PELANGGARAN TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN ...

215
PELANGGARAN TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG Oleh QURATUL AINI NIM: 160402025 Tesis ini ditulis untuk memenuhi sebagaian persyaratan untuk mendapatkan gelar Magister Hukum PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM 2018

Transcript of PELANGGARAN TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN ...

PELANGGARAN TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

DI PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG

Oleh

QURATUL AINI

NIM: 160402025

Tesis ini ditulis untuk memenuhi sebagaian persyaratan untuk

mendapatkan gelar Magister Hukum

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

2018

ii

iii

PELANGGARAN TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

DI PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG

Pembimbing:

Dr. H. Ahmad Amir Aziz, M.Ag

Dr. Khairul Hamim, MA

Oleh

QURATUL AINI

NIM: 160402025

Tesis ini ditulis untuk memenuhi sebagaian persyaratan untuk

mendapatkan gelar Magister Hukum

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

2018

iv

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis oleh: Quratul Aini, NIM: 160402025 dengan judul, “Pelanggaran Taklik

Talak Sebagai Alasan Perceraian Di Pengadilan Agama Giri Menang” telah

memenuhi syarat dan disetujui untuk diuji.

Disetujui pada tanggal: 21 Desember 2018

v

vii

LEMBAR PENGECEKAN PLAGIARISME

viii

PELANGGARAN TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

DI PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG

Oleh

QURATUL AINI

NIM: 160402025

ABSTRAK

Taklik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan pada suatu perkara

atau alasan-alasan tertentu yang telah disepakati. Taklik talak bukan suatu

perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan. Akan tetapi sekali taklik

talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. Apabila di kemudian hari

salah satu atau semua yang telah diikrarkan terjadi maka istri dapat

mengadukannya ke Pengadilan Agama dan apabila alasannya terbukti maka

hakim akan memutuskan perkawinannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran

taklik talak yang dijadikan sebagai alasan perceraian dan untuk mengetahui

pertimbangan hukum yang diterapkan oleh hakim dalam memeriksa pelanggaran

taklik talak yang dijadikan sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama Giri

Menang.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan menggunakan

pendekatan yuridis normatif dan pendekatan maqa>s}id al-syari>’ah. Penelitian

ini melibatkan hakim, panitera dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan

penelitian penulis di Pengadilan Agama Giri Menang. Penggalian data dilakukan

dengan teknik observasi, wawancara mendalam dan studi dokumentasi.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk pelanggaran taklik

talak yang dijadikan alasan mengajukan perceraian, antara lain: (1) Meninggalkan

istri 2 tahun berturut-turut, (2) Tidak memberi nafkah wajib 3 bulan lamanya, (3)

Menyakiti badan/Jasmani istri atau, (4) Membiarkan atau tidak memperdulikan

istri selama 6 bulan atau lebih. Adapun yang dijadikan sebagai pertimbangan oleh

Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang, antara lain: Pertama,

pertimbangan hukum, ketika hakim menjatuhkan putusannya, hakim

mempertimbangkan dalil-dalil dan bukti-bukti hukum yang diajukan. Kedua,

pertimbangan maslahat, yakni mempertimbangkan kondisi rumah tangga para

pihak yang sudah pecah, ketika perkawinan tersebut dilanjutkan apakah lebih

mendatangkan maslahat atau lebih mendatangkan mafsadat. Jika mafasadatnya

lebih besar maka majelis hakim akan mengabulkan gugatan tersebut. Sedangkan

dasar hukum yang diterapkan pada perkara No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM adalah

Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 45, pasal 46

dan Pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam, serta Peraturan Menteri Agama

Nomor 2 Tahun 1990, hadis dan dalil fikih.

Kata Kunci: Pelanggaran, Taklik Talak, Alasan, Perceraian.

ix

x

xi

MOTTO

Artinya: Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang

mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya)

kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua.

Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat (Q.S. Al-Mujadalah

(58): 1).1

1Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2011 ), 542.

xii

PERSEMBAHAN

Tesis ini kupersembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku, ayahanda dan ibunda yang selalu memberikan

motivasinya, do’anya, keikhlasannya, dan kasih sayangnya yang tak

terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Dengan bangga

ananda persembahkan tesis ini kepada engkau ayahanda dan ibunda.

2. Anak-anakku (Thoriq Alfaridzi dan Rifky Syahrial) serta keluarga besar yang

aku sayangi yang selalu memberikan dorongan, motivasi, dan bantuannya

baik berupa moril maupun materil.

3. Dosen-dosen khususnya dosen pembimbing yang penuh kebijaksanaan dan

kesabaran memberikan bimbingannya sehingga saya menjadi orang yang

berilmu.

4. Teman-teman seperjuangan dan semua pihak yang ikut serta dalam

menyelesaikan tesis ini.

5. Teman-teman kelas ku pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah tanpa

terkecuali, yang selalu aku cintai.

6. Almamaterku dan kampus tercinta UIN Mataram.

xiii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt.

karena atas hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis

ini dengan baik dan tepat waktu. Segala nikmat yang Allah berikan telah

menguatkan hati Penulis untuk selalu menuntut ilmu. Selanjutnya salawat beserta

salam kepada sang revolusioner Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan

andil besar terhadap perubahan peradaban manusia.

Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan

pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Mataram. Tesis ini

membahas tentang “Pelanggaran Taklik Talak Sebagai Alasan Perceraian Di

Pengadilan Agama Giri Menang”. Tesis ini ditulis untuk pengembangan keilmuan

dalam hukum Islam, khususnya bidang Hukum Keluarga di Indonesia.

Selesainya penulisan tesis ini sesuai dengan target waktu yang telah

penulis tentukan. Dalam hal ini, terlalu banyak pihak-pihak yang ikut andil

membantu penulis menyelesaikannya. Oleh karena itu, kepada semua pihak yang

turut membantu dalam penyelesaian tesis ini, penulis hanya mampu mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya dan mudah-mudahan Allah SWT memberikan

balasan yang setimpal. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada Yth:

1. Dr. H. Ahmad Amir Aziz, M.Ag. sebagai Pembimbing I dan Dr. Khairul

Hamim, MA. sebagai Pembimbing II yang memberikan bimbingan, motivasi,

dan koreksi mendetail, terus-menerus, dan tanpa bosan di tengah

kesibukannya dalam suasana keakraban menjadikan tesis ini lebih matang dan

selesai;

2. Dr. H. Adi Fadli, M.Ag dan Atun Wardatun, M.A, Ph.D, sebagai penguji

yang telah memberikan saran konstruktif bagi penyempurnaan tesis ini;

3. Dr. Hj. Teti Indrawati Purnamasari, SH., M.Hum. sebagai Ketua Prodi Ahwal

Al-Syakhshiyyah Program Magister Pascasarjana UIN Mataram;

4. Prof. Dr. Suprapto, M.Ag. selaku Direktur Pascasarjana UIN Mataram;

xiv

5. Prof. Dr. H. Mutawali, M.Ag, selaku Rektor UIN Mataram yang telah

memberikan tempat bagi penulis untuk menuntut ilmu dan memberi

bimbingan dan peringatan untuk tidak berlama-lama di kampus tanpa pernah

selesai.

6. Buat sahabat karib angkatan 2016 Program Pascasarjana Universitas Islam

Negeri Mataram yang telah meninggalkan kesan persahabatan yang begitu

mendalam untuk kenangan di masa yang akan datang. Khususnya teman kelas

pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Penulis mengucapkan

terimakasih yang setulusnya kepada seluruh pihak yang tidak mungkin

disebutkan satu-persatu.

Akhirnya, semoga tesis ini dapat memberikan sumbangsih kepada semua

pihak. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini sangat jauh dari

kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan adanya kritikan yang konstruktif

demi perbaikan ke depannya. Semoga penulis tetap berkarya dan dapat

memberikan manfaat untuk agama, bangsa dan negara. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Mataram, 5 Januari 2019

Penulis,

Quratul Aini

xv

PEDOMAN TRANSLITRASI

Pedoman Translitrasi: Arabic Romanization Table dengan Font Time New Arabic

b = ب z = ز f = ف

t = ت s = س q = ق

th = ث sh = ش k = ك

j = ج s} = ص l = ل

h} = ح d} = ض m = م

kh = خ t} = ط n = ن

d = د z} = ظ h = ه

dh = ع = ‘ ذ w = و

r = ر gh = غ y = ي

Short : a = i = u =

Long : a

>

ا = i> = = <u ي و

Diphthong : ay = ا ي aw = و ا

xvi

DAFTAR ISI

KOVER LUAR ........................................................................................... i

LEMBAR LOGO ....................................................................................... ii

KOVER DALAM ....................................................................................... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. iv

PENGESAHAN PENGUJI ....................................................................... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................... vi

LEMBAR PENGECEKAN PLAGIARISME ......................................... vii

ABSTRAK .................................................................................................. viii

MOTTO ...................................................................................................... xi

PERSEMBAHAN ....................................................................................... xii

KATA PENGANTAR ................................................................................ xiii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ..................................... xv

DAFTAR ISI ............................................................................................... xv

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xix

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xx

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xxi

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Permasalahan ......................................................................... 8

1. Identifikasi Masalah .......................................................... 8

2. Pembatasan Masalah ......................................................... 9

3. Rumusan Masalah ............................................................ 9

C. Tujuan Penelitian .................................................................. 9

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ...................................... 10

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...................................... 10

F. Metode Penelitian ................................................................. 17

G. Kerangka Teori ..................................................................... 22

H. Sistematika Pembahasan ...................................................... 25

BAB II TINJAUAN UMUM PERCERAIAN DAN TAKLIK TALAK 28

A. Tinjauan Umum Perceraian .................................................. 28

1. Pengertian Perceraian ...................................................... 28

2. Sebab-sebab Perceraian ................................................... 30

B. Tinjauan Umum Taklik Talak .............................................. 34

1. Konsep Akad dalam Islam ............................................... 34

2. Pengertian Taklik Talak ................................................... 37

3. Sejarah Perkembangan Taklik Talak ............................... 40

xvii

4. Landasan Hukum Taklik Talak Menurut Hukum Islam .. 45

5. Taklik Talak Menurut Perundang-undangan di Indonesia 48

6. Akibat Hukum Taklik Talak ............................................ 50

7. Tujuan Diadakan Taklik Talak ........................................ 51

8. Kedudukan Taklik Talak dalam Hukum Perjanjian ........ 53

C. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam Memeriksa dan Memutus

Perkara di Pengadilan Agama .............................................. 58

1. Pengertian Maqa>s}id al-Syari>’ah ............................... 59

2. Tujuan al-Syari>’ah ........................................................ 61

3. Maqa>s}id al-Syari>’ah dalam Ijtihad ........................... 67

4. Kehujjahan Maqa>s}id al-Syari>’ah .............................. 68

BAB III PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP

PELANGGARAN TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN

PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA GIRI

MENANG ................................................................................... 73

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Giri Menang ............ 73

1. Sejarah Singkat Berdirinya Pengadilan Agama Giri

Menang ............................................................................ 73

2. Letak Geografis Pengadilan Agama Giri Menang ........... 77

3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Giri Menang ............... 78

4. Rencana Strategis Pengadilan Agama Giri Menang ........ 79

5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Giri Menang ..... 79

6. Penyusunan Alur Tupoksi Pengadilan Agama Giri

Menang ............................................................................ 82

7. Kompetensi Relatif dan Kompetensi Absolut Pengadilan

Agama Giri Menang ........................................................ 85

8. Kondisi Hakim Pengadilan Agama Giri Menang ............ 89

9. Keadaan Perkara di Pengadilan Agama Giri Menang

Tahun 2014-2017 ............................................................. 94

10. Gambaran Perkara Cerai Talak Nomor

080/Pdt.G/2013/PA.GM. ................................................. 97

B. Bentuk-bentuk Pelanggaran Taklik Talak Sebagai Alasan

Perceraian Di Pengadilan Agama Giri Menang .................... 99

C. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Pelanggaran Taklik

Talak Sebagai Alasan Perceraian dalam Perkara Cerai Talak

Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM. .......................................... 103

xviii

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM

TERHADAP PELANGGARAN TAKLIK TALAK

SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN DI PENGADILAN

AGAMA GIRI MENANG ......................................................... 114

A. Bentuk-bentuk Pelanggaran Taklik Talak Sebagai Alasan

Perceraian Di Pengadilan Agama Giri Menang ................... 114

B. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Pelanggaran Taklik

Talak Sebagai Alasan Perceraian dalam Perkara Cerai

Talak Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM. ............................... 128

1. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Cerai Talak Nomor

080/Pdt.G/2013/PA.GM. ................................................. 128

2. Dasar Hukum dalam Putusan Cerai Talak Nomor

080/Pdt.G/2013/PA.GM. ................................................. 151

BAB V PENUTUP .................................................................................... 159

A. Kesimpulan ........................................................................... 159

B. Implikasi Teoritis .................................................................. 160

C. Saran ..................................................................................... 161

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 163

LAMPIRAN ................................................................................................ 168

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Nama-Nama Hakim Pengadilan Agama Giri Menang, 91.

Tabel 3.2 Penerimaan Perkara Menurut Jenisnya Tahun 2014-2017, 96.

xx

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Struktur Organisasi Pengadilan Agama Giri Menang, 81

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara

Lampiran 2 : Hasil Penelitian

Lampiran 3 : Izin Penelitian

Lampiran 4 : Salinan Putusan No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada prinsipnya, Islam tidak menghendaki terjadinya perceraian,

karena perkawinan merupakan ikatan yang kuat, yang diharapkan dapat

mewujudkan keluarga bahagia dan kekal sesuai dengan ajaran Islam. Meskipun

demikian, Islam juga tidak menutup diri terhadap perceraian yang memang

bisa saja terjadi dengan berbagai alasan. Perceraian tersebut dilakukan dengan

suatu prinsip lebih mendahulukan menolak mafsadat (kerusakan) daripada

mengambil suatu mas}lah}ah (kebaikan) dalam perkawinan, sehingga

perceraian merupakan pintu darurat dari ikatan perkawinan.

Meski dibolehkan untuk bercerai, tetapi hal itu merupakan suatu

perbuatan yang paling dibenci oleh Islam karena akan menghilangkan

kemaslahatan antara suami istri.2 Nabi SAW Bersabda:

عن ابن عمر عن النب صلى الله عليه وسلم قال أب غض اللل إل اهلل الطلق )رواه 3أبو داود(

Artinya: Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Perkara halal

yang paling dibenci Allah ialah talak” (HR. Abu Daud, No. 2178).

Berdasarkan hadits tersebut dapat diketahui bahwa Allah membolehkan

untuk bercerai dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk

mempertahankan perkawinan. Artinya, perceraian merupakan jalan terakhir

(jalan darurat) yang dapat dilalui oleh suami dan istri apabila keutuhan rumah

tangga tidak mampu dijaga dan dipertahankan. Jalan atau alternatif terakhir

berarti suami istri telah berusaha menempuh berbagai cara untuk mencari titik

temu agar bisa berdamai di antara kedua belah pihak. Namun langkah yang

ditempuh tersebut ternyata tidak mampu mengatasi semua permasalahan yang

2Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz II (Kairo: al-Fath Lil I’lam al-Arobi, t.t.), 155. 3Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz II (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyyah, t.t.), 255.

2

terjadi dalam kehidupan rumah tangga, sehingga perceraian merupakan pilihan

terakhir yang ditempuh untuk mengakhiri berbagai persoalan yang ada.4

Permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga dapat

mengakibatkan perselisihan, pertengkaran, permusuhan dan penyelewengan

yang bisa mengarah pada hilangnya keharmonisan dalam keluarga. Salah satu

yang menjadi penyebab perselisihan dalam keluarga adalah masalah keuangan

atau ekonomi keluarga. Permasalahan ekonomi mempunyai pengaruh yang

besar dalam kehidupan keluarga pada khususnya dan kehidupan bermasyarakat

pada umumnya. Bahkan, permasalahan ekonomi ini seringkali menjadi alasan

sebagian besar masyarakat untuk mengajukan perceraian ke pengadilan agama

karena dianggap telah terjadi pelanggaran taklik talak bagi mereka yang

mengikrarkannya ketika akad nikah.

Pada umumnya, taklik talak berarti talak yang digantungkan atau

dihubungkan dengan syarat-syarat tertentu. Jika syarat yang diucapkan tersebut

terpenuhi, maka jatuhlah talak yang digantungkan tersebut. Dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia, taklik talak merupakan sebuah ikrar yang

diucapkan oleh suami, dengan ikrar itu suami telah menggantungkan terjadinya

talak terhadap istrinya. Jika di kemudian hari pihak suami melanggar salah satu

atau semua syarat yang telah diikrarkan, maka jatuhlah talak suami terhadap

istrinya.5

Eksistensi konsep taklik talak tidak dapat dipisahkan dengan perceraian,

karena dalam peraturan hukum yang berlaku di Indonesia taklik talak dapat

dijadikan sebagai salah satu alasan untuk mengajukan perceraian. Hal ini telah

diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa taklik talak

merupakan sebuah perjanjian talak.6 Sebagaimana diketahui bahwa pada

prinsipnya peraturan perundang-undangan di Indonesia mempersulit terjadinya

perceraian. Hal ini dapat dilihat dalam praktek peradilan di Pengadilan Agama

pada perkara perceraian. Dalam mengabulkan gugatan perceraian yang

4Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 73. 5Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan

Bintang, 2010), 227. 6Kompilasi Hukum Islam Pasal 45 ayat (2).

3

diajukan oleh pihak suami atau istri, hakim harus melihat apakah alasan yang

diajukan oleh para pihak sudah sesuai dengan salah satu alasan yang diatur

dalam undang-undang. Apabila alasan-alasan yang diajukan oleh para pihak

tidak sesuai dengan undang-undang, maka bisa saja hakim menolak

permohonan atau gugatan perceraian tersebut.

Adapun alasan-alasan perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah

No. 9 tahun 1975 pasal 19, sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan

lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinannya berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;

f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihkan, pertengkaran dan

tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.7

Di samping alasan-alasan di atas, dalam KHI ditambah dua alasan lagi,

sebagaimana termuat dalam pasal 116 huruf g dan h, yaitu:

g. Suami melanggar taklik talak, dan

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan

dalam rumah tangga.8

Di Indonesia merupakan hal yang biasa bagi suami untuk mengucapkan

taklik talak pada saat memulai ikatan perkawinan. Suami mengajukan syarat

jika dia menyakiti istrinya atau tidak menghiraukanya selama jangka waktu

tertentu, maka pengaduan istri kepada Pengadilan Agama akan menyebabkan

7Citra Umbara, Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan &

Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara, 2012), 42. 8Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 357.

4

istri tersebut terceraikan. Hal ini menunjukkan bahwa taklik talak mempunyai

akibat hukum pada pasangan suami istri.9

Dalam tata cara pernikahan (adat Islam Indonesia) telah diatur sebuah

bentuk perjanjian dari seorang suami terhadap seorang istri yang telah tertera di

setiap buku nikah. Pembacaan taklik talak disarankan untuk dibaca mempelai

laki-laki setelah mengucapkan akad nikah, hal ini sudah menjadi kebiasaan dari

adat pernikahan menurut agama Islam yang ada di Indonesia. Salah satu

manfaat dari taklik talak berguna untuk menjaga hak-hak istri dari tindakan

sewenang-wenang suami.10

Taklik talak menurut pengertian hukum di Indonesia adalah semacam

ikrar. Dengan ikrar itu suami menggantungkan terjadinya suatu talak atas

istrinya. Apabila ternyata di kemudian hari melanggar salah satu atau semua

yang telah diikrarkan, maka istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke

Pengadilan Agama.11 Di dalam pasal 29 UU No. 1 tahun 1974 telah dijelaskan

tentang perjanjian perkawinan bahwa:

1. Pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas

persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan

oleh pegawai pencatat pernikahan, setelah mana isinya berlaku juga

terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas

hukum, agama dan kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan

pengubahan tidak merugikan pihak ketiga.12

Penjelasan pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal

ini tidak termasuk taklik talak. Hal ini berbeda dalam penjelasan Peraturan

9Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia (Jakarta: Inis,

2008), 78-81. 10Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Jakarta: Attahriyah, 2010), 386-387. 11Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam, 207. 12Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 45.

5

Menteri Agama No. 3 tahun 1975 pasal 11 ayat 1, 3, dan 4 dijelaskan: (1)

Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan

dengan hukum Islam. (2) Ada atau tidak adanya perjanjian itu dicatat dalam

daftar pemeriksaan nikah. (3) Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah

kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad

nikah dilangsungkan. (4) Sigat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.

Penjelasan di dalam PMA tahun 1975 tersebut secara tidak langsung

telah menjelaskan satu aturan yang bertolak belakang dengan yang ada di

dalam UU No. 1 Tahun 1974. Dari hal ini Kompilasi Hukum Islam

menggarisbawahi apa yang ada di dalam pasal 11 PMA tahun 1975 yang

dituangkan di dalam pasal 45 hingga pasal 52.

Perjanjian perkawinan yang telah dijelaskan dalam pasal 29 UU No. 1

tahun 1974 memberikan gambaran yang berbeda dari PMA No. 3 tahun 1975

mengenai perjanjian perkawinan. Di dalam PMA tersebut dijelaskan secara

jelas bahwa taklik talak merupakan bagian dari perjanjian perkawinan. Seperti

yang dijelaskan di dalam kompilasi Hukum Islam pasal 46: (1) Isi taklik talak

tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. (2) Apabila keadaan yang

disyaratkan di dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan

sendirinya talak jatuh, supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus

mengajukan persoalanya ke Pengadilan Agama. (3) Perjanjian taklik talak

bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi

sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.13

Ayat (3) di atas jika ditelaah lagi bertentangan dengan pasal 29 UU No.

tahun 1974 ayat (4). Di dalam UU No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa selama

perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan

dari kedua belah pihak. Dari penjelasan ini yang dijelaskan dalam perjanjian

perkawinan tidak termasuk taklik talak. Naskah perjanjian taklik talak

dilampirkan dalam salinan akta nikah yang sudah ditandatangani suami.

Walaupun taklik talak telah dituliskan dalam buku nikah, namun bukan

sebuah kewajiban untuk diucapkan, akan tetapi sekali taklik talak telah

13Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 335-336.

6

diucapkan maka taklik talak tersebut tidak dapat dicabut kembali. Apabila

perjanjian yang telah disepakati bersama antara suami istri, tidak dipenuhi oleh

salah satu pihak, maka pihak lain berhak untuk mengajukan persoalannya ke

Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran taklik

talak yang dilakukan oleh suami misalnya, istri berhak mengajukan gugatan

perceraian.14

Berkaitan dengan permasalahan di atas, ada sebuah kasus di Pengadilan

Agama Giri Menang yakni pada putusan perkara No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM.

Biasanya yang mengajukan perceraian dengan alasan pelanggaran taklik talak

adalah pihak istri yang merasa dirugikan oleh pihak suami. Namun dalam

perkara tersebut yang mengajukan perkara perceraian justru sebaliknya, pihak

suami mengajukan permohonan cerai talak dengan alasan telah melanggar

taklik talak yang telah diucapkan. Hal ini secara sekilas tentu akan

menimbulkan pertanyaan, mengapa pihak suami yang mengajukan perkara

perceraian ke pengadilan padahal dia sendiri yang telah melanggar taklik talak

yang telah diucapkan. Dalam perkara tersebut yang menjadi korban adalah

pihak istri karena suami telah melakukan perselingkuhan. Seharusnya yang

mengajukan perceraian dengan alasan taklik talak adalah pihak istri.

Berawal sejak tanggal 5 Nopember 2012, Pemohon (sumai) mempunyai

hubungan khusus dengan perempuan lain , hubungan khusus tersebut diketahui

oleh Termohon (istri) pada tanggal 29 Januari 2013, sehingga terjadilah

pertengkaran antara Pemohon dengan Termohon. Pemohon berusaha untuk

meminta maaf dan Termohon mau memaafkan Pemohon dengan syarat

Pomohon harus menanda tangani perjanjian yang isinya: “Pemohon tidak akan

pacaran lagi dan jika perjanjian ini Pemohon langgar maka jatuhlah talak tiga

Pemohon terhadap Termohon”.15

Pada tanggal 3 Februari 2013 Termohon menemukan Pemohon sedang

berduaan dengan perempuan lain (perempuan yang pernah menjadi

selingkuhan pemohon), oleh karena Pemohon telah membuat perjanjian

14Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2006), 141. 15Studi dokumentasi Putusan No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM.

7

tersebut, maka Termohon menganggap telah jatuh talak Pemohon (talak tiga

sekaligus) terhadap Termohon. Pemohon sangat meragukan isi perjanjian

tersebut, karena tidak pernah mengucapkan talak terhadap Termohon.

Pemohon dengan Termohon menginginkan kembali rukun dan membina rumah

tangga namun tidak dibenarkan dan tidak diterima oleh masyarakat maupun

tokoh agama di tempat Pemohon bertempat tinggal dan menganggap telah

jatuh talak tiga Pemohon kepada Termohon.16

Disebabkan rasa ragu apakah telah jatuh talak atau tidak melalui

perjanijain tersebut, akhirnya pemohon mengajukan permohonan cerai talak ke

Pengadilan Agama Giri Menang untuk mendapatkan kepastian hukum. Dalam

permohonannya, pemohon mengungkapkan bahwa telah terjadi pertengkaran

antara pemohon dengan istrinya yang disebabkan karena pemohon (suami)

diketahui telah menjalin hubungan khusus dengan perempuan lain. Pemohon

berusaha untuk meminta maaf kepada termohon, akan tetapi termohon (istri)

mau memaafkan dengan syarat pemohon membuat surat perjanjian (taklik

talak) tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Jika perjanjian (taklik talak)

tersebut dilanggar maka jatuhlah talak tiga pemohon terhadap termohon.

Namun tidak berselang lama, pemohon (suami) kembali menjalin hubungan

dengan wanita lain tersebut dan termohon (istri) mengetahui hal tersebut dan

menganggap telah jatuh talak tiga pemohon terhadap termohon. Akibatnya

pemohon pergi meninggalkan termohon dan pulang ke rumah orang tua

pemohon sendiri.17

Perkara tersebut menarik untuk diteliti secara lebih mendalam karena

yang seharusnya mengajukan perceraian adalah pihak yang dirugikan yakni

pihak istri. Dalam perkara tersebut Pemohon dalam taklik talaknya

menggantungkan talak tiga jika dia mengulangi perbuatannya (menjalin

hubungan dengan perempuan lain). Sekilas maksud dari permohonan cerai

yang diajukan oleh pemohon adalah agar bisa kembali lagi dengan istrinya. Hal

ini terkesan bahwa pemohon ingin merekayasa hukum.

16Studi dokumentasi Putusan No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM. 17Studi dokumentasi Putusan No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM.

8

Berdasarkan fakta-fakta di atas, menjadi alasan penulis untuk

mengetahui secara jelas duduk perkaranya, dan mengkaji terhadap

pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian karena pelanggaran

taklik talak dilihat dari hukum Islam. Kajian ini akan diimplementasikan dalam

bentuk karya ilmiah berupa tesis dengan judul “Pelanggaran Taklik Talak

Sebagai Alasan Perceraian di Pengadilan Agama Giri Menang (Studi Putusan

Perkara Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM).”

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan

yang muncul, di antaranya:

a. Pemerintah sudah berupaya untuk mengurangi angka perceraian melalui

penyuluhan-penyuluhan keluarga, namun permasalahan dalam rumah

tangga yang dihadapi oleh pasangan suami istri semakin komplek

sehingga banyak pasangan suami istri yang mengakhiri bahtera rumah

tangga melalui perceraian.

b. Taklik talak pada dasarnya bertujuan untuk mengantisipasi agar suami

tetap menjalankan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang

berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Namun

terkadang taklik talak tersebut menjadi bumerang yang sewaktu-waktu

mengancam keutuhan rumah tangga. Banyak pihak suami terkadang

tidak menyadari bahwa dia telah melanggar taklik talak dan

menimbulkan keraguan sehingga mengajukan cerai talak untuk

mendapatkan kepastian hukum.

c. Sebagian besar masyarakat belum memahami fungsi taklik talak,

sehingga belum banyak yang menerapkan taklik talak tersebut ketika

berlangsungnya akad nikah. Ada sebagian masyarakat yang menganggap

bahwa ketika suami tidak menafkahi istrinya 3 bulan berturut-turut maka

dianggap telah jatuh talak. Padahal taklik talak tersebut berfungsi sebagai

salah satu alasan untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama

ketika suami melanggarnya. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya

9

sosialisasi dari pemerintah tentang taklik talak tersebut. Oleh karena itu,

diperlukan sosialisasi yang berkelanjutan, baik melalui pengajian,

penyuluhan dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk memberikan

pemahaman kepada masyarakat.

2. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini tidak terlalu luas pembahasannya dan tetap pada

jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan ini hanya berkisar

pada persoalan bentuk-bentuk taklik talak yang dijadikan sebagai alasan

perceraian dan pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam

memutuskan pelanggaran taklik talak dalam perkara Nomor

080/Pdt.G/2013/PA.GM.

3. Rumusan Masalah

Dalam rangka memperoleh dan coba masuk pada pembahasan yang

lebih sistematis dan logis, penulis perlu membuat beberapa rumusan

masalah sebagai patokan dan fokus bahasan pada bab-bab dan paparan-

paparan selanjutnya. Adapun rumusan masalah yang akan penulis kaji

dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran taklik talak yang dijadikan

sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama Giri Menang?

b. Bagaimana pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Giri Menang

terhadap pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian dalam

perkara cerai talak Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka

penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran taklik talak yang dijadikan sebagai

alasan perceraian di Pengadilan Agama Giri Menang.

2. Mengetahui pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Giri Menang

terhadap pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian dalam perkara

cerai talak Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM.

10

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini dapat dilihat dari dua segi:

1. Segi Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi

perkembangan hukum Islam khususnya bidang hukum keluarga Islam

(ah}wal al-shakhs}iyyah), sehingga akan lebih membantu dalam

menyelesaikan masalah-masalah perkawinan khususnya mengenai taklik

talak.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam khususnya

hukum keluarga Islam (ah}wal al-shakhs}iyyah) mengenai taklik talak.

2. Segi Praktis

a. Bagi akademisi diharapkan untuk menambah kajian keilmuan dalam

bidang hukum perkawinan khususnya mengenai taklik talak. Penelitian

ini dapat dijadikan sebagai referensi dan rujukan untuk penelitian-

penelitian lain selanjutnya.

b. Bagi pengambil kebijakan diharapkan untuk mengembangkan pemikiran

dan kepastian hukum bagi pejabat di Pengadilan Agama mengenai

peraturan-peraturan perkawinan yang berada di Indonesia, khususnya

mengenai taklik talak.

c. Bagi masyarakat pada umumnya diharapkan untuk memberikan wawasan

keilmuan dalam bidang hukum perkawinan beserta peraturan-

peraturannya yang berlaku di Indonesia.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Untuk menunjukkan bahwa penelitian yang akan penulis lakukan ini

benar-benar merupakan hasil karya dan temuan penulis sendiri, maka berikut

ini penulis paparkan beberapa karya ilmiah yang pernah dikaji sebelumnya

sebagai bahan perbandingan dengan penelitian penulis.

Adapun penelitian-penelitian tersebut di antaranya adalah penelitian

Khoiruddin Nasution dengan judul “Menjamin Hak Perempuan dengan Taklik

Talak dan Perjanjian Perkawinan”. Tulisan ini berusaha menyajikan bagaimana

11

kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk menjamin hak mereka

sekaligus melindungi mereka dari perbuatan semena-mena suami lewat taklik

talak dan atau perjanjian perkawinan. Menurut Khoiruddin Nasution,

ketersediaan aturan taklik talak sejak awal sampai muncul dalam Perundang-

Undangan Perkawinan Indonesia, bertujuan untuk menjamin hak-hak istri dan

melindungi mereka dari tindakan diskriminatif dan sewenang-wenang laki-laki

(suami). Meskipun konsep taklik talak ini sudah lama eksis, tetapi belum

dipahami secara lengkap oleh masyarakat pada umumnya. Kurangnya

pemahaman terhadap konsep ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dari

pemerintah. Oleh karena itu, upaya sosialisasi perlu dilakukan secara terus

menerus dan substansial.18

Penelitian di atas jika dilihat berdasarkan tema penelitian, memiliki

persamaan dengan penelitian penulis yakni sama-sama meneliti tentang taklik

talak. Namun penelitian tersebut hanya mengkaji sejarah perkembangan taklik

talak dan urgensinya terhadap perlindungan hak-hak perempuan. Penelitan

tersebut tidak secara khusus mengkaji tentang pelanggaran taklik talak sebagai

alasan perceraian. Sedangkan penelitian penulis mengkususkan untuk mengkaji

taklik talak sebagai alasan mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama.

Penelitian dengan tema yang sama juga dilakukan oleh Hasanudin yang

meneliti tentang kedudukan taklik talak dalam perkawinan. Hasanudin

mengkaji kedudukan taklik talak dalam hukum Islam dan hukum positif yang

berlaku di Indonesia. Menurut Hasanudin, kedudukan taklik talak dalam

perkawinan setidaknya mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu: (1) Sebagai salah satu

perjanjian perkawinan, (1) Sebagai alasan gugatan perceraian dan (3) Sebagai

kekuatan spiritual perlindungan istri.19

Sebagai salah satu perjanjian perkawinan taklik talak mempunyai

kekhususan dibanding dengan perjanjian perkawinan pada umumnya, yaitu

taklik talak sekali sudah diucapkan dan diperjanjikan tidak dapat dicabut oleh

18Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 342. 19Hasanudin, “Kedudukan Taklik Talak dalam Perkawinan Ditinjau dari Hukum

Islam dan Hukum Positif”, Medina-Te, Jurnal Studi Islam, Vol. 14 No. 1 (Juni 2016), 59,

diakses 11 Maret 2018,http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/medinate/article/view/1145/963.

12

pihak manapun juga termasuk suami yang mengucapkannya. Dilihat dari

ketentuan hukum perjanjian sebagaimana yang termuat dalam KUHPerdata

taklik talak secara umum juga telah memenuhi persyaratan sebagai suatu

perjanjian. Sighat taklik talak sebagai alasan gugatan perceraian sudah sejak

dulu menjadi yurisprudensi di Pengadilan Agama bahkan hingga saat ini

dengan jumlah yang sangat banyak Pengadilan Agama memutuskan perkara

perceraian karena pelanggaran taklik talak. Di samping itu taklik talak bagi istri

adalah satu usaha untuk menjamin hak istri serta melindungi dan menjaga

mereka dari tindakan diskriminatif dan kesewenang-wenangan suami yang

memiliki hak mutlak dalam perceraian. Disisi lain sighat taklik talak sebagai

motivasi komitmen suami untuk mu’a>syarah bi al-ma’ru>f demi

terwujudnya keluarga saki>nah, mawaddah wa rahmah.20

Sebagaimana penelitian Khoiruddin Nasution, Hasanudin juga lebih

menyoroti taklik talak tersebut sebagai jaminan perlindungan hak-hak

perempuan. Hasanudin belum mengkaji secara khusus mengenai perceraian

yang diajukan oleh pihak istri atau pihak suami dengan alasan pelanggaran

taklik. Oleh karena itu, penelitian penulis berbeda dengan penelitian Hasanudin

meskipun sama-sama mengkaji tentang taklik talak.

Tidak jauh berbeda dengan penelitian Hasanudin, penelitian yang

dilakukan oleh Syaifuddin Haris juga membahas kedudukan taklik talak dalam

perkawinan, hanya saja penelitian ini meninjau taklik talak dari segi hukum

perjanjian. Ada dua permasalahan pokok yang menjadi fokus kajian penelitian

Haris, pertama, apakah taklik dalam suatua perkawinan dikategorikan sebagai

perjanjian, kedua, apa implikasi hukum terhadap pelanggaran taklik talak

dalam suatu perkawinan.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, Haris menggunakan jenis

penelitian hukum normatif. Menurut Haris, taklik talak mempunyai perbedaan

dengan perjanjian pada umumnya dalam hal tertutupnya kemungkinan kedua

belah pihak untuk membubarkan kesepakatan tersebut sebagaimana disebutkan

dalam pasal 46 ayat (3) KHI yang menyatakan bahwa perjanjian taklik talak

20Hasanudin, Kedudukan Taklik Talak, 59.

13

bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan. Akan

tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Adapun implikasi hukum yang dapat ditimbulkan adalah apabila suami

melanggar ikrar taklik talak tersebut, maka itu dapat dikategorikan sebagai

pelanggaran, dan pelanggaran tersebut dapat dijadikan alasan oleh istri untuk

mengajukan tuntutan perceraian kepada Pengadilan Agama.21

Penelitian di atas masih secara umum membahas tentang taklik talak,

meskipun telah disinggung bahwa jika taklik talak tersebut dilanggar maka bisa

dijadikan sebagai alasan untuk bercerai. Hanya saja penelitian di atas hanya

mengkaji dari segi teori saja, belum menyentuh praktek nyata yang terjadi

dalam masyarakat. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan mengkaji kasus

yang memang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, meskipun

penelitian di atas dengan penelitian penulis sama-sama mengkaji taklik talak,

akan tetapi sangat jauh perbedaannya, jika penelitian di atas adalah studi

pustaka, maka penelitian yang penulis lakukan adalah studi kasus.

Selanjutnya penelitian Muhammad Latif Fauzi, yang mengkaji tentang

perkembangan taklik talak dan pelembagaannya pada era kolonial. Penelitian

ini dilaksanakan melalui penulusuran dokumen dan literatur-literatur yang

berkaitan dengan taklik talak di daerah Jawa. Menurut Fauzi, cukup sulit

menemukan data yang terpercaya tentang sumber dan penerapan taklik talak di

masyarakat Jawa pada masa kerajaan Islam pra-kolonial. Tradisi ini diyakini

lahir pada masa Sultan Agung, raja ketiga Mataram, dan dipengaruhi oleh

konsep perceraian bersyarat (t}a>liq mu’allaq) dalam doktrin fikih mazhab

Syafi’iyah. Pendapat ini cukup berasalan dan sulit dibantah karena pada masa

itu, bahkan sampai sekarang, kitab-kitab fikih seperti Tuhfah al-Thulla>b bi

Syarh Tahri>r Tanqih al-Luba>b (Zakariya al-Anshari) dan Hasyiah al-

21Syaefuddin Haris, “Kedudukan Taklik Talak dalam Perkawinan Islam Ditinjau dari

Hukum Perjanjian”, Arena Hukum, Vol. 6 No. 3 (Desember 2013), 356-357, diakses 11 Maret

2018, http:// download.portalgaruda.org/article.php?...kedudukan%20taklik.

14

Syarqa>wi ‘ala> Sya>ri’ al-Tahri>r (al-Syarqawi) telah kaprah digunakan

sebagai rujukan dalam menyelesaikan persoalan hukum.22

Meskipun begitu, agak sulit untuk mengatakan bahwa penerapan tradisi

yang telah dipraktekkan di Jawa semata-mata sesuai dengan konsep fikih. Pada

masa kerajaan Islam Jawa, tradisi taklik talak ini dikenal dengan istilah janji

dalem atau janjiningratu dan sangat berbeda dari konsep fikih. Secara sosial

politik, taklik talak merupakan kebijakan politik hukum yang diambil penguasa

untuk menjawab kesulitan yang dialami perempuan untuk mendapatkan

perceraian melalui fasakh (pembatalan perkawinan). Jika dilihat dari sisi istilah

dan substansinya, terdapat unsur adat Jawa yang sangat kuat. Perjanjian, secara

substantive berisi janji atau ikrar suami, ini bersifat vertikal, karena melibatkan

dua pihak, yaitu rakyat (suami) dan penguasa (raja).23

Secara khusus penelitian di atas memang tidak mempunyai kaitan

dengan penelitian penulis, karena penelitian tersebut hanya fokus mengkaji

sejarah pelembagaan taklik talak. Penelitian tersebut lebih mengarah kepada

penelitian literatur-literatur klasik yang pernah digunakan oleh umat Islam di

daerah Jawa dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan

nikah, talak, dan rujuk. Akan tetapi secara umum penelitian tersebut bisa

dijadikan sebagai rujukan bagi penulis untuk membahas permasalahan taklik

talak dalam kehidupan berumah tangga.

Selanjutnya penelitian Sofyan Yusuf yang mengkaji tentang taklik talak

perspektif ulama mazhab dan pengaruhnya dalam rumah tangga. Penelitian ini

dilakukan untuk memahami pandangan ulama mazhab tentang pengucapan

taklik talak dalam pernikahan dan pengaruhnya dalam kehidupan berumah

tangga. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan teknik

pengumpulan data berupa wawancara dan observasi di Desa Centong

Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

22Muhammad Latif Fauzi, “Islam, Adat dan Politik: Perkembangan Taklik Talak dan

Pelembagaannya Pada Era Kolonial”, Istinbath, Jurnal of Islamic Law, Vol. 16 No. 2

(Desember 2017), 317, diakses 11 Maret 2018,

http://ejurnal.uinmataram.ac.id/index.php/istinbath. 23Fauzi, Islam, Adat dan Politik, 318.

15

Berdasarkan hasil penelitiannya Fauzi menyimpulkan bahwa jumhur

ulama yaitu mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Hanabilah, taklik

talak baik qasami atau syarṭi yang diucapkan suami dapat menyebabkan

terjadinya talak suami kepada istri, apabila taklik tersebut dilanggar atau

terjadinya sesuatu yang disyaratkan. Sedangkan menurut Ibn Taimiyah dan Ibn

Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa ta’liq qasam tidak berakibat jatuhnya

talak, akan tetapi wajib membayar kafarat. Adapun pengaruh atau implikasi

hukum yang dapat ditimbulkan adalah apabila suami melanggar ikrar taklik

talak tersebut, maka itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran, dan

pelanggaran tersebut dapat dijadikan alasan oleh istri untuk mengajukan

tuntutan perceraian kepada pengadilan agama dan istri menyerahkan uang

‘iwaḍ (pengganti), maka jatuhlah talak satu kepadanya.24

Penelitian di atas memiliki kaitan erat dengan penelitian penulis

meskipun berbeda dari segi fokus permasalahan yang dikaji. Jika dilihat

berdasarkan jenis penelitian, penelitian yang dilakukan oleh Yusuf dengan

penelitian penulis sama-sama meneliti di lapangan (field research). Penelitian

di atas selain mengkaji dari segi teori (library research), Yusuf juga melakukan

penelitian di lapangan yakni wawancara dengan masyarakat mengenai

pemahaman mereka tentang taklik talak. Adapun perbedaannya dengan

penelitian penulis, jika penelitian di atas mengkaji tentang pemahaman

masyarakat mengenai taklik talak, maka penelitian penulis mengkaji

pelanggaran taklik talak yang dijadikan alasan mengajukan perceraian ke

Pengadilan Agama.

Penelitian-penelitian yang telah penulis paparkan di atas lebih fokus

mengkaji tentang taklik talak tanpa mengkaji secara khusus tentang perceraian.

Oleh karena itu, penulis juga perlu memaparkan penelitian tentang perceraian

yang dilakukan oleh Jasri Hasan dengan judul “Analisis Yuridis Putusan

Hakim terhadap Perkara Perceraian Akibat Murtad di Pengadilan Agama

24Sofyan Yusuf, “Taklik Talak Perspektif Ulama dan Pengaruhnya dalam Berumah

Tangga”, Anil Islam, Vol. 10 No. 2 (Desember 2017), 283, diakses 11 Maret 2018,

http://jurnal.instika.ac.id/index.php/AnilIslam/article/download/65/41.

16

Mataram dan Pengadilan Agama Giri Menang”.25 Penelitian ini menggunakan

pendekatan yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitiannya, Jasri Hasan

menyimpulkan bahwa: Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama

Mataram dan Pengadilan Agama Giri Menang dalam memutus perkara

perceraian akibat murtad, antara lain: Pertama, pertimbangan hukum, ketika

hakim menjatuhkan putusannya, hakim mempertimbangkan dalil-dalil dan

bukti-bukti hukum yang diajukan. Kedua, pertimbangan maslahat, yakni

mempertimbangkan kondisi rumah tangga para pihak yang sudah pecah, ketika

perkawinan tersebut dilanjutkan apakah lebih mendatangkan maslahat atau

lebih mendatangkan mafsadat, jika mafsadatnya lebih besar maka perkawinan

tersebut lebih baik diakhiri. Ketiga, pertimbangan sosial, mempertimbangkan

akibat yang akan diterima oleh para pihak dari putusannya tersebut dalam

kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan dasar hukum yang digunakan adalah

Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 Kompilasi

Hukum Islam huruf (b) dan huruf (f) yang menekankan perselisihan dan

pertengkaran sebagai alasan perceraian.26

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jasri Hasan, dapat

dilihat persamaan dan perbedaannya dengan penelitian penulis. Persamaannya

adalah sama-sama meneliti tentang perceraian. Akan tetapi berbeda dari segi

fokus masalah yang diteliti dan penyebab terjadinya perceraian. Penelitian Jasri

Hasan mengkaji permasalahan perceraian yang diakibatkan oleh salah satu

pihak suami atau istri murtad. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis,

mengkaji permasalahan perceraian yang disebabkan oleh pelanggaran taklik

talak yang dilakukan oleh suami.

Berdasarkan review terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang telah

penulis paparkan di atas, dapat diketahui bahwa belum ada yang meneliti

secara khusus tentang pelanggaran taklik talak yang dijadikan sebagai alasan

mengajukan perceraian di Pengadilan Agama. Di samping itu, kasus yang

25Jasri Hasan, Analisis Yuridis Putusan Hakim Terhadap Perkara Perceraian Akibat

Murtad di Pengadilan Agama Mataram dan Pengadilan Agama Giri Menang (Tesis Program

Pascasarjana IAIN Mataram, 2016). 26Hasan, Analisis Yuridis Putusan, 203-204.

17

dikaji dalam penelitian ini tergolong unik, karena pada umumnya perceraian

dengan alasan pelanggaran taklik talak diajukan oleh pihak istri yang merasa

dirugikan. Akan tetapi dalam kasus ini yang mengajukan perceraian dengan

alasan pelanggaran taklik talak adalah pihak suami yang melakukan

pelanggaran terhadap taklik talak yang sudah diucapkan. Oleh karena itu,

dapat dikatakan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini bukan merupakan

pengulangan dari penelitian-penelitian sebelumnya.

F. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan hasil yang mempunyai nilai tinggi serta dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka diperlukan suatu metode

penelitian yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah

metode penelitian kualitatif. Secara keseluruhan penelitian ini merupakan

penelitian lapangan (field research) yang menfokuskan diri untuk meneliti

tentang pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam membuktikan

kebenaran pelanggaran taklik talak pada perkara cerai talak Nomor

080/Pdt.G/2013/PA.GM.

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif dan pendekatan maqa>s}id al-syari>’ah. Pendekatan

yuridis normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat, menelaah dan

menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-

asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan,

pandangan, doktrin hukum dan sistem hukum yang berkaitan. Jenis

pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah

hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti.27 Pendekatan yuridis

digunakan untuk memahami sekaligus mengkritisi pendapat hakim

mengenai alasan-alasan perceraian karena pelanggaran taklik talak yang

diajukan oleh pihak suami. Sedangkan pendekatan normatif digunakan

untuk memahami dan mengkritisi pendapat serta dasar hukum yang

27Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 47-49.

18

digunakan oleh hakim membuktikan kebenaran pelanggaran taklik talak

dalam memutuskan perceraian perkara Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM.

Adapun pendekatan melalui maqa>s}id al-syari>’ah, juga tidak

kalah penting. Sebab sebagaimana yang kita ketahui bahwa hukum-hukum

syariat dibuat untuk kemaslahatan umat manusia, sehingga melakukan

analisa terhadap tujuan penetapan hukum dapat memperluas lapangan

ijtihad dengan kekuatan analisa rasional.28

2. Spesifikasi Penelitian

Adapun spesifikasi penelitian dalam penulisan tesis ini berupa

deskriptif analisis, yakni memaparkan, menggambarkan atau

mengungkapkan data-data yang mempunyai relevansi dengan permasalahan.

Hal ini dibahas dan dianalisis menurut teori-teori atau pendapat para ahli,

dari hasil penelitian, dan pendapat penulis sendiri kemudian yang terakhir

adalah menyimpulkannya.29

Deskiriptif, mengandung arti bahwa dalam penelitian ini penulis

bermaksud untuk menggambarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum

positif yang menyangkut permasalahan. Sedangkan secara analisis berarti

mengelompokkan, menghubungkan dan memberi tanda pada bagaimana

proses pengambilan keputusan dalam perkara perceraian karena pelanggaran

taklik talak di Pengadilan Agama Giri Menang.

3. Lokasi Penelitian

Adapun yang dijadikan lokasi dalam mencari dan mengumpulkan

data-data yang diperlukan adalah di Pengadilan Agama Giri Menang

Kabupaten Lombok Barat. Pengadilan Agama Giri Menang dipilih sebagai

lokasi penelitian karena pengadilan ini pernah menangani perkara perceraian

akibat taklik talak.

28Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 172. 29Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum (Bandung: Mandar Maju,

2008), 172.

19

4. Sumber Data

Sumber data adalah tempat penulis bertumpu, artinya penelitian itu

bertolak dari sumber data.30 Sumber data dalam penelitian ini diperoleh

langsung dari penelitian lapangan dari sejumlah narasumber yang

menyangkut informasi tentang taklik talak. Adapun sumber data dalam

penelitian ini dibagi menjadi dua, antara lain:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dalam

melakukan penelitian di lapangan,31 dalam hal ini adalah pertimbangan

hukum hakim Pengadilan Agama Giri Menang dalam memutus perkara

pelanggaran taklik talak yang termuat dalam dokumen putusan

No.080/Pdt.G/2013/PA.GM. Untuk menguatkan data tersebut dilakukan

juga wawancara dengan majelis hakim yang menangani perkara tersebut.

Apabila tidak memungkinkan, maka wawancara dilakukan dengan

hakim-hakim lain dan panitera yang ada di Pengadilan Agama Giri

Menang.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dalam

penelitian kepustakaan, penelitian kepustakaan adalah teknik untuk

mencari bahan-bahan atau data-data yang bersifat sekunder yaitu data

yang erat hubungannya dengan bahan primer dan dapat dipakai untuk

menganalisa permasalahan pelanggaran taklik talak.

Dalam penelitian ini bila dilihat dari sudut sumbernya

menggunakan data berupa putusan pengadilan, di mana yang dimaksud

di sini adalah putusan Pengadilan Agama Giri Menang mengenai perkara

pelanggaran taklik talak yang sudah berkekuatan hukum tetap (incracht

van gewijsde). Jika dilihat dari sumber mengikatnya penelitian ini

menggunakan bahan hukum primer yang berupa Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, sedangkan untuk bahan

30E. Zaenal Arifin, Dasar-dasar Penulisan Karangan Ilmiah (Jakarta: PT. Gramedia

Widiasarana Indonesia, 1998), 54. 31Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 106.

20

hukum sekunder dapat berupa hasil karya dari kalangan hukum, serta

bahan hukum tertier berupa kamus dan eksiklopedia. Karena tujuan

penelitian ini membahas mengenai putusan pengadilan, maka dalam hal

ini putusan tersebut merupakan data sekunder di mana data tersebut

merupakan data yang diperoleh dari suatu sumber yang dikumpulkan

oleh pihak lain, baik melalui bahan hukum primer (peraturan perundang-

undangan), bahan hukum sekunder (kamus hukum, ensiklopedia).

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mempermudah penulis dalam memperoleh dan menganalisa

data, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi adalah melakukan pengamatan dan pencatatan terhadap

permasalahan yang diteliti secara langsung di lokasi penelitian, yakni di

Pengadilan Agama Giri Menang.32 Dalam penelitian ini, penulis

melakukan pengamatan bagaimana proses penyelesaian perkara

perceraian dan melakukan pencatatan terhadap beberapa data yang

dibutuhkan untuk proses penelitian.

b. Wawancara

Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara semistruktur, yaitu tanya jawab secara lisan antara peneliti

dengan informan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

sudah disiapkan sebelumnya, akan tetapi tidak terikat dengan pedoman

wawancara yang sudah disusun. Pertanyaan yang diajukan bisa berubah

disesuaikan situasi dan kondisi informan.33

Metode ini penulis gunakan untuk mengumpulkan data dari

informan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam hal ini penulis

melakukan wawancara dengan Majlis Hakim yang menangani perkara

pelanggaran taklik talak di Pengadilan Agama Giri Menang. Apabila

32H. Salim HS dan Erlies Soetiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian

Tesis dan Disertasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 27. 33Burhan Asshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 95.

21

tidak memungkinkan, maka wawancara penulis lakukan dengan hakim-

hakim yang lain di Pengadilan Agama Giri Menang. Wawancara ini

penulis gunakan untuk mendapatkan jawaban tentang bentuk-bentuk

pelanggaran taklik talak yang diajdikan sebagai alasan mengajukan

perceraian.

c. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah suatu metode pengumpulan data

dengan cara mengumpulkan dan memilih berkas-berkas tertulis34, buku-

buku yang ada kaitannya dengan masalah perceraian dan taklik talak,

serta arsip-arsip lainnya seperti putusan pengadilan terkait pelanggaran

taklik talak. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang

tertulis yang memberikan keterangan yang sesuai dengan data yang

dibutuhkan, yaitu data mengenai lokasi penelitian, konsep-konsep yang

berbicara tentang perkawinan dan dispensasi nikah, baik berupa buku-

buku, kitab-kitab, jurnal, artikel dan sebagainya.

6. Teknik Analisis Data

Setelah data primer dan sekunder terkumpul, langkah selanjutnya

adalah menganalisis dan mengolah data. Yang pertama kali dilakukan

adalah mengorganisir data dan mengkategorikannya yang bertujuan untuk

menemukan jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Kemudian data yang telah kumpul tersebut diklasifikasikan sehingga

menajadi susunan urut data (array) untuk selanjutnya mengambil

kesimpulan.35

Selanjutnya data tersebut diolah dan analisis dengan menggunakan

metode deskriptif kualitatif. Metode analis deskriptif diawali dengan

mengelompokkan data dan informasi yang sama menurut subaspek dan

selanjutnya melakukan interpretasi untuk memberi makna terhadap

subaspek satu sama lain. Kemudian setelah itu dilakukan analisis atau

34Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,

Cet. 22, 2015), 240. 35Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:

Bineka Cipta, 1998), 88-89.

22

interpretasi keseluruhan aspek untuk memahami makna hubungan antara

aspek yang satu dengan lainnya dan dengan keseluruhan aspek yang

menjadi permasalahan penelitian yang dilakukan secara induktif sehingga

memberikan gambaran hasil yang utuh.36

G. Kerangka Teori

Salah satu prinsip dari hukum perkawinan nasional yang seirama

dengan ajaran agama adalah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup),

karena perceraian berarti gagalnya perkawinan untuk membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal sejahtera akibat perbuatan manusia. Perceraian berbeda

dengan putusnya perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari

Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak dapat dielakkan oleh manusia.37

Dalam al-Qur’an Surat An-Nisa’ (4): 21, Allah berfirman:

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian

kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-

istri, dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu

perjanjian yang kuat.38

Tujuan mulia dalam melestarikan dan menjaga keseimbangan rumah

tangga, ternyata bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilaksanakan.

Banyak dijumpai bahwa tujuan mulia perkawinan tersebut tidak dapat terealisir

dengan baik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti faktor

biologis, ekonomis, pandangan hidup, perbedaan pendapat dan lain-lain.

Agama Islam tidak menutup mata seperti hal di atas. Agama Islam membuka

suatu jalan keluar dari krisis atau kesulitan rumah tangga yang tidak dapat

diatasi lagi. Jalan keluar itu dimungkinkannya suatu perceraian, baik melalui

36Nasution, Metode Penelitian, 174. 37Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung: Masdar Maju,

1990), 160. 38Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing,

2011), 81.

23

talak, khuluk dan sebagainya. Jalan keluar ini tidak boleh ditempuh kecuali

dalam keadaan terpaksa atau darurat.

Para fuqaha menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami istri terjadi

keadaan atau sifat yang menimbulkan kemudaratan pada salah satu pihak,

maka pihak yang menderita madharat dapat mengambil prakarsa untuk

putusnya perkawinan.39 Sebagaimana yang tercantum dalam kaidah fikih yang

berbunyi:

40.الضرر األ شد يزال بالضرر االخف

Kaidah di atas memiliki pengertian bahwa kemudharatan yang berat

dihilangkan dengan kemudharatan yang ringan, apabila perceraian kedua belah

pihak akan lebih baik dari pada mereka bersama, maka hakim harus memberi

putusan cerai bagi keduanya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam selain alasan perceraian yang terdapat

dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal

19 PP. No. 9 Tahun 1975 Juga ditambah dua alasan lagi, yaitu:

a. Suami melanggar taklik talak dan,

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan

dalam rumah tangga.41

Apabila dalam alasan-alasan perceraian mulai dari poin “a” sampai “f”

menggunakan kata kata salah satu pihak, maka dalam perceraian poin g yang

terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam langsung menyebut pihak suami. Ini

berarti alasan pelanggaran taklik talak hanya dilakukan oleh suami saja.

Apabila kembali kepada istri tentang perceraian yang pada dasarnya

menghendaki terjadinya perceraian dengan mudah, maka perceraian dilakukan

sebagai langkah akhir. Jika langkah akhir tetap dilakukan, maka masing masing

pihak harus melakukannya dengan cara yang baik, sebagaimana firman Allah

SWT dalam Surat Al-Baqarah (2): 229:

39Departemen Agama, Ilmu Fiqh (Jakarta: Yuliana, 1984), 246. 40Samsul Ma’arif, Ka’idah-Ka’idah Fiqih (Bandung: Pustaka Ramadhan, 2005), 29. 41Pasal 16 KHI.

24

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi

dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.42

Dalam hukum perkawinan di Indonesia perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang pengadilan. Setelah pengadilan yang bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk

perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak rukun lagi.43

Adanya ketentuan yang menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan

di depan sidang pengadilan, maka tidak ada perceraian di luar sidang

pengadilan. Oleh karena itu, perceraian di luar sidang pengadilan dianggap

tidak sah dan tidak mengikat (cerai liar).44 Di samping itu, khusus untuk taklik

talak terdapat ketentuan umum: Apabila keadaan yang disyariatkan dalam

taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak sendirinya talak jatuh atau

supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan perceraianya

kepada Pengadilan Agama.45

Hal ini dirasakan perlu karena dalam rangka menjaga dari tindakan

yang tidak diinginkan oleh pihak-pihak yang berperkara dan juga untuk

kepastian hukum. Adapun yang dimaksud dengan pembuktian adalah

menyatakan untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang

dikemukakan dalam suatu persengketaan.46 Pada asasnya siapa yang

mengemukakan suatu hak ia harus dibebani dengan pembuktian, sedangkan

peristiwa-peristiwa yang menghapuskan hak tersebut harus dibuktikan oleh

pihak yang membantah hak itu. Hendaknya hakim dalam membebankan

pembuktian baru dirasakan adil dan bijaksana apabila yang paling sedikit

dirugikan diperintahkan untuk membuktikan. Sebagaimana disebut dalam

firman Allah SWT pada Surat Al-Hujurat (49): 6:

42Kementerian Agama RI, Al-Qur’an, 36. 43Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 287. 44M. Yahya Harahap, “Materi KHI” dalam Moh. Mahfud (ed), Peradilan Agama dan

KHI dan Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1993), 91. 45Pasal 46 ayat 2 KHI. 46Kurdianto, Sistem Pembuktian Hukum Acara Perdata (Surabaya: Usaha Nasional,

1991), 11.

25

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah

dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah

Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.47

Dalam persidangan yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau hal-hal

yang menjadi perselisihan dan bukan hukumnya, yaitu segala apa yang

diajukan oleh pihak yang satu dan disangkal pihak yang lain. Misalnya dalam

pasal 825 B.Rv bahwa dalam acara perdata mengenai perceraian antara

pengakuan istri dengan pengakuan suami saja tidak dianggap sebagai bukti.

Pada garis besar hakim perdata dalam hokum pembuktian terikat kepada

berbagai pembatasan, yaitu pasal 164 HIR, pasal 284 R.Bg dan pasal 1866

BW.

Perkara yang harus dibuktikan kebenarannya yang dicari adalah

kebenaran formil, ini tidak berarti bahwa dalam acara perdata mencari

kebenaran yang setengah-setengah atau palsu (pasal 163 HIR, pasal 283 R.Bg

dan pasal 1865 BW ). Tujuan pembuktian ini untuk menetapkan hubungan

hukum antara kedua belah pihak yakni penggugat dan tergugat.

Kebenaran formil berarti hakim menyelidiki kebenaran dari peristiwa-

peristiwa yang dikemukakan. Penyelesaian itu hanya sepanjang para pihak atau

salah satu pihak yang menghendakinya. Hakim dilarang untuk mengabulkan

hak hak yang dituntut atau melebihi hal yang tidak diminta (pasal 178 ayat 3

HIR dan pasal 189 ayat 3 R.Bg).

H. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan gambaran awal dalam penulisan tesis ini maka perlu

diuraikan sebuah sistematika. Adapun Sistematika dalam penulisan tesis ini

terdiri dari tiga bagian utama yang memuat bagian awal, bagian inti dan bagian

akhir. Adapun uraian masing-masing bagian tersebut adalah sebagai berikut:

Bagian awal, terdiri dari halaman judul, halaman pernyataan keaslian,

halaman pengesahan, halaman persetujuan tim penguji, halaman motto,

47Kementerian Agama RI, Al-Qur’an, 516.

26

halaman persembahan, nota dinas pembimbing, abstrak, halaman transliterasi,

kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar lampiran dan terakhir adalah

daftar singkatan.

Bagian inti, merupakan bagian utama dalam tesis ini yang terdiri dari

lima bab yaitu bab satu, bab dua, bab tiga, bab empat, dan bab lima. Adapun

rinciannya adalah sebagai berikut:

BAB I : Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, permasalahan (mencakup: identifikasi masalah, pembatasan masalah

dan rumusan masalah), tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

metode penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan.

BAB II : Merupakan kajian teori, yakni tinjauan umum perceraian dan

taklik talak, terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama membahas tinjauan

umum perceraian, meliputi: pengertian perceraian dan sebab-sebab perceraian.

Sub bab kedua membahas tinjauan umum taklik talak, meliputi; pengertian

taklik talak, sejarah perkembangan taklik talak, landasan hukum taklik talak

menurut hukum Islam, taklik talak menurut perundang-undangan di Indonesia,

akibat hukum taklik talak, dan tujuan diadakan taklik talak. Sub bab ketiga

membahas tentang maqa>s}id al-syari’ah dalam memeriksa dan memutus

perkara di Pengadilan Agama, meliputi; pengertian maqa>s}id al-syari>’ah,

tujuan pokok disyariatkannya hukum Islam (maqa>s}id al-syari>’ah),

mas}lah}ah} sebagai tujuan akhir maqa>s}id al-syari>’ah.

BAB III : Merupakan paparan data dan temuan penelitian yakni

pertimbangan hukum hakim terhadap pelanggaran taklik talak di Pengadilan

Agama Giri Menang. Bab ini terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama

memaparkan tentang gambaran umum Pengadilan Agama Giri Menang. Sub

bab kedua memaparkan tentang bentuk-bentuk pelanggaran taklik talak sebagai

alasan perceraian di Pengadilan Agama Giri Menang. Sub bab ketiga

memaparkan tentang pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Giri

Menang terhadap pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian dalam

perkara cerai talak Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM.

27

BAB IV : Merupakan bab pembahasan yakni analisis pertimbangan

hukum hakim terhadap pelanggaran taklik talak di Pengadilan Agama Giri

Menang. Bab ini terdiri dari dua sub bab. Sub bab pertama membahas tentang

bentuk-bentuk pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian di Pengadilan

Agama Giri Menang. Sub bab kedua membahas tentang pertimbangan hukum

hakim Pengadilan Agama Giri Menang terhadap pelanggaran taklik talak

sebagai alasan perceraian dalam perkara cerai talak Nomor

080/Pdt.G/2013/PA.GM.

BAB V : Merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dari

tesis serta saran-saran yang konstruktif sebagai akhir dari penulisan tesis ini.

Bagian akhir, terdiri dari daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar

riwayat hidup (curriculum vitae).

28

BAB II

TINJAUAN UMUM PERCERAIAN DAN TAKLIK TALAK

Pada bagian ini diawali dengan penjelasan beberapa teori tentang

perceraian dan taklik talak. Bagian ini juga menguraikan tentang, tinjauan umum

perceraian dan tinjauan umum taklik talak. Untuk menunjang proses pengambilan

putusan oleh hakim, maka pada bagian ini juga dibahas tentang maqa>s}id al-

syari’ah yang tidak terpisahkan dalam proses pengambilan putusan. Meskipun

banyak aspek lain yang dijelaskan dalam bagian ini, namun tidak terlepas dari

konsep teoritis pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian di Pengadilan

Agama Giri Menang.

A. Tinjauan Umum tentang Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Perceraian dalam istilah fikih disebut talak atau furqah. Talak berarti

membuka ikatan, membatalkan perjanjian. Furqah berarti cerai, lawan dari

berkumpul. Sedangkan menurut istilah, talak ialah melepaskan ikatan

perkawinan atau bubarnya perkawinan. Kemudian kedua perkataan ini

dijadikan istilah oleh ahli-ahli fikih yang berarti perceraian antara suami

istri.48

Menurut Sayyid Sabiq, talak berasal dari kata it}la>q yang artinya

melepaskan atau meninggalkan dan menurut istilah agama talak artinya

melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.49

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

menjelaskan pengertian perceraian, melainkan hanya ada ketentuan bahwa

perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak.50

Talak terbagi menjadi 2 pengertian yakni talak dalam arti umum dan

talak dalam arti khusus. Talak dalam arti umum ialah segala macam bentuk

48Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam, 156. 49Sabiq, Fiqh Sunnah, 155. 50Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 13.

29

perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim dan

perceraian yang jatuh dengan sendirinya, seperti meninggalnya salah satu

baik suami ataupun istri. Sedangkan arti talak secara khusus ialah perceraian

yang dijatuhkan oleh suami saja.

Talak terdiri dari dua macam, antara lain:

a. Talak Raj’i

Talak raj’i adalah talak satu dan dua yang dijatuhkan oleh suami

kepada istrinya yang sudah pernah dicampurinya secara hakiki, dan

dijatuhkan bukan sebagai ganti rugi dari mahar yang dikembalikan dan

bukan pula talak yang ketiga kalinya51 dan tidak ada bedanya dengan

talak yang s}a>rih dengan kina>yah. Sebagaimana dijelaskan dalam

firman Allah SWT pada Surat Al-Baqarah (2): 229:

52

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi

dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang

baik.

Talak raj’i ini tidaklah sepenuhnya mengakhiri ikatan perkawinan

antara suami istri, karena keduanya masih mempunyai hak untuk rujuk.

Mantan suami dengan mantan istri masih masih terikat hak dan

kewajiban masing-masing. Suami masih tetap berkewajiban memberi

nafkah kepada istrinya, suami wajib melindungi istrinya di rumahnya. Ia

tidak boleh mengusirnya, begitu juga istri tidak boleh keluar dari rumah

suaminya, kecuali jika istri itu menentang atau berbuat kurang baik. Hak

dan kewajiban tetap berlanjut sebagaimana biasa selama iddah.53

b. Talak Ba>’in

Talak ba>’in adalah talak yang tidak dapat dirujuk oleh suami,

kecuali dengan perkawinan baru walaupun dalam masa iddah, seperti

51Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2 (Bandung: Pustaka Setia, Cet. VI, 2010),

75. 52Kementerian Agama RI, Al-Qur’an, 36. 53Saebani, Fiqh Munakahat, 76.

30

talak perempuan yang belum digauli. Talak ba>’in terbagi menjadi dua

macam, yaitu:

1) Ba>’in S}ughra>

Talak ini dapat memutuskan ikatan perkawinan, artinya jika

sudah terjadi talak, istri dianggap bebas menentukan pilihan setelah

habis masa iddah-nya. Suami dapat rujuk dengan akad perkawinan

yang baru.54

2) Ba>’in Kubra>

Ba>’in Kubra> adalah talak yang terjadi untuk yang ketiga

kalinya. Talak ini dapat mengakibatkan hilangnya hak rujuk mantan

suami kepada mantan istrinya walaupun keduanya saling

menginginkan perbaikan rumah tangganya kembali baik pada waktu

masih iddah atau sesudahnya, kecuali dengan syarat meliputi:

a) Istri tersebut kawin lagi dengan laki-laki lain/suami kedua (adanya

muhallil).

b) Istri sudah pernah dicampuri oleh suami kedua.

c) Istri telah dicerai oleh suami yang kedua dan telah habis masa

iddah-nya.55

2. Sebab-Sebab Perceraian

Perkawinan pada dasarnya bertujuan untuk hidup bersama selama-

lamanya, tetapi adakalanya karena ada sebab-sebab tertentu perkawinan itu

harus diakhiri. Baik karena putus demi hukum maupun putus karena hukum,

atau dengan kata lain terjadi perceraian antara suami istri. Istilah hukum

yang digunakan Undang-undang Perkawinan untuk menjelaskan perceraian

atau berakhirnya hubungan perkawinan antara suami istri adalah putusnya

perkawinan. Penggunaan istilah putusnya perkawinan ini harus dilakukan

dengan hati-hati, karena untuk pengertian perkawinan yang putus itu dalam

istilah fikih digunakan kata ba>’in, yaitu satu bentuk perceraian yang suami

54Saebani, Fiqh Munakahat, 75. 55Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 162.

31

tidak boleh kembali lagi kepada mantan istrinya kecuali dengan akad nikah

yang baru.56

Istilah yang paling netral adalah perceraian, namun sulit pula

digunakan istilah tersebut sebagai pengganti istilah putusnya perkawinan,

karena perceraian itu adalah salah satu bentuk dari putusnya perkawinan.

Untuk tidak terjebak dalam istilah tersebut, kita dapat saja menggunakan

istilah putusnya perkawinan, namun dalam arti yang tidak sama dengan

istilah ba>’in yang digunakan dalam fikih, atau dipandang sebagai sinonim

dari istilah furqah dalam fikih.57

Menurut Soemiyati, yang menjadi sebab putusnya perkawinan

adalah talak, khulu>’, syiqa>q, fasakh, ta’liq t}ala>q, ila>’, z}iha>r,

li’a>n dan kematian.58 Mahmud Yunus berpendapat bahwa suatu

perkawinan menjadi putus karena bermacam-macam sebab yaitu kematian,

talak, khulu>’, fasakh, akibat syiqa>q (talak atau khulu>’), pelanggaran

ta’liq t}ala>q (termasuk talak).59 Umar said mengatakan bahwa di dalam

hukum Islam putusnya perkawinan itu dapat terjadi karena beberapa sebab

yaitu kematian, talak, khulu>’, fasakh, ila>’, z}iha>r, li’a>n dan murtad.60

Adapun bentuk-bentuk putusnya perkawinan ada dalam beberapa

bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk

putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4 kemungkinan:

a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah, yakni kematian salah seorang

suami atau istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula

hubungan perkawinannya.

b. Putusnya perkawinan atas kehendak suami karena adanya alasan tertentu

yang dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian

dalam bentuk ini disebut talak.

56Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana

Prenada Group, 2009), 189. 57Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 190. 58Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan

(Yogyakarta: Liberty, 1997), 105. 59Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), 110. 60Umar Said, Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: CV. Cempaka, 1997), 189.

32

c. Putusnya perkawinan atas kehendak istri karena istri melihat sesuatu

yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan suami tidak

berkehendak untuk itu. Kehendak putusnya perkawinan yang

disampaikan istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan

dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putusnya

perkawinan dengan cara ini disebut khulu’.

d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah

melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau pada istri yang menandakan

tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya

perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh.61

Di samping itu, terdapat pula beberapa hal yang menyebabkan

hubungan suami istri yang dihalalkan agama tidak dapat dilakukan, namun

tidak memutuskan hubungan perkawinan itu secara syara’. Terhentinya

hubungan perkawinan dalam hal ini ada dalam tiga bentuk:

a. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyamakan

istrinya dengan ibunya. Ia dapat meneruskan hubungan suami istri bila

suami telah membayar kafarat. Terhentinya hubungan perkawinan dalam

bentuk ini disebut z}iha>r.

b. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah bersumpah untuk

tidak menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu, sebelum ia

membayar kafarat atas sumpahnya itu, namun perkawinannya tetap utuh.

Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini disebut ila>’.

c. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyatakan sumpah

atas kebenaran tuduhan terhadap istrinya yang berbuat zina, sampai

selesai proses li’a>n dan perceraian di muka hakim. Terhentinya

perkawinan dalam bentuk ini disebut li’a>n.62

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 113 menyebutkan bahwa

perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan

pengadilan. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

61Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 197. 62Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 198.

33

tentang Perkawinan, Pasal 38 menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus

karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. Pada pasal

berikutnya menyebutkan bahwa untuk menerapkan prinsip mempersulit

terjadinya perceraian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatur

bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak dan untuk melakukan perceraian harus ada alasan-alasan

perceraian.63

Perceraian yang dilakukan di depan pengadilan harus memiliki

alasan-alasan tertentu. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116

menjelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan

sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain

diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah

tangga;

g. Suami melanggar ta’lik talak;

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga.64

63Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 13. 64Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 357.

34

B. Tinjauan Umum Taklik Talak

Sebelum membahas pengertian taklik talak, sejarah perkembangan

taklik talak, akibat hukum taklik talak, dan lain-lain, penulis terlebih dahulu

akan memaparkan konsep akad dalam Islam. Materi ini penting untuk dibahas

karena taklik talak sangat erat kaitannya dengan akad.

1. Konsep Akad dalam Islam

Akad menurut bahasa berasal dari kata al-‘aqd, bentuk masdar dari

kata ‘aqada dan jamaknya adalah al-‘uqu>d yang berarti perjanjian atau

kontrak.65 Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam bahwa kata al-‘aqd

berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq).66 Berdasarkan

pengertian akad secara bahasa, maka akad adalah pertalian yang mengikat.

Adapun pengertian akad menurut istilah, ada beberapa pendapat di

antaranya menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Isla>mi wa

Adillatuh yang dikutip oleh Dimyauddin Djuwaini bahwa akad adalah

hubungan/keterkaitan antara ijab dan kabul atas sesuatu yang dibenarkan

oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu.67 Sedangkan menurut

Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa akad adalah perikatan antara ijab dengan kabul

sesuai dengan ketentuan syara’ yang menetapkan keridaan kedua belah

pihak.68 Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa akad

adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih

berdasarkan keridaan masing-masing pihak yang melakukan akad dan

memiliki akibat hukum baru bagi mereka yang berakad.

Dengan demikian, persoalan akad adalah persoalan antar pihak yang

sedang menjalin ikatan. Untuk itu yang perlu diperhatikan dalam

menjalankan akad adalah terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing

pihak tanpa ada pihak yang terlanggar haknya. Oleh karena itu, maka

65Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif,

1997), 953. 66Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van

Hoeva, 2001), 63. 67Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2010), 48. 68T.M. Hasbi Ash-Shieddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Bulan

Bintang, 1984), 21.

35

penting untuk membuat batasan-batasan yang menjamin tidak terjadinya

pelanggaran hak antar pihak yang sedang melaksanakan akad tersebut.

Adapun yang menjadi dasar dalam akad ini adalah firman Allah

dalam al-Qur’an Surat al-Maidah (5): 1:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan

bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.

(yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika

kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan

hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.69

Adapun yang dimaksud dengan “penuhilah aqad-aqad itu” adalah

bahwa setiap mukmin berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan

dan akadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat

menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal.70 Sedangkan

dasar akad dalam kaidah fiqh berbunyi sebagai berikut:

األصل في العقد رضى المتعاقدين ونتيجته ماإلتزماه بالتعاقد

Artinya: Hukum asal dalam transaksi adalah keridaan kedua belah pihak

yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan.71

Maksud dari kaidah di atas bahwa keridaan dalam transaksi atau

perjanjian merupakan prinsip yang utama. Oleh karena itu, transaksi atau

perjanjian dikatakan sah apabila didasarkan kepada keridaan kedua belah

pihak yang melakukan perjanjian.

Akad menjadi sah jika terpenuhi rukun syarat-syaratnya. Rukun

adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Tidak adanya rukun

69Kementerian Agama RI, Al-Qur’an, 106. 70Ahmad Mustafa Al-Maraghi, “Tafsir Al-Maraghi”, terj. Bahrun Abu Bakar dkk,

Terjemahan Tafsir Al-Maraghi, Juz VI (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2003), 81. 71A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih; Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam

Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis (Jakarta : Kencana, 2006), 130.

36

menjadikan tidak adanya akad. Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun

akad terdiri dari:72

a. Al-‘Aqidain (pihak-pihak yang berakad).

b. Ma’qud ‘Alaih (objek akad).

c. Sighat al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri).

d. Tujuan akad.

Berbeda dengan jumhur ulama, mazhab Hanafi berpendapat bahwa

rukun akad hanya satu yaitu sighat al-‘aqd. Bagi mazhab Hanafi, yang

dimaksud dengan rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk

akad. Unsur pokok tersebut hanyalah pernyataan kehendak masing-masing

pihak berupa ijab dan qabul. Adapun para pihak dan objek akad adalah

unsur luar, tidak merupakan esensi akad. Maka mereka memandang pihak

dan objek akad bukan rukun. Meskipun demikian mereka tetap memandang

bahwa pihak yang berakad dan objek akad merupakan unsur-unsur yang

harus dipenuhi dalam akad. Karena letaknya di luar esensi akad, para pihak

dan objek akad merupakan syarat, bukan rukun.73

Secara spesifik, fuqaha memberikan beberapa persyaratan yang

dijadikan patokan untuk menentukan keabsahan sebuah akad. Artinya, sah

tidaknya suatu akad tergantung oleh beberapa syarat tertentu. Adapun

syarat-syarat yang dimaksud (akad dalam pernikahan) adalah sebagai

berikut:

a. Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul.

b. Materi dari ijab dan kabul tidak boleh berbeda, seperti nama si

perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang ditentukan.

c. Ijab dan kabul harus diucapkan secara bersambung tanpa terputus

walaupun sesaat. Ulama Malikiyah membolehkan asal waktunya singkat.

d. Ijab dan kabul tidak boleh membatasi masa perkawinan tersebut, karena

nikah untuk selamanya.

72Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan

Syariah (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 34. 73Afandi, Fiqh Muamalah, 34.

37

e. Ijab dan kabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.74

Selain dari beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam suatu akad

sebagaimana tersebut di atas, ijab kabul dapat dilakukan dengan beberapa

cara. Dalam hal ini paling tidak ada empat cara yang biasa dilakukan oleh

beberapa pihak yang hendak melakukan ijab kabul, adapun keempat cara

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Lisan, para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan

secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan kabul yang

dilakukan oleh para pihak.

b. Tulisan, adakalanya suatu akad dilakukan secara tertulis. Hal ini dapat

dilakukan oleh para pihak yang tidak bisa bertemu langsung.

c. Isyarat, suatu akad tidaklah hanya dilakukan oleh orang normal, orang

cacatpun dapat melakukan prosesi ijab dan kabul (akad). Apabila

cacatnya adalah berupa tuna wicara, maka dimungkinkan akad dilakukan

dengan isyarat, asalkan para pihak yang melakukan perikatan tersebut

memiliki pemahaman yang sama.

d. Perbuatan, seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, kini

(untuk beberapa kasus) akad dapat dilakukan dengan cara perbuatan saja,

tanpa secara lisan, tertulis, ataupun isyarat. Hal ini dapat disebut dengan

ta’at}i atau mua’t}ah.75

2. Pengertian Taklik Talak

Lembaga taklik talak timbul jika ada penilaian istri bahwa suaminya

menunjukkan gejala-gejala akan menyia-nyiakan atau akan

meninggalkannya di kemudian hari. Taklik talak itu sendiri merupakan kata

majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu kata taklik dan talak.

Kata taklik dalam bahasa Arab berasal dari kata, ‘allaqa yu>‘alli>qu

ta‘li>qan, yang berarti menggantungkan. Sementara kata talak dari kata

Arab talla>qa yutalli>qu> tatli>qan, yang berarti mentalak atau

74Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 62. 75Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 62.

38

menceraikan.76 Sedangkan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian

taklik yaitu perjanjian, sedangkan kata talak yaitu perceraian antara suami

dan istri.77

Maka dari sisi bahasa, taklik talak berarti talak yang digantungkan.

Artinya, terjadinya talak (perceraian) atau perpisahan antara suami dan istri

yang digantungkan terhadap sesuatu peristiwa tertentu sesuai dengan

perjanjian. Istilah taklik talak tidak ditemukan dalam fikih, tetapi istilah

yang biasa dipakai dan memiliki maksud yang sama dengan taklik talak

dalam rumusan yang berbeda, disebut dengan talak mu’allaq, yaitu “talak

yang digantungkan oleh suami dengan suatu perbuatan yang akan dilakukan

oleh istrinya pada masa mendatang”.78

Dalam fikih Islam, taklik dibagi menjadi dua yaitu; ta‘li>q qasami>

dan ta‘li>q syarthi>. Ta‘li>q qasami> adalah taklik yang dimaksudkan

seperti janji karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau

meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar. Sedangkan

ta‘li>q syarthi>. yaitu taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak

jika telah terpenuhi syaratnya. Syarat sah taklik yang dimaksud tersebut

ialah perkaranya belum ada, tetapi mungkin terjadi di kemudian hari,

hendaknya istri ketika lahirnya akad talak dapat dijatuhi talak dan ketika

terjadinya perkara yang ditaklikkan istri berada dalam pemeliharaan

suami.79

Ibnu Hazm berpendapat dua jenis ta‘li>q qasami> dan ta‘lîq

syarthi> tidak sah dan pengucapannya pun dianggap tidak memiliki dampak

hukum apa pun. Alasannya, Allah SWT telah mengatur secara jelas

mengenai talak. Sedangkan, taklik semacam itu tidak ada tuntunannya

dalam al-Qur’an maupun hadits. Bila taklik tersebut dipandang sebagai

76Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara

Penterjemahan atau Penafsiran al-Qur’an, t.th.), 277. 77Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, Edisi ke-4, 2008), 1124. 78Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga : Panduan Membangun Keluarga Sakinah

Sesuai Syariat (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), 259. 79Sabiq, Fiqh Sunnah, 222.

39

sebuah janji. Menurut Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim, taklik tersebut

tidak sah. Sebagai sanksinya, maka orang yang mengucapkannya wajib

membayar kafarat, memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian

kepada mereka. Dan jika tidak, ia wajib berpuasa selama tiga hari.

Mengenai talak bersyarat, keduanya berpendapat bahwa talak bersyarat

dianggap sah apabila yang dijadikan persyaratan telah terpenuhi.80

Dalam hukum Indonesia taklik talak diartikan sebagai perjanjian

yang diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah yang

dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada

suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.81

Menurut Mustafa Kamal Pasha taklik talak adalah: “Talak yang

digantungkan”. Maksudnya talak yang digantungkan pada suatu syarat,

dimana suatu talak akan jatuh dengan sendirinya manakala syarat yang

digantungkan tersebut terwujud”. Adapun syarat yang dapat digantungkan

tadi haruslah merupakan janji yang dibuat dan diucapkan sesudah aqad

perkawinan dilangsungkan, sedang janji yang dibuat sebelum akad nikah

dilangsungkan betapapun dibuat sedemikian rupa kuatnya seperti ditulis

diatas segel dan sebagainya. Namun hukumnya tidak dapat membatalkan.82

Sedangkan Menurut Mahmud Syaltut sebagaimana dikutip oleh

Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, menyatakan bahwa: Taklik

talak adalah jalan terbaik untuk melindungi kaum wanita dari perbuatan

tidak baik dari pihak suami. Sekiranya seorang suami telah mengadakan

perjanjian taklik talak ketika akad nikah dilaksanakan dan bentuk perjanjian

itu telah disepakati bersama, maka perjanjian taklik talak dianggap sah

untuk semua bentuk taklik talak. Apabila suami melanggar perjanjian yang

telah disepakati, maka istri dapat meminta cerai kepada hakim yang ditunjuk

oleh pihak yang berwewenang.83

80Sabiq, Fiqh Sunnah, 222. 81Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 13. 82Mustafa Kamal Pasha, Fikih Sunnah (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), 229. 83Nurudin dan Tarigan, Hukum Perdata Islam, 212. Lihat juga Abdul Manan,

Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2006),

398.

40

Perbedaan antara taklik yang ada dalam fikih dengan yang ada di

Indonesia adalah taklik talak menurut kitab-kitab fikih diucapkan oleh

suami apabila ia menghendakinya, sedang menurut undang-undang

Indonesia diucapkan oleh suami berdasarkan kehendak dari istri atau

anjuran dari Pegawai Pencatat Nikah . Di samping itu taklik talak menurut

hukum Indonesia disyaratkan adanya iwa>d, sedangkan taklik talak yang

terdapat dalam kitab-kitab fikih tidak disyaratkan adanya iwa>d.

Berdasarkan definisi di atas, Penulis menyimpulkan bahwa, taklik

talak adalah perceraian sebagai akibat pelanggaran janji yang diucapkan

suami sesaat setelah akad nikah.

3. Sejarah Perkembangan Taklik Talak

Menurut catatan sejarah, pelembagaan taklik talak dimulai dari

perintah Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja Mataram (1554 Jawa/1630

Masehi) dalam upaya memberi kemudahan bagi wanita untuk melepaskan

ikatan perkawinan dari suami yang meninggalkan istri (keluarga) pergi

dalam jangka waktu tertentu untuk melaksanakan tugas. Di samping itu

taklik talak ini menjadi jaminan bagi suami bila kepergian itu adalah dalam

rangka tugas Negara. Taklik itu disebut “taklek janji dalem” atau “taklek

janjiningratu”. Artinya taklik talak dalam kaitan dengan tugas Negara,84

yang aslinya berbunyi:

“Mas Penganten, pekenira tompo Taklek Jangji Dalem, samongso

pekanira nambang (ninggal) rabi pakenira ...; lawase pitung sasi

lakon daratan, hutawa nyabrang sagara rong tahun, saliyane

ngelakoni hayahan dalem, tan terimane rabi pakenira nganti darbe

hatur rapak (sowan) hing pangadilan hukum, sawuse terang

papriksane runtuh talak pakanira sawijiâ”.

Bahasa Indonesianya:

‘Wahai penganten, dikau memperoleh Taklik Janji Dalem, sewaktu-

waktu dikau menambang (meninggalkan) istrimu bernama .........

selama tujuh bulan perjalanan darat, atau menyeberang lautan dua

tahun, kecuali dalam menjalankan tugas Negara, dan istrimu tidak

84Nurul Hakim, Taklik Talak dan Pengaruhnya terhadap Kedudukan Wanita dalam

Rumah Tangga, dalam http://nurel-hakim.blogspot.com/2011/04/taklik-talak-dan-

pengaruhnya-terhadap.html, diakses pada 15 Nopember 2017.

41

rela sehingga mengajukan rapak (menghadap) ke Pengadilan hukum,

setelah jelas dalam pemeriksaannya, maka jatuhlah talakmu satu’.85

Menurut Zaini Ahmad Noeh, sebaimana dikutip oleh Khoirudin

Nasution, pelembagaan taklik talak dan gono-gini yang terjadi pada masa

Kerajaan Mataram merupakan pengembangan dari pemikiran dan

pemahaman ulama’ terhadap hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan

masalah talak (perceraian) atau perpisahan antara suami dan istri.86

Rumusan sighat taklik talak tersebut, hanya unsur pergi

meninggalkan yang dijadikan dasar istri untuk mengadu ke pengadilan

sebagai alasan perceraian (taklik talak). Lamanya waktu meninggalkan

tersebut adalah 7 (tujuh) bulan untuk kepergian suami menggunakan

perjalanan darat, 2 (dua) tahun untuk kepergian suami menyeberangi

lautan.87

Untuk memuluskan missinya ke Indonesia, Belanda mengambil

sikap netral terhadap hukum Islam sebagai hukum yang telah berkembang

dalam masyarakat, termasuk taklik talak. Taklik talak diberlakukan seiring

dengan keluarnya ordonansi Pencatatan Perkawinan Stb. 1895 No. 198 jis

stb. 1929 No. 348 dan Stb. 1931 No. 348 Stb. 1933 No. 98 yang berlaku

untuk Solo dan Yogyakarta.

Sejak keluarnya Ordonansi tersebut maka timbul gagasan para

ulama’ dengan persetujuan Bupati untuk melembagakan taklik talak sebagai

sarana pendidkan bagi para suami agar lebih mengerti kewajiban terhadap

istri, dengan beberapa tambahan rumusan sighat, termasuk kewajiban

nafkah dan tentang penganiayaan jasmani. Selanjutnya sighat taklik talak

tidak lagi diucapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, tetapi dibaca atau

diucapkan sendiri oleh suami.88

85Taklik tidak dibaca oleh penganten pria, tetapi diucapkan oleh Penghulu Naib dan

cukup dengan dijawab: Hinggih sendika. 86Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 15. 87Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 15. 88Nilna Fauza, Perjanjian Perkawinan Menjamin Hak-Hak Perempuan,

http://zuhalfais.blogspot.com/2011/02/perjanjian-perkawinan-menjamin-hak-hak.html, 15

Nopember 2017.

42

Pada tahun 1931 ketika taklik talak diberlakukan di sekitar Jakarta

dan Tangerang, rumusan sighat taklik talak mengalami penambahan,

terutama dari aspek unsur-unsurnya. Demikian juga mengalami perubahan

dari aspek jangka waktunya. Rumusan lengkapnya adalah sebagai berikut:89

a. Tiap-tiap saya tinggalkan istri saya dengan semata-mata tinggal jalan

darat tiga bulan atawa jalan laut dalam masa enam bulan lamanya;

b. Atawa saya tidak kasih nafkah yang wajib pada saya dalam masa satu

bulan lamanya;

c. Atawa saya pukul akan dia dengan pukulan yang menyakiti padanya;

d. Maka jika istri saya itu tidak suka akan salah satu yang tersebut di atas

itu, ia boleh pergi sendiri atau wakilnya mengadukan halnya kepada Raad

Agama, serta ia minta bercerai dan manakala istri saya yang tersebut itu

membayar pada saya uang banyaknya f 0,10 (sepuluh Cent) serta sabit

dakwaannya, tertalaklah istri saya yang tersebut satu talak dan dari uang

iwa>d khulâ yang tersebut saya wakilkan kepada Raad Agama buat kasih

sedekah kepada fakir miskin.

Rumusan tersebut di atas, terjadi penambahan unsur-unsurnya,

sebanyak dua unsur, yaitu tidak memberi nafkah dan memukul istri yang

bersifat menyakiti. Dari unsur intensitas waktunya juga mengalami

perubahan dari 7 (tujuh) bulan menjadi 3 (tiga) bulan jalan darat, dari 2

(dua) tahun menjadi 6 (enam) bulan jalan laut.

Melihat bahwa bentuk taklik talak di Jawa bermanfaat dalam

menyelesaikan perselisihan suami-istri, maka banyak penguasa daerah luar

Jawa dan Madura memberlakukannya di daerah masing- masing. Setelah

berlakunya Ordonansi Pencatatan Nikah untuk luar Jawa dan Madura, Stb.

1932 No. 482, maka pemberlakuan taklik talak lebih merata di daerah luar

Jawa dan Madura.90

Perkembangan selanjutnya rumusan taklik talak semakin

disempurnakan, terutama dalam hal melindungi kepentingan istri. Agar

taklik talak tersebut tidak bisa dirujuk suami setelah terjadinya perceraian di

depan Pengadilan, maka rumusannya ditambah ketentuan tentang ‘iwad,

89Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 18. 90Fauza, Perjanjian Perkawinan, 6.

43

yakni uang pengganti. Dengan adanya ‘iwad atau uang pengganti maka

jatuhnya talak karena taklik menjadi talak khu>lu’ atau talak ba’in.

Mantan suami tidak dapat merujuk istrinya kecuali dengan akad

nikah baru. Dengan pemberlakuan ‘iwad ini, upaya istri untuk terhindar dari

penderitaan akibat dari ulah suaminya semakin terjamin.91

Setelah Indonesia merdeka, rumusan sighat taklik talak ditentukan

sendiri oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Hal ini dimaksudkan

agar penggunaan rumusan sighat taklik talak tidak disalah gunakan secara

bebas yang mengakibatkan kerugian bagi pihak suami atau istri, atau bahkan

bertentangan dengan tujuan hukum syara‘.

Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 1952, maka ketentuan tentang sighat

taklik talak diberlakukan seragam di seluruh Indonesia. Sejak rumusannya

diambil alih Depag, sighat taklik talak mengalami beberapa kali perubahan.

Perubahan tersebut tidak hanya mengenai unsur-unsur pokoknya, tetapi juga

mengenai kualitas syarat taklik yang bersangkutan dan besarnya uang

‘iwad.92 Perubahan-perubahan ini semata-mata karena sesuai misi awal

pelembagaan taklik talak adalah untuk melindungi kaum perempuan dari

tindakan kesewenangan suami.93

Adapun unsur-unsur yang mengalami perubahan adalah seperti

rumusan ayat (3) sighat taklik talak. Pada tahun 1950 disebutkan: ‘atau saya

menyakiti istri saya itu dengan memukul’, dimana pengertian memukul

disini hanya terbatas pada memukul saja. Pada tahun 1956 pengertian

memukul diperluas sampai kepada segala perbuatan suami yang dapat

dikatagorikan menyakiti badan jasmani, seperti menendang, mendorong

sampai jatuh, menjambak rambut, membenturkan kepala ke tembok dan

sebagainya.94

91Fauza, Perjanjian Perkawinan, 6. 92Hakim, Taklik Talak, 10. 93Manan, Penerapan Hukum, 404. 94Manan, Penerapan Hukum, 404.

44

Sudut rentang waktunya juga mengalami perubahan, seperti rumusan

ayat (1) sighat taklik talak tentang lamanya pergi meninggalkan istri, Pada

tahun 1950, 1956 dan 1969 ditetapkan menjadi 2 (dua) tahun. Sedang ayat

(4) sighat taklik talak tentang lamanya membiarkan/ tidak memperdulikan

istri, pada tahun 1950 ditetapkan selama 3 (tiga) bulan, pada rumusan tahun

1956 menjadi 6 (enam) bulan. Perubahan jangka waktu ini dimaksudkan

untuk mempersulit terpenuhi syarat sighat taklik talak, sekaligus

memperkecil terjadinya perceraian.95

Rumusan terakhir sighat taklik talak adalah rumusan yang ditetapkan

berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1990, yang

rumusan lengkapnya adalah sebagai berikut:96

Sesudah akad nikah, saya ....... bin........ berjanji dengan sesungguh

hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang

suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama ..... binti ........

dengan baik (mu‘âsyarah bil ma‘rûf) menurut ajaran syari‘at Islam.

Selanjutnya saya

mengucapkan sighat taklik atas istri saya itu sebagai berikut:

1. Sewaktu-waktu saya:

2. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut;

3. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan

lamanya;

4. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya;

5. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam

bulan lamanya;

Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada

Pengadilan Agama atau petugas yang memberinya hak untuk

mengurus pengaduan itu dan pengaduannya dibenarkan serta

diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya

membayar uang sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai ‘iwadl

(penggati) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.

Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk

menerima uang ‘iwad (pengganti) itu dan kemudian

menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat,

untuk perluan ibadah sosial.

Berdasarkan sejarah di atas dipahami bahwa, adanya lembaga taklik

talak di Indonesia telah ada sejak zaman dahulu. Kenyataan yang ada

95Manan, Penerapan Hukum, 405. 96Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 18.

45

sampai saat ini pun menunjukkan hampir setiap perkawinan di Indonesia

yang dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan sighat

taklik talak oleh suami.

4. Landasan Hukum Taklik Talak Menurut Hukum Islam

Taklik talak dilihat dari segi esensinya sebagai perjanjian

perkawinan yang digantungkan pada syarat, dengan tujuan utamanya

melindungi istri dari kemudharatan karena tindakan sewenang-wenang

suami, mempunyai landasan hukum yang kuat, yaitu dalam surat Al-

Baqarah ayat 229 sebagai berikut:

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi

dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.

tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang

Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya

khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika

kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat

menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk

menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah

kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum

Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah

(2): 229).97

Allah memerintahkan suami untuk mencerai istrinya dengan cara

yang baik, dan melarang mengambil sesuatu mahar yang sudah pernah

diberikan kepada istrinya, kecuali dalam keadaan yang sangat

mengkhawatirkan, bahwa kedua belah pihak tidak lagi mampu

melaksanakan hukum-hukum Allah. Maksudnya hukum-hukum yang

97Kementerian Agama RI, Al-Qur’an, 36.

46

berkenaan dengan perkawinan, misalnya: mu’asyarah{ bi al-ma’ru>f, taat

dan menunaikan hak masing-masing. Apabila ternyata ada terjadi

perselisihan dan ternyata sebabnya memang cukup kuat, maka istri

diperbolehkan menebus dirinya, dan suami boleh menerima harta dari istri

itu,98 keadaan seperti itu disebut khu>lu’.99

Imam Syafi’i mengemukakan, jika seorang suami mengambil mahar

dari seorang istri, dan istrinya rela, maka hal itu diizinkan sebagaimana

dipahami dari firman Allah SWT “jika kamu khawatir bahwa keduanya

(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada

dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk

menebus dirinya”), jika suami mengambil sesuatu dari istri atas talak yang

terjadi, lalu dia mengakui bahwa dia mengambilnya dengan paksa, maka

talaknya tetap berlaku.100

Hal ini diperjelas oleh Ibnu Taimiyah bahwa: Jika seorang istri

sangat marah pada suami dan dia memilih untuk berpisah dengannya, maka

hendaknya dia memilih untuk berpisah dengannya, maka hendaknya dia

menebus dirinya dengan cara mengembalikan kepada suaminya apa yang

dia ambil darinya yang berupa mahar, dan dia berlepas diri dari tanggung

jawabnya, dan suami hendaknya melepaskannya.101

Selain itu terdapat dasar hukum dari hadits, bahwa istri Tsabit bin

Qais bin Syams bernama Jamilah datang menghadap Rasulullah SAW

mengadukan perihal dirinya sehubungan dengan suaminya sebagai berikut:

عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن ق يس أتت النب صلى الله عليه وسلم ه ثابت بن ق يس ما أعتب عليه ف خلق وال دين ف قالت يا رسول الل

98Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan (peng dan pent), Terjemahan Tafsir Ayat

Ahkam Ash-Shabuni I (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), 278. 99Khulu’ artinya talak yang diminta oleh istri kepada suaminya dengan memberi

‘iwadl atau tebusan karena disebabkan oleh beberapa hal tertentu. Lihat, Pasha, Fikih Sunnah,

229. 100Syaikh Ahmad bin Mustafa Al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i, Jilid 1, terj. Febrian

Hasmand dkk. (Jakarta: Almahira, 2008), 391. 101Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar, 2003), 134.

47

سلم ف قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ولكن أكره الكفر ف اله عليه وسلم اق بل أت ردين عليه حديقته قالت ن عم قال رسول الله صلى الل

)رواه الديقة وطلقها تطليقة قال أبو عبد الله ال ي تابع فيه عن ابن عباس البخارى(.

Artinya: Dari Ibnu Abbas, bahwasanya istri Tsabit bin Qais datang kepada

Nabi SAW dan berkata, wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela

Tsabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku

khawatir kekufuran dalam Islam. Maka Rasulullah SAW bersabda:

Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu? Ia

menjawab, Ya. Rasulullah SAW bersabda: Terimalah kebun itu,

dan ceraikanlah ia dengan talak satu. Abu Abdullah berkata; Tidak

ada hadits penguat dari Ibnu Abbas (HR. Bukhari).102

Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa Tsabit tiada tercela,

sedangkan permintaan cerai datang dari istri yang takut bahwa dia tak akan

mampu menjalankan perintah yang ditetapkan Allah, dia tidak dapat

menunaikan kewajibannnya sebagai seorang istri. Nabi SAW mengizinkan

wanita itu untuk melepaskan dirinya sendiri dengan mengembalikan

maharnya kepada suami sebagai ganti rugi atas pembebasan yang telah

diberikan kepadanya.103 Hal ini terdapat khila>fiyah apakah suami boleh

menerima lebih dari jumlah maharnya dahulu atau tidak:104

a. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat halal menerima

tambahannya, jika khu>lu’ terjadi disebabkan istri mendurhakai

suaminya;

b. Jumhur ulama (menurut Ibnu Bathal) berpendapat bahwa boleh suami

menerima lebih dari jumlah maskawinnya. Tetapi Imam Malik

menambahkan, bahwa itu kurang berakhlak;

102Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz III (Beirut: Dar al-Kutub

al-’Ilmiyyah, 1992), 406. 103Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1996),

115. 104Kahar Mansur (pengh. dan pent.), Bulughul Maram, Jilid 2 (Jakarta: PT. Rineka

Cipta, 1992), 86-87.

48

c. Imam Athak, Ahmad, Ishak, dan Hadawiyah berpendapat tidak boleh

suami menerima lebih dari jumlah maskawinnya berdasarkan hadits di

atas. Tapi, jumhur menjawabnya, “hadits itu tidak melarang dan tidak

menyuruh melebihkannya.

Abu Bakar bin Abdullah Al-Muzni berbeda sendiri pendapatnya dari

pendapat jumhur ‘ulama, dengan mengatakan bahwa: suami tidak boleh

mengambil sesuatu pun dari istri. Alasan yang dikemukakan bahwa firman

Allah SWT diatas, telah dibatalkan oleh firman Allah yang lain yaitu:105

Artinya: Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain,

sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara

mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil

kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan

mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan

dengan (menanggung) dosa yang nyata? (QS. An-Nisa (4): 20).106

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa pengertian ayat ini adalah

manakala pengambilan tersebut tanpa kerelaan istri. Akan halnya jika

dengan kerelaannya, maka hal itu dibolehkan.107

Berdasarkan ayat al-Qur’an dan hadits di atas, dapat disimpulkan

bahwa sebagai salah satu bentuk perjanjian, taklik talak lebih

mengupayakan ke arah terciptanya suatu kondisi hubungan yang lebih baik.

Sejauh memang taklik talak itu diperlukan dan dibutuhkan. Kaitanya dengan

masalah pengaduan istri untuk menuntut cerai suami merupakan sesuatu

yang telah memiliki landasan yang jelas. Tuntutan tersebut dapat dilakukan

dengan jalan perceraian atas dasar pelanggaran taklik talak disertai sejumlah

uang sebagai ‘iwa>d.

5. Taklik Talak Menurut Perundang-Undangan

105Ayyub, Fikih Keluarga, 308. 106Kementerian Agama RI, Al-Qur’an, 81. 107Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah

(Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990), 491.

49

a. Taklik Talak dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Taklik talak dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak ditemukan pasal

yang secara khusus menyebutkan serta mengatur tentang taklik talak

dalam kapasitasnya sebagai besar perjanjian perkawinan maupun sebagai

alasan perceraian pasal 29 undang-undang ini hanya menyebutkan

dibolehkannya bagi kedua mempelai untuk mengadakan perjanjian

tertulis sebelum melangsungkan perkawinan. Dalam penjelasannya pada

pasal (29) ditekankan bahwa perjanjian perkawinan yang dimaksud tidak

termasuk taklik talak di dalamnya. Adapun bunyi pasal (29) secara

lengkap adalah sebagai berikut:

Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung, kedua pihak atas

persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan

oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga

terhadap pihak ketiga tersangkut.108

Menurut Martiman Prodjohamidjojo yang dikutip oleh Amiur

Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan mengatakan bahwa: Perjanjian

dalam pasal 29 ini jauh lebih sempit oleh karena hanya meliputi

“verbintenissen” yang bersumber pada persetujuan saja (overenkomsten),

dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, jadi tidak meliputi

“verbintenissen uit de wet allen” (perikatan yang bersumber pada

undang-undang).109

Titik Triwulan Tutik memperjelas pernyataan tersebut bahwa:

Dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undang-

undang ini termasuk didalamnya taklik talak sebagaimana yang termuat

dalam surat nikah. Mengenai isi perjanjian perkawinan Undang-Undang

Perkawinan tidak membahas, yang ada bahwa perjanjian kawin tidak

boleh bertentangan dengan hukum, agama, dan kesusilaan.110

b. Taklik Talak Menurut Kompilasi Hukum Islam

108Pasal 29, Undang-undang No. 1/1974. 109Nuruddin dan Tarigan, Hukum Perdata, 137. 110Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia (Jakarta: Prestasi

Pustaka Publisher, 2006), 130.

50

Berbeda dengan Undang-undang, KHI secara eksplisit lebih jelas

dalam menjelaskan tentang taklik talak. Dalam KHI taklik talak

mempunyai fungsi: Pertama, dilihat dari esensinya taklik talak sebagai

perjanjian perkawinan yang menggantungkan kepada syarat dengan

tujuan utama melindungi istri dari kemadlaratan atas kesewenangan

suami. Kedua, taklik talak digunakan sebagai alasan perceraian.

Meskipun demikian, jika dilihat dari sistematika penyusunanya,

maka KHI lebih menitikberatkan esensinya sebagai perjanjian

perkawinan. Di mana pemuatanya dalam pasal 45 dan 46 diatur lebih

rinci daripada pemuatanya dalam Bab XIV tentang putusnya

perkawinan.111

Pembahasan tentang taklik talak dalam Kompilasi Hukum Islam

dijelaskan dalam pasal 45 dan 46 KHI. Pasal 45 menyebutkan bahwa:

kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam

bentuk 1) taklik talak, 2) perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan

hukum Islam. Adapun dalam pasal 46 disebutkan bahwa: 1) isi sighat

taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam, 2) apabila

keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi

kemudian, tidak sendirinya talak jatuh. Supaya sungguh-sungguh jatuh

istri harus mengajukan persoalnya ke Pengadilan Agama, 3) perjanjian

taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap

perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak

dapat dicabut kembali.

6. Akibat Hukum Taklik Talak

Walaupun taklik talak pelaksanaannya bersifat sukarela (suami boleh

membaca atau tidak membacanya), tetapi apabila taklik talak itu dilakukan

maka perjanjian tersebut tidak dapat dicabut kembali, sehingga akibat

hokum yang dihasilkan apabila suami melanggar perjanjian taklik talak

yang diucapkannya adalah jatuh talak ba’in sughra, yakni memutuskan

hubungan perkawinan suami istri setelah kata talak diucapkan. Hal tersebut

111Mannan, Penerapan Hukum, 402.

51

bias terealisasi dengan cara istri mengadukan pelanggaran suami tersebut ke

pengadilan agama dan aduannya diterima oleh pengadilan serta istri dapat

membuktikan pelanggaran yang dilakukan suami tersebut diikuti dengan

pembayaran uang ‘iwa>d.

Apabila talak telah jatuh, maka istri kembali menjadi orang lain bagi

suaminya. Mantan suami tidak boleh bersenang-senang dengan mantan

istrinya apalagi sampai menyetubuhinya, karena suami istri tersebut bukan

mahram lagi dan haram berhubungan badan. Jika dilakukan juga maka

hukumnya sama dengan berzina.112 Mantan suami masih berhak untuk

kembali (rujuk) kepada mantan istrinya yang tertalak ba’in sughra dengan

akad perkawinan baru dan mahar baru selama mantan istrinya belum

menikah dengan orang lain.

Mengenai kekuatan berlakunya taklik talak, Peraturan Menteri

Agama No. 2 Tahun 1990, menentukan bahwa jika belum terwujud syarat

taklik, kemudian suami menjatuhkan talak raj’i dan kemudian suami

merujuknya dalam masa iddah, maka taklik talak yang diucapkan suami

tesebut tetap mempunyai kekuatan hukum. Jika sewaktu-waktu terwujud

syarat taklik, maka istri dapat menggunakannya sebagai alasan gugatan

perceraian dengan alasan pelanggaran taklik talak. Tetapi apabila terjadi

talak ba’in atau kawin lagi selepas iddah talak raj’i, taklik talak yang

diucapkan suami tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Sehingga jika

suami istri menghendaki berlakunya perjanjian taklik talak, maka perjanjian

taklik talak itu harus diulang.113

7. Tujuan Diadakan Taklik Talak

Kehidupan bahtera rumah tangga tidak selamanya berjalan manis

dan indah, sewaktu-waktu ada kemungkinan terjadinya hal-hal yang dapat

memutuskan ikatan perkawinan. Islam dengan syari’atnya yang

komprehensif mengatur hal-hal yang dapat mencegah terputusnya ikatan

perkawinan tersebut.

112Yon Ngariono, Pernikahan Yang Dimurka: Keseleo Lidah, Haramkan Hubungan

Seks, posmo, III, 118 (23-29 Juni 2001), 16. 113Sayyid Usman, Qawanin al-Syari’ah, Salinan Nabhan (Surabaya: tth.), 80.

52

Tetapi meski begitu, syari’at Islam dalam mengatur masalah

perkawinan, khususnya pada pemegang hak perceraian, hanya terdapat pada

hak suami. Dan hal itupun karena dilandasi faktor-faktor yang

mengharuskan suamilah yang pantas memegang hak perceraian itu. Dengan

dilembagakannya taklik talak, istri juga dapat melakukan perceraian dengan

syarat perceraian tersebut memang layak untuk dilakukan. Dengan begitu

hak-hak istri dapat terjamin dan suami harus melaksanakan kewajiban-

kewajibannya terhadap hak istri sehingga suami tidak dapat melakukan hal

sewenang-wenang terhadap istrinya.

Mahmud Yunus menerangkan bahwa, umumnya di Indonesia pada

masa sekarang diadakan taklik talak sesudah akad nikah gunanya supaya

istri jangan teraniaya bila suami berlarut-larut tidak memberi nafkah kepada

istrinya, atau telah hilang dengan tak ada beritanya.114 Kemudian menurut

Sayuti Thalib mengatakan, bahwa hak menjatuhkan talak berada dalam

tangan suami, dengan adanya lembaga taklik talak maka ini berarti

pelimpahan wewenang menjatuhkan talak dari pihak suami kepada istri.

Pelimpahan yang terbatas yaitu dalam hal-hal tertentu.115 Selanjutnya,

Peunoh Dally dalam disertasinya berpendapat bahwa maksud diadakannya

taklik talak ialah suatu usaha dan daya upaya melindungi istri dari tindakan

sewenang-wenang suaminya.116 Lebih lanjut Peunoh mengatakan bahwa

syari’at Islam sudah menentukan secara terperinci hak istri terhadap suami,

namun ia tidak memiliki alat pemaksa supaya suami menunaikan

kewajibannya.

Dengan adanya sistem taklik talak tersebut nasib istri dan

kedudukannya dapat diperbaiki. Jika suami menyia-nyiakan istrinya

sehingga ia sengsara, maka istri dapat mengadukan kepada hakim supaya

perkawinannya diputuskan.

114Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’i,

Hanafi, Maliki, dan Hambali (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990), 129. 115Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Di Indonesia (Jakarta: UI Press, Cet. 5, 1986), 77. 116Peunoh Dally, Talak, Rujuk, Hadhonah dan Nafkah Kerabat dalam Naskah Mir’at

al-Thullab: Suatu Studi Perbandingan Hukum Istri Menurut Ahlussunnah, Disertasi Provendus

Doctor (Jakarta: Perpustakaan Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah, 1983), 85.

53

Zaini Ahmad Noeh, mengatakan bahwa lembaga taklik talak sangat

menguntungkan bagi pihak wanita, yaitu membekali wanita dengan hujjah

syar’i yang sah untuk melepaskan diri dari penderitaan akibat perbuatan

yang dijanjikan suaminya, itu pun bila istri tidak rela atas perbuatan

suaminya itu.117 Lebih jauh lagi Zaini mengungkapkan pendapat Snouck

Hurgronje yang berpendapat bahwa dilembagakannya taklik talak setiap

akad nikah yang berlaku diseluruh Jawa dan Madura, menyebabkan

kedudukan wanita yang menikah jauh lebih kuat dari pada sekedar

memberlakukan hukum Islam secara biasa.

8. Kedudukan Taklik Talak dalam Hukum Perjanjian

Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam dinyatakan perjanjian

perkawinan adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah

akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang

digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa

yang akan datang. Rumusan definisi perjanjian perkawinan yang disebutkan

dalam Kompilasi Hukum Islam lebih bersifat universal-konsepsional yang

berarti tidak mencampur-adukkan antara kebijakan yang sifatnya temporal

dengan konsep dasar perjanjian perkawinan yang sifatnya permanen dan

universal.

Perjanjian Perkawinan dalam KHI terdapat dalam BAB VII yang di

dalamnya mengatur taklik talak sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 45

dan Pasal 46 yang berbunyi: “Kedua calon mempelai dapat mengadakan

perjanjian perkawinan dalam bentuk: (1) Taklik Talak. (2) Perjanjian lain

yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Adapun mengenai

penjelasannya adalah kata perjanjian berasal dari kata janji yang berarti

perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Janji

juga dapat diartikan persetujuan antara dua pihak (masing-masing

menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu). Dan

perjanjian bias juga diartikan sebagai persetujuan tertulis atau dengan lisan

117Zaini Ahmad Noeh, Pembacaan Shigat Taklik Talak Sesudah Akad Nikah, Mimbar

Hukum (Jakarta: Ditbinbapera No. 30 Th. VII, 1997), 68.

54

yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masingmasing berjanji menaati apa

yang tersebut dalam persetujuan itu.

Perjanjian taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan oleh suami

setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa talak yang

digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa

yang akan datang. Sedangkan dalam Pasal 46 KHI berbunyi:

(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam.

(2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi

di kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak

sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke

pengadilan agama.

(3) Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada

setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan

tidak dapat dicabut kembali.

Berdasarkan pada ketentuan di atas, maka dapat dikatakan bahwa:

a. Isi taklik talak sudah ditentukan oleh Menteri Agama dan diterbitkan

oleh Departemen Agama, karena yang melakukan perjanjian taklik talak

ini adalah orang Islam saja, maka isi perjanjian taklik talak tersebut tidak

boleh bertentangan dengan Hukum Islam.

b. Apabila suami melanggar perjanjian taklik talak tersebut, maka istri

harus mengajukannnya ke pengadilan agama. Karena perceraian di

Indonesia terjadi apabila dilakukan di hadapan para hakim dalam sidang

di pengadilan agama. Hal ini bisa juga dikatakan sebagai talak yang

dijatuhkan oleh hakim. Menurut Imam Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin

Hanbali memperbolehkan seorang wanita menuntut talak dari hakim

karena adanya sebab-sebab berikut ini:118

1) Tidak diberi nafkah. Ketiga ulama madzhab tersebut sepakat bahwa

apabila seorang suami terbukti tidak mampu memberi nafkah pokok

kepada istrinya, maka istrinya itu tidak boleh mengajukan tuntutan

118Muhammad Jawad Mughniyah, al-fiqh ala al-Madzahib al-khamsah, terj. Masykur

A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: Lentera, 2001), 490-

491.

55

cerai. Tetapi bila ketidakmampuannya itu tidak terbukti dan suami

tidak mau memberi nafkah, maka Imam Syafi’i mengatakan bahwa

suami istri itu tidak boleh diceraikan. Sementara itu Imam Maliki dan

Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan suami istri itu dapat diceraikan,

lantaran tidak adanya nafkah bagi istri sama artinya dengan

ketidakmampuan suami memberi nafkah.

2) Istri merasa terancam baik berupa ucapan atau perbuatan suami.

3) Terancam kehidupan istri karena suami tidak berada di tempat.

Menurut Imam Maliki dan Ahmad bin Hanbal, sekalipun si suami

meninggalkan nafkah yang cukup untuk selama masa

ketidakhadirannya. Bagi Imam Ahmad, jarak minimal sang istri boleh

mengajukan gugatan cerai adalah enam bulan sejak kepergian

suaminya, dan tiga tahun menurut Maliki (menurut pendapatnya yang

lain satu tahun).

4) Istri terancam kehidupannya karena suami berada dalam penjara.

c. Taklik talak tidak wajib hukumnya, akan tetapi sekali taklik talak

diucapkan maka tidak dapat dicabut kembali, dalam hal ini taklik talak

sangat mengikat bagi yang mengadakan perjanjian taklik talak ini.

Dari ketentuan perjanjian perkawinan yang termuat dalam Kompilasi

Hukum Islam Pasal 45 ayat (2) bahwa perjanjian lain yang tidak

bertentangan dengan Hukum Islam terdapat kaitannya dengan perjanjian

yang ada dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengemukakan bahwa undang-

undang telah menentukan 4 (empat) persyaratan yang harus dipenuhi agar

suatu perikatan atau perjanjian dianggap sah yaitu:

a. Kesepakatan mereka yang mengikat diri.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

c. Suatu hal tertentu.

d. Suatu sebab yang halal.

Dengan demikian, perjanjian perkawinan yang diatur dalam

Kompilasi Hukum Islam, walau dengan teks yang berbeda mempunyai

unsur-unsur yang sama dengan perjanjian dalam KUHPerdata. Namun

56

demikian, dalam perjanjian taklik talak mempunyai perbedaan dengan

perjanjian pada umumnya dalam hal tertutupnya kemungkinan kedua belah

pihak untuk membubarkan kesepakatan tersebut sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 46 ayat (3) KHI yang menyatakan bahwa perjanjian taklik talak

bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan. akan

tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Untuk mengukur apakah taklik talak sebuah perjanjian atau bukan,

kita harus melihat Pasal 1320 KUH Perdata yang memuat syarat sahnya

perjanjian yaitu (1) Sepakat meraka yang mengikatkan dirinya, (2) Cakap

mereka yang mengikatkan diri, (3) Suatu hal tertentu, dan (4) Suatu sebab

atau kausa yang halal. Syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana tersebut

di atas dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu kategori syarat subjektif dan

kategori syarat objektif. Syarat subjektif, yaitu syarat sepakat mereka yang

mengikatkan diri dan syarat kecakapan untuk membuat perjanjian. Apabila

syarat subjektif tidak dapat dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan

(Vernieitigbaar). Syarat objektif, yaitu syarat suatu hal tertentu dan syarat

suatu sebab yang halal. Apabila dalam perjanjian syarat objektif tidak

dipenuhi, maka perjanjian adalah batal demi hukum.119

Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri adalah

adanya kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian

yang sah. Di dalam taklik talak, suami istri telah sepakat tanpa paksaan

untuk menandatangani persetujuan bersama yang tertuang dalam konsep

taklik talak itu, karena taklik taklak bukan sebuah keharusan bagi

berlangsungnya sebuah perkawinan.

Cakap maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut

hukum untuk bertindak sendiri. Di dalam hukum perkawinan, seseorang

boleh dapat melangsungkan perkawinan apabila berumur 19 tahun lak-laki

dan 16 tahun bagi perempuan, artinya suami istri tersebut sudah dewasa dan

cakap hokum untuk melakukan perbuatan hukum.

119Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Bandung: Mandar Maju, 1999),

65.

57

Suatu hal tertentu maksudnya yang diperjanjikan dalam suatu

perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau

tertentu. Di dalam taklik talak ini, yang diperjanjikan sudah jelas yang

tertuang dari isi taklik talak tersebut.

Suatu sebab atau kausa yang halal artinya perjanjian itu tidak

dilarang atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Karena keberadaan taklik talak untuk melindungi si istri dari perbuatan

suami, maka keberadaan taklik talak tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, taklik

talak adalah sebuah perjanjian.

Menurut Az-Zaqra, perjanjian (akad) dalam terminologi fikih adalah

ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang

sama-sama berkeinginan untuk mengikat diri.120

Ali Al-Sayis memberikan komentar lebih lanjut bahwa perjanjian

dalam Islam itu bukan hanya perjanjian yang bersifat partai, tetapi juga

termasuk perjanjian sepihak, bahkan juga termasuk janji kepada Tuhan.

Berkaitan dengan ruang lingkup perjanjian ini Ibn Araby mengemukakan

pendapatnya, ada 5 (lima) hal yang termasuk dalam kategori perjanjian,

yakni:

a. Perjanjian secara umum.

b. Sumpah.

c. Kewajiban yang telah dibebankan Allah kepada hambanya.

d. Akad Nikah, perkongsian (syirkah), jual beli, sumpah dan janji kepada

Allah.

e. Perikatan atas dasar saling mempercayai.121

Sayid Sabiq menguraikan dalam Fikih Sunnah bahwa perjanjian

perkawinan yang disebut sebagai taklik talak ada dua macam bentuk:

120Abdul Aziz Dahlan (Ed), Ensiklopedi Hukum Islam Jilid I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru

van Hoeve, 2000), 63. 121Abu Zakariya Muhammad ibn Abdullah Ibn Araby, Ahkam al-Qu’an Juz II (Beriut:

Dar al- Ma’rifah, t.t), 524-525.

58

a. Taklik yang dimaksud sebagai janji, karena mengandung pengertian

melakukan peker-jaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau

menguatkan suatu kabar. Dan taklik talak seperti ini disebut dengan ta’liq

qasami.

b. Taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak bila telah terpenuhi

syarat ta’liq. Taklik seperti ini disebut dengan ta’liq syarti.122

Dari kedua bentuk taklik talak di atas dapat dibedakan dengan kata-

kata yang diucapkan oleh suami. Pada ta’liq qasamy, suami bersumpah

untuk dirinya sendiri. Sedangkan pada taklik talak suami mengajukan syarat

dengan maksud jika syarat tersebut ada maka jatuhlah talak suami pada

isterinya.

C. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam Memeriksa dan Memutus Perkara di

Pengadilan Agama

Hakim sebagai bagian utama (primary variable) penegak hukum,

mempunyai peran yang signifikan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Untuk menegakkan dan kebenaran dan keadilan tersebut, hakim harus mampu

melakukan penafsiran terhadap undang-undang secara aktual, agar hukum yang

diterapkan bersifat adaptabilitas dengan perkembangan kondisi, waktu dan

tempat serta dapat mewujudkan kemashlahatan bagi kehidupan masyarakat

yang senantiasa berkembang. Oleh karena itu, dalam hal penegakan hukum,

hakim bukan sekedar “broche de la loi”, tetapi sebagai penterjemah atau

pemberi makna melalui penemuan hukum (rechtschepping) bahkan

menciptakan hukum baru melalui putusan-putusannya (judge made law).123

Oleh karena itu, salah satu basis teoritis yang perlu dikuasai dan

dipahami oleh hakim (terutama hakim pada Pengadilan Agama) dalam

mewujudkan kebenaran dan keadilan, adalah teori tentang maqa>s}id al-

syari>’ah. Artinya, bagaimana seorang hakim bisa melakukan analisis filosofis

terhadap perkara yang sedang dihadapinya. Maka pertanyaan-pertanyaan yang

122A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994),

41-42. 123Bagir Manan, “Penegakkan Hukum yang Berkeadilan”, Majalah Hukum Varia

Peradilan, Tahun Ke-XX No. 241 (Jakarta: IKAHI, 2005), 5.

59

muncul ketika memeriksa perkara adalah pertanyaan yang betul-betul menjurus

kepada inti dari kasus yang sedang diperiksa. Begitu juga dalam memutuskan

perkara tersebut, yaitu bagaimana hakim mengunakan landasan pemikiran

hukum yang berdasarkan kepada maqa>s}id al-syari>’ah. Sehingga putusan

hukum yang diambil oleh hakim bisa mendatangkan kemashlahatan dan

menolak kemudharatan bagi kedua belah pihak yang berpekara.

1. Pengertian Maqa>s}id al-Syari’ah

Secara bahasa maqa>s}id al-syari>’ah (مقاصد الشريعة) terdiri dari dua

kata; maqa>s}id dan al-syari>’ah. Maqa>s}id (مقاصد) merupakan bentuk

jamak dari maqs}u>d (مقصود) artinya yang berarti menuju, bertujuan,

berkeinginan dan kesengajaan.124 Kata maqs}u>d-maqa>s}id dalam ilmu

Nahwu disebut dengan maf’ul bih yaitu sesuatu yang menjadi obyek, oleh

karenanya kata tersebut dapat diartikan dengan ’tujuan’ atau ’beberapa

tujuan.’ Sedangkan al-Syari>’ah¸ merupakan bentuk subyek dari akar kata

syara’a yang artinya adalah jalan menuju sumber air sebagai sumber

kehidupan.125 Oleh karenanya secara terminologis, maqa>s}id al-syari>’ah

dapat diartikan sebagai ‘tujuan-tujuan ajaran Islam’ atau dapat juga

dipahami sebagai ’tujuan-tujuan pembuat syari’at (Allah) dalam

menggariskan ajaran/syari’at Islam’.

Tidak dapat disangkal bahwa Al-Syathibi adalah peletak dasar ilmu

maqa>s}id sehinga wajar jika kemudian ia disebut-sebut sebagai bapak

“maqa>s}id al-syari>’ah”. Al-Syathibi juga yang pertama kali menyusun

maqa>s}id al-syari>’ah secara sistematis sebagaimana Imam al-Syafi’i

dengan ilmu us}u>l fiqh yang disusunnya sehingga maqa>s}id lebih

komunikatif dan akseptabel di kalangan sarjana muslim. Namun demikian,

maqa>s}id pada dasarnya sudah muncul jauh sebelum Al-Syathibi menulis

teori tersebut dalam al-Muwa>faqat-nya. Lalu siapakah cendikiawan

muslim yang sebenarnya mengintrodusir maqa>s}id? Setidaknya ada dua

pendapat yang dapat kita cermati untuk dapat memperoleh jawaban dari

124Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: McDonald & Evan

Ltd., 1980), 767. 125Ibn Mansur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, cet. VIII (Beirut: Dar al-Shadr, t.th), 175.

60

pertanyaan di atas, yaitu pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad al-

Raysuni, dan pendapat yang diutarakan oleh Hammadi al-Ubaydi.

a. Menurut al-Raysuni,126 maqa>s}id digunakan pertama kali oleh at-

Turmudzi al-Hakim, cendekiawan muslim yang hidup pada abad 3

Hijriyah. Istilah maqa>s}id tersebut digunakan oleh at-Turmudzi dalam

beberapa kitabnya, antara lain as}-S}alah wa Maqa>s}iduhu, al-Ha>j wa

Asra>ruhu, al-’Illah, al-’Ial al-Syari’ah dan al-Furu>q. Setelah itu,

maqa>s}id dibahas juga oleh beberapa tokoh, antara lain Abu Mansur al-

Maturidi, Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi, Abu Bakar al-Abhari dan al-

Baqilani.

b. Sedangkan menurut Hammadi al-Ubaydi, tokoh yang menggagas

pertama kali tentang maqa>s}id adalah Ibrahim an-Nakhai (wafat 96 H).

Beliau adalah tabi’in, yang juga kemudian menjadi guru tidak langsung

dari Imam Abu Hanifah. Setelah al-Ubaydi, maqa>s}id kemudian

dielaborasi lebih lanjut oleh al-Ghazali, Izzuddin Abdussalam,

Najmuddin al-Thufi dan yang terakhir adalah Al-Syathibi.

Inti atau substansi dari konsep maqa>s}id al-syari>’ah adalah

kemaslahatan sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-

Jauziyah bahwa maqa>s}id al-syari>’ah adalah mencegah kerusakan dari

dunia manusia dan mendatangkan kemaslahatan kepada mereka, pengen-

dalian dunia dengan kebenaran, keadilan, dan kebajikan serta menerangkan

tanda-tanda jalan yang harus dilalui di hadapan akal manusia.127 Sementara

itu, Abdul Wahhab al-Khallaf, menulis sebagai beri-kut bahwasanya

maksud umum Syāri’ menetapkan hukum ialah untuk menegak-kan

kemashlahatan manusia dalam ke-hidupan ini, menarik manfaat dan meno-

lak kemudaratan bagi mereka. Karena sesungguhnya kemashlahatan

manusia dalam kehidupan ini terdiri dari urusan-urusan d}aruriyyat,

126Ahmad al-Raysuni, Nadzariyat al-Maqashid ‘inda al-Imam asy-Syathibi (Beirut:

International Islamic Publishing House, 1995), 40-46. 127Shams al-Din Abi ‘Abd Allah Muhammad ibn Abi Bakr al-Ma’ruf bi Ibn Qayyim

al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Juz III (Beirut: Dār al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, cet. II, 1993 M/1414 H), 177.

61

ha>jiaya>t dan tahsi>niyyat. Apabila urusan-urusan tersebut telah

terpenuhi dan terangkat maka tegaklah kemashlahatan mereka. Syari’at

Islam menetapkan hukum-hukum dalam bermacam-macam aspek amal

manusia adalah untuk menegakkan ketiga urusan (dharuriyyah, hajiyyât dan

tahsiniyyât) baik bagi perorang maupun masyarakat.128

Sementara substansi maqa>s}id al-syari>’ah yang dikemukakan Al-

Syatibi dalam al-Muwa>faqa>t adalah kemaslahatan dan kemaslahatan itu

dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu; Pertama, maqa>s}id al-syari’

(tujuan Tuhan). Kedua, maqa>s}id al-mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat

dari sudut tujuan Tuhan, maqa>s}id al-syari>’ah mengandung empat

aspek, yaitu: (1) tujuan awal dari syari’ menetapkan syari’at yaitu

kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat; (2) penetapan syari’at sebagai

sesuatu yang harus dipahami; (3) penetapan syari’at sebagai hukum taklifi

yang harus dilaksanakan; (4) penetapan syari’at guna membawa manusia ke

bawah lindungan hukum. Dengan demikian, tujuan Tuhan menetapkan

suatu syari’at bagi manusia tidak lain adalah untuk kemaslahatan manusia.

Untuk itu, Tuhan menuntut agar manusia memahami dan melaksanakan

syari’at sesuai dengan kemampuannya. Dengan memahami dan

melaksanakan syari’at, manusia akan terlindung di dalam hidupnya dari

segala kekacauan yang ditimbulkan oleh hawa-nafsu.129

2. Tujuan al-Syari’ah

Substansi maqa>s}id al-syari>’ah adalah kemashlahatan.130

Kemashlahatan dalam taklif tuhan dapat berwujud dua bentuk, yaitu:

pertama, dalam bentuk hakiki, yakni manfaat langsung dalam arti kausitas;

kedua, dalam bentuk majazi, yakni bentuk yang merupakan membawa

kepada kemashlahatan.131 Maka di sini kemaslahatan dapat dilihat dari dua

128Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Kairo: Dar al-Kawatiyyah, 1998), 198. 129Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2007),

43. 130Al-Syatibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz I (Beirut: Dar al-Kutub al-

Ilmiyah, 2003), 3. 131Totok Jumanto dan Samsul Munir Amin, Kamus Istilah Ushul Fikih (Jakarta:

Amzah, 2005), 197.

62

sudut pandang, yaitu: maqa>s}id al-syari’ (tujuan pembuat hukum/Tuhan)

dan maqa>s}id al-Mukallaf (tujuan mukallaf), sebagai berikut:132

a. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam arti Maqa>s}id al-Syari’

Maqa>s}id al-Syari’ah dalam arti maqa>s}id al-syari’

mengandung empat aspek, yaitu:

1) Kemaslahatan

Di kalangan ulama ada yang membagi kandungan al-Qur’an

menjadi tiga kelompok besar, yaitu aqidah, khuluqiyah, dan amaliyah.

Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, khluqiyah berkaitan

dengan etika, dan amaliyah berkaitan dengan aspek-aspek hukum

yang muncul dari aqwal (ungkapan-ungkapan) dan af’al (perbuatan-

perbuatan manusia). Kelompok terakhir ini dalam sistematika hukum

Islam dibagi ke dalam dua besar, yaitu ibadah (pola hubungan

manusia dengan tuhan) dan muamalah (pola hubungan manusia

dengan manusia).133 Sebagai sumber ajaran, al-Qur’an tidak memuat

aturan-aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Dari

6360 ayat al-Qur’an hanya terdapat 368 ayat yang berkaitan dengan

aspek-aspek hukum.134

Dari sini dapat dipahami bahwa sebagian besar masalah-masalah

hukum Islam, oleh Tuhan hanya diberikan dasar-dasar dalam al-

Qur’an. Bertitik tolak dari prinsip-prinsip ini, dituangkan pula lewat

hadits Rasulullah SAW. Berdasarkan atas dua sumber inilah

kemudian, dari aspek hukum terutama dalam konteks muamalah

dikembangkan oleh ulama di antaranya al-Syatibi yang telah mencoba

mengembangkan pokok atau prinsip yang terdapat dalam dua sumber

132Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 5. 133Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 32. 134Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press, 1984),

7.

63

ajaran Islam itu dengan mengaitkan dengan maqa>s}id al-

syari>’ah.135

2) Sesuatu yang Harus Dipahami

Maqa>s}id al-Syari>’ah dalam arti maqa>s}id al-syari’

mengandung empat aspek, salah satunya adalah sebagai sesuatu yang

harus dipahami. Aspek ini berkaitan dengan dimensi bahasa agar

syari’at itu dapat dipahami, sehingga dapat dicapai kemashlahatan

yang dikandungnya.

b. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam arti Maqa>s}id al-Mukalla>f

Tujuan syari’at dalam arti tujuan mukallaf yang berujung pada

kemaslahatan sebagai substansinya, dapat terealisasikan apabila lima

unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu

adalah: (a) agama, (b) jiwa, (c) akal, (d) keturunan, dan (e) harta.136

Dalam upaya mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok ini,

al-Syatibi dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah-Nya membagi

kepada tiga tingkatan, yaitu:137 pertama, kebutuhan dharuriyat (primer),

yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang

harus ada demi kemashlahatan mereka. Hal ini dapat disimpulkan kepada

lima sendi utama yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Bila

sendi ini tidak terpelihara dengan baik, maka kehidupan manusia akan

kacau, kemashlahatan tidak akan terwujud, baik di dunia maupun di

akhirat.138

Kedua, kebutuhan hajiyyat (sekunder) yaitu segala sesuatu yang

sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan

menolak segala halangan.139 Artinya, ketiadaan aspek hajiyat tidak

sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak,

melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja.

135Mustamin Giling, “Kedudukan Maqashid al-Syari’ah dalam Agama”, Stadium:

Kajian Sosial, Agama, Hukum, dan Pendidikan, Vol. 1. No. 2, (2003), 112. 136Totok dan Amin, Kamus Isilah Ushul Fikih, 197. 137Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 7-10. 138Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 7-10. 139Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 9.

64

Ketiga, kebutuhan tahsiniyah, yaitu tindakan atau sifat-sifat yang

pada prinsipnya berhubungan dengan al-Mukarim al-Akhlaq, serta

pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah, adat dan

muamalah.140 Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka

kehidupan mausia tidak akan terancam kekacauan, seperti kalau tidak

terwujud aspek dharuriyyat dan juga tidak membawa kesusahan seperti

tidak terpenuhinya aspek hajiyyat.

Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang peringkat maqa>s}id

al-syari>’ah ini, berikut akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan

berdasarkan kepada tingkat kepentingan atau kebutuhan masing-masing,

yaitu:141

a. Memelihara Agama (Hifz al-Din)

Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan

menjadi tiga tingkatan:

1) Memelihara agama dalam tingkatan daruriyah, yaitu memelihara dan

melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk tingkat primer,

seperti melaksanakan shalat lima waktu. Jika kewajiban ini diabaikan

maka eksistensi agama akan terancam.

2) Memelihara agama dalam tingkatan hajiyyat, yaitu melaksanakan

ketentuan agama dengan maksud menghindarkan dari kesulitan.

Seperti pensyari’atan shalat jamak dan qasar bagi orang yang sedang

bepergian. Jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan

mengancam eksistensi agama, melainkan hanya mempersulit orang

yang melakukannya.

3) Memelihara agama dalam tingkatan tahsiniyyat, yaitu mengikuti

petunjuk agama guna menjunjung tingggi martabat manusia sekaligus

menyempurnakan pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan.

b. Memelihara Jiwa (Hifz al-Nafs)

140Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 9. 141Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 124-

127.

65

Memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan

menjadi tiga tingkatan:

1) Memelihara agama dalam tingkatan daruriyyat, seperti pensyari’atan

kewajiban memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk

mempertahankan hidup. Jika kebutuhan pokok itu diabaikan maka akan

berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.

2) Memelihara jiwa dalam tingkatan hajiyyat, seperti dibolehkan berburu

dan menikmati makanan yang halal dan bergizi. Jika ketentuan ini

diabaikan maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan

hanya akan mempersulit hidupnya.

3) Memelihara jiwa dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti disyari’atkannya

aturan tata cara makan dan minum. Ketentuan ini hanya berhubungan

dengan etika atau kesopanan. Jika diabaikan, maka tidak akan

mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan

seseorang.

c. Memelihara Akal (Hifzh al-‘Aql)

Memelihara akal, dilihat dari kepentingannya dapat dibedakan

menjadi tiga tingkatan

1) Memelihara akal dalam tingkatan dharuriyyat, seperti diharamkan

mengkonsumsi minuman yang memabukkan (minuman keras). Jika

ketentuan ini tidak diindahkan maka akan berakibat terancamnya

eksistensi akal.

2) Memelihara akal dalam tingkatan hajiyyat, seperti anjuran menuntut

ilmu pengetahuan. Sekiranya aktivitas ini tidak dilakukan maka tidak

akan merusak akal, namun akan mempersulit diri seseorang, terutama

dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

3) Memelihara akal dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti menghindarkan

diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berguna.

Hal ini berkaitan dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi akal

secara langsung.

d. Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl)

66

Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya,

dapat dibedakan menjadi tiga tingkat:

1) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyyat, seperti pensyari’atan

hukum perkawinan dan larangan melakukan perzinaan. Apabila

ketentuan ini diabaikan maka eksistensi keturunan akan terancam.

2) Memelihara keturunan dalam tingkatan hajiyyat, seperti ditetapkannya

ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada saat akad nikah dan

diberikan hak talak padanya. Jika mahar tidak disebutkan, maka suami

akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl.

Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia

tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi dan kondisi rumah

tangga tidak harmonis.

3) Memelihara keturunan dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti

disyari’atkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini

dilakukan dalam rangka menyempurnakan kegiatan perkawinan. Jika ia

diabaikan tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula

akan mempersulit orang yang melakukan perkawinan, ia hanya

berkaitan dengan etika atau martabat seseorang.

e. Memelihara Harta (Hifzh al-Ma>l)

Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat

dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1) Memelihara harta dalam tingkatan dharuriyyat, seperti pensyari’atan

aturan kepemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain

dengan cara yang illegal. Apabila aturan ini dilanggar maka akan

berakibat terancamnya eksistensi harta.

2) Memelihara harta dalam tingkatan hajiyyat, seperti disyari’atkannya

jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak

akan mengancam eksistensi harta melainkan hanya akan mempersulit

seseorang yang memerlukan modal.

3) Memelihara harta dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti adanya ketentuan

agar menghindarkan diri dari penipuan. Karena hal iitu berkaitan

67

dengan moral dan etika dalam bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini

juga akan berpengaruh kepada keabsahan jula beli tersebut, sebab pada

tingkatan ketiga ini juga merupakan syarat adanya tingkatan kedua dan

pertama.

Mengetahui urutan peringkat mashlahat seperti di atas sangat

penting, apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya. Jika

terjadi kontradiksi dalam penerapannya maka tingkatan pertama

(dharuriyyat) harus didahulukan dari pada tingkatan kedua (hajiiyyat) dan

tingkatan ketiga (tahsiniyyat).142

3. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam Ijtihad

Ulama ushul mengatakan bahwa sejak zaman Rasulullah SAW,

sudah ada petunjuk yang mengacu peranan penting dari pada maqa>s}id al-

syari>’ah dalam pembentukan hukum Islam. Misalnya, dalam sebuah

hadits, Rasulullah SAW melarang orang-orang Islam di Madinah

menyimpan daging qurban, kecuali sekedar bekal untuk selama tiga hari.

Beberapa tahun kemudian, ada beberapa orang sahabat yang

menyalahi ketentuan Rasulullah SAW itu dengan menyimpan daging

qurban lebih dari sekedar pembekalan selama tiga hari. Peristiwa tersebut

disampaikan kepada Rasulullah SAW. Tapi Rasulullah SAW membenarkan

serta menjelaskan bahwa: “dahulu aku melarang kalian menyimpannya

(daging qurban) karena kepentingan ad-daffah (para pendatang dari

perkampungan Badui yang datang ke Madinah yang membutuhkan daging

kurban). Sekarang simpanlah daging-daging qurban itu (karena tidak ada

lagi para tamu yang membutuhkannya).143

Kemudian dalam hadits lain Rasulullah SAW melarang ziarah kubur

karena dikhawatirkan akan menjadi pemujaan yang berlebih-lebihan

terhadap roh-roh orang yang di kuburan, sehingga menimbulkan kesyirikan.

142Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer, 127. 143Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisabury, Shahih Muslim, Juz II

(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1412H/1991M), 143-144, Hadits Nomor 1971.

68

Tapi kemudian, Rasulullah SAW membenarkan atau membolehkan umat

Islam untuk menziarahi kuburan.144

Dari peristiwa itu ada petunjuk dan arti penting maqa>s}id al-

syari>’ah dalam penetapan hukum. Seperti kasus daging qurban di atas,

larangan menyimpan daging qurban adalah memberi kelapangan kepada

Badui yang datang dari perkampungan. Ini adalah maqa>s}id al-syari>’ah

dari larangan menyimpan daging qurban. Akan tetapi setelah orang badui

tersebut tidak lagi membutuhkan, maka larangan menyimpan dagingpun

tidak diberlakukan lagi.

Begitu juga dengan hadits yang kedua tentang perempuan yang

menziarahi kuburan dikarenakan takut jatuh kedalam kesyirikan, akan tetapi

ketika beberapa tahun kemudian di mana keimanan mereka sudah bagus,

maka Rasulullah SAW tidak melarangnya lagi. Ini membuktikan bahwa

maqa>s}id al-syari>’ah telah ada pada zaman Rasulullah SAW, akan tetapi

hal tersebut belumlah diistilahkan dalam kategori ilmu-ilmu (ushul fiqih).

Peranan maqa>s}id al-syari>’ah telah ditunjukkan oleh Rasulullah

SAW dan para Sahabatnya dalam berijtihad, karena perobahan kondisi

zaman, tempat dan keadaan yang jauh berbeda dari zaman sebelumnya.

Karena itu dalam berbagai praktek ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat,

terutama di bidang muamalah selama diketahui tujuan hukumnya, maka

dengan itu dapat dilakukan pengembangan hukum melalui metode qias

dalam rangka menajawab persoalan baru yang belum ada pada masa

Rasulullah SAW.145

Dengan demikian bahwa ayat-ayat hukum yang jumlahnya terbatas

akan mampu menjawab perubahan-perubahan yang tidak terbatas

jumlahnya. Di samping itu dengan mengetahui tujuan syari’at, seorang

mujtahid dapat menjadikan sebagai tolok ukur untuk mengetahui apakah

suatu ketentuan hukum masih bisa diterapkan atau tidak. Begitu juga

144Muslim, Shahih Muslim, 146, Hadits Nomor 1977. 145Dahlan, Ensiklopedi, 1111.

69

dengan seorang mujtahid dalam meng-istinbath dan menerapkan hukum

harus senantiasa mengacu pada maqa>s}id al-syari>’ah.

4. Kehujjahan Maqa>s}id al-Syari’ah

Sifat dasar dari maqa>s}id al-syari>’ah adalah pasti (qat’i).

Kepastian di sini merujuk pada otoritas maqa>s}id al-syari>’ah itu sendiri.

Apabila syari’ah memberi panduan mengenai tata cara menjalankkan

ekonomi, dengan menegaskan bahwa mencari keuntungan melalui praktik

riba tidak dibenarkan, pasti hal tersebut disebabkan demi menjaga harta

benda masyarakat, agar tidak terjadi kezaliman sosio-ekonomi. Dengan

demikian eksistensi maqa>s}id al-syari>’ah pada setiap ketentuan hukum

syari’at menjadi hal yang tidak terbantahkan. Jika ia berupa wajib maka

pasti ada manfaat yang terkandung didalamnya. Sebaliknya, jika ia berupa

perbuatan yang dilarang maka sudah pasti ada kemudharatan yang harus

dihindari.146

Al-Ghazali mengajukan teori maqa>s}id al-syari>’ah dengan

membatasi pemeliharaan syari’ah pada lima unsur utama yaitu agama, jiwa,

akal, kehormatan, dan harta benda. Pernyataan yang hampir sama juga

dikemukakan oleh Al-Syatibi dengan menyatakan bahwa mashlahah adalah

memelihara lima aspek utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Artinya, kelima unsur di atas dianggap suci, mulia dan dihormati yang mesti

dilindungi dan dipertahankan. Maqa>s}id al-syari>’ah juga merupakan

prinsip umum syari’ah (kulliyat al-syari’ah) yang pasti. Ia bukan saja

disarikan dari elemen hukum-hukum syari’ah atau dari sebagian dalil-dalil

dan isi kandungan al-Qur’an dan Sunnah. Kesimpulan yang seperti ini

kelihatan dapat diterima secara meyakinkan. Apakah ide tersebut diajukan

pada abad kelima, di era asas-asas syari’ah, terutama Sunnah telah tercatat

dengan baik, sehingga hampir tidak mungkin ada Sunnah yang tercecer.

Jadi, meskipun sama sekali tidak menutup kemungkinan adanya unsur

146Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustasyfa min ‘Ilm al -Ushul: Tahqiq wa

Ta’liq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Juz 1 (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1417 H/1997M),

416-417.

70

tambahan terhadap kelima maqasid di atas, namun kelimanya sulit

dikesampingkan sebagai elemen penting maqa>s}id al-syari>’ah.147

Mashlahah sebagai tujuan syari’ah dalam bingkai pengertian yang

membatasinya, bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara'

sebagaimana al-Qur'an, al-Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian

tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar

kemashlahatan saja. Tapi mashlahah adalah makna yang universal yang

mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang diambil dari dalil-

dalil atau dasar syariah.

Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan

karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-

masalah juz'i. Hal ini disebabkan dua hal: pertama, kalau akal mampu

menangkap maqa>s}id al-syari>’ah secara parsial dalam tiap-tiap

ketentuan hukum, maka akal adalah penentu atau hakim sebelum datangnya

syara'. Hal ini mungkin menurut mayoritas ulama.148 Kedua, kalau

anggapan bahwa akal mampu menangkap maqa>s}id al-syari>’ah secara

parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja, maka

batallah keberadaan atsar dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum,

karena kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia. 149

Pemeliharaan terhadap aspek yang lima (kulliyat al-khamsah)

sebagai pemeliharaan mashlahah dalam tujuan syari’ah dapat

diimplementasikan dalam dua metode: pertama, melalui metode konstruktif

(bersifat membangun). Kedua, melalui metode preventif (bersifat

mencegah). dalam metode konstruktif, kewajiban-kewajiban agama dan

berbagai sunnah agama yang lainnya dapat dijadikan contoh terhadap

metode ini. Hukum wajib dan sunnat dimaksudkan untuk memelihara

sekaligus mengukuhkan elemen-elemen maqa>s}id al-syari>’ah tersebut.

147al-Ghazali, Al-Mustasyfa, 417. 148Mustafa Zaid, Al-Maslahah fi at-Tasyri’ al-Islami wa Najmuddin at-Tufi (Beirut:

Dar al-Fikr, 1954), 127-132. 149Husein Hamid Hasan, Nazariah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami (Kairo: Dar

an-Nahdah al-Arabiyah, 1971), 529.

71

Sedangkan larangan-larangan terhadap perbuatan yang diharamkan atau

dimakruhkan bisa dijadikan contoh metode preventif, yaitu mencegah

berbagai analisir yang dapat mengancam bahkan menggelimir semua dasar-

dasar maqa>s}id al-syari>’ah. Kaena itulah, undang-undang pidana dengan

berbagai sanksi hukum secara tegas dapat didukung oleh maqa>s}id al-

syari>’ah. Contoh, apabila jiwa diganggu oleh pembunuhan atau

penganiyaan, maka hal tersebut merupakan tindakan pidana yang harus

dijatuhi hukuman. Seperti itu juga halnya apabila kehormatan seseorang

dinodai, maka juga dapat dijatuhi hukuman.150

Kemudian bagaimana penerapan teori maqa>s}id al-syari>’ah ini

dalam memeriksa dan memutuskan perkara pada Pengadilan Agama?

Dalam tahapan pemeriksaan, teori maqa>s}id al-syari>’ah yang digunakan

adalah dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan

inti kasus yang sedang diperiksa. Artinya, bagaimana seorang hakim bisa

menemukan fakta-fakta yang sebenarnya dari kasus tersebut, melalui

pertanyaan-pertanyaan yang berdasarkan kepada analisis filosofis terhadap

kasus yang sedang dihadapi. Untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan

tersebut, maka yang harus dilakukan oleh hakim adalah merumuskan

masalah pada perkara yang sedang dihadapi. Perumusan pokok masalah

dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan oleh hakim

merupakan kunci dari proses penerapan hukum yang tepat dan benar.151

Dalam merumuskan masalah suatu perkara, maka yang perlu

diperhatikan adalah melakukan identifikasi terhadap perkara yang sedang

diperiksa. Pengidentifikasian suatu perkara perlu dilakukan, agar, hakim

bisa melakukan kategorisasi terhadap perkara yang sedang diperiksa itu.

Setelah masalah teridentifikasi dan kategori perkara telah jelas, selanjutnya

hakim memilih metode yang digunakan dalam memeriksa perkara. Dalam

memilih metode dalam memeriksa perkara, hakim juga harus

150al-Jauziyah, I’lām al-Muwaqqi’in, 220. 151Andi Syamsu Alam, “Peningkatan Kualitas Putusan Hakim Peradilan Agama

Tingkat Pertama dan Tingkat Banding”, Majalah Varia Peradilan, Tahun Ke-XX No. 239

(Jakarta: IKAHI, 2005), 41.

72

mempertimbangkan latar belakang lahirnya suatu perkara, apa penyebab

munculnya perkara tersebut? selain itu itu hakim juga harus melakukan

pengumpulan data dan penganalisaan terhadap data untuk menemukan fakta

yang sebenarnya.

Sedangkan penerapan maqa>s}id al-syari>’ah dalam memutuskan

perkara, maka yang menjadi pertimbangan hakim adalah teori kemaslahatan

hukum, dalam artian, hakim sebagai penterjemah atau pemberi makna

melalui penemuan hukum (rechtschepping) dan menciptakan hukum baru

melalui putusan-putusannya (judge made law), harus bisa mewujudkan

kemaslahatan bagi masyarakat (terutama pihak yang berpekara) dalam

setiap putusannya. Sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa menang dan

yang merasa kalah, karena putusan hakim sudah memberikan

kemashlahatan dan menolak kemudaratan bagi pihak-pihak yang berpekara.

Adapun pertimbangan kemaslahatan yang perlu diperhatikan adalah

asas kulliyah al-khamsah, yaitu: (1) menjaga agama, (2) menjaga jiwa, (3)

menjaga akal, (4) menjaga keturunan dan (5) menjaga harta. Khusus untuk

Pengadilan Agama, maka pertimbangan kemaslahatan yang perlu dijaga

adalah: (1) menjaga agama, (2) menjaga keturunan, dan (3) menjaga harta,

karena perkara yang dihadapi Pengadilan Agama berkaitan dengan hukum

keluarga Islam yang lebih menekankan tiga aspek ini, yaitu agama,

keturunan dan harta.

73

BAB III

PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PELANGGARAN

TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

DI PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG

Bab ini merupakan paparan data yang penulis peroleh di lokasi

penelitian, yang berupa putusan terhadap perkara perceraian akibat pelanggaran

taklik talak serta hasil wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama Giri

Menang. Bab ini terdiri dari tiga sub bab, yaitu: Pertama, gambaran gambaran

umum Pengadilan Agama Giri menang . Kedua, bentuk-bentuk pelanggaran taklik

talak sebagai alasan perceraian. Ketiga pertimbangan hukum hakim terhadap

pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian dalam perkara cerai talak

Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM.

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Giri Menang

1. Sejarah Singkat Berdirinya Pengadilan Agama Giri Menang

Pengadilan Agama merupakan salah satu institusi yang sangat

urgen dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam. Secara spesifik,

ia dibentuk dan dikembangkan untuk memenuhi tuntutan penegakan hukum

dan keadilan yang merupakan perwujudan dari pelaksanaan hukum Islam,

guna menata masyarkat Indonesia. Secara yuridis Pengadilan Agama

merupakan suprastruktur politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,

secara historis merupakan salah satu mata rantai yang tumbuh dan

berkembang sejak zaman Rasulullah SAW dan secara sosiologis ia lahir

atas dukungan dan upaya masyarakat, terutama umat Islam dan para

ulama yang merupakan bagian dari intensitas kebudayaan Islam dalam

kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat plural.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Peradilan Agama sudah

tumbuh dan sudah ada legitimasi sebagai suatu lembaga hukum pada tahun

1847. Kemudian pada tahun 1882 berdasarkan Keputusan Raja (Raja

Belanda) pada tanggal 19 Januari 1882, Nomor: 152, Pengadilan Agama

ditetapkan sebagai suatu lembaga negara untuk menegakkan hukum dan

74

keadilan. Atas dasar stbl. 1882 ditetapkan sebagai tahun terbentuknya

Pengadilan Agama di Indonesia untuk daerah Jawa dan Madura.152

Kemudian atas dasar Pasal 134 ayat 2 I.S., maka rencana ordonansi

hasil kerja Comitte Voor Preisteraad dijadikan sebagai ordonansi dengan

stbl. 1931 nomor 53, namun kemudian diadakan perubahan-perubahan lagi

pada tahun 1937, yaitu dengan keluarnya stbl. 1937 nomor 116 dan 610

serta stbl. 1940 nomor 3, untuk peraturan Peradilan Agama di Jawa dan

Madura. Sedangkan untuk daerah Kalimantan Selatan dan sekitar

Banjarmasin berdasarkan stbl. 1937 nomor 638 dan 639.153

Sedangkan untuk daerah di luar Jawa dan Madura, serta selain

daerah Kalimantan dan Banjarmasin dan sekitarnya, berdasarkan Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1957, maka dibentuk Pengadilan Agama

untuk daerah Propinsi Aceh. Kemudian mencabut PP nomor 29 Tahun 1957

dan menetapkan PP Nomor 45 tahun 1957, maka dibentuklah Pengadilan

Agama untuk daerah diluar Jawa dan Madura yang ditetapkan pada tanggal

5 Oktober 1957, yang dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1957 Nomor

99.154

Di daerah Lombok, sebenarnya sebelum terbentuknya Pengadilan

Agama yang berdasarkan PP Nomor 45 tahun 1957 sudah ada suatu suatu

lembaga (badan ) yang mengurusi hukum syara’ yang dilakukan oleh suatu

badan yang disebut Muhammanadanscha Godsdient Beambtabe yang

bertindak sebagai Pengadilan Agama sehari-hari yang kemudian dikenal

dengan nama Raad Agama, yang tugas sehari-harinya menyelesaikan

perselisihan suami istri yang beragama Islam dalam masalah nikah, talak,

rujuk, fasakh, mahar, nafkah, had}a>nah, wakaf dan baitul mal.155

Sebelum perkara mereka ditangani oleh Raad Agama, terlebih

dahulu ditangani oleh pejabat penghulu distrik, apabila tidak dapat

152Dokumen Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Giri Menang Tahun 2017. 153Dokumen PA Giri Menang Tahun 2017. 154Dokumen PA Giri Menang Tahun 2017. 155Kesektariatan PA Selong, Sejarah Pengadilan Agama Selong, dalam http://pa-

selong.go.id, diakses pada tanggal 20 Juli 2018.

75

diselesaikan di tingkat distrik (penghulu distrik), perkaranya dikirim ke

Raad Agama yang dijabat oleh penghulu Landraad tingkat Kabupaten.

Raad Agama tetap berjalan sampai terbentuknya Pengadilan Agama di

Lombok berdasarkan pada PP No. 45 Tahun 1957.156

Pengadilan Agama di daerah Lombok yang pertama, yang dibentuk

atas dasar PP No. 45 Tahun 1957 adalah Pengadilan Agama Mataram yang

pembentukannya berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor

5 Tahun 1958 dan berkedudukan di Kota Mataram. Sedangkan wilayah

hukumnya meliputi Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, dan

Lombok Timur.

Setelah adanya desakan dari pemuka-pemuka masyarakat Lombok

Tengah dan Lombok Timur, agar dibentuk Pengadilan Agama di dua

wilayah tersebut, maka keluarlah Keputusan Menteri Agama Nomor 195

tahun 1968, tanggal 28 Agustus 1968 sebagai dasar pembentukan

Pengadilan Agama Praya untuk daerah Tingkat II Lombok Tengah dan

Pengadilan Agama Selong untuk daerah Tingkat II Lombok Timur. Sejak

saat itulah Pengadilan Agama Selong secara Yuridis (formil) terbentuk.

Namun realisasinya belum bisa dilaksanakan karena bermacam-macam

pertimbangan, terutama masalah anggaran dan personil yang masih belum

memungkinkan.

Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,

yang secara efektif berlaku tanggal 1 Oktober 1975, nampak tugas-tugas

Pengadilan Agama semakin bertambah, khususnya Pengadilan Agama

Mataram yang mewilayahi tiga kabupaten daerah Tingkat II di Pulau

Lombok. Oleh karena itu, dipandang perlu oleh pemerintah untuk

membentuk Pengadilan Agama yang secara yuridis sudah terbentuk

(Pegadilan Agama Praya dan Pengadilan Agama Selong), mengingat

volume perkara di daerah tersebut sangat meningkat, yang membutuhkan

penanganan secara cepat, tepat dan biaya ringan, sedangkan Pengadilan

156Kesektariatan PA Selong, Sejarah Pengadilan Agama Selong, dalam http://pa-

selong.go.id, diakses pada tanggal 20 Juli 2018.

76

Agama Mataram letaknya cukup jauh dan biaya yang harus dikeluarkan

oleh masyarakat yang berperkara dari daerah Lombok Timur dan Lombok

Tengah cukup banyak.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka tanggal 20

Juli 1976 dibukalah secara resmi Pengadilan Agama Selong sebagai

realisasi Keputusan Menteri Agama RI Nomor 195 Tahun 1968.157 Adapun

pembentukan Pengadilan Agama Praya, dengan keluarnya Keputusan

Menteri Agama Nomor 195 Tahun 1968 tanggal 28 Agustus 1968 tersebut,

secara de jure Pengadilan Agama Praya telah terbentuk, namun saat itu

masih dirangkap oleh Pengadilan Agama Mataram, karena secara de facto

Pengadilan Agama Praya belum didirikan dan diresmikan. Barulah pada

tanggal 21 Maret 1977, secara de facto Pengadilan Agama Praya diresmikan

dengan mengangkat K.H. Muhtar Thoyyib, sebagai Ketua Pengadilan

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI No. B.II/3-d/4320

tertanggal 31 Juli 1976 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1976.158

Sedangkan Pengadilan Agama Giri Menang terbentuk berdasarkan

Keppres RI Nomor 145 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998, yang mulai

berlaku tanggal 7 April 1999.159 Jadi, Pengadilan Agama di Pulau Lombok

hingga saat ini berjumlah 4 (empat) Pengadilan Agama yaitu Pengadilan

Agama Mataram, Pengadilan Agama Giri Menang, Pengadilan Agama

Praya dan Pengadilan Agama Selong.

Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957,

Lembaga Negara No. 99 Tahun 1957, Pasal 1 menyebutkan “di tempat yang

yang ada Pengadilan Negeri ada sebuah Pengadilan Agama/Mahkamah

Syari’ah yang darerah hukumnya sama dengan daerah hukum Pengadilan

Negeri”, eksistensi Pengadilan Agama semakin dibutuhkan seiring berbagai

desakan dan aspirasi yang datang dari masyarakat daerah (termasuk dari

157Kesektariatan PA Selong, Sejarah Pengadilan Agama Selong, dalam http://pa-

selong.go.id, diakses pada tanggal 20 Juli 2018. 158Kesektariatan PA Praya, Sejarah Pengadilan Agama Praya, dalam http://www.pa-

praya.go.id/, diakses pada tanggal 20 Juli 2018. 159Baiq Halkiyah, S.Ag, MH, Ketua Pengadilan Agama Giri Menang, Wawancara

(Gerung: 21 Oktober 2018).

77

beberapa Daerah di NTB), terutama Lombok, sebagaimana tercantum pada

penjelasan PP No. 45 Tahun 1957 alinea 15 dan tambahan Lembaga Negara

No 1441).

Namun demikian pelaksanaannya secara konkrit baru dapat

dilakukan sampai keluarnya Penetapan Menteri Agama No. 05 Tahun 1958

dan terbitnya Keputusan Menteri Agama No. 195 Tahun 1968 yang dalam

“menimbang”, huruf b dinyatakan bahwa “desakan dari pemuka masyarakat

di daerah-daerah Praya dan Selong agar supaya segera dibentuk Pengadilan

Agama/Mahkamah Syari’ah di daerah-daerah tersebut”.

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 1995 tentang

Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu, Palu, Kendari dan

Kupang dan terbitnya KMA Nomor 434 tahun 1995 tentang Pembentukan

Sekretariat Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu, Palu Kendari dan Kupang,

maka Wilayah Hukum (Yurisdiksi) Pengadilan Tinggi Agama Mataram

sampai sekarang meliputi 16 Pengadilan Agama ditambah dengan

terbentuknya Pengadilan Agama Giri Menang dan Pengadilan Agama

Badung dengan Keppres RI Nomor 145 tahun 1998 tanggal 16 September

1998, yang mulai berlaku tanggal 7 April 1999.

2. Letak Geografis Pengadilan Agama Giri Menang

Ditinjau dari letak geografis, Pengadilan Agama Giri Menang

berada pada posisi yang cukup berbeda dengan kantor lainnya. Hal ini

disebabkan karena keberadaan kantor Pengadilan Agama Giri Menang ini

tidak berdampingan dengan kantor lainnya. Kantor ini sendiri dikelilingi

oleh areal persawahan di setiap sisinya. Sebelah depan jalan Soekarno Hatta

yang menjadi jalur yang menghubungkan lembaga ini dengan masyarakat

yang membutuhkan pelayanannya. Jalur ini merupakan penghubung antara

desa dan kecamatan yang ada di Lombok Barat.160 Untuk lebih jelasnya,

berdasarkan batas-batas posisi Pengadilan Agama Giri Menang Lombok

Barat dapat dijelaskan sebagai berikut:

- Sebelah Timur : Areal jalan Soekarno Hatta

160Dokumen Pengadilan Agama Giri Menang 2016.

78

- Sebelah Barat : Areal persawahan dan pemukiman penduduk

- Sebelah Selatan : Areal persawahan dan pemukinan penduduk

- Sebelah Utara : Kantor Bupati Lombok Barat

Pengadilan Agama Giri Menang berkedudukan di Ibu Kota

Kabupaten Lombok Barat dengan wilayah hukumnya meliputi 15 wilayah

kecamatan dan terdiri dari 113 desa dengan jumlah penduduk 695.104 jiwa

dengan luas wilayah kabupaten Lombok Barat adalah 1.642,46 Km, dengan

penduduk mayoritas beragama Islam. Wilayah inilah yang kemudian

dikatakan sebagai wilayah kekuasaan relatif atau yurisdiksi relatif

Pengadilan Agama Giri Menang. Adapun wilayah kecamatannya adalah

Kecamatan Sekotong Tengah, Kecamatan Lembar, Kecamatan Gerung,

Kecamatan Labuapi, Kecamatan Kediri, Kecamatan Kuripan, Kecamatan

Narmada, Kecamatan Lingsar, Kecamatan Gunungsari, Kecamatan

Batulayar, Kecamatan Tanjung, Kecamatan Pemenang, Kecamatan Gangga,

Kecamatan Kayangan, dan Kecamatan Bayan.161

3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Giri Menang

Visi Pengadilan Agama Giri Menang dirumuskan sebagai berikut:

“Terwujudnya Pengadilan Agama Giri Menang Yang Agung”. Peradilan

yang mandiri dan profesional yang handal dan bermoral sebagai sosok

peradilan baik secara institunsi, individual maupun sistem yang memiliki

kompetensi dalam menjalankan tugas dan fungsi secara terampil, baik dan

benar, berlandaskan nilai etika dan moral propesional, transparan, akuntabel

dan memiliki kredibilitas.

Untuk mencapai visi tesebut, ditetapkan misi Pengadilan Agama Giri

Menang yang harus dilaksanakan, yaitu:

a. Mewujudkan Peradilan cepat dan biaya ringan;

b. Meningkatkan kualitas sumber daya aparatur peradilan;

c. Meningkatkan pengawasan dan epesiensi;

d. Meningkatkan kesadaran dan ketaatan suatu Masyarakat;

e. Meningkatkan kualitas administrasi dan manajemen Peradilan;

161Dokumen Pengadilan Agama Giri Menang 2016.

79

f. Meningkatkan sarana dan perasarana peradilan.162

4. Rencana Strategis Pengadilan Agama Giri Menang

Rencana strategis Pengadilan Agama Giri Menang pada hakikatnya

adalah upaya sistematis dan terencana untuk menampilkan kinerja melalui

hal-hal sebagai berikut:

a. Meningkatkan profesionalisme kerja dalam rangka mewujudkan

peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.

b. Meningkatkan kedisiplinan dan etos kerja dalam rangka

mengoptimalkan 5 hari kerja.

c. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan.

d. Meningkatkan kemandirian lembaga peradilan tanpa intervensi pihak

lain tanpa mengabaikan kritik yang membangun.

e. Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi komputer dan pengelolaan

website Pengadilan Agama Giri Menang yang dapat menjadi sarana bagi

masyarakat untuk mencari atau memperoleh informasi yang dibutuhkan.

f. Menyediakan ”Informasi Desk”, sebagai tempat untuk informasi awal

bagi masyarakat pencari keadilan.

5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Giri Menang

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989, susunan organisasi Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan,

Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris dan Juru Sita, sedangkan Pasal 10 ayat

(1) menyebutkan bahwa Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang

Ketua dan seorang Wakil Ketua. Pasal 26 ayat (2) menyebutkan bahwa

“dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh

seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang

Panitera Pengganti dan beberapa orang Juru Sita”. Pasal 38 menyebutkan

bahwa pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan

Jurusita Pengganti. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 44 Undang-undang

Nomor: 7 Tahun 1989 menyebutkan bahwa: “Panitera Pengadilan

162Panmud Hukum, Laporan Tahunan Pengadilan Agama Giri Menang Tahun 2016

(Giri Menang, 2016), 5.

80

merangkap Sekretaris Pengadilan”, hal ini berbeda dengan ketentuan dalam

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, yakni Panitera Pengadilan tidak

merangkap sebagai Sekretaris Pengadilan. Akan tetapi dalam Undang

undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ketentuan Pasal 44

tersebut dihapus.163

Pasal 105 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989,

menyebutkan tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja

Kepaniteraan dan Sekretariat Pengadilan diatur lebih lanjut oleh Menteri

Agama. Sebagai realisasi dari pasal di atas, Menteri Agama RI telah

menerbitkan Keputusan Nomor 303 Tahun 1990. Berdasarkan Undang-

undang Nomor 3 Tahun 2006, ketentuan Pasal 105 ayat (2) diubah sehingga

berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan

organisasi, dan tata kerja sekretariat diatur oleh Mahkamah Agung”.

Terhadap ketentuan tersebut terutama tentang susunan organisasi (struktur

organisasi), Mahkamah Agung belum mengeluarkan ketentuan tersebut,

sehingga tetap mengacu pada ketentuan yang lama.

Pada tahun 2015 Mahkamah Agung kembali mengeluarkan

peraturan baru, yakni PERMA No. 7 Tahun 2015, yakni Panitera

Pengadilan tidak merangkap sebagai Sekretaris Pengadilan. Oleh karena itu,

susunan organisasi Pengadilan Agama Giri Menang terdiri dari: Ketua,

Wakil Ketua, Panitera (Membawahi: [1] Panitera Muda Gugatan, [2]

Panitera Muda Permohonan, [3] Panitera Muda Hukum, [4] Panitera

Pengganti, [5] Juru Sita), Sekretaris (Membawahi: [1] Kasubag Perencanaan

IT dan Pelaporan, [2] Kasubag Kepegawaian, Organisasi dan Tata Laksana,

[3] Kasubag Umum dan Keuangan).

Dari uraian tersebut di atas, Pengadilan Agama Giri Menang,

adalah Pengadilan Agama kelas II B, sehingga Struktur Organisasi

Pengadilan Agama Giri Menang adalah sebagaimana tercantum di bawah

ini:

163Panmud Hukum, Laporan Tahunan, 8-9.

81

Gambar 1

Struktur dan Personalia Pengadilan Agama Giri Menang 2017

KETUA

BAIQ HALKIYAH, S.Ag., M.H.

WAKIL KETUA

Dra. ULIL USWAH, M.H

1. MUHAMAD JAMIL, S.Ag

2. Dra. ULIN NA’MAH, S.H

3. RUFAIDAH IDRIS, S.H.I

4. HAYATUL MAQI, S.H.I, M.Si

5. MOCH. YUDHA TEGUH NUGROHO, S.H.I

6. HUDA LUKONI, SHI, SH, MH

7. MUH. SAFRANI HIDAYATULLAH, S.Ag. M.Ag

8. MOCH. SYAH ARIYANTO, S.H.I

9. RUSYDIANA KURNIAWATI LINANGKUNG, S.H.I

10. H. ADI IRFAN JAUHARI, Lc. MA

11. FATHA AULIA RISKA, S.H.I

12. NURHASAN, S.H.I

PANITERA

Drs. AHMAD, SH. MH.

KEPALA SUB BAGIAN

UMUM DAN KEUANGAN

RATIP, SH

KEPALA SUB BAGIAN

PERENCANAAN, IT, PELAPORAN

H. SUHAILI, SH

PANITERA MUDA

HUKUM

M. NASIR, SH

PANITERA MUDA GUGATAN

ABDUL MISRAN, SHI

PANITERA MUDA

PERMOHONAN

LALU WIRAME, SH

SEKRETARIS

MUAIDI, SH

KEPALA SUB BAGIAN KEPEGAWAIAN

H. MAWARDI, SH

KELOMPOK FUNGSIONAL KELOMPOK FUNGSIONAL

ARSIPARIS

PUSTAKAWAN

PRANATA

KOMPUTER

BENDAHARA

1. AHMAD JAELANI, SHI (BENDAHARA PEGELUARAN)

2. LASTRIANI, SE (BENDAHARA PENERIMAAN)

PANITERA PENGGANTI

1. SAHNUDIN, SH

2. H. NUZULUDDIN, SH

3. QURATUL AINI, SH 4. SRI KURNIAWATI, SH

5. IHSAN, SH

6. RUGAYA, SH

7. KARTINI, SH 8. BAIQ SANTI SULISTIORINI, SH

9. TITIK FITRIANI, SH

10. NUR ALIYAH, SH

11. YULIANA ASTI ASTUTI, S.Sy 12. SILVIA KUSUMADEWI, SHI

JURU SITA

1. SABRI, SH

2. L. MUHTAR SANUSI, SH

3. A. RASUL, SH

4. BUSTANIL ARIFIN, SH

JURU SITA PENGGANTI

1. M. TAHIR AKHMAT, SH

2. BAIQ SURIANU, SH

3. IMRAN, SH

4. HAIRUL BAHRIAH, SH 5. ABDURRAIL, SHI

6. M. FAUZI, SE

7. BAIQ ROSIDA, SH

8. HJ. SITI ZAHRAH, SH 9. BAIQ ROSMANAILI, SHI

10. AHMAD JAELANI, SHI

11. ABDUL GHAFUR, A.Md

12. ARIANA FITRIANI, A.Md

PRANATA PERADILAN

82

6. Penyusunan Alur Tupoksi Pengadilan Agama Giri Menang

Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama, bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di

tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang

perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, infaq, shadaqah dan ekonomi

syari’ah, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3

Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 50

Tahun 2009, tidak merubah/ menambah/ mengurangi ketentuan dalam Pasal

49 tersebut di atas.

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama

mempunyai fungsi sebagai berikut:

a. Memberikan pelayanan teknis yustisial dan administrasi kepaniteraan

bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi;

b. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding, kasasi

dan paninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya;

c. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di

lingkungan Pengadilan Agama (umum, kepegawaian dan keuangan

kecuali biaya perkara);

d. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam

pada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta

sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor 7

tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

e. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum,

pelaksanaan hisab rukyat, memberikan pertimbangan hukum agama,

pelayanan riset/penelitian, pengawasan terhadap advokat/ penasehat

hukum dan sebagainya.

Adapun tugas pokok dan fungsi sesuai dengan struktur organisasi di

atas adalah sebagai berikut:

a. Ketua Pengadilan Agama: Tugas pokok dan fungsinya adalah pemimpin

pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Giri Menang dalam mengawasi,

83

mengevaluasi, dan melaporkan pelaksanaan tugas sesuai dengan

kebijakan tugas menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Wakil Ketua Pengadilan Agama: Tugas pokok dan fungsinya adalah

mewakili Ketua Pengadilan Agama Giri Menang dalam hal

merencanakan dan melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai Wakil

Ketua Pengadilan Agama Giri Menang serta mengkoordinir dan

melaporkan pengawasan tugas kepada Ketua Pengadilan Agama Giri

Menang.

c. Hakim: Tugas pokok dan fungsinya adalah menerima dan meneliti berkas

perkara serta bertanggung jawab atas perkara yang diterima yang

menjadi wewenangnya baik dalam proses maupun penyelesaiannya

sampai dengan minutasi. Berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan

Agama, menyusun program kerja jangka panjang dan jangka pendek

serta melaksanakan pengawasan bidang Bindalmin atas perintah ketua.

d. Panitera: Tugas pokok dan fungsinya adalah berkoordinasi dengan Ketua

Pengadilan Agama dalam merencanakan dan melaksanakan pelayanan

teknis di bidang administarsi perkara, administarsi umum dan

administrasi lainya yang berkaitan dengan menyiapkan konsep rumusan

kebijakan dalam menggerakkan dan mengarahkan pelaksanaan tugas

kegiatan Kepaniteraan.

e. Sekretaris: Tugas pokok dan fungsinya adalah berkoordinasi dengan

Ketua Pengadilan Agama dalam merencanakan dan melaksanakan

pelayanan teknis di bidang administrasi, organisasi, keuangan, sumber

daya manusia, serta sarana dan prasarana di lingkungan Pengadilan

Agama.

f. Wakil Panitera: Tugas pokok dan fungsinya adalah membantu Panitera

dalam melaksanakan tugas-tugas Kepaniteraan dan bertanggungjawab

dalam mengawasi tugas meja 1, meja II, meja III. Mengevaluasi dan

melaporkan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

84

g. Sub bagian Perencanaan, Teknologi Informasi, dan Pelaporan

mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan pelaksanaan, program,

dan anggaran, pengelolaan teknologi informasi, dan statistik, serta

pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan dokumentasi serta pelaporan dan

bertanggung jawab kepada Sekretaris.

h. Sub bagian Kepegawaian, Organisasi, dan Tata Laksana mempunyai

tugas melaksanakan penyiapan bahan pelaksanaan urusan kepegawaian,

penataan organisasi dan tata laksana dan bertanggung jawab kepada

Sekretaris.

i. Sub bagian Umum dan Keuangan mempunyai tugas melaksanakan

penyiapan pelaksanaan urusan surat menyurat, arsip, perlengkapan,

rumah tangga, keamanan, keprotokolan, perpustakaan, serta pengelolaan

keuangan dan bertanggung jawab kepada Sekretaris.

j. Panitera Muda Gugatan: Tugas pokok dan fungsinya adalah memimpin

dan mengkoordinir/menggerakan seluruh aktivitas pada bagian gugatan

serta menyiapkan konsep rumusan kebijakan dalam pelaksanaan

mengevaluasi dan membuat laporan/bertanggung jawab kepada Wakil

Panitera.

k. Panitera Muda Permohonan: Tugas pokok dan fungsinya adalah

memimpin dan mengkoordinir/menggerakan seluruh aktivitas pada

bagian permohonan serta menyiapkan konsep rumusan kebijakan dalam

pelaksanaan mengevaluasi dan membuat laporan/ bertanggung jawab

kepada Wakil Panitera.

l. Panitera Muda Hukum: Tugas pokok dan fungsinya adalah memimpin

dan mengkoordinir/menggerakan seluruh aktivitas pada bagian hukum

serta menyiapkan konsep rumusan kebijakan dalam pelaksanaan

mengevaluasi dan membuat laporan/bertanggung jawab kepada Wakil

Panitera.

m. Panitera Pengganti: Bertugas membatu Majelis Hakim mengikuti sidang

pengadilan membuat berita acara membuat instrumen sidang mengetik

putusan dan penetapan perkara, menyerahkan berkas perkara yang telah

85

selesai pada Panitera Muda Hukum/meja III melalui Wakil Panirera

serta bertanggung jawab kepada Panitera/Sekretaris.

n. Jurusita dan Jurusita Pengganti: Tugas pokok dan fungsinya adalah

melaksanakan tugas kejurusitaan dan bertanggung jawab dengan Wakil

Panitera.164

7. Kompetensi Relatif dan Kompetensi Absolut Pengadilan Agama Giri

Menang

Wewenang atau yang sering disebut kompetensi, kompetensi

Peradilan Agama diatur dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 UU No. 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas

kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif Peradilan

Agama merujuk pada Pasal 118 HIR, atau Pasal 142 R.Bg jo Pasal 73 UU

No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedangkan kompetensi absolut

berdasarkan Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu

kewenangan mengadili perkara-perkara perdata bidang; (a) perkawinan; (b)

kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c)

wakaf dan sadaqah. Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 ini sekarang sudah

diamandemen dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan diamandemen lagi dengan

UU No. 50 Tahun 2009.165

Menurut Yahya Harahap,166 ada lima tugas dan kewenangan

Peradilan Agama, yaitu; 91) fungsi kewenangan mengadili, (2) memberi

keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang (3) kewenangan lain oleh atau

berdasarkan undang-undang, (4) kewenangan Peradilan Tinggi Agama

mengadili perkara dalam tingkat banding dan mengadili sengketa

kompetensi relatif; serta (5) bertugas mengawasi jalannya peradilan.

Kekuasaan Peradilan Agama ini pada prinsipnya sama makna,

perumusan dan cara pengaturannya sebagaimana yang ditentukan dalam

lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha

164Panmud Hukum, Laporan Tahunan, 11-13. 165Sulaikan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta:

Kencana, 2006), 103. 166Harahap, Kedudukan, Kewenangan, 58.

86

Negara. Bahkan jenis kekuasaan fungsi dan kewenangan pun sama,

perbedaannya pada ruang lingkup kekuasaan mengadili, yaitu disesuaikan

dengan ciri yang melekat pada masing-masing lingkungan peradilan.

a. Kompetensi Relatif Pengadilan Agama Giri Menang

Dalam menentukan kompetensi relatif setiap Peradilan Agama

dasar hukumnya berpedoman pada ketentuan Undang-undang Hukum

Acara Perdata. Dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa

hukum acara yang berlaku pada lingkungan Peradilan Agama adalah

Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan Peradilan Umum.

Oleh karena itu, landasan untuk menentukan kewenangan relatif

Pengadilan Agama merujuk pada ketentuan Pasal 118 HIR, atau pasal

142 R.Bg. jo Pasal 66 dan Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989. Penentuan

kompetensi relatif ini bertitik tolak dari aturan yang menetapkan ke

Pengadilan Agama mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi

syarat formal.167

Kopetensi relatif adalah kopetensi (kewenangan Pengadilan

Agama yang mempunyai wilayah hukum tertentu).168 Jadi kopetensi

relatif Pengadilan Agama Giri menang adalah wilayah hukum pengadilan

yang meliputi seluruh wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten

Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara Nusa Tenggara Barat.

b. Kompetensi Absolut Pengadilan Agama Giri Menang

Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 menetapkan empat jenis

lingkungan peradilan, dan masing-masing mempunyai kewenangan

mengadili bidang tertentu dalam kedudukan sebagai badan-badan

peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Untuk Peradilan Agama

menurut Bab I Pasal 2 jo Bab III Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989

ditetapkan tugas kewenangannya yaitu kewenangan mengadili perkara-

perkara perdata bidang; (a) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat, hibah

yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c) wakaf dan sedekah.

167Lubis, Hukum Acara, 104. 168Royhan A. Rasyid, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),

25.

87

Dengan demikian kewenangan Peradilan Agama tersebut

sekaligus dikaitkan dengan asas personalitas keislaman, yaitu yang dapat

ditundukkan terhadap kekuasaan lingkungan Peradilan Agama hanya

mereka yang beragama Islam.169

Dewasa ini dengan dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang

perubahan atas UU No.78 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, salah

satu yang diatur adalah tentang perubahan atau perluasan kewenangan

lembaga Peradilan Agama, pada Pasal 49 yang sekarang juga meliputi

perkara-perkara bidang Ekonomi Syari’ah.

Dari perluasan kewenangan Peradilan Agama saat ini, yang

meliputi perkara bidang Ekonomi Syari’ah berarti juga perlu mengalami

perluasan terhadap pengertian asas personalitas keislaman di atas.

Mengenai hal ini telah diantisipasi dalam penjelasan Pasal 1 angka 37

tentang perubahan Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 ini yang menyebutkan

sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan: “antara orang-orang yang

beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan

sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam

mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai

dengan ketentuan pasal ini”.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa kewenangan mutlak

(kompetensi absolut) peradilan meliputi bidang-bidang perkara perdata

tertentu seperti tercantum dalam Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989

jo UU No. 3 Tahun 2006 dan berdasarkan atas asas personalitas

keislaman yang telah diperluas. Dengan kata lain, bidang-bidang tertentu

yang dari hukum perdata yang menjadi kewenangan absolut Peradilan

Agama adalah tidak hanya bidang hukum keluarga saja dari orang-orang

yang beragama Islam.170 Akan tetapi termasuk sengketa Ekonomi

Syari’ah, di dalamnya termasuk Perbankan Syari’ah.

169Lubis, Hukum Acara, 105. 170Lubis, Hukum Acara, 107.

88

Dengan adanya amandemen UU No. 3 Tahun 2006 terhadap UU

No.7 Tahun 1989 maka kewenangan absolut Peradilan Agama semakin

diperluas, hal tersebut sebagaimana bunyi Pasal 49 berbunyi:

“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam, di bidang: (a) Perkawinan, (b) Waris, (c) Wasiat, (d)

Hibah, (e) Wakaf, (f) Zakat, (g) Infaq, (h) Sadaqah, dan (i) Ekonomi

Syari’ah”.

Kopetensi absolut adalah kopetensi (kekuasaan) pengadilan yang

berhubungan dengan jenis perkara.171 Jadi kopetensi absolut Pengadilan

Agama Giri Menang adalah menangani perkara-perkara yang menjadi

kewenangan pengadilan Agama Giri Menang yang berkaitan dengan

sengketa perdata bagi mereka yang beragama Islam sebagai berikut:172

1) Menggali perkara orang-orang islam di bidang perkawinan,

diantaranya: izin poligami, izin kawin, penyelenggaraan perkawinan,

penolakan perkawinan oleh PPN (Pegawai Pencatat Nikah),

pembatalan perkawinan, kelalaian atas kewajiban suami istri, cerai

talaq, cerai gugat, harta bersama, penguasaan anak, pencabutan

kekuasaan orang tua sebagai wali, nafkah anak oleh ibu, hak-hak

bekas istri, pencabutan kekuasaan wali, perwalian terhadap wali,

penetapan asal usul anak, pengangkatan anak, penolakan kawin

campur, pengesahan anak, akad nikah, dan wali adhol.

2) Ekonomi Syari’ah yang meliputi: Bank Syari’ah, obligasi, asosiasi,

pembiayaan, pengadilan, lembaga keuangan mikro, resuransi, bisnis,

dana pensiun, surat berharga berjangka menengah, dan sekuralitas.

3) Kewasiatan meliputi: ahli waris, harta pengesahan, bagian masing-

masing waris, pelaksanaan pembagian harta peninggalan wasiat

dalam harta hibah, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, dan sadaqah.

171Lubis, Hukum Acara, 27. 172Dokumen Pengadilan Agama Giri Menang 2016.

89

8. Kondisi Hakim Pengadilan Agama Giri Menang

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman

yang tercantum pula dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang

diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif

dipegang oleh lembaga- lembaga yang telah ditentukan oleh Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab

IX UUD 1945 menyebutkan tiga lembaga negara yang termasuk dalam

lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah

Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat

(2), hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK yang merupakan

penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki

kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga

ekstra-yudisial.

Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah

satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum

(rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri

(independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin

pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor

utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala

kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah,

mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan

semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.

Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan

melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah "Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini menegaskan

90

bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan

kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.173

Lembaga peradilan di Indonesia dari tahun ke tahun mulai

menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Sebagai salah satu dari

lembaga peradilan, hakim saat ini juga mendapat sorotan yang relatif tinggi

dari masyarakat dan media. Secara yuridis, hakim merupakan bagian

integral dari sistem supremasi hukum. Tanpa adanya hakim yang memiliki

integritas, sikap dan perilaku yang baik dalam lembaga peradilan, maka

jargon-jargon good government dan good governance yang selama ini

digembar-gemborkan oleh banyak pihak tidak akan dapat terealisasi, hanya

sebatas “mimpi” semata.

Hakim adalah pejabat negara yang diberi wewenang oleh undang-

undang untuk mengadili. Hakim sebagai tempat pelarian terakhir bagi para

pencari keadilan, dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan menjadi

tempat bertanya segala macam persoalan bagi rakyat. Pertimbangan dari

seorang hakim sangat diharapkan karena hakim adalah orang yang tinggi

pengetahuan dan martabatnya serta berwibawa. Hakim juga diharapkan

sebagai orang yang bijaksana dan aktif dalam pemecahan masalah.174

Asas hakim aktif sesuai dengan aliran pikiran tradisioanal Indonesia,

Undang-undang No. 4 Tahun 2004 mengharuskan hakim aktif karena yang

dituju dalam Pasal 24 UUD 1945 adalah kekuasaan negara yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila demi terlaksananya negara hukum Republik

Indonesia.175

Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk

membuat keputusan terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh

173Wildan Suyuthi, "Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama"

dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan

(Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006), 15. 174Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2000), 113. 175Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman UU No. 4 Tahun 2004 (Jakarta: Sinar

Grafika, 2004).

91

lainnya.176 Ia menjadi tumpuan dan harapan bagi pencari keadilan.

Disamping itu mempunyai kewajiban ganda, disatu pihak merupakan

pejabat yang ditugasi menerapkan hukum (izhar al-hukm) terhadap perkara

yang kongkrit baik terhadap hukum tertulis maupun tidak tertulis, dilain

pihak sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut untuk dapat menggali,

memahami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Secara makro dituntut

untuk memahami rasa hukum yang hidup di dalam masyarakat.

Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman

mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya guna menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara

hukum Republik Indonesia (Pasal 1 dan 2 UU. No.14/1970).177

Guna mewujudkan penegakan hukum dan keadilan dalam

masyarakat, maka perlu didukung oleh sumber daya yang memadai. Sumber

daya yang dimaksud di sini adalah aparatur peradilan terutama hakim. Oleh

karena itu, Pengadilan Agama Giri Menang mempunyai 14 (empat belas)

hakim untuk menangani perkara-perkara yang diajukan di Pengadilan

Agama Giri Menang. Adapun keempat belas orang hakim tersebut dapat

dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3.1: Nama-Nama Hakim Pengadilan Agama Giri Menang

No Nama Keterangan

1 Baiq Halkiyah,

S.Ag. MH.

NIP 19680605.199703.2.001

TTL Lombok Tengah, 05 Juni 1968

Jabatan Ketua

Gol./Ruang Pembina (IV/a)

Pendidikan S2 Universitas Mataram

2 Muh. Safrani

Hidayatullah, S.Ag.

M.Ag.

NIP 19770219 200704 1 001

TTL Mataram, 19 Februari 1977

Jabatan Hakim

Gol/ Ruang Penata (III/c)

176Bisri, Peradilan Islam, 104. 177Arto, Praktek Perkara Perdata, 29.

92

Pendidikan S2 UIN Yogyakarta

3 Rufaidah Idris,

SH.I.

NIP 19790617.200604.2.003

TTL Denpasar, 17 Juni 1979

Jabatan Hakim

Gol/ Ruang Penata (III/c)

Pendidikan S1 STAIN Mataram

4 Muhamad Jamil,

S.Ag.

NIP 19760905.200502.1.004

TTL 05 September 1976

Jabatan Hakim

Gol/ Ruang Penata (III/c)

Pendidikan S1 Institut Agama Islam

Ibrahimy

5 Hayatul Maqi, SHI.

M.Si.

NIP 19581231.199203.1.016

TTL 19780322 200704 1 001

Jabatan Hakim

Gol/ Ruang Penata Muda Tk. I (III/b)

Pendidikan S2 UGM Yogyakarta

6 Huda Lukoni, SHI.

SH. MH.

NIP 19790927 200704 1 001

TTL Banyuwangi, 27 September

1979

Jabatan Hakim

Gol/ Ruang Penata Muda Tk. I (III/b)

Pendidikan S2 Ilmu Hukum

7 Moch. Yudha

Teguh Nugroho,

SHI.

NIP 19810118 200704 1 001

TTL Blora, 18 Januari 1981

Jabatan Hakim

Gol/ Ruang Penata Muda Tk. I (III/b)

Pendidikan S1 Universitas Islam Indonesia

Yogyakarta

8 H. Adi Irfan

Jauhari, Lc. M.A.

NIP 19781110.200904.1.007

TTL Bekasi, 18 November 1978

Jabatan Hakim

Gol/ Ruang Penata Muda Tk. I (III/b)

93

Pendidikan S2 UIN Syarif Hidayatullah

9 Moch. Syah

Ariyanto, SH.I

NIP 19790528 200704 1 001

TTL Kupang, 01 April 2011

Jabatan Hakim

Gol/ Ruang Penata Muda Tk. I (III/b)

Pendidikan S1 IAIN Sunan Ampel

10 Nurhasan, S.HI. NIP 19830308 2009121 004

TTL Sendang Mulyo, 08 Maret

1983

Jabatan Hakim

Gol./Ruang Penata Muda (III/a)

Pendidikan S1 UIN Syarif Hidayatullah

11 Fatha Aulia Riska,

S.HI.

NIP 19840404 200912 2 004

TTL Blitar, 04 April 1984

Jabatan Hakim

Gol./Ruang Penata Muda (III/a)

Pendidikan S1 UMM Malang

12 Rusydiana

Kurniawati

Linangkung, SH.I.

NIP 19850920.200805.2.001

TTL Mataram, 20 September 1985

Jabatan Hakim

Gol./Ruang Penata (III/c)

Pendidikan S1 UIN Sunan Kalijaga

Hakim sebagai sebuah jabatan yang memiliki fungsi yudikatif, pada

dasarnya memiliki dua tindakan peran. Pertama, untuk membuktikan

keberadaan suatu fakta yang dikualifikasikan sebagai delik perdata atau

pidana oleh suatu norma umum yang harus diterapkan kepada kasus

tertentu. Kedua, hakim menjatuhkan suatu sanksi perdata atau pidana yang

konkret yang ditetapkan secara umum dalam norma yang harus diterapkan.

Dari kedua peran tersebut dapat disimpulkan bahwa hakim merupakan

penerap dari norma hukum yang berupa peraturan perundang-undangan

94

yang kemudian diikuti dengan menerapkan sanksi demi tegaknya peraturan

perundang-undangan tersebut.

Oleh karena itu, untuk mendukung peran seorang hakim dalam

upaya menemukan hukum maka dibutuhkan pengalaman dan pengetahuan

yang cukup. Hal ini bertujuan supaya hukum yang diterapkan memenui rasa

keadilan bagi semua pihak. Di sinilah pentingnya pendidikan bagi seorang

hakim. Berdasarkan tabel di atas, tampak bahwa 45% hakim di Pengadilan

Agama Giri Menang sudah menempuh pendidikan S2.

9. Keadaan Perkara di Pengadilan Agama Giri Menang

Perkara yang penulis paparkan dalam penelitian ini adalah perkara

pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2017. Keadaan dan jumlah perkara

yang diterima Agama Giri Menang pada tahun 2014 sebanyak 2467 perkara

ditambah sisa perkara tahun 2013 sebanyak 92 perkara. Jadi jumlah perkara

yang ditangani Agama Giri Menang pada tahun 2014 sebanyak 2559

perkara. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:178

a. Sisa perkara tahun 2013 = 92 Perkara

b. Penerimaan perkara tahun 2014 = 2467 Perkara

Jumlah = 2559 Perkara

c. Perkara yang diputus tahun 2014, dengan rincian sebagai berikut:

1) Dikabulkan = 2263 Perkara

2) Digugurkan = 138 Perkara

3) Ditolak = 9 Perkara

4) Tidak diterima = 7 Perkara

5) Dicoret = 10 Perkara

6) Dicabut = 47 Perkara

Jumlah = 2474 Perkara

Sisa perkara tahun 2014 = 85 Perkara

178Panmud Hukum, Laporan Tahunan Pengadilan Giri Menang Tahun 2014 (Giri

Menang, 2014), 30.

95

Pengadilan Agama Giri Menang pada tahun 2015 menangani perkara

sebanyak 1657 perkara. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:179

a. Sisa perkara tahun 2014 = 85 Perkara

b. Penerimaan perkara tahun 2015 = 1572 Perkara

Jumlah = 1657 Perkara

c. Perkara yang diputus tahun 2015, dengan rincian sebagai berikut:

1) Dikabulkan = 1385 Perkara

2) Digugurkan = 53 Perkara

3) Ditolak = 11 Perkara

4) Tidak diterima = 17 Perkara

5) Dicoret = 16 Perkara

6) Dicabut = 48 Perkara

Jumlah = 1529 Perkara

Sisa perkara tahun 2015 = 127 Perkara

Adapun pada tahun 2016, Agama Giri Menang menangani perkara

sebanyak 2558 perkara. Adapun rinciannya adalah:180

a. Sisa perkara tahun 2015 = 127 Perkara

b. Penerimaan perkara tahun 2016 = 2431 Perkara

Jumlah = 2558 Perkara

c. Perkara yang diputus tahun 2016, dengan rincian sebagai berikut:

1) Dikabulkan = 2200 Perkara

2) Digugurkan = 99 Perkara

3) Ditolak = 3 Perkara

4) Tidak diterima = 14 Perkara

5) Dicoret = 15 Perkara

6) Dicabut = 98 Perkara

Jumlah = 2429 Perkara

Sisa perkara tahun 2016 = 129 Perkara

179Panmud Hukum, Laporan Tahunan Pengadilan Agama Giri Menang Tahun 2014

(Giri Menang, 2014), 90. 180Panmud Hukum, Laporan Tahunan Pengadilan Agama Giri Menang Tahun 2016

(Giri Menang, 2016), 90.

96

Adapun rincian penerimaan perkara menurut jenisnya sejak tahun

2014 sampai dengan tahun 2017 adalah sebagai berikut:181

Tabel 3.2: Penerimaan Perkara Menurut Jenisnya Tahun 2014-2017

No Jenis Perkara Jumlah Perkara

2014 2015 2016 2017

1 Izin Poligami 8 3 4 8

2 Pencegahan Perkawinan - 2 6 -

3 Penolakan Perkawinan oleh PPN - - 2 1

4 Pembatalan Perkawinan 1 2 - -

5 Cerai Talak 93 102 154 189

6 Cerai Gugat 415 420 471 515

7 Harta Bersama 6 3 5 7

8 Penguasaan Anak - 3 2 1

9 Nafkah Anak Oleh Ibu - - - -

10 Hak-Hak Bekas Istri - - - -

11 Pengesahan Anak 4 - - -

12 Pencabutan Kekuasaan Orang Tua - - - -

13 Perwalian 5 3 9 10

14 Pencabutan Kekuasaan Wali - - - -

15 Ganti Rugi Terhadap Wali - - - -

16 Asal-Usul Anak - 1 9 4

17 Penetapan Kawin Campuran - - - -

18 Isbat Nikah 1908 995 1701 1229

19 Izin Kawin - - - -

20 Dispensasi Kawin 3 7 27 23

21 Wali Adhol 10 2 3 4

22 Ekonomi Syar’iyah - - - -

23 Kewarisan 12 18 24 29

24 Wasiat - - - -

181Pengadilan Agama Giri Menang, Laporan Tahunan 2014 – 2017.

97

25 Hibah - 2 - -

26 Wakaf - - 1 -

27 Zakat / Infaq / Sodaqoh - - - -

28 P3HP / Penetapan Ahli Waris 5 6 11 9

29 Lain-lain - 3 1 1

Jumlah 2467 1572 2431 2030

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa Pengadilan Agama Giri

Menang menangani perkara terbanyak pada tahun 2016 dibandingkan

dengan tahun-tahun sebelum dan setelahnya yakni tahun 2015 dan tahun

2017.

10. Gambaran Perkara Cerai Talak Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM.

a. Subyek Hukum

Perkara ini diajukan oleh Naharudin bin Baderun, umur 35 tahun,

agama Islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Dusun Mendagi, Desa

Beleke, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, selanjutnya disebut

sebagai Pemohon. Adapun pihak lawannya adalah Srianu binti H. Mahli,

umur 33 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal

di Dusun Mendagi, Desa Beleke, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok

Barat, selanjutnya disebut sebagai Termohon.

b. Duduk Perkara

Pemohon dengan Termohon adalah suami istri sah yang menikah

pada hari Rabu tanggal 3 Juni 1998 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat

Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat,

sesuai Duplikat Kutipan Akta Nikah Nomor: 228/13/VII/1998 tanggal 9 Juli

1998. Setelah melangsungkan perkawinan, Pemohon dan Termohon

bertempat tinggal di Dusun Lembar, Desa Lembar, Kecamatan Lembar,

Kabupaten Lombok Barat dan terakhir di Dusun Mendagi, Desa Beleke,

Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, selama pernikahan tersebut

Pemohon dengan Termohon telah hidup sebagaimana layaknya suami istri

98

dan dikaruniai 2 orang anak yang bernama: (1) M. Tomi Hermawan, laki-

laki, umur 14 tahun, (2) Siti Anisa Nilmalasari, perempuan, umur 10 tahun.

Berawal sejak tanggal 5 Nopember 2012, Pemohon mempunyai

hubungan khusus dengan seorang perempuan bernama Ati (bukan nama

sebenarnya), hubungan khusus tersebut diketahui oleh Termohon pada

tanggal 29 Januari 2013, sehingga terjadilah pertengkaran antara Pemohon

dengan Termohon, dan Termohon mau memaafkan Pemohon dengan

membuat perjanjian yang merupakan inisiatif dari Termohon pada tanggal

31 Januari 2013 yang isinya: “Pemohon tidak akan pacaran lagi dan jika

perjanjian ini Pemohon langgar maka jatuhlah talak tiga Pemohon terhadap

Termohon”.

Pada tanggal 3 Februari 2013 Termohon menemukan Pemohon

sedang berduaan dengan Nurhayati, oleh karena Pemohon telah membuat

perjanjian tersebut, maka Termohon menganggap telah jatuh talak

Pemohon terhadap Termohon, kemudian Pemohon pulang kembali ke

rumah orang tua Pemohon. Pemohon sangat meragukan isi perjanjian

tersebut, karena tidak pernah mengucapkan talak terhadap Termohon.

Pemohon dengan Termohon menginginkan kembali rukun dan membina

rumah tangga namun tidak dibenarkan dan tidak diterima oleh masyarakat

maupun tokoh agama di tempat Pemohon bertempat tinggal dan

menganggap telah jatuh talak tiga Pemohon kepada Termohon.

Melalui perjanjian yang telah dibuat oleh Pemohon, Pemohon telah

menjatuhkan talak tiga kepada Termohon. Oleh karena itu, Pemohon

(suami) memohon kepada Majelis hakim untuk ditetapkan sebagai talak satu

sehingga Pemohon bisa rujuk kembali dengan Termohon. Berdasarkan dali-

dalil dan alasan-alasan tersebut di atas pemohon mohon kepada Majelis

hakim yang memeriksa perkara ini memberikan putusan sebagai berikut:

a. Mengabulkan permohonan Pemohon.

b. Menetapkan jatuh talak satu raj’i Pemohon (Naharudin bin Baderun)

terhadap Termohon (Srianu binti H. Mahli).

c. Membebankan biaya perkara sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

99

c. Amar Putusan

Setelah memeriksa dan mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang

ditemukan pada saat proses persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Agama

Giri Menang memutuskan:

a. Mengabulkan permohonan Pemohon.

b. Menyatakan taklik talak Pemohon (Naharudin bin Baderun) terhadap

Termohon (Srianu binti H. Mahli) sah menurut hukum.

c. Menetapkan jatuhnya talak satu raj’i Pemohon (Naharudin bin Baderun)

terhadap Termohon (Srianu binti H. Mahli).

d. Membebankan biaya perkara ini sebesar Rp 211.000,- (dua ratus sebelas

ribu rupiah) kepada Pemohon.

B. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Taklik Talak Sebagai Alasan Perceraian di

Pengadilan Agama Giri Menang

Suatu bahtera perkawinan tidak selamanya dapat mengarungi samudra

kehidupan dengan tenang dan lancar. Setelah keluarga terbentuk berbagai

masalah bisa timbul dalam kehidupan keluarga yang pada gilirannya dapat

menjadi benih yang mengancam kehidupan perkawinan yang berakibat

keretakan atau perceraian. Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu

perkawinan bersepakat untuk mencari kebahagiaan dan melanjutkan keturunan

dan ingin hidup bersama sampai akhir hayat, seringkali hasrat serupa ini

kandas di tengah jalan oleh adanya berbagai hal.

Putusnya hubungan perkawinan tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi

didahului oleh keadaan adanya keretakan dalam membina mahligai rumah

tangga yang menjurus kepada ketidakharmonisan dan keserasian dalam

kehidupan berkeluarga. Konflik yang terus-menerus antara suami dengan istri

menyebabkan kehidupan rumah tangga tidak dapat bertahan untuk selama-

lamanya. Jika hubungan baik dari pasangan suami istri itu tidak mungkin terus

dilangsungkan, maka Islam pun tidak membelenggu dengan suatu rantai yang

memuakkan, mengakibatkan keadaan yang menyengsarakan dan menyakitkan.

Dalam keadaan inilah perceraian dibolehkan.

100

Salah perbuatan yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan

perceraian ke Pengadilan Agama adalah pelanggaran taklik talak. Terdapat

berbagai bentuk pelanggaran taklik talak yang dijadikan alasan untuk

mengajukan perceraian. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa

orang narasumber (hakim) di Pengadilan Agama Giri Menang, ada beberapa

bentuk pelanggaran yang biasa diajdikan alasan untuk mengajukan perceraian

ke Pengadilan Agama Giri Menang.

Menurut Muh. Safrani, taklik talak bisa dijadikan alasan untuk

mengajukan perceraian ke Pengadiln Agama. Adapun bentuk pelanggaran

taklik talak yang dijadikan alasan mengajukan perceraian, di antaranya adalah

suami meninggalkan istri 2 tahun berturut-turut, suami selama 3 bulan berturut-

turut tidak menafkahi istri, suami melakukan kekerasan secara fisik dan suami

selama 6 bulan tidak memperdulikan istri. Hal sebagaimana diungkapkan oleh

Muh. Safrani dalam kesempatan wawancara dengan penulis:

Taklik talak dapat dijadikan alasan perceraian kerena bentuk perjanjian

antara suami dan istri selama substansi taklik talaknya tidak

bertentangan dengan hukum Islam. Akan tetapi, jika keadaan yang

diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi, namun talak ini tidak

dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh,

istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. Bentuk

atau model pelanggaran taklik talak antara lain: suami meninggalkan

istri 2 tahun berturut-turut, suami selama 3 bulan berturut-turut tidak

menafkahi istri, suami melakukan kekerasan secara fisik dan suami

selama 6 bulan tidak memperdulikan istri.182

Tidak jauh berbeda dengan pernyataan Muh. Safrani tentang bentuk-

bentuk taklik talak, pada kesempatan wawancara dengan penulis pada waktu

yang berbeda, Rufaidah Idris salah satu hakim di Pengadilan Agama Giri

Menang mengungkapkan:

Dalam kehidupan rumah tangga, permasalahan sudah pasti ada.

Meskipun demikian, suami istri harus bisa meyikapi permasalahan

tersebut agar tidak terjadi keretakan dalam rumah tangga. Banyak

pasangan suami istri ketika melangsungkan akad nikah disertai dengan

pengucapan taklik talak oleh suami. Oleh karena itu, jika terjadi

182Muh. Safrani Hidayatullah (Hakim Pengadilan Agama Giri Menang), Wawancara

(Gerung: 22 Nopember 2018).

101

pelanggaran taklik talak, yang seharusnya mengajukan gugatan

perceraian adalah istri. Talak bisa jatuh dengan taklik talak jika

memenuhi syarat. Keadaan tertentu yang disyaratkan dalam taklik talak

tersebut betul-betul terjadi, maka supaya taklik talak benar-benar jatuh,

istri harus mengajukan ke Pengadilan Agama, kalau tidak mengajukan

atau mengadukan persoalannya ke Pengadilan Agama maka talak suami

itu selamanya tidak akan jatuh. Karena dalam sighat taklik talak selain

ada empat keadaan tertentu yakni: (1) Meninggalkan istri 2 tahun

berturut-turut, (2) Tidak memberi nafkah wajib 3 bulan lamanya, (3)

Menyakiti badan/Jasmani istri atau, (4) Membiarkan atau tidak

memperdulikan istri selama 6 bulan atau lebih. Di samping itu, ada hal

lain atau syarat lain yang harus dipenuhi yakni: (a) Istri tidak ridha, (2)

Mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, (3) Gugatan diterima, (4)

Istri menyerahkan iwad Rp. 10.000. Keempat syarat ini harus dipenuhi

maka jatuhlah talak suami.183

Berdasarkan pendapat Rufaidah Idris di atas, bentuk-bentuk

pelanggaran taklik talak yang dapat dijadikan alasan mengajukan perceraian

antara lain: (1) Meninggalkan istri 2 tahun berturut-turut, (2) Tidak member

nafkah wajib 3 bulan lamanya, (3) Menyakiti badan/Jasmani istri atau, (4)

Membiarkan atau tidak memperdulikan istri selama 6 bulan atau lebih.

Berbeda dengan pendapat Muh. Safrani dan Rufaidah Idris yang

menyatakan bahwa pelanggaran taklik talak dapat dijadikan alasan mengajukan

perceraian ke Pengadilan Agama, Muhamad Jamil mengatakan bahwa taklik

talak tidak dapat dijadikan alasan mengajukan perceraian. Menurut Muhamad

Jamil, taklik talak tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, namun

dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 51 disebutkan pelanggaran atas

perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk mengajukan ke

Pengadilan. Jadi menurut Muhamad Jamil pelanggaran taklik talak bisa

dijadikan alasan mengajukan perceraian, sebagaimana pernyataannya:

Dalam peraturan perundang-undangan terutama Undang-Undang No. 1

tahun 1974 alasan perceraian tidak terdapat taklik talak sebagai alasan

perceraian, namun dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 51

disebutkan pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak

kepada istri untuk mengajukan ke Pengadilan, maka pelanggaran taklik

talak bisa dijadikan alasan mengajukan perceraian. Sesuai rumusan

183Rufaidah Idris (Hakim Pengadilan Agama Giri Menang), Wawancara (Gerung: 30

Nopember 2018).

102

bahwa taklik talak adalah perjanjian yang digantungkan kepada syarat

dengan tujuan utamanya melindungi istri dari kemudharatan, maka

bentuk-bentuknya adalah perjanjian yang telah dibuat oleh suami istri

pada saat pernikahan tersebut.184

Menurut Rusydiana Kurniawati dalam kesempatan wawancara dengan

penulis mengungkapkan bahwa pelanggaran taklik talak bisa dijadikan alasan

mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan kepastian

hukum. Terkait dengan permasalahan siapa yang harus mengajukan

perecaraian, Rusydiana berpendapat bahwa Suami maupun istri dapat

mengajukan perkara perceraian dengan alasan pelanggaran taklik talak karena

perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan sebagaimana

ketentuan pasal 39 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 115 KHI. Hal ini

sebagaimana pernyataannya:

Pelanggaran terhadap taklik talak dapat dijadikan sebagai alasan

mengajukan perceraian. Selama saya bertugas di Pengadilan Agama

Giri Menang belum pernah menangani perkara cerai dengan alasan

pelanggaran taklik talak. Pelanggaran terhadap taklik talak sebagaimana

yang termuat dalam buku Kutipan Akta Nikah memang harus diajukan

oleh istri karena hal itu menjadi bagian dari klausula. Sedangkan dalam

perkara 0080/Pdt.G/2013/PA.GM diajukan dengan alasan pelanggaran

terhadap taklik talak yang tidak termuat dalam buku kutipan akta nikah

sehingga tidak ada larangan untuk suami mengajukan perkara

perceraian ke Pengadilan Agama. Suami maupun istri dapat

mengajukan perkara perceraian dengan alasan pelanggaran taklik talak

karena perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan

sebagaimana ketentuan pasal 39 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 jo.

Pasal 115 KHI. Hal tersebut dikecualikan/dikhususkan untuk

pelanggaran terhadap taklik talak yang termuat di dalam Buku kutipan

Akta Nikah hanya dapat diajukan oleh istri.185

Berdasarkan hasil wawancara dengan para narasumber di Pengadilan

Agama Giri Menang, ada beberapa bentuk pelanggaran taklik talak yang bisa

dijadikan alasan mengajukan perceraian, antara lain: (1) Meninggalkan istri 2

tahun berturut-turut, (2) Tidak memberi nafkah wajib 3 bulan lamanya, (3)

184Muhamad Jamil (Hakim Pengadilan Agama Giri Menang), Wawancara (Gerung:

29 Nopember 2018). 185Rusydiana Kurniawati Linangkung (Hakim Pengadilan Agama Giri Menang),

Wawancara (Gerung: 30 Nopember 2018).

103

Menyakiti badan/Jasmani istri atau, (4) Membiarkan atau tidak memperdulikan

istri selama 6 bulan atau lebih.

Dalam perkara cerai talak No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM, taklik talak

yang dilanggar berupa perjanjian antara Pemohon dengan Termohon, di mana

Pemohon sebelumnya menjalin hubungan asmara dengan perempuan lain.

Setelah hubungan tersebut diketahui oleh Termohon (istri), terjadi

pertengkaran antara Pemohon dan Termohon dan dibuatlah perjanjian tersebut.

Pemohon berjanji tidak akan menjalin hubungan lagi dengan perempuan

tersebut, jika Pemohon kembali menjalin hubungan asmara denga perempuan

tersebut maka jatuh talak tiga Pemohon terhadap Termohon. Jadi, dalam kasus

ini taklik talak diucapkan setelah lama menjali hubungan suami istri, bukan

sejak awal pernikahan pada saat akad ijab kabul.

C. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Pelanggaran Taklik Talak

Sebagai Alasan Perceraian dalam Perkara Cerai Talak Nomor

080/Pdt.G/2013/PA.GM.

Pertimbangan hakim merupakan konstruksi hukum yang menjadi dasar

pemikiran hakim dalam mengambil keputusan untuk mengabulkan

permohonan cerai talak dengan alasan pelanggaran taklik talak yang diajukan

Pemohon (suami). Berdasarkan Putusan No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM yang

penulis kaji dalam penelitian ini, ada beberapa pertimbangan dan dasar hukum

yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutus perkara cerai talak dengan

alasan pelanggaran taklik talak, antara lain:

Menimbang, bahwa upaya perdamaian yang dilakukan oleh majelis

hakim di dalam persidangan serta mediasi yang dilakukan oleh mediator Drs.

Mutamakin, S.H. di luar persidangan kepada kedua belah pihak tidak berhasil,

maka majelis hakim melanjutkan pemeriksaan perkara ini pada pokok perkara.

Menimbang, bahwa yang menjadi pokok permohonan Pemohon adalah

pemohon memohon agar perjanjian taklik talak yang telah dibuat dan

ditandatangani pemohon dengan jatuhnya talak tiga sekaligus pemohon kepada

termohon secara taklik talak dapat ditetapkan dengan jatuh talak satu raj’i demi

mendapatkan kepastian status hukum dan permohonan tersebut tetap

104

dipertahankan oleh Pemohon tanpa ada perubahan apapun. Bahwa atas dalil-

dalil permohonan Pemohon tersebut, Termohon mengakui dan membenarkan

dalil-dalil permohonan Pemohon.

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.1, maka harus dinyatakan

terbukti bahwa antara Pemohon dan Termohon telah terikat dalam perkawinan

yang sah, maka Pemohon dan Termohon adalah pihak-pihak yang sah sebagai

subyek hukum dalam perkara ini sesuai pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum

Islam. Bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon telah memenuhi syarat-

syarat formil maupun materiil sebagaimana ketentuan Pasal 165-179 R.Bg.,

maka majelis hakim berpendapat dapat menerima saksi-saksi Pemohon tersebut

untuk didengar keterangannya di persidangan.

Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan pemohon, bukti (P.2) dan

keterangan saksi-saksi pemohon maka majelis hakim berpendapat bahwa dalil-

dalil permohonan Pemohon dalam perkara a quo telah terbukti bahwa pemohon

telah membuat dan menandatangani perjanjian taklik talak dengan jatuhnya

talak tiga Pemohon sekaligus terhadap Termohon, namun setelah terjadinya

taklik tersebut, Pemohon dengan Termohon masih saling mencintai dan

berkeinginan melanjutkan hubungan rumah tangganya, akan tetapi masyarakat

enggan menerima karena beranggapan antara Pemohon dengan Termohon telah

jatuh talak tiga.

Menimbang, bahwa dalam hukum Islam selain talak khulu’, talak

tafwidh, fasakh dan lain sebagainya sebagai teknik-teknik perceraian, juga

diatur mengenai taklik talak yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia. Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu rujukan sumber hukum

materiil bagi Pengadilan Agama dalam memutus perkara perceraian mengatur

dan mengakui eksistensi lembaga taklik talak sebagai salah satu alasan

perceraian sebagaimana termuat dalam pasal 45 ayat (1) dan pasal 116 huruf

(g) Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Menimbang, bahwa tujuan luhur diaturnya lembaga taklik talak dalam

sistem hukum perkawinan dan perceraian Islam di Indonesia adalah

melindungi hak-hak istri dari perbuatan/tindakan semena-mena suami demi

105

niatan baik dari pemohon dan termohon untuk tetap hidup membina rumah

tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana termuat dalam surat

Ar-Rum ayat 21 dan pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;

Menimbang, bahwa dari pengakuan Pemohon yang telah dibenarkan

oleh Termohon dan diperkuat dengan alat bukti P.2 serta keterangan saksi-

saksi telah terbukti bahwa Pemohon telah membuat dan menandatangani

perjanjian taklik talak yang dalam perjanjian tersebut kejadian yang dijadikan

gantungan (taklik) oleh Pemohon untuk menjatuhkan talaknya adalah sesuatu

yang berkaitan erat dengan persoalan (tingkah laku) Pemohon yang dapat

mempengaruhi keharmonisan dan menghalangi hubungan Pemohon dan

Termohon dalam membina rumah tangga dan dapat menghalangi Pemohon

atau Termohon untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami istri, yaitu

mengenai perbuatan pemohon yang mengulang kembali menjalin hubungan

khusus (bahkan sampai menikah) dengan perempuan lain yang bernama

Nurhayati, oleh karena itu majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian ta’lik

talak yang diperjanjikan Pemohon tersebut pada dasarnya memenuhi tujuan

dan nilai luhur pengaturan lembaga taklik talak dalam hukum perkawinan dan

perceraian di Indonesia sebagaiman termuat dalam Kompilasi Hukum Islam

dan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990.

Menimbang, bahwa majelis hakim sependapat dengan dalil fikih yang

termuat dalam kitab Syarqawi Ala al-Tahrir halaman 105:

ومن علق طلقا بصفة وقع بوجودها عمل مبقتضى اللفظArtinya: Barang siapa mengkaitkan (menggantungkan) jatuh talaknya dengan

sesuatu apapun maka talak tersebut jatuh dengan adanya sesuatu

sebagai kosekuensi atas ucapannya tersebut.

Menimbang, bahwa dari dalil Pemohon yang telah dibenarkan oleh

Termohon dan diperkuat dengan keterangan saksi-saksi telah terbukti setelah

Pemohon telah membuat dan menandatangani perjanjian taklik talak, ternyata

Pemohon telah menjalin hubungan, bahkan sampai menikah lagi dengan

perempuan lain yang bernama Nurhayati meskipun telah diceraikan kembali

106

oleh Pemohon, maka berdasarkan fakta tersebut dan pertimbangan-

pertimbangan di atas, perjanjian taklik talak Pemohon telah memenuhi

ketentuan hukum Islam dan Pemohon telah terbukti sah secara hukum

melanggar perjanjian taklik talak tersebut.

Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon terbukti sah secara hukum

telah melanggar perjanjian taklik talaknya tersebut, maka selanjutnya majelis

hakim akan mempertimbangkan jumlah atau bilangan talak yang jatuh sebagai

akibat dari perjanjian talak tiga sekaligus pemohon tersebut dalam takliknya.

Bahwa berkaitan dengan perkara a quo majelis hakim perlu mengetengahkan

hadits-hadits yang akan dijadikan dasar pertimbangan dalam memutus perkara

a quo sebagai berikut:

كان الطلق على عهد رسول الله صلى اهلل عليه وسلم :عن ابن عباس قالعمر )رواه ر وسنت ي من خلفة عمر طلق الثلث فأمضاه عليهم وأب بك

.البخارى ومسلم(Artinya: Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar

dan 2 tahun pemerintahan Umar, talak tiga sekaligus hanya

diberlakukan talak satu dan Umar pun memberlakukan ketentuan

tersebut pada rakyatnya (HR. Bukhari dan Muslim).

عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال, "طلق ركانة امرأته ثلثا ف جملس واحد. كيف :فحزن عليها حزنا شديدا.. فسأله رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم

ال: ف جملس واحد؟ قال: نعم. قال: فإمنا تلك طلقتها؟ قال: ثلثا. فق )لىيعرواه أمحد وأبو (واحدة، فأرجعها إن شئت. فراجعها."

Artinya; Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rukanah menceraikan istrinya dengan

talak tiga sekaligus, namun ia sangat menyesalinya. Kemudian

Rasulullah SAW bertanya (kepadanya): “Bagaimana kamu

menceraikannya?” Ia menjawab: “Aku menceraikannya dengan talak

tiga sekaligus”. Kemudian Rasulullah SAW berkata: “(jika

demikian) maka itu hanya jatuh talak satu, maka rujuklah kepada

istrimu.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la)

107

Menimbang, bahwa Mazhab Dzahiriyah dan Jama’ah, sebagaimana

dikutip Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid juz 2 halaman 561,

berpendapat:

ري للفظ ف ذلكوقال أهل الظاهر ومجاعة : حكمه حكم الوحدة وال تأثArtinya: Madzhab Dhahiriyah dan Jama’ah berpendapat bahwa hukumnya

(talak tiga sekaligus) adalah hanya berlaku talak satu dan tidak ada

efek yuridis dalam ucapan talak tiga sekaligus tersebut”.

Menimbang, bahwa dengan diajukannya permohonan dalam perkara a

quo oleh pemohon, majelis hakim berpendapat bahwa pemohon telah beri’tikad

baik dan oleh karenanya maka permohonan pemohon dalam perkara a quo

dapat dipertimbangkan demi memberikan kepastian hukum dan memberikan

keyakinan kepada pemohon dan termohon terhadap status perkawinannya

tersebut

Menimbang, bahwa meskipun terdapat ulama’ yang berpendapat bahwa

talak tiga yang diucapkan/dijatuhkan dalam satu waktu tetap jatuh talak tiga,

akan tetapi dalam perkara a quo, berdasarkan hadits-hadits dan pendapat ulama

sebagaimana termuat dalam pertimbangan di atas dan demi kemaslahatan

rumah tangga pemohon, termohon serta kedua anaknya tersebut, maka majelis

hakim berpendapat bahwa talak tiga yang diperjanjikan oleh pemohon dalam

perkara a quo hanya jatuh talak satu. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

tersebut di atas, maka majelis hakim berpendapat bahwa permohonan

pemohon, sebagaimana tersebut dalam petita nomor 2, dapat dikabulkan

dengan menetapkan jatuhnya talak satu raj’i pemohon terhadap termohon;

Di samping menelaah keempat putusan di atas, penulis juga

melakukan wawancara dengan beberapa orang hakim di Pengadilan Agama

Giri Menang. Wawancara yang dilakukan adalah terkait dengan pertimbangan

hukum yang digunakan dalam memutus perkara perceraian karena pelanggaran

taklik talak. Ada beberapa alasan dan pandangan yang dikemukakan oleh para

hakim terkait dengan pertimbangan hukum yang digunakan.

108

Menurut Muh. Safrani, setiap putusan pengadilan harus

mempertimbangkan fakta hukum yang terjadi dalam proses persidangan dan

harus merujuk pada peraturan perundang-undangan. Dalam kesempatan

wawancara dengan penulis ia menyatakan:

Dalam menyelesaikan perkara perceraian dengan alasan taklik talak,

tentunya harus merujuk pada undang-undang yang ada, khususnya

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1990 Tentang KHI pada pasal 8,

pasal 45, 46 dan 116 huruf (g), selain itu dapat juga menggunakan

sumber hukum lain seperti al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 19 dan

hadits Nabi. Jadi menurut saya, yang dijadikan sumber pertimbangan

oleh hakim dalam memutus suatu perkara adalah undang-undang

termasuk sumber hukum yang lain, bukan ijtihad. Dalam

membuktikan kebenaran telah terjadi pelanggaran taklik talak,

penggugat ataupun tergugat harus menghadirkan saksi dan bukti lain

di persidangan. Kemudian hakim mempertimbangkan dan

menganalisa apakah pelanggaran taklik talak tersebut bisa dibuktikan

oleh penggugat atau tidak.186

Berbeda dengan pendapat Muh. Safrani yang mengataan bahwa

ijtihad bukan termasuk dalam pertimbangan hukum. Menurut Muhamad

Jamil ijtihad dapat ditempuh oleh majelis hakim ketika sudah tidak

menemukan dasar hukum dalam al-Qur’an, hadits, dan peraturan

perundang-undangan. Sebagaimana pernyataannya:

Dalam memutus suatu perkara, yang pertama adalah hakim harus

mendasarkan putusannya dengan undang-undang yang disandingkan

dengan sumber-sumber hukum lainnya. Dalam mempertimbangkan

alasan perceraian yang pertama harus berdasarkan undang-undang,

jika tidak ditemukan dalam undang-undang baru ijtihad. Dalam

pembuktiannya hakim tetap membebankan kepada pihak untuk

menghadirkan saksi dan bukti lain dan pemeriksaan perkara

perceraian seperti biasa. Hakim tetap dengan mengonstatir,

mengkualifisir dan mengkontutir perkara tersebut, apakah

pelanggaran taklik talak terbukti maka dikabulkan dengan khul’iy

jika tidak terbukti maka ditolak.187

Di samping itu, menurut Muhamad Jamil dalam mengambil

keputusan terhadap suatu perkara, majelis hakim harus mendasarkan pada

pengetahuan dan keyakinan hakim terhadap pemasalahan yang dihadapi

186Muh. Safrani, Wawancara, 22 Nopember 2018. 187Muhamad Jamil, Wawancara, 29 Nopember 2018.

109

oleh penggugat dan tergugat atau pemohon dengan termohon. Berikut

pernyataannya:

Pertimbangan hukum hakim meliputi dalil gugatan, bantahan serta

dihubungkan dengan alat-alat bukti yang ada, selanjutnya hakim

akan menarik kesimpulan terbukti atau tidaknya gugatan itu. Selain

itu juga berdasarkan keyakinan dan pengetahuannya yaitu keyakinan

terhadap kondisi rumah tangga pasangan suami istri tidak mungkin

hidup rukun lagi sehingga rumah tangga tidak mungkin

diselamatkan. Penilaian hakim berdasarkan pada kenyataan dalam

rumah tangga bahwa perselisihan itu sudah sangat lama dan parah

sehingga perkawinan itu tidak mungkin dipertahankan lagi.188

Keyakinan dalam hal ini maksudnya adalah setelah melalui proses

pembuktian terhadap gugatan Penggugat yang dikuatkan oleh keterangan

saksi-saksi, hakim mengambil kesimpulan dengan keyakinannya bahwa

rumah tangga tersebut sudah pecah dan tidak bisa disatukan kembali.

Menurut Rufaidah Idris salah seorang hakim di Pengadilan Agama Giri

Menang, dalam memutuskan suatu perkara selain merujuk pada peraturan

perundang-undangan, hakim juga harus merujuk pendapat-pendapat ulama

yang tertuang dalam kitab-kitab fikih. Berikut pernyataannya:

Dalam memeriksa dan memutus sebuah perkara, harus berdasarkan

undang-undang dan ijtihad serta tidak menafikkan pendapat ulama.

Adapun untuk membuktikan adanya pelanggaran taklik talak adalah

dengan alat bukti pada tahap pembuktian dalam perkara perceraian

karena pelanggaran taklik talak termasuk dalam kategori talak bain

shugro, walaupun yang jatuh adalah talak suami. Karena untuk

jatuhnya talak suami itu istri harus mengajukan ke Pengadilan

Agama dan membayar iwad. Selanjutnya adalah memeriksa

kebenaran alasan/dalil gugatan dalam hal ini adanya pelanggaran

taklik talak: dengan pembuktian membebankan kepada penggugat

untuk membuktikan dalilnya. Jika terbukti ada pelanggaran taklik

talak, maka gugatan dikabulkan, jika tidak terbukti perkara

ditolak.189

Selain itu, majelis hakim juga harus mempertimbangkan alasan-

alasan perceraian yang diajukan oleh penggugat, sebagaimana

pernyataannya:

188Muhamad Jamil, Wawancara, 29 Nopember 2018. 189Rufaidah Idris, Wawancara, 30 Nopember 2018.

110

Alasan-alasan yang diajukan oleh Penggugat akan dipertimbangkan

oleh Majelis Hakim dengan memberikan penilaian atas peristiwa itu

serta menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Kalau

peristiwanya telah terbukti dan peraturan hukumnya jelas dan tegas,

penerapan hukumnya akan mudah. Namun apabila tidak menemukan

hukum yang jelas dan tegas, maka majelis hakim dapat berijtihad

dalam arti menciptakan hukum sendiri dengan cara menafsirkan

hukum yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran yang

dibenarkan.190

Alat bukti dan pembuktian merupakan proses yang sangat penting

dalam peroses persidangan untuk menemukan fakta hukum. Tanpa alat

bukti, maka Majelis Hakim akan kesulitan dalam menemukan fakta hukum.

Menurut Menurut Rusydiana Kurniawati Linangkung, menyatakan:

Pelanggaran terhadap taklik talak dapat dijadikan sebagai alasan

mengajukan perceraian. Majelis Hakim harus mempertimbangkan

ada tidaknya pelanggaran taklik talak yang didalilkan. Bila

pelanggaran taklik talak itu terbukti, maka alasan hukum untuk

melakukan perceraian sudah ada, karena dengan pelanggaran taklik

talak itu rumah tangga telah pecah. Kalau alasan perceraian sudah

ada dan terbukti, maka Majelis Hakim harus mengabulkan gugatan

itu. Pembuktian menjadi beban/tanggung jawab bagi para pihak

sedangkan hakim bertugas menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh

para pihak untuk kemudian memperoleh fakta sebagai pertimbangan

terbukti atau tidak adanya pelanggaran taklik talak yang didalilkan.

Perkara perceraian dengan alasan adanya pelanggaran taklik talak

diatur dalam ketentuan pasal 116 huruf g KHI. Bilamana dari

pembuktian di persidangan diperoleh fakta pelanggaran taklik talak

maka perkara dikabulkan, sebaliknya jika tidak terbukti maka

perkara tersebut ditolak.191

Sebagaimana pendapat Rufaidah Idris, dalam menangani sebuah

perkara majelis hakim harus mempertimbangkan alasan-alasan perceraian

yang diajukan oleh penggugat. Rusydiana sependapat dengan pandangan

tersebut, sebagaimana pernyataannnya:

Secara umum termasuk dalam memutus perkara perceraian dengan

alasan pelanggaran terhadap taklik talak, hakim harus mendasarkan

putusannya pada alasan-alasan yang termuat di dalam pasal-pasal

190Rufaidah Idris, Wawancara, 30 Nopember 2018. 191Rusydiana, Wawancara, 30 Nopember 2018.

111

tertentu dari peraturan yang terkait atau dari sumber hukum tak

tertulis sebagaimana ketentuan Pasal 62 UU Nomor 7 tahun 1989.192

Di samping itu, putusan pengadilan harus memenuhi rasa keadilan

dan kepastian hukum bagi masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh

Rusydiana:

Putusan Pengadilan haruslah memuat asas keadilan, kepastian dan

kemanfaatan. Demikian pula dalam perkara perceraian hakim harus

mempertimbangkan fakta yang ada untuk dikaitkan dengan aturan

hukum yang berlaku dengan memperioritaskan hukum positif untuk

unifikasi hukum Islam di Indonesia.193

Dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan hukum di

Pengadilan Agama pada dasarnya sama, tidak terkecuali perkara perceraian

karena pelanggaran taklik talak. Dasar hukum yang digunakan adalah UU

No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan KHI. Perbedaannya hanya

terletak pada pasal dan ayat yang digunakan. Terkait dengan permasalahan

ini, Muhamad Jamil menyatakan:

Untuk dapat bercerai dengan alasan pelanggaran taklik talak, harus

dibuktikan bahwa peristiwa tersebut telah menyebabkan keretakan

perkawinan yang tidak dapat dipulihkan kembali. Pembuktian di

persidangan dilakukan melalui saksi-saksi dari pihak keluarga atau

orang-orang yang terdekat dengan Pemohon dan Termohon. Dari

pemeriksaan saksi-saksi akan diketahui apakah perselisihan terus

menerus yang terjadi dalam rumah tangga tersebut terbukti atau tidak

yang selanjutnya akan dituangkan dalam pertimbangan keputusan

hakim. Dengan kewenangannya seorang hakim berhak memutuskan

apakah perceraian ditolak atau dikabulkan. Dalam pertimbangan

hukumnya pasal-pasal yang dijadikan pertimbangan hakim adalah

yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975,

KHI dan dalil-dalil hukum syara’. Dalil-dalil yang dipakai

bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, baru pendapat para ulama yang

termuat dalam kitab-kitab fikih. Dalam pertimbangan hukum juga

dimuat pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi

dasar dari putusan itu.194

192Rusydiana, Wawancara, 30 Nopember 2018. 193Rusydiana, Wawancara, 30 Nopember 2018. 194Muhamad Jamil, Wawancara, 29 Nopember 2018.

112

Untuk dapat bercerai, pihak yang mengajukan gugatan harus

mempunyai alasan yang kuat dan jelas. Alasan-alasan tersebut harus bisa

dibuktikan di persidangan. Setelah melalui proses pembuktian, Majlis

Hakim akan mempertimbangkan apakah gugatan para pihak dikabulkan

ataukah ditolak. Terkait dengan permasalahan ini, Muh. Safrani dalam

kesempatan wawancara dengan penulis, menyatakan:

Untuk dapat bercerai harus dapat dibuktikan bahwa peristiwa yang

merupakan alasan perceraian itu telah mengakibatkan keretakan

perkawinan yang tidak dapat dipulihkan kembali. Pembuktian

dipersidangan melalui saksi-saksi dari pihak keluarga atau orang-

orang yang terdekat dengan pengugat dan tergugat. Dari

pemeriksaan saksi-saksi tersebut akan diketahui apakah perselisihan

terus menerus dalam rumah tangga tersebut terbukti atau tidak yang

selanjutnya akan dituangkan dalam pertimbangan putusan. Dengan

kewenangannya, seorang hakim berhak memutuskan apakah

perceraian ditolak atau dikabulkan.195

Di samping itu, selain menerapkan dasar dan pertimbangan hukum

sebagimana telah dipaparkan di atas, majelis hakim juga harus

mempertimbangkan kemaslahatan antara kedua belah pihak. Maslahat

dalam hal ini maksudnya adalah Majelis Hakim mempertimbangkan kondisi

rumah tangga para pihak yang bersengketa, ketika pernikahan tersebut

dilanjutkan apakah akan menimbulkan manfaat atau mudarat. Menanggapi

permasalahan tersebut Rufaidah Idris menyatakan:

Putusan dalam perkara jenis apapun, baik itu perkara waris, itsbat

nikah, perceraian dan lain-lain, tetap dan harus menggunakan

pertimbangan maslahat. Pertimbangan maslahat adalah

pertimbangan utama dalam sebuah putusan. Lebih-lebih dalam

memutus perkara perceraian karena pelanggaran taklik talak, Majelis

Hakim harus bisa mempertimbangkan jika rumah tangga tersebut

tetap dilanjutkan apakah akan menimbulkan mudarat yang lebih

besar ataukah tidak. Jika ya, maka perkawinan tersebut harus diputus

untuk menghindari mudarat yang lebih besar.196

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maslahat merupakan

pertimbangan yang harus ada dalam setiap putusan. Hanya saja kriteria

195Muh. Safrani, Wawancara, 22 Nopember 2018. 196Rufaidah Idris, Wawancara, 30 Nopember 2018.

113

maslahat yang digunakan oleh Majelis Hakim masih terlalu umum. Majelis

Hakim hanya mengutip dalil-dalil maslahat yang dikemukakan oleh ulama

fikih tanpa ada penafsiran baru dari Majelis Hakim.

114

BAB IV

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP

PELANGGARAN TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

DI PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG

Pada bab ini penulis membahas dan menganalisis secara komprehensif

hasil temuan di lapangan tentang pandangan dan putusan hakim terhadap perkara

perceraian akibat pelanggaran taklik talak di Pengadilan Agama Giri Menang.

Ada dua hal yang menjadi pokok pembahasan pada bab ini. Pertama, analisis

terhadap bentuk-bentuk pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian di

Pengadilan Agama Giri Menang. Kedua, analisis terhadap pertimbangan hukum

hakim terhadap pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian dalam perkara

cerai talak No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM. Kedua pokok permasalahan tersebut

dibahas secara rinci, fakta dan temuan di lapangan dikombinasikan dengan teori-

teori yang relevan dengan tema pembahasan.

A. Bentuk-bentuk Pelanggaran Taklik Talak Sebagai Alasan Perceraian di

Pengadilan Agama Giri Menang

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan para informan (hakim)

di Pengadilan Agama Giri Menang, terdapat beberapa bentuk pelanggaran

taklik talak yang bisa dijadikan alasan untuk mengajukan perceraian. Adapun

bentuk-bentuk pelanggaran taklik talak tersebut antara lain:

1. Meninggalkan istri 2 (dua) tahun berturut-turut;

2. Tidak memberi nafkah wajib 3 bulan lamanya;

3. Menyakiti badan/Jasmani istri;

4. Membiarkan atau tidak memperdulikan istri selama 6 bulan atau lebih.

Di antara keempat bentuk taklik talak tersebut, poin 2 dan 3 sering

terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini terbukti dengan banyaknya

kasus gugat cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama Giri Menang dengan

alasan penelantaran nafkah keluarga dan kekerasan dalam rumah tangga.

Meskipun pada kenyataannya ketika mengajukan gugatan perceraian, pihak

istri tidak mendasari alasan-alasan tersebut sebagai taklik talak. Jadi, dapat

115

dikatakan bahwa bentuk-bentuk pelanggaran taklik talak tersebut merupakan

bagian dari kekerasan dalam rumah tangga.

Kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana disebutkan dalam

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, adalah setiap perbuatan terhadap

seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau

penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah

tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau

perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah

tangga.

Berdasarkan definisi di atas dapat dirumuskan beberapa bentuk

kekerasan dalam rumah tangga, yaitu: kekerasan fisik, kekerasan psikis,

kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Rumusan dari definisi di

atas kemudian digunakan untuk menganalisis mengenai konsep kekerasan

dalam rumah tangga yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Secara redaksional pengertian kekerasan dalam rumah tangga yang

sama seperti di atas memang tidak dapat ditemui dalam Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, namun dalam Penjelasan

Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 Peraturan

Pemerintah Tahun 1975 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam telah

menentukan beberapa alasan yang dapat digunakan untuk melakukan

perceraian, yaitu:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar

kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain;

116

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri;

6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga;

Dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, alasan tersebut ditambah

dengan:

1. Suami melanggar taklik talaknya; dan

2. Peralihan agama (murtad) yang menyebabkan ketidakrukunan dalam

rumah tangga.197

Apabila dibandingkan antara rumusan kekerasan dalam rumah tangga

yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004

dengan alasan-alasan yang dapat digunakan untuk melakukan perceraian,

maka beberapa alasan tersebut secara subtansial sesuai dengan rumusan

kekerasan dalam rumah tangga, alasan-alasan tersebut adalah:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan (Penjelasan Pasal 39 ayat (2)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf (a) Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (a) Kompilasi Hukum

Islam);

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar

kemampuannya;

3. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain;

4. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga;

Hal tersebut di atas menunjukan bahwasanya konsep kekerasan dalam

rumah tangga yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:

197Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, 357.

117

1. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah setiap perbuatan yang baik secara

langsung maupun tidak langsung mengakibatkan penderitaan atau

kesengsaraan psikis/mental yang berat pada seseorang.198 Dalam Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, konsep

kekerasan dalam rumah tangga seperti di atas dapat ditemui pada

Penjelasan Pasal 39 ayat (2) jo Pasal 116 huruf (a) Kompilasi Hukum

Islam, yaitu “Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,

pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan”.

Kemudian dalam Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, yaitu

“Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah

tangga”.

Kedua alasan perceraian tersebut termasuk dalam kekerasan psikis

dalam rumah tangga, karena baik secara langsung maupun tidak langsung

dapat mengakibatkan tekanan jiwa yang kemudian dapat menimbulkan

penderitaan psikis/mental berat pada seseorang (suami/istri).

2. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan seseorang yang dapat

menimbulkan atau mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.199

Kekerasan fisik ini lebih mengarah kepada jasmani atau raga seseorang.

Konsep kekerasan secara fisik dalam rumah tangga seperti tersebut di atas

dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) jo Pasal 116 huruf (d)

Kompilasi Hukum Islam, yang memuat ketentuan salah satu alasan

perceraian adalah “Salah satu pihak melakukan kekejaman atau

penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain”.

3. Penelantaran Rumah Tangga

Penelantaran rumah tangga adalah perbuatan seseorang yang

berupa penelantaran atau menelantarkan seseorang dalam lingkup rumah

198Murti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis

Viktimologis (Jakarta: Sinar Grafika, cet. 3, 2012), 83. 199Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga, 83.

118

tangganya, sedangkan menurut ketentuan yang berlaku, ia berkewajiban

memberikan penghidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang

tersebut.200 Penelantaran rumah tangga, walaupun dalam redaksi yang

berbeda dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, secara jelas juga

telah ditentukan dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam,

yaitu mengenai salah satu alasan yang dapat digunakan untuk melakukan

perceraian adalah “Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2

(dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah

atau karena hal di luar kemampuannya”.

Untuk melindungi istri dari kesewenang-wenangan suami, maka

diadakanlah perjanjian taklik talak. Apabila suami telah membaca serta

menandatangani sighat taklik talak setelah akad nikah, maka suami dianggap

telah melakukan perjanjian yang baginya berlaku sebagai undang-undang.

Perjanjian ini merupakan jaminan kepada istri bahwa suami sekali-kali tidak

akan mempermainkan lembaga perkawinan yang akan dibangun nantinya.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 huruf (e) menyatakan perjanjian

perkawinan adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah

akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang

digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa

yang akan datang. Rumusan definisi perjanjian perkawinan yang disebutkan

dalam Kompilasi Hukum Islam. (KHI) lebih bersifat universal-konsepsional

yang berarti tidak mencampur-adukkan antara kebijakan yang sifatnya

temporal dengan konsep dasar perjanjian perkawinan yang sifatnya permanen

dan universal.

Perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat

dalam Bab 7 yang di dalamnya mengatur taklik talak sebagaimana yang

terdapat dalam Pasal 45 dan Pasal 46 yang berbunyi: “Kedua calon mempelai

dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: (1) Taklik Talak. (2)

Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Adapun

200Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga, 83.

119

mengenai penjelasannya adalah kata perjanjian berasal dari kata janji yang

berarti perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat.

Janji juga dapat diartikan persetujuan antara dua pihak (masing-masing

menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu). Perjanjian

bisa juga diartikan sebagai persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat

oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji menaati apa yang tersebut

dalam persetujuan itu.

Perjanjian taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan oleh suami

setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa talak yang

digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa

yang akan datang. Sedangkan dalam Pasal 46 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

berbunyi: 1). Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam. 2).

Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi di

kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh

jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. 3).

Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap

perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat

dicabut kembali.

Berdasarkan pada ketentuan di atas, maka dapat dikatakan bahwa: 1) Isi

taklik talak sudah ditentukan oleh Menteri Agama dan diterbitkan oleh

Kementerian Agama, karena yang melakukan perjanjian taklik talak ini adalah

orang Islam saja, maka isi perjanjian taklik talak tersebut tidak boleh

bertentangan dengan hukum Islam; dan 2) Apabila suami melanggar perjanjian

taklik talak tersebut, maka istri harus mengajukannnya ke Pengadilan Agama.

Karena perceraian di Indonesia terjadi apabila dilakukan dihadapan para hakim

dalam sidang di Pengadilan Agama.

Dari ketentuan perjanjian perkawinan yang termuat dalam Kompilasi

Hukum Islam Pasal 45 ayat (2) bahwa perjanjian lain yang tidak bertentangan

dengan Hukum Islam, terdapat kaitannya dengan perjanjian yang ada dalam

Pasal 1320 KUHPerdata mengemukakan bahwa Undang-undang telah

menentukan 4 (empat) persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu perikatan

120

atau perjanjian dianggap sah yaitu: 1). Kesepakatan mereka yang mengikat diri.

2). Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3). Suatu hal tertentu. 4). Suatu

sebab yang halal.

Dengan demikian, perjanjian perkawinan yang diatur dalam Kompilasi

Hukum Islam, walau dengan teks yang berbeda mempunyai unsur-unsur yang

sama dengan perjanjian dalam KUHPerdata. Namun demikian, dalam

perjanjian taklik talak mempunyai perbedaan dengan perjanjian pada umumnya

dalam hal tertutupnya kemungkinan kedua belah pihak untuk membubarkan

kesepakatan tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 46 ayat (3) KHI

yang menyatakan bahwa perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang

wajib diadakan pada setiap perkawinan. Akan tetapi sekali taklik talak sudah

diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Untuk mengukur apakah taklik talak sebuah perjanjian atau bukan, kita

harus melihat Pasal 1320 KUHPerdata yang memuat syarat sahnya perjanjian

yaitu: (1) sepakat meraka yang mengikatkan dirinya, (2) cakap mereka yang

mengikatkan diri, (3) suatu hal tertentu, dan (4) suatu sebab atau kausa yang

halal. Syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana tersebut di atas dapat

dikategorikan menjadi dua, yaitu kategori syarat subjektif dan kategori syarat

objektif. Syarat subjektif yaitu syarat sepakat mereka yang mengikatkan diri

dan syarat kecakapan untuk membuat perjanjian. Apabila syarat subjektif tidak

dapat dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (vernieitigbaar). Syarat

objektif yaitu syarat suatu hal tertentu dan syarat suatu sebab yang halal.

Apabila dalam perjanjian syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian adalah

batal demi hukum.201

Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri adalah adanya

kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah.

Di dalam taklik talak, suami istri telah sepakat tanpa paksaan untuk

menandatangani persetujuan bersama yang tertuang dalam konsep taklik talak

itu, karena taklik taklak bukan sebuah keharusan bagi berlangsungnya sebuah

201Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Bandung: Mandar Maju, 1999),

65.

121

perkawinan. Cakap maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut

hukum untuk bertindak sendiri. Di dalam hukum perkawinan, seseorang boleh

dapat melangsungkan perkawinan apabila berumur 19 tahun laki-laki dan 16

tahun bagi perempuan (Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974) , artinya

suami istri tersebut sudah dewasa dan cakap hukum untuk melakukan

perbuatan hukum.

Suatu hal tertentu maksudnya adalah yang diperjanjikan dalam suatu

perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu.

Di dalam taklik talak ini, yang diperjanjikan sudah jelas yang tertuang dari isi

taklik talak tersebut. Suatu sebab atau kausa yang halal artinya perjanjian itu

tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Karena keberadaan taklik talak untuk melindungi si istri dari perbuatan suami,

maka keberadaan taklik talak tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut, taklik talak adalah

sebuah perjanjian. Hal ini sesuai dengan pendapat Muhamad Jamil salah

seorang hakim di Pengadilan Agama Giri Menang, berikut pernyataannya:

Dalam peraturan perundang-undangan terutama Undang-Undang No. 1

tahun 1974 alasan perceraian tidak terdapat taklik talak sebagai alasan

perceraian, namun dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 51

disebutkan pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak

kepada istri untuk mengajukan ke Pengadilan, maka pelanggaran taklik

talak bisa dijadikan alasan mengajukan perceraian. Sesuai rumusan

bahwa taklik talak adalah perjanjian yang digantungkan kepada syarat

dengan tujuan utamanya melindungi istri dari kemudharatan, maka

bentuk-bentuknya adalah perjanjian yang telah dibuat oleh suami istri

pada saat pernikahan tersebut.202

Sekilas kita melihat bahwa ikrar taklik talak ini sebagai bentuk

kesungguhan mempelai pria kepada mempelai wanita bahwa ia akan selalu

mencintai istrinya dan berjanji akan melaksanakan kewajibannya sebagai

seorang suami dengan baik. Hal ini juga memberikan perlindungan hukum bagi

wanita karena mendapat jaminan dari suaminya.203

202Muhamad Jamil, Wawancara, 29 Nopember 2018. 203Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 40-41.

122

Perkawinan menurut hukum positif di Indonesia yang juga diilhami dari

hukum Islam pada dasarnya bertujuan untuk membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hendaknya

disadari bahwa perkawinan bukan bertujuan hanya untuk sesaat saja. Di dalam

sebuah perkawinan terkandung hak dan kewajiban masing-masing, baik itu

suami maupun istri. Suami sebagai kepala keluarga mempunyai kewajiban

yang tidak ringan, diantaranya ia harus menyayangi istri dan mampu

memberikan nafkah lahir maupun batin. Ikrar taklik talak pada dasarnya

memberi jaminan atas terpenuhinya kewajiban suami ini.

Secara normatif, seorang laki-laki yang menikah juga telah berjanji

kepada Allah SWT untuk memperlakukan istrinya dengan baik, menjaga

kemuliaan serta tidak menganiayanya. Kekuatan yang dapat dimainkan dari

taklik talak dalam menjamin hak-hak istri dan melindungi mereka dari

perlakukan diskriminatif dan sewenang-wenang suami secara singkat dapat

digambarkan berikut.

Pertama, adalah membuat perjanjian perkawinan antara calon suami

dan calon istri ketika melakukan akad nikah agar keduanya tidak melakukan

hal-hal apa saja yang dapat menjadi sumber tidak terpenuhi hak perempuan

(istri) dan besar kemungkinan menjadi sumber perlakuan diskriminatif dan/atau

sewenang-wenang. Kedua, tentu sejalan dengan pertama, mencantumkan

dalam taklik talak bahwa dapat menjadi alasan untuk berpisah (bercerai) apa

saja yang dapat menjadi sebab tidak terjaminnya hak istri dan/atau perlakuan

apa saja yang dapat menjadi sumber perlakuan diskriminatif dan kesewenang-

wenangan terhadap istri.204

Dengan ungkapan lain, dicantumkan dalam taklik talak agar suami

tidak melakukan apa pun yang mungkin menjadi sumber tidak terjaminnya hak

istri atau menjadi sebab terjadinya perlakuan marginalisasi terhadap istri.

Untuk menentukan sumber tidak terjaminnya hak-hak istri dan atau sumber

marginalisasi yang besar kemungkinan terjadi terhadap perempuan, dapat

dilihat dari keumuman yang terjadi di masyarakat Indonesia, sesuai dengan

204Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 51.

123

konteksnya. Di antara contoh adalah banyaknya laki-laki yang mempunyai sifat

temperamental. Maka untuk menghindari kemungkinan terjadinya amukan

suami terhadap istri dicantumkan dalam taklik talak, bahwa suami tidak boleh

menyakiti istri, baik dalam bentuk pukulan atau bentuk apapun yang menjadi

sebab istri sakit dari perlakuan kasar suami. Terhadap apa saja perkataan

maupun perlakuan yang sering menjadi sumber tidak terjaminnya hak-hak istri

dan sumber perlakuan diskriminatif atau kesewenang-wenangan suami.

Pertama, untuk menentukan apa saja perkataan dan atau perlakuan yang

sering menjadi sumber tidak terjaminnya hak-hak istri dan sumber perlakuan

diskriminatif dan atau sewenang-wenang, dapat didasarkan pada kebiasaan

yang sering terjadi di tingkat nasional. Boleh juga didasarkan pada kebiasaan

yang sering terjadi di daerah tertentu. Atau boleh juga didasarkan pada

kebiasaan yang sering terjadi terhadap orang perorang.205

Apa yang disebutkan sebelumnya, perlakuan kasar suami, adalah

contoh yang umum terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Mungkin di

daerah tertentu sering terjadi suami pergi merantau yang menurut istri menjadi

sumber tidak terjaminnya hak istri dan atau menjadi sumber marginalisasi

terhadap istri, dapat pula dicantumkan dalam taklik talak, bahwa suami kelak

tidak akan pergi merantau. Mungkin juga di daerah lain sering terjadi suami

begitu saja pergi merantau ke negara tetangga dan istri rela. Maka dalam

konteks ini dapat pula dicantumkan taklik talak, suami tidak pergi merantau ke

negara tetangga tanpa persetujuan bersama suami dan istri.206

Demikian juga boleh membuat taklik talak yang didasarkan pada

kebiasaan jelek orang perorang secara individu. Misalnya ada sifat individu

seseorang yang dapat menyebabkan tidak terpenuhi hak-hak istri dan atau

menyebabkan perlakuan diskriminatif atau sewenangwenang. Misalnya ada

kepribadian orang yang senang menyakiti pasangannya. Maka dalam kasus ini

dibuat dalam taklik talak, bahwa kalau melakukannya, suami secara suka rela

205Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 55. 206Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 56.

124

pergi konsultasi atau berobat ke ahli. Boleh juga misalnya disepakati bahwa

kalau suami melakukannya akan bersedia dikenakan sanksi denda.207

Kedua, untuk menentukan ada atau tidaknya perkataan atau perbuatan

yang dapat menjadi sebab tidak terjaminnya hak-hak istri dan kemungkinan

menjadi sumber diskriminasi atau sewenang-wenang, dapat ditempuh dengan

menselaraskan dan mengintegrasikan antara hak dan kewajiban suami dan istri,

dan mengintegrasikan antara hak-hak tersebut dengan prinsip dan tujuan

perkawinan. Semua ini seharusnya berimbang, sebab dalam prinsip hukum

perkawinan ditetapkan bahwa suami dan istri seharusnya bermusyarawah dan

demokrasi dalam menuntaskan masalah-masalah kehidupan rumah tangga,

bahwa suami dan istri adalah pasangan yang bersifat patnership, yang berarti

saling; saling tolong, saling kerja sama, dan saling membutuhkan, bahwa

perkawinan adalah untuk selama hidup.208

Demikian juga dengan tujuan perkawinan, bahwa tujuan perkawinan

adalah untuk kebahagiaan bersama suami dan istri, yakni sama-sama untuk

mendapatkan kehidupan yang aman, tenteram, dan penuh cinta dan kasih

sayang (sakînah mawaddah wa rahmah). Untuk mencapai tujuan akhir ini

dibutuhkan pencapaian tujuan antara, yakni: (1) tujuan untuk melanjutkan

generasi (regenerasi), (2) untuk sama-sama dipenuhi kebutuhan biologisnya,

(3) untuk sama-sama dijaga kehormatannya, (4) untuk sama-sama beribadah.209

Dengan terpenuhi tujuan ini secara bersama diharapkan tercapai pula

tujuan bersama antara suami dan istri dalam mengarungi kehidupan rumah

tangga. Dengan demikian, hak dan kewajiban antara suami dan istripun

seharusnya berimbang dan bersifat saling melengkapi. Maka terhadap hal-hal

yang memungkinkan menjadi sebab tidak terpenuhinya hak istri, dan ini dapat

pula sekaligus menjadi sebab tidak tercapainya tujuan perkawinan, dapat

dicantumkan dalam taklik talak.

Dalam hal inilah tampak akan fungsi taklik talak yang mengikat

pertanggungjawaban suami terhadap istrinya. Dari satu sisi suami akan lebih

207Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 58. 208Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 72. 209Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 76.

125

konsisten dan bertanggungjawab terhadap kelangsunan rumah tangga dan di

sisi lain istri akan lebih dihargai. Pelanggaran suami terhadap hal -hal yang

termaktub dalam sighat taklik talak sudah merupakan alasan bagi istri untuk

mengajukan keberatan dan menuntut dijatuhkannya talak. Walau masih

terdapat beberapa pendapat yang kontradiktif terhadap keberadaan taklik saat

ini, namun pengaruhnya terhadap penghargaan terhadap wanita dalam rumah

tangga lebih besar.

Menurut Abdul Karim Amrullah, lembaga taklik talak dapat menolong

wanita dari perbuatan kesewenang-wenangan laki-laki.210 Sebagaimana dahulu

banyak terjadi di daerah Minangkabau, banyak perempuan yang terkatung-

katung, tidak pernah bergaul dan tidak pernah diberi nafkah oleh suami, tetapi

tidak pula diceraikan. Apabila mereka mengadu ke Pengadilan, mereka justru

disalahkan karena sulitnya hakim Agama mengabulkan gugatan perceraian dari

mereka, padahal mereka benar-benar ditelantarkan oleh suaminya, kemudian

banyak diantara mereka yang murtad, dengan sendirinya putuslah nikah dengan

suaminya. Oleh karena itu pada tahun 1916, untuk membebaskan perempuan

dari laki-laki yang tidak bertanggungjawab di daerah Minangkabau

diberlakukan taklik talak.

Sekiranya seorang suami telah mengadakan perjanjian taklik talak,

ketika akad nikah dilaksanakan dan bentuk perjanjian itu telah disepakati

bersama, maka perjanjian taklik talak itu dianggap sah untuk semua bentuk

taklik. Apabila suami melanggar perjanjian yang telah disepakati itu maka istri

dapat mengajukan gugatan cerai kepada hakim yang telah ditunjuk oleh pihak

yang berwenang.211

Jika memperhatikan bentuk taklik talak yang telah dibahas pada bab 3

di atas dapat dipahami bahwa maksud yang dikandungnya amat baik dan

positif kepastian hukumnya, yaitu melindungi istri dari kesewenang-wenangan

suami dalam memenuhi kewajibannya yang merupakan hak-hak istri yang

harus diterimanya. Sesuai dengan ajaran Islam, seorang suami mempunyai

210Hamka, Tafsir al-Azhar Juz V (Jakarta: Panji Masyarakat, 1981), 71. 211Daniel S. Lev, Islamic Court in Indonesia, terj. H. Zaini Ahmad Noeh, Peradilan

Agama Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Intermasa, 1986), 4.

126

kewajiban memelihara istrinya dengan sebaik-baiknya, berarti hak istri adalah

memperoleh pemeliharaan sebaik baiknya dari suaminya.212

Keberadaan taklik talak apabila ditinjau dari hukum perjanjian pun

merupakan sebuah perjanjian yang apabila dilanggar menimbulkan

konsekuensi yuridis yaitu suami telah melakukan perbuatan ingkar janji atau

wantprestasi, sehingga menurut penulis istri dapat menggugat suami ke

pengadilan negeri untuk menuntut hak-haknya yang telah dilangar oleh suami

tersebut sesuai bunyi dari taklik talak yang ada. Hal ini berdasarkan

argumentasi bahwa taklik talak itu adalah sebuah perjanjian yang telah

disepakati bersama baik oleh suami ataupun oleh istri.

Pembacaan taklik talak yang dilakukan sesaat setelah akad nikah

menimbulkan kesan, bahwa perkawinan yang akan dijalani akan selalu

dibayang-bayangi dengan perceraian. Sehingga seakan-akan tidak sesuai

dengan tujuan dari perkawinan yang menginginkan terbentuknya keluarga

(rumah tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti

yang dimaksudkan pada pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Tetapi menurut pendapat penulis, pembacaan taklik talak justru

merupakan suatu bentuk jaminan dari suami kalau perkawinannya kelak akan

berjalan dengan baik. Secara umum tidak ada seorang pun di dunia ini yang

menginginkan perkawinannya putus di tengah jalan dan berakhir dengan

perceraian. Penulis berkeyakinan bahwa tidak ada suami yang mempunyai niat

untuk menceraikan istrinya secara bersamaan ketika dia melakukan akad nikah.

Oleh karena itu, dengan membaca taklik talak maka suami telah berjanji akan

melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan dengan

penuh tanggung jawab. Karena tidak seorang pun yang mengharapkan

kehidupannya menemui kegagalan.

Setiap perkawinan tentulah diharapkan akan bertahan seumur hidup.

Adakalanya, harapan ini tidak tercapai karena rumah tangga bahagia yang

diidam-idamkan berubah menjadi neraka, maka terbukalah pintu perceraian.

212Murtadha Muthahhari, The Rights of Women in Islam, terj. M. Hashem (Bandung:

Penerbit Pustaka, 1997), 197.

127

Karena awal dari perkawinan adalah cinta kasih yang membayangkan

kebahagiaan, maka selalulah peristiwa perceraian diliputi oleh ledakan-ledakan

emosi yang sebaliknya, benci dan dendam. Oleh karena itu kasus percerian

merupakan perkara yang paling sulit ditangani hakim.

Apabila masalah tersebut timbul disebabkan karena pelanggaran taklik

talak yang dilakukan suami, maka pada situasi seperti ini istri lah yang pada

akhirnya menjadi pihak yang teraniaya. Hak-hak istri yang semestinya

diperoleh dari suami tidak didapatkan, bagaimana sikap istri ketika taklik talak

dilanggar? Untuk menjelaskan masalah ini penulis akan menguraikannya

sebagai berikut:

1. Tindakan Hukum Istri Ketika Taklik Talak Dilanggar

Pada bagian akhir shigat taklik talak disebutkan bahwa, apabila istri

tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan agama dan

pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri

membayar uang sebesar Rp 10.000.- (sepuluh ribu rupiah) sebagai ‘iwad

(pengganti) kepada suaminya, maka jatuhlah talak satu kepadanya, kepada

pengadilan atau petugas tersebut tadi, suami mengkuasakan untuk menerima

uang ‘iwad (pengganti) itu dan kemudian menyerahkan kepada Dirjen

Bimas islam dan Penyelenggara Haji, Cq Direktorat Urusan Agama Islam

untuk keperluan ibadah sosial.

Dari rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ketika ketentuan

taklik talak dilanggar oleh suami dan istri tidak ridho, maka istri dibenarkan

untuk melakukan suatu tindakan hukum. Adapun tindakan hukum yang

dapat dilakukan istri sesuai dengan rumusan di atas adalah dengan

mengajukan gugatan kepada hakim di Pengadilan Agama, kemudian hakim

membenarkan pengaduannya itu dan istri menyerahkan uang ‘iwad

(pengganti), maka jatuhlah talak satu kepadanya.

2. Posisi Istri dalam Perceraian Karena Pelanggaran Taklik Talak

Dari berbagai kasus perceraian yang ada, sangat jarang ataupun tidak

ada ditemukan data atau berkas berkenaan dengan pengaduan istri yang

sesuai dengan rumusan pada shigat taklik talak. Istri yang memulai proses

128

perceraian, baik karena pelanggaran taklik talak atau sebab yang lain harus

mengajukan gugatan seperti gugatan perdata biasa dengan segala

formalitasnya, dengan hak banding, kasasi dan lain-lain bagi suami. Proses

yang dilakukan istri akan semakin lama dan berbelit-belit. Dengan demikian

maka pihak istri akan selalu dalam keadaan yang serba sulit. Karena

posisinya sebagai penggugat maka istri pula yang harus membuktikan apa

yang menjadi tuntutannya. Dengan posisi yang seperti ini maka, istri

menjadi pihak yang sangat dirugikan.

Dalam satu sisi, hak yang semestinya ia terima tidak ia dapatkan,

yang disebabkan karena suami melanggar ketentuan taklik talak, sedangkan

di sisi lain ia harus berjuang di pengadilan untuk membuktikan tentang

perbuatan yang sama sekali tidak dilakukannya. Lebih parah lagi, perbuatan

tersebut adalah perbuatan suami yang telah merampas dengan semena-mena

tentang hak yang harusnya ia terima. Dalam hal ini istri tidak mendapatkan

perlakuan serta kedudukan yang sejajar baik di dalam keluarga maupun di

depan hukum.

B. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Pelanggaran Taklik Talak

Sebagai Alasan Perceraian dalam Perkara Cerai Talak Nomor

080/Pdt.G/2013/PA.GM.

1. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Cerai Talak Nomor

080/Pdt.G/2013/PA.GM.

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam

menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung

keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping

itu, juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga

pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat.

Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan

hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh

Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.

Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya

pembuktian, di mana hasil dari pembuktian itu digunakan sebagai bahan

129

pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang

paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan

untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu

benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.

Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya

bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan

kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para

pihak.213

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan (hakim di Pengadilan

Agama Giri Menang) dan hasil telaah penulis terhadap cerai talak No.

080/Pdt.G/2013/PA.GM, yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya,

penulis menemukan beberapa pertimbangan yang digunakan oleh Majelis

Hakim dalam memutus perkara tersebut. Adapun pertimbangan tersebut

penulis klasifikasikan menjadi dua bagian yaitu pertimbangan hukum, dan

pertimbangan masalahat.

a. Pertimbangan Hukum

Pertimbangan atau yang sering disebut dengan considerans

merupakan dasar dalam mengambil sebuah keputusan. Pertimbangan

dalam putusan perdata dibagi dua, yaitu pertimbangan tentang duduk

perkara atau peristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya. Dalam

perkara perdata terdapat pembagian tugas yang tetap antara pihak dan

hakim, para pihak harus mengemukakan peristiwanya, sedangkan

persoalan hukumnya adalah urusan hakim.

Apa yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak

lain adalah alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada

masyarakat mengapa ia sampai mengambil keputusan demikian,

sehingga putusan tersebut mempunyai nilai obyektif. Pasal 184 HIR dan

Pasal 195 Rbg menyebutkan bahwa alasan dan dasar putusan harus

dimuat dalam pertimbangan putusan. Peraturan tersebut mengharuskan

setiap putusan memuat ringkasan yang jelas dari tuntutan dan jawaban,

213Arto, Praktek Perkara Perdata, 141.

130

alasan dan dasar dari putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis,

pokok perkara, biaya perkara, serta hadir tidaknya pihak pada waktu

putusan diucapkan oleh hakim.

Dalam menyelesaikan perkara cerai talak dengan alasan

pelanggaran taklik talak majelis hakim terlebih dahulu menentukan

kualitas perselisihan dan pertengkaran antara suami istri yang didalilkan

oleh pihak yang mengajukan perkara dengan penilaian dan pertimbangan

sebagai berikut:

1) Para pihak sudah tidak dapat didamaikan.

2) Ketika persidangan dibuka untuk pertama kalinya dalam perkara

perceraian, hakim berusaha untuk mendamaikan pihak yang

berperkara dengan cara menasehati mereka untuk hidup rukun

kembali dalam kehidupan rumah tangga.

3) Usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dalam sidang terbuka

untuk umum sebelum memasuki pemeriksaan terhadap pokok perkara

permohonan cerai talak atau cerai gugat, bahkan dapat dilakukan

secara intensif pada setiap kali persidangan.

4) Apabila para pihak tidak sepakat untuk berdamai maka dilanjutkan

acara berikutnya yaitu pembacaan surat gugatan, mendengar jawaban

tergugat dan pengugat dipersidangan, pemeriksaan saksi-saksi dan

pembacaan putusan.

5) Penilaian hakim mengenai telah terjadi perselisihan dapat dilakukan

oleh hakim selama proses persidangan berlangsung para pihak yang

berperkara ternyata masih dapat rukun kembali atau apabila yang

terlihat nyata dalam sikap para pihak bahwa ketidak rukunan antara

suami istri tidak terlalu parah maka Majelis Hakim akan menilai

bahwa kondisi yang demikian itu belum dapat dijadikan alasan

perceraian. Karena itu Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975

dipandang belum terpenuhi.214

214Muhamad Jamil, Wawancara, 29 Nopember 2018.

131

Hakim dalam mengadili suatu perkara perceraian yang diajukan

kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa

yang menjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dalam rumah

tangga tersebut untuk selanjutnya dibuktikan dengan saksi-saksi dan alat-

alat bukti yang diajukan para pihak. Alasan perselisihan dan

pertengkaran secara terus menerus tersebut di atas bukan merupakan

sebab utama, akan tetapi merupakan akibat dari sebab-sebab lain yang

mendahuluinya di antaranya:

1) Perselisihan yang menyangkut keuangan, karena istri dianggap boros,

atau karena suami tidak menyerahkan seluruh penghasilannya kepada

istri.

2) Perselisihan yang menyangkut masalah kesetiaan suami kepada

istri.215

Selanjutnya untuk menilai ada atau tidaknya suatu keretakan

perkawinan harus dapat dibuktikan bahwa alasan percerian yang diajukan

ke pengadilan merupakan peristiwa yang mengganggu keharmonisan

rumah tangga sehingga menyebabkan keretakan dan keadaan tersebut

tidak dapat dipulihkan kembali.

Perceraian dapat dikabulkan setelah peristiwa yang merupakan

alasan perceraian dapat dibuktikan dan telah mengakibatkan keretakan

rumah tangga yang tidak dapat dipulihkan kembali. Pembuktian

dipersidangan melalui saksi-saksi dari pihak keluarga atau orang-orang

yang terdekat dengan Pengugat dan Tergugat. Dari pemeriksaan saksi-

saksi tersebut akan diketahui apakah perselisihan terus menerus dalam

rumah tangga tersebut terbukti atau tidak yang selanjutnya akan

dituangkan dalam pertimbangan putusan. Dengan kewenangannya,

seorang hakim berhak memutuskan apakah perceraian ditolak atau

dikabulkan.

Pertimbangan hukum hakim ini meliputi dalil gugatan, bantahan

serta dihubungkan dengan alat-alat bukti yang ada, selanjutnya hakim

215Rufaidah Idris, Wawancara, 30 Nopember 2018.

132

akan menarik kesimpulan terbukti atau tidaknya gugatan itu. Selain itu

juga berdasarkan keyakinan dan pengetahuannya yaitu keyakinan

terhadap kondisi rumah tangga pasangan suami istri tidak mungkin hidup

rukun lagi sehingga rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Penilaian

hakim berdasarkan pada kenyataan dalam rumah tangga bahwa

perselisihan itu sudah sangat lama dan parah sehingga perkawinan itu

tidak mungkin dipertahankan lagi.216

Selanjutnya hakim berkeyakinan dengan keadaan seperti itu

perceraian lebih baik dikabulkan daripada perkawinan tetap

dipertahankan terus maka akan menimbulkan kemudaratan yang lebih

besar. Kemudaratan yang dimaksudkan adalah perkawinan tersebut tidak

membawa kebahagiaan bagi mereka dan merugikan pertumbuhan anak-

anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Pertimbangan hakim apabila ada kumulasi masalah perceraian

dengan melihat alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh para pihak,

dengan memperhatikan alasan yang paling menonjol serta terbukti

tidaknya gugatan. Selain itu hakim juga berpedoman pada adanya suatu

keyakinan bahwa keadaan rumah tangga suami istri tersebut telah pecah

(shiqa>q) dan tidak mungkin diselamatkan lagi.217

Perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga sehingga

menyebabkan perpecahan, biasanya tidak berdiri sendiri (merupakan

kumulasi). Satu dan lain hal saling mempengaruhi, alasan-alasan

perceraian para pihak saling berkait antara satu alasan dengan alasan

yang lainnya, dengan pengertian bahwa satu alasan menjadi penyebab

adanya alasan perceraian yang lain. Misalnya dalam hal

ketidakharmonisan suami istri karena dipicu oleh perselingkuhan suami

dengan perempuan lain atau sebaliknya, kemudian pihak istri atau suami

pergi dari tempat kediaman bersama, suami bertindak kasar, suami tidak

memberi nafkah kepada istri, meninggalkan keluarga atau pergi dari

216Rufaidah Idris, Wawancara, 30 Nopember 2018. 217Rusydiana, Wawancara, 30 Nopember 2018.

133

rumah yang pada awalnya dilakukan dengan alasan yang jelas namun

lama kelamaan tidak ada kabarnya.

Alasan-alasan tersebut selanjutnya akan dipertimbangkan oleh

majelis hakim dengan memberikan penilaian atas peristiwa itu serta

menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Kalau peristiwanya

telah terbukti dan peraturan hukumnya jelas dan tegas, penerapan

hukumnya akan mudah. Namun apabila tidak menemukan hukum yang

jelas dan tegas, maka majelis hakim dapat berijtihad dalam arti

menciptakan hukum sendiri dengan cara menafsirkan hukum yang tepat

melalui cara-cara pendekatan penafsiran yang dibenarkan.218

Dengan kewenangannya seorang hakim berhak memutuskan

apakah perceraian ditolak atau dikabulkan. Dalam pertimbangan

hukumnya pasal-pasal yang dijadikan pertimbangan hakim adalah yang

terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan dalil-

dalil hukum syara’. Dalil-dalil yang dipakai bersumber dari al-Qur’an

dan al-Hadits, baru pendapat para ulama yang termuat dalam kitab-kitab

fikih. Dalam pertimbangan hukum juga dimuat pasal-pasal peraturan

perundang-undangan yang menjadai dasar dari putusan itu.219

Penyelesaian perceraian diakhiri dengan dibacakannya putusan

hakim di muka persidangan. Dalam memutus perkara, hakim

berpedoman pada aturan yang mempunyai dasar hukum yang kuat dalam

memutuskan suatu perkara sehingga secara yuridis tidak menyimpang

dari ketentuan hukum yang berlaku.

Berdasarkan putusan cerai talak No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM

yang penulis jadikan sebagai bahan kajian, terdapat bebrapa

pertimbangan dalam putusan tersebut, antara lain:

1) Bahwa upaya perdamaian yang dilakukan oleh majelis hakim di

dalam persidangan serta mediasi yang dilakukan oleh mediator Drs.

Mutamakin, S.H. di luar persidangan kepada kedua belah pihak tidak

218Ichtianto, Tanggung Jawab Hakim (Jakarta: Mimbar Hukum, No. 47, tahun XI,

2000), 5. 219Rusydiana, Wawancara, 30 Nopember 2018.

134

berhasil, maka majelis hakim melanjutkan pemeriksaan perkara ini

pada pokok perkara.

2) Bahwa yang menjadi pokok permohonan Pemohon adalah pemohon

memohon agar perjanjian taklik talak yang telah dibuat dan

ditandatangani pemohon dengan jatuhnya talak tiga sekaligus

pemohon kepada termohon secara taklik talak dapat ditetapkan

dengan jatuh talak satu raj’i demi mendapatkan kepastian status

hukum dan permohonan tersebut tetap dipertahankan oleh Pemohon

tanpa ada perubahan apapun. Bahwa atas dalil-dalil permohonan

Pemohon tersebut, Termohon mengakui dan membenarkan dalil-

dalil permohonan Pemohon.

3) Bahwa berdasarkan bukti P.1, maka harus dinyatakan terbukti bahwa

antara Pemohon dan Termohon telah terikat dalam perkawinan yang

sah, maka Pemohon dan Termohon adalah pihak-pihak yang sah

sebagai subyek hukum dalam perkara ini sesuai pasal 7 ayat (1)

Kompilasi Hukum Islam. Bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh

Pemohon telah memenuhi syarat-syarat formil maupun materiil

sebagaimana ketentuan Pasal 165-179 R.Bg., maka majelis hakim

berpendapat dapat menerima saksi-saksi Pemohon tersebut untuk

didengar keterangannya di persidangan.

4) Bahwa berdasarkan pengakuan pemohon, bukti (P.2) dan

keterangan saksi-saksi pemohon maka majelis hakim berpendapat

bahwa dalil-dalil permohonan Pemohon dalam perkara a quo telah

terbukti bahwa pemohon telah membuat dan menandatangani

perjanjian taklik talak dengan jatuhnya talak tiga Pemohon sekaligus

terhadap Termohon, namun setelah terjadinya taklik tersebut,

Pemohon dengan Termohon masih saling mencintai dan

berkeinginan melanjutkan hubungan rumah tangganya, akan tetapi

masyarakat enggan menerima karena beranggapan antara Pemohon

dengan Termohon telah jatuh talak tiga.

135

5) Bahwa dalam hukum Islam selain talak khulu’, talak tafwidh, fasakh

dan lain sebagainya sebagai teknik-teknik perceraian, juga diatur

mengenai taklik talak yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam

di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu rujukan

sumber hukum materiil bagi Pengadilan Agama dalam memutus

perkara perceraian mengatur dan mengakui eksistensi lembaga taklik

talak sebagai salah satu alasan perceraian sebagaimana termuat

dalam pasal 45 ayat (1) dan pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum

Islam (KHI).

6) Bahwa tujuan luhur diaturnya lembaga taklik talak dalam sistem

hukum perkawinan dan perceraian Islam di Indonesia adalah

melindungi hak-hak istri dari perbuatan/tindakan semena-mena

suami demi niatan baik dari pemohon dan termohon untuk tetap

hidup membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah

sebagaimana termuat dalam surat Ar-Rum ayat 21 dan pasal 1

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;

7) Bahwa dari pengakuan Pemohon yang telah dibenarkan oleh

Termohon dan diperkuat dengan alat bukti P.2 serta keterangan

saksi-saksi telah terbukti bahwa Pemohon telah membuat dan

menandatangani perjanjian taklik talak yang dalam perjanjian

tersebut kejadian yang dijadikan gantungan (taklik) oleh Pemohon

untuk menjatuhkan talaknya adalah sesuatu yang berkaitan erat

dengan persoalan (tingkah laku) Pemohon yang dapat

mempengaruhi keharmonisan dan menghalangi hubungan Pemohon

dan Termohon dalam membina rumah tangga dan dapat

menghalangi Pemohon atau Termohon untuk menjalankan

kewajibannya sebagai suami istri, yaitu mengenai perbuatan

pemohon yang mengulang kembali menjalin hubungan khusus

(bahkan sampai menikah) dengan perempuan lain yang bernama

Nurhayati, oleh karena itu majelis hakim berpendapat bahwa

perjanjian ta’lik talak yang diperjanjikan Pemohon tersebut pada

136

dasarnya memenuhi tujuan dan nilai luhur pengaturan lembaga taklik

talak dalam hukum perkawinan dan perceraian di Indonesia

sebagaiman termuat dalam Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan

Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990.

8) Bahwa dari dalil Pemohon yang telah dibenarkan oleh Termohon

dan diperkuat dengan keterangan saksi-saksi telah terbukti Pemohon

telah membuat dan menandatangani perjanjian taklik talak, ternyata

Pemohon telah menjalin hubungan, bahkan sampai menikah lagi

dengan perempuan lain yang bernama Nurhayati meskipun telah

diceraikan kembali oleh Pemohon, maka berdasarkan fakta tersebut

dan pertimbangan-pertimbangan di atas, perjanjian taklik talak

Pemohon telah memenuhi ketentuan hukum Islam dan Pemohon

telah terbukti sah secara hukum melanggar perjanjian taklik talak

tersebut.

9) Bahwa oleh karena Pemohon terbukti sah secara hukum telah

melanggar perjanjian taklik talaknya tersebut, maka selanjutnya

majelis hakim akan mempertimbangkan jumlah atau bilangan talak

yang jatuh sebagai akibat dari perjanjian talak tiga sekaligus

pemohon tersebut dalam takliknya.

10) Bahwa dengan diajukannya permohonan dalam perkara a quo oleh

pemohon, majelis hakim berpendapat bahwa pemohon telah

beri’tikad baik dan oleh karenanya maka permohonan pemohon

dalam perkara a quo dapat dipertimbangkan demi memberikan

kepastian hukum dan memberikan keyakinan kepada pemohon dan

termohon terhadap status perkawinannya tersebut

11) Bahwa meskipun terdapat ulama’ yang berpendapat bahwa talak tiga

yang diucapkan/dijatuhkan dalam satu waktu tetap jatuh talak tiga,

akan tetapi dalam perkara a quo, berdasarkan hadits-hadits dan

pendapat ulama sebagaimana termuat dalam pertimbangan di atas

dan demi kemaslahatan rumah tangga pemohon, termohon serta

kedua anaknya tersebut, maka majelis hakim berpendapat bahwa

137

talak tiga yang diperjanjikan oleh pemohon dalam perkara a quo

hanya jatuh talak satu.

12) Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka

majelis hakim berpendapat bahwa permohonan pemohon,

sebagaimana tersebut dalam petitum nomor 2, dapat dikabulkan

dengan menetapkan jatuhnya talak satu raj’i pemohon terhadap

termohon.220

Menurut penulis dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim

menilai bahwa Pemohon telah dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya

dengan saksi-saksi yang ternyata keterangan satu dengan yang lainnya

saling berkesesuaian, terutama tentang terjadinya pelanggaran taklik

talak yang dilakukan oleh Pemohon. Pemohon pada awalnya telah

menjalin hubungan asmara dengan perempuan lain, kemudian berjanji

untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Jika Pemohon kembali

menjalin hubungan dengan perempuan lain tersebut maka jatuh talak tiga

Pemohon kepada Termohon. Oleh karena Pemohon kembali mengulangi

perbuatannya maka Termohon menganggap sudah jatuh talak dan antara

Pemohon dengan Termohon sudah pisah rumah sejak kejadian tersebut.

Dengan kejadian tersebut, Pemohon menyesal dan ingin kembali

menjalin hubungan suami istri. Namun karena menurut masyarakat telah

jatuh talak tiga, maka Pemohon tidak berani kembali kepada Termohon

meskipun mereka masih sama-sama saling mencintai. Oleh karena itu,

Pemohon mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama Giri

Menang untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai permasalahan

tersebut.

Pemohon (suami) memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan

Agama Giri Menang untuk menetapkan talak tiga sekaligus yang jatuh

karena taklik talak yang diucapkan oleh Pemohon ditetapkan sebagai

talak satu agar Pemohon bisa rujuk dengan Termohon. Dengan merujuk

220Pengadilan Agama Giri Menang, Salinan Putusan Nomor: 080/Pdt.G/2013/PA.GM,

7-11.

138

pada peraturan perundang-undangan, hadits-hadits tentang talak tiga dan

pendapat ulama tentang permasalahan tersebut. Akhirnya Majelis Hakim

menjatuhkan putusan sebagi berikut:

1) Mengabulkan permohonan Pemohon.

2) Menyatakan taklik talak Pemohon (Naharudin bin Baderun) terhadap

Termohon (Srianu binti H. Mahli) sah menurut hukum.

3) Menetapkan jatuhnya talak satu raj’i Pemohon (Naharudin bin

Baderun) terhadap Termohon (Srianu binti H. Mahli).

4) Membebankan biaya perkara ini sebesar Rp 211.000,- (dua ratus

sebelas ribu rupiah) kepada Pemohon.

Menurut penulis pertimbangan tersebut sudah tepat karena

dengan kejadian tersebut menimbulkan perselisihan dan ketidakpastian

hukum mengenai status talak yang digantungkan oleh Pemohon (taklik

talak). Dalam memutus suatu perkara, majelis hakim harus

mempertimbangkan fakta hukum yang terjadi selama proses persidangan.

Fakta persidangan yang ditemukan pada perkara taklik talak di atas

adalah adanya ketidakpastian hukum tentang jatuhnya talak suami

terhadap istri.

Pasal 184 ayat (1) dan (2) HIR dan Pasal 195 ayat (1) dan (2)

R.Bg serta Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 14 Tahun 1970

mengemukakan bahwa setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata

harus memuat secara ringkas tentang gugatan dan jawaban Tergugat

secara ringkas dan jelas. Di samping itu dalam surat putusan juga dimuat

secara jelas tentang alasan dasar dari putusan, pasal-pasal dari peraturan

perundang-undangan yang berlaku, biaya perkara serta hadir dan

tidaknya para pihak yang berperkara pada waktu putusan itu diucapkan.

Adapun hal-hal yang dilihat dan diperhatikan oleh Majelis Hakim

dalam pertimbangan fakta hukum ini adalah sebagai berikut:

1) Gugatan yang Diajukan Oleh Penggugat

Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) HIR dan Pasal 195 ayat (1)

R.Bg bahwa gugatan dan jawaban para pihak cukup ditulis secara

139

ringkas saja. Dalam praktik biasanya gugatan dimuat secara

keseluruhan dalam putusan. Sebenarnya hal ini akan mempertebal

halaman putusan saja. Namun hal ini bukanlah suatu kesalahan,

karena memuat semua gugatan dan jawab-menjawab secara lengkap

akan memperjelas tentang duduk perkaranya dalam putusan

tersebut.221

2) Jawaban dan Tanggapan Para Pihak

Sebaiknya jawaban dan tanggapan para pihak cukup dimuat

secara ringkas saja. Tidak perlu jawaban dan tanggapan para pihak

(termasuk reflik dan duplik) dimuat secara keseluruhan, cukup hal-hal

yang menyangkut pokok-pokoknya saja atau garis besarnya saja

asalkan tidak menghilangkan arti dari jawab-menjawab tersebut atau

mengurangi artinya. Tetapi apabila dimuat secara keseluruhan, hal

tersebut bukanlah suatu kekeliruan. Bisa saja dimuat secara

keseluruhan tetapi haruslah dilihat situasi dan kondisi dari perkara

yang disidangkan.222

3) Fakta Kejadian dalam Persidangan

Fakta kejadian ini dapat berupa alat-alat bukti, baik tertulis

maupun tidak tertulis, keterangan saksi-saksi, persangkaan ataupun

sumpah, baik untuk kepentingan Penggugat maupun untuk

kepentingan Tergugat. Untuk mempersingkat keterangan yang

terdapat dalam persidangan, sebaiknya diringkas apa yang terdapat

dalam Berita Acara Sidang. Lazimnya ditulis bahwa sesuatu yang

terurai dalam Berita Acara Sidang dianggap termuat dalam putusan

ini.223

Setelah hal-hal tersebut di atas (gugatan penggugat, jawaban dan

dan tanggapan para pihak serta fakta kejadian dalam persidangan)

dipertimbangkan satu persatu secara kronologis, kemudian barulah ditulis

dalil-dalil hukum syara’ yang menjadi sandaran pertimbangannya.

221Manan, Penerapan Hukum, 294. 222Manan, Penerapan Hukum, 294. 223Manan, Penerapan Hukum, 295.

140

Sebaiknya didahulukan dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan

Hadits, baru pendapat para ulama yang termuat dalam kitab-kitab fikih.

Dalil-dalil tersebut disingkronkan satu dengan yang lain agar ada

hubungan hukum dengan perkara yang disidangkan.224

Bila hakim tidak dapat menemukan hukum dari sumber-sumber

hukum di atas, maka hakim harus mencarinya dengan menggunakan

metode interpretasi dan konstruksi.225 Adapun metode interpretasi terdiri

dari beberapa jenis yaitu:226

1) Penafsiran Subsumtif yaitu penerapan suatu teks undang-undang

terhadap kasus inkonkreto sekedar menerapkan sillogisme.

2) Penafsiran Gramatikal yaitu untuk mengetahui makna teks undang-

undang ditafsirkan dengan menguraikannya menurut bahasa umum

sehari-hari.

3) Penafsiran Sistematis dan Logis yaitu menafsirkan suatu undang-

undang dengan menghubungkannya dengan peraturan lain atau

dengan keseluruhan sistem hukum.

4) Penafsiran Historis yaitu penafsiran teks undang-undang didasarkan

pada sejarah terbentuknya undang-undang tersebut.

5) Penafsiran Sosiologis atau Teleologis yaitu menerapkan makna

undang-undang disesuaikan dengan kebutuhan hukum sosial.

6) Penafsiran Kompratif yaitu penafsiran undang-undang dengan

memperbandingkan antara berbagai sistem hukum.

7) Penafsiran Restriktif yaitu menafsirkan undang-undang dengan cara

membatasi ruang lingkup undang-undang tersebut, dengan

224Manan, Penerapan Hukum, 295. 225Metode interpretasi adalah penafsiran terhadap teks undang-undang, hal mana

kajian pokoknya tetap berpegang pada bunyi teks undang-undang tersebut. Sedangkan metode

konstruksi adalah mempergunakan penalaran logis untuk mengembangkan suatu teks undang-

undang, dimana hakim tidak lagi terikat dan berpegang pada bunyi teks undang-undang, tetapi

dengan syarat tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem. Manan, Penerapan Hukum,

279-281. 226Amran Suadi, Teknik Pengambilan Putusan dan Penulisan Putusan Yustisial,

Makalah pada Temu Karya Ilmiah Hakim Pengadilan Agama se-Sumatera Utara (PTA Medan,

1998), 5.

141

mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada arti

bahasa.

8) Penafsiran Ekstensif yaitu menafsirkan undang-undang melampaui

batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal.

9) Penafsiran Futuristis, yaitu penafsiran undang-undang bersifat

antisipasi dengan menggunakan undang-undang yang belum memiliki

kekuatan hukum.

Selain metode penafsiran, hakim dapat menggunakan metode

konstruksi dengan berpedoman kepada tiga syarat yaitu (1) konstruksi

harus meliputi bidang hukum positif, (2) dalam konstruksi tidak boleh

ada pertentangan logis di dalamnya, dan (3) konstruksi bersifat

menyelesaikan permasalahan hukum yang kabur dengan kejelasan-

kejelasan yang dapat memenuhi tuntutan keadilan dan bermanfaat bagi

pencari keadilan.227 Adapun metode konstruksi terdiri dari beberapa

metode yaitu:228

1) Argumen peranalogian, yaitu penalaran yang digunakan terhadap

suatu peristiwa yang belum tersedia peraturan hukumnya, tetapi

peristiwa itu mirip dengan yang diatur dalam undang-undang, atau

dalam kajian hukum Islam disebut “qiya>s”.

2) Metode argumentatum a’contrario, yaitu suatu penalaran hukum

dengan membatasi penerapan hukum pada peristiwa tertentu yang

tersebut dalam undang-undang, sedangkan peristiwa lain yang tidak

diatur dalam undang-undang itu diterapkan makna kebalikan dari

aturan undang-undang tersebut, atau dalam kajian hukum Islam

disebut “mafhu>m al-mukha>lafah”.

3) Pengkonkritan hukum (Rechtsvervijnings) yaitu penalaran hukum

dengan pengkonkritan terhadap suatu masalah hukum yang terlalu

umum dan sangat luas, atau dalam kajian Islam mirip dengan

penerapan al-muqayya>d terhadap nas} ‘a>m (umum).

227Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis

(Jakarta: Chandra Pratama, cet. I,1996), 192. 228Manan, Penerapan Hukum, 282.

142

4) Fiksi hukum yaitu penalaran hukum mengikuti asas “in dubito pro

reo” artinya asas yang mengatakan bahwa setiap orang dianggap

mengetahui hukum.

b. Pertimbangan Maslahat

Setelah menelaah putusan Pengadilan Agama Giri Menang No.

080/Pdt.G/2013/PA.GM tentang perkara cerai talak akibat pelanggaran

taklik talak, secara umum putusan tersebut menjadikan mas}lah}ah

sebagai pertimbangan hukum. Namun secara khusus putusan tersebut

tidak mencantumkan kaidah yang terdapat dalam kitab Al-Ashbah wa al-

Naz}a>’ir, yang berbunyi:

درء المفاسد مقدم على جلب المصالحArtinya: Menolak keburukan harus diutamakan daripada mengharap

kebaikan.229

Pertimbangan masalahat yang dituangkan dalam putusan tersebut

hanya secara umum. Adapun pertimbangan masalahat yang dimaksud

adalah: “Menimbang, bahwa meskipun terdapat ulama’ yang berpendapat

bahwa talak tiga yang diucapkan/dijatuhkan dalam satu waktu tetap jatuh

talak tiga, akan tetapi dalam perkara a quo, berdasarkan hadits-hadits dan

pendapat ulama sebagaimana termuat dalam pertimbangan di atas dan

demi kemaslahatan rumah tangga pemohon, termohon serta kedua

anaknya tersebut, maka mejelis hakim berpendapat bahwa talak tiga yang

diperjanjikan oleh pemohon dalam perkara a quo hanya jatuh talak satu”.

Ditinjau dari sisi hukum dan keprofesian hakim jelas bahwa

independensi atau kemandirian hakim pada hakikatnya diikat dan

dibatasi oleh rambu-rambu tertentu. Batasan atau rambu-rambu yang

harus selalu diingat dalam implementasi kebebasan ini adalah terutama

aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi

prosedural/formil maupun substansial/materiil itu sendiri sudah

merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melakukan

229Ima>m Abd al-Rah}ma>n Jala>l al-Di>n al-Suyut}i, al-Ashbah wa al-Naz}a>’ir

(Riyad: Maktabah Nazlr Mustafa al-Bazi, 1418 H/ 1997 M), 62.

143

independensinya tidak melanggar hukum dan bertindak sewenang-

wenang. Hakim adalah subordinat pada hukum dan tidak dapat bertindak

contra legem. Namun harus disadari pula bahwa kebebasan dan

independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau

akuntabilitas. Jadi antara independensi dan akuntabilitas ibarat dua sisi

koin yang saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung

jawab. Dapat dipahami bahwa konteks kebebasan hakim haruslah

diimbangi dengan akuntabilitas peradilan. Bentuk tanggung jawab ada

dengan pelbagai macam mekanismenya, namun yang paling perlu

disadari adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat karena pada

dasarnya tugas badan-badan kehakiman atau peradilan adalah

melaksanakan pelayanan publik dalam memberikan keadilan bagi

masyarakat pencari keadilan.230

Oleh karena itu, untuk menilai sebuah putusan yang dibuat oleh

hakim tidak berhenti pada tataran kesesuainnya dengan norma-norma

hukum semata tetapi juga harus dilihat dalam kerangka yang lebih luas

yakni terkait dengan tugas peradilan dalam mewujudkan keadilan di

tengah-tengah masyarakat. Atas dasar itu hakim dalam membuat sebuah

putusan hukum harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan

matang yang dapat dipertanggungjawabkan secara normatif maupun

sosiologis-filosofis. Di sinilah relevansinya dengan prinsip kemaslahatan

sebagai tujuan hukum Islam (maqa>s}id al-shari>’ah). Apalagi

mengingat putusan hakim merupakan salah satu dari empat produk

hukum Islam di Indonesia selain fikih, undang-undang dan fatwa. Oleh

karena itu, putusan hakim memiliki posisi yang sangat penting dan harus

selalu mendapatkan perhatian tersendiri.

Adapun mengenai pertimbangan kemaslahatan, hakim selalu

berasumsi bahwa dalam suasana rumah tangga yang sudah tidak

harmonis yang selalu diwarnai percekcokan, perselisihan, pertengkaran,

tidak saling memperdulikan, bagi hakim perceraian merupakan solusi

230Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim (Jakarta: Kencana, 2012), 172.

144

terbaik untuk menghindari mafsadat yang lebih besar dengan alasan

bahwa dalam suasana seperti itu tujuan pernikahan untuk mewujudkan

keluarga saki>nah mawaddah warah}mah sudah sangat sulit. Jika

dipertahankan maka mudaratnya akan jauh lebih besar daripada

maslahatnya.

Meski telah dijadikan sebagai dasar pertimbangan namun

pertimbangan kemaslahatan dalam banyak putusan diterapkan secara

umum saja yakni perceraian sebagai solusi terbaik atas permasalahan

yang ada. Prinsip ini diterapkan pada hampir semua kasus yang

sebenarnya masing-masing memiliki spesifikasi tersendiri jika

dielaborasi lebih mendalam. Apalagi menyangkut kasus taklik talak,

kemaslahatan dan kemudaratan bisa saja dijabarkan secara khusus

berdasarkan kerangka d}aru>riyya>t al-khamsah sebagai penjabaran

maqa>s}id al-shari>’ah, misalnya menyangkut terpeliharanya anak dari

hal-hal yang tidak diinginkan dari sebuah perceraian dan terpeliharanya

akal istri dari stres karena diselingkuhi oleh suaminya.

Jika dikaitkan dengan maqa>s}id al-shari>’ah maka hal itu

terkait dengan hifz} al-aql (memelihara akal) dan hifz} al-nasl

(memelihara keturunan) yang dalam hukum Islam mendapat perhatian

penting. Hal inilah yang seharusnya dijabarkan oleh hakim secara lebih

rinci supaya terasa benar-benar kedalaman putusannya. Namun khusus di

Pengadilan Agama Giri Menang, tampaknya hal ini belum pernah

dipertimbangkan. Kemaslahatan anak selalu dilihat hanya dari sisi

materiilnya saja. Umumnya putusan-putusan yang terkait dengan anak

hanya menyangkut tanggung jawab nafkah h}ad}a>nah yang harus

dipenuhi suami pasca perceraian.

Menurut ‘Izz al-Di>n ‘Abd al-Azi>z ibn ‘Abd al-Sala>m,

sebagaimana dikutip Djazuli, keseluruhan hukum Islam yang terinci

dalam pelbagai bidang hukum bertujuan untuk meraih maslahat dan

menolak mafsadat. Keseluruhan takli>f yang tercermin dalam konsep al-

ah}ka>m al-khamsah (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram)

145

kembali pada kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat.231 Demikian

pula penelitian yang dilakukan oleh Ibn al-Qayyim terhadap teks-teks al-

Qur’an dan Sunnah menyimpulkan bahwa syariat Islam dibangun untuk

kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal

yakni keadilan, kerahmatan, kemaslahatan dan kebijaksanaan atau

mengandung makna (hikmah) bagi kehidupan. Prinsip-prinsip ini harus

menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan hukum Islam.

Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti bertentangan dengan

cita-cita syariat atau agama. Jadi, setiap hal yang zalim dan tidak

memberi rahmat bukanlah hukum Islam.232

Selanjutnya dipertegas oleh al-Shat}ibi> bahwa syariat diadakan

untuk kemaslahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat yang

meliputi tiga tingkatan yakni d}aru>riyya>t, ha>jiyya>t dan

tah}si>niyya>t. Mas}lah}ah daru>riyya>t adalah sesuatu yang mesti

adanya demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. Jika ia tidak

ada maka akan terjadi kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan.

Kemaslahatan ini meliputi pemeliharaan atas lima perkara yaitu agama,

jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedangkan ha>jiyya>t adalah sesuatu

yang sebaiknya ada agar dalam pelaksanaannya menjadi leluasa dan

terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu tersebut tidak ada maka tidak akan

menimbulkan kerusakan dan kematian hanya saja akan menimbulkan

mashaqqah atau kesempitan seperti adanya rukhs}ah bagi orang sakit

dan musafir dalam masalah ibadah. Adapun tah}si>niyya>t adalah

sesuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan keharusan akhlak

yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu ini tidak ada maka tidak akan

menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu dan juga tidak akan

menimbulkan mashaqqah dalam pelaksanaannya, hanya saja dinilai tidak

pantas dan tidak layak menurut ukuran tatakrama dan kesopanan.

231A. Djazuli, “Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, dalam

Tjun Surjaman, ed., Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Bandung:

Rosdakarya, cet. I, 1991), 240. 232al-Jawziyah, I’la>m al-Muwaqqi’i>n, 11.

146

Contohnya adalah menutup aurat.233 Inilah urutan-urutan kemaslahatan

dari urutan tertinggi yang harus diprioritaskan dalam perwujudannya

hingga urutan terbawah yang meskipun tidak urgen namun tetap harus

diperhatikan demi kesempurnaan hidup manusia. Oleh karena itu, upaya-

upaya pengkajian hukum Islam harus memperhatikan aspek-aspek

tersebut. Jika tidak maka sasaran hukum Islam untuk mewujudkan

kemaslahatan tidak akan tercapai dan justru akan menimbulkan

kemafsadatan.

Demikian pentingnya prinsip mas}lah}ah tersebut sehingga al-

T}u>fi> meletakkan supremasi kemaslahatan dan kepentingan umum di

atas sumber-sumber hukum yang lain bahkan harus didahulukan jika

bertentangan dengan na>s} itu sendiri. Jadi jika terjadi kontradiksi antara

mas}lah}ah di satu pihak dengan na>s} (al-Qur’an dan Sunnah) serta

ijmak di pihak lain maka ketentuan mas}lahah harus didahulukan atas

sumber-sumber hukum yang lain tersebut melalui upaya takhs}i>s} dan

penjelasan.234 Pemikiran yang progresif tersebut menjadi kontroversi

tersendiri namun harus diketahui bahwa kaidah ini dikhususkan pada

bidang muamalah bukan dalam bidang ibadah.

Hal-hal inilah yang mendasari Qodri Azizy untuk mencetuskan

bahwa al-mas}a>lih al-‘a>mmah harus menjadi landasan penting dalam

mewujudkan fikih atau hukum Islam. Al-mas}a>lih al-‘a>mmah ini

dapat dipadankan dengan universal values selama tidak bertentangan

dengan ajaran pokok Islam. Dalam hal ini semua orang akan merasakan

kemaslahatannya tanpa membedakan jenis, etnik dan bahkan juga agama.

Kemudian menurut Azizy, berbicara mengenai mas}lah}ah berarti

mengakui besarnya peran akal.235

233Al-Shatibi, Al-Muwafaqat, 7-9. 234Fathi Ridwan, Min Falsafat al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Dar al-Kitab al-Bunani,

cet. II, 1975), 175-176. 235Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik-

Modern (Jakarta: Teraju, cet. II, 2003), 123.

147

Untuk mewujudkan formulasi ijtiha>d modern yang mampu

memberikan jawaban masa kini dan diharapkan juga untuk masa yang

akan datang, diperlukan persiapan langkah-langkah. Dalam hal ini

ijtiha>d yang dimaksudkan adalah maud}u>’i, tematik atau kasus

perkasus yang muncul pada masa kini dan jawabannya yang mampu

hidup untuk masa kini dan waktu yang akan datang. Langkah langkah

tersebut sebagai berikut:236

1) Menggunakan sumber primer (primary sources) sebagai sumber

rujukan dalam bermazhab. Dalam bermazhab Syafi’i, misalnya, agar

menekankan untuk mengkaji secara intensif, serius dan kritis kitab-

kitab karya Imam Syafi’i, bukan kitab-kitab karya murid-muridnya

(pendukung mazhab Syafi’i).

2) Mengkaji pemikiran fikih ulama atau keputusan hukum Islam oleh

organisasi keagamaan tidak lagi secara doktriner dan dogmatis,

tetapi dengan critical study. Hal ini berarti menempatkan fikih

sebagai sejarah pemikiran (intellectual history atau history of ideas).

Artinya, mengkaji sejarah pemikiran ulama sekaligus latar belakang

mengapa ulama tersebut mencetuskan pemikiran itu.

3) Semua hasil karya ulama masa lalu diposisikan sebagai pengetahuan

(knowledge), baik yang didasarkan atas dasar deduktif

dan verstehen maupun yang dihasilkan secara empirik. Hanya al-

Qur’an dan teks hadis yang terbatas (khususnya yang mutawatir) saja

yang tidak dapat diuji ulang (re-examined), walaupun

pemahamannya tetap dapat dikaji secara mendalam.

4) Mempunyai sikap terbuka terhadap dunia luar (pemikiran di luar

mazhabnya) dan bersedia mengantisipasi terhadap hal-hal yang akan

terjadi serta responsif terhadap berbagai perkembangan problem-

problem baru yang muncul.

5) Meningkatkan daya tanggap (responsif) dan cepat dengan

permasalahan yang muncul, yang mana biasanya umat ingin cepat

236Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab, 110.

148

mendapatkan jawaban hukum agama dari para ahli hukum Islam.

Sehingga umat tidak terlalu lama menunggu jawaban hukum

tersebut.

6) Melakukan penafsiran yang aktif dan bahkan proaktif. Yang

dimaksud aktif atau proaktif adalah ketika jawaban hukum Islam itu

sekaligus mampu memberi inspirasi dan guidance untuk kehidupan

yang sedang dialami oleh umat.

7) Ajaran al-ah}ka>m al-khamsah atau ketetapan berupa hukum wajib,

haram, sunnah, makruh dan mubah agar dapat dijadikan sebagai

konsep atau ajaran etika sosial. Selama ini banyak kritik bahwa

hukum Islam selalu berkutat pada wilayah ibadah mahd}ah dan

kurang menyentuh kehidupan sosial.

8) Menjadikan ilmu fikih sebagai bagian dari ilmu hukum secara

umum. Hal ini dimaksudkan karena sasaran akhirnya adalah hukum

nasional.

9) Menyeimbangkan proses deduktif dan induktif dalam

mempraktikkan hukum Islam. Proses deduktif dapat terwakili

dengan bagaimana kita memahami na>s} dari wahyu yang berupa

al-Quran dan hadis yang sahih dengan segala jenis metodenya,

termasuk qiya>s. Sedangkan deduktif adalah memberi peran akal

pada posisi yang sangat penting dalam membantu

mewujudkan h}asanah fi al-dunya dan h}asanah fi al-a>khirat.

10) Menjadikan mas}a>lih ‘ammah menjadi landasan utama dalam

membangun fikih atau hukum Islam. Mas}a>lih ‘ammah dapat

dipadankan dengan universal values pada dataran aspek yang tidak

bertentangan dengan pokok ajaran Islam. Berbicara mengenai

mas}lah}ah, berarti mengakui peran penting akal dalam proses

ijtiha>d.

11) Menjadikan wahyu Allah lewat na>s} (al-Qur’an dan hadis yang

sahih) sebagai kontrol terhadap hal-hal yang akan dihasilkan dalam

ijtiha>d.

149

Berdasarkan 11 langkah di atas, maka kombinasi dari

sumber pokok (al-Qur’an dan Hadis) dan cabang (kitab-kitab fikih)

dengan optimalisasi peran akal dalam memunculkan solusi hukum adalah

langkah terbaik dari dua pilihan yang sama-sama kontraproduktif di

tengah eskalasi problem sosial yang menuntut ulama untuk meresponnya

secara cepat dan tepat. Sebelas hal di atas merupakan pra syarat untuk

membangun formulasi baru dalam berijtihad, suatu model yang

bernama al-ijtiha>d al-ilmu al-‘as}ri atau modern scientific ijtiha>d.237

Adapun yang diterapkan dalam putusan-putusan terhadap perkara

perceraian akibat pelanggaran taklik talak yang telah penulis paparkan di

atas, masih menggunakan dalil mas}lah}ah yang terlalu umum. Majelis

Hakim masih terlalu tekstual dalam menerapkan dalil mas}lah}ah

tersebut, Majelis Hakim masih menerapkan dalil tersebut apa adanya,

tanpa ada ijtiha>d baru dan penafsiran lebih lanjut terhadap dalil-dalil

hukum yang diterapkan dalam putusan.

Menurut Masdar F. Mas’udi, mas}lah}ah merupakan asas

ijtiha>d untuk merekonstruksi penafsiran hukum. Begitu pentingnya

mas}lah}ah bagi asas ijtiha>d, ia membuat suatu kaidah mas}lah}ah

yang berbunyi:................................................ .. (jika sahih suatu

mas}lah}ah maka ia menjadi peganganku). Kaidah ini sebagai respons

dan sekaligus revisi atau rekonstruksi terhadap kaidah yang selama ini

dipegang teguh di dunia fikih yang berbunyi:............................................

(Jika sahih suatu hadis maka ia menjadi peganganku). Untuk membangun

penafsiran hukum yang baru yang berasaskan mas}lah}ah, terlebih

dahulu perlu dilakukan rekonstruksi terhadap konsep qat}’i>-z}anni>,

yang kemudian dijadikan sebagai basis rekonstruksi penafsiran dan

metode penemuan hukum (ijtiha>d). Menurutnya, pandangan umum

mengenai ijtiha>d yang selama ini berjalan, bisa dikatakan hanya

menjangkau hal-hal yang bersifat z}anni, dan kurang mencermati

dimensi ajaran yang diyakini sebagai qat}’i>. Dengan meletakkan

237Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab, 126.

"مذهبي فهي المصلحة صحت إذا"

"مذهبي فهو الحديث صح إذا"

150

kembali mas}lah}ah sebagai asas ijtiha>d, maka konsep lama tentang

qat}’i>-z}anni> terasa begitu gagap untuk menyahuti pelbagai persoalan

kontemporer yang terus berkembang. Dari sini, Masdar melihat

pentingnya merekonstruksi kedua konsep qat}’i> dan z}anni tersebut

agar lebih punya tenaga (power) dalam memberikan assist dan kontitum

pemecahan berbagai masalah.238

Jelaslah bahwa teori mas}lah}ah merupakan salah satu dari

gagasan-gagasan briliant yang telah menjadi bagian dari sejarah

perjalanan hukum Islam lintas generasi yang sangat penting untuk

menjadi acuan bagi generasi kontemporer dalam aktivitas pengkajian

hukum Islam khususnya untuk pengembangan hukum Islam. Lebih-lebih

lagi dalam aktualisasi hukum Islam seperti di Pengadilan Agama yang

diberikan kewenangan resmi oleh negara untuk memberikan keadilan

bagi masyarakat muslim pencari keadilan dalam bidang perkara-perkara

tertentu seperti perceraian. Oleh karena itu, kemaslahatan sebagai intisari

dari maqa>s}id al-shari>’ah harus menjadi pertimbangan penting bagi

para hakim dalam melahirkan putusan-putusannya.

Jika pertimbangan kemaslahatan ini tidak dipertimbangkan dan

majelis hakim tidak mengabulkan permohonan cerai talak yang diajukan

oleh pemohon, dikhawatirkan akan menimbulkan kemudaratan bagi

pemohon dan termohon. Kemudaratan yang penulis maksud adalah

pemohon dan termohon masih saling mencintai, mereka ingin kembali

membina kehidupan rumah tangga setelah putus akibat pelanggaran

taklik talak, taklik talak dengan perjanjian jatuh talak tiga jika pemohon

mengulangi perbuatannya.

Pemohon dan termohon ingin rujuk, akan tetapi masyarakat

menganggap telah jatuh talak tiga sehingga pemohon dan termohon tidak

boleh rujuk sebelum termohon menikah terlebih dahulu dengan laki-laki

lain. Oleh karena pemohon dengan termohon masih saling mencintai,

238Masdar F. Mas’udi, ”Meletakkan Kembali Maslahah sebagai Acuan Syari’ah”,

dalam ‘Ulum al-Qur’an, No. 3, Vol. VI, (1995), 97.

"مذهبي فهو الحديث صح إذا"

151

sehingga dikhawatirkan mereka akan menempuh cara-cara yang dilarang

oleh hukum Islam, yakni dengan melakukan praktek nikah tahlil (cina

buta). Jika hal tersebut dilakukan oleh pemohon dengan termohon tentu

akan menimbulkan masalah hukum baru. Oleh karena itu, pertimbangan

maslahah merupakan pertimbangan yang seharusnya diperhatikan oleh

majelis hakim dalam menangani perkara perceraian.

2. Dasar Hukum dalam Putusan Cerai Talak Nomor

080/Pdt.G/2013/PA.GM.

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu

didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga

didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori

dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman,

di mana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat

menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum.

Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar

1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor

48 tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu

kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal

24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat

(1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan

negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara

Republik Indonesia tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum

Republik Indonesia.239

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, dalam

ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas

dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal

sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam

melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim

adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga

239Arto, Praktek Perkara Perdata, 142.

152

putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal

24 ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan

Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi.240

Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak

memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah

tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan

putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan

tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya

perumusan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili

menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.241

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan

dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus

menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan

kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan

menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru

dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.

Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh

menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan

kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999

jo. UU No. 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk

memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa

hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya.

Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk

bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal

(doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada

240Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP (Jakarta, Rineka Cipta, 1996), 94. 241Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, 95.

153

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam

Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat”.

Adapun dasar hukum yang terdapat pada pertimbangan hakim

Pengadilan Agama terdiri dari Peraturan Perundang-undangan dan hukum

syara’. Peraturan perundang-undangan disusun urutan derajatnya, misalnya

undang-undang didahulukan dari Peraturan Pemerintah, lalu urutan tahun

terbitnya, misalnya UU Nomor 14 Tahun 1970 didahulukan dari UU Nomor

1 Tahun 1974. Dasar hukum syara’ juga diurutkan berdasarkan

tingkatannya, dimulai dari al-Qur’an, kemudian hadis, baru kemudian

pendapat fuqaha.

Dasar hukum yang digunakan dalam memutus perkara cerai talak

akibat pelanggaran taklik talak di Pengadilan Agama Giri Menang pada

perkara Nomor: 080/Pdt.G/2013/PA.GM, yaitu:242

a. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo Pasal

116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam, berbunyi: “suami melanggar

taklik talak”.

b. Kompilasi Hukum Islam pasal 45 dan 46. Pasal 45 menyebutkan bahwa:

kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam

bentuk: 1) taklik talak, 2) perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan

hukum Islam. Adapun dalam pasal 46 disebutkan bahwa: 1) isi sighat

taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam, 2) apabila

keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi

kemudian, tidak sendirinya talak jatuh. Supaya sungguh-sungguh jatuh

istri harus mengajukan persoalnya ke Pengadilan Agama, 3) perjanjian

taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap

perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak

dapat dicabut kembali.

242PA Giri Menang, Salinan Putusan Nomor: 080/Pdt.G/2013/PA.GM, 9-11.

154

c. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990, menentukan bahwa jika

belum terwujud syarat taklik, kemudian suami menjatuhkan talak raj’i

dan kemudian suami merujuknya dalam masa iddah, maka taklik talak

yang diucapkan suami tesebut tetap mempunyai kekuatan hukum. Jika

sewaktu-waktu terwujud syarat taklik, maka istri dapat menggunakannya

sebagai alasan gugatan perceraian dengan alasan pelanggaran taklik

talak. Tetapi apabila terjadi talak ba’in atau kawin lagi selepas iddah

talak raj’i, taklik talak yang diucapkan suami tidak lagi mempunyai

kekuatan hukum. Sehingga jika suami istri menghendaki berlakunya

perjanjian taklik talak, maka perjanjian taklik talak itu harus diulang.243

d. Dalil fikih yang termuat dalam kitab Syarqawi Ala al-Tahrir halaman

105:

ومن علق طلقا بصفة وقع بوجودها عمل مبقتضى اللفظArtinya: Barang siapa mengkaitkan (menggantungkan) jatuh talaknya

dengan sesuatu apapun maka talak tersebut jatuh dengan

adanya sesuatu sebagai kosekuensi atas ucapannya tersebut.

e. Hadits-hadits tentang talak tiga sekaligus, yakni hadis riwayat Bukhari

dan Muslim serta hadis riwayat Ahmad dan Abu Ya’la:

كان الطلق على عهد رسول الله صلى اهلل عليه :عن ابن عباس قال أب بكر وسنت ي من خلفة عمر طلق الثلث فأمضاه عليهم وسلم و

.عمر )رواه البخارى ومسلم(Artinya: Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Pada masa Rasulullah SAW, Abu

Bakar dan 2 tahun pemerintahan Umar, talak tiga sekaligus

hanya diberlakukan talak satu dan Umar pun memberlakukan

ketentuan tersebut pada rakyatnya (HR. Bukhari dan Muslim).

عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال, "طلق ركانة امرأته ثلثا ف جملس واحد. فحزن عليها حزنا شديدا.. فسأله رسول اهلل صلى اهلل عليه

243Usman, Qawanin al-Syari’ah, 80.

155

ثلثا. فقال: ف جملس واحد؟ قال: نعم. كيف طلقتها؟ قال: :وسلمرواه أمحد وأبو (قال: فإمنا تلك واحدة، فأرجعها إن شئت. فراجعها."

)يعلىArtinya: Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rukanah menceritakan istrinya

dengan talak tiga sekaligus, namun ia sangat menyesalinya.

Kemudian Rasulullah SAW bertanya (kepadanya):

“Bagaimana kamu menceraikannya?” Ia menjawab: “Aku

menceraikannya dengan talak tiga sekaligus”. Kemudian

Rasulullah SSAW berkata: “(jika demikian) maka itu hanya

jatuh talak satu, maka rujuklah kepada istrimu.” (HR. Ahmad

dan Abu Ya’la).

f. Pendapat Mazhab Dzahiriyah dan Jama’ah, sebagaimana dikutip Ibnu

Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid juz 2 halaman 561:

وقال أهل الظاهر ومجاعة : حكمه حكم الوحدة وال تأثري للفظ ف ذلكArtinya: Madzhab Dhahiriyah dan Jama’ah berpendapat bahwa

hukumnya (talak tiga sekaligus) adalah hanya berlaku talak

satu dan tidak ada efek yuridis dalam ucapan talak tiga

sekaligus tersebut.

Setelah mempertimbangkan fakta hukum, alat bukti, dan saksi-saksi

dalam persidangan, Majelis Hakim pada perkara No.

080/Pdt.G/2013/PA.GM, berkesimpulan bahwa dengan diajukannya

permohonan oleh pemohon, majelis hakim berpendapat bahwa pemohon

telah beri’tikad baik dan oleh karenanya permohonan pemohon dapat

dipertimbangkan demi memberikan kepastian hukum dan memberikan

keyakinan kepada pemohon dan termohon terhadap status perkawinannya

tersebut.

Meskipun terdapat ulama yang berpendapat bahwa talak tiga yang

diucapkan/dijatuhkan dalam satu waktu tetap jatuh talak tiga, akan tetapi

dalam perkara No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM, berdasarkan hadits-hadits dan

pendapat ulama sebagaimana termuat dalam pertimbangan majelis hakim

dan demi kemaslahatan rumah tangga pemohon, termohon serta kedua

156

anaknya tersebut, maka mejelis hakim berpendapat bahwa talak tiga yang

diperjanjikan oleh pemohon dalam taklik talak yang diucapkan oleh

pemohon hanya jatuh talak satu.244

Majelis Hakim kemudian menghubungkan fakta-fakta hukum

tersebut dengan peraturan perundang-undangan, hadis dan pendapat ulama

dalam kitab fikih sebagai dasar hukum sebagaimana tersebut di atas. Setelah

menghubungkan fakta hukum dan dasar hukum tersebut, Majelis Hakim

mengabulkan permohonan Pemohon, yakni menyatakan sah taklik talak

yang diucapkan oleh Pemohon dan menjatuhkan talak satu raj’i Pemohon

terhadap Termohon. Jadi meskipun dalam taklik talak tersebut Pemohon

telah menggantungkan talak tiga, akan tetapi majelis hakim memutus jatuh

talak satu.

Peceraian atau talak dapat diajukan kepada Pengadilan Agama guna

untuk dinyatakan sahnya perceraian dan memiliki kekuatan hukum sesuai

dengan penetapan Kompilasi Hukum Islam. Jika kita lihat menurut fikih

klasik, perceraian dapat jatuh apabila suami mengucapkan ikrar talak

terhadap istrinya, tetapi talak ini hanya sah menurut agama saja dan tidak

sah menurut hukum yang ditetapkan di negara Indonesia karena tidak

dilakukan pengucapan ikrar talak suami di muka sidang Pengadilan Agama.

Demikian juga halnya dengan talak tiga yang diucapkan sekaligus,

ketika diajukan ke Pengadilan Agama maka talaknya jatuh satu bukan tiga.

Dalam hal talak tiga yang diucapkan sekaligus, ulama berbeda pendapat dan

hakim pengadilan agama memilih pendapat ulama yang mengatakan talak

tersebut jatuh satu. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam

Muslim:

ث نا إسحق بن إب راهيم أخب رنا سليمان بن حرب عن محاد بن زيد عن حدهباء قال ختيان عن إب راهيم بن ميسرة عن طاوس أن أبا الص أيوب الس

كن الطلق الثلث على عهد رسول البن عباس هات من هناتك أل ي

244PA Giri Menang, Salinan Putusan Nomor: 080/Pdt.G/2013/PA.GM, 9.

157

ا كان الله صلى الله عليه وسلم وأب بكر واحدة ف قال قد كان ذلك ف لم )روه مسلم(. ف عهد عمر ت تايع الناس ف الطلق فأجازه عليهم

Artinya: Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah

mengabarkan kepada kami Sulaiman bin Harb dari Hammad bin

Zaid dari Ayyub As-Sakhtiyani dari Ibrahim bin Maisarah dari

Thawus bahwa Abu As Shahba` berkata kepada Ibnu Abbas:

Beritahukanlah kepadamu apa yang engkau ketahui! Bukankah

talak tiga (yang diucapkan sekaligus) pada masa Rasulullah SAW

dan Abu Bakar dinyatakan hanya jatuh talak sekali? Jawab Ibnu

Abbas: Hal itu telah berlaku, dan pada masa pemerintahan Umar,

orang-orang terlalu mudah untuk menjatuhkan talak, lantas dia

memberlakukan hukum atas mereka (yaitu jatuh talak tiga dengan

sekali ucap). (HR. Muslim, Hadis Nomor 1472).245

Hadis di atas menjelaskan bahwa di zaman Rasulullah SAW dan

Abu Bakar r.a, karena kebenaran keimanan mereka dan tujuan yang utama

serta ikhtiar, maka tidak nampak adanya maksud-maksud penipuan sehingga

merka mengulang-ulang lafal talak sampai tiga kali itu tidak lain hanya

bermaksud sebagai taukid (penguat). Akan tetapi di zaman Umar bin

Khatthab terjadinya kasus merajalela orang menjatuhkan talak tiga secara

sekali ucapan dengan lafal yang tegas, maka Umar memberlakukan talak

tiga itu tetap jatuh tiga.

Berdasarkan penjelasan hadis di atas bahwa pendapat Umar bin

Khatthab menyimpang dengan hadis Rasulullah SAW yang mana

memberlakukan talak tiga sekaligus tidak jatuh melainkan talak satu.

Sedangkan Umar bin Khatthab memberlakukan talak tiga sekaligus tetap

jatuh tiga, karena kondisi di masa Umar masyarakatnya berlebih-lebihan

dan bermain-main dalam hal talak tiga. Oleh karena itu, Umar

memberlakukan hukum tersebut untuk mencegah masyarakat tidak

menganggap main-main dalam hal talak tiga. Dalam hal ini Umar bin

Khatthab melakukan ijtihadnya sesuai dengan tujuan dan kondisi-kondisi

terhadap masyarakatnya.

245Muslim, Shahih Muslim, 1099.

158

Peraturan dalam Pengadilan Agama sama halnya seperti hadis

Rasulullah SAW, yang mana telah ditetapkan talak tiga menjadi talak satu.

Namun banyak ulama fikih berbeda pendapat tentang talak tiga yang

diucapkan sekaligus, ada yang berpendapat talak tiga sekaligus hanya jatuh

satu, dan ada juga yang berpendapat talak tiga sekaligus tetap jatuh tiga.

Dalam kasus cerai talak akibat pelanggaran taklik talak pada perkara No.

080/Pdt.G/2013/PA.GM, Pemohon (suami) ketika mengucapkan taklik talak

tersebut dalam keadaan tertekan, karena jika Pemohon tidak mau

menandatangani taklik talak yang dibuat oleh Termohon (istri), maka

Pemohon tidak akan dimaafkan oleh Termohon atas kesalahan yang

diperbuatnya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa

pertimbangan dan dasar hukum yang diterapkan oleh Majelis Hakim

Pengadilan Agama Giri Menang dalam menangani permohonan cerai talak

dengan alasan pelanggaran taklik talak pada perkara No.

080/Pdt.G/2013/PA.GM sudah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan dan hukum Islam (fikih).

159

BAB V

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah penulis uraikan secara panjang lebar

pada bab-bab sebelumnya, setelah dibahas dan dianalisis, maka diperoleh

kesimpulan sebagai berikut:

1. Ketentuan taklik talak menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

merupakan bagian dari perjanjian perkawinan. Taklik talak diucapkan oleh

mempelai pria setelah dilangsungkannya akad pernikahan. Taklik talak

bukan suatu hal yang wajib dibacakan saat pernikahan dilangsungkan,

akan tetapi sebuah pilihan. Namun sekali diucapkan taklik talak tidak

dapat ditarik kembali atau diubah, meskipun dengan persetujuan pihak istri

dan suami. Implikasi hukum yang dapat ditimbulkan adalah apabila suami

melanggar ikrar taklik talak tersebut, maka itu dapat dikategorikan sebagai

pelanggaran, dan pelanggaran tersebut dapat dijadikan alasan oleh istri

untuk mengajukan tuntutan perceraian kepada pengadilan agama. Adapun

bentuk pelanggaran taklik talak yang bisa dijadikan alasan mengajukan

perceraian, antara lain: (1) Meninggalkan istri 2 tahun berturut-turut, (2)

Tidak memberi nafkah wajib 3 bulan lamanya, (3) Menyakiti

badan/Jasmani istri atau, (4) Membiarkan atau tidak memperdulikan istri

selama 6 bulan atau lebih.

2. Pelanggaran taklik talak merupakan salah satu alasan dari beberapa alasan

yang telah ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam untuk dapat

mengajukan perceraian. Majelis Hakim dalam menangani perkara

perceraian karena pelanggaran taklik talak berupaya agar para pihak

berdamai, namun apabila tidak berhasil maka hakim akan meneruskan

acara pada pemeriksaan perkara yang diakhiri dengan putusan hakim.

Adapun yang dijadikan sebagai pertimbangan oleh Majelis Hakim

Pengadilan Agama Giri Menang, sebagaimana hasil penelitian ada dua

pertimbangan yang digunakan. Pertama, pertimbangan hukum, ketika

160

hakim menjatuhkan putusannya, hakim mempertimbangkan dalil-dalil dan

bukti-bukti hukum yang diajukan. Kedua, pertimbangan maslahat, yakni

mempertimbangkan kondisi rumah tangga para pihak yang sudah pecah,

ketika perkawinan tersebut dilanjutkan apakah lebih mendatangkan

maslahat atau lebih mendatangkan mafsadat, jika mafsadatnya lebih besar

maka perkawinan tersebut lebih baik diakhiri. Sedangkan dasar hukum

yang diterapkan pada perkara No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM adalah Pasal 19

huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 45, Pasal 46

dan Pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam, berbunyi: “suami

melanggar taklik talak”. Di samping itu, didasarkan juga pada Peraturan

Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990, hadis-hadis tentang talak tiga

sekaligus dan dalil fikih yang termuat dalam kitab Syarqawi Ala al-Tahrir.

B. Implikasi Teoritis

Setiap penelitian tentu diharapkan bermanfaat bukan hanya untuk

pribadi penulis saja, tetapi juga untuk instansi-instansi pemerintah dan

masyarakat umum. Adapun implikasi teoritis dari penelitian tentang

pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian, antara lain:

1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran bagi

perkembangan hukum Islam khususnya bidang hukum keluarga Islam,

sehingga akan membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah

perkawinan khususnya mengenai taklik talak.

2. Mengingat banyaknya kasus perselisihan dalam rumah tangga yang

berujung kepada perceraian, maka melalui hasil penelitian ini diharapkan

menjadi acuan bagi masyarakat untuk lebih menjaga keharmonisan rumah

tangga.

3. Dalam kehidupan rumah tangga, perempuan (istri) banyak yang menjadi

korban kekerasan dalam rumah tangga, baik berupa kekerasan pisik,

psikis, penelantaran nafkah dan kekerasan seksual. Oleh karena itu,

penelitian ini dihrapkan menjadi pembuka cakrawala berpikir khususnya

bagi kaum perempuan untuk lebih berhati-hati dalam memilih pasangan

hidup. Untuk menjamin hak-hak perempuan dalam rumah tangga, maka

161

tidak ada salahnya untuk membuat perjanjian pra nikah, supaya pihak

suami tidak terlalu sewenang-wenang dalam memperlakukan istrinya.

4. Hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan masukan bagi pejabat-

pejabat pemerintah yang dalam hal ini adalah pihak Kantor Urusan Agama

untuk senantiasa memberikan arahan kepada calon mempelai yang akan

melangsungkan pernikahan untuk lebih memperhatikan hak-hak dan

kewajiban dalam rumah tangga.

5. Bagi Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang pada khususnya dan

semua instansi Pengadilan Agama pada umumnya, dengan hasil penelitian

ini diharapkan menjadi bahan evaluasi dalam membenahi pelaksanaan

peradilan agar tercapai rasa keadilan bagi masyarakat.

C. Saran-Saran

Dengan bekal dan kemampuan yang sangat terbatas ini penulis

mencoba untuk memberikan saran-saran dengan harapan dapat bermanfaat

bagi perkembangan ilmu hukum terutama hukum keluarga (Ah}wa>l Al-

Syakhs}iyyah) dan bagi pelaksanaan hukum dalam masyarakat, adapun saran-

saran tersebut adalah:

1. Mengingat kehidupan rumah tangga penuh dengan problematika, maka

disarankan pada calon suami istri yang hendak melaksanakan pernikahan

benar-benar mempersiapkan secara matang, bukan hanya sekedar menuruti

hawa nafsu belaka. Dalam memasuki kehidupan rumah tangga perlu

persiapan mental yang kuat, sehingga problem yang ada dalam rumah

tangga dapat diatasi dengan baik dan suami istri berhasil dengan baik

dalam rangka membangun keluarga bahagia sesuai dengan syari’at Islam.

2. Keberadaan taklik talak merupakan salah satu bentuk jaminan

perlindungan hukum bagi istri dari tindakan kesewenang-wenangan suami.

Oleh karena itu maka perlu payung hukum yang kuat dan jelas. Pengaturan

taklik talak diharapkan tidak hanya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam

dan Peraturan Menteri Agama saja, melainkan harus juga diatur secara

tegas dalam Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa taklik

talak merupakan perjanjian dalam perkawinan.

162

3. Mengingat implikasi hukum yang terjadi sangat besar dalam pelanggaran

terhadap taklik talak, maka diharapkan kepada para suami benar-benar

memahami isi dari taklik talak dan tidak hanya sekedar diucapkan demi

formalitas dalam rangkaian acara ijab kabul suatu perkawinan. Begitu juga

kepada para wali atau pegawai pencatat perkawinan atau pembantu

pegawai pencatat perkawinan (penghulu) harus lebih memberikan

pemahaman yang jelas saat penyampaian nasehat atau tausyiah setelah

pembacaan sighat taklik.

4. Dalam memeriksa perkara perceraian karena pelanggaran taklik talak,

Pengadilan Agama diharapkan melakukan pemeriksaan dengan adil dan

tidak memihak sesuai dengan fakta-fakta dan dengan menerapkan prinsip-

prinsip hukum yang baik dan benar, serta menjadi gambaran bagi

Peradilan Agama lain agar senantiasa menjalankan aturan yang telah

diberikan oleh Instansi Peradilan Tertinggi Negara dalam pemeriksaan

terhadap masyarakat pencari keadilan.

5. Semua hakim Pengadilan Agama sebagai penegak hukum yang berbasis

Islam seharusnya dalam memutuskan perkara memperhatikan wawasan

dari al-Qur’an, hadis atau sumber rujukan hukum Islam lainnya. Hal ini

untuk menjadikan Pengadilan Agama tidak hanya berpedoman pada

undang-undang yang berlaku seperti di Pengadilan Negeri dan hal ini

menambah kewibawaan putusan, juga lebih dapat dipertanggungjawabkan

kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Boedi, Beni Ahmad Saebani. Perkawinan dan Perceraian Keluarga

Muslim. Bandung: Pustaka Setia, 2013.

Abu> Da>wud. Sunan Abi Da>wud, Juz II. Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyyah, t.t.

Afandi, Yazid. Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan

Syariah. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.

al-Afriqi, Ibn Mansur. Lisan al-‘Arab, cet. VIII. Beirut: Dar al-Shadr, t.th.

Alam, Andi Syamsu. “Peningkatan Kualitas Putusan Hakim Peradilan Agama

Tingkat Pertama dan Tingkat Banding”, Majalah Varia Peradilan, Tahun

Ke-XX No. 239. Jakarta: IKAHI, 2005.

Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

__________. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis.

Jakarta: Chandra Pratama, Cet.I, 1996.

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, cet. ke-2, 2002.

Arifin, E. Zaenal. Dasar-dasar Penulisan Karangan Ilmiah. Jakarta: PT.

Gramedia Widiasarana Indonesia, 1998.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

Bineka Cipta, 1998.

Asshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Ash-Shieddieqy, T.M. Hasbi. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Bulan

Bintang, 1984.

Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga : Panduan Membangun Keluarga Sakinah

Sesuai Syariat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.

Azizy, Qodri. Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik-

Modern. Jakarta: Teraju, cet. II, 2003.

al-Barudi, Syaikh Imad Zaki. Tafsir Wanita, terj. Samson Rahman. Jakarta:

Pustaka Al-Kautsar, 2003.

Bisri, Cik Hasan. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia.

Bandung: Rosda Karya , 1997.

_________. Peradilan Agama di Indoensia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

__________. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, cet. 1, 2004.

al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il. S}ahi>h al-Bukha>ri, Juz III. Beirut: Dar al-

Kutub al-’Ilmiyyah, 1992.

Dally, Peunoh. Talak, Rujuk, Hadhonah dan Nafkah Kerabat dalam Naskah

Mir’at al-Thullab: Suatu Studi Perbandingan Hukum Isteri Menurut

Ahlussunnah, Disertasi Provendus Doctor. Jakarta: Perpustakaan

Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah, 1983.

__________. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

Dahlan, Abdul Aziz, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van

Hoeva, 2001.

Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2007.

Djazuli, A. “Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, dalam

Tjun Surjaman, ed., Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek.

Bandung: Rosdakarya, cet. I, 1991.

__________. Kaidah-Kaidah Fikih; Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam

Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta : Kencana, 2006.

Djuwaini, Dimyauddin. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2010.

Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jilid II. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam, 1985.

Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Bahan Penyuluhan

Hukum, Departemen Agama RI. Jakarta: 2010.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, Edisi ke-4, 2008.

Fauza, Nilna. Perjanjian Perkawinan Menjamin Hak-Hak Perempuan.

http://zuhalfais.blogspot.com/2011/02/perjanjian-perkawinan-menjamin-

hak-hak.html.

Fauzi, Muhammad Latif. “Islam, Adat dan Politik: Perkembangan Taklik Talak

dan Pelembagaannya Pada Era Kolonial”, Istinbath, Jurnal of Islamic

Law, Vol. 16 No. 2 (Desember 2017),

http://ejurnal.uinmataram.ac.id/index.php/istinbath.

al-Farran, Syaikh Ahmad bin Mustafa. Tafsir Imam Syafi’i, Jilid 1, terj. Febrian

Hasmand dkk. Jakarta: Almahira, 2008.

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Al-Mustasyfa min ‘Ilm al -Ushul: Tahqiq wa

Ta’liq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Juz 1. Beirut: Mu’assasat al-

Risalah, 1417 H/1997M.

Giling, Mustamin. “Kedudukan Maqashid al-Syari’ah Dalam Agama”, Stadium:

Kajian Sosial, Agama, Hukum, dan Pendidikan. Vol. 1. No. 2, 2003.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Masdar Maju,

1990.

Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Hakim, Nurul. Taklik Talak dan Pengaruhnya terhadap Kedudukan Wanita dalam

Rumah Tangga, dalam http://nurel-hakim.blogspot.com/2011/04/taklik-

talak-dan-pengaruhnya-terhadap.html.

Hamidy, Mu’ammal dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-

Shabuni I. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003.

Hamka. Tafsir al-Azhar Juz V. Jakarta: Panji Masyarakat, 1981.

Harahap, M. Yahya. “Materi KHI” dalam Moh. Mahfud (ed). Peradilan Agama

dan KHI dan Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 1993.

Haris, Syaefuddin. “Kedudukan Taklik Talak dalam Perkawinan Islam Ditinjau

dari Hukum Perjanjian”, Arena Hukum, Vol. 6 No. 3, Desember 2013.

Hasan, Husein Hamid. Nazariah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami. Kairo: Dar

an-Nahdah al-Arabiyah, 1971.

Hasan, Jasri. Analisis Yuridis Putusan Hakim Terhadap Perkara Perceraian

Akibat Murtad di Pengadilan Agama Mataram dan Pengadilan Agama

Giri Menang. Tesis Program Pascasarjana IAIN Mataram, 2016.

Hasanudin. “Kedudukan Taklik Talak dalam Perkawinan Ditinjau dari Hukum

Islam dan Hukum Positif”, Medina-Te, Jurnal Studi Islam, Vol. 14 No. 1

(Juni 2016),

http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/medinate/article/view/1145/963.

HS, H. Salim dan Erlies Soetiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum Pada

Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.

Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah.

Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990.

Ichtianto. Tanggung Jawab Hakim. Jakarta: Mimbar Hukum, No. 47, tahun XI,

2000.

al-Jawziyah, Shams al-Di>n Abi> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Abi> Bakr al-

Ma’ru>f bi Ibn Qayyim. I’la>m al-Muwaqqi’i>n ‘an Rabb al-

‘A>lami>n, Juz III. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. II, 1993

M/1414 H.

Jumanto, Totok dan Samsul Munir Amin. Kamus Istilah Ushul Fikih. Jakarta:

Amzah, 2005.

Kamil, Ahmad. Filsafat Kebebasan Hakim. Jakarta: Kencana, 2012.

Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Sygma

Publishing, 2011.

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Kairo: Dar al-Kawatiyyah, 1998.

Kurdianto. Sistem Pembuktian Hukum Acara Perdata. Surabaya: Usaha Nasional,

1991.

Lev, Daniel S. Islamic Court in Indonesia, terj. H. Zaini Ahmad Noeh, Peradilan

Agama Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Intermasa, 1986.

Lubis, Sulaikan. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta:

Kencana, 2006.

Lukito, Ratno. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta:

Inis, 2008.

Ma’arif, Samsul. Ka’idah-Ka’idah Fiqih. Bandung: Pustaka Ramadhan, 2005.

Manan, Bagir. “Penegakkan Hukum yang Berkeadilan”, Majalah Hukum Varia

Peradilan, Tahun Ke-XX No. 241. Jakarta: IKAHI, 2005.

Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Agama. Jakarta: Kencana, 2006.

al-Maraghi, Ahmad Mustafa.“Tafsir Al-Maraghi”, terj. Bahrun Abu Bakar dkk.

Terjemahan Tafsir Al-Maraghi, Juz VI. Semarang: PT. Karya Toha Putra,

2003.

Mas’udi, Masdar F. “Meletakkan Kembali Mas}lah}ah sebagai Acuan Syari’ah”,

dalam ‘Ulu>m al-Qur’a>n, No. 3, Vol. VI, 1995.

Muhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan

Bintang, 2010.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif,

1997.

Muslim, Abu Husain bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisabury. Shahih Muslim, Juz

II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1412H/1991M.

Muthahhari, Murtadha. The Rights of Women in Islam, terj. M. Hashem. Bandung:

Penerbit Pustaka, 1997.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press,

1984.

Nasution, Bahder Joha. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju,

2008.

Nasution, Khoiruddin. “Menjamin Hak Perempuan dengan Taklik Talak dan

Perjanjian Perkawinan”, Jurnal Unisia, Vol. XXXI No. 70 (Desember

2008), http:// jurnal.uii.ac.id/Unisia/article/view/2700/2487.

ND., Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Ngariono, Yon. Pernikahan Yang Dimurka: Keseleo Lidah, Haramkan Hubungan

Seks, posmo, III, 118, 23-29 Juni 2001.

Noeh, Zaini Ahmad. Pembacaan Shigat Taklik Talak Sesudah Akad Nikah,

Mimbar Hukum. Jakarta: Ditbinbapera No. 30 Th. VII, 1997.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2006.

Pasha, Mustafa Kamal. Fikih Sunnah. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003.

Patrik, Purwahid. Dasar-Dasar Hukum Perikatan. Bandung: Mandar Maju, 1999.

Rahman, Abdur. Perkawinan dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

Rasyid, Royhan A. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Attahriyah, 2010.

al-Raysuni, Ahmad. Nadzariyat al-Maqashid ‘inda al-Imam asy-Syathibi. Beirut:

International Islamic Publishing House, 1995.

Rid}wa>n, Fath}i>. Min Falsafat al-Tashri>’ al-Isla>mi>. Beirut: Da>r al-

Kita>b al-Bunani>, cet. II, 1975.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah, Juz II. Kairo: al-Fath Lil I’la>m al-Arobi, t.t.

Saebani, Beni Ahmad. Fiqh Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia, Cet. VI, 2010.

Said, Umar. Hukum Islam di Indonesia. Surabaya: CV. Cempaka, 1997.

al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah, di-tah}qiq oleh

Muh}ammad ‘Abd al-Qadi>r al-Fa>dili>, Jilid I, Juz II. Beirut: al-

Maktabah al-‘As}riyyah, t.th.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan.

Yogyakarta: Liberty, 1997.

Soeroso, Murti Hadiati. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif

Yuridis Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika, cet. 3, 2012.

Sugiono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,

Cet. 22, 2015.

al-Suyut}i, Ima>m Abd al-Rah}ma>n Jala>l al-Di>n. al-Ashbah wa al-Naz}a>’ir.

Riyad: Maktabah Nazlr Mustafa al-Bazi, 1418 H/ 1997 M.

Suyuthi, Wildan. "Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama"

dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim

dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh

Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media,

2006.

Thalib, Sayuti. Hukum Keluarga Di Indonesia. Jakarta: UI Press, Cet. 5, 1986.

Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Prestasi

Pustaka Publisher, 2006.

Umar, Hasbi. Nalar Fiqih Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.

Usman, Sayyid. Qawanin al-Syari’ah, Salinan Nabhan. Surabaya: t.th.

Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. London: McDonald & Evan

Ltd., 1980.

Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’i,

Hanafi, Maliki, dan Hambali. Jakarta: Hida Karya Agung, 1990.

__________. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Hidakarya Agung, 1996.

__________. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara

Penterjemahan atau Penafsiran al-Qur’an, t.th.

Yusuf, Sofyan. “Taklik Talak Perspektif Ulama dan Pengaruhnya dalam Berumah

Tangga”, Anil Islam, Vol. 10 No. 2 (Desember 2017),

http://jurnal.instika.ac.id/index.php/AnilIslam/article/download/65/41.

Zaid, Mustafa. Al-Maslahah fi at-Tasyri’ al-Islami wa Najmuddin at-Tufi. Beirut:

Dar al-Fikr, 1954.

Zahrah, Muhammad Abu. Us}u>l al- Fiqh. Beirut: Da>r al-Fikr al-Arabi, 1958.

Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Juz VI. Damsyik: Da>r al-

Fikr, cet.2, 1405 H/1985 M.

__________. Us}u>l al-Fiqh al-Isla>my, Juz II. Damsyik: Da>r al-Fikr, 1986.

PEDOMAN WAWANCARA

“Pelanggaran Taklik Talak Sebagai Alasan Perceraian Di Pengadilan Agama

Giri Menang (Studi Putusan Perkara Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM)”

A. Identitas Narasumber

Nama : .................................................................................

Tempat/Tgl. Lahir : .................................................................................

Jabatan : Hakim Pengadilan Agama Giri Menang

Lokasi & Waktu : .................................................................................

B. Pertanyaan

1. Bagaimana pendapat Bapak tentang taklik talak, apakah taklik talak dapat

dijadikan sebagai alasan mengajukan perceraian?

2. Apa saja bentuk-bentuk/model pelanggaran taklik talak yang dijadikan

sebagai alasan mengajukan perceraian di Pengadilan Agama Giri Menang?

3. Biasanya dalam kasus pelanggaran taklik talak, pihak yang dirugikan adalah

istri kemudian dengan alasan pelanggaran taklik talak tersebut pihak istri

mengajukan gugatan perceraian. Namun dalam perkara No.

080/Pdt.G/2013/PA.GM, yang melanggar taklik talak adalah suami dan pihak

suami sendiri yang mengajukan perceraian. Bagaimana pandangan bapak

terhadap kasus tersebut?

4. Menurut Bapak, jika terjadi pelanggaran taklik talak, siapa seharusnya yang

mengajukan gugatan perceraian?

5. Dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan pelanggaran taklik

talak, apakah hakim mendasarkan pada undang-undang saja atau merujuk

pada sumber-sumber lain?

6. Mana yang lebih dominan yang digunakan sebagai pertimbangan dalam

memutus cerai perkara pelanggaran taklik talak ini? apakah dari ijtihad

sendiri atau semata-mata bersandar pada undang-undang yang berlaku?

7. Bagaimana hakim membuktikan adanya pelanggaran taklik talak dan

bagaimana cara menyelesaikannya?

8. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara perceraian

dengan alasan pelanggaran taklik talak?

HASIL WAWANCARA

Nama : H. ADI IRFAN JAUHARI, Lc.,M.A

Tempat Tanggal Lahir : BEKASI, 10 NOVEMBER 1978

Jabatan :HAKIM PENGADILAN AGAMA GIRI

MENANG

Lokasi dan Waktu : SENIN, 26 NOVEMBER 2018

1. Taklik talak boleh atau jaiz” dan bukan keharusan dalam perkawinan.

Taklik talak dapat dijadikan dasar untuk mengajukan gugatan perceraian

2. Selama tugas di Pengadilan Agama Giri Menang belum pernah

menyidangkan cerai dengan alasan taklik talak.

3. Belum sempat baca putusan tsb,,….

4. Pada umumnya (taklik pada buku nikah) yang di persyaratkan salah

satunya adalah ketidak ridhoan istri terhadap kondisi/keadaan yang disebut

dalam sighat, maka dalam hal ini istri yang mengajukan atas pelanggaran

taklik dari suami.

5. Secara azas hakim wajib memedomani UU dan sumber hokum lain yang

dibenarkan dalam hokum acara.

6. Saya berpendapat bahwa ijtihad dan undang-undang bukan dalam hal yang

vis a vis karena ijtihad adalah proses pengambilan kesimpulan hokum

yang tentu dapat juga didasarkan dari UU atau sumber hokum lainnya.

7. Sederhana saja, pelajari sighat taklik, lalu gunakan hokum pembuktian

dalam menentukan apakah taklik itu sudah dilanggar atau belum.

8. Hakim harus menimbang sejauh mana bentuk sighat dan pelanggaran yang

dijadikan alasan apakah benar terdapat korelasai dan akibat yang menjadi

syarat dalam jatuhnya taklik. Jika yam aka telah terbukti bahwa taklik

telah dilanggar.

HASIL WAWANCARA

Nama : MUH. SAFRANI HIDAYATULLAH

Tempat Tanggal Lahir : MATARAM, 19 FEBRUARI 1977

Jabatan :HAKIM PENGADILAN AGAMA GIRI

MENANG

Lokasi dan Waktu : KAMIS, 22 NOVEMBER 2018

1. Taklik talak dapat dijadikan alasan perceraian kerena bentuk perjanjian

antara suami ddan istri selama substansi taklik talaknya tidak bertentangan

dengan hukum islam. Akan tetapi, jika keadaan yang diisyaratkan dalam

taklik talak betul-betul terjadi, namun talak ini tidak dengan sendirinya

talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguhjatuh, istri harus mengajukan

persoalannya ke Pengadilan Agama.

2. Bentuk atau model pelanggaran taklik talak antara lain: suami

meninggalkan istri 2 tahun berturut-turut, suami selama 3 bulan berturut-

turut tidak menafkahi istri, suami melakukan kekerasan secara fisik dan

suami selama 6 bulan tidak memperdulikan istri.

3. Yang harus mengajukan pelanggaran taklik talak adalah pihak istri sebagai

Penggugat

4. Tentunya harus merujuk pada Undang-undangyang ada, khususnya

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1990 Tentang KHI pada pasal 8, pasal

45, 46 dan 116 huruf (g), selain itu dapat menggunakan sumbner hokum

lain seperti Al Qur’an Surat An nisa ayat 19 dan hadis nabi lainnya

5. Yang di jadikan sumber pertimbangan adalah undang-undang termasuk

sumber hokum yang lain, bukan ijtihad

6. Pembuktiannya dengan membebankan menghadirkan ssaksi dan bukti lain

di persidangan

7. Pertimbangannya dengan menganalisa apakah pelanggaran taklik talak

tersebut bisa dibuktikan oleh Penggugat atau tidak

HASIL WAWANCARA

Nama : MUHAMMAD JAMIL, S.Ag

Tempat Tanggal Lahir : DEMAK, 05 JULI 1976

Jabatan :HAKIM PENGADILAN AGAMA GIRI

MENANG

Lokasi dan Waktu : KAMIS, 29 NOVEMBER 2018

1. Dalam peraturan perundang-undangan terutama Undang-Undang No. 1

tahun 1974 alasan perceraian tidak terdapat Taklik talak sebagai alasan

perceraian namun dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 51

disebutkan pelanggaran atas perjanjian perkawinan member hak kepada

istri untuk mengajukan ke Pengadilan, maka Pelanggaran Taklik talak bisa

dijadikan alasan mengajukan perceraian

2. Sesuai rumusan bahwa taklik talak adalah perjanjian yang di gantungkan

kepada syarat dengan tujuan utamanya melindungi istri dari

kemudharatan, maka bentuk-bentuknya adalah perjanjian yang yang telah

di buat oleh suami istri pada saat pernikahan tersebut.

3. Hakim tidak boleh menilai putusan orang lain

4. Jika tujuan utamanya Taklik Talak adalah melindungi istri maka yang

berhak mengajukan gugatan dengan alasan taklik talak adalah istri.

5. Dalam memutus perkara hakim yang pertama adalah berdasarkan dengan

Undang-Undang yang disandingkan dengan sumber-sumber hokum

lainnya

6. Dalam mempertimbangkan alasan perceraianyang pertama harus

berdasarkan Undang-Undang jika tidak ditemukan dalam undang-undang

baru ijtihad.

7. Dalam Pembuktiannya hakim tetap membebankan kepada pihak untuk

menghadirkan saksi dan bukti lain dan pemeriksaan perkara perceraian

seperti biasa.

8. Hakim tetap dengan mengonstatir, mengkualifisir dan mengkontutir

perkara tersebut, apakah pelanggaran Taklik Talak terbukti maka di

kabulkan dengan khul’iy jikatidak terbukti maka ditolak.

HASIL WAWANCARA

Nama : RUFAIDAH IDRIS, S.H.I.

Tempat Tanggal Lahir : DENPASAR, 17 JUNI 1979

Jabatan :HAKIM PENGADILAN AGAMA GIRI

MENANG

Lokasi dan Waktu : KAMIS, 30 NOVEMBER 2018

1. Ya. Taklik talak dapat dijadikan sebagai alasan mengajukan perceraian (

Kompilasi Hukum Islam pasal 116 Huruf g).

2. Saya belum pernah menangani perkara perceraian dengan alasan

Pelanggaran Taklik talak di Pengadilan Agama Giri Menang.

3. Dalam perkara di maksud, saya belum membaca putusannya. Namun

menurut saya bisa saja, dalam pelanggaran taklik talak yang dilakukan

suami dan suami yang mengajukan perceraian (KHI Pasal 116 huruf g)

4. Menurut saya jika terjadi Pelanggaran Taklik talak, yang seharusnya

mengajukan gugatan perceraian adalah istri.

Keadaan tertentu yang disyaratkan dalam taklik talak tersebut betul-betul

terjadi, maka supaya taklik talak benar-benar jatuh, istri harus mengajukan

ke Pengadilan Agama, kalau tidak mengajukan atau mengadukan

persoalannya ke Pengadilan Agama maka talak suami itu selamanya tidak

akan jatuh. Karena dalam sighat taklik talak selain ada empat keadaan

tertentu yakni: 1. Meninggalkan istri 2 tahun berturut-turut. 2.tidak

member nafkah wajib 3 bulan lamanya. 3. Menyakiti badan/Jasmani istri

atau. 4. Membiarkan atau tidak memperdulikan istri selama 6 bulan atau

lebih. Ada hal lain atau syarat lain yakni: 1. Istri tidak ridho. 2.

Mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. 3. Gugatan diterima. 4. Istri

menyerahkan iwadh Rp. 10.000,-. Keempat syarat ini harus dipenuhi maka

jatuhlah talak suami.

5. Pada Undang-undang dan sumber lainnya

6. Berdasarkan Undang-undang dan ijtihad tidak menafikkan pendapat ulama

7. Membuktikan adanya pelanggaran taklik talak dengan alat bukti pada

tahap pembuktian dalam perkara perceraian karena pelanggaran taklik

talak termasuk dalam kategori talak bain shugro, walaupun yang jatuh

adalah talak suami. Karena untuk jatuhnya talak suami itu istri harus

mengajukan ke Pengaadilan Agama dan membayar iwadh.

8. Memeriksa kebenaran alasan/ dalil gugatan dalam hal ini adanya

pelanggaran taklik talak: dengan pembuktian membebankan kepada

Penggugat untuk membuktikan dalilnya.

Kalo terbukti adanya pelanggaran taklik talak , perkara dikabulkan , jika

tidak terbukti perkara di tolak.

HASIL WAWANCARA

Nama : RUSYDIANA KURNIAWATI LINANGKUNG,

S.H.I

Tempat Tanggal Lahir : MATARAM, 20 SEPTEMBER 1985

Jabatan :HAKIM PENGADILAN AGAMA GIRI

MENANG

Lokasi dan Waktu : KAMIS, 30 NOVEMBER 2018

1. Ya. Pelanggaran terhadap Taklik talak dapat dijadikan sebagai alasan

mengajukan perceraian.

2. Selama saya bertugas di Pengadilan Agama Giri Menang belum pernah

menangani perkara cerai dengan alasan pelanggaran taklik talak.

3. Pelanggaran terhadap taklik talak sebagaimana yang termuat dalam buku

Kutipan Akta Nikah memang harus diajukan oleh istri karena hal itu

menjadi bagian dari klausula. Sedangkan dalam perkara

0080/Pdt.G/2013/PA.GM diajukan dengan alasan pelanggaran terhadap

taklik talak yang tidak termuat dalam buku kutipan akta nikah sehingga

tidak ada larangan untuk suami mengajukan perkara perceraian ke

Pengadilan Agama.

4. Suami maupun istri dapat mengajukan perkara perceraian dengan alasan

Pelanggaran taklik talak karena perceraian hanya dapat dilakukan di depan

sidang pengadilan sebagaimana ketentuan pasal 39 ayat 1 UU Nomor 1

tahun 1974 jo. Pasla 115 KHI. Hal tersebut dikecualikan/dikhususkan

untuk pelanggaran terhadap taklik talak yang termuat di dalam Buku

kutipan Akta Nikah hanya dapat diajukan oleh istri.

5. Secara umum termasuk dalam memutus perkara perceraian dengan alasan

pelanggaran terhadap taklik talak, hakim harus mendasarkan putusannya

pada alsan-alasan yang termuat di dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan

yang terkait atau dari sumber hokum tak tertulis sebagaimana ketentuan

pasal 25 UU Nomor 4 tahun 2004 jo. Pasal 62 UU nomor 7 tahun 1989

6. Putusan Pengadilan haruslah memuat asas keadilan, kepastian dan

kemanfaatan. Demikian pula dalam perkara perceraian hakim harus

mempertimbangkan fakta yang ada untuk dikaitkan dengan aturan hokum

yang berlaku dengan memperioritaskan hokum positif untuk unifikasi

hokum islam di indonesia

7. Pembuktian menjadi beban/ tanggung jawab bagi para pihak sedangkan

hakim bertugas menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak untuk

kemudian memperoleh fakta sebagai pertimbangan terbukti atau tidak

adanya pelanggaran taklik talak yang didalilkan.

8. Perkara perceraian dengan alasan adanya pelanggaran taklik talak diatur

dalam ketentuan pasal 116 huruf g KHI. Bilamana dari pembuktian di

persidangan di peroleh fakta pelanggaran taklik talak maka perkara

dikabulkan , sebaliknya jika tidak terbukti maka perkara tersebut ditolak.

SALINAN P U T U S A N

Nomor 80/Pdt.G/2013/PA.GM

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Agama Giri Menang yang mengadili perkara-perkara

perdata tertentu dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan

sebagai berikut dalam perkara permohonan penetapan ta’klik talak

antara:

Naharudin bin Baderun, umur 35 tahun, agama Islam, pekerjaan

Swasta, bertempat tinggal di Dusun Mendagi, Desa Beleke,

Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, sebagai

Pemohon;

Melawan

Srianu binti H. Mahli, umur 33 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah

tangga, bertempat tinggal di Dusun Mendagi, Desa Beleke,

Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat,sebagai

Termohon;

Pengadilan Agama tersebut;

Setelah membaca berkas perkara;

Setelah mendengar keterangan kedua belah pihak serta memeriksa alat-

alat bukti;

TENTANG DUDUK PERKARANYA

Bahwa, Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 7 Maret

2013 yang terdaftar pada register perkara Pengadilan Agama Giri

Menang Nomor 80/Pdt.G/2013/PA.GM., telah mengemukakan hal-hal

sebagai berikut:

1. Bahwa Pemohon dengan Termohon adalah suami isteri sah yang

menikah pada hari Rabu tanggal 3 Juni 1998 yang dicatat oleh

Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Gerung

Kabupaten Lombok Barat, sesuai buku Duplikat Kutipan Akta Nikah

Nomor: 228/13/VII/1998 tanggal 9 Juli 1998;

2. Bahwa setelah melangsungkan perkawinan, Pemohon dan Termohon

bertempat tinggal di Dusun Lembar, Desa Lembar, Kecamatan

Lembar, Kabupaten Lombok Barat dan terakhir di Dusun Mendagi,

Desa Beleke, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, selama

pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon telah hidup

sebagaimana layaknya suami istri dan dikaruniai 2 orang anak yang

bernama:

2.1. M. TOMI HERMAWAN, laki-laki, umur 14 tahun;

2.2. SITI ANISA NILMALASARI, perempuan, umur 10 tahun;

Kedua anak tersebut dalam pemeliharaan atau asuhan pemohon dan

termohon;

3. Bahwa mulai tanggal 5 Nopember 2012 Pemohon mempunyai

hubungan khusus dengan seorang perempuan bernama NURHAYATI,

dengan hubungan khusus tersebut diketahui oleh Termohon pada

tanggal 29 Januari 2013, sehingga terjadilah pertengkaran antara

Pemohon dengan Termohon, dan Termohon mau memaafkan

Pemohon bila membuat perjanjian yang merupakan inisiatif dari

Termohon pada tanggal 31 Januari 2013 yang isinya: SAYA TIDAK

AKAN PACARAN LAGI DAN JIKA PERJANJIAN INI PEMOHON

LANGGAR MAKA JATUHLAH TALAK TIGA PEMOHON TERHADAP

TERMOHON;

4. Bahwa pada tanggal 3 Februari 2013 Termohon menemukan

Pemohon yang lagi berduaan dengan NURHAYATI, oleh karena

Pemohon membuat perjanjian tersebut, maka Termohon menganggap

telah jatuh talak Pemohon terhadap Termohon, kemudian Pemohon

pulang kembali ke rumah orang tua Pemohon;

5. Bahwa Pemohon sangat meragugat isi perjanjian tersebut, karena

tidak pernah mengucapkan talak terhadap Termohon, dan Pemohon

dengan Termohon menginginkan rukun dan membina rumah tangga

namun tidak dibenarkan dan tidk diterima oleh masyarakat maupun

tokoh agama di tempat Pemohon dan menganggap telah jatuh talak

tiga Pemohon kepada Termohon;

6. Bahwa Pemohon telah menjatuhkan talak tiga yang dibuat dalam

perjanjian dengan Termohon dan memohon kepada Ketua Pengadilan

Agama cq. Majelis hakim yang memeriksa perkara ini untuk ditetapkan

sebagai talak satu sehingga pemohon bisa rujuk kembali dengan

Termohon;

7. Bahwa berdasarkan dali-dalil dan alasan-alasan tersebut di atas

pemohon Mohon kepada bapak Ketua Pengadilan Agama Gir Menang

Cq. Majelis hakim yang memeriksa perkara ini memberikan putusan

sebagai berikut:

PRIMER:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

2. Menetapkan jatuh talak satu raj’i Pemohon (NAHARUDIN bin

BADERUN) terhadap Termohon (SRIANU binti H. MAHLI) ;

3. Membebankan biaya perkara sesuai ketentuan hukum yang

berlaku;

SUBSIDER:

Dan atau memberikan putusan lain yang seadil-adilnya dan

bermanfaat;

Bahwa pada persidangan yang ditetapkan, Pemohon dan

Termohon hadir sendiri di persidangan;

Bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan kedua belah

pihak, akan tetapi tidak berhasil;

Bahwa sebelum memasuki pokok perkara, para pihak juga telah

diperintahkan oleh majelis hakim supaya menempuh upaya mediasi diluar

sidang di hadapan mediator yang telah disepakati kedua belah pihak yaitu

Drs. Mutamakin, SH;

Bahwa berdasarkan laporan hasil mediasi Nomor

80/Pdt.G/2013/PA.GM tanggal 20 Maret 2013, mediasi dinyatakan tidak

berhasil;

Bahwa oleh karena perdamaian dan mediasi tersebut tidak

berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan pembacaan surat

permohonan pemohon, yang isinya tetap dipertahankan pemohon tanpa

ada perubahan dan penambahan;

Bahwa, atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon

memberikan jawaban secara lisan yang pada pokoknya membenarkan

dan mengakui seluruh dalil-dalil permohonan Pemohon;

Bahwa, untuk meneguhkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon

telah mengajukan bukti-bukti surat berupa:

1. Fotokopi Duplikat Kutipan Akta Nikah Nomor: 228/12/VII/1998,

tertanggal 9 Juli 1998 atas nama pemohon dan termohon yang dibuat

dan ditandatangani oleh kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan

Gerung, Kabupaten Lombok Barat (P.1);

2. Asli surat perjanjian Ta’klik Talak yang ditanda tangani NAHARUDIN

(Pemohon) tertanggal 31 Januari 2013 (P.2);

Bahwa disamping itu, pemohon juga menghadapkan saksi-saksi,

sebagai berikut;

Saksi I : SAKNAH binti AMAQ MERAK, umur 50 tahun, agama Islam,

pekerjaan ibu rumah tangga, tempat kediaman di Dusun Lembar,

Desa Lembar, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat,

dibawah sumpah memberikan keterangan sebagai berikut:

1. Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena

saksi adalah ibu kandung Pemohon, sedangkan Termohon

adalah anak menantu Saksi;

2. Bahwa saksi hadir pada saat Pemohon dengan Termohon

melangsungkan akad nikah pada ± 15 tahun yang lalu dan

telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang bernama TONI dan

ANISA;

3. Bahwa saksi tahu rumah tangga Pemohon dengan

Termohon rukun harmonis dan baik-baik saja. Namun sejak

tahun 2012 rumah tangga mereka ada masalah karena

Pemohon berpacaran dengan perempuan bernama

NURHAYATI;

4. Bahwa pada bulan Januari 2013 Termohon mengetahui

Pemohon mempunyai hubungan dengan NURHAYATI,

kemudian Termohon mau memaafkan Pemohon jika

Pemohon mau membuat perjanjian, jika Pemohon

berpacaran lagi, maka jatuhlah talak tiga Pemohon kepada

Termohon;

5. Bahwa saksi melihat sendiri isi surat perjanjian ta’lik talak

tersebut yang ditanda tangani sendir oleh Pemohon;

6. Bahwa pada bulan Februari 2013 ternyata Pemohon telah

ketahuan masih berhubungan dengan NURHAYATI kembali;

7. Bahwa saksi tahu pada bulan Februari tersebut Pemohon

telah menikah dengan NURHAYATI ,namun setelah berjalan

satu bulan, kurang lebih satu minggu yang lalu NURHAYATI

diceraikan oleh Pemohon;

8. Bahwa semenjak Termohon mengetahui jika pemohon

masih berhubungan lagi dengan NURHAYATI , termohon

menganggap telah jatuh talak tiga Pemohon kepada

Termohon, sehingga sampai sekarang antara Pemohon

dengan Termohon sudah pisah rumah;

9. Bahwa saksi tahu Pemohon sangat menyesali perjanjian

ta’lik talaknya tersebut dan antara Pemohon dengan

Termohon sekarang ini masih saling mencintai dan

berkeinginan untuk melanjutkan hubungan rumah

tangganya, tetapi masyarakat sekitar tidak menerima karena

menganggap telah jatuh talak tiga;

Saksi II: SAPUAN bin BADERUN, umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan

Karyawan PT. Indocement, tempat kediaman di Dusun Lembar,

Desa Lembar, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat,

dibawah sumpah memberikan keterangan sebagai berikut:

1. Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena

saksi adalah adek kandung Pemohon, sedangkan

Termohon adalah kakak ipar Saksi;

2. Bahwa Pemohon dengan Termohon adalah suami isteri

yang telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang bernama

TONI dan ANISA;

3. Bahwa saksi tahu rumah tangga Pemohon dengan

Termohon rukun harmonis dan baik-baik saja. Namun sejak

antara bulan Januari – Februari 2013 yang lalu saksi tahu

rumah tangga mereka ada masalah karena Pemohon

berpacaran dengan perempuan bernama NURHAYATI;

4. Bahwa benar setelah Termohon mengetahui Pemohon

mempunyai hubungan dengan NURHAYATI, kemudian

Pemohon membuat perjanjian,ta’lik talak dengan Termohon,

jika Pemohon berpacaran lagi, maka jatuhlah talak tiga

Pemohon kepada Termohon;

5. Bahwa selain mendengar cerita dari Pemohon dan

Termohon, saksi juga melihat sendiri isi surat perjanjian ta’lik

talak tersebut yang ditanda tangani sendir oleh Pemohon;

6. Bahwa pada tanggal 3 Februari 2013, Termohon

mengetahui dan mempergoki sendiri Pemohon telah dan

masih berhubungan dengan NURHAYATI kembali;

7. Bahwa saksi tahu pada bulan Februari tersebut Pemohon

telah menikah dengan NURHAYATI ,namun setelah berjalan

satu bulan, kurang lebih satu minggu yang lalu NURHAYATI

diceraikan oleh Pemohon;

8. Bahwa semenjak Termohon mengetahui jika pemohon

masih berhubungan lagi dengan NURHAYATI , termohon

menganggap telah jatuh talak tiga Pemohon kepada

Termohon, sehingga sampai sekarang antara Pemohon

dengan Termohon sudah pisah rumah;

9. Bahwa saksi tahu Pemohon sangat menyesali perjanjian

ta’lik talaknya tersebut dan antara Pemohon dengan

Termohon sekarang ini masih saling mencintai dan

berkeinginan untuk melanjutkan hubungan rumah

tangganya, tetapi masyarakat sekitar tidak menerima karena

menganggap telah jatuh talak tiga;

Bahwa terhadap alat-alat bukti dan keterangan saksi-saksi

tersebut, Pemohon dan Termohon mengakui dan membenarkannya;

Bahwa selanjutnya Pemohon dan Termohon tidak menyampaikan

sesuatu apapun lagi dan mohon putusan;

Bahwa untuk melengkapi uraian putusan ini, maka Majelis Hakim

menunjuk berita acara persidangan ini sebagai bagian dalam putusan ini;

TENTANG HUKUMNYA

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon

adalah sebagaimana tersebut di atas;

Menimbang, bahwa upaya perdamaian yang dilakukan oleh majelis

hakim di dalam persidangan serta mediasi yang dilakukan oleh mediator

Drs. Mutamakin, S.H. diluar persidangan kepada kedua belah pihak tidak

berhasil, maka mejelis hakim melanjutkan pemeriksaan perkara ini pada

pokok perkara;

Menimbang, bahwa yang menjadi pokok permohonan pemohon

adalah pemohon memohon agar perjanjian ta’klik talak yang telah dibuat

dan ditandatangani pemohon dengan jatuhnya talak tiga sekaligus

pemohon kepada termohon secara ta’lik talak dapat ditetapkan dengan

jatuh talak satu raj’i demi mendapatkan kepastian status hukum dan

permohonan tersebut tetap dipertahankan oleh pemohon tanpa ada

perubahan apapun;

Menimbang, bahwa atas dalil-dalil permohonan pemohon tersebut,

termohon mengakui dan membenarkan dalil-dalil permohonan pemohon;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.1, maka harus dinyatakan

terbukti bahwa antara Pemohon dan Termohon telah terikat dalam

perkawinan yang sah, maka Pemohon dan Termohon adalah pihak-pihak

yang sah sebagai subyek hukum dalam perkara ini sesuai pasal 7 (1)

Kompilasi Hukum Islam

menimbang, bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon telah

memenuhi syarat-syarat formil maupun materiil sebagaimana

sebagaimana ketentuan Pasal 165-179 R.Bg., maka Majelis Hakim

berpendapat dapat menerima saksi-saksi pemohon tersebut untuk

didengar keterangannya di persidangan;

Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan pemohon, bukti (P.2)

dan dan keterangan saksi-saksi pemohon maka majelis hakim

berpendapat bahwa dalil-dalil permohonan pemohon dalam perkara a quo

telah terbukti bahwa pemohon telah membuat dan menandatangani

perjanjian ta’lik talak dengan jatuhnya talak tiga pemohon sekaligus

terhadap termohon, namun setelah terjadinya ta’lik tersebut pemohon

dengan termohon masih saling mencintai dan berkeinginan melanjutkan

hubungan rumah tangganya, akan tetapi masyarakat enggan menerima

karena beranggapan antara pemohon dengan termohon telah jatuh talak

tiga;

Menimbang, bahwa dalam hukum islam selain talak khulu’, talak

tafwidh, fasakhdan lain sebagainya sebagai tehnik-tehnik perceraian, juga

diatur mengenai ta’lik talak yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia;

Menimbang, bahwa Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu

rujukan sumber hokum materiil bagi Pengadilan Agama dalam memutus

perkara perceraian mengatur dan mengakui eksistensi lembaga ta’lik talak

sebagai salah satu alasan perceraian sebagaimana termuat dalam pasal

45 ayat (1) dan pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam (KHI);

Menimbang, bahwa tujuan luhur diaturnya lembaga ta’lik talak

dalam sistem hukum perkawinan dan perceraian islam di Indonesia

adalah melindungi hak-hak isteri dari perbuatan/tindakan semena-mena

suami demi niatan baik dari pemohon dan termohon untuk tetap hidup

membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah

sebagaimana termuat dalam surat ar-Rum ayat 21 dan pasal 1 Undang-

undang Nomor 1 tahun 1974;

Menimbang, bahwa dari pengakuan pemohon yang telah

dibenarkan oleh termohon dan diperkuat dengan alat bukti P.2 serta

keterangan saksi-saksi telah terbukti bahwa pemohon telah membuat dan

menandatangani perjanjian ta’lik talak yang dalam perjanjian tersebut

kejadian yang dijadikan gantungan (ta’lik) oleh pemohon untuk

menjatuhkan talaknya adalah sesuatu yang berkaitan erat dengan

persolan (tingkah laku) pemohon yang yang dapat mempengaruhi

keharmonisan dan menghalangi hubungan pemohon dan termohon dalam

membina rumah tangga dan dapat menghalangi pemohon atau termohon

untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri, yaitu mengenai

perbuatan pemohon yang mengulang kembali menjalin hubungan khusus

(bahkan sampai menikah) dengan perempuan lain yang bernama

NURHAYATI, oleh karena itu majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian

ta’lik talak yang diperjanjikan pemohon tersebut pada dasarnya memenuhi

tujuan dan nilai luhur pengaturan lembaga ta’lik talak dalam hukum

perkawinan dan perceraian di indonesia sebagaiman termuat dalam

Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun

1990;

Menimbang, bahwa majelis hakim sependapat dengan dalil fikih

yang termuat dalam kitab Syarqawi ala al-tahrir halaman 105:

دها عمل مبقتضى اللفظومن علق طلقا بصفة وقع بوجو

Artinya; “Barang siapa mengkaitkan (menggantungkan) jatuh talaknya

dengan sesuatu apapun maka talak tersebut jatuh dengan

adanya sesuatu sebagai kosekuensi atas ucapannya tersebut”.

Menimbang, bahwa dari dalil pemohon yang telah dibenarkan oleh

termohon dan diperkuat dengan keterangan saksi-saksi telah terbukti

setelah pemohon membuat dan menandatangani perjanjian ta’lik talak,

ternyata pemohon telah menjalin hubungan , bahkan sampai menikah lagi

dengan perempuan lain yang bernama NURHAYATI meskipun telah

diceraikan kembali oleh pemohon, maka berdasarkan fakta tersebut dan

pertimbangan-pertimbangan diatas, perjanjian ta’lik talak pemohon telah

memenuhi ketentuan hokum islam dan pemohon telah terbukti sah secara

hokum melanggar perjanjian ta’lik talak tersebut;

Menimbang, bahwa oleh karena pemohon terbukti sah secara

hokum telah melanggar perjanjian ta’lik talaknya tersebut, maka

selanjutnya majelis hakim akan mempertimbangkan jumlah atau bilangan

talak yang jatuh sebagai akibat dari perjanjian talak tiga sekaligus

pemohon tersebut dalam ta’liknya;

Menimbang, bahwaberkaitan denga perkara a quo majelis hakim

perlu mengetengahkan hadits-hadits yang akan dijadikan dasar

pertimbangan dalam memutus perkara a quo sebagai berikut:

كان الطلق على عهد رسول الله صلى اهلل عليه وسلم وأب بكر عن ابن عباس قال: .وسنت ي من خلفة عمر طلق الثلث فأمضاه عليهم عمر )رواه البخارى ومسلم(

Artinya: “Dari ibnu abbas, ia berkata : Pada masa Rasulullah saw, Abu

Bakar dan 2 tahun pemerintahan Umar, talak tiga sekaligus

hanya diberlakukan talak satu dan Umar pun memberlakukan

ketentuan tersebut pada rakyatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

واحد. فحزن عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال, "طلق ركانة امرأته ثلثا ف جملس كيف طلقتها؟ قال: :عليها حزنا شديدا.. فسأله رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم

ثلثا. فقال: ف جملس واحد؟ قال: نعم. قال: فإمنا تلك واحدة، فأرجعها إن شئت. )رواه أمحد وأبو يعلى(فراجعها."

Artinya; “Dari ibnu abbas, ia berkata : Rukanah menceritakan istrinya

dengan talak tiga sekaligus, namun ia sangat menyesalinya.

Kemudian Rasulullah SAW bertanya (kepadanya): “Bagaimana

kamu menceraikannya?” ia menjawab: Aku menceraikannya

denga talak tiga sekaligus. Kemudian Rasulullah berkata : “(jika

demikian) Maka itu hanya jatuh talak satu, maka rujuklah kepada

istrimu”. (HR. Ahmad dan Abu Ya’la)

Menimbang, bahwa madzhab Dzahiriyah dan Jama’ah,

sebagaimana dikutip ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid juz 2

hal.561, berpendapat:

وقال أهل الظاهر ومجاعة : حكمه حكم الوحدة وال تأثري للفظ ف ذلك

Artinya: “madzhab Dhahiriyah dan Jama’ah berpendapat bahwa

hukumnya (talak tiga sekaligus) adalah hanya berlaku talak satu

dan tidak ada efek yuridis dalam ucapan talak tiga sekaligus

tersebut”.

Menimbang, bahwa dengan diajukannya permohonan dalam

perkara a quo oleh pemohon, majelis hakim berpendapat bahwa pemohon

telah beri’tikad baik dan oleh karenanya maka permohonan pemohon

dalam perkara a quo dapat dipertimbangkan demi memberikan kepastian

hukum dan memberikan keyakinan kepada pemohon dan termohon

terhadap status perkawinannya tersebut

Menimbang, bahwa meskipun terdapat ulama’ yang berpendapat

bahwa talak tiga yang diucapkan/dijatuhkan dalam satu waktu tetap jatuh

talak tiga, akan tetapi dalam perkara a quo, berdasarkan hadits-hadits dan

pendapat ulama’ sebagaimana termuat dalam pertimbangan di atas dan

demi kemaslahatan rumah tangga pemohon, termohon serta kedua

anaknya tersebut, maka mejelis hakim berpendapat bahwa talak tiga yang

diperjanjikan oleh pemohondalam perkara a quo hanya jatuh talak satu;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

tersebut di atas, maka mejelis hakim berpendapat bahwa permohonan

pemohon, sebagaimana tersebut dalam petita nomor 2, dapat dikabulkan

dengan menetapkan jatuhnya talak satu raj’I pemohon terhadap

termohon;

Menimbang, bahwa oleh karena perkara a quo termasuk dalam

bidang perkawinan, maka berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50

Tahun 2009, maka biaya perkara dibebankan kepada Pemohon;

Mengingat dan memperhatikan segala peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan hukum syara’ yang berkaitan dengan

perkara ini;

M E N G A D I L I

1. Mengabulkan permohonan pemohon;

2. Menyatakan ta’lik talak pemohon (NAHARUDIN bin BADERUN)

terhadap Termohon (SRIANU binti H. MAHLI) sah menurut hukum;

3. Menetapkan jatuhnya talak satu raj’I pemohon (NAHARUDIN bin

BADERUN) terhadap termohon (SRIANU binti H. MAHLI);

4. Membebankan biaya perkara ini sebesar Rp 211.000,- (dua ratus

sebelas ribu rupiah) kepada pemohon;

Demikian diputuskan dalam sidang permusyawaratan pada hari

Rabu tanggal 27 Maret 2013 M. bertepatan dengan tanggal 15 Jumadil

Awwal 1434 H. dan telah dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum

pada hari itu juga oleh kami MUSLICH, S.Ag. sebagai Ketua Majelis serta

MUH. NASIKHIN, S.HI., M.H., dan SYAFRUDDIN, S.Ag., M.SI., masing-

masing sebagai Anggota Majelis, dibantu H. SATERIAH AN, S.HI.

sebagai Panitera Pengganti dengan dihadiri oleh pemohon dan termohon.

Anggota Majelis I Ketua Majelis

ttd

MUH. NASIKHIN, S.HI., MH.

ttd

MUSLICH, S.Ag.

Anggota Majelis II

ttd

SYAFRUDDIN, S.Ag., M.SI..

Panitera Pengganti,

ttd

H. SATERIAH AN, S.HI.

Perincian Biaya Perkara:

1. Biaya Pendaftaran : Rp. 30.000,00

2. Biaya Proses : Rp. 50.000,00

3. Panggilan : Rp. 120.000,00

5. Meterai : Rp. 6.000,00

6. Redaksi : Rp. 5.000,00

Jumlah : Rp 211.000,00

(Dua ratus sebelas ribu rupiah)