Hukum transfusi darah dan menjual darah
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Hukum transfusi darah dan menjual darah
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ilmu dan teknologi, khususnya dalam kedokteran,
lahir dan berkembang didorong oleh kebutuhan manusia
agar dapat mempertahankan eksistensi dan memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dikembangkanya ilmu dan teknologi
oleh manusia sebagai alat agar manusia dapat
menjalankan misinya diatas bumi. Manusia sekurang-
kurangnya mengembang 4 (empat) misi, yaitu: pengabdian,
kekhalifahan, kerisalahan dan ikhsanisasi.
Fungsi pengabdian, disamping berdimensi
transdental juga harus tercermin pada dimensi
horizontal, yaitu pengabdian kepada sesama manusia
dalam bentuk amal saleh. Fungsi kekhalifahan yaitu
sebagai wakil Allah mengelola dan mengatur dunia agar
tercapai kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Fungsi
kerisalahan yaitu menyampaikan Islam sebagai ajaran dan
1
pedoman hidup manusia untuk mencapai keselamatan dan
kebahagiaan.
Manusia diciptakan Allah sebagai mahluk yang
paling baik strukturnya, paling mulia, melebihi mahluk
lain. Jadi manusia mempunyai potensi yang paling
unggul, termulia apabila dibandingkan dengan mahluk-
mahluk ciptaan allah yang lain. Aktualisasi dari
potensi-potensi yang dimiliki manusia tersebut
merupakan fungsi kodrati yang disebut fungsi
ihsanisasi, termasuk dalam bidang ilmu dan teknologi
kedokteran.
Disamping itu, secara sosiologis, masyarakat telah
lazim melakukan donor darah untuk kepentingan
pelaksanaan transfusi, baik secara sukarela maupun
dengan menjual kepada yang membutuhkannya. Keadaan ini
perlu ditentukan status hukumnya atas dasar kajian
ilmiah.
Masalah transfusi darah adalah masalah baru dalam
hukum Islam, karena tidak ditemukan hukumnya dalam fiqh
2
pada masa-masa pembentukan hukum Islam. Al-Qur’an dan
Hadits pun sebagai sumber hukum Islam, tidak
menyebutkan hukumnya, sehingga pantaslah hal ini
disebut sebagai masalah ijtihadi, karena untuk
mengetahui hukumnya diperlukan metode-metode istinbath
atau melalui penalaran terhadap prinsip-prinsip umum
agama Islam.
Sebenarnya, transfusi (pemindahan) darah telah
dilakukan oleh para ahli bidang kedokteran sejak
ratusan tahun yang lalu, tepatnya pada abad ke-18. pada
masa itu pengetahuan tentang sirkulasi darah yang
dirintis oleh William harvey masih belum memuaskan.
Dalam kondisi seperti itu pada umumnya transfusi darah
mengalami kegagalan dan banyak mendatangkan kecelakaan
bagi manusia. Namun para ahli tidak henti-hentinya
melakukan percobaan sampai pada suatu saat Dr. Karl
Landsteiner pada tahun 1900 telah menemukan golongan-
golongan darah dan transfusi darah tidak merupakan
pekerjaan yang berbahaya, tetapi sebaliknya menolong
3
jiwa manusia dari ancaman kematian disebabkan
kehilangan darah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa hukum transfusi darah dan bagaimanakah
hubungan antara resipien dan donor darah dari segi
syariah?
2. Bolehkah seseorang menjual darahnya, dan bagaimana
status hukum imbalan ataupun penghargaan materi
yang diterima oleh donor?
3. Bila seorang pasien membutuhkan darah, maka PMI
menjualnya melalui Rumah Sakit kepada pasien
tersebut, bolehkah hal ini secara syariah?
C. Tujuan Penulisan
Dalam pembuatan makalah ini, penulis bertujuan
untuk memaparkan secara jelas dan rinci mengenai hukum
transfusi dan menjual darah menurut syariat islam dan
4
tidak menyalahi atau melanggar peraturan yang telah
ditetapkan baik menurut dalam pandangan Al-quran dan
Al-hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Transfusi Darah
Kata transfusi darah berasal dari bahasa Inggris
“Blood Transfution” yang artinya memasukkan darah orang
lain ke dalam pembuluh darah orang yang akan ditolong.
5
Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan jiwa seseorang
karena kehabisan darah. Menurut Asy-Syekh Husnain
Muhammad Makhluuf merumuskan definisinya sebagai
berikut:[1]
اع ف� ت� و الإ� ن�� ه� لعلإج� م ل� ل ال�د ف� له ن�� ف� ت� ن�$ سان� ن�� دم الإ� ن� ب�$ م�
ه ت+� ا ي- اذ� ح� ف� ص لإن�� مري�- لى ال� ح ا� ي- ح ال�ص
Yang artinya “Transfusi darah adalah memanfaatkan darah
manusia, dengan cara memindahkannya dari (tubuh) orang yang sehat
kepada orang yang membutuhkannya, untuk mempertahankan
hidupnya.
Darah yang dibutuhkan untuk keperluan transfusi
adakalanya secara langsung dari donor dan adakalanya
melalui Palang Merah Indonesia (PMI) atau Bank Darah.
Darah yang disimpan pada Bank darah sewaktu-waktu dapat
digunakan untuk kepentingan orang yang memerlukan atas
saran dan pertimbangan dokter ahli, hal ini dimaksudkan
6
agar tidak terjadi kesalahan antara golongan darah
donor dan golongan darah penerimanya.
Oleh karena itu, darah donor dan penerimanya harus
dites kecocokannya sebelum dilakukan transfusi. Adapun
jenis-jenis darah yang dimiliki manusia yaitu golongan
AB, A, B, dan O.
Golongan-golongan yang dipandang sebagai donor
darah adalah sebagai berikut:
Golongan AB dapat memberi darah pada AB
Golongan A dapat memberi darah pada A dan AB
Golongan B dapat memberi darah pada B dan AB
Golongan O dapat memberi darah kesemua golongan
darah
Adapun golongan darah dilihat dari segi resipien
atau penerima adalah sebagai berikut:
Golongan AB dapat menerima dari semua golongan
Golongan A dapat menerima golongan A dan O
Golongan B dapat menerima golongan B dan O
Golongan O hanya dapat menerima golongan darah O
7
Meskipun demikian, sebaiknya transfusi dilakukan
dengan golongan darah yang sama, dan hanya dalam
keadaan terpaksa dapat diberikan darah dari golongan
yang lain.1
B. Syarat Donor dan Transfusi darah Menurut Islam
Syarat Donor dan Transfusi Darah adalah sebagai
berikut :
Tidak menyebabkan kerusakan (kematian pada
diri donor)
Memberikan manfaat (mencegah
kerusakan/kematian) pada akseptor
Donor atau Tranfusi tidak boleh dilakukan
bila menyebabkan kematian pada diri donor
(darah diambil terlalu banyak), meskipun
memberikan manfaat kepada resipien.1 http://ki-stainsamarinda.blogspot.com/ , diakses pada hari rabu, 24 September 2014, (06:23)
8
Donor darah dapat mencegah bahaya yang sudah
pasti (mencegah kerusakan/kematian resipien)2
Bahaya yang timbul akibat donor atau
transfusi dapat di perkirakan
Perbedaan kerugian yang terjadi dan manfaat
yang diperoleh jelas (manfaat lebih besar
dari kerugian)
Donor darah memberikan manfaat yang sangat
besar dan termasuk mendonorkan anggota badan
yang dapat pulih kembali
Pendonor tidak akan mendapat
kerugian/kerusakan yang berarti, bahkan
mendapat manfaat.
Tranfusi darah tidak sama dengan “memakan
darah”
Kerusakan / kerugian akibat tranfusi dapat
diperkirakan dan dicegah dengan adanya
kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
2 http://maftuhahluluk.wordpress.com/ , diakses pada hari rabu , 24 September 2014, (07:47)
9
C. Hukum Transfusi Darah
Menurut hukum Islam pada dasarnya, darah yang
dikeluarkan dari tubuh manusia termasuk najis
mutawasithah. Maka darah tersebut hukumnya haram untuk
dimakan dan dimanfaatkan, sebagaimana yang terdapat
dalam surat al-Maidah ayat 3:
“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,..”
Ayat diatas pada dasarnya melarang memakan maupun
mempergunakan darah, baik secara langsung ataupun
tidak. Akan tetapi apabila darah merupakan satu-satunya
jalan untuk menyelamatkan jiwa seseorang yang kehabisan
darah, maka mempergunakan darah dibolehkan dengan jalan
transfusi. Bahkan melaksanakan transfusi darah
dianjurkan demi kesehatan jiwa manusia, sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 32 yang artinya
sebagai berikut:
10
“... Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya....”
Yang demikian itu sesuai pula dengan tujuan syariat
Islam, yaitu bahwa sesungguhnya syariat Islam itu baik
dan dasarnya ialah hikmah dan kemaslahatan bagi umat
manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahatan yang terkandung dalam mempergunakan
darah dalam transfusi darah adalah untuk menjaga
keselamatan jiwa seseorang yang merupakan hajat manusia
dalam keadaan darurat, karena tidak ada bahan lain yang
dapat dipergunakan untuk menyelamatkan jiwanya. Maka,
dalam hal ini najis seperti darah pun boleh
dipergunakan untuk mempertahankan kehidupan. Misalnya
seseorang yang menderita kekurangan darah karena
kecelakaan, maka dalam hal ini diperbolehkan menerima
darah dari orang lain. Hal tersebut sangat dibutuhkan
(dihajatkan) untuk menolong seseorang yang keadaannya
darurat, sebagaimana keterangan Qaidah Fiqhiyah yang
berbunyi:
11
ه� اص و خ�� Aان��ت� ا ه� ك� ام رورة� ع� له� ال�ض� ل من�ر� ن�ر� N�ه� ت اج$ ح .ال�“Perkara hajat (kebutuhan) menempati posisi darurat (dalam menetapkan
hukum Islam), baik yang bersifat umum maupun yang khusus.”
ه� اج$ ح ع ال� راهه� م� رورة� ولإك� ض� ع ال� رامW م� .لإح� “Tidak ada yang haram bila berhadapan dengan keadaan darurat, dan
tidak ada yang makruh bila berhadapan dengan hajat (kebutuhan).”
Maksud yang terkandung dalam kedua Qaidah tersebut
menunjukkan bahwa Islam membolehkan hal-hal yang makruh
dan yang haram bila berhadapan dengan hajat dan
darurat. Dengan demikian transfusi darah untuk
menyelamatkan seorang pasien dibolehkan karena hajat
dan keadaan darurat.
Kebolehan mempergunakan darah dalam transfusi dapat
dipakai sebagai alasan untuk mempergunakannya kepada
yang lain, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan
kebolehannya. Hukum Islam melarang hal yang demikian,
12
karena dalam hal ini darah hanya dibutuhkan untuk
ditransfer kepada pasien yang membutuhkannya saja,
sesuai dengan kaidah Fiqhiyah:
ا ره� عر� در ن�� ف� رورة� ن�$ لض� ح ل� ي- ن_^ Aا ا .م�“Sesuatu yang dibolehkan karena darurat dibolehkan hanya sekedar
menghilangkan kedharuratan itu.”
Memang dalam Islam membolehkan memakan darah
binatang bila betul-betul dalam keadaan darurat,
sebagaimana keterangan dalam ayat al-Qur’an yang
berbunyi sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa
(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
13
Ayat diatas menunjukkan bahwa bangkai, darah,
daging babi dan binatang yang ketika disembelih disebut
nama selain nama Allah, adalah haram dimakan. Akan
tetapi apabila dalam keadaan terpaksa dan tidak
melampaui batas, maka boleh dimakan dan tidak berdosa
bagi yang memakannya.
Sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan dan tidak
menghendaki kesukaran dalam melaksanakan ajaran-ajaran
agama. Maka penyimpangan terhadap hukum-hukum yang
telah ditetapkan oleh nash dalam keadaan terpaksa dapat
dibenarkan, asal tidak melampaui batas. Keadaan
keterpaksaan dalam darurat tersebut bersifat sementara,
tidak permanen. Ini hanya berlaku selama dalam keadaan
darurat.3
D. Hubungan Antara Donor dan Resipien (Penerima)
Adapun Hubungan antara donor dan resepien setelah
terjadi transfusi darah, tidak membawa akibat hukum ada
3 Ibid; halaman 5
14
hubungan kemahraman (haram kawin), umpamanya dipandang
sebagai saudara sepersusuan. Sebab, faktor-faktor yang
dapat menyebabkan kemahramannya, sudah ditentukan dan
ditetapkan oleh Agama Islam sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-
saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-
laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-
ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu
dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa
lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Q.S. An-Nisa’ (4): 23).”
15
Dari ayat tersebut diatas dapat disimpulkan yang
disebut Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya
hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya
sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan
misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau
anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan
sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan
persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan
wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang
sesusuan dan sebagainya.
Dengan demikian jelas, bahwa transfusi darah tidak
mengakibatkan hubungan kemahraman antara donor darah
dengan resipien (penerima). Karena itu jika si donor
dan resipien ingin mengadakan hubungan perkawinan, maka
tidak ada larangan dalam Agama Islam, bahkan
berdasarkan mafhum mukhalafah surat an-Nisa’ tadi tidak
ada larangan sama sekali.
E. Hukum Menjual Darah serta Hukum Menerima Imbalan
Materi Setelah Donor
16
Jual-beli termasuk salah satu system ekonomi
Islam. Dalam Islam, ekonomi lebih berorientasi kepada
nilai-nilai logika, etika dan persaudaraan, yang
kehadirannya secara keseluruhan hanyalah untuk mengabdi
kepada Allah. Dengan demikian nilai-nilai tersebut
dapat difungsionalkan pada tingkah laku ekonomi manusia
khususnya dan peradaban umat manusia umumnya.
Dari uraian di atas, timbul pertanyaan bagaimana
hukum menjual darah? Padahal sudah diketahui bahwa
darah itu adalah najis? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, sebelumnya dikemukakan hadits Jabir yang
diriwayatkan dalam kedua kitab sahih, Bukhari dan
Muslim. Jabir berkata sebagai berikut yang artinya:
“Rasulullah S.A.W. bersabda, sesungguhnya Allah
dan Rasul-Nya mengharamkan memperjualbelikan khamr,
bangkai, babi, dan berhala. (Lalu Rasul ditanya para
sahabat), bagaimana (orang Yahudi) yang memanfaatkan
minyak bangkai; mereka pergunakan untuk memperbaiki
kapal dan mereka gunakan untuk menyalakan lampu? Rasul
17
menjawab, semoga Allah melaknat orang Yahudi,
diharamkan Minyak (lemak) bangkai bagi mereka, mereka
memperjualbelikannya dan memakan (hasil) harganya.”
Hadits Jabir ini menjelaskan tentang larangan
menjual najis; termasuk didalmnya menjual darah, karena
darah juga termasuk najis sebagaimana yang dijelaskan
oleh Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 3. Menurut hukum
asalnya menjual barang najis adalah Haram. Namun yang
disepakati oleh para Ulama hanyalah khamr atau arak dan
daging babi. Sedangkan memperjualbelikan barang najis
yang bermanfaat bagi manusia, seperti memperjualbelikan
kotoran hewan untuk keperluan pupuk.
Menurut Mazhab Hanafi dan Dzahiri, Islam
membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya
seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas)
madzhab ini membolehkan jual beli darah manusia karena
besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa sesama
manusia, yang memerlukan transfusi darah.
18
Namun Imam Syafi’i mengharamkan jual beli benda
najis termasuk darah . Ayat Al-Qur’an menyatakan secara
tegas bahwa darah termasuk benda yang diharamkan.
Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3:
ه ت�$ ر اهلل ن- غ� ل ل� ه� Aا ا يf-ر وم� ن�ر� خ� حم ال� مW ول� ة� وال�د ت� مي- م ال� ك لي- ت� ع� رم� ح�
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai darah, daging
babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah”. (QS. Al-Maidah ayat 3).
Benda yang diharamkan tidak boleh untuk dijual
belikan. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW yang
artinya: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu, maka
mengharamkan juga harganya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
19
Memperhatikan dua silang pendapat diatas, maka
jual beli darah adalah sesuatu yang tidak pantas dan
tidak etis. Sebab jika hal ini diperbolehkan, maka
darah dijadikan ajang bisnis oleh manusia. Berkaitan
jual beli darah nampaknya sangat bertentangan dengan
tujuan luhur dari donor darah, yaitu menyelamatkan jiwa
manusia dari kebinasaan.
Apabila praktik transfusi darah itu memberikan
imbalan sukarela kepada donor atau penghargaan apapun
baik materi maupun non materi tanpa ikatan dan
transaksi, maka hal itu diperbolehkan sebagai hadiah
dan sekedar pengganti makanan ataupun minuman untuk
membantu memulihkan tenaga. Ada baiknya bila pemerintah
memikirkan dan merumuskan kebijakan dalam hal ini
seperti memberikan sertifikat setiap donor yang dapat
dipergunakannya sebagai kartu diskon atau servis ekstra
dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bilamana orang
yang berdonor darah memerlukan pelayanan kesehatan,
atau bahkan mendapatkan pelayanan gratis bilamana ia
20
memerlukan bantuan darah sehingga masyarakat akan rajin
menyumbangkan darahnya sebagai bentuk tolong-menolong
dan benar-benar menjadi tabungan darah baik untuk
dirinya maupun orang lain sehingga terjalin hubungan
yang simbiosis mutualis. 4
F. Pandangan Agama Islam
Masalah donor darah adalah masalah yang baru,
dalam arti kata tidak ditemukan hukumnya pada masa
pembentukan hukum islam, ataupun dalam Al-Qur’an maupun
dalam Hadits, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.
Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang pada akhirnya
menimbulkan hal-hal yang baru, maka masalah seperti
diatas bermunculan dimana-mana dan semuanya menuntut
ada ketentuan hukumnya. Untuk itu para ulama yang
berkompeten berusaha merumuskanya dengan berpegang
kepada prinsip-prinsip umum dari al-Qur’an dan Hadits.
Karena hal yang semacam ini merupakan masalah4 http://www.subkialbughury.com/2010/04/fiqih-
kontemporer-transfusi-darah/ , diakses tanggal 24 September 2014 (10: 47)
21
ijtihadiah, maka merupakan hal yang biasa, jika
didalamnya terdapat perbedaan pendapat yang tidak sama
antara yang satu dengan yang lainya dan tentu pada
akhirnya akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula.
Agama islam tidak melarang seorang muslimin atau
muslimah menyumbangkan darahnya dengan tujuan
kemanusiaan dan bukan komersial. Darah itu dapat
disambungkan secara langsung kepada yang memerlukannya,
seperti untuk keluarga sendiri, atau diserahkan kepada
Palang Merah Indonesia atau bank darah untuk disimpan
dan sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menolong kepada
orang yang memerlukan, ataukah seagama atau tidak.
Demikian juga sebaliknya didonorpun tidak mempersoalkan
tentang penggunaan darah tersebut. Apabila hal ini
dipersoalkan, maka akan mengalami kesukaran bagi
pengelola (Palang Merah), karena penggunaan darah itu
harus memperhatikan juga golongan darah yang
menerimanya.
22
Sebagai dasar hukum yang membolehkan donor darah
ini dapat dilihat dalam kaidah hukum islam berikut:
“bahwa pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh (mubah), kecuali
ada dalil yang mengharamkanya”.
Berdasarkan kaidah tersebut diatas, maka hukum
donor darah itu dibolehkan, karena tidak ada dalil yang
melarangnya, baik al-Qur’an maupun Hadits. Namun
demikian tidak berarti, kebolehan itu dapat dilakukan
tanpa syarat, bebas begitu saja. Sebab bisa saja
terjadi, bahwa sesuatu yang pada awalnya diperbolehkan,
tetapi karena hal-hal yang dapat membahayakan resipien,
maka pada akhinya menjadi terlarang. Umpamanya saja,
donor dalam keadaan berpenyakit menular seperti AIDS
dan penyakit penyakit lainya (yang dapat menular via
darah), maka tranfusi darah menjadi terlarang. oleh
sebab itu, sebelum para donor memberikan darahnya,
harus diperiksa lebih dahulu (bagi yang diduga ada
penyakitnya).
23
Menjual belikan darah baik secara langsung maupun
melalui rumah sakit dapat dihindarkan karena sebenarnya
transfusi darah terlaksana berkat kerjasama sosial yang
murni subsidi silang melalui koordinasi pemerintah dan
bukan menjadi objek komersial sebagaiman dilarang
Syariat Islam dan bertentangan dengan perikemanusiaan,
sehingga setiap individu tanpa dibatasi status ekonomi
dan sosialnya berkesempatan untuk mendapatkan bantuan
darah setiap saat bilamana membutuhkannya sebab di sini
harus berlaku hukum barang siapa menamam kebaikan maka
ia berhak mendapat pahala dan ganjaran kebaikannya.
Imam Abu Hanifah dan Zahiri membolehkan menjual-
belikan benda najis yang ada manfaatnya, seperti
kotoran hewan seperti serbuk. Secara analogis mazhab
ini membolehkan jual beli darah karena besar manfaatnya
bagi manusia untuk keperluan transfusi darah untuk
keperluan operasi dan sebagainya. Namun Imam Syafi’i
mengharamkan jual beli benda najis termasuk darah .
Ayat Al-Qur’an menyatakan secara tegas bahwa darah
24
termasuk benda yang diharamkan. Firman Allah dalam
surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya: “Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah”. (QS. Al-Maidah ayat 3).
Benda yang diharamkan tidak boleh untuk dijual
belikan. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW yang
artinya: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu, maka
mengharamkan juga harganya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Memperhatikan dua silang pendapat diatas, maka
jual beli darah adalah sesuatu yang tidak pantas dan
tidak etis. Sebab jika hal ini diperbolehkan, maka
darah dijadikan ajang bisnis oleh manusia. Berkaitan
jual beli darah nampaknya sangat bertentangan dengan
tujuan luhur dari donor darah, yaitu menyelamatkan jiwa
manusia dari kebinasaan.
Seharusnya PMI itu tidak boleh memperjual-belikan
darah karena PMI itu mendapatkan darahnya dari orang
yng ikhlas dan tidak membutuhkan berupa materi. Karena
kalau darah itu diperjual-belikan berarti dia telah
25
menyulitkan orang yang membutuhkan darah. Terutama dia
menyulitkan orang yang tidak mampu untuk membayar
sebuah darah karena darah itu mahal. Selain itu, PMI
juga harus memberikan darah bagi orang yang membutuhkan
dengan gratis atau percuma.
Kalau ditinjau dari segi hukum, maka diantara para
ulama ada yang memperbolehkan jual beli darah,
sebagaimana halnya jual beli barang najis yang ada
manfaatnya, seperti kotoran hewan. Dengan demikian
secara analogis (Qiyas), diperbolehkan
memperjualbelikan darah manusia dan memang besar
manfaatnya untuk menolong jiwa manusia. Pendapat ini
dianut oleh mazhab Hanafi dan Zhahiri.
Kalau dipikir dalam-dalam, maka Palang Merah
Indonesia yang memperjualkanbelikan darah kepada rumah
sakit itu kurang manusiawi, kalau tidak dikatakan tidak
manusiawi, sebab penggunaan darah itu untuk menolong
nyawa Si penderita (secara lahiriyah). Dalam keadaan
yang semacam ini, seharusnya yang bicara nurani, bukan
26
materi yang selalu menonjol. Berbeda halnya kalau uang
dipungut untuk sekedar biaya administrasi, karena darah
itu memerlukan perawatan (pemeliharaan) yang baik
sebelum dipergunakan. 5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam masalah transfusi darah sebagai penemuan
ilmu dan teknologi kedokteran, hukum Islam bukanlah
hambatan. Hukum Islam cukup fleksibel, transfusi darah
dibolehkan untuk menyelamtkan jiwa seseorang yang
kehabisan darah. bahkan melaksanakan transfusi dalam
keadaan demikian dianjurkan demi menjaga keselamatan
jiwa. Jika pelaksanaannya didasarkan atas pengabdian
kepada Allah, maka ia menjadi ibadat bagi pelaksananya.
Kebolehan transfusi darah disini didasarkan kepada
hajat dalam keadaan darurat, karena tidak ada jalan5 http://nezfine.wordpress.com/transfusi-darah-
menurut-pandangan-islam/ , diakses pada tanggal 24 September 2014 (20:15)
27
lain untuk menyelamatkan jiwa orang itu, kecuali dengan
jalan transfusi.
Demikian pula hukumnya menjual darah untuk
kepentingan pelaksanaan transfusi, Islam
membolehkannya, asal penjualan itu terjangkau oleh
orang yang membutuhkannya. Hal ini berguna untuk biaya
memulihkan kekuatan dan kesehatan setelah darahnya
didonorkan. Akan tetapi apabila penjualannya melampui
batas kemampuan orang yang membutuhkan darah atau untuk
tujuan komersial, jelas hukumnya haram, karena
bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan memberi
kemudharatan kepada orang lain.
B. Saran
Seharusnya PMI itu tidak boleh memperjual-belikan
darah karena PMI itu mendapatkan darahnya dari orang
yng ikhlas dan tidak membutuhkan berupa materi. Karena
kalau darah itu diperjual-belikan berarti dia telah
menyulitkan orang yang membutuhkan darah. Terutama dia
menyulitkan orang yang tidak mampu untuk membayar
28
sebuah darah karena darah itu mahal. Selain itu, PMI
juga harus memberikan darah bagi orang yang membutuhkan
dengan gratis atau percuma.
Bagi para mahasiswa agar dapat mendonorkan
darahnya untuk kemanusiaan, demi meringankan derita
saudara-saudara kita yang membutuhkan. Janganlah
mengharap imbalan dari resipien karena hal tersebut
bertentangan dengan moral Agama dan Pancasila.
29
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Hasan, Ali, Muhammad, Masail Fiqhiyyah Al-Haditsah
“Pada Masalah Kontemporer Hukum Islam”, cet. Pertama,
Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Syamsuddin, Pardi, Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet.
kedua, Penerbit: PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997.
http://www.subkialbughury.com/2010/04/fiqih-
kontemporer-transfusi-darah/
Juhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : CV. Haji
Masagung, 1987)
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid (Terj. Imam Ghazali Said
dan Achmad Zaidun), (Jakarta : Pustaka Amani, 2002),
Cet, II
Sabiq, Sayyid, Fiqh Al-Sunnah, Jil. III, (Libanon : Dar
Al-Fikr, 1981)
30