BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi sekunder merujuk pada hipertensi
arterial dengan penyebab yang dapat diidentifikasi,
sehingga berpotensi untuk disembuhkan. Hipertensi
sekunder terjadi pada 5-10% populasi yang mengalami
hipertensi.1,2 Sebagian besar pasien usia muda (<40
tahun) memberikan respon yang baik terhadap penanganan
spesifik, sedangkan >35% pasien dengan usia yang lebih
tua tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.1
Pada pasien dewasa muda, khususnya wanita, stenosis
arteri renalis yang disebabkan displasia fibromuskular
merupakan salah satu penyebab hipertensi sekunder yang
paling sering, sedangkan pada usia yang lebih tua
umumnya disebabkan oleh stenosis arteri renalis
aterosklerotik. Pada orang-orang usia pertengahan,
aldosteronisme merupakan penyebab hipertensi sekunder
yang paling sering ditemukan. Lebih dari 85% anak-anak
dengan hipertensi sekunder, dapat diidentifikasi
penyebabnya, tersering disebabkan oleh penyakit
parenkim ginjal.2
Hipertensi merupakan keadaan tersering yang
ditemukan pada pelayanan kesehatan primer, dapat
mengakibatkan infark miokard, stroke, gagal jantung,
1
gagal ginjal, dan bahkan kematian jika tidak terdeteksi
sejak dini dan diobati secara tepat.3,4 Hipertensi
sekunder merupakan jenis hipertensi yang terbilang
jarang terjadi sehingga banyak yang beranggapan bahwa
pemeriksaan untuk diagnosis pasti penyakit ini
seringkali menghabiskan waktu dan biaya yang tidak
murah, oleh karena itu hanya pasien dengan gejala
klinis yang jelas yang sering diskrining untuk
menentukan penyakit dasar yang menyebabkan hipertensi
sekunder.1 Pada masa sekarang telah dianggap hal yang
penting untuk mengetahui apakah hipertensi yang terjadi
pada seseorang merupakan suatu proses sekunder. Hal ini
didasarkan bahwa hipertensi sekunder berpotensi untuk
disembuhkan dengan terapi yang spesifik menurut
penyakit dasar yang menjadi etiologi hipertensi, atau
pun hipertensi menjadi lebih mudah dikontrol dengan
obat-obat spesifik. Pada banyak kasus, hipertensi
sekunder yang teridentifikasi umumnya dapat disembuhkan
dan dihindarkan dari kebutuhan terapi jangka panjang
sehingga dapat menekan risiko serta kebutuhan dari
segi finansial.3
Terkait insidensi hipertensi sekunder yang
terbilang sedikit serta luasnya cakupan pemeriksaan
maka menjadi hal yang penting untuk memiliki pedoman
dalam menentukan reversibilitas serta diagnosa etiologi
yang mendasari hipertensi pada seseorang. Tujuan dari
2
referat ini ialah untuk menyajikan gambaran dasar
mengenai penyebab-penyebab yang umum menimbulkan
hipertensi sekunder, diagnosis, serta penanganan yang
direkomendasikan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Hipertensi sekunder adalah tipe hipertensi yang
memiliki penyakit dasar sebagai penyebabnya. Hipertensi
tipe ini terjadi pada 5-10% dari populasi yang
diketahui mengalami hipertensi.1,2 Permasalahan yang
sering dihadapi oleh tenaga medis ialah seringkali
sulit memperkirakan diagnosis dari hipertensi sekunder,
meskipun biasanya terdapat gejala klinis yang spesifik
terhadap penyakit dasar tertentu.5
Beberapa kriteria klinis umum yang dapat dijadikan
tanda hipertensi sekunder antara lain:1,5,6
1. Hipertensi dengan onset usia muda (<30 tahun) pada
pasien tanpa faktor risiko (riwayat keluarga,
obesitas, dan lain-lain); peningkatan tekanan darah
pada anak prepubertas.
2. Hipertensi resisten (>140/90 mmHg meskipun telah
mendapat 3 jenis obat antihipertensi, termasuk
didalamnya diuretik).
3. Hipertensi berat (180/110 mmHg) atau hipertensi
emergensi.
4. Peningkatan tekanan darah mendadak pada seseorang
yang sebelumnya memiliki tekanan darah stabil.
5. Terdapat kerusakan organ target (misalnya
hipertrofi ventrikel kiri, retinopati hipertensi,
dan lain-lain).
4
Terdapat banyak daftar penyakit yang mungkin
berpotensi menimbulkan hipertensi sekunder. Dalam
mengidentifikasi penyebab-penyebab tersebut antara lain
dapat diperhatikan distribusi yang muncul berdasarkan
usia seperti yang diuraiakan pada tabel berikut.
Tabel 1. Penyebab paling umum hipertensi sekunder
menurut usia2
Kelompok Usia
Persentasi dari
Hipertensi
Sekunder
Etiologi yang Umum
Anak (0-12 tahun) 70-85 % Penyakit parenkim
ginjal, koartasio
aortaRemaja (12-18
tahun)
10-15% Penyakit parenkim
ginjal, koartasio
aortaDewasa muda (19-39
tahun)
5 % Disfungsi tiroid,
displasia
fibromuskular,
penyakit parenkim
ginjalUsia pertengahan 8-12 % Aldosteronisme,
5
(40-64 tahun) disfungsi tiroid,
obstruktif sleep
apnea, cushing
syndrome,
peokromositomaUsia tua (>65
tahun)
17 % Stenosis arteri
renal
aterosklerotik,
gagal ginjal,
hipotiroid
Pendekatan umum pada pasien yang dicurigai
mengalami hipertensi sekunder pertama kali sebaiknya
dikonfirmasi bahwa pengukuran tekanan darah telah
dilakukan secara akurat dengan metode yang benar,
kemudian evaluasi diet serta medikasi yang diterima
pasien. Hal ini penting oleh karena kelebihan konsumsi
sodium dan alkohol diketahui dapat meningkatkan tekanan
darah, selain itu banyak jenis obat yang dapat
mempengaruhi tekanan darah seperti estrogen,
antiinflamasi nonsteroid, steroid, simpatomimetik, dan
lain-lain. Apabila hal-hal diatas dapat disingkirkan
maka investigasi dapat dilakukan untuk menilai penyebab
fisiologis tertentu.2
6
Gambar 1. Evaluasi Pasien yang Dicurigai Mengalami
Hipertensi Sekunder2
Tabel 2. Tanda dan Gejala Penyakit Dasar Hipertensi
Sekunder1,2
Tanda/Gejala
Penyebab
Hipertensi
Sekunder yang
mungkin
Pilihan tes
diagnostic
Terdapat perbedaan
tekanan darah
Koartasio aorta MRI (pada dewasa)
Transthoracic
7
Konfirmasi akurasi
pemeriksaan tekanan darah, singkirakan
penyebab diet dan medikasi
Anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium
Ditemukan tanda klinis
Lihat tabel 2
Tanpa tanda klinis
Anak/Remaja
Urinalisis, kultur urin, USG
renal
Dewasa muda
MRI dengan kontras, CT
arteri renal, TSH
Usia pertengahan
Pemeriksaan renin dan
aldosteron, TSH
Usia tua
MRI dengan kontras, CT arteri renal,
TSH, urinalisis
sistolik antara
lengan dan kaki
atau lengan kanan
dan kiri > 20 mmHg
Nadi femoral
lemah/lambat.
Murmur ejeksi
interskapular
echocardiography
(pada anak-anak)
Tanda/Gejala
Penyebab
Hipertensi
Sekunder yang
mungkin
Pilihan tes
diagnostic
Riwayat
aterosklerosis,
diabetes, merokok,
gagal ginjal,
nokturia
Edema perifer
Pucat
Kehilangan massa
otot
Penurunan kontrol
tekanan darah
Penyakit parenkim
ginjal
Kreatinin serum
USG ginjal
Riwayat
aterosklerosis,
diabetes, merokok
Stenosis arteri
renalis
CT angiografi
Doppler USG arteri
renalis
8
Peningkatan
kreatinin serum
setelah pemberian
ACEI/ARB
Bruit renal
PAD
MRI dengan kontras
Bradikardi/
takikardi
Intoleransi
dingin/panas
Konstipas/diare
Siklus mestruasi
ireguler
Kenaikan/penurunan
berat badan
Kelinan tiroid TSH
Hipokalemia
Kelemahan otot
Poliuri, polidipsi
Aldosteronisme Renin dan
aldosteron level
untuk menghitung
rasio
aldosteron:reninApnea pada saat
tidur
Mengantuk
sepanjang hari
Nyeri kepala pada
pagi hari
Mendengkur
Obesitas
Obstructive sleep
apnea
Polisomnografi
Sleep apnea clinical score
dengan nighttime pulse
oximetry
9
Peningkatan
lingkar leher
Tanda/Gejala
Penyebab
Hipertensi
Sekunder yang
mungkin
Pilihan tes
diagnostic
Kemerahan/
flushing
Nyeri kepala
Tekanan darah
labil
Hipotensi
ortostatik
Palpitasi
Keringatan
Sinkop
Peokromositoma Fraksi metanefrin
pada urin 24 jam
Metanefrin bebas
dalam plasma
Obesitas sentral
Moon facies
Striae
Cushing syndrome Kortisol dalam
urin 24 jam
Supresi
deksametason dosis
rendah
A. Hipertensi Renal
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada
penyakit ginjal akut maupun penyakit ginjal kronik,
baik pada kelainan glomerulus maupun pada kelainan
10
vaskular. Umumnya, kenaikan tekanan darah terjadi
karena respon sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAA).7
1. Penyakit Parenkim Ginjal
Pada banyak penelitian telah ditemukan hubungan
berarti antara penyakit parenkim ginjal
(penyakit ginjal kronik) dan hipertensi
sistemik. Insiden glomerulonefritis akut dan
kronik, penyakit ginjal polikistik, nefropati
diabetik, dan hidronefrosis umum terjadi dalam
populasi. Penyakit yang meningkat dengan pesat
ialah penyakit ginjal diabetik dan hipertensi.3
Penyakit parenkim ginjal merupakan salah satu
penyebab paling umum dari hipertensi sekunder.
Infeksi kronis akan merusak parenkim ginjal dan
pada akhirnya membentuk jaringan parut. Jaringan
parut itu akan menarik jaringn sekitarnya
termasuk jaringan vaskular arteri interlobaris
yang akan mengganggu vaskularisasi ginjal yang
berakibat timbulnya hipertensi. Tumor pada
parenkim ginjal akan menekan dan mendesak arteri
intra renal, menimbulkan iskemi parenkim
apparatus jukstaglomerular dan hiperfungsi sel
jukstaglomerular dalam memproduksi renin,
akibatnya angiotensin II dalam darah meninggi
hingga terjadi hipertensi renal. Ginjal
11
polikistik dapat menyebabkan hipertensi karena
kista yang besar dapat menekan arteri intra
renal terutama daerah korteks sehingga timbul
iskemi parenkim dan glomerular, akibatnya renin
meningkat. Selain itu, terjadi retensi air dan
garam yang menyebabkan cairan ekstaseluler
bertambah.8,9
Pemeriksaan USG ginjal merupakan pemeriksaan
penting pada penyakit ini. Hipertensi serta
terabanya masa di abdomen pada pemeriksaan fisik
diindikasikan untuk dilakukan USG guna menemukan
penyakit ginjal polikistik, Obstruktif uropati
juga didiagnosis dengan modalitas ini. Urin
abnormal seperti proteinuria dan hematuria juga
dapat menjadi indikasi dilakukannya pemeriksn
USG guna menilai ukuran ginjal. Kesulitannya
ialah proteinuria serta penurunan laju filtrasi
glomerulus mungkin disebabkan kerusakan organ
target sebagai akibat hipertensi yang telah ada
sebelumnya, di sisi lain hipertensi mungkin
terjadi sebagai hasil dari kerusakan parenkim
ginjal.5
2. Penyakit Renovaskular
Hipertensi renovaskular ditemukan pada 1-5%
populasi yang mengalami hipertensi, dengan 20-
12
40% kasus merupakan kelainan berat.3 Hipertensi
sekunder banyak terjadi akibat kelainan pembuluh
darah ginjal terutama pada cabang besar.8
Hipertensi renovaskular adalah konsekuensi
klinis akibat kelebihan stimulasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron. Stenosis arteri renalis
akan menyebabkan timbulnya iskemia ginjal
sehingga memicu pelepasan renin dari sel
jukstaglomerular ginjal, akibatnya terjadi
hipertensi sekunder. Pelepasan renin memicu
sistem kaskade yang mana renin mempromosikan
konversi angiotensinogen menjadi angiotensin I
yang selanjutnya menjadi angiotensin II dan
meningkatkan pelepasan aldosteron dari kelenjar
adrenal. Angiotensin II menyebabkan
vasokonstriksi berat dan pelepasan aldosteron
meningkatkan retensi sodium dan air, keduanya
menimbulkan kenaikan tekanan darah.3
Displasia fibromuskular pada orang muda serta
aterosklerosis pada orang tua yang mengenai
pembuluh darah ginjal yang berasal dari aorta
merupakan penyebab paling umum dari hipertensi
renovaskular. Hal ini karena kelainan-kelainan
tersebut menyebabkan stenosis pada arteri ekstra
renal sehingga menekan aliran darah menuju
ginjal.3,8
13
Satu-satunya tanda klinis yang dapat ditemukan
pada kelainan ini ialah peningkatan tekanan
darah secara mendadak serta sulit diatasi dengan
antihipertensi. Ditemukannya bruit pada
auskultasi abdomen, hipokalemia, serta penurunan
progresif fungsi ginjal dapat memperkuat
kecurigaan pada kondisi ini meskipun umumnya
jarang ditemukan. CT, MRI, captopril
scintigrafi, dan Doppler ultrasound merupakan
pemeriksaan noninfasif untuk mendeteksi stenosis
arteri renal. 5
3. Vaskulitis Intrarenal
Vaskulitis dapat melibatkan pembuluh darah
intrarenal dan mungkin memiliki hubungan dengan
beragam lesi di ginjal. Ginjal sering mengalami
vaskulitis pada pembuluh-pembuluh darah kecil,
misalnya pada poliangitis mikroskopik, wegener’s
granulomatosis, Henoch-Schonlein purpura, dan vaskulitis
cryoglobuinemia. Vaskulitis menyebabkan
disfungsi ginjal dengan menginduksi inflamasi
glomerular dengan nefritis dan gagal ginjal.
Vaskulitis pada pembuluh darah besar seperti
giant cell arthritis dan Takayasu’s arteritis jarang
menimbulkan cedera ginjal, meskipun demikian
dapat menimbulkan iskemia sekunder pada arteri
14
ginjal dan aorta abdominal sehingga dapat
meningkatkan tekanan darah.3
Demam, malaise, penurunan berat badan, dan
hipertensi merupakan tanda dan gejala yang umum
ditemukan pada vaskulitis intrarenal. Biopsi
ginjal sering dibutuhkan untuk mengidentifikasi
keadaan patologi. Kombinasi kortikosteroid oral
dan siklofosfamid oral terbukti efektif dalam
mengendalikan penyakit ini pada 90% kasus. Obat
imunosupresif baru (mycophenolate), modulator
antibody monoclonal dari limfosit (rituximab),
dan sitokin (inflixmab dan eternacept) adalah
terapi alternative dengan potensi spesifitas
yang lebih baik untuk inflamasi dan penyebab
imunologi dari vaskulitis.3
4. Renin producing tumor
Penyebab lain hipertensi sekunder dengan
gambaran yang mirip dengan hipertensi
renovaskular ialah renin secreting tumor. Tumor
biasanya muncul dari sel juxtaglomerular ada
ginjal. Pasien menunjukkan hipertensi dan
hipokalemia, serta seperti tipe lain dari
aldosteronisme sekunder, aktivitas renin plasma
dan konsentrasi aldosteron plasma dapat
meningkat dengan rasio aldosteron berbanding
15
renin yang normal atau menurun. Penyakit ini
sering didiagnosis setelah sumber kelaianan
renovaskular tidak ditemukan. Lokasi tumor
intrarenal juga dapat ditemukan seperti di
adrenal, kolon, paru-paru, ovarium, dan
pankreas. Oleh karena itu maka dibutuhkan
pencitraan abdomen maupun pelvis. Terapi kuratif
penyakit ini ialah pembedahan eksisi.3
5. Retensi Sodium Primer (Liddle’s syndrome)
Liddle’s syndrome adalah kelainan familial dengan
karakteristik berupa hipertensi, alkalosis
metabolik, serta kehilangan potassium melalui
urin. Hipertensi biasanya mulai terjadi selama
masa remaja, tetapi onset mungkin muncul lebih
awal. Hipokalemia tidak umum ditemukan. Gejala
klinis seperti kelemahan, parestesia, nyeri
epigastrium, poliuri, polidipsi, dan paralisis
akut mungkin ditemukan. Nilai renin dan
aldosteron plasma menurun. Dalam pengobatan,
obat yang menghambat reabsorbsi sodium pada
tubulus distal seperti triamteren mungkin
efektif. Liddle’s syndrome dapat disembuhkan dengan
transplantasi ginjal.3
6. Peningkatan Volume Intravaskular
16
Overload volume sering dihubungkan dengan
peningkatan prevalensi hipertensi tak terkontrol
pada pasien gagal ginjal. Hipervolemia yang
terindikasi oleh pelebaran diameter vena cava
inferior merupakan faktor risiko hipertensi tak
terkontrol dan peningkatan indeks massa
ventricular kiri. Pembatasan intake garam
mungkin dapat mencegah overload volume
intravaskular pada pasien dengan peritoneal
dialisis.3
B. Hipertensi Endokrin
1. Akromegali
Akromegali umumnya disebabkan oleh tumor pada
kelenjar pituitari yang memproduksi growth hormon
(GH), sering termanifestasikan pada dekade
ketiga hingga kelima kehidupan. Penyebab lain
seperti kanker paru sel kecil dan kanker
pankreas. Oversekresi GH dan insulin like growth faktor-
1 (IGF-1) mempengaruhi manifestasi
kardiovaskular yang ditandai dengan peningkatan
cardiac output, penurunan resistensi perifer yang
diikuti dengan peningkatan massa miokardium
serta hipertrofi biventricular. Keadaan tersebut
menghasilkan hipertensi, disfungsi diastolik,
17
penyakit aterosklerotik, dan pada kasus yang
berat dapat terjadi kardiomiopati dilatasi.3
Pengobatan yang dapat dilakukan meliputi
pembedahan, radiasi, dn terapi medikasi.
Microsurgical transsphenoidal resection menunjukkan
keberhasilan dalam menurunkan GH secara bertahap
dalam waktu diatas 2 tahun. Terapi penunjang
berupa radiasi dan medikasi dibutuhkan pada
kasus tertentu. Medikasi yang dapat digunakan
seperti analog somatostatin (ocreotide), agonis
dopamine (bromokriptin, pergolid) dan antagonis
reseptor GH (pegvisomant).3
2. Hipertiroid
Penyebab paling umum dari hipertiroid meliputi
Grave’s disease, dan overtreatment dengan hormon
tiroid. Gambaran klinis hipertiroid berupa
keadaan hiperadrenergik berupa palpitasi,
tremor, dispnea, fatigue, angina,
hiperaktifitas, insomnia, intoleransi panas,
penurunan berat badan meski dengan nafsu makan
yang meningkat, nokturia, diare, oligomenorea,
dan emosional yang labil. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan takikardi, hipertensi,
18
hipertermia, kulit yang lembab, lid lag, refleks
yang cepat, dan prekordium hiperdinamik. Bunyi
jantung satu yang mengeras dengan komponen
pulmonal yang menonjol pada bunyi jantung dua,
bunyi jantung tiga dan murmur middiastolik
mungkin dapat terdengar. Peningkatan cardiac
output dan kontrktilitas miokardium dengan
penurunan resistensi vaskular dan pelebran
tekanan nadi merupakan tanda yang juga mungkin
ditemukan. Pada beberapa kasus, gejala klinis
dapat tidak ditemukan sehingga diagnosis sulit
ditegakkan. Pemeriksaan dengan hasil penurunan
thyroid stimulating hormon (TSH) memiliki
sensitivitas yang tinggi, terlebih jika
dikombinasikan dengan kenaian T4 bebas atau
indeks T4. Beta-blocker adalah pilihan medikasi
untuk mengendalikan gejala hiperadrenergik.
Diuretik bermanfaat apabila ditemukan gagal
jantung dan hipertensi. Euvolemia perlu
dikondisikan pada pasien dengan retensi cairan
sebelum memulai terapi beta-blocker. Digoksin
juga dapat menjadi terapi alternative.
Methimazole dan propythiouracil diikuti terapi
ablative dengan iodine radioaktif atau
pembedahan diindikasikan pada keadaan
hipertiroid.3
19
3. Hipotiroid
Hipertensi diastolik terjadi pada 20% pasien
hipotiroid, dapat menimbulkan iskemia koroner.
Penggntian hormon tiroid biasanya dapat
menormalkan tekanan darah. Elektrokardiogram
pada pasien ini dapat beragam dari sinus
bradikardi hinggal low voltage QRS dan perubahan
nonspesifik segmen ST. Peningkatan TSH adalah
tes sensitive untuk mendeteksi hipotiroid.
Pengobatan yang dapat diberikan berupa
levothyroxine. Hipertiroid biasanya dapat
dikoreksi dengan terapi suplementasi hormon
tiroid. Apabila hipertensi menetap maka
diuretik, dihidropiridin calcium canal blocker,
ACE inhibitors atau angiotensin receptor
blockers bekerja cukup efektif.3
4. Hiperparatiroid
Hiperparatiroid primer sering bermanifestasi
sebagai hiperkalsemia disertai gejala
nonspesifik seperti kelemahan, letargi, rasa
tidak nyaman pada abdomen, dan konstipasi. Pada
pasien juga dapat dijumpai hipertensi.
Patofisiologi dasar hipertensi pada
hiperparatiroid belum dapat dipahami secara
20
jelas, namun hormon paratiroid memiliki peranan
penting sebagai vasokonstriksi dan
nefrosklerosis.3
Peningkatan kadar kalsium memiliki efek
signifikan terhadap bantalan vaskular hingga
akhirnya dapat menjadi hipertensi. Hormon
paratiroid menginduksi influx kalsium yang
mungkin menyebabkan nekrosis miosit, deposisi
kalsium pada bantalan vaskular koroner, dan
aterosklerosis premature. Hiperkalsemia dengan
kadar kalsium diatas 11 mg/dl terkait kadar
normal dan peningkatan kadar hormon paratiroid
mengarahkan pada diagnosis hiperparatiroid.
Pemberian tiazid dapat menunjukkan keadaan
hiperparatiroid. Pembedahan dengan mengangkat
kelenjar paratiroid atau adenoma merupakan
terapi definitive untuk hiperparatiroid.
Hipertensi biasanya teratasi dengan normalisasi
hormon paratiroid. Apabila hipertensi menetap
maka perlu dilakukan pembedahan yang diikuti
dengan medikasi selain pemberian tiazid.3
5. Cushing’s Syndrome
Prevalensi cushing’s syndrome berkisar antara
1,4-10 tiap 1 juta populasi, meningkat pada
populasi dengan obesitas dan diabetes tak
21
terkontrol menjadi diatas 3 hingga 4%. Gambaran
klasik kelainan ini ialah moon facies, striae
ungu, dan obesitas sentral. Namun, gambaran
tersebut jarang ditemukan. Cushing’s syndrome
sebagai diagnosis penyakit perlu dipertimbangkan
apabila ditemukan osteoporosis, kelemahan otot,
ekimosis, hipokalemia, obesitas sentral,
plethora, tekanan darah diastolik >105 mmHg,
striae merah, acne, edema, hirsutisme,
oligomenorea, dan toleransi glukosa terganggu.3
Pada 80-85% kasus ditemukan hipertensi dan
faktor risiko lain aterosklerosis seperti
hiperglikemia dan dislipidemia. Pada beberapa
kasus dapat ditemukan infark miokardium, stroke,
dan gagal jantung.3,5,10
Hipertrofi ventrikel kiri dan disfungsi
diastolik mungkin menghasilkan aktivasi jalur
renin angiotensin. Mekanisme lain cushing’s
syndrome menyebabkan hipertensi meliputi
inhibisi prostasilin, vasodilator kuat, dan
ikatan kortisol pada reseptor glukokortikoid
spesifik yang selanjutnya menginisiasi efek
hormon terhadap jantung, ginjal, dan jaringan
vaskular. Pergeseran volume ekstraseluler dan
keseimbangan air dan garam tidak didapatkan pada
hipertensi glukokortikoid. Pseudo-cushing dapat
22
terjadi pada penyakit medis akut dan kronik,
penyakit psikiatri, atau alkoholisme. Keadaan
preklinik cushing’s syndrome dapat terjadi pada
seseorang dengan incidentaloma adrenal.
Penggunaan glukokortikoid eksogen merupakan
diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan
pada cushing’s syndrome.3
Langkah pertama dalam diagnosis cushing’s
syndrome adalah untuk menilai gambaran klinis.
Jika ditemukan hiperglikemia, hipertensi,
tampilan fisik yang mengarahkan pada cushing’s
syndrome selama hipokalemia dapat menjadi
langkah awal menentukan penyebab. Tes supresi
deksametason pada malam hari memiliki
sensitivitas 98-99%, pengukuran kortisol bebas
pada urin 24 jam memiliki sensitifitas 95-99%
dan spesifits 98%. Kadar kortisol >5µg/dl setelh
tes supresi deksmetason dan kadar kortisol
>300µg/hari pada pemeriksaan urin 24 jam dapat
mengarahkan pada diagnosis cushing’s syndrome.
Pengobatan cushing’s syndrome dilakukan dengan
terapi spesifik terhadap penyebab seperti
pembedahan untuk mengangkat adrenal, kemoterapi,
dan pembedahan pituitri. Terapi medikasi
meliputi metyrapone, bromokriptin, dan
ketokonazol. Pengobatan hipertensi sekunder
23
dengan cara mengatasi kelebihan kortisol,
menghindari pemberian diuretik yang dapat
mendeplesi kadar potassium, dan menggunakan agen
untuk memblok aksis renin angiotensin.3
6. Hiperaldosteronisme Primer
Aldosteronisme primer ditemukan pada 9,1 % dari
seluruh pasien dengan hipertensi. Sekitar 30%
kasus ini disebabkan oleh tumor (Conn syndrome)
dan 70% disebabkan hiperplasia adrenal.3
Pada pasien dengan hiperaldosteronisme primer
sering ditemukan hipokalemia. Tekanan darah
secara moderat meningkat disertai nyeri kepala,
pada tahap lanjut dapat menjadi hipertensi
malignan. Gejala hipokalemia seperti kelemahan
otot, parestesia, tetani dan paralisis mungkin
juga ditemukan. Pada incidentaloma adrenal,
identifikasi hiperaldosteronisme primer pada
pasien dengan hipertensi sangat penting karena
dibutuhkan terapi spesifik. Pembedahan dapat
menjadi terapi definitif. Pada pasien dengan
idiopatik hiperaldosteronisme, pemberian
antihipertensi spironolakton dapat mengontrol
tekanan darah sehingga mencegah kerusakan organ
target.3,10
24
Untuk penegakan diagnosis dilakukan penilaian
rasio aldosteron berbanding renin, meskipun
kegunaannya masih diperdebatkan. Pengangkatan
adenoma dapat mengurangi tekanan darah secara
signifikan. Spironolakton preoperatif dapat
mengurangi hipoaldosteronisme dan hipokalemi
posoperatif. Kesuksesan operasi sekitar 70% dan
pengobatan hipertensi perlu dilanjutkan hingga 3
bulan posoperatif. Pada semua kondisi kelebihan
mineralkortikoid yang lain pemberian
spironolakton dengan dosis 25-400 mg adalah
terapi efektif, membutuhkan sekitar 2 bulan
untuk normalisasi tekanan darah.3
7. Peokromositoma
Peokromositoma adalah tumor neuroendokrin yang
berkembang dari medulla adrenal pada neuron
ganglionik simpatetik. Tumor yang berkembang
dari jaringan kromafin ekstraadrenal merujuk
pada paraganglioma atau peokromositoma
ekstraadrenal. Tumor ini memproduksi
katekolamin. Prevalensi peokromositoma sekitar
0,1 hingga 6 % dari pasien hipertensi.
Peokromositoma herediter terjadi pada von
Hippel-Landau syndrome, neoplasia endokrin
25
multiple tipe 1, dan paraganglioma familial.
Riwayat tumor pada keluarga berhubungan dengan
risiko 10-15% tumor diderita oleh anggota
keluarga yang lain. Kurang dari 10% dari semua
peokromositoma adalah malignan.3,10
Hipertensi sekunder yang terjadi sebagai akibat
peokromositoma dapat stabil atau paroksismal,
disertai nyeri kepala, berkeringat, pucat, dan
palpitasi, takikardi, dan serangan panik. Gejala
lain yang dapat ditemukan seperti tremor, mual,
nyeri abdomen dan dada, hipotensi ortostatik,
intoleransi glukosa, dan penurunan berat badan.
Diagnosis ditegakkan dengan kenaikan katekolamin
atau metabolitnya dalam plasma maupun urin.
Apabila kenaikan hanya sedikit maka perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti
pemeriksaan kromogranin A. Setelah diagnosis
ditegakkan maka perlu ditemukan lokasi tumor.
MRI atau CT scan dapat mendeteksi nodul >1cm
pada peokromositoma adrenal. 90% dari tumor ini
terletak di kelenjar adrenal dan 98% di
abdomen.3,5 Pengendalian tekanan darah dan volume
intravaskular adalah dua hal utama yang perlu
diperhatikan selama menunggu tes konfirmatif.
Alpha-blocker seperti fenoksibenzamin,
terazosin, dan doksazosin dapat digunakan untuk
26
mengatasi konstriksi vaskular kronik. Calcium
canal blocker juga dapat membantu mengontrol
tekanan darah dan meminimalkan vasospaseme.
Beta-blocker juga dapat membantu tetapi hanya
setelah pengobatan adekuat dengan alpha-blocker
untuk mencegah vasokonstriksi dan hipertensi
krisis terkait reseptor alpha.3
8. Carcinoid Syndrome
Carcinoid syndrome adalah penyebab hipertensi
sekunder yang jarang, umumnya terjadi pada usus
kecil dan apendiks (60% kasus), dapat pula
terjadi pada bronkus, testis, traktus bilier,
pankreas, dan ovarium. Gambaran klini kondisi
ini meliputi penurunan berat badan, sensasi
terbakar, diare, hipertensi, bronkokonstriksi,
dan plak fibrosa endokardium. Manifestasi
tersebut muncul sebagai hasil tumor karsinoid
mensekresikan sejumlah besar serotonin,
bradikinin, dan neurohormon lain. Tes diagnosis
untuk kondisi ini meliputi rontgen dada,
ekokardiografi, dan kadar 5 hydroxyindole acetic
acid (metabolit utama serotonin). Carcinoid
syndrome yang mempengaruhi jantung memiliki
prognosis yang buruk. Pengobatan yang dapat
dilakukan dengn analog somatostatin, antagonis
27
serotonin, dan alpha adrenergic bloker. Ketika
digoksin dan diuretik sangat berguna pada
penanganan gagal jantung kanan dan alpha blocker
bermanfaat dalam mengatasi hipertensi sekunder.3
C. Hipertensi Neurologi
1. Peningkatan Tekanan Intrakranial
Sistem saraf pusat (SSP) memiliki peranan
integral dalam memelihara tekanan darah sistemik
karena SSP mengendalikan aktivitas sistem saraf
otonom perifer dan mengatur pelepasan faktor
hormonal sirkulasi. Peningkatan tekanan
intracranial dapat menghasilkan kenaikan produk
substansial dalam tekanan darah sistemik.
Hipertensi yang mengikuti cedera kepala,
perdarahan subaraknoid, dan stroke akut secara
tipikal bersifat sementara atau episodik.
Apabila pengobatan tekanan sistemik diperlukan,
antagonis reseptor beta-adrenergik kerja singkat
lebih disukai dibanding vasodilator poten
(hidralazin, nitroprusid) yang memiliki efek
seperti meningkatkan aliran darah cerebral dan
tekanan intracranial atau menghasilkan hipotensi
sistemik.3
Tumor otak, khususnya yang terletak di
supratentorial atau fossa posterior atau area
28
vasomotor dari dasar batang otak ventrikel IV
mungkin berhubungan dengan hipertensi
paroksismal atau hipertensi labil. Hipertensi
terkait tumor otak tidak umum ditemukan oleh
karena nuclei yang berhubungan dengan kontrol
vaskular seperti nukleus traktus solitrius dan
nukleus dorsal dari vagus dilindungi dari risiko
iskemia melalui sumber arteri multiple. Gambaran
klinis yang mungkin ditemukan antara lain nyeri
kepala dan hiperaktivitas simpatik seperti
takikardi, berkeringat, cemas, tremor, mual, dan
muntah. Tekanan intracranial meningkat pada
kebanyakan pasien dengan tumor otak, kurang dari
setengah kasus yang menunjukkan peningkatan
katekolamin. Kenaikan kadar katekolamin tersebut
dapat menghasilkan hipertensi paroksismal.
Pengobatan terhadap tumor otak melalui
pembedahan atau radiasi menghasilkan normalisasi
tekanan darah pada 2/3 pasien.3
2. Quadriplegia
Pasien dengan cedera medulla spinalis bagian
servikal atau torak bagian atas dapat
menunjukkan sindrom yang merujuk pada
hiperrefleksia otonom. Stimulasi saraf dibawah
medulla spinalis menghasilkan respon simpatik
29
yang tak terkontrol seperti hipertensi,
berkeringat, flushing, nyeri kepala, dan
piloereksi. Hipertensi biasanya transien dan
menghilang apabila stimulus dihilangkan. Pola
hemodinamik pasien ditandai dengan peningkatan
resistensi vaskular, braadikardi, cardiac output
yang normal, dan kontraksi volume. Hipertensi
sekunder pada quadriplegia muncul sebagi akibat
peningkatn aktivitas simpatetik medulla spinalis
dn peningkatan sensitivitas terhadap agonis
alpha-adrenergik. Aktivitas barorefleks aferen
cukup intak dalam memperlambat denyut jantung
secar tepat selama hipertensi. Hal ini
menunjukkan tidak ada respon yang berlawanan
dengan respon adrenergic pada stimulus
veserovaskular, somatovaskular, dan cutneus
vaskular yang umumnya dihambat secara sentral
dengan mekanisme umpan balik negatif.3
3. Guillain-Barre syndrome
Polineuritis asending dari arteri afferent
ekstremitas dan barorefleks intratorak
menghasilkan disfungsi otonom pada pasien dengan
Guillain-Barre syndrome. Gambaran hemodinamik
terlihat dari episode hipertensi dan takikardi
berubah menjadi hipertensi dan bradikardi.
30
Aritmia adalah penyebab signifikan morbiditas
pada pasien ini. Penanganan hipertensi yang
terbaik ialah dengan antihipertensi short acting
parenteral yang dapat dengan cepat dititrasi.3
D. Hipertensi akibat Penyakit Aorta
1. Rigiditas Aorta
Hipertrofi otot polos, peningkatan deposit
matrik kolagen, reduksi rasio elastin/kolagen,
dan perubahan glikosaminoglikan memiliki peranan
penting terhadap rigiditas dinding aorta.
Reduksi kapasitansi sirkulasi arterial
meningkatkan tekanan darah sistolik selama fase
ejeksi ventrikel, inilah yang mengakibatkan
timbulnya hipertensi sitolik terisolasi pada
populasi usia tua. Peningkatan rigiditas aorta
umum ditemukan pada penderita diabetes, gagal
jantung kongestif, dan uremia kronik pada pasien
yang menjalani hemodialisa. Kecepatan gelombang
nadi adalah cara noninvasif untuk mengevaluasi
rigiditas arteri besar, selain itu juga berguna
pada seseorang yang menderita kelainan vaskular
sistemik dan untuk evaluasi kualitas terapi
farmakologi.3
2. Koartasio Aorta
31
Koartasio aorta adalah konstriksi yang bisa
terjadi dimana saja di sepanjang aliran aorta,
namun umumnya ditemukan distal pada ujung arteri
subklavia sinistra, dimana duktus botalli
memasuki aorta. Koartasio aorta merupakan
kelainan kardiovakular congenital yang paling
sering menyebabkan hipertensi, 7% dari semua
kelainan congenital kardiovaskular.3,5
Manifestasi klinis yang umum ditemui pada orang
dewasa adalah nyeri kepala yang tidak jelas
penyebabnya, dapat pula disertai sensasi dingin
pada kaki atau pun klaudikasio. Diagnosis
ditegakkan dengan membandingkan tekanan darah
pada lengan dan tungkai. Normalnya, tekanan
darah pada tungkai lebih tinggi dibandingkan
pada lengan, hal sebaliknya terjadi pada pasien
dengan koartasio aorta. Selain itu nadi femoral
mungkin hilang.3,5 Pada auskultasi mungkin
ditemukan bruit pada bagian depan dan belakang
dinding dada khususnya pada area periskapular
sebagai akibat aliran turbulan pembuluh kolaterl
atau akselarasi aliran pada bagian yang
mengalami konstriksi. Pada kasus dengan stenosis
berat, pulsasi pada leher dan dinding dada
mungkin terlihat. Apabila pada seorang pasien
kita mencurigai koartasio aorta, maka perlu
32
dilakukan skrining dengan ekokardiografi
transtorakal. Rekonstruksi gambaran CT/MRI tiga
dimensi sangat menolang dalam perencanaan
pembedahan yang merupakan pilihan pada sebagian
besar kasus dengan gejala klinis.3
E. Hipertensi dengan Obstructive Sleep Apnea (OSA)
OSA ditemukan pada 2-4% populas dewasa dan >50%
pasien dengan OSA mengalami hipertensi. Individu
dengan OSA memiliki risiko hipertensi 3 kali lebih
besar, tidak tergantung dengan faktor risiko lain.
OSA ditandai dengan kolaps abnormal dari jalan
napas faringeal selama tidur, berhubungan dengan
rasa kantuk dan lelah sepanjang hari. Gejala lain
yang mungkin muncul misalnya nyeri kepala pada pagi
hari, gangguan tidur, perasaan tidak segar setelah
sadar, kehilangan memori, perubahan personalitas,
serta gangguan perhatian. Tanda fisik meliputi
suara mendengkur yang keras, episode apnea,
obesitas, dan peningkatan ukuran diameter leher.
Menurut The Wisconsin Sleep Cohort Study, OSA
memiliki hubungan terhadap peningkatan risiko
hipertensi pada pasien normotensi yang diikuti
selama 4 tahun. Patofisiologi hipertensi sistemik
pada pasien OSA dihubungkan dengan overaktivitas
simpatetik primer. Katekolamin dihasilkan selama
33
episode berulang apnea dan hipopnea. OSA juga dapat
mengaktivasi mekanisme inflamasi, resistensi
insulin, dan disfungsi endotel.3
Gold standard untuk diagnosis OSA adalah
polisomnografi. Pengobatan yang dilakukan sering
bertujuan untuk menghilangkan OSA antara lain
dengan menurunkan berat badan melalui perubahan
diet dan latihan, hal ini dapat mengurangi
hipertensi sistemik.3 Penurunan berat badan serta
penggunaan alat pernapasan dengan tekanan positif
dapat membantu mengurangi gejala serta mengontrol
tekanan darah. Berdasarkan penelitian nasal
continuous positive airway pressure (CPAP) yang
digunakan tunggal dapat menurunkan tekanan darah
sistemik lebih baik dibandingkan penurunan yang
diperoleh dengan pemberian antihipertensi.3,5
F. Hipertensi terkait Stres Akut
Stres akut menginduksi pelepasan katekolamin secara
mendadak sehingga dapat meningkatkan tekanan darah
secara tiba-tiba bahkan pada seseorang dengan
normotensi. Hipertensi sekunder pada stress akut
sering dijumpai pd kondisi pembedhan, trauma,
hipoglikemia, putus konsumsi alkohol, dan
resusitasi kardiopulmonal. Hipertensi posoperatif
seringkali hanya berlangsung singkat, jarang
34
bertahan hingga 24 jam. Faktor posoperatif yang
mungkin mempengaruhi munculnya hipertensi adalah
nyeri, kecemasan, hipoksia, hiperkarbia, distensi
kandung kencing, dan penggunaan obat vasopresor
atau bronkodilator beta-agonis. Korelasi signifikan
ditemukan pada katekolamin plasma dan mean arterial
pressure (MAP) pada pasien dengan hipertensi
posoperatif akut. Perubahan hemodinamik yang
ditemukan meliputi kenaikan resistensi vaskular
sistemik. Stroke volume dan indeks kardia umumnya
tidak lebih tinggi pada pasien normotensi
posoperatif, begitu pula tidak ada perbedaan
signifikan pada aktivitas renin, angiotensin II,
dan aldosteron. Hipertensi postrauma akut sering
muncul selama beberapa hari setelah trauma multiple
berat, ditandai dengan kondisi hiperdinamik,
kenaikan tekanan darah, dan takikardi.3
Hipoglikemia terkait insulin dapat menyebabkan
kenaikan tekanan sistolik secara mendadak namun
tekanan diastolik menurun atau tetap. Hipoglikemi
dapat menstimulasi sistem simpatoadrenal dan
stimulasi epinefrin yang diinduksi dari medulla
adrenal, dan sedikit peningkatan norepinefrin. Hal
ini dapat menyebabkan peningkatan stroke volume
ventricular, fraksi ejeksi, cardiac output, dan
denyut nadi tapi dengan penurunan resistensi
35
vaskular sistemik. Hipertensi akut setelah berhenti
mengkonsumsi alcohol berasal dari hiperaktivitas
otonom dan biasanya muncul setelah dua atau tiga
hari terakhir minum alcohol. Hipertensi biasanya
disertai takikardi, berkeringat, tremor, dan
insomnia.3
G. Hipertensi pada Kehamilan
Hipertensi merupakan penyebab morbiditas dan
mortalitas maternal dan perinatal, terjadi pada
5,9% dari seluruh kehamilan. Hipertensi pada
kehamilan dikelompokkan menjadi 4 tipe, yaitu
preeklamsi-eklamsi, preeklamsi pada hipertensi
kronik, hipertensi kronik, dan hipertensi
gestasional. Hipertensi gestasional merupakan
hipertensi yang terjadi setelah 20 minggu
kehamilan. Preekalamsi ditandai dengan proteinuria,
insufisiensi ginjal, gangguan fungsi hati, masalah
neurologi (kebingungan, hiperefleks dengan klonus,
nyeri kepala berat, gangguan penglihatan, dan
abnormalitas darah seperti trombositopenia,
hemolisis, dan disseminated intravaskular
coagulation), dan restriksi pertumbuhan fetal.3
Dalam pengobatan hipertensi pada kehamilan, tujuan
utama ialah bisa terjadi kelahiran yang sehat tanpa
membahayakan maternal. Penggunaan antihipertensi
36
pada kondisi ini sangat terbatas demi keamanan
janin. Metildopa adalah adalah satu-satunya
antihipertensi yang terbukti aman pada kehamilan.
Pada wanita dengan hipertensi berat yang mendekati
masa kelahiran, pemberian hidralazin intravena
dapat direkomendasikan. Bet-blocker seperti
labetalol cukup efektif ketika diberikan pada
trimester ketiga. Pemberian beta-blocker perlu
diwaspadai karena dapat menimbulkan retardasi
pertumbuhan intrauterine dan penurunan masa
plasenta jika diberikan pada trimester kedua,
selain itu tambahan efek samping seperti bradikardi
fetal, hipoksia, dan hipoglikemia neonatal. Calcium
canal blocker merupakan poten tokolitik sehingga
dapat mempengaruhi proses kelahiran. Nifedipin
menurut penelitian yang telah dikembangkan dapat
mengurangi tekanan darah dan meningkatkan fungsi
ginjal tanpa mempengaruhi alirn darah umbilical.
ACE inhibitor dan ARB dikontraindikasikan pada
kehamilan sebab dapat mempengaruhi sistem ginjal
fetal, menyebabkan anuria dan oligohidramion.
Diuretik pada kehamilan dapat dilanjutkan apabila
diknsumsi semenjak sebelum konsepsi. Pada
penatalaksanaan nonfarmakologi yang utamanya adalah
tirah baring dapat menurunkan tekanan darah,
menunjang dieresis dan mengurangi risiko kelahiran
37
premature. Pada wanita hamil dengan hipertensi
kornik sensitive sodium disarankan untuk membatasi
garam selama kehamilan.3
H. Hipertensi Sistolik Terisolasi akibat Sirkulasi
Hiperdinamik
Penyebab paling umum dari hipertensi sistolik
terisolasi adalah peningkatan kekakuan vaskular
akibat reduksi komplian arterial. Bentuk lain dari
hipertensi sistolik terisolasi sekunder dapat
ditemukan pada pasien dengan peningkatan cardiac
output seperti regurgitasi katup aorta, fistula
arteriovenous, patend ductus arteriosus,
thyrodoxicosis, paget disease, beriberi, dan
sirkulasi hiperkinetik. Nilai cardiac output yang
tinggi berhubungan dengan reduksi resistensi
vaskular sistemik, peningkatan stroke volume,
pelebaran tekanan nadi, dan ikatan nadi arteri
perifer. Pada pasien dengan kondisi ini dapat
ditemukan peningkatan intensitas bunyi jantung 1
dan komponen pulmonan pada bunyi jantung 2, serta
terdengarnya bunyi jantung 3 pada apeks. Sirkulasi
hiperkinetik dapat disebabkan oleh peningkatan
tonus simpatetik dan penurunan tonus parasimpatetik
sehingga menyebabkan hipertensi sitolik terisolasi
sebagai akibat reduksi resistensi perifer serta
38
peningkatan stroke volume dan cardiac output.
Pengobatan yang direkomendasikan untuk hipertensi
pada kondisi hiperkinetik adalah beta-blocker.3
I. Hipertensi yang Diinduksi Obata tau Toksin
Farmaseutikal, nutriseutikal, preparat herbal, dan
toksin lingkungan dapat mengakibatkan hipertensi
kronik dengan berbagai mekanisme. Beberapa
memfasilitasi konstriksi otot polos arteri dengan
meningkatkan kalsium sistolik (vitamin D, ergot
alkaloid). Banyak senyawa kimia yang menstimulasi
sistem saraf simapatetik pada possinaps
(penilefrin, penilpropanolamin), presinaps
(levodopa), ganglionik (nikotin), sentral
(bromokriptin), atau multiple (kokain, antidepresan
trisiklik). Senyawa lain seperti antiemetic dan
fenotiazin memiliki komponen antikolinergik yang
mengurangi efek vasodilatasi vaskular oleh
persarafan parasimpatik. Pemberian simpatomimetik
dalam jangka waktu lama (fenfluramin, fensiklidin)
dapat member efek pada arteri sistemik dan pulmonal
sehingga dapat menimbulkan hipertensi yang permanen
bahkan setelah pemberian obat dihentikan. Umumnya,
hormon eksogen seperti growth hormon dan tiroid
dapat meningkatkan tekanan darah melalui efek
metabolic yang meningkatkan denyut jantung dan
39
kontraktilitas otot jantung serta memiliki efek
persisten pada remodeling vaskular. Pemberian
medikasi (glukokortikoid, mineralkortikoid,
fenilbutazon) dan substansi diet (licorice) dapat
menstimulasi retensi air dan garam melalui agonis
reseptor aldosteron. Inhibitor calcineurin
(siklosporin) dapat menyebabkan hipertensi dengan
beberapa mekanisme seperti vasokonstriksi dan
retensi volume.3,11
Pemaparan terhadap logam berat seperti talium,
cadmium, dan arsen seperti yang mungkin ditemukan
pada cat dan pestisida dapat berhubungn dengan
timbulnya hipertensi. Ginseng dan Ma Huang
(efedra) dapat berhubungan dengan hipertensi,
kadang berat dan akut dan biasanya berhubungan
dengan hipertensi emergensi. Vitamin dan analognya
serta mineral mikronutrien dapat mengeksaserbasi
atau menyebabkan hipertensi, tergantung dosis yang
diberikan. Paparan organofosfat serta medikasi
parenteral seperti ketamin, nalokson, dan lainnya
dapat menimbulkan hipertensi akut, namun jarang
bersifat kronik.3
40
1. Hipertensi sekunder merujuk pada hipertensi
arterial dengan penyebab yang dapat diidentifikasi,
terjadi pada 5-10% populasi yang mengalami
hipertensi.
2. Penyebab paling umum hipertensi sekunder pada anak
dan remaja (0-18 tahun) adalah parenkim ginjal dan
koartasio aorta, pada dewasa muda (19-39 tahun)
adalah disfungsi tiroid, dysplasia fibromuskular,
dan penyakit parenkim ginjal, pada usia pertengahan
(40-64 tahun) adalah aldosteronisme, disfungsi
tiroid, dan obstruktif sleep apnea, serta pada usia
tua (>65 tahun) adalah stenosis arteri renal
aterosklerotik dan gagal ginjal.
3. Pendekatan umum pada pasien yang dicurigai
mengalami hipertensi sekunder pertama kali
sebaiknya mengkonfirmasi pengukuran tekanan darah
kemudian evaluasi diet serta medikasi yang diterima
pasien. Apabila hal-hal diatas tidak ada yang
menyebabkan hipertensi maka investigasi dapat
dilakukan untuk menilai penyebab fisiologis
tertentu.
4. Hipertensi sekunder dapat disebabkan karena
kelainan ginjal, endokrin, neurologi, dan aorta.
Selain itu hipertensi juga dapat muncul pada
obstructive sleep apnea, stress akut, kehamilan,
42
sirkulasi hiperdinamik, serta pada induksi obat
atau toksin tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Rimoldi SF, Scherer U, Messerli FH. Secondary Arterial
Hypertension: when, who, and how to screen? Eurheart
Journal. http://dx.doi.org/10.1093/eurheartj/ eht534.
Diakses pada tanggal 23 Desember 2013.
Viera AJ, Neutze DM. Diagnosis of Secondary
Hypertension: An Age Based Approach. American Family
Physician. 2010; 82 (12):1471-1477.
Chiong JR, Aronow WS, Khan IA, Nair CK, Vijayaraghavan
K, Dart RA, Behrenbeck TR, Geraci SA. Secondary
Hypertension: Current Diagnosis and Treatment.
International Journal of Cardiology. 2008; 124: 6-21.
43
James PA., et al. 2014 Evidence Based Guideline for the
Management of High Blood Pressure in Adults: Report
from the Panel Members Appointed to the Eight Joint
National Committee (JNC 8). Diakses pada tanggal 18
Desember 2013.
Ker JA. Secondary Hypertension. S Afr Farm Pract. 2011; 53
(5):441-442.
Kallistratos MS, Giannakopoulos A, German V. Diagnostic
Modalities of the Most Common Forms of Secondary
Hypertension. Hellenic Journal of Cardiology. 2010; 51:518-529.
Tessy A. 2009. Hipertensi pada Penyakit Ginjal. Di
dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Jakarta: Interna Publishing.
Nadeak B. Hipertensi Sekunder akibat Perubahan
Histologi Ginjal. Seri Pediatri. 2012; 13(5): 311-315.
Samara D. Penatalaksanaan Hipertensi Sekunder akibat
Perbedaan Kelainan Anatomi Renovaskular pada Usia Muda
dan Tua. J Kedokteran Trisakti. 2001; 20 (1): 27-40.
Taler SJ. Secondary Cause of Hypertension. Prim Care Clin
Office Pract. 2008; 35: 489-500.
National Heart Foundation of Australia. Guide to
Management of Hypertension 2008. Heart Foundation.
www.heartfoundation.org.au. Diakses pada Desember 2010.
44
Top Related