EVALUASI KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM DAN PROBLEMATIKA HAM MASA KONTEMPORER Oleh : Wildan Luthfi...

78
EVALUASI KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM DAN PROBLEMATIKA HAM MASA KONTEMPORER Oleh : Wildan Luthfi Nur’aripin, S.AP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang secara kodratnya melekat pada diri manusia sejak manusia dalam kadungan yang membuat manusia sadar akan jati dirinya dan membuat manusia hidup bahagia. Hak Asasi Manusia juga merupakan hak yang bersifat asasi ( Koentjoro, 1976 ). Berbicara mengenai HAM tidak terlepas dari dua hal yaitu hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut untuk menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia harus dijalankan secara seimbang. Konsekuensinya apabila dijalankan tidak seimbang maka yang terjadi tidak lain pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia baik yang bersifat berat maupun ringan. Di Indonesia secara substansi mengenai HAM sangat berbeda dengan negara lain yang sifatnya sekulerisme, Indonesia merupakan negara konstitusional dan berketuhanan untuk itu setiap menangangi sebuah permasalahan tentu harus melihat dari beberapa aspek seperti halnya Agama, Budaya, Hukum dll. Hak asasi manusia di Indonesia dibatasi oleh aturan perundangan-undangan sehingga benuk HAM di Indonesia bersifat spesifik. Penegakan HAM di Indonesia mengalami perkembangan 1

Transcript of EVALUASI KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM DAN PROBLEMATIKA HAM MASA KONTEMPORER Oleh : Wildan Luthfi...

EVALUASI KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM

DAN PROBLEMATIKA HAM MASA KONTEMPORER

Oleh : Wildan Luthfi Nur’aripin, S.AP

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang secara kodratnya

melekat pada diri manusia sejak manusia dalam kadungan yang

membuat manusia sadar akan jati dirinya dan membuat manusia

hidup bahagia. Hak Asasi Manusia juga merupakan hak yang

bersifat asasi ( Koentjoro, 1976 ). Berbicara mengenai HAM

tidak terlepas dari dua hal yaitu hak dan kewajiban.

Hak dan kewajiban tersebut untuk menjungjung tinggi Hak

Asasi Manusia harus dijalankan secara seimbang. Konsekuensinya

apabila dijalankan tidak seimbang maka yang terjadi tidak lain

pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia baik yang bersifat

berat maupun ringan.

Di Indonesia secara substansi mengenai HAM sangat berbeda

dengan negara lain yang sifatnya sekulerisme, Indonesia

merupakan negara konstitusional dan berketuhanan untuk itu

setiap menangangi sebuah permasalahan tentu harus melihat dari

beberapa aspek seperti halnya Agama, Budaya, Hukum dll.

Hak asasi manusia di Indonesia dibatasi oleh aturan

perundangan-undangan sehingga benuk HAM di Indonesia bersifat

spesifik. Penegakan HAM di Indonesia mengalami perkembangan

1

secar pesat, hal ini tercermin dengan terus terciptanya

regulasi yang mengatur HAM baik mulai dari lahoirnya UU Nomor

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 26 Tahun

2000 tentang Pengadilan HAM.

Yuridis HAM diatas tentu bertujuan sebagai salah satu

peran pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya untuk

melindungi hak-hak setiap warganya.Secara esensial yuridis HAM

tersebuttidak menghendaki terjadinya pelanggaran-pelanggaran

HAM. Namun dilapangan berkata lain yakni masih banyaknya

pelanggaran-pelangaran HAM ynag terjadi baik yang bersifat

Berat maupun Ringan. Hal inilah yang memmbuat penulis

tergelitik untuk mengatahui penyebab terjadinya pelanggaran

tersebut padahal aturan main sudah berlaku, melalui karya

ilmiah ini dengan judul “Evaluasi Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Dan

Problematika HAM Masa Kontemporer”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep dasar evaluasi ?

2. Bagaimana bentuk evaluasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan

problematika HAM masa kontemporer ?

3. Apa yang menjadi solusi dari problematika HAM masa

kontemporer ?

C. Tujuan

Tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut:

2

1. Untuk mengetahui konsep dasar evaluasi.

2. Untuk mengetahui bentuk evaluasi kasus-kasus pelanggaran

HAM dan problematika HAM masa kontemporer.

3. Untuk mengetahui solusi dari problematika HAM masa

kontemporer.

D. Kegunaan

Kegunaan dalam penyajian makalah ini secara teoritis

diharapkan mampu menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan

khususnya dalam konteks Hak Asasi Manusia teristimewa dalam

mengevaluasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan problematika HAM

masa kontemporer.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Evaluasi

3

1. Definisi Evaluasi

Kata evaluasi berasal dari Bahasa Inggris evaluation yang

berarti penilaian atau penaksiran, sedangkan menurut

pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang

terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan

menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan

tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.

Evaluasi mengandung pengertian, suatu tindakan atau suatu

proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Sebelum

membahas tentang evaluasi secara lebih luas dan mendalam,

terlebih dahulu perlu dipahami bahwa dalam praktek

seringkali terjadi kekeliruan dalam penggunaan istilah

“evaluasi”, “penilaian” dan “pengukuran”. Kenyataan seperti

itu memang dapat dipahami, mengingat bahwa diantara ketiga

istilah tersebut saling berkaitan sehingga sulit untuk

dibedakan. Namun dengan uraian berikut ini akan dapat

memperjelas perbedaan dan sekaligus hubungan antara

pengukuran, penilaian dan evaluasi.

Nitko & Brookhart (2007) mendefinisikan evaluasi sebagai

suatu proses penetapan nilai yang berkaitan dengan kinerja

dan hasil karya siswa. Evaluasi menurut Griffin dan Nix

(1991) adalah judgment terhadap nilai atau implikasi dari

hasil pengukuran. Menurut definisi ini kegiatan evaluasi

selalu didahului dengan kegiatan pengukuran dan penilaian.

Menurut Tyler (1950) evaluasi adalah proses penentuan

sejauh mana tujuan pendidikan telah tercapai.

Evaluasi adalah proses menentukan perubahan tingkah laku

dan membuat keputusan..Aktivitas evaluasi bertumpu pada

4

cirri-ciri manusia yang dapat diubah. Perdalam pertimbangan

bagi peserta didik dapat diperoleh berdasarkan

interprestasi hasil pengukuran yang dilakukan dengan

menggunakan teknik non tes. Dalam evaluasi bukan hanya

meliputi pencapaian dan kemajuan dalam elajaran tetapi

juga termasuk penafsiran semua aspek perkembangan mental

dan fisik, minat, sikap, bakat, dan emosi. Dalam

pembelajaran, evaluasi merupakan suatu proses yang

sistematis untuk menetukan harus sejauh mana tujuan

pengajaran dapat dicapai oleh peserta didik.

2. Tujuan Evaluasi

a. Memberi informasi yang valid tentang sesuatu yang

dievaluasi

b. Menilai kepastian tujuan/target dengan masalah yang

dihadapi

c. Memberi sumbangan bagi informasi lain terutama dari

segi metodologi

d. Menilai ketercapaian tujuan

e. Menyidiakan impormasi untuk tujuan bimbingan dan

konseling

f. Menjadiakan hasil evaluasi sebagai dasar perubahaan

menuju arah perbaikan

3. Fungsi Evaluasi

a. Memberikan Laporan

5

Dalam melakukan evaluasi, akan dapat disusun dan

disajikan laporan mengenai kemajuan dan perkembangan

mengenai informasi yang tentang sesuatu yang

dievaluasi.

b. Memberikan Bahan-bahan Keterangan (Data)

Setiap keputusan harus didasarkan kepada data yang

lengkap dan akurat, serta merupakan sumbangan bahan-

bahan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai

yang mendasari pemilihan tujuan.

c. Memberikan Gambaran

Gambaran mengenai hasil-hasil yang telah dicapai

dalam proses perkembangan tujuan, serta memberi

sumbangan pada aplikasi dalam bidang metodologi.

4. Pendekatan Evaluasi

a. Evaluasi Semu

Evaluasi semu merupakan pendekatan yang menggunakan

metode deskriptif untuk mengahsilkan informasi yang

valid dan dapat dipercaya.

b. Evaluasi Formal

Evaluasi Formal merupakan pendekatan untuk

mendapatkan informasi yang valid dan cepat dipercaya

yang didasarkan pada tujuan formal.

c. Evaluasi Keputusan Teori

Evaluasi keputusan teori merupakan pendekatan

evaluasi yang menggunakan metode-metode deskriptif

untuk menghasilkan informasi yuang dapat

dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil

6

yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai pendekatan

teori lainnya.

5. Evaluasi dalam perspektif agama

Evaluasi berasal dari kata “to evaluate” yang

berarti menilai. Disamping kata evaluasi terdapat pula

istilah measurement yang berarti mengukur. Pengukuran

dalam pendidikan adalah usaha untuk memahami kondisi-

kondisi objektif tenang sesuatu yang akan dinilai.

Penilaian dalam pendidikan islam akan objektif apabila

disandarkan pada nilai-nilai Al-Quran dan Al-Hadits.

Suharsimi Arikunto mengajukan tiga istilah dalam

pembahasan evaluasi yaitu, pengukuran, penilaian dan

evaluasi. Pengukuran (measurement) adalah membandingkan

sesuatu dengan suatu ukuran. Pengukuran ini bersifat

kuantitatif. Penilaian adalah mengambil suatu keputusan

terhadap sesuatu dengan ukuran baik dan buruk penilaian

ini bersifat kualitatif, sedangkan evaluasi mencakup

pengukuran dan penilaian.

Berdasarkan pengertian di atas menunujukan bahwa

pengukuran dalam pendidikan bersifat kongkrit, objektif

serta didasarkan pada ukuran-ukuran umum yang dapat

dipahami. Misalnya pelaksanaan shalat. Shalat seseorang

itu bisa diukur dan juga dinilai. Pengukuran shalat

didasrkan pada pelaksanaan syarat dan rukun-rukunnya maka

shalatnya dianggap sah apabila telah terpenuhi syarat dan

rukunnya yang menjadi patokan dan dasar dalam pengukuran

tersebut.

7

Sedangkan penilaian shalat berkaitan dengan adab-

adab dalam pelaksanaan shalat seperti keikhlasan,

kekhusuan, dan sebagainya. Penilaian biasanya lebih sulit

daripada pengukuran apabila dikaitkan dengan nilai-nilai

keagamaan, dimana yang berhak menilai sesuatu yang

batiniah adalah wewenang Allah. Dalam Al-Quran dan Al-

Hadits banyak kita temui tolak ukur dalam pendidikan

islam. Misalnya tolak ukur shalat yang sempurna adalah

dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar.

Terdapat makna evaluasi dalam Al-Quran, diantaranya:

Al-Hisab

Memiliki makna mengira, menafsirkan menghitung, dan

menganggap, misalnya dalam Al-Quran :

“Dan jika kamu melahirkan apa yang ada dihatimu atau

kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat

perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka Allah

akan mengampuni bagi siapa yang dikehendaki” (Q.S Al-

Baqarah : 284)

Al-Bala

Memiliki makna cobaan ujian. Misalnya dalam al-quran:

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji

kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan

Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”,

Al-hukm

Memiliki makna putusan atau vonis misalnya dalam al-quran

surat an-naml ayat 78

8

“Sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara

antara mereka dengan keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa

lagi Maha Mengetahui.”

Al- qodo

Memiliki arti putusan misalnya dalam al-quran surat

toha ayat 72, mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak

akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata

(mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada

Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa

yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan

dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.

An-Nazhar

Memilki makna melihat misalnya dalam Al-Quran surat

An-Namal ayat 27, berkata Sulaiman: “Akan kami lihat, apa

kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang

berdusta.

Muhasabah

Muhasabah berasal dari kata hasibah yang artinya

menghisab atau menghitung. Dalam penggunaan katanya,

muhasabah diidentikan dengan menilai diri sendiri atau

mengevaluasi, atau introspeksi diri. Sebagaimana firman

Allah: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada

Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang

telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan

bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [Q.S.Al-Hasyr

(59):18]. Adapun hadist lainnya: Umar r.a.

mengemukakan:“Hisablah diri kalian sebelum kalian

9

dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk akhirat

(yaumul hisab).

B. Evaluasi Kasus-Kasus Pelanggaran HAM dan Problematika HAM

Masa Kontemporer

1. KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM DALAM PERSFEKTIF THEORY

a. Pelanggaran Genosida

Kata genosida pertama kali digunakan oleh seorang

ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun1944

dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang

diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari

bahasa Yunani genos (ras, bangsa atau rakyat) dan bahasa

Latin caedere (pembunuhan). Genosida adalah perbuatan

yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan

ataumemusnahkan seluruh atau sebagian kelompok

bangsa,ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara

membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan

fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok;

menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan

kemusnahan secara fisik sebagian atauseluruhnya;

melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok;

memindahkansecara paksa anak-anak dalam kelompok ke

kelompok lain.

Penyelidikan tentang Pelanggaran HAM Yang Berat

10

Penyelidikan terhadap Pelanggaran HAM yang berat

dilakukan oleh:

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dalam UU No. 26

tahun 2000, pelanggaran HAM yang berat juga dapat

diselesaikanmelalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

(KKR). Tahun 2004 diundangkan UU No.27 Tahun 2004 tentang

KKR yang mempunyai tugas menyelesaikan pelanggaran HAM

yang berat dimasa lalu dan menciptakan rekonsiliasi.

Namun UU ini bertentangandengan norma-norma hukum

internasional dan merugikan kepentingan korban,sehingga

dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Di berbagai negara, KKR merupakan komisi yang

mempunyai mandat khususdiantaranya untuk menyelidiki

berbagai kasus-kasus HAM yang terjadi, memberikan

rekomendasi untuk adanya penyelesaian pelanggaran HAM

yang terjadi termasuk penuntutan pelaku, refomasi

institusi yang mendukung terjadinya pelangaran HAM dan

pemulihan kepada korban.Mahkamah Pidana Internasional

Mahkamah Pidana Internasional merupakan lembaga permanen

dan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya

atas orang-orang (pelaku) untuk kejahatan paling serius

yang menjadi perhatian internasional. Dibentuk dengan

dasar bahwasampai saat ini masih berlangsung kekejaman

yang mengguncangkan nurani umatmanusia sehingga mengancam

perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia.

Selain itu juga upaya untuk memutuskan rantai

kekebalan hukum (impunity) bagi para

pelakukejahatan.Kewenangan Mahkamah Pidana

11

Internasional :Kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam

yurisdiksi Mahkamah adalah: 1) genosida; 2) kejahatan

terhadap kemanusiaan; 3) kejahatan perang; dan; 4)

kejahatan agresi.Hubungan Mahkamah Pidana Internasional

dengan Pengadilan (HAM) Nasional :Mahkamah Pidana

Internasional adalah peradilan yang bersifat sebagai

komplementer dari yurisdiksi domestik (pengadilan

nasional), artinya mahkamah pidana internasionalhanya

berwenang untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang

menjadi yuridiksinya apabila suatu negara tidak mampu

(unable) atau mau (unwilling) mengadili kejahatan-

kejahatan tersebut. Kewenangan Mahkamah Pidana

Internasional terkait dengan hak-hak korban : Mahkamah

pidana internasional mempunyai kewenangan untuk

menetapkan prinsip - prinsip yang berkenaan dengan ganti

rugi kepada, atau berkenaan dengan, korban,termasuk

restitusi, kompensasi dan rehabilitasi.

b. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Perbudakan ”

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,

definisi perbudakan dapat kita temukan dalam Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang, di dalam penjelasan umum dijelaskan

definisi dari perbudakan sebagai berikut “Perbudakan adalah

kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa

perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan

orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan

12

yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya,

walaupun orang tersebut tidak menghendakinya.”

Di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Tindak Pidana Perdagangan Orang, perbudakan merupakan

salah satu bentuk ekploitasi manusia yang menjadi salah

satu tujuan perdagangan orang (lihat Pasal 1 angka 1, dan

angka 7). Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang juga

disebutkan bahwa perdagangan orang adalah bentuk modern

dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan

salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran

harkat dan martabat manusia.

Pelaku perbudakan dapat dijerat dengan Pasal 2

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang yang berbunyi: (1)    Setiap orang yang

melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,

pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,

penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,

penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau

memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari

orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan

mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling

lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2)    Jika perbuatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku

dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

13

Selain itu, jika melibatkan anak sebagai korban

perbudakan, maka pelaku perbudakan dapat dijerat dengan

Pasal 74 ayat (2) huruf a jo Pasal 183 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan  (“UUK”):

Pasal 74 (2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam

ayat (1) meliputi:

segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;

Pasal 183(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua)

tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

 

Dalam aspek perlindungan pekerja anak dari

perbudakan, sebagai anggota Organisasi Ketenagakerjaan

Internasional atau Internasional Labour Organization

(ILO), Indonesia juga meratifikasi Konvensi ILO No. 182

Tahun 1999 yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan

Internasional ke-87 tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa

melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang

Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the

Prohibition and Immediate Action for the Elimination of

the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182

Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan

Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak). Negara

anggota ILO yang mengesahkan konvensi ini wajib mengambil

tindakan segera dan efektifuntuk menjamin pelarangan dan

14

penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak,

yakni salah satunya adalah segala bentuk perbudakan atau

praktek sejenis perbudakan.

Di samping peraturan perundang-undangan yang telah

kami sebutkan, larangan perbudakan manusia juga diatur

dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia. Mengatur sebagai berikut: “Hak.

untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai

pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut

atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak

dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” Kemudian,

di dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia. dinyatakan:

a) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.

b) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak,

perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun

yang tujuannya serupa, dilarang.”\

c. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Aborsi ”

Menurut Encyclopedia Britania “ The American College Of

Obstericians and Gyneologist “ ada dua jenis aborsi:

1. Accident abortion, yaitu penghentian kehamilan sebelum

kematangan yang terjadi selama alami, tanpa perlakuan

medis.

15

2. Therapeutic abortion, artinya bahwa penghentian kehamilan

melakukan perlakuan tenaga medis, melalui operasi atau

penggunaan RU486 atau beberapa terapi lainnya.

Sedangkan beberapa kelompok masyarakat yang pro

kehidupan mendifinisikan aborsi sebagai sebuah tujuan

untuk menghalangi proses perkembangan yang dari waktu ke

waktu konsepsi hingga melahirkan. Adapun Aborsi menurut

beberapa pandangan aspek, diantaranya:

Aspek perspektif HAM

Ditinjau dari perspektif HAM, seorang wanita

mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan aborsi karena

merupakan bagian dari hak kesehatan reproduksi yang

sangat mendasar. Aborsi merupakan suatu kebutuhan yang

tidak dapat dihindari bagi wanita yang tidak menginginkan

kehamilannya karena adanya beberapa alasan seperti

kegagalan akibat penggunaan kontrasepsi, atau memang

sengaja tidak menggunakan kontrasepsi,. kehamilan yang

diakibatkan karena kekerasan seksual seperti pemerkosaan.

Program Aksi ICPD Cairo secara specifik menyatakan

bahwa abortsi tidak harus digunakan sebagai metode KB.

Bagaimanapun juga ketika wanita tidak mempunyai akses

untuk mendapatkan metode KB yang sesuai dan tersedia dan

tidak mampu membayar, maka banyak orang yang menggunakan

aborsi sebagai metode untuk mengatur kelahiran.5

Aspek Hukum Indonesia

16

Hukum yang ada di Indonesia seharusnya mampu

menyelamatkan ibu dari kematian akibat tindak aborsi tak

aman oleh tenaga tak terlatih (dukun). Ada lebih dari 3

aturan aborsi di Indonesia yang berlaku hingga saat ini

yaitu:

1. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan

dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar

hukum.  Sampai saat ini masih diterapkan.

2. Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Perempuan.

3. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan

yang menuliskan dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan

tindakan medis tertentu (aborsi). 

4. PP No 61 Tahun 2014 tentang pelegalan aborsi bagi

korban perkosaan

5. Pasal 299 KUHP (1) Barang siapa dengan sengaja

mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati,

dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa

karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan,

diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun

atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu

rupiah..

Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari

keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai

pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib,

bidan atau juruobat, pidananya dapat ditambah

17

sepertiga (3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan

tersebut dalam menjalankan pencariannya, dapat dicabut

haknya untuk menjalankan pencarian itu.

6. Pasal 346 KUHP. Seorang wanita yang sengaja

menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh

orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara

paling lama empat tahun.

7. Pasal 348 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau

mematikan kandungan seorang wanita dengan

persetujuannya, diancam dengan pidana penjara

paling lama lima tahun enam bulan.

Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita

tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama

tujuh tahun..

Aspek Agama

Dari sudut pandang agama Islam, pertama : Al-Qur’an

dan Aborsi: Manusia - berapapun kecilnya - adalah ciptaan

Allah yang mulia. Agama Islam sangat menjunjung tinggi

kesucian kehidupan. Banyak sekali ayat-ayat dalam Al

Qur’an yang menerangkan tentang larangan aborsi. Salah

satunya, Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah

memuliakan umat manusia.”(QS 17:70). Didalam agama

Islam, setiap tingkah laku kita terhadap nyawa orang

lain, memiliki dampak yang sangat besar. Firman Allah:

“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena

sebab-sebab yang mewajibkan hukum qishash, atau bukan

18

karena kerusuhan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah

membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang

memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka

seolah-olah dia telah memelihara keselamatan nyawa

manusia semuanya.” (QS 5:32)

Aspek Sosial Budaya

Aborsi dipandang sebagai tindakan yang tidak sesuai

dengan norma dan etika budaya ketimuran, karena budaya

timur masih memegang kuat agamanya.

Pada saat yang sama, aborsi dapat menyebabkan

masalah dalam keluarga yang merupakan bagian dari

masyarakat. Faktanya adalah bahwa sangat penting bagi

seorang wanita untuk memiliki suasana yang mendukung dari

bagian dari kerabat terdekat, yakni suami dan orangtua.

Spesialis sangat merekomendasikan mengambil keputusan

aborsi oleh kedua pasangan yang dapat membuat keluarga

kuat sedangkan perselisihan dapat mengakibatkan

perceraian.Jadi peran keluarga dalam mengambil keputusan

tidak kurang penting dibandingkan pengaruh masyarakat

atau keyakinan pribadi.

Dengan mempertimbangkan semua ,perlu untuk

mengatakan bahwa aborsi, menjadi fenomena sosial,

19

memiliki banyak lawan serta pendukung tetapi hanya

sebagian kecil yang cukup radikal dan siap untuk

menyangkal titik pandang yang berlawanan. Sebagian besar

siap untuk menerima aborsi walaupun dalam kondisi

tertentu. Ini berarti bahwa aborsi harus disahkan tetapi

pada saat yang sama harus diatur secara ketat agar tidak

membahayakan kesehatan wanita atau anak-anak mereka

Aborsi dalam pandangan masyarakat Indonesia

merupakan negara memiliki nilai dan norma yang sangat

tinggi. Masyarakat Indonesia masih memegang tinggi nilai

dan norma dalam kehidupan. Sebenarnya salah satu penyebab

tingginya aborsi di masyarakat kita adalah kebiasaan di

masyarakat juga. Tekanan masyarakat terhadap kehamilan

diluar nikah juga menjadi salah satu pemicu orang nekad

untuk aborsi. Masyarakat sendiri tidak melihat kehamilan

itu sebagai anugerah, tapi justru mencela dan mengejek

sebagai aib. Seandainya masyarakat atau paling tidak

orang tua bertindak bijak dengan memberikan support, maka

bisa jadi si calon ibu tidak sampai berpikir pendek dan

nekad.

Adanya pengaruh globalisasi yang terjadi di

Indonesia, menjadikan remaja mulai menjadikan kultur

negara - negara maju sebagai acuan hidupnya. Terkadang

remaja tidak memfilter apa yang mereka dapat, baik dan

buruk nya kultur tersebut sekedar ditiru saja. Adanya

anggapan bahwa budaya barat adalah sesuatu yang hebat dan

lebih modern. Sehingga para remaja beranggapan bahwa,

bila tidak menirukan budaya barat tersebut maka akan

20

dianggap ketinggalan jaman. Misalnya dampak dari ada nya

globalisasi dalah terjadinya pergaulan yang bebas dan

terkesan tanpa adanya kontrol.

Pada awalnya pergaulan bebas belum meluas, sehingga masih

terlihat sebagai sesuatu yang tabu. Namun dengan

berjalannya waktu, dan kurang ada nya kontrol terhadap

penetrasi budaya barat tersebut, free sex pun semakin

meluas. Sehingga free sex mulai dianggap sebagai hal yang

biasa pada sebagian orang, misalnya pada kota besar atau

metropolitan, free sex mulai menjamur, sehingga akibat

dari free sex seperti aborsi mulai banyak terjadi.

d. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Pembunuhan ”

Pembunuhan dalam bahasa arab disebut dengan istilah

al-qatl, yaitu upaya menghilangkan nyawa seseorang

sehingga menyebabkan kematian, baik dilakukan dengan

sengaja maupun tidak, baik memakai alat ataupun tidak.

Dibawah ini ada beberapa Theori terkait pembunuhan:

Aspek hukum

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang

pembunuhan, yaitu yang tercantum dalam pasal-pasal:

338 (pembunuhan biasa) dengan ancaman pidana setinggi-

tingginya 15 tahun penjara, 339 (pembunuhan dengan

pemberatan/yang dikualifisir) dengan ancaman pidana

setinggi-tingginya 5 tahun penjara, 340 (pembunuhan

berencana) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya

pidana mati atau seumur hidup atau 20 tahun penjara,

341 (pembunuhan bayi/anak biasa) dengan ancaman pidana

21

setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 342 (pembunuhan

bayi berencana) dengan ancaman pidana setinggi-

tingginya 9 tahun penjara, 343 (untuk mengancam orang

lain/selain ibu yang terlibat pembunuhan bayi) dengan

ancaman pidana setinggi-tingginya sama dengan 338 atau

340, 344 (euthanasia) dengan ancaman pidana setinggi-

tingginya 12 tahun penjara, 345 (mendorong orang lain

bunuh diri) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 4

tahun penjara, 346-349 (aborsi) dengan ancaman pidana

setinggi-tingginya (antara 4 - 12 tahun) penjara, 351

ayat 3 (penganiayaan biasa yang mengakibatkan matinya

orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 7

tahun penjara, 353 ayat 3 (penganiayaan berencana yang

mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana

setinggi-tingginya 9 tahun penjara, 354 ayat 2

(penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya orang

dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 10 tahun

penjara, 355 ayat 2 (penganiayaan berat berencana yang

mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana

setinggi-tingginya 15 tahun penjara, 359 (karena

kelalaiannya mengakibatkan matinya orang) dengan

ancaman pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara atau

satu tahun kurungan.

Dalam kasus pembunuhan sebagaimana terjadi di Patar

Selamat, terdapat beberapa pasal yang mungkin

diterapkan, kemungkinan itu adalah pada pasal-pasal:

338, 340. Bedanya 340 daripada 338 adalah, 340

didahului dengan adanya rencana terlebih dahulu,

22

artinya ada kesempatan untuk berpikir dengan tenang,

atau dalam bahasa gampangnya barangkali bisa disebut

sebagai bukan spontanitas.

Kemungkinan lainnya adalah pasal-pasal: 351 ayat (3),

353 ayat (3), 354 ayat (2), dan 355 ayat (2).Selintas

yang penulis baca di Media Bawean, Penyidik menyangkakan

dengan pasal 338. Perlu dipahaami bahwa itu boleh-boleh

saja, akan tetapi nantinya Jaksa Penuntut Umum (JPU)

akan mempelajari lebih lanjut Berita Acara Pemeriksaan

(BAP) dari Penyidik dan JPU akan menentukan dakwaan atas

dasar BAP daripada Penyidik tersebut. Sudah barang tentu

JPU tidaak akan hanya menggunakan satu pasal saja, sebab

bila hanya dengan satu pasal, dihawatirkan dalam

pemeriksaan di Pengadilan nanti tidak terbukti dengan

sah dan meyakinkan, jika itu terjadi, maka terdakwa bisa

bebas (vrijspraak), dan dalam kasus tertentu –tapi bukan

dalam kasus di Patar Selamat ini--, bisa jadi terbukti

dengan sah dan meyakinkan tapi bukanlah merupakan tindak

pidana, yang ini istilah hukumnya adalah lepas dari

segala tuntutan hukum.

Oleh sebab itu JPU akan menggunakan pasal berlapis

sebagai alternatif. Dengan menggunakan pasal berlapis

itu , maka bila satu pasal tidak terbukti dengan sah dan

meyakinkan, masih ada pasal lain yang bisa memback up,

misalnya bila pembunuhan berencana tidak terbukti dengan

sah dan meyakinkan, maka masih mungkin pembunuhan biasa,

dan bila tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan pula,

maka masih mungkin penganiayaan berat berencana yang

23

mengakibatkan matinya orang, dan seterusnya. Jadi JPU

akan menggunakan pasal berlapis dengan kriteria primer,

subsider, lebih subsider, dan seterusnya.

Di dalam memutus perkara hakim akan mempertimbangkan

tentang alasan-alasan yang meringnkan dan memberatkan,

misalnya faktor yang meringankan adalah si pelaku masih

muda, menyesali akan perbuatannya, dan sebagainya,

sedang alasan yang memberatkan misalnya karena dilakukan

di bulan suci ramadhan, menggunakan senjata tajam dan

sebagainya.

Di samping itu hakim terlebih dahulu akan mempelajari

tentang adakah alasan penghapus pidana? Alasan penghapus

pidana tersebut ada yang terdapat dalam Undang-undang,

ada pula yang terdapat di luar Undang-undang (dhi KUHP).

Alasan-alasan penghapus pidana dalam KUHP dapat kita

lihat dalam pasal-pasal:44 (kemampuan bertanggung

jawab), 45 (belum cukup umur bisa dijatuhi tindakan), 48

(overmacht/daya paksa), 49 (noodwer/pembelaan terpaksa), 50

(melaksanakan perintah undang-undang), 51 (melaksanakan

perintah jabatan). Dalam kasus di Patar Selamat dalam

ketentuan tersebut hanya satu pasal saja yang mungkin

terdapat, yaitu pasal 44, itupun nantinya harus

dibuktikan dengan alat bukti yang disebut dengan

keterangan ahli. Hanya saja sepenjang yang penulis baca

di media tidak nampak gejala itu. Perihal gangguan jiwa,

dalam KUHP diistilahkan ‘jiwanya cacat dalam

pertumbuhan’ dan ‘sakit berubah akal’ (pasal 44).

Jiwanya cacat dalam pertumbuhan, memang sedari kecil

24

sudah menderita kelainan (kata orang bawean, la deri

paloatan) misalnya idiot, dan sebagainya, sedang sakit

berubah akal adalah sakit jiwa.

Kemungkinan lain yang bisa terjadi, si terdakwa akan

berdalih, bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi hanya

ingin menganiaya saja. Untuk alasan itu maka hakim perlu

mempelajari teori tentang kesengajaan, yang dalam hal

itu ada tiga teori tentang kesengajaan, yaitu

kesengajaan sebagai maksud, sebagai sadar kepastian dan

sebagai sadar kemungkinan.

1. Kesengajaan sebagai maksud, adalah memang terdapat

hubungan langsung antara kehendak jiwa dan fakta

kejadian, misalnya terdakwa menyatakan, ‘ya…, saya

memang bermaksud membunuh oleh sebab.

2. Kesengajaan sebagai sadar kepastian, adalah memang

jiwa tidak menghendaki akibat itu terjadi, tetapi

dengan berlaku begitu pasti suatu yang tidak

dikehendaki itu akan terjadi, misalnya si terdakwa

mengatakan tidak berkehendak untuk membunuh, tapi,

siapapun kalau dipancung pasti hal yang tidak

dikehendakinya itu akan terjadi. (Hal ini tidak

terjadi pada kasus di Patar Selamat).

3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan, adalah memang

jiwa tidak menghendaki akibat itu terjadi, tapi

semestinya ia menyadari bahwa jika itu dilakukan,

kemungkinan besar akibat yang tidak dikehendakinya

itu akan terjadi, misalnya terdakwa mengatakan,

bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi mestinya ia

25

menyadari bila pedang setajam itu ditebaskan pada

bagian badan manusia akan menyebabkan pendarahan

yang hebat, dan dengan demikian kemungkinan besar si

korban akan kehabisan daran, yang tentu akan

mengakibatkan kematiannya. Apalagi bila pedang itu

mengandung racun.

Dari situlah hakim akan mengambil kesimpulan dengan apa

yang disebut ‘mengobyektifkan’. Jadi walaupun terdakwa

mengatakan tidak bermaksud, maka hakim bisa

mengkategorikan sebagai sengaja..

e. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan

“Penyiksaan/Eksploitasi“

Perspektif HAM Terhadap Anak Jalanan

Negara menempatkan posisi anak dalam kebijakan

pembangunan sejajar dengan isu politik juga ekonomi.

Pemerintah tak sepantasnya menempatkan anak sebagai

persoalan domestik. Berdasarkan Ratifikasi Konvensi

PBB tentang Hak Anak, negara berkewajiban menghormati,

melindungi, dan memenuhi hak anak tanpa diskriminasi.

Bagaimana kenyataannya? Lihatlah anak jalanan.

Berdasarkan catatan Departemen Sosial (Depsos), jumlah

anak jalanan mencapai 39.861 orang dengan sekitar 48%

di antaranya anak yang baru turun ke jalan. Catatan

itu diperoleh dari hasil survei sejak tahun 1998 di 12

kota besar di Indonesia. Secara nasional diperkirakan

terdapat sebanyak 60.000 sampai 75.000 anak jalanan.

26

Depsos juga mencatat bahwa 60% anak jalanan putus

sekolah, 80% masih berhubungan dengan keluarganya, dan

18% perempuan.

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)

mengaku menerima berbagai pengaduan dengan jumlah anak

korban kekerasan yang terus meningkat. Dari 481 kasus

pada 2004 menjadi 736 kasus pada tahun 2005, dan

meningkat lagi menjadi 1.124 kasus pada 2006. Jumlah

kekerasan terhadap anak-anak ini hanyalah jumlah yang

dilaporkan wilayah sekitar Jabodetabek. Sementara

jumlah kekerasan terhadap anak secara nasional

diperkirakan mencapai 72.000 kasus.

Dari berbagai analisis, pemicu terjadinya kekerasan

terhadap anak, di antaranya diakibatkan oleh kekerasan

dalam rumah tangga, disfungsi keluarga, ekonomi, dan

pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga.

Penyebab lainnya, terinspirasi tayangan televisi

maupun media-media lain yang tersebar di lingkungan

masyarakat. Yang mengejutkan, 62% tayangan televisi

maupun media lainnya ternyata telah membangun dan

menciptakan perilaku kekerasan terhadap anak.

Pasal 1 ayat 1 UU No 23 tahun 2002 menyebutkan, Anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas

tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal

1 KHA/Keppres No. 36/1990 menyatakan, Anak adalah

setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali

berdasarkan UU yang berlaku bagi yang ditentukan bahwa

usia dewasa dicapai lebih awal. Senada dengan itu,

27

Pasal 1 ayat 5 UU No. 39/1999 tentang HAM mengatakan,

Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18

tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih

dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi

kepentingannya.

Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan

perhatian penuh terhadap perlindungan anak karena

dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28b ayat 2

disebutkan, Setiap anak berhak atas kelangsungan

hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Sedangkan Pasal 34 (1) berbunyi, Fakir miskin dan anak

telantar dipelihara oleh negara. Di sisi lain,

perlindungan terhadap keberadaan anak ditegaskan

secara eksplisit dalam 15 pasal yang mengatur hak-hak

anak dan pasal 52 – 66 UU No. 39/1999 tentang HAM.

Secara umum dapat dikatakan, secara kuantitatif UU

sudah memberikan perlindungan kepada anak-anak. Akan

tetapi, implementasi peraturan perundang-undangan

tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Hal ini

disebabkan antara lain oleh pertama, upaya penegakan

hukum masih mengalami kesulitan. Kedua, harmonisasi

berbagai UU yang memberikan perlindungan kepada anak

dihadapkan pada berbagai hambatan. Ketiga, sosialisasi

peraturan perundang-undangan kepada masyarakat belum

sepenuhnya dapat dilakukan dengan baik. Terakhir,

keempat, kebijakan pemerintah lebih banyak

berorientasi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak

28

sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sayangnya,

banyaknya peraturan itu tidak didukung dengan

implementasinya. Harus diakui, keberadaan anak-anak

merupakan mayoritas di negeri ini. Karenanya

diperlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan

kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan

tindakan legislasi lainnya. Hak asasi anak belum

sepenuhnya terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa

konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya.

Berbagai bukti empiris menunjukkan bahwa masih

dijumpai anak-anak yang mendapat perlakuan yang belum

sesuai dengan harapan. Kendalanya antara lain,

kurangnya koordinasi antarinstansi pemerintah, belum

terlaksananya sosialisasi dengan baik, dan kemiskinan

yang masih dialami masyarakat.

Aspek Perspektif Pancasila terhadap kasus eksploitasi

anak

Menurut Undang-Undang RI No.23 Tahun 2002 tentang

perlindungan anak. Anak memiliki hak dan kewajiban

sebagai berikut : Bab III tentang Hak Anak, Pasal 4:

“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang

dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi”.

Mungkin agak ketinggalan jika saya membahas hal ini,

namun permasalahan ini masih tetap abadi di tanah air

kita. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang

29

Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam

dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai

manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak

merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat

dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan

berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa

dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap

anak berhak hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi

serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan

diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Seharusnya

penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam hal ini Hak

– Hak Anak, merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada

tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Namun,

sungguh disayangkan kenyataannya justru sebaliknya.

Di era serba semrawut ini, eksploitasi anak marak

terjadi. Eksploitasi anak dan bentuk-bentuk pekerjaan

terburuk untuk anak merupakan masalah yang kompleks,

berdimensi sosial, ekonomi dan budaya. Dari data

statistik, sekira 6 % anak Indonesia usia 10-14 tahun,

atau tak kurang dari 1,6 juta anak jadi bagian dari

angkatan kerja. Data Organisasi Buruh Internasional (ILO)

lebih heboh lagi. Di Indonesia diperkirakan lebih dari

4,2 juta anak terlibat dalam pekerjaan berbahaya atau

berisiko tinggi. Sekira 1,5 juta diantaranya adalah anak

perempuan. Sedangkan data hasil survei Universitas

Indonesia dan Program Penghapusan Buruh Anak ILO,

mengungkap, dari sekira 2,6 juta Pembantu Rumah Tangga

30

(PRT) di Indonesia saat ini, 34,83 % diantaranya anak-

anak, dan 93 % diantaranya adalah anak perempuan.

Pancasila tidak memberikan ruang untuk eksploitasi

anak-anak. Pancasila, pada sila kedua berbunyi:

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kemanusiaan berasal

dari kata manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha

Esa,yang memiliki potensi, pikir, rasa, karsa dan cipta.

Karena potensi ini manusia mempunyai dan menempati

kedudukan dan martabat yang tinggi. Kata adil mengandung

makna bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas

ukuran/norma-norma yang obyektif, dan tidak subyektif

sehingga tidak sewenang-wenang. Kata beradab berasal dari

kata adab, artinya budaya. Jadi adab mengandung arti

berbudaya, yaitu sikap hidup, keputusan dan tindakan yang

selalu dilandasi oleh nilai-nilai budaya, terutama norma

sosial dan kesusilaan/moral. Jadi, kemanusiaan yang adil

dan beradab mengandung pengertian adanya kesadaran sikap

dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi budi

nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan

kebudayaan umumnya. Salah satunya butir Pancasila sila 2

mengatakan  bahwa kita harus mengakui dan memperlakukan

manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ini mengindikasikan bahwa

Pancasila sangat menentang eksploitasi anak (child

exploitation). Sebab perbuatan tersebut merupakan sikap yang

tidak adil dan tidak beradab terhadap anak yang juga

memiliki hak untuk hidup sejahtera seperti rakyat

Indonesia pada umumnya. Disamping itu, konsitusi

31

Pancasila melarang keras melibatkan dan keterlibatan anak

dalam dunia yang penuh dengan kekerasan, baik itu

kekerasan mental maupun kekerasan fisik.

Makna adil yang telah disebutkan di atas cukup membuat

saya berpikir. Suatu keputusan diambil dengan ukuran

objektivitas sehingga tidak menimbulkan kesewenang-

wenangan. Keputusan untuk “mempekerjakan” anak pasti

merupakan keputusan yang sulit bagi orang tua manapun.

Namun sungguh benar-benar tidak adil apabila orang tua

merenggut dunia anak-anak mereka, hanya demi alasan

ekonomi. Seharusnya asas kepentingan yang terbaik bagi

anak adalah bahwa semua tindakan yang menyangkut anak

yang dilakukan orang tua berorientasi pada kepentingan

yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang

utama. Selain itu orang tua juga harus menghargai asas

penghargaan terhadap pendapat anak, yaitu penghormatan

atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan

pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika

menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.

Namun, karena sekarang eksploitasi anak semakin

merajalela, sudah sewajarnya apabila upaya perlindungan

anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari

janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan

belas) tahun. Bagaimana peran pemerintah, masyarakat dan

orang tua dalam mengatasi eksploitasi pada anak. Sebagai

regulator pemerintah mempunyai peran yang sangat penting

dalam menetapkan kebijakan yang menguntungkan dan

32

berpihak pada penegakan hak asasi manusia terutama hak

anak. Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh

pihak yang mengeksploitasi anak dapat dikenakan pidana

yang sesuai dan adil.

Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang

utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini

meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak

berdasarkan asas-asas sebagai berikut:

a) Nondiskriminasi

b) Kepentingan yang Terbaik Bagi Anak;

c) Hak untuk hidup,kelangsungan hidup,dan

perkembangan;dan

d) Penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan

perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui

lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga

swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi

sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga

pendidikan. Tujuan dari perlindungan anak ini adalah

untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat

hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang

berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Jadi, pada dasarnya proses mencapai kesejahteraan

haruslah dengan cara-cara yang berperikemanusiaan. Apapun

33

yang terkandung di dalam proses-proses tersebut harus

etis dan tidak boleh merugikan manusia individual

manapun, jangan sampai kita mengeksploitasi anak  hanya

demi kepentingan diri kita masing-masing, karena

eksploitasi anak merupakan tindakan yang sangat tidak

berkemanusiaan.

Aspek Psikologis

Dalam aspek psikologi masa kanak-kanak merupakan

periode perkembangan yang terjadi mulai akhir masa bayi

hingga sekitar usia 5 atau 6 tahun; kadang periode ini

disebut tahun-tahun prasekolah. Selama waktu tersebut,

anak kecil belajar menjadi mandiri dan merawat diri

sendiri, mereka mengembangkan keterampilan kesiapan

sekolah (mengikuti perintah, mengenali huruf) dan mereka

menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain dengan teman

sebaya. Kelas satu Sekolah Dasar biasanya menandai

berakhirnya periode ini. Masa Kanak-kanak tengah dan

akhir (middle and late childhood) merupakan periode

perkembangan yang dimulai dari sekitar usia 6 hingga usia

11 tahun; kadang periode ini disebut periode sekolah

dasar. Anak menguasai keterampilan membaca, menulis,

aritmatik, dan mereka secara formal dihadapkan pada dunia

yang lebih besar dan budayanya. Prestasi menjadi tema

sentral yang lebih dari dunia anak, dan kontrol diri

meningkat.

Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia

dalam bukunya Human Development, mengatakan bahwa anak

34

berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah

dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot

tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya,

mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa

lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa

diri mereka sendiri. Dengan bermain, anak-anak menemukan

dan mempelajari hal-hal atau keahlian baru dan belajar

(learn) kapan harus menggunakan keahlian tersebut, serta

memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Lewat

bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan

kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang.

Selain itu bermain juga didefinisikan sebagai semua

kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan

dinikmati (pleasurable and enjoyable).

Telah disebutkan di atas bahwa dunia anak adalah

dunia bermain, namun sayang sekali dewasa ini banyak

anak yang kehilangan dunia bermainnya karena

dieksploitasi. Eksploitasi dalam kamus ilmiah berarti

pemerasan atau penarikan keuntungan secara tidak wajar.

Eksploitasi terhadap anak  adalah mempekerjakan seorang

anak dengan tujuan ingin meraih keuntungan. Eksploitasi

anak dapat berupa: Eksploitasi ekonomi, penyalahgunaan

narkoba, eksploitasi & kekerasan seksual, penjualan,

perdagangan & penculikan anak,eksploitasi dalam bentuk

lain. Faktor-faktor adanya eksploitasi anak antara lain :

35

1. Tekanan ekonomi. Karena tekanan ekonomi ini orangtua

memaksa anaknya untuk menghidupi sendiri dan memenuhi

kebutuhan sekolah sendiri.

2. Tekanan psikologis. Beberapa mengalami stres karena

kurang kasih sayang, diacuhkan orang tua dan merasa

orang tua mereka terlalu banyak aturan yang menekan

perasaan mereka sama sekali tidak ada kebebasan.

Sedangkan tekanan dari luar yang mendukung mereka

ketika mendapatkan tekanan dari rumah:

1. Pengaruh teman-teman sekolah yang mulai mengenalkannya

dengan diskotik.

2. Pengaruh teman-teman kerja (pabrik, pub, billyard)

yang mengenalkan pada kerja tambahan untuk mendapatkan

uang lebih dengan menemani para tamu untuk minum atau

ngedrug.

3. Dijebak baik oleh teman sendiri, dengan menawarkan

pekerjaan. Eksploitasi anak mempunyai dampak yang

sangat buruk dikemudian hari.

Eksploitasi anak-anak dapat berakibat buruk terhadap

perkembangan jiwa meraka, karena meraka bekerja pada

lingkungan orang dewasa. Hal ini seharusnya menjadi

pelajaran bagi kita semua khususnya pemerintah jangan

cuma memperingati hari anak nasional yang jatuh pada 22

juli dengan seremonial yang mungkin memakan biaya yang

cukup banyak tapi mari kita merenung dan menatap

kebelakang bagaimana kondisi generasi penerus bangsa.

Semua orang pasti menggiginkan yang terbaik untuk anak-

36

anaknya. Oleh karena itu, berikanlah yang terbaik untuk

mereka. Jangan biarkan mereka kepanasan ditengah teriknya

sang mentari yang dihiasi dengan gumbalan asap kendaraan,

tetapi biarkanlah mereka dengan dunianya sendiri, dunia

yang penuh dengan keceriaan dan beraneka macam permainan.

Biarkan mereka dengan sejuta mimpinya untuk menatap hari

esok yang lebih baik.

f. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Pencemaran

Nama Baik “.

Aspek Hukum

Dalam KUHP pencemaran nama baik diistilahkan sebagai

penghinaan/penistaan terhadap seseorang, terdapat

dalam Bab XVI, Buku I KUHP khususnya pada Pasal 310,

Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP.

Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap

seseorang, secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal

311 ayat (1),Pasal 315, Pasal 317 ayat (1) dan Pasal

318 ayat (1) KUHP yang menyebutkan :Pasal 310 ayat

satu (1)  Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau

nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan

sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan

tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan

hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau

denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-. (2)  Kalau hal

ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang

disiarkan,dipertunjukan pada umum atau ditempelkan,

maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan

tulisan dengan hukuman penjara Sie Infokum Ditama

37

Binbangkum 3 selama-lamanya satu tahun empat bulan

atau denda sebanyakbanyaknya Rp 4.500,-. (3)  Tidak

termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika

ternyata bahwa sipembuat melakukan hal itu untuk

kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk

mempertahankan dirinya sendiri. Adapun rincian

pendukungnya dibawah ini:

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik yang dalam Pasal 27 ayat

[3] UU ITE menyatakan: “Setiap Orang dengan sengaja, dan

tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan

dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau

pencemaran nama baik.”

Pasal 45 ayat (1) UU ITE ditentukan bahwa: “Setiap

Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27

ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana

penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Pasal 311 ayat (1) UU ITE: Barangsiapa melakukan

kejahatan menista atau menista dengan tulisan,dalam hal ia diizinkan

untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang

diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan

hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

Pasal 315 KUHP: Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak

bersifat menista atau menista dengan tulisan, yang dilakukan kepada

seseorang baik ditempat umum dengan lisan, atau dengan tulisan,

maupun dihadapan orang itu sendiri dengan lisan atau dengan

38

perbuatan, begitupun dengan tulisan yang dikirimkan atau

diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan, dengan

hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau

denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.

Pasal 317 ayat (1) KUHP: Barangsiapa dengan sengaja

memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas

pemberitahuan yang palsu kepada pembesar negeri tentang

seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi

tersinggung,maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah,

dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

Pasal 318 ayat (1) KUHP: Barangsiapa dengan sengaja

dengan melakukan sesuatu perbuatan,menyebabkan orang lain

dengan palsu tersangka melakukan sesuatu perbuatan yang dapat

dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah,dengan

hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.2.      

2. CONTOH KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM

a. Kasus Pelanggaran HAM “Genosida: Study kasus OPM”

Pasca Perang Dingin, terjadi perubahan konstelasi

politik internasional. Konflik yang sebelumnya terjadi

antar-negara, bergeser menjadi konflik domestik. Perang

Dingin turut memiliki kontribusi yang signifikan dalam

mengklasifikasikan negara-negara di dunia, menjadi

golongan Komunis atau Liberal, yang secara tidak langsung

berakibat pada terjadinya konflik internal, karena

terpecahnya kelompok kepentingan masyarakat kedalam dua

ideologi tersebut. Selain mengakibatkan bergesernya jenis

konflik, setelah berakhirnya Perang Dingin, aktor

39

internasional pun memiliki peranan yang penting,

khususnya dalam penyelesaian sengketa internasional.

Konflik Papua merupakan salah satu konflik

separatisme yang terjadi di Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Awal kemunculan konflik ini ditandai dengan

dibentuknya Dewan Nugini yang kemudian menaikkan bendera

Bintang Kejora, dan menyatakan keberadaan Bangsa Papua

pada tahun 1961. Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat

Papua tersebut di inisiasikan oleh Belanda, yang menjadi

pemerintahan kolonial Indonesia sebelum dekolonisasi.

Pemerintahan Soekarno yang pada saat itu sangat menentang

kolonialisme, membentuk Tiga Komando Rakyat (Trikora)

pada tahun 1961, yang secara garis besar bertujuan untuk

melepaskan Papua dari penguasaan Belanda dan memasukkan

wilayah tersebut kedalam wilayah NKRI. Kebijakan tersebut

telah membagi masyarakat Papua kedalam kelompok pro dan

kontra.

Amerika Serikat yang pada saat itu dalam usaha untuk

mencegah masuknya komunisme ke Indonesia, meminta

dukungan dari negara-negara Barat agar Belanda bersedia

mengambil solusi politik untuk menyelesaikan sengketa

tersebut. Pada tahun 1962, dengan adanya mediasi dari

PBB, Indonesia dan Belanda melakukan Perjanjian New York

yang memerintahkan Belanda untuk menyerahkan

penguasaannya kepada United Nations Temporary Executive Authority

(UNTEA) dan meninggalkan wilayah Papua selama enam tahun

sampai dilakukannya pemungutan suara yang bertujuan untuk

menentukan posisi Papua.

40

Ketika pada tahun 1969 dilakukan Penentuan Pendapat

Rakyat (Pepera), Pemerintah Indonesia mengajukan diri

sebagai perwakilan dalam konsensus musyawarah tersebut,

dengan alasan bahwa masyarakat Papua masih dianggap

terlalu primitif dalam ”memberikan suaranya”. Hasil

pemungutan suara tersebut menunjukkan bahwa Papua menjadi

bagian dari NKRI, dan kemudian disahkan dalam Resolusi

PBB no. 2504. Sehingga pada tahun 1973, Papua resmi

menjadi milik NKRI (LIPI;2011).

Keputusan ini semakin memperluas gap antara

pemerintah NKRI dan masyarakat Papua yang kecewa karena

tidak diikutsertakan sejak dalam proses pembentukan UNTEA

sampai ketika dilakukannya pengambilan suara. Sehingga

mengakibatkan terbentuknya kelompok-kelompok militer yang

represif memperjuangkan pemisahan wilayah Papua dari

NKRI, salahsatu kelompok yang paling represif dalam

memperjuangkan hal ini ialah Organisasi Papua Merdeka

(OPM) yang telah terbentuk sejak tahun 1964. (Andrew

Tan;2007).

Kekecewaan masyarakat Papua semakin bertambah ketika

Pemerintahan Orde Baru membentuk kerjasama dengan

perusahaan pertambangan dari Amerika Serikat, yaitu

Freeport McMoRan di wilayah Timika, untuk menambang

pasokan tembaga terbear di dunia. Kebijakan Soeharto

lainnya yang semakin memperburuk situasi ialah ketika

memindahkan penduduk di Pulau Jawa ke Papua ketika di

jalankannya Program Transmigrasi. Program ini semakin

menimbulkan perpecahan sosial di wilayah Papua, karena

41

memunculkan prasangka buruk terhadap suku Jawa yang

dianggap akan semakin memarjinalkan masyarakat asli

Papua.

Respon Pemerintah Indonesia untuk meredam konflik

di Papua adalah dengan memberlakukan sejumlah Daerah

Operasi Militer (DOM) di wilayah Papua, sejak tahun 1965

(Operasi Sadar) sampai dengan tahun 2004, di Kabupaten

Puncak Jaya, setelah diberlakukannya Undang-Undang

Otonomi Khusus Papua, tahun 2001 (Neles Tebay;2009). Meskipun

tingkat kekerasan yang terjadi di Papua setelah Otsus

jauh lebih sedikit bila dibandingkan ketika era Orde Baru

(hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah korban).

Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) merupakan

kebijakan yang dibentuk ketika berada dibawah pemerintah

Presiden Megawati Soekarno putri, sebagai bentuk dari

respon pemerintah nasional dalam menyikapi tuntutan dari

masyarakat Papua untuk memisahkan diri dari NKRI.

Inisiatif untuk menyelesaikan konflik Papua dengan

jalan damai telah ada sejak tahun 1998, ketika Indonesia

berada pada Era Reformasi, yaitu dengan dilakukannya

dialog Papua dengan 100 ketua (Tim 100) dengan Presiden

Habibie, yang kemudian diberi nama Forum Rekonsiliasi

Masyarakat Irian Jaya (Foreri). Kemudian pada tahun 1999,

Presiden Abdulrahman Wahid membentuk Kongres Rakyat Papua

sebagai wadah untuk menyampaikan seluruh aspirasi

masyarakat Papua kepada pemerintahan pusat. Pada Tahun

2001, Otsus dibentuk dengan harapan dapat memuaskan

masyarakat Papua. Pemerintah berkomitmen untuk menjamin

42

eksistensi orang asli Papua, memelihara nilai-nilai

kultural, dan pemerintah bertugas membentuk peraturan

perundang-undangan untuk memperlancar UU Otsus tersebut.

Namun, delapan tahun setelah Otsus diberlakukan,

pemerintah masih menghadapi banyak permasalahan, seperti

kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum

diberlakukannya Otsus, masih banyak terjadinya penebangan

hutan liar, rendahnya tingkat pendidikan, eksplorasi SDA,

dan tingginya tingkat penyebaran HIV/AIDS menunjukkan

bahwa tujuan Otsus masih jauh dari keberhasilan.

Meskipun perkembangan dalam menciptakan perdamaian

dan keadilan di wilayah Papua berjalan dengan sangat

lambat, inisiatif dan komitmen pemerintah untuk terus

melakukan dialog damai dengan masyarakat Papua masih

terus di usahakan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

menyampaikan komitmen Pemerintahan Indonesia untuk

menyelesaikan konflik Papua dengan cara damai, seperti

ketika konflk GAM di Aceh berhasil diselesaikan.

Komitmen damai melalui jalur dialog tidak hanya

datang dari kelompok pemerintah, tetapi juga dari pihak

Papua. Kekerasan dan banyaknya korban yang berjatuhan

selama masa DOM, memunculkan tekad masyarakat Papua serta

kelompok separatisme untuk menghentikan tindakan

kekerasan. Bahkan kelompok OPM-pun yang masih bergerilya

di hutan, mendukung ide dialog perdamaian dengan

pemerintah tersebut. Dialog damai juga di prakarsai oleh

Gereja Katolik se-Papua, yang terdiri dari empat uskup,

masing-masing: Uskup Keuskupan Agung Merauke, Uskup

43

Keuskupan Agats, Uskup Keuskupan Manokwari-Sorong, dan

Uskup Keuskupan Jayapura, yang menemui mantan Presiden

Abdulrrahman Wahid, memohon untuk menyelesaikan konflik

dengan jalur dialog damai, pada tahun 2001. Menurut Neles

Tebay, meskipun komitmen untuk melakukan dialog damai

sudah muncul, namun dialog tersebut belum pernah benar-

benar terjadi, karena belum adanya rasa percaya dari

pihak-pihak yang berkonflik.

b.Kasus Pelanggaran HAM “ Perbudakan ”

Sebulan yang lalu kita dikejutkan dengan sebuah

peristiwa di sebuah pabrik di Tangerang. Peristiwa

tersebut adalah kasus Perbudakan di salah satu pabrik

kuali milik Yuki Irawan-tersangka yang sekarang sudah

ditahan di Mapolres Tangerang. Kasus ini diangkat oleh

media ketika salah satu korban perbudakan pulang ke

kampung halamannya di Lampung. Korban ini menceritakan

kejadian perbudakan kepada kepala desa dan akhirnya

pengaduan berlanjut hingga melibatkan Komisi Orang Hilang

dan Tindak Kekerasam (Kontras), Komisi Nasional Hak Azasi

Manusia (Komnas HAM), hingga Markas Besar Kepolisian

Republik Indonesia (Mabes Polri). Korban menceritakan

bahwa ia bekerja di pabrik tersebut karena di rekrut oleh

seseorang dari kampungnya yang menjanjikan gaji 700 ribu

rupiah per-bulan. Semua makan dan penginapan juga

ditanggung perusahaan.

Janji tidak seperti dengan kenyataan. Fakta di

lapangan menunjukkan bahwa para pekerja  disekap di

44

pabrik dan dipaksa membuat kuali 150-200 kuali per-hari.

Mereka bekerja dari pukul enam pagi sampai jam dua belas

malam dan hanya diberi makan pagi dan makan siang. Jika

para pekerja tidak mematuhi apa yang diperintahkan, maka

para pekerja akan dikurung di sebuah gudang yang

bersebelahan dengan pabrik.  Jika mereka mengeluh sakit,

juga akan dihajar. Para korban dari Perbudakan ini ada

sekitar 34 orang dan beberapa diantaranya anak dibawah

umur yang dipekerjakan. Para pekerja tidak berani melawan

karena dibalik mandor-mandor yang galak, terdapat pula

oknum aparat yaitu tentara dan juga anggota Brimob yang

sering berkunjung ke pabrik. Menurut pengakuan korban

pada saat melapor ke kantor Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban (LPSK) bahwa pemilik pabrik tersebut, Yuki

Irawan pernah menampar dan mengancam jika para buruh

kabur akan ditembak dan dibuang ke laut.

Kejadian tersebut telah melanggar prinsip-prinsip dari

Hak Azasi Manusia (HAM) dan juga aturan-aturan yang ada

dalam Undang-undang Ketenagakerjaan terkait waktu kerja,

keselamatan dan kesehatan kerja serta pengupahan.

Peristiwa tersebut juga melanggar Undang-undang

Perlindungan Anak dimana beberapa anak dibawah umur

dipaksa bekerja di pabrik tersebut. Dalam UU

Ketenagakerjaan Pasal 86 Ayat (1) disebutkan: Setiap

pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan

atas:

a. keselamatan dan kesehatan kerja;

45

b. moral dan kesusilaan; dan

c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat

manusia serta nilai-nilai agama.

c.Kasus Pelanggaran HAM “ Aborsi ”

Perspektif Aborsi dalam Realitas Sosial Dinamika

Masyarakat Urban Pontianak, (Selasa, 30 Oktober 2007),

aborsi bukan sesuatu yang baru terdengar secara medis

Aborsi adalah penghentian dan pengeluaran hasil kehamilan

dan janin dari rahim sebelum dapat hidup kedalam

kandungan. Harus diakui bahwa sampai saat ini praktik

aborsi masih menjadi kontroversi. Seperti apa perspektif

aborsi dalam ralitas sosial masyarakat kita? Catatan

Pringgo Pontianak Berdasarkan data yang dihimpun

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), tahun

2000 angka aborsi di Indonesia mencapai 2,3 juta kasus.

Selang setahun kemudian, angka itu naik menjadi 2,5 juta.

Ironisnya lagi, sebagian besar kasus aborsi yang terjadi

dilakukan secara sengaja (procured abortion) dan oleh

perempuan yang telah bersuami.

Fenomena lain juga terjadi mengenai kasus aborsi

yaitu, Polisi berhasil menciduk sepasang mahasiswa dari

dua perguruan tinggi berbeda atas tuduhan melakukan

perbuatan aborsi. Kasat Reskrim Polres Kendari AKP Agung

Basuki di Kendari, mengatakan bayi berjenis kelamin

perempuan ditemukan warga dalam keadaan tidak bernyawa.

Bayi malang yang diperkirakan berusia tujuh bulan dalam

kandungan dikuburkan oleh mahasiswa lelaki KI (21) di

semak-semak sekitar kompleks BTN Safira Kelurahan

46

Rahandouna, Kota Kendari Selasa (30/7) sekitar pukul

20.00 WITA. "Lelaki KI dan wanita NF (20) mengaku bahwa

bayi tidak berdosa tersebut adalah hasil hubungan mereka.

Keduanya sudah ditetapkan sebagai tersangka," ungkap

Agung Basuki seperti dikutip dari Antara, Rabu (31/7).

Mahasiswa wanita NF mengaku bayi yang dikandungnya

lahir setelah mengkonsumsi obat yang diterimanya dari

lelaki KI. Sekitar pukul 20.00 WITA lelaki KI bersama

rekannya yang masih dalam buron mengendarai sepeda motor

menuju kawasan semak belukar di sekitar kompleks BTN

Safira dengan maksud menguburkan bayi tersebut. Warga

yang sedang mengintai pencuri sapi curiga keberadaan dua

lelaki yang berboncengan motor masuk dalam semak-

semak."Kami curiga karena mendengar mereka seperti

menggali lubang untuk menanam sesuatu. Kami panggil dan

menanyakan sedang apa," kata saksi Lambeso (62). Dua

lelaki itu bukannya menjawab pertanyaan warga tetapi

bermaksud melarikan diri, namun mengurungkan niat setelah

warga mengancam membakar sepeda motor mereka. "Mereka

sempat melarikan diri dalam hutan, tetapi mendengar

sepeda motornya akan dibakar akhirnya kembali," tutur

Lambeso. Warga yang mencurigai sebagai pencuri sapi

menggiring ke Polsek Poasia, namun akhirnya dibebaskan

karena tidak cukup bukti. Pada Rabu (31/7) sekitar pukul

07.30 WITA, warga mendatangi tempat yang dicurigai adanya

sesuatu yang ditanam oleh dua lelaki tersebut. Warga

terkejut, ternyata yang dikuburkan adalah seorang bayi

perempuan dan akhirnya dilaporkan ke Polsek Poasia.

47

Polisi kemudian menciduk KI dan wanita NF yang dijerat

melanggar pasal 346 tentang aborsi dengan ancaman empat

tahun penjara. di rumah kontrakan di Jalan Jati Raya.

"Wanita NF divisum di Rumah Sakit Bhayangkara Polda

Sultra dan lelaki KI dimintai keterangan oleh penyidik,"

demikian Agung Basuki.

d.Kasus Pelanggaran HAM “ Pembunuhan ”

Pembunuhan Sri Wahyuni di Bandara Soekarno Hatta

bermula dengan penemuan jenazah membusuk di pelataran

parkir Terminal 1A Bandara Soekarno-Hatta atas nama Sri

Wahyuni (42), akhirnya terungkap sepenuhnya. Polisi

menangkap JAH (31), teman dekat sekaligus pembunuh

korban. Dari JAH, polisi pun mengorek kronologi

pembunuhan itu. Penuturan tersangka, dia telah mengenal

Sri setahun lebih. Ibu dua anak yang tengah mengurus

proses perceraian dengan suaminya itu kerap datang ke

kafe di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, tempat JAH

bekerja sehari-hari.

Bunga asmara di antara mereka. Singkat kata, keduanya

berhubungan layaknya pasangan kekasih. "Hubungannya lebih

dari teman dekat deh," ujar dia di sela pemeriksaan di

Polres Kota Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Sabtu

(22/11/2014).

Sri tuduh JAH selingkuh Jumat (18/11/2014), JAH, Sri

serta sejumlah rekannya berwisata ke kawasan Puncak,

Bogor, Jawa Barat. Acara dilanjutkan ke kafe di bilangan

48

Blok M, Jakarta Selatan dan sebuah kelab malam di kawasan

Glodok, Jakarta Barat.

Sepanjang dari Blok M hingga ke Glodok, keduanya

menenggak minuman keras hingga sedikit mabuk. Saat itu,

Sri bertanya kepada JAH, apakah benar dia berselingkuh

dengan wanita lain. JAH pun membantahnya.  Namun, Sri

yang mengaku memiliki bukti bersikeras menuduh JAH

berselingkuh. Cekcok pun dimulai.

Kasat Reskrim Polres Bandara Kompol Aszhari

Kurniawan mengatakan, Sri mengusir JAH dari mobilnya.

Namun, JAH menolak. JAH pun meminta Sri untuk

mengantarkan ke bandara jika memang tidak mau bertemu

dirinya lagi. "Bahasa marahnya tersangka, kalau gitu

antar saya ke bandara, saya mau pulang," ujar dia. JAH

dan korban masuk ke pelataran parkir Terminal 1A bandara

pada Sabtu (15/11/2014) sekitar pukul 08.00 WIB. Cekcok

masih terus terjadi di dalam mobil. Amarah JAH memuncak.

Spontan, dia yang berada di kursi sopir mencekik leher

Sri selama sekitar tiga menit. Di tangan sang kekasih,

Sri tewas. JAH sempat merebahkan sandaran jok Sri dan

menutup wajahnya dengan sehelai kain abu-abu. Aszhari

menyebut, hal tersebut agar korban tidak terlalu nampak

dari luar mobil. JAH keluar dari mobil usai menguncinya

dari dalam. Dia kemudian bertolak ke terminal

keberangkatan 1A dengan berjalan kaki. Dia membeli tiket

pesawat Lion Air ke Denpasar, Bali. JAH baru terbang

sekitar pukul 14.25 WIB. Dari Bali, dia bertolak ke

Jayapura, Papua dengan transit terlebih dahulu di49

Makassar.  JAH sempat menginap satu hari di Jayapura

sebelum terbang ke tanah kelahirannya di Nabire, Papua.

Polisi berbekal CCTV di Jakarta, waktu yang sama,

yakni pada Rabu (19/11/2014) pukul 10.00 WIB, jenazah Sri

ditemukan. Bau busuk keluar dari jenazah itu. Polisi

memeriksa rekaman CCTV pelataran parkir mobil. Di rekaman

terlihat JAH tengah keluar mobil Sri dengan wajah tegang.

Atas bekal itu, polisi melakukan pengembangan.

Tersangka dikenakan Pasal 338 KUHP tentang

penghilangan nyawa orang. Tersangka terancam hukuman 15

tahun penjara.

e.Kasus Pelanggaran HAM “ Penyiksaan/Ekspolitasi ”

Tak ada yang istimewa dari rumah di Jalan Adibrata,

Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, Bandung, Jawa

Barat itu. Sekilas, rumah milik Budi Halim ini, layaknya

tempat tinggal lain di sekitarnya. Namun rumah itu tiba-

tiba menjadi perhatian masyarakat ketika seorang anak

perempuan lulusan sekolah lanjutan pertama bernama Dewi

melapor ke Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung, awal

Juli silam. Budi Halim menyekap belasan anak buat

dipekerjakan.

Dewi adalah satu di antara anak-anak di bawah umur

yang dipekerjakan di CV Langgeng Computer Embriodery,

pabrik konveksi milik Budi Halim dan istrinya, Herawati.

Dewi kabur dari rumah Budi--yang sekaligus menjadi

50

pabrik--karena tak tahan dipekerjakan di luar batas

kemanusiaan. Polisi yang menggerebek konveksi tersebut

kemudian menemukan 12 anak berusia 11 hingga 18 tahun.

Sebagian besar dari mereka berasal dari daerah sekitar

Bandung dan Cianjur.

Dede Sutianingsih, seorang anak yang juga senasib

dengan Dewi akhirnya berkisah. Menurut gadis muda ini,

anak-anak yang bekerja di konveksi milik Budi harus

bekerja selama 12 jam dari pukul 07.00 hingga 19.00 WIB.

Mereka hanya diberi waktu istirahat setengah jam.

Parahnya, selama istirahat itu mereka dilarang ke luar

atau beranjak dari tempat kerja. "Jongkok atau berdiri

sebentar saja si Engkoh (Budi) dan si Enci (Herawati) suka

marah. Bahkan sering mencaci maki dengan kata-kata

goblok, anjing, sambil mendorong kepala," kata Dede,

miris.

Bisa jadi, penderitaan tadi tak dialami mereka,

seandainya tak ada orang yang bernama Pipin, calo

pekerja. Namun, perempuan ini malah mengaku tak menyangka

anak-anak itu akan bernasib buruk. "Kalau kursus menjahit

kan harus bayar. Sedangkan bekerja di konveksi itu bekerja

sambil belajar," kata Pipin yang mengaku mendapat upah Rp

20 ribu per anak dari Budi.

Menurut Dede, sebelumnya Pipin memang menjanjikan

iming-iming gaji lebih dari Rp 100 ribu per bulan. Selain

itu mereka juga akan diajari membordir dan menjahit.

Namun, setelah beberapa bulan bekerja, janji tinggal

janji. Gaji tak pernah mereka terima, yang ada malah

51

cacian dan makian. "Alasannya gaji belum dibayar, karena

bekerja baru empat bulan, belum setahun," kata Dede.

Sebenarnya anak-anak tadi sudah tak betah buat

tinggal dan bekerja di tempat itu. Namun Ai Solihat--yang

berusia 11 tahun--tak berani pulang kampung, karena takut

tersesat. Sementara Pipit, sempat berniat kabur, namun

pintu konveksi selalu digembok. Kini anak-anak itu

memilih pulang kampung dan kembali ke orangtuanya. Dede,

Ai Solihat, dan Pipit yang berasal dari Gunung Halu,

Bandung, mengaku belum berencana mencari pekerjaan lain.

Maklum, mereka umumnya trauma dengan perlakuan Budi dan

Herawati, sang majikan.

Budi dan Herawati yang kini resmi menjadi tersangka,

kontan membantah telah menyekap dan mempekerjakan anak-

anak di luar batas kemanusiaan. Menurut Budi, anak-anak

diterima kerja semata-mata sebagai upaya menolong

orangtua mereka. "Di antara anak-anak itu, bahkan ada

yang diserahkan langsung orangtuanya," kata lelaki yang

mendirikan konveksi sejak 1995 ini.

Apapun alasan yang dikemukakan Budi dan Herawati,

keduanya kini dikenai status tahanan rumah setelah

sebelumnya harus meringkuk di tahanan Polwiltabes

Bandung. Suami istri yang diganjar Pasal 333 Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang Perampasan

Kebebasan Seseorang itu, mengaku pasrah. Menurut Kepala

Polwiltabes Bandung Ajun Komisaris Besar Polisi Masguntur

Laupe, dari pemeriksaan awal tersangka telah menyekap

anak-anak di bawah umur. "Unsur penyekapan telah terbukti

52

dengan pintu gerbang yang digembok. Termasuk soal gaji

yang tidak dibayar," kata Masguntur.

Kasus penyekapan pekerja anak di Bandung, hanya satu

contoh dari banyak kasus buruh anak di Indonesia.

Dalam Undang-undang Perburuhan No. 20 Tahun 1999,

disebutkan bahwa usia minimum anak yang diperbolehkan

bekerja di Indonesia adalah 15 tahun. Namun dalam

praktiknya, anak di bawah usia itu pun ada yang

dipekerjakan. Kondisi memprihatinkan ini sebenarnya

sangat disadari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Namun upaya Depnakertrans belum membuahkan hasil lantaran

pengawas pekerja anak untuk seluruh Indonesia baru 150

orang.

Pekerja anak-anak memang sangat disukai sejumlah

pengusaha dengan pertimbangan antara lain tekun,

disiplin, dan bisa digaji lebih rendah. Namun, menurut

Menakertrans Jacob Nuwa Wea pandangan seperti itu tidak

dapat dibiarkan. Anak-anak, menurut Jacob, bagaimana pun

memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan waktu

bermain. "Kondisi ini kadang diperburuk dengan penegakan

hukum yang tidak adil," kata Jacob, tampak geram.

Ironisnya, Jacob mengakui, pemberantasan pekerja

anak-anak memang sangat sulit. Hal ini karena faktor

ekonomi yang kemudian diperparah dengan krisis ekonomi.

Kesulitan inilah yang kemudian banyak mendorong orangtua

memaksa anaknya untuk bekerja. "Kalau perekonomian baik,

saya kira siapa pun tak akan mempekerjakan anaknya," kata

Jacob.

53

Kendati demikian, Menurut Manajer Program Nasional

untuk Organisasi Buruh PBB (ILO) Panji Putranto tak

sepakat dengan Jacob. Menurut dia, eksploitasi pekerja

anak sebenarnya tak sulit diberantas. Semua tergantung

pada kemauan dan komitmen pemerintah. "Kenyataannya,

selama ini usaha pemerintah belum maksimal," kata Panji.

Panji mengusulkan, pemerintah membuat pilot project di

tempat atau di daerah yang pekerja anaknya cukup banyak.

Di daerah tersebut, pemerintah atau lembaga swadaya

masyarakat sudah berupaya memberikan pengertian kepada

orangtua yang mempekerjakan anak-anaknya. "Selama ini

penanganan pekerja anak-anak terkesan rumit karena

pemerintah daerah pun tak pernah mengimplementasikan

perda yang mengatur pekerja anak-anak," kata Panji.

Tampaknya derita pekerja anak Indonesia, bakal menjadi

kisah pilu yang sangat panjang.(YYT/Tim Derap Hukum SCTV)

f.Kasus Pelanggaran HAM “ Pencemaran Nama Baik ”

Kasus pencemaran nama baik RS. Omni Internasional

dengan Prita Mulyasari. Prita Mulyasari adalah seorang

ibu dua anak yang tadinya hidup biasa-biasa saja,

kemudian sontak menjadi terkenal hanya gara-gara

mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional yang

berlokasi di kawasan Tangerang, Banten pada 7 Agustus

2008.

Karena merasa tidak puas dengan perlakuan yang

diterima selama dirawat di rumah sakit tersebut, Prita

menuliskan keluhannya ini ke dalam email yang kemudian

54

dikirim ke beberapa orang temannya.Berikut adalah kutipan

isi surat yang ditulis oleh Prita.

Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa

manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi.

Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah

sakit (RS) dan title international karena semakin mewah

RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba

pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti

ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni

International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30

WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala

datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS

tersebut berstandar International, yang tentunya pasti

mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan

saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan

pemeriksaan darah dan hasilnya adalah trombosit saya

27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya

diinformasikan dan ditangani oleh dr I (umum) dan

dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan

pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama

dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit

27.000.

Dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan

saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena

saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I

adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya

55

menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah

positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan

tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien

suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit

saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab

semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa

dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan

instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai

macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien

atau keluarga pasien.

Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya

dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya

kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah

saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih

memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya

saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh

dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam

suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun

dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan

tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan

suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus

menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus

dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta

dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr

H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke

56

ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali

ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga

tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut

hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.

Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya

menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa

suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya

sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus

udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah.

Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap

virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan

dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus

dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan

diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata

menunggu dr H saja.

Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus.

Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan

seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk

diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan

obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu

dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru

datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut

penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab

awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan

sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah

57

terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya

leher kiri dan mata kiri.

Dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan.

Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke

suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh

tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai

kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai

ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa

rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak

bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher

kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali

menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat

di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya

membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya

dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab

(buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya

semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya

sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil

thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab

27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000

tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000.

Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain

dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan

58

hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka

saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang

memegang hasil lab tersebut.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni

dan diterima oleh Og (Customer Service Coordinator) dan

saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut

hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar

dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang

tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan

seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima

pengajuan komplain tertulis.

Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu

dengan manajemen. Atas nama Og (Customer Service

Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan

diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian

yang terjadi dengan saya.

Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya

meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil

lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya

diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi

thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.

Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab

masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali.

Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa

lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M

informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab,

Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan

59

alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji

akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.

Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan

dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi

karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah

sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah

parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa

laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas

dan kista.

Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan

RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit

demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam

dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya

tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini

dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi

sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat

hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke

perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu

besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan

paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang

belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat

tersebut.

Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain

dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke

rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan

ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya.

Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah

60

dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah. Ini benar-

benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah

saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat

jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan

membutuhkan waktu yang lama. Logkanya dalam tanda terima

tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan?

Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua.

Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan

nyawa orang.

Terutama Dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan

etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan

standard international yang RS ini cantum. Saya bilang ke

dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut

dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke

resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh

membuat sakit hati kami.Pihak manajemen hanya menyebutkan

mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan

mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan

dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang

mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari

sebelum masuk ke RS Omni.Kenapa saya dan suami saya

ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu

bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau

fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.

Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji

maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah

fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap

dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan

61

kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung

tertangani dengan baik.

Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan

biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya

mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi,

RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Dr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur

operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya

sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka

dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi

mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus

sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena

sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang

cukup untuk menyembuhkan.

3. PROBLEMATIKA HAM MASA KONTEMPORER

Berbicara mengenai konsep Hak Asasi Manusia di

Indonesia tentunya tidak bisa disamaratakan dengan

konsep-konsep Hak Asasi Manusia yang dsajikan di negara-

negar lain, misalnya konsep yang disajikan atau

ditawarkan oleh negara Barat yang selalu dijadikan

rujukan atau referensi mengenai konsep Hak Asasi Manusia

yang banyak digunakan oleh negara-negara di dunia,

karena Indonesia memiliki keunikan tersendiri yakni

berkenaan dengan nilai-nilai Hetrogenitas atau

kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ini,

yang dapat ditinjau dari aspek multi cultural, multi

62

etnis, multi religion yang kemudian dibalut dengan

dinirikanya bentuk negara konstitusional dan

berketuhanan. Artinya segala bentuk penegakan Hak Asasi

Manusia di Indonesia tidak hanya dibatasi dengan aturan-

aturan atau regulasi-regulasi yang dibuat secara

spesifik yang bersifat konstitusional melainkan juga

dilandasi dengan nilai-nilai ketuhanan yang dianut oleh

bangsa Indonesia.

Meskipun konsep Hak Asasi Manusia yang dimiliki

negara Indonesia dan dipegang teguh sampai hari ini

sudah dibuat dan disepakati seideal mungkin akan tetapi

sampai saat ini implementasi atau penerapannya masi jauh

dari kata maksimal, hal tersebut bisa kita lihat dari

masi banyaknya kasus-kasus yang berkenaan dengan

pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sering kita jumpai di

Indonesia sampai saat ini. Hal tersebut tentunya menjadi

hal serius yang harus diselesaikan atau paling tidak

diminimalisir karna tentunya hal-hal tersebut sangat

tidak mencerminkan bangsa Indonesia sebagai negara

konstitusional dan berketuhanan. Apabila kita analisis

secara spesifik tentunya banyak faktor yang melandasi

masalah atau problematika penegakan Hak Asasi Manusia di

Indonesia, yang dapat ditinjau dari beberapa aspek,

yakni:

1. Ditinjau Dari Aspek Keterpurukan Hukum di Indonesia

Apa yang terjadi hari ini tentunya tidak terlepas dari

apa yang diwariskan dari masa lalu, begitu juga dengan

keterpurukan hukum di Indonesia sejak masa Orde Baru

63

hingga sekarang meliputi tiga unsur sistem hukum,

sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedmann,

yaitu struktur (structure), substansi (substance), kultur

hukum (legal culture).

Struktur, yang dimaksud dengan struktur dalam sistem

hukum Indonesia adalah institusi institusi penegakan

hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan,

serta hirarki peradilan dari yang terendah (Pengadilan

Negeri, Pengadilan Agama, dan lain-lain) hingga yang

tertinggi (Mahkamah Agung), begitu juga aparat penegak

hukum yang bekerja pada institusi institusi penegakan

hukum tersebut. Problem yang terjadi berkenaan dengan

struktur ini adalah belum adanya kemandirian yudisial

yang menjamin resistensi institusi institusi penegakan

hukum terhadap intervensi pihak lain serta rendahnya

kualitas moralitas dan integritas personal aparat

penegak hukum sehingga hukum tidak dapat bekerja

secara sistemik dan proporsional, termasuk dalam

penegakan HAM.

Substansi, yaitu aturan, norma dan pola prilaku nyata

manusia yang ada dalam sistem itu atau produk produk

yang dihasilkannya berupa keputusan keputusan yang

mereka keluarkan dan mencakup pula hukum yang hidup

(living law) dan bukan hanya aturan aturan yang ada dalam

kitab undang undang (law books). Yang menjadi problem

dari substansi ini adalah kuatnya pengaruh positivisme

dalam tatanan hukum di Indonesia yang memandang hukum

sebagai sesuatu yang muncul dari otoritas yang

64

berdaulat dalam bentuk undang undang dan mengabaikan

sama sekali hukum diluar yang tersebut serta memandang

prosedur hukum sebagai segala-galanya dalam penegakan

hukum tanpa melihat apakah hal tersebut dapat

mewujudkan keadilan dan kebenaran.

Kultur hukum, yaitu suasana pikiran dan kekuatan

sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan,

dihindari, dan disalahgunakan. Kultur hukum yang

merupakan ekspressi dari tingkat kesadaran hukum

masyarakat belum kondusif bagi bekerjanya sistem hukum

secara proporsional dan berkeadilan.

Keterpurukan hukum di Indonesia yang meliputi tiga

unsur sistem hukum di atas sangat menghambat penegakan

HAM di negara kita sehingga wajar apabila kasus kasus

pelanggaran HAM yang tergolong berat hingga sekarang

tidak ada yang berhasil diusut secara tuntas dan

profesional dan sudah tentu hal ini sangat mengusik rasa

keadilan masyarakat secara umum. Selain itu secara

struktural, kemandirian institusi institusi penegakan

hukum di Indonesia masih juga menjadi problem yang cukup

serius. Institusi institusi penegakan hukum tersebut

belum cukup resisten terhadap intervensi pihak lain

terutama eksekutif, padahal penegakan HAM memerlukan

kemandirian yudisial dan pemerintahan berdasarkan hukum

(rule of law).

65

2. Ditinjau Dari Aspek Sisitem Politik Indonesia

Sistem politik transisional dari sistem politik

otoriter ke demokratis ternyata tidak bisa berjalan

mulus. Pergantian rezim dari Orde Baru ke Orde Reformasi

telah banyak menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM.

Begitu juga ketika Orde Reformasi berkuasa timbul gejolak

dan pergumulan di antara kekuatan reformasi sendiri,

tanpa menafikan pengaruh dan peran kuat orang-orang yang

pro-status quo untuk saling berebut kekuasaan, yang hal ini

juga banyak menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM,

terutama ketika militer diposisikan sebagai alat dan

pendukung  kekuasaan  yang sedang berlangsung

3. Ditinjau Dari Aspek Sistem Ekonomi Indonesia

Sistem ekonomi yang dibangun selama masa Orde Baru

terbukti belum mampu menyejahterakan dan mengangkat

martabat kehidupan bangsa Indonesia terutama rakyat kecil

yang secara kuantitatif paling banyak jumlahnya. Bahkan

sejak terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan jatuhnya

rezim Orde Baru, kondisi bangsa Indonesia semakin

terpuruk den krisis itu semakin melebar dan meluas hingga

bersifat multidimensional.

Keterpurukan ekonomi ini juga menjadi problem penegakan

HAM di negara kita, sebab bagaimana seorang akan dapat

menghormati dan menghargai serta menghayati HAM kalau ia

belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang minimum

sekalipun?

66

Dalam psikologi dikenal teori Abraham Maslow tentang

The Basic NeedHierarchy Theory yang mengatakan bahwa ada lima

tingkatan kebutuhan dasar manusia yaitu :

a) Kebutuhan pokok fisiologis

b) Kebutuhan akan keselamatan dan keamanan dari

bahaya luar

c) Kebutuhan akan cinta, kemisraan dan kebutuhan

seksual

d) Kebutuhan akan martabat, penghargaan sosial dan

harga diri serta kebutuhan diperlakukan secara

adil

e) Kebutuhan untuk aktualisasi diri dan mempunyai

sesuatu (obsesi).

Dalam konteks ini, Tjuk Wirawan berasumsi bahwa

apabila sebagian besar rakyat Indonesia sudah mampu

memenuhi kebutuhan dasarnya sampai dengan hirarki keempat

yang berarti sebagian besar rakyat sudah menginginkan

pengakuan martabat dan harga dirinya serta membutuhkan

penghargaan sosial dan ingin diperlakukan secara adil,

maka pada taraf inilah penghormatan HAM dan penegakan

serta penghayatannya  yang dibutuhkan oleh rakyat

Indonesia akan dapat dicapai.  

4. Ditinjau Dari Aspek Agama “Multi Religion”

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi

nilai-nilai HAk Asasi Manusia tentunya memberikan

kebebasan seluas-luasnya kepada seluruh masyarakatnya

untuk menentukan sendiri nasib dari pada masing-masing

67

individu termasuk dalam hal memeluk keyakinan atau Agama,

hal tersebut menyebabkan Indonesia sebagai salah satu

negara yang didalamnya terdapat beberapa keyakinan atau

agama (multi religion) setidaknya ada enam agama yang

diakui secara legalitas oleh bangsa Indonesia yakni:

Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu dan Kong hu cu.

Tentunya multi religionitas yang dimiliki bangsa

Indonesia bukanlah suatu permasalahan apabila masyarakat

Indonesia khususnya yang memiliki perbedaan dalam

keyakinan memahami betul konsep Hak Asasi Manusia yang

ditawarkan oleh bangsa Indonesia dalam hal ini terutama

mengenai toleransi antar beragama.

Akan tetapi nyatanya masi banyak masyarakat yang

menjunjung tinggi nilai-nilai fanatisme yang dibawa oleh

masing-masing agama sehingga mengakibatkan saling

menyalahkan satu sama lain, saling menghujat satu sama

lain, merasa paling benar. Tentunya hal tersebut menjadi

salah satu faktor yang sangat mudah memicu perpecahan

antar agama dan mengakibatkan terjadinya pelanggaran-

pelanggaran Hak Asasi Manusia yang diangkat dari Isu

Agama. Bukankah hal hal tersebut sering kita jumpai di

negara multi religion seperti Indonesia ini?.

5. Ditinjau Dari Aspek Rendahnya Tingkat Pendidikan di

Indonesia

Kemiskinan menjadi salah satu pekerjaan rumah yang

belum bisa diselesaikan oleh bangsa Indonesia sampai saat

ini, di era modern ini masyarakat Indonesia yang masi

68

berada dibawah garis kemiskinan masi mencapai 28,59 juta

jiwa atau 11,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia

tentunya jumlah tersebut menjadi jumlah yang masih

fantastis dan harus diselseaikan. Tentunya kemiskinan

memiliki kaitan erat dengan taraf pendidikan, karna

bagaimana masyarakat Indonesia bisa mengenyam bangku

pendidikan yang relative harus mengeluarkan biaya mahal

sementara taraf ekonominya pun berada dibawah garis

kemiskinan. Dari hal tersebut kemudian kita bisa dengan

mudah mengasumsikan masi banyak masyarakat Indonesia yang

taraf pendidikannya masi rendah.

Dari kal tersebutlah yang mengakibatkan banyak

masyarakat Indonesia yang belum mengetahui kosep Hak

Asasi Manusia sehingga sangat riskan sekali terjadinya

pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama pada

masyarakat kalangan bawah.

6. Ditinjau Dari Aspek Budaya

Seperti yang telah disampaikan diatas bahwa Negara

Indonesia ini merupakan negara yang memiliki sifat

Hetrogenitas salah satunya ditinjau dari aspek budaya,

sebagaimana kita ketahui Indonesia yang terbentang dari

Sabang sampai Marauke yang didalamnya terdiri dari pulau-

pulau yang tentunya santu sama lain memiliki ciri khas yang

berbeda yang berkenaan dengan pedoman hidup yang

ditinggalkan oleh masing-masing nenek moyang mereka yang

bisa kita sebut dengan Kebudayaan ata Kearifan Lokal.

69

Kadang kala tidak sedikit kasus yang kita jumpai

berkenaan dengan hetrogenitas kearifan lokal yang dimiliki

daerah-daerah di Indonesia yang bertentangan dengan konsep

Hak Asasi Manusia era modern. Misalnya banya daerah-daerah

yang masi memegang teguh hukum adat yang diwariskan oleh

nenek moyang mereka yang satu sama lain saling

bertentangan, tentunya ini menjadi persoalan yang benar-

benar harus diperhatiakan. Karena pabila kita melihat dari

rekaman sejarah yang terjadi di negara Indonesia tidak

sedikat kasus pelanggaran ham berat yang mengangkat isu

etnis.

7. Komklusi

Dari beberapa penjelasan mengenai Problematika

penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia yang ditinjau

dari berbagai aspek diatas, tentunya kita bisa dengan

mudah menganalisa pangkal dari pada kasus-kasus

pelanggaran Hak asasi Manusia yang terus terjadi di

negara kita ini. Dari beberapa contoh kasus pelanggaran-

pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah kami sajikan

diatas berikut adalah analisa mengenai pangkal penyebab

terjadinya pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia

Tersebut dari mulai pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi

Manusia yang bersifat berat (genosida) ataupun kejahatan-

kejahatan kemanusiaan lainnya.

Misalnya dari kasus yang hingga saat ini sering kali

kita jumpai yakni kasus Penyiksaan/Eksploitasi yang

selalu menimpa masyarakat kalangan bawah. Tentunya kosep

70

perbudakan seperti demikan sudah tidak relefan lagi

apabila masi diterapkan di era moderat seperti halnya

masa kini tentunya ini merupakan pelanggaran Hak Asasi

Manusia yang sangat nyata dan harus ditentaskan karena

hal tersebut jelas-jelas merenggut hak kemerdekaan

individu untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Apabila

ditinjau dari faktor penyebab masi terjadinya pelanggaran

HAM perbudakan/eksploitasi tersebut hingga saat ini,

tentunya bias kita tinjau dari beberapa aspek:

1) Faktor Ekonomi dan Rendahnya Taraf Pendidikan

2) Faktor Kurangnya Pemahaman Terhadap Agama

Kemudian kasus selanjutnya yang semakin marak terjadi

yakni kasus Aborsi dan kasus Pembunuhan jelas dua kasus

tersebut merupakan jenis Pelanggaran Hak Asasi Manusia

berat karna dengan sengaja menghilangkan nyawa orang

lain. Adapun ditinjau dari aspek penyebabya berdasarkan

penjelasa-penejelasan mengenai problematika pelanggaran

Hak Asasi Manusia diatas yakni Faktor Kurangnya Pemahaman

Terhadap Agama.

Yang terakhir sampai dengan kasus pelanggaran Hak

Asasi Manusia yang paling berat yakni Genosida yang

sampai saat ini masi sering kita jumpai, tentu ini

merupakan permasalahan yang sangat serius yang harus

benar-benar bisa ditentaskan oleh pemeintah dan juga

masyarakat Indonesia umumnya. Karna jelas kasus

pelanggaran seperti ini yang sangat mudah memicu

terjadinya perpecahan. Ditinjau dari beberapa aspek yang

71

dapat memicu pelanggaran Hak Asasi Manusia genosida yakni

diantaranya:

1. Aspek Hukum

2. Aspek Politik

3. Aspek Agama

4. Aspek Budaya

C. Solusi mengatasi Problematika HAM Masa Kontemporer

Permasalahan-permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia

di Indonesia yang berlangsung hingga saat ini mulai dari

pelanggaran Hak Asasi Mnusia yag bersifat ringan, kejahatan

manusia sampa dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang

paling besar yaitu Genosida apabila ditinjau dari aspek

pemicu seperti yang telah dijelaskan secara lugas diatas

tentunya merupakan suatu permasalahan yang bersifat

kompleks, karena permasalahan-permasalahan pelanggaran Hak

Asasi Manusia yang terjadi di negara yang memiliki sifat

Hetrogenitas ini dipicu dari hampir seluruh aspek kehidupan

masyarakan yakni aspek: sosial, politik, ekonomi, budaya,

pendidikan dan agama.

Tentunya bukanlah hal mudah untuk menentaskan atau

menyelesaikan suatau permasalahan yang memiliki kompleksitas

seperti yang terjadi di negara kita, dan bukan juga suatu

alasan untuk berpasrah diri menerima semua permasalahan

tersebut. Artinya dibutuhkn langkah-langkah yang jauh lebih

nyata dan lebih intensif serta dengan pola terstruktur,

sistematis dan masif dalam upaya menyeleaikan dan menegakan

Hak Asasi Manusia secara utuh di Negara Indonesia.

72

Berdasarkan fenomena di lapangan terkait banyaknya kasus

pelanggaran HAM yang terjadi, sebagai langkah tindak lanjut

dan langkah prefentif dan atau sebagai solusi maka ada

beberapa hal yang bisa di terapkan, diantaraya:

1. Reformasi bidang hukum dan HAM

2. Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma

penguasa menjadi pelayanan masayarakat

3. Penegakkan supremasi hukum, sistem peradilan harus

berjalan dengan baik dan adil, para pejabat penegak hukum

harus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan kepadanya

dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada

masyarakat pencari keadilan, memberikan perlindungan

kepada semua orang dari perbuatan melawan hukum,

menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam

rangka penegakkan hukum.

4. Penyelesaian terhadap berbagai konflik Horizontal dan

konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan

berbagai tindakan kekerasan yang melanggar HAM secara

konkrit, terencana, adil, dan menyeliruh.

5. Kontrol dari masyarakat (social control) dan pengawasan

dari lembaga politik terhadap upaya-upaya penegakkan hak

asasi manusia yang dilakukan oleh pemerinah.

6. Deklarasi universal Hak Asasi Manusia

73

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Evaluasi merupakan kata yang berasal dari Bahasa

Inggris evaluation yang berarti penilaian atau

penaksiran, sedangkan menurut pengertian istilah

evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk

mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan

instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur

untuk memperoleh kesimpulan.

2. Pelanggaran HAM dalam perspektif theory pada dasarnya

tidak menghendaki untuk terjadinya kasus-kasus

pelanggaran seperti pembunuhan masal, penyiksaan,

pembunuhan, pencemaran nama baik diantara sesama

manusia, karena secara hakikatnya manusia merupakan

makhluk yang diciptakan Allah S.W.T dengan bentuk yang

74

sesempurnanya sebagaimana termaktub dalam surat At-

tiin ayat 4.

3. Dalam rangka meminimalisir terjadinya pelanggaran HAM

yang marak terjadi di Indonesia, harus ada beberapa

reformasi baik dari segi aturan, tekhnis dll. Seperti

halnya yang dilakukan oleh akademisi melalui

implementasi tri dharma perguruan tinggi.

B. Saran

Berdasarkan dari pemaparan diatas hal yang menjadi

kendala atau problematika dalam penegakan HAM di

Indonesia adalah kurangnya saling menghargai hak orang

lain dan kurangnya menjalankan kewajiban. Negara

indonesia adalah negara yang multi kultular artinya

indonesia memiliki banyak sekali budaya yang berbeda-beda

di setiap wilayahnya, pemerintah memberikan otoritas

sendiri terhadap wilayah-wilayah untuk menjaga dan

melestarikan kebiasaan-kebiasaan atau kebudayaannya

secara turun menurun. Karena banyak sekali budaya inilah

penegakan HAM di Indonesia menjadi rumit, tapi sebenarnya

penegakan HAM di indonesia tidak akan rumit, jika setiap

warga indonesia tidak hanya menuntut hak nya tetapi juga

menjalankan kewajibannya yaitu untuk saling bertoleransi

dan menghargai. Atas dasar itu, kami memberikan sumbang

saran untuk supaya lebih menumbuhkan tanggungjawab antar

hak dan kewajiban setiap manusia serta dibantu dengan

pemahaman agama secara kontekstual sehingga mampu

mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

75

76

Daftar Pustaka

Budiyanto. 2000. Dasar-dasar Ilmu Tata Negara. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

Agustina, Leo. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta

Purwanto, Ngalim. 2012. Prinsip-Prinsip Dan Teknik Evaluasi Pembelajaran.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Lubis, M.Solly. 2002. Hukum Tata Negara. Jakarta: CV. Mandar

Maju.

Muladi, H. 2005. Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep, dan Implikasinya

dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Refika Aditama.

Lopa, Baharudin. 2001. Masalah-masalah politik, hukum, sosial,

budaya, sebuah pemikiran. Jakarta: PT Sinar Harapan.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang

Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun,

aborsi adalah tindakan melanggar hokum.

Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

77

Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang

menuliskan dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan

tindakan medis tertentu (aborsi). 

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik 

http://situs.kesrepro.info/gendervaw/jun/2002/utama03.htmdf

diakses 01 desember 2014. 20.00 WIB

http://www.aborsi.org/definisi.htm diakses 01 desember 2014.

20.00 WIB

http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=14 diakses 30

November 20.45 WIB

http://pukha.blogspot.com/2012/11/pengertian-makna-dan-

hakikat-muhasabah.html diakses 30 November 20.45 WIB

http://bdkpadang.kemenag.go.id/index.php?

option=com_content&view=article&id=457:pene rapan-prinsip-

qurani-dalam-evaluasi-pembelajaran-dakediklatan&c diakses 30

November 2014 21.00 WIB

78