Deteksi Mutasi A3243G mtDNA dengan Metode PCR Allele's ...

28
Deteksi Mutasi A3243G mtDNA dengan Metode PCR Allele’s Specific Amplification (PASA) pada Penderita Diabetes Melitus Gestational (DMG) oleh dr. I Wayan Surudarma, M.Si. FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2017

Transcript of Deteksi Mutasi A3243G mtDNA dengan Metode PCR Allele's ...

Deteksi Mutasi A3243G mtDNA denganMetode PCR Allele’s Specific Amplification (PASA)

pada Penderita Diabetes Melitus Gestational (DMG)

oleh

dr. I Wayan Surudarma, M.Si.

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS UDAYANA

2017

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmat-Nya maka

penyusun dapat menyelesaikan tulisan yang berjudul “Deteksi Mutasi A3243G mtDNA

dengan Metode PCR Allele’s Specific Amplification (PASA) pada Penderita Diabetes

Melitus Gestational (DMG)”.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan semua pihak yang

membantu terselesaikannya tulisan ini yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih kurang dari sempurna, karena itu

kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi

kesempurnaan tulisan ini.

Semoga karya ini dapat berguna dan memberi manfaat serta memenuhi harapan

para pembaca yang selalu haus akan ilmu, khususnya ilmu kedokteran.

Denpasar, Juli 2017

Penyusun

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………………… i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 11.1. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 11.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 21.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 21.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 32.1. Mitokondria .......................................................................................... 32.2. Genetika Mitokondria ............................................................................ 62.3. Patofisiologi Penyakit Mitokondria ....................................................... 82.4. Mutasi DNA Mitokondria Penyebab Diabetes Melitus ........................ 9

BAB III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN ……………………………………………………………. 11

BAB IV. METODE PENELITIAN4.1. Rancangan Penelitian ........................................................................... 124.2. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 124.3. Populasi Penelitian…………………………………………………............................. 124.4. Sampel dan Besar Sampel ……….............................................................. 124.5. Definisi Operasional …………………………………………………………………………… 124.6. Kriteria Inklusi dan Ekslusi ...................................................................... 134.7. Bahan dan penyiapan mtDNA templat .................................................. 134.8. PCR Alele’s Specific Amplification (PASA) ……......................................... 144.9. Analisis hasil PASA …………………………….................................................... 15

4.10. Alur Penelitian ...................................................................................... 164.11. Analisis Data ......................................................................................... 16

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 175.1. Pengambilan Sampel .............................................................................. 175.2. Ekstraksi DNA ......................................................................................... 175.3. PCR Allele’s Specific Amplification (PASA) .............................................. 185.4. Analisis PASA .......................................................................................... 19

BAB VI. KESIMPULAN ................................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 22

1

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit heterogen yang dapat disebabkan oleh

faktor genetik dan faktor lingkungan. Salah satu bentuk DM yang berhubungan dengan faktor

genetik adalah DM tipe 2 yang disebabkan oleh disfungsi sekresi insulin, karena adanya

penghambatan dalam produksi ATP yang diperlukan dalam proses sekresinya oleh sel beta

kelenjar pankreas. Disfungsi tersebut berkaitan dengan adanya mutasi A menjadi G pada posisi

nukleotida ke-3243 dari gen tRNALeu DNA mitokondria (mtDNA) (So et al., 2000; Maassen et

al., 2004). Mutasi tersebut telah dinyatakan sebagai mutasi kausal pada diabetes turunan

maternal yang disertai dengan ketulian, Maternally Inheridited Diabetes and Deafness (MIDD),

(Kirino et al., 2004). Mutasi ini juga ditemukan pada MELAS (mitochondrial encephalopathy,

lactacidosis, and stroke-like episode), MERRF (myoclonic epilepsy and ragged-red fibers), DM

tipe 2 dengan katarak, ketulian dan ataksia, serta pada DM tipe 2 dengan katarak, polidipsia

dan parestesia kaki (Finsterer, 2007; Lynn et al.,1998; Suzuki et al., 2004; Nomiyama et al.,

2002).

Penelitian mutasi A3243G telah dilakukan di beberapa negara. Di antaranya, di Taiwan

telah ditemukan mutasi A3243G pada 0,15% populasi pasien DM tipe 2 (Liou, 2001). Di Jepang

mutasi ini ditemukan pada 2,9% pasien DM tipe 2 (Ohkubo et al., 2001). Di Inggris telah diteliti

2 dari 268 pasien DM usia muda memiliki mutasi A3243G (Owen et al., 2003). Di Korea

sebanyak 22,3% pasien yang memiliki penyakit pada mitokondria ditemukan mutasi A3243G ini

(Chae et al., 2004). Di Kroasia telah ditemukan 10% pasien yang didiagnosis secara klinis

mengidap DM tipe 2 memiliki mutasi A3243G (Kleiner et al., 2004).

Diabetes Melitus (DM) dengan kehamilan (Diabetes Mellitus Gestational - DMG) adalah

kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan resistensi insulin. Kondisi diabetes dialami

sementara selama masa kehamilan. Kondisi diabetes atau intoleransi glukosa pertama kali

didapati selama masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga (OPHD-Oregon

2

Public Health Division, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Taber Lisa, et al tahun 2010

menyebutkan bahwa wanita yang didiagnosis dengan DM gestasional mempunyai risiko tinggi

untuk menderita diabetes di masa depan, yaitu 17%-63% diabetes tipe 2 dalam waktu 5-16

tahun. Diabetes Melitus Gestational (DMG) juga mempunyai etiopatogenesis yang sama

dengan DM tipe 2, sehingga ada kemungkinan peranan mutasi A3243G mtDNA pada kejadian

DMG. Penelitian tentang mutasi A3243G mtDNA pada penderita Diabetes Melitus Gestational

(DMG) belum pernah dilakukan, sehingga penelitian ini ditujukan untuk mendeteksi adanya

mutasi A3243G mtDNA pada penderita Diabetes Melitus Gestational (DMG). Metode PCR

Allele’s Specific Amplification (PASA) dipilih adalah untuk meningkatkan akurasi deteksi karena

mutasi A3243G mtDNA merupakan mutasi heteroplasmi.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dirumuskan masalah sebagai berikut:

- Berapakah prevalensi mutasi A3243G mtDNA pada Diabetes Melitus Gestational

(DMG) di RSUP Sanglah Denpasar Bali ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas maka tujuan penelitian ini adalah:

- Untuk mengetahui prevalensi mutasi A3243G mtDNA pada Diabetes Melitus

Gestational (DMG) di RSUP Sanglah Denpasar Bali.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan bermanfaat, yaitu:

1. Memberikan informasi berupa data dasar kejadian mutasi A3243G mtDNA pada

Diabetes Melitus Gestational (DMG) di Denpasar Bali.

2. Mengetahui pola pewarisan penyakit Diabetes Melitus Gestational (DMG) di

Denpasar Bali, sehingga faktor-faktor yang memicu penyakit dapat dihidari sejak

dini.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 MITOKONDRIA

Mitokondria berasal dari kata Yunani mito yang berarti benang, dan chondrion yang

berarti seperti granul (butiran-butiran), sehingga dapat diartikan sebagai organela dengan

rangkaian butir-butir yang tersusun seperti benang. Mitokondria merupakan organela yang unik

karena memiliki DNA tersendiri dengan sifat-sifat yang spesifik pula (Wortmann, 2004).

A. Struktur Mitokondria

Mitokondria merupakan organel berupa kantung yang diselaputi oleh dua membran,

yaitu membran luar dan membran dalam; sehingga mitokondria memiliki dua kompartemen,

yaitu ruang antar membran (intermembrane space) dan matriks (matrix) mitokondria yang

diselimuti langsung oleh membran dalam (Beal MF, 1998). Lihat gambar 1.

Gambar 1. Struktur mitokondriaKeterangan: diagram struktur tiga dimensi mitokondria

Membran luar

Membran luar mengandung protein transport yang disebut porin. Porin membentuk

saluran yang berukuran relatif lebih besar di lapisan ganda lipid membran luar; sehingga

membran luar dapat dianggap sebagai saringan yang memungkinkan lolosnya ion maupun

molekul kecil berukuran 5 kDa atau kurang, termasuk protein berukuran kecil.Molekul-molekul

4

tersebut bebas memasuki ruang antar membran, namun sebagian besar tidak melewati

membran dalam yang bersifat imper-meabel. Ini berarti bahwa dalam hal kandungan molekul

kecil, di ruang antar membran bersifat ekuivalen dengan sitosol sedangkan di ruang matriks

berbeda.8 Protein yang terletak pada membran luar meliputi berbagai enzim yang terlibat

dalam biosintesis lipid mitokondria dan enzim-enzim yang mengubah substrat lipid menjadi

bentuk lain untuk selanjutnya dimetabolisme di matriks mitokondria (Artika, 2003).

Membran dalam dan krista

Membran dalam dan matriks mitokondria terkait erat dengan aktivitas utama

mitokondria yaitu terlibat dalam siklus asam trikarboksilat, oksidasi asam lemak dan

pembentukan energi.Rantai respirasi terdapat dalam membran dalam ini (DiMauro, 2003).

Ruang antar membran

Ruang antar membran adalah ruang yang berada di antara membran luar dan membran

dalam mitokondria. Ruang ini mengandung sekitar 6% dari total protein mitokondria dan

beberapa enzim yang bekerja menggunakan ATP (adenosine triphosphate) yang tengah

melewati ruang tersebut untuk memfosforilasi nukleotida lain (Sangkot M.,2003).

Matriks

Sebagian besar (sekitar 67%) protein mitokondria dijumpai pada bagian matriks. Enzim-

enzim yang dibutuhkan untuk proses oksidasi piruvat, asam lemak dan untuk menjalankan

siklus asam trikarboksilat terdapat pada matriks ini (Artika, 2003).

B. Rantai respirasi

Rantai respirasi dan ringkasan jalur metabolik mitokondria digambarkan pada gambar

Semua kompleks ini berada di membran dalam dan mereka dapat dicapai oleh substrat baik

yang berada pada membran maupun pada matriks.Telah diketahui pula berbagai inhibitor

rantai respirasi dan efek kliniknya yang dapat dianggap sebagai pengetahuan awal dari

mitochondrial medicine(Sangkot M., 2003).

5

Gambar 2.Jalur metabolik dalam mitokondria.

C. Metabolisme mitokondria

Fungsi utama mitokondria adalah memproduksi energi kimia dalam bentuk ATP yang akan

dipergunakan untuk aktivitas seluruh sel-sel tubuh manusia. Secara garis besar, reaksi

pembentukan ATP yang berlangsung di mitokondria dapat dibagi menjadi 3 tahap (Sangkot M.,

2003):

a. Reaksi oksidasi piruvat (atau asam lemak) menjadi CO2. Reaksi ini terkait dengan reduksi

NAD+ dan FAD menjadi NADH dan FADH2. Reaksi-reaksi ini berlangsung dalam ruang

matriks mitokondria (lihat gambar 2).

b. Transfer elektron dari NADH dan FADH2 ke O2. Rentetan reaksi ini berlangsung pada

membran dalam dan terkait dengan pembentukanproton motive force atau gradien

elektrokimia lintas membran dalam mitokondria.

c. Pemanfaatan energi yang tersimpan dalam bentuk gradien elektrokimia untuk

memproduksi ATP. Reaksi ini dikatalisis oleh kompleks enzim F0-F1 ATP sintetase yang

berlokasi pada membran dalam.

6

2.2. GENETIKA MITOKONDRIA

DNA mitokondria manusia merupakan DNA sirkuler tertutup yang berada pada matriks

mitokondria yang mengandung 37 gen, dan berukuran 16569 pasang basa. Dua puluh empat

gen (24) diperlukan untuk translasi mtDNA [2 RNA ribosom (rRNAs) dan 22 RNA transfer (tRNA)]

dan 13 mengkode subunit rantai respirasi, dengan perincian sebagai berikut: 7 subunit untuk

kompleks I [ND1, ND2, ND3, ND4, ND4L, ND5 DAN ND6 (ND singkatan dari NADH

dehydrogenase)], 1 subunit untuk kompleks III (sitokrom b), 3 subunit untuk sitokrom oksidasi

(COX1,II,III) serta 2 subunit untuk ATP sintetase. Sebagian rantai respirasi dikode oleh DNA

nukleus.Genom DNA mitokondria manusia dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3.Menunjukkan genom mitokondria manusia.Dikutip dariDiMauro S, Schon E.A.Mitochondrial Respiratory-Chain Diseases. N Eng J Med. 2003;348:2658-68.

http://www.nejm.org

Genetika mitokondria berbeda dengan hukum Mendel dalam 3 aspek utama: diturunkan

dari ibu, heteroplasmi dan segregasi mitotic (Di Mauro, 2003).

7

2.2.1. Diturunkan dari ibu

Secara hukum umum, semua DNA mitokondria dalam zigot berasal dari ovum. Sehingga

seorang ibu membawa mutasi mtDNA pada semua anak-anaknya, tetapi hanya anak

perempuannya yang akan memindahkan mutasi tersebut pada keturunannya. Bukti baru

transmisi paternal mtDNA pada otot rangka (tetapi tidak pada jaringan lain) pada pasien

dengan miopati mitokondria memberikan peringatan penting bahwa sifat mtDNA yang

diturunkan dari ibu bukan merupakan hukum yang mutlak, tetapi tidak disangkal bahwa

penyakit-penyakit yang berhubungan dengan mtDNA terutama diturunkan dari pihak ibu

(Artika, 2003).

2.2.2. Heteroplasmi dan efek ambang batas (threshold effect)

Terdapat ribuan molekul mtDNA dalam tiap sel, dan secara umum terdapat beberapa

mutasi patogenik mtDNA, tetapi bukan semuanya.Sehingga sel dan jaringan tercampur mtDNA

normal dan mutan, keadaan ini disebut heteroplasmi.Heteroplasmi juga terdapat pada tingkat

organel yaitu mitokondrion dengan mtDNA normal dan mutan yang bercampur.Pada orang

normal semua mtDNA adalah identik (homoplasmi).Tidaklah mengherankan bila dengan jumlah

mtDNA minimal belum terjadi disfungsi oksidatif dan belum tampak tanda klinis, ini yang

disebut efek ambang batas.Tiap-tiap sel organ memiliki ambang batas tersendiri, tergantung

metabolisme jaringan tersebut. Efek tersebut lebih rendah pada jaringan yang tergantung pada

metabolisme oksidatif, seperti: otak, jantung, otot rangka, retina, tubulus ginjal, dan kelenjar

endokrin (Sangkot M.,2003).

2.2.3. Segregasi mitotik

Redistribusi acak organela saat pembelahan sel dapat mengubah proporsi mtDNA

mutan yang diterima oleh sel anak perumpuan, jika efek ambang patogenik dalam jaringan

yang tidak terkena terlampaui, maka fenotip dapat juga berubah. Pada gangguan mtDNA sering

berhubungannya dengan umur, jaringan yang terkena, dan variabilitas gambaran klinik (John

DR, 2001)

8

Mutasi DNA mitokondria ternyata relatif tinggi.mtDNA secara alami dihadapkan pada

faktor-faktor yang tidak menguntungkan seperti:

(a) tingginya kadar spesies oksigen reaktif sebagai produk samping metabolisme oksidatif

mitokondria,

(b)terpaparnya mtDNA terhadap oksigen reaktif tersebut karena tidak adanya proteksi oleh

nukleoprotein, yang berlainan dengan DNA inti sel dan

(c) tidak adanya sistem repair DNA yang efektif di dalam organela ini.

Karakteristik mutasi pada DNA mitokondria

a. Terjadi dengan laju tinggi

- Tidak ada mekanisme repair DNA yang efektif pada mitokondria

- DNA mitokondria tidak memiliki proteksi nukleoprotein

- Produksi spesies oksigen reaktif (ROS) yang tinggi di mitokondria

b. Faktor-faktor mitokondria adanya hot spot untuk mutasi mutasi yang sama terjadi

berkali-kali secara independen (seperti mutasi DM/ketulian/MELAS A3243G dan LHON

G11778A).

c. Faktor di inti sel menentukan fidelitas replikasi mtDNA.

d. Ekspresi mutasi mtDNA poligenik dipengaruhi oleh faktor pemodifikasi di inti sel,

lingkungan sekuens mtDNA dan faktor lingkungan.

Dikutip dariSangkot M. Mitochondrial Medicine: Perspektif ke Depan. Dalam: Suryadi H, dkk.

Ed. Mitochondrial Medicine. Lembaga Eijman. Jakarta. 2003. 1-17.

2.3. PATOFISIOLOGI PENYAKIT MITOKONDRIA

Dalam tiap-tiap sel, mitokondria dapat disamakan dengan mesin mobil. Mesin biologi yang

kecil ini mengkombinasikan makanan yang kita makan dengan oksigen untuk memproduksi

8ancre bagi kelangsungan hidup. Energi yang dibentuk oleh mitokondria disimpan dalam

bentuk zat kimia yang disebut adenosine triphosphate (ATP).12,14 Selain memproduksi 8ancre

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mitokondria juga terlibat dalam berbagai aktivitas

yang penting seperti memproduksi 8ancrea steroid dan membangun blok DNA. Adanya defek

9

pada bagian mitokondrion yang disebut rantai respirasi atau rantai transport 9ancreas akan

menyebabkan miopati mitokondria yang melibatkan otot, dan bila melibatkan otak disebut

ensefalomiopati mitokondria. Proses yang terjadi tersebut menimbulkan gangguan suplai

9ancre, timbunan sekunder produk toksik seperti radikal bebas dan asidosis laktat, atau

kombinasi dari kedua keadaan tersebut (Hesterlee, 2004). Bila komponen kunci rantai respirasi

dalam mitokondria hilang atau terjadi kerusakan maka akan terjadi proses yang saling

berkelanjutan. Peristiwa tersebut dapat terjadi dalam dua tahap yaitu;

a. Yang pertama terjadi adalah tidak terbentuk 9ancreas. ATP tidak terbentuk secara

efisien dan sel kehilangan 9ancre untuk melakukan fungsi normal.

b. Kedua, semua dari tahap-tahap sesudahnya menjadi terhenti, selanjutnya sering

menimbulkan bahan kimia abnormal yang akan memproduksi bahan toksik. Produk

tersebut adalah radikal bebas dan 9ancreas9 yang berlebihan seperti asam laktat yang

dalam jumlah besar akan membahayakan.Radikal bebas adalah molekul reaktif yang

dapat merusak DNA dan 9ancreas sel melalui jalur oksidasi. Normalnya, rantai respirasi

mitokondria membuat radikal bebas dalam jumlah yang rendah selama proses

pembuatan ATP. Bila terdapat malfungsi pada rantai respirasi, maka produksi radikal

bebas meningkat. Radikal bebas ini kemudian menyebkan kerusakan lebih lanjut

mtDNA, yang akan mengakibatkan “vicious cycle” timbulnyakerusakan dan produksi

radikal bebas. Tidak jelas berapa besar peranan pembentukan radikal bebas ini dapat

menyebabkan atau memperburuk keadaan sehingga terjadi gejala-gejala penyakit

mitokondria.

2.4. MUTASI DNA MITOKONDRIA PENYEBAB DIABETES MELITUS

Secara klinis, penyakit DM awalnya didominasi oleh resistensi insulin yang disertai

defect fungsi sekresi. Tetapi, pada tahap yang lebih lanjut, hal itu didominasi defect fungsi

sekresi yang disertai dengan resistensi insulin.

Kaitannya dengan mutasi DNA mitokondria yakni karena proses produksi 9ancrea insulin

sangat erat kaitannya dengan mekanisme proses oxidative phosphorylation (OXPHOS) di dalam

sel beta 9ancreas. Proses pengeluaran insulin dalam tubuhnya mengalami gangguan sebagai

akibat dari peningkatan kadar glukosa darah. Mitokondria menghasilkan 9ancreas9 trifosfat

10

(ATP). ATP yang dihasilkan dari proses OXPHOS ini mengalami peningkatan. Peningkatan kadar

ATP tersebut otomatis menyebabkan peningkatan beberapa senyawa kimia yang terkandung

dalam ATP. Peningkatan tersebut antara lain yang memicu tercetusnya proses pengeluaran

10ancrea insulin.

Berbagai mutasi yang menyebabkan DM telah dapat diidentifikasi. Kalangan klinis

menyebutnya sebagai mutasi A3243G yang merupakan mutasi kausal pada DM. Mutasi ini

terletak pada gen penyandi ribo nucleid acid (RNA).Pada perkembangannya, terkadang para

penderita DM menderita penyakit lainnya sebagai akibat menderita DM. Penyakit yang

menyertai itu antara lain tuli sensoris, 10ancreas, dan stroke like episode.Hal itu telah

diidentifikasi sebagai akibat dari mutasi DNA pada mitokondria. Hal ini terjadi karena makin

tinggi proporsi sel mutan pada sel beta 10ancreas maka fungsi OXPHOS akan makin rendah dan

defek fungsi sekresi makin berat. Prevalensi mutasi tersebut biasanya akan meningkat

jumlahnya bila penderita DM itu menderita penyakit penyerta tadi.

Gambar 4. Mutasi pada Genom Mitokondria Manusia yang diketahui menyebabkan penyakit.

11

2.5. DIABETES MELITUS GESTATIONAL (DMG)

Diabetes Melitus Gestasional (DMG) adalah suatu gangguan toleransi karbohidrat yang

terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan sedang berlangsung (PERKENI, 2002).

Keadaan ini biasa terjadi pada saat 24 minggu usia kehamilan dan sebagian penderita akan

kembali normal pada setelah melahirkan (Depkes RI, 2008). Pada hampir setengah angka

kejadiannya, diabetes akan muncul kembali (Nurrahmani, 2012). Diabetes melitus gestasional

menjadi masalah global dilihat dari angka kejadian dan dampak yang ditimbulkannya (Osgood,

2011). Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2000, diabetes melitus gestasional

terjadi 7% pada kehamilan setiap tahunnya. Prevalensi diabetes gestasional bervariasi yaitu 1%-

14%. Angka ini tergantung pada populasi yang diteliti dan kriteria penyaringan yang digunakan

(ADA, 2006). Diabetes melitus gestasional terjadi sekitar 4% dari semua kehamilan di Amerika

Serikat, dan 3-5% di Inggris (ADA, 2004). Prevalensi diabetes melitus gestasional di Eropa

sebesar 2-6% (Buckley et al, 2001). Prevalensi prediabetes di Indonesia pada tahun 2007

sebesar 10% sedangkan prevalensi diabetes melitus gestasional di Indonesia sebesar 1,9%-

3,6% pada kehamilan umumnya (Soewardono dan Pramono, 2011). Pada ibu hamil dengan

riwayat keluarga diabetes melitus, prevalensi diabetes gestasional sebesar 5,1% (Maryunani,

2008). Di Indonesia, sekitar 40-60 wanita yang pernah mengalami DMG pada pengamatan lanjut

pasca persalinan akan mengidap Diabetes Mellitus atau gangguan toleransi glukosa (Suparman,

2003). Menurut WHO (1999), dikutip oleh Agency for Healthcare Research and Quality

(AHRQ), (2008) dijelaskan bahwa kejadian DMG meningkat pada ibu hamil dengan faktor

risiko antara lain peningkatan berat badan pada masa kehamilan >0,5 kg/minggu, umur lebih dari

25 tahun, riwayat DM dalam keluarga, riwayat DMG, dan ethnic. Penelitian yang dilakukan oleh

Taber Lisa, et al tahun 2010 menyebutkan bahwa wanita yang didiagnosis dengan DM

gestasional mempunyai risiko tinggi untuk diabetes masa depan, dengan 17%-63% diabetes tipe

2 dalam waktu 5-16 tahun. Sedangkan anak-anak mereka dalam jangka panjang berada pada

peningkatan risiko obesitas dan intoleransi glukosa.

12

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik kualitatif dengan metode cross sectional.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Biokimia FK UNUD selama 5 bulan sejak

penelitian ini dinyatakan diterima. Pengambilan sampel dilakukan di Poliklinik Kebidanan

RSUP Sanglah.

4.3. Populasi Penelitian

4.3.1. Populasi penelitian

Populasi penelitian adalah seluruh penderita Diabetes Melitus Gestasional (DMG) di

RSUP Sanglah.

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah penderita Diabetes Melitus Gestasional (DMG) yang

datang ke Poliklinik Kebidanan RSUP Sanglah.

4.4. Metode Pengambilan Sampel dan Besar Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling.

Besar Sampel dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel untuk penelitian Cross

Sectional sebagai berikut:

Keterangan:

n : jumlah sampel minimal

α : derajat kepercayaan

p : proporsi sampel dengan mutasi

q : p-1

d : limit dari error atau presisi absolut

13

Jika digunakan nilai α = 0,05, maka Z α adalah 1,96. Nilai p adalah sebesar 5% (0,05)

berdasarkan data Shanske dkk, 2002. Nilai d ditentukan 5% (0,05). Dengan rumus diatas

maka jumlah sampel minimal yang diperlukan adalah 76 orang.

4.5. Definisi Operasional

Diagnosis Diabetes Melitus Gestasional (DMG) pada penelitian ini ditentukan dengan

kriteria diagnostik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu apabila ibu hamil mempunyai

kadar gula darah sebagai berikut:

- Kadar Gula darah puasa >= 126 mg%

- Kadar Gula darah 2 jam PP >= 200 mg%

4.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi

- Subyek penderita diabetes melitus gestatsional (DMG) yang terdiagnosis di RSUP

Sanglah

- Subyek sampel bersedia terlibat dalam penelitian dengan menandatangani

persetujuan atau inform consent tertulis.

Kriteria Ekskulusi

- Subyek sampel menolak terlibat dalam penelitian.

4.7. Bahan dan penyiapan DNA templat

DNA templat disiapkan menggunakan metode ekstraksi DNA dengan Purelink Genomic DNA

Mini Kit (Invitrogen). Pemilihan sel darah sebagai sampel dikarenakan sel ini mempunyai jumlah

organel mitokondria yang cukup banyak [Thorpe, 1984]. Alasan lainnya adalah karena sampel

darah relatif mudah untuk diambil dan telah digunakan sebagai sampel pada penelitian yang

dilakukan oleh Ohkubo et al. [2001], Lee et al. [1997], dan Malecki et al. [2001] untuk

menganalisis mutasi A3243G mtDNA yang berhubungan dengan diabetes mellitus di Jepang,

Korea, dan Polandia.

14

4.8. PCR Alele’s Specific Amplification (PASA)

Metode PASA pada penelitian ini menggunakan tiga primer, yaitu; primer universal D1

5’-AAC GTT GGG GCC TTT GCG TA-3’ (nt 3423-3404), primer normal DN 5’-GGG TTT GTT AAG

ATG GCA GA-3’ (nt 3224-3243), dan primer mutan DM 5’- GGG TTT GTT AAG ATG GCA TG-3’ (nt

3224-3243). PASA dilakukan dengan teknik PCR pada dua tabung. Tabung pertama

menggunakan primer universal D1 dan primer normal DN sedangkan tabung kedua

menggunakan primer universal D1 1 μL dan primer mutan DMt (masing-masing 1 μL, 20

pmol/μL). Campuran reaksi mengandung enzim Taq DNA polimerase 0,5 μL, buffer taq 5 μL,

dNTP (dATP, dCTP, dTTP, dGTP) 1 μL, MgCl2 7,5 μL, ddH2O steril 24 μL, dan templat mtDNA.

Proses PCR dilakukan dalam mesin PCR Automatic Thermal Cycler EppendorfTM sebanyak 30

siklus. Tahap awal proses PCR adalah tahap denaturasi awal yang akan dilakukan pada suhu

94°C selama 5 menit, kemudian masuk ke program siklus PCR dengan masing-masing siklus

terdiri tiga tahap yaitu tahap denaturasi pada suhu 94°C selama 30 detik, tahap penempelan

primer (annealing) pada suhu 57°C selama 30 detik, dan tahap perpanjangan primer (extension)

pada suhu 72°C selama 50 detik. Akhir dari semua siklus dilakukan tambahan proses extension

pada suhu 72°C selama 10 menit.

nt3224 nt3243 nt3423

Gambar 5. Primer yang digunakan pada PASA. D1, primer reverse universal; DN, primer

forward alela normal; DM, primer forward mismatch DNA mutan.

D1DN

DM200 bp

mtDNA

15

4.9. Analisis hasil PASA

Gambar 6. Analisis Hasil PASA

Metode PASA dianggap sebagai salah satu metode yang sangat sederhana yang bekerja

berdasarkan prinsip mismatch basa ujung 3’ primer yang menempel pada posisi mutasi yaitu

A3243G. Secara teoretis, apabila ujung 3’ primer tidak komplementer dengan basa G di posisi

3243, maka tidak akan terjadi perpanjangan, begitu pula sebaliknya.

Karakterisasi fragmen yang terbentuk pada PASA dengan menggunakan 2 tabung ini,

akan menghasilkan perbedaan antara alel normal, mutasi homoplasmi, dan mutasi

heteroplasmi seperti digambarkan pada Gambar 6. Apabila sampel mengandung mutasi

heteroplasmi A G pada titik 3243, maka baik tabung 1 yang mengandung primer D1/Dn

maupun tabung 2 yang mengandung primer D1/Dmt akan menghasilkan produk PCR dengan

pita berukuran 200 pb, ini dikarenakan mutasi yang bersifat heteroplasmi memiliki campuran

Tabung

1 2

(+) (+)

Heteroplasmi

Tabung

1 2

(-) (+)

Homoplasmi

Tabung

1 2

(+) (-)

Normal

Tabung 1 Template

DNA Reagen PCR Primer D1 Primer DN

Tabung 2 Template

DNA Reagen PCR Primer D1 Primer DMt

16

templat mtDNA mutan dan templat normal. Sampel yang mengandung Alel normal hanya

menghasilkan produk PCR pada tabung 1, sedangkan pada mutasi homoplasmi hanya positif

pada tabung 2.

4.10. Alur Penelitian

4.11. Analisis Data

Prevalensi kejadian mutasi A3243G mtDNA dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Jumlah Mutasi

Prevalensi = ______________ x 100%

Jumlah Sampel

Pengambilan Sampel

Isolasi DNA

PASA

Elektroforesis hasil PASA

Visualisasi dan Dokumentasi hasil Elektroforesis

ANALISIS

17

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pengambilan Sampel

Sampel yang diambil sebagai templat mtDNA adalah sel darah vena dari 20 subjek kasus

penderita diabetes mellitus gestational. Sampel yang diambil adalah sampel darah yang diambil

dari vena medianan kubiti sebanyak 3 cc. Pemilihan sel darah sebagai sampel dikarenakan sel ini

mempunyai jumlah organel mitokondria yang cukup banyak selain sel-sel yang lain seperti sel

epitel, sel otot, sel ekor sperma dan sel akar rambut. Alasan lainnya adalah karena sampel darah

relatif mudah untuk diambil dan telah digunakan sebagai sampel pada penelitian sebelumnya

untuk menganalisis mutasi A3243G mtDNA yang berhubungan dengan DM gestasional.

5.2. Ekstraksi DNA

Isolasi DNA dengan menggunakan kit ekstraksi asam nukleat GF-1 Vivantis.

Gambar 7. Hasil Extraksi DNA.

18

4.3. PCR Alele’s Specific Amplification (PASA)

Metode PASA pada penelitian ini menggunakan tiga primer, yaitu; primer universal D1 5’-

AAC GTT GGG GCC TTT GCG TA-3’ (nt 3423-3404), primer normal DN 5’-GGG TTT GTT

AAG ATG GCA GA-3’ (nt 3224-3243), dan primer mutan DM 5’- GGG TTT GTT AAG ATG

GCA GG-3’ (nt 3224-3243). PASA dilakukan dengan teknik PCR pada dua tabung. Tabung

pertama menggunakan primer universal D1 dan primer normal DN sedangkan tabung kedua

menggunakan primer universal D1 dan primer mutan DMt (masing-masing 1 μL, 20 pmol/μL).

Campuran reaksi mengandung enzim Taq DNA polimerase 0,5 μL, buffer taq 5 μL, dNTP

(dATP, dCTP, dTTP, dGTP) 1 μL, MgCl2 7,5 μL, ddH2O steril 24 μL, dan templat mtDNA.

Proses PCR dilakukan dalam mesin PCR Automatic Thermal Cycler EppendorfTM sebanyak 35

siklus. Tahap awal proses PCR adalah tahap denaturasi awal yang akan dilakukan pada suhu

94°C selama 5 menit, kemudian masuk ke program siklus PCR dengan masing-masing siklus

terdiri tiga tahap yaitu tahap denaturasi pada suhu 94°C selama 1 menit, tahap penempelan

primer (annealing) pada suhu 55°C selama 1 menit dan tahap perpanjangan primer (extension)

pada suhu 72°C selama 1 menit. Akhir dari semua siklus dilakukan tambahan proses extension

pada suhu 72°C selama 5 menit. Hasil PASA dianalisis menggunakan elektroforesis gel agarosa

2% (b/v) dengan DNA marker dan visualisasi dengan bantuan lampu ultra violet.

Hasil metode PASA yang positif mengalami mutasi heteroplasmi ditunjukkan dengan

munculnya pita berukuran 200 pb baik pada tabung yang mengandung pasangan primer normal,

D1/DN ataupun pasangan primer mutan, D1/DMt. Pasangan primer D1/DN akan menempel pada

mtDNA normal, sedangkan pasangan primer D1/DMt akan menempel pada mtDNA mutan. Bila

pada proses PCR terjadi amplifikasi dengan menggunakan pasangan primer D1/DN maka hal

tersebut menunjukkan adanya mtDNA normal, sedangkan bila terjadi amplifikasi dengan

menggunakan pasangan primer D1/DMt maka hal tersebut menunjukkan adanya mtDNA mutan.

Mutasi heteroplami mengandung campuran mtDNA normal dan mtDNA mutan. Dari 20 sampel

yang diperiksa didapatkan 3 sampel penderita diabetes melitus gestational yang positif terjadi

mutasi heteroplasmi. Tidak ada sampel yang terdeteksi mengalami mutasi homoplasmi, yang

ditunjukkan dengan munculnya pita berukuran 200 pb pada tabung yang menggunakan pasangan

primer D1/DMt dan tidak munculnya pita 200 pb pada amplifikasi dengan menggunakan primer

D1/DN.

19

4.4. Analisis PASA

Karakterisasi fragmen yang terbentuk pada PASA dengan menggunakan 2 tabung ini,

akan menghasilkan perbedaan antara mtDNA normal, mutasi homoplasmi, dan mutasi

heteroplasmi. Gambar 8 menunjukkan bahwa sampel 1, 2, 3, 4 dan 5 merupakan sampel normal

yang tidak mengalami mutasi. Hasil PCR sampel 1N, 2N, 3N, 4N dan 5N dengan menggunakan

pasangan primer D1/DN menghasilkan pita dengan ukuran 200 pasang basa, sedangkan PCR

terhadap sampel 1M, 2M, 3M, 4M dan 5M dengan menggunakan pasangan primer D1/DM tidak

terjadi amplifikasi. Hal ini disebabkan oleh karena primer DM yang dirancang mismatch yang

hanya menempel pada mtDNA yang mengalami mutasi dan tidak dapat menempel pada mtDNA

normal

Gambar 8. Karakterisasi elektroforegram hasil PASA dengan kondisi suhu annealing 56°C,

menggunakan agarose gel 2% selama 60 menit. Menunjukkan hasil mutasi negatif untuk sampel

1, 2, 3, 4 dan 5 dimana sampel pada tabung dengan primer D1/Dn (1N, 2N, 3N, 4N dan 5M)

menunjukkan pita sekitar 200 pb sedangkan sampel pada tabung dengan primer D1/Dmt (1M,

2M, 3M, 4M dan 5M) tidak menghasilkan pita 200 pb.

20

Gambar 9. Karakterisasi elektroforegram hasil PASA dengan kondisi suhu annealing 56°C,

menggunakan agarose gel 2% selama 60 menit. Menunjukkan hasil mutasi negatif untuk sampel

6, 7, 8, 9 dan 10 dimana sampel pada tabung dengan primer D1/Dn (6N, 7N, 8N, 9N dan 10M)

menunjukkan pita sekitar 200 pb sedangkan sampel pada tabung dengan primer D1/Dmt (6M,

7M, 8M, 9M dan 10M) tidak menghasilkan pita 200 pb

Gambar 10. Karakterisasi elektroforegram hasil PASA dengan kondisi suhu annealing 56°C,

menggunakan agarose gel 2% selama 60 menit. Menunjukkan hasil mutasi heteroplasmi positif

untuk sampel 11, 12 dan 15 dimana pada tabung dengan primer D1/Dn menunjukkan pita sekitar

200 pb, demikian juga tabung dengan primer D1/Dmt menghasilkan pita 200 pb.

21

Gambar 11. Karakterisasi elektroforegram hasil PASA dengan kondisi suhu annealing 56°C,

menggunakan agarose gel 2% selama 60 menit. Menunjukkan hasil mutasi negatif untuk sampel

16, 17, 18, 19 dan 20 dimana sampel pada tabung dengan primer D1/Dn (16N, 17N, 18N, 19N

dan 20M) menunjukkan pita sekitar 200 pb sedangkan sampel pada tabung dengan primer

D1/Dmt (16M, 17M, 18M, 19M dan 20M) tidak menghasilkan pita 200 pb

Gambar 10 menunjukkan bahwa sampel 11, 12dan 15 mengalami mutasi heteroplasmi,

yang merupakan campuran mtDNA normal dan mtDNA mutan. Hasil PCR terhadap sampel

11,12 dan 15 dengan mengunakan pasangan primer D1/DN maupun dengan pasangan primer

D1/Dmt menghasilkan pita DNA dengan ukuran 200 pasang basa. Hal ini disebabkan oleh

kemampuan pasangan primer D1/DN untuk menempel pada mtDNA normal, dan kemampuan

pasangan primer D1/Dmt untuk menempel pada mtDNA yang mengalami mutasi, sehingga

terjadi amplifikasi baik pada mtDNA normal maupun mtDNA mutan.

22

BAB VI

KESIMPULAN

A. Mutasi heteroplasmi A3243G mtDNA ditemukan pada 15 % diabetes melitus gestational,

yaitu 3 sampel dari 20 total sampel.

B. Mutasi heteroplasmi A3243G mtDNA dengan munculnya pita ukuran 200 pb pada

sampel yang diamplifikasi dengan pasangan primer D1/DN untuk mtDNA normal dan

pasangan primer D1/DMt untuk mtDNA yang mengalami mutasi.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association. Gestational Diabetes Mellitus (Position Statement). Journal

of Diabetes Care. 2000; Volume 23 (Suppl. 1): S77–S79.

2. Artika I.M, Struktur, Fungsi, dan Biogenesis. Mitokondri. Dalam: Suryadi H, dkk. Ed.

Mitochondrial Medicine. Lembaga Eijkman. Jakarta. 2003. 19-51.

3. Buckley, et al. Gestational Diabetes Mellitus in Europe: Prevalence, Current Screening

Practice and Barriers to Screening. Journal of Diabetec Medicine 201; 844-854.

4. Chu, Y Susan et al, Maternal Obesity and Risk of Gestasional Diabetes Mellitus. Journal of

Diabetes Care 2007; Volume 30 (8): 2070-2076.

5. Depkes RI. Pedoman Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik. Jakarta :

Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular dan Dirjen Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan; 2008.

6. Diagnosis And Clasification of Diabetes Melitus. Journal of Diabetes Care 2006; Volume 29

(Suppl. 1): 43-48.

7. DiMauro S, Schon E.A. Mitochondrial Respiratory-Chain Diseases. N Eng J Med. 2003 ; 348

: 2658-68. http://www.nejm.org .

8. Dorland W.A.N. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. EGC. Jakarta; 2002 : 442,1363.

9. Doshani, Anjum dan Konje, C Justin. Diabetes in Pregnancy: Insulin Resistance, Obesity and

Placental Dysfunction. British Journal of Diabetes & Vascular, Volume 9, 208-212.

10. Froguel, P., Hager, J. 1995. Human diabetes and obesity: tracking down the genes. Tibtech.

13: 52-55.

11. Gestational Diabetes Mellitus. Journal of Diabetes Care 2004; Volume 27, Suppl 1: S88-S90.

12. Hart, L.M., Lemkes, H.H., Heine, R.J., et al. 1994. Prevalence of maternally inherited

diabetes and deafness in diabetic population in the Netherlands. Diabetologia. 37: 1169-70.

13. Hesterlee S. Mitochondrial Disease in Perspective Symptoms, Diagnosis and Hope for The

Future. http://www.mitoresearch.org/Quest_6_5.htm

14. Hesterlee S. Mitochondrial Myopathy: An Energy Crisis in The Cells.

http://www.mitoresearch.org/Quest_6_4a.htm

24

15. Hosler et al. Stressful events, smoking exposure and other maternal risk factors associated

with gestational diabetes mellitus. Journal of Paediatric and Perinatal Epidemiology 2011;

25, 566–574.

16. John DR, Disease Caused by Genetic Defect of Mitochondria, in : Fauci A.S, Brunwald E,

Isselbacher K.J. et all, ed. Harrison's Principle of Internal Medicine 15th. McGraw-Hill. New

York. 2001; 1: 2451-2457.

17. Kadowaki, T., Kadowaki, H., Mori, Y., Tobe, K., Sakuta, R., Suzuki, Y., Tanabe, Y., Sakura,

H., Awata, T., Goto, Y., Hayakawa, T., Matsuoka, K., Kawamori, R., Kamada, T., Horai, S.,

Nonaka, I., Hagura, R., Akanuma, Y., Yazaki, Y. 1994. A subtype of diabetes mellitus

associated with a mutation of mitochondrial DNA. NEJM. 330: 962-968.

18. Lee, H.C., Song, Y.D., Li, H., Park, J.O., Suh, H.C., Lee, E., Lim, S., Kim, K., Huh, K. 1997.

Mitochondrial gene transfer ribonuclaic acid (tRNA)Leu(UUR) 3243 and tRNALys 8344

mutations and diabetes mellitus in Korea. The Journal of Clinical Endocrinology &

Metabolism. 82 (2): 372-374.

19. M. Sangkot. Kelaian Mitokondria, Diagnosis dan Pengobatan. Dalam: Suryadi H, dkk. Ed.

Mitochondrial Medicine. Lembaga Eijman. Jakarta. 2003. 71-89.

20. Maksum, I.P. 2002. Tiga mutasi spesifik yang lestari daerah D-loop DNA mitokondria

manusia indonesia pada tujuh generasi segaris keturunan ibu. Tesis. Bidang Studi Magister

Kimia Program Pascasarjana ITB.

21. Malecki, M., Klupa, T., Wanic, K., Frey, J., Cyganek, K., Sieradzki, J. 2001. Search for

mitochondrial A3243G tRNALeu mutation in Polish patients with type 2 diabetes mellitus.

Med Sci Monit. 7(2): 246-250.

22. Maryunani, Ns Anik. Buku Saku Diabetes Pada Kehamilan. Jakarta: Trans Info Media; 2008.

23. Ng, M.C., Lee, S.C., Ko, G.T.C., Li, J.K.Y., So, W.Y., Hashim, Y., Barnett, A.H., Mackay,

I.R., Critchley, J.A.J.H., Cockram, C.S., Chan, J.C.N. 2001. Familial early-onset type 2

diabetes in China patients. Diabetes Care. 24: 663-671.

24. Noer, A.S., Martasih, F., Mulyani, S., Muktiningsih, dan Wirahadikusumah, M.1994.

Analisis variasi urutan nukleotida D-loop mtDNA manusia dari beberapa daerah di

Indonesia, Proc. 1st joint seminar on chemistry UKM-ITB, Malaysia.

25. Nurrahmani, Ulfa. Stop Diabetes. Jogjakarta: Familia; 2012.

25

26. Ohkubo, K., Yamano, A., Nagashima, M., Mori, Y., Anzai, K., Akehi, Y., Nomiyama, R.,

Asano, T., Urae, A., Ono, J. 2001. Mitochondrial gene mutations in the tRNALeu(UUR) region

and diabetes: prevalence and clinical phenotypes in Japan. Clinical Chemistry. 47: 1641-

1648.

27. Osgood et al. The Inter-and Intragenerational Impact of Gestasional Diabetes on the

Epidemic of Type 2 Diabetes. Journal of American Journal of Publick Health 2011; Volume

101, (1).173-179.

28. Perkins, M Jennifer et al. Perspectives in Gestational Diabetes Mellitus: A Review of

Screening, Diagnosis, and Treatment. Jounal of Clinical Diabetes 2007; Volume 25, (2).

29. Sambrook, J., Fritsch, E.F., Maniatis, T. 1989. Molecular cloning: A laboratory manual, vol.

1,2,3,. Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York.

30. Sangkot M. Mitochondrial Medicine: Perspektif ke Depan. Dalam: Suryadi H, dkk. Ed.

Mitochondrial Medicine. Lembaga Eijman. Jakarta. 2003. 1-17.

31. Thorpe, N.D. 1984. Cell biology. John Wiley & Sons Inc. New York Urata, M., Wakiyama,

M., Iwase, M., Yoneda, M., Kinoshita, S., Hamasaki, N., Kang, D. 1998. New sensitive

method for the detection of the A3243G mutation of human mitochondrial deoxyribonucleic

acid in diabetes mellitus patients by ligation mediated polymerse chain reaction. Clinical

Chemistry. 44 : 2088-2093.

32. Wortmann RL. Metabolic diseases of muscle, in: Koopman WJ, ed. Arthritis and Allied

Conditons, 4th ed , volume two. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2001: 2416-

2434.

33. Zhang yong, Li Jianfeng, Wang fengyan. 2001. The study of A3243G and G13513A

mitochondrial DNA pointmutation in patients with cerebral infartion, Chin Med J., 114 (10):

129-135.