ARKEOLOGI SEJARAH ISLAM DI PESISIR SELATAN PULAU ...

12
Kapata Arkeologi, 12(1), 79-90 ISSN (cetak): 1858-4101 ISSN (elektronik): 2503-0876 http://kapata-arkeologi.kemdikbud.go.id 79 © Kapata Arkeologi Balai Arkeologi Maluku. Bebas akses di bawah lisensi CC BY-NC-SA. Nomor Akreditasi: (LIPI) 678/Akred/P2MI-LIPI/07/2015. ARKEOLOGI SEJARAH ISLAM DI PESISIR SELATAN PULAU SERAM MALUKU TENGAH Archaeological History of Islam in Coastal South Seram Island, Centre of Maluku Wuri Handoko Balai Arkeologi Maluku - Indonesia JL. Namalatu-Latuhalat Ambon 97118 [email protected] Naskah diterima: 14/09/2016; direvisi: 21/11 - 08/12/2016; disetujui: 15/12/2016 Publikasi ejurnal: 30/12/2016 Abstract The history of Islamization in the region Seram Island Maluku until recently only records the Kingdom Hoamoal as the center of Islamization in the region. However, the formation of customary lands inhabited by the Muslim community is appealing to uncover where Islam originated and how it goes. This research is focused to see Islamization networks formed on indigenous lands in the southern coastal areas of the island of Seram by conducting the archaeological research that adopted survey method and oral history interviews to discover traces of the presence of Islam. This study found that Islamization in the southern coastal areas of the island of Seram, arised from the central region of Islam in the Maluku Islands; with another possibility that have been introduced from Java and the homeland of Islam, Arab and Persia. The study also found the formation process of political networks in the spread of Islam to get to the southern coastal areas of the island of Seram. Keywords: deployment, Islam, network, politics, coastal Seram Abstrak Dalam sejarah Islamisasi di wilayah Pulau Seram Maluku sejauh ini, hanya menyebut Kerajaan Hoamoal sebagai pusat Islamisasi di wilayah tersebut. Meski demikian, terbentuknya negeri-negeri adat yang dihuni komunitas muslim, menarik untuk diungkap dari mana Islam berasal dan bagaimana perkembangannya. Penelitian ini difokuskan untuk melihat jaringan Islamisasi yang terbentuk pada negeri-negeri adat di wilayah pesisir selatan Pulau Seram. Melalui penelitian arkeologi, dengan metode survei serta wawancara untuk menelusuri sejarah lisan jejak kehadiran Islam. Penelitian ini menemukan bahwa Islamisasi di wilayah pesisir selatan Pulau Seram, berasal dari wilayah pusat kekuasaan Islam di Kepulauan Maluku, juga kemungkinan dari Jawa dan tanah asal Islam dari Arab dan Persia. Penelitian ini juga menemukan bagaimana terbentuknya jaringan politik dalam proses penyebaran Islam hingga sampai ke wilayah pesisir selatan Pulau Seram. Kata Kunci: Islamisasi, jaringan, politik, Seram PENDAHULUAN Pulau Seram termasuk salah satu pulau terbesar di wilayah Kepulauan Maluku dengan luas 18.625 km 2 . Informasi sejarah Islam dan penyebarannya di wilayah Pulau Seram, terutama wilayah pesisir selatan, sampai saat ini masih minimal. Sejauh ini penelitian arkeologi, berdasarkan data sekunder, menitik beratkan penelitiannya di wilayah yang dianggap sebagai pusat peradaban Islam. Di wilayah Maluku, pesisir selatan Pulau Seram sejauh ini tidak banyak termuat dalam historiografi Islam. Dalam banyak catatan, wilayah penyebaran Islam di wilayah Pulau Seram, lebih dititikberatkan di wilayah Seram Bagaian Barat yakni bukti-bukti peninggalan Kerajaan Hoamoal. Sejarah mencatat, Ternate dan Tidore adalah dua kerajaan di wilayah Maluku Utara yang dapat dipresentasikan sebagai wilayah pusat kekuasaan Islam di wilayah Maluku Utara. Ternate, pengaruhnya ke wilayah selatan Maluku, meliputi Pulau Ambon, Haruku,

Transcript of ARKEOLOGI SEJARAH ISLAM DI PESISIR SELATAN PULAU ...

Kapata Arkeologi, 12(1), 79-90

ISSN (cetak): 1858-4101

ISSN (elektronik): 2503-0876

http://kapata-arkeologi.kemdikbud.go.id

79 © Kapata Arkeologi � Balai Arkeologi Maluku. Bebas akses di bawah lisensi CC BY-NC-SA.

Nomor Akreditasi: (LIPI) 678/Akred/P2MI-LIPI/07/2015.

ARKEOLOGI SEJARAH ISLAM DI PESISIR SELATAN PULAU

SERAM MALUKU TENGAH

Archaeological History of Islam in Coastal South Seram Island,

Centre of Maluku

Wuri Handoko Balai Arkeologi Maluku - Indonesia

JL. Namalatu-Latuhalat Ambon 97118

[email protected]

Naskah diterima: 14/09/2016; direvisi: 21/11 - 08/12/2016; disetujui: 15/12/2016

Publikasi ejurnal: 30/12/2016

Abstract

The history of Islamization in the region Seram Island Maluku until recently only records the

Kingdom Hoamoal as the center of Islamization in the region. However, the formation of

customary lands inhabited by the Muslim community is appealing to uncover where Islam

originated and how it goes. This research is focused to see Islamization networks formed on

indigenous lands in the southern coastal areas of the island of Seram by conducting the

archaeological research that adopted survey method and oral history interviews to discover

traces of the presence of Islam. This study found that Islamization in the southern coastal

areas of the island of Seram, arised from the central region of Islam in the Maluku Islands;

with another possibility that have been introduced from Java and the homeland of Islam,

Arab and Persia. The study also found the formation process of political networks in the

spread of Islam to get to the southern coastal areas of the island of Seram.

Keywords: deployment, Islam, network, politics, coastal Seram

Abstrak

Dalam sejarah Islamisasi di wilayah Pulau Seram Maluku sejauh ini, hanya menyebut

Kerajaan Hoamoal sebagai pusat Islamisasi di wilayah tersebut. Meski demikian,

terbentuknya negeri-negeri adat yang dihuni komunitas muslim, menarik untuk diungkap dari

mana Islam berasal dan bagaimana perkembangannya. Penelitian ini difokuskan untuk

melihat jaringan Islamisasi yang terbentuk pada negeri-negeri adat di wilayah pesisir selatan

Pulau Seram. Melalui penelitian arkeologi, dengan metode survei serta wawancara untuk

menelusuri sejarah lisan jejak kehadiran Islam. Penelitian ini menemukan bahwa Islamisasi

di wilayah pesisir selatan Pulau Seram, berasal dari wilayah pusat kekuasaan Islam di

Kepulauan Maluku, juga kemungkinan dari Jawa dan tanah asal Islam dari Arab dan Persia.

Penelitian ini juga menemukan bagaimana terbentuknya jaringan politik dalam proses

penyebaran Islam hingga sampai ke wilayah pesisir selatan Pulau Seram.

Kata Kunci: Islamisasi, jaringan, politik, Seram

PENDAHULUAN Pulau Seram termasuk salah satu pulau

terbesar di wilayah Kepulauan Maluku dengan

luas 18.625 km2. Informasi sejarah Islam dan

penyebarannya di wilayah Pulau Seram,

terutama wilayah pesisir selatan, sampai saat ini

masih minimal. Sejauh ini penelitian arkeologi,

berdasarkan data sekunder, menitik beratkan

penelitiannya di wilayah yang dianggap sebagai

pusat peradaban Islam. Di wilayah Maluku,

pesisir selatan Pulau Seram sejauh ini tidak

banyak termuat dalam historiografi Islam.

Dalam banyak catatan, wilayah penyebaran

Islam di wilayah Pulau Seram, lebih

dititikberatkan di wilayah Seram Bagaian Barat

yakni bukti-bukti peninggalan Kerajaan

Hoamoal. Sejarah mencatat, Ternate dan Tidore

adalah dua kerajaan di wilayah Maluku Utara

yang dapat dipresentasikan sebagai wilayah

pusat kekuasaan Islam di wilayah Maluku Utara.

Ternate, pengaruhnya ke wilayah selatan

Maluku, meliputi Pulau Ambon, Haruku,

80

Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 79-90

Saparua, Buru, Seram Bagian Barat dan Tengah.

Sementara itu Tidore meluaskan pengaruhnya ke

wilayah pesisir utara Pulau Seram dan wilayah

kepulauan di sisi paling timur Pulau Seram,

yakni Gorom dan Seram Laut hingga ke wilayah

Kepulauan Raja Ampat Irian Jaya (Leirissa,

2001: 8; Putuhena, 2001; Jaffar, 2006; Amal,

2010).

Bukti arkeologis untuk memberikan

dukungan terhadap informasi sejarah

menyangkut Islamisasi di wilayah Pulau Seram

sebelum ini masih nihil. Sejauh ini penelitian

arkeologi, berdasarkan data sekunder, baru

menitikberatkan penelitian arkeologi Islam di

wilayah yang dianggap sebagai pusat peradaban

Islam. Sementara itu, wilayah pesisir selatan

Pulau Seram tidak banyak termuat dalam

historiografi Islam di wilayah Maluku. Di satu

sisi, kajian ini juga akan melengkapi informasi

sejarah tersebut. Dari informasi sejarah, kita

tidak memperoleh gambaran jelas bagaimana

proses perkembangan Islam di daerah-daerah

ekspansi Islam yang dimaksudkan dalam teks

sejarah.

Fakta-fakta arkeologis, menghadirkan

bagaimana proses bertumbuh dan

berkembangnya Islam di daerah-daerah ekspansi

kekuasaan Islam dimaksud. Oleh karenanya

lokasi kajian ini, ditujukan di wilayah-wilayah

yang menjadi perluasan Islam sebagaimana

dimaksud dalam teks sejarah, sekaligus dari itu

diperoleh gambaran lebih utuh tentang Islam di

Maluku. Adanya komunitas-komunitas muslim

di wilayah yang menempati negeri-negeri tua

atau negeri-negeri adat menarik untuk ditelusuri

bagaimana awal perkembangan Islam, dari mana

pengaruh Islam berasal, bagaimana karaktersitik

Islam yang berkembang, agar informasi tentang

sejarah dan budaya masyarakat dapat diungkap.

Penelitian ini untuk mengungkap

penyebaran pengaruh Islam di wilayah pesisir

selatan Pulau Seram. Hingga saat ini belum

diketahui dari mana jalur masuk Islamisasi di

wilayah tersebut. Selain itu juga belum adanya

potensi data arkeologi Islam yang ditemukan,

mengakibatkan wilayah ini masih belum bisa

diangkat dalam teks historiografi Islam di

Wilayah Maluku. Berdasarkan catatan tersebut,

maka rumusan masalah dalam penelitian

arkeologi Islam di wilayah ini, dapat diuraikan

sebagai berikut: pertama, dari mana jalur

masuknya Islam di wilayah tersebut dan dari

mana perkembangan Islam berasal? Kedua,

bagaimana perkembangan Islam di wilayah

negeri-negeri Islam di pesisir selatan Pulau

Seram?

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka

penelitian ini tidak hanya terfokus pada

penelitian arkeologi, tetapi juga bertendensi

sejarah. Kajian historis mencoba mempelajari

dan mengkaji sejarah tutur berkaitan dengan

agenda Islamisasi dan perdagangan di wilayah

tersebut. Penelitian ini hendak menjelaskan

perkembangan Islam di wilayah negeri-negeri

Islam di wilayah pesisir selatan Pulau Seram.

Selain itu juga bermaksud menggambarkan dan

menjelaskan pengaruh Islamisasi di wilayah

tersebut, jalur masuknya dan asal wilayah

penyebar Islam di daerah tersebut, serta

menjelaskan dinamika dan karakteristik budaya

Islam yang berkembang.

Hingga saat ini, teori tentang jalur

Islamisasi di Kepulauan Maluku (Provinsi

Maluku dan Maluku Utara) masih terus dikaji.

Beberapa pendapat yang mengemukakan teori

masuknya Islam di wilayah ini diantaranya oleh

Mailoa (1977), bahwa Islam berkembang di

Maluku Utara diduga berasal dari Malaka,

Kalimantan, atau Jawa. Prodjokusumo (1991),

mengemukakan bahwa Banjar dan Giri atau

Gresik cukup besar pengaruhnya dalam

sosialisasi Islam di Maluku Utara, sebelum

terjadi arus balik, yakni penyebaran Islam dari

Maluku ke arah barat yakni Buton dan daerah

lain di Sulawesi Selatan (Mailoa dan

Prodjokusumo dalam Ambary, 1998:153).

Meski demikian, penting dicatat, Islam dianggap

masuk ke wilayah Maluku pada sekitar abad 14,

seperti yang terkandung dalam tradisi lisan yang

menyebutkan Raja Ternate XII akrab dengan

pedagang Islam (Ambary, 1996:6). Berdasarkan

hal tersebut Ambary (1998), mengemukakan

kemungkinan lain bahwa Islam masuk melalui

jalan Cina Selatan dan tidak melalui Selat

Malaka. Pada abad 15, Ternate merupakan pusat

kekuatan utama penghasil rempah-rempah.

Diantara kerajaan besar lainnya, seperti Tidore,

Jailolo dan Bacan,Ternate menjadi pusat untuk

memimpin aliansi empat kerjaan tersebut

(Ambary, 1998:153-154).

Berdasarkan cerita lisan, Islam mencapai

Maluku pada pertengahan abad 15 Masehi.

Tahun 1460 raja Ternate Vongi Tidore telah

memeluk Islam dan mengambil istri seorang

keturunan bangsawan Jawa. Namun raja Ternate

yang betul-betul memeluk Islam adalah Zainal

81 Arkeologi Sejarah Islam di Pesisir Selatan Pulau Seram Maluku Tengah, Wuri Handoko

Abidin (1486-1500 M). Raja ini belajar Islam di

Giri. Dari sinilah penyiaran Islam dilakukan

diseluruh Maluku, berawal oleh pendatang dari

Jawa (Sahusilawane, 1996: 3). Leiriza (1975)

menuliskan secara historis Islam di Maluku

berkaitan erat dengan andil para saudagar Arab,

India dan Samudra Pasai. Pungkasan abad 14

disinyalir sebagai tonggak awal Islam diterima

sebagai agama resmi di Ternate. Selain Ternate

terdapat Kerajaan Tidore, Bacan dan Jailolo.

Diantara empat kerajaan tersebut, Ternate

merupakan yang terbesar (Leiriza, 1975 dalam

Leiriza, 2001:7 ).

Dapat dianggap kedua wilayah kesultanan

itu saling bersaing meluaskan kekuasaannya

hingga keluar wilayah geografisnya ke wilayah

pulau-pulau diseberang lautan. Selain pelebaran

sayap kekuasaan yang bertendensi politis,

kerajaan-kerajaan besar tersebut juga

menyebarkan dan mengembangkan paham-

paham bertendensi religi dan kultural. Salah

satunya adalah penyebaran dan pengembangan

agama Islam di wilayah-wilayah kekuasaan

tersebut. PengIslamDQ� µZLOD\DK� VHEHUDQJ¶�

kesultanan Ternate, tidak lepas dari peranan

pusat kekuasaaan itu sendiri (Putuhena,

2001:62).

Perbincangan tentang hubungan antara

Islamisasasi dan perdagangan, merupakan salah

satu isu yang terus diperbincangkan.

Perdagangan di satu sisi dan Islamisasi di sisi

lain tampaknya seperti dua mata keping uang

yang saling bersinggungan. Meskipun diantara

para ahli ada pula perbedaan pendapat soal itu.

Ricklefs (2008) menuliskan bahwa antara Islam

dan perdagangan tampaknya ada semacam

kaitan, meskipun banyak pertanyaan-pertanyaan

yang belum terjawab, mengingat perdagangan

oleh orang-orang muslim telah ada beberapa

abad sebelum masa pengIslaman Nusantara yang

baru terjadi pada abad XIII dan terutama XIV

dan XV (Ricklefs, 2008:37-38). Penjelasan

tersebut memberikan gambaran bahwa proses

perdagangan di wilayah Nusantara berlangsung

jauh sebelum Islam berkembang, sehingga jika

Islamisasi berlangung sejak dimulainya era

perdagangan oleh bangsa-bangsa penyebar

Islam, semestinya Islam tumbuh dan

berkembang sejak masa itu. Namun, satu hal

yang tak dapat dipungkiri bahwa proses

perdagangan yang berlangsung telah

memperkuat eksistensi Islam di Nusantara.

Tjandrasamita memperkuat dengan penjelasan

bahwa munculnya jalur perdagangan sejak masa

awal telah memicu terjalinnya jaringan

perdagangan dan pertumbuhan serta

perkembangan kota-kota pusat kesultanan,

dengan kota-kota bandarnya sejak abad XIII-

XVIII (Tjandrasamitha, 2009:39).

Di Maluku dalam hal ini Pulau Ambon,

Pulau Seram dan pulau-pulau sekitarnya

merupakan satu kesatuan historis dalam

perkembangan Islam di wilayah Kepulauan

Maluku. Bukti-bukti diperlukan untuk

memperkuat historiografi Islam di Kepulauan

Maluku. Yang penting dicatat seperti halnya

kolonial, kedatangan Islam juga menyebar di

hampir seluruh wilayah di Kepulauan Maluku.

Dalam hal ini Kerajaan Hitu, merupakan

representasi dari pusat kekuasaan Islam di

wilayah Pulau Ambon dan Seram. Berbagai data

penelitian, sejarah tutur, teks-teks sejarah seperti

Hikayat Tanah Hitu. Penelitian arkeologi

mutakhir menunjukkan Hitu sebagai pusat

Islamisasi di kawasan tersebut (Tim Penelitian,

2012: 84). Perkembangan Kerajaan Hitu,

tampaknya dapat menjadi salah satu kunci untuk

melihat perkembangan Islam di wilayah lainnya

di Maluku.

METODE Peneitian ini difokuskan pada beberapa

negeri di wilayah pesisir selatan Pulau Seram,

dalam hal ini di wilayah Negeri Haya dan Negeri

Tamilow. Kedua Negeri, adalah negeri adat yang

dihuni oleh masyarakat Muslim, sekaligus

menjadi representasi eksistensi agama Islam di

wilayah pesisir selatan Pulau Seram. Dipilihnya

negeri tersebut, berasal dari informasi awal yang

diterima penulis, bahwa di wilayah pesisir

selatan tepatnya di Negeri Tamilow, terdapat

naskah $O� 4XU¶DQ kuno, menarik untuk

ditindaklanjuti melalui penelitian arkeologi yang

sistematis untuk menemukan berbagai bukti

sejarah Islamisasi di wilayah tersebut.

Sementara itu, Negeri Haya, adalah negeri adat

dengan karakteristik sebagai negeri yang dihuni

komunitas muslim yang lokasinya dekat dengan

negeri Tamilow.

Penelitian ini menerapkan tahapan

penelitian arkeologi seperti yang disarankan oleh

Deetz (1976), yakni tahap pengumpulan data,

tahap analisis dan interpretasi. Pada tahap

pengumpulan data, metode yang digunakan

meliputi: Pertama: Survei/Observasi Lapangan,

survei ini dimaksukan untuk memperoleh bukti-

82

Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 79-90

bukti budaya bendawi dari masyarakat

pendukung pada masa lampau. Survei ini untuk

melihat sebaran data arkeologi. Kedua:

Wawancara, menggali informasi dari

masyarakat. Hal ini penting untuk memperoleh

informasi dari masyarakat yang masih memiliki

ingatan tradisi tutur tentang sejarah setempat.

Ketiga: Studi Pustaka, dalam tahap ini,

penggalian informasi perlu dilakukan dengan

mengumpulkan dan mempelajari sumber-

sumber tertulis (literatur) tentang sejarah dan

budaya masyarakat di wilayah Maluku,

khususnya di Negeri Tamilouw dan Haya,

Maluku Tengah.

Pada dasarnya analisis ini menekankan

pada analisis kwalitatif dan kuantitatif serta

kontekstual, melihat data arkeologi dalam satu

himpunan (assemblage) yang saling

berhubungan untuk mengidentifikasi aspek

fungsi, teknologi, sosial dari masyarakat

pembuatnya. Sementara itu dalam tahap

eksplanasi dan interpretasi, selain berdasarkan

sintesa data arkeologi yang telah dianalisis juga

dilakukan analogi sejarah. Menurut Sharer dan

Ashmore (1980) upaya rekonstruksi arkeologi

yang hanya bersandarkan data artefaktual sangat

terbatas keterandalannya, sebab kita tidak

mengamatinya secara langsung. Arkeologi

hanya mencoba merekonstruksi masa lampau

berdasarkan bukti-bukti meterial yang

ditinggalkannya. Dalam posisi demikian, maka

untuk mengurangi kesenjangan informasi masa

lalu, diperlukan suatu pendekatan metodologis,

yakni melalui analogi (Sharer dan Ashmore,

1980:445). Dalam konteks penelitian ini, maka

analogi yang digunakan adalah analogi historis,

baik bersumber dari catatan sejarah tertulis

maupun berdasarkan sejarah lisan. Dari analogi

sejarah inilah kemudian ditarik interpretasi,

penafsiran data arkeologi yang dikonfirmasi

dengan catatan sejarah untuk membuat

penjelasan (eksplanasi) dan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menemukan dua hal penting

yang dapat memberikan penjelasan tentang

pengaruh Islam di wilayah pesisir selatan Pulau

Seram. Kedua hal tersebut adalah berdasarkan

bukti-bukti arkeologis dan sejarah tutur

masyarakat, sebagai hasil penelitian ini yaitu:

Pertama, Islam dan perkembangannya di

wilayah pesisir selatan Pulau Seram.

Perkembangan Islam yang paling jelas dapat

diamati dari wilayah pesisir selatan Pulau Seram

adalah di wilayah Negeri Haya dan Tamilow,

yang menjadi lokasi dari penelitian ini. Kedua,

Jaringan dan pendekatan politik Islamisasi di

pesisir selatan Pulau Seram, menjelaskan

diantaranya soal jalur lintasan asal usul Islam

yang berkembang dan penyebaran di wilayah

pesisir selatan Pulau Seram.

Perkembangan Islam di Pesisir Selatan Pulau

Seram Masuknya Islam di Negeri Tamilow dan

Negeri Haya, tampaknya sama halnya dengan

informasi di wilayah lain di Maluku, pada

umumnya mengungkapkan bahwa Islam

pertama kali diperkenalkan di suatu negeri,

awalnya ketika masyarakat masih menghuni

kawasan perbukitan yang disebut negeri lama.

Di Negeri Haya, awalnya Islam diperkenalkan di

Negeri Lama Haya yang disebut dengan

Leisilala.

Gambar 1. Jalan Masuk menuju Negeri Lama

Tohia, di Desa Haya

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Di Negeri Haya, survei utamanya

difokuskan di Negeri Haya, yakni di negeri

pesisir pantai yang dihuni sekarang ini. Di negeri

tersebut ditemukan indikasi arkeologis berupa

lokasi bekas berdirinya masjid kuno dan makam.

Lokasi bekas makam berada di lokasi yag

dipercaya sebagai lokasi negeri lama dari Negeri

Haya sekarang. Letaknya tidak jauh dari desa

sekarang, berjarak sekitar 200 m di belakang

desa. Lokasi situs tersebut berada pada bukit

kecil, yang masih masuk dalam areal

pemukiman desa sekarang. Untuk menuju ke

lokasi tersebut, terdapat jalan setapak untuk naik

ke bukit yang oleh masyarakat disebut Tohia,

83 Arkeologi Sejarah Islam di Pesisir Selatan Pulau Seram Maluku Tengah, Wuri Handoko

lokasi pusat negeri. Di puncak areal tersebut

terdapat areal datar yang tidak luas, sekitar 50 m2

dengan ketinggian sekitar 85 mdpl.

Daerah ini dipercaya penduduk sebagai

lokasi pertama kali ditempati, setelah turun

gunung dan bermukim di pesisir. Di lokasi

tersebut, untuk pertama kalinya mereka hidup

bermukim di pesisir dengan jumlah penduduk

yang masih sedikit. Lambat laun ketika jumlah

penduduk semakin banyak, mereka turun dan

bermukim di pesisir pantai yang datarannya luas,

sementara bukit kecil itu ditinggalkan, dan

kondisi sekarang sebagian dimanfaatkan sebagai

kebun masyarakat. Namun areal di mana lokasi

bekas masjid kuno dan makam, masih

disakralkan atau dikeramatkan. Di lokasi

tersebut juga banyak ditemukan sebaran keramik

dan juga gerabah dengan kuanitas yang minim.

Tampaknya, meskipun skala situsnya kecil

dengan jumlah penduduk masih sedikit, namun

dari jejak-jejak arkeologi, memperlihatkan

lokasi tersebut pada masa lampau digunakan

sebagai aktivitas bermukim ataupun peribadatan.

Berdasarkan luasan situs dan minimnya

bukti-bukti artefaktual, kemungkinan situs ini

pada masa lampau, digunakan sebagai lokasi

peribadatan, saat mereka pertama kali turun di

pesisir. Tampaknya tradisi mensakralkan daerah

tinggi atau bukit masih berlanjut seperti pada

masa mayarakat tinggal di negeri lama di daerah

pegunungan. Pada masa turun ke pantai agama

Islam juga baru dikenal, sehingga tradisi masa

lampau masih bertahan. Oleh karena itu,

penempatan masjid di daerah tinggi, merupakan

bagian interaksi simbolik masyarakat dengan

simbol kesucian sebagai bagian kepercayaan dan

penghormatan masyarakat terhadap leluhur.

Mereka melakukan ritual atau peribadatan di

tempat yang lebih tinggi dari lokasi desa, hal ini

karena masih adanya pengaruh kosmologi

kepercayaan masyarakat masa lampau, bahwa

bukit atau daerah yang tinggi, lebih sakral dan

lebih dekat dengan arwah suci leluhur, sebagai

kepercayaan lokal masyarakat sebelum

mengenal Islam.

Bukti-bukti fisik arkeologi yang dapat

menjelaskan tentang perkembangan Islam di

Negeri Haya, antara lain bekas struktur pondasi

masjid kuno, makam kuno dan sebaran keramik

dan gerabah. Bukti-bukti arkeologi ini kemudian

dikonfirmasi dengan sejarah tutur kehadiran

Islam, sehingga diperoleh penjelasan tentang

perkembangan Islam di lokasi penelitian.

Dari survei arkeologi di Negeri Haya,

ditemukan data lapangan, berupa tumpukan batu

pipih berwarna hitam yang disusun rapi

membentuk persegi. Sebagian struktur batu

tersebut dalam kondisi yang yang sudah runtuh.

Melihat bentuk strukturnya, susunan batu itu

dibentuk secara sengaja dan dikerjakan oleh

masyarakat dengan teliti. Kemungkinan

tumpukan batu pipih itu adalah struktur pondasi

masjid. Tinggi susunan batu dari permukaan

tanah mencapai 60 cm, mungkin lebih rendah

dari ukuran yang sebenarnya, karena dari yang

ada sekarang, kemungkinan tidak lagi

menampakkan susunan batu itu secara utuh.

Gambar 2. Bekas Pondasi Masjid Kuno di Desa

Haya

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Belum diketahui bagaimana bentuk

masjid pada masa itu, apakah pondasi itu

langsung menyatu dengan tiang masjid dan

permukaan tanah sebagai lantai atau bentuk

masjid gantung (panggung) yang sering disebut

surau, sebagaimana beberapa bentuk masjid

kuno atau surau di Jawa, atau bentuk masjid

yang ada di wilayah Leihitu, Maluku Tengah

yakni masjid Hasan Sulaeman pada abad 17

(Tim Penelitian, 2012).

Di Negeri Haya, hampir tidak ada ciri

yang dapat dikenali bahwa masjid kuno di Haya

berbentuk surau. Dari sisa-sisa reruntuhan

susunan batu tampaknya masjid kuno di Negeri

Haya pada masa lampau, berukuran kecil. Hasil

pengukuran bagian yang terlihat hanya sekitar

±6-8 m2. Pengukuran ini dilakukan berdasarkan

kondisi permukaan tanah dan jejak-jejak

runtuhan susunan batu yang dapat diamati. Ini

menandakan bahwa pada masa lampau, tidak

84

Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 79-90

banyak menampung jumlah penduduk yang

melakukan shalat. Meski demikian, temuan

bekas struktur pondasi masjid, membuktikan

bahwa Islam awal di Negeri Haya, menjadi bukti

paling valid, perkembangan Islam. Hal ini

karena, masjid dapat dianggap sebagai ikon

utama, atau penanda paling spesifik dan paling

jelas, bagaimana Islam tumbuh dan berkembang

di wilayah Maluku (Handoko, 2012: 39). Masjid

dapat dianggap sebagai ikon atau ciri utama

sebuah situs Kerajaan Islam, hal ini karena dalam

tradisi Islam sejak Nabi Muhammad SAW

pendirian kerajaan Islam senantiasa didahului

dengan pembangunan masjid serta dianggap

sebagai pusat kegiatan dalam segala aspek

kehidupan umat (Salam, 1960: 19; Gazalba,

1966; Mahmud, 2003: 40).

Gambar 3. Makam Kuno di Negri Lama Tohia,

Desa Haya

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Data arkeologi lainnya yang ditemukan

berasosiasi dengan bekas masjid kuno adalah

makam kuno. Makam ini dilihat dari

keletakannya berada di sebelah barat makam, ini

artinya makam kuno ini berada di depan mihrab

msjid kuno. Keletakan seperti ini menandai ciri

masjid kuno pada umumnya di Maluku dan juga

Nusantara, makam tokoh tertentu biasanya

dimakamkan di depan mihrab masjid. Dari

keterangan penduduk, makam ini adalah makam

Imam pertama sewaktu penduduk sudah

memeluk Islam dan sudah turun dari pemukiman

lama di gunung dan bermukim di pesisir. Tidak

disebutkan nama tokoh yang dimakamkan.

Namun dari keterangan penduduk, makam ini

cukup penting peranannya dalam proses syiar

Islam di Negeri Haya. Ada beberapa makam

tokoh penting menurut keterangan penduduk,

yakni makam putra dari Maulana Idris

Bayanullah Maulana Buraya, namun menurut

penduduk, makam tersebut berada di Negeri

Lama di puncak gunung yang sulit terjangkau

dan posisi keletakannya sudah sulit dicari,

karena daerah gunung itu merupakan daerah

hutan.

Informasi penduduk yang menyebutkan

bahwa makam tersebut adalah makam dari Imam

pertama, mungkin dapat dihubungkan dengan

nama tokoh Maulana Zainal Arifn yang

mengajarkan Islam untuk pertama kalinya ketika

masyarakat bermukim di pantai. Berdasarkan

informasi tutur, tidak ada keterangan yang

berkesuaian dengan hal tersebut. Namun melihat

keletakan makam, dapat dipastikan tokoh

tersebut besar peranannya dalam proses syiar

Islam di Negeri Haya.

Morfologi makam, berupa makam dengan

tanda kubur atau nisan tunggal yang tampaknya

diletakkan di bagian tengah dari jirat makam

yang terdiri dari susunan batu pipih berwarna

hitam, jenis batu yang sama yang ada pada

susunan batu pondasi masjid kuno di sebelahnya.

Melihat letak nisan yang berada di tengah jirat

susunan batu, ini sangat berbeda dengan makam

kuno Islam lainnya yang biasanya di letakkan di

bagian kepala. Bentuk makam seperti ini,

tampaknya memberi kesan adanya pengaruh

Islam dari wilayah Maluku Utara, karena dalam

penelitian disana, ditemukan makam berbentuk

bulat dengan nisan berada di tengah di wilayah

Galela dan Kao, Halmahera Utara (Tim

Penelitian, 2014). Melihat bentuknya, nisan

maupun jirat susunan batu, tersusun dari jenis

batu yang sama. Bahan ini sama juga seperti

susunan batu pondasi masjid. Asal usul dapat

diketahui berasal dari wilayah setempat, karena

sepanjang survei di kawasan ini, banyak

dijumpai bahan batu serupa di beberapa area,

baik area sungai maupun di areal pemukiman

penduduk. Susunan batu jirat makam berukuran

cukup besar yakni 3x2 m, dengan ukuran nisan

yang relatif kecil dibanding besarnya jirat.

Selain kedua fitur yang sudah diauraikan

di atas, temuan artefaktual yang ditemukan di

lokasi situs itu adalah gerabah dan keramik.

Jumlah gerabah sangat minim dibandingkan

temuan keramik yang terbilang banyak.

Tampaknya jenis keramik menunjukkan

kronologi yang sesuai dengan kronologi

85 Arkeologi Sejarah Islam di Pesisir Selatan Pulau Seram Maluku Tengah, Wuri Handoko

masuknya Islam sesuai cerita dari masyarakat

yakni akhir abad 17. Jenis keramik kebanyakan

jenis keramik produk China dari masa Dinasti

Qing.

Gambar 4. Temuan berbagai Jenis keramik China

abad 17-19 M

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Di Negeri Tamilow, keberadaan masjid

kuno yang sekarang sudah berganti dan

diperbaharui menjadi masjid modern, tidak bisa

dipisahkan dari peran Tamagola, sebagaimana

disebutkan dalam informasi tutur. Masjid Kuno

dibangun sebagai representasi bahwa negeri

secara remi telah menjadi Islam sebagai agama

publik. Berdasarkan informasi tutur, masjid di

bangun tahun 1830 dan selesai dibangun tahun

1842. Tampaknya informasi tersebut

kemungkinan merujuk pada perubahan pertama

kali bentuk masjid pada saat membangun

kembali masjid. Kemungkinan jika berdasarkan

historiografi Islam lokal, perkembangan Islam di

Pulau Seram berlangsung pada abad 17, oleh

karena itu tidak menutup kemungkinan masjid

kuno di Tamilouw pertama kali di bangun pada

masa itu, meskipun dalam bentuk yang masing

sangat sederhana. Ini sesuai juga berdasakan

informasi tutur bahwa pada awal dibangun

masjid masih sangat sederhana berbentuk

mushola atau surau yang dibuat dari bahan

ramuan setempat yang mudah lapuk.

Selanjutnya menyangkut pembangunan masjid

tahun 1842, kemungkinan adalah pembangunan

masjid pada masa selanjutnya dan sudah

mengenal bahan-bahan yang lebih permanen.

$NLEDW�EHQFDQD�\DQJ�GLVHEXW�³%DKD\D�6HUDP´��

sekitar tahun 1899 sudah tidak tersisa lagi bentuk

asli masjid kuno. Sekarang yang dapat dilihat

adalah masjid dengan gaya masjid modern yang

menempati lokasi bekas masjid kuno.

Meskipun masjid kuno sudah hancur,

namun alat-alat kelengkapan masjid, beberapa

diantaranya masih tersimpan, yakni naskah-

naskah kuno berupa $O� 4XU¶DQ kuno dan

Lempengan Kayu berupa naskah primbon.

Kedua naskah milik koleksi Ahmad Tamagola.

Al Qur¶an kuno terbuat dari kertas Eropa, terdiri

dari 30 juz. Berbeda dengan jenis $O� 4XU¶DQ

kuno lainnya yang pernah ditemukan di Maluku,

$O�4XU¶DQ ini setiap juz terpisah satu sama lain

tidak dalam satu jilid penuh. Jadi setiap juz

dijilid terpisah-pisah. Dalam lembaran naskah

tidak ditemukan gambar illustrasi dan illuminasi

naskah. Ukuran naskah, panjang 21 cm dan lebar

16 cm, sedangkan pada halaman kertas, ukuran

naskah panjang 16, dan lebar 11 cm. Kondisi

naskah sudah lapuk dan tampak kurang terawat,

beberapa bagian lembaran naskah banyak yang

rusak dan tak terbaca.

Gambar 5. Naskah $O�4XU¶an Kuno Koleksi Ahmad

Tamagola, Desa Tamilouw

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Selain $O�4XU¶DQ kuno, data naskah kuno

Islam lainnya yang penting adalah sejenis

naskah primbon yang dituliskan di atas

lempengan kayu yang berbentuk seperti cermin,

berbentuk bundar, dengan diameter lingkaran 30

cm dan diberi gagang dengan panjang gagang 13

cm. Lempengan kayu itu terdiri dari dua sisi,

yang ditangkupkan, menyerupai cermin. Jika

dibuka, terlihat bagian dalam permukaan kayu

terdapat tulisan Arab Jawi (huruf Arab,

berbahasa Melayu). Bagian permukaan luar,

terlihat ukir-ukiran, dan bagian dalam polos, di

bagian itu tertulis hurub Arab Pegon, berupa

catatan yang kurang dipahami, semacam

primbon ramalan-ramalan dan pertanggalan.

Pada satu lempeng di dalamnya memuat

86

Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 79-90

semacam ramalan-ramalan dan di lempeng yang

lainnya memuat pertanggalan.

Gambar 6. Lempeng I Naskah Peratanggalan Kuno

ditulis diatas lempengan terbuat dari kayu

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Gambar 7. Lempeng II Naskah Peratanggalan Kuno

ditulis diatas lempengan terbuat dari kayu

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Dari dua sisi lempeng, masing-masing

lempeng bagian dalamnya berisi catatan yang

berbeda. Lempeng I, berupa lingkaran konsentris

yang dibagi rata menjadi 30 bagian yang sama

besar, setiap bagian itu ditandai oleh tulisan yang

berisi nama-nama binatang mungkin simbol

ramalan tertentu dan simbol-simbol angka yang

tidak dipahami. Nama nama binatang yang

tertera diantaranya yang dapat baca adalah

kambing, jaran (bahasa Indonesia: kuda), ikan,

kujang (kijang?), sapi, kerbau, gajah dan lain

lain. Di bawah yang tertera nama-nama binatang

terdapat lingkaran-lingkaran kecil berjumlah 5-6

yang disusun ke bawah, mungkin menyimbolkan

jumlah hari tertentu. Catatan ini sulit dipahami

maksudnya, tetapi mungki berhubungan dengan

ramalan-ramalan atau primbon yang berasal dari

Jawa. Pada Lempeng II,catatan yang tertera

berupa nama-nama hari, yang disusun tidak

berurut.

Terdapat satu buah timbangan kuno zakat

fitrah. Terbuat jenis kayu berbahan keras, yakni

kayu bintanggur, seperti kebanyakan alat-alat

perlengkapan masjid kuno di Maluku. Ukuran

timbangan terdiri dari panjang tangkai 67 cm dan

panjang timbangan 71 cm. Sebagi pemberat

terbuat dari batu andesit, menjadi pemberat

timbangan zakat fitrah 2,5 kg.

Gambar 8. Timbangan zakat fitrah dan batu

timbangannya di Negeri Tamilouw

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Jaringan dan Politik Islamisasi di Pesisir

Selatan Pulau Seram Di wilayah pesisir selatan Pulau Seram

dengan lokasi Negeri Haya dan Tamilou

tampaknya dapat memberikan andil dalam

mnyumbangkan informasi tentang jaringan

Islamisasi di wilayah Pulau Seram khususnya

dan di Maluku pada umumnya. Dari catatan

sejarah yang ada dan setelah dikonfirmasi

dengan informasi tutur setidaknya terdapat

kesesuaian tentang peran-peran kerajaan Islam

besar di wilayah Maluku dalam mendukung

proses penyebaran Islam.

Jaringan Islamisasi dari Jawa kemudian

ke Hitu, Banda dan Kei, Papua kemudian masuk

ke pesisir selatan Seram sebagaimana dituturkan

oleh masyarakat di Negeri Haya, kemudian

informasi dari Tamilouw menyangkut adanya

peran Ternate dan Hitu sebagai rantai

penyebaran Islam di wilayah tersebut, dengan

salah satu bukti adanya marga Pelu yang masuk

dalam aliansi Tiga Opu Guru bersama marga

Tamagola dan Waelisa dari Ternate dan Pelu

dari Hitu.

Menurut informasi setempat proses

penyebaran Islam di wilayah itu datang secara

bertahap dan bergelombang. Para penyiar Islam

datang ke wilayah pesisir selatan Seram,

termasuk Tamilouw, menyebarkan Islam,

kemudian meninggalkan lokasi, namun beberapa

87 Arkeologi Sejarah Islam di Pesisir Selatan Pulau Seram Maluku Tengah, Wuri Handoko

tetap tinggal di lokasi dan melanjutkan syiar

Islam dan menyatu dengan penduduk, bahkan

menikah dengan penduduk setempat,

menghasilkan keturunan, dan secara turun

temurun melahirkan marga-marga sampai

sekarang. Beberapa marga yang ada di

Tamilouw sekarang ini berasal dari banyak

tempat asal-usul dari kedatangan para penyiar

Islam dari berbagai wilayah. Paling banyak

adalah marga Tamagola, Wailisa, dan Pelu. Tiga

marga ini konon berasal dari para penyiar Islam

atau guru, yang berasal dari Maluku Utara

(Tamagola dan Wailisa) serta Pelu yang bersal

dari Hitu. Tamagola, Wailisa, dan Pelu ini

kemudian disatukan sebagai marga-marga adat

atau marga asli negeri Tamilouw. Tiga marga ini

berasal dari nama penyiar Islam, dikenal dengan

Tiga Opu Guru, yang kemudian melahirkan

aliansi atau kekerabatan tiga marga besar di

Tamilouw. Selain marga-marga tersebut di

Tamilouw juga ada marga-marga yang asal±

usulnya dari pendatang atau penyiar Islam dari

kerajaan-kerajaan Islam Jawa dan Buton. Marga

yang berasal dari Buton memiliki nama marga

Hatani.

Dalam proses penyebaran Islam,

masyarakat negeri Tamilouw juga mengenal

tokoh penyebar Islam yang berasal dari Arab

bernama Syekh Muhammad Ali Hanafi.

Kedatangan Muhammad Ali Hanafi tidak

banyak diceritakan, namun informasi sekilas

bahwa kedatangannya ke pesisir selatan

bersamaan dengan para pedagang atau penyiar

Islam Nusantara lainnya. Keturunan marga dari

Arab ini juga tidak disinggung, hal ini mungkin

karena proses syiar Islam dilakukan dengan

datang bergelombang dan silih berganti.

Beberapa penyiar Islam yang kemudian

menurunkan marg-marga yang hidup sekarang

ini, adalah karena penyiar Islam itu tetap tinggal

di lokasi atau tidak kembali ke negeri asalnya.

Pada masa itu datang seorang penganjur

Islam, bernama Maulana Idris Bayanullah dan

seorang pengawalnya bernama Hula Puti. Hula

Puti menurut informasi tutur merupakan seorang

nahkoda yang mengiringi Maulana Idris dalam

melakukan perjalanan syiar Islam hingga sampai

ke wilayah pesisir selatan Pulau Seram ini.

Konon menurut sumber tutur, Maulana Idris

datang dari Persia, yang masuk ke Indonesia

melalui selat Malaka. Dari keterangan

masyarakat hadirnya Islam di pesisir selatan

Pulau Seram termasuk di Negeri Haya,

merupakan bagian dari jaringan Islamisasi yang

hadir melalui jalur selatan yakni Jawa, Sunda

kecil, Sulawesi dan Maluku.

Menyangkut nama Maulana Idris

Bayanullah seperti yang sudah disinggung

sebelumnya merupakan penyebar Islam dari

Persia yang melakukan perjalanan Syiar Islam

diiringi seorang Nahkoda bernama Hula Puti

serta diiringi oleh 25 penumpang, yang

melakukan perjalanan mulai dari Sumatra Utara

pada tahun 1612. Sampai di Maluku masuk

melalui Hitu, tahun 1649. Sebelum sampai di

Maluku, saat singgah di Jawa, salah seorang

diantara 25 orang itu yakni Maulana Malik

Ibrahim, menyebarkan Islam. Ketika sampai di

pesisir selatan Pulau Seram, Maulana Idris

Bayanullah memperkenalkan Islam ke penduduk

dan meresmikan atau mendirikan negeri

(kerajaan) Islam di Haya.

Di Maluku, perjalanannya sampai ke

Haya, dimulai dari Hitu, Banda, Kei, Papua

kemudian masuk ke Pulau Seram. Dalam

keterangan penduduk, Islam masuk di pesisir

selatan Seram, pada tahun 1697. Pada masa itu

penduduk masih bermukim di negeri tua atau

negeri lama di gunung. Dari informasi tetua adat,

ada beberapa negeri tua pada masa itu yakni:

Lesilala, Halana, Yanua, Manapa, Munia dan

Ailatu. Setelah masuknya agama Islam dan

diterima masyarakat, tak lama kemudian

wafatlah Maulana Idris Bayanullah, kemudian

syiar Islam dilanjutkan oleh Maulana Zaenal

Arifin, seorang ulama yang mengajarkan Islam,

setelah masyarakat bermukim di pesisir.

Dari data arkeologi yang ditemukan

mekipun masih sangat minim, dapat menambah

penjelasan tentang bagaimana jaringan

Islamisasi dan perdagangan terbentuk. Jika

berdasarkan infromasi penduduk, menyangkut

jalur selatan melalui Jawa, Hitu hingga ke Pulau

Seram, tampaknya terdapat kesesuaian. Di

Tamilouw, pengaruh Islam berasal dari Jawa

maupun daerah lainnya cukup kuat. Konversi

Islam yang berlangsung di Tamilouw, salah

satunya dicirikan proses konvesri Islam yang

bersifat top-down. Proses tersebut dicirikan oleh

elit masyarakat mengadopsi dan mengkonversi

Islam selanjutnya diikuti oleh masyarakat

pengkutnya, konversi bersifat top-down, pada

dasarnya berhubungan dengan kekuasaan dan

politik (Reid, 1995; Lape, 2000a, 2000b Lape,

2000c). Dengan demikian, penyebaran pengaruh

Islam di pesisir selatan Pulau Seram

88

Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 79-90

berhubungan pula dengan determinasi

kekuasaan. Hal ini karena dalam berbagai

penelitian arkeologi Islam, tampaknya

memberikan penjelasan bahwa di wilayah

Maluku, penyebaran Islam, sangat kuat dianggap

karena dukungan letak geografis, sumberdaya

alam dan kekuasaan politik kerajaan-kerajaan

Islam. Di wilayah Maluku, perdagangan,

kekuatan (power) dan kekuasaan politik

kerajaan-kerajaan pusat Islam turut

mempengaruhi luas dan cepatnya perkembangan

Islam, bahkan kemungkinan Islamisasi

mengikut proses ekspansi kekuasaan (Putuhena;

2001:62; Handoko, 2010: 10; Handoko, 2009a:

3-4).

Dalam proses politik, seorang raja tentu

memiliki otoritas dan pengaruh besar dalam

proses konversi Islam masyarakatnya. Pada saat

seorang raja memeluk Islam, maka rakyat juga

akan berlomba mengikuti jejak pemimpinnya

untuk mengkonversi Islam. Ikatan primordial

dan feodal menciptakan masyarakat Nusantara

memiliki ketaatan dan kepatuhan yang tinggi

terhadap seorang raja yang menjadi panutan bagi

rakyatnya. Setelah raja dan rakyat memeluk

agama Islam, maka kepentingan politik

dilakukan dengan cara perluasan wilayah

kerajaan, yang diikuti dengan penyebaran agama

Islam. Di wilayah Maluku, bukti-bukti arkeologi

dan historis secara jelas memperlihatkan adanya

integrasi pemerintahan, kekuasaan dan politik

Islam diantara daerah-daerah pusat dan wilayah

kekuasaan Islam (Handoko, 2009:4). Bagi

banyak orang Maluku, Islam memberikan

kerangka ideologis untuk melawan pengaruh

budaya dan kontrol politik Eropa dan sebagai

alat pemersatu dari entitas politik yang berbeda

(Andaya, 1993; Reid, 1993b: 147; Lape, 2000c).

Islam adalah alat politik yang digunakan oleh

para pemimpin untuk mengkonsolidasikan

kekuasaan mereka dalam bentuk monarki yang

sesuai dalam doktrin Islam dan melemahkan

lawan mereka dalam usaha mengontrol

perdagangan dan politik (Johns, 1995; Reid,

1995; Ricklefs, 1979; Lape, 2000c).

Dalam konteks politik Islamisasi,

penyebaran Islam secara politis, dapat ditinjau

dari data yang ditemukan di Negeri Tamilouw.

Di Tamilouw, informasi menyangkut penyebar

Islam sebagai utusan Kesultanan Ternate, yakni

Gimelaha Gumbi (Tamagola) dapat

mengkonfirmasi adanya jejak syiar Islam

melalui proses politik. Gimelaha Gumbi diangap

tokoh yang secara resmi menjadikan Islam

sebagai agama kerajaan atau negeri Tamilouw

dengan menyatukan marga-marga di Tamilouw

untuk masuk Islam dan mendirikan masjid

sebagai representasi Islam resmi menjadi agama

kerajaan (negeri). Selain proses itu, mengikut

pula jejaring dan aktifitas niaga, melalui

pertukaran komoditi. Produk asing yang

dipertukarkan misalnya keramik, di wilayah

pesisir selatan Seraam cukup marah

dipertukarkan dnegan komoditi setempat

misalnya cengkeh. Temuan sebaran keramik di

negeri-negeri seperti Haya dan Tamilou dalam

penelitian ini member bukti bahwa perdagangan

cukup intensif, bersamaan dengan terbentuknya

jaringan Islamisasi di pesisir selatan Pulau

Seram.

Di Tamilouw juga dikenal kelompok

kekerabatan dengan nama Rajawane Latu, yang

berasal dari kumpulan raja dan wali. Pada masa

lampau pada saat syiar Islam banyak wali atau

penyebar Islam yang berintegrasi, membangun

kerukunan dan kekerabatan dengan raja,

sehingga dibentuk institusi atau kelembagaan

bernama Rajawane Latu tersebut. Selain marga-

marga yang berasal dari keturunan para penyiar

Islam, di Tamilouw juga terdapat beberapa

marga yang asli keturunan atau berasal marga

masyarakat setempat atau pribumi yakni

Husalenu, Wawain, Samano, Walite dan Lessi.

Berdasarkan kelompok marga, di wilayah

Negeri Tamilouw masyarakatnya terdiri dari dua

kelompok yakni marga Patasiwa dan Patalima,

dan masing-masing marga memiliki rumah

pusaka yang memberi arti pada simbol

kekerabatan marga tersebut.

Menyangkut nama Tamagola sebagai

penyiar Islam di wilayah pesisir selatan Seram,

masyarakat menyebut bahwa tokoh tersebut,

berhubungan dengan masalah politik dan

kekuasaan, karena Tamagola sesungguhnya

utusan khusus Ternate yang memang

ditempatkan di wilayah Tamilouw. Dalam

keterangan masyarakat, utusan Ternate tersebut

bernama Gimelaha Gumbi (Tamagola), yakni

utusan Sultan Ternate yang ditempatkan di

wilayah seberang dalam hal ini Tamilouw dan

wilayah-wilayah pesisir selatan Seram lainnya.

Di Tamilouw, Tamagola dianggap tokoh yang

menyatukan masyarakat Tamilouw. Hal ini

karena Tamilouw terdiri dari beberapa anak

desa, yang masing-masing di huni oleh tiap-tiap

marga yang berbeda. Pada masa itu Tamagola

89 Arkeologi Sejarah Islam di Pesisir Selatan Pulau Seram Maluku Tengah, Wuri Handoko

pertama kali datang di Wapotih, negeri lama di

pesisir sebelum pindah ke Tamilouw sekarang

ini. Pada masa itu, setelah dari Wapotih,

Tamagola sempat meninggalkan negeri itu dan

pergi ke Banda. Karena ada bencana wabah

kolera di Banda, Tamagola kembali ke

Tamilouw, dan menyatukan penduduk ke dalam

negeri Tamilouw dan secara resmi menjadikan

Islam sebagai agama resmi penduduk.

KESIMPULAN Hasil penelitian arkeologi memberikan

gambaran adanya pengaruh dan jaringan

Islamisasi di wilayah pesisir selatan Pulau

Seram, yang selama ini minim disebut dalam

histroriografi Islam di Maluku. Dari berbagai

informasi yang diporeh baik dari tradisi tutur

maupun data arkeologi, paling tidak menambah

informasi yang selama ini kurang lengkap. Data

arkeologi dapat memberikan bukti atau

mengkonfirmasi teks-teks sejarah yang selama

ini menjadi catatan utama.

Berdasarkan penelitian ini kiranya dapat

disimpulkan beberapa hal yakni: pertama,

indikasi Islamisasi melalui jalur selatan dan

masuk ke wilayah selatan Ulau Seram cukup

kuat dan intensif hal ini dibuktikan dnegan

berbagai informasi data arkeologi maupun

informasi tutur. Perkembagan agama Islam

cukup kuat hadir di wilayah pesisir selatan

dengan adanya negeri-negeri adat berkarakter

Islam, serta kronologi Isalmisasi yang cukup tua,

hadir di wilayah pesisir selatan Pulau Seram.

Bukti-bukti arkeologi adanya pengaruh Islam

dengan temuan makam-makam kuno dan masjid

kuno mengindikasikan hal itu. Selain itu bukti

perkembangan Islam juga mengintegrsikan

masyrakat-masyarakat lokal pada masa lampau

dengan secara bersama mengkonversi agama

Islam. Kedua, berdasarkan bukti-bukti arkeologi

dan sejarah lisan masyarakat setempat, maka

penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa

jaringan Islamisasi yang terbentuk di wilayah

pesisir selatan Pulau Seram, selain berasal dari

tanah asal Islam, yakni Arab dan Persia, juga

berasal dari Jawad dan pusat-pusat kekuasaan

Islam di Kepulauan Maluku, yakni Hitu dan

Ternate. Pengaruh Ternate, khususnya

berhubungan dengan politik kekuasaan Islam,

yang menempatkan wakil kekuasaan Islam di

Ternate, secara politis membentuk jaringan

ekspansi Islam di wilayah tersebut.

Rekomendasi penting untuk penelitian

tindak lanjut adalah jangkauan peneitian perlu

diperluas lagi mencakup kesleuruhan kawasan

pesisir selatan Pulau Seram serta upaya

pencarian bukti-bukti arkeologis di bawah tanah

untuk memperkuat penjelasan menyakut

aktifitas dan perkembangan Islam.

*****

DAFTAR PUSTAKA Amal,Adnan M. (2010). Kepulauan Rempah-rempah

Perjalalanan Sejarah Maluku Utara 1250-

1950. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia.

Ambary, Hasan Muarif. (1998). Menemukan

Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia.

Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Logos. Wacana Ilmu.Jakarta.

Ambary, Hasan Muarif, Sugeng Riyanto, Max

Manuputty. (1996). Survei Arkeologi Islam di

Ternate dan Tidore Provinsi Maluku. Ambon.

Proyek Penelitian Purbakala.

Deetz, James. (1967).Invitationto Archeology. New

York:TheNaturalHistoryPress.

Handoko, Wuri. (2007).Peran Strategis Wilayah

Kepulauan Gorom dalam Kontak Awal Budaya,

Perkembangan Perdagangan dan Budaya Islam

di Maluku.Berita Penelitian Arkeologi

(BPA)Vol. 2 Nomor 4 Tahun 2007. Balai

Arkeologi Ambon.

Handoko, Wuri. (2009a). Ekspansi dan Rivalitas

Kekuasaan Islam : Pengaruhnya di Wilayah

Negeri Siri Sori Islam, Pulau Saparua, Maluku

Tengah. Kapata Arkeologi.Volume 5 Nomor 8

Juli 2009.

Handoko, Wuri. (2010). Konversi Islam dan

Determinasi Kekuasaan. Studi Arkeologi di

Kawasan Teluk Waru, Kabupaten Seram Bagian

Timur. Kapata Arkeologi. Vol. 6. Nomor 10.

Ambon. Balai Arkeologi Ambon.

Lape, P. V. (2000a). Contact and colonialism in the

Banda Islands, Maluku, Indonesia. Bulletin of

the Indo-Pacific Prehistory Association 20(4):

48±55.

Lape, P. V. (2000b).Contact and Conflict in the

Banda Islands, Eastern Indonesia, 11th±17th

Centuries. Ph.D. Dissertasi. Brown University.

Lape, P. V. (2000c). Political dynamics and religious

change in the late pre-colonial Banda Islands,

Eastern Indonesia. World Archaeology 32(1).

Leirizza. (2001). Jalur Sutera: Integrasi Laut-Darat

dan Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutera.

Dalam M.J. Abdulrahman, et.al. Ternate:

Bandar Jalur Sutera, Ternate: LinTas (Lembaga

Informasi dan Transformasi Sosial).

90

Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 79-90

Sharer, dan Ashmore. (1980). Fundamentals Of

Archaeology. London: The Benjamin

Cummings Publishing Company.

Ricklefs, M.C. (2008).Sejarah Indonesia Modern

1200-2004. Jakarta. PT Serambi Ilmu Semesta.

Tjandrasasmitha, Uka. (2009).Arkeologi Islam

Nusantara. Jakarta. Kepustakaan Populer

Gramedia (KPG).

Putuhena, Shaleh. (2001). Proses perluasan agama

Islam di Maluku Utara. Dalam M.J.

Abdulrahman, et.al. Ternate: Bandar Jalur

Sutera, Ternate: LinTas (Lembaga Informasi

dan Transformasi Sosial).