Everything But Arms (EBA) sebagai Instrumen Uni Eropa dalam Menangani Konflik di Afrika

20
1 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014 Everything But Arms (EBA) sebagai Instrumen Uni Eropa dalam Menangani Konflik di Afrika Dimas Fauzi 10/299695/SP/24197 Abstraksi Everything But Arms (EBA) merupakan salah satu strategi jangka panjang yang diterapkan oleh UE untuk mengatasi konflik di kawasan Afrika. EBA merupakan preferential trade agreement (PTA) antara Uni Eropa (UE) dengan negara least developed countries (LDCs) yang memberikan akses pasar kepada seluruh produk, kecuali senjata dan amunisi. Paper ini akan menjawab sebuah pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana Everything But Arms (EBA) digunakan sebagai instrumen pencegahan konflik di kawasan Afrika oleh Uni Eropa? Jawaban akan diberikan dengan menggunakan dua konsep sebagai basis analisis, yaitu konsep neoliberalisme dan konsep resosialisasi. EBA setidaknya akan mampu untuk menyelesaikan dua faktor umum penyebab konflik di Afrika, yaitu ekonomi dan pemerintahan. Meskipun demikian, dalam hal pelarangan perdagangan senjata, EBA dinilai kurang efektif untuk membatasi peredaran dan perdagangan senjata di kawasan Afrika karena adanya prinsip nonresiprokal. Keywords: Everything But Arms (EBA), Uni Eropa (UE), Least Developed Countries (LDCs), neoliberalisme, resosialisasi, kekuatan normatif Uni Eropa. 1. Pendahuluan Konflik merupakan fenomena sosial yang telah terjadi sejak awal peradaban manusia. Dalam hal ini, Afrika menjadi salah satu kawasan yang paling rentan dibanding dengan kawasan lain. Konflik yang terjadi di Afrika terjadi tidak hanya di dalam lingkup satu negara, melainkan juga antarnegara. Secara umum, konflik di Afrika disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pertentangan antaretnis, perebutan sumber daya, perebutan kekuasaan, dan perebutan wilayah. Konflik di Afrika cenderung berakhir pada kekerasan yang kemudian menimbulkan tragedi kemanusiaan, seperti genosida dan ethnic cleansing. Sebagai dampaknya, proses pembangunan di kawasan Afrika menjadi terhambat. Berbagai aktor telah terlibat dalam upaya penyelsaian dan manajemen konlik di Afrika, seperti negara, organisasi

Transcript of Everything But Arms (EBA) sebagai Instrumen Uni Eropa dalam Menangani Konflik di Afrika

1 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

Everything But Arms (EBA) sebagai Instrumen Uni Eropa dalam

Menangani Konflik di Afrika

Dimas Fauzi

10/299695/SP/24197

Abstraksi

Everything But Arms (EBA) merupakan salah satu strategi jangka panjang yang diterapkan

oleh UE untuk mengatasi konflik di kawasan Afrika. EBA merupakan preferential trade

agreement (PTA) antara Uni Eropa (UE) dengan negara least developed countries (LDCs)

yang memberikan akses pasar kepada seluruh produk, kecuali senjata dan amunisi. Paper ini

akan menjawab sebuah pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana Everything But Arms (EBA)

digunakan sebagai instrumen pencegahan konflik di kawasan Afrika oleh Uni Eropa?

Jawaban akan diberikan dengan menggunakan dua konsep sebagai basis analisis, yaitu

konsep neoliberalisme dan konsep resosialisasi. EBA setidaknya akan mampu untuk

menyelesaikan dua faktor umum penyebab konflik di Afrika, yaitu ekonomi dan

pemerintahan. Meskipun demikian, dalam hal pelarangan perdagangan senjata, EBA dinilai

kurang efektif untuk membatasi peredaran dan perdagangan senjata di kawasan Afrika karena

adanya prinsip nonresiprokal.

Keywords: Everything But Arms (EBA), Uni Eropa (UE), Least Developed Countries (LDCs),

neoliberalisme, resosialisasi, kekuatan normatif Uni Eropa.

1. Pendahuluan

Konflik merupakan fenomena sosial yang telah terjadi sejak awal peradaban manusia.

Dalam hal ini, Afrika menjadi salah satu kawasan yang paling rentan dibanding dengan

kawasan lain. Konflik yang terjadi di Afrika terjadi tidak hanya di dalam lingkup satu negara,

melainkan juga antarnegara. Secara umum, konflik di Afrika disebabkan oleh beberapa

faktor, seperti pertentangan antaretnis, perebutan sumber daya, perebutan kekuasaan, dan

perebutan wilayah. Konflik di Afrika cenderung berakhir pada kekerasan yang kemudian

menimbulkan tragedi kemanusiaan, seperti genosida dan ethnic cleansing. Sebagai

dampaknya, proses pembangunan di kawasan Afrika menjadi terhambat. Berbagai aktor telah

terlibat dalam upaya penyelsaian dan manajemen konlik di Afrika, seperti negara, organisasi

2 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

internasional, dan Non-Governmental Organizations (NGOs). Yang menjadi perhatian bagi

para aktor tersebut tidak hanya mengenai upaya penyelesaian konflik, tetapi juga pencegahan

dan rekonstruksi pascakonflik.

Uni Eropa (UE) merupakan salah satu aktor yang aktif dalam politik internasional. Tidak

hanya dengan negara intrakawasan, UE juga memiliki peran aktif dalam berbagai isu dengan

negara luar kawasan. Peran aktif UE ini dapat dilihat dari berbagai kerangka kerjasama

dengan aktor di luar kawasan, seperti Afrika, Asia, Amerika, dan Timur Tengah. Dalam

kaitannya dengan isu keamanan di kawasan Afrika, Uni Eropa menjadi salah satu aktor yang

aktif terlibat dalam upaya pencegahan, penanganan, dan rekonstruksi konflik. Secara umum,

peran aktif UE dalam pencegahan dan manajemen konflik dapat dilihat dari kerangka

kebijakan yang dibuat, seperti Communication on Conflict Prevention yang disetujui tahun

2001. Kebijakan pencegahan dan manajemen konflik UE ini menekankan pada perlunya

kerjasama dengan aktor lain dalam upaya penanganan konflik. Secara umum, strategi UE

dalam hal pencegahan konflik dibagi ke dalam dua kategori, yaitu strategi jangka panjang dan

strategi jangka pendek (Vanheusden, 2011, p.3). Strategi jangka panjang lebih menekankan

pada penyelesaian permasalahan yang menjadi pemicu konflik, sedangkan strategi jangka

pendek lebih menekankan pada respons terhadap konflik yang sedang atau akan terjadi

(Vanheusden, 2011; Perez, 2005).

Salah satu strategi jangka panjang yang diterapkan oleh UE dalam menangani konflik di

Afrika adalah melalui instrumen ekonomi. Dalam hal ini, UE telah menerapkan berbagai

kerangka kebijakan yang mendukung proses pembangunan di Afrika, seperti melalui

pemberian bantuan pembangunan dan pembukaan akses pasar. Salah satu kebijakan Uni

Eropa yang membuka akses pasar adalah Everything But Arms (EBA). EBA merupakan

bagian dari Generalised System of Preferences (GSP) yang mulai berlaku sejak tahun 2001

hingga sekarang. Melalui EBA, UE memberikan preferensi perdagangan kepada negara-

negara yang tergolong sebagai Least Developed Countries (LDCs). Melalui EBA, produk-

produk dari negara LDCs bisa memasuki pasar Eropa tanpa atau dengan penurunan tarif

dagang. Pada dasarnya, seluruh produk dari negara LDCs bisa memasuki pasar UE, kecuali

persenjataan. Hal ini karena perdagangan senjata di Afrika dinilai sebagai salah satu

penyebab terjadinya konflik di kawasan tersebut.

EBA kemudian dinilai sebagai salah satu instrumen yang digunakan oleh UE dalam hal

pencegahan konflik di negara LDCs, termasuk Afrika. Hal ini kemudian memunculkan

sebuah pertanyaan, yaitu bagaimana Everything But Arms (EBA) digunakan sebagai

instrumen pencegahan konflik di kawasan Afrika oleh Uni Eropa? Argumen awal yang

3 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

diajukan oleh penulis adalah Uni Eropa berusaha untuk menyelesaikan konflik di Afrika

dengan meningkatkan kapabilitas ekonomi negara-negara Afrika melalui pembukaan akses

pasar. Peningkatan kapabilitas ekonomi negara-negara Afrika melalui perdagangan tergolong

sebagai strategi jangka panjang yang diterapkan oleh Uni Eropa untuk mengatasi konflik di

kawasan tersebut. Strategi jangka panjang UE tersebut dapat bertujuan untuk mengentaskan

dua faktor utama penyebab konflik di Afrika, yaitu faktor ekonomi dan faktor pemerintahan.

Selain itu, pengecualian persenjataan sebagai komoditas yang boleh diperdagangkan dinilai

kurang relevan dengan prinsip nonresiprokal karena arus perdagangan senjata justru berasal

dari beberapa negara UE ke negara Afrika. Meskipun demikian, perbaikan sistem ekonomi

dan pemerintahan yang ditawarkan melalui EBA akan mampu untuk mengurangi potensi

konflik dan menekan tingkat distribusi serta perdagangan senjata secara ilegal di Afrika.

2. Kerangka Konseptual: Neoliberalisme dan Resosialisasi

Dalam paper ini, penulis akan menggunakan dua konsep, yaitu neoliberalisme dan

resosialisasi. Konsep pertama yang akan adalah neoliberalisme. Pada dasarnya,

neoliberalisme merupakan bagian dari perspektif liberalisme yang menekankan pada hak

individu (Turner, 2008; Lee & McBride, 2007). Dalam hal ekonomi, kebebasan individu ini

dimanifestasikan ke dalam bentuk pasar bebas di mana setiap orang memiliki kesempatan

yang sama untuk terlibat dalam aktifitas ekonomi. Melalui mekanisme pasar dan kebabasan

individu inilah sumber daya akan dengan sendirinya teralokasikan kepada masyarakat

(Turner, 2008). Salah satu hal yang membedakan perspektif liberalisme dengan

neoliberalisme adalah eksistensi negara dalam mekanisme pasar. Ketika kaum liberal percaya

bahwa negara seharusnya tidak memiliki peran dalam pasar, kaum neoliberal masih

memandang perlunya peran negara, yaitu untuk menjamin terpenuhinya kebebasan individu.

Dengan kata lain, negara masih memiliki peran, terutama dalam merancang kebijakan

ekonomi (Turner, 2008, p.55) dengan berbasis pada pemenuhan hak-hak individu.

Lebih lanjut, Turner (2008, pp. 4-5) mengidentifikasi empat neoliberalisme yang

kemudian akan digunakan sebagai salah satu basis analisa dalam paper ini. Adapun keempat

prinsip tersebut adalah: 1) pentingnya peran pasar untuk mengalokasikan sumber daya, 2)

komitmen terhadap Rechtsstaat (rule of law-state),1 3) minimnya intervensi negara, dan 4)

hak atas kepemilikan pribadi. Melalui keempat prinsip neoliberal tersebut, EBA dinilai

sebagai sebuah instrumen yang digunakan oleh Uni Eropa untuk mengurangi potensi konflik

1 Turner (2008, p. 4) lebih lanjut menjelaskan Rechtsstaat sebagai salah satu instrumen hukum yang mengatur hubungan antar otoritas untuk menghindari konflik kepentingan. Dalam hal ini, negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin terciptanya kohesi dan stabilitas sosial melalui penjaminan hak-hak individu.

4 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

di Afrika melalui pembukaan akses pasar. Dalam hal ini, Uni Eropa percaya bahwa

mekanisme pasar merupakan cara yang efektif untuk mengalokasikan sumber daya kepada

masyarakat Afrika. Dengan demikian, masyarakat Afrika akan mampu untuk meningkatkan

taraf ekonominya sehingga konflik cenderung dapat dihindari, mengingat salah satu

penyebab konflik di Afrika dikarenakan oleh masalah ekonomi, seperti kemiskinan.

Konsep kedua yang akan digunakan dalam paper ini adalah konsep resosialisasi. Konsep

resosialisasi merupakan konsep dalam ilmu sosiologi yang menganalisa mengenai proses

penyerapan nilai dan norma suatu masyarakat ke dalam diri seorang individu. Melalui

resosialisasi, seseorang merubah kepribadiannya sesuai dengan ketentuan atau standar yang

diterapkan oleh sebuah institusi (Stolley, 2005, p.68). Resosialisasi muncul ketika seseorang

berada di sebuah situasi atau tempat tertentu yang mengharuskannya untuk mengikuti

ketentuan yang ada. Erving Goffman menyebut tempat atau situasi terjadinya proses

resosialisasi sebagai total institution. Lebih lanjut, proses resosialisasi memiliki dua tahap,

yaitu 1) melepaskan kepribadian awal dan 2) kepribadian baru dibentuk melalui tindakan dan

tingkah laku baru sesuai dengan lingkungan di mana orang tersebut berada (Stolley, 2005,

p.68). Konsep resosialisasi ini kemudian akan diadopsi untuk melihat konteks hubungan

internasional, yaitu penerapan EBA sebagai instrumen UE untuk menangani konflik di

Afrika. Dalam hal ini, total institution merujuk pada EBA yang menjadi tempat resosialisasi

nilai dan norma Uni Eropa. Negara-negara LDCs yang berada di Afrika berperan sebagai

individu-individu yang merubah ‘kepribadiannya’ sesuai dengan nilai dan norma yang dianut

serta menjadi standar UE.

3. Konflik di Afrika: Penyebab, Dampak, dan Upaya Penyelesaian

Perkembangan konflik ini dapat dilihat dari cakupan isu, kawasan, dan aktor yang terlibat

didalamnya. Konflik dapat terjadi dikarenakan oleh berbagai alasan, seperti kemiskinan,

perebutan wilayah, perebutan kekuasaan, dll. Konflik yang terjadi saat ini tidak hanya berada

di dalam lingkup satu negara, tetapi juga antar negara. Dalam hal ini, Bowd & Chikwanha

(2010, pp. xi-xii) mengidentifikasi empat karakteristik utama yang menyebabkan konflik

antarnegara, yaitu 1) perebutan kekuasaan untuk mendapatkan kendali atas sebuah negara, 2)

pemisahan teritori yang dilakukan oleh kelompok etnis tertentu, 3) failed states, dan 4)

kemiskinan. Lebih lanjut, konflik juga melibatkan berbagai aktor di dalamnya yang tidak

terbatas pada negara, melainkan juga aktor nonnegara, seperti organisasi teroris, kelompok

etnis, dan bahkan individu.

5 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

Konflik yang terjadi di Afrika memiliki sejarah yang cukup panjang. Jika ditarik garis

lurus, konflik di Afrika telah terjadi sejak berakhirnya masa kolonialisme negara-negara

Eropa di kawasan tersebut, yaitu tahun 1960an. Namun, konflik di Afrika telah menemui era

baru ketika Perang Dingin berakhir sekitar tahun 1990an. Sejak saat itu, jumlah dan intensitas

konflik di Afrika mengalami eskalasi dibanding masa sebelumnya dengan melibatkan

beberapa dimensi, yaitu lokal, regional, internasional, dan transnasional (Mateos, 2010, p.26).

Artinya, konflik di Afrika setelah Perang Dingin tidak hanya terjadi dalam satu lingkup

negara, melainkan juga lintas batas negara serta melibatkan aktor transnasional. Greene

(2006, p. 4) menyebut konflik di Afrika setelah era 1990an sebagai “new war” yang merujuk

pada “a combination of transnational and civil conflicts involving state break-down and a

variety armed groups perpetrating terrible violence on civilians”. Konsep “new war” ini

kemudian mampu memberi gambaran bahwa konflik bersenjata di Afrika merupakan sebuah

masalah yang rumit, baik dari segi faktor, aktor, maupun dampak yang ditimbulkannya.

Jika dilihat dari segi faktor penyebab, konflik di Afrika disebabkan oleh berbagai hal,

termasuk faktor yang disebutkan oleh Bowd & Chikwanha (2010). Michailof et al. (2002)

mengidentifikasi faktor penyebab konflik di Afrika dan membaginya ke dalam dua kategori,

yaitu long-term causes dan short-term causes. Faktor jangka panjang atau long-term causes

yang melatarbelakangi konflik di Afrika adalah sejarah, perubahan demografi, kemiskinan,

tingginya tingkat buta huruf, pengangguran, dan penguasaan sumber daya alam (Michailof et

al., 2002, p.3). Sedangkan short-term causes terdiri dari exclusionary policies dan

diskriminasi, mismanajemen ekonomi, penurunan kualitas pemerintahan. Dalam hal

pemerintahan, Michailof et al. (2002, p. 4) menambahkan dua faktor yang mampu

meningkatkan potensi konflik, yaitu ketidakstabilan kondisi subregional dan mudahnya akses

untuk mendapatkan senjata. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memandang bahwa

faktor utama yang menyebabkan konflik di Afrika adalah faktor ekonomi dan buruknya

legitimasi pemerintah. Ekonomi dan pemerintahan dianggap penting karena kedua faktor

tersebut merupakan permasalahan yang dapat diperbaiki dan telah mencakup sebagian besar

faktor yang telah dijelaskan oleh beberapa akademisi. Sedangkan untuk faktor sejarah sebagai

pemicu konflik dapat diminimalisir, salah satunya melalui kerangka kerjasama dan juga

peningkatan kualitas sumber daya manusia di Afrika. Untuk itu, faktor ekonomi dan

pemerintahan menjadi penting untuk menjamin terlaksananya kerjasama antarnegara dan

peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Terlepas dari faktor penyebabnya, konflik tentunya memberikan dampak tertentu, baik

yang sifatnya positif maupun negatif. Konflik dinilai memberikan dampak positif ketika

6 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

konflik tersebut membawa perubahan kepada masyarakat, seperti perbuahan rezim otoriter

menjadi demokratis maupun konflik yang membawa kemerdekaan kepada sebuah negara.

Dalam kaitannya dengan konflik di Afrika, konflik yang terjadi sebagian besar cenderung

memberikan dampak negatif, terutama konflik yang terjadi di negara-negara LDCs, seperti

Somalia, Kongo, Sudan, dan Nigeria. Secara umum, dampak konflik di Afrika meliputi aspek

sosial dan ekonomi (AFDB, 2008; Aremu, 2010). Beberapa dampak sosial-ekonomi yang

ditimbulkan oleh konflik di Afrika, antara lain permasalahan rekonstruksi pascakonflik,

pengangguran, korban jiwa, pengungsi, dan kemiskinan (Aremu, 2010, pp.554-56). Jumlah

korban meninggal dalam konflik di Afrika sulit untuk diperhitungkan karena korban tersebut

bukan hanya berasal dari kombatan, tetapi juga warga sipil. Salah satu hasil perhitungan pada

pertengahan tahun 2008, konflik yang terjadi Republik Demokratis Kongo memakan korban

jiwa sekitar 5,4 juta jiwa dan merupakan konflik paling mematikan setelah Perang Dunia II

(AFDB, 2008, p.12). Selain itu, konflik di Afrika juga memberikan dampak sosial lain berupa

pengungsi yang biasanya melewati batas negara untuk mencari suaka atau hak asylum.

Diperkirakan pengungsi Afrika berjumlah 15 juta jiwa dan 3,5 juta di antaranya merupakan

pengungsi transnasional (Marshall, 2006, p.2).

Lebih lanjut, konflik di Afrika juga memberikan dampak berupa kerusakan fasilitas

maupun infrastruktur yang telah dibangun. Proses rekonstruksi pascakonflik kemudian

mengalami kendala karena kondisi perekonomian juga terkena dampak yang signifikan.

Salah satu dampak ekonomi yang paling dirasakan adalah peningkatan jumlah kemisikinan.

Pada tahun 1996, tingkat kemiskinan di Afrika mencapai angka 58% atau lebih dari setengah

warga Afrika pada masa itu hidup di bawah garis kemiskinan (Cuhan-Pole et al., 2013,

p.14).2 Kondisi ini diperparah oleh dampak sosial yang belum terselesaikan. Oleh karena itu,

sebagai konsekuensinya, proses pembangunan di Afrika menjadi terhambat dan kualitas

sumber daya manusia di negara-negara Afrika cenderung lebih rendah dibanding dengan

kawasan lain. Berdasarkan hasil temuan dari UNDP tahun 2005, dari 32 negara dengan

tingkat HDI yang rendah, 22 di antaranya mengalami konflik (Wordofa, 2010, p.90). Hal ini

setidaknya menunjukkan bahwa rendahnya tingkat HDI mampu menjadi indikator potensi

konflik di suatu negara.

Untuk menangani konflik yang terjadi di Afrika, berbagai upaya telah dilakukan oleh

berbagai pihak, mulai dari aktor negara hingga nonnegara. Dalam upaya penanganan konflik

di Afrika, Uni Eropa (UE) menjadi salah satu negara yang berperan aktif. Strategi yang

2 Persentase tersebut merupakan jumlah penduduk yang hidup dengan USD 1,25 atau kurang perhari.

7 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

diterapkan oleh UE dalam menangani konflik pada dasarnya dibagi menjadi dua kategori,

yaitu strategi jangka pendek dan strategi jangka panjang (Vanheusden, 2011; Perez, 2005).

Kebijakan penanganan konflik UE merupakan bagian dari kebijakan eksternal yang juga

mendasari kebijakan keamanan dan pertahanan (European Security and Defense

Policy/ESDP).3 Melalui kerangka kebijakan tersebut, UE memiliki kemampuan untuk

mengambil kebijakan terkait dengan pencegahan konflik dan manajemen krisis (Vanheusden,

2011, p.3). Oleh karena itu, sejak tahun 1990an, UE mulai mengambil peran aktif dalam

menangani konflik yang terjadi di sekitar kawasan, seperti di kawasan Balkan, Mediterania,

dan Afrika. Berdasarkan strategi keamanan UE, A Secure Europe in a Better World tahun

2003, terdapat lima ancaman yang dihadapi oleh UE, yaitu terorisme, proliferasi senjata

pemusnal massal, kejahatan terorganisir, konflik regional, dan failed states (Vanheusden,

2011, p.6). Konflik yang terjadi di Afrika kemudian dinilai sebagai ancaman terhadap

keamanan Eropa sehingga UE perlu untuk turut terlibat aktif dalam penanganan konflik.

Beberapa tindakan telah dilakukan oleh UE dalam menangani konflik di Afrika, seperti

pemberian sanksi, bantuan pembangunan, dan pembukaan akses pasar. Di samping itu, UE

dan negara-negara Afrika juga telah menyepakati “Africa-EU Joint Strategy” pada Lisbon

Summit 2007. Pada pertemuan tersebut, kedua kawasan merancang action plan 2008-2010

dalam bidang perdamaian dan keamanan, pemerintahan demokratis, HAM, perdagangan, dan

integrasi regional (Grasa & Mateos, 2010, p.24). Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh UE

cenderung menggunakan instrumen ekonomi maupun politik, bukan militer. Oleh karena itu,

upaya yang dilakukan oleh UE dinilai mampu untuk menuntaskan akar permasalahan konflik

di Afrika melalui strategi jangka panjang, salah satunya adalah instrumen ekonomi.

4. Everything But Arms (EBA)

Everything But Arms (EBA) merupakan bagian integral dari kebijakan Generalised

System of Preferences (GSP).4 EBA memberikan preferensi perdagangan kepada negara-

negara Least Developed Countries (LDCs) melalui penurunan tarif, kuota, dan hambatan

dagang lainnya. EBA mulai diterapkan sejak 5 Maret 2001 dan masih berlaku hingga saat ini.

Jika dilihat dari segi sejarah, hubungan perdagangan antara negara-negara LDCs dan UE

cukup signifikan, terutama pada era 1980an. Namun, pada era 1990an, volume perdagangan

antara LDCs dan UE mulai menurun, terutama terkait dengan eskalasi konflik di beberapa

3 Kebijakan ESDP masih mendapat pertentangan dari berbagai negara sehingga kebijakan terkait pertahanan dan keamanan sebagian besar masih berada di dalam kedaulatan masing-masing negara. 4 Terhitung sejak 1 Januari 2014, mekanisme GSP digantikan dengan GSP+. Dalam skema GSP+, aturan terkait EBA tidak mengalami perubahan.

8 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

negara LDCs Afrika setelah Perang Dingin. Kondisi ini kemudian membaik pada awal

2000an yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah ekspor dari negara LDCs ke pasar UE

sebesar 35% (Brenton, 2003, p.3). Dengan melihat potensi ini, UE kemudian menginisiasi

preferensi perdagangan kepada negara-negara LDCs melalui skema EBA. EBA menjadi salah

satu instrumen yang digunakan oleh UE untuk meningkatkan perekonomian dan membatasi

perdagangan senjata di negara-negara LDCs. Oleh karena itu, EBA dinilai sebagai salah satu

strategi jangka panjang UE dalam menangani konflik di negara-negara luar kawasan,

termasuk Afrika.

EBA hanya ditujukan kepada negara LDCs dengan memberikan konsesi perdagangan

berupa duty-free atas seluruh produk kecuali persenjataan dan amunisi (Schneider, 2012,

p.303). Meskipun demikian, pada awal implementasi EBA, masih terdapat tiga produk

pertanian yang belum diliberalisasi secara penuh, yaitu pisang, gula, dan beras.5 Selain itu,

cakupan negara yang mendapat konsesi dari EBA tidak terbatas pada teritori tertentu,

melainkan mengacu pada kategorisasi LDCs yang diberikan oleh PBB (lihat UN, 2008). Saat

ini terdapat 49 negara yang mendapat preferensi dagang UE melalui EBA dengan sekitar

7.200 konsesi tarif (Townsend, 2008, p.10). Kebijakan preferensi ini bersifat nonresiprokal

sehingga negara beneficiaries tidak memiliki kewajiban untuk memberikan konsesi yang

setimpal kepada Uni Eropa sebagai bentuk timbal balik (Commission, 2004).

Pengecualian senjata dan amunisi dalam skema EBA dinilai sebagai salah satu upaya UE

dalam mengurangi peredaran senjata di kawasan Afrika, terutama perdagangan ilegal.

Peradaran senjata di Afrika, terutama small arms and light weapons (SALW) telah

menimbulkan korban jiwa yang cukup banyak. Michael Renner memperkirakan dalam 50

tahun terakhir telah terjadi 5.994.000 kematian akibat SALW dengan rata-rata kematian

30.000 pertahun setelah Perang Dingin (Edeko, 2011, p.57). Dari segi jumlah, terdapat sekitar

640 juta SALW yang beredar di seluruh dunia di mana 100 juta di antaranya beredar di

Afrika (Che, 2007, p.9). Tidak mengherankan jika SALW mampu menjadi salah satu

penyebab terjadinya konflik bersenjata di Afrika (Schroeder & Lamb, 2006). Lemahnya

sistem hukum di beberapa negara Afrika kemudian dinilai sebagai faktor yang mendorong

perkembangan perdagangan SALW di Afrika (Anon., 2013). Meskipun demikian, jika

merujuk pada ketentuan EBA, pengurangan peredaran senjata di kawasan Afrika melalui

skema EBA nampaknya kurang efektif. Hal ini karena perdagangan senjata di kawasan

Afrika lebih didominasi oleh import yang dilakukan oleh negara-negara Afrika terhadap

5 Secara bertahap ketiga produk tersebut diliberalisasi dan pada 1 Oktober 2009 tarif atas impor gula UE mengalami penurunan sehingga mengarah pada liberalisasi gula (UNCTAD, 2008, p.ix).

9 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

senjata dari negara lain, termasuk beberapa negara Eropa seperti Inggris, Jerman, dan

Perancis. Selain itu, beberapa negara Afrika ternyata telah memiliki kemampuan untuk

memproduksi senjata SALW sehingga tingkat peredaran atau perdagangan senjata SALW

antarnegara Afrika cukup tinggi. Oleh karena itu, EBA yang hanya membuka pasar UE

kepada negara LDCs dinilai kurang mampu untuk mengurangi peredaran senjata.

Sebagai bagian dari kebijakan GSP Uni Eropa, EBA memiliki tujuan untuk menciptakan

pembangunan berkelanjutan di negara target atau yang biasa disebut sebagai beneficiaries.

Dalam memberikan konsesi kepada negara beneficiaries, Uni Eropa memberikan beberapa

ketentuan insentif yang menjadi landasan pemberian status beneficiaries, yaitu pemenuhan

prinsip sustainable development dan good governance yang ditunjukkan melalui kepatuhan

dan ratifikasi kepada konvensi inernasional.6 Ketika sebuah negara melakukan pelanggaran

terhadap ketentuan maupun prinsip yang diterangkan dalam Council Regulation, maka negara

tersebut akan, untuk sementara, ditanggguhkan statusnya sebagai negara beneficiaries.7

Selain itu, negara yang mengajukan diri sebagai negara beneficiaries juga harus memenuhi

persyaratan insentif yang diajukan oleh Uni Eropa tersebut. Dengan demikian, ketentuan-

ketentuan tersebut merupakan ketentuan integral yang berlaku bagi negara beneficiaries

maupun negara calon dalam skema GSP, GSP +, dan EBA (Gasiorek et al., n.d., p.8).

Lebih lanjut, dalam skema EBA, tidak ada skema graduation dalam hal sektor produk

seperti dalam GSP. Negara beneficiaries dalam EBA ini akan terus mendapat konsesinya

selama PBB tidak merubah statusnya sebagai negara LDCs. Oleh karena itu, terdapat

setidaknya dua kondisi yang membuat negara beneficiaries EBA kehilangan statusnya, yaitu

1) PBB menghapuskan status negara LDC terhadap negara beneficiaries EBA dan 2) negara

beneficiaries melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam

Council Regulation. Ketika kondisi pertama terjadi kepada sebuah negara beneficiaries EBA,

maka negara tersebut akan diberikan waktu selama tiga tahun untuk menyesuaikan diri dan

selama periode transisi ini negara tersebut masih mendapatkan konsesi EBA (Commission,

2013). Di sisi lain, ketika sebuah negara beneficiaries melakukan pelanggaran terhadap

ketentuan Council Regulation, maka statusnya sebagai negara beneficiaries akan

ditangguhkan sementara hingga negara tersebut kembali mematuhi peraturan dan syarat yang

diajukan oleh Uni Eropa. Jika dilihat, kebijakan EBA ini cukup menarik karena di saat

kebijakan GSP selalu mengalami perubahan dan perbaikan dari waktu ke waktu, kebijakan

6 Lihat Section 2 Article 8 Council Regulation (EC) No 732/2008 dan Annex III untuk daftar konvensi internasional yang harus dipatuhi. 7 Lihat Chapter III Section 1 Council Regulation (EC) No 732/2008 untuk ketentuan terkait temporary withdrawal.

10 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

EBA tidak mengalami perubahan sejak pertama kali diberlakukan tahun 2001.8 Hal ini sedikit

banyak menunjukkan bahwa kebijakan EBA memiliki mekanisme yang cukup jelas.

5. Analisa EBA sebagai Instrumen Pencegahan Konflik di Afrika

Pada bagian ini, penulis akan melakukan analisa isu EBA sebagai instrumen pencegahan

konflik di Afrika oleh UE dengan menggunakan dua konsep, yaitu neloberalisme dan

resosialisasi. Perlu dipahami bahwa UE menggunakan instrumen ekonomi dalam menangani

konflik di berbagai kawasan, salah satunya adalah kawasan Afrika. Adanya pola hubungan

saling ketergantungan dalam hal perdagangan membuat kedua kawasan ini cenderung

kooperatif dalam menjalin hubungan dagang. Peningkatan hubungan dagang antara UE

dengan negara-negara LDCs, khususnya di Afrika, akan memberikan dampak berupa

interdependensi. Adanya interdependensi ini kemudian mampu menjadi salah satu cara untuk

menyelesaikan konflik secara damai (Humphreys, 2011, p.142). Lebih lanjut, analisa akan

dibagi menjadi dua subbab:

5.1 Pendekatan Ekonomi: Neoliberalisme

Konflik yang terjadi di Afrika memiliki berbagai latar belakang yang berbeda sesuai

dengan konteks dari konflik tersebut. Secara umum, seperti yang telah dijelaskan pada

subbab sebelumnya, faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang dinilai sebagai pemicu

konflik di kawasan Afrika. Turner (2008) mengidentifikasi empat karakter neoliberal, yaitu

1) pentingnya peran pasar untuk mengalokasikan sumber daya, 2) komitmen terhadap

Rechtsstaat (rule of law-state), 3) minimnya intervensi negara, dan 4) hak atas kepemilikan

pribadi. Keempat karakter inilah yang kemudian akan digunakan untuk menganalisa

pandangan UE terhadap perbaikan ekonomi di Afrika sebagai upaya pencegahan konflik.

Pertama, menurut pandangan kaum neoliberal, pasar dinilai sebagai cara yang paling efektif

untuk mengalokasikan sumber daya kepada seluruh masyarakat. Berdasarkan asumsi ini, UE

membuka akses pasarnya terhadap produk dari negara-negara LDCs di sebagian besar pos

tarif (Commission, 2013). Untuk beberapa pos tarif, seperti gula dan pisang, reduksi tarif

akan dikurangi secara bertahap guna menyesuaikan kondisi domestik di UE. Pembukaan

akses pasar ini mampu meningkatkan arus perdagangan dari negara-negara LDCs di Afrika

ke pasar UE. Sebagian besar komoditi ekspor dari negara LDCs Afrika adalah produk

8 Ketentuan GSP mengalami perubahan beberapa kali yang salah satunya terkait dengan graduation atas sektor tertentu. Adapun perubahan terakhir dalam skema GSP ini terjadi pasca pemberlakuan Lisbon Treaty tahun 2009. perubahan tersebut terutama terkait dengan pengetatan ketentuan negara beneficiaries, graduation yang kemudian perubahan ini dijadikan skema baru yaitu GSP + yang akan berlaku tahun 2014 (Commission, 2012).

11 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

agrikultur yang totalnya mencapai 93,7% dari total ekspor produk agrikultur seluruh negara

LDCs ke UE pada tahun 2005 (Commission, 2005).9 Dengan membuka akses pasar kepada

negara LDCs Afrika, seluruh masyarakat di negara-negara tersebut idealnya memiliki

kesempatan yang sama untuk terlibat dalam proses pasar, termasuk memanfaatkan sumber

daya yang dimiliki. Sumber daya alam yang ada di Afrika merupakan salah satu komoditas

yang mampu diperdagangkan oleh negara-negara Afrika, mengingat memiliki 12% minyak,

42% emas, 80-90% chorium dan platinum, 60% lahan pertanian, dan juga cadangan timbel

yang banyak dari total cadangan dunia (Anon., 2013, p.8). Dengan menciptakan kondisi

perekonomian yang lebih stabil melalui perdagangan, potensi konflik di Afrika setidaknya

dapat dikurangi (AFDB, 2008; Aremu, 2010; Perez, 2005). Hal ini karena permasalahan

ekonomi yang notabene menjadi salah satu akar konflik di Afrika secara bertahap mampu

diatasi melalui peningkatan hubungan dagang dengan UE.

Kedua, dalam menjalankan perekonomian neoliberal, diperlukan adanya Rechtsstaat (rule

of law-state). Artinya, negara harus menjamin penegakan hukum yang diperlukan untuk

menjamin pelaksanaan mekanisme pasar secara sehat. Melalui penegakan hukum inilah,

tindak kecurangan dalam pasar dapat dicegah, seperti perdagangan gelap, korupsi, dan

kriminalitas. Hal ini kemudian akan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk

menjalankan mekanisme pasar. Dalam kaitannya dengan Afrika, EBA memiliki ketentuan

yang mengharuskan negara-negara beneficiaries untuk mematuhi ketentuan-kententuan

dalam hukum internasional, seperti penegakan HAM, di dalam lingkup negaranya. Dengan

adanya ketentuan tersebut, UE berusaha menjamin pemenuhan HAM dan hukum lainnya di

negara-negara LDCs Afrika. Penegakan hukum ini tentunya sangat esensial, bukan hanya

bagi perekonomian negara LDCs, tetapi juga bagi pencegahan konflik. Michailof et al. (2002,

p. 3) memandang salah satu penyebab konflik di Afrika adalah adanya kebijakan exclusion

dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Salah satu contohnya adalah konflik antara

suku Hutu dan Tutsi di Rwanda yang berujung pada genosida. Untuk menghindari konflik

serupa, diperlukan landasan hukum HAM yang salah satunya dapat dilakukan dengan

menaati (meratifikasi) instrumen hukum internasional terkait (Aremu, 2010). Oleh karena itu,

EBA dinilai mampu untuk menjadi salah satu alat penekan bagi UE kepada negara-negara

LDCs untuk meratifikasi instrumen hukum internasional dan menerapkannya di dalam

negerinya.

9 Menurut data dari PBB, jumlah negara Least Developed Countris (LDCs) atau negara miskin adalah 48, dan 33 di antaranya berada di kawasan Afrika (UN, n.d.). Oleh karena itu, Afrika menjadi kawasan yang paling banyak memperoleh keuntungan dari skema EBA ini.

12 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

Ketiga, dalam menjamin berjalannya mekanisme pasar, kaum neoliberal memandang

bahwa peran negara harus diminimalisir (Turner, 2008). Dalam sistem neoliberal, peran

negara tidak sepenuhnya dihilangkan, melainkan dikurangi hingga pada tingkat minimal.

Peran negara di sini hanyalah sebagai penjamin terlaksananya mekanisme pasar, yaitu dengan

merancang dan mengimplementasikan kebijakan yang mendukung perekonomian. Di sisi UE,

peran negara sangatlah minim karena negara hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan

yang telah disepakati pada level UE, seperti liberalisasi pasar kepada negara LDCs melalui

skema EBA. Di sisi negara-negara LDCs Afrika, peran negara adalah untuk mendukung

perkembangan industri dan perdagangan dengan UE. Negara-negara LDCs dapat menerapkan

tingkat suku bunga rendah untuk menstimulus industri melalui bantuan modal,

merestrukturisasi kebijakan ekspor negaranya, dan pilihan kebijakan lainnya yang

mendukung kinerja pasar. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa minimnya peran negara

dalam pasar akan memberikan stimulus kepada industri di negara-negara LDCs untuk

berkembang.

Terakhir adalah penjaminan hak kepemiilkan pribadi. Dalam pandangan liberal dan

neoliberal, hak kepemilikan pribadi merupakan hak esensial yang harus dijamin

pemenuhannya (Lee & McBride, 2007). Hal ini bertujuan untuk menghindari monopoli

negara atas akses terhadap sumber daya. Melalui penjaminan hak kepemilikikan pribadi,

setiap orang mampu untuk memperoleh akses terhadap sumber daya, seperti tanah pertanian,

mendirikan bangunan usaha, dan hak paten. Pemenuhan hak kepemilikan pribadi ini

kemudian akan mampu meminimalisir konflik sumber daya yang bisa berujung pada konflik

terbuka. Pasalnya, tindakan monopoli oleh negara atau elit tertentu atas hak kepemilikan

merupakan hal yangdihindari dalam sistem neoliberal sehingga konflik kepentingan relatif

dapat dihindari. Pada akhirnya, setiap orang akan mampu untuk mengembangkan usahanya

sendiri dan terlibat dalam skema perdagangan bebas EBA.

Melalui penerapan prinsip-prinsip neoliberal, UE berusaha untuk mengentaskan faktor

fundamental dalam konflik di Afrika, yaitu ekonomi. Peningkatan jumlah ekspor setelah

adanya pembukaan akses pasar Eropa memberikan kontribusi, bukan hanya pada

pertumbuhan ekonomi, melainkan juga pada penyerapan tenaga kerja dan kesempatan

pertukaran teknologi. Secara umum, perekonomian negara-negara Afrika telah mulai

mengalami pertumbuhan positif, yaitu sekitar 4,9% antara tahun 2000 dan 2008 (Leke et al.,

2010). Lebih lanjut, ketika negara-negara LDCs tersebut mampu untuk memperoleh tingkat

perekonomian yang lebih baik, maka sektor lain di negaranya dapat dikembangkan lebih

lanjut, seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya. Hal ini tentunya akan

13 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

memberikan kontribusi terhadap peningkatan kaualitas sumber daya manusia di negara-

negara LDCs. Untuk sektor-sektor ini, perkembangan mungkin baru dapat dirasakan setelah

beberapa tahun berselang, mengingat peningkatan kualitas sumber daya manusia memerlukan

pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya. Adanya peningkatan

perekonomian dana sumber daya manusia pada akhirnya akan mampu meminimalisir konflik

di Afrika dan permasalahan yang muncul akan cenderung diselsaikan dengan cara damai.

5.2 Pendekatan Sosiologi: Konsep Resosialisasi

Selain memberikan konsesi ekonomi, EBA juga mengharuskan negara beneficiaries

untuk menerapkan sistem demokrasi guna mendukung proses pemerintahan yang baik (good

governance). Untuk menganalisa isu ini, penulis menggunakan salah satu konsep dalam

sosiologi, yaitu resosialisasi. Dalam konsep resosialisasi, seorang aktor atau individu

menjalani penyerapan nilai dan norma baru yang berbeda dari nilai dan norma yang telah

sebelumnya diterima. Resosialisasi terjadi pada tempat atau situasi yang disebut sebagai total

institution. Total institution ini memiliki nilai dan norma yang harus diikuti oleh setiap

individu yang ada di dalamnya. Oleh karenanya, resosialisasi hanya bisa berlangsung di

dalam total institution tersebut. Proses resosialisasi ini akan melibatkan dua proses utama,

yaitu 1) melepaskan kepribadian awal dan 2) kepribadian baru dibentuk melalui tindakan dan

tingkah laku baru sesuai dengan lingkungan di mana orang tersebut berada (Stolley, 2005,

p.68).

Analisa dalam paper ini akan mengaplikasikan konsep sosiologi (resosialisasi) ini ke

dalam konteks hubungan internasional. Ketika sosiologi mencoba menganalisa pola interaksi

di dalam masyarakat, maka dalam hubungan internasional, interaksi dilakukan oleh negara di

dalam lingkungan masyarakat internasional. Dengan kata lain, negara merepresentasikan

individu dan sistem internasional merepresentasikan masyarakat. Sedangkan EBA

merepresentasikan total institution sebagai tempat resosialisasi terjadi. Norma yang harus

diikuti oleh negara-negara LDCs ketika menggunakan skema EBA berasal dari norma dalam

UE. Norma-norma tersebut tercantum dalam Maastricht Treaty atau Treaty of the European

Union dan menjadi basis pengambilan kebijakan UE, termasuk dalam menjalin hubungan

dengan negara lain. Dalam beberapa analisa hubungan internasional, kemampuan UE dalam

menyebarkan nilai yang dianutnya dikenal sebagai “kekuatan normatif Uni Eropa” (Manners,

2002; Panebianco & Rossi, 2004; Ciambra, 2008). Manners (2002, p.242) mengidentifikasi

lima basis utama dari kekuatan normatif UE, yaitu peace (perdamaian), liberty, demokrasi,

rule of law (aturan hukum), dan fundamental freedoms. Selain itu, Manners (2002, p. 242)

14 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

juga mengidentifikasi empat kekuatan normatif UE yang sifatnya minor, yaitu solidaritas

sosial, antidiskriminasi, pembangunan berkelanjutan, dan good governance. Secara umum,

keseluruhan kekuatan normatif UE inilah yang akan selalu dijadikan basis tindakan UE dan

menyebarkannya ke kawasan lain melalui external actions.

Dalam proses resosialisasi, seorang individu atau aktor akan melewati dua tahapan.

Tahapan yang pertama adalah melepaskan kepribadian awal. Hal ini berarti bahwa seorang

individu harus meninggalkan kepribadian lama yang tidak sesuai dengan nilai dan norma

baru dalam total institution yang ia ikuti. Dalam konteks EBA, negara-negara LDCs

diharuskan untuk meninggalkan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan norma yang dianut

oleh UE. Misalnya, beberapa negara LDCs Afrika yang mengalami konflik seringkali

melakukan pelanggaran HAM terhadap masyarakatnya. Pelanggaran HAM tersebut

seringkali terstruktur dan dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa. Kasus seperti ini terjadi

pada konflik Rwanda di mana suku Hutu dan Tutsi seolah saling membalas dendam masa

lalu, yaitu terkait dengan tindak diskriminasi terhadap suku lain saat salah satu suku

berkuasa. Tindakan diskriminasi yang bertentangan dengan salah satu norma UE ini haruslah

dihilangkan dengan menerapkan sistem penegakan hukum serta pemerintahan yang lebih

baik. Selain itu, di beberapa negara lain seperti Somalia, permasalahan yang dihadapi adalah

sistem pemerintahan yang buruk. Somalia kemudian dikategorikan sebagai failed state karena

ketidakmampuan negara untuk menjalankan fungsi pemerintahannya. Dengan menjadi negara

beneficiaries dalam EBA, Somalia harus merombak pemerintahannya dengan menerapkan

sistem demokrasi dan prinsip good governance. Beberapa contoh tersebut merupakan

gambaran mengenai pelepasan kepribadian lama yang tidak sesuai dengan nilai dan norma

baru dalam sebuah total institusion.

Setelah melepaskan kepribadian lamanya, seorang individu akan memasuki fase kedua,

yaitu pembentukan kepribadian baru melalui tindakan dan tingkah laku yang sesuai dengan

niai dan norma dalam total institution. Negara-negara LDCs yang mendapat konsesi EBA

tidak hanya diharuskan untuk meninggalkan praktik-praktik yang bertentangan dengan norma

UE, melainkan juga diharuskan untuk menerapkan norma-norma UE. Untuk dapat

menjalankan perekonomian neoliberal, negara-negara LDCs harus menerapkan sistem

demokrasi yang menjunjung perlindungan terhadap hak kebebasan, penegakan aturan hukum,

antidiskriminasi, dan norma lainnya yang akan menciptakan sebuah pemerintahan yang

bertanggung jawab (good governance). Pemenuhan norma-norma UE tersebut menjadi syarat

diberikannya status sebagai negara beneficiaries kepada negara-negara LDCs. Terdapat satu

contoh negara LDCs non-Afrika yang sempat ditolak untuk menjadi negara beneficiary

15 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

dalam skema EBA, yaitu Myanmar. Pada kasus Myanmar, penangguhan dari skema

preferential trate UE dilakukan sejak tahun 1997 hingga Myanmar melakukan upaya

demokratisasi pada tahun 2010. Pada 2012, berdasarkan usulan ILO, Myanmar kembali

dipertimbangkan sebagai negara beneficiary dalam skema EBA oleh UE. Upaya penagguhan

ini diatur lebih lanjut dalam ketentuan EBA dan UE biasanya juga melakukan upaya penekan

dalam bentuk sanksi embargo kepada negara yang melanggar norma UE, seperti pelanggaran

HAM berat. Pemberian studi kasus negara LDCs di luar Afrika ini setidaknya mampu

memberi gambaran bagaimana UE menggunakan kekuatan normatifnya untuk merubah

perilaku negara lain yang dianggap ‘menyimpang’. Dapat dipahami bahwa negara-negara

LDCs yang mendapat konsesi dalam EBA diharuskan memenuhi seluruh norma UE. Ketika

negara tersebut tidak mematuhi ketentuan UE, maka negara tersebut akan mendapat sanksi

dan juga ditangguhkan statusnya sebagai negara beneficiary dalam skema EBA.

Penerapan norma-norma UE melalui proses resosialisasi akan mampu menyelesaikan

faktor kedua dalam konflik di Afrika, yaitu pemerintahan. Berbagai argumen menilai bahwa

buruknya sistem pemerintahan menjadi salah satu faktor yang menimbulkan konflik di

kawasan Afrika. Korupsi, diskriminasi, perdagangan ilegal, dan pembatasan hak-hak

fundamental telah meningkatkan tekanan terhadap masayarakat sehingga ketika terdapat

momentum, masyarakat akan cenderung untuk melampiaskan tekanan yang diperoleh dengan

cara kekerasan sehingga konflik tidak dapat dihindarkan. Hal ini diperparah dengan adanya

perdagangan senjata SALW, seperti pistol, granat, dan senjata ringan lainnya di kalangan

masyarakat. Dengan berbekal senjata SALW yang dimilikinya, masyarakat yang tertekan

akan cenderung lebih berani untuk meluapkan emosinya. Kondisi yang seperti inilah yang

tidak sesuai dengan norma UE sehingga melalui skema EBA, negara-negara LDCs didorong

untuk meninggalkan praktik yang tidak sesuai dengan norma UE untuk kemudian

menerapkan norma UE. Sebagai timbal baliknya, negara LDCs akan memperoleh akses pasar

UE secara bebas, termasuk beberapa produk yang masih berada pada masa transisi.

Sebagai tambahan, EBA dinilai kurang mampu untuk mengurangi peredaran dan

perdagangan senjata di Afrika. Hal ini karena akses pasar hanya diberikan kepada negara

LDCs untuk memasuki pasar Eropa, atau nonresiprokal. Prinsip nonresiprokal ini membuat

UE tidak memiliki kapabilitas yang cukup untuk membatasi arus perdagangan senjata karena

tidak ada larangan bagi negara-negara UE untuk menjual produk persenjataan ke negara-

negara LDCs di Afrika. Sedangkan negara-negara Afrika mendapat sebagian pasokan

senjatanya dari beberapa negara UE dan jumlah ekspor senjata dari Afrika ke UE tidak

signifikan. Dengan demikian, ketentuan perdagangan kecuali senjata dalam skema EBA

16 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

menjadi kurang relevan untuk membatasi pergerakan senjata di Afrika. Meskipun demikian,

paling tidak, ketika negara-negara LDCs di Afrika sudah menerapkan sistem pemerintahan

yang baik, tingkat distribusi senjata (SALW) ilegal bisa ditekan seminimal mungkin. Secara

tidak langsung, EBA menjadi mampu berkontribusi dalam pengurangan perdagangan dan

peredaran senjata (SALW) di Afrika.

Dengan merujuk pada hasil analisa di atas, dapat dipahami bahwa terdapat pola ‘carrot

and stick’ dalam penerapan skema EBA. Ketika negara LDCs mampu memenuhi norma UE,

maka negara-negara tersebut akan mendapat konsesi ekonomi berupa pembukaan akses pasar

UE. Namun, ketika negara tersebut tidak bisa memenuhi ekspektasi UE, maka UE akan

menangguhkan konsesi EBA dan bahkan menerapkan sanksi berupa embargo.10 Melalui

pendekatan tersebut, dapat dipahami pula bahwa UE menggunakan EBA sebagai salah satu

strategi jangka panjang atau long-term strategy dalam menangani konflik yang terjadi di

kawasan Afrika. Proses penetrasi norma-norma UE ini bisa dilihat lebih luas lagi. Dalam hal

ini, Manners (2002, pp. 244-45) mengidentifikasi dua cara dalam menyebarkan kekuatan

normatif UE, yaitu contagion dan transference. Contagion terjadi ketika persebaran norma

tidak dilakukan secara sengaja dan terstruktur. Penyebaran ini terjadi salah satunya saat UE

menjadi role model di dunia internasional. Selain itu, transference juga menjadi cara

penyebaran norma UE secara sengaja, biasanya melalui bantuan keuangan, kerjasama

perdagangan, dan kerjasama lainnya. Model penyebaran transference inilah yang dirasa

sesuai dengan analisa pada paper ini, yaitu UE berusaha untuk merubah ‘kepribadian’ negara-

negara LDCs melalui proses resosialisasi norma-norma UE dalam kerangka EBA.

6. Kesimpulan

Everything But Arms (EBA) merupakan salah satu inisiatif dan strategi jangka panjang

yang diterapkan oleh UE untuk mengatasi konflik yang terjadi di Afrika. EBA setidaknya

diharapkan untuk menyelesaikan dua permasalahan umum yang memicu konflik di Afrika,

yaitu ekonomi dan pemerintahan. Dari segi ekonomi, pemberian akses pasar kepada negara-

negara LDCs Afrika akan meningkatkan partisipasi masyarkat Afrika dalam perdagangan

internasional. Hal ini tidak hanya memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi,

melainkan juga penyerapan tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan industri di Afrika.

Selain itu, untuk mendukung sistem ekonomi pasar, pemerintah di negara-negara LDCs perlu

untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi perekonomian melalui kerangka kebijakan.

Lebiha lanjut, pemerintah negara-negara LDCs juga diharuskan untuk memperbaiki sistem

10 Penerapan sanksi oleh UE ini didasarkan pada keputusan PBB melalui resolusi yang dikeluarkannya.

17 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

pemerintahannya dengan menerapkan demokrasi, penegakan hukum , dan kebijakan

nondoskriminasi. Perubahan di negara-negara LDCs ini dinilai sebagai salah satu bentuk

resosialisasi yang merujuk pada perubahan ‘kepribadian’ negara LDCs sesuai dengan norma

yang dianut oleh UE. Lebih lanjut, ketentuan pelarangan penjualan senjata dalam EBA dinilai

tidak cukup signifikan dalam membatasi peredaran dan perdagangan senjata (SALW) di

Afrika karena adanya prinsip nonresprokal. Artinya, negara-negara LDCs Afrika masih bisa

memperoleh pasokan senjata dari beberapa negara Eropa dan kawasan lain. Meskipun

demikian, ketika negara-negara LDCs bisa memenuhi norma-norma UE dan mendapat

keuntungan ekonomi dari perdagangan yang dilakukan dengan UE, maka potensi konflik

akan mampu untuk ditekan seiring dengan tuntasnya faktor pemicu konflik di Afrika.

18 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

Referensi:

AFDB, 2008. Africa Development Report 2008/2009. New York: Oxford University Press

African Development Bank.

Anon., 2013. Economic Report on Africa 2013. Addis Ababa: Economic Commission for

Africa United Nations Economic Commission for Africa.

Anon., 2013. Small Arms Survey 2013: Everyday Dangers. New York: Cambridge University

Press Graduate Institute of International and Development Studies.

Aremu, J.O., 2010. Conflicts in Africa: Meaning, Causes, Impact and Solution. African

Research Review, 4, pp.549-60.

Bowd, R. & Chikwanha, A.B., 2010. Introduction. In Bowd, R. & Chikwanha, A.B., eds. ISS

Monograph 173. Addis Ababa, 2010. Institute for Security Studies.

Brenton, P., 2003. Integrating the Least Developed Countries into the World Trading System:

The Current Impact of EU Preferences under Everything But Arms. World Bank Policy

Research Working Paper 3018.

Che, K.N., 2007. Small Arms and Light Weapons, Africa's True WMDs: The role of SALW

in conflict and insecurity in sub-Saharan Africa. MA Thesis of European University

Center for Peace Studies.

Ciambra, A., 2008. 'Normative Power' Europe: Theory and Practice of EU Norms, The Case

of Macedonia. Jean Monnet Working Papers in Comparative and International Politics

No. 64.

Commission, E., 2004. The European Union's Rules of Origin for the Generalised System of

Preferences. Brussels: European Commission European Commission.

Commission, E., 2005. LDCs. [Online] Available at:

http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2006/june/tradoc_120307.pdf [Accessed 7 January

2014].

Commission, E., 2012. The EU's New Generalised System of Preferences. [Online] Available

at: http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2012/december/tradoc_150164.pdf [Accessed 4

January 2014].

Commission, E., 2013. Everything But Arms (EBA): Who Benefits? [Online] Available at:

http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2013/april/tradoc_150983.pdf [Accessed 4

January 2014].

Cuhan-Pole, P., Christiaensen, L. & Angwafo, M., 2013. Africa's Pulse Vo. 7. The World

Bank.

19 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

Edeko, S.E., 2011. The Proliferation of Small Arms and Light Weapons in Africa: A Case

Study of the Niger Delta in Nigeria. Sacha Journal of Environmental Studies, 1, pp.55-

80.

Gasiorek, M., Gonzalez, J.L., Holmes, P. & Parra, M.M., n.d. Mid-term Evaluation of the

EU's Generalised System of Preferences. Centre for the Analysis of Regional

Integration at Sussex.

Grasa, R. & Mateos, O., 2010. Conflict, Peace and Security in Africa: An Assessment and

New Questions After 50 Years of African Independence. ICIP Working Papers:

2010/08.

Greene, O., 2006. Conflict Prevention, Management and Reduction in Africa: Issues and

Priorities. In J. Buxton, O. Greene & C. Salonius-Pasternak, eds. Conflict Prevention,

Management and Reduction in Africa. Helsinki: Ministry for Foreign Affairs of

Finland. pp.1-36.

Humphreys, M., 2011. Economics and Violent Conflict. In E. McCandless & T. Karbo, eds.

Peace, Conflict, and Development in Africa: A Reader. Switzerland: University for

Peace. pp.140-42.

Lee, S. & McBride, S., 2007. Introduction: Neo-Liberalism, State Power and Global

Governance in the Twenty-First Century. In S. Lee & S. McBride, eds. Neo-Liberalism,

State Power and Global Governance. Dordrecht: Springer. pp.1-24.

Leke, A., Lund, S., Roxburgh, C. & van Wamelen, A., 2010. What's Driving Africa's Growth.

[Online] Available at:

http://www.mckinsey.com/insights/economic_studies/whats_driving_africas_growth

[Accessed 6 January 2014].

Manners, I., 2002. Normative Power Europe: A Contradiction in Terms? Journal on Common

Market Studies, 40, pp.235-58.

Marshall, M.G., 2006. Conflict Trends in Africa, 1946-2004: A Macro-Comparative

Perspective. GWS Group.

Mateos, O., 2010. Beyond Greed and Grievance: Towards a comprehensive approach to

African armed confl icts: Sierra Leone as a Case Study. In Bowd, R. & Chikwanha,

A.B., eds. ISS Monograph 173. Addis Ababa, 2010. Institute for Security Studies.

McIntyre, J., 1966. The Structural-Functional Approach to Family Study. In F.I. Nye & F.M.

Berardo, eds. Emerging Conceptual Framworks in Family Analysis. New York:

Macmillan. pp.52-77.

20 Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

Michailof, S., Kostner, M. & Devictor, X., 2002. Post-Conflict Recovery in Africa: An

Agenda for Africa Region. Africa Region Working Paper Series No. 30.

Panebianco, S. & Rossi, R., 2004. EU attempts to export norms of good governance to the

Mediterranean and Western Balkan countries. Jean Monnet Working Papers in

Comparative and International Politics No. 53.

Perez, J.N., 2005. EU Instruments for Conflict Prevention. FRIDE Working Paper no. 8.

Schneider, F.B., 2012. Human Rights Conditionality in the EU's Generalised System of

Preferenes: Legitimacy, Legallity and Reform. ZEuS 3, pp.301-28.

Schroeder, M. & Lamb, G., 2006. The Illicit Arms Trade in Africa: A Global Enterprise.

African Analyst, (1), pp.69-78.

Stolley, K.S., 2005. The Basics of Sociology. Westport: Greenwood Press.

Townsend, I., 2008. Eu Trade Preferences for Developing Countries: the GSP & 'Everything

But Arms'. House of Commons Library.

Turner, R.S., 2008. Neo-Liberal Ideology: History, Concepts and Policies. Edingurgh:

Edinburgh University Press.

UN, 2008. Handbook on the Least Developed Country Category: Inclusion, Graduation and

Special Support Measures. New York: UN Publishing United Nations.

UNCTAD, 2008. Generalised System of Preferences: Handbook on The Scheme of The

European Community. New York and Geneva: UNCTAD.

UN, n.d. List of Least Developed Countries. [Online] Available at:

http://www.un.org/esa/policy/devplan/profile/ldc_list.pdf [Accessed 6 January 2014].

Vanheusden, E., 2011. Overview of the Conflict Prevention Policy of the EU. MICROCON

Policy Working Paper 16.

Wordofa, D., 2010. Violent Conflict: Key obstacles for sub-Saharan Africa to Acieving the

Millenium Development Goals – Where is the evidence? In Bowd, R. & Chikwanha,

A.B., eds. Monograph 173. Addis Ababa, 2010. Insititute for Security Studies.