Dari Redaksi - Pustekdata Lapan

68
1 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Transcript of Dari Redaksi - Pustekdata Lapan

1BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

2 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

3BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008 3BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Dari Redaksi

Diterbitkan oleh: Bidang Penyajian Data, Pusat Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Pelindung: Kepala LAPAN, Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN Penanggung Jawab: Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh Editor: Ir. Mahdi Kartasasmita M.S, Ph.D, Prof. Drs. Mulyadi Kusumowidagdo, APU, Drs. M. Natsir M.T, Ir. Wawan K. Harsanugraha, MSi. Redaksi: Ir. Yuliantini Erowati, M. Si, Drs. Abdul Asyiri M.Si, Dra. Fitri Zainuddin. Staf Sekretariat: Bambang Haryanto, SE, Susetyaningsih, Sri Sulistini, Wiwi Diyarti Alamat Redaksi: Bidang Penyajian Data, Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN, Jl. Lapan No. 70 Jakarta 13710 Telp.: (021) 8710786. Fax.: (021) 8717715 Email: [email protected] Website: http://www.lapanrs.com.

Majalah ini diterbitkan untuk pengguna data satelit penginderaan jauh LAPAN. Redaksi menerima tulisan, saran, dan kritik dari para pembaca. Naskah mohon diketik satu spasi dan bila ada gambar dalam format (.gif/.tiff ).

Frekuensi terbit: 2 kali setahun.

Pembaca Yang Terhormat,

Pusdata LAPAN kembali menerbitkan majalah Berita Inderaja dalam rangka

memenuhi keinginan para pembaca. Pada terbitan majalah edisi Desember 2008, redak-si menampilkan beberapa tema, diantaranya tema Topik Inderaja: menampilkan judul: Pembuatan Rencana Tata Ruang (Alternatif) Kota Salatiga Berbasis Data Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi, tulisan tersebut berisikan proses pemutahiran data spasial dan reklasifi kasi lahan sebagai alat penilaian lahan untuk penyusu-nan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Sa-latiga untuk 20 tahun mendatang. dengan pende-katan menggunakan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografi s.

Segmen kedua adalah Pengolahan Citra In-deraja, dalam edisi ini ditampilkan pengolahan citra inderaja mengingat betapa penting sistem pengolahan citra teru-tama sistem koreksi geometrik, sebelum kita menuju proses citra untuk berbagai keperluan aplikasi inderaja, tulisan pertama adalah: Proses Orthorektifi kasi untuk Meningkatkan Ketelitian Geome trik Citra Satelit, tulisan tersebut bersisikan Proses koreksi geometrik level advance yang membutuhkan biaya relative lebih besar untuk memenuhi kebutuhan akan citra stereo, data DEM, dan TKT serta software pengolahan citra dengan hasil ketelitian geometrik lebih tinggi seperti untk pemetaan, pertanahan, perencanaan rekayasa sipil, dan bidang pekerjaan yang sesuai. Tulisan kedua Koreksi Geo-metrik Data Satelit Spot-4 Level-2-A Oblique, tulisan tersebut be-risikan tentang penyempurnaan hasil koreksi geometri data SPOT-4, Posisi geometri suatu data yang akurat atau presisi dengan letaknya dibumi sangat dibutuhkan agar hasil yang di peroleh menjadi tepat sasaran dan efektif. Tulisan kedua, Komentar Terhadap Makalah Me-tode Baru Koreksi Geometrik Data Satelit Spot-4 Level-2A Oblique; Studi Kasus : Kab. Sukabumi (M. Arief dkk, 2008), tulisan tersebut adalah menjelaskan metode lain tentang koreksi geometrik untuk data SPOT-4 Level-2-Aoblique.

Segmen ketiga adalah Aktualita Inderaja yang menyajikan tulisan pertama dengan judul: Pemetaan Perkebunan Kelapa Sa-wit Menggunakan Data Penginderaan Jauh Landsat/Alos/Spot, tulisan ini menjelaskan metode memetakan, dan mengetahui luas areal perkebunan kelapa sawit di provinsi Jambi dengan meng-gunakan data satelit Landsat/Spot/Alos serta didukung data/peta Rupabumi Indonesia skala 1:50.000, peta ijin lokasi, peta HGU, peta RUTR dan lain-lain. Aktualita kedua adalah: Musim Hujan dan Ben-cana Banjir/Longsor 2008/2009, Analisis dan Prediksi dari Data Penginderaan Jauh, tulisan ini menyajikan prediksi musim hujan diamati dari citra satelit MTSAT kondisi keawanan yang meliputi

hampir seluruh wilayah Indonesia pada bulan November 2008 dan kondisi topografi lahan bisa dianalisis berdasar-kan data DEM (Digital Elevation Model) dari SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dengan resolusi 90 m, se-dangkan kondisi liputan lahan bisa dianalisis dari data MODIS (Moderate-resolution Imaging Spectroradiome-ter) dengan resolusi spasial 250 m.

Segmen keempat adalah Informasi Inderaja, yang pada edisi kali ini menampilkan tulisan pertama adalah: Kemampuan Citra Satelit Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan Lahan Sawah, tulisan ini menya-jikan tentang pemanfaatan citra satelit pengindera-an jauh untuk melakukan kegiatan pemantauan tutupan vegetasi, khususnya tanaman padi di lahan sawah, disertai sajian beberapa contoh citra satelit penginderaan jauh untuk memantau kondisi lahan

lahan dan persawahan. Sajian yang kedua yaitu: Kebutuhan dan Pengalaman Memanfaatkan Data Satelit Penginderaan Jauh untuk Perikanan Tangkap di Selat Makassar. Tulisan ini menyajikan bagai-mana teknologi penginderaan jauh sangat bermanfaat untuk membe-rikan informasi spasial zona potensi penangkapan ikan-ikan pelagis di selat Makassar. Pusat-pusat informasi zona potensi penangkapan ikan sangat perlu dibangun di setiap daerah, khususnya daerah-daerah yang memiliki PPI (pangkalan pendaratan ikan), sehingga nelayan da-pat memperoleh peta zona potensi penangkapan ikan dengan mudah dan dalam waktu yang relatif lebih singkat. Sajian terakhir dengan judul: Citra Landsat 7 Etm+ untuk Penentuan Fokus Penelitian Dalam Penyusunan Peta Zoning Rekonstruksi Keraton Singhasari, tulisan ini menjelaskan tentang Zoning masa bangunan daerah yang diper-kirakan sebagai wilayah inti Keraton Singhasari, sesuai dengan kaidah pembangunan kota menurut Kitab Manasara Silpasastra, ini merupa-kan bukti bahwa areal yang dipilih sebagai fokus penelitian memang wilayah inti Keraton Singhasari, dan dapat dikatakan bahwa Peta Zo-ning yang dihasilkan mencerminkan perletakan masa bangunan Ke-raton Singhasari. sehingga terbukti bahwa Citra Landsat 7 ETM+ dapat digunakan sebagai salah satu cara dalam pemilihan fokus pengamatan pada penelitian-penelitian arkeologis, metode ini dapat mengurangi biaya penelitian dan hasilnya cukup memuaskan.

Pada edisi ini, redaksi juga menampilkan informasi beberapa Beri-ta Ringan serta beberapa produk Poster Peta Citra Satelit (PCS).

Tulisan dan gambar yang disajikan pada majalah Berita Inde-raja edisi Desember 2008, adalah informasi hasil pemanfaatan citra satelit inderaja yang mencakup wilayah di seluruh Indonesia. Diha-rapkan informasi yang kami sajikan dapat memberikan tambahan manfaat dan wawasan bagi pembaca.Terima kasih atas perhatiannya, selamat membaca.

Hormat kami,Redaksi.

nn

asi su-Sa-

nde-dan

ra In-n citra

hampir sir s2008 dakan datRadar dangkMODter) d

yanadaUnjikat

lahan dan persPengalaman Mem

4 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Surat PembacaMakalah Berita Inderaja dengan Mengguna-kan Citra & GIS untuk Edisi Berikutnya

Terima kasih telah mengirim Berita Inderaja ini secara rutin, kualitas penerbitan sangat lux untuk level berita. Perlu diperba-nyak paper – paper ilmiah/kajian – kajian praktis penggunaan citra dan GIS, apllied RS & GIS dan lain-lain, se hingga peranan citra dan GIS terasa lebih nyata.

Prof. I. Nen Surati JayaKampus Fahutan IPB Darmaga, Bogor, 16001

Terima kasih atas penghargaan Bapak terhadap materi Berita Inderaja, untuk meningkatkan kualitas materi dan kontinyuitas terbitan, redaksi sangat mengharapkan kontribusi artikel dan tu-lisan hasil kajian dari para pembaca.

(Jawaban senada kami sampaikan juga kepada Bapak Wahyun-to dari Puslitanak – Bogor).

Pelatihan Pengolahan Data Satelit Inderaja untuk Beppeda Kabupaten/Kota

Terima kasih atas kiriman majalah ini yang sangat berman-faatan buat kami dalam menambah ilmu perpustakaan. Bisakah diadakan Bimtek Penginderaan Jauh ini di Pemkab. Kami dan mo-hon proposalnya

Ir. Irwin Bizzy, MTKepala Bappeda, Pusat Pemerintahan Kab. Bangka Tengah

Dapat kami informasikan bahwa kegiatan Bimtek Pengolahan Data Penginderaan Jauh sudah pernah dilaksanakan pada ta-hun 2007, kerjasama antara LAPAN dengan Bappeda Propinsi Bangka Belitung.

Pada tahun 2009 ini, kembali LAPAN akan melaksanakan ker-jasama dengan Bappeda Pemerintah Kota Pangkal Pinang da-lam pembuatan Peta Tematik dan peningkatan kapasitas SDM melalui kegiatan Bimtek, semoga informasi ini dapat berman-faat, terimakasih.

Edisi berikutnya dapat ditampilkan Data Penginderaan Jauh untuk Daerah Kabupaten Purworejo

Terima kasih atas kirimannya, Purworejo untuk studi dan di-masukan dalam majalah LAPAN, semoga pada tahun mendatang dapat bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Purworejo

Drs. Karsiadi Y.MTKasubib Pengembangan Wilayah

Jl. Mayjen Sutoyo No. 105 Purworejo, 54113

Terima kasih atas responnya, dapat kami informasikan bahwa

Kerjasama antara LAPAN dengan Pemerintah Kabupaten Pur-worejo untuk pembuatan Peta Tematik sudah dapat terealisasi pada Tahun Anggaran 2009 ini, melalui kegiatan Riset Insentif Kedirgantaraan (RIK).

Pelatihan dan Pengolahan Data Satelit Peng-inderaan Jauh untuk Bappeda Kabupaten/Kota

- LAPAN diharapkan membantu daerah dalam menyediakan peta citra utamanya Kabupaten Pemekaran baru seperti Kab. Tojo Una-Una

- Membantu peralatan inderaja dan pengembengan SDM Kab. Baru Mekar

M. IdrusKasubdin Pengembangan wilayah

Jl. K.H. Agus Salim No. 7, Malang 65117

LAPAN sesuai dengan TUPOKSI nya siap membantu dan be-kerjasama dengan Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten, dan Kota dalam penyediaan data dan informasi spasial berba-siskan satelit penginderaan jauh, ataupun bekerjasama dalam pemanfaatan data penginderaan jauh satelit untuk mendu-kung perencanaan pembangunan, serta peningkatan kapasi-tas SDM melalui kegiatan Bimbingan Teknis Pengolahan Data Penginderaan Jauh. Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Bidang Pe-

nyajian Data, Pusat Data Penginderaan Jauh, LAPAN, dengan alamat, Jl. Lapan No. 70 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710 Telp. (021) 8710786, Fax. (021) 8717715, e-mail: [email protected] terima kasih.

(Jawaban senada kami sampaikan juga kepada Bapak Yohnnie Anwar,MM, Perencana Muda dari Jombang, Bapak Adrial Koynya, Kasubid. Tata Ruang dari Bappeda Alor, serta Bapak Yudha Ba-wotong Kabid. Penelitian Bappeda Kepulauan Sangihe)

Informasi dan Pelayanan Data Satelit Pengin-deraan Jauh

Bersama ini dikirimkan artikel tentang penggunaan Citra Landsat ETM+ untuk survei arkheologi, harapan kami agar artikel tsb dipertimbangkan untuk dimuat pada majalah ini.

Sonny WedhantoDosen Teknik Sipil Univ. Negeri Malang

Jl. D. Maninjau III/I Blok G2F1, Malang, Jawa Timur

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sony We-dhanto yang telah mengirimkan artiket tentang Penggunaan Citra Landsat 7 ETM+ untuk Survey Arkheologi, setelah mela-lui proses editing artikel tersebut dapat kami sajikan dalan terbitan ini, semoga bermanfaat bagi setiap pembaca.

BERITA INDERAJA Volume VII, No. 13, Desember 2008INDERAJA Volume VII, No. 13, Desember 2008

DAFTAR ISI

DARI REDAKSI 3

SURAT PEMBACA 4

PENGOLAHAN CITRA INDERAJA Proses Orthorektifi kasi untuk Meningkatkan Ketelitian 15 Koreksi Geometrik Data Satelit Spot-4 Level-2-A

Oblique. 18 Komentar Terhadap Makalah Metode Baru Koreksi

Geometrik Data Satelit Spot-4 Level-2A Oblique; Studi Kasus : Kab. Sukabumi (M. Arief dkk, 2008) 22

AKTUALITA INDERAJA Pemetaan Perkebunan Kelapa Sawit Menggunakan Data

Penginderaan Jauh Landsat/Alos/Spot 25 Musim Hujan dan Bencana Banjir/Longsor 2008/2009 29

INFORMASI INDERAJA Kebutuhan dan Pengalaman Memanfaatkan Data Satelit

Penginderaan Jauh untuk Perikanan Tangkap di Selat Makassar 38

Kemampuan Citra Satelit Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan Lahan Sawah 43

Citra Landsat 7 ETM+ Untuk Penentuan Fokus Penelitian Dalam Penyusunan Peta Zoning Rekonstrusi Keraton Singhasari 48

BERITA RINGAN Pertemuan Ilmiah Tahunan Masyarakat Penginderaan

Jauh 2008 ke XVII (PIT MAPIN) dengan tema “Kebijakan dan Trend Teknologi Penginderaan Jauh dalam

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 54 Lokakarya mata pelajaran geografi kerjasama dengan

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dengan Pemerintah Kabupaten Purwakarta 55

Keikutsertaan Kedeputian Inderaja LAPAN Dalam Forum Diskusi Pemanfaatan Teknlogi Inderaja dan Sistem Informasi untuk Mendeteksi Pola Sebaran Fishing Ground 56

POSTER 601. Peta Citra Satelit Pelabuhan Ratu 2. Peta Citra Satelit Kota Pacitan 3. Peta Citra Satelit Kota Bima 4. Peta Citra Satelit Sebagian Kota Biak 5. Peta Citra Satelit Kalianda, Prov. Lampung 6. Peta Citra Satelit Kota Manado 7. Mosaik Citra Landsat dengan Citra DEM SRTM Prov. Jawa Tengah

COVERCover Depan: - Citra Landsat 7 Ortho Pan Salatiga, 28 April 2001. - Citra ALOS Avnir Salatiga, 14 April 2007.Cover Depan Dalam: Peta Citra Satelit Kep. Karimunjawa, Prov. Jawa Tengah.Cover Belakang Dalam: Mosaik Citra Landsat dengan Citra DEM SRTM, Prov. Jawa Timur.Cover Belakang: Citra Satelit Kota Kupang, Prov. Nusa Tenggara Timur.

TOPIK INDERAJAPembuatan Rencana Tata Ruang (Alternatif). Kota Salatiga Berbasis Data Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi.Halaman 6

5BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

6 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 20086

TOPIK INDERAJA

Pelaksanaan pembangunan wilayah perkotaan sering menghadapi kendala pengelolaan lingkungan seperti pengembangan permukiman yang pesat, industri, usaha

perdagangan, laju eksploitasi sumber daya alam yang tinggi. Kerusakan lingkungan sekitar perkotaan, seperti hutan, erosi lahan pertanian, pencemaran udara dan air oleh industri mem-perburuk kondisi ekosistem wilayah perkotaan. Gangguan tersebut akan terus meningkat sejalan dengan berbagai ke-pentingan, kurangnya pengawasan, dan pengelolaan wilayah yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah dibuat.

Kota Salatiga merupakan wilayah yang cukup strategis bagi pembangunan sektor permukiman, perdagangan, pendi-dikan, industri, dan pariwisata. Pengembangan suatu kawasan (perdagangan, pendidikan, pariwisata, industri) cenderung mendorong munculnya sektor penunjang lainnya seperti fasi-litas infrastruktur, permukiman, dan fasilitas lainnya. Pesatnya perkembangan pembangunan seluruh sektor mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Oleh karena itu di-perlukan pengelolaan, dan pengendalian dampak lingkungan. Pengaturan dan penataan ruang Kota Salatiga membutuhkan informasi penggunaan lahan yang mutahir, sehingga dapat segera digunakan sebagai sumber data untuk penyusunan pengembangan rencana tata ruang. Pengelolaan, pengaturan kembali, dan pengawasan pembangunan, terutama permu-kiman membutuhkan data dan informasi penggunaan lahan yang cepat, akurat, dan mutahir.

Ujud penataan ruang adalah terbentuknya pengelolaan lahan, sehingga dapat melakukan kontrol terhadap perubahan pemanfaatan lahan, yang bertujuan mengoptimalkan peman-faatan dan fungsi lahan. Alokasi penggunaan lahan bagi berba-gai keperluan, yang diujudkan dalam bentuk tata guna lahan dan pengalokasian sumber daya lahan sesuai potensinya.

Kegiatan pengelolaan lahan meliputi pendataan, peren-canaan, realisasi dan pengendalian pemanfaatan lahan. Penata-gunaan lahan mencakup identifi kasi penutup/penggunaan la-han wilayah yang sedang berkembang. Kemudian melakukan penyempurnaan kembali data spasial penutup lahan dari data satelit resolusi spasial tinggi, agar lebih lengkap, benar, muta-

Pembuatan Rencana Tata Ruang (Alternatif)Kota Salatiga Berbasis Data Penginderaan

Jauh Resolusi TinggiOleh: F. Sri Hardiyanti Purwadhi*, Dianovita*, Wiji*, Inggit Lolitasari*

* Peneliti Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN

hir menggunakan langkah yang efi sien dan efektif.Wilayah Kota Salatiga merupakan salah satu daerah lin-

tasan utama dari arah barat ke timur di Provinsi Jawa Tengah. Hal itu membawa limpahan dinamika masyarakat pedagang, pelajar, dan wisatawan dari berbagai daerah. Perubahan fi sik lahan untuk berbagai bidang pembangunan dan perluasan kebutuhan permukiman menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dan jenis penutup lahan perkotaan. Proses konversi lahan yang tidak mengindahkan peraturan dan etika, akan menjadi suatu konsekuensi yang bertentangan dengan keseimbangan lingkungan, maka perlu pemutahiran penataan lahan. Proses pemutahiran data spasial dan reklasifi kasi lahan sebagai alat penilaian lahan untuk penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Salatiga untuk 20 tahun men-datang. Oleh karena itu dilakukan pendekatan menggunakan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografi s.

Metode pendekatan untuk penentuan kriteria alternatif perencanaan tata ruang wilayah kota (RTRWK) dilakukan tiga pendekatan seperti telah diungkapkan di atas, yaitu pendeka-tan analisis keruangan, ekologi dan regional kompleks wila-yah. Data penginderaan jauh yang digunakan adalah:1. Citra Landsat 7 Ortho Pan 28 April 2001 (Gambar 1). 2. Citra ALOS AVNIR 14 April 2007 (Gambar 2)3. Citra ALOS PRISM tanggal 12 September 2006 dan 15 Juni

20074. Citra Quickbird 11 September 2006 (Gambar 3).

Analisis kelayakan merupakan penentuan kriteria al-ternatif harus memenuhi beberapa pertimbangan dalam me-nentukan dan menilai wilayah untuk pemanfaatan lahan, yang mencakup tiga pendekatan, yaitu:1. Kelayakan lingkungan fi sik, yang mencakup pertimban-

gan fi sik daratan yang berpengaruh terhadap penggunaan lahan, yaitu kondisi topografi , berupa ketinggian (Gambar 4), kontur (Gambar 5), geomorfologi (Gambar 6), kondisi batuan, tanah, dan penutup lahan (Gambar 7). Kondisi ak-sesibilitas berupa jalur jalan (Gambar 8) antar daerah, per-mukiman, industri, pertanian, dan wilayah lindung. Iklim dan cuaca mencakup musim yang mempengaruhi kondisi pemanfaatan lahan, curah hujan, suhu, tekanan udara, ke-

7BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008 7

TOPIK INDERAJA

lembaban. Kemungkinan wilayah bencana (banjir, erosi tanah, longsor) yang mungkin terjadi dan kemungkinan terbaik untuk pemanfaatan lahan (Gambar 9)

2. Kelayakan sosial ekonomi, mencakup skenario pemba-ngunan ekonomi (berbagai penegasan sektor pendirian industri, sektor jasa, transportasi, pariwisata dan lain-lain). struktur pemerintahan (kerjasama antar daerah, pengada-an distrik-distrik pelayanan umum).

3. Kelayakan kecenderungan dilakukan secara normatif ber-dasarkan potensi wilayah dan mengacu pada sistem baku yang berlaku, terutama terhadap kemampuan masyarakat dapat melaksanakan RTRWK. Penilaian kecenderungan kesesuaian didasarkan potensinya dengan menggunakan metode perbandingan, pengharkatan dan pembobotan pa-rameter

Analisis regional mengacu pada beberapa pertimba-ngan dalam Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah, yaitu peraturan kelembagaan, peran strategis Kota Salatiga, fungsi Kota Salati-ga dalam kontek lintas kabupaten/kota di Provinsi Jawa Te-ngah, dan kawasan kerjasama strategis. Kota Salatiga masuk kawasan strategi dan prioritas dalam RTRW Provinsi Jawa Tengah, yaitu:1. Kawasan Andalan KEDUNGSAPUR (Kendal, Demak,

Ungaran, Salatiga, Semarang dan Purwodadi). 2. Kawasan kerjasama antar kawasan, yaitu Kawasan Sentra

Produksi RAWAPENING.3. Kawasan Joglosemar (Jogyakarta, Solo, Semarang).

Kota Salatiga dalam RTRW Provinsi Jawa Tengah mem-punyai empat fungsi, yaitu sebagai:1. Kawasan Resapan Air 2. Daerah perlindungan Plasma Nutfah; 3. Kawasan Pertanian Lahan Kering; 4. Kawasan Budidaya Ternak Besar.

Pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah (Alternatif) Kota Salatiga dengan cara membuat konsep dan strategi (Gam-bar 10) mencakup mengenai pola pikir, dengan perubahan dari UU No 24 tahun 1992 mengenai tataruang, menjadi UU No. 26 tahun 2007 mengenai tata ruang, maka dibuat strategi zonasi (Gambar 11) konsep struktur dan konsep pemanfaatan lahan. Pembuatan konsep dan strategi perencanaan tata ruang wilayah (alternatif) Kota Salatiga didasarkan pada:1. Strategi Pemanfaatan Ruang Kawasan merupakan indikasi

program utama sesuai Visi dan Misi Kota Salatiga, sehingga hanya perlu pengembangan yang mengarah pada strategi kedua.

2. Strategi Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan dilaku-kan melalui penetapan zonasi, perizinan, insentif/disinsen-tif, pengenaan sanksi (sebagian sudah dilakukan, penetapan zonasi sebagai referensi dalam penelitian ini berupa RTRW yang sudah ada, yang masih perlu dikembangkan sesuai dengan UU 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang.

3. Strategi Pengawasan Pemanfaatan Ruang Kawasan dilaku-kan melalui kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. Pemantauan kawasan menggunakan data penginderaan

jauh resolusi spasial tinggi, dan evaluasi menggunakan sistem informasi geografi s.

4. Kelembagaan, Peran Masyarakat, dan Pembinaan (dari laporan BPS pada Salatiga dalam Angka, 2007).

5. Ketentuan lain berupa koordinasi dengan daerah lain ses-uai yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah.

Konsep Struktur RTRW (Alternatif) Kota Salatiga yang sudah penuh dengan bangunan, maka pengembangan harus memperhatikan kondisi eksisting dan harus dilakukan dengan kearifan, agar tidak menimbulkan konfl ik. Oleh karena itu konsep struktur pengembangan Kota Salatiga (Gambar 12), dilakukan dengan pengembangan faktor fungsi dan penanga-nan bencana yang mungkin terjadi, yaitu:1. Konsep struktur ruang kota dengan memanfaatkan jalur

arteri primer sebagai jalur utama. Jalan arteri primer se-bagai jalur penghubung Kota Semarang - Solo, sehingga pengembangkan Kota Salatiga yang belum berkembang berwawasan lingkungan, maka beberapa rencana jaringan ada yang perlu dibatalkan.

2. Bentuk jaringan yang dikembangkan berbentuk radial konsentrik dengan tujuan penyebaran yang seimbang ke semua wilayah (sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan). Jalur alternatif regional diupayakan untuk mengurangi kemacetan di pusat kota, maka dibuat jalur alternatif melewati wilayah Kecamatan Argomulyo dan Kecamatan Sidomukti. Jalur jalan alternatif yang sudah di-fungsikan ternyata memicu pengembangan permukiman, yang tidak sesuai dengan kawasan lindung yang sudah direncanakan, maka sebaiknya jalur lingkar selatan yang belum dibangun dibatalkan, karena wilayah tersebut mer-upakan rencana kawasan hijau.

3. Bufer penyangga jalur hijau mengelilingi Kota Salatiga, di samping wilayah tersebut, saat ini masih berupa ke-bun campuran dengan tanaman keras dan hutan lindung. Penggunaan penyangga tersebut sangat berpotensi untuk mengurangi bahaya yang sering timbul seperti banjir dan longsor, serta untuk memelihara sumber air tanah di wi-layah Kota Salatiga. Kawasan bagian barat mempunyai struktur air tanah dalam, perlu pemeliharaan agar air hu-jan tidak mengalir langsung, namun meresap ke dalam tanah sebagai cadangan air di musim kemarau.

Berdasarkan pertimbangan dan unsur kawasan, maka disusun 3 (tiga) Rencana Tata Ruang Wilayah (Alternatif) Kota Salatiga yang masing menggunakan tipologi berbeda dengan proses seperti Gambar 13., yaitu1. Pola Ruang dan Struktur Ruang, yang setiap pendekatan

mencakup beberapa kriteria.2. Pola Ruang mencakup tiga pola kawasan, yaitu kawasan

lindung, kawasan budidaya dan kawasan penyangga. Ma-sing-masing berupa:a. Kawasan Lindung berupa hutan lindung (HL), hutan

kota (HK), hutan sepadan sungai (HS)b. Kawasan Budidaya berupa perkebunan (P), pertanian

8 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 20088

TOPIK INDERAJA

lahan basah (Sw), pertanian lahan kering (Tg), per-mukiman (Pm), Industri (In)

c. Kawasan Penyangga berupa hutan produksi (HP), Kebun Campuran (Kc) berupa tanaman buah-buahan, Agroforestry (AF), dan Agropolitan (AP) merupakan gabungan wilayah permukiman dengan sistem perta-nian dengan tanaman andalan, yang dapat mengem-bangkan perdagangan, jasa, dan rekreasi.

3. Struktur Ruang mencakup dua sistem, yaitu sistem pusat permukiman dan sistem sarana dan prasarana wilayah, se-tiap sistem punya karakteristik pengembangana. Sistem Pusat Permukiman dibagi dalam lima bagian

wilayah kota (BWK) dan sub bagian wilayah kota, yang menyebar di setiap kecamatan. Kota Salatiga dibagi lima bagian wilayah kota, yaitu BWK I adalah Pusat Kota, BWK II ujung jalan arteri bagian utara atau jalan arah ke Semarang (Kecamatan Sidorejo), BWK III ujung jalan kolektor bagian barat arah ke Ambarawa/Banyubiru (Kecamatan Sidomukti), BWK IV ujung jalan arteri bagian selatan atau jalan arah ke Sala (Kecamatan Argomulyo), BWK V ujung jalan kolektor bagian timur atau jalan arah Kerangjati (Ke-camatan Tingkir)

b. Sistem Sarana dan Prasarana Wilayah mencakup sistem transportasi darat, sistem pengelolaan air baku, sistem pengelolaan air limbah, sistem penge-lolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, sistem drainase dan pengendalian banjir, sistem pengelolaan persampahan, sistem pengendalian tanah longsor.

RTRW Alternatif I (Gambar 14) dengan metode pengem-bangan kawasan bersifat eksisting dengan penambahan dan pemantapan fungsi. Secara proporsional luas pemanfaatan la-han pada RTRW Alternatif I Kota Salatiga seperti Tabel 5.1. Berdasarkan tabel tersebut pengembangan secara proporsio-nal 35% lahan hijau tanaman keras, 12% sawah, dan pemanfaa-tan lainnya 53%).

RTRW Alternatif II (Gambar 15) dengan metode zonasi mengatasi konfl ik pemanfaatan sumber daya, dan memandu-kan pemanfaatan jangka panjang, untuk pembangunan dan pengelolaan wilayah berwawasan lingkungan Pengaturan Kota Salatiga dibagi dalam 6 (enam) zona, yaitu zona kawasan lindung, zona kawasan pertanian lahan kering, zona pertanian lahan basah, zona pemukiman perkotaan, zona permukiman pedesaan I dan zona permukiman pedesaan II. Luas setiap zonasi pada RTRW Alternatif II Kota Salatiga disajikan pada Tabel 2. Pengembangan dibuat dalam 6 (enam) zonasi dengan sistem transportasi lama (dianggap given) dengan pertumbu-han permukiman sekitar jalur utama 50% dan jalur alternative 30%, sehingga diperoleh wilayah hijau/tanaman keras 38,4% dan lahan pertanian berupa sawah diprediksi berkurang 20% hingga tinggal 10% dari luas wilayah.

Setiap Zonasi dalam RTRW Kota Salatiga Alternatif II dit-erangkan sebagai berikut.1. Zona Kawasan Lindung berupa Hutan Lindung (HL) Ka-

wasan Lindung ini tidak diperkenankan kegiatan budida-ya, apabila kegiatan budidaya sudah terlanjur ada harus dikeluarkan dari wilayah ini

2. Zona Kawasan Pertanian Lahan Kering, berupa perke-bunan/hutan budidaya produksi terbatas, tumpangsari peternakan, konservasi budidaya fl ora dan fauna, wisata alam (Agrowisata), riset/penelitian,

3. Zona Pertanian Lahan Basah berupa sawah irigasi, sawah lestari, dan perikanan.

4. Zona Pemukiman Perkotaan berupa daerah hunian padat, kawasan pusat Kota Salatiga pemanfaatan lahan dengan pola intensifkasi tanpa harus menghabiskan banyak lahan. Pemanfaatan lahan di pusat kota untuk perdagangan dan jasa (pendidikan, perkantoran, kesehatan, transportasi pa-dat, industri ringan non polutan yang berorientasi pasar).

5. Zona Permukiman Pedesaan kriteria I (satu) merupakan kawasan dengan hunian rendah maksimum 50%, pertanian ladang/tegalan, industri yang berorientasi tenaga kerja. Penentuan kawasan industri ini berdasarkan kesesuaian lahannya juga dan dengan pertimbangan kawasan yang berdekatan dengan jalan arteri primer sehingga diharap-kan akan dapat memudahkan akses untuk segala aktivitas perindustrian keluar masuk kawasan.

6. Zona Permukiman Pedesaan II (dua) merupakan kawasan dengan hunian rendah maksimum 30 persen, hutan indus-tri, kebun dengan tanaman keras (buah-buahan), Agrowi-sata, pemanfaatan lahan harus disesuaikan dengan tata ruang provinsi.

RTRW Alternatif III (Gambar 16) menggunakan me-tode zonasi untuk mengelompokkan kegiatan kompatibel dan memisahkan yang tidak kompatibel berdasarkan aktivitas dan fungsinya Luas setiap zonasi pada RTRW Alternatif III Kota Salatiga pada Tabel 3. Pengembangan dibuat dalam 7 (tujuh) zonasi dengan sistem transportasi lama (dianggap given) de-ngan pertumbuhan permukiman sekitar jalur jalan 50 % dan penghijauan lahan sekitar potensi bencana, sehingga diper-oleh wilayah hijau/tanaman keras 38,4% (hutan lindung/hu-tan kota/hutan sepadan sungai, perkebunan/wanatani/agro-forestry, 50% wilayah pedesaan, pertanian lahan kering, dan wilayah rawan bencana) dan lahan pertanian berupa sawah diprediksi berkurang 20% hingga tinggal 10% dari luas wilayah. Wilayah perkotaan yang mempunyai multifungsi (permuki-man, perdagangan, pelayanan, dan jasa) menempati lahan pa-ling luas di Kota Salatiga.

Pola setiap zonasi dalam RTRW Alternatif III Kota Salati-ga berikut.1. Zona Kawasan Lindung berupa Hutan Lindung (HL). Hu-

tan Sepadan Sungai dengan lereng terjal (HS) Kawasan Lindung ini tidak diperkenankan kegiatan budidaya, apa-bila kegiatan budidaya sudah terlanjur ada harus dikeluar-kan dari wilayah ini

2. Zona Kawasan Rawan Bencana di Kota Salatiga berupa rawan bencana banjir (RB) perlu pengendalian baik lokal maupun koordinasi. Wilayah Pusat Kota yang bangunan-

9BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008 9

TOPIK INDERAJA

nya padat dapat dibuat sumur-sumur resapan, atau bio-pori, untuk mengurangi genangan. Wilayah sawah, yang berbatasan dengan kabupaten lain, pengendaliannya dapat dilakukan secara koordinatif, misalnya pembuatan saluran irigasi, yang masuk ke danau Rawa Pening. Rawan Bencana Tanah Longsor (RL) terletak di kawasan hutan lindung dan kawasan perkebunan, kawasan bantaran sun-gai yang lerengnya terjal. Rawan Bencana Erosi Permu-kaan Tanah (RE) kawasan ini terletak di wilayah pertanian dengan sistem terrasering. Pengendalian kawasan rawan bencana ini sebaiknya di koordinasikan dengan RTRW Provinsi Jawa Tengah.

3. Zona Kawasan Perkebunan dan hutan produksi terbatas, berupa perkebunan/kebun campuran tumpangsari peter-nakan, konservasi budidaya fl ora dan fauna, wisata alam (Agrowisata), riset/penelitian.

4. Zona Pertanian Lahan Basah berupa sawah irigasi, sawah lestari, dan perikanan.Di wilayah ini sering terjadi gena-ngan berlebihan pada musim penghujan, sehingga rawan banjir

5. Zona Pertanian Lahan Kering merupakan kawasan hutan industri, Kebun dengan tanaman keras (buah-buahan), peternakan, wisata pertanian (Agrowisata).

6. Zona Pemukiman Perkotaan berupa daerah hunian padat, kawasan pusat Kota Salatiga pemanfaatan lahan dengan pola intensifi kasi tanpa harus menghabiskan banyak la han. Pemanfaatan lahan pusat kota untuk perdagangan dan jasa (pendidikan, perkantoran, kesehatan, transportasi padat, industri ringan non polutan yang berorientasi pasar).

7. Zona Permukiman Pedesaan merupakan kawasan dengan hunian rendah maksimum 50%, pertanian ladang/tegalan, industri yang berorientasi tenaga kerja. Penentuan kawa-san industri ini berdasarkan kesesuaian lahannya juga dan dengan pertimbangan kawasan yang berdekatan dengan jalan arteri primer sehingga diharapkan akan dapat me-

mudahkan akses untuk melakukan segala aktivitas perin-dustrian keluar masuk kawasan.

Berdasarkan penelitian di atas, maka beberapa hal dapat menjadi catatan sebagai saran bagi pemerintah Kota Salatiga, yaitu:1. Berdasarkan hasil pembobotan parameter informasi spa-

sial dapat diketahui di wilayah Kota Salatiga ada beberapa wilayah yang sensitif secara ekologis yang perlu diwaspa-dai, yaitu:a. Wilayah rawan banjir b. Wilayah rawan tanah longsor. c. Wilayah rawan pengikisan/erosi tanah

2. Masih diperlukan studi kelayakan teknis untuk rencana pengelolaan dan pengendalian dengan mekanisme dan penetapan yang jelas, yaitu:1. Rencana pengelolaan hutan lindung, kawasan perlin-

dungan setempat, suaka alam/cagar budaya, kawasan rawan bencana.

2. Rencana pengelolaan pusat permukiman padat, yang perlu ditentukan ”Indeks Kepadatan Bangunan” pada suatu kawasan dengan penentuan ”Koefi sien Dasar Bangunan (KDB”) yang dapat ditoleransi

3. Rencana pengendalian melalui kegiatan pengawasan, penertiban, dan mekanisme perijinan, baik di tingkat kecamatan maupun di tingkat kota.

4. Penertiban melalui pemeriksaan dan penyelidikan atas semua pelanggaran/kejahatan terhadap peman-faatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWK yang sudah ditetapkan

Apabila hal itu dilaksanakan, maka keyakinan sesuai dengan cita-cita pengelolaan wilayah dengan pemerintahan yang arif dapat terlaksana sesuai prasasti Plumpungan :

“Shrir Astu Swasti Prajabyah” yang artinya “Semoga Se-lamat dan Sejahtera Rakyat Sekalian” (Prasasti Plumpungan 24 Juli 750 M).

Gambar 1. Citra Landsat 7 Ortho Pan Salatiga dan sekitarnya 28 April 2001.

10 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 200810

TOPIK INDERAJA

Gambar 2. Citra ALOS AVNIR

Salatiga 14 April 2007

Gambar 3. Citra Quickbird 11 September 2006

Gambar 4.Peta Ketinggian

Kota Salatiga

Gambar 5.Peta Kontur Kota Salatiga

11BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008 11

TOPIK INDERAJA

Gambar 6. Peta Geomorfologi Kota Salatiga

Gambar 7. Peta Penutup Lahan Kota Salatiga Gambar 8. Peta Jaringan Jalan Kota Salatiga

12 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 200812

TOPIK INDERAJA

Gambar 9. Peta Bentuk Lahan dan Kawasan Bencana Kota Salatiga.

Gambar 10. Konsep dan Strategi RTRW (alternatif ) Kota Salatiga.(Purwdhi Sri dkk, 2008).

Gambar 11. Pembuatan Zonasi Strategi RTRW (alternatif ) Kota Salatiga (Purwdhi Sri dkk, 2008).

13BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008 13

TOPIK INDERAJA

Gambar 12. Konsep Struktur Ruang Kota Salatiga. (Purwadhi Sri dkk, 2008).

Gambar 13. Diagram Proses Pembuatan RTRW Kota Salatiga.(Purwadhi Sri dkk, 2008).

Tabel 1. Luas Pemanfaatan Lahan pada RTRW Alternatif I Kota Salatiga

No PEMANFAATAN LAHAN RTRW ALT I LUAS (Ha1 Hutan Lindung/Hutan Kota 276,9722 Kebun Campur/Argo Wisata 709,4593 Makan/Kuburan 5,1594 Pelayanan Kesehatan 27,8515 Perdagangan dan Jasa 265,5996 Perkantoran 77,2997 Perkebunan 211,8808 Permukiman 1.470,3299 Permukiman desa 1.338,728

10 Permukiman, Perdagangan, dan Jasa 343,06611 Pusat Industri 130,23912 Pusat Pendidikan 15,60713 Pusat Wisata Alam 119,85114 Sawah 698,847

TOTAL 5.690,886

Tabel 2. Luas Setiap Zonasi RTRW (Alternatif II)

Kota Salatiga

NO ZONASI RTRW ALTERNATIF II LUAS (HA

1 Hutan Lindung/Hutan Kota/Hutan Sepadan Sungai 391,597

2 Perkebunan/Wanatani/Agroforestry 431,3543 Permukiman Pedesaan I 1.777,6084 Permukiman Pedesaan II 679,0795 Permukiman Perkotaan 1.848,4846 Pertanian Lahan Basah 562,761

TOTAL 5.690,883

Tabel 3. Luas Setiap Zonasi pada RTRW (Alternatif III) Kota Salatiga

NO ZONASI RTRW ALTERNATIF II LUAS (HA

1 Hutan Lindung/ Hutan Kota/ Hutan Sepadan Sungai 317,126

2 Perkebunan/ Wanatani/ Agroforestry 290,2523 Permukiman Pedesaan 1.562,8564 Permukiman Perkotaan 2.223,7005 Pertanian Lahan Basah 502,1666 Pertanian Lahan Kering 624,5087 Wilayah Rawan Bencana 170,277

TOTAL 5.690,883

14 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 200814

TOPIK INDERAJA

Gambar 16. RTRW Alternatif III

Kota Salatiga.

Gambar 14. RTRW Alternatif I

Kota Salatiga.

Gambar 15. RTRW Alternatif II

Kota Salatiga.

15BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008 15

PENGOLAHAN CITRA INDERAJA

Proses Orthorektifi kasi untuk Meningkatkan Ketelitian Geometrik

Citra SatelitOleh: Andi Setiyoko*, Purwoko*

* Peneliti Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN

Citra satelit standar yang direkam melalui sensor satelit pada dasarnya masih mempunyai kesalahan yang di-akibatkan oleh kesalahan sistematik dan kesalahan non-

sistematik. Kesalahan sistematis disebabkan antara lain oleh factor kelengkungan permukaan bumi, sedangkan kesalahan non-sistematis diakibatkan oleh perbedaan tinggi pada obyek di permukaan bumi. Proses untuk koreksi kesalahan sistematis secara langsung dapat diprogram melalui proses koreksi geo-metrik sistematis dengan menggunakan parameter-parameter satelit pada waktu melakukan perekaman. Sedangkan untuk ko-reksi kesalahan non-sistematis bisa dieliminir dengan menggu-nakan koreksi orthorektifi kasi. Koreksi orthorektifi kasi adalah sistem koreksi geometrik untuk mengeliminasi kesalahan aki-bat perbedaan tinggi permukaan bumi serta proyeksi akuisisi citra yang umumnya tidak orthogonal (oblique).

Perbedaan tinggi pada obyek di permukaan bumi da-pat dicontohkan pada wilayah pegunungan, perbukitan yang mempunyai variasi tinggi dari lembah hingga puncak gunung dan bukit. Perbedaan tinggi permukaan bumi akan mengaki-batkan adanya kesalahan pada citra dengan istilah pergeseran relief (relief displacement). Pergeseran relief adalah kesalahan pada citra seperti terlihat pada gambar 1.

Pada bagian tengah citra yang diakuisisi sepanjang garis nadir, merupakan bagian yang mempunyai kesalahan terkecil. Sedangkan pada bagian yang menjauh dari nadir akan mem-punyai pergeseran relief yang semakin besar. Pada dasarnya citra yang bebas dari pergeseran relief adalah citra yang sudah terproyeksi orthogonal.

Proses koreksi orthorektifi kasi terdiri dari beberapa me-tode antara lain :

Gambar 1. Pergeseran Relief (Relief Displacement) (http://www.wr.udel.edu)

16 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 200816

PENGOLAHAN CITRA INDERAJA

1. Metode dengan citra stereo, dan 2. Metode dengan citra single dan DEM (Digital Elevation

Model).Metode dengan citra stereo dapat dilakukan dengan

menggunakan data antara lain: satu pasang citra setereo, titik-titik kontrol tanah (TKT) atau ground control points (GCPs). Citra stereo adalah citra sejenis yang overlap satu dengan yang lain, contoh: satelit IRS, generasi satelit Cartosat, ALOS PRISM, SPOT, dan lain-lain. Satelit Cartosat dan ALOS PRISM adalah satelit yang memang dikhususkan untuk mengakuisi-si citra stereo secara kontinyu. Satelit Cartosat mengakuisisi 2 citra yang overlap satu dengan yang lain, sedangkan satelit ALOS PRISM akuisisi secara triplet stereo yang terdiri dari 3 satelit yang overlap satu dengan yang lain. Sedangkan citra IRS dan SPOT membutuhkan programming khusus untuk

bisa menghasilkan data stereo. Proses pengolahan dengan ci-tra stereo ini dapat menghasilkan dua output sekaligus yaitu: data DEM dan citra ortho. Citra ortho yang diproduksi meru-pakan hasil olahan dari citra asli single yang belum terkoreksi, data TKT dan data DEM dari citra stereo itu sendiri. Contoh hasil pengolahan terlihat pada gambar 3.

Metode proses orthorektifi kasi dengan menggunakan citra single dan data DEM tetap membutuhkan data TKT, yang tentunya resolusi dan tingkat ketelitian masing-masing data harus tetap diperhatikan. Proses ini bisa dilakukan pada berbagai jenis citra, misalnya satelit Landsat, satelit SPOT, dan lain-lain. Contoh proses yang sudah dilakukan adalah citra Landsat-7 ETM yang diproduksi menjadi citra ortho dengan data DEM SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) oleh pihak USGS Amerika Serikat. Contoh hasil pengolahan ter-

A B

Pergeseran Relief Pergeseran Relief Terkoreksi

Gambar 2. Citra satelit sebelum dilakukan rektifi kasi ortho (A) dan sesudahnya (B)

Gambar 3. Data Landsat-7 ETM ortho dan DEM SRTM dalam model 3 dimensi.

17BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008 17

PENGOLAHAN CITRA INDERAJA

Citra Landsat-7 ETM Orthorectified

Gambar 4. Hasil overlay Citra Landsat-7 ETM ortho dan Peta Topografi

lihat pada gambar 2.Pengolahan untuk kedua jenis metode orthorektifi kasi

diatas dapat dilakukan dengan menggunakan software komer-sial seperti modul Orthobase pada ERDAS IMAGINE, PCI GEOMATIC, dan lain-lain.

Proses orthorektifi kasi merupakan proses koreksi geometrik level advance yang membutuhkan biaya relative lebih besar untuk memenuhi kebutuhan akan citra stereo, data DEM, dan TKT serta software pengolahan yang relatih lebih mahal. Untuk itu kebutuhan untuk melakukan orthorek-tifi kasi harus didukung oleh tujuan pengolahan citra. Citra ortho dapat diaplikasikan terutama pada pekerjaan yang mem-butuhkan ketelitian geometrik tinggi seperti pemetaan, perta-nahan, perencanaan rekayasa sipil, dan bidang pekerjaan yang sesuai.

1. Error/kesalahan geometric citra satelit: lengkung per-mukaan bumi, pergeseran relief akibat perbedaan tinggi permukaan bumi, dll.

2. Diperlukan proses orthorektifi kasi untuk meminimalkan kesalahan akibat lengkung bumi dan perbedaan tinggi permukaan bumi.

3. Metode orthorektifi kasi: stereo image, image + DEM, merupakan perkembangan metode dari teknik fotogra-metri. + perangkat lunak dan alat dan bahan.

4. Studi kasus yang pernah dilakukan dengan contoh gam-bar.

5. Analisis hasil.6. Penutup.

18 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 200818

PENGOLAHAN CITRA INDERAJA

Koreksi geometri bertujuan untuk mengkoreksi kesala-han/distorsi citra yang diakibatkan oleh wahana satelit . Dalam melakukan koreksi geometri citra dibutuhkan

beberapa titik GCP (Ground Control Points), untuk mentrans-formasikan sebarang citra ke peta. Penelitian ini menerangkan metoda untuk melakukan koreksi geometri untuk citra SPOT-4 oblik (oblique) dengan memperhitungkan sudut kemiringan sensor dan sudut antara lintasan satelit dengan garis vertical (utara-selatan). Prosedur ini terdiri dari dua bagian yaitu: kore-ksi dengan menggunakan fungsi linier dan rekonstruksi citra, dimana kedua proses tersebut menggunakan acuan citra Land-sat orthorectifi ed produksi USGS dan SRTM (Shuttle Radar Topography Mission). Prosedur telah diuji coba untuk wilayah Kabupaten Sukabumi dan menghasilkan ketelitian 30 meter.

Pada abad ke duapuluh satu ini, bermaca-macam satelit telah beredar melintas diatas wilayah Indonesia baik yang ber-sensor pasif maupun yang aktif, baik yang beresolusi tinggi maupun rendah, dan menghasilkan berbagai data dengan berbagai resolusi dan citra yang dihasilkan oleh sensor-sen-

Koreksi Geometri Data Satelit SPOT-4 Level-2-A Oblique

Study Kasus: Kabupaten Sukabumi Oleh: Muchlisin Arief,Kustiyo, Surlan, Teguh Prayogo

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional – LAPAN Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh

Jl. LAPAN No. 70, Pekayon – Pasar Rebo, Jakarta 13710 – Indonesia Telp. + 62 21 87717816, 8710786, Fax. +62 21 8722733

sor tersebut mengarah pada resolusi spatial yang lebih teliti (seperti Quickbird 0.65 meter) dengan resolusi spektral yang lebih banyak (seperti sensor MODIS). Citra yang dihasilkan oleh sensor satelit tersebut diatas, biasanya mengalami dis-torsi baik radiometri maupun geometri, oleh karena itu, agar dapat digunakan secara maksimal, maka citra perlu dilakukan koreksi radiometri dan geometri.

Salah satu data/citra satelit resolusi menengah yang dapat ditangkap oleh Stasiun Bumi Satelit Parepare adalah Satelit SPOT (Satellite Pour l’Obsevation de la Terre) yang dikelola oleh Perancis. Satelit ini pertama kali diluncurkan pada tanggal 22 February 1986 dengan resolusi spasial 10m untuk kanal pankromatik dan 20 m untuk multi spektral dan terakhir SPOT -5 diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2002 dengan resolusi spatial 2.5 meter, 5 meter untuk kanal pankromatik dan 10 meter untuk multi spektral. Sedangkan satelit SPOT-4 yang diterima di Stasiun Bumi Parepare dilengkapi dengan sensor HR-VIR (High Resolution Visible Infra Red), juga diper-lengkapi dengan band infra merah tengah (mid-infrared) de-

Gambar 1. Cara satelit SPOT-4 merekam data secara nadir dan oblik (oblique, off nadir) sampai 7 scene kekiri dan kekanan.

19BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008 19

PENGOLAHAN CITRA INDERAJA

ngan spektrum panjang gelombang (1.58 - 1.75 mikrometer) yang mampu digunakan untuk pengamatan geologi, vegetasi dan hamparan salju.

Selama tahun 2008 ini, stasiun Bumi Parepare telah meng akuisisi data satelit SPOT-4 dengan sudut sensor - 27 (ba-rat) sampai dengan +27 (timur) derajat. Berarti satelit SPOT-4 mampu merekam wilayah sampai 7 scene ke kiri dan kekanan. Dengan demikian data satelit yang direkam dapat dibagi men-jadi dua kategori yaitu: 1) data SPOT nadir yaitu data SPOT yang direkam sudut sensor lebih kecil dari 1 derajat; 2) data oblik (oblique, off nadir) yaitu data yang direkam dengan sudut sensor lebih besar dari satu derajat (lihat Gambar. 1 ).

Didalam pembahasan makalah ini, dijelaskan pengo-lahan untuk mengkoreksi citra satelit inderaja data SPOT-4 level 2-A oblik yang diambil dengan sudut sensor 21.4 derajat dengan resolusi pixel 20 x 20 meter dengan tiga band (mode multi spektral), Titik-titik GCP diambil dari Landsat -7 Or-thorectifi ed products/USGS tahun 2000 dengan resoliusi 15 meter dengan menggunakan software Imagine. Sedangkan wilayah yang digunakan adalah Kabupaten Sukabumi. Tu-juan adalah untuk mengkoreksi geometri yang diakibatkan oleh akuisisi data secara oblik dan mengetahui perbaikan ketelitian geometri untuk memenuhi standar pemetaan skala rinci atau menengah

Sebagaimana diterangkan diatas, bahwa citra SPOT-4 yang digunakan pada penelitian ini direkam secara oblik de-ngan sudut sensor α (dalam penelitian ini citra direkam den-gan sudut 21.4º ). Posisi obyek pada citra yang direkam dengan sudut sensor sembarang α menghasilkan perubahan posisi (pergeseran) yang biasanya disebut paralaks (lihat Gambar 2). Jika citra oblik ini dibandingkan dengan citra nadir atau citra yang diambil dengan sudut sensor lebih kecil dari satu derajat, maka posisi objek akan bergeser ke sebelah kanan (untuk arah sensor positip). Oleh karena itu, agar supaya data tersebut dapat digunakan diperlukan koreksi geometri dan re-konstruksi citra seperti dijelaskan dibawah ini.

Koreksi geometri dapat diartikan suatu pemodelan de-ngan membangun suatu relasi antara sistem koordinat citra dengan sistem koordinat pada bumi. Kesalahan geometri (geometric distortion/errors) yang terjadi pada citra satelit da-pat dikelompokkan pada dua bagian yaitu; kesalahan geome-tri sistematik (systematic geometric errors) dan kesalahan geometrik non-systematik (geometric non-systematic errors) (Jenson, 1996). Kesalahan sistematis pada citra satelit dapat diakibatkan oleh kecepatan cermin pemindai (scanner), rotasi bumi, kecepatan platform, distorsi panoramik dan dapat diper-baiki atau dihilangkan atau di eliminasi dengan menggunakan model matematik [Mather, 1999; Jenson, 1996]. Sedangkan kesalahan non systematik diakibatkan oleh antara lain : variasi posisi dan sudut dan ketinggian dari platform satelit (Jenson, 1996). Kesalahan ini dapat dikoreksi baik dengan cara meng-gunakan transformasi dua dimensi dengan menggunakan GCP yang dalam hal ini diambil dari citra Landsat-7 Orthorec-tifi ed keluaran USGS [Mather, 1999; Jenson, 1996].

Sebagaimana diterangkan diatas, bahwa data SPOT-4 yang digunakan dengan sudut sensor 21°,4’, sehingga objek-objek yang mempunyai ketinggian tertentu akan bergeser po-sisinya.

Gambar 3 adalah cara sensor memindai objek dengan sudut kemiringan α, yang menyebabkan objek AA’ bergeser ke arah kanan sebesar AA’ tan α, Pergeseran ini yang harus diikutsertakan dalam menentukan koreksi geometric SPOT-4 oblik. Disamping itu juga citra SPOT-4 membentuk sudut β terhadap garis horizontal (lihat Gambar 4-a), Hal ini berarti citra SPOT-4 juga membentuk sudut β terhadat citra LAND-SAT orthorectifi ed products USGS. Hal ini pun akan mengaki-batkan perseran posisi objek pada citra. Factor pergeseran ini juga harus diikutsertakan dalam melakukan koreksi geometri citra SPOT-4 oblik.

Gambar 2. Ilustrasi pergeseran paralaks.

Gambar 3. ilustrasi distorsi objek akibat sudut sensor α, pergeseran objek pada citra sebesar ( AA’ tan α).

20 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 200820

PENGOLAHAN CITRA INDERAJA

Dengan memperhitungkan kedua pergeseran tersebut diatas, maka titik-titk GCP yang ditentukan diambil dari citra LANDSAT harus ditambahkan konstanta:

dimana AA’ adalah ketinggian objek selanjutnya disebut d.

Sebagaimana diterangkan diatas, bahwa data SPOT-4 yang digunakan adalah oblik yang diambil dengan sudut sen-sor 21°,4’, maka masing-masing pixel pada citra mengandung parameter koordinat X, Y dan Z di bumi (Z adalah informasi ketinggian). Sehingga objek-objek yang mempunyai keting-gian tertentu akan bergeser posisinya. Agar data SPOT-4 oblik mempunyai ketelitian geometrik lebih baik guna memenuhi standard pemetaan, maka harus dilakukan proses, yang ter-diri dari dua tahap yaitu: koreksi geometrik dan rekonstruksi citra (lihat Gambar 5).

Pada tahap pertama adalah penentuan GCP yang akan digunakan sebagai acuan untuk koreksi SPOT-4. Titik GCP (posisi X,Y) diambil dari data Landsat kemudian dikoreksi dengan informasi pergeseran objek yang diakibatkan oleh ke-tinggian objek (d) yang diperoleh dari citra SRTM sudut sen-sor dan posisi lintasan terhadap harizonal (sudut β ). Maka akan diperoleh GCP yaitu : X’ = X + d tan α cos β dan Y’ = Y + d tan α sin β.

kemudian dilakukan proses koreksi dengan menggu-nakan fungsi transformasi linier (fungsi transformasi orde pertama) yang dituliskan dengan persamaan :

X’ = ao + a1x + a2yY’ = bo + b1x + b2y

Dimana: X’,Y’ = image dan x, y = map/citra Landsat 7 Ortho-rectifi ed

ao, bo: Koefi sien untuk translasi

a1, b1 : Koefi sien: untuk rotasi dan peskalaan (scaling) dalam arah x a2, b2 : Koefi sien untuk rotasi dan peskalaan dalam

arah y Hasil dari koreksi gemoterik ini dapat dilihat pada Gam-

bar 6.a. Gbr.6.a memperlihatkan bahwa citra relatif lebih baik dibandingkan dengan citra aslinya, karena terlihat garis sam-ping lebih lurus, akan tetapi jika dibandingkan dengan citra LANDSAT orthorectifi ed akan terlihat adanya pergeseran posisi objek. Oleh karena itu, diperlukan tahapan kedua yaitu rekonstruksi citra.

Pada tahap kedua adalah rekonstruksi citra yang dilaku-kan dengan cara membuat citra baru yang posisinya sama dengan posisi bujur dan lintang data Landsat Orthorectifi ed

Gambar 4.a. SPOT – 4 oblik wilayah Sukabumi. Gambar 4.b. Landsat 7 ortorectifi ed dari USGS wilayah Sukabumi.

Penentuan GCP + pergeseran

Citra LANDSAT

Citra SPOT-4 oblik

Koreksi Geometrik

SPOT-4 terkoreksi

Rekontruksi citra

Citra SPOT Ortho

Resampling

SRTM

Gambar 5. Diagram alur koreksi dan rekonstruksi citra SPOT Oblik

21BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008 21

PENGOLAHAN CITRA INDERAJA

(dengan koordinat x, y). Peta-ma-tama dilakukan sampel kembali (resampling) citra SRTM (Shuttle Radar Topogra-phy Mission) dari resolusi 90 meter menjadi 20 meter (reso-lusi SPOT), kemudian menghi-tung posisi baru (X,Y) dari citra SRTM dengan koordinat (X’, Y’), yaitu X= X’ – d tan α cos β dan Y = Y’ - d tan α sin β. Koordinat X,Y ini merupakan citra baru yang nilai pikselnya di sampel kembali dari citra SPOT yang mempunyai koor-dinat X, Y. Hal ini dilakukan untuk seluruh pixel yang ada pada citra SRTM. Hasil dari proses rekonstruksi citra dapat dilihat pada Gbr 6b.

Gambar 6b, menunjukkan bahwa garis tepi citra lebih lu-rus dari pada Gambar 6 a. Untuk memperjelas apakah citra hasil rekonstruksi masih terjadi distorsi atau tidak, Citra SPOT-4 hasil rekonstruksi ditumpangtindihkan (overlaid) dengan citra Landsat orthorectifi ed yang dihasilkan oleh USGS. Hasil tumpangtindih tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 menunjukkan bahwa pada posisi objek, tekstur yang terda-pat di citra SPOT-4 berimpit (sama posisinya) dengan objek yang berada pada citra Landsat. Dengan demikian dapat di-simpulkan bahwa citra SPOT -4 hasil rekonstruksi mempunya ketelitian sama dengan ketelitian Landsat Orthorectifi ed yang dihasilkan oleh USGS (ketelitian 30 meter).

Koreksi geometri data SPOT-4 yang di pindai dengan sudut sensor tertentu, harus dilakukan dalam dua tahapan

Gambar 6a. Citra SPOT-4 hasil Koreksi geometrik. Gambar. 6b. citra SPOT-4,hasil rekonstruksi.

yaitu: Tahap pertama koreksi geometri dengan menggunakan titik GCP yang diperoleh dari citra LANDSAT orthorectifi ed produksi USGS sedangkan proses koreksinya menggunakan fungsi transformasi polinomial. Tahap kedua adalah rekon-struksi citra yang diperoleh dengan membandingkan citra SPOT-4 hasil koreksi dengan citra SRTM.

Hasil uji coba dengan data Kabupaten Sukabumi, keteli-tian hasil koreksi ini adalah 30 meter. Penelitian ini masih jauh dari sempurna, karena sudut sensor seharusnya dihitung per-pixel bukan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami nantikan.

Gambar 7. Tumpang tindih hasil koreksi ortho spot 4 (sudut 21.4 deg) dengan Landsat orthorectifi ed

22 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 200822

PENGOLAHAN CITRA INDERAJA

Komentar Terhadap Makalah

Metode Baru Koreksi Geometrik Data Satelit Spot-4 Level-2A Oblique;

Studi Kasus : Kab. Sukabumi (M. Arief dkk, 2008)

Oleh: M. Kartasasmita*, Dianovita** Peneliti Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN

LAPAN sangat menghargai teknik koreksi geometri yang ditawarkan dalam makalah Metode Baru Koreksi Geometrik Data Satelit Spot-4 Level 2A Oblique; Studi

Kasus: Kab. Sukabumi (M. Arief dkk, 2008, diterbitkan pada publikasi yang sama dengan Komentar ini, selanjutnya di sebut Makalah) di atas. Hal ini disebabkan banyaknya data Spot 4 yang dalam akuisisinya dilakukan secara oblik (oblique) yaitu arah penginderaan tidak ke arah nadir. Kesalahan geometri-nya biasa disebut kesalahan paralaks akibat dari cara akuisisi data secara oblik ini dan telah dibahas pada Makalah. Dengan ditawarkannya teknik pada Makalah maka akan memudah-kan LAPAN menyediakan data standar yang sudah terkoreksi geometri kepada pengguna.

Cara koreksi untuk data oblik yang dipakai di LAPAN pada saat ini biasanya adalah dengan teknik Triangulasi (Fa-dila (2007) dan Rita (2007) pada Kartasasmita (2008)) yaitu de-ngan membagi citra yang sudah terkoreksi sistematik (Le vel-2A) menjadi beberapa (dapat banyak) segitiga, dan melakukan koreksi dengan polinomial linear pada tiap segitiga tersebut. Segitiga dibuat dengan menentukan tiga buah Titik Kendali Tanah (TKT, Ground Control Point: GCP) dengan ukuran tergantung dari datarnya suatu daerah, makin datar daerah tersebut makin besar ukuran segitiganya. Teknik ini bekerja dengan kenyataan bahwa kesalahan geometri akibat akuisisi oblik bersifat lokal tergantung dari keberadaan dan lokasi obyek dengan ketinggian yang berbeda-beda. Teknik ini tidak membutuhkan Model Elevasi Digital (MED, Digital Elevation Model, DEM) tetapi membutuhkan TKT yang cukup banyak tergantung bagaimana perbedaan ketinggian atau datarnya obyek pada citra. Namun karena sifat lokal tersebut maka pe-nambahan TKT untuk koreksi lokasi tertentu pada citra tidak akan merubah koreksi geometri di lokasi lain pada citra yang sama.

Telah diperlihatkan dalam Makalah secara grafi s, yaitu besarnya kesalahan paralaks (Gambar 3 pada Makalah) adalah tinggi obyek dikalikan dengan tan α dan berlaku pada seluruh posisi pada citra di mana α adalah sudut pandang sensor. Ko-reksi tahap pertama dilakukan dengan melakukan transforma-

si linear di mana koefi sien transformasinya diperoleh dengan menggunakan TKT yang digeser sebesar ketinggian obyek tersebut (informasi ketinggian pada posisi tersebut diperoleh dari MED) dikalikan tan α Hal ini dilakukan dengan meng-gunakan TKT obyek yang mengandung kesalahan pa ralaks. Selanjutnya dilakukan rekonstruksi dengan menggeser selu-ruh posisi yang telah dikoreksi di atas dengan faktor koreksi (Pers. 1 Makalah) yaitu

Dx = AA’ tan α cos βDy = AA’ tan α sin β

Di mana (dari Makalah) AA’ = tinggi obyekα = sudut sensor

Koordinat setelah rekonstruksi adalah X = X’ – AA’ tan α cos β Y = Y’ – AA’ tan α sin βDimana X’ dan Y’ adalah koordinat hasil transformasi li-

near

Kelihatannya α di ambil dari metadata (header) citra-nya, sedangkan β kelihatannya diukur secara empiris. Sudut β tidak nol karena adanya sudut inklinasi antara bidang orbit dengan bidang lintang.

Penggunaan prinsip kolinier untuk hubungan antara ruang bumi yang 3-D (berkoordinat X, Y, Z) dengan ruang ci-tra yang 2-D (berkoordinat x, y) mendefi nisikan MFR (Model Fungsi Rasional, Rational Function Model, RFM) orde satu dengan memperhatikan model fi sik sensor, yaitu orientasi in-terior dan eksterior (interior and exterior orientations) sebagai berikut : (Rao et al, 2006).

m11(X - X0) + m12(Y - Y0) + m13(Z - Z0)x - x0 = -f ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ m31(X - X0) + m32(Y - Y0) + m33(Z - Z0)

m21(X - X0) + m22(Y - Y0) + m23(Z - Z0)y - y0 = -f ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ m31(X - X0) + m32(Y - Y0) + m33(Z - Z0)

23BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008 23

PENGOLAHAN CITRA INDERAJA

Persamaan 1

Dimana M adalah matrik 3x3

m11 m12 m13

M = m21 m22 m23

m31 m32 m33

Tiap – tiap elemen matrik mij dapat dihitung dengan persamaan :

m11 = cos φ x cos κ m12 = - cos φ x sin κ m13 = sin φ

m21 = cos ω x sin κ + sin ω x sin φ x cos κ m22 = cos ω x cos κ - sin ω x sin φ x sin κ m23 = sin ω x cos φ

m31 = sin ω x sin κ - cos ω x sin φ x cos κ m32 = sin ω x cos κ + cos ω x sin φ x sin κ m33 = cos ω x cos φ

Dimana ω, φ, κ, x0, y0, X0, Y0, Z0, dan f dapat dilihat dari Gambar 1.

P : Titik di bumi

Gambar 1. Hubungan antara sistem koordinat bumi X (LAT), Y (LONG), Z (ELEV) dengan sistem koordinat citra x, y. (Rao et al, 2006)

ω = Rotasi pada sb x

ϕ = Rotasi pada sb y

κ = Rotasi pada sb z

Pengertian sudut sensor untuk satelit Spot (dan sebenar-nya juga berlaku bagi satelit lain) akan dibahas dulu sebelum menggunakan Persamaan 1 sebagai dasar untuk melakukan analisis lebih jauh. Bila jari-jari bumi dianggap tak terhingga sehingga bumi tidak berbentuk bola maka sudut sensor akan sama dengan sudut tumbukan (incidence angle).

Namun bila jari-jari bumi terhingga maka maka sudut tumbukan selalu lebih besar dari sudut sensor dengan hubu-ngan (teoritis), (Greg Janee, May 2007).

sin α sin ( π − β ) sin β⎯⎯ = ⎯⎯⎯⎯⎯ ⎯⎯ r r + a r + a

Persamaan 2

Hubungan ini juga dapat dilihat dari Gambar.2Untuk citra Spot, kedua sudut, yaitu sudut sensor mau-

pun sudut tumbukan diberikan pada metadatanya. Untuk menggunakan Persamaan 1 maka terlihat sudut sensor efektif adalah sudut tumbukan.

Sensor di satelit Spot khususnya Spot 4 adalah sensor larik linier CCD (CCD Linear Array) Pushbroom (Di et.al,

24 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 200824

PENGOLAHAN CITRA INDERAJA

Journal ASPRS, Jan.,2003) dan untuk pembahasan selanjutnya diasumsikan bahwa orientasi interior (f, x0, y0)maupun ekste-rior (X0, Y0, Z0, ω, ϕ, κ)tetap selama akuisisi satu scene citra. Me nurut Gupta (Rajiv Gupta and Richard I.Hartley,Camera Es-timation for Orbiting Pushbroom Imaging Systems, NY 12309), maka y dianggap sebagai sumbu roll yaitu arah utama orbit sa-telit, z adalah sumbu yaw yaitu vektor geosentrik yang menga-rah secara radial dari pusat bumi, x adalah sumbu pitch, yang tegak lurus terhadap sumbu yaw dan roll. Dari konstruksi ter-sebut maka sensor larik linier CCD dari Spot tersebut terletak pada sumbu x yang tegak lurus dengan sumbu y. Bila ϕ adalah sudut tumbukan dan κ adalah sudut inklinasi serta ω diasum-sikan sama dengan nol artinya arah pergerakan satelit diang-gap sejajar dengan permukaan bumi sehingga bidang (x, z) tegak lurus sumbu y, maka MRF pada Persamaan 1 menjadi:

[(X - X0)cos ϕ cos κ - (Y - Y0) cos ϕ sin κ + (Z - Z0)cos ϕ]x - x0= -f ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ [-(X - X0)sin ϕ cos κ + (Y - Y0) sin ϕ sin κ + (Z - Z0) cos ϕ]

[(X - X0)sin κ + (Y - Y0)cos κ]y - y0= -f ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ [-(X - X0)sin ϕ cos κ + (Y - Y0) sin ϕ sin κ + (Z - Z0) cos ϕ]

dilakukan perubahan terhadap persamaan menjadi:

x - x0= k cos ϕ[X - X0) cos κ - (Y - Y0)sin κ + (Z - Z0)tan ϕ]

y - y0= k [X - X0) sin κ + (Y - Y0)cos κ]

dimana k : - fk = ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ [-(X - X0)sin ϕ cos κ + (Y - Y0) sin ϕ sin κ + (Z - Z0) cos ϕ]

Terlihat sebenarnya k tidak tetap untuk seluruh piksel tergantung dari besaran X, Y dan Z titik tersebut. Karena le-tak detektor linier (linear push broom) adalah pada sumbu x

α = sudut sensor (mirror angle)β = Sudut Tumbukan (Incidence angle)r = jari – jari bumia = ketinggian satelit

sehingga dari persamaan di atas ketinggian obyek hanya mempengaruhi no piksel de-ngan koreksi tan φ. Dengan alasan yang sama maka pada sumbu x, untuk tetap men-jamin prinsip kolinear, maka konstanta k ha-

rus dikalikan dengan cos φ. Sedangkan faktor sudut κ terlihat mempengaruhi sumbu x dan y dengan bentuk parametrik yang sama dengan yang diberikan pada Makalah (memperha-tikan sudut β pada makalah) yaitu sin κ dan cos κ.

Dari makalah dapat ditarik kesimpulan bahwa rekon-struksi dilakukan dengan menggeser posisi sebesar AA’ tan α dari obyek pada garis data Spot terkoreksi yang mempunyai sudut β terhadap garis lintang (selanjutnya disebut garis data Spot). Artinya koordinat (X’, Y’) dan koordinat (X, Y) terletak pada garis data Spot. Hal ini tidak dijelaskan alasannya. Ko-mentar ini membuktikan bahwa pengaruh ketinggian hanya pada sumbu x, artinya sepintas dapat ditarik kesimpulan ba-hwa garis data Spot adalah proyeksi sumbu x pada Komentar ini. Namun hal ini perlu pembuktian sebab garis data Spot ter-bentuk dari proses koreksi geometri sistematis (dari level 1-B ke level 2-A) dilanjutkan oleh transformasi linier yang diperli-hatkan caranya pada Makalah. Namun kelihatannya dengan observasi secara grafi s asumsi bahwa garis data Spot adalah proyeksi sumbu x dapat diterima.

Bila diasumsikan bahwa k selalu tetap untuk setiap ti-tik di bumi serta bahwa garis Spot adalah proyeksi sumbu x, maka bentuk transformasi dalam Komentar ini memberikan gambaran yang lebih teoritis dalam mendukung metode yang diberikan pada Makalah.

Karena dari persamaan k, terlihat k tidak konstan ter-gantung koordinat dan ketinggian titik di bumi, untuk melihat dampak menganggap k konstan, maka disarankan agar dilaku-kan pengukuran koordinat titik - titik dibumi hasil koreksi dan rekonstruksi metode Makalah.

Selain itu karena k tidak konstan maka transformasi dari ruang 3-D bumi ke ruang 2-D citra biasa dilakukan dengan menggunakan MFR dengan orde penyebut dan pembilang sampai dengan tiga (Di et.al, Journal ASPRS, Jan.,2003). Pembahasan mengenai hal ini diluar tujuan dan lingkup Ko-mentar ini.

Gambar 2. Sudut Sensor dan Sudut Tumbukan.

25BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

AKTUALITA

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang semakin pesat, persaingan antar bangsa/negara semakin kuat dan arus globalisasi yang semakin deras

telah menuntut pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi secara lebih cepat, tepat, cer-mat dan bertanggung jawab. Pemerintah selalu menganjurkan pelaksanaan pembangunan nasional yang memperhatikan ke-seimbangan antara konversi sumberdaya alam dan kelestarian lingkungan hidup, hal ini bertujuan agar sumberdaya alam yang ada dapat dinikmati terus dari generasi ke generasi se-lanjutnya. Informasi mengenai sumberdaya alam, lingkungan dan cuaca dapat diperoleh dari data penginderaan jauh dan in-formasinya dapat disajikan menggunakan suatu sistem, yang disebut sistem informasi geografi (SIG). Pemanfaatan kedua teknologi tersebut sedang berkembang dimasyarakat saat ini.

Informasi sumberdaya lahan mempunyai arti sangat pen-ting bagi suatu daerah dalam membuat perencanaan wilayah yang baik dan benar. Informasi yang tidak/kurang benar akan menyebabkan terjadinya perencanaan yang kurang/tidak tepat. Informasi sumberdaya lahan dapat diperoleh dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh satelit melalui kla-sifi kasi maupun interpretasi secara visual. Pembuatan infor-masi sumberdaya lahan yang baik membutuhkan sumberdata yang benar dan aktual, selain itu informasi sumberdaya lahan tersebut juga perlu diperbarui secara berkala sesuai dengan kebutuhan, prioritas dan kemampuan pengguna yang ada.

Kegiatan pemetaan ini bertujuan untuk :Memetakan perkebunan kelapa sawit di provinsi Jambi a. dengan menggunakan data satelit Landsat/Spot/Alos Mengetahui luas perkebunan kelapa sawit yang ada di b. provinsi JambiMembantu Pemerintah Daerah dalam menginventarisasi c. sumberdaya lahan khususnya perkebunan kelapa sawit

Data yang digunakan data satelit Landsat daerah Jambi tahun 2006-2007 sebagai data utama dan data Alos/Spot se-bagai data tambahan, data/peta Rupabumi Indonesia skala 1:50.000, peta ijin lokasi, peta HGU, peta RUTR dan lain-lain. Secara garis besar pemetaan perkebunan kelapa sawit dilak-

Pemetaan Perkebunan Kelapa Sawit Menggunakan Data Penginderaan Jauh

Landsat/Alos/SPOT *)

Oleh: I Made Parsa 1), Totok Suprapto1), Nanik Suryo H.1)

*) Kerjasama Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh dengan Dinas Perkebunan Provinsi Jambi1) Peneliti Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh

sanakan menurut diagram alir seperti pada Gambar 1. Beberapa kendala yang dialami dalam pelaksanaan

pemetaan liputan lahan (khususnya perkebunan kelapa sawit) ini adalah: 1). Koreksi geometri data Alos dan Spot, hal ini da-pat diatasi dengan memperbanyak titik GCP yang digunakan, 2). Dalam interpretasi ternyata bahwa tidak semua perkebu-nan kelapa sawit dapat diidentifi kasi dengan mudah. Beberapa kondisi perkebunan yang dapat diidentifi kasi dengan mudah meliputi :

Perkebunan kelapa sawit yang dalam skala luas seperti perkebunan besar negara/swasta yang ditandai dengan adanya pola blok-blok kebun yang teratur dengan luasan yang cukup luas. Kenampakan perkebunan tipe ini pada citra dapat bermacam-macam, misalnya kenampakan blok-blok perkebunan yang sangat jelas baik tanpa vegetasi/terbuka, tertutup vegetasi tipis (tanaman muda), tertutup vegetasi sedang (fase vegetatif) maupun tertutup rapat (fase generatif) dengan kenampakan rona, warna, tekstur dan pola yang jelas.Perkebunan rakyat yang berkelompok (kelompok tani) dengan kenampakan rona, warna, tekstur yang dominan sedangkan polanya tidak jelas karena umumnya tidak ter-atur dan tidak mempunyai blok-blok kebun.Sementara perkebunan rakyat yang umumnya dalam skala kecil dan terpencar sulit diidentifi kasi. Hal ini disebabkan kenampakan rona, warna, tekstur maupun polanya tidak teratur sehingga sulit diidentifi kasi, selain juga karena lu-asnya yang kecil/sempit.

Informasi spasial liputan lahan yang diperoleh dari inter-pretasi citra Landsat, Spot dan Alos kemudian diverifi kasi ber-sama dengan Dinas Perkebunan provinsi Jambi untuk kemu-dian dilakukan revisi sesuai dengan hasil pengecekan lapan-gan tersebut. Hasil pengecekan lapangan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ketelitian interpretasi liputan lahan terse-but ternyata cukup baik, hal ini dibuktikan dengan rendahnya tingkat kesalahan yang terjadi, yaitu: 14 persen (atau tingkat kebenaran mencapai 86 persen).

Secara umum liputan lahan provinsi Jambi didominasi

26 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

AKTUALITA

hutan (36 %), kebun campuran (16 %), perkebunan lain (14 %), perkebunan sawit (11 %), kemudian, tegalan/ladang (6 %). Selengkapnya secara statistik disajikan pada Tabel 1. seda-ngkan secara spasial disajikan pada Gambar 2 (provinsi), 3-11 untuk Kabupaten, 12-17 (dokumentasi lapangan). Jika statistik luas perkebunan kelapa sawit hasil interpretasi dibandingkan dengan data statistik perkebunan provinsi Jambi tahun 2007, ternyata terjadi kelebihan hasil interpretasi seluas 102.990 hektar atau setara dengan 23 persen.

Tabel 1. Statistik informasi liputan lahan provinsi Jambi

No. Liputan Lahan Luas (hektar) Persentase1 Tertutup Awan 452 <12 Hutan 1,761,328 363 Kebun Campur 785,975 164 Ladang/Tegalan 290,012 6

5 Mangrove 8,586 <16 Perkebunan Lain 671,980 147 Perkebunan Sawit 548,281 118 Permukiman 45,091 19 Rawa 30,945 1

10 Sawah 84,944 211 Semak/Belukar 548,476 1112 Tambak/Empang 366 <113 Tanah Terbuka 75,026 214 Tubuh air 40,696 1

Jumlah 4,892,212 100

Hasil pemetaan perkebunan kelapa sawit ini telah disam-paikan kepada Dinas Perkebunan provinsi Jambi dalam acara Sosialisasi kepada seluruh Dinas Kabupaten dan provinsi di Jambi pada tanggal 15 Desember 2008. Dengan kegiatan so-sialisasi ini diharapkan agar: 1). Kegiatan pemetaan kedepan

Gambar 1. Diagram alir pemetaan perkebunan kelapa sawit

DOWNLOAD LANDSAT

ORTHO, IKONOS QUICKBIRD

MOSAIK CROPPING/

SHEET

SUMBER DATA

LANDSAT/ALOS/SPOT

KOREKSI ORTHO, MOSAIK DAN CROPPING

CEK LAPANGAN, INTERAKSI DENGAN

USER

INFORMASI SPASIAL LIPUTAN LAHAN

TENTATIF

EDITING & REVISI INFORMASI SPASIAL

RBI 1:50.000, SRTM, INFORMASI

PENDUKUNG LAINNYA

KUNCI INTERPRETASI :

WARNA BENTUK UKURAN

BAYANGAN POLA RONA

TEKSTUR LOKASI

ASOSIASI

INFORMASI SPASIAL LIPUTAN LAHAN

EXISTING PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

INTERPRETASI LIPUTAN LAHAN

SOSIALISASI

27BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

AKTUALITA

Gambar 2. PCS provinsi Jambi dengan delineasi perkebunan kelapa sawit

dapat dilaksanakan secara bersama oleh Dinas Kabupaten (shering data dan biaya), 2). Hasil pemetaan dapat dijadikan instrumen untuk pengawasan pengelolaan perkebunan selan-jutnya. Sosialisasi ini mendapat sambutan yang sangat baik dari peserta yang ditandai dengan banyaknya diskusi yang terjadi selama berlangsungnya acara dan bahkan beberapa peserta mengharapkan agar kegiatan pemetaan ini dapat di-lakukan secara periodik.

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan dia-tas, dapat disimpulkan bahwa :

Data Landsat/Spot dan Alos dapat digunakan untuk 1. pemetaan perkebunan kelapa sawit dengan cukup baikLuas perkebunan sawit di provinsi Jambi yang dapat dii-2. dentifi kasi dari data Landsat, Spot dan Alos adalah seluas 548.281 hektar

Hasil updating informasi liputan lahan (khususnya perke-bunan kelapa sawit).

28 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

AKTUALITA

Keterangan dari kiri atas ke kanan : Pertemuan/diskusi dengan Kasubdin Pengembangan Dinas Perkebunan provinsi Jambi, Tanaman sawit umur 2-3 tahun, Tanaman sawit umur 9-10 tahun, Deputi Inderaja-LAPAN dan Kadis-bun Provinsi Jambi acara Sosialisasi, Para Kasubdin Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Para Kepala Dinas Perkebunan

Kabupaten dan staf dalam acara sosialisasi.

Keterangan dari kiri atas ke kanan : peta liputan lahan kabupaten Batanghari, Bungo, Merangin, Muarojambi, Kerinci, Sarolangun, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Tebo

29BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

AKTUALITA

Datangnya musim hujan bagi sebagian besar masyara-kat Indonesia memberikan pertanda datangnya dua kejadian yang selalu terkait, yang pertama adalah

pertanda awal musim tanam, dan yang kedua adalah pertanda datangnya bencana banjir/longsor. Persiapan awal tanam padi di sebagian besar wilayah Pulau Jawa memang telah dilaku-kan sejak awal November 2008, sedangkan bencana banjir dan longsor juga telah melanda di sebagian wilayah Indonesia pada bulan November 2008 seperti di Pontianak (Kalimantan Barat), Langkat dan Medan (Sumatera Utara), Mamuju (Su-lawesi Barat), Samarinda (Kalimantan Timur), Cianjur (Jawa Barat), Padang (Sumatera Barat), dan terakhir Banyumas (Jawa Tengah) pada tangal 18 November 2008. Dari kedua isu yang dikemukakan di atas yang menjadi pemicu utamanya yaitu curah hujan. Pemantauan curah hujan secara intensif (bulanan, harian dan jam-an) yang mutakhir sangat perlu di-lakukan mengingat sifat kejadian bencana banjir dan longsor yang terjadi secara tiba-tiba, namun sebenarnya bisa kita was-padai dengan memantau perkembangan curah hujan secara intensif serta kondisi lahan di bawahnya. Informasi secara in-tensif dari curah hujan dan kondisi lahan yang terkini dalam cakupan wilayah yang luas masih sulit diperoleh oleh publik.

Pengamatan curah hujan secara konvensional dalam cakupan wilayah yang luas dirasakan tidak efi sien dalam segi waktu dan biaya, sementara bencana banjir dan longsor datang tidak mengenal waktu sehingga diperlukan informasi secara cepat dan terkini guna mengantisipasi kejadian dan dampak bencana banjir/longsor. Teknologi penginderaan jauh yang mempunyai kemampuan untuk memantau kondisi lahan serta curah hujan secara intensif dan tepat waktu (real time) dapat untuk menjawab tantangan dalam memberikan in-formasi tersebut. Tulisan ini mengemukakan bagaimana data penginderaan jauh digunakan untuk memonitor curah hujan serta dampaknya terhadap kondisi lahan di Kabupaten Cian-jur (Jawa Barat) yang terjadi pada tanggal 14 November 2008.

Musim Hujan dan Bencana Banjir/Longsor 2008/2009

Analisis dan Prediksinya Dari Data Penginderaan Jauh

Oleh: Parwati*, Nanik Suryo Haryani**, Any Zubaidah*, Fajar Yulianto**(* Peneliti iklim dan cuaca, ** Peneliti banjir dan longsor, Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan-Pusbangja LAPAN)

Seperti diketahui, bencana banjir dan longsor di Cianjur yang terjadi pada saat itu telah menimbulkan korban jiwa sedikitnya 15 orang meninggal, 276 unit rumah mengalami rusak berat dan 226 unit rumah rusak ringan (BNPB, 2008).

Pemanfaatan teknologi satelit penginderaan jauh untuk memantau kondisi curah hujan dapat dilakukan melalui satelit lingkungan dan cuaca, seperti MTSAT (Multifunction Trans-port Satellite), TRMM (Tropical Rainfall Measurement Mis-sion), dan data QMorph yang curah hujannya diperoleh dari kombinasi beberapa satelit geostasioner yaitu DMSP, NOAA, Aqua dan TRMM. Data MTSAT memberikan informasi kondi-si liputan awan yang dapat merepresentasikan peluang hujan rendah hingga tinggi. Data MTSAT dapat diperoleh setiap jam dengan resolusi spasial 5 km. Data TRMM memberikan infor-masi curah hujan setiap 3 jam dengan resolusi spasial 27 km, sedangkan data QMorph dapat memberikan informasi curah hujan setiap 30 menit dengan resolusi spasial 8 km. Informasi curah hujan di wilayah Indonesia dari ketiga data tersebut se-tiap harinya dapat dilihat di website LAPAN yaitu http://www.lapanrs.com/smba/smba.php.

Berkaitan dengan musim hujan 2008/2009, dapat dia-mati dari citra satelit MTSAT (Gambar 1) kondisi keawanan yang meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia pada bulan November 2008. Hal ini dipengaruhi oleh posisi matahari yang pada saat itu berada di belahan bumi selatan sehingga menye-babkan adanya penguapan intensif serta konveksi awan yang cukup kuat di belahan bumi selatan. Pada citra MTSAT tang-gal 13 Nopember 2008 (Gambar 1) juga terlihat bahwa kondisi liputan awan di wilayah Jawa Barat cukup tinggi sehingga ber-potensi menimbulkan curah hujan yang lebat.

Data MTSAT kanal inframerah yang diterima dari Kochi University kemudian diolah suhu kecerahannya (brightness temperature) dan diklasifi kasikan potensi hujannya berdasar-kan tinggi rendahnya suhu kecerahan awan. Semakin rendah suhu awan akan menyebabkan terjadinya kondensasi sehing-

30 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

AKTUALITA

ga berpotensi tinggi untuk menimbulkan hujan, sebaliknya semakin tinggi suhu awan maka potensi hujannya rendah. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa po-tensi hujan sangat lebat terdapat pada suhu kecerahan awan di bawah 200° K, potensi hujan lebat pada kisaran 200° - 220°K, potensi hujan sedang pada kisaran 220° - 240° K, potensi hu-jan ringan pada kisaran 240° - 260° K, dan kondisi cerah pada suhu kecarahan di atas 260° K.

Hasil pemantauan liputan awan dari data MTSAT tang-gal 11 - 14 November 2008 bertepatan dengan bencana banjir/longsor yang terjadi di Kabupaten Cianjur (Jawa Barat) dapat dijelaskan bahwa kondisi awan yang berpotensi menimbulk-an curah hujan lebat (berwarna kuning) hingga sangat lebat (berwarna merah) meliputi wilayah Kabupaten Cianjur dan sekitarnya sejak tanggal 11 November hingga 14 November 2008 (Gambar 2).

Sementara itu, hasil pemantauan curah hujan menggu-nakan data TRMM pada Gambar 3 terlihat bahwa hujan telah terjadi di wilayah Sukabumi – Cianjur sejak tanggal 11 hingga 14 Nopember 2008 dengan intensitas curah hujan sebesar 5 – 35 mm di setiap 3 jam. Terpantau dari TRMM pada tanggal 13 Nopember 2008 selama 3 jam (19.00 – 22.00 WIB) terjadi hujan di wilayah Sukabumi – Cianjur dengan intensitas sebe-sar 25 – 35 mm.

Lebih rinci lagi dalam skala jam, data Qmorph mampu

mengamati kondisi curah hujan yang memicu terjadinya ben-cana longsor di Cianjur pada tanggal 14 Nopember 2008. Terli-hat pada Gambar 4 curah hujan di wilayah Sukabumi – Cianjur secara intensif telah terjadi selama 6 jam dengan intensitas sebesar 5-15 mm/jam pada tanggal 13 Nopember 2008 dari jam 19.00 – 24.00 WIB.

Kondisi fi sik lahan yang dapat diamati melalui data satelit penginderaan jauh terkait dengan bencana banjir adalah topo-grafi lahan dan penutup lahan. Kondisi topografi lahan bisa dianalisis berdasarkan data DEM (Digital Elevation Model) dari SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dengan res-olusi 90 m, sedangkan kondisi liputan lahan bisa dianalisis dari data MODIS (Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer) dengan resolusi spasial 250 m.

Citra Digital Elevation Model (DEM-SRTM ) pada gam-bar 5 terlihat bahwa topografi di lokasi kejadian longsor di Kecamatan Campaka dan Kecamatan Cibeber merupakan daerah perbukitan yang bergelombang agak terjal hingga terjal, dengan ketinggian antara 500 m sampai dengan 2.000 m. Kemiringan lereng yang terjal menyebabkan material long-soran akan mudah bergerak dan lereng menjadi tidak stabil dan arah pergerakannya mencari keseimbangan, sehingga terjadi gerakan tanah atau yang disebut longsor.

Sementara itu, kondisi penutup lahan dari citra satelit MODIS tahun 2007 (perekaman tanggal 18 Mei 2007) dan

Gambar 1. Citra MTSAT tanggal 13 Nopember 2008 jam 10 WIB

31BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

AKTUALITA

Gambar 2. Liputan awan berpeluang hujan rendah (warna cyan) hingga tinggi (warna merah) dari data MTSAT periode tanggal 11 – 14 Nopember 2008. Wilayah Cianjur dan sekitarnya ditandai dengan lingkaran merah.

Gambar 3. Curah hujan durasi 3 jam dari TRMM periode tanggal 11 – 14 Nopember 2008. Wilayah Cianjur dan sekitarnya ditandai dengan lingkaran merah

32 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

AKTUALITA

citra satelit MODIS tahun 2008 (perekaman tanggal 28 Mei 2008) tampak jelas adanya perubahan penutup lahan di lokasi bencana longsor (pada batas warna biru tua). Dari citra MO-DIS Tahun 2007 yang semula masih berupa lahan yang ber-vegetasi pada citra tampak warna hijau, sedangkan pada citra MODIS Tahun 2008 sudah berubah menjadi lahan terbuka dan pemukiman/lahan yang terbangun dimana pada citra tam-pak warna pink dan merah. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kondisi lahan di daerah tersebut. Perubahan penutup lahan selain di lokasi longsor, juga di lokasi lain dekat daerah tersebut. Hal ini dapat dilihat pada citra penutup lahan daerah sekitarnya yang ditandai batas warna merah, hijau muda dan hijau tua dan pink (Gambar 6).

Lahan yang ada di sekitar lokasi kejadian longsor pada umumnya berupa kebun campuran pada lereng bagian atas,

sedangkan pada lereng bagian tengah berupa permukiman, dan lereng pada bagian kaki bukit berupa pesawahan. Tata guna lahan pada lokasi kejadian longsor yang berupa kebun campuran sifat tanahnya selalu gembur. Jika kondisi tanah yang gembur ditambah dengan adanya curah hujan yang terus menerus sehingga air mudah meresap ke dalam tanah, aki-batnya bobot tanah bertambah dan tanah menjadi tidak stabil atau mudah bergerak sehingga akan mudah terjadi longsor.

Pada wilayah-wilayah yang mengalami perubahan penu-tup lahan dalam cakupan yang cukup luas serta merupakan daerah rawan bencana banjir/longsor perlu diwaspadai anca-man bencana banjir/longsor jika suatu saat hujan lebat datang dalam kurun waktu yang intensif. Oleh karenanya perlu dike-tahui prediksi kondisi curah hujan guna mengantisipasi ben-cana banjir/longsor pada daerah-daerah rawan. Prediksi curah

Gambar 4. Curah hujan durasi 1 jam dari QMorph tanggal 13 Nopember 2008 jam 19.00 – 24.00 WIB. Wilayah Cianjur dan sekitarnya ditandai dengan lingkaran merah.

33BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

AKTUALITA

hujan bulanan juga dapat diperoleh melalui data satelit pengin-deraan jauh. LAPAN dalam hal ini kedeputian penginderaan jauh telah mengembangkan dan mengoperasionalkan model prediksi curah hujan bulanan berdasarkan suhu permukaan laut Pasifi k Tropik dari data satelit NOAA. Model prediksi curah hujan ini dapat digunakan curah hujan secara global di Indonesia untuk 4 bulan ke depan.

Sebagai contoh daerah-daerah hujan yang di prediksi menggunakan data suhu permukaan laut Pasifi k Tropik bu-lan Oktober 2008 untuk periode Desember 2008 hingga Maret 2009 akan meliputi berbagai wilayah yang dijelaskan dalam

Gambar 5. Citra DEM-SRTM wilayah Kabupaten Cianjur dan sekitarnya.

Gambar 6. Perubahan tutupan lahan dari citra MODIS pada bulan Mei tahun 2007 dan 2008.

Tabel 1 dan sebenarnya dapat dilihat pada Gambar 7.Daerah potensi banjir di Pulau Jawa, Sumatera dan Ka-

limantan dapat diperoleh dari data hasil prediksi curah hujan bulan Desember 2008 yang dioverlay dengan peta daerah genangan di daerah-daerah tersebut. Hasil prediksi daerah potensi banjir di Pulau Jawa untuk bulan tersebut dapat di-lihat pada Gambar 8, lokasi daerah potensi banjir tersebar di 5 provinsi yaitu Provinsi Banten (6 kabupaten), DKI Jakarta (5 kota kodya), Provinsi Jawa Barat (19 kabupaten), Provinsi Jawa Tengah (29 kabupaten) dan Provinsi Jawa Timur (13 ka-bupaten).

34 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

AKTUALITA

Gambar 7. Prediksi curah hujan bulan Desember 2008 hingga Maret 2009 berdasarkan data suhu permukaan laut Pasifi k Tropik bulan Oktober 2008.

Tabel 1. Prediksi curah hujan bulan Desember 2008 – Maret 2009.

Curah Hujan (mm/bln) Desember 2008 Januari 2009 Februari 2009 Maret 2009

≥ 250 Provinsi Sumatera

Utara, Riau, Jambi,

Sumatera Barat, Bangka

Belitung, Bengkulu,

Kep. Riau, Sumatera

Selatan, Lampung,

Sulawesi Tengah,

Sulawesi Tenggara,

Sulawesi Selatan, P. Jawa,

Kalimantan, Maluku,

Papua. .

Provinsi Jambi, Sumatera

Barat, Bangka Belitung,

Bengkulu, umatera

Selatan, Lampung,

Kalimantan Barat,

Kalimantan Tengah,

Kalimantan Selatan,

Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tenggara, P.

Jawa, Bali, NTB, Papua.

Provinsi Bengkulu,

Lampung, Sumatera

Selatan, Kalimantan

Barat, Kalimantan Tengah,

Kalimantan Selatan,

Sulawesi Tenggara,

Sulawesi Selatan, P. Jawa,

Maluku, Papua.

Provinsi Sumatera Barat,

Jambi, Sumatera selatan,

Lampung, Bengkulu,

Jawa Tengah, Kalimantan

Barat, Kalimantan Tengah,

Sulawesi Selatan, Papua.

150 - 250 Provinsi NAD, Sulawesi

Utara, Gorontalo, Maluku

Utara, Bali, NTB, NTT.

Provinsi NAD, Sumatera

Utara, Riau, Kep. Riau,

Kalimantan Timur,

Sulawesi Tengah, Sulawesi

Utara, Gorontalo, Maluku,

Maluku Utara, NTT.

Provinsi NAD, Sumatera

Utara, Riau, Jambi,

Bangka Belitung,

Kep. Riau, Sumatera

Barat, Kalimantan

Timur, Sulawesi Utara,

Gorontalo, Sulawesi

Tengah, Maluku Utara,

Bali, NTB, NTT.

Provinsi NAD, Sumatera

Utara, Riau, Kalimantan

Timur, Kalimantan

Selatan, Sulawesi Utara,

Gorontalo, Sulawesi

Tengah, Sulawesi

Tenggara, Maluku utara,

Jawa Barat Jawa Timur,

Bali, NTB, NTT.

≤ 150 - - -

35BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

AKTUALITA

Gambar 8. Prediksi Potensi Banjir di Pulau Jawa pada Bulan Desember 2008.

Gambar 9. Prediksi Potensi Banjir di Pulau Sumatera pada Bulan Desember 2008.

36 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

AKTUALITA

Gambar 10. Prediksi Potensi Banjir di Kalimantan pada Bulan Desember 2008.

Untuk daerah potensi banjir di Pulau Sumatera dapat di-lihat pada Gambar 9, sedangkan sebaran lokasinya dijelaskan pada Tabel 2, meliputi wilayah di 7 provinsi yaitu Provinsi Bang-ka Belitung (2 Kabupaten), Provinsi Bengkulu (3 kabupaten), Provinsi Jambi (4 kabupaten), Provinsi Lampung (4 Kabupat-en), Provinsi Riau (2 Kabupaten), Provinsi Sumatera Barat (3 kabupaten) dan Provinsi Sumatera Selatan (7 Kabupaten).

Sedangkan lokasi daerah potensi banjir di Kalimantan dapat dilihat pada Gambar 10, yang diperkirakan akan meliputi 4 provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Barat (6 Kabupaten), Ka-limantan Selatan (10 Kabupaten), Kalimantan Tengah (5 Ka-bupaten) dan Kalimantan Timur (3 Kabupaten), lihat Tabel 4.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa data satelit penginderaan jauh mampu memberikan

informasik kemungkinan bencana banjir/longsor melalui pemantauan curah hujan, perubahan tutupan lahan, serta ke-lerengan. Antisipasi bahaya bencana banjir dapat dilakukan melalui informasi prediksi banjir dari data satelit. Informasi yang disampaikan ditindak lanjuti dengan melakukan upaya pencegahan di lapangan. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi dan kerjasama yang intensif antara instansi pemerintah serta berbagai pihak yang terkait guna meminimalisir dampak yang mungkin terjadi akibat bencana. Dalam hal jangka panjang pemerintah daerah perlu segera mengeluarkan Perda (Pera-turan Daerah) sebagai acuan dalam upaya perbaikan kondisi lengkungan hidup sehingga warga dapat tinggal dengan nya-man. Tidak harus selalu mencegah bencana banjir/longsor di setiap musim hujan datang.

37BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

AKTUALITA

38 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

Masalah utama yang dihadapi dalam upaya optimali-sasi pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap adalah terbatasnya informasi mengenai penyebaran

daerah potensial penangkapan ikan. Pada umumnya nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan masih secara konvensional yaitu dengan mencari-cari lokasi penangkapan ikan, dengan mengandalkan pengalaman dan kemampuan pan-caindra untuk mengamati ”tanda-tanda” alami. Cara ini meng-akibatkan para nelayan berada dalam kondisi ketidakpastian terhadap hasil tangkapan dan membuat usaha penangkapan-nya tidak efi sien. Gambar 1 memperlihatkan bahwa produksi hasil tangkapan ikan Kembung (Rastrelliger spp), yang meru-pakan salah satu jenis ikan ekonomis penting di Selat Makas-sar Sulawesi Selatan, cenderung mengalami penurunan. Hal ini sangat ironis, apabila kita bandingkan dengan keinginan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan peranan sumber daya pesisir dan kelautan sebagai sumber pertumbuhan bagi peningkatan Gross National Product (GNP).

Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh merupa-kan suatu kebutuhan yang mendasar untuk memberikan

Kebutuhan dan Pengalaman Memanfaatkan Data Satelit Penginderaan Jauh

untuk Perikanan Tangkap di Selat Makassar

solusi akan penyediaan informasi daerah potensial penang-kapan ikan. Beberapa ahli telah melakukan penelitian relatif cukup lama tentang daerah potensi penangkapan ikan dan mengembangkan metode pengolahan dan analisis data un-tuk menghasilkan informasi zona potensi penangkapan har-ian. Akan tetapi dampak implementasi dari informasi zona potensi penangkapan bagi para nelayan khususnya nelayan di Selat Makassar belum dapat dirasakan. Hal ini disebabkan karena selain sosialisasi belum merata, lokasi penangkapan yang direkomendasikan pada umumnya tidak terjangkau oleh perahu nelayan yang relatif kecil (< 5 GT). Oleh karenanya perlu dilakukan identifi kasi dan pemetaan yang lebih cermat dan efektif di masing-masing daerah atau kabupaten, dengan harapan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat nelayan dan lebih lanjut dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor perikanan.

Berkaitan dengan upaya penyediaan informasi zona po-tensi penangkapan ikan, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan bekerja sama dengan LAPAN Parepare telah mengadakan ka-jian tentang informasi zona potensi penangkapan ikan. Kegia-tan ini dibatasi pada area 118oBT-120oBT dan 3oLS-5oLS. Secara khusus, kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan peta har-ian zona potensi penangkapan ikan pelagis di wilayah perai-ran Kabupaten Barru dan sekitarnya dengan memanfaatkan data citra MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradio-meter).

Secara umum kegiatan ini terbagi atas tiga tahapan yaitu: Pertama, mengidentifi kasi lokasi penangkapan ikan yang di-lakukan oleh para nelayan, dan mencatat hasil tangkapan ber-dasarkan jenis dan jumlahnya. Pengukuran suhu permukaan laut, kandungan klorofi l permukaan laut, dan salinitas yang dilakukan pada setiap lokasi penangkapan ikan. Kemudian dilakukan analisis hubungan antara keberadaan ikan dengan kondisi oseanografi s antara lain suhu dan kandungan kloro-fi l permukaan laut. Kedua, observasi data citra satelit MODIS yang diambil pada tanggal yang sama dengan tanggal dilaku-kan kegiatan penangkapan ikan. Dalam kegiatan ini, ada dua jenis citra MODIS yang digunakan yaitu thermal band untuk mendeteksi suhu permukaan laut dan ocean color band untuk

Oleh : Bambang Semedi** Staf pengajar Jurusan Penangkapan Ikan Politeknik Pertanian Negeri Pangkep,

Pangkep, Sulawesi Selatan.

Gambar 1. Produksi Ikan Kembung (Rastrelliger spp) di Sulawesi Selatan 1995 -2005 (Sumber : DKP SulSel, 2006).

39BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

mendeteksi kandungan klorofi l permukaan laut. Pada tahap ini, dilakukan validasi dengan cara membandingkan hubu ngan antara suhu permukaan laut dan kandungan klorofi l yang diper-oleh dari pengukuran langsung di lapangan dengan penguku-ran yang diperoleh dari satelit. Ketiga, yaitu tahap pengolahan dan analisis data citra satelit dengan menggunakan sistem in-formasi geografi s (SIG), ArcView GIS 3.3 dan Er Mapper 7.0, untuk membuat peta zona potensi penangkapan ikan. Diagram alir dari kegiatan ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Dasar Penentuan Posisi Lokasi Penangkapan Ikan adalah dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) yang dipasangkan pada kapal penangkapan ikan. Sebelum GPS di-gunakan, terlebih dulu dikalibrasi. Hasil yang diperoleh bukan saja berupa posisi Lintang dan Bujur, tetapi juga waktu dan jalur pelayarannya. Pengukuran SPL (Suhu Permukaan Laut) dilakukan dengan cara mengambil sampel air dengan meng-gunakan ember. Kemudian dengan menggunakan thermo-meter air raksa untuk mengukur suhu air yang telah diambil.

Gambar 2. Diagram alir dari kegiatan penentuan zona potensi penangkapan ikan di Kab. Barru, Sulawesi Selatan.

Identifi kasi LokasiPenangkapan Ikan Pelagis

Pengukuran KondisiOseanografi pada Daerah

Penangkapan

Analisa hubungankeberadaan ikan dan kondisi oseanografi

Data Oseanografi yang sesuai untuk ikan

target

Observasi & Seleksi Citra Satelit MODIS (LAPAN Parepare)

Kalibrasi untuk Citra SPLdan Ocean Color

OverlaySPL 260 C- 290 C dan

Klorofi l-a 0,5 - 2,5 mg/m3

Analisis SIG

Peta Zona PotensiPenangkapan Ikan

Ya (sesuai)

Tidak

Klorofi l-a 0,5 - 2,5 mg/m3SPL 260 C- 290 C

TAHAP I

TAHAP II

TAHAP III

40 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

Untuk menambah akurasi, pengukuran SPL akan dilakukan tiga kali ulangan, dan hasilnya di rata-ratakan. Pengambilan sample air dilakukan untuk pengukuran kandungan klorofi l dengan menggunakan kemmerer water sampler. Contoh air yang diambil dimasukkan kedalam botol sample dan diawet-kan dengan formalin 4%. Selajutnya dianalisis di Laboratorium Kualitas Air, Jurusan Budidaya Perikanan, Politeknik Perta-nian Negeri Pangkep.

Dalam kegiatan ini juga telah dibangun infrastruktur sis-tem komunikasi produk data satelit MODIS Lapan Parepare – kab. Barru. Sistem komunikasi produk data ini terdiri dari 3 komponen utama :

• Komputer Pengolahan dan Server Data LAPAN Pare- pare• Media komunikasi data (internet)• Komputer User Kab. BarruKonfi gurasi hardware sistem komunikasi produk data LA-PAN Parepare – Kab. Barru, dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.

LAPAN Parepare melakukan akuisisi dan perekaman data MODIS dari satelit TERRA/AQUA. Data tersebut (berupa raw data) kemudian diolah menjadi data level 1B hdf resolusi 1km. Data hdf ini digunakan untuk mendapatkan informasi se-baran SPL dan Klorofi l permukaan laut berupa data MODIS level 2, 3 dan 4. Data citra SPL dan Klorofi l dengan format Er Mapper, kemudian dikirim ke Kab. Barru dengan koneksi in-ternet. Selanjutnya di Kab. Barru, dilakukan pengolahan akhir dari data tersebut yaitu berupa peta zona potensi penangkapan ikan. Dengan ukuran data yang relatif kecil (sekitar ± 5 MB), koneksi internet dibangun dengan koneksi dial up. Kecepatan koneksi internet dial up ini maksimum 56 kbps atau 7 KB/s, tetapi umumnya sekitar 3 KB/s untuk download. Dengan uku-ran data dan kecepatan sebesar itu, data dapat didownload da-

lam waktu kurang lebih 30 menit. Berdasarkan analisis hasil tangkapan ikan, menunjuk-

kan bahwa ikan-ikan pelagis kecil (Tembang, Kembung, Layang dan Cakalang) cenderung tertangkap di perairan dengan SPL antara 26oC-29oC dan konsentrasi Klorofi l-a antara 0,5 - 2,5 mg/m3. Dengan menggunakan Er Mapper 7.0, selanjutnya dibuat citra MODIS dengan SPL antara 26oC - 29oC, seperti contoh pada Gambar 4. Demikian pula citra MODIS juga dibuat dengan sebaran Klorofi l-a antara 0,5 - 2,5 mg/m3 , seperti contoh pada Gambar 5.

Tahap selanjutnya adalah dengan menggunakan analisis kontur yang diturunkan dari citra MODIS SPL maupun citra MODIS Klorofi l-a. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dis-tribusi SPL lebih rinci (Gambar 6). Analisis kontur juga dilaku-kan pada citra MODIS Klorofi l-a, sehingga distribusi Klorofi l-a dapat terlihat dengan lebih jelas (Gambar 7).

Prediksi zona potensi penangkapan ikan, dilakukan den-gan analisis overlay antara kontur citra MODIS SPL dan kontur citra MODIS Klorofi l-a. Titik-titik perpotongan antara kontur

SPL dan Klorofi l-a, diprediksikan sebagai zona potensi penangkapan ikan pelagis, seperti con-toh yang terlihat pada Gambar 8.

Sebelum peta zona potensi penangkapan ikan didistribusikan kepada para nelayan, ter-lebih dulu dilakukan layout, sehingga peta da-pat lebih informatif dan memudahkan para ne-layan untuk memahami. Peta-peta yang didis-tribusikan, tidak merekomendasikan titik-titik zona potensi penangkapan, akan tetapi dengan sosialisasi dan memberikan bimbingan teknis kepada para nelayan tentang penggunaan peta dan GPS, diharapkan para nelayan dapat den-gan bebas memilih zona potensi penangkapan ikan yang sesuai dengan kemampuan armada dan pengalaman yang dimiliki.

Teknologi penginderaan jauh sangat ber-manfaat untuk memberikan informasi spasial zona potensi penangkapan ikan-ikan pelagis di Selat Makassar. Pusat-pusat informasi zona

potensi penangkapan ikan sangat perlu dibangun di setiap daerah, khususnya daerah-daerah yang memiliki PPI (pang-kalan pendaratan ikan), sehingga nelayan dapat memperoleh peta zona potensi penangkapan ikan dengan mudah dan dalam waktu yang relatif lebih singkat.

`

`

Telkom Telkom

Internet

BarruParepare

Ftp Server /Komputer Remote

Router

Komputer MODIS

Komputer MODIS

Modem

Gambar 3. Konfi gurasi sistem komunikasi produk data LAPAN Parepare dan Kab. Barru.

41BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

Gambar 4. Citra MODIS dengan distribusi SPL 26o-29oC, tanggal 8 Oktober 2007.

Gambar 5. Citra MODIS dengan distribusi Klorofi l-a 0,5-2,5 mg/m3, tanggal 8 Oktober 2007.

42 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

Gambar 7. Kontur citra MODIS dengan distribusi Klorofi l-a 0,5-2,5 mg/m3 dengan interval 0,1 mg/m3 , tanggal 8 Oktober 2007.

Gambar 6. Kontur citra MODIS dengan distribusi SPL 26o-29oC dengan interval 0,5oC, tanggal 8 Oktober 2007.

Gambar 8. Overlay kontur citra MODIS SPL dan Klorofi l-a , tanggal 8 Oktober 2007. Lingkaran-lingkaran biru adalah contoh

prediksi zona potensi penangkapan ikan pelagis.

43BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

Pemantauan lahan sawah menggunakan teknologi pengin-deraan Jauh merupakan hal yang sangat penting dilaku-kan di negara agraris seperti Indonesia. Pemantauan

kondisi pertumbuhan tanaman, luas lahan sawah, produksi pangan dan lain-lain dapat dilakukan lebih cepat dan mudah. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah memanfaatkan citra satelit penginderaan jauh untuk melaku-kan kegiatan pemantauan tutupan vegetasi, khususnya tana-man padi di lahan sawah. Berikut ini disajikan beberapa con-toh citra satelit penginderaan jauh untuk memantau kondisi lahan lahan dan persawahan. .

1. Identifi kasi Lahan SawahGambar 1 memperlihatkan penampakan lahan sawah

di wilayah Kabupaten Sidoarjo menggunakan citra Landsat warna alami (komposit RGB 542) dengan resolusi spasial

Kemampuan Citra Satelit Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Lahan sawah

Oleh: Bambang Trisakti, Bidawi Hasyim, Iskandar Effendi dan Hidayat Peneliti di Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

E-mail: [email protected]

Surabaya

Kab. Sidoarjo

Provinsi Jawa Timur

PemukimanPemukiman

JalanJalan

SawahSawah

P. Madura

30 m. Secara visual, lahan sawah pada citra satelit dapat di-identifi kasi menggunakan beberapa kunci interprestasi yaitu: bentuk, pola, rona (warna) dan asosiasi (keterkaitan dengan objek di sekitarnya). Pada umumnya lahan sawah mempun-yai bentuk persegi dengan pola yang teratur seperti terlihat pada wilayah bagian kiri citra. Penampakan rona pada lahan sawah cukup bervariasi dari warna biru, hijau dan merah. Warna biru menunjukkan dominasi penampakan air atau kon-disi lahan sawah yang baru mulai tanam dalam fase air, warna hijau menunjukkan dominasi penampakan daun atau kon-disi lahan sawah dalam masa pertumbuhan daun, sedangkan warna merah menunjukkan dominasi penampakan tanah atau kondisi lahan sawah yang belum ditanami atau masa setelah panen. Faktor asosiasi dapat dianalisis dengan melihat bahwa lokasi lahan sawah di Indonesia umumnya berdekatan dengan permukiman penduduk dan terletak cukup jauh dari pantai.

Gambar 1. Penampakan lahan sawah menggunakan citra Landsat komposit RGB 542 resolusi spasial 30 m di Kabupaten Sidoarjo (Akusisi: 17 Agustus 2000)

44 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

Kabupaten Sidoarjo

Pemukiman

Dengan melakukan intepretasi secara visual penampakan ob-jek dan secara digital memanfaatkan perbedaan nilai-nilai pada setiap piksel, maka area lahan sawah dapat dipisahkan dari tu-tupan lahan lainnya. Untuk selanjutnya dipetakan dan diman-faatkan untuk kegiatan pemantauan lahan sawah.

Akurasi luasan lahan sawah yang dipetakan berkorelasi erat dengan karakteristik citra satelit yang digunakan (resolu-si spasial, dan spektral). Gambar 2 memperlihatkan penam-pakan lahan sawah pada wilayah yang sama di Kabupaten Sidoarjo menggunakan citra satelit ALOS-AVNIR (Advanced Land Observation Satellite – Advanced Visible Near Infrared) dengan resolusi spasial 10 m, atau tiga kali lebih rinci diband-ingkan resolusi spasial citra Landsat. Dengan menggunakan citra beresolusi spasial lebih tinggi, penampakan lahan sawah menjadi lebih rinci dan objek permukiman yang terletak di antara persawahan dapat diidentifi kasi dan dipisahkan dari lahan sawah. Tetapi perlu diperhatikan bahwa semakin rinci resolusi spasial citra maka semakin sempit cakupan wilayah perekamannya, sebagai contoh: cakupan perekaman 1 scene citra Landsat (185 km X 185 km) hampir sama dengan caku-pan perekaman sekitar 9 scene citra ALOS-AVNIR (70 km X 70 km), ini berarti semakin detil informasi yang ingin dihasilkan semakin banyak citra yang dibutuhkan. Dengan mempertim-

Gambar 2. Penampakan lahan sawah menggunakan citra ALOS-AVNIR komposit RGB 321 resolusi spasial 10 m di Kabupaten Sidoarjo (Akusisi: 24 Mei 2007)

bangkan hal tersebut maka citra dengan resolusi spasial tinggi tidak selalu merupakan pilihan yang tepat, tetapi pemilihan karakteristik citra yang ingin digunakan sebaiknya disesuai-kan dengan tingkat (skala) informasi yang dibutuhkan dan anggaran yang tesedia.

2. Pemantauan konversi Lahan SawahPertambahan jumlah penduduk yang pesat dan pertum-

buhan ekonomi telah mengakibatkan terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian seperti komplek peruma-han, kawasan industri, sarana publik dan penggunaan lainnya. Konversi lahan sawah merupakan ancaman yang serius meng-ingat konversi lahan tersebut sulit dihindari sementara dampak yang ditimbulkan terhadap masalah pangan bersifat permanen dan kumulatif. Permanen mempunyai arti bahwa lahan sawah yang telah dikonversi ke penggunaan nonpertanian sulit untuk bisa diubah kembali menjadi lahan sawah, sedangkan kumulatif mempunyai arti bahwa umumnya wilayah yang mengalami kon-versi lahan akan terus mengalami konversi (semakin meluas). Oleh karena itu informasi mengenai lu asan dan lokasi lahan sawah yang mengalami konversi sangat bermanfaat sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pe ngambil kebijakan dalam menyusun rencana pengendalian konversi lahan dan

45BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

Lahan sawah Pemukiman

Lahan sawah Areal Bandara

mempertahankan produksi pangan nasional. Citra satelit multi temporal (berlainan waktu) mampu

untuk memantau lokasi dan luasan lahan sawah yang menga-lami konversi lahan, yang selanjutnya dapat digunakan untuk memetakan kembali (updating) kondisi lahan sawah terakhir. Gambar 3 dan 4 memperlihatkan contoh terjadinya konversi lahan sawah untuk digunakan sebagai permukiman, penam-bahan areal Bandara Juanda. Secara kuantitatif prosentase perubahan-perubahan yang terjadi dapat dihitung untuk anti-sipasi dampak yang mungkin ditimbulkannya.

3. Pemantauan kondisi vegetasi di lahan sawah meng-gunakan citra multi temporal

Pemantauan kondisi vegetasi di lahan sawah (khusus-nya kondisi pertumbuhan tanaman padi) membutuhkan citra satelit dengan resolusi temporal yang tinggi (perulangan yang sering untuk merekam wilayah yang sama). Hal ini bertujuan untuk mengamati kondisi pertumbuhan padi secara near realtime, sehingga dapat dilakukan deteksi dini bila terjadi gangguan pada pertumbuhan padi yang dapat mengakibatkan gagal panen (puso). Selain itu, pengamatan dengan citra multi

Gambar 3 Konversi lahan sawah menjadi pemukiman di Kabupaten Gresik menggunakan citra Landsat tahun 2000 (kiri) dan ALOS-AVNIR 2007 (kanan)

temporal sangat bermanfaat untuk mengidentifi kasi jenis veg-etasi (padi/palawija) yang ditanam dan mengetahui pola tanam padi/palawija di lahan sawah yang tengah diamati.

Pada umumnya satelit dengan resolusi temporal tinggi mempunyai kelebihan karena cakupannya yang luas, tetapi memiliki keterbatasan pada resolusi spasialnya yang global. Beberapa citra satelit yang mempunyai resolusi temporal tinggi (perulangan setiap hari) dan dapat dimanfaatkan untuk pemantauan kondisi lahan sawah adalah: citra satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic Atmospheric Administration – Ad-vanced Very High Radiometric Resolution), citra satelit Fengy-un dan citra Satelit MODIS Terra/Aqua (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer). Dibandingkan dengan citra satelit NOAA-AVHRR atau Fengyun, citra Satelit MODIS Terra/Aqua mempunyai kelebihan karena resolusi spasialnya yang lebih detil (mempunyai 3 resolusi spasial: 250 m, 500 m dan 1000 m) dan resolusi spektral yang tinggi (36 kanal). Dengan kele-bihan tersebut, citra satelit MODIS Terra/Aqua mampu untuk mengidentifi kasi objek secara lebih detil dan akurat.

Gambar 5 memperlihatkan contoh citra satelit MODIS Terra yang telah dikroping untuk wilayah Pulau Jawa. Tampi-

Gambar 4. Konversi lahan sawah untuk penambahan areal bandara Juanda di Kota Surabaya menggunakan citra Landsat tahun 2000 (kiri) dan ALOS-AVNIR 2007 (kanan)

46 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

lan Pulau Jawa didominasi oleh warna hijau (vegetasi) dan coklat kemerahan (tanah dan pemukiman). Karena keter-batasan resolusi spasial dari citra MODIS, maka Identifi kasi lahan sawah dengan metoda interprestasi visual seperti pada citra Landsat dan ALOS-AVNIR sulit untuk dilakukan. Sebagai gantinya adalah metoda interprestasi dijital citra multi tempo-ral dengan mengamati perubahan kondisi kehijauan vegetasi di lahan sawah menggunakan model indeks vegetasi. Model indeks vegetasi memanfaatkan kanal pada panjang gelombang cahaya merah dan inframerah dekat, karena cahaya merah diserap oleh vegetasi sebagai energi untuk melakukan proses fotosintesis sedangkan inframerah dekat dipantulkan oleh sel hijau daun. Semakin baik kondisi vegetasi maka semakin tinggi/banyak proses fotosintesis dan sel hijau daun, yang mengakibatkan tingginya serapan (rendahnya pantulan) pada cahaya merah dan tingginya pantulan (rendahnya serapan) pada cahaya inframerah. Sebaliknya bila kondisi tumbuhan semakin kering akan mengakibatkan semakin berkurangnya serapan pada cahaya merah dan berkurangnya pantulan pada cahaya inframerah dekat. Beberapa model indeks vegetasi yang lebih maju menggunakan kanal tambahan dengan tujuan untuk melakukan koreksi, seperti contoh model EVI (En-hanced Vegetation Index) menggunakan kanal pada panjang gelombang biru yang sensitif pada kondisi atmosfi r sebagai alat pengkoreksi aerosol dan menggunakan koefi sien tertentu untuk mengkoreksi penampakan latar belakang (tanah) pada piksel vegetasi. Semakin tinggi nilai EVI (mendekati 1) maka semakin baik tingkat kehijauan/kesehatan tanaman, seba-liknya semakin rendah nilai EVI (mendekati -1) maka semakin rendah tingkat kehijauan/kesehatan tanaman atau kondisi dominasi penampakan tanah/air.

Gambar 6 memperlihatkan contoh perubahan indeks vegetasi dengan penanggalan Julian (1 - 365 hari, setahun) untuk tanaman padi di lahan sawah Kabupaten Lombok Barat menggunakan citra MODIS-Terra multi temporal pada tahun 2007. Terdapat kekosongan data selama hari ke-30 sampai hari ke-80 (sekitar bulan Februari dan Maret) karena adanya striping dan banyaknya tutupan awan yang mengakibatkan hi-langnya informasi. Tanaman padi mempunyai indeks vegetasi

Gambar 5. Citra MODIS Terra komposit RGB 621 resolusi spasial 500 m (Akusisi: 29 Agustus 2007)

dengan bentuk kurva naik dan turun selama satu masa tanam (bergantung jenis varietas padi yang ditanam, umumnya seki-tar 4 bulan atau 120 hari). Pola tersebut menunjukkan fase tanaman padi yang terdiri dari 4 fase utama yaitu: 1. Fase Air : masa awal tanam dimana sawah didominasi oleh air sehingga mempunyai nilai indek vegetasi yang sangat rendah.2. Fase Vegetatif : masa pertumbuhan daun sampai menca- pai puncak kehijauan padi sehingga mempunyai indek ve- getasi yang semakin bertambah sampai ke puncak kurva.3. Fase Generatif : masa pertumbuhan biji sampai padi siap di panen, dominasi penampakan pada masa ini adalah biji padi yang berwarna kuning sehingga mempunyai indek vegetasi yang semakin menurun.4. Fase Bera : masa setelah panen, dimana kondisi sawah adalah sisa tanaman padi mengering atau tanah sehingga mempunyai indek vegetasi yang rendah.

Dengan memperhatikan perubahan indeks vegetasi padi selama setahun, kita dapat memperkirakan pola tanam di wilayah yang diamati. Sebagai contoh lahan sawah di Kabupa-ten Lombok barat mempunyai tiga masa tanam dalam setahun yang diperlihatkan dengan adanya tiga kurva naik turun. Tetapi kurva ke-3 berbentuk agak landai dengan nilai indek vegetasi di permulaan kurva lebih tinggi dibandingkan dengan kurva ke-1 dan kurva ke-2, yang diperkirakan karena tidak adanya fase air pada masa tanam ke-3. Oleh karena itu diperkirakan bahwa pola tanam selama setahun di lahan sawah tersebut adalah padi-padi-palawija. Alasan lain yang dapat menguatkan hipotesis tersebut adalah hari ke 235 adalah akhir bulan Juli saat musim kemarau sehingga petani menanam palawija se-bagai penganti padi untuk mengantisipasi kurangnya pasokan air. Selain itu hal lain yang sangat penting yang dapat diamati dari kurva tersebut adalah penentuan waktu awal tanam dan penentuan waktu panen di lokasi pengamatan.

Citra satelit penginderaan jauh terbukti sangat potensial untuk memantau tutupan vegetasi, khususnya tanaman padi di lahan sawah. Informasi-informasi yang dihasilkan seperti: peta luasan lahan sawah, luasan lahan sawah yang mengalami konversi ke penggunaan non-pertanian, kondisi pertumbuhan

47BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

Gambar 6. Contoh perubahan indeks vegetasi untuk pemantauan pertumbuhan tanaman padi di lahan sawah Kabupaten Lombok Barat.

padi, pola tanam di lahan sawah, waktu awal tanam dan waktu panen, merupakan informasi yang sangat dibutuhkan untuk mendukung kegiatan ketahanan pangan nasional, terutama sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam menyusun rencana pengendalian konversi lahan dan mempertahankan produksi pangan nasional. Juga

pihak Pemerintah dan pihak-pihak terkait dengan pengambi-lan kebijaksanaan harus selalu memiliki data hasil pantauan yang akurat. Hal itu perlu dilakukan untuk menjawab persoa-lan yang mungkin muncul disetiap saat terkait dengan kebijak-sanaan produksi pangan seperti pupuk dan lain-lain.

48 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

secara pasti dimana lokasi keraton saat itu. Peninggalan yang tersisa dan masih tetap pada tempat aslinya tinggal beberapa saja, sebagian besar peninggalan telah menjadi puing benda kuno yang terserak dimana-mana. Oleh karenanya para peneli-ti harus menduga-duga di mana pusat kerajaan waktu itu se-hingga areal studi menjadi sangat luas yang implementasinya membutuhkan biaya besar.

Menurut beberapa sumber pustaka, biaya penelitian yang mencakup areal luas akan lebih murah jika mengguna-kan media citra satelit penginderaan jauh. Berdasarkan pen-galaman penulis artikel ini, Peta Zoning dapat dibangun dari hasil interpretasi Citra Landsat 7 ETM+. Citra ini mempunyai resolusi spasial 30 meter, tetapi itu cukup untuk pembuatan zoning dalam penelitian arkeologi.

Salah satu kemampuan citra Landsat 7 ETM+ adalah dapat digunakan untuk mengidentifi kasi benda-benda arke-ologis yang terkubur di dalam tanah, seperti reruntuhan ba-ngunan kuno, bekas-bekas pondasi bangunan kuno, selokan, kanal, dan jalan-jalan kuno yang tertutup oleh lahan pertanian maupun tumbuhan liar dengan cara pengamatan anomali ke-nampakan warna vegetasi yang tumbuh di atasnya. Metode ini telah digunakan para arkeolog Eropa dan Amerika semenjak pertengahan tahun 1980. Hasilnya terbukti dapat menghin-darkan dua kesalahan yang sering dilakukan dalam penelitian arkeologis yaitu: (1) kesalahan sistematis dalam penggalian situs, dan (2) ketidak-yakinan pada dugaan keberadaan suatu lokasi situs akibat rusaknya areal oleh aktivitas manusia

Tulisan ini merupakan hasil uji coba penggunaan citra Landsat 7 ETM+ dalam pembuatan Peta Perkiraan Zoning Rekonstruksi Keraton Singhasari Abad XII sampai akhir Abad XIII. Citra digunakan untuk menentukan fokus penelitian su-paya areal studi dapat dipersempit pada daerah-daerah yang di-duga menjadi inti keraton saat itu sehingga biaya pelaksanaan penelitian berkurang. Data lain yang dipakai meliputi: (1) Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) cetakan ke-1 tahun 2000, (2) Peta topografi areal studi cetakan tahun 1811, (3) hasil pencocokan lapangan (groundtruth) situs purbakala di daerah penelitian, dan (4) hasil-hasil penelitian terdahulu.

Singhasari merupakan salah satu kerajaan masa Hindu Budha Abad XII sampai akhir Abad XIII. Pusat pemer-intahan kerajaan ini diduga ada di sekitar Kabupaten

Malang Provinsi Jawa Timur, sebab punya kemiripan nama dengan “Singosari”, nama salah satu kecamatan di Kabupaten Malang (Gambar 1). Penelitian kepurbakalaan (arkeologis) yang menyangkut kerajaan ini belum banyak dilakukan dan hampir semuanya merupakan karya pakar ilmu kepurbaka-laan (arkeolog) Belanda saat bangsa itu menjajah Indonesia. Sifat penelitian-penelitian yang dilakukan pada waktu itu masih parsial, antara penelitian satu dan yang lain tak ada hubungan-nya, sehingga hasilnya tak dapat dirangkai untuk rekonstruksi model Keraton Singhasari saat itu.

Petunjuk awal untuk memperkirakan situasi keraton adalah peta pendaerahan atau zoning bangunan dan tempat masyarakat melakukan aktivitasnya sehari-hari. Dalam Peta zoning daerah yang mempunyai kesamaan fungsi diiden-tifi kasi lalu dikelompokkan sehingga dapat dijadikan pega-ngan untuk penggalian situs-situs bersejarah di suatu tempat. Sayangnya rekonstruksi zoning situs Keraton Singhasari su-lit dilakukan, sebab tak ada sumber data yang menyebutkan

Citra Landsat 7 ETM+ untuk Penentuan Fokus Penelitian dalam Penyusunan Peta Zoning Rekonstruksi Keraton Singhasari

Oleh: Sonny Wedhanto*

* Pengajar pada Jurusan Teknik Sipil Universitas Negeri Malang.

Gambar 1. Letak Kecamatan Singosari(Sumber: Peta Provinsi Jawa Timur Sekala 1 : 500.000)

49BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

Citra yang digunakan merupakan hasil pemoto-ngan (cropping) Landsat 7ETM+ Path 118/Row 065, pe-nyiaman 19 Mei 2002 (Gambar 2). Fungsi citra untuk: (1) identifi kasi adanya anomali pola tutupan lahan dan (2) identifi kasi struktur geologi di daerah penelitian; selanjutnya daerah yang mengalami anomali ditetapkan sebagai fokus penelitian.

Tutupan lahan umumnya mengikuti pola-pola ter-tentu sehingga jika terjadi anomali pola, akan mudah teridentifi kasi. Identifi kasi struktur geologi untuk evalu-asi anomali pola sungai, sebab keberadaan kekar, pa-tahan, maupun lipatan akan merubah pola aliran sungai. Pengolahan data citra menggunakan metode klasifi kasi terselia, klasifi kasi tutupan lahan menggunakan level 1 yang didasarkan pada lima kelompok obyek yaitu: (1) lahan terbangun, (2) vegetasi campuran, (3) padi, (4) alur air/sungai, dan (5) daerah lembab.

Peta RBI untuk pembuatan Peta Sungai dan Peta Digital Elevation Model (DEM), dari Peta DEM dibuat animasi tiga dimensi (tri matra) untuk penggambaran kondisi bentang alam di sekitar daerah penelitian. Peta Sungai untuk identifi kasi pola sungai, sebab Citra Land-sat hanya mampu menyiam obyek dengan ukuran mini-mum 30 m, sedangkan di wilayah studi tak ada sungai yang lebarnya 30 m atau lebih. Peta topografi cetakan 1811 untuk mengetahui topografi dan pola sungai yang lebih mendekati kondisi masa Singhasari, sebab menurut bebarapa sumber pustaka perubahan tata guna lahan di Kecamatan Si-ngosari dimulai sejak dibukanya jalur kereta api Surabaya Ma-lang tahun 1920-an, dan biasanya perubahan tata guna lahan senantiasa diikuti dengan berubahnya pola sungai setempat.

Groundtruth untuk pendataan letak situs-situs kuno, data yang dikumpulkan meliputi koordinat letak situs, nama tempat situs itu ditemukan, kondisi fi sik saat situs ditemukan, benda-benda lain yang menjadi penyerta seperti pecahan keramik kuno, batu bata kuno dan sejenisnya. Data ini menjadi petun-juk tentang aktivitas dan status sosial penduduk setempat di masa lalu, dengan identifi kasi semua data hasil grountruth dapat diketahui status sosial dan kegiatan penduduk pada Ja-man Singhasari yang tinggal di daerah itu; sedangkan hasil penelitian terdahulu digunakan untuk menengkapi data situs-situs yang hilang

Gambar 3 adalah hasil klasifi kasi citra; dari gambar itu diketahui bahwa tak ada bagian yang menandakan adanya struktur geologi berupa kekar, sesar maupun lipatan yang mengakibatkan anomali pola aliran sungai setempat. Dari hasil klasifi kasi citra tampak pula bahwa pola letak sawah, vegetasi campuran, dan lahan terbangun (rumah, serta sarana penunjangnya) mengikuti arah alur sungai dari Barat Laut ke Tenggara, tetapi pada bagian kanan bawah, daerah dalam ling-karan, menunjukan anomali. Pola lahan terbangun di daerah ini cenderung berbentuk persegi, jika dilakukan tumpang susun dengan Peta RBI, sekarang ini daerah tersebut masuk

dalam wilayah administrasi pemerintahan Kelurahan Singosa-ri dan Kelurahan Pagentan. Dua nama daerah ini tertulis da-lam Kitab Pararaton (penulisnya anonim, isinya mengisahkan berdirinya Kerajaan Singhasari) maupun Kitab Nagara-Karta-gama (ditulis oleh. Mpu Prapanca, isinya menceriterakan per-jalanan Hayam Wuruk mengelilingi Jawa Timur). Atas dasar ini daerah yang mengalami anomali pada Gambar 3 diperki-rakan sebagai wilayah inti Keraton Singhasari dan ditetapkan sebagai fokus pengamatan penelitian.

Untuk memperkuat kebenaran pemilihan fokus lokasi penelitian, dibuat animasi gambar tri matra situasi disekeliling daerah yang diperkirakan sebagai Keraton Singhasari (Gam-bar 4), gambar tersebut diperoleh dari permodelan data kon-tur pada Peta DEM. Hasil permodelan menunjukkan bahwa daerah yang diperkirakan sebagai Keraton Singhasari ada di kaki Gunung Arjuno. Menurut Kitab Silpa-Sastra Manasara, kitab pedoman pembangunan kerajaan pada masa Hindu-Budha, lokasi yang demikian ini sesuai dengan unsur normatif pembangunan keraton pada jaman itu.

Dalam Kitab Silpa-Sastra Manasara, disebutkan bahwa areal untuk membangun kompleks keraton harus mengan-dung unsur Brahma, artinya di lokasi itu harus ada mata air alami, sungai, lembah, dan lereng gunung yang semuanya sudah disucikan. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa masa Hindu-Budha, Gunung Arjuno dipandang sebagai bagian dari Gunung Mahameru di India, gunung yang disucikan oleh penganut Agama Hindu (sampai sekarang kepercayaan ini masih dianut oleh beberapa komunitas masyarakat di Jawa

Gambar 2. Citra yang Dipakai, cropping Landsat 7 ETM+, saluran 1-5 dan 7 (30x30m)

50 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

Timur, umumnya dari pengikut aliran kepercayaan). Hasil in-terpretasi di atas memperkuat dugaan bahwa fokus penelitian pada Gambar 3 benar-benar merupakan wilayah inti Keraton Singhasari.

Gambar 4. Tri Matra Lokasi Daerah Penelitian[Sumber: Pengolahan Data Koordinat Titik Elevasi Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar 1608-111 sampai 1608-114]

Pola letak hunian dalam penelitian arkeologis memberi informasi penting terhadap kondisi lingkungan sekitar, tek-nologi, serta organisasi sosial kemasyarakatan pada masa itu. Kondisi lingkungan sekitar yang perlu diamati adalah sungai, sebab untuk menjamin kelangsungan hidup dan aktivitas se-hari-hari, komunitas masyarakat kuno sangat tergantung pada sungai. Hasil digitasi peta RBI menunjukkan, bahwa umum-nya sungai di sekeliling lokasi penelitian memiliki pola radial, pola yang menjadi ciri khas sungai di daerah gunung berapi; tetapi tepat pada fokus penelitian pola sungai menunjukkan anomali, sungai di tempat itu membentuk sudut tegak lurus terhadap sungai lainnya, pola yang demikian ini dikenal de-ngan nama sungai pola persegi. Secara geomorfologis terben-tuknya sungai pola persegi disebabkan oleh: (1) adanya kekar dan patahan pada batuan masif, atau (2) terjadinya lipatan dan patahan pada batu malihan.

Hasil interpretasi pada Gambar 3 menunjukkan bahwa di daerah penelitian tidak ada indikasi adanya kekar dan pa-tahan. Jika dilihat dari jenis vegetasi penutup lahan setempat, di daerah penelitian juga tak menunjukkan indikasi adanya batuan masif, sebab pada batuan masif jenis padi dan vegetasi tanaman pekarangan/kebun budidaya tak dapat tumbuh se-cara optimal, padahal jenis vegetasi yang banyak dijumpai di derah penelitian adalah padi dan vegetasi campuran berupa tanaman kebun yang dibudidayakan. Vegetasi-vegetasi terse-but dapat tumbuh subur jika media tumbuhnya berupa: (1) tanah yang terbentuk dari batuan aluvial sisa aktivitas gunung berapi, (2) tanah berbutiran halus yang dapat menyimpan air, dan (3) tanah yang memiliki tingkat kesuburan tinggi.

Berdasarkan analisis di atas disimpulkan bahwa di lokasi penelitian tidak ditemukan adanya kekar, patahan, batuan masif, maupun batu malihan, sehingga dipastikan bahwa sungai pola

Gambar 3. Hasil Klasifi kasi Citra Lansat 7 ETM+

Keterangan:

Sawah Alur Sungai

Vegetasi Campuran Daerah Basah

Lahan Terbangun

51BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

persegi yang ada di Kelurahan Singosari dan Pagentang adalah hasil rekayasa manusia untuk kepentingan tertentu. Dari hasil groundtruth, sebagian besar situs kuno yang ditemukan le-taknya cenderung mengelompok di daerah yang mengalami anomali. Gambar 5, merupakan tumpang susun Peta Pola Sungai hasil digitasi Peta RBI dan penggambaran semua titik-titik kooradinat situs-situs yang ditemukan.

Dalam Buku The History of Java (oleh Raffl es), saat penulis buku ini mengunjungi Candi Singosari Tahun 1815 diceritakan bahwa sekitar candi berupa hutan lebat, di belakang candi terdapat tanah lapang luas (Jawa = Aloon-aloon), dan di tepi tanah lapang terdapat sepasang arca raksasa ukuran besar (Arca Dwarapala), gambaran ini serupa den-gan yang tertulis dalam Kitab Pararaton. Da-lam Kitab Pararaton dilukiskan bahwa di Ibu Kota Kerajaan Singhasari terdapat balai kota, pesanggrahan, rumah pendeta Budha, dan beberapa bangunan kuil atau candi. Bentang alam sisi sebelah Timur keraton berupa te-laga alam, areal persawahan, dan perbukitan; sisi sebelah Barat hutan Nandawa, yaitu hutan negara untuk berburu binatang, ada kemung-kinan hutan inilah yang dimaksud oleh Raffl es dalam bukunya.

Kondisi sekitar Candi Singosari yang sekarang telah jauh berubah. Tanah lapang seperti yang ditulis oleh Raffl es maupun Kitab Pararaton sudah menjadi permukiman padat, disekeliling Candi Singosari tak lagi dijumpai hutan. Menurut penuturan sesepun setempat berubahnya aloon-aloon menjadi hunian dim-ulai menjelang peristiwa G30S, pada waktu itu terjadi penyerobotan ruang terbuka dan tanah kosong secara besar-besaran untuk dijadikan rumah. Perubahan tata guna lahan pasti dii-kuti berubahnya pola sungai setempat, sebab dalam pengeolaan air, areal hunian dan areal hutan punya konsep yang berlawanan. Areal hunian tidak menghendaki adanya genangan air sekecil apap-un, tetapi sebaliknya areal hutan maupun persawahan justru menghendaki genangan air sebanyak mungkin. Akibatnya be-barapa sungai ada yang diurug karena dianggap tidak perlu, sehingga terjadi perubahan pola sungai. Jadi besar kemungki-nan bahwa pola sungai di daerah penelitian, sekarang ini telah jauh berbeda dengan pola sungai pada Jaman Singhasari.

Peta Pola Sungai Gambar 5 diturunkan dari digitasi Peta RBI cetakan Tahun 2000, oleh sebab itu dipastikan bah-wa pola sungai dalam peta itu berbeda dengan kondisi pada Jaman Singhasari. Untuk mengetahui pola sungai yang lebih

mendekati bentuk pada Jaman Singhasari digunakan Peta Topografi cetakan Tahun 1811, dengan pemikiran teknologi pembuatan peta saat itu masih sangat sederhana sehingga mulai dari survei pengumpulan data sampai peta tercetak di-perkirakan membutuhkan waktu sekitar 10 sampai 15 tahun. Dengan demikian topografi pada peta itu lebih relevan jika di-gunakan untuk penggambaran kondisi daerah penelitian seki-tar Tahun 1790 sampai awal 1800-an dan pola sungai yang ada lebih mendekati pola sungai Jaman Singhasari.

Seluruh titik-titik koordinat situs hasil groundtruth digam-bar dalam peta hasil digitasi pola sungai dari Peta Topografi

Gambar 5.

52 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

tahun 1811, dan untuk melengkapi data situs-situs yang hilang digunakan referensi dari peta hasil penelitian terdahulu. De-ngan cara ini dapat dibangun peta perkiraan situasi letak masa bangunan dalam Keraton Singhasari masa itu. Dari analisis benda-benda penyerta yang ditemukan diseputar situs-situs arkeologis diketahui aktivitas dan status sosial masyarakat yang mendiami daerah itu, sehingga dapat dibangun Peta Perkiraan Zoning Keraton Singhasari seperti Gambar 6. Menurut gambar tersebut, tata ruang kompleks Keraton Sing-hasari terdiri dari tujuh zone yaitu: (1) Sumber Air Ken Dedes, (2) Kompleks hunian pembesar kerajaan, (3) Arca Dwarapala, (4) Aloon-aloon, (5) Komplek Candi Singosari, (6) Kompleks Candi Papak, dan (7) Kompleks hunian para perawat bangu-

nan suci/candi. Zoning masa bangunan daerah yang diperkirakan seba-

gai wilayah inti Keraton Singhasari seperti uraian di atas ses-uai dengan kaidah pembangunan kota menurut Kitab Mana-sara Silpasastra, ini merupakan bukti bahwa areal yang dipilih sebagai fokus penelitian memang wilayah inti Keraton Sing-hasari, dengan demikian disimpulkan bahwa Peta Zoning yang dihasilkan mencerminkan perletakan masa bangunan Keraton Singhasari. sehingga terbukti bahwa Citra Landsat 7 ETM+ da-pat digunakan sebagai salah satu cara dalam pemilihan fokus pengamatan pada penelitian-penelitian arkeologis, metode ini dapat mengurangi beaya penelitian dan hasilnya cukup me-muaskan.

Gambar 6

53BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

Informasi Data INDERAJA

54 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

BERITA RINGAN

Pertemuan Ilmiah Masyarakat Pengin-deraan Jauh ke XVII tahun 2008 dilak-

sanakan tanggal 10 Desember 2008, diikuti oleh 200 orang peserta dan 10 Perusahaan/Instansi. Acara ini dipadatkan menjadi 1 hari dimulai dari registrasi, sambutan ket-ua panitia PIT MAPIN XVII, kemudian aca-ra dibuka oleh Ketua MAPIN, dilanjutkan pemberian penghargaan kepada Instansi dan perusahaan swasta yang telah berkon-tribusi kepada Penginderaan Jauh di Indo-nesia, dilanjutkan dengan presentasi pem-bicara kunci oleh Prof. Ryota NAGASAWA dari Departement of Land Ecology and GIS, University of Tottori, JAPAN.

Acara dilanjutkan dengan Talk Show dengan tema “Sosialisasi Kebijakan Peng-inderaan Jauh di Indonesia” dengan pem-bicara, Dr. Projo Danoedoro (UGM), Dr. Ir. Mahdi Kartasasmita (LAPAN), Ir. Teguh Sa-tria (Ketua DPP Real Estate Indonesia), Ir. Ruddy Ernawan (Direktur PT. Damai Insan Citra) dengan ditengahi oleh Dr. Ketut Wi-kantika (Geodesi ITB/Ketua Umum MAPIN). Talkshow tersebut ternyata lebih tepat ber-judul Penginderaan Jauh untuk Masa yang Akan Datang atau sesuatu yang tidak ada

sangkut pautnya dengan Kebijakan. Kare-na sepanjang talkshow, yang dibicarakan adalah seputar gap antara citra dengan in-formasi yang dihasilkan, juga tentang me-nyiapkan pekerja-pekerja yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dalam pasar penginderaan jauh.

Setelah istirahat acara dilanjutkan dengan presentasi-presentasi beberapa makalah/paper, tapi jelas presentasi terse-but tidak mungkin untuk mendengarkan seluruh makalah yang dipresentasikan ke-marin karena presentasi makalah terbagi dalam ruang-ruang bersekat.

Sedangkan presentasi di ruang utama yang pertama PT. Waindo SpecTerra, kedua PT. Barista GeoInformatik, ketiga PT. Gane-sha Geovision, serta terakhir dari LAPAN. Sedangkan acara ditutup dengan pembe-rian Jacub Rais Award (Makalah terbaik) dan Sutanto Award (Presenter terbaik).

Tapi dari judul makalah secara keselu-ruhan, tampak bahwa penginderaan jauh menjadi alat yang tidak dapat dipisahkan dari permasalahan pengelolaan sumber-daya alam dan menjadi tren sosusi perma-salahan lingkungan yang berkelanjutan.

Diantara makalah yang dipresentasi-kan adalah jenis penelitian murni pengin-deraan jauh yang besar manfaatnya untuk mengambil keputusan dalam menggu-nakan data penginderaan jauh.

Melalui PIT XVII MAPIN kali ini diharap-kan dapat menghasilkan karya-karya so-lutif dalam pengelolaan sumber daya alam yang ramah lingkungan dan berkelanjutan berbasis penginderaan jauh, terutama da-lam bidang-bidang: land use/land cover, Habitat dan ekosistem, Pertanian, kehu-tanan, pertambangan dan industry, Daerah aliran sungai, pesisir dan laut, Pemodelan bentang alam, Mitigasi dan monitoring bencana alam, Microwave remote sens-ing, LIDAR dan aplikasi, Pengembangan sensor, Pengembangan image processing, serta Kebijakan penginderaan jauh,

Disamping itu juga ada kegiatan paralel yaitu pameran oleh LAPAN yang menampilkan beberapa poster yang terkait dengan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk aplikasi sumber daya alam dan lingkungan, PT. Barista, PT. Waindo Specterra.

Ucapkan selamat disampaikan kepada BPK, UNDIP, dan PT Barista yang menerima MAPIN award sebagai instansi yang meng-gunakan data penginderaan jauh untuk mendukung aktifi tas pada lembaga yang bersangkutan.

Tahun depan, Jakarta disiapkan men-jadi tuan rumah Kongres MAPIN XVIII.

Pertemuan Ilmiah Tahunan Masyarakat Penginderaan Jauh 2008 ke XVII (PIT MAPIN) dengan tema “Kebijakan dan Trend Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan”

Talkshow : Sosialisasi Kebijakan PJ di Indonesia.

55BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

BERITA RINGAN

Kegiatan lokakarya mata pelajaran geografi ini ada-lah tindak lanjut sebelumnya dari kesepakatan

kerjasama antara LAPAN dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta.

Kegiatan tersebut adalah guna untuk menyebar-luaskan dan mewujudkan serta transfer ilmu kepada masyarakat, Staf Pemda. khususnya para pendidik/guru sekolah menengah pertama dan menengah/umum di wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta.

Lokakarya mata pelajaran geografi ini difokuskan kepada pemberian dan penjelasan dari LAPAN ten-tang pemanfaatan dan teknologi penginderaan jauh. Lokakarya dilaksanakan di ruang pertemuan Pemda Kabupaten Purwakarta pada hari Senin, 11 Agustus 2008, acara ini dibuka oleh Bupati Purwakarta, H. Dedi Mulyadi, SH., dan didampingi oleh ketua Bappeda Pur-wakarta, Ir. Drs. Didin Sahidin NJ, M.Sp. sebagai Ketua Panitia Penyelenggara kegiatan Lokakarya.

Dalam sambutannya Bupati Purwakarta berpesan kepada para peserta Lokakarya khususnya guru-guru Geografi , betapa pentingnya menjaga kelestarian ling-kungan khususnya di wilayah Kabupaten Purwakarta. Juga menjelaskan bagaimana menata wilayah/kota dengan baik, misalnya: menata wilayah pertanian, pe-rumahan, pusat perbelanjaan, pemeliharaan hutan, gedung-gedung dan lainnya.

Purwakarta dengan penduduk dibawah 1 (satu) juta, dengan karakter penduduknya yang cerdas, masyarakatnya tidak berpolitik, serta mengerti tentang lingkungan, maka ke depan Purwakarta akan terwujud seperti kondisi kehidupan di Singapura.

Presentasi dari LAPAN tentang pemanfaatan dan teknologi Penginderaan Jauh disampaikan langsung oleh Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN, Drs. I.L. Arisdiyo, M.Si. dengan materi Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh yang difokuskan kepada Aplikasi Penginderaan Jauh untuk wilayah kabupaten Purwakarta. Kemudian setelah presentasi diberikan kesempatan untuk tanya jawab. Dalam acara tersebut banyak pertanyaan dari para peserta sekitar peman-faatan dan teknologi penginderaan Jauh.

Kegiatan lokakarya tersebut dihadiri oleh 75 Peserta, terdiri dari guru-guru SMP dan SMA, Pengawas Sekolah, serta Staf Pemda dan Bappeda Purwakarta.

Lokakarya Mata Pelajaran Geografi Kerjasama antara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dengan Pemerintah Kabupaten Purwakarta

PEMBUKAAN LOKAKARYA: Acara Lokakarya Mata Pelajaran Geografi dibuka oleh Bupati Purwakarta, H. Dedi Mulyadi, SH. (duduk paling kanan),

Kapusdata Pengideraan Jauh LAPAN, Drs.I.L.Arisdiyo, M.Si. (duduk ditengah) dan Kepala Bappeda Purwakarta, Ir. Drs. H. Didin Sahidin, NJ, M.Sp. sedang

memberikan laporan pelaksanaan Lokakarya.

PESERTA LOKAKARYA: Peserta Lokakarya sedang bersungguh-sungguh dalam menyimak presentasi oleh Kapudata LAPAN, peserta dihadiri oleh 75 orang terdiri dari para Guru SMP/SMA, Pengawas Sekolah, serta Staf Pemda

Kab. Purwakarta.

56 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

BERITA RINGAN

Kegiatan Forum diskusi Pemanfaatan Teknologi Inderaja dan Sistem Informasi

untuk Mendeteksi Pola Sebaran Fishing Ground serta Kegiatan Final Lomba Karya Ilmiah Tingkat SLTP dalam rangka Festival Ekowisata Pesisir 2008 diselenggarakan da-lam rangka Festival Ekowisata Pesisir 2008 dan dilaksanakan pada tanggal 14 sampai dengan 16 November 2008.

Adapun yang berperan serta dalam kegiatan tersebut adalah dari Sekda Provinsi DI Yogyakarta, Pemda Bantul, Bappeda Ban-tul, Kedeputian Inderaja LAPAN, Bappeda DI Yogyakarta, Fakultas Geografi UGM.

Keikutsertaan Kedeputian Inderaja LAPAN Dalam Forum Diskusi Pemanfaatan

Teknlogi Inderaja dan Sistem Informasi untuk

Mendeteksi Pola Sebaran Fishing Ground

Forum Diskusi Pemanfaatan Teknologi Inderaja dan Sistem Informasi untuk Mendeteksi Pola Sebaran Fishing Ground diikuti oleh wakil dari IPB, Balai Riset dan Observasi Kelautan Perancak, BPPT, LAPAN dan Bakosurtanal

dilaksanakan di Hotel Santika Yogyakarta dari tanggal 14 - 16 November 2008.

57BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

BERITA RINGAN

58 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

BERITA RINGAN

59BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

BERITA RINGAN

60 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

POSTER

61BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

POSTER

62 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

POSTER

63BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

POSTER

64 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

POSTER

65BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

POSTER

66 BERITA INDERAJA, Volume VII, No. 13, Desember 2008

POSTER