EVALUASI KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM DAN PROBLEMATIKA HAM MASA KONTEMPORER Oleh : Wildan Luthfi...
Transcript of EVALUASI KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM DAN PROBLEMATIKA HAM MASA KONTEMPORER Oleh : Wildan Luthfi...
EVALUASI KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM
DAN PROBLEMATIKA HAM MASA KONTEMPORER
Oleh : Wildan Luthfi Nur’aripin, S.AP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang secara kodratnya
melekat pada diri manusia sejak manusia dalam kadungan yang
membuat manusia sadar akan jati dirinya dan membuat manusia
hidup bahagia. Hak Asasi Manusia juga merupakan hak yang
bersifat asasi ( Koentjoro, 1976 ). Berbicara mengenai HAM
tidak terlepas dari dua hal yaitu hak dan kewajiban.
Hak dan kewajiban tersebut untuk menjungjung tinggi Hak
Asasi Manusia harus dijalankan secara seimbang. Konsekuensinya
apabila dijalankan tidak seimbang maka yang terjadi tidak lain
pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia baik yang bersifat
berat maupun ringan.
Di Indonesia secara substansi mengenai HAM sangat berbeda
dengan negara lain yang sifatnya sekulerisme, Indonesia
merupakan negara konstitusional dan berketuhanan untuk itu
setiap menangangi sebuah permasalahan tentu harus melihat dari
beberapa aspek seperti halnya Agama, Budaya, Hukum dll.
Hak asasi manusia di Indonesia dibatasi oleh aturan
perundangan-undangan sehingga benuk HAM di Indonesia bersifat
spesifik. Penegakan HAM di Indonesia mengalami perkembangan
1
secar pesat, hal ini tercermin dengan terus terciptanya
regulasi yang mengatur HAM baik mulai dari lahoirnya UU Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM.
Yuridis HAM diatas tentu bertujuan sebagai salah satu
peran pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya untuk
melindungi hak-hak setiap warganya.Secara esensial yuridis HAM
tersebuttidak menghendaki terjadinya pelanggaran-pelanggaran
HAM. Namun dilapangan berkata lain yakni masih banyaknya
pelanggaran-pelangaran HAM ynag terjadi baik yang bersifat
Berat maupun Ringan. Hal inilah yang memmbuat penulis
tergelitik untuk mengatahui penyebab terjadinya pelanggaran
tersebut padahal aturan main sudah berlaku, melalui karya
ilmiah ini dengan judul “Evaluasi Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Dan
Problematika HAM Masa Kontemporer”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dasar evaluasi ?
2. Bagaimana bentuk evaluasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan
problematika HAM masa kontemporer ?
3. Apa yang menjadi solusi dari problematika HAM masa
kontemporer ?
C. Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut:
2
1. Untuk mengetahui konsep dasar evaluasi.
2. Untuk mengetahui bentuk evaluasi kasus-kasus pelanggaran
HAM dan problematika HAM masa kontemporer.
3. Untuk mengetahui solusi dari problematika HAM masa
kontemporer.
D. Kegunaan
Kegunaan dalam penyajian makalah ini secara teoritis
diharapkan mampu menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan
khususnya dalam konteks Hak Asasi Manusia teristimewa dalam
mengevaluasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan problematika HAM
masa kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Evaluasi
3
1. Definisi Evaluasi
Kata evaluasi berasal dari Bahasa Inggris evaluation yang
berarti penilaian atau penaksiran, sedangkan menurut
pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang
terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan
menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan
tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.
Evaluasi mengandung pengertian, suatu tindakan atau suatu
proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Sebelum
membahas tentang evaluasi secara lebih luas dan mendalam,
terlebih dahulu perlu dipahami bahwa dalam praktek
seringkali terjadi kekeliruan dalam penggunaan istilah
“evaluasi”, “penilaian” dan “pengukuran”. Kenyataan seperti
itu memang dapat dipahami, mengingat bahwa diantara ketiga
istilah tersebut saling berkaitan sehingga sulit untuk
dibedakan. Namun dengan uraian berikut ini akan dapat
memperjelas perbedaan dan sekaligus hubungan antara
pengukuran, penilaian dan evaluasi.
Nitko & Brookhart (2007) mendefinisikan evaluasi sebagai
suatu proses penetapan nilai yang berkaitan dengan kinerja
dan hasil karya siswa. Evaluasi menurut Griffin dan Nix
(1991) adalah judgment terhadap nilai atau implikasi dari
hasil pengukuran. Menurut definisi ini kegiatan evaluasi
selalu didahului dengan kegiatan pengukuran dan penilaian.
Menurut Tyler (1950) evaluasi adalah proses penentuan
sejauh mana tujuan pendidikan telah tercapai.
Evaluasi adalah proses menentukan perubahan tingkah laku
dan membuat keputusan..Aktivitas evaluasi bertumpu pada
4
cirri-ciri manusia yang dapat diubah. Perdalam pertimbangan
bagi peserta didik dapat diperoleh berdasarkan
interprestasi hasil pengukuran yang dilakukan dengan
menggunakan teknik non tes. Dalam evaluasi bukan hanya
meliputi pencapaian dan kemajuan dalam elajaran tetapi
juga termasuk penafsiran semua aspek perkembangan mental
dan fisik, minat, sikap, bakat, dan emosi. Dalam
pembelajaran, evaluasi merupakan suatu proses yang
sistematis untuk menetukan harus sejauh mana tujuan
pengajaran dapat dicapai oleh peserta didik.
2. Tujuan Evaluasi
a. Memberi informasi yang valid tentang sesuatu yang
dievaluasi
b. Menilai kepastian tujuan/target dengan masalah yang
dihadapi
c. Memberi sumbangan bagi informasi lain terutama dari
segi metodologi
d. Menilai ketercapaian tujuan
e. Menyidiakan impormasi untuk tujuan bimbingan dan
konseling
f. Menjadiakan hasil evaluasi sebagai dasar perubahaan
menuju arah perbaikan
3. Fungsi Evaluasi
a. Memberikan Laporan
5
Dalam melakukan evaluasi, akan dapat disusun dan
disajikan laporan mengenai kemajuan dan perkembangan
mengenai informasi yang tentang sesuatu yang
dievaluasi.
b. Memberikan Bahan-bahan Keterangan (Data)
Setiap keputusan harus didasarkan kepada data yang
lengkap dan akurat, serta merupakan sumbangan bahan-
bahan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai
yang mendasari pemilihan tujuan.
c. Memberikan Gambaran
Gambaran mengenai hasil-hasil yang telah dicapai
dalam proses perkembangan tujuan, serta memberi
sumbangan pada aplikasi dalam bidang metodologi.
4. Pendekatan Evaluasi
a. Evaluasi Semu
Evaluasi semu merupakan pendekatan yang menggunakan
metode deskriptif untuk mengahsilkan informasi yang
valid dan dapat dipercaya.
b. Evaluasi Formal
Evaluasi Formal merupakan pendekatan untuk
mendapatkan informasi yang valid dan cepat dipercaya
yang didasarkan pada tujuan formal.
c. Evaluasi Keputusan Teori
Evaluasi keputusan teori merupakan pendekatan
evaluasi yang menggunakan metode-metode deskriptif
untuk menghasilkan informasi yuang dapat
dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil
6
yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai pendekatan
teori lainnya.
5. Evaluasi dalam perspektif agama
Evaluasi berasal dari kata “to evaluate” yang
berarti menilai. Disamping kata evaluasi terdapat pula
istilah measurement yang berarti mengukur. Pengukuran
dalam pendidikan adalah usaha untuk memahami kondisi-
kondisi objektif tenang sesuatu yang akan dinilai.
Penilaian dalam pendidikan islam akan objektif apabila
disandarkan pada nilai-nilai Al-Quran dan Al-Hadits.
Suharsimi Arikunto mengajukan tiga istilah dalam
pembahasan evaluasi yaitu, pengukuran, penilaian dan
evaluasi. Pengukuran (measurement) adalah membandingkan
sesuatu dengan suatu ukuran. Pengukuran ini bersifat
kuantitatif. Penilaian adalah mengambil suatu keputusan
terhadap sesuatu dengan ukuran baik dan buruk penilaian
ini bersifat kualitatif, sedangkan evaluasi mencakup
pengukuran dan penilaian.
Berdasarkan pengertian di atas menunujukan bahwa
pengukuran dalam pendidikan bersifat kongkrit, objektif
serta didasarkan pada ukuran-ukuran umum yang dapat
dipahami. Misalnya pelaksanaan shalat. Shalat seseorang
itu bisa diukur dan juga dinilai. Pengukuran shalat
didasrkan pada pelaksanaan syarat dan rukun-rukunnya maka
shalatnya dianggap sah apabila telah terpenuhi syarat dan
rukunnya yang menjadi patokan dan dasar dalam pengukuran
tersebut.
7
Sedangkan penilaian shalat berkaitan dengan adab-
adab dalam pelaksanaan shalat seperti keikhlasan,
kekhusuan, dan sebagainya. Penilaian biasanya lebih sulit
daripada pengukuran apabila dikaitkan dengan nilai-nilai
keagamaan, dimana yang berhak menilai sesuatu yang
batiniah adalah wewenang Allah. Dalam Al-Quran dan Al-
Hadits banyak kita temui tolak ukur dalam pendidikan
islam. Misalnya tolak ukur shalat yang sempurna adalah
dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar.
Terdapat makna evaluasi dalam Al-Quran, diantaranya:
Al-Hisab
Memiliki makna mengira, menafsirkan menghitung, dan
menganggap, misalnya dalam Al-Quran :
“Dan jika kamu melahirkan apa yang ada dihatimu atau
kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat
perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka Allah
akan mengampuni bagi siapa yang dikehendaki” (Q.S Al-
Baqarah : 284)
Al-Bala
Memiliki makna cobaan ujian. Misalnya dalam al-quran:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan
Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”,
Al-hukm
Memiliki makna putusan atau vonis misalnya dalam al-quran
surat an-naml ayat 78
8
“Sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara
antara mereka dengan keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui.”
Al- qodo
Memiliki arti putusan misalnya dalam al-quran surat
toha ayat 72, mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak
akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata
(mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada
Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa
yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan
dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.
An-Nazhar
Memilki makna melihat misalnya dalam Al-Quran surat
An-Namal ayat 27, berkata Sulaiman: “Akan kami lihat, apa
kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang
berdusta.
Muhasabah
Muhasabah berasal dari kata hasibah yang artinya
menghisab atau menghitung. Dalam penggunaan katanya,
muhasabah diidentikan dengan menilai diri sendiri atau
mengevaluasi, atau introspeksi diri. Sebagaimana firman
Allah: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang
telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [Q.S.Al-Hasyr
(59):18]. Adapun hadist lainnya: Umar r.a.
mengemukakan:“Hisablah diri kalian sebelum kalian
9
dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk akhirat
(yaumul hisab).
B. Evaluasi Kasus-Kasus Pelanggaran HAM dan Problematika HAM
Masa Kontemporer
1. KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM DALAM PERSFEKTIF THEORY
a. Pelanggaran Genosida
Kata genosida pertama kali digunakan oleh seorang
ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun1944
dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang
diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari
bahasa Yunani genos (ras, bangsa atau rakyat) dan bahasa
Latin caedere (pembunuhan). Genosida adalah perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan
ataumemusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa,ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara
membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan
fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok;
menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan
kemusnahan secara fisik sebagian atauseluruhnya;
melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok;
memindahkansecara paksa anak-anak dalam kelompok ke
kelompok lain.
Penyelidikan tentang Pelanggaran HAM Yang Berat
10
Penyelidikan terhadap Pelanggaran HAM yang berat
dilakukan oleh:
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dalam UU No. 26
tahun 2000, pelanggaran HAM yang berat juga dapat
diselesaikanmelalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR). Tahun 2004 diundangkan UU No.27 Tahun 2004 tentang
KKR yang mempunyai tugas menyelesaikan pelanggaran HAM
yang berat dimasa lalu dan menciptakan rekonsiliasi.
Namun UU ini bertentangandengan norma-norma hukum
internasional dan merugikan kepentingan korban,sehingga
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Di berbagai negara, KKR merupakan komisi yang
mempunyai mandat khususdiantaranya untuk menyelidiki
berbagai kasus-kasus HAM yang terjadi, memberikan
rekomendasi untuk adanya penyelesaian pelanggaran HAM
yang terjadi termasuk penuntutan pelaku, refomasi
institusi yang mendukung terjadinya pelangaran HAM dan
pemulihan kepada korban.Mahkamah Pidana Internasional
Mahkamah Pidana Internasional merupakan lembaga permanen
dan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya
atas orang-orang (pelaku) untuk kejahatan paling serius
yang menjadi perhatian internasional. Dibentuk dengan
dasar bahwasampai saat ini masih berlangsung kekejaman
yang mengguncangkan nurani umatmanusia sehingga mengancam
perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia.
Selain itu juga upaya untuk memutuskan rantai
kekebalan hukum (impunity) bagi para
pelakukejahatan.Kewenangan Mahkamah Pidana
11
Internasional :Kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam
yurisdiksi Mahkamah adalah: 1) genosida; 2) kejahatan
terhadap kemanusiaan; 3) kejahatan perang; dan; 4)
kejahatan agresi.Hubungan Mahkamah Pidana Internasional
dengan Pengadilan (HAM) Nasional :Mahkamah Pidana
Internasional adalah peradilan yang bersifat sebagai
komplementer dari yurisdiksi domestik (pengadilan
nasional), artinya mahkamah pidana internasionalhanya
berwenang untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang
menjadi yuridiksinya apabila suatu negara tidak mampu
(unable) atau mau (unwilling) mengadili kejahatan-
kejahatan tersebut. Kewenangan Mahkamah Pidana
Internasional terkait dengan hak-hak korban : Mahkamah
pidana internasional mempunyai kewenangan untuk
menetapkan prinsip - prinsip yang berkenaan dengan ganti
rugi kepada, atau berkenaan dengan, korban,termasuk
restitusi, kompensasi dan rehabilitasi.
b. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Perbudakan ”
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,
definisi perbudakan dapat kita temukan dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang, di dalam penjelasan umum dijelaskan
definisi dari perbudakan sebagai berikut “Perbudakan adalah
kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa
perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan
orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan
12
yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya,
walaupun orang tersebut tidak menghendakinya.”
Di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang, perbudakan merupakan
salah satu bentuk ekploitasi manusia yang menjadi salah
satu tujuan perdagangan orang (lihat Pasal 1 angka 1, dan
angka 7). Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang juga
disebutkan bahwa perdagangan orang adalah bentuk modern
dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan
salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran
harkat dan martabat manusia.
Pelaku perbudakan dapat dijerat dengan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang yang berbunyi: (1) Setiap orang yang
melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan
mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
13
Selain itu, jika melibatkan anak sebagai korban
perbudakan, maka pelaku perbudakan dapat dijerat dengan
Pasal 74 ayat (2) huruf a jo Pasal 183 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”):
Pasal 74 (2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam
ayat (1) meliputi:
segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
Pasal 183(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Dalam aspek perlindungan pekerja anak dari
perbudakan, sebagai anggota Organisasi Ketenagakerjaan
Internasional atau Internasional Labour Organization
(ILO), Indonesia juga meratifikasi Konvensi ILO No. 182
Tahun 1999 yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan
Internasional ke-87 tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa
melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the
Prohibition and Immediate Action for the Elimination of
the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182
Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak). Negara
anggota ILO yang mengesahkan konvensi ini wajib mengambil
tindakan segera dan efektifuntuk menjamin pelarangan dan
14
penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak,
yakni salah satunya adalah segala bentuk perbudakan atau
praktek sejenis perbudakan.
Di samping peraturan perundang-undangan yang telah
kami sebutkan, larangan perbudakan manusia juga diatur
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Mengatur sebagai berikut: “Hak.
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” Kemudian,
di dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. dinyatakan:
a) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.
b) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak,
perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun
yang tujuannya serupa, dilarang.”\
c. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Aborsi ”
Menurut Encyclopedia Britania “ The American College Of
Obstericians and Gyneologist “ ada dua jenis aborsi:
1. Accident abortion, yaitu penghentian kehamilan sebelum
kematangan yang terjadi selama alami, tanpa perlakuan
medis.
15
2. Therapeutic abortion, artinya bahwa penghentian kehamilan
melakukan perlakuan tenaga medis, melalui operasi atau
penggunaan RU486 atau beberapa terapi lainnya.
Sedangkan beberapa kelompok masyarakat yang pro
kehidupan mendifinisikan aborsi sebagai sebuah tujuan
untuk menghalangi proses perkembangan yang dari waktu ke
waktu konsepsi hingga melahirkan. Adapun Aborsi menurut
beberapa pandangan aspek, diantaranya:
Aspek perspektif HAM
Ditinjau dari perspektif HAM, seorang wanita
mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan aborsi karena
merupakan bagian dari hak kesehatan reproduksi yang
sangat mendasar. Aborsi merupakan suatu kebutuhan yang
tidak dapat dihindari bagi wanita yang tidak menginginkan
kehamilannya karena adanya beberapa alasan seperti
kegagalan akibat penggunaan kontrasepsi, atau memang
sengaja tidak menggunakan kontrasepsi,. kehamilan yang
diakibatkan karena kekerasan seksual seperti pemerkosaan.
Program Aksi ICPD Cairo secara specifik menyatakan
bahwa abortsi tidak harus digunakan sebagai metode KB.
Bagaimanapun juga ketika wanita tidak mempunyai akses
untuk mendapatkan metode KB yang sesuai dan tersedia dan
tidak mampu membayar, maka banyak orang yang menggunakan
aborsi sebagai metode untuk mengatur kelahiran.5
Aspek Hukum Indonesia
16
Hukum yang ada di Indonesia seharusnya mampu
menyelamatkan ibu dari kematian akibat tindak aborsi tak
aman oleh tenaga tak terlatih (dukun). Ada lebih dari 3
aturan aborsi di Indonesia yang berlaku hingga saat ini
yaitu:
1. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan
dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar
hukum. Sampai saat ini masih diterapkan.
2. Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan.
3. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
yang menuliskan dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan
tindakan medis tertentu (aborsi).
4. PP No 61 Tahun 2014 tentang pelegalan aborsi bagi
korban perkosaan
5. Pasal 299 KUHP (1) Barang siapa dengan sengaja
mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati,
dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa
karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu
rupiah..
Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari
keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai
pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib,
bidan atau juruobat, pidananya dapat ditambah
17
sepertiga (3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan
tersebut dalam menjalankan pencariannya, dapat dicabut
haknya untuk menjalankan pencarian itu.
6. Pasal 346 KUHP. Seorang wanita yang sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
7. Pasal 348 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita
tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama
tujuh tahun..
Aspek Agama
Dari sudut pandang agama Islam, pertama : Al-Qur’an
dan Aborsi: Manusia - berapapun kecilnya - adalah ciptaan
Allah yang mulia. Agama Islam sangat menjunjung tinggi
kesucian kehidupan. Banyak sekali ayat-ayat dalam Al
Qur’an yang menerangkan tentang larangan aborsi. Salah
satunya, Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah
memuliakan umat manusia.”(QS 17:70). Didalam agama
Islam, setiap tingkah laku kita terhadap nyawa orang
lain, memiliki dampak yang sangat besar. Firman Allah:
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
sebab-sebab yang mewajibkan hukum qishash, atau bukan
18
karena kerusuhan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang
memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara keselamatan nyawa
manusia semuanya.” (QS 5:32)
Aspek Sosial Budaya
Aborsi dipandang sebagai tindakan yang tidak sesuai
dengan norma dan etika budaya ketimuran, karena budaya
timur masih memegang kuat agamanya.
Pada saat yang sama, aborsi dapat menyebabkan
masalah dalam keluarga yang merupakan bagian dari
masyarakat. Faktanya adalah bahwa sangat penting bagi
seorang wanita untuk memiliki suasana yang mendukung dari
bagian dari kerabat terdekat, yakni suami dan orangtua.
Spesialis sangat merekomendasikan mengambil keputusan
aborsi oleh kedua pasangan yang dapat membuat keluarga
kuat sedangkan perselisihan dapat mengakibatkan
perceraian.Jadi peran keluarga dalam mengambil keputusan
tidak kurang penting dibandingkan pengaruh masyarakat
atau keyakinan pribadi.
Dengan mempertimbangkan semua ,perlu untuk
mengatakan bahwa aborsi, menjadi fenomena sosial,
19
memiliki banyak lawan serta pendukung tetapi hanya
sebagian kecil yang cukup radikal dan siap untuk
menyangkal titik pandang yang berlawanan. Sebagian besar
siap untuk menerima aborsi walaupun dalam kondisi
tertentu. Ini berarti bahwa aborsi harus disahkan tetapi
pada saat yang sama harus diatur secara ketat agar tidak
membahayakan kesehatan wanita atau anak-anak mereka
Aborsi dalam pandangan masyarakat Indonesia
merupakan negara memiliki nilai dan norma yang sangat
tinggi. Masyarakat Indonesia masih memegang tinggi nilai
dan norma dalam kehidupan. Sebenarnya salah satu penyebab
tingginya aborsi di masyarakat kita adalah kebiasaan di
masyarakat juga. Tekanan masyarakat terhadap kehamilan
diluar nikah juga menjadi salah satu pemicu orang nekad
untuk aborsi. Masyarakat sendiri tidak melihat kehamilan
itu sebagai anugerah, tapi justru mencela dan mengejek
sebagai aib. Seandainya masyarakat atau paling tidak
orang tua bertindak bijak dengan memberikan support, maka
bisa jadi si calon ibu tidak sampai berpikir pendek dan
nekad.
Adanya pengaruh globalisasi yang terjadi di
Indonesia, menjadikan remaja mulai menjadikan kultur
negara - negara maju sebagai acuan hidupnya. Terkadang
remaja tidak memfilter apa yang mereka dapat, baik dan
buruk nya kultur tersebut sekedar ditiru saja. Adanya
anggapan bahwa budaya barat adalah sesuatu yang hebat dan
lebih modern. Sehingga para remaja beranggapan bahwa,
bila tidak menirukan budaya barat tersebut maka akan
20
dianggap ketinggalan jaman. Misalnya dampak dari ada nya
globalisasi dalah terjadinya pergaulan yang bebas dan
terkesan tanpa adanya kontrol.
Pada awalnya pergaulan bebas belum meluas, sehingga masih
terlihat sebagai sesuatu yang tabu. Namun dengan
berjalannya waktu, dan kurang ada nya kontrol terhadap
penetrasi budaya barat tersebut, free sex pun semakin
meluas. Sehingga free sex mulai dianggap sebagai hal yang
biasa pada sebagian orang, misalnya pada kota besar atau
metropolitan, free sex mulai menjamur, sehingga akibat
dari free sex seperti aborsi mulai banyak terjadi.
d. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Pembunuhan ”
Pembunuhan dalam bahasa arab disebut dengan istilah
al-qatl, yaitu upaya menghilangkan nyawa seseorang
sehingga menyebabkan kematian, baik dilakukan dengan
sengaja maupun tidak, baik memakai alat ataupun tidak.
Dibawah ini ada beberapa Theori terkait pembunuhan:
Aspek hukum
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang
pembunuhan, yaitu yang tercantum dalam pasal-pasal:
338 (pembunuhan biasa) dengan ancaman pidana setinggi-
tingginya 15 tahun penjara, 339 (pembunuhan dengan
pemberatan/yang dikualifisir) dengan ancaman pidana
setinggi-tingginya 5 tahun penjara, 340 (pembunuhan
berencana) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya
pidana mati atau seumur hidup atau 20 tahun penjara,
341 (pembunuhan bayi/anak biasa) dengan ancaman pidana
21
setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 342 (pembunuhan
bayi berencana) dengan ancaman pidana setinggi-
tingginya 9 tahun penjara, 343 (untuk mengancam orang
lain/selain ibu yang terlibat pembunuhan bayi) dengan
ancaman pidana setinggi-tingginya sama dengan 338 atau
340, 344 (euthanasia) dengan ancaman pidana setinggi-
tingginya 12 tahun penjara, 345 (mendorong orang lain
bunuh diri) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 4
tahun penjara, 346-349 (aborsi) dengan ancaman pidana
setinggi-tingginya (antara 4 - 12 tahun) penjara, 351
ayat 3 (penganiayaan biasa yang mengakibatkan matinya
orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 7
tahun penjara, 353 ayat 3 (penganiayaan berencana yang
mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana
setinggi-tingginya 9 tahun penjara, 354 ayat 2
(penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya orang
dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 10 tahun
penjara, 355 ayat 2 (penganiayaan berat berencana yang
mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana
setinggi-tingginya 15 tahun penjara, 359 (karena
kelalaiannya mengakibatkan matinya orang) dengan
ancaman pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara atau
satu tahun kurungan.
Dalam kasus pembunuhan sebagaimana terjadi di Patar
Selamat, terdapat beberapa pasal yang mungkin
diterapkan, kemungkinan itu adalah pada pasal-pasal:
338, 340. Bedanya 340 daripada 338 adalah, 340
didahului dengan adanya rencana terlebih dahulu,
22
artinya ada kesempatan untuk berpikir dengan tenang,
atau dalam bahasa gampangnya barangkali bisa disebut
sebagai bukan spontanitas.
Kemungkinan lainnya adalah pasal-pasal: 351 ayat (3),
353 ayat (3), 354 ayat (2), dan 355 ayat (2).Selintas
yang penulis baca di Media Bawean, Penyidik menyangkakan
dengan pasal 338. Perlu dipahaami bahwa itu boleh-boleh
saja, akan tetapi nantinya Jaksa Penuntut Umum (JPU)
akan mempelajari lebih lanjut Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) dari Penyidik dan JPU akan menentukan dakwaan atas
dasar BAP daripada Penyidik tersebut. Sudah barang tentu
JPU tidaak akan hanya menggunakan satu pasal saja, sebab
bila hanya dengan satu pasal, dihawatirkan dalam
pemeriksaan di Pengadilan nanti tidak terbukti dengan
sah dan meyakinkan, jika itu terjadi, maka terdakwa bisa
bebas (vrijspraak), dan dalam kasus tertentu –tapi bukan
dalam kasus di Patar Selamat ini--, bisa jadi terbukti
dengan sah dan meyakinkan tapi bukanlah merupakan tindak
pidana, yang ini istilah hukumnya adalah lepas dari
segala tuntutan hukum.
Oleh sebab itu JPU akan menggunakan pasal berlapis
sebagai alternatif. Dengan menggunakan pasal berlapis
itu , maka bila satu pasal tidak terbukti dengan sah dan
meyakinkan, masih ada pasal lain yang bisa memback up,
misalnya bila pembunuhan berencana tidak terbukti dengan
sah dan meyakinkan, maka masih mungkin pembunuhan biasa,
dan bila tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan pula,
maka masih mungkin penganiayaan berat berencana yang
23
mengakibatkan matinya orang, dan seterusnya. Jadi JPU
akan menggunakan pasal berlapis dengan kriteria primer,
subsider, lebih subsider, dan seterusnya.
Di dalam memutus perkara hakim akan mempertimbangkan
tentang alasan-alasan yang meringnkan dan memberatkan,
misalnya faktor yang meringankan adalah si pelaku masih
muda, menyesali akan perbuatannya, dan sebagainya,
sedang alasan yang memberatkan misalnya karena dilakukan
di bulan suci ramadhan, menggunakan senjata tajam dan
sebagainya.
Di samping itu hakim terlebih dahulu akan mempelajari
tentang adakah alasan penghapus pidana? Alasan penghapus
pidana tersebut ada yang terdapat dalam Undang-undang,
ada pula yang terdapat di luar Undang-undang (dhi KUHP).
Alasan-alasan penghapus pidana dalam KUHP dapat kita
lihat dalam pasal-pasal:44 (kemampuan bertanggung
jawab), 45 (belum cukup umur bisa dijatuhi tindakan), 48
(overmacht/daya paksa), 49 (noodwer/pembelaan terpaksa), 50
(melaksanakan perintah undang-undang), 51 (melaksanakan
perintah jabatan). Dalam kasus di Patar Selamat dalam
ketentuan tersebut hanya satu pasal saja yang mungkin
terdapat, yaitu pasal 44, itupun nantinya harus
dibuktikan dengan alat bukti yang disebut dengan
keterangan ahli. Hanya saja sepenjang yang penulis baca
di media tidak nampak gejala itu. Perihal gangguan jiwa,
dalam KUHP diistilahkan ‘jiwanya cacat dalam
pertumbuhan’ dan ‘sakit berubah akal’ (pasal 44).
Jiwanya cacat dalam pertumbuhan, memang sedari kecil
24
sudah menderita kelainan (kata orang bawean, la deri
paloatan) misalnya idiot, dan sebagainya, sedang sakit
berubah akal adalah sakit jiwa.
Kemungkinan lain yang bisa terjadi, si terdakwa akan
berdalih, bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi hanya
ingin menganiaya saja. Untuk alasan itu maka hakim perlu
mempelajari teori tentang kesengajaan, yang dalam hal
itu ada tiga teori tentang kesengajaan, yaitu
kesengajaan sebagai maksud, sebagai sadar kepastian dan
sebagai sadar kemungkinan.
1. Kesengajaan sebagai maksud, adalah memang terdapat
hubungan langsung antara kehendak jiwa dan fakta
kejadian, misalnya terdakwa menyatakan, ‘ya…, saya
memang bermaksud membunuh oleh sebab.
2. Kesengajaan sebagai sadar kepastian, adalah memang
jiwa tidak menghendaki akibat itu terjadi, tetapi
dengan berlaku begitu pasti suatu yang tidak
dikehendaki itu akan terjadi, misalnya si terdakwa
mengatakan tidak berkehendak untuk membunuh, tapi,
siapapun kalau dipancung pasti hal yang tidak
dikehendakinya itu akan terjadi. (Hal ini tidak
terjadi pada kasus di Patar Selamat).
3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan, adalah memang
jiwa tidak menghendaki akibat itu terjadi, tapi
semestinya ia menyadari bahwa jika itu dilakukan,
kemungkinan besar akibat yang tidak dikehendakinya
itu akan terjadi, misalnya terdakwa mengatakan,
bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi mestinya ia
25
menyadari bila pedang setajam itu ditebaskan pada
bagian badan manusia akan menyebabkan pendarahan
yang hebat, dan dengan demikian kemungkinan besar si
korban akan kehabisan daran, yang tentu akan
mengakibatkan kematiannya. Apalagi bila pedang itu
mengandung racun.
Dari situlah hakim akan mengambil kesimpulan dengan apa
yang disebut ‘mengobyektifkan’. Jadi walaupun terdakwa
mengatakan tidak bermaksud, maka hakim bisa
mengkategorikan sebagai sengaja..
e. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan
“Penyiksaan/Eksploitasi“
Perspektif HAM Terhadap Anak Jalanan
Negara menempatkan posisi anak dalam kebijakan
pembangunan sejajar dengan isu politik juga ekonomi.
Pemerintah tak sepantasnya menempatkan anak sebagai
persoalan domestik. Berdasarkan Ratifikasi Konvensi
PBB tentang Hak Anak, negara berkewajiban menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak anak tanpa diskriminasi.
Bagaimana kenyataannya? Lihatlah anak jalanan.
Berdasarkan catatan Departemen Sosial (Depsos), jumlah
anak jalanan mencapai 39.861 orang dengan sekitar 48%
di antaranya anak yang baru turun ke jalan. Catatan
itu diperoleh dari hasil survei sejak tahun 1998 di 12
kota besar di Indonesia. Secara nasional diperkirakan
terdapat sebanyak 60.000 sampai 75.000 anak jalanan.
26
Depsos juga mencatat bahwa 60% anak jalanan putus
sekolah, 80% masih berhubungan dengan keluarganya, dan
18% perempuan.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)
mengaku menerima berbagai pengaduan dengan jumlah anak
korban kekerasan yang terus meningkat. Dari 481 kasus
pada 2004 menjadi 736 kasus pada tahun 2005, dan
meningkat lagi menjadi 1.124 kasus pada 2006. Jumlah
kekerasan terhadap anak-anak ini hanyalah jumlah yang
dilaporkan wilayah sekitar Jabodetabek. Sementara
jumlah kekerasan terhadap anak secara nasional
diperkirakan mencapai 72.000 kasus.
Dari berbagai analisis, pemicu terjadinya kekerasan
terhadap anak, di antaranya diakibatkan oleh kekerasan
dalam rumah tangga, disfungsi keluarga, ekonomi, dan
pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga.
Penyebab lainnya, terinspirasi tayangan televisi
maupun media-media lain yang tersebar di lingkungan
masyarakat. Yang mengejutkan, 62% tayangan televisi
maupun media lainnya ternyata telah membangun dan
menciptakan perilaku kekerasan terhadap anak.
Pasal 1 ayat 1 UU No 23 tahun 2002 menyebutkan, Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas
tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal
1 KHA/Keppres No. 36/1990 menyatakan, Anak adalah
setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali
berdasarkan UU yang berlaku bagi yang ditentukan bahwa
usia dewasa dicapai lebih awal. Senada dengan itu,
27
Pasal 1 ayat 5 UU No. 39/1999 tentang HAM mengatakan,
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya.
Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan
perhatian penuh terhadap perlindungan anak karena
dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28b ayat 2
disebutkan, Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sedangkan Pasal 34 (1) berbunyi, Fakir miskin dan anak
telantar dipelihara oleh negara. Di sisi lain,
perlindungan terhadap keberadaan anak ditegaskan
secara eksplisit dalam 15 pasal yang mengatur hak-hak
anak dan pasal 52 – 66 UU No. 39/1999 tentang HAM.
Secara umum dapat dikatakan, secara kuantitatif UU
sudah memberikan perlindungan kepada anak-anak. Akan
tetapi, implementasi peraturan perundang-undangan
tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Hal ini
disebabkan antara lain oleh pertama, upaya penegakan
hukum masih mengalami kesulitan. Kedua, harmonisasi
berbagai UU yang memberikan perlindungan kepada anak
dihadapkan pada berbagai hambatan. Ketiga, sosialisasi
peraturan perundang-undangan kepada masyarakat belum
sepenuhnya dapat dilakukan dengan baik. Terakhir,
keempat, kebijakan pemerintah lebih banyak
berorientasi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak
28
sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sayangnya,
banyaknya peraturan itu tidak didukung dengan
implementasinya. Harus diakui, keberadaan anak-anak
merupakan mayoritas di negeri ini. Karenanya
diperlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan
kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan
tindakan legislasi lainnya. Hak asasi anak belum
sepenuhnya terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa
konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya.
Berbagai bukti empiris menunjukkan bahwa masih
dijumpai anak-anak yang mendapat perlakuan yang belum
sesuai dengan harapan. Kendalanya antara lain,
kurangnya koordinasi antarinstansi pemerintah, belum
terlaksananya sosialisasi dengan baik, dan kemiskinan
yang masih dialami masyarakat.
Aspek Perspektif Pancasila terhadap kasus eksploitasi
anak
Menurut Undang-Undang RI No.23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Anak memiliki hak dan kewajiban
sebagai berikut : Bab III tentang Hak Anak, Pasal 4:
“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang
dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi”.
Mungkin agak ketinggalan jika saya membahas hal ini,
namun permasalahan ini masih tetap abadi di tanah air
kita. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang
29
Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam
dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai
manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan
berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa
dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap
anak berhak hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi
serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Seharusnya
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam hal ini Hak
– Hak Anak, merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada
tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Namun,
sungguh disayangkan kenyataannya justru sebaliknya.
Di era serba semrawut ini, eksploitasi anak marak
terjadi. Eksploitasi anak dan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak merupakan masalah yang kompleks,
berdimensi sosial, ekonomi dan budaya. Dari data
statistik, sekira 6 % anak Indonesia usia 10-14 tahun,
atau tak kurang dari 1,6 juta anak jadi bagian dari
angkatan kerja. Data Organisasi Buruh Internasional (ILO)
lebih heboh lagi. Di Indonesia diperkirakan lebih dari
4,2 juta anak terlibat dalam pekerjaan berbahaya atau
berisiko tinggi. Sekira 1,5 juta diantaranya adalah anak
perempuan. Sedangkan data hasil survei Universitas
Indonesia dan Program Penghapusan Buruh Anak ILO,
mengungkap, dari sekira 2,6 juta Pembantu Rumah Tangga
30
(PRT) di Indonesia saat ini, 34,83 % diantaranya anak-
anak, dan 93 % diantaranya adalah anak perempuan.
Pancasila tidak memberikan ruang untuk eksploitasi
anak-anak. Pancasila, pada sila kedua berbunyi:
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kemanusiaan berasal
dari kata manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa,yang memiliki potensi, pikir, rasa, karsa dan cipta.
Karena potensi ini manusia mempunyai dan menempati
kedudukan dan martabat yang tinggi. Kata adil mengandung
makna bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas
ukuran/norma-norma yang obyektif, dan tidak subyektif
sehingga tidak sewenang-wenang. Kata beradab berasal dari
kata adab, artinya budaya. Jadi adab mengandung arti
berbudaya, yaitu sikap hidup, keputusan dan tindakan yang
selalu dilandasi oleh nilai-nilai budaya, terutama norma
sosial dan kesusilaan/moral. Jadi, kemanusiaan yang adil
dan beradab mengandung pengertian adanya kesadaran sikap
dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi budi
nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan
kebudayaan umumnya. Salah satunya butir Pancasila sila 2
mengatakan bahwa kita harus mengakui dan memperlakukan
manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ini mengindikasikan bahwa
Pancasila sangat menentang eksploitasi anak (child
exploitation). Sebab perbuatan tersebut merupakan sikap yang
tidak adil dan tidak beradab terhadap anak yang juga
memiliki hak untuk hidup sejahtera seperti rakyat
Indonesia pada umumnya. Disamping itu, konsitusi
31
Pancasila melarang keras melibatkan dan keterlibatan anak
dalam dunia yang penuh dengan kekerasan, baik itu
kekerasan mental maupun kekerasan fisik.
Makna adil yang telah disebutkan di atas cukup membuat
saya berpikir. Suatu keputusan diambil dengan ukuran
objektivitas sehingga tidak menimbulkan kesewenang-
wenangan. Keputusan untuk “mempekerjakan” anak pasti
merupakan keputusan yang sulit bagi orang tua manapun.
Namun sungguh benar-benar tidak adil apabila orang tua
merenggut dunia anak-anak mereka, hanya demi alasan
ekonomi. Seharusnya asas kepentingan yang terbaik bagi
anak adalah bahwa semua tindakan yang menyangkut anak
yang dilakukan orang tua berorientasi pada kepentingan
yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang
utama. Selain itu orang tua juga harus menghargai asas
penghargaan terhadap pendapat anak, yaitu penghormatan
atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan
pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika
menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.
Namun, karena sekarang eksploitasi anak semakin
merajalela, sudah sewajarnya apabila upaya perlindungan
anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari
janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan
belas) tahun. Bagaimana peran pemerintah, masyarakat dan
orang tua dalam mengatasi eksploitasi pada anak. Sebagai
regulator pemerintah mempunyai peran yang sangat penting
dalam menetapkan kebijakan yang menguntungkan dan
32
berpihak pada penegakan hak asasi manusia terutama hak
anak. Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh
pihak yang mengeksploitasi anak dapat dikenakan pidana
yang sesuai dan adil.
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang
utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini
meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak
berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
a) Nondiskriminasi
b) Kepentingan yang Terbaik Bagi Anak;
c) Hak untuk hidup,kelangsungan hidup,dan
perkembangan;dan
d) Penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan
perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui
lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi
sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga
pendidikan. Tujuan dari perlindungan anak ini adalah
untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Jadi, pada dasarnya proses mencapai kesejahteraan
haruslah dengan cara-cara yang berperikemanusiaan. Apapun
33
yang terkandung di dalam proses-proses tersebut harus
etis dan tidak boleh merugikan manusia individual
manapun, jangan sampai kita mengeksploitasi anak hanya
demi kepentingan diri kita masing-masing, karena
eksploitasi anak merupakan tindakan yang sangat tidak
berkemanusiaan.
Aspek Psikologis
Dalam aspek psikologi masa kanak-kanak merupakan
periode perkembangan yang terjadi mulai akhir masa bayi
hingga sekitar usia 5 atau 6 tahun; kadang periode ini
disebut tahun-tahun prasekolah. Selama waktu tersebut,
anak kecil belajar menjadi mandiri dan merawat diri
sendiri, mereka mengembangkan keterampilan kesiapan
sekolah (mengikuti perintah, mengenali huruf) dan mereka
menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain dengan teman
sebaya. Kelas satu Sekolah Dasar biasanya menandai
berakhirnya periode ini. Masa Kanak-kanak tengah dan
akhir (middle and late childhood) merupakan periode
perkembangan yang dimulai dari sekitar usia 6 hingga usia
11 tahun; kadang periode ini disebut periode sekolah
dasar. Anak menguasai keterampilan membaca, menulis,
aritmatik, dan mereka secara formal dihadapkan pada dunia
yang lebih besar dan budayanya. Prestasi menjadi tema
sentral yang lebih dari dunia anak, dan kontrol diri
meningkat.
Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia
dalam bukunya Human Development, mengatakan bahwa anak
34
berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah
dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot
tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya,
mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa
lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa
diri mereka sendiri. Dengan bermain, anak-anak menemukan
dan mempelajari hal-hal atau keahlian baru dan belajar
(learn) kapan harus menggunakan keahlian tersebut, serta
memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Lewat
bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan
kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang.
Selain itu bermain juga didefinisikan sebagai semua
kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan
dinikmati (pleasurable and enjoyable).
Telah disebutkan di atas bahwa dunia anak adalah
dunia bermain, namun sayang sekali dewasa ini banyak
anak yang kehilangan dunia bermainnya karena
dieksploitasi. Eksploitasi dalam kamus ilmiah berarti
pemerasan atau penarikan keuntungan secara tidak wajar.
Eksploitasi terhadap anak adalah mempekerjakan seorang
anak dengan tujuan ingin meraih keuntungan. Eksploitasi
anak dapat berupa: Eksploitasi ekonomi, penyalahgunaan
narkoba, eksploitasi & kekerasan seksual, penjualan,
perdagangan & penculikan anak,eksploitasi dalam bentuk
lain. Faktor-faktor adanya eksploitasi anak antara lain :
35
1. Tekanan ekonomi. Karena tekanan ekonomi ini orangtua
memaksa anaknya untuk menghidupi sendiri dan memenuhi
kebutuhan sekolah sendiri.
2. Tekanan psikologis. Beberapa mengalami stres karena
kurang kasih sayang, diacuhkan orang tua dan merasa
orang tua mereka terlalu banyak aturan yang menekan
perasaan mereka sama sekali tidak ada kebebasan.
Sedangkan tekanan dari luar yang mendukung mereka
ketika mendapatkan tekanan dari rumah:
1. Pengaruh teman-teman sekolah yang mulai mengenalkannya
dengan diskotik.
2. Pengaruh teman-teman kerja (pabrik, pub, billyard)
yang mengenalkan pada kerja tambahan untuk mendapatkan
uang lebih dengan menemani para tamu untuk minum atau
ngedrug.
3. Dijebak baik oleh teman sendiri, dengan menawarkan
pekerjaan. Eksploitasi anak mempunyai dampak yang
sangat buruk dikemudian hari.
Eksploitasi anak-anak dapat berakibat buruk terhadap
perkembangan jiwa meraka, karena meraka bekerja pada
lingkungan orang dewasa. Hal ini seharusnya menjadi
pelajaran bagi kita semua khususnya pemerintah jangan
cuma memperingati hari anak nasional yang jatuh pada 22
juli dengan seremonial yang mungkin memakan biaya yang
cukup banyak tapi mari kita merenung dan menatap
kebelakang bagaimana kondisi generasi penerus bangsa.
Semua orang pasti menggiginkan yang terbaik untuk anak-
36
anaknya. Oleh karena itu, berikanlah yang terbaik untuk
mereka. Jangan biarkan mereka kepanasan ditengah teriknya
sang mentari yang dihiasi dengan gumbalan asap kendaraan,
tetapi biarkanlah mereka dengan dunianya sendiri, dunia
yang penuh dengan keceriaan dan beraneka macam permainan.
Biarkan mereka dengan sejuta mimpinya untuk menatap hari
esok yang lebih baik.
f. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Pencemaran
Nama Baik “.
Aspek Hukum
Dalam KUHP pencemaran nama baik diistilahkan sebagai
penghinaan/penistaan terhadap seseorang, terdapat
dalam Bab XVI, Buku I KUHP khususnya pada Pasal 310,
Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP.
Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap
seseorang, secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal
311 ayat (1),Pasal 315, Pasal 317 ayat (1) dan Pasal
318 ayat (1) KUHP yang menyebutkan :Pasal 310 ayat
satu (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau
nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan
sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan
tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-. (2) Kalau hal
ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang
disiarkan,dipertunjukan pada umum atau ditempelkan,
maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan
tulisan dengan hukuman penjara Sie Infokum Ditama
37
Binbangkum 3 selama-lamanya satu tahun empat bulan
atau denda sebanyakbanyaknya Rp 4.500,-. (3) Tidak
termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika
ternyata bahwa sipembuat melakukan hal itu untuk
kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk
mempertahankan dirinya sendiri. Adapun rincian
pendukungnya dibawah ini:
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik yang dalam Pasal 27 ayat
[3] UU ITE menyatakan: “Setiap Orang dengan sengaja, dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.”
Pasal 45 ayat (1) UU ITE ditentukan bahwa: “Setiap
Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Pasal 311 ayat (1) UU ITE: Barangsiapa melakukan
kejahatan menista atau menista dengan tulisan,dalam hal ia diizinkan
untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang
diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 315 KUHP: Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak
bersifat menista atau menista dengan tulisan, yang dilakukan kepada
seseorang baik ditempat umum dengan lisan, atau dengan tulisan,
maupun dihadapan orang itu sendiri dengan lisan atau dengan
38
perbuatan, begitupun dengan tulisan yang dikirimkan atau
diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan, dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau
denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.
Pasal 317 ayat (1) KUHP: Barangsiapa dengan sengaja
memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas
pemberitahuan yang palsu kepada pembesar negeri tentang
seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi
tersinggung,maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah,
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 318 ayat (1) KUHP: Barangsiapa dengan sengaja
dengan melakukan sesuatu perbuatan,menyebabkan orang lain
dengan palsu tersangka melakukan sesuatu perbuatan yang dapat
dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah,dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.2.
2. CONTOH KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM
a. Kasus Pelanggaran HAM “Genosida: Study kasus OPM”
Pasca Perang Dingin, terjadi perubahan konstelasi
politik internasional. Konflik yang sebelumnya terjadi
antar-negara, bergeser menjadi konflik domestik. Perang
Dingin turut memiliki kontribusi yang signifikan dalam
mengklasifikasikan negara-negara di dunia, menjadi
golongan Komunis atau Liberal, yang secara tidak langsung
berakibat pada terjadinya konflik internal, karena
terpecahnya kelompok kepentingan masyarakat kedalam dua
ideologi tersebut. Selain mengakibatkan bergesernya jenis
konflik, setelah berakhirnya Perang Dingin, aktor
39
internasional pun memiliki peranan yang penting,
khususnya dalam penyelesaian sengketa internasional.
Konflik Papua merupakan salah satu konflik
separatisme yang terjadi di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Awal kemunculan konflik ini ditandai dengan
dibentuknya Dewan Nugini yang kemudian menaikkan bendera
Bintang Kejora, dan menyatakan keberadaan Bangsa Papua
pada tahun 1961. Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat
Papua tersebut di inisiasikan oleh Belanda, yang menjadi
pemerintahan kolonial Indonesia sebelum dekolonisasi.
Pemerintahan Soekarno yang pada saat itu sangat menentang
kolonialisme, membentuk Tiga Komando Rakyat (Trikora)
pada tahun 1961, yang secara garis besar bertujuan untuk
melepaskan Papua dari penguasaan Belanda dan memasukkan
wilayah tersebut kedalam wilayah NKRI. Kebijakan tersebut
telah membagi masyarakat Papua kedalam kelompok pro dan
kontra.
Amerika Serikat yang pada saat itu dalam usaha untuk
mencegah masuknya komunisme ke Indonesia, meminta
dukungan dari negara-negara Barat agar Belanda bersedia
mengambil solusi politik untuk menyelesaikan sengketa
tersebut. Pada tahun 1962, dengan adanya mediasi dari
PBB, Indonesia dan Belanda melakukan Perjanjian New York
yang memerintahkan Belanda untuk menyerahkan
penguasaannya kepada United Nations Temporary Executive Authority
(UNTEA) dan meninggalkan wilayah Papua selama enam tahun
sampai dilakukannya pemungutan suara yang bertujuan untuk
menentukan posisi Papua.
40
Ketika pada tahun 1969 dilakukan Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera), Pemerintah Indonesia mengajukan diri
sebagai perwakilan dalam konsensus musyawarah tersebut,
dengan alasan bahwa masyarakat Papua masih dianggap
terlalu primitif dalam ”memberikan suaranya”. Hasil
pemungutan suara tersebut menunjukkan bahwa Papua menjadi
bagian dari NKRI, dan kemudian disahkan dalam Resolusi
PBB no. 2504. Sehingga pada tahun 1973, Papua resmi
menjadi milik NKRI (LIPI;2011).
Keputusan ini semakin memperluas gap antara
pemerintah NKRI dan masyarakat Papua yang kecewa karena
tidak diikutsertakan sejak dalam proses pembentukan UNTEA
sampai ketika dilakukannya pengambilan suara. Sehingga
mengakibatkan terbentuknya kelompok-kelompok militer yang
represif memperjuangkan pemisahan wilayah Papua dari
NKRI, salahsatu kelompok yang paling represif dalam
memperjuangkan hal ini ialah Organisasi Papua Merdeka
(OPM) yang telah terbentuk sejak tahun 1964. (Andrew
Tan;2007).
Kekecewaan masyarakat Papua semakin bertambah ketika
Pemerintahan Orde Baru membentuk kerjasama dengan
perusahaan pertambangan dari Amerika Serikat, yaitu
Freeport McMoRan di wilayah Timika, untuk menambang
pasokan tembaga terbear di dunia. Kebijakan Soeharto
lainnya yang semakin memperburuk situasi ialah ketika
memindahkan penduduk di Pulau Jawa ke Papua ketika di
jalankannya Program Transmigrasi. Program ini semakin
menimbulkan perpecahan sosial di wilayah Papua, karena
41
memunculkan prasangka buruk terhadap suku Jawa yang
dianggap akan semakin memarjinalkan masyarakat asli
Papua.
Respon Pemerintah Indonesia untuk meredam konflik
di Papua adalah dengan memberlakukan sejumlah Daerah
Operasi Militer (DOM) di wilayah Papua, sejak tahun 1965
(Operasi Sadar) sampai dengan tahun 2004, di Kabupaten
Puncak Jaya, setelah diberlakukannya Undang-Undang
Otonomi Khusus Papua, tahun 2001 (Neles Tebay;2009). Meskipun
tingkat kekerasan yang terjadi di Papua setelah Otsus
jauh lebih sedikit bila dibandingkan ketika era Orde Baru
(hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah korban).
Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) merupakan
kebijakan yang dibentuk ketika berada dibawah pemerintah
Presiden Megawati Soekarno putri, sebagai bentuk dari
respon pemerintah nasional dalam menyikapi tuntutan dari
masyarakat Papua untuk memisahkan diri dari NKRI.
Inisiatif untuk menyelesaikan konflik Papua dengan
jalan damai telah ada sejak tahun 1998, ketika Indonesia
berada pada Era Reformasi, yaitu dengan dilakukannya
dialog Papua dengan 100 ketua (Tim 100) dengan Presiden
Habibie, yang kemudian diberi nama Forum Rekonsiliasi
Masyarakat Irian Jaya (Foreri). Kemudian pada tahun 1999,
Presiden Abdulrahman Wahid membentuk Kongres Rakyat Papua
sebagai wadah untuk menyampaikan seluruh aspirasi
masyarakat Papua kepada pemerintahan pusat. Pada Tahun
2001, Otsus dibentuk dengan harapan dapat memuaskan
masyarakat Papua. Pemerintah berkomitmen untuk menjamin
42
eksistensi orang asli Papua, memelihara nilai-nilai
kultural, dan pemerintah bertugas membentuk peraturan
perundang-undangan untuk memperlancar UU Otsus tersebut.
Namun, delapan tahun setelah Otsus diberlakukan,
pemerintah masih menghadapi banyak permasalahan, seperti
kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum
diberlakukannya Otsus, masih banyak terjadinya penebangan
hutan liar, rendahnya tingkat pendidikan, eksplorasi SDA,
dan tingginya tingkat penyebaran HIV/AIDS menunjukkan
bahwa tujuan Otsus masih jauh dari keberhasilan.
Meskipun perkembangan dalam menciptakan perdamaian
dan keadilan di wilayah Papua berjalan dengan sangat
lambat, inisiatif dan komitmen pemerintah untuk terus
melakukan dialog damai dengan masyarakat Papua masih
terus di usahakan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menyampaikan komitmen Pemerintahan Indonesia untuk
menyelesaikan konflik Papua dengan cara damai, seperti
ketika konflk GAM di Aceh berhasil diselesaikan.
Komitmen damai melalui jalur dialog tidak hanya
datang dari kelompok pemerintah, tetapi juga dari pihak
Papua. Kekerasan dan banyaknya korban yang berjatuhan
selama masa DOM, memunculkan tekad masyarakat Papua serta
kelompok separatisme untuk menghentikan tindakan
kekerasan. Bahkan kelompok OPM-pun yang masih bergerilya
di hutan, mendukung ide dialog perdamaian dengan
pemerintah tersebut. Dialog damai juga di prakarsai oleh
Gereja Katolik se-Papua, yang terdiri dari empat uskup,
masing-masing: Uskup Keuskupan Agung Merauke, Uskup
43
Keuskupan Agats, Uskup Keuskupan Manokwari-Sorong, dan
Uskup Keuskupan Jayapura, yang menemui mantan Presiden
Abdulrrahman Wahid, memohon untuk menyelesaikan konflik
dengan jalur dialog damai, pada tahun 2001. Menurut Neles
Tebay, meskipun komitmen untuk melakukan dialog damai
sudah muncul, namun dialog tersebut belum pernah benar-
benar terjadi, karena belum adanya rasa percaya dari
pihak-pihak yang berkonflik.
b.Kasus Pelanggaran HAM “ Perbudakan ”
Sebulan yang lalu kita dikejutkan dengan sebuah
peristiwa di sebuah pabrik di Tangerang. Peristiwa
tersebut adalah kasus Perbudakan di salah satu pabrik
kuali milik Yuki Irawan-tersangka yang sekarang sudah
ditahan di Mapolres Tangerang. Kasus ini diangkat oleh
media ketika salah satu korban perbudakan pulang ke
kampung halamannya di Lampung. Korban ini menceritakan
kejadian perbudakan kepada kepala desa dan akhirnya
pengaduan berlanjut hingga melibatkan Komisi Orang Hilang
dan Tindak Kekerasam (Kontras), Komisi Nasional Hak Azasi
Manusia (Komnas HAM), hingga Markas Besar Kepolisian
Republik Indonesia (Mabes Polri). Korban menceritakan
bahwa ia bekerja di pabrik tersebut karena di rekrut oleh
seseorang dari kampungnya yang menjanjikan gaji 700 ribu
rupiah per-bulan. Semua makan dan penginapan juga
ditanggung perusahaan.
Janji tidak seperti dengan kenyataan. Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa para pekerja disekap di
44
pabrik dan dipaksa membuat kuali 150-200 kuali per-hari.
Mereka bekerja dari pukul enam pagi sampai jam dua belas
malam dan hanya diberi makan pagi dan makan siang. Jika
para pekerja tidak mematuhi apa yang diperintahkan, maka
para pekerja akan dikurung di sebuah gudang yang
bersebelahan dengan pabrik. Jika mereka mengeluh sakit,
juga akan dihajar. Para korban dari Perbudakan ini ada
sekitar 34 orang dan beberapa diantaranya anak dibawah
umur yang dipekerjakan. Para pekerja tidak berani melawan
karena dibalik mandor-mandor yang galak, terdapat pula
oknum aparat yaitu tentara dan juga anggota Brimob yang
sering berkunjung ke pabrik. Menurut pengakuan korban
pada saat melapor ke kantor Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) bahwa pemilik pabrik tersebut, Yuki
Irawan pernah menampar dan mengancam jika para buruh
kabur akan ditembak dan dibuang ke laut.
Kejadian tersebut telah melanggar prinsip-prinsip dari
Hak Azasi Manusia (HAM) dan juga aturan-aturan yang ada
dalam Undang-undang Ketenagakerjaan terkait waktu kerja,
keselamatan dan kesehatan kerja serta pengupahan.
Peristiwa tersebut juga melanggar Undang-undang
Perlindungan Anak dimana beberapa anak dibawah umur
dipaksa bekerja di pabrik tersebut. Dalam UU
Ketenagakerjaan Pasal 86 Ayat (1) disebutkan: Setiap
pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
45
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai agama.
c.Kasus Pelanggaran HAM “ Aborsi ”
Perspektif Aborsi dalam Realitas Sosial Dinamika
Masyarakat Urban Pontianak, (Selasa, 30 Oktober 2007),
aborsi bukan sesuatu yang baru terdengar secara medis
Aborsi adalah penghentian dan pengeluaran hasil kehamilan
dan janin dari rahim sebelum dapat hidup kedalam
kandungan. Harus diakui bahwa sampai saat ini praktik
aborsi masih menjadi kontroversi. Seperti apa perspektif
aborsi dalam ralitas sosial masyarakat kita? Catatan
Pringgo Pontianak Berdasarkan data yang dihimpun
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), tahun
2000 angka aborsi di Indonesia mencapai 2,3 juta kasus.
Selang setahun kemudian, angka itu naik menjadi 2,5 juta.
Ironisnya lagi, sebagian besar kasus aborsi yang terjadi
dilakukan secara sengaja (procured abortion) dan oleh
perempuan yang telah bersuami.
Fenomena lain juga terjadi mengenai kasus aborsi
yaitu, Polisi berhasil menciduk sepasang mahasiswa dari
dua perguruan tinggi berbeda atas tuduhan melakukan
perbuatan aborsi. Kasat Reskrim Polres Kendari AKP Agung
Basuki di Kendari, mengatakan bayi berjenis kelamin
perempuan ditemukan warga dalam keadaan tidak bernyawa.
Bayi malang yang diperkirakan berusia tujuh bulan dalam
kandungan dikuburkan oleh mahasiswa lelaki KI (21) di
semak-semak sekitar kompleks BTN Safira Kelurahan
46
Rahandouna, Kota Kendari Selasa (30/7) sekitar pukul
20.00 WITA. "Lelaki KI dan wanita NF (20) mengaku bahwa
bayi tidak berdosa tersebut adalah hasil hubungan mereka.
Keduanya sudah ditetapkan sebagai tersangka," ungkap
Agung Basuki seperti dikutip dari Antara, Rabu (31/7).
Mahasiswa wanita NF mengaku bayi yang dikandungnya
lahir setelah mengkonsumsi obat yang diterimanya dari
lelaki KI. Sekitar pukul 20.00 WITA lelaki KI bersama
rekannya yang masih dalam buron mengendarai sepeda motor
menuju kawasan semak belukar di sekitar kompleks BTN
Safira dengan maksud menguburkan bayi tersebut. Warga
yang sedang mengintai pencuri sapi curiga keberadaan dua
lelaki yang berboncengan motor masuk dalam semak-
semak."Kami curiga karena mendengar mereka seperti
menggali lubang untuk menanam sesuatu. Kami panggil dan
menanyakan sedang apa," kata saksi Lambeso (62). Dua
lelaki itu bukannya menjawab pertanyaan warga tetapi
bermaksud melarikan diri, namun mengurungkan niat setelah
warga mengancam membakar sepeda motor mereka. "Mereka
sempat melarikan diri dalam hutan, tetapi mendengar
sepeda motornya akan dibakar akhirnya kembali," tutur
Lambeso. Warga yang mencurigai sebagai pencuri sapi
menggiring ke Polsek Poasia, namun akhirnya dibebaskan
karena tidak cukup bukti. Pada Rabu (31/7) sekitar pukul
07.30 WITA, warga mendatangi tempat yang dicurigai adanya
sesuatu yang ditanam oleh dua lelaki tersebut. Warga
terkejut, ternyata yang dikuburkan adalah seorang bayi
perempuan dan akhirnya dilaporkan ke Polsek Poasia.
47
Polisi kemudian menciduk KI dan wanita NF yang dijerat
melanggar pasal 346 tentang aborsi dengan ancaman empat
tahun penjara. di rumah kontrakan di Jalan Jati Raya.
"Wanita NF divisum di Rumah Sakit Bhayangkara Polda
Sultra dan lelaki KI dimintai keterangan oleh penyidik,"
demikian Agung Basuki.
d.Kasus Pelanggaran HAM “ Pembunuhan ”
Pembunuhan Sri Wahyuni di Bandara Soekarno Hatta
bermula dengan penemuan jenazah membusuk di pelataran
parkir Terminal 1A Bandara Soekarno-Hatta atas nama Sri
Wahyuni (42), akhirnya terungkap sepenuhnya. Polisi
menangkap JAH (31), teman dekat sekaligus pembunuh
korban. Dari JAH, polisi pun mengorek kronologi
pembunuhan itu. Penuturan tersangka, dia telah mengenal
Sri setahun lebih. Ibu dua anak yang tengah mengurus
proses perceraian dengan suaminya itu kerap datang ke
kafe di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, tempat JAH
bekerja sehari-hari.
Bunga asmara di antara mereka. Singkat kata, keduanya
berhubungan layaknya pasangan kekasih. "Hubungannya lebih
dari teman dekat deh," ujar dia di sela pemeriksaan di
Polres Kota Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Sabtu
(22/11/2014).
Sri tuduh JAH selingkuh Jumat (18/11/2014), JAH, Sri
serta sejumlah rekannya berwisata ke kawasan Puncak,
Bogor, Jawa Barat. Acara dilanjutkan ke kafe di bilangan
48
Blok M, Jakarta Selatan dan sebuah kelab malam di kawasan
Glodok, Jakarta Barat.
Sepanjang dari Blok M hingga ke Glodok, keduanya
menenggak minuman keras hingga sedikit mabuk. Saat itu,
Sri bertanya kepada JAH, apakah benar dia berselingkuh
dengan wanita lain. JAH pun membantahnya. Namun, Sri
yang mengaku memiliki bukti bersikeras menuduh JAH
berselingkuh. Cekcok pun dimulai.
Kasat Reskrim Polres Bandara Kompol Aszhari
Kurniawan mengatakan, Sri mengusir JAH dari mobilnya.
Namun, JAH menolak. JAH pun meminta Sri untuk
mengantarkan ke bandara jika memang tidak mau bertemu
dirinya lagi. "Bahasa marahnya tersangka, kalau gitu
antar saya ke bandara, saya mau pulang," ujar dia. JAH
dan korban masuk ke pelataran parkir Terminal 1A bandara
pada Sabtu (15/11/2014) sekitar pukul 08.00 WIB. Cekcok
masih terus terjadi di dalam mobil. Amarah JAH memuncak.
Spontan, dia yang berada di kursi sopir mencekik leher
Sri selama sekitar tiga menit. Di tangan sang kekasih,
Sri tewas. JAH sempat merebahkan sandaran jok Sri dan
menutup wajahnya dengan sehelai kain abu-abu. Aszhari
menyebut, hal tersebut agar korban tidak terlalu nampak
dari luar mobil. JAH keluar dari mobil usai menguncinya
dari dalam. Dia kemudian bertolak ke terminal
keberangkatan 1A dengan berjalan kaki. Dia membeli tiket
pesawat Lion Air ke Denpasar, Bali. JAH baru terbang
sekitar pukul 14.25 WIB. Dari Bali, dia bertolak ke
Jayapura, Papua dengan transit terlebih dahulu di49
Makassar. JAH sempat menginap satu hari di Jayapura
sebelum terbang ke tanah kelahirannya di Nabire, Papua.
Polisi berbekal CCTV di Jakarta, waktu yang sama,
yakni pada Rabu (19/11/2014) pukul 10.00 WIB, jenazah Sri
ditemukan. Bau busuk keluar dari jenazah itu. Polisi
memeriksa rekaman CCTV pelataran parkir mobil. Di rekaman
terlihat JAH tengah keluar mobil Sri dengan wajah tegang.
Atas bekal itu, polisi melakukan pengembangan.
Tersangka dikenakan Pasal 338 KUHP tentang
penghilangan nyawa orang. Tersangka terancam hukuman 15
tahun penjara.
e.Kasus Pelanggaran HAM “ Penyiksaan/Ekspolitasi ”
Tak ada yang istimewa dari rumah di Jalan Adibrata,
Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, Bandung, Jawa
Barat itu. Sekilas, rumah milik Budi Halim ini, layaknya
tempat tinggal lain di sekitarnya. Namun rumah itu tiba-
tiba menjadi perhatian masyarakat ketika seorang anak
perempuan lulusan sekolah lanjutan pertama bernama Dewi
melapor ke Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung, awal
Juli silam. Budi Halim menyekap belasan anak buat
dipekerjakan.
Dewi adalah satu di antara anak-anak di bawah umur
yang dipekerjakan di CV Langgeng Computer Embriodery,
pabrik konveksi milik Budi Halim dan istrinya, Herawati.
Dewi kabur dari rumah Budi--yang sekaligus menjadi
50
pabrik--karena tak tahan dipekerjakan di luar batas
kemanusiaan. Polisi yang menggerebek konveksi tersebut
kemudian menemukan 12 anak berusia 11 hingga 18 tahun.
Sebagian besar dari mereka berasal dari daerah sekitar
Bandung dan Cianjur.
Dede Sutianingsih, seorang anak yang juga senasib
dengan Dewi akhirnya berkisah. Menurut gadis muda ini,
anak-anak yang bekerja di konveksi milik Budi harus
bekerja selama 12 jam dari pukul 07.00 hingga 19.00 WIB.
Mereka hanya diberi waktu istirahat setengah jam.
Parahnya, selama istirahat itu mereka dilarang ke luar
atau beranjak dari tempat kerja. "Jongkok atau berdiri
sebentar saja si Engkoh (Budi) dan si Enci (Herawati) suka
marah. Bahkan sering mencaci maki dengan kata-kata
goblok, anjing, sambil mendorong kepala," kata Dede,
miris.
Bisa jadi, penderitaan tadi tak dialami mereka,
seandainya tak ada orang yang bernama Pipin, calo
pekerja. Namun, perempuan ini malah mengaku tak menyangka
anak-anak itu akan bernasib buruk. "Kalau kursus menjahit
kan harus bayar. Sedangkan bekerja di konveksi itu bekerja
sambil belajar," kata Pipin yang mengaku mendapat upah Rp
20 ribu per anak dari Budi.
Menurut Dede, sebelumnya Pipin memang menjanjikan
iming-iming gaji lebih dari Rp 100 ribu per bulan. Selain
itu mereka juga akan diajari membordir dan menjahit.
Namun, setelah beberapa bulan bekerja, janji tinggal
janji. Gaji tak pernah mereka terima, yang ada malah
51
cacian dan makian. "Alasannya gaji belum dibayar, karena
bekerja baru empat bulan, belum setahun," kata Dede.
Sebenarnya anak-anak tadi sudah tak betah buat
tinggal dan bekerja di tempat itu. Namun Ai Solihat--yang
berusia 11 tahun--tak berani pulang kampung, karena takut
tersesat. Sementara Pipit, sempat berniat kabur, namun
pintu konveksi selalu digembok. Kini anak-anak itu
memilih pulang kampung dan kembali ke orangtuanya. Dede,
Ai Solihat, dan Pipit yang berasal dari Gunung Halu,
Bandung, mengaku belum berencana mencari pekerjaan lain.
Maklum, mereka umumnya trauma dengan perlakuan Budi dan
Herawati, sang majikan.
Budi dan Herawati yang kini resmi menjadi tersangka,
kontan membantah telah menyekap dan mempekerjakan anak-
anak di luar batas kemanusiaan. Menurut Budi, anak-anak
diterima kerja semata-mata sebagai upaya menolong
orangtua mereka. "Di antara anak-anak itu, bahkan ada
yang diserahkan langsung orangtuanya," kata lelaki yang
mendirikan konveksi sejak 1995 ini.
Apapun alasan yang dikemukakan Budi dan Herawati,
keduanya kini dikenai status tahanan rumah setelah
sebelumnya harus meringkuk di tahanan Polwiltabes
Bandung. Suami istri yang diganjar Pasal 333 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang Perampasan
Kebebasan Seseorang itu, mengaku pasrah. Menurut Kepala
Polwiltabes Bandung Ajun Komisaris Besar Polisi Masguntur
Laupe, dari pemeriksaan awal tersangka telah menyekap
anak-anak di bawah umur. "Unsur penyekapan telah terbukti
52
dengan pintu gerbang yang digembok. Termasuk soal gaji
yang tidak dibayar," kata Masguntur.
Kasus penyekapan pekerja anak di Bandung, hanya satu
contoh dari banyak kasus buruh anak di Indonesia.
Dalam Undang-undang Perburuhan No. 20 Tahun 1999,
disebutkan bahwa usia minimum anak yang diperbolehkan
bekerja di Indonesia adalah 15 tahun. Namun dalam
praktiknya, anak di bawah usia itu pun ada yang
dipekerjakan. Kondisi memprihatinkan ini sebenarnya
sangat disadari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Namun upaya Depnakertrans belum membuahkan hasil lantaran
pengawas pekerja anak untuk seluruh Indonesia baru 150
orang.
Pekerja anak-anak memang sangat disukai sejumlah
pengusaha dengan pertimbangan antara lain tekun,
disiplin, dan bisa digaji lebih rendah. Namun, menurut
Menakertrans Jacob Nuwa Wea pandangan seperti itu tidak
dapat dibiarkan. Anak-anak, menurut Jacob, bagaimana pun
memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan waktu
bermain. "Kondisi ini kadang diperburuk dengan penegakan
hukum yang tidak adil," kata Jacob, tampak geram.
Ironisnya, Jacob mengakui, pemberantasan pekerja
anak-anak memang sangat sulit. Hal ini karena faktor
ekonomi yang kemudian diperparah dengan krisis ekonomi.
Kesulitan inilah yang kemudian banyak mendorong orangtua
memaksa anaknya untuk bekerja. "Kalau perekonomian baik,
saya kira siapa pun tak akan mempekerjakan anaknya," kata
Jacob.
53
Kendati demikian, Menurut Manajer Program Nasional
untuk Organisasi Buruh PBB (ILO) Panji Putranto tak
sepakat dengan Jacob. Menurut dia, eksploitasi pekerja
anak sebenarnya tak sulit diberantas. Semua tergantung
pada kemauan dan komitmen pemerintah. "Kenyataannya,
selama ini usaha pemerintah belum maksimal," kata Panji.
Panji mengusulkan, pemerintah membuat pilot project di
tempat atau di daerah yang pekerja anaknya cukup banyak.
Di daerah tersebut, pemerintah atau lembaga swadaya
masyarakat sudah berupaya memberikan pengertian kepada
orangtua yang mempekerjakan anak-anaknya. "Selama ini
penanganan pekerja anak-anak terkesan rumit karena
pemerintah daerah pun tak pernah mengimplementasikan
perda yang mengatur pekerja anak-anak," kata Panji.
Tampaknya derita pekerja anak Indonesia, bakal menjadi
kisah pilu yang sangat panjang.(YYT/Tim Derap Hukum SCTV)
f.Kasus Pelanggaran HAM “ Pencemaran Nama Baik ”
Kasus pencemaran nama baik RS. Omni Internasional
dengan Prita Mulyasari. Prita Mulyasari adalah seorang
ibu dua anak yang tadinya hidup biasa-biasa saja,
kemudian sontak menjadi terkenal hanya gara-gara
mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional yang
berlokasi di kawasan Tangerang, Banten pada 7 Agustus
2008.
Karena merasa tidak puas dengan perlakuan yang
diterima selama dirawat di rumah sakit tersebut, Prita
menuliskan keluhannya ini ke dalam email yang kemudian
54
dikirim ke beberapa orang temannya.Berikut adalah kutipan
isi surat yang ditulis oleh Prita.
Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa
manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi.
Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah
sakit (RS) dan title international karena semakin mewah
RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba
pasien, penjualan obat, dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS international seperti
ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni
International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30
WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala
datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS
tersebut berstandar International, yang tentunya pasti
mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan
saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan darah dan hasilnya adalah trombosit saya
27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya
diinformasikan dan ditangani oleh dr I (umum) dan
dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan
pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama
dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit
27.000.
Dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan
saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena
saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I
adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya
55
menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah
positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan
tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien
suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit
saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab
semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa
dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan
instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai
macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien
atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya
dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya
kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah
saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih
memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya
saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh
dokter profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam
suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun
dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan
tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan
suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus
menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus
dan suntikan disertai banyak ampul.
Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta
dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr
H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke
56
ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali
ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga
tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut
hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.
Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya
menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa
suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya
sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus
udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah.
Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap
virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan
dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.
Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus
dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan
diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata
menunggu dr H saja.
Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus.
Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan
seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk
diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan
obat-obatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu
dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru
datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut
penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab
awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan
sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah
57
terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya
leher kiri dan mata kiri.
Dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan.
Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke
suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh
tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai
kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai
ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa
rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak
bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher
kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali
menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat
di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya
membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya
dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.
Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab
(buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya
semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya
sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil
thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab
27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000
tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000.
Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain
dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan
58
hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka
saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang
memegang hasil lab tersebut.
Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni
dan diterima oleh Og (Customer Service Coordinator) dan
saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut
hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar
dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang
tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan
seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima
pengajuan komplain tertulis.
Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu
dengan manajemen. Atas nama Og (Customer Service
Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan
diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian
yang terjadi dengan saya.
Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya
meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil
lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya
diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi
thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab
masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali.
Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa
lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M
informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab,
Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan
59
alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji
akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan
dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi
karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah
sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah
parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa
laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas
dan kista.
Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan
RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit
demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam
dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya
tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini
dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi
sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat
hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke
perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu
besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan
paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang
belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat
tersebut.
Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain
dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke
rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan
ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya.
Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah
60
dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah. Ini benar-
benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah
saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat
jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan
membutuhkan waktu yang lama. Logkanya dalam tanda terima
tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan?
Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua.
Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan
nyawa orang.
Terutama Dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan
etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan
standard international yang RS ini cantum. Saya bilang ke
dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut
dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke
resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh
membuat sakit hati kami.Pihak manajemen hanya menyebutkan
mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan
mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan
dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang
mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari
sebelum masuk ke RS Omni.Kenapa saya dan suami saya
ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu
bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau
fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.
Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji
maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah
fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap
dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan
61
kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung
tertangani dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan
biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya
mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi,
RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Dr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur
operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya
sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka
dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi
mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus
sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena
sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang
cukup untuk menyembuhkan.
3. PROBLEMATIKA HAM MASA KONTEMPORER
Berbicara mengenai konsep Hak Asasi Manusia di
Indonesia tentunya tidak bisa disamaratakan dengan
konsep-konsep Hak Asasi Manusia yang dsajikan di negara-
negar lain, misalnya konsep yang disajikan atau
ditawarkan oleh negara Barat yang selalu dijadikan
rujukan atau referensi mengenai konsep Hak Asasi Manusia
yang banyak digunakan oleh negara-negara di dunia,
karena Indonesia memiliki keunikan tersendiri yakni
berkenaan dengan nilai-nilai Hetrogenitas atau
kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ini,
yang dapat ditinjau dari aspek multi cultural, multi
62
etnis, multi religion yang kemudian dibalut dengan
dinirikanya bentuk negara konstitusional dan
berketuhanan. Artinya segala bentuk penegakan Hak Asasi
Manusia di Indonesia tidak hanya dibatasi dengan aturan-
aturan atau regulasi-regulasi yang dibuat secara
spesifik yang bersifat konstitusional melainkan juga
dilandasi dengan nilai-nilai ketuhanan yang dianut oleh
bangsa Indonesia.
Meskipun konsep Hak Asasi Manusia yang dimiliki
negara Indonesia dan dipegang teguh sampai hari ini
sudah dibuat dan disepakati seideal mungkin akan tetapi
sampai saat ini implementasi atau penerapannya masi jauh
dari kata maksimal, hal tersebut bisa kita lihat dari
masi banyaknya kasus-kasus yang berkenaan dengan
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sering kita jumpai di
Indonesia sampai saat ini. Hal tersebut tentunya menjadi
hal serius yang harus diselesaikan atau paling tidak
diminimalisir karna tentunya hal-hal tersebut sangat
tidak mencerminkan bangsa Indonesia sebagai negara
konstitusional dan berketuhanan. Apabila kita analisis
secara spesifik tentunya banyak faktor yang melandasi
masalah atau problematika penegakan Hak Asasi Manusia di
Indonesia, yang dapat ditinjau dari beberapa aspek,
yakni:
1. Ditinjau Dari Aspek Keterpurukan Hukum di Indonesia
Apa yang terjadi hari ini tentunya tidak terlepas dari
apa yang diwariskan dari masa lalu, begitu juga dengan
keterpurukan hukum di Indonesia sejak masa Orde Baru
63
hingga sekarang meliputi tiga unsur sistem hukum,
sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedmann,
yaitu struktur (structure), substansi (substance), kultur
hukum (legal culture).
Struktur, yang dimaksud dengan struktur dalam sistem
hukum Indonesia adalah institusi institusi penegakan
hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan,
serta hirarki peradilan dari yang terendah (Pengadilan
Negeri, Pengadilan Agama, dan lain-lain) hingga yang
tertinggi (Mahkamah Agung), begitu juga aparat penegak
hukum yang bekerja pada institusi institusi penegakan
hukum tersebut. Problem yang terjadi berkenaan dengan
struktur ini adalah belum adanya kemandirian yudisial
yang menjamin resistensi institusi institusi penegakan
hukum terhadap intervensi pihak lain serta rendahnya
kualitas moralitas dan integritas personal aparat
penegak hukum sehingga hukum tidak dapat bekerja
secara sistemik dan proporsional, termasuk dalam
penegakan HAM.
Substansi, yaitu aturan, norma dan pola prilaku nyata
manusia yang ada dalam sistem itu atau produk produk
yang dihasilkannya berupa keputusan keputusan yang
mereka keluarkan dan mencakup pula hukum yang hidup
(living law) dan bukan hanya aturan aturan yang ada dalam
kitab undang undang (law books). Yang menjadi problem
dari substansi ini adalah kuatnya pengaruh positivisme
dalam tatanan hukum di Indonesia yang memandang hukum
sebagai sesuatu yang muncul dari otoritas yang
64
berdaulat dalam bentuk undang undang dan mengabaikan
sama sekali hukum diluar yang tersebut serta memandang
prosedur hukum sebagai segala-galanya dalam penegakan
hukum tanpa melihat apakah hal tersebut dapat
mewujudkan keadilan dan kebenaran.
Kultur hukum, yaitu suasana pikiran dan kekuatan
sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan,
dihindari, dan disalahgunakan. Kultur hukum yang
merupakan ekspressi dari tingkat kesadaran hukum
masyarakat belum kondusif bagi bekerjanya sistem hukum
secara proporsional dan berkeadilan.
Keterpurukan hukum di Indonesia yang meliputi tiga
unsur sistem hukum di atas sangat menghambat penegakan
HAM di negara kita sehingga wajar apabila kasus kasus
pelanggaran HAM yang tergolong berat hingga sekarang
tidak ada yang berhasil diusut secara tuntas dan
profesional dan sudah tentu hal ini sangat mengusik rasa
keadilan masyarakat secara umum. Selain itu secara
struktural, kemandirian institusi institusi penegakan
hukum di Indonesia masih juga menjadi problem yang cukup
serius. Institusi institusi penegakan hukum tersebut
belum cukup resisten terhadap intervensi pihak lain
terutama eksekutif, padahal penegakan HAM memerlukan
kemandirian yudisial dan pemerintahan berdasarkan hukum
(rule of law).
65
2. Ditinjau Dari Aspek Sisitem Politik Indonesia
Sistem politik transisional dari sistem politik
otoriter ke demokratis ternyata tidak bisa berjalan
mulus. Pergantian rezim dari Orde Baru ke Orde Reformasi
telah banyak menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM.
Begitu juga ketika Orde Reformasi berkuasa timbul gejolak
dan pergumulan di antara kekuatan reformasi sendiri,
tanpa menafikan pengaruh dan peran kuat orang-orang yang
pro-status quo untuk saling berebut kekuasaan, yang hal ini
juga banyak menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM,
terutama ketika militer diposisikan sebagai alat dan
pendukung kekuasaan yang sedang berlangsung
3. Ditinjau Dari Aspek Sistem Ekonomi Indonesia
Sistem ekonomi yang dibangun selama masa Orde Baru
terbukti belum mampu menyejahterakan dan mengangkat
martabat kehidupan bangsa Indonesia terutama rakyat kecil
yang secara kuantitatif paling banyak jumlahnya. Bahkan
sejak terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan jatuhnya
rezim Orde Baru, kondisi bangsa Indonesia semakin
terpuruk den krisis itu semakin melebar dan meluas hingga
bersifat multidimensional.
Keterpurukan ekonomi ini juga menjadi problem penegakan
HAM di negara kita, sebab bagaimana seorang akan dapat
menghormati dan menghargai serta menghayati HAM kalau ia
belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang minimum
sekalipun?
66
Dalam psikologi dikenal teori Abraham Maslow tentang
The Basic NeedHierarchy Theory yang mengatakan bahwa ada lima
tingkatan kebutuhan dasar manusia yaitu :
a) Kebutuhan pokok fisiologis
b) Kebutuhan akan keselamatan dan keamanan dari
bahaya luar
c) Kebutuhan akan cinta, kemisraan dan kebutuhan
seksual
d) Kebutuhan akan martabat, penghargaan sosial dan
harga diri serta kebutuhan diperlakukan secara
adil
e) Kebutuhan untuk aktualisasi diri dan mempunyai
sesuatu (obsesi).
Dalam konteks ini, Tjuk Wirawan berasumsi bahwa
apabila sebagian besar rakyat Indonesia sudah mampu
memenuhi kebutuhan dasarnya sampai dengan hirarki keempat
yang berarti sebagian besar rakyat sudah menginginkan
pengakuan martabat dan harga dirinya serta membutuhkan
penghargaan sosial dan ingin diperlakukan secara adil,
maka pada taraf inilah penghormatan HAM dan penegakan
serta penghayatannya yang dibutuhkan oleh rakyat
Indonesia akan dapat dicapai.
4. Ditinjau Dari Aspek Agama “Multi Religion”
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi
nilai-nilai HAk Asasi Manusia tentunya memberikan
kebebasan seluas-luasnya kepada seluruh masyarakatnya
untuk menentukan sendiri nasib dari pada masing-masing
67
individu termasuk dalam hal memeluk keyakinan atau Agama,
hal tersebut menyebabkan Indonesia sebagai salah satu
negara yang didalamnya terdapat beberapa keyakinan atau
agama (multi religion) setidaknya ada enam agama yang
diakui secara legalitas oleh bangsa Indonesia yakni:
Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu dan Kong hu cu.
Tentunya multi religionitas yang dimiliki bangsa
Indonesia bukanlah suatu permasalahan apabila masyarakat
Indonesia khususnya yang memiliki perbedaan dalam
keyakinan memahami betul konsep Hak Asasi Manusia yang
ditawarkan oleh bangsa Indonesia dalam hal ini terutama
mengenai toleransi antar beragama.
Akan tetapi nyatanya masi banyak masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai-nilai fanatisme yang dibawa oleh
masing-masing agama sehingga mengakibatkan saling
menyalahkan satu sama lain, saling menghujat satu sama
lain, merasa paling benar. Tentunya hal tersebut menjadi
salah satu faktor yang sangat mudah memicu perpecahan
antar agama dan mengakibatkan terjadinya pelanggaran-
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang diangkat dari Isu
Agama. Bukankah hal hal tersebut sering kita jumpai di
negara multi religion seperti Indonesia ini?.
5. Ditinjau Dari Aspek Rendahnya Tingkat Pendidikan di
Indonesia
Kemiskinan menjadi salah satu pekerjaan rumah yang
belum bisa diselesaikan oleh bangsa Indonesia sampai saat
ini, di era modern ini masyarakat Indonesia yang masi
68
berada dibawah garis kemiskinan masi mencapai 28,59 juta
jiwa atau 11,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia
tentunya jumlah tersebut menjadi jumlah yang masih
fantastis dan harus diselseaikan. Tentunya kemiskinan
memiliki kaitan erat dengan taraf pendidikan, karna
bagaimana masyarakat Indonesia bisa mengenyam bangku
pendidikan yang relative harus mengeluarkan biaya mahal
sementara taraf ekonominya pun berada dibawah garis
kemiskinan. Dari hal tersebut kemudian kita bisa dengan
mudah mengasumsikan masi banyak masyarakat Indonesia yang
taraf pendidikannya masi rendah.
Dari kal tersebutlah yang mengakibatkan banyak
masyarakat Indonesia yang belum mengetahui kosep Hak
Asasi Manusia sehingga sangat riskan sekali terjadinya
pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama pada
masyarakat kalangan bawah.
6. Ditinjau Dari Aspek Budaya
Seperti yang telah disampaikan diatas bahwa Negara
Indonesia ini merupakan negara yang memiliki sifat
Hetrogenitas salah satunya ditinjau dari aspek budaya,
sebagaimana kita ketahui Indonesia yang terbentang dari
Sabang sampai Marauke yang didalamnya terdiri dari pulau-
pulau yang tentunya santu sama lain memiliki ciri khas yang
berbeda yang berkenaan dengan pedoman hidup yang
ditinggalkan oleh masing-masing nenek moyang mereka yang
bisa kita sebut dengan Kebudayaan ata Kearifan Lokal.
69
Kadang kala tidak sedikit kasus yang kita jumpai
berkenaan dengan hetrogenitas kearifan lokal yang dimiliki
daerah-daerah di Indonesia yang bertentangan dengan konsep
Hak Asasi Manusia era modern. Misalnya banya daerah-daerah
yang masi memegang teguh hukum adat yang diwariskan oleh
nenek moyang mereka yang satu sama lain saling
bertentangan, tentunya ini menjadi persoalan yang benar-
benar harus diperhatiakan. Karena pabila kita melihat dari
rekaman sejarah yang terjadi di negara Indonesia tidak
sedikat kasus pelanggaran ham berat yang mengangkat isu
etnis.
7. Komklusi
Dari beberapa penjelasan mengenai Problematika
penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia yang ditinjau
dari berbagai aspek diatas, tentunya kita bisa dengan
mudah menganalisa pangkal dari pada kasus-kasus
pelanggaran Hak asasi Manusia yang terus terjadi di
negara kita ini. Dari beberapa contoh kasus pelanggaran-
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah kami sajikan
diatas berikut adalah analisa mengenai pangkal penyebab
terjadinya pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia
Tersebut dari mulai pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang bersifat berat (genosida) ataupun kejahatan-
kejahatan kemanusiaan lainnya.
Misalnya dari kasus yang hingga saat ini sering kali
kita jumpai yakni kasus Penyiksaan/Eksploitasi yang
selalu menimpa masyarakat kalangan bawah. Tentunya kosep
70
perbudakan seperti demikan sudah tidak relefan lagi
apabila masi diterapkan di era moderat seperti halnya
masa kini tentunya ini merupakan pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang sangat nyata dan harus ditentaskan karena
hal tersebut jelas-jelas merenggut hak kemerdekaan
individu untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Apabila
ditinjau dari faktor penyebab masi terjadinya pelanggaran
HAM perbudakan/eksploitasi tersebut hingga saat ini,
tentunya bias kita tinjau dari beberapa aspek:
1) Faktor Ekonomi dan Rendahnya Taraf Pendidikan
2) Faktor Kurangnya Pemahaman Terhadap Agama
Kemudian kasus selanjutnya yang semakin marak terjadi
yakni kasus Aborsi dan kasus Pembunuhan jelas dua kasus
tersebut merupakan jenis Pelanggaran Hak Asasi Manusia
berat karna dengan sengaja menghilangkan nyawa orang
lain. Adapun ditinjau dari aspek penyebabya berdasarkan
penjelasa-penejelasan mengenai problematika pelanggaran
Hak Asasi Manusia diatas yakni Faktor Kurangnya Pemahaman
Terhadap Agama.
Yang terakhir sampai dengan kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang paling berat yakni Genosida yang
sampai saat ini masi sering kita jumpai, tentu ini
merupakan permasalahan yang sangat serius yang harus
benar-benar bisa ditentaskan oleh pemeintah dan juga
masyarakat Indonesia umumnya. Karna jelas kasus
pelanggaran seperti ini yang sangat mudah memicu
terjadinya perpecahan. Ditinjau dari beberapa aspek yang
71
dapat memicu pelanggaran Hak Asasi Manusia genosida yakni
diantaranya:
1. Aspek Hukum
2. Aspek Politik
3. Aspek Agama
4. Aspek Budaya
C. Solusi mengatasi Problematika HAM Masa Kontemporer
Permasalahan-permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia
di Indonesia yang berlangsung hingga saat ini mulai dari
pelanggaran Hak Asasi Mnusia yag bersifat ringan, kejahatan
manusia sampa dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
paling besar yaitu Genosida apabila ditinjau dari aspek
pemicu seperti yang telah dijelaskan secara lugas diatas
tentunya merupakan suatu permasalahan yang bersifat
kompleks, karena permasalahan-permasalahan pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang terjadi di negara yang memiliki sifat
Hetrogenitas ini dipicu dari hampir seluruh aspek kehidupan
masyarakan yakni aspek: sosial, politik, ekonomi, budaya,
pendidikan dan agama.
Tentunya bukanlah hal mudah untuk menentaskan atau
menyelesaikan suatau permasalahan yang memiliki kompleksitas
seperti yang terjadi di negara kita, dan bukan juga suatu
alasan untuk berpasrah diri menerima semua permasalahan
tersebut. Artinya dibutuhkn langkah-langkah yang jauh lebih
nyata dan lebih intensif serta dengan pola terstruktur,
sistematis dan masif dalam upaya menyeleaikan dan menegakan
Hak Asasi Manusia secara utuh di Negara Indonesia.
72
Berdasarkan fenomena di lapangan terkait banyaknya kasus
pelanggaran HAM yang terjadi, sebagai langkah tindak lanjut
dan langkah prefentif dan atau sebagai solusi maka ada
beberapa hal yang bisa di terapkan, diantaraya:
1. Reformasi bidang hukum dan HAM
2. Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma
penguasa menjadi pelayanan masayarakat
3. Penegakkan supremasi hukum, sistem peradilan harus
berjalan dengan baik dan adil, para pejabat penegak hukum
harus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan kepadanya
dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada
masyarakat pencari keadilan, memberikan perlindungan
kepada semua orang dari perbuatan melawan hukum,
menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam
rangka penegakkan hukum.
4. Penyelesaian terhadap berbagai konflik Horizontal dan
konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan
berbagai tindakan kekerasan yang melanggar HAM secara
konkrit, terencana, adil, dan menyeliruh.
5. Kontrol dari masyarakat (social control) dan pengawasan
dari lembaga politik terhadap upaya-upaya penegakkan hak
asasi manusia yang dilakukan oleh pemerinah.
6. Deklarasi universal Hak Asasi Manusia
73
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Evaluasi merupakan kata yang berasal dari Bahasa
Inggris evaluation yang berarti penilaian atau
penaksiran, sedangkan menurut pengertian istilah
evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk
mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan
instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur
untuk memperoleh kesimpulan.
2. Pelanggaran HAM dalam perspektif theory pada dasarnya
tidak menghendaki untuk terjadinya kasus-kasus
pelanggaran seperti pembunuhan masal, penyiksaan,
pembunuhan, pencemaran nama baik diantara sesama
manusia, karena secara hakikatnya manusia merupakan
makhluk yang diciptakan Allah S.W.T dengan bentuk yang
74
sesempurnanya sebagaimana termaktub dalam surat At-
tiin ayat 4.
3. Dalam rangka meminimalisir terjadinya pelanggaran HAM
yang marak terjadi di Indonesia, harus ada beberapa
reformasi baik dari segi aturan, tekhnis dll. Seperti
halnya yang dilakukan oleh akademisi melalui
implementasi tri dharma perguruan tinggi.
B. Saran
Berdasarkan dari pemaparan diatas hal yang menjadi
kendala atau problematika dalam penegakan HAM di
Indonesia adalah kurangnya saling menghargai hak orang
lain dan kurangnya menjalankan kewajiban. Negara
indonesia adalah negara yang multi kultular artinya
indonesia memiliki banyak sekali budaya yang berbeda-beda
di setiap wilayahnya, pemerintah memberikan otoritas
sendiri terhadap wilayah-wilayah untuk menjaga dan
melestarikan kebiasaan-kebiasaan atau kebudayaannya
secara turun menurun. Karena banyak sekali budaya inilah
penegakan HAM di Indonesia menjadi rumit, tapi sebenarnya
penegakan HAM di indonesia tidak akan rumit, jika setiap
warga indonesia tidak hanya menuntut hak nya tetapi juga
menjalankan kewajibannya yaitu untuk saling bertoleransi
dan menghargai. Atas dasar itu, kami memberikan sumbang
saran untuk supaya lebih menumbuhkan tanggungjawab antar
hak dan kewajiban setiap manusia serta dibantu dengan
pemahaman agama secara kontekstual sehingga mampu
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
75
Daftar Pustaka
Budiyanto. 2000. Dasar-dasar Ilmu Tata Negara. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Agustina, Leo. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta
Purwanto, Ngalim. 2012. Prinsip-Prinsip Dan Teknik Evaluasi Pembelajaran.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Lubis, M.Solly. 2002. Hukum Tata Negara. Jakarta: CV. Mandar
Maju.
Muladi, H. 2005. Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep, dan Implikasinya
dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Refika Aditama.
Lopa, Baharudin. 2001. Masalah-masalah politik, hukum, sosial,
budaya, sebuah pemikiran. Jakarta: PT Sinar Harapan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun,
aborsi adalah tindakan melanggar hokum.
Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
77
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang
menuliskan dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan
tindakan medis tertentu (aborsi).
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
http://situs.kesrepro.info/gendervaw/jun/2002/utama03.htmdf
diakses 01 desember 2014. 20.00 WIB
http://www.aborsi.org/definisi.htm diakses 01 desember 2014.
20.00 WIB
http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=14 diakses 30
November 20.45 WIB
http://pukha.blogspot.com/2012/11/pengertian-makna-dan-
hakikat-muhasabah.html diakses 30 November 20.45 WIB
http://bdkpadang.kemenag.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=457:pene rapan-prinsip-
qurani-dalam-evaluasi-pembelajaran-dakediklatan&c diakses 30
November 2014 21.00 WIB
78