ETIKA DAN MORAL DALAM REFORMA AGRARIA DI BIDANG KEHUTANAN: SEBUAH EPISODE KEGAGALAN BIROKRASI

22
ETIKA DAN MO KEHUTANAN E Do PENGELOLA SEKOLAH PA ORAL DALAM REFORMA AGRARIA D N: SEBUAH EPISODE KEGAGALAN BIR Dibuat untuk memenuhi sebagian tugas MATA KULIAH ETIKA DAN MORAL LINGKUNGAN osen Pengampu: Dr. drh. HASIM, DEA Oleh: Ferdinal Asmin (P062130181) PROGRAM DOKTOR AAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGK ASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN 2014 DI BIDANG ROKRASI KUNGAN N BOGOR

Transcript of ETIKA DAN MORAL DALAM REFORMA AGRARIA DI BIDANG KEHUTANAN: SEBUAH EPISODE KEGAGALAN BIROKRASI

ETIKA DAN MORAL DALAM KEHUTANAN

ETIKA DAN MORAL Dosen

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGANSEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

ETIKA DAN MORAL DALAM REFORMA AGRARIA DI BIDANG KEHUTANAN: SEBUAH EPISODE KEGAGALAN BIROKRASI

Dibuat untuk memenuhi sebagian tugas MATA KULIAH

ETIKA DAN MORAL LINGKUNGAN Dosen Pengampu: Dr. drh. HASIM, DEA

Oleh: Ferdinal Asmin (P062130181)

PROGRAM DOKTOR PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGANSEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

DI BIDANG BIROKRASI

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -2

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL 3 DAFTAR GAMBAR 3 LATAR BELAKANG 4 KEBUNTUAN REFORMA AGRARIA DI BIDANG KEHUTANAN 5 Reforma Agraria dan Episode Konflik Kehutanan 5 Kegagalan Perhutanan Sosial 8 KETIDAKPASTIAN ARAH REFORMASI AGRARIA 12 Ketidakmampuan Ilmu Kehutanan 12 Inkonsistensi Kebijakan dan Demam Perubahan Iklim 14 Mungkinkah Rimbawan Menjadi Social Entrepreneur? 18 PENUTUP 20 DAFTAR PUSTAKA 21

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -3

DAFTAR TABEL

1. Sejarah Reforma Agraria di Indonesia 6

2. Persentase Kategori Kepemilikan Lahan Petani, 1973-2003 8

DAFTAR GAMBAR

1. Kemajuan Skema HTR, 2007-2016 11

2. Kontribusi PDB Sektor Pembangunan di Indonesia 12

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -4

LATAR BELAKANG

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi (18):103-104)

Anda mungkin pernah mendengar legenda rakyat Minangkabau (Sumatera Barat) tentang Malin Kundang, yang menceritakan tentang kedurhakaan seorang anak terhadap ibunya. Anda dapat membayangkan bagaimana kesedihan seorang ibu ketika seorang anaknya tidak mengakuinya sebagai ibu. Dalam cerita tersebut, sang ibu memohon kepada tuhan untuk mengingatkan anaknya tersebut, dan tuhan mengabulkannya dengan mengutuk sang anak menjadi batu. Bila kita bawa ke kehidupan nyata, sebenarnya, setiap ibu tidak tega untuk menghukum anaknya, bahkan ibu cenderung membela sang anak. Kondisi sebaliknya, anak seringkali dengan mudahnya menyakiti hati ibunya, yang merupakan fenomena yang sering teramati dalam kehidupan masyarakat akhir-akhir ini.

Pada kehidupan kita bernegara saat ini, bagaimana menurut anda bila masyarakat atau rakyat dianalogikan sebagai ibu dan pemerintah sebagai anak? Perdebatan pasti akan selalu terjadi ketika kita membahas bagaimana hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Ada yang menilai baik, jelek, atau biasa-biasa saja. Tanggapan lebih ekstrim mungkin saja anda lontarkan yaitu tidak perlu ada pemerintahan di negeri ini. Pertanyaan berikutnya, mungkinkah saat ini telah terjadi episode kedurhakaan dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang terjadi pada saat Malin Kundang yang tidak ikhlas mengakui eksistensi ibunya?

Keikhlasan berpikir dan bertindak dari pemerintah menjadi pondasi dasar membangun hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya, termasuk dalam menjalankan reforma agraria. Ketidakikhlasan pemerintah sangat terasa sekali sehingga kemajuan reforma agraria tersendat-sendat. Contohnya adalah kinerja reforma agraria yang dijalankan oleh Kementerian Kehutanan. Sebenarnya, rakyat sangat berharap banyak dari kinerja pemerintah di bidang kehutanan dalam mendorong implementasi reforma agraria secara fundamental dan produktif. Namun sepertinya, harapan hanya akan tinggal harapan, seiring dengan akan berakhirnya masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono pada tahun 2014 ini.

Perjuangan keadilan sosial terhadap agraria di bidang kehutanan dikhawatirkan telah mengalami kebuntuan sepanjang sejarah reforma agraria di Indonesia. Komitmen pemerintah yang rendah dalam mendorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) bisa menjadi catatan penting untuk menilai kinerja reforma agraria di bidang kehutanan. Kesuraman reforma agraria juga didorong oleh tingginya ketidakpastian kebijakan penyelenggara negara dan pemerintahan yang sejalan dengan semangat reforma agraria. Kekhawatirkan kita juga semakin memuncak ketika aparatur pemerintah mengalami kemerosotan semangat juang (harapan sebagai social entrepreneurs) untuk mendorong aksi-aksi reforma agraria secara lebih komprehensif dan holistik.

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -5

KEBUNTUAN REFORMA AGRARIA DI BIDANG KEHUTANAN

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (QS. Al Hujuraat (49):9)”

Reforma Agraria dan Episode Konflik Kehutanan

Sejarah reforma agraria di Indonesia telah dimulai sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 (lihat Tabel 1). Sepanjang sejarah tersebut, persoalan-persoalan lahan atau tanah untuk pertanian menjadi inti perjuangan reforma agraria di Indonesia, walaupun sebenarnya reforma agraria dimaksudkan untuk hal yang lebih luas dari hanya sekedar permasalahan tanah. Menurut Soetarto dan Hermansah (2007:11), reforma agraria sebenarnya merupakan upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa.

Ketika vegetasi berhutan menjadi tutupan lahan paling dominan di daratan, maka reforma agraria sudah pasti akan bersentuhan dengan masalah hutan dan kehutanan. Menurut FWI (2011:5), pada tahun 1950, Dinas Kehutanan Indonesia menerbitkan Peta Vegetasi Indonesia yang menyatakan hampir 84 persen, atau sekitar 162 juta ha, luas daratan Indonesia pada masa itu tertutup hutan primer. Saat ini, menurut Kemenhut (2012:20), tutupan hutan primer Indonesia diperkirakan hanya 46.5 juta hektar.

Pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan pangan, serat, dan bahan bakar sering dianggap sebagai pemicu berkurangnya lahan hutan atau lebih sering disebut dengan degradasi dan deforestasi. Fenomena ini terjadi di seluruh dunia, bahkan menurut catatan Food and Agriculture Organization (FAO) terjadi kehilangan hutan rata-rata setiap tahunnya sekitar 5.2 juta ha dalam 10 tahun terakhir (FAO 2010 dalam FAO 2012:9). Awal era reformasi di Indonesia, diperkirakan laju deforestasi dan degradasi mencapai 2.8 juta ha/tahun, yang diantaranya dapat memberikan gambaran tingginya konflik sumber daya hutan di Indonesia.

Konflik sumber daya hutan antara pemerintah dan mayarakat lokal bukan hanya terjadi pada era reformasi saat ini, tapi juga telah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Sebagaimana diuraikan oleh Simon (2004), Pemerintah Hindia Belanda telah melakukan eksploitasi sumber daya hutan (kayu jati) dan pengembangan perkebunan (cultuurstelsel) secara besar-besaran sampai ekosistem hutan jati di Pulau Jawa mengalami kerusakan, sehingga pada tahun 1849 mulai muncul kesadaran untuk membangun hutan tanaman jati.

Untuk mendukung pembangunan hutan tanaman jati tersebut, Pemerintah Hindia Belanda membuat undang-undang tentang agraria pada tahun 1870 dan

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -6

undang-undang tentang kehutanan tahun 1927 (Bos-ordonantie), yang secara cerdik mampu mengikis hak ulayat masyarakat Jawa pada saat itu. Kepentingan masyarakat diakomodir dengan mengembangkan sistem taungya dan/atau tumpangsari dalam pembangunan hutan tanaman jati. Sementara itu, di luar Pulau Jawa, Pemerintah Hindia Belanda mampu membuat kesepakatan dengan tokoh masyarakat adat untuk menentukan batas-batas hutan yang seringkali disebut dengan hutan register.

Tabel 1. Sejarah Reforma Agraria di Indonesia

Periode Deskripsi Singkat

1945-1960 : dari zaman kolonial sampai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960

Hukum ini dilaksanakan sampai tahun 1966 tapi butuh regulasi tambahan untuk melaksanakan land reform secara efektif di tingkat regional atau lokal. Kemajuan land reform dari tahun 1961-1966: 197,395.6 ha (307,904 KK) atau 8.14 % dari total KK potensial (4.7 juta KK)

1965-1970: transisi dari era Soekarno ke era Soeharto

UUPA diperlemah oleh undang-undang lain

1973-1993: Era Orde Baru Berbagai undang-undang dibuat untuk merestrukturisasi akses dan kepemilikan lahan. Dari 1969-1980, land reform dilarang dan pada tahun 1970, pemerintah me-laksanakan revolusi hijau

Setelah 3 dekade, jumlah petani marjinal meningkat dari 9.5 juta sampai 10.94 juta dan menjadi 13.7 juta pada tahun 2003, sedangkan kepemilikan lahan menurun dari rata-rata 0.89 ha menjadi 0.83 ha pada tahun 1983, dan menjadi 0.5 ha pada tahun 2003. Pada tahun 1981, FAO menetapkan Farmer Charter yang berisi 17 prinsip, untuk memandu akses dan kepemilikan lahan dan sumber daya air. Piagam ini diabaikan oleh pemerintah. Pemerintah mengklaim 1.1 juta ha lahan telah didistribusikan melalui skema land reform dan transmigrasi dari tahun 1967-2005.

1997-2002: Era Reformasi Reforma agraria dikembangkan dengan mekanisme modal skala besar; konflik meningkat

Isu lahan bagi buruh tani kembali muncul dengan keluarnya Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1999. Dua tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan keputusan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Reforma Agraria

2003-2010: Era Susilo Bambang Yudo-yono mengembangkan pengelolaan lahan dan kebijakan redistribusi dan land reform plus Lima komponen program: 1. Mengembangkan kerangka kebijakan

tanah nasional 2. Mengembangkan aspek kelembagaan,

kapasitas, dan pelatihan 3. Program Sertifikasi Tanah 4. Mengembangkan sistem informasi

tanah 5. Mendukung pengembangan kapasitas

pemerintah lokal

Kinerja BPN untuk lima komponen tersebut hanya mampu mencakup proses sertifikasi yang sedikit. Program redistribusi tanah dimulai pada tahun 2007 juga kurang maksimal. Land Reform Plus diklaim mampu mere-distribusikan 40,000 ha per tahun sejak tahun 2005, 2 kali dari periode sebelumnya. BPN mengalokasikan anggaran dan melakukan koordinasi yang lebih baik dengan unit kerjanya sehingga penerima manfaat program meningkat sejak 2005, dari 34,195 RT/tahun pada tahun 1961-2004 sampai 72,991 RT/tahun pada tahun 2005-2008.

Sumber : Sajoygyo Institute dan Konsorsium Pembaruan Agraria (2011:98-99)

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -7

Setelah kemerdekaan Indonesia, konflik antara Pemerintah Indonesia dan masyarakat lokal memasuki episode baru dengan kompleksitas yang lebih besar seiring dengan kondisi ekonomi yang memburuk pada era orde lama, pemerintahan yang otoriter pada era orde baru, serta kebebasan dan demokrasi pada era reformasi sebagaimana dijelaskan oleh Barber (1998) dan Simon (2004). Faktanya, menurut Maryudi dan Krott (2012), semakin banyak kendala yang dihadapi masyarakat lokal untuk mengakses sumber daya hutan sebagaimana yang terjadi di Pulau Jawa. Sedangkan di luar Pulau Jawa, konflik sumber daya hutan disebabkan oleh klaim ulayat terhadap kawasan hutan negara dan ketidakadilan pemerintah dalam pemberian hak kelola sumber daya hutan yang lebih mengutamakan kepentingan pihak korporasi seperti yang diuraikan oleh Suharjito (2013).

Untuk meredam konflik tersebut, Perum Perhutani yang menguasai kawasan hutan negara di Pulau Jawa melaksanakan program Prosperity Approach pada tahun 1974, Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) pada tahun 1982, Perhutanan Sosial (PS) pada tahun 1985, dan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pada tahun 2001 (Simon 2004). Di luar Pulau Jawa, program-program sosial kehutanan baru muncul pada awal tahun 1990-an dengan Bina Desa Hutan atau Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang dilaksanakan pada tahun 1991-2003, Hutan Kemasyarakatan (HKm) sejak tahun 1995, Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Konservasi sejak tahun 2004, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sejak tahun 2007, dan Hutan Desa sejak tahun 2008 (Sardjono 2013). Namun Simon (2004) dan Sardjono (2013) sepakat bahwa perkembangan dari berbagai program tersebut belum sesuai harapan.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merekam 1,753 kasus konflik agraria yang bersifat struktural dari tahun 1970-2001, yang menghadapkan penduduk setempat dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Kasus yang terekam tersebar di 2,834 desa/kelurahan dan 1,355 kecamatan di 286 kabupaten/kota se-Indonesia. Luas tanah yang dipersengketakan tidak kurang dari 10 juta ha dan melibatkan lebih dari 1 juta Kepala Keluarga (KK) (Kartodihardjo dan Jhamtani 2003:197-198). Sementara itu, menurut Prosterman dan Mitchell (2002:2-3), selama periode 1960-2000, data BPN menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia telah meredistribusikan 850,128 ha melalui program land reform, sekitar 339,277 ha berada di Jawa. Namun, data Sajoygyo Institute dan Konsorsium Pembaruan Agraria (2011:103) mencatat semakin menurunnya luas kepemilikan lahan di kalangan petani seperti terlihat pada Tabel 2.

Reforma agraria di bidang kehutanan merupakan langkah yang sangat penting untuk mengatasi konflik-konflik sumber daya hutan yang terjadi di banyak wilayah. Harapannya bukan saja mengenai redistribusi lahan bagi masyarakat petani, tetapi lebih besar dari pada itu, yaitu menjamin tata kelola kehutanan yang lebih baik dan adil. Merujuk pada konsep reforma agraria yang dikemukakan oleh Suharjito (2013:424-425), maka reforma agraria di bidang kehutanan menunjuk pada penataan distribusi penguasaan lahan hutan negara kepada masyarakat lokal. Penguasaan atas lahan tidak berarti memilikinya, namun harus mencakup kepastian hak-hak yang ada di dalam penguasaannya (land tenure security) dalam jangka panjang.

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -8

Tabel 2. Persentase Kategori Kepemilikan Lahan Petani, 1973-2003

Sumber : Bachriadi dan Wiradi (2011) dalam Sajoygyo Institute dan Konsorsium Pembaruan Agraria (2011:103)

Dinamika permasalahan kehutanan di Indonesia semakin kompleks dengan diterimanya judicial review dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terhadap pengertian hutan adat pada pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam amar putusannya nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 26 Maret 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus kata “negara” dalam pengertian hutan adat sehingga hutan adat bukan lagi termasuk kategori hutan negara. Menurut Sardjono (2013:403), hutan adat [telah dicantumkan] dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967), [namun penjelasannya] terhenti pada tataran Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) [Tahun 2003], karena belum [ditemukan] titik temu pandangan dan keputusan atas berbagai hal esensial dan sensitive, terutama berkaitan dengan hak, tanggung jawab hingga kewenangan atas sumber daya dan kelembagaan di dalamnya.

Dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (2011-2030), tidak terdapat luas hutan adat meskipun diakui keberadaannya dalam undang-undang [serta] tidak ada program dan kegiatan yang membatasi status hak masyarakat [hukum] adat atas hutan adatnya dengan hutan negara. Hal demikian itu yang terjadi dalam waktu lama, menyebabkan seolah-olah masyarakat [hukum] adat dipersaingkan secara bebas dengan [izin-izin] yang dikeluarkan pemerintah. Dengan demikian, isi undang-undang yang mengandung makna bahwa keberadaan hutan adat di dalam kawasan hutan negara adalah sebuah perlindungan negara bagi masyarakat [hukum] adat, dalam kenyataannya tidak demikian (Kartodihardjo 2013:487).

Kegagalan Perhutanan Sosial

“Sesuatu adalah benar jika ia cenderung memelihara integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik. Sesuatu adalah salah jika ia cenderung sebaliknya”. Pernyataan ini merupakan pernyataan sangat terkenal yang ditulis oleh Aldo Leopold. Pernyataan ini mengarahkan perhatian kita pada pandangan yang lebih luas dalam komunitas kita sendiri, termasuk rasa keadilan dan

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -9

ketidakadilan. Oleh karena itu, perhatian keadilan lingkungan bukan hanya mengenai hak-hak manusia tapi juga hak-hak lainnya―hewan, tumbuhan, dan bahkan tanah. Leopold juga mengarahkan perhatian kita pada sebuah kata yang sangat sulit untuk didefinisikan, yaitu keindahan (Bell 1998:27).

Bila kita cermati pernyataan Aldo Leopold tersebut, apakah kita sudah merasakan bahwa reforma agraria di bidang kehutanan sebagai sesuatu yang benar? Mampukah masyarakat desa menjalankan reforma agraria untuk memelihara integritas, stabilitas, dan keindahan? Bagi pemerintah saat ini, bila kita melihat rekam jejak (footprints) kebijakan yang telah dikeluarkan di bidang kehutanan, maka jawabannya adalah mereka ragu-ragu. Buktinya, ada ketidakjelasan aksi reforma agraria dalam Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014 seperti yang telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.8/Menhut-II/2010. Masalah-masalah agraria dimaknai sebagai masalah tenurial dan dianggap sebagai penghambat utama investasi di bidang kehutanan.

Program perhutanan sosial seringkali disebut sebagai salah satu upaya mengatasi masalah tenurial melalui peningkatan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Berdasarkan asumsi tersebut, mampukah program perhutanan sosial menjawab persoalan mendasar yang dihadapi oleh masyarakat desa hutan? Suharjito (2013:434-444) menjelaskan 2 persoalan mendasar yaitu (1) kepastian hak penguasaan sumber daya hutan (forest tenure security) untuk memperoleh manfaat dari sumber daya hutan (lahan hutan dan hasil hutan) dan (2) kapasitas masyarakat desa hutan untuk membangun diri secara terus menerus.

Capaian program perhutanan sosial ternyata sangat mengecewakan. Ada tiga indikator penting ketidakberhasilan program perhutanan sosial. Pertama adalah kesalahan konseptual. Hal ini terjadi karena istilah perhutanan sosial seringkali dimaknai sebagai padanan dari istilah social forestry. Kementerian Kehutanan juga menggunakan istilah perhutanan sosial dalam program dan kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Akan tetapi tidak semua program dan kegiatan yang bersentuhan dengan masyarakat dianggap sebagai perhutanan sosial. Contohnya, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) diartikan secara berbeda dengan filosofi Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD), sehingga skema masing-masingnya berada dalam lingkup program dan kegiatan yang berbeda pula.

Hal ini terjadi karena social forestry dimaknai secara dangkal dan sebatas aktifitas yang bermuara pada kegiatan-kegiatan yang masih menggunakan pola-pola keproyekan dan cenderung tidak mengakomodir keragaman wilayah dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Kesalahan utama adalah menganggap social forestry itu sebagai program dan kegiatan, bukan sebagai paradigma baru pembangunan kehutanan secara keseluruhan. Wiersum (2004:1136) menyebutkan bahwa social forestry berkaitan dengan perencanaan dan implementasi oleh rimbawan dan organisasi lainnya untuk menstimulasi pelibatan masyarakat lokal secara aktif dalam skala kecil dengan beragam aktifitas pengelolaan hutan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat.

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -10

Dengan demikian, social forestry seharusnya dipandang sebagai strategi kunci dalam membangun tata kelola pembangunan kehutanan yang lebih baik. Reforma agraria di bidang kehutanan juga seharusnya dijalankan dengan pendekatan social forestry. Dalam kerangka strategi social forestry tersebut, ada 5 tahapan yang harus dikerjakan, yaitu (1) memahami karakter wilayah baik secara sosial budaya, ekonomi dan ekologis, (2) mengidentifikasi subsistem yang mempengaruhi sistem pembangunan wilayah, (3) melakukan kajian means end values, (4) menentukan tujuan pengelolaan, dan (5) menetapkan regime pengelolaan yang akan dilakukan.

Kedua adalah ketidakikhlasan birokrasi. Istilah ketidakikhlasan ini dapat kita pahami dari desain regulasi yang cenderung menyulitkan. Mekanisme penetapan areal kerja HTR, HKm dan HD cenderung dibuat terlalu panjang sehingga prosesnya menjadi berbelit-belit dan memakan waktu yang lama. Contohnya adalah untuk menetapkan areal kerja HKm seluas 500 ha di Nagari Indudur Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat, Menteri Kehutanan membutuhkan waktu sampai lebih dari 2 tahun. Pembuatan rencana kerja untuk masing-masing skema juga menyulitkan masyarakat sekitar hutan karena format rencana kerja dipastikan tidak akan bisa dipahami oleh masyarakat. Kesulitan semakin terasa karena hampir setiap kelompok yang mengusulkan skema yang mereka pilih tanpa mendapatkan pendampingan yang maksimal, terutama dari aparatur pemerintah.

Tumpang tindih kepentingan skala besar terkait lahan hutan dan hasil hutan dapat memarjinalkan kepentingan masyarakat lokal. Dengan alasan penyerapan investasi dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah cenderung mengedepankan kepentingan ekonomi jangka pendek karena memiliki nilai investasi yang besar. Pemerintah tidak ikhlas mengorbankan investasi di sektor pertambangan dan perkebunan contohnya, sehingga pemerintah menganggap masalah tenurial menjadi penghambat investasi. Dengan demikian tidak salah apabila masyarakat selalu beranggapan bahwa pemerintah lebih mendahulukan kepentingan korporasi dibandingkan dengan kepentingan masyarakat. Kenyataannya, pengembangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) masih kalah dengan pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI). Sampai tahun 2011, perizinan HTR dan HKm baru mencapai sekitar 165 ribu ha dan 44 ribu ha, masing-masingnya. Sementara luas areal HTI meningkat tajam dari hanya sekitar 30 ribu ha pada tahun 1990 menjadi lebih dari 10 juta ha pada tahun 2011 (Kemenhut 2012).

Ketiga adalah kekeroposan implementasi. Hal ini terjadi karena pemerintah cenderung memaksakan suatu skema tanpa memperhatikan dukungan kelembagaan masyarakat di tingkat lokal. Pola perencanaan dan kelembagaan juga lebih cenderung bersifat top down, sehingga dikhawatirkan tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Sangat memungkinkan dengan cara-cara seperti itu menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan berpotensi mengkerdilkan semangat reforma agraria dalam konteks penyelesaian masalah tenurial dan konflik sosial. Sebagai contoh, pengembangan HTR yang seringkali lebih didorong oleh pemerintah dengan menyediakan mekanisme pendanaan melalui sistem kredit oleh Badan Layanan Usaha (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -11

Hutan (P3H) Kementerian Kehutanan. Target yang ditetapkan Kementerian Kehutanan adalah 5 juta ha, sedangkan areal yang diidentifikasi baru mencapai sekitar 1.5 juta ha dan yang mendapatkan izin dari pemerintah baru sekitar 10% (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Kemajuan Skema HTR, 2007-2016 (Elson’ 2011:9)

Tingginya kesenjangan antara target dan izin juga terjadi pada skema-skema lain, yaitu HKm dan HD. Hal ini membuktikan bahwa skema-skema tersebut merupakan sebuah program yang bersifat top down sehingga pasti banyak kendala kelembagaan yang dihadapi, mulai dari tingkat pusat, daerah sampai ke tingkat lokal. Yang paling mencemaskan adalah adanya peluang munculnya neoliberalisme dalam pengembangan HTR, terutama melalui pola developer yang dimungkinkan dalam pengembangannya. Pemerintah berpikir dengan target yang tinggi akan membuka peluang investasi yang lebih besar dan bila dapat disetujui oleh masyarakat maka HTR menjadi salah satu peluang usaha bagi korporasi. Jadi, implementasinya oleh pemerintah lebih bertujuan untuk investasi dibandingkan untuk mendukung reforma agraria.

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -12

KETIDAKPASTIAN ARAH REFORMASI AGRARIA

“Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah: "Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya? Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ?" Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS. Al An’aam (6):144)”

Ketidakmampuan Ilmu Kehutanan

Kegagalan sektor kehutanan dalam mendukung pembangunan nasional dapat dilihat dari penurunan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor kehutanan sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan potensi sumber daya hutan sebagai sumber daya ekonomi utama di wilayah daratan Indonesia. Bagaimana bisa dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan saat ini, kontribusi sektor kehutanan semakin menurun? Apakah ilmu pengetahuan kehutanan telah membawa kerusakan bagi sumber daya hutan itu sendiri sehingga potensinya semakin lama semakin menurun? Apa sebenarnya yang menjadi cita-cita rimbawan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya?

Gambar 2. Kontribusi PDB Sektor Pembangunan di Indonesia (Elson’ 2011:4)

Hakekat ilmu pengetahuan adalah mencari kebenaran. Setiap kebenaran berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan direpresentasikan oleh alam semesta yang merupakan ciptaan-NYA. Alam semesta menjadi sumber ilmu pengetahuan yang membangun peradaban manusia dari waktu ke waktu. Hutan, sebagai salah satu unsur alam semesta, merupakan instrumen penting dalam membangun peradaban manusia sejak dulunya. Manusia menjadi komunitas pengumpul dan pemburu untuk memenuhi kebutuhan pangan yang tersedia di alam. Dengan semakin bertambahnya jumlah manusia seiring dengan perjalanan waktu, mobilitas komunitas dalam memenuhi kebutuhan semakin terbatas sehingga komunitas

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -13

manusia tersebar menjadi kelompok-kelompok menetap dengan menguasai wilayah tertentu sesuai dengan ketersediaan sumber daya hutannya.

Menurut PBB (2011), banyak lahan pertanian, peternakan, perburuan, pengumpulan, dan kegiatan berbasis lahan lainnya berhubungan dengan hutan. Ada kegiatan-kegiatan keagamaan, keyakinan, dan tradisi spritual lainnya berhubungan dengan pohon, tanaman, hutan, dan hewan. Hutan dan alam liar juga menjadi sumber cerita rakyat dan spritual. Pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan hutan berkembang ribuan tahun yang lalu dan berkaitan dengan budaya masyarakat hukum adat dan masyarakat yang tergantung pada hutan. Bagi masyarakat miskin di pedesaan, akses terhadap bahan pangan, bahan bakar, air, dan obat-obatan adalah sangat penting dan hutan membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Akibat banyaknya kepentingan terkait dengan sumber daya hutan, benarkah ilmu pengetahuan kehutanan dapat dianggap sebagai disiplin ilmu yang berbeda dengan disiplin ilmu lainnya ataukah ilmu kehutanan seharusnya lebih dipandang sebagai multidisiplin ilmu. Apa gunanya ilmu biologi, fisika, kimia, dan lain sebagainya bagi pengembangan ilmu pengetahuan kehutanan? Mungkinkah ilmu kehutanan sebaiknya dikelompokkan ke dalam ilmu-ilmu sosial atau ilmu sosial menjadi ilmu dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan kehutanan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan selalu menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan, apalagi fakta menunjukkan banyak kegagalan atau ketidakmampuan ilmu kehutanan untuk menyelesaikan permasalahan kehutanan akhir-akhir ini.

Lawrence (2004:1126) menyebutkan, dari semua ilmu lingkungan, ilmu kehutanan merupakan salah satu ilmu yang harus mengenali nilai-nilai dari kelompok sosial yang lebih luas. Hutan mempengaruhi kepentingan banyak orang, tapi dengan kepemilikan dan tanggung jawab yang kecil. Bahkan pengertian hutan adalah sebuah nilai yang syarat dengan upaya coba-coba, yang sering diistilahkan dengan konstruksi sosial dari hutan. Tetapi ada perbedaan antara postmodernism yang memandang hutan sebagai proyeksi dari semua pengamat dan paham yang lebih pragmatis memandang bahwa hutan merupakan sistem nyata dengan isi dan batasan yang jelas―tapi kepentingan isi, batasan, dan semuanya bervariasi menurut pengamat. Pertimbangan terakhir yang banyak didiskusikan dalam 20 tahun terakhir adalah pernyataan yang disampaikan oleh Jack Westoby pada tahun 1968 bahwa “hutan bukan tentang pohon, tapi tentang orang”.

Bila dipahami secara dangkal maka pernyataan Jack Westoby tersebut sepertinya menentang falsafah ilmu pengetahuan yang selama ini dipegang oleh rimbawan. Namun bila dipahami lebih mendalam maka pernyataan tersebut membawa kita pada kepentingan ilmu-ilmu sosial dalam pengembangan ilmu pengetahuan kehutanan. Salah satu kegagalan ilmu pengetahuan kehutanan adalah ketidakmampuan ilmu pengetahuan kehutanan merekayasa dinamika sosial dalam desain pengelolaan hutan. Rekayasa kehutanan selama ini lebih cenderung berorientasi pada ekologis dan ekonomi. Social engineering belum terelaborasi lebih detail dalam program dan kegiatan sektor kehutanan karena kapasitas sosial rimbawan masih belum memadai.

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -14

Yang paling mengkhawatirkan adalah rimbawan cenderung mengabaikan dinamika sosial dan menganggap permasalahan sosial (seperti masalah tenurial) sebagai bagian dari rekayasa politik segelintir orang yang berkepentingan terhadap hutan dan hasil hutan. Hal ini menyebabkan desain politik kehutanan cenderung berkaitan dengan masalah-masalah penegakan hukum. Politik kehutanan mengarah pada politik feodalisme yang menganggap tanah sebagai aset sumber daya bagi perkembangan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Kesederhanaan berpolitik tersebut membawa rimbawan sebagai objek politik negara dalam melestarikan kekuasaan. Bagaimana mungkin reforma agraria berjalan dengan baik bila rimbawannya memiliki visi sosial dan politik yang lemah.

Inkonsistensi Kebijakan dan Demam Perubahan Iklim

Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 merupakan landasan bagi pengelolaan sumber daya alam sejak orde lama berkuasa dengan mengusung semangat reforma agraria. Namun, semangat tersebut tenggelam seiring dengan bergantinya rezim pemerintahan dari orde lama ke orde baru, bahkan sampai pada era reformasi saat ini. Awal orde baru berkuasa, dengan alasan memacu pembangunan ekonomi, sumber daya hutan menjadi salah satu primadona penyumbang devisa negara. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan hujan tropis di Indonesia dieksploitasi dengan memberikan hak konsesi pengusahaan hutan kepada pihak-pihak korporasi. Produksi kayu bulat Indonesia meningkat sangat signifikan sejak tahun 1970-an.

Pengembangan kebun kelapa sawit pada berbagai wilayah di Indonesia juga merupakan faktor pendorong deforestasi hutan. Menurut data Sawit Watch (2009) dalam Indrarto et al. (2012:4), kebun kepala sawit seluas 1 652 301 pada tahun 1989, meningkat menjadi 3 805 113 pada tahun 1993-1994, dan menjadi 8 204 524 pada tahun 1998. Catatan Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa luas kebun sawit meningkat setiap tahunnya mencapai 7 007 867 ha pada tahun 2008 sampai 8 430 026 ha tahun 2010. Selain perkebunan, pertambangan juga merupakan faktor pendorong deforestasi, baik terencana maupun tidak terencana. Data Kementerian Kehutanan (2012:42) menyebutkan izin pinjam pakai kawasan hutan meningkat tajam dari 248 ha pada tahun 2007 menjadi 41940 ha pada tahun 2011.

Menurut FWI (2011:5), pada tahun 1950, Dinas Kehutanan Indonesia menerbitkan Peta Vegetasi Indonesia yang menyimpulkan hampir 84 persen atau sekitar 162 juta ha, luas daratan Indonesia pada masa itu tertutup hutan primer. Deforestasi mulai menjadi masalah penting di Indonesia sejak awal 1970-an ketika penebangan hutan secara komersil mulai dibuka secara besar-besaran. Melalui survei RePPProT tahun 1990 dihasilkan data tutupan hutan pada tahun 1985 sebesar 119 juta ha atau mengalami penurunan luas tutupan hutan sebesar 27 persen. Pada tahun 1997, hasil analisis Global Forest Watch menyebutkan bahwa tutupan hutan Indonesia sebesar 95 juta ha. Saat ini, menurut Kemenhut (2012:20), tutupan hutan primer Indonesia diperkirakan 46,5 juta ha.

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -15

Pada tahun 1972, PBB melaksanakan United Nations Conference on the Human Environment (UNCHE) di Stockholm Swedia yang mengajak negara maju dan negara berkembang untuk menentukan hak manusia terhadap lingkungan yang sehat dan produktif. Hasil-hasil pertemuan diantaranya hak untuk mendapatkan pangan yang cukup, mendapatkan rumah, menjamin keamanan air, dan keterjangkauan akses bagi perencanaan keluarga. Pertemuan ini juga merevitalisasi hubungan manusia dengan alam dan mendorong kelembagaan global dalam sistem PBB.

Pertemuan global pertama yang membahas isu-isu lingkungan dan dampaknya bagi manusia yang dihadiri oleh beberapa pemimpin dunia dan ilmuwan lingkungan tersebut tak lepas dari beberapa kontroversi. Menurut Rogers et al. (2008:158), banyak negara berkembang merasa bahwa pertemuan tersebut hanya untuk menyenangkan negara maju yang mendorong pembangunan di negara mereka. Mereka beranggapan bahwa pertemuan ini dirancang oleh negara maju saja, buktinya banyak negara kepulauan di Pasifik tidak menghadiri pertemuan ini. Namun demikian, Konferensi Stockholm dengan motto Hanya Satu Bumi itu menghasilkan deklarasi dan rekomendasi yang dapat dikelompokkan menjadi lima bidang utama yaitu permukiman, pengelolaan sumber daya alam, pencemaran, pendidikan dan pembangunan.

Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut mengambil langkah-langkah seperti mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1972 untuk membentuk panitia antar departemen yang disebut dengan Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan Hidup guna merumuskan dan mengembangkan rencana kerja di bidang lingkungan hidup. Hasil kerja panitia, menurut Silalahi (2003), dianut pertama kali dalam GBHN Indonesia tahun 1973 dengan nama pembangunan berwawasan lingkungan. Tiga tahun kemudian, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1975. Keputusan Presiden ini merupakan dasar pembentukan Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam dengan tugas pokoknya adalah menelaah secara nasional pola-pola permintaan dan persediaan serta perkembangan teknologi, baik di masa kini maupun di masa mendatang serta implikasi sosial, ekonomi, ekologi dan politis dari pola-pola tersebut (Kementerian Lingkungan Hidup, 2011).

International Union for the Conservation of Natural Resources (IUCN) meluncurkan World Conservation Strategy (WCS) pada tahun 1980, yang memberikan konsep awal pembangunan berkelanjutan. Strategi ini menegaskan bahwa konservasi alam tidak dapat dicapai tanpa pembangunan untuk mengurangi kemiskinan dan kesengsaraan jutaan manusia dan menekankan saling ketergantungan antara konservasi dan pembangunan. Dalam Sidang Umum PBB tahun 1982, inisiatif WCS mencapai puncaknya dengan menyetujui World Charter for Nature. Piagam ini menyatakan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan kehidupannya tergantung pada fungsi sistem alam yang tidak terganggu.

Tepat juga 10 tahun setelah Konferensi Stockholm, Indonesia juga mengeluarkan undang-undang lingkungan hidup pertama, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -16

Hidup. Dalam undang-undang ini, diatur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yang merupakan studi mengenai dampak sesuatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. Kelembagaan lingkungan hidup di tingkat pusat juga mengalami perubahan dari sebelumnya disebut dengan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup. Sementara itu sektor kehutanan sebelumnya menjadi bagian dari Departemen Pertanian, dipisahkan menjadi departemen tersendiri dengan nama Departemen Kehutanan pada tahun 1983. Kedua departemen tersebut yang kemudian menjadi lokomotif internalisasi konsep-konsep yang dikembangkan IUCN di Indonesia.

Namun demikian, walaupun sudah ada dua lembaga setingkat menteri yang menangani permasalahan lingkungan di Indonesia, kerusakan lingkungan terus berlanjut di Indonesia. Pemerintah saat itu masih mengejar target pertumbuhan ekonomi, sehingga kerusakan lingkungan tidak dapat dihentikan secara signifikan. Inspirasi komitmen internasional yang disumbangkan World Commission on Environment and Development (WCED) atau yang lebih dikenal dengan Komisi Brundtland dalam buku Our Common Future pada tahun 1987 dan UN Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro Brasil pada tahun 1992, memang ditindaklanjuti oleh Indonesia dengan seperangkat peraturan. Namun laju kerusakan lingkungan, terutama sumber daya hutan, juga semakin meluas.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (menggantikan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982) masih belum dijalankan secara konsisten. Implementasi kebijakan lingkungan di Indonesia terus mengalami banyak perdebatan sampai isu-isu tentang pemanasan global dan perubahan iklim menjadi lebih intensif dibicarakan sejak diluncurkannya Protokol Montreal pada tahun 1992 dan Protokol Kyoto pada tahun 1997, yang juga diratifikasi oleh Indonesia. Pada Protokol Kyoto tersebut, diinisiasi 2 program penting, yaitu Clean Development Mechanism (CDM) dan Reducing Emission from Deforestation dan Forest Degradation (REDD), khusus untuk REDD ini mengalami perdebatan panjang sampai tahun 2009.

Pada tahun 1997-1998 terjadi kebakaran hutan hebat di Indonesia yang ditetapkan pemerintah sebagai bencana nasional. Ternyata api tidak hanya membara di hutan, tapi suhu politik Indonesia juga memanas sampai akhirnya rezim Orde Baru jatuh dan digantikan oleh pemerintahan reformasi. Pada era reformasi inilah banyak berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang dihasilkan sebagai konsekuensi dari semangat perubahan yang diusung seperti mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sektor kehutanan juga tidak luput dari upaya-upaya reformasi seperti terlihat dengan inisiasi pembuatan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -17

Akan tetapi, laju degradasi dan deforestasi pada awal reformasi justru semakin tinggi akibat terjadinya aksi perambahan hutan dan penebangan liar, termasuk gelombang pemekaran wilayah, pembangunan ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang semakin membutuhkan ruang dengan alasan pembangunan wilayah-wilayah terpencil. Buruknya tata kelola pemerintahan pada awal reformasi memperparah kerusakan lingkungan di Indonesia, bahkan dianggap bersifat multidimensi karena menyentuh persoalan-persoalan mendasar dari aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Para pemimpin Indonesia era reformasi seringkali mencoba langkah-langkah massal yang cenderung lebih bernuansa politik untuk merangkul peran aktif masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan mendasar. Contohnya, untuk menekan laju degradasi dan deforestasi, pemerintah meluncurkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada akhir tahun 2002.

Setelah World Summit on Sustainable Development di Johannesburg Afrika Selatan tahun 2002, sangat banyak sekali inisiasi negara-negara maju untuk meningkatkan implementasi pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Berbagai proyek air bersih, pengentasan kemiskinan, dan sebagainya menjadi lebih meningkat seperti program-program yang difasilitasi oleh GEF (Global Environment Facility) dan MCC (Millenium Corporate Challenge). Proyek-proyek ini juga seiring dengan pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia.

Era reformasi juga mendorong peran serta lembaga non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) semakin nyata dalam menggerakkan upaya-upaya pelestarian lingkungan, terutama isu-isu pemanasan global dan perubahan iklim. Banyak LSM yang menjadi jembatan bagi proyek-proyek berskala internasional di Indonesia seperti proyek CDM, REDD+, dan sebagainya. Sesuai dengan kesepakatan pada Protokol Kyoto, Indonesia juga mendapatkan berbagai proyek CDM. Berdasarkan data UNFCCC (2012), proyek alih teknologi melalui CDM mencapai 80 proyek sampai tahun 2012, namun dari segi jumlah masih sedikit dibandingkan Malaysia dan Vietnam apalagi dengan India, Cina, dan Brasil.

Pertanyaan baru kembali muncul dalam benak kita, yaitu apakah demam perubahan iklim telah mengaburkan esensi masalah tenurial di Indonesia? Apakah persoalan-persoalan agraria telah dibahas secara memadai dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), RAN Adaptasi Perubahan Iklim, atau RAN REDD+ Indonesia? Syahyuti (2004:99-100) memberikan pernyataan pesimis terhadap reforma agraria di Indonesia dengan menyatakan bahwa, memasuki abad 21 ini, dukungan internasional dan lembaga-lembaga donor dapat dikatakan negatif terhadap ide reforma agraria. Ditambah dengan kondisi politik dan keuangan dalam negeri yang masih sulit, maka wajar kalau kalangan elite politik menjadi tidak berani dalam memperjuangkan kebijakan ini.

Komitmen politik untuk memperjuangkan semangat reforma agraria bagi masyarakat hukum adat juga menjadi tanda tanya besar. Kartodihardjo (2013:487) menyebutkan, dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (2011-

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -18

2030), tidak terdapat luas hutan adat meskipun diakui keberadaannya dalam undang-undang [serta] tidak ada program dan kegiatan yang membatasi status hak masyarakat [hukum] adat atas hutan adatnya dengan hutan negara. Hal demikian itu yang terjadi dalam waktu lama, menyebabkan seolah-olah masyarakat [hukum] adat dipersaingkan secara bebas dengan [izin-izin] yang dikeluarkan pemerintah. Dengan demikian, isi undang-undang yang mengandung makna bahwa keberadaan hutan adat di dalam kawasan hutan negara adalah sebuah perlindungan negara bagi masyarakat [hukum] adat, dalam kenyataannya tidak demikian.

Mungkinkah Rimbawan Menjadi Social Entrepreneur?

Sudah dipahami secara luas bahwa kemiskinan berkaitan dengan tutupan hutan, terutama bagi masyarakat terpencil seperti masyarakat-masyarakat di pulau-pulau terluar sebagaimana diungkapkan oleh Tacconi dan Kurniawan (2006:23). Kompleksitas masalah kehutanan juga semakin besar ketika permasalahan-permasalahan hak ulayat menjadi persoalan struktural dalam reforma agraria di Indonesia. Misalnya, Rajagukguk (2007:5-6) menyatakan di Sumatera Barat penduduk setempat mengeluh terhadap kebijaksanaan Pemerintah yang menafsirkan penguasaan atas tanah ulayat berarti penguasaan atas ”tanah negara”. Di wilayah ini hak ulayat berdasarkan hukum adat setempat diduga berjumlah 3.762.780 hektar, dimana hanya 298.218,14 hektar yang terdaftar.

Dinamika permasalahan kehutanan di Indonesia semakin kompleks dengan diterimanya judicial review dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terhadap pengertian hutan adat pada pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam amar putusannya nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 26 Maret 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus kata “negara” dalam pengertian hutan adat sehingga hutan adat bukan lagi termasuk kategori hutan negara. Menurut Sardjono (2013:403), hutan adat [telah dicantumkan] dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967), [namun penjelasannya] terhenti pada tataran Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) [Tahun 2003], karena belum [ditemukan] titik temu pandangan dan keputusan atas berbagai hal esensial dan sensitive, terutama berkaitan dengan hak, tanggung jawab hingga kewenangan atas sumber daya dan kelembagaan di dalamnya.

Konsepsi agraria yang dijalankan pemerintah juga masih menggunakan pendekatan kepentingan usaha dan investasi. Menurut Rajagukguk (2007:11), dalam era globalisasi sekarang ini, Indonesia berusaha menjadi negara industri baru, meninggalkan negara agraris, dengan membuka kesempatan kepada penanam modal perusahaan swasta dalam dan luar negeri. Hak atas tanah kembali diperpanjang dengan menentukan pemberian hak atas tanah tersebut jangka waktunya dapat diperpanjang dimuka. Untuk Hak Guna Usaha diberikan untuk 35 tahun dan dapat diperpanjang sekaligus dimuka untuk 25 tahun lagi, sehingga jumlahnya 60 tahun. Setelah dievaluasi, hak ini dapat diperbaharui untuk 35 tahun lagi. Begitu juga Hak Guna Bangunan diberikan untuk 30 tahun dan dapat diperpanjang dimuka 20 tahun, sehingga seluruhnya berjumlah 50 tahun. Setelah dievaluasi hak tersebut dapat diperbaharui lagi untuk 30 tahun. Walaupun

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -19

demikian Pemerintah dapat mencabut sewaktu-waktu hak atas tanah tersebut, bila ditelantarkan atau dipergunakan tidak sebagaimana mestinya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kapasitas rimbawan selaku birokrat dalam penyelenggaraan urusan kehutanan dan reforma agraria di bidang kehutanan sudah tidak memadai lagi. Cara berpikir dan bertindak seorang rimbawan bukan lagi menyelesaikan masalah tenurial dengan berbagai inisiasi program dan kegiatan, tetapi seharusnya bagaimana membangkitkan dan mensinkronkan semangat reforma agraria di pemerintahan dan masyarakat. Dengan kondisi sosial politik seperti saat ini, maka seorang rimbawan harusnya menjelma menjadi seorang social entrepreneurs untuk mampu menginternalisasikan semangat reforma agraria di tubuh birokrasi.

Pertanyaan berikutnya, mampukah seorang rimbawan menjadi seorang social entrepreneurs? Bornstein dalam Rogers et al. (2008:363-364) menjelaskan bahwa social entrepreneurs memainkan peranan dalam bidang pendidikan, kesehatan, perlindungan lingkungan, disabilitas, dan lain-lain seperti peran yang dilakukan oleh Henry Ford dan Steven Jobs yang memasarkan mobil dan komputer sebagai barang massal. Bornstein mengutip pernyataan ahli manajemen, Peter F Drucker, untuk menjelaskan social entrepreneurs adalah orang yang mengubah kemampuan kinerja masyarakat, seperti berikut:

Menurut...Drucker, istilah entrepreneur (berasal dari kata Prancis yang berarti orang yang mengambil dengan tangan), diperkenalkan 2 abad yang lalu oleh ekonom Prancis Jean-Baptiste Say untuk mencirikan pelaku ekonomi spesifik - bukan seseorang yang membuka usaha, tapi "seseorang yang membangkitkan sumber daya ekonomi pada daerah rendah produktifitas menjadi daerah dengan produktifitas lebih tinggi dan hasil yang lebih besar"

Bornstein kemudian menjelaskan 6 kualitas untuk menjadi social entrepreneurs yang berhasil adalah: (1) keinginan untuk koreksi diri, (2) keinginan untuk berbagi peran, (3) keinginan untuk memecahkan struktur terbangun, (4) keinginan untuk mempelajari multi disiplin ilmu, (5) keinginan untuk bekerja tenang, dan (6) memiliki etika yang kuat. Diantara LSM dan social entrepreneurs tersebut adalah lembaga ilmiah, lembaga hukum, masyarakat hukum adat, dan media. Ilmuwan, guru, dokter, pengacara, dan aktifis lainnya juga memainkan peranan yang signifikan. Berdasarkan hal tersebut, masih adakah peluang yang besar bagi rimbawan-rimbawan muda menjadi seorang social entrepreneurs di tengah birokrasi yang neoliberalisme saat ini? Kita harus selalu berdoa agar mereka tidak durhaka kepada Ibu Pertiwi dan memulai perubahan dari diri sendiri.

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -20

PENUTUP

“Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang (QS. Al Baqarah (2):160)”

Pemerintah itu lahir dari keinginan dan doa rakyat yang mendukungnya. Rakyat adalah pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana telah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta dengan mengatasnamakan rakyat Indonesia, sedangkan pemerintah merupakan tumpuan harapan kemajuan negara yang lebih baik dan mengabdikan seluruh kebijakan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Tidak ada pemerintahan di dunia ini yang menginginkan rakyatnya terlantar dalam kemiskinan dan ketidakadilan.

Akan tetapi, terkait dengan reforma agraria, arah kebijakan pemerintah Indonesia seperti ungkapan manis di bibir tapi tidak enak di hati. Perjalanan panjang perjuangan reforma agraria belum sesuai dengan sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan pemerintah di bidang kehutanan sebenarnya menjadi salah satu kunci kemajuan perjuangan reforma agraria, tapi implementasi kebijakannya cenderung tidak jelas dan masih jauh panggang dari api. Konflik-konflik kehutanan seringkali diselesaikan dengan pendekatan represif dan hukum tanpa solusi keagrariaan yang efektif. Keberpihakan untuk membawa perubahan kepada masyarakat masih lemah, apalagi kepada masyarakat hukum adat.

Sebenarnya, putusan MK tentang hutan adat merupakan momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki kualitas masyarakat lokal dan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya hutan. Pemerintah seharusnya bukan hanya memberikan pengakuan hak masyarakat lokal dalam kerangka program/kebijakan strategis seperti HTR, HKm, dan HD, tapi juga dapat mendesain unit manajemen hutan berbasis sistem lokal yang implementatif di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, masyarakat lokal perlu ditempatkan sebagai pemangku kepentingan dan pemegang hak pengelolaan sumber daya hutan dengan internalisasi kepentingan sosial ekonomi mereka, baik secara individu maupun kolektif.

Memasuki tahun 2014 ini, ketidakpastian perjuangan reforma agraria dinilai semakin tinggi. Kondisi hutan yang semakin rusak dan kekaburan prioritas kebijakan pemerintah di bidang kehutanan menunjukkan kegagalan ilmu kehutanan mengelaborasi permasalahan sosial dalam desain pengelolaan hutan. Politik kehutanan yang sehat juga tidak tercermin dalam ranah perpolitikan Indonesia secara umum, akibatnya banyak rimbawan yang terjebak dalam pragmatisme politik. Daya jelajah rimbawan terhadap kepentingan sosial ekonomi masyarakat masih kalah dibandingkan daya jelajah mereka dalam mengelaborasi keunggulan ekologis sumber daya hutan. Untuk memupuk semangat social entrepreneurs rimbawan, kembali kita mengingatkan pernyataan yang disampaikan oleh Jack Westoby bahwa hutan itu bukan masalah pohon tetapi hutan itu adalah masalah orang atau manusia. Sangat penting bagi rimbawan muda untuk memahami pernyataan itu secara komrehensif dan holistik dalam menyelesaikan permasalahan kehutanan yang semakin kompleks saat ini.

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -21

DAFTAR PUSTAKA

Barber CV. 1998. Forest resource scarcity and social conflict in Indonesia. Environment. 40(4).

Bell MM. 1998. Invitation to Environmental Sociology. California. Pine Forge Press.

Elson’ D. 2011. An Economic Case for Tenure Reform in Indonesia’s Forests. United Kingdom. RRI Partners.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2012. State of the World’s Forests 2012. Rome. FAO.

[FWI] Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009. Jakarta. FWI.

Indrarto GB, Murharjanti P, Khatarina J, Pulungan I, Ivalerina F, Rahman J, Prana MN, Resosudarmo IAP, dan Muharrom E. 2012. The Context of REDD+ in Indonesia: Drivers, Agents and Institutions. Bogor. Center for International Forestry Research.

Kartodihardjo H. 2013. Masalah Cara Berpikir dan Praktek Kehutanan : Refleksi dan Evalusi II. Di dalam: Kartodihardjo H, editor. Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta. Nailil Printika. hlm 477-497.

Kartodihardjo H dan Jhamtani H. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta. PT Equinox Publishing Indonesia.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia. Jakarta. Kemenhut.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2010. Sejarah KLH. Dalam http://www.menlh.go.id/ tentang-kami/sejarah-klh/. Diakses tanggal 5 Januari 2014.

Lawrence, A. 2004. Social Values of Forests. Di dalam Burley J, Evans J, dan Youngquist, editor. Encyclopedia of Forest Sciences. Oxford. Elsevier Ltd.

Maryudi A dan Krott M. 2012. Local struggle for accessing state forest property in a montane forest village in Java, Indonesia. Journal of Sustainable Development. 5(7):62-68.

[PBB] Perserikatan Bangsa Bangsa. (2011). Forests and People: A Historical Relationship. http://www.un.org/en/events/iyof2011/wp-ontent/uploads/ 2011/10/Fact_Sheet_Forests andPeople.pdf. Diakses tanggal 23 November 2013.

Prosterman R dan Mitchell R. 2002. Concept for land reform on Java. Land Law Initiative. The United States Agency for International Development, grant no. 497-G-00-01-00031-00.

Etika dan Moral dalam Reforma Agraria di Bidang Kehutanan:

Sebuah Episode Kegagalan Birokrasi -22

Rajagukguk E. 2007. Indonesia setelah merdeka: Menyusun hukum tanah untuk rakyat. Makalah Seminar Antarbangsa, “Tanah Keterhakisan Sosial dan Ekologi : Pengalaman Malaysia dan Indonesia”, Dewan Bahasa dan Pustaka Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia. Kuala Lumpur, 4-5 Desember 2007.

Rogers PP, Jalal KF, dan Boyd JA. 2008. An Introduction to Sustainable Development. London. Glen Educational Foundation, Inc.

Sajoygyo Institute dan Konsorsium Pembaruan Agraria. 2011. Land issue and policy monitoring initiative: Indonesia report. Report submitted to ANGOC. Asian NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development.

Sardjono MA. 2013. Membawa Perhutanan Sosial Indonesia ke Upaya yang Lebih Menjanjikan. Di dalam: Kartodihardjo H, editor. Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta. Nailil Printika. hlm 397-422.

Silalahi D. 2003. Pembangunan berkelanjutan dalam rangka pengelolaan (termasuk perlindungan) sumber daya alam yang berbasis pembangunan sosial ekonomi. Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII. Diselenggarakan di Denpasar tanggal 14-18 Juli 2003.

Simon H. 2004. Aspek Sosio-teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Simon H. 2006. Hutan Jati dan Kemakmuran: Problematika dan Strategi Pemecahannya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Soetarto E dan Hermansah T. 2007. Ekonomi pedesaan, dinamika sumber daya alam dalam pandangan reforma agraria di Indonesia. Makalah pada Konpernas PERHEPI. Tanggal 3-5 Agustus 2007, di Hotel Sahid Raya, Solo.

Suharjito D. 2013. Reforma Agraria di Sektor Kehutanan: Mewujudkan Pengelolaan Hutan Lestari, Keadilan Sosial, dan Kemakmuran Bangsa. Di dalam: Kartodihardjo H, editor. Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta. Nailil Printika. hlm 423-450.

Syahyuti. 2004. Kendala pelaksanaan landreform di Indonesia: Analisa terhadap kondisi dan perkembangan berbagai faktor prasyarat pelaksanaan reforma agraria. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 22(2):89-101.

Tacconi L dan Kurniawan I. 2006. Forests, Agriculture, Poverty and Land Reform: The Case of the Indonesian Outer Islands. Canberra. Australian National University.

Wiersum KF. 2004. Social and Community Forestry. Di dalam: Burley J, Evans J, dan Youngquist (editor). Encyclopedia of Forest Sciences. Oxford. Elsevier Ltd. hlm 1136-1143.