Hukum transfusi darah dan menjual darah

31
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ilmu dan teknologi, khususnya dalam kedokteran, lahir dan berkembang didorong oleh kebutuhan manusia agar dapat mempertahankan eksistensi dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dikembangkanya ilmu dan teknologi oleh manusia sebagai alat agar manusia dapat menjalankan misinya diatas bumi. Manusia sekurang- kurangnya mengembang 4 (empat) misi, yaitu: pengabdian, kekhalifahan, kerisalahan dan ikhsanisasi. Fungsi pengabdian, disamping berdimensi transdental juga harus tercermin pada dimensi horizontal, yaitu pengabdian kepada sesama manusia dalam bentuk amal saleh. Fungsi kekhalifahan yaitu sebagai wakil Allah mengelola dan mengatur dunia agar tercapai kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Fungsi kerisalahan yaitu menyampaikan Islam sebagai ajaran dan 1

Transcript of Hukum transfusi darah dan menjual darah

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ilmu dan teknologi, khususnya dalam kedokteran,

lahir dan berkembang didorong oleh kebutuhan manusia

agar dapat mempertahankan eksistensi dan memenuhi

kebutuhan hidupnya. Dikembangkanya ilmu dan teknologi

oleh manusia sebagai alat agar manusia dapat

menjalankan misinya diatas bumi. Manusia sekurang-

kurangnya mengembang 4 (empat) misi, yaitu: pengabdian,

kekhalifahan, kerisalahan dan ikhsanisasi.

Fungsi pengabdian, disamping berdimensi

transdental juga harus tercermin pada dimensi

horizontal, yaitu pengabdian kepada sesama manusia

dalam bentuk amal saleh. Fungsi kekhalifahan yaitu

sebagai wakil Allah mengelola dan mengatur dunia agar

tercapai kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Fungsi

kerisalahan yaitu menyampaikan Islam sebagai ajaran dan

1

pedoman hidup manusia untuk mencapai keselamatan dan

kebahagiaan.

Manusia diciptakan Allah sebagai mahluk yang

paling baik strukturnya, paling mulia, melebihi mahluk

lain. Jadi manusia mempunyai potensi yang paling

unggul, termulia apabila dibandingkan dengan mahluk-

mahluk ciptaan allah yang lain. Aktualisasi dari

potensi-potensi yang dimiliki manusia tersebut

merupakan fungsi kodrati yang disebut fungsi

ihsanisasi, termasuk dalam bidang ilmu dan teknologi

kedokteran.

Disamping itu, secara sosiologis, masyarakat telah

lazim melakukan donor darah untuk kepentingan

pelaksanaan transfusi, baik secara sukarela maupun

dengan menjual kepada yang membutuhkannya. Keadaan ini

perlu ditentukan status hukumnya atas dasar kajian

ilmiah. 

Masalah transfusi darah adalah masalah baru dalam

hukum Islam, karena tidak ditemukan hukumnya dalam fiqh

2

pada masa-masa pembentukan hukum Islam. Al-Qur’an dan

Hadits pun sebagai sumber hukum Islam, tidak

menyebutkan hukumnya, sehingga pantaslah hal ini

disebut sebagai masalah ijtihadi, karena untuk

mengetahui hukumnya diperlukan metode-metode istinbath

atau melalui penalaran terhadap prinsip-prinsip umum

agama Islam.

Sebenarnya, transfusi (pemindahan) darah telah

dilakukan oleh para ahli bidang kedokteran sejak

ratusan tahun yang lalu, tepatnya pada abad ke-18. pada

masa itu pengetahuan tentang sirkulasi darah yang

dirintis oleh William harvey masih belum memuaskan.

Dalam kondisi seperti itu pada umumnya transfusi darah

mengalami kegagalan dan banyak mendatangkan kecelakaan

bagi manusia. Namun para ahli tidak henti-hentinya

melakukan percobaan sampai pada suatu saat Dr. Karl

Landsteiner pada tahun 1900 telah menemukan golongan-

golongan darah dan transfusi darah tidak merupakan

pekerjaan yang berbahaya, tetapi sebaliknya menolong

3

jiwa manusia dari ancaman kematian disebabkan

kehilangan darah. 

B. Rumusan Masalah

1. Apa hukum transfusi darah dan bagaimanakah

hubungan antara resipien dan donor darah dari segi

syariah?

2. Bolehkah seseorang menjual darahnya, dan bagaimana

status hukum imbalan ataupun penghargaan materi

yang diterima oleh donor?

3. Bila seorang pasien membutuhkan darah, maka PMI

menjualnya melalui Rumah Sakit kepada pasien

tersebut, bolehkah hal ini secara syariah?

C. Tujuan Penulisan

Dalam pembuatan makalah ini, penulis bertujuan

untuk memaparkan secara jelas dan rinci mengenai hukum

transfusi dan menjual darah menurut syariat islam dan

4

tidak menyalahi atau melanggar peraturan yang telah

ditetapkan baik menurut dalam pandangan Al-quran dan

Al-hadits.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Transfusi Darah

Kata transfusi darah berasal dari bahasa Inggris

“Blood Transfution” yang artinya memasukkan darah orang

lain ke dalam pembuluh darah orang yang akan ditolong.

5

Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan jiwa seseorang

karena kehabisan darah. Menurut Asy-Syekh Husnain

Muhammad Makhluuf merumuskan definisinya sebagai

berikut:[1]

اع ف� ت� و الإ� ن�� ه� لعلإج� م ل� ل ال�د ف� له  ن�� ف� ت� ن�$ سان� ن�� دم الإ� ن�  ب�$ م�

ه ت+� ا ي- اذ� ح� ف� ص لإن�� مري�- لى ال� ح ا� ي- ح ال�ص

Yang artinya “Transfusi darah adalah memanfaatkan darah

manusia, dengan cara memindahkannya dari (tubuh) orang yang sehat

kepada orang yang membutuhkannya, untuk mempertahankan

hidupnya.

Darah yang dibutuhkan untuk keperluan transfusi

adakalanya secara langsung dari donor dan adakalanya

melalui Palang Merah Indonesia (PMI) atau Bank Darah.

Darah yang disimpan pada Bank darah sewaktu-waktu dapat

digunakan untuk kepentingan orang yang memerlukan atas

saran dan pertimbangan dokter ahli, hal ini dimaksudkan

6

agar tidak terjadi kesalahan antara golongan darah

donor dan golongan darah penerimanya.

Oleh karena itu, darah donor dan penerimanya harus

dites kecocokannya sebelum dilakukan transfusi. Adapun

jenis-jenis darah yang dimiliki manusia yaitu golongan

AB, A, B, dan O.

Golongan-golongan yang dipandang sebagai donor

darah adalah sebagai berikut:

Golongan AB dapat memberi darah pada AB

 Golongan A dapat memberi darah pada A dan AB

 Golongan B dapat memberi darah pada B dan AB

Golongan O dapat memberi darah kesemua golongan

darah

Adapun golongan darah dilihat dari segi resipien

atau penerima adalah sebagai berikut:

Golongan AB dapat menerima dari semua golongan

 Golongan A dapat menerima golongan A dan O

Golongan B dapat menerima golongan B dan O

Golongan O hanya dapat menerima golongan darah O

7

Meskipun demikian, sebaiknya transfusi dilakukan

dengan golongan darah yang sama, dan hanya dalam

keadaan terpaksa dapat diberikan darah dari golongan

yang lain.1

B. Syarat Donor dan Transfusi darah Menurut Islam

Syarat Donor dan Transfusi Darah adalah sebagai

berikut :

Tidak menyebabkan kerusakan (kematian pada

diri donor)

Memberikan manfaat (mencegah

kerusakan/kematian) pada akseptor

Donor atau Tranfusi tidak boleh dilakukan

bila menyebabkan kematian pada diri donor

(darah diambil terlalu banyak), meskipun

memberikan manfaat kepada resipien.1 http://ki-stainsamarinda.blogspot.com/ , diakses pada hari rabu, 24 September 2014, (06:23)

8

Donor darah dapat mencegah bahaya yang sudah

pasti (mencegah kerusakan/kematian resipien)2

Bahaya yang timbul akibat donor atau

transfusi dapat di perkirakan

Perbedaan kerugian yang terjadi dan manfaat

yang diperoleh jelas (manfaat lebih besar

dari kerugian)

Donor darah memberikan manfaat yang sangat

besar dan termasuk mendonorkan anggota badan

yang dapat pulih kembali

Pendonor tidak akan mendapat

kerugian/kerusakan yang berarti, bahkan

mendapat manfaat.

Tranfusi darah tidak sama dengan “memakan

darah”

Kerusakan / kerugian akibat tranfusi dapat

diperkirakan dan dicegah dengan adanya

kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.

2 http://maftuhahluluk.wordpress.com/ , diakses pada hari rabu , 24 September 2014, (07:47)

9

C. Hukum Transfusi Darah

Menurut hukum Islam pada dasarnya, darah yang

dikeluarkan dari tubuh manusia termasuk najis

mutawasithah. Maka darah tersebut hukumnya haram untuk

dimakan dan dimanfaatkan, sebagaimana yang terdapat

dalam surat al-Maidah ayat 3:

“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging

hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,..”

Ayat diatas pada dasarnya melarang memakan maupun

mempergunakan darah, baik secara langsung ataupun

tidak. Akan tetapi apabila darah merupakan satu-satunya

jalan untuk menyelamatkan jiwa seseorang yang kehabisan

darah, maka mempergunakan darah dibolehkan dengan jalan

transfusi. Bahkan melaksanakan transfusi darah

dianjurkan demi kesehatan jiwa manusia, sebagaimana

firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 32 yang artinya

sebagai berikut:

10

 “... Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,

Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia

semuanya....”

Yang demikian itu sesuai pula dengan tujuan syariat

Islam, yaitu bahwa sesungguhnya syariat Islam itu baik

dan dasarnya ialah hikmah dan kemaslahatan bagi umat

manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Kemaslahatan yang terkandung dalam mempergunakan

darah dalam transfusi darah adalah untuk menjaga

keselamatan jiwa seseorang yang merupakan hajat manusia

dalam keadaan darurat, karena tidak ada bahan lain yang

dapat dipergunakan untuk menyelamatkan jiwanya. Maka,

dalam hal ini najis seperti darah pun boleh

dipergunakan untuk mempertahankan kehidupan. Misalnya

seseorang yang menderita kekurangan darah karena

kecelakaan, maka dalam hal ini diperbolehkan menerima

darah dari orang lain. Hal tersebut sangat dibutuhkan

(dihajatkan) untuk menolong seseorang yang keadaannya

darurat, sebagaimana keterangan Qaidah Fiqhiyah yang

berbunyi:

11

ه� اص و خ�� Aان��ت� ا ه� ك� ام رورة� ع� له� ال�ض� ل من�ر� ن�ر� N�ه� ت اج$ ح .ال�“Perkara hajat (kebutuhan) menempati posisi darurat (dalam menetapkan

hukum Islam), baik yang bersifat umum maupun yang khusus.”

ه� اج$ ح ع ال� راهه� م� رورة� ولإك� ض� ع ال� رامW م� .لإح� “Tidak ada yang haram bila berhadapan dengan keadaan darurat, dan

tidak ada yang makruh bila berhadapan dengan hajat (kebutuhan).”

Maksud yang terkandung dalam kedua Qaidah tersebut

menunjukkan bahwa Islam membolehkan hal-hal yang makruh

dan yang haram bila berhadapan dengan hajat dan

darurat. Dengan demikian transfusi darah untuk

menyelamatkan seorang pasien dibolehkan karena hajat

dan keadaan darurat.

Kebolehan mempergunakan darah dalam transfusi dapat

dipakai sebagai alasan untuk mempergunakannya kepada

yang lain, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan

kebolehannya. Hukum Islam melarang hal yang demikian,

12

karena dalam hal ini darah hanya dibutuhkan untuk

ditransfer kepada pasien yang membutuhkannya saja,

sesuai dengan kaidah Fiqhiyah:

ا ره� عر� در ن�� ف� رورة� ن�$ لض� ح ل� ي- ن_^ Aا ا .م�“Sesuatu yang dibolehkan karena  darurat dibolehkan hanya sekedar

menghilangkan kedharuratan itu.”

Memang dalam Islam membolehkan memakan darah

binatang bila betul-betul dalam keadaan darurat,

sebagaimana keterangan dalam ayat al-Qur’an yang

berbunyi sebagai berikut:

 “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,

darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut

(nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa

(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)

melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

13

Ayat diatas menunjukkan bahwa bangkai, darah,

daging babi dan binatang yang ketika disembelih disebut

nama selain nama Allah, adalah haram dimakan. Akan

tetapi apabila dalam keadaan terpaksa dan tidak

melampaui batas, maka boleh dimakan dan tidak berdosa

bagi yang memakannya.

Sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan dan tidak

menghendaki kesukaran dalam melaksanakan ajaran-ajaran

agama. Maka penyimpangan terhadap hukum-hukum yang

telah ditetapkan oleh nash dalam keadaan terpaksa dapat

dibenarkan, asal tidak melampaui batas. Keadaan

keterpaksaan dalam darurat tersebut bersifat sementara,

tidak permanen. Ini hanya berlaku selama dalam keadaan

darurat.3

D. Hubungan Antara Donor dan Resipien (Penerima)

Adapun Hubungan antara donor dan resepien setelah

terjadi transfusi darah, tidak membawa akibat hukum ada

3 Ibid; halaman 5

14

hubungan kemahraman (haram kawin), umpamanya dipandang

sebagai saudara sepersusuan. Sebab, faktor-faktor yang

dapat menyebabkan kemahramannya, sudah ditentukan dan

ditetapkan oleh Agama Islam sebagaimana disebutkan

dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu

yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-

saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang

perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-

laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;

ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-

ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu

dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur

dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa

kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak

kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua

perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa

lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(Q.S. An-Nisa’ (4): 23).”

15

Dari ayat tersebut diatas dapat disimpulkan yang

disebut Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya

hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya

sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan

misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau

anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan

sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan

persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan

wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang

sesusuan dan sebagainya. 

Dengan demikian jelas, bahwa transfusi darah tidak

mengakibatkan hubungan kemahraman antara donor darah

dengan resipien (penerima). Karena itu jika si donor

dan resipien ingin mengadakan hubungan perkawinan, maka

tidak ada larangan dalam Agama Islam, bahkan

berdasarkan mafhum mukhalafah surat an-Nisa’ tadi tidak

ada larangan sama sekali.

E. Hukum Menjual Darah serta Hukum Menerima Imbalan

Materi Setelah Donor

16

Jual-beli termasuk salah satu system ekonomi

Islam. Dalam Islam, ekonomi lebih berorientasi kepada

nilai-nilai logika, etika dan persaudaraan, yang

kehadirannya secara keseluruhan hanyalah untuk mengabdi

kepada Allah. Dengan demikian nilai-nilai tersebut

dapat difungsionalkan pada tingkah laku ekonomi manusia

khususnya dan peradaban umat manusia umumnya.

Dari uraian di atas, timbul pertanyaan bagaimana

hukum menjual darah? Padahal sudah diketahui bahwa

darah itu adalah najis? Untuk menjawab pertanyaan

tersebut, sebelumnya dikemukakan hadits Jabir yang

diriwayatkan dalam kedua kitab sahih, Bukhari dan

Muslim. Jabir berkata sebagai berikut yang artinya:

“Rasulullah S.A.W. bersabda, sesungguhnya Allah

dan Rasul-Nya mengharamkan memperjualbelikan khamr,

bangkai, babi, dan berhala. (Lalu Rasul ditanya para

sahabat), bagaimana (orang Yahudi) yang memanfaatkan

minyak bangkai; mereka pergunakan untuk memperbaiki

kapal dan mereka gunakan untuk menyalakan lampu? Rasul

17

menjawab, semoga Allah melaknat orang Yahudi,

diharamkan Minyak (lemak) bangkai bagi mereka, mereka

memperjualbelikannya dan memakan (hasil) harganya.”

Hadits Jabir ini menjelaskan tentang larangan

menjual najis; termasuk didalmnya menjual darah, karena

darah juga termasuk najis sebagaimana yang dijelaskan

oleh Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 3. Menurut hukum

asalnya menjual barang najis adalah Haram. Namun yang

disepakati oleh para Ulama hanyalah khamr atau arak dan

daging babi. Sedangkan memperjualbelikan barang najis

yang bermanfaat bagi manusia, seperti memperjualbelikan

kotoran hewan untuk keperluan pupuk. 

Menurut Mazhab Hanafi dan Dzahiri, Islam

membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya

seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas)

madzhab ini membolehkan jual beli darah manusia karena

besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa sesama

manusia, yang memerlukan transfusi darah. 

18

Namun Imam Syafi’i mengharamkan jual beli benda

najis termasuk darah . Ayat Al-Qur’an menyatakan secara

tegas bahwa darah termasuk benda yang diharamkan.

Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3:

ه ت�$ ر اهلل ن- غ� ل ل� ه� Aا ا يf-ر وم� ن�ر� خ� حم ال� مW ول� ة� وال�د ت� مي- م ال� ك لي- ت� ع� رم� ح�

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai darah, daging

babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain

Allah”. (QS. Al-Maidah ayat 3).

Benda yang diharamkan tidak boleh untuk dijual

belikan. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW yang

artinya: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu, maka

mengharamkan juga harganya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).

19

Memperhatikan dua silang pendapat diatas, maka

jual beli darah adalah sesuatu yang tidak pantas dan

tidak etis. Sebab jika hal ini diperbolehkan, maka

darah dijadikan ajang bisnis oleh manusia. Berkaitan

jual beli darah nampaknya sangat bertentangan dengan

tujuan luhur dari donor darah, yaitu menyelamatkan jiwa

manusia dari kebinasaan. 

Apabila praktik transfusi darah itu memberikan

imbalan sukarela kepada donor atau penghargaan apapun

baik materi maupun non materi tanpa ikatan dan

transaksi, maka hal itu diperbolehkan sebagai hadiah

dan sekedar pengganti makanan ataupun minuman untuk

membantu memulihkan tenaga. Ada baiknya bila pemerintah

memikirkan dan merumuskan kebijakan dalam hal ini

seperti memberikan sertifikat setiap donor yang dapat

dipergunakannya sebagai kartu diskon atau servis ekstra

dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bilamana orang

yang berdonor darah memerlukan pelayanan kesehatan,

atau bahkan mendapatkan pelayanan gratis bilamana ia

20

memerlukan bantuan darah sehingga masyarakat akan rajin

menyumbangkan darahnya sebagai bentuk tolong-menolong

dan benar-benar menjadi tabungan darah baik untuk

dirinya maupun orang lain sehingga terjalin hubungan

yang simbiosis mutualis. 4

F. Pandangan Agama Islam

Masalah donor darah adalah masalah yang baru,

dalam arti kata tidak ditemukan hukumnya pada masa

pembentukan hukum islam, ataupun dalam Al-Qur’an maupun

dalam Hadits, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.

Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang pada akhirnya

menimbulkan hal-hal yang baru, maka masalah seperti

diatas bermunculan dimana-mana dan semuanya menuntut

ada ketentuan hukumnya. Untuk itu para ulama yang

berkompeten berusaha merumuskanya dengan berpegang

kepada prinsip-prinsip umum dari al-Qur’an dan Hadits.

Karena hal yang semacam ini merupakan masalah4 http://www.subkialbughury.com/2010/04/fiqih-

kontemporer-transfusi-darah/ , diakses tanggal 24 September 2014 (10: 47)

21

ijtihadiah, maka merupakan hal yang biasa, jika

didalamnya terdapat perbedaan pendapat yang tidak sama

antara yang satu dengan yang lainya dan tentu pada

akhirnya akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula.

Agama islam tidak melarang seorang muslimin atau

muslimah menyumbangkan darahnya dengan tujuan

kemanusiaan dan bukan komersial. Darah itu dapat

disambungkan secara langsung kepada yang memerlukannya,

seperti untuk keluarga sendiri, atau diserahkan kepada

Palang Merah Indonesia atau bank darah untuk disimpan

dan sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menolong kepada

orang yang memerlukan, ataukah seagama atau tidak.

Demikian juga sebaliknya didonorpun tidak mempersoalkan

tentang penggunaan darah tersebut. Apabila hal ini

dipersoalkan, maka akan mengalami kesukaran bagi

pengelola (Palang Merah), karena penggunaan darah itu

harus memperhatikan juga golongan darah yang

menerimanya.

22

Sebagai dasar hukum yang membolehkan donor darah

ini dapat dilihat dalam kaidah hukum islam berikut:

“bahwa pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh (mubah), kecuali

ada dalil yang mengharamkanya”.

Berdasarkan kaidah tersebut diatas, maka hukum

donor darah itu dibolehkan, karena tidak ada dalil yang

melarangnya, baik al-Qur’an maupun Hadits. Namun

demikian tidak berarti, kebolehan itu dapat dilakukan

tanpa syarat, bebas begitu saja. Sebab bisa saja

terjadi, bahwa sesuatu yang pada awalnya diperbolehkan,

tetapi karena hal-hal yang dapat membahayakan resipien,

maka pada akhinya menjadi terlarang. Umpamanya saja,

donor dalam keadaan berpenyakit menular seperti AIDS

dan penyakit penyakit lainya (yang dapat menular via

darah), maka tranfusi darah menjadi terlarang. oleh

sebab itu, sebelum para donor memberikan darahnya,

harus diperiksa lebih dahulu (bagi yang diduga ada

penyakitnya). 

23

Menjual belikan darah baik secara langsung maupun

melalui rumah sakit dapat dihindarkan karena sebenarnya

transfusi darah terlaksana berkat kerjasama sosial yang

murni subsidi silang melalui koordinasi pemerintah dan

bukan menjadi objek komersial sebagaiman dilarang

Syariat Islam dan bertentangan dengan perikemanusiaan,

sehingga setiap individu tanpa dibatasi status ekonomi

dan sosialnya berkesempatan untuk mendapatkan bantuan

darah setiap saat bilamana membutuhkannya sebab di sini

harus berlaku hukum barang siapa menamam kebaikan maka

ia berhak mendapat pahala dan ganjaran kebaikannya. 

Imam Abu Hanifah dan Zahiri membolehkan menjual-

belikan benda najis yang ada manfaatnya, seperti

kotoran hewan seperti serbuk. Secara analogis mazhab

ini membolehkan jual beli darah karena besar manfaatnya

bagi manusia untuk keperluan transfusi darah untuk

keperluan operasi dan sebagainya. Namun Imam Syafi’i

mengharamkan jual beli benda najis termasuk darah .

Ayat Al-Qur’an menyatakan secara tegas bahwa darah

24

termasuk benda yang diharamkan. Firman Allah dalam

surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya: “Diharamkan bagimu

(memakan) bangkai darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih

atas nama selain Allah”. (QS. Al-Maidah ayat 3).

Benda yang diharamkan tidak boleh untuk dijual

belikan. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW yang

artinya: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu, maka

mengharamkan juga harganya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Memperhatikan dua silang pendapat diatas, maka

jual beli darah adalah sesuatu yang tidak pantas dan

tidak etis. Sebab jika hal ini diperbolehkan, maka

darah dijadikan ajang bisnis oleh manusia. Berkaitan

jual beli darah nampaknya sangat bertentangan dengan

tujuan luhur dari donor darah, yaitu menyelamatkan jiwa

manusia dari kebinasaan.

Seharusnya PMI itu tidak boleh memperjual-belikan

darah karena PMI itu mendapatkan darahnya dari orang

yng ikhlas dan tidak membutuhkan berupa materi. Karena

kalau darah itu diperjual-belikan berarti dia telah

25

menyulitkan orang yang membutuhkan darah. Terutama dia

menyulitkan orang yang tidak mampu untuk membayar

sebuah darah karena darah itu mahal. Selain itu, PMI

juga harus memberikan darah bagi orang yang membutuhkan

dengan gratis atau percuma.

Kalau ditinjau dari segi hukum, maka diantara para

ulama ada yang memperbolehkan jual beli darah,

sebagaimana halnya jual beli barang najis yang ada

manfaatnya, seperti kotoran hewan. Dengan demikian

secara analogis (Qiyas), diperbolehkan

memperjualbelikan darah manusia dan memang besar

manfaatnya untuk menolong jiwa manusia. Pendapat ini

dianut oleh mazhab Hanafi dan Zhahiri.

Kalau dipikir dalam-dalam, maka Palang Merah

Indonesia yang memperjualkanbelikan darah kepada rumah

sakit itu kurang manusiawi, kalau tidak dikatakan tidak

manusiawi, sebab penggunaan darah itu untuk menolong

nyawa Si penderita (secara lahiriyah). Dalam keadaan

yang semacam ini, seharusnya yang bicara nurani, bukan

26

materi yang selalu menonjol. Berbeda halnya kalau uang

dipungut untuk sekedar biaya administrasi, karena darah

itu memerlukan perawatan (pemeliharaan) yang baik

sebelum dipergunakan. 5

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam masalah transfusi darah sebagai penemuan

ilmu dan teknologi kedokteran, hukum Islam bukanlah

hambatan. Hukum Islam cukup fleksibel, transfusi darah

dibolehkan untuk menyelamtkan jiwa seseorang yang

kehabisan darah. bahkan melaksanakan transfusi dalam

keadaan demikian dianjurkan demi menjaga keselamatan

jiwa. Jika pelaksanaannya didasarkan atas pengabdian

kepada Allah, maka ia menjadi ibadat bagi pelaksananya.

Kebolehan transfusi darah disini didasarkan kepada

hajat dalam keadaan darurat, karena tidak ada jalan5 http://nezfine.wordpress.com/transfusi-darah-

menurut-pandangan-islam/ , diakses pada tanggal 24 September 2014 (20:15)

27

lain untuk menyelamatkan jiwa orang itu, kecuali dengan

jalan transfusi.

Demikian pula hukumnya menjual darah untuk

kepentingan pelaksanaan transfusi, Islam

membolehkannya, asal penjualan itu terjangkau oleh

orang yang membutuhkannya. Hal ini berguna untuk biaya

memulihkan kekuatan dan kesehatan setelah darahnya

didonorkan. Akan tetapi apabila penjualannya melampui

batas kemampuan orang yang membutuhkan darah atau untuk

tujuan komersial, jelas hukumnya haram, karena

bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan memberi

kemudharatan kepada orang lain. 

B. Saran

Seharusnya PMI itu tidak boleh memperjual-belikan

darah karena PMI itu mendapatkan darahnya dari orang

yng ikhlas dan tidak membutuhkan berupa materi. Karena

kalau darah itu diperjual-belikan berarti dia telah

menyulitkan orang yang membutuhkan darah. Terutama dia

menyulitkan orang yang tidak mampu untuk membayar

28

sebuah darah karena darah itu mahal. Selain itu, PMI

juga harus memberikan darah bagi orang yang membutuhkan

dengan gratis atau percuma.

Bagi para mahasiswa agar dapat mendonorkan

darahnya untuk kemanusiaan, demi meringankan derita

saudara-saudara kita yang membutuhkan. Janganlah

mengharap imbalan dari resipien karena hal tersebut

bertentangan dengan moral Agama dan Pancasila.

29

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim

Hasan, Ali, Muhammad, Masail Fiqhiyyah Al-Haditsah

“Pada Masalah Kontemporer Hukum Islam”, cet. Pertama,

Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.

Syamsuddin, Pardi, Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet.

kedua, Penerbit: PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997.

http://www.subkialbughury.com/2010/04/fiqih-

kontemporer-transfusi-darah/

Juhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : CV. Haji

Masagung, 1987)

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid (Terj. Imam Ghazali Said

dan Achmad Zaidun), (Jakarta : Pustaka Amani, 2002),

Cet, II

Sabiq, Sayyid, Fiqh Al-Sunnah, Jil. III, (Libanon : Dar

Al-Fikr, 1981)

30

Taufiq, Mohamad, Quran In MS-Word Ver 1.3, 2006. 

31