Metodi di analisi di segnali EEG in applicazioni di Brain Computer Interfaces
DAKWAH DI SARANG KRIMINALITAS: STUDI KASUS DI KAMPUNG BETING KOTA PONTIANAK KALIMANTAN BARAT
Transcript of DAKWAH DI SARANG KRIMINALITAS: STUDI KASUS DI KAMPUNG BETING KOTA PONTIANAK KALIMANTAN BARAT
1
DAKWAH DI SARANG KRIMINALITAS: STUDI KASUS DI KAMPUNG BETING KOTA PONTIANAK KALIMANTAN
BARAT1
Oleh: Zulkifli Abdillah, MA(IAIN Pontianak; [email protected])
Abstrak:
Kampung Beting yang berada di Kota Pontianak merupakankawasan yang unik dan menyeramkan. Perkampungan yanglahir bersamaan dengan berdirinya Kesultanan Pontianakini sekarang terkenal sebagai pusat kriminalitas. Namunsangat disayangkan hampir tidak ada upaya dakwah yangterstruktur dan sistematis untuk membantu masyarakatKampung Beting agar bisa keluar dari kondisinya sepertisekarang. Berdasarkan hasil penelitian denganmenggunakan teori struktural fungsional, diketahuibahwa banyak faktor yang saling memengaruhi satu denganyang lainnya untuk melakukan perubahan sosial. Faktor-faktor tersebut adalah: (1) Tingkat ekonomi masyarakatyang rendah atau kemiskinan; (2) Tingkat pendidikanmasyarakat rendah; (3) Kehilangan figur pemimpin atautokoh yang kuat; (4) Pemanfaatan budaya masyarakatsecara negatif; (5) Adanya kepentingan pihak luar; dan(6) Pengaruh lingkungan. Namun, di sisi lain terdapatjuga beberapa institusi yang berupaya mempertahankanstruktur masyarakat agar tidak berubah. Beberapainstitusi tersebut adalah keluarga, lembaga pendidikanTPA (Taman Pendidikan Al-Quran), para guru mengaji dankelompok pengajian serta majelis taklim. Untukmengembalikan Kampung Beting sebagai wilayah yang bebasdari berbagai bentuk kriminalitas, ada tiga upayasebagai bentuk dakwah kontekstual yang bisa dilakukan,yaitu penguatan institusi, intervensi pihak luar, danrevitalisasi budaya.---------------------------------------------------------------------------------------------------
Abstract:
1 Artikel dipresentasikan dalam “The 14th Annual InternationalConference on Islamic Studies”, Balikpapan, East Kalimantan, Indonesia,November 21-24, 2014.
2
Kampung Beting located in Pontianak City is an area of unique andcreepy. Kampung Beting which was born with the establishment of theSultanate of Pontianak is now known as a center of crime. Unfortunatelyalmost no effort is structured and systematic propaganda (dakwah) tohelp people of Kampung Beting to get out of the condition as it is now.Based on the results of research using the structural-functional theory, it isknown that many factors interplay with each other to make social change.These factors are: (1) a low level of public economics or poverty; (2) the lowlevel of public education; (3) Loss of a figure or figures strong leader; (4)Utilization of a negative culture; (5) The interest of outside parties; and (6)environmental effects. However, on the other hand there are also someinstitutions that seek to maintain the structure of society that has notchanged. Some of these institutions are the family, educationalinstitutions TPA (Taman Pendidikan Al-Quran), the tutor (guru mengaji Al-Quran) and study groups (kelompok pengajian) and Majelis Taklim. Torestore the village of Shelf as an area that is free from all forms ofcriminality, there are three attempts as a form of contextual propagandathat can be done, namely the empowering of institutions, externalinterventions, and cultural revitalization.
Kata-kata Kunci: Kampung Beting, Kriminalitas,Struktural Fungsional, Dakwah Kontekstual.
A. Pendahuluan
Stigma Kampung Beting yang berada di wilayah
Kelurahan Dalam Bugis Kota Pontianak dikenal sebagai
daerah yang “menyeramkan” telah dimulai sejak dua
dasawarsa yang lalu. Kampung Beting ini dulunya
merupakan daerah yang sangat penting, mengingat di
daerah inilah cikal bakal berdirinya kesultanan dan
sekaligus kota Pontianak. Oleh karena itu, hingga saat
ini di daerah tersebut masih berdiri kokoh Keraton
Kesultanan Kadariah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman
Pontianak. Wilayah yang tentunya menyimpan banyak
1
3
sejarah. Di samping memiliki aspek historis, wilayah
ini memiliki keunikan tersendiri. Sisi yang teramat
unik dari kampung ini sebagaimana ditulis oleh Harian
Kompas adalah tempat berpadunya kebaikan dan kejahatan.
Meskipun demikian stereotype negatif tentang kampung ini
tetap melekat di hampir sebagian besar warga kota
Pontianak. Ada yang menyebut kampung ini sebagai Texas-
nya kota Pontianak, ada juga yang menyamakannya seperti
kawasan Bronx di Kota New York. Bukan hanya warga
Pontianak saja yang mengenalnya, bahkan terkenal
hingga ke Mabes Polri. Setiap Kapolda baru yang
menjabat selalu mendapatkan pesan dari pendahulunya
untuk menangani tindak kriminalitas di wilayah ini
dengan cermat.
Satu hal yang menjadikan Kampung Beting begitu
terkenal “menyeramkan” adalah tindak kriminalitas di
kawasan ini sangat tinggi, terutama yang berkaitan
dengan narkoba, penularan HIV/AIDS, perjudian dan
pencurian. Transaksi penjualan narkotika dan
penampungan barang-barang hasil curian merupakan
aktivitas yang lazim di kawasan ini. Berdasar data
Direktorat Reserse Narkoba Polda Kalbar2 menunjukkan
tingginya angka kasus penyalahgunaan narkoba di Kalbar
terjadi di kawasan Kampung Beting. Pada 2008, dari 233
kasus terdapat 16,3 % terjadi di kawasan Kampung Beting
yakni 36 kasus. Selanjutnya pada 2009, dari 200 kasus
2 Sebagaimana dilansir oleh Harian Equator edisi 14 Agustus2011.
4
terdapat 12% terjadi di kawasan Beting yakni 24 kasus.
Pada 2010 dari 230 kasus terdapat 16,58 % yakni 38
kasus. Kemudian pada Januari-Juli 2011, dari 125 kasus
terdapat 21 kasus. Sementara diamankan 103 tersangka
dari 2008 hingga 2010. Di mana 60 % tersangka yang
diamankan tidak memiliki pekerjaan tetap, masih berusia
produktif dengan 55 % latar belakang pendidikan tamatan
SMA.
Menariknya, disamping menjadi pusat kriminalitas,
aktivitas spiritual dan religius berkembang dengan
cukup baik di kawasan ini. Kebersamaan dan rasa sosial
yang begitu kuat dan tinggi antar masyarakat setempat
tercermin dalam aktivitas kehidupan sehari-hari mereka.
Sejumlah tokoh agama dan kelompok pengajian tetap
bertahan dan beraktivitas di samping terus
berlangsungnya aktivitas kriminalitas. Fenomena ini
sangat menarik untuk dikaji khususnya jika dikaitkan
dengan teori struktural fungsional khususnya dalam
perspektif ilmu antropologi sosial budaya.
Realitas tentang Kampung Beting sebagaimana
tergambar dari data-data di atas menuntut adanya
perhatian serius dari semua pihak untuk melakukan
upaya-upaya mengembalikan masyarakat ke kehidupan yang
lebih positif, khususnya melalui pendekatan keagamaan.
Tentunya upaya-upaya tersebut harus bertolak dari
kajian yang mendalam untuk memahami muara dan akar dari
semua persoalan kemasyarakatan di Kampung Beting
5
tersebut. Pemahaman yang tepat dan mendalam mengenai
muara dan akar masalah sosial kemasyarakatan itu
dimaksudkan agar solusi yang ditawarkan benar-benar
efektif dan efisien. Dari titik inilah, tulisan ini
disusun sebagai hasil penelitian lapangan.
Dengan menggunakan perspektif teori struktural
fungsional, penelitian difokuskan pada faktor-faktor
penyebab perubahan sosial yang terjadi di masyarakat
Kampung Beting. Teori ini digunakan karena perubahan
yang terjadi di Kampung Beting bersifat lambat, tidak
revolusioner. Kemudian hal-hal yang memicu perubahan
sosial tersebut terdiri dari beberapa faktor yang
antara satu dengan yang lainnya saling memengaruhi.
Perubahan sosial di Kampung Beting, sebagaimana
dipaparkan di atas, dimulai sejak dua dasawarsa yang
lalu, yaitu pada awal tahun 1990-an. Karena masalah
sosial begitu luas, maka penelitian ini dibatasi hanya
pada perubahan sosial yang berkaitan dengan
perkembangan kriminalitas yang terjadi di Kampung
Beting.
Perlu penulis jelaskan bahwa yang dimaksud dengan
Kampung Beting dalam penelitian ini adalah salah satu
perkampungan di dalam wilayah administratif Kelurahan
Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur Kota Pontianak
Provinsi Kalimantan Barat. Nama Kampung Beting adalah
nama yang diberikan oleh masyarakat terhadap sebuah
daerah berbentuk tanjung yang merupakan daerah
6
pertemuan Sungai Landak dengan Sungai Kapuas. Wilayah
ini secara administratif dikenal dengan nama Tanjung
Pulau.
Dalam penelitian yang telah dilakukan, ada empat
persoalan pokok yang dikaji, yaitu: (1) Keadaan Kampung
Beting terkini; (2) Proses perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat Kampung Beting; (3) Faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial di
masyarakat Kampung Beting; dan (4) Upaya-upaya yang
dilakukan oleh masyarakat agar Kampung Beting tetap
bertahan seperti kondisinya semula yang tidak
terkontaminasi oleh kriminalitas.
Setelah empat hal tersebut teruraikan secara jelas
dalam penelitian maka penulis merekomendasikan beberapa
solusi alternatif pemecahan masalah-masalah sosial yang
dihadapi oleh masyarakat sebagai bagian dari upaya
dakwah yang kontekstual dengan kondisi Kampung Beting.
Selain bermanfaat untuk membawa masyarakat Kampung
Beting keluar dari masalah-masalah sosial khususnya di
bidang kriminalitas, penelitian ini juga diharapkan
dapat bermanfaat bagi kelompok masyarakat lain yang
memiliki masalah serupa dalam mengatasi masalahnya
masing-masing. Artinya, solusi sosial bagi masyarakat
Kampung Beting ini dapat menjadi model bagi kelompok
masyarakat lain dalam mengatasi masalah sosialnya.
Tentu saja nilai transferabilitasnya sangat terkait
7
dengan adanya kedekatan atau kesamaan pola dan situasi
yang ada antara Kampung Beting dengan daerah lainnya.
B. Metode Penelitian
Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan
karena masalah yang dikaji bersifat holistik, kompleks,
dinamis dan penuh makna. Di samping itu, penulis
sebagai peneliti berupaya memahami situasi sosial
secara mendalam, dengan sudut pandang dari subyek
penulis sendiri. Instrumen utama penelitian adalah
penulis sendiri. Sumber data penelitian terdiri dari
sejumlah informan dan beberapa dokumen berupa kliping
koran dan dokumen rencana peremajaan Kampung Beting.
Informan yang diwawancarai berjumlah sebelas orang.
Teknik pengumpulan data adalah wawancara mendalam,
observasi partisipasi pasif dan studi dokumentasi.
Analisis data menggunakan pola yang digunakan oleh
Miles dan Huberman yaitu menggunakan model interaktif
melalui proses pengumpulan data, reduksi data,
pemaparan data, dan verifikasi. Uji kredibilitas data
menggunakan metode meningkatkan ketekunan, triangulasi,
dan diskusi dengan teman sejawat.
C. Seputar Teori Struktural Fungsional
Telah disebutkan di atas bahwa penelitian
menggunakan teori struktural fungsional sebagai pisau
8
analisis atas perubahan sosial yang terjadi di Kampung
Beting. Oleh karena itu, di bagian ini secara khusus
akan dijelaskan sekilas tentang teori ini. Dari
perspektif sejarahnya, teori struktural-fungsional yang
diterapkan dalam sosiologi ataupun antropologi sosial
budaya dipinjam secara langsung dan dibangun dengan
menganalogikan pada konsep ilmu biologi. Dalam ilmu
biologi, suatu organisme dipadang sebagai struktur yang
tersusun dari bagian-bagian yang memiliki fungsi
sendiri namun memiliki keterkaitan yang tak
terpisahkan. Jika suatu bagian dari sistem organisme
itu terganggu fungsinya, maka akan memengaruhi bagian
lain.3 Menurut Vago struktur adalah:
The various parts of the social system. In the case of society, theprincipal structures are usually considered to be the societies’institutions—family, government, economic system, religion, andeducation—and the analysis focus on the interrelations among theseinstitutions”.4
Ini bermakna bahwa struktur adalah berbagai macam
bagian dari sistem sosial. Dalam konteks masyarakat,
stuktur-struktur yang dasar selalu mengacu pada
institusi-institusi masyarakat seperti keluarga,
pemerintah, sistem ekonomi, agama dan pendidikan,
dengan fokus analisisnya pada interrelasi antar
berbagai institusi tersebut. Setiap struktur dan3 David Kaplan & Albert A. Manners, Teori Budaya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000, hal. 77-78; Pip Jones, Pengantar Teori-teoriSosial dari Fungsionalisme Hingga Post-modernisme. Jakarta: YayasanPustaka Obor Indonesia Jones, 2010, hal. 53.
4 Steven Vago, Social Change. Fourth Edition. New Jersey:Prentice Hall, 1999, hal. 59.
9
masing-masing bagian di dalam struktur yang lebih besar
disusun untuk memiliki suatu fungsi membantu masyarakat
dalam menjalankan dan menjaganya agar tetap utuh.
Dalam pandangan teori fungsionalisme struktural,
kebudayaan dimaknai sebagai keterkaitan antara
subsistem kebudayaan yang menghasilkan sesuatu yang
lain. Misalnya, keterkaitan struktur sosial dengan
kebudayaan pada suatu masyarakat tertentu. Kebudayaan
terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi
abstrak tentang jagat raya yang berada di balik
perilaku manusia yang tercermin dalam perilakunya.
Semuanya dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, dan
apabila seseorang berbuat sesuai dengan nilai-nilai
tersebut maka perilaku mereka dianggap dapat diterima
oleh masyarakat itu. Kebudayaan dipelajari melalui
sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis, dan
unsur-unsur kebudayaan berfungsi sebagai suatu
keseluruhan yang terpadu.5
Dari segi metodologi, menurut Nur Syam6 metode
penelitian sosial pada umumnya dapat digunakan untuk
mengkaji antropologi fungsional ini. Aliran
fungsionalisme sinonim dengan analisis sosiologis dan
antropologis, demikian pendapat Kingsley Davis. Aliran
ini tidak memiliki suatu metode khusus sebagai khasnya.
Untuk mengkaji hubungan fungsional subsistem kebudayaan
5 Nur Syam, Mazhab-mazhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS, 2007,hal. 37.
6 Ibid.,hal. 39-41.
10
dengan lainnya dapat digunakan metode-metode penelitian
sosial pada umumnya, seperti analisis hubungan budaya.
Hanya saja, ada titik tekan dari antropologi struktural
fungsional, yaitu pada kajian tentang budaya yang
bercorak sistemik. Artinya keterkaitan antara subsistem
satu dengan yang lainnya sangat kuat. Peneliti harus
mengeksplorasi ciri sistemik kebudayaan. Jadi harus
diketahui bagaimana pertalian antara institusi-
institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat
sehingga membentuk suatu sistem yang bulat. Jika
analisis struktural fungsional pada sosiologi cenderung
makro, maka analisis struktural fungsional pada
antropologi cenderung mikro. Jadi, unit analisisnya
adalah kasus di dalam lokus terbatas (desa, komunitas,
etnis, dan sebagainya).
Dalam tafsir para fungsionalis, fungsionalisme
adalah metodologi untuk mengeksplorasi saling
ketergantungan. Di samping itu, para fungsionalis
menyatakan pula bahwa fungsionalisme merupakan teori
tentang proses kultural. Selain berminat melacak cara
saling pertautan yang sangat bermacam ragam—dan sering
mengejutkan—antara unsur-unsur suatu budaya, banyak
fungsionalis berpandangan bahwa mereka telah
menciptakan sosok teori yang menjelaskan mengapa unsur-
unsur itu berhubungan secara tertentu, dan mengapa
11
terjadi pola budaya tertentu atau setidak-tidaknya
mengapa pola itu bertahan.7
Untuk lebih memahami makna teori struktural
fungsional, harus dipahami beberapa konsep dasar
seperti struktur, status dan peran, norma, nilai dan
istitusi serta fungsi. Berikut penjelasan Saifuddin8
tentang konsep-konsep dasar tersebut. Sebagaimana
namanya, struktural-funsionalisme memandang masyarakat
sebagai suatu sistem dari struktur-struktur sosial.
“Struktur” dalam hal ini adalah pola-pola nyata
hubungan atau interaksi antara berbagai komponen
masyarakat—pola-pola yang secara relatif bertahan lama
karena interaksi-interaksi tersebut terjadi dalam cara
yang kurang lebih terorganisasi. Pada tingkat yang
paling umum adalah masyarakat secara keseluruhan, yang
dapat sebagai struktur tunggal yang menaungi. Pada
tingkat di bawahnya adalah suatu rangkaian struktur-
struktur yang lebih mengkhusus yang saling berkaitan
untuk membentuk masyarakat, ibarat pilar-pilar sebuah
bangunan atau mengikuti istilah Durkheim, seperti
organ-organ dari organisme yang hidup. Setiap struktur
lapisan kedua ini dicirikan oleh spesialisasi tugas
lebih lanjut.
Dalam perpsektif struktural-fungsional, setiap
individu menempati suatu “status” dalam berbagai7 David Kaplan & Albert A. Manners, op.cit. hal. 77.
8 Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer SuatuPengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Kencana, 2006, hal. 156-161.
12
struktur masyarakat. Individu yang menempati suatu
status juga dianggap memiliki hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tertentu, yang merupakan peranan dalam status
tersebut. Jadi status dan peranan cenderung bersama-
sama dalam apa yang disebut Parson sebagai “kumpulan
status dan peranan”. Oleh karena itu, struktur sosial
adalah saling keterkaitan status-status yang dihasilkan
apabila pelaku melaksanakan peranan yang dikenakan
dalam interaksi dengan yang lain. Jadi, apabila orang-
orang menempati status pekerja, pemilik, manajer, dan
status-status lainnya dalam masyarakat melaksnakan
peranan-perannya, maka kita akan mengetahui struktur
ekonomi atau pekerjaan dalam masyarakat tersebut.
Perspektif yang sama dapat digunakan untuk menandai
karakteristik struktur sosial berdasarkan pendidikan,
agama, dan lainnya yang membentuk masyarakat. Salah
satu aspek yang menyatukan dalam konsep mengenai
masyarakat adalah bahwa setiap individu dapat memiliki
status dan peranan dalam semua struktur ini pada saat
yang sama. Sebagai akibatnya, pelaku individu berada
dalam sejumlah struktur. Konsep tersebut memandang
individu terbagi-bagi menjadi beberapa peranan.
Di bawah label “struktur sosial” para struktural-
fungsionalis tak hanya memasukkan interaksi status-
peranan, tetapi juga aturan-aturan khusus dan
keyakinan-keyakinan umum, “norma” dan “nilai”, yang
mengatur interaksi-interaksi ini. Menurut para
13
struktural-fungsionalis norma dan nilai tersebut
bukanlah struktural, melaikan “kultural”, yang eksis
dalam berbagai ruang konseptual yang menyelimuti
struktur-struktur sosial. Dengan kata lain, norma dan
nilai sebenarnya adalah ide-ide atau simbol-simbol yang
berada dalam pikiran individu sebagai kode dan sanksi
bagi interaksi mereka.
Konsep pokok terakhir adalah gagasan tentang
“fungsi” itu sendiri. Bagi kebanyakan struktural-
fungsionalis, fungsi adalah suatu kegiatan yang harus
dilaksanakan dengan tingkat ketepatan tertentu apabila
ada pengelompokan sosial dan mempertahankan keanggotaan
kelompoknya. Untuk menjernihkan konsep “fungsi”,
Merton9 memperkenalkan pembedaan antar fungsi manifest dan
fungsi laten (fungsi tampak dan fungsi terselubung).
Fungsi manifest ialah “konsekuensi objektif yang
memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi
sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan
sistem tersebut”. Sebaliknya, fungsi laten adalah
konsekuensi objektif dari suatu ihwal budaya yang
“tidak dikehendaki maupun disadari” oleh warga
masyarakat. Jones10 menyatakan bahwa fungsi laten ini
lebih penting diidentifikasi untuk memahami fungsi dan
kebertahanan sistem sosial. Berikut adalah
karakteristik analisis fungsionalis:
9 David Kaplan & Albert A. Manners, op.cit. hal. 79; lihatjuga Steven Vago,op.cit.,hal. 59.
10 Pip Jones, op.cit., hal. 59.
14
Lebih memperhatikan efek suatu aktivitas atau
keyakinan, ketimbang unsur-unsur dasar penyusunnya:
lebih memperhatikan kerja dari aktivitas atau
keyakinan tersebut daripada unsur-unsur aktivitas atau
keyakinan.
Penekanan pada kebutuhan untuk keluar dari eksplanasi
warga masyarakat yang dikaji mengenai aktivitas
mereka untuk mengungkapkan signifikansi fungsional
yang sesungguhnya dari keyakinan dan perilaku yang
diinstitusionalisasi.
Untuk menjelaskan bagaimana perbedaan fungsi
manifest dan fungsi laten, berikut contoh analisis
Merton11 terkait dengan fungsi ritual hujan pada suku
Hopi. Ia menyatakan, apabila ditinjau dari fungsi
manifest bahwa upacara itu dimaknai sebagai upacara
untuk menurunkan hujan, namun ketika hujan tidak turun,
maka harus juga dianalisis dengan analisis fungsi laten
sebagai berikut, “bahwa upacara itu hakikatnya adalah
untuk memenuhi dan memperkokoh identitas kelompok
melalui suatu peristiwa periodik di kala banyak warga
etnis itu yang bekerja di tempat lain secara tersebar.
Untuk memahami perubahan sosial dalam konteks
struktural fungsional Van den Berghe12 menyebutkan
beberapa prinsip dasar pendekatan ini, yaitu:
1. Society must be analyzed “holistically as system of interrelatedparts”;
2. Cause and effect relations are “multiple and reciprocal”; 11 Nur Syam, op.cit., hal. 41.12 Steven Vago, op.cit, hal. 60-61.
15
3. Social system are in a state of “dynamic equilibrium” such thatadjustment to forces affecting the system is made with minimalchange within the system;
4. Perfect integration is never attained so that every social systemhas strains and deviations, but the latter tend to be neutralizedthrough institusionalization;
5. Change is fundamentally a slow, adaftive process, rather than arevolusionary shift;
6. Change is the consequence of the adjustment of change outsidethe system, growth by differentiation, and internal innovations;and
7. The system is integrated through shared values.
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa
masyarakat harus dianalisis sebagai bagian-bagian yang
saling berhubungan dari sebuah sistem yang menyeluruh.
Sebab dan akibat dari hubungan tersebut beragam dan
saling timbal balik. Sistem sosial berada dalam suatu
keadaan “keseimbangan dinamis” yang disesuaikan
terhadap kekuatan efektif sistem yang dibuat dalam
perubahan minimal dalam sistem. Integrasi sempurna
tidak akan pernah tercapai hingga setiap sistem sosial
mengalami tekanan dan penyimpangan, dan selanjutnya
cenderung menjadi netral dan terintitusionalisasi.
Perubahan pada dasarnya besifat lamban, mengalami
proses penyesuaian, bukan perubahan yang bersifat
revolusioner. Perubahan adalah konsekuensi dari
penyesuaian atas perubahan yang terjadi di luar sistem,
berkembang dengan diferensiasi, dan inovasi internal.
Sistem adalah perpaduan nilai-nilai bersama.
16
D. Kampung Beting: Perubahan Sosial dan Faktor-faktor
Penyebabnya
Sebelum menjelaskan perubahan sosial yang terjadi,
terlebih dahulu dijelaskan secara singkat kondisi
Kampung Beting, yaitu dari aspek geografis, demografis,
ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan lingkungan
fisik. Telah disebutkan di atas bahwa Kampung Beting
adalah daerah pemukiman penduduk yang padat dan
terkesan kumuh yang berada di dalam wilayah Kelurahan
Dalam Bugis Kota Pontianak. Dari aspek geografis letak
Kampung Beting cukup strategis dan sangat terbuka.
Kampung Beting berada di antara dua aliran sungai yang
membelah Kota Pontianak, yaitu Sungai Kapuas Kecil dan
Sungai Landak. Kampung ini dengan mudah dapat diakses
melalui dua jalur, yaitu jalur darat dan air. Jalur
darat dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda
dua maupun roda empat. Untuk sampai ke Kampung Beting
dapat melalui jalan Tanjung Raya I dan Jalan Tritura
Tanjung Hilir. Menuju Kampung Beting melewati jalan
Tanjung Raya I, maka kita akan masuk ke kawasan
berdirinya cikal bakal Kota Pontianak, yaitu Masjid
Jami Sultan Syarif Abdurrahman dan Keraton Kadriah
Pontianak. Sementara itu melalui jalur air, Kampung
Beting dapat dicapai dengan menggunakan sampan atau
speedboat.
Secara khusus, Kampung Beting terletak di belakang
Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Masjid Jami’ merupakan
17
simbol cikal-bakal berdirinya Kota Pontianak. Kampung
Beting memiliki wilayah seluas 3,8 Ha. Dalam
perkembangannya, Kampung Beting dikenal pula dengan
sebutan Tanjung Pulau. Kampung Beting juga disebut
Tanjung Pulau, menurut Sy. Ismail Alkadrie, sebab
letak kampung Beting menyerupai tanjung. Perubahan nama
Kampung Beting menjadi Tanjung Pulau terjadi pada
sekitar tahun 1960-an, yang salah satu sebabnya adalah
kemajuan yang dicapai Kampung Beting pada waktu itu.
Perkembangan selanjutnya, nama Tanjung Pulau diubah
kembali menjadi Kampung Beting karena masyarakat
menginginkan nama asal, yakni Kampung Beting.13
Makna Kampung Beting sendiri, sebagaimana
dituturkan oleh Syarif Yusuf Selamat Alkadrie (74
tahun), seorang tokoh masyarakat yang juga kerabat dan
sesepuh Istana Kadriah Pontianak, bahwa Beting dalam
bahasa Melayu berarti aek nyorong, yakni tanah yang
dipukul gelombang sehingga daratannya bertambah luas.
Ketika air pasang, daratan tersebut akan hilang.
Sementara, ketika air surut, daratan akan muncul ke
permukaan. Nama kampung Beting yang menjadi sebutan
masyarakat sekitar masjid Jami’ Sultan Syarif
Abdurrahman.
13 Sejarah awal mula Kampung Beting ini merupakan hasilwawancara dengan Om Simon (Syarif Yusuf Selamat Alkadrie),tokoh Kampung Beting, yang dalam prosesnya kemudian memintauntuk merujuk kepada Harian Pontianak Post edisi 28-08-2009,yang di dalamnya sejarah tentang Kampung Beting pernah dimuat.
18
Dari aspek demografis, berdasarkan data monografi
Kelurahan Dalam Bugis (edisi Juni 2012), mayoritas
penduduk yang mendiami Kelurahan Dalam Bugis beragama
Islam (95,22 persen). Hal ini dapat dimengerti karena
mayoritas penduduk di Kelurahan Dalam Bugis adalah dari
Suku Bangsa Melayu yang hampir semuanya memeluk agama
Islam. Selain suku Melayu, penduduk yang tinggal di
kelurahan Dalam Bugis terdiri dari Bugis, Madura,
Dayak, Tionghoa, Jawa dan lain-lain.
Secara umum kondisi ekonomi masyarakat Kelurahan
Dalam Bugis tergolong ekonomi lemah dan sedang atau
menengah. Sektor ekonomi masyarakat Kelurahan Dalam
Bugis khususnya Kampung Beting bervariasi. Kondisi
Kampung Beting yang berada di pesisir sungai Kapuas dan
sungai Landak, membuat masyarakat Kampung Beting
memperoleh keahlian berenang, sehingga saat ini banyak
masyarakat Kampung Beting yang berprofesi sebagai
penyelam, penambang sampan, serta buruh pelabuhan dan
buruh bangunan. Di sisi lain, banyak kaum perempuan
Kampung Beting bekerja membuat dan menjual makanan atau
kue untuk membantu perekonomian keluarga. Kue yang
dijual oleh para perempuan Kampung Beting masih
tergolong kue tradisional seperti pisang goreng, apam
yang terbuat dari tepung beras, demikian juga kue deram
dan kue cucor, kue jorong-jorong, kue dokok-dokok, kue
trisalad, dan berbagai jenis kue-kue tradisional
lainnya. Harga kue-kue yang dijual pun terbilang murah,
19
hanya Rp. 700,-. Selain berjualan kue, juga ada yang
berjualan makanan seperti nasi merah, nasi kuning,
bubur dan lauk pauk seharga Rp. 2.000 – Rp. 4.000.
Sebagian masyarakat membuka warung kecil di rumah
mereka masing-masing. Ada yang menjual makanan dan
minuman dan sebagian besar menjual berbagai kebutuhan
sehari-hari masyarakat yaitu sembako.
Tingkat pendidikan di Kelurahan Dalam Bugis saat
ini dapat di golongkan berpendidikan rendah dan
menengah, tingkat pendidikan sebagian besar tamatan
SLTP sederajat (38,08%) dan tamatan SMA sederajat
(32,39%). Dari aspek budaya, budaya Melayu masih
menjadi dasar nilai-nilai atau norma-norma yang dirujuk
dalam kehidupan mereka. Keberadaan Masjid Jami Sultan
Syarif Abdurrahman juga menjadi salah satu pilar bagi
masyarakat Kampung Beting untuk menjalankan syariat
Islam. Potensi seni dan budaya Melayu di daerah ini
cukup tinggi. Menurut tokoh masyarakat yang juga
kerabat Keraton Kadriah Syarif Slamet Yusuf Alqadrie
(om Simon) kebudayaan yang ada di Keraton Kadriah semua
bernafaskan Islam. Salah satu kesenian yang sekarang
masih di lestarikan oleh masyarakat sekitar keraton dan
Kampung Beting yaitu hadrah. Dahulu orang menyebutnya
dengan Zikir Hadrah.
Untuk masuk ke Kampung Beting, akses melalui darat
hanya ada satu jalan masuk yaitu melalui jalan yang
tepat berada di depan Keraton Kadriyah, yaitu melalui
20
sebuah jembatan yang mengarah ke Masjid Jami’. Mulai
dari depan Masjid Jami’ jalan yang dilalui adalah
berupa jalan semen yang dibuat agak tinggi dari
permukaan tanah. Sebelum tahun 2006 jalan semen ini
terbuat dari kayu dan papan belian yang disebut
“geretak”. Sejak memasuki kawasan Kampung Beting yang
bermula dari Masjid Jami’, sudah terlihat rumah-rumah
penduduk yang padat dan kurang teratur tata letaknya.
Sebagian besar rumah penduduk tergolong sederhana yang
terbuat dari lantai papan, berdinding semen dan beratap
seng. Namun ada juga beberapa rumah yang masih
berlantai dan berdinding papan. Hampir semua rumah
berhimpitan dinding antara rumah satu dengan yang
lainnya. Semua rumah dibuat dengan menggunakan tiang
yang cukup tinggi, agar tidak terendam jika air sedang
pasang.
Jika air sedang pasang, maka air akan masuk ke
bawah kolong rumah-rumah penduduk, Karena kesadaran
penduduk untuk menjaga kebersihan lingkungan belum
tinggi, saat air pasang akan terlihat banyak sampah
yang mengambang (khususnya sampah plastik di atas
permukaan air). Di sepanjang jalan kampung yang terdiri
dari beberapa jalur, terlihat cukup banyak penduduk
yang berdagang di depan rumahnya, atau menyediakan satu
ruangan di samping rumah sebagai toko tempat berjualan
berbagai kebutuhan masyarakat.
21
Kawasan Kampung Beting juga memiliki beberapa
parit kecil. Rumah-rumah penduduk sebagian besar
menghadap ke parit tersebut. Parit yang ada memiliki
banyak fungsi. Sebagian besar penduduk memanfaatkan
parit tersebut sebagai tempat mandi dan mencuci. Bagi
anak-anak laki-laki dan perempuan, parit menjadi tempat
mereka bermain sambil berenang dan menyelam. Bagi
sebagian kaum laki-laki, parit juga tempat mencari
nafkah, yaitu sebagai tempat untuk mengayuh sampan
sebagai salah satu alat transportasi, dan kegiatan ini
disebut “menambang”.
Kampung Beting sebagaimana kondisinya saat ini,
sebagai pusat peredaran narkoba serta sarang kejahatan,
telah memiliki daya tarik tersendiri bagi banyak pihak.
Bagi para penjahat yang berasal dari luar, Kampung
Beting menjadi tempat paling tepat untuk dijadikan
tempat tinggal sekaligus sebagai tempat berlindung dari
kejaran aparat penegak hukum. Selain karena
karakteristik wilayahnya, juga karena budaya masyarakat
yang terkadang dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan
demi melindungi kepentingan mereka. Hingga kini,
Kampung Beting masih mendapatkan perlakuan yang tidak
seharusnya oleh masyarakat luar, termasuk media massa,
yang disebabkan stigmatisasi negatif yang dialaminya.
Kondisi seperti ini tentu tidak boleh dibiarkan
berlanjut dengan tanpa upaya mengatasinya.
22
Dari penelusuran penulis, ditemukan data bahwa
kondisi Kampung Beting seperti sekarang telah melalui
tahapan perkembangan atau perubahan yang cukup panjang.
Dalam pandangan Van den Berghe14 perubahan sosial dalam
perspektif struktural fungsional memiki ciri antara
lain perubahan besifat lamban, mengalami proses
penyesuaian, bukan perubahan yang bersifat
revolusioner. Selanjutnya perubahan adalah konsekuensi
dari penyesuaian atas perubahan yang terjadi di luar
sistem, berkembang dengan diferensiasi, dan inovasi
internal. Ciri-ciri yang disebutkan oleh Berghe akan
tergambar sebagai berikut. Tahap awal, yaitu tahap
pembentukan Kampung Beting. Kesultanan Pontianak yang
berdiri tahun 1771 M. mengambil peran yang cukup besar
dalam tahap awal ini. Peran tersebut yaitu menjadikan
Kampung Beting sebagai area pemukiman bagi masyarakat
pendatang yang memiliki keperluan ke Pontianak. Sejak
awal Kampung Beting telah menjadi kawasan hunian yang
didiami oleh masyarakat yang heterogen, khususnya dari
aspek asal tempat tinggal, etnisitas, dan pekerjaan.
Heterogenitas masyarakat yang didukung oleh letak
geografisnya menjadikan kampung ini terus bertahan
sebagai kawasan yang terbuka bagi siapa saja yang
hendak bermukim di sana. Pada tahap berikutnya,
khususnya pada masa Sultan Syarif Muhammad Alkadrie
(1895-1944 M.), Kampung Beting memasuki tahap penataan.
14 Steven Vago, op.cit., hal. 60-61.
23
Pada tahap ini pihak kesultanan berupaya menata Kampung
Beting serta memberikan perhatian yang serius kepada
masyarakat di sana dengan memberikan jaminan hidup
berupa subsidi oleh Sultan. Saat itu Kesultanan
Pontianak masih efektif sebagai sebuah kekuatan
politik, sosial-budaya dan keagamaan. Masyarakat
Kampung Beting menjadi salah satu di antara pendukung
setia kesultanan dan karenanya mereka mendapat julukan
sebagai “titah paduka”.
Seiring berjalannya waktu, ketika Negara Kesatuan
Republik Indonesia tahun 1945 terbentuk maka semua
kerajaan dan kesultanan di tanah air menyatakan melebur
diri ke dalam negara yang baru berdiri ini. Kesultanan
Pontianak, yang pada awal kemerdekaan dipimpin oleh
Sultan Syarif Hamid II Alkadrie, juga menyatakan lebur
dalam NKRI, meskipun secara faktual eksistensi
kesultanan tetap dilestarikan. Di zaman kemerdekaan,
kesultanan hanya memegang otoritas sosial budaya. Sejak
tahun 1950, Kesultanan Pontianak vacum dari kekuasaan
seorang sultan. Kampung Beting yang dulunya sebagai
“titah paduka” lambat laun mulai berubah seiring
masuknya para pendatang dari luar, yang notabene
sebagiannya adalah para penjahat. Sejak saat itu,
karena kehilangan figur panutan serta didukung oleh
faktor heterogenitas dan keterbukaan yang dimilikinya,
kampung ini pun mulai dikenal orang sebagai “sarang
penjahat”; tempat bersembunyi dan bermukim para
24
penjahat seperti pencuri, perampok, pencopet, pemabuk,
penadah barang curian dan sebagainya. Tentu saja para
pendatang ini sedikit-banyak telah pula memengaruhi
masyarakat setempat sehingga sebagian ikut-ikutan
perilaku kriminal para pendatang.
Perubahan Kampung Beting menjadi sarang para
penjahat terus berlanjut hingga sekitar tahun 1990-an.
Saat itu orang-orang yang datang ke Kampung Beting
mulai memperkenalkan narkoba kepada masyarakat setempat
sebagai barang dagangan yang menggiurkan. Sejak saat
itu, Kampung Beting mulai dikenal orang sebagai tempat
atau sarang narkoba. Menarik untuk diperhatikan bahwa
pengakuan dari semua informan mengatakan bahwa orang-
orang Beting saat ini hanyalah sebagai penjual (baik
sebagai bandar ataupun hanya sekedar sebagai kurir).
Konsumen atau pembeli dan pengguna narkoba adalah
orang-orang dari luar kampung. Berdasarkan tes urine
yang dilakukan BNN (Badan Narkotika Nasional) Kota
Pontianak tidak lama sebelum penelitian ini dilakukan,
memang terbukti bahwa masyarakat Kampung Beting negatif
sebagai pengguna narkoba.
Temuan menarik berikutnya di Kampung Beting adalah
berpadunya antara “kejahatan dan kebaikan”. Maksudnya
adalah meskipun manjadi sarang peredaran narkoba,
kampung tersebut juga semarak dengan kegiatan
keagamaan. Kelompok-kelompok pengajian, majelis taklim,
belajar al-Quran [baik oleh guru mengaji atau TPA
25
(Taman Pendidikan Al-Quran)], berbagai bentuk seni
Islami serta kelompok shalawatan tetap semarak. Bahkan
para bandar senantiasa melakukan berbagai kegiatan
“amal” seperti membiayai sejumlah orang untuk
melaksanakan ibadah umrah, berqurban dengan jumlah sapi
yang banyak, dan membantu masyarakat dalam berbagai
bentuk. Para bandar dan kurir juga memiliki kesadaran
terhadap pentingnya pendidikan, termasuk pendidikan
agama, bagi anak-anak mereka.
Jika dikaitkan dengan sejumlah teori tentang
perubahan sosial, mungkin dapat dikatakan bahwa
perubahan di Kampung Beting mengikuti teori fungsional.
Teori ini memandang penyebab perubahan adalah adanya
ketidakpuasan masyarakat karena kondisi sosial yang
berlaku pada masa ini yang memengaruhi pribadi mereka.
Dalam hal ini William Ogburn menjelaskan bahwa meskipun
terdapat hubungan yang berkesinambungan antara unsur
sosial satu dan yang lain, dalam perubahan ternyata
masih ada sebagian yang mengalami perubahan sementara
yang lain masih tetap tidak mengalami perubahan
(statis). Dengan demikian setiap perubahan tidak selalu
membawa perubahan pada semua unsur sosial, sebab masih
ada sebagian yang tidak ikut berubah. Dalam kasus di
Kampung Beting, terdapat bagian yang tidak mengalami
perubahan yaitu kehidupan beragama masyarakat.
Kehidupan beragama masyarakat boleh dikatakan tidak
berubah. Berbagai tradisi keberagamaan masyarakat masih
26
tetap berjalan sementara kehidupan sosial pada umumnya
telah mengalami perubahan.
Ditemukan sejumlah faktor yang menjadikan Kampung
Beting berubah menjadi sarang narkoba. Faktor-faktor
tersebut jika dilihat lebih jauh sebenarnya memiliki
keterkaitan antara satu dengan lainnya. Dari perspektif
struktural fungsional, suatu sistem sosial dipadang
sebagai struktur yang tersusun dari bagian-bagian yang
memiliki fungsi sendiri namun memiliki keterkaitan yang
tak terpisahkan. Jika suatu bagian dari sistem sosial
itu terganggu fungsinya, maka akan memengaruhi bagian
lain. Atau jika suatu bagian dari sistem sosial
mengalami perubahan, maka bagian lainnya juga akan ikut
mengalami perubahan. Faktor-faktor tersebut adalah
sebagai berikut.
Pertama, tingkat ekonomi masyarakat yang rendah
atau kemiskinan. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa
masyarakat Kampung Beting berada pada level ekonomi
menengah ke bawah. Sebagian besar mata pencaharian
masyarakat adalah buruh, penambang sampan, pedagang
kecil, serta berjualan kue-kue dan makanan (khususnya
bagi kaum perempuan). Pekerjaan seperti ini jelas tidak
memberikan penghasilan yang memadai. Untuk menutupi
kebutuhan yang semakin banyak, terlebih lagi karena
pengaruh konsumerisme, banyak orang yang akhirnya
mencari jalan pintas dalam mencari penghasilan. Pilihan
yang paling mudah adalah menjadi penjual narkoba (baik
27
sebagai bandar maupun kurir atau pengedar). Dapat
dikatakan bahwa sistem ekonomi telah menjadikan
kemampuan ekonomi masyarakat Kampung Beting berada pada
level bawah dan tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi
berbagai kebutuhan hidup yang semakin meningkat baik
kuantitas maupun kualitasnya.
Kedua, tingkat pendidikan masyarakat rendah.
Rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat berpengaruh juga
pada kemampuan para orang tua menyekolahkan anak-
anaknya. Karena ketidakmampuan ekonomi para orang tua,
banyak anak-anak yang putus sekolah. Kampung Beting
yang mayoritas masyarakatnya berpendidikan rendah
memberikan pengaruh terhadap perubahan masyarakatnya.
Ini terjadi karena masyarakat Kampung Beting yang masih
menganggap pendidikan bukan prioritas utama. Rata-rata
pendidikan mereka adalah SD (Sekolah Dasar) atau SMP
(Sekolah Menengah Pertama). Tingkat pendidikan yang
rendah, selain berakibat pada sulitnya mencari
pekerjaan yang lebih layak, juga berakibat pada
pembentukan sikap dan mental yang kurang baik. Meskipun
mereka tahu narkoba itu sangat berbahaya, tetapi mereka
tetap menjalankan kegiatan mereka sebagai penjual
narkoba, demi mendapatkan uang dengan mudah.
Ketiga, masyarakat kehilangan figur pemimpin atau
tokoh yang kuat. Telah disebutkan juga di atas bahwa
sejak vakumnya posisi Sultan di Kesultanan Pontianak,
masyarakat tidak lagi memiliki sosok tokoh yang mampu
28
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan. Baik tokoh agama maupun tokoh
masyarakat. Bahkan terkesan bahwa keberadaan Keraton
Kadriyah di sekitar mereka sama sekali tidak memberikan
dampak positif bagi masyarakat.
Faktor keempat, pemanfaatan budaya masyarakat
secara negatif. Maksudnya adalah sikap dan budaya yang
baik seperti solidaritas yang tinggi, kebersamaan, rasa
kekeluargaan, serta sifat tolong menolong di lingkungan
masyarakat Kampung Beting masih tetap terjaga. Selain
itu, masyarakat juga memiliki sifat terbuka dan tahu
balas budi. Ketika sebagian besar masyarakat Kampung
Beting berada dalam kondisi miskin, kehadiran para
bandar narkoba seolah-olah menjadi dewa penolong bagi
mereka. Betapa tidak, setiap saat para bandar atau
pengedar siap memberikan batuan finansial kepada
masyarakat yang membutuhkan. Kalau pun masyarakat tidak
meminta bantuan, dengan senang hati para bandar
memberikan bantuan. Sifat masyarakat yang tahu balas
budi, suka menolong dan solidaritas sosial yang tinggi
seperti yang disebutkan di atas dipahami betul oleh
para bandar narkoba. Mereka kemudian “merekayasa”
dengan memberikan berbagai bantuan kepada masyarakat
sehingga merasa berhutang budi kepada para bandar
narkoba. Karena telah termakan jasa, sangat wajar jika
mereka kemudian memberikan perlindungan kepada bandar
narkoba. Tentu saja, selain karena termakan jasa,
29
mereka juga tidak ingin keuntungan ekonomi yang telah
mereka nikmati saat ini hilang begitu saja lantaran
para bandar diciduk oleh aparat.
Faktor kelima, adanya kepentingan pihak luar.
Keberadaan para bandar narkoba di Kampung Beting
sebenarnya juga didukung oleh adanya kepentingan pihak
luar. Salah satu pihak yang berkepentingan adalah oknum
aparat yang juga mengambil keuntungan dari para bandar.
Sebagian besar responden mengakui bahwa ada sejumlah
oknum aparat, bahkan pejabat yang menjadi pelindung
para bandar. Informan mengatakan bahwa ada aparat yang
kebagian “sopoy”15 dari para bandar. Ada juga pejabat
atau politisi yang mendapatkan dukungan dana kampanye
saat mereka hendak mencapai suatu kedudukan politik.
Faktor yang terakhir atau keeenam adalah pengaruh
lingkungan. Masyarakat Kampung Beting Kota Pontianak
merupakan masyarakat dengan mobilitas penduduk yang
relatif tinggi. Kehidupan masyarakatnya juga mengikuti
perkembangan zaman yang makin pesat. Sikap terbuka akan
hal-hal baru dalam modernisasi menyebabkan masyarakat
Kampung Beting mudah mengikuti dan dipengaruhi.
Maraknya tayangan televisi yang mempertontonkan
kehidupan serba mudah dan enak juga turut memengaruhi
masyarakat untuk ikut menirunya. Namun karena
pendidikan yang rendah dan pekerjaan tidak ada, maka
dengan mudah para anak muda tergiur jika ditawari
15 Bahasa Melayu Pontianak yang berarti sogokan.
30
menjadi kurir. Mereka ingin hidup nyaman tetapi dengan
cara yang instan.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa
secara umum ada dua faktor utama penyebab perubahan
sosial di Kampung Beting, yaitu faktor internal dari
masyarakat dan faktor eksternal atau dari luar
masyarakat. Masuk dalam kategori faktor internal adalah
kemiskinan, pendidikan, kehilangan tokoh, dan budaya.
Sementara kepentingan luar dan pengaruh lingkungan
masuk dalam kategori faktor eksternal. Hal ini sejalan
dengan pandangan Soerjono Soekanto16 yang menyebutkan
pada umumya sebab-sebab perubahan sosial ada yang
terletak di dalam masyarakat itu sendiri dan ada yang
letaknya di luar. Dalam pandangan Featherstone (1991)
dan Hannerz (1996)17 globalisasi telah menjadi kekuatan
besar yang membutuhkan respon tepat karena ia memaksa
suatu strategi bertahan hidup (survival strategy) dan
strategi pengumpulan kekayaan (accumulative strategy) bagi
berbagai kelompok masyarakat. Proses ini telah membawa
“pasar” menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan
nilai dan tatanan sosial yang bertumpu pada prinsip-
prinsip komunikasi padat dan canggih.
E. Upaya Masyarakat Mempertahankan Diri dari Pengaruh
Luar16 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2005, hal. 318, 332, 311-317.17 Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hal. 165.
31
Tak dapat dipungkiri terjadinya perubahan sosial
di Kampung Beting karena adanya faktor eksternal yang
masuk dan memengaruhi sistem sosial di dalamnya. Tentu
saja sebagian masyarakat tetap berupaya tidak larut
dalam pengaruh-pengaruh negatif yang datang dari luar
dan menjadikan kampung mereka menjadi kampung yang
berlabel negatif. Dalam konteks struktural fungsional,
masyarakat akan melakukan berbagai bentuk inovasi
terhadap berbagai bagian dalam sistem sosial sebagai
upaya untuk tetap mempertahankan struktur masyarakat
agar tidak berubah. Ada sejumlah upaya yang dilakukan
oleh masyarakat Kampung Beting yang berupaya
mempertahankan struktur yang ada dalam masyarakat.
Berikut akan dijelaskan secara singkat upaya-upaya
tersebut.
Pertama, pendidikan di dalam keluarga. Meskipun
kondisi lingkungan Kampung Beting saat ini kurang
kondusif bagi tumbuh kembang anak, namun sebagian orang
tua masih tetap bertahan tinggal di sana. Bagi mereka
yang paling menentukan bagi tumbuh kembang anak-anak
mereka adalah pendidikan di dalam keluarga. Meskipun
lingkungan tidak kondusif, jika pendidikan di dalam
keluarga mampu berperan secara maksimal dalam medidik
anak-anak, maka anak akan menjadi manusia yang lebih
baik dan mampu bertahan dari pengaruh buruk
lingkungannya. Beberapa keluarga berupaya semaksimal
mungkin mengambil peran membekali anak-anak mereka
32
dengan pendidikan di rumah, khususnya pendidikan agama.
Anak-anak diberi pelajaran mengaji di rumah atau di
Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) yang ada di Kampung
Beting. Orang tua juga membuat aturan yang ketat dalam
mengatur waktu bergaul anak-anaknya di lingkungan.
Sebagian orang tua bahkan memutuskan untuk mengirim
anak-anaknya menuntut ilmu di berbagai Pondok Pesantren
di luar daerah (khususnya ke Pulau Jawa). Tujuannya
adalah agar anak-anak mereka memiliki bekal pengetahuan
agama dan karakter yang kuat saat kembali. Tujuan
lainnya adalah untuk menghindari pergaulan yang tidak
baik di lingkungan Kampung Beting.
Hal yang lebih menarik lagi adalah para pengedar
atau bandar narkoba sebagian memiliki kesadaran bahwa
anak-anak mereka tidak boleh mengikuti jejak mereka
sebagai pengedar atau bandar narkoba. Karena itu mereka
mengirim anak-anaknya keluar daerah untuk sekolah. Para
pengedar narkoba ini juga memperhatikan pendidikan
agama anak-anak dengan memasukkan mereka ke TPA atau
belajar mengaji pada guru-guru mengaji yang masih tetap
bertahan di Kampung Beting.
Selain upaya-upaya yang dilakukan oleh segelintir
orang yang memahami arti penting pendidikan di dalam
keluarga, kesadaran kolektif masyarakat juga tumbuh.
Bahkan terdapat sejumlah institusi di tengah masyarakat
Kampung Beting yang berupaya melakukan berbagai upaya
untuk mempertahankan institusi-institusi lama yang
33
diharapkan mampu mengimbangi pengaruh negatif dari
luar. Berikut ini beberapa bentuk upaya yang dilakukan
oleh masyarakat dalam mempertahankan istitusi-institusi
penjaga nilai-nilai di dalam masyarakat Kampung Beting.
Kedua, guru-guru mengaji. Sebagai sebuah kampung
tua—setua Kota Pontianak—tradisi pembelajaran baca al-
Quran secara tradisional masih bertahan di Kampung
Beting. Dalam proses pembelajarannya, sebagian besar
guru mengaji masih menggunakan cara dan metode yang
sudah ada secara turun temurun, yaitu metode mengeja
huruf Arab dengan menggunakan buku al-Quran kecil.
Namun ada juga beberapa guru mengaji yang sudah beralih
menggunakan metode yang cukup baru, yaitu metode iqra’
atau qiraati. Dalam belajar membaca al-Quran biasanya
para murid tidak dipungut biaya tertentu. Pembayaran
menyesuaikan dengan kemampuan orang tua murid, atau
bahkan tidak dengan biaya sama sekali. Hanya dalam
waktu-waktu tertentu orang tua murid memberikan sesuatu
sebagai imbal jasa kepada sang guru mengaji.
Berdasarkan hasil investigasi penulis di lapangan,
terdapat belasan orang yang menjadi guru mengaji di
Kampung Beting. Karena keterbatasan waktu, penulis
belum sempat melakukan wawancara kepada para guru
mengaji tersebut. Hanya dua di antara mereka yang
sempat diwawancarai, yaitu Ustadz Ja’far Sulaiman dan
Ahmad Jais. Di antara nama-nama guru mengaji tersebut
adalah: Hermansyah, Ustadz Ja’far Sulaiman (termasuk
34
mengajarkan seni baca al-Quran), Ibrahim, Abu Bakar,
Asmin, Maria, Yusnawati, Ahmad Jais (TPA), Ce’ No’, Mas
Dadang, Bang In, Ma’ Na. Para guru mengaji tradisional
ini merupakan salah satu institusi di masyarakat yang
tetap berusaha mempertahankan tradisi dan nilai-nilai
lama yang diharapkan mampu mengeliminasi pengaruh
negatif dari luar.
Ketiga, Taman Pendidikan Al-Quran. Selain melalui
para guru mengaji, anak-anak di Kampung Beting juga
dapat belajar membaca al-Quran di Taman Pendidikan al-
Quran. Saat ini hanya terdapat dua TPA di Kampung
Beting, yaitu TPA Masjid Jami’ Syarif Abdurrahman dan
TPA Surau Ikhwanul Muslimin. TPA Masjid Jami’ dikelola
oleh Remaja Masjid Jami’’, sedangkan TPA Surau Ikhwanul
Muslimin dikelola oleh Ahmad Jais. TPA yang terakhir
ini telah eksis sejak tahun 1991, namun proses
pembelajarannya dilakukan di rumah Ahmad Jais. Baru
pada tahun 2002, di saat Surau Ikhwanul Muslimin
berdiri proses belajar mengajar dilakukan di Surau.
Memang kondisi Surau Ikhanul Muslimin sangat
memprihatinkan. Meskipun demikian, selain sebagai
tempat shalat dan TPA, surau tersebut juga difungsikan
sebagai Posyandu bernama “Nusa Indah”.
Keempat, kelompok-kelompok pengajian dan majelis
taklim. Upaya-upaya lain yang dilakukan oleh masyarakat
Kampung Beting dalam membentengi diri mereka dari
pengaruh negatif dari lingkungan sosial adalah dengan
35
mengadakan berbagai kegiatan keagamaan melalui sejumlah
kelompok pengajian dan majelis taklim. Namun sayangnya,
tidak ditemukan data tertulis dan pasti tentang jumlah
kelompok pengajian dan majelis taklim yang ada. Data-
data berikut ini diperoleh peneliti dari hasil
wawancara dengan para informan, dan bukan dari data
tertulis dan resmi. Penelitian ini juga belum sampai
pada melakukan investigasi ke setiap kelompok yang ada.
Namun secara garis besarnya dapat digambarkan sebagai
berikut.
Salah satu kelompok pengajian yang cukup dikenal
dan aktif mengadakan berbagai kegiatan adalah yang
bernama “El-Betingqi” yang dipimpin oleh Ustadz Haidar.
Anggota El-Betingqi ini adalah para remaja, terutama
yang juga tergabung dalam Remaja Masjid Sultan Syarif
Abdurrahman. Kegiatannya cukup padat dan hampir setiap
hari ada kegiatan. Berikut jadwal kegiatan kelompok El-
Betingqi:
1) Senin malam setelah shalat Isya belajar Tafsir al-
Quran, Ilmu Tauhid, dan Fikih dengan pembimbing
Ustadz Ade Maulana.
2) Selasa malam setelah shalat Maghrib belajar fikih
dengan pembimbing ustadz Haidar. Kegiatan kemudian
dilanjutkan setelah shalat Isya untuk latihan seni
marawis.
3) Kamis malam mempelajari dan membaca maulid
situddurar.
36
4) Sabtu malam setelah shalat Isya belajar Bahasa
Arab dibimbing oleh ustadz Ade Maulana.
Selain kelompok El-Betingqi, terdapat juga Remaja
Masjid Sultan Syarif Abdurrahman, Jami’atul Tauhidiyah
dan Hubbun Nabi. Remaja Masjid Sultan Syarif
Abdurrahman juga memiliki jadwal kegiatan yang cukup
banyak dan dipusatkan di Masjid Jami’. Jami’atul
Tauhidiyah, hampir mirip dengan kegiatan El-Betingqi,
diasuh oleh Ibrahim Iskandar. Yang menarik dari
Jami’atul Tauhidiyah ini adalah telah mampu menyadarkan
dan merehabilitasi sebanyak tiga orang pecandu narkoba.
Bahkan ketiga orang tersebut rajin mengikuti berbagai
kegiatan pengajian. Sementara kelompok Hubbun Nabi
kegiatannya meliputi kegiatan majelis taklim dan seni
marawis. Kelompok pengajian atau majelis taklim khusus
ibu-ibu ada tiga kelompok, sedangkan untuk kelompok
Yasinan dan Barzanji khusus laki-laki ada lima
kelompok.
Secara khusus di Surau Ikhwanul Muslimin, di bawah
bimbingan Ahmad Jais, terdapat berbagai kegiatan. Untuk
anak-anak ada TPA, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya. Selain itu ada juga kegiatan Barzanji,
pemberantasan buta huruf Arab dan Latin bagi masyarakat
Kampung Beting yang belum bisa membaca. Kegiatan
berikutnya yang cukup penting adalah kelompok Shalawat
Wahidiyah. Shalawat ini memiliki kegiatan rutin yang
disebut dengan Yaumiyyah (harian), Usbu’iyyah (mingguan),
37
Syahriyyah (bulanan), Nishfu Tsanah (setengah tahunan).
Menurut informasi dari pembinanya, Ahmad Jais, shalawat
Wahidiyah ini sifatnya nasional se-Indonesia dan
berpusat di Jawa Timur, dan bahkan terdapat di beberapa
negara muslim lainnya.
Dengan memperhatikan paparan di atas, jelas bahwa
beberapa komponen di dalam masyarakat Kampung Beting
seperti keluarga, lembaga pendidikan TPA, para guru
mengaji dan kelompok pengajian atau majelis taklim
melakukan fungsinya masing-masing secara konsisten.
Antara satu komponen dengan komponen lainnya saling
memiliki keterkaitan sebagai suatu upaya mempertahankan
struktur masyarakat Kampung Beting agar tidak berubah
mengikuti pengaruh kriminalitas (seperti peredaran dan
penyalahgunaan narkoba, pencurian, penadah hasil
curian, judi) dari luar. Mengikuti konsep Merton
tentang fungsi manifest dan fungsi laten, maka masing-
masing komponen masyarakat tersebut memerankan fungsi
manifesnya masing-masing sebagaimana disebutkan di
atas. Namun di balik fungsi manifestnya, mereka juga
memerankan fungsi laten, yaitu sama-sama berusaha
mencegah masyarakat terpengaruh oleh pihak-pihak luar,
terutama para pengedar narkoba yang berusaha menanamkan
pengaruhnya di masyarakat. Meskipun saat ini masyarakat
Kampung Beting menghadapi pengaruh yang kuat dari para
bandar narkoba yang ingin memanfaatkan keluguan dan
ketertinggalan masyarakat, tetapi di sisi lain
38
masyarakat masih berupaya mempertahankan jati diri
mereka seperti dahulu yang menjadi pusat pengembangan
budaya dan tradisi di kota Pontianak. Oleh karena itu,
adalah sesuatu yang dapat dipahami jika di Kampung
Beting yang dipersepsi oleh orang luar sebagai sarang
narkoba dalam kesehariannya tetap marak dengan
kegiatan-kegiatan keagamaan dan pelestarian adat budaya
dan tradisi lama. Hal tersebut adalah bagian dari
usaha-usaha mempertahankan struktur masyarakat agar
tidak berubah mengikuti selera para pengedar narkoba.
F. Alternatif Dakwah Kontekstual
Paparan di atas memberikan gambaran bahwa
berdakwah di sarang kriminalitas seperti di Kampung
Beting membutuhkan strategi yang tepat dan kontekstual.
Perlu penulis jelaskan bahwa hingga saat ini belum ada
institusi yang mampu secara terstruktur, sistematis dan
berkesinambungan melakukan dakwah memberikan pencerahan
kepada masyarakat Kampung Beting. Hal ini disebabkan
masyarakat selalu curiga kepada siapapun orang luar
yang masuk ke kampung mereka. Mereka khawatir jika yang
masuk adalah polisi yang menyamar untuk melakukan
penggerebekan terhadap para bandar narkoba atau
penjahat lainnya.
Dengan karakteristik yang demikian, maka strategi
yang tepat untuk berdakwah di sana adalah dengan
menggandeng dan memberdayakan masyarakat Kampung Beting
39
sendiri. Tokoh-tokoh masyarakat harus digandeng dan
diberi kesadaran agar bersedia terlibat memberdayakan
masyarakatnya sendiri. Selain tokoh masyarakat, sangat
penting untuk melibatkan kaum perempuan, karena mereka
memiliki peran strategis dan penting dalam keluarga.
Setelah para tokoh masyarakat dan kaum perempuan
bersedia, maka ada dua hal yang perlu dilakukan.
Pertama: Penguatan institusi. Penguatan institusi-
istitusi yang telah diupayakan masyarakat sebagaimana
telah disebutkan di atas, yaitu pendidikan dalam
keluarga, guru-guru mengaji, Taman Pendidikan Al-Quran,
dan kelompok-kelompok pengajian dan majelis taklim.
Seluruh institusi tersebut harus diperkuat dan
diberdayakan secara bersama-sama sehingga bisa
bersinergi saling menguatkan. Hal berikutnya yang perlu
diperhatikan adalah kemampuan ekonomi dan tingkat
pendidikan masyarakat yang masih rendah merupakan akar
masalah kriminalitas. Kedua hal mendasar ini dapat
diatasi melalui pemberdayaan sumberdaya mereka sendiri.
Selain memiliki semangat atau etos kerja yang tinggi,
masyarakat Kampung Beting juga memiliki keterampilan
pertukangan (kaum lelaki) dan membuat kue-kue
tradisional (kaum perempuan). Modal dasar ini dapat
dikembangkan agar mampu meningkatkan pendapatan
keluarga. Untuk pengembangan kemampuan masyarakat
dibutuhkan intervensi pihak luar.
40
Kedua: Intervensi. Intervensi pihak luar dibutuhkan
terutama untuk memberikan penguatan kepada institusi-
institusi sebagaimana disebutkan di point pertama. Ada
beberapa bentuk intervensi yang dapat dilakukan oleh
pihak luar. Perguruan tinggi seperti IAIN Pontianak
dapat memberikan intervensi memberdayakan para guru
mengaji dan kelompok-kelompok pengajian/majelis taklim.
Institusi tersebut harus dimanfaatkan sebagai media
menyampaikan pesan-pesan agama sekaligus memberikan
keterampilan tambahan dalam konteks penguatan ekonomi
keluarga. Keterampilan yang bisa diberikan seperti
meningkatkan kualitas kue-kue tradisional hasil
produksi para ibu rumah tangga sehingga mampu bersaing
di pasaran yang lebih luas. Intervensi berikutnya
adalah membuka jaringan kerja penguatan ekonomi
keluarga warga Kampung Beting dengan pelaku usaha di
luar. Dalam konteks pemberian modal usaha, lembaga
keuangan mikro syariah yang berada di sekitar
lingkungan Kampung Beting juga dapat dilibatkan. Modal
yang diberikan harus bersifat bergulir agar manfaat
yang diperoleh bisa meluas dan merata ke seluruh
masyarakat. Pentingnya keterlibatan perguruan tinggi
seperti IAIN adalah agar dalam melakukan intervensi
masyarakat Kampung Beting yang religius didekati dengan
pendekatan agama dan budaya. Bahasa agama dan budaya
akan lebih mampu menarik perhatian masyarakat
41
dibandingkan pendekatan hukum seperti yang dilakukan
selama ini oleh pihak pemerintah/aparat kepolisian.
Ketiga: Revitalisasi budaya. Sebagai daerah yang
mengiringi kelahiran Kesultanan Pontianak, Kampung
Beting harus tetap dipertahankan sebagai pusat
pelestarian dan pengembangan budaya Pontianak. Karena
itu dibutuhkan kesadaran dan keterlibatan semua pihak,
khususnya pemerintah daerah serta masyarakat untuk
mengembalikan Kampung Beting kepada kesejatiannya.
Berbagai ekspresi budaya masyarakat harus diberikan
ruang yang lebih luas untuk terus berkembang. Lembaga-
lembaga seni budaya seperti kelompok hadrah, tari
zapin, barzanji, marawis dan sebagainya harus tetap
dijaga eksistensinya, bahkan perlu dipromosikan ke luar
agar semakin dikenal masyarakat luas. Dalam
realisasinya, generasi muda harus menjadi kelompok inti
yang melestarikan dan mengembangkan seni dan budaya
Kampung Beting. Demikian juga adat dan tradisi serta
kearifan lokal Kampung Beting harus tetap dilestarikan
dan dikembangkan. Dengan upaya revitalisasi budaya ini,
diharapkan masyarakat kampung Beting memiliki daya
tahan yang tangguh dalam menghadapi gempuran masuknya
budaya luar, terlebih-lebih dalam konteks perkembangan
budaya global.
Revitalisasi budaya juga harus dibarengi dengan
upaya “kampanye putih” tentang Kampung Beting.
Penggambaran Kampung Beting sebagai tempat yang
42
menyeramkan harus diatasi dengan mempromosikannya ke
tengah masyarakat sebagai tempat yang memiliki potensi-
potensi kebaikan yang layak untuk diperhatikan. Kampung
Beting tidak boleh dibiarkan sebagai wilayah yang
“terisolasi” dan dijauhi oleh masyarakat luas.
Sebaliknya, masyarakat luas harus diajak untuk bersama-
sama merasa bertanggung jawab memperbaiki kondisi
sosial masyarakat Kampung Beting.
G. Penutup
Kampung Beting sebagaimana kondisinya saat ini,
sebagai pusat peredaran narkoba serta sarang kejahatan,
telah memiliki daya tarik tersendiri bagi banyak pihak.
Bagi para penjahat yang berasal dari luar, Kampung
Beting menjadi tempat yang paling tepat untuk dijadikan
tempat tinggal sekaligus sebagai tempat berlindung dari
kejaran aparat penegak hukum. Selain karena
karakteristik wilayahnya, juga karena budaya
masyarakatnya yang terkadang dimanfaatkan oleh para
pelaku kejahatan demi melindungi kepentingan mereka.
Hingga kini, Kampung Beting masih mendapatkan perlakuan
yang tidak seharusnya oleh masyarakat luar, termasuk
media massa, yang disebabkan stigmatisasi negatif yang
dialaminya. Kondisi seperti ini tentu tidak boleh
dibiarkan berlanjut dengan tanpa upaya mengatasinya.
Dari penelitian di lapangan, ditemukan data bahwa
kondisi Kampung Beting seperti sekarang ini telah
43
melalui tahapan perkembangan atau perubahan yang cukup
panjang. Tahap awal, yaitu tahap pembentukan Kampung
Beting. Pada tahap berikutnya, khususnya pada masa
Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Kampung Beting
memasuki fase penataan. Tahap ketiga kampung Beting
kemudian berubah menjadi sarang penjahat. Pada tahap
terkahir hingga saat ini, Kampung Beting kemudian
berubah menjadi sarang narkoba.
Ditemukan sejumlah faktor yang menjadikan Kampung
Beting berubah menjadi sarang narkoba. Faktor-faktor
tersebut jika dilihat lebih jauh sebenarnya memiliki
keterkaitan antara satu dengan lainnya. Faktor-faktor
tersebut adalah: (1) Tingkat ekonomi masyarakat yang
rendah atau kemiskinan; (2) Tingkat pendidikan
masyarakat rendah; (3) Kehilangan figur pemimpin atau
tokoh yang kuat; (4) Pemanfaatan budaya masyarakat
secara negatif; (5) Adanya kepentingan pihak luar; dan
(6) Pengaruh lingkungan. Keenam faktor tersebut saling
memengaruhi satu dengan yang lainnya untuk melakukan
perubahan sosial. Namun, di sisi lain terdapat juga
komponen-komponen lain yang memerankan diri untuk tetap
mempertahankan struktur masyarakat agar tidak berubah.
Beberapa komponen di masyarakat yang berupaya
mempertahankan struktur masyarakat adalah keluarga,
lembaga pendidikan TPA, para guru mengaji dan kelompok
pengajian serta majelis taklim. Selain memerankan
fungsi manifestnya masing-masing, secara bersama-sama
44
mereka memerankan fungsi laten yaitu menjadi benteng
bagi masyarakat agar tidak terpengaruh oleh para bandar
narkoba yang ingin menanamkan pengaruhnya di
masyarakat. Dengan adanya upaya-upaya ini maka dapat
dikatakan bahwa masyarakat Kampung Beting saat ini
berada dalam proses transisi antara berubah menjadi
masyarakat yang bergumul dengan kriminalitas atau tetap
bertahan sebagai masyarakat yang penuh dengan budaya
dan tradisi yang bernuansa Islami.
Untuk mengembalikan Kampung Beting sebagai wilayah
yang bebas dari berbagai bentuk kriminalitas, ada tiga
upaya sebagai bentuk dakwah kontekstual yang bisa
dilakukan. Ketiga upaya tersebut adalah penguatan
institusi, intervensi, dan revitalisasi budaya. Semoga
dengan ketiga upaya tersebut harapan agar Kampung
Beting di Kota Pontianak dapat kembali menjadi wilayah
yang bersih dari hal-hal yang negatif dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Harian Equator edisi 14 Agustus 2011.
Irwan Abdullah, (2009), Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jones, Pip. 2010. Pengantar Teori-teori Sosial dari FungsionalismeHingga Post-modernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka OborIndonesia.
45
Kaplan, David & Manners, Albert A.. 2000. Teori Budaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kampung Beting: Harmonisasi Kejahatan dan Kebaikan? Online:http://sosbud.kompasiana.com. Akses: 15/02/2012.
Nur Syam. 2007. Mazhab-mazhab Antropologi. Yogyakarta:LKiS.
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2006. Antropologi KontemporerSuatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta:Kencana.
Soerjono Soekanto, (2005), Sosiologi Suatu Pengantar,Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Vago, Steven. 1999. Social Change. Fourth Edition. NewJersey: Prentice Hall.
Lampiran:
BIODATA PENULIS
Nama : Zulkifli Abdillah, MA.Tempat, tgllahir
: Sungai Udang, 28 Juli 1971
Alamat : Jl. Tanjung Raya 2, Komplek CendanaIndah No. A.27, Pontianak-KalimantanBarat.Telpon : 085217267766 / 089694168808E-mail : [email protected]
Pendidikan : S.2 SPS UIN Syarif HidayatullahJakarta, Konsentrasi Sejarah PeradabanIslam. (sedang studi S.3 Ilmu Sejarahdi FIB UNPAD).
Tempat Tugas : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah
46
IAIN Pontianak.BidangKeahlian
: Sejarah Peradaban Islam
Publikasiterakhir
: 1. Peta Dakwah di Kalimantan BaratSeri Kedua: Profil Majelis Taklim diKota Pontianak (Buku, editor dankontributor, 2011).
2. Sejarah Kesultanan SambasKalimantan Barat (Buku, Anggota TimPenulis, 2011).
3. Islam and Plurality of Society in WestKalimantan [Artikel Jurnal: AL-ALBAB:Borneo Journal of Religious Studies(BJRS) Volume 1 Number 1, Desember2012].
4. Haji Moehammad Basioeni Imran:Ulama Pembaharu Pendidikan dariKerajaan Sambas Kalimantan Barat(Artikel dalam Jurnal Jabal Hikmah:Jurnal Kependidikan dan Hukum, Vol.2, No. 2 Juli 2013).
5. Dll.
Pontianak, 12 September 2014, Ttd.
Zulkifli Abdillah