Berita - DIRGANTARA - Majalah Internal LAPAN

42

Transcript of Berita - DIRGANTARA - Majalah Internal LAPAN

Berita

DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

VOL. 10 NO. 1 MARET 2009

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA

ANTARIKSA .................................................................................... Clara Y. Yatini

IGNITER ROKET LAPAN ................................................................... Heru Supriyatno

APLIKASI JARINGAN NEURAL UNTUK PEMODELAN DAN

PREDIKSI CURAH HUJAN ............................................................... Dadang Subarna

BISNIS KOMERSIAL WISATA ANTARIKSA …………......................... Pardamean Hutahaean

BUKTI VISUAL PENEMUAN PLANET PADA BINTANG FOMALHAUT ….. Emanuel Sungging Mumpuni

RELASIONAL PENGINDERAAN JAUH DENGAN PEMETAAN

PENGADAAN TANAH JALAN TOL TRANS JAWA ……………………... Wiweka

1 – 7

8 – 12

13 –18

19 –25

26 – 31

32 – 37

DITERBITKAN OLEH :

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

BERITA DIRGANTARA VOL. 10 NO. 1 HLM. 1 - 37 JAKARTA, MARET 2009 ISSN 1411-8920

Berita

DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

SUSUNAN DEWAN PENYUNTING BERITA DIRGANTARA

Keputusan Kepala LAPAN

Nomor: KEP/104/III/2009

Tanggal: 10 Maret 2009

Penanggung Jawab:

Sekretaris Utama LAPAN

Pemimpin Umum:

Karo Humas dan Kerjasama

Kedirgantaraan

Sekretaris:

Ka. Bag. Publikasi dan Promosi

Ka. Subbag Publikasi

Penyunting Penyelia:

Sukandi Nasir Rohili

Penyunting Pelaksana:

Heru Supriyatno Elly Rosman Sri Suhartini

Abdul Rahman Wiweka

Pardamean Hutahaean Dadang Subarna

VOL.10 NO.1 MARET 2009 ISSN 1411-8920

DARI MEJA PENYUNTING

Sidang pembaca yang terhormat,

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, Berita Dirgantara Vol. 10, No. 1, Maret 2009 dapat hadir kembali ke hadapan para pembaca sekalian.

Berita Dirgantara edisi kali ini memuat 6 (enam) artikel yaitu, Dampak Aktivitas Matahari Terhadap Cuaca Antariksa ditulis oleh Clara Y. Yatini. Perubahan cuaca antariksa dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan bumi. Untuk mengantisipasi dan meminimalisasi dampak kerugian yang diakibatkan oleh variabilitas cuaca antariksa ini perlu diberikan informasi, baik berupa peringatan (nowcast) maupun prakiraan (forecast); Igniter Roket LAPAN ditulis oleh Heru Supriyatno. Igniter merupakan komponen dari motor roket yang berfungsi sebagai penyala mula bahan bakar propelan yang terdapat di dalam motor roket. Igniter tersusun atas squib, bahan isian igniter dan tabung igniter yang berisikan bahan isian igniter; Aplikasi Jaringan Neural untuk Pemodelan dan Prediksi Curah Hujan ditulis oleh Dadang Subarna. Aplikasi jaringan neural umpan maju untuk prediksi dan pemodelan nonlinear telah diteliti untuk data pentad curah hujan dari kota Jakarta.; Bisnis Komersial Wisata Antariksa ditulis oleh Pardamean Hutahaean. Hingga saat ini telah ada delapan orang turis antariksa yang melancong ke Stasiun Antariksa Internasional (ISS, International Space Station). Dalam hal kepergian seseorang turis antariksa perlu diperhatikan beberapa hal antara lain : akomodasi, kegiatan, penerbangan ke sub orbit maupun ke orbit, hotel dan ressort, pencocokan antara turis dan professionalisme, dan proteksi lingkungan; Bukti Visual Penemuan Planet pada Bintang Fomalhaut ditulis oleh Emanuel Sungging Mumpuni. Planet yang diperkirakan berbobot tiga kali massa Jupiter, disebut sebagai Fomalhaut b, ditemukan pada bintang Fomalhaut, bintang paling terang pada konstelasi Piscis Australis, berjarak 25 tahun cahaya dari Tata Surya.

Artikel terakhir ditulis oleh Wiweka dengan judul Relasional Penginderaan Jauh dengan Pemetaan Pengadaan Tanah jalan Tol Trans Jawa. Konseptual pemetaan yang dikembangkan dan dioperasionalkan pada kajian ini adalah dengan membangun data spasial, informasi spasial, database spasial dan analisis spasial. Kegiatan pemetaan terestrial dikombinasikan dengan penginderaan jauh plus data sekunder memfokuskan luasan persil rata-rata yang dimiliki pemilik tanah yang terkena rencana jalan tol trans Jawa. Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya.

Penyunting

Alamat Penerbit/Redaksi :

LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1

Rawamangun, Jakarta Timur 13220

Telepon : 4892802 (Hunting)

Fax : (012) 4894815

Email : [email protected]

Website: http://www.lapan.go.id

Berita Dirgantara merupakan terbitan ilmiah semi poluler di bidang

kedirgantaraan.

Terbit setiap 3 bulan, memuat tulisan yang bersifat ilmiah semi populer

mengenai hasil-hasil penelitian, tinjauan atau pandangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan bidang kegiatan

kedirgantaraan dari para peneliti dan staf LAPAN maupun non LAPAN.

Setiap orang dapat mengutip terbitan LAPAN dengan menyebutkan

sumbernya.

Penelitian Matahari yang Mendukung Penelitian…... (Clara Y. Yatini)

1

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP

CUACA ANTARIKSA

Clara Y. Yatini

Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN

email: [email protected]

RINGKASAN

Perubahan cuaca antariksa dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan bumi. Untuk

mengantisipasi dan meminimalisasi dampak kerugian yang diakibatkan oleh variabilitas cuaca

antariksa ini perlu diberikan informasi, baik berupa peringatan (nowcast) maupun prakiraan (forecast).

Untuk dapat memberikan informasi semacam ini, diperlukan pemahaman yang baik pada kopling

antara matahari, magnetosfer, ionosfer, dan atmosfer atas. Sebagai pemicu timbulnya variabilitas pada

cuaca antariksa, matahari merupakan topik penting yang perlu dipahami dan diteliti untuk

mengetahui proses yang terjadi di matahari dan bagaimana energi dan medan magnet ditransfer ke

ruang antar planet dan ke ruang angkasa dekat bumi.

1 PENDAHULUAN

Matahari secara terus menerus

memancarkan partikel, radiasi, dan medan

magnet ke ruang angkasa. Dalam keadaan aktif,

pancaran radiasi dan partikel ini akan

bertambah banyak, bahkan dapat bertambah

secara impulsif. Oleh karena itu matahari

mempunyai peranan yang sangat penting

dalam menciptakan variabilitas pada cuaca

antariksa. Cuaca antariksa (Space Weather)

menunjukkan kondisi di matahari dan di angin

surya, magnetosfer, ionosfer, dan termosfer

yang dapat mempengaruhi kondisi dan

kemampuan sistem teknologi, baik di ruang

angkasa maupun landas bumi, dan dapat

membahayakan kehidupan dan kesehatan

manusia (US National Space Weather Program).

Dalam angin surya terkandung partikel

yang mempunyai kerapatan dan kecepatan

tertentu yang akan sampai di bumi. Meskipun

bumi terlindung dari cuaca antariksa berkat

atmosfer dan medan magnet bumi, di ruang

angkasa tidak ada tempat yang bebas dari cuaca

antariksa. Badai antariksa dapat meng-

akibatkan kerusakan pada pesawat antariksa

dan satelit, juga berakibat pada navigasi dan

komunikasi. Ledakan hebat di matahari, yang

dikenal sebagai flare dan lontaran massa korona

(Coronal Mass Ejection/CME) mengakibatkan

berbagai kerugian. Misalnya badai matahari

pada bulan Oktober dan November tahun 2003,

yang dikenal sebagai badai Halloween, meng-

akibatkan kegagalan komunikasi radio, dan

rusaknya beberapa satelit serta rusaknya

jaringan listrik di Swedia (Lang, 2006).

Untuk mengantisipasi hal ini diperlukan

informasi tentang cuaca antariksa, terutama

untuk mengetahui sumber gangguan dan

membuat koreksi-koreksi yang diperlukan,

sehingga dapat meminimalisasi efek merugikan

yang diakibatkan oleh cuaca antariksa ini.

Informasi ini dapat terdiri dari peringatan

(nowcast), yaitu peringatan setelah munculnya

peristiwa di matahari yang potensial mengganggu

lingkungan bumi, dan prakiraan (forecast) yang

memberikan informasi tentang kondisi yang

akan dihadapi termasuk rentang waktunya.

Untuk memberikan informasi yang akurat

tentunya diperlukan pemahaman mengenai

perilaku cuaca antariksa dan penyebab-

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:1-7

2

penyebabnya. Pemahaman ini tentu saja

melibatkan penelitian di berbagai topik

penelitian yang terkait. Dalam tulisan ini akan

ditinjau bidang-bidang penelitian yang penting

untuk mencapai pemahaman tentang cuaca

antariksa tersebut, terutama topik penelitian

mengenai matahari, yang merupakan sumber

gangguan pada cuaca antariksa.

2 PENELITIAN TERKAIT CUACA

ANTARIKSA

Perhatian utama untuk penelitian

terkait cuaca antariksa meliputi penelitian

tentang matahari dan angin surya, magnetosfer,

ionosfer, dan termosfer. Penelitian yang

dilakukan meliputi usaha untuk memahami

proses fundamental yang mempengaruhi

kondisi matahari, angin surya, magnetosfer,

ionosfer dan atmosfer, yang mengarah kepada

kemampuan untuk memprakirakan cuaca

antariksa. Kopling antardaerah di antara

matahari–bumi harus dipahami, didukung oleh

penelitian teoritis untuk membangun model-

model operasional.

Penelitian cuaca antariksa dimulai dari

matahari untuk memahami proses yang

menyebabkan munculnya variabilitas aktivitas

matahari. Pemahaman ini memerlukan studi

mengenai dinamo matahari dan identifikasi

prekursor aktivitas matahari, misalnya pem-

bentukan daerah aktif dalam jangka pendek

dan pembentukan polaritas medan magnet

dalam jangka panjang. Penelitian juga dilakukan

berkaitan dengan radiasi matahari yang

mempunyai efek langsung pada bumi, yaitu

pada panjang gelombang Ultra Violet (UV),

Extreme Ultra Violet (EUV) dan sinar X lunak

(Soft X-Ray/SXR) dan bagaimana variabilitas ini

mempengaruhi kondisi ionosfer dan termosfer.

Angin surya juga mempunyai pengaruh

langsung pada kondisi magnetosfer bumi,

sehingga sangat penting untuk mengetahui

proses-proses yang menyebabkan naiknya

kerapatan dan kecepatan angin surya serta

gangguan-gangguan dan gelombang kejut

(shock wave) yang ditimbulkan oleh flare dan

lontaran masa korona (coronal mass ejection/

CME). Sementara itu kopling antara magnetosfer

dengan bumi menghasilkan gangguan geomagnet.

Kemampuan untuk memprakirakan gangguan

geomagnet tergantung pada pemahaman

tentang peranan magnetosfer, ionosfer, dan

atmosfer netral (termosfer dan mesosfer) dalam

mempengaruhi ruang angkasa. Penelitian-

penelitian harus dilakukan untuk memahami

transportasi, produksi, dan proses-proses yang

menentukan tingkat fluks partikel pada saat

badai dan saat tenang.

Penelitian dalam bidang ionosfer dan

termosfer akan meningkatkan kemampuan

memprakirakan kondisi ionosfer yang ter-

gantung pada pemahaman mengenai sifat-sifat

ionosfer dan mekanisme yang mempengaruhi

struktur kerapatan elektron, produksi, transportasi,

dan mekanisme perubahan kerapatan elektron

yang terkait. Mekanisme ini juga merupakan

respon terhadap gangguan yang terjadi di

geomagnet. Variabilitas harian ionosfer dan

iregularitas kerapatan plasma dapat mem-

pengaruhi propagasi gelombang radio.

3 PENELITIAN MATAHARI DAN ANGIN SURYA

Cuaca antariksa bermula dari matahari,

yang merupakan sumber radiasi dan partikel

energetik yang memberikan pengaruh pada

lingkungan bumi dan medium antar planet.

Aktivitas matahari dapat mengubah radiasi dan

partikel yang keluar dari matahari, dan

berakibat pada perubahan di lingkungan bumi.

Oleh sebab itu penelitian tentang matahari,

termasuk angin surya yang terkait di dalamnya,

merupakan penelitian yang merupakan dasar

dalam memprakirakan cuaca antariksa.

Penelitian Matahari yang Mendukung Penelitian…... (Clara Y. Yatini)

3

Penelitian matahari itu sendiri mencakup

beberapa aspek dalam matahari, baik aktivitas

jangka pendek yang meliputi peristiwa-

peristiwa impulsif di matahari, maupun

aktivitas jangka panjang yang membantu dalam

pemahaman variasi jangka pendek. Berikut

akan dipaparkan beberapa penelitian tentang

aktivitas yang terjadi di matahari yang terkait

dengan cuaca antariksa.

3.1 Flare dan Aktivitas Matahari Lainnya

Dalam konteks pengetahuan tentang

cuaca antariksa yang sangat penting adalah

bagaimana memahami aktivitas matahari secara

keseluruhan. Untuk itu diperlukan studi

mengenai dinamo matahari, untuk memahami

aktivitas matahari, dan pengetahuan tentang

prekursor aktivitas matahari yang berguna

untuk membuat prakiraan aktivitasnya. Studi

mengenai dinamo ini meliputi studi mengenai

dinamika energi magnet di korona dan peranan

medan magnet dalam terbentuknya flare,

sedangkan yang merupakan hasil dari proses

dinamo di dalam matahari antara lain adalah

bintik matahari, fakula, dan flare, yang muncul

dari medan magnet yang terbentuk di bagian

dalam matahari.

Atmosfer matahari yang relatif tenang,

dapat secara tiba-tiba meledak dengan energi

yang luar biasa. Ledakan ini, yang disebut

sebagai flare, akan mengisi tata surya dengan

radiasi yang kuat dalam berbagai panjang

gelombang, dari sinar X dan Extreme Ultra Violet

(EUV) sampai pada gelombang radio. Flare

dapat menghasilkan sejumlah besar partikel

energetik. Bila partikel ini lepas ke ruang antar

planet akan mengakibatkan peristiwa partikel

energetik (Solar Energetic Particle/SEP). Secara

skematik Gambar 3-1 memberikan gambaran

mengenai pelepasan radiasi dan partikel dalam

flare.

Flare merupakan fenomena aktivitas

matahari yang banyak dikenal dan dapat

mempengaruhi cuaca antariksa secara signifikan.

Radiasi dan partikel yang dipancarkan flare

akan segera mencapai bumi dalam waktu 8

menit. Produk utama flare adalah lontaran

massa serta pemanasan kromosfer sampai lebih

dari 10 juta derajat Kelvin. Flare juga akan

mengakibatkan naiknya radiasi Ultra Violet

(UV), Extreme Ultra Violet (EUV), sinar X, atau

semburan gelombang mikro, yang akan

memanaskan dan mengionisasikan atmosfer

atas bumi dan ionosfer. Variasi radiasi pada

panjang gelombang pendek ini tergantung atau

berkaitan dengan flare, evolusi daerah aktif, dan

siklus aktivitas matahari. Jumlah kejadian flare

bervariasi sesuai dengan siklus 11 tahun

aktivitas matahari. Akan tetapi flare yang

sangat besar sangat jarang terjadi, kira-kira

hanya beberapa kali pada saat aktivitas

matahari dalam tingkat maksimum. Akan tetapi

flare yang kecil sangat sering muncul, bahkan

mencapai puluhan dalam sehari pada saat

puncak aktivitas matahari.

Sampai saat ini belum ada penelitian

yang dapat memprakirakan terjadinya flare

dengan tepat. Kemampuan prakiraan flare akan

mendukung pula kemampuan untuk mem-

prakirakan radiasi matahari. Karena flare

merupakan fenomena yang terkait dengan

pelepasan energi magnet secara tiba-tiba, maka

salah satu strategi yang dilakukan untuk

prakiraan flare adalah dengan mengenali tanda-

tanda terbentuknya energi flare (flare energy

buildup) dan topologi medan magnet yang

terkait dengan flare. Untuk mengetahui

prekursor jangka pendek dilakukan penelitian

mengenai proses-proses pembentukan daerah

aktif dan flare, sedangkan untuk jangka panjang

diperlukan penelitian mengenai pembentukan

polaritas medan magnet.

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:1-7

4

Gambar 3-1: Model pelepasan energi dalam flare (kiri), yang menghasilkan partikel dan radiasi dalam

berbagai panjang gelombang (Sumber: NASA’s Cosmos)

3.2 Lontaran Massa Korona (CME)

Ledakan matahari yang paling hebat

adalah lontaran massa korona (CME). CME

dapat membawa bilyunan ton material panas

dan medan magnet ke ruang angkasa. Oleh

sebab itu CME menjadi perhatian utama saat ini

dalam penelitian mengenai matahari dan cuaca

antariksa. CME adalah pemicu utama

munculnya badai geomagnet yang kuat, karena

CME dapat mengakibatkan naiknya kerapatan

dan kecepatan angin surya. Demikian juga

peristiwa lontaran proton dari matahari (solar

proton events) yang teramati di dekat bumi

terjadi karena partikel angin surya yang

dipercepat oleh gelombang kejut antarplanet

yang dipicu oleh CME. Berbeda dengan radiasi

flare yang segera mencapai bumi setelah

ledakan flare, partikel yang diakibatkan oleh

CME dapat mencapai bumi dalam waktu 1 – 4

hari, sehingga efeknya dapat diprakirakan

sebelum mencapai bumi. Gambar 3-2

memperlihatkan CME yang terjadi tanggal 27

Februari 2000.

Pada awalnya, CME dianggap terjadi

sebagai akibat ledakan flare. Akan tetapi dari

penelitian berikutnya diperoleh bahwa tidak

semua CME berkait dengan flare, bahkan

ditemukan bahwa CME mempunyai kaitan

yang lebih erat dengan ledakan materi dalam

struktur yang melengkung di korona matahari.

Struktur ini disebut sebagai prominens, bila

tampak di tepi matahari, dan disebut sebagai

filament, bila tampak di piringannya. Bentuk

prominens ini diperlihatkan pada Gambar 3-3.

Gambar 3-2: CME pada tanggal 27 Februari

2000 (Sumber: Solar and Heliospheric Observatory)

Penelitian Matahari yang Mendukung Penelitian…... (Clara Y. Yatini)

5

Gambar 3-3: Lengkungan prominens yang

menghubungkan medan magnet di korona matahari (Sumber: NASA’s Cosmos)

Prakiraan cuaca antariksa akan lebih

akurat dengan lebih mempelajari proses-proses

di matahari yang menyebabkan CME dan

mempelajari dampaknya pada medium antar

planet berdasarkan tanda-tanda yang muncul di

matahari serta pengamatan plasma angin surya,

medan magnet, dan pengamatan partikel

energetik. Gangguan di medium antar planet

yang dipicu oleh CME selalu didahului oleh

gelombang kejut (shocks) yang dapat

mempercepat partikel dan sumber emisi radio.

Gangguan ini juga seringkali disertai oleh

medan magnet yang kuat.

Karena gangguan-gangguan yang terjadi

karena cuaca antariksa diawali dari matahari,

maka perlu dilakukan monitor matahari secara

terus menerus untuk memprakirakan terjadinya

ledakan di matahari. Tujuan utama dari

monitoring ini adalah untuk mengetahui aktivitas

matahari sehingga dapat memprakirakan kapan

matahari akan melepaskan energinya dan

memprakirakan cuaca antariksa yang akan

ditimbulkannya. Prakiraan cuaca antariksa

tentunya akan mencakup perubahan medan

magnet yang mendahului flare dan CME. Akan

tetapi mengamati perubahan medan magnet

saja tidak cukup, karena perubahan yang terjadi

pada medan magnet tidak selalu diikuti oleh

ledakan. Oleh sebab itu monitoring matahari

secara terus menerus akan sangat membantu

dalam mengenali tanda-tanda atau prekursor

CME.

Hal penting yang perlu diketahui juga

adalah apakah materi yang dilontarkan dari

matahari itu mengarah ke bumi. CME yang

terlontar dari tepi piringan matahari tidak akan

mempengaruhi bumi, tetapi akan membahayakan

bagian lain di ruang angkasa. Lontaran massa

akan mencapai bumi bila berasal dari sekitar

pusat piringan matahari. Elektron berenergi

tinggi yang menyertai flare akan mengikuti pola

spiral medan magnet antar planet (Gambar 3-4),

sehingga untuk dapat mencapai bumi, partikel

ini harus berasal dari bagian barat dan dekat

dengan ekuator matahari.

Untuk lebih memahami peran CME

dalam cuaca antariksa dan memprakirakan

terjadinya CME serta dampaknya, penelitian

yang dilakukan harus dapat mengetahui proses

terbentuknya CME dan juga faktor-faktor yang

mempengaruhi bentuk, massa, kecepatan, dan

topologinya, serta prakiraan tentang CME yang

berdampak pada bumi (geoeffective CME).

Gambar 3-4: Pola spiral medan magnet dari

matahari (Sumber: NASA’s Cosmos) 3.3 Partikel Energetik Matahari dan Galaksi

Partikel energetik, baik yang berasal

dari matahari maupun galaksi, dapat meng-

akibatkan gangguan pada sistem elektronik

satelit. Kerusakan tergantung pada fluks yang

diterima, sedangkan fluks partikel ini bergantung

pada aktivitas matahari dan medium antar

planet. Untuk partikel energetik yang berasal

dari matahari, percepatan partikel dapat berasal

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:1-7

6

dari flare dan gelombang kejut yang berasal

dari CME. Sebaliknya fluks partikel energetik

yang berasal dari galaksi, berkorelasi terbalik

dengan aktivitas matahari, dan tergantung pada

pola medan magnet antar planet. Oleh sebab itu

penelitian mengenai mekanisme percepatan

partikel energetik dan mekanisme pemicunya

(flare dan CME), serta topologi medan magnet

antarplanet perlu dilakukan.

3.4 Solar Radio

Pada panjang gelombang radio, proses

yang berperan pada munculnya gangguan pada

gelombang radio adalah pembentukan dan

perkembangan daerah aktif. Emisi radio yang

terkait erat dengan aktivitas matahari adalah

fluks 10.7 cm. Fluks ini sering digunakan

sebagai proksi aktivitas matahari di samping

bilangan sunspot.

Peristiwa yang tidak kalah penting

dalam kaitannya dengan cuaca antariksa adalah

terbentuknya semburan radio (solar radio burst)

yang kuat. Semburan radio ini umumnya

berasosiasi dengan flare dan CME. Semburan

radio umumnya terjadi karena adanya

peningkatan partikel energi tinggi dan munculnya

gelombang kejut, sehingga semburan radio ini

dapat digunakan sebagai indikator adanya

peningkatan kerapatan dan kecepatan angin

surya yang menyebabkan badai ionosfer dan

geomagnet.

3.5 Angin Surya

Atmosfer matahari yang panas akan

terus menerus memancarkan elektron, proton,

ion, dan medan magnet ke segala arah. Aliran

partikel dan plasma inilah yang disebut sebagai

angin surya dan bergerak dengan kecepatan

supersonik. Di dekat bumi, plasma dan medan

magnetnya akan berinteraksi dengan atmosfer

dan medan magnet bumi. Angin surya

menentukan kondisi umum magnetosfer sebelum

terjadinya gangguan karena peristiwa yang

transien di matahari, misalnya munculnya

gelombang kejut (shock) atau CME. Kondisi

umum magnetosfer yang dipengaruhi oleh

angin surya adalah medium yang dilewati oleh

partikel energetik, dan angin surya itu sendiri

merupakan sumber gangguan plasma dan

medan magnet di ruang antarplanet.

Dalam menentukan karakteristik angin

surya perlu pemahaman tentang bagaimana

lingkungan bumi merespons angin surya dan

bagaimana peran medan magnet di korona

matahari yang berperan dalam pemanasan dan

percepatan dalam angin surya. Penelitian

mengenai angin surya dilakukan dengan

membangun teori, pemodelan, dan pengamatan,

yang bertujuan untuk dapat memprakirakan

gangguan geomagnet karena angin surya dan

medan magnet antarplanet.

4 PENUTUP

Matahari akan terus mengakibatkan

perubahan pada cuaca antariksa, dan mem-

pengaruhi lingkungan bumi dengan semburan

angin surya yang terus menerus. Pada saat di

matahari terjadi ledakan, partikel energetik

yang dilontarkan dapat membahayakan awak

pesawat ruang angkasa, mengganggu satelit-

satelit yang sedang mengorbit, dan meng-

akibatkan putusnya komunikasi, serta kerusakan

pada sistem teknologi. Pencegahan atau usaha

untuk meminimalisasi efek yang merugikan ini

sangat bergantung pada kemampuan manusia

untuk memprakirakan cuaca antariksa dan

dampaknya. Salah satu cara adalah dengan

melakukan penelitian mengenai sumber cuaca

antariksa, yaitu matahari, dengan membangun

teori dan model untuk lebih memahami proses

yang terjadi dalam aktivitasnya. Yang tidak

kalah pentingnya adalah mempelajari dan

memahami bagaimana produk aktivitas

matahari, yaitu berupa partikel dan plasma,

ditransfer dari matahari ke ruang antarplanet

melalui angin surya. Penelitian mengenai

matahari dan angin surya ini tentunya harus

juga didukung dengan pengamatan yang lebih

intensif untuk mengenali proses-proses yang

terlibat, baik di matahari, di ruang antar planet,

dan di lingkungan dekat bumi.

Penelitian Matahari yang Mendukung Penelitian…... (Clara Y. Yatini)

7

DAFTAR RUJUKAN

Lang, K.R., 2006. Sun, Earth, and Space, Springer

Science + Business Media, New York.

NASA’s Cosmos, http://www.ase.tufts.edu/,

Juni 2007.

Solar and Heliospheric Observatory, http://

sohowww.nascom.nasa.gov/, Januari

2007.

US National Space Weather Program,

http://www.ofcm.gov/, Januari 2007.

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:8-12

8

IGNITER ROKET LAPAN

Heru Supriyatno Peneliti Bidang Propelan, LAPAN

RINGKASAN

Igniter merupakan komponen dari motor roket yang berfungsi sebagai penyala mula bahan

bakar propelan yang terdapat di dalam motor roket. Igniter tersusun atas squib, bahan isian igniter dan

tabung igniter yang berisikan bahan isian igniter. Dalam perkembangannya, LAPAN telah berhasil

merancang igniter untuk berbagai macam dimensi roket, dimana jenis, dimensi dan bahan isian igniter

yang dikembangkan, disesuaikan dengan bentuk dan dimensi motor roketnya. Selama ini, untuk motor

roket yang memiliki diameter kecil, jenis isian igniter yang umum digunakan adalah Black Powder dan

potongan propelan. Sejalan dengan berkembangnya pemakaian diameter motor roket, maka untuk

mempersingkat waktu tunda penyalaannya, saat ini telah dikembangkan jenis isian berbentuk pellet.

Dengan menggunakan isian berbentuk pellet yang dimasukkan ke dalam struktur tabung yang

dirancang dengan mengacu pada jenis igniter roket Kappa-8, igniter telah berhasil menyalakan

propelan roket berdiameter besar secara stabil, dengan waktu tunda penyalaan yang singkat.

1 PENDAHULUAN

Sejak beberapa dekade yang lalu,

LAPAN telah mulai melakukan penelitian

tentang roket untuk berbagai keperluan sipil.

Saat ini berbagai jenis ukuran roket telah

berhasil dikembangkan, dan telah melalui

proses pengujian baik statik maupun terbang.

Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan selama

ini, meliputi berbagai macam penelitian mulai

dari penelitian sistem propulsi, bahan bakar

propelan, struktur bahkan sampai dengan

sistem kontrol dan kendali roket.

Salah satu bagian dari roket yang

berfungsi untuk memulai penyalaan propelan

di dalam motor roket adalah igniter. Igniter

adalah suatu elemen di dalam roket yang secara

umum tersusun atas : squib, isian piroteknik

dan tabung. Mekanisme igniter itu sendiri

adalah squib yang dialiri arus listrik akan

teraktivasi sehingga menghasilkan percikan

atau nyala api, api tersebut akan menyalakan

isian piroteknik yang terdapat di dalam tabung,

dan mengeluarkan nyala api yang akan

membakar propelan di dalam tabung motor

roket.

Ada 4 tipe igniter yang umum dikenal pada saat ini, yaitu tipe basket, jellyroll, can dan pyrogen (Thiokol Rocket Basic).

Sementara itu ditinjau dari posisi pemasangannya, igniter dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :

igniter yang terpasang di bagian depan (cap)

igniter yang terpasang di bagian nosel

igniter yang terpasang di tengah-tengah propelan di dalam ruang bakarnya.

2 PERANCANGAN IGNITER

Dalam melakukan perancangan igniter, hal yang harus diperhatikan adalah tekanan, temperatur, dan waktu pembakaran. Artinya bahwa tekanan dari hasil pembakaran igniter itu harus melebihi tekanan minimum yang diperlukan untuk menghasilkan pembakaran yang stabil, panas yang ditransfer dari hasil penyalaan igniter harus mampu meningkatkan temperatur permukaan propelan melebihi self ignition temperature-nya, dan waktu pembakaran igniter harus memiliki rentang waktu tertentu, sehingga proses transfer panas dari pembakaran igniter ke permukaan propelan dapat berlangsung secara optimum (Hans Florin, 1979).

Igniter Roket LAPAN (Heru Supriyatno)

9

Gambar 2-1: Berbagai pola aliran tekanan gas selama penyalaan

(dikutip dari Hans Florin, AGARD conference Proceeding)

Gambar di atas mengilustrasikan kondisi

dari proses penyalaan dengan memplotkan

tekanan gas ruang bakar terhadap fungsi waktu.

Gambar a menunjukkan kondisi dimana

tekanan gasnya sangat tinggi, namun periode

waktu efektifnya terlalu pendek. Sementara itu,

gambar c menunjukkan situasi yang sebaliknya,

dimana periode waktunya cukup lama, namun

tekanan gasnya kurang. Sedangkan gambar b

menunjukkan situasi dimana tekanan dan

periode waktu efektifnya cukup, sehingga

memungkinkan untuk menyalakan propelan

secara stabil.

Untuk mendapatkan karakteristik

tekanan pembakaran dengan pola seperti pada

gambar b, selain pertimbangan bahan piroteknik

isian igniter, hal lain yang perlu dijadikan

pertimbangan adalah struktur tabung igniter itu

sendiri, dalam hal ini harus memperhatikan

dimensi tabung, jumlah, diameter, dan arah

lubang untuk pengeluaran nyala api. Hal ini

dimaksudkan agar hasil pembakaran bahan

isian piroteknik dapat terdistribusikan secara

merata ke seluruh permukaan propelan tanpa

menimbulkan tekanan yang berlebihan. Dengan

demikian, maka diharapkan dalam waktu

singkat dapat menghasilkan gaya dorong yang

tinggi, memungkinkan roket dapat meluncur

segera setelah penyalaan igniter. Dengan kata

lain, igniter ini diharapkan memiliki waktu

tunda penyalaan (ignition delay time) yang

rendah.

3 BAHAN ISIAN IGNITER

Bahan piroteknik yang digunakan

sebagai bahan isian igniter harus memiliki nilai

kalor yang tinggi, artinya bahwa kalor hasil

pembakaran bahan isian igniter tersebut, harus

mampu meningkatkan suhu permukaan

propelan melebihi self-ignition temperaturnya,

sehingga proses penyalaan propelan dapat

berlangsung dengan baik. Pada umumnya

bahan isian igniter dapat dibagi menjadi 2, yaitu

bahan isian primer (primary charge) dan isian

sekunder (secondary charge).

Pada igniter roket LAPAN, selama ini

yang banyak digunakan sebagai isian primer

adalah Black powder (BP), yang merupakan

bahan campuran dari potassium nitrat (KNO3),

carbon dan belerang. Black Powder merupakan

bahan campuran yang menghasilkan energi yang

tidak terlalu besar dan mudah untuk

dinyalakan (Alain Davenas). Selain itu,

khususnya untuk roket yang memerlukan

penyalaan primer yang cepat, digunakan

ALNO powder yang merupakan campuran

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:8-12

10

antara black powder dan Alumunium (Al).

Sedangkan yang umum digunakan sebagai

isian sekunder adalah potongan propelan HTPB,

dan isian berbentuk pellet dari bahan ALCLO

powder (campuran bahan potassium klorat/

perklorat dengan Alumunium powder) dan juga

bahan campuran potassium perklorat (KClO4),

red lead (Pb3O4) dan Silicium powder (KPSiPb).

Dalam menentukan jumlah bahan

piroteknik yang akan digunakan sebagai isian

igniter, pendekatan bisa dilakukan dengan

mengacu pada persamaan berikut (Sutton, 1976)

Wi = 0,5 (VF)0,7

Wi = Berat isian bahan piroteknik (gram)

VF = Volume ruang bebas, free volume (cm3)

4 JENIS IGNITER

Roket yang telah berhasil dikembangkan

dan telah melalui pengujian dinamika terbang

hingga saat ini meliputi, roket yang memiliki

diameter 70 mm (RX-70) sampai 320 mm (RX-320).

Untuk itu juga telah dikembangkan tipe igniter

yang sesuai dengan dimensi dari roket yang

ada. Di bawah ini dijelaskan spesifikasi dari

masing-masing jenis igniter tersebut.

4.1 Igniter Roket RX-70

Igniter roket RX-70 merupakan igniter

tipe can, dan diletakkan di bagian cap. Igniter

jenis ini menggunakan isian Black powder dan

potongan propelan. Struktur igniter ini

memiliki tabung penyala di bagian dalam,

dimana berisi isian piroteknik jenis BP.

Sementara di bagian luar dinding tabung

penyala bagian dalam diletakkan potongan dari

bahan propelan HTPB. Penggunaan potongan

propelan HTPB sebagai isian igniter ini

dimaksudkan agar pembakaran bahan isian

igniter menghasilkan panas yang efektif untuk

pembakaran propelan di dalam tabung motor

roket.

Gambar 4-1: Igniter roket RX-70

4.2 Igniter Roket RX-100

Igniter roket RX-100 merupakan igniter tipe basket. Igniter untuk roket kelas RX-100 ini dapat dibedakan menjadi 3 jenis masing-masing untuk roket RX-1110, RX-1104 dan RX-1102, selain memiliki perbedaan dalam dimensi tabung maupun jumlah lubangnya, material tabung untuk igniter-igniter ini juga berbeda. Untuk igniter RX-1110 dan RX-1104 menggunakan material dari tabung alumunium, sementara untuk roket RX-1102, tabung igniternya menggunakan bahan dari besi. Hal ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa untuk roket RX-1102, diameter throat-nya terlalu kecil (15 mm), sehingga bila menggunakan bahan dari tabung alumunium, dikhawatirkan tabung alumunium tersebut akan melebur, dan hasil leburan logam tersebut akan menutupi throat-nya.

Gambar 4-2: Igniter roket RX-100

Igniter Roket LAPAN (Heru Supriyatno)

11

4.3 Igniter Roket Cigarette Burning RCX-100

Igniter roket RCX-100 merupakan igniter stick terbuat dari tabung alumunium dan diletakkan di bagian nozzle. Sebagai isian jenis igniter ini digunakan bahan ALNO powder dan irisan propelan HTPB, yang dimaksudkan untuk meningkatkan suhu hasil pembakaran isian, sehingga efektif dalam pembakaran bahan bakar propelan di dalam tabung motor roket.

Gambar 4-3: Igniter roket cigarette burning RCX-

100 4.4 Igniter Roket RX-160 Booster

Igniter roket RX-160 booster adalah

igniter yang digunakan untuk roket booster

yang dikembangkan bekerjasama dengan TNI

AL. Ini merupakan igniter dengan tipe basket

terbuat dari bahan baja. Isian dari igniter jenis

ini adalah ALNO powder sebagai isian primer

dan pellet dari bahan KPSiPb sebagai isian

sekundernya.

4.5 Igniter Roket RX-150

Igniter untuk roket RX-150 merupakan

igniter tipe basket, yang terbuat dari tabung

alumunium. Igniter jenis ini menggunakan isian

ALNO powder sebagai isian primernya, dan

potongan propelan HTPB sebagai isian

sekundernya. Spesifikasi dari igniter jenis ini

ditunjukkan pada Tabel 4-1.

4.6 Igniter Roket RX-250

Igniter RX-250 adalah igniter dengan jenis basket dari bahan Alumunium yang memiliki struktur yang tersusun atas komponen-

komponen: tabung penyala I, tabung penyala II stick dan dudukan igniter. Sedangkan mengenai isiannya, igniter jenis ini menggunakan bahan ALNO powder sebagai isian primernya, dan pellet KPSiPb sebagai isian sekundernya. Spesifikasi dari igniter RX-250 ini ditunjukkan pada Tabel 4-2.

Tabel 4-1 : SPESIFIKASI IGNITER RX-150

a. Dimensi - panjang total 210 mm - Panjang casing 100 mm - Diameter casing 30 mm - Jumlah lubang * lubang samping 40 buah, diameter 4mm * lubang depan 8 buah, diameter 4 mm - Panjang stik 60 mm - Berat total 645 gr b. Piroteknik - Isian BP & propelan - Berat isian 4 gram / 27 gram - Jenis squib Pindad 2 buah - Tahanan squib 0.4 ohm

Tabel 4-2: SPESIFIKASI IGNITER RX-250

A. Dimensi - Panjang total 300 mm - Panjang tabung 160 mm - Diameter tabung 38 mm - Jumlah lubang dan diameter 57/4 mm - Panjang stick 120 mm - Berat total 785 gram B. Piroteknik - Isian Primer ALNO powder - Berat isian primer 3 gram - Isian sekunder Pellet KPSiPb - Berat isian sekunder 24 gram - Jenis squib Pindad 2 buah - Tahanan squib 0.4 ohm

Pada tahun 2007, telah dilakukan uji

statik dan uji terbang roket RX-250 yang menggunakan igniter jenis ini, sebagai pengganti igniter roket RX-250 yang selama ini menggunakan isian BP dan potongan propelan. Dari kedua pengujian tersebut, diperoleh hasil bahwa igniter roket ini menghasilkan waktu tunda pembakaran propelan yang jauh lebih pendek dibandingkan dengan igniter sebelumnya.

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:8-12

12

4.7 Igniter Roket RX-320

Pengembangan struktur tabung igniter

untuk roket RX-320 dilakukan dengan mengacu

pada jenis igniter yang digunakan pada roket

Kappa-8 dari Jepang. Hal ini dilandasi pemikiran

akan kebutuhan sebuah igniter yang mampu

menghasilkan pancaran api yang memiliki

nyala dengan panjang yang maksimal. Selain

itu igniter jenis ini diharapkan memiliki waktu

tunda penyalaan yang rendah, dalam arti

bahwa igniter ini mampu untuk menyalakan

propelan dengan waktu yang singkat. Hal ini

diperlukan karena roket yang dikembangkan

oleh LAPAN, diharapkan nantinya mampu

untuk menjawab kebutuhan akan berbagai

tujuan penggunaan, salah satunya adalah

kemungkinan digunakan sebagai roket senjata.

Apabila dikembangkan sebagai roket senjata,

waktu tunda penyalaan (ignition delay time)

harus relatif singkat.

Struktur tabung igniter jenis ini

memiliki rangkaian yang terdiri dari : tabung

penyala primer, tabung penghubung nyala

yang memiliki kontur konvergen nosel, dan

tabung penyala sekunder. Jumlah, diameter dan

arah lubang pengeluaran api yang terdapat

pada masing-masing komponen tabung igniter

dimaksudkan agar mampu memberikan nyala

api yang optimal untuk menyalakan seluruh

permukaan propelan. Sementara itu bahan isian

piroteknik yang digunakan pada igniter ini

meliputi bahan ALNO powder dan pellet KPSiPb.

Dari beberapa kali pengujian, baik uji statik

maupun uji terbang roket diperoleh hasil,

bahwa igniter jenis ini mampu menghasilkan

penyalaan propelan secara stabil dengan waktu

tunda penyalaan yang singkat (Heru Supriyatno,

2008).

Gambar 4-4: Struktur igniter roket RX-320

5 KESIMPULAN

Berbagai jenis igniter telah berhasil dikembangkan oleh LAPAN dan telah berhasil digunakan sebagai penyala mula roket baik dalam pengujian statik maupun dinamika terbang roket. Jenis, dimensi dan isian igniter disesuaikan dengan dimensi dan bentuk motor roket, dengan maksud agar igniter dapat menyalakan propelan secara stabil dengan waktu tunda penyalaan yang rendah.

Untuk roket dengan diameter kecil, igniter yang digunakan sebagai penyalanya, memiliki jenis isian Black powder dan potongan propelan HTPB, sementara untuk roket yang memiliki diameter besar, isian ALNO powder dan isian pellet menjadi jenis isian yang paling sesuai dalam usaha untuk mempersingkat waktu tunda penyalaan.

DAFTAR RUJUKAN

Alain Davenas, 1993. Solid Rocket Propulsion Technology, Pergamon Press, Oxford, UK.

Hans Florin, 1979. AGARD Conference Proceeding No. 259, Oslo, Norway.

Heru Supriyatno, 2008. Prosiding SIPTEKGAN XII-2008, hal 74-77, LAPAN.

Sutton GP and Ross DM, 1976. Rocket Propulsion Element, 4th edition, John Wiley and Sons, Inc., New York.

Thiokol Rocket Basics, download dari web site www.aeroconsystems.com/thiokol_rocket_basics.

Aplikasi Jaringan Neural untuk Pemodelan dan Prediki…. (Dadang Subarna)

13

APLIKASI JARINGAN NEURAL UNTUK PEMODELAN DAN PREDIKSI CURAH HUJAN

Dadang Subarna Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN

[email protected]

RINGKASAN

Aplikasi jaringan neural umpan maju untuk prediksi dan pemodelan nonlinear telah diteliti untuk data pentad curah hujan dari kota Jakarta. Desain model jaringan neural perlu dioptimalisasi baik jumlah masukan, jumlah neuron (unit), jumlah lapisan tersembunyi maupun aturan pembelajaran karena akan menentukan kinerja dari model jaringan neural dan nilai korelasi dari hasil prediksinya. Pada penelitian ini digunakan model jaringan neural dengan spesifikasi masukan 10 neuron, dua lapis tersembunyi masing-masing lapis kedua 2 neuron, lapis ketiga 1 neuron dan keluaran 1 neuron. Dengan menggunakan model jaringan neural tersebut maka didapat hasil prediksi dengan keakuratan yang ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yaitu nilai korelasi (r~ 0,40) untuk daerah Jakarta. 1 PENDAHULUAN

Dalam beberapa dekade terakhir, para peneliti dari berbagai bidang kajian seperti rekayasa, fisika, sains kognitif, kedokteran, statistik, dan ekonomi telah melakukan kontribusi yang penting dalam memahami pengembangan dan penerapan sistem artifisial yang memodelkan aspek tertentu dalam model dan fungsi dari kecerdasan manusia. Kemampuan memahami pengalaman- pengalaman masa lalu untuk meramalkan masa datang dari kecerdasan manusia ini dicoba diaplikasikan dalam masalah prediksi.

Jaringan neural artifisial adalah suatu model yang berusaha menyamai atau menyerupai suatu jaringan-jaringan neural dalam biologi khususnya kemampuan otak manusia. Meskipun neuron artifisial merupakan analogi dari neuron dalam biologi namun jaringan neural artifisial masih jauh dari deskripsi yang realistis tentang bagaimana cara kerja otak sesungguhnya. Namun demikian jaringan neural artifisial melengkapi suatu pengkayaan, kemampuan dan maket kerja pemodelan yang menarik dengan potensi aplikasi dalam berbagai bidang sains. Sebagai contoh aplikasinya adalah Elman (1990) untuk pembelajaran dan representasi struktur temporal dalam bahasa, Jordan (1990)

untuk kontrol dan pembelajaran pergerakan robot secara halus. Gencay dan Dechert (1992), Gencay (1996) dan Gencay dan Decert (1996) dalam pengkodean galau deterministik dan berderau serta estimasi eksponen Lyapunov. Keberhasilan ini dan pada bidang-bidang lainnya merupakan manfaat tambahan sebagai alat yang tersedia dalam prediksi dan pemodelan deret waktu nonlinear. Khusus untuk bidang meteorologi perkembangannya memang belum sepesat bidang lain, namun dalam jaringan neural umpan maju sinyal dari satuan masukan secara langsung dihubungkan dengan satuan keluaran melalui fungsi keluaran. Bentuk awal dari fungsi keluaran adalah suatu fungsi ambang yang mengambil suatu nilai dari 0 atau 1 yang ditentukan oleh suatu parameter ambang. Satuan keluaran diaktivasi bila nilai fungsi adalah 1 dan nonaktivasi bila nilainya yang lain. Sesuai perjanjian fungsi keluaran ini disebut fungsi aktivasi. Suatu jaringan biasanya terdiri dari bagian lapisan masukan, lapisan pertengahan, dan lapisan keluaran. Lapisan pertengahan biasanya disebut dengan lapisan tersembunyi. Suatu model jaringan neural umpan maju dengan lapisan tersembunyi diilustrasikan dalam Gambar 1- 1.

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:13-18

14

Lapis masukan Lapis tersembunyi Lapis keluaran

Gambar 1-1: Suatu model jaringan neural umpan maju dengan dua lapisan tersembunyi 2 PERMASALAHAN DALAM PREDIKSI

Prediksi sangat syarat dengan berbagai

asumsi dan batasan-batasan dan erat kaitannya

dengan ilmu keputusan (decision science), sains

manajemen dan perencanaan skenario (scenario

planning). Prediksi adalah suatu usaha

memahami masa yang akan datang yang serba

tidak pasti (uncertainty) dengan memakai

memori masa lalu. Memori masa lalu itu bisa

berupa jejak yang ditinggalkan sebagai hasil

dari suatu proses, data, informasi dan

sebagainya. Tidak ada kata “pasti” dalam usaha

prediksi. Namun dalam ketidakpastian itu

muncul harapan, tantangan dan peluang. Usaha

untuk memahami masa depan telah lama

dilakukan orang, terbukti munculnya istilah-

istilah yang berkaitan dengan nujum, ramal-

meramal dan lain sebagainya. Secara saintifik

usaha untuk memahami masa depan muncul

dalam ilmu statistik berdasarkan data yang

diamati dari suatu proses. Dari sana muncul

istilah kepeluangan (probability), kemungkinan

(possibility), plausibility, tingkat kepercayaan,

derajat kesamaran dan sebagainya. Usaha

prediksi dalam data deret waktu meliputi

interpolasi dan ekstrapolasi data. Pendekatan

linear (arima, sarima, marima dan sejenisnya)

telah lama dilakukan para predikter.

Dalam dekade terakhir ini muncul

pendekatan nonlinear (polinom, fungsi basis

radial, jaringan neural, polinom ortogonal dan

sejenisnya). Pada penelitian ini akan digunakan

model jaringan neural umpan maju untuk

prediksi curah hujan. Untuk jaringan neural

beberapa pendekatan menurut tipe jaringannya

meliputi linear, MLP (Multi Layer Perceptron,

RBF (Radial Basis Function), PNN (Probabilistic

Neural Network), GRNN (Generalized Neural

Network), SOFM (Self Organizing Feature Map),

PCN (Principal Component Network), CN

(Clustering Network) dan sejenisnya. Pada

makalah ini diterapkan model MLP untuk

memodelkan data curah hujan dan bagaimana

agar mendapatkan MLP yang optimal untuk

maksud prediksi.

3 METODOLOGI DAN PERUMUSAN

Kontras dengan teknik linear tradisional

dalam statistik, tidak ada suatu metode yang

dikenal saat ini yang secara otomatis

mendapatkan jaringan neural optimal dalam

mencocokkan dengan kumpulan data tertentu.

Seseorang biasanya menjalankan algoritma

pembelajaran beberapa lama terhadap desain

jaringan neural tertentu, dengan memilih

jaringan yang paling baik (mungkin beberapa

Aplikasi Jaringan Neural untuk Pemodelan dan Prediki…. (Dadang Subarna)

15

yang paling baik). Lalu harus memilih tipe

jaringan neural, jumlah variabel input dan

lapisan tersembunyi serta setting berbagai

parameter kontrol dalam algoritma pembelajaran

yang mungkin mempengaruhi unjuk kerja akhir

dari jaringan. Oleh karena itu sejumlah

eksperimen dengan berbagai desain disajikan

lalu jaringan yang terbaik dipilih. Selama proses

eksperimen, desainer (perancang) harus

memandu agar tidak over-learning dengan

menggunakan teknik “terhenti dini”. Tehnik

khusus seperti regulasi dan analisis sensitivitas

dapat disebar untuk membantu proses desain.

Pencarian cerdas mengikuti suatu

proses yang sama meskipun dalam kasus ini

heuristic expertise dari suatu desainer jaringan

neural diganti dengan algoritma pencarian yang

menggunakan teknik state-of-the-art untuk

menentukan pemilihan masukan, jumlah unit

tersembunyi dan faktor kunci lainnya dalam

desain jaringan. Sehingga pencarian cerdas

mencari jaringan optimal dari beberapa tipe

(MLP dan RBF) secara simultan. Pencarian

cerdas dapat mencari untuk jangka waktu tak

terbatas (kecuali dalam kasus tertentu yang

sederhana, seperti jaringan linear, pencarian

berakhir dengan sendirinya) meskipun setelah

beberapa periode waktu tak diketahui tak

mungkin membuat kemajuan lebih lanjut.

Pencarian cerdas memerlukan waktu lebih bila

menjalankan tugas tertentu, khususnya fitur

seleksi (penentuan input otomatis) dan untuk

suatu bentangan yang kurang maka penentuan

kompleksitas (penentuan jumlah unit tersembunyi

otomatis). Jika terdapat persoalan besar dengan

puluhan ribu variabel input dan ribuan atau

puluhan ribu kasus, bermanfaat sekali

menemukan kemudahan dengan menggunakan

metode ini.

Dari Gambar 1-1 terlihat bahwa

jaringan neural ini menggunakan tiga lapis

neuron, dimana terdapat dua lapis tersembunyi

dan satu lapis keluaran. Pada neuron lapis

pertama menerima masukan, di sini jumlah

bobot (w) sama dengan jumlah masukan kali

jumlah neuron pertama. Kemudian neuron

lapis kedua menerima masukan dari keluaran

pada neuron lapis pertama sehingga jumlah

bobot sama dengan neuron lapis pertama kali

neuron lapis kedua. Terakhir adalah neuron

ketiga atau keluaran dimana akan menerima

masukan dari neuron lapis kedua karena

keluaran hanya satu neuron maka jumlah

bobot sama dengan jumlah neuron pada lapis

kedua.

Untuk menentukan jumlah neuron

pada masing-masing lapisan dilakukan dengan

coba-coba atau pencarian cerdas dan yang

kesalahannya dianggap paling kecil dan

memberikan koefisien korelasi paling besar

adalah yang digunakan sebagai model dalam

penelitian ini. Pada penelitian ini diperoleh

lapis pertama 10 neuron, lapis kedua 2 neuron,

lapis ketiga 1 neuron dan keluaran 1 neuron.

Algoritma pengolahan dengan metode jaringan

neural umpan maju (R. Gencay dan T. Liu,

1996) adalah sebagai berikut. Bila masukan xj=(xt,xt-1,…,xt-k) dimana di sini

k=10 maka keluaran dari jaringan neural

dengan q neuron tersembunyi pada lapis

pertama adalah

jij

n

jioji xh

1, i=1,…..q (3-1)

Keluaran dari lapis kedua

jiij

n

jioji ho ,

1, (3-2)

Keluaran dari lapis ketiga

jii

n

joj oo ,

1

(3-3)

dimana ,, adalah parameter-parameter

kontrol yang diestimasi pada saat pembelajaran

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:13-18

16

dan ,, adalah fungsi aktivasi. Pada

penelitian ini fungsi aktivasi menggunakan

fungsi sigmoid yaitu

aeF

1

1 (3-4)

Seperti terlihat pada Gambar 1-1, neuron (unit)

tersembunyi dari jaringan neural umpan maju

tidak dinamis yaitu jaringan neuron pada lapis

tersembunyi itu tidak bergantung nilai lalu

yang dihasilkan dari jaringan. Sinyal hanya

menjalar dalam satu arah tanpa umpan balik

(feedback). Dengan alasan ini maka jaringan

tersebut disebut jaringan umpan maju

(feedforward).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Dengan mengunakan algoritma yang

diuraikan dalam bagian 4 maka pertama-tama

ditentukan dulu jumlah masukan data

sebelumnya yang optimal untuk data curah

hujan lalu dicari desain model jaringan yang

paling baik dengan cara coba-coba atau

pencarian cerdas untuk melakukan pembelajaran

dan prediksi. Didapat hasil sebagai mana pada

Gambar 4-2.

Dari Gambar 4-1 terlihat bahwa jumlah

masukan 10 memberikan nilai koefisien korelasi

yang paling besar, maka nilai inilah yang

diambil sebagai jumlah masukan untuk model

jaringan neural.

Untuk menentukan jumlah neuron pada

masing-masing lapisan dilakukan dengan coba-

coba atau pencarian cerdas dan yang kesalahannya

dianggap paling kecil serta memberikan

koefisien korelasi paling besar adalah yang

digunakan sebagai model dalam penelitian ini.

Pada penelitian ini diperoleh lapis pertama 10

neuron, lapis kedua 2 neuron, lapis ketiga 1

neuron dan keluaran 1 neuron, seperti tampak

pada Gambar 1-1. Dengan menggunakan

jumlah masukan dan model jaringan neural

yang paling baik yang telah didapat tersebut

maka hasil pembelajaran dan prediksi data

curah hujan pentad dari beberapa kota di Jawa.

Untuk melakukan prediksi kita tinjau data

curah hujan dalam selang waktu antara to dan

t1. Hasil prediksi dibuat merentang pada selang

waktu yang lebih lebar dari selang waktu

semula, misalnya dari to ke t1+t. Deret waktu

data curah hujan dalam selang antara t1 dan

t1+t adalah hasil prediksinya. Untuk data

curah hujan kota Jakarta di dapat seperti pada

Gambar 4-2.

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

0,35

0,4

0,45

5, 9, 10, 15, 20, 25, 30, 35,

r

Data masukan

Data masukan vs Korelasi

Gambar 4-1: Jumlah data masukan dan koefisen korelasi untuk menentukan jumlah masukan optimal

Aplikasi Jaringan Neural untuk Pemodelan dan Prediki…. (Dadang Subarna)

17

0

50

100

150

200

250

300

1 42 83 124

165

206

247

288

329

370

411

452

493

534

575

616

657

698

739

780

Pentad

mm

Observasi

Pembelajaran

Gambar 4-2: Data observasi dan pembelajaran model MLP 10-2-1-1 untuk data pentad (1988-1998)

daerah Jakarta

Observasi vs Prediksi

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Pentad

mm

Observasi

Prediksi

Gambar 4-3: Data observasi dan prediksi 20 titik ke depan dengan model MLP 10-2-1-1 untuk data

pentad (1988-1998) daerah Jakarta

Dengan perhitungan statistik didapat Tabel 4-1, di bawah ini Tabel 4-1: DATA JAKARTA DAN VALIDASI

HASIL PREDIKSINYA

Rata-rata data 23.77011 Standar deviasi data 33.48089 Rata-rata kesalahan -0.45778 Standar deviasi kesalahan 30.67222 Rata-rata kesalahan mutlak 21.31523 Rasio standar deviasi 0.916111 Koefisien korelasi 0.400962

5 KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan dan penelitian yang dilakukan selama ini dapat disimpulkan bahwa jaringan neural dapat digunakan untuk

membantu prediksi curah hujan di kota-kota yang rawan terhadap banjir. Penentuan jumlah masukan sangat signifikan terhadap nilai koefisien korelasi hasil prediksi. Penentuan desain model jaringan neural juga sangat penting terhadap unjuk kerja model jaringan neural dan terhadap nilai koefisien korelasinya. Untuk penentuan desain ini dapat dilakukan dua pendekatan yaitu secara coba-coba (Heuristic Expert) atau secara pencarian cerdas (Intellegent searching). Banyaknya lapisan tersembunyi (Hidden Layer) pada suatu desain model jaringan neural tidak meningkatkan unjuk kerja model jaringan neural dan nilai korelasinya. Banyaknya neuron yang menyusun jaringan neural belum tentu akan berkontribusi

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:13-18

18

terhadap unjuk kerja dan nilai korelasinya. Dari hasil-hasil yang telah dikaji dan pembahasan yang dilakukan disarankan agar penggunaan jaringan neural ini terus dikembangkan untuk model prediksi curah hujan dengan mencoba menggunakan model-model modifikasi arsitektur jaringan neural dan mencoba menggunakan jenis-jenis aturan pembelajaran (Learning Rule) yang lain selain umpan maju serta membandingkan dengan model-model komputasi lain seperti selular automata dan lain-lain.

DAFTAR RUJUKAN Bayong, T. H. K., 1999. Klimatologi Umum,

Penerbit ITB Bandung. Demuth. H., Beale. M, 1995. Neural Network

Toolbox, The Math Works Inc. Elman, J.L., 1990. Finding Structure in Time,

Cognitive Science, 14, 179-211. Freeman. A.J., Skapura. M.D, 1992. Neural

Networks, Algorithms, Applications And

Programming Techniques, Addison-Wesley Publishing Company,Inc.

Fu.Limin, 1992. Neural Network In Computer Intellegence, McGraw-Hill International Edition.

Gencay, R., 1996. A Statistical Famework for Testing Chaotic Dynamics Via Lyapunov Esponent”, Physica D, 89, 261-266.

Gencay, R. and Liu, T., 1996. Nonlinear modelling and Prediction with Feedforward and Recurrent Network, Physica Letters, A 187, 397-403.

Gencay, R. and W.D. Dechert, 1992. An Algorithm for the n Lyapunov Exponents of n-Dimensional Unknown Dynamical System, Physica D, 59,142-17.

Yang. Q. C, Bhargaya. K.V, 1991. Optimum Selection Of Error Control Coding Using Neural Network,IEEE,pp.1074-1082.

Bisnis Komersial Wisata Antariksa (Pardamean Hutahaean)

19

BISNIS KOMERSIAL WISATA ANTARIKSA

Pardamean Hutahaean Peneliti Bidang Analisis Sistem Kedirgantaraan, LAPAN

RINGKASAN

Hingga saat ini telah ada delapan orang turis antariksa yang melancong ke Stasiun Antariksa

Internasional (ISS, International Space Station). Dalam hal kepergian seseorang turis antariksa perlu

diperhatikan beberapa hal antara lain : akomodasi, kegiatan, penerbangan ke sub orbit maupun ke

orbit, hotel dan ressort, pencocokan antara turis dan profesionalisme, dan proteksi lingkungan.

Makalah ini memuat secara singkat perihal tersebut. Selain itu, dalam makalah ini disinggung juga

tentang mahluk hidup terutama Laika, seekor anjing yang pernah ikut serta dibawa ke antariksa.

1 PENDAHULUAN

Pada mulanya adalah khayalan dan

akhirnya menjadi kenyataan, dan kenyataan itu

telah membawa kenikmatan. Nikmat yang

diperoleh manusia dari kemajuan iptek

kedirgantaraan telah meliputi berbagai aspek

kehidupan. Khayalan itu dituangkan dalam

tulisan, misalnya Carl Sagan menulis “Cosmos :

A Personal Voyage” yang kemudian diangkat

menjadi serial televisi yang sangat terkenal

hingga sekarang, Jules Verne dalam fiksi

ilmiahnya menyatakan bahwa butuh waktu 80

hari untuk mengelilingi bumi ternyata isu saat

ini cukup 80 menit. Mitologi tentang Icarus dari

Yunani kuno merupakan bukti nyata dari

keinginan manusia, terbang seperti burung. Hal

ini mengindikasikan bahwa manusia memang

sejak dahulu telah memimpikan bisa berjalan-

jalan ke antariksa.

Kemudian Arthur C. Clark mempubli-

kasikan artikel yang bersifat fiksi ilmiah dengan

judul:” Extra – Terrestrial Relays” dalam majalah

Wireless World pada Oktober 1945. Dalam artikel

tersebut seolah-olah Clark telah meletakkan

pengertian dasar tentang sistem satelit komunikasi

di orbit geostasioner. Dengan memprediksi

secara detil bagaimana satelit buatan manusia

dapat ditempatkan pada orbit bumi dan satelit

tersebut dapat didayagunakan untuk memancar-

kan sinyal radio dan televisi meliput seluruh

bumi. Apabila ditempatkan satu satelit di orbit

geostasioner maka satelit yang bersangkutan

dapat memantau 42,4% permukaan bumi,

sehingga untuk menjangkau seluruh permukaan

bumi dibutuhkan minimal 3 satelit komunikasi.

Pada mulanya masyarakat ilmiah meragukan

ide dari Clark, namun 20 tahun kemudian, ide

fantastik ini menjadi kenyataan setelah satelit

sinkron Early Bird diluncurkan, dan juga

dengan diluncurkannya satelit telekomunikasi

pertama, Syncom 3 ke orbit. Clarke juga

menyarankan penggunaan satelit untuk

keperluan meteorologi, serta konsep mengenai

“elevator angkasa” sebagai cara murah untuk

mengirim kargo ke orbit. Selama hidupnya

Clarke menulis lebih dari 100 judul buku, salah

satu di antaranya yaitu A Space Odyssey yang

sangat terkenal setelah diangkat ke layar perak

tahun 2001. Arthur C.Clarke meninggal pada 19

Maret 2008 dalam usia 90 tahun di Srilanka.

Saat ini manusia telah dapat mencari

kepuasan melancong ke angkasa luar

(antariksa) dan menginap di stasiun antariksa

internasional. Seiring dengan itu, para pebisnis

telah berupaya mempersiapkan dan

mengembangkan wahana transportasi wisata

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:19-25

20

antariksa. Wahana untuk ketinggian 110 km

telah ada tetapi belum operasional, sedangkan

untuk ISS wahana yang telah digunakan adalah

pesawat Soyuz. Tempat penginapan (hotel

antariksa) masih dalam proses pengadaan

diperkirakan tahun 2012 telah operasional.

Wisata antariksa hingga ke bulan telah

ditawarkan oleh Energiya, suatu perusahaan

pesawat luar angkasa Rusia.

2 PENGERTIAN

Untuk keseragaman pengertian perlu

diberikan beberapa definisi berikut : Antariksa

adalah ruang beserta isinya yang terdapat di

luar ruang udara, serta yang mengelilingi dan

melingkupi ruang udara. Sedangkan yang

dimaksud dengan ruang udara adalah ruang

yang mengelilingi dan melingkupi seluruh

permukaan bumi, ruang tersebut mengandung

udara bersifat gas yang disebut atmosfer bumi.

Antariksa adalah bagian dari dirgantara.

Definisi dari dirgantara adalah ruang yang

terbentang luas tiada batas beserta segala isi

yang terdapat di dalamnya dan merupakan

unsur dasar dari alam semesta atau dirgantara

adalah ruang di sekeliling dan melingkupi bumi

beserta segala isinya, meluas tiada batas mulai

dari permukaan bumi yang terbagi atas ruang

udara dan antariksa, yang dipandang sebagai

wilayah, ruang gerak, media hidup dan sumber

daya alam bagi kehidupan umat manusia.

Perbatasan antara atmosfer bumi dengan

luar angkasa hingga saat ini belum jelas.

Theodore von Karman pakar aeronautika USA,

pernah menghitung bahwa pada ketinggian

100 km atmosfer begitu tipis sehingga pesawat

biasa tidak bisa berfungsi karena tidak dapat

melaju cukup cepat untuk memperoleh gaya

angkat aerodinamika. Oleh karena itu badan

Federation Aeronautique International menetapkan

batas 100 km sebagai standar aeronautika.

Demikian halnya kalangan industri antariksa

mengambil batas 100 km. Lain hal dengan para

astronot yang menyatakan bahwa mereka telah

mencapai antariksa setelah melewati batas 80

km dari permukaan bumi. Demikian dengan

kendali misi NASA mengambil batas 122 km

sebagai ketinggian memasuki antariksa karena

pada ketinggian itulah pesawat ulang aliknya

beralih dari roket pendorong menjadi manuver

di permukaan udara. Data terbaru dari sebuah

instrumen baru yang dikembangkan oleh

ilmuwan di University of Calgary, Kanada

memberi konfirmasi bahwa antariksa dimulai

118 km dari permukaan bumi.

3 TURIS ANTARIKSA

Pada umumnya turis antariksa

meluncur dengan menumpang pesawat Soyuz

(Rusia) setelah membayar tarif sebesar 25 juta –

35 juta dolar Amerika. Sebelum para turis

meluncur ke angkasa luar mereka terlebih

dahulu menjalani tes, training beberapa bulan

di Rusia. Misalnya, Charles Simonyi sebelum

keberangkatannya pertama (2007) menjalani

latihan selama 8 bulan, sedangkan pada

keberangkatan yang kedua (2009) selama 3

bulan. Bisnis wisata komersial antariksa ini

ditempuh untuk mengumpulkan dana bagi

keantariksaan Rusia. Pesawat antariksa USA

boleh dikatakan tidak pernah digunakan untuk

wisata komersil antariksa.

Turis antariksa yang telah menggunakan

pesawat Soyuz milik Rusia adalah sebagaimana

dimuat dalam Tabel 3-1.

Bisnis Komersial Wisata Antariksa (Pardamean Hutahaean)

21

Tabel 3-1 : DAFTAR TURIS ANTARIKSA DENGAN PESAWAT SOYUZ

No. NAMA USIA NEGARA PROFESI TAHUN 1 Dennis Tito 61 th AS Ilmuwan/Pengusaha 2001 2 Mark Shuttleworth 29 th AfSel/Inggris Pengusaha 2002 3 Gregory Olsen 60 th AS Ilmuwan 2005 4 Anousheh Ansari 40 th Iran/AS Pengusaha Telekom 2006 5 Charles Simonyi 60 th Hungaria/AS Pengusaha Mikrosoft 2007 & 2009 6 Sheikh Muszaphar Sukor 35 th Malaysia Ilmuwan 2007 7 Richard Gariot 48 th AS Bisnis game komp. 2008 8 Yi So- Yeon 29 th Kor Sel Ilmuwan 2008

Wisata antariksa merupakan suatu

kegiatan yang menantang bagi para pebisnis kelas atas dan juga bagi ilmuwan, karena mereka dapat melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan misinya antara lain,

- Mengambil gambar bumi, (oleh Denis Tito, Charles Simonyi, dan Richard Gariott),

- Melakukan riset AIDS dan genom, (oleh Mark Shuttleworth),

- Melakukan eksprimen medis buat Badan Antariksa Eropa (Oleh Charles Simonyi),

- Pengujian kamera resolusi tinggi milik Jepang (oleh Charles Simonyi),

- Melakukan ibadah puasa (oleh Sheikh Muszaphar),

- Melakukan percobaan ilmiah (Yi So-Yeon melakukan 18 percobaan).

Selain kegiatan-kegiatan tersebut masih

banyak lagi kegiatan-kegiatan lain yang bermanfaat untuk kehidupan umat manusia di bumi.

4 WAHANA PESAWAT ANTARIKSA

Kapal antariksa Ship One sering disingkat dengan sebutan SSO (Space Ship One) atau juga

dengan SS-1 terbang perdana pada Agustus 2002, digendong oleh wahana peluncur White Knight. Pada tanggal 14 Mei 2004 pesawat ini telah berhasil menembus ketinggian 212.000 kaki. Atas prakarsa Scaled Composite yang akan mengadakan lomba adu performa pesawat antariksa dengan hadiah USD 10 juta bagi yang mampu terbang hingga ketinggian 329.000 kaki. Pesawat SS-1 memenangkan adu lomba tersebut pada penerbangan tanggal 4 Oktober 2004 yang mencapai ketinggian 367.442 kaki (119,96 km) dengan kecepatan 3,09 Mach saat naik dan 3,26 Mach saat turun. Selain itu SS-1 mampu melakukan dua kali penerbangan hanya dalam selang lima hari. Perusahaan Scaled Composite sebelumnya membuat batas waktu 3 minggu dan tim juri menetapkan 2 minggu. Langkah pertama wahana SS-1 diantar oleh pesawat induk White Knight One (WK) hingga ketinggian 50.000 kaki, kemudian langkah berikutnya SS-1 terbang sendiri ke ketinggian 367.000 kaki (70 mil) dari permukaan bumi, dan pesawat WK langsung kembali ke bumi

Gambar 4-1: Pesawat Space Ship One (SS-1)

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:19-25

22

Gambar 4-2 : Pesawat White Knight Two (SS-2)

Pesawat White Knight Two telah

diresmikan sebagai pesawat futuristik yang akan mengangkut wisatawan ke antariksa sebagai bagian dari program antariksa Virgin Galactic. Pesawat ini yang disebut juga “Eve” sebagai penghormatan atas ibunda Branson akan bertindak sebagai pesawat induk bagi pesawat antariksa Space Ship Two (SS-2) yang akan diluncurkan di udara dan membawa dua awak dan enam orang penumpang. Virgin Atlantic diharapkan akan mengangkut turis antariksa pertama ke suborbit pada ketinggian 110 km pada tahun 2010. Sebagai penumpang pertama adalah Bronson sendiri beserta anggota keluarganya. Penumpang umum hingga saat ini telah terdaftar lebih dari 200 orang dan telah membayar biaya penerbangan hingga USD 200.000/orang selama dua jam dengan menggunakan pesawat SS-2. Pesawat WK-2 memiliki rentang sayap 43 m dan merupakan pesawat komposit karbon terbesar di dunia. Penerbangan pesawat WK-2 untuk menghantar wahana Virgin Atlantic hingga ketinggian 50.000 kaki akan mampu melakukan empat kali penerbangan dalam satu hari, sehingga untuk 5 tahun pertama Branson memperkirakan akan mencetak 3000 orang astronot.

Richard Branson (Virgin Galactic) telah menggandeng Burt Rutan (Scaled Composites) untuk bekerjasama menuntaskan program SS-2. Di hangar Burt Rutan sedang dibangun sekaligus lima wahana SS-2 dan dua WK-2 secara serentak. Wahana SS-2 maupun WK-2 ini

direncanakan akan menjalani uji terbang tahun 2009 ini.

Perusahaan Luar Angkasa dan Pertahanan Angkasa Eropa (EADS, European Aeronautics Defence and Space) berencana menciptakan wahana bagi turis antariksa. Wahana ini direncanakan akan mulai beroperasi pada tahun 2012 dengan memberi kesempatan bagi turis menikmati penerbangan di orbit bumi selama 90 menit dan pengalaman berada di ruang hampa udara. Biaya perjalanan diperkirakan sekitar USD 100.000 – 265.000. Biaya ini relatif lebih murah bila dibandingkan dengan turis yang berkunjung ke ISS. EADS mengharapkan bahwa akan ada 15.000 orang turis/tahun yang bepergian ke antariksa hingga tahun 2020.

5 ASTRONOT

Istilah antariksawan sama artinya dengan astronot (AS), kosmonot (Rusia), taikonot (Cina), angkasawan (Malaysia). Tapi gelar angkasawan yang disandang oleh Dr. Sheikh Muszaphar Sukhor menjadi polemik dan perdebatan di antara komunitas antariksa Rusia dan AS. Amerika menganggap Muszaphar hanyalah seorang “Spaceflight Participant” yang dianggap tak jauh berbeda dengan turis. Sedangkan Malaysia bersikukuh mengatakan bahwa Muszaphar adalah angkasawan atau sama dengan astronot. Sementara Rusia sendiri kabarnya setuju mengkualifikasikan angkasawan Malaysia sebagai kosmonot karena alasan politis dan ekonomis.

Bisnis Komersial Wisata Antariksa (Pardamean Hutahaean)

23

Gambar 5-1: Trayektori pesawat SS-1

Terkait dengan pertanyaan calon

penumpang SS-2, apakah dirinya akan dicatat

sebagai astronot kelak?. Pihak Virgin Galactic

memberi penjelasan beberapa catatan dan

kriteria astronot. Sejauh ini, ada beberapa

kriteria yang dikemukakan sejumlah pihak.

Badan Ruang Angkasa AS (NASA) misalnya,

menyatakan bahwa astronot adalah seseorang

yang telah melakukan perjalanan hingga

ketinggian di atas 80 km atau 50 mil.

Federasi Aerosport Internasional,

menentukan seseorang bisa disebut astronot

jika telah melakukan penerbangan hingga

ketinggian di atas 62 mil atau 100 km.

Jadi sebagai penumpang SS-2, akan tercatat sebagai astronot. Dan untuk itu setelah kembali ke Bumi, setiap penumpang akan disematkan Wing Astronot sesuai standar FAA, demikian penjelasan staf pemasaran Virgin Atlantic.

Bagaimana dengan hewan eksperimen antariksa ?

Laika adalah seekor anjing campuran

yang merupakan mahluk hidup pertama yang

diakui mengorbit di luar angkasa. Laika

meluncur ke angkasa luar bersama Sputnik-2

pada tanggal 3 Nopember 1957. Kematian Laika

telah mengundang perdebatan antara sesama

ahli kesehatan penerbangan angkasa luar dan

juga para pencinta dan penyayang binatang. Di

Rusia Laika dikenang sebagai pahlawan.

Untuk mengenang jasa Laika telah dibangun

sebuah monumen di Institute for Medicine

Aviation and Space di Star City, dekat Moskow.

Monumen itu menggambarkan seekor anjing

yang berdiri di atas sebuah roket. Selain Laika

masih ada mahluk hidup lain yang telah pernah

terbang ke angkasa luar, misalnya :

Anjing: Bars, Lisichka, Pchelka, dan Mushka. Anjing ini meninggal dalam penerbangan,

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:19-25

24

sedangkan yang selamat antara lain : Damka, Krasavka, Verterok, Ugolyok,

Monyet, Albert I, II, III, dan IV. Masih banyak lagi monyet lain yang dibawa ikut terbang hingga ketinggian lebih dari 50 mil,

Kucing. Sepasang kucing yaitu Felix dan Felicete’ dibawa hingga ketinggian 120 mil,

Laba-laba, jenis Araneus Diadematus dibawa selama 59,5 hari dalam Skylab-3,

Katak hijau, dibawa dalam stasiun antariksa MIR,

Ikan dan Jangkrik, dibawa dalam pesawat STS-90,

Muatan ilmiah : Serangga, telur kodok, tanaman, dan mikroorganisme berada selama 45 jam di orbit bumi.

Apakah mahluk hidup teristemewa seperti Laika dapat dikategorikan dengan astronot, kosmonot atau taikonot?

6 HOTEL ANTARIKSA

Perusahaan arsitektur di Barcelona berencana membangun sebuah hotel di ruang angkasa yang akan diberi nama Galactic Suite yang diperkirakan akan beroperasi mulai tahun 2012. Hotel ini terdiri dari tiga kamar butik yang menyerupai molekul. Setiap kamar dirancang sesuai dengan ukuran roket yang akan meluncurkannya di ruang angkasa, Tarif kamar ini sangat mahal yaitu sekitar USD 4 juta untuk tiga hari termasuk pakaian butik dari bahan Velcro untuk dipakai merayap di tembok kapsul. Tamu yang menginap mendapat kesempatan untuk berkeliling dunia selama 80 menit, dan bisa menikmati matahari terbit 15 kali dalam sehari.

Kendala yang masih menantang antara lain, membuat kamar mandi karena pengaruh situasi tanpa gravitasi. Selain itu bagaimana cara mengakomodasi aktivitas intim para tamu, demikian ucap Xavier Claramunt selaku direktur perusahaan. Menurut estimasi Claramunt paling tidak ada 40.000 orang yang mampu dan berminat menginap di hotel ini. Dana untuk ide ini diperkirakan sebesar USD 3

milyar dan penanggulangannya secara patungan dengan investor AS, Jepang, dan Uni Emirat Arab.

Genesis II, sebuah wahana angkasa luar telah sukses melakukan eksprimen kemungkinan pembuatan hotel di luar angkasa. Pesawat ini diluncurkan dengan roket Rusia dan dikendalikan oleh Bigelow Aerospace yang mendapat dukungan dana dari Robert Bigelow raja hotel dari AS. Perusahaan Bigelow Aerospace juga akan meluncurkan modul wahana lainnya seperti Galaxy yang digambarkan sebagai wahana mendekati modul sehingga dapat dihuni oleh manusia. Dengan kesuksesan peluncuran wahana ini diharapkan tahun 2015 perusahaan telah dapat membangun stasiun angkasa luar. Dana yang diinvestasikan Robert Bigelow untuk proyek Hotel Antariksa ini sebesar USD 500 juta. Selain itu Bigelow menjanjikan hadiah uang sebesar USD 50 juta bagi siapa saja yang bisa merancang wahana yang mampu membawa lima orang ke ketinggian 400 km sebelum tahun 2010.

7 PROGRAM KOMERSIALISASI KE BULAN

Program spektakuler ini ditawarkan oleh Energiya, perusahaan Rusia yang membangun dan menerbangkan pesawat luar angkasa Rusia. Menurut Kantor Berita Izvestia, program turis ke bulan itu telah diajukan ke Agen Ruang Angkasa Federal. Pesawat luar angkasa untuk turis dimaksud akan diluncurkan dari Baikonur, Kazakhstan dengan roket Soyuz. Turis akan rileks selama sepekan di ISS, kemudian meninggalkan ISS mengitari bulan sebelum kembali ke bumi. Biaya perjalanan untuk program spektakuler ini diperkirakan sekitar USD 100 juta.

Perjalanan mengitari bulan akan diminati dan popular di masa yang akan datang, karena tidak sedikit masyarakat dunia yang ingin melihat bulan dari jarak yang sangat dekat bahkan ingin menginjakkan kaki di bulan. Hal ini telah menarik minat para pebisnis antara lain : (i) Peter Inston (Inggris) telah merancang

Bisnis Komersial Wisata Antariksa (Pardamean Hutahaean)

25

pembangunan hotel berkapasitas 5.000 kamar di Bulan, (ii) Perusahaan di AS seperti Rotary, Pioneer Rocketplane, atau Kelly Space & Technology sedang berupaya mengembangkan pesawat antariksa yang lebih murah dari sarana tranportasi yang dibuat oleh NASA selama ini, (iii) Kawasaki Heavy Industries dan Japanese Rocket Society sedang membuat pesawat antariksa ulang-alik “Konkoh Maru”, (iv) Perusahaan konstruksi Shimizu sedang bereksperimen membuat taman hiburan di Bulan.

8 KONTRIBUSI INDONESIA TERHADAP WISATA ANTARIKSA

Walaupun belum pernah terlibat secara langsung dalam eksplorasi ruang angkasa, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup disegani karena pengalamannya dalam mengeksploitasi teknologi keantariksaan. Hal ini mengingatkan kita tentang kesuksesan Indonesia menyeleksi calon astronot Indonesia tahun 1985, memilih 2 calon dari 112 peserta. Dua calon terpilih ternyata juga lulus tes ulang di AS yaitu Dr. Pratiwi Soedarmono bersama Ir. Taufik Akbar. Namun hingga saat ini belum ada astronot atau turis antariksa dari Indonesia.

Dalam hal seleksi astronot Malaysia dari 11.275 orang pelamar, Dr. Sheikh Muszaphar Sukhor bersama temannya Dr. Faiz Khaleed telah terpilih dan Muszaphar telah meluncur ke antariksa. Sebelumnya mereka menjalani latihan standar kosmonot selama 18 bulan di Astronaut Training Programme, Star City Rusia, mereka terlebih dahulu menjalani seleksi kesehatan di Lembaga Kesehatan dan Penerbangan (LAKESPRA) di Jakarta. Ternyata hasil test dari Indonesia memuaskan dan diakui.

9 PENUTUP

Hingga saat ini ada dua daerah tujuan turis antariksa yang ditawarkan yaitu :

Wisata ke sub orbit pada ketinggian 110 km dengan Kapal Antariksa Virgin Atlantic biaya sekitar USD 200.000, selama 2,5 jam. Dengan EASD biaya penerbangan diperkirakan antara USD 100.000-265.000. Apabila turis ingin menginap di Hotel Antariksa harus bersabar karena fasilitas ini baru tersedia tahun 2012, biaya hotel diperkirakan USD 4 juta untuk tiga malam,

Wisata ke ISS pada ketinggian 362-475 km, dengan wahana Soyuz biaya perjalanan USD 20 juta selama 11 hari. Dalam wisata ke orbit ini para turis dapat melakukan kegiatan eksperimen ilmiah.

DAFTAR RUJUKAN

All about Space tourism, http://www.space. om/space tourism.

Animal Laika.doc – Microsoft Word. Memorial to Laika, http://www.novareinna.

com/laika.html. Space tourism-Wikipedia, the free encyclopedia

http://en.wikipedia.org/wiki/spacetourism. Toyohiro Akiyama, 1993. The Pleasure of

Spaceflight, Journal of Space Technology and Science.

Thomas R. Mc Donough, 1997. Space the Next Twenty-Five Years, John Wiley & Sons Inc, New York.

Angkasa, Majalah Kedirgantaraan No. 2 November 2004, hal 70-71.

Angkasa, Majalah Kedirgantaraan No.7 April 2008, hal 42-45.

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:26-31

26

BUKTI VISUAL PENEMUAN PLANET PADA BINTANG FOMALHAUT

Emanuel Sungging Mumpuni Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN

RINGKASAN

Untuk pertama kalinya keberadaan planet di luar sistem Tata Surya kita berhasil dibuktikan

keberadaannya dari pengamatan optis, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Hubble Space

Telescope. Planet yang diperkirakan berbobot tiga kali massa Jupiter, disebut sebagai Fomalhaut b,

ditemukan pada bintang Fomalhaut, bintang paling terang pada konstelasi Piscis Australis, berjarak 25

tahun cahaya dari Tata Surya.

1 PENDAHULUAN

Fomalhaut adalah sebuah bintang deret

utama yang paling terang pada konstelasi Piscis

Australis, berjarak cukup jauh dengan sistem

Tata Surya kita (7,7 pc = 25 tahun cahaya (25 ×

9,461 × 1012 km)), dengan kelas spektrum A3V,

bermassa 2,3 kali massa Matahari, 1,7 kali

diameter Matahari, 16 kali luminositas Matahari,

lebih besar dan lebih panas dari Matahari,

dengan umur sekitar 200-300 juta tahun, yang

artinya bintang tersebut masih muda, dan jika

ada planet pada Fomalhaut maka planet

tersebut masih sangat muda dan masih

memancarkan panas dari proses pembentukan

dan sangat memungkinkan untuk bisa ditemukan.

Pengamatan menggunakan IRAS (Infra Red

Astronomical Satellite) pada tahun 1980-an

menunjukkan adanya emisi merah-infra yang

berlebih pada Fomalhaut, mengindikasikan

adanya piringan debu di sekitar Fomalhaut

(Stapelfeldt et al., 2004).

2 INDIKASI PLANET PADA FOMALHAUT

Pengamatan lebih lanjut pada rentang

sub-mm (450 dan 850 m) dari pengamatan

SCUBA bolometer camera pada James Clerk

Maxwell Telescope memperlihatkan adanya

struktur distribusi debu non-simetri sumbu

(Holland et al., 2003) (Gambar 2-1). Citra (a) dan

(b) adalah citra sebelum diproses, sedangkan

citra (c) dan (d) setelah diproses. Posisi bintang

ditandai dengan simbol bintang, dengan

resolusi pancaran untuk setiap instrumen

ditandai dengan lingkaran beam size. Sebelah

kiri adalah citra dengan pita 450 m, sedangkan

kanan adalah pita 850 m.

Gambar 2-1 memperlihatkan pengamatan

emisi debu Fomalhaut pada pita 450 m (kiri),

dan 850 m (kanan), dengan arah utara di atas

dan timur di kiri, dengan resolusi digambarkan

sebagai ukuran pancaran (beam size) 7”,5 dan

14” untuk setiap pita. Gambar yang telah

diproses, (c) dan (d) memperlihatkan adanya

distribusi debu non-simetri sumbu, dengan

teramatinya emisi dalam bentuk lengkungan

menuju arah timur. Lengkungan tersebut

diduga merupakan gumpalan debu terperangkap

menyerupai cincin eliptis, akibat resonansi

dengan suatu planet besar.

Bukti Visual Penemuan Planet pada Bintang Fomalhaut (Emanuel Sungging)

27

Gambar 2-1: Emisi debu di sekitar Fomalhaut, dengan utara di atas dan timur di kiri. R.A. dan

deklinasi waktu pengamatan relatif terhadap J2000 untuk Fomalhaut. (sumber: Holland et al., 2003)

Dengan pengamatan yang lebih baik

lagi, memanfaatkan Advanced Camera for Surveys (ACS) pada Hubble Space Telescope, maka debu-debu tersebut dapat diamati secara optis dengan resolusi 100 kali lebih tajam dari pengamatan sebelumnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa cincin debu pada Fomalhaut berpusat pada suatu lokasi yang berjarak 15 AU dari bintang. Cincin debu Fomalhaut menyerupai piringan debu yang terbentuk di Tata Surya sebagai sabuk Kuiper, tetapi mencapai sekitar empat kali lebih besar daripada Tata Surya kita, dengan batas dalam tepi pada 120-140 AU dan batas luarnya antara 140-158 AU. Dengan membandingkan terhadap model sabuk debu Kuiper Tata Surya, maka bagian dalam tepi sabuk tersebut berakitan dengan resonansi planet. Serta dengan tidak tepatnya posisi bintang pada pusat piringan memperkuat dugaan bahwa ada planet pada Fomalhaut (Kalas et al., 2005). Selain itu, dari pekerjaan Kalas et al., (2005), terdapat juga

beberapa sumber terang tambahan (extended objects) yang masih harus ditentukan apakah merupakan anggota dalam sistem Fomalhaut ataukah merupakan benda di luar Fomalhaut. (Gambar 2-2).

Pada Gambar 2-2, bagian (a)

menggambarkan citra kronografis dari

Fomalhaut untuk mendapatkan sabuk Kuiper

Fomalhaut, sedangkan (b) adalah citra yang

telah diproses, garis melingkar eliptis menandai

daerah sabuk yang diperkirakan, yang

merentang pada 133–158 AU. Tanda segi empat

menandai pusat sabuk, sedangkan tanda

bintang menandai posisi bintang. Garis

melintang putih menandai setengah sumbu

panjang sabuk, sedangkan garis merah

menandai vektor antara sabuk dan pusat

Bintang. Kotak putih menandai adanya benda-

benda sumber terang tambahan, sedangkan

lingkaran putih adalah bintang-bintang latar

belakang.

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:26-31

28

Gambar 2-2: Citra koronagrafis Fomalhaut, dengan utara agak menyimpang 66° dari vertikal (Sumber:

Kalas et al.,, 2005)

3 PENEMUAN PLANET DI FOMALHAUT

Planet di Fomalhaut baru ditemukan pada tahun 2008 (Kalas et al., 2008), maka pengamatan secara visual menunjukkan adanya planet yang mengorbit Fomalhaut. Planet raksasa tersebut diberi nama Fomalhaut b, dekat dengan tepi dalam pada piringan debunya, dengan massa tidak mencapai tiga kali massa Jupiter, berjarak sekitar 119 AU dan mengorbit bintang setiap 872 tahun. Hal ini telah didapatkan dari pengamatan koronagrafis menggunakan Hubble Space Telescope.

Untuk memastikan adanya anggota-anggota Fomalhaut, maka harus ditentukan gerak diri (proper motion) benda-benda yang ada di sekitar Fomalhaut. Jika benda teramati yang ada bukan anggota Fomalhaut, maka tidak akan bergerak bersama bintang. Jika merupakan benda latar belakang, maka akan tampak bergerak ke arah barat-daya relatif terhadap bintang, sedangkan arah gerak diri Fomalhaut adalah 0,425 detik busur per tahun pada arah

tenggara langit. Hal ini diperkuat dari pengamatan Observatorium Gemini dengan pengamatan pada 3,8 m.

Konfirmasi Fomalhaut b sebagai benda

astrofisika dilakukan dari enam pengamatan

Hubble Space Telescope yang saling independen

pada dua pita pengamatan optis (0,6 dan 0,8 m).

Fomalhaut b mengorbit dalam co-planar dalam

sabuk debu dengan setengah sumbu panjang

≈ 115 AU. Untuk sebuah benda dengan

setengah sumbu panjang sebesar 115 AU

dengan massa bintang mencapai dua kali massa

Matahari dalam gerak yang hampir lingkaran

dalam gerak Keplerian, maka periode orbitnya

mencapai 872 tahun dengan laju sirkular

mencapai 3,9 km/dtk. Fomalhaut b sedang

berada pada belahan redup sabuk sehingga

Fomalhaut b berada pada bidang angkasa

(Bumi – Fomalhaut – Fomalhaut b), dengan

sudut 126°, yaitu pada ~51° setelah melewati

konjungsi dengan arah orbit berlawanan arah

jarum jam (Gambar 3-1).

Bukti Visual Penemuan Planet pada Bintang Fomalhaut (Emanuel Sungging)

29

Gambar 3-1: Citra koronagrafis Fomalhaut pada 0,6 m, memperlihatkan Fomalhaut b dalam kotak

putih berjarak 12,7 detik busur radius dari bintang dalam batas dalam sabuk debu. Dalam kotak tersebut adalah pengamatan Fomalhaut b pada tahun 2004 dan 2006, relatif terhadap Fomalhaut. (Sumber: Kalas et al., 2008)

Untuk menentukan massa planet

Fomalhaut b, maka dilakukan pemodelan

pengaruh gravitasi pada sabuk debu dan

hasilnya disesuaikan dengan sebaran cahaya

sabuk yang teramati oleh Hubble Space Telescope,

dengan mengasumsikan bahwa Fomalhaut b

adalah satu-satunya yang bertanggung jawab

pada morfologi sabuk. Dua tren muncul sebagai

hasil. Pertama jika massa terus menerus naik,

maka planet akan mengganggu bulir debu

menjadi bentuk orbit eksentris sehingga profil

tebal optis menjadi terlalu lebar pada jarak yang

lebih besar dari 140 AU, sedangkan jika debu

tidak terganggu, maka massa yang lebih besar

harus berada pada orbit yang lebih dalam, dan

itu tidak sesuai dengan hasil pengamatan yang

diperoleh (Gambar 3-2).

Pada Gambar 3-2, terlihat bahwa

histogram dari rata-rata waktu setengah sumbu

panjang dari benda utama yang membentuk

Fomalhaut b dengan parameter dipilih sehingga

tepi dalam sabuk pada 133 AU dan eliptisitas

0,11. Benda utama akan meninggalkan zona

kacau (wilayah kuning) dan akan terbentuk

daerah senjang pada resonansi planet,

sebagaimana pada senjang Kirkwood dalam

Tata Surya kita. Noktah hitam dan tanda palang

menunjukkan jarak pusat bintang terentang

oleh model. Pada jarak aposentris 10 massa

Jupiter tidak konsisten dengan pengamatan

jarak pusat bintang (garis hijau). Model satu

massa Jupiter konsisten. Pada bagian bawah,

sumbu vertikal menggambarkan profil tebal

optis dari pembentukan debu planet. Orbit

planet disesuaikan sehingga setengah

maksimumnya pada 133 AU, dengan model

garis berwarna merah.

Dari kedua hasil tersebut, maka massa

Fomalhaut b harus lebih kecil dari tiga kali

massa Jupiter.

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:26-31

30

Gambar 3-2: Model dinamis pembentukan sabuk Kuper. Atas dan tengah: Histogram dari rata-rata

waktu setengah sumbu panjang dari benda utama yang membentuk Fomalhaut untuk massa 10 massa Jupiter dan 1 massa Jupiter. Bawah: profil tebal optis debu (Sumber: Kalas et al., 2008)

Dari pengamatan fotometri dan

membandingkannya dengan model atmosfer

planet, maka dapat ditentukan tipe planet

tersebut dan usianya. Dengan mengambil nilai

dasar temperatur 400 K, gravitasi 46 m/dt2,

kelimpahan lima kali kelimpahan Matahari,

sebagai nilai awal model (Fortney et al., 2008),

diperoleh bahwa massa planet sekitar 2,5 massa

Jupiter dengan umur sekitar 200 juta tahun, dan

model ini memperhitungkan flux pada 0,8 m.

Pada model dengan temperatur lebih dingin

(350 K), tidak diperoleh adanya flux 0,8 m,

sedangkan pada model yang lebih panas (500 K)

terdapat masalah pada flux 1, 6 m, oleh karena

itu 400 K merupakan batas atas dari temperatur

objek.

Kendati demikian, masih banyak hal lain yang berkaitan dengan keberadaan planet Fomalhaut b masih belum diketahui, seperti pada pengamatan 0,6 m, terdapat variabilitas kecerlangan yang belum bisa dijelaskan dari model radiasi termal exoplanet. Diduga variabilitas tersebut berasal dari pantulan cahaya bintang yang dipantulkan oleh piringan selubung planet, dengan radius ~ 20 – 40 radius Jupiter, sebanding dengan jejari orbit satelit-satelit Galilean Jupiter.

4 KESIMPULAN

Untuk pertama kalinya secara visual ditemukan adanya planet di luar Tata Surya kita, seperti Fomalhaut b yang mengorbit bintang Fomalhaut setiap 872 tahun pada jarak

Bukti Visual Penemuan Planet pada Bintang Fomalhaut (Emanuel Sungging)

31

sekitar 119 AU (1,8 milyar km). Karena Fomalhaut adalah bintang yang masih muda, maka pengetahuan akan planet tersebut akan membantu kita memahami bagaimana terbentuknya sistem Tata Surya kita juga. Seiring dengan keterbatasan pengamatan yang ada, maka dengan pengamatan yang lain, seperti pengamatan pada domain merah-infra, serta pencarian bukti adanya awan uap air di atmosfer bisa membantu kita memahami evolusi Tata Surya.

DAFTAR RUJUKAN

Fortney, J. J.; Marley, M. S.; Saumon, D.; Lodders, K., 2008. Synthetic Spectra and Colors of Young Giant Planet Atmospheres: Effects of Initial Conditions and Atmospheric Metallicity, Astrophys. J. 683, 1104.

Holland, W. S., Greaves, J. S., W. R. F. Dent, W.

R. F., Wyatt, M. C., 2003. Submillimeter

Observations of an Asymmetric Dust Disk

around Fomalhaut, Astrophys. J, 582, 1141.

Kalas, P., Graham J. R., et al., 2008. Optical

Images of Exosolar Planet 25 Light Years

from Earth, Science, 322, 1345.

Kalas, P., Graham, P. J., Clampin, M., 2005. A

Planetary System as the Origion of Structure

in Fomalhaut’s Dust Belt, Nature 435, 1067.

Stapelfeldt, K. R., et al., 2004. Fist Look at the

Fomahault Debris Disk With The Spitzer

Space Telescope, Astrophys. J. Suppl. Ser.

154, 458.

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:32-37

32

RELASIONAL PENGINDERAAN JAUH DENGAN PEMETAAN PENGADAAN TANAH

JALAN TOL TRANS JAWA

Wiweka Peneliti Bidang Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Inderaja, LAPAN

email:[email protected]

RINGKASAN

Pembangunan jalan tol Trans Jawa adalah untuk mendukung pusat pertumbuhan ekonomi, menghubungkan antar kawasan dan mengatasi kemacetan di daerah perkotaan. Lokasi pengadaan tanah jalan tol Trans Jawa adalah Cikampek - Palimanan, Kanci - Penjagan, Penjagan - Pemalang, Pemalang - Batang, Batang - Semarang, Semarang - Solo, Solo – Mantingan – Ngawi, Ngawi – Kertosono, Kertosono – Mojokerto, Mojokerto –Surabaya.

Konseptual pemetaan yang dikembangkan dan dioperasionalkan pada kajian ini adalah dengan membangun data spasial, informasi spasial, database spasial dan analisis spasial. Kegiatan pemetaan terestrial dikombinasikan dengan penginderaan jauh plus data sekunder memfokuskan luasan persil rata-rata yang dimiliki pemilik tanah yang terkena rencana jalan tol trans Jawa.

Dalam kajian ini pembahasan lebih ditekankan pada pemanfaatan penginderaan jauh sebagai perangkat pemantau perubahan informasi spasial dan identifikasi kelas objek liputan lahan yang terkena pembebasan tol trans Jawa. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa kelas objek liputan lahan yaitu sawah merupakan kelas yang paling luas untuk dibebaskan bagi keperluan jalan tol trans Jawa. 1 PENDAHULUAN

Jalan tol merupakan kebutuhan vital untuk mendukung pembangunan ekonomi yang secara tidak langsung diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup penduduk. Ketersediaan jalan tol yang memenuhi standar pelayanan minimal yaitu andal, aman, akrab lingkungan dan efisien serta harga yang terjangkau merupakan bagian yang penting untuk menghasilkan produk dan jasa. Sehubungan dengan hal tersebut, sejak tahun 1990-an Pemerintah memberikan prioritas utama pada pembangunan sektor jalan tol.

Kegiatan/pembangunan jalan tol ber-potensi menimbulkan dampak lingkungan baik pada tahap pra konstruksi, konstruksi, dan operasi. Dalam tahap pra konstruksi misalnya, hal pertama yang dilakukan adalah pengadaan tanah, yang harus diperhatikan adalah jalur geometrik jalan tol, pajak dan kepemilikan tanah, fungsional penggunaan lahan, dan kekinian ekonomi. Jalan tol trans Jawa akan memanfaatkan lahan terbangun yang akan

menghasilkan perubahan tata guna tanah dan lingkungan, perlakuan pemberdayaan lingkungan lahan terbangun diutamakan kepada masyarakat pemilik lahan. Perlakuan yang diperhatikan adalah administratif dan keberlanjutan kelangsungan kehidupan pemilik lahan terbangun. Kesempurnaan dan kelengkapan administrasi lahan terbangun bagi masyarakat yang terkena pembebasan tanah merupakan kebutuhan utama dalam pengadaan tanah jalan tol. Keluaran administrasi pengadaan tanah adalah data spasial dan non spasial, yaitu peta bidang tanah dan daftar inventarisasi. Analisis data spasial ini dapat digunakan sebagai dasar pembayaran instansi yang memerlukan tanah setelah ada kesepakatan dalam musyawarah dengan para pemilik tanah dan atau penetapan harga ganti rugi oleh pejabat berwenang, hal ini sesuai dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Jo Perpres Tahun 2006 mengenai pengadaan tanah.

Untuk meningkatkan kepastian administrasi dari nilai kuantitatif data spasial

Relasional Penginderaan Jauh dengan Pemetaan Pengadaan ….. (Wiweka)

33

tersebut dan menegakkan aturan yang ada (Madya Wiantoko et al., 2008; Alam S. I., 2001), Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Jo Perpres Tahun 2006 mengenai pengadaan tanah, perlu dilakukan pemetaan unit spasial terkecil dari jalur rencana rute jalur tol trans Jawa. Konseptual pemetaan yang dikembangkan dan dioperasionalkan pada penelitian ini adalah dengan membangun data spasial, informasi spasial, database spasial dan analisis spasial. Kegiatan pemetaan terestrial dikombinasikan dengan penginderaan jauh plus data sekunder memfokuskan luasan persil rata-rata yang dimiliki pemilik tanah yang terkena rencana jalan tol trans Jawa.

Agar hasil pemetaan dapat berjalan dengan standar kualitas dan dengan ketepatan spasial dan non spasial yang akurat, serta dapat diketahui secara cepat, maka perlu diintegrasi-kan ke dalam manajemen sub sistem pengadaan bidang tanah dengan dibenamkan ke dalam sistem informasi geografi. Sistem ini dikembangkan menggunakan sistem komputer yang berbasiskan knowledge sehingga apabila diperlukan segera mengenai informasi spasial bidang persil yang dibebaskan akan dapat diketahui secara cepat, dan akurat juga dapat diperkirakan dengan nilai ganti rugi, kepemilikan bidang, NJOP bidang/persil, luas bidang/ persil, dan jenis penggunan lahan di atas bidang/persil tersebut (Madya Wiantoko et al., 2008; Purwanto H., 2007), serta perkiraan dampak jalan tol pengaruhnya terhadap baku mutu lingkungan. Dalam makalah ini pembahasan lebih ditekankan pemanfaatan penginderaan jauh sebagai perangkat pemantau perubahan informasi spasial dan perencanaan geometrik jan tol trans Jawa.

2 PENGADAAN TANAH JALAN TOL TRANS JAWA

Tujuan pembangunan jalan tol Trans Jawa adalah mendukung pusat pertumbuhan ekonomi, menghubungkan antar kawasan dan mengatasi kemacetan di daerah perkotaan. Lokasi Pengadaan Tanah Jalan Tol Trans Jawa

adalah Cikampek - Palimanan, Kanci - Penjagan, Penjagan - Pemalang, Pemalang - Batang, Batang - Semarang, Semarang - Solo, Solo – Mantingan – Ngawi, Ngawi – Ketosono, Kertosono – Mokokerto, Mojokerto–Surabaya. Jalan Tol Trans Jawa (Gambar 2-1) ini melintasi 3 provinsi yaitu Jawa barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, lintasan jalur utara dan jalur tengah mendominasi kegiatan pemetaan ini.

Untuk pengadaan tanah 10 (sepuluh)

ruas jalan sepanjang 661.62 km ini, tanah

masyarakat yang akan digunakan memiliki

properti masing-masing yaitu legalitas, fungsional

dan kepentingan. Pengertian legalitas berkaitan

dengan surat tanah dan pajak bumi bangunan.

Arti fungsional adalah pemanfaatan tata guna

tanah di atas lahan seperti sawah, tegalan,

kebun, permukiman (Jensen, J. R., 1996; JARS,

1993). Maksud kepentingan adalah tanah

tersebut memiliki nilai produktif atau tidak

sebagai sumber utama kehidupan masyarakat.

Dalam rangka memenuhi peningkatan

kebutuhan akan ruas jalan tol khususnya di

pulau Jawa sesuai dengan kebijaksanaan

pemerintah serta untuk meningkatkan laju

perekonomian dan sosial masyarakat, maka

pemetaan pengadaan tanah jalan tol ini

merupakan kegiatan pra konstruksi dalam

rangka menginventarisasi dan mengidentifikasi

objektivitas kepemilikan lahan

Namun demikian setiap kegiatan

pembangunan termasuk pembangunan di

bidang Jalan Tol Trans Jawa berpotensi

menimbulkan dampak terhadap lingkungan

khususnya mayarakat pemilik lahan terbangun.

Dampak terhadap lingkungan dapat terjadi

pada tahap pra konstruksi, tahap konstruksi

dan tahap operasi. Salah satu dampak pada

tahap pra konstruksi adalah saat proses

konversi kepemilikan lahan terbangun dari

masyarakat ke pemerintah, diperlukan

manajemen administrasi pertanahan yang andal

dan teliti. Hal itu diperlukan dalam rangka

memberikan kepastian antara kedua belah

pihak pada saat proses pengadaan tanah.

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:32-37

34

Gambar 2-1: Peta rencana jalan tol trans Jawa

Adapun panjang masing-masing ruas jalan tol tersebut adalah :

1. Cikampek – Palimanan (116,00 km) 2. Kanci – Penjagan (34,00 km) 3. Pejagan – Pemalang (57,50 km) 4. Pemalang – Batang (39,00 km) 5. Semarang – Batang (75,00 km) 6. Semarang – Solo (75,10 km) 7. Solo – Mantingan – Ngawi (90,10 km) 8. Ngawi – Kertosono (87,02 km) 9. Kertosono – Mojokerto (41,00 km) 10. Surabaya – Mojokerto (37,00 km) 3 PENGEMBANGAN PEMETAAN

PENGADAAN TANAH

Pengkajian atau pengembangan pemetaan

jalan tol trans Jawa dapat dibagi dalam kegiatan:

- Input Data :

Yaitu memasukkan data spasial dan non

spasial yang dapat menghasilkan informasi

spasial mengenai lokasi pengadaan tanah jalan

tol trans jawa.

- Proses Pengolahan:

Proses pengolahan adalah memisahkan

informasi spasial menjadi sejumlah layer

sesuai kriteria perancangan standar yang ada.

Dalam tahap ini juga termasuk kegiatan

validasi dan verifikasi.

- Output Penyajian:

Output adalah peta bidang/persil pengadaan tanah termasuk metadata, yang dapat tersaji dalam bentuk hardcopy dan softcopy.

Penjelasan secara garis besar 3 (tiga) hal di atas terbagi dalam kegiatan:

Akuisisi DATA SPASIAL berupa Peta dijital terdiri atas Peta Rupa Bumi produk BAKOSURTANAL, Peta NJOP-PBB produk Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan, Peta Persil Tanah produk Badan Pertanahan Nasional, Peta Utilitas produk Dinas KIMPRASWIL, dan Citra Penginderaan Jauh dengan Resolusi Spasial Tinggi. Dalam hal akuisisi ini, hal yang harus diperhatikan adalah ketelitian geometris spasial dan non

Relasional Penginderaan Jauh dengan Pemetaan Pengadaan ….. (Wiweka)

35

spasial, skala, proyeksi, datum, sistem koordinat, citra terbaru, dan cloud coverage,

Standarisasi dan konversi format PETA-DATA SPASIAL ke format vektor. Pertukaran data spasial/geografis merupakan hal yang utama dalam kegiatan ini, untuk itu perlu dipilih perangkat lunak uang mampu mempertahankan kelengkapan informasi geografis, yaitu vektor, grafis dan teks,

Ekstraksi Citra Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi menjadi INFORMASI SPASIAL dalam format vektor,

Penggabungan hasil konversi peta digital dan ekstraksi Citra Penginderaan Jauh menjadi DATABASE SPASIAL. Database spasial ini tergantung atas layer, struktur data, kodifikasi data, dan harus memenuhi persyaratan Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN),

Verifikasi dan supervisi DATABASE SPASIAL ke lokasi rencana jalan tol TRANS JAWA. Kepastian hasil proses laboratorium yaitu informasi bidang persil tanah perlu dilakukan pengecekan lapangan/ground truth dengan membawa alat pengukur posisi dan daftar tabular/inventarisasi,

Querry peta bidang persil pengadaan tanah jalan tol berdasarkan ANALISIS SPASIAL,

Pembuatan perangkat lunak sintesa pemantauan pengadaan tanah. Berdasarkan masukan data spasial. Pembuatan software yang dilakukan dengan memadukan hasil database dan analisa yang dibutuhkan menggunakan program komputer. Dari software yang dirancang apabila kita input hasil pemetaan, maka akan melakukan proses analisa, perhitungan, penyajian tertentu untuk mendapatkan lokasi dan informasi konten pengadaan bidang/persil tanah.

Keseluruhan 7 (tujuh) sub kegiatan, dapat diringkas menjadi diagram alir pada Gambar 3-1. Citra penginderaan jauh (Alam S. I., 2001; Purwanto H., 2007) sebagai salah satu unsur yang digunakan dalam pemetaan pengadaan tanah jalan tol trans Jawa, fungsi utamanya menjadi basis, orientasi, informasi tematik spasial untuk kelancaran manajemen institusi pengadaan tanah jalan tol trans Jawa.

Gambar 3-1: Diagram pemetaan pengadaan tanah jalan tol trans Jawa

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 1 Maret 2009:32-37

36

4 HASIL PENGINDERAAN JAUH DALAM IDENTIFIKASI KELAS OBJEK

Informasi spasial kelas liputan lahan

untuk perkiraan keperluan ganti rugi pengadaan

tanah jalan tol trans Jawa mensyaratkan skala

rencana, karena berkaitan dengan geometrik

kelas objek yang umumnya dimiliki masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka dapat

digunakan citra yang memiliki resolusi spasial

di bawah 30 m. Eksperimen kajian ini

menggunakan data penginderaan jauh

LANDSAT tahun 2003 dan peta tematik

penggunaan lahan milik Instalasi Pengolahan

Data, Pusat Pemanfaatan dan Pengembangan

Teknologi Penginderaan Jauh, Kedeputian

Penginderaan Jauh LAPAN serta peta rencana

trase jalan tol trans Jawa. Pada eksperimen ini

diasumsikan lebar badan jalan 200 m, dari hasil

penggabungan kedua peta tersebut dapat

dilihat pada Gambar 4-1, ekstraksi informasi

spasial yang dihasilkan pada Tabel 4-1.

Tabel 4-1: HASIL EKSTRAKSI INFORMASI

SPASIAL

Landuse Luas (ha)

P. Kampung 122202.26 H. Primer 195.132

Air 3630.962 Tambak 126002.216 P. Kota 215541.935 Belukar 691661.555

Perkebunan 1684204.315 Sawah 5066486.402

Berbagai objek liputan lahan yaitu

tambak, air, semak belukar, hutan primer,

perkebunan, permukiman kampung, permukiman

perkotaan, dan sawah yang akan terkena

kegiatan rencana jalan tol trans Jawa.

Gambar 4-1: Peta tematik rencana trase jalan tol trans Jawa

Relasional Penginderaan Jauh dengan Pemetaan Pengadaan ….. (Wiweka)

37

Gambar 4-2: Grafik luasan objek yang terkena jalan tol trans Jawa

Berdasarkan Gambar 4-2, objek liputan

lahan sawah merupakan objek yang paling terkena dampak akibat rencana kegiatan jalan tol trans Jawa. Sejumlah perkebunan, semak belukar akan dibebaskan untuk kepentingan kegiatan ini. Pengolahan informasi spasial ini masih memerlukan evaluasi, kontrol dan akurasi di lapangan, maka tindak lanjutnya adalah melakukan kerjasama dengan berbagai insitusi seperti BPN, Dinas Pertanahan Kabupaten, dan Departemen Pekerjaan Umum.

5 KESIMPULAN

Untuk keperluan kegiatan pengadaan tanah jalan tol trans Jawa, data penginderaan jauh LANDSAT dapat digunakan untuk ekstraksi informasi spasial taraf recognaisance. Penggunaan data penginderaan jauh resolusi lebih tinggi dapat membantu mengekstraksi informasi spasial lebih detil dan ragam, pilihannya adalah Quick Bird, Orb View, Ikonos dan lain lain.

Pengembangan ekstraksi informasi spasial untuk tujuan pengadaan tanah jalan tol trans Jawa perlu dilakukan kombinasi segmentasi berorientasi objek, ruang warna, bentuk, serta kekasaran dalam pengkelasan objek liputan lahan, agar hasil delineasi batas kelas liputan lahan lebih teliti.

DAFTAR RUJUKAN

Alam, S, I, 2001. Pembumian Bidang Tanah

Melayang dengan Memanfaatkan Peta Foto,

Tesis, Magister Teknik Geodesi, ITB,

Bandung.

JARS, 1993. Remote Sensing Note, Japan

Association on Remote Sensing, Nihon

Printing Co. Ltd, Japan.

Jensen, J. R., 1996. Introductory Digital Image

Processing, Prentice-Hall, Engle, Singapore.

Madya Wiantoko, Bambang Edhi Leksono,

Albert Deliar, 2008. Identifikasi Perubahan Objek Bangunan Memanfaatkan Citra Quickbird Untuk Pemeliharaan Data Objek Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Di Kelurahan Sarijadi Kota Bandung).

Pertemuan Ilmiah Tahunan Mapin XIV

Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh

Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa.

Pohl, C., 1996. Geometric Aspects of Multisensor Image Fusion For Topographic Map Updating

in The Humid Tropics, Ph.D Dissertation,

ITC Publication No. 39 ITC.

Purwanto, H., 2007. Kajian Penggunaan Citra Quickbird Ditinjau dari Aspek Geometrik untuk Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran

Tanah, Tesis, Magister Teknik Geomatika,

Universitas Gadjah Mada.

PEDOMAN BAGI PENULIS

BERITA DIRGANTARA

Berita Dirgantara adalah majalah ilmiah semi populer bersifat nasional untuk pemasyarakatan hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah di bidang sains dan teknologi dirgantara, termasuk analisis dan informasi kedirgantaraan yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sifat semi populer berarti istilah teknis dijelaskan secara lebih populer dan tidak menggunakan rumus-rumus, kecuali rumus sederhana yang mudah difahami awam. Gambar dan ilustrasi yang lebih menjelaskan isi karya tulis ilmiah sangat diharapkan.

Berita Dirgantara mengundang para penulis untuk mengirimkan naskah atau karya asli hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah yang belum dipublikasikan atau dikirimkan ke media publikasi manapun. Naskah yang dikirim akan dievaluasi Dewan Penyunting dari segi keaslian (orisinalitas), kesahihan (validitas) ilmiah, dan kejelasan pemaparan. Penulis berhak menanggapi hasil evaluasi. Dewan Penyunting berhak menyempurnakan naskah tanpa mengurangi isi/maknanya. Naskah yang tidak dimuat, dikembalikan kepada penulis dengan alasan penolakannya. Penulis yang naskahnya dimuat mendapat 3 eksemplar dari nomor yang diterbitkan. Bagi naskah yang ditulis kolektif, hanya disediakan 2 eksemplar untuk masing-masing penulis.Ketentuan bagi penulis pada Berita Dirgantara ini adalah sebagai berikut.

a. Pengiriman naskah

Naskah dikirim rangkap 4 (empat), ditujukan ke Sekretariat Dewan Penyunting Berita Dirgantara dengan alamat, Bagian Publikasi dan Promosi LAPAN Jalan Pemuda Persil No. 1, Jakarta Timur 13220. Naskah diketik dengan MS Word dengan New Times Roman font 12 pt pada kertas A4 dengan spasi ganda. Khusus untuk judul naskah ditulis huruf besar dengan font 16 pt. Penulis yang naskahnya diterima untuk dipublikasikan, diminta menyerahkan file dalam disket, atau dikirim melalui e-mail ke Sektetariat Dewan Penyunting ([email protected]).

b. Sistematika penulisan

Naskah terdiri dari halaman judul dan isi karya tulis ilmiah. Halaman judul berisi judul yang ringkas tanpa singkatan, nama (para) penulis tanpa gelar, instansi/perguruan tinggi, dan e-mail penulis utama. Halaman isi karya tulis ilmiah terdiri dari (a) judul, (b) ringkasan dalam bahasa Indonesia tidak lebih dari 200 kata dan tersusun dalam satu alinea, (c) batang tubuh naskah yang terdiri dari 1. Pendahuluan, 2. Bab-bab bahasan, 3. Kesimpulan, dan (d) daftar rujukan.

c. Gambar dan Tabel

Gambar atau foto harus dapat direproduksi dengan tajam dan jelas. Gambar atau foto warna hanya diterima dengan pertimbangan khusus. Gambar dan tabel dapat dimasukkan dalam batang tubuh atau dalam lampiran tersendiri. Untuk kejelasan penempatan dalam jurnal, gambar dan tabel harus diberi nomor sesuai nomor bab dan nomor urut pada bab tersebut, misalnya Gambar 2-2 atau Tabel 2-1 yang disertai keterangan singkat gambar dan judul dari tabel yang bersangkutan.

d. Persamaan, Satuan, dan Data Numerik

Persamaan sederhana diketik atau ditulis tangan (untuk simbol khusus) dan diberi nomor di sebelah kanannya sesuai nomor bab dan nomor urutnya, misalnya persamaan (1-2). Satuan yang digunakan adalah satuan internasional (CGS atau MKS) atau yang lazim pada cabang ilmunya. Data numerik menggunakan ejaan Bahasa Indonesia dengan menggunakan koma untuk angka desimal.

e. Rujukan

Rujukan di dalam naskah ditulis dengan (nama, tahun) atau nama (tahun), misalnya (Hachert and Hastenrath, 1986). Lebih dari dua penulis ditulis “et al.”, misalnya Milani et al. (1987). Daftar rujukan hanya mencantumkan makalah/buku atau literatur lainnya yang benar-benar dirujuk di dalam naskah. Daftar rujukan disusun secara alfabetis tanpa nomor. Nama penulis ditulis tanpa gelar, disusun mulai dari nama akhir atau nama keluarga diikuti tanda koma dan nama kecil, antara nama-nama penulis digunakan tanda titik koma. Rujukan tanpa nama penulis, diupayakan tidak ditulis ‘anonim’, tetapi menggunakan nama lembaganya, termasuk rujukan dari internet. Selanjutnya tahun penerbitan diikuti tanda titik. Penulisan rujukan untuk tahun publikasi yang sama (yang berulang dirujuk) ditambahkan dengan huruf a, b, dan seterusnya di belakang tahunnya. Rujukan dari situs web dimungkinkan dengan menyebutkan tanggal pengambilannya. Secara lengkap contoh penulisan rujukan adalah sebagai berikut.

Escuider, P. 1984. Use of Solar and Geomagnetic Activity for Orbit Computation in Mountenbruck (Ed.). Solar Terrestrial Predictions: Proceeding of a workshop at Meudon, France, June 12

Hachert, E.C.and S. Hastenrath, 1986. Mechanisms of Java Rainfall Anomalies, Mon Wea. Rev., 114, 745-757

Milani, A; Nobili, A.M.; and P. Farinella, 1987. Non-gravitational Perturbations and Satellite Geodesy, Adam Higler Bristol Publishing, Ltd

UCAR, 1999. Orbital Decay Prediction, http://windows.ucar.edu, download September 2004