buku ajar rekayasa gempa

84
Bab I. Fenomena Gempa I.1 Pendahuluan Geofisika adalah bidang ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena fisik yang yang berhubungan dengan kebumian. Seismologi adalah cabang dari ilmu geofisika yang mempelajari mekanisme terjadinya gempa serta gelombang seismik yang ditimbulkannya, sedangkan orang yang mempelajari seimologi disebut seimolog. Dari sudut pandang rekayasa bangunan, seimologi diharapkan dapat memberikan data atau informasi yang akurat untuk memperkirakan pengaruh gempa yang perlu dipertimbangkan pada perancangan struktur bangunan. Seimologi juga memberikan konstribusi yang penting bagi kita untuk dapat memahami struktur bagian dalam dari bumi. Kerusakan yang dapat ditimbulkan gempa tergantung dari besar (magnitude) dan lamanya gempa, atau banyaknya getaran yang terjadi. Desain struktur dan material yang digunakan untuk konstruksi bangunan, juga akan berpengaruh terhadap intensitas kerusakan yang terjadi. Tingkat kekuatan gempa bervariasi mulai dari getaran yang ringan, sedang, sampai getaran kuat yang dapat dirasakan sampai ribuan kilometer. Gempa dapat menyebabkan perubahan bentuk dari permukaan bumi, menyebabkan runtuhnya struktur bangunan, atau menyebabkan terjadinya gelombang pasang yang besar (tsunami). Akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa akan menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian harta benda dalam jumlah yang banyak. Di seluruh dunia, gempa dapat terjadi ratusan kali setiap harinya. Suatu jaringan alat seismograph (alat untuk mencatat pergerakan tanah akibat gempa) yang terpasang di seluruh dunia, mendeteksi sekitar 1 juta gempa ringan terjadi setiap tahunnya. Gempa sangat kuat (great earthquake) seperti yang terjadi pada 1964 di Alaska yang mengakibatkan kerugian jutaan dollar, terjadi sekali dalam beberapa tahun. Gempa-gempa kuat (major earthquake) seperti yang terjadi di Loma Prieta, California pada 1989 dan di Kobe, Jepang pada 1995, dapat terjadi 20 kali setiap tahunnya. Gempa kuat juga dapat menyebabkan banyak kerugian materi dan korban jiwa. Dalam 500 tahun terakhir, gempa telah menyebabkan jutaan korban jiwa di seluruh dunia, termasuk 240000 korban saat terjadi gempa Tang-Shan di Cina pada 1976. Gempa juga mengakibatkan kerugian properti dan kerusakan struktur. Persiapan-persiapan yang memadai seperti pendidikan atau sosialisasai mengenai bahaya gempa, perancangan keselamatan saat terjadi gempa, perkuatan struktur bangunan yang sudah berdiri dan desain struktur bangunan

Transcript of buku ajar rekayasa gempa

Bab I.

Fenomena Gempa

I.1 Pendahuluan

Geofisika adalah bidang ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena fisik yang yang

berhubungan dengan kebumian. Seismologi adalah cabang dari ilmu geofisika yang

mempelajari mekanisme terjadinya gempa serta gelombang seismik yang ditimbulkannya,

sedangkan orang yang mempelajari seimologi disebut seimolog. Dari sudut pandang rekayasa

bangunan, seimologi diharapkan dapat memberikan data atau informasi yang akurat untuk

memperkirakan pengaruh gempa yang perlu dipertimbangkan pada perancangan struktur

bangunan. Seimologi juga memberikan konstribusi yang penting bagi kita untuk dapat

memahami struktur bagian dalam dari bumi.

Kerusakan yang dapat ditimbulkan gempa tergantung dari besar (magnitude) dan

lamanya gempa, atau banyaknya getaran yang terjadi. Desain struktur dan material yang

digunakan untuk konstruksi bangunan, juga akan berpengaruh terhadap intensitas kerusakan

yang terjadi. Tingkat kekuatan gempa bervariasi mulai dari getaran yang ringan, sedang,

sampai getaran kuat yang dapat dirasakan sampai ribuan kilometer. Gempa dapat

menyebabkan perubahan bentuk dari permukaan bumi, menyebabkan runtuhnya struktur

bangunan, atau menyebabkan terjadinya gelombang pasang yang besar (tsunami). Akibat

kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa akan menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan

kerugian harta benda dalam jumlah yang banyak.

Di seluruh dunia, gempa dapat terjadi ratusan kali setiap harinya. Suatu jaringan alat

seismograph (alat untuk mencatat pergerakan tanah akibat gempa) yang terpasang di seluruh

dunia, mendeteksi sekitar 1 juta gempa ringan terjadi setiap tahunnya. Gempa sangat kuat

(great earthquake) seperti yang terjadi pada 1964 di Alaska yang mengakibatkan kerugian

jutaan dollar, terjadi sekali dalam beberapa tahun. Gempa-gempa kuat (major earthquake)

seperti yang terjadi di Loma Prieta, California pada 1989 dan di Kobe, Jepang pada 1995,

dapat terjadi 20 kali setiap tahunnya. Gempa kuat juga dapat menyebabkan banyak kerugian

materi dan korban jiwa.

Dalam 500 tahun terakhir, gempa telah menyebabkan jutaan korban jiwa di seluruh

dunia, termasuk 240000 korban saat terjadi gempa Tang-Shan di Cina pada 1976. Gempa juga

mengakibatkan kerugian properti dan kerusakan struktur. Persiapan-persiapan yang memadai

seperti pendidikan atau sosialisasai mengenai bahaya gempa, perancangan keselamatan saat

terjadi gempa, perkuatan struktur bangunan yang sudah berdiri dan desain struktur bangunan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 1

tahan gempa, dapat mengurangi jumlah korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang

disebabkan oleh gempa.

I.2 Interior Bumi

Seismolog juga mempelajari gempa untuk mengungkap lebih jauh mengenai struktur

bagian dalam (interior) dari bumi. Gempa memberikan kesempatan bagi ilmuwan untuk

melakukan observasi bagaimana bagian dalam dari bumi merespon ketika gelombang gempa

melewatinya. Mengukur kedalaman dan struktur geologi di dalam bumi dengan menggunakan

gelombang gempa adalah lebih sulit dibandingkan dengan mengukur jarak pada permukaan

bumi. Dengan menggunakan gelombang gempa, seismolog mendapatkan gambaran mengenai

susunan dari interior bumi yang terdiri dari 4 bagian, yaitu : permukaan bumi (crust), selimut

bumi (mantle), inti bagian dalam (inner core) dan inti bagian luar (outer core). Susunan

bagian dalam bumi diperlihatkan pada Gambar I.1.

Gambar I.1. Susunan struktur bagian dalam bumi

Studi yang intensif terhadap gempa dimulai pada akhir abad ke 19, dimana pada saat itu

mulai banyak dipasang jaringan alat seismogragh untuk melakukan observasi di seluruh

dunia. Pada 1897, ilmuwan mendapatkan cukup banyak seismogram gempa yang

mengindikasikan bahwa gelombang gempa P dan S telah menjalar jauh sampai ke dalam

bumi. Dengan mempelajari perilaku perambatan gelombang gempa P dan S ini, seismolog

menemukan suatu struktur lapisan geologi yang besar di bagian dalam bumi. Dengan

menggunakan hasil pengukuran ini, seismolog mulai menginterpretasikan struktur geologi

bumi yang dilewati oleh gelombang P dan S.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 2

Berdasarkan pengamatan terhadap pola perambatan gelombang P dan S, pada 1904

seimolog dari Croatia A. Mohorovicic menyebutkan bahwa pada bagian luar bumi terdapat

suatu lapisan permukaan (crust) di atas lapisan batuan yang keras. Dia berpendapat bahwa di

dalam bumi, gelombang gempa dipantulkan secara tidak menerus (discontinue) akibat adanya

perubahan sifat kimiawi atau struktur geologi batuan. Dari penemuannya ini, lapisan

pertemuan antara lapisan permukaan bumi dengan lapisan selimut bumi (mantle) di

bawahnya,diberi nama Mohorovicic atau Moho Discontinuity.

Pada 1906, R.D. Oldham dari India menggunakan waktu kedatangan dari gelombang P

dan S untuk memastikan bahwa bumi mempunyai pusat atau inti (core) yang besar. Dia

menginterpretasikan struktur bagian dalam bumi dengan membandingkan kecepatan rambat

gelombang P terhadap gelombang S, dan diketahui bahwa perambatan gelombang P

mengalami perubahan arah akibat diskontinuitas seperti pada Moho Discontinuity.

Pada 1914, dengan menggunakan waktu perambatan dari gelombang gempa yang

dipantulkan dari batas antara selimut dan inti bumi, seismolog Beno Gutenberg dari Jerman

dapat memperkirakan besarnya radius dari inti bumi yaitu sekitar 3500 km. Pada 1936

seismolog Inge Lehmann dari Dermark menemukan pusat struktur bumi yang lebih kecil yang

dikenal sebagai inti bagian dalam (inner core) bumi. Dengan mengukur waktu kedatangan

gelombang gempa yang diakibatkan oleh gempa yang terjadi di Pasific Selatan (South

Pasific), dia dapat memperkirakan besarnya radius inti bagian dalam bumi sebesar 1216 km.

Pada saat gelombang gempa merambat melewati bumi dan mencapai pusat observatori gempa

di Denmark, dia mendapatkan kesimpulan bahwa kecepatan dan waktu kedatangan

gelombang gempa telah mengalami pembelokan oleh inti bumi bagian dalam. Pada

penelitian-penelitian lebih lanjut terhadap gelombang gempa, seismolog menemukan fakta

bahwa inti bagian luar (outer core) dari bumi merupakan cairan, sedangkan inti bagian dalam

bumi terdiri dari benda padat.

Seperti sudah dijelaskan di atas, bumi terdiri dari beberapa lapisan yaitu lapisan

permukaan bumi, selimut bumi, inti bagian dalam dan bagian luar. Lapisan lithosphere setebal

kurang lebih (50-100) km adalah bagian dari lapisan permukaan dan lapisan selimut bumi

bagian atas, dan merupakan lapisan batuan sangat padat. Di atas lapisan lithosphere ini

terdapat benua (continent) dan lautan (ocean). Di bawah lapisan lithosphere terdapat lapisan

asthenosphere yang merupakan lapisan batuan kurang padat. Lapisan ini mengelilingi lapisan

mantle. Lapisan lithosphere bumi patah menjadi lebih kurang dua puluh keping bagian yang

disebut pelat tektonik (plate tectonic). Pelat-pelat tektonik ini mengambang di atas lapisan

asthenosphere, dan secara perlahan bergerak. Secara periodik beberapa pelat akan saling

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 3

berbenturan satu dengan yang lainnya, dan dapat menyebabkan patahan pada permukaan

bumi. Tumbukan antara pelat dapat memicu timbulnya gempa.

Gambar I.2. Lapisan Lithosphere dan Asthenosphere

I.3 Pelat Tektonik

Jika gempa vulkanik terjadi akibat aktifitas gunung berapi, maka gempa tektonik terjadi

akibat benturan antara pelat-pelat tektonik yang terdapat pada lapisan luar dari bumi. Menurut

teori pelat tektonik, lapisan terluar dari bumi terdiri dari pelat-pelat batuan yang saling

bergerak relatif satu dengan yang lainnya. Teori ini diformulasikan pada awal 1960, dan

merupakan suatu penemuan yang baru di bidang geologi. Dengan menggunakan teori ini, para

ilmuwan dapat secara ilmiah menjelaskan beberapa fenomena geologi seperti letusan gunung

berapi, mekanisme terdinya gempa, terbentuknya pegunungan, serta formasi dari lautan dan

benua.

Teori pelat tektonik dikembangkan dari teori yang diusulkan oleh ilmuwan German

Alfred Wegener pada 1921. Dengan melihat bentuk dari benua-benua yang ada sekarang ini

dan dengan bukti-bukti geologi yang ditemukan di setiap benua, ia mengembangkan suatu

teori mengenai benua yang lepas (continental drift).

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 4

Gambar I.3. Perubahan formasi benua-benua yang ada di bumi.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 5

Teori continental drift diawali dengan pendapat bahwa pada masa lalu benua-benua

yang ada di bumi ini pernah bergabung menjadi satu membentuk benua yang sangat besar

(supercontinent) yang disebut Pangaea.

Gambar I.3 menunjukkan formasi benua pada 200 juta tahun yang lalu ketika semua

benua masih berkumpul menjadi satu. Sekitar 160 juta tahun yang lalu Pangaea terpecah

menjadi dua benua yang besar yaitu Laurasia dan Gondwaland. Setelah sekian lama, kedua

benua besar tersebut pecah menjadi beberapa benua dengan dengan bentuk yang seperti yang

terlihat sekarang. Diperkirakan perubahan formasi dari benua-benua akan terus berlangsung.

Pada gambar juga diperlihatkan prediksi dari formasi benua pada 60 juta tahun mendatang.

Para ahli geologi pada 1960 menemukan bukti yang mendukung ide dari pelat tektonik

dan pergerakannya. Mereka menggunakan teori dari Wegener pada berbagai aspek dari

perubahan bumi, dan menggunakan bukti-bukti ini untuk memperkuat teori mengenai benua

yang lepas. Pada 1968 para ilmuwan menggabungkan banyak kejadian geologi pada suatu

teori yang disebut Global Tektonik Baru (New Global Tectonics) atau lebih dikenalal dengan

nama Pelat Tektonik.

Saat ini terdapat tujuh buah pelat tektonik yang besar dan beberapa pelat yang

berukuran lebih kecil. Beberapa pelat yang besar meliputi pelat Pasific, pelat North American,

pelat Eurasian, pelat Antartica, dan pelat Africa. Pelat yang lebih kecil tediri dari pelat Cocos,

pelat Nazca, pelat Caribean, pelat Philippine.

Gambar I.4. Pelat-pelat tektonik bumi

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 6

Ukuran dari pelat tektonik sangat bervariasi, sebagai contoh, pelat Cocos mempunyai

lebar 2000 km, sedangkan pelat Pacific yang merupakan pelat yang terbesar mempunyai

ukuran lebar 14000 km.

Para ahli geologi mempelajari bagaimana pelat-pelat tektonik tersebut dapat bergerak

relatif terhadap suatu tempat yang tetap pada lapisan mantel, dan pergerakan relatif antara

satu pelat tektonik dengan pelat lainnya. Tipe gerakan yang pertama dari pelat tektonik

disebut gerakan absolut, dan gerakan ini dapat menjebabkan terbentuknya rangkaian gunung

berapi. Tipe gerakan yang kedua disebut gerakan relatif, dan gerakan ini dapat menyebabkan

berbagai bentuk perubahan permukaan bumi.

Teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya pergerakan-pergerakan pelat-

pelat tektonik bumi adalah teori Sea Floor Spreading yang dikembangkan oleh F. J. Vien dan

D. H. Mathews pada 1963. Teori ini menyatakan bahwa permukaan bumi seluruhnya tertutup

oleh lebih kurang 20 lapisan lithospere, yaitu lapisan batuan yang berbentuk pelat-pelat

tektonik yang mempunyai ukuran berbeda-beda serta tebalnya berkisar antara 50–100 km.

Karena lapisan permukaan bumi dengan ketebalan (50-100) km mempunyai temperatur

relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan didalamnya, yaitu lapisan asthenosphere

yang terdiri selimut bumi dan inti bumi, maka akan terjadi aliran konveksi dimana massa

dengan temperatur tinggi mengalir ke daerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran

konveksi ini sudah lama berkembang untuk menerangkan pergeseran pelat-pelat tektonik

yang menjadi penyebab utama terjadinya gempa.

Benua dan lautan yang terletak di atasnya, diangkut oleh pergerakan pelat-pelat tektonik

ini akibat proses geologi. Pelat-pelat tektonik selalu bergerak antara satu dengan yang lainnya.

Pergerakan pelat-pelat tektonik ini bervariasi, dan ada yang mencapai 10 cm pertahun.

Pada perbatasan atau pertemuan antara pelat-pelat tektonik, dapat terjadi beberapa

proses geologi yaitu :

Subduction, yaitu pelat tektonik yang satu bergerak membelok ke bawah, sedangkan

pelat yang lain sedikit terangkat.

Extrusion, yaitu kedua pelat tektonik saling bergerak ke atas kemudian saling menjauh.

Intrusion, yaitu kedua pelat tektonik saling mendekat kemudian bergerak ke bawah

Trancursion, yaitu pelat tektonik yang satu bergerak vertikal atau horisontal terhadap

pelat yang lainnya.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 7

I.4 Gempa Bumi

Gempa bumi (earth quake) adalah suatu gejala fisik yang ditandai dengan bergetarnya

bumi dengan berbagai intensitas. Getaran gempa dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain

peristiwa vulkanik, yaitu getaran tanah yang disebabkan oleh aktivitas desakan magma ke

permukaan bumi atau meletusnya gunung berapi. Gempa yang terjadi akibat aktivitas

vulkanik ini disebut gempa vulkanik. Gempa vulkanik terjadi di daerah sekitar aktivitas

gunung berapi, dan akan menyebabkan mekanisme patahan yang sama dengan gempa

tektonik.

Getaran gempa dapat juga diakibatkan oleh peristiwa tektonik, yaitu getaran tanah yang

disebabkan oleh gerakan atau benturan antara lempeng-lempeng tektonik yang terdapat di

dalam lapisan permukaan bumi. Gempa yang terjadi akibat aktivitas tektonik ini disebut

gempa tektonik.

Selain gempa vulkanik dan gempa tektonik, terdapat juga gempa runtuhan, gempa

imbasan, dan gempa buatan. Gempa runtuhan disebabkan oleh runtuhnya tanah di daerah

pegunungan, sehingga akan terjadi getaran disekitar runtuhan tersebut. Gempa imbasan

biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan adalah

gempa yang sengaja dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari

bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibadingkan dengan jenis gempa

lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan.

Gerakan atau getaran tanah yang terjadi akibat gempa disebabkan oleh terlepasnya

timbunan energi yang tersimpan di dalam bumi secara tiba-tiba. Energi yang terlepas ini dapat

berbentuk energi potensial, energi kinetik, energi kimia, atau energi regangan elastis. Pada

umumnya gempa-gempa yang merusak lebih banyak diakibat oleh terlepasnya energi

regangan elastis di dalam batuan (rock) di bawah permukaan bumi. Energi gempa ini

merambat ke segala arah. dan juga kepermukaan tanah sebagai gelombang gempa

(seismic wave), sehingga akan menyebabkan permukaan bumi bergetar.

Sifat merusak dari suatu gempa tergantung dari besarnya atau magnitude dan lamanya

gempa, serta banyaknya getaran yang terjadi. Perencanaan konfigurasi struktur bangunan dan

jenis material yang digunakan pada konstruksi bangunan, juga akan berpengaruh terhadap

banyaknya kerusakan struktur bangunan. Gempa dan gelombang gempa terjadi beberapa ratus

kali setiap hari diseluruh dunia. Suatu jaringan dunia dari alat seismograph (mesin yang

mencatat gerakan tanah) medeteksi sekitar 1 juta kali gempa kecil pertahun. Gempa sangat

kuat seperti yang terjadi di Alaska pada tahun 1964 yang menyebabkan kerugian jutaan

dollar, dapat terjadi sekali setiap satu tahun. Sedangkan gempa kuat seperti yang terjadi di

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 8

Loma Prieta, California pada 1989 dan gempa Kobe di Jepang pada 1995, terjadi rata-rata 20

kali setiap tahunnya.

Pada 500 tahun terakhir ini, jutaan orang telah meninggal dunia akibat gempa yang

terjadi diseluruh dunia, termasuk 240.000 korban jiwa yang meninggal akibat gempa Tang-

Shan di China pada 1976. Gempa-gempa yang terjadi di seluruh dunia juga telah

menyebabkan kerusakan properti dan kerusakan berbagai macam struktur bangunan.

Antisipasi awal terhadap bencana gempa seperti, pendidikan dan sosialisasi terhadap

pemahaman gempa, mitigasi, perkuatan struktur bangunan, perencanaan struktur bangunan

tahan gempa yang lebih fleksibel dan aman, dapat membatasi korban jiwa dan mengurangi

kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa.

Lapisan paling atas bumi yaitu crust atau lapisan litosfir merupakan batuan yang relatif

dingin dan bagian paling atas berada pada kondisi padat dan kaku. Di bawah lapisan ini

terdapat batuan yang jauh lebih panas yang disebut mantle. Lapisan ini sedemikian panasnya

sehingga senantiasa dalam keadaan tidak kaku dan dapat bergerak sesuai dengan proses

pendistribusian panas, yang kita kenal sebagai aliran konveksi.

Pelat-pelat tektonik yang merupakan bagian dari lapisan litosfir padat dan terapung di

atas mantel ikut bergerak satu sama lainnya. Ada tiga kemungkinan pergerakan yang dapat

terjadi antara satu pelat tektonik relatif terhadap pelat lainnya, yaitu :

Spreading, jika kedua pelat tektonik bergerak saling menjauhi

Collision, jika kedua pelat tektonik bergerak saling mendekati

Transform, jika kedua pelat tektonik bergerak saling menggeser

Jika dua buah pelat tektonik bertemu pada suatu daerah sesar atau patahan (fault),

keduanya dapat bergerak saling menjauhi, saling mendekati atau saling bergeser. Umumnya

gerakan dari pelat tektonik ini berlangsung sangat lambat dan tidak dapat dirasakan oleh

manusia, namun terukur sebesar 0 sampai 15 cm pertahun. Kadang-kadang gerakan pelat

tektonik macet dan saling mengunci, sehingga terjadi pengumpulan energi yang berlangsung

terus sampai pada suatu saat batuan pada pelat tektonik tersebut tidak mampu lagi menahan

gerakan tersebut, sehingga terjadi pelepasan energi regangan secara mendadak. Mekanisme

pelepasan energi regangan ini yang kita kenal sebagai pemicu terjadinya gempa tektonik.

Gempa dapat terjadi kapan saja, tanpa mengenal musim. Meskipun demikian,

konsentrasi gempa cenderung terjadi di tempat-tempat tertentu saja, seperti di daerah

pertemuan antara dua pelat tektonik. Gempa dapat terjadi dimanapun di bumi ini, tetapi pada

umumnya banyak terjadi di sekitar perbatasan antara pelat-pelat tektonik

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 9

I.5 Bencana Yang Ditimbulkan Gempa

Gempa tektonik adalah gempa yang disebabkan oleh terlepasnya energi regangan elastis

pada formasi batuan yang ada dipermukaan bumi . Salah satu teori yang dipakai untuk

menjelaskan mekanisme terjadinya gempa tektonik adalah teori Elastic Rebound yang

dikemukakan oleh Prof. H. F. Reid. Teori ini dapat dipaparkan secara sederhana sebagai

berikut : di dalam permukaan bumi senantiasa terdapat aktivitas geologis yang mengakibatkan

pergerakan relatif suatu massa batuan di dalam permukaan bumi terhadap massa batuan

lainnya. Gaya-gaya yang menimbulkan pergerakan batuan-batuan ini disebut gaya-gaya

tektonik (tectonic forces). Batuan-batuan ini bersifat elastis dan dapat menimbun regangan

bilamana ditekan atau ditarik oleh gaya-gaya tektonik. Ketika tegangan yang terjadi pada

batuan tersebut melampaui kekuatannya, maka batuan tersebut akan hancur di daerah

terlemah yang disebut patahan (fault). Batuan yang hancur tersebut akan melepaskan sebagian

atau seluruh tegangan untuk kembali ke dalam keadaan semula yang bebas tegangan.

Gempa secara langsung tidak begitu membahayakan manusia. Ini berarti bahwa korban

jiwa tidak disebabkan karena adanya goncangan tanah yang disebabkan oleh gempa.

Kebanyakan dari bencana gempa yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi

diakibatkan oleh struktur bangunan yang dibuat oleh manusia. Bahaya yang sesungguhnnya

disebabkan oleh keruntuhan dari struktur bangunan, korban banjir yang disebabkan oleh

jebolnya suatu bendungan atau tanggul, longsoran batuan dan tanah pada tebing yang curam,

dan kebakaran.

I.5.1 Pengaruh Akibat Goncangan Tanah

Bencana pertama yang disebabkan oleh gempa adalah pengaruh dari goncangan tanah.

Struktur bangunan dapat mengalami kerusakan dan keruntuhan, baik oleh goncangan itu

sendiri maupun oleh lapisan tanah dibawahnya yang mengalami penurunan elevasi

(subsidence) saat terjadi gempa.

Struktur bangunan bahkan dapat ambles ke dalam tanah ketika terjadi liquifaksi

(liquefaction). Liquifaksi adalah peristiwa tercampurnya pasir atau tanah berpasir dengan air

tanah, selama terjadi goncangan gempa. Ketika air dan pasir dicampur, lapisan ini menjadi

sangat lunak dan berperilaku seperti pasir hisap. Jika liquifaksi terjadi di bawah suatu

bangunan, dapat menyebabkan longsoran atau amblesan. Lapisan tanah bergerak ke atas lagi

setelah gempa berlalu dan air tanah kembali turun ke tempatnya yang semula. Peristiwa

liquifaksi lebih berpengaruh pada lokasi tanah berpasir dimana air tanah terletak cukup dekat

dengan permukaan tanah.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 10

Gambar I.5. Salah satu bagian jalan mengalami kerusakan yang parah akibat Gempa Good Friday di Alaska, 1964.

Gambar I.6. Keruntuhan bangunan akibat likuifaksi saat terjadi gempa Kobe di Jepang, 1995.

Struktur banguan juga dapat mengalami kerusakan akibat gelombang permukaan yang

kuat yang berasal dari dorongan dan rekahan tanah. Struktur bangunan apapun yang berada di

alur gelombang permukaan ini dapat bergeser atau roboh akibat dari pergerakan tanah.

Goncangan tanah dapat juga menyebabkan tanah longsor yang dapat merusak bangunan atau

mencederai manusia.

I.5.2 Pergeseran Tanah

Bencana utama akibat gempabumi yang kedua adalah pergeseran tanah di sepanjang

patahan. Jika sebuah bangunan seperi gedung, jembatan atau jalan dibangun melintasi daerah

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 11

patahan, maka pergeseran tanah akibat gempa akan sangat merusak dan bahkan akan

meruntuhkan bangunan tersebut.

I.5.3 Banjir

Bencana yang ketiga yang dapat ditimbulkan gempa adalah banjir. Sebuah gempa dapat

merusak tanggul atau bendungan sepanjang sungai. Air yang berasal dari sungai atau reservoir

akan membanjiri daerah tersebut dan merusak bangunan atau mungkin menghanyutkan dan

menenggelamkan orang.

Tsunami dan seiche dapat juga menyebabkan banyak kerusakan. Kebanyakan orang

menyebut tsunami sebagai ombak pasang yang sangat besar, tetapi ini tidak ada kaitannya

dengan gelombang pasang air laut biasa. Tsunami merupakan suatu gelombang yang sangat

besar disebabkan oleh gempa yang terjadi di bawah samudera. Tsunami dapat mencapai tinggi

tiga meter dan mempunyai kecepatan yang tinggi pada saat mencapai daerah pantai, sehingga

dapat menyebabkan kerusakan yang besar di daerah pantai. Seiche adalah gelombang air sama

seperti tsunami, tetapi dengan skala yang lebih kecil. Seiche terjadi pada danau yang

diakibatkan oleh gempa, dan pada umumnya hanya memiliki tinggi setengah meter. Meskipun

demikian, seiche juga dapat menyebabkan banjir.

I.5.4 Kebakaran

Bencana lainnya yang dapat diakibatkan oleh gempa adalah kebakaran. Kebakaran ini

diawali oleh terputusnya jaringan kabel listrik atau meledaknya pipa gas. Hal tersebut dapat

menjadi masalah yang serius, kususnya pada saat saluran air yang menyokonng pompa

hydrant juga terputus. Sebagai contoh terjadinya kebakaran akibat gempa adalah terbakarnya

kota San Fransisco setelah gempa kuat pada tahun 1906. Kota ini terbakar selama 3 hari yang

menyebabkan sebagian besar kota hancur dan 250000 penduduk kehilangan tempat tinggal.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 12

Gambar I.7. Kebakaran di kota San Francisco setelah terjadi gempa kuat pada 1906 .

I.6 Cara Mempelajari Gempa

Para ahli seismologi mempelajari gempa bumi dengan cara melihat kerusakan yang

disebabkan oleh gempa dan dengan menggunakan seismograf. Seismograf adalah alat yang

dapat merekam goncangan pada permukaan bumi akibat gelombang gempa.. Seismograf

pertama kali ditemukan oleh seorang ahli astronomi Cina bernama Chang Heng.

Kebanyakan seismograf modern saat ini adalah bersifat elektronik, tetapi komponen-

komponen dasar dari alat seismograf adalah tetap yaitu drum yang diberi kertas diatasnya

(rotating drum records motion), suatu ruang yang dihubungkan dengan suatu engsel yang

dapat bergerak pada kedua ujungnya, suatu beban (mass), dan suatu pena (pen).

Salah satu ujungnya dipalang dengan kotak logam yang tertancap di tanah. Beban

diletakkan pada ujung lainnya dari palang dan pena ditancapkan pada beban itu. Drum dengan

kertas di atasnya akan berputar secara konstan (Gambar I.8).

Ketika terjadi gempa, semua peralatan di seismograf bergerak; kecuali beban dengan

pena di atasnya. Saat drum dan kertas berguncang mendekati pena, maka pena akan membuat

garis-garis yang tak beraturan di atas kertas, dan membuat catatan mengenai pergerakan

tanah akibat gempa. Catatan yang terekam oleh seismograf ini disebut seismogram.

Dengan mempelajari seismogram, para ahli seismologi dapat memperkirakan seberapa

jauh dan seberapa kuat gempa yang terjadi. Catatan ini tidak dapat menceritakan letak pusat

gempa secara tepat, hanya dapat memberitahukan bahwa gempa terjadi sejauh beberapa mil

atau kilometer dari seismograf. Untuk memperoleh letak pusat gempa yang tepat, dibutuhkan

setidaknya 2 seismograf lain yang berada di tempat lain

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 13

Gambar I.8. Komponen-komponen dasar alat seismograph

I.6.1 Parameter-parameter Gempa

Suatu peristiwa gempa biasanya digambarkan dengan beberapa parameter, sebagai

berikut :

Tanggal dan waktu terjadinya gempa

Koordinat epicenter ( dinyatakan dengan garis lintang dan garis bujur geografi )

Kedalaman pusat gempa (focus)

Magnitude dan Intensitas maksimum gempa

Pusat gempa atau focus adalah titik di bawah permukaan bumi di mana gelombang

gempa untuk pertama kali dipancarkan. Fokus biasanya ditentukan berdasarkan perhitungan

data gempa yang diperoleh melalui peralatan pencatat gempa (seismograf). Lokasi sumber

gempa pada umumnya terdapat diperbatasan antara pelat-pelat tektonik, di mana pada tempat

ini sering terjadi patahan bidang permukaan bumi. Pada prinsipnya gempa adalah suatu

peristiwa pelepasan energi pada suatu tempat di perbatasan antara pelat-pelat tektonik.

Episentrum (Epicenter) adalah titik pada permukaan bumi yang didapat dengan menarik

garis melalui focus, tegak lurus pada permukaan bumi. Episentrum dapat ditentukan melalui

peralatan pencatat gempa atau secara makroseismik. Episentrum yang ditentukan melalui

peralatan pencatat getaran gempa disebut instrumental epicenter. Bilamana tidak ada hasil

pencatatan getaran gempa, episentrum ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 14

kerusakan pada suatu daerah. Episentrum pada cara ini adalah titik di mana kerusakan

terbesar terjadi, dan disebut macroseismic epicenter.

Kedalaman fokus adalah kedalaman jarak antara fokus dengan epicentrum. Berdasarkan

kedalaman fokus ini, suatu gempa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Gempa dengan kedalaman fokus lebih kecil dari 70 km, disebut Gempa Dangkal.

Gempa dengan kedalaman fokus antara 70 km sampai dengan 300 km, disebut Gempa

Menengah.

Gempa dengan kedalaman fokus lebih besar dari 300 km, disebut Gempa Dalam.

Gambar I.9. Focus, Epicenter, seismic waves, dan fault

I.6.2 Menentukan Letak Episentrum dan Magnitude Gempa

Untuk menentukan di mana gempa terjadi, perlu dipelajari data rekaman gempa

(seismogram) yang tercatat pada seismograf. Sekurang-kurangnya diperlukan 2 seismograf

yang berbeda untuk gempa yang sama. Gambar I.10 menunjukkan contoh rekaman gempa

yang tercatat pada seismograf. Jarak antara awal permulaan gelombang P dan awal mula

gelombang S menunjukkan berapa detik gelombang tersebut terpisah.

Gambar I.10. Rekaman gempa yang tercatat pada seismograf.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 15

Hasil ini dapat digunakan untuk memperkirakan jarak dari seismograf ke pusat gempa. Untuk

menentukan jarak episentrum dan magnitude gempa dapat dilakukan dengan menggunakan

grafik seperti pada Gambar I.11.

Gambar I.11. Grafik untuk menentukan jarak episentrum dan magnitud gempa

Prosedur untuk menentukan jarak episentrum dan magnitude gempa, sbb. :

Mengukur jarak antara awal gelombang P dan gelombang S. Dalam hal ini, awal

gelombang P dan S adalah terpisah 24 detik. Plot 24 detik ini pada grafik skala S-P, akan

didapatkan jarak pusat gempa adalah 215 kilometer (Gambar I.11).

Ukur amplitudo maksimum dari gelombang gempa yang terekam pada seismograf. Pada

rekaman seismograf di dapat amplitudo maksimum adalah 23 mm (Gambar I.10)

Plot 23 mm ini pada grafik skala Amplitude yang sudah tersedia (Gambar I.11).

Tarik garis lurus melalui dua yaitu titik 24 detik dan 23 mm, sehingga memotong grafik

skala Magnitude. Dengan membaca titik potong pada grafik skala Magnitude, didapatkan

besarnya magnitude gempa adalah M = 5 pada Skala Richter.

I.7 Patahan

Patahan (fault) adalah retakan di permukaan bumi dimana dua buah pelat tektonik

bergerak dengan arah yang berbeda. Patahan dapat terjadi karena tumbukan dan gesekan antar

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 16

pelat tektonik. Tergantung dari arah terjadinya patahan, pada dasarnya ada dua jenis patahan

yang dapat terjadi, yaitu patahan dip slip dan patahan strike slip.

Gambar I.12. Jenis-jenis patahan yang dapat terjadi akibat gempa.

Patahan dip slip atau patahan normal (normal fault) adalah retakan dimana satu bagian

dari batuan bergeser kearah vertikal menjauhi bagian yang lain. Patahan jenis ini biasanya

terjadi pada wilayah dimana suatu pelat tektonik terbelah dengan sangat lambat, atau pada dua

buah pelat tektonik yang saling mendorong satu sama lain. Patahan strike-slip adalah retakan

antara dua pelat tektonik yang bergesekan satu sama lain dalam arah horisontal. Patahan strike

slip yang terkenal adalah adalah patahan San Andreas sepanjang 300 km dengan lebar patahan

6,4 m. Patahan San Andreas di California ini disebabkan oleh gempa San Francisco yang

berkekuatan M = 8,3 pada Skala Richter pada 1906.

Patahan berlawanan arah (reverse fault) adalah retakan yang terbentuk dimana salah

satu pelat tektonik terdorong menuju pelat lainnya. Patahan ini juga terjadi jika sebuah pelat

tektonik terlipat akibat tekanan dari pelat yang lain. Pada patahan jenis ini, salah satu bagian

dari pelat bergeser kebawah, sedangkan bagian lainnya terdorong ke atas.

I.8 Mengukur Besaran Gempa

Jika terjadi gempa yang merusak disuatu tempat, mungkin pertanyaan yang pertama-

tama timbul adalah : Berapakah besarnya gempa tersebut dan bagaimana cara mengukurnya?.

Besaran yang dipakai untuk mengukur suatu gempa ada dua, yaitu Intensitas (Intencity) dan

Magnitude (Magnitude). Kedua ukuran ini menunjukkan aspek-aspek yang berbeda mengenai

suatu gempa.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 17

I.8.1 Skala Mercalli

Sebelum ditemukannya alat-alat pencatat getaran gempa, satu-satunya cara untuk

mengukur besarnya gempa adalah dengan jalan pengamatan langsung oleh manusia. Untuk

memudahkan pengamatan tersebut, dibuatlah daftar-daftar yang mengklasifikasikan besarnya

gempa, berdasarkan derajat kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa terhadap bangunan-

bangunan. Skala daftar derajat kerusakan ini dinyatakan dalam angka Romawi ( I, II, III, ….

). Skala ini pada umumnya digunakan untuk pengamatan oleh orang-orang yang sudah

berpengalaman untuk memperkirakan tingkat intensitas suatu gempa.

Derajat kerusakan akibat gempa yang sama dengan ukuran yang terdapat dalam daftar

yang dipakai untuk menyatakan intensitas suatu gempa. Intensitas yang dilaporkan untuk

suatu gempa adalah intensitas maksimum yang disebabkan oleh aktivitas gempa pada suatu

lokasi. Intensitas ini sering juga disebut sebagai intensitas lokal. Intensitas lokal berhubungan

langsung dengan percepatan tanah maksimum yang terjadi akibat gempa. Dengan demikian

intensitas lokal gempa akan berhubungan pula dengan besar kecilnya kerusakan yang terjadi

pada bangunan-bangunan disuatu lokasi.

Daftar skala intensitas, pertama kali dikembangkan oleh Rossi dari Italia dan Forrel dari

Swiss. Skala ini, merujuk pada nilai I sampai X, yang untuk pertama kalinya digunakan untuk

melaporkan gempa San Fransisco yang terjadi pada tahun 1906. Pada tahun 1902 seorang

seimolog dan vulkanolog dari Italia bernama Giuseppe Mercalli mengusulkan skala intensitas

dari I sampai dengan XII. Pada tahun 1931, Harry O. Wood dan Frank Neumann

memodifikasi skala Mercalli ini, dan disebut skala Modified Mercalli Intensity (MMI Scale)

untuk mengukur intensitas gempa yang terjadi di California, Amerika.

Skala MMI mempunyai 12 tingkatan intesitas gempa (I s/d XII). Setiap tingkatan

intensitas didefinisikan berdasarkan pengaruh gempa yang didapat dari pengamatan, seperti

goncangan tanah, dan kerusakan dari struktur bangunan seperti gedung, jalan, dan jembatan.

Tingkat intensitas I sampai VI, digunakan untuk mendeskripsikan apa yang dilihat dan

dirasakan orang selama terjadinya gempa ringan dan gempa sedang. Sedangkan tingkat

intensitas VII sampai dengan XII digunakan untuk mendeskripsikan kerusakan pada struktur

bangunan selama terjadinya gempa kuat.

Di dunia, setiap tahunnya terjadi rata-rata satu gempa dengan tingkat intensitas X

sampai XII, 10 sampai 20 gempa dengan intensitas VII sampai IX, dan lebih dari 500 gempa

dengan intensitas I sampai VI. Setiap tahun terjadi hampir 100000 gempa tetapi tidak dicatat

manusia, oleh karena itu gempa-gempa ini tidak diklasifikasikan di dalam skala MMI. Gempa

dengan intensitas II dan III pada skala MMI dapat dianggap setara dengan gempa dengan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 18

magnitude M=3 sampai M=4 pada Skala Richter. Gempa dengan intensitas XI dan III pada

skala MMI dapat dianggap setara dengan gempa dengan magnitude M=8 sampai M=9 pada

Skala Richter.

Hal-hal yang dapat menyebabkan banyaknya kerusakan dari bangunan pada saat terjadi

gempa adalah, desain dari konstruksi bangunan, jarak lokasi bangunan dari pusat gempa, dan

kondisi lapisan permukaan tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Desain dari konstruksi

bangunan yang berbeda, akan memiliki daya tahan terhadap gempa yang berbeda pula, serta

semakin jauh lokasi bangunan dari pusat gempa, semakin sedikit kerusakan yang akan terjadi.

Demikian juga pengaruh dari kondisi tanah dasar dimana bangunan didirikan, akan

menyebabkan perbedaan pada tingkat kerusakan yang dapat terjadi. Pada lokasi dimana

lapisannya merupakan tanah lunak, gempa akan menyebabkan bangunan bergoncang lebih

keras dibandingkan jika lapisan tanahnya merupakan tanah lunak. Bangunan-bangunan yang

didirikan di atas lapisan tanah lunak akan mengalami kerusakan yang lebih parah

dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang didirikan di atas lapisan tanah keras.

Dari penjelasan mengenai tingkat kerusakan bangunan yang dapat terjadi akibat gempa,

terlihat bahwa penentuan dari nilai Skala Mercalli sangat bersifat subjektif karena beberapa

hal sebagai berikut :

Tergantung pada jarak epicenter sampai tempat yang dimaksud.

Keadaan geologi setempat

Kualitas dari bangunan-bangunan setempat di lokasi terjadinya gempa.

Pengamatan manusia sangat dipengaruhi oleh keadaan panik akibat kekacauan yang

biasanya terjadi pada saat gempa,

Skala Mercalli tidak dapat digunakan secara ilmiah seperti Skala Richter. Karena skala

ini bersifat subjektif, maka untuk suatu kerusakan yang diakibatkan oleh gempa, pengamatan

yang dilakukan oleh beberapa orang akan mempunyai pendapat yang berbeda mengenai

tingkat kerusakan yang terjadi.

Tabel I.1. Skala Intensitas Modified Mercalli ( MMI Scale )

Skala Intensitas

Keterangan

I Tidak terasa orang, hanya tercatat oleh alat pencatat yang peka

II Getaran terasa oleh orang yang sedang istirahat, terutama orang yang berada di lantai dan di atasnya

III Benda-benda yang tergantung bergoyang, bergetar ringan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 19

IV Getaran seperti truk lewat. Jendela, pintu dan barang pecah belah

bergemerincing

V Getaran terasa oleh orang di luar gedung. Orang tidur terbangun. Benda-benda tidak stabil di atas meja terguling atau jatuh. Pintu bergerak menutup dan membuka.

VI Getaran terasa oleh semua orang. Banyak orang takut dan keluar rumah. Berjalan kaki sulit. Kaca jendela pecah. Meja dan kursi bergerak.

VII Sulit berdiri. Getaran terasa oleh pengendara motor dan mobil. Genteng di atap terlepas.

VIII Pengemudi mobil terganggu. Tembok bangunan retak.

IX Semua orang panik. Tembok bangunan mengalami kerusakan berat. Pipa-pipa dalam tanah putus.

X Sebagian konstruksi portal dan temboknya rusak beserta pondasinya.

Tanggul dan bendungan rusak berat. Rel kereta api bengkok sedikit. Banyak terjadi tanah longsor.

XI Rel kereta api rusak berat. Pipa-pipa di dalam tanah rusak

XII Terjadi kerusakan total. Bangunan-bangunan mengalami kerusakan.

Barang-barang terlempar ke udara.

Beberapa orang saksi mungkin akan melebih-lebihkan betapa banyaknya hal buruk yang

terjadi saat terjadi gempa. Jumlah kerusakan yang disebabkan oleh gempa tidak dapat didata

dengan teliti, sama halnya dengan kekuatan gempa itu sendiri. Dengan demikian, skala

intensitas tidak dapat digunakan sebagai ukuran untuk menyatakan besarnya suatu gempa.

Meskipun demikian, skala intensitas sangat berguna untuk membuat garis isoseismal pada

peta suatu daerah atau lokasi guna menetapkan tempat-tempat atau daerah-daerah yang

mempunyai derajat kerusakan yang sama. Peta ini adalah yang sering disebut sebagai peta

jalur gempa, dan berguna sekali sebagai informasi di dalam perencanaan struktur bangunan

tahan gempa.

Dengan ditemukannya alat seismograf, yaitu alat pencatat getaran gempa, maka

terbukalah kemungkinan untuk mengukur besarnya suatu gempa dengan lebih teliti. Dari hasil

pencatatan suatu alat seismograf, akan dapat diketahui jumlah energi kinetik yang terlepas

pada pusat gempa.

I.8.2 Skala Richter

Salah satu skala yang paling sering digunakan untuk mengukur kekuatan atau besarnya

gempa adalah Skala Richter (Richter Magnitude Scale), atau disebut Local Magnitude (ML).

Skala ini dibuat oleh DR. Charles F. Richter dari California Institute of Technology pada

1934. Skala Richter didasarkan pada skala logaritma dan ditulis dalam angka Arab (1, 2, 3,

…. ). Besaran dari Skala Richter ditentukan dengan mengukur amplitudo maksimum dari

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 20

gelombang seismik yang tercatat pada alat seismograf standart Wood-Anderson, yang

ditempatkan pada jarak 100 km dari pusat gempa. Alat seismograf dapat mendeteksi gerakan

tanah yang sangat kecil sebesar 0,00001 mm, sampai gerakan tanah sebesar 1 meter.

Karena besaran pada Skala Richter ditulis berdasarkan skala logaritma (base 10), ini

berarti bahwa setiap penambahan satu angka pada Skala Richter, akan mempresentasikan

kenaikan sebesar 10 kali lipat pada pergerakan tanah akibat gempa. Jadi dengan menggunakan

skala ini, gempa yang tercatat 5 pada Skala Richter (magnitude gempa M=5), akan

mengakibatkan goncangan tanah sepuluh kali lipat lebih kuat dibandingkan gempa dengan

skala 4 (magnitude gempa M=4), dan permukaan bumi akan bergerak sejauh 10 kali.

Untuk memberi gambaran mengenai angka-angka pada Skala Richter, maka anggaplah

hal ini sebagai suatu bentuk energi yang dilepaskan oleh bahan peledak. Suatu gelombang

gempa dengan tingkat magnitude gempa M=1 pada Skala Richter akan melepaskan energi

setara dengan energi ledakan 6 ton bahan peledak TNT. Sebuah gempa dengan tingkat

magnitude gempa M=8 akan melepaskan energi setara dengan banyaknya energi yang

dihasilkan oleh ledakan 6 juta ton TNT. Untungnya, kebanyakan dari gempa yang terjadi

setiap tahunnya mempunyai tingkat magnitude kurang dari 2.5, sehingga terlalu kecil untuk

dapat dirasakan oleh manusia.

Meskipun Richter yang pertama kali mengusulkan cara ini untuk mengukur kekuatan

gempa, ia hanya menggunakan suatu jenis alat seismograf tertentu dan mengukur gempa

dangkal di California Selatan. Untuk penggunaan berbagai jenis alat seismograf untuk

mengukur magnitude dan kedalaman gempa dari semua tingkatan gempa, para Ilmuwan

sekarang telah membuat skala magnitude yang lain, yang semuanya sudah dikalibrasikan

terhadap metoda asli dari Richter. Berikut ini adalah sebuah tabel yang menggambarkan

tingkatan magnitude dan kekuatan gempa, pengaruh-pengaruhnya, serta perkiraan jumlah

gempa yang terjadi setiap tahunnya.

Tabel I.2. Magnitude dan Kelas Kekuatan Gempa

Magnitude Gempa

Kelas Kekuatan

Gempa

Pengaruh gempa Perkiraan kejadian

pertahun

< 2,5 Minor earthquake

Pada umumnya tidak dirasakan, tetapi dapat direkam oleh seismograf.

900,000

2,5 s.d 4,9 Light

earthquake

Selalu dapat dirasakan, tetapi hanya

menyebabkan kerusakan kecil.

30,000

5,0 s.d 5,9 Moderate earthquake.

Menyebabkan kerusakan pada bangunan dan struktur-struktur yang lain.

500

6,0 s.d 6,9 Strong Kemungkinan dapat menyebabkan 100

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 21

earthquake kerusakan besar, pada daerah dengan

populasi tinggi.

7.0 s.d 7.9 Major earthquake

Menimbulkan kerusakan yang serius. 20

8.0 Great

earthquake

Dapat menghancurleburkan daerah yang

dekat dengan pusat gempa.

satu setiap 5-

10 tahun

Gempa dengan magnitude M=5 dianggap sebagai gempa sedang (moderate

earthquake), sedangkan gempa dengan magnitude M=6 merupakan gempa kuat (strong

earthquake). Gempa dengan magnitude M=8 atau lebih, merupakan gempa sangat kuat (great

earthquake). Sebagai contoh gempa Los Angeles 1994 mempunyai magnitude M=6,7 dan

gempa San Fransisco 1906 mempunyai magnitude M=7,9.

Meskipun Skala Richter tidak mempunyai batas atas, tetapi gempa dengan magnitude

lebih dari M=8 sangat jarang terjadi. Gempa ini hanya terjadi sekali setiap 5 sampai 10

tahunnya di dunia. Demikian juga tidak terdapat batas bawah pada Skala Richter. Suatu

gempa berukuran 1/10 dari gempa dengan magnitude M=1, adalah gempa dengan skala 0

pada Skala Richter. Dan gempa berukuran 1/10 dari gempa dengan magnitude 0, adalah

gempa dengan skala -1 pada Skala Richter. Gempa dengan magnitude negatif pada skala

Richter terjadi setiap hari, tetapi sangat kecil getarannya sehingga sulit untuk dideteksi.

Magnitude gempa dapat mencermikan kondisi sesungguhnya dari besarnya gempa.

Magnitude tidak memberikan gambaran mengenai derajat kerusakan yang disebabkan oleh

gempa. Perlu dicatat, bahwa suatu gempa dengan magnitude besar yang terjadi di tengah

samudera, mungkin tidak akan mengakibatkan kerusakan pada bangunan, bahkan getarannya

pun mungkin tidak akan dirasakan oleh manusia yang berada di darat. Sebaliknya suatu

gempa dengan magnitude rendah tetapi mempunyai pusat gempa yang dekat pada suatu kota

yang padat penduduk serta penuh dengan bangunan-bangunan, mungkin akan menyebabkan

banyak kerusakan. Hubungan sesungguhnya antara intensitas dan magnitude sangat sulit

untuk ditentukan. Banyak faktor disamping magnitude gempa dan jarak yang mempengaruhi

besarnya intensitas. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah kondisi tanah. Meskipun

demikian, hubungan perkiraan antara besaran magnitude (Richter) dengan intensitas (MMI

dapat ditentukan sebagai berikut :

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 22

Tabel I.3. Hubungan antara Magnitude dan Intensitas Gempa

Magnitude

( Richter )

Intensitas

( MMI ) Pengaruh-pengaruh Tipikal

2 I – II Pada umumnya tidak terasa

3 III Terasa di dalam rumah, tidak ada kerusakan

4 IV – V Terasa oleh banyak orang, barang-barang bergerak,

Tidak adak kerusakan struktural

5 VI – VII Terjadi beberapa kerusakan struktural, seperti Retak-retak pada dinding

6 VII – VIII Kerusakan menengah, seperti hancurnya dinding

7 IX – X Kerusakan besar, seperti runtuhnya bangunan

8 XI – XII Rusak total atau hampir hancur total

I.9 Energi Gempa Dan Percepatan Tanah

Gempa tektonik hanya dapat terjadi jika dua syarat utamanya terpenuhi, yaitu :

Harus terjadi penimbunan regangan secara perlahan-lahan pada batu-batuan di dalam

kulit bumi dalam waktu yang lama

Batuan-batuan di dalam kulit bumi tersebut harus cukup kuat untuk dapat menimbun

tegangan hingga mencapai energi, kira-kira (1020–1025) erg. Sebagai perbandingan :

bom atom Hiroshima mempunyai energi sebesar 8x1020 erg.

Jika kedua syarat tersebut tidak tercapai, maka dapat dipastikan gempa tektonik tidak akan

terjadi. Seperti telah di sebutkan di atas, anggapan yang dapat diterima sampai saat ini adalah,

suatu gempa akan terjadi karena adanya pelepasan energi regangan yang telah lama tertimbun

di dalam batu-batuan, dan terjadinya penimbunan tegangan adalah karena pergerakan di

dalam bumi.

Pada saat terjadi pergerakan tanah akibat gempa, akan terjadi pelepasan energi pada

sumber gempa. Besarnya energi yang dilepas pada sumber gempa diukur dengan skala

Richter. Hubungan antara Skala Richter dan besarnya energi yang dilepaskan pada saat terjadi

gempa, dapat ditulis dalam suatu persamaan :

Log E = 11,4 + 1,5 M

dimana E adalah energi gempa yang dilepaskan (erg atau dyne-cm), dan M adalah besaran

atau magnitude gempa pada Skala Richter.

Dari rumus di atas terlihat bahwa peningkatan dalam satu satuan Skala Richter berarti

peningkatan energi sebesar 32 kali, dan peningkatan dua satuan pada Skala Richter berarti

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 23

peningkatan energi sebesar 1000 kali. Jadi suatu gempa yang tercatat M=7 pada Skala

Richter, akan melepaskan energi sebanyak 32 kali dari energi yang dilepas dari gempa yang

tercatat M=6 pada Skala Richter. Jumlah energi yang dilepaskan gempa dengan magnitude

M=4,3 adalah ekivalen dengan energi yang dilepas oleh bom atom yang menghancurkan kota

Hirosima di Jepang, yaitu sebanding dengan 20 kiloton TNT. Diperkirakan suatu gempa

dengan magnitude M=12 pada Skala Richter, akan melepaskan cukup banyak energi yang

dapat mengakibatkan bumi terbelah menjadi dua bagian.

Pembagian besaran gempa menurut skala Richter ini kurang begitu tepat digunakan di

bidang rekayasa struktur bangunan tahan gempa, karena meskipun gempa yang tercatat

melepaskan energi sangat besar, tetapi kadang-kadang kurang terasa di permukaan tanah,

karena jarak sumber gempa sangat jauh di dalam bumi. Sebagai contoh, gempa yang melanda

Chili dan Agadir (Maroko), keduanya terjadi pada 1960. Magnitude gempa yang terjadi di

Chili tercatat sebesar M=7,5 pada Skala Richter, tetapi tidak mengakibatkan kerusakan yang

berat karena sumber gempa terletak 100 km di bawah muka tanah. Sedangkan magnitude

gempa yang melanda Agadir tercatat hanya sebesar M=5,7 pada Skala Richter, tetapi

mengakibatkan kerusakan yang hebat karena sumber gempa terletak hanya 6 km dari

permukaan tanah. Jadi pengaruh gempa di permukaan tanah tidak hanya ditentukan oleh

besarnya energi yang dilepaskan dari sumber gempa saja, akan tetapi juga kedalaman atau

jarak sumber gempa.

Hubungan antara Skala Richter dan percepatan tanah maksimum atau Peak Ground

Acceleration (PGA) akibat pengaruh gempa pada suatu wilayah, dapat dihitung dengan

menggunakan rumus Donovan dan Matuschka. Jika M adalah besarnya gempa menurut Skala

Richter, H adalah jarak hypocenter (dalam km), maka besarnya percepatan tanah maksimum a

(dalam cm/detik2) adalah :

Rumus Donovan (1973) : a = 1080.(2,718)0,5.M

(H+25)–1,32

Rumus Matuschka (1980) : a = 119.(2,718)0,81.M

.(H+25)–1,15

Perpindahan materi biasa disebut displacement. Jika dapat diketahui waktu yang

diperlukan untuk perpindahan tersebut, maka akan dapat dihitung kecepatan materi tersebut.

Sedangkan percepatan adalah parameter yang menyatakan perubahan kecepatan mulai dari

keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu. Percepatan gelombang gempa yang sampai di

permukaan bumi disebut percepatan tanah, dan merupakan gangguan yang perlu dikaji untuk

setiap gempa, kemudian dipilih percepatan tanah yang maksimum untuk dipetakan agar bisa

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 24

memberikan pengertian tentang efek paling parah yang pernah dialami suatu lokasi.

Efek primer gempa adalah kerusakan struktur bangunan baik yang berupa gedung,

perumahan rakyat, gedung bertingkat, fasilitas umum, monumen, jembatan dan infrastruktur

lainnya, yang diakibatkan oleh getaran yang ditimbulkannya. Secara garis besar, tingkat

kerusakan yang mungkin terjadi tergantung dari kekuatan dan kualitas bangunan, kondisi

geologi dan geotektonik lokasi bangunan, dan percepatan tanah di lokasi bangunan akibat dari

getaran gempa. Faktor yang merupakan sumber kerusakan dapat dinyatakan dalam parameter

percepatan tanah. Sehingga data percepatan tanah maksimum akibat gempa pada suatu lokasi

menjadi penting untuk menggambarkan tingkat resiko gempa di suatu lokasi tertentu.

Semakin besar nilai percepatan tanah maksimum yang pernah terjadi disuatu tempat, semakin

besar resiko gempa yang mungkin terjadi.

Gempa bisa terjadi berulang-ulang di suatu tempat. Hal ini dikenal sebagai perioda

ulang gempa. Terjadinya gempa yang berulang di suatu tempat didukung oleh teori Elastic

Rebound yang mempunyai fase pengumpulan energi dalam jangka waktu tertentu, dan

kemudian masa pelepasan energi pada saat gempa besar. Perioda ulang gempa bisa 10 tahun,

50 tahun, 100 tahun, 500 tahun, atau bahkan 2500 tahun, sehingga tingkat resiko bangunan

terhadap gempa bisa terkait dengan periode ulang terjadinya gempa.

I.10 Frekuensi Terjadinya Gempa

Hubungan antara besarnya gempa menurut Skala Richter dengan frekuensi terjadinya

gempa pada suatu wilayah, oleh Gutenberg dan Richter dapat dinyatakan dengan rumus :

Log N = A – b.M

dimana N adalah jumlah rata-rata gempa yang besarnya M atau lebih pada Skala Richter yang

terjadi pada suatu wilayah, M adalah magnitude gempa menurut Skala Richter, A dan b

adalah konstanta yang besarnya tergantung pada lokasi atau wilayah yang ditinjau. Sebagai

contoh, untuk wilayah Jepang Timur Laut, harga A=6,88 dan b=1,06, untuk Jepang Barat

Daya, harga A=4,19 dan b=0,72, untuk wilayah Amerika Barat, harga A=5,94 dan b=1,14,

untuk wilayah Amerika Timur, harga A=5,79 dan b=1,34. Untuk Indonesia, besarnya

konstanta A dan b dapat diambil sebesar A=7,30 dan b=0,94.

Rumus Gutenberg dan Richter di atas menunjukkan hubungan antara frekuensi dan

besarnya gempa yang ditinjau berdasarkan besarnya energi yang dilepas pada sumber gempa,

pada suatu wilayah tertentu. Untuk keperluan rekayasa Teknik Sipil, rumus ini jarang

digunakan, karena pada rekayasa Teknik Sipil yang diperlukan adalah besarnya percepatan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 25

maksimum tanah permukaan pada saat terjadinya gempa. Hubungan yang banyak dipakai di

bidang Teknik Sipil adalah hubungan antara frekuensi terjadinya gempa dan besarnya

percepatan permukaan tanah yang maksimum pada suatu wilayah tertentu.

Jika untuk suatu wilayah tertentu telah diketahui besarnya percepatan permukaan tanah

yang pernah terjadi, maka dapat dibuat hubungan antara besarnya percepatan tanah dengan

frekuensi terjadinya gempa. Misalnya pada suatu daerah, berdasarkan catatan-catatan gempa

yang lalu, rata-rata mengalami 1 kali getaran gempa dengan percepatan permukaan tanah

sebesar 0,10 gal (gal = gravity acceleration atau percepatan gravitasi) atau lebih untuk setiap

50 tahun, dan mengalami 1 kali getaran gempa dengan percepatan permukaan tanah sebesar

0,08 gal atau lebih untuk setiap 10 tahun, maka dapat dikatakan bahwa daerah tersebut

mempunyai gempa 50 tahunan sebesar 0,10 gal dan gempa 10 tahunan sebesar 0,08 gal.

Makin lama waktu atau periode ulang terjadinya gempa, maka akan makin besar percepatan

permukaan tanahnya.

I.11 Gelombang Gempa

Hancurnya massa batuan di dalam kulit bumi akan disertai dengan pemancaran

gelombang-gelombang gempa (seismic wave) ke segala arah, kadang-kadang sampai ke

tempat yang jauh sekali tergantung dari banyaknya energi yang terlepas. Pada dasarnya ada

dua jenis gelombang yang dilepas pada saat terjadi gempa, yaitu Gelombang Badan (Body

Waves) dan Gelombang Permukaan (Surface Wave). Gelombang badan ada dua jenis, yaitu

Gelombang P (Primer) dan Gelombang S (Secunder). Gelombang permukaan ada dua jenis,

yaitu Gelombang R (Rayleigh) dan Gelombang L (Love).

Gelombang P merambat pada arah longitudinal, dengan cara memampat dan

mengembang searah dengan arah rambatan. Kecepatan perambatan gelombang P antara 1,4

sampai dengan 6,4 km/detik. Gelombang S merambat pada arah transversal. Perambatan dari

Gelombang S ini disertai juga dengan gerakan berputar sehingga dapat lebih membahayakan

di bandingkan Gelombang P. Kecepatan perambatan Gelombang S sekitar 2/3 kali kecepatan

Gelombang P. Karena perbedaan kecepatan rambat dari kedua gelombang ini, maka dari hasil

rekaman gempa, dapat diperkirakan jarak sumber gempanya berdasarkan selisih waktu tiba

antara kedua gelombang tersebut pada alat seismograf. Gelombang R dan Gelombang L

hanya merambat di permukaan tanah saja. Gelombang R arah gerakannya pada bidang

vertikal, sedangkan Gelombang L bergerak transversal pada bidang horisontal.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 26

I.11.1 Gelombang P

Gelombang P adalah gelombang gempa yang tercepat. Gelombang P ini dapat

merambat melalui media padat dan cair, seperti lapisan batuan, air atau lapisan cair bumi.

Pada saat merambat, gelombang ini akan menekan media batuan yang dilewatinya.

Mekanisme perambatan Gelombang P yang menekan lapisan batuan, identik dengan

mekanisme terjadinya getaran pada jendela kaca saat terjadi suar*a petir yang keras. Jendela

bergetar karena adanya tekanan dari gelombang suara pada kaca jendela. Pada saat terjadi

gempa, pengaruh dari Gelombang P dapat dirasakan berupa getaran.

Gambar I.13. Perambatan Gelombang P

I.11.2 Gelombang S

Jenis kedua dari Gelombang Badan adalah Gelombang S, yang merupakan gelombang

kedua yang dapat dirasakan pada saat gempa. Gelombang S lebih lambat dari pada

Gelombang P, dan hanya dapat merambat melalui batuan padat. Arah gerakan dari gelombang

ini naik-turun atau bergerak menyamping.

Gambar I.14. Perambatan Gelombang S

I.11.3 Gelombang L

Jenis pertama dari Gelombang Permukaan disebut Gelombang L. Gelombang ini diberi

nama sesuai dengan nama penemunya yaitu A.E.H. Love seorang ahli matematika dari Inggris

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 27

yang mengerjakan model matematika untuk jenis gelombang ini di pada 1911. Gelombang ini

adalah yang tercepat dan menggerakkan tanah dari samping ke samping.

Gambar I.15. Perambatan Gelombang L

I.11.4 Gelombang R

Jenis Gelombang Permukaan lainnya adalah Gelombang R. Keberadaan dari

gelombang ini diperkirakan secara matematika oleh W.S. Rayleigh pada 1885. Pada saat

merambat, Gelombang R akan menggulung media yang dilewatinya, dimana gerakan dari

gelombang ini mirip dengan gerakan gelombang air di laut. Karena gerakan yang menggulung

ini, maka lapisan tanah atau batuan akan naik dan turun, dan akan ikut bergerak searah dengan

gerakan gelombang. Kebanyakan goncangan dari gempa berhubungan erat dengan

Gelombang R ini. Pengaruh kerusakan yang diakibatkan oleh Gelombang R dapat lebih besar

dibandingkan gelombang-gelombang gempa lainnya.

Gambar I.16. Perambatan Gelombang R

I.11.5 Amplifikasi Gelombang Gempa

Karena lapisan permukaan bumi tidak homogen dan terdiri dari bermacam-macam

bahan dan lapisan, maka gelombang-gelombang gempa tersebut dalam perjalanannya

mencapai permukaan bumi akan mengalami berbagai perubahan, yaitu diredam, dipantulkan,

dibiaskan baik pada lapisan-lapisan maupun pada permukaan bumi. Sebagai akibatnya

jalannya gelombang menjadi tidak beraturan, rumit, serta sulit untuk diprediksi.

Lapisan permukaan bumi merupakan lapisan yang penting di bidang rekayasa gempa,

karena pada lapisan ini sering terjadi retakan atau patahan yang dapat menyebabkan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 28

terjadinya gempa. Pengalaman menunjukkan bahwa, kondisi geologi dan kondisi tanah

setempat sangat mempengaruhi gerakan permukaan tanah pada saat terjadi gempa. Beberapa

faktor yang mempengaruhi gerakan tanah akibat gempa adalah : panjang dan tebalnya lapisan

tanah di atas lapisan batuan, perubahan jenis lapisan tanah, kemiringan lapisan tanah endapan,

retakan di dalam lapisan batuan, dan lain-lain.

Pada saat gelombang gempa menyebar di tanah, maka akan terjadi pemantulan dan

penyebaran pada perbatasan antara lapisan-lapisan permukaan tanah yang mempunyai sifat

karakterisitik yang berbeda. Seperti diilustrasikan pada Gambar I.17, hubungan antara sudut

1 pada bagian lapisan batuan dasar dan sudut gelombang n pada permukaan teratas, dapat

dinyatakan dalam persamaan :

11

nn sin

c

csin

Sebagai contoh, jika cn = 0,1c1 dan 1 = 900 , maka n = 60 . Hal ini menunjukkan bahwa arah

penyebaran gelombang seismik hampir vertikal pada saat mencapai permukaan tanah.

Jika gelombang gempa dengan percepatan yang tetap (stationary wave) merambat dari

lapisan batuan dasar ke permukaan tanah, maka amplitudo dari gelombang pada saat

mencapai permukaan tanah akan menjadi lebih besar dari pada gelombang asalnya. Dalam hal

ini disebut bahwa gelombang seismik mengalami amplifikasi. Fenomena resonansi dapat

terjadi terutama jika waktu getar dari gelombang gempa sama dengan atau mendekati waktu

getar alami dari lapisan tanah yang dilewatinya.

Gambar I.17. Perambatan gelombang gempa pada beberapa lapisan tanah

Pada kondisi sebenarnya, gelombang gempa mempunyai percepatan rambat yang tidak

tetap (nonstationary wave).

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 29

Gambar I.18. Distribusi akar kuadrat rata-rata dari pembesaran amplitudo percepatan tanah untuk komponen utara-selatan gempa El Centro, California, 1940 (Toki, 1981)

Amplifikasi yang terjadi pada gelombang gempa nonstationary lebih kecil dari pada

gelombang gempa stationary. Meskipun demikian, gelombang gempa akan semakin

membesar saat mendekati permukaan tanah, seperti yang terlihat pada contoh numerik pada

Gambar I.18.

I.11.6 Bentuk Gelombang Gempa

Bentuk, amplitudo, durasi, serta karakteristik lainnya dari gelombang gempa tidak hanya

dipengaruhi oleh ukuran besarnya gempa dan jarak hiposentrum saja, tetapi juga dipengaruhi

oleh mekanisme yang terjadi pada sumber gempa, dan struktur geologi tanah yang dilalui

gelombang gempa. Pada suatu tempat yang letaknya jauh dari pusat gempa, gelombang

gempa akan mempunyai intensitas dan bentuk yang berbeda dengan gelombang yang terjadi

di dekat pusat gempa. Derajat dari amplifikasi dan perubahan bentuk dari gelombang gempa

dipengaruhi juga oleh kekerasan dan ketebalan dari lapisan tanah di bawah lokasi setempat.

Bentuk dari gelombang gempa sangat komplek dan berbeda satu dengan lainnya. Newmark

dan Rosenblueth (1971) mengklasifikasikannya dalam empat tipe gelombang yaitu :

1. Single-shock type. Pusat gempa terdapat pada kedalaman yang dangkal, dimana lapisan

dasar terdiri dari lapisan batuan yang keras, seperti gempa Port Hueneme 1957 (Gambar

I.19), gempa Libya 1963, dan gempa Skopje 1963.

2. A moderately long, extremely irregular motion. Pusat gempa terdapat pada kedalaman

sedang, dimana lapisan dasar terdiri dari lapisan batuan yang keras, seperti gempa El

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 30

Centro 1940 (Gambar I.20). Tipe ini sering terjadi pada sabuk Sirkum Pasifik , dimana

lapisan batuan dasarnya keras.

3. A long ground motion exhibiting pronounced prevailing periods of vibration. Pada tipe

ini, gelombang gempa tersaring oleh banyak lapisan tanah lunak, dan terjadi refleksi

berurutan pada permukaan tanah, seperti pada gempa Meksiko 1964.

4. A ground motion involving large-scale permanent deformation of the ground. Gempa

seperti ini terjadi di pelabuhan Alaska 1064 dan Niigata 1064.

Sudah barang tentu gempa-gempa lainnya yang terjadi tidak akan memiliki bentuk

gelombang gempa yang tepat sama dengan salah satu dari keempat tipe yang disebutkan

diatas. Sejumlah gempa memperlihatkan bentuk gelombang diantara atau kombinasi dari

keempat tipe tersebut.

Gambar I.19. Komponen timur-barat dari gempa Port Hueneme, 1957.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 31

Gambar I.20. Komponen utara-selatan gempa El Centro, California, 1940.

I.12 Wilayah Gempa

Gempa dapat terjadi kapan saja dan dimanapun di bumi ini, tetapi pada umumnya

gempa terjadi di sekitar batas pelat tektonik dan banyak disekitar sesar aktif disekitar batas

pelat tektonik. Dengan demikian lokasi gempa cenderung terkonsentrasi pada tempat-tempat

tertentu saja, seperti pada batas pelat tektonik Pasific. Tempat ini dikenal dengan nama

Lingkaran Api (Ring of Fire) karena banyaknya gunung berapi dan aktivitas geologi.

Gambar I.21. Lingkaran Api (Ring of Fire)

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 32

Dengan melihat tempat-tempat dimana gempa sering terjadi, maka telah dipetakan tiga

jalur gempa yang ada di bumi, yaitu :

1. Circum Pasific Earthquake Belt ( Jalur Gempa Pasifik ), yang meliputi : Chili,

Equador, California, Jepang, Taiwan, Philipina, Sulawesi Utara, Kepulauan Maluku,

Irian, Melanesia, Polynesia, dan Selandia Baru.

2. Trans Asiatic Earthquake Belt ( Jalur Gempa Asia ), yang meliputi : Pegunungan

Alpine di Eropa, Asia Kecil, Irak, Iran, Afganistan, Himalaya, Birma, Sumatera, Jawa,

Nusa Tenggara, dan Irian.

3. Mid Atlantic Earthquake Belt ( Jalur Gempa Atlantik Tengah ), yang meliputi :

Atlantik Selatan melintas ke utara melalui Iceland dan Spitzbergen.

Dari jalur gempa di atas terlihat bahwa kepulauan Indonesia menjadi tempat pertemuan dua

jalur gempa, yaitu Circum Pasific Earthquake Belt dan Trans Asiatic Earthquake Belt.

Dengan demikian kepulauan Indonesia merupakan daerah yang rawan gempa.

I.13 Tsunami

Istilah tsunami berasal dari kosa kata Jepang tsu yang berarti gelombang dan nami yang

berarti pelabuhan, sehingga secara bebas, tsunami diartikan sebagai gelombang laut yang

melanda pelabuhan. Bencana tsunami terbukti menelan banyak korban manusia maupun

harta benda, sebagai contoh untuk tsunami di Flores (1992) mengakibatkan meninggalnya

lebih dari 2000 manusia, kemudian untuk tsunami di Banyuwangi (1994) telah menelan

korban 800 orang lebih, belum termasuk hitungan harta benda yang telah hancur, dan yang

terakhir di Aceh yang menyebabkan lebih dari 100.000 ribu korban jiwa.

Gambar I.22. Gelombang Tsunami

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 33

Tsunami ditimbulkan oleh adanya perubahan bentuk (deformasi) pada dasar lautan,

terutama perubaan permukaan dasar lautan dalam arah vertikal. Perubahan pada dasar lautan

tersebut akan diikuti dengan perubahan permukaan lautan, yang mengakibatkan timbulnya

penjalaran gelombang air laut secara serentak tersebar keseluruh penjuru mata-angin.

Kecepatan rambat penjalaran tsunami di sumbernya bisa mencapai ratusan hingga ribuan

km/jam, dan berkurang pada saat menuju pantai, dimana kedalaman laut semakin dangkal.

Meskipun tinggi gelombang tsunami pada sumbernya kurang dari satu meter, tetapi

pada saat menghempas di pantai, tinggi gelombang tsunami bisa mencapai lebih dari 5 meter.

Hal ini disebabkan karena berkurangnya kecepatan merambat gelombang tsunami disebabkan

semakin dangkalnya kedalaman laut menuju pantai. Tetapi ini akan mengakibatkan tinggi

gelombangnya menjadi lebih besar karena harus sesuai dengan hukum kekekalan energi.

Penelitian menunjukkan bahwa tsunami dapat timbul bila kondisi tersebut di bawah ini

terpenuhi :

Gempa dengan pusat gempa di tengah lautan.

Gempa dengan magnitude lebih besar dari M=6.0 pada Skala Ricter

Gempa dengan pusat gempa dangkal, kurang dari 33 Km

Gempa dengan pola mekanisme dominan adalah sesar naik atau sesar turun

Lokasi sesar (fault) di lautan yang dalam.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 34

Bab. II

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur

II.1 Pendahuluan

Gempa bumi (earthquake) adalah salah satu peristiwa alam yang dapat menimbulkan

bencana, yang pada umumnya terjadi akibat rusak atau runtuhnya gedung, rumah, atau

bangunan buatan manusia. Lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 km mempunyai

temperatur relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan dalamnya (mantel dan inti

bumi), sehingga terjadi aliran konveksi dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir ke

daerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang

untuk menerangkan terjadinya pergeseran pelat tektonik yang menjadi penyebab utama

terjadinya gempa bumi tektonik. Disamping itu kita juga mengenal gempa vulkanik, gempa

runtuhan, gempa imbasan, dan gempa buatan. Gempa vulkanik disebabkan oleh desakan

magma ke permukaan, gempa runtuhan banyak terjadi di pegunungan yang runtuh, gempa

imbasan biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan

adalah gempa yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari

bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis gempa

lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan.

Hampir setiap tahun bencana gempa bumi terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Walaupun bencana ini berpengaruh sangat besar terhadap perekonomian regional dan

pembangunan, kelihatannya masih sangat sedikit usaha-usaha yang dilakukan untuk

mengantisipasi, mempersiapkan, atau mengurangi pengaruh bencana dari gempa-gempa yang

akan datang. Sepanjang sejarah manusia, gempa bumi telah menimbulkan banyak korban jiwa

serta harta benda di seluruh dunia. Bencana ini pada umumnya disebabkan oleh gagalnya

bangunan-bangunan buatan manusia. Sampai saat ini manusia belum dapat berbuat banyak

untuk mencegah terjadinya gempa bumi, meskipun demikian manusia dapat berihtiar dan

berusaha untuk mengurangi dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa. Oleh

karena itu, salah satu upaya nyata untuk mengurangi atau mencegah pengaruh gempa bumi

yang akan datang adalah dengan memberikan ketahanan gempa yang cukup terhadap

bangunan-bangunan tersebut.

Secara geografis, kepulauan Indonesia berada di antara 60 LU dan 110 LS, serta

diantara 950 BT dan 1410 BT, serta terletak pada perbenturan tiga lempeng kerak bumi yang

disebut triple juntion, yaitu : Lempeng Eurasia, Lempeng Pasific, dan Lempeng Indo

Australia (Gambar II-1). Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 35

lepas pantai Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan dengan lempeng Pasific di utara

Irian dan Maluku Utara. Di sekitar lokasi pertemuan antara lempeng ini, akumulasi energi

tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan

tumpukan energi, sehingga energi yang terkumpul akan dilepaskan berupa gempa bumi.

Pelepasan energi sesaat ini akan menimbulkan berbagai dampak terhadap bangunan karena

percepatan gelombang seismik, tsunami, longsoran, dan liquefaction. Besarnya dampak

gempa terhadap bangunan bergantung pada beberapa hal; diantaranya adalah skala gempa,

jarak epicenter, mekanisme sumber gempa, jenis tanah di lokasi bangunan, dan kualitas dari

bangunan.

Benturan tiga lempeng tektonik bumi yang terjadi di Indonesia membuat kawasan ini

berpola tektonik yang sangat komplek. Oleh karena itu di Indonesia terdapat berbagai jalur

rawan tektonik yang dapat menimbulkan gempa tektonik, dan sebagian besar bersifat

merusak. Gempa bumi tektonik dapat digolongkan sebagai bencana alam geologi, karena

bencana ini ditimbulkan oleh bencana alam dengan karakteristik yang spesifik yaitu terjadi

secara cepat dan mendadak, tanpa dapat diramalkan terlebih dahulu intensitas besar dan

arahnya, serta waktu kejadiannya.

Pada akhir abad ke 20 ini sangat banyak gempa yang terjadi di Indonesia. Gempa-

gempa yang terjadi ini umumnya menyebabkan bencana yang mengakibatkan korban jiwa dan

kerugian harta benda. Tidak kurang dari belasan gempa bumi besar telah melanda Indonesia,

dan beberapa diantaranya mencapai magnitude > M=6 pada Skala Richter, bahkan ada yang

disertai dengan gelombang pasang (Tsunami) seperti gempa yang terjadi di Sumbawa, Flores,

dan Banyuwangi. Kita tidak bisa melupakan gempa-gempa hebat yang terjadi di Bali (1976),

Flores (1992), Halmahera (1994), Liwa (1994), Banyuwangi (1994), Kerinci (1995), Biak

(1996), Pandeglang (1997,1999), Sukabumi (2000), Bengkulu (2000), Papua (2004), Bali

(2004), Kepulauan Alor (2004), dan di Jogja (2006). Beberapa gempa bahkan dirasakan

dampaknya di Jakarta, sehingga mendorong kita semua untuk memperhatikan fenomena

gempa lebih serius. Terjadinya gempa bumi di beberapa wilayah di Indonesia mengingatkan

kita bahwa, kepulauan Indonesia termasuk daerah yang rawan bencana gempa.

Distribusi gempa bumi besar yang bersifat merusak dengan magnitude M > 6 pada

Skala Richter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1900 sampai dengan 1996, diperlihatkan

pada Gambar II-2. Dari distribusi gempa besar yang pernah terjadi, terlihat bahwa kawasan

Indonesia khususnya sebagian Sumatera dan Jawa, serta hampir seluruh wilayah Indonesia

bagian timur yang meliputi kepulauan Bali, NTT, dan NTB adalah daerah yang rawan

bencana gempa.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 36

Gambar II-1. Lingkungan tektonik Indonesia terdiri dari tiga lempeng tektonik; Indo-Australia, Pasifik dan Eurasia yang bergerak relatif terhadap lainnya (lihat arah panah). Batas lempeng tektonik merupakan daerah konsentrasi aktifitas gempa bumi yang diplot sebagai garis hitam dan segi tiga. Garis tebal merupakan sesar aktif, sedangkan lingkaran adalah stasiun seismograf (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika).

Gambar II-2. Distribusi lokasi gempa bumi besar yang pernah terjadi tahun 1900 s/d 1996 dengan magnitude M > 6 pada Skala Richter (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika).

Kerusakan maupun kerugian yang diakibatkan bencana gempa cukup besar, baik dari

kerusakan sarana dan prasarana, serta hancurnya banyak rumah penduduk di suatu wilayah

Lempeng

Pasifik

Lempeng

Eurasia

Lempeng

Indo-Australia

71 mm / yr

110 mm / yr

Lempeng Eurasia Lempeng

Pasifik

Lempeng Indo-Australia

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 37

permukiman. Lebih parah lagi adalah, sebagian besar dampak diakibat gempa adalah

kerusakan dari bangunan rumah sederhana yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat di

Indonesia. Sementara itu banyaknya korban jiwa maupun luka-luka akibat terjadinya gempa

mengindikasikan kurangnya antisipasi dan kesiapsiagaan masyarakat akan terjadinya bencana

gempa. Untuk itulah diperlukan upaya terpadu pengurangan dampak bencana gempa yang

melibatkan seluruh potensi masyarakat. Untuk dapat mengurangi bencana yang diakibatkan

oleh gempa, beberapa usaha yang dapat dilakukan manusia diantaranya adalah :

Memahami tingkah laku alam, sehingga manusia dapat mengikuti keinginan alam,

dengan demikian manusia dapat hidup berdampingan secara harmonis dan selaras

dengan alam.

Mencoba untuk memperkirakan kapan suatu gempa tektonik atau gempa vulkanik

akan terjadi. Usaha-usaha ini telah mendorong berkembangnya suatu disiplin ilmu

yang dikenal dengan Peramalan Gempa (Earthquake Prediction).

Mencoba untuk mempelajari perilaku dari suatu struktur atau konstruksi bangunan

jika diguncang gempa, dengan harapan akan dapat direncanakan dan dibangun struktur

atau konstruksi bangunan yang tahan terhadap pengaruh gempa. Usaha ini telah

mendorong lahirnya suatu disiplin ilmu yang disebut Rekayasa Gempa

(Earthquake Engineering). Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu Teknik Sipil.

Indonesia merupakan kawasan rawan gempa tektonik, dengan intensitas kegempaan yang

cukup besar. Dalam 50 tahun terakhir ini, tidak kurang dari belasan gempabumi besar telah

melanda kawasan ini, dan beberapa diantaranya mencapai magnitude gempa M=7 pada Skala

Richter. Sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang banyak

dimanifestasikan pada sektor properti seperti pembangunan gedung-gedung bertingkat dalam

jumlah yang besar, pengaruh gempa dapat menambah kerawanan akan jatuhnya korban jiwa

dan harta benda, bila perencanaan struktur bangunan terhadap gempa tidak ditangani dengan

memadai.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 38

Gambar II-3. Kedalaman dan magnitude gempa di Indonesia, tahun 1991 s/d 2000 (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika ).

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 39

II.2 Konstruksi Engineered Dan Non-Engineerred

Rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu cara yang dapat

dilakukan manusia untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh

bencana gempa, agar kerugian material / harta benda dan jatuhnya korban jiwa dapat

ditekan seminimal mungkin. Rekayasa struktur bangunan di daerah rawan gempa,

memerlukan filosofi dan antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau

peraturan yang berlaku. Di Indonesia, syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan

struktur bangunan tahan gempa telah tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku.

Pada dasarnya, bangunan-bangunan yang ada dapat dibagi menjadi dua kategori

berdasarkan proses perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu Engineered Construction dan

Non-Engineered Construction. Engineered Construction adalah bangunan yang

direncanakan berdasarkan perhitungan struktur, dan dilaksanakan atau dibangun di bawah

pengawasan para Ahli Bangunan. Sebagai contoh dari Engineered Construction adalah

struktur bangunan gedung bertingkat, struktur jembatan dan jalan layang, fasilitas

pembangkit tenaga listrik atau tenaga nuklir, dan bendungan. Bangunan-bangunan ini pada

umumnya menggunakan bahan-bahan dan sistem struktur yang modern, seperti beton

bertulang dan baja.

Non-Engineered Construction adalah bangunan yang dibangun secara spontan

berdasarkan kebiasaan tradisional setempat, dan pelaksanaannya tidak dibantu Arsitek atau

Ahli Bangunan, melainkan mengikuti cara-cara yang diperoleh dari hasil pengamatan

tingkat laku bangunan sejenis yang mengalami gempa bumi di masa lalu. Non-Engineered

Construction mencakup bangunan tradisional, bangunan tembokan (bata, batu, batako)

yang memakai perkuatan (kolom dan balok praktis) maupun yang tidak memakai

perkuatan, bangunan kayu dan bambu, bangunan beton bertulang sederhana, bangunan

rangka baja sederhana.

Bangunan Non-Engineered Construction dapat dibagi menjadi dua katergori. Yang

termasuk kategori pertama adalah, bangunan yang dibangun menurut tradisi dan

disesuaikan dengan budaya dan bahan bangunan yang tersedia di daerah tersebut.

Bangunan yang termasuk kategori ini pada umumnya disebut bangunan tradisional.

Bangunan tradisional pada umumnya mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap

gempa. Pola permukiman manusia, cara-cara tradisional, serta bahan bangunan yang

dipakai untuk bangunan tradisional pada suatu wilayah merupakan bukti dari keselerasan

hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan dengan alam. Kearifan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 40

tradisional, pengalaman dan keahlian yang berkembang selama berabad-abad, mampu

menghasilkan karya bangunan tradisional yang tahan terhadap pengaruh gempa.

Gambar II-4. Bangunan tradisional dengan Arsitektur Bali. Sistem struktur bangunan tradisional ini terdiri dari saka (kolom) dan balok sunduk dengan penguat pasak. Struktur tradisional ini cukup kuat menahan gempa Karangasem 2 Januari 2004

Bangunan tradisional ini lambat laun hilang dan digantikan dengan bangunan Non-

Engineered Construction yang termasuk kategori kedua yaitu bangunan rumah tinggal

sederhana atau bangunan komersial yang dibangun oleh pemilik bangunan atau tukang-

tukang setempat, tanpa mendapatkan bantuan dari Arsitek atau Ahli Bangunan. Bangunan-

bangunan tersebut terutama mencakup bangunan tembokan (bata, batu, batako) atau

bangunan beton bertulang sederhana. Bangunan-bangunan tersebut pada umumnya

dibangun dengan tidak memperhatikan prinsip-prinsip yang diperlukan agar memiliki

ketahahan yang baik terhadap gempa.

Bangunan Non-Engineered Construction kategori yang kedua ini merupakan

bangunan yang paling banyak dibangun di negara-negara berkembang termasuk di

Indonesia. Di Indonesia bangunan-bangunan ini banyak dijumpai di daerah permukiman

penduduk, baik yang berada di perkotaan maupun pedesaan. Dari pengalaman gempa yang

terjadi di Indonesia, kegagalan atau kehancuran struktur dari bangunan kategori kedua

inilah yang sering menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda.

Jumlah perbandingan masing-masing kategori bangunan agak berbeda untuk

negara-negara maju, negara-negara sedang berkembang, dan negara-negara belum. Di

Indonesia, Engineered Construction pada umumnya hanya terdapat di kota-kota besar,

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 41

sedangkan Non-Engineered Construction tersebar baik di kota-kota besar atau kecil,

maupun di pedesaan.

Meskipun berbeda dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya, tapi kedua

kategori bangunan ini sesungguhnya harus dapat berfungsi dengan baik pada saat terjadi

gempa, aman bagi keselamatan jiwa dan harta benda, serta ekonomis dalam biaya

pembangunannya. Batasan untuk mendapatkan fungsi tersebut dalam kaitannya dengan

ketahanan bangunan terhadap pengaruh gempa bumi, biasanya dikaitkan dengan

pertimbangan biaya dan risiko yang dapat diterima.

Sejak beberapa tahun yang lalu, batasan atau kriteria desain untuk Engineered

Construction didasarkan pada kriteria performance based design, karena orientasinya

adalah penyelamatan korban jiwa dan juga harta benda, pada saat struktur bangunan

digoncang gempa. Sedangkan pada Non-Engineered Construction orientasinya lebih

dititik beratkan pada kriteria “ penyelamatan korban jiwa “ pada saat terjadi gempa.

II.3 Pelajaran Dari Kerusakan Bangunan Akibat Gempa

Setiap gempa bumi yang merusak selalu memberikan pelajaran baru untuk diteliti.

Hal ini berlaku untuk bangunan Engineered Construction maupun Non-Engineered

Construction. agar struktur bangunan mempunyai performance yang baik pada saat terjadi

gempa. Suatu gempa dapat secara efektif mencari dan menemukan kelemahan-kelemahan

suatu struktur bangunan. Kebanyakan kegagalan struktur hasil dari pengamatan kerusakan

akibat gempa masa lampau, erat kaitannya dengan kekurangan-kekurangan pada bangunan

yang didirikan, apakah itu disebabkan karena perencanaan yang tidak benar, kurangnya

pengawasan, atau pelaksanaan yang tidak memadai.

Penelitian kerusakan bangunan akibat gempa di masa lampau dan pengaruhnya

pada berbagai macam struktur, dapat memberikan informasi yang jelas untuk peningkatan

pengetahuan mengenai rekayasa struktur bangunan tahan gempa. Inspeksi lapangan

terhadap bangunan yang rusak akibat gempa adalah cara yang paling efektif untuk

memperoleh informasi tersebut. Ini terutama sekali benar untuk bangunan-bangunan Non-

Engineered Construction, karena untuk bangunan ini perencanaan tahan gempanya

kebanyakan hanya berdasarkan performance bangunan yang terobservasi pada saat terjadi

gempa dimasa lampau.

Untuk memperoleh informasi mengenai ragam kerusakan dari bangunan-bangunan

pada saat terjadi gempa, di bawah ini diuraikan secara singkat 3 gempa besar yang pernah

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 42

terjadi di wilayah Indonesia Timur selama tahun 2004, yaitu gempa Karangasem di Bali

(Januari 2004), gempa Nabire di Papua (Februari 2004) , dan gempa Alor di NTT

(Nopember 2004). Selain gempa-gempa yang terjadi di wilayah Indonesia Timur, sebagai

pelajaran akan ditinjau juga kerusakan-kerusakan bangunan yang terjadi akibat gempa

Bengkulu. Gempa Bengkulu terjadi pada 4 Juni 2000, dan merupakan salah satu gempa

besar dan merusak dengan kekuatan gempa utama (main shock) M=7,9 pada Skala Richter

(SR). Pusat gempa (epicenter) berada pada koordinat 4,70 LS dan 1020 BT, dengan

kedalaman gempa 33 kilometer. Dari hasil catatan USGS (US Geological Survey National

Earthquake Information Center), terjadi banyak gempa susulan berkekuatan di atas 5,6 SR.

Hal seperti ini jarang terjadi di Indonesia.

II.3.1 Gempa Karangasem-Bali ( Januari 2004 )

Jumat pagi, 2 Januari 2004 pukul 4.59.31.1 WITA sepanjang Kepulauan Bali-

Lombok merasakan kerasnya guncangan gempa. Guncangan paling keras dirasakan hampir

di seluruh daerah di kawasan Pulau Bali bagian timur dan Pulau Lombok bagian barat.

Guncangan gempa dirasakan di Ampenan (IV-V MMI), Karangasem (V-VI MMI), dan

Denpasar (IV-V MMI). Kerugian akibat gempa di Karangasem tercatat puluhan orang

luka-luka, ribuan bangunan termasuk tempat ibadah (pura dan masjid) retak dan roboh,

bahkan di Lombok dilaporkan seorang meninggal dunia.

Berdasarkan analisis Pusat Gempa Regional III, Balai Meteorologi dan Geofisika

Wilayah III, pusat gempa berada pada koordinat 8,340 LS dan 15,870 BT, dengan

kedalaman gempa 33 kilometer. Adapun magnitude atau besarnya energi yang terpancar

dari pusat hiposentrumnya memiliki kekuatan 6,1 pada Skala Richter. Getaran yang terasa

terjadi selama 10 detik dengan durasi catatan signal gempa selama 5 menit. Gempa yang

terjadi memiliki tipe gempa utama yang diikuti dengan gempa susulan (after shock).

Karena pusat gempa berada di laut (Selat Lombok) kurang lebih 27 kilometer sebelah

timur Kota Karangasem, maka tidak terjadi kerusakan dan korban jiwa yang lebih parah.

Sebelumnya, pada 20 Oktober 1979 di Karangasem juga pernah terjadi gempa yang

mengakibatkan 7 orang tewas, 34 orang luka parah, dan 250 orang luka ringan.

II.3.2 Gempa Nabire ( Februari 2004 )

Gempa Nabire di wilayah Papua terjadi pada 6 Februari 2004. Jum’at pagi pukul

04.05 WIT di daerah " leher burung " Papua diguncang gempa berkekuatan 6,9 pada Skala

Richter, dengan intensitas hingga 6-7 Skala MMI, sehingga daerah tersebut porak-poranda.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 43

Lokasi kerusakan terparah terjadi di kota Nabire, yang merupakan kota terpadat

penduduknya di wilayah tersebut. Data resmi dari pemerintah menyatakan bahwa 37 orang

tewas, 110 luka berat, dan 150 orang cedera. Kerugian fisik yang diakibatkan oleh gempa

Nabire ini tidak kurang mencapai Rp 360 miliar, termasuk gedung DPRD Nabire yang

baru saja diresmikan.

Kerusakan lainnya yang terjadi akibat gempa adalah rusaknya bandara udara, 14

gedung sekolah, jembatan putus, jalan-jalan retak, dan puluhan bangunan serta sejumlah

rumah penduduk. Untuk membangun gedung SD saja yang rusak akibat gempa diperlukan

biaya sebesar Rp 58 miliar. Gempa di Nabire adalah gempa tektonik dengan tipe inland

earthquake. Merupakan gempa yang sangat dangkal hiposenternya, yaitu 10 kilometer,

pada posisi 3,360 LS - 135,50 BT. tidak jauh dari kota Nabire.

II.3.3 Gempa Alor ( Nopember 2004 )

Gempa berkekuatan 6 pada Skala Richter mengguncang Kabupaten Alor pada

tanggal 12 Nopember 2004. Kabupaten Alor berada di palung antara Flores dan Provinsi

Maluku (37 km di timur Kota Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, NTT). Gempa mulai

terasa pukul 6.30 hingga 10 WIT. Setelah sempat berhenti sebentar, gempa susulan terjadi

hingga pukul 17.00 WIT, dengan Frekuensi terjadi gempa setiap 20 menit. Pusat gempa

diperkirakan berada di Laut Banda. Gempa yang terjadi di Kepulauan Alor pada 12

Nopember 2004 ini lebih besar dari pada gempa sebelumnya yang pernah terjadi pada

tahun 1991, yakni 5,4 SR.

Akibat guncangan dahsyat ini, sejumlah fasilitas umum rusak berat. Transportasi ke

pulau paling timur Flores putus total. Bandara Mali Alor tidak bisa didarati pesawat karena

landasan retak-retak. Kawasan paling parah akibat guncangan gempa terletak di Kenari

Lang, kelurahan Kalabahi Barat. Akibat gempa ini 27 orang meninggal dunia, 118 orang

luka berat, dan 119 orang luka ringan. Sedangkan kerugian material berupa 4203 rumah

penduduk rusak berat, 4863 rumah rusak ringan. Bangunan ibadah yang mengalami

kerusakan berjumlah 16 buah rusak total, 143 buah rusak berat, dan 60 buah rusak ringan.

Gedung perkantoran yang mengalami rusak ringan sebanyak 117, 153 rusak berat, dan 130

rusak total. Untuk gedung sekolah, 63 rusak total, 98 rusak berat, dan 75 rusak ringan.

Kerusakan-kerusakan infrastruktur yang terjadi akibat gempa di Bengkulu (2000),

di Karangasem, di Nabire, dan di Kepulauan Alor, dapat dikelompokkan menjadi 4

macam, yaitu kerusakan pada bangunan Non-Engineered Construction, kerusakan non-

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 44

struktural pada bangunan rangka sederhana, kerusakan struktural pada bangunan

Engineered Construction, dan kerusakan pada prasarana transportasi (jalan, jembatan,

dermaga, pelabuhan udara).

Sebagian besar bangunan-bangunan yang ada di Karangasem, di Nabire, maupun di

Kepulauan Alor seperti rumah tinggal, sekolahan, instansi pemerintah, pukesmas, termasuk

dalam kategori bangunan Non-Engineered Construction. Bangunan-bangunan ini pada

umumnya adalah bangunan tembokan satu atau dua lantai dengan dinding terbuat dari

pasangan batu bata atau batako. Kerusakan-kerusakan pada bangunan tembokan yang

terjadi akibat gempa Karangasem, gempa Nabire dan gempa Alor, pada umumnya sama

dengan kerusakan bangunan akibat gempa yang terjadi di Bengkulu tahun 2000.

Kerusakan-kerusakan tersebut adalah :

Hancur atau rubuhnya dinding akibat beban gempa yang bekerja tegak lurus bidang

dinding.

Keretakan pada dinding, di tempat-tempat yang terdapat bukaan besar pada

bangunan.

Terpisahnya bagian dinding pada sudut-sudut bangunan atau pertemuan.

Kehancuran pada pojok-pojok dinding bangunan.

Retak-retak diagonal pada dinding bangunan yang terjadi pada siar-siar dan/atau

unsur-unsur penyusun dinding.

Rangka atap terlepas dari dudukannya

Retak dan kegagalan pada sambungan atau pertemuan antara kolom dan balok

Kerusakan bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan konstruksi

yang buruk.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 45

Gambar II-5. Kerusakan-kerusakan pada bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan konstruksi yang buruk (Gempa Nabire, Februari 2004)

Gambar II-6. Rangka atap terlepas dari dudukannya, karena tidak diangkur dengan baik (Gempa Bengkulu, Juni 2000)

Gambar II-7. Retak dan kegagalan pada sambungan pertemuan antara kolom dan balok (Gempa Bengkulu, Juni 2000)

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 46

Gambar II-8. Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas, karena adanya perbedaan kekakuan yang besar antara lantai tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft first story. (Gempa Bengkulu, Juni 2000).

Penyebab utama dari kerusakan-kerusakan di atas adalah karena pengerjaan

bangunan yang tidak mengikuti persyaratan minimal dari detail konstruksi yang harus

dipenuhi untuk bangunan di daerah rawan gempa. Sebagai contoh untuk hal ini adalah :

tidak adanya unsur-unsur perkuatan untuk bidang-bidang dinding yang luasnya 6m2 ,

detail penulangan yang tidak benar pada pertemuan antara unsur-unsur perkuatan, diameter

dan total luas penampang tulangan yang dipasang terlalu kecil, serta jarak antar tulangan

geser (sengkang) yang dipasang terlalu besar.

Kerusakan akibat gempa dapat berupa kerusakan non-struktural atau kerusakan

struktural. Kerusakan non-struktural adalah kerusakan pada elemen-elemen bangunan yang

tidak difungsikan untuk menahan beban, dengan demikian kerusakan ini tidak

mempengaruhi kekuatan struktur dari bangunan secara keseluruhan. Kerusakan non-

struktural pada umumnya meliputi :

Penutup atap (genteng) melorot dari dudukannya.

Rangka plafond rusak atau plafond terlepas dari rangkanya.

Dinding pengisi dan dinding facade rusak atau roboh karena dinding-dinding ini

tidak diangkur pada elemen-elemen struktur penahan beban, atau dinding tidak

diberi balok-balok dan kolom-kolom praktis.

Kerusakan struktural adalah kerusakan yang terjadi pada elemen-elemen bangunan

yang difungsikan untuk menahan beban, seperti balok-balok dan kolom-kolom utama dari

struktur bangunan. Kerusakan dari elemen-elemen struktural dapat menyebabkan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 47

berkurangnya kekuatan dari bangunan, atau bahkan dapat menyebabkan keruntuhan dari

bangunan. Rusaknya kolom-kolom utama dari struktur bangunan, pada umumnya

disebabkan oleh :

Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas dan di bagian

bawah kolom karena gaya geser terpusat akibat perbedaan kekakuan yang besar

antara lantai tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft first storey.

Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar pada bagian kolom yang berada

diantara 2 bukaan jendela. Kerusakan ini disebut short column effect.

Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar.

II.3.4 Gempa Kobe di Jepang ( Januari 1995)

Peristiwa Gempa Kobe di Jepang pada tanggal 17 Januari 1995, telah memberikan

pelajaran baru bagi kita, bahwa bukan saja jiwa manusia yang harus diamankan, tetapi juga

harta benda. Kerugian finansial yang telah diderita Jepang oleh Gempa Kobe dengan

magnitude gempa M=7,2 pada Skala Richter yang terjadi hanya selama lebih kurang 20

detik, mencapai 140 milyar dollar AS atau sekitar 315 trilyun rupiah, telah sangat

mengejutkan dunia karena begitu besarnya. Bila kita bandingkan dengan RAPBN

1995/1996 negara kita yang berjumlah 78,024 trilyun rupiah, maka kerugian finansial yang

telah diderita Jepang oleh Gempa Kobe tersebut, adalah setara dengan empat kali RAPBN

kita. Dapat dibayangkan jika gempa seperti itu melanda negara yang sedang berkembang

seperti Indonesia, tidak mustahil negara tersebut akan langsung bangkrut karenanya.

Gempa Kobe yang terjadi pada jam 05:46 pagi waktu Jepang dengan lokasi

epicenter 34,6 N dan 135,0E, yang dinamakan Gempa Kuat Hanshin, telah

mengakibatkan korban meninggal lebih dari 5270 orang, 26815 orang cedera, 60 orang

hilang, dan 150787 rumah hancur atau terbakar dalam wilayah seluas 150 hektar. Wilayah

yang mengalami kerusakan berat meliputi daerah sepanjang 25 km. dan selebar 2 km.

Gempa dahsyat ini ternyata juga telah meruntuhkan banyak bangunan gedung bertingkat

serta jalan layang yang terbuat dari struktur baja, struktur beton dan struktur komposit,

yang tentunya sudah diantisipasi dan direncanakan aman terhadap pengaruh gempa.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 48

Gambar II-9. Bagian dari Jembatan-layang, highway Osaka-Kobe, yang terputus akibat terlepasnya balok jembatan dari pilar dan jatuh.

Gambar II-10. Pilar jembatan jalan layang mengalami kerusakan akibat kombinasi antara gaya tekan dan geser.

Secara resmi Pemerintah Daerah Kobe telah mengumumkan bahwa 94109 bangunan

gedung di kota Kobe telah mengalami rusak berat, dimana 54949 bangunan diantaranya

hancur total, dan 31783 mengalami rusak ringan. Musnahnya rumah tinggal

mengakibatkan sekitar 300000 orang kehilangan tempat tinggal. Gempa juga telah

mengakibatkan pelabuhan besar kontainer Kobe mengalami hancur total dan tidak dapat

berfungsi. Kota Kobe yang merupakan kota pelabuhan modern yang telah dibangun selama

130 tahun, ternyata hancur oleh gempa yang berlangsung hanya 20 detik.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 49

Gambar II-11. Kerusakan pada lantai pelataran pelabuhan peti kemas akibat liquefaction

Jika hal ini tidak terjadi di Jepang, mungkin orang tidak akan begitu heran. Selama

ini orang terlanjur menganggap bahwa Jepang adalah negeri yang sudah menguasai kiat

untuk meredam gempa dengan menggunakan teknologinya yang maju.

Penggunaan standar konstruksi nasional untuk struktur bangunan tahan gempa di

Jepang, memberikan jaminan keamanan bahwa bangunan-bangunan di perkotaan mampu

untuk menahan gempa hebat. Bahkan ketika Los Angeles di Amerika Serikat diguncang

Gempa Kuat setahun sebelumnya, banyak ahli gempa dari Jepang dengan penuh keyakinan

mengatakan bahwa, kerusakan yang terjadi pada kawasan metropolis di California Selatan

tersebut tidak akan terjadi di Jepang. Akan tetapi, ketika gempa datang mengguncang,

jaminan keamanan tadi terbukti hanya tinggal sebuah kata. Jalan layang, pelabuhan,

lintasan jalur kereta api cepat dan kereta api lokal, serta beberapa gedung bertingkat yang

konon telah dibangun atas dasar standar konstruksi nasional, ternyata tidak mampu

meredam Gempa Kuat dengan magnitude M=7,2 pada Skala Richter. Tidak sedikit

bagunan bertingkat tinggi yang runtuh sepenuhnya atau miring, termasuk gedung rumah

sakit Kobe yang berlantai delapan. Di gedung rumah sakit Kobe ini puluhan pasien, dokter

dan perawat tewas seketika.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 50

Gambar II-12. Rumah Sakit Kobe runtuh akibat gempa berkekuatan M=7,2 pada Skala Richter

Di lokasi fasilitas LPG Higashi-Nada-Ku, sebuah tangki gas berkapasitas 20000 ton

mengalami kebocoran, sehingga 8000 warga sekitarnya perlu dievakuasi. Jalur kereta api

cepat shinkansen di Kobe yang direncanakan tahan terhadap gempa berkekuatan M=7,9

pada Skala Richter, ternyata rusak berat hanya dalam waktu 12 detik akibat pengaruh

gempa yang berarah vertikal. Getaran gempa yang berarah vertikal lebih sulit diantisipasi

pangaruhnya terhadap kekuatan struktur, dengan demikian gempa berarah vertikal lebih

berbahaya pengaruhnya dibandingkan dengan gempa yang berarah horisontal yang dapat

menimbulkan gerakan-gerakan menyamping pada struktur bangunan.

Gambar II-13. Kerusakan pada fasilitas jalur kereta api cepat shinkansen di Kobe

Jaminan-jaminan keamanan seperti di atas, tentu bukan hanya diberikan di bidang

konstruksi saja. Perusahaan Osaka Gas misalnya, juga telah menjamin bahwa bila

guncangan gempa mencapai magnitude M=5 pada Skala Richter, gas akan berhenti secara

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 51

otomatis dan oleh karenanya kecemasan masyarakat terhadap kebocoran gas, tidaklah

diperlukan. Pernyataan dari perusahaan gas kaliber raksasa ini tentunya wajar untuk

dipercaya oleh masyarakat. Tetapi ketika getaran gempa Kobe telah mencapai magnitude

M=7,2 pada Skala Richter, banyak kalangan yang menyangsikan bahwa sungguhkah gas

memang berhenti secara otomatis. Beberapa korban bahkan banyak yang meninggal bukan

disebabkan karena tertimpa reruntuhan bangunan, melainkan karena mengisap gas yang

berbahaya ini.

Jalan layang, gedung bertingkat, pelabuhan, jalur kereta api serta pipa gas, bukanlah

satu-satunya bangunan yang porak poranda akibat gempa kuat yang melanda Kobe.

Gempa Kobe juga telah menghancurkan keyakinan dari masyarakat Jepang bahwa negeri

itu mampu untuk menahan goncangan gempa yang hebat. Hal ini mungkin akan

menyebabkan diadakannya peninjauan secara radikal terhadap langkah-langkah untuk

mengantisipasi pengaruh gempa. “Masalah terpenting yang perlu dikaji kembali adalah

standar-standar konstruksi bangunan“, demikian pernyataan yang dikatakan oleh Prof. Isao

Sakamoto dari Fakultas Teknik Universitas Tokyo.

Gempa Kobe mengingatkan semua pihak, bahwa suatu wilayah yang dianggap tidak

mempunyai risiko dilanda Gempa Kuat, belum tentu anggapan tersebut sepenuhnya benar.

Meskipun dari data sejarah kegempaan selama 100 tahun atau lebih, menunjukkan tidak

pernah terjadi gempa yang hebat, ada kemungkinan pada suatu saat dapat terjadi Gempa

Kuat yang dapat menghancurkan wilayah yang luas serta menimbulkan kerugian harta dan

jiwa dalam jumlah sangat besar. Kerusakan yang terjadi pada suatu kawasan padat

penduduk atau kota industri yang sudah dipenuhi bangunan-bangunan penting, akan sangat

sulit dibangun kembali seperti semula.

Seperti halnya dengan Gempa Kuat yang terjadi di Kobe yang tidak diduga

sebelumnya, maka kejadian seperti ini dapat saja terjadi di mana saja termasuk Indonesia,

khususnya di kota-kota besar yang banyak memiliki gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan

layang. Di dalan standar gempa yang berlaku di Indonesia, Jakarta termasuk di dalam

wilayah atau zona gempa 4 yang termasuk wilayah dengan pengaruh kegempaan sedang.

Apakah ketentuan tersebut perlu ditinjau ulang ?. Sudahkah para ahli struktur dan ahli

gempa di Indonesia memikirkan langkah-langkah pengamanan seperlunya untuk

menghadapi kemungkinan seperti gempa yang terjadi di Kobe?.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 52

II.4 Risiko Gempa di Indonesia

Berdasarkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa di Indonesia,

maka perlu adanya upaya-upaya untuk menekan bahaya bencana yang diakibatkan oleh

gempa. Aspek rekayasa gempa sangat perlu diterapkan pada rekayasa struktur, agar

bangunan mempunyai ketahanan yang baik terhadap pengaruh gempa. Penggunaan standar

bangunan sangat penting untuk menjamin bahwa bangunan tersebut aman untuk dihuni.

Penentuan tingkat risiko terjadinya gempa untuk suatu wilayah, secara analitis

dimungkinkan, berkat sifat-sifat dari peristiwa gempa yang pernah terjadi sebelumnya,

sebagaimana halnya pada beberapa bencana alam lainnya, seperti halnya banjir. Peristiwa

terjadinya gempa dapat direpresentasikan dengan suatu model matematik dan teori

probabilitas. Tingkat risiko gempa pada suatu wilayah diartikan sebagai probabilitas atau

kemungkinan terlampauinya respon pergerakan tanah yang maksimum pada wilayah

tersebut, dalam suatu kurun waktu tertentu. Dengan mengetahui sejarah kegempaan suatu

daerah yang diperoleh dari pengamatan atau rekaman gempa yang pernah terjadi di masa

lalu, tingkat risiko atau peluang terjadinya gempa pada suatu wilayah dapat diperkirakan

dengan menggunakan rumus-rumus matematika dan statistik.

Tingkat risiko gempa pada suatu wilayah atau zona, tidak dapat ditentukan hanya

berdasarkan frekuensi terjadinya gempa saja. Hal ini disebabkan karena tingkat risiko

gempa diukur berdasarkan kerusakan struktur yang ada pada suatu lokasi, yang tidak hanya

tergantung dari besarnya gempa, tetapi juga tergantung pada jarak pusat gempa (epicenter)

dari lokasi yang ditinjau, serta kondisi tanah pada lokasi tersebut. Sebagai contoh, gempa

kuat dengan magnitude M=7 pada Skala Richter dengan pusat gempa berjarak 300 km dari

lokasi yang ditinjau, belum tentu menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan

gempa dengan magnitude M=5 atau M=6 pada Skala Richter, tetapi dengan pusat gempa

yang berjarak 50 km. dari lokasi yang ditinjau. Demikian pula halnya pengaruh beban

gempa pada struktur bangunan yang terletak di atas tanah lunak dan di atas tanah keras,

dapat juga berlainan.

Konsep keamanan dari suatu struktur terhadap pengaruh gempa, harus dikaitkan

dengan risiko atau peluang terjadinya (incidence risk) gempa tersebut selama umur rencana

(design life time) dari struktur bangunan yang ditinjau. Karena gempa merupakan peristiwa

probabilistik, maka gempa dengan kekuatan atau intensitas tertentu, mempunyai periode

ulang (return period) yang tertentu pula. Dengan demikian, jika risiko terjadinya suatu

gempa selama umur rencana bangunan sudah tertentu, maka periode ulang dari gempa

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 53

tersebut sudah tertentu pula. Hubungan antara umur rencana bangunan, periode ulang

gempa, dan risiko terjadinya gempa, berdasarkan teori probabilitas dapat dinyatakan dalam

suatu persamaan matematika sebagai berikut :

dimana : RN = Risiko terjadinya gempa selama umur rencana (%)

TR = Periode ulang terjadinya gempa (tahun)

N = Umur rencana dari bangunan (tahun)

Pada perencanaan struktur bangunan tahan gempa, perlu ditinjau 3 taraf beban

gempa, yaitu Gempa Ringan, Gempa Sedang dan Gempa Kuat, untuk merencanakan

elemen-elemen dari sistem struktur, agar tetap mempunyai kinerja yang baik pada saat

terjadi gempa. Gempa Ringan, Gempa Sedang, Gempa Kuat, dan Gempa Rencana untuk

keperluan prosedur perencanaan struktur didefinisikan sebagai berikut :

II.4.1 Gempa Ringan

Gempa Ringan adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode

umur rencana bangunan 50 tahun adalah 92% (RN = 92%), atau gempa yang periode

ulangnya adalah 20 tahun (TR = 20 tahun). Akibat Gempa Ringan ini struktur bangunan

harus tetap berperilaku elastis, ini berarti bahwa pada saat terjadi gempa elemen-elemen

struktur bangunan tidak diperbolehkan mengalami kerusakan struktural maupun kerusakan

non-struktural. Pada saat terjadi Gempa Ringan, penampang dari elemen-elemen pada

sistem struktur dianggap tepat mencapai kapasitas nominalnya, dan akan berdeformasi

lebih lanjut secara tidak elastis (inelastis) jika terjadi gempa yang lebih kuat.

Karena risiko terjadinya Gempa Ringan adalah 92%, maka dapat dianggap bahwa

selama umur rencananya, struktur bangunan pasti akan akan mengalami Gempa Ringan,

atau risiko terjadinya Gempa Ringan adalah 100% (RN = 100%).

II.4.2 Gempa Sedang

Gempa Sedang adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode

umur rencana bangunan 50 tahun adalah 50% (RN = 50%), atau gempa yang periode

ulangnya adalah 75 tahun (TR = 75 tahun). Akibat Gempa Sedang ini struktur bangunan

1 TR

1 –

N

1 –

RN = x 100%

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 54

tidak boleh mengalami kerusakan struktural, namun diperkenankan mengalami kerusakan

yang bersifat non-struktural. Gempa Sedang akan menyebabkan struktur bangunan sudah

berperilaku tidak elastis, tetapi tingkat kerusakan struktur masih ringan dan dapat

diperbaiki dengan biaya yang terbatas.

II.4.3 Gempa Kuat

Gempa Kuat adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur

rencana bangunan 50 tahun adalah 2% (RN = 2%), atau gempa yang periode ulangnya

adalah 2500 tahun (TR = 2500 tahun). Akibat Gempa Kuat ini struktur bangunan dapat

mengalami kerusakan struktural yang berat, namun struktur harus tetap berdiri dan tidak

boleh runtuh sehingga korban jiwa dapat dihindarkan. Gempa kuat akan menyebabkan

struktur bangunan berperilaku tidak elastis, dengan kerusakan struktur yang berat tetapi

masih berdiri dan dapat diperbaiki.

II.4.4 Gempa Rencana

Karena beban pada struktur yang diakibatkan oleh gempa merupakan beban yang

tidak pasti, maka untuk menentuklan besarnya beban gempa yang akan digunakan di dalam

perencanaan, tidak dipergunakan beban yang diakibatkan oleh Gempa Kuat sebagai dasar

perhitungannya. Desain struktur terhadap pengaru Gempa Kuat akan menghasilkan

bangunan yang tidak ekonomis. Di dalam standar gempa yang baru dicantumkan bahwa,

untuk perencanaan struktur bangunan terhadap pengaruh gempa digunakan Gempa

Rencana. Gempa Rencana adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode

umur rencana bangunan 50 tahun adalah 10% (RN = 10%), atau gempa yang periode

ulangnya adalah 500 tahun (TR = 500 tahun).

Dengan menggunakan Gempa Rencana ini, struktur dapat dianalisis secara elastis

untuk mendapatkan gaya-gaya dalam yang berupa momen lentur, gaya geser, gaya normal,

dan puntir atau torsi yang bekerja pada tiap-tiap elemen struktur. Gaya-gaya dalam ini

setelah dikombinasikan dengan dengan gaya-gaya dalam yang diakibatkan oleh beban mati

dan beban hidup, kemudian digunakan untuk mendimensi penampang dari elemen struktur

berdasarkan metode LRFD (Load Resistance Factor Design) sesuai dengan standar desain

yang berlaku.

Peluang atau risiko terjadinya gempa pada struktur bangunan selama umur

rencananya dapat dihitung dengan menggunakan rumus probabilitas di atas. Jika periode

ulang terjadinya Gempa Ringan : TR = 20 tahun, Gempa Sedang : TR = 75 tahun, dan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 55

Gempa Kuat : TR = 2500 tahun, serta umur rencana rata-rata bangunan di Indonesia adalah

N=50 tahun, maka akan didapatkan besarnya risiko terjadinya gempa pada struktur

bangunan adalah : RN Gempa Ringan = 92% 100%, RN Gempa sedang = 50%, dan RN

Gempa Kuat = 2%.

Dalam filosofi perencanaan struktur bangunan tahan gempa, dikenal suatu konsep

pembebanan gempa yang disebut Pembebanan Dua Tingkat. Konsep Pembebanan Dua

Tingkat mempunyai pengertian bahwa, struktur bangunan selama umur rencananya

diperkirakan akan dibebani berulang kali oleh Gempa Ringan dan Gempa Sedang, yang

mempunyai periode ulang lebih kecil dari 75 tahun. Serta struktur selama umur rencananya

diharapkan mampu menahan sekali terjadinya Gempa Kuat dengan periode ulang 2500

tahun.

Pemilihan periode ulang 500 tahun yang dipilih sebagai dasar perhitungan beban

Gempa Rencana untuk keperluan perencanaan struktur, didasarkan pada tingkat

probabilitas terjadinya gempa yang dapat diterima yaitu 10%, mengingat umur efektif rata-

rata struktur bangunan di Indonesia adalah sekitar 50 tahun. Berdasarkan kemungkinan

terjadinya Gempa Ringan, Gempa Sedang dan Gempa Kuat dengan periode ulang 20, 75,

dan 500 tahun, ternyata tingkat risiko gempa yang dapat terjadi pada struktur-struktur

bangunan di Indonesia selama umur rencananya adalah cukup besar, hal ini perlu kiranya

menjadi perhatian bagi para perencana struktur.

II.5 Beban Gempa Nominal

Besarnya beban Gempa Nominal yang digunakan untuk perencanaan struktur

ditentukan oleh tiga hal, yaitu oleh besarnya Gempa Rencana, oleh tingkat daktilitas yang

dimiliki struktur, dan oleh nilai faktor tahanan lebih yang terkandung di dalam struktur.

Berdasarkan pedoman gempa yang berlaku di Indonesia yaitu Perencanaan Ketahanan

Gempa Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002)., besarnya beban gempa

horisontal V yang bekerja pada struktur bangunan, ditentukan menurut persamaan :

V = t WR

.I C

Dimana, I adalah Faktor Keutamaan Struktur menurut Tabel I, C adalah nilai Faktor

Respon Gempa yang didapat dari Respon Spektrum Gempa Rencana menurut Gambar 2

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 56

untuk waktu getar alami fundamental T, dan Wt ditetapkan sebagai jumlah dari beban-

beban berikut :

Beban mati total dari struktur bangunan gedung

Jika digunakan dinding partisi pada perencanaan lantai, maka harus diperhitungkan

tambahan beban sebesar 0,5 kPa

Pada gudang-gudang dan tempat penyimpanan barang, maka sekuran-kurangnya

25% dari beban hidup rencana harus diperhitungkan

Beban tetap total dari seluruh peralatan dalam struktur bangunan gedung harus

diperhitungkan

II.5.1 Faktor Keutamaan Struktur

Dengan probabilitas terjadinya Gempa Rencana adalah 10% dalam kurun waktu

umur rencana bangunan gedung 50 tahun, maka menurut teori probabilitas Gempa

Rencana ini mempunyai periode ulang 500 tahun. Gempa Rencana ini akan menyebabkan

struktur bangunan gedung mencapai kondisi di ambang keruntuhan, tetapi masih dapat

berdiri sehingga dapat mencegah jatuhnya korban jiwa. Untuk berbagai kategori bangunan

gedung, tergantung pada probabilitas terjadinya keruntuhan struktur bangunan gedung

selama umur rencananya, pengaruh Gempa Rencana terhadapnya harus dikalikan dengan

suatu Faktor Keutamaan Struktur (I) menurut persamaan :

I = I1.I2

Dimana I1 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan

dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur rencana gedung,

sedangkan I2 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan umur rencana gedung

tersebut.

Karena gedung-gedung bertingkat, monumen dan bangunan monumental sama-sama

memiliki fungsi biasa, tanpa sesuatu keistimewaan, kekhususan atau keutamaan dalam

fungsinya, maka probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur rencana

gedung ditetapkan sama sebesar 10%, sehingga berlaku I1 = 1,0. Tetapi umur rencana dari

gedung-gedung tersebut berbeda-beda. Gedung-gedung dengan jumlah tingkat sampai 10,

karena berbagai alasan dan tujuan pada umumnya mempunyai umur kurang dari 50 tahun,

sehingga I2 < 1 karena periode ulang gempa tersebut adalah kurang dari 500 tahun.

Gedung-gedung dengan jumlah tingkat lebih dari 30, monumen dan bangunan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 57

monumental, mempunyai masa layan yang panjang, bahkan harus dilestarikan untuk

generasi yang akan datang, sehingga I2 > 1 karena perode ulang gempa tersebut adalah

lebih dari 500 tahun.

Gedung-gedung penting pasca gempa (rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit

tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi),

gedung-gedung yang membahayakan lingkungan bila rusak berat akibat gempa (tempat

penyimpanan bahan berbahaya) atau membahayakan bangunan di dekatnya bila runtuh

aibat gempa (cerobong, tangki di atas menara), mempunyai umur manfaat tidak berbeda

dengan gedung-gedung dengan fungsi biasa, yaitu sekitar 50 tahun, sehingga berlaku I2 =

1,0. Tetapi probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur gedung harus

dibedakan dan semuanya harus kurang dari 10%, sehingga I1 > 1 karena periode ulang

gempa tersebut adalah lebih dari 500 tahun. Kombinasi I1 dan I2 untuk beberapa kategori

gedung ditetapkan dalam Tabel II-1, berikut perkaliannya I.

Tabel II-1. Faktor Keutamaan untuk berbagai kategori gedung dan bangunan

Kategori gedung/bangunan Faktor Keutamaan

I1 I2 I

Gedung umum seperti untuk penghunian,

perniagaan dan perkantoran.

1,0 1,0 1,0

Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6

Gedung penting pasca gempa seperti rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga

listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televise

1,4 1,0 1,4

Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya

seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan beracun.

1,6 1,0 1,6

Cerobong, tangki di atas menara 1.5 1,0 1,5

II.5.2 Daktilitas Struktur

Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi besar kecilnya beban gempa

yang bekerja pada struktur bangunan adalah daktilitas struktur. Beberapa standar

perencanaan ketahanan gempa untuk struktur gedung, menggunakan asumsi constant

maximum displacement rule, untuk mendefinisikan tingkat daktilitas struktur. Asumsi yang

dianut divisualisasikan dalam diagram beban-simpangan (diagram V-) yang ditunjukkan

dalam Gambar II-14. Asumsi ini menyatakan bahwa struktur bangunan gedung yang

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 58

bersifat daktail dan struktur bangunan gedung yang bersifat elastik penuh, akibat pengaruh

Gempa Rencana akan menunjukkan simpangan maksimal m yang sama dalam kondisi

diambang keruntuhan. Asumsi ini adalah konservatif, karena dalam keadaan sesungguhnya

struktur bangunan gedung yang daktail memiliki m yang relatif lebih besar dibandingkan

struktur bangunan gedung yang elastis, sehingga memiliki faktor daktilitas struktur ()

yang relatif lebih besar dari pada yang diasumsikan

Gambar II.14. Diagram beban (V) - simpangan () dari struktur bangunan gedung

Faktor daktilitas struktur () adalah rasio antara simpangan maksimum (m) struktur

gedung akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai kondisi di ambang

keruntuhan, dengan simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama

(y), yaitu :

1,0 = my

m μ δ

δ

Pada persamaan ini, = 1,0 adalah nilai faktor daktilitas untuk struktur bangunan gedung

yang berperilaku elastik penuh, sedangkan m adalah nilai faktor daktilitas maksimum

yang dapat dikerahkan oleh sistem struktur bangunan gedung yang bersangkutan.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 59

Jika Ve adalah pembebanan maksimum akibat pengaruh Gempa Rencana yang dapat

diserap oleh struktur gedung yang bersifat elastik penuh dalam kondisi di ambang

keruntuhan, dan Vy adalah pembebanan yang menyebabkan pelelehan pertama di dalam

struktur gedung, maka dengan asumsi bahwa struktur gedung daktail dan struktur gedung

elastik penuh akibat pengaruh Gempa Rencana menunjukkan simpangan maksimum m

yang sama dalam kondisi di ambang keruntuhan, maka berlaku hubungan sebagai berikut :

Vy = μ

Ve

Jika Vn adalah pembebanan Gempa Nominal akibat pengaruh Gempa Rencana yang

harus ditinjau dalam perencanaan struktur, maka berlaku hubungan sebagai berikut :

Vn = R

eV

1f

yV

dimana f1 adalah faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam struktur

bangunan gedung dan nilainya ditetapkan sebesar f1 = 1,6 dan R disebut faktor reduksi

gempa yang nilainya dapat ditentukan menurut persamaan :

1,6 R = .f1 Rm

R = 1,6 adalah faktor reduksi gempa untuk struktur gedung yang berperilaku elastik penuh,

sedangkan Rm adalah faktor reduksi gempa maksimum yang dapat dikerahkan oleh sistem

struktur yang bersangkutan. Dalam Tabel II-2 dicantumkan nilai R untuk berbagai nilai

yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa nilai dan R tidak dapat melampaui nilai

maksimumnya.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 60

Tabel II-2. Parameter Daktilitas Struktur Gedung

Taraf kinerja struktur gedung R

Elastis penuh 1,0 1,6

Daktail parsial

1,5 2,0 2,5

3,0 3,5

4,0 4,5 5,0

2,4 3,2 4,0

4,8 5,6

6,4 7,2 8,0

Daktail penuh 5,3 8,5

Nilai faktor daktilitas struktur gedung di dalam perencanaan struktur gedung dapat

dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil lebih besar dari nilai faktor daktilitas

maksimum m yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau subsistem struktur

gedung. Dalam Tabel II-3 ditetapkan nilai m yang dapat dikerahkan oleh beberapa jenis

sistem dan subsistem struktur gedung, berikut faktor reduksi maksimum Rm yang

bersangkutan.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 61

Tabel II-3. Faktor daktilitas maksimum (m), faktor reduksi gempa maksimum (Rm), faktor kuat

lebih struktur (f1) dari beberapa jenis sistem dan subsistem struktur bangunan gedung

Sistem dan subsistem struktur gedung

Uraian sistem pemikul beban gempa m Rm

f1

1. Sistem dinding penumpu (Sistem

struktur yang tidak memiliki rangka

ruang pemikul beban gravitasi secara

lengkap. Dinding penumpu atau

sistem bresing memikul hampir

semua beban gravitasi. Beban lateral

dipikul dinding geser atau rangka

bresing)

1. Dinding geser beton bertulang 2,7 4,5 2,8

2. Dinding penumpu dengan rangka baja

ringan dan bresing tarik

1,8 2,8 2,2

3. Rangka bresing di mana bresingnya

memikul beban gravitasi

a. Baja 2,8 4,4 2,2

b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5

& 6)

1,8 2,8 2,2

2. Sistem rangka gedung (Sistem

struktur yang pada dasarnya memiliki

rangka ruang pemikul beban gravitasi

secara lengkap. Beban lateral dipikul

dinding geser atau rangka bresing)

1. Rangka bresing eksentris baja (RBE) 4,3 7,0 2,8

2. Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8

3. Rangka bresing biasa

a. Baja 3,6 5,6 2,2

b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5

& 6)

3,6 5,6 2,2

4. Rangka bresing konsentrik khusus

a. Baja 4,1 6,4 2,2

5. Dinding geser beton bertulang berangkai

daktail

4,0 6,5 2,8

6. Dinding geser beton bertulang kantilever

daktail penuh

3,6 6,0 2,8

7. Dinding geser beton bertulang kantilever

daktail parsial

3,3 5,5 2,8

3. Sistem rangka pemikul momen

(Sistem struktur yang pada dasarnya

memiliki rangka ruang pemikul

beban gravitasi secara lengkap.

Beban lateral dipikul rangka pemikul

momen terutama melalui mekanisme

lentur)

1. Rangka pemikul momen khusus (SRPMK)

a. Baja 5,2 8,5 2,8

b. Beton bertulang 5,2 8,5 2,8

2. Rangka pemikul momen menengah beton

(SRPMM)

3,3 5,5 2,8

3. Rangka pemikul momen biasa (SRPMB)

a. Baja 2,7 4,5 2,8

b. Beton bertulang 2,1 3,5 2,8

4. Rangka batang baja pemikul momen

khusus (SRBPMK)

4,0 6,5 2,8

4. Sistem ganda (Terdiri dari : 1)

rangka ruang yang memikul seluruh

beban gravitasi; 2) pemikul beban

lateral berupa dinding geser atau

rangka bresing dengan rangka

pemikul momen. Rangka pemikul

momen harus direncanakan secara

terpisah mampu memikul sekurang-

kurangnya 25% dari seluruh beban

lateral; 3) kedua sistem harus

direncanakan untuk memikul secara

bersama-sama seluruh beban lateral

dengan memperhatikan

interaksi/sistem ganda)

1. Dinding geser

a. Beton bertulang dengan SRPMK beton

bertulang

5,2 8,5 2,8

b. Beton bertulang dengan SRPMB saja 2,6 4,2 2,8

c. Beton bertulang dengan SRPMM beton

bertulang

4,0 6,5 2,8

2. RBE baja

a. Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8

b. Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8

3. Rangka bresing biasa

a. Baja dengan SRPMK baja 4,0 6,5 2,8

b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8

c. Beton bertulang dengan SRPMK beton

bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)

4,0 6,5 2,8

d. Beton bertulang dengan SRPMM beton

bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)

2,6 4,2 2,8

4. Rangka bresing konsentrik khusus

a. Baja dengan SRPMK baja 4,6 7,5 2,8

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 62

b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8

5. Sistem struktur gedung kolom

kantilever (Sistem struktur yang

memanfaatkan kolom kantilever

untuk memikul beban lateral)

Sistem struktur kolom kantilever 1,4 2,2 2

6. Sistem interaksi dinding geser

dengan rangka

Beton bertulang biasa (tidak untuk Wilayah 3,

4, 5 & 6)

3,4 5,5 2,8

7. Subsistem tunggal (Subsistem

struktur bidang yang membentuk

struktur gedung secara keseluruhan)

1. Rangka terbuka baja 5,2 8,5 2,8

2. Rangka terbuka beton bertulang 5,2 8,5 2,8

3. Rangka terbuka beton bertulang dengan

balok beton pratekan (bergantung pada

indeks baja total)

3,3 5,5 2,8

4. Dinding geser beton bertulang berangkai

daktail penuh

4,0 6,5 2,8

5. Dinding geser beton bertulang kantilever

daktail parsial

3,3 5,5 2,8

II.5.3 Arah Pembebanan Gempa

Jika besarnya beban gempa sudah dapat diperkirakan, maka pertanyaan selanjutnya

adalah, bagaimana menentukan arah beban gempa terhadap bangunan. Dalam

kenyataannya arah datangnya gempa terhadap bangunan tidak dapat ditentukan dengan

pasti, artinya pengaruh gempa dapat datang dari sembarang arah. Jika bentuk denah dari

bangunan simetris dan teratur, sehingga bangunan jelas memiliki sistem struktur pada dua

arah utama bangunan yang saling tegak lurus, perhitungkan arah gempa dapat dilakukan

lebih sederhana.

Pembebanan gempa tidak penuh tetapi biaksial atau sembarang dapat menimbulkan

pengaruh yang lebih rumit terhadap struktur gedung ketimbang pembebanan gempa penuh

tetapi uniaksial. Untuk mengantisipasi kondisi ini Applied Technology Council (ATC,

1984) menetapkan bahwa, arah gempa yang biaksial dapat disimulasikan dengan meninjau

beban Gempa Rencana yang disyaratkan oleh peraturan, bekerja pada ke dua arah sumbu

utama struktur bangunan yang saling tegak lurus secara simultan. Besarnya beban gempa

pada struktur dapat diperhitungkan dengan menjumlahkan 100% beban gempa pada satu

arah dengan 30% beban gempa pada arah tegak lurusnya.

Bila bentuk denah dari bangunan tidak simetris atau tidak beraturan, maka sulit untuk

menentukan arah beban gempa yang paling menentukan. Untuk ini perlu dilakukan

analisis struktur dengan meninjau pengaruh dari beban gempa pada masing-masing arah

dari struktur. Untuk berbagai arah gempa yang bekerja, bagian yang kritis dari elemen-

elemen struktur akan berbeda pula. Berapa kemungkinan arah gempa yang akan ditinjau

pada analisis, sepenuhnya tergantung pada perencana struktur.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 63

II.6 Wilayah Gempa Dan Spektrum Respon

Salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya beban gempa yang bekerja pada

struktur bangunan adalah faktor wilayah gempa. Dengan demikian, besar kecilnya beban

gempa, tergantung juga pada lokasi dimana struktur bangunan tersebut akan didirikan.

Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 Wilayah Gempa seperti ditunjukkan dalam Gambar

1, dimana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah, dan

Wilayah Gempa 6 adalah wilayah dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian Wilayah

Gempa ini, didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh Gempa

Rencana dengan perioda ulang 500 tahun, yang nilai rata-ratanya untuk setiap Wilayah

Gempa ditetapkan dalam Gambar II-15 dan Tabel II-4.

Peta Wilayah Gempa Indonesia dibuat berdasarkan analisis probabilistik bahaya

gempa (probabilistic seismic hazard analysis), yang telah dilakukan untuk seluruh wilayah

Indonesia berdasarkan data seismotektonik mutakhir yang tersedia saat ini. Data masukan

untuk analisis pembuatan peta gempa adalah, lokasi sumber gempa, distribusi magnitudo

gempa di daerah sumber gempa, fungsi perambatan gempa (atenuasi) yang memberikan

hubungan antara gerakan tanah setempat, magnitudo gempa di sumber gempa, dan jarak

dari tempat yang ditinjau sampai sumber gempa, serta frekuensi kejadian gempa per tahun

di daerah sumber gempa. Sebagai daerah sumber gempa, ditinjau semua sumber gempa

yang telah tercatat dalam sejarah kegempaan di Indonesia, baik sumber gempa pada zona

subduksi, sumber gempa dangkal pada lempeng bumi, maupun sumber gempa pada sesar-

sesar aktif yang sudah teridentifikasi.

Hasil analisis probabilistik bahaya gempa ini diplot pada peta Indonesia berupa

garis-garis kontur percepatan puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun

(periode ulang Gempa Rencana), yang kemudian menjadi dasar bagi penentuan batas-batas

wilayah gempa. Percepatan batuan dasar rata-rata untuk Wilayah Gempa 1 s/d 6, telah

ditetapkan berturut-turut adalah sebesar 0,03 g, 0,10 g, 0,15 g, 0,20 g, 0,25 g dan 0,30 g.

Dengan percepatan batuan dasar ini, maka ditetapkan percepatan puncak muka tanah (Ao)

untuk Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanah Lunak seperti tercantum pada Tabel II-4.

Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah Ao untuk

Wilayah Gempa 1 yang ditetapkan dalam Gambar II-15 dan Tabel II-4, ditetapkan juga

sebagai percepatan minimum yang harus diperhitungkan dalam perencanaan struktur

gedung untuk menjamin kekekaran (robustness) minimum dari struktur gedung tersebut.

Jadi beban gempa yang disyaratkan tersebut merupakan pengaruh dari gempa yang bukan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 64

Gempa Rencana. Di dalam peraturan bangunan negara tetangga kita Singapura yang

berbatasan dengan Wilayah Gempa 1, terdapat suatu ketentuan yang berkaitan dengan

kekekaran struktur gedung, yaitu bahwa setiap struktur gedung harus diperhitungkan

terhadap beban-beban horisontal nominal pada taraf masing-masing lantai tingkat sebesar

1,5% dari beban mati nominal lantai tingkat tersebut. Dengan menggunakan kriteria ini,

maka suatu struktur bangunan gedung bertingkat rendah (gedung dengan periode getar T

yang pendek) yang terletak di Wilayah Gempa 1 dan di atas Tanah Sedang dengan faktor

reduksi gempa misalnya sekitar R = 7 (struktur dengan daktilitas sebagaian / parsial), harus

diperhitungkan terhadap faktor respons gempa sebesar 0,13 I/R = 0,13 x 0,8/7 = 0,015.

Hasil ini selaras dengan peraturan yang ditetapkan di Singapura. Dengan demikian, standar

gempa SNI 2002 ini boleh dikatakan memelihara kontinuitas kegempaan regional lintas

batas negara, jadi tidak lagi seperti menurut standar SNI 1989 yang lama, dimana Wilayah

Gempa 1 merupakan daerah yang bebas gempa sama sekali.

Tabel II-4. Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah untuk masing-masing Wilayah Gempa Indonesia

Wilayah Gempa

Percepatan puncak

batuan dasar

(‘g’)

Percepatan puncak muka tanah Ao (‘g’)

Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak Tanah Khusus

1

2

3

4

5

6

0,03

0,10

0,15

0,20

0,25

0,30

0,04

0,12

0,18

0,24

0,28

0,33

0,05

0,15

0,23

0,28

0,32

0,36

0,08

0,20

0,30

0,34

0,36

0,38

Diperlukan

evaluasi khusus di

setiap lokasi

Untuk menentukan pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung, yaitu berupa

beban geser dasar nominal statik ekuivalen pada struktur bangunan gedung beraturan, dan

gaya geser dasar nominal sebagai respons dinamik ragam pertama pada struktur bangunan

gedung tidak beraturan, untuk masing-masing Wilayah Gempa ditetapkan Spektrum

Respons Gempa Rencana C-T seperti ditunjukkan dalam Gambar II-16. Dalam gambar

tersebut C adalah Faktor Respons Gempa yang dinyatakan dalam percepatan gravitasi, dan

T adalah waktu getar alami struktur gedung yang dinyatakan dalam detik.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 65

Secara umum Spektrum Respons adalah suatu diagram yang memberi hubungan

antara percepatan respons maksimum suatu sistem Satu Derajat Kebebasan (SDK) akibat

suatu gempa masukan tertentu, sebagai fungsi dari faktor redaman dan waktu getar alami

sistem SDK tersebut. Spektrum Respons C-T yang ditetapkan untuk masing-masing

Wilayah Gempa, adalah suatu diagram yang memberikan hubungan antara percepatan

respons maksimum (= Faktor Respons Gempa) C dan waktu getar alami T sistem SDK

akibat Gempa Rencana, dimana sistem SDK tersebut dianggap memiliki rasio redaman

kritis sebesar 5%.

Kondisi T = 0 mengandung arti, bahwa sistem SDK tersebut adalah sangat kaku,

sehingga getaran dari sistem tersebut sepenuhnya akan mengikuti gerakan tanah. Dengan

demikian, untuk T = 0 percepatan respons maksimum menjadi identik dengan percepatan

puncak muka tanah (C = Ao). Bentuk dari Spektrum Respons yang sesungguhnya

menunjukkan suatu fungsi yang acak, dimana untuk harga T yang meningkat akan

menunjukkan nilai yang mula-mula meningkat dulu sampai mencapai suatu nilai

maksimum, kemudian akan turun lagi secara asimtotik mendekati sumbu-T. Untuk

mempermudah penggunaan, Spektrum Respons C-T yang digunakan di dalam SNI Gempa

2002 telah diidealisasikan sebagai berikut : untuk 0 T 0,2 detik, C meningkat secara

linier dari Ao sampai Am; untuk 0,2 detik T Tc, C bernilai tetap C = Am; untuk T > Tc,

C mengikuti fungsi hiperbola C = Ar/T. Dalam hal ini Tc disebut waktu getar alami sudut.

Idealisasi fungsi hiperbola ini mengandung arti, bahwa untuk T > Tc kecepatan respons

maksimum yang bersangkutan bernilai tetap. Am dan Ar masing-masing adalah percepatan

respons maksimum atau Faktor Respons Gempa maksimum dan pembilang dalam

persamaan hiperbola Faktor Respons Gempa C pada Spektrum Respons Gempa Rencana.

Dari berbagai hasil penelitian ternyata, bahwa untuk 0 T 0,2 detik terdapat

berbagai ketidakpastian, baik dalam karakteristik gerakan tanahnya sendiri maupun dalam

sifat-sifat daktilitas sistem SDK yang bersangkutan. Karena itu untuk 0 T 0,2 detik C

ditetapkan harus diambil sama dengan Am. Dengan demikian untuk T Tc, Spektrum

Respons berkaitan dengan percepatan respons maksimum yang bernilai tetap. Sedangkan

untuk T > Tc, berkaitan dengan kecepatan respons maksimum yang bernilai tetap.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa Am berkisar antara 2 Ao dan 3 Ao,

sehingga Am = 2,5 Ao merupakan nilai rata-rata yang dianggap layak untuk perencanaan.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 66

Selanjutnya, dari berbagai hasil penelitian juga ternyata, bahwa sebagai pendekatan yang

baik waktu getar alami sudut Tc untuk jenis-jenis Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanak

Lunak dapat diambil sebesar berturut-turut 0,5 detik, 0,6 detik dan 1,0 detik. Dalam Tabel

II-5, nilai-nilai Am dan Ar dicantumkan untuk masing-masing Wilayah Gempa dan masing-

masing jenis tanah.

Tabel II-5. Spektrum Respons Gempa Rencana

Wilayah

Gempa

Tanah Keras

Tc = 0,5 det

Tanah Sedang

Tc = 0,6 det.

Tanah Lunak

Tc = 1,0 det.

Am Ar Am Ar Am Ar

1 2 3

4 5

6

0,10 0,30 0,45

0,60 0,70

0,83

0,05 0,15 0,23

0,30 0,35

0,42

0,13 0,38 0,55

0,70 0,83

0,90

0,08 0,23 0,33

0,42 0,50

0,54

0,20 0,50 0,75

0,85 0,90

0,95

0,20 0,50 0,75

0,85 0,90

0,95

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 67

Gambar II-15. Peta kegempaan Indonesia, terdiri dari 6 Wilayah Gempa

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 68

Gambar II-16. Spektrum Respon Gempa Rencana

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 69

II.7 Jenis Tanah Dasar dan Perambatan Gelombang Gempa

Gelombang gempa merambat melalui batuan dasar di bawah permukaan tanah. Dari

kedalaman batuan dasar ini gelombang gempa tersebut kemudian merambat ke permukaan

tanah sambil mengalami pembesaran (amplifikasi), bergantung pada jenis lapisan tanah

yang berada di atas batuan dasar tersebut. Dengan adanya pembesaran gerakan ini, maka

pengaruh Gempa Rencana di permukaan tanah harus ditentukan dari hasil analisis

perambatan gelombang gempa dari kedalaman batuan dasar ke permukaan tanah.

Ada dua kriteria yang dapat digunakan untuk mendefinisikan batuan dasar, yaitu

berdasarkan nilai hasil Test Penetrasi Standar N, atau berdasarkan besarnya kecepatan

rambat gelombang geser vs. Batuan dasar adalah lapisan batuan di bawah permukaan tanah

yang memiliki nilai hasil Test Penetrasi Standar (SPT) paling rendah N = 60, dan tidak ada

lapisan batuan lain di bawahnya yang memiliki nilai SPT<N = 60, atau lapisan batuan

yang memiliki kecepatan rambat gelombang geser vs yang mencapai 750 m/detik, dan

tidak ada lapisan batuan lain di bawahnya yang memiliki nilai kecepatan rambat

gelombang < 750 m/detik. Dalam praktek definisi yang pertama yang umumnya dipakai,

mengingat data nilai N merupakan data standar yang selalu diketemukan dalam laporan

hasil penyelidikan geoteknik suatu lokasi, sedangkan untuk mendapatkan nilai vs

diperlukan percobaan-percobaan khusus di lapangan. Apabila tersedia ke-2 kriteria

tersebut, maka kriteria yang menentukan adalah yang menghasilkan jenis batuan yang

lebih lunak.

Menurut SNI Gempa 2002, ada empat jenis tanah dasar harus dibedakan dalam

memilih harga C, yaitu Tanah Keras, Tanah Sedang, Tanah Lunak, dan Tanah Khusus.

Definisi dari jenis Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanah Lunak dapat ditentukan

berdasarkan tiga kriteria, yaitu kecepatan rambat gelombang geser vs, nilai hasil Test

Penetrasi Standar N, dan kekuatan geser tanah Su (shear strength of soil). Untuk

menetapkan jenis tanah yang dihadapi, paling tidak harus tersedia 2 dari 3 kriteria tersebut,

dimana kriteria yang menghasilkan jenis tanah yang lebih lunak adalah yang menentukan.

Apabila tersedia ke-3 kriteria tersebut, maka jenis suatu tanah yang dihadapi harus

didukung paling tidak ada 2 kriteria tadi.

Dari berbagai penelitian ternyata, bahwa hanya lapisan setebal 30 m paling atas

yang menentukan pembesaran gerakan tanah di permukaan tanah. Karena itu, nilai rata-

rata berbobot dari ke-3 kriteria tersebut harus dihitung sampai kedalaman tidak lebih dari

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 70

30 m. Jenis tanah ditetapkan sebagai Tanah Keras, Tanah Sedang, atau Tanah Lunak,

apabila untuk lapisan setebal maksimum 30 m paling atas, dipenuhi syarat-syarat seperti

yang tercantum dalam Tabel II-6.

Tabel II-6. Jenis-Jenis Tanah

Jenis tanah

Kecepatan rambat

gelombang geser

rata-rata v s

(m/det)

Nilai hasil Test

Penetrasi Standar rata-rata

N

Kuat geser tanah

rata-rata

S u (kPa)

Tanah Keras v s 350 N 50 S u 100

Tanah Sedang 175 v s < 350 15 N < 50 50 S u < 100

Tanah Lunak v s < 175 N < 15 S u < 50

Atau, setiap profil dengan tanah lunak yang tebal total lebih

dari 3 m, dengan PI > 20, wn 40%, dan Su < 25 kPa

Tanah Khusus Diperlukan evaluasi khusus di setiap lokasi

Dalam Tabel 4-6 di atas, v s, N dan S u adalah nilai rata-rata berbobot besaran tanah

dengan tebal lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya, yang harus dihitung menurut

persamaan-persamaan sebagai berikut :

siv/m

1 iit

m

1 iit

sv

iN/m

1 iit

m

1 iit

N

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 71

uiS/m

1 iit

m

1 iit

uS

dimana ti adalah tebal lapisan tanah ke-i, vsi adalah kecepatan rambat gelombang geser

melalui lapisan tanah ke-i, Ni nilai hasil Test Penetrasi Standar lapisan tanah ke-i, Sui

adalah kuat geser tanah lapisan ke-i, dan m adalah jumlah lapisan tanah yang ada di atas

batuan dasar. Selanjutnya, PI adalah Indeks Plastisitas tanah lempung, wn adalah kadar air

alami tanah, dan Su adalah kuat geser lapisan tanah yang ditinjau.

Karena sifat dari jenis Tanah Khusus tidak dapat dirumuskan secara umum, maka

sifatnya harus dievaluasi secara khusus di setiap lokasi dimana jenis tanah tersebut

ditemukan. Pada jenis Tanah Khusus, gerakan gempa di permukaan tanah harus ditentukan

dari hasil analisis perambatan gelombang gempa. Dalam analisis perambatan gelombang

gempa ini, accelerogram gempa harus diambil dari rekaman getaran akibat gempa yang ada

atau yang didapatkan dari suatu lokasi, yang kondisi geologi, topografi, dan seismotonik,

mirip dengan lokasi tempat Tanah Khusus yang ditinjau berada.

Yang dimaksud dengan jenis Tanah Khusus dalam Tabel II-6, adalah jenis tanah

yang tidak memenuhi persyaratan yang tercantum dalam tabel tersebut. Di samping itu,

yang termasuk dalam jenis Tanah Khusus adalah tanah yang memiliki potensi likuifaksi

yang tinggi, lempung sangat peka, pasir yang tersementasi rendah yang rapuh, tanah

gambut, tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan ketebalan lebih dari 3

m, lempung sangat lunak dengan PI > 75 dan ketebalan lebih dari 10 m, lapisan lempung

dengan 25 kPa < Su < 50 kPa dan ketebalan lebih dari 30 m.

II.8 Pengaruh Gempa Vertikal

Pengalaman dari Gempa Northridge (1994) di Amerika dan Gempa Kobe (1995) di

Jepang telah menunjukkan, bahwa banyak unsur-unsur bangunan yang memiliki kepekaan

yang tinggi terhadap beban gravitasi, mengalami kerusakan berat akibat percepatan vertikal

gerakan tanah. Analisis respons dinamik yang sesungguhnya dari unsur-unsur bangunan

tersebut terhadap gerakan vertikal tanah akibat gempa sangat rumit, karena terjadi interaksi

antara respons unsur-unsur bangunan dengan respons struktur secara keseluruhan. Oleh

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 72

karena itu, permasalahan ini disederhanakan dengan meninjau pengaruh percepatan

vertikal gerakan tanah akibat gempa sebagai beban gempa vertikal nominal statik

ekuivalen.

Dapat dimengerti, bahwa komponen vertikal gerakan tanah akibat gempa akan relatif

semakin besar jika semakin dekat letak pusat gempa dari lokasi yang ditinjau. Menurut

beberapa standar gempa, percepatan vertikal gerakan tanah ditetapkan sebagai perkalian

suatu koefisien dengan percepatan puncak muka tanah Ao.

Unsur-unsur struktur bangunan gedung yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap

beban gravitasi seperti balkon, kanopi dan balok kantilever berbentang panjang, balok

transfer pada struktur gedung tinggi yang memikul beban gravitasi dari dua atau lebih

tingkat diatasnya, serta balok beton pratekan berbentang panjang, harus diperhitungkan

terhadap komponen vertikal gerakan tanah akibat pengaruh Gempa Rencana, yang berupa

beban gempa vertikal nominal statik ekuivalen. Beban gempa ini harus ditinjau bekerja ke

atas atau ke bawah yang besarnya harus dihitung sebagai perkalian antara Faktor Respons

Gempa Vertikal (Cv) dengan beban gravitasi, termasuk beban hidup yang sesuai. Faktor

Respons Gempa Vertikal dihitung menurut persamaan :

Cv = Ao I

Dimana koefisien tergantung pada Wilayah Gempa tempat struktur bangunan gedung

berada dan ditetapkan menurut Tabel II-7, Ao adalah percepatan puncak muka tanah

menurut Tabel II-4, sedangkan I adalah Faktor Keutamaan gedung menurut Tabel II-1.

Persamaan di atas menunjukkan bahwa, dalam arah vertikal respon struktur dianggap

sepenuhnya mengikuti gerakan vertikal dari tanah, dan tidak tergantung pada waktu getar

alami serta tingkat daktilitasnya. Dalam persamaan ini faktor reduksi gempa dianggap

sudah diperhitungkan.

Tabel II-7. Koefisien untuk menghitung faktor respons gempa vertikal Cv

Wilayah Gempa

1 2 3

4 5

6

0,5 0,5 0,5

0,6 0,7

0,8

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 73

II.9 Struktur Bangunan Tahan Gempa

Perencanaan serta rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu

cara untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh gempa, agar

kerugian harta benda serta jatuhnya korban jiwa dapat ditekan seminimal mungkin. Di

Indonesia, syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan struktur bangunan tahan

gempa telah tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku. Untuk bangunan

gedung persyaratan-persyaratan ini tercantum di dalam beberapa pedoman yaitu :

Tatacara Perencanaan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung (SNI-03-2847-

2002)

Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung

(SNI 1726-2002)

Tatacara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung (SNI-03-1729-2002)

Sedangkan untuk struktur jembatan atau struktur jalan layang (fly over), ketentuan

mengenai persyaratan desain struktur terhadap pengaruh gempa, tercantum di dalam

pedoman atau manual Sistem Manajemen Jembatan-1992.

Perencanaan struktur bangunan di daerah rawan gempa, memerlukan filosofi dan

antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau peraturan yang berlaku. Dalam

kaitannya dengan perencanaan struktur bangunan tahan gempa, struktur bangunan

diklasifikasikan menjadi dua jenis struktur, yaitu Engineered Structures dan Non-

engineered Structures. Engineered Structures adalah struktur-struktur bangunan yang

memerlukan tenaga ahli di dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Sebagai

contoh dari Engineered Structures adalah struktur gedung bertingkat, struktur jembatan

dan jalan layang, fasilitas pembangkit tenaga listrik atau tenaga nuklir, bendungan serta

bangunan air, dan lain-lain. Sedangkan Non-engineered Structures adalah struktur-struktur

bangunan yang direncanakan dan dilaksanakan tanpa bantuan tenaga ahli, tetapi masih

harus memenuhi kriteria persyaratan bangunan pada umumnya, sesuai yang tercantum di

dalam standar bangunan (building code) yang ada.

Pada suatu proyek bangunan Teknik Sipil, pada umumnya biaya yang

diperhitungkan meliputi biaya untuk perencanaan, biaya pelaksanaan atau pembangunan

konstruksi, dan biaya perawatan atau perbaikan jika terjadi kerusakan. Makin tinggi tingkat

kekuatan dari struktur bangunan terhadap pengaruh gempa, maka akan semakin besar biaya

yang diperlukan untuk pembuatan konstruksi bangunan, akan tetapi akan semakin kecil

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 74

biaya yang diperlukan untuk perbaikan jika bangunan tersebut mengalami kerusakan akibat

gempa. Begitu juga sebaliknya, makin kurang kuat struktur bangunan terhadap gempa,

maka akan semakin kecil biaya yang diperlukan untuk pembuatan konstruksi bangunannya,

tetapi akan semakin besar biaya yang harus disediakan untuk perbaikan jika bangunan

tersebut mengalami kerusakan akibat gempa.

Dari beberapa segi pertimbangan tersebut di atas, maka merupakan suatu hal yang

tidak wajar, atau bahkan tidak mungkin untuk membuat konstruksi bangunan yang tidak

mengalami kerusakan sama sekali pada saat terjadi gempa. Dari segi konstruksi, perlu

ditinjau tingkat kerusakan yang dapat terjadi pada bangunan pada saat terjadi gempa.

Kerusakan yang terjadi pada bangunan dapat berupa kerusakan ringan, kerusakan berat,

atau bahkan keruntuhan dari bangunan.

Menurut saran dari Applied Technology Council (ATC, 1984), struktur bangunan

tahan gempa harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :

Struktur bangunan harus tetap utuh dan tidak mengalami kerusakan yang berarti,

pada saat terjadi Gempa Ringan.

Komponen non-struktural dari struktur bangunan diperkenankan mengalami

kerusakan, tetapi komponen struktural harus tetap utuh pada saat terjadi Gempa

Sedang.

Pada saat terjadi Gempa Kuat, komponen non-struktural dan komponen struktural

dari sistem struktur diperbolehkan mengalami kerusakan, tetapi struktur bangunan

secara keseluruhan tidak boleh runtuh. Kerusakan struktur bangunan pada saat

terjadi Gempa Kuat diijinkan, akan tetapi terjadinya korban jiwa harus selalu

dihindarkan.

Jadi pada persyaratan struktur bangunan tahan gempa, kemungkinan terjadinya

risiko kerusakan pada bangunan merupakan hal yang dapat diterima, tetapi keruntuhan

total (collapse) dari struktur yang dapat mengakibatkan terjadinya korban yang banyak,

harus dihindari.

Dari persyaratan di atas, dapat disimpulkan juga bahwa, adalah tidak ekonomis

untuk mendesain suatu struktur bangunan yang tetap berperilaku elastis pada saat terjadi

Gempa Kuat. Perencanaan struktur bangunan seperti ini akan menyebabkan struktur

bangunan menjadi sangat mahal. Agar didapatkan struktur bangunan yang kuat terhadap

pengaruh gempa tetapi juga ekonomis, perlu dirancang struktur yang berperilaku daktail

pada saat terjadi Gempa Kuat. Ini berarti bahwa struktur harus dirancang dengan tingkat

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 75

daktilitas yang tinggi, sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur mempunyai

kemampuan untuk mengalami deformasi yang besar tanpa mengakibatkan keruntuhan.

Kemampuan dari struktur bangunan untuk mampu berdeformasi di atas batas

elastisnya, dapat mengurangi pengaruh dari gaya gempa yang masuk ke dalam struktur.

Energi gempa yang masuk ke dalam struktur, akan dipancarkan keluar melalui kemampuan

mekanisme perubahan bentuk yang besar dari struktur.

Berdasarkan pertimbangan ini, di dalam peraturan perencanaan bangunan tahan

gempa yang berlaku di Indonesia, ditetapkan suatu taraf beban Gempa Rencana yang lebih

kecil dari beban gempa sesungguhnya yang mungkin terjadi selama umur rencana dari

struktur bangunan. Hal ini dapat diterima dengan dua alasan yaitu :

Beban gempa adalah beban dinamik dengan arah bolak-balik, yang tidak bersifat

terus menerus bekerja pada struktur bangunan, atau dapat dikatakan bahwa beban

gempa merupakan beban sementara yang bekerja pada struktur bangunan.

Struktur bangunan harus direncanakan sebagai struktur yang daktail, sehingga jika

kekuatannya terlampaui pada saat terjadi Gempa Kuat, struktur tidak akan runtuh

melainkan akan berdeformasi plastis, melalui mekanisme terbentuknya sejumlah

sendi-sendi plastis pada struktur dengan cara yang terkontrol.

Dari kedua alasan tersebut, jelas bahwa persyaratan yang paling penting pada perencanaan

struktur bangunan tahan gempa adalah daktilitas struktur. Elemen-elemen struktural dari

bangunan seperti balok dan kolom, harus direncanakan dengan tingkat daktilitas yang

cukup, sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur bangunan mempunyai kemampuan

untuk menyerap dan memancarkan energi gempa melalui deformasi plastis. Dengan

demikian keruntuhan dari struktur secara keseluruhan dapat dihindari. Dengan terhindarnya

struktur bangunan dari keruntuhan, maka dapat diharapkan adanya korban jiwa dapat

dihindarkan.

Menurut saran dari Applied Technology Council (ATC, 1984), suatu struktur

bangunan yang didirikan di daerah rawan gempa, harus mampu menahan Gempa Kuat

tanpa mengalami keruntuhan. Akibat pengaruh Gempa Kuat, struktur bangunan

diperkenankan mengalami kerusakan, tetapi secara keseluruhan struktur bangunan tidak

boleh runtuh. Hal ini dimaksudkan agar keselamatan jiwa manusia harus dapat terjamin.

Untuk mendapatkan struktur bangunan seperti yang disyaratkan oleh ATC, saat ini telah

dikembangkan suatu cara perencanaan struktur tahan gempa, yang disebut Perencanaan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 76

Kapasitas (Capacity Design). Perencanaan Kapasitas pada struktur bangunan dimaksudkan

untuk mendapatkan sifat daktilitas yang memadai bagi struktur-struktur bangunan yang

dibangun di daerah rawan gempa.

II.10 Daktilitas Struktur

Pada umumnya struktur Teknik Sipil dianggap bersifat elastis sempurna, artinya bila

struktur mengalami perubahan bentuk atau berdeformasi sebesar 1 mm oleh beban sebesar

1 ton, maka struktur akan berdeformasi sebesar 2 mm jika dibebani oleh beban sebesar 2

ton. Hubungan antara beban dan deformasi yang terjadi pada struktur, dianggap elastis

sempurna berupa hubungan linier. Jika beban tersebut dikurangi besarnya sampai dengan

nol, maka deformasi pada struktur akan hilang pula (deformasi menjadi nol). Jika beban

diberikan pada arah yang berlawanan dengan arah beban semula, maka deformasi struktur

akan negatif pula, dan besarnya akan sebanding dengan besarnya beban. Pada kondisi

seperti ini struktur mengalami deformasi elastis. Deformasi elastis adalah deformasi yang

apabila bebannya dihilangkan, maka deformasi tersebut akan hilang, dan struktur akan

kembali kepada bentuknya yang semula.

Pada struktur yang bersifat getas (brittle), maka jika beban yang bekerja pada

struktur sedikit melampaui batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tersebut

akan patah atau runtuh. Pada struktur yang daktail (ductile) atau liat, jika beban yang ada

melampaui batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tidak akan runtuh, tetapi

struktur akan mengalami deformasi plastis (inelastis). Deformasi plastis adalah deformasi

yang apabila bebannya dihilangkan, maka deformasi tersebut tidak akan hilang. Pada

kondisi plastis ini struktur akan mengalami deformasi yang bersifat permanen, atau

struktur tidak dapat kembali kepada bentuknya yang semula. Pada struktur yang daktail,

meskipun terjadi deformasi yang permanen, tetapi struktur tidak mengalami keruntuhan.

Pada kenyataannya, jika suatu beban bekerja pada struktur, maka pada tahap awal,

struktur akan berdeformasi secara elastis. Jika beban yang bekeja terus bertambah besar,

maka setelah batas elastis dari bahan struktur dilampaui, struktur kemudian akan

berdeformasi secara plastis (inelastis). Dengan demikian pada struktur akan terjadi

deformasi elastis dan deformasi plastis, sehingga jika beban yang bekerja dihilangkan,

maka hanya sebagian saja dari deformasi yang hilang (deformasi elastis = e), sedangkan

sebagian deformasi akan bersifat permanen (deformasi plastis = p). Perilaku deformasi

elastis dan plastis dari struktur diperlihatkan pada Gambar II-17.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 77

Dari uraian di atas tampak bahwa, pada struktur yang daktail, beban yang besar

akibat gempa tidak akan menyebabkan keruntuhan dari struktur, lebih-lebih karena beban

gempa merupakan beban dinamis yang arahnya bolak-balik. Beban gempa yang besar akan

menyebabkan deformasi yang permanen dari struktur akibat rusaknya elemen-elemen dari

struktur seperti balok dan kolom. Pada kondisi seperti ini, walaupun elemen-elemen

struktur bangunan mengalami kerusakan, namun secara keseluruhan struktur tidak

mengalami keruntuhan.

Deformasi elastis pada struktur

Deformasi plastis (inelastis) pada struktur

V0

e

V=0

e=0

V0

e+p

V=0

p

Sendi Plastis

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 78

Energi gempa yang bekerja pada struktur bangunan, akan dirubah menjadi energi

kinetik akibat getaran dari massa struktur, energi yang dihamburkan akibat adanya

pengaruh redaman dari struktur, dan energi yang dipancarkan oleh bagian-bagian struktur

yang mengalami deformasi plastis. Dengan demikian sistem struktur yang bersifat daktail

dapat membatasi besarnya energi gempa yang masuk pada struktur, sehingga pengaruh

gempa dapat berkurang.

II.10.1 Kemampuan Struktur Menahan Gempa Kuat

Beban gempa sebenarnya yang bekerja pada struktur bangunan dapat melampaui

beban gempa rencana yang tercantum di dalam peraturan. Di dalam peraturan, besarnya

beban gempa rencana yang diperhitungkan bekerja pada struktur bangunan adalah Gempa

Sedang. Dengan demikian, jika terjadi Gempa Kuat, maka gaya-gaya dalam (momen

lentur, gaya lintang, gaya normal, dan torsi) yang terjadi pada elemen-elemen struktur

seperti balok dan kolom, dapat melampaui gaya-gaya dalam yang sudah diperhitungkan.

Jika hal ini tidak ditinjau di dalam perencanaan, maka pada saat terjadi Gempa Kuat,

elemen-elemen dari struktur akan mengalami kerusakan, bahkan secara keseluruhan

struktur dapat mengalami keruntuhan. Agar struktur bangunan mempunyai kemampuan

yang cukup dan tidak terjadi keruntuhan pada saat terjadi Gempa Kuat, maka dapat

dilakukan dua cara sbb. :

Membuat struktur bangunan sedemikian kuat, sehingga struktur bangunan tetap

berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa Kuat. Struktur bangunan yang

dirancang tetap berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa Kuat adalah tidak

ekonomis. Meskipun pada saat terjadi Gempa Kuat struktur ini tidak mengalami

kerusakan yang berarti, sehingga tidak memerlukan biaya perbaikan yang besar,

namun pada saat pembuatannya, struktur bangunan ini memerlukan biaya yang

sangat mahal. Struktur bangunan yang didesain tetap berperilaku elastis pada saat

terjadi Gempa Kuat, disebut Struktur Tidak Daktail. Penggunaan sistem struktur

portal tidak daktail masih dianggap ekonomis untuk bangunan gedung bertingkat

menengah dengan ketinggian tingkat antara 4 s/d 7 lantai, dan terletak pada wilayah

dengan pengaruh kegempaan ringan sampai sedang.

Membuat struktur bangunan sedemikian rupa sehingga mempunyai batas kekuatan

elastis yang hanya mampu menahan Gempa Sedang saja. Dengan demikian,

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 79

struktur ini masih bersifat elastis pada saat terjadi Gempa Ringan atau Gempa

Sedang. Pada saat terjadi Gempa Kuat, struktur bangunan harus dirancang agar

mampu untuk berdeformasi secara plastis. Jika struktur mempunyai kemampuan

untuk dapat berdeformasi plastis cukup besar, maka hal ini dapat mengurangi

sebagian dari energi gempa yang masuk ke dalam struktur. Struktur bangunan yang

didesain berperilaku plastis pada saat terjadi Gempa Kuat, disebut Struktur Daktail.

Penggunaan sistem struktur portal daktail cukup ekonomis untuk bangunan gedung

bertingkat menengah sampai tinggi, yang dibangun pada wilayah dengan pengaruh

kegempaan kuat.

II.11 Perencanaan Kapasitas (Capacity Design)

Dari penjelasan di atas, untuk mendapatkan struktur bangunan yang cukup ekonomis,

tetapi tidak mengalami keruntuhan pada saat terjadi Gempa Kuat, maka sistem struktur

harus direncanakan bersifat daktail. Untuk mendapatkan sistem struktur yang daktail,

disarankan untuk merencanakan struktur bangunan dengan menggunakan cara Perencanaan

Kapasitas. Pada prosedur Perencanaan Kapasitas ini, elemen-elemen dari struktur

bangunan yang akan memancarkan energi gempa melalui mekanisme perubahan bentuk

atau deformasi plastis, dapat terlebih dahulu dipilih dan ditentukan tempatnya. Sedangkan

elemen-elemen lainnya, direncanakan dengan kekuatan yang lebih besar untuk

menghindari terjadinya kerusakan.

Pada struktur beton bertulang, tempat-tempat terjadinya deformasi plastis yaitu

tempat-tempat dimana penulangan mengalami pelelehan, disebut daerah sendi plastis.

Karena sendi-sendi plastis yang terbentuk pada struktur portal akibat dilampauinya Beban

Gempa Rencana dapat diatur tempatnya, maka mekanisme kerusakan yang terjadi tidak

akan mengakibatkan keruntuhan dari struktur bangunan secara keseluruhan.

Karena pada prosedur Perencanaan Kapasitas ini terlebih dahulu harus ditentukan

tempat-tempat di mana sendi-sendi plastis akan terbentuk, maka dalam hal ini perlu

diketahui mekanisme kelelehan yang dapat terjadi pada sistem struktur portal. Dua jenis

mekanisme kelelehan yang dapat terjadi pada sistem struktur portal akibat pembebanan

gempa, ditunjukkan pada Gambar II-18 di bawah.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 80

Gambar II-18. Mekanisme leleh pada struktur portal akibat beban gempa : (a) Mekanisme leleh pada balok, (b) Mekanisme leleh pada kolom

Kedua jenis mekanisme kelelehen atau terbentuknya sendi-sendi plastis pada struktur

portal adalah :

a) Mekanisme Kelelehan Pada Balok (Beam Sidesway Mechanism), yaitu keadaan

dimana sendi-sendi plastis terbentuk pada balok-balok dari struktur bangunan,

akibat penggunaan kolom-kolom yang kuat (Strong Column–Weak Beam).

b) Mekanisme Kelelehan Pada Kolom (Column Sidesway Mechanism), yaitu keadaan

di mana sendi-sendi plastis terbentuk pada kolom-kolom dari struktur bangunan

pada suatu tingkat, akibat penggunaan balok-balok yang kaku dan kuat (Strong

Beam–Weak Column)

Pada perencanaan struktur portal daktail dengan metode Perencanaan Kapasitas,

mekanisme kelelehan yang dipilih adalah Beam Sidesway Mechanism, karena alasan-alasan

sebagai berikut :

Pada Column Sidesway Mechanism, kegagalan dari kolom pada suatu tingkat akan

mengakibatkan keruntuhan dari struktur bangunan secara keseluruhan.

Pada struktur dengan kolom-kolom yang lemah dan balok-balok yang kuat (strong

beam– weak column), deformasi akan terpusat pada tingkat-tingkat tertentu,

sehingga daktilitas yang diperlukan oleh kolom agar dapat dicapai daktilitas dari

struktur yang disyaratkan, sulit dipenuhi.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 81

Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada kolom-kolom bangunan, akan lebih sulit

diperbaiki dibandingkan jika kerusakan terjadi pada balok. Jadi mekanisme

kelelehen pada portal yang berupa Beam Sidesway Mechanism, merupakan keadaan

keruntuhan struktur bangunan yang lebih terkontrol. Pemilihan perencanaan

struktur bangunan dengan menggunakan mekanisme ini membawa konsekuensi

bahwa kolom-kolom pada struktur bangunan harus direncanakan lebih kuat dari

pada balok-balok struktur, sehingga dengan demikian sendi-sendi plastis akan

terbentuk lebih dahulu pada balok. Karena hal tersebut di atas, maka dalam

perencanaan portal daktail pada struktur bangunan tahan gempa, sering juga disebut

perencanaan struktur dengan kondisi desain Kolom Kuat – Balok Lemah (Strong

Column–Weak Beam).

II.12 Mitigasi Bencana Gempa

Berdasarkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa di Indonesia,

maka perlu adanya upaya-upaya untuk menekan bahaya bencana yang diakibatkan oleh

gempa. Di Indonesia, upaya-upaya ini telah dilakukan secara struktural melalui

pelembagaan yang khusus menangani bencana secara keseluruhan.

Seperti juga yang terjadi di negara lain, masalah bencana biasanya mendapatkan

perhatian setelah terjadinya bencana tersebut. Jadi sesungguhnya sebelum terjadinya

bencana, banyak langkah yang sudah dapat ditempuh, dan karenanya bencana tersebut

seharusnya tidak datang secara mengejutkan. Dalam upaya mitigasi terhadap bahaya

gempa, beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut :

II.12.1 Penyusunan Peta Wilayah Gempa

Dengan adanya peta wilayah gempa yang akurat, dapat diketahui tingkat kerawanan

suatu wilayah terhadap ancaman gempa. Pada wilayah gempa ini perlu diperlihatkan

tempat-tempat yang sering dilanda gempa, sehingga statistik kemungkinan terjadinya

kembali gempa pada tempat tersebut dapat diperkirakan dengan lebih baik. Perlu

dicantumkan juga magnitude dari gempa yang sudah pernah terjadi sebelumnya, yang

mungkin dapat memberikan gambaran besarnya intensitas gempa yang akan datang. Di

dalam buku Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung

(SNI 1726 - 2002), telah dicantumkan zona atau wilayah kegempaan untuk Indonesia.

Menurut pedoman tersebut, Indonesia dibagi menjadi 6 wilayah gempa dengan taraf beban

gempa yang berlainan.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 82

II.12.2 Standar Konstruksi Bangunan

Penyusunan standar bangunan (building code) sangat penting untuk menjamin bahwa

bangunan tersebut aman untuk dihuni. Dengan adanya standar konstruksi bangunan yang

memadai, maka sekiranya standar ini diterapkan dengan baik, maka jika terjadi gempa,

akibat yang ditimbulkan oleh gempa dapat ditekan seminimum mungkin. Teknologi

rekayasa struktur bangunan tahan gempa sudah diketahui, namun karena berbagai alasan

teknologi ini belum dapat diterapkan sepenuhnya, sehingga seringkali gempa masih

menimbulkan kerusakan yang cukup besar. Penerapan standar konstruksi bangunan

dengan ketat hendaknya merupakan suatu kewajiban bagi semua pihak yang terlibat,

terutama bagi bangunan-bangunan umum yang dipergunakan oleh banyak orang, seperti

bangunan rumah sakit, sekolahan dan lain-lain. Banyak kasus di Indonesia menunjukkan

bahwa, bangunan-bangunan umum seperti rumah sakit dan sekolahan merupakan

bangunan yang mudah dihancurkan oleh gempa, sementara bangunan lainnya masih

mampu bertahan.

II.12.3 Pendeteksian Dan Pemonitoran Gempa

Pendeteksian dan pemonitoran gempa dilakukan oleh Badan Meterologi dan

Geofisika yang bernaung di bawah Departemen Perhubungan. Dewasa ini pemonitoran

gempa dapat dilakukan dengan menggunakan Jaringan Telemetri, dengan memanfaatkan

Satelit Palapa. Dari sejumlah 55 stasiun pemantauan gempa, 27 diantaranya telah

diintegrasikan di dalam Jaringan Telemetri. Ke 27 stasiun ini dilengkapi dengan Jaringan

Telemetri melalui satelit yang bertindak sebagai Pusat Gempa Regional yang terletak di

Ciputat, Medan, Denpasar, Ujung Pandang, dan Jayapura. Informasi yang dikirim dari

Pusat Gempa Regional diterima oleh Pusat Gempa Nasional yang berada di Jakarta. Pusat

Gempa Regional yang terletak di Ciputat, Medan, dan Denpasar, sudah dilengkapi dengan

peralatan untuk menentukan lokasi terjadinya gempa. Dengan jaringan pemantauan ini,

gempa dengan magnitude M=2 pada Skala Richter ke atas, dapat dideteksi oleh semua

statsiun pemantauan gempa yang sudah diintegrasikan.

II.12.4 Penyelidikan Seismotektonik

Penyelidikan seismotektonik dimaksudkan untuk mengetahui sifat kegempaan dalam

kaitannya dengan kondisi geologi. Upaya ini perlu dilakukan karena adanya hubungan

yang erat antara gempa dengan keadaan geologi suatu wilayah. Dengan mempelajari sifat-

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 83

sifat gelombangnya dan menganalisis mekanisme dari pusat gempa, maka akan dapat

diketahui sifat-sifat tektonik suatu wilayah. Dengan diketahuinya sifat-sifat tektonik ini,

maka akan dapat diperkirakan mengenai kemungkinan gempa yang akan datang.

II.12.5 Penelitian Bangunan Tahan Gempa

Penelitian mengenai rekayasa bangunan tahan gempa sangat penting dilakukan, oleh

karena usaha ini merupakan upaya satu-satunya yang berada di tangan manusia, untuk

dapat menghindari bencana yang diakibatkan oleh pengaruh gempa. Pusat Penelitian

Bangunan dan Pemukiman (Puslitbang Pemukiman) Departeman Pekerjaan Umum di

Bandung, merupakan lembaga utama yang melakukan kegiatan penelitian, selain itu pihak

dari perguruan-perguruan tinggi banyak juga yang melakukan penelitian mengenai masalah

ini.

Dari hasil penelitian, dapat dikeluarkan standar-standar atau pedoman-pedoman

untuk membuat struktur bangunan rumah, gedung, atau bangunan-bangunan Teknik Sipil

lainnya yang mampu bertahan terhadap pengaruh gempa, dengan tidak mengurangi faktor

sosial dan faktor ekonomi dari daerah yang bersangkutan. Selain itu, standar atau pedoman

ini juga berguna untuk memperkuat struktur-struktur bangunan yang sudah ada, yang

sebelumnya tidak dirancang tahan terhadap pengaruh gempa.