Drama terlarang pada Orde Baru

37
DRAMA TERLARANG PADA REZIM ORDE BARU Seni dan Kekuasaan Kelahiran drama Indonesia memiliki tempat khusus dalam sejarah Indonesia sebagai sebuah bangsa. Menurut Saini, (dalam Sahid 2000:45) drama Indonesia adalah salah satu refleksi dari kelahiran dan pertumbuhan sebuah bangsa Indonesia.Tengok saja misalnya dalam masa pergerakan, pengolahan tema-temanya lebih mengekspresikan kesadaran-kesadaran dan aspirasi- aspirasi kebangsaan. Setelah Indonesia menyelamatkan kemerdekaannya, tema-tema itu bergeser pada ekspresi penderitaan maupun kegembiraan dari pertumbuhan sebuah bangsa yang masih dalam proses membangun. Ketakterpisahan antara seni modern Indonesia (drama) dengan proses keindonesiaan kita, dalam sejarahnya --mengalami hubungan dengan politik (kekuasaan), terkadang ada masa konflik dan pertikaian terjadi. Sebagaimana dipetakan Dahana ( 2001:2-3), dalam demokrasi liberal Soekarno, di mana banyak organisasi kesenian yang berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan politik tertentu, seperti Lekra-PKI, Lesbumi-NU, LKN-PNI. Konflik yang pada akhirnya sampai pada tingkat fisik, dalam arti terjadinya konsekuensi-konsekuansi material seperti pelarangan, pemutusan hubungan kerja dan lain-lain. Pada zaman Orde Baru, hubungan negatif dan dampak fisik semacam di atas masih menjadi kecenderungan yang kuat dalam

Transcript of Drama terlarang pada Orde Baru

DRAMA TERLARANG PADA REZIM ORDE BARU

 Seni dan Kekuasaan

Kelahiran drama Indonesia memiliki tempat khusus dalam

sejarah Indonesia sebagai sebuah bangsa. Menurut Saini, (dalam

Sahid 2000:45) drama Indonesia adalah salah satu refleksi dari

kelahiran dan pertumbuhan sebuah bangsa Indonesia.Tengok saja

misalnya dalam masa pergerakan, pengolahan tema-temanya lebih

mengekspresikan kesadaran-kesadaran dan aspirasi-

aspirasi kebangsaan. Setelah Indonesia menyelamatkan

kemerdekaannya, tema-tema itu bergeser pada ekspresi penderitaan

maupun kegembiraan dari pertumbuhan sebuah bangsa yang masih

dalam proses membangun.

Ketakterpisahan antara seni modern Indonesia (drama) dengan

proses keindonesiaan kita, dalam sejarahnya --mengalami hubungan

dengan politik (kekuasaan), terkadang ada masa konflik dan

pertikaian terjadi. Sebagaimana dipetakan Dahana ( 2001:2-3),

dalam demokrasi liberal Soekarno, di mana banyak organisasi

kesenian yang berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan politik

tertentu, seperti Lekra-PKI, Lesbumi-NU, LKN-PNI. Konflik yang

pada akhirnya sampai pada tingkat fisik, dalam arti terjadinya

konsekuensi-konsekuansi material seperti pelarangan, pemutusan

hubungan kerja dan lain-lain.

 Pada zaman Orde Baru, hubungan negatif dan dampak fisik

semacam di atas masih menjadi kecenderungan yang kuat dalam

kehidupan politik dan kesenian kita. Untuk beberapa contoh:

pelarangan pertunjukan Sepatu Nomor Satu Emha Ainun Najib di Yogya

tahun 1986; Pembacaan puisi dan pentas drama Bengkel Teater

Rendra dilarang sepanjang 1986-1990; belum terhitung pameran-

pameren seni rupa dan buku-buku sastra yang dilarang diedarkan,

semacam karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan pengarang Lekra

lainnya.

Hubungan Negara dengan karya seni (drama) yang diwarnai penuh

konflik dalam bentuk pencekalan atau pelarangan seperti  kasus-

kasus di atas, menimbulkan sejumlah pertanyaan: mengapa Negara

begitu ketakutan berhadapan dengan eskpresi seni? Apa kesenian

memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi opini publik?

Seberapa jauh korelasi yang signifikan terjadi antara dunia

politik dengan dunia kesenian?

Sebuah pretensi, kecemasan negara terhadap seni, semata-mata

karena seni (sastra drama) tidak hanya berfungsi estetik tetapi

juga sebagai fungsi sosial yang tidak sepenuhnya pribadi.

Permasalahan yang diungkap dalam sastra menyiratkan atau

merupakan masalah sosial. Menurut Goldmann (dalam Faruk 1999: 17)

sastra merupakan ekspresi pandangan dunia imajiner, dalam usaha

mengekspresikan pandangan dunia. Teeuw (dalam Pradopo, 1990: 125)

mengatakan bahwa karya sastra tidak dapat lepas dari pengarang

dalam masyarakatnya, karena karya satra tidak hadir dari

kekosongan budaya, karya satra tidak dapat lepas dari pengarang

yang menulisnya. Pengarang tidak tercerabut dari pikiran/

pandangan dunia dan perkembangan zaman. Pengarang akan

menyuarakan kritikannya lewat karya-karyanya bila dalam kehidupan

penuh ketimpangan.

Sayangnya, budaya kritik itu dipersepsi Orde Baru tidak dalam

bingkai demokrasi seperti yang dikatakan ahli politik Dr Alfian

(Kleden: 2001:71)  bahwa demokrasi adalah interaksi dan bahkan

dialektik antara konsensus dan konflik.  Suatu dialektika pada

dasarnya mengandaikan adanya kontradiksi, di mana kontradiksi

tidak dipandang sebagai aib dan membahayakan, tetapi semestinya

diterima sebagai suatu energi yang dapat dimanfaatkan secara

produktif.

 Pengalaman panjang sebelum Reformasi 1998, yang berkaitan

dengan pembredelan izin pentas, menunjukan dengan jelas suatu

kecenderungan dalam watak budaya politik kita, di mana

kontradiksi tidak pernah bisa ditolerir kehadirannya. Dalam

pandangan kebudayaan, kehadiran kontadiksi ini penting sekali

untuk dapat memahami kebudayaan sebagai suatu konstruksi sosial.

Tanpa adanya kontradiksi kebudayaan akan diterima sebagai nasib,

semacam takdir, tidak memberi kesempatan kepada manusia memberi

bentuk pada kebudayaannya. Dengan demikian kata

Kleden (2001:172), teks kebudayaan tidak dipahami secara prosais

tunggal makna tetapi penuh ambivalensi sebagai teks puisi, di

mana setiap orang dapat memahaminya untuk kepentingan sendiri-

sendiri yang tak jarang berbenturan dengan kepentingan orang lain

yang hidup dalam kebudayaan yang sama.

N. Riantiarno dan Opera Kecoa

Menurut Saini KM, (2000:44)  N. Riantiarno adalah seorang

pelopor teater modern Indonesia, seorang penulis naskah, aktor

dan sutradara yang paling getol berurusan dengan Orde Baru. Nano

lebih konsen dan kerap mengangkat problem-problem dalam negeri,

pertentangan-pertentangan sosial dalam gaya Brechtian. Naskah-

naskah dan arahan yang terkenal adalah Opera Ikan Asin, Opera Kecoa,

Bom Waktu, Wanita-wanita Parlemen, Suksesi, Sampek Engtay, Konglomerat

Burisrawa, Rumah Sakit Jiwa, Opera Primadona, Tiga Dewa dan Kupu-Kupu, Tanda

Cinta, Republik Togog, Maaf.Maaf.Maaf, Republik Bagong, Raja Ubu dan

sebagainya.  Naskah-naskah yang berupa adaptasi atau karya asli

kental dengan kombinasi humor dan punya karakter pada protes-

protes sosial dapat menarik perhatian publik, ditandai dengan

berjubel dan selalu habisnya tiket pertunjukan Teater Koma.

Selain menarik perhatian publik, juga menarik perhatian penguasa

(baca: negara), yang akhirnya melalui tangan aparatur keamanan—

beberapa naskah dibredelnya.

Menurut pengakuan Riantiarno (2007:34), dia ketemu dengan

seorang Mayor pensiunan yang pernah “menyidang” atas karya-

karyanya, dapat disimpulkan bahwa Riantiarno dan Teater Koma sama

sekali tidak berbahaya dan bukan orang jahat, dia hanya nakal.

Demikianlah pembacaan subjektif sang Mayor sebagai tangan Orde

Baru memandang Riantiarno dan karya-karyanya.

Drama Opera Kecoa adalah salah satu karya Riantiarno yang

menarik untuk dijadikan ukuran, betapa kerasnya tekanan dan

pelarangan terhadap drama ini. Drama ini, pada tahun 1985 pernah

dipentaskan di  Taman Ismail Marzuki selama 14 hari dengan

penonton membludak dengan rela membeli tiket catutan yang

harganya tiga kali lipat. Hari pertunjukan ditambah dua hari

dengan penonton tetap meluber. Opera Kecoa, ketika dipentaskan di

Bandung menerima ancaman bom lewat telepon. Penelepon gelap

mengatakan bahwa bom sudah dipasang di gedung pertunjukan.

Pertunjukan terus berjalan dan bom tak terbukti. Dan pada tahun

1990  pada saat pentas uji coba untuk persiapan ke Jepang

dibubarpaksa polisi kerena Teater Koma tak termasuk teater yang

mendapat list izin pentas di gedung TIM. Tak ayal perizinan untuk

pentas di Jepang pun tak mendapatkannya, sehingga pentas keliling

di empat kota di Jepang dibatalkan. Persiapan untuk produksi ini

kurang lebih dua tahun, sebuah persiapan yang panjang dan matang,

lebih-lebih seluruh produksi ditanggung pihak Jepang. Dengan

berbagai persitiwa dan fenomena yang menimpa Opera Kecoa sangat

menarik untuk dijadikan instrumen penelitian ini.

Alasan pemilihan drama Opera Kecoa sebagai objek penelitian

selain hal-hal di atas juga karena mempertimbangkan isi dan

kisahnya. Opera Kecoa berkisah tentang seorang kaum miskin urban

yang diwakili waria, pelacur, gelandangan dan para bandit yang

mencari penghidupan di kota. Mereka digusur, ditembaki dan

perkampungannya dibakar, keadilan tidak berpihak kepadanya, yang

satu kecoa yang lainnya garuda. Kaum miskin pinggiran  sebuah

kelas sosial yang termarginalkan oleh negara. Negara

memperlakukan waria masih diskriminatif, baik secara politik atau

pun hukum.

Berdasar pada posisi atau latar belakang masalah di atas,

penulis hendak melihat atau mencari sejauh mana hubungan yang

tercipta atau terjadi antara karya drama dengan dunia poltik yang

ada di sekitarnya. Mengikuti pikiran Word Keller (dalam Dahana,

2001: 8) bagaimana sebuah teks sastra drama, dapat menjalin

hubungan yang terdiri atas elemen-elemen estetika, ideologi dan

sosiologi. Lebih jelasnya, bagaimana sebuah naskah drama dapat

mengekspresikan atau menyingkap masalah dimensi politis yang

tersembunyi di dalamnya. Bagaimana penggunaan simbol  dalam

naskah Opera Kecoa dapat memperlihatkan adanya sebuah ideologi

politik tertentu di baliknya.

Pada penelitian deskriptif ini, analisis data dilakukan

secara induktif. Data penelitian berupa kata, kalimat, dialog,

monolog, situasi dan lingkungan yang merupakan bagian simbol

dalam struktur drama Opera Kecoa diamati pemakaiannya. Pengamatan

berikutnya, pengamatan yang mendalam pada pola interaksi para

tokoh sebagai simbol untuk mendapatkan gambaran perlawanan

masyarakat marginal (yang diwakili waria) terhadap negara.Di

samping itu, penulis juga  melakukan analisis simbol pada latar

sosial. Dalam hal ini, ideologi politik dalam simbol-simbol yang

dioperasikan, ditafsirkan maknanya dalam perspektif nilai sosial,

budaya dan politik sebagai representasi  modus politik Orde Baru.

Untuk memberi arah yang jelas dalam hasil dan tujuan

penelitian ini, masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1)      Seperti apakah simbol-simbol dioperasikan dan “bekerja”

dalam drama Opera Kecoa karya N. Riantiarno?

2)      Ideologi politik apa yang terdapat dalam simbol-simbol

drama Opera Kecoa karya N. Riantiarno, sehingga Orde Baru melarang

drama tersebut dipentaskan? 

 Jawaban permasalahan yang diajukan tersebut di atas,

diharapkan menjadi titik berangkat dan fokus untuk mencapai

tujuan penelitian setepat-tepatnya.

Pendekatan Semiotik

Untuk “membongkar” teks Opera Kecoa, penulis memakai pendekatan

semiotik.  Semiotikdidefinisikan oleh Ferdinan de Saussure di

dalam Course in General Linguistics, sebagai ilmu yang mengkaji tentang

tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit,

dalam definisi itu adalah prinsip, bahwa semiotika menyandarkan

dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial yang berlaku di

dalam masyarakat, sehinga tanda dapat dipahami maknanya secara

kolektif.

Penggunaan metoda semiotik sebagai pendekatan pembacaan dalam

penelitian karya sastra (drama) didasarkan pada pengertian

tentang tanda, cara kerjanya, dan penggunaannya. Menurut Peirce

(dalam Sahid, 2004: 5) tanda adalah sesuatu yang dapat mewakili

sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda-tanda

memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan

memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.

Manusia memiliki  kemungkinan yang sangat luas dalam penerapan

tanda-tanda, diantaranya tanda-tanda dengan kategori linguistik.

Charles Sander Peirce mengelompokan tipologi tanda, hubungan

antara tanda dengan acuannya dibedakan menjadi tiga, yaitu ikon,

indeks dan simbol (Piliang, 2003:271). Indeks adalah tanda yang

hubungan antara penada (bentuk, ekspresi) dan petanda (makna,

konsep) di dalamnya bersifat kausal, misalnya hubungan antara

asap dan api. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan

petandanya bersifat keserupaan. Misalnya, foto Soekarno yang

merupakan tiruan dua dimensi dari Soekarno. Sementara, simbol

adalah tanda yang berhubungan antara pananda dan petandanya

seakan-akan bersifat arbitrer. Tentang simbol yang merupakan

objek kajian dalam teks drama, dikupas lebih jauh di bawah ini.

Simbol

Secara etimologis, simbol berasal dari kata Yunani “sym-

ballein” yang berarti  melemparkan bersama suatu (benda,

perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide (Hartoko dan Rahmanto,

1998:133). Ada pula yang menyebutkan “symbolos”, yang berarti

tanda atau ciri yang memberitahuikan sesuatu hal kepada seseorang

(Herusatoto, 2000:10). Biasanya simbol terjadi berdasarkan

metonimia, yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang

menjadi atributnya. Simbol juga metafora, pemakaian kata atau

ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau

persamaan (Kridalaksana, 2001:136-138).

Konsep yang diungkapkan Peirce, simbol diartikan sebagai

tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri.

Hubungan antara simbol dengan penanda dengan petanda sifatnya

konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya

menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu

dan menafsirkan maknanya. Dengan demikian, sebuah simbol dapat

berdiri untuk sesuatu institusi, cara berpikir, ide, harapan,

aspirasi, sikap dan banyak hal lain (Sobur, 2003:163). Simbol

dapat berupa kata-kata (verbal) perilaku nonverbal dan objek yang

maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera di depan

rumah sebagai tanda cinta terhadap negara.

Pada dasarnya, naskah drama merupakan  kumpulan simbol.

Sebagai simbol, karya drama akan berarti jika penikmatannya

berada pada konvensi yang sama. Jadi, sudah ada persetujuan

antara pemakai simbol tentang hubungan simbol dengan acuannya.

Yang unik adalah drama memberi kebebasan yang lebih besar pada

penafsir simbol daripada simbol-simbol lain yang lebih terbatas,

misalnya rambu-rambu lalu lintas.

Dalam penelitian ini akan disingkap bagaimana simbol-simbol

dalam drama Opera Kecoa karya N. Riantiarno dioperasikan dan

bekerja untuk menyuarakan suara kritis sehingga terbongkar makna

ideologis dibaliknya.

Struktur Simbol Drama dalam Kerangka Semiotik

Dalam perspektif semiotik,  lakon atau naskah drama sebagai

objek kajiannya menurut Aston & Savona, struktur simbol dapat

mendasarkan analisisnya pada 4 unsur, yaitu konstruksi plot,

karakter (tokoh), dialog dan stage direction (Sahid, 2004:30).

Pengarang baik secara eksplist atau implisit meletakan simbol

dalam struktur drama. Berikut akan dijelaskan perihal empat unsur

tersebut secara singkat:

a. Simbol dalam Konstruksi Plot

Secara umum cerita merangkai banyak peristiwa, dan peristiwa-

peristiwa saling mempunyai hubungan. Forster  mengatakan bahwa

hubungan kausalitas anatara peristiwa dalam sebuah cerita

bukanlah urutan biasa, plot merupakan rangkaian persitiwa yang

dijalin berdasarkan hubungan sebab akibat dan merupakan pola

kaitan yang menggunakan jalan cerita ke arah pertikaian dan

penyelesaian (Sahid, 2004:30). Plot drama yang baik mengandung

unsur ketegangan dan kejutan.

Suyatna Anirun (2002:131) membagi struktur plot dalam

eksposisi, konflik, komplikasi, klimaks, dan resolusi. Konvensi

pembagian plot yang dikemukakan para pakar tersebut memberikan

kontribusi ke arah pembentukan dan penunjukan kesatuan awal,

tengah dan akhir drama. Hal ini seperti yang dikemukakan

Aristoteles dalam deskripsi drama taregedi komedi drama Yunani

yang terdiri tiga babak: bagian awal, tengah dan dan bagian

akhir.

b. Simbol dalam Karakter

Semiotik karakter yang dikembangankan Ubersfeld (dalam Sahid,

2004:44) mencakup karakter sebagai leksem (aktan, metonimia,

metafora, referen dan konotasi )  dan karakter sebagai ensambel

semiotik  (individualisasi dan kolektivitas)

c. Simbol dalam Dialog

Secara umum, dialog dalam teks drama berfungsi untuk

menetapkan karakter, ruang dan lakuan. Selain itu berfungsi juga

sebagai sistem penggiliran. Seorang tokoh berbicara dan tokoh

lainnya mendengarkan dan selanjutnya menjawab sehingga pada

gilirannya menjadi pembicara. Dualiatas interaksi peran

pembicara-pendengar merupakan suatu modus dasar dialog drama.

Terjadinya dialog untuk menciptakan suatu dialektik interpersonal

di dalam waktu dan lokasi wacana

d. Simbol dalam Stage Direction (Petunjuk Pementasan)

Stage direction adalah bagian drama berupa narasi yang memberikan

penjelasan penjelasan kepada pembaca—sutradara, artistisk, aktor

mengenai keadaan suasana, persitiwa atau perbuatan dan sifat

tokoh cerita. Stage direction biasa juga disebut petunjuk pengarang

atau petunjuk pementasan. Penulisan dibedakan dengan penulisan

dialog, biasanya dimiringkan atau dalam tanda kurung.

Makna Ideologi dalam Simbol

Salah satu pengertian ideologi seperti yang dikemukakan Jorge

Larrain (dalam Sunarto, 2000:31), yakni pandangan dunia yang

menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan

memajukan kepentingan-kepentingannya. Atau pendapat Franz Magnes

Suseno (1992:230) yang menyatakan ideologi sebagai keseluruhan

sistem berpikir, nilai-nilai dan sikap-sikap dasar rohani sebuah

gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan.

Ideologi di sini tidak berada dalam wilayah makna  teroritis

dan filosofis yang besar “sebagai sebuah ilmu tentang gagasan”.

Atau sebagaimana perkembangannya setelah masa Pencerahan, di mana

ideologi menjadi “studi tentang asal mula gagasan” dan yang

membebaskan diri dari prasangka religius dan metafisis.

Ideologi dipahami sebagai titik tolak interpreatsi, titik

tolak dalam memproduksi simbol, di mana dengannya kita dapat

terhindar dari bahaya kekeliruan. Dari titik tolak inilah pula,

menurut Zoest, dimungkinkan tersingkapnya tabir prasangka, juga

yang berasal dari simbol-simbol naskah drama (Sudjiman,

1996:104).

Lakon atau naskah drama merupakan hasil konstruksi simbol-

simbol. Karya drama diejawantahkan atau bekerja dengan

mengoperasikan  sejumlah simbol estetik. Penelitian ini mencoba

melihat dan mengidentifikasi simbol-simbol “yang bekerja”

dioperasikan dalam dramaOpera Kecoa karya N. Riantiarno, juga akan

dilihat bagaimana simbol-simbol dalam naskah drama itu

memperlihatkan adanya ideologi tertentu yang diekspresikan

(Dahana, 2001:8). Sebuah makna ideologi yang turut berkerja dan

memberi pengaruh pada cara dan bentuk hasil produsi simbol-

simbol. Terjadikah subordinasi nilai-nilai politik, khususnya

dalam pengejewantahan simbol-simbol yang dikonstruksi dalam

naskah drama?

Untuk menganalisis hal tersebut, penulis menggunakan semiotik

Barthes dalam model analisisnya, yaitu menggunakan konsep

connotationnya- Hjemselev untuk menyingkap makna-makna yang

tersembunyi. Konsep ini menetapkan dua cara pemunculan makna yang

bersifat promitif, yakni denotatif dan konotatif. Pada tingkat

denotatif, tanda simbol sebagai makna primer, alamiah. Pada

tingkat konotatif, ditahap sekunder, muncullah makna ideologis.

Menurut Barthes, simbol dalam naskah drama berposisi

sebagai meta-language, bentuk bahasa kedua yang berperan sebagi

corong atau juru bicara ideologi (politik) yang

menempati language objek atau bahasa pertama (Dahana, 2001:23-

24)  Dalam istilah Barthes, struktur simbol yang permanen

(language) dibalik parole (bentuk pengucapan) dalam drama Opera

Kecoa, bukan hanya dikosntruksi oleh kesadaran umum yang ada

diabstraksi masyarakat, tapi berkemungkinan merupakan suara

kelompok minoritas.

Rekonstruksi pemahaman secara hermeneutis, sebagai bentuk

tafsir pemahaman ulang, penulis merekonstruksi makna dalam teks.

Gambaran makna dan pengertian dalam teks tersebut, penulis secara

detail melihat hubungan jalinan anasir-anasir struktur drama itu

sebagai suatu sistemik, sehingga keutuhan makna idologis itu

bukan hasil analisis yang sepenggal-sepenggal tetapi hasil

pandangan secara keseluruhan jalinan struktur drama.

Dalam mendapatkan interpretasi makna ideologis simbolik yang

menyeluruh, dan tidak kehilangan kontekstualitasnya dengan

semesta, di samping melakukan analisis model Barthes, penulis

juga melakukan analisis latar sosial politiknya. Dalam hal ini

diamati atau diuraikan persamaan dan hubungan simbolik antara

simbol-simbol yang muncul secara eksplisit dan implisit dicarikan

acuannya pada kebijakan  politik Orde Baru.

           

Analisis Drama Opera Kecoa

Simbol-Simbol yang “Dioperasikan dan Bekerja”

Dalam mengidentifikasi simbol yang “dioperasikan dan bekerja”

dalam drama Opera Kecoadimulai dengan diinventarisir  melalui

bagaimana simbol itu melekat atau muncul, implisit atau eskplisit

dalam struktur drama, yakni konstruksi plot, karakter, dialog

dan stage direction.

Ø      Simbol dalam Konstruksi Plot

Seperti perlakuan dalam drama-drama komedi klasik, dalam

memetakan analisis strukutur plot, Suyatna Anirun

membagi  konstruksi plot dalam lima bagian, yakni eksposisi,

konflik, komplikasi, klimak (krisis) dan resolusi.

dalam eksposisi akan dideskripsikan tentang gambaran awal sosok-

sosok yang terlibat dan ruang persitiwa kejadian; konflik berisi

mula pertama terjadinya insiden,komplikasi akan nampak bagaimana

persoalan baru dan watak berkembang menuju masalah yang

kompleks; klimaks adalah sebagai puncak pertentangan

dan resolusi merupakan falling action, penyelesaian persoalan.

Berikut konstruksi plot dalam drama Opera Kecoa dan simbol-

simbol yang dioperasikan dalam konstruksi plot tersebut.

1)      Eksposisi

Dalam eksposisi digambarkan secara visual sisi lain suasana

tentang peradaban kota yang gemerlap. Tentang kehidupan para

kecoa yang berhimpitan dalam lorong-lorong yang gelap dibalik

kemegahan gedung-gedung tinggi, monumen. Di balik kota,  banyak

derita, kelaparan, kemiskinan dan tragedi. Yang satu menjadi

kecoa dan yang lain menjadi garuda. Bumi bergetar, rentetan bunyi

tembakan. Nyanyian dan tangisan.

 Begitulah gambaran suasana yang menjadi latar peristiwa

diperkenalkan sebagai pembuka adegan. Lain halnya dengan sosok-

sosok yang terlibat. Roima membopong mayat Julini yang terbungkus

kain putih. Julini adalah sosok korban. Dapat disimak kesaksian

Roima dalam solilokuinya.

Roima: Dia hanya ingin hidup, dia tak mengganggu orang, tak pernah memaksa. Apa yang

selama ini dia lakukan hanyalah upaya agar dia tidak kelaparan   Coba tunjukan cara

lain untuk bisa memperoleh penghasilan. Coba tunjukan, tunjukan. Tak pernah ada

jawaban. Yang ada hanya pidato, pidato dan pidato. Apa hanya dengan pidato-pidato

saja, dia kami, bisa kenyang? Dia bekerja, banting tulang memeras keringat. Kemudian

dia dapat uang.

     Dia memang cabo, itu karena dia tidak mungkin jadi sekertaris. Keahliannya cuma

memijat. Dia memang cabo, tapi bukan berarti dia tak ingin menjadi sekertaris. Nasib

melemparkan ke dalam got, berhimpitan dengan kutu dan kecoa. Kami orang-orang

kecil. Masalah kami hanyalah masalah perut. Tapi mengapa dia harus ditembak mati?

Dia memang cabo, tapi banyak orang yang membutuhkannya. Tapi dia yang

kemudian dikejar-kejar, bukan mereka bukan orang-orang yang datang. Jika ada jalan

untuk jadi baik, kami akan ikutan jalan itu. Asal jangan jalan yang penuh pelor dan

bedil.

Dunia tragedi Julini dan Roima direspon    semesta, bumi bergetar, menggeletar,

selaput bumi berwarna merah terkelupas dengan hebat, Roima dan Julini terseret ke

bangku-bangku plaza monumen. Terbentanglah dua pemandangan yang kontras.

Pemandangan pertama, sebuah kota yang penuh bangunan dan berbagai monumen,

dan pemandangan yang kedua   rumah-rumah reyot saling berhimpit, got-got yang

kotor, sepetak tanah tempat anak main kelereng, ibu-ibu di depan rumah saling

mencari kutu. Kompleks rumah tangga yang baik-baik dan kompleks pelacuran. 

Kontruksi adegan dalam eksposisi ini menggunakan teknis flash

back. Adegan berikutnya, dimulai dengan pergeseran waktu dan

tempat; Julini dan Roima kembali ke kota setelah lima tahun dia

tinggalkan.

2)      Konflik

Pertama terjadinya insiden, dimulai dari Julini dan Roima

dikejar-kejar Satpam ketika sedang mencari teman-teman lamanya,

Tarsih, Jumini dan Tarkana. Begitupun penghuni perkampungan kumuh

selalu dalam pengawasan satpam.

Tarsih dalam kecemasan, sekalipun rumah pelacuran yang

dikelolanya dengan sertifikat hak milik, selalu terancam batu

peringatan penggusuran, di samping pemerasan dengan

mengatasnamakan uang keamanan.

Di perumahan kumuh terjadi percekcokan, Asnah dengan seorang

rentenir dan Tukang Sulap menjaja dagangannya obat anti kecoa.

Konflik berikutnya antara Tarsih dengan Julini. Tarsih yang sudah

kaya dan memiliki komplek pelacuran yang maju, tidak menerima

Julini sebagai sahabat lamanya. Cara hidup di kota besar, tidak

gampangan. Kehadiran Julini dipandang Tarsih jika bergabung

kembali dengannya hanya akan menjadi beban saja, karena Julini

sudah dianggap tidak akan “produktif”. Adagan berikutnya, dari

konflik ini menjadi berkembang dan komplikasi.

3)      Komplikasi

Dalam tahap komplikasi, dari konfkik yang dideskripsikan di

atas, masalah menjadi berkembang, rising action. Dimulai dari

persoalan baru hingga watak pun berkembang. Dengan sikap Tarsih

yang curiga pada Julini, Juilini dan Roima kian berat

tantangannya, dari masalah tempat tinggal hingga pekerjaan. Pajak

pelacuran yang kian tinggi, Tarsih harus mengamankan dari ancaman

penggusuran dengan memasang badan Tuminah, dengan memanfaatkan

kekuasaan salah satu pejabat yang manjadi langgangan tetapnya

Tuminah. Tukang sulap kian gencar tentang promosinya obat kecoa,

Julini bergabung dengan perumahan pelacuran kelas bawah dan

kelompok banci-banci, Roima mendapat pekerjaan dengan

menggabungkan diri dengan komplotan bandit yang dipimpin Kumis

dan Bleki dengan bantuan Tuminah. Pejabat semakin ketagihan

“bersenang-senang” di pelacuran Tarsih dengan membawa tamu-tamu

asing, sebagai servis proyek-proyek bantuan dengan

mengatasnamakan pembangunan. 

Hubungan Roima dengan Tuminah kian intens, gingga Julini

merasa kehilangan Roima. Roima jarang pulang, dia sibuk dengan

dunia kerjanya dan menghabiskan waktu dengan Tuminah. Julin

cemburu berat.  

4)      Klimaks

Dari permasalahan yang kian kompleks dan perkembangan

karakter terjadilah puncak pertentangan, krisis. Julini dengan

Roima bertengkar luar biasa setelah Julini mengetahui bahwa Roima

berselingkunh dengan Tuminah, Julini lari meninggal Tuminah

hingga Julini tertembak di tengah banci-banci yang sedang melawan

petugas, karena banci-banci  merasa terhina kemanusiaannya oleh

isi pidato petugas yang sudah merendahkan harga dirinya. Julini

tertembak satpam yang sedang mengamankan situasi.

Begitupun Kumis dibunuh Tibal, kakaknya Tuminah. Tibal balas

dendam, karena Kumis sudah menghacurkan masa depan Tuminah,

hingga Tuminah manjadi bagian dunia gelap pelacuran.

Adegan berikutnya adalah kebakarannya kompleks pelacuran

milik Tarsih dan daerah kumuh terbakar ludes. Tarsih tragis,

untuk menyelematkan sertifikat dan surat-surat penting, Tarsih

dengan memasuki rumahnya yang sedang dilahap api. Dia mati

terpanggang.

Yang menjadi klimak dari Opera Kecoa adalah Julini mati

tertembak, Komplek pelacuran dan perkampungan kumuh terbakar, dan

kematian Tarsih. Inilah tragedi kemanusiaan.

5)                              Resolusi

Dalam resolusi tergambarkan melalui tindakan Roima. Dengan

kematian Julini, Roima menuntut pejabat agar dibuatkan monumen

Julini untuk menghargai perjuangannya, dan pejabat

mengabulkannya. Patung Julini dapat diterima oleh patung-patung

monumen lainnya yang sudah lebih awal didirikan. Lain halnya

ketika Roima mengadukan masalah kompleks yang kebakaran, Roima

membawa masa yang beringas ingin meminta pertanggungjawaban

pejabat atas petaka itu.

Rombongan masa beringas yang dipimpin Roima, yang melihat

pejabat dipagari dengan pasukan anti huru-hara dengan

persenjataan yang lengkap, Roima memilih mundur dan mengendurkan

otot-otot. Pejabat dan pasukannya sudah menantang dan Roima

menenangkan massa untuk tidak terjebak pada anarkisme dan

menghindari dari korban yang akan berjatuhan. Orang-orang dengan

diam beranjak kembali ke got-got dengan menyanyikan “Jula-Juli

Anjing Bringas”.

Ø      Simbol dalam Karakter:

 Tokoh atau Karakter sebagai Leksem

Model aktan Greimas dapat diaplikasikan dengan mudah pada

lakon Opera Kecoa yang memiliki basis peran-peran aktan tempat

tokoh-tokoh dan kekuatan kekuatan yang terlibat. Karakter

memiliki suatu fungsi gramatikal dalam struktur drama dan satu

profil aktan untuk satu karakter yang bisa ditetapkan. Greimas

mendasarkan analisisnya pada tata bahasa naratif, analisis

semantik pada struktrur kalimat. Gagasan terletak pada tokoh

subjek bergulir bersama problematika yang dihadapinya.

Aplikasinya dalam drama Opera Kecoa, Kemiskinan dan perlakuan

negara terhadap kaum miskin urban tidak mencerminkan pada hukum

dan rasa keadilan sosial  berfungsi sebagai pengirim sehingga

bisa beraksi atas “Subjek” yang diduduki Julini mencari “objek”

berupa hidup layak secara ekonomi, hukum dan sosial untuk

kepentingan para kaum urban miskin semisal, pelacur, para waria,

gelandangan, bandit dan bromocorah lainnya sebagai “penerima”.

Dalam hal ini “subjek” dibantu oleh Roima, Asnah, Wartawan dan

Waria. Sebaliknya dalam usahanya itu mendapat rintangan dari

Pejabat, Petugas, Satpam, Tamu Asing, Pasukan Anti Huru-hara,

Rentenir dan Tukang Sulap sebagai “Lawan”. Berikut enam fungsi

aktansial karakter yang diperlukan dalam bentuk skema:

Karakter sebagai Ensambel Semiotik

1)    Individualisasi

Penggunaan karakteristik-karakteristik yang menetapkan

perbedaan bisa mensignifikasikan suatu perhatian terhadap

karakter individual. Penamaan para tokoh bisa mengisyaratkan hal

ini. Peran individu juga bisa mensignifikasikan entri ke dalam

suatu konteks sosial kritisnya. Dalam Opera Kecoa, Roima, Julini,

Tarsih, Tuminah, Asnah, Kasijah, dari segi kultural ia adalah

nama-nama orang desa, orang-orang kampung. Bukan dari kultur

perkotaan.

2)   Kolektivitas

Representasi karakter-karakter bisa beroperasi versus suatu

perhatian  terhadap karakter yang sebenarnya. Tokoh berfungsi

sebagai peran yang terkodifikasi, yakni peran yang telah

ditetapkan sebelumnya sebagai abstraksi sosio-kulturalnya. Julini

dan Roiman terkodifikiasi sebagai pejuang kaum miskin urban untuk

menuntut penghidupan yang secara ekonomi dan politik, Pejabat

adalah peran yang terkodifikasi sebagai tokoh penjahat yang

arogan dengan kekuasaannya, tak berprikemanusiaan dan

berkeadilan.

Ø      Simbol dalam Dialog

Untuk menganalisis simbol dalam dialog drama Opera Kecoa dapat

dilihat dalam tiga hal yakni, penggunaan bahasa, bentuk tuturan,

dan dialog yang bermakna. 

Penggunaan Bahasa

Jan Van Luxemberg dkk (1991:59-69) mengatakan bahwa

penggunaan simbol dapat dilihat dalam tiga bidang yakni pilihan

kata, pola kalimat dan bentuk sintaksis, dan bentuk semantis.

Sebagai contoh, penulis akan memaparkan dalam bidang bentuk

semantik.

Bentuk semantik ini merujuk pada pamakaian majas dalam

mengkonstruksi simbol. Dalam lakon Opera Kecoa, simbol dibentuk

oleh majas metafora, metonomia (lihat dalam simbol yang berkaitan

dengan Karakter) di atas. Ada juga ironi semisal, Pejabat dan

Tamu-nya membicarakan kesejahteraan rakyat di tengah lapangan

golf; kecoa melawan garuda. Selain itu, bagaimana

mempersonifikasikan para bandit dengan anjing-anjing beringas.

Para gembel diasosiasikan dengan kumpulan tai dan

babi.                                                             

                                                                  

                                                                  

                                                                  

                                                                  

                                                                  

                                                                  

                                                                  

                                                                  

                                                                  

                                                                  

                                                                  

                                                                  

                                                                  

                                    

Bentuk Tuturan

Dialog dituturkan dengan sifat pertukaran “saya-kamu” antara

kedua tokoh dalam konteks “waktu sekarang dan di sini” tampak

jelas. Kondisi-kondisi :sekarang dan di sini yang menjadi topik

utama pembicaraan, tampak sering ditunjukan Julini, Roima,

Tuminah, Pejabat, Tarsih, Kumis, dan Tukang Sulap. Dalam bentuk

solilokui tampak diawal dalam adegan  dua yang dibawakan Roima.

Selain dalam bentuk percakapan seperti, dialog juga dibawakan

dengan dinyanyikan, misalnya Julini, Pejabat, Penghuni (Orang-

orang), para bandit, dan para Waria. 

Dialog yang Bermakna

Mengenai diaog yang bermakna, simbol pun dikemas dalam dialog

yang bermakna dengan syarat percakapan yang bermakna seperti

kuantitas, dialog tidak bertele-tele, informatif sesuai dengan

keperluan, tidak berlebihan dan tidak cerewet. Dialog padat,

tidak menggurui dan menjelas-jelaskan yang tidak perlu.Dalam

tingkat kualitas, dialog menyampaikan kebenaran-kebanaran

sastrawi dengan data-data kuat. Masalah relasinya, yakni

menyampaikan apa-apa yang relevan. Dan yang terakhir masalah

sikap, para pembicara (tokoh-tokoh) menghindari ambiguitas dan

kesamaran ucapan. Untuk contok bisa dilihat dalam kutipan-kutipan

dialog di atas.

Ø      Simbol dalam Stage Direction

Simbol dalam stage direction lebih menggambarkan latar suasana

tempat, waktu dan latar sosial. Simbol stage direction juga menjadi

keterangan-keterangan lakuan para tokoh. Terutama

tentang performance tokoh seperti dalam bodi gerak dan kinesik dan

juga untuk menjelaskan paralinguistik (nada).

Stage direction digambarkan dengan detail dan lengkap sehingga

menerjemahkan dalam visual panggung, hal-hal yang menyulitkan

dapat diminimalisir, misalnya komplek pelacuran, perkampungan

kumuh yang penuh gubuk-gubuk, monumen-monumen dan tempat pejabat.

Semua area latar untuk kepentingan blocking dapat terbaca.

Analisis dan Makna Ideologi Simbol

Dalam tahap analisis simbol dan membongkar makna ideologis

dibalik simbol itu, penulis melakukan analisis dengan melihat

unsur-unsur atau struktur-struktur drama yang saling mengait.

Bukan anasir-anasir yang terpecah dan terpisah. Hal ini dilakukan

untuk menemukan keutuhan makna ideologis dan kontekstualnya.

Dengan model analisis Roland Barthes maka prosedur analisis

dapat dimulai dari tingkat pemaknaan pertama atau primer. Dalam

tingkat pertama ini, sistem Barthes ditandai dengan Ekspresi

(E1), Relasi (R1) dan Isi (C1)> Bentuk tingkat pertama adalah

makna-makna politis ditingkat denotatif. Dan menggunakan prosedur

yang serupa (R2), makna denotatif ditempatkan sebagai tanda

tingkat kedua (E2) untuk menyingkap keberadaan suatu ideoilogi

politik tertentu ditingkat konotatif (C2).

Beriku ini adalah simbol-simbol yang ditemukan dalam

lakon Opera Kecoa karya N. Riantiarno.

Analisis Simbol

1)      Kecoa (E1) memperlihatkan (denotates R1) hidup liar malam

hari di dalam got yang kotor, mencari makan, mencari penghidupan

(E1). Di atas tanda denotatif (E1-R1-C1) implisit terdapat isi

yang lain (C2), kecoa bila disandingkan dengan kata “opera”

adalah nyanyian kaum pinggiran, suara-suara atau perjuangan kaum

pinggiran, yakni kehidupan para pekerja seks, bromo corah, banci,

gembel, orang yang sakit jiwa, bandit kelas teri yang tinggal

digubuk-gubuk reyot, perkampungan kumuh. Kaum urban miskin

perkotaan menggambarkan kehidupan yang sulit di tengah hangar

bingar, kegaduhan dan kegemerlapan kota. Kaum urban miskin yang

morat-marit hidupnya ditengah kekuasaan pejabat pemerintahan yang

korup dan hidup mewah. Di sini semacam ada ketidakadilan.

2)      Julini dan Roima (E1) digambarkan (R1) dari desa kembali ke

kota untuk mencari penghidupan (C1). Di atas denotatif ini

terdapat tafsir implisit, (C2), bahwa kota tetap merupakan daya

tarik, sekalipun hidup di kota membutuhkan perjuangan yang keras.

Kota adalah impian, kota adalah harapan.

3)      Roima, para Waria dan orang-orang (E1) menemui (R1) Pejabat

untuk meminta pertanggung jawaban ketika petugas menembak Julini

dan mempertanyakan tentang rumahan Tarsih yang kebakaran begitu

juga dalam waktu bersamaan  daerah kumuh itu kebakaran C1). Di

atas tanda denotatif itu dapat ditafsirkan Roima dan kawan-kawan

sebagai wakil orang pinggiran yang seringkali tidak diberikan

kesempatan untuk menyatakan pendapatnya. Dalam sistem demokrasi,

semua orang berhak hendak menyampaikan pendapatnya. Pelacur,

gembel, bandit mempunyai hak-hak politik yang sama (C2).

4)      Pejabat (E1) ditampilkan dengan (R1) sering mengunjungi

tempat pelacuran, bermain golf, berbagi prosentasi proyek-proyek

pembangunan, membuat monumen, dilindungi oleh petugas anti huru

hara dan menyuruh menembaki dengan bedil ketika Roima dan teman-

temnannya berdemo(C1). Dalam makna konotatifnya dapat ditafsirkan

(C2), pejabat itu tidak memiliki integritas moral yang tinggi,

hidup dalam kemewahan, kolutif dan korupsi, megalomania, tidak

memiliki rasa empati untuk sebuah keadilan, menyelesaikan masalah

dengan kekerasan dan senjata.

5)      Petugas menghina menyadarkan ban-banci dengan nada menghina

sehingga mereka memprotesnya(E1) untuk menghadang itu ia

menggunakan (R1) pistol sehingga salah satu dari mereka, Julini,

tersungkur dan mati tertembak (C1). Di atas denotatif itu, dapat

dimaknai, petugas lemah dalam metodologi mempersuasi para banci

untuk mengubah hidupnya, pesan-pesan doktriner tidak tepat.

Petugas selalu menyelesaikan masalahnya dengan arogan, yakni

dengan kekuasaan peluru dan pelor. Cara-cara menangai demonstrasi

seperti itu adalah cara-cara yang barbar (C2).

6)      Rumah Tarsih, perumahan daerah kumuh (E1) tidak terduga

kebakaran (C1). Makna konotatif ini bisa ditafsir pembakaran itu

adalah salah satu teknik penggusuran. Lokalisasi dibumihanguskan

dan para penghuni kocar-kacir. Bentuk penggusuran yang paling

kasar dengan membakar seluruh isinya. Rumah Tarsih tidak akan

dapat ganti rugi karena sertifikatnyapun ludes terbakar (C2).

7)      Tempat Pelacuran Tuminah (E1) diiklankan (R2) dalam Pos

Kota dengan hadiahnya segala dan dapurnya memakai kompor gas

(C1). Hal ini dapat dimaknai dengan tempat pelacuran Tarsih bukan

kelas teri banyak perubahan di banding lima tahun yang lalu.

Tarsih sudah kaya dan bersikaf selektif dalam menerima orang.

Termasuk ditolaknya  kedatangan Julini, sekiranya mesti jadi

beban. Hidup di kota tidak gampang, butuh keahlian dan Julini

dipandang tarsih tidak produktif lagi. 

8)      Julini (E1) digambarkan (R1) dalam kecemasan dan cemburu

luar biasa ketika Roima tidak sering pulang ke rumah apalagi

nampak mesra-mesraan dengan Tuminah (C1). Di atas denotatif ini

dapat ditafsirkan C2), Julini sangat menyayangi Roima, sangat

mencintai Roima sekalipun tidak diikat dengan tali perkawinan

yang sah.

9)      Tuminah (E1) diperlihatkan (R1) sebagai seorang pelacur

yang selalu diantri dan diminati pejabat dan tamunya (C1). Di

atas makna denotatif itu dapat ditafsirkan konotatifnya (C2),

Tuminah, pelacur paling cantik, paling profesional dalam melayani

tamu-tamunya, terutama gaya-gaya “permaianannya”. Tuminah paling

pandai memuaskan tamu-tamunya sehingga pejabat selalu berkunjung

dan berkunjung.

10)   Roima (E1) mengendurkan (R1) keinginan para banci dan teman-

temannya untuk melawan pejabat dengan kekerasan. Roima lebih

memilih jalan penyelesaian “aman” dan mundur kembali ke got, desa

(C1). Tindakan Roima ini dapat ditafsirkan makna konotatifnya,

yaitu (C2), Roima berpikir panjang dan sudah menghitung kekuatan,

senjata tidak bisa dilawan dengan tangan kosong. Anarkisme hanya

akan menimbulkan jatuh korban lebih banyak. Senjata hanya akan

dikalahkan dengan pikiran dan trategi yang cerdas. Roima memiliki

modal kultural hidup yang besar, seperti ketabahan, kesabaran,

ada impian dan harapan di hari esok, optimis di hari depan ada

perubahan dan semuanya ditanggung dengan tidak mengeluh. Roima

lebih berpikir strategis dan mengedepankan pendekatan kultural,

misalnya dengan meyakini pakem Jayabaya, akan datangnya ratu adil

yang membawa harapan baru. Meyakini pakem jaya baya itu, adalah

modal kultural bagi jenis masyarakat seperti itu, gerakan

mesianis dan sinkretisme pada tingkat mereka kemungkinannya

mendarah daging. Mesianis dipandang sebagai filsafat sejarah,

mengandung gagasan-gagasan mengenai gerakan sejarah manusia yang

linier, yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin baru.

11)   Bahasa pertunjukkan (E1) disampaikan (R1) tidak hanya dalam

bentuk dialog tetapi juga dalam bentuk nyanyian dan gerak(C1).

Bentuk lakon Nano demikian, dapat ditafsirkan adalah pertunjukan

opera yang diharapkan pembacanya dapat terhibur dan dipahami

dengan mudah, komunikatif. Sehingga persoalan-persoalan yang

diangkat dalam naskat tersebut dapat dimengerti berbagai

kalangan.

12)   Petugas (E1) menganggap (R1) banci dan para pelacur perlu

dienyahkan dari kota, disemprot obat anti kecoa (C1), di atas

tanda denotatif itu, dapat ditafsirkan (C2) bahwa cara pandang

petugas itu bertolak pada moralitas, padahal mereka melacur bukan

karena tidak bermoral tetapi lebih karena persoalan ekonomi dan

jiwa. Mereka tidak punya keterampilan hidup, seperti dalam dialog

Roima ketika Julini tertembak, “dia bukan tidak ingin menjadi

sekretaris dan direktis, mereka hanya punya keahlian sebatas

memijat”.

13)   Pemilihan nama tokoh, kaum pinggiran diwakili oleh nama-nama

yang jelas seperti Julini, Roima, Tarsih, Tuiminah, Kumis, Bleki,

Asnah, Kasijah (E1) dipertentangkan (R1) dengan Pejabat, Petugas,

Tukang Sulap,  Satpam, sebuah nama dan identitas yang terbuka

(C1). Di atas simbol itu, dapat ditafsirkan makna konotatifnya

(C2), Nano ingin menyamarkan identitas pejabat, biar longgar dan

kabur. Nano akan terhindar ketika dilihat secara mimetik. Nano

akan di dalam posisi aman. Pejebat adalah identitas abu-abu. 

14)   Kaum urban miskin, kaum marginal.pinggiran, kaum kecoa (E1)

memperjuangkan (R1) demokrasi dan  kesejahteraan ekonomi (C1). Di

atas tanda denotatif itu implisit terdapat isi lain (C2),

Demokrasi memerlukan landasan kesejahteraan ekonomi. Demokrasi

tanpa kesejahteraan adalah rapuh. Demokrasi dapat beresiko jika

pondasi ekomoni masih rendah. Demokrasi bisa roboh seketika oleh

ketidak sabaran memikul dan menahan sakitnya dera kemiskinan. Di

atas kemiskinan memang tipis sekali jarak antara demokrasi dan

revolusi. Telah dibuktikan oleh Roima dengan menyerukan sabar,

dan tabah, mengendurkan otot dan mengedapankan pikiran dan akal

tidak terjadi anarkisme sekalipun pejabat sudah menodongkan pelor

dan bedil. Nano memberikan solusi yang tepat diakhir cerita

ini.Dia berpihak pada demokratisasi dan perjuangan kesejahteraan

ekonomi.

      

Ideologi Simbol

Dimulai dengan mengidentifikasi simbol. Lakon Opera

Kecoa karya N. Riantiarno ini, struktur simbolnya dibongkar untuk

diketahui seperti apa dan bagaimana simbol itu diopersikan atau

“atau simbol yang bekerja”. Kemudian simbol itu dimaknai secara

denotatif untuk selanjutnya dikembangkan dalam makna konotatif

sesuai dengan prosedur metode analisis Roland Barthes.

Pemilihan elemen simbol menjadi data yang perlu dianalisis,

karena keberadaan simbol seperti diakui dalam proses kreatif

seniman dapat menjadi variabel untuk membaca dan melihat sikap

politiknya. Dengan demikian, simbol adalah representasi pandangan

politik problematika seniman terhadap semesta yang dilihatnya.

Simbol yang dioperasikan Nano dalam drama Opera Kecoa telah

membawa pencerahan dan pandangan lain terhadap kaum urban miskin,

kaum  pingggiran, kaum yang dimetaforakan hanyalah kecoa.Dalam

pandangan umum, seperti pelacur, waria, gelandangan, bandit kelas

teri, bromocorah, cabo, germo  adalah “sampah masyarakat”. Lain

halnya Nano, sebagai seniman memiliki pandangan yang berbeda

dengan pandangan umum itu. Ia sangat dalam posisi sebagai seniman

teater bagaimana lakon menjadi penting untuk menyuarakan kontrol

sosial di masyarakatnya. 

Dalam drama Opera Kecoa, orang-orang pinggiran ini diposisikan

sebagai pejuang, sebagai pahlawan. Tema demokrasi, tuntutan

keadilan, kemiskinan, pemerintah yang adil, isu perempuan, adat

perkawinan, diskriminasi rasial dan penyalahgunaan kekuasaan oleh

pejabat mendomasi isi tubuh lakon Opera Kecoa.

Suara Nano adalah suara kaum urban kota, pinggiran.

Keberpihakan dia kepada kaum pinggiran sendiri juga sudah menjadi

pesan tersendiri. Suara-suara kritik sosial, ekonomi  dan

politik, terutama dalam menyoal kasus-kasus (1) penggusuran

dengan dengan membumihanguskan perumahan pelacuran dan daerah

kumuh; (2)  membubarkan masa yang demonstrasi dengan kekuasaan

pelor dan bedil; (3) pejabat yang tidak memiliki integritas moral

yang baik terbukti dengan sering “main” di lokalisasi. Selain itu

pejabat juga korupsi dan kolutif; (4) Nano memberikan

pembelajaran demokratisasi  politik terhadap institusi-institusi

partai politik sebagai saluran aspirasi. Institusi kaum pinggiran

lebih beradab dalam menyuarakan politiknya, tidak barbar seperri

partai politik yang sering menggalang masa untuk menekan lawan

politiknya hingga sampai terjadi anarkisme. Nano seperti sedang

melakukan dekonstruksi terhadap institusi yang menyokong

demokrasi. Nano sedang mengejek dan meledek demokrasi yang

dijalankan oleh golongan yang berdiri di atas kaki politikus dan

merasa atau seolah-olah golongan intelektual.

Ketika kaum pinggiran memperjuangkan demokrasi dengan etika-

etika politik dan strategi yang cerdas, dengan memaksimalkan

modal kultural yang diimbangi dengan kerja keras mencari

penghidupan, hal ini dimaknai demokrasi bisa dipertahankan dengan

dimbangi oleh pertumbuhan ekonomi yang tumbuh dan berkeadilan,

berpihak kepada rakyat bukan monopoli pemilik alat-alat produksi

atau kaum oligarki, yang berlindung dibalik regulasi yang

dikeluarkan pejabat.

Konflik kaum pinggiran dengan Pejabat, Petugas dan Satpam

sebagai metafor pertentangan Nano dengan Pejabat Orde Baru ketika

melaksanakan kebijakan politiknya. Orde baru dikritik dan

diserang Nano dengan babak belur. Ia menguliti kejahatan politik

Orde baru dalam representasi teater. Kerasnya Nano menghajar Orde

Baru, sekeras Orde Baru melarang Opera Kecoa   untuk dipentaskan.

Begitulah sebuah hukum Archimides bekerja. Kritik Nano terhadap

Orde Baru berbanding lurus dengan politik pelarangan itu.

Demokrasi dan keadilan ekonomi yang diperjuangkan Nano berbanding

lurus dengan tidak berjalannya demokrasi politik dan ekonomi

dalam Orde Baru.

Selain itu, ketika Nano memilih institusi kaum pinggiran

untuk menyuarakan aspirasi politik demokrasi dan politik ekonomi

adalah sebuah pesan ideologis juga, bukan untuk sebuah tindakan

yang artifisial. 

Kaum pinggiran ini melawan budaya dominan yang digenggam

kuasa Pejabat, Petugas, Satpam, Petugas Anti Huru-Hara, Rentenir

dan Tukang Sulap. Kaum pinggiran di tangan Nano menjadi berdaya

secara politik, yang sementara pandangan umum selalu berpandangan

picik, pinggiran adalah orang kecil, orang lemah, miskin dan

bodoh. Kaum pinggiran berhadapan dengan kekuasaan (budaya

dominan) merupakan sikap budaya tanding yang menolak tunduk pada

kekuasaan, kekuasaan adalah represif.

Kesimpulan

Penulis berhasil menemukan simbol, seperti apa dioperasikan

Nano dalam naskah lakon Opera Kecoa. Selain itu juga membongkar

makna ideologisnya. Berikut ini adalah temuan-temuan yang penulis

maksud.

1)            Simbol dideskripsikan dalam perstiwa-peristiwa yang

satu sama lain berhubungan dengan longgar, urutan peristiwa-

peristiwa dan adegan-adegan tidak diikat dengan ketat oleh hukum

sebab akibat. Dengan kata lain, konstruksi plot dalam lakon ini

pada umumnya, dari adegan ke adegannya bersifat episodik.

2)            Simbol tersebar dalam konstruksi plot dari mulai

eksposisi, konflik, komplikasi, klimaks dan resolusi.

3)            Simbol dapat dilihat dalam tokoh melalui umur, jenis

kelamin, penampilan, kepribadian, tingkah laku, perbuatan dan

latar sosialnya.

4)            Dalam skema aktansial, peta simbol dapat dibaca

dengan distinateur (pengirim): kemiskinan dan perlakuan negara

terhadap kaum miskin urban tidak mencerminkan rasa keadilan

sosial dan hukum,  berfungsi sebagai pengirim sehingga “Subjek”

yang diduduki Julini beraksi mencari “objek” berupa hidup layak

secara ekonomi, hukum dan sosial dalam rel demokrasi untuk

kepentingan para kaum urban miskin semisal, pelacur, para waria,

gelandangan, bandit dan bromocorah lainnya sebagai “penerima”.

Dalam hal ini “subjek” dibantu oleh Roima, Asnah, Wartawan dan

Waria. Sebaliknya dalam usahanya itu mendapat rintangan dari

Pejabat, Petugas, Satpam, Tamu Asing, Pasukan Anti Huru-hara,

Rentenir dan Tukang Sulap sebagai “lawan” atau opposant.

5)            Simbol-simbol dalam karakter lakon Opera Kecoa, selain

sebagi leksem dalam aktans juga berupa fungsi metonomi, metafora,

referen dan konotasi. 

6)            Simbol-simbol dikonstruksi dengan diksi-diksi yang

konkret dan khusus, tidak bahasa resmi, jargon dan didominasi

kata benda  juga sifat; pola kalimatnya pendek, kecenderungan

kalimat tunggal, sifat kalimatnya (pernyataan, pertanyaan, seruan

dan perintah), rancang bangun kalimatnya berupa pengulangan dan

penghilangan; gaya semantisnya pada majas metafor, metonomi, dan

ironi.

7)            Simbol menggunakan diksi dialog dengan bahasa

keseharian sehingga mencerminkan kewajaraan.

8)            Simbol tertata dalam dialog yang bermakna pada tingkat

kuantitas, kualitas, relasi dan sikap.

9)            Simbol dalam stage direction menggambarkan latar suasana

tempat, waktu dan latar sosial. Selain itu, menjadi keterangan-

keterangan lakuan para tokoh. Terutama  performance tokoh dalam

bodi gerak dan kinesik dan stage direction dapat menjelaskan

paralinguistik (nada).

10)         Makna ideologis dalam drama Opera Kecoa adalah (1)

berpihak pada kaum urbanmiskin/kaum pinggiran, (2) mendorong

politik demokratisasi dan kritik sosial ekonomi, (3) kuam

pinggiran sebagai pahlawan, (4) diskriminasi rasial dan

penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat. (5) lakon/ drama bisa

digunakan untuk memberdayakan orang-orang pinggiran dan menyoroti

perjuangannya supaya masyarakat umum bisa mengerti kehidupan yang

lebih baik dan dapat membantu kondisi sosialnya.

11)         Adanya korelasi langsung antara kehidupan politik dengan

lakon  yang diungkap dalam penelitian ini, pemahaman posisi

seniman dan penguasa poltik bahwa keduanya dalam  satu wacana

simbolik.

12)         Opera Kecoa adalah ekspresi politik masyarakatnya untuk

melawan kekuatan penguasa dan keadaan sosial yang tak adil.

Nandang Aradea, Dosen Prodi Diksatrasia, FKIP Untirta. S-1 di

IKIP Bandung (UPI). Menulis beberapa naskah drama, sekaligus

menjadi sutradara. Tulisannya tersebar di berbagai media seperti

The Jakarta Post, Media Indonesia, Pikiran Rakyat,......Pernah

menggali ilmu di Australia dan Rusia. Menjadi pemakalah nasional

dan internasional. Setelah sukses mementaskan “Bicaralah Tanah”

di berbagai tempat, kini sedang menyiapkan pementasan selanjutnya

“Perempuan Gerabah?”

Firman “Venayaksa” H, Dosen Prodi Diksatrasia, FKIP Untirta. S-1

di UPI, S-2 di UI. Menulis ratusan artikel/karya sastra dan

dimuat di beberapa media seperti Koran Tempo, Media Indonesia,

Republika, Pikiran Rakyat, Sabili, Anida, Lampung Post, dll.

Menjadi pemakalah nasional dan Internasional. Buku Terakhir,

“Merdeka di Negeri Jawara” (Lumbung Banten, Nop 2007) Semenjak

tahun 2003 menjadi relawan di Rumah Dunia. 

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto. Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta: Rineka Cipta.

Aston, Elain & George Savona. 1991. Theatre As Sign-System: A Simiotics of Text

and Performance,Routledge: London.

Barthes, Roland. 2004. Mitologi. (terj. Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi

Wacana.

Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS.

Christomy (ed). 2004. Semiotka Budaya. Depok: Pusat Penelitian dan

Budaya. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas

Indonesia.

Culler, Jonathan. 2003. Barthes. (terj. Ruslani).Yogyakarta: Penerbit

Jendela.

Dahana, Radhar Panca. 2000. Ideologi Politik dan Teater Modern Indonesia.

Magelang: IndonesiaTera

Damono, Sapardi Djoko dkk. 2006. Antologi Drama Indonesia 1989-2000, Jilid

4. Jakarta: Amanah Lontar. 

Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampoai

Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

-------  1995. Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra, Politik dan Dekonstruksi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1998. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta:

Kanisius.

Herusatoto, Budiono.2000.Simbolisme dalam Bahasa Jawa. Yogyakarta:

Hanindita Graha Widia.

Kleden, Ignas. 2001. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas.

Kridalaksana, Harimurti.2001. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Kuntowidjoyo. 1987. Transformasi masyarakat Budaya. Jakarta: Sinar

Harapan.

Kurniawan.2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera.

Luxemburg, Jan Van. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.

Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:

Kanisius.

Miles, B. Matthew dan A. Michel Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif.

Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya

Makna.Yogyakarta: Jalasutra.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada

Univerity Perss.

Riantiarno. N. 2007. Di Dalam dan Di Luar Panggung (dalam booklet

pementasan naskah Kunjungan Cinta) Jakarta.

Sahid, Nur. 2004. Semiotika Teater. Yogyakarta: Lembaga Penelitian ISI.

Saini KM, Nur Sahid (Ed). 2000. Interkulturalisme dalam Teater. Yogyakarta:

Yayasan Untuk Indonesia

Satoto, S; Zaenudin Fanani (Ed). 2000. Sastra Ideologi Politik dan Kekuasaan.

Surakarta: Muhammadiah University Press

Sitorus, Eka D. 2002. The Art of Acting. Jakarta: Gramedia.

Sunarto.2000. Analisis wacana Ideologi Gender Media Anak-Anak. Semarang:

Penerbit Mimbar dan Yayasan Adikarya serta Ford Foundation.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka

Jaya.