JUDUL SKRIPSI : "Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang...
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of JUDUL SKRIPSI : "Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang...
JUDUL SKRIPSI : “Persembahyangan Purnama Tilem di Pura
Kahyangan Tiga Desa Pakraman AlasngandangKecamatan Rendang Kabupaten Karangasem
(Perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu)”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Agama Hindu merupakan agama yang tertua di dunia, ajaran-
ajaranya bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan wahyu
Tuhan Yang Maha Esa. Bila seseorang secara mantap mengikuti semua
ajaran agama yang bersumber pada sabda suci Tuhan Yang Maha Esa
itu, maka akan diperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup yang
sejati yang disebut “Moksatam jagadhita ya ca iti dharma”(Titib,
2003 :2).
1
Agama Hindu dikatakan agama yang luwes atau sering disebut
dengan agama fleksibel. Ini dikarenakan agama Hindu khususnya di
Bali menyesuikan dengan sistem desa, kala dan patra. Dalam agama
Hindu banyak terdapat ajaran-ajaran yang tentunya tidak
menyimpang dari kitab suci Veda. Salah satu ajaran yang
terpenting dan merupakan dasar atau landasan bagi umat Hindu
dalam pelaksanaan suatu aktivitas keagamaan adalah ajaran Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu yang berisikan tattwa, etika dan ritual. Dimana
peranan ketiga hal tersebut tidak pernah lepas dalam pelaksanaan
suatu kegiatan atau aktifitas agama Hindu. Seperti dalam bukunya
Suhardana disebutkan : “ Barang siapa yang ingin mendalami dan
mempelajari Agama Hindu tersebut hendaknya memahahami betul
ketiga kerangka dasar Agama Hindu itu yaitu tattwa, susila dan ritual”
(Suhardana 2006 : 6).
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga konsep yang
mendasari ajaran Agama Hindu tersebut. Tattwa, susila dan ritual atau
upacara merupakan satu kesatuan yang utuh yang harus
dilaksanakan secara seimbang dalam melaksanakan suatu aktivitas
agama Hindu. Karena ketiga aspek ini saling melengkapi satu
dengan yang lainnya. Kalau salah satu dari ketiga aspek tersebut
tidak dilaksanakan dengan baik, maka tujuan dari agama Hindu
yaitu “Moksatam jagadhita ya ca iti dharma” tidak akan tercapai dengan
sempurna. Sehingga dalam setiap melaksanakan aktivitas agama
Hindu terutama dalam hal yadnya atau persembahan suci tentu tidak
pernah lepas dari konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu (Sudharta,
2007 : 5).
Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa
Pakraman Alasngandang. Yang secara rutin dilaksanakan setiap lima
belas hari sekali secara bergiliran sesuai pembagian tempek oleh
masyarakat Desa Pakraman Alasngandang. Dalam pelaksanaan
persembahyangan purnama tilem yang termasuk bagian dari upacara
Dewa Yadnya tentunya tidak pernah lepas dari konsep Tri Kerangka Dasar
Agama Hindu yang menjadi landasan terpenting yaitu dalam bidang
tattwa atau filosofis ketuhanan, dalam bidang susila atau etika
dalam berprilaku dan dalam bidang ritual atau upacaranya.
Secara realita yang ada disekitar khususnya di Desa Pakraman
Alasngandang, pelaksanaan persembahyangan purnama tilem kalau
dilihat sepintas tidak diragukan lagi mengenai hal ritual atau
upacaranya. Tetapi dalam hal etika dan tattwa atau filsafatnya kurang
dipahami dan terkadang dikesampingkan. Sebagian besar masyarakat
Desa Pakraman Alasngandang didalam melaksanakan ritual atau upacara
persembahyangan purnama tilem belum memahami secara benar
bagaimanakah cara beretika dengan baik dan semua hal tersebut
berdasarkan tattwa yang mana. Hal inilah yang menjadi kebiasaan
kurang baik oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang khususnya
dalam melaksanakan suatu aktivitas keagamaan.
Etika masyarakat Desa Pakraman Alasngandang dalam
melaksanakan upacara persembahyangan belum sesuai dengan apa yang
diharapkan sesuai dengan konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
Seperti bagaimana sikap duduk yang benar dalam sembahyang,
bagaimana etika dalam nunas tirta yang baik, bagaimana etika dalam
menggunakan bija yang benar dan semua itu berdasarkan tattwa yang
mana. Hal inilah yang belum dipahami dan dilaksanakan dengan baik
oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang dalam melaksanakan
upacara persembahyangan purnama tilem. Contohnya dalam muspa
kramaning sembah, sikap duduk wanita ada yang menggunakan sikap
silasana ada yang menggunakan sikap bajrasana, hal inilah yang perlu
dibenahi supaya kebiasaan yang kurang baik tersebut tidak
berlanjut pada generasi muda Hindu kedepan khususnya masyarakat
Desa Pakraman Alasngandang.
Tattwa merupakan inti dari ajaran agama Hindu yang belum
dipahami secara benar oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang
terutama pada pelaksanaan persembahyangan purnama tilem tersebut.
Seperti tattwa atau filosofis dalam sarana upakara dupa, bunga,
kuwangen, canang dan lain sebagainya belum diketahui oleh
sebagian besar masyarakat Desa Pakraman Alasngandang. Masih banyak
tattwa dan etika serta upacaranya yang perlu dipahami dan
dilaksanakan sesuai dengan konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu sebagai pedoman dasar dalam
melaksanakan aktivitas keagamaan khususnya dalam persembahyangan
purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang, supaya
tujuan agama Hindu dapat tercapai dengan benar. Sehingga dari
latar belakang ini peneliti tertarik untuk menjadikan suatu obyek
penelitian menjadi sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi.
Peneliti ingin mengetahui penerapan ajaran tattwa, etika serta
upacaranya dalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman
Alasngandang. Yang kemudian peneliti mengangkat judul
“Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman
Alasngandang Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem (Perspektif
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu)”.
1.2 Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang yang dikemukakan diatas,
maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga
Desa Pakraman Alasngandang dalam Perspektif Tri Kerangka Dasar Agama
Hindu?
2. Nilai-Nilai Pendidikan apakah yang terdapat dalam
Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman
Alasngandang?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian yang berbentuk ilmiah sudah tentu dilandasi
dengan tujuan yang ingin dicapai, sebab berhasil tidaknya suatu
penelitian ditentukan oleh jelas tidaknya tujuan itu sendiri.
Tujuan merupakan syarat yang mutlak yang harus ada dalam
penelitian. Penelitian yang baik adalah penelitian yang tidak
saja berhasil mengungkapkan masalah dan mencari solusi atau
pemecahan dari permasalahan tersebut, akan tetapi yang lebih
penting adalah bagaimana hasil dari penelitian ini memiliki daya
efektif untuk mencapai sasaran dan tujuan. Setiap kegiatan yang
dilakukan dibuat suatu perencanaan yang matang, sehingga dalam
pelaksanaannya dapat meminimalkan hambatan yang akan ditemui
serta hasil yang akan dicapai sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan. Demikian pula dengan penelitian ini sudah tentu
memiliki tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan dari
penelitian ini meliputi dua tujuan pokok, yaitu tujuan yang
bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan sebagai salah satu
persyaratan untuk menyelesaikan jenjang starata satu (S1) pada
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, secara umum penelitian ini
juga bertujuan sebagai pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu
Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Selain itu
penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan sumbangan
pemikiran serta memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya
ilmu pengetahuan tentang tattwa, etika dan ritual dalam
Persembahyangan Purnama Tilem, sehingga dapat dijadikan pedoman
dan landasan dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis baik lahir
maupun bathin.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan secara khusus yang ingin dicapai dalam
penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah
sebagai berikut :
1 Untuk mengetahui persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan
Tiga Desa Pakraman Alasngandang dalam perspektif Tri Kerangka Dasar
Agama Hindu.
2 Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam
Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman
Alasngandang.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah nilai guna dari kegiatan
penelitian. Setiap penulisan karya ilmiah atau penelitian sudah
tentu memiliki manfaat atau guna yang ingin dicapai berupa hasil
yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan saat ini maupun yang
akan datang. Melalui pelaksanaan penelitian ini diharapkan
hasilnya dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun
praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan menambah bahan
pustaka mengenai persembahyangan purnama tilem yang berdasarkan
tattwa, etika dan ritual yang dirangkum dalam ajaran Tri Kerangka Dasar
Agama Hindu. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
positif bagi pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan,
khususnya tentang ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan maamfaat praktis
sebagai berikut :
1. Mendapatkan pengetahuan yang lebih tentang tattwa, etika, dan
ritual dalam ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu khususnya bagi
masyarakat Desa Pakraman Alasngandang.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pengetahuan
bagi yang ingin lebih mendalami ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
3. Bagi masyarakat, dapat digunakan sebagai bahan acuan dan
pertimbangan dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem
dengan tatwa, etika dan ritual yang baik dan benar.
KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN KONSEP DAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam
mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan subyek penelitian
yang akan dilaksanakan. Dalam suatu karya ilmiah, penggunaan
kajian pustaka sangat penting dalam mendukung, mengungkapkan,
serta menghasilkan suatu karya ilmiah yang berbobot. Dalam kajian
pustaka ini, peneliti mencari sumber data kepustakaan sebagai
pendukung khasanah pengetahuan, pustaka pembanding, serta
menunjukkan perbedaan arah penelitian untuk meminimalisir
kesamaan kajian. Kajian pustaka meliputi pengidentifikasian
secara sistematis penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang
memuat informasi berkaitan dengan masalah penelitian (Sugiyono,
2007 : 80).
Kajian pustaka yang akan dikaji dalam mendukung penelitian
ini, baik dalam bentuk pustaka-pustaka, buku-buku, karya ilmiah
yang berupa skripsi dipandang perlu dan bermanfaat dalam upaya
melaksanakan penelitian ini, sehingga tidak terjadi kesamaan
dalam pembahasan sebuah objek penelitian. Adapun beberapa sumber
pustaka atau hasil penelitian yang dijadikan sebagai bahan kajian
pustaka antara lain sebagai berikut:
Dewi (2008), dalam penelitiannya “Pelaksanaan
Persembahyangan Purnama Tilem Kampus IHD Negeri Denpasar di
Singaraja (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu)”. Penelitian
ini membahas tentang bagaimana proses pelaksanaan persembahyangan
purnama tilem serta makna folosofis dari pelaksanaan
persembahyangan purnama tilem tersebut. Sehingga penelitian ini
dapat dijadikan acuan dalam membahas makna dan proses pelaksanaan
persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang.
Widana (2009), dalam penelitiannya “Esensi Pelaksanaan
Persembahyangan Purnama Tilem Dalam Meningkatkan Kualitas Sraddha
Bhakti Sisswa di SD Dangin Tukap Tahun Pelajaran 2008/2009”. Dalam
penelitian ini membahas esensi pelaksanaan persembahyangan
purnama tilem terutama dalam meningkatkan sradha dan bhakti siswa,
selain itu membahas tentang nilai-nilai pendidikan yang
terkandung dalam pelaksanaan persembahyangan purnama tilem
tersebut. Dalam hubungannya dengan penellitian ini, proses
persembahyangan purnama tilem tersebut dapat meningkatkan
pengetahuan tattwa, etika serta ritual masyarakat Desa Pakraman
Alasngandang yang sesuai dengan ajaran Tri Kerangka Dasar agama Hindu.
Subagiasta (2006), dalam bukunya berjudul “ Teologi,
Filsafat, Etika dan Ritual dalam Susastra Hindu” buku ini
memberikan sumbangan mengenai nilai-nilai ajaran agama Hindu,
terutama tentang teologi Hindu, Filsafat Hindu, Etika Hindu dan
Ritual Hindu yang tersurat dalam beberapa susastra Hindu.
Walaupun paparan buku kecil ini masih sangat terbatas, tentunya
memiliki harapan mulia untuk bisa membangkitkan kecintaan pembaca
terhadap beberapa susastra Hindu yang sarat dengan nilai
kerohaniannya. Tentang filsafat Hindu dipaparkan dalam susastra
Buana Kosa, Kusuma Dewa, Gong Besi, Siwagama, purana-purana, kuturan tattwa,
tentang Etika Hindu dipaparkan sesuai susastra Sila Krama dan
Slokantara. Sedangkan tentang ritual dipaparkan sesuai Kusuma Dewa,
Siwa Gama dan Gong Besi. Sehingga buku ini dapat dijadikan pedoman
dalam membahas ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dalam
persembahyangan purnama tilem tersebut.
Rudia (2004), dalam bukunya yang berjudul : “ Dasar-dasar
Agama Hindu” memuat tentang dasar-dasar agama Hindu yaitu
pengertian tattwa atau filsafat, etika dan upacara serta
pengetahuan dasar-dasar agama Hindu mulai adri pokok-pokok Sradha
dalam agama Hindu sampai dengan upacara-upacara Yadnya yang
menyagkut hari-hari suci agama Hindu diantaranya adalah Purnama
Tilem. Isi dari buku ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam
penelitian persembahyangan puranma tilem yang tidak akan lepas
dari dasar-dasar agama Hindu yaitu tattwa, etika dan ritual.
Raras (2004) dalam bukunya “ Purnama Tilem “ buku ini
membahas tentang pengertian, makna filosofis beserta sejarah
purnama tilem. Terkait dengan obyek penelitian yaitu upacara
persembahyangan Purnama Tilem tersebut, buku ini sangat cocok dan
menunjang dalam pembuatan penelitian ini. Karena buku ini
memaparkan secara rinci tentang bagaimana pelaksanaan upacara
Purnama Tilem tersebut baik dalam hal makna bersta sejarah purnama
tilem tersebut.
Wiana (1992), dalam bukunya “Sembahyang Menurut Hindu” buku
ini menjelaskan tuntunan dan manfaat bersembahyang, tetapi juga
menjelaskan dengan rinci apa arti dan fungsi sarana
persembahyangan bagi umat Hindu, seperti air, bunga, api dan
lain-lain. Dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah membahas
tentang tata cara persembahyangan khususnya pada Persembahyangan
purnama tilem, baik dari segi manfaat, fungsi serta sarana yang
digunakan didalam persembahyangan purnama tilem. Sehingga buku
ini sangat tepat dijadikan acuan dalam penulisan karya ilmiah ini
yang membahas tentang persembahyangan purnama tilem dalam
perspektif Tri Kerangka Dasar agama Hindu di Desa Pakraman
Alasngandang.
2.2 Landasan Konsep
Konsep merupakan suatu pengertian yang harus terlebih dahulu
dipahami di dalam suatu penelitian ilmiah. Landasan konsep
merupakan teori-teori baku yang digunakan sebagai landasan dasar
di dalam menjawab semua permasalahan yang diajukan. Konsep sangat
perlu ada dalam sebuah penelitian agar penelitian tesebut
mempunyai dasar yang kokoh dan mendapatkan hasil yang ilmiah
(Sugiyono, 2007 : 81).
Landasan konsep dalam penulisan ini memuat uraian
sistematis tentang pemikiran yang ada hubungannya dengan
penelitian yang dilakukan. Penulis mencari pengertian-pengertian
atau konsep-konsep yang relevan dengan variabel-variabel yang
menjadi topik penelitian ini, sehingga diperoleh pemahaman yang
komprehensif terhadap permasalahan yang dikemukakan berturut-
turut yaitu tentang (1). Persembahyangan (2). Purnama Tilem (3).
Pura Kahyangan Tiga (4). Desa Pakraman (5). Perspektif (6). Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu.
Kata “Persembahyangan” merupakan kata dasar dari sembah dan
Hyang. Kata “Sembah” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang memiliki
arti “menyayangi, menghormati, memohon, menyerahkan diri dan
menyatukan” Sedangkan kata “Hyang” artingan suci. Dengan
demikian Sembahyang berarti menyembah yang suci, diantara yang
suci itu, yang maha suci adalah Tuhan Yang Maha Esa. Hakekat
sembahyang sebagai langkah awal untuk dapat mendayagunakan
kepercayaan dan bhakti umat kepada Tuhan untuk meningkatkan
harkat dan martabat kehidupan manusia (PHDI, 2009 : 1).
Pada Kenyataannya semua agama mengajarkan uamatnya memuja
Tuhan secara individu dan dengan cara bersama-sama. Sembahyang
sendiri (individual) disebut Ekanta dan sembahyang dengan
bersama-sama atau kelompok disebut dengan Samkirtanam. Karena
manusia pada hakekatnya memiliki dua dimensi yaitu manusia
sebagai makhluk individu dan manusia sebagai makhluk sosial.
Dalam Persembahyangan bersama sifat dan karakter manusianya
berbeda-beda seperti bersifat sattwam, rajasika dan tamasika
(PHDI, 2009 :2)
Persembahyangan disini memiliki pengertian yang cukup luas,
yaitu melakukan pemujaan dan penghormatan kepada Dewa atau Tuhan
Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atau kepada sesuatu yang
suci dalam hal ini adalah persembahyangan purnama tilem dalam
perspektif Tri Kerangka Dasar agama Hindu.
Kata Purnama berasal dari kata “purna” yang artinya sempurna.
Purnama dalam kamus umum Bahasa Indonesia berarti bulan yang
bundar atau sempurna (tanggal 14 dan 15 kamariah). Sedangkan
Tilem artinya bulan mati atau gelap. Pada hari Purnama yang
beryoga adalah Sang Hyang Candra (Sang Hyang Wulan) yang merupakan
hari penyucian Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu Sang Hyang Surya dan Sang
Hyang Wulan. Sedangkan pada hari Tilem yang beryoga adalah Sang
Hyang Surya, yang sekaligus merupakan hari penyucian Sang Hyang Rwa
Bhineda yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Wulan. Pada waktu
Candra Graha (gerhana bulan) pujalah beliau dengan Candra Sthawa
(sama Sthawa). Pada waktu Surya Graha (gerhana matahari) pujalah
beliau dengan Surya Cakra (Bhuana Sthawa) (Niken Tambang 2004 : 6).
Hari purnama tilem datang setiap 15 hari. Dari hari purnama
mencari tilem ada 15 Panglong atau 15 hari, sedangkan dari hari
tilem mencari Purnama ada 15 Penanggal atau 15 hari. Dari purnama
mencari purnama kembali lamanya 30 hari, begitu juga dari tilem
mencarai tilem kembali lamanya 30 hari. Sehari setelah purnama
sampai tilem disebut Panglong, sedangkan sehari setelah tilem
sampai purnama disebut Penanggal. Sehari sebelum hari purnama
disebut dengan Purwanining Purnama (Penanggal 14), sedangkan sehari
sebelum hari tilem disebut dengan Purwanining Tilem (Panglong 14).
Hal inilah yang perlu diperhatikan dan di ingat dalam menentukan
hari-hari suci yang terletak pada Purnama Tilem tersebut.
Istilah pura berasal dari kata “pur” yang artinya kota, benteng, atau kota yang berbenteng. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan dikelilingi atau dibentengi dengan tembok atau pagar untuk memisahkan dengan duniadi sekitarnya yang dianggap tidak suci. Istilah Pura dipergunakansebagai tempat pemujaan umat Hindu di Bali (Oka Netra, 1994: 83-84).
Sebelum dikenal istilah Pura, untuk menunjukkan tempat pemujaan Hindu di Bali dikenal istilah Kahyangan atau Hyang bahkan pada zaman Bali kuno dipakai istilah “Ulon” yang berarti tempat suci atau tempat yang dipakai untuk berhu8bungan dengan Ketuhanan. Hal ini dimuat dalam Prasasti Sukawana AI (Th. 882 M).demikian pula Prasasti Pura Kehen menyebutkan istilah Hyang. Menurut Lontar Usana Dewa Mpu Kuturan lah yang mengajarkan umat Hindu di Bali membuat Kahyangan Dewa seperti cara membuat pemujaanDewa di Jawa timur.
Dalam bukunya Sumantra (166 : 2009) menjelaskan bahwa,
Kahyangan atau Prahyangan berasal dari kata Hyang (biasanya
dihubungkan dengan Sang, Dang), merupakan kata sandang yang
ditempatkan didepan sesuatu yang simuliakan, di hormati.
Sedangkan Menurut Tim Penyusun Buku Pelajaran Agama Hindu untuk
SMU Kahyangan adalah Tempat pemujaan Tuhan oleh umat Hindu di
Indonesia khususnya di Bali dan kata Tiga mempunyai arti nama
bilangan bagi lambing bilangan asli 3 jadi pengertian Pura
Kayangan Tiga dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah tempa
suci umat Hindu yang difungsikan untuk melaksanakan pemujaan
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawanya atau
manefestasinya sebagai Tri Wisesa atau Tri Murti. Jenis Pura yang
tergolong dalam Pura Kayangan Tiga adalah
2.2.4. Desa Pakraman
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa desa
adalah :
Sedangkan menurut Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman, menyebutkan Desa Pakraman adalah kesatuan
masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu
kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat
Hindu secara turun temurun dalam ikatan Khayangan Tiga atau
Khayangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam satu
Desa Pekraman bisa terdiri dari satu atau lebih Banjar Pekraman.
Tjokorda Raka Dherana (1982:36) dalam bukunya yang berjudul “Pembinaan Awig-Awig Desa Pakraman Dalam Tertib Masyarakat” mengatakan bahwa istilah desa mengandung dua pengertian, yaitu:
Desa Pakraman dalam pengertian ini menunjuk kepada suatu wilayah yang dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu, kecuali dibeberapa desa dalam kota atau desa-desa yang terletak di pinggir pantai yang penduduknya sudah heterogen dan terdiri dari berbagaiumat beragama. Di Bali sekarang ini konsep desa mengandung dua pengertian. Pertama, desa sebagai komunitas yang bersifat sosial,religius, tradisional, adalah satu kesatuan wilayah di mana para warganya secara bersama-sama atas tanggungan bersama mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara-upacara keagamaan,
kegiatan-kegiatan sosial yang ditata oleh sistem budaya. Organisasi desa dalam pengertian ini disebut Desa Pakraman. Rasa kesatuan sebagai Desa Pakraman diikat oleh faktor Tri Hita Karana, yaitu:
Kedua desa sebagai komunitas yang lebih bersifat administratif atau kedinasan, yaitu satu kesatuan wilayah di bawah kecamatan dan dikepalai oleh seorang Kepala Desa atau Perbekel. Organisasi desa dinas disatukan oleh adanya kesatuan fungsi yang dijalankan oleh desa sebagai kesatuan administratif (Dherana,1982: 19).
Menurut Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali
Nomor 6 Tahun 1986 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Pakraman sebagai
Kesatuan Masyarakat Hukum Pakraman dalam Propinsi Daerah Tingkat
I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam
ikatan Khayangan Tiga (Khayangan Desa), yang mempunyai wilayah
tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah
tangganya sendiri.
Adapun desa-desa di Bali telah mempunyai pemerintahan
sendiri, memiliki aturan-aturan tata krama yang dibuat serta
berlaku bagi seluruh warga desa. Segala sesuatu yang berhubungan
dengan desanya, terutama dalam usaha untuk menegakkan Pakraman,
kewajiban warga desa terhadap wilayah pemukimannya terhadap
sesama warga desa dan terhadap sesama agamanya serta larangan-
larangan, dan keharusan-keharusan yang harus dipatuhi oleh warga
desa, semuanya itu ditentukan oleh warga desa itu sendiri dalam
bentuk aturan-aturan yang tidak tertulis, maupun tertulis dan
dinamakan dresta, sima, awig-awig, loka cara, Batur dresta dan lain
sebagainya.
Aturan-aturan ini sebagian tidak tertulis, tetapi dipahami
oleh warga Desa Pakraman serta dipatuhi. Oleh karena isi dari
aturan-aturan tersebut, disarikan dari nilai budaya warga desa
yang bersangkutan atas dasar kepatuhan dari para leluhurnya
secara turun temurun. Perubahan-perubahan peraturan Pakraman
biasanya terjadi secara evolusi dan alamiah sejalan dengan
perubahan-perubahan nilai budaya yang terdapat di kalangan warga
desa itu sendiri.
2.2.5 Perspektif
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa kata
perspektif berarti sudut pandang atau pandangan (Tim Penyusun
2001:760). Sedangkan Echols (dalam Dika, 2008:18) istilah
perspektif berasal dari Bahasa Inggris, yaitu “perspective”, yang
artinya sebenarnya. Perspektif adalah sudut pandang dimana
sesuatu dilihat, gambaran tentang apa yang mungkin atau apa yang
bermakna dalam proses menyusun dan memecahkan suatu masalah
(Posrwadarmita,1991 :834). Perspektif digunakan untuk mengkaji
masalah dari sudut pandang tertentu demi tercapainya pendapat
yang khusus atau mendalam.
Menurut beberapa pengertian dalam kamus Filsafat (Tim
Penyusun, 2000:834) prespektif memiliki pengertian :
Bertitik tolak dari kutipan di atas maka prespektif adalah
suatu sudut pandang atau gambaran dari sesuatu dalam hal ini
adalah Persembahyangan Purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa
Pakraman Alasngandang dalam ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga konsep yang
mendasari ajaran Agama Hindu tersebut. Barang siapa ingin
mendalami dan mempelajari Agama Hindu tersebut hendaknya
memahahami betul ketiga kerangka dasar Agama Hindu itu. Ketiga
konsep kerangka dasar agama Hindu tersebut antara lain : Tattwa
atau filsafat agama Hindu, susila atau etika agama Hindu, ritual atau
upacara agama Hindu (Suhardana 2006 : 6).
Tattwa, etika dan ritual dapat di ibaratkan dengan sebutir
telur. Dimana kuning telur atau sarinya merupakan aspek tattwa
atau Filsafatnya, dan putih telur merupakan aspek dari susila atau
etikanya, sedangkan kulit dari telur merupakan aspek dari ritual
atau upacaranya. Telur akan menetas dengan sempurna apabila
ketiga komponen dari kuning telur, putih telur dan kulitnya
berfungsi dengan baik. Begitu juga pada agama Hindu yang akan
berjalan dengan baik dan benar apabila dalam melaksanakan
aktivitas keagamaannya selalu disertai dengan upacara, etika dan
tentu saja berdasarkan tattwa yang benar. Sehingga apa yang
menjadi tujuan dari agama tersebut dapat tercapai sesuai dengan
kepercayaan umat Hindu (Sudharta, 2007 : 5).
Ketiga aspek diatas merupakan suatu kesatuan yang utuh dan
tidak dapat dipisahkan. Karena itu ketiga kerangka dasar agama
tersebut harus dipahami benar, mengingat ketiganya saling
berkaitan. Memahami atau tidak memahami salah satu aspek, dapat
mengakibatkan pemahaman terhadap agama Hindu menjadi tidak
lengkap dan bahkan bisa mengaburkan atau memberi pengertian yang
keliru terhadap agama Hindu. Oleh karenanya, barang siapa ingin
mempelajari agama Hindu hendaknya mendalami ketiga hal tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga hal tersebut saling
melengkapi, saling keterkaitan dan tentu saja tidak dapat
dipisah-pisahkan.
Bagi umat Hindu sendiri, memahami dan mendalami ketiga aspek
termaksud diatas tentu akan menjadi sangat penting. Janganlah
berpegang kepada salah satu aspeknya saja misalnya aspek
upacaranya. Usahakanlah mempelajari, menghayati dan mengamalkan
bukan saja aspek upacaranya, tetapi juga aspek tattwa dan susilanya.
Dengan demikian akan terdapat keseimbangan dalam pemahaman dan
pelaksanaannya baik upacara, tattwa maupun susilanya.
Aspek tattwa atau filosofinya merupakan inti ajaran agama Hindu,
sedangkan aspek susila dan etikanya merupakan pelaksanaan ajaran
agama dalam kehidupan sehari-hari. Aspek upacara dan ritualnya
merupakan pengorbanan suci yang tulus ikhlas kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi atau yang bisa dikatakan yadnya. Ketiga aspek tersebut
harus dilaksanakan secara baik dan seimbang demi terwujudnya
agama Hindu tersebut dalam aktivitas keagamaan sehari-hari
(Sudharta, 2007 : 4).
2.3 Teori
Dalam bukunya Sugiyono (2007 : 52) menjelaskan bahwa,
Teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi dan
proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara
sistematik, melalui sfesifikasi hubungan antar variabel,
sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan suatu
fenomena. Teori dimaksudkan sebagai sesuatu yang mengandung
prinsip dasar yang berlaku umum yang memberikan kerangka
orientasi untuk analisis dan klasifikasi. Kerangka orientasi yang
dimaksudkan adalah kerangka pikiran yang dirumuskan dengan jelas
sebagai tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian. Teori yang
dipakai dalam penelitian ini antara lain : Teori Interaksionisme
Simbolik dan Teori Religi.
2.3.1 Teori Interaksionisme simbolikTeori Interkasionisme Simbolik menurut Bogda dan Taylor
mengemukakan orang senantiasa berada dalam suatu interpensi dan
defenisi karena mereka harus terus menerus bergerak dari satu
situasi lain sebuah situasi fenomena akan bermakna apabila
ditafsirkan dan didefenisikan (Suprayoga, 2001 : 105). Orang
dengan potensi yang dimiliki dianggap mampu menjadi obyek untuk
dirinya sendiri dan sebagai subyek yang mampu melihat tindakan-
tindakan seperti orang lain melihatnya. Dengan kata lain manusia
dapat membayangkan serta sadar diri dari perlakunya dari sudut
orang lain. Dengan demikian manusia mengkontruksi perilakunya
dengan membangkitkan respon tertentu dari orang lain karena
manusia adalah pelambang bermakna.
Tindakan perilaku seorang sekelompok orang tergantung pada
bagaimana mendefenisikan lingkungannya dan mendefenisikan
dirinya. Peranan sosial nilai, norma dan tujuan bahkan yang
membentuk kondisi dan tanggung jawab perbuatan. Simbol adalah
suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantaran pemahaman
terhadap obyek. Manifestasi serta karakteristik simbol tidak
terbatas pada isyarat fisik tetapi dapat juga berwujud
penggunaan kata-kata, yakni simbol suara, yang mengandung arti
bersama serta bersifat standar. Singkatnya simbol berfungsi
memimpin pemahaman obyek kepada obyek. Dalam makna tertentu
bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat (Triguna, 2000 : 7).
Simbol berfungsi sebagai perwujudan statis sosial seseorang
semakin beraneka ragam simbol yang dapat digunakan atau melekat
pada seseorang semakin tinggi status sosial yang bersangkutan.
Akibat simbol acapkali dipandang sebagi alat melegitimasikan
status social. Dalam kontek ini sibolisme pada masyarakat Hindu,
simbol juga syarat dengan makna status dan peranan itulah
sebabnya pada masyarakat Hindu simbol dipandang identitas
individu atau kelompok.
Menurut Blumer (1962 : 50) salah seorang tokoh aliran ini
menyatakan bahwa mutiara interaksionisme simbolik menunjukkan
keadaan sifat khas dari interkasi antara mausia yang diantarnya
oleh pengguna simbol-simbol serta interkasi terhadap simbol-
simbol.
Kajian simbol terkait dengan penelitian ini sebagai tanda
persembahan. Hal ini menunjukkan betapa universalnya penggunaan
simbol dalam kehidupan manusia. Proses upacara dalam agama Hindu
menggunkan banyak simbol. Dalam penelitian ini simbol-simbol
salah satunya dapat dilihat dalam wujud upakara atau sarana dalam
ritual agama Hindu yang terkandung dalam ajaran Tri Kerangka Dasar
Agama Hindu pada persembahyangan Purnama Tilem di Pura Desa
Pakraman Aalasngandang. Wujud dari sarana merupakan perwujudan
penyerahan diri atau keihklasan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
terbentuk sedemikian rupa yang berisikan seluruh hasil ciptaan
Tuhan yang terdiri dari hasil bumi.
2.3.2. Teori Religi
Religi adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh
masyarakat tradisional. Religi adalah segala sistem tingkah laku
manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri
kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti roh-roh,
dewa-dewa, dan sebagainya yang menempati alam. (Koentjaraningrat,
1997 : 53-54).
Menurut Koentjaraningrat (dalam Yudha Triguna, 2000 : 75),
menguraikan: “banyak teori yang mencoba menerangkan bagaimana
asas religi pada berbagai suku bangsa di dunia terjadi. Macam-
macam teori tersebut bila diklasifikasikan, maka akan tampak
empat kategori besar, yaitu (1) Teori religi yang dalam
pendekatannya beroriantasi pada keyakinan relegi. (2) Teori-teori
yang dalam pendekatannya berorintasi kepada sikap manusia
terhadap alam gaib atau hal yang gaib. (3) Teori-teori yang dalam
pendekatannya berorientasi kepada upacara relegi, dan (4) teori
yang dalam pendekatannya menggunakan kombinasi ketiga poin di
atas.
Teori religi menjelaskan bahwa ada satu hal yang selalu ada
dalam segala macam gagasaan dan perilaku keagamaan mahluk manusia
yaitu perasaan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan religi atau
agama itu bersifat keramat, berbeda dengan hal-hal yang tidak
bersangkutan dengan religi atau agama, yaitu yang bersifat
provane. Dengan demikian sampai pada suatu sistem berkaitan dari
keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang keramat
Koentjaraningrat,(1980 : 94-95).
Koentjaraningrat, (1997 : 194-195) teori Taylor yang
terpenting menyebutkan bahwa perilaku manusia yang bersifat
religi itu terjadi karena (1) Manusia mulai sadar akan adanya
konsep roh. (2) Manusia mengakui adanya berbagai gejala yang tak
dapat dijelaskan dengan akal. (3) Keinginan manusia untuk
mengahapi berbagai krisis yang senantiasa dialami manusia dalam
daur hidupnya. (4) Kejadian-kejadian luar biasa yang dialami
manusia di alam sekelilinghnya. (5) adanya getaran (yaitu emosi)
berupa rasa kesatuan yang timbul dalam jiwa manusia sebagai warga
masyarakatnya. (6) manusia menerima suatu firman dari Tuhan
Teori Religi dalam penelitian ini pendekatannya berorientasi
kepada upacara religi yaitu pada persembahyangan purnama tilem di
pura Desa Pakraman Alasngandang dalam penerapan ajaran Tri Kerangka
Dasar Agama Hindu. Teori ini juga dipergunakan dalam penelitian ini
karena adanya pembahasan yang mendalam terhadap keyakinan religi
masyarakat di Desa Pakraman Alasngandang terutama dalam
melaksanakan persembahyangan purnama tilem tersebut.
2.3.3. Teori Nilai
Menurut Hartono dan Hunt (dalam Metriani, 2008 : 35), nilai
adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau
tidak berarti. Nilai pada hakekatnya mengarahkan perilaku dan
pertimbangan seseorang tetapi tidak mengalami apakah sebuah
perilaku dan pertimbangan seseorang tetapi tidak menghakimi
apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar. Sedangkan
menurut John Dewey dalam teori pragmatisme, nilai pandangan
sebagai perbuatan pemberi nilai dikaitkan dengan keginaannya,
sesuatu yang menjadikannya nilai sama dan berguna. Nilai dalam
kehidupan sosial dikaitkan sebagai objek dari cita-cita atau
tujuan bersama yang telah disetujui oleh masyarakat. Nilai itu
dimaksudkan sebagai kemampuan yang mendasar kemakmuran bersama
(Djunaidi, 1982:16).
Teori nilai dalam penelitian ini dipergunakan untuk
membahas dan memecahkan penerapan nilai-nilai yang terdapat
dalam persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyanga Tiga Desa Pakraman
Alasngandang Alasngandang, Kecamatan Rendang, Kabupaten
Karangasem.
Bagan 1. Model Penellitian
Penjelasan Bagan :
Agama Hindu tidak dapat lepas dari Tri Kerangka Dasar Agama
Hindu, yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Tattwa merupakan inti terdalam
dari segala rangkaian bentuk persembahan dan kegiatan umat
manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Susila merupakan etika atau
tata cara melakukan persembahan dan kegiatan yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan Ritual merupakan bentuk
persembahan dan kegiatan upacara umat Hindu kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Ketiga aspek ini merupakan satu-kesatuan yang tidak
dapat dipisah-pisahkan. Ketiganya harus dilaksanakan secara
seimbang dalam melakukan setiap kegiatan Agama Hindu khususnya
pada persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa
Pakraman Alasngandang. Jika dalam pelaksanaan upacara tersebut
sudah menerapkan ajaran tattwa yang benar, susila yang baik serta
ritualnya yang sesuai dalam perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu
tersebut, maka masyarakat Desa Pakraman Alasngandang dapat meraih
kehidupan yang harmonis sekala dan niskala. Dalam persembahyangan
purnama tilem tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan berupa
nilai pendidikan sosial religius, nilai pendidikan sosial budaya
dan nilai pendidikan sosial ekonomi.
METODE PENELITIAN
Penyusunan suatu karya ilmiah diperlukan sutu metode ilmiah
pula, sebab berhasil tidaknya suatu penelitian sebagian besar
ditentukan oleh ketetapan metode yang diperlukan dalam penelitian
tersebut, sehingga nantinya diharapkan hasil yang akan atau
hendak dicapai dalam penelitian itu dapat dipertanggung jawabkan
keberadaanya. Metode memegang peranan yang sangat penting dalam
menyusun suatu karya ilmiah. Metode adalah cara yang teratur dan
signifikan untuk pelaksanaan sesuatu (Budiono, 2005: 44).
Mengingat betapa pentingnya metode itu , dalam penyusunan
karya ilmiah ini peneliti mempergunakan beberapa teknik yaitu :
menentukan lokasi penelitian, jenis penelitian, data dan sumber
data, teknik penentuan informan, teknik pengunpulan data, metode
analisis data.
3.1 Lokasi Penelitian
Jenis penelitian ada dua yaitu : penelitian kualitatif dan
penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif mengukur objek
dengan suatu perhitungan, dengan angka, prosentase, statistik
atau bahkan dewasa ini dengan komputer sehingga penekanannya pada
metode kuantitatif, sedangkan penelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci
(Sugiyono, 2005 : 12). Ardika dalam makalahnya tentang metode
penelitian kualitatif menyatakan bahwa metode penelitian
kualitatif mengacu pada strategi penelitian yang menghasilkan
data atau bahan keterangan deskriptif mengenai makna dari suatu
benda, tindakan, dan peristiwa-peristiwa yang terkait dalam
kehidupan sosial masyarakat. Mengacu pada pengertian tersebut,
maka jenis pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, mengingat
permasalahan yang ingin diangkat merupakan masalah sosial
keagamaan.
Penelitian ini menyajikan data atau keterangan yang
mendeskripsikan tentang penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama
Hindu yang dilaksanakan dalam persembahyangan purnama tilem. Mulai
dari ajaran tattwa, etika, susila serta dampak yang ditimbulkan dari
ajaran tersebut.
Data merupakan sumber keterangan-keterangan tentang satu
hal. Sebelum digunakan dalam proses analisis, data itu perlu
dikelompokkan terlebih dahulu (Iqbal, 2002 : 82). Berdasarkan
pengambilannya, data dibedakan menjadi dua yaitu: data primer dan
data sekunder.
3.3.1. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau
yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer juga disebut
data asli atau data utama (Iqbal, 2002: 167). Dalam hal ini yang
menjadi data primer adalah berupa informasi yang diperoleh
langsung seperti : tokoh agama, seperti seluruh pemangku
Kahyangan Tiga di Desa Pakraman Alasngandang dan masyarakat terkait
yang dijadikan sebagai informan kunci untuk mendapatkan informasi
yang akurat sehingga data yang diperoleh semakin jelas mengenai
persembahyangan purnama tilem.
3.3.2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber lain yang
telah ada, seperti buku-buku sebagai penunjang yang isinya
berkaitan dengan topik penelitian. Data ini biasanya diperoleh
dari perpustakaan atau dari laporan-laporan penelitian sebelumnya
(Iqbal, 2002 : 167). Data sekunder yang dipakai dalam penelitian
ini adalah dari buku-buku yang menyangkut ajaran Tri Kerangka Dasar
Agama Hindu, persembahyangan dan beberapa penelitian sebelumnya
yang terkait. Dalam pembahasannya, data primer dan data sekunder
akan dipadukan agar didapatkan data yang benar-benar valid.
Penelitian yang dilakukan menggunakan informan sebagai
sumber informasi atau orang yang memiliki kompetensi untuk
menyampaikan data dan informasi. Penelitian kualitatif erat
kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual. Informan yang
dimaksud dalam penelitian adalah sumber data dan informasi yang
hasilnya akan bermanfaat dalam proses analisis, sehingga berguna
bagi pembentukan konsep dan proposisi sebagai temuan penelitian
(Bungin, 2001 : 206).
Sampling adalah suatu cara pengumpulan data untuk dijadikan
objek penelitian (Cholid Narbuko, Abu Achmadi, 2002 : 146 dalam
Suwitrayasa, 2008 : 25). Memperhatikan hal tersebut, agar
penelitian lebih efektif maka dalam penelitian ini menggunakan
teknik sampling, karena dengan menggunakan teknik sampling dapat
menghindarkan pemborosan mengenai waktu, dana, dan tenaga,
sehingga penelitian yang dilakukan dapat berlangsung lebih
efektif.
Pengambilan terhadap siapa yang menjadi anggota sampel
didasarkan atas teknik-teknik sampling yang berbeda-beda.
Berdasarkan pada aturan cara pengambilan subjek yang akan menjadi
anggota sampel, suatu teknik sampling itu dapat dibedakan menjadi
2 (dua) jenis yaitu : 1) Sampling tanpa pilih-memilih (random
sampling), 2) Sampling dengan pilih-memilih (non random sampling).
Dan sesuai dengan kondisi dan tujuan penyelidikan, maka jenis
sampling subyek dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis yaitu :
1) Propotional Sampling, 2) Stratified Sampling, 3) Purposive Sampling, dan
4) Quota Sampling. Apabila teknik sampling yang dipergunakan itu
menggunakan kedua aturan itu, maka dikenal dengan teknik sampling
rangkap (combined sampling).
Dalam penelitian ini teknik sampling yang dipergunakan
adalah purposive non random sampling, yakni penggabungan antara
teknik purposive sampling dengan teknik non random sampling. Dalam
metodologi penelitian disebutkan bahwa : “ purposive sampling
atau sampling menurut tujuan adalah cara pengambilan sampel
berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang
diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau
sifat-sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui
sebelumnya”. Sedangkan yang dimaksud dengan teknik non random
sampling adalah “cara pengambilan sampel yang tidak semua anggota
populasi diberi kesempatan untuk dipilih menjadi sampel (Cholid
Narbuko, Abu Achmadi, 2002 : 114-116 dalam Suwitrayasa, 2008 :
26). Jadi tidak semua anggota sampel yang diberi kesempatan
menjadi sampel yaitu hanya terbatas pada subjek-subjek yang
dikenal saja.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang menjadi dasar
penggunaan anggota sampel dengan menggunakan purposive non random
sampling berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat. Suatu
populasi yang telah diketahui sebelumnya, seperti : tokoh-tokoh
masyarakat, pemuka-pemuka masyarakat, dan orang-orang yang
memiliki kompeten dibidang apa yang akan diteliti sehingga dapat
memberikan informasi yang benar dan sesuai dengan apa yang dikaji
dalam penelitian ini yaitu penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama
Hindu Dalam Persembahyangan Purnama Tilem di Desa Pakraman
alasngandang Kecamatan Rendang Kabupaten Rendang sehingga data
dan fakta yang diharapkan dalam penelitian ini benar-benar valid.
Metode pengumpulan data adalah suatu metode yang khusus
dipergunakan sebagai alat untuk mencari dan memperoleh data.
Metode pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan
untuk mengumpulkan data. Suatu teknik atau cara untuk mendapatkan
keterangan secara benar dan nyata diperlukan dalam penyusunan
sebuah karya ilmiah (Sugiyono, 2007 : 90).
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data lazimnya
menggunakan observasi dan wawancara atau dengan menggunakan
sumber lain seperti catatan-catatan kepustakaan. Untuk mendukung
jalannya penelitian nanti, ada beberapa hal yang perlu
dipersiapkan yaitu dengan menyiapkan instrumen penelitian yang
diartikan sebagai “alat bantu” merupakan sarana yang dapat
diwujudkan dalam benda. Misalnya berupa pedoman wawancara, lembar
pengamatan, mempersiapkan sumber-sumber data seperti buku-buku,
arsip dan untuk lebih mantapnya diambil beberapa gambar atau
foto dari pelaksanaan Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Desa
Pakraman Alasngandang, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang,
Kabupaten Karangasem. Adapun Tehnik pengumpulan data yang penulis
gunakan mencakup :
3.5.1 Observasi
Observasi merupakan suatu tehnik pengumpulan data yang
dilakukan oleh peneliti untuk mencatat kejadian atau peristiwa
dengan cara menyaksikannya (Soehardi, 2001 : 96) Observasi
disebut juga dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan
perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat
indra.
Dalam penelitian ini dimaksudkan, untuk terjun langsung
mengamati dan mengumpulkan data lapangan yang berkaitan dengan
penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan
purnama tilem baik dari tattwa, etika serta sarana upakara yang
digunakan pada perosesi ritualnya.
3.5.2 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah suatu cara untuk memperoleh data
dengan jalan mengadakan penelitian kepustakaan, seperti melalui
membaca, menulis, mengutip materi yang berhubungan dengan skripsi
ini. Cara menulis dan mengutip materi dari kepustakaan disebut
studi kepustakaan (Mukajir, 1990 : 64).
Tujuan dari metode Kepustakaan adalah untuk lebih mengetahui
secara detail dan memberikan kerangka berpikir, khususnya
referensi relevan yang berasal dari buku-buku, memberikan
gambaran secara lengkap dengan menggunakan sumber atau
penelusuran kepustakaan untuk mendapatkan informasi secara
lengkap untuk menentukan tindak lanjut dalam mengambil langkah
penting dalam kegiatan ilmiah diantaranya adalah buku utama dan
buku penunjang.
Penelitian ini dilakukan dengan membaca, mempelajari dan
mengutif hasil-hasil yang telah dipublikasikan menjadi buku-buku,
majalah dan penelitian yang berhubungan dengan ajaran Tri Kerangka
Dasar Agama Hindu serta tuntunan dalam tata cara bersembahyang pada
purnama tilem.
3.5.3. WawancaraWawancara adalah tehnik pengumpulan data dengan mengajukan
pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden, dan
jawaban – jawaban responden tersebut dicatat atau direkam (Iqbal,
2002 : 85). Wawancara merupakan suatu cara untuk mengumpulkan
data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan
sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian. Kegiatan
ini adalah suatu proses interaksi dan komunikasi.
Jadi pengertian wawancara dapat disimpulkan sebagai suatu
metode pengumpulan data yang dilakukan untuk mendapatkan
informasi secara langsung atau lisan dengan mengungkapkan
pertanyaan-pertanyaan pada para responden. “Responden” artinya
orang yang memberikan jawaban dari pertanyan, daftar check atau
lajur wawancara untuk mencegah kemungkinan mengalami kegagalan
memperoleh data yang penting (data yang dibutuhkan). Teknik
pelaksanaan wawancara meliputi menentukan waktu yang paling tepat
untuk dilakukan wawancara, menentukan responden, dan mencatat
langsung hasil wawancara.
Teknik pelaksanaan yang digunakan dalam penelitian ini
diantaranya :
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental dari seseorang. Misalnya : cerita, biografi, foto,
gambar, karya seni, film dan sebagainya (Sugiyono, 2005: 82).
Fakta dan data sosial yang tersimpan dalam dokumen merupakan
bahan utama penelitian kualitatif. Di dalam melakukan teknik
dokumentasi ini penulis mengumpulkan data dengan menggunakan
teknik dokumentasi berupa pengambilan foto pelaksanaan
persembahyangan yang ada di Pura Desa Pakraman Alasngandang.
Dengan adanya foto ini, diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai bagaimana pelaksanaan persembahyangan tesebut.
Analisis data adalah serangkaian pengacakan data yang
dikumpulkan dari lapangan menjadi seperangkat informasi atau
hasil, baik dalam bentuk temuan-temuan baru, maupun temuan-temuan
untuk penyajian hipotesis. Cara menggunakan analisis data ini
yaitu dengan mengamati, memahami, dan menafsirkan setiap fakta
atau data yang telah dikumpulkan serta hubungan di antara fakta-
fakta atau variable merupakan terkait dalam hipotesis (Sugiyono,
2007 : 244).
Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di
lapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses
klasifikasi data agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan
langkah abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan, dengan
mempertimbangkan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sangat
memungkinkan dianggap mendasar dan universal (Bungin, 2001 :
106).
Analisis data dalam penelitian ini diawali dengan proses
pengumpulan data. Setelah data-data tentang penerapan ajaran Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan purnama tilem
terkumpul, data tersebut disusun secara sistematis dan dianalisis
dalam proses reduksi data. Setelah proses reduksi data, hasil
analisis data tersebut disajikan dengan metode deskriptif. Bila
sudah valid, kemudian dijabarkan dan diperoleh kesimpulan yang
menyeluruh tentang penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu
dalam persembahyangan purnama tilem di Pura Desa Pakraman
Alasngandang.
Reduksi data adalah merangkum data, memilih hal-hal pokok,
memfokuskan pada hal-hal penting dan mencari tema beserta
polanya, dengan demikian data yang telah direduksi akan
memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti
untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. Dengan reduksi
data, maka peneliti merangkum dan mengambil data yang pokok dan
penting, dan data yang dianggap tidak penting dihilangkan supaya
data yang diperoleh menjadi lebih jelas (Sugiyono, 2007 : 247).
Data yang diperoleh dilapangan jumlahnya cukup banyak,
untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Karena
semakin lama peneliti kelapangan, maka jumlah data yang diperoleh
semakin banyak, komplek dan rumit. Untuk itulah dilakukan
analisis data dengan mempergunakan reduksi data supaya data yang
diperoleh semakin jelas mengenai penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar
Agama Hindu dalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman
Alasngandang.
Menurut Miles dan Hubermann dalam Nuryani (2006 : 40),menyatakan bahwa, “penyajian data merupakan proses penyajiansekumpulan informasi yang kompleks ke dalam bentuk yang sederhanadan selektif sehingga mudah dipahami maknanya”.
Data tentang subjek penelitian yang peneliti peroleh melaluiobservasi dan wawancara dengan informan selama penelitian dilapangan selanjutnya di paparkan, kemudian dicari pokok-pokokpenting yang terkandung di dalamnya sehingga dapat di ketahuidengan jelas maknanya. Data yang peneliti peroleh selanjutnyadiseleksi dan di kode untuk memperoleh konsep yang lebihsederhana sehingga relatif lebih mudah di pahami.
PENYAJIAN HASIL PENELITIAN
Lokasi penelitian ini mengambil tempat di Desa Pakraman
Alasngandang, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten
Karangasem Provinsi Bali. Berkaitan dengan penelitian ini penulis
akan menguraikan beberapa hal, diantaranya sebagai berikut : 1)
Sejarah singkat Desa Pakraman Alasngandang, 2) Letak Geografis, 3)
Kependudukan, 4) Mata Pencaharian, 5) Pendidikan, 6) Sistem
Kepercayaan. Adapun uraiannya sebagai berikut:
Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah satu Desa Pakraman
yang ada di Desa Pempatan yang dipakai lokasi penelitian dan
dipakai objek dalam mencari data terkait dengan masalah-masalah
dalam penelitian tentang Persembahyangan Purnama Tilem. Desa Pakraman
Alasngandang merupakan komonitas masyarakat yang berada di bawah
satu adat dan satu banjar dinas yaitu banjar Alasngandang yang
dikepalai oleh seorang kelihan adat (bendesa adat) dan seorang
kepala dusun (Kadus).
Desa Pakraman Alasngandang didirikan sekitar tahun 1700-an,
yang awalnya adalah kumpulan dari beberapa orang yang datang dari
Desa Pakraman Rendang yang sekarang menjadi nama sebuah kecamatan.
Kumpulan orang-orang ini datang untuk merabas hutan belantara
dengan tujuan dipakai sebagai lahan bercocok tanam atau bertani,
maka lama kelamaan orang-orang ini membentuk sebuah sekaa untuk
mendirikan Parahyangan sebagai tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Pura-pura yang dibangun saat itu adalah pasraman Dukuh yang
sekarang menjadi pura Dukuh Sakti, membangun pura Ulun Suwi sebagai
tempat pemujaan Dewa Sangkara (Dewa tumbuh-tumbuhan) yang sekarang
diaci oleh subak abian desa pakraman Alasngandang. Di samping pura
Dukuh dan Ulun Suwi (bagi masyarakat Alasngandang disebut pura
Penyungsungan), juga mendirikan Pura Kahyangan Tiga yaitu pura Puseh,
Bale Agung dan pura Dalem.
Perkumpulan orang-orang atau sekaa lama kelamaan mulai
berkembang akhirnya kumpulan orang-orang itu membentuklah sebuah
desa dengan beranggotakan 55 KK yang dinamakan desa Wana Sigug
sesuai dengan prasasti Dukuh Sakti (dikutif dari monografi desa
Alasngandang). Desa Wana Sigug inilah yang sekarang dinamakan Desa
Pakraman Alasngandang, yang sesuai dengan makna nama aslinya
yaitu, Wana berarti hutan (Bali artinya alas) dan Sigug berarti
Ngandang. Jadi nama Alasngandang secara etimologi dan semantiknya
berasal dari nama Wana Sigug, dari etimologi kata inilah nama Desa
Pakraman Alasngnadang itu terlahir. Karena nama ini dirasakan
kurang bagus dan kata sigug memiliki konotasi yang kurang baik
dalam bahasa Bali maka Wana Sigug diubah menjadi Alasngandang
dengan mempertahankan makna dari kata itu. Desa Pakraman
Alasngandang pada awal berdiri hingga sampai sekarangpun Desa
Pakraman ini beranggota sebanyak 55 KK ayahan desa yang dipakai
sebagai inti dari Banjar Alasngandang dan sampai sekarang
jumlahnya tidak pernah berubah atau bertambah dan sekaligus
sebagai pokok ayahan desa, sedangkan KK banjar dinasnya sampai
saat ini berjumlah sebanyak 220 KK. Jadi bertambahnya KK yang ada
di Banjar Alasngandang adalah KK banjar dinasnya sedangkan KK
ayahan desanya tetap dari awal sampai saat ini berjumlah 55 KK.
Desa Pakraman Alasngandang yang berjumlah 55 KK inilah
dipakai pokok untuk membangun Kahyangan Tiga yaitu pura Puseh, Bale
Agung dan Pura Dalem. Ke-55 KK ini yang dipakai patokan ayahan desa
sebagai ibunya Banjar Alasngandang. Kenapa dikatakan ibunya Banjar
karena desa ayahan yang berjumlah 55 KK inilah yang lebih pertama
ada, setelah itu baru terbentuknya Banjar dinas Alasngandang. Dan
sebelum terjadi perubahan bahwa segala sesuatu keperluan baik
upacara maupun pembangunan pisik terutama pura Puseh, pura Bale Agung
dan pura Dukuh Sakti yang bertanggung jawab adalah desa yang
berjumlah 55 KK ini, di bawah koordinasi kelian desa. Dengan
diubahnya pola lama lewat paruman atau rapat banjar adat maka
semua pura yang ada di wilayah banjar adat Alasngandang ditanggung
oleh Banjar adat baik biaya upacara maupun pembangunan pura
tersebut. Akan tetapi, hal-hal yang berhubungan dengan tanah
ayahan masih dipergunakan dresta (aturan) lama seperti iuran pokok
desa.
4.1.2 Letak Geografis
Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah bagian wilayah dari
Desa Pempatan. Desa Pempatan sebuah desa yang berada dalam
lingkungan pemerintah kecamatan Rendang, kabupaten Karangasem dan
Provinsi Bali. Desa Pempatan yang berbatasan langsung dengan
kabupaten Bangli berjarak sekitar 45 km dari ibu kota kabupaten
Karangasem yakni Amlapura tepatnya ke arah barat atau desa yang
berada di ujung barat kabupaten Karangasem. Sedangkan dari ibu
kota provinsi Desa Pempatan berjarak sekitar 55 km ke arah timur
kota Denpasar. Secara administrasi.
Untuk menuju ke lokasi Desa Pakraman ini bisa ditempuh dengan
kendaraan roda dua maupun roda empat karena jalannya sudah
diaspal. Transportasi angkutan umum menuju lokasi sangat lancar
karena perkembangan perekonomian masyarakat di Desa Pakraman
Alasngandang sangat maju apalagi sekarang berkembang industri
kerajinan. Jarak tempuh dari Desa Pakraman Alasngandang dengan
pusat pemerintahan adalah sebagai berikut :
1). Jarak ke ibukota kedesaan 3,5 km dengan waktu tempuh 10
menit
2). Jarak ke ibukota kecamatan 6 km dengan waktu tempuh 20
menit
3). Jarak ke ibukota kabupaten 45 km dengan waktu tempuh 60
menit
4). Jarak ke ibukota provinsi 55 km dengan waktu tempuh 90
menit
Desa pakraman Alasngandang memiliki batas-batas alam sebagai
berikut :
1). Utara : Kabupaten Bangli
2). Timur : Desa Pakraman Waringin
3). Selatan : Desa Pakraman Pempatan dan Kubakal
4). Barat : Sungai yang merupakan batas barat Kabupaten
Karangasem dan batas timur Kabupaten
Bangli.
Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah satu naungan
dari Desa Pempatan. Desa Pempatan membawahkan sebelas dusun atau
banjar dinas yaitu banjar Alasngandang, banjar Pempatan, banjar
Kubakal, banjar Putung, banjar Teges, banjar Waringin, banjar
Pemuteran, banjar Pule, banjar Puregai, banjar Keladian dan banjar
Geliang. Masing-masing banjar atau dusun dinas ini juga merupakan
desa pakraman atau desa adat dengan otonomi desanya masing-masing
kecuali banjar Keladian yang masih berada di bawah desa
Adat/Pakraman Besakih serta masuk dalam wilayah Desa Pakraman
Besakih serta berada di bawah adat desa Besakih tetapi secara
administrasi masuk perbekelan Pempatan. Ditinjau dari segi
alamnya Desa Pakraman Alasngandang merupakan desa dataran tinggi
dengan curah hujan rata-rata per tahun 3000 mm.
4.1.3 Kependudukan
Berdasarkan data yang terdapat dalam monografi Desa
Pakraman Alasngandang tahun 2009 penduduk Desa Pakraman
Alasngandang berjumlah 1045 jiwa dan 220 KK. Sedangkan luas
wilayah Desa Pakraman Alasngandang 6 km2 atau 160 Ha. Jumlah
penduduk dan luas wilayah ini merupakan modal yang sangat
pontensial untuk membangun desa Alasngandang menjadi desa yang
maju dan sejahtera sesuai harapan pemerintah utamanya masyarakat
Alasngandang. Wilayah Desa Pakraman Alasngandang sesuai dengan
pesebaran penduduknya belumlah merata sehingga rumah-rumah
penduduk saling berjauhan. Kepemiliki tanah pun tidak merata, ada
satu kepala keluarga mengerjakan atau mengolah tnah pertanian 10
are, ada yang 1 ha dan ada beberapa yang melebihi dari 1 ha. Ini
yang menyebabkan masyarakat Alasngandang dari pola
perekonomiannya tidak seimbang atau merata. Untuk mengetahui
jumlah penduduk menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel. 1Penduduk Menurut Kelompok Umur
NO KELOMPOK UMUR JUMLAH (ORANG)1 00 - 04 Tahun 632 05 - 06 Tahun 403 07 - 12 tahun 1004 13 - 14 tahun 545 15 - 24 tahun 1786 25 - 54 tahun 2997 55 ke atas 311
JUMLAH 1045Sumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009
Secara rinci Desa Pakraman Alasngandang terdidiri 220 KK dengan
luas wilayah 160 ha yang dibagi menjadi enam Banjar Tempekan yaitu
:
1). Banjar tempekan Kaja Kangin berjumlah 30 KK dengan luas wilayah 22
ha.
2). Banjar tempekan Kelod Kangin berjumlah 50 KK dengan luas wilayah
34 ha.
3). Banjar tempekan Tengah berjumlah 31 KK dengan luas wilayah 24 ha
4). Banjar tempekan Kelod Kauh berjumlah 49 KK dengan luas wilayah 23
ha.
5). Banjar tempekan Kaja Kauh berjumlah 31 KK dengan luas wilayah 20
ha.
6). Banjar tempekan Geluwung berjumlah 29 KK dengan luas wilayah 29
ha.
Di samping dipilah menjadi enam banjar tempekan desa
pakraman Alasngandang juga memiliki organisasi yang lengkap
sesuai dengan paruman desa yang mengombinasikan antara unsur
tradisi dan modern ( hasil transpormasi sosial yang fundamental
dengan visi ke depan) seperti sperti ada organisasi seni yang
tergabung dalam sekaa gong, sekaa kidung dan ada organisasi sosial
yang tergabung dalam sekaa gae (sekarang dinamai sekaa macaru).
Selanjutnya para yogya dan ngawi wenang Desa Pakaraman Alasngandang
atau yang berwenang dalam memutuskan segala sesuatu di Desa
Pakraman adalah :
a). Penyarikan desa/ sekretaris
b). Petengen desa/ bendahara
c). Saye tempek/ ketua tempek
d). Pecalang desa/ pengaman di tingkat Desa Pakraman
prajuru Desa Pakraman di atas juga dilengkapi dengan baga-baga
(bagian-bagian) yaitu :
a). baga parhyangan
b). baga palemahan
c). baga pawongan
d). baga lembaga arta
e). serta sekretariat tetap
Berdasarkan mata pencaharian masyarakat Desa Pakraman
Alasngandang sebagian besar bermata pencaharian petani dan
buruh/swasta, pegawai negeri, dagang dan pengerajin, sehingga
hampir seluruh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang memiliki
pekerjaan yang tetap dan berpengasilan yang cukup untuk sehari-
hari. Berdasarkan data yang diperoleh dari monografi Desa Pakraman
Alasngandang tahun 2009, bahwa mata pencahariannya masyarakat
Desa Pakraman Alasngandang dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Tabel .2Mata Pencaharian Penduduk Desa Pakraman AlasngandangNo Mata Pencaharian Jumlah 1 Buruh tani 30 orang2 Petani 765 orang 3 Pedagang/wiraswasta 25 orang 4 Pegawai Negeri (PNS) 8 orang 6 Penjahit 2 orang7 Montir 1 orang 8 Sopir 4 orang9 Pramuwisata 4 orang10 Karyawan swasta 65 orang11 Tukang kayu 4 orang
Jumlah 908 orangSumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009
Penduduk desa ini hidup dari pertanian yakni 80 %
masyarakatnya bertani, 18 % berwirausaha dan 2 % pegawai.
Kehidupan masyarakat Alasngandang sangat bergantung pada musim
utamanya musim hujan karena bercocok tanam sangat bergantung pada
air hujan bahkan untuk keperluan sehari-hari pun misalnya mandi
minum juga bergantung pada air hujan. Maka itu masing-masing KK
di desa ini pastilah memiliki cubang atau tempat menampung air
hujan untuk persediaan di musim kemarau. Jika musim kemarau
melanda masyarakat Alasngandang maka untuk mensuplay air untuk
keperluan sehari-hari membeli dari mobil-mobil tangki seharga Rp
80.000. Pada umumnya masyarakat Alasngandang lebih cendrung
berternak yaitu beternak sapi karena lewat pekerjaan ini
perekonomian masyarakat bisa terangkat. Setiap KK yang ada di
Desa Pakraman Alasngandang pasti memelihara sapi minimal dua ekor
sebagai pekerjaan pokok. Bahkan sampai saat ini di Desa Pakraman
Alasngandang banyak lahir kelompok-kelompok ternak yang
keberadaannya sangat diperhatikan oleh pemeritah baik pemerintah
pusat maupun daerah. Hanya saja sebagai kendalanya bagi
masyarakat Alasngandang adalah air. Maka ada istilah yang muncul
di masyarakat Alasngandang ” sapi makan sapi” artinya beternak
sapi di musim kemarau untuk membeli air keperluan ternaknya harus
menjual sapi.
4.1.5. Pendidikan
Untuk mengetahui tingkat pendidikan Desa Pakraman
Alasngandang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
NOTINGKAT
PENDIDIKANJUMLAH (ORANG)
1 SD 2152 SLTP 753 SLTA 254 PERGURUAN TINGGI 11
JUMLAH 326Sumber : data statistik Desa Pakraman Alasngandang 2009
Berdasarkan data penduduk menurut tingkat pendidikan pada
tabel di atas maka dapat dilihat bahwa pendidikan di Desa Pakraman
Alasngandang masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah penduduk yang tamat pendidikan di atas SD kurang dari 30%.
Terkait dengan masalah tingkat pendidikan di Desa Pakraman
Alasngandang. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan sangat
berpengaruh pada perkembangan masyarakat khususnya masyarakat
desa pakraman Alasngandang. Selain hal tersebut, tinggi
rendahnya pendidikan sesorang akan berekses terhadap status
sosial di masyarakat. Intelektualitas suatu masyarakat sangat
ditentukan oleh tingkat pendidikannya, maka dari sini salah satu
barometer kemajuan suatu desa dapat dilihat, khususnya kemajuan
dibidang pendidikan. Sri Hariyati, 1985 dalam Ariani mengatakan
bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin banyak
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki sehingga semakin terbuka
pula kesempatan baginya untuk memperoleh pekerjaan.
Desa Pakraman Alasngandang menurut dresta yang ada termasuk
desa yang memiliki suatu sistem kepercayaan yang disebut agama.
Agama yang dianut oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang
adalah agama Hindu dengan tradisi dan budaya yang masih kuat
sebagai suatu bentuk keyakinan. Keyakinan atau religius yang
dilaksanakan bagi masyarakat Alasngandang sesuai dengan koridor
konsep dasar dari agama dalam hal ini yakni agama Hindu. Konsep
dasar yang dimaksud yaitu tattwa atau filosofinya Hindu, susila atau
etika Hindu dan upacara atau ritual agama Hindu. Ketiga hal tersebut
itulah yang selalu dipakai dasar dan pijakan dalam melakukan
aktivitas keagamaanya dan sekaligus sudah menjadi satu napas
keagamaan bagi masyarakat Alasngandang. Melakukan yajna adalah
aktivitas yang amat penting dalam kehidupan beragama di Desa
Pakraman Alasngandang karena didasarkan pada ajaran kitab suci
bahwa pentingnya yajna dalam kehidupan umat manusia. Hal ini
dikuatkan dalam kitab suci Weda yakni dalam Athawa Weda
menyatakan bahwa yajna adalah penyangga bumi, Yayur Weda
menguraikan bahwa yajna adalah pusat penciptaan alam semesta
(bhuwana Agung). Maka itu ritual keagamaan atau yajna sangat
diperhatikan oleh masyarakat Alasngandang dengan tujuan
mengharmoniskan alam sekala dengan alam niskala. Di samping itu
bisa menyeimbangkan antara bhuana alit dan bhuwana agung agar
terjadi keharmonisan (hita) pada diri dan keharmonisan (hita) pada
alam semesta.
Agama yang dianut oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang
masih bersifat homogen yaitu seluruh masyarakatnya menganut agama
Hindu. Maka sampai saat ini persoalan-persoalan lintas agama
tidak pernah terjadi karena kehidupan masyarakatnya masih
menganut satu agama yakni Hindu. Keyakinan dalam menjalankan
agamanya teralisasi dalam bentuk-bentuk ritual (aci) yang
dilaksanakan disetiap pura yang ada di wilayah Banjar Adat
Alasngandang atau tempat-tempat yang dianggap sakral atau
disucikan seperti tempat perempatan agung (jalan simpang empat) .
Dalam perkembangan selanjutnya Desa Pakraman Alasngandang
tetap melestarikan dan mempertahankan hal-hal yang merupakan kuna
dresta seperti pemargi aci atau jalannya ritual serta memfungsikan
prajuru desa dan kerta desa sebagai tulang punggung mengajegkan dresta
dan tradisi adat setempat. Sedangkan hal-hal yang perlu
diperbaharui atau diperbaiki sesuai dengan perkembangan zaman
(era kesejagatan) sudah mulai ditata disesuaikan dengan kemampuan
serta potensi dan kondisi Desa Pakraman Alasngandang sehingga
modernisasi tidak melunturkan dan mengikis tradisi, budaya dan
adat setempat.
Bidang fisik dari sistem kepercayaan ini terus dilakukan
pembenahan dan perbaikan, salah satunya dengan mengadakan rehab-
rehab pura . Kondisi pura atau pelinggih di pura Kahyangan Tiga di
Alasngandang untuk tahun ini hampir 50 % sudah diperbaharui
dengan sumber dana dari pemerintah daerah lewat bantuan dan
ditambah dari iuran masyarakat atau krama desa setempat. Maka
untuk lebih jelasnya peneliti melaporkan dalam bentuk tabel aset-
aset kepemilikan Desa Pakraman Alasngandang yaitu sebagai
berikut :
Tabel . 4.
Data Kepemilikan (Aset) Desa Pakraman
Alasngandang
NO NAMA ASET JUMLAH
1 Pura Puseh 1 unit2 Pura Bale Agung 1 unit3 Pura Dalem 1 unit4 Pura Praja Pati 1 unit5 Pura Ulun Suwi 1 unit6 Pura Dukuh Sakti 1 unit7 Penyucian Ida Betara 1 unit8 Wantilan 3 unit9 Bale Banjar 1 unit10 Kantor LPD 1 unit11 CBD 1 unit12 Setra 1 unit13 Pelinggih Ulun Desa 1 unit14 Pelinggih Tulak Tanggul 1 unit15 Pelinggih Perempatan Agung 1 unit16 Bale Kulkul 3 unit17 Petapakan Betara Nini 1 Paket18 Petapakan Betara Gede 1 Paket19 Petapakan Betara Ayu 1 Paket20 Petapakan Betara Mas 1 Paket
21Prerai Betara Kahyangan Tiga dan
Pura Dukkuh
4
paket22 Topeng 1 Paket23 Gong 1 Paket24 Tanah ayahan Desa 57
ayahan25 Tanah Laba Pura 7 ha26 Tanah Duwe Desa 2 ha
Sumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009
Di samping aset-aset di atas Desa Pakraman Alasngandang
memiliki sarana pendukung yang lain yang sudah tentu berguna
untuk membantu dalam menunjang aktivitas desa antara lain :
Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan
bahwa, persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa
Pakraman Alasngandang dilaksanakan dengan rutin setiap 15 (lima
belas) hari sekali berdasarkan pembagian tempek (pembagian
wilayah) di Desa Pakraman Alasngandang. Dalam pelaksanaan
persembahyangan purnama tilem tersebut tidak pernah lepas dari
kajian Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang berisikan ajaran tattwa, etika
dan ritual.
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga ajaran yang saling
berkaitan dan merupakan dasar dari ajaran agama Hindu tersebut.
Barang siapa ingin mendalami dan mempelajari agama Hindu tersebut
hendaknya memahahami betul ketiga kerangka dasar agama Hindu itu.
Ketiga konsep kerangka dasar agama Hindu itu ialah tattwa atau
filsafat agama Hindu, susila atau etika agama Hindu dan ritual atau
upacara agama Hindu, Siden (wawancara : 27 April 2010)
Dalam bukunya Sudharta (2007 : 5) menjelaskan bahwa, Tattwa,
etika dan ritual dapat di ibaratkan dengan sebutir telur. Dimana
kuning telur atau sarinya merupakan aspek tattwa atau filsafatnya,
dan putih telur merupakan aspek dari susila atau etikanya,
sedangkan kulit dari telur merupakan aspek dari ritual atau
upacaranya. Telur akan menetas dengan sempurna apabila ketiga
komponen dari kuning telur, putih telur dan kulitnya berfungsi
dengan baik. Begitu juga pada agama Hindu yang akan berjalan
dengan baik dan benar apabila dalam melaksanakan aktivitas
keagamaannya selalu disertai dengan upacara, etika dan tentu saja
berdasarkan tattwa yang benar. Sehingga apa yang menjadi tujuan
dari agama tersebut dapat tercapai sesuai dengan kepercayaan umat
Hindu.
Ketiga aspek diatas merupakan suatu kesatuan yang utuh dan
tidak dapat dipisahkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga
hal tersebut saling melengkapi, saling keterkaitan dan tentu saja
tidak dapat dipisah-pisahkan. Dimana kalau salah satu dari aspek
tersebut tidak berfungsi dengan baik maka agama yang kita
harapkan belum sempurna.
Aspek tattwa atau filosofinya merupakan inti ajaran agama Hindu,
sedangkan aspek susila dan etikanya merupakan pelaksanaan ajaran
agama dalam kehidupan sehari-hari. Aspek upacara dan ritualnya
merupakan pengorbanan suci yang tulus ikhlas kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi atau yang bisa dikatakan yadnya. Ketiga aspek tersebut
harus dilaksanakan secara baik dan seimbang terutama dalam hal
ini yaitu penerapan ajaran tattwa, etika dan ritual dalam
persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang yang
melipuiti antara lain :
Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan
bahwa, tattwa merupakan ajaran-ajaran pokok yang mengandung makna
atau filosofis dari ajaran agama Hindu. Masyarakat Alasngandang
masih sangat awam sekali mendengar kata “tattwa”, istilah tattwa
belum begitu dimengerti apalagi dengan menerapkan ajaran-
ajarannya. Secara umum masyarakat Alasngadang belum memahami
ajaran-jaran tattwa atau makna filosofis yang terkandung dalam
setiap aktivitas agama Hindu dan sarana/upakara khususnya dalam
persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakramnan
Alasngandang.
Dalam kamus istilah Agama Hindu (2005:127), kata “tattwa”
berasal dari kata “tat” yang artinya hakekat, kenyataan,
kebenaran, hakekat dari objek yang konkrit, sari-sari dari suatu
ajaran. Aspek tattwa atau filosofi dari ajaran agama Hindu ini
merupakan inti ajaran agama Hindu yang akan banyak mengulas
tentang makna dari agama Hindu itu sendiri.
Dalam bukunya Titib (2006 : 258) menjelaskan bahwa, inti
tattwa itu adalah kepercayaan kepada Tuhan (Ketuhanan) yang
disebut dengan Ekatwa Anekatwa Svalaksana Bhatara yang artinya Tuhan
itu dalam yang banyak, yang banyak dalam yang Esa. Tattwa adalah
kepercayaan, dalam Hindu kita mengenal lima kepercayaan yang
disebut dengan Panca Sradha antara lain :
1). Percaya terhadap adanya Tuhan (Widha Tattwa)2). Percaya terhadap adanya Atman (Atma Tattwa)3). Percaya terhadap adanya Hukum Karma (Karma Phala)4). Percaya terhadap adanya Punarbhawa (Samsara)5). Percaya terhadap adanya Moksa(Bersatunya atman dengan
Brahman).
Jadi yang dimaksud dalam hal ini adalah nilai-nilai
kebenaran atau sari-sari dari suatu ajaran mengenai pelaksanaan
persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang.
Adapun nilai-nilai tattwa yang dimaksud meliputi : 1). Kajian tattwa
dalam mantram Tri sandhya, 2). Kajian tattwa dalam mantram kramaning
sembah dan 3). Kajian Tattwa dalam Sarana Upakara Persembahyangan,
adapun uraiannya sebagai berikut :
Menurut Siden wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan
bahwa, Tri sandhya adalah sembahyang yang wajib dilakukan oleh
semua umat Hindu tiga kali dalam sehari. Sembahyang rutin ini
diamanatkan dalam kitab suci Veda dan sudah dilaksanakan sejak
ribuan tahun yang lalu. Bila kita tidak tekun melaksanakan Tri
sandhya berarti kiata tidak secara sungguh-sungguh mengamalkan
ajaran yang terkandung dalam kitab suci Veda. Banyak hambatan
yang dialami mengapa seseorang tidak tekun melaksanakan puja
atau sembahyang Tri sandhyya diamtaranya karena kurang memahami
makna yang terkandung dalam melaksanakan puja Tri sandhyya, karena
tidak dibiasakan (abhyasa) dan karena bahasanya tidak atau kurang
dimengerti.
Merupakan sembahyang yang dilakukan tiga waktu yaitu pada
pagi hari yang disebut dengan “Surya Puja”, siang hari disebut
dengan “Rahina Puja” dan sore hari disebut “Sandhya Puja”. Puja Tri
Sandhya terdiri dari enam bait, bait pertama atau sebagai Sandya
Vandanam (awal) diambil dari Gayatri atau Savitri Mantram (Rg
Veda, Sama Veda dan Yayur Veda) atau sering disebut dengan Gayatri
mantram atau ibunya mantra. Setiap melaksanakan puja Tri Sandhya
hendaknya selalu didahului dengan penyucian diri (asucilaksana).
Gayatri mantra terdapat dalam YajurVeda XXVI. 3. (Widana, 2009 :
45) Tri Sandhya.
Adapun mantranyasebagai berikut :
Om Prasada Sthiti Sarira Çiva Suci Nirmala Ya Namah Svaha
Artinya:Ya Tuhan, dalam Siwa suci tak ternodai, hamba telah duduk dengantenang.1). Puraka (Menarik nafas) Om Ang Namah2). Kumbaka (Menahan nafas) Om Ung Namah3). Recaka (Mengeluarkan nafas) Om Mang NamahArtinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur alamsemesta hamba puja Dikau. Om soddha mam svahaOm ati soddha mam svahaArtinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, sucikanlah hamba dari segala dosa
Bait I : Om Om Om Bhūr Bhuvah Svah, Tat savitur varenyam,
Bhargo devasya dhimahiDhiyo yo nah pracodayat
Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa yang menguasai ketiga dunia ini, Engkau MahaSuci, sumber segala cahaya dan kehidupan, berikanlah budi nuranikami penerangan sinar cahaya-Mu Yang Maha Suci.Bait II : Om Nārāyana Evedam Sarvam,
Yad bhūtam yasca bhavyam,Niskalangko niranjano nirvikalpo,Nirākhyātah sudho deva eko,Narayano na dvityo asti kaścit
Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa, sumber segala ciptaan, sumber semuamakhluk dan kehidupan, Engkau tak ternoda, suci murni, abadi dantak ternyatakan. Engkau Maha Suci dan tiadalah Tuhan yang kedua.
Bait III : Om Tvam Sivah Tvam Mahādeva,Iśvarah parameśvarah,
Brahmā Visnuśca Rudraśca,Purusah parikirtitāh
Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau disebut juga Siwa, Mahadewa, Brahma,Wisnu dan juga Rudra, karena Engkau adalah asal mula segala yangada.
Bait IV : Om Pāpo’ham Pāpa Karmaham,Pāpātma pāpa sambavah,Trāhi mām pundarikāksah,Sabāhyā bhyantarah śucih
Artinya :
Om Sanghyang Widhi Wasa, hamba-Mu penuh kenestapaan, nestapa dalamperbuatan, jiwa, kelahiran. Karena itu oh Hyang Widhi,selamatkanlah hamba dari kenestapaan ini, dan sucikanlah lahirbathin hamba.
Bait V : Om Kşvama sva mām Mahādevah,Sarva prāni hitāńkara,Mām moca sarva pāpebhyah,Pālayasva Sadā Sivah
Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa, Yang Maha Utama, ampunilah hamba-Mu, semuamakhluk Engkau jadikan sejahtera, dan engkau bebaskan hamba-mudari segala kenestapaan atas tuntunan suci-Mu oh penguasakehidupan.
Bait VI : Om kşantavyah kayiko doşāh,kşantavyo vācika mama,kşantavyo mānaso dosah,tat pramādāt ksamasva mām,
Om Śāntih, Śāntih, Śāntih OmArtinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, ampunilah segala dosa dari perbuatan,ucapan, dan pikiran hamba, semoga segala kelalaian hamba ituEngkau ampuni. Om Sang Hyang Widhi Wasa, Semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu.
Kramaning sembah merupakan Sembahyang yang dilakukan umat
untuk memuja Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dengan segala
Prabhawa/manifestasi kemahakuasaan-Nya, yang dilaksanakan dengan
penuh ketululusan hati, dengan sarana bunga atau kuwangen yang
bertujuan mewujudkan suatu kehidupan yang bahagia dan sejahtera
lahir batin atau Moksartham Jagadhita (Wiana, 1992 : 11).
Adapun urutan-urutan Kramaning sembah, baik pada waktu
sembahyang sendiri ataupun sembahyang adalah sebagai berikut :
Persiapan penyucian sarana upakara sembahyang :a). Mantra penyucian dupa :
Om Ang Dupa diprasta ya namah
Artinya :Ya Tuhan dalam wujudmu sebagai Brahma, tajamkanlah nyala
dupa kami, sehingga sepeti sinar-Mu.b).Mantra Penyucian Bunga :
Om Puspadanta ya namah
Artinya :Ya Tuhan semoga bunga ini cemerlang dan suci.
1) Sembah tanpa bunga (Muyung)Mantra:
Om Ātma Tattvātmā Śoddha Mām SvāhāArtinya:
Ya Tuhan dalam wujud atma atau jiwa, dan kebenaran, bersihkan dan sucikanlah hambamu.
2) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Sanghyang Aditya dengan sarana bunga.Mantra:
Om Ādityasyaparam jyotirakta tejo namo’stutesvetapankaja mādhyasthahbhāskārāyo namo’stute
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkaubersinar merah, hormat pada-Mu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih, hormat pada-Mu pembuat sinar.
3) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Ista Dewata dengan saranaKwangen atau bunga.
Pada muspa inilah yang diantar dengan Pangastawa yang
mengkhusus sesuai dengan Ista Dewata yang di puja pada saat ittu.
Seperti dalam hal ini di Pura Dalem, Pura Desa dan Pura Puseh.
a). Sembahyang di Pura DalemMantra :Om catur dewi mahādewicatur asrame bhatariÇiwa jagatpati dewidurgha maçarira dewiOm catur dewi dipata ya namah
Artinya :Om Hyang Widhi, sakti-Mu berwujud Catur Dewi, yang di puja oleh CaturAsrama, sakti dari Ciwa Raja Semesta alam dalam wujud Dewi Durgha.Ya, Catur Dewi hamba menyembah kebawah kakimu.
b).Sembahyang di Pura DesaMantra :Om isano sarwa widnyanaIswara sarwa bhutānam,Brahmāno dhipati brahmān,Çiwastu sadā ciwayaOm Çiwa dipata ya namah.
Artinya :Om Hyang Widhi, Hyang Tunggal yang Maha Sadar, selaku Yang MahaKuasa menguasai semua makhluk selaku Brahma Raja dari pada semuaBrahmana, selaku Ciwa dan Sada Ciwa. Ya Hyang Ciwa hamba menyembahpada-Mu.
c). Sembahyang di Pura PusehMantra :Om giripati mahā wiryammahā dewa pratista linggamsarwa dewa pranamyanamsarwa jagat pratistanamOm giripati dipata ya namah.Artinya :Om Hyang Widhi, selaku Giripati yang Maha Agung, Maha Desa denganlingga yang mantap, semua dewa-dewa tunduk pada-Mu. Om Giripatihamba menyembahmu.
Selain mantra Pengastawa yang mengkhusus disetiap pura-pura,
Sang Hyang Widhi sebagai Ista Dewata dapat juga dipuja dengan mantra
sebagai berikut :
Mantra:Om namo devaya,adhisthanaya,sarva vyāpi vai Śivāya,padmāsana ekapratisthaya,ardhanareśvaryai namo namah svaha.
Artinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat kami kepada dewa yang bersemayam ditempat utama kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana – mana,kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga terataisebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.
4) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Pemberi Anugerah, dengansarana Kwangen atau bunga.Mantra:Om anugraha manohara,deva dattanugrahaka,arcanam sarva pujanam,namah sarvanugrahaka,Om deva devi mahasiddhi,yajnangga nirmalatmaka,laksmi siddhisca dirghayuh
nirvighna sukha vrddhisca.Artinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau yang menarik hati, pemberianugerah. Anugerah pemberian Dewa, pujaan dalam semua pujian,hormat pada-Mu pemberi semua anugerah. Kemahasidian Dewa danDewi, berwujud Yajna, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan,panjang umur, kegembiraan dan kemajuan.5) Sembah tanpa bunga (Sembah Puyung).Mantra:Om deva suksma paramaçintyaya namah svaha.
Artinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat pada Dewa yang tak berpikiran yangmaha tinggi, yang maha gaib. Setelah persembahyangan selesaidilanjutkan dengan mohon Tirtha (air suci) dan Bija/Wibhuti.6) Pembagian Tirtha.Sebelum Tirtha dipercikkan, ucapkan terlebih dahulu mantram ini:Mantra:Om Pratama Sudha, Dvitya Sudha, Tritya Sudha, Caturti Sudha, Pancami Sudha, Sudha,Sudha, Sudha Variastu Namah Svaha.Artinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga kami dianugerahi kesucian, hormatkepada-Mu.Dapat pula dengan menggunakan mantram berikut ini:a). Pemercikan tiga kali ke ubun – ubun:Mantra:Om Ang Brahma amrtha ya namahOm Ung Wisnu amrtha ya namahOm Mang Isvara amrtha ya namahArtinya:Om Hyang Widhi Wasa, bergelar Brahma, Wisnu, Iswara, hamba memuja-Musemoga dapat memberi kehidupan (dengan tirtha ini).
b). Minum Tirtha tiga kali:Mantra:Om sarira paripurna ya namah,Om ang ung mang sarira sudha,Pramantya ya namah,Om ung ksama sampuranya namah.
Artinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebursegala ciptaan, semoga badan hamba terpelihara selalu, bersih,terang dan sempurna.c). Meraup, mengusap Tirtha ke muka ke arah atas:Mantra:Om Siva amertha ya namah,Om Sadha Siva amertha ya namah,Om Parama Siva amertha ya namah.Artinya:Oh Hyang Widhi (Siwa, Sadha Siwa, Parama Siwa) hamba memuja-Mu semogamemeberi amrtha pada hamba.
7) Memasang bija:a). Bija untuk di dahi:
Mantra:Om Sriyam BhavantuArtinya :(Oh Hyang Widhi, semoga kebahagiaan meliputi hamba). b). Bija untuk di bawah tenggorokan:Mantra:Om Sukham BhavantuArtinya :(Oh Hyang Widhi, semoga kesenangan selalu hamba peroleh).
c). Bija untuk ditelan:Mantra:Om purnam bhavantuOm ksama sampurna ya namah svaha.Artinya :(Oh Hyang Widhi, semoga kesempurnaan meliputi hamba, Oh Hyang Widhi semoga semuanya menjadi bertambah sempurna).
8) Meninggalkan tempat suci, didahului Parama santih:Mantra:
Om Śāntih, Śāntih, Śāntih Om.Artinya :
Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga damai dihati, damai didunia dandamai selalu.
Menurut Beneh wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan
bahwa, bagi masyarakat yang tidak tahu tattwa atau mantra kramaning
sembah, didalam muspa ngaturang pangubhakti menggunakan seha atau
pengganti mantra yang ada dalam buku atau lontar-lontar mengenai
persembahyangan. Adapun seha yang digunakan tersebut adalah
sebagai berikut :
Seha : Om Pakulun Paduka Bhatara ........(Nama Dewa yangdipuja)
Iki panjak Iratu angatur akenSembah pangubhakti majeng Paduka BhataraDumogi sweca ring panjake sami
Magda selamet sadha rahayu sareng sami.
Artinya :Om Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi ........(Nama Dewa yangdipuja), hamba menghaturkan sembah kepada-Mu, semoga Tuhanmemberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat semuanya.
Dari hasil beberapa wawancara dapat disimpulkan bahwa,
sebagian besar masyarakat Desa Pakraman Alasngandang belum
mengetahui dan menggunakan mantra sesuai dengan pola ajaran tattwa
dalam melaksanakan muspa kramaning sembah pada persembahyangan
purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang.
Sebagai alternatif yang dipakai adalah Seha (pengganti mantra)
bagi masyarakat yang belum mengetahui mantra sesuai dengan ajaran
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
4.2.1.3. Pola Ajaran Tattwa dalam Sarana UpakaraPersembahyangan.
Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan
bahwa, masyarakat Alasngandang belum memahami tattwa atau makna
dari sarana/upakara yang dipakai dalam persembahyangan purnama
tilem di Desa Pakaramn Alasngandang baik itu bunga, dupa, canang,
banten pejati dan segahan. Sehingga sarana/upakara
persembahyanganpun disalahartikan dan terkadang dikesampingkan
karena kurang memahami makna yang terkandung dari sarana/upakara
tersebut.
Dalam bukunya Widana (2009 : 74) menjelaskan bahwa, Upakara
berasal dari kata “upa” yang berarti “berhubungan dengan” dan
“kara” yang artinya “perbuatan/pekerjaan”. Jadi istilah upakara
dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan
perbuatan/pekerjaan yang umumnya berbentuk material. Pendeknya
upakara itu berhubungan dengan perlengkapan suatu upacara. Adapun
sarana atau alat persembahyangan yang dipakai dalam upacara
persembahyangan Purnama Tilem di Desa Pakraman Alasngandang adalah
sebagai berikut :
1). Bunga
Bunga adalah lambang kesucian, karena itu perlu diusahakan
bunga yang segar, bersih dan harum. Jika pada saat sembahyang
tidak ada kawangen, maka dapat diganti dengan bunga (kemabang).
Bunga yang tidak baik dipersembahkan menurut AGASTYAPARWA adalah:
"Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Hyang Widhi,
yaitu bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncanng,
bunga yang berisi semut bunga yang layau atau yang lewat masa
mekarnya, bunga yang tumbuh dikuburan. Itulah bunga yang tidak
patut dipersembahkan oleh orang-orang baik" (Pasek, 2008 : 29),
2). Kuwangen
Kuwangen berasal dari bahasa jawa kuno dari kata “wangi”
artinya harum. Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an”
sehingga menjadi “kewangin” lalu disandikan menjadi kuwangen yang
artinya keharuman yaitu untuk mengharumkan nama Tuhan (Wiana,
2005 : 31). Dalam lontar Sri Jaya Kesunu, Kuwangen disebutkan
sebagai lambang “Omkara” sedangkan menurut lontar Brahdhara
Upanisad, Kuwangen adalah lambang Ida Sang Hyang widdhi.
3). Dupa
Apinya dupa adalah simbol Sangyang Agni, yaitu saksi dan
pengantar sembah kita kepada Hyang Widhi. Api dalam istilah agama
Hindu disebut “Apuy, Agni Wahni”, api sebagai sumber kehidupan
dewanya Brahma. Sifat api adalah menerangi atau menyinari dan
“Dharmanya” membakar. Api merupakan salah satu unsur alam yang
dipakai sebagai sarana persembahyangan dan sarana keagamaan, yang
berfungsi sebagai perlambang sifat-sifat Tuhan dalam hubungannya
turut mempermulia ciptaanya, dan secara simbolis api dipakai
sebagai saksi dalam upacara (Wiana, 2005 : 53).
4). Tirtha
Tirtha adalah air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan
suatu cara tertentu dan disebut dengan Tirtha Wangsuh Pada Hyang Widhi
(Ida Betara). Tirtha dipercikan di kepala, diminum dan dipakai
mencuci muka. Hal ini dumaksudkan agar pikiran dan hati kita
menjadi bersih dan suci yaitu bebas dari segala kotoran , noda
dan dosa, kecemaran dan sejenisnya. Tirtha ada dua macam yaitu
Tirtha yang didapat dengan memohon kepada Tuhan dan Bathara-bhatara,
dan Tirtha yang dibuat oleh pandita dengan puja. Tirtha ini berfungsi
untuk membersihkan diri dari kotoran maupun kecemaran pikiran.
Adapun pemakaiannya adalah dipercikkan di kepala, diminum dan
diusapkan dimuka. Ini merupakan simbolis pembersihan bayu, sabda
dan idep (Wiana, 2005 : 83).
5). Bija atau Wija
Bija atau wija di dalam bahasa sanskerta disebut gandaksata yang
berasal dari kata “ganda” dan “aksata” yang artinya biji padi-
padian yang utuh serta berbau wangi. Bija adalah lambang Kumara
yaitu putra atau bija Bhatara Siwa. Kumara ini adalah benih ke-
Siwaan yang bersemayam di dalam diri setiap orang. Dengan
demikian "Mawija" (Mabija) mengandung pengertian
menumbuhkembangkan benih ke-Siwaan yang bersemayam didalam diri
kita. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ditanam
di tempat yang bersih dan suci, maka itu pemasangan Bija(Wija)
dilakukan setelah metirtha (Widana, 2009 : 75).
6). Canang
Canang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya
berarti “sirih”, yang mana sirih ini disuguhkan kepada para tamu
(uttama) yang dihormati. Pada jaman dahulu tradisi makan daun
sirih adalah suatu kebiasaan yang sangat dihormati. Bahkan
didalam kekawin Nitisastra disebut “masepi tikang waktra tan Amucang
Wang” artinya sepi rasanya mulut bilamana tiada makan sirih
(Pasek, 2008 : 90).
Unsur-unsur canang adalah sebagai berikut yaitu : porosan
yang terdiri dari pinang dan kapur dan dibungkus daun sirih
merupakan lambang pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, pinang merupakan
lambang dari Dewa Brahma, Sirih lambang dari Dewa Wisnu dan Kapur
merupakan lambang dari Dewa Siwa. Plawa atau daun merupakan lambang
dari tumbuhnya pikiran yang suci, dan ceper berbentuk segi empat
adalah lambang dari swastika, bunga adalah lambang keikhlasan dan
reringgitan merupakan lambang dari ketepatan hati (Wiana, 1992 :
28).
7). Banten Pejati
Banten pejati adalah nama Banten atau upakara, sesajen yang
sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang
kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan
ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya. Dalam Lontar Tegesing Sarwa
Banten, dinyatakan:
“Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang”
Artinya: Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkapdan bersih.
Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari
pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan
suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud
indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari
pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu
mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis
filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk
menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.
Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan
“pa”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati
adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan
rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasi-Nya, akan
melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan
agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok
yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña (Pasek, 2008 : 105).
8). Segehan
Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam
hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi
dari limbah atau kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan
dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan
inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh
negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya
hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (Wiana, 2005 : 43).
4.2.2. Pola Ajaran Etika dalam Persembahyangan Purnama Tilem.
Menurut Siden wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan
bahwa, etika merupakan suatu prilaku atau sikap yang baik dalam
melakukan suatu aktivitas, dalam hal ini adalah etika didalam
persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang perlu
ditingkatkan, karena etika masyarakat di dalam melaksanakan
persembahyangan masih kurang dengan apa yang diharapkan sesuai
dengan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Hal ini dapat dilihat
dari sikap sembahyang masyarakat Alasngandang, baik itu dalam
sikap badan dalam sembahyang, sikap tangan saat muspa maupun
sikap dalam pembagian tirha dan bija yang tidak disiplin dan masih
saling mendahului. Hal inilah yang perlu ditingkatkan supaya
etika atau sikap dalam sembahnyang dapat berjalan secara baik
sesuai dengan ajaran tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
Secara teoritis, Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang
dalam bentuk jamaknya (ta etha) berarti “adat istiadat” atau
“kebiasaan”. Dalam pengertian ini etika berkaitan dengan
kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada
suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika
berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan
hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan
dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke
generasi yang lain. Dalam pengertian ini etika mirip dengan
pengertian moralitas, yang berasal dari kata Latin mos, yang
dalam bentuk jamaknya (mores) berarti “adat istiadat” atau
“kebiasaan” (Suhardana, 2006 : 12).
Jadi etika dan moralitas berarti sistem nilai atau aturan
tentang tata cara hidup yang baik dalam kaitannya dengan
penelitian ini yaitu tentang bertata cara hidup atau berprilaku
yang baik dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem di
Desa Pakraman Alasngandang
Dengan mentaati etika, tata susila secara tidak langsung
dapat menertibkan, mendidik membiasakan diri dan patuh dengan
adat istiadat yang telah ditetapkan. Jadi etika atau peraturan
tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup
manusia.
Hal ini disebutkan dalam kitab Saramuccaya Sloka 160 sebagaiberikut :Cila ktikang pradhana ring dadi wwang,Hana prawrtining dadi wwang duccila apakanta,Praydjananika ring hurip, ring wibhawa, ring kaprajnan,Apan wyartha ika kabeh, yan tan hana cilayukti
Artinya :Susila itu adalah yang paling utama (dasar mutlak) pada titisansebagai manusia, jika ada prilaku (tindakan) titisan sebagaimanusia itu tidak susila apakah maksud orang itu dengan hidupnya,dengan kekuasaan dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya(hidup, kekuasaan, dan kebijaksanaan) bila tidak ada pentrapankesusilaan pada perbuatan (praktek susila) (Kajeng, dkk.1994:128).
Dari kutipan tersebut diatas bahwa susila atau etika
merupakan hal yang paling penting untuk diperhatikan dan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam
persembahyngan purnama tulem. Karena orang yang tidak
melaksanakan susila dengan baik hidupnya akan sia-sia dan tidak
berguna. Adapun etika dalam pelaksanaan persembahyangan purnama
tilem meliputi sebagai berikut :
4.2.2.1 Etika Muspa dalam Persembahyangan Purnama Tilem.
Dalam bukunya Wiana (2005 : 12) menjelaskan bahwa, etika di
dalam muspa sangat penting diperhatikan dalam melakukan
persembahyangan. Karena dalam upacara keagamaan khususnya Dewa
yadnya inilah yang paling kelihatan adalah sikap badan kita
didalam melakukan persembahyangan. Sikap-sikap yang dimaksud
antara lain : 1). Sikap dan tempat duduk, 2). Sikap tangan dan
letak bunga atau kuwangen 3). Sikap hati. Adapun uraiannya
sebagai berikut :
1). Sikap dan tempat duduk dalam sembahyangMenurut Wendra wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan
bahwa, Sikap duduk untuk muspa yang baik adalah sikap silasana
atau bersila untuk sikap duduk laki-laki, dan untuk sikap duduk
untuk perempuan adalah bajrasana atau bertimpuh dimana kedua tumit
kaki diduduki. Usahakanlah sikap duduk itu dengan mengambil sikap
badan yang tegak tetapi enak atau tidak kaku. Tidak boleh bungkuk
atau miring dan jangan sikap tegang yang dibuat-buat. Usahakanlah
duduk hingga tulang punggung dapat tegak lurus atau vertikal.
Mengenai tempat duduk didalam persembahyangan usahakanlah
mengambil tempat duduk menghadap kedepan atau menghadapi pelinggih
anustana dari Ida Sang Hyang Widhi yang akan kita aturi puspa dalam
jarak seperlunya. Usahakanlah pada waktu mencari tempat duduk,
kita tidak mengganggu atau menyinggung rasa hati orang yang ada
disamping kita. Dan jaganlah lalu lalang didepan orang yang
sedang muspa. (Merta, wawancara : 28 April 2010).
Mengenai sikap dan tempat duduk yang sudah dijalskan diatas
harus dilaksanakan dan dipahami sesuai dengan tuntunan muspa
didalam melakukan persembahyangan terutama pada saat
persembahyangan purnama tilem. Karena dengan sikap duduk yang
benar dan tempat duduk yang nyaman akan mengahantarkan kita
menjadi lebih khusuk didalam menghubungkan diri kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.
2). Sikap tangan dan letak bunga dalam sembahyangSikap tangan dalam melakukan puja Tri Sandhya adalah sikap
amustikarana yaitu cakupan dua tangan didada dan kedua ibu jari
bertemu, kemudian empat jari kanan ditutup dengan empat jari
kiri yang didahului dengan pranayama (pengaturan nafas). Didalam
melakukan puja Tri Sandhya dengan sikap amustikarana tidak mutlak
harus menggunakan sarana seperti bunga yang dipakai dalam sikap
amustikarana (Titib, 2003 : 37).
Dalam melaksanakan muspa kramaning sembah sikap tangan dan
letak bunga sudah ditentukan dan ditetapkan oleh Parisada Hindu
Dharma Indonesia. Dalam sembahynag yang dipimpin oleh seorang
pemimpin (pandita atau pinandita), maka kita mengikuti tuntunan
pemimpin upacara tersebut. Adapun sikap tangan dalam melakukan
sembahyang sesuai petunjuk buku upadeça (1968 : 36) adalah
sebagai berikut :
Pada saat sembah puyung dengan tangan kosong yaitu pada
setiap awal dan akhir sembahyang yang sering disebut dengan
sembah tanpa srana. Pada sikap katupan tangan pada ujung jarinya
berisi sedikit bunga. Katupan tangan mempunyai arti tertentu
harus dilakukan dengan semestinya, agar arti dan maksudnya tidak
hilang. Telapak tangan kanan adalah perlambang “sukma sarira” atau
perlambangannya sang jiwa. Sebaliknya telapak tangan kiri adalah
simbol “stula sarira” atau simbul badan wadag. Lima jari tangan
kanan adalah perlambang Panca Budhindria (pelihat, pendengar,
pencium, pengecap dan peraba). Sedangkan lima jari tangan kiri
adalah simbul Panca Karmendria(mulut, tangan,kaki, badan, kelamin).
Karena muspa dilakukan dengan “wahyadyatmika” yaitu lahir bhatin,
maka pengatupan tangan yang melambangkan wahyadyatmika ini perlu
ditertibkan. Katupkanlah tangan sejak telapaknya hingga jari-
jarinya. Jari-jari semuanya harus lurus dan rapat antara yang
kanan dengan jari-jari yang kiri, naiknya tangan harus tepat
ditengah-tengah badan (didepan mulut, hidung dan sebagainya)
jangan miring kesamping kanan atau kiri (Kaler, 2004 : 12).
Katupan tangan pada muspa kramaning sembah disebut dengan
“cakuping kara kalih” ini juga memiliki arti menungggalnya lahir
bhatin (wahyadyatmika) diri kita. Dirapatkannya semua jari adalah
lambang bahwa semua indria kita sudah terikat dan semua indria
kita tidak bekerja, sehingga budi nurani sepenuhnya kita sudah
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi yang diaturi puspa. Gerakan indria
kepada sasarn lain kita tutup.
Dalam menggunakan bunga yang melambangkan kesucian hati
itu yaitu dengan cara menjepitnya diujung jari. Dan jepitlah
dengan jari tengah kanan dan kiri, yakni jari yang tertinggi.
Sembulkanlah bunga keatas jangan dijepit tersembunyi, hingga
bunga itu merupakan tajuk mahkota dari katupan tangan kita.
Kesucian hati yang dilambangkan dengan bunga itu merupakan tajuk
dari pelaksanaan muspa. Demikian pula bila memakai sarana
kuwangen serta sebagian besar disembulkan keatas. Muka kuwangen
dibuat agak mengadah, jangan menghadap kesamping kekiri atau
kekanan (Kaler, 2004 : 14-15).
3). Sikap hati dalam sembahyang
Menurut Ratep dalam wawancara tanggal 28 April 2010,
menyatakan muspa atau sembahyang harus dilakukan dengan kesucian
dan ketenangan hati semaksimal-maksimalnya. Mulai dari
berpakaian, sikap duduk, asucilaksana dan sebagainya maka usaha-
usaha lain untuk mencapai kesucian dan ketenangan hati perlu
ditempuh. Sebagai dimaklumi bahwa hati itu laksana air, sangat
mudah bergerak, bergetar dan bergelombang. Ia sangat mudah
terpengaruh. Usaha-usaha menenangkan (lebih-lebih waktu muspa)
diantarnya adalah dengan mengurangi pengaruh-pengaruh yang
menyentuh hati itu. Pengaruh ini biasanya datang dari pancaindra,
terutama mata, sehingga pada saat muspa mata dipejamkan untuk
meniadakan atau mengurangi penglihatan dengan mana gejolak hati
dapat dikurangi.
Pernafasan bisa membantu bahkan bisa menentukan timbulnya
ketenangan hati. Sesudah duduk teratur tarikklah nafas panjang-
panjang denngan tenang barang 5 atau 10 kali dengan teratur dan
pelan-pelan. Lakukanlah ini dengan sabar seenaknya, hingga hati
menjadi tenang. Kalau hati belum tenang seperlunya, dada masih
terengah-engah, ebar jantung masih cepat belum teratur, maka
bernapaslah dalam-dalam seperlunya terus dilakaukan. Dan
janganlah kita mulai muspa kalau kita belum mencapai ketenangan
hati (Kaler, 2004 : 15-16) .
4.2.2.2 Etika Pembagian Tirtha dan Bija dalam Persembahyangan Purnama Tilem.Tirtha dan bija merupakan hal yang penting dalam melaksanakan
persembahyangan. Sembahyang terasa belum lengkap ketika belum
dapat nunas tirtha wangsuhpada dan bija. Biasanya tirtha dan bija ini
dibagikan setelah muspa kramaning sembah selesai. Tirtha merupakan
air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu ritual
khusus dan disebut dengan Tirtha Wangsuh Pada Hyang Widhi (Ida Betara).
Begitu juga dengan wija atau sering disebut dengan bija ini
merupakan lambang Kumara yaitu putra atau bija Bhatara Siwa. (Pasek,
2008 : 79-80).
Menurut Merta wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan
bahwa, pembagian Tirtha dan bija ini dibagikan oleh pinandita atau
pemangku dan dibantu oleh jro sedahan atau istri pemangku.
Pembagian tirtha dan bija ini dilakuakan secara teratur, mulai dari
tempat duduk yang paling depan hingga kebelakang. Etika dalam
nunas tirtha ini harus mengambil sikap duduk yang benar dan tidak
boleh berdiri. Tirtha ini ditunas/dibagikan kemudian dipercikan di
kepala, diminum tiga kali dan dipakai mencuci muka. Hal ini
dumaksudkan agar pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci
yaitu bebas dari segala kotoran , noda dan dosa, kecemaran dan
sejenisnya. Begitu juga dengan bija, bija yang ditunas tersebut
dipakai di jidat/selaning lelata, dileher dan ditelan sebanyak tiga
butir, bija ini merupakan benih ke-Siwaan yang bersemayam di dalam
diri setiap orang. Dengan demikian "Mawija" (Mabija) mengandung
pengertian menumbuhkembangkan benih ke-Siwaan yang bersemayam
didalam diri kita. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang
apabila ditanam di tempat yang bersih dan suci, maka itu
pemasangan Bija(Wija) dilakukan setelah metirtha.
4.2.2.3 Etika Berpakaian dalam Persembahyangan Purnama Tilem.Pakaian merupakan hal utama yang mempengaruhi penampilan
seseorang, berpakaian yang sopan dan rapi adalah cerminan
masyarakat yang baik terutama dalam hal sembahyang ke pura.
Sembahyang sangat identik dengan kesucian, jadi pakaian yang
digunakan dalam sembahyang syaratnya adalah bersih, suci dan
dipakai secara rapi menurut norma kesopanan (Kaler, 2004 : 6).
Menurut Sekar wawancara tanggal 13 April 2010 menjelaskan
bahwa, Keindahan dalam pakaian sembahyang bukanlah syarat yang
utama, baik itu yang bersifat mode, tren, gaul dan sebagainya tidak
menjadi jaminan dalam melaksanakan persembahyangan. Hal utama
yang perlu diperhatikan adalah kebersihan dan kerapian pakaian
saat busana dipakai, ketika berpakaian usahakan tidak mengganggu
gerakan badan, jangan terlalu ketat sehingga dapat mengganggu
pernafasan dan tidak kaku dalam melakukan gerakan yang nantinya
dapat berpengaruh terhadap persembahyangan terutama dalam
melakukan muspa.
Menurut Ratep wawancara tanggal 28 april 2010 menjelaskan
bahwa, selain dapat mempengaruhi diri sendiri, pakaian juga
dapat mempengaruhi pikiran orang lain. Dengan berpakaian yang
ketat, berwarna yang mencolok dapat mengganggu pikiran orang yang
melihatnya. Usahakan pakaian yang digunakan menyesuaikan dengan
ukuran tubuh maksudnya jangan sampai memperlihatkan bentuk atau
lekukan tubuh dengan pakaian yang ketat dan transparan, selain
itu masalah warna janganlah sampai mengundang perhatian orang
artinya pandangan orang selalu tertuju pada objek yang sama
sehingga dapat mengganggu pelaksanaan persembahyangan dan
pemusatan pikiran saat menghubungkan diri pada Tuhan Yang Maha
Esa.
Berpakaian yang bersih, rapi dan sopan akan membuat suasana
persembahyangan menjadi aman dan nyaman. Etika berpakaian dalam
sembahyang perlu kita tekankan, selain untuk menjaga kesucian
pura, etika berpakaian perlu dipahami dan diperhatikan oleh
masyarakat supaya tidak dipakai sebagai ajang mode pakaian yang
baru. Pakaian dengan mode-mode yang baru biasanya sering
dipamerkan dipura saat sembahyang seperti mode kain kebaya,
sapari, destar, saput dan pakaian lainnya dengan harga yang
bersaing. Hal itulah yang harus kita hindari demi kesucian dan
kelestarian budaya Hindu kedepan supaya tidak punah.
4.2.3. Ajaran Ritual atau Upacara dalam Persembahyangan Purnama Tilem.
Menurut Wendra wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan
bahwa, masyarakat Alasngandang dalam melaksanakan suatu ritual
atau upacara keagamaan seperti persembahyangan purnama tilem
sudah cukup bagus. Dilihat dari prosesi pelaksanaan suatu ritual
keagamannya sudah baik dan teratur, hal ini perlu dipertahankan
serta ditingkatkan supaya agama Hindu kedepan tidak merosot
terutama dalam hal ritual atau upacaranya yang paling kelihatan dan
mencolok.
Dalam bukunya Surayin, (2005 : 9) menjelaskan bahwa, upacara
berasal dari kata “upa” yang berarti “berhubungan dengan”, dan
“cara” yang bersal dari kata “car” yang berarti gerak kemudian
mendapat akhiran “a” menjadi kata benda yang berarti gerakan.
Jadi upacara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan gerakan
atau kegiatan, atau dalam kata lain upacara adalah gerakan
(pelaksanaan) dari pada suatu yadnya. Pada umumnya upacara itu
adalah berbentuk materi yang juga disebut “banten”, sebagaimana
diketahui tadnya di Bali selalu dilengkapi dengan sesajen-sesajen
(upakara).
Upacara adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa
sansekerta yang berarti “mendekati”. Disamping berarti mendekati
juga berarti “penghormatan” inti upacara adalah tattwanya memang
suatu aktivitas yang mendekatkan manusia dan alam lingkungannya,
dengan sesamanya dan dengan Tuhannya. Pendekatan dengan alam
lingkungan alam dengan tujuan untuk membangun alam yang Bhutahita
artinya alam linhkungan yang sejahtera (Wiana, 1997 : 37-38).
Disadari bahwa ritual itu merupakan media atau sarana untuk
memudahkan bagi umat untuk dapat sampai kepada Beliau yang di
puja. Selain menggunakan mantra/doa, menggunakan sarana bunga,
dupa, banten dan sebagainya, bahwa ritual itu merupakan satu
paket persembahan dengan berbagai aspeknya. Kuncinya adalah jenis
apapun ritual yang dipersembahkan tentu didasari dengan hati suci
serta tulus ikhlas tanpa mengharapkan alasannya (Subagiasta, 2006
:38). Adapun ritual dalam persembahyangan purnama tilem di Desa
Pakraman Alasngandang adalah sebagai berikut :
4.2.3.1 ..............................................Ritual dalam
Persiapan Sembahyang.
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan bathin.
Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas
dan sikap tangan. Termasuk dalam persiapan lahir ialah sarana
penunjang sembahyang seperti pakaian yang bersih dan rapi, bunga
dan dupa, sedangkan persiapan bathin ialah ketenangan dan
kesucian pikiran.
Menurut Sekar wawancara tanggal 13 April 2010 menjelaskan
bahwa, langkah-langkah persiapan dan sarana prasarana sembahyang
pertama-tama adalah Asuci Laksana yaitu membersihkan badan dengan
mandi dan keramas, supaya badan kita benar-benar bersih secara
jasmani, karena kebersihan badan dan kesejukan lahir
mempengaruhi ketenangan hati dalam melakukan persembahyngan
terutama dalam memusatkan diri kepada Ida Sang Hyang widhi Wasa.
Langkah selanjutnya adalah kebersihan Pakaian, Pakaian waktu
sembahyang supaya diusahakan pakaian yang bersih serta tidak
mengganggu ketenangan pikiran. Pakaian yang ketat dan warna yang
mencolok dapat mengganggu konsentrasi dalam pemusatan pikiran.
Persiapan selanjutnya adalah menyiapkan sarana penunjang
persembahnyangan seperti : bunga, kuwangen, dupa, canang, banten,
tirtha, bija (wija) dan sarana yang mendukung lainnya. Semua sarana ini
harus suci misalnya bunga yang dipakai harus bunga yang masih
segar. Selain itu adalah kebersihan Pura atau tempat sembahyang
supaya bersih dari sampah atau kotoran-kotoran agar tidak
mengganggu proses atau jalannya persembahyangan tersebut.
Persiapan bhatin sebelum melakukan persembahyangan
meliputi : Pertama, rasa tulus ikhlas dalam melaksanakan
sembahyang. Kedua, kesadaran bathin yang luhur dan suci sesuai
dengan ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu : suci dalam pikiran, suci
dalam perkataan, dan suci dalam perbuatan. Ketiga, bhakti kepada
Ida Sanghyang Widhi Wasa secara pasrah dan utuh. Keempat, kesadaran
melaksanakan sembahyang agar ditujukan pada jalan dharma,
kesucian dan kesejahtraan mahluk serta alam semesta. Dan yang
terakhir meyakini ajaran Tat Tvam Asi yakni memandang semua mahluk
mempunyai hakikat yang sama (Merta, wawancara : 28 April 2010 ).
Sebelum masuk ke areal Pura hendaknya “melukat” terlebih
dahulu dengan memercikkan tirtha kepada diri kita, sebagai simbol
menyucikan diri dan mohon ijin secara niskala. Mangku Siden
menambahkan bahwa umat hendaknya masuk ke Pura melalui pintu
sebelah kiri dan keluar menuju pintu sebelah kanan karena harus
sesuai dengan arah perputaran waktu yang selalu maju.
4.2.3.2 Ritual dalam Puja Tri Sandhya.
Dalam bukunya Titib (2003 : 35) menjelaskan bahwa, Puja Tri
Sandhya merupakan sembahyang wajib yang dilakukanoleh setiap umat
Hindu tiga kali dalam sehari. Dan Puja Tri Sandhya ini juga
dilakukan sebelum melaksanakan muspa Kramaning Sembah khususnya
dalam persembahyangan Purnama Tilem yang dilaksanakan di Desa
Pakraman Alasngandang. Pelaksanaan Puja Tri Sandhya ini dilakukan
secara bersama-sama dan dipimpin oleh pinandita atau Jro Mangku yang
muput pada saat itu.
Puja Tri Sandhya ini dapat dilakukan dengan menggunakan sarana
berupa bunga, dupa, air suci dan sejenisnya. Tetapi bila hal itu
tidak tersedia maka cukup dengan sikap amustikarana yaitu cakupan
dua tangan didada, kedua ibu jari bertemu, empat jari kanan
kemudian ditutup dengan empat jari kiri, tentunya didahului
dengan pranayama (pengaturan nafas) supaya tarikan dan hembusan
nafasnya lembut (Titib, 2003 : 37).
Hal terpenting dalam melakukan puja Tri Sandhya adalah
mengetahui dan mengerti makna mantram-mantram yang diucapkan,
sehingga melalui pemahaman terhadap arti dan makna Puja Tri Sandhya
tersebut maka kita akan lebih mantap, yakin dan khusuk memuja
keagungan Ida Sang Hyang Widhi. ”Masyarakat di Desa Pakraman
Alasngandang sebagian besar belum memahami dan mengerti makna
dari mantram Puja Tri Sandhya yang diucapkan” (Siden, wawancara :
28 April 2010).
Dari hasil wawancara tersebut bahwa pelaksanaan Puja Tri Sandhya
ini harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan yang paling
penting mengetahui dan memahami arti atau makna dari Puja Tri
Sandhya yang dilakukan tersebut. Sehingga apa yang kita harapkan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dapat tercapai dengan benar.
Mangku Siden memberi saran, “Dalam melakukan Puja Trisandya baik
sendirian maupun berkelompok hendaknya kita berkonsentrasi dengan
baik, mengikuti desah nafas kita dengan halus dan pelan.
Sepanjang mampu kita bernafas lantunkanlah sloka-sloka tersebut
dengan lemah lembut. Kalau kita melantunkan sloka dengan pikiran,
maka mantram tersebut seperti terkejar-kejar atau belomba-lomba
dan tidak berakhir dengan bersamaan”.
4.2.3.3 Ritual dalam muspa Kramaning Sembah.
Menurut Wendra dalam wawancara tanggal 14 April 2010
menjelaskan bahwa, Kramaning Sembah merupakan Sembahyang yang
dilakukan umat untuk memuja Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dengan segala
Prabhawa/manifestasi kemahakuasaan-Nya, yang dilaksanakan dengan
penuh ketululusan hati, dengan sarana bunga atau kuwangen yang
bertujuan mewujudkan suatu kehidupan yang bahagia dan sejahtera
lahir batin atau Moksartham Jagadhita.
Setelah melakukan Puja Trisandhya, dilanjutkan dengan
melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang bermakna sebagai berikut:
1). Sembah pertama dengan tangan kosong (puyung) yang intinyabertujuan untuk memohon kesucian dan memusatkan pikiran.
2). Sembah kedua, ketiga dan keempat dengan memakai bunga dankawangen dengan tujuan penyampaian rasa hormat kepada Tuhan,penyampaian hormat kepada sifat wujudNya dalam segalamanifestasiNya dan kepada para Dewa, serta penyampaian permohonanmaaf dan permohonan anugrah.
3). Sembah kelima, yaitu sembah tangan kosong yang merupakansembah penutup sebagai rasa terima kasih atas rahmatNya danmengantarkan kembali ke alam gaib (Bajrayasa, Arisufhana & Goda1981 : 29).
Setelah melaksanakan persembahyangan, umat dipercikkan tirtha
wangsuh Ida Bhatara. Tirtha ini dipercikkan 3-7 kali di kepala, 3 kali
diminum dan 3 kali mencuci muka (meraup). Hal ini dimaksudkan
agar pikiran dan hati umat menjadi bersih dan suci. Kebersihan
dan kesucian hati adalah pangkal ketenangan, kedamaian dan
kebahagiaan lahir dan bathin itu sendiri (Sujana & Susila,
2002:31).
Mawija atau mabija dilakukan setelah selesai metirtha yang
merupakan rangkaian terakhir dari suatu persembahyangan. Wija atau
bija adalah biji beras yang dicuci dengan air atau air cendana.
Bila dapat diusahakan beras galih dan tidak patah-patah, yaitu
beras yang utuh tidak patah (aksata). Wija atau bija adalah lambang
Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Jadi, mewija mengadung
makna menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an itu di dalam diri umat
(Sujana & Susila, 2002:31-32).
Menurut Siden wawancara tanggal 14 April 2010 menyatakan
bahwa, dalam melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang dipimpin oleh
Pinandita atau jro mangku, hendaknya umat tidak ikut me-mantram. Hal
ini dianalogikan bahwa Pinandita itu seperti sopir bus, sedangkan
umat adalah penumpang. Sopir akan mengantarkan penumpangnya
sampai tempat tujuan atau terminal. Jika penumpang juga ikut
menyetir akan timbul kegaduhan. Sehingga persembahyangan tidak
menjadi tenang dan menggangu umat lain yang ingin mengadu masalah
hidup kepada Hyang Widhi dan memohon sinar suci-Nya dan tuntunan-
Nya menghadapi masalah. Namun, ikut me-mantram tidak dilarang
karena menurut Mangku Siden bahwa mungkin umat itu tidak sedang
dalam masalah atau ingin belajar menghapalkan mantram tersebut,
asal tidak mengganggu konsentrasi umat lain yang sedang
sembahyang.
Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman
Alasngandang yang dilaksanakan oleh masyarakat Alasngandang
merupakan suatu bentuk persembahan bhakti kepada Tuhan Yang Maha
Esa sebagai penguasa alam dunia besrta isinya. Disamping sebagai
persembahan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, persembahyangan
purnama tilem mengandung nilai-nilai pendidikan yang luhur yang
mencakup beberapa aspek sosial mulai dari nilai sosial relegius,
nilai sosial budaya dan nilai dari sosial ekonominya. Berikut
akan dijelaskan nilai-nilai yang terdapat dalam persembahyangan
purnama tilem tersebut.
Sosial religius berasal dari dua kata yaitu sosial dan
religius. “Sosial” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian
sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat,
kemasyarakatan atau juga suka memperhatikan kepentingan umum
W.J.S Poerwadarminta, (1976 : 961). Sedangkan “religius” berasal
dari kata religi yang artinya kepercayaan kepada Tuhan
Selanjutnya kata religius berarti bersifat religi : bersifat
keagamaan: yang bersangkutan dengan religi (Tim Penyusun, 1991 :
944).
Dalam bukunya Titib (2006 : 258) menyatakan bahywa, inti
tattwa itu adalah kepercayaan kepada Tuhan (Ketuhanan) yang
disebut dengan Ekatwa Anekatwa Svalaksana Bhatara yang artinya Tuhan
itu dalam yang banyak, yang banyak dalam yang Esa. Tattwa adalah
kepercayaan, dalam Hindu kita mengenal lima kepercayaan yang
disebut dengan Panca Sradha yaitu : 1). Percaya terhadap adanya
Tuhan (Widha Tattwa), 2). Percaya terhadap adanya Atman (Atma
Tattwa), 3). Percaya terhadap adanya Hukum Karma (Karma Phala), 4).
Percaya terhadap adanya Punarbhawa (Samsara) dan 5). Percaya
terhadap adanya Moksa (Bersatunya atman dengan Brarman).
Kelima kepercayaan umat Hindu tersebut diatas, kepercayaan
yang paling kuat yang diyakini oleh masyarakat Alasngandang
adalah kepercayaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ini dibuktikan
masyarakat secara teratur melaksanakan persembahyangan untuk
memuja Ida Sanng Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa terutama
pada hari purnama tilem di pura Desa Pakraman Alasngandang.
Menurut Merta wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan
bahwa, kurangnya pemahaman tattwa dan etika dalam masyarakat
Alasngandang pada persembahyangan purnama tilem, dikarenakan
masyarakat Alasngandang masih sangat awam tentang ajaran-ajaran
ketuhanan yang berisikan makna filosofis tentang persembahyangan.
Kalau dilihat dari pengetahuan atau tingkat pendidikannya,
masyarakat Alasngandang masih sangat jauh dengan apa yang
diharapkan. Inilah yang menjadi salah satu kendala dalam
penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu pada pelaksanaan
pemsembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang.
Selain itu kurangnya penyuluhan-penyuluhan agama yang
diberikan pada masyarakat Alasngandang seperti Dharma Wacan dan
Dharma Tula yang dapat meningkatkan pemahaman keagamaan khususnya
dalam hal yadnya yaitu sembahyang. Sembahyang merupakan hal yang
paling penting dilakukan oleh umat Hindu Seperti dalam
Bhagavadgita disebutkan :
Manmana bvaha madbhaktoMadyaji mam namaskuruMam evai syasi vamAtmanam matparayanah
(Bhagavadgita, IX.34)
Artinya :Pusatkanlah pikiranmu padaKu, berbhaktilah kepadaKu, sembahlahAku, sujudlah padaKu, setelah melakukan disiplin pada dirimusendiri dan Aku sebagai tujuan engkau akan datang (mendekat)padaKu (Pudja, 1993 : 150).
Yang dimaksudkan dengan Aku disini adalah Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, dan yang dimaksudkan dengan kamu atau engkau adalah umatnya.
Dengan demikian ini berarti bahwa dengan bhakti pada Tuhan
seseorang akan dapat menyatu pada-Nya yang mengakibatkan
kebahagiaan. Betapa pentingnya hal tersebut sehingga penerapan
ajaran tattwa, etika dan ritual dalam persembahyangan purnama tilem
harus dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan konsep Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu.
Secara etimologi kata kebudayaan berasal dari kata
dasar ”budaya” yang mendapat proses afiksasi ke-an menjadi
kebudayaan. Menurut kamus umum bahasa Indonesia makna kata
”budaya” berarti pikiran atau akal budi maka secara morfologis
kebudayaan merupakan hal-hal yang berhubungan dengan pikiran atau
akal budi (Poerwadarminta, 1991 : 64).
Dari sudut pandang ilmu antropologi kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar. Kata kebudayaan atau culture berasal dari
kata sansekerta ”buddhayah” yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti budi atau akal. Dengan demikian ke-budaya-an dapat
diartikan hal-hal yang berkaitan dengan akal (Koentjaraningrat,
1983 : 182 – 1830).
Sehubungan dengan kebudayaan menurut Koentjaraningrat
menyatakan bahwa agama adalah unsur terpenting didalam membentuk
kebudayaan, dan sistem budaya memiliki empat elemen antara lain :
1). Filsafat keyakinan yang mengendalikan dogma (mindsetting).2). Etika yaitu tatakrama yang dihasilkan dari keyakinan
tersebut.3). Penghayatan sehari-hari dari agama yang berupa (ritual
agama) yang
dimunculkan untuk menyalurkan emosi keagamaan yangmenyertai penghayatan beragama.
4). Para Shadaka atau umat yang meyakini kepercayaan tersebut(Tantera Keramas, 2008 : 28)
Menurut Warsa wawancara tangal 27 April 2010 menjelaskan
bahwa, berbicara tentang sosial budaya pada masyarakat
Alasngandang tidak bisa lepas dari apa yang disebut agama, adat
dan budaya. Di samping ketiga hal tersebut juga tidak bisa
terlepas dengan desa kala patra, sebab sistem pelaksanaan agama, adat
dan budaya selalu berdasarkan tradisi yang berlaku di desa
setempat. Dalam melaksanakan ritual atau sistem kepercayaan,
masyarakat Alasngandang selalu menjungjung kuna dresta dan lokal
dresta sebagai bagian dari budaya masyarakat setempat.
Sistem sosial masyarakat Alasngandang lebih mengedepankan
kebersamaan dan kegotongroyongan dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan. Bila ada suatu permasalahan yang muncul dimasyarakat
Alasngandang penyelesaiannya diputuskan menurut adat atau awig-
awig yang telah disepakati oleh masyarakat setempat. Penyelesaian
dimaksud bisa berupa kena sangsi atau didamaikan. Maka
penyelesaian persoalan-persoalan seperti ini sesuai dengan apa
yang diungkapkan oleh Tjok Istri Putra Astiti bahwa penyelesaian
persoalan adat dilandasi oleh tiga azas yaitu azas kerukunan,
azas keselarasan, azas kepatutan. Berdasarkan azas-azas ini pula
para penguasa banjar menyelesaikan suatu persoalan. Ketiga azas
ini selalu menjadi dasar dalam peyelesaian konflik oleh hakim
desa dalam hal ini penghulu desa seperti bendesa adat atau kepala
dusun. Hubungan yang harmonis selalu dipelihara antara prajuru
desa dengan manggalaning dinas dalam hal ini kepala dusun seperti
diungkapkan oleh bendesa adat setempat bahwa hubungan bendesa adat
dengan kepala dusun seperti suami istri, kepala dusun adalah
suaminya dan bendesa adat adalah istrinya maka dalam memutuskan
suatu persoalan selalu berkoordinasi. Maka hubungan sosial
masyarakat Alasngandang selalu berjalan harmonis. Dan setiap
permasalahan selalu diselesaikan oleh kepala dusun yang
didampingi Bendesa Adat dengan mengedepankan azas kerukunan, azas
keselarasan dan azas kepatutan.
Aspek dari kebudayaan dalam melaksanakan persembahyangan
purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang meliputi dua hal yaitu
: budaya dalam busana berpakaian dan budaya dalam sarana
persembahyangan. Budaya didalam busana berpakaian khususnya dalam
persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang
mengedepankan nilai seni dan estetika (keindahan).
Busana yang digunakan dalam sembahyang syaratnya adalah
bersih, suci dan dipakai secara rapi menurut norma kesopanan.
Jadi pada intinya busana didalam melaksanakan persembahyangan
tersebut adalah bersih, suci dan busana tersebut dipakai secara
sopan. Seiring perkembangan zaman dan budaya, busana
persembahyangan selalu memiliki perubahan atau inovasi-inovasi
baru terutama dalam hal estetika atau keindahannya. Perubahan-
perubahan tersebut secara tidak langsung dapat merubah makna dan
kesucian dari busana persembahyangan agama Hindu itu sendiri
(Kaler, 2004 : 6).
Menurut Ratep wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan
bahwa, dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem, busana
masyarakat Alasngandang selalu mengikuti mode atau gaya busana
yang dijadikan tren pada saat itu. Gaya busana itu umumnya di
perlihatkan pada kalangan remaja-remaja yang haus akan penampilan
yang terbaru. Hal ini ditunjukkan dengan pakaian kebaya remaja
putri yang sedikit transparan atau terbuka, selain itu pada busana
putra hal yang menonjol adalah pada busana udeng/destar dan
kekancutan yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Dengan
merubah gaya udeng dan kekancutan tersebut tentunya juga merubah
makna yang terkandung dalam busana agama Hindu tersebut.
Nilai pendidikan seni budaya juga terdapat dalam sarana
upakara pada persembahyangan purnama tilem terutama dalam pembuatan
banten. Banten yang merukapan salah satu upakara yang terpenting
didalam persembahyangan, selalu berpatokan pada makna dan simbol-
simbol yang terkandung dalam pembuatan banten tersebut. Tetapi
dalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang,
banten-banten yang dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
belum sesuai dengan apa yang diharapkan pada ajaran tattwa agama
Hindu tersebut.
Menurut Karma wawancara 28 April tanggal 2010 menjelaskan
bahwa, banten-banten yang dipersembahkan dalam persembahyangan
purnama tilem oleh masyarakat Alasngandang memiliki nilai
pendidikan budaya yang sangat tinggi. Banten yang dipersembahkan
tersebut kebanyakan masih menggunakan makanan-makanan yang
terbungkus dari plastik, seperti snack atau makanan ringan yang
siap saji. Masyarakat Alasngandang dalam pembuatan banten
persembahan lebih suka menggunakan bahan makanan yang instan atau
siap saji. Sedangkan bahan-bahan yang semestinya dipakai seperti
ketupat, pisang, jaja gina dan jaja uli sudah jarang sekali
dipergunakan. Hal inilah yang perlu dibenahi supaya kebudayaan
tradisional yang syarat dengan simbol dan makna yang berbau
spiritual tersebut supaya tidak hilang ditelan oleh budaya modern
yang serba pkaktis.
Menurut bukunya Prawiro (1990 : 4) menyatakan bahwa, ekonomi
adalah studi tentang usaha manusia dalam kegiatannya memenuhi
kebutuhan hidup. Tantangan berat yang dihadapi oleh masyarakat
dewasa ini adalah tidak hanya menaggulangi krisis moneter dan
krisis ekonomi saja, tetapi juga mengubah paradigma dari Ekonomi
Kapitalis menjadi Ekonomi Kerakyatan (Ekonomi Sosialis). Tentu
saja dalam mengatasi tantangan berat tersebut, diperlukan adanya
komitmen yang kuat untuk menumbuhkan kesadaran baru.
Menurut Ratep wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan
bahwa, pada intinya melaksanakan yadnya harus dilandasi dengan
ketulusikhlasan dan tanpa menghaparkan imbalan. Tetapi kalau
yadnya yang dilaksanakan sampai terasa memberatkan bagi dirinya,
itulah yadnya yang tidak ikhlas. Dilihat dari segi perekonomian
masyarakat Alasngandang tergolong ekonomi menengah kebawah. Hal
ini dilihat dari mata pencahariannya yang kebanyakan seorang
petani. Jadi untuk memenuhi kabutuhan sehari-hari saja masyarakat
Alasngandang terasa sulit, apalagi harus dituntut dengan
melaksanakan yadnya. Dilihat dari tingkat besar kecilnya yadnya
memiliki beberapa tingkatan yaitu :
1. Tingkat Nistaa). Nistaning nistab). Nistaning Madyac). Nistaning Utama
2. Tingkat Madyaa). Madyaning Nistab). Madyaning Madyac). Madyaning Utama
3). Tingkat Utamaa). Utamaning Nistab). Utamaning Madyac). Utamaning Utama Dengan demikian hendaknya dipahami benar mulai dari tingkat
kecil, tengah dan tingkat yang paling utama. Bukan berarti
tingkat yang paling utama itu yang paling baik dan bukan tingkat
nista yang paling buruk. Yadnya itu dilihat dari ketulus
ikhlasannya. Seperti dalam Bhagawadgita Bab IX Sloka 26 disebutkan
bahwa :
Pattram puspam phalam to yam
Yo me bhaktya prayacchatiTad aham bhaktyupahrtamAsnami prayatatmanah
(Bhagavadgita, IX.26)Terjemahannya:Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan kepada-Ku, daun, bunga buah-buahan atau air, persembahan yang didasari oleh cintadan keluar dari hati suci, Aku terima (Pudja, 1993 : 153).
Yadnya dalam hal ini harus didasari oleh cinta kasih dan
hati yang suci, walaupun hanya bisa mempersembahkan sehelai daun,
sekuntum bunga, sebiji buah dan seteguk air akan diterima oleh
Ida Sang Hayng Widhi Wasa, apabila persembahan tersebut didasari oleh
ketulusan dan kesucian hati. Hal inilah semestinya dijadikan
pedoman supaya didalam melaksanakan yadnya atau persembahan tidak
semata-mata memperlihatkan materi yang dimilikinya. Tetapi dalam
kenyataannya masyarakat Alasngandang dalam melaksanakan
persembahan kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa memiliki rasa
gengsi yang tinggi dalam dirinya. Mereka merasa gengsi jika membawa
banten seadanya ke Pura khususnya pada saat persembahyangan
Purnama Tilem di Desa Pakraman Alasngandang. Masyarakat berlomba-
lomba memperllihatkan dan memamerkan bantennya yang dibawa supaya
tidak merasa kalah saing.
Menurut Siden wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan
bahwa, nilai pendidikan yang terdapat dalam sosial perekonomian
yaitu dalam membuat upakara-upakara untuk sarana persembahyangan
purnama tilem. Terutama dalam hal kecil seperti membuat kuwangen
yang semakin disederhanakan. Didalam kuwangen semestinya
berisikan dua buah uang kepeng atau pis bolong yang melambangkan
windu yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tapi uang kepeng yang asli
belakangan ini sulit dicari dan harganyapun semakin mahal.
Sehingga masyarakat berinisiatif menggantinya dengan alternatif
uang logam biasa dan parahnya lagi diganti dengan uang kertas.
Hal ini tentu akan mengurangi makna dari kuwangen tersebut yang
dipakai sebagai sarana pokok dalam memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Selain dalam hal kuwangen, nilai pendidikan sosial ekonomi
juga berpengaruh pada pembuatan upakara banten pejati yang didalamnya
berisikan banten daksina. Banten daksina merupakan sarana yang sangat
penting dalam melaksanakan suatu upacara keagamaan khususnya pada
persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang. Pada
umumnya dalam pembuatan banten daksina salah satu unsur terpenting
adalah berisikan buah kelapa yang melambangkan Bhuana Agung dan
telor bebek melambangkan Bhuana Alit. Dipakainya telor bebek sebagai
simbol dari Bhuana Alit yang mempunyai makna kebijaksanaan. Tetapi
dalam kenyataannya sebagian besar masyarakat Alasngandang dalam
membuat banten daksina masih menggunakan telor ayam yang harganya
relatif lebih murah dari pada telor bebek. Tentu saja makna yang
tekandung dalam banten daksina yang terbuat dari telor ayam berbeda
dengan makna banten daksina yang terbuat dari telor bebek tersebut
(Merta, wawancara : 28 April 2010).
Nilai pendidikan dalam bidang sosial ekonomi ini lebih
mengarah pada materi yang berupa upakara-upakara persembahyangan.
Upakara-upakara yang dipakai dalam suatu aktivitas keagamaan
seperti ritual persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman
Alasngandang sudah barang tentu memiliki suatu makna dan nilai-
nilai yang terkandung dalam upakara tersebut. Jika upakara-upakara
tersebut dirubah karena keadaan ekonomi masyarakat yang mendesak,
maka makna dan nilai-nilai yang terkandung pada upakara-upakara
tersebut juga berubah.
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data mengenai
Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga di Desa Pakraman
Alasngandang dalam perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
5.2 Saran
Dari uraian diatas, maka dapat disampaikan beberapa saran-
saran yang nantinya dapat dijadikan dasar untuk mendorong atau
memotivasi para pembaca sekalian adalah sebagai berikut:
Anandakusuma Sri Reshi, 2006, Aum Upacara Dewa Yadnya, Surabaya :
PT.KAYUMAS AGUNG
Ayu Ira Dewi, Putu, 2008. Pelaksanaan Persembahyangan Purnama TilemKampus IHD Negeri Denpasar di Singaraja (Perspektif NilaiPendidikan Agama Hindu). IHDN Denpasar.
Bajrasana, I Gede, IB Arisufhana & I Gusti Gede Goda. (1981). Acara
(Sadacara). Jakarta: Departemen Agama RI. Hal. 12-30
Budiono. 2005. Kamus Ilmiah Populer Internasional. Surabaya : Alumni
Surabaya.
Bungin, Burhan. 2001. Metodelogi Penelitian Sosial. Surabaya : Airlangga
University Press
Daryanto, SS. 1998. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Apolo.
Departemen Agama RI, 2005 Kamus Istilah Agama Hindu : Denpasar
Dwi Metriani, 2008. Upacara Pati Wangi Dalam Perkawinan Antar Wangsa DiDesa Gulingan Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung (Kajian NilaiPendidikan Agama Hindu). IHDN Denpasar
Iqbal, H. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta : Gihalva
Indonesia.
Jawi, I Nyoman, 2007. Makna Pelaksanaan Persembahyangan Purnama TilemDalam Meningkatkan Sikap Disiplin Siswa SD Negeri BlahbatuhKecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar IHDN Denpasar.
Kadjeng, I Nyoman, dkk. 1994. Sarasamuscaya, Dengan Teks Bahasa Sansekerta dan
Jawa Kuna. Surabaya : Paramita.
Kaler, Igusti Ketut. 2004, Tuntunan Muspa Bagi UmatHindu, Penerbit Kayu
Mas Agung : Denpasar
______________, 1981, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : PT. Gramedia
, 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta :Aksara Baru
Moleong, Lexy, 1994. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya.
Oka Netra, A.A Gde, 1994. Tuntunan Dasar Agama Hindu, Tim Penyusun
PHDI Pusat, 1993, Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia, Jakarta :
Upada Sastra.
PHDI Kabupaten Karangasem, 2009, Filosofis Sembahyang, Arti dan Makna
Sembahyanga. Amlapura
Posrwadarminta, 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai
Pustaka.
Prawiro, Ruslan, 1990. Ekonomi Sumberdaya. Bandung : Penerbit
Alumni
Pudja, Gde, 1993. Bhagavadgita (Pancama Veda). Jakarta : Hanuman
Sakti.
Raka Dherana, Tjokorda. 1982. Pembinaan Awig-Awig Desa Pakraman Dalam Tertib
Masyarakat. Denpasar
Ritzer, George, 1985. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta :
Rajawali.
Rudia Adiputra I Gede, 2004, Dasar-Dasar Agama Hindu, Jakarta : Lestari
Karya Megah
Soehardi, Sigit, 2001. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial – Bisnis – Manajemen,
Yogyakarta : BPFE UST
Subagiasta Iketut, 2008. Sradha dan Bhakti, Surabaya: PARAMITA
, 2006. Teologi,Filsafat, Etika dan Ritul dalam
susastra Hindu, Surabaya: PARAMITA.
Sudaharta ,Tjok Rai,2007 Upadsa Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu, Surabaya :
PARAMITA
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfa Beta.
________, 2007. Metode Penelitian Administrasi, Bandung : CV. Alpabeta
Suhardana, K.M, 2006. Kesejagatan Agama Hindu. Denpasar : PT. PANAKOM.
Sujana, I Made & I Nyoman Susila. (2002). Manggala Upacara. Jakarta:
Departemen Agama RI
Sumantra, I Nengah 2009. Dasar-dasar Pendidikan Agama Hindu, Institut Hindu
Dharma Negeri Denpasar.
Suprayogo, Imam dan Tabroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial Agama.
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Sura I Gede, 1994. Agama Hindu Sebuah Pengantar, Surabaya : PT.KAYUMAS
AGUNG
Surayin, Ida Ayu Putu. 2004. Melangkah Kearah Persiapan Upakara-upakara
Yadnya. Surabaya : Paramita.
Suwitrayasa, I Nyoman. 2008. Eksistensi Tari Tampyog dan Upacara Piodalan
Purnama Kenem di Pura Puseh Desa Adat Manukaya Let Tampaksiring-Gianyar. IHDN
Denpasar
Tambang Raras Niken, 2004, Purnama Tilem, Surabaya : PARAMITA
Tim Penyusun. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.
Titib, I Made. 2003, Tri Sandhya, Sembahyang dan Berdoa, Surabaya :
Penerbit Paramita.
Wiana, Ketut. 2009. Sembayang Menurut Hindu, Penerbit Yayasan Dharma
Naradha : Denpasar.
, I Ketut,1999. Pelinggih Di Pemerajan, Denpasar:
Upada Sastra.
, Ketut. (2005). Doa Sehari-Hari: Menurut Hindu.
Denpasar: PT Pustaka Manikgeni.
,. 1997. Beragama bukan Hanya Di Pura Agama Hindu
Sebagai Tuntunan Hidup. Denpasar : Yayasan Dhrama Naradha.
Widana, I Ketut, 2009. Esensi Pelaksanaan Persembahyangan Purnama
Tilem Dalam Meningkatkan Kualitas Sraddha Bhakti Sisswa di SD Dangin
Tukap Tahun Pelajaran 2008/2009. IHDN Denpasar.
Widana, Igusti Ketut, 2009. Menjawab Pertanyaan Umat, Denpasar : Pustaka
Bali Post
Yudha, Triguna, 2000, Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma