JUDUL SKRIPSI : "Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang...

121
JUDUL SKRIPSI : “Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem (Perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu)”

Transcript of JUDUL SKRIPSI : "Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang...

JUDUL SKRIPSI : “Persembahyangan Purnama Tilem di Pura

Kahyangan Tiga Desa Pakraman AlasngandangKecamatan Rendang Kabupaten Karangasem

(Perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu)”  

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1    Latar Belakang Masalah

Agama Hindu merupakan agama yang tertua di dunia, ajaran-

ajaranya bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan wahyu

Tuhan Yang Maha Esa. Bila seseorang secara mantap mengikuti semua

ajaran agama yang bersumber pada sabda suci Tuhan Yang Maha Esa

itu, maka akan diperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup yang

sejati yang disebut “Moksatam jagadhita ya ca iti dharma”(Titib,

2003 :2).

1

 

Agama Hindu dikatakan agama yang luwes atau sering disebut

dengan agama fleksibel. Ini dikarenakan agama Hindu khususnya di

Bali menyesuikan dengan sistem desa, kala dan patra. Dalam agama

Hindu banyak terdapat ajaran-ajaran yang tentunya tidak

menyimpang dari kitab suci Veda. Salah satu ajaran yang

terpenting dan merupakan dasar atau landasan bagi umat Hindu

dalam pelaksanaan suatu aktivitas keagamaan adalah ajaran Tri

Kerangka Dasar Agama Hindu yang berisikan tattwa, etika dan ritual. Dimana

peranan ketiga hal tersebut tidak pernah lepas dalam pelaksanaan

suatu kegiatan atau aktifitas agama Hindu. Seperti dalam bukunya

Suhardana disebutkan : “ Barang siapa yang ingin mendalami dan

mempelajari Agama Hindu tersebut hendaknya memahahami betul

ketiga kerangka dasar Agama Hindu itu yaitu tattwa, susila dan ritual”

(Suhardana 2006 : 6).

Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga konsep yang

mendasari ajaran Agama Hindu tersebut. Tattwa, susila dan ritual atau

upacara merupakan satu kesatuan yang utuh yang harus

dilaksanakan secara seimbang dalam melaksanakan suatu aktivitas

agama Hindu. Karena ketiga aspek ini saling melengkapi satu

dengan yang lainnya. Kalau salah satu dari ketiga aspek tersebut

tidak dilaksanakan dengan baik, maka tujuan dari agama Hindu

yaitu “Moksatam jagadhita ya ca iti dharma” tidak akan tercapai dengan

sempurna. Sehingga dalam setiap melaksanakan aktivitas agama

Hindu terutama dalam hal yadnya atau persembahan suci tentu tidak

pernah lepas dari konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu (Sudharta,

2007 : 5).

Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa

Pakraman Alasngandang. Yang secara rutin dilaksanakan setiap lima

belas hari sekali secara bergiliran sesuai pembagian tempek oleh

masyarakat Desa Pakraman Alasngandang. Dalam pelaksanaan

persembahyangan purnama tilem yang termasuk bagian dari upacara

Dewa Yadnya tentunya tidak pernah lepas dari konsep Tri Kerangka Dasar

Agama Hindu yang menjadi landasan terpenting yaitu dalam bidang

tattwa atau filosofis ketuhanan, dalam bidang susila atau etika

dalam berprilaku dan dalam bidang ritual atau upacaranya.

Secara realita yang ada disekitar khususnya di Desa Pakraman

Alasngandang, pelaksanaan persembahyangan purnama tilem kalau

dilihat sepintas tidak diragukan lagi mengenai hal ritual atau

upacaranya. Tetapi dalam hal etika dan tattwa atau filsafatnya kurang

dipahami dan terkadang dikesampingkan. Sebagian besar masyarakat

Desa Pakraman Alasngandang didalam melaksanakan ritual atau upacara

persembahyangan purnama tilem belum memahami secara benar

bagaimanakah cara beretika dengan baik dan semua hal tersebut

berdasarkan tattwa yang mana. Hal inilah yang menjadi kebiasaan

kurang baik oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang khususnya

dalam melaksanakan suatu aktivitas keagamaan.

Etika masyarakat Desa Pakraman Alasngandang dalam

melaksanakan upacara persembahyangan belum sesuai dengan apa yang

diharapkan sesuai dengan konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

Seperti bagaimana sikap duduk yang benar dalam sembahyang,

bagaimana etika dalam nunas tirta yang baik, bagaimana etika dalam

menggunakan bija yang benar dan semua itu berdasarkan tattwa yang

mana. Hal inilah yang belum dipahami dan dilaksanakan dengan baik

oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang dalam melaksanakan

upacara persembahyangan purnama tilem. Contohnya dalam muspa

kramaning sembah, sikap duduk wanita ada yang menggunakan sikap

silasana ada yang menggunakan sikap bajrasana, hal inilah yang perlu

dibenahi supaya kebiasaan yang kurang baik tersebut tidak

berlanjut pada generasi muda Hindu kedepan khususnya masyarakat

Desa Pakraman Alasngandang.

Tattwa merupakan inti dari ajaran agama Hindu yang belum

dipahami secara benar oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang

terutama pada pelaksanaan persembahyangan purnama tilem tersebut.

Seperti tattwa atau filosofis dalam sarana upakara dupa, bunga,

kuwangen, canang dan lain sebagainya belum diketahui oleh

sebagian besar masyarakat Desa Pakraman Alasngandang. Masih banyak

tattwa dan etika serta upacaranya yang perlu dipahami dan

dilaksanakan sesuai dengan konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

Tri Kerangka Dasar Agama Hindu sebagai pedoman dasar dalam

melaksanakan aktivitas keagamaan khususnya dalam persembahyangan

purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang, supaya

tujuan agama Hindu dapat tercapai dengan benar. Sehingga dari

latar belakang ini peneliti tertarik untuk menjadikan suatu obyek

penelitian menjadi sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi.

Peneliti ingin mengetahui penerapan ajaran tattwa, etika serta

upacaranya dalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman

Alasngandang. Yang kemudian peneliti mengangkat judul

“Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman

Alasngandang Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem (Perspektif

Tri Kerangka Dasar Agama Hindu)”.

1.2  Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang yang dikemukakan diatas,

maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1.      Bagaimanakah Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga

Desa Pakraman Alasngandang dalam Perspektif Tri Kerangka Dasar Agama

Hindu?

2.      Nilai-Nilai Pendidikan apakah yang terdapat dalam

Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman

Alasngandang?

 

1.3  Tujuan Penelitian

Penelitian yang berbentuk ilmiah sudah tentu dilandasi

dengan tujuan yang ingin dicapai, sebab berhasil tidaknya suatu

penelitian ditentukan oleh jelas tidaknya tujuan itu sendiri.

Tujuan merupakan syarat yang mutlak yang harus ada dalam

penelitian. Penelitian yang baik adalah penelitian yang tidak

saja berhasil mengungkapkan masalah dan mencari solusi atau

pemecahan dari permasalahan tersebut, akan tetapi yang lebih

penting adalah bagaimana hasil dari penelitian ini memiliki daya

efektif untuk mencapai sasaran dan tujuan. Setiap kegiatan yang

dilakukan dibuat suatu perencanaan yang matang, sehingga dalam

pelaksanaannya dapat meminimalkan hambatan yang akan ditemui

serta hasil yang akan dicapai sesuai dengan tujuan yang

ditetapkan. Demikian pula dengan penelitian ini sudah tentu

memiliki tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan dari

penelitian ini meliputi dua tujuan pokok, yaitu tujuan yang

bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus.

 

1.3.1        Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan sebagai salah satu

persyaratan untuk menyelesaikan jenjang starata satu (S1) pada

Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, secara umum penelitian ini

juga bertujuan sebagai pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu

Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Selain itu

penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan sumbangan

pemikiran serta memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya

ilmu pengetahuan tentang tattwa, etika dan ritual dalam

Persembahyangan Purnama Tilem, sehingga dapat dijadikan pedoman

dan landasan dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis baik lahir

maupun bathin.

1.3.2        Tujuan Khusus

Adapun tujuan secara khusus yang ingin dicapai dalam

penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah

sebagai berikut :

1        Untuk mengetahui persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan

Tiga Desa Pakraman Alasngandang dalam perspektif Tri Kerangka Dasar

Agama Hindu.

2        Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam

Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman

Alasngandang.

1.4  Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah nilai guna dari kegiatan

penelitian. Setiap penulisan karya ilmiah atau penelitian sudah

tentu memiliki manfaat atau guna yang ingin dicapai berupa hasil

yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan saat ini maupun yang

akan datang. Melalui pelaksanaan penelitian ini diharapkan

hasilnya dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun

praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1.4.1        Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan menambah bahan

pustaka mengenai persembahyangan purnama tilem yang berdasarkan

tattwa, etika dan ritual yang dirangkum dalam ajaran Tri Kerangka Dasar

Agama Hindu. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

positif bagi pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan,

khususnya tentang ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

1.4.2        Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan maamfaat praktis

sebagai berikut :

1.         Mendapatkan pengetahuan yang lebih tentang tattwa, etika, dan

ritual dalam ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu khususnya bagi

masyarakat Desa Pakraman Alasngandang.

2.         Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pengetahuan

bagi yang ingin lebih mendalami ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

3.         Bagi masyarakat, dapat digunakan sebagai bahan acuan dan

pertimbangan dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem

dengan tatwa, etika dan ritual yang baik dan benar.

 

 

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN KONSEP DAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam

mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan subyek penelitian

yang akan dilaksanakan. Dalam suatu karya ilmiah, penggunaan

kajian pustaka sangat penting dalam mendukung, mengungkapkan,

serta menghasilkan suatu karya ilmiah yang berbobot. Dalam kajian

pustaka ini, peneliti mencari sumber data kepustakaan sebagai

pendukung khasanah pengetahuan, pustaka pembanding, serta

menunjukkan perbedaan arah penelitian untuk meminimalisir

kesamaan kajian. Kajian pustaka meliputi pengidentifikasian

secara sistematis penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang

memuat informasi berkaitan dengan masalah penelitian (Sugiyono,

2007 : 80).

Kajian pustaka yang akan dikaji dalam mendukung penelitian

ini, baik dalam bentuk pustaka-pustaka, buku-buku, karya ilmiah

yang berupa skripsi dipandang perlu dan bermanfaat dalam upaya

melaksanakan penelitian ini, sehingga tidak terjadi kesamaan

dalam pembahasan sebuah objek penelitian. Adapun beberapa sumber

pustaka atau hasil penelitian yang dijadikan sebagai bahan kajian

pustaka antara lain sebagai berikut:

Dewi (2008), dalam penelitiannya “Pelaksanaan

Persembahyangan Purnama Tilem Kampus IHD Negeri Denpasar di

Singaraja (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu)”. Penelitian

ini membahas tentang bagaimana proses pelaksanaan persembahyangan

purnama tilem serta makna folosofis dari pelaksanaan

persembahyangan purnama tilem tersebut. Sehingga penelitian ini

dapat dijadikan acuan dalam membahas makna dan proses pelaksanaan

persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang.

Widana (2009), dalam penelitiannya “Esensi Pelaksanaan

Persembahyangan Purnama Tilem Dalam Meningkatkan Kualitas Sraddha

Bhakti Sisswa di SD Dangin Tukap Tahun Pelajaran 2008/2009”. Dalam

penelitian ini membahas esensi pelaksanaan persembahyangan

purnama tilem terutama dalam meningkatkan sradha dan bhakti siswa,

selain itu membahas tentang nilai-nilai pendidikan yang

terkandung dalam pelaksanaan persembahyangan purnama tilem

tersebut. Dalam hubungannya dengan penellitian ini, proses

persembahyangan purnama tilem tersebut dapat meningkatkan

pengetahuan tattwa, etika serta ritual masyarakat Desa Pakraman

Alasngandang yang sesuai dengan ajaran Tri Kerangka Dasar agama Hindu.

Subagiasta (2006), dalam bukunya berjudul “ Teologi,

Filsafat, Etika dan Ritual dalam Susastra Hindu” buku ini

memberikan sumbangan mengenai nilai-nilai ajaran agama Hindu,

terutama tentang teologi Hindu, Filsafat Hindu, Etika Hindu dan

Ritual Hindu yang tersurat dalam beberapa susastra Hindu.

Walaupun paparan buku kecil ini masih sangat terbatas, tentunya

memiliki harapan mulia untuk bisa membangkitkan kecintaan pembaca

terhadap beberapa susastra Hindu yang sarat dengan nilai

kerohaniannya. Tentang filsafat Hindu dipaparkan dalam susastra

Buana Kosa, Kusuma Dewa, Gong Besi, Siwagama, purana-purana, kuturan tattwa,

tentang Etika Hindu dipaparkan sesuai susastra Sila Krama dan

Slokantara. Sedangkan tentang ritual dipaparkan sesuai Kusuma Dewa,

Siwa Gama dan Gong Besi. Sehingga buku ini dapat dijadikan pedoman

dalam membahas ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dalam

persembahyangan purnama tilem tersebut.

Rudia (2004), dalam bukunya yang berjudul : “ Dasar-dasar

Agama Hindu” memuat tentang dasar-dasar agama Hindu yaitu

pengertian tattwa atau filsafat, etika dan upacara serta

pengetahuan dasar-dasar agama Hindu mulai adri pokok-pokok Sradha

dalam agama Hindu sampai dengan upacara-upacara Yadnya yang

menyagkut hari-hari suci agama Hindu diantaranya adalah Purnama

Tilem. Isi dari buku ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam

penelitian persembahyangan puranma tilem yang tidak akan lepas

dari dasar-dasar agama Hindu yaitu tattwa, etika dan ritual.

Raras (2004) dalam bukunya “ Purnama Tilem “ buku ini

membahas tentang pengertian, makna filosofis beserta sejarah

purnama tilem. Terkait dengan obyek penelitian yaitu upacara

persembahyangan Purnama Tilem tersebut, buku ini sangat cocok dan

menunjang dalam pembuatan penelitian ini. Karena buku ini

memaparkan secara rinci tentang bagaimana pelaksanaan upacara

Purnama Tilem tersebut baik dalam hal makna bersta sejarah purnama

tilem tersebut.

Wiana (1992), dalam bukunya “Sembahyang Menurut Hindu” buku

ini menjelaskan tuntunan dan manfaat bersembahyang, tetapi juga

menjelaskan dengan rinci apa arti dan fungsi sarana

persembahyangan bagi umat Hindu, seperti air, bunga, api dan

lain-lain. Dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah membahas

tentang tata cara persembahyangan khususnya pada Persembahyangan

purnama tilem, baik dari segi manfaat, fungsi serta sarana yang

digunakan didalam persembahyangan purnama tilem. Sehingga buku

ini sangat tepat dijadikan acuan dalam penulisan karya ilmiah ini

yang membahas tentang persembahyangan purnama tilem dalam

perspektif Tri Kerangka Dasar agama Hindu di Desa Pakraman

Alasngandang.

2.2 Landasan Konsep

Konsep merupakan suatu pengertian yang harus terlebih dahulu

dipahami di dalam suatu penelitian ilmiah. Landasan konsep

merupakan teori-teori baku yang digunakan sebagai landasan dasar

di dalam menjawab semua permasalahan yang diajukan. Konsep sangat

perlu ada dalam sebuah penelitian agar penelitian tesebut

mempunyai dasar yang kokoh dan mendapatkan hasil yang ilmiah

(Sugiyono, 2007 : 81).

Landasan konsep dalam penulisan ini memuat uraian

sistematis tentang pemikiran yang ada hubungannya dengan

penelitian yang dilakukan. Penulis mencari pengertian-pengertian

atau konsep-konsep yang relevan dengan variabel-variabel yang

menjadi topik penelitian ini, sehingga diperoleh pemahaman yang

komprehensif terhadap permasalahan yang dikemukakan berturut-

turut yaitu tentang (1). Persembahyangan (2). Purnama Tilem (3).

Pura Kahyangan Tiga (4). Desa Pakraman (5). Perspektif (6). Tri

Kerangka Dasar Agama Hindu.

Kata “Persembahyangan” merupakan kata dasar dari sembah dan

Hyang. Kata “Sembah” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang memiliki

arti “menyayangi, menghormati, memohon, menyerahkan diri dan

menyatukan” Sedangkan kata “Hyang” artingan suci. Dengan

demikian Sembahyang berarti menyembah yang suci, diantara yang

suci itu, yang maha suci adalah Tuhan Yang Maha Esa. Hakekat

sembahyang sebagai langkah awal untuk dapat mendayagunakan

kepercayaan dan bhakti umat kepada Tuhan untuk meningkatkan

harkat dan martabat kehidupan manusia (PHDI, 2009 : 1).

Pada Kenyataannya semua agama mengajarkan uamatnya memuja

Tuhan secara individu dan dengan cara bersama-sama. Sembahyang

sendiri (individual) disebut Ekanta dan sembahyang dengan

bersama-sama atau kelompok disebut dengan Samkirtanam. Karena

manusia pada hakekatnya memiliki dua dimensi yaitu manusia

sebagai makhluk individu dan manusia sebagai makhluk sosial.

Dalam Persembahyangan bersama sifat dan karakter manusianya

berbeda-beda seperti bersifat sattwam, rajasika dan tamasika

(PHDI, 2009 :2)

Persembahyangan disini memiliki pengertian yang cukup luas,

yaitu melakukan pemujaan dan penghormatan kepada Dewa atau Tuhan

Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atau kepada sesuatu yang

suci dalam hal ini adalah persembahyangan purnama tilem dalam

perspektif Tri Kerangka Dasar agama Hindu.

Kata Purnama berasal dari kata “purna” yang artinya sempurna.

Purnama dalam kamus umum Bahasa Indonesia berarti bulan yang

bundar atau sempurna (tanggal 14 dan 15 kamariah). Sedangkan

Tilem artinya bulan mati atau gelap. Pada hari Purnama yang

beryoga adalah Sang Hyang Candra (Sang Hyang Wulan) yang merupakan

hari penyucian Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu Sang Hyang Surya dan Sang

Hyang Wulan. Sedangkan pada hari Tilem yang beryoga adalah Sang

Hyang Surya, yang sekaligus merupakan hari penyucian Sang Hyang Rwa

Bhineda yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Wulan. Pada waktu

Candra Graha (gerhana bulan) pujalah beliau dengan Candra Sthawa

(sama Sthawa). Pada waktu Surya Graha (gerhana matahari) pujalah

beliau dengan Surya Cakra (Bhuana Sthawa) (Niken Tambang 2004 : 6).

Hari purnama tilem datang setiap 15 hari. Dari hari purnama

mencari tilem ada 15 Panglong atau 15 hari, sedangkan dari hari

tilem mencari Purnama ada 15 Penanggal atau 15 hari. Dari purnama

mencari purnama kembali lamanya 30 hari, begitu juga dari tilem

mencarai tilem kembali lamanya 30 hari. Sehari setelah purnama

sampai tilem disebut Panglong, sedangkan sehari setelah tilem

sampai purnama disebut Penanggal. Sehari sebelum hari purnama

disebut dengan Purwanining Purnama (Penanggal 14), sedangkan sehari

sebelum hari tilem disebut dengan Purwanining Tilem (Panglong 14).

Hal inilah yang perlu diperhatikan dan di ingat dalam menentukan

hari-hari suci yang terletak pada Purnama Tilem tersebut.

Istilah pura berasal dari kata “pur” yang artinya kota, benteng, atau kota yang berbenteng. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan dikelilingi atau dibentengi dengan tembok atau pagar untuk memisahkan dengan duniadi sekitarnya yang dianggap tidak suci. Istilah Pura dipergunakansebagai tempat pemujaan umat Hindu di Bali (Oka Netra, 1994: 83-84).

Sebelum dikenal istilah Pura, untuk menunjukkan tempat pemujaan Hindu di Bali dikenal istilah Kahyangan atau Hyang bahkan pada zaman Bali kuno dipakai istilah “Ulon” yang berarti tempat suci atau tempat yang dipakai untuk berhu8bungan dengan Ketuhanan. Hal ini dimuat dalam Prasasti Sukawana AI (Th. 882 M).demikian pula Prasasti Pura Kehen menyebutkan istilah Hyang. Menurut Lontar Usana Dewa Mpu Kuturan lah yang mengajarkan umat Hindu di Bali membuat Kahyangan Dewa seperti cara membuat pemujaanDewa di Jawa timur.

Dalam bukunya Sumantra (166 : 2009) menjelaskan bahwa,

Kahyangan atau Prahyangan berasal dari kata Hyang (biasanya

dihubungkan dengan Sang, Dang), merupakan kata sandang yang

ditempatkan didepan sesuatu yang simuliakan, di hormati.

Sedangkan Menurut Tim Penyusun Buku Pelajaran Agama Hindu untuk

SMU Kahyangan adalah Tempat pemujaan Tuhan oleh umat Hindu di

Indonesia khususnya di Bali dan kata Tiga mempunyai arti nama

bilangan bagi lambing bilangan asli 3 jadi pengertian Pura

Kayangan Tiga dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah tempa

suci umat Hindu yang difungsikan untuk melaksanakan pemujaan

kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawanya atau

manefestasinya sebagai Tri Wisesa atau Tri Murti. Jenis Pura yang

tergolong dalam Pura Kayangan Tiga adalah

2.2.4. Desa Pakraman

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa desa

adalah :

Sedangkan menurut Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001

tentang Desa Pakraman, menyebutkan Desa Pakraman adalah kesatuan

masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu

kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat

Hindu secara turun temurun dalam ikatan Khayangan Tiga atau

Khayangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan

sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam satu

Desa Pekraman bisa terdiri dari satu atau lebih Banjar Pekraman.

Tjokorda Raka Dherana (1982:36) dalam bukunya yang berjudul “Pembinaan Awig-Awig Desa Pakraman Dalam Tertib Masyarakat” mengatakan bahwa istilah desa mengandung dua pengertian, yaitu:

Desa Pakraman dalam pengertian ini menunjuk kepada suatu wilayah yang dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu, kecuali dibeberapa desa dalam kota atau desa-desa yang terletak di pinggir pantai yang penduduknya sudah heterogen dan terdiri dari berbagaiumat beragama. Di Bali sekarang ini konsep desa mengandung dua pengertian. Pertama, desa sebagai komunitas yang bersifat sosial,religius, tradisional, adalah satu kesatuan wilayah di mana para warganya secara bersama-sama atas tanggungan bersama mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara-upacara keagamaan,

kegiatan-kegiatan sosial yang ditata oleh sistem budaya. Organisasi desa dalam pengertian ini disebut Desa Pakraman. Rasa kesatuan sebagai Desa Pakraman diikat oleh faktor Tri Hita Karana, yaitu:

Kedua desa sebagai komunitas yang lebih bersifat administratif atau kedinasan, yaitu satu kesatuan wilayah di bawah kecamatan dan dikepalai oleh seorang Kepala Desa atau Perbekel. Organisasi desa dinas disatukan oleh adanya kesatuan fungsi yang dijalankan oleh desa sebagai kesatuan administratif (Dherana,1982: 19).

Menurut Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali

Nomor 6 Tahun 1986 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun

2001 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Pakraman sebagai

Kesatuan Masyarakat Hukum Pakraman dalam Propinsi Daerah Tingkat

I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama

pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam

ikatan Khayangan Tiga (Khayangan Desa), yang mempunyai wilayah

tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah

tangganya sendiri.

Adapun desa-desa di Bali telah mempunyai pemerintahan

sendiri, memiliki aturan-aturan tata krama yang dibuat serta

berlaku bagi seluruh warga desa. Segala sesuatu yang berhubungan

dengan desanya, terutama dalam usaha untuk menegakkan Pakraman,

kewajiban warga desa terhadap wilayah pemukimannya terhadap

sesama warga desa dan terhadap sesama agamanya serta larangan-

larangan, dan keharusan-keharusan yang harus dipatuhi oleh warga

desa, semuanya itu ditentukan oleh warga desa itu sendiri dalam

bentuk aturan-aturan yang tidak tertulis, maupun tertulis dan

dinamakan dresta, sima, awig-awig, loka cara, Batur dresta dan lain

sebagainya.

Aturan-aturan ini sebagian tidak tertulis, tetapi dipahami

oleh warga Desa Pakraman serta dipatuhi. Oleh karena isi dari

aturan-aturan tersebut, disarikan dari nilai budaya warga desa

yang bersangkutan atas dasar kepatuhan dari para leluhurnya

secara turun temurun. Perubahan-perubahan peraturan Pakraman

biasanya terjadi secara evolusi dan alamiah sejalan dengan

perubahan-perubahan nilai budaya yang terdapat di kalangan warga

desa itu sendiri.

2.2.5 Perspektif

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa kata

perspektif berarti sudut pandang atau pandangan (Tim Penyusun

2001:760). Sedangkan Echols (dalam Dika, 2008:18) istilah

perspektif berasal dari Bahasa Inggris, yaitu “perspective”, yang

artinya sebenarnya. Perspektif adalah sudut pandang dimana

sesuatu dilihat, gambaran tentang apa yang mungkin atau apa yang

bermakna dalam proses menyusun dan memecahkan suatu masalah

(Posrwadarmita,1991 :834). Perspektif digunakan untuk mengkaji

masalah dari sudut pandang tertentu demi tercapainya pendapat

yang khusus atau mendalam.

Menurut beberapa pengertian dalam kamus Filsafat (Tim

Penyusun, 2000:834) prespektif memiliki pengertian :

Bertitik tolak dari kutipan di atas maka prespektif adalah

suatu sudut pandang atau gambaran dari sesuatu dalam hal ini

adalah Persembahyangan Purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa

Pakraman Alasngandang dalam ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga konsep yang

mendasari ajaran Agama Hindu tersebut. Barang siapa ingin

mendalami dan mempelajari Agama Hindu tersebut hendaknya

memahahami betul ketiga kerangka dasar Agama Hindu itu. Ketiga

konsep kerangka dasar agama Hindu tersebut antara lain : Tattwa

atau filsafat agama Hindu, susila atau etika agama Hindu, ritual atau

upacara agama Hindu (Suhardana 2006 : 6).

Tattwa, etika dan ritual dapat di ibaratkan dengan sebutir

telur. Dimana kuning telur atau sarinya merupakan aspek tattwa

atau Filsafatnya, dan putih telur merupakan aspek dari susila atau

etikanya, sedangkan kulit dari telur merupakan aspek dari ritual

atau upacaranya. Telur akan menetas dengan sempurna apabila

ketiga komponen dari kuning telur, putih telur dan kulitnya

berfungsi dengan baik. Begitu juga pada agama Hindu yang akan

berjalan dengan baik dan benar apabila dalam melaksanakan

aktivitas keagamaannya selalu disertai dengan upacara, etika dan

tentu saja berdasarkan tattwa yang benar. Sehingga apa yang

menjadi tujuan dari agama tersebut dapat tercapai sesuai dengan

kepercayaan umat Hindu (Sudharta, 2007 : 5).

Ketiga aspek diatas merupakan suatu kesatuan yang utuh dan

tidak dapat dipisahkan. Karena itu ketiga kerangka dasar agama

tersebut harus dipahami benar, mengingat ketiganya saling

berkaitan. Memahami atau tidak memahami salah satu aspek, dapat

mengakibatkan pemahaman terhadap agama Hindu menjadi tidak

lengkap dan bahkan bisa mengaburkan atau memberi pengertian yang

keliru terhadap agama Hindu. Oleh karenanya, barang siapa ingin

mempelajari agama Hindu hendaknya mendalami ketiga hal tersebut.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga hal tersebut saling

melengkapi, saling keterkaitan dan tentu saja tidak dapat

dipisah-pisahkan.

Bagi umat Hindu sendiri, memahami dan mendalami ketiga aspek

termaksud diatas tentu akan menjadi sangat penting. Janganlah

berpegang kepada salah satu aspeknya saja misalnya aspek

upacaranya. Usahakanlah mempelajari, menghayati dan mengamalkan

bukan saja aspek upacaranya, tetapi juga aspek tattwa dan susilanya.

Dengan demikian akan terdapat keseimbangan dalam pemahaman dan

pelaksanaannya baik upacara, tattwa maupun susilanya.

Aspek tattwa atau filosofinya merupakan inti ajaran agama Hindu,

sedangkan aspek susila dan etikanya merupakan pelaksanaan ajaran

agama dalam kehidupan sehari-hari. Aspek upacara dan ritualnya

merupakan pengorbanan suci yang tulus ikhlas kehadapan Ida Sang

Hyang Widhi atau yang bisa dikatakan yadnya. Ketiga aspek tersebut

harus dilaksanakan secara baik dan seimbang demi terwujudnya

agama Hindu tersebut dalam aktivitas keagamaan sehari-hari

(Sudharta, 2007 : 4).

2.3 Teori

Dalam bukunya Sugiyono (2007 : 52) menjelaskan bahwa,

Teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi dan

proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara

sistematik, melalui sfesifikasi hubungan antar variabel,

sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan suatu

fenomena. Teori dimaksudkan sebagai sesuatu yang mengandung

prinsip dasar yang berlaku umum yang memberikan kerangka

orientasi untuk analisis dan klasifikasi. Kerangka orientasi yang

dimaksudkan adalah kerangka pikiran yang dirumuskan dengan jelas

sebagai tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian. Teori yang

dipakai dalam penelitian ini antara lain : Teori Interaksionisme

Simbolik dan Teori Religi.

2.3.1 Teori Interaksionisme simbolikTeori Interkasionisme Simbolik menurut Bogda dan Taylor

mengemukakan orang senantiasa berada dalam suatu interpensi dan

defenisi karena mereka harus terus menerus bergerak dari satu

situasi lain sebuah situasi fenomena akan bermakna apabila

ditafsirkan dan didefenisikan (Suprayoga, 2001 : 105). Orang

dengan potensi yang dimiliki dianggap mampu menjadi obyek untuk

dirinya sendiri dan sebagai subyek yang mampu melihat tindakan-

tindakan seperti orang lain melihatnya. Dengan kata lain manusia

dapat membayangkan serta sadar diri dari perlakunya dari sudut

orang lain. Dengan demikian manusia mengkontruksi perilakunya

dengan membangkitkan respon tertentu dari orang lain karena

manusia adalah pelambang bermakna.

Tindakan perilaku seorang sekelompok orang tergantung pada

bagaimana mendefenisikan lingkungannya dan mendefenisikan

dirinya. Peranan sosial nilai, norma dan tujuan bahkan yang

membentuk kondisi dan tanggung jawab perbuatan. Simbol adalah

suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantaran pemahaman

terhadap obyek. Manifestasi serta karakteristik simbol tidak

terbatas pada isyarat fisik tetapi dapat juga berwujud

penggunaan kata-kata, yakni simbol suara, yang mengandung arti

bersama serta bersifat standar. Singkatnya simbol berfungsi

memimpin pemahaman obyek kepada obyek. Dalam makna tertentu

bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat (Triguna, 2000 : 7).

Simbol berfungsi sebagai perwujudan statis sosial seseorang

semakin beraneka ragam simbol yang dapat digunakan atau melekat

pada seseorang semakin tinggi status sosial yang bersangkutan.

Akibat simbol acapkali dipandang sebagi alat melegitimasikan

status social. Dalam kontek ini sibolisme pada masyarakat Hindu,

simbol juga syarat dengan makna status dan peranan itulah

sebabnya pada masyarakat Hindu simbol dipandang identitas

individu atau kelompok.

Menurut Blumer (1962 : 50) salah seorang tokoh aliran ini

menyatakan bahwa mutiara interaksionisme simbolik menunjukkan

keadaan sifat khas dari interkasi antara mausia yang diantarnya

oleh pengguna simbol-simbol serta interkasi terhadap simbol-

simbol.

Kajian simbol terkait dengan penelitian ini sebagai tanda

persembahan. Hal ini menunjukkan betapa universalnya penggunaan

simbol dalam kehidupan manusia. Proses upacara dalam agama Hindu

menggunkan banyak simbol. Dalam penelitian ini simbol-simbol

salah satunya dapat dilihat dalam wujud upakara atau sarana dalam

ritual agama Hindu yang terkandung dalam ajaran Tri Kerangka Dasar

Agama Hindu pada persembahyangan Purnama Tilem di Pura Desa

Pakraman Aalasngandang. Wujud dari sarana merupakan perwujudan

penyerahan diri atau keihklasan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang

terbentuk sedemikian rupa yang berisikan seluruh hasil ciptaan

Tuhan yang terdiri dari hasil bumi.

2.3.2. Teori Religi

Religi adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh

masyarakat tradisional. Religi adalah segala sistem tingkah laku

manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri

kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti roh-roh,

dewa-dewa, dan sebagainya yang menempati alam. (Koentjaraningrat,

1997 : 53-54).

Menurut Koentjaraningrat (dalam Yudha Triguna, 2000 : 75),

menguraikan: “banyak teori yang mencoba menerangkan bagaimana

asas religi pada berbagai suku bangsa di dunia terjadi. Macam-

macam teori tersebut bila diklasifikasikan, maka akan tampak

empat kategori besar, yaitu (1) Teori religi yang dalam

pendekatannya beroriantasi pada keyakinan relegi. (2) Teori-teori

yang dalam pendekatannya berorintasi kepada sikap manusia

terhadap alam gaib atau hal yang gaib. (3) Teori-teori yang dalam

pendekatannya berorientasi kepada upacara relegi, dan (4) teori

yang dalam pendekatannya menggunakan kombinasi ketiga poin di

atas.

Teori religi menjelaskan bahwa ada satu hal yang selalu ada

dalam segala macam gagasaan dan perilaku keagamaan mahluk manusia

yaitu perasaan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan religi atau

agama itu bersifat keramat, berbeda dengan hal-hal yang tidak

bersangkutan dengan religi atau agama, yaitu yang bersifat

provane. Dengan demikian sampai pada suatu sistem berkaitan dari

keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang keramat

Koentjaraningrat,(1980 : 94-95).

Koentjaraningrat, (1997 : 194-195) teori Taylor yang

terpenting menyebutkan bahwa perilaku manusia yang bersifat

religi itu terjadi karena (1) Manusia mulai sadar akan adanya

konsep roh. (2) Manusia mengakui adanya berbagai gejala yang tak

dapat dijelaskan dengan akal. (3) Keinginan manusia untuk

mengahapi berbagai krisis yang senantiasa dialami manusia dalam

daur hidupnya. (4) Kejadian-kejadian luar biasa yang dialami

manusia di alam sekelilinghnya. (5) adanya getaran (yaitu emosi)

berupa rasa kesatuan yang timbul dalam jiwa manusia sebagai warga

masyarakatnya. (6) manusia menerima suatu firman dari Tuhan

Teori Religi dalam penelitian ini pendekatannya berorientasi

kepada upacara religi yaitu pada persembahyangan purnama tilem di

pura Desa Pakraman Alasngandang dalam penerapan ajaran Tri Kerangka

Dasar Agama Hindu. Teori ini juga dipergunakan dalam penelitian ini

karena adanya pembahasan yang mendalam terhadap keyakinan religi

masyarakat di Desa Pakraman Alasngandang terutama dalam

melaksanakan persembahyangan purnama tilem tersebut.

2.3.3. Teori Nilai

Menurut Hartono dan Hunt (dalam Metriani, 2008 : 35), nilai

adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau

tidak berarti. Nilai pada hakekatnya mengarahkan perilaku dan

pertimbangan seseorang tetapi tidak mengalami apakah sebuah

perilaku dan pertimbangan seseorang tetapi tidak menghakimi

apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar. Sedangkan

menurut John Dewey dalam teori pragmatisme, nilai pandangan

sebagai perbuatan pemberi nilai dikaitkan dengan keginaannya,

sesuatu yang menjadikannya nilai sama dan berguna. Nilai dalam

kehidupan sosial dikaitkan sebagai objek dari cita-cita atau

tujuan bersama yang telah disetujui oleh masyarakat. Nilai itu

dimaksudkan sebagai kemampuan yang mendasar kemakmuran bersama

(Djunaidi, 1982:16).

Teori nilai dalam penelitian ini dipergunakan untuk

membahas dan memecahkan penerapan nilai-nilai yang terdapat

dalam persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyanga Tiga Desa Pakraman

Alasngandang Alasngandang, Kecamatan Rendang, Kabupaten

Karangasem.

Bagan 1. Model Penellitian

Penjelasan Bagan :

Agama Hindu tidak dapat lepas dari Tri Kerangka Dasar Agama

Hindu, yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Tattwa merupakan inti terdalam

dari segala rangkaian bentuk persembahan dan kegiatan umat

manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Susila merupakan etika atau

tata cara melakukan persembahan dan kegiatan yang berhubungan

dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan Ritual merupakan bentuk

persembahan dan kegiatan upacara umat Hindu kepada Tuhan Yang

Maha Esa. Ketiga aspek ini merupakan satu-kesatuan yang tidak

dapat dipisah-pisahkan. Ketiganya harus dilaksanakan secara

seimbang dalam melakukan setiap kegiatan Agama Hindu khususnya

pada persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa

Pakraman Alasngandang. Jika dalam pelaksanaan upacara tersebut

sudah menerapkan ajaran tattwa yang benar, susila yang baik serta

ritualnya yang sesuai dalam perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu

tersebut, maka masyarakat Desa Pakraman Alasngandang dapat meraih

kehidupan yang harmonis sekala dan niskala. Dalam persembahyangan

purnama tilem tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan berupa

nilai pendidikan sosial religius, nilai pendidikan sosial budaya

dan nilai pendidikan sosial ekonomi.

METODE PENELITIAN

Penyusunan suatu karya ilmiah diperlukan sutu metode ilmiah

pula, sebab berhasil tidaknya suatu penelitian sebagian besar

ditentukan oleh ketetapan metode yang diperlukan dalam penelitian

tersebut, sehingga nantinya diharapkan hasil yang akan atau

hendak dicapai dalam penelitian itu dapat dipertanggung jawabkan

keberadaanya. Metode memegang peranan yang sangat penting dalam

menyusun suatu karya ilmiah. Metode adalah cara yang teratur dan

signifikan untuk pelaksanaan sesuatu (Budiono, 2005: 44).

Mengingat betapa pentingnya metode itu , dalam penyusunan

karya ilmiah ini peneliti mempergunakan beberapa teknik yaitu :

menentukan lokasi penelitian, jenis penelitian, data dan sumber

data, teknik penentuan informan, teknik pengunpulan data, metode

analisis data.

3.1 Lokasi Penelitian

Jenis penelitian ada dua yaitu : penelitian kualitatif dan

penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif mengukur objek

dengan suatu perhitungan, dengan angka, prosentase, statistik

atau bahkan dewasa ini dengan komputer sehingga penekanannya pada

metode kuantitatif, sedangkan penelitian kualitatif adalah metode

penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang

alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci

(Sugiyono, 2005 : 12). Ardika dalam makalahnya tentang metode

penelitian kualitatif menyatakan bahwa metode penelitian

kualitatif mengacu pada strategi penelitian yang menghasilkan

data atau bahan keterangan deskriptif mengenai makna dari suatu

benda, tindakan, dan peristiwa-peristiwa yang terkait dalam

kehidupan sosial masyarakat. Mengacu pada pengertian tersebut,

maka jenis pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, mengingat

permasalahan yang ingin diangkat merupakan masalah sosial

keagamaan.

Penelitian ini menyajikan data atau keterangan yang

mendeskripsikan tentang penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama

Hindu yang dilaksanakan dalam persembahyangan purnama tilem. Mulai

dari ajaran tattwa, etika, susila serta dampak yang ditimbulkan dari

ajaran tersebut.

Data merupakan sumber keterangan-keterangan tentang satu

hal. Sebelum digunakan dalam proses analisis, data itu perlu

dikelompokkan terlebih dahulu (Iqbal, 2002 : 82). Berdasarkan

pengambilannya, data dibedakan menjadi dua yaitu: data primer dan

data sekunder.

3.3.1. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan

langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau

yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer juga disebut

data asli atau data utama (Iqbal, 2002: 167). Dalam hal ini yang

menjadi data primer adalah berupa informasi yang diperoleh

langsung seperti : tokoh agama, seperti seluruh pemangku

Kahyangan Tiga di Desa Pakraman Alasngandang dan masyarakat terkait

yang dijadikan sebagai informan kunci untuk mendapatkan informasi

yang akurat sehingga data yang diperoleh semakin jelas mengenai

persembahyangan purnama tilem.

3.3.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan

oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber lain yang

telah ada, seperti buku-buku sebagai penunjang yang isinya

berkaitan dengan topik penelitian. Data ini biasanya diperoleh

dari perpustakaan atau dari laporan-laporan penelitian sebelumnya

(Iqbal, 2002 : 167). Data sekunder yang dipakai dalam penelitian

ini adalah dari buku-buku yang menyangkut ajaran Tri Kerangka Dasar

Agama Hindu, persembahyangan dan beberapa penelitian sebelumnya

yang terkait. Dalam pembahasannya, data primer dan data sekunder

akan dipadukan agar didapatkan data yang benar-benar valid.

Penelitian yang dilakukan menggunakan informan sebagai

sumber informasi atau orang yang memiliki kompetensi untuk

menyampaikan data dan informasi. Penelitian kualitatif erat

kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual. Informan yang

dimaksud dalam penelitian adalah sumber data dan informasi yang

hasilnya akan bermanfaat dalam proses analisis, sehingga berguna

bagi pembentukan konsep dan proposisi sebagai temuan penelitian

(Bungin, 2001 : 206).

Sampling adalah suatu cara pengumpulan data untuk dijadikan

objek penelitian (Cholid Narbuko, Abu Achmadi, 2002 : 146 dalam

Suwitrayasa, 2008 : 25). Memperhatikan hal tersebut, agar

penelitian lebih efektif maka dalam penelitian ini menggunakan

teknik sampling, karena dengan menggunakan teknik sampling dapat

menghindarkan pemborosan mengenai waktu, dana, dan tenaga,

sehingga penelitian yang dilakukan dapat berlangsung lebih

efektif.

Pengambilan terhadap siapa yang menjadi anggota sampel

didasarkan atas teknik-teknik sampling yang berbeda-beda.

Berdasarkan pada aturan cara pengambilan subjek yang akan menjadi

anggota sampel, suatu teknik sampling itu dapat dibedakan menjadi

2 (dua) jenis yaitu : 1) Sampling tanpa pilih-memilih (random

sampling), 2) Sampling dengan pilih-memilih (non random sampling).

Dan sesuai dengan kondisi dan tujuan penyelidikan, maka jenis

sampling subyek dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis yaitu :

1) Propotional Sampling, 2) Stratified Sampling, 3) Purposive Sampling, dan

4) Quota Sampling. Apabila teknik sampling yang dipergunakan itu

menggunakan kedua aturan itu, maka dikenal dengan teknik sampling

rangkap (combined sampling).

Dalam penelitian ini teknik sampling yang dipergunakan

adalah purposive non random sampling, yakni penggabungan antara

teknik purposive sampling dengan teknik non random sampling. Dalam

metodologi penelitian disebutkan bahwa : “ purposive sampling

atau sampling menurut tujuan adalah cara pengambilan sampel

berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang

diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau

sifat-sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui

sebelumnya”. Sedangkan yang dimaksud dengan teknik non random

sampling adalah “cara pengambilan sampel yang tidak semua anggota

populasi diberi kesempatan untuk dipilih menjadi sampel (Cholid

Narbuko, Abu Achmadi, 2002 : 114-116 dalam Suwitrayasa, 2008 :

26). Jadi tidak semua anggota sampel yang diberi kesempatan

menjadi sampel yaitu hanya terbatas pada subjek-subjek yang

dikenal saja.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang menjadi dasar

penggunaan anggota sampel dengan menggunakan purposive non random

sampling berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat. Suatu

populasi yang telah diketahui sebelumnya, seperti : tokoh-tokoh

masyarakat, pemuka-pemuka masyarakat, dan orang-orang yang

memiliki kompeten dibidang apa yang akan diteliti sehingga dapat

memberikan informasi yang benar dan sesuai dengan apa yang dikaji

dalam penelitian ini yaitu penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama

Hindu Dalam Persembahyangan Purnama Tilem di Desa Pakraman

alasngandang Kecamatan Rendang Kabupaten Rendang sehingga data

dan fakta yang diharapkan dalam penelitian ini benar-benar valid.

Metode pengumpulan data adalah suatu metode yang khusus

dipergunakan sebagai alat untuk mencari dan memperoleh data.

Metode pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan

untuk mengumpulkan data. Suatu teknik atau cara untuk mendapatkan

keterangan secara benar dan nyata diperlukan dalam penyusunan

sebuah karya ilmiah (Sugiyono, 2007 : 90).

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data lazimnya

menggunakan observasi dan wawancara atau dengan menggunakan

sumber lain seperti catatan-catatan kepustakaan. Untuk mendukung

jalannya penelitian nanti, ada beberapa hal yang perlu

dipersiapkan yaitu dengan menyiapkan instrumen penelitian yang

diartikan sebagai “alat bantu” merupakan sarana yang dapat

diwujudkan dalam benda. Misalnya berupa pedoman wawancara, lembar

pengamatan, mempersiapkan sumber-sumber data seperti buku-buku,

arsip dan untuk lebih mantapnya diambil beberapa gambar atau

foto dari pelaksanaan Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Desa

Pakraman Alasngandang, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang,

Kabupaten Karangasem. Adapun Tehnik pengumpulan data yang penulis

gunakan mencakup :

3.5.1 Observasi

Observasi merupakan suatu tehnik pengumpulan data yang

dilakukan oleh peneliti untuk mencatat kejadian atau peristiwa

dengan cara menyaksikannya (Soehardi, 2001 : 96) Observasi

disebut juga dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan

perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat

indra.

Dalam penelitian ini dimaksudkan, untuk terjun langsung

mengamati dan mengumpulkan data lapangan yang berkaitan dengan

penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan

purnama tilem baik dari tattwa, etika serta sarana upakara yang

digunakan pada perosesi ritualnya.

3.5.2 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah suatu cara untuk memperoleh data

dengan jalan mengadakan penelitian kepustakaan, seperti melalui

membaca, menulis, mengutip materi yang berhubungan dengan skripsi

ini. Cara menulis dan mengutip materi dari kepustakaan disebut

studi kepustakaan (Mukajir, 1990 : 64).

Tujuan dari metode Kepustakaan adalah untuk lebih mengetahui

secara detail dan memberikan kerangka berpikir, khususnya

referensi relevan yang berasal dari buku-buku, memberikan

gambaran secara lengkap dengan menggunakan sumber atau

penelusuran kepustakaan untuk mendapatkan informasi secara

lengkap untuk menentukan tindak lanjut dalam mengambil langkah

penting dalam kegiatan ilmiah diantaranya adalah buku utama dan

buku penunjang.

Penelitian ini dilakukan dengan membaca, mempelajari dan

mengutif hasil-hasil yang telah dipublikasikan menjadi buku-buku,

majalah dan penelitian yang berhubungan dengan ajaran Tri Kerangka

Dasar Agama Hindu serta tuntunan dalam tata cara bersembahyang pada

purnama tilem.

3.5.3. WawancaraWawancara adalah tehnik pengumpulan data dengan mengajukan

pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden, dan

jawaban – jawaban responden tersebut dicatat atau direkam (Iqbal,

2002 : 85). Wawancara merupakan suatu cara untuk mengumpulkan

data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan

sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian. Kegiatan

ini adalah suatu proses interaksi dan komunikasi.

Jadi pengertian wawancara dapat disimpulkan sebagai suatu

metode pengumpulan data yang dilakukan untuk mendapatkan

informasi secara langsung atau lisan dengan mengungkapkan

pertanyaan-pertanyaan pada para responden. “Responden” artinya

orang yang memberikan jawaban dari pertanyan, daftar check atau

lajur wawancara untuk mencegah kemungkinan mengalami kegagalan

memperoleh data yang penting (data yang dibutuhkan). Teknik

pelaksanaan wawancara meliputi menentukan waktu yang paling tepat

untuk dilakukan wawancara, menentukan responden, dan mencatat

langsung hasil wawancara.

Teknik pelaksanaan yang digunakan dalam penelitian ini

diantaranya :

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya

monumental dari seseorang. Misalnya : cerita, biografi, foto,

gambar, karya seni, film dan sebagainya (Sugiyono, 2005: 82).

Fakta dan data sosial yang tersimpan dalam dokumen merupakan

bahan utama penelitian kualitatif. Di dalam melakukan teknik

dokumentasi ini penulis mengumpulkan data dengan menggunakan

teknik dokumentasi berupa pengambilan foto pelaksanaan

persembahyangan yang ada di Pura Desa Pakraman Alasngandang.

Dengan adanya foto ini, diharapkan dapat memberikan gambaran

mengenai bagaimana pelaksanaan persembahyangan tesebut.

Analisis data adalah serangkaian pengacakan data yang

dikumpulkan dari lapangan menjadi seperangkat informasi atau

hasil, baik dalam bentuk temuan-temuan baru, maupun temuan-temuan

untuk penyajian hipotesis. Cara menggunakan analisis data ini

yaitu dengan mengamati, memahami, dan menafsirkan setiap fakta

atau data yang telah dikumpulkan serta hubungan di antara fakta-

fakta atau variable merupakan terkait dalam hipotesis (Sugiyono,

2007 : 244).

Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di

lapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses

klasifikasi data agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan

langkah abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan, dengan

mempertimbangkan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sangat

memungkinkan dianggap mendasar dan universal (Bungin, 2001 :

106).

Analisis data dalam penelitian ini diawali dengan proses

pengumpulan data. Setelah data-data tentang penerapan ajaran Tri

Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan purnama tilem

terkumpul, data tersebut disusun secara sistematis dan dianalisis

dalam proses reduksi data. Setelah proses reduksi data, hasil

analisis data tersebut disajikan dengan metode deskriptif. Bila

sudah valid, kemudian dijabarkan dan diperoleh kesimpulan yang

menyeluruh tentang penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu

dalam persembahyangan purnama tilem di Pura Desa Pakraman

Alasngandang.

Reduksi data adalah merangkum data, memilih hal-hal pokok,

memfokuskan pada hal-hal penting dan mencari tema beserta

polanya, dengan demikian data yang telah direduksi akan

memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti

untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. Dengan reduksi

data, maka peneliti merangkum dan mengambil data yang pokok dan

penting, dan data yang dianggap tidak penting dihilangkan supaya

data yang diperoleh menjadi lebih jelas (Sugiyono, 2007 : 247).

Data yang diperoleh dilapangan jumlahnya cukup banyak,

untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Karena

semakin lama peneliti kelapangan, maka jumlah data yang diperoleh

semakin banyak, komplek dan rumit. Untuk itulah dilakukan

analisis data dengan mempergunakan reduksi data supaya data yang

diperoleh semakin jelas mengenai penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar

Agama Hindu dalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman

Alasngandang.

Menurut Miles dan Hubermann dalam Nuryani (2006 : 40),menyatakan bahwa, “penyajian data merupakan proses penyajiansekumpulan informasi yang kompleks ke dalam bentuk yang sederhanadan selektif sehingga mudah dipahami maknanya”.

Data tentang subjek penelitian yang peneliti peroleh melaluiobservasi dan wawancara dengan informan selama penelitian dilapangan selanjutnya di paparkan, kemudian dicari pokok-pokokpenting yang terkandung di dalamnya sehingga dapat di ketahuidengan jelas maknanya. Data yang peneliti peroleh selanjutnyadiseleksi dan di kode untuk memperoleh konsep yang lebihsederhana sehingga relatif lebih mudah di pahami.

PENYAJIAN HASIL PENELITIAN

Lokasi penelitian ini mengambil tempat di Desa Pakraman

Alasngandang, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten

Karangasem Provinsi Bali. Berkaitan dengan penelitian ini penulis

akan menguraikan beberapa hal, diantaranya sebagai berikut : 1)

Sejarah singkat Desa Pakraman Alasngandang, 2) Letak Geografis, 3)

Kependudukan, 4) Mata Pencaharian, 5) Pendidikan, 6) Sistem

Kepercayaan. Adapun uraiannya sebagai berikut:

Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah satu Desa Pakraman

yang ada di Desa Pempatan yang dipakai lokasi penelitian dan

dipakai objek dalam mencari data terkait dengan masalah-masalah

dalam penelitian tentang Persembahyangan Purnama Tilem. Desa Pakraman

Alasngandang merupakan komonitas masyarakat yang berada di bawah

satu adat dan satu banjar dinas yaitu banjar Alasngandang yang

dikepalai oleh seorang kelihan adat (bendesa adat) dan seorang

kepala dusun (Kadus).

Desa Pakraman Alasngandang didirikan sekitar tahun 1700-an,

yang awalnya adalah kumpulan dari beberapa orang yang datang dari

Desa Pakraman Rendang yang sekarang menjadi nama sebuah kecamatan.

Kumpulan orang-orang ini datang untuk merabas hutan belantara

dengan tujuan dipakai sebagai lahan bercocok tanam atau bertani,

maka lama kelamaan orang-orang ini membentuk sebuah sekaa untuk

mendirikan Parahyangan sebagai tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa.

Pura-pura yang dibangun saat itu adalah pasraman Dukuh yang

sekarang menjadi pura Dukuh Sakti, membangun pura Ulun Suwi sebagai

tempat pemujaan Dewa Sangkara (Dewa tumbuh-tumbuhan) yang sekarang

diaci oleh subak abian desa pakraman Alasngandang. Di samping pura

Dukuh dan Ulun Suwi (bagi masyarakat Alasngandang disebut pura

Penyungsungan), juga mendirikan Pura Kahyangan Tiga yaitu pura Puseh,

Bale Agung dan pura Dalem.

Perkumpulan orang-orang atau sekaa lama kelamaan mulai

berkembang akhirnya kumpulan orang-orang itu membentuklah sebuah

desa dengan beranggotakan 55 KK yang dinamakan desa Wana Sigug

sesuai dengan prasasti Dukuh Sakti (dikutif dari monografi desa

Alasngandang). Desa Wana Sigug inilah yang sekarang dinamakan Desa

Pakraman Alasngandang, yang sesuai dengan makna nama aslinya

yaitu, Wana berarti hutan (Bali artinya alas) dan Sigug berarti

Ngandang. Jadi nama Alasngandang secara etimologi dan semantiknya

berasal dari nama Wana Sigug, dari etimologi kata inilah nama Desa

Pakraman Alasngnadang itu terlahir. Karena nama ini dirasakan

kurang bagus dan kata sigug memiliki konotasi yang kurang baik

dalam bahasa Bali maka Wana Sigug diubah menjadi Alasngandang

dengan mempertahankan makna dari kata itu. Desa Pakraman

Alasngandang pada awal berdiri hingga sampai sekarangpun Desa

Pakraman ini beranggota sebanyak 55 KK ayahan desa yang dipakai

sebagai inti dari Banjar Alasngandang dan sampai sekarang

jumlahnya tidak pernah berubah atau bertambah dan sekaligus

sebagai pokok ayahan desa, sedangkan KK banjar dinasnya sampai

saat ini berjumlah sebanyak 220 KK. Jadi bertambahnya KK yang ada

di Banjar Alasngandang adalah KK banjar dinasnya sedangkan KK

ayahan desanya tetap dari awal sampai saat ini berjumlah 55 KK.

Desa Pakraman Alasngandang yang berjumlah 55 KK inilah

dipakai pokok untuk membangun Kahyangan Tiga yaitu pura Puseh, Bale

Agung dan Pura Dalem. Ke-55 KK ini yang dipakai patokan ayahan desa

sebagai ibunya Banjar Alasngandang. Kenapa dikatakan ibunya Banjar

karena desa ayahan yang berjumlah 55 KK inilah yang lebih pertama

ada, setelah itu baru terbentuknya Banjar dinas Alasngandang. Dan

sebelum terjadi perubahan bahwa segala sesuatu keperluan baik

upacara maupun pembangunan pisik terutama pura Puseh, pura Bale Agung

dan pura Dukuh Sakti yang bertanggung jawab adalah desa yang

berjumlah 55 KK ini, di bawah koordinasi kelian desa. Dengan

diubahnya pola lama lewat paruman atau rapat banjar adat maka

semua pura yang ada di wilayah banjar adat Alasngandang ditanggung

oleh Banjar adat baik biaya upacara maupun pembangunan pura

tersebut. Akan tetapi, hal-hal yang berhubungan dengan tanah

ayahan masih dipergunakan dresta (aturan) lama seperti iuran pokok

desa.

4.1.2 Letak Geografis

Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah bagian wilayah dari

Desa Pempatan. Desa Pempatan sebuah desa yang berada dalam

lingkungan pemerintah kecamatan Rendang, kabupaten Karangasem dan

Provinsi Bali. Desa Pempatan yang berbatasan langsung dengan

kabupaten Bangli berjarak sekitar 45 km dari ibu kota kabupaten

Karangasem yakni Amlapura tepatnya ke arah barat atau desa yang

berada di ujung barat kabupaten Karangasem. Sedangkan dari ibu

kota provinsi Desa Pempatan berjarak sekitar 55 km ke arah timur

kota Denpasar. Secara administrasi.

Untuk menuju ke lokasi Desa Pakraman ini bisa ditempuh dengan

kendaraan roda dua maupun roda empat karena jalannya sudah

diaspal. Transportasi angkutan umum menuju lokasi sangat lancar

karena perkembangan perekonomian masyarakat di Desa Pakraman

Alasngandang sangat maju apalagi sekarang berkembang industri

kerajinan. Jarak tempuh dari Desa Pakraman Alasngandang dengan

pusat pemerintahan adalah sebagai berikut :

1). Jarak ke ibukota kedesaan 3,5 km dengan waktu tempuh 10

menit

2). Jarak ke ibukota kecamatan 6 km dengan waktu tempuh 20

menit

3). Jarak ke ibukota kabupaten 45 km dengan waktu tempuh 60

menit

4). Jarak ke ibukota provinsi 55 km dengan waktu tempuh 90

menit

Desa pakraman Alasngandang memiliki batas-batas alam sebagai

berikut :

1). Utara : Kabupaten Bangli

2). Timur : Desa Pakraman Waringin

3). Selatan : Desa Pakraman Pempatan dan Kubakal

4). Barat : Sungai yang merupakan batas barat Kabupaten

Karangasem dan batas timur Kabupaten

Bangli.

Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah satu naungan

dari Desa Pempatan. Desa Pempatan membawahkan sebelas dusun atau

banjar dinas yaitu banjar Alasngandang, banjar Pempatan, banjar

Kubakal, banjar Putung, banjar Teges, banjar Waringin, banjar

Pemuteran, banjar Pule, banjar Puregai, banjar Keladian dan banjar

Geliang. Masing-masing banjar atau dusun dinas ini juga merupakan

desa pakraman atau desa adat dengan otonomi desanya masing-masing

kecuali banjar Keladian yang masih berada di bawah desa

Adat/Pakraman Besakih serta masuk dalam wilayah Desa Pakraman

Besakih serta berada di bawah adat desa Besakih tetapi secara

administrasi masuk perbekelan Pempatan. Ditinjau dari segi

alamnya Desa Pakraman Alasngandang merupakan desa dataran tinggi

dengan curah hujan rata-rata per tahun 3000 mm.

4.1.3 Kependudukan

Berdasarkan data yang terdapat dalam monografi Desa

Pakraman Alasngandang tahun 2009 penduduk Desa Pakraman

Alasngandang berjumlah 1045 jiwa dan 220 KK. Sedangkan luas

wilayah Desa Pakraman Alasngandang 6 km2 atau 160 Ha. Jumlah

penduduk dan luas wilayah ini merupakan modal yang sangat

pontensial untuk membangun desa Alasngandang menjadi desa yang

maju dan sejahtera sesuai harapan pemerintah utamanya masyarakat

Alasngandang. Wilayah Desa Pakraman Alasngandang sesuai dengan

pesebaran penduduknya belumlah merata sehingga rumah-rumah

penduduk saling berjauhan. Kepemiliki tanah pun tidak merata, ada

satu kepala keluarga mengerjakan atau mengolah tnah pertanian 10

are, ada yang 1 ha dan ada beberapa yang melebihi dari 1 ha. Ini

yang menyebabkan masyarakat Alasngandang dari pola

perekonomiannya tidak seimbang atau merata. Untuk mengetahui

jumlah penduduk menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel

berikut :

Tabel. 1Penduduk Menurut Kelompok Umur

NO KELOMPOK UMUR JUMLAH (ORANG)1 00 - 04 Tahun 632 05 - 06 Tahun 403 07 - 12 tahun 1004 13 - 14 tahun 545 15 - 24 tahun 1786 25 - 54 tahun 2997 55 ke atas 311

JUMLAH 1045Sumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009

Secara rinci Desa Pakraman Alasngandang terdidiri 220 KK dengan

luas wilayah 160 ha yang dibagi menjadi enam Banjar Tempekan yaitu

:

1). Banjar tempekan Kaja Kangin berjumlah 30 KK dengan luas wilayah 22

ha.

2). Banjar tempekan Kelod Kangin berjumlah 50 KK dengan luas wilayah

34 ha.

3). Banjar tempekan Tengah berjumlah 31 KK dengan luas wilayah 24 ha

4). Banjar tempekan Kelod Kauh berjumlah 49 KK dengan luas wilayah 23

ha.

5). Banjar tempekan Kaja Kauh berjumlah 31 KK dengan luas wilayah 20

ha.

6). Banjar tempekan Geluwung berjumlah 29 KK dengan luas wilayah 29

ha.

Di samping dipilah menjadi enam banjar tempekan desa

pakraman Alasngandang juga memiliki organisasi yang lengkap

sesuai dengan paruman desa yang mengombinasikan antara unsur

tradisi dan modern ( hasil transpormasi sosial yang fundamental

dengan visi ke depan) seperti sperti ada organisasi seni yang

tergabung dalam sekaa gong, sekaa kidung dan ada organisasi sosial

yang tergabung dalam sekaa gae (sekarang dinamai sekaa macaru).

Selanjutnya para yogya dan ngawi wenang Desa Pakaraman Alasngandang

atau yang berwenang dalam memutuskan segala sesuatu di Desa

Pakraman adalah :

a). Penyarikan desa/ sekretaris

b). Petengen desa/ bendahara

c). Saye tempek/ ketua tempek

d). Pecalang desa/ pengaman di tingkat Desa Pakraman

prajuru Desa Pakraman di atas juga dilengkapi dengan baga-baga

(bagian-bagian) yaitu :

a). baga parhyangan

b). baga palemahan

c). baga pawongan

d). baga lembaga arta

e). serta sekretariat tetap

Berdasarkan mata pencaharian masyarakat Desa Pakraman

Alasngandang sebagian besar bermata pencaharian petani dan

buruh/swasta, pegawai negeri, dagang dan pengerajin, sehingga

hampir seluruh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang memiliki

pekerjaan yang tetap dan berpengasilan yang cukup untuk sehari-

hari. Berdasarkan data yang diperoleh dari monografi Desa Pakraman

Alasngandang tahun 2009, bahwa mata pencahariannya masyarakat

Desa Pakraman Alasngandang dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Tabel .2Mata Pencaharian Penduduk Desa Pakraman AlasngandangNo Mata Pencaharian Jumlah 1 Buruh tani 30 orang2 Petani 765 orang 3 Pedagang/wiraswasta 25 orang 4 Pegawai Negeri (PNS) 8 orang 6 Penjahit 2 orang7 Montir 1 orang 8 Sopir 4 orang9 Pramuwisata 4 orang10 Karyawan swasta 65 orang11 Tukang kayu 4 orang

Jumlah 908 orangSumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009

Penduduk desa ini hidup dari pertanian yakni 80 %

masyarakatnya bertani, 18 % berwirausaha dan 2 % pegawai.

Kehidupan masyarakat Alasngandang sangat bergantung pada musim

utamanya musim hujan karena bercocok tanam sangat bergantung pada

air hujan bahkan untuk keperluan sehari-hari pun misalnya mandi

minum juga bergantung pada air hujan. Maka itu masing-masing KK

di desa ini pastilah memiliki cubang atau tempat menampung air

hujan untuk persediaan di musim kemarau. Jika musim kemarau

melanda masyarakat Alasngandang maka untuk mensuplay air untuk

keperluan sehari-hari membeli dari mobil-mobil tangki seharga Rp

80.000. Pada umumnya masyarakat Alasngandang lebih cendrung

berternak yaitu beternak sapi karena lewat pekerjaan ini

perekonomian masyarakat bisa terangkat. Setiap KK yang ada di

Desa Pakraman Alasngandang pasti memelihara sapi minimal dua ekor

sebagai pekerjaan pokok. Bahkan sampai saat ini di Desa Pakraman

Alasngandang banyak lahir kelompok-kelompok ternak yang

keberadaannya sangat diperhatikan oleh pemeritah baik pemerintah

pusat maupun daerah. Hanya saja sebagai kendalanya bagi

masyarakat Alasngandang adalah air. Maka ada istilah yang muncul

di masyarakat Alasngandang ” sapi makan sapi” artinya beternak

sapi di musim kemarau untuk membeli air keperluan ternaknya harus

menjual sapi.

4.1.5. Pendidikan

Untuk mengetahui tingkat pendidikan Desa Pakraman

Alasngandang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

NOTINGKAT

PENDIDIKANJUMLAH (ORANG)

1 SD 2152 SLTP 753 SLTA 254 PERGURUAN TINGGI 11

JUMLAH 326Sumber : data statistik Desa Pakraman Alasngandang 2009

Berdasarkan data penduduk menurut tingkat pendidikan pada

tabel di atas maka dapat dilihat bahwa pendidikan di Desa Pakraman

Alasngandang masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari

jumlah penduduk yang tamat pendidikan di atas SD kurang dari 30%.

Terkait dengan masalah tingkat pendidikan di Desa Pakraman

Alasngandang. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan sangat

berpengaruh pada perkembangan masyarakat khususnya masyarakat

desa pakraman Alasngandang. Selain hal tersebut, tinggi

rendahnya pendidikan sesorang akan berekses terhadap status

sosial di masyarakat. Intelektualitas suatu masyarakat sangat

ditentukan oleh tingkat pendidikannya, maka dari sini salah satu

barometer kemajuan suatu desa dapat dilihat, khususnya kemajuan

dibidang pendidikan. Sri Hariyati, 1985 dalam Ariani mengatakan

bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin banyak

pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki sehingga semakin terbuka

pula kesempatan baginya untuk memperoleh pekerjaan.

Desa Pakraman Alasngandang menurut dresta yang ada termasuk

desa yang memiliki suatu sistem kepercayaan yang disebut agama.

Agama yang dianut oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang

adalah agama Hindu dengan tradisi dan budaya yang masih kuat

sebagai suatu bentuk keyakinan. Keyakinan atau religius yang

dilaksanakan bagi masyarakat Alasngandang sesuai dengan koridor

konsep dasar dari agama dalam hal ini yakni agama Hindu. Konsep

dasar yang dimaksud yaitu tattwa atau filosofinya Hindu, susila atau

etika Hindu dan upacara atau ritual agama Hindu. Ketiga hal tersebut

itulah yang selalu dipakai dasar dan pijakan dalam melakukan

aktivitas keagamaanya dan sekaligus sudah menjadi satu napas

keagamaan bagi masyarakat Alasngandang. Melakukan yajna adalah

aktivitas yang amat penting dalam kehidupan beragama di Desa

Pakraman Alasngandang karena didasarkan pada ajaran kitab suci

bahwa pentingnya yajna dalam kehidupan umat manusia. Hal ini

dikuatkan dalam kitab suci Weda yakni dalam Athawa Weda

menyatakan bahwa yajna adalah penyangga bumi, Yayur Weda

menguraikan bahwa yajna adalah pusat penciptaan alam semesta

(bhuwana Agung). Maka itu ritual keagamaan atau yajna sangat

diperhatikan oleh masyarakat Alasngandang dengan tujuan

mengharmoniskan alam sekala dengan alam niskala. Di samping itu

bisa menyeimbangkan antara bhuana alit dan bhuwana agung agar

terjadi keharmonisan (hita) pada diri dan keharmonisan (hita) pada

alam semesta.

Agama yang dianut oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang

masih bersifat homogen yaitu seluruh masyarakatnya menganut agama

Hindu. Maka sampai saat ini persoalan-persoalan lintas agama

tidak pernah terjadi karena kehidupan masyarakatnya masih

menganut satu agama yakni Hindu. Keyakinan dalam menjalankan

agamanya teralisasi dalam bentuk-bentuk ritual (aci) yang

dilaksanakan disetiap pura yang ada di wilayah Banjar Adat

Alasngandang atau tempat-tempat yang dianggap sakral atau

disucikan seperti tempat perempatan agung (jalan simpang empat) .

Dalam perkembangan selanjutnya Desa Pakraman Alasngandang

tetap melestarikan dan mempertahankan hal-hal yang merupakan kuna

dresta seperti pemargi aci atau jalannya ritual serta memfungsikan

prajuru desa dan kerta desa sebagai tulang punggung mengajegkan dresta

dan tradisi adat setempat. Sedangkan hal-hal yang perlu

diperbaharui atau diperbaiki sesuai dengan perkembangan zaman

(era kesejagatan) sudah mulai ditata disesuaikan dengan kemampuan

serta potensi dan kondisi Desa Pakraman Alasngandang sehingga

modernisasi tidak melunturkan dan mengikis tradisi, budaya dan

adat setempat.

Bidang fisik dari sistem kepercayaan ini terus dilakukan

pembenahan dan perbaikan, salah satunya dengan mengadakan rehab-

rehab pura . Kondisi pura atau pelinggih di pura Kahyangan Tiga di

Alasngandang untuk tahun ini hampir 50 % sudah diperbaharui

dengan sumber dana dari pemerintah daerah lewat bantuan dan

ditambah dari iuran masyarakat atau krama desa setempat. Maka

untuk lebih jelasnya peneliti melaporkan dalam bentuk tabel aset-

aset kepemilikan Desa Pakraman Alasngandang yaitu sebagai

berikut :

Tabel . 4.

Data Kepemilikan (Aset) Desa Pakraman

Alasngandang

NO NAMA ASET JUMLAH

1 Pura Puseh 1 unit2 Pura Bale Agung 1 unit3 Pura Dalem 1 unit4 Pura Praja Pati 1 unit5 Pura Ulun Suwi 1 unit6 Pura Dukuh Sakti 1 unit7 Penyucian Ida Betara 1 unit8 Wantilan 3 unit9 Bale Banjar 1 unit10 Kantor LPD 1 unit11 CBD 1 unit12 Setra 1 unit13 Pelinggih Ulun Desa 1 unit14 Pelinggih Tulak Tanggul 1 unit15 Pelinggih Perempatan Agung 1 unit16 Bale Kulkul 3 unit17 Petapakan Betara Nini 1 Paket18 Petapakan Betara Gede 1 Paket19 Petapakan Betara Ayu 1 Paket20 Petapakan Betara Mas 1 Paket

21Prerai Betara Kahyangan Tiga dan

Pura Dukkuh

 4

paket22 Topeng 1 Paket23 Gong 1 Paket24 Tanah ayahan Desa 57

ayahan25 Tanah Laba Pura 7 ha26 Tanah Duwe Desa 2 ha

Sumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009

Di samping aset-aset di atas Desa Pakraman Alasngandang

memiliki sarana pendukung yang lain yang sudah tentu berguna

untuk membantu dalam menunjang aktivitas desa antara lain :

Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan

bahwa, persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa

Pakraman Alasngandang dilaksanakan dengan rutin setiap 15 (lima

belas) hari sekali berdasarkan pembagian tempek (pembagian

wilayah) di Desa Pakraman Alasngandang. Dalam pelaksanaan

persembahyangan purnama tilem tersebut tidak pernah lepas dari

kajian Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang berisikan ajaran tattwa, etika

dan ritual.

Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga ajaran yang saling

berkaitan dan merupakan dasar dari ajaran agama Hindu tersebut.

Barang siapa ingin mendalami dan mempelajari agama Hindu tersebut

hendaknya memahahami betul ketiga kerangka dasar agama Hindu itu.

Ketiga konsep kerangka dasar agama Hindu itu ialah tattwa atau

filsafat agama Hindu, susila atau etika agama Hindu dan ritual atau

upacara agama Hindu, Siden (wawancara : 27 April 2010)

Dalam bukunya Sudharta (2007 : 5) menjelaskan bahwa, Tattwa,

etika dan ritual dapat di ibaratkan dengan sebutir telur. Dimana

kuning telur atau sarinya merupakan aspek tattwa atau filsafatnya,

dan putih telur merupakan aspek dari susila atau etikanya,

sedangkan kulit dari telur merupakan aspek dari ritual atau

upacaranya. Telur akan menetas dengan sempurna apabila ketiga

komponen dari kuning telur, putih telur dan kulitnya berfungsi

dengan baik. Begitu juga pada agama Hindu yang akan berjalan

dengan baik dan benar apabila dalam melaksanakan aktivitas

keagamaannya selalu disertai dengan upacara, etika dan tentu saja

berdasarkan tattwa yang benar. Sehingga apa yang menjadi tujuan

dari agama tersebut dapat tercapai sesuai dengan kepercayaan umat

Hindu.

Ketiga aspek diatas merupakan suatu kesatuan yang utuh dan

tidak dapat dipisahkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga

hal tersebut saling melengkapi, saling keterkaitan dan tentu saja

tidak dapat dipisah-pisahkan. Dimana kalau salah satu dari aspek

tersebut tidak berfungsi dengan baik maka agama yang kita

harapkan belum sempurna.

Aspek tattwa atau filosofinya merupakan inti ajaran agama Hindu,

sedangkan aspek susila dan etikanya merupakan pelaksanaan ajaran

agama dalam kehidupan sehari-hari. Aspek upacara dan ritualnya

merupakan pengorbanan suci yang tulus ikhlas kehadapan Ida Sang

Hyang Widhi atau yang bisa dikatakan yadnya. Ketiga aspek tersebut

harus dilaksanakan secara baik dan seimbang terutama dalam hal

ini yaitu penerapan ajaran tattwa, etika dan ritual dalam

persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang yang

melipuiti antara lain :

Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan

bahwa, tattwa merupakan ajaran-ajaran pokok yang mengandung makna

atau filosofis dari ajaran agama Hindu. Masyarakat Alasngandang

masih sangat awam sekali mendengar kata “tattwa”, istilah tattwa

belum begitu dimengerti apalagi dengan menerapkan ajaran-

ajarannya. Secara umum masyarakat Alasngadang belum memahami

ajaran-jaran tattwa atau makna filosofis yang terkandung dalam

setiap aktivitas agama Hindu dan sarana/upakara khususnya dalam

persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakramnan

Alasngandang.

Dalam kamus istilah Agama Hindu (2005:127), kata “tattwa”

berasal dari kata “tat” yang artinya hakekat, kenyataan,

kebenaran, hakekat dari objek yang konkrit, sari-sari dari suatu

ajaran. Aspek tattwa atau filosofi dari ajaran agama Hindu ini

merupakan inti ajaran agama Hindu yang akan banyak mengulas

tentang makna dari agama Hindu itu sendiri.

Dalam bukunya Titib (2006 : 258) menjelaskan bahwa, inti

tattwa itu adalah kepercayaan kepada Tuhan (Ketuhanan) yang

disebut dengan Ekatwa Anekatwa Svalaksana Bhatara yang artinya Tuhan

itu dalam yang banyak, yang banyak dalam yang Esa. Tattwa adalah

kepercayaan, dalam Hindu kita mengenal lima kepercayaan yang

disebut dengan Panca Sradha antara lain :

1). Percaya terhadap adanya Tuhan (Widha Tattwa)2). Percaya terhadap adanya Atman (Atma Tattwa)3). Percaya terhadap adanya Hukum Karma (Karma Phala)4). Percaya terhadap adanya Punarbhawa (Samsara)5). Percaya terhadap adanya Moksa(Bersatunya atman dengan

Brahman).

Jadi yang dimaksud dalam hal ini adalah nilai-nilai

kebenaran atau sari-sari dari suatu ajaran mengenai pelaksanaan

persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang.

Adapun nilai-nilai tattwa yang dimaksud meliputi : 1). Kajian tattwa

dalam mantram Tri sandhya, 2). Kajian tattwa dalam mantram kramaning

sembah dan 3). Kajian Tattwa dalam Sarana Upakara Persembahyangan,

adapun uraiannya sebagai berikut :

Menurut Siden wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan

bahwa, Tri sandhya adalah sembahyang yang wajib dilakukan oleh

semua umat Hindu tiga kali dalam sehari. Sembahyang rutin ini

diamanatkan dalam kitab suci Veda dan sudah dilaksanakan sejak

ribuan tahun yang lalu. Bila kita tidak tekun melaksanakan Tri

sandhya berarti kiata tidak secara sungguh-sungguh mengamalkan

ajaran yang terkandung dalam kitab suci Veda. Banyak hambatan

yang dialami mengapa seseorang tidak tekun melaksanakan puja

atau sembahyang Tri sandhyya diamtaranya karena kurang memahami

makna yang terkandung dalam melaksanakan puja Tri sandhyya, karena

tidak dibiasakan (abhyasa) dan karena bahasanya tidak atau kurang

dimengerti.

Merupakan sembahyang yang dilakukan tiga waktu yaitu pada

pagi hari yang disebut dengan “Surya Puja”, siang hari disebut

dengan “Rahina Puja” dan sore hari disebut “Sandhya Puja”. Puja Tri

Sandhya terdiri dari enam bait, bait pertama atau sebagai Sandya

Vandanam (awal) diambil dari Gayatri atau Savitri Mantram (Rg

Veda, Sama Veda dan Yayur Veda) atau sering disebut dengan Gayatri

mantram atau ibunya mantra. Setiap melaksanakan puja Tri Sandhya

hendaknya selalu didahului dengan penyucian diri (asucilaksana).

Gayatri mantra terdapat dalam YajurVeda XXVI. 3. (Widana, 2009 :

45) Tri Sandhya.

Adapun mantranyasebagai berikut :

Om Prasada Sthiti Sarira Çiva Suci Nirmala Ya Namah Svaha

Artinya:Ya Tuhan, dalam Siwa suci tak ternodai, hamba telah duduk dengantenang.1). Puraka (Menarik nafas) Om Ang Namah2). Kumbaka (Menahan nafas) Om Ung Namah3). Recaka (Mengeluarkan nafas) Om Mang NamahArtinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur alamsemesta hamba puja Dikau. Om soddha mam svahaOm ati soddha mam svahaArtinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, sucikanlah hamba dari segala dosa

Bait I : Om Om Om Bhūr Bhuvah Svah, Tat savitur varenyam,

Bhargo devasya dhimahiDhiyo yo nah pracodayat

Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa yang menguasai ketiga dunia ini, Engkau MahaSuci, sumber segala cahaya dan kehidupan, berikanlah budi nuranikami penerangan sinar cahaya-Mu Yang Maha Suci.Bait II : Om Nārāyana Evedam Sarvam,

Yad bhūtam yasca bhavyam,Niskalangko niranjano nirvikalpo,Nirākhyātah sudho deva eko,Narayano na dvityo asti kaścit

Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa, sumber segala ciptaan, sumber semuamakhluk dan kehidupan, Engkau tak ternoda, suci murni, abadi dantak ternyatakan. Engkau Maha Suci dan tiadalah Tuhan yang kedua.

Bait III : Om Tvam Sivah Tvam Mahādeva,Iśvarah parameśvarah,

Brahmā Visnuśca Rudraśca,Purusah parikirtitāh

Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau disebut juga Siwa, Mahadewa, Brahma,Wisnu dan juga Rudra, karena Engkau adalah asal mula segala yangada.

Bait IV : Om Pāpo’ham Pāpa Karmaham,Pāpātma pāpa sambavah,Trāhi mām pundarikāksah,Sabāhyā bhyantarah śucih

Artinya :

Om Sanghyang Widhi Wasa, hamba-Mu penuh kenestapaan, nestapa dalamperbuatan, jiwa, kelahiran. Karena itu oh Hyang Widhi,selamatkanlah hamba dari kenestapaan ini, dan sucikanlah lahirbathin hamba.

Bait V : Om Kşvama sva mām Mahādevah,Sarva prāni hitāńkara,Mām moca sarva pāpebhyah,Pālayasva Sadā Sivah

Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa, Yang Maha Utama, ampunilah hamba-Mu, semuamakhluk Engkau jadikan sejahtera, dan engkau bebaskan hamba-mudari segala kenestapaan atas tuntunan suci-Mu oh penguasakehidupan.

Bait VI : Om kşantavyah kayiko doşāh,kşantavyo vācika mama,kşantavyo mānaso dosah,tat pramādāt ksamasva mām,

Om Śāntih, Śāntih, Śāntih OmArtinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, ampunilah segala dosa dari perbuatan,ucapan, dan pikiran hamba, semoga segala kelalaian hamba ituEngkau ampuni. Om Sang Hyang Widhi Wasa, Semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu.

Kramaning sembah merupakan Sembahyang yang dilakukan umat

untuk memuja Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dengan segala

Prabhawa/manifestasi kemahakuasaan-Nya, yang dilaksanakan dengan

penuh ketululusan hati, dengan sarana bunga atau kuwangen yang

bertujuan mewujudkan suatu kehidupan yang bahagia dan sejahtera

lahir batin atau Moksartham Jagadhita (Wiana, 1992 : 11).

Adapun urutan-urutan Kramaning sembah, baik pada waktu

sembahyang sendiri ataupun sembahyang adalah sebagai berikut :

Persiapan penyucian sarana upakara sembahyang :a). Mantra penyucian dupa :

Om Ang Dupa diprasta ya namah

Artinya :Ya Tuhan dalam wujudmu sebagai Brahma, tajamkanlah nyala

dupa kami, sehingga sepeti sinar-Mu.b).Mantra Penyucian Bunga :

Om Puspadanta ya namah

Artinya :Ya Tuhan semoga bunga ini cemerlang dan suci.

1) Sembah tanpa bunga (Muyung)Mantra:

Om Ātma Tattvātmā Śoddha Mām SvāhāArtinya:

Ya Tuhan dalam wujud atma atau jiwa, dan kebenaran, bersihkan dan sucikanlah hambamu.

2) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Sanghyang Aditya dengan sarana bunga.Mantra:

Om Ādityasyaparam jyotirakta tejo namo’stutesvetapankaja mādhyasthahbhāskārāyo namo’stute

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkaubersinar merah, hormat pada-Mu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih, hormat pada-Mu pembuat sinar.

3) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Ista Dewata dengan saranaKwangen atau bunga.

Pada muspa inilah yang diantar dengan Pangastawa yang

mengkhusus sesuai dengan Ista Dewata yang di puja pada saat ittu.

Seperti dalam hal ini di Pura Dalem, Pura Desa dan Pura Puseh.

a). Sembahyang di Pura DalemMantra :Om catur dewi mahādewicatur asrame bhatariÇiwa jagatpati dewidurgha maçarira dewiOm catur dewi dipata ya namah

Artinya :Om Hyang Widhi, sakti-Mu berwujud Catur Dewi, yang di puja oleh CaturAsrama, sakti dari Ciwa Raja Semesta alam dalam wujud Dewi Durgha.Ya, Catur Dewi hamba menyembah kebawah kakimu.

b).Sembahyang di Pura DesaMantra :Om isano sarwa widnyanaIswara sarwa bhutānam,Brahmāno dhipati brahmān,Çiwastu sadā ciwayaOm Çiwa dipata ya namah.

Artinya :Om Hyang Widhi, Hyang Tunggal yang Maha Sadar, selaku Yang MahaKuasa menguasai semua makhluk selaku Brahma Raja dari pada semuaBrahmana, selaku Ciwa dan Sada Ciwa. Ya Hyang Ciwa hamba menyembahpada-Mu.

c). Sembahyang di Pura PusehMantra :Om giripati mahā wiryammahā dewa pratista linggamsarwa dewa pranamyanamsarwa jagat pratistanamOm giripati dipata ya namah.Artinya :Om Hyang Widhi, selaku Giripati yang Maha Agung, Maha Desa denganlingga yang mantap, semua dewa-dewa tunduk pada-Mu. Om Giripatihamba menyembahmu.

Selain mantra Pengastawa yang mengkhusus disetiap pura-pura,

Sang Hyang Widhi sebagai Ista Dewata dapat juga dipuja dengan mantra

sebagai berikut :

Mantra:Om namo devaya,adhisthanaya,sarva vyāpi vai Śivāya,padmāsana ekapratisthaya,ardhanareśvaryai namo namah svaha.

Artinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat kami kepada dewa yang bersemayam ditempat utama kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana – mana,kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga terataisebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.

4) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Pemberi Anugerah, dengansarana Kwangen atau bunga.Mantra:Om anugraha manohara,deva dattanugrahaka,arcanam sarva pujanam,namah sarvanugrahaka,Om deva devi mahasiddhi,yajnangga nirmalatmaka,laksmi siddhisca dirghayuh

nirvighna sukha vrddhisca.Artinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau yang menarik hati, pemberianugerah. Anugerah pemberian Dewa, pujaan dalam semua pujian,hormat pada-Mu pemberi semua anugerah. Kemahasidian Dewa danDewi, berwujud Yajna, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan,panjang umur, kegembiraan dan kemajuan.5) Sembah tanpa bunga (Sembah Puyung).Mantra:Om deva suksma paramaçintyaya namah svaha.

Artinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat pada Dewa yang tak berpikiran yangmaha tinggi, yang maha gaib. Setelah persembahyangan selesaidilanjutkan dengan mohon Tirtha (air suci) dan Bija/Wibhuti.6) Pembagian Tirtha.Sebelum Tirtha dipercikkan, ucapkan terlebih dahulu mantram ini:Mantra:Om Pratama Sudha, Dvitya Sudha, Tritya Sudha, Caturti Sudha, Pancami Sudha, Sudha,Sudha, Sudha Variastu Namah Svaha.Artinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga kami dianugerahi kesucian, hormatkepada-Mu.Dapat pula dengan menggunakan mantram berikut ini:a). Pemercikan tiga kali ke ubun – ubun:Mantra:Om Ang Brahma amrtha ya namahOm Ung Wisnu amrtha ya namahOm Mang Isvara amrtha ya namahArtinya:Om Hyang Widhi Wasa, bergelar Brahma, Wisnu, Iswara, hamba memuja-Musemoga dapat memberi kehidupan (dengan tirtha ini).

b). Minum Tirtha tiga kali:Mantra:Om sarira paripurna ya namah,Om ang ung mang sarira sudha,Pramantya ya namah,Om ung ksama sampuranya namah.

Artinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebursegala ciptaan, semoga badan hamba terpelihara selalu, bersih,terang dan sempurna.c). Meraup, mengusap Tirtha ke muka ke arah atas:Mantra:Om Siva amertha ya namah,Om Sadha Siva amertha ya namah,Om Parama Siva amertha ya namah.Artinya:Oh Hyang Widhi (Siwa, Sadha Siwa, Parama Siwa) hamba memuja-Mu semogamemeberi amrtha pada hamba.

7) Memasang bija:a). Bija untuk di dahi:

Mantra:Om Sriyam BhavantuArtinya :(Oh Hyang Widhi, semoga kebahagiaan meliputi hamba). b). Bija untuk di bawah tenggorokan:Mantra:Om Sukham BhavantuArtinya :(Oh Hyang Widhi, semoga kesenangan selalu hamba peroleh).

c). Bija untuk ditelan:Mantra:Om purnam bhavantuOm ksama sampurna ya namah svaha.Artinya :(Oh Hyang Widhi, semoga kesempurnaan meliputi hamba, Oh Hyang Widhi semoga semuanya menjadi bertambah sempurna).

8) Meninggalkan tempat suci, didahului Parama santih:Mantra:

Om Śāntih, Śāntih, Śāntih Om.Artinya :

Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga damai dihati, damai didunia dandamai selalu.

Menurut Beneh wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan

bahwa, bagi masyarakat yang tidak tahu tattwa atau mantra kramaning

sembah, didalam muspa ngaturang pangubhakti menggunakan seha atau

pengganti mantra yang ada dalam buku atau lontar-lontar mengenai

persembahyangan. Adapun seha yang digunakan tersebut adalah

sebagai berikut :

Seha : Om Pakulun Paduka Bhatara ........(Nama Dewa yangdipuja)

Iki panjak Iratu angatur akenSembah pangubhakti majeng Paduka BhataraDumogi sweca ring panjake sami

Magda selamet sadha rahayu sareng sami.

Artinya :Om Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi ........(Nama Dewa yangdipuja), hamba menghaturkan sembah kepada-Mu, semoga Tuhanmemberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat semuanya.

Dari hasil beberapa wawancara dapat disimpulkan bahwa,

sebagian besar masyarakat Desa Pakraman Alasngandang belum

mengetahui dan menggunakan mantra sesuai dengan pola ajaran tattwa

dalam melaksanakan muspa kramaning sembah pada persembahyangan

purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang.

Sebagai alternatif yang dipakai adalah Seha (pengganti mantra)

bagi masyarakat yang belum mengetahui mantra sesuai dengan ajaran

Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

4.2.1.3. Pola Ajaran Tattwa dalam Sarana UpakaraPersembahyangan.

Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan

bahwa, masyarakat Alasngandang belum memahami tattwa atau makna

dari sarana/upakara yang dipakai dalam persembahyangan purnama

tilem di Desa Pakaramn Alasngandang baik itu bunga, dupa, canang,

banten pejati dan segahan. Sehingga sarana/upakara

persembahyanganpun disalahartikan dan terkadang dikesampingkan

karena kurang memahami makna yang terkandung dari sarana/upakara

tersebut.

Dalam bukunya Widana (2009 : 74) menjelaskan bahwa, Upakara

berasal dari kata “upa” yang berarti “berhubungan dengan” dan

“kara” yang artinya “perbuatan/pekerjaan”. Jadi istilah upakara

dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan

perbuatan/pekerjaan yang umumnya berbentuk material. Pendeknya

upakara itu berhubungan dengan perlengkapan suatu upacara. Adapun

sarana atau alat persembahyangan yang dipakai dalam upacara

persembahyangan Purnama Tilem di Desa Pakraman Alasngandang adalah

sebagai berikut :

1). Bunga

Bunga adalah lambang kesucian, karena itu perlu diusahakan

bunga yang segar, bersih dan harum. Jika pada saat sembahyang

tidak ada kawangen, maka dapat diganti dengan bunga (kemabang).

Bunga yang tidak baik dipersembahkan menurut AGASTYAPARWA adalah:

"Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Hyang Widhi,

yaitu bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncanng,

bunga yang berisi semut bunga yang layau atau yang lewat masa

mekarnya, bunga yang tumbuh dikuburan. Itulah bunga yang tidak

patut dipersembahkan oleh orang-orang baik" (Pasek, 2008 : 29),

2). Kuwangen

Kuwangen berasal dari bahasa jawa kuno dari kata “wangi”

artinya harum. Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an”

sehingga menjadi “kewangin” lalu disandikan menjadi kuwangen yang

artinya keharuman yaitu untuk mengharumkan nama Tuhan (Wiana,

2005 : 31). Dalam lontar Sri Jaya Kesunu, Kuwangen disebutkan

sebagai lambang “Omkara” sedangkan menurut lontar Brahdhara

Upanisad, Kuwangen adalah lambang Ida Sang Hyang widdhi.

3). Dupa

Apinya dupa adalah simbol Sangyang Agni, yaitu saksi dan

pengantar sembah kita kepada Hyang Widhi. Api dalam istilah agama

Hindu disebut “Apuy, Agni Wahni”, api sebagai sumber kehidupan

dewanya Brahma. Sifat api adalah menerangi atau menyinari dan

“Dharmanya” membakar. Api merupakan salah satu unsur alam yang

dipakai sebagai sarana persembahyangan dan sarana keagamaan, yang

berfungsi sebagai perlambang sifat-sifat Tuhan dalam hubungannya

turut mempermulia ciptaanya, dan secara simbolis api dipakai

sebagai saksi dalam upacara (Wiana, 2005 : 53).

4). Tirtha

Tirtha adalah air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan

suatu cara tertentu dan disebut dengan Tirtha Wangsuh Pada Hyang Widhi

(Ida Betara). Tirtha dipercikan di kepala, diminum dan dipakai

mencuci muka. Hal ini dumaksudkan agar pikiran dan hati kita

menjadi bersih dan suci yaitu bebas dari segala kotoran , noda

dan dosa, kecemaran dan sejenisnya. Tirtha ada dua macam yaitu

Tirtha yang didapat dengan memohon kepada Tuhan dan Bathara-bhatara,

dan Tirtha yang dibuat oleh pandita dengan puja. Tirtha ini berfungsi

untuk membersihkan diri dari kotoran maupun kecemaran pikiran.

Adapun pemakaiannya adalah dipercikkan di kepala, diminum dan

diusapkan dimuka. Ini merupakan simbolis pembersihan bayu, sabda

dan idep (Wiana, 2005 : 83).

5). Bija atau Wija

Bija atau wija di dalam bahasa sanskerta disebut gandaksata yang

berasal dari kata “ganda” dan “aksata” yang artinya biji padi-

padian yang utuh serta berbau wangi. Bija adalah lambang Kumara

yaitu putra atau bija Bhatara Siwa. Kumara ini adalah benih ke-

Siwaan yang bersemayam di dalam diri setiap orang. Dengan

demikian "Mawija" (Mabija) mengandung pengertian

menumbuhkembangkan benih ke-Siwaan yang bersemayam didalam diri

kita. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ditanam

di tempat yang bersih dan suci, maka itu pemasangan Bija(Wija)

dilakukan setelah metirtha (Widana, 2009 : 75).

6). Canang

Canang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya

berarti “sirih”, yang mana sirih ini disuguhkan kepada para tamu

(uttama) yang dihormati. Pada jaman dahulu tradisi makan daun

sirih adalah suatu kebiasaan yang sangat dihormati. Bahkan

didalam kekawin Nitisastra disebut “masepi tikang waktra tan Amucang

Wang” artinya sepi rasanya mulut bilamana tiada makan sirih

(Pasek, 2008 : 90).

Unsur-unsur canang adalah sebagai berikut yaitu : porosan

yang terdiri dari pinang dan kapur dan dibungkus daun sirih

merupakan lambang pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, pinang merupakan

lambang dari Dewa Brahma, Sirih lambang dari Dewa Wisnu dan Kapur

merupakan lambang dari Dewa Siwa. Plawa atau daun merupakan lambang

dari tumbuhnya pikiran yang suci, dan ceper berbentuk segi empat

adalah lambang dari swastika, bunga adalah lambang keikhlasan dan

reringgitan merupakan lambang dari ketepatan hati (Wiana, 1992 :

28).

7). Banten Pejati

Banten pejati adalah nama Banten atau upakara, sesajen yang

sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang

kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan

ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya. Dalam Lontar Tegesing Sarwa

Banten, dinyatakan:

“Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang”

Artinya: Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkapdan bersih.

Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari

pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan

suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud

indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari

pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu

mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis

filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk

menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan

“pa”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati

adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan

rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasi-Nya, akan

melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan

agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok

yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña (Pasek, 2008 : 105).

8). Segehan

Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam

hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi

dari limbah atau kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan

dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan

inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh

negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya

hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (Wiana, 2005 : 43).

4.2.2. Pola Ajaran Etika dalam Persembahyangan Purnama Tilem.

Menurut Siden wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan

bahwa, etika merupakan suatu prilaku atau sikap yang baik dalam

melakukan suatu aktivitas, dalam hal ini adalah etika didalam

persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang perlu

ditingkatkan, karena etika masyarakat di dalam melaksanakan

persembahyangan masih kurang dengan apa yang diharapkan sesuai

dengan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Hal ini dapat dilihat

dari sikap sembahyang masyarakat Alasngandang, baik itu dalam

sikap badan dalam sembahyang, sikap tangan saat muspa maupun

sikap dalam pembagian tirha dan bija yang tidak disiplin dan masih

saling mendahului. Hal inilah yang perlu ditingkatkan supaya

etika atau sikap dalam sembahnyang dapat berjalan secara baik

sesuai dengan ajaran tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

Secara teoritis, Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang

dalam bentuk jamaknya (ta etha) berarti “adat istiadat” atau

“kebiasaan”. Dalam pengertian ini etika berkaitan dengan

kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada

suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika

berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan

hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan

dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke

generasi yang lain. Dalam pengertian ini etika mirip dengan

pengertian moralitas, yang berasal dari kata Latin mos, yang

dalam bentuk jamaknya (mores) berarti “adat istiadat” atau

“kebiasaan” (Suhardana, 2006 : 12).

Jadi etika dan moralitas berarti sistem nilai atau aturan

tentang tata cara hidup yang baik dalam kaitannya dengan

penelitian ini yaitu tentang bertata cara hidup atau berprilaku

yang baik dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem di

Desa Pakraman Alasngandang

Dengan mentaati etika, tata susila secara tidak langsung

dapat menertibkan, mendidik membiasakan diri dan patuh dengan

adat istiadat yang telah ditetapkan. Jadi etika atau peraturan

tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup

manusia.

Hal ini disebutkan dalam kitab Saramuccaya Sloka 160 sebagaiberikut :Cila ktikang pradhana ring dadi wwang,Hana prawrtining dadi wwang duccila apakanta,Praydjananika ring hurip, ring wibhawa, ring kaprajnan,Apan wyartha ika kabeh, yan tan hana cilayukti

Artinya :Susila itu adalah yang paling utama (dasar mutlak) pada titisansebagai manusia, jika ada prilaku (tindakan) titisan sebagaimanusia itu tidak susila apakah maksud orang itu dengan hidupnya,dengan kekuasaan dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya(hidup, kekuasaan, dan kebijaksanaan) bila tidak ada pentrapankesusilaan pada perbuatan (praktek susila) (Kajeng, dkk.1994:128).

Dari kutipan tersebut diatas bahwa susila atau etika

merupakan hal yang paling penting untuk diperhatikan dan

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam

persembahyngan purnama tulem. Karena orang yang tidak

melaksanakan susila dengan baik hidupnya akan sia-sia dan tidak

berguna. Adapun etika dalam pelaksanaan persembahyangan purnama

tilem meliputi sebagai berikut :

4.2.2.1 Etika Muspa dalam Persembahyangan Purnama Tilem.

Dalam bukunya Wiana (2005 : 12) menjelaskan bahwa, etika di

dalam muspa sangat penting diperhatikan dalam melakukan

persembahyangan. Karena dalam upacara keagamaan khususnya Dewa

yadnya inilah yang paling kelihatan adalah sikap badan kita

didalam melakukan persembahyangan. Sikap-sikap yang dimaksud

antara lain : 1). Sikap dan tempat duduk, 2). Sikap tangan dan

letak bunga atau kuwangen 3). Sikap hati. Adapun uraiannya

sebagai berikut :

1). Sikap dan tempat duduk dalam sembahyangMenurut Wendra wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan

bahwa, Sikap duduk untuk muspa yang baik adalah sikap silasana

atau bersila untuk sikap duduk laki-laki, dan untuk sikap duduk

untuk perempuan adalah bajrasana atau bertimpuh dimana kedua tumit

kaki diduduki. Usahakanlah sikap duduk itu dengan mengambil sikap

badan yang tegak tetapi enak atau tidak kaku. Tidak boleh bungkuk

atau miring dan jangan sikap tegang yang dibuat-buat. Usahakanlah

duduk hingga tulang punggung dapat tegak lurus atau vertikal.

Mengenai tempat duduk didalam persembahyangan usahakanlah

mengambil tempat duduk menghadap kedepan atau menghadapi pelinggih

anustana dari Ida Sang Hyang Widhi yang akan kita aturi puspa dalam

jarak seperlunya. Usahakanlah pada waktu mencari tempat duduk,

kita tidak mengganggu atau menyinggung rasa hati orang yang ada

disamping kita. Dan jaganlah lalu lalang didepan orang yang

sedang muspa. (Merta, wawancara : 28 April 2010).

Mengenai sikap dan tempat duduk yang sudah dijalskan diatas

harus dilaksanakan dan dipahami sesuai dengan tuntunan muspa

didalam melakukan persembahyangan terutama pada saat

persembahyangan purnama tilem. Karena dengan sikap duduk yang

benar dan tempat duduk yang nyaman akan mengahantarkan kita

menjadi lebih khusuk didalam menghubungkan diri kepada Ida Sang

Hyang Widhi Wasa.

2). Sikap tangan dan letak bunga dalam sembahyangSikap tangan dalam melakukan puja Tri Sandhya adalah sikap

amustikarana yaitu cakupan dua tangan didada dan kedua ibu jari

bertemu, kemudian empat jari kanan ditutup dengan empat jari

kiri yang didahului dengan pranayama (pengaturan nafas). Didalam

melakukan puja Tri Sandhya dengan sikap amustikarana tidak mutlak

harus menggunakan sarana seperti bunga yang dipakai dalam sikap

amustikarana (Titib, 2003 : 37).

Dalam melaksanakan muspa kramaning sembah sikap tangan dan

letak bunga sudah ditentukan dan ditetapkan oleh Parisada Hindu

Dharma Indonesia. Dalam sembahynag yang dipimpin oleh seorang

pemimpin (pandita atau pinandita), maka kita mengikuti tuntunan

pemimpin upacara tersebut. Adapun sikap tangan dalam melakukan

sembahyang sesuai petunjuk buku upadeça (1968 : 36) adalah

sebagai berikut :

Pada saat sembah puyung dengan tangan kosong yaitu pada

setiap awal dan akhir sembahyang yang sering disebut dengan

sembah tanpa srana. Pada sikap katupan tangan pada ujung jarinya

berisi sedikit bunga. Katupan tangan mempunyai arti tertentu

harus dilakukan dengan semestinya, agar arti dan maksudnya tidak

hilang. Telapak tangan kanan adalah perlambang “sukma sarira” atau

perlambangannya sang jiwa. Sebaliknya telapak tangan kiri adalah

simbol “stula sarira” atau simbul badan wadag. Lima jari tangan

kanan adalah perlambang Panca Budhindria (pelihat, pendengar,

pencium, pengecap dan peraba). Sedangkan lima jari tangan kiri

adalah simbul Panca Karmendria(mulut, tangan,kaki, badan, kelamin).

Karena muspa dilakukan dengan “wahyadyatmika” yaitu lahir bhatin,

maka pengatupan tangan yang melambangkan wahyadyatmika ini perlu

ditertibkan. Katupkanlah tangan sejak telapaknya hingga jari-

jarinya. Jari-jari semuanya harus lurus dan rapat antara yang

kanan dengan jari-jari yang kiri, naiknya tangan harus tepat

ditengah-tengah badan (didepan mulut, hidung dan sebagainya)

jangan miring kesamping kanan atau kiri (Kaler, 2004 : 12).

Katupan tangan pada muspa kramaning sembah disebut dengan

“cakuping kara kalih” ini juga memiliki arti menungggalnya lahir

bhatin (wahyadyatmika) diri kita. Dirapatkannya semua jari adalah

lambang bahwa semua indria kita sudah terikat dan semua indria

kita tidak bekerja, sehingga budi nurani sepenuhnya kita sudah

kehadapan Ida Sang Hyang Widhi yang diaturi puspa. Gerakan indria

kepada sasarn lain kita tutup.

Dalam menggunakan bunga yang melambangkan kesucian hati

itu yaitu dengan cara menjepitnya diujung jari. Dan jepitlah

dengan jari tengah kanan dan kiri, yakni jari yang tertinggi.

Sembulkanlah bunga keatas jangan dijepit tersembunyi, hingga

bunga itu merupakan tajuk mahkota dari katupan tangan kita.

Kesucian hati yang dilambangkan dengan bunga itu merupakan tajuk

dari pelaksanaan muspa. Demikian pula bila memakai sarana

kuwangen serta sebagian besar disembulkan keatas. Muka kuwangen

dibuat agak mengadah, jangan menghadap kesamping kekiri atau

kekanan (Kaler, 2004 : 14-15).

3). Sikap hati dalam sembahyang

Menurut Ratep dalam wawancara tanggal 28 April 2010,

menyatakan muspa atau sembahyang harus dilakukan dengan kesucian

dan ketenangan hati semaksimal-maksimalnya. Mulai dari

berpakaian, sikap duduk, asucilaksana dan sebagainya maka usaha-

usaha lain untuk mencapai kesucian dan ketenangan hati perlu

ditempuh. Sebagai dimaklumi bahwa hati itu laksana air, sangat

mudah bergerak, bergetar dan bergelombang. Ia sangat mudah

terpengaruh. Usaha-usaha menenangkan (lebih-lebih waktu muspa)

diantarnya adalah dengan mengurangi pengaruh-pengaruh yang

menyentuh hati itu. Pengaruh ini biasanya datang dari pancaindra,

terutama mata, sehingga pada saat muspa mata dipejamkan untuk

meniadakan atau mengurangi penglihatan dengan mana gejolak hati

dapat dikurangi.

Pernafasan bisa membantu bahkan bisa menentukan timbulnya

ketenangan hati. Sesudah duduk teratur tarikklah nafas panjang-

panjang denngan tenang barang 5 atau 10 kali dengan teratur dan

pelan-pelan. Lakukanlah ini dengan sabar seenaknya, hingga hati

menjadi tenang. Kalau hati belum tenang seperlunya, dada masih

terengah-engah, ebar jantung masih cepat belum teratur, maka

bernapaslah dalam-dalam seperlunya terus dilakaukan. Dan

janganlah kita mulai muspa kalau kita belum mencapai ketenangan

hati (Kaler, 2004 : 15-16) .

4.2.2.2 Etika Pembagian Tirtha dan Bija dalam Persembahyangan Purnama Tilem.Tirtha dan bija merupakan hal yang penting dalam melaksanakan

persembahyangan. Sembahyang terasa belum lengkap ketika belum

dapat nunas tirtha wangsuhpada dan bija. Biasanya tirtha dan bija ini

dibagikan setelah muspa kramaning sembah selesai. Tirtha merupakan

air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu ritual

khusus dan disebut dengan Tirtha Wangsuh Pada Hyang Widhi (Ida Betara).

Begitu juga dengan wija atau sering disebut dengan bija ini

merupakan lambang Kumara yaitu putra atau bija Bhatara Siwa. (Pasek,

2008 : 79-80).

Menurut Merta wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan

bahwa, pembagian Tirtha dan bija ini dibagikan oleh pinandita atau

pemangku dan dibantu oleh jro sedahan atau istri pemangku.

Pembagian tirtha dan bija ini dilakuakan secara teratur, mulai dari

tempat duduk yang paling depan hingga kebelakang. Etika dalam

nunas tirtha ini harus mengambil sikap duduk yang benar dan tidak

boleh berdiri. Tirtha ini ditunas/dibagikan kemudian dipercikan di

kepala, diminum tiga kali dan dipakai mencuci muka. Hal ini

dumaksudkan agar pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci

yaitu bebas dari segala kotoran , noda dan dosa, kecemaran dan

sejenisnya. Begitu juga dengan bija, bija yang ditunas tersebut

dipakai di jidat/selaning lelata, dileher dan ditelan sebanyak tiga

butir, bija ini merupakan benih ke-Siwaan yang bersemayam di dalam

diri setiap orang. Dengan demikian "Mawija" (Mabija) mengandung

pengertian menumbuhkembangkan benih ke-Siwaan yang bersemayam

didalam diri kita. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang

apabila ditanam di tempat yang bersih dan suci, maka itu

pemasangan Bija(Wija) dilakukan setelah metirtha.

4.2.2.3 Etika Berpakaian dalam Persembahyangan Purnama Tilem.Pakaian merupakan hal utama yang mempengaruhi penampilan

seseorang, berpakaian yang sopan dan rapi adalah cerminan

masyarakat yang baik terutama dalam hal sembahyang ke pura.

Sembahyang sangat identik dengan kesucian, jadi pakaian yang

digunakan dalam sembahyang syaratnya adalah bersih, suci dan

dipakai secara rapi menurut norma kesopanan (Kaler, 2004 : 6).

Menurut Sekar wawancara tanggal 13 April 2010 menjelaskan

bahwa, Keindahan dalam pakaian sembahyang bukanlah syarat yang

utama, baik itu yang bersifat mode, tren, gaul dan sebagainya tidak

menjadi jaminan dalam melaksanakan persembahyangan. Hal utama

yang perlu diperhatikan adalah kebersihan dan kerapian pakaian

saat busana dipakai, ketika berpakaian usahakan tidak mengganggu

gerakan badan, jangan terlalu ketat sehingga dapat mengganggu

pernafasan dan tidak kaku dalam melakukan gerakan yang nantinya

dapat berpengaruh terhadap persembahyangan terutama dalam

melakukan muspa.

Menurut Ratep wawancara tanggal 28 april 2010 menjelaskan

bahwa, selain dapat mempengaruhi diri sendiri, pakaian juga

dapat mempengaruhi pikiran orang lain. Dengan berpakaian yang

ketat, berwarna yang mencolok dapat mengganggu pikiran orang yang

melihatnya. Usahakan pakaian yang digunakan menyesuaikan dengan

ukuran tubuh maksudnya jangan sampai memperlihatkan bentuk atau

lekukan tubuh dengan pakaian yang ketat dan transparan, selain

itu masalah warna janganlah sampai mengundang perhatian orang

artinya pandangan orang selalu tertuju pada objek yang sama

sehingga dapat mengganggu pelaksanaan persembahyangan dan

pemusatan pikiran saat menghubungkan diri pada Tuhan Yang Maha

Esa.

Berpakaian yang bersih, rapi dan sopan akan membuat suasana

persembahyangan menjadi aman dan nyaman. Etika berpakaian dalam

sembahyang perlu kita tekankan, selain untuk menjaga kesucian

pura, etika berpakaian perlu dipahami dan diperhatikan oleh

masyarakat supaya tidak dipakai sebagai ajang mode pakaian yang

baru. Pakaian dengan mode-mode yang baru biasanya sering

dipamerkan dipura saat sembahyang seperti mode kain kebaya,

sapari, destar, saput dan pakaian lainnya dengan harga yang

bersaing. Hal itulah yang harus kita hindari demi kesucian dan

kelestarian budaya Hindu kedepan supaya tidak punah.

4.2.3. Ajaran Ritual atau Upacara dalam Persembahyangan Purnama Tilem.

Menurut Wendra wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan

bahwa, masyarakat Alasngandang dalam melaksanakan suatu ritual

atau upacara keagamaan seperti persembahyangan purnama tilem

sudah cukup bagus. Dilihat dari prosesi pelaksanaan suatu ritual

keagamannya sudah baik dan teratur, hal ini perlu dipertahankan

serta ditingkatkan supaya agama Hindu kedepan tidak merosot

terutama dalam hal ritual atau upacaranya yang paling kelihatan dan

mencolok.

Dalam bukunya Surayin, (2005 : 9) menjelaskan bahwa, upacara

berasal dari kata “upa” yang berarti “berhubungan dengan”, dan

“cara” yang bersal dari kata “car” yang berarti gerak kemudian

mendapat akhiran “a” menjadi kata benda yang berarti gerakan.

Jadi upacara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan gerakan

atau kegiatan, atau dalam kata lain upacara adalah gerakan

(pelaksanaan) dari pada suatu yadnya. Pada umumnya upacara itu

adalah berbentuk materi yang juga disebut “banten”, sebagaimana

diketahui tadnya di Bali selalu dilengkapi dengan sesajen-sesajen

(upakara).

Upacara adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa

sansekerta yang berarti “mendekati”. Disamping berarti mendekati

juga berarti “penghormatan” inti upacara adalah tattwanya memang

suatu aktivitas yang mendekatkan manusia dan alam lingkungannya,

dengan sesamanya dan dengan Tuhannya. Pendekatan dengan alam

lingkungan alam dengan tujuan untuk membangun alam yang Bhutahita

artinya alam linhkungan yang sejahtera (Wiana, 1997 : 37-38).

Disadari bahwa ritual itu merupakan media atau sarana untuk

memudahkan bagi umat untuk dapat sampai kepada Beliau yang di

puja. Selain menggunakan mantra/doa, menggunakan sarana bunga,

dupa, banten dan sebagainya, bahwa ritual itu merupakan satu

paket persembahan dengan berbagai aspeknya. Kuncinya adalah jenis

apapun ritual yang dipersembahkan tentu didasari dengan hati suci

serta tulus ikhlas tanpa mengharapkan alasannya (Subagiasta, 2006

:38). Adapun ritual dalam persembahyangan purnama tilem di Desa

Pakraman Alasngandang adalah sebagai berikut :

4.2.3.1 ..............................................Ritual dalam

Persiapan Sembahyang.

Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan bathin.

Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas

dan sikap tangan. Termasuk dalam persiapan lahir ialah sarana

penunjang sembahyang seperti pakaian yang bersih dan rapi, bunga

dan dupa, sedangkan persiapan bathin ialah ketenangan dan

kesucian pikiran.

Menurut Sekar wawancara tanggal 13 April 2010 menjelaskan

bahwa, langkah-langkah persiapan dan sarana prasarana sembahyang

pertama-tama adalah Asuci Laksana yaitu membersihkan badan dengan

mandi dan keramas, supaya badan kita benar-benar bersih secara

jasmani, karena kebersihan badan dan kesejukan lahir

mempengaruhi ketenangan hati dalam melakukan persembahyngan

terutama dalam memusatkan diri kepada Ida Sang Hyang widhi Wasa.

Langkah selanjutnya adalah kebersihan Pakaian, Pakaian waktu

sembahyang supaya diusahakan pakaian yang bersih serta tidak

mengganggu ketenangan pikiran. Pakaian yang ketat dan warna yang

mencolok dapat mengganggu konsentrasi dalam pemusatan pikiran.

Persiapan selanjutnya adalah menyiapkan sarana penunjang

persembahnyangan seperti : bunga, kuwangen, dupa, canang, banten,

tirtha, bija (wija) dan sarana yang mendukung lainnya. Semua sarana ini

harus suci misalnya bunga yang dipakai harus bunga yang masih

segar. Selain itu adalah kebersihan Pura atau tempat sembahyang

supaya bersih dari sampah atau kotoran-kotoran agar tidak

mengganggu proses atau jalannya persembahyangan tersebut.

Persiapan bhatin sebelum melakukan persembahyangan

meliputi : Pertama, rasa tulus ikhlas dalam melaksanakan

sembahyang. Kedua, kesadaran bathin yang luhur dan suci sesuai

dengan ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu : suci dalam pikiran, suci

dalam perkataan, dan suci dalam perbuatan. Ketiga, bhakti kepada

Ida Sanghyang Widhi Wasa secara pasrah dan utuh. Keempat, kesadaran

melaksanakan sembahyang agar ditujukan pada jalan dharma,

kesucian dan kesejahtraan mahluk serta alam semesta. Dan yang

terakhir meyakini ajaran Tat Tvam Asi yakni memandang semua mahluk

mempunyai hakikat yang sama (Merta, wawancara : 28 April 2010 ).

Sebelum masuk ke areal Pura hendaknya “melukat” terlebih

dahulu dengan memercikkan tirtha kepada diri kita, sebagai simbol

menyucikan diri dan mohon ijin secara niskala. Mangku Siden

menambahkan bahwa umat hendaknya masuk ke Pura melalui pintu

sebelah kiri dan keluar menuju pintu sebelah kanan karena harus

sesuai dengan arah perputaran waktu yang selalu maju.

4.2.3.2 Ritual dalam Puja Tri Sandhya.

Dalam bukunya Titib (2003 : 35) menjelaskan bahwa, Puja Tri

Sandhya merupakan sembahyang wajib yang dilakukanoleh setiap umat

Hindu tiga kali dalam sehari. Dan Puja Tri Sandhya ini juga

dilakukan sebelum melaksanakan muspa Kramaning Sembah khususnya

dalam persembahyangan Purnama Tilem yang dilaksanakan di Desa

Pakraman Alasngandang. Pelaksanaan Puja Tri Sandhya ini dilakukan

secara bersama-sama dan dipimpin oleh pinandita atau Jro Mangku yang

muput pada saat itu.

Puja Tri Sandhya ini dapat dilakukan dengan menggunakan sarana

berupa bunga, dupa, air suci dan sejenisnya. Tetapi bila hal itu

tidak tersedia maka cukup dengan sikap amustikarana yaitu cakupan

dua tangan didada, kedua ibu jari bertemu, empat jari kanan

kemudian ditutup dengan empat jari kiri, tentunya didahului

dengan pranayama (pengaturan nafas) supaya tarikan dan hembusan

nafasnya lembut (Titib, 2003 : 37).

Hal terpenting dalam melakukan puja Tri Sandhya adalah

mengetahui dan mengerti makna mantram-mantram yang diucapkan,

sehingga melalui pemahaman terhadap arti dan makna Puja Tri Sandhya

tersebut maka kita akan lebih mantap, yakin dan khusuk memuja

keagungan Ida Sang Hyang Widhi. ”Masyarakat di Desa Pakraman

Alasngandang sebagian besar belum memahami dan mengerti makna

dari mantram Puja Tri Sandhya yang diucapkan” (Siden, wawancara :

28 April 2010).

Dari hasil wawancara tersebut bahwa pelaksanaan Puja Tri Sandhya

ini harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan yang paling

penting mengetahui dan memahami arti atau makna dari Puja Tri

Sandhya yang dilakukan tersebut. Sehingga apa yang kita harapkan

kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dapat tercapai dengan benar.

Mangku Siden memberi saran, “Dalam melakukan Puja Trisandya baik

sendirian maupun berkelompok hendaknya kita berkonsentrasi dengan

baik, mengikuti desah nafas kita dengan halus dan pelan.

Sepanjang mampu kita bernafas lantunkanlah sloka-sloka tersebut

dengan lemah lembut. Kalau kita melantunkan sloka dengan pikiran,

maka mantram tersebut seperti terkejar-kejar atau belomba-lomba

dan tidak berakhir dengan bersamaan”.

4.2.3.3 Ritual dalam muspa Kramaning Sembah.

Menurut Wendra dalam wawancara tanggal 14 April 2010

menjelaskan bahwa, Kramaning Sembah merupakan Sembahyang yang

dilakukan umat untuk memuja Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dengan segala

Prabhawa/manifestasi kemahakuasaan-Nya, yang dilaksanakan dengan

penuh ketululusan hati, dengan sarana bunga atau kuwangen yang

bertujuan mewujudkan suatu kehidupan yang bahagia dan sejahtera

lahir batin atau Moksartham Jagadhita.

Setelah melakukan Puja Trisandhya, dilanjutkan dengan

melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang bermakna sebagai berikut:

1). Sembah pertama dengan tangan kosong (puyung) yang intinyabertujuan untuk memohon kesucian dan memusatkan pikiran.

2). Sembah kedua, ketiga dan keempat dengan memakai bunga dankawangen dengan tujuan penyampaian rasa hormat kepada Tuhan,penyampaian hormat kepada sifat wujudNya dalam segalamanifestasiNya dan kepada para Dewa, serta penyampaian permohonanmaaf dan permohonan anugrah.

3). Sembah kelima, yaitu sembah tangan kosong yang merupakansembah penutup sebagai rasa terima kasih atas rahmatNya danmengantarkan kembali ke alam gaib (Bajrayasa, Arisufhana & Goda1981 : 29).

Setelah melaksanakan persembahyangan, umat dipercikkan tirtha

wangsuh Ida Bhatara. Tirtha ini dipercikkan 3-7 kali di kepala, 3 kali

diminum dan 3 kali mencuci muka (meraup). Hal ini dimaksudkan

agar pikiran dan hati umat menjadi bersih dan suci. Kebersihan

dan kesucian hati adalah pangkal ketenangan, kedamaian dan

kebahagiaan lahir dan bathin itu sendiri (Sujana & Susila,

2002:31).

Mawija atau mabija dilakukan setelah selesai metirtha yang

merupakan rangkaian terakhir dari suatu persembahyangan. Wija atau

bija adalah biji beras yang dicuci dengan air atau air cendana.

Bila dapat diusahakan beras galih dan tidak patah-patah, yaitu

beras yang utuh tidak patah (aksata). Wija atau bija adalah lambang

Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Jadi, mewija mengadung

makna menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an itu di dalam diri umat

(Sujana & Susila, 2002:31-32).

Menurut Siden wawancara tanggal 14 April 2010 menyatakan

bahwa, dalam melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang dipimpin oleh

Pinandita atau jro mangku, hendaknya umat tidak ikut me-mantram. Hal

ini dianalogikan bahwa Pinandita itu seperti sopir bus, sedangkan

umat adalah penumpang. Sopir akan mengantarkan penumpangnya

sampai tempat tujuan atau terminal. Jika penumpang juga ikut

menyetir akan timbul kegaduhan. Sehingga persembahyangan tidak

menjadi tenang dan menggangu umat lain yang ingin mengadu masalah

hidup kepada Hyang Widhi dan memohon sinar suci-Nya dan tuntunan-

Nya menghadapi masalah. Namun, ikut me-mantram tidak dilarang

karena menurut Mangku Siden bahwa mungkin umat itu tidak sedang

dalam masalah atau ingin belajar menghapalkan mantram tersebut,

asal tidak mengganggu konsentrasi umat lain yang sedang

sembahyang.

Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman

Alasngandang yang dilaksanakan oleh masyarakat Alasngandang

merupakan suatu bentuk persembahan bhakti kepada Tuhan Yang Maha

Esa sebagai penguasa alam dunia besrta isinya. Disamping sebagai

persembahan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, persembahyangan

purnama tilem mengandung nilai-nilai pendidikan yang luhur yang

mencakup beberapa aspek sosial mulai dari nilai sosial relegius,

nilai sosial budaya dan nilai dari sosial ekonominya. Berikut

akan dijelaskan nilai-nilai yang terdapat dalam persembahyangan

purnama tilem tersebut.

Sosial religius berasal dari dua kata yaitu sosial dan

religius. “Sosial” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian

sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat,

kemasyarakatan atau juga suka memperhatikan kepentingan umum

W.J.S Poerwadarminta, (1976 : 961). Sedangkan “religius” berasal

dari kata religi yang artinya kepercayaan kepada Tuhan

Selanjutnya kata religius berarti bersifat religi : bersifat

keagamaan: yang bersangkutan dengan religi (Tim Penyusun, 1991 :

944).

Dalam bukunya Titib (2006 : 258) menyatakan bahywa, inti

tattwa itu adalah kepercayaan kepada Tuhan (Ketuhanan) yang

disebut dengan Ekatwa Anekatwa Svalaksana Bhatara yang artinya Tuhan

itu dalam yang banyak, yang banyak dalam yang Esa. Tattwa adalah

kepercayaan, dalam Hindu kita mengenal lima kepercayaan yang

disebut dengan Panca Sradha yaitu : 1). Percaya terhadap adanya

Tuhan (Widha Tattwa), 2). Percaya terhadap adanya Atman (Atma

Tattwa), 3). Percaya terhadap adanya Hukum Karma (Karma Phala), 4).

Percaya terhadap adanya Punarbhawa (Samsara) dan 5). Percaya

terhadap adanya Moksa (Bersatunya atman dengan Brarman).

Kelima kepercayaan umat Hindu tersebut diatas, kepercayaan

yang paling kuat yang diyakini oleh masyarakat Alasngandang

adalah kepercayaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ini dibuktikan

masyarakat secara teratur melaksanakan persembahyangan untuk

memuja Ida Sanng Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa terutama

pada hari purnama tilem di pura Desa Pakraman Alasngandang.

Menurut Merta wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan

bahwa, kurangnya pemahaman tattwa dan etika dalam masyarakat

Alasngandang pada persembahyangan purnama tilem, dikarenakan

masyarakat Alasngandang masih sangat awam tentang ajaran-ajaran

ketuhanan yang berisikan makna filosofis tentang persembahyangan.

Kalau dilihat dari pengetahuan atau tingkat pendidikannya,

masyarakat Alasngandang masih sangat jauh dengan apa yang

diharapkan. Inilah yang menjadi salah satu kendala dalam

penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu pada pelaksanaan

pemsembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang.

Selain itu kurangnya penyuluhan-penyuluhan agama yang

diberikan pada masyarakat Alasngandang seperti Dharma Wacan dan

Dharma Tula yang dapat meningkatkan pemahaman keagamaan khususnya

dalam hal yadnya yaitu sembahyang. Sembahyang merupakan hal yang

paling penting dilakukan oleh umat Hindu Seperti dalam

Bhagavadgita disebutkan :

Manmana bvaha madbhaktoMadyaji mam namaskuruMam evai syasi vamAtmanam matparayanah

(Bhagavadgita, IX.34)

Artinya :Pusatkanlah pikiranmu padaKu, berbhaktilah kepadaKu, sembahlahAku, sujudlah padaKu, setelah melakukan disiplin pada dirimusendiri dan Aku sebagai tujuan engkau akan datang (mendekat)padaKu (Pudja, 1993 : 150).

Yang dimaksudkan dengan Aku disini adalah Ida Sang Hyang Widhi

Wasa, dan yang dimaksudkan dengan kamu atau engkau adalah umatnya.

Dengan demikian ini berarti bahwa dengan bhakti pada Tuhan

seseorang akan dapat menyatu pada-Nya yang mengakibatkan

kebahagiaan. Betapa pentingnya hal tersebut sehingga penerapan

ajaran tattwa, etika dan ritual dalam persembahyangan purnama tilem

harus dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan konsep Tri

Kerangka Dasar Agama Hindu.

Secara etimologi kata kebudayaan berasal dari kata

dasar ”budaya” yang mendapat proses afiksasi ke-an menjadi

kebudayaan. Menurut kamus umum bahasa Indonesia makna kata

”budaya” berarti pikiran atau akal budi maka secara morfologis

kebudayaan merupakan hal-hal yang berhubungan dengan pikiran atau

akal budi (Poerwadarminta, 1991 : 64).

Dari sudut pandang ilmu antropologi kebudayaan adalah

keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia

dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri

manusia dengan belajar. Kata kebudayaan atau culture berasal dari

kata sansekerta ”buddhayah” yaitu bentuk jamak dari buddhi yang

berarti budi atau akal. Dengan demikian ke-budaya-an dapat

diartikan hal-hal yang berkaitan dengan akal (Koentjaraningrat,

1983 : 182 – 1830).

Sehubungan dengan kebudayaan menurut Koentjaraningrat

menyatakan bahwa agama adalah unsur terpenting didalam membentuk

kebudayaan, dan sistem budaya memiliki empat elemen antara lain :

1). Filsafat keyakinan yang mengendalikan dogma (mindsetting).2). Etika yaitu tatakrama yang dihasilkan dari keyakinan

tersebut.3). Penghayatan sehari-hari dari agama yang berupa (ritual

agama) yang

dimunculkan untuk menyalurkan emosi keagamaan yangmenyertai penghayatan beragama.

4). Para Shadaka atau umat yang meyakini kepercayaan tersebut(Tantera Keramas, 2008 : 28)

Menurut Warsa wawancara tangal 27 April 2010 menjelaskan

bahwa, berbicara tentang sosial budaya pada masyarakat

Alasngandang tidak bisa lepas dari apa yang disebut agama, adat

dan budaya. Di samping ketiga hal tersebut juga tidak bisa

terlepas dengan desa kala patra, sebab sistem pelaksanaan agama, adat

dan budaya selalu berdasarkan tradisi yang berlaku di desa

setempat. Dalam melaksanakan ritual atau sistem kepercayaan,

masyarakat Alasngandang selalu menjungjung kuna dresta dan lokal

dresta sebagai bagian dari budaya masyarakat setempat.

Sistem sosial masyarakat Alasngandang lebih mengedepankan

kebersamaan dan kegotongroyongan dalam menyelesaikan suatu

pekerjaan. Bila ada suatu permasalahan yang muncul dimasyarakat

Alasngandang penyelesaiannya diputuskan menurut adat atau awig-

awig yang telah disepakati oleh masyarakat setempat. Penyelesaian

dimaksud bisa berupa kena sangsi atau didamaikan. Maka

penyelesaian persoalan-persoalan seperti ini sesuai dengan apa

yang diungkapkan oleh Tjok Istri Putra Astiti bahwa penyelesaian

persoalan adat dilandasi oleh tiga azas yaitu azas kerukunan,

azas keselarasan, azas kepatutan. Berdasarkan azas-azas ini pula

para penguasa banjar menyelesaikan suatu persoalan. Ketiga azas

ini selalu menjadi dasar dalam peyelesaian konflik oleh hakim

desa dalam hal ini penghulu desa seperti bendesa adat atau kepala

dusun. Hubungan yang harmonis selalu dipelihara antara prajuru

desa dengan manggalaning dinas dalam hal ini kepala dusun seperti

diungkapkan oleh bendesa adat setempat bahwa hubungan bendesa adat

dengan kepala dusun seperti suami istri, kepala dusun adalah

suaminya dan bendesa adat adalah istrinya maka dalam memutuskan

suatu persoalan selalu berkoordinasi. Maka hubungan sosial

masyarakat Alasngandang selalu berjalan harmonis. Dan setiap

permasalahan selalu diselesaikan oleh kepala dusun yang

didampingi Bendesa Adat dengan mengedepankan azas kerukunan, azas

keselarasan dan azas kepatutan.

Aspek dari kebudayaan dalam melaksanakan persembahyangan

purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang meliputi dua hal yaitu

: budaya dalam busana berpakaian dan budaya dalam sarana

persembahyangan. Budaya didalam busana berpakaian khususnya dalam

persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang

mengedepankan nilai seni dan estetika (keindahan).

Busana yang digunakan dalam sembahyang syaratnya adalah

bersih, suci dan dipakai secara rapi menurut norma kesopanan.

Jadi pada intinya busana didalam melaksanakan persembahyangan

tersebut adalah bersih, suci dan busana tersebut dipakai secara

sopan. Seiring perkembangan zaman dan budaya, busana

persembahyangan selalu memiliki perubahan atau inovasi-inovasi

baru terutama dalam hal estetika atau keindahannya. Perubahan-

perubahan tersebut secara tidak langsung dapat merubah makna dan

kesucian dari busana persembahyangan agama Hindu itu sendiri

(Kaler, 2004 : 6).

Menurut Ratep wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan

bahwa, dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem, busana

masyarakat Alasngandang selalu mengikuti mode atau gaya busana

yang dijadikan tren pada saat itu. Gaya busana itu umumnya di

perlihatkan pada kalangan remaja-remaja yang haus akan penampilan

yang terbaru. Hal ini ditunjukkan dengan pakaian kebaya remaja

putri yang sedikit transparan atau terbuka, selain itu pada busana

putra hal yang menonjol adalah pada busana udeng/destar dan

kekancutan yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Dengan

merubah gaya udeng dan kekancutan tersebut tentunya juga merubah

makna yang terkandung dalam busana agama Hindu tersebut.

Nilai pendidikan seni budaya juga terdapat dalam sarana

upakara pada persembahyangan purnama tilem terutama dalam pembuatan

banten. Banten yang merukapan salah satu upakara yang terpenting

didalam persembahyangan, selalu berpatokan pada makna dan simbol-

simbol yang terkandung dalam pembuatan banten tersebut. Tetapi

dalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang,

banten-banten yang dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa

belum sesuai dengan apa yang diharapkan pada ajaran tattwa agama

Hindu tersebut.

Menurut Karma wawancara 28 April tanggal 2010 menjelaskan

bahwa, banten-banten yang dipersembahkan dalam persembahyangan

purnama tilem oleh masyarakat Alasngandang memiliki nilai

pendidikan budaya yang sangat tinggi. Banten yang dipersembahkan

tersebut kebanyakan masih menggunakan makanan-makanan yang

terbungkus dari plastik, seperti snack atau makanan ringan yang

siap saji. Masyarakat Alasngandang dalam pembuatan banten

persembahan lebih suka menggunakan bahan makanan yang instan atau

siap saji. Sedangkan bahan-bahan yang semestinya dipakai seperti

ketupat, pisang, jaja gina dan jaja uli sudah jarang sekali

dipergunakan. Hal inilah yang perlu dibenahi supaya kebudayaan

tradisional yang syarat dengan simbol dan makna yang berbau

spiritual tersebut supaya tidak hilang ditelan oleh budaya modern

yang serba pkaktis.

Menurut bukunya Prawiro (1990 : 4) menyatakan bahwa, ekonomi

adalah studi tentang usaha manusia dalam kegiatannya memenuhi

kebutuhan hidup. Tantangan berat yang dihadapi oleh masyarakat

dewasa ini adalah tidak hanya menaggulangi krisis moneter dan

krisis ekonomi saja, tetapi juga mengubah paradigma dari Ekonomi

Kapitalis menjadi Ekonomi Kerakyatan (Ekonomi Sosialis). Tentu

saja dalam mengatasi tantangan berat tersebut, diperlukan adanya

komitmen yang kuat untuk menumbuhkan kesadaran baru.

Menurut Ratep wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan

bahwa, pada intinya melaksanakan yadnya harus dilandasi dengan

ketulusikhlasan dan tanpa menghaparkan imbalan. Tetapi kalau

yadnya yang dilaksanakan sampai terasa memberatkan bagi dirinya,

itulah yadnya yang tidak ikhlas. Dilihat dari segi perekonomian

masyarakat Alasngandang tergolong ekonomi menengah kebawah. Hal

ini dilihat dari mata pencahariannya yang kebanyakan seorang

petani. Jadi untuk memenuhi kabutuhan sehari-hari saja masyarakat

Alasngandang terasa sulit, apalagi harus dituntut dengan

melaksanakan yadnya. Dilihat dari tingkat besar kecilnya yadnya

memiliki beberapa tingkatan yaitu :

1. Tingkat Nistaa). Nistaning nistab). Nistaning Madyac). Nistaning Utama

2. Tingkat Madyaa). Madyaning Nistab). Madyaning Madyac). Madyaning Utama

3). Tingkat Utamaa). Utamaning Nistab). Utamaning Madyac). Utamaning Utama Dengan demikian hendaknya dipahami benar mulai dari tingkat

kecil, tengah dan tingkat yang paling utama. Bukan berarti

tingkat yang paling utama itu yang paling baik dan bukan tingkat

nista yang paling buruk. Yadnya itu dilihat dari ketulus

ikhlasannya. Seperti dalam Bhagawadgita Bab IX Sloka 26 disebutkan

bahwa :

Pattram puspam phalam to yam

Yo me bhaktya prayacchatiTad aham bhaktyupahrtamAsnami prayatatmanah

(Bhagavadgita, IX.26)Terjemahannya:Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan kepada-Ku, daun, bunga  buah-buahan atau air, persembahan yang didasari oleh cintadan keluar dari hati suci, Aku terima (Pudja, 1993 : 153).

Yadnya dalam hal ini harus didasari oleh cinta kasih dan

hati yang suci, walaupun hanya bisa mempersembahkan sehelai daun,

sekuntum bunga, sebiji buah dan seteguk air akan diterima oleh

Ida Sang Hayng Widhi Wasa, apabila persembahan tersebut didasari oleh

ketulusan dan kesucian hati. Hal inilah semestinya dijadikan

pedoman supaya didalam melaksanakan yadnya atau persembahan tidak

semata-mata memperlihatkan materi yang dimilikinya. Tetapi dalam

kenyataannya masyarakat Alasngandang dalam melaksanakan

persembahan kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa memiliki rasa

gengsi yang tinggi dalam dirinya. Mereka merasa gengsi jika membawa

banten seadanya ke Pura khususnya pada saat persembahyangan

Purnama Tilem di Desa Pakraman Alasngandang. Masyarakat berlomba-

lomba memperllihatkan dan memamerkan bantennya yang dibawa supaya

tidak merasa kalah saing.

Menurut Siden wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan

bahwa, nilai pendidikan yang terdapat dalam sosial perekonomian

yaitu dalam membuat upakara-upakara untuk sarana persembahyangan

purnama tilem. Terutama dalam hal kecil seperti membuat kuwangen

yang semakin disederhanakan. Didalam kuwangen semestinya

berisikan dua buah uang kepeng atau pis bolong yang melambangkan

windu yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tapi uang kepeng yang asli

belakangan ini sulit dicari dan harganyapun semakin mahal.

Sehingga masyarakat berinisiatif menggantinya dengan alternatif

uang logam biasa dan parahnya lagi diganti dengan uang kertas.

Hal ini tentu akan mengurangi makna dari kuwangen tersebut yang

dipakai sebagai sarana pokok dalam memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Selain dalam hal kuwangen, nilai pendidikan sosial ekonomi

juga berpengaruh pada pembuatan upakara banten pejati yang didalamnya

berisikan banten daksina. Banten daksina merupakan sarana yang sangat

penting dalam melaksanakan suatu upacara keagamaan khususnya pada

persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang. Pada

umumnya dalam pembuatan banten daksina salah satu unsur terpenting

adalah berisikan buah kelapa yang melambangkan Bhuana Agung dan

telor bebek melambangkan Bhuana Alit. Dipakainya telor bebek sebagai

simbol dari Bhuana Alit yang mempunyai makna kebijaksanaan. Tetapi

dalam kenyataannya sebagian besar masyarakat Alasngandang dalam

membuat banten daksina masih menggunakan telor ayam yang harganya

relatif lebih murah dari pada telor bebek. Tentu saja makna yang

tekandung dalam banten daksina yang terbuat dari telor ayam berbeda

dengan makna banten daksina yang terbuat dari telor bebek tersebut

(Merta, wawancara : 28 April 2010).

Nilai pendidikan dalam bidang sosial ekonomi ini lebih

mengarah pada materi yang berupa upakara-upakara persembahyangan.

Upakara-upakara yang dipakai dalam suatu aktivitas keagamaan

seperti ritual persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman

Alasngandang sudah barang tentu memiliki suatu makna dan nilai-

nilai yang terkandung dalam upakara tersebut. Jika upakara-upakara

tersebut dirubah karena keadaan ekonomi masyarakat yang mendesak,

maka makna dan nilai-nilai yang terkandung pada upakara-upakara

tersebut juga berubah.

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data mengenai

Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga di Desa Pakraman

Alasngandang dalam perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

5.2 Saran

Dari uraian diatas, maka dapat disampaikan beberapa saran-

saran yang nantinya dapat dijadikan dasar untuk mendorong atau

memotivasi para pembaca sekalian adalah sebagai berikut:

Anandakusuma Sri Reshi, 2006, Aum Upacara Dewa Yadnya, Surabaya :

PT.KAYUMAS AGUNG

Ayu Ira Dewi, Putu, 2008. Pelaksanaan Persembahyangan Purnama TilemKampus IHD Negeri Denpasar di Singaraja (Perspektif NilaiPendidikan Agama Hindu). IHDN Denpasar.

Bajrasana, I Gede, IB Arisufhana & I Gusti Gede Goda. (1981). Acara

(Sadacara). Jakarta: Departemen Agama RI. Hal. 12-30

Budiono. 2005. Kamus Ilmiah Populer Internasional. Surabaya : Alumni

Surabaya.

Bungin, Burhan. 2001. Metodelogi Penelitian Sosial. Surabaya : Airlangga

University Press

Daryanto, SS. 1998. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Apolo.

Departemen Agama RI, 2005 Kamus Istilah Agama Hindu : Denpasar

Dwi Metriani, 2008. Upacara Pati Wangi Dalam Perkawinan Antar Wangsa DiDesa Gulingan Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung (Kajian NilaiPendidikan Agama Hindu). IHDN Denpasar

Iqbal, H. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta : Gihalva

Indonesia.

Jawi, I Nyoman, 2007. Makna Pelaksanaan Persembahyangan Purnama TilemDalam Meningkatkan Sikap Disiplin Siswa SD Negeri BlahbatuhKecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar IHDN Denpasar.

Kadjeng, I Nyoman, dkk. 1994. Sarasamuscaya, Dengan Teks Bahasa Sansekerta dan

Jawa Kuna. Surabaya : Paramita.

Kaler, Igusti Ketut. 2004, Tuntunan Muspa Bagi UmatHindu, Penerbit Kayu

Mas Agung : Denpasar

______________, 1981, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : PT. Gramedia

, 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta :Aksara Baru

Moleong, Lexy, 1994. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosda

Karya.

Oka Netra, A.A Gde, 1994. Tuntunan Dasar Agama Hindu, Tim Penyusun

PHDI Pusat, 1993, Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia, Jakarta :

Upada Sastra.

PHDI Kabupaten Karangasem, 2009, Filosofis Sembahyang, Arti dan Makna

Sembahyanga. Amlapura

Posrwadarminta, 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai

Pustaka.

Prawiro, Ruslan, 1990. Ekonomi Sumberdaya. Bandung : Penerbit

Alumni

Pudja, Gde, 1993. Bhagavadgita (Pancama Veda). Jakarta : Hanuman

Sakti.

Raka Dherana, Tjokorda. 1982. Pembinaan Awig-Awig Desa Pakraman Dalam Tertib

Masyarakat. Denpasar

Ritzer, George, 1985. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta :

Rajawali.

Rudia Adiputra I Gede, 2004, Dasar-Dasar Agama Hindu, Jakarta : Lestari

Karya Megah

Soehardi, Sigit, 2001. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial – Bisnis – Manajemen,

Yogyakarta : BPFE UST

Subagiasta Iketut, 2008. Sradha dan Bhakti, Surabaya: PARAMITA

, 2006. Teologi,Filsafat, Etika dan Ritul dalam

susastra Hindu, Surabaya: PARAMITA.

Sudaharta ,Tjok Rai,2007 Upadsa Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu, Surabaya :

PARAMITA

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfa Beta.

________, 2007. Metode Penelitian Administrasi, Bandung : CV. Alpabeta

Suhardana, K.M, 2006. Kesejagatan Agama Hindu. Denpasar : PT. PANAKOM.

Sujana, I Made & I Nyoman Susila. (2002). Manggala Upacara. Jakarta:

Departemen Agama RI

Sumantra, I Nengah 2009. Dasar-dasar Pendidikan Agama Hindu, Institut Hindu

Dharma Negeri Denpasar.

Suprayogo, Imam dan Tabroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial Agama.

Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Sura I Gede, 1994. Agama Hindu Sebuah Pengantar, Surabaya : PT.KAYUMAS

AGUNG

Surayin, Ida Ayu Putu. 2004. Melangkah Kearah Persiapan Upakara-upakara

Yadnya. Surabaya : Paramita.

Suwitrayasa, I Nyoman. 2008. Eksistensi Tari Tampyog dan Upacara Piodalan

Purnama Kenem di Pura Puseh Desa Adat Manukaya Let Tampaksiring-Gianyar. IHDN

Denpasar

Tambang Raras Niken, 2004, Purnama Tilem, Surabaya : PARAMITA

Tim Penyusun. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.

Titib, I Made. 2003, Tri Sandhya, Sembahyang dan Berdoa, Surabaya :

Penerbit Paramita.

Wiana, Ketut. 2009. Sembayang Menurut Hindu, Penerbit Yayasan Dharma

Naradha : Denpasar.

, I Ketut,1999. Pelinggih Di Pemerajan, Denpasar:

Upada Sastra.

, Ketut. (2005). Doa Sehari-Hari: Menurut Hindu.

Denpasar: PT Pustaka Manikgeni.

,. 1997. Beragama bukan Hanya Di Pura Agama Hindu

Sebagai Tuntunan Hidup. Denpasar : Yayasan Dhrama Naradha.

Widana, I Ketut, 2009. Esensi Pelaksanaan Persembahyangan Purnama

Tilem Dalam Meningkatkan Kualitas Sraddha Bhakti Sisswa di SD Dangin

Tukap Tahun Pelajaran 2008/2009. IHDN Denpasar.

Widana, Igusti Ketut, 2009. Menjawab Pertanyaan Umat, Denpasar : Pustaka

Bali Post

Yudha, Triguna, 2000, Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma