangan untuk menyebar informasi

begitu saja pun ditegaskan oleh Rasulullah S.A.W. dalam hadis ”Sesungguhnya

ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan

bahayanya terlebih dahulu. Sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan

jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim).87

Muhammadiyah pun mengambil sikap atas permasalahan ini.

Muhammadiyah memandang perlu adanya fikih jurnalistik supaya bisa menjadi

pegangan bagi insan pers atau masyarakat luas sebagai pengguna media sosial

khususnya yang beragama Islam, agar tidak sembarangan menyebarkan informasi

yang belum jelas kebenarannya. Fikih jurnalistik yang diharapkan dapat menjadi

panduan bagi insan pers maupun pengguna media media sosial untuk

menyebarluaskan informasi berdasarkan tuntunan yang Islami. Wakil Ketua MPI

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Edy Kuscahyanto, mengatakan bahwa Fikih

Jurnalistik atau bisa juga diperluas menjadi fikih informasi ini merupakan salah

satu upaya untuk memerangi hoaks dan penyalahgunaan media sosial.88

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dikatakan kedudukan Pers

Islam sangat strategis untuk menangkal perang pemikiran (gazwul fikr) yang

terjadi dalam masa modern seperti ini. Perang melalui pembentukan opini dapat

diantisipasi melalui Pers Islam.89 Hal tersebut disikapi Sekjen Organisasi

Konferensi Islam, Prof. Ekmeleddin Ihsanoglu di hadapan Majelis Umum

Persatuan Penyiaran Islam (Islamic Broadcasting Union) pada 23 Desember 2010.

86 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-

Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.133. 87 Marhamah, Pers dalam Perpektif Islam (Tabayyun), diakses dari

https://layarberita.com/2017/02/10/pers-dalam-perpektif-islam-tabayyun/, pada 15 Januari 2021. 88 Era Muslim, Muhammadiyah akan Rilis Fikih Jurnalistik Bagi Pers Islam, diakses dari

https://www.eramuslim.com/berita/nasional/muhammadiyah-akan-rilis-fikih-jurnalistik-bagi-pers-

islam.htm, diakses pada 1 Februari 2021. 89 Krishna Sen dan Davit T. Hill, Politics and The Media in Twenty-First Century

Indonesia: Decade of Democracy, Penerbit Routledge, Oxon, 2011, p.79.

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

169

Ia menyerukan kepada 57 negara Islam tentang pentingnya kerja sama antar

negara OKI dalam program media massa kelas dunia. 90 Harapan senada diwanti-

wanti dalam amanat KTT Luar Biasa OKI pada tahun 2005 dan atas inisiatif

Penjaga Dua Masjid Suci (Masjidil Haram dan Masjid Al-Aqsha) yakni Raja

Abdullah agar dunia Islam memperkuat peran Organisasi Penyiaran Islam dan

Kantor Berita Islam Internasional (International Islamic News Agency) agar

aspirasi keislaman tersuarakan.91 Secara global, media Islam masih mempunyai

tempat di masyarakat global seperti Al-Jazeera, Al Nil dan Al Ihram.92

Saat ini, media di Indonesia belum ada yang mengusung Pers Islam yang

secara total. Akan tetapi, terdapat beberapa tayangan baik itu di media elektronik

maupun media cetak yang isi tayangannya bermuatan ajaran-ajaran Islam.93 Pers

Islam mengedepankan kegiatan jurnalistik yang Islami, meskipun berita-berita

atau pun isi media yang terkandung di dalamnya sebagai substansi berita tidak

semuanya bertemakan ajaran Islam. Diharapkan kedepannya, Pers Islam terus

berbenah diri dengan cara membuat tampilan dan isi yang semakin menarik, serta

meningkatkan profesionalitas pengelolaan Pers Islam sehingga lebih berkembang

di masyarakat dan dapat sejajar dengan pers umum yang telah ada di era

konvergensi media saat ini.

C. PENUTUP

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri menonjol

negara demokrasi adalah adanya kebebasan untuk berekspresi yang diwujudkan

dalam bentuk menyampaikan gagasan melalui pers. Pada saat ini, sudah banyak

lembaga penyiaran karena demokrasi pers yang semakin bebas. Fungsi media

massa atau pers dalam demokrasi mencakup: pers atau media sebagai civic forum,

pers sebagai pengawas pemerintah atau lembaga-lembaga publik dan pers sebagai

agen mobilisasi dukungan warga terhadap suatu posisi politis.

90 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-

Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.14. 91 Mohammad Rosyid, Ibid., p.12. 92 Mohammad Rosyid, Ibid., p.14. 93 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-

Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.139.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

170

Pers Islam pada dasarnya adalah pers yang bertujuan menyebarkan nilai-

nilai Islam atau sebagai media dakwah bagi umat Islam, menyuarakan aspirasi

umat Islam, dan pers yang dimiliki oleh umat Islam dan dijalankan dengan dengan

cara islami. Pers Islam harus independen sehingga tidak terjebak pada pers

sektarian yang ekslusif. Pers Islam merupakan bagian yang sangat penting dari

perkembangan Pers Indonesia. Pers Indonesia menjadi alat perjuangan kaum

pergerakan nasional yang ingin menapai kebebasan dan kemerdekaan.

Bila media massa dan jurnalis muslim mampu mempertahankan potensi dan

karakter jurnalis muslim di tengah persaingan dengan media cyber, media massa

Islam akan tetap kokoh. Didukung dengan kreativitasnya memahami karakter

pembaca dengan sajian yang dinamis, diharapkan Pers Islam terus berbenah

dengan cara membuat tampilan dan isi yang semakin menarik, serta meningkatkan

profesionalitas pengelolaan Pers Islam sehingga lebih berkembang dan dapat

sejajar dengan pers umum yang telah ada di era konvergensi media saat ini.

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

171

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Nurudin. 2009. Jurnalisme Masa Kini. (Jakarta: Penerbit Rajawali Pers).

Wahyudi, Bambang dan M. Faried Cahyono. 1994. Pers, Hukum, dan Kekuasaan.

(Yogyakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya).

Wonohito, M.. 1976. Sistim Pers Pancasila. (Jakarta: Proyek Pembinaan dan

Pengembangan Pers Departemen Penerangan Republik Indonesia).

Saputra, Yahya Andi. 1988. Lembaran Hijau: Suara Rakyat Tertindas, Pers Islam

pada Masa Pergerakan Nasional. Skripsi. (Depok: Universitas Indonesia).

Sen, Krishna dan Davit T. Hill. 2011. Politics and The Media in Twenty-First

Century Indonesia: Decade of Democracy. (Oxon: Penerbit Routledge).

Publikasi

Arnus, Sri Hadijah. Pers Islam di Era Konvergensi Media. Palita Journal of

Social-Religion Research. Vol.1. No.2 (Oktober 2016).

Chakim, Sulkhan. Media Massa Sebagai Agen Sosialisasi Ideologi. KOMUNIKA.

Vol.5. No.2 (Juli - Desember 2011).

Harahap, Krisna. Upaya Penegakan Kemerdekaan Pers di Indonesia sebagai

Salah Satu Pilar Demokrasi. Syiar Hukum Jurnal Ilmu Hukum. Vol.11.

No.3 (2009).

Rosyid, Mohammad. Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era

Digital. At-Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam. Vol.1. No.1

(Januari-Juni 2013).

Sobur, Alex. Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di

Indonesia. MediaTor Jurnal Komunikasi. Vol.5. No.2 (2004).

Syam, Nia Kurniati. Sistem Media Massa Indonesia di Era Reformasi: Perspektif

Teori Normatif Media Massa. MediaTor Jurnal Komunikasi. Vol.7. No.1

(2006).

Karya Ilmiah

Erlina, Aprini. 2006. Sejarah Pertumbuhan Pers Islam Indonesia: Studi Kasus

Panji Masyarakat pada Masa Kepemimpinan Prof. Dr. Hamka (1959-

1981). Skripsi. (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah).

Haghia, Raisye Soleh. 2014. Pedoman Masyarakat (1935-1942) : Pelopor

Pembaruan Pers Islam di Indonesia. Tesis. (Depok: Universitas Indonesia).

Musrifah. 2001. Misi dan Orientasi Pers Islam: Studi pada Buletin Risalah Jumat

Majelis Tabligh PWM di Yogyakarta. Skripsi. (Yogyakarta: Institut Agama

Islam Negeri Sunan Kalijaga).

Pradjoko, Didik. 1999. Gerakan Dakwah Islam di Vorstenlanden: Kajian atas

Artikel Dakwah dalam Surat Kabar dan Majalah di Yogyakarta dan

Surakarta 1916-1933. Skripsi. (Depok: Universitas Indonesia).

Putra, I Gusti Ngurah. Demokrasi dan Kinerja Pers Indonesia. Makalah

disampaikan dalam seminar “Menggugat Profesionalisme Wartawan” yang

diselenggarakan oleh Dewan Pers, Yogyakarta, 23 November 2005.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

172

Website

Affan. Menuju Pers Islam yang Profesional. diakses dari

http://mqradio.co/menuju-pers-islam-yang-

profesional.html#.WRekcGiGPIU. diakses pada 15 Januari 2021.

Budiatma, Hisham. Sejarah Perkembangan Media Komunikasi di Indonesia.

diakses dari http://usaha321.net/sejarah-perkembangan-media-komunikasi-

di-indonesia.html. diakses pada 15 Januari 2021

Desastian. Dewan Pers Islam Segera Hadir, Media Islam dan MUI saling

Bersinergi. diakses dari http://www.panjimas.com/news/2017/02/03/dewan-

pers-islam-segera-hadir-media-islam-dan-mui-saling-bersinergi/. diakses

pada 15 Januari 2021.

Era Muslim. Muhammadiyah akan Rilis Fikih Jurnalistik Bagi Pers Islam. diakses

dari https://www.eramuslim.com/berita/nasional/muhammadiyah-akan-rilis-

fikih-jurnalistik-bagi-pers-islam.htm. diakses pada 15 Januari 2021.

Jejak Islam. Lahirnya Pers Islam di Indonesia. diakses dari

http://jejakislam.net/lahirnya-pers-islam-di-indonesia/. diakses pada 20

Januari 2021.

Marhamah. Pers dalam Perpektif Islam (Tabayyun). diakses dari

https://layarberita.com/2017/02/10/pers-dalam-perpektif-islam-tabayyun/.

diakses pada 15 Januari 2021.

Muftisany, Hafidz. Sumbangsih Pers Islam. diakses dari

http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/04/10/nml5428-

sumbangsih-pers-islam. diakses pada 15 Januari 2021.

Nahi Munkar. Solusi Cegah Pemblokiran Sepihak, MUI Akan Bentuk Semacam

Dewan Pers Islam. diakses dari https://www.nahimunkar.com/solusi-cegah-

pemblokiran-sepihak-mui-bentuk-semacam-dewan-pers-islam/. diakses

pada 15 Januari 2021.

Natuna, Umar. Kebebasan Pers dalam Perspektif Islam. diakses dari

http://www.haluankepri.com/rubrik/opini/87583-kebebasan-pers-dalam-

perspektif-islam.html. diakses pada 15 Januari 2021.

Rizkiyansyah, Beggy. Lahirnya Pers Islam di Indonesia. diakses dari

http://uhamka.ac.id/khazanah-islam/lahirnya-pers-islam-di-indonesia/.

diakses pada 20 Januari 2021.

___________________. Pers Islam Lahir Sebelum Indonesia Merdeka, diakses

dari

https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2015/04/01/67647/pers-

islam-lahir-sebelum-indonesia-merdeka-3.html. Diakses pada 20 Januari

2021.

Romli, Asep Syamsul. Jurnalistik Islami: ‘Ideologi’ Media Dakwah. diakses dari

http://romeltea.com/jurnalistik-islami-ideologi-media-dakwah/. diakses pada

15 Januari 2021.

Sakina, Riva. Kisah Ironi Global TV dan Terpuruknya Pers Islam. diakses dari

http://www.fimadani.com/kisah-ironi-global-tv-dan-terpuruknya-pers-

islam/. diakses pada 15 Januari 2021.

Salam Online. Banyak Prasangka Buruk terhadap Pers Islam, Prof. Bagir

Manan: “Kita tak Perlu Surut”. diakses dari https://www.salam-

online.com/2017/04/banyak-prasangka-buruk-terhadap-pers-islam-prof-

bagir-manan-kita-tak-perlu-surut.html. diakses pada 20 Januari 2021.

Josua Satria Collins

Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam

173

Vartikel. Sejarah Media Massa. diakses dari https://vartikel.com/7163/sejarah-

media-massa/. diakses pada 15 Januari 2021.

Sumber Hukum

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139. Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4252.

Sumber Hukum Islam

Al-Qur’an.

Hadis Riwayat Muslim.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

174

POTENSI PRAKTIK MONOPOLI DALAM MERGER BANK SYARIAH

INDONESIA: TINJAUAN HUKUM EKONOMI ISLAM DAN HUKUM

LARANGAN MONOPOLI

(THE POTENTIAL OF MONOPOLY PRACTICE IN MERGER OF BANK

SYARIAH INDONESIA: AN ISLAMIC ECONOMIC LAW AND ANTI-

MONOPOLY LAW APPROACH)

Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation :

Anika, Nabilah, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro. Potensi Praktik Monopoli

dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum Ekonomi Islam dan Hukum Larangan

Monopoli. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021).

ABSTRAK

Sebagai salah satu usaha mengembangkan pangsa pasar ekonomi syariah di

Indonesia, pemerintah menggabungkan tiga bank syariah BUMN, yakni BNI

Syariah, BRI Syariah dan Mandiri Syariah guna mengekspansi pasar perbankan

syariah. Namun, upaya penggabungan bank disangsikan oleh sejumlah pihak

sebab berpotensi melanggar larangan praktik monopoli. Untuk mengetahui

potensi pelanggaran larangan monopoli, tulisan ini akan menganalisis merger tiga

bank syariah berdasarkan pengaturan monopoli di Indonesia dan hukum ekonomi

Islam terhadap monopoli. Hasil penelitian ditulis secara deskriptif dengan

pendekatan kualitatif yang diperoleh dengan metode yuridis-normatif.

Berdasarkan pembahasan yang mengacu pada data yang diperoleh, disimpulkan

bahwa fenomena merger berpotensi menimbulkan adanya praktik monopoli.

Kata Kunci: Bank Syariah, Hukum Ekonomi Islam, Merger, Monopoli

ABSTRACT

As one of the efforts to develop the market share of the sharia economy in

Indonesia, the government merged three state-owned sharia banks, namely BNI

Syariah, BRI Syariah, and Mandiri Syariah to expand the Islamic banking market.

However, the bank merger attempt was disputed by a number of parties because it

potentially violated the prohibition of monopoly practices. To find out the

potential violations of the monopoly ban, this paper will analyze the merger of

three Sharia banks based on monopoly regulation in Indonesia and Islamic

economic law against monopolies. The results of the study were written

descriptively with qualitative approaches obtained by juridical-normative

methods. Based on the discussion that refers to the obtained data, it is concluded

that the merger phenomenon has the potential to lead to monopoly practices.

Keywords: Islamic Bank, Sharia Economic Law, Merger, Monopoly

Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro

Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum

Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli

175

A. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara yang menempati peringkat keempat dari segi

jumlah penduduk memiliki potensi pasar usaha perbankan yang sangat menarik.

Terlebih lagi, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Oleh karenanya, industri perbankan syariah seharusnya mampu berkembang dan

tumbuh secara masif dan ekspansif. Akan tetapi, kondisi saat ini tidak demikian.

Sebaliknya, industri perbankan syariah di Indonesia belum menunjukkan kinerja

yang memuaskan sebab masih kecil secara jumlah modal inti yang masih kalah

jauh dengan bank-bank umum.1 Oleh sebab itu, pemerintah berencana

memperkuat kelembagaan dan permodalan bank syariah dengan menggabungkan

(merger) bank-bank syariah yang dimiliki oleh pemerintah yakni BNI Syariah,

BRI Syariah, dan Mandiri Syariah, yang akan kemudian akan digabungkan

(merger) menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI).

Keputusan pemerintah untuk menggabungkan ketiga bank syariah BNI

Syariah, BRI Syariah, dan Mandiri Syariah berpotensi melanggar ketentuan anti

monopoli yang berlaku. Kualifikasi terjadinya monopoli yaitu dalam hal sebuah

jenis usaha menguasai lebih dari setengah dari jumlah pangsa pasar untuk produk

yang sama. Jika ditinjau dari sudut hukum ekonomi Islam, monopoli disebut

sebagai ikhtikar atau menimbun barang secara bathil (curang) dan zalim.2 Selain

terdapat kemungkinan pelanggaran terhadap ketentuan normatif larangan

monopoli, praktek monopoli juga bertentangan dengan tujuan penyelenggaraan

ekonomi berdasarkan Islam. Sebab, ekonomi secara Islam ditujukan untuk

sebesar-besar kemakmuran umat (manusia).3

Selain itu, penggabungan bank syariah menjadi Bank Syariah Indonesia

tidak lepas dari kritikan dan berbagai kekhawatiran berbagai pihak utamanya

nasib akses modal bagi usaha mikro dan kecil. Sebelumnya, bank-bank syariah

dapat menjadi andalan bagi pelaku usaha mikro dan kecil untuk mendapat akses

modal guna mengembangkan usahanya. Namun, setelah penggabungan (merger),

1 M. Richard dan Annisa S. Rini, OJK Utak-Atik Aturan, Hanya 4 Bank Ini Bertahan di

Kasta Teratas, diakses dari https://finansial.bisnis.com/read/20210107/90/1340049/ojk-utak-atik-

aturan-hanya-4-bank-ini-bertahan-di-kasta-teratas, diakses pada 23 Januari 2021, jam 20.01 WIB. 2 Dede Abdul Fatah, Monopoli dalam Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Al-Iqtishad, Vol.4,

No.2 (2012), p.160. 3 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Gunung Djati Press, Bandung, 1997, p.28-30.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

176

Bank Syariah Indonesia dikhawatirkan tidak lagi mudah diakses oleh pelaku

usaha berskala kecil karena lebih berorientasi terhadap usaha-usaha besar dan

mapan. Kekhawatiran tersebut selaras dengan fakta bahwa penyelenggaraan

ekonomi di dalam Islam adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama baik di

dunia dan untuk akhirat.4 Sehingga dengan demikian, orientasi ekonomi tidak

akan lagi berperan untuk membangun ekonomi umat sebagaimana fungsi dan

tujuan dari ekonomi Islam itu sendiri.5

Penulisan jurnal ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

rencana pembentukan Bank Syariah Indonesia ditinjau dari hukum di Indonesia

mengenai monopoli dan hukum ekonomi Islam. Dengan membaca tulisan ini,

pembaca diharapkan dapat mengetahui pengaturan normatif atas larangan

monopoli di Indonesia. Selain itu, pembaca akan mengetahui pandangan hukum

ekonomi Islam baik dari segi substansi menilai praktik monopoli serta

hubungannya dengan tujuan ekonomi Islam. Terakhir, akan disajikan analisis

berdasarkan kedua hal diatas terhadap penggabungan dan pembentukan Bank

Syariah Indonesia. Oleh karena itu, tulisan ini membahas dua rumusan masalah.

Pertama, membahas monopoli berdasarkan hukum ekonomi Islam, kemudian

dikomparasi dengan hukum positif Indonesia. Kedua, analisis tentang potensi

praktik monopoli dalam penggabungan bank-bank syariah milik BUMN menjadi

Bank Syariah Indonesia (BSI) berdasarkan sisi normatif larangan praktik

monopoli dalam hukum ekonomi Islam dan hukum larangan monopoli di

Indonesia. Berikut adalah rincian rumusan masalahnya:

1. Bagaimana praktik monopoli dalam pandangan hukum ekonomi Islam

dan hukum positif Indonesia?

2. Bagaimana potensi praktik monopoli dalam penggabungan (merger)

ketiga bank BUMN?

4 Andi Iswandi, Maslahat Memelihara Harta dalam Sistem Ekonomi Islam, Jurnal Filsafat

dan Budaya Hukum, Vol.1, No.1 (2014), p.25. 5 Sofyan Rizal, Titik Temu dan Sinergi Ekonomi Islam dan Ekonomi Kerakyatan, Al-

Iqtishad, Vol.3, No.1 (2011), p.10.

Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro

Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum

Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli

177

B. PEMBAHASAN

1. Praktik Monopoli dalam Pandangan Hukum Ekonomi Islam dan

Hukum Positif Indonesia

Struktur pasar dalam ilmu ekonomi mikro, merupakan teori dasar untuk

mengetahui keadaan pasar. Menurut Rizkyanti sebagaimana dikutip oleh

Aminursita, struktur pasar dalam perekonomian adalah keadaan pasar yang dapat

memberikan keterangan bagi pelaku ekonomi tentang aspek-aspek yang

berdampak vital terhadap perilaku usaha dan kinerja pasar.6 Pelaku ekonomi dapat

menentukan strategi untuk masuk ke dalam persaingan pasar dengan mengetahui

struktur dari pasar itu sendiri. Struktur pasar umumnya terbagi menjadi dua, yaitu

pasar persaingan sempurna dan persaingan tidak sempurna. Pasar persaingan

sempurna terjadi ketika produsen-produsen di pasar secara individual tidak dapat

mempengaruhi harga. Artinya, di sini posisi produsen bertindak sebagai penerima

harga (price taker) dari pasar.7 Sebaliknya, pasar persaingan tidak sempurna

terdiri dari pasar monopoli, persaingan monopolistik dan oligopoli. Penelitian ini

berfokus pada struktur pasar monopoli sehingga penjelasannya akan berorientasi

pada pasar monopoli. Pasar monopoli dalam ilmu ekonomi mikro didefinisikan

sebagai kebalikan ekstrem dari pasar persaingan sempurna dimana situasinya

produsen bertindak sebagai penjual tunggal dari suatu barang sehingga dapat

bertindak sebagai pembuat harga (price maker).8 Praktik monopoli di Indonesia

dilarang sebab termasuk sebagai persaingan usaha yang tidak sehat.9

Berbeda dengan pengertian sistem monopoli dalam teori ekonomi mikro,

monopoli dalam ekonomi Islam bermakna sebagai tindakan menimbun barang

(ikhtikar). Ikhtikar dalam Islam secara etimologi berasal dari kata alhukr yang

artinya al-zhulm wa al-‘isâ’ah al-mu‘âsyarah, yaitu berbuat aniaya dan

sewenang-wenang.10 Amirul Mukminin Umar bin Khattab merupakan salah satu

orang yang sangat membenci tindakan ikhtikar.AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA

6 Orsidia Aminursita dan M. Faisal Abdullah, Identifikasi Struktur Pasar pada Industri

Keramik di Kota Malang, Jurnal Ilmu Ekonomi, Vol.2, No.3 (2018), p.410. 7 Agus Tri Basuki dan Nano Prawoto, Pengantar Teori Ekonomi, Penerbit Mitra Pustaka

Nurani, Yogyakarta, (2014), p.168. 8 Agus Tri Basuki dan Nano Prawoto, Ibid, p.191. 9 Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. 10 Dede Abdul Fatah, Monopoli dalam Perspektif Ekonomi Islam, Al-Iqtishad, Vol.4, No.2

(Juli 2012), p.160.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

178

AAAaPada awalnya, Umar bin Khattab menemukan dua hamba sahaya yang

membeli makanan untuk dijual kembali untuk kaum muslimin. Melihat hal

tersebut, Umar bin Khattab memberitahu dua hamba sahaya tersebut mengenai

sabda Rasulullah SAW, yaitu “barang siapa menimbun harta kaum Muslimin

maka Allah akan menimpakan kepadanya kebangkrutan atau penyakit kusta.”11

Perbuatan menimbun barang apalagi untuk memperoleh keuntungan semata

dianggap sebagai perbuatan yang sangat keji.

Pengertian monopoli dalam hukum ekonomi Islam memang berbeda dengan

definisi monopoli dalam teori ekonomi konvensional. Terdapat beberapa definisi

Monopoli dalam ekonomi Islam berdasarkan empat mazhab. Pertama, menurut

mazhab Syafi’i mengartikan monopoli sebagai tindakan membeli makanan ketika

masyarakat membutuhkan, kemudian dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi.

Kedua, dalam mazhab Hambali, monopoli diartikan sebagai menimbun makanan

kemudian dijual dengan harga yang lebih mahal untuk mendapatkan keuntungan

yang besar. Ketiga, pada mazhab Maliki juga mendefinisikannya sebagai perilaku

menimbun barang untuk memperoleh keuntungan ketika harga naik. Sementara

itu, dalam mazhab Hanafi, monopoli adalah tindakan membeli pangan dari pasar

dan menahannya selama 40 hari untuk menunggu harganya naik.12

Pendapat-pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh kisah Amirul Mukminin

Umar bin Khattab yang melihat banyaknya makanan yang ditimbun kala beliau

melakukan inspeksi pasar di pintu Mekkah.13 Saat itu, menimbun makanan adalah

salah satu cara bagi orang zalim untuk mencurangi kaum Muslimin dengan

menaikkan harga jual dari harga yang wajar. Namun kini, peradaban terus

berkembang. Praktik-praktik pasar dalam teori ekonomi terus membaik dan tidak

hanya sebatas menimbun makanan. Akan tetapi ada praktik lain seperti joint

venture, merger, akuisisi dan lain sebagainya.

11 Lukman Hakim, Ihtikar dan Permasalahannya dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal

Darussalam, Vol.7, No.2 (April 2016), p.327. 12 Arvie Johan, Larangan Monopoli Menurut Hukum Islam dan Perhatian yang Sebaiknya

Diberikan: Pendekatan Hukum dan Ekonomi, diakses dari

https://www.researchgate.net/publication/269404937_LARANGAN_MONOPOLI_MENURUT_

HUKUM_ISLAM_DAN_PERHATIAN_YANG_SEBAIKNYA_DIBERIKAN_PENDEKATAN,

diakses pada 20 Januari 2021, jam 22.45 WIB. 13 Afidah Wahyuni, Penimbunan Barang dalam Perspektif Hukum Islam, Al-Iqtishad, Vol.

2, No.2 (Juli 2010), p.168.

Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro

Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum

Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli

179

Menurut Yusuf Qaradhawi dikutip oleh Kusno Aji berpendapat bahwa

monopoli bersumber dari egoisme manusia dan bertujuan untuk menambah

kekayaan dengan mempersempit kehidupan orang lain.14 Berdasarkan pendapat

Qaradhawi tersebut, dapat dilihat titik persamaan antara pengertian monopoli

dalam ekonomi Islam dan ekonomi konvensional. Keduanya sama-sama

menghendaki adanya keuntungan yang besar dengan cara yang merugikan orang

lain. Cara apapun yang ditempuh oleh seorang produsen (dalam teori ekonomi

konvensional) untuk mendapat keuntungan dan menzalimi orang lain termasuk ke

dalam praktik monopoli.15 Dengan demikian akan sangat sempit jika

mendefinisikan perbuatan monopoli sebatas menimbun makanan untuk dijual

kembali, mengingat peradaban sudah berkembang dan praktik dalam ekonomi

kini ada dalam bentuk yang bermacam-macam. Perbuatan dalam bentuk apapun,

sekalipun bukan merupakan penimbunan harta, selama niatnya mendapat

keuntungan besar dengan menzalimi orang lain, adalah termasuk perbuatan

ikhtikar dan tidak sesuai dengan fiqih Islam.

Praktik monopoli dalam hukum Islam dilarang, dengan ketentuannya yang

diriwayatkan dalam beberapa hadis nabi. Imam Muslim, Abu Dawud dan at-

Tirmidzi meriwayatkan, “tidaklah orang melakukan ikhtikar kecuali ia berdosa.”

Musnad Ahmad juga meriwayatkan, “Barang siapa menimbun bahan makanan

selama empat puluh hari, maka sesungguhnya ia telah terlepas diri dari Allah

dan Allah berlepas diri darinya.” Sementara Ibnu Majah dan Abu Hurairah

meriwayatkan, “siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan

merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat

salah.” Ada pula hadis yang diriwayatkan oleh at-Tabrani yang berbunyi sebagai

berikut, “siapa yang merusak harga, sehingga harga tersebut melonjak tajam,

maka Allah akan menempatkannya di neraka pada hari kiamat”.16 Bahwa

perbuatan monopoli pada esensinya adalah perbuatan yang sangat dibenci dalam

Islam dan merupakan perbuatan curang.

14 Didik Kusno Aji, Konsep Monopoli dalam Tinjauan Ekonomi Islam, Jurnal Hukum dan

Ekonomi Syariah, Vol.13, No.2 (2013), p.51. 15 Dede Abdul Fatah, Monopoli dalam Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Al-Iqtishad, Vol.4,

No.2 (2012), p.163. 16 Sri Nurhayati dan Wasilah Abdullah, Akuntansi Syariah di Indonesia, Penerbit Salemba

Empat, Jakarta, 2009, p.54.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

180

Berdasarkan pemaparan paragraf di atas, Islam sangat mengutuk perbuatan

monopoli dalam persaingan pasar. Islam dalam pandangan Al-Qur’an dan hadis

nabi mengajarkan bahwa harta harus diperoleh dari usaha yang halal dan dengan

cara yang halal pula. Islam melarang usaha yang curang dan memusatkan

kekayaan hanya kepada sekelompok orang kaya saja. Oleh karena itu, adalah

perbuatan dosa jika seseorang berbuat curang demi mendapatkan keuntungan

sebesar-besarnya namun di atas jerih payah orang lain apalagi orang-orang lemah

yang sulit untuk bersaing dengan pihak yang kuat dan mampu.17 Hukum positif di

Indonesia juga telah mengatur larangan praktik monopoli karena tidak sesuai

dengan nilai yang dianut Pancasila dan konstitusi.18 Melalui penelitian ini, peneliti

hendak mencari tahu bagaimana kemungkinan adanya praktik monopoli dalam

peristiwa penggabungan atau merger usaha antara PT Bank BRI Syariah Tbk., PT

Bank Syariah Mandiri dan PT Bank BNI Syariah.

Praktik monopoli dalam hukum Indonesia juga merupakan perbuatan yang

bertentangan dengan konstitusi dan falsafah negara. Larangan terhadap monopoli

dan persaingan usaha yang tidak sehat lainnya diatur dalam Undang-Undang No.

5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1999). Undang-undang tersebut

mendefinisikan monopoli sebagai “penguasaan atas produksi atau pemasaran

barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu

kelompok pelaku usaha”.19 Pasal 17 dari undang-undang a quo juga mengatur,

sebuah perusahaan atau sebuah kelompok perusahaan dapat diduga melakukan

monopoli apabila: barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada

substansinya; atau mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam

persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau satu pelaku usaha atau satu

kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang

atau jasa tertentu.20 Bunyi pasal tersebut dapat membantu untuk menentukan

kapan suatu pelaku usaha diduga telah melakukan praktik monopoli.

17 Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di

Indonesia, Penerbit Prenada Media Group, Depok, 2018, p.200-201. 18 Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. 19 Undang-Undang Persaingan Usaha, Ibid., Ps.1 20 Undang-Undang Persaingan Usaha, Ibid., Ps.17.

Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro

Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum

Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli

181

2. Potensi Praktik Monopoli dalam Penggabungan Ketiga Bank BUMN

Pada 21 Oktober 2020 telah dipublikasikan Ringkasan Rancangan

Penggabungan Usaha (merger) antara PT Bank BRI Syariah Tbk. (BRIS), PT

Bank Syariah Mandiri (BSM) dan PT Bank BNI Syariah (BNIS). Ketiganya

adalah bagian dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hasil dari merger akan

membuat bank tersebut memiliki total aset Rp. 214,6 triliun. Bank tersebut akan

menjadi perusahaan terbuka dan tetap ada dalam Bursa Efek Indonesia dengan

code BRIS. Pemegang saham pada bank hasil merger yaitu PT Bank Mandiri

(Persero) Tbk. (BMRI) 51,2%, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BNI)

25,0%, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) 17,4%, DPLK BRI -

Saham Syariah 2% dan publik 4,4%.21 Pada tanggal 15 Desember 2020 telah

disetujui merger ketiga bank syariah dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar

Biasa (RUPSLB). Bank hasil merger akan diberi nama PT Bank Syariah

Indonesia Tbk. dan bergabung secara efektif pada 1 Februari 2021.22

Merger bank syariah BUMN tentu akan menguntungkan pemerintah selaku

pemilik mayoritas Bank Syariah Indonesia secara tidak langsung. Baik dari segi

keuntungan perkembangan usaha syariah maupun dari segi efisiensi. Pemerintah

akan lebih efisien dalam mengawasi satu bank syariah saja. Melihat dari

penjelasan sebelumnya bahwa saham yang dilepas ke publik hanya 4,4%, ini akan

merugikan pemegang saham minoritas karena saham BRIS terdilusi nilainya.23

Banyaknya orang yang ingin ikut serta untuk membeli saham BRIS akan

membuat harganya menjadi naik tidak rasional dan tidak sebanding dengan nilai

dan kinerja yang sebenarnya.

21 Bank Negara Indonesia (BNI), Rampungkan Rencana Merger 3 Bank Syariah, Bank

Hasil Penggabungan akan Berevolusi Jadi Bank Syariah Nasional Terbesar, diakses dari

https://www.bnisyariah.co.id/id-

id/beranda/berita/siaranpers/ArticleID/3015/Rampungkan%20Rencana%20Merger%203%20Bank

%20Syariah,%20Bank%20Hasil%20Penggabungan%20akan%20Berevolusi%20Jadi%20Bank%2

0Syariah%20Nasional%20Terbesar, diakses pada 20 Januari 2021, jam 21.22 WIB. 22 Happy Fajrian (Ed.), Rencana Merger Disetujui, Bank Syariah Indonesia Beroperasi 1

Februari, diakses dari https://katadata.co.id/happyfajrian/finansial/5fd8bbca0ddbc/rencana-

merger-disetujui-bank-syariah-indonesia-beroperasi-1-februari, diakses pada 20 Januari 2021, jam

22.45 WIB. 23 Rizqullah Thohuri, Mau Kemana Merger Bank Syariah?, diakses dari

https://majalahteras.com/mau-kemana-merger-banksyariah, diakses pada 21 Januari 2021, jam

22.51 WIB.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

182

Meskipun menguntungkan pemerintah, rencana merger justru mengancam

pelaku ekonomi kecil dan mikro. Organisasi Muhammadiyah menyatakan akan

menarik dananya dari Bank Syariah Indonesia. Hal ini dikarenakan Bank Syariah

Indonesia akan menjadi bank besar dan berfokus pada perusahaan besar serta

kemungkinan tidak akan terlalu mendukung misi Muhammadiyah untuk

mendukung Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM). Walaupun hal ini

sebenarnya sudah disanggah oleh pihak Bank Syariah Indonesia sendiri.24 Merger

tiga bank BUMN seharusnya tidak hanya sampai pada meningkatkan nilai bagi

pemegang saham dan pengurus, akan tetapi juga seharusnya mampu

meningkatkan ekonomi syariah secara keseluruhan di Indonesia. Kekhawatiran

Muhammadiyah ini sangat mendasar karena UMKM memiliki peran penting

untuk kemajuan ekonomi Indonesia.

Permasalahan lainnya yaitu sebagian nasabah bank syariah memiliki

pengetahuan yang minim terkait sistem bank syariah itu sendiri dan bedanya

dengan bank konvensional. Bahkan, pengetahuan nasabah hanya sebatas

penggunaan sistem bunga pada bank konvensional dan bagi hasil pada bank

syariah. Padahal, keberadaan bank syariah seharusnya tidak hanya sebatas sistem

bunga bank konvensional. Ada pemahaman terkait dampak riba, nisbah dan masih

banyak hal lainnya yang belum dipahami oleh masyarakat. Persepsi ini membuat

keputusan bagi nasabah dan keputusan tersebut sangat dipengaruhi oleh

persaingan yang baik antara bank syariah maupun dengan konvensional.25 Dalam

hal ini, masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam masih sangat

membutuhkan edukasi dan sosialisasi terkait pentingnya peran perbankan syariah

dalam hidup mereka.

Beberapa cendekiawan Islam pada abad pertengahan seperti Ibn Taimiyyah

dan Ibn Khaldun telah mencetuskan pemikiran persaingan usaha yang tidak sehat.

24 Fadel Prayoga, 7 Fakta Muhammadiyah Tarik Semua Dana di Bank Syariah Indonesia,

Kenapa dan Mengapa?, diakses dari

https://economy.okezone.com/read/2020/12/20/320/2330934/7-fakta-muhammadiyah-tarik-semua-

dana-di-bank-syariah-indonesia-kenapa-dan-mengapa?page=2, diakses pada 21 Januari 2021, jam

23.01 WIB. 25 Diah Wahyuningsih, dkk., Analisis Perilaku Nasabah dalam Pembiayaan di Bank

Syariah Mandiri, Media Trend, Vol 9, No.1 (2014), p.90-114.

Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro

Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum

Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli

183

Ibn Taimiyyah misalnya, berpendapat bahwa harga yang adil dalam suatu pasar

adalah harga kompetitif normal yang didapat karena faktor supply dan demand

dalam suatu pasar persaingan sempurna dan tidak boleh harga yang terpengaruh

karena ulah-ulah pihak yang mengganggu keseimbangan harga.26 Pendapat yang

sama juga dikemukakan oleh Ibn Khaldun di mana mekanisme harga yang

sempurna didapat ketika tidak ada intervensi dari suatu pihak, dan merusak harga

pasar untuk kepentingan pribadi adalah perbuatan yang sangat tercela.27 Jika

dikaitkan dengan usaha penggabungan tiga bank syariah BUMN yang dapat

mendorong bank syariah kecil tidak mampu bersaing dan menjadikan bank

syariah besar hasil penggabungan menjadi penentu harga di industri, hal ini tentu

menjadi persaingan usaha yang tidak sehat dan harga yang terbentuk bukanlah

harga yang adil sebagaimana pendapat Ibn Taimiyyah. Dalam Q.S. Surah Al

Hasyr (59) ayat 18 disebutkan bahwa:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah

setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok

(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Hal yang perlu diamati adalah bagaimana masa depan perekonomian syariah

khususnya di bidang perbankan di Indonesia setelah terlaksananya merger ketiga

bank BUMN yang memiliki kapitalisasi pasar yang besar, termasuk dalam hal ini

kinerja setiap bank syariah. Bukan tidak mungkin perbankan lain yang ingin ikut

serta dalam memajukan perbankan syariah akan langsung kalah dalam kompetisi

untuk menarik nasabah karena tidak seimbangnya persaingan. Pertanyaannya, jika

mengacu pada fenomena penggabungan usaha antara tiga bank besar tersebut,

adakah kemungkinan praktik monopoli terjadi dengan adanya penggabungan?

Pertama, untuk menjawab hal tersebut, akan diuraikan terlebih dahulu

pengaturan mengenai larangan praktik monopoli. Ketentuan yang mengatur

mengenai hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah).

Dalam Pasal 24 mengatur: “(1) Bank Umum Syariah dilarang: a. melakukan

26 Meriyanti, Pemikiran Tokoh Ekonomi Islam: Ibnu Taimiyah, Islamic Banking, Vol.2,

No.1 (Agustus 2016), p.28. 27 Dadi Permana Putra, Isu-Isu Kontemporer Hukum Bisnis Syariah (Monopoli dalam

Bisnis Syariah), Tahkim, Vol.xiv, No.2 (Desember 2018), p.258.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

184

kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. …”.28 Prinsip

syariah dalam pasal tersebut meliputi kegiatan usaha yang mengandung unsur-

unsur riba, maisir, gharar, haram dan zalim,29 sebagaimana dijelaskan dalam

Penjelasan Umum UU Perbankan Syariah. Praktik monopoli sendiri masuk ke

dalam kategori zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak

lainnya.30 Zalim adalah lawan dari kata adil. Zalim berarti menganiaya, tidak adil

dalam memutus perkara, berat sebelah dalam bertindak, mengambil hak orang lain

lebih dari batasnya atau memberikan hak orang kurang dari semestinya.31

Sebaliknya, adil adalah keadaan atau situasi di mana setiap orang memperoleh apa

yang menjadi haknya. Keadilan merupakan salah satu prinsip-prinsip dasar

keuangan syariah selain prinsip tauhid, maslahat, ta’awun (tolong-menolong) dan

keseimbangan.32 Islam mendefinisikan adil sebagai tidak mendzalimi dan tidak

didzalimi (la tadzhlimuuna wala tuzhlamuun). Oleh karena itu, praktik monopoli

yang sifatnya mendzalimi pelaku usaha lain adalah termasuk ke dalam perbuatan

yang mengandung unsur zalim dan bertentangan dengan Prinsip Syariah yang

diatur dalam UU Perbankan Syariah.

Di Indonesia sendiri, ada beberapa contoh monopoli yang dilakukan oleh

pemerintah dengan berlandaskan Pasal 33 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan “Cabang-cabang produksi

yang penting bagi Negara dan menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh

negara.” Dalam hal ini contohnya ialah Perusahaan Pertamina dan Perusahaan

Listrik Negara. Namun, merger Bank Syariah tentu berbeda dengan perusahaan

yang ada tersebut. Hal ini karena pelakunya adalah lembaga keuangan yang

mengelola berdasarkan perekonomian syariah. Terkait perbankan syariah sendiri

sudah diatur dalam Undang-Undang Perbankan Syariah, bahwa bank syariah yang

menerapkan prinsip syariah sudah sepatutnya tidak boleh melakukan monopoli.

28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4867, Ps.24 29 Undang-Undang Perbankan Syariah, Ibid., Penjelasan Umum. 30 Undang-Undang Perbankan Syariah, Ibid., Penjelasan Pasal per Pasal. 31 Abu Syhabudin, Keadilan dan Kezaliman dalam Perspektif Al-Qur’an, Al-Akhbar,

Vol.7, No.2 (2018), p.3. 32 Mursal, Implementasi Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah: Alternatif Mewujudkan

Kesejahteraan Berkeadilan, Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam, Vol.1, No.1 (2015), p.77-78.

Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro

Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum

Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli

185

Kedua, bagaimana suatu perusahaan dapat diduga telah melakukan praktik

monopoli? Ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut tercantum dalam

Pasal 17 ayat (2) UU Larangan Monopoli yang berbunyi:

“(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas

produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) apabila : a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum

ada substansinya; atau b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat

masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau c.

satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari

50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa

tertentu.”33

Peneliti mencoba mengkomparasikan ketentuan dalam ayat tersebut dengan data

aset, PYD (Pembiayaan yang Diberikan) dan DPK (Dana Pihak Ketiga) dari

laporan keuangan pada kuartal III tahun 2020 (sebelum merger perusahaan) tiga

bank terkait. Angka yang tercantum berikut ini dinyatakan dalam triliun:

Nama Bank Aset Pembiayaan Dana Pihak Ketiga

BNI Syariah34 52,39 32,28 45,65

BRI Syariah35 56 40 48,7

Mandiri Syariah36 119,43 79,27 106,12

Total 227,82 151,55 200,47

Tabel 2.1 Data Aset, PYD dan DPK Tiga Bank Syariah (Sebelum Merger)

Sumber: Laporan Keuangan Triwulan III BNI Syariah, BRI Syariah dan

Mandiri Syariah

Berdasarkan data di atas yang diambil dari laporan keuangan bank pada

triwulan September 2020, diketahui bahwa total aset dari ketiga bank calon

merger adalah Rp227,82 triliun, dengan total pembiayaan yang diberikan senilai

Rp151,55 triliun, serta total Dana Pihak Ketiga yaitu Rp200,47 triliun.

Selanjutnya, data berikut ini adalah total aset, PYD, dan DPK dari seluruh unit

bank syariah di Indonesia berdasarkan statistik OJK per November 2020:37

Aset Pembiayaan Dana Pihak Ketiga

545,390 377,525 430,209

Tabel 2.2 Total Aset, PYD dan DPK Tiga Bank Syariah (Sebelum Merger)

Sumber: Statistik Perbankan Syariah OJK

33 Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli, Ps.17 34 Lihat Laporan Keuangan BNI Syariah Triwulan September 2020. 35 Lihat Publikasi Triwulanan BRIS September 2020. 36 Lihat Laporan Triwulan III Mandiri Syariah September 2020. 37 Otoritas Jasa Keuangan, Statistik Perbankan Syariah - November 2020, diakses dari

https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-statistik/statistik-perbankan-

syariah/Pages/Statistik-Perbankan-Syariah---November-2020.aspx, diakses pada 16 Februari 2020,

jam 19.45 WIB.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

186

Dengan mengkomparasi kedua data yang diperoleh dari laporan keuangan

masing-masing bank syariah dan statistik bank syariah di seluruh Indonesia, maka

dapat diketahui bahwa Bank Syariah Indonesia menguasai lebih dari 41% aset

yang ada dari seluruh Bank Syariah di Indonesia. Diperkirakan, aset Bank Syariah

Indonesia akan terus bertambah hingga mencapai lebih 46,6% dari seluruh Bank

Syariah yang ada di Indonesia. Belum lagi apabila terjadi merger kembali yang

dilakukan oleh Bank Syariah Indonesia di masa depan dengan bank syariah

lainnya. Berikut adalah perbandingan diagram antara aset Bank Syariah Indonesia

dengan seluruh unit Bank Syariah di Indonesia.

Grafik 2.1 Perbandingan Diagram Aset BSI dan Bank Syariah Lain

Sumber: Kreasi Penulis

Salah satu pengamat Bank Syariah, Dr. Rizqullah Thohuri, menyatakan

bahwa BSI akan menjadi bank syariah terbesar di Indonesia dan perkiraan

kapitalisasi pasarnya mencapai 40% bahkan bisa mencapai 50% apabila Unit

Usaha Syariah Bank BTN ikut serta bergabung. kapitalisasi pasar yang besar itu

tidak serta merta meningkatkan perekonomian syariah Indonesia, terlebih dalam

literasinya karena beban BSI juga akan besar. Total dari aset tiap-tiap bank yang

melakukan penggabungan jika ditotal akan setara dengan 46,46% dari total aset

perbankan syariah di seluruh Indonesia, sementara sisa asetnya dimiliki oleh bank

syariah lain.38 Namun, kapitalisasi yang besar ini justru akan membuat tidak

maksimalnya kompetisi di antara bank syariah untuk saling memperbaiki inovasi

serta pelayanan bagi masyarakat. Kemudian dengan kapitalisasi pasar yang besar

itu, Bank Syariah Indonesia bisa saja menentukan nisbah yang tidak bisa disaingi

oleh bank syariah lain serta akan berpotensi melanggar UU Larangan Monopoli.

38 Rizqullah Thohuri, Mau Kemana Merger Bank Syariah?, diakses dari

https://majalahteras.com/mau-kemana-merger-banksyariah, diakses pada 21 Januari 2021, jam

22.01 WIB.

Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro

Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum

Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli

187

Untuk saat ini, merger BSI secara operasional memang belum berjalan efektif dan

baru mulai beroperasi diperkirakan pada bulan Februari 2021. Namun apabila

melihat dari peluang yang ada, potensi pasar yang dimiliki oleh PT BSI akan

menguasai industri perbankan syariah di Indonesia dan berpotensi menimbulkan

terjadinya praktek monopoli.

Selain dilihat dari total asetnya yang besar, terdapat juga hal lain yang

menjadi pertimbangan suatu perusahaan itu berpotensi melakukan praktik

monopoli. Diantaranya yaitu, dengan menggunakan analisis konsentrasi pasar,

hambatan masuk pasar, potensi perilaku anti persaingan, efisiensi dan/atau

kepailitan.39 Pertama, konsentrasi pasar adalah pengaruh besar suatu perusahaan

terhadap perusahaan lainnya, yang dalam hal ini memang belum terlihat

bagaimana konsentrasi pasar Bank Syariah Indonesia. Namun dengan jumlah

pangsa pasar yang besar, bukan tidak mungkin setiap keputusan yang diambil oleh

Bank Syariah Indonesia akan mempengaruhi bank syariah lainnya.

Kedua, hambatan masuk pasar yang mengidentifikasi hambatan masuk

pasar dalam pasar yang bersangkutan.40 Apabila dikaitkan dengan merger BSI,

maka perkiraan hambatan masuk pasarnya adalah sulitnya pemain baru untuk

berkompetisi dengan BSI. Hambatan masuk pasar yang tinggi membuat merger

cenderung mengarah pada praktek monopoli.

Ketiga, dalam hal potensi perilaku anti persaingan. Apabila merger

melahirkan satu pelaku usaha yang relatif dominan daripada pelaku pasar lainnya

dan memberikan ruang bagi pelaku usaha tersebut untuk menyalahgunakan posisi

dominannya.41 Dalam hal ini, BSI memenuhi kriteria ini karena posisinya yang

dominan akibat merger yang dilakukan dengan kapitalisasi pasar yang besar.

39 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan

Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya

Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Ps. 3 ayat 2. 40 Shanti Rachmadsyah, Sampai Sejauh Mana Merger dan Akuisisi Dilarang oleh UU Anti

Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, dari

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5299/sampai-sejauh-mana-merger--akuisisi-

dilarang-oleh-uu-anti-monopoli-dan-persaingan-tidak-sehat/, diakses pada 16 Februari 2021, jam

19.37 WIB. 41 Shanti Rachmadsyah, Sampai Sejauh Mana Merger dan Akuisisi Dilarang oleh UU Anti

Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, dari

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5299/sampai-sejauh-mana-merger--akuisisi-

dilarang-oleh-uu-anti-monopoli-dan-persaingan-tidak-sehat/ diakses pada 16 Februari 2021, jam

19.37 WIB.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

188

Keempat, terkait efisiensi yaitu apabila merger dilakukan sebagai alasan

untuk efisiensi perusahaan. Dalam hal efisiensi perlu dilihat dampak anti

persaingan, apakah melampaui efisiensi atau tidak. Untuk hal ini perlu

diutamakan persaingan usaha yang sehat daripada efisiensi.42 Salah satu alasan

terbentuknya BSI adalah karena alasan supaya bank syariah bisa lebih efisien

dalam penggalangan dana, operasional, pembiayaan dan belanja.43 Seperti yang

sudah dijelaskan, sebelumnya bahwa merger ini berpotensi merugikan UMKM

dan Bank Syariah lainnya yang memiliki kapitalisasi pasar kecil serta berpotensi

menciptakan hambata bagi pemain baru Bank Syariah di masa yang akan datang.

Apabila keberadaan bank syariah yang menjadi pilihan di Indonesia menjadi

semakin sedikit, maka pilihan bagi masyarakat untuk memilih bank syariah

terbaik menjadi semakin minim. Maka, perbankan syariah tidak akan lagi tergerak

secara kompetitif untuk meningkatkan kualitas layanannya. Persaingan untuk

memperbaiki kualitas layanan perbankan syariah tidak akan terlalu intens lagi

dikarenakan ada satu bank syariah dengan kapitalisasi pasar yang sangat besar

yang mampu meningkatkan kualitas layanannya dengan jauh lebih baik daripada

bank syariah kecil. Sementara bank syariah kecil tidak akan mampu bersaing

dengan bank syariah besar karena nasabahnya yang sedikit. Pada titik inilah,

praktik monopoli bermula sebelum terjadi distorsi pasar yang besar.

Kasus perusahaan yang melakukan merger yang kemudian berubah menjadi

monopoli tidak sedikit, salah satunya seperti yang terjadi di Cina antara Coca-

Cola dengan Huiyuan. Usaha merger perusahaan untuk ekspansi bisnis secara

besar-besaran memang terkadang menimbulkan potensi munculnya persaingan

usaha yang tidak sehat. Contoh kasus di Cina misalnya, perihal persaingan usaha

yang tidak sehat, ketika Kementerian Perdagangan Cina memblokir rencana

merger Coca-Cola, salah satu brand raksasa minuman berkarbonasi dengan

Huiyuan, brand minuman jus kemasan yang juga memiliki nama besar di Cina.

42 Shanti Rachmadsyah, Sampai Sejauh Mana Merger dan Akuisisi Dilarang oleh UU Anti

Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, dari

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5299/sampai-sejauh-mana-merger--akuisisi-

dilarang-oleh-uu-anti-monopoli-dan-persaingan-tidak-sehat/ diakses pada 16 Februari 2021, jam

19.37 WIB. 43 Lida Puspaningtyas, 7 Alasan Pentingnya Merger Bank Syariah BUMN, dari

https://republika.co.id/berita/qi6gay440/7-alasan-merger-bank-syariah-milik-bumn, diakses pada

16 Februari 2021, jam 20.07 WIB.

Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro

Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum

Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli

189

Alasannya karena Kementerian Perdagangan merasa merger Coca-Cola dengan

Huiyuan akan menyebabkan Coca-Cola melebarkan dominasinya sebagai merek

minuman berkarbonasi raksasa ke pasar minuman jus. Merger Coca-Cola itu akan

memonopoli pasar minuman jus dengan menjadikan merek gabungan mereka

dominan di pasar. Selain itu, dominasi Coca-Cola dan Huiyuan diduga akan

menghambat persaingan dengan pengusaha jus lainnya di Cina sehingga akan

menyulitkan pedagang kecil masuk ke pasar dan bersaing di pasar tersebut.44

Pemblokiran rencana merger Coca-Cola dan Huiyuan dilakukan untuk

mencegah distorsi pasar karena adanya potensi praktik monopoli. Sebagaimana

mekanisme pada zaman Khulafaurrasyidin, yaitu pada pasar Suqul Anshar (pasar

khusus umat Islam), di mana harga tidak ditetapkan oleh pihak mana pun

melainkan ditentukan oleh faktor supply dan demand. Hanya saja untuk menjaga

keseimbangan pasar, dibentuk suatu pengawas pasar yang disebut al-Hisbah. Al-

Hisbah ini berfungsi mengawasi jalannya pasar dan mencegah jika terjadi

kecurangan.45 Apa yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan Cina adalah

sama dengan pengawasan yang dilakukan oleh al-Hisbah guna menjaga

keseimbangan pasar. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia seharusnya juga

berperan untuk mengontrol pasar jika diduga adanya potensi persaingan usaha

yang tidak sehat, seperti yang dilakukan oleh para khalifah di pasar Suqul Anshar.

Pada akhirnya, ekosistem ekonomi syariah yang terpadu dalam industri

perbankan syariah di Indonesia lebih urgen untuk dibangun daripada sekadar

menambah kapitalisasi pasar bank syariah di Indonesia. Apabila pemerintah

memiliki niat yang kuat untuk meningkatkan ekosistem syariah, maka lebih baik

untuk meningkatkan pelayanan dan permodalan dari setiap bank syariah, dalam

hal ini penambahan modal dilakukan tidak dengan merger melainkan dengan

diberikan suntikan modal. Selain itu, daripada merger yang mengurangi jumlah

bank syariah, akan lebih baik untuk mendorong tumbuhnya banyak bank syariah

baru yang dapat meningkatkan iklim persaingan usaha supaya lebih kompetitif

bagi bank syariah untuk berlomba meningkatkan pelayanannya.

44 Nishan E. Hyder Soomro, Asif Khan dan Ahmed Arafa, Anti-monopoly Law of China: A

Case Study of Coca Cola’s Proposed Merger with Huiyuan, International Journal of Business and

Economics Research, Vol.10, No.1 (2021), p.36-38. 45 Suwandi, M. Hakimi Mohd Shafiai dan Wan Nasyrudin Wan Abdullah, Pasar Islam

(Kajian Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW), Al Risalah, Vol.16, No.1 (Juni 2016), p.135-136.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

190

C. PENUTUP

1. Kesimpulan

Monopoli dalam teori ekonomi konvensional adalah kondisi di mana dalam

suatu pasar hanya terdapat satu produsen tunggal yang dapat bertindak sebagai

pembuat harga (price maker). Sementara monopoli dalam teori ekonomi syariah

yang dikenal sebagai Iftikhar, secara etimologi berasal dari kata alhukr yang

artinya al-zhulm wa al-‘isâ’ah al-mu‘âsyarah, yaitu berbuat aniaya dan

sewenang-wenang. Istilah Iftikhar muncul dilatarbelakangi dengan peristiwa

penimbunan makanan oleh hamba sahaya yang disaksikan oleh Umar bin Khattab.

Meskipun secara teori keduanya terlihat seperti dua konsep yang berbeda,

sebetulnya monopoli baik dalam teori ekonomi konvensional maupun teori

ekonomi syariah adalah dua hal yang sama, dikarenakan keduanya sama-sama

menghendaki adanya keuntungan yang besar dengan cara yang merugikan orang

lain. Oleh karena itu, perbuatan dalam bentuk apapun sekalipun bukan merupakan

penimbunan harta (menurut teori ekonomi syariah) selama niatnya mendapat

keuntungan besar dengan menzalimi orang lain, adalah termasuk perbuatan

monopoli dan tidak sesuai dengan fiqih Islam. Hal ini juga selaras dengan

peradaban yang terus berkembang sehingga konsep dari monopoli itu diperluas,

disesuaikan dengan konsep-konsep ekonomi baru yang ada di zaman modern.

Baru-baru ini, terjadi fenomena penggabungan usaha (merger) antara tiga

Bank BUMN: PT Bank BRI Syariah, PT Bank Syariah Mandiri dan PT Bank BNI

Syariah, dengan bank baru hasil merger akan diberi nama PT Bank Syariah

Indonesia Tbk. Ketiganya adalah bank syariah yang memiliki pangsa pasar cukup

besar di industri perbankan syariah. Ketiga aset dari bank tersebut jika

digabungkan, ditambah dengan unit usaha syariah dari bank lain, adalah hampir

dari 50% jumlah total aset perbankan syariah di Indonesia. Dikhawatirkan praktik

merger ini dapat mengandung unsur monopoli. Bank syariah sendiri sebagaimana

diatur dalam UU Perbankan Syariah sudah jelas dilarang untuk melakukan

kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah; dalam hal ini

mengandung unsur zalim. Praktik monopoli termasuk ke dalam perbuatan yang

mengandung unsur zalim karena menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.

Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro

Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum

Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli

191

Terjadinya penggabungan tiga bank BUMN ini dikhawatirkan meminimalisasi

jumlah pilihan bank syariah yang di Indonesia dan membuat persaingan untuk

memperbaiki kualitas layanan perbankan syariah tidak lagi berjalan intens.

Mengingat sampai saat ini, per Januari 2021, PT Bank Syariah Indonesia sebagai

bank hasil merger belum beroperasi secara efektif, maka belum ada data yang kuat

untuk menentukan apakah ada unsur monopoli dalam fenomena merger tersebut.

Namun apabila melihat dari peluang yang ada, potensi pasar yang dimiliki oleh

PT Bank Syariah Indonesia akan menguasai industri perbankan syariah di

Indonesia dan menimbulkan potensi terjadinya praktek monopoli.

2. Saran

a. Meningkatkan iklim perekonomian syariah tidak hanya bisa dilakukan

dengan merger. Pemerintah dapat membangun bank syariah negeri yang

berdiri sendiri tanpa bersamaan dengan bank konvensional.

b. Pemerintah dapat memberikan stimulus dan memaksimalkan bank

syariah yang sudah ada untuk memaksimalkan persaingan usaha

sehingga bank syariah akan berlomba-lomba memperbaiki pelayanannya.

c. Masing-masing bank syariah dapat melakukan sosialisasi kepada

masyarakat terkait bagaimana sistem perekonomian syariah jauh lebih

menguntungkan dan sehat bagi kondisi keuangan mereka.

d. Pemerintah dapat menambah pengetahuan masyarakat terkait

perekonomian syariah melalui pendidikan formal. Jadi, di sekolah yang

dipelajari oleh siswa tidak hanya ekonomi konvensional saja, namun juga

memberikan pengetahuan di bidang perekonomian syariah yang

ditujukan untuk jenjang tertentu.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

192

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Basuki, Agus Tri dan Nano Prawoto. 2014. Pengantar Teori Ekonomi.

(Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka Nurani).

Dewi, Gemala, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti. 2018. Hukum Perikatan

Islam di Indonesia. (Depok: Penerbit Prenada Media Group).

Nurhayati, Sri dan Wasilah Abdullah. 2009. Akuntansi Syariah di Indonesia.

(Jakarta: Penerbit Salemba Empat).

Suhendi, Hendi. 1997. Fiqih Muamalah. (Bandung: Penerbit Gunung Djati Press).

Publikasi

Aji, Didik Kusno. Konsep Monopoli dalam Tinjauan Ekonomi Islam. Jurnal

Hukum dan Ekonomi Syariah. Vol.13. No.2 (2013).

Aminursita, Orsidia dan M. Faisal Abdullah. Identifikasi Struktur Pasar pada

Industri Keramik di Kota Malang. Jurnal Ilmu Ekonomi. Vol.2. No.3

(2018).

Fatah, Dede Abdul. Monopoli dalam Perspektif Ekonomi Islam. Al Iqtishad.

Vol.4. No.2 (2012).

Hakim, Lukman. Ihtikar dan Permasalahannya dalam Perspektif Hukum Islam.

Jurnal Darussalam. Vol.7. No.2 (April 2016).

Iswandi, Andi. Maslahat Memelihara Harta dalam Sistem Ekonomi Islam. Jurnal

Filsafat dan Budaya Hukum. Vol.1. No.1 (2014).

Meriyanti. Pemikiran Tokoh Ekonomi Islam: Ibnu Taimiyah. Islamic Banking.

Vol.2. No.1 (Agustus 2016).

Mursal. Implementasi Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah: Alternatif Mewujudkan

Kesejahteraan Berkeadilan. Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam. Vol.1

No.1 (2015).

Putra, Dadi Permana. Isu-Isu Kontemporer Hukum Bisnis Syariah (Monopoli

dalam Bisnis Syariah). Tahkim. Vol.xiv. No.2 (Desember 2018).

Rizal, Sofyan. Titik Temu dan Sinergi Ekonomi Islam dan Ekonomi Kerakyatan.

Al-Iqtishad. Vol.3. No.1 (2011).

Soomro, Nishan E. Hyder, Asif Khan dan Ahmed Arafa. Anti-monopoly Law of

China: A Case Study of Coca Cola’s Proposed Merger with Huiyuan.

International Journal of Business and Economics Research. Vol.10. No.1

(2021).

Suwandi, M. Hakimi Mohd Shafiai dan Wan Nasyrudin Wan Abdullah. Pasar

Islam (Kajian Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW). Al Risalah. Vol.16.

No.1 (Juni 2016).

Syhabudin, Abu. Keadilan dan Kezaliman dalam Perspektif Al-Qur’an. Al-

Akhbar. Vol.7. No.2 (2018).

Wahyuni, Afidah. Penimbunan Barang dalam Perspektif Hukum Islam. Al

Iqtishad. Vol.2. No.2 (Juli 2010).

Wahyuningsih, Diah, dkk.. Analisis Perilaku Nasabah dalam Pembiayaan di

Bank Syariah Mandiri. Media Trend. Vol.9. No.1 (2014).

Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro

Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum

Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli

193

Website

Indonesia, Bank Negara. Rampungkan Rencana Merger 3 Bank Syariah, Bank

Hasil Penggabungan akan Berevolusi Jadi Bank Syariah Nasional

Terbesar. Diakses dari https://www.bnisyariah.co.id/id-

id/beranda/berita/siaranpers/ArticleID/3015/Rampungkan%20Rencana%20

Merger%203%20Bank%20Syariah,%20Bank%20Hasil%20Penggabungan

%20akan%20Berevolusi%20Jadi%20Bank%20Syariah%20Nasional%20Te

rbesar. diakses pada 20 Januari 2021.

Fajrian (Ed.), Happy. Rencana Merger Disetujui, Bank Syariah Indonesia

Beroperasi 1 Februari. diakses dari

https://katadata.co.id/happyfajrian/finansial/5fd8bbca0ddbc/rencana-

merger-disetujui-bank-syariah-indonesia-beroperasi-1-februari. diakses pada

20 Januari 2021.

Johan, Arvie. Larangan Monopoli Menurut Hukum Islam dan Perhatian yang

Sebaiknya Diberikan: Pendekatan Hukum dan Ekonomi. diakses dari

https://www.researchgate.net/publication/269404937_LARANGAN_MON

OPOLI_MENURUT_HUKUM_ISLAM_DAN_PERHATIAN_YANG_SE

BAIKNYA_DIBERIKAN_PENDEKATAN. diakses pada 20 Januari 2021.

Thohuri, Rizqullah. Mau Kemana Merger Bank Syariah?. diakses dari

https://majalahteras.com/mau-kemana-merger-banksyariah. diakses pada 21

Januari 2021.

Prayoga, Fadel. 7 Fakta Muhammadiyah Tarik Semua Dana di Bank Syariah

Indonesia: Kenapa dan Mengapa?. diakses dari

https://economy.okezone.com/read/2020/12/20/320/2330934/7-fakta-

muhammadiyah-tarik-semua-dana-di-bank-syariah-indonesia-kenapa-dan-

mengapa?page=2. diakses pada 21 Januari 2021.

Fitra, Safrezi. Merger 3 Bank BUMN Jadi Bank Syariah Indonesia, Target 10

Besar Dunia. diakses dari

https://katadata.co.id/safrezifitra/finansial/5fd350a2cb228/merger-3-bank-

bumn-jadi-bank-syariah-indonesia-target-10-besar-dunia. diakses pada 22

Januari 2021.

Otoritas Jasa Keuangan. Statistik Perbankan Syariah - November 2020, diakses

dari https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-statistik/statistik-

perbankan-syariah/Pages/Statistik-Perbankan-Syariah---November-

2020.aspx. diakses pada 16 Februari 2020.

Richard, M. dan Annisa S. Rini. OJK Utak-Atik Aturan, Hanya 4 Bank Ini

Bertahan di Kasta Teratas. diakses dari

https://finansial.bisnis.com/read/20210107/90/1340049/ojk-utak-atik-

aturan-hanya-4-bank-ini-bertahan-di-kasta-teratas. diakses pada 23 Januari

2021.

Thohuri, Rizqullah. Mau Kemana Merger Bank Syariah?. diakses dari

https://majalahteras.com/mau-kemana-merger-banksyariah. diakses pada 21

Januari 2021

Puspaningtyas, Lida. 7 Alasan Pentingnya Merger Bank Syariah BUMN. dari

https://republika.co.id/berita/qi6gay440/7-alasan-merger-bank-syariah-

milik-bumn. diakses pada 16 Februari 2021IB.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)

https://jhlg.rewangrencang.com/

194

Rachmadsyah, Shanti. Sampai Sejauh Mana Merger dan Akuisisi Dilarang oleh

UU Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. dari

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5299/sampai-sejauh-

mana-merger--akuisisi-dilarang-oleh-uu-anti-monopoli-dan-persaingan-

tidak-sehat/. diakses pada 16 Februari 2021.

Sumber Hukum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1999 Nomor 5. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3817.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94. Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4867.

Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau

Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang

Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 89.

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5144.

Sumber Hukum Islam

Al-Qur’an.

Hadis Riwayat at-Tabrani.

Hadis Riwayat Ibnu Majah dan Abu Hurairah. Hadis Riwayat Imam Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi.

Nomor ISSN: 2746-4075