Identifikasi Penyakit Karang di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. (eds) DG. Bengen, A.Sunuddin,...

32

Transcript of Identifikasi Penyakit Karang di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. (eds) DG. Bengen, A.Sunuddin,...

PROSIDING

Simposium Nasional Pengelolaan Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil

"Kontribusi IPTEK dalam pengelolaan surnberdaya

pesisir, laut, dun pulau-pulau hecil"

Bogor, 18 Nopember 2010

Editor: Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen,DEA

Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si Citra Sa-trya Utama Dewi, S.Pi

ISBN : 978-979-1 9034-4-8

Kredit: Desain sampul: Pasus Legowo Tata letak: Pasus Legowo, Dharmawan I Pratama, Femi Zumaritha

Pertama-tama marilah kita panjatkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya jua Simposium Nasional Pengelolaan Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil dapat terselenggara dengan baik, dan seluruh rangkaian acara dan makalah-makalah yang terkait dengan simposium ini dapat disampaikan dalam laporan kegiatan ini.

Sebagai Negara megabiodiversity laut terbesar dengan semua ekosistem laut tropis produktif yang melingkupi wilayah pesisir kepulauan nusantara, Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam laut yang sangat besar sebagai aset Nasional. Namun tidak dapat pula dipungkiri bahwa kekayaan laut yang sedemikian besar ternyata di satu sisi belum sepenuhnya dioptimalkan dan di sisi lain sedang merrgalami kerusakan yang cukup mengkhawatirkan.

Karena itu bagaimana kekayaan laut yang sangat besar ini dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya keseja hteraan masyarakat dan kemakmuran bangsa secara berkelanjutan, serta kerusakan yang terjadi dapat diperbaiki dan dipulihkan, seyogyanya suatu pendekatan pengelolaan berbasis iptek menjadi urgen untuk diterapkan bagi keberlanjutan pembangunan kelautan Indonesia. Untuk itulah Simposium dengan tema "Kontribusi IPTEK dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil", yang dirancang sebagai kelanjutan kegiatan KONAS VII di Ambon diharapkan dapat mendesiminasikan hasil-hasil penelitian dan kajian, menjalin komunikasi serta berbagi informasi dan pengalaman mengenai pengelolaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil berbasis iptek di Indonesia.

Simposium Nasional ini hanya dapat terlaksana berkat kerjasama antara Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI) dan Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan IPB, dengan dukungan dana dari Ditjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional RI. Tak kalah pentingnya bahwa keberhasilan Simposium ini sangat ditentukan oleh para pembicara panel, moderator, notulen, pemakalah, peserta, serta para panitia yang telah berkontribusi menyukseskan simposium ini.

Akhirnya, semoga prosiding simposium yang berisikan kumpulan makalahlartikel ini dapat memberikan informasi ilmiah yang esensial tentang peran iptek dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Bogor, April 201 1 Ketua Panitia PelaksanaISekjen HAPPI,

Prof.Dr.lr. Dietriech G. Bengen, DEA

DAFTAR IS1

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................................ . . i

DAFTAR IS1 ........ ............................... ................................................................. ii

I. TOPlK 1 : IPTEK dalam Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil

1. Estimasi daya dukung sosial dalam pengelolaan ekowisata pulau- pulau kecil di gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean (Penulis: Alimudin Laapo) ..................................................... I - 1

2. Strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan tradisional

........................ pelintas batas di Rote-Ndao (Penulis : Anna Fatchiya) 1 - 5

3. Pemetaan daerah potensial penangkapan ikan tongkol (Euthynnus afinis) di perairan Pantai Selatan Yogyakarta (Penulis : Ati Rahadiati dan lrmadi Nahib) ................................................................ I - 13

4. ldentifikasi Penyakit Karang di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (Penulis: Beginer Subhan, Dondy Arafat, Fadhilah'Rahmawati, Mochamad Luqmanul Hakim, Dedi Soedharma) . 1 - 20

5. Aktivitas antibakteri ekstrak rnetanol Sinularia dura yang difragmentasi di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu

(Penulis : Mujizat Kawaroe, Dedi Soedharma, Hefni Effendi, Tati Nurhayati, Safrina Dyah Hardiningtyas, W~ndhika Priyatmoko) ......... I - 26

6. ~ a i n kelapa dan daun sukun sebagai bahan alfernatif pengganti terumbu karang dalam pengoperasian bubu tambun (Penulis : Diniah, Wawan Rowandi, Ari Nado Syahrur Ramadan) ...................... I - 31

7. Analisis perubahan luas dan kerapatan tutupan mangrove

menggunakan citra Landsat ETM Multitemporal di pesisir utara

Pulau Mendanau dan Pulau Batu Dinding Kabupaten Belitung

(Penulis : Irma Akhrianti, Franto, Eddy Nurtjahya, lndra Ambalika) ..... I - 37

8. Ekstrak ascidian Didemnum molle sebagai alternatif sumber

antibakteri dari hewan asosiasi terumbu karang (penulis : lrma Shita Arlyza) ......................................................................................... I - 46

9. Analisis. ekonomi keterkaitan perubahan hutan mangrove dan udang di Kecamatan Belakang Padang Kota Batam (Penulis : Irmadi Nahib) ......................................................................................... I - 54

10. Kondisi kesehatan terumbu karang Teluk Saleh, Sumbawa: Tinjauan aspek substrat dasar terumbu dan keanekaragaman ikan karang (Penulis : Isa Nagib Edrus, Syahrul Arief, dan lwan Erik Setyawan) ...................... ..:. ............................................................ I - 60

Morfologi gugusan pulau kecil (archipelagic islands) di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang dan ~ i a r o (Penulis :Joyce Christian Kumaat) ............................................................................................... Kontribusi peta dan citra inderaja dalam kajian optimalisasi

penggunaan lahan marginal studi kasus pesisir kecamatan Kubu - Karangasem - Bali (Penulis : Kris Sunarto, Drs. M.Si.) ...................... Bio-ekologis kepiting bakau pada kawasan konservasi desa Passo Teluk Ambon (Penulis : Laura Siahainenia) ....................................... Potensi kekerangan abalon Sulawesi Selatan, prospek dan tantarlgan pengelolaan (Penulis : Magdalena Litaay, Rosana Agus, Rusmidin, st. Ferawati) ......................................................................... Estimasi potensi ekonomi rumput laut berdasarkan daya dukung perairan di Kepulauan Salabangka Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah(Penu1is : Marhawati Mappatoba, Eka Rosyida, Alimudin Laapo) ................................................................................................. Analisis awal pengelolaan pesisir untuk kegiatan wisata pantai

(studi kasus Pantai Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat)

(Penulis : Muhammad Bakhtiar, Octavianus A. Mainasy, Zikri Sudrajat, Hafidz Fauzi) ......................................................................... Teknologi tepat guna dalam pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis sumberdaya perikanan (Penulis : Mulyono S. Baskoro dan lvonne M. Radjawane) .......................................................................... Penatakelolaan zona pemanfaatan hutan mangrove melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau (s. serafa) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur (Penulis : Nirmalasari ldha Wijaya, Fredinan Yulianda, Mennofatria Boer dan Sri juwana). ...... .: ................................................................................... Aspek bioteknik dalam pemanfaatan sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten (Penulis : Roza Yus fiandayani, M. P. Sobari) ... Analisis daya dukung pulau kecil untuk ekowisata bahari dengan pendekatan eccological footprint (studi kasus Pulau Matakus, kab. Maluku Tenggara Barat, provinsi Maluku) (Penulis : Salvinus Solarbesain, Luky Adrianto, Santoso Rahardjo) ................................... Deteksi gemmbolan bandeng (Chanos chanos) berbeda ukuran

berdasarkan fase pantulan gelombang akustik (Penulis : septian T. Pratomo, sri pujiyati, dan Arman D. Diponegom) ................................ Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk pemetaan terumbu karang di pulau kecil terluar studi kasus : Pulau Larat, Provinsi Maluku Tenggara Barat (Penulis : Suseno Wangsit Wijaya, Yoniar Hufan Ramadhani, Rahmatia Susanti) ......................... Pola spasial kedalaman perairan di teluk bungus, Kota Padang

......................... (Penulis : Yulius, Hari Prihatno dan Ifan Ridlo Suhelmi)

II.

1.

TOPlK 2: IP'TEK dalam Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Laut

Perencanaan konservasi berbasis pemetaan terhadap proses keragaman hayati di .Pulau Sapudi-Sumenep (Penulis: Romadhon A, Kurniawan F, Hidayat WA) ............................................................... II - 1

Peran swasta dalam pengelolaan pesisir Ujungpangkah, Kabupaten Gresik (Penulis : Angela Ika Y Mariendrasari dan Prof.

.............................................................................. Dietrich G Bengen) 11 - 8

Merbau (intsia bijuga (colebr.) o. Kuntze) di Taman Nasional Ujung Kulon Banten (Penulis : Dodo dan Mujahidin) ..................................... II - 14

Potensi anggrek sebagai sumberdaya non kayu di kawasan hutan mangrove Pantai Maligano - Pulau Buton, Sulawesi Tenggara (Penulis : Eka Martha Della Rahayu, Izu Andry Fijridianto dan R.

............................................................................................. Hendrian) I1 - 18 lnventarisasi data luas kerapatan hutan mangrove di Taman Nasional Bali Barat sebagai potensi Kawasan Konservasi Laut dalam pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecii dengan pemanfaatan teknologi sistem informasi geografis menggunakan satelit ALOS (Penulis : Firman Setiawan, Rama Wijaya dan Noir P. Poerba) ................................................................. II - 22

Disain rehabilitasi ekosistem mangrove untuk pengelolaan konservasi di daerah penyangga Pulau Dua, Kota Serang, Banten (Penulis : Fredinan Yulianda dan Nyoto Santoso) ............................... II - 27

Sebaran lokasi wisata laut dan budaya di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara (Penulis : Helman) ................................. II - 33

Pengelompokan Jenis Tumbuhan Berdasarkan Kandungan Hara di Hutan Dataran Rendah, Pulau Wawonii - Sulawesi Tenggara (Penulis: Joeni Setijo Rahajoe dan Edi Mirmanto) II - 37

lmplementasi metode blue heart ocean sebagai langkah strategis konservasi terumbu karang dalam wacana jakarta water front city berbasis pemberdayaan masyarakat pesisir pantai Utara Jakarta (Penulis : Nugroho W~ratama dan Nidhom Fahmi) .............................. I I - 43

Biodiversitas ikan karang di Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak- Numfor, Papua (Penulis : Pustika Ratnawati, Muhammad Hafiz,

........................................ Sukmaraharja,Tia Sulistiani, Hedra Akhrari) I\ - 49

Kajian potensi ekologis dan isu-isu strategis ekosistem karst cagar alam Pulau Sempu, Jawa Timur (Penulis : Rosniati A. Risna dan

..................................................................................... Tata M. Syaid) I I - 53

Pulau Wawonii: keanekaragaman, potensi dan permasalahannya (Penulis : Rugayah, M. Rahayu & S. Sunarti) .................................... II - 60

13. Flora langka di pulau kecil Batudaka, Sulawesi Tengah (Penulis: Sri Hartini) ............................................................................................ II -70

14. Jenis-jenis vegetasi unik dan perlu dilindungi di Pulau Waigeo, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat (Penulis : Sudarmono) ......................................................................................... 11 - 75

15. Penentuan kondisi dan potensi konservasi ekosistem mangrove di pesisir selatan Kabupaten Bangkalan berbasis teknologi SIG dan penginderaan jauh (Penulis : Wahyu A'idin Hidayat, Zulkarnaen Fahmi) ................................................................................................ I I - 79

Ill. TOPlK 3: IPTEK dalam Mitigasi dan Adaptasi Dampak Perubahan lklim terhadap Ekosistem Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

1. Pemodelan luas genangan di semarang akibat pasang surut (Penulis : Didik Hartadi, dan lvonne M.R ..............................................

2. Perubahan status lahan dan tutupan lahan kawasan Pulau Moti, Ternate Maluku Utara (Penulis : H.I.P. Utaminingrum, M.Ridwan, dan Roemantyo) ..................................................................................

3. Distribusi spasial oil spill montara di Celah Timor dari satelit dan dampaknya terhadap sumberdaya hayati laut (Penulis : Jonson Lumban Gaol) ......................................................................................

4. Penentuan parameter paling dominan berpengaruh terhadap pertumbuhan populasi fitoplankton pada musim kemarau di perairan pesisir Maros Sulawesi Selatan (Penulis : Rahmadi Tambaru, Enan M. Adiwilaga, lsmudi Muchsin, dan Ario Damar) .......

5. Pemanfaatan pengideraan jauh dalam pemantauan kerusakan lingkungan pesisir dan laut di pantai Utara Jawa Barat (Penulis : Riny Novianty dan Anggraeni Nurmartha Vina) ...................................

6. Strategi pemberdayaan nelayan berbasis keunikan Agroekosistem dan kelembagaan lokal (Penulis : Siti Amanah) ...................................

7. Teknologi geospasial untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terpencil (studi kasus di kepulauan Karimunjawa - Jawa Tengah) (Penulis : Yatin Suwamo dan Sri Lestari Munajati) .............................................

8. ldentifikasi potensi jenis ikan ekonomis penting dengan analisis kenrangan dan hidroakustik di Kep. Tagalaya, Halmahera Utara (Penulis : Zulkarnaen Fahmi, Frensly D Hukom, Wahyu A'idin Hidayat, Jefry Bemba ...........................................................................

ESTlMASl DAYA DUKUNG SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOWISATA PULAU- PULAU KEClL Dl GUGUS PULAU TOGEAN TAMAN NASIONAL KEPULAUAN TOGEAN

Oleh: Alimudin Laapo '

' Fakultas Pertanian UNTAD Kampus Bumi Tadulako, Tondo Palu, Telp: (0451) 4907340; E-mail: alimudin/[email protected]

ABSTRAK Peningkatan kunjungan turis dan jumlah penduduk lokal setiap tahun di gugus pulau Togean berpotensi merubah perilaku, norma dan budaya masyarakat lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi daya dukung sosial kawasan wisata Pulau Togean dalam mendukung kegiatan ekowisata PPK berkelanjutan. Metode analisis data menggunakan pendekatan Saveriades yang menghasilkan rasio optimal antara seorang turis dengan beberapa penduduk lokal. Hasil penetitian menunjukkan bahwa kedatangan turfs mancanegara ditanggapi dengan biasa saja dan belum secara nyata merubah perilaku masyarakat lokal (respon 68%). Rasio host-tourist yakni I : 20 (persepsi 64%), dengan jumtah daya dukung sosiat yakni 492 kunjungan turis per hari. Diperlukan distribusi dan pengaturan jumlah turis ke lokasi wisata gugus Pulau Togean terutama pada musim puncak kunjungan turis. Kata Kunci: daya dukung sosial, ekowisata, gugus Pulau Togean

Pendahuluan

Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah memiliki potensi sumberdaya PPK yang cukup besar, umumnya berada di Kepulauan Togean (221 pulau). Sesuai dengan daya tarik obyek wisata, kegiatan pariwisata di wilayah ini mengandalkan pariwisata bahari (wisata selam dan snorkling, pancing, jelajah hutan alam (trecking) dan hutan mangrove). Kunjungan wisatawan didaerah ini telah berlangsung sejak 20 tahun terakhir. Diperkirakan 8.000 wisman atau 665 orang per bulan di tahun 1999 mengunjungi kawasan ini. Penurunan jumlah wisman terjadi antara tahun 2000-2003, dimana. hanya terdapat 20 wisman perbulannya. Arus kunjungan wisatawan mengalami peningkatan pada tahun 2004 yang diperkiraan mencapai 10.000 wisatawan mancanegara (80%) dan domestik (20%) (Disbudpar Kabupaten Tojo Una-Una 2006).

budaya, maupun kualitas hidup masyarakat. Keprihatinan dalam perubahan tatanan nilai dan budaya masyarakat PPK akibat pembangunan yang bertumpu pada aspek ekonomi semata, melahirkan paradigma pembangunan Yang secara komprehensif guna memahami prinsip- prinsip pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan (Marvel1 and Watkins 2005). Ekowisata merupakan konsep pariwisata alternatif yang secara konsisten mengedepankan nilai-nilai alam, sosial dan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para pelakunya. Secara ekologis dan dalam kawasan PPK yang terbatas, kegiatan ekowisata PPK yang diselenggarakan oleh pihak swasta mampu menjaga kelestarian ekosistem tenrmbu karang dan mangrove (Zamani dkk. 2007). Di sisi lain, kegiatan wisata yang dikelola pengusaha wisata kurang melibatkan masyarakat lokal sehingga belum mampu meningkatkan kualitas hidup mereka. Hal ini

Selain dapat mengancam menyebabkan terjadinya konflik horisontal

keberadaan dan kelangsungan antara masyarakat lokal dengan pihak

ekosistem dan sumberdaya PPK, pengusaha wisata dalam pemanfaatan

peningkatan jumlah kunjungan wilayah perairan PPK.

wisatawan mancanegara berpotensi merubah tatanan kehidupan masyarakat lokal (host), baik dalam nilai sosial dan

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka kebijakan pengelolaan ekowisata di gugus Pulau Togean harus mempertim bangkan keberlanjutan ekosistem PPK dan nilai budaya masyarakat lokal. Untuk itu, pelaksanaan penelitian ini ditujukan untuk mengkaji besarnya daya dukung sosial kawasan wisata Pulau Togean dalam mendukung kegiatan ekowisata PPK berkelanjutan.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan di wilayah administratif Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah (Gambar 1). Penentuan lokasi pengambilan contoh (stasiun) mempertim bang kan posisi obyek wisata (letak kawasan terumbu karang, kawasan mangrove dan pantai berpasir), keberadaan usaha wisata bahari, pemukiman penduduk dan aksesibilitas masyarakat dalam pemanfaatan sumberdava ~ulau.

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi data cross section dan data time series. Data cross section bersumber dari data primer yakni data yang dikumpulkan melalui metode survei terhadap wisatawan dan masyarakat lokal. Jenis data yang dikumpulkan meliputi: trend dan distribusi kunjungan turis, jumlah penduduk lokal, persepsi masyarakat dan turis (mancanegara maupun domestik) tentang nilai budaya lokal, kenyamanan beraktivitas, respon masyarakat lokal terhadap kedatangan turis, dan rasio optimal antara turis dengan masyarakat lokal.

Perhitungan daya dukung sosial menggunakan pendekatan Saveriades (2000), dimana bertambahnya waktu dan jumlah manusia maka kebutuhan manusia, interaksi dan kompetisi antar manusia dalam menempati ruang juga semakin meningkat, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan beraktivitas dan perasaan terganggu (unsustainable). Metode yang digunakan dalam mengkaji daya dukung ini yakni analisis deskriptif, kesepakatan dan situatif yang menghasilkan rasio turis dan masyarakat atau host-tourist ratio (Saveriades 2000).

Karakteristik Kunjungan Turis Kedatangan wisatawan mancanegara

(wisman) ke Kepulauan Togean telah dilakukan sejak lebih dari 10 tahun lalu, dan makin berkembang pada pertengahan tahun 1990-an. Wisman yang berkunjung ke kawasan wisata Togean umumnya bertujuan untuk menikmati keindahan bawah laut. Sebaliknya, kedatangan wisatawan domestik umumnya untuk tujuan berusahalwiraswasta dan kunjungan kerja (instansi pemerintah). Karakteristik kunjungan turis di lokasi ekowisata gugus Pulau Togean disajikan pada Gambar 2.

Kunjungan wisman berfluktuasi dalam setahun, puncak kedatangan biasanya terjadi pada bulan Agustus dan terendah pada bulan Desember. Kunjungan wisman ke Kepulauan Togean dalam kurun waktu tahun 2000-2007 jumlahnya berfluktuasi, tertinggi pada tahun 2001 (186 %) dan menurun sampai 38 % pada 2002. Penurunan kunjungan disebabkan oleh te rjadinya kerusuhan Poso pada tahun 2000. Namun karena daya tarik lingkungan wisata yang sangat alami, pada 2003 jumlah kunjungan kembali meningkat mencapai angka 3.122 wisman.

31

S

n a 1

a n n n ). rji if, 19 at

ra rh u, an 19 ia an an ~k an 1)- rsi an

Im Ya ah an rt u si, an 12. eh un rik da cat

Ibjmgo Tons p& Tahon 7.W ,Y) ---- - -

I > ; ( ::j,;. - 3 ' . . , -A___-- . . - =a I ' ,

------ OKI h W ES JW Pil l UAR M L W J.X Fa N3I PI7

B u h

T a b

Gambar 2. Distribusi Kunjungan Turis per Bulan dan Trend Kunjungan Wisman pada

tahun 2000-2007

Tabel 1. Persepsi dan Respon Penduduk Lokal terhadap kegiatan Wisata di Gugus Pulau Togean

No unlan uterangan r ~um~anpenatmult~om~ (~iwa) 9 839 2 Pereepalekonoml masyamltataengan Mengumungltan=28 %; Tlaak

neteraaaan wisamwan aaapengarunz 72%. Memlken=O%

5 91kapmaeyaraltataengan ltsaalengan turre

6 Pembahanpenlanumaeyaraltat aengan aaanyatur~s

7 Rae10 Msmawanaenuan masyaraltat

Sumber: Data Primer (2009) dan BPS (.2008).

Persepsi dan Respon Penduduk Lokal

Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah . penduduk di Kecamatan Togean pada

tahun 2007 adalah berjumlah 9.839 jiwa yang tesebar di 14 Desa dengan kepadatan rata-rata 43 jiwa per km2. Jumlah kepadatan tertinggi berada di Desa Tongkabo (222 jiwa per km2 ) dan yang terendah berada di Desa Benteng (14 jiwa

per km2). Umumnya tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang ekowisata masih rendah. Selain itu, keberadaan usaha wisata bahari dan wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata Togean belum memberikan kontribusi dan pengaruh yang nyata terhadap kualitas hidup masyarakat lokal.

Pem ba hasan

Gambar 2 menuniukkan bahwa penurunan kunjungan pads September sampai Mei selain disebabkan oleh akhir dari periode liburan, juga disebabkan oleh cuaca yang kurang baik di wilayah Kepulauan Togean pada umumnya seperti masuknya musim hujan, badai dan ombak yang tinggi. Wisman yang berkunjung ke Togean umumnya berasal dari negara- negara Benua Eropa, terbanyak dari Jerman (12,OO %), selanjutnya Perancis dan Spanyol masing-masing 10,OO %. Dinamika kunjungan wisatawan dan kegiatan wisata bahari di kawasan wisata PPK tropis umumnya ditentukan kondisi iklim (hujan dan matahari) dan perubahan faktor hidrooseanografi (Dodds 2007), kondisi sumberdaya 'laut (terumbu karang, mangrove dan biota lainnya), dan pantai berpasir (Scott et a/. 2004).

Potensi sumberdaya gugus Pulau Togean .seperti terumbu karang dan pantai berpasir serta budaya lokal merupakan daya tarik utama meningkatnya kedatangan wisman di kawasan wisata ini. Namun demikian, kunjungan wisman bagi masyarakat lokal masih diqnggap biasa saja atau belum mempengaruhi secara nyata budaya lokal. Keberadaan wisman relatif menguntungkan jika dilihat dari sisi upaya peningkatkan pengetahuan mereka (belajar langsung dengan turis) terhadap bahasa umum yang digunakan untuk berkomunikasi dengan wisatawan. Sementara untuk peningkatan kualitas hidup (kesejahteraan) masyarakat lokal dirasakan masih rendah.

Keberadaan wisatawan juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pola dan gaya hidup masyarakat lokal. Hal ini disebabkan oleh antara lokasi usaha wisata dengan pemukiman

masyarakat lokal relatif jauh, sehingga tingkat pembauran antara turis dengan penduduk rendah dan pengetahuan masyarakat secara mendalam tentang pola hidup wisatawan asing juga sangat terbatas. Terkait dengan kenyamanan masyarakat lokal dengan keberadaan wisatawan, hasil penelitian menunjukkan bahwa beragam pendapat maupun penilaian masyarakat lokal dan wisatawan tentang rasio yang optimum antara wisatawan dengan masyarakat lokal. Umumnya masyarakat lokal menyatakan bahwa selain karena pertambahan jumlah kunjungan wisatawan, ketidaknyamanan masyarakat dapat terganggu terutama disebabkan oleh cara berpakaian wisatawan dan interaksi sosial. Nilai daya dukung sosial kawasan wisata Togean sebanyak 492 orang per hari masih lebih kecil dari daya dukung ekologi yakni 692 orang (Laapo 2010). Hal ini sesuai dengan Saveriades (2000), bahwa ketidaknyamanan seseorang dapat membatasi penerimaannya ketika orang lain masuk untuk berinteraksi (Social Carrying Capacity), wala~~pun secara ekologi (Biological Carrying Capacity) masih tersedia relung untuk orang tersebut masuk berinteraksi. Kehadiran wisman dalam jumlah besar (melebihi daya dukung) berpotensi merubah nilai-nilai sosial budaya (cultural identity) masyarakat lokal (Orams 1999). Sebaliknya, keragaman produk wisata termasuk ekowisata budaya dan pangsa pasar dapat meningkatkan nilai ekonomi dan jika dimanfaatkan secara optimal akan meningkatkan kontribusi ekonomi daerah (Iftekhar and lslam 2004).

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis hatu~kan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan dana penelitian Hibah Doktor dan saranlmasukan dari komisi pembimbing atas penulisan makalah ini. Terima kasih pula kami ucapkan kepada HAPPI.

Pustaka

BPS (2008) Kecamatan Togean dalam angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una, Ampana.

Disbudpar Kabupaten Tojo Una-Una (2006) Rencana induk pengembangan pariwisata daerah Kabupaten Tojo Una- Una. Pemda Tojo Una-Una, Ampana, Hal: 267.

Dodds R (2007) Malta's tourism policy: standing still or advancing towards sustainability? Island Studies J. 2(1): 47- 66.

lftekhar MS, lslam MR (2004) Managing mangroves in Bangladesh: A strategy analysis. J. of Coast Consen/. 10: 139-146.

Laapo A (201 0) Optimasi Pengelolaan Ekowisata Pulau-Pulau Kecil (Kasus Gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan . Togean). Disertasi Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor, Bogor. Hal: 214.

Marvell A, Watkins C (2005) Marine tourism: a case study of sustainable marine tourism in the Maldives. Geog Matters 8 (1):6-9.

Orams M (1999) Marine tourism, development, impacts and management. Routledge, London, 124p.

Saveriades A (2000) Establishing the social tourism carrying capacity for the tourist resorts of the east coast of the Republic of Cyprus. J. of Tourism Manag 21: 147-156.

Scott DG, McBoyle, Schwartzentruber M (2004) Climate change and the distribution of climatic resources for tourism in North America. Climate Res. 27: 105-1 1 7.

Zamani NP, Gaol JL, Madduppa H, Arhatin RE, Putra KS, Khazali M, Anwar K, Zulkah L (2007) Profil sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Togean. CII, BTNKT, TKL IPB dan Pemda Tojo Una-Una, Hal: 91.

na an la- al:

m, nt.

M on rth

tin ah an an. sjo

STRATEGI PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN TRADISIONAL PELINTAS BATAS Dl ROTE-NDAO

Oleh : Anna Fatchiya

Dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, lnstitut Pertanian Bogor

Email : [email protected]

ABSTRAK

Banyak nelayan dari Pulau Rote, N l T yang melakukan penangkapan ikan di wilayah tentorial Australia, yaitu di kawasan Pulau Ashmore (Pulau Pasir). Melalui moratorium perjanjian kedua negara tahun 1974 atau yang dikenal dengan MOU Box 1974 dimungkinkan nelayan tradisional dari lndonesia menangkap biota laut di kawasan tersebut dengan batasan-batasan tertentu. Namun, pada kenyataannya muncul pelanggaran- pelanggaran aturan yang telah disepakati. Keadaan ini terus berulang terjadi yang merugikan kedua belah pihak. Pendekatan secara legal formal semata tidak mampu menghentikan permasalahan tersebut. Oleh karenafiya perlu dilakukan pendekatan yang bersifat sosiokultural. Diharapkan dengan pendekatan ini permasalahan dapat bersifat komprehensif. Penelitian ini ditujukan untuk melihat akar permasalahan yang timbul dengan mengkaji aspek pranata sosial dan kelembagaan ekonomi masyarakat nelayan tradisional di Rote dan menganalisis pilihan strategi pemberdayaan yang mengacu pada potensi, kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat tersebut. Penelitian dilakukan Oktober 2010 di dua desa yang menjadi komunitas nelayan tradisional pelintas batas di Kabupaten Rote Ndao. Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur, observasi, dan indepth interview pada nelayan pelaku dan tokoh masyarakat setempat. Selanjutnya data dideskripsikan dan diulas secara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat nelayan tradisional yang menangkap biota laut ke wilayah Australia sudah terpola turun temurun sejak nenek moyangnya. Pasar merupakan faktor eksternal yang kuat yang mempengaruhi pola kehidupan masyarakat, karena hasil tangkapan nelayan yang utama yaitu teripang dan sirip ikan hiu bemilai komersial tinggi di pasar internasional. Strategi pemberdayaan pada masyarakat ini didasarkan pada aspek peralihan mata pencaharian yang tetap berbasis pada sumberdaya pesisir dan laut, atau memfasilitasi nelayan tradisional menangkap di MOU Box. Mata pencaharian alternatif dapat diarahkan pada, usaha budidaya laut seperti n~mput laut dan ikan-ikan karang, dan peningktan intensitas penangkapan di perairan sekitar Rote. Menfasilitasi nelayan di MOU Box dengan cara memberikan jaminan atas keselamatan melaut, sistem asuransi, dan jaminan hukum. Kata kunci: pemberdayaan, nelayan tradisional, sosiokultural, pelintas batas

Pendahuluan Moratorium kesepahaman antara

Pulau Rote terletak di ujung selatan negara lndonesia yang berbatasan dengan Australia. Banyak nelayan dari pulau ini yang melakukan penangkapan ikan di wilayah kedaulatan Australia, yaitu di kawasan Ashmore Reef (~u lau Pasir). Dalam menangani ha1 tersebut pihak keamanan Australia menangkap dan menahan nelayan pelintas batas ini. Hal ini seringkali menimbulkan ketegangan hubungan antara kedua negara lndonesia dan Australia.

kedua negara telah dibuat sejak tahun 1974, yaitu tentang pengoperasian penangkapan ikan oleh nelayan tradisional di zona penangkapan di Australia yang dikenal dengan MOU Box 1974. Substansi perjanjian ini adalah jaminan atas hak perikanan tradisional nelayan Indonesia. Selanjutnya tahun 1981 dan 1989 dibangun kesepakatan untuk memperkuat kembali MOU Box tersebut.

Kesepakatan yang dibuat di level atas tersebut, belum sepenuhnya tersosialisasi dengan baik di level masyarakat nelayan

tradisional. Belum semua nelayan mengetahui ataupun menyadari larangan- larangan yang ditetapkan dalam MOU Box, misalnya tidak boleh menggunakan perahu bermesin dan alat tangkap modern, serta menangkap di area-area tertentu sebagai kawasan konservasi. Di sisi lain nelayan menangkap ikan di Pulau Pasir sudah menjadi mata pencaharian sejak nenek moyangnya dahulu, dan ada nelayan ini berarrggapan bahwa Pulau Pasir adalah milik mereka, terbukti dari kuburan dan pohon kelapa yang ditanam oleh nenek moyangnya.

Penyelesaian masalah perbatasan ini tidak dapat diselesaikan hanya dari sisi legal formal. Oleh karenanya perlu dilakukan pendekatan yang bersifat sosiokultural yaitu dengan meiihat sistem sosial dan budaya masyarakat nelayan pelintas batas. Diharapkan dengan pendekatan' ini permasalahan dapat bersifat komprehensif dan tidak bersifat sesaat saja. Penelitian ini ditujukan untuk melihat akar permasalahan yang timbul dengan mengkaji aspek pranata sosial dan kelembagaan ekonomi masyarakat nelayan tradisional di Rote dan menganalisis pilihan strategi pemberdayaan yang mengacu pada potensi, kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat tersebut.

Metodologi

Penelitian dilakukan di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, sebagai wilayah lndonesia yang berbatasan dengan Australia. Selanjutnya dipilih lokasi konsentrasi nelayan tradisional yang menangkap ikan di Pulau Pasir (Ashmore Reef), yaitu Kampung Papela di Desa Londalusi dan Desa Oelua. Pengumpulan data dengan cara wawancara terstruktur menggunakan kuisoner, wawancara mendalam (indepth interview), dan observasi lapang. Selanjutnya data yarrg terkumpul dianalisis secara deskriptif.

Hasil dan Pembahasan

Area Penangkapan Biota Laut di Ashmore Reef

Area penangkapan nelayan tradisional lintas batas dari Rote Ndao berada di Ashmore Reef atau oleh nelayan setempat

disebut Pulau Pasir. Ashmore merupakan pulau karang dalam satu gugusan lima pulau pulau karang yang lain. Gugusan pulau karang ini berada Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Australia dengan luas 50.000 km2 (Gambar 1). Wilayah perairan ini sebagai kawasan MOU Box, dimana nelayan tradisional Indonesia diperbolehkan menangkap biota laut dengan syarat menggunakan perahu layar dan alat tangkap tradisional berupa jaring.

Ashmore Reef oleh Australia ditetapkan sebagai kawasan konservasi, namun nelayan tradisional masih diperbolehkan menangkap biota laut di kawasan ini dengan batasan-betasan tertentu. Sejak 1 Maret 1988 dipertegas kembali bahwa larangan penggunaan perahu dan alat tangkap bermesin, hanya perahu dayung atau perahu layar dan alat tangkap pancing (lines) dan jaring (nets) yang boleh digunakan, hak mendarat hanya berlaku di perairan antara antara East dan Middle Islets jika perahu rusak dan di West Island untuk mengambil air tawar, larangan menangkap di luar 12 mil dari pulau kecuali di Ashmore Reef, dan larangan menangkap di kawasan konservasi.

Pengorganisasian Penangkapan, Pranata Sosial, dan Kelembagaan Ekonomi

Kehidupan menangkap ikan bagi nelayan tidak semata-mata sebagai sumber mata pencaharian (livelihood), namun juga lebih jauh sebagai way of life (Satria 2001). Orientasi nilai-nilai budaya dan kelembagaan atau pranata sosial yang tumbuh dalam masyarakat nelayan telah beradaptasi dengan kondisi ekologis kelautan. Adaptasi ini merupakan tindakan Yang strategis dalam UPaYa memaksimalkan kesempatan hidup (live chance). Perilaku adaptif tersebut tumbuh dalam rentang waktu yang cukup lama dan selanjutnya mentradisi dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kehidupan yang spesifik yang bersandar pada sumberdaya laut dan pesisir menciptakan sistem sosial dan kebudayaan yang juga spesifik yang berbeda dengan sistem sosial yang lain seperti pertanian di wilayah daratan.

an la an sif 9s an l a ;ia lut 'a r I. lia si, ;ih d i an as an Ya lat ts) rat rra iak air mil an 'an

agi gai )d) , life 1 Ya "'g lah lgis ran 3Ya five ~ u h Yan >an >an ada tan Jga :em

di

Berbeda dengan sumberdaya lahan di darat, laut bersifat tidak terkontrol. Nelayan dihadapkan pada kondisi alam yang bergejolak, ombak yang besar, badai, dan ketidakpastian perolehan hasil penangkapan. Nelayan tradisional Rote yang menangkap ikan di Pulau Pasir, Australia tidak lepas dari ancaman ganasnya alam tersebut. Pada saat perjalanan menuju lokasi tangkapan maupun pulangnya bisa terjadi cuaca buruk dan badai besar yang mengancam nyawa nelayan. Akses informasi cuaca tidak diperoleh nelayan, mereka hanya mengandalkan instuisi tentang kondisi cuaca yang d ihawi . Namun, hal ini sering meleset, cuaca cerah dan ombak kecil bisa berubah drastis menjadi ganas dan netayan tidak dapat mengontrol perahunya. Tahun 2004 terjadi musibah laut, nelayan yang hilang dari Papela sebanyak 34 orarrg. Ancaman lain yang dihadapi nelayan juga terjadi pada saat proses menangkap teripang di area tangkap di pulau-pulau karang. Pada saat lepas jangkar bisa secara tiba-tiba arus kencang, tali jangkar putus dan perahu terhempas ke ka~ang dan hancur. Badai juga menyebabkan perahu nelayan jauh menyimpang dari arah yang dituju, sehingga nelayan bisa "tersesat" jauh dan tidak bisa kembali pulang. Teknologi yang digunakan oleh sebagian besar nelayan masih berupa kompas yang tidak dapat dengan tepat menunjukkan arah yang dituju. Sebenamya GPS yang bisa menunjukkan titik ordinat diijinkan oleh pemerintah Australia untuk digunakan nelayan tradisional, tetapi harganya dirasakan nelayan mahal, meskipun harganya kurang dari dua juta rupiah. Hubungan komunikasi melalui telepon genggam antar nelayan tidak dapat dilakukan di laut lepas, karena tidak ada qinyal.

Nelayan yang akan menuju Pulau Pasir bertitik tolak dari Papela yang berada di sebelah timur laut Pulau Rote. lzin berlayar didapatkan dari sahbandar yang ada di Papela. Jarak yang ditempuh untuk menuju Pulau Pasir sekitar 120 mil dari Papela dengan waktu tempuh sekitar 20- 24 jam dengan perahu layar, dan jika dari Oesaba sekitar satu setengah hari.

Lama melaut sekitar enam hingga delapan minggu. Dalam satu tahun nelayan melaut satu atau dua kali bergantung pada tersedianya modal melaut dan tenaga kerja (anak buah kapal). Nelayan dari Oesaba berangkat melaut bulan April hingga Juni, atau Juli hingga September. Jumlah perahu yang berlayar ke Pulau Pasir cukup banyak dari Oelaba tercatat 40 buah perahu, 3-4 diantaranya berasal dari Alor.

Perahu yang digunakan nelayan metaut berukuran 7 hingga 10 GT berbahan kayu. Perahu tidak dilengkapi mesin, sehingga sebagi pendorongnya digunakan layar. Harga perahu untuk ukuran 7 GT sebesar 25 juta rupiah dan 10 GT berharga 50 juta. lndustri pembuatan perahu tradisional berskala kecil ada di Papela. Pengerjaan perahu ini hanya dilakukan apabila ada pesanan.

Alat tangkap berupa pancing (tines) yang digunakan untuk menangkap hiu. Gillnet dengan istilah setempat sebagai pukat mono atau senar dan pukat multi (polyethylen) digunakan untuk menangkap ikan lain sebagai tangkapan tambahan atau \auk pauk di perahu. Penangkapan teripang tidak menggunakan alat tangkap, karena langsung diambil di dasar laut dengan penyelaman.

Jumlah ABK dalam satu perahu rata- rata 7 orang. Satu orang diantaranya bertindak sebagai nahkoda yang bertanggungjawab atas pengoperasian perahu. Satu orang sebagai penjaga kapal pada saat kapal ditambatkan dan sekaligus sebagai juru masak. Sisanya adalah penyelam yang menangkap teripang di dasar laut. Tim penyelam dikomando oleh seorang kepala pencari yang bertugas menentukan area pencarian teripang. Kedalaman penyelaman 3-5 meter. Selain dengan menyelam pencarian teripang dengan "meting" atau menyuluh menggunakan lampu petromak.

Perbedaan kelas dalam pengorganisasian produksi penangkapan ini menunjukkan adanya sistem stratifikasi sosial di masyarakat nelayan, dengan srtata paling atas adalah pemilik kapal, nahkoda, dan awak kapal lainnya. Sistem pelapisan sosial yang terjadi juga terkait dengan sistem kompensasi yang

didapatkan yaitu berupa bagi hasil. Semakin tinggi struktur dalam organisasi kerja tersebut maka akan memperoleh bagian yang lebih banyak. Menurut Nadjib (1998) pola bagi hasil dalam masyarakat nelayan dipilih karena sikap spekulatif yang mengakar kuat dalam kehidupan nelayan dan hasil tangkapan yang tidak menentu, berbeda dengan di daratan dengan sistem upah.

Sistem bagi hasil yang berlaku umum di masyarakat nelayan tradisional Rote adalah 1:2, artinya satu bagian untuk pemilik perahu dan dua bagian untuk ABK, dan khusus untuk nahkoda ditambah 10 persen. Bagi hasil ini lebih baik dibandingkan bagi hasil di Lampung dengan pola 0,5:0,5 (Nadjib 1998) atau di Pasuruan 62.5% : 37.5% (Putwanti et at, 1995) antara pemilik dan ABK. Hasil tangkapan yang dibagikan ini adalah hasil dari pengurangan nilai tangkapan dikurangi "ongkos tengah" atau modal melaut. Modal melaut berupa minyak tanah, lentera, garam, korek, kayu bakar, drum, dan ransum (rokok, obat-obatan, dan beras). Secara lebih terinci jenis dan nilai modal melaut yang dibutuhkan ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rincian Jenis dan Nilai Modal Melaut

Teripang yang terkumpul selanjutnya diolah di atas perahu. Pengolahan dilakukan secara tradisional, tanpa menggunakan bahan tambahan buatan atau teknologi modern. Langkah pertama teripang dibelah untuk dikeluarkan isi perutnya, selanjutnya dilumuri garam. Berikutnya teripang direbus selama satu hingga dua jam bergantung pada besar kecilnya teripang. Rebusan teripang kemudian dijemur di atas para-para. Teripang dijemur selama 2 hari jika cuaca panas dan 4-5 hari jika cuaca mendung dan hujan. Setelah kering, teripang dimasukkan dalam karung-karung berukuran 50 kg. Jumlah teripang kering yang dihasilkan rata-rata antara 200-600

kg per perahu. Berbeda dengan teripang, hasil tangkapan hiu tidak diolah melainkan dibawa dalam keadaan segar atau cukup diambil siripnya saja. Proses penjemuran dilanjutkan di darat.

Harga teripang berbeda untuk setiap jenisnya, dan besar kecilnya ukuran tidak menentukan. Setiap k~logram teripang susu dihargai Rp 300 ribu, gamma bintik polos Rp 75 ribu-Rp 80 ribu, dan cerra talengkung hitam maupun coklat Rp 35 ribu.

Pendapatan rata-rata yang diperoleh nelayan melaut ke Pulau Pasir tidaklah sebanding dengan resiko yang dihadapi. Dengan perhitungan hasil tangkapan teripang rata-rata 400 kg, harga Rp 100 ribulkg serta modal melaut Rp 4 juta, maka diperoleh keuntungan Rp 36 juta. Nillai ini dibagi untuk pemilik Rp 12 juta dan ABK Rp 24 juta. Jika jumlah ABK sebanyak 7 orang, maka masing-masing ABK akan mendapatkan sekitar Rp 3,4 juta. Nilai ini relatif kecil untuk dapat menghidupi keluarganya, karena hanya didapatkan selama satu atau dua kali setahun.

Hasil tarlgkapan dijual ke tengkulak yang datang ke desa nelayan. Posisi tawar nelayan sangat rendah, harga sepenuhnya ditentukan oleh tengkulak tersebut. Harga yang ditawarkan antar tengkulak ke nelayan sama, sehingga tidak ada pilihan lain bagi nelayan untuk menjual ke pembeli lain. Alternatif lain adalah menjual langsung ke Sulawesi Tenggara, tetapi kenyataannya keuntungan tidak lebih tinggi bahkan merugi, karena harga ditawar rendah oleh pembeli tersebut dan nelayan terpaksa melepasnya daripada barang dibawa kembali dan nelayan merugi dari bahan bakar yang dikeluarkan untuk pulang pergi ke Sulawesi Tenggara.

Strategi Pemberdayaan Ekonomi Nelayan

Strategi pemberdayaan ekonomi nelayan tradisional Rote yang menangkap ikan di wilayah MOU Box dityjukan untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan nelayan tersebut. Sama halnya dengan kehidupan nelayan lain di Indonesia yang miskin( Mubyarto et a/. 1994), nelayan Rote hidup dalam kemiskinan. Pendapatan yang diperoleh dari menangkap ikan di laut

aP ak n g ~tik rra 35

eh lah )pi. ban 00 ~ k a ini BK < 7 ia n ini

upi ;an

lak sisi rga ~lak )tar jak lual ~lah ara, dak rga Jan ada Yan kan 'a.

omi kap ituk Pan gan ang Yan atan laut

tidak sebanding dengan resiko kematian yang mengancam karena badai di laut atau ditangkap pihak keamanan Australia.

Resiko melaut yang tinggi disebabkan oleh kondisi kapal, tidak ada alat penunjuk arah yang akurat (GPS), dan peralatan keseiamatan kapal yang terbatas, serta tidak adanya informasi cuaca yang bermanfaat untuk memprediksi munculnya badai di suatu lokasi. Dari aspek kelembagaan ekonomi masalah utamanya adalah (a) ketersediaan modal melaut yang terbatas, (b) struktur pasar yang dikuasai oleh pembeli (tengkulak) dan pasar bersifat monopsoni, sehingga posisi tawar nelayan sangat lernah, dan (c) kelangkaan sumberdaya manusia, banyak anak muda lokal tidak mau bekerja ke laut, sehingga ABK harus didatangkan dari luar Rote.

Di satu sisi, potensi sumberdaya pesisir dan laut di Rote cukup besar dan menjadi peluang bagi nelayan tradisional Rote memanfaatkannya sebagai mata pencaharian alternatif. Perairan di teluk- teluk Rote memiliki potensi untuk dikembangkan budidaya rumput laut, karena relatif dangkal, berpasir, dan terbebas dari gelombang besar. Selama ini belum sernua lokasi pantai termanfaatkan untuk usaha budidaya rumput laut. Potensi lain yang bisa dikembangkan adalah budidaya teripang dan ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi seperti kerapu dan napoleon. Selain itu, perikanan di perairan Rote kaya akan ragam jenis ikan, seperti cakalang, pari, dan ikan-ikan karang.

Pemanfaatan potensi laut dan pesisir tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan, karena adanya kendala-kendala yang lebih banyak ditimbulkan oleh faktor ekstemal, seperti: (1) Faktor pasar, pasar merupakan stimulus bagi nelayan untuk meningkatkan produksinya, .r namun tidak tersedia pasar yang bisa menyerap ikan dalam jumlah besar dan kontinyul1 dan harga produk berfluktuasi dan relatif rendah di tingkat nelayan, (2) Faktor lingkungan, yaitu penurunan kualitas perairan, seperti yang dirasakan pembudidaya rumput laut

1 mengalami penurunan produktivitas. Diduga pencemaran oleh bocomya minyak

dari Montara di Australia berpengaruh pada kualitas perairan di Rote.

Terkait derrgan permasalahan, potensi, dan kendala yang dihadapi oleh masyarakat nelayan tersebut, maka strategi yang dapat dirumuskan secara garis besar adalah menciptakan pilihan mata pencaharian alternatif yang berbasis pada laut dan pesisir, dan mempertahankan mata pencaharian di wilayah MOU Box secara aman dan sesuai aturan yang berlaku. Dengan demikian harapannya neiayan dapat lepas dari jeratan kemiskinan dan hidup sejahtera. (1) Menciptakan mata pencaharian

alternatif yang masih berbasis pada sumberdaya laut dan pesisir.

Mata pencaharian alternatif dengan sistem budidaya laut bagi nelayan pelintas batas bisa dijadikan sebagai pekerjaan sampingan ataupun utama. Beberapa komoditas yang prospektif adalah rumput laut dan pembesaran ikan bernilai tinggi seperti teripang, kerapu dan napoleon.

Budidaya rumput laut tidak memerlukan modal besar, proses pengerjaannya dapat dilakukan oleh seluruh anggota keluarga baik anak- anak atau kaum perempuan, dan waktu panen yang singkat sekitar 45 hari. Selama ini usaha budidaya

- rumput laut sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat nelayan, tetapi belum semua wilayah yang berpotensi untuk budidaya laut dimanfaatkan. Masyarakat mengelola di satu tempat terus menerus, sehingga produktivitas menurun. Oleh karena itu, pengembangan budidaya rumput laut perlu diperluas di tempat- tempat lain yang belum terjamah. lmplikasinya diperlukan modal yang lebih besar untuk membeli perahu dan mesin operasional selain modal awal usaha untuk membeli bibit dan tali. Dengan demikian diperlukan bantuan kredit lunak sekaligus penyuluhan tentang motivasi dan pengelolaan usaha mulai dari aspek teknis, pasca panen, pengelolaan keuangan, sampai pemasaran. Potensi konflik antar warga bisa terjadi dikarenakan perebutan wilayah pengelolaan

budidaya, oleh karenanya komunitas setempat perlu membuat peraturan- peraturan yang mengikat seluruh anggota sebagai rambu mencegaah timbulnya konflik.

Budidaya ikan bernilai tinggi yang dapat diterapkan adalah usaha pembesaran. Benih didapatkan dari alam. Usaha ini berpeluang besar untuk berkembang dengan syarat adanya jaminan pasar. Budidaya ikan dalam keramba pernah diujicobakan di Papela, tetapi gagal dikembangkan, karena tidak adanya pasar yang menyerap hasil produksinya. Pasar dapat diciptakan dengan kerjasama dengan eksportir ikan yang berpengalaman.

Selain melalui budidaya, mata pencaharian alternatif lain adalah penangkapan di perairan sekitar Rote. Nelayan yang menangkap ikan ke wilayah MOU Box sebenarnya juga menangkap ikan di sekitar perairan Rote, namun hasil yang didapatkan sedikit. Faktor utamanya adalah alat tangkap sederhana (senar) dan mesin dan perahu yang dimilikinya berkapasitas kecil, sehingga area tangkapnya hanya sampai di sekitar pantai. Keterbatasan akses bahan bakar minyak (BBM) juga mengakibatkan daya jelajah nelayan tidak dapat menjangkau ke area yang lebih luas, di sisi lain potensi ikan di perairan yang lebih luas cukup besar. Jaminan pasar atas hasil tangkapan ini yang terbatas juga menyebabkan pendapatan yang diperoleh sedikit. Strategi yang dapat dikembangkan adalah meningkatkan produksi hasil tangkap di perairan Rote, dengan cara membangun rumpon-rumpon sebagai "rumah ikan". Adanya rumpon memudahkan nelayan mendapatkan ikan dan sekaligus menghemat bahan bakar. Cara lain adalah memberikan insentif kredit lunak untuk membeli armada dan alat tangkap yang lebih tinggi kapasitasnya, dan membuka jaringan pasar dengan bekerjasama dengan industri pengolahan ikan atau eksportir. Pengem bangan industri pengolahan ikan skala kecil maupun

menengah juga bisa dilakukan untuk menampung produk tangkapan dari para nelayan.

(2) Memfasilitasi nelayan tradisional yang menangkap ikan di MOU Box

Penangkapan ikan di wilayah MOU Box oleh masyarakat nelayan Rote tidak dengan mudah dihilangkan, karena sudah menjadi tradisi dan melekat dalam nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini juga telah disadari oleh pemerintah Australia. Dengan demikian strategi yang dirumuskan adalah sistem asuransi nelayan, jaminan terhadap keamanan di laut dan jaminan hukum atas kemung kinan terjadinya pelanggaran yang disengaja atau tidak disengaja dari nelayan tradisional Rote.

Resiko melaut para nelayan tradisional ke Pulau Ashmore sangat besar, sudah banyak korban hilang di laut akibat hantaman badai atau kehilangan arah. Bagi keluarga yang ditinggalkan kehidupannya menjadi semakin miskin. Oleh karena itu, sistem asuransi perlu dipertimbangkan dengan pola-pola tertentu. Pola ini bisa dikembangkan dari pola yang sudah ada di masyarakat nelayan, misalnya santunan dari juraganlpemilik kapal kepada keluarga ABK-nya, solidaritas antar sesama nelayan dengan bentuk sumbangan, atau "jimpitan' yaitu secara berkelompok anggota menyetor sebagian dari hasil tangkapannya selanjutnya dijual dan hasilnya untuk diberikan kepada anggota Yang memerlukan. Pengembangan pola tersebut perlu difasilitasi, sehingga dapat berkembang ke lebih banyak kelompok masyarakat, dan diarahkan pada pola asuransi yang lebih modern, misalnya sebagian retribusi digunakan untuk dana asuransi paceklik atau keselamatan kerja, bantuan pembayaran premi untuk ABK oleh juragan atau pemerintah, dan asuransi kesehatan oleh pemerintah daerah.

Peralatan keselamatan taut nelayan sangat terbatas, perahu tidak dilengkapi alat keselamatan yang

tuk jari

OU ote an, lan 3Ya Jga tah :eg i em lap :u m nYa 3ak lnal

van gat 1 di tau jng jadi itu, kan

ini 3ng Ian, iilik lya, Yan ltau pok !asil dan ada can. erlu rpat pok lola nya ~ tuk atau uan )leh ansi

Yan dak ang

memadai dan alaf penunjuk arah yang akurat seperti GPS tidak dimiliki semua nelayan. Oleh karenanya, pemerintah atau pihak luar lainnya memfasititasi nelayan agar dapat memiliki GPS ini. GPS diperbolehkan oleh pemerintah Australia setelah sebelumnya dilarang . Melalui GPS merrgurangi kesalahan nelayan menuju area konservasi di Ashmore. l nformasi cuaca yang akurat juga sangat diperlukan untuk keselamatan nelayan, misalnya muncuinya potensi badai, ketinggian ombak, dan sebagainya , sehingga nelayan dapat memutuskan waktu yang tepat untuk melaut.

Pelanggaran oleh nelayan Rote ke wilayah larangan bisa terjadi secara tidak sengaja karena terseret arus laut atau bisa juga terjadi kesengajaan, karena tergiur besarnya tangkapan di wilayah konservasi. Pelanggaran ini menyebabkan nelayan ditahan oleh Pemerintah Australia. Jika ha1 ini terjadi Pemerintah Indonesia wajib memberikan bantuan hukum kepada para tahanan ini, sehingga dapat segera dikembalikan sampai ke desa. Pemberian penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran bag; nelayan juga sangat diperlukan, sehingga diharapkan nelayan mengetahui hak dan kewajiban sebagai warga negara, jenis dan jumlah biota yang dilarang untuk ditangkap, area larangan penangkapan, serta sadar untuk tidak melanggar aturan-aturan yang berlaku.

Kesimpulan

Kehidupan masyarakat nelayan tradisional yang menangkap biota laut ke Pulau Ashmore, Australia sudah terpola turun temurun sejak nenek moyangnya, sehingga tidak mudah untuk menghilangkan budaya yang telah mentradisi ini. Banyak masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh nelayan tradisional tersebut, sehingga tingkat kesejahteraannya relatif rendah tidak berbeda dengan masyarakat nelayan lainnya di Indonesia. Nelayan menghadapi resiko keselamatan di laut, karena badai dan keterbatasan armada dan alat

keselamatan, maupun ditahan Pemerintah Australia. Hasil tarrgkapan yang diperoleh dengan penuh resiko tidak sebanding dengan harga jualnya yang rendah dan ditetapkan oleh perr~beli secara sepihak.

Strategi pem berdayaan pada masyarakat ini didasarkan pada aspek peralihan mata pencaharian yang tetap berbasis pada sumberdaya pesisir dan laut, atau memfasilitasi nelayan tradisional menangkap di MOU Box. Mata pencaharian alternatif dapat diarahkan pada usaha budidaya laut seperti rumput laut dan ikan-ikan karang, dan peningktan intensitas penangkapan di perairan sekitar Rote. Menfasilitasi nelayan di MOU Box dengan cara memberikan jaminan atas keselamatan melaut, sistem asuransi, dan jaminan hukum.

Ucapan Terimakasih

Keberhasilan penyelesaian tulisan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya, penulis sampaikan terimakasih kepada PKSPL IPB dan FA0 wilayah Kupang yang memberi kesempatan untuk melakukan penelitian. Kepada Pemda Kabupaten Rote-Ndao, pendamping, tokoh masyarakat, dan para responden atas kesediaannya memberikan data dan informasi juga diucapkan terimakasih.

Daftar Pustaka

Mubyarto, Loekman S, Michael D (1984) Nelayan dan Kemiskinan , Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa. Pantai. Rajawali Press, Jakarta

Nadjib,M (1998) Organisasi Produksi dalam Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Nelayan. Dalam: Masyhuri (Ed) Strategi Pengembangan Desa Nelayan Tertinggal: Organisasi Ekonomi Masyarakat Nelayan. Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan LIPI, Jakarta

Purwanti P, Kamiso HN, Tunari J (1995) Curahan Waktu dan Produktivitas Kerja Nelayan di Kabupaten Pasuruan. Jurnal Penelitian Pasca Sarjana. Vlll (1). http://i- lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?datald=601

Satria A (2001) Dinamika Modernisasi Perikanan Forrnasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Humaniora Utama Press, Bandung

GAMBAR

Gambar 1. Kawasan MOU Box

PERETAAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis)

Dl PERAIRAN PANTAI SELATAN YOGYAKARTA The Potenfial Fishing Ground Mapping of liftle funa in southern Yogyakarta Wafers

Oleh : Ati Rahadiati '& lnnadi Nahib

Peneliti Muda Pusat survey Sumberdaya Alam Laut Peneliti Madya Balai Penelitian Geomatika BAKOSURTANAL

JI. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong 1691 1 Email : [email protected]

ABSTRAK Pemetaan daerah potensial penangkapan ikan tongkol dapat dilakukan dengan pendekatan faktor oseonografi, seperti suhu permukaan laut (SPL) dan konsentrasi klorofil-a). Tujuan dari penetitian ini ( 7 ) Memetakan daerah penangkapan ikan tongkot yang biasa dilakukan oleh nelayan Yogyakarta dan (2) Menganalisis hubungan antara SPL dan klorofil-a terhadap jumlah hasil tangkapan ikan tongkol pada daerah penangkapan ikan tersebut. Penefitian ini menggunakan metode survei dengan menggunakan GPS, dengan mengumpulkan sebanyak 50 data sampling. Data dianalisis dengan menggunakan model regresi linier. Berdasarkan data hasil tangkapan hasil model regresi di plot di peta menggunakan Arcview untuk identifikasi pola spasial zona potensial penangkapan ikan. Kata kunci: Pemetaan, potensi, zona perikanan

ABSTRACT The potential fishing ground mapping of little tuna was determined based on oceanographic approach, such as sea surface temperature (SST) and chlorophyll-a concentration. The purpose of this study (1) Mapping of fishing ground of little tuna is usually done by fishermen Yogyakarta and (2) To analyze the relationship between SST and chlorophyll-a with total tuna catches of little tuna at local fish groun. This research utilizes a survey method by using GPS, by collecting as many as 50 sampling data. The data were analyzed using linear regression m~del . Based on the data of the catch in the plot regression model results in maps using Arcview project to identiv spatial patterns of potential fishing ground. Keywords: Mapping, potential, fishery ground

PENDAHULUAN mempengaruhi distribusi dan kelimpahan

Latar Belakang Pada umumnya daerah penangkapan

ikan tidak ada yang bersifat tetap, selalu berubah dan berpindah mengikuti pergerakan kondisi lingkungan, yang secara alamiah ikan akan rnemilih habitat yang lebih sesuai. Sedangkan habitat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi atau parameter oseonografi perairan seperti suhu permukaan laut, salinitas, klorofil-a, kedalaman dan sebagainya (taevastu and Hayes, 1981; Butler et a/., 1988; Zainuddin et a/., 2006). Hal ini berpengaruh pada dinamika atau petgerakan air laut baik secara horizontal maupun vertikal yang pada gilirannya

ikan. Perubahan dan variasi faktor oseanografi mengindikasikan bahwa pola sebaran surnber daya ikan tidak rnerata dan juga menyebabkan jumlah hasil tangkapan tidak menentu.

Salah satu faktor penentu keberhasilan dalam usaha penarlgkapan ikan adalah kemampuan dalam menentukan daerah potensial penangkapan ikan sebelum dilakukan operasi penangkapan ikan.

Penentuaan daerah potensial penangkapan ikan oleh nelayan, secara umum berdasarkan insting dan pengalaman yang diturunkan secara turun temurun. Nelayan di pantai selatan Daerah lstimewa Yogyakarta (DIY) sebagian besar merupakan nelayan

tradisional, juga mempunyai pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun maupun berdasarkan pengalaman dalam memahami berbagai macam fenomena meteorologi (pranata mangsa) yang mempengaruhi dunia perikanan mereka.

Penentuan daerah penangkapan ikan oleh nelayan pada setiap waktu (mongso), secara umum relatif tidak berubah, tetapi nelayan tidak mengetaui secara pasti daerah potensial penangkapan. Nelayan dalam memulai penangkapan selalu diawali dengan menduga 1 mencoba pada daerah yang dianggap akan menghasilkan tangkapan yang banyak. Dengan pemetaan wilayah penangkapan ikan yang biasa dikunjungi nelayan, kita dapat mengkaji daerah penangkapan ikan nelayan tradisional.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: (1) Memetakan

daerah penangkapan ikan tongkol yang biasa dilakukan oleh nelayan Yogyakarta dan (2) Menganalisis hubungan anatara SPL dan klorofil-a terhadap jumlah hasil tangkapan ikan tongkol pada daerah penangkapan ikan tersebut.

METODE PENELlTlAN

Lokasi clan waktu penelitian Lokasi penelitian terletak di perairan

selatan Yogyakarta yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia (Gambar 1). -

I I

Gambar 1. Peta Lingkup Wilayah Penelitian

Wilayah ini merupakan daerah penangkapan ikan para nelayan pantai selatan Yogyakarta. Peta sebaran klorofil- a dan SPL dibuat dengan koordinat 99 "BT-110 "BT dan 8 "LS-9 "LS.

Bahan clan alat penelitian Data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah data citra satelit Aqua MODlS

(moderate resolution imaging spectroradiometerj dan data produksi 1 tangkapan ikan pelagis (tongkol dan tenggiri). Data citra yang digunakan adalah citra level 3, yakni citra sebaran klorofil-a dan SPL harian. Pengumpulan data citra MODIS dengan cara download pada situs http:/loceancolor.gsfc.nasa.govlcgill3. Data citra yang digunakan adalah citra harian 10 Juli sld 25 Oktober 2009 dan 05 Juli 2010 sld 18 September 2010. Data hasil tangkapan ikan tongkol diperoleh dari penangkapan oleh nelayan sampel. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak ENVI, Global Mapper dan ArcGIS.

Dalam Kegiatan survey digunakan Global Positioning System (GPS) untuk menentukan posisi penangkapan ikan (Hauling) dan alat tangkap jaring insang (gillnet) untuk menangkap ikan tongkol.

Survei Lapangan Penelitian ini dilaksanakan pada

tanggal 10 Juli sld 25 Oktober 2009 dan 05 Juli 2010 sld 18 september 2010 di perairan selatan Yogyakarta.

Pengambilan data penelitian ini dilakukan dengan cara mengikuti langsung operasi penangkapan sebanyak 50 trip. Kegiatan pengambilan data meliputi : 1. Penentuan koordinat penangkapan

dengan menggunakan GPS dilakukan pada saat hauling selama penelitian.

2. Melakukan pencatatan terhadap hasil tangkapan ikan tongkol yang dilakukan pada setiap hauling (penarikan jaring).

Analisis Data Analisis Citra Analisis spasial dilakukan secara

visual dan dilakukan untuk mengetahui sebaran klorofil-a dan distribusi Suhu Permukaan Laut (SPL). Untuk memudahkan analisis maka citra ditampilkan dalam dalam bentuk kontur dan degradasi warna.

Analisis Hubungan Parameter Oseanografi dengan Hasil Tangkapan lkan

Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui huburrgan variabel tak bebas Y (hasil tangkapan ikan kembung) terhadap hasil pengukuran variabel bebas klorofil-a (XI), suhu

?ins si I dan lkan wan ulan road ;itus Iata 710 Juli

lasil dari )pel. gkat 1.

lkan ntuk ikan ;ang

)ads dan 0 di

ini sung trip.

rpan lkan n. hasil ~ k a n 79).

cara :ahui Suhu lntuk citra mtur

7eter lkan anda ngan ikan

;uran suhu

permukaan laut (X2), dan Model regresi yang digunakan yaitu (Sudjana, 1989):

Y = b + b l X I +b2XZ+b3X3+e

Dimana : Y = Berat total hasil tangkapan b = Koefisien potongan (Konstanta) b l = Koefisien regresi klorofil-a b2 = Koefisien regresi parameter suhu X I = Klorofil-a (mg/m3) X2 = Suhu Permukaan Laut ( O C)

Pengolahan data regresi dapat dilakukan dengan menggunakan software SPSS (Santoso, 2005).

Pernetitan Daerah Potensial Penagkapan lkan lkan

Data hasil tangkapan hasil model regresi di plot di peta menggunakan Arcview. Langkah selanjutnya adalah melakuan interpolasi dengan teknis spatial analyst , yaitu dengan metode Inverse Distance Weighted (IDW). Metode ID W mengasumsikan bahwa tiap titik input mempunyai pengaruh yang bersifat lokal yang berkurang terhadap jarak.

Metode ini member bobot lebih tinggi pada sel yang lebih jauh. Titik-titik pada radius tertentu dapat digunakan dalam menentukan nilai luaran tiap lokasi. Setelah interpolasi dilakukan maka akan terbentuk pembagian zonasi daerah penangkapan kemudia dibuat klasifikasi zona. Hasil yang diperoleh dari interpolasi dapat memberikan informasi pola spasial daerah potensial penangkapan yang lengkap dan kernudian dioveday dengan data hasil tangkapan lapangan. Dengan teknik sistem informasi geografis berbagai informasi spasial dapat diintegrasikan (Prahasta, 2004).

KONDlSl UMUM WILAYAH

Wilayah Kabupaten Gunung Kidul bagian selatan pada umumnya merupakan daerah pesisir yang bertopografi curam dengan garis pantai berkelok-kelok. Kondisi geologi didominasi oleh batugamping. Penyebaran nelayan dan Tempat 1 Pusat Pengumpulan lkan (TPI IPPI) berada di daerah teluk.

Nelayan di pantai selatan Yogyakarta secara umum merupakan nelayan

tradisional. Perahulkapal yang digunakan adalah perahu motor tempel (PMT), dengan ukuran papjang 9 meter, lebar 1,5 meter dengan menggunakan mesin tempel 15 PK. Alat tangkap yang digunakan pada umumnya didominasi oleh jarirrg, dengan berbagai ukuran, sebagai adaptasi nelayan terhadap musim ikan.

Nelayan secara umum mempunyai wilayah fishing ground relatif tetap. Nelayan dengan menggunakan perahu motor tempel (PMT) hanya melakukan penangkapan ikan di wilayah fishing ground mencapai sekitar 4 mil. Lokasi fishing ground biasanya ditempuh lebih kurang 2-3 jam. Jika penangkapan ikan dilakukan pada waktu siang, biasanya di mulai jam 05.00 dan pulang sekitar jam 10.00. Sedangkan jika penangkapan ikan dilakukan pada waktu malam, biasanya di mulai jam 16.00 dan pulang sekitar jam 04.00. Biasanya nelayan dalam sekali operasionalnya menghabiskan bahan bakar sekitar 10 liter. Biaya operasional per trip lebih kurang Rp. 100.000- 150.000,OO (sudah termasuk logistik).

HASlL DAN PEMBAHASAN

Pola Sebaran Penangkapan lkan Berdasarkan hasil survei, nelayan

pantai selatan Yogyakarta (terutama Pantai Baron dan Pantai Depok) mempunyai jalur-jalur penangkapan ikan yang &memanjang dari barat ke timur, dengan batas perkiraan berdasarkan kenampakan GununglBukit (Gambar 2), yaitu

Jalur Pinggir, yaitu jalur yang dimulai dari wilayah terjadinya pecah ombak sampai ke arah jalur tengah. Batas jalur pinggir ke arah laut adalah lebih kurang sejajar dengan batas Gunung Jongor dilihat dari tengah laut.

Jalur pinggir, terbagi menjadi 2 bagian, yaitu jalur pinggir, dimulai dari pecah ombak sampai jalur nanggung, dan jalur nanggung merupakan jalur pinggir bagian tengah sampai jalur pinggir terluar (berbatasan dengan jalur tengah).

Pada jalur pinggir merupakan fishing groud untuk penangkapan : udang jerbung, ikan . bawal, layur, ikan untuk