kedaulatan negara atas pulau dokdo atau takeshima yang
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of kedaulatan negara atas pulau dokdo atau takeshima yang
1
KEDAULATAN NEGARA ATAS PULAU DOKDO ATAU TAKESHIMA YANG
DISENGKETAKAN OLEH JEPANG DAN KOREA SELATAN MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL
SKRIPSI
Di ajukan untuk memenuhi sebagian syarat – syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam
ilmu hukum
Oleh:
ARIEF YULIANTO
NIM.135010101111163
KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
2017
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………….. I
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….. II
BAB I PENDAHULUAN……………………….......................................................... i
A. Latar Belakang…………………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………. 9
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………………... 9
D. Manfaat Penelitian…………………………………………………………. 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA………………………………………………………… ii
A. Hukum Internasional……………………………………………………… 11
B. Kedaulatan Negara atas Wilayah Menurut Hukum Internasional………... 12
C. Konsep Wilayah Negara………………………………………………….. 16
D. Konsep Rational Choice Theory…………………………………………. 21
E. Wilayah Terra Nullius…………………………………………………….. 22
F. Teori Kepentingan Nasional……………………………………………… 22
G. Konsepsi hukum internasional dalam penetapan batas laut……………… 23
H. Dasar penetapan perbatasan Negara………………………………………. 27
1. Ketentuan tidak tertulis……………………………………………. 27
2. Ketentuan tertulis………………………………………………….. 28
I. Konsep Persetujuan dalam Perjanjian Internasional
(Consent to be Bound by a Treaty)…………………………………………… 30
J. Penyelesaian Sengketa Internasional……………………………………... 32
I. Dengan cara damai menurut Piagam PBB BAB VI pasal 33…….. 32
a. Negosiasi………………………………………………….. 33
b. Mediasi……………………………………………………. 35
3
c. Konsiliasi………………………………………………….. 37
d. Penyelidikan resmi (inquiry)……………………………… 39
e. Jasa baik (good offices)…………………………………… 39
f. Arbitrase…………………………………………………… 40
II. Penyelesaian sengketa melalui organisasi internasional………….. 43
BAB III METODE PENELITIAN…………………………………………………… iii
A. Jenis Penelitian……………………………………………………………. 46
B. Pendekatan Penelitian……………………………………………………... 46
a. Pendekatan kasus (Case Approach)………………………………... 47
b. Pendekatan peraturan hukum Tertulis (statute approach)…………. 47
C. Sumber Bahan Hukum……………………………………………………. 48
D. Teknik Penelusuran Bahan Hukum………………………………………. 49
E. Teknik Analisis Bahan Hukum…………………………………………… 50
F. Definisi Konseptual………………………………………………………. 50
BAB IV PEMBAHASAN………………………………………………………....... iv
A. Ketepatan klaim kedaulatan Negara Korea Selatan dan Jepang atas pulau Dokdo atau Takeshima, menurut kaidah – kaidah Hukum Internasional……………….... 52
I. Klaim Korea Selatan………………………………………………………. 78
a. Fakta Kepemilikan Korsel atas Pulau Dokdo Berdasarkan Bukti Sejarah……………………………………………………. 78
b. Kepentingan Nasional Korsel…………………………………… 82
II. Klaim Jepang…………………………………………………………….. 85
a. Klaim Jepang terhadap Kepemilikan pulau Takeshima………… 85
b. Kepemilikan Jepang terhadap pulau Takeshima
menurut Perjanjian San Fransisco 1951………………………… 86
e. Bukti Sejarah Adanya Peta Nasional Jepang pada zaman Penjajahan.. 88
f. Kepentingan Nasional Jepang atas Pulau Takeshima………………… 90
B. Alternatif penyelesaian sengketa antara Jepang dan Korea Selatan, menurut kaidah – kaidah Hukum Internasional……………………………………………………. 95
I. Cara Damai :…………………………………………………………. 95
a. Penyelesaian sengketa melalui Negosiasi…………………… 95
b. Penyelesaian sengketa melalui jalur Mediasi dan
jasa baik (good offices)………………………………………… 97
c. Penyelesaian sengketa melalui jalur Konsiliasi dan
penyelidikan resmi (inquiry)…………………………………… 100
d. Penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase……………… 101
e. Penyelesaian sengketa melalui jalur organisasi internasional… 104
II. Cara penyelesaian sengketa selain cara damai……………………….. 106
a. Penyelesaian sengketa melalui jalur Litigasi Mahkamah Internasional………………………………………… 106 b. Melalui Kerja sama Joint Venture (pengambilan Sumber Daya Alam)……………………………… 108 c. Mengikatkan Satu Sama Lain melalui Hubungan Diplomasi… 110 d. Perjanjian perbatasan Negara…………………………………. 111
BAB V PENUTUP……………………………………………………………………… v
A. Kesimpulan…………………………………………………………... 114
B. Saran…………………………………………………………………. 115
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………... vi
5
Judul Rumusan Masalah Tujuan Masalah
Strategi Jepang dan Korsel dalam menyelesaikan sengketa teritorial pulau Takeshima/ Dokdo
1. Bagaimanakah Strategi Jepang dan Korsel dalam menyelesaikan sengketa teritorial pulau Takeshima/ Dokdo ?
2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa antara Korea dan Jepang atas pulau Dokdo atau Takeshima menurut cara diplomatic methods ?
1. untuk memberikan konsepsi baru cara penyelesaian sengketa secara hubungan internasional. 2. untuk memberikan wawasan legitimasi pulau Dokdo atau Takeshima.
Kedaulatan negara Atas Pulau Dokdo atau Takeshima yang Di Sengketakan Oleh Jepang Dan Korea Menurut hukum internasional
1. Apakah klaim Jepang dan Korea atas pulau Dokdo atau Takeshima dapat dibenarkan, menurut kaidah – kaidah hukum internasional ?
2. Bagaimanakah alternatif penyelesaian sengketa antara Jepang Vs Korea Selatan, menurut kaidah – kaidah hukum internasional ?
1. Untuk mengetahui status Pulau Dokdo atau Takeshima yang sedang dalam sengketa antara Korea dan Jepang.
2. Untuk menjelaskan perkembangan penyelesaian sengketa pulau Dokdo atau Takeshima.
3. Untuk merumuskan konsep kaidah internasional yang relevan sebagai solusinya.
Tabel : Penelitian Terdahulu
SUMMARY
Arief Yulianto, International Law, Faculty of Law, University of Brawijaya, in March 2017, the State Sovereignty Over Dokdo or Takeshima Island Disputed By Japan And Korea According to International Law, Dhiana Puspitawati, SH., LLM., PhD, Agis Ardhiansyah, SH., LLM
The existence of an international dispute which resulted in the country related to the sovereignty of the territory will have an impact on the state of diplomatic relations dispute. The state has a sovereign each - each, where sovereignty is supreme sovereignty. Thus the country has full sovereignty over all its territory, and will result in the seizure of the territory if there is a country which claims over the territory that became the sovereign rights of other nations. It is the same as Dokdo or Takeshima dispute that is being disputed by Japan and South Korea. There are claims of both countries, but not all of the claims submitted have legal legitimacy. South Korea claims that Dokdo is its territory from the Shilla Dynasty period 512 BC, even during the many historical documents that prove imperial South Korea legalization Dokdo by the emperor of Japan that Dokdo is South Korea's sovereign territory. While Japan claims that Takeshima islands are its territory under the agreement of San Francisco in 1951 Article 2, which states that Japan only release its sovereignty over the island Dagelet, Quelpart, and Port Hamilton. So with the statement of Japan feel totally relinquish its sovereignty over Takeshima island, even it is reinforced by the decision of Shimane prefecture 40 which proves the legitimacy of the law that the island of Takeshima is Japanese sovereign territory obtained by annexation. South Korea finds that Dokdo is their sovereign right, and therefore do not have to question more about the sovereign rights of Dokdo. But Japan still claiming that Takeshima islands are its territory obtained annexation under the Treaty of annexation in 1910, even according to the San Francisco treaty article 2 of the 1951 Japan did not relinquish its sovereignty over Takeshima island. Then the international dispute resolution Dokdo or Takeshima by the United Nations Charter Chapter VI 33-38 advise that this dispute be resolved by peaceful means. If it does not produce a solution, the efforts beyond the way of solving legal channels can also be used, such as joint ventures (economic cooperation) for the distribution of natural wealth of Hydrat gas in Tsusima Ulleung Basin. Besides the determination of the state border treaty can also be done considering the limit of the exclusive economic zone (EEZ) of South Korea and Japan in the Sea of Japan has not been determined. But in the absence of diplomatic efforts between the two countries can lead to prolonged disputes, therefore negotiation is the first attempt to do by both countries.
7
ABSTRAK
Arief Yulianto, Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Maret 2017, Kedaulatan Negara Atas Pulau Dokdo atau Takeshima yang Disengketakan Oleh Jepang Dan Korea Menurut Hukum Internasional, Dhiana Puspitawati, SH., LLM., PhD, Agis Ardhiansyah, SH., LLM
Adanya sengketa internasional yang mengakibatkan negara terkait dengan kedaulatan wilayah akan berdampak pada hubungan diplomasi negara yang bersengketa. Negara memiliki kedaulatannya masing – masing, dimana kedaulatan negara adalah kedaulatan yang tertinggi. Maka dari itu negara memiliki kedaulatan penuh atas seluruh wilayahnya, dan akan mengakibatkan adanya perebutan wilayah jika terdapat suatu negara yang mengklaim atas wilayah yang menjadi hak kedaulatan negara lain. Hal ini sama dengan sengketa pulau Dokdo atau Takeshima yang sedang disengketakan oleh Jepang dan Korea Selatan.
Terdapat klaim dari kedua negara, namun klaim yang diajukan tidak seluruhnya memiliki legitimasi hukum. Korea Selatan mengklaim bahwa pulau Dokdo adalah wilayah kedaulatannya dari masa dinasti Shilla 512 SM, bahkan banyak dokumen sejarah pada masa kekaisaran Korea Selatan yang membuktikan legalisasi pulau Dokdo oleh kaisar Jepang bahwa pulau Dokdo adalah wilayah kedaulatan Korea Selatan. Sedangkan Jepang mengklaim bahwa pulau Takeshima adalah wilayah kedaulatannya berdasarkan perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2 yang menyebutkan bahwa Jepang hanya melepaskan kedaulatannya atas pulau Dagelet, Quelpart, dan Port Hamilton. Sehingga dengan pernyataan tersebut Jepang merasa sama sekali tidak melepaskan kedaulatannya atas pulau Takeshima, bahkan hal tersebut diperkuat dengan adanya putusan perfektur Shimane No.40 yang membuktikan secara legitimasi hukum bahwa pulau Takeshima adalah wilayah kedaulatan Jepang yang diperoleh dengan cara aneksasi. Korea Selatan berkesimpulan bahwa pulau Dokdo adalah hak kedaulatannya, maka dari itu tidak usah dipermasalahkan lagi mengenai hak kedaulatan pulau Dokdo. Namun Jepang tetap mengklaim bahwa pulau Takeshima adalah wilayah kedaulatannya yang diperoleh secara aneksasi berdasarkan Traktat aneksasi tahun 1910, bahkan menurut perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2 Jepang sama sekali tidak melepaskan kedaulatannya atas pulau Takeshima.
Kemudian penyelesaian sengketa internasional pulau Dokdo atau Takeshima menurut piagam PBB Bab VI pasal 33 – 38 mensarankan agar sengketa tersebut diselesaikan dengan cara damai. Jika tidak menghasilkan solusi maka upaya diluar cara penyelesaian jalur hukum juga dapat digunakan, seperti joint venture (kerjasama ekonomi) atas pembagian kekayaan alam berupa gas hydrat yang ada di Ulleung Tsusima Basin. Selain itu penentuan perjanjian perbatasan negara juga dapat dilakukan mengingat batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) Korea Selatan dan Jepang di laut Jepang belum ditentukan. Namun tanpa adanya upaya diplomatik antara kedua negara dapat menimbulkan sengketa yang berkepanjangan, maka dari itu cara negosiasi adalah upaya pertama yang dapat dilakukan oleh kedua negara tersebut.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sengketa Internasional pulau Dokdo atau Takeshima yang
disengketakan oleh Jepang dan Korea Selatan sudang berlangsung selama 12
tahun,bahwa kedua negara memiliki hak kedaulatan atas pulau tersebut. Mulai
dari Perang Dunia ke-II setelah pulau Dokdo atau Takeshima diambil Ahli
kedudukannya oleh Jepang, pulau tersebut masih dianggap wilayah tidak
bertuan atau wilayah terra nullius. Setelah terjadinya sengketapulau Dokdo
atau Takehima pertama kali pada tahun 2005, hak kedaulatan kedua negara
menjadi permasalahan utama terjadinya sengketa tersebut.1Jepang berpendapat
tidak pernah melepaskan kepemilikan atas pulau Dokdo atau Takeshima
selama Perang Dunia ke-II hingga sekarang,sedangkan dari pihak Korea
Selatan berpendapat kependudukan pulau Dokdo atau Takeshima sudah ada
dalam pengawasan efektif negaranya pascaPerang Dunia ke-II. Menurut Korea
Selatan terkait hak kedaulatan pulau Dokdo atau Takeshima tidak usah
dipermasalahan, karena pulau tersebut sudah menjadi hak kedaulatan
negaraKorea Selatan. Pihak Jepang menganggap pulau Dokdo atau Takeshima
1
Charles Scanlon, South Korean Vent Fury at Japan, BBC online,
(news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4361343.stm), 18 march 2005
2
adalah pulau tidak bertuan atau wilayah Terra nullius, karena belum sama
sekali dinyatakan secara legitimasi hukum status kedudukan pulau tersebut
milik pihak mana. Jepang berupaya ingin mengajukan sengketa ini ke
Mahkamah Internasional (International Court of Justice), pihak Korea Selatan
sendiri tidak ingin jika sengketa ini akan diselesaikan di Mahkamah
Internasional (International Court of Justice). Meskipun pada saat itupulau
Dokdo atau Takeshima menjadi status wilayah kedudukan Korea Selatan
secara realita, dimana didalam pulau tersebut terdapat bangunan dan dijadikan
tempat wisata alam oleh pemerintah Korea Selatan, bahkan tidak juga
ditemukan perjanjian batas negara pada wilayah perbatasan kedua negara
didaerah terdekat posisi pulau Dokdo atau Takeshima. Maka dari itu klaim
Jepang dan Korea Selatan menjadi permasalahan dalam kasus sengketa pulau
Dokdo atau Takeshima.2
Menurut perjanjian San Fransisco 1951 yang mengatur perjanjian
antara sekutu dan Jepang, dalam isinya Jepang berpendapat sama sekali tidak
melepas kedaulatannya atas pulau Dokdo atau Takeshima, sedangkan Jepang
melepaskan kepemilikannya atas pulau Quelpart, port Hamilton, dan Dagelet.3
Menurut deklarasi Cairo yang dibuat pada tanggal 1 Desember 1943 di Cairo
telah disepakati deklarasi bersama yang juga ditandatangani oleh perdana
menteri Inggris Winston Churchill, Presiden Amerika Serikat Franklin D.
Roosevelt, dan Presiden China Chiang Kai Shek mengenai penyerahan diri
2Utami gita syafitri, sengketa pulau Dokdo antara Korea Selatan dan Jepang, fakultas
hukum universitas sumatera, jurnal hukum, tahun 2013 3ibid
3
Jepang, dikukuhkan kepemilikan pulau Dokdo atau Takeshima atas nama
Korea Selatan diperkuat. Selain itu deklarasi Cairo termasuk bukti sejarah
yang menjadi dasar hukum dalam tata hubungan internasional di Asia Pasifik
pasca Perang Dunia ke-II.4
Hal tersebut dapat diketahui ketika kedua negara mengklaim pulau
Dokdo atau Takeshima sebagai wilayah mereka, untuk Korea Selatan
berdasarkan sejarah dan pengawasan efektif, sedangkan Jepang perjanjian
internasional atau deklarasi yang sudahada, dan dokumen resmi seperti peta.
Tetapi dalam proses penyelesaian sengketa tersebut tertanam kepentingan
nasional negara untuk menguasai kekayaan alam dalam pulau tersebut, karena
menggunakan modalitas diplomatik dengan cara negosiasi sambil menemukan
bukti atas kepemilikan pulau Dokdo atau Takeshima.5
Sedangkan Jepang berupaya membawa sengketa tersebut ke
„‟International Court of Justice‟‟, selain itu banyak sekali upaya klaim yang
digunakan untuk mengklaim pulau Dokdo atau Takeshima. Tahun 2005Dewan
Perfektur Shimane dibentuk untuk melakukan observasi ke dalam pulau
Dokdo atau Takeshima. Tahun 2006 Korea Selatan merencanakan upaya
„’QuiteDiplomacy‟‟ untuk mempertahankan klaimnya. Tahun 2008 Jepang
juga memperkuat klaim dengan memasukkan Hak milik pulau Dokdo atau
4Ignaz Kingkin Teja Angkasa, Sejarah, Penerbit Grasindo, Jakarta, 2010. Hlmn 64
5Utami gita syafitri, sengketa pulau Dokdo antara Korea Selatan dan Jepang, fakultas
hukum universitas sumatera, jurnal hukum, tahun 2013
4
Takeshima atas dirinya ke dalam buku label putih departemen pertahanan, dan
terakhir Tahun 2012 Presiden Korea Lee Myung Bak mengunjungi pulau
tersebut, dan sekali lagi membuat pihak Jepang menentang pihak Korea
Selatan.6
Terakhir pada tahun 2016 pada 8 April Jepang memasukkan
kedudukan pulau Dokdo atau Takeshima menjadi miliknya didalam materi
kurikulum buku sejarah sekolah menengah pertama hal tersebut mendapat
kritik tegas dari pihak Korea Selatan.7
Sedangkan menurut hukum internasional sebuah konflik hukum terjadi
ketika pembuktian dari pihak yang bersengketa memiliki rasionalisasi hukum
yang benar menurut hukum internasional. Dilihat dari Letak Geografs pulau
Dokdo atau Takeshima dari Korea Selatan diambil garis pangkal pulau
Ulleungdo 133,6 mil, sedangkan Jepang diambil garis pangkal pulau Oki
152,2 mil, hal tersebut membuat kedua negara memiliki kedekatan secara
territorial.8Selanjutnya yaitu pengawasan efektif berdasarkan jurisprudensi
penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan Ligitan antara (Indonesia-Malaysia),
jika suatu negara melakukan suatu kependudukan atas wilayah tertentu secara
efektif selama waktu yang ditentukan,9
maka secara perolehan wilayah
kedaulatan atas wilayah tersebut adalah miliknya, hal ini dilakukan oleh Korea
6Hori, Kazuo. 1997, Japan’s incorporation of Takeshima in to its territory in 1905, Korea
observer journal 28(3) : 477-525 7Yonhap News, Korea mendesak Jepang untuk menghentikan klaim atas pulau Dokdo,
Kenterin, (kenterin.net/m/article/11373i), 8 april 2016 8Lalak Dedy Priswantoro, status kepulauan Dokdo dalam perspektif hukum internasional,
fakultas ilmu social dan politik universitas Jember, jurnal hukum, Mei 2007 9 Mada ariandi zuhir, studi tentang penerapan effective occupation principle dalam
penyelesaian sengketa wilayah Negara, fakultas hukum universitas brawijaya, jurnal
hukum.
5
Selatan selama masa kerajaan, bahkan banyak dokumen sejarah yang menjadi
bukti Korea Selatan atas klaim pulau Dokdo. Sedangkan oleh Jepang pada
Perang Dunia ke II pulau Takeshima dijajah atau dianeksasi, sehingga secara
paksa pulau tersebut berada didalam kekuasaan negaraJepangsetelah Perang
Dunia II berakhir, dan Jepang kalah dalam pertempuran pulau tersebut terus
diklaim oleh Jepang menjadi hak kedaulatan negaranya. Menurut perjanjian
San fransisco 1951 pasal 2 Jepang sama sekali tidak melepas pulau
Takeshima, sedangkan apa yang disebutkan dalam perjanjian internasional
sepanjang itu mengandung kesepakatan pihak yang bersangkutan, setiap pihak
terikat untuk mematuhinya dan mengakuinya. Pada bagian yang terakhir
mengenai klaim kedua negara yang menyatakan dengan sepihak kepemilikan
pulau Dokdo atau Takeshima dengan tegas, hal itu pun tidak melanggar aturan
hukum internasional, karena status pulau tersebut secara legitimasi hukum
masih wilayah Terra Nullius.10
Belum ada keputusan Mahkamah Internasional
yang menyatakan bahwa pulau Dokdo atau Takeshimasecara legitimasi hukum
merupakan milik Korea Selatan atau Jepang, hal ini tentu akan mengakibatkan
konflik dari kedua negaraberlangsung secara berkepanjangan. Jika sengketa
ini ingin diajukan ke Mahkamah Internasional maka harus mendapat
kesepakatan darikedua negara. Apa yang disampaikan diatas tentu akan
menjadi konflik hukum yang sangat serius didalam kanca hukum
internasional.
10
Utami gita syafitri, sengketa pulau Dokdo antara Korea Selatan dan Jepang, fakultas
hukum universitas sumatera, jurnal hukum, tahun 2013
6
Pulau Dokdo atau Takeshima yang menjadi bahan sengketa antara
kedua negara dewasa ini mengalami banyak perbincangan diantara perspektif
kedua negara, selain itu juga memiliki perbedaan persepsi akan kepemilikan
pulau tersebut. Menurut peraturan hukum internasional setiap negara berhak
memiliki kedaulatannya sendiri, dan berhak untuk mempertahankan
kedaulatannya masing–masing. Hukum internasional hanya sebagai aturan
secara umum untuk menyesuaikan agar kedaulatan setiap negara tetap terjaga
dari intervensi kedaulatan negara lain. Jika terjadi sengketa kedaulatan antara
kedua negara maka hukum internasional mengatur konflik tersebut melalui
konvensi hukum internasional yang harus dipatuhi oleh setiap negara.11
Dengan adanya sengketa yang berkelanjutan antara kedua negara yaitu
Jepang dan Korea yang sangat lama, meskipun menggunakan banyak sekali
instrumen hukum internasional, tetapi masih tidak dapat menemukan solusi
yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini, bahkan peraturan hukum
internasional dijadikan sarana untuk mengakomodir kepentingan nasional
setiap negara agar dapat memperkuat klaim atas pulau Dokdo atau Takeshima
yang terkenal memiliki kekayaan alam gas hydrat yang melimpah ruah
didalam pulau tersebut. Kedua negara saling mengutamakan kepentingan
11
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2004. Hlmn 12 – 19
7
nasionalnya untuk mengklaimpulau Dokdo atau Takeshima agar dapat
dijadikan Hak milik sah menurut hukum.12
Kedaulatan negara dilihat melalui klaim kedua negara yang
bersengketa, sehingga menurut hukum internasional klaim atas kedaulatan
negara manakah yang tepat untuk diakui kebenarannya, dengan itu maka
diperoleh suatu hak kedaulatan bagi negara yang patut untuk memilikinya
menurut legitimasi hukum dan kaidah – hukum internasional. Menggunakan
cara perolehan wilayah menurut hukum internasional, yaitu okupasi dan
aneksasi menurut klaim Korea Selatan dan Jepang, selain itu dalam penelitian
ini juga menggunakan konvensi hukum laut 1982 yang menentukan penetapan
batas wilayah laut antara Korea Selatan dan Jepang dilihat melalui garis
pangkal pulau Ulleungdo (Korea Selatan) dan pulau Oki (Jepang). Hal
tersebut karena Korea Selatan dan Jepang belum menentukan batas wilayah
laut negaranya yang terletak disekitar pulau Dokdo atau Takeshima.Adanya
kepentingan nasional berupa kepentingan ekonomi untuk memiliki kekayaan
yang terdapat di dalam Ulleung Tsusima Basin. Dibuktikan dengan tidak ada
satupun perjanjian bilateral antara kedua negara mengenai perbatasan
lautnegaranya yang ditentukan dari garis pangkal pulau Ulleungdo dan pulau
12
Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara
korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan
internasional, tahun 2013
9
B. Rumusan Masalah
1. Apakah klaim kedaulatan negara Jepang dan Korea atas pulau
Dokdo atau Takeshima dapat dibenarkan menurut hukum
internasional ?
2. Bagaimanakah alternatif penyelesaian sengketa antara Jepangdan
Korea Selatan menurut hukum internasional ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisa klaim Pulau Dokdo atau Takeshimamenurut
hukum internasional.
2. Untuk menganalisa alternatif penyelesaian sengketa apa yang
relevan sebagai solusinya.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritik
Manfaat teoritik penulisan karya ilmiah ini adalah menjadi bahan
pemikiran lebih lanjut dalam penyelesaian sengketa pulau Dokdo atau
Takeshima, dan Memberikan pemahaman mendalam mengenai sengketa pulau
Dokdo atau Takeshima, serta memberikan kontribusi bagi pengembangan
keilmuan dibidang hukum khususnya hukum Internasional yang berkaitan
dengan kedaulatan negara Jepang dan Korea atas pulau Dokdo atau
Takeshima. Dalam penelitian ini peniliti mengkaji kasus sengketa kedaulatan
10
negara Jepang dan Korea Selatan atas pulau Dokdo atau Takeshima yang
masih disengketakan sampai saat ini.Berdasarkan hasil analisis maka
diperoleh gagasan konseptual dan solusi yang mampu memberikan ide
penyelesaian sengketa pulau Dokdo atau Takeshima oleh Jepang dan Korea.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
Menambah wawasan penulis mengenai kasus sengketa pulau Dokdo
atau Takeshimamenurut hukum internasional, sehingga dapat mengkaji kasus
sengketa pulau Dokdo atau Takeshima berdasarkan peraturan yang ada pada
hukum internasional. Selain itu dapat juga dijadikan bahan pertimbangan atau
dikembangkan lebih lanjut terhadap penelitian yang sejenis.
b. Bagi Masyarakat Internasional
Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman masyarakat, akan arti pentingnya pengakuan suatu territorial
tertentu oleh subjek hukum internasional atau negara dilihat dari legitimasi
cara perolehan wilayah tersebut. Sehingga dalam kedudukan suatu wilayah
juga diperlukan suatu pengakuan (recognition) untuk memperkuat kedudukan
atas wilayah tertentu.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Hukum Internasional
Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan
kaidah yang mengatur tentang hubungan antara subjek hukum internasional,
dimana semua subjek hukum internasional mematuhinya dan mengikat secara
umum dalam hubungannya antara satu sama lain. Sebagai hukum yang
mengatur kehidupan antaranegara atau subjek hukum internasional, hukum
internasional juga memiliki regulasi yang bertujuan melindungi kepentingan
hukum semua pihak tanpa terkecuali, dalam kedaulatan wilayah setiap aturan
terdapat pembatasannya, dan terdapatMahkamah Internasionalyang bekerja
untuk mengadili ditingkat peradilan internasional.
Hukum internasional hanya sebagai pelengkap, jika kedaulatan setiap
subjek hukum Internasional bertentangan dan memerlukan suatu penegak
hukum untuk meluruskan kepentingan hukum antara subjek hukum
internasional yang bertentangan itu.Hukum internasional ada karena setiap
negara atau subjek hukum Internasional memerlukan suatu hukum untuk
mengatur kepentingan hukumnya diluar kedaulatannya atas apapun yang dia
berdaulat.
12
B. Kedaulatan Negara atas Wilayah Menurut Hukum Internasional
Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara dari
sudut ilmu bahasa, kedaulatan dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan
tertinggi atas pemerintahan, negara, dan daerah.13
Dalam konteks ilmu tata
negara, parthiana menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan sebagai
kekuasaan yang tertinggi, mutlak, utuh, bulat, dan tidak dapat dibagi – bagi
oleh karena itu tidak dapat ditempatkan dibawah kekuasaan lain. Kedaulatan
negara tidak lagi bersifat mutlak, akan tetapi pada batas – batas tertentu harus
menghormati kedaulatan negara lain yang diatur melalui hukum internasional.
Hal ini lah yang kemudian dikenal dengan istilah Kedaulatan negara bersifat
relatif dalam konteks hukum internasional, negara yang berdaulat pada
hakikatnya harus tunduk dan menghormati hukum internasional maupun
kedaulatan serta integritas negara lain.14
Jean Bodin memandang kedaulatan sebagai atribut negara, sebagai
karakteristik suatu negara.Tidak hanya negara yang memiliki kedaulatan,
tetapi pemerintah dalam suatu negara juga harus berdaulat atas urusan
pemerintahan dalam negaranya. Berbagai karakteristik konsekuensi adanya
suatu kedaulatan, maka kedaulatan atau kekuasaan tertinggi memiliki lima ciri
khusus yang harus dimiliki kedaulatan itu sendiri yaitu;
13
Malcolm N. Shaw, hukum internasional, penerbit Nusamedia, Bandung, 2013. Hlmn 15
14
I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014.
Hlmn 16 - 18
13
1. Asli, bahwa kedaulatan tersebut murni berasal dari negara yang
memiliki kedaulatan tersebutsecara independent dalam mengatur
negaranya.
2. Tertinggi, tidak adanya kekuasaan lain yang lebih tinggiberada diatas
suatu kekuasaantertinggi, maka disebut bukan sebagai kedaulatan
negara.
3. Tidak dapat dibagi, kedaulatan itu mengkikat entitas sebuah negara
dan diluar kedaulatan itu merupakan kekuasaan negara secara penuh
tanpa terkecuali.
4. Bersifat abadi atau kekal artinya tidak memiliki masa akhir atau
waktu berlakunya, karena sampai kapanpun kekuasaan tertinggi itu
selalu ada.
5. Tidak dapat dipindah tangankan atau diserahkan kepada pihak lain,
artinya kekuasaan tertinggi itu bersifat tetap dan tidak bisa serta
merta diserah atau pindah tangankan.15
Sedangkan kedaulatan menurut Mochtar Kusumaatmadja sebagaimana
dikutip oleh Suryo Sakti Hadiwijoyo, kekuasaan yang terbatas yaitu
berlakunya suatu kedaulatan setiap negara dibatasi oleh berlakunya kedaulatan
negara lain. Bermakna bahwa kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara
hanya berlaku didalam negaranya, sehingga berimplikasi pembatasan
kedaulatan setiap negara ketika berada diluar kedaulatannya harus berdasarkan
15
Malcolm N. Shaw, hukum internasional, penerbit Nusamedia, Bandung, 2013. Hlm 31
14
prinsip hukum Internasional yang berlaku umum dan saling menghormati
kedaulatan masing – masing negara. Maka dapat disimpulkan berkedaulatan
dalam ruang lingkup hukum internasional itu terbatas jika berada pada
kedaulatan negara antara satu sama lain.16
Menurut Yudha Ardiwisastra sebagaimana dikutip oleh Suryo Sakti
Hadiwijoyo mengatakan bahwa dalam perkembangannya, pengertian
kedaulatan mengalami perubahan, dimana negara dikatakan berdaulat apabila
negara tersebut mampu dan berhak mengatur serta mengurus sendiri
kepentingan – kepentingan dalam negeri dan luar negeri, dengan tidak
bergantung ke negara lainnya. Berdasarkan kedaulatan negara, CF. Strong
mengartikan kedaulatan intern:
‘’the supreme of a person or body of person in the state over the
individual or association of individual within the area of the
jurisdiction’’
Sedangkan kedaulatan ekstern diartikan sebagai:
‘’the absolute independence of one state as a whole with references
to all other states’’17
Tidak hanya itu, bahkan Mochtar Kusumaatmadja sebagaimana di
kutip oleh Suryo Sakti Hadiwijoyo mengatakan bahwa kedaulatan merupakan
16
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2011.hlmn 24
17Ibid.hlmn 25
15
suatu sifat atau ciri hakiki dari negara, dimana negara tersebut berdaulat, tetapi
mempunyai batas – batasannya yaitu mula berlakunya kekuasaan tertinggi
yang dibatasi oleh batas – batasan wilayah negara lain. Diluar suatu wilayah
kekuasaannya negara tidak lagi memiliki kekuasaan yang
demikian.Berdasarkan hal tersebut, kedaulatan tidak dipandang sebagai
sesuatu yang bulat atau utuh, melainkan dalam batasan – batasan tertentu
sudah tunduk didalam peraturan hukum internasional dan kedaulatan dari
sesamanegara lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedaulatan
negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas – batasan
yang ditetapkan melalui hukum internasional itu sendiri.18
Kedaulatan negara dalam implementasinya dimanifestasikan menjadi
dua sisi, yaitu: pertama, kedaulatan internal yang berarti kekuasaan tertinggi
suatu negara untuk mengatur masalah – masalah dalam negerinya. Kedaulatan
negara secara internal dimanifestasikan melalui otoritas negara dalam
membentuk bentuk negara, bentuk dan juga system pemerintahan yang dipilih
oleh negara tersebut, system politik, kebijakan dalam negeri maupun hal – hal
yang berkaitan dengan hukum nasional, dimana dalam penentuan kesemua hal
tersebut tidak dapat dicampuri oleh negara lain.19
Sedangkan kedaulatan
eksternal yaitu diwujudkan dengan adanya kedudukan yang sama (Equality)
antaranegara diseluruh dunia. Dalam kewajibannya untuk setiap negara agar
tidak mencampuri persoalan yang terjadi didalam negara lain. Tidak adanya
18
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2011.hlmn 26 19
Ibid.hlmn 26 - 27
16
kedaulatan tertinggi dalam tatanan hukum internasional dan negara hanya
memiliki hak berdaulat atas hal tertentu.20
C. Konsep Wilayah Negara
Wilayah negara adalah wujud dari adanya kedaulatan itu
sendiri.21
Perbatasan negara dapat secara bilateral ditentukan dengan negara
yang berdekatan secara territorial, dan Keadaan alam yang menempatkan
wilayah suatu negara dalam wilayah tertentu. Daerah atau wilayah negara
adalah tempat berlakunya suatu Kedaulatan negara, dimana batas-batas suatu
daerah negara ditentukan dengan perjanjian.22
Perjanjian dengan negara-
negara tetangga baik perjanjian yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Wilayah negara meliputi Teritorial darat yang dibatasi oleh Teritorial darat
negara lain, Teritorial laut negara memiliki hak kedaulatan hanya sebatas
24mil dari pangkal daratan, dimana di laut lepas negara hanya berdaulat,
terakhir yaitu Teritorial udara yang ditentukan secara vertical sampai batas
atmosfer, sedangkan adanya suatu batasan Kedaulatan suatu negara secara
horizontal dibatasi dengan daratan negara lain. Sehingga terbatas jika berada
diatas wilayah kedaulatan negara lain.
Menurut hukum internasional, wilayah negara dapat diperoleh melalui
lima cara, yaitu okupasi, aneksasi, akresi, cesi, dan preskripsi.23
Suatu luas
20
Ibid.hlmn 28 21
Malcolm N. Shaw, hukum internasional, penerbit Nusamedia, Bandung, 2013. Hlm 31 22
Ibid. Hlm 33 - 37 23
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,
2011.hlmn 29
17
wilayah daratan negara dapat ditentukan sepihak oleh negara yang
bersangkutan, ditentukan dengan perjanjian internasional dengan negara
tetangga, ditentukan oleh kebiasaan yang telah terjadi beberapa lama dimasa
lampau, atau mulai berkembangnya negara yang telah terbentuk tersebut.24
I. Cara – Cara Perolehan Wilayah Menurut Hukum Internasional
a. Okupasi (pendudukan), yaitu penanaman kedaulatan suatu negara di
wilayah yang tidak dikuasai oleh negara lain. Dalam konteks hukum
internasional, okupasi ditentukan oleh penguasaan efektif. Menurut mahkamah
permanen internasional dikutip oleh Istanto, efektif harus mempunyai dua
syarat. Pertama, adanya kemauan untuk melakukan kedaulatan negara
diwilayah yang diduduki. Kedua, adanya suatu pelaksanaan kedaulatan negara
yang memadai diwilayah tersebut.Jika ada suatu penemuan wilayah yang tidak
memenuhi kriteria yang ada diatas maka tidak dapat dikatakan sebagai
okupasi. Sedangkan menurut Templemen, sebagaimana dikutip oleh Benny
Setianto terdapat beberapa persyaratan yang dipenuhi dengan begitu okupasi
dapat dilakukan, yaitu:
(1) Wilayah itu harus terra nullius, yaitu wilayah tersebut tidak bertuan
atau tidak ada kedaulatan negara manapun yang mendudukinya.
24
Ibid
18
(2) Kependudukan tersebut harus dilakukan oleh sebuah negara bukan
sektor swasta dan bukan negara atau individual.
(3) Kependudukan yang dilakukan oleh negara tersebut harus
secara‟‟terbuka, terus menerus, efektif, dan damai‟‟.
(4) Sebuah negara yang menduduki wilayah tersebut harus memiliki
niatan untuk menguasai (animus occupandi).25
b. Aneksasi adalah perolehan kedaulatan wilayah negara dengan
menggabungkan wilayah lain kedalam wilayah kedaulatannya. Wilayah yang
diduduki tersebut bisa dari wilayah yang sudah ditaklukan oleh negara yang
menganeksasi atau wilayah yang telah ada dibawah kekuasaan negara yang
menganeksasi. Selain itu penaklukan wilayah saja belum bisa dikatakan
sebagai aneksasi, hal tersebut akan disebut sebagai aneksasi setelah adanya
pernyataan aneksasi oleh negara yang menaklukannya.26
c. Akresi yaitu perolehan kedaulatan wilayah yang diperoleh dari kejadian
alam. Kejadian alam dapat mengubah wilayah kedaulatan negara. Perubahan
tersebut terwujud dengan adanya penambahan wilayah kedaulatan negara
tersebut. Perubahan tersebut terjadi secara bentukan fenomena alam yang
bersifat mendadak atau secara perlahan – lahan. Contohnya seperti
25
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2004. Hlmn 31
26Ibid
19
pendangkalan laut, misalnya merupakan perubahan wilayah kedaulatan negara
secara berlahan – lahan.
d. Cesi yaitu perolehan tambahan kedaulatan wilayah diperoleh dari proses
peralihan hak. Cesi merupakan setiap transaksi yang bermaksud mengalihkan
kedaulatan wilayah negara kepada negara lain. Cesi tersebut dapat berwujud
pemberian, tukar menukar, atau penjualan.Akibat hukum dari adanya cesi
tersebut adalah beralihnya semua hak kedaulatan negara yang mengalihkan
hak tersebut kepada negara yang menerimanya.
e. Preskripsi yaitu proses perolehan kedaulatan wilayah negara akibat
pelaksanaan secara damai de facto secara lama oleh wilayah yang asalnya de
jure tidak termasuk kedaulatan wilayahnya. Ada dua cara bagaimana
memperoleh wilayah secara preskripsi ini yaitu:
(1) Immemorial possession, yaitu negara mendapatkan kedaulatan atas
suatu wilayah setelah menguasainya secara lama hingga penguasaan
yang sebelumnya tidak dapat diketahui lagi.
(2) Adverse possession, yaitu kondisi penguasaan sebelumnya belum
diketahui namun karena penguasa baru telah secara efektif melakukan
pemerintahannya sehingga adanya penguasaan lama seperti telah
hilang fungsinya sebagai pemilik wilayah tersebut. Penguasa baru
tersebut harus memiliki semacam pembiaran atas tindakan dan
20
kebijakan yang dilakukan penguasa sebelumnya (acquiescence
principle).27
Menurut perkembangannya perolehan wilayah menurut hukum internasional
mulai berubah, hal tersebut terlihat dari adanya teori baru yang membenarkan
perolehan wilayah diluar teori yang telah disebutkan diatas, yaitu:
f. Menurut Doktrin intertemporal law, mengartikan (pembuktian) atau klaim
wilayah mulai dari wilayah tersebut ditemukan harus memperoleh pengakuan
secara sah menurut hukum internasional yang berlaku.
g. Self determination adalahperolehan wilayah yang dilakukan oleh penduduk
asli atas kedaulatan wilayahnya dengan cara penentuan nasib sendiri, dimana
klaim ini tidak kalah dengan negara yang ada dalam wilayah kedaulatan
tersebut.
h. Uti possidetis juris yaituperolehan kedaulatan wilayah yang didapat dari
hasil penjajahan atau aneksasi, dan dijadikan suatu garis pembatas wilayah
baru.
i. Perjanjian perbatasan yaituperolehan kedaulatan wilayah yang didasarkan
dari suatu perjanjian internasional,dimana dianggap sebagai batasan utama dan
terpisah dari perjanjian yang telah menyebutkan hal tersebut.28
27
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2004. Hlmn 32 - 37 28
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2004.hlmn 41
21
D. Konsep Rational Choice Theory
Konsep rasional choice merupakan konsep yang berangkat dari asumsi
neo realis. Dalam asumsi neo realis, struktur internasional adalah anarki,
dimana tidak adanya satu kekuatan dominan yang dapat mengatur negara-
negara dalam sistem internasional. Dengan ketiadaan kekuatan yang dominan
berarti tidak ada jaminan bahwa terciptanya kepatuhan diantara negara-negara.
Dengan kondisi seperti ini, negara akan menjadi aktor yang dominan, dimana
negara akan menjadi aktor yang rasional dalam hubunganya dengan negara
lain, dan mencapai kepentingan-kepentingan nasionalnya secara maksimal.
Minimum adalah adanya suatu keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup
secara inheren. Sehingga membuat setiap negara diperbolehkan untuk patuh
atau tidak pada hukum Internasional, hal tersebut dapat membuat suatu
kedaulatan negara antara satu sama lain saling bertentangan yang dapat
menimbulkan suatu sengketa dalam permasalahan apapun.
Menurut Ramlan Surbakti dan Dennis Kavanaagh, menyatakan bahwa
pilihan rasional melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk kalkulasi
antara untung dan rugi.Ini disebabkan karena pemilih tidak hanya
mempertimbangkan peluang keuntungan memilih, tetapi mempertimbangkan
juga alternative – alternative berupa pilihan yang ada kepada pilihan yang
22
terbaik, dan yang paling menguntungkan baik untuk kepentingan sendiri (self
interest) maupun bagi kepentingan umum.29
E. Wilayah Terra Nullius
Wilayah negara merupakan kuasa kedaulatan negara atas wilayah
tertentu. Jika dalam suatu wilayah atau daerah yang tidak terdapat kedaulatan
suatu negara tertentu,maka wilayah atau daerah itu disebut sebagai wilayah
tidak bertuan (Terra Nullius). Wilayah tidak bertuan (Terra Nullius) pada
umumnya terdapat pada pulau yang berdeketan dengan wilayah suatu negara.
Selain itu juga terdapat diperbatasan teritorial suatu negara baik didaratan,
lautan maupun dalam suatu wilayah yang belum dijamak oleh negara,
disebabkan suatu perihal tertentu.30
F. Teori Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional yaitu suatu keinginan pemenuhan kebutuhan
yang harus diraih oleh negara untuk memenuhi kebutuhan negaranya, meliputi
kebutuhan yang bersifat relatif atau tidak tetap.Termasuk keberlangsungan
hidup rakyat dan kesejahteraan sosial, keamanan dan ketentraman kehidupan
bernegara itu sendiri.Kepentingan nasional suatu negara merupakan tujuan
29
J.G,Starke, Pengantar hukum internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988. Hlmn.
165
Konsep rasional choice merupakan konsep yang berangkat dari asumsi neo realis. Dalam
asumsi neo realis, struktur internasional adalah anarki, dimana tidak adanya satu kekuatan
dominan yang dapat mengatur negara-negara dalam sistem internasional 30
J.G,Starke, Pengantar hukum internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988. Hlmn
82
23
nasional. Seperti apa yang ingin dicapai oleh negara itu sendiri kepentingan
pengembangan jangka pendek, menengah, dan panjang suatu negara. Hal yang
paling utama yaitu pengembangan ekonomi, pengembangan sumber daya
manusia, dan yang terakhir yaitu pengembangan lajur investasi asing agar
dapat mempercepat laju perekonomian negara.31
G. Konsepsi Hukum Internasional Dalam Penetapan Batas Laut
Adanya pengaturan mengenai penetapan batas laut yang baru maka
corak geomorfologis dapat dijadikan penentu klaim landas kontinen, sehingga
berbeda dengan pengaturan lama dimana menggunakan suatu prinsip
eksploitabilitas32
, hanya memberi keuntungan terhadap negara maju, dengan
adanya konvensi hukum laut 1982 telah memberikan suatu kepastian hukum
yang asli bagi semua negara pihak.33
Dalam hubungannya dengan perjanjian antaranegara yang berbatasan
diwilayah laut, konvensi hukum laut 1982 merujuk pada tercapainya
kesepakatan para pihak yang dibuat berdasarkan sumber hukum internasional
publik.Dengan demikian konvensi hukum laut 1982 memberikan keleluasaan
yang besar pada para pihak untuk mencari prinsip – prinsip hukum yang dapat
31
Sam jaffe dan myung oak kim, The New Korea look an inside south Korea Economic rise,
penerbit elexmedia, hal 12
32Eksploitabilitas adalah pemanfaatan atau pengambilan kekayaan alam berupa sumber daya
alam oleh pihak tertentu yang memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan pengambilan hasil
sumber daya alam menurut kapasitasnya dan menjaga kestabilan sumber daya alam. 33
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2011. Hlmn 15
24
diterima bersama oleh negara – negara pihak sebagai dasar penentuan
perbatasan diwilayah laut.
Dalam perihal penetuan batas landas kontinen diantara negara yang
berhadapan, terdapat perbedaan prinsip terhadap konvensi sebelum tahun
1982. Pada pasal 6 konvensi hukum laut 1958, menjelaskan penentuan batas
landas kontinen secara tegas menggunakan medien line atau equidistance
principle dengan syarat tidak terdapat kasus – kasus tertentu yang
mengakibatkan atau memungkinkan garis batas ditentukan dengan jarak yang
tidak sama.34
Bahkan ketentuan ini tidak saja membawa implikasi hukum bagi
negara- negara yang saling berbatasan, namun juga bagi Mahkamah
Internasional.Hal tersebut memungkinkan bagi Mahkamah Internasional untuk
memberikan penafsiran hukum berkaitan dengan penentuan perbatasan landas
kontinen, terutama berkaitan dengan special circumstance. Menurut Donillo
sebagaimana dikutip I Wayan Parthiana pada beberapa kasus delimitasi batas
landas kontinen, Mahkamah Internasional menafsirkan garis batas tersebut
diluar dari garis tengah atau median line apabila berkaitan dengan penetapan
suatu keputusan yang adil bagi semua pihak, sehingga akan melahirkan prinsip
yang dikenal sebagai equitable principles, namun pada suatu kasus tertentu
Mahkamah Internasional tetap mengacu pada median line dalam penentuan
dan penetapan batas landas kontinen.
34
Ibid. hlmn 15 -16
25
Sementara itu menurut konvensi hukum laut 1982, penetapan batas
landas kontinen hanya merujuk pada tercapainya kesepakatan para pihak yang
dibuat berdasarkan ketentuan hukum internasional publik. Membuktikan
bahwa konvensi hukum laut 1982 memberikan keleluasaan bagi para pihak
yang berkepentingan untuk mencari prinsip – prinsip hukum yang dapat
diterima bersama sebagai dasar penentuan perbatasan landas kontinen, dengan
kata lain melalui konvensi hukum laut 1982, negara diberi kebebasan untuk
menetapkan sendiri isi perjanjian tentang batas landas kontinen.35
Berdasarkan perjanjian internasional, maka sekali perjanjian dibuat,
perjanjian tersebut akan mengikat para pihak untuk melaksanakan isi
perjanjian dengan itikad baik dan penuh rasa tanggung jawab. Kesepakatan
tersebut akan berlaku sebagai hukum bagi semua pihak, dengan demikian
pelanggaran terhadap kewajiban yang dilakukan secara sengaja akan
membuka peluang bagi pengajuan gugatan hukum dari negara atau pihak yang
dirugikan.36
Sedangkan penyelesaian atau delimitasi batas zona ZEE, Louis Henkin
dan Donillo sebagaimana dikutip I wayan Parthiana menyatakan bahwa
berdasarkan pasal 74 konvensi hukum laut 1982, apabila terdapat klaim batas
zona ZEE yang tumpang tindih, maka penyelesaian menggunakan metode
35
I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014.
Hlmn 43 - 45
36 Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Penerbit Refika Aditama,
Bandung, 2010. hlmn 22
26
serupa, namun penyelesaian hanya merujuk pada kesepakatan bersama ini
pada gilirannya akan memperlihatkan ketidakmampuan masyarakat
internasional dalam menyepakati satu formula baku dalam penyelesaian
sengketa batas zona ZEE dan batas landas kontinen.37
Menurut prinsip co-existence formula diputuskan berlaku, namun
demikian pengertian „‟kesepakatan bersama‟‟ tersebut memberikan penafsiran
pula bagi para pihak untuk menyimpang dari penerapan co-existence
formula.Hal tersebut dapat terjadi karena konsepsi zona ekonomi eksklusif
(ZEE) merupakan sutau rezim hukum yang muncul setelah tahun 1958.
Sehingga sebagai konsekuensinya kebutuhan negara dalam penentuan batas
zona ekonomi eksklusif (ZEE) dilakukan setelah delimitasi batas landas
kontinen. Sedangkan bagi klaim batas zona ekonomi eksklusif (ZEE)
dikaitkan dengan faktor jarak maksimal sepanjang 200 mil laut, maka klaim
batas landas kontinen berdasarkan konvensi hukum laut 1958 dengan
menggunakan prinsip natural prolongation. Menurut Donillo, kondisi ini
mengakibatkan penerapan prinsip co-existence akan sulit diterima oleh negara
yang mengklaim batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang hanya berdasarkan
jarak. Berkenaan dengan hal itu, prinsip jarak sampai saat ini masih bersifat
37
I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014.
Hlmn 47 - 53
27
kontroversial, meskipun pada kenyataan prinsip ini telah digunakan dan
diterima sebagai prinsip universal dalam delimitasi batas laut.38
H. Dasar Penetapan Perbatasan Negara
Menurut Adi Sumardiman sebagaimana dikutip oleh Surya Sakti
Hadiwijoyo secara garis besar terdapat dua hal yang menjadi dasar dalam
penetapan perbatasan, yaitu:
I. Ketentuan tidak tertulis
Ketentuan seperti ini pada umumnya berdasarkan pada pengakuan para
pihak yang berwenang dikawasan perbatasan, oleh para saksi atau berdasarkan
petunjuk. Tempat pemukiman penduduk, golongan ras, perbedaan cara hidup,
perbedaan bahasa, dan lain sebagainya dapat dijadikan dasar atau pedoman
dalam membedakan wilayah yang satu dan yang lainnya. Kondisi alam
wilayah membatasi manusia dalam menentukan pemukimannya.Seiring
dengan perkembangnya waktu, tanda – tanda alam tersebut dapat pula
berkembang menjadi suatu tanda batas wilayah. Melalui proses kebiasaan
yang berlangsung lama, perbatasan seperti itu dapat tumbuh menjadi
perbatasan tradisional. Perbatasan tradisional ini yang kemudian dipertegas
dalam suatu perjanjian antaranegara yang berbatasan.
38
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2011. Hlmn 15 - 16
28
Penetapan batas antaranegara yang berdasarkan pada ketentuan –
ketentuan yang tidak tertulis ini, pada kenyataannya lebih banyak mengalami
kesulitan, karena menyangkut juga faktor historis dan kultural, yang secara
politis lebih rumit dari pada faktor teknis. Berkaitan dengan penetapan dan
penegasan batas wilayah, nama – nama unsur geografis memegang peran
penting dalam membantu penentuan lokasi perbatasan. Proses penamaan unsur
– unsur geografis tersebut dilakukan oleh pemuka masyarakat. Baik toko
formal (aparatur pemerintah) maupun toko informal seperti pemuka adat,
kepala suku, tokoh agama dan sebagainya yang bertempat tinggal secara turun
temurun di kawasan perbatasan. Nilai dari pada keterangan – keterangan
tentang nama – nama unsur geografis yang dikemukakan oleh para pemuka
adat belum dapat ditempatkan sebagai keterangan yang memiliki kepastian
hukum, untuk itu perlu dilakukan inventarisasi nama – nama unsur geografis
yang dilakukan bersama – sama oleh pemuka masyarakat, maupun oleh
pemerintah. Sehingga dalam penentuan lokasi perbatasan yang memiliki
kepastian hukum hanya dapat diwujudkan dengan cara formal dalam deskripsi
tertulis, cara materiil diwujudkan dengan adanya tanda – tanda batas di
lapangan.39
II. Ketentuan tertulis
Dokumen – dokumen tertulis, baik itu berupa peta – peta maupun
naskah perjanjian – perjanjian perbatasan merupakan landas tertulis dalam
39
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2011. Hlmn 18
29
penegasan dan penetapan batas antaranegara.Dokumen resmi tentang
perbatasan biasanya terdiri dari dokumen khusus yang mengatur tentang
perbatasan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dan disertai dengan
otentifikasinya, dalam bentuk tanda tangan dan disertai keterangan jabatan
yang sesuai dengan bidangnya.
Menurut hukum internasional, perbatasan antaranegara merupakan
faktor yang mempengaruhi hubungan antaranegara.Perjanjian perbatasan
antarnegara berbentuk treaty yang kemudian diratifikasi dengan undang –
undang. Dalam perjanjian perbatasan antarnegara seyognya dilandasi oleh
kepastian negara yang berbatasan dalam penentuan, penetapan, dan penegasan
batas wilayah yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk perjanjian
antarnegara, kepastian dan ketegasan tersebut.Dimaksudkan agar tidak timbul
berbagai penafsiran yang dapat mengurangi legalitas dari sebuah perjanjian
perbatasan antarnegara. Hal ini disebabkan karena perumusan perjanjian
perbatasan tidak dapat sekaligus memuaskan baik bagi para Ahli hukum,
penyelenggara pemerintah maupun para Ahli pemetaan.Perubahan –
perubahan kedudukan perbatasan antaranegara yang telah ditetapkan didalam
suatu perjanjian merupakan bukti adanya ketidakpuasan dari negara yang
saling berbatasan.
Sedangkan dalam penyusunan dan penetapan perjanjian perbatasan
antarnegara, peta memegang peranan yang sangat penting, yaitu sebagai alat
bantumenemukan dan menentukan lokasi distribusi spasial dari kawasan
30
perbatasan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam setiap perjanjian perbatasan
biasanya dilengkapi dengan peta sebagai lampiran yang berfungsi untuk
mempermudah, memperjelas letak, dan lokasi dari masing – masing titik batas
maupun area perbatasan yang telah disepakati oleh negara yang berbatasan.40
I. Konsep Persetujuan dalam Perjanjian Internasional (Consent to be
Bound by a Treaty)
Setelah naskah perjanjian akan secara resmi diterima sebagai naskah
yang othentik, perjanjian itu belum mengikat para pihak dan dengan demikian
belum memiliki kekuatan mengikat sebagai hukum internasional positif,
kecuali jika saat othentifikasi yang juga sebagai pernyataan persetujuan untuk
terikat pada perjanjian. Supaya perjanjian itu bersifat mengikat sebagai hukum
internasional positif, maka negara – negara yang berkepentingan harus
menyatakan secara tegas pada perjanjian tersebut. Jika dia tidak menyatakan
persetujuannya untuk terikat atau secara tegas menolak untuk terikat, maka
perjanjian itu tidak akan pernah mengikatnya. Persetujuan ataupun penolakan
untuk terikat pada suatu perjanjian adalah manifestasi dari kedaulatan setiap
negara. Sebagai negara berdaulat, negara tidak bisa dipaksa oleh kekuatan
apapun untuk menerima sesuatu yang tidak dikehendakinya, seperti
menyatakan terikat pada suatu perjanjian internasional.41
40
Ibid. hlmn 19 41
Dr.Kholis Rhoisyah, Hukum Perjanjian Internasional Teori dan Praktek, penerbit
elexmedia, Jakarta, 2013. Hlmn 67 - 71
31
Oleh karena itu, satu tahap yang harus dilalui oleh suatu negara adalah
pernyataan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian. Dengan cara
bagaimana persetujuan untuk terikat itu harus dilakukan, ditentukan didalam
perjanjian itu sendiri. Dalam pasal 11 Konvensi Wina 1969, ditegaskan
beberapa cara untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu
perjanjian, yaitu dengan penandatanganan (signature), pertukaran instrumen
yang membentuk perjanjian, ratifikasi, akseptasi, persetujuan atau aksesi, atau
dengan cara lain yang dapat disepakati, semua cara itu selanjutnya masing –
masing diatur dengan lebih rinci dalam pasal 12 – 17.42
Cara – cara menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian
seperti dalam pasal 11 – 17 sebenarnya adalah cara – cara yang sebelumnya
sudah lazim dipraktekkan sebagai hukum kebiasaan internasional. Cara – cara
yang sudah lazim itu oleh Internasional Law Commision sebagai komisi ahli
yang merancang Konvensi Wina 1969, diterima dan dimasukan sebagai
substansi dari konvensi. Melalui pembahasan yang intensif dalam konferensi
yang diadakan di Wina, akhirnya dicapai kesepakatan atas naskah finalnya
dalam bentuk pasal 11 – 17 Konvensi Wina 1969.43
42
Dr.Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian Internasional pengertian, status hukum, dan
ratifikasi, penerbit Locus, Jakarta, 2010. Hlmn 8 - 13 43
Prof. Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional peranan dan fungsi dalam era dinamika
global, penerbit Locus, Jakarta, 2011. Hlmn 10 -13
32
J. Penyelesaian Sengketa Internasional
Penyelesaian Sengketa Internasional adalah pertentangan antara kedua
negara atau lebih yang mempertahankan kedaulatan negaranya dari suatu
kedaulatan negara lain, diselesaikan melalui jalur litigasi atau Non-litigasi.
Jika melalui jalur litigasi diperlukan suatu Mahkamah Internasional sebagai
pengadilan Internasional yang bertugas menyelesaikan suatu sengketa antara
subjek hukum internasional, tetapi eksistensi Mahkamah Internasional hanya
sebagai pelengkap dalam penyelesaian sengketa tersebut. Inisiatif datang dari
negara yang bersengketa, dan yang berikutnya yaitu penyelesaian sengketa
melalui jalur non-litigasi, dimana setiap negara dapat menggunakan suatu
upaya mediasi, negosiasi, dan konsiliasi. Sehingga setiap kedaulatan negara
dalam pergaulan Internasional dapat terakomodir dan dipertahankan menurut
kedaulatan masing – masing setiap negara di seluruh dunia.44
Penyelesaian sengketa internasional berdasarkan penjelasan diatas dapat
dilakukan melalui dua cara yaitu;
I. Dengan Cara Damai Menurut Piagam PBB BAB VI Pasal 33 - 38,
terdiri dari;
44
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,
2011. Hlmn 52
33
a. Negosiasi
Dari semua prosedur yang digunakan untuk menyelesaikan perbedaan
pandangan, bisa dimaklumi bahwa bentuk yang paling sederhana dan paling
banyak digunakan ialah negosiasi. Negosiasi pada dasarnya terdiri dari
sejumlah diskusi diantara para pihak yang bersengketa dengan maksud
mencari titik temu bagi pendapat yang berbeda atau setidaknya untuk
memahami pandangan yang berbeda – beda. Negosiasi tidak mengikutkan
pihak ketiga setidaknya pada tahap itu, maka negosiasi berbeda dari bentuk
manajemen sengketa lainnya. Kecuali sebagai metode aktif penyelesaian
sengketa itu sendiri, dapat diartikan negosiasi menjadi pembuka jalan bagi
penyelesaian lain jika para pihak dikalangan mereka sendiri berusaha
memutuskan cara terbaik untuk menyelesaikan perbedaan pandangan.
Negosiasi sangat cocok untuk klarifikasi perselisihan pendapat yang rumit,
meski tidak selalu menjadi resolusi. Melalui diskusi timbal balik hakikat
perbedaan pendapat akan terungkap dan pendirian – pendirian yang
bertentangan akan terbuka. Negosiasi adalah cara paling memuaskan untuk
menyelesaikan sengketa, sebab para pihak terlibat secara langsung negosiasi
tentu saja tidak selalu berhasil sebab tergantung pada kesediaan, keluwesan,
dan kepekaan bersama. Opini publik yang bermusuhan disatu negara dapat
menghalangi konsesi dalam beberapa hal dan rasa tidak saling percaya dapat
memperumit proses, sedangkan sikap politik yang bermusuhan bisa
34
memuncak sedemikian rupa, sehingga mengecualikan segala kesepakatan
yang telah dinegosiasikan.
Beberapa keadaan mungkin ada suatu kesepakatan bilateral atau
kesepakatan multilateral yang mewajibkan pengguna negosiasi. Pasal 283 ayat
1 konvensi hukum laut 1982 menetapkan contoh bahwa ketika timbul sengketa
diantara negara-negara anggota menyangkut interprestasi atau penerapan
konvensi tersebut, „‟para anggota yang bersengketa harus meneruskan
bertukar pendapat dengan cara terbaik mengenai penyelesaiannya melalui
negosiasi atau cara damai lainnya. Traktat-traktat lainnya mungkin
menyatakan akan menggunakan mekanisme pihak ketiga setelah negosiasi
gagal. Kecuali itu ditegaskan bahwa didalam piagam atau lainnya dalam
hukum internasional, tidak ada aturan umum yang intinya menyatakan bahwa
penggunaan negosiasi merupakan prasyarat agar sebuah perkara dapat
diajukan ke Mahkamah Internasional.Banyak juga tribunal yang mengarahkan
pihak agar melakukan negosiasi dengan itikad baik, dan menunjukkan faktor-
faktor yang harus dipertimbangkan seiring dengan negosiasi yang berjalan
diantara para pihak tersebut.
Jika sengketa terus berlanjut dapat membahayakan pemeliharaan
kedamaian dan keamanan internasional, pasal 33 piagam PBB menetapkan
bahwa pertama-tama para pihak yang bersengketa harus mencari solusi
melalui negosiasi, penyelidikan resmi, atau mediasi, baru kemudian jika upaya
35
tersebut tidak membuahkan hasil, dapat memilih bentuk resolusi yang lebih
rumit.45
b. Mediasi
Mediasi adalah suatu penyelesaian secara damai yang melibatkan
adanya pihak ketiga untuk mengikatkan pihak yang bersengketa.Pihak ketiga
dalam perannya bertindak aktif dalam perundingan, sebagai mediator dapat
mengajukan saran dalam penyelesaian sengketa serta memimpin jalannya
perundingan, tetapi para pihak yang bersengketa tidak terikat untuk mengikuti
saran mediator.
Menurut J.G. Merillis sebagaimana dikutip oleh Huala Adolf, mediasi
adalah negosiasi tambahan ditambah dengan perantara atau mediator sebagai
pihak yang aktif, mempunyai wewenang, dan juga diharapkan menyalurkan
proses perundingan mulai dari proposal, dimana proposal ini bersifat tidak
formal dan berdasarkan informasi yang diajukan para pihak, bukan
berdasarkan penyelidikan sendiri. Alasan mediasi harus melibatkan pihak
ketiga, karena kedudukannya yang netral dan independen dalam suatu
sengketa.Tujuannya yaitu untuk menciptakan sebuah kontak antara pihak yang
bersengketa.Mediator tersebut dapat berupa negara, individu, organisasi
internasional, dan lain-lain.Selain itu mediator juga dibolehkan bertindak
45
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2004.hlmn 46
36
sendiri atau secara sukarela menjadi mediator, atau menawarkan untuk
menjalankan fungsinya dari salah satu pihak atau kedua negara.Maka dapat
disimpulkan kesepakatan para pihak diperlukan agar dapat sebagai prasyarat
utama menjadi mediator.46
Berdasarkan penyelesaian sengketa internasional, mediasi sering
dilakukan oleh negara jika jalan negosiasi sudah menempuh jalan buntu,
sedangkan pemilihan mediator digunakan tiga cara, yaitu mediator tersebut
telah dipilih oleh negara yang sedang bersengketa, dipilih oleh pihak yang
ditunjuk oleh pihak yang sedang bersengketa, tidak hanya itu mediator yang
ditawarkan tersebut dapat juga dapat berupa negara, organisasi internasional,
atau NGO. Selain itu mediator juga harus mementingkan tugas utamanya,
yaitu mediator berkewajiban untuk menjalin hubungan dengan para pihak
yang bersengketa agar menimbulkan keluwesan dalam proses perundingan
berlangsung, mediator juga harus mengetahui asal usul permasalahan yang
menjadi latar belakang terjadinya konflik, agar dapat memetakan strategi yang
digunakan untuk menyelesaikan sengketa, mediator juga harus dapat sebisa
mungkin untuk membangun kepercayaan dan kerjasama antara pihak yang
bersengketa, mediator dapat menarik garis besar masalah sehingga dapat
menemukan rumusan masalah untuk dijadikan suatu agenda penyelesaian
sengketanya, mediator juga harus bisa memancing adanya inisiatif para pihak
46
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2004.hlmn 46-47
37
untuk memilih penyelesaian sengketa, dan yang terakhir mediator juga harus
bisa menganalisa pilihan tersebut agar sampai pada para pihak, sehingga dapat
sampai ke proses akhir yaitu tawar menawar dan berujung pada kesepakatan
para pihak.47
c. Konsiliasi
Konsiliasi adalah pengusutan fakta – fakta sengketa oleh pihak ketiga
dan penyerahan laporan yang menjelaskan saran-saran untuk penyelesaiannya,
karena itu proses konsiliasi melibatkan unsur baik penyelidikan resmi maupun
mediasi, dan sebenarnya lahir dari traktat-traktat yang merencanakan komisi
penyelidikan resmi permanen. Laporan konsiliasi hanya usulan, sehingga
bukan merupakan keputusan yang mengikat.Pada zaman dahulu dimasa
peperangan dunia adalah masa gemilang bagi komisi konsiliasi. Banyak traktat
yang menetapkan ketentuan bagi konsiliasi sebagai metode penyelesaian
sengketa, namun prosesitu belum diterapkan secara luas.
Proses konsiliasi memang mempunyai peran penting, proses konsiliasi
luar biasa lentur, penjernihan fakta-fakta dan pembahasan ulasan-ulasan akan
dapat merangsang timbulnya negosiasi diantara para pihak. Aturan – aturan
yang menangani konsiliasi dijelaskan dalam General Act penyelesaian damai
sengketa internasional 1928.Fungsi komisinya ditetapkan untuk mencakup
teknik penyelidikan dan mediasi. Komisi-komisi tersebut terdiri dari lima
orang, satu ditunjuk oleh pihak yang berselisih, tiga lainnya ditunjuk dengan
47
Ibid
38
kesepakatan dari antara warga negara pihak ketiga. Proses tersebut berjalan
selama enam bulan dan tidak boleh digelar di depan umum. Proses konsiliasi
dimaksudkan untuk menangani situasi hukum factual, serta untuk bekerja
dengan cepat dan formal.Konsiliasi adalah gabungan dari penyelidikan resmi
(inquiry) dan mediasi.Dalam penyelesaian sengketanya memiliki suatu
kemiripan dengan mediasi, tetapi konsiliasi lebih formal dari pada mediasi.Hal
tersebut dapat terwujud dengan tugas konsiliator yang memiliki peran lebih
intervensi dari pada mediator.Konsiliator dapat secara aktif memberikan
nasihat dan pendapat agar kedua negara yang bersengketa dapat
menyelesaikan sengketanya.Hal itu berbeda dengan mediator yang hanya
membujuk dan memberikan inspirasi bagi pihak yang bersengketa.
Meski penyelesaian sengketa melalui jalur konsiliasi sudah lama
hilang, namun muncul sejumlah usulan untuk menghidupkan kembali teknik
konsiliasi. Seperti yang ada pada traktat penyelesaian damai Amerika 1948,
konvensi Eropa untuk penyelesaian damai sengketa 1957, protocol komisi
mediasi konsiliasi, dan arbitrase untuk piagam organisasi kesatuan Afrika (uni
Afrika) 1964, konvensi Wina tentang hukum traktat 1969, konvensi tentang
perwakilan negara – negara dalam hubungan dengan organisasi internasional
1975 dan sebagainya.48
48
Ibid.hlmn 47 - 48
39
d. Penyelidikan Resmi (inquiry)
Penyelidikan resmi adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan
dengan membentuk sebuah komisi atau badanyang bertugas untuk mencari
bukti – bukti yang menjadi latar belakang terjadinya sengketa.Dengan
pembuktian dan permasalahan tersebut, komisi atau badan yang bersangkutan
dapat mengeluarkan sebuah fakta dan mencari penyelesaiannya.Tujuan
dibentuknya komisi tersebut, agar dapat menemukan fakta serta solusi logis
yang berdasarkan perkara-perkara faktual yang terjadi.Komisi tersebut terdiri
dari pengamat yang bereputasi tinggi dan mengetahui dengan pasti fakta-fakta
yang disengketakan.Ketentuan untuk penyelidikan resmi tersebut, pertama kali
dijelaskan didalam konvensi Den haag 1899 sebagai alternative yang boleh
digunakan untuk arbitrase.Namun teknik tersebut bersifat terbatas dan hanya
relevan untuk kasus sengketa internasional yang tidak melibatkan kehormatan
dan kepentingan vital para pihak.Dengan konflik berpusat pada
ketidaksepahaman mengenai fakta-fakta khusus yang dapat diselesaikan
dengan mengadakan investigasi menyeluruh dan tidak memihak.49
e. Jasa Baik (good offices)
Jasa baik adalah penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga
bisa perorangan atau lebih dari seorang, negara atau kelompok negara, atau
organisasi internasional, memiliki kemiripan dengan mediasi, dimana jasa baik
mengajak pihak yang bersengketa untuk melakukan suatu negosiasi tetapi
49
Ibid.hlmn 48
40
tidak terlalu aktif, adanya kemauan dari pihak untuk melakukan rangkaian
negosiasi adalah keberhasilan jasa baik.
Hal ini memiliki keterkaitan sehingga sering kali sulit dipertahankan,
sebab keduanya cenderung saling menyatu, tergantumg pada keadaan –
keadaan yang ada.Dapat dilihat dari contoh metode jasa baik peran yang di
peragakan perancis dalam mendorong agar negosiasi AS-Vietnam utara di
mulai di Paris pada awal 1970-an, pada saat itu sekretaris jenderal PBB
berperan penting dalam melaksanakan jasa – jasa baiknya.Jasa baik juga dapat
dilaksanakan sekretaris jenderal secara gabungan dengan para pemegang
jabatan lainnya dalam organisasi regional.50
f. Arbitrase
Arbitrase adalah penyelesaian sengketa non-litigasi yang mempunyai
keputusan mengikat dengan itikad baik, melalui badan yang resmi dan
permanen. Prosedur arbitrase berkembang dari proses – proses penyelesaian
sengketa diplomatik dan menunjukkan kemajuan ke arah sistem hukum
internasional yang maju. Arbitrase dalam bentuk modern lahir bersama Traktat
Jay 1794 antara Inggris dan Amerika, yang menetapkan pembentukan komisi
campuran untuk menyelesaikan sengketa hukum diantara pihak.Konvensi Den
haag untuk penyelesaian damai sengketa 1899 memasukkan sejumlah
ketentuan tentang arbitrase internasional yang tujuannya dianggap ada didalam
pasal 15,’’the settlement of differences between states by judges of their own
50
Ibid.hlmn 49
41
choice and on the basis of respect for law’’.Tujuan ini menjadi definisi
arbitrase yang diterima dalam hukum internasional. Definisi itu diulang dalam
pasal 37 konvensi Den haag 1907 dan diambil Mahkamah Internasional
permanen dalam kasus menyangkut interpretation of article 3, paraghraph 2, of
the treaty of Lausanne, dan juga diambil oleh Mahkamah Internasional.
Arbitase internasional diputuskan menjadi cara penyelesaian sengketa paling
efektif dan adil apabila diplomasi telah gagal. Kesepakatan untuk mengambil
arbitrase ada dalam pasal 18 menyiratkan kewajiban hukum untuk menerima
syarat – syarat putusan. Kecuali itu, Tribunal arbitase permanen (PCA) juga
sudah dibentuk. Tribunal arbitrase permanen bukan benar – benar sebuah
pengadilan sebab tidak terdiri dari kumpulan hakim dalam jumlah tetap.
Tribunal arbitrase permanen terdiri dari panel orang – orang yang ditunjuk
oleh para pihak yang mengadakan kontrak (tiap-tiap pihak menunjuk
maksimum empat orang).Terdiri dari orang yang kompetensinya sudah diakui
dalam persoalan hukum internasional, memiliki reputasi moral tinggi, dan
bersedia menerima tugas sebagai arbiter.Jika ingin menempuh arbitrase,
negara – negara yang mengadakan kontrak berhak memilih anggota tribunal
dari panel itu.
Ada bermacam – macam susunan tribunal arbitrase, tribunal arbitrase
dapat terdiri dari seorang arbiter saja atau badan akademis. Dalam hal badan
akademis ini, tiap-tiap pihak akan menunjuk arbiter dalam jumlah yang sama
dengan seorang ketua atau penengah ditunjuk oleh para pihak atau arbiter
42
yang sudah ditunjuk. Dalam banyak kasus, seorang kepala negara lah yang
akan diusulkan sebagai arbiter tunggal, kemudian arbiter tunggal tersebut akan
menunjuk pakar dibidang hukum internasional dan disiplin ilmu yang lain
yang relevan untuk bertindak mewakilinya dibawah sistem PCA, bila tidak
ada kesepakatan mengenai hal yang sebaliknya, tiap – tiap pihak memilih dua
arbiter dari panel tersebut, akan tetapi hanya seorang dari mereka yang berasal
dari negara pemilihnya. Lalu arbiter memilih seorang penengah, tetapi jika
gagal tugas itu akan diserahkan kepada pihak ketiga yang ditunjuk melalui
kesepakatan. Jika pihak ketiga juga gagal ditunjuk, maka kemudian dijalankan
proses yang rumit dengan pengundian sebagai puncaknya.
Arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa menggabungkan
unsur baik prosedur diplomatik maupun prosedur pengadilan.Keberhasilan
tergantung pada besarnya kesediaan diantara pihak dalam menyusun
compromise dan membentuk tribunal, disamping benar – benar melaksanakan
putusan yang kemudian dibuat. Sebagian besar kesuksesan tergantung pada
suatu proses negosiasi. Dilain pihak, arbitrase merupakan teknik ajudikatif
karena putusannya bersifat mengikat dan tidak dapat diubah lagi, dan para
arbiter diharuskan mendasarkan keputusannya pada hukum. Arbitrase
merupakan proses yang sangat berguna bila dibutuhkan tingkat kepakaran
tertentu, atau bila dikehendaki kelenturan dan kecepatan yang lebih dari yang
dapat disediakan oleh Mahkamah Internasional. negara – negara sendiri yang
memilih arbiternya, menentukan hukum dan prosedurnya, juga membuat
43
jadwalnya. Kecuali itu, negara – negara yang terlibat boleh mengharapkan
proses akan berjalan dengan cara rahasia, sesuatu yang mungkin tak tercapai
di Mahkamah Internasional dengan pemeriksaannya yang berlangsung lisan
dan umum serta laporan tertulisnya yang dipublikasikan. Namun, para pihak
harus membayar semua biaya arbitrase, termasuk ongkos yang wajib
dibayarkan kepada panitera dan para arbiter, sedangkan di Mahkamah
Internasional, hakim dan anggota kepaniteraan dibayar oleh PBB.51
II. Penyelesaian Sengketa Melalui Organisasi Internasional
Pasal 52 ayat 1 BAB VIII, piagam PBB menetapkan bahwa piagam
tersebut tidak mengecualikan keberadaan kesepakatan regional atau badan –
badan regional untuk menangani persoalan yang berhubungan dengan
pemeliharaan kedamaian dan keamanan internasional yang sesuai dengan aksi
regional, asalkan kesepakatan atau badan regional tersebut beserta aktivitasnya
konsisten dengan tujuan dan asas PBB. Pasal 52 ayat 2 menetapkan bahwa
anggota – anggota PBB yang menandatangani perjanjian atau mengikuti badan
tersebut, harus menempuh segala upaya untuk menyelesaikan sengketa lokal
secara damai melalui perjanjian regional atau badan regional yang merujuk
pada dewan keamanan. Bahwa Dewan Keamanan mendukung pengembangan
penyelesaian damai untuk sengketa – sengketa lokal melalui perjanjian
regional. Meskipun sudah dinyatakan demikian, pasal 52 ayat 4 menekankan
bahwa penerapan pasal 34 dan pasal 35 piagam PBB mengenai peran Dewan
51
Ibid.hlmn 49 - 50
44
Keamanan dan majelis umum tidak terpengaruh. Supremasi Dewan Keamanan
diperkuat dengan pasal 53 ayat 1 yang menetapkan bahwa Dewan Keamanan
dapat menggunakan perjanjian regional atau badan – badan regional untuk
tindakan penegakan kedamaian dibawah otoritasnya, pengambilan tindakan
penegakan dibawah perjanjian regional atau badan regional tidak bisa
dilakukan tanpa otoritas Dewan Keamanan. Harus disebutkan bahwa menurut
pasal 24 piagam PBB, Dewan Keamanan memiliki tanggung jawab utama
untuk memelihara keamanan dan kedamaian internasional.Sedangkan pasal
103 piagam PBB menegaskan apabila terjadi konflik diantara kewajiban –
kewajiban anggota PBB dibawah piagam dan kewajiban – kewajiban dibawah
perjanjian internasional lain, maka kewajiban dibawah piagam lah yang
berlaku.Kecuali menurut pasal 36, Dewan Keamanan pada tahap apapun
dalam sengketa boleh merekomendasikan prosedur atau metode penyelesaian
sengketa yang sesuai.Sedangkan menurut pasal 37 menetapkan jika para pihak
yang bersengketa gagal mencapai penyelesaian, mereka harus merujuknya
kepada Dewan Keamanan.
Selanjutnya jika Dewan Keamanan sendiri menganggap kelangsungan
sengketa kemungkinan besar dapat membahayakan pemeliharaan kedamaian
dan keamanan internasional, maka Dewan Keamanan yang akan memutus
mengambil tindakan dibawah pasal 36 ataukah merekomendasikan syarat –
45
syarat penyelesaian yang dianggap sesuai. Bahkan diberbagai organisasi
internasional telah dibentuk alat perlengkapan untuk penyelesaian sengketa.52
52
Ibid.hlmn 50 - 51
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah Yuridis Normatif yaitu
mengkaji mengenai aspek teori, filosofi, perbandingan, struktur atau
komposisi, konsistensi, penjelasn umum, dan penjelasan pada tiap aturan
hukum. Penelitin ini hanya ditujukan pada peraturan – peraturan tertulis
sehingga penelitin ini sangat erat hubungannya pada perpustakan karena akan
membutuhkan data – data yang bersifat sekunder pada perpustakan.
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kasus (Case
Approach) yaitu mengkaji dan menganalisis kasus sengketa pulau Dokdo atau
Takeshima yang diperebutkan oleh Jepang dan Korea Selatan.Kasus ini dipilih
mengingat dalam legitimasi status wilayahnya belum secara hukum
diputuskan oleh Mahkamah Internasional, sehingga menimbulkan konsekuensi
yang menimbulkan status wilayah pulau tersebut masih tidak bertuan
(Wilayah Terra Nullius).Sepanjang ada subjek hukum Internasional yang
mengklaim pulau Dokdo atau Takeshima, dan juga mendapatkan pembenaran
dari hukum internasiona, maka dianggap tidak melanggar kedaulatan negara
mana pun. Pendekatan peraturan tertulis adalah suatu pendekatan yang
47
dilakukan terhadaphukum internasional mengenai implementasi aturan hukum
yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa kedaulatan negara
berdasarkanhukum internasional. Sehingga berdasarkan kasus tersebut dapat
dijadikan bahan kajian untuk memperkuat analisis dalam penelitian ini,
mengenai legitimasi klaim yang diajukan oleh Jepang dan Korea Selatan atas
pulau Dokdo atau Takeshima.
a. Pendekatan kasus (Case Approach)
Suatu pendekatan kasus yang dikomparasikan dengan keputusan
Mahkamah Internasional mengenai kasus pulau Sipadan dan Ligitan yang
disengketakan oleh Indonesia dan Malaysia. Dimana pertimbangan hakim
Mahkamah Internasional adalah berdasarkan pengawasan efektif (effectivity)
yang didalam putusannya 16 hakim memihak Malaysia dengan mengecualikan
(tanpa memutus pada territorial perairan laut dan batas – batas maritim).
b. Pendekatan peraturan hukum Tertulis (statute approach)
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu
pendekatan yang dilakukan terhadaphukum internasional mengenai
implementasi aturan hukum yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa
kedaulatan negara berdasarkan hukum internasional, seperti : konvensi hukum
Internasional seperti (UNCLOS 1982 dan Piagam PBB), hukum kebiasaan
48
Internasional, Perjanjian San Fransisco 1951, deklarasi Cairo, Traktat
aneksasi, perjanjian hubungan dasar, dokumen internasional.53
C. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, adalah
bahan hukum primer (primary) dan bahan hukum sekunder (secondary).
Bahan hukum primer ialah bahan hukum yang diperoleh langsung, sedangkan
bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh peneliti dari
penelitian kepustakaan dan dokumen, yang merupakan hasil penelitian dan
pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau
dokumen yang biasanya disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi.
Di dalam penelitian hukum, bahan hukum mencakup bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti :
1. United Nation Charter (piagam PBB)
53
Berdasarkan perjanjian san fransisco pasal 2, Jepang berpendapat bahwa Jepang hanya
mengakui kemerdekaan Korea, sedangkan adanya kewajiban untuk mengembalikan pulau
Dokdo atau Takeshima tidak disebutkan dalam perjanjian (kazuo, 1997 : 477).
Pulau Takeshima atau Dokdo pada awalnya merupakan wilayah yang tidak ada pemiliknya
atau Ussanguk yang telah menjadi wilayah Korea Selatan pada masa Dinasti Shilla Tahun 512
SM ( Hoon : 389).
Sengketa antara Jepang dan Korea Selatan timbul dengan Adanya Konsep Nasional Interest
yaitu meliputi kepentingan pertahanan, kepentingan ekonomi, kepentingan tata internasional,
kepentingan ideologi ( Donald 1979 75: 76).
Mahkamah Internasional mengadili wilayah sengketa pulau biasanya menggunakan prinsip
penemuan, pengawasan efektif, pendudukan tanpa protes, dan konektifitas geografis. Dimana
hakim mempertimbangkan dua pembuktian untuk memperkuat klaim yaitu dokumen
perjanjian dan pengawasan efektif (Jon, 2007 : 158)
49
2. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS
1982)
3. Deklarasi Cairo 1943
4. Perjanjian San Fransisco 1951
5. Traktat aneksasi 1905
6. Traktat aneksasi 1910
7. Perjanjian hubungan dasar tahun 1956
b. Bahan Hukum sekunder :
1. Buku – buku atau Literatur yang relevan dan berkaitan dengan
permasalahan yang di angkat.
2. Surat kabar, majalah, jurnal yang berhubungan dengan
permasalahan.
3. Penelusuran situs, website melalui media internet.
D. Teknik Penelusuran Bahan Hukum
Teknik penelusuran Bahan Hukum adalah cara – cara yang digunakan
untuk menelusuri bahan hukum yang dibutuhkan. Teknik Penelusuran Bahan
Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, sumber
hukum internasional, dan penelusuran informasi melalui internet (survey
online).
50
E. Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam penulisan penelitian ini, penulis dalam mengelolah Bahan
hukum memakai teknik deskriptif analitis. Untuk mendeskripsikan dan
menganalisa bahan hukum dilakukan dengan mengkategorikan ke dalam
bahan hukum primer berupa peraturan tertulis mengenai hukum internasional.
Bahan hukum sekunder dalam bentuk Bahan Hukum Primer yang terdiri dari
konvensi, hukum kebiasaan internasional, perjanjian internasional, dan
Dokumen Internasional. Bahan Hukum sekunder dalam bentuk literatur,
artikel surat kabar dari media internet yang relevan dan terkait dengan topik
penelitian. Berdasarkan hasil deskripsi analisis dan pemahaman tersebut
ditarik kesimpulan bahwa hukum internasional merupakan solusi kongkrit
penyelesaian sengketa oleh Jepang dan Korea Selatan atas Kedaulatan Pulau
Dokdo atau Takeshima. Kemudian tahap terakhir dilakukan penarikan
kesimpulan (verifikasi) dan dituangkan ke dalam bentuk penelitian ilmiah.
F. Definisi Konseptual
1. Kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi atau supremasi hukum
dari suatu negara untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan
hukumnya dari intervensi kedaulatan negaralain, karena setiap negara
memiliki kehendak untuk mengatur negaranya sendiri berdasarkan
caranya sendiri.
51
2. Sengketa adalah pertentangan antara kedua negara atau lebih yang
mempertahankan kedaulatan negaranya dari suatu kedaulatan
negaralain yang diselesaikan melalui jalur litigasi atau Non-litigasi.
3. hukum internasional adalah suatu keseluruhan kaidah yang mengatur
tentang hubungan antara subjek hukum internasional, dimana semua
subjek hukum internasional mematuhinya dan mengikat secara umum
dalam hubungannya antara satu sama lain.
4. Wilayah negara adalah tempat berlakunya suatu Kedaulatan negara,
dimana batas-batas suatu daerah negara ditentukan dengan
perjanjian.Perjanjian dengan negara-negara tetangganya baik
perjanjian yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
52
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Klaim kedaulatan Negara Korea Selatan dan Jepang atas pulau Dokdo
atau Takeshima, menurut Hukum Internasional
Pulau Dokdo terdapat di laut timur, ada juga pulau karang dalam pulau
Dokdo yaitu pulau seodo dan dongdo.Berdasarkan bukti historis pulau Dokdo
adalah milik Korea Selatan, bahkan sejak zaman dinasti shilla selama 512 SM.
Pada saat itu pulau Dokdo bernama ussankuk atau pulau yang tidak ada
kepemilikannya sebelum bersatu dengan Korea Selatan,54
bukti yang ada
banyak yang menyebutkan bahwa pulau Dokdo sudah pernah dijadikan
wilayah Korea Selatan dan juga berdaulat atas wilayah tersebut.Namun, pada
tahun 1905 Jepang telah menganeksasi wilayah kedaulatan Korea Selatan
dengan pulau Dokdo yang telah dijadikan kawasan wilayah dibawah
pengawasan Perfektur Shimane yang pada saat itu digunakan sebagai
pemantau Perang Dunia II.55
54
Pulau Takeshima atau Dokdo pada awalnya merupakan wilayah yang tidak ada pemiliknya
atau Ussanguk yang telah menjadi wilayah Korea Selatan pada masa Dinasti Shilla Tahun 512
SM ( Hoon : 389). 55
Shin yongha, Disputes over ulleungdo and tokdo at the end of the 17 th Century, archive,
(archive.is/H7RS), di akses 12 mei 2015
53
Menurut Templemen sebagaimana dikutip oleh Huala Adolf, jika suatu
negara ingin menjadikan suatu wilayah tidak bertuan atau tanpa pemilik
menjadi wilayahnya tindakan tersebut harus memenuhi beberapa syarat yang
dipenuhi dengan begitu okupasi sah berdasarkan legitimasi hukum, yaitu
pertama, wilayah tersebut harus tidak bertuan atau terra nullius serta tidak ada
satupun kedaulatan negara yang berlaku didaerah tersebut. Pada zaman dinasti
shilla 512 SM pulau Dokdoadalah wilayah terra nullius setelah itu diokupasi
oleh Korea Selatan menurut dokumen sejarah “Dongguk Munheon Bigo” yang
menyebutkan pulau ussanguk (tidak bertuan) telah dikuasai oleh kerajaan
Shilla. Tidak hanya itu, bahkan menurut dokumen sejarah “Sejong Sillok jiriji”
yang menyebutkan adanya gambaran peta nasional kerajaan Joseon oleh King
Sejong yang mengikut sertakan pulau Usan (Dokdo) menjadi wilayah kerajaan
Joseon. Kedua, kependudukan tersebut harus dilakukan oleh sebuah negara,
sedangkan kependudukan tersebut sudah diduduki oleh Korea Selatanpada
masa kerajaan Shilla hingga sekarang.Ketiga, kependudukan tersebut harus
secara terbuka, terus menerus, efektif, dan damai.Hal itu telah dilakukan oleh
Korea Selatanpada tahun 1694, perintah untuk melaksanakan Suto (inspeksi)
atas pulau Ulleungdo (sebutan pulau Dokdo pada zaman kerajaan Joseon).
Sistem suto yaitu penjagaan secara terkontrol selama 2 tahun sekali terhadap
pulau Ulleungdo yang telah diperintahkan sebelumnya oleh perdana menteri
Nam Gu Man. Meskipun pada masa Perang Dunia ke-II pulau Dokdo atau
Takeshima diambil Ahli oleh Jepang, kependudukan secara fisik sekarang ini
ada pada Korea Selatan. Ke empat, negara yang menduduki wilayah tersebut
54
harus mempunyai niatan menguasai wilayah tersebut, hal ini pun juga sudah
dilakukan oleh Korea Selatan dibuktikan dengan ke aktifan Korea Selatan
mempertahankan kedaulatan pulau Dokdo atau Takeshima atas dirinya
terhadap Jepang dan Cina.56
Sedangkan tindakan aneksasi yang dilakukan oleh Jepang pada masa
Perang Dunia ke-II dapat diakui sebagai perolehan wilayah secara aneksasi.
Menurut legitimasi hukum perolehan wilayah aneksasi yang sah, wilayah
aneksasi tersebut harus berasal dari gabungan wilayah lain ke dalam wilayah
kedaulatannya. Tidak hanya itu wilayah yang diduduki tersebut berasal dari
wilayah yang sudah ditaklukan oleh negara yang menganeksasi atau wilayah
yang sudah ada dalam kekuasaan negara yang menganeksasi.Hal tersebut
dibuktikan dengan penjajahan Jepang atas Korea Selatan, dan menjadikan
pulau Dokdo atau Takeshima sebagai pangkalan perang Jepang ketika sedang
berperang dengan Rusia.Berikutnya, pendudukan tersebut juga harus disertai
dengan pernyataan aneksasi oleh negara yang menganeksasi. Hal tersebut
terbukti dengan adanya kepemilikan wilayah Korea Selatan oleh Jepang pada
masaPerang Dunia ke-II dengan cara kekerasan atau secara paksa. Tidak
hanya itu, bahkan oleh Jepang dalam peta Hayashi Shihei dijelaskan bahwa
pulau Dkdo atau Takeshima sudah ada dalam kepemilikannya menurut jalur
56
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2004. Hlmn 41
55
wokou raids yang dibuat oleh klan keluarga Jepang untuk mencari ikan,
setelah itu dijadikan gambaran peta nasional oleh Jepang.57
Setelah Perang Dunia ke-II selesai, upaya dari Jepang untuk memiliki
pulau Dokdo atau Takeshima mulai timbul seperti adanya banyak klaim atas
wilayah tersebut oleh Jepang.Pihak Jepang mengklaim bahwa berdasarkan
perjanjian san fransisco 1951 pasal 2, Jepangsama sekali tidak melepaskan
kedaulatannya atas pulau Dokdo,yang dihilangkan kepemilikannya atas pulau
port hamilton, quelpart, dan dagelet.Maka dari itu Jepang beranggapan pulau
Dokdo belum dilepas kedaulatannya. Setelah sekian lama menduduki pulau
Dokdo pada saat Perang Dunia II, kembali lagi sekitartahun 90-anPerfektur
Shimane melakukan survey berkala diwilayah pulau Dokdo. Alasan Perfectur
Shimane melakukan survey adalah menjaga keamanan pantai daerah disekitar
laut Jepang, akan tetapi hal tersebut kembali memicu konflik antara pihak
yaitu Korea Selatan dengan Jepang. Melalui berita bahkan surat kabar Korea
mempublikasikan upayaJepang tersebut sebagai pelanggaran hukum
internasional kepada seluruh dunia. Tidak hanya itu banyak sekali rakyat
Korea yang terdiri dari mahasiswa, aktivis, dan para golongan
demonstranmelakukandemonstrasi besar – besaranmembela Korea untuk
57
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2004. Hlmn 31
56
melakukan upaya yang efektif dan mengeluarkan kebijakan terkait
pelanggaran Jepang.58
Menurut teori kedaulatan salah satu unsur eksistensi sebuah negara,
Parthiana menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan
yang tertinggi dan mutlak, utuh, bulat, dan tidak dapat dibagi – bagi, karena
itu tidak dapat ditempatkan dibawah kekuasaan lain. Kedaulatan negara tidak
lagi bersifat mutlak, akan tetapi pada batas – batas tertentu harus menghormati
kedaulatan negara lain yang diatur melalui hukum internasional.59
Hal tersebut
tentu bisa kita lihat melalui tindakan Jepang yang secara sepihak melakukan
survey berkala terhadap pulau Dokdo atau Takeshima.Upaya klaim kedaulatan
secara sepihak tidak diperbolehkan karena dianggap melanggar hak – hak
negara lain atas wilayah tersebut, sedangkan Jepang sendiri harus
menghormati kedaulatan tiap negara atas wilayah tersebut, sehingga dapat
disimpulkan klaim kedaulatan adalah tindakan yang dapat mempengaruhi
kedaulatan negara lain atas haknya. Bahkan menurut Doktrin intertemporal
law60
, mengartikan klaim wilayah mulai dari wilayah tersebut ditemukan harus
memperoleh pengakuan secara sah menurut hukum internasional yang
58
Charles Scanlon, South korean vent fury at japan, BBC online, (news.bbc.co.uk/2/hi/asia-
pacific/4361343.stm), 18 Maret 2005 59
I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014.
Hlmn 16 - 18 60
menurut Doktrin intertemporal law, mengartikan (pembuktian) atau klaim wilayah mulai
dari wilayah tersebut ditemukan harus memperoleh pengakuan secara sah menurut hukum
internasional yang berlaku.
57
berlaku.Sementara status kedudukan pulau Dokdo sendiri belum ditentukan
milik siapa.61
Sebelumnya terdapat suatu perjanjian penangkapan ikan antara Jepang dan
Korea Selatan di laut Jepang.Menurut perjanjiandelimitasi batas wilayah zona
perikanan telah ditetapkan oleh kedua negara sepanjang 35 Mil dari masing –
masing batas perairan kedaulatan negara bersangkutan secara eksklusif,
sedangkan dalam pembagian hasil tangkap ikan akan diatur menurut komisi
perikanan Gabungan. Selanjutnya yaituperjanjian penentuan jalur angkutan
udara commercial yang sama sekali tidak mempengaruhi delimitasi batas
perbatasan negara Jepang dan Korea Selatan.Ada dua perjanjian yang telah
dibuat tetapi tidak ada satupun dalam perjanjian tersebut yang membicarakan
upaya pembuatan perjanjian perbatasan territorial laut di Pulau Dokdo.62
Jika dari awal sudah ditentukan batas territorial laut Jepang dan Korea
Selatan dari garis pangkal daratan pulau Ulleung dan pulau Okiterkait
pengambilan kekayaan alam berupa gas hydrat didalam Ulleung Tsusima
Basin, tidak akan terjadi sengketa antara kedua negara. Ulleung Tsusima Basin
berada di pedalaman laut yang terletak di landas kontinen perairan wilayah
laut pulau Dkdo atau Takeshima, sehingga segala pengambilan atau
eksploitasi sumber daya alam harus menggunakan peraturan konvensi hukum
61
Malcolm N. Shaw, hukum internasional, penerbit Nusamedia, Bandung, 2013. Hlmn 31
62Lalak Dedy Priswantoro, status kepulauan Dokdo dalam perspektif hukum
internasional, fakultas ilmu social dan politik universitas Jember, jurnal hukum, Mei 2007
58
laut 1982 mengenai landas kontinen.Sedangkan menurut perjanjian perbatasan
itu sendiri perolehan kedaulatan wilayah yang didasarkan dari suatu perjanjian
internasional, dimana dianggap sebagai batasan utama, dan terpisah dari
perjanjian yang telah menyebutkan hal tersebut. Maka dianjurkan bagi kedua
negara yang bersengketa jika memungkinkan untuk membuat suatu perjanjian
perbatasan negara, bahkan dijelaskan didalam hukum laut 1982 batas wilayah
suatu negara dapat diklaim sejauh sampai 350 mil. Dapat kita lihat pada pasal
6 konvensi hukum laut 1958 penentuan batas landas kontinen secara tegas
menggunakan (medien line atau equidistance principle) dengan syarat tidak
terdapat kasus – kasus tertentu yang mengakibatkan atau memungkinkan garis
batas ditentukan dengan jarak yang tidak sama. Hal ini pun masih berlaku
didalam konvensi hukum laut 1982. Untuk cara implementasinya dijelaskan
oleh Donillo sebagaimana dikutip oleh I Wayan Parthiana yang berpendapat
pada kasus delimitasi batas landas kontinen, Mahkamah Internasional
menafsirkan garis batas tersebut diluar dari garis tengah atau median line
apabila berkaitan dengan penetapan suatu keputusan yang adil bagi semua
pihak sehingga akan melahirkan prinsip yang dikenal sebagai equitable
principles, namun pada suatu kasus tertentu Mahkamah Internasional tetap
mengacu pada median line dalam penentuan dan penetapan batas landas
kontinen. Tidak menutup kemungkinan untuk Jepang dan Korea Selatan jika
ingin menentukan batas territorial lautnya dikemudian hari yang sampai saat
ini sedang dipertanyakan.63
Ditambah lagi pulau tersebut secara fisik berada
63
I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014.
59
dalam kekuasaan Korea Selatan, jika terdapat penduduk yang menempati
pulau tersebut maka dapat dilakukan upaya self determination, yaitu perolehan
wilayah yang dilakukan oleh penduduk asli atas kedaulatan wilayahnya
dengan cara penentuan nasib sendiri, tetapi oleh Korea Selatan pulau tersebut
saat ini dijadikan tempat wisata dan tidak ada penduduk tetap yang menempati
pulau tersebut. Tidak menutup kemungkinan jika tindakan yang dapat
dilakukan untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah suatu perjanjian
internasional.64
Sebelumnya pada tanggal 18 Januari 1952 terdapat deklarasi dari
pemimpin Korea Selatan yaitu Syngman Rhee, Rhee menentukan garis
imajiner (penentuan penarikan garis pangkal) perbatasan wilayah laut antara
Semenanjung Korea dengan Laut Jepang yang mengikutkan posisi territorial
Dokdo kepada Korea Selatan. Meskipun telah dikeluarkan suatu perjanjian san
fransisco pada tahun 1951 yang dalam perjanjian tersebut sama sekali tidak
mendaftarkan pulau Dokdo hanya Ulleungdo, Jejudo, dan Seokdo.Bukan
berarti dalam kekuasaannya dimasa penjajahan diPerang Dunia II wilayah
aneksasi Jepang yang tidak menyebutkan pulau Dokdo dapat begitu saja
diklaim kedaulatannya pada saat itu, hal tersebut harus disertai bukti yang
konkrit dalam penguasaannya atas pulau Dokdo atau Takeshima. Garis
Hlmn 38 - 43 64
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2004. Hlmn 41
60
imajiner (penentuan penarikan garis pangkal) yang ditarik oleh Syngman Rhee
disebut dengan Rhee line bahkan garis delimitasi Rhee line tersebut disertai
dengan banyak upaya mulai dari pengawasan secara efektif diwujudkan
dengan pengawasan patroli, penempatan penjaga pantai, dan membentuk
sebuah monumen atau mercusuar pada tahun 1954di pulau Dokdo, sehingga
secara konkrit terdapat kedaulatan fisik wilayah tersebut adalah kedaulatan
Korea Selatan.65
Menurut Templemen sebagaimana dikutip oleh Huala Adolf, adanya suatu
upaya okupasi harus memenuhi beberapa syarat sehingga upaya tersebut
dapat disebut sebagai upaya okupasi seperti apa yang dijelaskan sebelumnya
bahwa Korea Selatan memperoleh pulau Dokdo atau Takeshima secara
okupasi.66
Selainitu tindakan perolehan pulau tersebut juga diikuti dengan
niatan untuk menguasai (animus occupandi), hal tersebut dapat dibuktikan
dengan adanya garis penentuan batas oleh syngman Rhee yang disebut dengan
Rhee line. Jika dilihat dari penentuan garis Rhee line, merupakan upaya yang
dibenarkan oleh hukum internasional secara legitimasi hukum, karena
kedaulatan negara atas pulau Dokdo atau Takeshima setelah Perang Dunia ke-
II menjadi milik Korea Selatan. Hal tersebutdidasari oleh pasal 2 perjanjian
San Fransisco 1951, menyatakan bahwa Jepang sama sekali tidak melepaskan
kedaulatannya atas pulau Dokdo atau Takeshima, tetapi didalam perjanjian
65
Utami gita syafitri, sengketa pulau Dokdo antara Korea Selatan dan Jepang, fakultas
hukum universitas sumatera, jurnal hukum, tahun 2013
66 Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2004. Hlmn 31
61
tersebut juga mengandung penafsiran bahwa terdapat pernyataan Jepang harus
mengembalikan semua wilayah hasil ekspansinya kepada
pemiliknya.67
Ditambah lagi setelah Perang Dunia ke-II usai Jepang tidak
menunjukkan upaya kependudukan yang aktif dan pengawasan secara efektif
atas pulau Dokdo atau Takeshima. Adanya pengawasan efektif yang dilakukan
Korea Selatan disertai dengan penentuan garis Rhee line, maka pengawasan
efektif mulai tahun 1952 ada pada pihak Korea Selatan. Hal tersebut akan
memungkinkan seperti apa yang telah menjadi dasar putusan Mahkamah
Internasional (ICJ) terhadap sengketa pulau Sipadan dan Ligitan oleh
Indonesia dan Malaysia, dimana penentuannya mengikutsertakan aturan
critical date (batas waktu), jika penentuan aturan critical date (batas waktu)
terdapat aturan yang menunjukkan adanya batas waktu penentuan klaim pulau
Dokdo. Maka Korea Selatan secara konsep administratif dapat dibuktikan
milik Korea Selatan.68
Sebelumnya tahun 2006 ditentukan batas ZEE antara Jepang dan Korea
Selatan.Pada perjanjian Fisheries Agreement telah ditentukan batas secara
eksklusif 35 mil dari masing – masing ZEE tiap negara. Tetapi hal itu muncul
kembali ketika penentuan batas delimitasi ini ditentukan berdasarkan
koneksitas geografis oleh tiap negara.Penarikan garis pangkal Korea Selatan
67
Ignaz Kingkin Teja Angkasa, Sejarah, Penerbit Grasindo, Jakarta, 2010. Hlmn 64
68Mada ariandi zuhir, studi tentang penerapan effective occupation principle dalam
penyelesaian sengketa wilayah Negara, fakultas hukum universitas brawijaya, jurnal
hukum.
62
yang diambil dari letak pulau Ulleungdo sejauh 87,4 KM, sedangkan
penarikan garis pangkal Jepang diambil dari pulau Oki sejauh 157,5 KM. Jika
digunakan penentuan batas delimitasi secara garis pangkal, maka Korea
Selatan memiliki peluang besar untuk memperoleh pulau Dokdo atau
Takeshima, tetapi dalam penentuannya selalu terdapat perselisihan penarikan
garis pangkal mulai dari sejajar sampai dari ujung ke ujung sesuai dengan
kesepakatan kedua negara. Sehingga dalam hasilnya tidak menemukan titik
temu dalam penentuan batas delimitasi oleh kedua negara.69
Selain permasalahan klaim tersebut, penentuan perbatasan negara juga
menjadi urgensitas yaitu perbatasan wilayah laut. Sampai sekarang penentuan
batas laut yang dilihat dari garis pangkal daratan pulau Ulleungdo (Korea
Selatan) dan pulau Oki (Jepang) belum menemukan hasil, karena kedua
negarasama sekali tidak mempunyai inisiatif untuk menentukan perbatasan
negaranya. Meskipun secara jarak pulau Dokdo dekat dengan Korea Selatan
tidak ditemukan satupun perjanjian internasional menyebabkan kesulitan
untuk menemukan titik temu.70
Hal tersebut sama dengan konsekuensi hukum
atas putusan International Court of Justice (ICJ),dimana telah diputus
kepemilikan atas pulau Sipadan dan Ligitan, tetapi menimbulkan keadaan
69
Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara
korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan
internasional, tahun 2013
70Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara
korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan
internasional, tahun 2013
63
batas wilayah baru. Dalam sengketa pulau Dokdo tentu penentuan batas
negara tidak mungkin tercapai sepanjang belum ditetapkan milik kedaulatan
negara mana, dan sepanjang pembagian kekayaan alam gas hydrat yang
berada didalam Ulleung Tsusima Basin belum ditentukan.71
Sedangkan dari pihak Jepang mulai mengklaim secara klaim sepihak
dimana peringatan hari Takeshima Day sebagai hari libur nasional Jepang
tetapi bukti kepemilikannya tidak terlalu kuat sehingga kecil peluang jika
sengketa ini diajukan ke Mahkamah Internasional. Klaim sepihak oleh Jepang
dilakukan tidak hanya dengan memperingati Takeshima day saja tetapi dengan
menduduki pulau tersebut dengan mengibarkan bendera negaranya disekitar
pulau Dokdo.72
Dengan adanya nota panglima tertinggi SCAPIN No. 677 berisikan suatu
memorandum yang menegaskan pelepasan pulau Dokdo dari kekuasaan
Jepang setelah Perang Dunia II berakhir, dalam hal ini Jepang harus
melepaskan kekuasaannya atas wilayah Ulleungdo , batu Liancourt (Dokdo),
dan Jejudo yang harus dikecualikan atau bahkan dilepaskan kembali menjadi
kedaulatan Korea.Selanjutnya tanggal 22 juni 1946 muncul Nota Panglima
Tertinggi SCAPIN No. 1033 yang berisikan pelarangan kapal dan nelayan
untuk mendekati batas 12 mil dari pulau Dokdo.Maka tindakan Jepang
71
Mada ariandi zuhir, studi tentang penerapan effective occupation principle dalam
penyelesaian sengketa wilayah Negara, fakultas hukum universitas brawijaya, jurnal hukum 72
Julian Ryall, Japan angers Korea by marking Takeshima day, DW media news,
(www.dw.com/en/Japan-angers-korea-by-marking-Takeshima-day/a-16622321), 22 february
2013
64
tersebut telah melanggar nota panglima tertinggi SCAPIN No. 1033, ditambah
lagi dengan adanya tindakan pengibaran bendera kenegaraan di pulau Dokdo
atau Takeshima merupakan pelanggaran keamanan internasional.Tujuan
ditetapkannya nota SCAPIN adalah untuk menjaga keamanan internasional
dan hubungan diplomasi antaranegara. Disamping itu agar tidak dapat
menimbulkan konflik akan adanya berbagai macam upaya klaim dari negara
yang bersangkutan. Seharusnya tindakan penurunan warga Jepang di pulau
Dokdo mendapatkan tindak lanjut.73
Pada tahun 2007, penelitian dilakukan terhadap kandungan sumber daya
alam disekitar wilayah pulau Dokdo, alhasil ditemukan sumber daya alam
berupa gasyang dinamakan Ulleung Tsusima Basin.Ulleung Tsusima Basin
mengandung banyak sekali gas hydrat yang dapat digunakan sebagai bahan
bakar energi. Hal ini kembali membuat perselisihan kedua negara mengenai
pulau Dokdo atau Takeshima menjadi semakin sulit untuk diselesaikan.
Berdasarkan konvensi hukum laut 1982, kedua negara diperbolehkan
mengeksploitasi dan megkesplorasi sumber daya alam dan dalam pengambilan
kekayaan alam itu oleh kedua negara tetap menjadi perbincangan. Bagi pihak
Korea bahan bakar gas hydrat yang terdiri dari gas metana dan mineral ini
dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar, disamping itu Korea dapat
meminimalisir impor bahan bakar dan melakukan pemenuhan kebutuhan
bahan bakar energi dengan mandiri. Sedangkan Jepang selain digunakan
73
Dokdo Research Institute, Dokdo in history, (http/www.dokdohistory.com/kr, diakses mei
tahun 2015
65
sebagai bahan bakar,dapat juga sebagai ekspansi wilayah dilihat dari
pertumbuhan penduduk Jepang setiap tahun yang meningkat.74
Jika kedua negara memiliki inisiatif untuk membuat suatu perjanjian kerja
sama (joint venture), maka akan mempermudah bagi kedua negara untuk
menemukan solusi penyelesaian sengketa atas pulau Dokdo atau Takeshima.
Ulleung Tsusima Basin yang mengandung kekayaan alam berupa gas metana
dan mineral bagi kepentingan nasional kedua negara untuk masa depan
sangatlah penting. Meskipun hingga sekarang inisiatif untuk membuat
perjanjian kerjasama (joint venture) belum ada dari kedua negara. Tidak
menutup kemungkinan jika suatu saat inisiatif dari kedua negara untuk
membuat perjanjian kerjasama (joint venture) akan menemukan jalan.
Pada tahun 2008, Jepang memiliki gagasan untuk kedepannya menjadikan
pulau Takeshima menjadi territorialnya ke dalam buku pertahanan negara,
sehingga mempermudah mendapat pengakuan dari masyarakat internasional.
Sementara Korea Selatan juga memasukkan pulau Dokdo ke dalam kurikulum
pendidikan dan juga membangun sebuah museum pulau Dokdo didalamnya
74
Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara
korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan
internasional, tahun 2013
66
terdapat nilai historis dan nilai estetika yang diabadikan oleh pemerintah
Korea Selatan agar diketahui oleh masyarakat secara keseluruhan.75
Hal ini tentu akan mempersulit bagi Mahkamah Internasional
(International Court of Justice) untuk menentukan indikator apakah yang
digunakansebagai penentu penyelesaian sengketa ini, karena secara effektif
ada pada upaya klaim kedua negara. Berbeda dengan penyelesaian sengketa
yang dilakukan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
atas sengketa pulau Sipadan dan Ligitan, dimana Indonesia sama sekali tidak
ada upaya pengawasan efektif dan kependudukan aktif. Sehingga sangat
mudah bagi Mahkamah Internasional (International Court of Justice) untuk
menentukan indikator selain koneksitas geografis yaitu pengawasan efektif
sebagai penentu kepemilikan atas pulau Sipadan dan Ligitan.Maka dari itu
diperlukan selektifitas legalitas atas klaim kedaulatan pihak manakah yang
dilihat mempunyai ketepatan klaim atas pulau Dokdo maka diperlukan
pengakuan masyarakat internasional.Hal itu jugadiwujudkan oleh kedua
negara dengan adanya niatan untuk melakukan animus occupandi.76
Berdasarkan bukti sejarah mulai dari dinasti shilla 512 SM, pulau Dokdo
atau Takeshima sudah menjadi milik Korea Selatan.Bukti secara historis mulai
75
Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara
korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan
internasional, tahun 2013
76Mada ariandi zuhir, studi tentang penerapan effective occupation principle dalam
penyelesaian sengketa wilayah Negara, fakultas hukum universitas brawijaya, jurnal
hukum.
67
dari catatan dokumen sejarah bahkan deklarasi dan putusan para negarawan
banyak yang menunjukkan kepemilikan Korea Selatan atas pulau Dokdo atau
Takeshima, dilansir dalam masa pemerintahan Tokugawa di Jepang yang
mengakui pulau Dokdo atau Takeshima adalah milik Korea Selatan. Terdapat
juga suatu kebijakan kaisar Meiji yang memperuntukkan pulau Dokdo atau
Takeshima untuk Korea Selatan, hanya saja intensitas Jepang mulai timbul
ketika Perang Dunia II berakhir.Sehingga mulai melakukan berbagai klaim
secara sepihak serta menganggap pulau Dokdo atau Takeshima adalah wilayah
Terra Nullius.77
Pada tahun 2013, Korea Selatan dan Cina mengeluarkan perluasan batas
udara yang menurut kedua negara tidak akan menimbulkan suatu
permasalahan penentuan batas teritorial udara, sebab dalam penentuan batas
udara ditentukan untuk pesawat komersial. Kemudian pada tahun 2014,
Jepang melakukan survey berupa jajak pendapat terhadap rakyatnya mengenai
kepemilikan pulau Dokdo atau Takeshima.Hasilnya sejumlah 60% penduduk
Jepang memilih pulau Dokdo atau Takeshima sebagai wilayah kedaulatannya
dan Jepang berhak untuk berdaulat atas kedudukan pulau Dokdo atau
Takeshima menjadi wilayah teritorialnya yang ditentukan secara sepihak oleh
Jepang. Hal tersebut diprotes oleh Korea Selatan dengan melakukan
pengaduan atau protes atas tindakan Jepang kepada Takehiro Funakoshi
selaku pihak yang menangani urusan politik dikedutaan besar Korea
77
Dokdo Research Institute, Dokdo in history, (http/www.dokdohistory.com/kr, diakses mei
tahun 2015
68
Selatan.Menurut Korea Selatan hal tersebut merupakan tindakan provokatif
atas kewilayahan pulau Dokdo atau Takeshima yang merupakan kedaulatan
Jepang.78
Menurut Doktrin intertemporal law79
,mengartikan (pembuktian) atau
klaim wilayah mulai dari wilayah tersebut ditemukan harus memperoleh
pengakuan secara sah menurut hukum internasional yang berlaku. Sehingga
bagi Jepang tidak akan memberikan akibat hukum mengenai hak kedaulatan
atas wilayah pulau Dokdo atau Takeshima dengan mengadakan tindakan self
determination, karena secara legitimasi hukum penduduk yang melakukan
pemilihan itu sendiri tidak berasal dari penduduk wilayah yang dijadikan
sengketa tersebut. Telah dijelaskan oleh teori perolehan wilayah secara self
determination sendiri, bahwa tindakan perolehan wilayah akan memperoleh
legitimasi hukum jika jajak pendapat tersebut dilakukan oleh penduduk asli
dari wilayah yang dijadikan sengketa. Disamping itu juga memiliki
pembuktian sah menurut hukum internasional, sehingga tidak kalah dengan
hak kedaulatan bagi kedaulatan negara yang berada diwilayah tersebut.80
78
Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara
korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan
internasional, tahun 2013 79
menurut Doktrin intertemporal law, mengartikan (pembuktian) atau klaim wilayah mulai
dari wilayah tersebut ditemukan harus memperoleh pengakuan secara sah menurut hukum
internasional yang berlaku
80 Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2004.hlmn 41
69
Terakhir yaitu pada Tahun 2016, 8 AprilJepang mulai memasukkan
kedudukan pulau Dokdo atau Takeshima kedalam materi kurikulum sejarah
buku ajar sekolah menengah pertama di Jepang dan itu memperoleh kritis
tegas dari pihak Korea yang mengirim perwakilan diplomatiknya yang
bertempat di Jepang untuk melakukan protes atas tindakan tersebut.81
Sepanjang pulau Dokdo atau Takeshima secara legitimasi hukum belum
menjadi kedaulatan negaraKorea Selatan atau Jepang, upaya klaim sepihak
adalah sebuah pelanggaran hukum internasional.Karena wilayah yang
diperebutkan adalah sebuah pulau, maka kedaulatan wilayah tersebut
menggunakan penentuan batas territorial laut.Hal tersebut sama dengan
penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan Ligitan, dimana koneksitas geografis
dijadikan penentu juga dalam sengketa tersebut. Meskipun dalam penyelesaian
sengketanya menggunakan indikator pengawasan efektif, tetapi kedua negara
yaitu Indonesia dan Malaysia tetap tunduk pada konvensi hukum laut 1982
mengenai pemanfaatan hak berdaulat atas pulau Sipadan dan Ligitan saat
putusan dari Mahkamah Internasional (International Court of Justice) belum
ditetapkan. Hal tersebut sama dengan sengketa pulau Dokdo atau Takeshima
yang belum mendapatkan putusan hukum dari Mahkamah Internasional
(International Court of Justice), dimana segala hal pemanfaatan hak berdaulat
harus tunduk pada konvensi hukum laut 1982. Menurut pasal 282 konvensi
hukum laut 1982, bahwa segala sengketa hak berdaulat atas wilayah disekitar
81
Yonhap News, Korea mendesak Jepang untuk menghentikan klaim atas pulau Dokdo,
Kenterin, (kenterin.net/m/article/11373i), 8 april 2016
70
laut harus berpedoman pada prosedur yang menghasilkan keputusan mengikat
seperti persetujuan umum, regional, bilateral atau secara lain, dan juga
dijelaskan dalam pasal 283 konvensi hukum laut 1982, jika suatu saat timbul
sengketa dalam inteprestasi atau penerapan konvensi ini, para pihak yang
bersengketa harus melakukan perundingan atau negosiasi yang menghasilkan
penyelesaian sengketa secara damai.82
Penjelasan secara mendetail atas kepemilikan pulau Dokdo atau
Takeshima dilihat dari perjanjian internasional antara Jepang dan Korea
Selatan, terdapat pada traktat aneksasi tahun 1910 yang ditandatangani oleh
perdana menteri Korea Selatan Lee Wan Yong dan Terauchi Masatake
gubernur jenderal Korea (kekaisaran Jepang), dimana dalam traktat aneksasi
1910 seluruh wilayah kedaulatan wilayah negara Korea Selatan diambil ahli
oleh Jepang. Selanjutnya menurut Traktat Jepang dan Korea Selatan tahun
1907 segala urusan luar negeri telah diambil ahli oleh Jepang.83
Setelah Korea
Selatan merdeka pada tanggal 15 agustus 1948 pulau Dokdo atau Takeshima
telah dimasukan ke dalam peta nasional negara Korea Selatan. Tidak hanya itu
bahkan menurut perjanjian hubungan dasar antara Jepang dan Korea Selatan
82
I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014.
Hlmn 63 - 71
83Jawahir Thontowi dan Iskandar Pranoto, Hukum Internasional Kontemporer, Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Hlmn 129 - 130
71
tahun 1965 segala perjanjian internasional yang telah dibuat antara Korea
Selatan dan Jepang mengenai peralihan wilayah batal demi hukum.84
Adanya perjanjian hubungan dasar antara Jepang dan Korea Selatan tahun
1965 masih belum dapat menyelesaikan sengketa antara kedua negara. Pihak
Jepang memiliki inisiatif untuk menguasai pulau Dokdo atau Takeshima
kembali, selain pernyataan yang terdapat didalam perjanjian San Fransisco
1951, adanya peringatan hari Takeshima Day di Jepang yang diselenggarakan
tanggal 22 Februari setiap tahun sama sekali tidak menerima kritik atau protes
dari Korea Selatan selama beberapa tahun ini.85
Hal tersebut membuat Jepang
yakin bahwa pulau Dokdo atau Takeshima adalah wilayah terra nullius (tidak
bertuan). Aksi protes dari Korea Selatan atas adanya upaya klaim oleh Jepang
tersebut mulai muncul ketika memperingati hari kerja sama hubungan luar
negeri antara Jepang dan Korea Selatan. Korea Selatan menarik perwakilan
diplomatiknya yang berada di Jepang untuk kembali ke negara asalnya. Selain
itu kritik dari sekjen PBB Ban Ki Moon atas tindakan klaim sepihak Jepang
merupakan upaya yang tidak lazim, karena dapat mengganggu kedaulatan
negara Korea Selatan.86
Menurut hukum internasional adanya suatu perjanjian internasional yang
dibuat oleh dua negara atau pihak yang bersangkutan untuk mendapat
84
Han Jung Moo, Historical of Dokdo Island belongs to South Korea, Penerbit Junggap,
Seoul, 2011. Hal 10 - 12 85
Kanzoku Oda, Japan has small island near perfektur Shimane, Penerbit ichi-yon, Tokyo,
2006. Hal 54 - 61 86
Seong Raak, Dokdo island heritage Korean lands, KBS World, 22 oktober 2010
(www.KBSWorld.com/d?gws_d).
72
persetujuan atas kesepakatan bersama memiliki kekuatan hukum yang
mengikat, sehingga menimbulkan kewajiban bagi kedua negara yang membuat
perjanjian internasional tersebut untuk mematuhinya dengan penuh tanggung
jawab.87
Meskipun dalam kenyataannya adanya perjanjian internasional dalam
sistem pembuktian mudah sekali dipatahkan pernyataannya.
Menurut perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2,adanya pernyataan yang
menyebutkan bahwa Jepang sama sekali tidak melepas kepemilikannya atas
pulau Dokdo atau Takeshima adalah tindakan yang dilakukan oleh Amerika
Serikat ketika membuat rancangan perjanjian perdamaian dengan sekutu pada
tahun 1950. Pada rancangan ke 1 sampai 5 termaktub bahwa pulau Dokdo atau
Takeshima menjadi milik Korea Selatan,tetapi pada rancangan ke 6 tidak
terdapat pernyataan adanya pulau Dokdo atau Takeshima dalam perjanjian
perdamaian tersebut. Hal itu dipengaruhi oleh Jepang yang pada waktu itu
mempengaruhi Amerika Serikat agar tidak mencantumkan pulau Dokdo atau
Takeshima pada perjanjian perdamaian dengan sekutu. Jepang menawarkan
agar pulau Dokdo atau Takeshima dijadikan sebuah pelabuhan dan pangkalan
komunikasi, sedangkan Amerika Serikat diberikan hasil pajaknya.88
Pihak sekutu seperti (Inggris, New Zealand, Australia) tidak mensetujui
tindakan Amerika Serikat yang sebelumnya pada rancangan ke 1 sampai 5
mencantumkan pulau Dokdo atau Takeshima ke dalam wilayah kekuasaan
87
Dr.Sefriani, Peran Hukum Internasional, Penerbit Yudhistira, Bandung, 2005. Hlmn 12
- 15 88
George Stuard, Liancourt’s Rock island in east sea’s, United States, 2012. Hlmn 43
73
Korea Selatan menjadi tidak mencantumkannya ke dalam perjanjian
perdamaian tersebut. Meskipun pada akhirnya yang termaktub dalam pasal 2
perjanjian San Fransisco 1951 tidak menyebutkan pelepasan atas pulau Dokdo
atau Takeshima, pada perang Korea tahun 1956 pasukan angkatan udara
Amerika Serikat dan PBB berusaha melindungi wilayah negara Korea Selatan
dari serangan udara Korea Utara. Adanya pulau Dokdo atau Takeshima ke
dalam zona wilayah pertahanan (KADIZ) pada saat perang Korea, hal itu
membuktikan bahwa pulau Dokdo atau Takeshima termasuk territorial negara
Korea Selatan pasca perang dunia ke-II terjadi.89
Menurut Board on Geographic Names (BGN) yaitu suatu badan federal
yang berada di Amerika Serikat pada tahun 1890, bertugas untuk
mengembangkan kebijakan penggunaan nama geografis didalam negeri atau
diluar negeri. Jepang memiliki upaya untuk melakukan klaim atas pulau
Dokdo atau Takeshima dengan berusaha mengubah nama pulau Dokdo
menjadi pulau Takeshima. Selain itu Jepang juga berniat untuk mendapatkan
pengakuan dari kalangan masyarakat internasional bahwa pulau Dokdo yang
awalnya merupakan territorial Korea Selatan menjadi territorial
Jepang,sehingga wilayah pulau Dokdo atau Takeshima menurut Jepang adalah
wilayah sengketa internasional.90
89
Seong Raak, Dokdo island heritage Korean lands, KBS World, 22 oktober 2010
(www.KBSWorld.com/d?gws_d). 90
Ibid
74
Sementara itu dari pihak Korea Selatan sebagai tindak lanjut atas klaim
Jepang, membentuk satuan tugas Dokdo. Dimana satuan tugas Dokdo bertugas
untuk membenahi atau memperbaiki kesalahan inteprestasi mengenai pulau
Dokdo dan menjelaskan nama pulau Dokdo adalah yang paling benar terhadap
masyarakat internasional. Alhasil menurut BGN, setelah adanya pengakuan
dari Jepang dan Korea Selatan atas pulau Dokdo atau Takeshima, Amerika
Serikat mengubah nama pulau Dokdo menjadi pulau Liancourt didalam peta
internasional dunia.91
Belum adanya penetapan batas territorial laut ZEE
antara Jepang dan Korea Selatan disekitar wilayah pulau Dokdo atau
Takeshima, menimbulkan keadaan hukum bahwa pulau Dokdo atau
Takeshima tidak termasuk kedaulatan kedua negara tersebut. Sehingga oleh
Jepang dan Korea Selatan ditentukan bahwa pulau Dokdo atau Takeshima
adalah daerah pembatas antara kedaulatan wilayah kedua Negara.92
Jepang sendiri berpendapat bahwa adanya Traktat aneksasi tahun 1910
adalah perjanjian yang dibuat oleh Jepang dan Korea Selatan atas penyerahan
kedaulatan wilayah Korea Selatan pada saat tahun 1910, sedangkan pulau
Dokdo atau Takeshima diperoleh Jepang dengan cara aneksasi pada tahun
1905. Dengan alasan tersebut Jepang beranggapan bahwa pulau Dokdo tidak
termasuk wilayah yang diperjanjikan dalam Traktat aneksasi tahun 1910.93
Hal
91
George Stuard, Liancourt’s Rock island in east sea’s, United States, 2012. Hlmn 51 92
Seong Raak, Dokdo island heritage Korean lands, KBS World, 22 oktober 2010
(www.KBSWorld.com/d?gws_d). 93
Ibid
75
itu didukung dengan tidak adanya tindakan protes atas kekaisaran Korea
Selatan pada waktu itu.
Meskipun sebelumnya telah dijelaskan bahwa pulau Dokdo atau
Takeshima adalah wilayah hasil okupasi Korea Selatan pada masa dinasti
shilla 512 SM. Jepang mulai mengetahui pulau Dokdo atau Takeshima pada
tahun 1667,94
sehingga pendapat Jepang tersebut bertentangan dengan tindakan
aneksasi yang dilakukan pada tahun 1905. Adanya aneksasi pertama Jepang
pada tahun 1905, membuktikan bahwa Jepang mengetahui pulau Dokdo atau
Takeshima merupakan wilayah bertuan. Perjanjian aneksasi itu sendiri dibuat
oleh Jepang dan Korea Selatan ketika Jepang sudah menduduki seluruh
wilayah Korea Selatan dalam keadaan under pressure, dimana rakyat dan
pemerintah Korea Selatan sama sekali tidak mengakui, bahkan menolak
adanya aneksasi Jepang. Meskipun dalam realitanya perjanjian aneksasi
tersebut tetap ditandatangani oleh Jepang dan Korea Selatan.
Menurut hukum perjanjian internasional setelah naskah perjanjian akan
secara resmi diterima sebagai naskah yang othentik, perjanjian itu belum
mengikat para pihak dan dengan demikian belum memiliki kekuatan mengikat
sebagai hukum internasional positif, kecuali jika saat othentifikasi yang juga
sebagai pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian. Supaya
perjanjian itu bersifat mengikat sebagai hukum internasional positif, maka
negara – negara yang berkepentingan harus menyatakan secara tegas pada
94
Ibid
76
perjanjian tersebut.95
Jika dia tidak menyatakan persetujuannya untuk terikat
atau secara tegas menolak untuk terikat, maka perjanjian itu tidak akan pernah
mengikatnya. Persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada suatu
perjanjian adalah manifestasi dari kedaulatan setiap negara. Sebagai negara
berdaulat, negara tidak bisa dipaksa oleh kekuatan apapun untuk menerima
sesuatu yang tidak dikehendakinya, seperti menyatakan terikat pada suatu
perjanjian internasional.96
Hal tersebut sama dengan persetujuan Traktat aneksasi antara Jepang dan
Korea Selatan, dimana keterikatan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut
dilakukan dengan keadaan terpaksa. Meskipun Traktat aneksasi tersebut telah
mendapat keterikatan persetujuan bersama dan sudah menjadi sebuah
perjanjian internasional antara kedua negara, tetapi secara legitimasi hukum
tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebuah perjanjian internasional. Hal itu
tentu berbeda dengan perjanjian San Fransisco 1951 yang dibuat dengan
alasan persetujuan Jepang dalam keadaan kalah perang dan bersedia mengakui
kekalahannya dengan membuat suatu perjanjian perdamaian dengan sekutu.
Maka dapat dilihat dari kepentingan Jepang dan Korea Selatan atas pulau
Dokdo, sulit sekali ditemukannya solusi yang menghasilkan win – win
solution mengingat sengketa puloau Dokdo yang masih dalam wilayah
persengketaan maka kedua negara dilarang untuk melakukan hal – hal yang
95
Dr.Kholis Rhoisyah, Hukum Perjanjian Internasional Teori dan Praktek, penerbit
elexmedia, Jakarta, 2013. Hlmn 67 - 68 96
Ibid. hlmn 72
77
dapat melanggar peraturan yang sesuai ditetapkan dalam kesepakatan bersama
oleh kedua pihak yang bersengketa dimana pulau Dokdo atau Takeshima
dianggap pembatas wilayah antara Jepang dan Korea Selatan. Sebagaimana
dijelaskan sebagai berikut;
a. Kekayaan pulau Dokdo dapat dinikmati oleh kedua negara
b. Tidak boleh ada klaim antara kedua negara, zona ZEE adalah laut lepas
c. Tidak diperkenankan membangun aliansi militer 2 negara karena dapat
menimbulkan suatu pengkhianatan
d. Kunjungan Negarawan atau penduduk secara sepihak atau secara
berkelompok dengan klaim kepemilikan suatu wilayah di larang.97
Berdasarkan alasan klaim kedua negaramempunyai suatu bukti yang
menuruthukum internasional sangat relevan baik dari pihak Korea Selatan
maupun Jepang.Korea Selatan mengklaim berdasarkan segi historis dan
kepentingan nasional atas klaim pulau Dokdo,sedangkan Jepang mengklaim
berdasarkan perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2 yang dalam isinya sama
sekali tidak melepas kedaulatannya atas pulau takeshima, dan menganggap
setelah Perang Dunia II pulau Dokdo atau Takeshima adalah wilayah terra
Nullius.
97
Ibid
78
I. Klaim Korea Selatan
a. Fakta Kepemilikan Korea Selatan atas Pulau Dokdo Berdasarkan
Bukti Sejarah
Bukti Sejarah seringkali berwujud bukti tertulis sesuai dengan kebiasaan
sejak dahulu pada zaman kerajaan. Ketika sudah menduduki suatu wilayah
kerajaan lainNegarawan atau Raja selalu memberikan suatu deklarasi atau
keputusan yang ditulis dengan tinta hitam pada daun lontar, serpihan kayu,
dan kertas. Selain itu diikut sertakan setempel kerajaan pada suatu dokumen
tersebut yang bertandakan legalitas dari pemimpin atas dokumen tersebut dan
dapat dibuktikan keabsahannya.Bahkan sebelum Perang Dunia terjadi suatu
perjanjian internasional dan sengketa internasional sudah terjadi, dibuktikan
dengan kesepakatan antara dua kerajaan atau lebih atas suatu konsekuensi
hukum atau perolehan hak atas sesuatu.Begitu juga dengan sengketa atas dasar
perolehan wilayah sudah sering terjadi, bahkan menggunakan cara kekerasan
yaitu perang untuk memperoleh wilayah tersebut dengan paksa. Dimasa depan
bukti yang telah terjadi dalam sejarah merupakan perwujudan peristiwa
hukum atas suatu kepemilikan hak atau pemenuhan suatu kewajiban hukum
yang dapat dijadikan bukti nyata untuk melakukan sebuah pembuktian. Maka
dari itu peristiwa hukum dimasa lalu sangatlah penting untuk membuktikan
suatu kepemilikan wilayah secara legal.
Dokumen Sejarah “Dongguk Munheon Bigo”menyebutkan bahwapada
tahun 512 SM, seorang Jenderal kerajaan Shilla bernama Ichan Isabu telah
79
menaklukkan kepulauan ussanguk yang dikenal sebagai (Ulleungdo dan
Dokdo) setelah itu pulau Ulleungdo dan Dokdo dimasukkan ke dalam
kekuasaan Kerajaan Shilla.98
Dokumen Sejarah “Sejong Sillok, Jiriji”Dokumen
ini merupakan catatan geografis King Sejong yang terkenal dalam pembuatan
peta Geografis pada zaman Joseon.99
Pada tahun 1625, izin melintasi
Takeshima (Ulleungdo)merupakan sebuah perizinan pada tahun 1625 yang
dikeluarkan oleh Bakufu Jepang.100
Pada tahun 1693, penculikan terhadap An
Yong Bokyang terjadi ketika izin yang diberikan kepada klan Oya dan
Murakawa.101
Pada tahun 1694, Perintah untuk melaksanakan Suto (inspeksi)
atas pulau Ulleungdo, perintah ini keluar ketika An Yong Bok dan Park Eo
Dun dibawa ke Jepang.102
Pada tahun 1695, jawaban dari Tottori HanSetelah 1
tahun lamanya terjadi peristiwa penculikan dan inspeksi terhadap pulau
Ulleungdo.103
Pada tahun 1696, terdapat perintah larangan melintasi wilayah Takeshima
(Ulleungdo),hal ini terjadi ketika penentuan keputusan dari Bakufu atas pulau
Ulleungdo yang bukan merupakan kekuasaan Jepang.104
Dokumen sejarah
“Genroku Kyu Heishinen Chosenbune Chakugan Ikkan”Setelah ditetapkan
98
Dokdo Research Institute, Dokdo in history, http/www.dokdohistory.com/kr, diakses mei
tahun 2015
99Ibid
100Ibid
101Ibid
102Dokdo Research Institute, Dokdo in history, http/www.dokdohistory.com/kr, diakses mei
tahun 2015
103Ibid
104Ibid
80
bahwa pulau Ulleungdo dan Dokdo adalah kekuasaan Joseon, maka segala
pelanggaran atas kekuasaan tersebut dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran.105
Dokumen Sejarah “Dongguk Munheon Bigo, Yeojigo”Dalam
masa kepemimpinan Raja Yeongjo yang terkandung dalam dokumen ini
mencantumkan bahwa kepemilikan Dokdo atau Takeshima ada pada
bagian.106
Dokumen Sejarah dari negaraJepang, oleh Kementerian Luar Negeri
Jepang “Chosenkoku kosai Shimatsu Naitansho”berdasarkan pernyataan
kementerian luar negeri Jepang bagian Tim inspeksi Pulau Ulleungdo dan
Dokdo, Hakubo Sada.107
Pada tahun 1877, perintah dari Daijokan (pemerintah tertinggi Jepang)
Daijokan menegaskan kepada menteri luar negeri bahwa pulau Ulleungdo dan
Dokdo bukan milik Jepang.108
Dekrit Kaisar No. 41,dekrit ini muncul ketika
zaman kepemimpinan kaisar Gojong yang berisikan perubahan Nama pulau
Ulleungdo menjadi Uldo, dan penjaga pantai yang semula dinamakan dogam
diganti dengan Bupati.109
Deklarasi Perfektur Shimane No. 40, sejak awal
tahun 1904 dimana terjadi Perang Dunia II khususnya antara Jepang dan
Rusia.110
Pada tahun 1906, laporan Shim heung Taek Bupati Uldo,pada tahun
1906, Shim Heung Taek mendapatkan laporan dari tim inspektur pemerintah
105
Ibid 106
Dokdo Research Institute, Dokdo in history, http/www.dokdohistory.com/kr, diakses mei
tahun 2015
107Ibid
108ibid
109Dokdo Research Institute, Dokdo in history, http/www.dokdohistory.com/kr, diakses mei
tahun 2015
110Ibid
81
bahwa pulau Dokdo dijadikan wilayah kekuasaan Jepang. Berdasarkan
Instruktur Menteri No. 3 penolakan atas kekuasaan Jepang dinyatakan oleh
Korea Selatan.111
Nota Panglima Tertinggi SCAPIN No. 677,nota ini merupakan suatu
memorandum yang menegaskan pelepasan pulau Dokdo dari kekuasaan
Jepang setelah Perang Dunia II berakhir.112
Selanjutnya perjanjian San
Fransisco 1951 yaitu perjanjian antara sekutu dan Jepang tentang perjanjian
perdamaian,dalam perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2 disebutkan bahwa
Jepang harus melepaskan kekuasaannya pada masa Perang Dunia II kembali
ke kekuasaan daerah asal, yaitu meliputi Dagelet, Port Hamilton, dan
Quelpart. Selain itu juga melepaskan kekuasaannya atas pulau Ulleungdo dan
Jejudo.113
Dari sekian banyaknya bukti Sejarah yang menunjukkan kepemilikan
Korea Selatanatas pulau Dokdo, sudah menjadi klaim kuat atas
kepemilikannya terhadap pulau Dokdo atau Takeshima. Dalam bukti sejarah
yang terdapat diatas hanya deklarasi Perfektur Shimane No.40 yang
menyebutkan bahwaJepang memiliki pulau Dokdo atau Takeshima secara
konkrit. Maka sangat kecil kemungkinan bagi Jepang untuk melakukan
111
Ibid 112
Dokdo Research Institute, Dokdo in history, http/www.dokdohistory.com/kr, diakses mei
tahun 2015
113Berdasarkan perjanjian san fransisco pasal 2, Jepang berpendapat bahwa Jepang hanya
mengakui kemerdekaan Korea, sedangkan adanya kewajiban untuk mengembalikan pulau
Dokdo atau Takeshima tidak disebutkan dalam perjanjian (kazuo, 1997 : 477).
82
pembuktian kepemilikan melalui bukti – bukti sejarah.Menurut Adi
Sumardiman dokumen – dokumen tertulis , baik itu berupa peta – peta
maupun naskah perjanjian – perjanjian perbatasan merupakan landas tertulis
dalam penegasan dan penetapan batas antaranegara. Dokumen resmi tentang
perbatasan biasanya terdiri dari dokumen khusus yang mengatur tentang
perbatasan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dan disertai dengan
otentifikasinya, dalam bentuk tanda tangan dan disertai keterangan jabatan
yang sesuai dengan bidangnya. Selain itu melihat dari penyelesaian sengketa
pulau Sipadan dan Ligitan oleh Mahkamah Internasional (International Court
of Justice), bukti sejarah seperti dokumen resmi yang menyatakan berdasarkan
pungutan pajak atas pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan adanya
operasi mercusuar sejak tahun 1960. Sebagai salah satu upaya pengawasan
efektif dari negara Malaysia, maka upaya pembuktian didalam dokumen resmi
tersebut yang bersifat tertulis sangat efektif jika digunakan sebagai penentuan
putusan dalam Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
apabila kedua negara ingin menyelesaikannya melalui jalur litigasi.
Berdasarkan ketentuan tertulis dari Adi Sumardiman bukti – bukti sejarah
berupa dokumen resmi adalah rangkaian kepemilikan dari pihak yang
bersangkutan (chain of title).
b. Kepentingan Nasional Korea Selatan
Korea Selatan adalah negara yang memiliki teknologi yang canggih
bahkan pengembangan inovatif dan model gadget diprioritaskan dalam kinerja
83
pegawai dimasa depan, kecanggihan itu tidak hanya dlihat dari bentuk
Gadgetnya, tetapi juga aplikasi yang tersedia. Selain itu visual di negaraKorea
Selatan menggunakan Display High Definition.Kebutuhan pengembangan
energi nuklir sangat dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup
kedepannya.Selain itu Korea Selatan pengimpor bahan bakar ke empat
terbesar di dunia karena secara geografis Korea Selatansama sekali tidak
memiliki hasil bahan bakar yang bisa digunakan untuk pemenuhan kebutuhan
di dalam Negeri.114
Dilihat dari kekayaan alam yang melimpah di pulau Dokdo selain
ikan,terdapat gas hydrat yang terkandung di dalam perairan disekitar pulau
Dokdo yang dinamakan Ulleung Tsusima Basin, gas hydrat terdiri dari gas
metana dan mineral yang berbentuk molekul es selian itu sangat berguna
untuk kebutuhan bahan bakar energi nuklir, karena dalam kebutuhannya Korea
Selatan sangat membutuhkan pemenuhan kebutuan pengganti bahan bakar
seperti Gas Hydrat tersebut. Jika hal itu dapat terealisasikan maka impor bahan
bakar tidak lagi dicanangkan,dan pengganti bahan bakar energi nuklir yang
terandung dalam gas hydrat sejulah 600 juta ton,akan mampu mencukupi
kebutuhan bahan bakar Korea Selatan selama 30 tahun. Hal tersebut
merupakan agenda pentingkarena sesuai dengan teori kepentingan Nasional,
yaitu yang terdiri dari high line interest yang berarti kepentingan suatu
kebutuhan vital negara yang paling utama, seperti hal yang dapat menyangkut 114
Sam jaffe dan myung oak kim, The New Korea look an inside south Korea Economic rise,
penerbit elexmedia, hal 4 - 9
84
kedaulatan negara. Sedangkan Middle line Interest adalah kebutuhan negara
atas kebutuhan hidup secara ekonomi dan sosial masyarakat setempat agar
melahirkan kesejahteraan sosial, dan yang terakhir adalah low interest yaitu
kebutuhan yang bersifat optional bahkan pelengkap dari kebutuhan pokok
yang ada. Maka kepentingan atas pulau Dokdo ini termasuk middle line
interest, karena menyangkut kesejahteraan secara ekonomis bagi masyarakat
Korea Selatan.115
Selain itu pulau Dokdo atau Takeshima juga mengandung nilai estetika
yang menarik, sehingga bisa digunakan untuk objek wisata bagi penduduk
setempat, bahkan tiap tahunnya menurut data yang ada pengunjung atau
wisatawan yang berkunjung dipulau Dokdo atau Takeshima kian meningkat.
Terdapat juga gugusan karang Seokdo dan Dongdo yang terletak diantara
pulau Dokdo, di dalam perairannya terdapat ikan salmon yang melimpah dan
dapat digunakan untuk memperoleh hasil pangan untuk masyarakat Korea
Selatan.Meskipun kedua negara memiliki dasar alasan klaim yang berbeda
atas kepemilikan pulau Dokdo, tetapi jika masuk dalam kepentingan nasional
hal tersebut tentu memiliki alasan yang hampir sama. Seperti karena adanya
kekayaan sumber daya alam yang melimpah. dan yang terkahir pulau
Dokdomerupakan warisan sejarah nenek moyang bangsa Korea Selatan karena
115
Ibid
85
pada zaman dahulu pulau Dokdo adalah kekuasaan Korea sejak bertahun –
tahun.116
Adanya suatu kepentingan nasional terhadap hukum internasional
membuatnegara menjadi aktor yang dominan, dimana negara akan menjadi
aktor yang rasional dalam hubunganya dengan negara lain dan mencapai
kepentingan-kepentingan nasionalnya semaksimal mungkin. Arti minimum
yang inheren didalam konsep kepentingan nasional adalah kelangsungan
hidup. Sehingga membuat setiap negara diperbolehkan untuk patuh atau tidak
pada hukum Internasional, hal tersebut dapat membuat suatu kedaulatan
negara antara satu sama lain saling bertentangan yang dapat menimbulkan
suatu sengketa dalam permasalahan apapun.117
II. Klaim Jepang
a. Klaim Jepang terhadap Kepemilikan pulau Takeshima
Klaim yang diajukan kepada masyarakat internasional mengenai
kepemilikan pulau Takeshima oleh Jepang mulai muncul ketika Perang Dunia
II berakhir, bahkan banyak sekali bukti sejarah dan sebuah perjanjian yang
memperkuat kepemilikan pulau Takeshima atas Jepang. Jepang menganggap
116
Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara
korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan
internasional, tahun 2013
117 Sam jaffe dan myung oak kim, The New Korea look an inside south Korea Economic
rise, penerbit elexmedia, hal 12
86
pulau Takeshima sebagai wilayah Terra Nullius, karena menurut hukum
internasional semasa zaman kolonial Jepang.Jepang menduduki pulau
Takeshima yang dimanfaatkan untuk camp peristirahatan dan area pemantau
perang antara Jepang melawan Rusia di Laut Timur. Setelah tindakan aneksasi
Jepang tersebut terhadap kedaulatan wilayah Korea Selatan khususnya pulau
Takeshima, Jepang mengklaim teritorial yang tidak dilepaskan semasa
kekalahan Perang Dunia II masih menjadi wilayah kedaulatan Jepang,bahkan
tindakan klaim sepihak yang dilakukan Jepangmulai dilakukan dengan upaya
klaim sepihak, perubahan batas teritorial laut, dan menggunakan instrumen
hukum internasional.
b. Kepemilikan Jepang terhadap pulau Takeshima menurut Perjanjian
San Fransisco 1951
Berdasarkan kronologis Sejarah melalui hubungan diplomasi antara Korea
Selatan dan Jepang semasa zaman kerajaan, banyak suatu bukti sejarah yang
menunjukkan penyerahan kedaulatan pulau Takeshima kepada Korea Selatan
melalui bukti tertulis. Hanya saja pengakuan Kepemilikan tersebut telah
ditarik kembali setelah adanya perjanjian San Fransisco 1951 yang dapat
memperkuat klaim Jepang untuk memperoleh Kedaulatan pulau Takeshima
berdasarkan hukum internasional.
87
Berdasarkan Perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2 menyatakan :
“Japan Recognizing The existence of Japan Independence, Renounces
all right, Tittle, and Claim to Korea. With this Agreement Japan
Should abandoned part of island including Dagelet, Port Hamilton,
and Quelpart’’.
Melalui perjanjian San Fransisco 1951 tersebut Jepang menganggap
pelepasankedaulatannya atas pulau Dagelet, Port Hamilton, dan Quelpart
telah melepas kekuasaannya akan wilayah tersebut, tetapi untuk pulau
Takeshima sama sekali tidak dilepas, dan kepemilikan tersebut sudah
dijalankan secara pengawasan efektif setelah Perang Dunia II. Jepang
menganggap Korea Selatan melakukan kejahatan Nasional humiliation yang
berarti menganggap tindakan Korea Selatan melakukan kejahatan kebangsaan,
karena memiliki pulau Takeshima berdasarkan Klaim.118
Secara umum, perjanjian San fransisco 1951 antara (Sekutu dan Jepang)
berisikan:
a. Jepang membayar kerugian perang akibat kerugian yang
diakibatkannya.
b. Menghukum penjahat perang (menteri Jerman seperti Goering,
Gobbels, dan Ribbentrop, selain itu menteri Jepang Hideki Tojo
di hukum gantung).
118
Hee Min Kim, Takeshima International Document Observer, year 2009, hal 14
88
c. Wilayah kepulaun Jepang diambil Ahli oleh Amerika Serikat.
d. Kepulauan Kurilen dan Sakalin diserahkan kepada Rusia,
Manchuria dan Taiwan di serahkan kepada Cina, wilayah
kepulauan Jepang di Asia Pasifik diserahkan kepada Amerika
Serikat, Korea akan dibagi menjadi dua bagian utara diduduki
Rusia dan selatan diduduki Amerika Serikat, daerah ekspansi
Jepang dikembalikan kepemiliknya.119
e. Bukti Sejarah Adanya Peta Nasional Jepang pada zaman Penjajahan
Hal ini mulai terjadi ketika Jepang mulai menduduki wilayah hasil
aneksasi dan melakukan suatu pemetaan akan wilayahnya yang ditambah
dengan wilayah hasil ekspansi Kolonialisme. Berdasarkan pemetaan tersebut
Jepang menganggap tidak adanya tindakan lanjut dari Korea bahkan
dilakukannya setelah Korea Selatan memperoleh kemerdekaannya. Maka peta
tersebut, termasuk bukti Sejarah semasa itudijadikan legalitas klaim Jepang.
119
Ignaz Kingkin Teja Angkasa, Sejarah, Penerbit Grasindo, Jakarta, 2010. Hlmn 64
89
I. Peta Hayashi Shihei dari Jepang yang di buat pada tahun 1785
Peta Hayashi Shihei yang di buat oleh Ahli geografis pemetaan Tentara Jepang sebagai
wilayah hasil kolonialisme
Sumber Gambar: Yu Ninjie map (wokou raid) archive.kaskus.co.id
Berdasarkan peta buatan Hayashi Shihei sejak dahulu wilayah hasil
jajahanJepang sudah pernah diduduki oleh keluarga klan Jepang yang berlayar
untuk mencari ikan. Hal tersebut juga dijajaki oleh para perompak asal Jepang
yang pada waktu itu menduduki wilayah Cina dan Korea Selatan. Garis jajak
wilayah yang diberi garis diatas merupakan hasil jajakan perompak Jepang
pada waktu itu yang disebut wokou raids. Bukan itu saja bahkan menurut
survei hasil jajahan tentara Jepang terdapat keluarga Klan dari Jepang yang
menempati wilayah Cina dan Jepang pada masa kolonialisme yang dilakukan
oleh Jepang. Dengan adanya hal tersebut Jepang mulai memiliki ambisi
merebut kedaulatan pulau Dokdo.120
Rute yang terdapat dalam peta diatas menunjukkan arah jajahan Jepang
dan campur tangan para perompak terhadap wilayah mana sajakah yang
120
Yu nin Jie, Wokou raids map,(www.archive/kaskus.co.id), diakses pada mei 2015
90
akandijajaki untuk dijadikan wilayah kekuasaannya. Perang Jepang dengan
Rusia membutuhkan tempat pangkalan militer yang sangat strategis,
sedangkan pulau Dokdo merupakan tempat yang strategis bagi Jepang untuk
menjadikan pulau Dokdo sebagai pangkalan militer.Untuk mengantisipasi
serangan Jepang ke segala penjuru Laut Timur, agar wilayah kekuasaannya
tidak direbut oleh Rusia.
Menurut Adi Sumardiman sebagaimana dikutip oleh Suryo Sakti
Hadiwijoyo, dokumen – dokumen tertulis baik itu berupa peta – peta maupun
naskah perjanjian – perjanjian perbatasan merupakan landas tertulis dalam
penegasan dan penetapan batas antarnegara. Sedangkan dalam penyusunan
dan penetapan perjanjian perbatasan antarnegara, peta memegang peranan
yang sangat penting, yaitu sebagai alat bantu untuk menemukan dan
menentukan lokasi distribusi spasial dari kawasan perbatasan. Berkaitan
dengan hal tersebut, dalam setiap perjanjian perbatasan biasanya dilengkapi
dengan peta sebagai lampiran yang berfungsi untuk mempermudah dan
memperjelas letak dan lokasi dari masing – masing titik batas maupun area
perbatasan yang telah disepakati oleh negara yang berbatasan.121
f. Kepentingan Nasional Jepang atas Pulau Takeshima
Jepang memiliki kemajuan industri yang sangat pesat belakangan ini,
seperti adanya tekonologi canggih dan pabrik memadati wilayah dalam bagian
121
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2011. Hlmn 19
91
negara Jepang. Jika hal ini akan bertambah seiring waktu maka dikhawatirkan
dapat memadati tiap wilayah Jepang dengan kawasan Industri atau
pemberhentian pengembangan kawasan industri didalam negara Jepang.
Seperti berkembangnya industri mobil, peralatan rumah tangga, obat – obatan
akan memerlukan tambahan wilayah untuk mengembangkan industri ini.
Selain itu pertumbuhan penduduk Jepang dalam akhir dekade ini semakin
meningkat sehingga memerlukan ekspansi wilayah untuk menampung
pertumbuhan penduduk dalam demografi wilayah disetiap bagian negara
Jepang.
Terlebih lagi setelah tahun 2007, Jepang dan Korea Selatan bekerja sama
untuk melakukan sebuah penelitian terhadap pulau Takeshima. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut menghasilkan jumlah sumber daya alam yang
melimpah berupa gas hydrat yang terdiri dari gas metana dan mineral yang
juga dapat digunakan untuk bahan bakar suatu energi. Hal tersebut akan
membawa perkembangan bagi industri Jepang karena dalam produksinya
Jepang pasti akan membutuhkan sumber daya alam yang melimpah.
Sedangkan dikawasan pulau Takeshima juga terdapat jenis ikan yang besar
dan juga jumlah yang melimpah, hal ini sangat berguna bagi Jepang untuk
memenuhi kebutuhan pasokan makanan bagi rakyatnya yang mayoritas
memakan ikan seperti sushi.122
122
Staff KBS, Partai berkuasa Jepang dirikan badan penelitian mengenai Dokdo, KBS
world radio, (rki.kbs.co.kr/Indonesian/in-news.html), 23 Juni 2016
92
Bagi Jepang melakukan ekspansi wilayah adalah hal yang sangat penting
untuk mensejahterakan kehidupan rakyatnya dan kemajuan ekonomi
negaranya. Jika Jepang dapat melakukan ekspansi wilayah maka diprediksi
dapat melakukan pengembangan industri secara progresif, serta dapat
menambah kuantitas laju produksi barang,dan dilihat dari segi demografis
dapat menampung pertumbuhan penduduk yang memadati wilayah pusat
Tokyo ke daerah yang lebih memadai dan dapat memperoleh suplai makanan
yang merata. Pertambahan suplai makanan dari hasil tangkapan ikan dapat
mendistribusikan makanan khas tradisional Jepang, yaitu sushi yang paling
disukai oleh masyarakat Jepang.123
Adanya permasalahan kepentingan nasional suatu negara yang memiliki
arti minimum yang inheren,yaitu sebagai kelangsungan hidup.Menurut
Ramlan Surbakti dan Dennis Kavanaagh menyatakan bahwa pilihan rasional
melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk kalkulasi antara untung dan
rugi.Ini disebabkan karena pemilih tidak hanya mempertimbangkan peluang
keuntungan memilih tetapi mempertimbangkan juga alternatif – alternatif
berupa pilihan yang ada kepada pilihan yang terbaik, dan yang paling
menguntungkan baik untuk kepentingan sendiri (self interest) maupun bagi
kepentingan umum.
Sehingga dengan adanya kedaulatan negara membuat hubungan diplomasi
antaranegaradalam penerapannya tidak ada kekuasaan tertingginya, ketika
123
Japan daily news, waku – waku Japan, 23 July 2011
93
negara memiliki suatu kepentingan nasional yang berorientasi kepada
kekayaan alam. Maka intensitas upaya klaim atas hak kepemilikan tersebut
akan muncul demi kelangsungan hidup negaranya. Hal tersebut sangat
mempengaruhi kedaulatan negara yang berkepentingan dalam hak
kepemilikan kekayaan alam yang ada pada wilayah tertentu.124
Maka dapat disimpulkan ketepatan klaim dari kedua negara yaitu Korea
Selatan dan Jepang memiliki perbedaan perspektif serta persepsi atas status
kedaulatan pulau Dokdo atau Takeshima. Dari Korea Selatan, bahkan mulai
dari dinasti Shilla 512 SM pulau Dokdo atau Takeshima merupakan hasil
perolehan wilayah secara okupasi, disamping itu juga banyak sekali dokumen
sejarah yang menyebutkan legalisasi kepemilikan Korea Selatan atas pulau
Dokdo atau Takeshima. Hal tersebut juga disertai dengan pengawasan efektif
dari Korea Selatan yang berkelanjutan dari masa kerajaan, sebelum Perang
Dunia hingga sesudah Perang Dunia.Sedangkan dari Jepang, pada masa
kerajaan banyak dokumen resmi yang menyebutkan kepemilikan pulau Dokdo
atau Takeshimadiperuntukkan bagi Korea Selatan.Sedangkan pada Perang
Dunia ke-II berlangsung kedaulatan pulau Dokdo atau Takeshima berada pada
Jepang,disamping itu kependudukan Jepang atas pulau Dokdo atau Takeshima
adalah melalui perolehan wilayah secara aneksasi yang dibuktikan melalui
deklarasi Perfektur Shimane No.40. Setelah Perang Dunia selesai pihak
Jepang memperkuat klaim dengan implementasi dari perjanjian San Fransisco 124
J.G,Starke, Pengantar hukum internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988. Hlmn
165
94
1951 pasal 2 yang mengandung penafsiran bahwa pulau Dokdo atau
Takeshima tidak pernah dilepas oleh Jepang. Selain itu, secara umum dalam
isi perjanjian San fransisco 1951 wilayah hasil ekspansi Jepang harus
dikembalikan kepada pemiliknya.Tidak disebutkannya pulau Dokdo atau
Takeshima dalam pelepasan kekuasaan tersebut menurut pasal 2 Perjanjian
San fransisco 1951, bukan berarti kedaulatan pulau tersebut masih berada pada
Jepang.Hal tersebut berbeda dengan Korea Selatan, pihak Jepangsama sekali
tidak menunjukkan adanya kependudukan secara keberlanjutan dan
pengawasan efektif terhadap pulau Dokdo atau Takeshima. Sehingga dapat
diperoleh hasil bahwa ketepatan klaim ada pada negaraKorea Selatan yang
membuktikan kepemilikan klaim berdasarkan bukti – bukti dokumen sejarah
dan pengawasan efektif, hal tersebut dapat dikatakan benar jika kita melihat
pada hasil putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan Ligitan yang memutuskan
kepemilikan pulau tersebut ada pada Malaysia berdasarkan adanya ordonansi
perlindungan satwa, pungutan pajak telur penyu, pelestarian alam, dan
pembangunan mercusuar sebagai tindakan pengawasan efektif. Selain itu di
dalam pulau Sipadan dan Ligitan proses administratif dilakukan oleh
pemerintah Malaysia, mayoritas penduduk menggunakan bahasa melayu,
pertukaran uang menggunakan ringgit, dan pengelolaan pulau berada pada
kekuasaan Malaysia.125
Jadi, pembuktian klaim yang diajukan kedua
125
Mada ariandi zuhir, studi tentang penerapan effective occupation principle dalam
penyelesaian sengketa wilayah Negara, fakultas hukum universitas brawijaya, jurnalhukum.
95
negaratidak akan memperoleh pengakuan hukum ketika belum dibuktikan
melalui cara pembuktian lain yaitu, pendudukan secara berkelanjutan,
pengawasan efektif, dan ecology preservation.
B. Alternatif penyelesaian sengketa antara Jepang dan Korea Selatan
menurut hukum internasional
I. Cara Damai :
a. Penyelesaian sengketa melalui Negosiasi
Penyelesaian sengketa pulau Dokdo atau Takeshima antara Jepang dan
Korea Selatan tidak menutup kemungkinan jika pada suatu saat kedua negara
sepakat untuk mempersatukan pendapat melalui jalur Negosiasi.Meskipun
perebutan hak kedaulatan atas pulau Dokdo atau Takeshima diwarnai dengan
perbedaan penafsiran berdasarkan perolehan pulau tersebut. Jika Korea
Selatan dan Jepang mengklaim hak kedaulatan pulau Dokdo atau Takeshima
didasari oleh kekayaan alam yang ada pada ulleung Tsusima Basin yaitu
berupa gas hydrat yang disertai suatu kepentingan nasional berupa
kepentingan ekonomi nasional, maka kerjasama atas pembagian kekayaan
alam tersebut dapat dijadikan sebagai titik temu perbedaan pendapat yang
berbeda antara Korea Selatan dan Jepang. Tidak adanya pihak ketiga dalam
negosiasi merupakan inisiatif pihak bersengketalah yang menghendaki agar
sengketa ini diselesaikan bersama. Jika pembagian hasil kekayaan alam adalah
cara yang hanya bisa dilakukan untuk mempertemukan perbedaan pendapat
96
tersebut kedua negara akan melakukan penyelesaian sengketa melalui jalur
negosiasi yang tergolong sederhana dengan sendirinya. Dengan begitu klaim
kedaulatan atas pulau Dokdo atau Takeshima melalui diskusi timbal balik
hakikat perbedaan pendapat mengenai klaim, hak kedaulatan perolehan
wilayah pulau tersebutakan terungkap dan pendirian – pendirian yang
bertentangan akan terbuka. Meskipun tidak dijamin dapat menyelesaikan
sengketa, setidaknya ada upaya untuk mempersatukan pendapat oleh kedua
negara yang bersengketa dan kedepannya tidak mempersulit untuk
menemukan kedua negara yang bersengketa untuk menyelesaikan dengan cara
yang lain setelah cara negosiasi dianjurkan. Selain itu bisa melalui
penyelidikan resmi, mediasi, konsiliasi dan lainnya.Sebab keberhasilan
negosiasi tergantung pada kesediaan, keluwesan, dan kepekaan para pihak.Hal
itu dapat terwujud jika jaminan untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur
negosiasi adalah kerjasama pembagian kekayaan alam.
Menurut hukum internasional terdapat kesepakatan bilateral atau
kesepakatan multilateral yang mewajibkan pengguna negosiasi. Pasal 283 ayat
1 konvensi hukum laut 1982 menetapkan, contoh bahwa ketika timbul
sengketa diantara negara-negara anggota menyangkut interprestasi atau
penerapan konvensi tersebut, „‟para anggota yang bersengketa harus
meneruskan bertukar pendapat dengan cara terbaik mengenai penyelesaiannya
melalui negosiasi atau cara damai lainnya. Traktat-traktat lainnya mungkin
97
menyatakan akan menggunakan mekanisme pihak ketiga setelah negosiasi
gagal.
Jika sengketa terus berlanjut sehingga dapat membahayakan pemeliharaan
kedamaian dan keamanan internasional, pasal 33 piagam PBB menetapkan
bahwa pertama-tama para pihak yang bersengketa harus mencari solusi
melalui negosiasi, penyelidikan resmi, atau mediasi, baru kemudian jika upaya
tersebut tidak membuahkan hasil, dapat memilih bentuk resolusi yang lebih
rumit.126
b. Penyelesaian sengketa melalui jalur Mediasi dan jasa baik (good
offices)
Setelah penyelesaian sengketa melalui jalur Negosiasi tidak menemukan
solusi, maka keterlibatan pihak ketiga yang digunakan untuk mendekatkan
para pihak agar mau berunding.Dilihat dari kerjasama luar negeri Jepang dan
Korea Selatan kedua negara ini pro terhadap Amerika, bahkan menurut nota
SCAPIN ketiga negara ini memiliki kerjasama pertahanan terhadap Korea
Utara. Maka tidak menutup kemungkinan bagi kedua negara untuk menunjuk
Amerika sebagai pihak ketiga dalam sengketa pulau Dokdo atau
Takeshima.Adanya Amerika sebagai pihak ketiga memberikan keluwesan bagi
para pihak yang bersengketa untuk segera melakukan perundingan untuk
126
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta,2004. Hlmn 46
98
menemukan upaya penyelesaian sengketa. Karena Amerika memiliki
independensi dan kredibilitas yang tinggi dalam masalah ini, hal tersebut
didasari oleh kerjasama pertahanan menurut nota SCAPIN. Dapat disimpulkan
bahwa dengan adanya sengketa antara Korea Selatan dan Jepang hubungan
kerjasama antara ketiga pihak akan putus. Dengan hadirnya Amerika sebagai
mediator akan mempermudah jalannya perundingan, saran yang diajukan yaitu
kerjasama pembagian kekayaan alam yang terdapat pada ulleung tsusima
basin yaitu gas hydrat seperti yang di ajukan mulai awal. Rasionalisasinya
karena pihak Jepang maupun Korea Selatan memerlukan kekayaan alam
tersebut untuk kepentingan ekonomi nasional negaranya.
Mengenai penguasaan latar belakang masalah yang disengketakan oleh
Korea Selatandan Jepang pihak Amerika sendiri juga menguasainya
dibuktikan dengan adanya pulau Liancourt (pulau karang) sebutan atas pulau
Dokdo atau Takeshima oleh Amerika, dimana Amerika juga ikut serta mencari
jalan penyelesaian masalah melalui PBB dan juga mendapat pengakuan
masyarakat internasional atas kewenangan Amerika dalam sengketa ini.
Pengetahuan yang cukup dan keinginan menjaga hubungan perdamaian di
Asia Timur merupakan alasan utama bagi Amerika yang dianggap pantas
untuk menjadi mediator. Sehingga dapat sampai pada proses akhir yaitu tawar
menawar dan berujung pada kesepakatan para pihak yang berwujud perjanjian
kerjasama joint venture.
99
Keterkaitan jasa baik dan mediasi kedua cara penyelesaian sengketa ini
memiliki keterkaitan sehingga sering kali sulit dipertahankan, sebab keduanya
cenderung saling menyatu, tergantung pada keadaan – keadaan yang ada.
Dapat dilihat dari contoh metode jasa baik peran yang di peragakan perancis
dalam mendorong agar negosiasi AS-Vietnam utara di mulai di Paris pada
awal 1970-an, pada saat itu sekretaris jenderal PBB berperan penting dalam
melaksanakan jasa – jasa baiknya.Jasa baik juga dapat dilaksanakan sekretaris
jenderal secara gabungan dengan para pemegang jabatan lainnya dalam
organisasi regional.
Hal ini dapat diterapkan juga pada kasus sengketa pulau Dokdo atau
Takeshima yaitu dengan cara kehadiran sukarela PBB sebagai penyedia jasa
baik (good offices). Di lain pihak baik Jepang, Korea Selatan, dan Amerika
adalah anggota PBB, maka aturan umum yang diterapkan PBB untuk dipatuhi
negara anggotanya setidaknya menjadi kewajiban bagi para pihak.
Berdasarkan pasal 4 piagam PBB terdapat aturan bahwa negara yang menjadi
anggota PBB harus memenuhi kewajiban negaranya sebagai anggota atas
aturan yang ditetapkan oleh piagam PBB.Selain itu terdapat asas penyelesaian
sengketa secara damai yaitu menyebutkan bahwa sesamanegara anggota PBB
wajib menyelesaikan permasalahan atas dirinya secara damai.127
127
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta,2004. Hlmn 57 - 48
100
c. Penyelesaian sengketa melalui jalur Konsiliasi dan penyelidikan resmi
(inquiry)
Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi hampir sama dengan mediasi
tetapi konsiliasi lebih aktif dan dapat melakukan intervensi.Cara ini
merupakan lanjutan dari mediasi dan jasa baik (good offices) oleh Karena itu,
proses konsiliasi melibatkan unsur baik penyelidikan resmi maupun mediasi,
dan sebenarnya lahir dari traktat-traktat yang merencanakan komisi
penyelidikan resmi permanen.Dalam sengketa pulau Dokdo atau Takeshima
pihak konsiliator bisa ditunjuk oleh kedua negara yang bersengketa, pihak
ketiga, dan PBB.Namun, dilihat dari permasalahan yang berkembang sengketa
pulau Dokdo atau Takeshima sudah berlangsung sangat lama.Maka dari itu
untuk alasan keamanan agar tidak mengganggu perdamaian Dunia yang dapat
menjadi konsiliator hanya Dewan Keamanan PBB. Sementara anggota Dewan
Keamanan PBB ada lima yaitu Amerika, Cina, Inggris, Rusia, dan Perancis.
Jika dilihat dari kompetensi para anggota Dewan Keamanan Amerika sudah
menjadi mediator dalam sengketa ini maka tidak memenuhi kualifikasi,
sementara Cina juga mempunyai kepentingan atas hak kedaulatan pulau
Dokdo atau Takeshimayang dalam penelitian ini tidak dijelaskan secara
mendetail maka tidak memenuhi kualifikasi, sedangkan Rusia dan Inggris
tidak mempunyai hubungan yang baik dengan pihak yang sedang bersengketa
maka tidak dimungkinkan untuk menjadi konsiliator. Dengan begitu hanya
perancis yang dapat menjadi konsiliator, mengenai hal kompetensi perancis
101
sendiri sudah pernah membantu menyelesaikan sengketa beberapa negara dan
mempunyai hubungan yang baik dengan pihak yang bersengketa.Sehingga
tidak diragukan lagi independensi dan kredibilitasnya terhadap penyelesaian
sengketa pulau Dokdo atau Takeshima.
Perancis sebagai pihak konsiliator dapat melakukan penjernihan fakta-
fakta dan pembahasan ulasan-ulasan seperti pencarian bukti yang dilakukan
dengan membentuk tim penyelidikan resmi yang terdiri dari orang – orang
dari warga negara pihak yang bersengketa, pihak ketiga, dan konsiliator. Hal
tersebut dilakukan agar dapat secepatnya mendorong akantimbulnya negosiasi
diantara para pihak setelah dilakukannya pembuktian dan penjernihan fakta.
Aturan – aturan yang menangani konsiliasi dijelaskan dalam General Act
penyelesaian damai sengketa internasional 1928.Proses penyelidikan tersebut
berlangsung selama enam bulan dan tidak boleh digelar didepan umum. Upaya
tersebut tentu dapat mempercepat penemuan hasil pembuktian dari fakta
faktual yang telah diperoleh, sehingga dapat dijadikan rujukan untuk
melakukan perundingan atas permasalahan yang timbul dengan pemikiran
yang jernih dari sebelumnya.128
d. Penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase
Tidak menutup kemungkinan jika sengketa pulau Dokdo atau Takeshima
antara Korea Selatan dan Jepang tidak menemukan solusi didalam
128
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta,2004. Hlmn 48
102
carapenyelesaian diplomasi yang telah disebutkan diatas. Maka dibutuhkan
cara penyelesaian sengketa menurut hukum internasionalyaitu melalui tribunal
arbitrase permanen (PCA). Hal tersebut tentu akan menguntungkan para pihak
karena penyelesaian melalui jalur arbitrase ini hampir memiliki kesamaan
dengan penyelesaian sengketa di pengadilan Mahkamah Internasional, tetapi
putusan pengadilan didalam arbitrase hanya mengikat para pihak dengan
itikad baik. Selain itu jalannya proses peradilan bisa dilakukan secara tertutup.
Sehingga kedua negara yang bersengketa memiliki insiatif untuk
menyelesaikannya melalui tribunal arbitrase permanen (PCA),karena berbeda
dengan sistem pengadilan Mahkamah Internasional yang dilakukan secara
terbuka dan dipublikasikan, disamping itu arbitrase memiliki hakim yang
memiliki pengetahuan luas mengenai hukum internasional dan bermoral
tinggi, jika Korea Selatan dan Jepang sepakat untuk menyelesaikan sengketa
pulau Dokdo atau Takeshima melalui arbitrase tribunal, arbitrase permanen
(PCA) maka kedua negara bisa memilih hakimnya sendiri, bukan hanya itu
bahkan Korea Selatan dan Jepang dapat memilih prosedur hukum apa yang
digunakan sebagai penyelesaian sengketa didalam pengadilan tersebut.untuk
prosedur hukumnya jika dilihat dari kedua negara cara pembuktian
kepemilikan atas pulau Dokdo atau Takeshima saja tidak cukup, terlebih lagi
bukti kedua negara benar menurut hukum internasional. Maka dibutuhkan cara
lain untuk dijadikan sebagai prosedur hukum, yaitu pengawasan efektif
(effectivity) rasionalisasinya jika menggunakan cara ini penguasaan pulau
tersebut oleh para pihak yang bersengketa mencerminkan suatu kepemilikan
103
secara terus menerus. Seperti yang ada dalam ketentuan tidak tertulis
penetapan batas negara, hal ini bisa kita lihat dari penyelesaian sengketa pulau
Sipadan dan Ligitan antara Indonesia-Malaysia yang menggunakan
pengawasan efektif dalam pengadilan di Mahkamah Internasional.Jika kedua
negara yang bersengketa sudah sepakat memilih penyelesaian sengketa ini,
Kesepakatan untuk mengambil arbitrase sendiri ada dalam pasal 18 yang
menyiratkan kewajiban hukum untuk menerima syarat – syarat putusan.
Mengenai sistem tribunal pengadilannya baik Korea Selatan atau Jepang
menurut sistem PCA, bila tidak ada kesepakatan mengenai hal yang
sebaliknya, tiap – tiap pihak memilih dua arbiter dari panel tersebut, akan
tetapi hanya seorang dari mereka yang berasal dari negara pemilihnya. Lalu
arbiter memilih memilih seorang penengah, tetapi jika gagal tugas itu akan
diserahkan kepada pihak ketiga yang ditunjuk melalui kesepakatan. Jika pihak
ketiga juga gagal ditunjuk, maka kemudian dijalankan proses yang rumit
dengan pengundian sebagai puncaknya.Untuk pemilihan dua arbiter dari
masing – masing pihak yang bersengketa, Jepang memilih satu orang dari
warga negaranya serta satu orang lagi dari warga negara Amerika, Sedangkan
untuk Korea Selatan juga demikian.Penengahnya dipilih oleh pihak ketiga dari
arbitrator yang telah dipilih yaitu orang dari PBB khususnya Dewan
Keamanan. Dengan begitu proses penyelesaian sengketa akan berjalan lancar
dan indepen.
104
Karena arbitase didalam tribunal arbitrase permanen (PCA)
menggabungkan unsur diplomasi dan hukum internasional.Keberhasilan
tergantung pada besarnya kesediaan diantara pihak dalam menyusun
compromise dan membentuk tribunal, disamping benar – benar melaksanakan
putusan yang kemudian dibuat. Sebagian besar kesuksesan tergantung pada
suatu proses negosiasi. Tergolong sangat cepat dibandingkan menyelesaikan
sengketa di Mahkamah Internasional, disamping itu putusan dari arbitrase
bersifat mengikat para pihak yang sepakat untuk mengikatkan dalam suatu
kesepakatan bersama dan tidak dapat diubah.Meskipun didasarkan dengan
itikad baik saja para pihak untuk mematuhi hasil putusan yang dikeluarkan
tribunal arbitrase permanen (PCA).129
e. Penyelesaian sengketa melalui jalur organisasi internasional
Pasal 52 ayat 1 BAB VIII, piagam PBB menetapkan bahwa piagam
tersebut tidak mengecualikan keberadaan kesepakatan regional atau badan –
badan regional untuk menangani persoalan yang berhubungan dengan
pemeliharaan kedamaian dan keamanan internasional yang sesuai dengan aksi
regional, asalkan kesepakatan atau badan regional tersebut beserta aktivitasnya
konsisten dengan tujuan dan asas PBB. Pasal 52 ayat 2 menetapkan bahwa
anggota – anggota PBB yang menandatangani perjanjian atau mengikuti badan
tersebut, harus menempuh segala upaya untuk menyelesaikan sengketa lokal
129
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta,2004. Hlmn 49 - 50
105
secara damai melalui perjanjian regional atau badan regional yang merujuk
pada Dewan Keamanan. Bahwa Dewan Keamanan mendukung
pengembangan penyelesaian damai untuk sengketa – sengketa lokal melalui
perjanjian regional. Supremasi Dewan Keamanan diperkuat dengan pasal 53
ayat 1 yang menetapkan bahwa Dewan Keamanan dapat menggunakan
perjanjian regional atau badan – badan regional untuk tindakan penegakan
kedamaian dibawah otoritasnya, pengambilan tindakan penegakan dibawah
perjanjian regional atau badan regional tidak bisa dilakukan tanpa otoritas
Dewan Keamanan. Sedangkan pasal 103 piagam PBB menegaskan apabila
terjadi konflik diantara kewajiban – kewajiban anggota PBB dibawah piagam
dan kewajiban – kewajiban dibawah perjanjian internasional lain, maka
kewajiban dibawah piagam lah yang berlaku. Kecuali menurut pasal 36,
Dewan Keamanan pada tahap apapun dalam sengketa boleh
merekomendasikan prosedur atau metode penyelesaian sengketa yang sesuai,
Sedangkan menurut pasal 37 menetapkan jika para pihak yang bersengketa
gagal mencapai penyelesaian, mereka harus merujuknya kepada Dewan
Keamanan.
Tidak menutup kemungkinan bagi sengketa pulau Dokdo atau Takeshima
yang sedang disengketakan Korea Selatan dan Jepangsuatu saat akan diambil
Ahli oleh Dewan Keamanan, karena jalannya persengketaan yang panjang ini.
Maka oleh Dewan Keamanan melalui organisasi regional akan dibentuk suatu
alat perlengkapan penyelesaian sengketa yang terdiri dari negara tetangga dan
106
pihak yang bersengketa untuk segera menemukan cara penyelesaian
sengketanya. Jika dilihat dari ke efektifannya menggunakan cara pembuatan
perjanjian internasional lah yang dapat mengakibatkan adanya suatu
kewajiban hukum harus mematuhinya tanpa alasan apapun. Sehingga
perjanjian internasional yang dibutuhkan adalah perjanjian perbatasan negara
antara Korea Selatan dan Jepang yang dilihat dari batas negaranya yaitu dari
pulau Oki (Jepang) dan pulau ulleung (Korea Selatan) yang terletak diantara
pulau Dokdo atau Takeshima. Hasilnya akan menunjukkan kedaulatan negara
manakah yang sah menurut hukum internasional berlaku.130
II. Cara penyelesaian sengketa selain cara damai:
a. Penyelesaian sengketa melalui jalur Litigasi Mahkamah Internasional
Penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Internasional merupakan
optional dari para pihak yang sedang bersengketa, karena jika kedua negara
ingin menyelesaikan masalah sengketa kepada Mahkamah Internasional maka
harus disepakati oleh kedua negara yang bersengketa agar kasus sengketa ini
bisa diambil Ahli oleh Mahkamah Internasional dalam penyelesaiannya.
Konsekuensi hukumnya jika Mahkamah Internasional sudah memberikan
putusan dalam sebuah pengadilan Internasional maka putusan tersebut akan
bersifat mengikat antara pihak yang bersengketa satu sama lain dan harus
130
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta,2004. Hlmn 50 - 51
107
dipertanggung jawabkan. Hal tersebut banyak sengketa antaranegara yang
jarang untuk diajukan ke Mahkamah Internasional selagi bukti yang
dikumpulkan belum memenuhi syarat seperti apa yang dilakukan Korea
Selatan. Dikhawatirkan hal ini akan menyebabkan hubungan diplomasi Korea
Selatan dengan Jepang menjadi terganggu ke akrabannya karena adanya
sengketa pulau Dokdo.
Sengketa pulau Dokdo antara Jepang dan Korea Selatan memiliki ciri khas
yang samadengan sengketa pulau palmas. Dalam sengketa pulau palmas
kepemilikan atas kedaulatan pulau ini sudah berlaku sejak diperoleh secara
Cesi oleh Amerika Serikat. Hal ini persis apa yang dilakukan Jepang yang
mengklaim berdasarkan perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2 bahwa pulau
Dokdo diperoleh dari hasil aneksasi. Jika dipertimbangkan melalui Mahkamah
Internasional bukti Korea Selatan sangat kuat karena dilihat dari dokumen
sejarah yang ada banyak yang menyebutkan kepemilikan Korea Selatan atas
pulau Dokdo sudah lama berabad – abad. Begitu juga dengan Jepang tidak
kalah kuatnya klaimnya atas pulau Takeshima diperkuat dengan adanya
perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2, karena perjanjian internasional bersifat
mengikat antara pihak yang membuat suatu perjanjiannya. Dalam hal bukti
Klaim kedua negara harus dibuktikan kebenarannya dalam pengadilan di
Mahkamah Internasional.
Dalam mempertimbangkan hal sengketa suatu wilayah Mahkamah
Internasional selalu menggunakan kebiasaan hukum internasional untuk
108
penyelesaian sengketa mengenai pulau itu didasarkan pada beberapa faktor,
seperti penemuan (discovery), pengawasan secara efektif, pemilikan tanpa
adanya protes (prescriptive), koneksitas geografis (Contiguity). Biasanya
Mahkamah Internasional lebih memprioritaskan dari segi bukti sejarah dan
suatu perjanjian Internasional hal tersebut harus disertai dengan pengawasan
secara efektif oleh negara yang mengklaim sebagai upaya lanjut kepemilikan
pulau Dokdo.
Hal ini harus diselesaikan secepat mungkin agar hubungan kedua negara
tidak rusak karena adanya sengketa pulau Dokdo. Meskipun Jepang sudah
mengirimkan nota diplomatik ke Korea Selatan untuk mengajak
menyelesaikan sengketa ini keMahkamah Internasional,upaya tersebut tidak
akan berjalan jika Korea Selatan menolak akan ajakan tersebut.131
Maka diharapkan seharusnya kedua negara lebih bersinergi dalam
penyelesaian kasus ini agar diajukan ke Mahkamah Internasional, karena
putusan Mahkamah Internasional bersifat final and binding. Bermanfaat untuk
meniadakan konflik berkelanjutan.
b. Melalui Kerja sama Joint Venture (pengambilan Sumber Daya Alam)
Penyelesaian sengketa melalui cara kerja sama ekonomi seperti Joint
Venture merupakan cara yang tergolong dapat menjaga kestabilan politik
131
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2004, hlm 45 – 50
109
maupun ekonomi antara kedua negara. Karena melalui Joint Venture yang
digunakan adalah sistem bagi membagi sama rata atau ditentukan oleh hal
yang sepadan melalui sebuah kesepakatan antara kedua negara. Dilihat dari
permasalahan sengketa antara Korea Selatan dan Jepang yang diperebutkan
adalah hasil kekayaan alam yang terdapat di pulau Dokdo berupa gas hydrat
berjumlah 600 juta ton yang memiliki manfaat sebagai pengganti bahan bakar.
Bagi kedua negara bahan bakar berupa gas hydrat tersebut sangat penting bagi
kepentingan ekonominya agar dapat membawa kesejahteraan sosial dan
kemajuan pendapatan ekonomi.132
Jika kedua negara tetap bersih kukuh untuk memperoleh hasil kekayaan
alam tersebut sebaiknya kedua negara melakukan perjanjian kerjasama
ekonomi berupa Joint Venture agar dapat mengeksploitasi hasil kekayaan
alam secara bersamaan tanpa memunculkan sengketa antaranegara. Pembagian
hasil kekayaan alam agar tidak menimbulkan konflik maka harus 50 persen
sama rata agar memunculkan kesepakatan antara kedua negara. Hal tersebut
pernah dilakukan oleh Korea Selatan dan Korea Utara dalam kerjasama dalam
perusahaan dengan cara Joint Venture yang membuahkan hasil keadilan dan
kesejahteraan bagi manfaat kedua negara. Seharusnya Jepang dan Korea
Selatan lebih mementingkan urusan ketertiban dan keamanan lingkungan
132
Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara
korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan
internasional, tahun 2013
110
Internasional agar menyelesaikannya dengan jalan damai sesuai ke efektifan
dan ke efesienan.
c. Mengikatkan Satu Sama Lain melalui Hubungan Diplomasi
Hubungan diplomasi antara Jepang dan Korea Selatan merupakan gerbong
yang sama dengan Amerika Serikat. Dalam hubungan kerjasama militer kedua
negara selalu bekerjasama dengan Amerika Serikat untuk menghadapi
kemajuan angkatan bersenjata Korea Utara dan Cina. Maka jika hubungan
antara Jepang dan Korea Selatan putus akan mengakibatkan kerugian bagi
pihak Amerika Serikat dimasa depan.
Akan lebih efektif jika kerjasama ketiga negara ini akan tetap selalu dijaga
dengan Amerika Serikat sebagai mediator Jepang dan Korea Selatan dalam
sengketa pulau Dokdo. Karena sebelumnya dalam cara negosiasi oleh kedua
negaramelalui utusan diplomat yang diutus untuk menukarkan nota diplomatik
selalu mengalami penolakan satu sama lain maka cara ini dinilai kurang
efektif. Selain itu sangat efektif jika menggunakan cara konsiliasi yang
memilih suatu negara atau beberapa negara untuk memutus sengketa pulau
Dokdo antara Jepang dan Korea Selatan. Hal ini akan mudah memperoleh
pengakuan dunia internasional.133
133
Act 1395 amending Chapter 14-2, Ri-Administration under Ulleung County, Local
Autonomy Law, Ulleung County (울릉군리의명칭과구역에관한조례 [개정 2000. 4. 7
조례제 1395호])"
111
d. Perjanjian perbatasan negara
Adanya suatu perjanjian perbatasan negara tidak menutup kemungkinan
akan diperlukan jika Korea Selatan dan Jepang kedepannya ingin menentukan
perbatasan negaraantara pihak yang sampai sekarang penarikan batas laut dari
garis pangkal daratan pulau Ulleungdo (Korea Selatan) dan pulau Oki
(Jepang) belum ditentukan delimitasi batas zona ekonomi eksklusifnya (ZEE).
Sehingga apabila penentuan perbatasan negara telah ditentukan oleh kedua
negaraakan mempermudah pemanfaatan hasil kekayaan alam yang terdapat
didalam Ulleung Tsusima Basin. Meskipun tidak memungkinkan tetapi tidak
menutup kemungkinan cara ini akan digunakan oleh kedua negara sebagai
upaya ultimum remidium dari penyelesaian sengketa pulau Dokdo atau
Takeshima.
Perjanjian perbatasan negara territorial suatu negara yang berbatasan di
wilayah laut, menurut konvensi hukum laut 1982 harus merujuk pada
tercapainya kesepakatan para pihak yang dibuat berdasarkan sumber hukum
internasional publik. Dengan demikian membuktikan bahwa konvensi hukum
laut 1982 memberikan keleluasaan bagi para pihak yang berkepentingan untuk
mencari prinsip – prinsip hukum yang dapat diterima bersama sebagai dasar
penentuan perbatasan landas kontinen, dengan kata lain melalui konvensi
hukum laut 1982, negara diberi kebebasan untuk menetapkan sendiri isi
perjanjian tentang batas landas kontinen.
112
Sedangkan penyelesaian atau delimitasi batas zona ZEE, Louis Henkin dan
Donillo menyatakan bahwa berdasarkan pasal 74 konvensi hukum laut 1982,
apabila terdapat klaim batas zona ZEE yang tumpang tindih, maka
penyelesaian menggunakan metode serupa, namun penyelesaian hanya
merujuk pada kesepakatan bersama ini pada gilirannya akan memperlihatkan
ketidakmaupuan masyarakat internasional dalam menyepakati satu formula
baku dalam penyelesaian sengketa batas zona ZEE dan batas landas
kontinen.134
Sehingga bagi Korea Selatan atau Jepangpenentuan perbatasan negara
yang menyangkut territorial laut menurut konvensi hukum laut 1982 adalah
prosedur hukum yang dibenarkan menurut hukum internasional.Sepanjang
yang menjadi ketertarikan oleh kedua negara adalah hasil kekayaan alam
Ulleung Tsusima Basin, maka penentuan zona ekonomi eksklusif (ZEE)
secara langsung juga menentukan batas landas kontinen.
Maka dapat disimpulkan dari alternatif penyelesaian sengketa yang ada,
upaya negosiasi adalah tindakan utama yang harus dilakukan oleh Korea
Selatan dan Jepang karena sebelumnya belum ada suatu upaya negosiasi dari
kedua negara. Hal tersebut pernah akan dilakukan tetapi tidak menemukan
titik temu, sehingga tidak memungkinkan dilakukannya suatu negosiasi.
Setelah banyaknya penyelesaian sengketa baik secara damai atau prosedur
134
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2011. Hlmn 41 - 44
113
hukum yang ada menurut konvensi hukum internasional yang telah disebutkan
diatas menjadi tindakan selanjutnya yang akan diambil oleh kedua negara jika
upaya negosiasi tidak lagi memungkinkan untuk dilakukan. Selain itu jika
kedepannya sengketa ini mengancam perdamaian dan keamanan internasional
maka Dewan Keamanan menurut piagam PBB dapat mengambil andil dalam
penyelesaian sengketa ini, karena kedua negara adalah negara anggota PBB
yang harus mematuhi aturan yang terdapat didalam piagam PBB. Sehingga
upaya ultimum remidium pun seperti penentuan perbatasan negara sangat
diperlukan untuk menyelesaikan sengketa ini.
114
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Meskipun Jepang dan Korea Selatan mempunyai alasan masing –
masing terhadap klaimnya atas pulau Dokdo atau Takeshima, klaim
Korea Selatan lenih dibenarkan menurut hukum internasional.
Berdasarkan bukti sejarah pulau Dokdo atau Takeshima mulai dari
dinasti Shilla 512 adalah wilayah hasil okupasi Korea Selatan. Selain
itu juga banyak sekali dokumen sejarah yang menyebutkan legalisasi
kepemilikan Korea Selatan atas pulau Dokdo atau Takeshima. Hal
tersebut juga disertai dengan pengawasan efektif dari Korea Selatan
yang berkelanjutan sampai saat ini, dibuktikan dengan adanya
bangunan tempat wisata di pulau Dokdo atau Takeshima, dan proses
administrasi serta pengelolahan pulau yang berada dalam kekuasaan
pemerintah Korea Selatan. Maka secara legitimasi hukum dan
pengawasan efektif pulau Dokdo atau Takeshima adalah milik Korea
Selatan.
115
2. Penelitian ini menawarkan suatu alternative penyelesaian sengketa
antara Jepang dan Korea Selatan atas pulau Dokdo atau Takeshima
melalui Joint Venture atas kekayaan alam yang terdapat di Ulleung
Tsusima Basin.
2. B. Saran
1. Bagi Jepang seharusnya tidak melakukan klaim sepihak atas
kepemilikan pulau takeshima, karena hal tersebut adalah merupakan
pelanggaran hukum internasional. Menjaga kestabilan hubungan
internasional merupakan prioritas utama bagi negara yang sedang
menjalin hubungan dengan negara lain yang saling membutuhkan satu
sama lain.
2. Bagi Pihak Ketiga atau negara lain yang dapat mengambil andil atas
penyelesaian sengketa pulau Dokdo, seharusnya dapat mengajukan
alternatif penyelesaian sengketa yang solutif bagi kedua negara. Bagi
Amerika yang menjalin kerjasama antara Korea Selatan dan Jepang
dalam bidang ekonomi maupun militer dapat menjaga hubungan kedua
negara melalui berbagai kerjasama. Selain itu dapat bertindak sebagai
salah satu negara konsiliator dalam penyelesaian sengketa pulau
Dokdo.
DAFTAR PUSTAKA :
BUKU
Dr.Sefriani, Peran Hukum Internasional, Penerbit Yudhistira, Bandung, 2005.
Dr.Kholis Rhoisyah, Hukum Perjanjian Internasional Teori dan Praktek, penerbit elexmedia, Jakarta, 2013. Dr.Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian Internasional pengertian, status hukum, dan ratifikasi, penerbit Locus, Jakarta, 2010. Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2010.
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004
Han Jung Moo, Historical of Dokdo Island belongs to South Korea, Penerbit Junggap, Seoul, 2011. I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014
J.G,Starke, Pengantar hukum internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988.
Jawahir Thontowi dan Iskandar Pranoto, Hukum Internasional Kontemporer, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Kanzoku Oda, Japan has small island near perfektur Shimane, Penerbit ichi-yon, Tokyo, 2006. Malcolm N. Shaw, Hukum Internasional, penerbit Nusamedia, Bandung, 2013. Prof. Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional peranan dan fungsi dalam era dinamika global, penerbit Locus, Jakarta, 2011.
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011
Sam Jaffe dan Myung Oak Kim, The New Korea look an inside south Korea Economic rise, penerbit elexmedia, 2013.
99
Jurnal :
Didah nadzifat ussa’diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan internasional, tahun 2013
Hee Min Kim, Takeshima International Document Observer, year 2009, hal 14
Hori, Kazuo. 1997, Japan’s incorporation of Takeshima in to its territory in 1905, Korea observer journal 28(3) : 477-525 Lalak Dedy Priswantoro, status kepulauan Dokdo dalam perspektif hukum internasional, fakultas ilmu social dan politik universitas Jember, jurnal hukum, Mei 2007 Mada ariandi zuhir, studi tentang penerapan effective occupation principle dalam penyelesaian sengketa wilayah negara, fakultas hukum universitas brawijaya, jurnal hukum.
Utami gita syafitri, sengketa pulau Dokdo antara Korea Selatan dan Jepang, fakultas hukum universitas sumatera, jurnal hukum, tahun 2013
Peraturan Hukum Nasional :
"Act 1395 amending Chapter 14-2, Ri-Administration under Ulleung County, Local Autonomy Law, Ulleung County (울릉군리의명칭과구역에관한조례 [개정 2000. 4. 7 조례제 1395호])"
Internet :
Dokdo Research Institute, Dokdo in history, (http/www.dokdohistory.com/kr), diakses mei tahun 2015
Yu nin jie, wokou raids map, (www.archive kaskus.co.id), diakses pada mei 2015
Berita :
Charles Scanlon, South Korean Vent Fury at Japan, BBC online, 18 march 2005 (new.bbc.co.uk/3/hi/asia-pacific/437621.stm)
Julian Ryall, Japan angers Korea by marking Takeshima Day, DW media news, 22 february 2013 (www.dw.com/en/japan-angers-korea-by-marking-takeshima-day/a-2398)
Japan Daily News, Waku – waku Japan, tanggal 23 july 2011 (www.wakuwakujapan.com/en/)
Shin yongha, Disputes over ulleungdo and tokdo at the end of the 17 th Century, archive, di akses 12 mei 2015 (www.spf.org/islandstudies/research/a02020)
Staff BBC, seoul and tokyo hold island talks, BBC news, 20 april 2006 (new.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4925257.stm)
Staff BBC, Korea and Japan solitary island hot news, BBC news, 1 mei 2016 (www.breaking news.com/topic/south-korea-japan-disputed-island.stm)
Staff KBS, Partai berkuasa Jepang dirikan badan penelitian mengenai Dokdo, KBS world radio, (rki.kbs.co.kr/Indonesian/in-news.html), 23 Juni 2016 Seong Raak, Dokdo island heritage Korean lands, KBS World, 22 oktober 2010 (www.KBSWorld.com/d?gws_d). Yonhap News, Korea mendesak Jepang untuk menghentikan klaim atas pulau Dokdo, Kenterin, (kenterin.net/m/article/11373i), 8 april 2016