BAB IV RELEVANSI II KORINTUS 5: 18-21 BAGI PEMBERITAAN MENGENAI YESUS KRISTUS DALAM KONTEKS...

22
59 BAB IV RELEVANSI II KORINTUS 5: 18-21 BAGI PEMBERITAAN MENGENAI YESUS KRISTUS DALAM KONTEKS KEBERAGAMAN AGAMA DI INDONESIA Pada bagian-bagian sebelumnya, Penulis telah membahas bagaimana Rasul Paulus memberitakan Kristus dalam konteks Jemaat di Korintus menurut surat II Kor 5: 18-21. Pemberitaan mengenai Kristus oleh Paulus ternyata tidak lepas dari penghayatan Rasul Paulus sendiri terhadap Kristus. Kristus yang dihayatinya sebagai sarana di mana Allah menyatakan karya perdamaian, pembenaran, dan penebusan bagi manusia itulah Kristus yang diberitakan oleh Rasul Paulus dalam pelayanannya kepada Jemaat di Korintus. Bahasa pendamaian, pembenaran, dan penebusan memang tidak sepenuhnya lahir karena konflik sosial yang ada dalam Jemaat, karena ada pengaruh juga dari refleksi Paulus sendiri terhadap pengalamannya/peristiwa Damsyik. Namun, jika Rasul Paulus memakai tiga istilah tersebut untuk menjelaskan karya pemulihan Allah dalam konteks Jemaat Korintus yang pada waktu itu penuh dengan konflik, maka bisa dikatakan bahwa tiga istilah tersebut dimaksudkan oleh Paulus sebagai respon atas konflik yang ada. Dengan kata lain, Rasul Paulus berbicara banyak tentang Allah yang melalui Kristus mendamaikan manusia dengan diri-Nya, membenarkan, dan menebus manusia, demi terciptanya relasi yang damai dan harmonis antara Paulus dengan Jemaat, antara Jemaat itu sendiri, dan Jemaat dalam ibadahnya/hubungannya dengan Allah. Memang tidak tersurat apakah dengan demikian lalu ada damai di antara Paulus dan Jemaat itu sendiri. Namun, jika mengingat bahwa teks II Kor. 5:18-21 ini diteruskan sebagai pengajaran dan disimpan oleh Jemaat pada waktu itu, maka setidaknya “damai” tersebut tetap menjadi tujuan dan cita -cita luhur yang dituju selaku hidup bersama dengan Jemaat yang lainnya. Dengan kata lain, pemberitaan Injil oleh Rasul Paulus khususnya mengenai Kristus relevan bagi kehidupan Jemaat di Korintus pada waktu itu dan selama beberapa masa berikutnya. Lalu, apakah makna dan pemberitaan Kristus yang mendamaikan, membenarkan, dan menebus manusia tersebut masih relevan dengan konteks di Indonesia sekarang khususnya dalam konteks keberagaman agama? Bagaimanakah memberitakan Kristus yang kontekstual dalam konteks keberagaman agama?

Transcript of BAB IV RELEVANSI II KORINTUS 5: 18-21 BAGI PEMBERITAAN MENGENAI YESUS KRISTUS DALAM KONTEKS...

59

BAB IV

RELEVANSI II KORINTUS 5: 18-21 BAGI PEMBERITAAN MENGENAI YESUS

KRISTUS DALAM KONTEKS KEBERAGAMAN AGAMA DI INDONESIA

Pada bagian-bagian sebelumnya, Penulis telah membahas bagaimana Rasul Paulus

memberitakan Kristus dalam konteks Jemaat di Korintus menurut surat II Kor 5: 18-21.

Pemberitaan mengenai Kristus oleh Paulus ternyata tidak lepas dari penghayatan Rasul Paulus

sendiri terhadap Kristus. Kristus yang dihayatinya sebagai sarana di mana Allah menyatakan

karya perdamaian, pembenaran, dan penebusan bagi manusia itulah Kristus yang diberitakan

oleh Rasul Paulus dalam pelayanannya kepada Jemaat di Korintus. Bahasa pendamaian,

pembenaran, dan penebusan memang tidak sepenuhnya lahir karena konflik sosial yang ada

dalam Jemaat, karena ada pengaruh juga dari refleksi Paulus sendiri terhadap

pengalamannya/peristiwa Damsyik. Namun, jika Rasul Paulus memakai tiga istilah tersebut

untuk menjelaskan karya pemulihan Allah dalam konteks Jemaat Korintus yang pada waktu itu

penuh dengan konflik, maka bisa dikatakan bahwa tiga istilah tersebut dimaksudkan oleh Paulus

sebagai respon atas konflik yang ada. Dengan kata lain, Rasul Paulus berbicara banyak tentang

Allah yang melalui Kristus mendamaikan manusia dengan diri-Nya, membenarkan, dan menebus

manusia, demi terciptanya relasi yang damai dan harmonis antara Paulus dengan Jemaat, antara

Jemaat itu sendiri, dan Jemaat dalam ibadahnya/hubungannya dengan Allah. Memang tidak

tersurat apakah dengan demikian lalu ada damai di antara Paulus dan Jemaat itu sendiri. Namun,

jika mengingat bahwa teks II Kor. 5:18-21 ini diteruskan sebagai pengajaran dan disimpan oleh

Jemaat pada waktu itu, maka setidaknya “damai” tersebut tetap menjadi tujuan dan cita-cita

luhur yang dituju selaku hidup bersama dengan Jemaat yang lainnya. Dengan kata lain,

pemberitaan Injil oleh Rasul Paulus – khususnya mengenai Kristus – relevan bagi kehidupan

Jemaat di Korintus pada waktu itu dan selama beberapa masa berikutnya. Lalu, apakah makna

dan pemberitaan Kristus yang mendamaikan, membenarkan, dan menebus manusia tersebut

masih relevan dengan konteks di Indonesia sekarang – khususnya dalam konteks keberagaman

agama? Bagaimanakah memberitakan Kristus yang kontekstual dalam konteks keberagaman

agama?

60

I. Gambaran Umum Pluralisme Agama di Indonesia

Pluralitas keagamaan adalah sebuah realita dalam kehidupan masyarakat Indonesia

dengan berbagai dimensinya. Secara umum, hal ini tampak pada adanya keberagaman agama di

Indonesia, bahkan termasuk keberagaman paham atau ajaran secara intern dalam umat beragama

itu sendiri. Kemajemukan memang sebuah realita kehidupan, namun seringkali pula realita

tersebut membawa suatu masalah tersendiri dalam kehidupan, baik dalam kehidupan

bermasyarakat maupun dalam kehidupan beragama. Indonesia mungkin sebuah negara yang

unik, karena di dalamnya berkembang berbagai agama besar di dunia. Agama Hindu sebagai

agama yang pertama kali datang ke Indonesia datang dengan memperkenalkan kehidupan

pemerintahan melalui sistem kerajaan yang melampaui batas-batas lokal (kesukuan). Agama

Budha, sebagai agama berikutnya yang datang, membawa pola yang hampir sama dengan agama

Hindu. Selain itu, agama Budha juga meninggalkan berbagai warisan monumental diantaranya

adalah Candi Borobudur yang menjadi salah satu keajaiban dunia. Agama Islam yang datang dan

berkembang dengan pola dari bawah. Dalam artian, agama Islam berangkat dari tradisi

kemasyarakatan yang ada sehingga penyebaran agama Islam dapat dengan mudah diterima oleh

masyarakat. Hal inilah yang membuat agama Islam di kemudian hari mengalami perkembangan

yang pesat yang pada akhirnya menjadi agama mayoritas di Indonesia. Agama terakhir yang

berkembang di Indonesia adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama

Kristen yang dibawa oleh para zending yang umumnya berasal dari Eropa, datang bersamaan

dengan datangnya para kolonial. Hal inilah yang membuat adanya paradigma dalam masyarakat

pada umumnya bahwa agama Kristen adalah “agama kaum penjajah”. Selain lima agama

tersebut, sebenarnya masyarakat Indonesia pada umumnya juga mempunyai agamanya sendiri

(agama suku atau agama tradisional)1. Seperti di Sumba ada kepercayaan Marapu, di Batak ada

kepercayaan Parmalim, di Jawa ada Kejawen, dan lain sebagainya.

Secara empiris memang tidak dapat disangkal, bahwa masyarakat Indonesia, apalagi

masyarakat dunia, sangat plural. Pluralitas yang dialami sebagai kenyataan seringkali

mengakibatkan gesekan-gesekan (konflik) dalam hal bermasyarakat dan hidup bersama, yang

kadang kala berujung pada pertumpahan darah. Dalam sejarah umat manusia, ternyata agama

dapat menjadi salah satu sumber atau pemicu permusuhan/pertikaian (konflik). Mengapa agama

1 Pada umumnya, agama tradisional atau agama suku lebih dikenal dengan istilah “kepercayaan”.

61

yang mencita-citakan kebaikan bagi umat manusia malah bisa menjadi pemicu atau bahkan

sumber konflik?

Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, ternyata ada kalanya konflik yang terjadi

mengatasnamakan agama sebagai penyebab utamanya. Padahal, jika ditelusuri secara objektif

maka bukanlah agama penyebab konflik tersebut. Misalnya saja GAM (Gerakan Aceh Merdeka),

di mana paradigma masyarakat umum konflik yang terjadi adalah karena rakyat Aceh

memperjuangkan syariat Islam dan Negara Islam. Jika menelusuri sejarah konflik GAM terjadi,

maka sumber konflik bukanlah masalah agama. Arrifin Assegaf mengungkapkan bahwa konflik

tersebut ternyata lahir karena adanya diskriminasi sosial, pelanggaran HAM, pemerkosaan

hukum Islam, dan lain-lain. Ironisnya, hal itu dilakukan oleh pemerintah, bukan oleh umat

agama lain. Konflik yang terjadi bukan karena sentimen terhadap agama lain, walaupun mereka

sendiri mencita-citakan Negara Islam. Konflik juga bukan karena pertentangan etnis, tetapi

masih berada dalam tingkat konflik vertikal berhadapan dengan kebijakan pemerintah pusat.2

Contoh lain adalah konflik Ambon/Maluku, di mana konflik yang terjadi juga mengatasnamakan

agama sebagai penyebab konflik. Arrifin Assegaf mengungkapkan bahwa konflik saling

membunuh secara biadab yang terjadi di Ambon dan Maluku sama sekali bukan konflik agama,

melainkan karena adanya rasa „super‟ dibanding yang lain – di mana rasa ini muncul karena

adanya pengaruh kolonialisme di masa lalu. Diskriminasi yang terjadi akhirnya membawa agama

ke ranah konflik.3 Dewasa ini, selain menjadi “kambing hitam” atas konflik yang terjadi, agama

juga bisa menjadi penyebab konflik itu sendiri. Hal ini seringkali dikarenakan adanya perbedaan

pandangan teologis, rasa curiga satu terhadap yang lain, penafsiran ajaran secara eksklusif, dan

lain-lain. Misalnya saja kasus penutupan Gereja oleh umat agama lain di beberapa tempat,

karena adanya praktik-praktik yang dicurigai sebagai kristenisasi. Pembangunan tempat ibadah

yang dipermasalahkan, karena dikhawatirkan mengganggu dan membawa pengaruh negatif bagi

masyarakat di luar agama tersebut. Diakonia-diakonia gereja kepada masyarakat umum yang

seringkali dipermasalahkan, karena diisukan sebagai praktik kristenisasi. Konflik antar agama

juga bisa diakibatkan oleh perbedaan ideologi dalam agama-agama itu sendiri. Hal ini terjadi

2 Arrifin Assegaf, Memahami Sumber Konflik Antar Iman; dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan

Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei. 2001). Hlm. 27-28 3 Arrifin Assegaf, Memahami Sumber Konflik Antar Iman. Hlm. 28-34

62

tatkala masing-masing agama mengklaim bahwa dirinyalah atau ajarannya yang paling benar.4

Dengan demikian, tampak bahwa fakta keberagaman agama di Indonesia ternyata rentan

terhadap adanya konflik. Baik konflik karena adanya manipulasi atau provokasi dari pihak-pihak

tetentu, maupun konflik yang terjadi karena perbedaan ideologi agama satu dengan yang lainya.

Ibarat mata uang koin yang punya dua sisi, begitupun juga dengan keberagaman agama. Di satu

sisi memang dapat membawa konflik dalam kehidupan bersama. Namun, di sisi lain

keberagaman agama di Indonesia merupakan suatu fakta yang berpotensial demi pembangunan

iman masing-masing agama/kepercayaan. Hal itu tercapai bilamana masing-masing agama mau

menerima dan membuka diri terhadap fakta keberagaman tersebut, sehingga muncul kesadaran

untuk saling belajar dari satu sama lain demi pembangunan iman yang diyakininya sendiri

berikutnya praksisnya dalam kehidupan sehari-hari.

Kesadaran bahwa secara empiris kekristenan tidak berdiri sendiri, melainkan berada di

tengah-tengah keberagaman agama membuat beberapa kalangan termasuk para teolog membuka

diri dan berupaya merumuskan kembali iman Kristen yang selama ini dipegangnya. Iman

terhadap Yesus Kristus kini mulai ditelaah kembali demi menghadirkan Yesus Kristus dalam

dunia yang penuh dengan konteks, khususnya keberagaman agama. Hal ini dikarenakan

pemahaman dan iman akan diri Yesus ternyata seringkali membuat adanya masalah antara umat

Kristen dengan umat agama lain. Oleh karena itu, agaknya umat Kristen perlu merumuskan

ulang misi dan paham mengenai Yesus agar pemberitaan mengenai Yesus Kristus tidak

menambah daftar konflik antar agama, namun turut memberikan pengaruh yang positif dalam

perdamaian antar umat beragama. Dalam misinya untuk memberitakan Injil, khususnya

memberitakan Yesus Kristus, rasul Paulus tentunya mempunyai pola-pola pemberitaannya

sendiri. Apakah pola rasul Paulus dalam memberitakan Yesus Kristus tersebut, seperti dalam

teks II Korintus 5:18-21, relevan bagi pemberitaan Yesus Kristus dalam konteks keberagaman

agama di Indonesia?

4 Bandingkan dengan Widi Artanto yang berpendapat bahwa agama menjadi sebuah bencana dalam kehidupan plurali tatkala

agama tersebut memutlakkan klaim kebenarannya, paling benar dan satu-satunya. Lihat Widi Artanto, Tantangan Kehidupan

Masyarakat Plural, dalam Wahju Satrio W. (ed.) Konsep Mesianis dalam Kitab Yesaya dan Relevansinya dalam Kehidupan

Masyarakat Plural (Yogyakarta: Duta Wacana University Press. 2005). Hlm. 123-124

63

II. II Korintus 5: 18-21 sebagai Dasar Memberitakan Yesus Kristus

Berdasarkan pemaparan gambaran umum keberagaman agama di Indonesia seperti di

atas, tampak bahwa agama dapat menjadi salah satu sumber atau pemicu permusuhan atau

pertikaian (konflik). Padahal, tidak ada agama yang menghendaki yang namanya konflik. Setiap

agama menghendaki “yang baik” bagi penganutnya dalam keterikatannya dengan yang

transendental (illahi). Ada agama-agama yang berhenti sampai di situ, namun ada pula agama-

agama yang melihat kebaikan itu sebagai nilai yang tidak boleh dimilki sendiri tetapi harus

diteruskan kepada orang lain. Hal inilah yang menjadi dasar sikap dan keyakinan agama-agama

missioner, yakni memberitakan kebenaran yang dianutnya. Persoalan yang seringkali menjadi isu

dalam masyarakat adalah masalah pemberitaan agama yang dianggap menganggu kerukunan

hidup umat beragama. Dilihat dari segi keyakinan agama masing-masing, pemberitaan agama

merupakan suatu hal atau tugas yang mulia karena bertujuan ingin menyelamatkan orang lain

dari kesesatan. Akan tetapi, bagi pihak lain pemberitaan agama tersebut dianggap sebagai suatu

sikap yang ingin menyesatkan mereka. Dari perspektif tersebut, sebenarnya kedua belah pihak

termotivasi oleh niat luhur mengajak orang lain ke-keselamatan di satu pihak dan menjaga orang

lain dari kesesatan. Namun, pada kenyataannya niat luhur tersebut diperhadapkan pada

pertanyaan: adakah keselamatan dalam agama lain? Terkait dengan hal ini, Schillebeeckx

sebagaimana yang dikutip oleh Knitter mengatakan bahwa “keyakinan teguh yang terus

dipegang seseorang sebagai kebenaran di mana yang lainnya salah tidak dimungkinkan lagi

sekarang. Dalam konteks ini (keberagaman agama), kalau ada yang mengatakan bahwa cara

seseorang merupakan satu-satunya kemungkinan yang ada untuk memahami kebenaran agama

(keselamatan), berarti ia hidup dalam „zaman yang sesat‟”.5 Berdasarkan hal tersebut, maka umat

Kristen sebenarnya dituntut untuk bisa terbuka terhadap agama-agama lain, namun dengan tidak

mengesampingkan kesetiaan iman terhadap Yesus Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat bagi

mereka. Ketika mengarahkan diri pada keterbukaan, maka orang Kristen dituntut untuk

merumuskan kembali misi maupun pemahaman mengenai Yesus Kristus (kristologi) yang

melekat pada dirinya.6 Hal ini merupakan sebuah upaya untuk menghadirkan Yesus Kristus,

5 Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama (Yogyakarta: Kanisius. 2008). Hlm. 7-8 6 Bandingkan dengan pendapatnya Widi Artanto yang mengatakan bahwa Alkitab tidak berisi panggilan kepada orang-orang

Kristen untuk membuat klain-klaim bagi diri mereka sendiri, melainkan membuat suatu komitmen yang membuka hidup

mereka bagi orang lain. Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner; dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Taman Pustaka

Kristen. 2008). Hlm. 193

64

yang merupakan pengejawantahan Kerajaan Allah, di dalam konteks keberagaman agama di

Indonesia. Dengan demikian, jika karya kematian Kristus membawa pendamaian antara manusia

dan dunia dengan Allah, maka seyogyanya pemberitaan mengenai Kristus-pun juga mampu

membawa dan menghadirkan perdamaian di antara agama-agama.

Rasul Paulus merupakan seorang misionaris Kristen pertama.7 Sebagai seorang

misionaris, maka tampaknya rasul Paulus memang mempunyai suatu pola tersendiri di dalam

memberitakan Yesus Kristus. Hal ini – salah satunya – tampak/terbukti dari teks II Kor 5: 18-21,

di mana rasul Paulus dapat memberitakan Yesus Kristus secara relevan dan kontekstual dalam

konteks jemaat di Korintus. Bertolak dari pola rasul Paulus dalam memberitakan Yesus Kristus,

maka bagaimanakah sebaiknya orang Kristen memberitakan Yesus Kristus dalam konteks

keberagaman agama di Indonesia?

a. Merumuskan ulang Misi

Dalam proses memberitakan Yesus Kristus, rasul Paulus tampaknya memang

mengalami suatu pergumulan. Seringkali peristiwa Damsyik disebut sebagai peristiwa

“pertobatan” rasul Paulus. Padahal menurut Bosch, peristiwa tersebut tidak menggambarkan

“pertobatan” rasul Paulus, melainkan suatu peristiwa yang membuat Saulus – yang kemudian

menjadi Paulus – menggumuli akan panggilannya untuk memberitakan Injil atau Yesus

Kristus. Dengan kata lain, peristiwa tersebut bukanlah peristiwa “pertobatan”, melainkan

peristiwa “pemanggilan”.8 Melalui refleksi atas peristiwa Damsyik tersebut, rasul Paulus

ternyata mengalami suatu transformasi. Terkait dengan hal ini, Bosch mengatakan bahwa

“rasul Paulus mengalami suatu revisi yang dasariah terhadap persepsinya tentang Yesus dari

Nazaret dan tentang nilai hukum Torah yang menyelamatkan”.9 Jika dikatakan bahwa

peristiwa Damsyik merupakan peristiwa “pemanggilan”nya, maka bisa dikatakan pula dalam

refleksinya terhadap peristiwa tersebut rasul Paulus menghayati dan menggumuli kembali

imannya, sehingga merumuskan ulang “misi”nya dan memberitakan Injil. Perubahan konsep

misi Paulus tersebut tampak dalam ucapannya di I Kor 1: 17, di mana dia mengatakan bahwa

7 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen; Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK Gunung

Mulia. 1997). Hlm. 194 8 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 195-197 9 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 197

65

keterpanggilannya bukan untuk membaptis melainkan untuk memberitakan Injil. Selain itu,

tampaknya rasul Paulus juga memahami bahwa berita Injil bukanlah hanya untuk orang

Yahudi, melainkan juga untuk orang non-Yahudi. Dengan kata lain, misi yang dipahami oleh

Paulus kini bukanlah misi untuk membaptis atau mengkristenkan orang Yahudi, melainkan

misi Injil yang mendunia.10

Oleh karena itu, rasul Paulus bisa sampai pada pemahaman

bahwa pendamaian Allah berlaku bagi seluruh manusia dan dunia (II Kor 5:18-19). Dalam

terang demikian, maksud misi Paulus adalah memimpin orang pada keselamatan di dalam

Kristus. Keselamatan tersebut didapatkan di dalam perjumpaan dengan Allah yang di dalam

Yesus Kristus menyatakan karya-Nya.11

Dengan kata lain, karya keselamatan Allah – yang

dipahami oleh rasul Paulus sebagai karya pendamaian Allah bagi manusia dan dunia – dapat

terwujud secara nyata tatkala Yesus Kristus diberitakan tidak hanya bagi orang Yahudi,

namun juga bagi orang non-Yahudi.

Jika rasul Paulus merumuskan ulang misinya agar karya pendamaian Allah nyata bagi

manusia dan dunia lewat pemberitaan mengenai karya Yesus Kristus, maka apakah orang

Kristen juga perlu merumuskan kembali misinya agar karya pendamaian Allah nyata dalam

konteks keberagaman agama di Indonesia yang rentan terhadap konflik? Jika memang benar

demikian, maka rumusan misi seperti apakah yang sekiranya relevan?

Misi selalu identik dengan pengutusan dan pemberitaan. Namun, bila melihat sejarah

dari misi itu sendiri maka misi tampak lebih kepada “ekpansi agama”. Konsep mengenai misi

pada masa itu adalah (a) penyebaran iman, (b) perluasan pemerintahan Allah, (c) pertobatan

orang-orang kafir, dan (d) pendirian jemaat-jemaat baru.12

Pada masa lalu, dalam usaha

misinya para misionaris Barat menekankan pentingnya pertobatan individu dan

mengesampingkan dimensi sosial yang ada, termasuk nilai-nilai positif dalam agama lain.

Hal inilah yang menyebabkan misi Kristen menempatkan orang-orang beragama lain sebagai

orang-orang kafir, yang tidak memliki kebenaran ilahi.13

Sementara itu, Widi Artanto

mengatakan bahwa “misi Kristen yang tidak menyentuh realitas sosial yang nyata adalah

10 Bandingkan dengan pendapat Bosch, bahwa visi misioner Paulus bersifat universal (mendunia). Dalam hal ini, Paulus

mempunyai pemahaman misi “oikumenis”. Dalam arti, seluruh dunia yang didiami harus dijangkau dengan Injil. Lihat David

J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm.203-204 11 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 211 12 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 1 13 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 121. Lihat pula pada hlm. 98-100, di mana Widi menyebutnya dengan “misi

penaklukan”.

66

misi yang tidak relevan”.14

Senada dengan hal tersebut, Stan Nusbaum berpendapat bahwa

misi dalam konteks keberagaman agama seharusnya bersifat universal, dalam arti mampu

menjangkau masyarakat dengan latar belakang yang berbeda – termasuk latar belakang

agama.15

Dengan demikian, maka tampak bahwa orang Kristen perlu merumuskan kembali

konsepnya mengenai misi di dalam konteks keberagaman agama.

Hal yang seringkali disalahpahami mengenai misi adalah mempertobatkan atau

mengkristenkan orang lain. Padahal, tujuan utama misi sebenarnya adalah menghadirkan

Kerajaan Allah (kingship), bukan menjadikan seluruh dunia menjadi beragama Kristen.

Rasul Paulus sendiri beranggapan bahwa keterpanggilannya adalah untuk memberitakan

Injil, bukan untuk membaptis (I Kor 1: 17). Masalah apakah orang nantinya memutuskan

untuk menjadi Kristen atau tidak adalah kepentingan nomor sekian. Yang terutama adalah

menghadirkan Kerajaan Allah melalui pewartaan. Menurut Kurt Piskaty, “misi Kristen

berarti melanjutkan misi Kristus menjadikan Kerajaan Allah (kingship) sebagai suatu realitas

yang hidup di dalam dunia ini. Kerajaan Allah merupakan warta utama dalam pengajaran

Yesus: sebuah Kerajaan yang mewujudkan rencana Allah di tengah-tengah umat manusia,

yang memenuhi harapan-harapan dan kerinduan-kerinduan hati manusia, yang menantang

tingkah laku manusia dan memanggil kepada pertobatan, yang sudah hadir namun belum

selesai, yang bertumbuh seperti biji sesawi dan bertujuan untuk menjadi ragi masyarakat

manusia. Kerajaan Allah diperkenalkan melalui tindakan-tindakan dan perkataan-perkataan

Kristus dan diwariskan melalui Alkitab”.16

Dengan kata lain, misi menghadirkan Kerajaan

Allah terlaksana tatkala orang Kristen memberitakan Yesus Kristus, karena Kerajaan Allah

itu sendiri tercermin baik dalam ajaran/perkataan maupun kehidupan Yesus. Yesus Kristus

adalah pengejawantahan Kerajaan Allah di dunia.17

Oleh karena itu, orang Kristen memang

14 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 125 15 Stan Nusbaum, A Reader`s Guide to Transforming Mision (New York: Orbis Books, Maryknoll. 2005). Hlm 27-29 16 Kurt Piskaty, Motif-motif Karya Misioner Kristen dalam Misi, Evangelisasi, Penghayatan Iman oleh Georg Kirchberger

(ed.) (Maumere: Ledalero. 2004). Hlm. 17. Bandingkan juga dengan pendapatnya Bosch, yang mengatakan bahwa Misi

Kristen pada hakikatnya juga adalah cerminan hubungan yang dinamis antara Allah dengan dunia (David J. Bosch,

Transformasi Misi Kristen, hlm. 13). 17 Bevans sendiri berpendapat bahwa Yesus adalah autobasileia. Yesus adalah gambaran yang paling jelas tentang Allah dan

misi-Nya yang pernah dilihat dunia. Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia; Dasar, Pola,

dan Konteks Misi (Maumere: Ledalero. 2006). Hlm. 581

67

sudah seharusnya memberitakan Yesus Kristus demi terwujudnya Kerajaan Allah (kingship)

di dunia yang beragam konteksnya.18

Salah satu aspek dalam hadirnya Kerajaan Allah adalah damai sejahtera. Damai

tersebut sudah dinyatakan oleh Allah melalui kedatangan Yesus Kristus (band Luk 2: 14).

Berdasarkan hal tersebut, maka misi memberitakan Yesus Kristus, yang merupakan

pengejawantahan Kerajaan Allah, bisa dikatakan pula dengan misi rekonsiliasi.19

Menurut

Widi Artanto, misi rekonsiliasi merupakan misi yang memperjuangkan relasi baru antara

manusia untuk membangun kembali relasi lama yang dirobek-robek oleh kecurigaan, apriori,

keterasingan, permusuhan, dan peperangan yang disebabkan oleh perbedaan agama dan

budaya.20

Dengan demikian, maka bisa dikatakan pula pemberitaan mengenai Yesus Kristus

dalam terang misi rekonsiliasi terutama terfokus pada karya Yesus Kristus yang

mendamaikan manusia dan dunia dengan Allah.

Bertolak dari situasi Jemaat Korintus yang sedang berkonflik, yang sifatnya

komunalistik, maka misi perdamaian yang diangkat/dirumuskan oleh Paulus agaknya tepat

untuk merespon situasi tersebut.21

Situasi konflik di mana masing-masing berseteru satu

sama lain mengindikasikan adanya relasi yang rusak. Dengan mengatakan bahwa Allah

mendamaikan dunia dan manusia dengan diri-Nya melalui Kristus, maka secara tidak

langsung pula Paulus juga ingin mengatakan kepada Jemaat Korintus bahwa mereka – yang

secara pribadi dengan Allah telah didamaikan – supaya berdamai juga dengan sesamanya.

Dalam hal ini, situasi keberagaman agama di Indonesia kurang lebih sama dengan situasi di

Jemaat Korintus pada waktu itu. Keberagaman agama di Indonesia yang rentan konflik,

agaknya membuat misi rekonsiliasi cukup relevan. Hal ini dikarenakan konflik yang terjadi

umumnya bukanlah konflik yang bersifat religius atau ideologis, melainkan bersifat

komunalistik.22

Konflik komunalistik dalam artian bahwa orang semakin tidak mampu

18 Bandingkan dengan pendapatnya Bevans, bahwa sasaran utama teologi misi adalah mewartakan nama Yesus. Lihat Stephen B.

Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 565 19 Bandingkan Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 175-176 20 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 176 21 Bandingkan dengan pendapat Bosch bahwa pemahaman rasul Paulus tentang misi bukanlah suatu bangunan abstrak yang

bergantung pada sebuah prinsip universal, melainkan suatu analisis tentang realitas yang didorong oleh suatu pengalaman

mula-mula yang memberikan Paulus sebuah pandangan dunia yang baru. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm.

194 22 Terkait dengan hal ini, Th. Sumartana berpendapat bahwa konflik antar-agama acapkali dipicu oleh perbedaan doktrinal yang

dipeliharan sebagai keyakinan dan kebenaran yang absolut. Th. Sumartana, Pluralisme, Konflik, dan Dialog: Refleksi tentang

68

menghayati dirinya sebagai “saudara sebangsa” atau “sama-sama manusia”. Realita yang

terjadi adalah pada akhirnya orang terbawa pada penghayatan diri “saya/kami” berhadapan

dengan “kamu/mereka”. Pada akhirnya, perbedaan agama-lah yang dijadikan kambing hitam

atas konflik yang terjadi. Padahal, walaupun ada perbedaan ideologi namun jika masing-

masing pihak merasa bahwa mereka semua adalah satu dan tidak membenarkan diri dalam

kelompoknya masing-masing, maka niscaya konflik tidak akan terjadi. Konflik

mengakibatkan tiap-tiap pihak yang terkait saling berseteru satu sama lain dengan membela

kebenaran yang diyakininya. Relasi yang rusak akibat konflik yang terjadi membutuhkan

adanya pemulihan demi kehidupan bersama yang lebih baik. Dalam konteks seperti inilah

Widi mengatakan bahwa teks II Kor 5: 18-19 seyogyanya tidak hanya dipahami dalam

pengertian rohani. Maksudnya, misi rekonsiliasi Allah di dalam Kristus seyogyanya tidak

hanya dimengerti sebagai pendamaian dosa demi keselamatan jiwa manusia, melainkan juga

sebagai pemulihan kemanusiaan manusia. Ketika kemanusiaan manusia terpulihkan, maka

tidak hanya hubunganya dengan Allah pulih melainkan juga hubunganya dengan sesama dan

alam.23

Dengan demikian, rumusan misi yang cukup relevan dalam konteks keberagaman

agama di Indonesia adalah misi rekonsiliasi dan teks II Kor 5: 18-21 dapat menjadi dasar

misi rekonsiliasi.

b. Merumuskan/menginterpretasikan Ulang Kristologi

Refleksi Paulus atas peristiwa Damsyik rupanya juga membuatnya mengimani bahwa

Yesus adalah Mesias/Kristus. Dalam hal ini, tampak bahwa sebenarnya Paulus mengalami

transformasi iman. Ia yang dulunya seorang Yahudi yang masih dalam menantikan Mesias

dan tidak mengimani Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan, kini telah mengimani bahwa

Yesus dari Nazaret itulah Mesias yang dijanjikan. Berdasarkan teks II Kor 5: 18-21 – Paulus

rupanya memberitakan ke- Mesias-an Yesus Kristus tidak sebagai gelar, melainkan karya-

Nya sebagai Mesias yang memperdamaikan manusia dan dunia dengan Allah

Hubungan antar-agama di Indonesia; dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di

Indonesia. Hlm. 79. Lihat pula Frans Magnis-Suseno, Pluralisme Agama, Dialog, dan Konflik di Indonesia; dalam Th.

Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Hlm. 71 23 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 181. Lihat juga hlm. 288

69

(rekonsiliator).24

Hal itu agaknya juga dikarenakan Paulus merumuskan ulang pemahaman

mengenai diri Yesus sebagai Mesias/Kristus menjadi Yesus sebagai rekonsiliator agar

relevan dalam konteks jemaat Korintus yang sedang berkonflik. Rumusan kristologi bahwa

Yesus adalah Mesias yang membawa keselamatan dan pembebasan kini telah dirumuskan

ulang oleh rasul Paulus. Yesus kini lebih cenderung diberitakan oleh Paulus sebagai Mesias

yang membawa pendamaian Allah bagi manusia dan dunia, di mana karya kematian-Nya

juga membawa penghapusan pelanggaran (pembenaran) dan penebusan. Perumusan ulang

tersebut bukan karena Paulus tidak lagi mengimani Yesus sebagai Mesias/Kristus, melainkan

baginya lebih penting memberitakan karya Yesus sebagai Mesias daripada gelar mesianis-

Nya. Selain itu, bahasa perdamaian dirasa oleh Paulus cukup kontekstual dan relevan dalam

konteks jemaat Korintus yang sedang berkonflik. Perumusan ulang tersebut ternyata juga

membuat Paulus memahami bahwa Karya Yesus yang mendamaikan manusia dengan Allah

berlaku tidak hanya bagi orang Yahudi saja, melainkan bagi seluruh manusia dan dunia.

Dengan adanya perumusan ulang tersebut, Yesus Kristus kini dapat diberitakan secara

relevan oleh Paulus di dalam mengemban misi rekonsiliasi dari Allah.

Seperti halnya Paulus, maka orang Kristen pun juga harus merumuskan ulang

pemahaman terhadap Yesus (kristologi). Mengapa? Hal ini karena penghayatan iman dan

pemahaman akan Yesus mempengaruhi pola dan seperti apa Yesus diberitakan di dalam

konteksnya. Ketika Yesus diimani dan diimani sebagai satu-satunya Juruselamat, di mana

agama lain dianggap kafir, maka pemberitaan tersebut hanya akan menambah daftar konflik

antar agama di Indonesia. Bagi orang Kristen, Yesus memang satu-satunya Juruselamat.

Namun, hal tersebut seyogyanya tidak membuat orang Kristen menutup mata terhadap

adanya kebenaran lain yang diyakini oleh umat agama lain.25

Perumusan tersebut juga

seyogyanya diupayakan agar kontekstual, sehingga pada nantinya Yesus Kristus tidak hanya

“dinikmati” oleh umat Kristen saja, namun juga umat lain. Dalam arti, kebenaran maupun

iman akan Yesus Kristus juga dapat diterima dalam konteks keberagaman agama dan juga

menjadi salah satu hal yang dapat dijadikan pembelajaran bersama – terkait dengan adanya

unsur saling belajar satu sama lain dalam pluralisme agama.

24 Dalam memberitakan Yesus Kristus, yang terpenting (fokus pemberitaan) bagi rasul Paulus adalah pemberitaan mengenai

karya-Nya dan bukan gelar – sekalipun gelar-gelar yang dikenakan pada diri Yesus juga penting bagi dirinya. Lihat ulasannya

dalam Bab II. 25 Bandingkan dengan Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 121-122

70

Menghadapi fakta adanya keberagaman agama yang menuntut adanya keterbukaan,

beberapa teolog mencoba merumuskan kristologi – secara kontekstual. Seperti John Hick,

sebagaimana yang dikutip oleh Harold Coward, ia merumuskan teologi Copernican. Seperti

halnya matahari yang menjadi pusat seluruh tata surya, demikian juga Allah merupakan pusat

dari semua agama yang ada.26

Demikian halnya Wilfred Cantwell Smith, sebagaimana yang

dikutip juga oleh Harold Coward, yang berpendapat demikian:

Jikalau wahyu Kristen tidak benar, maka ada kemungkinan untuk

membayangkan bahwa Allah membiarkan orang Hindu memuja Dia atau

orang Muslim mematuhi Dia atau orang Budha merasa berbelaskasihan

kepada sesamanya, tanpa tanggapan-Nya, tanpa uluran tangan-Nya untuk

merangkul mereka. Namun, karena Allah adalah sebagaimana ada-Nya,

karena Dia adalah Allah sebagaimana diwahyukan Kristus, maka orang lain

memang hidup di hadirat-Nya. Juga, oleh karena itu kita (sebagai orang

Kristen) mengetahui hal ini demikian.27

Di sisi lain, ia juga berpendapat bahwa “kelirulah bila kita mengidentifikasikan

„agama‟ kita sendiri, atau tradisi itu, dengan Allah atau kebenaran mutlak, lebih sebagai yang

illahi daripada sebagai jalan kepada atau dari yang illahi”.28

Tokoh lain yang juga

mendasarkan pandangannya secara teosentris adalah Stanley Samartha. Sebagaimana yang

dikutip oleh Harold Coward, Samartha berpendapat bahwa “kewajiban orang Kristen dewasa

ini bukanlah pada agama Kristen, juga bukan kepada bentuk-bentuk budaya agama Kristen

yang telah kita warisi, melainkan kepada Allah, yang pada saat Dia mewahyukan diri-Nya

dalam Yesus Kristus, membebaskan kita dari belenggu partikular kita agar kita memiliki

hubungan baru dengan tetangga-tetangga kita dalam komunitas yang lebih besar”.29

Lain

halnya pula dengan Pannikar, seperti yang dikutip oleh Coward, yang membuat suatu

terobosan dengan kristologi yang lebih terbuka, bahwa semua agama memiliki kebenaran dan

penyingkapan kebenaran tersebut dapat memberikan pencerahan timbal balik bagi semua

yang terlibat.30

Lebih lanjut lagi, Pannikar mengungkapkan – sebagaimana yang dikutip oleh

Harold Coward – bahwa Kristus tidak melulu Yesus. Kristus juga “ada” dalam agama-agama

26 Harold Coward, Pluralisme, hlm. 58-59; lihat juga John Hick, Ketidakmutlakan Agama Kristen, dalam John Hick dan Paul F.

Knitter (ed), Mitos Keunikan Agama Kristen, hlm. 36-37 27 Harold Coward, Pluralisme, hlm. 63 28 Wilfred Cantwell Smith, Pemberhalaan; Dalam Perspektif Perbandingan, dalam John Hick dan Paul F. Knitter (ed), Mitos

Keunikan Agama Kristen, hlm. 95 29 Harold Coward, Pluralisme, hlm. 77 30 Harold Coward, Pluralisme, hlm. 78

71

lain.31

Bisa dikatakan pula, Allah juga menyatakan diri-Nya melalui “Kristus” – dalam

bentuk yang berbeda – dalam agama-agama lain.32

Tampaknya tuntutan untuk lebih terbuka terhadap keberagaman agama telah

membuat para teolog di atas mendasarkan pemikirannya pada teosentris. Pandangan mereka

memang benar, jika pemikiran-pemikiran tersebut untuk memahami perihal Allah sebagai

sumber keselamatan dan bahwa kebenaran yang absolut adalah Allah sendiri. Namun,

pandangan-pandangan tersebut agaknya sulit diterima terkait dengan permasalahan mengenai

penyataan Allah yang diimani dan dipahami oleh masing-masing agama berbeda. Dengan

mengalihkan dasar pemikiran pada teosentris, maka hal itu terkesan seperti menghindari

adanya perbedaan dan merelatifkan semua agama. Sederhananya, yang terpenting adalah

iman kepada Allah, bukan iman terhadap pernyataan Allah dalam masing-masing agama (mis

Yesus Kristus, Al-Qur‟an/Muhammad, Krishna, dll). Memang benar Allah-lah yang menjadi

pusat kebenaran tertinggi. Namun, hal itu bukan berarti mendistorsikan (mengurangi) makna

pernyataan Allah dalam masing-masing agama. Bukan berarti pula tidak ada keunikan dalam

tiap-tiap agama. Mengalihkan pemikiran pada teosentris secara tidak langsung mengaburkan

iman kepada Yesus Kristen (dalam agama Kristen). Yesus Kristus menjadi sama halnya

dengan Muhammad, Krishna, dll. Padahal, bagi orang Kristen Yesus Kristus merupakan

adalah unik dan pusat iman. Dalam arti, umat Kristen mengenal dan memahami Allah

berangkat dari Yesus Kristus, di mana Allah diyakini menyatakan diri-Nya melalui ajaran

dan kehidupan Yesus. Seseorang disebut Kristen, karena ia menetapkan hidup mengikuti dan

mengimani Yesus Kristus sebagai Juruselamat. Bandingkan dengan pendapat Bevans yang

mengatakan bahwa “penanggalan atas klaim agama menyangkut keunikannya sama artinya

dengan mengosongkan identitas agama bersangkutan”.33

Oleh karena itu, secara faktual dan

historis, kekristenan tidak bisa dilepaskan dari iman terhadap Yesus Kristus.

31 Harold Coward, Pluralisme, hlm. 81; Bandingkan juga ketika ia berpendapat bahwa “Kristus tidak boleh dikungkung dalam

Yesus dari Nazaret. Kristus adalah perantara antara Yang Illahi dengan ciptaan, sehingga agama-agama lain dapat menyebut

Kristus dengan Krishna atau Budha”, Harold Coward, Pluralisme, hlm. 83; bandingkan pula Knitter yang berpendapat bahwa

“keillahian sungguh-sungguh ada dalam Yesus, namun dapat ditemukan mengatasi Yesus”, Paul F. Knitter, Menggugat

Arogansi Kekristenan. Hlm. 85 32 Bandingkan dengan pendapat Kniiter bahwa “misteri Allah tidaklah sederhana tetapi plural”, Paul F. Knitter, Menggugat

Arogansi Kekristenan. Hlm. 86 33 Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 564

72

Bertolak dari teks II Kor 5:18-21, sekalipun Rasul Paulus menyatakan bahwa

perdamaian, pembenaran, dan penebusan itu berasal dari Allah dan berlaku bagi manusia dna

dunia, namun ia tidak mengingkari bahwa melalui kematian Kristus-lah Allah menyatakan

semuanya itu kepadanya. Rasul Paulus mengimani bahwa dirinya beroleh pendamaian,

pembenaran, dan penebusan adalah melalui penghayatan iman terhadap Yesus Kristus.

Dengan kata lain, bagi Rasul Paulus Yesus Kristus adalah pernyataan Allah satu-satunya.

Namun, ia pun juga tidak memungkiri bahwa pendamaian yang dinyatakan Allah melalui

Kristus tersebut ditujukan untuk semua orang, bahkan dunia. Pola kristologi Rasul Paulus

tersebut agaknya diikuti oleh beberapa teolog lainnya. Seperti halnya dengan Karl Rahner,

sebagaimana yang dikutip oleh Harold Coward, di mana ia agaknya lebih terbuka dengan

tetap menegaskan keeksklusifan dan universalitas Kristus di samping sekaligus menghormati

kehendak Allah untuk menyelamatkan yang sifatnya universal.34

Sekalipun Rahner

menekankan universalitas keselamatan dari Allah (untuk semua orang bahkan dunia), namun

ia tetap mempertahankan bahwa secara historis keselamatan hadir dalam peristiwa Yesus

Kristus.35

Bandingkan pula dengan pendapatnya Knitter, yang walaupun ia mengusulkan

meninjau kembali keunikan Yesus Kristus namun ia – di sisi lain – tetap menegaskan

keunikan Yesus Kristus.36

Tampaknya para teolog tersebut, sekalipun mengarahkan diri pada

keterbukaan terhadap agama lain, namun di sisi lain mereka tetap mempertahankan Kristus,

sebagaimana yang mereka imani di mana Allah menyatakan keselamatan atau pendamaian

melalui diri-Nya. Mengapa orang Kristen perlu mempertahankan iman terhadap Kristus di

dalam keterbukaannya terhadap agama lain?

Mempertahankan iman terhadap Kristus bukan berarti tertutup dan menolak

kebenaran dalam agama lain. Merumuskan kembali pemahaman terhadap diri Yesus

(kristologi), bukan berarti mengalihkan pusat iman pada Allah dengan mengesampingkan

bahwa dalam iman Kristen Allah menyatakan diri-Nya melalui Yesus Kristus. Iman terhadap

Yesus Kristus adalah tetap bahkan harus ada dalam diri umat Kristen, namun kristologi-lah

34 Harold Coward, Pluralisme, hlm. 73 35 Harold Coward, Pluralisme, hlm. 75 36 Knitter mengartikan “unik” bukan dalam artian sesuatu yang dimiliki seseorang yang membedakannya dari yang lain. Menurut

Knitter, “keunikan Yesus dan Injil ialah apa yang tanpa itu Yesus tidak lagi bertindak atau berbicara dengan cara sebagaimana

Ia digambarkan dalam Perjanjian Baru, apa yang tanpa itu kita tidak lagi mempunyai Injil yang autentik, yang lengkap”, lihat

Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 169. Berdasarkan hal tersebut, bisa dikatakan bahwa Knitter

sebenarnya mengajak untu meninjau kembali dan meneguhkan, bukan untuk menyangkal.

73

yang senantiasa harus berkembang agar Yesus bisa senantiasa dihadirkan sepanjang masa

dan dalam setiap konteks.37

Pluralisme tidak identik dengan Relativisme yang menganggap

semua agama sama saja dan mengesampingkan keunikan masing-masing. Namun, pluralisme

itu mengakui dan menghargai kebenaran yang terdapat di dalam semua agama, di mana ada

kerelaan untuk saling belajar satu sama lain demi pencarian kebenaran yang sejati.38

Bagi

umat Kristen, Yesus Kristus adalah kebenaran mutlak. Bagi umat Kristen, Yesus Kristus

adalah satu-satunya pernyataan Allah dan jalan keselamatan. Tetapi, keyakinan ini tidak

harus membuat orang Kristen menutup diri dan merendahkan kebenaran yang diyakini oleh

agama lain, namun seyogyanya mau belajar dari umat lain demi memperkaya imannya.39

Dalam merumuskan ulang kristologi, umat Kristen perlu menjaga imannya terhadap

Yesus. Knitter mengatakan bahwa dalam tiap-tiap agama ada faktor atau hal-hal yang tak

ternegosiasikan dan masalah tersebut bagi umat Kristen menyangkut tentang – keunikan –

Yesus Kristus. Hal-hal yang tak ternegosiasikan tersebut ialah:

Di dalam Yesus, Allah telah melakukan sesuatu yang sangat khusus, sesuatu yang belum

pernah dilakukan, dan tidak akan dilakukan, di mana pun.

Karena sesuatu yang khusus ini, Yesus mungkin memiliki kesamaan dengan para tokoh

lain, namun Ia tetap berbeda, berbeda tanpa bisa dikurangi. Perbedaan ini harus

dipelihara.

Sesuatu yang khusus dilakukan Allah di dalam Yesus itu penting – sangat penting –

bukan hanya bagi umat Kristiani, tetapi juga bagi semua orang.40

37 Bandingkan dengan pendapatnya Gerrit, di mana ia membedakan antara teologi dan iman dalam bingkai menjaga “kemurnian

iman”. Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi, dan Bermasyarakat (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. 2007). Hlm.

172 38 Bandingkan dengan pendapat Wyanto, “Pluralisme agama itu sendiri mengasumsikan bahwa kebenaran sejati itu memang

tidak ada, semuanya relatif. Yang menjadi masalah bukanlah ada atau tidaknya standar kebenaran sejati yang berlaku bagi

semuanya, tetapi adalah semua agama memiliki unsur kebenaran – semuanya patut saling belajar/mendengar, dan janganlah

terlalu cepat mengklaim bahwa padanya ada kebenaran sejati yang sempurna. Kebenaran sejati itu masih harus dicari

bersama”, lihat M. W. Wyanto, Diktat (Pengantar) Teologi Agama-agama, UKDW, 2009. Hlm. 7. Dengan demikian,

pluralisme agama tidak hanya bertujuan untuk saling menghargai saja, namun juga saling belajar demi memperkaya iman

masing-masing. 39 Bandingkan dengan pendapatnya Rahner yang dikutip oleh Knitter, bahwa komitmen iman memerlukan suatu norma yang

pasti (kepastian) dari Allah dan bagi umat Kristen hal itu terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Lebih lanjut lagi Knitter

mengatakan bahwa komitmen religius mengisyaratkan adanya keyakinan bahwa Allah telah benar-benar memanggil seseorang

kepada Kristus, bukan karena ini adalah satu-satunya panggilan yang Allah berikan kepada manusia. Paul F. Knitter,

Pengantar Teologi Agama-agama, hlm. 124-125. 40 Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, hlm. 121-122

74

Yesus Kristus adalah penyataan Allah kepada manusia, namun hal itu bukan berarti

menyamakan Yesus dengan tokoh-tokoh illahi dalam agama lain atau penyataan Allah yang

lain. Semua agama pastilah mempunyai keunikannya masing-masing dan hal itu tidak perlu

dijadikan sama/seragam atau dihilangkan. Yesus Kristus unik, namun unik di sini bukanlah

dalam artian lebih daripada yang lain. Knitter menafsirkan kembali keunikan Yesus sebagai

berikut: “Dia bukan kebenaran Allah yang total, definitif, tidak tertandingi, tetapi Dia

membawa a universal, decisive, indispensable truth (suatu warta yang universal,

menentukan, sangat perlu)”.41

Sekalipun demikian, bukan berarti Knitter tidak menganggap

Yesus unik.42

Yesus tetap unik, namun keunikannya bersifat relasional. Dalam arti tidak

berdiri sendiri, melainkan dengan yang lain. Bukan keunikan individual yang

mengesampingkan dan mengabaikan yang lain.43

Selain menegaskan kembali keunikan Yesus yang relasional, Knitter juga

mengusulkan kristologi sakramental. Sakramen, satu kata yang bagi umat kristiani berarti

“simbol”, memang sangat berpengaruh karena ada sesuatu di dalamnya dan bisa dirasakan

yang memang benar ada atau sudah ada di sana, namun mungkin belum hadir atau aktif di

dalam hidup sebagaimana seharusnya. Umat kristiani agaknya sudah memahami Yesus

sebagai sakramen, karena mereka selalu merasa bahwa Yesus mewujudkan, menyatakan, dan

memampukan mereka merasakan sesuatu yang mengubahkan kehidupan mereka. Dengan

menghayati Yesus sebagai sakramen-representatif, maka para pengikut Yesus bisa tetap

berpegang pada keyakinan tentang apa arti Yesus bagi mereka dan, sejalan dengan itu,

mengakui apa yang Allah katakan dalam agama-agama lain. Menghayati Yesus sebagai

sakramen rahmat kasih Allah dan keadilan Allah yang dipenuhi Roh tidak hanya akan

memampukan umat kristiani mengakui kehadiran Roh dalam umat beragama lain, tetapi juga

akan menuntut mereka untuk mendengarkan, belajar dari, dan karena itu terlibat dalam dialog

dengan Roh itu. Hal ini berarti bahwa umat kristiani yang yakin bahwa Firman Tuhan di

dalam Yesus itu “absolut” atau “definitif” harus, secara paradoks, mengakui bahwa

41 Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 160. “a universal”, Knitter tidak menggunakan “the” tetapi “a”,

karena menurutnya apabila orang Kristen tidak lagi bersikeras bahwa Yesus merupakan satu-satunya Sabda Allah yang

menyelamatkan, kita terbuka pada kemungkinan – iman Kristen kita dalam pewahyuan universal akan mengusulkan

probabilitas – bahwa ada pengejawantahan realitas illahi lain yang universal, menentukan, sangat perlu, di samping Yesus. 42 Bagi Knitter, keunikan seseorang ialah apa yang membuat orang itu khusus atau khas – yang tanpa hal itu, orang tersebut

bukan sebagaimana adanya, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 169 43 Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 162

75

keabsolutan atau kedefinitifan itu “membutuhkan” yang lain dan bahwa keyakinan itu bisa

demikian kalau yang lain itu didengarkan dan diajarkan. Umat kristiani memang

sesungguhnya telah menemukan kepenuhan kasih Allah yang menyelamatkan dan kuasa di

dalam Yesus Kristus, tetapi mereka tidak bisa berpendapat bahwa kepenuhan ini hanya

terdapat di dalam Yesus Kristus.44

Dengan menghayati Yesus sebagai sakramen-

representatif, umat Kristen juga dapat menghayati bahwa di dalam Yesus mereka beroleh

pendamaian. Namun mereka pun juga tidak menutup mata bahwa pendamaian Allah berlaku

bagi semua manusia, tidak hanya bagi orang Kristen saja. Dengan merumuskan ulang misi

dan pemahaman terhadap Yesus, maka orang Kristen dapat mempunyai dasar di dalam

memberitakan Yesus, dapat menjaga imannya terhadap Yesus, serta dapat menghadirkan

perdamaian – di mana Allah menyatakannya melalui Yesus Kristus – secara relevan dan

kontekstual dalam konteks keberagaman agama di Indonesia. Lalu, dengan adanya

perumusan ulang seperti di atas, bagaimanakah orang Kristen memberitakan Yesus Kristus

dalam konteks keberagaman agama di Indonesia?

c. Memberitakan Karya Yesus Kristus

Berdasarkan teks II Kor 5: 18-21, rasul Paulus ternyata lebih menekankan

pemberitaan mengenai Yesus Kristus pada karya-Nya, dibanding gelar-gelar mesianis-Nya.

Terkait dengan hal tersebut, penulis tidak membahas secara mendalam dalam Bab ini karena

hal tersebut sudah penulis paparkan dalam Bab II. Pada bagian Bab III, Penulis juga sudah

menyinggung bagaimana kesadaran Paulus akan kerasulannya yang membuat merasa

mempunyai kesadaran untuk memberitakan Injil – khususnya karya pendamaian Allah

melalui Kristus. Kesadaran untuk memberitakan karya pendamaian Allah rupanya tidak

semata-mata didasarkan atas refleksinya atas pengalaman di Damsyik, namun pemberitaan

itu dilakukan oleh Paulus supaya karya pendamaian Allah kepada manusia dapat menjadi

nyata. Allah memang sudah menyatakan karya pendamaian tersebut melalui kematian Yesus

Kristus. Namun, pendamaian itu menjadi nyata hanya ketika orang menaruh iman kepada

Yesus Kristus, selaku sang rekonsiliator. Jika tidak ada orang yang memberitakan bahwa

melalui Kristus Allah telah menyatakan karya pendamaian-Nya sehingga orang tidak

44 Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, hlm. 182-186

76

mengetahui perihal karya pendamaian Allah bagi manusia, maka karya pendamaian Allah

sulit terwujud secara nyata (terhambat). Rasul Paulus tampaknya mempunyai kesadaran

tersebut (II Kor 5: 19 “…Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami”). Oleh

karena itu, di satu sisi ia memberitakan berita pendamaian Allah kepada Jemaat di Korintus

agar mereka mengalami pendamaian dengan Allah (II Kor 5: 20). Di sisi lain, pemberitaan

tersebut dimaksudkan agar tercipta perdamaian di dalam diri jemaat Korintus itu sendiri.

Dengan kata lain, pemberitaan Paulus mengenai karya pendamaian Allah juga

mengisyaratkan adanya praksis iman dari Jemaat Korintus itu sendiri. Jika memang mereka

mengimani Kristus, yang adalah rekonsiliator dalam karya pendamaian Allah, maka sudah

selayaknya mereka mewujudnyatakan damai tersebut dalam kehidupan bersama mereka.

Lalu, bagaimana orang Kristen memberitakan karya Yesus Kristus, dalam terang misi

rekonsiliasi, dalam konteks keberagaman agama di Indonesia, agar karya pendamaian Allah

terwujud nyata?

Situasi keberagaman agama di Indonesia yang rentan terhadap konflik, tampaknya

membuat perdamaian perlu untuk diupayakan. Perkataan Hans Kung yang sering

didengungkan adalah “tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama-agama”.

Berdasarkan hal tersebut, tampaknya memang perlu ada perdamaian di antara agama-agama

terlebih dahulu agar perdamaian dunia tercipta. Dalam situasi seperti inilah, karya

pendamaian Allah bagi manusia memang perlu diberitakan. Menurut Hans Kung, “agama

merupakan sesuatu dalam diri manusia untuk dihayati, bukan sekedar konsep teknis yang

abstrak, merupakan iman yang konkret, bukan sekedar lembaga”.45

Agama memang selalu

bersangkutan dengan iman sebagai dasar hidup seseorang. Sekalipun iman terkait erat dengan

penghayatan personal dan bersifat individual, antara seseorang dengan Allah, namun iman

juga mempunyai sisi komunal di mana implikasinya bersentuhan dengan komunitas sosial.

Di dalam komunitas sosial banyak sekali konteks yang ada. Dengan konteks yang ada

tersebut, agama mengajarkan umat yang memeluknya untuk bisa menghayati kehidupan ini

di mana hal tersebut merupakan bagian dari religiusitas. Penghayatan itu bukan hanya

bersifat abstrak, melalui pemikiran atau pemahaman, tetapi juga secara konkret, melalui

45 Hans Kung, Sebuah Praksis Kehidupan dalam Bambang Subandrijo, Agama dalam Praksis (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan

Yayasan Widya Bhakti. 2003) Hlm. 1.

77

tindakan nyata. Dengan kata lain, iman tidak hanya dihayati dalam bentuk pemikiran namun

juga dalam bentuk praksis.

Jika iman terwujud dalam pemikiran maupun praksis, maka begitu pula dengan

pemberitaan mengenai Yesus Kristus. Menurut Mortimer Arias, seperti yang dikutip oleh

Bevans, “pewartaan adalah tindakan untuk mengkomunikasikan Injil tentang Yesus dan Injil

dari Yesus“. Pewartaan tidak hanya mengenai kisah hidup Yesus, melainkan juga ajaran dari

Yesus.46

Jika Allah telah mempercayakan berita pendamaian kepada rasul Paulus, maka

begitu pula halnya orang Kristen saat ini di mana Allah juga telah mempercayakan berita

pendamaian tersebut kepadanya untuk diberitakan. Bevans mengatakan bahwa “dalam dunia

pascamodern, perhatian khusus mesti dijuruskan kepada pewartaan tentang Yesus sebagai

satu-satunya penyelamat dunia sejati, walaupun ada kenyataan menyangkut keabsahan

agama-agama lain. Namun, pewartaan selalu tentang Yesus Kristus”.47

Dengan demikian,

pewartaan merupakan undangan bagi orang-orang yang percaya akan Injil dari dan tentang

Yesus guna bersama-sama menjadikan Injil itu kelihatan dan kedengaran di tengah dunia.

Pewartaan juga merupakan undangan bagi umat agama lain, di mana di dalamnya

mengandung unsur meyakinkan namun dilakukan dengan kerendahan.48

Berdasarkan hal di

atas, maka orang Kristen memang perlu memberitakan karya Yesus Kristus, yang

mendamaikan manusia dan dunia dengan Allah, bukan gelar-gelar mesianis-Nya sekalipun

itu juga penting, demi terwujudnya perdamaian, dan pemberitaan tersebut terwujud dalam

praksis dalam kehidupan bersama. Praksis itu sendiri terwujud dalam suatu dialog kehidupan.

Mengapa disebut dialog? Menurut Widi, “dalam dialog terjadi sikap saling

menghargai, karena orang berkepercayaan lain tidak dijadikan objek yang „nasibnya‟

ditentukan oleh penganut agama tertentu. Dialog itu sendiri bukan sekedar alat atau strategi

misi, melainkan dialog sebagai misi. Dialog dalam misi mempunyai tugas pokok untuk

mengarahkan kerinduan bersama manusia dalam mencari kebenaran yang penuh,

kemanusiaan yang penuh, dan tanggung jawab bersama terhadap alam semesta. Dialog

sebagai misi merupakan dialog kehidupan, karena di dalamnya mengandung sikap untuk

46 Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 608 47 Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 615 48 Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 609. Bandingkan juga pendapatnya bahwa

tujuan dari pewartaan bukanlah pertambahan anggota (kuantitas), melainkan pemenuhan Kerajaan Allah di mana karya Allah

di dalamnya tidak dapat diukur secara kuantitas, hlm. 290

78

berbagai kehidupan.49

Jika pemberitaan mengenai Yesus Kristus, dalam terang

mewujudnyatakan karya pendamaian Allah, maka seyogyanya pemberitaan tersebut juga

dilakukan secara damai, tidak menekankan superioritas diri atau agama Kristen. Oleh karena

itu, pemberitaan mengenai Yesus Kristus yang mendamaikan manusia dan dunia dengan

Allah perlu diwujudkan dalam dialog kehidupan. Pemberitaan dalam dialog kehidupan

mengartikan adanya pemberitaan secara verbal maupun tindakan, baik secara personal

maupun sebagai komunitas Kristen.50

Pertama, pemberitaan secara verbal mengenai Yesus agaknya lebih tepat jika

ditempatkan dalam dialog teologis antar iman. Hal ini dikarenakan pemberitaan secara verbal

seringkali menimbulkan masalah, kecuali dalam khotbah di Gereja. Pemberitaan secara

verbal secara biasa/sepihak – dalam konteks keberagaman agama – dapat membuat orang

beragama lain beranggapan kristenisasi. Berbeda halnya jika pemberitaan secara verbal

tersebut ditempatkan dalam suatu dialog teologis, di mana pihak lain juga diundang untuk

bisa berkomunikasi dan berbagi. Dengan adanya dialog teologis antar iman, maka berbagai

masalah teologis yang merupakan titik temu maupun titik berbeda agama-agama dapat

dibicarakan dengan terbuka atas dasar saling menghargai pandangan dan penghayatan iman

masing-masing. Dialog teologis ini juga harus diadakan secara intelektual, sehingga perasaan

curiga dan klaim-klaim yang bersifat emosional dapat dikendalikan. Dalam arti, masing-

masing pihak dapat berpikiran jernih, sehingga dapat bersedia untuk saling mendengarkan

dan berdialog.51

Dalam dialog tersebut, orang Kristen dapat memberitakan arti dan makna

pendamaian yang Allah nyatakan melalui Kristus kepada umat agama lain. Dengan

demikian, maka karya Yesus Kristus yang mendamaikan manusia dan dunia dengan Allah

dapat diberitakan kepada umat agama lain secara damai, tanpa menimbulkan suatu

kecurigaan ataupun masalah dengan pihak lain, sehingga dapat turut mewujudkan

perdamaian. Di samping itu, umat Kristen pun juga dapat belajar mengenai karya

pendamaian Allah bagi manusia dan dunia menurut penghayatan iman umat agama lain, agar

imannya sendiri akan pendamaian dapat semakin diperkaya.

49 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 123 50 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 289 51 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 294-296

79

Kedua, pemberitaan melalui tindakan, baik secara personal maupun sebagai

komunitas Kristen, juga diperlukan di samping pemberitaan secara verbal. Memberitakan

karya Yesus yang mendamaikan melalui tindakan berarti setiap tindakan orang Kristen juga

seyogyanya mencerminkan perdamaian itu sendiri. Sederhananya, jika seseorang mengimani

bahwa Kristus mendamaikan manusia dengan Allah, maka seyogyanya ia mewujudkan

perdamaian dalam kehidupannya sehari-hari. Damai diwujudkan bukan hanya dalam

komunitas sesama Kristen saja, melainkan juga dalam komunitas umum dengan masyarakat

yang berlainan agama. Memberitakan karya Yesus Kristus melalui tindakan juga berarti

menerapkan pola hidup sama seperti Dia yang telah memulihkan martabat manusia dan relasi

manusia dengan Allah. Jika di dalam karya pendamaian Kristus telah berkarya untuk

membenarkan manusia, maka seyogyanya orang Kristen tidak menganggap dirinya paling

benar dibanding yang lain. Apalagi jika sampai menghakimi dan menyalahkan sesuatu yang

dipegang sebagai kebenaran atau diimani dalam agama lain. Jika karya Kristus mengartikan

penebusan bagi seluruh manusia, maka seyogyanya orang Kristen pun juga memperlakukan

sesamanya, termasuk yang beda agama, sebagaimana orang yang ditebus (merdeka). Dalam

arti, tidak melarang, membatasi, atau bahkan mengintimidasi kebebasan orang lain dalam

beragama, baik memeluk maupun melaksanakan ibadahnya. Ketika orang Kristen

menerapkan cinta kasih, keadilan, dan perdamaian dalam hidup bersama dengan umat lain,

maka di saat itulah karya pendamaian Allah sedang dalam proses diberitakan dan nyata

dalam konteks keberagaman agama.52

Dengan demikian, tampak bahwa teks Alkitab II Kor 5: 18-21 relevan dan bahkan

dapat dijadikan dasar/acuan dalam pemberitaan Injil, khususnya dalam memberitakan Yesus

Kristus, dalam konteks keberagaman agama di Indonesia. Pemberitaan mengenai Yesus

Kristus memang seyogyanya didahului dengan perumusan ulang misi dan pemahaman akan

Yesus. Hal ini dikarenakan konteks yang berbeda mempengaruhi pola pemberitaan Yesus

Kristus secara relevan dan kontekstual. Perumusan ulang misi berikut paham-paham

mengenai diri Yesus, yang disesuaikan dengan konteks keberagaman agama, akan mampu

membawa umat Kristen terbuka terhadap agama lain, dengan tetap menyatakan kesetiaan

52 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 289

80

imannya terhadap Yesus Kristus sebagai satu-satunya penyataan Allah yang diyakininya, di

dalam sebuah pewartaan. Yesus Kristus yang diberitakan pun pada akhirnya dapat “hadir”

dan diterima, sehingga dapat meminimalisasikan kemungkinan konflik antar agama dan turut

memberikan pengaruh yang positif dalam perwujudan karya pendamaian Allah bagi manusia

dan dunia.