kedaulatan negara atas pulau dokdo atau takeshima yang

125
1 KEDAULATAN NEGARA ATAS PULAU DOKDO ATAU TAKESHIMA YANG DISENGKETAKAN OLEH JEPANG DAN KOREA SELATAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Di ajukan untuk memenuhi sebagian syarat – syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum Oleh: ARIEF YULIANTO NIM.135010101111163 KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS HUKUM 2017

Transcript of kedaulatan negara atas pulau dokdo atau takeshima yang

1  

KEDAULATAN NEGARA ATAS PULAU DOKDO ATAU TAKESHIMA YANG

DISENGKETAKAN OLEH JEPANG DAN KOREA SELATAN MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL

SKRIPSI

Di ajukan untuk memenuhi sebagian syarat – syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam

ilmu hukum

Oleh:

ARIEF YULIANTO

NIM.135010101111163

 

 

 

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

2017

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………….. I

KATA PENGANTAR……………………………………………………………….. II

BAB I PENDAHULUAN……………………….......................................................... i

A. Latar Belakang…………………………………………………………….. 1

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………. 9

C. Tujuan Penelitian…………………………………………………………... 9

D. Manfaat Penelitian…………………………………………………………. 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA………………………………………………………… ii

A. Hukum Internasional……………………………………………………… 11

B. Kedaulatan Negara atas Wilayah Menurut Hukum Internasional………... 12

C. Konsep Wilayah Negara………………………………………………….. 16

D. Konsep Rational Choice Theory…………………………………………. 21

E. Wilayah Terra Nullius…………………………………………………….. 22

F. Teori Kepentingan Nasional……………………………………………… 22

G. Konsepsi hukum internasional dalam penetapan batas laut……………… 23

H. Dasar penetapan perbatasan Negara………………………………………. 27

1. Ketentuan tidak tertulis……………………………………………. 27

2. Ketentuan tertulis………………………………………………….. 28

I. Konsep Persetujuan dalam Perjanjian Internasional

(Consent to be Bound by a Treaty)…………………………………………… 30

J. Penyelesaian Sengketa Internasional……………………………………... 32

I. Dengan cara damai menurut Piagam PBB BAB VI pasal 33…….. 32

a. Negosiasi………………………………………………….. 33

b. Mediasi……………………………………………………. 35

3  

c. Konsiliasi………………………………………………….. 37

d. Penyelidikan resmi (inquiry)……………………………… 39

e. Jasa baik (good offices)…………………………………… 39

f. Arbitrase…………………………………………………… 40

II. Penyelesaian sengketa melalui organisasi internasional………….. 43

BAB III METODE PENELITIAN…………………………………………………… iii

A. Jenis Penelitian……………………………………………………………. 46

B. Pendekatan Penelitian……………………………………………………... 46

a. Pendekatan kasus (Case Approach)………………………………... 47

b. Pendekatan peraturan hukum Tertulis (statute approach)…………. 47

C. Sumber Bahan Hukum……………………………………………………. 48

D. Teknik Penelusuran Bahan Hukum………………………………………. 49

E. Teknik Analisis Bahan Hukum…………………………………………… 50

F. Definisi Konseptual………………………………………………………. 50

BAB IV PEMBAHASAN………………………………………………………....... iv

A. Ketepatan klaim kedaulatan Negara Korea Selatan dan Jepang atas pulau Dokdo atau Takeshima, menurut kaidah – kaidah Hukum Internasional……………….... 52

I. Klaim Korea Selatan………………………………………………………. 78

a. Fakta Kepemilikan Korsel atas Pulau Dokdo Berdasarkan Bukti Sejarah……………………………………………………. 78

b. Kepentingan Nasional Korsel…………………………………… 82

II. Klaim Jepang…………………………………………………………….. 85

a. Klaim Jepang terhadap Kepemilikan pulau Takeshima………… 85

b. Kepemilikan Jepang terhadap pulau Takeshima

menurut Perjanjian San Fransisco 1951………………………… 86

e. Bukti Sejarah Adanya Peta Nasional Jepang pada zaman Penjajahan.. 88

f. Kepentingan Nasional Jepang atas Pulau Takeshima………………… 90

B. Alternatif penyelesaian sengketa antara Jepang dan Korea Selatan, menurut kaidah – kaidah Hukum Internasional……………………………………………………. 95

I. Cara Damai :…………………………………………………………. 95

a. Penyelesaian sengketa melalui Negosiasi…………………… 95

b. Penyelesaian sengketa melalui jalur Mediasi dan

jasa baik (good offices)………………………………………… 97

c. Penyelesaian sengketa melalui jalur Konsiliasi dan

penyelidikan resmi (inquiry)…………………………………… 100

d. Penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase……………… 101

e. Penyelesaian sengketa melalui jalur organisasi internasional… 104

II. Cara penyelesaian sengketa selain cara damai……………………….. 106

a. Penyelesaian sengketa melalui jalur Litigasi Mahkamah Internasional………………………………………… 106 b. Melalui Kerja sama Joint Venture (pengambilan Sumber Daya Alam)……………………………… 108 c. Mengikatkan Satu Sama Lain melalui Hubungan Diplomasi… 110 d. Perjanjian perbatasan Negara…………………………………. 111

BAB V PENUTUP……………………………………………………………………… v

A. Kesimpulan…………………………………………………………... 114

B. Saran…………………………………………………………………. 115

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………... vi

5  

Judul Rumusan Masalah Tujuan Masalah

Strategi Jepang dan Korsel dalam menyelesaikan sengketa teritorial pulau Takeshima/ Dokdo

1. Bagaimanakah Strategi Jepang dan Korsel dalam menyelesaikan sengketa teritorial pulau Takeshima/ Dokdo ?

2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa antara Korea dan Jepang atas pulau Dokdo atau Takeshima menurut cara diplomatic methods ?

1. untuk memberikan konsepsi baru cara penyelesaian sengketa secara hubungan internasional. 2. untuk memberikan wawasan legitimasi pulau Dokdo atau Takeshima.

Kedaulatan negara Atas Pulau Dokdo atau Takeshima yang Di Sengketakan Oleh Jepang Dan Korea Menurut hukum internasional

1. Apakah klaim Jepang dan Korea atas pulau Dokdo atau Takeshima dapat dibenarkan, menurut kaidah – kaidah hukum internasional ?

2. Bagaimanakah alternatif penyelesaian sengketa antara Jepang Vs Korea Selatan, menurut kaidah – kaidah hukum internasional ?

1. Untuk mengetahui status Pulau Dokdo atau Takeshima yang sedang dalam sengketa antara Korea dan Jepang.

2. Untuk menjelaskan perkembangan penyelesaian sengketa pulau Dokdo atau Takeshima.

3. Untuk merumuskan konsep kaidah internasional yang relevan sebagai solusinya.

Tabel : Penelitian Terdahulu

SUMMARY

Arief Yulianto, International Law, Faculty of Law, University of Brawijaya, in March 2017, the State Sovereignty Over Dokdo or Takeshima Island Disputed By Japan And Korea According to International Law, Dhiana Puspitawati, SH., LLM., PhD, Agis Ardhiansyah, SH., LLM

The existence of an international dispute which resulted in the country related to the sovereignty of the territory will have an impact on the state of diplomatic relations dispute. The state has a sovereign each - each, where sovereignty is supreme sovereignty. Thus the country has full sovereignty over all its territory, and will result in the seizure of the territory if there is a country which claims over the territory that became the sovereign rights of other nations. It is the same as Dokdo or Takeshima dispute that is being disputed by Japan and South Korea. There are claims of both countries, but not all of the claims submitted have legal legitimacy. South Korea claims that Dokdo is its territory from the Shilla Dynasty period 512 BC, even during the many historical documents that prove imperial South Korea legalization Dokdo by the emperor of Japan that Dokdo is South Korea's sovereign territory. While Japan claims that Takeshima islands are its territory under the agreement of San Francisco in 1951 Article 2, which states that Japan only release its sovereignty over the island Dagelet, Quelpart, and Port Hamilton. So with the statement of Japan feel totally relinquish its sovereignty over Takeshima island, even it is reinforced by the decision of Shimane prefecture 40 which proves the legitimacy of the law that the island of Takeshima is Japanese sovereign territory obtained by annexation. South Korea finds that Dokdo is their sovereign right, and therefore do not have to question more about the sovereign rights of Dokdo. But Japan still claiming that Takeshima islands are its territory obtained annexation under the Treaty of annexation in 1910, even according to the San Francisco treaty article 2 of the 1951 Japan did not relinquish its sovereignty over Takeshima island. Then the international dispute resolution Dokdo or Takeshima by the United Nations Charter Chapter VI 33-38 advise that this dispute be resolved by peaceful means. If it does not produce a solution, the efforts beyond the way of solving legal channels can also be used, such as joint ventures (economic cooperation) for the distribution of natural wealth of Hydrat gas in Tsusima Ulleung Basin. Besides the determination of the state border treaty can also be done considering the limit of the exclusive economic zone (EEZ) of South Korea and Japan in the Sea of Japan has not been determined. But in the absence of diplomatic efforts between the two countries can lead to prolonged disputes, therefore negotiation is the first attempt to do by both countries.

7  

ABSTRAK

Arief Yulianto, Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Maret 2017, Kedaulatan Negara Atas Pulau Dokdo atau Takeshima yang Disengketakan Oleh Jepang Dan Korea Menurut Hukum Internasional, Dhiana Puspitawati, SH., LLM., PhD, Agis Ardhiansyah, SH., LLM

Adanya sengketa internasional yang mengakibatkan negara terkait dengan kedaulatan wilayah akan berdampak pada hubungan diplomasi negara yang bersengketa. Negara memiliki kedaulatannya masing – masing, dimana kedaulatan negara adalah kedaulatan yang tertinggi. Maka dari itu negara memiliki kedaulatan penuh atas seluruh wilayahnya, dan akan mengakibatkan adanya perebutan wilayah jika terdapat suatu negara yang mengklaim atas wilayah yang menjadi hak kedaulatan negara lain. Hal ini sama dengan sengketa pulau Dokdo atau Takeshima yang sedang disengketakan oleh Jepang dan Korea Selatan.

Terdapat klaim dari kedua negara, namun klaim yang diajukan tidak seluruhnya memiliki legitimasi hukum. Korea Selatan mengklaim bahwa pulau Dokdo adalah wilayah kedaulatannya dari masa dinasti Shilla 512 SM, bahkan banyak dokumen sejarah pada masa kekaisaran Korea Selatan yang membuktikan legalisasi pulau Dokdo oleh kaisar Jepang bahwa pulau Dokdo adalah wilayah kedaulatan Korea Selatan. Sedangkan Jepang mengklaim bahwa pulau Takeshima adalah wilayah kedaulatannya berdasarkan perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2 yang menyebutkan bahwa Jepang hanya melepaskan kedaulatannya atas pulau Dagelet, Quelpart, dan Port Hamilton. Sehingga dengan pernyataan tersebut Jepang merasa sama sekali tidak melepaskan kedaulatannya atas pulau Takeshima, bahkan hal tersebut diperkuat dengan adanya putusan perfektur Shimane No.40 yang membuktikan secara legitimasi hukum bahwa pulau Takeshima adalah wilayah kedaulatan Jepang yang diperoleh dengan cara aneksasi. Korea Selatan berkesimpulan bahwa pulau Dokdo adalah hak kedaulatannya, maka dari itu tidak usah dipermasalahkan lagi mengenai hak kedaulatan pulau Dokdo. Namun Jepang tetap mengklaim bahwa pulau Takeshima adalah wilayah kedaulatannya yang diperoleh secara aneksasi berdasarkan Traktat aneksasi tahun 1910, bahkan menurut perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2 Jepang sama sekali tidak melepaskan kedaulatannya atas pulau Takeshima.

Kemudian penyelesaian sengketa internasional pulau Dokdo atau Takeshima menurut piagam PBB Bab VI pasal 33 – 38 mensarankan agar sengketa tersebut diselesaikan dengan cara damai. Jika tidak menghasilkan solusi maka upaya diluar cara penyelesaian jalur hukum juga dapat digunakan, seperti joint venture (kerjasama ekonomi) atas pembagian kekayaan alam berupa gas hydrat yang ada di Ulleung Tsusima Basin. Selain itu penentuan perjanjian perbatasan negara juga dapat dilakukan mengingat batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) Korea Selatan dan Jepang di laut Jepang belum ditentukan. Namun tanpa adanya upaya diplomatik antara kedua negara dapat menimbulkan sengketa yang berkepanjangan, maka dari itu cara negosiasi adalah upaya pertama yang dapat dilakukan oleh kedua negara tersebut.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sengketa Internasional pulau Dokdo atau Takeshima yang

disengketakan oleh Jepang dan Korea Selatan sudang berlangsung selama 12

tahun,bahwa kedua negara memiliki hak kedaulatan atas pulau tersebut. Mulai

dari Perang Dunia ke-II setelah pulau Dokdo atau Takeshima diambil Ahli

kedudukannya oleh Jepang, pulau tersebut masih dianggap wilayah tidak

bertuan atau wilayah terra nullius. Setelah terjadinya sengketapulau Dokdo

atau Takehima pertama kali pada tahun 2005, hak kedaulatan kedua negara

menjadi permasalahan utama terjadinya sengketa tersebut.1Jepang berpendapat

tidak pernah melepaskan kepemilikan atas pulau Dokdo atau Takeshima

selama Perang Dunia ke-II hingga sekarang,sedangkan dari pihak Korea

Selatan berpendapat kependudukan pulau Dokdo atau Takeshima sudah ada

dalam pengawasan efektif negaranya pascaPerang Dunia ke-II. Menurut Korea

Selatan terkait hak kedaulatan pulau Dokdo atau Takeshima tidak usah

dipermasalahan, karena pulau tersebut sudah menjadi hak kedaulatan

negaraKorea Selatan. Pihak Jepang menganggap pulau Dokdo atau Takeshima

1

Charles Scanlon, South Korean Vent Fury at Japan, BBC online,

(news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4361343.stm), 18 march 2005

2

adalah pulau tidak bertuan atau wilayah Terra nullius, karena belum sama

sekali dinyatakan secara legitimasi hukum status kedudukan pulau tersebut

milik pihak mana. Jepang berupaya ingin mengajukan sengketa ini ke

Mahkamah Internasional (International Court of Justice), pihak Korea Selatan

sendiri tidak ingin jika sengketa ini akan diselesaikan di Mahkamah

Internasional (International Court of Justice). Meskipun pada saat itupulau

Dokdo atau Takeshima menjadi status wilayah kedudukan Korea Selatan

secara realita, dimana didalam pulau tersebut terdapat bangunan dan dijadikan

tempat wisata alam oleh pemerintah Korea Selatan, bahkan tidak juga

ditemukan perjanjian batas negara pada wilayah perbatasan kedua negara

didaerah terdekat posisi pulau Dokdo atau Takeshima. Maka dari itu klaim

Jepang dan Korea Selatan menjadi permasalahan dalam kasus sengketa pulau

Dokdo atau Takeshima.2

Menurut perjanjian San Fransisco 1951 yang mengatur perjanjian

antara sekutu dan Jepang, dalam isinya Jepang berpendapat sama sekali tidak

melepas kedaulatannya atas pulau Dokdo atau Takeshima, sedangkan Jepang

melepaskan kepemilikannya atas pulau Quelpart, port Hamilton, dan Dagelet.3

Menurut deklarasi Cairo yang dibuat pada tanggal 1 Desember 1943 di Cairo

telah disepakati deklarasi bersama yang juga ditandatangani oleh perdana

menteri Inggris Winston Churchill, Presiden Amerika Serikat Franklin D.

Roosevelt, dan Presiden China Chiang Kai Shek mengenai penyerahan diri

2Utami gita syafitri, sengketa pulau Dokdo antara Korea Selatan dan Jepang, fakultas

hukum universitas sumatera, jurnal hukum, tahun 2013 3ibid

3

Jepang, dikukuhkan kepemilikan pulau Dokdo atau Takeshima atas nama

Korea Selatan diperkuat. Selain itu deklarasi Cairo termasuk bukti sejarah

yang menjadi dasar hukum dalam tata hubungan internasional di Asia Pasifik

pasca Perang Dunia ke-II.4

Hal tersebut dapat diketahui ketika kedua negara mengklaim pulau

Dokdo atau Takeshima sebagai wilayah mereka, untuk Korea Selatan

berdasarkan sejarah dan pengawasan efektif, sedangkan Jepang perjanjian

internasional atau deklarasi yang sudahada, dan dokumen resmi seperti peta.

Tetapi dalam proses penyelesaian sengketa tersebut tertanam kepentingan

nasional negara untuk menguasai kekayaan alam dalam pulau tersebut, karena

menggunakan modalitas diplomatik dengan cara negosiasi sambil menemukan

bukti atas kepemilikan pulau Dokdo atau Takeshima.5

Sedangkan Jepang berupaya membawa sengketa tersebut ke

„‟International Court of Justice‟‟, selain itu banyak sekali upaya klaim yang

digunakan untuk mengklaim pulau Dokdo atau Takeshima. Tahun 2005Dewan

Perfektur Shimane dibentuk untuk melakukan observasi ke dalam pulau

Dokdo atau Takeshima. Tahun 2006 Korea Selatan merencanakan upaya

„’QuiteDiplomacy‟‟ untuk mempertahankan klaimnya. Tahun 2008 Jepang

juga memperkuat klaim dengan memasukkan Hak milik pulau Dokdo atau

4Ignaz Kingkin Teja Angkasa, Sejarah, Penerbit Grasindo, Jakarta, 2010. Hlmn 64

5Utami gita syafitri, sengketa pulau Dokdo antara Korea Selatan dan Jepang, fakultas

hukum universitas sumatera, jurnal hukum, tahun 2013

4

Takeshima atas dirinya ke dalam buku label putih departemen pertahanan, dan

terakhir Tahun 2012 Presiden Korea Lee Myung Bak mengunjungi pulau

tersebut, dan sekali lagi membuat pihak Jepang menentang pihak Korea

Selatan.6

Terakhir pada tahun 2016 pada 8 April Jepang memasukkan

kedudukan pulau Dokdo atau Takeshima menjadi miliknya didalam materi

kurikulum buku sejarah sekolah menengah pertama hal tersebut mendapat

kritik tegas dari pihak Korea Selatan.7

Sedangkan menurut hukum internasional sebuah konflik hukum terjadi

ketika pembuktian dari pihak yang bersengketa memiliki rasionalisasi hukum

yang benar menurut hukum internasional. Dilihat dari Letak Geografs pulau

Dokdo atau Takeshima dari Korea Selatan diambil garis pangkal pulau

Ulleungdo 133,6 mil, sedangkan Jepang diambil garis pangkal pulau Oki

152,2 mil, hal tersebut membuat kedua negara memiliki kedekatan secara

territorial.8Selanjutnya yaitu pengawasan efektif berdasarkan jurisprudensi

penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan Ligitan antara (Indonesia-Malaysia),

jika suatu negara melakukan suatu kependudukan atas wilayah tertentu secara

efektif selama waktu yang ditentukan,9

maka secara perolehan wilayah

kedaulatan atas wilayah tersebut adalah miliknya, hal ini dilakukan oleh Korea

6Hori, Kazuo. 1997, Japan’s incorporation of Takeshima in to its territory in 1905, Korea

observer journal 28(3) : 477-525 7Yonhap News, Korea mendesak Jepang untuk menghentikan klaim atas pulau Dokdo,

Kenterin, (kenterin.net/m/article/11373i), 8 april 2016 8Lalak Dedy Priswantoro, status kepulauan Dokdo dalam perspektif hukum internasional,

fakultas ilmu social dan politik universitas Jember, jurnal hukum, Mei 2007 9 Mada ariandi zuhir, studi tentang penerapan effective occupation principle dalam

penyelesaian sengketa wilayah Negara, fakultas hukum universitas brawijaya, jurnal

hukum.

5

Selatan selama masa kerajaan, bahkan banyak dokumen sejarah yang menjadi

bukti Korea Selatan atas klaim pulau Dokdo. Sedangkan oleh Jepang pada

Perang Dunia ke II pulau Takeshima dijajah atau dianeksasi, sehingga secara

paksa pulau tersebut berada didalam kekuasaan negaraJepangsetelah Perang

Dunia II berakhir, dan Jepang kalah dalam pertempuran pulau tersebut terus

diklaim oleh Jepang menjadi hak kedaulatan negaranya. Menurut perjanjian

San fransisco 1951 pasal 2 Jepang sama sekali tidak melepas pulau

Takeshima, sedangkan apa yang disebutkan dalam perjanjian internasional

sepanjang itu mengandung kesepakatan pihak yang bersangkutan, setiap pihak

terikat untuk mematuhinya dan mengakuinya. Pada bagian yang terakhir

mengenai klaim kedua negara yang menyatakan dengan sepihak kepemilikan

pulau Dokdo atau Takeshima dengan tegas, hal itu pun tidak melanggar aturan

hukum internasional, karena status pulau tersebut secara legitimasi hukum

masih wilayah Terra Nullius.10

Belum ada keputusan Mahkamah Internasional

yang menyatakan bahwa pulau Dokdo atau Takeshimasecara legitimasi hukum

merupakan milik Korea Selatan atau Jepang, hal ini tentu akan mengakibatkan

konflik dari kedua negaraberlangsung secara berkepanjangan. Jika sengketa

ini ingin diajukan ke Mahkamah Internasional maka harus mendapat

kesepakatan darikedua negara. Apa yang disampaikan diatas tentu akan

menjadi konflik hukum yang sangat serius didalam kanca hukum

internasional.

10

Utami gita syafitri, sengketa pulau Dokdo antara Korea Selatan dan Jepang, fakultas

hukum universitas sumatera, jurnal hukum, tahun 2013

6

Pulau Dokdo atau Takeshima yang menjadi bahan sengketa antara

kedua negara dewasa ini mengalami banyak perbincangan diantara perspektif

kedua negara, selain itu juga memiliki perbedaan persepsi akan kepemilikan

pulau tersebut. Menurut peraturan hukum internasional setiap negara berhak

memiliki kedaulatannya sendiri, dan berhak untuk mempertahankan

kedaulatannya masing–masing. Hukum internasional hanya sebagai aturan

secara umum untuk menyesuaikan agar kedaulatan setiap negara tetap terjaga

dari intervensi kedaulatan negara lain. Jika terjadi sengketa kedaulatan antara

kedua negara maka hukum internasional mengatur konflik tersebut melalui

konvensi hukum internasional yang harus dipatuhi oleh setiap negara.11

Dengan adanya sengketa yang berkelanjutan antara kedua negara yaitu

Jepang dan Korea yang sangat lama, meskipun menggunakan banyak sekali

instrumen hukum internasional, tetapi masih tidak dapat menemukan solusi

yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini, bahkan peraturan hukum

internasional dijadikan sarana untuk mengakomodir kepentingan nasional

setiap negara agar dapat memperkuat klaim atas pulau Dokdo atau Takeshima

yang terkenal memiliki kekayaan alam gas hydrat yang melimpah ruah

didalam pulau tersebut. Kedua negara saling mengutamakan kepentingan

11

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004. Hlmn 12 – 19

7

nasionalnya untuk mengklaimpulau Dokdo atau Takeshima agar dapat

dijadikan Hak milik sah menurut hukum.12

Kedaulatan negara dilihat melalui klaim kedua negara yang

bersengketa, sehingga menurut hukum internasional klaim atas kedaulatan

negara manakah yang tepat untuk diakui kebenarannya, dengan itu maka

diperoleh suatu hak kedaulatan bagi negara yang patut untuk memilikinya

menurut legitimasi hukum dan kaidah – hukum internasional. Menggunakan

cara perolehan wilayah menurut hukum internasional, yaitu okupasi dan

aneksasi menurut klaim Korea Selatan dan Jepang, selain itu dalam penelitian

ini juga menggunakan konvensi hukum laut 1982 yang menentukan penetapan

batas wilayah laut antara Korea Selatan dan Jepang dilihat melalui garis

pangkal pulau Ulleungdo (Korea Selatan) dan pulau Oki (Jepang). Hal

tersebut karena Korea Selatan dan Jepang belum menentukan batas wilayah

laut negaranya yang terletak disekitar pulau Dokdo atau Takeshima.Adanya

kepentingan nasional berupa kepentingan ekonomi untuk memiliki kekayaan

yang terdapat di dalam Ulleung Tsusima Basin. Dibuktikan dengan tidak ada

satupun perjanjian bilateral antara kedua negara mengenai perbatasan

lautnegaranya yang ditentukan dari garis pangkal pulau Ulleungdo dan pulau

12

Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara

korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan

internasional, tahun 2013

8

Oki, peneliti berpendapat bahwa penentuan perbatasan laut antara kedua

negara harus dibuat.

9

B. Rumusan Masalah

1. Apakah klaim kedaulatan negara Jepang dan Korea atas pulau

Dokdo atau Takeshima dapat dibenarkan menurut hukum

internasional ?

2. Bagaimanakah alternatif penyelesaian sengketa antara Jepangdan

Korea Selatan menurut hukum internasional ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisa klaim Pulau Dokdo atau Takeshimamenurut

hukum internasional.

2. Untuk menganalisa alternatif penyelesaian sengketa apa yang

relevan sebagai solusinya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritik

Manfaat teoritik penulisan karya ilmiah ini adalah menjadi bahan

pemikiran lebih lanjut dalam penyelesaian sengketa pulau Dokdo atau

Takeshima, dan Memberikan pemahaman mendalam mengenai sengketa pulau

Dokdo atau Takeshima, serta memberikan kontribusi bagi pengembangan

keilmuan dibidang hukum khususnya hukum Internasional yang berkaitan

dengan kedaulatan negara Jepang dan Korea atas pulau Dokdo atau

Takeshima. Dalam penelitian ini peniliti mengkaji kasus sengketa kedaulatan

10

negara Jepang dan Korea Selatan atas pulau Dokdo atau Takeshima yang

masih disengketakan sampai saat ini.Berdasarkan hasil analisis maka

diperoleh gagasan konseptual dan solusi yang mampu memberikan ide

penyelesaian sengketa pulau Dokdo atau Takeshima oleh Jepang dan Korea.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis

Menambah wawasan penulis mengenai kasus sengketa pulau Dokdo

atau Takeshimamenurut hukum internasional, sehingga dapat mengkaji kasus

sengketa pulau Dokdo atau Takeshima berdasarkan peraturan yang ada pada

hukum internasional. Selain itu dapat juga dijadikan bahan pertimbangan atau

dikembangkan lebih lanjut terhadap penelitian yang sejenis.

b. Bagi Masyarakat Internasional

Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan

pemahaman masyarakat, akan arti pentingnya pengakuan suatu territorial

tertentu oleh subjek hukum internasional atau negara dilihat dari legitimasi

cara perolehan wilayah tersebut. Sehingga dalam kedudukan suatu wilayah

juga diperlukan suatu pengakuan (recognition) untuk memperkuat kedudukan

atas wilayah tertentu.

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hukum Internasional

Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan

kaidah yang mengatur tentang hubungan antara subjek hukum internasional,

dimana semua subjek hukum internasional mematuhinya dan mengikat secara

umum dalam hubungannya antara satu sama lain. Sebagai hukum yang

mengatur kehidupan antaranegara atau subjek hukum internasional, hukum

internasional juga memiliki regulasi yang bertujuan melindungi kepentingan

hukum semua pihak tanpa terkecuali, dalam kedaulatan wilayah setiap aturan

terdapat pembatasannya, dan terdapatMahkamah Internasionalyang bekerja

untuk mengadili ditingkat peradilan internasional.

Hukum internasional hanya sebagai pelengkap, jika kedaulatan setiap

subjek hukum Internasional bertentangan dan memerlukan suatu penegak

hukum untuk meluruskan kepentingan hukum antara subjek hukum

internasional yang bertentangan itu.Hukum internasional ada karena setiap

negara atau subjek hukum Internasional memerlukan suatu hukum untuk

mengatur kepentingan hukumnya diluar kedaulatannya atas apapun yang dia

berdaulat.

12

B. Kedaulatan Negara atas Wilayah Menurut Hukum Internasional

Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara dari

sudut ilmu bahasa, kedaulatan dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan

tertinggi atas pemerintahan, negara, dan daerah.13

Dalam konteks ilmu tata

negara, parthiana menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan sebagai

kekuasaan yang tertinggi, mutlak, utuh, bulat, dan tidak dapat dibagi – bagi

oleh karena itu tidak dapat ditempatkan dibawah kekuasaan lain. Kedaulatan

negara tidak lagi bersifat mutlak, akan tetapi pada batas – batas tertentu harus

menghormati kedaulatan negara lain yang diatur melalui hukum internasional.

Hal ini lah yang kemudian dikenal dengan istilah Kedaulatan negara bersifat

relatif dalam konteks hukum internasional, negara yang berdaulat pada

hakikatnya harus tunduk dan menghormati hukum internasional maupun

kedaulatan serta integritas negara lain.14

Jean Bodin memandang kedaulatan sebagai atribut negara, sebagai

karakteristik suatu negara.Tidak hanya negara yang memiliki kedaulatan,

tetapi pemerintah dalam suatu negara juga harus berdaulat atas urusan

pemerintahan dalam negaranya. Berbagai karakteristik konsekuensi adanya

suatu kedaulatan, maka kedaulatan atau kekuasaan tertinggi memiliki lima ciri

khusus yang harus dimiliki kedaulatan itu sendiri yaitu;

13

Malcolm N. Shaw, hukum internasional, penerbit Nusamedia, Bandung, 2013. Hlmn 15

14

I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014.

Hlmn 16 - 18

13

1. Asli, bahwa kedaulatan tersebut murni berasal dari negara yang

memiliki kedaulatan tersebutsecara independent dalam mengatur

negaranya.

2. Tertinggi, tidak adanya kekuasaan lain yang lebih tinggiberada diatas

suatu kekuasaantertinggi, maka disebut bukan sebagai kedaulatan

negara.

3. Tidak dapat dibagi, kedaulatan itu mengkikat entitas sebuah negara

dan diluar kedaulatan itu merupakan kekuasaan negara secara penuh

tanpa terkecuali.

4. Bersifat abadi atau kekal artinya tidak memiliki masa akhir atau

waktu berlakunya, karena sampai kapanpun kekuasaan tertinggi itu

selalu ada.

5. Tidak dapat dipindah tangankan atau diserahkan kepada pihak lain,

artinya kekuasaan tertinggi itu bersifat tetap dan tidak bisa serta

merta diserah atau pindah tangankan.15

Sedangkan kedaulatan menurut Mochtar Kusumaatmadja sebagaimana

dikutip oleh Suryo Sakti Hadiwijoyo, kekuasaan yang terbatas yaitu

berlakunya suatu kedaulatan setiap negara dibatasi oleh berlakunya kedaulatan

negara lain. Bermakna bahwa kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara

hanya berlaku didalam negaranya, sehingga berimplikasi pembatasan

kedaulatan setiap negara ketika berada diluar kedaulatannya harus berdasarkan

15

Malcolm N. Shaw, hukum internasional, penerbit Nusamedia, Bandung, 2013. Hlm 31

14

prinsip hukum Internasional yang berlaku umum dan saling menghormati

kedaulatan masing – masing negara. Maka dapat disimpulkan berkedaulatan

dalam ruang lingkup hukum internasional itu terbatas jika berada pada

kedaulatan negara antara satu sama lain.16

Menurut Yudha Ardiwisastra sebagaimana dikutip oleh Suryo Sakti

Hadiwijoyo mengatakan bahwa dalam perkembangannya, pengertian

kedaulatan mengalami perubahan, dimana negara dikatakan berdaulat apabila

negara tersebut mampu dan berhak mengatur serta mengurus sendiri

kepentingan – kepentingan dalam negeri dan luar negeri, dengan tidak

bergantung ke negara lainnya. Berdasarkan kedaulatan negara, CF. Strong

mengartikan kedaulatan intern:

‘’the supreme of a person or body of person in the state over the

individual or association of individual within the area of the

jurisdiction’’

Sedangkan kedaulatan ekstern diartikan sebagai:

‘’the absolute independence of one state as a whole with references

to all other states’’17

Tidak hanya itu, bahkan Mochtar Kusumaatmadja sebagaimana di

kutip oleh Suryo Sakti Hadiwijoyo mengatakan bahwa kedaulatan merupakan

16

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu,

Yogyakarta, 2011.hlmn 24

17Ibid.hlmn 25

15

suatu sifat atau ciri hakiki dari negara, dimana negara tersebut berdaulat, tetapi

mempunyai batas – batasannya yaitu mula berlakunya kekuasaan tertinggi

yang dibatasi oleh batas – batasan wilayah negara lain. Diluar suatu wilayah

kekuasaannya negara tidak lagi memiliki kekuasaan yang

demikian.Berdasarkan hal tersebut, kedaulatan tidak dipandang sebagai

sesuatu yang bulat atau utuh, melainkan dalam batasan – batasan tertentu

sudah tunduk didalam peraturan hukum internasional dan kedaulatan dari

sesamanegara lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedaulatan

negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas – batasan

yang ditetapkan melalui hukum internasional itu sendiri.18

Kedaulatan negara dalam implementasinya dimanifestasikan menjadi

dua sisi, yaitu: pertama, kedaulatan internal yang berarti kekuasaan tertinggi

suatu negara untuk mengatur masalah – masalah dalam negerinya. Kedaulatan

negara secara internal dimanifestasikan melalui otoritas negara dalam

membentuk bentuk negara, bentuk dan juga system pemerintahan yang dipilih

oleh negara tersebut, system politik, kebijakan dalam negeri maupun hal – hal

yang berkaitan dengan hukum nasional, dimana dalam penentuan kesemua hal

tersebut tidak dapat dicampuri oleh negara lain.19

Sedangkan kedaulatan

eksternal yaitu diwujudkan dengan adanya kedudukan yang sama (Equality)

antaranegara diseluruh dunia. Dalam kewajibannya untuk setiap negara agar

tidak mencampuri persoalan yang terjadi didalam negara lain. Tidak adanya

18

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu,

Yogyakarta, 2011.hlmn 26 19

Ibid.hlmn 26 - 27

16

kedaulatan tertinggi dalam tatanan hukum internasional dan negara hanya

memiliki hak berdaulat atas hal tertentu.20

C. Konsep Wilayah Negara

Wilayah negara adalah wujud dari adanya kedaulatan itu

sendiri.21

Perbatasan negara dapat secara bilateral ditentukan dengan negara

yang berdekatan secara territorial, dan Keadaan alam yang menempatkan

wilayah suatu negara dalam wilayah tertentu. Daerah atau wilayah negara

adalah tempat berlakunya suatu Kedaulatan negara, dimana batas-batas suatu

daerah negara ditentukan dengan perjanjian.22

Perjanjian dengan negara-

negara tetangga baik perjanjian yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Wilayah negara meliputi Teritorial darat yang dibatasi oleh Teritorial darat

negara lain, Teritorial laut negara memiliki hak kedaulatan hanya sebatas

24mil dari pangkal daratan, dimana di laut lepas negara hanya berdaulat,

terakhir yaitu Teritorial udara yang ditentukan secara vertical sampai batas

atmosfer, sedangkan adanya suatu batasan Kedaulatan suatu negara secara

horizontal dibatasi dengan daratan negara lain. Sehingga terbatas jika berada

diatas wilayah kedaulatan negara lain.

Menurut hukum internasional, wilayah negara dapat diperoleh melalui

lima cara, yaitu okupasi, aneksasi, akresi, cesi, dan preskripsi.23

Suatu luas

20

Ibid.hlmn 28 21

Malcolm N. Shaw, hukum internasional, penerbit Nusamedia, Bandung, 2013. Hlm 31 22

Ibid. Hlm 33 - 37 23

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,

2011.hlmn 29

17

wilayah daratan negara dapat ditentukan sepihak oleh negara yang

bersangkutan, ditentukan dengan perjanjian internasional dengan negara

tetangga, ditentukan oleh kebiasaan yang telah terjadi beberapa lama dimasa

lampau, atau mulai berkembangnya negara yang telah terbentuk tersebut.24

I. Cara – Cara Perolehan Wilayah Menurut Hukum Internasional

a. Okupasi (pendudukan), yaitu penanaman kedaulatan suatu negara di

wilayah yang tidak dikuasai oleh negara lain. Dalam konteks hukum

internasional, okupasi ditentukan oleh penguasaan efektif. Menurut mahkamah

permanen internasional dikutip oleh Istanto, efektif harus mempunyai dua

syarat. Pertama, adanya kemauan untuk melakukan kedaulatan negara

diwilayah yang diduduki. Kedua, adanya suatu pelaksanaan kedaulatan negara

yang memadai diwilayah tersebut.Jika ada suatu penemuan wilayah yang tidak

memenuhi kriteria yang ada diatas maka tidak dapat dikatakan sebagai

okupasi. Sedangkan menurut Templemen, sebagaimana dikutip oleh Benny

Setianto terdapat beberapa persyaratan yang dipenuhi dengan begitu okupasi

dapat dilakukan, yaitu:

(1) Wilayah itu harus terra nullius, yaitu wilayah tersebut tidak bertuan

atau tidak ada kedaulatan negara manapun yang mendudukinya.

24

Ibid

18

(2) Kependudukan tersebut harus dilakukan oleh sebuah negara bukan

sektor swasta dan bukan negara atau individual.

(3) Kependudukan yang dilakukan oleh negara tersebut harus

secara‟‟terbuka, terus menerus, efektif, dan damai‟‟.

(4) Sebuah negara yang menduduki wilayah tersebut harus memiliki

niatan untuk menguasai (animus occupandi).25

b. Aneksasi adalah perolehan kedaulatan wilayah negara dengan

menggabungkan wilayah lain kedalam wilayah kedaulatannya. Wilayah yang

diduduki tersebut bisa dari wilayah yang sudah ditaklukan oleh negara yang

menganeksasi atau wilayah yang telah ada dibawah kekuasaan negara yang

menganeksasi. Selain itu penaklukan wilayah saja belum bisa dikatakan

sebagai aneksasi, hal tersebut akan disebut sebagai aneksasi setelah adanya

pernyataan aneksasi oleh negara yang menaklukannya.26

c. Akresi yaitu perolehan kedaulatan wilayah yang diperoleh dari kejadian

alam. Kejadian alam dapat mengubah wilayah kedaulatan negara. Perubahan

tersebut terwujud dengan adanya penambahan wilayah kedaulatan negara

tersebut. Perubahan tersebut terjadi secara bentukan fenomena alam yang

bersifat mendadak atau secara perlahan – lahan. Contohnya seperti

25

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004. Hlmn 31

26Ibid

19

pendangkalan laut, misalnya merupakan perubahan wilayah kedaulatan negara

secara berlahan – lahan.

d. Cesi yaitu perolehan tambahan kedaulatan wilayah diperoleh dari proses

peralihan hak. Cesi merupakan setiap transaksi yang bermaksud mengalihkan

kedaulatan wilayah negara kepada negara lain. Cesi tersebut dapat berwujud

pemberian, tukar menukar, atau penjualan.Akibat hukum dari adanya cesi

tersebut adalah beralihnya semua hak kedaulatan negara yang mengalihkan

hak tersebut kepada negara yang menerimanya.

e. Preskripsi yaitu proses perolehan kedaulatan wilayah negara akibat

pelaksanaan secara damai de facto secara lama oleh wilayah yang asalnya de

jure tidak termasuk kedaulatan wilayahnya. Ada dua cara bagaimana

memperoleh wilayah secara preskripsi ini yaitu:

(1) Immemorial possession, yaitu negara mendapatkan kedaulatan atas

suatu wilayah setelah menguasainya secara lama hingga penguasaan

yang sebelumnya tidak dapat diketahui lagi.

(2) Adverse possession, yaitu kondisi penguasaan sebelumnya belum

diketahui namun karena penguasa baru telah secara efektif melakukan

pemerintahannya sehingga adanya penguasaan lama seperti telah

hilang fungsinya sebagai pemilik wilayah tersebut. Penguasa baru

tersebut harus memiliki semacam pembiaran atas tindakan dan

20

kebijakan yang dilakukan penguasa sebelumnya (acquiescence

principle).27

Menurut perkembangannya perolehan wilayah menurut hukum internasional

mulai berubah, hal tersebut terlihat dari adanya teori baru yang membenarkan

perolehan wilayah diluar teori yang telah disebutkan diatas, yaitu:

f. Menurut Doktrin intertemporal law, mengartikan (pembuktian) atau klaim

wilayah mulai dari wilayah tersebut ditemukan harus memperoleh pengakuan

secara sah menurut hukum internasional yang berlaku.

g. Self determination adalahperolehan wilayah yang dilakukan oleh penduduk

asli atas kedaulatan wilayahnya dengan cara penentuan nasib sendiri, dimana

klaim ini tidak kalah dengan negara yang ada dalam wilayah kedaulatan

tersebut.

h. Uti possidetis juris yaituperolehan kedaulatan wilayah yang didapat dari

hasil penjajahan atau aneksasi, dan dijadikan suatu garis pembatas wilayah

baru.

i. Perjanjian perbatasan yaituperolehan kedaulatan wilayah yang didasarkan

dari suatu perjanjian internasional,dimana dianggap sebagai batasan utama dan

terpisah dari perjanjian yang telah menyebutkan hal tersebut.28

27

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004. Hlmn 32 - 37 28

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004.hlmn 41

21

D. Konsep Rational Choice Theory

Konsep rasional choice merupakan konsep yang berangkat dari asumsi

neo realis. Dalam asumsi neo realis, struktur internasional adalah anarki,

dimana tidak adanya satu kekuatan dominan yang dapat mengatur negara-

negara dalam sistem internasional. Dengan ketiadaan kekuatan yang dominan

berarti tidak ada jaminan bahwa terciptanya kepatuhan diantara negara-negara.

Dengan kondisi seperti ini, negara akan menjadi aktor yang dominan, dimana

negara akan menjadi aktor yang rasional dalam hubunganya dengan negara

lain, dan mencapai kepentingan-kepentingan nasionalnya secara maksimal.

Minimum adalah adanya suatu keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup

secara inheren. Sehingga membuat setiap negara diperbolehkan untuk patuh

atau tidak pada hukum Internasional, hal tersebut dapat membuat suatu

kedaulatan negara antara satu sama lain saling bertentangan yang dapat

menimbulkan suatu sengketa dalam permasalahan apapun.

Menurut Ramlan Surbakti dan Dennis Kavanaagh, menyatakan bahwa

pilihan rasional melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk kalkulasi

antara untung dan rugi.Ini disebabkan karena pemilih tidak hanya

mempertimbangkan peluang keuntungan memilih, tetapi mempertimbangkan

juga alternative – alternative berupa pilihan yang ada kepada pilihan yang

22

terbaik, dan yang paling menguntungkan baik untuk kepentingan sendiri (self

interest) maupun bagi kepentingan umum.29

E. Wilayah Terra Nullius

Wilayah negara merupakan kuasa kedaulatan negara atas wilayah

tertentu. Jika dalam suatu wilayah atau daerah yang tidak terdapat kedaulatan

suatu negara tertentu,maka wilayah atau daerah itu disebut sebagai wilayah

tidak bertuan (Terra Nullius). Wilayah tidak bertuan (Terra Nullius) pada

umumnya terdapat pada pulau yang berdeketan dengan wilayah suatu negara.

Selain itu juga terdapat diperbatasan teritorial suatu negara baik didaratan,

lautan maupun dalam suatu wilayah yang belum dijamak oleh negara,

disebabkan suatu perihal tertentu.30

F. Teori Kepentingan Nasional

Kepentingan nasional yaitu suatu keinginan pemenuhan kebutuhan

yang harus diraih oleh negara untuk memenuhi kebutuhan negaranya, meliputi

kebutuhan yang bersifat relatif atau tidak tetap.Termasuk keberlangsungan

hidup rakyat dan kesejahteraan sosial, keamanan dan ketentraman kehidupan

bernegara itu sendiri.Kepentingan nasional suatu negara merupakan tujuan

29

J.G,Starke, Pengantar hukum internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988. Hlmn.

165

Konsep rasional choice merupakan konsep yang berangkat dari asumsi neo realis. Dalam

asumsi neo realis, struktur internasional adalah anarki, dimana tidak adanya satu kekuatan

dominan yang dapat mengatur negara-negara dalam sistem internasional 30

J.G,Starke, Pengantar hukum internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988. Hlmn

82

23

nasional. Seperti apa yang ingin dicapai oleh negara itu sendiri kepentingan

pengembangan jangka pendek, menengah, dan panjang suatu negara. Hal yang

paling utama yaitu pengembangan ekonomi, pengembangan sumber daya

manusia, dan yang terakhir yaitu pengembangan lajur investasi asing agar

dapat mempercepat laju perekonomian negara.31

G. Konsepsi Hukum Internasional Dalam Penetapan Batas Laut

Adanya pengaturan mengenai penetapan batas laut yang baru maka

corak geomorfologis dapat dijadikan penentu klaim landas kontinen, sehingga

berbeda dengan pengaturan lama dimana menggunakan suatu prinsip

eksploitabilitas32

, hanya memberi keuntungan terhadap negara maju, dengan

adanya konvensi hukum laut 1982 telah memberikan suatu kepastian hukum

yang asli bagi semua negara pihak.33

Dalam hubungannya dengan perjanjian antaranegara yang berbatasan

diwilayah laut, konvensi hukum laut 1982 merujuk pada tercapainya

kesepakatan para pihak yang dibuat berdasarkan sumber hukum internasional

publik.Dengan demikian konvensi hukum laut 1982 memberikan keleluasaan

yang besar pada para pihak untuk mencari prinsip – prinsip hukum yang dapat

31

Sam jaffe dan myung oak kim, The New Korea look an inside south Korea Economic rise,

penerbit elexmedia, hal 12

32Eksploitabilitas adalah pemanfaatan atau pengambilan kekayaan alam berupa sumber daya

alam oleh pihak tertentu yang memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan pengambilan hasil

sumber daya alam menurut kapasitasnya dan menjaga kestabilan sumber daya alam. 33

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu,

Yogyakarta, 2011. Hlmn 15

24

diterima bersama oleh negara – negara pihak sebagai dasar penentuan

perbatasan diwilayah laut.

Dalam perihal penetuan batas landas kontinen diantara negara yang

berhadapan, terdapat perbedaan prinsip terhadap konvensi sebelum tahun

1982. Pada pasal 6 konvensi hukum laut 1958, menjelaskan penentuan batas

landas kontinen secara tegas menggunakan medien line atau equidistance

principle dengan syarat tidak terdapat kasus – kasus tertentu yang

mengakibatkan atau memungkinkan garis batas ditentukan dengan jarak yang

tidak sama.34

Bahkan ketentuan ini tidak saja membawa implikasi hukum bagi

negara- negara yang saling berbatasan, namun juga bagi Mahkamah

Internasional.Hal tersebut memungkinkan bagi Mahkamah Internasional untuk

memberikan penafsiran hukum berkaitan dengan penentuan perbatasan landas

kontinen, terutama berkaitan dengan special circumstance. Menurut Donillo

sebagaimana dikutip I Wayan Parthiana pada beberapa kasus delimitasi batas

landas kontinen, Mahkamah Internasional menafsirkan garis batas tersebut

diluar dari garis tengah atau median line apabila berkaitan dengan penetapan

suatu keputusan yang adil bagi semua pihak, sehingga akan melahirkan prinsip

yang dikenal sebagai equitable principles, namun pada suatu kasus tertentu

Mahkamah Internasional tetap mengacu pada median line dalam penentuan

dan penetapan batas landas kontinen.

34

Ibid. hlmn 15 -16

25

Sementara itu menurut konvensi hukum laut 1982, penetapan batas

landas kontinen hanya merujuk pada tercapainya kesepakatan para pihak yang

dibuat berdasarkan ketentuan hukum internasional publik. Membuktikan

bahwa konvensi hukum laut 1982 memberikan keleluasaan bagi para pihak

yang berkepentingan untuk mencari prinsip – prinsip hukum yang dapat

diterima bersama sebagai dasar penentuan perbatasan landas kontinen, dengan

kata lain melalui konvensi hukum laut 1982, negara diberi kebebasan untuk

menetapkan sendiri isi perjanjian tentang batas landas kontinen.35

Berdasarkan perjanjian internasional, maka sekali perjanjian dibuat,

perjanjian tersebut akan mengikat para pihak untuk melaksanakan isi

perjanjian dengan itikad baik dan penuh rasa tanggung jawab. Kesepakatan

tersebut akan berlaku sebagai hukum bagi semua pihak, dengan demikian

pelanggaran terhadap kewajiban yang dilakukan secara sengaja akan

membuka peluang bagi pengajuan gugatan hukum dari negara atau pihak yang

dirugikan.36

Sedangkan penyelesaian atau delimitasi batas zona ZEE, Louis Henkin

dan Donillo sebagaimana dikutip I wayan Parthiana menyatakan bahwa

berdasarkan pasal 74 konvensi hukum laut 1982, apabila terdapat klaim batas

zona ZEE yang tumpang tindih, maka penyelesaian menggunakan metode

35

I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014.

Hlmn 43 - 45

36 Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Penerbit Refika Aditama,

Bandung, 2010. hlmn 22

26

serupa, namun penyelesaian hanya merujuk pada kesepakatan bersama ini

pada gilirannya akan memperlihatkan ketidakmampuan masyarakat

internasional dalam menyepakati satu formula baku dalam penyelesaian

sengketa batas zona ZEE dan batas landas kontinen.37

Menurut prinsip co-existence formula diputuskan berlaku, namun

demikian pengertian „‟kesepakatan bersama‟‟ tersebut memberikan penafsiran

pula bagi para pihak untuk menyimpang dari penerapan co-existence

formula.Hal tersebut dapat terjadi karena konsepsi zona ekonomi eksklusif

(ZEE) merupakan sutau rezim hukum yang muncul setelah tahun 1958.

Sehingga sebagai konsekuensinya kebutuhan negara dalam penentuan batas

zona ekonomi eksklusif (ZEE) dilakukan setelah delimitasi batas landas

kontinen. Sedangkan bagi klaim batas zona ekonomi eksklusif (ZEE)

dikaitkan dengan faktor jarak maksimal sepanjang 200 mil laut, maka klaim

batas landas kontinen berdasarkan konvensi hukum laut 1958 dengan

menggunakan prinsip natural prolongation. Menurut Donillo, kondisi ini

mengakibatkan penerapan prinsip co-existence akan sulit diterima oleh negara

yang mengklaim batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang hanya berdasarkan

jarak. Berkenaan dengan hal itu, prinsip jarak sampai saat ini masih bersifat

37

I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014.

Hlmn 47 - 53

27

kontroversial, meskipun pada kenyataan prinsip ini telah digunakan dan

diterima sebagai prinsip universal dalam delimitasi batas laut.38

H. Dasar Penetapan Perbatasan Negara

Menurut Adi Sumardiman sebagaimana dikutip oleh Surya Sakti

Hadiwijoyo secara garis besar terdapat dua hal yang menjadi dasar dalam

penetapan perbatasan, yaitu:

I. Ketentuan tidak tertulis

Ketentuan seperti ini pada umumnya berdasarkan pada pengakuan para

pihak yang berwenang dikawasan perbatasan, oleh para saksi atau berdasarkan

petunjuk. Tempat pemukiman penduduk, golongan ras, perbedaan cara hidup,

perbedaan bahasa, dan lain sebagainya dapat dijadikan dasar atau pedoman

dalam membedakan wilayah yang satu dan yang lainnya. Kondisi alam

wilayah membatasi manusia dalam menentukan pemukimannya.Seiring

dengan perkembangnya waktu, tanda – tanda alam tersebut dapat pula

berkembang menjadi suatu tanda batas wilayah. Melalui proses kebiasaan

yang berlangsung lama, perbatasan seperti itu dapat tumbuh menjadi

perbatasan tradisional. Perbatasan tradisional ini yang kemudian dipertegas

dalam suatu perjanjian antaranegara yang berbatasan.

38

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu,

Yogyakarta, 2011. Hlmn 15 - 16

28

Penetapan batas antaranegara yang berdasarkan pada ketentuan –

ketentuan yang tidak tertulis ini, pada kenyataannya lebih banyak mengalami

kesulitan, karena menyangkut juga faktor historis dan kultural, yang secara

politis lebih rumit dari pada faktor teknis. Berkaitan dengan penetapan dan

penegasan batas wilayah, nama – nama unsur geografis memegang peran

penting dalam membantu penentuan lokasi perbatasan. Proses penamaan unsur

– unsur geografis tersebut dilakukan oleh pemuka masyarakat. Baik toko

formal (aparatur pemerintah) maupun toko informal seperti pemuka adat,

kepala suku, tokoh agama dan sebagainya yang bertempat tinggal secara turun

temurun di kawasan perbatasan. Nilai dari pada keterangan – keterangan

tentang nama – nama unsur geografis yang dikemukakan oleh para pemuka

adat belum dapat ditempatkan sebagai keterangan yang memiliki kepastian

hukum, untuk itu perlu dilakukan inventarisasi nama – nama unsur geografis

yang dilakukan bersama – sama oleh pemuka masyarakat, maupun oleh

pemerintah. Sehingga dalam penentuan lokasi perbatasan yang memiliki

kepastian hukum hanya dapat diwujudkan dengan cara formal dalam deskripsi

tertulis, cara materiil diwujudkan dengan adanya tanda – tanda batas di

lapangan.39

II. Ketentuan tertulis

Dokumen – dokumen tertulis, baik itu berupa peta – peta maupun

naskah perjanjian – perjanjian perbatasan merupakan landas tertulis dalam

39

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu,

Yogyakarta, 2011. Hlmn 18

29

penegasan dan penetapan batas antaranegara.Dokumen resmi tentang

perbatasan biasanya terdiri dari dokumen khusus yang mengatur tentang

perbatasan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dan disertai dengan

otentifikasinya, dalam bentuk tanda tangan dan disertai keterangan jabatan

yang sesuai dengan bidangnya.

Menurut hukum internasional, perbatasan antaranegara merupakan

faktor yang mempengaruhi hubungan antaranegara.Perjanjian perbatasan

antarnegara berbentuk treaty yang kemudian diratifikasi dengan undang –

undang. Dalam perjanjian perbatasan antarnegara seyognya dilandasi oleh

kepastian negara yang berbatasan dalam penentuan, penetapan, dan penegasan

batas wilayah yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk perjanjian

antarnegara, kepastian dan ketegasan tersebut.Dimaksudkan agar tidak timbul

berbagai penafsiran yang dapat mengurangi legalitas dari sebuah perjanjian

perbatasan antarnegara. Hal ini disebabkan karena perumusan perjanjian

perbatasan tidak dapat sekaligus memuaskan baik bagi para Ahli hukum,

penyelenggara pemerintah maupun para Ahli pemetaan.Perubahan –

perubahan kedudukan perbatasan antaranegara yang telah ditetapkan didalam

suatu perjanjian merupakan bukti adanya ketidakpuasan dari negara yang

saling berbatasan.

Sedangkan dalam penyusunan dan penetapan perjanjian perbatasan

antarnegara, peta memegang peranan yang sangat penting, yaitu sebagai alat

bantumenemukan dan menentukan lokasi distribusi spasial dari kawasan

30

perbatasan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam setiap perjanjian perbatasan

biasanya dilengkapi dengan peta sebagai lampiran yang berfungsi untuk

mempermudah, memperjelas letak, dan lokasi dari masing – masing titik batas

maupun area perbatasan yang telah disepakati oleh negara yang berbatasan.40

I. Konsep Persetujuan dalam Perjanjian Internasional (Consent to be

Bound by a Treaty)

Setelah naskah perjanjian akan secara resmi diterima sebagai naskah

yang othentik, perjanjian itu belum mengikat para pihak dan dengan demikian

belum memiliki kekuatan mengikat sebagai hukum internasional positif,

kecuali jika saat othentifikasi yang juga sebagai pernyataan persetujuan untuk

terikat pada perjanjian. Supaya perjanjian itu bersifat mengikat sebagai hukum

internasional positif, maka negara – negara yang berkepentingan harus

menyatakan secara tegas pada perjanjian tersebut. Jika dia tidak menyatakan

persetujuannya untuk terikat atau secara tegas menolak untuk terikat, maka

perjanjian itu tidak akan pernah mengikatnya. Persetujuan ataupun penolakan

untuk terikat pada suatu perjanjian adalah manifestasi dari kedaulatan setiap

negara. Sebagai negara berdaulat, negara tidak bisa dipaksa oleh kekuatan

apapun untuk menerima sesuatu yang tidak dikehendakinya, seperti

menyatakan terikat pada suatu perjanjian internasional.41

40

Ibid. hlmn 19 41

Dr.Kholis Rhoisyah, Hukum Perjanjian Internasional Teori dan Praktek, penerbit

elexmedia, Jakarta, 2013. Hlmn 67 - 71

31

Oleh karena itu, satu tahap yang harus dilalui oleh suatu negara adalah

pernyataan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian. Dengan cara

bagaimana persetujuan untuk terikat itu harus dilakukan, ditentukan didalam

perjanjian itu sendiri. Dalam pasal 11 Konvensi Wina 1969, ditegaskan

beberapa cara untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu

perjanjian, yaitu dengan penandatanganan (signature), pertukaran instrumen

yang membentuk perjanjian, ratifikasi, akseptasi, persetujuan atau aksesi, atau

dengan cara lain yang dapat disepakati, semua cara itu selanjutnya masing –

masing diatur dengan lebih rinci dalam pasal 12 – 17.42

Cara – cara menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian

seperti dalam pasal 11 – 17 sebenarnya adalah cara – cara yang sebelumnya

sudah lazim dipraktekkan sebagai hukum kebiasaan internasional. Cara – cara

yang sudah lazim itu oleh Internasional Law Commision sebagai komisi ahli

yang merancang Konvensi Wina 1969, diterima dan dimasukan sebagai

substansi dari konvensi. Melalui pembahasan yang intensif dalam konferensi

yang diadakan di Wina, akhirnya dicapai kesepakatan atas naskah finalnya

dalam bentuk pasal 11 – 17 Konvensi Wina 1969.43

42

Dr.Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian Internasional pengertian, status hukum, dan

ratifikasi, penerbit Locus, Jakarta, 2010. Hlmn 8 - 13 43

Prof. Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional peranan dan fungsi dalam era dinamika

global, penerbit Locus, Jakarta, 2011. Hlmn 10 -13

32

J. Penyelesaian Sengketa Internasional

Penyelesaian Sengketa Internasional adalah pertentangan antara kedua

negara atau lebih yang mempertahankan kedaulatan negaranya dari suatu

kedaulatan negara lain, diselesaikan melalui jalur litigasi atau Non-litigasi.

Jika melalui jalur litigasi diperlukan suatu Mahkamah Internasional sebagai

pengadilan Internasional yang bertugas menyelesaikan suatu sengketa antara

subjek hukum internasional, tetapi eksistensi Mahkamah Internasional hanya

sebagai pelengkap dalam penyelesaian sengketa tersebut. Inisiatif datang dari

negara yang bersengketa, dan yang berikutnya yaitu penyelesaian sengketa

melalui jalur non-litigasi, dimana setiap negara dapat menggunakan suatu

upaya mediasi, negosiasi, dan konsiliasi. Sehingga setiap kedaulatan negara

dalam pergaulan Internasional dapat terakomodir dan dipertahankan menurut

kedaulatan masing – masing setiap negara di seluruh dunia.44

Penyelesaian sengketa internasional berdasarkan penjelasan diatas dapat

dilakukan melalui dua cara yaitu;

I. Dengan Cara Damai Menurut Piagam PBB BAB VI Pasal 33 - 38,

terdiri dari;

44

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,

2011. Hlmn 52

33

a. Negosiasi

Dari semua prosedur yang digunakan untuk menyelesaikan perbedaan

pandangan, bisa dimaklumi bahwa bentuk yang paling sederhana dan paling

banyak digunakan ialah negosiasi. Negosiasi pada dasarnya terdiri dari

sejumlah diskusi diantara para pihak yang bersengketa dengan maksud

mencari titik temu bagi pendapat yang berbeda atau setidaknya untuk

memahami pandangan yang berbeda – beda. Negosiasi tidak mengikutkan

pihak ketiga setidaknya pada tahap itu, maka negosiasi berbeda dari bentuk

manajemen sengketa lainnya. Kecuali sebagai metode aktif penyelesaian

sengketa itu sendiri, dapat diartikan negosiasi menjadi pembuka jalan bagi

penyelesaian lain jika para pihak dikalangan mereka sendiri berusaha

memutuskan cara terbaik untuk menyelesaikan perbedaan pandangan.

Negosiasi sangat cocok untuk klarifikasi perselisihan pendapat yang rumit,

meski tidak selalu menjadi resolusi. Melalui diskusi timbal balik hakikat

perbedaan pendapat akan terungkap dan pendirian – pendirian yang

bertentangan akan terbuka. Negosiasi adalah cara paling memuaskan untuk

menyelesaikan sengketa, sebab para pihak terlibat secara langsung negosiasi

tentu saja tidak selalu berhasil sebab tergantung pada kesediaan, keluwesan,

dan kepekaan bersama. Opini publik yang bermusuhan disatu negara dapat

menghalangi konsesi dalam beberapa hal dan rasa tidak saling percaya dapat

memperumit proses, sedangkan sikap politik yang bermusuhan bisa

34

memuncak sedemikian rupa, sehingga mengecualikan segala kesepakatan

yang telah dinegosiasikan.

Beberapa keadaan mungkin ada suatu kesepakatan bilateral atau

kesepakatan multilateral yang mewajibkan pengguna negosiasi. Pasal 283 ayat

1 konvensi hukum laut 1982 menetapkan contoh bahwa ketika timbul sengketa

diantara negara-negara anggota menyangkut interprestasi atau penerapan

konvensi tersebut, „‟para anggota yang bersengketa harus meneruskan

bertukar pendapat dengan cara terbaik mengenai penyelesaiannya melalui

negosiasi atau cara damai lainnya. Traktat-traktat lainnya mungkin

menyatakan akan menggunakan mekanisme pihak ketiga setelah negosiasi

gagal. Kecuali itu ditegaskan bahwa didalam piagam atau lainnya dalam

hukum internasional, tidak ada aturan umum yang intinya menyatakan bahwa

penggunaan negosiasi merupakan prasyarat agar sebuah perkara dapat

diajukan ke Mahkamah Internasional.Banyak juga tribunal yang mengarahkan

pihak agar melakukan negosiasi dengan itikad baik, dan menunjukkan faktor-

faktor yang harus dipertimbangkan seiring dengan negosiasi yang berjalan

diantara para pihak tersebut.

Jika sengketa terus berlanjut dapat membahayakan pemeliharaan

kedamaian dan keamanan internasional, pasal 33 piagam PBB menetapkan

bahwa pertama-tama para pihak yang bersengketa harus mencari solusi

melalui negosiasi, penyelidikan resmi, atau mediasi, baru kemudian jika upaya

35

tersebut tidak membuahkan hasil, dapat memilih bentuk resolusi yang lebih

rumit.45

b. Mediasi

Mediasi adalah suatu penyelesaian secara damai yang melibatkan

adanya pihak ketiga untuk mengikatkan pihak yang bersengketa.Pihak ketiga

dalam perannya bertindak aktif dalam perundingan, sebagai mediator dapat

mengajukan saran dalam penyelesaian sengketa serta memimpin jalannya

perundingan, tetapi para pihak yang bersengketa tidak terikat untuk mengikuti

saran mediator.

Menurut J.G. Merillis sebagaimana dikutip oleh Huala Adolf, mediasi

adalah negosiasi tambahan ditambah dengan perantara atau mediator sebagai

pihak yang aktif, mempunyai wewenang, dan juga diharapkan menyalurkan

proses perundingan mulai dari proposal, dimana proposal ini bersifat tidak

formal dan berdasarkan informasi yang diajukan para pihak, bukan

berdasarkan penyelidikan sendiri. Alasan mediasi harus melibatkan pihak

ketiga, karena kedudukannya yang netral dan independen dalam suatu

sengketa.Tujuannya yaitu untuk menciptakan sebuah kontak antara pihak yang

bersengketa.Mediator tersebut dapat berupa negara, individu, organisasi

internasional, dan lain-lain.Selain itu mediator juga dibolehkan bertindak

45

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004.hlmn 46

36

sendiri atau secara sukarela menjadi mediator, atau menawarkan untuk

menjalankan fungsinya dari salah satu pihak atau kedua negara.Maka dapat

disimpulkan kesepakatan para pihak diperlukan agar dapat sebagai prasyarat

utama menjadi mediator.46

Berdasarkan penyelesaian sengketa internasional, mediasi sering

dilakukan oleh negara jika jalan negosiasi sudah menempuh jalan buntu,

sedangkan pemilihan mediator digunakan tiga cara, yaitu mediator tersebut

telah dipilih oleh negara yang sedang bersengketa, dipilih oleh pihak yang

ditunjuk oleh pihak yang sedang bersengketa, tidak hanya itu mediator yang

ditawarkan tersebut dapat juga dapat berupa negara, organisasi internasional,

atau NGO. Selain itu mediator juga harus mementingkan tugas utamanya,

yaitu mediator berkewajiban untuk menjalin hubungan dengan para pihak

yang bersengketa agar menimbulkan keluwesan dalam proses perundingan

berlangsung, mediator juga harus mengetahui asal usul permasalahan yang

menjadi latar belakang terjadinya konflik, agar dapat memetakan strategi yang

digunakan untuk menyelesaikan sengketa, mediator juga harus dapat sebisa

mungkin untuk membangun kepercayaan dan kerjasama antara pihak yang

bersengketa, mediator dapat menarik garis besar masalah sehingga dapat

menemukan rumusan masalah untuk dijadikan suatu agenda penyelesaian

sengketanya, mediator juga harus bisa memancing adanya inisiatif para pihak

46

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004.hlmn 46-47

37

untuk memilih penyelesaian sengketa, dan yang terakhir mediator juga harus

bisa menganalisa pilihan tersebut agar sampai pada para pihak, sehingga dapat

sampai ke proses akhir yaitu tawar menawar dan berujung pada kesepakatan

para pihak.47

c. Konsiliasi

Konsiliasi adalah pengusutan fakta – fakta sengketa oleh pihak ketiga

dan penyerahan laporan yang menjelaskan saran-saran untuk penyelesaiannya,

karena itu proses konsiliasi melibatkan unsur baik penyelidikan resmi maupun

mediasi, dan sebenarnya lahir dari traktat-traktat yang merencanakan komisi

penyelidikan resmi permanen. Laporan konsiliasi hanya usulan, sehingga

bukan merupakan keputusan yang mengikat.Pada zaman dahulu dimasa

peperangan dunia adalah masa gemilang bagi komisi konsiliasi. Banyak traktat

yang menetapkan ketentuan bagi konsiliasi sebagai metode penyelesaian

sengketa, namun prosesitu belum diterapkan secara luas.

Proses konsiliasi memang mempunyai peran penting, proses konsiliasi

luar biasa lentur, penjernihan fakta-fakta dan pembahasan ulasan-ulasan akan

dapat merangsang timbulnya negosiasi diantara para pihak. Aturan – aturan

yang menangani konsiliasi dijelaskan dalam General Act penyelesaian damai

sengketa internasional 1928.Fungsi komisinya ditetapkan untuk mencakup

teknik penyelidikan dan mediasi. Komisi-komisi tersebut terdiri dari lima

orang, satu ditunjuk oleh pihak yang berselisih, tiga lainnya ditunjuk dengan

47

Ibid

38

kesepakatan dari antara warga negara pihak ketiga. Proses tersebut berjalan

selama enam bulan dan tidak boleh digelar di depan umum. Proses konsiliasi

dimaksudkan untuk menangani situasi hukum factual, serta untuk bekerja

dengan cepat dan formal.Konsiliasi adalah gabungan dari penyelidikan resmi

(inquiry) dan mediasi.Dalam penyelesaian sengketanya memiliki suatu

kemiripan dengan mediasi, tetapi konsiliasi lebih formal dari pada mediasi.Hal

tersebut dapat terwujud dengan tugas konsiliator yang memiliki peran lebih

intervensi dari pada mediator.Konsiliator dapat secara aktif memberikan

nasihat dan pendapat agar kedua negara yang bersengketa dapat

menyelesaikan sengketanya.Hal itu berbeda dengan mediator yang hanya

membujuk dan memberikan inspirasi bagi pihak yang bersengketa.

Meski penyelesaian sengketa melalui jalur konsiliasi sudah lama

hilang, namun muncul sejumlah usulan untuk menghidupkan kembali teknik

konsiliasi. Seperti yang ada pada traktat penyelesaian damai Amerika 1948,

konvensi Eropa untuk penyelesaian damai sengketa 1957, protocol komisi

mediasi konsiliasi, dan arbitrase untuk piagam organisasi kesatuan Afrika (uni

Afrika) 1964, konvensi Wina tentang hukum traktat 1969, konvensi tentang

perwakilan negara – negara dalam hubungan dengan organisasi internasional

1975 dan sebagainya.48

48

Ibid.hlmn 47 - 48

39

d. Penyelidikan Resmi (inquiry)

Penyelidikan resmi adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan

dengan membentuk sebuah komisi atau badanyang bertugas untuk mencari

bukti – bukti yang menjadi latar belakang terjadinya sengketa.Dengan

pembuktian dan permasalahan tersebut, komisi atau badan yang bersangkutan

dapat mengeluarkan sebuah fakta dan mencari penyelesaiannya.Tujuan

dibentuknya komisi tersebut, agar dapat menemukan fakta serta solusi logis

yang berdasarkan perkara-perkara faktual yang terjadi.Komisi tersebut terdiri

dari pengamat yang bereputasi tinggi dan mengetahui dengan pasti fakta-fakta

yang disengketakan.Ketentuan untuk penyelidikan resmi tersebut, pertama kali

dijelaskan didalam konvensi Den haag 1899 sebagai alternative yang boleh

digunakan untuk arbitrase.Namun teknik tersebut bersifat terbatas dan hanya

relevan untuk kasus sengketa internasional yang tidak melibatkan kehormatan

dan kepentingan vital para pihak.Dengan konflik berpusat pada

ketidaksepahaman mengenai fakta-fakta khusus yang dapat diselesaikan

dengan mengadakan investigasi menyeluruh dan tidak memihak.49

e. Jasa Baik (good offices)

Jasa baik adalah penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga

bisa perorangan atau lebih dari seorang, negara atau kelompok negara, atau

organisasi internasional, memiliki kemiripan dengan mediasi, dimana jasa baik

mengajak pihak yang bersengketa untuk melakukan suatu negosiasi tetapi

49

Ibid.hlmn 48

40

tidak terlalu aktif, adanya kemauan dari pihak untuk melakukan rangkaian

negosiasi adalah keberhasilan jasa baik.

Hal ini memiliki keterkaitan sehingga sering kali sulit dipertahankan,

sebab keduanya cenderung saling menyatu, tergantumg pada keadaan –

keadaan yang ada.Dapat dilihat dari contoh metode jasa baik peran yang di

peragakan perancis dalam mendorong agar negosiasi AS-Vietnam utara di

mulai di Paris pada awal 1970-an, pada saat itu sekretaris jenderal PBB

berperan penting dalam melaksanakan jasa – jasa baiknya.Jasa baik juga dapat

dilaksanakan sekretaris jenderal secara gabungan dengan para pemegang

jabatan lainnya dalam organisasi regional.50

f. Arbitrase

Arbitrase adalah penyelesaian sengketa non-litigasi yang mempunyai

keputusan mengikat dengan itikad baik, melalui badan yang resmi dan

permanen. Prosedur arbitrase berkembang dari proses – proses penyelesaian

sengketa diplomatik dan menunjukkan kemajuan ke arah sistem hukum

internasional yang maju. Arbitrase dalam bentuk modern lahir bersama Traktat

Jay 1794 antara Inggris dan Amerika, yang menetapkan pembentukan komisi

campuran untuk menyelesaikan sengketa hukum diantara pihak.Konvensi Den

haag untuk penyelesaian damai sengketa 1899 memasukkan sejumlah

ketentuan tentang arbitrase internasional yang tujuannya dianggap ada didalam

pasal 15,’’the settlement of differences between states by judges of their own

50

Ibid.hlmn 49

41

choice and on the basis of respect for law’’.Tujuan ini menjadi definisi

arbitrase yang diterima dalam hukum internasional. Definisi itu diulang dalam

pasal 37 konvensi Den haag 1907 dan diambil Mahkamah Internasional

permanen dalam kasus menyangkut interpretation of article 3, paraghraph 2, of

the treaty of Lausanne, dan juga diambil oleh Mahkamah Internasional.

Arbitase internasional diputuskan menjadi cara penyelesaian sengketa paling

efektif dan adil apabila diplomasi telah gagal. Kesepakatan untuk mengambil

arbitrase ada dalam pasal 18 menyiratkan kewajiban hukum untuk menerima

syarat – syarat putusan. Kecuali itu, Tribunal arbitase permanen (PCA) juga

sudah dibentuk. Tribunal arbitrase permanen bukan benar – benar sebuah

pengadilan sebab tidak terdiri dari kumpulan hakim dalam jumlah tetap.

Tribunal arbitrase permanen terdiri dari panel orang – orang yang ditunjuk

oleh para pihak yang mengadakan kontrak (tiap-tiap pihak menunjuk

maksimum empat orang).Terdiri dari orang yang kompetensinya sudah diakui

dalam persoalan hukum internasional, memiliki reputasi moral tinggi, dan

bersedia menerima tugas sebagai arbiter.Jika ingin menempuh arbitrase,

negara – negara yang mengadakan kontrak berhak memilih anggota tribunal

dari panel itu.

Ada bermacam – macam susunan tribunal arbitrase, tribunal arbitrase

dapat terdiri dari seorang arbiter saja atau badan akademis. Dalam hal badan

akademis ini, tiap-tiap pihak akan menunjuk arbiter dalam jumlah yang sama

dengan seorang ketua atau penengah ditunjuk oleh para pihak atau arbiter

42

yang sudah ditunjuk. Dalam banyak kasus, seorang kepala negara lah yang

akan diusulkan sebagai arbiter tunggal, kemudian arbiter tunggal tersebut akan

menunjuk pakar dibidang hukum internasional dan disiplin ilmu yang lain

yang relevan untuk bertindak mewakilinya dibawah sistem PCA, bila tidak

ada kesepakatan mengenai hal yang sebaliknya, tiap – tiap pihak memilih dua

arbiter dari panel tersebut, akan tetapi hanya seorang dari mereka yang berasal

dari negara pemilihnya. Lalu arbiter memilih seorang penengah, tetapi jika

gagal tugas itu akan diserahkan kepada pihak ketiga yang ditunjuk melalui

kesepakatan. Jika pihak ketiga juga gagal ditunjuk, maka kemudian dijalankan

proses yang rumit dengan pengundian sebagai puncaknya.

Arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa menggabungkan

unsur baik prosedur diplomatik maupun prosedur pengadilan.Keberhasilan

tergantung pada besarnya kesediaan diantara pihak dalam menyusun

compromise dan membentuk tribunal, disamping benar – benar melaksanakan

putusan yang kemudian dibuat. Sebagian besar kesuksesan tergantung pada

suatu proses negosiasi. Dilain pihak, arbitrase merupakan teknik ajudikatif

karena putusannya bersifat mengikat dan tidak dapat diubah lagi, dan para

arbiter diharuskan mendasarkan keputusannya pada hukum. Arbitrase

merupakan proses yang sangat berguna bila dibutuhkan tingkat kepakaran

tertentu, atau bila dikehendaki kelenturan dan kecepatan yang lebih dari yang

dapat disediakan oleh Mahkamah Internasional. negara – negara sendiri yang

memilih arbiternya, menentukan hukum dan prosedurnya, juga membuat

43

jadwalnya. Kecuali itu, negara – negara yang terlibat boleh mengharapkan

proses akan berjalan dengan cara rahasia, sesuatu yang mungkin tak tercapai

di Mahkamah Internasional dengan pemeriksaannya yang berlangsung lisan

dan umum serta laporan tertulisnya yang dipublikasikan. Namun, para pihak

harus membayar semua biaya arbitrase, termasuk ongkos yang wajib

dibayarkan kepada panitera dan para arbiter, sedangkan di Mahkamah

Internasional, hakim dan anggota kepaniteraan dibayar oleh PBB.51

II. Penyelesaian Sengketa Melalui Organisasi Internasional

Pasal 52 ayat 1 BAB VIII, piagam PBB menetapkan bahwa piagam

tersebut tidak mengecualikan keberadaan kesepakatan regional atau badan –

badan regional untuk menangani persoalan yang berhubungan dengan

pemeliharaan kedamaian dan keamanan internasional yang sesuai dengan aksi

regional, asalkan kesepakatan atau badan regional tersebut beserta aktivitasnya

konsisten dengan tujuan dan asas PBB. Pasal 52 ayat 2 menetapkan bahwa

anggota – anggota PBB yang menandatangani perjanjian atau mengikuti badan

tersebut, harus menempuh segala upaya untuk menyelesaikan sengketa lokal

secara damai melalui perjanjian regional atau badan regional yang merujuk

pada dewan keamanan. Bahwa Dewan Keamanan mendukung pengembangan

penyelesaian damai untuk sengketa – sengketa lokal melalui perjanjian

regional. Meskipun sudah dinyatakan demikian, pasal 52 ayat 4 menekankan

bahwa penerapan pasal 34 dan pasal 35 piagam PBB mengenai peran Dewan

51

Ibid.hlmn 49 - 50

44

Keamanan dan majelis umum tidak terpengaruh. Supremasi Dewan Keamanan

diperkuat dengan pasal 53 ayat 1 yang menetapkan bahwa Dewan Keamanan

dapat menggunakan perjanjian regional atau badan – badan regional untuk

tindakan penegakan kedamaian dibawah otoritasnya, pengambilan tindakan

penegakan dibawah perjanjian regional atau badan regional tidak bisa

dilakukan tanpa otoritas Dewan Keamanan. Harus disebutkan bahwa menurut

pasal 24 piagam PBB, Dewan Keamanan memiliki tanggung jawab utama

untuk memelihara keamanan dan kedamaian internasional.Sedangkan pasal

103 piagam PBB menegaskan apabila terjadi konflik diantara kewajiban –

kewajiban anggota PBB dibawah piagam dan kewajiban – kewajiban dibawah

perjanjian internasional lain, maka kewajiban dibawah piagam lah yang

berlaku.Kecuali menurut pasal 36, Dewan Keamanan pada tahap apapun

dalam sengketa boleh merekomendasikan prosedur atau metode penyelesaian

sengketa yang sesuai.Sedangkan menurut pasal 37 menetapkan jika para pihak

yang bersengketa gagal mencapai penyelesaian, mereka harus merujuknya

kepada Dewan Keamanan.

Selanjutnya jika Dewan Keamanan sendiri menganggap kelangsungan

sengketa kemungkinan besar dapat membahayakan pemeliharaan kedamaian

dan keamanan internasional, maka Dewan Keamanan yang akan memutus

mengambil tindakan dibawah pasal 36 ataukah merekomendasikan syarat –

45

syarat penyelesaian yang dianggap sesuai. Bahkan diberbagai organisasi

internasional telah dibentuk alat perlengkapan untuk penyelesaian sengketa.52

52

Ibid.hlmn 50 - 51

46

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah Yuridis Normatif yaitu

mengkaji mengenai aspek teori, filosofi, perbandingan, struktur atau

komposisi, konsistensi, penjelasn umum, dan penjelasan pada tiap aturan

hukum. Penelitin ini hanya ditujukan pada peraturan – peraturan tertulis

sehingga penelitin ini sangat erat hubungannya pada perpustakan karena akan

membutuhkan data – data yang bersifat sekunder pada perpustakan.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kasus (Case

Approach) yaitu mengkaji dan menganalisis kasus sengketa pulau Dokdo atau

Takeshima yang diperebutkan oleh Jepang dan Korea Selatan.Kasus ini dipilih

mengingat dalam legitimasi status wilayahnya belum secara hukum

diputuskan oleh Mahkamah Internasional, sehingga menimbulkan konsekuensi

yang menimbulkan status wilayah pulau tersebut masih tidak bertuan

(Wilayah Terra Nullius).Sepanjang ada subjek hukum Internasional yang

mengklaim pulau Dokdo atau Takeshima, dan juga mendapatkan pembenaran

dari hukum internasiona, maka dianggap tidak melanggar kedaulatan negara

mana pun. Pendekatan peraturan tertulis adalah suatu pendekatan yang

47

dilakukan terhadaphukum internasional mengenai implementasi aturan hukum

yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa kedaulatan negara

berdasarkanhukum internasional. Sehingga berdasarkan kasus tersebut dapat

dijadikan bahan kajian untuk memperkuat analisis dalam penelitian ini,

mengenai legitimasi klaim yang diajukan oleh Jepang dan Korea Selatan atas

pulau Dokdo atau Takeshima.

a. Pendekatan kasus (Case Approach)

Suatu pendekatan kasus yang dikomparasikan dengan keputusan

Mahkamah Internasional mengenai kasus pulau Sipadan dan Ligitan yang

disengketakan oleh Indonesia dan Malaysia. Dimana pertimbangan hakim

Mahkamah Internasional adalah berdasarkan pengawasan efektif (effectivity)

yang didalam putusannya 16 hakim memihak Malaysia dengan mengecualikan

(tanpa memutus pada territorial perairan laut dan batas – batas maritim).

b. Pendekatan peraturan hukum Tertulis (statute approach)

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu

pendekatan yang dilakukan terhadaphukum internasional mengenai

implementasi aturan hukum yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa

kedaulatan negara berdasarkan hukum internasional, seperti : konvensi hukum

Internasional seperti (UNCLOS 1982 dan Piagam PBB), hukum kebiasaan

48

Internasional, Perjanjian San Fransisco 1951, deklarasi Cairo, Traktat

aneksasi, perjanjian hubungan dasar, dokumen internasional.53

C. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, adalah

bahan hukum primer (primary) dan bahan hukum sekunder (secondary).

Bahan hukum primer ialah bahan hukum yang diperoleh langsung, sedangkan

bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh peneliti dari

penelitian kepustakaan dan dokumen, yang merupakan hasil penelitian dan

pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau

dokumen yang biasanya disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi.

Di dalam penelitian hukum, bahan hukum mencakup bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum yang

digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti :

1. United Nation Charter (piagam PBB)

53

Berdasarkan perjanjian san fransisco pasal 2, Jepang berpendapat bahwa Jepang hanya

mengakui kemerdekaan Korea, sedangkan adanya kewajiban untuk mengembalikan pulau

Dokdo atau Takeshima tidak disebutkan dalam perjanjian (kazuo, 1997 : 477).

Pulau Takeshima atau Dokdo pada awalnya merupakan wilayah yang tidak ada pemiliknya

atau Ussanguk yang telah menjadi wilayah Korea Selatan pada masa Dinasti Shilla Tahun 512

SM ( Hoon : 389).

Sengketa antara Jepang dan Korea Selatan timbul dengan Adanya Konsep Nasional Interest

yaitu meliputi kepentingan pertahanan, kepentingan ekonomi, kepentingan tata internasional,

kepentingan ideologi ( Donald 1979 75: 76).

Mahkamah Internasional mengadili wilayah sengketa pulau biasanya menggunakan prinsip

penemuan, pengawasan efektif, pendudukan tanpa protes, dan konektifitas geografis. Dimana

hakim mempertimbangkan dua pembuktian untuk memperkuat klaim yaitu dokumen

perjanjian dan pengawasan efektif (Jon, 2007 : 158)

49

2. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS

1982)

3. Deklarasi Cairo 1943

4. Perjanjian San Fransisco 1951

5. Traktat aneksasi 1905

6. Traktat aneksasi 1910

7. Perjanjian hubungan dasar tahun 1956

b. Bahan Hukum sekunder :

1. Buku – buku atau Literatur yang relevan dan berkaitan dengan

permasalahan yang di angkat.

2. Surat kabar, majalah, jurnal yang berhubungan dengan

permasalahan.

3. Penelusuran situs, website melalui media internet.

D. Teknik Penelusuran Bahan Hukum

Teknik penelusuran Bahan Hukum adalah cara – cara yang digunakan

untuk menelusuri bahan hukum yang dibutuhkan. Teknik Penelusuran Bahan

Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, sumber

hukum internasional, dan penelusuran informasi melalui internet (survey

online).

50

E. Teknik Analisis Bahan Hukum

Dalam penulisan penelitian ini, penulis dalam mengelolah Bahan

hukum memakai teknik deskriptif analitis. Untuk mendeskripsikan dan

menganalisa bahan hukum dilakukan dengan mengkategorikan ke dalam

bahan hukum primer berupa peraturan tertulis mengenai hukum internasional.

Bahan hukum sekunder dalam bentuk Bahan Hukum Primer yang terdiri dari

konvensi, hukum kebiasaan internasional, perjanjian internasional, dan

Dokumen Internasional. Bahan Hukum sekunder dalam bentuk literatur,

artikel surat kabar dari media internet yang relevan dan terkait dengan topik

penelitian. Berdasarkan hasil deskripsi analisis dan pemahaman tersebut

ditarik kesimpulan bahwa hukum internasional merupakan solusi kongkrit

penyelesaian sengketa oleh Jepang dan Korea Selatan atas Kedaulatan Pulau

Dokdo atau Takeshima. Kemudian tahap terakhir dilakukan penarikan

kesimpulan (verifikasi) dan dituangkan ke dalam bentuk penelitian ilmiah.

F. Definisi Konseptual

1. Kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi atau supremasi hukum

dari suatu negara untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan

hukumnya dari intervensi kedaulatan negaralain, karena setiap negara

memiliki kehendak untuk mengatur negaranya sendiri berdasarkan

caranya sendiri.

51

2. Sengketa adalah pertentangan antara kedua negara atau lebih yang

mempertahankan kedaulatan negaranya dari suatu kedaulatan

negaralain yang diselesaikan melalui jalur litigasi atau Non-litigasi.

3. hukum internasional adalah suatu keseluruhan kaidah yang mengatur

tentang hubungan antara subjek hukum internasional, dimana semua

subjek hukum internasional mematuhinya dan mengikat secara umum

dalam hubungannya antara satu sama lain.

4. Wilayah negara adalah tempat berlakunya suatu Kedaulatan negara,

dimana batas-batas suatu daerah negara ditentukan dengan

perjanjian.Perjanjian dengan negara-negara tetangganya baik

perjanjian yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

52

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Klaim kedaulatan Negara Korea Selatan dan Jepang atas pulau Dokdo

atau Takeshima, menurut Hukum Internasional

Pulau Dokdo terdapat di laut timur, ada juga pulau karang dalam pulau

Dokdo yaitu pulau seodo dan dongdo.Berdasarkan bukti historis pulau Dokdo

adalah milik Korea Selatan, bahkan sejak zaman dinasti shilla selama 512 SM.

Pada saat itu pulau Dokdo bernama ussankuk atau pulau yang tidak ada

kepemilikannya sebelum bersatu dengan Korea Selatan,54

bukti yang ada

banyak yang menyebutkan bahwa pulau Dokdo sudah pernah dijadikan

wilayah Korea Selatan dan juga berdaulat atas wilayah tersebut.Namun, pada

tahun 1905 Jepang telah menganeksasi wilayah kedaulatan Korea Selatan

dengan pulau Dokdo yang telah dijadikan kawasan wilayah dibawah

pengawasan Perfektur Shimane yang pada saat itu digunakan sebagai

pemantau Perang Dunia II.55

54

Pulau Takeshima atau Dokdo pada awalnya merupakan wilayah yang tidak ada pemiliknya

atau Ussanguk yang telah menjadi wilayah Korea Selatan pada masa Dinasti Shilla Tahun 512

SM ( Hoon : 389). 55

Shin yongha, Disputes over ulleungdo and tokdo at the end of the 17 th Century, archive,

(archive.is/H7RS), di akses 12 mei 2015

53

Menurut Templemen sebagaimana dikutip oleh Huala Adolf, jika suatu

negara ingin menjadikan suatu wilayah tidak bertuan atau tanpa pemilik

menjadi wilayahnya tindakan tersebut harus memenuhi beberapa syarat yang

dipenuhi dengan begitu okupasi sah berdasarkan legitimasi hukum, yaitu

pertama, wilayah tersebut harus tidak bertuan atau terra nullius serta tidak ada

satupun kedaulatan negara yang berlaku didaerah tersebut. Pada zaman dinasti

shilla 512 SM pulau Dokdoadalah wilayah terra nullius setelah itu diokupasi

oleh Korea Selatan menurut dokumen sejarah “Dongguk Munheon Bigo” yang

menyebutkan pulau ussanguk (tidak bertuan) telah dikuasai oleh kerajaan

Shilla. Tidak hanya itu, bahkan menurut dokumen sejarah “Sejong Sillok jiriji”

yang menyebutkan adanya gambaran peta nasional kerajaan Joseon oleh King

Sejong yang mengikut sertakan pulau Usan (Dokdo) menjadi wilayah kerajaan

Joseon. Kedua, kependudukan tersebut harus dilakukan oleh sebuah negara,

sedangkan kependudukan tersebut sudah diduduki oleh Korea Selatanpada

masa kerajaan Shilla hingga sekarang.Ketiga, kependudukan tersebut harus

secara terbuka, terus menerus, efektif, dan damai.Hal itu telah dilakukan oleh

Korea Selatanpada tahun 1694, perintah untuk melaksanakan Suto (inspeksi)

atas pulau Ulleungdo (sebutan pulau Dokdo pada zaman kerajaan Joseon).

Sistem suto yaitu penjagaan secara terkontrol selama 2 tahun sekali terhadap

pulau Ulleungdo yang telah diperintahkan sebelumnya oleh perdana menteri

Nam Gu Man. Meskipun pada masa Perang Dunia ke-II pulau Dokdo atau

Takeshima diambil Ahli oleh Jepang, kependudukan secara fisik sekarang ini

ada pada Korea Selatan. Ke empat, negara yang menduduki wilayah tersebut

54

harus mempunyai niatan menguasai wilayah tersebut, hal ini pun juga sudah

dilakukan oleh Korea Selatan dibuktikan dengan ke aktifan Korea Selatan

mempertahankan kedaulatan pulau Dokdo atau Takeshima atas dirinya

terhadap Jepang dan Cina.56

Sedangkan tindakan aneksasi yang dilakukan oleh Jepang pada masa

Perang Dunia ke-II dapat diakui sebagai perolehan wilayah secara aneksasi.

Menurut legitimasi hukum perolehan wilayah aneksasi yang sah, wilayah

aneksasi tersebut harus berasal dari gabungan wilayah lain ke dalam wilayah

kedaulatannya. Tidak hanya itu wilayah yang diduduki tersebut berasal dari

wilayah yang sudah ditaklukan oleh negara yang menganeksasi atau wilayah

yang sudah ada dalam kekuasaan negara yang menganeksasi.Hal tersebut

dibuktikan dengan penjajahan Jepang atas Korea Selatan, dan menjadikan

pulau Dokdo atau Takeshima sebagai pangkalan perang Jepang ketika sedang

berperang dengan Rusia.Berikutnya, pendudukan tersebut juga harus disertai

dengan pernyataan aneksasi oleh negara yang menganeksasi. Hal tersebut

terbukti dengan adanya kepemilikan wilayah Korea Selatan oleh Jepang pada

masaPerang Dunia ke-II dengan cara kekerasan atau secara paksa. Tidak

hanya itu, bahkan oleh Jepang dalam peta Hayashi Shihei dijelaskan bahwa

pulau Dkdo atau Takeshima sudah ada dalam kepemilikannya menurut jalur

56

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004. Hlmn 41

55

wokou raids yang dibuat oleh klan keluarga Jepang untuk mencari ikan,

setelah itu dijadikan gambaran peta nasional oleh Jepang.57

Setelah Perang Dunia ke-II selesai, upaya dari Jepang untuk memiliki

pulau Dokdo atau Takeshima mulai timbul seperti adanya banyak klaim atas

wilayah tersebut oleh Jepang.Pihak Jepang mengklaim bahwa berdasarkan

perjanjian san fransisco 1951 pasal 2, Jepangsama sekali tidak melepaskan

kedaulatannya atas pulau Dokdo,yang dihilangkan kepemilikannya atas pulau

port hamilton, quelpart, dan dagelet.Maka dari itu Jepang beranggapan pulau

Dokdo belum dilepas kedaulatannya. Setelah sekian lama menduduki pulau

Dokdo pada saat Perang Dunia II, kembali lagi sekitartahun 90-anPerfektur

Shimane melakukan survey berkala diwilayah pulau Dokdo. Alasan Perfectur

Shimane melakukan survey adalah menjaga keamanan pantai daerah disekitar

laut Jepang, akan tetapi hal tersebut kembali memicu konflik antara pihak

yaitu Korea Selatan dengan Jepang. Melalui berita bahkan surat kabar Korea

mempublikasikan upayaJepang tersebut sebagai pelanggaran hukum

internasional kepada seluruh dunia. Tidak hanya itu banyak sekali rakyat

Korea yang terdiri dari mahasiswa, aktivis, dan para golongan

demonstranmelakukandemonstrasi besar – besaranmembela Korea untuk

57

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004. Hlmn 31

56

melakukan upaya yang efektif dan mengeluarkan kebijakan terkait

pelanggaran Jepang.58

Menurut teori kedaulatan salah satu unsur eksistensi sebuah negara,

Parthiana menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan

yang tertinggi dan mutlak, utuh, bulat, dan tidak dapat dibagi – bagi, karena

itu tidak dapat ditempatkan dibawah kekuasaan lain. Kedaulatan negara tidak

lagi bersifat mutlak, akan tetapi pada batas – batas tertentu harus menghormati

kedaulatan negara lain yang diatur melalui hukum internasional.59

Hal tersebut

tentu bisa kita lihat melalui tindakan Jepang yang secara sepihak melakukan

survey berkala terhadap pulau Dokdo atau Takeshima.Upaya klaim kedaulatan

secara sepihak tidak diperbolehkan karena dianggap melanggar hak – hak

negara lain atas wilayah tersebut, sedangkan Jepang sendiri harus

menghormati kedaulatan tiap negara atas wilayah tersebut, sehingga dapat

disimpulkan klaim kedaulatan adalah tindakan yang dapat mempengaruhi

kedaulatan negara lain atas haknya. Bahkan menurut Doktrin intertemporal

law60

, mengartikan klaim wilayah mulai dari wilayah tersebut ditemukan harus

memperoleh pengakuan secara sah menurut hukum internasional yang

58

Charles Scanlon, South korean vent fury at japan, BBC online, (news.bbc.co.uk/2/hi/asia-

pacific/4361343.stm), 18 Maret 2005 59

I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014.

Hlmn 16 - 18 60

menurut Doktrin intertemporal law, mengartikan (pembuktian) atau klaim wilayah mulai

dari wilayah tersebut ditemukan harus memperoleh pengakuan secara sah menurut hukum

internasional yang berlaku.

57

berlaku.Sementara status kedudukan pulau Dokdo sendiri belum ditentukan

milik siapa.61

Sebelumnya terdapat suatu perjanjian penangkapan ikan antara Jepang dan

Korea Selatan di laut Jepang.Menurut perjanjiandelimitasi batas wilayah zona

perikanan telah ditetapkan oleh kedua negara sepanjang 35 Mil dari masing –

masing batas perairan kedaulatan negara bersangkutan secara eksklusif,

sedangkan dalam pembagian hasil tangkap ikan akan diatur menurut komisi

perikanan Gabungan. Selanjutnya yaituperjanjian penentuan jalur angkutan

udara commercial yang sama sekali tidak mempengaruhi delimitasi batas

perbatasan negara Jepang dan Korea Selatan.Ada dua perjanjian yang telah

dibuat tetapi tidak ada satupun dalam perjanjian tersebut yang membicarakan

upaya pembuatan perjanjian perbatasan territorial laut di Pulau Dokdo.62

Jika dari awal sudah ditentukan batas territorial laut Jepang dan Korea

Selatan dari garis pangkal daratan pulau Ulleung dan pulau Okiterkait

pengambilan kekayaan alam berupa gas hydrat didalam Ulleung Tsusima

Basin, tidak akan terjadi sengketa antara kedua negara. Ulleung Tsusima Basin

berada di pedalaman laut yang terletak di landas kontinen perairan wilayah

laut pulau Dkdo atau Takeshima, sehingga segala pengambilan atau

eksploitasi sumber daya alam harus menggunakan peraturan konvensi hukum

61

Malcolm N. Shaw, hukum internasional, penerbit Nusamedia, Bandung, 2013. Hlmn 31

62Lalak Dedy Priswantoro, status kepulauan Dokdo dalam perspektif hukum

internasional, fakultas ilmu social dan politik universitas Jember, jurnal hukum, Mei 2007

58

laut 1982 mengenai landas kontinen.Sedangkan menurut perjanjian perbatasan

itu sendiri perolehan kedaulatan wilayah yang didasarkan dari suatu perjanjian

internasional, dimana dianggap sebagai batasan utama, dan terpisah dari

perjanjian yang telah menyebutkan hal tersebut. Maka dianjurkan bagi kedua

negara yang bersengketa jika memungkinkan untuk membuat suatu perjanjian

perbatasan negara, bahkan dijelaskan didalam hukum laut 1982 batas wilayah

suatu negara dapat diklaim sejauh sampai 350 mil. Dapat kita lihat pada pasal

6 konvensi hukum laut 1958 penentuan batas landas kontinen secara tegas

menggunakan (medien line atau equidistance principle) dengan syarat tidak

terdapat kasus – kasus tertentu yang mengakibatkan atau memungkinkan garis

batas ditentukan dengan jarak yang tidak sama. Hal ini pun masih berlaku

didalam konvensi hukum laut 1982. Untuk cara implementasinya dijelaskan

oleh Donillo sebagaimana dikutip oleh I Wayan Parthiana yang berpendapat

pada kasus delimitasi batas landas kontinen, Mahkamah Internasional

menafsirkan garis batas tersebut diluar dari garis tengah atau median line

apabila berkaitan dengan penetapan suatu keputusan yang adil bagi semua

pihak sehingga akan melahirkan prinsip yang dikenal sebagai equitable

principles, namun pada suatu kasus tertentu Mahkamah Internasional tetap

mengacu pada median line dalam penentuan dan penetapan batas landas

kontinen. Tidak menutup kemungkinan untuk Jepang dan Korea Selatan jika

ingin menentukan batas territorial lautnya dikemudian hari yang sampai saat

ini sedang dipertanyakan.63

Ditambah lagi pulau tersebut secara fisik berada

63

I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014.

59

dalam kekuasaan Korea Selatan, jika terdapat penduduk yang menempati

pulau tersebut maka dapat dilakukan upaya self determination, yaitu perolehan

wilayah yang dilakukan oleh penduduk asli atas kedaulatan wilayahnya

dengan cara penentuan nasib sendiri, tetapi oleh Korea Selatan pulau tersebut

saat ini dijadikan tempat wisata dan tidak ada penduduk tetap yang menempati

pulau tersebut. Tidak menutup kemungkinan jika tindakan yang dapat

dilakukan untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah suatu perjanjian

internasional.64

Sebelumnya pada tanggal 18 Januari 1952 terdapat deklarasi dari

pemimpin Korea Selatan yaitu Syngman Rhee, Rhee menentukan garis

imajiner (penentuan penarikan garis pangkal) perbatasan wilayah laut antara

Semenanjung Korea dengan Laut Jepang yang mengikutkan posisi territorial

Dokdo kepada Korea Selatan. Meskipun telah dikeluarkan suatu perjanjian san

fransisco pada tahun 1951 yang dalam perjanjian tersebut sama sekali tidak

mendaftarkan pulau Dokdo hanya Ulleungdo, Jejudo, dan Seokdo.Bukan

berarti dalam kekuasaannya dimasa penjajahan diPerang Dunia II wilayah

aneksasi Jepang yang tidak menyebutkan pulau Dokdo dapat begitu saja

diklaim kedaulatannya pada saat itu, hal tersebut harus disertai bukti yang

konkrit dalam penguasaannya atas pulau Dokdo atau Takeshima. Garis

Hlmn 38 - 43 64

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004. Hlmn 41

60

imajiner (penentuan penarikan garis pangkal) yang ditarik oleh Syngman Rhee

disebut dengan Rhee line bahkan garis delimitasi Rhee line tersebut disertai

dengan banyak upaya mulai dari pengawasan secara efektif diwujudkan

dengan pengawasan patroli, penempatan penjaga pantai, dan membentuk

sebuah monumen atau mercusuar pada tahun 1954di pulau Dokdo, sehingga

secara konkrit terdapat kedaulatan fisik wilayah tersebut adalah kedaulatan

Korea Selatan.65

Menurut Templemen sebagaimana dikutip oleh Huala Adolf, adanya suatu

upaya okupasi harus memenuhi beberapa syarat sehingga upaya tersebut

dapat disebut sebagai upaya okupasi seperti apa yang dijelaskan sebelumnya

bahwa Korea Selatan memperoleh pulau Dokdo atau Takeshima secara

okupasi.66

Selainitu tindakan perolehan pulau tersebut juga diikuti dengan

niatan untuk menguasai (animus occupandi), hal tersebut dapat dibuktikan

dengan adanya garis penentuan batas oleh syngman Rhee yang disebut dengan

Rhee line. Jika dilihat dari penentuan garis Rhee line, merupakan upaya yang

dibenarkan oleh hukum internasional secara legitimasi hukum, karena

kedaulatan negara atas pulau Dokdo atau Takeshima setelah Perang Dunia ke-

II menjadi milik Korea Selatan. Hal tersebutdidasari oleh pasal 2 perjanjian

San Fransisco 1951, menyatakan bahwa Jepang sama sekali tidak melepaskan

kedaulatannya atas pulau Dokdo atau Takeshima, tetapi didalam perjanjian

65

Utami gita syafitri, sengketa pulau Dokdo antara Korea Selatan dan Jepang, fakultas

hukum universitas sumatera, jurnal hukum, tahun 2013

66 Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004. Hlmn 31

61

tersebut juga mengandung penafsiran bahwa terdapat pernyataan Jepang harus

mengembalikan semua wilayah hasil ekspansinya kepada

pemiliknya.67

Ditambah lagi setelah Perang Dunia ke-II usai Jepang tidak

menunjukkan upaya kependudukan yang aktif dan pengawasan secara efektif

atas pulau Dokdo atau Takeshima. Adanya pengawasan efektif yang dilakukan

Korea Selatan disertai dengan penentuan garis Rhee line, maka pengawasan

efektif mulai tahun 1952 ada pada pihak Korea Selatan. Hal tersebut akan

memungkinkan seperti apa yang telah menjadi dasar putusan Mahkamah

Internasional (ICJ) terhadap sengketa pulau Sipadan dan Ligitan oleh

Indonesia dan Malaysia, dimana penentuannya mengikutsertakan aturan

critical date (batas waktu), jika penentuan aturan critical date (batas waktu)

terdapat aturan yang menunjukkan adanya batas waktu penentuan klaim pulau

Dokdo. Maka Korea Selatan secara konsep administratif dapat dibuktikan

milik Korea Selatan.68

Sebelumnya tahun 2006 ditentukan batas ZEE antara Jepang dan Korea

Selatan.Pada perjanjian Fisheries Agreement telah ditentukan batas secara

eksklusif 35 mil dari masing – masing ZEE tiap negara. Tetapi hal itu muncul

kembali ketika penentuan batas delimitasi ini ditentukan berdasarkan

koneksitas geografis oleh tiap negara.Penarikan garis pangkal Korea Selatan

67

Ignaz Kingkin Teja Angkasa, Sejarah, Penerbit Grasindo, Jakarta, 2010. Hlmn 64

68Mada ariandi zuhir, studi tentang penerapan effective occupation principle dalam

penyelesaian sengketa wilayah Negara, fakultas hukum universitas brawijaya, jurnal

hukum.

62

yang diambil dari letak pulau Ulleungdo sejauh 87,4 KM, sedangkan

penarikan garis pangkal Jepang diambil dari pulau Oki sejauh 157,5 KM. Jika

digunakan penentuan batas delimitasi secara garis pangkal, maka Korea

Selatan memiliki peluang besar untuk memperoleh pulau Dokdo atau

Takeshima, tetapi dalam penentuannya selalu terdapat perselisihan penarikan

garis pangkal mulai dari sejajar sampai dari ujung ke ujung sesuai dengan

kesepakatan kedua negara. Sehingga dalam hasilnya tidak menemukan titik

temu dalam penentuan batas delimitasi oleh kedua negara.69

Selain permasalahan klaim tersebut, penentuan perbatasan negara juga

menjadi urgensitas yaitu perbatasan wilayah laut. Sampai sekarang penentuan

batas laut yang dilihat dari garis pangkal daratan pulau Ulleungdo (Korea

Selatan) dan pulau Oki (Jepang) belum menemukan hasil, karena kedua

negarasama sekali tidak mempunyai inisiatif untuk menentukan perbatasan

negaranya. Meskipun secara jarak pulau Dokdo dekat dengan Korea Selatan

tidak ditemukan satupun perjanjian internasional menyebabkan kesulitan

untuk menemukan titik temu.70

Hal tersebut sama dengan konsekuensi hukum

atas putusan International Court of Justice (ICJ),dimana telah diputus

kepemilikan atas pulau Sipadan dan Ligitan, tetapi menimbulkan keadaan

69

Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara

korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan

internasional, tahun 2013

70Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara

korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan

internasional, tahun 2013

63

batas wilayah baru. Dalam sengketa pulau Dokdo tentu penentuan batas

negara tidak mungkin tercapai sepanjang belum ditetapkan milik kedaulatan

negara mana, dan sepanjang pembagian kekayaan alam gas hydrat yang

berada didalam Ulleung Tsusima Basin belum ditentukan.71

Sedangkan dari pihak Jepang mulai mengklaim secara klaim sepihak

dimana peringatan hari Takeshima Day sebagai hari libur nasional Jepang

tetapi bukti kepemilikannya tidak terlalu kuat sehingga kecil peluang jika

sengketa ini diajukan ke Mahkamah Internasional. Klaim sepihak oleh Jepang

dilakukan tidak hanya dengan memperingati Takeshima day saja tetapi dengan

menduduki pulau tersebut dengan mengibarkan bendera negaranya disekitar

pulau Dokdo.72

Dengan adanya nota panglima tertinggi SCAPIN No. 677 berisikan suatu

memorandum yang menegaskan pelepasan pulau Dokdo dari kekuasaan

Jepang setelah Perang Dunia II berakhir, dalam hal ini Jepang harus

melepaskan kekuasaannya atas wilayah Ulleungdo , batu Liancourt (Dokdo),

dan Jejudo yang harus dikecualikan atau bahkan dilepaskan kembali menjadi

kedaulatan Korea.Selanjutnya tanggal 22 juni 1946 muncul Nota Panglima

Tertinggi SCAPIN No. 1033 yang berisikan pelarangan kapal dan nelayan

untuk mendekati batas 12 mil dari pulau Dokdo.Maka tindakan Jepang

71

Mada ariandi zuhir, studi tentang penerapan effective occupation principle dalam

penyelesaian sengketa wilayah Negara, fakultas hukum universitas brawijaya, jurnal hukum 72

Julian Ryall, Japan angers Korea by marking Takeshima day, DW media news,

(www.dw.com/en/Japan-angers-korea-by-marking-Takeshima-day/a-16622321), 22 february

2013

64

tersebut telah melanggar nota panglima tertinggi SCAPIN No. 1033, ditambah

lagi dengan adanya tindakan pengibaran bendera kenegaraan di pulau Dokdo

atau Takeshima merupakan pelanggaran keamanan internasional.Tujuan

ditetapkannya nota SCAPIN adalah untuk menjaga keamanan internasional

dan hubungan diplomasi antaranegara. Disamping itu agar tidak dapat

menimbulkan konflik akan adanya berbagai macam upaya klaim dari negara

yang bersangkutan. Seharusnya tindakan penurunan warga Jepang di pulau

Dokdo mendapatkan tindak lanjut.73

Pada tahun 2007, penelitian dilakukan terhadap kandungan sumber daya

alam disekitar wilayah pulau Dokdo, alhasil ditemukan sumber daya alam

berupa gasyang dinamakan Ulleung Tsusima Basin.Ulleung Tsusima Basin

mengandung banyak sekali gas hydrat yang dapat digunakan sebagai bahan

bakar energi. Hal ini kembali membuat perselisihan kedua negara mengenai

pulau Dokdo atau Takeshima menjadi semakin sulit untuk diselesaikan.

Berdasarkan konvensi hukum laut 1982, kedua negara diperbolehkan

mengeksploitasi dan megkesplorasi sumber daya alam dan dalam pengambilan

kekayaan alam itu oleh kedua negara tetap menjadi perbincangan. Bagi pihak

Korea bahan bakar gas hydrat yang terdiri dari gas metana dan mineral ini

dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar, disamping itu Korea dapat

meminimalisir impor bahan bakar dan melakukan pemenuhan kebutuhan

bahan bakar energi dengan mandiri. Sedangkan Jepang selain digunakan

73

Dokdo Research Institute, Dokdo in history, (http/www.dokdohistory.com/kr, diakses mei

tahun 2015

65

sebagai bahan bakar,dapat juga sebagai ekspansi wilayah dilihat dari

pertumbuhan penduduk Jepang setiap tahun yang meningkat.74

Jika kedua negara memiliki inisiatif untuk membuat suatu perjanjian kerja

sama (joint venture), maka akan mempermudah bagi kedua negara untuk

menemukan solusi penyelesaian sengketa atas pulau Dokdo atau Takeshima.

Ulleung Tsusima Basin yang mengandung kekayaan alam berupa gas metana

dan mineral bagi kepentingan nasional kedua negara untuk masa depan

sangatlah penting. Meskipun hingga sekarang inisiatif untuk membuat

perjanjian kerjasama (joint venture) belum ada dari kedua negara. Tidak

menutup kemungkinan jika suatu saat inisiatif dari kedua negara untuk

membuat perjanjian kerjasama (joint venture) akan menemukan jalan.

Pada tahun 2008, Jepang memiliki gagasan untuk kedepannya menjadikan

pulau Takeshima menjadi territorialnya ke dalam buku pertahanan negara,

sehingga mempermudah mendapat pengakuan dari masyarakat internasional.

Sementara Korea Selatan juga memasukkan pulau Dokdo ke dalam kurikulum

pendidikan dan juga membangun sebuah museum pulau Dokdo didalamnya

74

Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara

korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan

internasional, tahun 2013

66

terdapat nilai historis dan nilai estetika yang diabadikan oleh pemerintah

Korea Selatan agar diketahui oleh masyarakat secara keseluruhan.75

Hal ini tentu akan mempersulit bagi Mahkamah Internasional

(International Court of Justice) untuk menentukan indikator apakah yang

digunakansebagai penentu penyelesaian sengketa ini, karena secara effektif

ada pada upaya klaim kedua negara. Berbeda dengan penyelesaian sengketa

yang dilakukan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice)

atas sengketa pulau Sipadan dan Ligitan, dimana Indonesia sama sekali tidak

ada upaya pengawasan efektif dan kependudukan aktif. Sehingga sangat

mudah bagi Mahkamah Internasional (International Court of Justice) untuk

menentukan indikator selain koneksitas geografis yaitu pengawasan efektif

sebagai penentu kepemilikan atas pulau Sipadan dan Ligitan.Maka dari itu

diperlukan selektifitas legalitas atas klaim kedaulatan pihak manakah yang

dilihat mempunyai ketepatan klaim atas pulau Dokdo maka diperlukan

pengakuan masyarakat internasional.Hal itu jugadiwujudkan oleh kedua

negara dengan adanya niatan untuk melakukan animus occupandi.76

Berdasarkan bukti sejarah mulai dari dinasti shilla 512 SM, pulau Dokdo

atau Takeshima sudah menjadi milik Korea Selatan.Bukti secara historis mulai

75

Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara

korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan

internasional, tahun 2013

76Mada ariandi zuhir, studi tentang penerapan effective occupation principle dalam

penyelesaian sengketa wilayah Negara, fakultas hukum universitas brawijaya, jurnal

hukum.

67

dari catatan dokumen sejarah bahkan deklarasi dan putusan para negarawan

banyak yang menunjukkan kepemilikan Korea Selatan atas pulau Dokdo atau

Takeshima, dilansir dalam masa pemerintahan Tokugawa di Jepang yang

mengakui pulau Dokdo atau Takeshima adalah milik Korea Selatan. Terdapat

juga suatu kebijakan kaisar Meiji yang memperuntukkan pulau Dokdo atau

Takeshima untuk Korea Selatan, hanya saja intensitas Jepang mulai timbul

ketika Perang Dunia II berakhir.Sehingga mulai melakukan berbagai klaim

secara sepihak serta menganggap pulau Dokdo atau Takeshima adalah wilayah

Terra Nullius.77

Pada tahun 2013, Korea Selatan dan Cina mengeluarkan perluasan batas

udara yang menurut kedua negara tidak akan menimbulkan suatu

permasalahan penentuan batas teritorial udara, sebab dalam penentuan batas

udara ditentukan untuk pesawat komersial. Kemudian pada tahun 2014,

Jepang melakukan survey berupa jajak pendapat terhadap rakyatnya mengenai

kepemilikan pulau Dokdo atau Takeshima.Hasilnya sejumlah 60% penduduk

Jepang memilih pulau Dokdo atau Takeshima sebagai wilayah kedaulatannya

dan Jepang berhak untuk berdaulat atas kedudukan pulau Dokdo atau

Takeshima menjadi wilayah teritorialnya yang ditentukan secara sepihak oleh

Jepang. Hal tersebut diprotes oleh Korea Selatan dengan melakukan

pengaduan atau protes atas tindakan Jepang kepada Takehiro Funakoshi

selaku pihak yang menangani urusan politik dikedutaan besar Korea

77

Dokdo Research Institute, Dokdo in history, (http/www.dokdohistory.com/kr, diakses mei

tahun 2015

68

Selatan.Menurut Korea Selatan hal tersebut merupakan tindakan provokatif

atas kewilayahan pulau Dokdo atau Takeshima yang merupakan kedaulatan

Jepang.78

Menurut Doktrin intertemporal law79

,mengartikan (pembuktian) atau

klaim wilayah mulai dari wilayah tersebut ditemukan harus memperoleh

pengakuan secara sah menurut hukum internasional yang berlaku. Sehingga

bagi Jepang tidak akan memberikan akibat hukum mengenai hak kedaulatan

atas wilayah pulau Dokdo atau Takeshima dengan mengadakan tindakan self

determination, karena secara legitimasi hukum penduduk yang melakukan

pemilihan itu sendiri tidak berasal dari penduduk wilayah yang dijadikan

sengketa tersebut. Telah dijelaskan oleh teori perolehan wilayah secara self

determination sendiri, bahwa tindakan perolehan wilayah akan memperoleh

legitimasi hukum jika jajak pendapat tersebut dilakukan oleh penduduk asli

dari wilayah yang dijadikan sengketa. Disamping itu juga memiliki

pembuktian sah menurut hukum internasional, sehingga tidak kalah dengan

hak kedaulatan bagi kedaulatan negara yang berada diwilayah tersebut.80

78

Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara

korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan

internasional, tahun 2013 79

menurut Doktrin intertemporal law, mengartikan (pembuktian) atau klaim wilayah mulai

dari wilayah tersebut ditemukan harus memperoleh pengakuan secara sah menurut hukum

internasional yang berlaku

80 Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004.hlmn 41

69

Terakhir yaitu pada Tahun 2016, 8 AprilJepang mulai memasukkan

kedudukan pulau Dokdo atau Takeshima kedalam materi kurikulum sejarah

buku ajar sekolah menengah pertama di Jepang dan itu memperoleh kritis

tegas dari pihak Korea yang mengirim perwakilan diplomatiknya yang

bertempat di Jepang untuk melakukan protes atas tindakan tersebut.81

Sepanjang pulau Dokdo atau Takeshima secara legitimasi hukum belum

menjadi kedaulatan negaraKorea Selatan atau Jepang, upaya klaim sepihak

adalah sebuah pelanggaran hukum internasional.Karena wilayah yang

diperebutkan adalah sebuah pulau, maka kedaulatan wilayah tersebut

menggunakan penentuan batas territorial laut.Hal tersebut sama dengan

penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan Ligitan, dimana koneksitas geografis

dijadikan penentu juga dalam sengketa tersebut. Meskipun dalam penyelesaian

sengketanya menggunakan indikator pengawasan efektif, tetapi kedua negara

yaitu Indonesia dan Malaysia tetap tunduk pada konvensi hukum laut 1982

mengenai pemanfaatan hak berdaulat atas pulau Sipadan dan Ligitan saat

putusan dari Mahkamah Internasional (International Court of Justice) belum

ditetapkan. Hal tersebut sama dengan sengketa pulau Dokdo atau Takeshima

yang belum mendapatkan putusan hukum dari Mahkamah Internasional

(International Court of Justice), dimana segala hal pemanfaatan hak berdaulat

harus tunduk pada konvensi hukum laut 1982. Menurut pasal 282 konvensi

hukum laut 1982, bahwa segala sengketa hak berdaulat atas wilayah disekitar

81

Yonhap News, Korea mendesak Jepang untuk menghentikan klaim atas pulau Dokdo,

Kenterin, (kenterin.net/m/article/11373i), 8 april 2016

70

laut harus berpedoman pada prosedur yang menghasilkan keputusan mengikat

seperti persetujuan umum, regional, bilateral atau secara lain, dan juga

dijelaskan dalam pasal 283 konvensi hukum laut 1982, jika suatu saat timbul

sengketa dalam inteprestasi atau penerapan konvensi ini, para pihak yang

bersengketa harus melakukan perundingan atau negosiasi yang menghasilkan

penyelesaian sengketa secara damai.82

Penjelasan secara mendetail atas kepemilikan pulau Dokdo atau

Takeshima dilihat dari perjanjian internasional antara Jepang dan Korea

Selatan, terdapat pada traktat aneksasi tahun 1910 yang ditandatangani oleh

perdana menteri Korea Selatan Lee Wan Yong dan Terauchi Masatake

gubernur jenderal Korea (kekaisaran Jepang), dimana dalam traktat aneksasi

1910 seluruh wilayah kedaulatan wilayah negara Korea Selatan diambil ahli

oleh Jepang. Selanjutnya menurut Traktat Jepang dan Korea Selatan tahun

1907 segala urusan luar negeri telah diambil ahli oleh Jepang.83

Setelah Korea

Selatan merdeka pada tanggal 15 agustus 1948 pulau Dokdo atau Takeshima

telah dimasukan ke dalam peta nasional negara Korea Selatan. Tidak hanya itu

bahkan menurut perjanjian hubungan dasar antara Jepang dan Korea Selatan

82

I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014.

Hlmn 63 - 71

83Jawahir Thontowi dan Iskandar Pranoto, Hukum Internasional Kontemporer, Penerbit

Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Hlmn 129 - 130

71

tahun 1965 segala perjanjian internasional yang telah dibuat antara Korea

Selatan dan Jepang mengenai peralihan wilayah batal demi hukum.84

Adanya perjanjian hubungan dasar antara Jepang dan Korea Selatan tahun

1965 masih belum dapat menyelesaikan sengketa antara kedua negara. Pihak

Jepang memiliki inisiatif untuk menguasai pulau Dokdo atau Takeshima

kembali, selain pernyataan yang terdapat didalam perjanjian San Fransisco

1951, adanya peringatan hari Takeshima Day di Jepang yang diselenggarakan

tanggal 22 Februari setiap tahun sama sekali tidak menerima kritik atau protes

dari Korea Selatan selama beberapa tahun ini.85

Hal tersebut membuat Jepang

yakin bahwa pulau Dokdo atau Takeshima adalah wilayah terra nullius (tidak

bertuan). Aksi protes dari Korea Selatan atas adanya upaya klaim oleh Jepang

tersebut mulai muncul ketika memperingati hari kerja sama hubungan luar

negeri antara Jepang dan Korea Selatan. Korea Selatan menarik perwakilan

diplomatiknya yang berada di Jepang untuk kembali ke negara asalnya. Selain

itu kritik dari sekjen PBB Ban Ki Moon atas tindakan klaim sepihak Jepang

merupakan upaya yang tidak lazim, karena dapat mengganggu kedaulatan

negara Korea Selatan.86

Menurut hukum internasional adanya suatu perjanjian internasional yang

dibuat oleh dua negara atau pihak yang bersangkutan untuk mendapat

84

Han Jung Moo, Historical of Dokdo Island belongs to South Korea, Penerbit Junggap,

Seoul, 2011. Hal 10 - 12 85

Kanzoku Oda, Japan has small island near perfektur Shimane, Penerbit ichi-yon, Tokyo,

2006. Hal 54 - 61 86

Seong Raak, Dokdo island heritage Korean lands, KBS World, 22 oktober 2010

(www.KBSWorld.com/d?gws_d).

72

persetujuan atas kesepakatan bersama memiliki kekuatan hukum yang

mengikat, sehingga menimbulkan kewajiban bagi kedua negara yang membuat

perjanjian internasional tersebut untuk mematuhinya dengan penuh tanggung

jawab.87

Meskipun dalam kenyataannya adanya perjanjian internasional dalam

sistem pembuktian mudah sekali dipatahkan pernyataannya.

Menurut perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2,adanya pernyataan yang

menyebutkan bahwa Jepang sama sekali tidak melepas kepemilikannya atas

pulau Dokdo atau Takeshima adalah tindakan yang dilakukan oleh Amerika

Serikat ketika membuat rancangan perjanjian perdamaian dengan sekutu pada

tahun 1950. Pada rancangan ke 1 sampai 5 termaktub bahwa pulau Dokdo atau

Takeshima menjadi milik Korea Selatan,tetapi pada rancangan ke 6 tidak

terdapat pernyataan adanya pulau Dokdo atau Takeshima dalam perjanjian

perdamaian tersebut. Hal itu dipengaruhi oleh Jepang yang pada waktu itu

mempengaruhi Amerika Serikat agar tidak mencantumkan pulau Dokdo atau

Takeshima pada perjanjian perdamaian dengan sekutu. Jepang menawarkan

agar pulau Dokdo atau Takeshima dijadikan sebuah pelabuhan dan pangkalan

komunikasi, sedangkan Amerika Serikat diberikan hasil pajaknya.88

Pihak sekutu seperti (Inggris, New Zealand, Australia) tidak mensetujui

tindakan Amerika Serikat yang sebelumnya pada rancangan ke 1 sampai 5

mencantumkan pulau Dokdo atau Takeshima ke dalam wilayah kekuasaan

87

Dr.Sefriani, Peran Hukum Internasional, Penerbit Yudhistira, Bandung, 2005. Hlmn 12

- 15 88

George Stuard, Liancourt’s Rock island in east sea’s, United States, 2012. Hlmn 43

73

Korea Selatan menjadi tidak mencantumkannya ke dalam perjanjian

perdamaian tersebut. Meskipun pada akhirnya yang termaktub dalam pasal 2

perjanjian San Fransisco 1951 tidak menyebutkan pelepasan atas pulau Dokdo

atau Takeshima, pada perang Korea tahun 1956 pasukan angkatan udara

Amerika Serikat dan PBB berusaha melindungi wilayah negara Korea Selatan

dari serangan udara Korea Utara. Adanya pulau Dokdo atau Takeshima ke

dalam zona wilayah pertahanan (KADIZ) pada saat perang Korea, hal itu

membuktikan bahwa pulau Dokdo atau Takeshima termasuk territorial negara

Korea Selatan pasca perang dunia ke-II terjadi.89

Menurut Board on Geographic Names (BGN) yaitu suatu badan federal

yang berada di Amerika Serikat pada tahun 1890, bertugas untuk

mengembangkan kebijakan penggunaan nama geografis didalam negeri atau

diluar negeri. Jepang memiliki upaya untuk melakukan klaim atas pulau

Dokdo atau Takeshima dengan berusaha mengubah nama pulau Dokdo

menjadi pulau Takeshima. Selain itu Jepang juga berniat untuk mendapatkan

pengakuan dari kalangan masyarakat internasional bahwa pulau Dokdo yang

awalnya merupakan territorial Korea Selatan menjadi territorial

Jepang,sehingga wilayah pulau Dokdo atau Takeshima menurut Jepang adalah

wilayah sengketa internasional.90

89

Seong Raak, Dokdo island heritage Korean lands, KBS World, 22 oktober 2010

(www.KBSWorld.com/d?gws_d). 90

Ibid

74

Sementara itu dari pihak Korea Selatan sebagai tindak lanjut atas klaim

Jepang, membentuk satuan tugas Dokdo. Dimana satuan tugas Dokdo bertugas

untuk membenahi atau memperbaiki kesalahan inteprestasi mengenai pulau

Dokdo dan menjelaskan nama pulau Dokdo adalah yang paling benar terhadap

masyarakat internasional. Alhasil menurut BGN, setelah adanya pengakuan

dari Jepang dan Korea Selatan atas pulau Dokdo atau Takeshima, Amerika

Serikat mengubah nama pulau Dokdo menjadi pulau Liancourt didalam peta

internasional dunia.91

Belum adanya penetapan batas territorial laut ZEE

antara Jepang dan Korea Selatan disekitar wilayah pulau Dokdo atau

Takeshima, menimbulkan keadaan hukum bahwa pulau Dokdo atau

Takeshima tidak termasuk kedaulatan kedua negara tersebut. Sehingga oleh

Jepang dan Korea Selatan ditentukan bahwa pulau Dokdo atau Takeshima

adalah daerah pembatas antara kedaulatan wilayah kedua Negara.92

Jepang sendiri berpendapat bahwa adanya Traktat aneksasi tahun 1910

adalah perjanjian yang dibuat oleh Jepang dan Korea Selatan atas penyerahan

kedaulatan wilayah Korea Selatan pada saat tahun 1910, sedangkan pulau

Dokdo atau Takeshima diperoleh Jepang dengan cara aneksasi pada tahun

1905. Dengan alasan tersebut Jepang beranggapan bahwa pulau Dokdo tidak

termasuk wilayah yang diperjanjikan dalam Traktat aneksasi tahun 1910.93

Hal

91

George Stuard, Liancourt’s Rock island in east sea’s, United States, 2012. Hlmn 51 92

Seong Raak, Dokdo island heritage Korean lands, KBS World, 22 oktober 2010

(www.KBSWorld.com/d?gws_d). 93

Ibid

75

itu didukung dengan tidak adanya tindakan protes atas kekaisaran Korea

Selatan pada waktu itu.

Meskipun sebelumnya telah dijelaskan bahwa pulau Dokdo atau

Takeshima adalah wilayah hasil okupasi Korea Selatan pada masa dinasti

shilla 512 SM. Jepang mulai mengetahui pulau Dokdo atau Takeshima pada

tahun 1667,94

sehingga pendapat Jepang tersebut bertentangan dengan tindakan

aneksasi yang dilakukan pada tahun 1905. Adanya aneksasi pertama Jepang

pada tahun 1905, membuktikan bahwa Jepang mengetahui pulau Dokdo atau

Takeshima merupakan wilayah bertuan. Perjanjian aneksasi itu sendiri dibuat

oleh Jepang dan Korea Selatan ketika Jepang sudah menduduki seluruh

wilayah Korea Selatan dalam keadaan under pressure, dimana rakyat dan

pemerintah Korea Selatan sama sekali tidak mengakui, bahkan menolak

adanya aneksasi Jepang. Meskipun dalam realitanya perjanjian aneksasi

tersebut tetap ditandatangani oleh Jepang dan Korea Selatan.

Menurut hukum perjanjian internasional setelah naskah perjanjian akan

secara resmi diterima sebagai naskah yang othentik, perjanjian itu belum

mengikat para pihak dan dengan demikian belum memiliki kekuatan mengikat

sebagai hukum internasional positif, kecuali jika saat othentifikasi yang juga

sebagai pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian. Supaya

perjanjian itu bersifat mengikat sebagai hukum internasional positif, maka

negara – negara yang berkepentingan harus menyatakan secara tegas pada

94

Ibid

76

perjanjian tersebut.95

Jika dia tidak menyatakan persetujuannya untuk terikat

atau secara tegas menolak untuk terikat, maka perjanjian itu tidak akan pernah

mengikatnya. Persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada suatu

perjanjian adalah manifestasi dari kedaulatan setiap negara. Sebagai negara

berdaulat, negara tidak bisa dipaksa oleh kekuatan apapun untuk menerima

sesuatu yang tidak dikehendakinya, seperti menyatakan terikat pada suatu

perjanjian internasional.96

Hal tersebut sama dengan persetujuan Traktat aneksasi antara Jepang dan

Korea Selatan, dimana keterikatan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut

dilakukan dengan keadaan terpaksa. Meskipun Traktat aneksasi tersebut telah

mendapat keterikatan persetujuan bersama dan sudah menjadi sebuah

perjanjian internasional antara kedua negara, tetapi secara legitimasi hukum

tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebuah perjanjian internasional. Hal itu

tentu berbeda dengan perjanjian San Fransisco 1951 yang dibuat dengan

alasan persetujuan Jepang dalam keadaan kalah perang dan bersedia mengakui

kekalahannya dengan membuat suatu perjanjian perdamaian dengan sekutu.

Maka dapat dilihat dari kepentingan Jepang dan Korea Selatan atas pulau

Dokdo, sulit sekali ditemukannya solusi yang menghasilkan win – win

solution mengingat sengketa puloau Dokdo yang masih dalam wilayah

persengketaan maka kedua negara dilarang untuk melakukan hal – hal yang

95

Dr.Kholis Rhoisyah, Hukum Perjanjian Internasional Teori dan Praktek, penerbit

elexmedia, Jakarta, 2013. Hlmn 67 - 68 96

Ibid. hlmn 72

77

dapat melanggar peraturan yang sesuai ditetapkan dalam kesepakatan bersama

oleh kedua pihak yang bersengketa dimana pulau Dokdo atau Takeshima

dianggap pembatas wilayah antara Jepang dan Korea Selatan. Sebagaimana

dijelaskan sebagai berikut;

a. Kekayaan pulau Dokdo dapat dinikmati oleh kedua negara

b. Tidak boleh ada klaim antara kedua negara, zona ZEE adalah laut lepas

c. Tidak diperkenankan membangun aliansi militer 2 negara karena dapat

menimbulkan suatu pengkhianatan

d. Kunjungan Negarawan atau penduduk secara sepihak atau secara

berkelompok dengan klaim kepemilikan suatu wilayah di larang.97

Berdasarkan alasan klaim kedua negaramempunyai suatu bukti yang

menuruthukum internasional sangat relevan baik dari pihak Korea Selatan

maupun Jepang.Korea Selatan mengklaim berdasarkan segi historis dan

kepentingan nasional atas klaim pulau Dokdo,sedangkan Jepang mengklaim

berdasarkan perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2 yang dalam isinya sama

sekali tidak melepas kedaulatannya atas pulau takeshima, dan menganggap

setelah Perang Dunia II pulau Dokdo atau Takeshima adalah wilayah terra

Nullius.

97

Ibid

78

I. Klaim Korea Selatan

a. Fakta Kepemilikan Korea Selatan atas Pulau Dokdo Berdasarkan

Bukti Sejarah

Bukti Sejarah seringkali berwujud bukti tertulis sesuai dengan kebiasaan

sejak dahulu pada zaman kerajaan. Ketika sudah menduduki suatu wilayah

kerajaan lainNegarawan atau Raja selalu memberikan suatu deklarasi atau

keputusan yang ditulis dengan tinta hitam pada daun lontar, serpihan kayu,

dan kertas. Selain itu diikut sertakan setempel kerajaan pada suatu dokumen

tersebut yang bertandakan legalitas dari pemimpin atas dokumen tersebut dan

dapat dibuktikan keabsahannya.Bahkan sebelum Perang Dunia terjadi suatu

perjanjian internasional dan sengketa internasional sudah terjadi, dibuktikan

dengan kesepakatan antara dua kerajaan atau lebih atas suatu konsekuensi

hukum atau perolehan hak atas sesuatu.Begitu juga dengan sengketa atas dasar

perolehan wilayah sudah sering terjadi, bahkan menggunakan cara kekerasan

yaitu perang untuk memperoleh wilayah tersebut dengan paksa. Dimasa depan

bukti yang telah terjadi dalam sejarah merupakan perwujudan peristiwa

hukum atas suatu kepemilikan hak atau pemenuhan suatu kewajiban hukum

yang dapat dijadikan bukti nyata untuk melakukan sebuah pembuktian. Maka

dari itu peristiwa hukum dimasa lalu sangatlah penting untuk membuktikan

suatu kepemilikan wilayah secara legal.

Dokumen Sejarah “Dongguk Munheon Bigo”menyebutkan bahwapada

tahun 512 SM, seorang Jenderal kerajaan Shilla bernama Ichan Isabu telah

79

menaklukkan kepulauan ussanguk yang dikenal sebagai (Ulleungdo dan

Dokdo) setelah itu pulau Ulleungdo dan Dokdo dimasukkan ke dalam

kekuasaan Kerajaan Shilla.98

Dokumen Sejarah “Sejong Sillok, Jiriji”Dokumen

ini merupakan catatan geografis King Sejong yang terkenal dalam pembuatan

peta Geografis pada zaman Joseon.99

Pada tahun 1625, izin melintasi

Takeshima (Ulleungdo)merupakan sebuah perizinan pada tahun 1625 yang

dikeluarkan oleh Bakufu Jepang.100

Pada tahun 1693, penculikan terhadap An

Yong Bokyang terjadi ketika izin yang diberikan kepada klan Oya dan

Murakawa.101

Pada tahun 1694, Perintah untuk melaksanakan Suto (inspeksi)

atas pulau Ulleungdo, perintah ini keluar ketika An Yong Bok dan Park Eo

Dun dibawa ke Jepang.102

Pada tahun 1695, jawaban dari Tottori HanSetelah 1

tahun lamanya terjadi peristiwa penculikan dan inspeksi terhadap pulau

Ulleungdo.103

Pada tahun 1696, terdapat perintah larangan melintasi wilayah Takeshima

(Ulleungdo),hal ini terjadi ketika penentuan keputusan dari Bakufu atas pulau

Ulleungdo yang bukan merupakan kekuasaan Jepang.104

Dokumen sejarah

“Genroku Kyu Heishinen Chosenbune Chakugan Ikkan”Setelah ditetapkan

98

Dokdo Research Institute, Dokdo in history, http/www.dokdohistory.com/kr, diakses mei

tahun 2015

99Ibid

100Ibid

101Ibid

102Dokdo Research Institute, Dokdo in history, http/www.dokdohistory.com/kr, diakses mei

tahun 2015

103Ibid

104Ibid

80

bahwa pulau Ulleungdo dan Dokdo adalah kekuasaan Joseon, maka segala

pelanggaran atas kekuasaan tersebut dapat dikategorikan sebagai

pelanggaran.105

Dokumen Sejarah “Dongguk Munheon Bigo, Yeojigo”Dalam

masa kepemimpinan Raja Yeongjo yang terkandung dalam dokumen ini

mencantumkan bahwa kepemilikan Dokdo atau Takeshima ada pada

bagian.106

Dokumen Sejarah dari negaraJepang, oleh Kementerian Luar Negeri

Jepang “Chosenkoku kosai Shimatsu Naitansho”berdasarkan pernyataan

kementerian luar negeri Jepang bagian Tim inspeksi Pulau Ulleungdo dan

Dokdo, Hakubo Sada.107

Pada tahun 1877, perintah dari Daijokan (pemerintah tertinggi Jepang)

Daijokan menegaskan kepada menteri luar negeri bahwa pulau Ulleungdo dan

Dokdo bukan milik Jepang.108

Dekrit Kaisar No. 41,dekrit ini muncul ketika

zaman kepemimpinan kaisar Gojong yang berisikan perubahan Nama pulau

Ulleungdo menjadi Uldo, dan penjaga pantai yang semula dinamakan dogam

diganti dengan Bupati.109

Deklarasi Perfektur Shimane No. 40, sejak awal

tahun 1904 dimana terjadi Perang Dunia II khususnya antara Jepang dan

Rusia.110

Pada tahun 1906, laporan Shim heung Taek Bupati Uldo,pada tahun

1906, Shim Heung Taek mendapatkan laporan dari tim inspektur pemerintah

105

Ibid 106

Dokdo Research Institute, Dokdo in history, http/www.dokdohistory.com/kr, diakses mei

tahun 2015

107Ibid

108ibid

109Dokdo Research Institute, Dokdo in history, http/www.dokdohistory.com/kr, diakses mei

tahun 2015

110Ibid

81

bahwa pulau Dokdo dijadikan wilayah kekuasaan Jepang. Berdasarkan

Instruktur Menteri No. 3 penolakan atas kekuasaan Jepang dinyatakan oleh

Korea Selatan.111

Nota Panglima Tertinggi SCAPIN No. 677,nota ini merupakan suatu

memorandum yang menegaskan pelepasan pulau Dokdo dari kekuasaan

Jepang setelah Perang Dunia II berakhir.112

Selanjutnya perjanjian San

Fransisco 1951 yaitu perjanjian antara sekutu dan Jepang tentang perjanjian

perdamaian,dalam perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2 disebutkan bahwa

Jepang harus melepaskan kekuasaannya pada masa Perang Dunia II kembali

ke kekuasaan daerah asal, yaitu meliputi Dagelet, Port Hamilton, dan

Quelpart. Selain itu juga melepaskan kekuasaannya atas pulau Ulleungdo dan

Jejudo.113

Dari sekian banyaknya bukti Sejarah yang menunjukkan kepemilikan

Korea Selatanatas pulau Dokdo, sudah menjadi klaim kuat atas

kepemilikannya terhadap pulau Dokdo atau Takeshima. Dalam bukti sejarah

yang terdapat diatas hanya deklarasi Perfektur Shimane No.40 yang

menyebutkan bahwaJepang memiliki pulau Dokdo atau Takeshima secara

konkrit. Maka sangat kecil kemungkinan bagi Jepang untuk melakukan

111

Ibid 112

Dokdo Research Institute, Dokdo in history, http/www.dokdohistory.com/kr, diakses mei

tahun 2015

113Berdasarkan perjanjian san fransisco pasal 2, Jepang berpendapat bahwa Jepang hanya

mengakui kemerdekaan Korea, sedangkan adanya kewajiban untuk mengembalikan pulau

Dokdo atau Takeshima tidak disebutkan dalam perjanjian (kazuo, 1997 : 477).

82

pembuktian kepemilikan melalui bukti – bukti sejarah.Menurut Adi

Sumardiman dokumen – dokumen tertulis , baik itu berupa peta – peta

maupun naskah perjanjian – perjanjian perbatasan merupakan landas tertulis

dalam penegasan dan penetapan batas antaranegara. Dokumen resmi tentang

perbatasan biasanya terdiri dari dokumen khusus yang mengatur tentang

perbatasan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dan disertai dengan

otentifikasinya, dalam bentuk tanda tangan dan disertai keterangan jabatan

yang sesuai dengan bidangnya. Selain itu melihat dari penyelesaian sengketa

pulau Sipadan dan Ligitan oleh Mahkamah Internasional (International Court

of Justice), bukti sejarah seperti dokumen resmi yang menyatakan berdasarkan

pungutan pajak atas pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan adanya

operasi mercusuar sejak tahun 1960. Sebagai salah satu upaya pengawasan

efektif dari negara Malaysia, maka upaya pembuktian didalam dokumen resmi

tersebut yang bersifat tertulis sangat efektif jika digunakan sebagai penentuan

putusan dalam Mahkamah Internasional (International Court of Justice)

apabila kedua negara ingin menyelesaikannya melalui jalur litigasi.

Berdasarkan ketentuan tertulis dari Adi Sumardiman bukti – bukti sejarah

berupa dokumen resmi adalah rangkaian kepemilikan dari pihak yang

bersangkutan (chain of title).

b. Kepentingan Nasional Korea Selatan

Korea Selatan adalah negara yang memiliki teknologi yang canggih

bahkan pengembangan inovatif dan model gadget diprioritaskan dalam kinerja

83

pegawai dimasa depan, kecanggihan itu tidak hanya dlihat dari bentuk

Gadgetnya, tetapi juga aplikasi yang tersedia. Selain itu visual di negaraKorea

Selatan menggunakan Display High Definition.Kebutuhan pengembangan

energi nuklir sangat dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup

kedepannya.Selain itu Korea Selatan pengimpor bahan bakar ke empat

terbesar di dunia karena secara geografis Korea Selatansama sekali tidak

memiliki hasil bahan bakar yang bisa digunakan untuk pemenuhan kebutuhan

di dalam Negeri.114

Dilihat dari kekayaan alam yang melimpah di pulau Dokdo selain

ikan,terdapat gas hydrat yang terkandung di dalam perairan disekitar pulau

Dokdo yang dinamakan Ulleung Tsusima Basin, gas hydrat terdiri dari gas

metana dan mineral yang berbentuk molekul es selian itu sangat berguna

untuk kebutuhan bahan bakar energi nuklir, karena dalam kebutuhannya Korea

Selatan sangat membutuhkan pemenuhan kebutuan pengganti bahan bakar

seperti Gas Hydrat tersebut. Jika hal itu dapat terealisasikan maka impor bahan

bakar tidak lagi dicanangkan,dan pengganti bahan bakar energi nuklir yang

terandung dalam gas hydrat sejulah 600 juta ton,akan mampu mencukupi

kebutuhan bahan bakar Korea Selatan selama 30 tahun. Hal tersebut

merupakan agenda pentingkarena sesuai dengan teori kepentingan Nasional,

yaitu yang terdiri dari high line interest yang berarti kepentingan suatu

kebutuhan vital negara yang paling utama, seperti hal yang dapat menyangkut 114

Sam jaffe dan myung oak kim, The New Korea look an inside south Korea Economic rise,

penerbit elexmedia, hal 4 - 9

84

kedaulatan negara. Sedangkan Middle line Interest adalah kebutuhan negara

atas kebutuhan hidup secara ekonomi dan sosial masyarakat setempat agar

melahirkan kesejahteraan sosial, dan yang terakhir adalah low interest yaitu

kebutuhan yang bersifat optional bahkan pelengkap dari kebutuhan pokok

yang ada. Maka kepentingan atas pulau Dokdo ini termasuk middle line

interest, karena menyangkut kesejahteraan secara ekonomis bagi masyarakat

Korea Selatan.115

Selain itu pulau Dokdo atau Takeshima juga mengandung nilai estetika

yang menarik, sehingga bisa digunakan untuk objek wisata bagi penduduk

setempat, bahkan tiap tahunnya menurut data yang ada pengunjung atau

wisatawan yang berkunjung dipulau Dokdo atau Takeshima kian meningkat.

Terdapat juga gugusan karang Seokdo dan Dongdo yang terletak diantara

pulau Dokdo, di dalam perairannya terdapat ikan salmon yang melimpah dan

dapat digunakan untuk memperoleh hasil pangan untuk masyarakat Korea

Selatan.Meskipun kedua negara memiliki dasar alasan klaim yang berbeda

atas kepemilikan pulau Dokdo, tetapi jika masuk dalam kepentingan nasional

hal tersebut tentu memiliki alasan yang hampir sama. Seperti karena adanya

kekayaan sumber daya alam yang melimpah. dan yang terkahir pulau

Dokdomerupakan warisan sejarah nenek moyang bangsa Korea Selatan karena

115

Ibid

85

pada zaman dahulu pulau Dokdo adalah kekuasaan Korea sejak bertahun –

tahun.116

Adanya suatu kepentingan nasional terhadap hukum internasional

membuatnegara menjadi aktor yang dominan, dimana negara akan menjadi

aktor yang rasional dalam hubunganya dengan negara lain dan mencapai

kepentingan-kepentingan nasionalnya semaksimal mungkin. Arti minimum

yang inheren didalam konsep kepentingan nasional adalah kelangsungan

hidup. Sehingga membuat setiap negara diperbolehkan untuk patuh atau tidak

pada hukum Internasional, hal tersebut dapat membuat suatu kedaulatan

negara antara satu sama lain saling bertentangan yang dapat menimbulkan

suatu sengketa dalam permasalahan apapun.117

II. Klaim Jepang

a. Klaim Jepang terhadap Kepemilikan pulau Takeshima

Klaim yang diajukan kepada masyarakat internasional mengenai

kepemilikan pulau Takeshima oleh Jepang mulai muncul ketika Perang Dunia

II berakhir, bahkan banyak sekali bukti sejarah dan sebuah perjanjian yang

memperkuat kepemilikan pulau Takeshima atas Jepang. Jepang menganggap

116

Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara

korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan

internasional, tahun 2013

117 Sam jaffe dan myung oak kim, The New Korea look an inside south Korea Economic

rise, penerbit elexmedia, hal 12

86

pulau Takeshima sebagai wilayah Terra Nullius, karena menurut hukum

internasional semasa zaman kolonial Jepang.Jepang menduduki pulau

Takeshima yang dimanfaatkan untuk camp peristirahatan dan area pemantau

perang antara Jepang melawan Rusia di Laut Timur. Setelah tindakan aneksasi

Jepang tersebut terhadap kedaulatan wilayah Korea Selatan khususnya pulau

Takeshima, Jepang mengklaim teritorial yang tidak dilepaskan semasa

kekalahan Perang Dunia II masih menjadi wilayah kedaulatan Jepang,bahkan

tindakan klaim sepihak yang dilakukan Jepangmulai dilakukan dengan upaya

klaim sepihak, perubahan batas teritorial laut, dan menggunakan instrumen

hukum internasional.

b. Kepemilikan Jepang terhadap pulau Takeshima menurut Perjanjian

San Fransisco 1951

Berdasarkan kronologis Sejarah melalui hubungan diplomasi antara Korea

Selatan dan Jepang semasa zaman kerajaan, banyak suatu bukti sejarah yang

menunjukkan penyerahan kedaulatan pulau Takeshima kepada Korea Selatan

melalui bukti tertulis. Hanya saja pengakuan Kepemilikan tersebut telah

ditarik kembali setelah adanya perjanjian San Fransisco 1951 yang dapat

memperkuat klaim Jepang untuk memperoleh Kedaulatan pulau Takeshima

berdasarkan hukum internasional.

87

Berdasarkan Perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2 menyatakan :

“Japan Recognizing The existence of Japan Independence, Renounces

all right, Tittle, and Claim to Korea. With this Agreement Japan

Should abandoned part of island including Dagelet, Port Hamilton,

and Quelpart’’.

Melalui perjanjian San Fransisco 1951 tersebut Jepang menganggap

pelepasankedaulatannya atas pulau Dagelet, Port Hamilton, dan Quelpart

telah melepas kekuasaannya akan wilayah tersebut, tetapi untuk pulau

Takeshima sama sekali tidak dilepas, dan kepemilikan tersebut sudah

dijalankan secara pengawasan efektif setelah Perang Dunia II. Jepang

menganggap Korea Selatan melakukan kejahatan Nasional humiliation yang

berarti menganggap tindakan Korea Selatan melakukan kejahatan kebangsaan,

karena memiliki pulau Takeshima berdasarkan Klaim.118

Secara umum, perjanjian San fransisco 1951 antara (Sekutu dan Jepang)

berisikan:

a. Jepang membayar kerugian perang akibat kerugian yang

diakibatkannya.

b. Menghukum penjahat perang (menteri Jerman seperti Goering,

Gobbels, dan Ribbentrop, selain itu menteri Jepang Hideki Tojo

di hukum gantung).

118

Hee Min Kim, Takeshima International Document Observer, year 2009, hal 14

88

c. Wilayah kepulaun Jepang diambil Ahli oleh Amerika Serikat.

d. Kepulauan Kurilen dan Sakalin diserahkan kepada Rusia,

Manchuria dan Taiwan di serahkan kepada Cina, wilayah

kepulauan Jepang di Asia Pasifik diserahkan kepada Amerika

Serikat, Korea akan dibagi menjadi dua bagian utara diduduki

Rusia dan selatan diduduki Amerika Serikat, daerah ekspansi

Jepang dikembalikan kepemiliknya.119

e. Bukti Sejarah Adanya Peta Nasional Jepang pada zaman Penjajahan

Hal ini mulai terjadi ketika Jepang mulai menduduki wilayah hasil

aneksasi dan melakukan suatu pemetaan akan wilayahnya yang ditambah

dengan wilayah hasil ekspansi Kolonialisme. Berdasarkan pemetaan tersebut

Jepang menganggap tidak adanya tindakan lanjut dari Korea bahkan

dilakukannya setelah Korea Selatan memperoleh kemerdekaannya. Maka peta

tersebut, termasuk bukti Sejarah semasa itudijadikan legalitas klaim Jepang.

119

Ignaz Kingkin Teja Angkasa, Sejarah, Penerbit Grasindo, Jakarta, 2010. Hlmn 64

89

I. Peta Hayashi Shihei dari Jepang yang di buat pada tahun 1785

Peta Hayashi Shihei yang di buat oleh Ahli geografis pemetaan Tentara Jepang sebagai

wilayah hasil kolonialisme

Sumber Gambar: Yu Ninjie map (wokou raid) archive.kaskus.co.id

Berdasarkan peta buatan Hayashi Shihei sejak dahulu wilayah hasil

jajahanJepang sudah pernah diduduki oleh keluarga klan Jepang yang berlayar

untuk mencari ikan. Hal tersebut juga dijajaki oleh para perompak asal Jepang

yang pada waktu itu menduduki wilayah Cina dan Korea Selatan. Garis jajak

wilayah yang diberi garis diatas merupakan hasil jajakan perompak Jepang

pada waktu itu yang disebut wokou raids. Bukan itu saja bahkan menurut

survei hasil jajahan tentara Jepang terdapat keluarga Klan dari Jepang yang

menempati wilayah Cina dan Jepang pada masa kolonialisme yang dilakukan

oleh Jepang. Dengan adanya hal tersebut Jepang mulai memiliki ambisi

merebut kedaulatan pulau Dokdo.120

Rute yang terdapat dalam peta diatas menunjukkan arah jajahan Jepang

dan campur tangan para perompak terhadap wilayah mana sajakah yang

120

Yu nin Jie, Wokou raids map,(www.archive/kaskus.co.id), diakses pada mei 2015

90

akandijajaki untuk dijadikan wilayah kekuasaannya. Perang Jepang dengan

Rusia membutuhkan tempat pangkalan militer yang sangat strategis,

sedangkan pulau Dokdo merupakan tempat yang strategis bagi Jepang untuk

menjadikan pulau Dokdo sebagai pangkalan militer.Untuk mengantisipasi

serangan Jepang ke segala penjuru Laut Timur, agar wilayah kekuasaannya

tidak direbut oleh Rusia.

Menurut Adi Sumardiman sebagaimana dikutip oleh Suryo Sakti

Hadiwijoyo, dokumen – dokumen tertulis baik itu berupa peta – peta maupun

naskah perjanjian – perjanjian perbatasan merupakan landas tertulis dalam

penegasan dan penetapan batas antarnegara. Sedangkan dalam penyusunan

dan penetapan perjanjian perbatasan antarnegara, peta memegang peranan

yang sangat penting, yaitu sebagai alat bantu untuk menemukan dan

menentukan lokasi distribusi spasial dari kawasan perbatasan. Berkaitan

dengan hal tersebut, dalam setiap perjanjian perbatasan biasanya dilengkapi

dengan peta sebagai lampiran yang berfungsi untuk mempermudah dan

memperjelas letak dan lokasi dari masing – masing titik batas maupun area

perbatasan yang telah disepakati oleh negara yang berbatasan.121

f. Kepentingan Nasional Jepang atas Pulau Takeshima

Jepang memiliki kemajuan industri yang sangat pesat belakangan ini,

seperti adanya tekonologi canggih dan pabrik memadati wilayah dalam bagian

121

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu,

Yogyakarta, 2011. Hlmn 19

91

negara Jepang. Jika hal ini akan bertambah seiring waktu maka dikhawatirkan

dapat memadati tiap wilayah Jepang dengan kawasan Industri atau

pemberhentian pengembangan kawasan industri didalam negara Jepang.

Seperti berkembangnya industri mobil, peralatan rumah tangga, obat – obatan

akan memerlukan tambahan wilayah untuk mengembangkan industri ini.

Selain itu pertumbuhan penduduk Jepang dalam akhir dekade ini semakin

meningkat sehingga memerlukan ekspansi wilayah untuk menampung

pertumbuhan penduduk dalam demografi wilayah disetiap bagian negara

Jepang.

Terlebih lagi setelah tahun 2007, Jepang dan Korea Selatan bekerja sama

untuk melakukan sebuah penelitian terhadap pulau Takeshima. Berdasarkan

hasil penelitian tersebut menghasilkan jumlah sumber daya alam yang

melimpah berupa gas hydrat yang terdiri dari gas metana dan mineral yang

juga dapat digunakan untuk bahan bakar suatu energi. Hal tersebut akan

membawa perkembangan bagi industri Jepang karena dalam produksinya

Jepang pasti akan membutuhkan sumber daya alam yang melimpah.

Sedangkan dikawasan pulau Takeshima juga terdapat jenis ikan yang besar

dan juga jumlah yang melimpah, hal ini sangat berguna bagi Jepang untuk

memenuhi kebutuhan pasokan makanan bagi rakyatnya yang mayoritas

memakan ikan seperti sushi.122

122

Staff KBS, Partai berkuasa Jepang dirikan badan penelitian mengenai Dokdo, KBS

world radio, (rki.kbs.co.kr/Indonesian/in-news.html), 23 Juni 2016

92

Bagi Jepang melakukan ekspansi wilayah adalah hal yang sangat penting

untuk mensejahterakan kehidupan rakyatnya dan kemajuan ekonomi

negaranya. Jika Jepang dapat melakukan ekspansi wilayah maka diprediksi

dapat melakukan pengembangan industri secara progresif, serta dapat

menambah kuantitas laju produksi barang,dan dilihat dari segi demografis

dapat menampung pertumbuhan penduduk yang memadati wilayah pusat

Tokyo ke daerah yang lebih memadai dan dapat memperoleh suplai makanan

yang merata. Pertambahan suplai makanan dari hasil tangkapan ikan dapat

mendistribusikan makanan khas tradisional Jepang, yaitu sushi yang paling

disukai oleh masyarakat Jepang.123

Adanya permasalahan kepentingan nasional suatu negara yang memiliki

arti minimum yang inheren,yaitu sebagai kelangsungan hidup.Menurut

Ramlan Surbakti dan Dennis Kavanaagh menyatakan bahwa pilihan rasional

melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk kalkulasi antara untung dan

rugi.Ini disebabkan karena pemilih tidak hanya mempertimbangkan peluang

keuntungan memilih tetapi mempertimbangkan juga alternatif – alternatif

berupa pilihan yang ada kepada pilihan yang terbaik, dan yang paling

menguntungkan baik untuk kepentingan sendiri (self interest) maupun bagi

kepentingan umum.

Sehingga dengan adanya kedaulatan negara membuat hubungan diplomasi

antaranegaradalam penerapannya tidak ada kekuasaan tertingginya, ketika

123

Japan daily news, waku – waku Japan, 23 July 2011

93

negara memiliki suatu kepentingan nasional yang berorientasi kepada

kekayaan alam. Maka intensitas upaya klaim atas hak kepemilikan tersebut

akan muncul demi kelangsungan hidup negaranya. Hal tersebut sangat

mempengaruhi kedaulatan negara yang berkepentingan dalam hak

kepemilikan kekayaan alam yang ada pada wilayah tertentu.124

Maka dapat disimpulkan ketepatan klaim dari kedua negara yaitu Korea

Selatan dan Jepang memiliki perbedaan perspektif serta persepsi atas status

kedaulatan pulau Dokdo atau Takeshima. Dari Korea Selatan, bahkan mulai

dari dinasti Shilla 512 SM pulau Dokdo atau Takeshima merupakan hasil

perolehan wilayah secara okupasi, disamping itu juga banyak sekali dokumen

sejarah yang menyebutkan legalisasi kepemilikan Korea Selatan atas pulau

Dokdo atau Takeshima. Hal tersebut juga disertai dengan pengawasan efektif

dari Korea Selatan yang berkelanjutan dari masa kerajaan, sebelum Perang

Dunia hingga sesudah Perang Dunia.Sedangkan dari Jepang, pada masa

kerajaan banyak dokumen resmi yang menyebutkan kepemilikan pulau Dokdo

atau Takeshimadiperuntukkan bagi Korea Selatan.Sedangkan pada Perang

Dunia ke-II berlangsung kedaulatan pulau Dokdo atau Takeshima berada pada

Jepang,disamping itu kependudukan Jepang atas pulau Dokdo atau Takeshima

adalah melalui perolehan wilayah secara aneksasi yang dibuktikan melalui

deklarasi Perfektur Shimane No.40. Setelah Perang Dunia selesai pihak

Jepang memperkuat klaim dengan implementasi dari perjanjian San Fransisco 124

J.G,Starke, Pengantar hukum internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988. Hlmn

165

94

1951 pasal 2 yang mengandung penafsiran bahwa pulau Dokdo atau

Takeshima tidak pernah dilepas oleh Jepang. Selain itu, secara umum dalam

isi perjanjian San fransisco 1951 wilayah hasil ekspansi Jepang harus

dikembalikan kepada pemiliknya.Tidak disebutkannya pulau Dokdo atau

Takeshima dalam pelepasan kekuasaan tersebut menurut pasal 2 Perjanjian

San fransisco 1951, bukan berarti kedaulatan pulau tersebut masih berada pada

Jepang.Hal tersebut berbeda dengan Korea Selatan, pihak Jepangsama sekali

tidak menunjukkan adanya kependudukan secara keberlanjutan dan

pengawasan efektif terhadap pulau Dokdo atau Takeshima. Sehingga dapat

diperoleh hasil bahwa ketepatan klaim ada pada negaraKorea Selatan yang

membuktikan kepemilikan klaim berdasarkan bukti – bukti dokumen sejarah

dan pengawasan efektif, hal tersebut dapat dikatakan benar jika kita melihat

pada hasil putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice)

penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan Ligitan yang memutuskan

kepemilikan pulau tersebut ada pada Malaysia berdasarkan adanya ordonansi

perlindungan satwa, pungutan pajak telur penyu, pelestarian alam, dan

pembangunan mercusuar sebagai tindakan pengawasan efektif. Selain itu di

dalam pulau Sipadan dan Ligitan proses administratif dilakukan oleh

pemerintah Malaysia, mayoritas penduduk menggunakan bahasa melayu,

pertukaran uang menggunakan ringgit, dan pengelolaan pulau berada pada

kekuasaan Malaysia.125

Jadi, pembuktian klaim yang diajukan kedua

125

Mada ariandi zuhir, studi tentang penerapan effective occupation principle dalam

penyelesaian sengketa wilayah Negara, fakultas hukum universitas brawijaya, jurnalhukum.

95

negaratidak akan memperoleh pengakuan hukum ketika belum dibuktikan

melalui cara pembuktian lain yaitu, pendudukan secara berkelanjutan,

pengawasan efektif, dan ecology preservation.

B. Alternatif penyelesaian sengketa antara Jepang dan Korea Selatan

menurut hukum internasional

I. Cara Damai :

a. Penyelesaian sengketa melalui Negosiasi

Penyelesaian sengketa pulau Dokdo atau Takeshima antara Jepang dan

Korea Selatan tidak menutup kemungkinan jika pada suatu saat kedua negara

sepakat untuk mempersatukan pendapat melalui jalur Negosiasi.Meskipun

perebutan hak kedaulatan atas pulau Dokdo atau Takeshima diwarnai dengan

perbedaan penafsiran berdasarkan perolehan pulau tersebut. Jika Korea

Selatan dan Jepang mengklaim hak kedaulatan pulau Dokdo atau Takeshima

didasari oleh kekayaan alam yang ada pada ulleung Tsusima Basin yaitu

berupa gas hydrat yang disertai suatu kepentingan nasional berupa

kepentingan ekonomi nasional, maka kerjasama atas pembagian kekayaan

alam tersebut dapat dijadikan sebagai titik temu perbedaan pendapat yang

berbeda antara Korea Selatan dan Jepang. Tidak adanya pihak ketiga dalam

negosiasi merupakan inisiatif pihak bersengketalah yang menghendaki agar

sengketa ini diselesaikan bersama. Jika pembagian hasil kekayaan alam adalah

cara yang hanya bisa dilakukan untuk mempertemukan perbedaan pendapat

96

tersebut kedua negara akan melakukan penyelesaian sengketa melalui jalur

negosiasi yang tergolong sederhana dengan sendirinya. Dengan begitu klaim

kedaulatan atas pulau Dokdo atau Takeshima melalui diskusi timbal balik

hakikat perbedaan pendapat mengenai klaim, hak kedaulatan perolehan

wilayah pulau tersebutakan terungkap dan pendirian – pendirian yang

bertentangan akan terbuka. Meskipun tidak dijamin dapat menyelesaikan

sengketa, setidaknya ada upaya untuk mempersatukan pendapat oleh kedua

negara yang bersengketa dan kedepannya tidak mempersulit untuk

menemukan kedua negara yang bersengketa untuk menyelesaikan dengan cara

yang lain setelah cara negosiasi dianjurkan. Selain itu bisa melalui

penyelidikan resmi, mediasi, konsiliasi dan lainnya.Sebab keberhasilan

negosiasi tergantung pada kesediaan, keluwesan, dan kepekaan para pihak.Hal

itu dapat terwujud jika jaminan untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur

negosiasi adalah kerjasama pembagian kekayaan alam.

Menurut hukum internasional terdapat kesepakatan bilateral atau

kesepakatan multilateral yang mewajibkan pengguna negosiasi. Pasal 283 ayat

1 konvensi hukum laut 1982 menetapkan, contoh bahwa ketika timbul

sengketa diantara negara-negara anggota menyangkut interprestasi atau

penerapan konvensi tersebut, „‟para anggota yang bersengketa harus

meneruskan bertukar pendapat dengan cara terbaik mengenai penyelesaiannya

melalui negosiasi atau cara damai lainnya. Traktat-traktat lainnya mungkin

97

menyatakan akan menggunakan mekanisme pihak ketiga setelah negosiasi

gagal.

Jika sengketa terus berlanjut sehingga dapat membahayakan pemeliharaan

kedamaian dan keamanan internasional, pasal 33 piagam PBB menetapkan

bahwa pertama-tama para pihak yang bersengketa harus mencari solusi

melalui negosiasi, penyelidikan resmi, atau mediasi, baru kemudian jika upaya

tersebut tidak membuahkan hasil, dapat memilih bentuk resolusi yang lebih

rumit.126

b. Penyelesaian sengketa melalui jalur Mediasi dan jasa baik (good

offices)

Setelah penyelesaian sengketa melalui jalur Negosiasi tidak menemukan

solusi, maka keterlibatan pihak ketiga yang digunakan untuk mendekatkan

para pihak agar mau berunding.Dilihat dari kerjasama luar negeri Jepang dan

Korea Selatan kedua negara ini pro terhadap Amerika, bahkan menurut nota

SCAPIN ketiga negara ini memiliki kerjasama pertahanan terhadap Korea

Utara. Maka tidak menutup kemungkinan bagi kedua negara untuk menunjuk

Amerika sebagai pihak ketiga dalam sengketa pulau Dokdo atau

Takeshima.Adanya Amerika sebagai pihak ketiga memberikan keluwesan bagi

para pihak yang bersengketa untuk segera melakukan perundingan untuk

126

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta,2004. Hlmn 46

98

menemukan upaya penyelesaian sengketa. Karena Amerika memiliki

independensi dan kredibilitas yang tinggi dalam masalah ini, hal tersebut

didasari oleh kerjasama pertahanan menurut nota SCAPIN. Dapat disimpulkan

bahwa dengan adanya sengketa antara Korea Selatan dan Jepang hubungan

kerjasama antara ketiga pihak akan putus. Dengan hadirnya Amerika sebagai

mediator akan mempermudah jalannya perundingan, saran yang diajukan yaitu

kerjasama pembagian kekayaan alam yang terdapat pada ulleung tsusima

basin yaitu gas hydrat seperti yang di ajukan mulai awal. Rasionalisasinya

karena pihak Jepang maupun Korea Selatan memerlukan kekayaan alam

tersebut untuk kepentingan ekonomi nasional negaranya.

Mengenai penguasaan latar belakang masalah yang disengketakan oleh

Korea Selatandan Jepang pihak Amerika sendiri juga menguasainya

dibuktikan dengan adanya pulau Liancourt (pulau karang) sebutan atas pulau

Dokdo atau Takeshima oleh Amerika, dimana Amerika juga ikut serta mencari

jalan penyelesaian masalah melalui PBB dan juga mendapat pengakuan

masyarakat internasional atas kewenangan Amerika dalam sengketa ini.

Pengetahuan yang cukup dan keinginan menjaga hubungan perdamaian di

Asia Timur merupakan alasan utama bagi Amerika yang dianggap pantas

untuk menjadi mediator. Sehingga dapat sampai pada proses akhir yaitu tawar

menawar dan berujung pada kesepakatan para pihak yang berwujud perjanjian

kerjasama joint venture.

99

Keterkaitan jasa baik dan mediasi kedua cara penyelesaian sengketa ini

memiliki keterkaitan sehingga sering kali sulit dipertahankan, sebab keduanya

cenderung saling menyatu, tergantung pada keadaan – keadaan yang ada.

Dapat dilihat dari contoh metode jasa baik peran yang di peragakan perancis

dalam mendorong agar negosiasi AS-Vietnam utara di mulai di Paris pada

awal 1970-an, pada saat itu sekretaris jenderal PBB berperan penting dalam

melaksanakan jasa – jasa baiknya.Jasa baik juga dapat dilaksanakan sekretaris

jenderal secara gabungan dengan para pemegang jabatan lainnya dalam

organisasi regional.

Hal ini dapat diterapkan juga pada kasus sengketa pulau Dokdo atau

Takeshima yaitu dengan cara kehadiran sukarela PBB sebagai penyedia jasa

baik (good offices). Di lain pihak baik Jepang, Korea Selatan, dan Amerika

adalah anggota PBB, maka aturan umum yang diterapkan PBB untuk dipatuhi

negara anggotanya setidaknya menjadi kewajiban bagi para pihak.

Berdasarkan pasal 4 piagam PBB terdapat aturan bahwa negara yang menjadi

anggota PBB harus memenuhi kewajiban negaranya sebagai anggota atas

aturan yang ditetapkan oleh piagam PBB.Selain itu terdapat asas penyelesaian

sengketa secara damai yaitu menyebutkan bahwa sesamanegara anggota PBB

wajib menyelesaikan permasalahan atas dirinya secara damai.127

127

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta,2004. Hlmn 57 - 48

100

c. Penyelesaian sengketa melalui jalur Konsiliasi dan penyelidikan resmi

(inquiry)

Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi hampir sama dengan mediasi

tetapi konsiliasi lebih aktif dan dapat melakukan intervensi.Cara ini

merupakan lanjutan dari mediasi dan jasa baik (good offices) oleh Karena itu,

proses konsiliasi melibatkan unsur baik penyelidikan resmi maupun mediasi,

dan sebenarnya lahir dari traktat-traktat yang merencanakan komisi

penyelidikan resmi permanen.Dalam sengketa pulau Dokdo atau Takeshima

pihak konsiliator bisa ditunjuk oleh kedua negara yang bersengketa, pihak

ketiga, dan PBB.Namun, dilihat dari permasalahan yang berkembang sengketa

pulau Dokdo atau Takeshima sudah berlangsung sangat lama.Maka dari itu

untuk alasan keamanan agar tidak mengganggu perdamaian Dunia yang dapat

menjadi konsiliator hanya Dewan Keamanan PBB. Sementara anggota Dewan

Keamanan PBB ada lima yaitu Amerika, Cina, Inggris, Rusia, dan Perancis.

Jika dilihat dari kompetensi para anggota Dewan Keamanan Amerika sudah

menjadi mediator dalam sengketa ini maka tidak memenuhi kualifikasi,

sementara Cina juga mempunyai kepentingan atas hak kedaulatan pulau

Dokdo atau Takeshimayang dalam penelitian ini tidak dijelaskan secara

mendetail maka tidak memenuhi kualifikasi, sedangkan Rusia dan Inggris

tidak mempunyai hubungan yang baik dengan pihak yang sedang bersengketa

maka tidak dimungkinkan untuk menjadi konsiliator. Dengan begitu hanya

perancis yang dapat menjadi konsiliator, mengenai hal kompetensi perancis

101

sendiri sudah pernah membantu menyelesaikan sengketa beberapa negara dan

mempunyai hubungan yang baik dengan pihak yang bersengketa.Sehingga

tidak diragukan lagi independensi dan kredibilitasnya terhadap penyelesaian

sengketa pulau Dokdo atau Takeshima.

Perancis sebagai pihak konsiliator dapat melakukan penjernihan fakta-

fakta dan pembahasan ulasan-ulasan seperti pencarian bukti yang dilakukan

dengan membentuk tim penyelidikan resmi yang terdiri dari orang – orang

dari warga negara pihak yang bersengketa, pihak ketiga, dan konsiliator. Hal

tersebut dilakukan agar dapat secepatnya mendorong akantimbulnya negosiasi

diantara para pihak setelah dilakukannya pembuktian dan penjernihan fakta.

Aturan – aturan yang menangani konsiliasi dijelaskan dalam General Act

penyelesaian damai sengketa internasional 1928.Proses penyelidikan tersebut

berlangsung selama enam bulan dan tidak boleh digelar didepan umum. Upaya

tersebut tentu dapat mempercepat penemuan hasil pembuktian dari fakta

faktual yang telah diperoleh, sehingga dapat dijadikan rujukan untuk

melakukan perundingan atas permasalahan yang timbul dengan pemikiran

yang jernih dari sebelumnya.128

d. Penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase

Tidak menutup kemungkinan jika sengketa pulau Dokdo atau Takeshima

antara Korea Selatan dan Jepang tidak menemukan solusi didalam

128

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta,2004. Hlmn 48

102

carapenyelesaian diplomasi yang telah disebutkan diatas. Maka dibutuhkan

cara penyelesaian sengketa menurut hukum internasionalyaitu melalui tribunal

arbitrase permanen (PCA). Hal tersebut tentu akan menguntungkan para pihak

karena penyelesaian melalui jalur arbitrase ini hampir memiliki kesamaan

dengan penyelesaian sengketa di pengadilan Mahkamah Internasional, tetapi

putusan pengadilan didalam arbitrase hanya mengikat para pihak dengan

itikad baik. Selain itu jalannya proses peradilan bisa dilakukan secara tertutup.

Sehingga kedua negara yang bersengketa memiliki insiatif untuk

menyelesaikannya melalui tribunal arbitrase permanen (PCA),karena berbeda

dengan sistem pengadilan Mahkamah Internasional yang dilakukan secara

terbuka dan dipublikasikan, disamping itu arbitrase memiliki hakim yang

memiliki pengetahuan luas mengenai hukum internasional dan bermoral

tinggi, jika Korea Selatan dan Jepang sepakat untuk menyelesaikan sengketa

pulau Dokdo atau Takeshima melalui arbitrase tribunal, arbitrase permanen

(PCA) maka kedua negara bisa memilih hakimnya sendiri, bukan hanya itu

bahkan Korea Selatan dan Jepang dapat memilih prosedur hukum apa yang

digunakan sebagai penyelesaian sengketa didalam pengadilan tersebut.untuk

prosedur hukumnya jika dilihat dari kedua negara cara pembuktian

kepemilikan atas pulau Dokdo atau Takeshima saja tidak cukup, terlebih lagi

bukti kedua negara benar menurut hukum internasional. Maka dibutuhkan cara

lain untuk dijadikan sebagai prosedur hukum, yaitu pengawasan efektif

(effectivity) rasionalisasinya jika menggunakan cara ini penguasaan pulau

tersebut oleh para pihak yang bersengketa mencerminkan suatu kepemilikan

103

secara terus menerus. Seperti yang ada dalam ketentuan tidak tertulis

penetapan batas negara, hal ini bisa kita lihat dari penyelesaian sengketa pulau

Sipadan dan Ligitan antara Indonesia-Malaysia yang menggunakan

pengawasan efektif dalam pengadilan di Mahkamah Internasional.Jika kedua

negara yang bersengketa sudah sepakat memilih penyelesaian sengketa ini,

Kesepakatan untuk mengambil arbitrase sendiri ada dalam pasal 18 yang

menyiratkan kewajiban hukum untuk menerima syarat – syarat putusan.

Mengenai sistem tribunal pengadilannya baik Korea Selatan atau Jepang

menurut sistem PCA, bila tidak ada kesepakatan mengenai hal yang

sebaliknya, tiap – tiap pihak memilih dua arbiter dari panel tersebut, akan

tetapi hanya seorang dari mereka yang berasal dari negara pemilihnya. Lalu

arbiter memilih memilih seorang penengah, tetapi jika gagal tugas itu akan

diserahkan kepada pihak ketiga yang ditunjuk melalui kesepakatan. Jika pihak

ketiga juga gagal ditunjuk, maka kemudian dijalankan proses yang rumit

dengan pengundian sebagai puncaknya.Untuk pemilihan dua arbiter dari

masing – masing pihak yang bersengketa, Jepang memilih satu orang dari

warga negaranya serta satu orang lagi dari warga negara Amerika, Sedangkan

untuk Korea Selatan juga demikian.Penengahnya dipilih oleh pihak ketiga dari

arbitrator yang telah dipilih yaitu orang dari PBB khususnya Dewan

Keamanan. Dengan begitu proses penyelesaian sengketa akan berjalan lancar

dan indepen.

104

Karena arbitase didalam tribunal arbitrase permanen (PCA)

menggabungkan unsur diplomasi dan hukum internasional.Keberhasilan

tergantung pada besarnya kesediaan diantara pihak dalam menyusun

compromise dan membentuk tribunal, disamping benar – benar melaksanakan

putusan yang kemudian dibuat. Sebagian besar kesuksesan tergantung pada

suatu proses negosiasi. Tergolong sangat cepat dibandingkan menyelesaikan

sengketa di Mahkamah Internasional, disamping itu putusan dari arbitrase

bersifat mengikat para pihak yang sepakat untuk mengikatkan dalam suatu

kesepakatan bersama dan tidak dapat diubah.Meskipun didasarkan dengan

itikad baik saja para pihak untuk mematuhi hasil putusan yang dikeluarkan

tribunal arbitrase permanen (PCA).129

e. Penyelesaian sengketa melalui jalur organisasi internasional

Pasal 52 ayat 1 BAB VIII, piagam PBB menetapkan bahwa piagam

tersebut tidak mengecualikan keberadaan kesepakatan regional atau badan –

badan regional untuk menangani persoalan yang berhubungan dengan

pemeliharaan kedamaian dan keamanan internasional yang sesuai dengan aksi

regional, asalkan kesepakatan atau badan regional tersebut beserta aktivitasnya

konsisten dengan tujuan dan asas PBB. Pasal 52 ayat 2 menetapkan bahwa

anggota – anggota PBB yang menandatangani perjanjian atau mengikuti badan

tersebut, harus menempuh segala upaya untuk menyelesaikan sengketa lokal

129

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta,2004. Hlmn 49 - 50

105

secara damai melalui perjanjian regional atau badan regional yang merujuk

pada Dewan Keamanan. Bahwa Dewan Keamanan mendukung

pengembangan penyelesaian damai untuk sengketa – sengketa lokal melalui

perjanjian regional. Supremasi Dewan Keamanan diperkuat dengan pasal 53

ayat 1 yang menetapkan bahwa Dewan Keamanan dapat menggunakan

perjanjian regional atau badan – badan regional untuk tindakan penegakan

kedamaian dibawah otoritasnya, pengambilan tindakan penegakan dibawah

perjanjian regional atau badan regional tidak bisa dilakukan tanpa otoritas

Dewan Keamanan. Sedangkan pasal 103 piagam PBB menegaskan apabila

terjadi konflik diantara kewajiban – kewajiban anggota PBB dibawah piagam

dan kewajiban – kewajiban dibawah perjanjian internasional lain, maka

kewajiban dibawah piagam lah yang berlaku. Kecuali menurut pasal 36,

Dewan Keamanan pada tahap apapun dalam sengketa boleh

merekomendasikan prosedur atau metode penyelesaian sengketa yang sesuai,

Sedangkan menurut pasal 37 menetapkan jika para pihak yang bersengketa

gagal mencapai penyelesaian, mereka harus merujuknya kepada Dewan

Keamanan.

Tidak menutup kemungkinan bagi sengketa pulau Dokdo atau Takeshima

yang sedang disengketakan Korea Selatan dan Jepangsuatu saat akan diambil

Ahli oleh Dewan Keamanan, karena jalannya persengketaan yang panjang ini.

Maka oleh Dewan Keamanan melalui organisasi regional akan dibentuk suatu

alat perlengkapan penyelesaian sengketa yang terdiri dari negara tetangga dan

106

pihak yang bersengketa untuk segera menemukan cara penyelesaian

sengketanya. Jika dilihat dari ke efektifannya menggunakan cara pembuatan

perjanjian internasional lah yang dapat mengakibatkan adanya suatu

kewajiban hukum harus mematuhinya tanpa alasan apapun. Sehingga

perjanjian internasional yang dibutuhkan adalah perjanjian perbatasan negara

antara Korea Selatan dan Jepang yang dilihat dari batas negaranya yaitu dari

pulau Oki (Jepang) dan pulau ulleung (Korea Selatan) yang terletak diantara

pulau Dokdo atau Takeshima. Hasilnya akan menunjukkan kedaulatan negara

manakah yang sah menurut hukum internasional berlaku.130

II. Cara penyelesaian sengketa selain cara damai:

a. Penyelesaian sengketa melalui jalur Litigasi Mahkamah Internasional

Penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Internasional merupakan

optional dari para pihak yang sedang bersengketa, karena jika kedua negara

ingin menyelesaikan masalah sengketa kepada Mahkamah Internasional maka

harus disepakati oleh kedua negara yang bersengketa agar kasus sengketa ini

bisa diambil Ahli oleh Mahkamah Internasional dalam penyelesaiannya.

Konsekuensi hukumnya jika Mahkamah Internasional sudah memberikan

putusan dalam sebuah pengadilan Internasional maka putusan tersebut akan

bersifat mengikat antara pihak yang bersengketa satu sama lain dan harus

130

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta,2004. Hlmn 50 - 51

107

dipertanggung jawabkan. Hal tersebut banyak sengketa antaranegara yang

jarang untuk diajukan ke Mahkamah Internasional selagi bukti yang

dikumpulkan belum memenuhi syarat seperti apa yang dilakukan Korea

Selatan. Dikhawatirkan hal ini akan menyebabkan hubungan diplomasi Korea

Selatan dengan Jepang menjadi terganggu ke akrabannya karena adanya

sengketa pulau Dokdo.

Sengketa pulau Dokdo antara Jepang dan Korea Selatan memiliki ciri khas

yang samadengan sengketa pulau palmas. Dalam sengketa pulau palmas

kepemilikan atas kedaulatan pulau ini sudah berlaku sejak diperoleh secara

Cesi oleh Amerika Serikat. Hal ini persis apa yang dilakukan Jepang yang

mengklaim berdasarkan perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2 bahwa pulau

Dokdo diperoleh dari hasil aneksasi. Jika dipertimbangkan melalui Mahkamah

Internasional bukti Korea Selatan sangat kuat karena dilihat dari dokumen

sejarah yang ada banyak yang menyebutkan kepemilikan Korea Selatan atas

pulau Dokdo sudah lama berabad – abad. Begitu juga dengan Jepang tidak

kalah kuatnya klaimnya atas pulau Takeshima diperkuat dengan adanya

perjanjian San Fransisco 1951 pasal 2, karena perjanjian internasional bersifat

mengikat antara pihak yang membuat suatu perjanjiannya. Dalam hal bukti

Klaim kedua negara harus dibuktikan kebenarannya dalam pengadilan di

Mahkamah Internasional.

Dalam mempertimbangkan hal sengketa suatu wilayah Mahkamah

Internasional selalu menggunakan kebiasaan hukum internasional untuk

108

penyelesaian sengketa mengenai pulau itu didasarkan pada beberapa faktor,

seperti penemuan (discovery), pengawasan secara efektif, pemilikan tanpa

adanya protes (prescriptive), koneksitas geografis (Contiguity). Biasanya

Mahkamah Internasional lebih memprioritaskan dari segi bukti sejarah dan

suatu perjanjian Internasional hal tersebut harus disertai dengan pengawasan

secara efektif oleh negara yang mengklaim sebagai upaya lanjut kepemilikan

pulau Dokdo.

Hal ini harus diselesaikan secepat mungkin agar hubungan kedua negara

tidak rusak karena adanya sengketa pulau Dokdo. Meskipun Jepang sudah

mengirimkan nota diplomatik ke Korea Selatan untuk mengajak

menyelesaikan sengketa ini keMahkamah Internasional,upaya tersebut tidak

akan berjalan jika Korea Selatan menolak akan ajakan tersebut.131

Maka diharapkan seharusnya kedua negara lebih bersinergi dalam

penyelesaian kasus ini agar diajukan ke Mahkamah Internasional, karena

putusan Mahkamah Internasional bersifat final and binding. Bermanfaat untuk

meniadakan konflik berkelanjutan.

b. Melalui Kerja sama Joint Venture (pengambilan Sumber Daya Alam)

Penyelesaian sengketa melalui cara kerja sama ekonomi seperti Joint

Venture merupakan cara yang tergolong dapat menjaga kestabilan politik

131

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004, hlm 45 – 50

109

maupun ekonomi antara kedua negara. Karena melalui Joint Venture yang

digunakan adalah sistem bagi membagi sama rata atau ditentukan oleh hal

yang sepadan melalui sebuah kesepakatan antara kedua negara. Dilihat dari

permasalahan sengketa antara Korea Selatan dan Jepang yang diperebutkan

adalah hasil kekayaan alam yang terdapat di pulau Dokdo berupa gas hydrat

berjumlah 600 juta ton yang memiliki manfaat sebagai pengganti bahan bakar.

Bagi kedua negara bahan bakar berupa gas hydrat tersebut sangat penting bagi

kepentingan ekonominya agar dapat membawa kesejahteraan sosial dan

kemajuan pendapatan ekonomi.132

Jika kedua negara tetap bersih kukuh untuk memperoleh hasil kekayaan

alam tersebut sebaiknya kedua negara melakukan perjanjian kerjasama

ekonomi berupa Joint Venture agar dapat mengeksploitasi hasil kekayaan

alam secara bersamaan tanpa memunculkan sengketa antaranegara. Pembagian

hasil kekayaan alam agar tidak menimbulkan konflik maka harus 50 persen

sama rata agar memunculkan kesepakatan antara kedua negara. Hal tersebut

pernah dilakukan oleh Korea Selatan dan Korea Utara dalam kerjasama dalam

perusahaan dengan cara Joint Venture yang membuahkan hasil keadilan dan

kesejahteraan bagi manfaat kedua negara. Seharusnya Jepang dan Korea

Selatan lebih mementingkan urusan ketertiban dan keamanan lingkungan

132

Didah nadzifat ussa‟diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara

korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan

internasional, tahun 2013

110

Internasional agar menyelesaikannya dengan jalan damai sesuai ke efektifan

dan ke efesienan.

c. Mengikatkan Satu Sama Lain melalui Hubungan Diplomasi

Hubungan diplomasi antara Jepang dan Korea Selatan merupakan gerbong

yang sama dengan Amerika Serikat. Dalam hubungan kerjasama militer kedua

negara selalu bekerjasama dengan Amerika Serikat untuk menghadapi

kemajuan angkatan bersenjata Korea Utara dan Cina. Maka jika hubungan

antara Jepang dan Korea Selatan putus akan mengakibatkan kerugian bagi

pihak Amerika Serikat dimasa depan.

Akan lebih efektif jika kerjasama ketiga negara ini akan tetap selalu dijaga

dengan Amerika Serikat sebagai mediator Jepang dan Korea Selatan dalam

sengketa pulau Dokdo. Karena sebelumnya dalam cara negosiasi oleh kedua

negaramelalui utusan diplomat yang diutus untuk menukarkan nota diplomatik

selalu mengalami penolakan satu sama lain maka cara ini dinilai kurang

efektif. Selain itu sangat efektif jika menggunakan cara konsiliasi yang

memilih suatu negara atau beberapa negara untuk memutus sengketa pulau

Dokdo antara Jepang dan Korea Selatan. Hal ini akan mudah memperoleh

pengakuan dunia internasional.133

133

Act 1395 amending Chapter 14-2, Ri-Administration under Ulleung County, Local

Autonomy Law, Ulleung County (울릉군리의명칭과구역에관한조례 [개정 2000. 4. 7

조례제 1395호])"

111

d. Perjanjian perbatasan negara

Adanya suatu perjanjian perbatasan negara tidak menutup kemungkinan

akan diperlukan jika Korea Selatan dan Jepang kedepannya ingin menentukan

perbatasan negaraantara pihak yang sampai sekarang penarikan batas laut dari

garis pangkal daratan pulau Ulleungdo (Korea Selatan) dan pulau Oki

(Jepang) belum ditentukan delimitasi batas zona ekonomi eksklusifnya (ZEE).

Sehingga apabila penentuan perbatasan negara telah ditentukan oleh kedua

negaraakan mempermudah pemanfaatan hasil kekayaan alam yang terdapat

didalam Ulleung Tsusima Basin. Meskipun tidak memungkinkan tetapi tidak

menutup kemungkinan cara ini akan digunakan oleh kedua negara sebagai

upaya ultimum remidium dari penyelesaian sengketa pulau Dokdo atau

Takeshima.

Perjanjian perbatasan negara territorial suatu negara yang berbatasan di

wilayah laut, menurut konvensi hukum laut 1982 harus merujuk pada

tercapainya kesepakatan para pihak yang dibuat berdasarkan sumber hukum

internasional publik. Dengan demikian membuktikan bahwa konvensi hukum

laut 1982 memberikan keleluasaan bagi para pihak yang berkepentingan untuk

mencari prinsip – prinsip hukum yang dapat diterima bersama sebagai dasar

penentuan perbatasan landas kontinen, dengan kata lain melalui konvensi

hukum laut 1982, negara diberi kebebasan untuk menetapkan sendiri isi

perjanjian tentang batas landas kontinen.

112

Sedangkan penyelesaian atau delimitasi batas zona ZEE, Louis Henkin dan

Donillo menyatakan bahwa berdasarkan pasal 74 konvensi hukum laut 1982,

apabila terdapat klaim batas zona ZEE yang tumpang tindih, maka

penyelesaian menggunakan metode serupa, namun penyelesaian hanya

merujuk pada kesepakatan bersama ini pada gilirannya akan memperlihatkan

ketidakmaupuan masyarakat internasional dalam menyepakati satu formula

baku dalam penyelesaian sengketa batas zona ZEE dan batas landas

kontinen.134

Sehingga bagi Korea Selatan atau Jepangpenentuan perbatasan negara

yang menyangkut territorial laut menurut konvensi hukum laut 1982 adalah

prosedur hukum yang dibenarkan menurut hukum internasional.Sepanjang

yang menjadi ketertarikan oleh kedua negara adalah hasil kekayaan alam

Ulleung Tsusima Basin, maka penentuan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

secara langsung juga menentukan batas landas kontinen.

Maka dapat disimpulkan dari alternatif penyelesaian sengketa yang ada,

upaya negosiasi adalah tindakan utama yang harus dilakukan oleh Korea

Selatan dan Jepang karena sebelumnya belum ada suatu upaya negosiasi dari

kedua negara. Hal tersebut pernah akan dilakukan tetapi tidak menemukan

titik temu, sehingga tidak memungkinkan dilakukannya suatu negosiasi.

Setelah banyaknya penyelesaian sengketa baik secara damai atau prosedur

134

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu,

Yogyakarta, 2011. Hlmn 41 - 44

113

hukum yang ada menurut konvensi hukum internasional yang telah disebutkan

diatas menjadi tindakan selanjutnya yang akan diambil oleh kedua negara jika

upaya negosiasi tidak lagi memungkinkan untuk dilakukan. Selain itu jika

kedepannya sengketa ini mengancam perdamaian dan keamanan internasional

maka Dewan Keamanan menurut piagam PBB dapat mengambil andil dalam

penyelesaian sengketa ini, karena kedua negara adalah negara anggota PBB

yang harus mematuhi aturan yang terdapat didalam piagam PBB. Sehingga

upaya ultimum remidium pun seperti penentuan perbatasan negara sangat

diperlukan untuk menyelesaikan sengketa ini.

114

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Meskipun Jepang dan Korea Selatan mempunyai alasan masing –

masing terhadap klaimnya atas pulau Dokdo atau Takeshima, klaim

Korea Selatan lenih dibenarkan menurut hukum internasional.

Berdasarkan bukti sejarah pulau Dokdo atau Takeshima mulai dari

dinasti Shilla 512 adalah wilayah hasil okupasi Korea Selatan. Selain

itu juga banyak sekali dokumen sejarah yang menyebutkan legalisasi

kepemilikan Korea Selatan atas pulau Dokdo atau Takeshima. Hal

tersebut juga disertai dengan pengawasan efektif dari Korea Selatan

yang berkelanjutan sampai saat ini, dibuktikan dengan adanya

bangunan tempat wisata di pulau Dokdo atau Takeshima, dan proses

administrasi serta pengelolahan pulau yang berada dalam kekuasaan

pemerintah Korea Selatan. Maka secara legitimasi hukum dan

pengawasan efektif pulau Dokdo atau Takeshima adalah milik Korea

Selatan.

115

2. Penelitian ini menawarkan suatu alternative penyelesaian sengketa

antara Jepang dan Korea Selatan atas pulau Dokdo atau Takeshima

melalui Joint Venture atas kekayaan alam yang terdapat di Ulleung

Tsusima Basin.

2. B. Saran

1. Bagi Jepang seharusnya tidak melakukan klaim sepihak atas

kepemilikan pulau takeshima, karena hal tersebut adalah merupakan

pelanggaran hukum internasional. Menjaga kestabilan hubungan

internasional merupakan prioritas utama bagi negara yang sedang

menjalin hubungan dengan negara lain yang saling membutuhkan satu

sama lain.

2. Bagi Pihak Ketiga atau negara lain yang dapat mengambil andil atas

penyelesaian sengketa pulau Dokdo, seharusnya dapat mengajukan

alternatif penyelesaian sengketa yang solutif bagi kedua negara. Bagi

Amerika yang menjalin kerjasama antara Korea Selatan dan Jepang

dalam bidang ekonomi maupun militer dapat menjaga hubungan kedua

negara melalui berbagai kerjasama. Selain itu dapat bertindak sebagai

salah satu negara konsiliator dalam penyelesaian sengketa pulau

Dokdo.

DAFTAR PUSTAKA :

BUKU

Dr.Sefriani, Peran Hukum Internasional, Penerbit Yudhistira, Bandung, 2005.

Dr.Kholis Rhoisyah, Hukum Perjanjian Internasional Teori dan Praktek, penerbit elexmedia, Jakarta, 2013. Dr.Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian Internasional pengertian, status hukum, dan ratifikasi, penerbit Locus, Jakarta, 2010.  Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2010.

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Huala Adolf , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004

Han Jung Moo, Historical of Dokdo Island belongs to South Korea, Penerbit Junggap, Seoul, 2011. I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014 

J.G,Starke, Pengantar hukum internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988.

Jawahir Thontowi dan Iskandar Pranoto, Hukum Internasional Kontemporer, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Kanzoku Oda, Japan has small island near perfektur Shimane, Penerbit ichi-yon, Tokyo, 2006. Malcolm N. Shaw, Hukum Internasional, penerbit Nusamedia, Bandung, 2013. Prof. Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional peranan dan fungsi dalam era dinamika global, penerbit Locus, Jakarta, 2011.

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan negara dalam dimensi HI, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011

Sam Jaffe dan Myung Oak Kim, The New Korea look an inside south Korea Economic rise, penerbit elexmedia, 2013.

99  

Jurnal :

Didah nadzifat ussa’diyah, upaya penyelesaian sengketa kepulauan liancourt antara korsel dan Jepang, fakultas ilmu social dan politik Syarif Hidayatullah, jurnal hubungan internasional, tahun 2013

Hee Min Kim, Takeshima International Document Observer, year 2009, hal 14

Hori, Kazuo. 1997, Japan’s incorporation of Takeshima in to its territory in 1905, Korea observer journal 28(3) : 477-525 Lalak Dedy Priswantoro, status kepulauan Dokdo dalam perspektif hukum internasional, fakultas ilmu social dan politik universitas Jember, jurnal hukum, Mei 2007 Mada ariandi zuhir, studi tentang penerapan effective occupation principle dalam penyelesaian sengketa wilayah negara, fakultas hukum universitas brawijaya, jurnal hukum.

Utami gita syafitri, sengketa pulau Dokdo antara Korea Selatan dan Jepang, fakultas hukum universitas sumatera, jurnal hukum, tahun 2013

Peraturan Hukum Nasional :

"Act 1395 amending Chapter 14-2, Ri-Administration under Ulleung County, Local Autonomy Law, Ulleung County (울릉군리의명칭과구역에관한조례 [개정 2000. 4. 7 조례제 1395호])"

Internet :

Dokdo Research Institute, Dokdo in history, (http/www.dokdohistory.com/kr), diakses mei tahun 2015

Yu nin jie, wokou raids map, (www.archive kaskus.co.id), diakses pada mei 2015

Berita :

Charles Scanlon, South Korean Vent Fury at Japan, BBC online, 18 march 2005 (new.bbc.co.uk/3/hi/asia-pacific/437621.stm)

Julian Ryall, Japan angers Korea by marking Takeshima Day, DW media news, 22 february 2013 (www.dw.com/en/japan-angers-korea-by-marking-takeshima-day/a-2398)

Japan Daily News, Waku – waku Japan, tanggal 23 july 2011 (www.wakuwakujapan.com/en/)

Shin yongha, Disputes over ulleungdo and tokdo at the end of the 17 th Century, archive, di akses 12 mei 2015 (www.spf.org/islandstudies/research/a02020)

Staff BBC, seoul and tokyo hold island talks, BBC news, 20 april 2006 (new.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4925257.stm)

Staff BBC, Korea and Japan solitary island hot news, BBC news, 1 mei 2016 (www.breaking news.com/topic/south-korea-japan-disputed-island.stm)

Staff KBS, Partai berkuasa Jepang dirikan badan penelitian mengenai Dokdo, KBS world radio, (rki.kbs.co.kr/Indonesian/in-news.html), 23 Juni 2016 Seong Raak, Dokdo island heritage Korean lands, KBS World, 22 oktober 2010 (www.KBSWorld.com/d?gws_d). Yonhap News, Korea mendesak Jepang untuk menghentikan klaim atas pulau Dokdo, Kenterin, (kenterin.net/m/article/11373i), 8 april 2016