EKSPLORASI TERUMBU KARANG
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of EKSPLORASI TERUMBU KARANG
TUGAS EKSPLORASI SUMBERDAYA KELAUTAN
EKPLORASI TERUMBU KARANG DI KAWASAN INDUSTRI PAITON
DENGAN METODE LINE INTERCEPT TRANSECT (L.I.T)
OLEH :
Nama : SABIL AL ALIF
NIM : 1214511028
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah
pulaunya yang menjapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar
3,1 juta km2 Wilayah lautan yang luas tersebut menjadikan
Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati terbesar
di dunia, salah satunya adalah ekosistem terumbu karang. Terumbu
karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat
penyebaran di wilayah Indo-Pasifik. Diperkirakan luas terumbu
karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari
60.000 km2, yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat
Indonesia sampai Kawasan Timur Indonesia (Walters, 1994 dalam
Suharsono, 1998).
Potensi sumberdaya alam kelautan ini tersebar di seluruh
Indonesia dengan beragam nilai dan fungsi, antara lain nilai
rekreasi (wisata bahari), nilai produksi (sumber bahan pangan dan
ornamental) dan nilai konservasi (sebagai pendukung proses
ekologis dan penyangga kehidupan di daerah pesisir, sumber
sedimen pantai dan melindungi pantai dari ancaman abrasi) (Fossa
dan Nilsen, 1996). Ditinjau dari aspek ekonomi, ekosistem terumbu
karang menjadi tumpuan hidup bagi masyarakat pesisir di
sekitarnya (Suharsono, 1998).
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem
perairan tropis yang fungsinya sangat penting bagi organisme yang
membangun ekosistem ini ataupun ekosistem yang ada disekitarnya
yakni ekosistem lamun dan mangrove (Suharsono, 1999). Selain
memiliki fungsi yang sangat penting, ekosistem terumbu karang
juga memiliki keindahan bawah laut yang luar biasa. Terumbu
karang dan kehidupan laut merupakan salah satu kekayaan alam
terbesar yang dimiliki Indonesia dengan kualitas dan kuantitasnya
yang sangat mengesankan.
Seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan dan
industrialisasi, kondisi terumbu karang dalam kondisi yang
memprihatikan. Aktivitas reklamasi pantai, penangkapan ikan
dengan menggunakan bom dan racun potasium sianida, pembangunan
pelabuhan, serta pengambilan batu-batu karang sebagai bahan
kontruksi telah mengakibatkan kerusakan yang parah pada ekosistem
terumbu karang. Saat ini, Indonesia yang memiliki luasan areal
terumbu karang 85.707 km2, hanya 6,20 % yang masih dalam kategori
sangat baik, 23,72 % kategori baik, 28,30 % kategori sedang dan
41,78 % dalam kategori buruk atau rusak (Suharsono, 1996)
Oleh karena itu kajian mengenai terumbu karang terutama di
daerah industry seperti Paiton sangat dibutuhkan demi
kelangsungan hidup ekosistem terumbu karang yang ada di
sekitarnya.
1.2 Tujuan
Untuk mendapatkan hasil persentase tutupan karang di wilayah
industry Paiton dengan cara mengidentifikasi bentuk
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem khas perairan
pesisir tropik, yang memiliki peranan yang sangat penting baik
secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, terumbu karang
menjadi tempat tinggal, berkembang biak dan mencari makan ribuan
jenis ikan, hewan dan tumbuhan yang hidup di laut. Diperkirakan
lebih dari 3.000 spesies biota laut dapat dijumpai pada ekosistem
terum karang. Terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung
pantai dari erosi dan abrasi, struktur karang yang keras dapat
menahan gelombang dan arus sehingga mengurangi abrasi pantai dan
mencegah rusaknya ekosistim pantai lain seperti padang lamun dan
magrove. Secara ekonomis, terumbu karang merupakan sumber
perikanan yang tinggi. Dari 132 jenis ikan yang bernilai ekonomi
di Indonesia, 32 jenis diantaranya hidup di terumbu karang,
berbagai jenis ikan karang menjadi komoditi ekspor. Terumbu
karang yang sehat menghasilkan 3 – 10 ton ikan per kilometer
persegi pertahun. Keindahan terumbu karang sekaligus menjadi
sumber devisa bagi negara dalam sektor wisata bahari (Timotius,
2003).
Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit
kalsium karbonat di laut yang dihasilkan terutama oleh hewan
karang. Terumbu karang terutama disusun oleh karang-karang jenis
anthozoa dari klas Scleractinia (Nybakken, 1992). Struktur
bangunan batuan kapur (CaCO3) tersebut cukup kuat, sehingga
koloni karang mampu menahan gaya gelombang air laut. Asosiasi
organisme-organisme yang dominan hidup disini disamping
scleractinian coral adalah alga yang juga mengandung kapur
(Dawes,1981).
Polip karang merupakan hewan sederhana berbentuk tabung dengan
bagian-bagian tubuh sebagai berikut:
a. Mulut terletak di bagian atas, dikelilingi oleh tentakel yang
berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan (Suharsono 1996;
Timotius 2003) dan sebagai alat pertahanan diri (Timotius, 2003).
b. Tenggorokan pendek, rongga tubuh (coelenteron) merupakan
saluran pencernaan.
c. Tubuh terdiri atas dua lapisan, ektoderm dan endoderm
(gastrodermis), diantara keduanya dibatasi oleh lapisan mesoglea
(Timotius, 2003). Lapisan ektoderm mengandung nematokista
(nematocyst) dan sel mukus, sedangkan lapisan endodermisnya
mengandung simbion zooxanthellae (Suharsono, 1996).
d. Sistem saraf, otot, dan reproduksi masih sederhana namun telah
berkembang dan berfungsi dengan baik (Suharsono, 2004).
Karang dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan
kebutuhannya akan cahaya matahari. Karang hermatipik (hermatypic
coral) adalah kelompok karang yang tumbuh terbatas di daerah
hangat dengan penyinaran yang cukup karena adanya simbion alga
(zooxanthellae) (Suharsono, 2004), karang tipe ini merupakan
pembentuk bangunan kapur atau terumbu karang (Supriharyono,
2000). Kelompok karang kedua adalah karang ahermatipik
(ahermatypic coral) yang tidak membentuk terumbu karang
(Supriharyono, 2000). Karang ahermatipik hidup di tempat yang
lebih dalam. Karang hermatipik lebih cepat tumbuh dan lebih cepat
membentuk deposit kapur dibanding karang ahermatipik (Suharsono,
2004).
Akresi adalah pertumbuhan koloni dan terumbu ke arah
vertikal maupun horisontal. Karang melalui reproduksi aseksualnya
menghasilkan karang-karang baru yang berhubungan satu dengan
lainnya. Karang-karang tersebut membentuk koloni, yang kemudian
tumbuh menjadi bentuk yang khas. Ragam bentuk pertumbuhan koloni
tersebut meliputi:
a. Bercabang
Koloni ini tumbuh ke arah vertikal maupun horisontal, dengan
arah vertikal lebih dominan. Percabangan dapat memanjang atau
melebar, sementara bentuk cabang dapat halus atau tebal. Karang
bercabang memiliki tingkat pertumbuhan yang paling cepat, yaitu
bisa mencapai 20 cm/tahun. Bentuk koloni seperti ini, banyak
terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng,
terutama yang terlindungi atau setengah terbuka.
b. Padat
Pertumbuhan koloni lebih dominan ke arah horisontal daripada
vertikal. Karang ini memiliki permukaan yang halus dan padat;
bentuk yang bervariasi, seperti setengah bola, bongkahan batu,
dan lainnya; dengan ukuran yang juga beragam. Dengan pertumbuhan
< 1 cm/tahun, koloni tergolong paling lambat tumbuh. Meski
demikian, di alam banyak dijumpai karang ini dengan ukuran yang
sangat besar. Umumnya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang
dan bagian atas lereng terumbu.
c. Lembaran
Pertumbuhan koloni terutama ke arah horisontal, dengan
bentuk lembaran yang pipih. Umumnya terdapat di lereng terumbu
dan daerah terlindung. Dijumpai di perairan
d. Seperti meja
Bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja.
Karang ini ditopang dengan batang yang berpusat atau bertumpu
pada satu sisi membentuk sudut atau datar (Timotius, 2003).
Binatang karang adalah pembentuk utama ekosistem terumbu
karang. Binatang karang yang berukuran sangat kecil, disebut
polip, yang dalam jumlah ribuan membentuk koloni yang dikenal
sebagai karang (karang batu atau karang lunak). Dalam
peristilahan‘terumbu karang’, “karang” yang dimaksud adalah
koral.
Sekelompok hewan dari ordo Scleractinia yang
menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu, sedangkan
Terumbu adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi
karang hidup dan karang mati yang menempel pada batuan kapur
tersebut. Sedimentasi kapur di terumbu dapat berasal dari karang
maupun dari alga. Secara fisik terumbu karang adalah terumbu yang
terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang. Di Indonesia
semua terumbu berasal dari kapur yang sebagian besar dihasilkan
koral. Di dalam terumbu karang, koral adalah insinyur
ekosistemnya. Sebagai hewan yang menghasilkan kapur untuk
kerangka tubuhnya,karang merupakan komponen yang terpenting dari
ekosistem tersebut. Jadi Terumbu karang (coral reefs) merupakan
ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang
jernih, hangat (lebih dari 22oC), memiliki kadar CaCO3 (Kalsium
Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis
hewan karang keras. (Guilcher, 1988).
2.2 Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang (Coral reef ) merupakan masyarakat
organisme yang hidup didasar perairan dan berupa bentukan
batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang
laut. Sedangkan organisme–organisme yang dominan hidup
disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai
kerangka kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga
mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu karang diatas
dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral ) sebagai
individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu
karang (coral reef ) sebagai suatu ekosistem (Sorokin, 1993).
Karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan
dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam
bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang
mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak
di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada
kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang
menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993).
Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka
karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik
dan karang ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang yang
dapat membentuk bangunan karang yang dikenal menghasilkan
terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah tropis.
Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan
kelompok yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan utama
karang Hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya
simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan
zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata
unisular), sepe rti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di
jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan
fotosistesis. Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan
kalsium karbonat yang struktur dan bentuk bangunannya khas.
Ciri in i akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau
spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai sifat yang
unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan
sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik
positif. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai
/laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih
sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup
binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar
antara 25-32 o C (Nybakken, 1982).
Menurut Veron (1995) terumbu karang merupakan endapan
massif (deposit) padat kalsium (CaCo3) yang dihasilkan
oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur
(Calcareous algae) dan organisme -organisme lain yang mensekresikan
kalsium karbonat (CaCo3). Dalam proses pembentukan terumbu
karang maka karang batu (Scleractina ) merupakan penyusun
yang paling penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef -
building corals). Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa
yaitu anggota Filum Coelenterata yang hanya memp unyai stadium
polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas
yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang
keduanya dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi.
Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah
organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam
lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik). Menurut Sumich
(1992) dan Burke et al. (2002) sebagian besar spesies
karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu
zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis,
zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui
fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan
karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat
dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae.
Selanjutnya Sumich (1992 ) menjelaskan bahwa adanya proses
fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi
kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan
merangsang reaksi kimia sebagai berikut:
Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3
H2O + CO 2
Fotosintesa oleh algae yang bersimb iose membuat
karang pembentuk terumbu menghasilkan deposist cangkang
yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih
cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu
(ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae.
Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa
ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya
terdapat di perairan tropis, sangat sensitive terhadap
perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas,
sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami
(pristine ). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan
akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun
1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang
diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono
(1999) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata
suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC di atas
suhu normal Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada
salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai
dengan penjelasan McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi
dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run off)
dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan
sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek
selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload)
berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui
peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth)
terhadap karang. Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari
lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya
terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi
oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area
yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10o
C. Pertumbuha n maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman
kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 o C sampai 29 o C. Karena
sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di
Indonesia (Hutabarat dan Evans, 1984).
Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang
menjadi tiga tipe umum yaitu :
a.Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef )
b.Terumbu karang penghalang (Barrier reef)
c.Terumbu karang cincin (atoll)
Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling
umum dijumpai di perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi
(Suharsono, 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai
berikut :
1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di
sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari
40m. Terumbu karang ini tumbuh keatas atau kearah laut.
Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup
arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang
batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan
banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak
endapan yang datang dari darat.
2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef ) terletak di
berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai
tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan
karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai
dan biasanya berputar-putar seakan – akan merupakan
penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya
adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur laut
Australia dengan panjang 1.350 mil.
3) Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba
(laggon). Kedalaman goba didalam atol sekitar 45m jarang
sampai 100m seperti terumbu karang penghalang. Contohnya
adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi
Selatan.
2.3 Ancaman terhadap terumbu karang
fenomena alam dan b erbagai tindakan destruktif
masyarakat mengancam kesehatan maupun keberadaan terumbu
karang. Ancaman terhadap terumbu karang dibagi menjadi
dua kategori yaitu ancaman bencana alam dan ancaman yang
ditimbulkan oleh manusia. Ancaman yang ditimbulkan oleh alam
termasuk kerusakan akibat badai, perubahan suhu. Sedangkan
ancaman yang disebabkan oleh aktivitas manusia adalah :
1. Praktek penangkapan dengan racun, dengan peledak,
muroami .
2. Sedimentasi , polusi dan sampah
3. Pertambangan
4. Praktek tourism yang tidak berkelanjutan.
Cesar (2000) melaporkan terjadi praktek penangkapan
besar–besaran dengan bahan peledak dan cianida di Indonesia.
Penyebabnya adalah demand yang tinggi terhadap ikan karang
terutama jenis kerapu ( groupers) maupun ikan Napoleon wrasse. Dengan
nilai pasar yang tinggi berkisar US$ 60-180 per kilo
telah menyebabkan perburuan ikan karang dihampir seluruh
perairan Indonesia. Untuk menjaga profit yang menggiurkan ini
mau tidak mau supply tetap banyak dan biaya ektraksi harus
murah, sehingga masyarakat beramai-ramai memanen ikan
menggunakan bahan peledak dan sianida. Umumnya penyebab
sedimentasi karena penebangan hutan atau aktivitas
masyarakat kota, sehingga simbiose algae dan karang menjadi
terhalang dari penangkapan cahaya matahari. Sedimentasi yang
lebih parah terjadi apabila penutupan lahan seperti
reklamasi daerah estuaria dan pantai. Sedangkan polusi
yang terjadi disebabkan oleh bahan kimia pertanian dan limbah
industri yang dibuang keperairan. Menurut penelitian Cesar
(2000) biaya polusi dan sampah kota selama 1 tahun di
Indonesia adalah 987 milyar USD. Sedangkan keuntungan dari
tourisme adalah 101 milyar USD,dari perikanan 221 milyar USD,
dan kesehatan (farmasi ) sebesar 4,8 mlyar USD Sehingga
total manfaat yang didapatkan dari ekosistem terumbu karang
adalah 327 milyar USD, atau sepertiga dari total biaya sebesar
987 milyar USD. Praktek penambangan karang sejak lama
terjadi, umumnya untuk membangun fo ndasi rumah penduduk atau
kantor pemerintah di pulau terpencil dan untuk campuran semen.
Penambangan karang tidak hanya menghancurkan karang tetapi juga
mengakibatkan penebangan hutan untuk pembakaran karang.
Penambangan karang juga berdampak terhadap jasa ekologis
seperti pelindung garis pantai.
BAB III
METODOLOGI
1.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di kawasan industry pembangkit listrik
tenaga uap Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa
Timur. Kecamatan Paiton di sebelah utara berbatasan langsung
dengan Selat Madura, sebelah barat dengan Kecamatan Kraksaan
dan disebelah timur Berbatasan dengan Kabupaten Situbondo.
Kecamatan Paiton terletak di kordiinat 7°43'30"S 113°32'32"E.
Peta Lokasi Penelitian
1.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan
selam scuba, rol meter dan alat tulis berupa kertas yang tahan
air serta lifeform jenis pertumbuhan terumbu karang.
1.3. Metode Pelaksanaan
Metode yang digunakan dalam pengamatan terumbu karang
transek garis menyinggung (TGM) metode Line Intercept Transect
(LIT) (English et al., 1994; Hills & Wilkinson, 2003). Metode LIT
merupakan metode yang paling sering digunakan, ditujukan untuk
menentukan komunitas bentik di terumbu karang berdasarkan bentuk
pertumbuhan dalam satuan persen, dan mencatat jumlah biota bentik
yang ada sepanjang garis transek. Transek garis dibentangkan
sejajar garis pantai sepanjang 100 meter pada dua strata
kedalaman yaitu tiga meter dan sepuluh meter, dengan asumsi dua
kedalaman ini dapat mewakilkan kondisi karang sebagaimana
diketahui terumbu karang biasanya tumbuh baik dengan
keanekaragaman yang tinggi pada kedalaman ini. Pengamatan
dilakukan dengan mencatat bentuk kode pertumbuhan dari karang
hidup, kelompok biotik dan abiotik yang berada tepat di bawah
garis transek (Gambar 1). Sebagai tambahan, dicatat juga genus
karang yang mendominasi perairan. Komunitas dicirikan dengan
menggunakan kategori lifeform yang memberikan gambaran deskriptif
morfologi komunitas karang. LIT juga digunakan untuk melakukan
memonitor kondisi terumbu karang secara detail dengan pembuatan
garis transek permanen.
Prosedur kerja untuk LIT adalah sebagai berikut ;
1. Pengamat terdiri atas minimal dua orang; satu orang bertugas
untuk membuat transek sedangkan yang lainnya bertugas untuk
mencatat kategori lifeform karang yang dijumpai.
2. Transek dibuat pada dua kedalaman (3 dan 10 meter). panjang
transek adalah 100 meter. Garis transek dibuat dengan
membentangkan roll meter yang memiliki skala sentimeter (cm).
3. Pengamat harus menguasai dan mengenal tipe-tipe bentuk
pertumbuhan karang, baik karang hidup maupun biota lainnya.
4. Pengamat berenang dari titik nol hingga titik 100 meter
mengikuti garis transek yang telah dibuat dan mencatat semua
lifeform karang pada area yang dilalui oleh garis transek.
Setiap life form harus dicatat lebarnya (hingga skala
centimeter). Kategori lifeform dapat mengacu pada AIMS
(English et al., 1994) atau COREMAP.
5. Bila memungkinkan, pengamat juga dapat mengidentifikasi jenis
karang yang diamati minimal hingga taksa genus.
A. ANALISA DATA
1. Persentase penutupan
Persentase penutupan karang digunakan untuk menduga kondisi
terumbu karang pada suatu lingkungan. Interprestasi data yang
diambil dengan metode LIT dapat dilihat pada Gambar 1. Rumus yang
digunakan untuk menghitung penutupan biota karang :
Li = niL
×100 %
Li = persentase penutupan biota karang ke-i;
ni = panjang total kelompok biota karang ke-I; dan
L = panjang total transek garis (100 meter)
Persentase penutupan karang batu memiliki kriteria sebagai
berikut: sangat baik dengan kisaran 75,0% - 100%; baik (50,0% -
74,9%); sedang (25,0% - 49,9%) dan buruk dengan kisaran 0,0% -
24,9%. Hasil penutupan karang hidup yang tinggi biasanya
menandakan bahwa terumbu karang di suatu daerah berada dalam
kondisi yang sehat.
Tabel Kriteria Kondisi Tutupan Karang Berdasarkan Persentase
Tutupan Karang Hidup.
Parameter Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang
(dalam %)1 2 3 4
Persentase
Luas Tutupan
Karang Hidup
Rusak Buruk 0 – 24.9 Sedang 25 – 49.9
Baik Baik 50 – 74.9Baik Sekali 75 – 100
(Sumber : Gomez dan Yap, 1984)
2. Indeks Mortalitas Karang
Penilaian suatu kondisi atau kesehatan dari ekosistem
terumbu karang tidak hanya berpatokan pada persentase penutupan
karang saja, karena bisa terjadi dua daerah memiliki persentase
penutupan karang hidupnya sama namun mempunyai tingkat kerusakan
yang berbeda. Tingkat kerusakan ini terkait dengan besarnya
perubahan karang hidup menjadi karang mati. Rasio kematian karang
dapat diketahui melalui indeks mortalitas karang dengan
perhitungan (English et al., 1997):
Indeks Mortalitas = persen penutupan (karang mati)persen penutupan (karang mati + karang hidup)
Gambar Interprestasi Data Transek Garis Menyinggung
Tabel Daftar lifeform dan masing-masing kode
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Persentase Penutupan
4.1.1 Persentase Penutupan Life Form
Lifeform Persentase Tutupan (%)ACB 39.4ACD 0ACT 1.3ACE 0CA 0CB 2.1CE 1CF 1.65CM 2.85CM E 0CHE 0CM R 8.5CS 0.85DC 0DCA 1.45OT 5.2R 13.1S 4.6SC 13SP 5TA 0TOTAL 100
Tabel 1. Persentase Penutupan Life Form
Berdasarkan hasil yang ditemukan, terdapat beberapa jenis
terumbu karang seperti DC(Death Coral) dengan persentase penutupan
life form 0% , DCA (Death Coral Algae) dengan persentase penutupan
life form 1.45% , CM (Coral Massive) dengan persentase penutupan
life form 2.85% , ACB (Acropora Branching) dengan persentase
penutupan life form 39.4%, ACD(Acropora digitate ) dengan persentase
penutupan life form 0%, CB(Coral Branching) dengan persentase
penutupan life form 2.1%, CF (Coral foliose ) dengan persentase
penutupan life form 1.65%, CS(Coral Encrusting) dengan persentase
penutupan life form 0.85%, CMR(Coral mushroom ) dengan persentase
penutupan life form 8.5%, SP(Sponge) dengan persentase penutupan
life form 5%, Pada Line Transect yang dibentangkan, tidak hanya
terumbu karang saja yang terdapat melainkan terdapat S (Sand)
dengan persentase penutupan life form 4.6%, R (Ruble) dengan
persentase penutupan life form 13.1%.
ACB
ACT CA CE CM CH
E CS DCA R SC TA
0510152025303540
Lifeform
Pers
enta
se T
utup
an (
%)
Grafik 1. Persentase Penutupan Life Form
Berdasarkan grafik di atas dapat disimpulkan persentase penutupan
life form didominasi oleh terumbu karang dengan tipe pertumbuhan
ACB (Acropora Branching).
4.1.2 Persentase Penutupan Terumbu Karang
Kategori %Karang Hidup 57.65Karang M ati 1.45Biota Lain 23.2Algae 0Abiotik 17.7TOTAL 100
Tabel 2. Persentase Penutupan Terumbu Karang
Berdasarkan hasil diatas didapatkan persentase penutupan biota
bentik sebagai berikut: karang hidup 57.65%, karang mati 1.45%,
biota lain 23.2%, Algae 0%, dan Abiotik 17.7%
Karang Hidup58%
Karang Mati1%
Biota Lain23%
Abiotik18%
Persentase Penutupan Terumbu Karang di Paiton
Grafik 2. Persentase Penutupan Terumbu Karang
Dari grafik diatas terlihat bahwa persentase penutupan di
perairan kawassan industry Paiton lebih didominasi oleh karang
hidup sebesar 58%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terumbu
karang di kawasan industry Paiton dalam keadaan baik.
4.2 Indeks Mortalitas Karang
Indeks mortalitas karang =persenpenutupan(karangmati)
persenpenutupan(karangmati+karanghidup)
= 1,45(1,45+57.65)
= 0,025 %
Berdasarkan data diatas disimpulkan bahwa indeks mortalitas
terumbu karang tersebut sangat rendah hanya 0,025 %
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang ditemukan, terdapat beberapa jenis
terumbu karang seperti DC(Death Coral) dengan persentase
penutupan life form 0% , DCA (Death Coral Algae) dengan
persentase penutupan life form 1.45% , CM (Coral Massive)
dengan persentase penutupan life form 2.85% , ACB (Acropora
Branching) dengan persentase penutupan life form 39.4%,
ACD(Acropora digitate ) dengan persentase penutupan life form
0%, CB(Coral Branching) dengan persentase penutupan life form
2.1%, CF (Coral foliose ) dengan persentase penutupan life
form 1.65%, CS(Coral Encrusting) dengan persentase penutupan
life form 0.85%, CMR(Coral mushroom ) dengan persentase
penutupan life form 8.5%, SP(Sponge) dengan persentase
penutupan life form 5%, Pada Line Transect yang
dibentangkan, tidak hanya terumbu karang saja yang terdapat
melainkan terdapat S (Sand) dengan persentase penutupan life
form 4.6%, R (Ruble) dengan persentase penutupan life form
13.1%.
Berdasarkan hasil diatas didapatkan persentase penutupan
biota bentik sebagai berikut: karang hidup 57.65%, karang
mati 1.45%, biota lain 23.2%, Algae 0%, dan Abiotik 17.7%
Berdasarkan data diatas disimpulkan bahwa indeks mortalitas
terumbu karang tersebut sangat rendah hanya 0,025 %
Persentase penutupan di perairan kawassan industry Paiton
lebih didominasi oleh karang hidup sebesar 58% dan tingkat
kematian terumbu karang sangat rendah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terumbu karang di kawasan industry Paiton
dalam keadaan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Burke L, Selig E, Spalding M. 2002. Terumbu Karang Yang
Terancam Di Asia Tenggara. USA: Wold Resource Institute.
Cesar, H. 2000. Collected Essay on the Economics of Coral Reefs.
Cordio Departemen Biology and Environmental
Science,Kalma r University. Sweden.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia. jakarta : PT. Gramedia.
Dahuri. R, Rais.J, Ginting.S.P, Sitepu.M.J. 1996. Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
Jakarta. PT Pradnya Paramita.
English, S., C. Wilkinson and V. Baker.1994. Survey manual for
Tropical marine Resources. Australian Institute of Marine
Science, Townsville. Australia.
Gomez, E.D. and H.T. Yap. 1984. Monitoring Reef Condition. In:
Coral Reef Management Handbook. R.A. Kenchingt6on and
B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta, p. 171.
Guilcher Andre. 1988. Coral reef Geomorphology. John Willey &
Sons.Chhichester
Hutabarat,L.,Evans, S.M.1984. Pengantar Oceanografi.UI Press.
Jakarta
McCook LJ. 1999. Macroalgae, nutrients and phase shifts on
coral reefs: scientific issue and management
consequences for the Great Barrier Reef. Coral reef (18):
357-367
Nybakken, J.W. 1982. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Biologis.
Editor: M. Eidman, Koesobiono, D.G. Bengen, M. Hutomo
dan S. Sukardjo. Jakarta: PT. Gramedia. 480 halaman.
Sorokin YI. 1993. Coral reef ecology. New York: Springer-
Verlag
Suharsono. 1998. Kesadaran masyarakat tentang terumbu karang (kerusakan
karang di Indonesia). P3O-LIPI, Indonesia: 77 hlm.
Sumich JL. 1992. An introduction to the biology of marine life.
Ed ke-5. Dubuque: WmC Brown.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta. Gramedia.
Veron JEN. 1995. Coral in space and time. Townsville:
Australian Institute of Marine Science.