DAKWAH DI SARANG KRIMINALITAS: STUDI KASUS DI KAMPUNG BETING KOTA PONTIANAK KALIMANTAN BARAT

46
1 DAKWAH DI SARANG KRIMINALITAS: STUDI KASUS DI KAMPUNG BETING KOTA PONTIANAK KALIMANTAN BARAT 1 Oleh: Zulkifli Abdillah, MA (IAIN Pontianak; [email protected]) Abstrak: Kampung Beting yang berada di Kota Pontianak merupakan kawasan yang unik dan menyeramkan. Perkampungan yang lahir bersamaan dengan berdirinya Kesultanan Pontianak ini sekarang terkenal sebagai pusat kriminalitas. Namun sangat disayangkan hampir tidak ada upaya dakwah yang terstruktur dan sistematis untuk membantu masyarakat Kampung Beting agar bisa keluar dari kondisinya seperti sekarang. Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan teori struktural fungsional, diketahui bahwa banyak faktor yang saling memengaruhi satu dengan yang lainnya untuk melakukan perubahan sosial. Faktor- faktor tersebut adalah: (1) Tingkat ekonomi masyarakat yang rendah atau kemiskinan; (2) Tingkat pendidikan masyarakat rendah; (3) Kehilangan figur pemimpin atau tokoh yang kuat; (4) Pemanfaatan budaya masyarakat secara negatif; (5) Adanya kepentingan pihak luar; dan (6) Pengaruh lingkungan. Namun, di sisi lain terdapat juga beberapa institusi yang berupaya mempertahankan struktur masyarakat agar tidak berubah. Beberapa institusi tersebut adalah keluarga, lembaga pendidikan TPA (Taman Pendidikan Al-Quran), para guru mengaji dan kelompok pengajian serta majelis taklim. Untuk mengembalikan Kampung Beting sebagai wilayah yang bebas dari berbagai bentuk kriminalitas, ada tiga upaya sebagai bentuk dakwah kontekstual yang bisa dilakukan, yaitu penguatan institusi, intervensi pihak luar, dan revitalisasi budaya. ------------------------------------------------------- -------------------------------------------- Abstract: 1 Artikel dipresentasikan dalam “The 14 th Annual International Conference on Islamic Studies”, Balikpapan, East Kalimantan, Indonesia, November 21-24, 2014.

Transcript of DAKWAH DI SARANG KRIMINALITAS: STUDI KASUS DI KAMPUNG BETING KOTA PONTIANAK KALIMANTAN BARAT

1

DAKWAH DI SARANG KRIMINALITAS: STUDI KASUS DI KAMPUNG BETING KOTA PONTIANAK KALIMANTAN

BARAT1

Oleh: Zulkifli Abdillah, MA(IAIN Pontianak; [email protected])

Abstrak:

Kampung Beting yang berada di Kota Pontianak merupakankawasan yang unik dan menyeramkan. Perkampungan yanglahir bersamaan dengan berdirinya Kesultanan Pontianakini sekarang terkenal sebagai pusat kriminalitas. Namunsangat disayangkan hampir tidak ada upaya dakwah yangterstruktur dan sistematis untuk membantu masyarakatKampung Beting agar bisa keluar dari kondisinya sepertisekarang. Berdasarkan hasil penelitian denganmenggunakan teori struktural fungsional, diketahuibahwa banyak faktor yang saling memengaruhi satu denganyang lainnya untuk melakukan perubahan sosial. Faktor-faktor tersebut adalah: (1) Tingkat ekonomi masyarakatyang rendah atau kemiskinan; (2) Tingkat pendidikanmasyarakat rendah; (3) Kehilangan figur pemimpin atautokoh yang kuat; (4) Pemanfaatan budaya masyarakatsecara negatif; (5) Adanya kepentingan pihak luar; dan(6) Pengaruh lingkungan. Namun, di sisi lain terdapatjuga beberapa institusi yang berupaya mempertahankanstruktur masyarakat agar tidak berubah. Beberapainstitusi tersebut adalah keluarga, lembaga pendidikanTPA (Taman Pendidikan Al-Quran), para guru mengaji dankelompok pengajian serta majelis taklim. Untukmengembalikan Kampung Beting sebagai wilayah yang bebasdari berbagai bentuk kriminalitas, ada tiga upayasebagai bentuk dakwah kontekstual yang bisa dilakukan,yaitu penguatan institusi, intervensi pihak luar, danrevitalisasi budaya.---------------------------------------------------------------------------------------------------

Abstract:

1 Artikel dipresentasikan dalam “The 14th Annual InternationalConference on Islamic Studies”, Balikpapan, East Kalimantan, Indonesia,November 21-24, 2014.

2

Kampung Beting located in Pontianak City is an area of unique andcreepy. Kampung Beting which was born with the establishment of theSultanate of Pontianak is now known as a center of crime. Unfortunatelyalmost no effort is structured and systematic propaganda (dakwah) tohelp people of Kampung Beting to get out of the condition as it is now.Based on the results of research using the structural-functional theory, it isknown that many factors interplay with each other to make social change.These factors are: (1) a low level of public economics or poverty; (2) the lowlevel of public education; (3) Loss of a figure or figures strong leader; (4)Utilization of a negative culture; (5) The interest of outside parties; and (6)environmental effects. However, on the other hand there are also someinstitutions that seek to maintain the structure of society that has notchanged. Some of these institutions are the family, educationalinstitutions TPA (Taman Pendidikan Al-Quran), the tutor (guru mengaji Al-Quran) and study groups (kelompok pengajian) and Majelis Taklim. Torestore the village of Shelf as an area that is free from all forms ofcriminality, there are three attempts as a form of contextual propagandathat can be done, namely the empowering of institutions, externalinterventions, and cultural revitalization.

Kata-kata Kunci: Kampung Beting, Kriminalitas,Struktural Fungsional, Dakwah Kontekstual.

A. Pendahuluan

Stigma Kampung Beting yang berada di wilayah

Kelurahan Dalam Bugis Kota Pontianak dikenal sebagai

daerah yang “menyeramkan” telah dimulai sejak dua

dasawarsa yang lalu. Kampung Beting ini dulunya

merupakan daerah yang sangat penting, mengingat di

daerah inilah cikal bakal berdirinya kesultanan dan

sekaligus kota Pontianak. Oleh karena itu, hingga saat

ini di daerah tersebut masih berdiri kokoh Keraton

Kesultanan Kadariah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman

Pontianak. Wilayah yang tentunya menyimpan banyak

1

3

sejarah. Di samping memiliki aspek historis, wilayah

ini memiliki keunikan tersendiri. Sisi yang teramat

unik dari kampung ini sebagaimana ditulis oleh Harian

Kompas adalah tempat berpadunya kebaikan dan kejahatan.

Meskipun demikian stereotype negatif tentang kampung ini

tetap melekat di hampir sebagian besar warga kota

Pontianak. Ada yang menyebut kampung ini sebagai Texas-

nya kota Pontianak, ada juga yang menyamakannya seperti

kawasan Bronx di Kota New York. Bukan hanya warga

Pontianak saja yang mengenalnya, bahkan terkenal

hingga ke Mabes Polri. Setiap Kapolda baru yang

menjabat selalu mendapatkan pesan dari pendahulunya

untuk menangani tindak kriminalitas di wilayah ini

dengan cermat.

Satu hal yang menjadikan Kampung Beting begitu

terkenal “menyeramkan” adalah tindak kriminalitas di

kawasan ini sangat tinggi, terutama yang berkaitan

dengan narkoba, penularan HIV/AIDS, perjudian dan

pencurian. Transaksi penjualan narkotika dan

penampungan barang-barang hasil curian merupakan

aktivitas yang lazim di kawasan ini. Berdasar data

Direktorat Reserse Narkoba Polda Kalbar2 menunjukkan

tingginya angka kasus penyalahgunaan narkoba di Kalbar

terjadi di kawasan Kampung Beting. Pada 2008, dari 233

kasus terdapat 16,3 % terjadi di kawasan Kampung Beting

yakni 36 kasus. Selanjutnya pada 2009, dari 200 kasus

2 Sebagaimana dilansir oleh Harian Equator edisi 14 Agustus2011.

4

terdapat 12% terjadi di kawasan Beting yakni 24 kasus.

Pada 2010 dari 230 kasus terdapat 16,58 % yakni 38

kasus. Kemudian pada Januari-Juli 2011, dari 125 kasus

terdapat 21 kasus. Sementara diamankan 103 tersangka

dari 2008 hingga 2010. Di mana 60 % tersangka yang

diamankan tidak memiliki pekerjaan tetap, masih berusia

produktif dengan 55 % latar belakang pendidikan tamatan

SMA.

Menariknya, disamping menjadi pusat kriminalitas,

aktivitas spiritual dan religius berkembang dengan

cukup baik di kawasan ini. Kebersamaan dan rasa sosial

yang begitu kuat dan tinggi antar masyarakat setempat

tercermin dalam aktivitas kehidupan sehari-hari mereka.

Sejumlah tokoh agama dan kelompok pengajian tetap

bertahan dan beraktivitas di samping terus

berlangsungnya aktivitas kriminalitas. Fenomena ini

sangat menarik untuk dikaji khususnya jika dikaitkan

dengan teori struktural fungsional khususnya dalam

perspektif ilmu antropologi sosial budaya.

Realitas tentang Kampung Beting sebagaimana

tergambar dari data-data di atas menuntut adanya

perhatian serius dari semua pihak untuk melakukan

upaya-upaya mengembalikan masyarakat ke kehidupan yang

lebih positif, khususnya melalui pendekatan keagamaan.

Tentunya upaya-upaya tersebut harus bertolak dari

kajian yang mendalam untuk memahami muara dan akar dari

semua persoalan kemasyarakatan di Kampung Beting

5

tersebut. Pemahaman yang tepat dan mendalam mengenai

muara dan akar masalah sosial kemasyarakatan itu

dimaksudkan agar solusi yang ditawarkan benar-benar

efektif dan efisien. Dari titik inilah, tulisan ini

disusun sebagai hasil penelitian lapangan.

Dengan menggunakan perspektif teori struktural

fungsional, penelitian difokuskan pada faktor-faktor

penyebab perubahan sosial yang terjadi di masyarakat

Kampung Beting. Teori ini digunakan karena perubahan

yang terjadi di Kampung Beting bersifat lambat, tidak

revolusioner. Kemudian hal-hal yang memicu perubahan

sosial tersebut terdiri dari beberapa faktor yang

antara satu dengan yang lainnya saling memengaruhi.

Perubahan sosial di Kampung Beting, sebagaimana

dipaparkan di atas, dimulai sejak dua dasawarsa yang

lalu, yaitu pada awal tahun 1990-an. Karena masalah

sosial begitu luas, maka penelitian ini dibatasi hanya

pada perubahan sosial yang berkaitan dengan

perkembangan kriminalitas yang terjadi di Kampung

Beting.

Perlu penulis jelaskan bahwa yang dimaksud dengan

Kampung Beting dalam penelitian ini adalah salah satu

perkampungan di dalam wilayah administratif Kelurahan

Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur Kota Pontianak

Provinsi Kalimantan Barat. Nama Kampung Beting adalah

nama yang diberikan oleh masyarakat terhadap sebuah

daerah berbentuk tanjung yang merupakan daerah

6

pertemuan Sungai Landak dengan Sungai Kapuas. Wilayah

ini secara administratif dikenal dengan nama Tanjung

Pulau.

Dalam penelitian yang telah dilakukan, ada empat

persoalan pokok yang dikaji, yaitu: (1) Keadaan Kampung

Beting terkini; (2) Proses perubahan sosial yang

terjadi di masyarakat Kampung Beting; (3) Faktor-faktor

yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial di

masyarakat Kampung Beting; dan (4) Upaya-upaya yang

dilakukan oleh masyarakat agar Kampung Beting tetap

bertahan seperti kondisinya semula yang tidak

terkontaminasi oleh kriminalitas.

Setelah empat hal tersebut teruraikan secara jelas

dalam penelitian maka penulis merekomendasikan beberapa

solusi alternatif pemecahan masalah-masalah sosial yang

dihadapi oleh masyarakat sebagai bagian dari upaya

dakwah yang kontekstual dengan kondisi Kampung Beting.

Selain bermanfaat untuk membawa masyarakat Kampung

Beting keluar dari masalah-masalah sosial khususnya di

bidang kriminalitas, penelitian ini juga diharapkan

dapat bermanfaat bagi kelompok masyarakat lain yang

memiliki masalah serupa dalam mengatasi masalahnya

masing-masing. Artinya, solusi sosial bagi masyarakat

Kampung Beting ini dapat menjadi model bagi kelompok

masyarakat lain dalam mengatasi masalah sosialnya.

Tentu saja nilai transferabilitasnya sangat terkait

7

dengan adanya kedekatan atau kesamaan pola dan situasi

yang ada antara Kampung Beting dengan daerah lainnya.

B. Metode Penelitian

Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan

pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan

karena masalah yang dikaji bersifat holistik, kompleks,

dinamis dan penuh makna. Di samping itu, penulis

sebagai peneliti berupaya memahami situasi sosial

secara mendalam, dengan sudut pandang dari subyek

penulis sendiri. Instrumen utama penelitian adalah

penulis sendiri. Sumber data penelitian terdiri dari

sejumlah informan dan beberapa dokumen berupa kliping

koran dan dokumen rencana peremajaan Kampung Beting.

Informan yang diwawancarai berjumlah sebelas orang.

Teknik pengumpulan data adalah wawancara mendalam,

observasi partisipasi pasif dan studi dokumentasi.

Analisis data menggunakan pola yang digunakan oleh

Miles dan Huberman yaitu menggunakan model interaktif

melalui proses pengumpulan data, reduksi data,

pemaparan data, dan verifikasi. Uji kredibilitas data

menggunakan metode meningkatkan ketekunan, triangulasi,

dan diskusi dengan teman sejawat.

C. Seputar Teori Struktural Fungsional

Telah disebutkan di atas bahwa penelitian

menggunakan teori struktural fungsional sebagai pisau

8

analisis atas perubahan sosial yang terjadi di Kampung

Beting. Oleh karena itu, di bagian ini secara khusus

akan dijelaskan sekilas tentang teori ini. Dari

perspektif sejarahnya, teori struktural-fungsional yang

diterapkan dalam sosiologi ataupun antropologi sosial

budaya dipinjam secara langsung dan dibangun dengan

menganalogikan pada konsep ilmu biologi. Dalam ilmu

biologi, suatu organisme dipadang sebagai struktur yang

tersusun dari bagian-bagian yang memiliki fungsi

sendiri namun memiliki keterkaitan yang tak

terpisahkan. Jika suatu bagian dari sistem organisme

itu terganggu fungsinya, maka akan memengaruhi bagian

lain.3 Menurut Vago struktur adalah:

The various parts of the social system. In the case of society, theprincipal structures are usually considered to be the societies’institutions—family, government, economic system, religion, andeducation—and the analysis focus on the interrelations among theseinstitutions”.4

Ini bermakna bahwa struktur adalah berbagai macam

bagian dari sistem sosial. Dalam konteks masyarakat,

stuktur-struktur yang dasar selalu mengacu pada

institusi-institusi masyarakat seperti keluarga,

pemerintah, sistem ekonomi, agama dan pendidikan,

dengan fokus analisisnya pada interrelasi antar

berbagai institusi tersebut. Setiap struktur dan3 David Kaplan & Albert A. Manners, Teori Budaya, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2000, hal. 77-78; Pip Jones, Pengantar Teori-teoriSosial dari Fungsionalisme Hingga Post-modernisme. Jakarta: YayasanPustaka Obor Indonesia Jones, 2010, hal. 53.

4 Steven Vago, Social Change. Fourth Edition. New Jersey:Prentice Hall, 1999, hal. 59.

9

masing-masing bagian di dalam struktur yang lebih besar

disusun untuk memiliki suatu fungsi membantu masyarakat

dalam menjalankan dan menjaganya agar tetap utuh.

Dalam pandangan teori fungsionalisme struktural,

kebudayaan dimaknai sebagai keterkaitan antara

subsistem kebudayaan yang menghasilkan sesuatu yang

lain. Misalnya, keterkaitan struktur sosial dengan

kebudayaan pada suatu masyarakat tertentu. Kebudayaan

terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi

abstrak tentang jagat raya yang berada di balik

perilaku manusia yang tercermin dalam perilakunya.

Semuanya dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, dan

apabila seseorang berbuat sesuai dengan nilai-nilai

tersebut maka perilaku mereka dianggap dapat diterima

oleh masyarakat itu. Kebudayaan dipelajari melalui

sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis, dan

unsur-unsur kebudayaan berfungsi sebagai suatu

keseluruhan yang terpadu.5

Dari segi metodologi, menurut Nur Syam6 metode

penelitian sosial pada umumnya dapat digunakan untuk

mengkaji antropologi fungsional ini. Aliran

fungsionalisme sinonim dengan analisis sosiologis dan

antropologis, demikian pendapat Kingsley Davis. Aliran

ini tidak memiliki suatu metode khusus sebagai khasnya.

Untuk mengkaji hubungan fungsional subsistem kebudayaan

5 Nur Syam, Mazhab-mazhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS, 2007,hal. 37.

6 Ibid.,hal. 39-41.

10

dengan lainnya dapat digunakan metode-metode penelitian

sosial pada umumnya, seperti analisis hubungan budaya.

Hanya saja, ada titik tekan dari antropologi struktural

fungsional, yaitu pada kajian tentang budaya yang

bercorak sistemik. Artinya keterkaitan antara subsistem

satu dengan yang lainnya sangat kuat. Peneliti harus

mengeksplorasi ciri sistemik kebudayaan. Jadi harus

diketahui bagaimana pertalian antara institusi-

institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat

sehingga membentuk suatu sistem yang bulat. Jika

analisis struktural fungsional pada sosiologi cenderung

makro, maka analisis struktural fungsional pada

antropologi cenderung mikro. Jadi, unit analisisnya

adalah kasus di dalam lokus terbatas (desa, komunitas,

etnis, dan sebagainya).

Dalam tafsir para fungsionalis, fungsionalisme

adalah metodologi untuk mengeksplorasi saling

ketergantungan. Di samping itu, para fungsionalis

menyatakan pula bahwa fungsionalisme merupakan teori

tentang proses kultural. Selain berminat melacak cara

saling pertautan yang sangat bermacam ragam—dan sering

mengejutkan—antara unsur-unsur suatu budaya, banyak

fungsionalis berpandangan bahwa mereka telah

menciptakan sosok teori yang menjelaskan mengapa unsur-

unsur itu berhubungan secara tertentu, dan mengapa

11

terjadi pola budaya tertentu atau setidak-tidaknya

mengapa pola itu bertahan.7

Untuk lebih memahami makna teori struktural

fungsional, harus dipahami beberapa konsep dasar

seperti struktur, status dan peran, norma, nilai dan

istitusi serta fungsi. Berikut penjelasan Saifuddin8

tentang konsep-konsep dasar tersebut. Sebagaimana

namanya, struktural-funsionalisme memandang masyarakat

sebagai suatu sistem dari struktur-struktur sosial.

“Struktur” dalam hal ini adalah pola-pola nyata

hubungan atau interaksi antara berbagai komponen

masyarakat—pola-pola yang secara relatif bertahan lama

karena interaksi-interaksi tersebut terjadi dalam cara

yang kurang lebih terorganisasi. Pada tingkat yang

paling umum adalah masyarakat secara keseluruhan, yang

dapat sebagai struktur tunggal yang menaungi. Pada

tingkat di bawahnya adalah suatu rangkaian struktur-

struktur yang lebih mengkhusus yang saling berkaitan

untuk membentuk masyarakat, ibarat pilar-pilar sebuah

bangunan atau mengikuti istilah Durkheim, seperti

organ-organ dari organisme yang hidup. Setiap struktur

lapisan kedua ini dicirikan oleh spesialisasi tugas

lebih lanjut.

Dalam perpsektif struktural-fungsional, setiap

individu menempati suatu “status” dalam berbagai7 David Kaplan & Albert A. Manners, op.cit. hal. 77.

8 Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer SuatuPengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Kencana, 2006, hal. 156-161.

12

struktur masyarakat. Individu yang menempati suatu

status juga dianggap memiliki hak-hak dan kewajiban-

kewajiban tertentu, yang merupakan peranan dalam status

tersebut. Jadi status dan peranan cenderung bersama-

sama dalam apa yang disebut Parson sebagai “kumpulan

status dan peranan”. Oleh karena itu, struktur sosial

adalah saling keterkaitan status-status yang dihasilkan

apabila pelaku melaksanakan peranan yang dikenakan

dalam interaksi dengan yang lain. Jadi, apabila orang-

orang menempati status pekerja, pemilik, manajer, dan

status-status lainnya dalam masyarakat melaksnakan

peranan-perannya, maka kita akan mengetahui struktur

ekonomi atau pekerjaan dalam masyarakat tersebut.

Perspektif yang sama dapat digunakan untuk menandai

karakteristik struktur sosial berdasarkan pendidikan,

agama, dan lainnya yang membentuk masyarakat. Salah

satu aspek yang menyatukan dalam konsep mengenai

masyarakat adalah bahwa setiap individu dapat memiliki

status dan peranan dalam semua struktur ini pada saat

yang sama. Sebagai akibatnya, pelaku individu berada

dalam sejumlah struktur. Konsep tersebut memandang

individu terbagi-bagi menjadi beberapa peranan.

Di bawah label “struktur sosial” para struktural-

fungsionalis tak hanya memasukkan interaksi status-

peranan, tetapi juga aturan-aturan khusus dan

keyakinan-keyakinan umum, “norma” dan “nilai”, yang

mengatur interaksi-interaksi ini. Menurut para

13

struktural-fungsionalis norma dan nilai tersebut

bukanlah struktural, melaikan “kultural”, yang eksis

dalam berbagai ruang konseptual yang menyelimuti

struktur-struktur sosial. Dengan kata lain, norma dan

nilai sebenarnya adalah ide-ide atau simbol-simbol yang

berada dalam pikiran individu sebagai kode dan sanksi

bagi interaksi mereka.

Konsep pokok terakhir adalah gagasan tentang

“fungsi” itu sendiri. Bagi kebanyakan struktural-

fungsionalis, fungsi adalah suatu kegiatan yang harus

dilaksanakan dengan tingkat ketepatan tertentu apabila

ada pengelompokan sosial dan mempertahankan keanggotaan

kelompoknya. Untuk menjernihkan konsep “fungsi”,

Merton9 memperkenalkan pembedaan antar fungsi manifest dan

fungsi laten (fungsi tampak dan fungsi terselubung).

Fungsi manifest ialah “konsekuensi objektif yang

memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi

sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan

sistem tersebut”. Sebaliknya, fungsi laten adalah

konsekuensi objektif dari suatu ihwal budaya yang

“tidak dikehendaki maupun disadari” oleh warga

masyarakat. Jones10 menyatakan bahwa fungsi laten ini

lebih penting diidentifikasi untuk memahami fungsi dan

kebertahanan sistem sosial. Berikut adalah

karakteristik analisis fungsionalis:

9 David Kaplan & Albert A. Manners, op.cit. hal. 79; lihatjuga Steven Vago,op.cit.,hal. 59.

10 Pip Jones, op.cit., hal. 59.

14

Lebih memperhatikan efek suatu aktivitas atau

keyakinan, ketimbang unsur-unsur dasar penyusunnya:

lebih memperhatikan kerja dari aktivitas atau

keyakinan tersebut daripada unsur-unsur aktivitas atau

keyakinan.

Penekanan pada kebutuhan untuk keluar dari eksplanasi

warga masyarakat yang dikaji mengenai aktivitas

mereka untuk mengungkapkan signifikansi fungsional

yang sesungguhnya dari keyakinan dan perilaku yang

diinstitusionalisasi.

Untuk menjelaskan bagaimana perbedaan fungsi

manifest dan fungsi laten, berikut contoh analisis

Merton11 terkait dengan fungsi ritual hujan pada suku

Hopi. Ia menyatakan, apabila ditinjau dari fungsi

manifest bahwa upacara itu dimaknai sebagai upacara

untuk menurunkan hujan, namun ketika hujan tidak turun,

maka harus juga dianalisis dengan analisis fungsi laten

sebagai berikut, “bahwa upacara itu hakikatnya adalah

untuk memenuhi dan memperkokoh identitas kelompok

melalui suatu peristiwa periodik di kala banyak warga

etnis itu yang bekerja di tempat lain secara tersebar.

Untuk memahami perubahan sosial dalam konteks

struktural fungsional Van den Berghe12 menyebutkan

beberapa prinsip dasar pendekatan ini, yaitu:

1. Society must be analyzed “holistically as system of interrelatedparts”;

2. Cause and effect relations are “multiple and reciprocal”; 11 Nur Syam, op.cit., hal. 41.12 Steven Vago, op.cit, hal. 60-61.

15

3. Social system are in a state of “dynamic equilibrium” such thatadjustment to forces affecting the system is made with minimalchange within the system;

4. Perfect integration is never attained so that every social systemhas strains and deviations, but the latter tend to be neutralizedthrough institusionalization;

5. Change is fundamentally a slow, adaftive process, rather than arevolusionary shift;

6. Change is the consequence of the adjustment of change outsidethe system, growth by differentiation, and internal innovations;and

7. The system is integrated through shared values.

Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa

masyarakat harus dianalisis sebagai bagian-bagian yang

saling berhubungan dari sebuah sistem yang menyeluruh.

Sebab dan akibat dari hubungan tersebut beragam dan

saling timbal balik. Sistem sosial berada dalam suatu

keadaan “keseimbangan dinamis” yang disesuaikan

terhadap kekuatan efektif sistem yang dibuat dalam

perubahan minimal dalam sistem. Integrasi sempurna

tidak akan pernah tercapai hingga setiap sistem sosial

mengalami tekanan dan penyimpangan, dan selanjutnya

cenderung menjadi netral dan terintitusionalisasi.

Perubahan pada dasarnya besifat lamban, mengalami

proses penyesuaian, bukan perubahan yang bersifat

revolusioner. Perubahan adalah konsekuensi dari

penyesuaian atas perubahan yang terjadi di luar sistem,

berkembang dengan diferensiasi, dan inovasi internal.

Sistem adalah perpaduan nilai-nilai bersama.

16

D. Kampung Beting: Perubahan Sosial dan Faktor-faktor

Penyebabnya

Sebelum menjelaskan perubahan sosial yang terjadi,

terlebih dahulu dijelaskan secara singkat kondisi

Kampung Beting, yaitu dari aspek geografis, demografis,

ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan lingkungan

fisik. Telah disebutkan di atas bahwa Kampung Beting

adalah daerah pemukiman penduduk yang padat dan

terkesan kumuh yang berada di dalam wilayah Kelurahan

Dalam Bugis Kota Pontianak. Dari aspek geografis letak

Kampung Beting cukup strategis dan sangat terbuka.

Kampung Beting berada di antara dua aliran sungai yang

membelah Kota Pontianak, yaitu Sungai Kapuas Kecil dan

Sungai Landak. Kampung ini dengan mudah dapat diakses

melalui dua jalur, yaitu jalur darat dan air. Jalur

darat dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda

dua maupun roda empat. Untuk sampai ke Kampung Beting

dapat melalui jalan Tanjung Raya I dan Jalan Tritura

Tanjung Hilir. Menuju Kampung Beting melewati jalan

Tanjung Raya I, maka kita akan masuk ke kawasan

berdirinya cikal bakal Kota Pontianak, yaitu Masjid

Jami Sultan Syarif Abdurrahman dan Keraton Kadriah

Pontianak. Sementara itu melalui jalur air, Kampung

Beting dapat dicapai dengan menggunakan sampan atau

speedboat.

Secara khusus, Kampung Beting terletak di belakang

Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Masjid Jami’ merupakan

17

simbol cikal-bakal berdirinya Kota Pontianak. Kampung

Beting memiliki wilayah seluas 3,8 Ha. Dalam

perkembangannya, Kampung Beting dikenal pula dengan

sebutan Tanjung Pulau. Kampung Beting juga disebut

Tanjung Pulau, menurut Sy. Ismail Alkadrie, sebab

letak kampung Beting menyerupai tanjung. Perubahan nama

Kampung Beting menjadi Tanjung Pulau terjadi pada

sekitar tahun 1960-an, yang salah satu sebabnya adalah

kemajuan yang dicapai Kampung Beting pada waktu itu.

Perkembangan selanjutnya, nama Tanjung Pulau diubah

kembali menjadi Kampung Beting karena masyarakat

menginginkan nama asal, yakni Kampung Beting.13

Makna Kampung Beting sendiri, sebagaimana

dituturkan oleh Syarif Yusuf Selamat Alkadrie (74

tahun), seorang tokoh masyarakat yang juga kerabat dan

sesepuh Istana Kadriah Pontianak, bahwa Beting dalam

bahasa Melayu berarti aek nyorong, yakni tanah yang

dipukul gelombang sehingga daratannya bertambah luas.

Ketika air pasang, daratan tersebut akan hilang.

Sementara, ketika air surut, daratan akan muncul ke

permukaan. Nama kampung Beting yang menjadi sebutan

masyarakat sekitar masjid Jami’ Sultan Syarif

Abdurrahman.

13 Sejarah awal mula Kampung Beting ini merupakan hasilwawancara dengan Om Simon (Syarif Yusuf Selamat Alkadrie),tokoh Kampung Beting, yang dalam prosesnya kemudian memintauntuk merujuk kepada Harian Pontianak Post edisi 28-08-2009,yang di dalamnya sejarah tentang Kampung Beting pernah dimuat.

18

Dari aspek demografis, berdasarkan data monografi

Kelurahan Dalam Bugis (edisi Juni 2012), mayoritas

penduduk yang mendiami Kelurahan Dalam Bugis beragama

Islam (95,22 persen). Hal ini dapat dimengerti karena

mayoritas penduduk di Kelurahan Dalam Bugis adalah dari

Suku Bangsa Melayu yang hampir semuanya memeluk agama

Islam. Selain suku Melayu, penduduk yang tinggal di

kelurahan Dalam Bugis terdiri dari Bugis, Madura,

Dayak, Tionghoa, Jawa dan lain-lain.

Secara umum kondisi ekonomi masyarakat Kelurahan

Dalam Bugis tergolong ekonomi lemah dan sedang atau

menengah. Sektor ekonomi masyarakat Kelurahan Dalam

Bugis khususnya Kampung Beting bervariasi. Kondisi

Kampung Beting yang berada di pesisir sungai Kapuas dan

sungai Landak, membuat masyarakat Kampung Beting

memperoleh keahlian berenang, sehingga saat ini banyak

masyarakat Kampung Beting yang berprofesi sebagai

penyelam, penambang sampan, serta buruh pelabuhan dan

buruh bangunan. Di sisi lain, banyak kaum perempuan

Kampung Beting bekerja membuat dan menjual makanan atau

kue untuk membantu perekonomian keluarga. Kue yang

dijual oleh para perempuan Kampung Beting masih

tergolong kue tradisional seperti pisang goreng, apam

yang terbuat dari tepung beras, demikian juga kue deram

dan kue cucor, kue jorong-jorong, kue dokok-dokok, kue

trisalad, dan berbagai jenis kue-kue tradisional

lainnya. Harga kue-kue yang dijual pun terbilang murah,

19

hanya Rp. 700,-. Selain berjualan kue, juga ada yang

berjualan makanan seperti nasi merah, nasi kuning,

bubur dan lauk pauk seharga Rp. 2.000 – Rp. 4.000.

Sebagian masyarakat membuka warung kecil di rumah

mereka masing-masing. Ada yang menjual makanan dan

minuman dan sebagian besar menjual berbagai kebutuhan

sehari-hari masyarakat yaitu sembako.

Tingkat pendidikan di Kelurahan Dalam Bugis saat

ini dapat di golongkan berpendidikan rendah dan

menengah, tingkat pendidikan sebagian besar tamatan

SLTP sederajat (38,08%) dan tamatan SMA sederajat

(32,39%). Dari aspek budaya, budaya Melayu masih

menjadi dasar nilai-nilai atau norma-norma yang dirujuk

dalam kehidupan mereka. Keberadaan Masjid Jami Sultan

Syarif Abdurrahman juga menjadi salah satu pilar bagi

masyarakat Kampung Beting untuk menjalankan syariat

Islam. Potensi seni dan budaya Melayu di daerah ini

cukup tinggi. Menurut tokoh masyarakat yang juga

kerabat Keraton Kadriah Syarif Slamet Yusuf Alqadrie

(om Simon) kebudayaan yang ada di Keraton Kadriah semua

bernafaskan Islam. Salah satu kesenian yang sekarang

masih di lestarikan oleh masyarakat sekitar keraton dan

Kampung Beting yaitu hadrah. Dahulu orang menyebutnya

dengan Zikir Hadrah.

Untuk masuk ke Kampung Beting, akses melalui darat

hanya ada satu jalan masuk yaitu melalui jalan yang

tepat berada di depan Keraton Kadriyah, yaitu melalui

20

sebuah jembatan yang mengarah ke Masjid Jami’. Mulai

dari depan Masjid Jami’ jalan yang dilalui adalah

berupa jalan semen yang dibuat agak tinggi dari

permukaan tanah. Sebelum tahun 2006 jalan semen ini

terbuat dari kayu dan papan belian yang disebut

“geretak”. Sejak memasuki kawasan Kampung Beting yang

bermula dari Masjid Jami’, sudah terlihat rumah-rumah

penduduk yang padat dan kurang teratur tata letaknya.

Sebagian besar rumah penduduk tergolong sederhana yang

terbuat dari lantai papan, berdinding semen dan beratap

seng. Namun ada juga beberapa rumah yang masih

berlantai dan berdinding papan. Hampir semua rumah

berhimpitan dinding antara rumah satu dengan yang

lainnya. Semua rumah dibuat dengan menggunakan tiang

yang cukup tinggi, agar tidak terendam jika air sedang

pasang.

Jika air sedang pasang, maka air akan masuk ke

bawah kolong rumah-rumah penduduk, Karena kesadaran

penduduk untuk menjaga kebersihan lingkungan belum

tinggi, saat air pasang akan terlihat banyak sampah

yang mengambang (khususnya sampah plastik di atas

permukaan air). Di sepanjang jalan kampung yang terdiri

dari beberapa jalur, terlihat cukup banyak penduduk

yang berdagang di depan rumahnya, atau menyediakan satu

ruangan di samping rumah sebagai toko tempat berjualan

berbagai kebutuhan masyarakat.

21

Kawasan Kampung Beting juga memiliki beberapa

parit kecil. Rumah-rumah penduduk sebagian besar

menghadap ke parit tersebut. Parit yang ada memiliki

banyak fungsi. Sebagian besar penduduk memanfaatkan

parit tersebut sebagai tempat mandi dan mencuci. Bagi

anak-anak laki-laki dan perempuan, parit menjadi tempat

mereka bermain sambil berenang dan menyelam. Bagi

sebagian kaum laki-laki, parit juga tempat mencari

nafkah, yaitu sebagai tempat untuk mengayuh sampan

sebagai salah satu alat transportasi, dan kegiatan ini

disebut “menambang”.

Kampung Beting sebagaimana kondisinya saat ini,

sebagai pusat peredaran narkoba serta sarang kejahatan,

telah memiliki daya tarik tersendiri bagi banyak pihak.

Bagi para penjahat yang berasal dari luar, Kampung

Beting menjadi tempat paling tepat untuk dijadikan

tempat tinggal sekaligus sebagai tempat berlindung dari

kejaran aparat penegak hukum. Selain karena

karakteristik wilayahnya, juga karena budaya masyarakat

yang terkadang dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan

demi melindungi kepentingan mereka. Hingga kini,

Kampung Beting masih mendapatkan perlakuan yang tidak

seharusnya oleh masyarakat luar, termasuk media massa,

yang disebabkan stigmatisasi negatif yang dialaminya.

Kondisi seperti ini tentu tidak boleh dibiarkan

berlanjut dengan tanpa upaya mengatasinya.

22

Dari penelusuran penulis, ditemukan data bahwa

kondisi Kampung Beting seperti sekarang telah melalui

tahapan perkembangan atau perubahan yang cukup panjang.

Dalam pandangan Van den Berghe14 perubahan sosial dalam

perspektif struktural fungsional memiki ciri antara

lain perubahan besifat lamban, mengalami proses

penyesuaian, bukan perubahan yang bersifat

revolusioner. Selanjutnya perubahan adalah konsekuensi

dari penyesuaian atas perubahan yang terjadi di luar

sistem, berkembang dengan diferensiasi, dan inovasi

internal. Ciri-ciri yang disebutkan oleh Berghe akan

tergambar sebagai berikut. Tahap awal, yaitu tahap

pembentukan Kampung Beting. Kesultanan Pontianak yang

berdiri tahun 1771 M. mengambil peran yang cukup besar

dalam tahap awal ini. Peran tersebut yaitu menjadikan

Kampung Beting sebagai area pemukiman bagi masyarakat

pendatang yang memiliki keperluan ke Pontianak. Sejak

awal Kampung Beting telah menjadi kawasan hunian yang

didiami oleh masyarakat yang heterogen, khususnya dari

aspek asal tempat tinggal, etnisitas, dan pekerjaan.

Heterogenitas masyarakat yang didukung oleh letak

geografisnya menjadikan kampung ini terus bertahan

sebagai kawasan yang terbuka bagi siapa saja yang

hendak bermukim di sana. Pada tahap berikutnya,

khususnya pada masa Sultan Syarif Muhammad Alkadrie

(1895-1944 M.), Kampung Beting memasuki tahap penataan.

14 Steven Vago, op.cit., hal. 60-61.

23

Pada tahap ini pihak kesultanan berupaya menata Kampung

Beting serta memberikan perhatian yang serius kepada

masyarakat di sana dengan memberikan jaminan hidup

berupa subsidi oleh Sultan. Saat itu Kesultanan

Pontianak masih efektif sebagai sebuah kekuatan

politik, sosial-budaya dan keagamaan. Masyarakat

Kampung Beting menjadi salah satu di antara pendukung

setia kesultanan dan karenanya mereka mendapat julukan

sebagai “titah paduka”.

Seiring berjalannya waktu, ketika Negara Kesatuan

Republik Indonesia tahun 1945 terbentuk maka semua

kerajaan dan kesultanan di tanah air menyatakan melebur

diri ke dalam negara yang baru berdiri ini. Kesultanan

Pontianak, yang pada awal kemerdekaan dipimpin oleh

Sultan Syarif Hamid II Alkadrie, juga menyatakan lebur

dalam NKRI, meskipun secara faktual eksistensi

kesultanan tetap dilestarikan. Di zaman kemerdekaan,

kesultanan hanya memegang otoritas sosial budaya. Sejak

tahun 1950, Kesultanan Pontianak vacum dari kekuasaan

seorang sultan. Kampung Beting yang dulunya sebagai

“titah paduka” lambat laun mulai berubah seiring

masuknya para pendatang dari luar, yang notabene

sebagiannya adalah para penjahat. Sejak saat itu,

karena kehilangan figur panutan serta didukung oleh

faktor heterogenitas dan keterbukaan yang dimilikinya,

kampung ini pun mulai dikenal orang sebagai “sarang

penjahat”; tempat bersembunyi dan bermukim para

24

penjahat seperti pencuri, perampok, pencopet, pemabuk,

penadah barang curian dan sebagainya. Tentu saja para

pendatang ini sedikit-banyak telah pula memengaruhi

masyarakat setempat sehingga sebagian ikut-ikutan

perilaku kriminal para pendatang.

Perubahan Kampung Beting menjadi sarang para

penjahat terus berlanjut hingga sekitar tahun 1990-an.

Saat itu orang-orang yang datang ke Kampung Beting

mulai memperkenalkan narkoba kepada masyarakat setempat

sebagai barang dagangan yang menggiurkan. Sejak saat

itu, Kampung Beting mulai dikenal orang sebagai tempat

atau sarang narkoba. Menarik untuk diperhatikan bahwa

pengakuan dari semua informan mengatakan bahwa orang-

orang Beting saat ini hanyalah sebagai penjual (baik

sebagai bandar ataupun hanya sekedar sebagai kurir).

Konsumen atau pembeli dan pengguna narkoba adalah

orang-orang dari luar kampung. Berdasarkan tes urine

yang dilakukan BNN (Badan Narkotika Nasional) Kota

Pontianak tidak lama sebelum penelitian ini dilakukan,

memang terbukti bahwa masyarakat Kampung Beting negatif

sebagai pengguna narkoba.

Temuan menarik berikutnya di Kampung Beting adalah

berpadunya antara “kejahatan dan kebaikan”. Maksudnya

adalah meskipun manjadi sarang peredaran narkoba,

kampung tersebut juga semarak dengan kegiatan

keagamaan. Kelompok-kelompok pengajian, majelis taklim,

belajar al-Quran [baik oleh guru mengaji atau TPA

25

(Taman Pendidikan Al-Quran)], berbagai bentuk seni

Islami serta kelompok shalawatan tetap semarak. Bahkan

para bandar senantiasa melakukan berbagai kegiatan

“amal” seperti membiayai sejumlah orang untuk

melaksanakan ibadah umrah, berqurban dengan jumlah sapi

yang banyak, dan membantu masyarakat dalam berbagai

bentuk. Para bandar dan kurir juga memiliki kesadaran

terhadap pentingnya pendidikan, termasuk pendidikan

agama, bagi anak-anak mereka.

Jika dikaitkan dengan sejumlah teori tentang

perubahan sosial, mungkin dapat dikatakan bahwa

perubahan di Kampung Beting mengikuti teori fungsional.

Teori ini memandang penyebab perubahan adalah adanya

ketidakpuasan masyarakat karena kondisi sosial yang

berlaku pada masa ini yang memengaruhi pribadi mereka.

Dalam hal ini William Ogburn menjelaskan bahwa meskipun

terdapat hubungan yang berkesinambungan antara unsur

sosial satu dan yang lain, dalam perubahan ternyata

masih ada sebagian yang mengalami perubahan sementara

yang lain masih tetap tidak mengalami perubahan

(statis). Dengan demikian setiap perubahan tidak selalu

membawa perubahan pada semua unsur sosial, sebab masih

ada sebagian yang tidak ikut berubah. Dalam kasus di

Kampung Beting, terdapat bagian yang tidak mengalami

perubahan yaitu kehidupan beragama masyarakat.

Kehidupan beragama masyarakat boleh dikatakan tidak

berubah. Berbagai tradisi keberagamaan masyarakat masih

26

tetap berjalan sementara kehidupan sosial pada umumnya

telah mengalami perubahan.

Ditemukan sejumlah faktor yang menjadikan Kampung

Beting berubah menjadi sarang narkoba. Faktor-faktor

tersebut jika dilihat lebih jauh sebenarnya memiliki

keterkaitan antara satu dengan lainnya. Dari perspektif

struktural fungsional, suatu sistem sosial dipadang

sebagai struktur yang tersusun dari bagian-bagian yang

memiliki fungsi sendiri namun memiliki keterkaitan yang

tak terpisahkan. Jika suatu bagian dari sistem sosial

itu terganggu fungsinya, maka akan memengaruhi bagian

lain. Atau jika suatu bagian dari sistem sosial

mengalami perubahan, maka bagian lainnya juga akan ikut

mengalami perubahan. Faktor-faktor tersebut adalah

sebagai berikut.

Pertama, tingkat ekonomi masyarakat yang rendah

atau kemiskinan. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa

masyarakat Kampung Beting berada pada level ekonomi

menengah ke bawah. Sebagian besar mata pencaharian

masyarakat adalah buruh, penambang sampan, pedagang

kecil, serta berjualan kue-kue dan makanan (khususnya

bagi kaum perempuan). Pekerjaan seperti ini jelas tidak

memberikan penghasilan yang memadai. Untuk menutupi

kebutuhan yang semakin banyak, terlebih lagi karena

pengaruh konsumerisme, banyak orang yang akhirnya

mencari jalan pintas dalam mencari penghasilan. Pilihan

yang paling mudah adalah menjadi penjual narkoba (baik

27

sebagai bandar maupun kurir atau pengedar). Dapat

dikatakan bahwa sistem ekonomi telah menjadikan

kemampuan ekonomi masyarakat Kampung Beting berada pada

level bawah dan tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi

berbagai kebutuhan hidup yang semakin meningkat baik

kuantitas maupun kualitasnya.

Kedua, tingkat pendidikan masyarakat rendah.

Rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat berpengaruh juga

pada kemampuan para orang tua menyekolahkan anak-

anaknya. Karena ketidakmampuan ekonomi para orang tua,

banyak anak-anak yang putus sekolah. Kampung Beting

yang mayoritas masyarakatnya berpendidikan rendah

memberikan pengaruh terhadap perubahan masyarakatnya.

Ini terjadi karena masyarakat Kampung Beting yang masih

menganggap pendidikan bukan prioritas utama. Rata-rata

pendidikan mereka adalah SD (Sekolah Dasar) atau SMP

(Sekolah Menengah Pertama). Tingkat pendidikan yang

rendah, selain berakibat pada sulitnya mencari

pekerjaan yang lebih layak, juga berakibat pada

pembentukan sikap dan mental yang kurang baik. Meskipun

mereka tahu narkoba itu sangat berbahaya, tetapi mereka

tetap menjalankan kegiatan mereka sebagai penjual

narkoba, demi mendapatkan uang dengan mudah.

Ketiga, masyarakat kehilangan figur pemimpin atau

tokoh yang kuat. Telah disebutkan juga di atas bahwa

sejak vakumnya posisi Sultan di Kesultanan Pontianak,

masyarakat tidak lagi memiliki sosok tokoh yang mampu

28

memberikan pengarahan dan bimbingan dalam kehidupan

sosial kemasyarakatan. Baik tokoh agama maupun tokoh

masyarakat. Bahkan terkesan bahwa keberadaan Keraton

Kadriyah di sekitar mereka sama sekali tidak memberikan

dampak positif bagi masyarakat.

Faktor keempat, pemanfaatan budaya masyarakat

secara negatif. Maksudnya adalah sikap dan budaya yang

baik seperti solidaritas yang tinggi, kebersamaan, rasa

kekeluargaan, serta sifat tolong menolong di lingkungan

masyarakat Kampung Beting masih tetap terjaga. Selain

itu, masyarakat juga memiliki sifat terbuka dan tahu

balas budi. Ketika sebagian besar masyarakat Kampung

Beting berada dalam kondisi miskin, kehadiran para

bandar narkoba seolah-olah menjadi dewa penolong bagi

mereka. Betapa tidak, setiap saat para bandar atau

pengedar siap memberikan batuan finansial kepada

masyarakat yang membutuhkan. Kalau pun masyarakat tidak

meminta bantuan, dengan senang hati para bandar

memberikan bantuan. Sifat masyarakat yang tahu balas

budi, suka menolong dan solidaritas sosial yang tinggi

seperti yang disebutkan di atas dipahami betul oleh

para bandar narkoba. Mereka kemudian “merekayasa”

dengan memberikan berbagai bantuan kepada masyarakat

sehingga merasa berhutang budi kepada para bandar

narkoba. Karena telah termakan jasa, sangat wajar jika

mereka kemudian memberikan perlindungan kepada bandar

narkoba. Tentu saja, selain karena termakan jasa,

29

mereka juga tidak ingin keuntungan ekonomi yang telah

mereka nikmati saat ini hilang begitu saja lantaran

para bandar diciduk oleh aparat.

Faktor kelima, adanya kepentingan pihak luar.

Keberadaan para bandar narkoba di Kampung Beting

sebenarnya juga didukung oleh adanya kepentingan pihak

luar. Salah satu pihak yang berkepentingan adalah oknum

aparat yang juga mengambil keuntungan dari para bandar.

Sebagian besar responden mengakui bahwa ada sejumlah

oknum aparat, bahkan pejabat yang menjadi pelindung

para bandar. Informan mengatakan bahwa ada aparat yang

kebagian “sopoy”15 dari para bandar. Ada juga pejabat

atau politisi yang mendapatkan dukungan dana kampanye

saat mereka hendak mencapai suatu kedudukan politik.

Faktor yang terakhir atau keeenam adalah pengaruh

lingkungan. Masyarakat Kampung Beting Kota Pontianak

merupakan masyarakat dengan mobilitas penduduk yang

relatif tinggi. Kehidupan masyarakatnya juga mengikuti

perkembangan zaman yang makin pesat. Sikap terbuka akan

hal-hal baru dalam modernisasi menyebabkan masyarakat

Kampung Beting mudah mengikuti dan dipengaruhi.

Maraknya tayangan televisi yang mempertontonkan

kehidupan serba mudah dan enak juga turut memengaruhi

masyarakat untuk ikut menirunya. Namun karena

pendidikan yang rendah dan pekerjaan tidak ada, maka

dengan mudah para anak muda tergiur jika ditawari

15 Bahasa Melayu Pontianak yang berarti sogokan.

30

menjadi kurir. Mereka ingin hidup nyaman tetapi dengan

cara yang instan.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa

secara umum ada dua faktor utama penyebab perubahan

sosial di Kampung Beting, yaitu faktor internal dari

masyarakat dan faktor eksternal atau dari luar

masyarakat. Masuk dalam kategori faktor internal adalah

kemiskinan, pendidikan, kehilangan tokoh, dan budaya.

Sementara kepentingan luar dan pengaruh lingkungan

masuk dalam kategori faktor eksternal. Hal ini sejalan

dengan pandangan Soerjono Soekanto16 yang menyebutkan

pada umumya sebab-sebab perubahan sosial ada yang

terletak di dalam masyarakat itu sendiri dan ada yang

letaknya di luar. Dalam pandangan Featherstone (1991)

dan Hannerz (1996)17 globalisasi telah menjadi kekuatan

besar yang membutuhkan respon tepat karena ia memaksa

suatu strategi bertahan hidup (survival strategy) dan

strategi pengumpulan kekayaan (accumulative strategy) bagi

berbagai kelompok masyarakat. Proses ini telah membawa

“pasar” menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan

nilai dan tatanan sosial yang bertumpu pada prinsip-

prinsip komunikasi padat dan canggih.

E. Upaya Masyarakat Mempertahankan Diri dari Pengaruh

Luar16 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2005, hal. 318, 332, 311-317.17 Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hal. 165.

31

Tak dapat dipungkiri terjadinya perubahan sosial

di Kampung Beting karena adanya faktor eksternal yang

masuk dan memengaruhi sistem sosial di dalamnya. Tentu

saja sebagian masyarakat tetap berupaya tidak larut

dalam pengaruh-pengaruh negatif yang datang dari luar

dan menjadikan kampung mereka menjadi kampung yang

berlabel negatif. Dalam konteks struktural fungsional,

masyarakat akan melakukan berbagai bentuk inovasi

terhadap berbagai bagian dalam sistem sosial sebagai

upaya untuk tetap mempertahankan struktur masyarakat

agar tidak berubah. Ada sejumlah upaya yang dilakukan

oleh masyarakat Kampung Beting yang berupaya

mempertahankan struktur yang ada dalam masyarakat.

Berikut akan dijelaskan secara singkat upaya-upaya

tersebut.

Pertama, pendidikan di dalam keluarga. Meskipun

kondisi lingkungan Kampung Beting saat ini kurang

kondusif bagi tumbuh kembang anak, namun sebagian orang

tua masih tetap bertahan tinggal di sana. Bagi mereka

yang paling menentukan bagi tumbuh kembang anak-anak

mereka adalah pendidikan di dalam keluarga. Meskipun

lingkungan tidak kondusif, jika pendidikan di dalam

keluarga mampu berperan secara maksimal dalam medidik

anak-anak, maka anak akan menjadi manusia yang lebih

baik dan mampu bertahan dari pengaruh buruk

lingkungannya. Beberapa keluarga berupaya semaksimal

mungkin mengambil peran membekali anak-anak mereka

32

dengan pendidikan di rumah, khususnya pendidikan agama.

Anak-anak diberi pelajaran mengaji di rumah atau di

Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) yang ada di Kampung

Beting. Orang tua juga membuat aturan yang ketat dalam

mengatur waktu bergaul anak-anaknya di lingkungan.

Sebagian orang tua bahkan memutuskan untuk mengirim

anak-anaknya menuntut ilmu di berbagai Pondok Pesantren

di luar daerah (khususnya ke Pulau Jawa). Tujuannya

adalah agar anak-anak mereka memiliki bekal pengetahuan

agama dan karakter yang kuat saat kembali. Tujuan

lainnya adalah untuk menghindari pergaulan yang tidak

baik di lingkungan Kampung Beting.

Hal yang lebih menarik lagi adalah para pengedar

atau bandar narkoba sebagian memiliki kesadaran bahwa

anak-anak mereka tidak boleh mengikuti jejak mereka

sebagai pengedar atau bandar narkoba. Karena itu mereka

mengirim anak-anaknya keluar daerah untuk sekolah. Para

pengedar narkoba ini juga memperhatikan pendidikan

agama anak-anak dengan memasukkan mereka ke TPA atau

belajar mengaji pada guru-guru mengaji yang masih tetap

bertahan di Kampung Beting.

Selain upaya-upaya yang dilakukan oleh segelintir

orang yang memahami arti penting pendidikan di dalam

keluarga, kesadaran kolektif masyarakat juga tumbuh.

Bahkan terdapat sejumlah institusi di tengah masyarakat

Kampung Beting yang berupaya melakukan berbagai upaya

untuk mempertahankan institusi-institusi lama yang

33

diharapkan mampu mengimbangi pengaruh negatif dari

luar. Berikut ini beberapa bentuk upaya yang dilakukan

oleh masyarakat dalam mempertahankan istitusi-institusi

penjaga nilai-nilai di dalam masyarakat Kampung Beting.

Kedua, guru-guru mengaji. Sebagai sebuah kampung

tua—setua Kota Pontianak—tradisi pembelajaran baca al-

Quran secara tradisional masih bertahan di Kampung

Beting. Dalam proses pembelajarannya, sebagian besar

guru mengaji masih menggunakan cara dan metode yang

sudah ada secara turun temurun, yaitu metode mengeja

huruf Arab dengan menggunakan buku al-Quran kecil.

Namun ada juga beberapa guru mengaji yang sudah beralih

menggunakan metode yang cukup baru, yaitu metode iqra’

atau qiraati. Dalam belajar membaca al-Quran biasanya

para murid tidak dipungut biaya tertentu. Pembayaran

menyesuaikan dengan kemampuan orang tua murid, atau

bahkan tidak dengan biaya sama sekali. Hanya dalam

waktu-waktu tertentu orang tua murid memberikan sesuatu

sebagai imbal jasa kepada sang guru mengaji.

Berdasarkan hasil investigasi penulis di lapangan,

terdapat belasan orang yang menjadi guru mengaji di

Kampung Beting. Karena keterbatasan waktu, penulis

belum sempat melakukan wawancara kepada para guru

mengaji tersebut. Hanya dua di antara mereka yang

sempat diwawancarai, yaitu Ustadz Ja’far Sulaiman dan

Ahmad Jais. Di antara nama-nama guru mengaji tersebut

adalah: Hermansyah, Ustadz Ja’far Sulaiman (termasuk

34

mengajarkan seni baca al-Quran), Ibrahim, Abu Bakar,

Asmin, Maria, Yusnawati, Ahmad Jais (TPA), Ce’ No’, Mas

Dadang, Bang In, Ma’ Na. Para guru mengaji tradisional

ini merupakan salah satu institusi di masyarakat yang

tetap berusaha mempertahankan tradisi dan nilai-nilai

lama yang diharapkan mampu mengeliminasi pengaruh

negatif dari luar.

Ketiga, Taman Pendidikan Al-Quran. Selain melalui

para guru mengaji, anak-anak di Kampung Beting juga

dapat belajar membaca al-Quran di Taman Pendidikan al-

Quran. Saat ini hanya terdapat dua TPA di Kampung

Beting, yaitu TPA Masjid Jami’ Syarif Abdurrahman dan

TPA Surau Ikhwanul Muslimin. TPA Masjid Jami’ dikelola

oleh Remaja Masjid Jami’’, sedangkan TPA Surau Ikhwanul

Muslimin dikelola oleh Ahmad Jais. TPA yang terakhir

ini telah eksis sejak tahun 1991, namun proses

pembelajarannya dilakukan di rumah Ahmad Jais. Baru

pada tahun 2002, di saat Surau Ikhwanul Muslimin

berdiri proses belajar mengajar dilakukan di Surau.

Memang kondisi Surau Ikhanul Muslimin sangat

memprihatinkan. Meskipun demikian, selain sebagai

tempat shalat dan TPA, surau tersebut juga difungsikan

sebagai Posyandu bernama “Nusa Indah”.

Keempat, kelompok-kelompok pengajian dan majelis

taklim. Upaya-upaya lain yang dilakukan oleh masyarakat

Kampung Beting dalam membentengi diri mereka dari

pengaruh negatif dari lingkungan sosial adalah dengan

35

mengadakan berbagai kegiatan keagamaan melalui sejumlah

kelompok pengajian dan majelis taklim. Namun sayangnya,

tidak ditemukan data tertulis dan pasti tentang jumlah

kelompok pengajian dan majelis taklim yang ada. Data-

data berikut ini diperoleh peneliti dari hasil

wawancara dengan para informan, dan bukan dari data

tertulis dan resmi. Penelitian ini juga belum sampai

pada melakukan investigasi ke setiap kelompok yang ada.

Namun secara garis besarnya dapat digambarkan sebagai

berikut.

Salah satu kelompok pengajian yang cukup dikenal

dan aktif mengadakan berbagai kegiatan adalah yang

bernama “El-Betingqi” yang dipimpin oleh Ustadz Haidar.

Anggota El-Betingqi ini adalah para remaja, terutama

yang juga tergabung dalam Remaja Masjid Sultan Syarif

Abdurrahman. Kegiatannya cukup padat dan hampir setiap

hari ada kegiatan. Berikut jadwal kegiatan kelompok El-

Betingqi:

1) Senin malam setelah shalat Isya belajar Tafsir al-

Quran, Ilmu Tauhid, dan Fikih dengan pembimbing

Ustadz Ade Maulana.

2) Selasa malam setelah shalat Maghrib belajar fikih

dengan pembimbing ustadz Haidar. Kegiatan kemudian

dilanjutkan setelah shalat Isya untuk latihan seni

marawis.

3) Kamis malam mempelajari dan membaca maulid

situddurar.

36

4) Sabtu malam setelah shalat Isya belajar Bahasa

Arab dibimbing oleh ustadz Ade Maulana.

Selain kelompok El-Betingqi, terdapat juga Remaja

Masjid Sultan Syarif Abdurrahman, Jami’atul Tauhidiyah

dan Hubbun Nabi. Remaja Masjid Sultan Syarif

Abdurrahman juga memiliki jadwal kegiatan yang cukup

banyak dan dipusatkan di Masjid Jami’. Jami’atul

Tauhidiyah, hampir mirip dengan kegiatan El-Betingqi,

diasuh oleh Ibrahim Iskandar. Yang menarik dari

Jami’atul Tauhidiyah ini adalah telah mampu menyadarkan

dan merehabilitasi sebanyak tiga orang pecandu narkoba.

Bahkan ketiga orang tersebut rajin mengikuti berbagai

kegiatan pengajian. Sementara kelompok Hubbun Nabi

kegiatannya meliputi kegiatan majelis taklim dan seni

marawis. Kelompok pengajian atau majelis taklim khusus

ibu-ibu ada tiga kelompok, sedangkan untuk kelompok

Yasinan dan Barzanji khusus laki-laki ada lima

kelompok.

Secara khusus di Surau Ikhwanul Muslimin, di bawah

bimbingan Ahmad Jais, terdapat berbagai kegiatan. Untuk

anak-anak ada TPA, sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya. Selain itu ada juga kegiatan Barzanji,

pemberantasan buta huruf Arab dan Latin bagi masyarakat

Kampung Beting yang belum bisa membaca. Kegiatan

berikutnya yang cukup penting adalah kelompok Shalawat

Wahidiyah. Shalawat ini memiliki kegiatan rutin yang

disebut dengan Yaumiyyah (harian), Usbu’iyyah (mingguan),

37

Syahriyyah (bulanan), Nishfu Tsanah (setengah tahunan).

Menurut informasi dari pembinanya, Ahmad Jais, shalawat

Wahidiyah ini sifatnya nasional se-Indonesia dan

berpusat di Jawa Timur, dan bahkan terdapat di beberapa

negara muslim lainnya.

Dengan memperhatikan paparan di atas, jelas bahwa

beberapa komponen di dalam masyarakat Kampung Beting

seperti keluarga, lembaga pendidikan TPA, para guru

mengaji dan kelompok pengajian atau majelis taklim

melakukan fungsinya masing-masing secara konsisten.

Antara satu komponen dengan komponen lainnya saling

memiliki keterkaitan sebagai suatu upaya mempertahankan

struktur masyarakat Kampung Beting agar tidak berubah

mengikuti pengaruh kriminalitas (seperti peredaran dan

penyalahgunaan narkoba, pencurian, penadah hasil

curian, judi) dari luar. Mengikuti konsep Merton

tentang fungsi manifest dan fungsi laten, maka masing-

masing komponen masyarakat tersebut memerankan fungsi

manifesnya masing-masing sebagaimana disebutkan di

atas. Namun di balik fungsi manifestnya, mereka juga

memerankan fungsi laten, yaitu sama-sama berusaha

mencegah masyarakat terpengaruh oleh pihak-pihak luar,

terutama para pengedar narkoba yang berusaha menanamkan

pengaruhnya di masyarakat. Meskipun saat ini masyarakat

Kampung Beting menghadapi pengaruh yang kuat dari para

bandar narkoba yang ingin memanfaatkan keluguan dan

ketertinggalan masyarakat, tetapi di sisi lain

38

masyarakat masih berupaya mempertahankan jati diri

mereka seperti dahulu yang menjadi pusat pengembangan

budaya dan tradisi di kota Pontianak. Oleh karena itu,

adalah sesuatu yang dapat dipahami jika di Kampung

Beting yang dipersepsi oleh orang luar sebagai sarang

narkoba dalam kesehariannya tetap marak dengan

kegiatan-kegiatan keagamaan dan pelestarian adat budaya

dan tradisi lama. Hal tersebut adalah bagian dari

usaha-usaha mempertahankan struktur masyarakat agar

tidak berubah mengikuti selera para pengedar narkoba.

F. Alternatif Dakwah Kontekstual

Paparan di atas memberikan gambaran bahwa

berdakwah di sarang kriminalitas seperti di Kampung

Beting membutuhkan strategi yang tepat dan kontekstual.

Perlu penulis jelaskan bahwa hingga saat ini belum ada

institusi yang mampu secara terstruktur, sistematis dan

berkesinambungan melakukan dakwah memberikan pencerahan

kepada masyarakat Kampung Beting. Hal ini disebabkan

masyarakat selalu curiga kepada siapapun orang luar

yang masuk ke kampung mereka. Mereka khawatir jika yang

masuk adalah polisi yang menyamar untuk melakukan

penggerebekan terhadap para bandar narkoba atau

penjahat lainnya.

Dengan karakteristik yang demikian, maka strategi

yang tepat untuk berdakwah di sana adalah dengan

menggandeng dan memberdayakan masyarakat Kampung Beting

39

sendiri. Tokoh-tokoh masyarakat harus digandeng dan

diberi kesadaran agar bersedia terlibat memberdayakan

masyarakatnya sendiri. Selain tokoh masyarakat, sangat

penting untuk melibatkan kaum perempuan, karena mereka

memiliki peran strategis dan penting dalam keluarga.

Setelah para tokoh masyarakat dan kaum perempuan

bersedia, maka ada dua hal yang perlu dilakukan.

Pertama: Penguatan institusi. Penguatan institusi-

istitusi yang telah diupayakan masyarakat sebagaimana

telah disebutkan di atas, yaitu pendidikan dalam

keluarga, guru-guru mengaji, Taman Pendidikan Al-Quran,

dan kelompok-kelompok pengajian dan majelis taklim.

Seluruh institusi tersebut harus diperkuat dan

diberdayakan secara bersama-sama sehingga bisa

bersinergi saling menguatkan. Hal berikutnya yang perlu

diperhatikan adalah kemampuan ekonomi dan tingkat

pendidikan masyarakat yang masih rendah merupakan akar

masalah kriminalitas. Kedua hal mendasar ini dapat

diatasi melalui pemberdayaan sumberdaya mereka sendiri.

Selain memiliki semangat atau etos kerja yang tinggi,

masyarakat Kampung Beting juga memiliki keterampilan

pertukangan (kaum lelaki) dan membuat kue-kue

tradisional (kaum perempuan). Modal dasar ini dapat

dikembangkan agar mampu meningkatkan pendapatan

keluarga. Untuk pengembangan kemampuan masyarakat

dibutuhkan intervensi pihak luar.

40

Kedua: Intervensi. Intervensi pihak luar dibutuhkan

terutama untuk memberikan penguatan kepada institusi-

institusi sebagaimana disebutkan di point pertama. Ada

beberapa bentuk intervensi yang dapat dilakukan oleh

pihak luar. Perguruan tinggi seperti IAIN Pontianak

dapat memberikan intervensi memberdayakan para guru

mengaji dan kelompok-kelompok pengajian/majelis taklim.

Institusi tersebut harus dimanfaatkan sebagai media

menyampaikan pesan-pesan agama sekaligus memberikan

keterampilan tambahan dalam konteks penguatan ekonomi

keluarga. Keterampilan yang bisa diberikan seperti

meningkatkan kualitas kue-kue tradisional hasil

produksi para ibu rumah tangga sehingga mampu bersaing

di pasaran yang lebih luas. Intervensi berikutnya

adalah membuka jaringan kerja penguatan ekonomi

keluarga warga Kampung Beting dengan pelaku usaha di

luar. Dalam konteks pemberian modal usaha, lembaga

keuangan mikro syariah yang berada di sekitar

lingkungan Kampung Beting juga dapat dilibatkan. Modal

yang diberikan harus bersifat bergulir agar manfaat

yang diperoleh bisa meluas dan merata ke seluruh

masyarakat. Pentingnya keterlibatan perguruan tinggi

seperti IAIN adalah agar dalam melakukan intervensi

masyarakat Kampung Beting yang religius didekati dengan

pendekatan agama dan budaya. Bahasa agama dan budaya

akan lebih mampu menarik perhatian masyarakat

41

dibandingkan pendekatan hukum seperti yang dilakukan

selama ini oleh pihak pemerintah/aparat kepolisian.

Ketiga: Revitalisasi budaya. Sebagai daerah yang

mengiringi kelahiran Kesultanan Pontianak, Kampung

Beting harus tetap dipertahankan sebagai pusat

pelestarian dan pengembangan budaya Pontianak. Karena

itu dibutuhkan kesadaran dan keterlibatan semua pihak,

khususnya pemerintah daerah serta masyarakat untuk

mengembalikan Kampung Beting kepada kesejatiannya.

Berbagai ekspresi budaya masyarakat harus diberikan

ruang yang lebih luas untuk terus berkembang. Lembaga-

lembaga seni budaya seperti kelompok hadrah, tari

zapin, barzanji, marawis dan sebagainya harus tetap

dijaga eksistensinya, bahkan perlu dipromosikan ke luar

agar semakin dikenal masyarakat luas. Dalam

realisasinya, generasi muda harus menjadi kelompok inti

yang melestarikan dan mengembangkan seni dan budaya

Kampung Beting. Demikian juga adat dan tradisi serta

kearifan lokal Kampung Beting harus tetap dilestarikan

dan dikembangkan. Dengan upaya revitalisasi budaya ini,

diharapkan masyarakat kampung Beting memiliki daya

tahan yang tangguh dalam menghadapi gempuran masuknya

budaya luar, terlebih-lebih dalam konteks perkembangan

budaya global.

Revitalisasi budaya juga harus dibarengi dengan

upaya “kampanye putih” tentang Kampung Beting.

Penggambaran Kampung Beting sebagai tempat yang

42

menyeramkan harus diatasi dengan mempromosikannya ke

tengah masyarakat sebagai tempat yang memiliki potensi-

potensi kebaikan yang layak untuk diperhatikan. Kampung

Beting tidak boleh dibiarkan sebagai wilayah yang

“terisolasi” dan dijauhi oleh masyarakat luas.

Sebaliknya, masyarakat luas harus diajak untuk bersama-

sama merasa bertanggung jawab memperbaiki kondisi

sosial masyarakat Kampung Beting.

G. Penutup

Kampung Beting sebagaimana kondisinya saat ini,

sebagai pusat peredaran narkoba serta sarang kejahatan,

telah memiliki daya tarik tersendiri bagi banyak pihak.

Bagi para penjahat yang berasal dari luar, Kampung

Beting menjadi tempat yang paling tepat untuk dijadikan

tempat tinggal sekaligus sebagai tempat berlindung dari

kejaran aparat penegak hukum. Selain karena

karakteristik wilayahnya, juga karena budaya

masyarakatnya yang terkadang dimanfaatkan oleh para

pelaku kejahatan demi melindungi kepentingan mereka.

Hingga kini, Kampung Beting masih mendapatkan perlakuan

yang tidak seharusnya oleh masyarakat luar, termasuk

media massa, yang disebabkan stigmatisasi negatif yang

dialaminya. Kondisi seperti ini tentu tidak boleh

dibiarkan berlanjut dengan tanpa upaya mengatasinya.

Dari penelitian di lapangan, ditemukan data bahwa

kondisi Kampung Beting seperti sekarang ini telah

43

melalui tahapan perkembangan atau perubahan yang cukup

panjang. Tahap awal, yaitu tahap pembentukan Kampung

Beting. Pada tahap berikutnya, khususnya pada masa

Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Kampung Beting

memasuki fase penataan. Tahap ketiga kampung Beting

kemudian berubah menjadi sarang penjahat. Pada tahap

terkahir hingga saat ini, Kampung Beting kemudian

berubah menjadi sarang narkoba.

Ditemukan sejumlah faktor yang menjadikan Kampung

Beting berubah menjadi sarang narkoba. Faktor-faktor

tersebut jika dilihat lebih jauh sebenarnya memiliki

keterkaitan antara satu dengan lainnya. Faktor-faktor

tersebut adalah: (1) Tingkat ekonomi masyarakat yang

rendah atau kemiskinan; (2) Tingkat pendidikan

masyarakat rendah; (3) Kehilangan figur pemimpin atau

tokoh yang kuat; (4) Pemanfaatan budaya masyarakat

secara negatif; (5) Adanya kepentingan pihak luar; dan

(6) Pengaruh lingkungan. Keenam faktor tersebut saling

memengaruhi satu dengan yang lainnya untuk melakukan

perubahan sosial. Namun, di sisi lain terdapat juga

komponen-komponen lain yang memerankan diri untuk tetap

mempertahankan struktur masyarakat agar tidak berubah.

Beberapa komponen di masyarakat yang berupaya

mempertahankan struktur masyarakat adalah keluarga,

lembaga pendidikan TPA, para guru mengaji dan kelompok

pengajian serta majelis taklim. Selain memerankan

fungsi manifestnya masing-masing, secara bersama-sama

44

mereka memerankan fungsi laten yaitu menjadi benteng

bagi masyarakat agar tidak terpengaruh oleh para bandar

narkoba yang ingin menanamkan pengaruhnya di

masyarakat. Dengan adanya upaya-upaya ini maka dapat

dikatakan bahwa masyarakat Kampung Beting saat ini

berada dalam proses transisi antara berubah menjadi

masyarakat yang bergumul dengan kriminalitas atau tetap

bertahan sebagai masyarakat yang penuh dengan budaya

dan tradisi yang bernuansa Islami.

Untuk mengembalikan Kampung Beting sebagai wilayah

yang bebas dari berbagai bentuk kriminalitas, ada tiga

upaya sebagai bentuk dakwah kontekstual yang bisa

dilakukan. Ketiga upaya tersebut adalah penguatan

institusi, intervensi, dan revitalisasi budaya. Semoga

dengan ketiga upaya tersebut harapan agar Kampung

Beting di Kota Pontianak dapat kembali menjadi wilayah

yang bersih dari hal-hal yang negatif dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

Harian Equator edisi 14 Agustus 2011.

Irwan Abdullah, (2009), Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jones, Pip. 2010. Pengantar Teori-teori Sosial dari FungsionalismeHingga Post-modernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka OborIndonesia.

45

Kaplan, David & Manners, Albert A.. 2000. Teori Budaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kampung Beting: Harmonisasi Kejahatan dan Kebaikan? Online:http://sosbud.kompasiana.com. Akses: 15/02/2012.

Nur Syam. 2007. Mazhab-mazhab Antropologi. Yogyakarta:LKiS.

Saifuddin, Achmad Fedyani. 2006. Antropologi KontemporerSuatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta:Kencana.

Soerjono Soekanto, (2005), Sosiologi Suatu Pengantar,Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Vago, Steven. 1999. Social Change. Fourth Edition. NewJersey: Prentice Hall.

Lampiran:

BIODATA PENULIS

Nama : Zulkifli Abdillah, MA.Tempat, tgllahir

: Sungai Udang, 28 Juli 1971

Alamat : Jl. Tanjung Raya 2, Komplek CendanaIndah No. A.27, Pontianak-KalimantanBarat.Telpon : 085217267766 / 089694168808E-mail : [email protected]

Pendidikan : S.2 SPS UIN Syarif HidayatullahJakarta, Konsentrasi Sejarah PeradabanIslam. (sedang studi S.3 Ilmu Sejarahdi FIB UNPAD).

Tempat Tugas : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah

46

IAIN Pontianak.BidangKeahlian

: Sejarah Peradaban Islam

Publikasiterakhir

: 1. Peta Dakwah di Kalimantan BaratSeri Kedua: Profil Majelis Taklim diKota Pontianak (Buku, editor dankontributor, 2011).

2. Sejarah Kesultanan SambasKalimantan Barat (Buku, Anggota TimPenulis, 2011).

3. Islam and Plurality of Society in WestKalimantan [Artikel Jurnal: AL-ALBAB:Borneo Journal of Religious Studies(BJRS) Volume 1 Number 1, Desember2012].

4. Haji Moehammad Basioeni Imran:Ulama Pembaharu Pendidikan dariKerajaan Sambas Kalimantan Barat(Artikel dalam Jurnal Jabal Hikmah:Jurnal Kependidikan dan Hukum, Vol.2, No. 2 Juli 2013).

5. Dll.

Pontianak, 12 September 2014, Ttd.

Zulkifli Abdillah