EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR FRAMBUSIA

19
TUGAS EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR “FRAMBUSIA” OLEH : 1. Ni Wayan Trisnadewi 2. Vale ria S. Esa 3. Yoha nes Parto Jaweng NIM. 1207015001 NIM. 120701009 NIM. 1307014278 JURUSAN EPIDEMIOLOGI DAN BIOSTATISTIKA

Transcript of EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR FRAMBUSIA

TUGASEPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

“FRAMBUSIA”

OLEH :

1. Ni

Wayan Trisnadewi

2. Vale

ria S. Esa

3. Yoha

nes Parto Jaweng

NIM. 1207015001

NIM. 120701009

NIM. 1307014278

JURUSAN EPIDEMIOLOGI DAN BIOSTATISTIKA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKATUNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG2015

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

“FRAMBUSIA”

PENDAHULUAN FRAMBUSIA

Zaman dulu penyakit ini amat populer karena penderitanya

sangat mudah ditemukan di kalangan penduduk. Penyakit

frambusia (patek) pertama kali ditemukan oleh Castellani pada

tahun 1905 yang berasal dari bakteri besar (spirocheta) bentuk

spiral dan motil dari famili (spirochaetaceae) dari ordo

spirochaetales yang terdiri dari 3 genus yang patogen pada

manusia (treponema, boreliam dan leptospira). Di dunia, pada awal

tahun 1950-an diperkirakan banyak kasus frambusia terjadi di

Afrika (seperti Ghana, Togo, Benin), Asia (seperti Indonesia,

Papua, dan Pulau Solomon), Amerika Selatan (seperti Colombia,

Guyana, Peru, Ekuador dan Brazil) dan Amerika Tengah serta

Kepulauan Pasifik.

Gambar seorang anak yang terkena frambusia

Frambusia biasanya dikenal dengan yaws (dalam bahasa

inggris), patek (dalam bahasa jawa), puru dan pian (Prancis)

merupakan suatu penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh

Spesies Treponema pallidum subsp pertenue (secara morfologis &

serologis identik dengan T. pallidum penyebab Sifilis).

Penyebaran frambusia tidak melalui hubungan seksual namun

dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit

penderita dengan kulit sehat. Pada umumnya menyerang anak–anak

berusia di bawah 15 tahun.

Penyakit ini merupakan penyakit yang berkaitan dengan

kemiskinan dan menyerang mereka yang berasal dari kaum

termiskin serta masyarakat kesukuan yang terdapat di daerah-

daerah terpencil yang sulit dijangkau. Frambusia merupakan

penyakit kulit menular dan menahun yang mudah disembuhkan

apabila ditemukan secara dini. Bila ditemukan sedini mungkin

dan diobati dengan baik maka dapat mencegah penderita dari

kecacatan tetap dan sembuh dalam waktu 6 bulan. Oleh karena

itu, peran serta masyarakat sangat penting dalam menemukan

penderita dan melaporkan ke Puskesmas untuk dilakukan

pemeriksaan dan pengobatan.

Gambar bagian tubuh seseorang yang terkena frambusia

EPIDEMIOLOGI FRAMBUSIA

1. TRIAS EPIDEMIOLOGI (HOST, AGENT, ENVIRONMENT) PENYAKIT

FRAMBUSIA

a. AGENT

Agen (faktor penyebab) adalah suatu unsur,

organisme, hidup atau kuman infektif yang dapat

menyebabkan terjadinya suatu penyakit. Penyebab

penyakit frambusia adalah Treponema pallidum, subspesies

pertenue dari spirochaeta. Treponema termasuk dalam

famili Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales. Terdapat

empat morfologi subspesies Treponema pallidum yang

identik yaitu T.pallidum subspesies pallidum yang

menyebabkan penyakit sifilis, T.pallidum subspesies

pertenue yang menyebabkan penyakit frambusia,

T.pallidum subspesies endemicum yang menyebabkan

penyakit bejel (sifilis endemik) dan T. pallidum

subspesies carateum yang menyebabkan penyakit pinta.

Spirohaeta mempunyai ciri yang sama dengan pallidum

yaitu panjang, langsing "helically coilde", bentuk

spiral seperti pembuka botol dan garam basil negatif.

Treponema memiliki kulit luar yang disebut

glikosaminoglikan, di dalam kulit memiliki peptidoglikan yang

berperan mempertahankan integritas stuktur organisme.

Treponema pertenue bersifat tidak tahan kering, tidak

tahan dingin, dan tidak tahan panas. Secara morfologi,

Treponema pertenue sulit dibedakan dengan Treponema

pallidum. Treponema pertenue berkembang biak sangat

lambat yaitu setiap 30-33 jam pada manusia dan binatang

percobaan, dimana hamster merupakan host yang paling

baik untuk subspesies pertenue ini, tetapi tidak dapat

tumbuh dalam media kultur.

Gambar Treponema pertenue

Frambusia berdasarkan karakteristik Agen :

1. Infektivitas dibuktikan dengan kemampuan sang Agen untuk

berkembang biak di dalam jaringan penjamu.

2. Patogenesitas dibuktikan dengan perubahan fisik tubuh

yaitu terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit

yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.

3. Virulensi penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak

diobati, dan akan menyerang dan merusak kulit, otot

serta persendian sehingga menjadi cacat seumur

hidup. Pada 10% kasus frambusia, tanda-tanda stadium

lanjut ditandai dengan lesi yang merusak susunan

kulit yang juga mengenai otot dan persendian.

4. Toksisitas yaitu dibuktikan dengan kemampuan Agen untuk

merusak jaringan kulit dalam tubuh penjamu.

5. Invasitas dibuktikan dengan dapat menularnya penyakit

antara penjamu yang satu dengan yang lainnya.

6. Antigenisitas yaitu sebelum menimbulkan gejala awal

Agen mampu merusak antibody yang ada di dalam sang

penjamu.

b. Host

Host (Penjamu) adalah manusia atau makhluk hidup

lainnya, yang menjadi tempat terjadinya proses alamiah

perkembangan penyakit. Karakteristik host atau pejamu

pada penyakit frambusia dapat dilihat dari golongan

umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,dan pekerjaan.

Gambar penderita Frambusia

a. Golongan Umur

Umumnya lebih banyak menyerang anak-anak golongan

umur dibawah 15 tahun (> 95%) dan banyak ditemukan

pada anak-anak umur antara 2–15 tahun

b. Jenis Kelamin

Distribusi penyakit frambusia pada laki-laki dan

perempuan berbeda. Hal ini disebabkan karenya

adanya perbedaan cara hidup (kegiatan sehari-

hari). Dalam usia muda lebih banyak laki-laki yang

terkena karena laki-laki banyak bermain dan

bergaul sehingga kemungkinan lebih mudah terjadi

luka (infeksi). Pada usia dewasa lebih banyak

wanita yang terkena karena dalam usia ini wanita

banyak kontak dengan anak-anak yang menderita

frambusia.

c. Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan

kemungkinan terserang frambusia lebih besar,akibat

kurangnya pengetahuan tentang kebersihan diri di

lingkungan.

d. Pekerjaan

Tidak terlalu berpengaruh terhadap jenis

pekerjaan,sebab pada umumnya yang banyak terserang

adalah anak-anak usia sekolah (belum bekerja).

c. Environment

1. Lingkungan Fisik:

Di daerah tropis di pedesaan yang panas dan lembab.

Di daerah endemik frambusia prevalensi infeksi

meningkat selama musim hujan.

2. Temperatur

Umumnya penyakit frambusia terdapat di daerah dengan

temperatur rata-rata 270C dan curah hujan tinggi.

3. Lingkungan social ekonomi:

Kepadatan penduduk, kurangnya persediaan air bersih,

dan keadaan sanitasi serta kebersihan yang buruk,

baik perorangan maupun pemukiman. Kurangnya

fasilitas kesehatan umum yang memadai dan kontak

langsung dengan kulit penderita penyakit Frambusia.

Pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini masih

kurang.

Gambar lingkungan yang kumuh

2. DISTRIBUSI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT FRAMBUSIA

a. DISTRIBUSI BERDASARKAN PERSON

Person adalah karakteristik dari individu yang

mempengaruhi keterpaparan terhadap penyakit.

Karakteristik dari person berupa umur, jenis kelamin,

pekerjaan, pendidikan, kebiasaan, faktor sosial dan

ekonomi.

Seseorang yang terkena penyakit frambusia umumnya

berusia ≤ 15 tahun, paling banyak terserang pada anak

laki-laki, keadaan sanitasi serta kebersihan perorangan

dan lingkungan yang buruk, rendahnya pengetahuan

tentang penyakit frambusia, penyakit ini juga banyak

terjadi pada penduduk yang status ekonominya sangat

rendah.

Gambar orang yang terkena frambusia

b. DISTRIBUSI BERDASARKAN TEMPAT

Frambusia merupakan penyakit yang tumbuh subur

didaerah beriklim tropis dengan karakteristik cuaca

panas, banyak hujan, yang dikombinasikan dengan

banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi lingkungan

yang buruk, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan

yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan

umum yang memadai. Penyakit ini biasanya banyak

ditemui pada penduduk pedesaan terutama didaerah yang

padat penduduknya miskin dan status gizi yang kurang.

Menurut WHO (2006) bahwa kasus frambusia di

Indonesia pada tahun 1949 meliputi NAD, Jambi,

Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa (Jawa Timur) dan

sebagian besar Wilayah Timur Indonesia yang meliputi

Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten

Alor, Belu dan TTS, Kabupaten Sumba Timur khususnya

Kecamatan Nggaha Ori Angu), Sulawesi, Maluku dan Papua.

Penyakit ini di temukan di tempat-tempat yang

terpencil atau pedalaman dan jauh dari kota-kota

besar, hal ini karena keterbatasan sumberdaya, dana dan

kemiskinan dan masih eratnya masyarakat kesukuan di

daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau untuk

pelayanan pengobatan frambusia aktif dan pasif, (WHO,

2006).

c. DISTRIBUSI BERDASARKAN WAKTU

Penyakit Frambusia terjadi pertama kali terjadi di

indonesia pada tahun 1949 dimana kasusnya terdapat di

NAD, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa (Jawa

Timur) dan sebagian besar Wilayah Timur Indonesia yang

meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.

3. FREKUENSI PENYAKIT FRAMBUSIA

a. PREVALENSI FRAMBUSIA DI DUNIA

Di dunia, pada awal tahun 1950-an diperkirakan

banyak kasus frambusia terjadi di Afrika (seperti

Ghana, Togo, Benin), Asia (seperti Indonesia, Papua,

dan Pulau Solomon), Amerika Selatan (seperti Colombia,

Guyana, Peru, Ekuador dan Brazil) dan Amerika Tengah

serta Kepulauan Pasifik.

Pada tahun 1970 infeksi kasus frambusia 2 juta,

tahun 1980 diperkirakan 500 kasus per 100.000 penduduk.

Prevalensi kasus aktif di Amerika Selatan : Brazil

2,5%, Haiti 50%, Afrika : Liberia 30%, Kamerun 5,6%,

Asia Tenggara : Thailand 3,1%, dan 17,2% di Indonesia,

di India pada tahun 1950 diperkirakan lebih dari 20

juta kasus infeksi frambusia berada diseluruh daerah

bagian.

Badan kesehatan dunia (WHO) menyebutkan bahwa di

regional Asia Tenggara terdapat tiga negara yang

mempunyai masalah frambusia yaitu India, Indonesia dan

Timor Leste. Prevalensi frambusia secara global

menurun drastis setelah dilakukan kampanye pengobatan

dengan penisilin secara masal pada tahun 1954-1963

yang diprakarsai oleh WHO sehingga menekan peningkatan

kasus frambusia, namun kasus frambusia mulai ditemukan

lagi di sebagian besar daerah khatulistiwa Afrika

Barat dengan penyebaran infeksi tetap berfokus di

daerah Amerika Latin, Kepulauan Karibia, India dan

Thailand Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik Selatan,

Papua New Guinea, kasus frambusia selalu berubah

sesuai dengan perubahan iklim. Di daerah endemik

frambusia prevalensi infeksi meningkat selama musim

hujan. Pada tahun 1970 diperkirakan 855.000 kasus

infeksi frambusia. Tahun 1995 terdapat 1500 kasus per

100.000 penduduk didaerah basis frambusia, survei

tahun 1997 prevalensi frambusia sebesar 3571 kasus.

Frambusia mulai berkurang pada tahun 2003 yakni 46

kasus per 100.000 penduduk yang di laporkan.

b. PREVALENSI FRAMBUSIA DI INDONESIA

Penyakit frambusia di Indonesia sampai saat ini

belum dapat dieliminasi dari seluruh wilayah walaupun

secara nasional angka prevalensi kurang dari 1 per

10.000 penduduk. Pada tahun 2006 terdapat lima propinsi

di Indonesia dengan angka prevalensi yang cukup tinggi

yaitu Papua Barat (15,00), Papua (10,01), Sulawesi

Tenggara (7,92), Nusa Tenggara Timur (2,80), dan Maluku

(1,08). Menurut WHO (2006) bahwa kasus frambusia di

Indonesia pada tahun 1949 meliputi NAD, Jambi,

Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa (Jawa Timur) dan

sebagian besar Wilayah Timur Indonesia yang meliputi

Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Pada tahun 1957, Frambusia di Indonesia tercatat

sebanyak 1.369.082 penderita dan pada tahun 1976 pernah

dinyatakan bebas dari Frambusia, tetapi kenyataan di

tempat-tempat yang terpencil dan jauh dari kota-kota

besar masih sering ditemukan. Frambusia terutama

menyerang anak-anak yang tinggal di daerah tropis di

pedesaan yang panas, lembab, ditemukan pada anak-anak

umur antara 2–15 tahun lebih sering pada laki-laki.

Penurunan prevalensi Frambusia secara bermakna terjadi

pada tahun 1985 sampai pada tahun 1995 dengan

prevalensi rate frambusia turun secara dramatis dari

22,1 (2210 per 10.000 penduduk) menjadi kurang dari 1

per 10.000 penduduk di daerah kabupaten dan propinsi,

strategi pencapaian target secara nasional Departemen

Kesehatan yaitu jumlah frambusia kurang dari 0,1 kasus

per 100.000 penduduk di Wilayah Jawa dan Sumatera,

lebih dari 1 kasus per 100.000 penduduk di Wilayah

Indonesia Timur (Papua, Maluku, NTT dan Sulawesi).

Untuk menjangkau daerah-daerah kantong frambusia yang

jumlahnya tersebar di beberapa Propinsi dan beberapa

Kabupaten di Indonesia maka dilakukan survey daerah

kantong frambusia yang dimulai tahun 2000. Propinsi

yang masih mempunyai banyak kantong frambusia

diprioritaskan untuk dilakukan sero survei, yaitu NAD,

Jambi, Jawa Timur, Banten, Sulawesi Tenggara dan NTT.

Hal ini di pengaruhi oleh 3 faktor yang penting, yaitu

faktor host (manusia), agent (vector) dan environtment

(lingkungan) termasuk di dalam faktor host yaitu

pengetahuan, sikap dan perilaku perorangan. (Depkes,

2004).

Pada saat ini Indonesia merupakan penyumbang

terbesar kasus Frambusia di Asia Tenggara yang tersebar

di provinsi wilayah timur Indonesia yaitu NTT,

Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua dan Papua Barat. Hasil

survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986

menunjukan bahwa Indonesia pada Pelita III (1980/1981)

terjadi penurunan angka prevalensi akan tetapi pada

Pelita IV (1984/1985) angka prevalensi cenderung

meningkat yakni 0,066% sampai dengan 0,394%. Infeksi

menular frambusia di Indonesia diperkirakan 0,040%

(4015 kasus per 100.000 penduduk), tahun 2005 yaitu

0,025% (2560 kasus per 100.000 penduduk). Kejadian

frambusia di Indonesia pada tahun 2004 s/d tahun 2006

mencapai 40% kasus yang tidak dilaporkan. Selain itu

tahun 2009 masih ditemukan 8.309 kasus frambusia

terutama kasus-kasus di pedalaman Papua, pedalaman

Sumatera, pedalaman Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur

(NTT), hal ini karena keterbatasan sumberdaya, dana dan

kemiskinan dan masih eratnya masyarakat kesukuan di

daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau untuk

pelayanan pengobatan frambusia aktif dan pasif, (WHO,

2006).

Propinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu

provinsi yang mempunyai penyebaran penyakit frambusia

cukup tinggi .Pada tahun 2006 NTT memiliki 20

Kabupaten/Kota dengan jumlah kasus terbanyak terdapat

di Kabupaten Sumba Barat yaitu 13,423 kasus klinis

tersebar di 115 desa, Kabupaten Alor, Belu dan TTS

lebih dari 100 kasus per 10.000 penduduk, Kabupaten

Sumba Timur khususnya Kecamatan Nggaha Ori Angu yaitu

lebih dari 200 kasus per 10.000 penduduk. Penyakit

Frambusia di NTT hingga akhir Desember 2007 angka

prevalensi rate-nya mencapai 3,5 per 10.000 penduduk,

sedangkan di Kabupaten Belu angka prevalensi rate 5,6

per 10.000 penduduk. Kepala Dinas Kesehatan Belu, dr.

Lau Fabianus mengakui tingkat penyebaran penyakit

Frambusia sesuai dengan hasil survei. hasil survei tim

gabungan di beberapa titik yang dianggap rawan,

pihaknya melakukan pemeriksaan terhadap 4.733 orang

warga di 8 kecamatan (24 desa). Dari jumlah total

tersebut, yang berhasil ditemukan 185 kasus. Sebanyak

135 orang menderita Frambusia kategori menular dan 50

tidak menular.

Angka ini jauh di atas target nasional yaitu

1/10.000 penduduk. Memasuki tahun 2008, penyakit

frambusia di Belu tercatat dengan angka prevalensi

10,4/10.000 penduduk yang tersebar di 39 desa di tiga

wilayah kerja puskesmas, yaitu Puskesmas Bidukfoho,

Kaputu dan Tunabesi.(Dinkes. Prop.NTT, 2007). Kasus

frambusia di Kota Jayapura selama tahun 2007

terbanyak pada kelompok umur 5-9 tahun

(51,19%).Penyakit frambusia banyak diderita anak

dengan kelompok umur antara 6-10 tahun dan 75 %

penderita penyakit frambusia adalah anak-anak usia

< 15 tahun, (Dinkes Jayapura,2008).

Menurut Depkes RI, (2004), penetapan standar

pencapaian program penyakit frambusia di Indonesia

tahun 1994 secara nasional prevalensi < 1 kasus per

100.000 penduduk, akan tetapi pada tahun 2004 masih

ditemukan lebih dari 4000 kasus di daerah-daerah yang

menjadi kantong penyakit frambusia. Hal ini di

pengaruhi oleh faktor host, agent dan environtment

termasuk pendidikan, pengetahuan, sosioekonomi dan

perubahan iklim. Berikut grafik jumlah kasus frambusia

di Indonesia sejak tahun 2007 sd 2012.

Hasil pertemuan manajer program frambusia yang

dilakukan pada bulan April 2012 di Geneve, Swiss

menyepakati bahwa eradikasi frambusia diharapkan dapat

tercapai pada tahun 2020. Dalam upaya mencapai

eradikasi frambusia pada tahun 2020, Subdit Kusta dan

Frambusia pada tahun 2012 melaksanakan survei serologi

di 16 kabupaten yang selama 3 tahun melaporkan tidak

adanya kasus di daerah tersebut. Bila selama 3 tahun

berturut-turut hasil survey serologi menunjukkan hasil

yang baik (negatif) maka kabupaten tersebut berhak

mendapat sertifikat bebas frambusia dari WHO.

Intensifikasi penemuan kasus kusta dan frambusia juga

dilakukan di beberapa daerah yang masih termasuk

daerah kantong frambusia. Kegiatan ini dilakukan untuk

menemukan kasus sebanyak-banyaknya untuk kemudian

diobati sehingga diharapkan di tahun-tahun mendatang

tidak ditemukan lagi kasus frambusia. Sisi negatif

dari kegiatan intensifikasi penemuan kasus frambusia

adalah tidak ditemukannya kasus bila kegiatan ini

tidak dilakukan. Bisa dikatakan bahwa kabupaten dan

Provinsi sepenuhnya bergantung pada alokasi dana dari

Pusat/APBN dalam pencarian kasus Frambusia.

4. DETERMINAN PENYAKIT FRAMBUSIA

Faktor Determinan frambusia adalah segala faktor

yang ada pada lingkungan maupun yang ada pada host yang

dapat mempengaruhi penularan penyakit kepada orang lain

dalam hal ini penyakit frambusia. Faktor penyebab

penyakit Frambusia adalah Treponema pallidum sub spesies

pertenue. Namun bukan hanya Agen saja tetapi lingkungan si

penjamu juga dapat mempengaruhi timbulnya penyakit

Frambusia seperti sanitasi lingkungan yang buruk,

kurangnya kesadaran masyrakat akan kebersihan diri,

kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat

penduduk, kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai

dan kontak langsung dengan kulit penderita penyakit

frambusia dan pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini

masih kurang karena ada anggapan salah bahwa penyakit ini

merupakan hal biasa dialami karena sifatnya yang tidak

menimbulkan rasa sakit pada penderita dan status ekonomi

penduduk yang sangat rendah.

Sumber :

Pos Kupang 19 April 2009 halaman 1 Pedoman Eradikasi Frambusia. 2007. Departemen Kesehatan

RI, Dirjen Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Profil Kesehatan

Indonesia. Jakarta : Depkes RI

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan 2013. Profil Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan Tahun 2012. Jakarta : Direktorat

Jenderal PP & PL