Pelanggaran Berat HAM oleh Korporasi

29
Diterbitkan oleh: KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA ©2013 JURNAL HAM KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Transcript of Pelanggaran Berat HAM oleh Korporasi

Diterbitkan oleh:KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

©2013

JURNAL HAMKOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

ii *URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

Dewan Penasihat : Semua Komisioner & Sekretaris Jenderal Komnas HAMPenanggungjawab : Siti Noor LailaDewan Penyunting : Dianto Bachriadi; M. Imdadun Rahmat, Sandrayati Moniaga; Roichatul Aswidah; Nur Kholis;Ansori Sinungan; Natalius Pigai; Manager Nasution; Siane Indriani; Otto Nur Abdullah; Muhammad Nurkhoiron, Hafid Abbas, Penyunting Penyelia : Sastra Manjani, SH, MM, Rusman Widodo, S.SosPenyunting Pelaksana : Adoniati Meyria Widaningtias, SH; Eva Nila Sari, SE; Nurjaman, SH; Administrasi dan Keuangan : Ratnawati Tobing, SH (Koordinator); Eka Christiningsih Tanlain, S.Sos; Arief Suryadi, Kamaluddin Nur, Didong Deni AnugrahProduksi (Desain Gra!s) : Banu Abdillah, S.iP; Didi Supandi, A.Md; Hari Reswanto, SS.Distribusi : Sri Hartanto Kurniawan, A.Md, Iman SupandiPenerbit : Komnas HAM

Alamat RedaksiKomisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Jalan Latuharhary No. 4B Menteng, Jakarta Pusat 10310Telepon (021) 392 5230, Faksimili (021) 391 2026

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam TerbitanISBN: 978-979-26-1438-1

Jurnal HAM Komnas HAM Jakarta: Jurnal HAM Komnas HAM, 2013, xvi + 210 Hal; 210 mm x 297 mm

Penerbitan ini dibagikan secara gratis, tidak diperjualbelikan. Penggandaan penerbitan ini untuk kepentingan penyebarluasan nilai-nilai HAM harus mendapat persetujuan tertulis dari Komnas HAM.

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi jurnal ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Kutipan Pasal 72, Ayat 1 dan 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana di maksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaanatau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pi-dana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

JURNAL HAMKOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

iii*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

Daftar Isi

EditorialRusman Widodo ......................................................................................................................................................

Urgensi Reformasi Hukum Terhadap Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas Pasca Rati!kasi CRPDSaharuddin Daming .......................................................................................................................................

Pertautan HAM dan PembangunanAsep Mulyana ........................................................................................................................................................

Perjuangan Hak Minoritas (Etnis) di Tengah Keragaman Budaya di Indonesia: Perspektif Hak Asasi ManusiaMuhammad Nurkhoiron .........................................................................................................................................

Anatomi Kon"ik Sosial dan Model Penanganan Komnas HAMOtto Nur Abdullah, Rima Salim, Asri Oktavianty Wahono .................................................................

Amatan Yuridis dan Hak Asasi Manusia Pada Tindak Pidana Terorisme, Teks dan Konteks Pencegahan dan PemberantasannyaYeni Rosdianti .............................................................................................................................................................

Pelanggaran Berat HAM oleh KorporasiBosman Batubara ...................................................................................................................................................

Dying Before DeathOtto Syamsuddin Ishak, Sriyana dan Eko Dahana ..................................................................................

Lampiran .......................................................................................................................................................................

vii

1

63

91

123

145

169

195

209

265

315

Daftar Isi

169*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

PELANGGARAN BERAT HAM OLEH KORPORASI

Bosman Batubara

Abstrak

Artikel ini menyanggah keputusan Komnas HAM pada 2012 yang menyatakan bahwa Lumpur Lapindo bukan pelanggaran berat HAM. Berdasarkan dua kontra-argumentasi, makalah ini menyatakan sebaliknya. Kasus ini dapat dikenakan pasal kejahatan terhadap kemanusiaan, seterusnya diproses secara pidana. Pengadilan kejahatan HAM berat oleh korporasi sangat mendesak dalam konteks Indonesia karena luas dan beragamnya konflik agraria pasca-reformasi. UU Nomor 26/2000, seperti halnya Alien Tort Claims Act (ATCA) dan Torture Victim Protection Act (TVPA) di Amerika Serikat dan Canada’s Crimes Against Humanity and War Crime Act (CAHWCA) di Kanada, seharusnya mengisi celah impunitas yang disisakan oleh Statuta Roma.

Kata-kata kunci: Lumpur Lapindo, pelanggaran berat HAM, kejahatan terhadap kemanusiaan, pidana, dan konflik agraria.

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

170PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

171PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

Sejarah artikel

Versi lebih sederhana tulisan ini muncul di: Batubara, B. 2013. Pelanggaran berat HAM Kasus Lumpur Lapindo, dapat diunduh di: http://indoprogress.c o m / p e l a n g g a r a n - h a m - b e r a t -kasus-lumpur-lapindo/; dan dalam: Batubara, B., 2013. Umweltzerstörung oder͒schwere Menschenrechts verletzungen Der Fall der Lapindo Schlammkatastrophe. Asienhaus Magazine. 2: 34-7, diterjemahkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jerman oleh Anett Keller.

Tentang penulis

Bosman Batubara adalah alumnus Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada dan Interuniversity Programme in Water Resources Engineering, KU Leuven dan VU Brussels, Belgia. Pada 2009-10 terlibat dalam advokasi korban Lumpur Lapindo; 2013 terlibat sebagai salah seorang inisiator Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam.

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

170PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

171PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

Keputusan Komnas HAM atas Kasus Lumpur Lapindo

Pada Agustus tahun 2012, Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) mengeluarkan putusan

bahwa bencana Lumpur Lapindo bukan pelanggaran berat HAM. Keputusan Komnas HAM ini diambil berdasarkan pemungutan suara di kalangan komisionernya. Dari 11 orang komisioner, 5 orang (Syafruddin Ngulma Simeulue, Kabul Supriyadhie, Nur Khalis, Munir Mulkhan dan Saharudin Daming) sepakat bahwa Lumpur Lapindo adalah kejahatan berat HAM , sementara 6 orang yang lain (Ifdhal Kasim, Yosep Adi Prasetyo, Johny Nelson Simanjuntak, M. Ridha Saleh, Hesti Armiwulan, dan Ahmad Baso) berpendapat bahwa Lumpur Lapindo bukan pelanggaran berat HAM (Nugroho, 2012). Dengan mengambil contoh kasus Lumpur Lapindo, tulisan ini akan membahas persoalan pelanggaran berat HAM oleh korporasi.

Apa argumentasi di balik keputusan ini? Sependek yang dapat penulis ikuti, sampai saat ini ada dua alasan mengapa dalam kasus seperti Lumpur Lapindo, di mana pelakunya adalah korporasi, tidak dapat dijadikan sebagai kasus pelanggaran berat HAM.

Pertama, keterbatasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan HAM (selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut UU 26/2000). Salah seorang komisioner Komnas HAM yang terlibat dalam pemungutan suara yang disampaikan di atas, M. Ridha Saleh, menyatakan bahwa mereka memasukkan kasus Lumpur Lapindo ke dalam kategori pemusnahan lingkungan atau ekosida dan menilai bahwa kejahatan ini termasuk kejahatan berat dan berdampak sangat luas bagi kehidupan manusia, tetapi mereka tidak bisa menggunakan argumen pelanggaran dalam UU 26/2000 di mana hanya ada dua kategori yang masuk pelanggaran berat HAM yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Karena itu, kasus Lumpur Lapindo tidak bisa diperlakukan sebagai pelanggaran berat HAM meskipun ada sebanyak 15 poin pelanggaran HAM dalam kasus ini. Komnas HAM juga mengaku kesulitan memasukkan kasus Lumpur Lapindo ke dalam pelanggaran berat HAM karena selama ini pelanggaran berat HAM dilakukan oleh negara, bukan korporasi. Tetapi Komnas HAM sepakat bahwa kasus ini bukan bencana alam. Sebagai rekomendasi, Komnas HAM memasukkan klausul ekosida dalam draf amandemen UU 26/2000 (Desiyani, 2012).

Kedua, meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan kasus Lumpur Lapindo, akan tetapi ada satu

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

172PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

173PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

argumentasi lain yang di sekitar tema korporasi sebagai pelaku pelanggaran berat HAM. Masih berkaitan dengan keterbatasan UU 26/2000 di atas, yang tidak secara jelas menyatakan korporasi sebagai subjek delik, maka kemungkinan lain adalah dengan membawanya ke ranah pidana. Akan tetapi hal terakhir pun bermasalah karena sistem hukum pidana di Indonesia masih mengacu subjek delik berupa manusia (naturlijke persoon). Artinya, perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi pidana lebih dominan mengarah pada subjek manusia (Ali, 2011). Beberapa tahun sebelumnya, dengan studi kasus Exxon Mobil di Aceh, Putri (2007) menyatakan bahwa Indonesia belum memiliki perangkat hukum untuk menangani pelanggaran berat HAM oleh korporasi (rechtpersoon/legal person).

Pelanggaran berat HAM

Apa itu “pelanggaran berat HAM”? Pasal 7 UU 26/2000 menjelaskan bahwa   ada dua macam pelanggaran berat HAM, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Definisi-definisi yang ada dalam UU 26/2000 sendiri diadopsi dari Rome Statute of International Criminal Court (Statuta Roma) (Wiratraman, 2008).

Dalam Pasal 8 UU 26/2000, dijelaskan bahwa ‘kejahatan genosida’ adalah “setiap perbuatan yang

dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a)membunuh anggota kelompok; b)mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c)menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d)memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e)memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke kelompok lain.”

Sementara, Pasal 9 UU 26/2000 dinyatakan bahwa “kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a)pembunuhan; b)pemusnahan; c)perbudakan; d)pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e)perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum intemasional; f)penyiksaan; g)perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

172PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

173PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h)penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i)penghilangan orang secara paksa; atau; j)kejahatan apartheid.”

Kejahatan negara dan koporasi

Dalam konteks Indonesia kontemporer, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi menjadi sangat relevan dibicarakan setidaknya karena dua alasan. Pertama, ekonomi neoliberal telah mendorong semakin kuatnya peran pasar, dalam beberapa kasus mendikte negara. Kedua, banyaknya jumlah konflik yang disertai dengan pelanggaran HAM karena aktivitas korporasi.

Runtuhnya Orde Baru telah menguatkan ekonomi neoliberal di Indonesia. Sejatinya penguatan ekonomi pasar telah dimulai jauh sebelumnya pada tahun 1967 ketika tiga undang-undang pro pasar, yaitu Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang Pertambangan disyahkan. Studi Polanyi dengan kasus sekitar Perang Dunia I di negara-negara Eropa memperlihatkan bahwa “human society had become an accessory of the

conomic system” [kehidupan manusia sudah menjadi pelengkap belaka dalam sistem ekonomi—terjemahan oleh Bosman] (Polanyi, 2001; 79). Ini menggeser paham lama bahwa seharusnya yang diperlukan adalah sebaliknya, sistem ekonomi yang menjadi pendukung dari kehidupan manusia. Menguatnya ekonomi pasar yang sangat mempercayai bahwa pasar memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-regulating market) tanpa intervensi dari negara (interventionism) (Polanyi, 2001; 71) ditandai dengan pengurangan peran negara di berbagai sektor, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, dan tata kelola sumber daya alam.

Neoliberalisme, menurut Harvey (2005), adalah teori ekonomi politik yang berpandangan bahwa kehidupan manusia yang lebih baik dapat dicapai dengan memberikan kebebasan bagi individu dalam kerangka hak privat yang ketat, pasar, dan perdagangan bebas. Secara historis, neoliberalisme muncul karena depresi hebat di tahun 1930-an yang menghantam sistem kapitalisme. Di saat itu, argumen yang memimpin adalah bahwa, baik kapitalisme maupun sosialisme, gagal membawa peradaban ke arah yang lebih baik. Para pengkampanye Neoliberalisme seperti Friedrich von Hayek, Ludvig von Mises, dan Milton Friedman menekankan pengurangan peran negara di bidang

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

174PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

175PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

ekonomi. Dan di sisi lain, pasar harus dibuat lebih berfungsi. Bahkan, apabila pasar tidak berfungsi dalam sektor seperti air, pendidikan, kesehatan, dan tanah, maka ia perlu diciptakan dengan bantuan negara (Harvey, 2005; 1-38).

Keruntuhan Orde Baru hanyalah permukaan dari gunung es semakin efektifnya ekonomi pasar di Indonesia. Pada tahun 1997, Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan International Monetary Fund (IMF) di mana diatur pemberlakuan Structural Adjustment Programmes (SAPs) di Indonesia. Dalam kasus negara-negara di Sub-Sahara, studi yang sangat bagus dari Rita Abrhamsen telah menunjukkan bahwa pada dasarnya SAPs hanyalah sebuah teknologi pengetahuan yang melaluinya lembaga-lembaga keuangan dunia mendesakkan teknologi pengaturan ke negara-negara di Sub-Sahara (Abrahamsen, 2004).

Dari situ sangat mudah dipahami bagaimana konfigurasi klasik (negara, masyarakat, dan pasar) sebenarnya sudah berubah menjadi (negara+pasar berhadapan dengan masyarakat) (Batubara, 2013; Savitri, 2011). Konfigurasi yang sedang menjadi ini terlihat nyata dalam berbagai kasus konflik agraria di tanah air, misalnya, di Porong, Pati, dan Kebumen. Hal ini akan dijelaskan pada bagian lain tulisan ini.

Kedua, banyaknya jumlah konflik

yang disertai dengan pelanggaran HAM karena aktivitas korporasi. Meski bukan sebuah angka yang proporsional, karena tidak menampilkan jumlah kasus yang dipicu oleh korporasi, tetapi dari angka berikut kita bisa mengetahui konteks Orde Baru. Pada tahun 1994, Komnas HAM menangani 101 kasus tanah dan 165 kasus pada tahun 1995 (Lopa, 1996).

Sebagai pembanding pasca Reformasi 1998 (Widiyanto, 2013), Konflik SDA dan agraria di Indonesia secara garis besar disebabkan oleh ketimpangan penguasaan atas tanah. Term agraria di sini mengacu ke UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang mendefinisikan cakupannya sebagai “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”. Negara dan korporasi memiliki porsi penguasaan atas tanah yang sangat dominan, dibandingkan dengan penguasaan oleh mayoritas masyarakat di sekitar area yang berkonflik. Pada 2012, 64,2 juta hektar tanah (33% dari keseluruhan daratan Indonesia) telah diberikan kepada perusahaan-perusahaan ke-hutanan, pertambangan gas, mineral, dan batubara berupa izin konsesi.

Pada 2013 di Indonesia konflik berlangsung di 98 kota/kabupaten di 22 provinsi dengan luas area konflik mencapai 2.043.287 hektar atau setara dengan setengah luas provinsi Sumatera Barat. Urutan daerah dengan

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

174PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

175PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

konflik terbanyak disajikan dalam tabel 1.

Table 1: Daerah konflik berdasarkan jumlah dan luas area yang terlibat

No Provinsi Jumlah kasus Luas lahan [hektar]

1 Kalimantan Tengah 67 254.671

2 Jawa Tengah 36 9.043

3 Sumatera Utara 16 114,385

4 Banten 14 8,207

5 Jawa Barat 12 4,422

6 Kalimantan Barat 11 551,073

7 Aceh 10 28.522

Sumber: Widiyanto, 2013.

Ditinjau dari sektor konflik, secara umum dapat dibagi menjadi 5 sektor seperti yang ada dalam tabel 2. Konflik kehutanan pada umumnya berakar pada hak penguasaan sepihak pada tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai oleh komunitas lokal secara komunal. Di bidang perkebunan akar konflik pada umumnya adalah konversi hutan yang dikelola oleh masyarakat menjadi

perkebunan. Di bidang pertambangan, konflik meletus karena komunitas lokal sangat mempertahankan wilayah kelolanya yang dirampas oleh perusahaan melalui izin konsesi tambang, tanpa ada pertimbangan persetujuan dengan dasar informasi tanpa paksaan. Sementara konflik agraria adalah konflik tanah di kawasan non-hutan dan non-kebun yang berakar pada penguasaan tanah.

Table 2: Konflik berdasarkan sektornya.

No Sektor Jumlah konflik

Luas lahan [hektar]

1 Kehutanan 72 1.266.449

2 Perkebunan 119 413.972

3 Agraria 22 319.985

4 Pertambangan 17 29.780

5 Lain-lain 2 4.100

Sumber: Widiyanto, 2013.

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

176PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

177PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

Dari sisi aktor ada sembilan pihak yang terlibat dalam konflik SDA, yaitu: 1]Masyarakat Adat; 2]Komunitas Lokal; 3]Kelompok Petani; 4]Taman Nasional/Kementerian Kehutanan; 5]Perhutani; 6]PT Perkebunan Nusantara (PN); 7]Perusahaan/korporasi; 8]Perusahaan Daerah; dan 9]instansi lain. Tiga yang pertama adalah korban dalam konflik SDA yang terjadi di Indonesia. Sehingga, kalau ditinjau dari aktor yang menjadi penyebab konflik SDA, maka intensitas konflik seperti yang ada dalam grafik jumlah konflik agraria berikut.

Grafik jumlah konflik agraria di atas memperjelas posisi korporasi dalam konflik agraria yang terjadi di Indonesia pasca reformasi. “Perselingkuhan” antara negara dan pasar hadir dalam berbagai bentuk, baik non-militer maupun militer. Aktor non-militer negara hadir dalam bentuk regulasi, sementara aktor militer terlibat baik sebagai “anjing penjaga” maupun dari peran langsung mereka dalam konflik berbasis agraria.

Malih rupa negara Orde Baru birokratik-militeristik menjadi pendukung

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

176PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

177PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

korporasi datang dari kasus Lumpur Lapindo. Per Agustus 2009, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim) mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan perkara (SP3) yang membuat penyelidikan terhadap kasus Lumpur Lapindo tidak bisa diproses lebih lanjut di pengadilan (Batubara, 2011). Keluarnya SP3 ini menafikan analisis yang menyatakan bahwa bencana Lumpur Lapindo terjadi karena selubung pengeboran di sumur Banjar Panji-1 (BJP-1) dipasang lebih pendek dari yang direncanakan (Tingay et al. 2008; Batubara dan Utomo, 2012; Batubara 2013), sehingga  dengan demikian, kasus Lapindo adalah sebuah bencana industri, alias kejahatan korporasi. Di titik ini, sangat jelas hukum lebih memihak korporasi tinimbang kepentingan korban Lumpur Lapindo.

Bukti kedua kedua datang dari kasus ekspansi PT Semen Gresik (SG) ke Pegunungan Kendeng Utara (PKU) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng), di mana Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati dicoba disesuaikan dengan kepentingan ekspansi PT SG. Kawasan PKU yang dalam RTRW 1993-2012 Kabupaten Pati, masuk dalam kawasan pertanian dan pariwisata, mau diubah peruntukannya menjadi kawasan industri dan pertambangan dalam RTRW Provinsi Jawa Tengah 2009-2029. Di sini kita melihat bahwa dokumen

RTRW justru mau ‘disesuaikan’ dengan kepentingan ekspansi PT SG ke PKU di Kabupaten Pati (Batubara, dkk. 2010). Adapun contoh ketiga adalah kemenangan korporasi dalam kasus uji materiil kasus Lumpur Lapindo dan Sorikmas Mining di Mahkamah Agung (Batubara, 2012).

Keterlibatan aktor militer terlihat dalam peranan militer sebagai “anjing penjaga” dalam kepentingan korporasi seperti yang terjadi di Bojonergoro, Boven Digul, dan Poso. Pada ketiga kasus ini militer bukanlah pemodal yang berinvestasi, tetapi menumpang pada investasi multinasional sebagai tenaga pengaman membeking aktivitas bisnis (Azca, dkk. 2004). Pola ini berubah di Urutsewu, Kebumen, Jateng, di mana Angkatan Darat (AD) ikut menjadi pemain dalam bisnis pertambangan pasir besi.

Konflik di Urutsewu hadir dalam dua lapis. Pertama Tentara Nasional Indonesia (TNI) AD versus warga. Kedua, warga versus perusahaan tambang pasir besi yang sedang melakukan eksplorasi, PT Mintra Niagatama Cemerlang (MNC) yang didukung oleh TNI AD. Konflik di Urutsewu adalah konflik yang panjang. Pertama kali tanah pasir pada sepanjang pantai Selatan Jawa di Kebumen ini dipakai sebagai tempat latihan militer pada tahun 1937, ketika itu masih dengan nama Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL; Tentara Kerajaan

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

178PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

179PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

Belanda di Hindia Belanda). Militer meminjam tanah dari para pemimpin masyarakat. Sejak itulah baku-okupasi sepertinya terjadi antara penduduk dan TNI AD.

Petani Urutsewu berkonflik dengan TNI AD dalam hal kepemilikan terhadap tanah di mana petani memiliki sertifikat. TNI AD mengklaim kepemilikan tanah seluas 22 km persegi di tiga kecamatan yang dipakai sebagai tempat latihan bagi prajurit TNI AD. Area ini menjadi tempat uji coba senjata, dan beberapa kali masyarakat menjadi sasaran salah-bidik latihan militer. Kiai Marzuki, salah satu kiai rakyat yang tanahnya diklaim oleh TNI AD, pernah ditembak oleh aparat TNI AD.

Pasca reformasi, seiring dengan naiknya kebutuhan ekstraksi terhadap pasir besi, TNI memberikan izin usaha pertambangan pasir besi terhadap PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC), sebuah perusahaan ekstraksi dengan modal dari Australia. Di dalam jajaran direksi PT MNC, ada beberapa oknum TNI AD, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Kawasan ini dijadikan area pertambangan pasir besi melalui RTRW. Hal inilah yang kemudian menyulut bara perlawanan di Urutsewu. Tahun 2007, Perda RTRW ditunda karena mendapatkan resistensi dari warga. Warga pernah mengepung kantor Bupati Kebumen dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) dengan kekuatan sekitar 10.000 massa untuk menuntut penghapusan tambang. Pada 2012, kembali warga menolak pengesahan Perda RTRW. Hasilnya, untuk sementara perizinan belum dicabut di perda, tetapi TNI AD sudah menyabut penguasaan yang mereka berikan terhadap PT MNC. Sepanjang perjuangan, sebagai pukulan balik terhadap perlawanan petani, berbagai macam reaksi datang baik dari pihak TNI AD maupun pemerintah. Warga pernah ditembak ketika melakukan ziarah, menjadi korban ujicoba senjata TNI AD, kriminalisasi, munculnya organisasi tandingan yang dibentuk oleh tentara, menggeser konflik lahan menjadi konflik horizontal, serta digelontorkannya uang untuk menyukseskan pertambangan (FNKSDA, 2013).

Keterlibatan militer yang lebih panjang dan dalam hadir pada pertarungan sumberdaya di Papua. Begitu geolog Shell Oil, Jean-Jacques Dozy, mengungkap sumberdaya alam Papua pada 1936-1939, sejak itu pulalah Papua menjadi ajang pembantaian. Pemerintah Indonesia dan kelompok-kelompok asing berusaha terus menjaga akses mereka ke sumber daya tersebut. Pada 1976, Pemerintah Indonesia berupaya mengamankan Papua untuk memastikan Pemilu Mei 1977 lancar mendukung Orde Baru. Pemerintah Indonesia mengerahkan militer dalam jumlah ekstra ke Papua. Hasilnya

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

178PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

179PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

adalah jatuhnya korban terbunuh pada periode 1977-78 sebanyak 4.146. Kasus ini adalah sebuah upaya genosida yang sampai sekarang terus-menerus disembunyikan (AHRC, 2013).

Kejahatan terhadap kemanusiaan

Ada dua argumentasi dalam kasus Lumpur Lapindo yang disebutkan di awal tulisan ini. Bahwa kasus Lumpur Lapindo tidak bisa digolongkan menjadi ‘genosida’ dan ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’. Tetapi ia adalah ekosida, dan dengan demikian tidak dapat dikenakaan UU 26/2000. Akan tetapi, sebelum masuk ke sana, perlu dijelaskan mengenai konsepsi ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’.

Dalam konteks Lumpur Lapindo, bangunan argumentasi yang ditampilkan oleh Komnas HAM di atas kurang canggih. Karena sebenarnya bisa dibangun argumentasi bahwa kasus Lumpur Lapindo adalah sebuah kejahatan berat HAM yang dapat dikenakan pasal ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’. Kalau ditelaah lebih jauh, ada dua prasyarat agar sebuah peristiwa dapat disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam Statuta Roma, resital ini hadir dalam Article 7 di bawah tajuk crimes against humanity yang didefinisikan sebagai “any of the following acts when committed as part of a widespread or

systematic attack directed against any civilian population, with knowledge of the attack”. Dari resital yang ada di dalam Statuta Roma, maka kita dapat melihat bahwa UU 26/2000 adalah hasil adopsi dari Statuta Roma, karena poin yang sama hadir di dalam UU a quo dengan bunyi “kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil”.

Dengan demikian, sangat beralasan untuk melihat konteks kelahiran poin ini di tingkat internasional. Terminologi ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ awalnya diintrodusir dalam Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter) pada 8 Agustus 1945 (Ambos and Wirth, 2002). Konteks yang melatarbelakangi ketika Term ini diintrodusir di Piagam Nuremberg adalah perang. Konteks ini sudah berubah ketika Statuta Roma diperkenalkan pada 17 Juli 1998, apalagi ketika UU 26/2000, yang merupakan bentuk ratifikasi terhadap Statuta Roma, disyahkan.

Pasal 9 dalam UU 26/2000 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan mengikuti pengertian dalam Article 7 Statuta Roma, di mana yang terakhir mengikuti Article 6(c) dalam Nuremberg Charter. Karena itu, dua aturan pertama mengambil asumsi

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

180PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

181PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

yang sama dengan Nuremberg Charter, tentang sebuah kondisi perang yang menimbulkan korban di kalangan sipil. Hal ini sangat mudah dipahami karena, The Martens Clause, yang secara umum disebut sebagai dokumen pertama yang memunculkan konsep ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ adalah sebuah perangkat hukum untuk kondisi perang. Alasan lain mengapa kondisi perang dibutuhkan untuk memberlakukan pasal ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ adalah ketakutan bahwa konsep ini akan melanggar prinsip nir-intervensi. Dengan demikian, kondisi perang dijadikan sebagai elemen internasional di mana konsep ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ dapat diberlakukan. Meskipun sebenarnya konsiderasi ini sudah dibantah bahwa kondisi perang bagi Nuremberg Charter hanyalah sebuah pra-kondisi bagi ditegakkannya aturan ‘kejahatan atas kemanusiaan” di dalam sidang International Military Tribunal (IMT; Mahkamah Militer Internasional), bukanlah elemen material satu-satunya bagi diberlakukannya pasal ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ (Ambos and Wirth, 2002).

Poin berikutnya adalah ‘ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil’. Bagian ini dieksplorasi lebih lanjut pada bagian ‘Penjelasan’ Pasal 9 UU 26/2000. Dalam konteks ini, ‘yang dimaksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap

penduduk sipil” adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi’. Tampaknya hal ini merupakan saduran dari Statuta Roma, Article 7(2)a, yang menyebutkan “’Attack directed against any civilian population’ means a course of conduct involving the multiple commission of acts referred to in paragraph 1 against any civilian population, pursuant to or in furtherance of a State or organizational policy to commit such attack”.

Dalam konteks di atas, maka entitas yang berada di belakang kebijakan termaksud tidaklah mesti negara, karena adanya frase “kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi” dalam UU 26/2000 atau “pursuant to or in furtherance of a state or organizational policiy to commit such attack”. Entitas di belakang kebijakan ini adalah pemilik kekuasaan de facto di sebuah daerah yang menjadi tempat terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Artinya, asumsi pelaku pelanggaran berat HAM (hanyalah) negara, dengan demikian gugur dengan sendirinya.

UU 26/2000 melakukan blunder dengan tidak menjelaskan secara ketat apa yang dimaksud dengan ‘meluas atau sistematik’. Hal ini mendukung gurauan bahwa dalam sistem penjelasan

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

180PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

181PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

perundang-undangan di Indonesia, apabila pembuat undang-undang tidak memahami permasalahan, maka tidak akan dijelaskan di dalam bagian penjelasan, atau secara sebaliknya malah justru akan dijelaskan dengan frase “cukup jelas”. Perlu digarisbawahi di sini, bahwa kata hubung yang digunakan dalam resital a quo adalah “atau”, bukan “dan”. Dengan demikian, apabila poin “meluas” saja, atau “sistematik” saja terpenuhi, maka otomatis, di tahap ini, sebuah kasus memenuhi prasyarat kejahatan berat HAM

Konsep ‘serangan’ adalah bagian tak terpisahkan dari konsep ‘meluas atau sistematik’. Ada tiga pengertian tentang ‘konsep serangan’. Pertama, ia dapat diartikan sebagai tindakan melawan hukum seperti pembunuhan, pemusnahan, dan perbudakan. Sebuah serangan dapat juga bersifat nir-kekerasan, misalnya, memberlakukan sebuah sistem apartheid, yang sudah dinyatakan sebagai sebuah ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’. Dan untuk dapat dikategorikan sebagai sebuah ‘serangan’, maka sebuah serangan individual haruslah menjadi bagian dari sebuah upaya yang luas yang diorkestrasi dalam skala masif dan sistematis. Kedua, serangan juga bisa menjadi sebuah kejadian di mana tindakan-tindakan kriminal menjadi penyusunnya. Artinya, dalam sebuah

serangan tunggal, sangat bisa terjadi berbagai jenis tindakan kriminal seperti pembunuhan dan pemerkosaan. Dan terakhir, sebuah serangan tidaklah mesti dilakukan oleh militer. Contoh untuk poin terakhir adalah serangan 11 September di Amerika (Ambos and Wirth, 2002).

Dalam usaha mendefinisikan ‘serangan meluas’ banyak keputusan yang memberikan penekanan terhadap skala serangan atau, dan hal ini sebenarnya equivalen, jumlah korban yang jatuh (Ambos and Wirth, 2002). Namun dalam kasus pengadilan terhadap Jean-Paul Akayesu, walikota Taba, Rwanda yang diajukan ke International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) karena kasus genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Rwanda, ‘serangan meluas’ diartikan sebagai “masif, tidak hanya sekali, aksi dalam skala yang luas, dilakukan kolektif dengan tingkat keseriusan yang parah dan ditujukan terhadap beragam korban” (ICTR, 1998).

‘Serangan sistematis’ dapat diartikan sebagai sebuah serangan dengan pola atau perencanaan yang metodis. Sebagai contoh, dalam pengadilan terhadap Jean-Paul Akayesu, para pengadil mendefinisikan ‘serangan sistematis’ sebagai “serangan terorganisir yang diikuti dengan pola teratur dengan dasar kebijakan umum

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

182PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

183PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

yang melibatkan sumberdaya publik dan swasta” (ICTR, 1998).

Dari dalam negeri, adalah Mahkamah Konstitusi (MK) yang berusaha keras untuk mendefinisikan sistematis dalam terminologi, ‘sistematis, terstruktur, dan masif’ yang dia introdusir dalam pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada pemilihan langsung kepala daerah (pilkada). MK mendefinisikan ‘sistematis’ sebagai “dilakukan dengan perencanaan dan langkah-langkah struktural yang dengan nyata dimaksudkan untuk memenangkan Pasangan Calon tertentu” (Junaidi, 2013; 111). Sementara, ‘masif’, yang secara substansial sangat mungkin diartikan juga ‘meluas’, diartikan sebagai “mempengaruhi sejumlah besar pemilih atau komunitas yang tidak dapat dihitung jumlahnya satu-per satu” (Junaidi, 2013; 111).

Dari definisi yang dibangun oleh MK di atas dalam konteks pilkada, maka kata kunci untuk term sistematis adalah ‘perencanaan’. Sementara kata kunci untuk terminologi masif adalah ‘jumlah besar’. Dengan demikian, terminologi yang ada di tingkatan internasional seperti kasus Jean-Paul Akayesu dan terminologi yang ada di tingkat nasional, seperti yang diintrodusir oleh MK, pada dasarnya memiliki susbtansi yang sama dalam hal definisi ‘sistematis’ dan ‘meluas/masif’. Karena pada dasarnya, MK mendapatkan term sistematis

dan masif juga dari kasus-kasus pelanggaran berat HAM, yang tentu saja akan mengacu ke Statuta Roma, Nuremberg Charter, dan putusan-putusan pengadilan seperti yang terjadi terhadap Jean-Paul Akayesu.

Contoh instrumen HAM terhadap korporasi

Korporasi adalah makhluk yang kebal. Secara praktis, korporasi telah lama imun terhadap hukum internasional di bidang kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Pasca Konferensi Roma pada 1998, yang kemudian mendorong lahirnya Statuta Roma, korporasi berada pada wilayah yang sangat aman. Meski tidak bisa diadili dalam pengadilan internasional, sebenarnya sangat memungkinkan pengadilan nasional mengadili korporasi dengan landasan-landasan argumentasi pelanggaran berat HAM seperti yang ada dalam Statuta Roma. Dua kasus berikut adalah contoh bagaimana hukum nasional menjadi tempat mengadili kejahatan berat HAM oleh korporasi.

Kasus UNOCAL Myanmar adalah salah satu kasus yang lumayan legendaris bagaimana korporasi diadili di pengadilan Kanada. Pada 1990-an, Unocal, Total, dan Junta yang berkuasa di Myanmar menandatangani sebuah proyek pembangunan pipa gas dari Laut Andaman ke Thailand, melewati daerah Tenasserim di Myanmar.

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

182PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

183PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

Total dan Unocal mengontrak militer Myanmar untuk menyediakan jaminan keamanan bagi proyek pemipaan mereka, pembangunan jalan, dan landasan helikopter sepanjang pipa tersebut. Kedua perusahaan ini tidak memedulikan reputasi buruk Junta Myanmar sebagai pelanggar berat HAM kelas berat kakap. Sepanjang proyek pembangunan pipa ini juga terdapat berbagai pelanggaran berat HAM yang meliputi pemaksaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan yang dilakukan oleh militer (Wanless, 2009).

Menurut Canada’s Crimes Against Humanity and War Crime Act (CAHWCA; Undang-Undang Mengenai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Kejahatan Perang Kanada) jaksa penuntut harus mampu membuktikan setidaknya empat elemen untuk menyatakan Unocal dan Total sebagai pelaku pelanggaran berat HAM: 1)bahwa perwakilan Unocal menyetujui perbudakan sebagai bagian dari serangan yang sistematik dan meluas terhadap populasi sipil; 2)petinggi Unocal mengetahui tentang pelanggaran ini: 3)adanya perbudakan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan; dan 4)para petinggi Unocal yang mengetahui adanya perbudakan tidak melakukan tindakan untuk menghentikannya. Secara logis, keempat hal di atas dapat dibuktikan dengan baik oleh para jaksa penuntut (Wanless, 2009).

Contoh lain datang dari Amerika Serikat melalui kasus Exxon Mobil Aceh. Aceh adalah daerah yang sangat volatil, di mana Exxon Mobil beroperasi pada salah satu lapangan minyak dan gas yang lumayan produktif di dunia. Aceh memiliki sejarah panjang perlawanan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia melawan Belanda, pada zaman Indonesia Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjuang untuk kemerdekaan mereka, dan akhirnya pada 2000, ketika GAM mengarahkan perhatian mereka kepada Exxon Mobil. Berbagai serangan kemudian diarahkan kepada Exxon Mobil sebagai upaya agar perusahaan tersebut menutup operasinya.

Bersamaan dengan serangan gerilya, Exxon Mobil menyandarkan urusan keamanan aset dan pekerjanya terhadap militer Indonesia. Pemerintah Indonesia, dimotivasi oleh penghasilan yang melebihi 1 milyar dolar AS (USD) dari operasi Exxon Mobil, mengirim militer secara ekstensif ke Aceh. Warga dan aktivis HAM menduga bahwa militer melakukan berbagai macam pelanggaran berat HAM seperti pembunuhan, penyiksaan, dan penculikan (Free, 2003).

Sebelas orang warga kemudian mendaftarkan gugatan di Pengadilan Washington D.C terhadap Exxon Mobil dan counterpart-nya dengan tuduhan genosida, pembunuhan, penyiksaan, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

184PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

185PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

berbagai pelanggaran HAM lainnya. Para warga desa ini mendaftarkan gugatan dengan dasar hukum Alien Tort Claims Act (ATCA) dan Torture Victim Protection Act (TVPA). Sayang sekali, Departemen Dalam Negeri AS mengintervensi pengadilan karena kasus ini mengganggu kepentingan luar negeri AS (Free, 2003).

Kontra-argumentasi: Kasus pelanggar berat HAM Lumpur Lapindo

Dalam kasus Lumpur Lapindo, ada dua kontra-argumentasi yang akan dibangun oleh tulisan ini. Yang pertama, menyangkut argumentasi sudut pandang yang diambil oleh Komnas HAM yang kurang canggih. Di sini akan dilakukan beberapa tahap pengujian logis: 1]Lumpur Lapindo adalah hasil dari sebuah kebijakan pemerintah yang menyangkut organisasi; 2]peristiwa ini memenuhi kriteria ‘meluas’; dan 3] memenuhi kategori Pasal 9 UU 26/2000 ayat “d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa”. Selanjutnya, kasus ini akan dites dengan empat pertanyaan yang diadopsi dari kasus Unocal dan Total di Kanada: 1)bahwa perwakilan Lapindo menyetujui serangan yang sistematik dan meluas terhadap populasi sipil; 2)apakah petinggi Lapindo mengetahui tentang pelanggaran ini: 3)apakah persitiwa ini mendatangkan keuntungan bagi Lapindo; dan 4)apakah para petinggi Lapindo mengetahui terjadinya

serangan sistematik dan tidak melakukan tindakan untuk menghentikannya.

Pertanyaan pertama, “apakah kasus Lumpur Lapindo adalah sebuah kebijakan pemerintah yang menyangkut organisasi” dengan mudah dilewati. Kasus Lumpur Lapindo jelas ‘kebijakan penguasa’ berupa pemberian izin pemboran eksplorasi di sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), milik PT. Lapindo Brantas Inc. (LBI). Ini berarti, tulisan ini sudah mengambil posisi bahwa penyebab terjadinya bencana Lumpur Lapindo adalah aktivitas pemboran di sumur BJP-1. Untuk itu, perlu diulas sedikit mengenai permasalahan ini.

Seperti yang sudah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan (Batubara, 2009a; Batubara, 2011; Batubara dan Utomo, 2010 dan 2012) bahwa secara umum ada dua kelompok pendapat di kalangan geosaintis tentang penyebab Lumpur Lapindo. Kelompok pertama adalah yang berpendapat bahwa Lumpur Lapindo disebabkan oleh aktivitas pemboran di sumur BJP-1. Kelompok kedua berpendapat bahwa Lumpur Lapindo dipicu oleh reaktivasi patahan Watukosek akibat adanya gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006 (dua hari sebelum seburan Lumpur Lapindo). Saya berada di kelompok pertama. Perlu saya tegaskan di sini, ada dua argumen kunci yang saya pegang sehingga saya memilih posisi ini. Pertama, saya mengacu ke  Manga

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

184PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

185PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

(2007) yang berdasarkan data gempa bumi menyatakan bahwa gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 terlalu jauh jaraknya dan terlalu kecil magnitude-nya untuk memicu semburan lumpur di daerah Porong. Kedua saya mengacu ke Tingay et al. (2008) yang menampilkan data bahwa selubung pemboran (casing) di sumur BJP-1 dipasang lebih pendek dari yang direncanakan. Menurut saya, inilah jantung dalam perdebatan penyebab Lumpur Lapindo. Dan sampai saat ini, sependek yang dapat saya ikuti, dua fakta kunci ini belum pernah terbantahkan. Secara logika, melalui studi yang sangat bagus terhadap kasus-kasus pengadilan bencana industri di seluruh dunia, Wibisana (2011) menunjukkan bahwa keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) yang menerima argumen pihak Lapindo bahwa Lumpur Lapindo disebabkan oleh gempa bumi Yogyakarta, mengandung cacat.

Ditambah lagi, proses pengeboran sumur BJP-1 dalam sejarah kehadirannya sudah mengandung dua masalah. Pertama, masalah letak.  Posisi sumur BJP-1 tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten Sidoarjo (Perda Nomor 16 Tahun 2003, yang waktu itu belum diubah). RTRW Sidoarjo termaksud menyatakan bahwa lokasi sumur BJP-1 tersebut adalah untuk kegiatan industri non-kawasan, bukan untuk pertambangan (Subagyo,

2010). Masalah kedua terletak pada informasi yang disampaikan oleh pihak perusahaan kepada warga bahwa tanah lokasi sumur BJP-1 dibeli bukan untuk pengeboran, tetapi untuk kandang ayam (Batubara dan Utomo, 2010).

Melangkah ke poin berikutnya, apakah kriteria ‘meluas’ terpenuhi? Tulisan ini memakai definisi ‘serangan meluas’ yang digunakan di Rwanda (ICTR, 1998), sebagai “masif, tidak hanya sekali, aksi dalam skala yang luas, dilakukan kolektif dengan tingkat keseriusan yang parah dan ditujukan terhadap beragam korban”.

Kategori “masif” jelas terpenuhi dalam kasus Lumpur Lapindo. Hal ini dapat kita lihat dari jumlah korban yang sangat banyak. Menurut Peta Klasifikasi Lahan Area Terdampak dan Realisasi Hasil Verifikasi Ganti Rugi Lahan Terdampak (BPLS, 2008) pada Februari 2008 tercatat jumlah korban di area terdampak (waktu itu) sebanyak 37.850 jiwa. Dan sejak itu jumlah tersebut terus bertambah. Pada 2013, media memberitakan bahwa jumlah korban sudah mencapai 66 ribu jiwa (Informasi Sidoarjo, 2013). Kesemua korban yang disebutkan di atas mengalami perpindahan secara terpaksa dan hal ini memberikan dampak yang sangat mendalam terhadap kehidupan ekonomi (Batubara, 2009b), budaya, relasi gender, relasi intergenerasi (Fauzan dan Batubara, 2010), bahkan

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

186PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

187PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

memori mereka (Batubara, 2009c). Hal ini memenuhi kategori Pasal 9 UU 26/2000 ayat “d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa”.

Serangan sistematik sejatinya datang lewat beberapa generasi perpres yang muncul. Di titik ini mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa perpres dianggap sebagai serangan? Bukankah justru, sebaliknya, dia adalah serangkaian kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan korban?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat salah satu upaya yang ditempuh untuk menutup semburan Lumpur Lapindo. Untuk pembahasan semua metode penutupan yang ditempuh, dapat dilihat di Batubara dan Utomo (2012; 155-7). Relief Well Method, atau penyuntikkan cairan penyumbat dari samping adalah salah satu metode yang dipakai untuk menutup semburan Lumpur Lapindo. Ada dua buah relief wells yang dilakukan antara Juni 2006 dan Januari 2007. Relief Well 1 (RW-1), dengan biaya total 31,3 juta USD dimulai pada 19 Juli dengan pemasangan Rig Century-24 di lokasi. Pada akhirnya Rig Century-24 hanya mampu mencapai kedalaman 3.594 kaki karena selubung bor yang digunakan putus. Padahal target awal RW-1 adalah sedalam 7.000 kaki.. Akhirnya, pada tanggal 24 Januari 2007 sumur RW-1 resmi ditutup. Sementara itu, RW-2 dimulai

pada awal Oktober 2006 dan berakhir pada 13 Desember di tahun yang sama. RW-2 yang menelan biaya 17 juta USD AS ini dihentikan dengan alasan keselamatan karena lokasi sudah mulai dibanjiri lumpur (MESDM, 2007).

Akan tetapi, dalam sebuah film dokumenter berjudul Waiting for Nothing, Rudi Rubiandini, mantan ketua Tim Penghentian Semburan Lumpur Sidoarjo, menyatakan bahwa RW-1 masih berjarak sekitar 50 m dari lubang asli BJP-1, sedangkan RW-2 masih jauh dari lubang asli BJP-1. Berdasarkan analisis Rudi Rubiandini, kedua relief wells tersebut dihentikan karena PT LBI tidak mau kondisi lubang yang sebenarnya diketahui publik. Karena, kalau kondisi lubang asli diketahui atau terdeteksi oleh relief well, hal itu bisa menjadi bukti baru bahwa pengeboran di BJP-1 adalah penyebab terjadinya semburan lumpur.

Dari analisis soal relief well di atas, satu hal yang dapat disimpulkan adalah, bahwa sebenarnya upaya penutupan semburan lumpur tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, tetapi terkontaminasi oleh kepentingan ekonomi politik. Karena apabila disimpulkan bahwa penyebab semburan adalah pengeboran di sumur BJP-1, akan menyebabkan pertanggungjawaban ada di pihak PT LBI. Di mana yang terakhir akan menggerus citra figur kunci di raksasa

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

186PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

187PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

minyak dan gas ini, Aburizal Bakrie, yang pada tahun-tahun belakangan kita tahu sangat gencar beriklan di media massa untuk kepentingan pencalonannya sebagai Presiden Indonesia. Dengan titik pandang seperti ini, maka rangkaian Perpres yang dikeluarkan sehubungan dengan kasus Lumpur Lapindo, alih-alih sebagai penyelamat, justru adalah instrumen untuk menggusur masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi ini secara bertahap.

Generasi perpres secara bertahap ‘meluaskan serangan’ terhadap warga Porong. Pertama adalah Perpres 14/2007 yang memasukkan daerah Desa Jatirejo, Siring, Kedungbendo dan Renokenongo ke dalam peta area terdampak. Diikuti oleh Perpres 48/2008 yang menambahkan Desa Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring ke dalam area terdampak. Selanjutnya adalah Perpres 40/2009 yang menambahkan  RT 1, RT 2, RT 3, d a n RT 12 Rukun Warga (RW) 12 Desa Siring Barat; RT 1 dan RT 2 RW 1 Desa Jatirejo dan RT 10, RT 13, dan RT 15 RW 2 Desa Mindi. Keempat, Perpres 37/2012 yang menambahkan   beberapa RT dan hamparan sawah di Desa Besuki, Kelurahan Mindi, Desa Pamotan, Kelurahan Gedang, Desa Ketapang, Desa Gempolsari, Desa Kalitengah, dan Desa Wunut ke dalam area terdampak.

Pertanyaan-pertanyaan seperti yang diajukan di Kanada dalam kasus Unocal

dan Total yang disampaikan dalam contoh kasus di atas, juga satu-per satu dapat dijawab dengan meyakinkan. Apakah perwakilan Lapindo menyetujui ‘serangan sistematik’ ini? Kalau mengikuti perdebatan di seputar Lumpur Lapindo, sangat jelas bahwa pihak manajemen PT LBI sangat menyadarinya. Hal ini misalnya diawali dari pengeboran di daerah yang memiliki tekanan tinggi ini sudah diketahui oleh hampir semua geolog yang bekerja di sana. Fakta ini muncul kembali dalam berbagai publikasi setelahnya, sebut saja misalnya dalam Davies et al. (2007; 2008; dan 2009) dan Mazzini et al. (2007; dan 2009). Dan yang paling fatal adalah bahwa manajemen PT LBI juga mengetahui bahwa selubung pengeboran dipasang lebih pendek dari yang direncanakan (Tingay et al. 2008). Pembahasan lebih detil soal permasalahan ini dapat dilihat di Batubara dan Utomo (2012; 67-96). Dan dengan demikian, secara otomatis pertanyaan kedua, “apakah petinggi PT LBI mengetahui pelanggaran ini” terjawab dengan sendirinya.

Pertanyaan ketiga “apakah persitiwa ini mendatangkan keuntungan bagi Lapindo”, secara sangat meyakinkan dapat dijawab. Ada dua jenis jawaban. Pertama, selubung pengeboran yang tidak dipasang sesuai yang direncanakan telah menghemat pengeluaran operasi pengeboran, karena kedalaman sumur tanpa selubung melebihi 1.000

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

188PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

189PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

meter (Tingay et al. 2008). Kedua, bergesernya beban atas pembayaran dana kompensasi korban dari opini awal yang menguat bahwa itu seharusnya menjadi tanggung jawab PT LBI seperti yang terdapat dalam Perpres 14/2007 menjadi tanggung jawab negara seperti dalam perpres-perpres setelahnya, mendatangkan “keuntungan relatif” yang sangat besar bagi perusahaan, dibandingkan andai saja dia harus membayar semuanya (Batubara dan Utomo, 2010). Sementara, untuk pertanyaan keempat, “apakah para petinggi Lapindo mengetahui terjadinya serangan sistematik dan tidak melakukan tindakan untuk menghentikannya,” justru fakta-fakta yang ada memperlihatkan hal sebaliknya. Mengikuti alur pikiran Rudi Rubiandini yang disampaikan di atas, para petinggi PT LBI justru melakukan usaha sistematis untuk lari dari tanggungjawabnya, bukan hanya membiarkan (tidak melakukan tindakan untuk menghentikannya).

Kontra-argumentasi yang kedua menyangkut sistem hukum pidana di Indonesia masih mengacu subjek delik berupa manusia dan Indonesia belum memiliki perangkat hukum untuk menangani pelanggaran berat HAM oleh korporasi. Poin ini tidak muncul dalam rangkaian kasus Lumpur Lapindo, tetapi, seperti yang sudah disampaikan di awal, muncul dalam konteks pelanggaran berat HAM oleh

korporasi di Indonesia, dalam hal ini kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam UU 26/2000 pasal 10 dinyatakan bahwa “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.” Hukum Indonesia pun bukan tidak memiliki instrumen untuk memperlakukan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Dapat dikatakan sejak 1951 hukum Indonesia sudah menerima korporasi sebagai subjek hukum pidana, yang artinya dapat pula dimintai pertanggungjawaban pidana. Meski pada sekitar 1991 ada pertanyaan apakah kalangan aparat penegak hukum Indonesia sudah siap menerima korporasi sebagai tersangka dan terdakwa. Pertanyaan ini muncul karena sejak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana, hingga 2010 hanya ditemukan satu kasus yang menjerat korporasi sebagai tersangka dan terdakwa, yaitu Perkara No. 284/Pid.B/2005/PN.Mdo dengan terdakwa PT. Newmont Minahasa Raya (Hiariej, 2013). Memang benar subjek delik hukum pidana di Indonesia masih berupa manusia, tetapi itu tidak berarti tidak ada perangkat hukum untuk korporasi.

Rekomendasi

Dari berbagai rangkaian argumentasi di atas, maka sangat tepat kiranya apabila

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

188PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

189PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

Komnas HAM membuka kembali kasus Lumpur Lapindo dan menjerat PT LBI dengan pasal pelanggaran berat HAM oleh korporasi, dalam hal ini kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. Memang benar bahwa Statuta Roma tidak ditujukan untuk subjek hukum korporasi, tetapi justru sebaliknya, seperti yang dilakukan di Amerika Serikat melalui Alien Tort Claims Act (ATCA) dan Torture Victim Protection Act (TVPA) dan Kanada dengan Canada’s Crimes Against Humanity and War Crime Act (CAHWCA), seharusnya Komnas HAM dengan UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, justru mendorong apa yang tidak dicakup oleh Statuta Roma. Ini adalah tugas mendesak yang harus ditanggungjawabi oleh hukum nasional: mengisi celah impunitas.

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

190PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

191PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

Referensi

Abrahamsen, R., 2004. Sudut Gelap Kemajuan. Lafadl Pustaka, Yogyakarta.

AHRC/Asian Human Right Commision, 2013. The neglected genocide: Human rights abuses against Papuans in the Central Highlands, 1977-1978. AHCR, Hong Kong.

Ali, M. 2011. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Jurnal Hukum, No, 2 (April), 247-265.

Ambos, K. and Wirth, S., 2002. The current law of crimes against humanity: An analysis of the UNTAET Regulation 15/2000. Criminal Law Froum, 13, 1-90.

Azca, M.N., Noor, A.M., Azhar, A., Islah, M., dan Al-Akhlaq, M.M., 2004. Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga (Laporan Penelitian Keterlibatan Militer dalam Bisnis di Bojonegoro, Boven Digul, dan Poso). KONTRAS.

Batubara, B. 2013. ’65, Konflik SDA, dan Agenda Gerakan. Dapat dibaca di: http://gusdurian.net/65-kon f l i k - sda -dan -agenda -gerakan1/; diakses terakhir pada 17 Desember 2013.

Batubara, B. dan Utomo, P. W., 2010. “Praktik Bisnis di Banjir

Lumpur,”  dalam: H. Prasetia dan B. Batubara, (editor), 2010. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil. Lafadl Initiative, Yayasan Desantara dan Indonesia Sustainable Energy and Environment, Depok.

Batubara, B. dan Utomo, P.W., 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal bencana industri pengeboran migas di Sidoarjo. INSIST PRESS, Yogyakarta.

Batubara, B., 2009a. Perdebatan tentang Penyebab Lumpur Sidoarjo. Disastrum, 1(1), 13-25.

Batubara, B., 2009b. Problematika dan Siasat Ekonomi Perempuan Porong. Jurnal Srinthil, 20, Perempuan di Atas Lumpur, 48-63.

Batubara, B., 2009c. Resistance Through Memory. Inside Indonesia Magazine, (101) Jul-Sep 2010. Artikel ini dapat diakses di: http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/resistance-through-memory; terakhir diakses pada tanggal 22 Februari 2013.

Batubara, B., 2011. When the Law Betrays, Literature Must Speak. Inside Indonesia Magazine, (105) Jul-Sep 2011. Artikel ini dapat dibaca di: http://www.insideindonesia.org/weekly-

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

190PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

191PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

articles/review-the-lapindo-titanic; terakhir dibuka 23 Februari 2013.

Batubara, B., 2012. Hukum Indonesia yang Memihak Korporasi: Studi kasus Lapindo dan Sorikmas. Artikel ini dapat diakses di: http://indoprogress.com/hukum-indones ia-yang-memihak-korporasi-dalam-kasus-lapindo-dan-sorikmas/, diakses pada tanggal 23/9/2013.

Batubara, B., Utomo, P.W. dan Sobirin, M., 2010. Integrasi Pengurangan Resiko Bencana ke Dalam Perencanaan Regional dalam Konteks Otonomi Daerah: Sebuah agenda dari pembelajaran terhadap kasus-kasus man-made disaster di Pulau Jawa. Makalah ini dipresentasikan pada ‘Seminar Internasional ke- 11: Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Ada Apa dengan 10 Tahun Otonomi Daerah? Salatiga, Indonesia’.

BPLS, 2008. Peta Klasifikasi Lahan Area Terdampak dan Realisasi Hasil Verifikasi Ganti Rugi Lahan Terdampak Wilayah Kerja Penanggulangan Lumpur Sidaorjo.

Davies, J., R., Manga, M., Tingay, M., Lusingan, S., and Swarbrick R., 2009. DISCUSSION: Sawolo et al., (2009) The LUSI mud volcano

controversy: Was it caused by drilling? Marine and Petroleum Geology, Doi: 10.1016/j.marpetgeo.2010.01.019.

Davies, J.R., Swarbrick, R.E., Evans, J.E., Mads, H., 2007. Birth of a mud volcano: East Java, 29 May 2006. GSA TODAY, v: 17, p.4—9. Doi: 10. 1130/GSAT017202A.1.

Davies, R.J., Brumm, M., Manga, M., Rubiandini, R., Swabrick, R., Tingay, M., 2008. The East Java mud volcano (2006 to present): An earthquake or drilling trigger? Earth and Planetary Science Letters, v. 272, p. 627—638. Doi: 10.1016/j.epsl.2008.05.029.

Desiyani, A., 2012. Komnas HAM: Lumpur Lapindo Memusnahkan Lingkungan. tempo.co, 15 Agustus 2012, 22.49 WIB. Dapat diakses di http://www.tempo.co/read/news/2012/08/14/173423593/K o m n a s - H A M – L u m p u r -L a p i n d o - M u s n a h k a n -Lingkungan; diakses pada tanggal 21 Februari 2013.

Fauzan, A.U. dan Batubara, B., 2010. Displacement and Changing Gender and Intergenerational Relations: Experience of Hot Mudflow Affected Family in East Java, Indonesia. Artikel dipresentasikan pada: 1)International Conference on

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

192PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

193PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

Migration, Gender and Human Security in an Era of Global Structural Change and Crisis, Institute of Social Studies (ISS), The Hague, Netherland; dan 2)International Conference on Economic Stress, Human Capital, and Families in Asia: Research and Policy Challenges, 3-4 Juni 2010 di National University of Singapore. Laporan tentang konferensi ini dapat diakses di: http://www.ari.nus.edu.sg/docs/downloads/Reports-and-Proceedings/EconomicReport.pdf; diakses terakhir pada 22 Februari 2013.

FNKSDA, 2013. Lembar Kerja Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA). Tidak dipublikasikan.

Free, B.C., 2003. Awaiting Doe V. Exxon Mobil Corp.: Advocating the cautious use of executive opinions in Alien Tort Claims Act Litigation. Pacific Rim Law & Policy Journal, V 12 (2), 467-498.

Harvey, D., 2005. A brief hostory of neoliberalism, Oxford: Oxford University Press.

Hiariej, E.O.S., 2013. Kejahatan Korporasi di Sektor Kehutanan. Climate Change, ICW, Oktober 2013, 25-40.

ICTR, 1998. The prosecutor versus Jean-Paul Akayase: Case No. ICTR-96-4-T. International Criminal Tribunal for Rwanda.

Informasi Sidoarjo, 2013. Dari 66 ribu korban Lapindo, baru 50 ribu yang terdata KPU Sidoarjo, KPU Jatim Akan Survei Ulang. Dapat diakses di: http://www.infosda.com/?p=8188; diakses pada 18 Desember 2013.

Junaidi, V., 2013. Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator. Themis Book, Perludem, dan Yayasan TIFA. Jakarta.

Lopa, B., 1996. Dilema Masalah Tanah. Kompas, 21 Agustus 1996, halaman 4.

Manga, M., 2007. Did an Earthquake Trigger the May 2006 Eruption of the Lusi Mud Volcano? EOS, Vol 88, No. 18, p. 201. Doi: 10.1029/2007EO180009.

Mazzini, A., Nermoen, A., Krotkiewski, M., Podladchikov, Y., Planke, S., Svensen, H., 2009. Strike-slip faulting as a trigger mechanism for overpressure release by piercement structure. Implications for the Lusi mud volcano Indonesia, (Article in Press). Marine and Petroleum Geology, Doi: 10.1016/j.marpetgeo.2009.03.001.

Mazzini, A., Svensen, H., Planke, S., Malthe-SǛrenssen, A., 2007. Triggering and dynamic evolution of the LUSI mud volcano, Indonesia. Earth and

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

192PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

193PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

Planetary Science Letters, v. 261, p.375—388, doi:10.1016/j.epsl.2007.07.001.

MESDM (Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral), 2007. Menjinakkan “Mud volcano”. Dapat diunduh di beranda warta BPLS: www.bpls.go.id, diunduh pada awal 2010.

Nugroho, A.S., 2012. Komnas HAM Putuskan Lumpur Lapindo Bukan Pelanggaran berat HAM. Jurnas.com, 09 Agustus 2012 17:27 WIB. Dapat diakses di: http://www.jurnas.com/news/68499/Komnas_HAM_Putuskan_Lumpur_Lapindo_Bukan_Pelanggaran_HAM_Berat/1/Nas iona l/Hukum. Diakses terakhir kali pada tanggal 21 Februari 2013.

Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan

Presiden Nomor 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo

Polanyi, K., 2001. The great transformation: the political and economic origins of our time. Beacon Press, Boston, USA.

Putri, T.Y.S., 2007. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Pelanggaran berat HAM (Tesis). Fakultas Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jakarta.

Rome Statute of the International Criminal Court.

Savitri, L. A. 2011. Kata Pengantar dalam “Luthfi, A.N., 2011. Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor. STPN Press, SAINS: Sajogyo Institut, dan Pustaka Ifada. Yogyakarta, hlm. xvii-xx.

Subagyo, 2010. Lumpur Lapindo dan Hukum Usang. Kompas, 31 Mei 2010, halaman 6.

Tingay, M., Heidbach, O., Davies, R. and Swarbrick, R., 2008. Triggering of the Lusi Mud Eruption: Earthquake vs. drilling initiation. Geology, 36, p. 639-642.

Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

*URNAL�(!-�p�6OL����p�4AHUN�����

194PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

195PELANGGARAN HAM BERAT OLEH KORPORASI

Wanless, W.C., 2009. Corporate Liability for International Crimes under Canada’s Crimes Against Humanit and War Crime Act. Journal of International Criminal Justice, 7, 201-221.

Wibisana, A.,G., 2011. Tangan Tuhan di pengadilan: Dalih Bencana Alam dan Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No. 1 Januari-Maret, halaman 102-52.

Widiyanto, 2013. Potret Konflik Agraria di Indonesia. Bhumi, 37 (12) April 2013; 15-27.

Wiratraman, R.H.P., 2008. Konsep dan pengaturan hukum kejahatan terhadap kemanusiaan. Jurnal Hukum Yuridika, 23 (2), 1-21.