Dialektika Hukum Progresif: Obrolan Ringkas Buku-buku Satjipto Rahardjo

140

Transcript of Dialektika Hukum Progresif: Obrolan Ringkas Buku-buku Satjipto Rahardjo

2

Dialektika Hukum Progresif

3

4

Dialektika Hukum Progresif

Obrolan Ringkas Buku-buku Satjipto

Rahardjo

Diandra Preludio R • Benny Prasetyo • Unu P

Herlambang • Muhtar Said • AP Edi Atmaja •

Benny Karya Limantara • Syandi Rama

Sabekti • Alfajrin A Titaheluw • Rian Adhivira

• Nindi Achid Arifki • Rahmad Syahroni

Rambe • Lilik Haryadi • James Marihot

Panggabean

Kaum Tjipian

2014

5

Dialektika Hukum Progresif

Obrolan Ringkas Buku-buku Satjipto Rahardjo

Diandra Preludio R, Benny Prasetyo, Unu P Herlambang,

Muhtar Said, AP Edi Atmaja, Benny Karya Limantara, Syandi

Rama Sabekti, Alfajrin A Titaheluw, Rian Adhivira, Nindi

Achid Arifki, Rahmad Syahroni Rambe, Lilik Haryadi, James

Marihot Panggabean

© Kaum Tjipian, 2014

Diterbitkan pertama kali dalam format buku digital (e-book)

Desember 2014

140 halaman; 12 x 18 cm

1. Ilmu Hukum 2. Satjipto Rahardjo

3. Hukum Progresif

Penyunting: AP Edi Atmaja

Perancang Sampul: AP Edi Atmaja

Penata Isi: AP Edi Atmaja

Kaum Tjipian

d/a Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro

Jalan Imam Bardjo, SH, Nomor 1, Semarang

Cetakan I: 2014

6

Sekapur Sirih

BUKU ini memuat serampai karangan mengenai sebagian

(kecil) buku-buku anggitan Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH.

Sang begawan hukum yang karib disapa Prof Tjip itu

mewariskan banyak sekali buku pasca-wafatnya, bahkan ada

buku yang terbit benar-benar setelah Prof Tjip meninggal

dunia.

Karangan-karangan dalam buku ini tidak (pernah)

berpretensi untuk memfatwakan kebenaran. Bahkan dari

teks yang paling terang-benderang pun pasti tersembunyi

keremang-remangan. Bukan maksud buku ini untuk

meringkus dan meringkas pemikiran Prof Tjip dalam sebutir

tablet yang siap-minum—kendati mesti diakui bahwa para

pengarang (kami menyebutnya “pemantik”) terdiri dari

golongan yang boleh dibilang “penafsir garda depan”

pemikiran Prof Tjip.

Para pemantik yang seluruhnya merupakan mahasiswa

dan alumnus Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro,

itu tergabung dalam komunitas diskusi yang menamakan

diri Kaum Tjipian.

Kaum Tjipian, entah generasi yang keberapa, saban

Senin sore, tepat pukul 15.00 WIB, menyelenggarakan

diskusi (kami menyebutnya “jagongan”) perihal buku-buku

Prof Tjip. Lokasinya nomaden, sesuai pesanan. Di ruang

kelas yang suntuk, di bawah pohon beralaskan tikar

ditemani semilir angin sepoi-sepoi laiknya Rabindranath

7

Tagore dan murid-muridnya, hingga di emperan gedung di

mana para gadis berseliweran menggoda iman pun jadilah.

Alhasil, dari kongko-kongko yang mempertaruhkan iman

itu lahirlah buku mungil yang tak bisa lebih tebal dari

Nietzsche (2012) ini.

Barangkali terasa kasip mengingat karangan-karangan

ini berhasil dijilid dan terbit lebih dari dua tahun setelah

mereka disampaikan dalam jagongan rutin. Namun, adakah

yang terlambat untuk ide-ide? Kami hanya coba merawat

pemikiran guru kami, Profesor Satjipto Rahardjo. Syukur-

syukur kalau buku ini dapat memantik letupan lanjutan yang

jauh lebih bermutu.

Akhirnya, buku ini hanyalah kado dari anak-anak muda

ingusan yang mengaku-aku sebagai penafsir garda depan

Prof Tjip, yang lahir pada 15 Desember 1930. Tapi apalah

arti penafsir garda depan jikalau memperkenankan pikiran

menampik penolakan, kritik, dan makian. Oleh sebab itu,

melalui penerbitan buku ini, kami Kaum Tjipian mengharap

penolakan dari siapa pun Anda.

Pekanbaru, 28 Desember 2014

Penyunting

8

Senarai Isi

Sekapur Sirih — 6

Senarai Isi — 8

Bab I Sebelum

Hukum dalam Jagat Ketertiban — 11

Diandra Preludio R

Diskursus mengenai Hukum dan Masyarakat — 23

Benny Prasetyo

Mempelajari Keteraturan, Menjumpai Ketidakteraturan:

Pembacaan Seorang Cantrik — 36

Unu P Herlambang

Sosiologi Hukum: Pengamat atau Pemberi Solusi? — 43

Muhtar Said

Bab II Semasa

Kapita Selekta Hukum Progresif: Pada Mulanya adalah Koran — 56

AP Edi Atmaja

Dasar-dasar Hukum Progresif — 65

Benny Karya Limantara

Hukum Progresif dan Keberanian Kita — 73

Syandi Rama Sabekti

9

Kredo Penegakan Hukum Progresif — 78

Alfajrin A Titaheluw

Bab III Sesudah

Dinamika dalam Mengikuti Perubahan Sosial — 85

Rian Adhivira

Mendudukkan Undang-Undang Dasar? — 94

Nindi Achid Arifki

Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia — 105

Rahmad Syahroni Rambe

Polisi Indonesia di Tengah Perubahan Sosial — 115

Lilik Haryadi

Rakyat Bahagia di Negara Hukum — 122

James Marihot Panggabean

Para Pemantik — 135

10

Bab I

Sebelum

11

Hukum dalam Jagat Ketertiban1

DIANDRA PRELUDIO RAMADA

“… Law grows with the growth, and strengthens with the

strength of the people, and finally dies away as a nation

loses its nationality …” –Karl Von Savigny

SUNGGUH, penulis menyimpan kedukaan yang sangat

mendalam ketika tanpa alasan yang jelas penulis memilih

buku ini untuk diceritakan kembali menurut pemahaman

penulis sendiri. Kesedihan itu datang saat penulis merasa

bahwa penulis belum sanggup menyerap seluruh inti sari

dari buku Hukum dalam Jagat Ketertiban ini. Jadi, penulis

mengharap pemakluman yang teramat sangat bagi Anda

yang telanjur membaca tulisan ini.

Apa yang dipaparkan dalam kumpulan tulisan Prof

Satjipto Rahardjo ini merupakan penjelajahan yang tak

kunjung henti dari seorang musafir pencari kebenaran.

Keprihatinan Prof Tjip (sebutan akrab bagi Prof Satjipto

Rahardjo) terhadap keterpurukan hukum di Indonesia, yang

dinyatakan baik berupa lisan maupun tulisan, sering

membuat banyak kalangan, para akademisi, serta praktisi

1 Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Hukum dalam JagatKetertiban (Jakarta: UKI Press, 2006) anggitan Satjipto Rahardjo, inidisampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 19 November 2012di Beranda Auditorium Imam Bardjo, SH, Universitas Diponegoro.

12

hukum terhenyak dan mengerutkan kening. Salah satu

kritiknya adalah hukum telah cacat sejak dilahirkan—yang

dianggap Prof Tjip sebagai tragedi hukum.2

Modernisasi, industrialisasi, rasionalisasi, perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi dalam beberapa dekade

terakhir dipengaruhi gelombang besar di mana negara-

negara di dunia berusaha mencapai status yang lebih baik.

Tak dapat dimungkiri, kita masih berada pada

keterbelakangan ekonomi, politik, sosial, ilmu, dan

sebagainya sehingga, mau tidak mau, hukum modern itulah

yang kemudian dijadikan pisau bedah terhadap masalah-

masalah hukum yang timbul. Tatkala para praktisi “latah”

membaca dan memaknai undang-undang dari perspektif

yuridis-normatif belaka dan berujar bahwa hukum harus

diutamakan agar membawa ketertiban, ketenteraman, dan

kesejahteraan bagi masyarakat. Prof Tjip mengambil sikap

berbeda. Menurut dia, hukum itu menempati satu sudut

kecil dalam jagat ketertiban.3

2 Masyarakat diatur oleh hukum yang penuh cacat, karenaketidakmampuannya merumuskan secara tepat hal-hal yang ada dimasyarakat. Tentu saja kritik tersebut merupakan palu godam bagilembaga legislatif, penegak hukum, dan insan hukum yang hanyamelandaskan hukum hanya sebagai peraturan perundang-undangan.Padahal menurut refleksi kritis Prof Tjip, hukum dilukiskan sebagaiperilaku manusia, yang didasarkan pada pemikiran filosofis bahwa hukumuntuk manusia dan bukan sebaliknya. Satjipto Rahardjo, “Tidak menjadiTawanan Undang-undang”, dalam Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hlm 120.3 Hukum tidak bisa menepuk dada dalam menyelesaikan segalapersoalan. Ilmu hukum harus membuka diri terhadap ilmu-ilmu lain agardapat memosisikan diri menurut jati dirinya. Bandingkan dengan FrancisFukuyama yang mempertanyakan “Where do norms come from?” dalamFrancis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and theReconstitution of Social Order (London: Profile Books, 1999), hlm 143-153).

13

Wajah Hukum dalam Perkembangan

Buku Hukum dalam Jagat Ketertiban ini berisi kumpulan

karya tulis Prof Tjip. Dia mengawalinya dengan sebuah

konstruksi tentang sejarah hukum. Dimulai dengan Rene

Descartes yang memisahkan manusia sebagai makhluk

“yang mengetahui” dari alam “yang untuk diketahui”,

dengan ucapan terkenalnya cogito ergo sum. Descartes

ingin menyatakan bahwa manusia baru memperoleh makna

setelah dengan rasionya memberi arti.4

Pemikiran tersebut

memberi pengaruh yang sangat besar terhadap

perkembangan teorisasi ilmu pengetahuan. Logika dan

rasionalitas menjadi sesuatu yang sangat bermakna dalam

pencarian manusia terhadap dirinya. Namun, seiring dengan

perkembangan pengetahuan tentang manusia sebagai

makhluk seutuhnya yang berperasaan dan berketuhanan,

kecerdasan intelektual (IQ) yang dulu begitu dibanggakan

harus diimbangi dengan kecerdasan emosional (EQ) dan

kecerdasan spiritual (SQ) dalam rangka membangun

4 Liek Wilardjo, Realita dan Desiderata (Yogyakarta: Duta WacanaUniversity Press, 1990), hlm 246.

Satjipto Rahardjo (1930-2010)

14

kecerdasan berlipat (multiple intelligence).

Positivisme menanamkan kaki ilmu pengetahuan dengan

mengamati alam dan kehidupan di sekelilingnya. Sekalian

peristiwa yang tidak terdapat di situ tidak boleh dijadikan

objek ilmu pengetahuan. Semua harus bisa diamati secara

fisik, diukur dan ditimbang. Menggunakan rasio sebagai alat

analisis sejak Francis Bacon (metode induksi) dan Descartes

(metode rasional) di Abad Pencerahan (Enlightment,

Aufklarung), maka ilmu pengetahuan mulai secara agresif

berusaha menguasai objeknya dengan cara mengotak-

kotakkan, memisah-misahkan, memfragmentasi, menyis-

temisasi, mengorganisasi, dan sebagainya.

Ilmu pengetahuan memang berkembang dengan sangat

pesat dengan metode seperti itu, namun perkembangannya

membawa problem tersendiri. Ternyata, dengan hilangnya

keutuhan itu, hilang pulalah kebenaran sejati. Akhirnya,

suatu entitas utuh tidak berhasil didekati, apalagi dijelaskan

oleh sains atau teori yang telah mereduksi keutuhan itu

menjadi kepingan-kepingan yang terbatas. Agar teori

seperti itu tetap bisa digunakan, dilakukanlah manipulasi

kebenaran, yaitu dengan cara membuang sebagian realitas

sehingga menyisakan realitas yang hanya bisa dijelaskan

oleh teori itu.

Tidak ketinggalan ilmu hukum juga ikut menggunakan

model positivisme tersebut. Apabila abad kesembilan belas

disebut sebagai abad positivisme, itu akan sangat bisa

dimengerti seiring kehadiran hukum modern yang menjadi

bagian penataan masyarakat secara rasional. Sejak saat itu,

hukum menjadi institusi yang terang (distinct), baik dalam

15

substansi, metodologi, maupun administrasinya.5

Studi

hukum di awal abad keduapuluh diawali dengan

perkembangan menarik, yakni studi hukum yang ditarik

keluar dari ranah peraturan perundang-undangan dengan

kemunculan aliran sociological jurisprudence yang

dipelopori oleh Roscoe Pound.

Berkembanglah sistem produksi ekonomi kapitalis yang

mendasarkan pada perhitungan efisiensi yang bercirikan

semuanya harus bisa dihitung dengan jelas dan pasti.

Berapa barang dan ongkos produksi, penjualan, pembelian,

dan sebagainya. Ini berbeda dengan sistem ekonomi lama

yang didasarkan atas kebutuhan, bukan perhitungan.

Rasionalisasi sistem ekonomi tersebut membutuhkan orde

sosial baru yang harus dapat dimasukkan ke dalam

komponen produksi dan bisa dihitung. Sedangkan orde

sosial lama dengan konsep struktur yang tidak eksak dan

terkesan kacau (chaotic) dapat mengganggu kelancaran

sistem produksi ekonomi yang telah menjadi rasional dan

kapitalis.

Hukum modern tampil menjawab kebutuhan zaman itu.

Capaian hukum modern yang menjawab tantangan tersebut

adalah tertulis dan publik. Ini sangat mendukung kebutuhan

sistem ekonomi baru yang membutuhkan prediktabilitas.

Negara dan hukum modern adalah sebuah rekonstruksi

rasional yang dibangun di atas puing-puing tatanan lama.

Namun, seperti diketahui, modernisme sejak awal telah

menyimpan bibit penyakit dari modernisasi itu sendiri.

Semakin jauh berjalan, cacat dan penyakit itu semakin

5 Dalam hal substansi, hukum mengandalkan peraturan yang ia produksisendiri, yaitu legislated rules. Roberto Mangabeira Unger, Law in ModernSociety (New York: Free Press, 1976).

16

terlihat dan terbuka. Hukum modern dengan asas kepastian

hukumnya meluluh-lantakkan orde sosial lama yang bersifat

lebih otentik, alami, dan sosiologis. Hukum modern secara

gamblang menyamaratakan eksistensi tiap-tiap kelompok

masyarakat yang nyata-nyata berbeda. Pondasi hukum

modern yang dibangun berdasarkan rasionalitas dianggap

tidak mampu untuk melingkupi segala bentuk permasalahan

yang terjadi di masyarakat.

Boaventura de Sousa Santos berpendapat bahwa kita

sekarang berada di tengah-tengah dinamika

ketidakseimbangan, antara prinsip regulasi dan emansipasi

yang oleh dia disebut sebagai transisi paradigmatik

(paradigmatic transition).6

Posmodernisme dimulai dari

pemikiran kritis mengenai modernitas itu sendiri. Balkin

berpendapat bahwa posmodernisme adalah kelanjutan

dalam bentuk perkembangan dan reaksi terhadap suatu

periode dalam sejarah manusia yang disebut modernitas.7

Hukum dalam Jagat Ketertiban

Bagian kedua buku ini memuat kajian Prof Tjip mengenai

jagat ketertiban. Jagat ketertiban menampilkan suatu

6 Menurut Santos, kita sekarang berada dalam masa transisi yang selamaduaratus tahun berlangsung ekses regulasi atas kerugian emansipasi. Titikberat ada pada regulasi, istilah yang dipakai Santos untuk modernisme,yang mencoba untuk mengubah keadaan chaos menjadi tertib. Arahemansipasi adalah dari ketidaktahuan menuju keadaan tahu, yang olehSantos disebut dari kolonialisme menuju solidaritas. Di sini,posmodernisme ingin membalikkan keadaan dinamikaketidakseimbangan itu menjadi keuntungan emansipasi (to reassess theknowledge-as-emancipation and grant its primacy over knowledge-as-regulation). Boaventura de Sousa Santo, Toward A New Common Sense:Law, Science, and Politics in Paradigmatic Transition (New York:Routledge, 1995).7 JM Balkin, “What is Postmodern Constitutionalism?” dalam DennisPatterseon (ed.), Postmodern and Law (Darmouth: Aldershot, 1994).

17

jaringan yang kompleks. Jagat ketertiban itu meliputi dan

menerima kehadiran komunitas yang majemuk sehingga

ketertiban juga menjadi kompleks. Kompleksitas inilah yang

menjadi basis ketertiban-ketertiban lain. Ketertiban

ekonomi, misalnya, juga tidak dapat meminggirkan

ketertiban lain, seperti hukum dan politik.

Sejak hukum menempati satu sudut saja dalam jagat

ketertiban yang jauh lebih luas dan sejak hukum negara

ingin memegang hegemoni, kita pantas mempertanyakan

bagaimana hukum negara itu berinteraksi dengan

komunitas-komunitas lain dalam jagat ketertiban.8

Komunitas lain tersebut ternyata tidak bisa ditundukkan

oleh kekuasaan dan kedaulatan hukum negara. Saat

berbicara tentang akses terhadap keadilan, Marc Galanter

berbicara tentang apa yang ia sebut sebagai “justice in many

rooms”.9

Sekalipun perkara dibawa ke pengadilan untuk

diselesaikan, tidak selalu pengadilan yang benar-benar

memutus.

Ellickson mengatakan bahwa yang lebih menentukan

bagaimana ketentuan-ketentuan dalam hukum diwujudkan

bukanlah hukum itu sendiri, melainkan rakyat sebagai

adressat hukum.10

Ellickson menambahkan, betapa banyak

8 Komunitas lain ini adalah kaidah-kaidah sosial yang didukung olehkomunitasnya masing-masing. Satjipto Rahardjo, Hukum dalam JagatKetertiban (Jakarta: UKI Press, 2006), hlm 100.9 Tulisan Galanter memberitahu kita tentang kompleksitas dari institusipengadilan yang tidak bisa dimonopoli oleh pengadilan negara. Kalaudikatakan bahwa orang mencari keadilan bagi perkara yang dihadapi,muncul pertanyaan: di mana keadilan itu? Di mana tempatnya? Siapaatau apa yang memberikan keadilan itu? Marc Galanter, “Justice in ManyRooms” dalam Mauro Cappelletti (ed.), Acces to Justice and the WelfareState (Sijthoff: Alphen aan den Rijn, 1981).10 Peraturan hanya sebagai titik tolak. Rakyatlah yang akan menawarperaturan itu untuk keuntungan mereka. Robert C Ellickson, Order

18

segmen kehidupan sosial itu tidak dibentuk oleh atau

merupakan karya hukum, melainkan oleh komunitas itu

sendiri. Jadi tidak benar ungkapan “hukum dan ketertiban”

di mana digambarkan bahwa negara mengontrol perilaku

anggota masyarakat. Itu bohong sama sekali.11

Hukum bekerja dan tertanam dalam sebuah matriks

sosio-kultural. Itulah awal dari apa yang kita sebut sebagai

budaya hukum. Bagaimanapun, hegemoni hukum negara itu

tidak pernah sepenuhnya berhasil memastikan apa yang

diwajibkan berlaku dalam masyarakat. Masyarakat akan

menuntun, membatasi, dan menentukan seberapa jauh dan

bagaimana hukum itu akan nyata-nyata berjalan, bekerja,

dan berlaku dalam masyarakat. Mengatur masyarakat tidak

berarti harus melakukannya secara penuh atau total. Maka

dari itu, pengaturan tidak perlu melakukan intervensi dan

penetrasi penuh ke dalam kehidupan masyarakat. Jika

kepedulian kita adalah manusia dan masyarakat, maka bisa

dengan membuat suatu skema besar, sedangkan proses-

proses nyata diserahkan kepada masyarakat. Inilah yang

disebut mengatur kehidupan yang sudah berjalan.12

without Law: How Neighbors Settle Disputes (Cambridge: HarvardUniversity Press, 1991).11 Ketertiban lebih sering muncul secara serta merta. Peraturan yangdibuat oleh negara akan dilengkapi bahkan isinya bisa diganti denganaturan menurut mereka sendiri. Ellickson menepis anggapan bahwanegara atau pemerintahlah yang mengendalikan koordinasi danmengarahkan. Loc. cit.12 Jepang merupakan contoh bagus untuk penggambaran tentang ini.Dengan keteguhan mempertahankan tradisi nilai-nilai Jepang,penegakkan hukum formal di Jepang tergolong lemah. Hukum memangada, tetapi ia hanya sebatas kekuasaan untuk mengatur, sedangkanpelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat. Satjipto Rahardjo, op.cit., hlm 89.

19

Dari segala pemaparan di atas, sampailah kita pada apa

yang selalu Prof Tjip dengung-dengungkan. Ya, benar:

hukum progresif. Dijelaskan oleh Prof Tjip dalam buku ini,

bahwa yang akan secara penuh diorientasikan untuk

dibicarakan adalah mengenai penafsiran hukum yang

progresif.

Sejak hukum dikodifikasikan menjadi teks, pembacaan

terhadap teks menjadi penting sekali. Maka, penafsiran

hukum tidak dapat dihindarkan, dan hampir tidak mungkin

hukum dapat dijalankan tanpa membuka pintu bagi

penafsiran. Lalu diajukanlah sebuah adagium, “membaca

hukum adalah menafsirkan hukum”, dan yang mengatakan

bahwa teks hukum sudah jelas adalah suatu cara saja bagi

pembuat hukum untuk bertindak pragmatis seraya diam-

diam mengakui bahwa ia mengalami kesulitan untuk

memberikan penjelasan.13

Pertama, persoalan bahasa. Pertanyaan dasarnya,

mampukah bahasa mewadahi pemikiran yang akan kita

sampaikan? Menurut saya tidak. Hemat saya, tiap kali suatu

pemikiran akan dituangkan ke dalam kalimat, ia akan

mengalami risiko kegagalan. Artinya, pemikiran tersebut

menjadi kurang utuh begitu dirumuskan ke dalam bahasa.

Selalu ada nuansa, makna yang tercecer, atau tidak

terwadahi dalam bahasa tulis.

Kemudian, yang mengejutkan, jika bahasa menjadi

kendaraan untuk menyampaikan pemikiran ke dalam

undang-undang, maka sesungguhnya hukum Indonesia

pascakolonial harus dibaca lewat teks yang asli, yaitu bahasa

Belanda. Dengan demikian, teks-teks terjemahan dari

bahasa Belanda itu tidak sah, baik secara linguistik maupun

13 Ibid., hlm 163.

20

secara hukum. Jadi selama ini hukum di Indonesia itu

dijalankan berdasarkan konvensi atau tradisi saja. Sebagai

akibatnya, andaikata ada dua orang menerjemahkan teks

asli Belanda ke bahasa Indonesia, kemungkinan besar akan

ada dua naskah terjemahan yang berbeda dan keduanya

adalah “sah”. Dalam bukunya tentang Mahkamah

Agung Indonesia, Sebastian Pompe menunjuk pada

kemampuan berbahasa Belanda di kalangan para hakim

yang hampir nol, sebagai salah satu penyebab menurunnya

kualitas putusan pengadilan di Indonesia.14

Kedua, penafsiran itu sendiri dalam membaca teks

peraturan hukum tertulis. Pembuatan dan penafsiran

merupakan dua sisi dari barang yang sama, yaitu hukum.

Teks hukum tidak lain adalah suatu rumusan bentuk

konseptualisasi dari apa yang terjadi di alam. Misalnya,

pencurian yang merupakan peristiwa alam yang dirumuskan

ke dalam teks hukum. Setiap perumusan adalah pencitraan

tentang suatu hal. Pencitraan adalah pembuatan konsep.

Pembuatan konsep melahirkan pembeda antara apa yang

dirumuskan dengan yang tidak. Sedangkan perumusan

konsep pemikiran menjadi tekstual akan berhadapan

dengan risiko kegagalan yang hampir pasti.

Menurut Jakob Sumardjo, dalam adat Jawa terdapat

setidaknya limabelas macam pencurian. Hal itu berarti untuk

komunitas Jawa, Pasal 362 KUHP mengandung cacat besar,

karena pasti tidak mampu merumuskan kelimabelas macam

itu secara benar hanya dalam satu kalimat.15

Sehingga, di

14 Sebagai negeri bekas jajahan Belanda, banyak teks hukum yangberbahasa Belanda, yang sialnya masih dirujuk oleh para hakim denganpengetahuan bahasa Belanda yang sangat rendah. S van HoeijSchilthouwer Pompe, The Indonesia Supreme Court: Fifty Years of JudicialDevelopment, Disertasi, 1996.15 Jakob Sumardjo dalam Satjipto Rahardjo, op. cit.., hlm 166.

21

sinilah peran penafsiran sebagai jembatan untuk jurang

yang menganga antara objek yang dirumuskan dan

perumusannya.

Pekerjaan merumuskan akan melibatkan penilaian. Ini

mengapa legislatif mereduksi kenyataan menjadi seperti ini

atau itu, yang ditentukan oleh penilaian manusia-manusia di

belakangnya. Oleh karena itu, rumusan yang diproduksi

tidak bebas nilai, dan karena itu terbuka untuk penilaian

yang berbeda. Maka dari itu, penafsiran adalah pekerjaan

untuk dapat “membenarkan”, “meluruskan”, “membumikan”,

dan “mengadilkan” hukum.

Memasuki ranah penafsiran adalah memasuki ranah

yang luas yang di dalamnya dipenuhi pemikiran dan aliran-

aliran. Ada pendapat yang mengatakan bahwa menafsirkan

hukum tidak boleh melalui batas-batas yang sudah dibuat

oleh legislatif dalam ranah rumusan hukum tersebut.

Pendapat ini menganggap bahwa teks hukum memiliki

otonomi mutlak sehingga tidak boleh ada hal baru dalam

penafsiran. Pemikiran tersebut melebarkan jurang yang

memisahkan hukum dengan masyarakat. Hukum benar-

benar menjadi dunia yang esoteris. Kekakuan pandangan

seperti itu menjauhkan hukum dari keadilan dan kebutuhan

masyarakat.

Kemudian, pendapat kedua yang menganggap bahwa

hukum hanya sebagai aturan yang kadang bisa ditepiskan.

Melihat hukum sebagai institusi yang ada dalam masyarakat,

pendapat yang dipelopori aliran realisme ini memilih untuk

melakukan pembebasan penafsiran yang bisa keluar dari

lingkup rumusan peraturan yang ada. Maka, Paul Scholten

22

mengatakan bahwa “keadilan dalam hukum itu ada, tetapi

masih harus ditemukan”.16

Hukum progresif berpegangan pada paradigma “hukum

untuk manusia”. Kemanusiaan menjadi primus pada saat kita

memberi kedudukan terhadap hukum dan masyarakat.

Hukum berawal tidak dari hukum itu sendiri, melainkan dari

manusia dan kemanusiaan. Membicarakan hukum haruslah

lebih dahulu diawali dengan membicarakan dan

menuntaskan pembicaraan mengenai kemanusiaan. Kita pun

tidak dapat membicarakan hukum dengan menutup pintu

bagi kemanusiaan karena kemanusiaan akan terus mengalir

memasuki hukum. Maka, jadilah hukum bukan untuk dirinya

sendiri melainkan untuk mengabdi dan melestarikan

kemanusiaan.

Demikian sang begawan telah merintis jalan pembuka

bagi penerus-penerusnya. Kini tinggal kita para penerus Prof

Tjip melakukan apa yang kita harus dan bisa lakukan.

Kerinduan yang sangat sederhana dan lugas tapi sangat

dalam dari dirinya adalah agar para mahasiswanya menjadi

lilin-lilin pembawa terang dalam kegelapan yang

menyelimuti nuansa keilmuan di dunia, khususnya ilmu

hukum. Dengarlah pesan terakhir Sang Guru:

“...di pundak saudara-saudaralah hukum progresif itu

memperoleh bentuknya. Saya hanya merintis jalan…” []

16 Paul Scholten dalam Satjipto Rahardjo, op. cit., hlm 171.

23

Diskursus mengenai Hukum dan

Masyarakat17

BENNY PRASETYO

BAGI negara-negara yang sedang berkembang, yaitu negara

yang memperoleh kemerdekaannya sesudah Perang Dunia

II, pembangunan merupakan semacam panacea, satu-

satunya jalan yang harus ditempuh untuk memerdekakan

diri dari segala tuntutan dan kesulitan. Indonesia juga tidak

merupakan kekecualian dalam hal ini. Sejak Soeharto

mengambil alih tampuk kekuasaan, secara pasti negara ini

menempatkan diri di barisan negara sedang berkembang

yang memberikan prioritas pertama kepada pembangunan.

Memperhatikan fungsi hukum dalam masyarakat, yang

memungkinkan terjadinya komunikasi yang efektif

antaranggota masyarakat, kiranya sulit bagi kita untuk

memikirkan suatu masyarakat yang dapat berjalan tanpa

menerima pelayanan hukum. Keadaan ini menjadi lebih jelas

lagi apabila kita berhadapan dengan masyarakat yang ridak

lagi tradisional di mana kontak-kontak pribadi serta konflik-

konflik kepentingan terjadi lebih intensif. Keadaan ini tidak

berubah pada masyarakat yang sedang berada dalam masa

17 Karangan, yang merupakan ringkasan dari buku Hukum danMasyarakat (Bandung: Angkasa, 1980) anggitan Satjipto Rahardjo, inidisampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 15 Oktober 2012 diRuang C104, Gedung Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro.

24

pembangunan. Sekalipun demikian, di masa seperti itu,

kedudukan hukum menjadi problematis berhubungan

dengan adanya pergeseran dalam prioritas kegiatan negara.

Lalu, sampailah pada masalah hubungan antara hukum

dan pembangunan. Hukum merupakan suatu kebutuhan

yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri, yaitu

sebagai sarana untuk melayani hubungan di antara sesama

anggota masyarakat, sehingga

terdapat kepastian dalam lalu

lintas hubungan itu. Dengan

demikian, mudah dimengerti

bahwa perubahan-perubahan

yang terjadi di masyarakat

pada gilirannya akan

menyebabkan terjadinya

perubahan pada hukum yang

harus melayani masyarakat itu.

Apabila untuk keperluan

pembangunan dibutuhkan

masuknya modal luar negeri,

perombakan susunan kepemilikan tanah, penyediaan tanah

untuk pembuatan jalan-jalan, pabrik, jembatan, dan

sebagainya, maka hukum akan diminta jasanya untuk

menyusun peraturan-peraturan atau sistem peraturan baru

yang memungkinkan dilaksanakannya rencana tersebut.

Pada 1972, suatu pertemuan yang menghimpun ahli-ahli

yang menaruh minat pada studi tentang hukum dan

pembangunan (law and development) telah mencoba untuk

menyusun satu kesepakatan pendapat mengenai seluk-

beluk penelitian di bidang hukum dan pembangunan.

Disebutkan bahwa pertalian antara hukum dan

pembangunan sebagai suatu proses mengubah masyarakat

itu dapat bermacam-macam. Hukum dapat dilihat sebagai

25

suatu alat yang digunakan secara sadar oleh manusia untuk

mengubah lingkungan hidupnya.

Pendapat tadi mempunyai banyak pengikut sekalipun

mereka tidak sepaham mengenai kegunaan dan pentingnya

hukum untuk menimbulkan perubahan sosial. Kelompok lain

lagi berpendapat bahwa hukum merupakan suatu nilai, atau

suatu proses yang fundamental dalam perwujudan nilai-nilai

tertentu, sehingga ia menjadi terkait erat dengan nilai-nilai

itu sendiri. Misalnya saja, banyak orang percaya bahwa

hukum itu penting untuk melindungi perorangan serta

perwujudan kesamaan. Mereka juga percaya bahwa

pengembangan lembaga-lembaga hukum serta proses-

prosesnya, sehingga menjadi efektif, akan dapat

memberikan bantuannya untuk memperkuat hak-hak

seseorang dan untuk mencapai kesamaan.

Dari pendapat para ahli tersebut dapat diketahui bahwa

orang mulai mengkaji tentang fungsi hukum di masyarakat.

Dan pada itu juga dapat dilihat bahwa sasaran pembicaraan

bukan berkisar pada hukum sebagai suatu sistem yang

konsisten, logis, dan tertutup, melainkan sebagai sarana

untuk menyalurkan kebijakan-kebijakan dalam

pembangunan atau perubahan masyarakat. Dengan

demikian, pembicaraan mengenai hukum telah membaurkan

diri dengan pembicaraan tentang aksi-aksi sosial, tentang

hukum sebagai proses dan sebagainya.

Tingkat studi tentang hukum dewasa ini masih lebih

banyak berkisar pada pemahaman dan analisis hukum

secara dogmatis: melihat hukum terutama sebagai suatu

sistem yang logis dan konsisten. Keadaan yang demikian itu

menyebabkan bahwa dewasa ini dibutuhkan adanya

perubahan dalam pemahaman kita mengenai hukum atau

26

secara lebih tepat mengenai hubungan antara hukum dan

masyarakat.

Studi terhadap Hukum dan Masyarakat

Pemikiran hukum sosiologis

Pemikiran hukum sosiologis mulai dikembangkan tidak

lebih awal dari permulaan abad keduapuluh. Sebelum itu,

apabila orang memikirkan tentang hukum dan keadilan, ia

tidak segera melihat perkaitannya dengan tertib masyarakat

yang lebih luas di mana hukum itu berlaku atau di mana ide-

ide tentang keadilan itu dianut.

Rescoe Pound membedakan antara ahli hukum dengan

kerangka berpikir sosiologis dan ahli hukum dari aliran yang

lain. Perbedaan itu, menurut Pound, adalah bahwa mereka

yang termasuk aliran sosiologis ini:

lebih mengarahkan penglihatannya kepada beker-

janya hukum daripada kepada isinya yang abstrak;

memandang hukum sebagai suatu lembaga sosial

yang dapat dikembangkan melalui usaha manusia

dan menganggap kewajiban mereka untuk mene-

mukan cara–cara terbaik dalam memajukan dan

mengarahakan usaha sedemikian itu;

lebih menekankan kepada tujuan-tujuan sosial yang

dilayani oleh hukum daripada sanksinya;

menekankan bahwa aturan-aturan hukum itu harus

lebih dipandang sebagai pedoman untuk mencapai

hasil-hasil yang dianggap adil oleh masyarakat dan

tidak sebagai kerangka yang kaku.

27

Hukum dan nilai-nilai masyarakat

Tentang bekerjanya hukum di masyarakat, Robert B

Seidman menguraikan dalil-dalil sebagai berikut.

Setiap peraturan hukum memuat tentang bagaimana

pemegang peranan (masyarakat/role occupant)

diharapkan untuk bertindak.

Bagaimana seorang pemegang peranan akan

bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan

hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang

ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari

lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan

kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain-lainnya.

Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan

bertindak sebagai respons terhadap peraturan

hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan

hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-

sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan

sosial, politik, dan lainnya, yang mengenai diri

mereka serta umpan-umpan balik (feedback) yang

datang yang datang dari pemegang peranan.

Bagaimana para pembuat undang-undang akan

bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan

yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-

sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan

sosial, politik, ideologis, dan lain-lain, mengenai diri

mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari

pemegang peranan serta birokrasi.

Dari dalil-dalil tersebut, dapatlah diketahui bahwa setiap

anggota masyarakat sebagai pemegang peranan ditentukan

tingkah lakunya oleh peranan yang diharapkan, baik oleh

norma-norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan di

luar hukum.

28

Regenerasi atau penerapan hukum hanya dapat terjadi

melalui manusia sebagai perantaranya. Masuknya faktor

manusia ke dalam pembicaraan tentang hukum, khususnya

dalam hubungan dengan bekerjanya hukum, membawa kita

kepada penglihatan mengenai hukum sebagai karya

manusia di masyarakat.

Dalam pembentukan hukum, di mana dijumpai

pertentangan nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan,

Schuyt menunjukkan bahwa ada dua kemungkinan yang

dapat timbul, yakni (1) sebagai sarana untuk mencairkan

pertentangan (conflict loosing) dan (2) sebagai tindakan

yang memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut

(conflictversterking).

Hukum diciptakan untuk dijalankan. “Hukum yang tidak

pernah dijalankan pada hakikatnya telah telah berhenti

menjadi hukum,” demikian Scholten. Hukum tidak dapat

bekerja atas dasar kekuatannya sendiri. Dengan perkataan

lain, hukum itu hanya akan dapat berjalan melalui manusia.

Manusialah yang menciptakan hukum, tetapi juga untuk

pelaksanaan hukum yang telah dibuat masih diperlukan

campur tangan manusia.

Schuyt menambahkan, tujuan hukum yang kemudian

harus diwujudkan oleh organ-organ pelaksananya itu adalah

sangat umum dan kabur sifatnya. Ia menunjuk pada nilai-

nilai keadilan, keserasian, dan kepastian hukum sebagai

tujuan-tujuan yang harus diwujudkan hukum dalam

kehidupan sehari-hari. Oleh karena kekaburan dalam tujuan

yang hendak dilaksanakan hukum inilah, sekalipun

organisasi-organisasi yang dibentuk bertujuan untuk

mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum, organ-organ

itu dipakai untuk mengembangkan pendapatnya sendiri-

sendiri mengenai tujuan hukum. Dengan demikian,

29

organisasi-organisasi seperti pengadilan, kepolisian,

lembaga legislatif, dan sebagainya, menjalani kehidupannya

sendiri, serta mengejar tujuannya sendiri pula.

Selznick mengatakan, dewasa ini dapat dikenali adanya

konflik antara dua pandangan hukum: yang pertama melihat

hukum sebagai sesuatu yang harus diterima begitu saja,

sementara yang kedua berpendapat bahwa hukum itu

mencita-citakan tercapainya tujuan-tujuan moral.

Dalam konsep hukum yang normatif, yaitu yang

membebani hukum dengan tugas-tugas untuk mewujudkan

nilai-nilai, kehadiran hukum di masyarakat itu tidak hanya

sekadar didorong oleh keharusan sosial, melainkan juga

karena ada tugas-tugas yang harus dijalankannya. Konsep

tersebut selanjutnya menerima adanya nilai-nilai laten yang

terdapat dalam hukum, yang akan bekerja sebagai sumber

referensi bagi penilaian terhadap hukum. Nilai-nilai yang

menjadi dasar penilaian itu bukannya diadakan oleh orang

yang melakukan pengamatan, melainkan ia berada secara

inheren dalam fenomena ketertiban itu sendiri (inner order

of the phenomenon).

Dalam pengertian rule of law, Selznick melihat adanya

ide hukum yang dikaitkan dengan suatu tertib tertentu.

Sekalipun ungkapan rule of law itu hanya dimaksudkan

untuk hanya bekerja secara deskriptif dan bebas dari nilai

tertentu, ungkapan tersebut sebetulnya bersifat konotatif

dan merupakan ide yang sarat dengan nilai.

30

Hukum dan Perubahan Sosial

Perubahan sosial

Timbulnya golongan menengah telah merubah susunan

dan keseimbangan masyarakat yang semula ditentukan oleh

golongan ningrat, perwira, dan agama. Selanjutnya,

timbulnya golongan buruh sebagai buah perindustrian telah

kuasa pula mengubah susunan masyarakat pada masanya.

Pranata-pranata sosial juga disesuaikan pada perubahan-

perubahan tersebut, sehingga menimbulkan kultur hukum

yang memiliki karakteristik untuk zamannya.

Bermacam-macam alasan dapat dikemukakan, yang

dapat dipandang sebagai bagian dari timbulnya suatu

perubahan di masyarakat. Perubahan dalam penerapan hasil

teknologi modern dewasa ini banyak disebut sebagai salah

satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial. Penemuan-

penemuan baru di bidang teknologi tidak hanya

memberikan tambahan kekayaan kebudayaan material,

melainkan juga menimbulkan kebutuhan untuk melakukan

penyesuaian pada penggunaan hasil teknologi yang baru

tersebut.

Keadaan perubahan sebagai perkembangan itu

merupakan suatu hal yang kini banyak banyak dipikirkan di

negara sedang berkembang, sekarang dalam ungkapan

pembangunan, modernisasi, dan istilah lainnya lagi.

Masalahnya dapat lebih jelas apabila kita mengarahkannya

pada perubahan tertentu pada masyarakat negara sedang

berkembang tersebut, yaitu perubahan dari masyarakat

tradisional ke masyarakat yang modern. Komitmen pada

modernisasi adalah komitmen pada usaha perubahan sosial

yang mendalam dan sangat jauh jangkauannya,

sebagaimana dikatakan Huntington, bahwa untuk dapat

31

melaksanakan modernisasi dengan berhasil suatu sistem

politik itu pertama-tama harus mampu untuk melakukan

pembaruan kebijakan, yaitu untuk memajukan kehidupan

sosial dan ekonomi dengan perombakan melalui tindakan-

tindakan kenegaraan.

Kita juga tidak dapat melihat kehidupan hukum, yang

merupakan salah satu sistem dalam kehidupan sosial,

terlepas dari bidang-bidang yang lain, serta juga dari

perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Hukum,

di samping mempunyai kepentingannya sendiri untuk

mewujudkan nilai-nilai tertentu di masyarakat, tetap terikat

pada bahan-bahan yang dapat disediakan oleh

masyarakatnya. Dengan demikian, secara singkat hendak

dikatakan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh

perubahan-perubahan di sekelilingnya.

Sekalipun hukum merupakan sarana untuk mengatur

kehidupan sosial, satu hal yang menarik adalah bahwa justru

ia hampir senantiasa tertinggal di belakang objek yang

diaturnya. Ketika peraturan-peraturan menjadi kompleks

sifatnya, justru dengan semakin meluasnya pengaturan oleh

hukum itu dan hubungan-hubungan sosial lebih banyak

dituangkan ke dalam bagan-bagan yang abstrak, semakin

besar pula kemungkinan bagi tertinggalnya hukum di

belakang peristiwa dan perikelakuan yang nyata. Kenyataan

mengenai tertinggalnya hukum di belakang masalah yang

diaturnya sering dikatakan sebagai ciri hukum yang khas.

Menurut Yehezkel Dror, ketertinggalan itu hanya akan

terjadi apabila terjadi lebih dari sekadar ketegangan yang

tertentu, apabila hukum itu secara nyata tidak memenuhi

kebutuhan-kebutuhan yang timbul dari perubahan-

perubahan sosial yang besar yang apabila tingkah laku

sosial dan kesadaran akan kewajiban yang biasanya tertuju

32

kepada hukum berbeda dengan jelas dari tingkah laku yang

dikehendaki oleh hukum.

Hukum represif dan restitutif

Durkheim membuat perbedaan antara hukum yang

menindak (repressive) dan hukum yang mengganti

(restitutive). Hukum yang menindak ini adalah hukum

pidana. Hukum yang menindak mencerminkan masyarakat

yang bersifat kolektif. Hukum restitutif mencerminkan

masyarakat yang memiliki diferensiasi dan spesialisasi

fungsi-fungsinya. Dalam konsep hukum restitutif, hukum

yang dibutuhkan bukan lagi hukum yang cara bekerjanya

adalah dengan cara menindak, membatasi, tetapi yang

memberikan penggantian sehingga keadaanya menjadi

pulih lagi seperti semula. Yang membedakan sanksi ini

adalah bahwa ia tidak bersifat mengenakan denda tetapi

semata-mata hanya untuk memulihkan pada keadaan

semula.

Apakah hukum mempunyai kemampuan untuk

menggerakkan perubahan dalam masyarakat? Savigny,

pelopor aliran sejarah, dengan tegas menyangkal

kemungkinan penggunaan hukum sebagai sarana untuk

melakukan perubahan. Pendapatnya didasari oleh

konsepsinya mengenai hukum, yang melihat hukum sebagai

sesuatu yang tumbuh secara alamiah dari dalam pergaulan

masyarakat itu sendiri.

Dalam bentuk lebih modern, kita dapat menjumpai

pendapat yang sealiran dengan pandangan yang

dikemukakan dalam teori Marx. Marx mengakui bahwa

bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat

lambat laun akan tecermin pula di dalam hukumnya, tetapi

ia sama sekali menolak kemungkinan penggunaan hukum

33

untuk menimbulkan perubahan di bidang teknologi dan

ekonomi yang menjadi basis dari adanya hukum itu sendiri.

Apapun dikemukakan oleh teori-teori yang menentang

penggunaan hukum sebagai sarana untuk menggerakkan

perubahan sosial secara sadar, namun kenyataan yang kita

hadapi sekarang menunjukkan bahwa perundang-

perundangan merupakan sandaran negara untuk

mewujudkan kebijaksanaannya. Seperti yang dikatakan

Seidman, tata hukum itu merupakan saringan yang

menyaring kebijaksanaan pemerintah, sehingga menjadi

tindakan yang dapat dilaksanakan.

Hukum sebagai sarana rekayasa sosial

Ada dua fungsi yang dapat dijalankan oleh hukum di

dalam masyarakat, yaitu (1) sebagai sarana kontrol sosial

dan (2) sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial

(social engineering). Sebagai sarana kontrol sosial, hukum

bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap berada

dalam pola-pola tingkah laku yang diterima olehnya. Dalam

perannya yang demikian itu, hukum hanya mempertahankan

apa yang telah menjadi sesuatu yang tetap diterima di

masyarakat—atau hukum sebagai penjaga status quo.

Tetapi di luar itu, hukum masih dapat menjalankan

fungsinya yang lain dengan tujuan untuk mengadakan

perubahan-perubahan di masyarakat.

Dalam kaitannya dengan rekayasa sosial, dapat

digambarkan sebagai berikut: Orang mempelajari lahirnya

undang-undang, efek sampingnya yang negatif ataupun

positif, orang mempelajari apakah tujuan yang dicantumkan

di dalam undang-undang itu seringkali merupakan endapan

dari perjuangan politik atau keinginan-keinginan politik. Ia

merupakan sarana yang dipergunakan orang untuk

34

mencoba menimbulkan suatu keadaan tertentu di dalam

masyarakat, atau untuk mengendalikan keadaan. Kadang-

kadang, orang ingin menggunakan undang-undang itu

untuk menimbulkan suatu perubahan sosial yang nyata.

Penguasaan atau pengarahan proses sosial ini disebut

sebagai rekayasa sosial.

Batas-batas Kemampuan Hukum

Edwin M Schrur berpendapat bahwa para penulis hukum

biasanya mengakui bahwa peraturan-peraturan hukum itu

memberikan pengarahan, pengaruh dan efek yang

memperkuat. Pertanyaannya adalah seberapa banyak?

Pada umumnya, pengaruh hukum terhadap bidang-

bidang kehidupan sosial adalah tidak sama. Ada bidang-

bidang yang dengan mudah menerima pengaruh perubahan

yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan bidang yang lain

tidak dapat dipengaruhi semudah itu atau bahkan tidak

dapat dipengaruhi sama sekali. Yehezkel Dror berpendapat

bahwa tindakan-tindakan di dalam masyarakat yang

semata-mata bersifat instrumental, seperti dalam kegiatan

komersial, dengan nyata sekali dapat menerima pengaruh

dari peraturan-peraturan hukum yang baru.

Sebaliknya, bidang-bidang kehidupan sosial yang erat

hubungannya dengan kepercayaan dan lembaga-lembaga

yang bersifat dasar, serta yang berhubungan dengan

tindakan-tindakan yang merupakan ekspresi dari keyakinan-

keyakinan akan mengalami perubahan yang kecil sekalipun

dikeluarkan peraturan yang mencoba memberi bentuk dan

pengarahan kepada bidang-bidang tersebut, termasuk ke

dalam bidang-bidang ini adalah kehidupan keluarga dan

perkawinan.

35

Sekalipun banyak diakui bahwa bidang-bidang yang

bersifat “bebas dari unsur keyakinan, kepercayaan dan nilai-

nilai” lebih mudah digarap dan diarahkan oleh hukum,

penyelidikan membuktikan bahwa dalam bidang-bidang

yang netral pun hukum tidak dapat sepenuhnya menguasai

keadaan sesuai dengan apa yang dikehendakinya. []

36

Mempelajari Keteraturan,

Menjumpai Ketidakteraturan:

Pembacaan Seorang Cantrik18

UNU P HERLAMBANG

JALAN yang dilalui seorang pendekar silat yang waskita

tidak pernah mulus. Untuk sampai pada pikiran yang lurus,

jalan yang lempeng-mulus adalah mustahil. Demikian Pak

Tjip: Awal perjalanannya memasuki dunia ‘persilatan’, sekitar

tahun 1950-an, dimulai di Fakultas Paedagogi Universitas

Gajah Mada; tidak lama kemudian, karena merasa kurang

puas, beliau pindah ke Fakultas Hukum dan Pengetahuan

Masyarakat Universitas Indonesia. Dalam babakan kedua di

bangku akademisi inilah yang kemudian mengantarkan Pak

Tjip menjadi suhu besar. Sedari awal, hukum tidak dilihatnya

sebagai media profesi, namun sebagai objek keilmuan

berdasarkan rasa keinginan tahu (curiosity). Sehingga, pada

waktu belajar hukum, beliau “selalu berusaha untuk melihat

kaitan dengan hal-hal di belakang hukum” (hlm 192).

Keinginannya untuk melihat logika sosial dari hukum lebih

besar daripada logika hukum atau peraturan perundang-

18 Karangan, yang merupakan ulasan dari pidato mengakhiri masa jabatansebagai Guru Besar Tetap yang berjudul “Mengajarkan Keteraturan,Menemukan Ketidakteraturan” dalam buku Sosiologi Hukum: Esai-esaiTerpilih (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), anggitan Satjipto Rahardjo,ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 5 November2012 di Beranda Auditorium Imam Bardjo, SH, Universitas Diponegoro.

37

undangan. Walaupun konsekuensi dari kepo hukum itu,

beliau harus memakan waktu selama delapan tahun untuk

menyelesaikan pendidikan dan menjadi meester in de

rechten (sebutan untuk sarjana hukum waktu itu).

Dengan berbekal ijazah meester in de rechten, Pak Tjip

mulai memasuki kancah sebagai guru untuk ‘mengajarkan

hukum’ di Universitas Diponegoro. Menjadi bagian dari

sistem pendidikan hukum yang berlaku, mulanya beliau juga

turut meyakinkan mahasiswa bahwa hukum itu satu sistem

peraturan yang tersusun secara

logis, bahwa hukum menciptakan

keteraturan, kepastian hukum, dan

lain-lain (lihat hlm 192). Disadari

sepenuhnya bahwa berdiri di depan

mahasiswa yang nantinya akan

mengisi profesi di bidang hukum—

jaksa, advokat, dan hakim—beliau

pun ikut melarutkan diri ke dalam

wacana profesional: hukum sebagai

sistem yang rasional. Kerena itu

beliau “turut memasukkan ke dalam

pikiran mahasiswa tentang berbagai keharusan, dogma,

adagia, doktrin, asas, dan sebagainya yang biasa menjadi

kelengkapan bagi para profesional di bidang hukum” (hlm

194). Diakuinya sendiri, pada masa awal-awal itu beliau

belum banyak mempunyai waktu untuk merenungkan

secara lebih saksama kebenaran dari yang diajarkan kepada

mahasiswa.

“Artinya, yang dapat diajarkan sebetulnya barulah

berada pada aras konteks positif atau peraturan perundang-

undangan saja. Tetapi para mahasiswa saya tentu masih

ingat betapa saya senantiasa membedakan antara ‘fakultas

hukum’ dan ‘fakultas perundang-undangan’. Di situ sudah

38

dapat dikenali adanya kegelisahan kecil terhadap ilmu

hukum yang diajarkan kepada para mahasiswa” (hlm 194).

Cara berhukum (modern) ini, yang kita terima sebagai

warisan penjajahan Belanda, membuat perundang-

undangan memiliki kedudukan sangat sentral dalam

kehidupan berhukum Indonesia. Padahal, hukum dibaca

sebagai undang-undang. Hukum yang berkelindan dengan

undang-undang, adalah fenomena yang relatif baru

dibanding masa ribuan tahun sebelumnya: selama masa

ribuan tahun itu cara berhukum manusia tidak berputar di

seputar undang-undang, melainkan di seputar keadilan itu

sendiri.

Seiring mengalirnya waktu, akumulasi dari ‘kegelisahan

kecil’ itu lantas beliau tularkan kepada para mahasiswa

melalui buku Ilmu Hukum yang terbit pada awal 1980an:

“Esensi yang dituangkan ke dalam buku tersebut merupakan

semacam otokritik terhadap paham-paham absolut legal-

dogmatik yang waktu lalu turut saya komunikasikan kepada

mahasiswa” (hlm 195). Lewat Ilmu Hukum, mahasiswa dan

masyarakat umum diajaknya untuk melihat hukum sebagai

suatu institusi manusia dan bukan semata-mata media

profesi. Dengan nada provokatif beliau memaparkan

bahwasanya hukum modern yang kita terapkan bukan

merupakan hasil dari perkembangan di ‘alam’ Indonesia,

melainkan sebagai sesuatu yang ‘imposed from outside’.

Hukum: Perdebatan antara Profesi dan Ilmu

Tentunya saya (atau kita?) pernah berpikiran praktis,

yang dulu ketika memutuskan untuk melanjutkan

pendidikan Program Strata-1 (S1) di Fakultas Hukum hanya

sebagai batu loncatan untuk masuk ke bidang profesi: jaksa,

hakim, advokat, notaris, dan lain sebagainya. Sebagai awam-

39

hukum, kita (atau saya?) melihat hukum adalah hukum yang

“ada untuk dirinya sendiri”. Sebuah sistem rasional yang

punya logika internalnya sendiri: logis, matematis, dan kaku-

positivistik. Hukum semata-mata mengenai ‘peraturan’ dan

‘sanksi’ dalam cita-citanya untuk mewujudkan keteraturan.

Tidak salah memang, nampaknya demikian yang terjadi

dalam sistem pendidikan tinggi hukum (dan pendidikan

tinggi lain). Program S-1 adalah program ketrampilan (skill),

sedangkan program pascasarjana (S-2 dan S-3) adalah

program keilmuan. Program yang disebut belakangan ini

“pada intinya adalah perburuan terhadap kebenaran

(searching for truth)” (hlm 199). Maka, program S-1 tidak

dapat disebut pendidikan keilmuan dalam arti yang

sebenarnya, melainkan sekadar ilmu praktis (practical

science). Menyangkut hal ini, lebih lanjut secara ringkas

beliau menjelaskan:

“Hukum sebagai objek studi program profesi adalah

lawyer’s law atau law for the lawyer atau law for the

professionals yang berbeda sekali dari hukum sebagai

objek studi program ilmu. Kebenaran mengenai hukum

jauh lebih luas dan dalam daripada hukum yang sudah

direduksi menjadi (sekadar) lawyer’s law” (hlm 199).

Dengan demikian, sejak dibuka pendidikan tinggi hukum

di Indonesia (program pascasarjana baru lahir pada

pertengahan 1980an), maka hukum yang menjadi kajian

intelektual di negeri ini mulai saat itu hingga berpuluh-

puluh tahun kemudian sesungguhnya adalah lawyer’s law

atau law for the lawyer atau law for the professionals. Maka

tidak mengherankan, konsep hukum para profesionallah

yang dominan, tidak hanya di kalangan mereka sendiri,

melainkan meluas sampai ke masyarakat. Dengan lain kata,

bagi masyarakat, hukum yang lawyer’s law itulah yang

diterima sebagai hukum yang sebenarnya. Bicara mengenai

40

hukum adalah bicara mengenai hukum sebagai profesi. Di

luar itu tidak ada hukum.

Untuk mendiskusikan masalah tersebut, Pak Tjip

membuat konsep yang mampu menerangi masalah yang

dihadapi. Konsep itu adalah tatanan (order). Tatanan (order)

merupakan suatu wilayah yang amat luas dan sangat pantas

menjadi rujukan dalam mempelajari hukum secara ilmiah.

Tatanan adalah ‘hukum’ yang lebih utuh, sedangkan hukum

positif atau lawyer’s law hanya menempati satu sudut kecil

saja dalam peta tatanan yang utuh dan besar tersebut.

Beliau membagi ‘tatanan’ menjadi tiga bagian, yaitu (1)

tatanan transendental (transcendental order); (2) tatanan

sosial (social order); (3) tatanan politik (political order).

Secara luas, pembicaraan mengenai hukum akan berada

dalam tiga tatanan tersebut: “Maka tentu saja, apabila kita

berada dalam ranah keilmuan, kita tidak dapat meniadakan

salah satu dari tiga itu, semata-mata karena tidak benar lagi”

(lihat hlm 201).

“Kalau ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai institusi

pencarian kebenaran,” demikian kata Pak Tjip, “maka pada

waktu yang sama kita juga harus mengatakan, pencarian

kebenaran adalah proses yang dramatis” (hlm 204). Dalam

perburuannya, ilmu pengetahuan menyadari bahwa,

kebenaran itu sendiri (kebenaran absolut), tidak akan pernah

ditemukan. Seperti runtuhnya era fisika Newton yang

digantikan fisika kuantum. Sehingga garis perbatasan ilmu

pengetahuan, dalam misinya memburu kebenaran, selalu

berubah, bergeser labih maju.

Mencari Sebuah Keutuhan

Suasana akademis dan intelektual menjelang peralihan

ke abad ke-21 menunjukkan sebuah pergerakan

41

meninggalkan cara berpikir yang linear dan terkotak-kotak

menuju kepada pemikiran yang lebih utuh (wholism,

wholistic). Pak Tjip melihat puncaknya dengan

diterbitkannya buku Danah Zohar dan Ian Marshall yang

berjudul Spiritual Intellegence pada tahun 2000. Sejak

permulaan abad ke-20, IQ-lah yang menjadi pusat

perhatian. Manusia dijebak dan dibuai oleh rasionalitas yang

kemudian memerangkap dirinya sendiri ke dalam situasi

yang irrasional. Hukum yang legal-dogmatis-positivistik

dianggap telah jauh meninggalkan tujuannya: keadilan. Hal

ini disebabkan kecongkakan hukum sebagai sistem rasional,

menyingkirkan unsur-unsur lain yang dianggap tidak

rasional sebagai bukan hukum.

Spiritual Intellegence mengakomodasi pentingnya

perangkat emotional qoutient (EQ) dan spiritual qoutient

(SQ), selain IQ, dalam mengukur kualitas manusia. Saya

menduga (sekali lagi: menduga) bahwa Pak Tjip mengutip

Zohar dan Marshall untuk menjelaskan konsepnya mengenai

‘tatanan’. Bahwa tatanan politik (social order), yang meliputi

lawyer’s law di dalamnya, adalah representasi dari

penggunaan IQ; tatanan transenden (transcendental order)

representasi penggunaan SQ; dan tatanan sosial (social

order) adalah representasi penggunaan EQ. Ketiga

perangkat kecerdasan itu mestinya digunakan bersama-

sama dalam menjalankan ketiga tatanan tadi. Sehingga

tercapai apa yang disebut sebagai ultimate intellegence

untuk membawa kita kepada puncak pemahaman, yaitu

menjangkau sampai ke konteks makna.

Sedangkan teori hukum positif hanya menyoroti

sebagian dari tatanan yang besar, yaitu apa yang termasuk

ke dalam tatanan politik, atau lebih khusus lagi tatanan yang

berbasis pada negara. Tak dapat diterima kehadiran tatanan

lain yang tidak dapat dikaitkan kepada tatanan negara

42

tersebut, meskipun jenis tatanan ini ada dan hidup dalam

tatanan masyarakat. penerimaan suatu tipe tatanan lain di

luar yang positif tersebut akan mengganggu kebenaran

sistem rasional dari teori tersebut.

Jika dilihat dari optik ini, maka ketiadaan atau kegagalan

dari hukum positif (tatanan politik negara) berarti

keambrukan bagi ‘tatanan’. Padahal ini tidak berarti dari

keambrukan seluruh tatanan yang besar. Karena itu, ketika

hukum negara tidak dapat memberikan pengayoman

kepada masyarakat, orang akan bingung dan kehabisan cara

(dan kata), yang lantas menyalahkan hukum sebagai biang

keladi kemunduran negara ini. Tentu hal ini disebabkan

karena pandangan sempit masyarakat yang menganggap

hukum negara adalah satu-satunya pemegang legitimasi

sebagai ‘hukum’, sehingga apabila hukum negara gagal

bekerja, ‘hukum’ (dalam arti luas dan sebenarnya) adalah

ketidakaturan itu sendiri. []

43

Sosiologi Hukum: Pengamat atau

Pemberi Solusi?19

MUHTAR SAID

JUJUR, pertama kali masuk fakultas hukum, saya bangga

sekali, karena saya bermimpi bisa menjadi dewa penyelamat.

Sebab, semua persoalan di masyarakat dalam impian saya

langsung bisa teratasi dengan mudah. Permasalahan pidana,

perdata, sampai urusan rumah tangga akan saya selesaikan

dengan menggunakan pengetahuan hukum yang saya

punyai, terutama dengan penguasaan undang-undang.

Undang-undang menjadi alat untuk melancarkan

pergerakan saya dalam menyelesaikan permasalahan, sebab

waktu itu yang saya ketahui bahwa hanya orang-orang yang

belajar di fakultas hukum itulah yang mengerti tentang

undang-undang. Inilah yang membuat saya bangga dan

menjadikan diri saya seolah-olah mempunyai nilai lebih

daripada orang lain.

Impian yang indah itu ternyata berubah menjadi cerita

yang berbeda dari angan-angan yang ada di mimpi saya itu.

Dimulai dari datangnya persoalan-persoalan nyata yang

menghampiri saya (terutama permasalahan yang berkaitan

dengan sengketa yang melibatkan orang yang mempunyai

19 Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Sosiologi Hukum,Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah (Yogyakarta: GentaPublishing, 2010), anggitan Satjipto Rahardjo, ini disampaikan dalamjagongan rutin Kaum Tjipian pada 27 September 2012 di Ruang C104,Gedung Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro.

44

kuasa dan modal lebih, seperti kasus tanah di Bandungan,

penggusuran pedagang kaki lima di Semarang, sertifikat

tanah ganda yang kebanyakan mucul di pedesaan). Saat itu,

sebagai orang yang mengenyam pendidikan fakultas

hukum, pertama kali yang saya jadikan senjata adalah dalil-

dalil yang tertulis dalam perundang-udangan. Dengan wajah

agak sombong saya berharap permasalahan tersebut

langsung bisa selesai.

Namun, walaupun segenap pengetahuan saya tentang

hukum sudah saya keluarkan, permasalahan belum juga

dapat selesai, malah menjadi tambah semrawut tak karuan.

Niatnya ingin menyelesaikan masalah, tetapi malah

menambah masalah, bertambah pusing lagi ketika

berhadapan dengan orang-orang yang sama, lulusan

fakultas hukum. Pasal-pasal yang saya keluarkan bisa

dilawan dengan pasal, asas dilawan dengan asas, dan lain

sebagainya. Begitu juga sebaliknya, ketika dia mengeluarkan

dalil-dalilnya saya juga membantah dengan dalil-dalil saya,

terus seperti itu sampai pertemuan buntu. Padahal,

persoalan yang kami perdebatkan adalah masalah kecil yang

seharusnya bisa langsung diselesaikan secara singkat,

namun malah menjadi sangat rumit dan memakan waktu

yang lama. Sungguh memakan waktu dan energi yang

hebat.

Persoalan yang hampir sama juga pernah menjadi topik

panas di negeri ini, gara-gara sandal jepit yang harganya

lebih murah daripada rokok Sampoerna Mild (rokok

kesukaan saya) ternyata cara penyelesaiannya memakan

waktu yang lama, malah bisa menimbulkan permusuhan

yang berkelanjutan. Peristiwa terjadi di lembaga penegak

hukum yang seharusnya bisa mengatasi masalah dengan

mudah, namun masalah tersebut malah menimbulkan

masalah lain serta memakan banyak biaya, transportasi,

45

memberikan kesibukan pada hakim, seolah-olah masalah

kecil seperti itu mengesampingkan permasalahan yang lebih

besar namun tidak teratasi secara tuntas, seperti korupsi dan

lain sebagainya. Seharusnya, kasus pencurian sandal seperti

itu cukup diselesaikan dengan memberi sanksi kepada

pelaku untuk menguras kamar mandi, misalnya.

Pencurian sandal jepit tersebut

saya anggap sebagai permasalahan

kecil dan seharusnya tidak dibawa

kemeja hijau yang akan

membutuhkan waktu lama.

Penyelesaian permasalahan seperti

ini sungguh disesalkan, apalagi

peristiwa tersebut terjadi di negara

yang menjunjung tinggi asas

musyawarah mufakat. Perlu

diketahui, di Greenland (Denmark),

kasus ringan seperti itu sanksinya

tidak sampai masuk penjara, namun hukumannya berupa

sanksi sosial: terpidana dihukum dengan hukuman sosial.

Dari pengamatan kasus tersebut, diri saya agak

tercerahkan. Ternyata penegakan hukum memang tidak

semudah membalikkan telapak tangan.

Penegakan hukum dilaksanakan guna menjaga

ketertiban dan kedamaian masyarakat. Orang lain boleh

bilang, penegakan hukum itu tinggal menerapkan pasal-

pasal perundang-undangan terhadap orang yang membuat

masalah, supaya permasalahan langsung selesai. Walaupun

sudah mengikuti pedoman undang-undang, permasalahan

masih juga belum selesai. Hal itu disebabkan di dalam

permasalahan itu terdapat banyak permasalahan lain yang

sangat kompleks.

46

Permasalahan itulah yang dikesampingkan oleh

kebanyakan ahli hukum, pengacara, polisi, dan lain

sebagainya, yang hanya berpegang teguh pada kaidah

hukum normatif, dengan tidak mempertimbangkan ilmu

lainnya, terutama sosiologi hukum. Padahal, sosiologi

hukum merupakan ilmu yang empiris, yang bisa

memberikan data dan fakta mengenai permasalahan

tersebut. Marc Galanter menggambarkan sosiologi hukum

dapat melihat hukum dari ujung teleskop yang lain (from

the other end of the telescope).20

Jika aliran normatif

mengamati permasalahan dengan sudut kacamata undang-

undang, maka sosiologi hukum memandang permasalahan

tersebut dengan menggunakan banyak cara.

Inilah yang membedakan cara berpikir sosiologi hukum

dengan cara berpikir positivistik-legalistik, di mana cara

berpikir positivistik-legalistik berangkat dari peraturan

hukum, sedangkan sosiologi hukum berangkat dari kejadian

yang nyata dari lapangan. Di sinilah letak perbedaan

sosiologi hukum terhadap cara berpikir positivistik-

legalistik.21

Perlu diketahui juga bahwa sosiologi hukum

20 Marc Galanter, dalam Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum,Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah (Yogyakarta: GentaPublishing, 2010), hal 190.21 Bukan bermaksud menyingkirkan aliran positivistik-legalistik. Aliran inimemang mempunyai pengaruh besar terhadap tegaknya hukum, karenatersirat adanya kepastian hukum. Namun, untuk mencapai kebenaranyang subtantif, aliran sosiologi hukum lebih mempertimbangkan banyakhal, termasuk budaya yang berkembang di masyarakat. Inilah yang tidakdilakukan oleh aliran positivistik-legalistik. Tidak berarti aliran ini tidakjuga membahas mengenai keadilan. Aliran ini juga membahas mengenainilai-nilai keadilan, tetapi keadilan yang bersifat formal. Dari kajiantersebut, bukan berarti sosiologi hukum dalam mengkaji hukum danmenganalisis sebuah kasus meninggalkan undang-undang. Sosiologihukum juga menggunakan peraturan normatif sebagai pintu masuk gunamenyelami akar permasalahan yang timbul, sebab di mana ada konflik disitulah sosiologi hukum berada. Misalnya, seseorang mencuri sandal di

47

merupakan ilmu yang boleh dibilang masih muda. Karena

masih muda, ilmu ini kurang mendapat tempat di perguruan

tinggi, terutama di strata satu (S-1). Sebab mahasiswa strata

satu memang diarahkan untuk menjadi seorang profesional,

pengacara, hakim, jaksa, dan lain sebagainya. Jadi, dituntut

untuk mempunyai keahlian dalam menerapakan pasal-pasal.

Keahlian yang dipunyai bukan berarti tidak bermanfaat bagi

penegakan hukum, melainkan sangat bermanfaat guna

menegakkan kepastian hukum dan juga memunculkan

keadilan. Namun, keadilan itu bersifat formal karena

diperoleh atau dicari dengan menaati prosedur-prosedur

yang telah ditetapkan oleh hukum.

Hukum adalah undang-undang, merupakan pemaknaan

hukum yang terlalu sempit, bahkan bisa merendahkan

hukum itu sendiri. Jika memang hukum dimaknai sebagai

undang-undang saja, maka tidak perlu bertahun-tahun

belajar di fakultas hukum, cukup dengan mengikuti

perkembangan undang-undang baru yang akan dibuat oleh

lembaga legislatif dan kemudian membaca serta

menghafalkannya, pasti akan menjadi pakar hukum yang

terkenal.

Saat ini, hukum yang berkembang adalah hukum dari

para professional. Jadi, seolah-olah hukum dikeluarkan

untuk menjadi alat para profesional, bukan hukum

masjid. Dalam kasus tersebut akan segera ditanggapi oleh orang yangberaliran positivistik-legalistik dengan hanya berpedoman pada Pasal 362KUHP: “Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atausebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawanhukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” Namun, laincerita jika kasus tersebut dilihat oleh orang yang beraliran sosiologihukum. Ia akan membongkar akar permasalahan, mengapa bisa terjadikasus seperti itu, dan mengkaji sanksi yang akan diterapkan itubermanfaat ataukah tidak.

48

dikeluarkan untuk menjaga ketertiban. Jadi, ilmu hukum saat

ini sudah melenceng jauh dari kodratnya, yaitu dari

memberikan pengayoman kepada masyarakat menjadi

memberikan pundi-pundi uang bagi para pekerja

profesional. Hakim dalam aliran positivistik-legalistik hanya

terpaku pada undang-undang belaka sehingga

mengesampingkan dasar keyakinan hakim sebagai dasar

untuk melakukan vonis. Padahal, untuk memberikan rasa

yakin pada hati nurani hakim dibutuhkan penggalian-

penggalian yang lebih mendalam lagi, bahkan bisa saja

keluar dari peraturan-peraturan perundang-undangan. Jika

memang peraturan perundang-undangan dirasa belum

cukup memberikan keyakinan hakim, maka bisa keluar dari

itu. Hal ini juga dilakukan seorang polisi yang mengatur lalu

lintas yang padat dan macet. Untuk memberi kelancaran

bagi pengguna jalan, seorang polisi bisa melakukan

terobosan untuk melanggar perundang-undangan lalu

lintas, karena mengabaikan lampu lalu lintas. Cara seperti itu

dilaksanakan sebab bisa berguna bagi masyarakat banyak.

Mengulas lagi mengenai aliran positivistik-legalistik yang

mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-19, aliran ini

bisa besar karena memang mendapatkan dukungan dari

kaum profesional. Jika dilihat secara kasat mata, aliran ini

dirasa bisa dengan cepat dan praktis digunakan untuk

memecahkan masalah. Akan tetapi, pada kenyataannya,

permasalahan belum juga berakhir walaupun sudah ada

vonis dari hakim.22

Seperti kasus yang dulunya sangat

22 Penggunaan sosiologi hukum memang sangat ampuh untukmenyelesaiakan permasalahan. Namun, hal itu membutuhkan waktu yanglama dan juga niat dan ketulusan yang dibarengi dengan konsistensi yangtinggi. Di Solo, jarang terdengar pertengkaran antara Satpol PP dan parapedagang kaki lima, karena Wali Kota Solo (waktu itu) Joko Widodo dalammenertibkan pedagang kaki lima tidak menggunakan kekuatannyadengan mengerahkan pasukan Satpol PP, namun melalui pendekatan

49

moncer, yaitu masalah pencemaran nama baik yang

dilakukan oleh Prita Mulyasari terhadap Rumah Sakit Omni

International. Permasalahan tidak akan berlarut-larut dan

menjadi terkenal apabila tidak dibawa ke lembaga yang

berwenang, melainkan diselesaikan dengan tatap muka.

Pemikiran hukum yang terlalu kaku juga membuat para

intelektual hukum merasa dirinya terpenjara dalam

kekakuan hukum pada saat itu. Padahal zaman sudah

berubah dan tentunya harus ada inovasi terhadap hukum itu

sendiri. Tidak mungkin cara-cara lama bisa digunakan pada

permasalahan yang baru muncul. Harus ada modifikasi dan

pemikiran baru untuk menerapkan cara-cara tersebut.

Sekarang, sudah tidak mempan lagi seorang laki-laki

ketika ingin mendapatkan wanita pujaannya hanya

melakukan lobi-lobi cinta kepada orang tua wanita yang dia

incar. Strategi seperti itu kurang bisa secara langsung

mendapat targetnya jika tidak ada terobosan selain itu,

seperti melakukan pendekatan kepada wanita incarannya itu

sendiri.

Zaman dahulu mencari jodoh itu mudah: jika orang tua

setuju, anaknya pasti ngikut. Namun, cara seperti itu tidak

berlaku di zaman sekarang. Oleh karena itu, harus

mempersiapkan banyak strategi. Begitu juga dengan ilmu

hukum dalam mengatasi permasalahan yang selalu

berkembang. Pada abad ke-18-19, mungkin, pemikiran

normatif sangat ampuh diterapkan. Namun, bisa jadi hal itu

antarmanusia. Pemindahan pedagang kaki lima memakan proses waktuyang lama, sampai bertahun-tahun, dan Joko Widodo datang langsung.Cara seperti ini tidak akan ditiru oleh para hakim, di mana hakim harusturun ke lapangan untuk mencari akar permasalahan guna menciptakanvonis yang adil secara subtantif, karena cara pandang hakim adalahdidatangi (pasif).

50

tidak mempan lagi jika diterapkan pada zaman sekarang

karena semakin kompleksnya permasalahan. Untuk

menjawab itu semua para penegak hukum dituntut untuk

tidak mengandalkan teks-teks perundang-undangan

semata, harus ada perkembangan terhadap ilmu

pengetahuan yang akan digunakan.

Berbicara masalah perkembangan ilmu pengetahuan,

tidak akan melupakan nama Thomas Kuhn, yang

mengemukakan bahwa ilmu dari waktu ke waktu selalu

mengalami revolusi dimulai dengan perubahan dalam

paradigma yang digunakan. Contoh peristiwa besar

mengenai revolusi ilmu, yaitu berakhirnya era Newton

melalui suatu revolusi. Padahal, pada zaman itu, menurut

fisika dan paradigma Newton yang baru, seluruh alam

dianggap telah dapat dilihat dalam suatu susunan yang

tertib. Tetapi era Newton bukan akhir segalanya. Alam masih

menyimpan kompleksitas yang tidak dapat dijelaskan atau

dijangkau oleh teori Newton.23

Memang pada waktu teori Newton dirasa tidak bisa

menjawab persoalan fisika, muncullah teori kuantum yang

pada kenyataannya lebih mampu menjawab persoalan-

persoalan fisika yang sebelumnya tidak bisa dipecahkan.

Kejadian tersebut memberi dampak pada dunia pemikiran

mengenai realitas alam. Gambaran pergeseran dari teori

Newton ke kuantum seolah-olah memosisikan ilmu

pengetahuan dalam posisi yang selalu labil, karena akan

terfalsifikasi oleh ilmu pengetahuan yang akan datang yang

muncul akibat tuntutan zaman.

23 Satjipto Rahardjo, Merintis Visi Program Doktor Hukum Undip(Semarang, 2003), hlm 9.

51

Perselingkuhan Hukum dengan Ekonomi

Mencermati kondisi perkembangan ilmu pengetahuan

seperti yang dijelaskan tadi, kemudian ditangkap dengan jeli

oleh Satjipto Rahardjo yang memasukan ide-ide tersebut ke

dalam ilmu hukum. Ketika pemikiran pada umumnya

memosisikan hukum sebagai disiplin ilmu yang independen,

tidak bisa dimasuki oleh disiplin ilmu lain, Satjipto berani

memasukan antardisiplin ilmu ke dalam pembahasan ilmu

hukum. Memang pada kenyataannya ilmu akan selalu

berputar dan saling menyambung antara ilmu satu ke ilmu

yang lain. Hal itu juga diamini oleh Wilson, yang

berpendapat bahwa kemajuan sains merupakan awal untuk

melajukan penyatuan (unifikasi) antara sains alam, sains

sosial, dan sain kemanusiaan. Pencarian hubungan

antardisiplin merupakan tugas penting, dan Wilson

menghimpun beberapa disiplin secara luas dan anggun.24

Sebab ilmu hukum saat ini bukan hanya mengkaji

mengenai masalah pencarian keadilan, sekarang posisi

hukum juga dijadikan alat untuk melakukan perubahan

sosial, seperti yang didermakan oleh Roscoe Pound. Di

negara-negara modern, peranan hukum sangat penting

untuk memberikan legitimasi bekerjanya negara. Dalam

melaksanakan kinerjanya, aparat negara harus mempunyai

payung hukum. Dalam situasi ini, hukum mempunyai

peranan sebagai pencegah agar negara tidak terlalu otoriter

terhadap masyarakatnya.

Namun, dalam pandangan kritis seperti yang diutarakan

oleh Karl Marx, hukum merupakan tatanan peraturan untuk

24 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan, danPencerahan (Yogyakarta: Muhammadiyah University Press, 2004), hlm 18.

52

kepentingan kelas yang berpunya dalam masyarakat.25

Derma Marx mungkin patut dibetulkan, karena bangunan

hukum rawan dengan perselingkuhan dengan ekonomi

yang cenderung kapitalistik. Golongan borjuis sudah sadar

bahwa untuk melancarkan misinya dalam mengeksploitasi

kekayaan alam demi kekayaan dirinya, mereka harus

mempunyai landasan hukum supaya dianggap sah dan

apabila ada perlawanan mereka bisa menunjukkan surat

keterangan sahnya itu. Suap kepada aparat negara menjadi

alat ampuh untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan yang

akan dikeluarkan agar memberikan keuntungan bagi

golongan borjuis.

Kekuatan ekonomi yang dipunyai oleh kalangan borjuis

jelas sangat ampuh untuk bisa memengaruhi kinerja birokasi

atau penguasa setempat untuk memberikan kebijakan-

kebijakan yang condong atau melanggengkan usahanya

agar tidak tersaingi oleh kalangan kecil yang akan merintis

usahanya. Hukum dijadikan penghambat bagi kalangan kecil

yang ingin merintis usahanya.

Penelitian yang dilakukan oleh De Soto di Peru

menemukan hasil bahwa untuk memulai usaha secara sah

(legal) dibutuhkan biaya yang mahal. Inilah yang tidak bisa

dijangkau oleh rakyat kecil, namun bisa dijangkau oleh kelas

borjuis. Akhirnya, karena tidak bisa memenuhi biaya yang

disyaratkan oleh hukum, mereka melakukan usaha secara

ilegal dan apabila ketahuan oleh pemerintah mereka akan

digusur dan dirampas dagangannya. Contoh ini memberi

opini bahwa hukum sebagai alat penguasa untuk

melanggengkan kekuasaannya memang benar-benar terjadi.

25 Satjipto Rahardjo, op. cit., hlm 74.

53

Bagi penganut Marxis klasik, untuk melawan kezaliman

semacam itu, harus dilakukan revolusi. Sebab, tidak ada

celah lagi bagi kaum proletar untuk bisa membuat jalan atau

berjuang untuk memperbaiki nasibnya secara legal:

selamanya mereka akan menjadi kaum buruh di pabrik-

pabrik kapital.

Di Indonesia, sudah bukan rahasia lagi bahwa produk

hukum jika tidak ada yang mensponsori pembuatannya

tidak akan pernah jadi walaupun rancangan undang-undang

tersebut dinilai sangat urgen untuk masyarakat. Seperti

permasalahan Konsep KUHP yang sudah bertahun-tahun

tidak pernah disahkan oleh lembaga legislatif. Lembaga ini

malah lebih senang mengeluarkan undang-undang yang

berbau komersial dan politik. Hal itu disebabkan konsep

KUHP bukanlah proyek yang menghasilkan uang untuk

mereka.

Inilah menjadi bukti bahwa hukum tidak akan pernah

terlepas dari nilai-nilai yang berada di luar hukum itu sendiri.

Banyak faktor yang memengaruhi pembentukan hukum, dan

saat bekerjanya hukum itu sendiri. Orang selalu sibuk

dengan perdebatan mengenai penerapan pasal-pasal

perundang-undangan, namun jarang membahas mengenai

bekerjanya hukum. Wilayah ini merupakan ranah di mana

ilmu sosiologi hukum menampakan dirinya.

Dalam ranah bekerjanya hukum, akan banyak faktor

yang memengaruhi peraturan perundang-undangan itu

dapat diberlakukan secara maksimal atau tidak. Polisi

mempunyai semboyan sebagai pengayom masyarakat dan

itu selalu dikampanyekan oleh mereka lewat iklan, baliho,

serta spanduk yang tertempel di jalan raya. Namun, jika

menggunakan analisis sosiologi hukum, maka akan muncul

sebuah pertanyaan yang mempertanyakan kinerja kepolisian

54

sebagai pengayom masyarakat, karena dalam sosiologi

memberikan pertanyaan kepada polisi: masyarakat yang

mana yang akan diayomi. Banyak peritiwa yang terjadi

seperti di Bima dan Mesuji, di dua daerah tersebut “seolah-

olah” memberikan gambaran bahwa polisi melindungi kelas

bojuis.

Padahal, di lembaga-lembaga hukum yang ada di negara

ini, kepolisian merupakan lembaga yang paling

memperlihatkan sifat sosiologisnya dalam bekerja. Hal itu

disebabkan polisi mempunyai keterlibatan langsung dengan

masyarakat secara intens.

Dalam masyarakat terdiri dari berbagai individu. Tetapi,

masing-masing individu tidak bisa dikatakan langsung bisa

bermasyarakat. Hal itu disebabkan ada juga individu yang

tidak mempunyai rasa sosial. Oleh karena itu, untuk

menggabungkan mereka dalam masyarakat dibutuhkan

suatu tindakan yang bisa dikatakan sebagai pemaksaan

untuk menjadikan individu tersebut bermasyarakat.

Sesunggunya, tindakan inilah yang merupakan hakikat

dari pekerjaan polisi, sebab tugas polisi sesuai dengan Pasal

13 butir (c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah “memberikan

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.” Memasyarakatkan individu merupakan salah

satu fungsi dari pengayoman. Karena, ketika individu sudah

bisa hidup bermasyarakat, akan tercipta iklim yang

harmonis. Namun, tugas seperti ini ternyata terpinggirkan. []

55

Bab II

Semasa

56

Kapita Selekta Hukum Progresif:

Pada Mulanya adalah Koran26

AP EDI ATMAJA

DULU, dulu sekali, saya benar-benar mengagumi

(almarhum) Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH. Sosok yang

kemudian kita kenal sebagai Prof Tjip itu begitu melegenda

di Fakultas Hukum, lalu Universitas Diponegoro, lalu Jawa

Tengah. Belakangan, Prof Tjip ternyata—meminjam frasa

Prof Arief Hidayat—“aset nasional”. Artinya, dia telah

menjadi “kekayaan” bangsa Indonesia. Lebih belakangan

lagi, saya semakin takjub, sebab Prof Tjip ternyata juga “aset

internasional”: pendekar hukum Indonesia yang

kepakarannya bahkan dikagumi (almarhum) Prof Daniel S

Lev, Indonesianis terkemuka asal Amerika Serikat. Prof Lev,

tutur Prof Tjip, suatu kali pernah berkata kepadanya, “Saya

tidak bisa menulis lagi soal hukum Indonesia, karena tidak

bisa mencium aromanya. Aroma itu saya baca dari tulisan-

tulisan Anda.”27

Baik, itu dulu. Kini, kekaguman itu barangkali telah

menghilang. Namun, hilangnya kekaguman itu bukan berarti

26 Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Penegakan HukumProgresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), ini disampaikan dalamjagongan rutin Kaum Tjipian pada 8 Oktober 2012 di Ruang C104, GedungMagister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro.27 Subur Tjahjono, “Satjipto, 33 Tahun Menulis Artikel”, dalamhttp://nasional.kompas.com/read/2008/06/27/05383141/satjipto.33.tahun.menulis.artikel (diakses pada 1 Oktober 2012).

57

buruk. Kini, seiring bertambahnya usia, semakin beragamnya

bacaan yang mengenalkan saya pada pemikir-pemikir

(hukum) lain di dunia, kekaguman saya kepada Prof Tjip

berubah menjadi rasa hormat. Hormat pada perjuangan tak

kenal lelah Prof Tjip dalam menyebarkan ilmu yang

dipopulerkannya sebagai sosiologi hukum itu: ilmu yang

mencoba mengawinkan hukum dengan kemasyarakatan,

dus kemanusiaan. Pemikir hukum yang berjuang di jalan itu,

sepengetahuan saya, bahkan di dunia, masih amat langka.28

Perjumpaan saya buat kali pertama dengan Prof Tjip

terjadi dalam ruang kelas yang suntuk. Perkuliahan

mahasiswa tingkat sarjana (S-1), kita tahu, demikian

menjemukannya. Adalah sangat langka dosen yang mampu

meramu kuliah yang dapat merangsang keingintahuan

mahasiswa akan persoalan hukum kontemporer. Kuliah

hukum lebih sering saya habiskan dengan melamun, paling

sial tertidur. Ini, saya ketahui belakangan, ternyata pernah

jadi sasaran kritik Prof Tjip.29

28 Segelintir yang bisa disebut antara lain Brian Z Tamanaha, Roberto MUnger, Paul Scholten, William J Chambliss, Robert D Seidman, MarcGalanter, Philippe Nonet, Philip Selznick, dan Talcott Parsons.29 Lihat Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia:Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin (Yogyakarta: Genta, 2009). Dalam babbertajuk “Peranan Baru dari Pendidikan Hukum dan Ahli Hukum” (hlm127), Prof Tjip menyigi riwayat pendidikan hukum Indonesia sejak zamanpenjajahan hingga pascakemerdekaan. Pendidikan hukum kita yangberambisi untuk menciptakan “tukang-tukang” (craftmanship) ditengaraiProf Tjip sebagai warisan kolonial yang tak mudah dihapuskan bahkanoleh pemimpin serevolusioner Soekarno. Tersebab orientasi pendidikanpada soal bagaimana sarjana hukum memperoleh pekerjaan, bukanmengembangkan keilmuan hukum, materi hukum yang dikuliahkanadalah yang menunjang atau berguna bagi pekerjaan. Jadilah dosen,ketika menyampaikan kuliah, cenderung monoton, mengulang-ulangmateri yang pernah dipakai bergenerasi-generasi sebelumnya, sebagaihafalan yang kebal dari daya kritisisme.

58

Dalam suasana hati yang sebal dengan suasana kuliah di

kampus itulah saya mengenal Prof Tjip.

Malam-malam, di rumah, saya iseng baca-baca majalah

usang koleksi bapak saya. Majalah Tempo edisi 15

Desember 1990. Baru sebentar membaca, di halaman 26,

saya mendapati artikel, sebuah kolom, berjudul The Dirty

Harry. Pengarangnya lamat-lamat saya ingat pernah

disinggung dosen matakuliah Pengantar Ilmu Hukum tadi

pagi. Sepertinya kenal, saya membatin. Saya teruskan

membaca.

Luar biasa. Cara orang ini merangkai kata demikian

ciamik-nya. Renyah. Esainya—berkisah tentang seorang

polisi yang gandrung puisi—disajikan dengan manusiawi. So

human. Tulisannya adalah sebentuk kritikan terhadap

pemerintah Orde Baru yang waktu itu melarang pementasan

penyair WS Rendra. Nama pengarang esai itu, tertera di

bawah judul, tercetak tebal: Satjipto Rahardjo.

Sejak saat itu, saya memburu segala informasi tentang

pria kelahiran Banyumas, 15 Desember 1930, itu. Dalam

perburuan, saya menemukan bahwa nama Prof Tjip, dalam

industri media cetak, rupanya bukanlah anak ingusan

kemarin sore. Tulisan opininya mengenai persoalan hukum

tersebar di mana-mana. Di harian Kompas, misalnya, tulisan

Prof Tjip mencapai angka ratusan. Belum di Suara Merdeka,

Tempo, dan media lain yang belum lagi saya ketahui.

Tentang “kegilaannya” itu, saya baca satu reportase tentang

Prof Tjip, mengenang kepulangannya pada awal 2010 lalu:

Dengan menulis di surat kabar, akademisi bisa membagi

pengetahuannya ke publik yang luas, tidak terbatas

seperti pada jurnal ilmiah. Dengan kemampuannya

membuat tulisan ilmiah populer di suratkabar itu, Pak

59

Tjip membuktikan, ilmu hukum bukanlah ilmu yang

kering dan tidak menarik. Hukum kalau ditulis dari sisi

teknis memang tidak menarik, tetapi kalau dilihat dalam

hubungan dengan masyarakatnya, hal itu tidak akan ada

habis-habisnya. Berbagai macam ide segar menyangkut

bidang yang ditekuninya itu ditumpahkannya pula dalam

artikel-artikelnya.30

***

PADA mulanya adalah koran. Pengantar yang bernuansa

sedikit curahan hati di atas tentu ada relevansinya dengan

materi yang hendak saya bahas dalam kesempatan kali ini.

Ya, pada mulanya adalah koran.

Buku bersampul warna cokelat berhias wajah Satjipto

Rahardjo yang kita bedah dalam kesempatan kali ini bisa

dikatakan adalah buku pertama Prof Tjip yang terbit setelah

dia wafat. Mengapa pertama? Sebab, saya yakin, buku-buku

lain akan lekas terbit kendati pengarangnya telah tiada.

Pertama, karena nama Prof Tjip sebagai akademisi-cum-

pengarang telah demikian masyhur sehingga buku-buku

lamanya kemungkinan besar akan dicetak ulang dan bakal

laris manis tanjung-kimpul. Kedua, karena kebanyakan buku

Prof Tjip adalah kumpulan artikelnya di koran-koran.31

Padahal, kita tahu, artikelnya itu berjumlah ratusan, yang

belum semuanya diterbitkan dalam bentuk buku.

Buku Penegakan Hukum Progresif ini—berisi artikel-

artikel yang pernah dimuat di harian Kompas—adalah buku

30 Subur Tjahjono, op. cit.31 Andreas Harsono punya sebutan jenaka untuk buku jenis ini, yaitu“buku-bukuan”: buku berisi artikel lepas yang awalnya tidak dimaksudkansebagai buku dalam pengertian umum. Lihat Andreas Harsono, AgamaSaya adalah Jurnalisme (Yogyakarta: Kanisius, 2010).

60

Prof Tjip paling gres yang diterbitkan Penerbit Buku

Kompas. Sebelumnya telah terbit, antara lain, Sisi-sisi Lain

dari Hukum di Indonesia (2003), Membedah Hukum

Progresif (2006), Biarkan Hukum Mengalir (2007), dan

Hukum dan Perilaku (2009). Menurut editornya, Aloysius

Soni BL de Rosari, buku Penegakan Hukum Progresif ini

adalah “kapita selekta Satjipto Rahardjo”, sebab isinya artikel

pilihan dari buku-buku itu.32

Lantaran pada awalnya tidak

ditujukan sebagai buku utuh

(babon), buku ini lekat dengan

pengulangan di sejumlah tempat.

Apalagi mengingat bahwa ia juga

merupakan “perulangan” dari

buku-buku yang telah terbit

sebelumnya. Sehingga, kadang

cukup sulit bagi kita untuk tidak

merasa “bosan” dengan

pengulangan itu, alih-alih

menjadi semakin terjelaskan.

Namun, buku ini tetap kita

anggap berharga untuk memahami sekaligus memetakan

teori hukum progresif yang digagas Prof Tjip.

Buku Penegakan Hukum Progresif terbagi ke dalam lima

bab. Kelima bab itu adalah Apa dan Bagaimana Penegakan

Hukum Progresif, Implementasi Penegakan Hukum Progresif

di Indonesia, Penguasa dan Penegakan Hukum Progresif,

Penegakan Hukum Progresif, dan Peran Masyarakat dalam

Penegakan Hukum Progresif.

32 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif (Yogyakarta: PenerbitBuku Kompas, 2010), hlm ix.

61

Dalam tulisan bertajuk “Di Luar Pengadilan”, Prof Tjip

mengkaji soal penyelesaian perkara yang dapat dilakukan

tanpa melalui mekanisme peradilan formal. Bagi para

pemikir formal-legalistik, demikian Prof Tjip, penyelesaian

perkara di luar pengadilan (out of court settlement)

dianggap sebagai sesuatu yang aneh, tabu, dan luar biasa.

Namun, bagi mereka yang melihat persoalan itu melalui

optik sosiologi hukum, itu adalah hal yang biasa, lumrah

adanya. Sebab, penganut sosiologi hukum mengutamakan

fungsi, bukan bentuk seperti halnya pemikir formal-

legalistik.

Tatkala hukum dibakukan dalam sebuah teks

perundang-undangan, maka panggung hukum berganti

menjadi panggung hukum tertulis. Hukum yang tertulis itu

erat kaitannya dengan negara modern yang embrionya telah

ada sejak abad ke-18.33

Sejak saat itu, seluruh institusi

kemasyarakatan didominasi negara. Terjadilah hegemoni

negara, mulai dari hukum negara, pengadilan negeri,

undang-undang, dan seterusnya.

Padahal, menurut Prof Tjip, ketika hukum diundangkan

dan dialih-bentuk menjadi teks (legislated law), bahasa

(talig) memegang kendali. Saat itu, cara berhukum

memasuki dimensi baru, yakni cara berhukum melalui

skema—yang terdiri dari kalimat dan kata-kata. Kalimat dan

kata-kata memiliki daya jangkau yang terbatas untuk

mencerap realitas. Jadi, berhukum dengan skema melalui

bahasa sejatinya tengah mereduksi makna hukum yang

hakiki. Hukum pun lalu segera cacat kala dilahirkan, ketika

diutarakan dalam kalimat dan kata-kata.

33 Ibid., hlm 4.

62

Sudah barang tentu ada yang tercecer di sana, dari

hukum yang diformulasikan menjadi kalimat dan kata-kata

itu. Prof Tjip memisalkan munculnya konsep “pencurian” dari

Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pencurian yang

konon dalam masyarakat Jawa terdiri dari sepuluh macam,

seperti maling, jambret, copet, ngutil, nggarong, dan

seterusnya, dirumuskan kembali oleh KUHP menjadi

“barangsiapa dengan sengaja mengambil barang milik

orang lain”. Dan hukumannya juga disamaratakan: tidak lagi

melihat kadar (kuantitas dan/atau kualitas) barang yang

“dicuri”.

Lebih lanjut, Prof Tjip mengatakan, buat mengatasi

keterceceran tadi, hukum mesti dipahami pula sebagai

perilaku. Hukum adalah perilaku kita sendiri. Di sini, hukum

yang oleh kaum positivis dilihat sebagai teks yang

mengeliminasi faktor dan peran manusia dikoreksi besar-

besaran dengan menempatkan manusia sebagai posisi

sentral cara berhukum. Maka, konsep hukum yang telah

mapan mesti diubah: bukan lagi semata aturan (rule), tetapi

juga perilaku (behavior).

Dalam “Biasa dan Luar Biasa dalam Berhukum”, Prof Tjip

mengemukakan gagasan radikal tapi sejatinya diperlukan

dalam praksis hukum dewasa ini. Keadaan dunia tidak

selamanya berjalan dalam suasana yang ayem-tentrem,

normal tanpa gejolak. Ada kalanya, hukum bekerja di ruang

yang penuh gejolak, konflik, dan kekacauan (chaos). Saat

itulah sesungguhnya diperlukan suatu cara berhukum yang

luar biasa. Apabila cara-cara biasa atau normal disebut

sebagai rule making, maka cara luar biasa disebut rule

breaking. Berhukum dengan cara luar biasa berarti

melakukan suatu penerobosan hukum yang ada.

63

Ilmu yang berkembang sekarang ini, baik eksak maupun

sosial, kata Prof Tjip, semakin mendewasa: tidak lagi berpikir

secara hitam-putih, melainkan mengakui kompleksitas,

ketidakpastian, kekelabuan, atawa relativitas. Era Newton,

Descartes, dan Bacon di abad ke-17, yang sarat kepastian,

rasionalitas, dan determinisme, sudah berlalu. Struktur dunia

fisik tidak lagi mekanis-masinal ibarat mesin yang bekerja

otomatis, melainkan sudah menjadi kenyataan yang non-

mekanis. Ketertiban (order) tidak lagi berlawanan dengan

kekacauan (chaos), tetapi berjalin kelindan dan sama-sama

diperlukan. Hukum tidak pernah lagi otonom, melainkan

senantiasa dipengaruhi oleh segala hal yang berada di

dalam ataupun di luar dirinya.

Sebetulnya, cara berpikir yang mengakui kompleksitas

dan relativitas telah jauh merasuk di lubuk hati bangsa-

bangsa Timur. Namun, hal itu terpinggirkan oleh dominasi

(peradaban) Barat, oleh arus dominan cara berpikir yang

rasional-Cartesian dan eksperimental-Baconian. Ikon sains

saat ini, yang mengedepankan relativisme dan

ketidakpastian, sesungguhnya amat lazim di kalangan

bangsa-bangsa Timur, yang memandang segala hal tidak

dengan kecerdasan emosional, melainkan kecerdasan

spiritual.

Dengan menyinggung cara berpikir bangsa Timur, akan

terbuka ruang bagi kita untuk lebih jauh memahami

bagaimana tujuan hukum bagi kita, bangsa Indonesia. Prof

Tjip pun melontarkan pertanyaan: “Kita bernegara hukum

untuk apa? Hukum itu mengatur masyarakat semata-mata

untuk mengatur atau untuk suatu tujuan yang lebih besar?”

Di sinilah titik menariknya. Bahwa, kata Prof Tjip, “Hukum

hendaknya memberi kebahagiaan kepada rakyat dan

bangsanya.” Ini menarik, karena tujuan hukum ternyata tidak

64

hanya kepastian, kemanfaatan, atau keadilan, melainkan

juga kebahagiaan.

Prof Tjip meramalkan kebuntuan, kemacetan, kegagalan,

dan akhirnya kematian hukum. Sebab hukum buntu, macet,

gagal, lalu mati, menurut Prof Tjip, adalah ketidakmampuan

hukum (yang diperlakukan) otonom untuk mengakomodasi

perubahan sosial yang bergerak dinamis. Hukum terlalu

berasyik-masyuk dengan diktum “hukum ada untuk hukum

itu sendiri”, terjebak dalam urusan kepastian, sistem, dan

logika peraturan yang tak bisa memberi respons yang baik

atas problem sosial.

Buat mengatasi sekalian persoalan itu, Prof Tjip

merumuskan semacam manifesto atau tesis tentang hukum

yang mampu memerdekakan manusia—yang disebutnya

dengan hukum progresif. Hukum progresif mengandung

empat karakteristik utama.34 Pertama, paradigma hukum

progresif adalah bahwa hukum adalah untuk manusia.

Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan

keadaan status quo (mapan) dalam berhukum.

Ketiga, jika diakui bahwa peradaban hukum tertulis akan

memunculkan sekalian akibat dan risiko, maka cara kita

berhukum sebaiknya juga mengantisipasi bagaimana

mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan

hukum tertulis tersebut. Keempat, hukum progresif memberi

perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam

hukum. []

34 Ibid., hlm 61-66.

65

Dasar-dasar Hukum Progresif35

BENNY KARYA LIMANTARA

PEMBENAHAN perundang-undangan bukannya tidak perlu,

tetapi bukanlah satu-satunya cara. Di tengah kesibukan

membenahi perundang-undangan, gerakan supremasi

hukum ternyata kurang memberi hasil. Dunia dan kehidupan

hukum kita masih berjalan di tempat dengan segala karut-

marutnya. Lalu, di mana salahnya? Apanya yang salah?

Dari pengamatan terhadap praktik hukum selama ini

tampak “intervensi perilaku” terhadap normativitas hukum.

Orang membaca peraturan dan berpendapat bahwa orang

harus bertindak semacam itu. Tetapi yang terjadi ternyata

berbeda atau tidak persis seperti yang dimengerti orang.

Inilah yang disebut sebagai intervensi perilaku. Kemudian,

dibangun teori bahwa hukum bukan hanya urusan peraturan

(a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of

behavior). Dalam suatu peraturan, misalnya, jelas tercantum

secara limitatif bahwa yang boleh mengajukan peninjauan

kembali (PK) terhadap perkara pidana adalah terpidana atau

ahli warisnya. Tetapi, suatu kali jaksa pernah mengajukan PK

dan diterima pengadilan. Jadi, perwujudan hukum PK telah

diintervensi oleh perilaku jaksa.

35 Karangan, yang merupakan ringkasan dari buku Membedah HukumProgresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006) anggitan SatjiptoRahardjo, ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 22Oktober 2012 di Kompleks Pedagang Kaki Lima Universitas Diponegoro,Pleburan, Semarang.

66

Van Doorn, seorang sosiolog hukum, mengutarakan

secara lain. Hukum yang merupakan skema yang dibuat

untuk menata (perilaku) manusia itu sendiri ternyata

cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan

baginya. Ini disebabkan oleh faktor pengalaman, pendidikan,

tradisi, dan lain-lain, yang memengaruhi dan membentuk

perilakunya. Maka, dalam usaha untuk membenahi hukum

di Indonesia, kita perlu menaruh perhatian yang saksama

terhadap masalah perilaku bangsa. Kehidupan hukum tidak

hanya menyangkut urusan teknis, seperti pendidikan hukum,

tetapi juga menyangkut soal pendidikan dan pembinaan

perilaku individu sosial yang lebih luas.

Sebenarnya, ada

contoh dalam Undang-

Undang Da-sar 1945

(UUD): “Sekalipun dibuat

UUD yang bersifat

perseorangan, UUD

tidak ada gunanya.” Ini

adalah satu isyarat untuk

memberi perhatian

kepada aspek perilaku

dan kultur konstitusi.

Dengan pencantuman

kata-kata seperti itu,

sesungguhnya para penyusun UUD sudah melakukan suatu

tindakan yang jenius karena sudah merambah ke wilayah

“kultur hukum”. Jenius karena pada saat itu (1940an) kultur

hukum belum banyak dibicarakan, bahkan di dunia

akademis. Ilmu hukum baru diperhitungkan sebagai unsur

sistem pada 1960an. Maka, meski perubahan UUD sudah

beres, sebetulnya masalah masih jauh dari selesai. Kita masih

akan berurusan dengan aspek perilaku dari orang-orang

67

yang akan menjalankannya. Seseorang pernah mengatakan,

”Berikan pada saya hakim dan jaksa yang baik, maka dengan

hukum yang buruk saya bisa mendatangkan keadilan.” Jadi,

sekali lagi diingatkan mengenai pentingnya faktor perilaku

atau manusia dalam kehidupan hukum.

Dengan membicarakan perilaku, sampailah pada aspek

human capital (HC). Pertanyaannya, apakah kita memiliki HC

untuk bangun dari keterpurukan bangsa? Jawabannya, kita

punya. Tapi, jumlah mereka terlalu sedikit dan tenggelam

dalam potret hukum kita. Mereka ada di kejaksaan,

pengadilan, atau di tempat lain. Seorang mantan jaksa

mengatakan kepada rekan-rekannya yang sibuk

mengumpulkan sejumlah bukti-bukti bahwa hanya dengan

beberapa bukti ia dapat membawa orang itu ke pengadilan.

Kita sering menyatakan kebanggaan diri sebagai bangsa

yang berbudi luhur, bermoral, bersifat kekeluargaan,

kebersamaan, dan semacamnya. Tetapi, semua itu tidak

menyentuh sampai kultur hukum kita. Kultur hukum malah

cenderung ke individualisme dan moralitas belum menjadi

social capital (SC). Hukum membutuhkan SC-nya sendiri dan

setiap bangsa membawa bekal SC masing-masing.

Malangnya, kita tidak mampu menunjukkan SC dan baru

sampai pada omongan, kendati sudah didorong proyek

penataran Pancasila dan segala macam yang bernilai

miliaran rupiah.

Jepang dan Amerika Serikat memiliki SC masing-masing

sebagai penyokong konsepsi negara hukumnya. Orang AS

amat rasional dalam menjalankan hukum, sedangkan Jepang

menggunakan hati nuraninya. Diceritakan bahwa ada dua

orang, berkewarganegaraan AS dan Jepang, akan

menyeberang jalan tetapi tertahan lampu merah. Ketika

sudah tidak ada kendaraan lewat, orang AS mengajak

68

menyeberang saja. Tetapi, orang Jepang mengatakan, “Kalau

saya menyeberang, sedangkan lampu masih merah, muka

saya mau ditaruh mana?”

Itulah perbedaan dalam SC antarbangsa yang membawa

kepada perilaku dan kultur yang berbeda. Perilaku

merupakan modal amat penting sebelum kita berbicara

tentang hukum. Tanpa perubahan cara berhukum seperti itu,

hukum hanya akan menjadi permainan kepentingan dan

gagal membawa bangsa ini kepada kesejahteraan, keadilan,

kebahagiaan, dan kemuliaan.

Hukum Hendaknya Membuat Bahagia

Karakteristik hukum modern yang menonjol adalah sifat

rasional dan bisa berkembang pada tingkat “rasionalitas di

atas segalanya” (rationality above else). Tidak mengherankan

jika para penyelenggara hukum, baik legislator, penegak

hukum, dan lainnya, akan mengambil “sikap rasional” seperti

itu pula. Bukan keadilan yang diciptakan “cukup” agar

dijalankan dan diterapkan secara rasional. Dalam

perkembangan selanjutnya, ternyata masyarakat tidak puas

dan ingin agar hukum aktif dalam menyelenggarakan

kesejahteraan masyarakat. Jadi, kelahiran hukum modern

(yang liberal) bukan akhir dari segalanya, tetapi alat untuk

meraih tujuan lebih jauh, yaitu kesejahteraan dan

kebahagiaan masyarakat.

Dorongan ke arah kebahagiaan dapat kita amati pada

negara-negara Timur seperti Tiongkok, Korea, Jepang, dan

Indonesia. Kendati Jepang menggunakan hukum modern,

itu dilakukannya karena tidak ingin ketinggalan dari

masyarakat-masyarakat lain di dunia. Ini terlihat saat struktur

kehidupan Jepang yang terdiri dari omote (bagian muka)

dan ura (bagian belakang) atau latemae (luar) dan honne

69

(dalam) ditarik juga ke bidang hukum. Maka, meski di luar

menerima penggunaan hukum modern, bila sudah sampai

tahap pelaksanaannya, mereka mendahulukan penyelesaian

dengan cara-cara Jepang.

Kemajuan ilmu pengetahuan tentang cara berpikir

manusia sudah menampilkan keragaman. Seratus tahun lalu,

hanya ada satu ukuran yang dipakai untuk mengukur

kemampuan berpikir seseorang, yaitu IQ (intellectual

quotient). Namun, selain kecerdasan rasional, kini ditemukan

dua macam cara berpikir lain, yang memakai (1) perasaan

dan (2) spiritualitas. Sekitar akhir abad ke-20, muncul model

berpikir yang memasuki dimensi kedalaman, yaitu mencari

makna dan nilai yang tersembunyi dalam objek yang sedang

ditelaah, yang disebut cara berpikir spiritual atau kecerdasan

spiritual. Kecerdasan spiritual tidak berhenti menerima

keadaan dan beku, tetapi kreatif dan membebaskan. Dalam

kreativitasnya, ia mungkin dapat bekerja dengan

mematahkan patokan yang ada (rule breaking) sekaligus

membentuk yang baru (rule making).

Menarik apa yang dikatakan Paul Scholten bahwa hukum

memang ada dalam undang-undang, tetapi masih harus

ditemukan. Kini, pendapat itu memperoleh dukungan dan

pembenaran kuat berdasar psikologi dengan ditemukannya

suatu macam kecerdasan manusia yang tertinggi, yaitu

kecerdasan spiritual. Hukum bukan buku telepon yang

hanya memuat daftar peraturan dan pasal, melainkan

sesuatu yang sarat makna dan nilai.

Penggunaan kecerdasan spiritual untuk membangkitkan

keterpurukan hukum memberi pesan penting kepada kita

untuk berani mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak

membiarkan diri terkekang dengan cara menjalankan

hukum yang lama dan “tradisional”, yang jelas-jelas lebih

70

banyak melukai rasa keadilan. Pencarian makna lebih dalam

hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum

dan bernegara hukum. Kita semua dalam kapasitas masing-

masing (sebagai hakim, jaksa, birokrat, pendidik, dan lain-

lain) didorong untuk selalu bertanya kepada hati nurani

tentang makna hukum lebih dalam. Hukum hendaknya

dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan

perasaan, kepedulian, dan semangat keterlibatan

(compassion) terhadap bangsa. Segala daya dan upaya

hendaknya dilakukan untuk bangkit dari keterpurukan dan

menggugat cara berpikir yang membuat susah.

Mendorong bangkitnya orang-orang baik di sektor

publik adalah salah satu usaha untuk mengatasi kerisauan

atas fenomena kekasaran dan kekerasan massa yang kian

meningkat akhir-akhir ini. Demokrasi belum memunculkan

golongan rakyat yang memiliki standar kualifikasi mental,

tetapi lebih berupa “massa tanpa standar kualifikasi”.

Lembaga-lembaga yang seharusnya terhormat telah

diduduki oleh mereka yang tidak memiliki kualifikasi. Meski

mungkin jumlah orang-orang baik di negeri ini tidak sedikit,

umumnya mereka tidak atau tidak bisa muncul. Istilah “baik”

dipakai untuk menyebut mentalitas dan kualitas yang

terpuji. Manusia-manusia Indonesia yang baik kurang

memperoleh kesempatan untuk tampil sebagai pemimpin

dan pengatur masyarakat. Kita amat senang dengan

pergumulan untuk memunculkan elite, pemimpin, dan

golongan yang benar-benar berkualitas, bagaimana pun

cara untuk mencapai hal itu

Bernegara dengan Makna

Lebih dari setengah abad Indonesia berdiri, namun terus

saja negara ini mengalami gejolak dan pergolakan kendati,

71

dalam kapasitas formal, negara ini tetap berdiri dan diterima

oleh komunitas negara-negara (system of states) di dunia.

Bernegara secara spasial-formal tidak cukup. Diinginkan

juga negara yang bisa membuat rakyat bahagia. Wilayah-

wilayah yang semestinya sakral, seperti pendidikan,

pengadilan, parlemen, dan pelayanan publik, dijarah oleh

nafsu menumpuk materi dengan semangat kapitalis. Hampir

semuanya menjadi komoditas yang dihargai sebagai barang

ekonomi dan diburu serta diperjualbelikan.

Sejak didirikan, negara yang bernama Indonesia ini sarat

dengan ideologi, sarat dengan kehendak untuk melakukan

pencitraan diri (self defining) secara kultural, seperti UUD

yang bersifat kekeluargaan dan kemudian menyusul

membangun Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Hal itu

berarti bahwa kita tidak ingin sekadar bernegara secara

spasial dan memenuhi standar formal saja.

Negara, pemerintahan, dan bangsa yang berusaha untuk

membangun citra diri hanya bisa didukung dan diawaki oleh

pelaku-pelaku penuh dedikasi, empati, dan kreasi. Pelaku-

pelaku semacam itulah yang senantiasa ingin memberi arti

penuh kepada jabatan dan profesinya. Untuk mencapai

standar tersebut memang sangat berat, karena sudah masuk

ke dalam dimensi bernegara secara spiritual. Bekerja tidak

untuk mencari imbalan keduniaan, tetapi semata-mata

pengabdian: hanya ikhlas kepada Tuhan.

Penutup

Hukum progresif harus dimaknai sebagai pemahaman

skala besar dari sebuah ideologi baru yang sejatinya timbul

dari segala pergolakan realitas sosial. Esensi hukum

progresif berawal dari sikap dan perilaku manusia yang

diimbangi dengan harapan tentang nilai moral dan

72

kecerdasan spiritual. Tujuan akhir hukum progresif adalah

menciptakan masyarakat yang bahagia.

Dasar pemikiran hukum progresif sebenarnya masih

berupa konstruksi berpikir yang dini. Berupa embrio dari

sebuah aliran besar yang bisa ditarik ke belakang ataupun

ke depan. Hubungannya bisa diimbuhkan dengan

kehidupan bernegara yang penuh makna. Dalam

hubungannya dengan kehidupan bernegara, makna

progresivitas harusnya dapat menjadi pemicu untuk dapat

mengubah cara pandang para penegak hukum.

Segala hal-ihwal dari hukum progresif perlu didalami

lebih lanjut karena hukum progresif masih dalam taraf

pengembangan. Mungkin saja ke depan dapat kita temukan

hukum neoprogresif atau posprogresif. Dan itulah tugas kita

sebagai penerus Prof Satjipto Rahardjo. Mari berjuang. []

73

Hukum Progresif dan Keberanian

Kita36

SYANDI RAMA SABEKTI

TIDAK berbeda. Mungkin hal ini yang awalnya terlintas

dalam pikiran saya, seperti layaknya diskusi-diskusi

sebelumnya. Saya termasuk baru dalam urusan hukum

progresif. Saya mengenal istilah ini setelah menduduki

bangku Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro,

bersama-sama dengan para sahabat yang memiliki ciri khas,

pemikiran, opini, dan suku yang berbeda-beda.

Dalam pikiran saya, hukum progresif merupakan suatu

gagasan paling menantang dan menarik dalam literatur

hukum Indonesia saat ini. Betapa tidak. Hukum progresif

secara berani menggugat keberadaan hukum modern yang

dianggap telah mapan.

Pesona dari hukum progresif, menurut pemahaman saya,

terletak pada adanya suatu tawaran alternatif dalam cara

berhukum kita saat ini. Hukum progresif membongkar, dari

berbagai sudut pandang, mengenai hukum yang dianggap

telah mapan dan tidak tersentuh. Ketika hukum, saat ini,

dianggap tidak lagi dapat menyelesaikan persoalan yang

36 Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Hukum Progresif: SebuahSintesa Hukum Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), inidisampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 10 Desember 2012di Beranda Gedung Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro.

74

dihadapi oleh bangsa Indonesia, malah semakin menambah

potret buram tentang hukum di Indonesia.

Dalam kesempatan kali ini, saya berusaha memberi

sedikit ulasan tentang pemikiran yang terkandung dalam

buku Prof Tjip, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum

Indonesia ini.

Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut

dan final, melainkan sangat bergantung pada bagaimana

manusia melihat dan menggunakannya. Sebab, manusia

adalah penentunya meski dalam menghadapkan manusia

pada hukum akan menimbulkan pilihan-pilihan yang rumit.

Oleh karenanya, hukum harus terus berkembang. Hukum

secara terus menerus harus membangun dan mengubah

dirinya menuju suatu tingkat kesempurnaan yang lebih baik.

Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi”

(law as a process, law in the making).

Hukum progresif menolak pendapat bahwa ketertiban

(order) hanya bekerja melalui institusi-insititusi kenegaraan.

Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju

kepada hukum ideal dan menolak status quo, karena hukum

progresif tidak ingin menjadikan hukum sebagai suatu

teknologi yang tidak bernurani melainkan sebagai institusi

yang bermoral.

Hukum progresif selalu berlawanan dengan tradisi

analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek karena aliran

tersebut hanya memandang ke dalam hukum hukum dan

menyibukkan diri dengan pembahasan ke dalam hukum

yang dipandang sebagai suatu bangunan peraturan yang

dinilai sebagai sistematis dan logis. Sementara hal-hal yang

berada di luar hukum seperti manusia, masyarakat, dan

kesejahteraan ditepis oleh tradisi ini. Hukum progresif lebih

75

berbagi paham dengan legal realism dan freirechtslehre

karena, menurut paham itu, hukum tidak dilihat hanya dari

kacamata hukum, melainkan juga dari tujuan sosial yang

hendak dicapai beserta akibat-akibat yang timbul dari

bekerjanya hukum.

Hukum progresif tidak bergerak pada arah legalistik-

dogmatis, analitis positivistik, tetapi lebih pada arah

sosiologis. Hukum tidak mutlak digerakkan oleh hukum

positif atau peraturan perundang-undangan, tetapi hukum

juga bisa bergerak pada arah nonformal.

Hukum progresif merupakan

papan penunjuk yang selalu

memperingatkan bahwa hukum harus

terus menerus merobohkan,

mengganti, dan membebaskan hukum

yang mandek karena tidak mampu

melayani lingkungan yang selalu

berubah. Kehidupan manusia yang

selalu penuh dengan dinamika dan

berubah dari waktu ke waktu tidak

mungkin bisa diwadahi secara ketat ke dalam satu hukum

yang dianggap selesai dan tidak boleh diubah.

Memasuki Era Reformasi sejak tumbangnya Orde Baru

pada 1998 tidak membuat Indonesia berhasil dalam

membangun sistem hukum yang mendekati taraf ideal,

malah menimbulkan kekecewaan, meski pada pemerintahan

Habibie tercapai rekor produksi peraturan perundang-

undangan dalam masa transisi yang pendek. Saat itu, ada

anggapan bahwa dengan memproduksi peraturan

perundang-undangan secara massal telah dapat

menyelesaikan masalah. Tetapi, fakta berbicara berbeda

karena reformasi hukum bahkan tidak bergeming sesudah

76

diterbitkannya sejumlah undang-undang baru. Saya kira,

ada kekeliruan dalam cara bangsa ini berhukum.

Salah satu cara berhukum yang dirisaukan oleh hukum

progresif adalah ketika hukum secara mutlak berpegangan

pada kata-kata atau kalimat dalam teks hukum. Hukum

adalah suatu skema dan suatu skema yang final (finite

scheme). Hukum adalah teks dan akan tetap seperti itu

sebelum diubah oleh lembaga legislatif. Cara berhukum

semacam itu menjadikan hukum tidak mudah untuk

mengikuti dinamika kehidupan.

Memang, untuk menjadi seorang yang menjalankan

hukum secara bermakna, menemui banyak halangan. Hal ini

disebabkan oleh karena mengikuti apa yang tertulis

dianggap sebagai cara berhukum yang benar, sedangkan

menggali makna dari apa yang tertulis akan menyebabkan

seorang tersebut menemui masalah yang lebih besar. Oleh

karenanya, dibutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan

untuk menjalankan hukum progresif, yakni keberanian.

Kata kunci dalam gagasan hukum progresif adalah

kesediaan untuk membebaskan diri dari status quo. Ide

tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan

faktor psikologis atau spirit yang ada dalam diri pelaku

(aktor) hukum, yaitu keberanian. Masuknya faktor

keberanian tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu

tidak hanya mengedepankan aturan, tetapi juga melihatnya

dari segi perilaku. Berhukum tidak hanya tekstual, melainkan

juga melibatkan predisposisi personal.

Berdasarkan pemahaman tadi, progresivitas menyangkut

peran pelaku maupun sistem itu sendiri, karena hukum

progresif memiliki dua ranah, yaitu sistem dan manusia.

Sistem hukum tidak kunjung menjadi progresif apabila kita

77

tidak memiliki badan pembuat undang-undang yang

progresif pula. Apabila produk legislatif tidak memberi

peluang kepada muncul dan berperannya kekuatan-

kekuatan progresif dalam hukum, maka sistem hukum hanya

akan menjadi sumber dari ketidakprogresifan. Hukum

progresif menghendaki cara berhukum yang aktif mencari

dan menemukan avenues baru sehingga manfaat kehadiran

hukum dalam masyarakat menjadi lebih meningkat. Oleh

karenanya, hukum progresif sangat setuju dengan pikiran-

pikiran yang inovatif dalam hukum untuk menembus

kebuntuan dan kemandekan.

Hukum progresif memang muncul dari kerisauan

masyarakat mengenai cara berhukum bangsa ini untuk

memecahkan problem-problem besar bangsa dan negara

kita. Cara-cara berhukum yang lama, yang hanya

mengandalkan penerapan undang-undang, sudah waktunya

ditinjau kembali. Selama ini, cara berhukum tersebut dirasa

kurang mampu untuk memecahkan problem sosial.

Penegakan hukum memang sudah dilakukan, tetapi belum

menyelesaikan problem sosial.

Suatu cara berhukum yang baru perlu dilakukan untuk

menembus kemacetan. Sejak hukum progresif menyimpan

banyak alternatif terhadap cara berhukum yang lama, semua

inti dan pokok dari hukum progresif sendiri perlu

dikeluarkan, mulai dari pengkonsepan kembali hukum,

paradigma, penegakan hukum, pembuatan hukum,

pendidikan hukum, dan lain-lain.

Melihat dan memahami, terlebih menerapkan, hukum

progresif mungkin akan membuat orang lain berpikir betapa

sulitnya menerapkan hukum progresif itu. Padahal, yang kita

butuhkan hanya kejujuran, empati, dan dedikasi, serta

keberanian. Pertanyaannya, beranikah kita? []

78

Kredo Penegakan Hukum

Progresif37

ALFAJRIN A TITAHELUW

REFORMASI serta kritik-kritik negatif terhadap sistem dan

penegakan hukum Indonesia memberikan kesempatan

kepada kita untuk memikirkan tentang apa yang akan kita

lakukan untuk keluar dari situasi buruk. Tetapi, bagaimana

pun, suasana keterpurukan masih menyisakan berkah, yaitu

memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan

perubahan secara tidak tanggung-tanggung pada akar

filsafatnya.38

Pada hakikatnya, hukum mengandung ide atau konsep-

konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang

abstrak. Ke dalam kelompok yang abstrak, termasuk ide

tentang keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial

(Radbruch, 1961: 36).

Hukum yang masih abstrak tersebut perlu untuk

diwujudkan atau dijabarkan pada tatanan inilah yang

disebut dengan penegakan hukum. Penegakan hukum

adalah rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita

37 Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Penegakan Hukum: SuatuTinjauan Sosiologis (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), ini disampaikandalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 29 Oktober 2012 di BerandaAuditorium Imam Bardjo, SH, Universitas Diponegoro.38 Satjipto Raharadjo, Penegakan Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit BukuKompas, 2006), hlm 36.

79

yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum ke dalam

masyarakat. Ketika hukum dibuat dan wajib dilaksanakan,

penegakan hukum kemudian menjadi bagian yang tak

terpisahkan.

Oleh sebab itu, hukum tidak dapat dipisahkan dari

masyarakat sebagai basis dari bekerjanya hukum. Hukum

berada di antara dunia nilai-nilai atau ide-ide yang bersifat

abstrak dengan dengan dunia

kenyataan sehari-hari. Oleh

karena hukum bergerak di antara

dua dunia yang berbeda,

akibatnya sering terjadi

ketegangan pada saat hukum

diterapkan. Saat hukum yang

sarat dengan nilai-nilai atau ide-

ide hendak diwujudkan, hukum

sangat terkait erat dengan

berbagai macam faktor yang

mempengaruhi dari lingkungan

seperti politik, sosial, ekonomi,

dan budaya masyarakat di mana hukum itu diberlakukan.

Misalnya saja kejadian di masa lalu ketika Undang-Undang

Pornografi mendapat tantangan dan penolakan oleh warga

Papua dikarenakan kondisi budaya masyarakatnya berbeda

dan bertolak belakang dengan undang-undang tersebut.

Dalam proses penegakan hukum, dibutuhkan sebuah

organisasi yang bisa menerapkan atau mengkonkretkan

hukum tersebut ke dalam masyarakat, seperti pengadilan,

kepolisian, dan lain-lain. Karena pada dasarnya hukum tidak

dapat dijalankan tanpa adanya sebuah organisasi yang

berfungsi mewujudkan atau merealisasikan hukum di

masyarakat.

80

Pembahasan penegakan hukum lebih dikhususkan pada

organisasi pengadilan. Penegakan hukum mengandung

supremasi nilai substansial, yaitu keadilan. Namun, semenjak

hukum modern digunakan, pengadilan bukan lagi menjadi

tempat untuk mencari keadilan (searching of justice), tetapi

malah bergeser menjadi lembaga yang berkutat pada aturan

main dan prosedur. Dengan kata lain, pengadilan hanya

sebagai lembaga penerapan peraturan undang-undang dan

prosedur.

Dalam hukum modern, lembaga peradilan telah

kehilangan ruhnya sebagai house of justice. Hal ini sudah

menjadi rahasia umum, bahkan pada tatanan substansi

hukum pun dibuat secara khusus oleh lembaga khusus dan

mengikuti prosedur khusus yang disebut dengan legislasi.

Metode yang dipakai juga unik, yang didasarkan pada kredo

“peraturan dan logika”. Jadi, wajar saja jika pengadilan

sebagai organiasasi yang mewujudkan hukum yang bersifat

abstrak itu dikonkretisasi dalam kehidupan nyata bergeser

fungsinya menjadi lembaga penerapan peraturan

perundang-undangan atau, dengan kata lain, hakim adalah

corong undang-undang yang kadang dibutakan oleh kredo

peraturan tadi.

Menggunakan hukum modern tidak begitu saja

menjamin keadilan dapat diberikan secara otomatis. Hal ini

sangat tergantung pada bagaimana aparat penegak hukum

“menggunakan” atau “tidak menggunakan hukum”.

Walaupun aparat penegak hukum terlihat begitu sibuk

bekerja siang dan malam, situasi dunia berhukum kita tidak

berubah dan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Hukum

tetap gagal memberikan keadilan di tengah penderitaan dan

kemiskinan yang hampir melanda sebagian besar

masyarakat, supremasi hukum yang didengung-dengungkan

hanyalah menjadi tanda (sign) atau simbol tanpa makna.

81

Teks-teks hukum hanya permainan bahasa (language

game) yang cenderung menipu dan mengecewakan karena

lebih mementingkan kaum borjuis atau kaum setan pemuja

kekayaan dan kekuasaan (istilah penulis untuk koruptor),

salah satunya adalah Gayus Tambunan yang bisa menonton

tenis di Bali dan masih banyak lagi koruptor-koruptor

lainnya yang tidur dan makan dengan nyenyak hasil

merampok uang penguasa negeri ini, yaitu rakyat. Sungguh

menyedihkan cara berhukum kita!

Lebih memalukan lagi, korupsi sudah merajalela pada

tingkatan lembaga penegak hukum yang melibatkan aktor

penegak hukum, mulai dari jaksa, hakim, panitera, dan

advokat, serta masyarakat pencari keadilan. Berbagai

perilaku kolutif sudah menjadi ciri khas ketika orang

berurusan dengan aparat penegak hukum, mulai tingkat

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai peninjauan

kembali di Mahkamah Agung. Kejahatan ini merupakan

bagian kecil dari potret gelap dunia penegakan hukum kita,

yang mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap

hukum dan tumbangnya keadilan. Sehingga, muncul

perkataan atau pernyataan bahwa “berikan saya jaksa dan

hakim (penegak hukum) yang baik, maka dengan jaksa dan

hakim baik tersebut saya akan mengubah hukum yang

buruk”.

Melihat realitas cara berhukum kita tadi, pada tatanan

penyelesaian hukum kita membutuhkan cara berhukum

yang luar biasa. Salah satu cara luar biasa yang ditawarkan

oleh sang begawan hukum Indonesia, Prof Satjipto

Rahardjo, untuk menghadapi kemelut dalam dunia

penegakan hukum kita adalah suatu tipe penegakan hukum

progresif.

82

Seyogianya hukum ditempatkan pada dimensi hakiki

atau filosofinya, sehingga hukum bisa menjadikan dirinya

sebagai anak yang tidak durhaka atas ibu (baca: masyarakat)

yang melahirkan serta membesarkannya. Penegakan hukum

progresif mengajak kita untuk melihat hukum secara

komprehensif atau utuh dan tidak memakai kacamata kuda

atau parsial. Penegakan hukum progresif menekankan pada

dua hal, yaitu, pertama, hukum ada untuk manusia dan

bukan manusia ada untuk hukum. Hukum tidak bisa bekerja

sendiri, hukum membutuhkan institusi atau manusia untuk

menggerakannya. Manusia merupakan suatu unikum,

sehingga hukum tidak lagi bekerja seperti mesin otomat

yang tinggal memencet tombol saja. Hukum bukan hanya

urusan peraturan atau undang-undang semata, melainkan

juga mengenai peranan manusia atau perilaku manusia

sebagai bagian dari perwujudan hukum. Melibatkan peranan

manusia adalah cara berhukum untuk keluar dari stagnasi

dominan yang membabi buta kepada teks undang-undang.

Kedua, hukum seyogianya tidak mempertahankan status

quo. Kita tidak harus terpenjara dalam undang-undang. Jika

undang-undang memiliki kontradiksi dengan pencapaian

keadilan, maka pilihan mengesampingkan undang-undang

bisa dilakukan demi menciptakan keadilan hukum dalam

masyarakat. Karena sesungguhnya semua teks tertulis

membutuhkan penafsiran, menjadi keliru jika mengatakan

hukum atau undang-undang itu sudah jelas. Undang-

undang cacat sejak lahir karena undang-undang memiliki

banyak kelemahan terutama masalah penggunaan bahasa.

Bahasa tulisan tidak bisa mengakomodiasi semua gagasan,

ide, cita hukum yang murni dalam masyarakat, yang sering

disebut oleh Prof Satjipto Rahardjo sebagai makna yang

tercecer.

83

Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum

tidak sekadar menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan

(according to the letter), melainkan menurut semangat dan

makna lebih dalam (to the very meaning) dari undang-

undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya dengan

kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan

spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang

dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi,

komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai

keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa

dilakukan.

Ide penegakan hukum progesif bukan muncul sebagai

sekadar latah yang diakibatkan kegemasan intelektual untuk

menjawab hiruk pikuk kemelut dunia berhukum kita yang

buta serta tuli dengan perasaan penguasa negara ini, yaitu

rakyat, melainkan ide penegakan hukum progresif lahir dari

refleksi intelektual yang cukup panjang. Pembahasan

penegakan hukum progresif tadi merupakan salah satu

rekam jejak refleksi intelektual yang menjadi titik awal

kenapa penegakan hukum progresif dijadikan sebagai tipe

penegakan hukum alternatif.

Tibalah kita pada sebuah kesimpulan bahwa “Kebenaran

hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai

kebenaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai

kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-

undang“. Teruskan semangat penegakan hukum progresif

untuk kemaslahatan bangsa tercinta dan kebahagiaan

masyarakat. Salam Merah-Putih! []

84

Bab III

Sesudah

85

Dinamika Hukum dalam Mengikuti

Perubahan Sosial39

RIAN ADHIVIRA

HUKUM tertatih-tatih mengikuti perkembangan masyarakat,

begitulah yang saya tangkap ketika membaca Hukum dan

Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis serta

Pengalaman-pengalaman di Indonesia. Dalam menjelaskan

perubahan yang terjadi, Satjipto Rahardjo, sang begawan,

menggunakan kerangka berpikir Parsonsian, di mana

tindakan menurut Parsons dapat diuraikan dalam beberapa

subsistem yang masing-masing subsistem tersebut memiliki

fungsi pokoknya.

39 Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Perubahan Sosial: SuatuTinjauan Teoretis serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia,(Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), ini disampaikan pada jagonganrutin Kaum Tjipian pada 26 November 2012 di Beranda Auditorium ImamBardjo, SH, Universitas Diponegoro.

86

Terdapat hubungan di antara keempat subsistem

tersebut dengan fungsinya masing-masing, yaitu hubungan

antara tingkat informasi di mana subsistem sosial memiliki

tingkat yang paling tinggi, dan tingkat energi yang dimiliki

oleh organisme kelakuan yang disebut sebagai hubungan

sibernetika.40

Jadi, satu subsistem bersifat dependen karena

terpengaruh oleh subsistem-subsistem lainya. Sebagaimana

telah kita mengerti bersama, hukum dalam kerangka

berpikir Parsons menurut Satjipto Rahardjo terletak di

tengah-tengah proses keluaran dan masukan yang berasal

dari subsistem-subsistem tersebut.41

Dengan demikian, hukum, sebagaimana disampaikan

pula pada kesempatan lain oleh Satjipto Rahardjo dalam

Ilmu Hukum, adalah bidang ilmu yang senantiasa

terpengaruh oleh bidang keilmuan lain, interdependen.42

Karena hukum tidak bisa dipisahkan dari kondisi faktual

yang hendak diaturnya, hukum tidak dapat dilepaskan pula

40 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Tinjauan Teoretis sertaPengalaman-pengalaman di Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing,2009), hlm 25.41 Ibid., hlm 27. Lihat lebih jauh pada hlm 28-29. Masukan di bidangekonomi adalah bagaimana penyelesaian sengketa itu dilihat sebagaisuatu proses untuk mempertahankan kerjasama yang produktif danmenghasilkan keluaran berupa pengorganisasian atau penstrukturanmasyarakat. Pada bidang politik, masukan dan keluarannya adalahpetunjuk tentang apa dan bagaimana menjalankan fungsinya berupaproses politik. Masukan bidang budaya adalah adanya sosialisasi untukmenerima kehadiran institusi-institusi hukum yang keluarannya berupakeadilan.42 “lmu hukum mempunyai hakikat interdisipliner di mana berbagaidisiplin ilmu pengetahuan diperlukan untuk membantu menerangkanberbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum dimasyarakat.” Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,2006), hlm 7.

87

dari perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, di

mana dalam perubahan sosial tersebut menimbulkan pula

permasalahan-permasalahan sosial. Terdapat beberapa

aspek perubahan sosial yang berhubungan pula dengan

perubahan hukum, antara lain pendudukan, habitat fisik,

teknologi, dan struktur masyarakat dan kebudayaan.

Rasanya, ketiga perubahan

sosial yang disebutkan di awal

tidak perlu dijelaskan lagi. Yang

menarik untuk dibicarakan adalah

struktur masyarakat dan

kebudayaan. Dalam masyarakat

dan struktur kebudayaan terjadi

diferensiasi, yang mengurai

masyarakat pada bidang

spesialisasi masing-masing.

Perkembangan masyarakat menjadi

kompleks ketika diferensiasi ke

dalam komponen-komponen yang baru tersebut

menimbulkan daya adaptasi yang lebih besar dibandingkan

dengan kemampuan dari komponen-komponen yang

digantikannya dalam menjalankan fungsi-fungsi primernya.

Berarti yang harus dilakukan di sini adalah bagaimana

menyatukan kembali komponen-komponen baru tersebut

dalam rangka mempertahankan stabilitas sosial. Di sinilah

diperlukan adanya hukum formal, terlebih dengan adanya

alat tukar universal, yaitu uang. Satjipto Rahardjo

menambahkan, masyarakat pada negara berkembang

mengalami perubahan yang kurang sempurna yang disebut

sebagai masyarakat prismatik, yang sudah mulai bergerak

meninggalkan struktur asli yang menyatu, namun belum

sampai kepada struktur masyarakat yang terpecah secara

baik. Artinya, fungsi-fungsi primer belum memperoleh

88

otonominya ataupun diferensiasi internalnya secara

sempurma.43

Lalu, bagaimana dengan posisi hukum dalam

menghadapi perubahan sosial tersebut? Mengharapkan

perubahan pada hukum tertulis akan memakan waktu dan

proses politik yang lama dibandingkan dengan kenyataan

faktual yang terus berubah. Perubahan hukum dituntut

untuk hadir apabila kesenjangan antara perubahan sosial

dan peraturan tertulis mencapai suatu titik tertentu yang

menimbukan kebutuhan mendesak. Karena apabila

kesenjangan tersebut dibiarkan, jarak yang ada antara

hukum dan kenyataan faktual membuat hukum tertulis

menjadi tidak berfungsi. Mengingat fungsinya sebagai

sarana pengintegrasi, sebenarnya ada fungsi lain yang

melekat pada hukum selain sebagai sarana kontrol sosial,

yaitu hukum sebagai sarana konstruksi sosial (social

engineering). Hukum sebagai sarana konstruksi sosial berarti

selain menjadi alat untuk meredam konflik, juga merupakan

sarana untuk mencapai tujuan tertentu yang dikehendaki.

Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai hal

tersebut, pembicaraan mengenai perubahan hukum

menurut Satjipto Rahardjo akan berkaitan dengan

perbincangan seputar lembaga pembentuk perundang-

undangan dan lembaga peradilan.44

Di antara kedua

lembaga tersebut, dalam menghadapi perubahan sosial,

Satjipto Rahardjo menaruh harapannya pada lembaga

peradilan.45

Dibandingkan dengan lembaga pembentuk

43 Satjipto Rahardjo, op. cit., hlm 49.44 Ibid., hlm 57.45 “Berhadapan dengan keadaan tersebut, maka memang beralasankiranya untuk berpendapat, perubahan hukum yang timbul sebagaijawaban terhadap tuntutan perubahan sosial itu relatif lebih lancarapabila terjadi melalui pengadilan.” Ibid., hlm 59.

89

perundangan (legislatif) yang memakan waktu lebih lama

dan proses politik yang panjang, lembaga peradilan dapat

menyesuaikan perubahan sosial dengan hukum yang ada

tanpa mengubahnya dengan melakukan penafsiran atasnya

yang kemudian terjawantahkan dalam bentuk putusan atau

yurisprudensi.

Dua Aspek Hukum

Sebagaimana sempat disinggung sebelumnya, menurut

Satjipto Rahardjo, terdapat dua aspek hukum, yaitu sebagai

sarana kontrol sosial dan konstruksi sosial. Hukum sebagai

sarana kontrol sosial memiliki fungsi sebagai, pertama,

pembuat norma-norma, baik yang memberikan peruntukan

maupun yang menentukan hubungan antara orang dan

orang. Kedua, penyelesaian sengketa. Ketiga, menjamin

keberlangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal

terjadi perubahan-perubahan.46

Mengingat kembali

kerangka Parsons, maka kita tidak dapat lagi melihat hukum

secara otonom saja. Dalam konteks bagaimana hukum

berhadapan dengan perubahan-perubahan yang ada, maka

bukan lagi bagaimana mempengaruhi tingkah laku orang

agar sesuai dengan harapan masyarakat dalam keadaan

sekarang ini, melainkan menyangkut masalah perubahan-

perubahan yang dikehendaki.47

Yang demikian itu adalah

hukum sebagai sarana konstruksi sosial.

Hukum sebagai sarana kontrol sosial lebih

menitikberatkan pada pengaturan tingkah laku masyarakat,

yaitu sekadar mempertahankan pola-pola hubungan yang

ada pada masa sekarang. Meski demikian, hukum sebagai

sarana kontrol sosial juga turut pula berperan dalam

46 Ibid., hlm 111.47 Ibid., hlm 112.

90

perubahan sosial yang terjadi, yaitu dengan penentuan

perilaku-perilaku yang dikehendaki dan tidak dikehendaki

oleh lembaga legislatif yang berujung pada peraturan dan

penggunaannya berupa putusan pengadilan.

Di sisi lain, hukum sebagai sarana konstruksi sosial

adalah hukum yang secara sadar digunakan untuk mencapai

suatu keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau

untuk melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan.48

Menurut Hart, terdapat dua sistem hukum, yaitu, pertama,

adalah primary rules of obligations, yang menyandarkan

dirinya pada peraturan moral sehingga mengandung

beberapa kelemahan. Yang kedua adalah secondary rules of

obligations. Di sini, Hart memandang bahwa secondary rules

ini lebih dapat memberi kemanfaatan sebagai hukum

modern dibandingkan dengan primary rules. Menurut

Satjipto Rahardjo, fungsi hukum sudah mengalami

pergeseran untuk menjadi lebih aktif yang tidak merupakan

suatu perkembangan yang berdiri sendiri.49

Maka,

mengingat kurun waktu kemerdekaan Indonesia sampai

dengan saat ini, dapat dikatakan bahwa telah terjadi

pergeseran hukum melalui kurun waktu tersebut.50

48 Ibid., hlm 129.49 Ibid., hlm 131.50 Di sini, Satjipto Rahardjo menyadur Roscoe Pound mengenai enamkriteria yang harus diamati sebagai sosiologi hukum antara lain (1)mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hukum; (2) melakukan studi sosiologis dalam rangkamempersiapkan peraturan perundangan [...] dengan turut pulamempertimbangkan efek yang ditimbulkan; (3) melakukan studi tetntangbagaimana membuat peraturan-peraturan hukum menjadi efektif (4);memperhatikan sejarah hukum; (5) penyelesaian individual; (6) segalatuntutan sebelumnya merupakan arena untuk mencapai suatu tujuan,yaitu tentang bagaimana mengusahakan secara lebih efektif agar tercapaitujuan-tujuan hukum itu. Ibid., hlm 135.

91

Jadi, pandangan hukum sebagai sarana konstruksi sosial

memandang hukum sebagai sarana untuk menimbulkan

akibat tertentu yang dikehendaki. Namun, tentu saja tujuan

tersebut tidak dapat dicapai semata dari segi peraturan

perundangan, melainkan pula mencakup pula aktivitas

birokrasi pelaksanaannya. Contoh yang diberikan dalam

buku ini mengenai hukum sebagai sarana konstruksi sosial

adalah pada Undang-Undang Dasar 1945 yang selain

berfungsi sebagai dasar negara juga merupakan tiang

pancang tujuan yang hendak dicapai. Selain itu, contoh lain

yang diberikan adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang

hendak menghilangkan corak kepemilikan tanah

sebelumnya agar kebih sesuai dengan perkembangan

zaman.

Modernisasi dan Pembangunan Hukum

Sebagaimana disinggung di awal, kerangka berpikir

Parsonsian dalam menjelaskan perihal perubahan sosial

menjelaskan bahwa perubahan sosial diiringi pula dengan

diferensiasi di mana struktur-struktur masyarakat menjadi

semakin mengkhususkan diri membentuk unit-unit khusus.

Modernisasi Indonesia tidak berasal dari dalam,

melainkan berawal dari sentuhan dengan pihak luar, yaitu

saat terjadinya kolonialisasi di mana budaya asli berhadapan

dengan pendatang.51

Pada masa itu, dengan proses

liberalisasi, turut memberikan dampaknya pada kehidupan

Indonesia, yaitu melalui perdagangan dan industrialisasi

yang pada awalnya lebih banyak dipegang oleh masyarakat

etnis Tionghoa. Keadaan berubah ketika Indonesia

memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945. Proses

51 Ibid., hlm 185.

92

perubahan yang tadinya berasal dari luar kini berasal dari

dalam, termasuk perihal pembangunan hukum.

Pembangunan hukum menurut Satjipto Rahardjo

mengandung makna ganda. Pertama, dia diartikan sebagai

suatu usaha untuk memperbarui hukum positif. Sementara,

kedua, pada sisi lain dapat pula diartikan sebagai suatu

usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa

pembangunan, yaitu dengan turut mengadakan perubahan-

perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh masyarakat

yang sedang membangun.52

Dalam pembangunan hukum

tersebut, hal yang tidak dapat dihindarkan adalah bahan

dasar dari pembangunan tersebut, di mana nilai-nilai

Indonesia asli berhadapan dengan nilai-nilai modern. Maka,

terdapat sebuah hubungan di mana sistem hukum dan

perubahan sosial adalah dua hal yang saling memengaruhi.

Ada hal paradoksal yang dapat diangkat di sini. Pada

satu sisi, hukum adat menurut Satjipto Rahardjo memiliki

kelemahan dalam penggunaannya untuk mencapai tujuan-

tujuan pembangunan dan modernisasi. Namun, di sisi lain,

mengingat perubahan sosial yang terjadi karena

modernisasi dan pembangunan yang melahirkan

masyarakat plural, pada hukum positif yang berlaku bisa jadi

tidak diakui karena tidak sesuai dengan nilai-nilai asli.

Mengingat semakin sebuah peraturan terinstitusionalisasi,

semakin jauh pula jaraknya dari kenyataan masyarakat.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana

mengatasi permasalahan tersebut? Satjipto Rahardjo

mencontohkan kondisi masyarakat negara berkembang di

Afrika yang terpecah menjadi tiga bagian: traditional

societies, traditional-modernized, dan wholly modernized.

Pada masyarakat Afrika tersebut terjadi suatu proses adaptif,

52 Ibid., hlm 203.

93

di mana norma-norma dan lembaga-lembaga adat ternyata

dapat melayani kebutuhan akan modernisasi dan

pembangunan.53

Maka, dalam konsep pembangunan hukum, terdapat

beberapa unsur yang harus diperhatikan, antara lain:

pembuatan peraturan;

penyampaian isi peraturan;

kesiapan para pelaksana hukum untuk menjalankan

peranannya;

kesiapan warga negara untuk berbuat sesuai

dengan peranan yang diharapkan darinya;

pengamatan mengenai bekerjanya hukum dalam

masyarakat sehari-harinya.

Dengan menggunakan teori-teori sosial, Satjipto

Rahardjo dalam Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu

Tinjauan Teoretis serta Pengalaman-pengalaman di

Indonesia, menggambarkan bagaimana keterkaitan antara

hukum dan hal yang hendak diaturnya, yang tidak dapat

dipisahkan. Demikianlah, maka giliran kita sekarang untuk

meneruskan semangat beliau. Suatu tugas yang berat. []

53 Ibid., hlm 210.

94

Mendudukkan Undang-Undang

Dasar?54

NINDI ACHID ARIFKI

BAGAIKAN sayur tanpa garam, itulah salah satu lirik dari

penyanyi Inul Daratista yang dulu sempat menjadi tren

pecinta lagu dangdut di Indonesia. Ungkapan tersebut

setidaknya cocok untuk menjelaskan fungsi undang-undang

dasar dengan tujuan dan cita bangsa. Undang-undang dasar

merupakan suatu tipe perundang-undangan yang khas,

yang sifatnya umum, sehingga mempunyai konsep yang

lebih luas dibandingkan dengan peraturan perundang-

undangan yang lain. Konsep ini berada dalam konteks

hukum dan masyarakatnya, sehingga tidak lagi dibatasi

sebagai urusan peraturan semata. Berdasarkan pemikiran

tersebut, undang-undang dasar dalam kedudukannya

sebagai dasar dari peraturan perundang-undangan yang

ada merupakan konstitusi yang mengekspresikan sejarah

dan cita-cita bangsa.

Sejarah pembentukan undang-undang dasar ini diawali

dengan adanya pembentukan komunitas politik oleh

54 Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Mendudukkan Undang-Undang Dasar: Suatu Pembahasan dari Optik Ilmu Hukum Umum,(Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007), inidisampaikan pada jagongan rutin Kaum Tjipian pada 12 November 2012di Beranda Auditorium Imam Bardjo, SH, Universitas Diponegoro.

95

manusia dalam suatu wilayah tertentu.55

Yang dimaksud di

sini bukan hanya hadir secara fisik melainkan ada secara

bersama-sama. Komunitas manusia ini tidak hanya menata

diri sendiri dari kelompoknya melainkan berinteraksi dengan

komunitas di luar kelompok tersebut.

Komunitas politik yang besar bisa disebut suatu negara.

Negara modern, dalam hal ini, merupakan bangunan

manusia dan politik dengan batas-batas yang jelas serta

mempunyai warga negara yang jelas pula, sehingga

melahirkan apa yang disebut kedaulatan. Seperti halnya

Indonesia, bertolak dari masa pelepasan penjajahan,

Indonesia lahir sebagai bangsa baru di mana dalam

melakukan pembentukan bangunan manusia dan bangunan

politiknya pertama tersebut menghasilkan Proklamasi dan

Undang-Undang Dasar, di mana undang-undang dasar

tersebut adalah dokumen yang menentukan arah dan cita-

cita suatu bangsa.

Kedudukan Undang-Undang Dasar

Undang-undang dasar merupakan konstitusi yang

bersifat sakral, yang mempunyai nilai-nilai sejarah sampai

persoalan cita-cita bangsa. Hal ini yang menjadikan undang-

undang dasar sebagai sesuatu yang masih dipertahankan

kesakralannya karena ikatan emosional yang ada, meskipun

sekarang adalah era modern, di mana hal-hal semacam

irasional dan sakral mulai bergeser keberadaannya. Begitu

pun yang terjadi pada konstitusi Indonesia yang berbentuk

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUD 1945).

55 Satjipto Rahardjo, Mendudukkan Undang-Undang Dasar: SuatuPembahasan dari Optik Ilmu Hukum Umum (Semarang: Badan PenerbitUniversitas Diponegoro, 2007), hlm 9.

96

Hal yang terus dipertahankan adalah mengenai makna

dari undang-undang tersebut, dilihat dari nilai historis dan

tujuan dari undang-undang dasar, sehingga akan terasa

khidmat bila kita mengerti apa yang terpenting dari makna

sebuah undang-undang dasar tersebut. Tidak hanya di

Indonesia, banyak negara yang mengangkat masalah latar

belakang historis mereka, sampai cita-cita bangsa tertuang

dalam sebuah konstitusi. Dengan demikian, dapat

dimengerti fungsi konstitusi itu sendiri adalah untuk

mengutuhkan kembali bangunan hukum suatu bangsa.56

Undang-undang dasar

merupakan suatu perjanjian

khidmat yang dibuat oleh bangsa

Indonesia, sehingga ia lebih

merupakan dokumen rohani

daripada teks hukum.57

Hal ini

dikarenakan sifatnya yang bersifat

umum. Hans Kelsen menyebutkan

bahwa semakin tinggi posisi dalam

orde normatif akan semakin kaya

akan kandungan moral atau asas-

asas umum dan semakin rendah

posisi itu menjadi semakin konkret

dan makin tipis kandungannya.58

Teori Hans Kelsen ini dikenal dengan teori stufenbau,

yaitu teori mengenai hierarki dari peraturan perundang-

undangan. Teori stufenbau menyebut mengenai norma

dasar dari suatu sistem hukum. Menurut Hans Kelsen, sistem

norma yang disebut sebagai tata hukum adalah suatu sistem

56 Ibid., hlm 31.57 Ibid., hlm 34.58 Ibid., hlm 35.

97

yang dinamis. Dalam hal ini, validitas norma hukum tidak

karena dirinya sendiri atau karena norma dasar memilikinya

dan, dengan demikian, memiliki kekuatan mengikat dengan

sendirinya.59 A norm is a valid legal norm by virtue of the

fact that it has been created according to a definite rule and

by virtue theoreof only.60Sehingga, dalam hal ini, norma

dasar merupakan suatu tata aturan hukum yang digunakan

sebagai norma pada tahap menerima atau kehilangan suatu

validitas.

Dalam konteks hukum di Indonesia, norma dasar

dimaksud adalah UUD 1945, yang merupakan suatu aturan

yang bersifat superior. UUD 1945 merupakan landasan

utama dalam sistem hukum terkait dengan pembentukan

peraturan perundang-undangan. UUD 1945 bersifat sebagai

norma superior karena ia menentukan pembuatan norma

yang lain, sementara peraturan di bawahnya merupakan

norma inferior. Kaitan antara norma superior dan inferior

merupakan titik dasar dari sistem hierarki pada teori

stufenbau dari Hans Kelsen. Hans Kelsen menyebutkan

bahwa “the relation between the norm regulating the

creation of another norm and this other norm may be

presented as a relationship of super- and sub-ordination,

which a spatial figure of speech. The norm determining the

creation of and other norm is the superior, the norm created

according to this regulation, the inferior norm.”61

Mengenai hierarki tersebut, Hans Kelsen membagi ke

dalam dua bentuk, yaitu Grundnorm dan Norm. Grundnorm

lebih diarahkan kepada Staatsfundamentalnorm, sedangkan

59 Jimly Asshiddiqie dan M Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI2006), hlm 96.60 Ibid., hlm 113.61 Ibid., hlm 124.

98

Norm meliputi Staatsgrundgesetz, Fornelle Gesetz,

Verordnung, dan Autonome Satzung, seperti yang

dikemukakan oleh muridnya, Hans Nawiasky.

Jika dihubungkan dengan hierarki peraturan perundang-

undangan menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang-

undangan terdiri atas (a) UUD 1945; (b) Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat; (c) Undang-Undang/Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (d) Peraturan

Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah

Provinsi; (g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Jika bentuk

hierarki ini dihubungkan dengan teori stufenbau, dapat

dilihat seperti pada bagan sebagai berikut.

Menurut Hans Kelsen, norma dasar adalah norma yang

menjadi sumber utama dan pengikat di antara semua norma

yang berbeda-beda yang membentuk suatu tatanan

99

norma.62

Sehingga, undang-undang dasar merupakan

norma dasar yang berupa konstitusi formal yang merupakan

suatu dokumen resmi. Yang dimaksud dokumen resmi di

sini adalah seperangkat norma hukum yang dapat diubah di

bawah pengawasan ketentuan khusus, yang tujuannya

adalah untuk membentuk norma-norma hukum yang

bersifat umum.

Prof Satjipto Rahardjo dalam bukunya, Mendudukkan

Undang-Undang Dasar, menyebutkan bahwa reduksi dari

sebuah norma dasar akan mengalami sebuah perubahan

yang sangat besar, yang mendegradasikan suatu ide

menjadi semata-mata bentuk. Kaitannya dengan hukum

modern adalah bahwa undang-undang dasar lebih

diarahkan dalam bentuk hukum positif dan kehilangan isinya

sebagai sesuatu yang bernilai, seperti moral dan

kebenaran.63

Konstitusi dan Perwujudan Moral

Buku Mendudukkan Undang-Undang Dasar ini

menyebutkan mengenai tujuan hukum adalah untuk

manusia,64

sehingga yang menjadi objek permasalahan

adalah manusianya, bukan hukum atau peraturannya.

Sehingga pada hakikatnya kita memakanai hukum adalah

dengan menempatkan manusia pada titik pusat

permasalahannya. Ini dimaksudkan agar manusia terlindungi

harkat dan martabatnya sebagai manusia, sehingga tidak

terjadi reduksi dalam penggunaan skema hukum. Melihat

keadaan tersebut, Prof Satjipto Rahardjo mengemukakan

bahwa sebaiknya hukum, undang-undang dasar, dan

62 Hans Kelsen,General Theory of Law and State (Massachusetts: HarvardUniversity Press, 1949) hlm 159.63 Satjipto Rahardjo, op. cit.., hlm 47.64 Ibid., hlm 36.

100

konstitusi dimaknai sebagai suatu dokumen antropologi,

karena begitu dalam dan luas dalam menyentuh kehidupan

manusia.65

Membaca undang-undang tidak hanya sekedar

membaca teksnya, dalam arti mengeja undang-undang.

Diartikan bahwa membaca undang-undang haruslah

ditekankan pada pendalaman maknanya. Undang-undang

dasar berisikan tentang hal-hal atau asas-asas umum

(general principle),66

sehingga dalam membaca undang-

undang tidak seperti membaca suatu dokumen moral, yang

menurut Prof Satjipto, dokumen moral cenderung bersifat

konkret, eksperimental dan kuantitatif.67

Sehingga, jika

terjadi demikian, pemaknaan undang-undang dasar menjadi

dangkal.

Hukum hidup di masyarakat, setiap ada kehidupan

manusia hukum itu ada (ubi societas ibi ius), sehingga

keberadaan hukum sifatnya abadi. Tetapi, ketika hal yang

terkandung dalam kehidupan tersebut diwujudkan dalam

sebuah hukum tertulis, ia menjadi tidak abadi lagi.68

Karena

ketika hukum berbentuk tertulis, keadaan yang ada hanyalah

bersifat abstrak, tidak dapat sesuai dengan nilai dasar dan

ideal yang ada di masyarakat yang sifatnya dimungkinkan

terjadi perubahan pada tatanan sosialnya, seperti yang

dikatakan Lon Fuller bahwa salah satu kegagalan membuat

hukum adalah apabila peraturan itu sering diubah-ubah,

sehingga “the subject can not orient his action by them.”69

Sehingga permasalahannya lebih ditekankan kepada

eksistensi hukum dalam keberadaannya mengatur bangsa

65 Ibid., hlm 40.66 Ibid., hlm 42.67 Ibid., hlm 42.68 Ibid., hlm 43.69 Ibid., hlm 45.

101

dan negara. Undang-undang dasar adalah hukum yang

mengatur eksistensi bangsa dan negara untuk tetap hadir

selama-lamanya, sehingga tidak mudah untuk

mengubahnya.70

Undang-undang, dalam keberadaannya, merupakan

hasil dari produk legislasi. Menurut Trubeck, sejak hukum

menjadi produk legislatif, maka ia tergolong ke dalam hasil

dari suatu pekerjaan yang dilakukan dengan sengaja

(purposive human action).71

Hukum dalam keberadaannya

telah mulai bergeser dari suatu ide menjadi suatu bentuk,

sehingga dalam memaknai hukum sekarang ini hanyalah

terfokus pada sebuah bentuk semata, sehingga akan

kehilangan makna nilai yang terkandung di dalamnya,

seperti nilai keadilan dan moral. Hukum tidak lagi diartikan

sebagai bentuk nilai yang bertujuan untuk keadilan,

melainkan diartikan sebagai bentuk format, prosedur, dan

pasal-pasal dalam undang-undang, sehingga makna hukum

yang sebenarnya telah tereduksi dalam sebuah bentuk

semata-mata, dan terjadi amputasi pada pemaknaan hukum

tersebut.

Berangkat dari hal tersebut, hukum sekarang ini tidaklah

utuh keberadaannya, bentuknya sudah terkotak-kotak, yang

sering dalam penyebutannya adalah perundang-undangan

yang terkotak-kotak dan mempunyai logikanya sendiri.72

Pemaknaan hukum yang terkotak-kotak tersebut

menjadikan hukum cenderung memisahkan diri satu dengan

yang lainnya. Ketika keutuhan hukum menjadi hilang atau

setidaknya tereduksi pemaknaannya, tujuan hukum yang

sebenarnya pun tidak akan tercapai.

70 Ibid., hlm 46.71 Ibid., hlm 47.72 Ibid., hlm 50.

102

Prof Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum yang

semula utuh dalam kepala pembuat hukum hilang

keutuhannya menjadi teks undang-undang. Teks undang-

undang ini hanyalah skeleton atau skema belaka dari

sesuatu yang pada awalnya utuh, sehingga dalam hal ini

seharusnya mengusahakan seperti yang disinggung

Tamanaha “the jurisprudence” menjadi “a general

jurisprudence of law and society”.73

Di atas telah dikatakan bahwa undang-undang dasar

merupakan general jurisprudence, sehingga dapat diartikan

berfungsi sebagai pemersatu peraturan perundang-

undangan yang terpisah-pisah atau terkotak-kotak tadi.

Dalam hal ini, asas-asas umum yang lebih ditekankan bukan

konkret pada memuat aturan suatu permasalahan, sehingga

kualitasnya disebut Prof Satjipto Rahadjo sebagai teks

moral. Mengacu pada undang-undang dasar sebagai asas

umum, hendaknya peraturan perundang-undangan yang

lain lebih berperspektif ke arah undang-undang dasar ini.

Sehingga, kedudukan undang-undang dasar sangat sentral

dan strategis, baik bagi pembuatan hukum maupun

pelaksanaannya.74

Dalam hal keberadaannya, undang-undang dasar

merupakan tipe undang-undang yang memuat kaidah serta

arah kepada produk-produk legislatif yang ada. Tetapi,

sekalipun dikehendaki bahwa undang-undang dasar

seharusnya dirumuskan kepada bahasa asas, kaidah, atau

moralitas, tetapi tidak selalu mudah berbuat seperti itu.75

73 Ibid., hlm 54.74 Ibid., hlm 61.75 Ibid., hlm 65.

103

Melihat kenyataan tersebut, ada sedikit asumsi yang

menyatakan bahwa undang-undang dasar dalam

keberadaannya sebagai suatu asas dan kaidah, merupakan

pandangan yang spesifik bersifat filsafat pada sebuah

negara. Meskipun disebutkan bahwa hukum tertulis tidak

abadi keberadaannya, diharapkan undang-undang dasar

lebih lama bertahan dibandingkan peraturan perundang-

undangan yang lain, karena sifat kaidah yang dikandungnya

itu.

Prof Satjipto Rahardjo menyinggung amendemen

konstitusi Amerika Serikat. Bahwa amendemen tersebut

dituangkan dalam bahasa yang khas, yaitu bahasa asas,

sehingga lebih difungsikan sebagai penutup kekurangan

pada undang-undang dasar, dan nantinya tidak

memorosotkan kualitas undang-undang dasar menjadi

peraturan biasa.

Selain itu, disinggung juga mengenai tesis Ronald

Dworkin. Pendapat Dworkin lebih menekankan pada

pembacaan konstitusi sebagai pembacaan terhadap asas

atau moralitas politik, sehingga Dworkin sering terjatuh

pada apa yang namanya interpretasi. Dikarenakan, moralitas

politik yang dijadikan rujukan itu bukan sesuatu yang jelas

dan intinya tidak pasti serta penuh dengan hal-hal yang

kontroversial karena merujuk pada kaidah moral yang

abstrak. Tetapi, Dworkin telah melakukan pembelajaran

yang baik tentang bagaimana konstitusi mampu

menjalankan fungsinya untuk memberikan panduan.

Dalam pembentukan konstitusi saat ini terjadi sindrom

struktur dan organisasi, sehingga sejarah kehidupan

manusia memasuki era formalisme. Undang-undang dasar

pun dianggap sebagai dokumen dasar yang menggerakkan

kehidupan bernegara dalam hal strukturasi konstitusi.

104

Namun, sekarang ini terdapat kelemahan dalam karakteristik

undang-undang dasar yang demikian itu, yang

menyebabkan batas antara undang-undang dasar dan

undang-undang biasa menjadi kabur. []

105

Pendidikan Hukum sebagai

Pendidikan Manusia76

RAHMAD SYAHRONI RAMBE

Membangun Fakultas Hukum sebagai Kekuatan

Sosial

Fakultas hukum adalah lembaga pembelajaran hukum

tingkat universiter. Dalam lembaga tersebut, berhimpun

tenaga-tenaga yang berijazah sarjana hukum yang disebut

sebagai dosen.77

Beberapa dekade terakhir, Indonesia

menghadapi banyak persoalan besar, bahkan mendasar.

Tetapi respons Fakultas Hukum belum terasa memadai.

Fakultas hukum juga belum tampil sebagai suatu kekuatan

sosial, waktu bangsa diterpa badai korupsi. Padahal, orang

sudah mulai bicara mengenai adanya suatu keadaan darurat.

Fakultas hukum belum tampil dengan mengatakan, “Di

sinilah saya, saya berdiri di sini, dan saya akan turut aktif

memberikan gagasan pemberantasan korupsi.”78

Urusan Indonesia tidak dapat hanya diserahkan kepada

pemerintah, partai-partai politik, dan kekuatan sosial lainnya

76 Karangan, yang merupakan ringkasan dari buku Pendidikan Hukumsebagai Pendidikan Manusia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), inidisampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 7 Januari 2013 diWarung Burjo, Pleburan, Semarang.77 Satjipto Rahardjo, Pendidikan hukum sebagai Pendidikan Manusia(Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm 1.78 Ibid., hlm 4.

106

dalam masyarakat. Dunia akademis juga perlu merebut

tempat dan menampilkan diri sebagai suatu kekuatan sosial

yang juga merasa memiliki saham untuk membantu secara

aktif agar Indonesia keluar dari kesulitan dan

keterpurukannya. Akademisi perlu membangun kepercayaan

diri karena akademisi adalah suatu komunitas dan suatu

kekuatan sosial yang tidak boleh diabaikan. Untuk itu,

akademisi perlu secara aktif menyampaikan kontribusi,

dimulai dengan kepedulian terhadap permasalahan bangsa,

khususnya di bidang hukum dan sosial.79

Hukum dan Pendidikan Hukum dalam Masa Pem-

bangunan

Pendidikan hukum sebaiknya secara sistematis

dibicarakan dalam konteks sosialnya. Pendidikan hukum

sebagai konteks sosial memberikan isyarat bahwa sifatnya

terbuka untuk menampung dan memantau perkembangan

yang berlangsung dalam masyarakat. Dalam suasana

perubahan sosial, bidang yang pertama sekali terkena

imbasnya adalah hukum. Indonesia adalah negara

berdasarkan hukum, sehingga karakteristik yang menonjol

dari manajemen berdasarkan hukum adalah selalu berusaha

untuk mencari landasan keabsahan suatu tindakan pada

hukum yang berlaku. Manajemen tersebut mempunyai ciri

prosedural yang sangat kuat. Tolok ukur yang dikenakan

kepada suatu tindakan adalah apakah tindakan itu

mempunyai dasar peraturan yang jelas. Dasar hukum lebih

luas dari dasar peraturan, dan dasar peraturan termasuk ke

dalam dasar hukum.80

79 Ibid., hlm 5-6.80 Ibid., hal. 7-8.

107

Apabila dikaitkan dengan pembangunan, pembangunan

membutuhkan kebebasan yang lebih besar daripada yang

diberikan oleh hukum yang lebih bersifat mengikat.

Sekalipun Indonesia berdasarkan hukum, sifat otonominya

mengalami pertukaran dengan kekuatan-kekuatan di luar

hukum, di mana sifat otonominya mengalami pertukaran

yang tinggi antara hukum dan kekuasaan. Hukum

menonjolkan ciri instrumentalnya karena hukum menjadi

saluran untuk menjalankan keputusan-keputusan politik

yang diambil. Hukum sebagai sarana rekayasa sosial

merupakan contoh yang baik mengenai hal tersebut.81

Sistem hukum mempunyai

strukturnya sendiri yang dibangun

dari asas, konsep, keterpaduan

antarunsur, bidang, dan bagian, dan

sebagai kekuatan yang membentuk

bangunannya adalah prinsip

konsistensi logis. Terdapat dua

kategori yang termasuk dalam

pembangunan hukum, yakni,

pertama, sebagai upaya

menegakkan keadilan, kebenaran,

dan ketertiban. Kedua, untuk memantapkan dan

mengamankan pelaksanaan pembangunan dan hasil-

hasilnya. Mengkaitkan secara sistematik hukum kepada

pembangunan merupakan cara pendekatan terhadap

hukum secara antardisiplin. Dalam hubungannya, muncul

pengertian sarjana hukum sebagai “arsitek sosial”, yang

menunjuk kepada peranannya, baik sebagai pengendali

maupun perekayasa masyarakat pada umumnya dan

pembangunan pada khusunya. Fungsi pengendalian sosial

menunjuk kepada keadaan yang bersifat statis, yaitu

81 Ibid., hlm 9.

108

mempertahankan struktur tertentu dalam masyarakat. Di sini

hukum menjalankan fungsi pelayanan, yang memberi

kerangka hukum terhadap proses yang sudah memiliki

bentuk yang sedikit banyak sudah mapan.82

Masyarakat dan pembangunan adalah pengertian

abstrak. Oleh karena itu, apabila hukum ingin masuk serta

melibatkan diri secara aktif ke dalam pembangunan, maka

kedua pengertian itu harus dikonkretkan. Peranan hukum

dalam pembangunan berkaitan dengan kemampuan hukum

dalam menangani permasalahan dalam masyarakat.

Pemikiran tentang hukum dalam pembangunan dituangkan

dalam beberapa hal pokok, yakni sifat konseptual, secara

sistematis berorientasi kepada masa depan, kajiannya tidak

hanya normatif, tetapi interdisipliner, dan studi hukum

merupakan kajian yang terbuka dan peka terhadap

perubahan.83

Pendidikan Hukum Indonesia

Pemerintah kolonial Belanda tergolong lambat dalam

membangun institusi pendidikan menengah dan tinggi di

Indonesia. Dari sekitar 300 tahun penjajahannya terhadap

Indonesia, hanya lebih kurang 25 tahun terakhir digunakan

untuk membangun pendidikan menengah dan tinggi. Dan,

82 Ibid., hlm 9-12.83 Ibid., hlm 13-16.

109

pembelajaran hukum dilakukan melalui pemahaman secara

abstrak dan umum untuk kemudian turun membicarakan

hal-hal yang lebih konkret. Namun demikian, segalanya

berlangsung dalam bingkai sistem hukum positif atau

peraturan perundang-undangan. Pembelajaran hukum

diawali dari konsep-konsep abstrak yang harus “dikunyah”

para mahasiswa muda, jauh dari realitas hukum di

masyarakat.84

Rechtshogeschool didirikan di Jakarta pada 1924.

Pemerintah kolonial membangun sekolah-sekolah dan

pendidikan tinggi sebagai balas jasa terhadap Indonesia

yang telah dikeruk kekayaannya selama ratusan tahun.

Indonesia pada waktu itu menjadi pilar-pilar Belanda. Hal ini

dapat dilihat dari kalimat “Indie verloren ruinpspoed

geboren” (kehilangan Indonesia berarti malapetaka). Pada

awal pembukaan pendidikan hukum di Indonesia,

pendidikan dirancang untuk menyiapan tenaga terampil

dalam menggunakan hukum positif. Lulusannya bergelar

meester in de rechten (Mr) yang berlaku untuk para lulusan

sampai tahun 1962. Rancangan tersebut tercermin dari

nama Ilogeschool (sekolah tinggi) yang berkonotasi

pendidikan keterampilan (skill development), bukan

pendidikan ilmu hukum (rechtswetenschap) yang

sebenarnya.85

Pada awal kemerdekaan, Indonesia memiliki dua fakultas

hukum negeri, yaitu Universitas Indonesia (Jakarta), sebagai

kelanjutan dari Rechtshogeshool dan Universitas Gadjah

Mada (Yogyakarta). Berbeda dengan politik pendidikan

hukum dimasa kolonial, di masa kemerdekaan dirasakan

perlunyaperubahan sesuai dengan situasi sebagai negara

84 Ibid., hlm 17.85 Ibid., hlm 18-20.

110

merdeka. Perubahan-perubahan penting baru dirasakan dua

dekade setelah kemerdekaan di mana pola

mempertahankan status quo sudah mulai diubah menjadi

lebih dinamis. Pendidikan hukum di Indonesia berubah

menjadi Indonesian-based policy, atau society-based policy

atau development-based policy.

Pendidikan hukum pada tahun 1970-an mengalami

dinamika tidak hanya pada ranah substansi, melainkan juga

metodologi pembelajaran. Pada ranah substantif, hukum

tidak lagi hanya dipahami dalam batas-batas hukum positif

tetapi juga dilihat, dipahami, dan dipelajari dalam konteks

sosial yang lebih luas. Pada metode pembelajaran, konsep

dan teori hukum klasik serta cara-cara pembelajaran yang

menekankan pada lecturing, mulai banyak mendapat

gugatan dan diperkenalkannya metode clinical legal

education yang melibatkan para mahasiswa secara aktif

untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum yang nyata.86

Pada pertengahan tahun 1980-an terjadi perubahan

sangat besar dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini

dikarenakan adanya tipe pembelajaran baru yang disebut

sebagai pendidikan keilmuan (scientific education, scientific

program). Dokumen hukum yang menjadi dasar

pembentukan pendidikan pascasarjana tidak mencantumkan

pendidikan keilmuan, tetapi Universitas Diponegoro

menafsirkannya sebagai pendidikan keilmuan. Pendidikan

keilmuan tidak menekankan pada pengembangan

keterampilan, melainkan lebih kepada pencarian dan

pengungkapan kebenaran.87

86 Ibid., hlm 23-28.87 Ibid., hlm 30-31.

111

Memperbarui Pendidikan Hukum Indonesia: Untuk

Apa dan Ke Arah Mana?

Pendidikan bukanlah lembaga yang otonom mutlak,

melainkan merupakan bagian dari proses sosial besar yang

melingkupinya. Pertukaran antara dunia pendidikan dan

lingkungan sosial itulah yang menyebabkan timbulnya

dinamika dan tuntutan perubahan terhadap lembaga

tersebut. Pendidikan hukum merupakan sekolah profesional

dan lembaga ilmu, yakni lembaga tempat suatu bidang ilmu

dikaji dan dikembangkan. Oleh karena itu, fakultas hukum

tidak hanya menyiapkan keterampilan, melainkan berurusan

dengan metode-metode yang dipakai dalam mempelajari

objeknya.

Pemikiran hukum rechtsdogmatiek tidak akan mampu

menjangkau dan menjelaskan proses transformasi sosial

yang terjadi. Hal ini dikarenakan pemikiran hukum yang

dogmatis memang tidak disiapkan untuk mengamati

interaksi antara proses perubahan di semua bidang hukum.

Kita dapat melakukannya jika kita mampu memahami

hukum dan proses-prosesnya sebagai bagian dari proses

sosial yang lebih besar. Hukum adalah lembaga yang

kompleks, sehingga tidak hanya dipahami dengan saksama

apabila menggunakan satu cara pendekatan saja.88

Ciri lain dari pendidikan hukum yaitu sebagai suatu

pendidikan umum, artinya membentuk manusia berkualitas

yang lengkap daripada sekedar teknokrat. Fakultas hukum

membekali alumninya dengan suatu sikap dan pengetahuan

dasar untuk nantinya dapat mengembangkan dirinya

sebagai seorang intelektual. Jadi, pendidikan hukum juga

88 Ibid., hlm 39-43.

112

berciri pendidikan suatu kualitas manusia dan intelektual

berkemampuan hukum yang luas.

Sifat pendidikan yang memberikan bekal untuk menjadi

seorang intelektual dengan kemampuan atau potensi yang

luas, pasti akan lebih berguna daripada pendidikan yang

sempit. Dalam hal ini, diperlukan tenaga-tenaga yang tidak

hanya profesional, tetapi juga memiliki dedikasi yang cukup.

Jenjang pendidikan di Indonesia bisa disebut dengan tiga

jenjang pendidikan, yang masing-masing disebut program.

Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.89

Program Tujuan Sifat Pendidikan

S-1 Tenaga terampil untuk masuk

ke pasaran kerja

Vocational training

yang ilmiah

S-2 Pengembangan ilmiah Melihat hukum

dengan

pandangan kritis

ke arah theory

building

S-3 Pengembangan ilmiah lebih

lanjut

SDA.

Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia

Sejak ribuan tahun sebelum kehadiran hukum modern,

berbicara mengenai hukum adalah berbicara mengenai

keadilan dan pencarian keadilan. Hukum dianggap muncul

secara alami dalam interaksi antara para anggota

89 Ibid., hlm 46-51.

113

masyarakat dengan nama yang bermacam-macam. Selama

ribuan tahun dikenal apa yang disebut hukum alam, di mana

dunia hukum menjadi tempat pertarungan hati (keadilan)

daripada pikiran (ratio). Kelahiran hukum modern telah

merombak secara fundamental tatanan sosial yang lama

menjadi suatu tatanan yang terstruktur secara rasional. Salah

satu hal yang terpenting adalah tergusurnya keadilan

sebagai satu-satunya parameter. Sehingga, memasuki dunia

hukum bukan lagi berburu keadilan melainkan

mengoperasikan substansi hukum modern, baik peraturan

maupun prosedurnya. Pengadilan tidak lagi menjadi “rumah

keadilan”, melainkan rumah undang-undang dan prosedur.90

Perlahan-lahan, hukum semakin bergeser menjadi

teknologi. Pekerjaan hukum yang sudah sarat dengan

penerapan undang-undang berikut prosedur, membutuhkan

skill yang bersifat teknis dan teknologis. Maka dapat

dibicarakan tentang teknologi berperkara. Tidak ada satu

pun hal yang berhubungan dengan keadilan, empati,

kejujuran, dan modalitas spiritual lainnya. Pembelajaran

hukum yang menjadi pabrik tempat memproduksi ahli-ahli

hukum tidak dapat secara bebas menentukan apa yang

ingin diajarkannya. Pembelajaran hukum harus menyiapkan

tenaga-tenaga yang nanti menjadi operator yang

menjalankan mesin hukum modern.

Lembaga pendidikan hukum harus mengacu kepada

peta besar hukum modern. Apabila hukum modern sudah

bergeser menjadi teknologi, kurikulum pendidikannya pun

menjadi demikian. Dengan demikian, hukum sudah kurang

dapat dipercaya untuk menjaga kemanusiaan. Selain itu,

masuknya kapitalisme dalam hukum dari pembelajaran

hukum menyebabkan hukum menjadi komoditas di mana

90 Ibid., hlm 57-59

114

persoalan pokoknya adalah bagaimana hukum menjadi alat

dan teknologi untuk mendapatkan keuntungan material.

Orang menjalankan pendidikan hukum untuk menjadi ahli

hukum dengan cita-cita dan harapan untuk mendapat

keuntungan dan kemewahan material, serta memenangkan

suatu perkara dibanding memikirkan dimensi kemanusiaan

hukum.91

Dengan demikian, salah satu gagasan untuk mengubah

itu semua adalah “pendidikan hukum berbasis manusia”.

Untuk itu, pertama harus diusahakan agar pendidikan

hukum bergeser dari profesional menjadi pro-manusia.

Maka, setiap berhadapan dengan masalah hukum kita tidak

langsung berhadapan dengan “perkara hukum”, melainkan

dengan “masalah manusia dan kemanusiaan”.

Pendidikan hukum dijadikan tempat untuk

mematangkan kemanusiaan di mana pendidikan

didahulukan untuk menjadi manusia serta bagaimana

menolong manusia yang susah dan menderita. Pertama-

tama, para mahasiswa baru sudah dihadapkan kepada

persoalan kemanusiaan yang akan menjadi modal dan

landasan mereka begitu melangkah ke dunia hukum.

Gagasan tentang pendidikan hukum berbasis manusia dan

kemanusiaan mendorong para pengelola program

pendidikan hukum untuk mendekonstruksi dan

merekonstruksi hal-hal dan cara-cara yang selama ini

dijalankan.92

[]

91 Ibid., hlm 59-64.92 Ibid., hlm 65-67.

115

Polisi Indonesia di Tengah

Perubahan Sosial93

LILIK HARYADI

BUKU berjudul Membangun Polisi Sipil karangan Prof

Satipto Raharjo ini agaknya menuju kepada pembahasan

wajah hukum dengan kajian sosial. Bagi Prof Tjip, menjadi

semacam khayalan belaka ketika seseorang yang

mempelajari hukum dan pada saat yang bersamaan

menyepelekan faktor sosial. Kajian mengenai kepolisian juga

sempat menjadi hal menarik yang dilakukan di lingkungan

Universitas Diponegoro, yaitu di Pusat Studi Kepolisian,

namun namanya belakangan seakan terlupakan tanpa ada

kajian lagi dan ditinggalkan seperti ruangannya yang tidak

tersentuh lagi. Padahal, Prof Tjip dalam kurun waktu 1991-

2000 menulis sebanyak 178 artikel tentang hukum, sebanyak

36 tulisan dimuat surat kabar selain harian Kompas dan 142

lainnya dimuat di Kompas. Prof Tjip menulis secara khusus

mengenai polisi Indonesia dalam 33 artikel.

Polisi diibaratkan sebagai wajah hukum kita sehari-hari.

Seperti kita ketahui, menurut Friedman, setidaknya ada tiga

faktor, yaitu substansi, struktur, dan kultur hukum. Polisi

dalam perubahan sosial seperti sekarang ini ditempatkan ke

93 Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Membangun Polisi Sipil:Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan (Jakarta: Penerbit BukuKompas, 2010), ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada17 Desember 2012 di Taman Budaya Raden Saleh, Semarang.

116

dalam salah satu cabang dari struktur hukum. Meskipun

seharusnya hukum bukan hanya melulu pada struktur,

perilaku dan kelembagaan polisi kerap dianggap sebagai

keadaan hukum di Indonesia.

Dalam membahas polisi di

Indonesia, Prof Tjip agaknya

berada pada kondisi

pemakaian ilmu sosial sebagai

penelaah permasalahan

hukum. Sosiologi digunakan

sebagai tool of analysis dalam

berbagai fenomena hukum

yang dikaji. Dalam buku ini,

sosiologilah yang dipakai

sebagai alat untuk

menjabarkan polisi dalam dua

bidang, yaitu kelembagaan dan

perilaku polisi. Polisi

didudukkan sebagai subjek dalam pengkajian perubahan

atau dinamika sosial yang terjadi dalam dunia hukum.

Perubahan dinamika sosial dalam masyarakat dijadikan

aspek untuk membaca kepolisian Indonesia. Dengan

perubahan sosial yang dipengaruhi oleh pemikiran modern

dan melahirkan perkembangan ilmu, paradigma terhadap

keadaan hukum berubah. Kemajuan di bidang teknologi

juga menjadi tanda bergeraknya pola kehidupan, dan juga

batas-batas wilayah yang semakin mengglobal memaksa

dunia hukum dan kepolisian Indonesia segera mengubah

paradigma jika lembaga kepolisian Indonesia tidak mau

menjadi sangat usang dalam menghadapi masyarakat

Indonesia yang menuju ke arah globalisasi.

117

Dalam masa demokrasi yang sarat dengan benturan

kepentingan untuk mempertahankan status quo, polisi juga

dihadapkan pada dua pilihan: membela rezim ataukah

berada pada masyarakat yang pro-rakyat. Ini dikatakan

pilihan sulit bagi polisi untuk mendudukan dirinya pada

transisi perubahan sosial. Akankah harus keluar dari militer

dan mencoba membangun karakter sipil sebagai a civilian in

uniform atau masih berada dalam penyambung kekuasaan.

Sejarah panjang polisi yang dipaksa berkarakter militer

sekarang berangsur harus bertindak sebagai sipil.

Menurut Prof Tjip, tantangan perubahan dalam diri

polisi Indonesia adalah bagaimana ia bertindak dan

memperlakukan masyarakat sebagai orang sipil. Polisi harus

menempatkan diri kapan bertindak dengan karaker a strong

hand of society dan kapan harus bertindak dengan karaker

soft hand of society. Paradigma ganda yang dimaksud yang

pertama adalah paradigma kekuasaan. Paradigma ini

menunjukkan, polisi dalam jenjang vertikal berhadapan

dengan rakyat. Oleh hukum, polisi diberi kewenangan untuk

menegakkan hukum. Di sini, hubungan polisi dengan rakyat

adalah atas-bawah atau hierarkis, di mana polisi ada pada

kedudukan yang memaksa, sedangkan rakyat wajib

mematuhi.

Paradigma yang kedua adalah kemitraan dan

kesejajaran. Di sini, polisi dan rakyat berada pada aras yang

sama atau hubungan yang bersifat horisontal. Tugas yang

oleh hukum diberikan kepada polisi adalah mengayomi,

melindungi, membimbing, dan melayani masyarakat. Yang

terjadi sekarang, polisi masih dalam proses menuju, belum

sampai pada sesuatu yang dituju. Kita lihat sekarang ini

makin banyak permasalahan kompleks yang ditimbulkan

oleh polisi Indonesia, tindakan represif pun masih terlihat.

118

Semua itu tidak terlihat mudah begitu saja untuk

dijalankan. Beberapa permasalahan seperti sumber daya

polisi yang belum mampu memahami sepenuhnya makna

hukum secara mendetail, menjadikan hukum berjalan sesuai

dengan tangan polisi yang memegangnya, padahal polisi itu

merupakan tangan pertama dalam penegakan hukum.

Apabila polisi masih berparadigma pemaksaan kekuasaan

negara terhadap rakyat, maka hukum masih dimaknai pula

sebagai perintah penguasa terhadap rakyatnya yang dalam

hal ini masih berada dalam konteks negara jajahan.

Lembaga kepolisian masih berupa lembaga yang

eksklusif bagi penegakan hukum yang berbasis keadilan.

Masih banyak perkara hukum sehari-hari yang

dibengkokkan di depan polisi yang tidak mengerti arti

keadilan. Keadilan acapkali dikesampingkan daripada

kepastian hukum sesuai dengan peraturan tertulis yang

dipegang oleh polisi. Padahal, kehidupan masyarakat yang

dinamis semakin berkembang seiring perkembangan zaman

itu sendiri. Tumbuhnya kreasi modern dengan

perkembangan teknologi mengubah pola kehidupan

modern yang pada akhirnya juga melahirkan tatanan

institusi baru seperti demokrasi, hukum modern, dan

birokrasi. Kepolisian akhirnya dituntut untuk mampu

berakomodasi dengan kemajuan dalam teknologi dan juga

derivat sosialnya tersebut, atau memilih untuk menjadi kuno

dan ketinggalan.

Sedikit menilik ke belakang, sejarah panjang kepolisian

Indonesia yang pada awalnya diposisikan sebagai militer

bergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

dengan paradigma militer. Kesalahan mendasar apabila

polisi diposisikan ke dalam tataran militer. Kesalahan

mendasar ini diakhiri dengan dipisahkannya Polri dari ABRI,

dan ini menjadi tonggak perubahan polisi baru. Prof Tjip

119

memberikan pandangan bahwa lebih dari itu harus ada

tonggak baru di mana peralihan dari polisi baru itu ke dalam

polisi sipil dalam masyarakat sekarang ini.

Mengembangkan Polisi Sipil

Lembaga kepolisian terus bertransformasi seiring

dengan perkembangan masyarakat yang dinamis. Namun,

pekerjaan menjadikan polisi Indonesia sebagai polisi sipil

membutuhkan waktu yang panjang, karena posisi Polri

dalam ABRI di masa lalu telah memperparah kerusakan

profesionalisme polisi. Paradigma kepolisian masih belum

sepenuhnya menjadikan polisi berjiwa sipil. Segi sumber

daya polisi juga belum mampu memenuhi kebutuhan untuk

menegakkan hukum; rekrutmen yang dilakukan polisi saat

ini masih rendah. Dalam buku ini, dijelaskan pula tingkat

pendidikan mempengaruhi manusia untuk menerima

tentang keterbukaan, hak asasi manusia, dan perubahan.

Makna polisi yang berwatak sipil dapat dikatakan

dengan sederhana sebagai suatu cara perpolisian yang

menempatkan pada titik pusat perhatian. Artinya, cara-cara

polisi menjalankan pekerjaannya tidak boleh menyebabkan

manusia kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya.

Sehingga, dimensi moral menjadi kental dalam pekerjaan

polisi. Bukan hanya menjalankan pekerjaan secara pendek

dengan menggunakan cara yang gampang memaksa dan

menggunakan kekerasan belaka, tetapi juga bersedia

mendengarkan dan mencari tahu hakikat dari penderitaan

manusia. Polisi yang berjiwa pada nilai-nilai dan bukan

menjadi boneka yang bergerak atas dasar komando searah

dari atasan kepada bawahan. Tetapi yang terjadi masih

banyak polisi yang tunduk pada peraturan-peraturan yang

mengatur tugas polisi tanpa mau menangkap makna

menyeluruh dari fungsi polisi. Diistilahkan dalam buku ini

120

sebagai “robot-robot hukum belaka” yang bergerak dengan

kaku mendasarkan pada patokan pasti yang itu justru

menjadikan polisi makin jauh dari jiwa sipil.

Polisi kerap kali dikaitkan dengan hak asasi manusia,

seperti dalam sejarah kelam kepolisian Indonesia, di mana

polisi-polisi terlibat dalam Tragedi Trisakti, dan sampai

sekarang masyarakat tidak pernah tahu siapa yang

sebenarnya bertanggung jawab dalam tragedi yang

menewaskan empat mahasiswa itu. Belakangan, polisi juga

menjadi lembaga yang bersinggungan dengan lembaga lain

seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses

penyidikan dan penyelidikan dalam kasus korupsi.

Dalam bab akhir buku ini, berjudul “Polisi yang

Progresif”, disebutkan bahwa arah pembangunan kepolisian

Indonesia di masa yang akan datang menjadi polisi yang

progresif yang berjiwa sipil. Pekerjaan polisi sulit diatur

hukum. Mengapa demikian? Karena ia bergelimang interaksi

dengan manusia dan masyarakat. Disebutkan bahwa

karakteristik polisi sebagai penegak hukum jalanan. Polisi

berbeda dari jaksa dan hakim yang disebut sebagai penegak

hukum gedongan. Polisi adalah petugas lapangan, bekerja

tanpa sarung tangan, dan tidak berdiri di belakang loket.

Mereka berada langsung di tengah masyarakat baik dan

jahat. Di Amerika Serikat, jika seorang polisi berpamitan

kepada istri untuk berangkat bekerja, itu menjadi pertanda

salam perpisahan selamanya. Bagaimana dengan di

Indonesia?

Maka dari itu, polisi harus progresif. Nihil apabila polisi

hanya didasarkan kepada peraturan hukum yang ada.

Berapa ratus undang-undang dibutuhkan, berapa ribu

halaman kitab hukum harus disediakan jika pekerjaan polisi

ingin diatur secara tuntas dan rinci. Wacana diskresi dalam

121

kepolisian menjadi contoh keleluasaan dan kelonggaran

yang diperlukan bagi pekerjaan polisi. Kekakuan pengaturan

polisi bisa fatal. Untuk mewadahi keleluasaan dan

kelonggaran itulah, maka ada pilihan untuk melakukan

tindakan (course of action). Semisal bagaimana polisi harus

bertindak ketika ada seorang dekil, miskin, dan kurus

melakukan kejahatan kecil: mungkin bisa saja polisi

membiarkannya pergi dan bahkan memberikannya uang.

Maka, hukum progresif bisa dilaksanakan oleh polisi, dan

berpeluang besar karena hukum menyediakan banyak

peluang agar polisi dapat menjadi pahlawan bagi

bangsanya, dengan bertindak progresif, membuat pilihan-

pilihan tepat dalam pekerjaannya. Namun, peluang itu jika

tidak dijiwai dengan nilai-nilai dapat menjerumuskan polisi

itu ke jurang “kenistaan” dengan menjadi polisi korup, suka

melakukan kekerasan, pelecehan (harassment), dan lain

sebagainya.

Pertanyaan yang diajukan sekarang ini adalah apakah

kepolisian kita sudah memenuhi keadaan dan panggilan

masa, yaitu menjadi alat suatu negara yang merdeka dan

demokratis, dan bukan alat kekuasaan? Dapatkah polisi

bertindak secara sipil dengan hukum yang progresif

berlandaskan nilai-nilai dan tidak sebatas pada prosedural?

Hal itulah yang perlu kita diskusikan bersama. Prof Tjip

tidak memaksakan untuk mengartikan polisi sebagai apa,

namun tetap membiarkan wacana pemikiran terus bergerak

sesuai dengan dinamika sosial agar hasil dari pemikiran

memang benar-benar bermuara kepada tujuan

menyejahterakan rakyat dengan hukum. []

122

Rakyat Bahagia di Negara Hukum94

JAMES MARIHOT PANGGABEAN

MESKI rezim telah berganti, penegakan hukum di negeri ini

semakin terpuruk dan, suka tidak suka, keterpurukan itu

berpengaruh terhadap sektor kehidupan lain, terutama

sektor perekonomian. Sejak dilengserkannya Soeharto dan

bergantinya pemimpin yang baru dalam pemerintahan

berlabel demokrasi dengan landasan negara hukum,

semakin besarlah peran yang diharapkan dari Mahkamah

Agung.

Institusi yang dikenal sebagai Mahkamah Agung (di

negara-negara berbahasa Inggris disebut sebagai The

Supreme Court dan negara-negara berbahasa Belanda

disebut sebagai Hoge Raad) merupakan instrumen yang

terpenting dalam upaya pencarian keadilan, dan bukan

sekadar sebagai tempat di mana hukum formal berproses.

Penulis ingin menyatakan bahwa meski rezim Soeharto telah

runtuh secara formal, namun dalam kenyataan sosiologis,

roh rezim Soeharto masih berkuasa dan hidup dalam jiwa

kepemimpinan saat ini.

Soeharto bersama anak-cucunya masih memiliki

kekuasaan yang masih sangat besar, di mana dengan

94 Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Negara Hukum yangMembahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), inidisampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 11 Oktober 2012,di Ruang C104, Gedung Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro.

123

kekuasaan tersebut mereka masih dapat melakukan banyak

hal yang memengaruhi perjalanan kehidupan di negeri ini.

Selain itu, dalam pemerintahan yang sering menamakan diri

sebagai pemerintahan Reformasi ini, dalam kenyataannya

masih terikut sosok-sosok rezim otoriter Soeharto, sosok-

sosok yang sangat terlibat dalam penentuan kebijakan

dalam era Soeharto, sehingga

suka tidak suka, mereka turut

mempunyai saham yang cukup

besar dalam kehancuran

perekonomian dan moral bangsa

Indonesia, yang dilakukan selama

lebih dari tiga dasawarsa.

Penulis akan memulai diskusi

yang diambil dari buku Prof

Satjipto Rahardjo yang berjudul

Negara Hukum Yang

Membahagiakan Rakyatnya

dengan, pertama, berangkat dari pernyataan beliau dalam

kata pengantar buku Membedah Hukum Progresif yang

menyatakan bahwa:95

“Mendirikan negara hukum tidak sama dengan

memancangkan sebuah papan nama dan sim-salabim

semuanya selesai. Itu baru awal dari pekerjaan besar

membangun sebuah proyek raksasa yang bernama

negara hukum. Tanpa memahaminya sebagai demikian,

kita akan mengalami kekecewaan, bahkan mungkin rasa

frustrasi. Disebut proyek raksasa, oleh karena yang kita

hadapi adalah sebuah pekerjaan yang melibatkan begitu

banyak sektor kehidupan, seperti hukum, ekonomi,

95 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit BukuKompas, 2007), hlm xvii.

124

politik, sosial dan last but not least perilaku kita sendiri.

Dengan demikian, sejak pagi kita perlu bersiap-siap

untuk melakukan pekerjaan yang memakan waktu lama,

membutuhkan kecerdasan, kearifan, keuletan, kesabaran,

dan tentu saja pengerahan energi yang amat besar.”

Dan penulis juga memasukkan suatu pernyataan mantan

hakim Indonesia, yaitu Prof Baharudin Lopa, dalam

penegakan hukum Indonesia yang sangat berkaitan ketika

berbicara mengenai membahagiakan rakyat di negara

hukum, yang menyatakan:96

“Dalam membicarakan persoalan integritas moral tak

dapat dipisahkan budaya malu yang dimiliki seseorang.

Mengapa? Karena, tidak mungkin seseorang tidak

merasa malu melakukan perbuatan tidak terpuji, kalau ia

sudah bermoral sebagaimana diajarkan oleh setiap

agama, bahwa malu adalah sebagian dari iman (moral).

Hanya orang yang bermoral yang malu melakukan

perbuatan tidak terpuji tersebut. Mereka tidak

melakukan perbuatan itu, bukan karena takut ditangkap

atau dihukum, tetapi karena malu kepada sesama,

terutama malu dan takut kepada Allah. Orang yang

berkepribadian inilah yang mampu menjadi teladan.

Sedangkan unsur keteladanan ini sangat mutlak dimiliki

oleh kalangan atas agar dapat dicontoh dan diikuti oleh

seluruh jajarannya.”

Oleh karena itu, untuk memperbaiki penegakan hukum

demi mencapai kebahagiaan rakyat di negara hukum

Indonesia, beliau menyatakan perlunya terlebih dahulu

dilakukan pembenahan internal secara optimal di dalam

96 Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Bogor: Penerbit GhaliaIndonesia, 2005), hlm 42.

125

institusi-institusi penegakan hukum, terutama di puncaknya

masing-masing, seperti di kalangan petinggi Kepolisian,

Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan

Mahkamah Agung.97

Kedua, saya akan memulai diskusi saat ini dengan

berangkat dari beberapa gagasan, yaitu (1) konsep negara

hukum antara Rechtstaat dan the Rule of Law dan (2)

bagaimana membahagiakan rakyat di negara hukum.

Konsepsi Negara Hukum Rechtstaat dan the Ruleof Law

Dalam khazanah ilmu hukum, terdapat dua istilah

Rechtstaat and the Rule of Law yang dalam bahasa

Indonesia memiliki kesamaan arti, yaitu negara hukum.

Namun, di balik kesamaan arti tersebut terdapat perbedaan

antara Rechtstaat and the Rule of Law. Sebagaimana

diidentifikasikan oleh Roscoe Pound, Rechtstaat memiliki

karakter administratif, sedangkan the Rule of Law

berkarakter yudisial.98

Rechtstaat bersumber dari tradisi hukum negara-negara

Eropa kontinental yang bersandar pada civil law dan

legisme, yang menganggap hukum adalah hukum tertulis.

Kebenaran hukum dan keadilan dalam Rechtstaat terletak

pada ketentuan, bahkan pembuktian, yang tertulis. Hakim

yang baik menurut paham civil law dalam Rechtstaat adalah

yang dapat menerapkan atau membuat putusan sesuai

dengan bunyi undang-undang. Pilihan pada hukum tertulis

97 Loc. cit.98 Moh Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstutusi(Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES, 2006), hlm 24.

126

dan paham legisme di Rechtstaat didasari oleh penekanan

pada kepastian hukum.99

The Rule of Law berkembang pada tradisi hukum

negara-negara Anglo Saxon yang mengembangkan

common law (hukum tak tertulis). Kebenaran hukum dan

keadilan dalam the Rule of Law bukan semata-mata hukum

tertulis, bahkan di sini hakim dituntut untuk membuat

hukum-hukum sendiri melalui yurisprudensi tanpa harus

terikat secara ketat kepada hukum-hukum tertulis. Putusan

hakimlah yang dianggap hukum yang sesungguhnya

daripada hukum-hukum tertulis. Hakim diberi kebebasan

untuk menggali nilai-nilai keadilan dan membuat putusan-

putusan sesuai dengan rasa keadilan yang digalinya dari

masyarakat.

Hakim yang baik adalah hakim yang dapat membuat

keputusan berdasarkan nilai keadilan yang digalinya dari

masyarakat. Keleluasaan diberikan kepada hakim untuk tidak

terlalu terikat pada hukum-hukum tertulis, karena

penegakan hukum ditekankan pada pemenuhan rasa

keadilan, bukan pada hukum-hukum formal. Perbedaan

konsepsi tersebut terletak pada operasionalisasi atas

substansi yang sama, yakni perlindungan atas hak-hak asasi

manusia, di mana kedua konsepsi negara hukum tersebut

sama-sama bertujuan memberikan perlindungan atas hak-

hak asasi manusia.

Perbedaan itu sebenarnya lebih banyak dilatarbelakangi

oleh sejarah hubungan antara raja (yang ketika itu menjadi

personifikasi pemerintah) dan hakim dalam memutus

perkara yang masuk ke pemerintah. Rechtstaat yang

berkarakter administratif dilatarbelakangi oleh kekuasaan

99 Loc. cit.

127

raja pada zaman Romawi yang ketika itu mempunyai

kekuasaan menonjol dalam membuat peraturan-peraturan

melalui berbagai dekrit.

Raja kemudian mendelegasikan kekuasaan tersebut

kepada pejabat-pejabat administratif untuk membuat

pengarahan tertulis kepada hakim tentang cara memutus

sengketa. Peran besar administratif seperti inilah yang

kemudian mendorong tampilnya sistem kontinental sebagai

rahim pertama yang melahirkan cabang baru dalam bidang

hukum, yakni hukum administrasi yang berintikan hubungan

antara administrasi dan rakyat.

Sedangkan dalam the Rule of Law yang mulanya berasal

dari Inggris, kekuasaan menonjol raja adalah memutuskan

perkara yang kemudian dikembangkan menjadi sistem

peradilan. Raja mendelegasikan kekuasaannya kepada hakim

untuk mengadili dan hakim menerima delegasi itu, tetapi

dalam bertugas mengadili ia bukan melaksanakan kehendak

raja. Ketika itu di Inggris (sebagai induk the Rule of Law)

hakim tidak mengadili berdasarkan dekrit tentang peraturan

seperti yang terjadi di Romawi (sebagai induk Rechtstaat)

melainkan mengadili berdasar “the common custom of

England”.100

Jika di Eropa kontinental yang terjadi adalah bertambah

besarnya peranan administrasi, maka di Anglo Saxon yang

terjadi adalah bertambah besarnya peranan peradilan dan

hakim. Jika Eropa kontinental yang kemudian dipikirkan

adalah cara untuk membatasi kekuasaan administrasi

melalui pembentukan hukum administrasi, maka di Inggris

dan Anglo Saxon yang kemudian dipikirkan adalah cara-cara

untuk membangun peradilan yang adil.

100 Loc. cit.

128

Negara hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) mengambil konsep

prismatik atau integratif dari dua konsepsi tersebut,

sehingga prinsip kepastian hukum dalam Rechtstaat

dipadukan dengan prinsip “keadilan” dalam the Rule of Law.

Indonesia tidak memilih salah satunya melainkan memakai

atau memasukkan unsur-unsur baik keduanya. Indonesia

telah melakukan empat kali amendemen terhadap UUD

1945, dan saat ini tidak lagi tercantum istilah “rechstaat”

secara eksplisit.101

Istilah rechtstaat semula tercantum dalam Penjelasan

UUD 1945 pada bagian Umum, subbagian Sistem

Pemerintahan Negara, yang menyebutkan istilah rechtstaat

sampai dua kali, yakni Angka 1 yang berbunyi “Indonesia

ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat), tidak

berdasar kekuasaan belaka (Machtstaat).” Namun, setelah

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyepakati bahwa

dalam melakukan amendemen Penjelasan UUD 1945

ditiadakan dari UUD 1945 dan isinya yang bersifat normatif

dimasukkan dalam pasal-pasal, maka istilah rechtstaat ikut

ditiadakan.102

Pada perubahan Ketiga UUD 1945 (tepatnya pada

Sidang Tahunan MPR tahun 2001), prinsip Negara Hukum

kemudian dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (3) dengan istilah

yang netral (tanpa menyebut Rechtstaat atau The Rule of

Law), yang persisnya berbunyi: “Negara Indonesia adalah

negara hukum.”103

101 Loc. cit.102 Loc. cit.103 Loc. cit.

129

Bahagia di Negara Hukum

Pada 17 Agustus 1945, Indonesia lahir sebagai negara

baru di tengah masyarakat dunia. Kecuali pengumuman

tentang bentuk negara, yaitu republik, Indonesia juga

menyatakan diri sebagai negara berdasar hukum (negara

hukum). Lebih dari setengah abad kemudian, Republik

Indonesia masih harus bergulat dengan berbagai masalah

mendasar yang timbul sebagai akibatnya. Eksistensi

Republik Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata masih

harus terus dibina dan dipertahankan.104

Selain itu, pembangunan negara hukum ternyata belum

juga selesai dengan baik, bahkan yang terjadi adalah

sebaliknya: Indonesia menjadi terkenal di dunia sebagai

negara dengan sistem hukum sangat buruk. Yang dimaksud

dengan pembangunan yang belum kunjung selesai di sini

adalah bagaimana menghadikan negara hukum itu suatu

organisasi yang secara substansial mampu menjadi rumah

yang menyenangkan, menyejahterakan, dan

membahagiakan bagi bangsa Indonesia.

Selama ini, negara hukum hanya dipahami sebatas pada

bagaimana suatu negara mengakui bahkan mengklaim telah

memiliki berbagai syarat-syarat normatif dan secara

otomatis negara tersebut dikatakan sebagai negara hukum.

Ukuran negara hukum ada atau tidak hanya diukur dari

terpenuhinya berbagai unsur-unsur kategoris, seperti

supremasi hukum, persamaan dalam hukum, proses hukum

yang adil, peradilan bebas dan tidak memihak, dan lain

sebagainya. Dan, sebenarnya, kategori-kategori tersebut

belum dianggap selesai.

104 Satjipto Rahardjo, op. cit., hlm 46.

130

Pemahaman negara hukum tersebut telah mengubur

sosok negara hukum yang seharusnya tampil ke permukaan.

Kita terjebak dalam konsep pemahaman yang serba-

normatif-positivistik, padahal negara hukum tidak menjadi

sempurna dan menjadi akhir dari segalanya. Tetapi, negara

hukum merupakan sebuah sosok yang terus menjadi dan

mengada.

Berkaca dari Jepang

Kita dapat melihat pada Jepang yang dulunya berhasil

menutup diri terhadap dunia luar akhirnya mengambil sikap

untuk membuka diri karena adanya todongan meriam dari

Komodor Matthew Perry pada 1853. Itulah awal Jepang

membuka diri dengan dunia dan bangsa-bangsa di luar

Jepang. Pada saat Jepang membuka diri dengan negara lain,

diperkenalkan pula konsep negara hukum dan negara

modern.105

Jepang harus berhadapan dengan hukum dan negara

yang berbeda daripada yang selama ini mereka kenal. Dan,

dapat ditafsirkan, bagi bangsa Jepang, hukum memiliki

makna jalan air, arus yang mengaliri suatu jalan yang dilalui

bersama-sama oleh para anggota masyarakat dalam

suasana harmoni. Tetapi, pemahaman yang demikian itu

segera diguncang oleh masuknya konsep Barat mengenai

hukum dan negara.

Dalam kosakata hukum Jepang asli, tidak ada konsep

dan kata hak. Yang ada hanyalah kewajiban dan tanggung

jawab dan selebihnya berupa karunia yang diberikan oleh

raja. Negara dalam tradisi Jepang adalah Sang Kakak (Big

105 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya(Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm 32.

131

Brother) yang selalu memikirkan kesejahteraan untuk para

adiknya. Mereka tidak perlu bersusah-susah berjuang untuk

mencapai kesejahteraan, karena Sang Kakak sudah

menyediakan semua yang diperlukan.

Untuk memahami mengapa negara dianggap sebagai

Sang Kakak yang selalu memperhatikan kebutuhan rakyat

tanpa harus diminta, kita perlu mencari penjelasan pada

karakteristik kejiwaan orang Jepang. Takeo Doi adalah

seorang psikiater Jepang yang dibesarkan di Jepang dan

sesudah Perang Dunia II memperdalam ilmu di Amerika

Serikat. Di situlah Doi dihadapkan pada perbedaan

karakteristik antara orang Jepang dan Amerika Serikat.106

Amae adalah sikap kejiwaan yang menggantungkan diri

kepada orang lain dan percaya bahwa orang lain akan

berbuat baik kepadanya. Di sisi lain, kata Sumanai (rasa

bersalah), yaitu ketika tidak melakukan sesuatu yang

seharusnya dikerjakan, menimbulkan gangguan kepada

hubungannya dengan orang lain. Sekalian karakteristik

kejiwaan tersebut membantu menjelaskan, mengapa rakyat

Jepang begitu percaya kepada negara dan menyerahkan

nasib sepenuhnya kepada negara.107

Hal tersebut mereka

lakukan karena mereka percaya, negara akan memberikan

apa yang mereka butuhkan, tanpa harus menuntutnya. Di

lain pihak, negara akan merasa bersalah apabila tidak

berbuat baik kepada rakyatnya.

Pembelajaran lain yang diberikan kepada kita adalah

konsistensi dan persistensi bangsa Jepang dalam

memegang tradisi budayanya. Lalu pertanyaan yang timbul

pula, apakah Indonesia tidak memiliki budaya sehingga

106 Ibid., hlm 56.107 Loc. cit.

132

pemimpin negara (pemerintah) tidak pernah mendengar

dan melihat penderitaan rakyat selama ini?

Jika demikian di negara Jepang, lalu bagaimana di

negara Indonesia dalam membawa kesejahteraan dan

perlindungan kepada masyarakat? Seperti yang sudah saya

sampaikan dalam awal penulisan ini, bahwa digunakan kata

“negara hukum yang meng-Indonesia”, sekedar untuk

menegaskan, betapa pentingnya untuk menyadari, negara

hukum Indonesia tidak hanya sebuah merek, melainkan

benar-benar dimaknai sebagai proses menjadi Indonesia.

Indonesia Akan Bahagia

Kalau pada 17 Agustus 1945 kita memproklamasikan

kelahiran negara hukum Republik Indonesia, maka yang ada

dalam pikiran kita waktu itu adalah sejak hari pertama itu

kita sudah menjadi negara hukum secara “tuntas-

sempurna”. Ide bagus, namun terlalu bagus sehingga

sebetulnya kita bermimpi. Secara formal memang begitu,

tetapi substansial perjalanannya masih jauh. Membangun

negara hukum adalah proyek yang sangat besar.

Hal ini penting untuk direnungkan sebagai modal

membangun bangsa dari suatu negara hukum. Negara

hukum tidak instan, tetapi harus dibangun. Negara hukum

adalah konsep modern yang tidak tumbuh dari dalam

masyarakat Indonesia sendiri, tetapi “barang impor”. Proses

menjadi negara hukum bukan merupakan bagian dari

sejarah sosial-politik bangsa kita di masa lalu, seperti terjadi

di Eropa. Negara hukum adalah bangunan yang “dipaksakan

dari luar”. Dengan demikian, membangun negara hukum

133

adalah membangun perilaku bernegara hukum,

membangun suatu peradaban baru.108

Di sini, penulis juga akan mengajak untuk melihat

bagaimana kondisi di Eropa hingga sampai menjadi negara

konstitusional seperti yang termuat dalam tulisan Prof

Satjipto Rahardjo. Eropa harus mengalami keambrukan

sistem sosial yang satu disusul keambrukan berikutnya, dari

feodalisme, staendestaat, negara absolut, dan baru

kemudian menjadi negara konstitusional. Masing-masing

keambrukan itu memberikan jalan kepada lahirnya Negara

hukum modern. Eropa, sebagai ajang persemaian konsep

negara hukum, membutuhkan waktu tidak kurang dari

sepuluh abad, sebelum kelahiran rule of law dan negara

konstitusional.

Gagasan bernegara hukum, menjalankan hukum,

janganlah direduksi dan dipersempit menjadi praktik

menjalankan undang-undang secara hitam putih atau

menurut kalimat dalam pasal undang-undang belaka.

Negara hukum juga jangan direduksi menjadi negara

prosedur hukum. Inilah yang membuat kita menjadi tidak

sejahtera dan bahagia hidup di negara hukum. Sekali lagi

dikatakan bahwa membangun negara hukum adalah proyek

yang sangat besar dan karena itu memakan waktu yang

sangat lama dan pengerahan energi yang besar pula.

Negara hukum yang membahagiakan rakyatnya

cenderung untuk menjadi negara hukum yang progresif, bila

dilihat dari inisiatif yang selalu datang dari pihak negara.

Untuk mewujudkannya, negara akan selalu aktif mengambil

inisiatif untuk bertindak. Bukan rakyat yang harus “meminta-

minta” untuk dilayani oleh negara, melainkan negaralah

108 Satjipto Raharjo, op. cit.., hlm 48.

134

yang aktif datang kepada rakyat. Di sini, gambaran tentang

negara hukum Indonesia yang dicita-citakan menjadi dekat

dengan “benevolent state” pada bangsa Jepang.

Sudah enampuluh tahun lebih Indonesia merdeka dan

bernegara hukum, tetapi sesudah negara itu berdiri ternyata

masih banyak tugas yang harus kita kerjakan ke depan

untuk terus menerus dibangun. Kita bernegara hukum untuk

membawa rakyat merasa bahagia hidup dalam negara

hukum Indonesia dengan adanya penegak hukum yang

memiliki integritas dan moral. Penulis yakin, Indonesia pasti

akan lebih baik di masa depan! []

135

Para Pemantik

DIANDRA PRELUDIO R. Menamatkan studi

pada Magister Ilmu Hukum, Universitas

Diponegoro (2014); Fakultas Hukum,

Universitas Diponegoro (2011); SMA Negeri

1 Semarang; SLTP Negeri 3 Semarang; dan

SD Negeri Kembang Paes. Lahir di Tuban

pada 7 September 1988, ia pernah menjadi

Kepala Departemen Hubungan Masyarakat, Himpunan

Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro. Dapat dihubungi melalui

[email protected] dan 085640197797.

BENNY PRASETYO. Menamatkan studi pada

Magister Ilmu Hukum, Universitas

Diponegoro (2014); Fakultas Hukum,

Universitas Diponegoro (2011); SMA Negeri 1

Semarang; dan SMP Negeri 8 Semarang.

Lahir di Semarang pada 21 Maret 1989, ia

dapat dihubungi melalui

[email protected].

UNU P HERLAMBANG. Menamatkan studi

pada Fakultas Hukum, Universitas

Diponegoro (2012). Lahir di Madiun pada 16

Desember 1989, ia pernah menjadi

Pimpinan Penelitian dan Pengembangan

Lembaga Pers Mahasiswa Gema Keadilan

periode 2010-2011. Sekarang sedang

136

menempuh studi di Program Magister Ilmu Hukum,

Universitas Diponegoro, sembari menjadi peneliti Satjipto

Rahardjo Institute. Menamatkan pendidikan dasar di SD

Negeri Kartoharjo 1 Madiun (2002), SMP Negeri 1 Madiun

(2005), dan SMA Negeri 2 Madiun (2008). Dapat dihubungi

melalui [email protected], @unuherlambang, dan

085645929805.

MUHTAR SAID. Lahir di Semarang pada 5

Desember 1988, ia kini adalah Manajer Riset

Democracy Watch Organization (Dewa Orga);

Kepala Sekolah Tan Malaka, Semarang;

pendiri Satjipto Rahardjo Institute; dan

penggagas Pusat Studi Tokoh Hukum

(Pustokum). Menamatkan studi pada

Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro (2013). Dapat

dihubungi melalui 085640283987.

AP EDI ATMAJA. Menamatkan studi pada

Magister Ilmu Hukum, Universitas

Diponegoro (2013); Fakultas Hukum,

Universitas Diponegoro (2012); SMA Negeri 5

Semarang (2008); SMP Negeri 28 Semarang

(2005); dan MI Ianatusshibyan Semarang

(2002). Lahir di Kendal pada 17 Juni 1990, ia

pernah menjadi Pimpinan Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa

Gema Keadilan periode 2010-2011. Dapat dihubungi melalui

[email protected], @jagunk55, dan 08562690222.

BENNY KARYA LIMANTARA. Menamatkan

studi pada Magister Ilmu Hukum, Universitas

Diponegoro (2014); Fakultas Hukum,

Universitas Bandar Lampung; SMA Negeri 4

Bandar Lampung; SMP Negeri 23 Bandar

Lampung; dan SD Negeri 2 Tanjung Gading,

137

Bandar Lampung. Lahir di Bandar Lampung pada 23 Mei

1990, ia dapat dihubungi melalui 081957464621.

SYANDI RAMA SABEKTI. Menamatkan

studi pada Magister Ilmu Hukum,

Universitas Diponegoro (2014); Fakultas

Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara

(2011); SMA Negeri 1 Bebesen; SMP

Negeri 1 Takengon; dan SD Negeri Buntul

Kubu Takengon. Lahir di Takengon pada

22 Februari 1989, ia dapat dihubungi

melalui [email protected], 082325579467, dan

082365690022.

ALFAJRIN A TITAHELUW. Menamatkan

studi pada Magister Ilmu Hukum,

Universitas Diponegoro (2014); Fakultas

Hukum, Universitas 17 Agustus 1945,

Semarang; SMA Negeri 1 Ternate; SMP

Negeri 7 Ternate; dan SD Negeri Pertiwi 2

Ternate. Lahir di Nuku pada 16 Februari

1991, ia dapat dihubungi melalui

[email protected] dan 081228264459.

RIAN ADHIVIRA. Menamatkan studi pada

Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

(2013). Lahir di Semarang pada 14 Juli 1990,

ia adalah pendiri Komunitas Payung dan

peneliti Satjipto Rahardjo Institute.

Sekarang sedang menempuh studi di

Program Magister Ilmu Hukum Universitas

Diponegoro sembari merampungkan studi pada Fakultas

Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata. Menamatkan

pendidikan dasar di SD Negeri Perumnas Krapyak Semarang,

SMP Negeri 1 Semarang, dan SMA Negeri 1 Semarang, ia

138

dapat dihubungi melalui [email protected],

@rianadhivira, dan 085741918065.

NINDI ACHID ARIFKI. Menamatkan studi

pada Magister Ilmu Hukum, Universitas

Diponegoro (2014); Fakultas Hukum,

Universitas Negeri Semarang (2011); SMA

Negeri 1 Godong; SMP Negeri 1 Godong;

dan SD Negeri 4 Godong. Lahir di Godong

pada 1 Agustus 1989, ia pernah menjadi

Kepala Biro Pendidikan Perhimpunan Mahasiswa Hukum

Indonesia (Permahi) Dewan Perwakilan Cabang Semarang.

Dapat dihubungi melalui [email protected],

[email protected], dan 089669166554.

RAHMAD SYAHRONI RAMBE. Menamatkan

studi pada Magister Ilmu Hukum,

Universitas Diponegoro (2014); Fakultas

Hukum, Universitas Sumatera Utara (2010);

SMA Negeri 3 Plus Rantauprapat; SMP

Negeri 2 Rantauprapat; dan SD 112143

Rantauprapat. Lahir pada 18 April 1988, ia

dapat dihubungi melalui melalui

[email protected] dan 085297022833.

LILIK HARYADI. Menamatkan studi pada

Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

(2012). Lahir di Klaten pada 10 Mei 1990,

ia pernah menjadi Redaktur Pelaksana

Majalah Lembaga Pers Mahasiswa Gema

Keadilan Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro periode 2010-2011.

Sekarang sedang menempuh studi di

Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro.

Menamatkan pendidikan dasar di SD 1 Pundungsari (2002),

139

SMP Negeri 1 Cawas (2005), dan SMA Negeri Cawas (2008),

ia dapat dihubungi melalui [email protected] dan

085729225161.

JAMES MARIHOT PANGGABEAN.

Menamatkan studi pada Magister Ilmu

Hukum, Universitas Diponegoro (2014);

Fakultas Hukum, Universitas Trunojoyo

(2011); SMA St Thomas 2 Medan; SMP

St Thomas 3 Medan; dan SD St Thomas

2 Medan. Lahir di Medan pada 25 Maret

1989, ia dapat dihubungi melalui

[email protected] dan 082165008618.

140