Drama terlarang pada Orde Baru
Transcript of Drama terlarang pada Orde Baru
DRAMA TERLARANG PADA REZIM ORDE BARU
Seni dan Kekuasaan
Kelahiran drama Indonesia memiliki tempat khusus dalam
sejarah Indonesia sebagai sebuah bangsa. Menurut Saini, (dalam
Sahid 2000:45) drama Indonesia adalah salah satu refleksi dari
kelahiran dan pertumbuhan sebuah bangsa Indonesia.Tengok saja
misalnya dalam masa pergerakan, pengolahan tema-temanya lebih
mengekspresikan kesadaran-kesadaran dan aspirasi-
aspirasi kebangsaan. Setelah Indonesia menyelamatkan
kemerdekaannya, tema-tema itu bergeser pada ekspresi penderitaan
maupun kegembiraan dari pertumbuhan sebuah bangsa yang masih
dalam proses membangun.
Ketakterpisahan antara seni modern Indonesia (drama) dengan
proses keindonesiaan kita, dalam sejarahnya --mengalami hubungan
dengan politik (kekuasaan), terkadang ada masa konflik dan
pertikaian terjadi. Sebagaimana dipetakan Dahana ( 2001:2-3),
dalam demokrasi liberal Soekarno, di mana banyak organisasi
kesenian yang berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan politik
tertentu, seperti Lekra-PKI, Lesbumi-NU, LKN-PNI. Konflik yang
pada akhirnya sampai pada tingkat fisik, dalam arti terjadinya
konsekuensi-konsekuansi material seperti pelarangan, pemutusan
hubungan kerja dan lain-lain.
Pada zaman Orde Baru, hubungan negatif dan dampak fisik
semacam di atas masih menjadi kecenderungan yang kuat dalam
kehidupan politik dan kesenian kita. Untuk beberapa contoh:
pelarangan pertunjukan Sepatu Nomor Satu Emha Ainun Najib di Yogya
tahun 1986; Pembacaan puisi dan pentas drama Bengkel Teater
Rendra dilarang sepanjang 1986-1990; belum terhitung pameran-
pameren seni rupa dan buku-buku sastra yang dilarang diedarkan,
semacam karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan pengarang Lekra
lainnya.
Hubungan Negara dengan karya seni (drama) yang diwarnai penuh
konflik dalam bentuk pencekalan atau pelarangan seperti kasus-
kasus di atas, menimbulkan sejumlah pertanyaan: mengapa Negara
begitu ketakutan berhadapan dengan eskpresi seni? Apa kesenian
memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi opini publik?
Seberapa jauh korelasi yang signifikan terjadi antara dunia
politik dengan dunia kesenian?
Sebuah pretensi, kecemasan negara terhadap seni, semata-mata
karena seni (sastra drama) tidak hanya berfungsi estetik tetapi
juga sebagai fungsi sosial yang tidak sepenuhnya pribadi.
Permasalahan yang diungkap dalam sastra menyiratkan atau
merupakan masalah sosial. Menurut Goldmann (dalam Faruk 1999: 17)
sastra merupakan ekspresi pandangan dunia imajiner, dalam usaha
mengekspresikan pandangan dunia. Teeuw (dalam Pradopo, 1990: 125)
mengatakan bahwa karya sastra tidak dapat lepas dari pengarang
dalam masyarakatnya, karena karya satra tidak hadir dari
kekosongan budaya, karya satra tidak dapat lepas dari pengarang
yang menulisnya. Pengarang tidak tercerabut dari pikiran/
pandangan dunia dan perkembangan zaman. Pengarang akan
menyuarakan kritikannya lewat karya-karyanya bila dalam kehidupan
penuh ketimpangan.
Sayangnya, budaya kritik itu dipersepsi Orde Baru tidak dalam
bingkai demokrasi seperti yang dikatakan ahli politik Dr Alfian
(Kleden: 2001:71) bahwa demokrasi adalah interaksi dan bahkan
dialektik antara konsensus dan konflik. Suatu dialektika pada
dasarnya mengandaikan adanya kontradiksi, di mana kontradiksi
tidak dipandang sebagai aib dan membahayakan, tetapi semestinya
diterima sebagai suatu energi yang dapat dimanfaatkan secara
produktif.
Pengalaman panjang sebelum Reformasi 1998, yang berkaitan
dengan pembredelan izin pentas, menunjukan dengan jelas suatu
kecenderungan dalam watak budaya politik kita, di mana
kontradiksi tidak pernah bisa ditolerir kehadirannya. Dalam
pandangan kebudayaan, kehadiran kontadiksi ini penting sekali
untuk dapat memahami kebudayaan sebagai suatu konstruksi sosial.
Tanpa adanya kontradiksi kebudayaan akan diterima sebagai nasib,
semacam takdir, tidak memberi kesempatan kepada manusia memberi
bentuk pada kebudayaannya. Dengan demikian kata
Kleden (2001:172), teks kebudayaan tidak dipahami secara prosais
tunggal makna tetapi penuh ambivalensi sebagai teks puisi, di
mana setiap orang dapat memahaminya untuk kepentingan sendiri-
sendiri yang tak jarang berbenturan dengan kepentingan orang lain
yang hidup dalam kebudayaan yang sama.
N. Riantiarno dan Opera Kecoa
Menurut Saini KM, (2000:44) N. Riantiarno adalah seorang
pelopor teater modern Indonesia, seorang penulis naskah, aktor
dan sutradara yang paling getol berurusan dengan Orde Baru. Nano
lebih konsen dan kerap mengangkat problem-problem dalam negeri,
pertentangan-pertentangan sosial dalam gaya Brechtian. Naskah-
naskah dan arahan yang terkenal adalah Opera Ikan Asin, Opera Kecoa,
Bom Waktu, Wanita-wanita Parlemen, Suksesi, Sampek Engtay, Konglomerat
Burisrawa, Rumah Sakit Jiwa, Opera Primadona, Tiga Dewa dan Kupu-Kupu, Tanda
Cinta, Republik Togog, Maaf.Maaf.Maaf, Republik Bagong, Raja Ubu dan
sebagainya. Naskah-naskah yang berupa adaptasi atau karya asli
kental dengan kombinasi humor dan punya karakter pada protes-
protes sosial dapat menarik perhatian publik, ditandai dengan
berjubel dan selalu habisnya tiket pertunjukan Teater Koma.
Selain menarik perhatian publik, juga menarik perhatian penguasa
(baca: negara), yang akhirnya melalui tangan aparatur keamanan—
beberapa naskah dibredelnya.
Menurut pengakuan Riantiarno (2007:34), dia ketemu dengan
seorang Mayor pensiunan yang pernah “menyidang” atas karya-
karyanya, dapat disimpulkan bahwa Riantiarno dan Teater Koma sama
sekali tidak berbahaya dan bukan orang jahat, dia hanya nakal.
Demikianlah pembacaan subjektif sang Mayor sebagai tangan Orde
Baru memandang Riantiarno dan karya-karyanya.
Drama Opera Kecoa adalah salah satu karya Riantiarno yang
menarik untuk dijadikan ukuran, betapa kerasnya tekanan dan
pelarangan terhadap drama ini. Drama ini, pada tahun 1985 pernah
dipentaskan di Taman Ismail Marzuki selama 14 hari dengan
penonton membludak dengan rela membeli tiket catutan yang
harganya tiga kali lipat. Hari pertunjukan ditambah dua hari
dengan penonton tetap meluber. Opera Kecoa, ketika dipentaskan di
Bandung menerima ancaman bom lewat telepon. Penelepon gelap
mengatakan bahwa bom sudah dipasang di gedung pertunjukan.
Pertunjukan terus berjalan dan bom tak terbukti. Dan pada tahun
1990 pada saat pentas uji coba untuk persiapan ke Jepang
dibubarpaksa polisi kerena Teater Koma tak termasuk teater yang
mendapat list izin pentas di gedung TIM. Tak ayal perizinan untuk
pentas di Jepang pun tak mendapatkannya, sehingga pentas keliling
di empat kota di Jepang dibatalkan. Persiapan untuk produksi ini
kurang lebih dua tahun, sebuah persiapan yang panjang dan matang,
lebih-lebih seluruh produksi ditanggung pihak Jepang. Dengan
berbagai persitiwa dan fenomena yang menimpa Opera Kecoa sangat
menarik untuk dijadikan instrumen penelitian ini.
Alasan pemilihan drama Opera Kecoa sebagai objek penelitian
selain hal-hal di atas juga karena mempertimbangkan isi dan
kisahnya. Opera Kecoa berkisah tentang seorang kaum miskin urban
yang diwakili waria, pelacur, gelandangan dan para bandit yang
mencari penghidupan di kota. Mereka digusur, ditembaki dan
perkampungannya dibakar, keadilan tidak berpihak kepadanya, yang
satu kecoa yang lainnya garuda. Kaum miskin pinggiran sebuah
kelas sosial yang termarginalkan oleh negara. Negara
memperlakukan waria masih diskriminatif, baik secara politik atau
pun hukum.
Berdasar pada posisi atau latar belakang masalah di atas,
penulis hendak melihat atau mencari sejauh mana hubungan yang
tercipta atau terjadi antara karya drama dengan dunia poltik yang
ada di sekitarnya. Mengikuti pikiran Word Keller (dalam Dahana,
2001: 8) bagaimana sebuah teks sastra drama, dapat menjalin
hubungan yang terdiri atas elemen-elemen estetika, ideologi dan
sosiologi. Lebih jelasnya, bagaimana sebuah naskah drama dapat
mengekspresikan atau menyingkap masalah dimensi politis yang
tersembunyi di dalamnya. Bagaimana penggunaan simbol dalam
naskah Opera Kecoa dapat memperlihatkan adanya sebuah ideologi
politik tertentu di baliknya.
Pada penelitian deskriptif ini, analisis data dilakukan
secara induktif. Data penelitian berupa kata, kalimat, dialog,
monolog, situasi dan lingkungan yang merupakan bagian simbol
dalam struktur drama Opera Kecoa diamati pemakaiannya. Pengamatan
berikutnya, pengamatan yang mendalam pada pola interaksi para
tokoh sebagai simbol untuk mendapatkan gambaran perlawanan
masyarakat marginal (yang diwakili waria) terhadap negara.Di
samping itu, penulis juga melakukan analisis simbol pada latar
sosial. Dalam hal ini, ideologi politik dalam simbol-simbol yang
dioperasikan, ditafsirkan maknanya dalam perspektif nilai sosial,
budaya dan politik sebagai representasi modus politik Orde Baru.
Untuk memberi arah yang jelas dalam hasil dan tujuan
penelitian ini, masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1) Seperti apakah simbol-simbol dioperasikan dan “bekerja”
dalam drama Opera Kecoa karya N. Riantiarno?
2) Ideologi politik apa yang terdapat dalam simbol-simbol
drama Opera Kecoa karya N. Riantiarno, sehingga Orde Baru melarang
drama tersebut dipentaskan?
Jawaban permasalahan yang diajukan tersebut di atas,
diharapkan menjadi titik berangkat dan fokus untuk mencapai
tujuan penelitian setepat-tepatnya.
Pendekatan Semiotik
Untuk “membongkar” teks Opera Kecoa, penulis memakai pendekatan
semiotik. Semiotikdidefinisikan oleh Ferdinan de Saussure di
dalam Course in General Linguistics, sebagai ilmu yang mengkaji tentang
tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit,
dalam definisi itu adalah prinsip, bahwa semiotika menyandarkan
dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial yang berlaku di
dalam masyarakat, sehinga tanda dapat dipahami maknanya secara
kolektif.
Penggunaan metoda semiotik sebagai pendekatan pembacaan dalam
penelitian karya sastra (drama) didasarkan pada pengertian
tentang tanda, cara kerjanya, dan penggunaannya. Menurut Peirce
(dalam Sahid, 2004: 5) tanda adalah sesuatu yang dapat mewakili
sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda-tanda
memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan
memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.
Manusia memiliki kemungkinan yang sangat luas dalam penerapan
tanda-tanda, diantaranya tanda-tanda dengan kategori linguistik.
Charles Sander Peirce mengelompokan tipologi tanda, hubungan
antara tanda dengan acuannya dibedakan menjadi tiga, yaitu ikon,
indeks dan simbol (Piliang, 2003:271). Indeks adalah tanda yang
hubungan antara penada (bentuk, ekspresi) dan petanda (makna,
konsep) di dalamnya bersifat kausal, misalnya hubungan antara
asap dan api. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan
petandanya bersifat keserupaan. Misalnya, foto Soekarno yang
merupakan tiruan dua dimensi dari Soekarno. Sementara, simbol
adalah tanda yang berhubungan antara pananda dan petandanya
seakan-akan bersifat arbitrer. Tentang simbol yang merupakan
objek kajian dalam teks drama, dikupas lebih jauh di bawah ini.
Simbol
Secara etimologis, simbol berasal dari kata Yunani “sym-
ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda,
perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide (Hartoko dan Rahmanto,
1998:133). Ada pula yang menyebutkan “symbolos”, yang berarti
tanda atau ciri yang memberitahuikan sesuatu hal kepada seseorang
(Herusatoto, 2000:10). Biasanya simbol terjadi berdasarkan
metonimia, yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang
menjadi atributnya. Simbol juga metafora, pemakaian kata atau
ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau
persamaan (Kridalaksana, 2001:136-138).
Konsep yang diungkapkan Peirce, simbol diartikan sebagai
tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri.
Hubungan antara simbol dengan penanda dengan petanda sifatnya
konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya
menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu
dan menafsirkan maknanya. Dengan demikian, sebuah simbol dapat
berdiri untuk sesuatu institusi, cara berpikir, ide, harapan,
aspirasi, sikap dan banyak hal lain (Sobur, 2003:163). Simbol
dapat berupa kata-kata (verbal) perilaku nonverbal dan objek yang
maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera di depan
rumah sebagai tanda cinta terhadap negara.
Pada dasarnya, naskah drama merupakan kumpulan simbol.
Sebagai simbol, karya drama akan berarti jika penikmatannya
berada pada konvensi yang sama. Jadi, sudah ada persetujuan
antara pemakai simbol tentang hubungan simbol dengan acuannya.
Yang unik adalah drama memberi kebebasan yang lebih besar pada
penafsir simbol daripada simbol-simbol lain yang lebih terbatas,
misalnya rambu-rambu lalu lintas.
Dalam penelitian ini akan disingkap bagaimana simbol-simbol
dalam drama Opera Kecoa karya N. Riantiarno dioperasikan dan
bekerja untuk menyuarakan suara kritis sehingga terbongkar makna
ideologis dibaliknya.
Struktur Simbol Drama dalam Kerangka Semiotik
Dalam perspektif semiotik, lakon atau naskah drama sebagai
objek kajiannya menurut Aston & Savona, struktur simbol dapat
mendasarkan analisisnya pada 4 unsur, yaitu konstruksi plot,
karakter (tokoh), dialog dan stage direction (Sahid, 2004:30).
Pengarang baik secara eksplist atau implisit meletakan simbol
dalam struktur drama. Berikut akan dijelaskan perihal empat unsur
tersebut secara singkat:
a. Simbol dalam Konstruksi Plot
Secara umum cerita merangkai banyak peristiwa, dan peristiwa-
peristiwa saling mempunyai hubungan. Forster mengatakan bahwa
hubungan kausalitas anatara peristiwa dalam sebuah cerita
bukanlah urutan biasa, plot merupakan rangkaian persitiwa yang
dijalin berdasarkan hubungan sebab akibat dan merupakan pola
kaitan yang menggunakan jalan cerita ke arah pertikaian dan
penyelesaian (Sahid, 2004:30). Plot drama yang baik mengandung
unsur ketegangan dan kejutan.
Suyatna Anirun (2002:131) membagi struktur plot dalam
eksposisi, konflik, komplikasi, klimaks, dan resolusi. Konvensi
pembagian plot yang dikemukakan para pakar tersebut memberikan
kontribusi ke arah pembentukan dan penunjukan kesatuan awal,
tengah dan akhir drama. Hal ini seperti yang dikemukakan
Aristoteles dalam deskripsi drama taregedi komedi drama Yunani
yang terdiri tiga babak: bagian awal, tengah dan dan bagian
akhir.
b. Simbol dalam Karakter
Semiotik karakter yang dikembangankan Ubersfeld (dalam Sahid,
2004:44) mencakup karakter sebagai leksem (aktan, metonimia,
metafora, referen dan konotasi ) dan karakter sebagai ensambel
semiotik (individualisasi dan kolektivitas)
c. Simbol dalam Dialog
Secara umum, dialog dalam teks drama berfungsi untuk
menetapkan karakter, ruang dan lakuan. Selain itu berfungsi juga
sebagai sistem penggiliran. Seorang tokoh berbicara dan tokoh
lainnya mendengarkan dan selanjutnya menjawab sehingga pada
gilirannya menjadi pembicara. Dualiatas interaksi peran
pembicara-pendengar merupakan suatu modus dasar dialog drama.
Terjadinya dialog untuk menciptakan suatu dialektik interpersonal
di dalam waktu dan lokasi wacana
d. Simbol dalam Stage Direction (Petunjuk Pementasan)
Stage direction adalah bagian drama berupa narasi yang memberikan
penjelasan penjelasan kepada pembaca—sutradara, artistisk, aktor
mengenai keadaan suasana, persitiwa atau perbuatan dan sifat
tokoh cerita. Stage direction biasa juga disebut petunjuk pengarang
atau petunjuk pementasan. Penulisan dibedakan dengan penulisan
dialog, biasanya dimiringkan atau dalam tanda kurung.
Makna Ideologi dalam Simbol
Salah satu pengertian ideologi seperti yang dikemukakan Jorge
Larrain (dalam Sunarto, 2000:31), yakni pandangan dunia yang
menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan
memajukan kepentingan-kepentingannya. Atau pendapat Franz Magnes
Suseno (1992:230) yang menyatakan ideologi sebagai keseluruhan
sistem berpikir, nilai-nilai dan sikap-sikap dasar rohani sebuah
gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan.
Ideologi di sini tidak berada dalam wilayah makna teroritis
dan filosofis yang besar “sebagai sebuah ilmu tentang gagasan”.
Atau sebagaimana perkembangannya setelah masa Pencerahan, di mana
ideologi menjadi “studi tentang asal mula gagasan” dan yang
membebaskan diri dari prasangka religius dan metafisis.
Ideologi dipahami sebagai titik tolak interpreatsi, titik
tolak dalam memproduksi simbol, di mana dengannya kita dapat
terhindar dari bahaya kekeliruan. Dari titik tolak inilah pula,
menurut Zoest, dimungkinkan tersingkapnya tabir prasangka, juga
yang berasal dari simbol-simbol naskah drama (Sudjiman,
1996:104).
Lakon atau naskah drama merupakan hasil konstruksi simbol-
simbol. Karya drama diejawantahkan atau bekerja dengan
mengoperasikan sejumlah simbol estetik. Penelitian ini mencoba
melihat dan mengidentifikasi simbol-simbol “yang bekerja”
dioperasikan dalam dramaOpera Kecoa karya N. Riantiarno, juga akan
dilihat bagaimana simbol-simbol dalam naskah drama itu
memperlihatkan adanya ideologi tertentu yang diekspresikan
(Dahana, 2001:8). Sebuah makna ideologi yang turut berkerja dan
memberi pengaruh pada cara dan bentuk hasil produsi simbol-
simbol. Terjadikah subordinasi nilai-nilai politik, khususnya
dalam pengejewantahan simbol-simbol yang dikonstruksi dalam
naskah drama?
Untuk menganalisis hal tersebut, penulis menggunakan semiotik
Barthes dalam model analisisnya, yaitu menggunakan konsep
connotationnya- Hjemselev untuk menyingkap makna-makna yang
tersembunyi. Konsep ini menetapkan dua cara pemunculan makna yang
bersifat promitif, yakni denotatif dan konotatif. Pada tingkat
denotatif, tanda simbol sebagai makna primer, alamiah. Pada
tingkat konotatif, ditahap sekunder, muncullah makna ideologis.
Menurut Barthes, simbol dalam naskah drama berposisi
sebagai meta-language, bentuk bahasa kedua yang berperan sebagi
corong atau juru bicara ideologi (politik) yang
menempati language objek atau bahasa pertama (Dahana, 2001:23-
24) Dalam istilah Barthes, struktur simbol yang permanen
(language) dibalik parole (bentuk pengucapan) dalam drama Opera
Kecoa, bukan hanya dikosntruksi oleh kesadaran umum yang ada
diabstraksi masyarakat, tapi berkemungkinan merupakan suara
kelompok minoritas.
Rekonstruksi pemahaman secara hermeneutis, sebagai bentuk
tafsir pemahaman ulang, penulis merekonstruksi makna dalam teks.
Gambaran makna dan pengertian dalam teks tersebut, penulis secara
detail melihat hubungan jalinan anasir-anasir struktur drama itu
sebagai suatu sistemik, sehingga keutuhan makna idologis itu
bukan hasil analisis yang sepenggal-sepenggal tetapi hasil
pandangan secara keseluruhan jalinan struktur drama.
Dalam mendapatkan interpretasi makna ideologis simbolik yang
menyeluruh, dan tidak kehilangan kontekstualitasnya dengan
semesta, di samping melakukan analisis model Barthes, penulis
juga melakukan analisis latar sosial politiknya. Dalam hal ini
diamati atau diuraikan persamaan dan hubungan simbolik antara
simbol-simbol yang muncul secara eksplisit dan implisit dicarikan
acuannya pada kebijakan politik Orde Baru.
Analisis Drama Opera Kecoa
Simbol-Simbol yang “Dioperasikan dan Bekerja”
Dalam mengidentifikasi simbol yang “dioperasikan dan bekerja”
dalam drama Opera Kecoadimulai dengan diinventarisir melalui
bagaimana simbol itu melekat atau muncul, implisit atau eskplisit
dalam struktur drama, yakni konstruksi plot, karakter, dialog
dan stage direction.
Ø Simbol dalam Konstruksi Plot
Seperti perlakuan dalam drama-drama komedi klasik, dalam
memetakan analisis strukutur plot, Suyatna Anirun
membagi konstruksi plot dalam lima bagian, yakni eksposisi,
konflik, komplikasi, klimak (krisis) dan resolusi.
dalam eksposisi akan dideskripsikan tentang gambaran awal sosok-
sosok yang terlibat dan ruang persitiwa kejadian; konflik berisi
mula pertama terjadinya insiden,komplikasi akan nampak bagaimana
persoalan baru dan watak berkembang menuju masalah yang
kompleks; klimaks adalah sebagai puncak pertentangan
dan resolusi merupakan falling action, penyelesaian persoalan.
Berikut konstruksi plot dalam drama Opera Kecoa dan simbol-
simbol yang dioperasikan dalam konstruksi plot tersebut.
1) Eksposisi
Dalam eksposisi digambarkan secara visual sisi lain suasana
tentang peradaban kota yang gemerlap. Tentang kehidupan para
kecoa yang berhimpitan dalam lorong-lorong yang gelap dibalik
kemegahan gedung-gedung tinggi, monumen. Di balik kota, banyak
derita, kelaparan, kemiskinan dan tragedi. Yang satu menjadi
kecoa dan yang lain menjadi garuda. Bumi bergetar, rentetan bunyi
tembakan. Nyanyian dan tangisan.
Begitulah gambaran suasana yang menjadi latar peristiwa
diperkenalkan sebagai pembuka adegan. Lain halnya dengan sosok-
sosok yang terlibat. Roima membopong mayat Julini yang terbungkus
kain putih. Julini adalah sosok korban. Dapat disimak kesaksian
Roima dalam solilokuinya.
Roima: Dia hanya ingin hidup, dia tak mengganggu orang, tak pernah memaksa. Apa yang
selama ini dia lakukan hanyalah upaya agar dia tidak kelaparan Coba tunjukan cara
lain untuk bisa memperoleh penghasilan. Coba tunjukan, tunjukan. Tak pernah ada
jawaban. Yang ada hanya pidato, pidato dan pidato. Apa hanya dengan pidato-pidato
saja, dia kami, bisa kenyang? Dia bekerja, banting tulang memeras keringat. Kemudian
dia dapat uang.
Dia memang cabo, itu karena dia tidak mungkin jadi sekertaris. Keahliannya cuma
memijat. Dia memang cabo, tapi bukan berarti dia tak ingin menjadi sekertaris. Nasib
melemparkan ke dalam got, berhimpitan dengan kutu dan kecoa. Kami orang-orang
kecil. Masalah kami hanyalah masalah perut. Tapi mengapa dia harus ditembak mati?
Dia memang cabo, tapi banyak orang yang membutuhkannya. Tapi dia yang
kemudian dikejar-kejar, bukan mereka bukan orang-orang yang datang. Jika ada jalan
untuk jadi baik, kami akan ikutan jalan itu. Asal jangan jalan yang penuh pelor dan
bedil.
Dunia tragedi Julini dan Roima direspon semesta, bumi bergetar, menggeletar,
selaput bumi berwarna merah terkelupas dengan hebat, Roima dan Julini terseret ke
bangku-bangku plaza monumen. Terbentanglah dua pemandangan yang kontras.
Pemandangan pertama, sebuah kota yang penuh bangunan dan berbagai monumen,
dan pemandangan yang kedua rumah-rumah reyot saling berhimpit, got-got yang
kotor, sepetak tanah tempat anak main kelereng, ibu-ibu di depan rumah saling
mencari kutu. Kompleks rumah tangga yang baik-baik dan kompleks pelacuran.
Kontruksi adegan dalam eksposisi ini menggunakan teknis flash
back. Adegan berikutnya, dimulai dengan pergeseran waktu dan
tempat; Julini dan Roima kembali ke kota setelah lima tahun dia
tinggalkan.
2) Konflik
Pertama terjadinya insiden, dimulai dari Julini dan Roima
dikejar-kejar Satpam ketika sedang mencari teman-teman lamanya,
Tarsih, Jumini dan Tarkana. Begitupun penghuni perkampungan kumuh
selalu dalam pengawasan satpam.
Tarsih dalam kecemasan, sekalipun rumah pelacuran yang
dikelolanya dengan sertifikat hak milik, selalu terancam batu
peringatan penggusuran, di samping pemerasan dengan
mengatasnamakan uang keamanan.
Di perumahan kumuh terjadi percekcokan, Asnah dengan seorang
rentenir dan Tukang Sulap menjaja dagangannya obat anti kecoa.
Konflik berikutnya antara Tarsih dengan Julini. Tarsih yang sudah
kaya dan memiliki komplek pelacuran yang maju, tidak menerima
Julini sebagai sahabat lamanya. Cara hidup di kota besar, tidak
gampangan. Kehadiran Julini dipandang Tarsih jika bergabung
kembali dengannya hanya akan menjadi beban saja, karena Julini
sudah dianggap tidak akan “produktif”. Adagan berikutnya, dari
konflik ini menjadi berkembang dan komplikasi.
3) Komplikasi
Dalam tahap komplikasi, dari konfkik yang dideskripsikan di
atas, masalah menjadi berkembang, rising action. Dimulai dari
persoalan baru hingga watak pun berkembang. Dengan sikap Tarsih
yang curiga pada Julini, Juilini dan Roima kian berat
tantangannya, dari masalah tempat tinggal hingga pekerjaan. Pajak
pelacuran yang kian tinggi, Tarsih harus mengamankan dari ancaman
penggusuran dengan memasang badan Tuminah, dengan memanfaatkan
kekuasaan salah satu pejabat yang manjadi langgangan tetapnya
Tuminah. Tukang sulap kian gencar tentang promosinya obat kecoa,
Julini bergabung dengan perumahan pelacuran kelas bawah dan
kelompok banci-banci, Roima mendapat pekerjaan dengan
menggabungkan diri dengan komplotan bandit yang dipimpin Kumis
dan Bleki dengan bantuan Tuminah. Pejabat semakin ketagihan
“bersenang-senang” di pelacuran Tarsih dengan membawa tamu-tamu
asing, sebagai servis proyek-proyek bantuan dengan
mengatasnamakan pembangunan.
Hubungan Roima dengan Tuminah kian intens, gingga Julini
merasa kehilangan Roima. Roima jarang pulang, dia sibuk dengan
dunia kerjanya dan menghabiskan waktu dengan Tuminah. Julin
cemburu berat.
4) Klimaks
Dari permasalahan yang kian kompleks dan perkembangan
karakter terjadilah puncak pertentangan, krisis. Julini dengan
Roima bertengkar luar biasa setelah Julini mengetahui bahwa Roima
berselingkunh dengan Tuminah, Julini lari meninggal Tuminah
hingga Julini tertembak di tengah banci-banci yang sedang melawan
petugas, karena banci-banci merasa terhina kemanusiaannya oleh
isi pidato petugas yang sudah merendahkan harga dirinya. Julini
tertembak satpam yang sedang mengamankan situasi.
Begitupun Kumis dibunuh Tibal, kakaknya Tuminah. Tibal balas
dendam, karena Kumis sudah menghacurkan masa depan Tuminah,
hingga Tuminah manjadi bagian dunia gelap pelacuran.
Adegan berikutnya adalah kebakarannya kompleks pelacuran
milik Tarsih dan daerah kumuh terbakar ludes. Tarsih tragis,
untuk menyelematkan sertifikat dan surat-surat penting, Tarsih
dengan memasuki rumahnya yang sedang dilahap api. Dia mati
terpanggang.
Yang menjadi klimak dari Opera Kecoa adalah Julini mati
tertembak, Komplek pelacuran dan perkampungan kumuh terbakar, dan
kematian Tarsih. Inilah tragedi kemanusiaan.
5) Resolusi
Dalam resolusi tergambarkan melalui tindakan Roima. Dengan
kematian Julini, Roima menuntut pejabat agar dibuatkan monumen
Julini untuk menghargai perjuangannya, dan pejabat
mengabulkannya. Patung Julini dapat diterima oleh patung-patung
monumen lainnya yang sudah lebih awal didirikan. Lain halnya
ketika Roima mengadukan masalah kompleks yang kebakaran, Roima
membawa masa yang beringas ingin meminta pertanggungjawaban
pejabat atas petaka itu.
Rombongan masa beringas yang dipimpin Roima, yang melihat
pejabat dipagari dengan pasukan anti huru-hara dengan
persenjataan yang lengkap, Roima memilih mundur dan mengendurkan
otot-otot. Pejabat dan pasukannya sudah menantang dan Roima
menenangkan massa untuk tidak terjebak pada anarkisme dan
menghindari dari korban yang akan berjatuhan. Orang-orang dengan
diam beranjak kembali ke got-got dengan menyanyikan “Jula-Juli
Anjing Bringas”.
Ø Simbol dalam Karakter:
Tokoh atau Karakter sebagai Leksem
Model aktan Greimas dapat diaplikasikan dengan mudah pada
lakon Opera Kecoa yang memiliki basis peran-peran aktan tempat
tokoh-tokoh dan kekuatan kekuatan yang terlibat. Karakter
memiliki suatu fungsi gramatikal dalam struktur drama dan satu
profil aktan untuk satu karakter yang bisa ditetapkan. Greimas
mendasarkan analisisnya pada tata bahasa naratif, analisis
semantik pada struktrur kalimat. Gagasan terletak pada tokoh
subjek bergulir bersama problematika yang dihadapinya.
Aplikasinya dalam drama Opera Kecoa, Kemiskinan dan perlakuan
negara terhadap kaum miskin urban tidak mencerminkan pada hukum
dan rasa keadilan sosial berfungsi sebagai pengirim sehingga
bisa beraksi atas “Subjek” yang diduduki Julini mencari “objek”
berupa hidup layak secara ekonomi, hukum dan sosial untuk
kepentingan para kaum urban miskin semisal, pelacur, para waria,
gelandangan, bandit dan bromocorah lainnya sebagai “penerima”.
Dalam hal ini “subjek” dibantu oleh Roima, Asnah, Wartawan dan
Waria. Sebaliknya dalam usahanya itu mendapat rintangan dari
Pejabat, Petugas, Satpam, Tamu Asing, Pasukan Anti Huru-hara,
Rentenir dan Tukang Sulap sebagai “Lawan”. Berikut enam fungsi
aktansial karakter yang diperlukan dalam bentuk skema:
Karakter sebagai Ensambel Semiotik
1) Individualisasi
Penggunaan karakteristik-karakteristik yang menetapkan
perbedaan bisa mensignifikasikan suatu perhatian terhadap
karakter individual. Penamaan para tokoh bisa mengisyaratkan hal
ini. Peran individu juga bisa mensignifikasikan entri ke dalam
suatu konteks sosial kritisnya. Dalam Opera Kecoa, Roima, Julini,
Tarsih, Tuminah, Asnah, Kasijah, dari segi kultural ia adalah
nama-nama orang desa, orang-orang kampung. Bukan dari kultur
perkotaan.
2) Kolektivitas
Representasi karakter-karakter bisa beroperasi versus suatu
perhatian terhadap karakter yang sebenarnya. Tokoh berfungsi
sebagai peran yang terkodifikasi, yakni peran yang telah
ditetapkan sebelumnya sebagai abstraksi sosio-kulturalnya. Julini
dan Roiman terkodifikiasi sebagai pejuang kaum miskin urban untuk
menuntut penghidupan yang secara ekonomi dan politik, Pejabat
adalah peran yang terkodifikasi sebagai tokoh penjahat yang
arogan dengan kekuasaannya, tak berprikemanusiaan dan
berkeadilan.
Ø Simbol dalam Dialog
Untuk menganalisis simbol dalam dialog drama Opera Kecoa dapat
dilihat dalam tiga hal yakni, penggunaan bahasa, bentuk tuturan,
dan dialog yang bermakna.
Penggunaan Bahasa
Jan Van Luxemberg dkk (1991:59-69) mengatakan bahwa
penggunaan simbol dapat dilihat dalam tiga bidang yakni pilihan
kata, pola kalimat dan bentuk sintaksis, dan bentuk semantis.
Sebagai contoh, penulis akan memaparkan dalam bidang bentuk
semantik.
Bentuk semantik ini merujuk pada pamakaian majas dalam
mengkonstruksi simbol. Dalam lakon Opera Kecoa, simbol dibentuk
oleh majas metafora, metonomia (lihat dalam simbol yang berkaitan
dengan Karakter) di atas. Ada juga ironi semisal, Pejabat dan
Tamu-nya membicarakan kesejahteraan rakyat di tengah lapangan
golf; kecoa melawan garuda. Selain itu, bagaimana
mempersonifikasikan para bandit dengan anjing-anjing beringas.
Para gembel diasosiasikan dengan kumpulan tai dan
babi.
Bentuk Tuturan
Dialog dituturkan dengan sifat pertukaran “saya-kamu” antara
kedua tokoh dalam konteks “waktu sekarang dan di sini” tampak
jelas. Kondisi-kondisi :sekarang dan di sini yang menjadi topik
utama pembicaraan, tampak sering ditunjukan Julini, Roima,
Tuminah, Pejabat, Tarsih, Kumis, dan Tukang Sulap. Dalam bentuk
solilokui tampak diawal dalam adegan dua yang dibawakan Roima.
Selain dalam bentuk percakapan seperti, dialog juga dibawakan
dengan dinyanyikan, misalnya Julini, Pejabat, Penghuni (Orang-
orang), para bandit, dan para Waria.
Dialog yang Bermakna
Mengenai diaog yang bermakna, simbol pun dikemas dalam dialog
yang bermakna dengan syarat percakapan yang bermakna seperti
kuantitas, dialog tidak bertele-tele, informatif sesuai dengan
keperluan, tidak berlebihan dan tidak cerewet. Dialog padat,
tidak menggurui dan menjelas-jelaskan yang tidak perlu.Dalam
tingkat kualitas, dialog menyampaikan kebenaran-kebanaran
sastrawi dengan data-data kuat. Masalah relasinya, yakni
menyampaikan apa-apa yang relevan. Dan yang terakhir masalah
sikap, para pembicara (tokoh-tokoh) menghindari ambiguitas dan
kesamaran ucapan. Untuk contok bisa dilihat dalam kutipan-kutipan
dialog di atas.
Ø Simbol dalam Stage Direction
Simbol dalam stage direction lebih menggambarkan latar suasana
tempat, waktu dan latar sosial. Simbol stage direction juga menjadi
keterangan-keterangan lakuan para tokoh. Terutama
tentang performance tokoh seperti dalam bodi gerak dan kinesik dan
juga untuk menjelaskan paralinguistik (nada).
Stage direction digambarkan dengan detail dan lengkap sehingga
menerjemahkan dalam visual panggung, hal-hal yang menyulitkan
dapat diminimalisir, misalnya komplek pelacuran, perkampungan
kumuh yang penuh gubuk-gubuk, monumen-monumen dan tempat pejabat.
Semua area latar untuk kepentingan blocking dapat terbaca.
Analisis dan Makna Ideologi Simbol
Dalam tahap analisis simbol dan membongkar makna ideologis
dibalik simbol itu, penulis melakukan analisis dengan melihat
unsur-unsur atau struktur-struktur drama yang saling mengait.
Bukan anasir-anasir yang terpecah dan terpisah. Hal ini dilakukan
untuk menemukan keutuhan makna ideologis dan kontekstualnya.
Dengan model analisis Roland Barthes maka prosedur analisis
dapat dimulai dari tingkat pemaknaan pertama atau primer. Dalam
tingkat pertama ini, sistem Barthes ditandai dengan Ekspresi
(E1), Relasi (R1) dan Isi (C1)> Bentuk tingkat pertama adalah
makna-makna politis ditingkat denotatif. Dan menggunakan prosedur
yang serupa (R2), makna denotatif ditempatkan sebagai tanda
tingkat kedua (E2) untuk menyingkap keberadaan suatu ideoilogi
politik tertentu ditingkat konotatif (C2).
Beriku ini adalah simbol-simbol yang ditemukan dalam
lakon Opera Kecoa karya N. Riantiarno.
Analisis Simbol
1) Kecoa (E1) memperlihatkan (denotates R1) hidup liar malam
hari di dalam got yang kotor, mencari makan, mencari penghidupan
(E1). Di atas tanda denotatif (E1-R1-C1) implisit terdapat isi
yang lain (C2), kecoa bila disandingkan dengan kata “opera”
adalah nyanyian kaum pinggiran, suara-suara atau perjuangan kaum
pinggiran, yakni kehidupan para pekerja seks, bromo corah, banci,
gembel, orang yang sakit jiwa, bandit kelas teri yang tinggal
digubuk-gubuk reyot, perkampungan kumuh. Kaum urban miskin
perkotaan menggambarkan kehidupan yang sulit di tengah hangar
bingar, kegaduhan dan kegemerlapan kota. Kaum urban miskin yang
morat-marit hidupnya ditengah kekuasaan pejabat pemerintahan yang
korup dan hidup mewah. Di sini semacam ada ketidakadilan.
2) Julini dan Roima (E1) digambarkan (R1) dari desa kembali ke
kota untuk mencari penghidupan (C1). Di atas denotatif ini
terdapat tafsir implisit, (C2), bahwa kota tetap merupakan daya
tarik, sekalipun hidup di kota membutuhkan perjuangan yang keras.
Kota adalah impian, kota adalah harapan.
3) Roima, para Waria dan orang-orang (E1) menemui (R1) Pejabat
untuk meminta pertanggung jawaban ketika petugas menembak Julini
dan mempertanyakan tentang rumahan Tarsih yang kebakaran begitu
juga dalam waktu bersamaan daerah kumuh itu kebakaran C1). Di
atas tanda denotatif itu dapat ditafsirkan Roima dan kawan-kawan
sebagai wakil orang pinggiran yang seringkali tidak diberikan
kesempatan untuk menyatakan pendapatnya. Dalam sistem demokrasi,
semua orang berhak hendak menyampaikan pendapatnya. Pelacur,
gembel, bandit mempunyai hak-hak politik yang sama (C2).
4) Pejabat (E1) ditampilkan dengan (R1) sering mengunjungi
tempat pelacuran, bermain golf, berbagi prosentasi proyek-proyek
pembangunan, membuat monumen, dilindungi oleh petugas anti huru
hara dan menyuruh menembaki dengan bedil ketika Roima dan teman-
temnannya berdemo(C1). Dalam makna konotatifnya dapat ditafsirkan
(C2), pejabat itu tidak memiliki integritas moral yang tinggi,
hidup dalam kemewahan, kolutif dan korupsi, megalomania, tidak
memiliki rasa empati untuk sebuah keadilan, menyelesaikan masalah
dengan kekerasan dan senjata.
5) Petugas menghina menyadarkan ban-banci dengan nada menghina
sehingga mereka memprotesnya(E1) untuk menghadang itu ia
menggunakan (R1) pistol sehingga salah satu dari mereka, Julini,
tersungkur dan mati tertembak (C1). Di atas denotatif itu, dapat
dimaknai, petugas lemah dalam metodologi mempersuasi para banci
untuk mengubah hidupnya, pesan-pesan doktriner tidak tepat.
Petugas selalu menyelesaikan masalahnya dengan arogan, yakni
dengan kekuasaan peluru dan pelor. Cara-cara menangai demonstrasi
seperti itu adalah cara-cara yang barbar (C2).
6) Rumah Tarsih, perumahan daerah kumuh (E1) tidak terduga
kebakaran (C1). Makna konotatif ini bisa ditafsir pembakaran itu
adalah salah satu teknik penggusuran. Lokalisasi dibumihanguskan
dan para penghuni kocar-kacir. Bentuk penggusuran yang paling
kasar dengan membakar seluruh isinya. Rumah Tarsih tidak akan
dapat ganti rugi karena sertifikatnyapun ludes terbakar (C2).
7) Tempat Pelacuran Tuminah (E1) diiklankan (R2) dalam Pos
Kota dengan hadiahnya segala dan dapurnya memakai kompor gas
(C1). Hal ini dapat dimaknai dengan tempat pelacuran Tarsih bukan
kelas teri banyak perubahan di banding lima tahun yang lalu.
Tarsih sudah kaya dan bersikaf selektif dalam menerima orang.
Termasuk ditolaknya kedatangan Julini, sekiranya mesti jadi
beban. Hidup di kota tidak gampang, butuh keahlian dan Julini
dipandang tarsih tidak produktif lagi.
8) Julini (E1) digambarkan (R1) dalam kecemasan dan cemburu
luar biasa ketika Roima tidak sering pulang ke rumah apalagi
nampak mesra-mesraan dengan Tuminah (C1). Di atas denotatif ini
dapat ditafsirkan C2), Julini sangat menyayangi Roima, sangat
mencintai Roima sekalipun tidak diikat dengan tali perkawinan
yang sah.
9) Tuminah (E1) diperlihatkan (R1) sebagai seorang pelacur
yang selalu diantri dan diminati pejabat dan tamunya (C1). Di
atas makna denotatif itu dapat ditafsirkan konotatifnya (C2),
Tuminah, pelacur paling cantik, paling profesional dalam melayani
tamu-tamunya, terutama gaya-gaya “permaianannya”. Tuminah paling
pandai memuaskan tamu-tamunya sehingga pejabat selalu berkunjung
dan berkunjung.
10) Roima (E1) mengendurkan (R1) keinginan para banci dan teman-
temannya untuk melawan pejabat dengan kekerasan. Roima lebih
memilih jalan penyelesaian “aman” dan mundur kembali ke got, desa
(C1). Tindakan Roima ini dapat ditafsirkan makna konotatifnya,
yaitu (C2), Roima berpikir panjang dan sudah menghitung kekuatan,
senjata tidak bisa dilawan dengan tangan kosong. Anarkisme hanya
akan menimbulkan jatuh korban lebih banyak. Senjata hanya akan
dikalahkan dengan pikiran dan trategi yang cerdas. Roima memiliki
modal kultural hidup yang besar, seperti ketabahan, kesabaran,
ada impian dan harapan di hari esok, optimis di hari depan ada
perubahan dan semuanya ditanggung dengan tidak mengeluh. Roima
lebih berpikir strategis dan mengedepankan pendekatan kultural,
misalnya dengan meyakini pakem Jayabaya, akan datangnya ratu adil
yang membawa harapan baru. Meyakini pakem jaya baya itu, adalah
modal kultural bagi jenis masyarakat seperti itu, gerakan
mesianis dan sinkretisme pada tingkat mereka kemungkinannya
mendarah daging. Mesianis dipandang sebagai filsafat sejarah,
mengandung gagasan-gagasan mengenai gerakan sejarah manusia yang
linier, yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin baru.
11) Bahasa pertunjukkan (E1) disampaikan (R1) tidak hanya dalam
bentuk dialog tetapi juga dalam bentuk nyanyian dan gerak(C1).
Bentuk lakon Nano demikian, dapat ditafsirkan adalah pertunjukan
opera yang diharapkan pembacanya dapat terhibur dan dipahami
dengan mudah, komunikatif. Sehingga persoalan-persoalan yang
diangkat dalam naskat tersebut dapat dimengerti berbagai
kalangan.
12) Petugas (E1) menganggap (R1) banci dan para pelacur perlu
dienyahkan dari kota, disemprot obat anti kecoa (C1), di atas
tanda denotatif itu, dapat ditafsirkan (C2) bahwa cara pandang
petugas itu bertolak pada moralitas, padahal mereka melacur bukan
karena tidak bermoral tetapi lebih karena persoalan ekonomi dan
jiwa. Mereka tidak punya keterampilan hidup, seperti dalam dialog
Roima ketika Julini tertembak, “dia bukan tidak ingin menjadi
sekretaris dan direktis, mereka hanya punya keahlian sebatas
memijat”.
13) Pemilihan nama tokoh, kaum pinggiran diwakili oleh nama-nama
yang jelas seperti Julini, Roima, Tarsih, Tuiminah, Kumis, Bleki,
Asnah, Kasijah (E1) dipertentangkan (R1) dengan Pejabat, Petugas,
Tukang Sulap, Satpam, sebuah nama dan identitas yang terbuka
(C1). Di atas simbol itu, dapat ditafsirkan makna konotatifnya
(C2), Nano ingin menyamarkan identitas pejabat, biar longgar dan
kabur. Nano akan terhindar ketika dilihat secara mimetik. Nano
akan di dalam posisi aman. Pejebat adalah identitas abu-abu.
14) Kaum urban miskin, kaum marginal.pinggiran, kaum kecoa (E1)
memperjuangkan (R1) demokrasi dan kesejahteraan ekonomi (C1). Di
atas tanda denotatif itu implisit terdapat isi lain (C2),
Demokrasi memerlukan landasan kesejahteraan ekonomi. Demokrasi
tanpa kesejahteraan adalah rapuh. Demokrasi dapat beresiko jika
pondasi ekomoni masih rendah. Demokrasi bisa roboh seketika oleh
ketidak sabaran memikul dan menahan sakitnya dera kemiskinan. Di
atas kemiskinan memang tipis sekali jarak antara demokrasi dan
revolusi. Telah dibuktikan oleh Roima dengan menyerukan sabar,
dan tabah, mengendurkan otot dan mengedapankan pikiran dan akal
tidak terjadi anarkisme sekalipun pejabat sudah menodongkan pelor
dan bedil. Nano memberikan solusi yang tepat diakhir cerita
ini.Dia berpihak pada demokratisasi dan perjuangan kesejahteraan
ekonomi.
Ideologi Simbol
Dimulai dengan mengidentifikasi simbol. Lakon Opera
Kecoa karya N. Riantiarno ini, struktur simbolnya dibongkar untuk
diketahui seperti apa dan bagaimana simbol itu diopersikan atau
“atau simbol yang bekerja”. Kemudian simbol itu dimaknai secara
denotatif untuk selanjutnya dikembangkan dalam makna konotatif
sesuai dengan prosedur metode analisis Roland Barthes.
Pemilihan elemen simbol menjadi data yang perlu dianalisis,
karena keberadaan simbol seperti diakui dalam proses kreatif
seniman dapat menjadi variabel untuk membaca dan melihat sikap
politiknya. Dengan demikian, simbol adalah representasi pandangan
politik problematika seniman terhadap semesta yang dilihatnya.
Simbol yang dioperasikan Nano dalam drama Opera Kecoa telah
membawa pencerahan dan pandangan lain terhadap kaum urban miskin,
kaum pingggiran, kaum yang dimetaforakan hanyalah kecoa.Dalam
pandangan umum, seperti pelacur, waria, gelandangan, bandit kelas
teri, bromocorah, cabo, germo adalah “sampah masyarakat”. Lain
halnya Nano, sebagai seniman memiliki pandangan yang berbeda
dengan pandangan umum itu. Ia sangat dalam posisi sebagai seniman
teater bagaimana lakon menjadi penting untuk menyuarakan kontrol
sosial di masyarakatnya.
Dalam drama Opera Kecoa, orang-orang pinggiran ini diposisikan
sebagai pejuang, sebagai pahlawan. Tema demokrasi, tuntutan
keadilan, kemiskinan, pemerintah yang adil, isu perempuan, adat
perkawinan, diskriminasi rasial dan penyalahgunaan kekuasaan oleh
pejabat mendomasi isi tubuh lakon Opera Kecoa.
Suara Nano adalah suara kaum urban kota, pinggiran.
Keberpihakan dia kepada kaum pinggiran sendiri juga sudah menjadi
pesan tersendiri. Suara-suara kritik sosial, ekonomi dan
politik, terutama dalam menyoal kasus-kasus (1) penggusuran
dengan dengan membumihanguskan perumahan pelacuran dan daerah
kumuh; (2) membubarkan masa yang demonstrasi dengan kekuasaan
pelor dan bedil; (3) pejabat yang tidak memiliki integritas moral
yang baik terbukti dengan sering “main” di lokalisasi. Selain itu
pejabat juga korupsi dan kolutif; (4) Nano memberikan
pembelajaran demokratisasi politik terhadap institusi-institusi
partai politik sebagai saluran aspirasi. Institusi kaum pinggiran
lebih beradab dalam menyuarakan politiknya, tidak barbar seperri
partai politik yang sering menggalang masa untuk menekan lawan
politiknya hingga sampai terjadi anarkisme. Nano seperti sedang
melakukan dekonstruksi terhadap institusi yang menyokong
demokrasi. Nano sedang mengejek dan meledek demokrasi yang
dijalankan oleh golongan yang berdiri di atas kaki politikus dan
merasa atau seolah-olah golongan intelektual.
Ketika kaum pinggiran memperjuangkan demokrasi dengan etika-
etika politik dan strategi yang cerdas, dengan memaksimalkan
modal kultural yang diimbangi dengan kerja keras mencari
penghidupan, hal ini dimaknai demokrasi bisa dipertahankan dengan
dimbangi oleh pertumbuhan ekonomi yang tumbuh dan berkeadilan,
berpihak kepada rakyat bukan monopoli pemilik alat-alat produksi
atau kaum oligarki, yang berlindung dibalik regulasi yang
dikeluarkan pejabat.
Konflik kaum pinggiran dengan Pejabat, Petugas dan Satpam
sebagai metafor pertentangan Nano dengan Pejabat Orde Baru ketika
melaksanakan kebijakan politiknya. Orde baru dikritik dan
diserang Nano dengan babak belur. Ia menguliti kejahatan politik
Orde baru dalam representasi teater. Kerasnya Nano menghajar Orde
Baru, sekeras Orde Baru melarang Opera Kecoa untuk dipentaskan.
Begitulah sebuah hukum Archimides bekerja. Kritik Nano terhadap
Orde Baru berbanding lurus dengan politik pelarangan itu.
Demokrasi dan keadilan ekonomi yang diperjuangkan Nano berbanding
lurus dengan tidak berjalannya demokrasi politik dan ekonomi
dalam Orde Baru.
Selain itu, ketika Nano memilih institusi kaum pinggiran
untuk menyuarakan aspirasi politik demokrasi dan politik ekonomi
adalah sebuah pesan ideologis juga, bukan untuk sebuah tindakan
yang artifisial.
Kaum pinggiran ini melawan budaya dominan yang digenggam
kuasa Pejabat, Petugas, Satpam, Petugas Anti Huru-Hara, Rentenir
dan Tukang Sulap. Kaum pinggiran di tangan Nano menjadi berdaya
secara politik, yang sementara pandangan umum selalu berpandangan
picik, pinggiran adalah orang kecil, orang lemah, miskin dan
bodoh. Kaum pinggiran berhadapan dengan kekuasaan (budaya
dominan) merupakan sikap budaya tanding yang menolak tunduk pada
kekuasaan, kekuasaan adalah represif.
Kesimpulan
Penulis berhasil menemukan simbol, seperti apa dioperasikan
Nano dalam naskah lakon Opera Kecoa. Selain itu juga membongkar
makna ideologisnya. Berikut ini adalah temuan-temuan yang penulis
maksud.
1) Simbol dideskripsikan dalam perstiwa-peristiwa yang
satu sama lain berhubungan dengan longgar, urutan peristiwa-
peristiwa dan adegan-adegan tidak diikat dengan ketat oleh hukum
sebab akibat. Dengan kata lain, konstruksi plot dalam lakon ini
pada umumnya, dari adegan ke adegannya bersifat episodik.
2) Simbol tersebar dalam konstruksi plot dari mulai
eksposisi, konflik, komplikasi, klimaks dan resolusi.
3) Simbol dapat dilihat dalam tokoh melalui umur, jenis
kelamin, penampilan, kepribadian, tingkah laku, perbuatan dan
latar sosialnya.
4) Dalam skema aktansial, peta simbol dapat dibaca
dengan distinateur (pengirim): kemiskinan dan perlakuan negara
terhadap kaum miskin urban tidak mencerminkan rasa keadilan
sosial dan hukum, berfungsi sebagai pengirim sehingga “Subjek”
yang diduduki Julini beraksi mencari “objek” berupa hidup layak
secara ekonomi, hukum dan sosial dalam rel demokrasi untuk
kepentingan para kaum urban miskin semisal, pelacur, para waria,
gelandangan, bandit dan bromocorah lainnya sebagai “penerima”.
Dalam hal ini “subjek” dibantu oleh Roima, Asnah, Wartawan dan
Waria. Sebaliknya dalam usahanya itu mendapat rintangan dari
Pejabat, Petugas, Satpam, Tamu Asing, Pasukan Anti Huru-hara,
Rentenir dan Tukang Sulap sebagai “lawan” atau opposant.
5) Simbol-simbol dalam karakter lakon Opera Kecoa, selain
sebagi leksem dalam aktans juga berupa fungsi metonomi, metafora,
referen dan konotasi.
6) Simbol-simbol dikonstruksi dengan diksi-diksi yang
konkret dan khusus, tidak bahasa resmi, jargon dan didominasi
kata benda juga sifat; pola kalimatnya pendek, kecenderungan
kalimat tunggal, sifat kalimatnya (pernyataan, pertanyaan, seruan
dan perintah), rancang bangun kalimatnya berupa pengulangan dan
penghilangan; gaya semantisnya pada majas metafor, metonomi, dan
ironi.
7) Simbol menggunakan diksi dialog dengan bahasa
keseharian sehingga mencerminkan kewajaraan.
8) Simbol tertata dalam dialog yang bermakna pada tingkat
kuantitas, kualitas, relasi dan sikap.
9) Simbol dalam stage direction menggambarkan latar suasana
tempat, waktu dan latar sosial. Selain itu, menjadi keterangan-
keterangan lakuan para tokoh. Terutama performance tokoh dalam
bodi gerak dan kinesik dan stage direction dapat menjelaskan
paralinguistik (nada).
10) Makna ideologis dalam drama Opera Kecoa adalah (1)
berpihak pada kaum urbanmiskin/kaum pinggiran, (2) mendorong
politik demokratisasi dan kritik sosial ekonomi, (3) kuam
pinggiran sebagai pahlawan, (4) diskriminasi rasial dan
penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat. (5) lakon/ drama bisa
digunakan untuk memberdayakan orang-orang pinggiran dan menyoroti
perjuangannya supaya masyarakat umum bisa mengerti kehidupan yang
lebih baik dan dapat membantu kondisi sosialnya.
11) Adanya korelasi langsung antara kehidupan politik dengan
lakon yang diungkap dalam penelitian ini, pemahaman posisi
seniman dan penguasa poltik bahwa keduanya dalam satu wacana
simbolik.
12) Opera Kecoa adalah ekspresi politik masyarakatnya untuk
melawan kekuatan penguasa dan keadaan sosial yang tak adil.
Nandang Aradea, Dosen Prodi Diksatrasia, FKIP Untirta. S-1 di
IKIP Bandung (UPI). Menulis beberapa naskah drama, sekaligus
menjadi sutradara. Tulisannya tersebar di berbagai media seperti
The Jakarta Post, Media Indonesia, Pikiran Rakyat,......Pernah
menggali ilmu di Australia dan Rusia. Menjadi pemakalah nasional
dan internasional. Setelah sukses mementaskan “Bicaralah Tanah”
di berbagai tempat, kini sedang menyiapkan pementasan selanjutnya
“Perempuan Gerabah?”
Firman “Venayaksa” H, Dosen Prodi Diksatrasia, FKIP Untirta. S-1
di UPI, S-2 di UI. Menulis ratusan artikel/karya sastra dan
dimuat di beberapa media seperti Koran Tempo, Media Indonesia,
Republika, Pikiran Rakyat, Sabili, Anida, Lampung Post, dll.
Menjadi pemakalah nasional dan Internasional. Buku Terakhir,
“Merdeka di Negeri Jawara” (Lumbung Banten, Nop 2007) Semenjak
tahun 2003 menjadi relawan di Rumah Dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Aston, Elain & George Savona. 1991. Theatre As Sign-System: A Simiotics of Text
and Performance,Routledge: London.
Barthes, Roland. 2004. Mitologi. (terj. Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS.
Christomy (ed). 2004. Semiotka Budaya. Depok: Pusat Penelitian dan
Budaya. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas
Indonesia.
Culler, Jonathan. 2003. Barthes. (terj. Ruslani).Yogyakarta: Penerbit
Jendela.
Dahana, Radhar Panca. 2000. Ideologi Politik dan Teater Modern Indonesia.
Magelang: IndonesiaTera
Damono, Sapardi Djoko dkk. 2006. Antologi Drama Indonesia 1989-2000, Jilid
4. Jakarta: Amanah Lontar.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampoai
Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
------- 1995. Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra, Politik dan Dekonstruksi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1998. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta:
Kanisius.
Herusatoto, Budiono.2000.Simbolisme dalam Bahasa Jawa. Yogyakarta:
Hanindita Graha Widia.
Kleden, Ignas. 2001. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Kridalaksana, Harimurti.2001. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowidjoyo. 1987. Transformasi masyarakat Budaya. Jakarta: Sinar
Harapan.
Kurniawan.2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera.
Luxemburg, Jan Van. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.
Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:
Kanisius.
Miles, B. Matthew dan A. Michel Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna.Yogyakarta: Jalasutra.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada
Univerity Perss.
Riantiarno. N. 2007. Di Dalam dan Di Luar Panggung (dalam booklet
pementasan naskah Kunjungan Cinta) Jakarta.
Sahid, Nur. 2004. Semiotika Teater. Yogyakarta: Lembaga Penelitian ISI.
Saini KM, Nur Sahid (Ed). 2000. Interkulturalisme dalam Teater. Yogyakarta:
Yayasan Untuk Indonesia
Satoto, S; Zaenudin Fanani (Ed). 2000. Sastra Ideologi Politik dan Kekuasaan.
Surakarta: Muhammadiah University Press
Sitorus, Eka D. 2002. The Art of Acting. Jakarta: Gramedia.
Sunarto.2000. Analisis wacana Ideologi Gender Media Anak-Anak. Semarang:
Penerbit Mimbar dan Yayasan Adikarya serta Ford Foundation.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.