ARKEOLOGI SEJARAH ISLAM DI PESISIR SELATAN PULAU ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of ARKEOLOGI SEJARAH ISLAM DI PESISIR SELATAN PULAU ...
Kapata Arkeologi, 12(1), 79-90
ISSN (cetak): 1858-4101
ISSN (elektronik): 2503-0876
http://kapata-arkeologi.kemdikbud.go.id
79 © Kapata Arkeologi � Balai Arkeologi Maluku. Bebas akses di bawah lisensi CC BY-NC-SA.
Nomor Akreditasi: (LIPI) 678/Akred/P2MI-LIPI/07/2015.
ARKEOLOGI SEJARAH ISLAM DI PESISIR SELATAN PULAU
SERAM MALUKU TENGAH
Archaeological History of Islam in Coastal South Seram Island,
Centre of Maluku
Wuri Handoko Balai Arkeologi Maluku - Indonesia
JL. Namalatu-Latuhalat Ambon 97118
Naskah diterima: 14/09/2016; direvisi: 21/11 - 08/12/2016; disetujui: 15/12/2016
Publikasi ejurnal: 30/12/2016
Abstract
The history of Islamization in the region Seram Island Maluku until recently only records the
Kingdom Hoamoal as the center of Islamization in the region. However, the formation of
customary lands inhabited by the Muslim community is appealing to uncover where Islam
originated and how it goes. This research is focused to see Islamization networks formed on
indigenous lands in the southern coastal areas of the island of Seram by conducting the
archaeological research that adopted survey method and oral history interviews to discover
traces of the presence of Islam. This study found that Islamization in the southern coastal
areas of the island of Seram, arised from the central region of Islam in the Maluku Islands;
with another possibility that have been introduced from Java and the homeland of Islam,
Arab and Persia. The study also found the formation process of political networks in the
spread of Islam to get to the southern coastal areas of the island of Seram.
Keywords: deployment, Islam, network, politics, coastal Seram
Abstrak
Dalam sejarah Islamisasi di wilayah Pulau Seram Maluku sejauh ini, hanya menyebut
Kerajaan Hoamoal sebagai pusat Islamisasi di wilayah tersebut. Meski demikian,
terbentuknya negeri-negeri adat yang dihuni komunitas muslim, menarik untuk diungkap dari
mana Islam berasal dan bagaimana perkembangannya. Penelitian ini difokuskan untuk
melihat jaringan Islamisasi yang terbentuk pada negeri-negeri adat di wilayah pesisir selatan
Pulau Seram. Melalui penelitian arkeologi, dengan metode survei serta wawancara untuk
menelusuri sejarah lisan jejak kehadiran Islam. Penelitian ini menemukan bahwa Islamisasi
di wilayah pesisir selatan Pulau Seram, berasal dari wilayah pusat kekuasaan Islam di
Kepulauan Maluku, juga kemungkinan dari Jawa dan tanah asal Islam dari Arab dan Persia.
Penelitian ini juga menemukan bagaimana terbentuknya jaringan politik dalam proses
penyebaran Islam hingga sampai ke wilayah pesisir selatan Pulau Seram.
Kata Kunci: Islamisasi, jaringan, politik, Seram
PENDAHULUAN Pulau Seram termasuk salah satu pulau
terbesar di wilayah Kepulauan Maluku dengan
luas 18.625 km2. Informasi sejarah Islam dan
penyebarannya di wilayah Pulau Seram,
terutama wilayah pesisir selatan, sampai saat ini
masih minimal. Sejauh ini penelitian arkeologi,
berdasarkan data sekunder, menitik beratkan
penelitiannya di wilayah yang dianggap sebagai
pusat peradaban Islam. Di wilayah Maluku,
pesisir selatan Pulau Seram sejauh ini tidak
banyak termuat dalam historiografi Islam.
Dalam banyak catatan, wilayah penyebaran
Islam di wilayah Pulau Seram, lebih
dititikberatkan di wilayah Seram Bagaian Barat
yakni bukti-bukti peninggalan Kerajaan
Hoamoal. Sejarah mencatat, Ternate dan Tidore
adalah dua kerajaan di wilayah Maluku Utara
yang dapat dipresentasikan sebagai wilayah
pusat kekuasaan Islam di wilayah Maluku Utara.
Ternate, pengaruhnya ke wilayah selatan
Maluku, meliputi Pulau Ambon, Haruku,
80
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 79-90
Saparua, Buru, Seram Bagian Barat dan Tengah.
Sementara itu Tidore meluaskan pengaruhnya ke
wilayah pesisir utara Pulau Seram dan wilayah
kepulauan di sisi paling timur Pulau Seram,
yakni Gorom dan Seram Laut hingga ke wilayah
Kepulauan Raja Ampat Irian Jaya (Leirissa,
2001: 8; Putuhena, 2001; Jaffar, 2006; Amal,
2010).
Bukti arkeologis untuk memberikan
dukungan terhadap informasi sejarah
menyangkut Islamisasi di wilayah Pulau Seram
sebelum ini masih nihil. Sejauh ini penelitian
arkeologi, berdasarkan data sekunder, baru
menitikberatkan penelitian arkeologi Islam di
wilayah yang dianggap sebagai pusat peradaban
Islam. Sementara itu, wilayah pesisir selatan
Pulau Seram tidak banyak termuat dalam
historiografi Islam di wilayah Maluku. Di satu
sisi, kajian ini juga akan melengkapi informasi
sejarah tersebut. Dari informasi sejarah, kita
tidak memperoleh gambaran jelas bagaimana
proses perkembangan Islam di daerah-daerah
ekspansi Islam yang dimaksudkan dalam teks
sejarah.
Fakta-fakta arkeologis, menghadirkan
bagaimana proses bertumbuh dan
berkembangnya Islam di daerah-daerah ekspansi
kekuasaan Islam dimaksud. Oleh karenanya
lokasi kajian ini, ditujukan di wilayah-wilayah
yang menjadi perluasan Islam sebagaimana
dimaksud dalam teks sejarah, sekaligus dari itu
diperoleh gambaran lebih utuh tentang Islam di
Maluku. Adanya komunitas-komunitas muslim
di wilayah yang menempati negeri-negeri tua
atau negeri-negeri adat menarik untuk ditelusuri
bagaimana awal perkembangan Islam, dari mana
pengaruh Islam berasal, bagaimana karaktersitik
Islam yang berkembang, agar informasi tentang
sejarah dan budaya masyarakat dapat diungkap.
Penelitian ini untuk mengungkap
penyebaran pengaruh Islam di wilayah pesisir
selatan Pulau Seram. Hingga saat ini belum
diketahui dari mana jalur masuk Islamisasi di
wilayah tersebut. Selain itu juga belum adanya
potensi data arkeologi Islam yang ditemukan,
mengakibatkan wilayah ini masih belum bisa
diangkat dalam teks historiografi Islam di
Wilayah Maluku. Berdasarkan catatan tersebut,
maka rumusan masalah dalam penelitian
arkeologi Islam di wilayah ini, dapat diuraikan
sebagai berikut: pertama, dari mana jalur
masuknya Islam di wilayah tersebut dan dari
mana perkembangan Islam berasal? Kedua,
bagaimana perkembangan Islam di wilayah
negeri-negeri Islam di pesisir selatan Pulau
Seram?
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka
penelitian ini tidak hanya terfokus pada
penelitian arkeologi, tetapi juga bertendensi
sejarah. Kajian historis mencoba mempelajari
dan mengkaji sejarah tutur berkaitan dengan
agenda Islamisasi dan perdagangan di wilayah
tersebut. Penelitian ini hendak menjelaskan
perkembangan Islam di wilayah negeri-negeri
Islam di wilayah pesisir selatan Pulau Seram.
Selain itu juga bermaksud menggambarkan dan
menjelaskan pengaruh Islamisasi di wilayah
tersebut, jalur masuknya dan asal wilayah
penyebar Islam di daerah tersebut, serta
menjelaskan dinamika dan karakteristik budaya
Islam yang berkembang.
Hingga saat ini, teori tentang jalur
Islamisasi di Kepulauan Maluku (Provinsi
Maluku dan Maluku Utara) masih terus dikaji.
Beberapa pendapat yang mengemukakan teori
masuknya Islam di wilayah ini diantaranya oleh
Mailoa (1977), bahwa Islam berkembang di
Maluku Utara diduga berasal dari Malaka,
Kalimantan, atau Jawa. Prodjokusumo (1991),
mengemukakan bahwa Banjar dan Giri atau
Gresik cukup besar pengaruhnya dalam
sosialisasi Islam di Maluku Utara, sebelum
terjadi arus balik, yakni penyebaran Islam dari
Maluku ke arah barat yakni Buton dan daerah
lain di Sulawesi Selatan (Mailoa dan
Prodjokusumo dalam Ambary, 1998:153).
Meski demikian, penting dicatat, Islam dianggap
masuk ke wilayah Maluku pada sekitar abad 14,
seperti yang terkandung dalam tradisi lisan yang
menyebutkan Raja Ternate XII akrab dengan
pedagang Islam (Ambary, 1996:6). Berdasarkan
hal tersebut Ambary (1998), mengemukakan
kemungkinan lain bahwa Islam masuk melalui
jalan Cina Selatan dan tidak melalui Selat
Malaka. Pada abad 15, Ternate merupakan pusat
kekuatan utama penghasil rempah-rempah.
Diantara kerajaan besar lainnya, seperti Tidore,
Jailolo dan Bacan,Ternate menjadi pusat untuk
memimpin aliansi empat kerjaan tersebut
(Ambary, 1998:153-154).
Berdasarkan cerita lisan, Islam mencapai
Maluku pada pertengahan abad 15 Masehi.
Tahun 1460 raja Ternate Vongi Tidore telah
memeluk Islam dan mengambil istri seorang
keturunan bangsawan Jawa. Namun raja Ternate
yang betul-betul memeluk Islam adalah Zainal
81 Arkeologi Sejarah Islam di Pesisir Selatan Pulau Seram Maluku Tengah, Wuri Handoko
Abidin (1486-1500 M). Raja ini belajar Islam di
Giri. Dari sinilah penyiaran Islam dilakukan
diseluruh Maluku, berawal oleh pendatang dari
Jawa (Sahusilawane, 1996: 3). Leiriza (1975)
menuliskan secara historis Islam di Maluku
berkaitan erat dengan andil para saudagar Arab,
India dan Samudra Pasai. Pungkasan abad 14
disinyalir sebagai tonggak awal Islam diterima
sebagai agama resmi di Ternate. Selain Ternate
terdapat Kerajaan Tidore, Bacan dan Jailolo.
Diantara empat kerajaan tersebut, Ternate
merupakan yang terbesar (Leiriza, 1975 dalam
Leiriza, 2001:7 ).
Dapat dianggap kedua wilayah kesultanan
itu saling bersaing meluaskan kekuasaannya
hingga keluar wilayah geografisnya ke wilayah
pulau-pulau diseberang lautan. Selain pelebaran
sayap kekuasaan yang bertendensi politis,
kerajaan-kerajaan besar tersebut juga
menyebarkan dan mengembangkan paham-
paham bertendensi religi dan kultural. Salah
satunya adalah penyebaran dan pengembangan
agama Islam di wilayah-wilayah kekuasaan
tersebut. PengIslamDQ� µZLOD\DK� VHEHUDQJ¶�
kesultanan Ternate, tidak lepas dari peranan
pusat kekuasaaan itu sendiri (Putuhena,
2001:62).
Perbincangan tentang hubungan antara
Islamisasasi dan perdagangan, merupakan salah
satu isu yang terus diperbincangkan.
Perdagangan di satu sisi dan Islamisasi di sisi
lain tampaknya seperti dua mata keping uang
yang saling bersinggungan. Meskipun diantara
para ahli ada pula perbedaan pendapat soal itu.
Ricklefs (2008) menuliskan bahwa antara Islam
dan perdagangan tampaknya ada semacam
kaitan, meskipun banyak pertanyaan-pertanyaan
yang belum terjawab, mengingat perdagangan
oleh orang-orang muslim telah ada beberapa
abad sebelum masa pengIslaman Nusantara yang
baru terjadi pada abad XIII dan terutama XIV
dan XV (Ricklefs, 2008:37-38). Penjelasan
tersebut memberikan gambaran bahwa proses
perdagangan di wilayah Nusantara berlangsung
jauh sebelum Islam berkembang, sehingga jika
Islamisasi berlangung sejak dimulainya era
perdagangan oleh bangsa-bangsa penyebar
Islam, semestinya Islam tumbuh dan
berkembang sejak masa itu. Namun, satu hal
yang tak dapat dipungkiri bahwa proses
perdagangan yang berlangsung telah
memperkuat eksistensi Islam di Nusantara.
Tjandrasamita memperkuat dengan penjelasan
bahwa munculnya jalur perdagangan sejak masa
awal telah memicu terjalinnya jaringan
perdagangan dan pertumbuhan serta
perkembangan kota-kota pusat kesultanan,
dengan kota-kota bandarnya sejak abad XIII-
XVIII (Tjandrasamitha, 2009:39).
Di Maluku dalam hal ini Pulau Ambon,
Pulau Seram dan pulau-pulau sekitarnya
merupakan satu kesatuan historis dalam
perkembangan Islam di wilayah Kepulauan
Maluku. Bukti-bukti diperlukan untuk
memperkuat historiografi Islam di Kepulauan
Maluku. Yang penting dicatat seperti halnya
kolonial, kedatangan Islam juga menyebar di
hampir seluruh wilayah di Kepulauan Maluku.
Dalam hal ini Kerajaan Hitu, merupakan
representasi dari pusat kekuasaan Islam di
wilayah Pulau Ambon dan Seram. Berbagai data
penelitian, sejarah tutur, teks-teks sejarah seperti
Hikayat Tanah Hitu. Penelitian arkeologi
mutakhir menunjukkan Hitu sebagai pusat
Islamisasi di kawasan tersebut (Tim Penelitian,
2012: 84). Perkembangan Kerajaan Hitu,
tampaknya dapat menjadi salah satu kunci untuk
melihat perkembangan Islam di wilayah lainnya
di Maluku.
METODE Peneitian ini difokuskan pada beberapa
negeri di wilayah pesisir selatan Pulau Seram,
dalam hal ini di wilayah Negeri Haya dan Negeri
Tamilow. Kedua Negeri, adalah negeri adat yang
dihuni oleh masyarakat Muslim, sekaligus
menjadi representasi eksistensi agama Islam di
wilayah pesisir selatan Pulau Seram. Dipilihnya
negeri tersebut, berasal dari informasi awal yang
diterima penulis, bahwa di wilayah pesisir
selatan tepatnya di Negeri Tamilow, terdapat
naskah $O� 4XU¶DQ kuno, menarik untuk
ditindaklanjuti melalui penelitian arkeologi yang
sistematis untuk menemukan berbagai bukti
sejarah Islamisasi di wilayah tersebut.
Sementara itu, Negeri Haya, adalah negeri adat
dengan karakteristik sebagai negeri yang dihuni
komunitas muslim yang lokasinya dekat dengan
negeri Tamilow.
Penelitian ini menerapkan tahapan
penelitian arkeologi seperti yang disarankan oleh
Deetz (1976), yakni tahap pengumpulan data,
tahap analisis dan interpretasi. Pada tahap
pengumpulan data, metode yang digunakan
meliputi: Pertama: Survei/Observasi Lapangan,
survei ini dimaksukan untuk memperoleh bukti-
82
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 79-90
bukti budaya bendawi dari masyarakat
pendukung pada masa lampau. Survei ini untuk
melihat sebaran data arkeologi. Kedua:
Wawancara, menggali informasi dari
masyarakat. Hal ini penting untuk memperoleh
informasi dari masyarakat yang masih memiliki
ingatan tradisi tutur tentang sejarah setempat.
Ketiga: Studi Pustaka, dalam tahap ini,
penggalian informasi perlu dilakukan dengan
mengumpulkan dan mempelajari sumber-
sumber tertulis (literatur) tentang sejarah dan
budaya masyarakat di wilayah Maluku,
khususnya di Negeri Tamilouw dan Haya,
Maluku Tengah.
Pada dasarnya analisis ini menekankan
pada analisis kwalitatif dan kuantitatif serta
kontekstual, melihat data arkeologi dalam satu
himpunan (assemblage) yang saling
berhubungan untuk mengidentifikasi aspek
fungsi, teknologi, sosial dari masyarakat
pembuatnya. Sementara itu dalam tahap
eksplanasi dan interpretasi, selain berdasarkan
sintesa data arkeologi yang telah dianalisis juga
dilakukan analogi sejarah. Menurut Sharer dan
Ashmore (1980) upaya rekonstruksi arkeologi
yang hanya bersandarkan data artefaktual sangat
terbatas keterandalannya, sebab kita tidak
mengamatinya secara langsung. Arkeologi
hanya mencoba merekonstruksi masa lampau
berdasarkan bukti-bukti meterial yang
ditinggalkannya. Dalam posisi demikian, maka
untuk mengurangi kesenjangan informasi masa
lalu, diperlukan suatu pendekatan metodologis,
yakni melalui analogi (Sharer dan Ashmore,
1980:445). Dalam konteks penelitian ini, maka
analogi yang digunakan adalah analogi historis,
baik bersumber dari catatan sejarah tertulis
maupun berdasarkan sejarah lisan. Dari analogi
sejarah inilah kemudian ditarik interpretasi,
penafsiran data arkeologi yang dikonfirmasi
dengan catatan sejarah untuk membuat
penjelasan (eksplanasi) dan kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menemukan dua hal penting
yang dapat memberikan penjelasan tentang
pengaruh Islam di wilayah pesisir selatan Pulau
Seram. Kedua hal tersebut adalah berdasarkan
bukti-bukti arkeologis dan sejarah tutur
masyarakat, sebagai hasil penelitian ini yaitu:
Pertama, Islam dan perkembangannya di
wilayah pesisir selatan Pulau Seram.
Perkembangan Islam yang paling jelas dapat
diamati dari wilayah pesisir selatan Pulau Seram
adalah di wilayah Negeri Haya dan Tamilow,
yang menjadi lokasi dari penelitian ini. Kedua,
Jaringan dan pendekatan politik Islamisasi di
pesisir selatan Pulau Seram, menjelaskan
diantaranya soal jalur lintasan asal usul Islam
yang berkembang dan penyebaran di wilayah
pesisir selatan Pulau Seram.
Perkembangan Islam di Pesisir Selatan Pulau
Seram Masuknya Islam di Negeri Tamilow dan
Negeri Haya, tampaknya sama halnya dengan
informasi di wilayah lain di Maluku, pada
umumnya mengungkapkan bahwa Islam
pertama kali diperkenalkan di suatu negeri,
awalnya ketika masyarakat masih menghuni
kawasan perbukitan yang disebut negeri lama.
Di Negeri Haya, awalnya Islam diperkenalkan di
Negeri Lama Haya yang disebut dengan
Leisilala.
Gambar 1. Jalan Masuk menuju Negeri Lama
Tohia, di Desa Haya
(Sumber: Tim Penelitian, 2013)
Di Negeri Haya, survei utamanya
difokuskan di Negeri Haya, yakni di negeri
pesisir pantai yang dihuni sekarang ini. Di negeri
tersebut ditemukan indikasi arkeologis berupa
lokasi bekas berdirinya masjid kuno dan makam.
Lokasi bekas makam berada di lokasi yag
dipercaya sebagai lokasi negeri lama dari Negeri
Haya sekarang. Letaknya tidak jauh dari desa
sekarang, berjarak sekitar 200 m di belakang
desa. Lokasi situs tersebut berada pada bukit
kecil, yang masih masuk dalam areal
pemukiman desa sekarang. Untuk menuju ke
lokasi tersebut, terdapat jalan setapak untuk naik
ke bukit yang oleh masyarakat disebut Tohia,
83 Arkeologi Sejarah Islam di Pesisir Selatan Pulau Seram Maluku Tengah, Wuri Handoko
lokasi pusat negeri. Di puncak areal tersebut
terdapat areal datar yang tidak luas, sekitar 50 m2
dengan ketinggian sekitar 85 mdpl.
Daerah ini dipercaya penduduk sebagai
lokasi pertama kali ditempati, setelah turun
gunung dan bermukim di pesisir. Di lokasi
tersebut, untuk pertama kalinya mereka hidup
bermukim di pesisir dengan jumlah penduduk
yang masih sedikit. Lambat laun ketika jumlah
penduduk semakin banyak, mereka turun dan
bermukim di pesisir pantai yang datarannya luas,
sementara bukit kecil itu ditinggalkan, dan
kondisi sekarang sebagian dimanfaatkan sebagai
kebun masyarakat. Namun areal di mana lokasi
bekas masjid kuno dan makam, masih
disakralkan atau dikeramatkan. Di lokasi
tersebut juga banyak ditemukan sebaran keramik
dan juga gerabah dengan kuanitas yang minim.
Tampaknya, meskipun skala situsnya kecil
dengan jumlah penduduk masih sedikit, namun
dari jejak-jejak arkeologi, memperlihatkan
lokasi tersebut pada masa lampau digunakan
sebagai aktivitas bermukim ataupun peribadatan.
Berdasarkan luasan situs dan minimnya
bukti-bukti artefaktual, kemungkinan situs ini
pada masa lampau, digunakan sebagai lokasi
peribadatan, saat mereka pertama kali turun di
pesisir. Tampaknya tradisi mensakralkan daerah
tinggi atau bukit masih berlanjut seperti pada
masa mayarakat tinggal di negeri lama di daerah
pegunungan. Pada masa turun ke pantai agama
Islam juga baru dikenal, sehingga tradisi masa
lampau masih bertahan. Oleh karena itu,
penempatan masjid di daerah tinggi, merupakan
bagian interaksi simbolik masyarakat dengan
simbol kesucian sebagai bagian kepercayaan dan
penghormatan masyarakat terhadap leluhur.
Mereka melakukan ritual atau peribadatan di
tempat yang lebih tinggi dari lokasi desa, hal ini
karena masih adanya pengaruh kosmologi
kepercayaan masyarakat masa lampau, bahwa
bukit atau daerah yang tinggi, lebih sakral dan
lebih dekat dengan arwah suci leluhur, sebagai
kepercayaan lokal masyarakat sebelum
mengenal Islam.
Bukti-bukti fisik arkeologi yang dapat
menjelaskan tentang perkembangan Islam di
Negeri Haya, antara lain bekas struktur pondasi
masjid kuno, makam kuno dan sebaran keramik
dan gerabah. Bukti-bukti arkeologi ini kemudian
dikonfirmasi dengan sejarah tutur kehadiran
Islam, sehingga diperoleh penjelasan tentang
perkembangan Islam di lokasi penelitian.
Dari survei arkeologi di Negeri Haya,
ditemukan data lapangan, berupa tumpukan batu
pipih berwarna hitam yang disusun rapi
membentuk persegi. Sebagian struktur batu
tersebut dalam kondisi yang yang sudah runtuh.
Melihat bentuk strukturnya, susunan batu itu
dibentuk secara sengaja dan dikerjakan oleh
masyarakat dengan teliti. Kemungkinan
tumpukan batu pipih itu adalah struktur pondasi
masjid. Tinggi susunan batu dari permukaan
tanah mencapai 60 cm, mungkin lebih rendah
dari ukuran yang sebenarnya, karena dari yang
ada sekarang, kemungkinan tidak lagi
menampakkan susunan batu itu secara utuh.
Gambar 2. Bekas Pondasi Masjid Kuno di Desa
Haya
(Sumber: Tim Penelitian, 2013)
Belum diketahui bagaimana bentuk
masjid pada masa itu, apakah pondasi itu
langsung menyatu dengan tiang masjid dan
permukaan tanah sebagai lantai atau bentuk
masjid gantung (panggung) yang sering disebut
surau, sebagaimana beberapa bentuk masjid
kuno atau surau di Jawa, atau bentuk masjid
yang ada di wilayah Leihitu, Maluku Tengah
yakni masjid Hasan Sulaeman pada abad 17
(Tim Penelitian, 2012).
Di Negeri Haya, hampir tidak ada ciri
yang dapat dikenali bahwa masjid kuno di Haya
berbentuk surau. Dari sisa-sisa reruntuhan
susunan batu tampaknya masjid kuno di Negeri
Haya pada masa lampau, berukuran kecil. Hasil
pengukuran bagian yang terlihat hanya sekitar
±6-8 m2. Pengukuran ini dilakukan berdasarkan
kondisi permukaan tanah dan jejak-jejak
runtuhan susunan batu yang dapat diamati. Ini
menandakan bahwa pada masa lampau, tidak
84
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 79-90
banyak menampung jumlah penduduk yang
melakukan shalat. Meski demikian, temuan
bekas struktur pondasi masjid, membuktikan
bahwa Islam awal di Negeri Haya, menjadi bukti
paling valid, perkembangan Islam. Hal ini
karena, masjid dapat dianggap sebagai ikon
utama, atau penanda paling spesifik dan paling
jelas, bagaimana Islam tumbuh dan berkembang
di wilayah Maluku (Handoko, 2012: 39). Masjid
dapat dianggap sebagai ikon atau ciri utama
sebuah situs Kerajaan Islam, hal ini karena dalam
tradisi Islam sejak Nabi Muhammad SAW
pendirian kerajaan Islam senantiasa didahului
dengan pembangunan masjid serta dianggap
sebagai pusat kegiatan dalam segala aspek
kehidupan umat (Salam, 1960: 19; Gazalba,
1966; Mahmud, 2003: 40).
Gambar 3. Makam Kuno di Negri Lama Tohia,
Desa Haya
(Sumber: Tim Penelitian, 2013)
Data arkeologi lainnya yang ditemukan
berasosiasi dengan bekas masjid kuno adalah
makam kuno. Makam ini dilihat dari
keletakannya berada di sebelah barat makam, ini
artinya makam kuno ini berada di depan mihrab
msjid kuno. Keletakan seperti ini menandai ciri
masjid kuno pada umumnya di Maluku dan juga
Nusantara, makam tokoh tertentu biasanya
dimakamkan di depan mihrab masjid. Dari
keterangan penduduk, makam ini adalah makam
Imam pertama sewaktu penduduk sudah
memeluk Islam dan sudah turun dari pemukiman
lama di gunung dan bermukim di pesisir. Tidak
disebutkan nama tokoh yang dimakamkan.
Namun dari keterangan penduduk, makam ini
cukup penting peranannya dalam proses syiar
Islam di Negeri Haya. Ada beberapa makam
tokoh penting menurut keterangan penduduk,
yakni makam putra dari Maulana Idris
Bayanullah Maulana Buraya, namun menurut
penduduk, makam tersebut berada di Negeri
Lama di puncak gunung yang sulit terjangkau
dan posisi keletakannya sudah sulit dicari,
karena daerah gunung itu merupakan daerah
hutan.
Informasi penduduk yang menyebutkan
bahwa makam tersebut adalah makam dari Imam
pertama, mungkin dapat dihubungkan dengan
nama tokoh Maulana Zainal Arifn yang
mengajarkan Islam untuk pertama kalinya ketika
masyarakat bermukim di pantai. Berdasarkan
informasi tutur, tidak ada keterangan yang
berkesuaian dengan hal tersebut. Namun melihat
keletakan makam, dapat dipastikan tokoh
tersebut besar peranannya dalam proses syiar
Islam di Negeri Haya.
Morfologi makam, berupa makam dengan
tanda kubur atau nisan tunggal yang tampaknya
diletakkan di bagian tengah dari jirat makam
yang terdiri dari susunan batu pipih berwarna
hitam, jenis batu yang sama yang ada pada
susunan batu pondasi masjid kuno di sebelahnya.
Melihat letak nisan yang berada di tengah jirat
susunan batu, ini sangat berbeda dengan makam
kuno Islam lainnya yang biasanya di letakkan di
bagian kepala. Bentuk makam seperti ini,
tampaknya memberi kesan adanya pengaruh
Islam dari wilayah Maluku Utara, karena dalam
penelitian disana, ditemukan makam berbentuk
bulat dengan nisan berada di tengah di wilayah
Galela dan Kao, Halmahera Utara (Tim
Penelitian, 2014). Melihat bentuknya, nisan
maupun jirat susunan batu, tersusun dari jenis
batu yang sama. Bahan ini sama juga seperti
susunan batu pondasi masjid. Asal usul dapat
diketahui berasal dari wilayah setempat, karena
sepanjang survei di kawasan ini, banyak
dijumpai bahan batu serupa di beberapa area,
baik area sungai maupun di areal pemukiman
penduduk. Susunan batu jirat makam berukuran
cukup besar yakni 3x2 m, dengan ukuran nisan
yang relatif kecil dibanding besarnya jirat.
Selain kedua fitur yang sudah diauraikan
di atas, temuan artefaktual yang ditemukan di
lokasi situs itu adalah gerabah dan keramik.
Jumlah gerabah sangat minim dibandingkan
temuan keramik yang terbilang banyak.
Tampaknya jenis keramik menunjukkan
kronologi yang sesuai dengan kronologi
85 Arkeologi Sejarah Islam di Pesisir Selatan Pulau Seram Maluku Tengah, Wuri Handoko
masuknya Islam sesuai cerita dari masyarakat
yakni akhir abad 17. Jenis keramik kebanyakan
jenis keramik produk China dari masa Dinasti
Qing.
Gambar 4. Temuan berbagai Jenis keramik China
abad 17-19 M
(Sumber: Tim Penelitian, 2013)
Di Negeri Tamilow, keberadaan masjid
kuno yang sekarang sudah berganti dan
diperbaharui menjadi masjid modern, tidak bisa
dipisahkan dari peran Tamagola, sebagaimana
disebutkan dalam informasi tutur. Masjid Kuno
dibangun sebagai representasi bahwa negeri
secara remi telah menjadi Islam sebagai agama
publik. Berdasarkan informasi tutur, masjid di
bangun tahun 1830 dan selesai dibangun tahun
1842. Tampaknya informasi tersebut
kemungkinan merujuk pada perubahan pertama
kali bentuk masjid pada saat membangun
kembali masjid. Kemungkinan jika berdasarkan
historiografi Islam lokal, perkembangan Islam di
Pulau Seram berlangsung pada abad 17, oleh
karena itu tidak menutup kemungkinan masjid
kuno di Tamilouw pertama kali di bangun pada
masa itu, meskipun dalam bentuk yang masing
sangat sederhana. Ini sesuai juga berdasakan
informasi tutur bahwa pada awal dibangun
masjid masih sangat sederhana berbentuk
mushola atau surau yang dibuat dari bahan
ramuan setempat yang mudah lapuk.
Selanjutnya menyangkut pembangunan masjid
tahun 1842, kemungkinan adalah pembangunan
masjid pada masa selanjutnya dan sudah
mengenal bahan-bahan yang lebih permanen.
$NLEDW�EHQFDQD�\DQJ�GLVHEXW�³%DKD\D�6HUDP´��
sekitar tahun 1899 sudah tidak tersisa lagi bentuk
asli masjid kuno. Sekarang yang dapat dilihat
adalah masjid dengan gaya masjid modern yang
menempati lokasi bekas masjid kuno.
Meskipun masjid kuno sudah hancur,
namun alat-alat kelengkapan masjid, beberapa
diantaranya masih tersimpan, yakni naskah-
naskah kuno berupa $O� 4XU¶DQ kuno dan
Lempengan Kayu berupa naskah primbon.
Kedua naskah milik koleksi Ahmad Tamagola.
Al Qur¶an kuno terbuat dari kertas Eropa, terdiri
dari 30 juz. Berbeda dengan jenis $O� 4XU¶DQ
kuno lainnya yang pernah ditemukan di Maluku,
$O�4XU¶DQ ini setiap juz terpisah satu sama lain
tidak dalam satu jilid penuh. Jadi setiap juz
dijilid terpisah-pisah. Dalam lembaran naskah
tidak ditemukan gambar illustrasi dan illuminasi
naskah. Ukuran naskah, panjang 21 cm dan lebar
16 cm, sedangkan pada halaman kertas, ukuran
naskah panjang 16, dan lebar 11 cm. Kondisi
naskah sudah lapuk dan tampak kurang terawat,
beberapa bagian lembaran naskah banyak yang
rusak dan tak terbaca.
Gambar 5. Naskah $O�4XU¶an Kuno Koleksi Ahmad
Tamagola, Desa Tamilouw
(Sumber: Tim Penelitian, 2013)
Selain $O�4XU¶DQ kuno, data naskah kuno
Islam lainnya yang penting adalah sejenis
naskah primbon yang dituliskan di atas
lempengan kayu yang berbentuk seperti cermin,
berbentuk bundar, dengan diameter lingkaran 30
cm dan diberi gagang dengan panjang gagang 13
cm. Lempengan kayu itu terdiri dari dua sisi,
yang ditangkupkan, menyerupai cermin. Jika
dibuka, terlihat bagian dalam permukaan kayu
terdapat tulisan Arab Jawi (huruf Arab,
berbahasa Melayu). Bagian permukaan luar,
terlihat ukir-ukiran, dan bagian dalam polos, di
bagian itu tertulis hurub Arab Pegon, berupa
catatan yang kurang dipahami, semacam
primbon ramalan-ramalan dan pertanggalan.
Pada satu lempeng di dalamnya memuat
86
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 79-90
semacam ramalan-ramalan dan di lempeng yang
lainnya memuat pertanggalan.
Gambar 6. Lempeng I Naskah Peratanggalan Kuno
ditulis diatas lempengan terbuat dari kayu
(Sumber: Tim Penelitian, 2013)
Gambar 7. Lempeng II Naskah Peratanggalan Kuno
ditulis diatas lempengan terbuat dari kayu
(Sumber: Tim Penelitian, 2013)
Dari dua sisi lempeng, masing-masing
lempeng bagian dalamnya berisi catatan yang
berbeda. Lempeng I, berupa lingkaran konsentris
yang dibagi rata menjadi 30 bagian yang sama
besar, setiap bagian itu ditandai oleh tulisan yang
berisi nama-nama binatang mungkin simbol
ramalan tertentu dan simbol-simbol angka yang
tidak dipahami. Nama nama binatang yang
tertera diantaranya yang dapat baca adalah
kambing, jaran (bahasa Indonesia: kuda), ikan,
kujang (kijang?), sapi, kerbau, gajah dan lain
lain. Di bawah yang tertera nama-nama binatang
terdapat lingkaran-lingkaran kecil berjumlah 5-6
yang disusun ke bawah, mungkin menyimbolkan
jumlah hari tertentu. Catatan ini sulit dipahami
maksudnya, tetapi mungki berhubungan dengan
ramalan-ramalan atau primbon yang berasal dari
Jawa. Pada Lempeng II,catatan yang tertera
berupa nama-nama hari, yang disusun tidak
berurut.
Terdapat satu buah timbangan kuno zakat
fitrah. Terbuat jenis kayu berbahan keras, yakni
kayu bintanggur, seperti kebanyakan alat-alat
perlengkapan masjid kuno di Maluku. Ukuran
timbangan terdiri dari panjang tangkai 67 cm dan
panjang timbangan 71 cm. Sebagi pemberat
terbuat dari batu andesit, menjadi pemberat
timbangan zakat fitrah 2,5 kg.
Gambar 8. Timbangan zakat fitrah dan batu
timbangannya di Negeri Tamilouw
(Sumber: Tim Penelitian, 2013)
Jaringan dan Politik Islamisasi di Pesisir
Selatan Pulau Seram Di wilayah pesisir selatan Pulau Seram
dengan lokasi Negeri Haya dan Tamilou
tampaknya dapat memberikan andil dalam
mnyumbangkan informasi tentang jaringan
Islamisasi di wilayah Pulau Seram khususnya
dan di Maluku pada umumnya. Dari catatan
sejarah yang ada dan setelah dikonfirmasi
dengan informasi tutur setidaknya terdapat
kesesuaian tentang peran-peran kerajaan Islam
besar di wilayah Maluku dalam mendukung
proses penyebaran Islam.
Jaringan Islamisasi dari Jawa kemudian
ke Hitu, Banda dan Kei, Papua kemudian masuk
ke pesisir selatan Seram sebagaimana dituturkan
oleh masyarakat di Negeri Haya, kemudian
informasi dari Tamilouw menyangkut adanya
peran Ternate dan Hitu sebagai rantai
penyebaran Islam di wilayah tersebut, dengan
salah satu bukti adanya marga Pelu yang masuk
dalam aliansi Tiga Opu Guru bersama marga
Tamagola dan Waelisa dari Ternate dan Pelu
dari Hitu.
Menurut informasi setempat proses
penyebaran Islam di wilayah itu datang secara
bertahap dan bergelombang. Para penyiar Islam
datang ke wilayah pesisir selatan Seram,
termasuk Tamilouw, menyebarkan Islam,
kemudian meninggalkan lokasi, namun beberapa
87 Arkeologi Sejarah Islam di Pesisir Selatan Pulau Seram Maluku Tengah, Wuri Handoko
tetap tinggal di lokasi dan melanjutkan syiar
Islam dan menyatu dengan penduduk, bahkan
menikah dengan penduduk setempat,
menghasilkan keturunan, dan secara turun
temurun melahirkan marga-marga sampai
sekarang. Beberapa marga yang ada di
Tamilouw sekarang ini berasal dari banyak
tempat asal-usul dari kedatangan para penyiar
Islam dari berbagai wilayah. Paling banyak
adalah marga Tamagola, Wailisa, dan Pelu. Tiga
marga ini konon berasal dari para penyiar Islam
atau guru, yang berasal dari Maluku Utara
(Tamagola dan Wailisa) serta Pelu yang bersal
dari Hitu. Tamagola, Wailisa, dan Pelu ini
kemudian disatukan sebagai marga-marga adat
atau marga asli negeri Tamilouw. Tiga marga ini
berasal dari nama penyiar Islam, dikenal dengan
Tiga Opu Guru, yang kemudian melahirkan
aliansi atau kekerabatan tiga marga besar di
Tamilouw. Selain marga-marga tersebut di
Tamilouw juga ada marga-marga yang asal±
usulnya dari pendatang atau penyiar Islam dari
kerajaan-kerajaan Islam Jawa dan Buton. Marga
yang berasal dari Buton memiliki nama marga
Hatani.
Dalam proses penyebaran Islam,
masyarakat negeri Tamilouw juga mengenal
tokoh penyebar Islam yang berasal dari Arab
bernama Syekh Muhammad Ali Hanafi.
Kedatangan Muhammad Ali Hanafi tidak
banyak diceritakan, namun informasi sekilas
bahwa kedatangannya ke pesisir selatan
bersamaan dengan para pedagang atau penyiar
Islam Nusantara lainnya. Keturunan marga dari
Arab ini juga tidak disinggung, hal ini mungkin
karena proses syiar Islam dilakukan dengan
datang bergelombang dan silih berganti.
Beberapa penyiar Islam yang kemudian
menurunkan marg-marga yang hidup sekarang
ini, adalah karena penyiar Islam itu tetap tinggal
di lokasi atau tidak kembali ke negeri asalnya.
Pada masa itu datang seorang penganjur
Islam, bernama Maulana Idris Bayanullah dan
seorang pengawalnya bernama Hula Puti. Hula
Puti menurut informasi tutur merupakan seorang
nahkoda yang mengiringi Maulana Idris dalam
melakukan perjalanan syiar Islam hingga sampai
ke wilayah pesisir selatan Pulau Seram ini.
Konon menurut sumber tutur, Maulana Idris
datang dari Persia, yang masuk ke Indonesia
melalui selat Malaka. Dari keterangan
masyarakat hadirnya Islam di pesisir selatan
Pulau Seram termasuk di Negeri Haya,
merupakan bagian dari jaringan Islamisasi yang
hadir melalui jalur selatan yakni Jawa, Sunda
kecil, Sulawesi dan Maluku.
Menyangkut nama Maulana Idris
Bayanullah seperti yang sudah disinggung
sebelumnya merupakan penyebar Islam dari
Persia yang melakukan perjalanan Syiar Islam
diiringi seorang Nahkoda bernama Hula Puti
serta diiringi oleh 25 penumpang, yang
melakukan perjalanan mulai dari Sumatra Utara
pada tahun 1612. Sampai di Maluku masuk
melalui Hitu, tahun 1649. Sebelum sampai di
Maluku, saat singgah di Jawa, salah seorang
diantara 25 orang itu yakni Maulana Malik
Ibrahim, menyebarkan Islam. Ketika sampai di
pesisir selatan Pulau Seram, Maulana Idris
Bayanullah memperkenalkan Islam ke penduduk
dan meresmikan atau mendirikan negeri
(kerajaan) Islam di Haya.
Di Maluku, perjalanannya sampai ke
Haya, dimulai dari Hitu, Banda, Kei, Papua
kemudian masuk ke Pulau Seram. Dalam
keterangan penduduk, Islam masuk di pesisir
selatan Seram, pada tahun 1697. Pada masa itu
penduduk masih bermukim di negeri tua atau
negeri lama di gunung. Dari informasi tetua adat,
ada beberapa negeri tua pada masa itu yakni:
Lesilala, Halana, Yanua, Manapa, Munia dan
Ailatu. Setelah masuknya agama Islam dan
diterima masyarakat, tak lama kemudian
wafatlah Maulana Idris Bayanullah, kemudian
syiar Islam dilanjutkan oleh Maulana Zaenal
Arifin, seorang ulama yang mengajarkan Islam,
setelah masyarakat bermukim di pesisir.
Dari data arkeologi yang ditemukan
mekipun masih sangat minim, dapat menambah
penjelasan tentang bagaimana jaringan
Islamisasi dan perdagangan terbentuk. Jika
berdasarkan infromasi penduduk, menyangkut
jalur selatan melalui Jawa, Hitu hingga ke Pulau
Seram, tampaknya terdapat kesesuaian. Di
Tamilouw, pengaruh Islam berasal dari Jawa
maupun daerah lainnya cukup kuat. Konversi
Islam yang berlangsung di Tamilouw, salah
satunya dicirikan proses konvesri Islam yang
bersifat top-down. Proses tersebut dicirikan oleh
elit masyarakat mengadopsi dan mengkonversi
Islam selanjutnya diikuti oleh masyarakat
pengkutnya, konversi bersifat top-down, pada
dasarnya berhubungan dengan kekuasaan dan
politik (Reid, 1995; Lape, 2000a, 2000b Lape,
2000c). Dengan demikian, penyebaran pengaruh
Islam di pesisir selatan Pulau Seram
88
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 79-90
berhubungan pula dengan determinasi
kekuasaan. Hal ini karena dalam berbagai
penelitian arkeologi Islam, tampaknya
memberikan penjelasan bahwa di wilayah
Maluku, penyebaran Islam, sangat kuat dianggap
karena dukungan letak geografis, sumberdaya
alam dan kekuasaan politik kerajaan-kerajaan
Islam. Di wilayah Maluku, perdagangan,
kekuatan (power) dan kekuasaan politik
kerajaan-kerajaan pusat Islam turut
mempengaruhi luas dan cepatnya perkembangan
Islam, bahkan kemungkinan Islamisasi
mengikut proses ekspansi kekuasaan (Putuhena;
2001:62; Handoko, 2010: 10; Handoko, 2009a:
3-4).
Dalam proses politik, seorang raja tentu
memiliki otoritas dan pengaruh besar dalam
proses konversi Islam masyarakatnya. Pada saat
seorang raja memeluk Islam, maka rakyat juga
akan berlomba mengikuti jejak pemimpinnya
untuk mengkonversi Islam. Ikatan primordial
dan feodal menciptakan masyarakat Nusantara
memiliki ketaatan dan kepatuhan yang tinggi
terhadap seorang raja yang menjadi panutan bagi
rakyatnya. Setelah raja dan rakyat memeluk
agama Islam, maka kepentingan politik
dilakukan dengan cara perluasan wilayah
kerajaan, yang diikuti dengan penyebaran agama
Islam. Di wilayah Maluku, bukti-bukti arkeologi
dan historis secara jelas memperlihatkan adanya
integrasi pemerintahan, kekuasaan dan politik
Islam diantara daerah-daerah pusat dan wilayah
kekuasaan Islam (Handoko, 2009:4). Bagi
banyak orang Maluku, Islam memberikan
kerangka ideologis untuk melawan pengaruh
budaya dan kontrol politik Eropa dan sebagai
alat pemersatu dari entitas politik yang berbeda
(Andaya, 1993; Reid, 1993b: 147; Lape, 2000c).
Islam adalah alat politik yang digunakan oleh
para pemimpin untuk mengkonsolidasikan
kekuasaan mereka dalam bentuk monarki yang
sesuai dalam doktrin Islam dan melemahkan
lawan mereka dalam usaha mengontrol
perdagangan dan politik (Johns, 1995; Reid,
1995; Ricklefs, 1979; Lape, 2000c).
Dalam konteks politik Islamisasi,
penyebaran Islam secara politis, dapat ditinjau
dari data yang ditemukan di Negeri Tamilouw.
Di Tamilouw, informasi menyangkut penyebar
Islam sebagai utusan Kesultanan Ternate, yakni
Gimelaha Gumbi (Tamagola) dapat
mengkonfirmasi adanya jejak syiar Islam
melalui proses politik. Gimelaha Gumbi diangap
tokoh yang secara resmi menjadikan Islam
sebagai agama kerajaan atau negeri Tamilouw
dengan menyatukan marga-marga di Tamilouw
untuk masuk Islam dan mendirikan masjid
sebagai representasi Islam resmi menjadi agama
kerajaan (negeri). Selain proses itu, mengikut
pula jejaring dan aktifitas niaga, melalui
pertukaran komoditi. Produk asing yang
dipertukarkan misalnya keramik, di wilayah
pesisir selatan Seraam cukup marah
dipertukarkan dnegan komoditi setempat
misalnya cengkeh. Temuan sebaran keramik di
negeri-negeri seperti Haya dan Tamilou dalam
penelitian ini member bukti bahwa perdagangan
cukup intensif, bersamaan dengan terbentuknya
jaringan Islamisasi di pesisir selatan Pulau
Seram.
Di Tamilouw juga dikenal kelompok
kekerabatan dengan nama Rajawane Latu, yang
berasal dari kumpulan raja dan wali. Pada masa
lampau pada saat syiar Islam banyak wali atau
penyebar Islam yang berintegrasi, membangun
kerukunan dan kekerabatan dengan raja,
sehingga dibentuk institusi atau kelembagaan
bernama Rajawane Latu tersebut. Selain marga-
marga yang berasal dari keturunan para penyiar
Islam, di Tamilouw juga terdapat beberapa
marga yang asli keturunan atau berasal marga
masyarakat setempat atau pribumi yakni
Husalenu, Wawain, Samano, Walite dan Lessi.
Berdasarkan kelompok marga, di wilayah
Negeri Tamilouw masyarakatnya terdiri dari dua
kelompok yakni marga Patasiwa dan Patalima,
dan masing-masing marga memiliki rumah
pusaka yang memberi arti pada simbol
kekerabatan marga tersebut.
Menyangkut nama Tamagola sebagai
penyiar Islam di wilayah pesisir selatan Seram,
masyarakat menyebut bahwa tokoh tersebut,
berhubungan dengan masalah politik dan
kekuasaan, karena Tamagola sesungguhnya
utusan khusus Ternate yang memang
ditempatkan di wilayah Tamilouw. Dalam
keterangan masyarakat, utusan Ternate tersebut
bernama Gimelaha Gumbi (Tamagola), yakni
utusan Sultan Ternate yang ditempatkan di
wilayah seberang dalam hal ini Tamilouw dan
wilayah-wilayah pesisir selatan Seram lainnya.
Di Tamilouw, Tamagola dianggap tokoh yang
menyatukan masyarakat Tamilouw. Hal ini
karena Tamilouw terdiri dari beberapa anak
desa, yang masing-masing di huni oleh tiap-tiap
marga yang berbeda. Pada masa itu Tamagola
89 Arkeologi Sejarah Islam di Pesisir Selatan Pulau Seram Maluku Tengah, Wuri Handoko
pertama kali datang di Wapotih, negeri lama di
pesisir sebelum pindah ke Tamilouw sekarang
ini. Pada masa itu, setelah dari Wapotih,
Tamagola sempat meninggalkan negeri itu dan
pergi ke Banda. Karena ada bencana wabah
kolera di Banda, Tamagola kembali ke
Tamilouw, dan menyatukan penduduk ke dalam
negeri Tamilouw dan secara resmi menjadikan
Islam sebagai agama resmi penduduk.
KESIMPULAN Hasil penelitian arkeologi memberikan
gambaran adanya pengaruh dan jaringan
Islamisasi di wilayah pesisir selatan Pulau
Seram, yang selama ini minim disebut dalam
histroriografi Islam di Maluku. Dari berbagai
informasi yang diporeh baik dari tradisi tutur
maupun data arkeologi, paling tidak menambah
informasi yang selama ini kurang lengkap. Data
arkeologi dapat memberikan bukti atau
mengkonfirmasi teks-teks sejarah yang selama
ini menjadi catatan utama.
Berdasarkan penelitian ini kiranya dapat
disimpulkan beberapa hal yakni: pertama,
indikasi Islamisasi melalui jalur selatan dan
masuk ke wilayah selatan Ulau Seram cukup
kuat dan intensif hal ini dibuktikan dnegan
berbagai informasi data arkeologi maupun
informasi tutur. Perkembagan agama Islam
cukup kuat hadir di wilayah pesisir selatan
dengan adanya negeri-negeri adat berkarakter
Islam, serta kronologi Isalmisasi yang cukup tua,
hadir di wilayah pesisir selatan Pulau Seram.
Bukti-bukti arkeologi adanya pengaruh Islam
dengan temuan makam-makam kuno dan masjid
kuno mengindikasikan hal itu. Selain itu bukti
perkembangan Islam juga mengintegrsikan
masyrakat-masyarakat lokal pada masa lampau
dengan secara bersama mengkonversi agama
Islam. Kedua, berdasarkan bukti-bukti arkeologi
dan sejarah lisan masyarakat setempat, maka
penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa
jaringan Islamisasi yang terbentuk di wilayah
pesisir selatan Pulau Seram, selain berasal dari
tanah asal Islam, yakni Arab dan Persia, juga
berasal dari Jawad dan pusat-pusat kekuasaan
Islam di Kepulauan Maluku, yakni Hitu dan
Ternate. Pengaruh Ternate, khususnya
berhubungan dengan politik kekuasaan Islam,
yang menempatkan wakil kekuasaan Islam di
Ternate, secara politis membentuk jaringan
ekspansi Islam di wilayah tersebut.
Rekomendasi penting untuk penelitian
tindak lanjut adalah jangkauan peneitian perlu
diperluas lagi mencakup kesleuruhan kawasan
pesisir selatan Pulau Seram serta upaya
pencarian bukti-bukti arkeologis di bawah tanah
untuk memperkuat penjelasan menyakut
aktifitas dan perkembangan Islam.
*****
DAFTAR PUSTAKA Amal,Adnan M. (2010). Kepulauan Rempah-rempah
Perjalalanan Sejarah Maluku Utara 1250-
1950. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia.
Ambary, Hasan Muarif. (1998). Menemukan
Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia.
Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Logos. Wacana Ilmu.Jakarta.
Ambary, Hasan Muarif, Sugeng Riyanto, Max
Manuputty. (1996). Survei Arkeologi Islam di
Ternate dan Tidore Provinsi Maluku. Ambon.
Proyek Penelitian Purbakala.
Deetz, James. (1967).Invitationto Archeology. New
York:TheNaturalHistoryPress.
Handoko, Wuri. (2007).Peran Strategis Wilayah
Kepulauan Gorom dalam Kontak Awal Budaya,
Perkembangan Perdagangan dan Budaya Islam
di Maluku.Berita Penelitian Arkeologi
(BPA)Vol. 2 Nomor 4 Tahun 2007. Balai
Arkeologi Ambon.
Handoko, Wuri. (2009a). Ekspansi dan Rivalitas
Kekuasaan Islam : Pengaruhnya di Wilayah
Negeri Siri Sori Islam, Pulau Saparua, Maluku
Tengah. Kapata Arkeologi.Volume 5 Nomor 8
Juli 2009.
Handoko, Wuri. (2010). Konversi Islam dan
Determinasi Kekuasaan. Studi Arkeologi di
Kawasan Teluk Waru, Kabupaten Seram Bagian
Timur. Kapata Arkeologi. Vol. 6. Nomor 10.
Ambon. Balai Arkeologi Ambon.
Lape, P. V. (2000a). Contact and colonialism in the
Banda Islands, Maluku, Indonesia. Bulletin of
the Indo-Pacific Prehistory Association 20(4):
48±55.
Lape, P. V. (2000b).Contact and Conflict in the
Banda Islands, Eastern Indonesia, 11th±17th
Centuries. Ph.D. Dissertasi. Brown University.
Lape, P. V. (2000c). Political dynamics and religious
change in the late pre-colonial Banda Islands,
Eastern Indonesia. World Archaeology 32(1).
Leirizza. (2001). Jalur Sutera: Integrasi Laut-Darat
dan Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutera.
Dalam M.J. Abdulrahman, et.al. Ternate:
Bandar Jalur Sutera, Ternate: LinTas (Lembaga
Informasi dan Transformasi Sosial).
90
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 79-90
Sharer, dan Ashmore. (1980). Fundamentals Of
Archaeology. London: The Benjamin
Cummings Publishing Company.
Ricklefs, M.C. (2008).Sejarah Indonesia Modern
1200-2004. Jakarta. PT Serambi Ilmu Semesta.
Tjandrasasmitha, Uka. (2009).Arkeologi Islam
Nusantara. Jakarta. Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG).
Putuhena, Shaleh. (2001). Proses perluasan agama
Islam di Maluku Utara. Dalam M.J.
Abdulrahman, et.al. Ternate: Bandar Jalur
Sutera, Ternate: LinTas (Lembaga Informasi
dan Transformasi Sosial).