Hipertensi sekunder

45
BAB I PENDAHULUAN Hipertensi sekunder merujuk pada hipertensi arterial dengan penyebab yang dapat diidentifikasi, sehingga berpotensi untuk disembuhkan. Hipertensi sekunder terjadi pada 5-10% populasi yang mengalami hipertensi. 1,2 Sebagian besar pasien usia muda (<40 tahun) memberikan respon yang baik terhadap penanganan spesifik, sedangkan >35% pasien dengan usia yang lebih tua tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. 1 Pada pasien dewasa muda, khususnya wanita, stenosis arteri renalis yang disebabkan displasia fibromuskular merupakan salah satu penyebab hipertensi sekunder yang paling sering, sedangkan pada usia yang lebih tua umumnya disebabkan oleh stenosis arteri renalis aterosklerotik. Pada orang-orang usia pertengahan, aldosteronisme merupakan penyebab hipertensi sekunder yang paling sering ditemukan. Lebih dari 85% anak-anak dengan hipertensi sekunder, dapat diidentifikasi penyebabnya, tersering disebabkan oleh penyakit parenkim ginjal. 2 Hipertensi merupakan keadaan tersering yang ditemukan pada pelayanan kesehatan primer, dapat mengakibatkan infark miokard, stroke, gagal jantung, 1

Transcript of Hipertensi sekunder

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi sekunder merujuk pada hipertensi

arterial dengan penyebab yang dapat diidentifikasi,

sehingga berpotensi untuk disembuhkan. Hipertensi

sekunder terjadi pada 5-10% populasi yang mengalami

hipertensi.1,2 Sebagian besar pasien usia muda (<40

tahun) memberikan respon yang baik terhadap penanganan

spesifik, sedangkan >35% pasien dengan usia yang lebih

tua tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.1

Pada pasien dewasa muda, khususnya wanita, stenosis

arteri renalis yang disebabkan displasia fibromuskular

merupakan salah satu penyebab hipertensi sekunder yang

paling sering, sedangkan pada usia yang lebih tua

umumnya disebabkan oleh stenosis arteri renalis

aterosklerotik. Pada orang-orang usia pertengahan,

aldosteronisme merupakan penyebab hipertensi sekunder

yang paling sering ditemukan. Lebih dari 85% anak-anak

dengan hipertensi sekunder, dapat diidentifikasi

penyebabnya, tersering disebabkan oleh penyakit

parenkim ginjal.2

Hipertensi merupakan keadaan tersering yang

ditemukan pada pelayanan kesehatan primer, dapat

mengakibatkan infark miokard, stroke, gagal jantung,

1

gagal ginjal, dan bahkan kematian jika tidak terdeteksi

sejak dini dan diobati secara tepat.3,4 Hipertensi

sekunder merupakan jenis hipertensi yang terbilang

jarang terjadi sehingga banyak yang beranggapan bahwa

pemeriksaan untuk diagnosis pasti penyakit ini

seringkali menghabiskan waktu dan biaya yang tidak

murah, oleh karena itu hanya pasien dengan gejala

klinis yang jelas yang sering diskrining untuk

menentukan penyakit dasar yang menyebabkan hipertensi

sekunder.1 Pada masa sekarang telah dianggap hal yang

penting untuk mengetahui apakah hipertensi yang terjadi

pada seseorang merupakan suatu proses sekunder. Hal ini

didasarkan bahwa hipertensi sekunder berpotensi untuk

disembuhkan dengan terapi yang spesifik menurut

penyakit dasar yang menjadi etiologi hipertensi, atau

pun hipertensi menjadi lebih mudah dikontrol dengan

obat-obat spesifik. Pada banyak kasus, hipertensi

sekunder yang teridentifikasi umumnya dapat disembuhkan

dan dihindarkan dari kebutuhan terapi jangka panjang

sehingga dapat menekan risiko serta kebutuhan dari

segi finansial.3

Terkait insidensi hipertensi sekunder yang

terbilang sedikit serta luasnya cakupan pemeriksaan

maka menjadi hal yang penting untuk memiliki pedoman

dalam menentukan reversibilitas serta diagnosa etiologi

yang mendasari hipertensi pada seseorang. Tujuan dari

2

referat ini ialah untuk menyajikan gambaran dasar

mengenai penyebab-penyebab yang umum menimbulkan

hipertensi sekunder, diagnosis, serta penanganan yang

direkomendasikan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3

Hipertensi sekunder adalah tipe hipertensi yang

memiliki penyakit dasar sebagai penyebabnya. Hipertensi

tipe ini terjadi pada 5-10% dari populasi yang

diketahui mengalami hipertensi.1,2 Permasalahan yang

sering dihadapi oleh tenaga medis ialah seringkali

sulit memperkirakan diagnosis dari hipertensi sekunder,

meskipun biasanya terdapat gejala klinis yang spesifik

terhadap penyakit dasar tertentu.5

Beberapa kriteria klinis umum yang dapat dijadikan

tanda hipertensi sekunder antara lain:1,5,6

1. Hipertensi dengan onset usia muda (<30 tahun) pada

pasien tanpa faktor risiko (riwayat keluarga,

obesitas, dan lain-lain); peningkatan tekanan darah

pada anak prepubertas.

2. Hipertensi resisten (>140/90 mmHg meskipun telah

mendapat 3 jenis obat antihipertensi, termasuk

didalamnya diuretik).

3. Hipertensi berat (180/110 mmHg) atau hipertensi

emergensi.

4. Peningkatan tekanan darah mendadak pada seseorang

yang sebelumnya memiliki tekanan darah stabil.

5. Terdapat kerusakan organ target (misalnya

hipertrofi ventrikel kiri, retinopati hipertensi,

dan lain-lain).

4

Terdapat banyak daftar penyakit yang mungkin

berpotensi menimbulkan hipertensi sekunder. Dalam

mengidentifikasi penyebab-penyebab tersebut antara lain

dapat diperhatikan distribusi yang muncul berdasarkan

usia seperti yang diuraiakan pada tabel berikut.

Tabel 1. Penyebab paling umum hipertensi sekunder

menurut usia2

Kelompok Usia

Persentasi dari

Hipertensi

Sekunder

Etiologi yang Umum

Anak (0-12 tahun) 70-85 % Penyakit parenkim

ginjal, koartasio

aortaRemaja (12-18

tahun)

10-15% Penyakit parenkim

ginjal, koartasio

aortaDewasa muda (19-39

tahun)

5 % Disfungsi tiroid,

displasia

fibromuskular,

penyakit parenkim

ginjalUsia pertengahan 8-12 % Aldosteronisme,

5

(40-64 tahun) disfungsi tiroid,

obstruktif sleep

apnea, cushing

syndrome,

peokromositomaUsia tua (>65

tahun)

17 % Stenosis arteri

renal

aterosklerotik,

gagal ginjal,

hipotiroid

Pendekatan umum pada pasien yang dicurigai

mengalami hipertensi sekunder pertama kali sebaiknya

dikonfirmasi bahwa pengukuran tekanan darah telah

dilakukan secara akurat dengan metode yang benar,

kemudian evaluasi diet serta medikasi yang diterima

pasien. Hal ini penting oleh karena kelebihan konsumsi

sodium dan alkohol diketahui dapat meningkatkan tekanan

darah, selain itu banyak jenis obat yang dapat

mempengaruhi tekanan darah seperti estrogen,

antiinflamasi nonsteroid, steroid, simpatomimetik, dan

lain-lain. Apabila hal-hal diatas dapat disingkirkan

maka investigasi dapat dilakukan untuk menilai penyebab

fisiologis tertentu.2

6

Gambar 1. Evaluasi Pasien yang Dicurigai Mengalami

Hipertensi Sekunder2

Tabel 2. Tanda dan Gejala Penyakit Dasar Hipertensi

Sekunder1,2

Tanda/Gejala

Penyebab

Hipertensi

Sekunder yang

mungkin

Pilihan tes

diagnostic

Terdapat perbedaan

tekanan darah

Koartasio aorta MRI (pada dewasa)

Transthoracic

7

Konfirmasi akurasi

pemeriksaan tekanan darah, singkirakan

penyebab diet dan medikasi

Anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan laboratorium

Ditemukan tanda klinis

Lihat tabel 2

Tanpa tanda klinis

Anak/Remaja

Urinalisis, kultur urin, USG

renal

Dewasa muda

MRI dengan kontras, CT

arteri renal, TSH

Usia pertengahan

Pemeriksaan renin dan

aldosteron, TSH

Usia tua

MRI dengan kontras, CT arteri renal,

TSH, urinalisis

sistolik antara

lengan dan kaki

atau lengan kanan

dan kiri > 20 mmHg

Nadi femoral

lemah/lambat.

Murmur ejeksi

interskapular

echocardiography

(pada anak-anak)

Tanda/Gejala

Penyebab

Hipertensi

Sekunder yang

mungkin

Pilihan tes

diagnostic

Riwayat

aterosklerosis,

diabetes, merokok,

gagal ginjal,

nokturia

Edema perifer

Pucat

Kehilangan massa

otot

Penurunan kontrol

tekanan darah

Penyakit parenkim

ginjal

Kreatinin serum

USG ginjal

Riwayat

aterosklerosis,

diabetes, merokok

Stenosis arteri

renalis

CT angiografi

Doppler USG arteri

renalis

8

Peningkatan

kreatinin serum

setelah pemberian

ACEI/ARB

Bruit renal

PAD

MRI dengan kontras

Bradikardi/

takikardi

Intoleransi

dingin/panas

Konstipas/diare

Siklus mestruasi

ireguler

Kenaikan/penurunan

berat badan

Kelinan tiroid TSH

Hipokalemia

Kelemahan otot

Poliuri, polidipsi

Aldosteronisme Renin dan

aldosteron level

untuk menghitung

rasio

aldosteron:reninApnea pada saat

tidur

Mengantuk

sepanjang hari

Nyeri kepala pada

pagi hari

Mendengkur

Obesitas

Obstructive sleep

apnea

Polisomnografi

Sleep apnea clinical score

dengan nighttime pulse

oximetry

9

Peningkatan

lingkar leher

Tanda/Gejala

Penyebab

Hipertensi

Sekunder yang

mungkin

Pilihan tes

diagnostic

Kemerahan/

flushing

Nyeri kepala

Tekanan darah

labil

Hipotensi

ortostatik

Palpitasi

Keringatan

Sinkop

Peokromositoma Fraksi metanefrin

pada urin 24 jam

Metanefrin bebas

dalam plasma

Obesitas sentral

Moon facies

Striae

Cushing syndrome Kortisol dalam

urin 24 jam

Supresi

deksametason dosis

rendah

A. Hipertensi Renal

Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada

penyakit ginjal akut maupun penyakit ginjal kronik,

baik pada kelainan glomerulus maupun pada kelainan

10

vaskular. Umumnya, kenaikan tekanan darah terjadi

karena respon sistem renin-angiotensin-aldosteron

(RAA).7

1. Penyakit Parenkim Ginjal

Pada banyak penelitian telah ditemukan hubungan

berarti antara penyakit parenkim ginjal

(penyakit ginjal kronik) dan hipertensi

sistemik. Insiden glomerulonefritis akut dan

kronik, penyakit ginjal polikistik, nefropati

diabetik, dan hidronefrosis umum terjadi dalam

populasi. Penyakit yang meningkat dengan pesat

ialah penyakit ginjal diabetik dan hipertensi.3

Penyakit parenkim ginjal merupakan salah satu

penyebab paling umum dari hipertensi sekunder.

Infeksi kronis akan merusak parenkim ginjal dan

pada akhirnya membentuk jaringan parut. Jaringan

parut itu akan menarik jaringn sekitarnya

termasuk jaringan vaskular arteri interlobaris

yang akan mengganggu vaskularisasi ginjal yang

berakibat timbulnya hipertensi. Tumor pada

parenkim ginjal akan menekan dan mendesak arteri

intra renal, menimbulkan iskemi parenkim

apparatus jukstaglomerular dan hiperfungsi sel

jukstaglomerular dalam memproduksi renin,

akibatnya angiotensin II dalam darah meninggi

hingga terjadi hipertensi renal. Ginjal

11

polikistik dapat menyebabkan hipertensi karena

kista yang besar dapat menekan arteri intra

renal terutama daerah korteks sehingga timbul

iskemi parenkim dan glomerular, akibatnya renin

meningkat. Selain itu, terjadi retensi air dan

garam yang menyebabkan cairan ekstaseluler

bertambah.8,9

Pemeriksaan USG ginjal merupakan pemeriksaan

penting pada penyakit ini. Hipertensi serta

terabanya masa di abdomen pada pemeriksaan fisik

diindikasikan untuk dilakukan USG guna menemukan

penyakit ginjal polikistik, Obstruktif uropati

juga didiagnosis dengan modalitas ini. Urin

abnormal seperti proteinuria dan hematuria juga

dapat menjadi indikasi dilakukannya pemeriksn

USG guna menilai ukuran ginjal. Kesulitannya

ialah proteinuria serta penurunan laju filtrasi

glomerulus mungkin disebabkan kerusakan organ

target sebagai akibat hipertensi yang telah ada

sebelumnya, di sisi lain hipertensi mungkin

terjadi sebagai hasil dari kerusakan parenkim

ginjal.5

2. Penyakit Renovaskular

Hipertensi renovaskular ditemukan pada 1-5%

populasi yang mengalami hipertensi, dengan 20-

12

40% kasus merupakan kelainan berat.3 Hipertensi

sekunder banyak terjadi akibat kelainan pembuluh

darah ginjal terutama pada cabang besar.8

Hipertensi renovaskular adalah konsekuensi

klinis akibat kelebihan stimulasi sistem renin-

angiotensin-aldosteron. Stenosis arteri renalis

akan menyebabkan timbulnya iskemia ginjal

sehingga memicu pelepasan renin dari sel

jukstaglomerular ginjal, akibatnya terjadi

hipertensi sekunder. Pelepasan renin memicu

sistem kaskade yang mana renin mempromosikan

konversi angiotensinogen menjadi angiotensin I

yang selanjutnya menjadi angiotensin II dan

meningkatkan pelepasan aldosteron dari kelenjar

adrenal. Angiotensin II menyebabkan

vasokonstriksi berat dan pelepasan aldosteron

meningkatkan retensi sodium dan air, keduanya

menimbulkan kenaikan tekanan darah.3

Displasia fibromuskular pada orang muda serta

aterosklerosis pada orang tua yang mengenai

pembuluh darah ginjal yang berasal dari aorta

merupakan penyebab paling umum dari hipertensi

renovaskular. Hal ini karena kelainan-kelainan

tersebut menyebabkan stenosis pada arteri ekstra

renal sehingga menekan aliran darah menuju

ginjal.3,8

13

Satu-satunya tanda klinis yang dapat ditemukan

pada kelainan ini ialah peningkatan tekanan

darah secara mendadak serta sulit diatasi dengan

antihipertensi. Ditemukannya bruit pada

auskultasi abdomen, hipokalemia, serta penurunan

progresif fungsi ginjal dapat memperkuat

kecurigaan pada kondisi ini meskipun umumnya

jarang ditemukan. CT, MRI, captopril

scintigrafi, dan Doppler ultrasound merupakan

pemeriksaan noninfasif untuk mendeteksi stenosis

arteri renal. 5

3. Vaskulitis Intrarenal

Vaskulitis dapat melibatkan pembuluh darah

intrarenal dan mungkin memiliki hubungan dengan

beragam lesi di ginjal. Ginjal sering mengalami

vaskulitis pada pembuluh-pembuluh darah kecil,

misalnya pada poliangitis mikroskopik, wegener’s

granulomatosis, Henoch-Schonlein purpura, dan vaskulitis

cryoglobuinemia. Vaskulitis menyebabkan

disfungsi ginjal dengan menginduksi inflamasi

glomerular dengan nefritis dan gagal ginjal.

Vaskulitis pada pembuluh darah besar seperti

giant cell arthritis dan Takayasu’s arteritis jarang

menimbulkan cedera ginjal, meskipun demikian

dapat menimbulkan iskemia sekunder pada arteri

14

ginjal dan aorta abdominal sehingga dapat

meningkatkan tekanan darah.3

Demam, malaise, penurunan berat badan, dan

hipertensi merupakan tanda dan gejala yang umum

ditemukan pada vaskulitis intrarenal. Biopsi

ginjal sering dibutuhkan untuk mengidentifikasi

keadaan patologi. Kombinasi kortikosteroid oral

dan siklofosfamid oral terbukti efektif dalam

mengendalikan penyakit ini pada 90% kasus. Obat

imunosupresif baru (mycophenolate), modulator

antibody monoclonal dari limfosit (rituximab),

dan sitokin (inflixmab dan eternacept) adalah

terapi alternative dengan potensi spesifitas

yang lebih baik untuk inflamasi dan penyebab

imunologi dari vaskulitis.3

4. Renin producing tumor

Penyebab lain hipertensi sekunder dengan

gambaran yang mirip dengan hipertensi

renovaskular ialah renin secreting tumor. Tumor

biasanya muncul dari sel juxtaglomerular ada

ginjal. Pasien menunjukkan hipertensi dan

hipokalemia, serta seperti tipe lain dari

aldosteronisme sekunder, aktivitas renin plasma

dan konsentrasi aldosteron plasma dapat

meningkat dengan rasio aldosteron berbanding

15

renin yang normal atau menurun. Penyakit ini

sering didiagnosis setelah sumber kelaianan

renovaskular tidak ditemukan. Lokasi tumor

intrarenal juga dapat ditemukan seperti di

adrenal, kolon, paru-paru, ovarium, dan

pankreas. Oleh karena itu maka dibutuhkan

pencitraan abdomen maupun pelvis. Terapi kuratif

penyakit ini ialah pembedahan eksisi.3

5. Retensi Sodium Primer (Liddle’s syndrome)

Liddle’s syndrome adalah kelainan familial dengan

karakteristik berupa hipertensi, alkalosis

metabolik, serta kehilangan potassium melalui

urin. Hipertensi biasanya mulai terjadi selama

masa remaja, tetapi onset mungkin muncul lebih

awal. Hipokalemia tidak umum ditemukan. Gejala

klinis seperti kelemahan, parestesia, nyeri

epigastrium, poliuri, polidipsi, dan paralisis

akut mungkin ditemukan. Nilai renin dan

aldosteron plasma menurun. Dalam pengobatan,

obat yang menghambat reabsorbsi sodium pada

tubulus distal seperti triamteren mungkin

efektif. Liddle’s syndrome dapat disembuhkan dengan

transplantasi ginjal.3

6. Peningkatan Volume Intravaskular

16

Overload volume sering dihubungkan dengan

peningkatan prevalensi hipertensi tak terkontrol

pada pasien gagal ginjal. Hipervolemia yang

terindikasi oleh pelebaran diameter vena cava

inferior merupakan faktor risiko hipertensi tak

terkontrol dan peningkatan indeks massa

ventricular kiri. Pembatasan intake garam

mungkin dapat mencegah overload volume

intravaskular pada pasien dengan peritoneal

dialisis.3

B. Hipertensi Endokrin

1. Akromegali

Akromegali umumnya disebabkan oleh tumor pada

kelenjar pituitari yang memproduksi growth hormon

(GH), sering termanifestasikan pada dekade

ketiga hingga kelima kehidupan. Penyebab lain

seperti kanker paru sel kecil dan kanker

pankreas. Oversekresi GH dan insulin like growth faktor-

1 (IGF-1) mempengaruhi manifestasi

kardiovaskular yang ditandai dengan peningkatan

cardiac output, penurunan resistensi perifer yang

diikuti dengan peningkatan massa miokardium

serta hipertrofi biventricular. Keadaan tersebut

menghasilkan hipertensi, disfungsi diastolik,

17

penyakit aterosklerotik, dan pada kasus yang

berat dapat terjadi kardiomiopati dilatasi.3

Pengobatan yang dapat dilakukan meliputi

pembedahan, radiasi, dn terapi medikasi.

Microsurgical transsphenoidal resection menunjukkan

keberhasilan dalam menurunkan GH secara bertahap

dalam waktu diatas 2 tahun. Terapi penunjang

berupa radiasi dan medikasi dibutuhkan pada

kasus tertentu. Medikasi yang dapat digunakan

seperti analog somatostatin (ocreotide), agonis

dopamine (bromokriptin, pergolid) dan antagonis

reseptor GH (pegvisomant).3

2. Hipertiroid

Penyebab paling umum dari hipertiroid meliputi

Grave’s disease, dan overtreatment dengan hormon

tiroid. Gambaran klinis hipertiroid berupa

keadaan hiperadrenergik berupa palpitasi,

tremor, dispnea, fatigue, angina,

hiperaktifitas, insomnia, intoleransi panas,

penurunan berat badan meski dengan nafsu makan

yang meningkat, nokturia, diare, oligomenorea,

dan emosional yang labil. Pada pemeriksaan fisik

dapat ditemukan takikardi, hipertensi,

18

hipertermia, kulit yang lembab, lid lag, refleks

yang cepat, dan prekordium hiperdinamik. Bunyi

jantung satu yang mengeras dengan komponen

pulmonal yang menonjol pada bunyi jantung dua,

bunyi jantung tiga dan murmur middiastolik

mungkin dapat terdengar. Peningkatan cardiac

output dan kontrktilitas miokardium dengan

penurunan resistensi vaskular dan pelebran

tekanan nadi merupakan tanda yang juga mungkin

ditemukan. Pada beberapa kasus, gejala klinis

dapat tidak ditemukan sehingga diagnosis sulit

ditegakkan. Pemeriksaan dengan hasil penurunan

thyroid stimulating hormon (TSH) memiliki

sensitivitas yang tinggi, terlebih jika

dikombinasikan dengan kenaian T4 bebas atau

indeks T4. Beta-blocker adalah pilihan medikasi

untuk mengendalikan gejala hiperadrenergik.

Diuretik bermanfaat apabila ditemukan gagal

jantung dan hipertensi. Euvolemia perlu

dikondisikan pada pasien dengan retensi cairan

sebelum memulai terapi beta-blocker. Digoksin

juga dapat menjadi terapi alternative.

Methimazole dan propythiouracil diikuti terapi

ablative dengan iodine radioaktif atau

pembedahan diindikasikan pada keadaan

hipertiroid.3

19

3. Hipotiroid

Hipertensi diastolik terjadi pada 20% pasien

hipotiroid, dapat menimbulkan iskemia koroner.

Penggntian hormon tiroid biasanya dapat

menormalkan tekanan darah. Elektrokardiogram

pada pasien ini dapat beragam dari sinus

bradikardi hinggal low voltage QRS dan perubahan

nonspesifik segmen ST. Peningkatan TSH adalah

tes sensitive untuk mendeteksi hipotiroid.

Pengobatan yang dapat diberikan berupa

levothyroxine. Hipertiroid biasanya dapat

dikoreksi dengan terapi suplementasi hormon

tiroid. Apabila hipertensi menetap maka

diuretik, dihidropiridin calcium canal blocker,

ACE inhibitors atau angiotensin receptor

blockers bekerja cukup efektif.3

4. Hiperparatiroid

Hiperparatiroid primer sering bermanifestasi

sebagai hiperkalsemia disertai gejala

nonspesifik seperti kelemahan, letargi, rasa

tidak nyaman pada abdomen, dan konstipasi. Pada

pasien juga dapat dijumpai hipertensi.

Patofisiologi dasar hipertensi pada

hiperparatiroid belum dapat dipahami secara

20

jelas, namun hormon paratiroid memiliki peranan

penting sebagai vasokonstriksi dan

nefrosklerosis.3

Peningkatan kadar kalsium memiliki efek

signifikan terhadap bantalan vaskular hingga

akhirnya dapat menjadi hipertensi. Hormon

paratiroid menginduksi influx kalsium yang

mungkin menyebabkan nekrosis miosit, deposisi

kalsium pada bantalan vaskular koroner, dan

aterosklerosis premature. Hiperkalsemia dengan

kadar kalsium diatas 11 mg/dl terkait kadar

normal dan peningkatan kadar hormon paratiroid

mengarahkan pada diagnosis hiperparatiroid.

Pemberian tiazid dapat menunjukkan keadaan

hiperparatiroid. Pembedahan dengan mengangkat

kelenjar paratiroid atau adenoma merupakan

terapi definitive untuk hiperparatiroid.

Hipertensi biasanya teratasi dengan normalisasi

hormon paratiroid. Apabila hipertensi menetap

maka perlu dilakukan pembedahan yang diikuti

dengan medikasi selain pemberian tiazid.3

5. Cushing’s Syndrome

Prevalensi cushing’s syndrome berkisar antara

1,4-10 tiap 1 juta populasi, meningkat pada

populasi dengan obesitas dan diabetes tak

21

terkontrol menjadi diatas 3 hingga 4%. Gambaran

klasik kelainan ini ialah moon facies, striae

ungu, dan obesitas sentral. Namun, gambaran

tersebut jarang ditemukan. Cushing’s syndrome

sebagai diagnosis penyakit perlu dipertimbangkan

apabila ditemukan osteoporosis, kelemahan otot,

ekimosis, hipokalemia, obesitas sentral,

plethora, tekanan darah diastolik >105 mmHg,

striae merah, acne, edema, hirsutisme,

oligomenorea, dan toleransi glukosa terganggu.3

Pada 80-85% kasus ditemukan hipertensi dan

faktor risiko lain aterosklerosis seperti

hiperglikemia dan dislipidemia. Pada beberapa

kasus dapat ditemukan infark miokardium, stroke,

dan gagal jantung.3,5,10

Hipertrofi ventrikel kiri dan disfungsi

diastolik mungkin menghasilkan aktivasi jalur

renin angiotensin. Mekanisme lain cushing’s

syndrome menyebabkan hipertensi meliputi

inhibisi prostasilin, vasodilator kuat, dan

ikatan kortisol pada reseptor glukokortikoid

spesifik yang selanjutnya menginisiasi efek

hormon terhadap jantung, ginjal, dan jaringan

vaskular. Pergeseran volume ekstraseluler dan

keseimbangan air dan garam tidak didapatkan pada

hipertensi glukokortikoid. Pseudo-cushing dapat

22

terjadi pada penyakit medis akut dan kronik,

penyakit psikiatri, atau alkoholisme. Keadaan

preklinik cushing’s syndrome dapat terjadi pada

seseorang dengan incidentaloma adrenal.

Penggunaan glukokortikoid eksogen merupakan

diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan

pada cushing’s syndrome.3

Langkah pertama dalam diagnosis cushing’s

syndrome adalah untuk menilai gambaran klinis.

Jika ditemukan hiperglikemia, hipertensi,

tampilan fisik yang mengarahkan pada cushing’s

syndrome selama hipokalemia dapat menjadi

langkah awal menentukan penyebab. Tes supresi

deksametason pada malam hari memiliki

sensitivitas 98-99%, pengukuran kortisol bebas

pada urin 24 jam memiliki sensitifitas 95-99%

dan spesifits 98%. Kadar kortisol >5µg/dl setelh

tes supresi deksmetason dan kadar kortisol

>300µg/hari pada pemeriksaan urin 24 jam dapat

mengarahkan pada diagnosis cushing’s syndrome.

Pengobatan cushing’s syndrome dilakukan dengan

terapi spesifik terhadap penyebab seperti

pembedahan untuk mengangkat adrenal, kemoterapi,

dan pembedahan pituitri. Terapi medikasi

meliputi metyrapone, bromokriptin, dan

ketokonazol. Pengobatan hipertensi sekunder

23

dengan cara mengatasi kelebihan kortisol,

menghindari pemberian diuretik yang dapat

mendeplesi kadar potassium, dan menggunakan agen

untuk memblok aksis renin angiotensin.3

6. Hiperaldosteronisme Primer

Aldosteronisme primer ditemukan pada 9,1 % dari

seluruh pasien dengan hipertensi. Sekitar 30%

kasus ini disebabkan oleh tumor (Conn syndrome)

dan 70% disebabkan hiperplasia adrenal.3

Pada pasien dengan hiperaldosteronisme primer

sering ditemukan hipokalemia. Tekanan darah

secara moderat meningkat disertai nyeri kepala,

pada tahap lanjut dapat menjadi hipertensi

malignan. Gejala hipokalemia seperti kelemahan

otot, parestesia, tetani dan paralisis mungkin

juga ditemukan. Pada incidentaloma adrenal,

identifikasi hiperaldosteronisme primer pada

pasien dengan hipertensi sangat penting karena

dibutuhkan terapi spesifik. Pembedahan dapat

menjadi terapi definitif. Pada pasien dengan

idiopatik hiperaldosteronisme, pemberian

antihipertensi spironolakton dapat mengontrol

tekanan darah sehingga mencegah kerusakan organ

target.3,10

24

Untuk penegakan diagnosis dilakukan penilaian

rasio aldosteron berbanding renin, meskipun

kegunaannya masih diperdebatkan. Pengangkatan

adenoma dapat mengurangi tekanan darah secara

signifikan. Spironolakton preoperatif dapat

mengurangi hipoaldosteronisme dan hipokalemi

posoperatif. Kesuksesan operasi sekitar 70% dan

pengobatan hipertensi perlu dilanjutkan hingga 3

bulan posoperatif. Pada semua kondisi kelebihan

mineralkortikoid yang lain pemberian

spironolakton dengan dosis 25-400 mg adalah

terapi efektif, membutuhkan sekitar 2 bulan

untuk normalisasi tekanan darah.3

7. Peokromositoma

Peokromositoma adalah tumor neuroendokrin yang

berkembang dari medulla adrenal pada neuron

ganglionik simpatetik. Tumor yang berkembang

dari jaringan kromafin ekstraadrenal merujuk

pada paraganglioma atau peokromositoma

ekstraadrenal. Tumor ini memproduksi

katekolamin. Prevalensi peokromositoma sekitar

0,1 hingga 6 % dari pasien hipertensi.

Peokromositoma herediter terjadi pada von

Hippel-Landau syndrome, neoplasia endokrin

25

multiple tipe 1, dan paraganglioma familial.

Riwayat tumor pada keluarga berhubungan dengan

risiko 10-15% tumor diderita oleh anggota

keluarga yang lain. Kurang dari 10% dari semua

peokromositoma adalah malignan.3,10

Hipertensi sekunder yang terjadi sebagai akibat

peokromositoma dapat stabil atau paroksismal,

disertai nyeri kepala, berkeringat, pucat, dan

palpitasi, takikardi, dan serangan panik. Gejala

lain yang dapat ditemukan seperti tremor, mual,

nyeri abdomen dan dada, hipotensi ortostatik,

intoleransi glukosa, dan penurunan berat badan.

Diagnosis ditegakkan dengan kenaikan katekolamin

atau metabolitnya dalam plasma maupun urin.

Apabila kenaikan hanya sedikit maka perlu

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti

pemeriksaan kromogranin A. Setelah diagnosis

ditegakkan maka perlu ditemukan lokasi tumor.

MRI atau CT scan dapat mendeteksi nodul >1cm

pada peokromositoma adrenal. 90% dari tumor ini

terletak di kelenjar adrenal dan 98% di

abdomen.3,5 Pengendalian tekanan darah dan volume

intravaskular adalah dua hal utama yang perlu

diperhatikan selama menunggu tes konfirmatif.

Alpha-blocker seperti fenoksibenzamin,

terazosin, dan doksazosin dapat digunakan untuk

26

mengatasi konstriksi vaskular kronik. Calcium

canal blocker juga dapat membantu mengontrol

tekanan darah dan meminimalkan vasospaseme.

Beta-blocker juga dapat membantu tetapi hanya

setelah pengobatan adekuat dengan alpha-blocker

untuk mencegah vasokonstriksi dan hipertensi

krisis terkait reseptor alpha.3

8. Carcinoid Syndrome

Carcinoid syndrome adalah penyebab hipertensi

sekunder yang jarang, umumnya terjadi pada usus

kecil dan apendiks (60% kasus), dapat pula

terjadi pada bronkus, testis, traktus bilier,

pankreas, dan ovarium. Gambaran klini kondisi

ini meliputi penurunan berat badan, sensasi

terbakar, diare, hipertensi, bronkokonstriksi,

dan plak fibrosa endokardium. Manifestasi

tersebut muncul sebagai hasil tumor karsinoid

mensekresikan sejumlah besar serotonin,

bradikinin, dan neurohormon lain. Tes diagnosis

untuk kondisi ini meliputi rontgen dada,

ekokardiografi, dan kadar 5 hydroxyindole acetic

acid (metabolit utama serotonin). Carcinoid

syndrome yang mempengaruhi jantung memiliki

prognosis yang buruk. Pengobatan yang dapat

dilakukan dengn analog somatostatin, antagonis

27

serotonin, dan alpha adrenergic bloker. Ketika

digoksin dan diuretik sangat berguna pada

penanganan gagal jantung kanan dan alpha blocker

bermanfaat dalam mengatasi hipertensi sekunder.3

C. Hipertensi Neurologi

1. Peningkatan Tekanan Intrakranial

Sistem saraf pusat (SSP) memiliki peranan

integral dalam memelihara tekanan darah sistemik

karena SSP mengendalikan aktivitas sistem saraf

otonom perifer dan mengatur pelepasan faktor

hormonal sirkulasi. Peningkatan tekanan

intracranial dapat menghasilkan kenaikan produk

substansial dalam tekanan darah sistemik.

Hipertensi yang mengikuti cedera kepala,

perdarahan subaraknoid, dan stroke akut secara

tipikal bersifat sementara atau episodik.

Apabila pengobatan tekanan sistemik diperlukan,

antagonis reseptor beta-adrenergik kerja singkat

lebih disukai dibanding vasodilator poten

(hidralazin, nitroprusid) yang memiliki efek

seperti meningkatkan aliran darah cerebral dan

tekanan intracranial atau menghasilkan hipotensi

sistemik.3

Tumor otak, khususnya yang terletak di

supratentorial atau fossa posterior atau area

28

vasomotor dari dasar batang otak ventrikel IV

mungkin berhubungan dengan hipertensi

paroksismal atau hipertensi labil. Hipertensi

terkait tumor otak tidak umum ditemukan oleh

karena nuclei yang berhubungan dengan kontrol

vaskular seperti nukleus traktus solitrius dan

nukleus dorsal dari vagus dilindungi dari risiko

iskemia melalui sumber arteri multiple. Gambaran

klinis yang mungkin ditemukan antara lain nyeri

kepala dan hiperaktivitas simpatik seperti

takikardi, berkeringat, cemas, tremor, mual, dan

muntah. Tekanan intracranial meningkat pada

kebanyakan pasien dengan tumor otak, kurang dari

setengah kasus yang menunjukkan peningkatan

katekolamin. Kenaikan kadar katekolamin tersebut

dapat menghasilkan hipertensi paroksismal.

Pengobatan terhadap tumor otak melalui

pembedahan atau radiasi menghasilkan normalisasi

tekanan darah pada 2/3 pasien.3

2. Quadriplegia

Pasien dengan cedera medulla spinalis bagian

servikal atau torak bagian atas dapat

menunjukkan sindrom yang merujuk pada

hiperrefleksia otonom. Stimulasi saraf dibawah

medulla spinalis menghasilkan respon simpatik

29

yang tak terkontrol seperti hipertensi,

berkeringat, flushing, nyeri kepala, dan

piloereksi. Hipertensi biasanya transien dan

menghilang apabila stimulus dihilangkan. Pola

hemodinamik pasien ditandai dengan peningkatan

resistensi vaskular, braadikardi, cardiac output

yang normal, dan kontraksi volume. Hipertensi

sekunder pada quadriplegia muncul sebagi akibat

peningkatn aktivitas simpatetik medulla spinalis

dn peningkatan sensitivitas terhadap agonis

alpha-adrenergik. Aktivitas barorefleks aferen

cukup intak dalam memperlambat denyut jantung

secar tepat selama hipertensi. Hal ini

menunjukkan tidak ada respon yang berlawanan

dengan respon adrenergic pada stimulus

veserovaskular, somatovaskular, dan cutneus

vaskular yang umumnya dihambat secara sentral

dengan mekanisme umpan balik negatif.3

3. Guillain-Barre syndrome

Polineuritis asending dari arteri afferent

ekstremitas dan barorefleks intratorak

menghasilkan disfungsi otonom pada pasien dengan

Guillain-Barre syndrome. Gambaran hemodinamik

terlihat dari episode hipertensi dan takikardi

berubah menjadi hipertensi dan bradikardi.

30

Aritmia adalah penyebab signifikan morbiditas

pada pasien ini. Penanganan hipertensi yang

terbaik ialah dengan antihipertensi short acting

parenteral yang dapat dengan cepat dititrasi.3

D. Hipertensi akibat Penyakit Aorta

1. Rigiditas Aorta

Hipertrofi otot polos, peningkatan deposit

matrik kolagen, reduksi rasio elastin/kolagen,

dan perubahan glikosaminoglikan memiliki peranan

penting terhadap rigiditas dinding aorta.

Reduksi kapasitansi sirkulasi arterial

meningkatkan tekanan darah sistolik selama fase

ejeksi ventrikel, inilah yang mengakibatkan

timbulnya hipertensi sitolik terisolasi pada

populasi usia tua. Peningkatan rigiditas aorta

umum ditemukan pada penderita diabetes, gagal

jantung kongestif, dan uremia kronik pada pasien

yang menjalani hemodialisa. Kecepatan gelombang

nadi adalah cara noninvasif untuk mengevaluasi

rigiditas arteri besar, selain itu juga berguna

pada seseorang yang menderita kelainan vaskular

sistemik dan untuk evaluasi kualitas terapi

farmakologi.3

2. Koartasio Aorta

31

Koartasio aorta adalah konstriksi yang bisa

terjadi dimana saja di sepanjang aliran aorta,

namun umumnya ditemukan distal pada ujung arteri

subklavia sinistra, dimana duktus botalli

memasuki aorta. Koartasio aorta merupakan

kelainan kardiovakular congenital yang paling

sering menyebabkan hipertensi, 7% dari semua

kelainan congenital kardiovaskular.3,5

Manifestasi klinis yang umum ditemui pada orang

dewasa adalah nyeri kepala yang tidak jelas

penyebabnya, dapat pula disertai sensasi dingin

pada kaki atau pun klaudikasio. Diagnosis

ditegakkan dengan membandingkan tekanan darah

pada lengan dan tungkai. Normalnya, tekanan

darah pada tungkai lebih tinggi dibandingkan

pada lengan, hal sebaliknya terjadi pada pasien

dengan koartasio aorta. Selain itu nadi femoral

mungkin hilang.3,5 Pada auskultasi mungkin

ditemukan bruit pada bagian depan dan belakang

dinding dada khususnya pada area periskapular

sebagai akibat aliran turbulan pembuluh kolaterl

atau akselarasi aliran pada bagian yang

mengalami konstriksi. Pada kasus dengan stenosis

berat, pulsasi pada leher dan dinding dada

mungkin terlihat. Apabila pada seorang pasien

kita mencurigai koartasio aorta, maka perlu

32

dilakukan skrining dengan ekokardiografi

transtorakal. Rekonstruksi gambaran CT/MRI tiga

dimensi sangat menolang dalam perencanaan

pembedahan yang merupakan pilihan pada sebagian

besar kasus dengan gejala klinis.3

E. Hipertensi dengan Obstructive Sleep Apnea (OSA)

OSA ditemukan pada 2-4% populas dewasa dan >50%

pasien dengan OSA mengalami hipertensi. Individu

dengan OSA memiliki risiko hipertensi 3 kali lebih

besar, tidak tergantung dengan faktor risiko lain.

OSA ditandai dengan kolaps abnormal dari jalan

napas faringeal selama tidur, berhubungan dengan

rasa kantuk dan lelah sepanjang hari. Gejala lain

yang mungkin muncul misalnya nyeri kepala pada pagi

hari, gangguan tidur, perasaan tidak segar setelah

sadar, kehilangan memori, perubahan personalitas,

serta gangguan perhatian. Tanda fisik meliputi

suara mendengkur yang keras, episode apnea,

obesitas, dan peningkatan ukuran diameter leher.

Menurut The Wisconsin Sleep Cohort Study, OSA

memiliki hubungan terhadap peningkatan risiko

hipertensi pada pasien normotensi yang diikuti

selama 4 tahun. Patofisiologi hipertensi sistemik

pada pasien OSA dihubungkan dengan overaktivitas

simpatetik primer. Katekolamin dihasilkan selama

33

episode berulang apnea dan hipopnea. OSA juga dapat

mengaktivasi mekanisme inflamasi, resistensi

insulin, dan disfungsi endotel.3

Gold standard untuk diagnosis OSA adalah

polisomnografi. Pengobatan yang dilakukan sering

bertujuan untuk menghilangkan OSA antara lain

dengan menurunkan berat badan melalui perubahan

diet dan latihan, hal ini dapat mengurangi

hipertensi sistemik.3 Penurunan berat badan serta

penggunaan alat pernapasan dengan tekanan positif

dapat membantu mengurangi gejala serta mengontrol

tekanan darah. Berdasarkan penelitian nasal

continuous positive airway pressure (CPAP) yang

digunakan tunggal dapat menurunkan tekanan darah

sistemik lebih baik dibandingkan penurunan yang

diperoleh dengan pemberian antihipertensi.3,5

F. Hipertensi terkait Stres Akut

Stres akut menginduksi pelepasan katekolamin secara

mendadak sehingga dapat meningkatkan tekanan darah

secara tiba-tiba bahkan pada seseorang dengan

normotensi. Hipertensi sekunder pada stress akut

sering dijumpai pd kondisi pembedhan, trauma,

hipoglikemia, putus konsumsi alkohol, dan

resusitasi kardiopulmonal. Hipertensi posoperatif

seringkali hanya berlangsung singkat, jarang

34

bertahan hingga 24 jam. Faktor posoperatif yang

mungkin mempengaruhi munculnya hipertensi adalah

nyeri, kecemasan, hipoksia, hiperkarbia, distensi

kandung kencing, dan penggunaan obat vasopresor

atau bronkodilator beta-agonis. Korelasi signifikan

ditemukan pada katekolamin plasma dan mean arterial

pressure (MAP) pada pasien dengan hipertensi

posoperatif akut. Perubahan hemodinamik yang

ditemukan meliputi kenaikan resistensi vaskular

sistemik. Stroke volume dan indeks kardia umumnya

tidak lebih tinggi pada pasien normotensi

posoperatif, begitu pula tidak ada perbedaan

signifikan pada aktivitas renin, angiotensin II,

dan aldosteron. Hipertensi postrauma akut sering

muncul selama beberapa hari setelah trauma multiple

berat, ditandai dengan kondisi hiperdinamik,

kenaikan tekanan darah, dan takikardi.3

Hipoglikemia terkait insulin dapat menyebabkan

kenaikan tekanan sistolik secara mendadak namun

tekanan diastolik menurun atau tetap. Hipoglikemi

dapat menstimulasi sistem simpatoadrenal dan

stimulasi epinefrin yang diinduksi dari medulla

adrenal, dan sedikit peningkatan norepinefrin. Hal

ini dapat menyebabkan peningkatan stroke volume

ventricular, fraksi ejeksi, cardiac output, dan

denyut nadi tapi dengan penurunan resistensi

35

vaskular sistemik. Hipertensi akut setelah berhenti

mengkonsumsi alcohol berasal dari hiperaktivitas

otonom dan biasanya muncul setelah dua atau tiga

hari terakhir minum alcohol. Hipertensi biasanya

disertai takikardi, berkeringat, tremor, dan

insomnia.3

G. Hipertensi pada Kehamilan

Hipertensi merupakan penyebab morbiditas dan

mortalitas maternal dan perinatal, terjadi pada

5,9% dari seluruh kehamilan. Hipertensi pada

kehamilan dikelompokkan menjadi 4 tipe, yaitu

preeklamsi-eklamsi, preeklamsi pada hipertensi

kronik, hipertensi kronik, dan hipertensi

gestasional. Hipertensi gestasional merupakan

hipertensi yang terjadi setelah 20 minggu

kehamilan. Preekalamsi ditandai dengan proteinuria,

insufisiensi ginjal, gangguan fungsi hati, masalah

neurologi (kebingungan, hiperefleks dengan klonus,

nyeri kepala berat, gangguan penglihatan, dan

abnormalitas darah seperti trombositopenia,

hemolisis, dan disseminated intravaskular

coagulation), dan restriksi pertumbuhan fetal.3

Dalam pengobatan hipertensi pada kehamilan, tujuan

utama ialah bisa terjadi kelahiran yang sehat tanpa

membahayakan maternal. Penggunaan antihipertensi

36

pada kondisi ini sangat terbatas demi keamanan

janin. Metildopa adalah adalah satu-satunya

antihipertensi yang terbukti aman pada kehamilan.

Pada wanita dengan hipertensi berat yang mendekati

masa kelahiran, pemberian hidralazin intravena

dapat direkomendasikan. Bet-blocker seperti

labetalol cukup efektif ketika diberikan pada

trimester ketiga. Pemberian beta-blocker perlu

diwaspadai karena dapat menimbulkan retardasi

pertumbuhan intrauterine dan penurunan masa

plasenta jika diberikan pada trimester kedua,

selain itu tambahan efek samping seperti bradikardi

fetal, hipoksia, dan hipoglikemia neonatal. Calcium

canal blocker merupakan poten tokolitik sehingga

dapat mempengaruhi proses kelahiran. Nifedipin

menurut penelitian yang telah dikembangkan dapat

mengurangi tekanan darah dan meningkatkan fungsi

ginjal tanpa mempengaruhi alirn darah umbilical.

ACE inhibitor dan ARB dikontraindikasikan pada

kehamilan sebab dapat mempengaruhi sistem ginjal

fetal, menyebabkan anuria dan oligohidramion.

Diuretik pada kehamilan dapat dilanjutkan apabila

diknsumsi semenjak sebelum konsepsi. Pada

penatalaksanaan nonfarmakologi yang utamanya adalah

tirah baring dapat menurunkan tekanan darah,

menunjang dieresis dan mengurangi risiko kelahiran

37

premature. Pada wanita hamil dengan hipertensi

kornik sensitive sodium disarankan untuk membatasi

garam selama kehamilan.3

H. Hipertensi Sistolik Terisolasi akibat Sirkulasi

Hiperdinamik

Penyebab paling umum dari hipertensi sistolik

terisolasi adalah peningkatan kekakuan vaskular

akibat reduksi komplian arterial. Bentuk lain dari

hipertensi sistolik terisolasi sekunder dapat

ditemukan pada pasien dengan peningkatan cardiac

output seperti regurgitasi katup aorta, fistula

arteriovenous, patend ductus arteriosus,

thyrodoxicosis, paget disease, beriberi, dan

sirkulasi hiperkinetik. Nilai cardiac output yang

tinggi berhubungan dengan reduksi resistensi

vaskular sistemik, peningkatan stroke volume,

pelebaran tekanan nadi, dan ikatan nadi arteri

perifer. Pada pasien dengan kondisi ini dapat

ditemukan peningkatan intensitas bunyi jantung 1

dan komponen pulmonan pada bunyi jantung 2, serta

terdengarnya bunyi jantung 3 pada apeks. Sirkulasi

hiperkinetik dapat disebabkan oleh peningkatan

tonus simpatetik dan penurunan tonus parasimpatetik

sehingga menyebabkan hipertensi sitolik terisolasi

sebagai akibat reduksi resistensi perifer serta

38

peningkatan stroke volume dan cardiac output.

Pengobatan yang direkomendasikan untuk hipertensi

pada kondisi hiperkinetik adalah beta-blocker.3

I. Hipertensi yang Diinduksi Obata tau Toksin

Farmaseutikal, nutriseutikal, preparat herbal, dan

toksin lingkungan dapat mengakibatkan hipertensi

kronik dengan berbagai mekanisme. Beberapa

memfasilitasi konstriksi otot polos arteri dengan

meningkatkan kalsium sistolik (vitamin D, ergot

alkaloid). Banyak senyawa kimia yang menstimulasi

sistem saraf simapatetik pada possinaps

(penilefrin, penilpropanolamin), presinaps

(levodopa), ganglionik (nikotin), sentral

(bromokriptin), atau multiple (kokain, antidepresan

trisiklik). Senyawa lain seperti antiemetic dan

fenotiazin memiliki komponen antikolinergik yang

mengurangi efek vasodilatasi vaskular oleh

persarafan parasimpatik. Pemberian simpatomimetik

dalam jangka waktu lama (fenfluramin, fensiklidin)

dapat member efek pada arteri sistemik dan pulmonal

sehingga dapat menimbulkan hipertensi yang permanen

bahkan setelah pemberian obat dihentikan. Umumnya,

hormon eksogen seperti growth hormon dan tiroid

dapat meningkatkan tekanan darah melalui efek

metabolic yang meningkatkan denyut jantung dan

39

kontraktilitas otot jantung serta memiliki efek

persisten pada remodeling vaskular. Pemberian

medikasi (glukokortikoid, mineralkortikoid,

fenilbutazon) dan substansi diet (licorice) dapat

menstimulasi retensi air dan garam melalui agonis

reseptor aldosteron. Inhibitor calcineurin

(siklosporin) dapat menyebabkan hipertensi dengan

beberapa mekanisme seperti vasokonstriksi dan

retensi volume.3,11

Pemaparan terhadap logam berat seperti talium,

cadmium, dan arsen seperti yang mungkin ditemukan

pada cat dan pestisida dapat berhubungn dengan

timbulnya hipertensi. Ginseng dan Ma Huang

(efedra) dapat berhubungan dengan hipertensi,

kadang berat dan akut dan biasanya berhubungan

dengan hipertensi emergensi. Vitamin dan analognya

serta mineral mikronutrien dapat mengeksaserbasi

atau menyebabkan hipertensi, tergantung dosis yang

diberikan. Paparan organofosfat serta medikasi

parenteral seperti ketamin, nalokson, dan lainnya

dapat menimbulkan hipertensi akut, namun jarang

bersifat kronik.3

40

BAB III

KESIMPULAN

41

1. Hipertensi sekunder merujuk pada hipertensi

arterial dengan penyebab yang dapat diidentifikasi,

terjadi pada 5-10% populasi yang mengalami

hipertensi.

2. Penyebab paling umum hipertensi sekunder pada anak

dan remaja (0-18 tahun) adalah parenkim ginjal dan

koartasio aorta, pada dewasa muda (19-39 tahun)

adalah disfungsi tiroid, dysplasia fibromuskular,

dan penyakit parenkim ginjal, pada usia pertengahan

(40-64 tahun) adalah aldosteronisme, disfungsi

tiroid, dan obstruktif sleep apnea, serta pada usia

tua (>65 tahun) adalah stenosis arteri renal

aterosklerotik dan gagal ginjal.

3. Pendekatan umum pada pasien yang dicurigai

mengalami hipertensi sekunder pertama kali

sebaiknya mengkonfirmasi pengukuran tekanan darah

kemudian evaluasi diet serta medikasi yang diterima

pasien. Apabila hal-hal diatas tidak ada yang

menyebabkan hipertensi maka investigasi dapat

dilakukan untuk menilai penyebab fisiologis

tertentu.

4. Hipertensi sekunder dapat disebabkan karena

kelainan ginjal, endokrin, neurologi, dan aorta.

Selain itu hipertensi juga dapat muncul pada

obstructive sleep apnea, stress akut, kehamilan,

42

sirkulasi hiperdinamik, serta pada induksi obat

atau toksin tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Rimoldi SF, Scherer U, Messerli FH. Secondary Arterial

Hypertension: when, who, and how to screen? Eurheart

Journal. http://dx.doi.org/10.1093/eurheartj/ eht534.

Diakses pada tanggal 23 Desember 2013.

Viera AJ, Neutze DM. Diagnosis of Secondary

Hypertension: An Age Based Approach. American Family

Physician. 2010; 82 (12):1471-1477.

Chiong JR, Aronow WS, Khan IA, Nair CK, Vijayaraghavan

K, Dart RA, Behrenbeck TR, Geraci SA. Secondary

Hypertension: Current Diagnosis and Treatment.

International Journal of Cardiology. 2008; 124: 6-21.

43

James PA., et al. 2014 Evidence Based Guideline for the

Management of High Blood Pressure in Adults: Report

from the Panel Members Appointed to the Eight Joint

National Committee (JNC 8). Diakses pada tanggal 18

Desember 2013.

Ker JA. Secondary Hypertension. S Afr Farm Pract. 2011; 53

(5):441-442.

Kallistratos MS, Giannakopoulos A, German V. Diagnostic

Modalities of the Most Common Forms of Secondary

Hypertension. Hellenic Journal of Cardiology. 2010; 51:518-529.

Tessy A. 2009. Hipertensi pada Penyakit Ginjal. Di

dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,

Setiati S. Jakarta: Interna Publishing.

Nadeak B. Hipertensi Sekunder akibat Perubahan

Histologi Ginjal. Seri Pediatri. 2012; 13(5): 311-315.

Samara D. Penatalaksanaan Hipertensi Sekunder akibat

Perbedaan Kelainan Anatomi Renovaskular pada Usia Muda

dan Tua. J Kedokteran Trisakti. 2001; 20 (1): 27-40.

Taler SJ. Secondary Cause of Hypertension. Prim Care Clin

Office Pract. 2008; 35: 489-500.

National Heart Foundation of Australia. Guide to

Management of Hypertension 2008. Heart Foundation.

www.heartfoundation.org.au. Diakses pada Desember 2010.

44

45