BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

19
61 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Landasan Perubahan Undang-Undang MD3 Pasca perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami banyak perubahan termasuk lembaga permusyawaratan/ perwakilan, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MPR, DPR, DPD, dan DPRD). Undang-undang No. 17 tahun 2014 merupakan perubahan dari Undang-undang No.27 tahun 2009 yang membahas tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Perubahan dimaksud bertujuan secara hukum mewujudkan lembaga permusyawaratan/perwakilan yang lebih demokratis, efektif, dan akuntabel. 1 Undang-Undang MD3 Nomor 27 Tahun 2009 yang mengatur keempat lembaga tersebut, pada dasarnya sudah membuat pengaturan menuju terwujudnya lembaga permusyawaratan/ perwakilan yang demokratis, efektif, dan akuntabel. Akan tetapi, sejak Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MD3 diundangkan, masih terdapat beberapa hal yang dipandang perlu untuk ditata kembali melalui penggantian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 27 1 www. www.hukumonline.com/ Konsideran Undang-undang No. 17 tahun 2014

Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

61

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Landasan Perubahan Undang-Undang MD3

Pasca perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami

banyak perubahan termasuk lembaga permusyawaratan/

perwakilan, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (MPR, DPR, DPD, dan DPRD).

Undang-undang No. 17 tahun 2014 merupakan perubahan

dari Undang-undang No.27 tahun 2009 yang membahas tentang

MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Perubahan dimaksud

bertujuan secara hukum mewujudkan lembaga

permusyawaratan/perwakilan yang lebih demokratis, efektif, dan

akuntabel.1

Undang-Undang MD3 Nomor 27 Tahun 2009 yang

mengatur keempat lembaga tersebut, pada dasarnya sudah membuat

pengaturan menuju terwujudnya lembaga permusyawaratan/

perwakilan yang demokratis, efektif, dan akuntabel. Akan tetapi,

sejak Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MD3

diundangkan, masih terdapat beberapa hal yang dipandang perlu

untuk ditata kembali melalui penggantian Undang-Undang Nomor

27 Tahun 2009. Penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 27

1 www. www.hukumonline.com/ Konsideran Undang-undang No. 17 tahun

2014

62

Tahun 2009 didasarkan pada materi muatan baru yang telah

melebihi 50% (lima puluh persen) dari substansi Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2009 tersebut.

Penggantian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

terutama dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan

ketatatanegaraan, seperti dalam pembentukan Undang-Undang

berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tentang pengujian Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, yang membatalkan

beberapa ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD dalam

proses pembentukan undang-undang. Perkembangan lainnya adalah

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 /PUU-XI/2013 tentang

Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang

mengurangi kewenangan DPR dalam pembahasan Anggaran

Pendapatan Belanja Negara (APBN).2

Di samping perkembangan sistem ketatanegaraan,

pembentukan Undang-Undang tentang MD3 dimaksudkan pula

sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja masing-masing lembaga

perwakilan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan

prinsip saling mengimbangi checks and balances, yang dilandasi

prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa

serta sekaligus meningkatkan kewibawaan dan kepercayaan

masyarakat terhadap fungsi representasi lembaga perwakilan yang

memperjuangkan aspirasi masyarakat.

2 http://makalahlengkap-kap.blogspot.co.id/2015/03/makalah-uud-md3.html,

di akses pada tanggal 5 agustus 2017, pukul 21:44 WIB

63

Sejalan dengan pemikiran di atas serta untuk mewujudkan

lembaga perwakilan rakyat yang demokratis, efektif, dan akuntabel,

Undang-Undang ini memperkuat dan memperjelas mekanisme

pelaksanaan fungsi, wewenang, dan tugas MPR, DPR, DPD, dan

DPRD seperti mekanisme pembentukan undang-undang dan

penguatan fungsi aspirasi, penguatan peran komisi sebagai ujung

tombak pelaksanaan tiga fungsi dewan yang bermitra dengan

Pemerintah, serta pentingnya penguatan sistem pendukung, baik

Sekretariat Jenderal maupun Badan Keahlian DPR.

Sementara itu perolehan kursi untuk DPR 2014-2019

sudah diketahui. Secara akumulasi, jumlah perolehan kursi Koalisis

Merah Putih (KMP) jauh lebih banyak daripada Koalisi Indonesia

Hebat (KIH). Maka KMP melihat bahwa mereka harus segera

menjalankan strategi memanfaatkan kekuatan koalisi mereka di

parlemen itu, untuk mengantisipasi jika Jokowi benar-benar

memenangi Pilpres. Dari sinilah kemudian muncul usulan untuk

mengubah tata cara pemilihan pimpinan DPR dan MPR, serta

pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya, menjadi seperti yang

sekarang termaktub di UU MD3 No.17 Tahun 2014. Hal tersbut

jelas menjadi landasan perubahan dari UUMD3 dari segi Politik,

karena pengaruh dari salah satu peta kekuasan partai politik yang

ada di pusat.

Menurut Asep Rahmatullah:

“ Perubahan MD3 harusnya konsisten. Tidak dalam hal

konteks setiap saat dilakukan perubahan berdasarkan

dasar-dasar kepentingan kelompok dan golongan. Kenapa

PDIP menjadi kelompok pemenang pada waktu itu, yang

pada waktu itu secara otomatis menjadi pimpinan DPR,

64

cuman karena dinamika politik DPR dan juga mampu

membuat sebuah peraturan artinya kemarenkan

persyaratannya dirubah. Didukung oleh fraksi, secara

dinamika politik yang terjadi adalah Demokrat tidak

melakukan sikap pilihan. Adanya di tengah. Ini mencederai

sebuah konsep persoalan secara kepercayaan yang sudah

diberikan oleh rakyat. Terhadap kepentingan kelompok

dan golongan.”3

Jika dilihat dari konteks politik, perubahan Undang-undang

tersebut mencerminkan adanya kepentingan politik pribadi atau

kelompok. Bila dilihat dari pengertian Partai Politik yaitu sebagai

sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpatisipasi dalam

proses pengelolaan negara. Namun saat ini banyak yang menganggap

dengan membentuk parpol dan merekrut banyak orang sehingga

membentuk wadah organisasi mereka yang bisa menyatukan orang-

orang yang mempunyai pikiran serupa. Dengan begitu pengaruh

mereka bisa lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan

dengan pikiran dan orientasi mereka yang bisa dikondisionalkan.

Perubahan Undang-undang MD3 No.17 tahun 2014 sudah

melalui perubahan formal materilnya. Meskipun sempat adanya

judicial review untuk meninjau ulang UUMD3 ini, namun uji materi

yang diajukan di tolak semua oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Perubahan tersebut merubah beberapa pasal dan isinya. Berikut poin

perubahan yang terjadi karena revisi UU MD3:

1. Badan Kehormatan Dewan akan diperkuat menjadi

Mahkamah Kehormatan

3 Wawancara dengan Asep Rahmatullah (Ketua DPRD Provinsi Banten

Periode 2014-2019), tanggal 8 Agustus 2017.

65

2. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) akan

ditiadakan dan digabung ke Badan Keahlian Dewan

3. Badan Anggaran (Banggar) akhirnya disetujui menjadi alat

kelengkapan tetap DPR

4. Pemilihan pimpinan dewan akan diubah, tidak lagi

berdasarkan partai pemenang kursi terbanyak di pemilu

legislatif

5. Pemanggilan dan permintaan keterangan anggota dewan yang

terlibat tindak pidana harus mendapat persetujuan presiden.

Kecuali yang bersangkutan tertangkap tangan atau diancam

dengan pidana mati atau seumur hidup.

6. Perubahan tata cara pemanggilan paksa dan penyanderaan

terhadap anggota dewan.

Di dalam perubahan Undang-undang MD3 No. 17 Tahun

2014 disebutkan dalam bagian kedelapan pasal 326 sampai 329

tentang alat Kelengkapan DPRD Provinsi, bahwa UUMD3 terbaru

tidak mengalami perubahan untuk komposisinya. Yang berbeda dari

UUMD3 sebelumnya yaitu adanya pasal yang mengatur tentang

penyidikan. Seperti yang dijelaskan pada UUMD3 No. 27 tahun

2009 pasal 340 ayat (1) yaitu: Pemanggilan dan permintaan

keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPRD provinsi yang

disangka melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan

tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

66

B. Pandangan Anggota DPRD Provinsi Banten Terhadap

Perubahan Undang- Undang MD3

Meskipun di DPRD Provinsi tidak berpengaruh terhadap

perubahan yang terjadi di Pusat namun mengenai pandangan dan

pendapat tentang Perubahan UUMD3 setiap anggota partai

memiliki pandangan yang berbeda-beda. Dari 12 Parpol yang ada di

Provinsi Banten, ada 10 Parpol yang menduduki Kursi di DPRD.

Lima diantaranya dimintai pandangan mengenai perubahan

UUMD3 No. 17 tahun 2014 yaitu Asep Rahmatullah dari PDI-P

dengan perolehan kursi sebanyak 15 dan perolehan suara 842.690,

lalu Adde Rosi dari Golkar dengan 15 kursi mendapat suara

sebayak 808.902, Ali Zamroni dari Gerindra 10 kursi dengan suara

sebanyak 576.193, Nur‟aeni dari Demokrat sebanyak 8 kursi

dengan jumlah suara 474.996 dan Muflikhah dari PPP sebanyak 8

kursi dengan perolehan suara 394.543.

Demokrasi menurut asal katanya berarti rakyat berkuasa

atau government by the people, dalam bahasa Yunani demos berarti

rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan atau berkuasa.4 Secara garis

besar dapat dikatakan bahwa demokrasi merupakan bentuk

pemerintahan dimana formulasi kebijakan, secara langsung dan

tidak langsung ditentukan oleh suara terbanyak dari masyarakat

yang memiliki hak memilih dan dipilih, melalui wadah

pembentukan suaranya dalam keadaan bebas dan tanpa paksaan.5

Indonesia menganut sistem demokrasi sehingga jika berkaca

kepada UUMD3 khususnya terkait susunan dan kedudukan

4 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 105

5 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Negara, Demokrasi dan Civil Society, h.33

67

pimpinan DPR jelas ini mencederai kontek rakyat karena secara

kebijakan politik jelas akan mempengaruhi dan menciptakan

Transaksional politik. Karena nilai reward terhadap partai politik

yang sudah berjuang di pemilu sehingga menang karena dipercaya

oleh rakyat tapi tidak jadi apa-apa.

Hal ini dipertegas oleh Asep dalam wawancaranya:

“Idealnya partai pemenang secara konstitusional

mempersentaikan konteks rakyat, memberikan

kepercayaannya sehingga otomatis menjadi pemimpin. Itu

seharusnya bukan menjadi suatu perdebatan. Cuman

karena memang di DPR RI juga ada lembaga politik yang

memang dan ia juga yang membuat peraturan Undang-

undang yang ada didalamnya sehingga apa yang menjadi

suatu buah keharusan jadi pemimpin itu bisa dirubah

dengan mengedepankan kepentingan golongan politik itu

sendiri. Seharusnya kalau mereka ingin jadi pemimpin

harus berjuang dimata rakyat. Sehingga secara langsung

menolak hasil perubahan UUMD3”.6

Dalam teori tentang partai politik dijelaskan bahwa tujuan

adanya kelompok atau partai poltik ini yaitu untuk memperoleh

kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, biasanya dengan

cara konstitusional untuk melaksanakan program tersebut. Sehingga

dalam Perubahan UUMD3 tersebut PDI-P konsisten untuk kembali

kepada UU sebelumnya atau menolak adanya perubahan UUMD3

tersebut. Mengingat Indonesia menganut sistem demokrasi.

6 Wawancara dengan Asep Rahmatullah (Ketua DPRD Provinsi Banten

Periode 2014-2019), tanggal 8 Agustus 2017.

68

Nur‟aeni dalam wawancaranya mengatakan:

“Kalau DPR di Provinsi kedudukannya sama tapi

kewenangannya berbeda beda. Kalau di pusat sebagai

pejabat negara, di Provinsi hanya sebagai penyelenggara

pemerintah. Kaitannya dengan UUMD3 yaitu sepanjang

memang Undang-undang tersebut di buat dari hasilnya

kesepakatan, apa saja bisa terjadi.”7

Jika dilihat Indonesia menganut sistem presidensial yang

kekuatan baik dari presiden atau parlemen di pusat itu sama. Produk

dan juga hasilnya yang ditentukan secara mufakat adalah

kewenangan dari DPR RI, sehingga mau tidak mau harus

dijalankan. Kecuali, di daerah diberikan kewenangan untuk

membuat produk hukum untuk bisa dijadikan aturan di daerah pasti

di dalam isinya DPRD Provinsi bisa menenntukan apasaja seperti

evaluasi atau rapat yang bekaitan tentang sesuatu hal. Sehingga

perlu sekali apabila UUMD3 ada yang mengevaluasinya, namun

selama ini tidak ada.

Nur‟aeni menjelaskan bahwa jika untuk pembelajaran

demokrasi atau politik, maka sebagai lembaga negara harus

memberikan pembelajaran yang konsisiten. Jangan bentar-bentar di

ganti yang nanti akan menyulitkan, membiaskan dan

membingungkan.

Ada dua sudut pandang yang bisa dilihat dari perubahan

UUMD3 ini, yaitu jika dilihat dari sudut pandang seorang politisi

jelas perbahan ini mengandung syarat kepentingan. Namun jika

dilihat dari sudut pandang seorang rakyat akan menimbulkan

7 Wawancara dengan Nur‟aeni (Wakil DPRD Provinsi Banten Periode 2014-

2019), tanggal 7 September 2017.

69

berbagai macam pandangan seperti tidak konsisten dan mencederai

demokrasi yang seharusnya Undang-undang berlaku tanpa

pengecualiaan. Selain itu Tidak mendidik secara demokrasi,

dampak pemilihan seperti itu menimbulkan efek money politic

sehingga munculnya korupsi.

Kaitannya tentang regulasi UU, Parlemen memiliki hak

otoritas untuk membuat, menyusun, mengendahkan UU karena

kewenangan DPR itu hampir setara dengan Presiden. Jadi, jika

produk hukum perundang-undangan tersebut atas dasar kepentingan

dan dorongan DPR yang di pusat dan hasilnya juga atas keputusan

bersama, maka harus tetap dijalankan.

Setelah suasana yang panas itu mereda dan mereka yang

sudah duduk di posisinya masing masing, diharapkan tidak ada elit

politik a atau b. Sekarang saatnya mereka sama-sama merangkul,

mendengarkan aspirasi-aspirasi rakyatnya.

Berbeda dengan Ali Zamroni:

“Koalisi-koalisi yang ada di pusat itu tidak seiring sejalan.

Contonya pemilu di tingkat Kab/Kota, koalisi diatas bisa

saja saat mengusung kepala daerah akan pecah, sehingga

ini bukan merupakan koalisi permanen. Hal ini lebih

melihat kepentingan partai poltik tersebut dalam sebuah

wilayah, dalam politik ini sah-sah saja.”8

Secara sifat politik itu dinamis, sehingga sewaktu-waktu

dapat berubah. Pada saat RUUMD3 ada dua kekuatan besar KMP

dan KIH. KMP yang menang maka dibuatlah UUMD3 khusus

8 Wawancara dengan Ali Zamroni (Wakil DPRD Provinsi Banten Periode

2014-2019), tanggal 7 September 2017.

70

untuk di pusat posisi ketua DPRnya itu dipilih. Ada perbedaan

signifikan, tapi itu tidak ada yang salah. Sedangkan DPRD tingkat I

dan II itu berdasarkan urutan partai pemenang pemilu di wilayah

tersebut. Perbedaan tersebut di karenakan suasana kebijakan politik

pada saat diputuskan berdasarkan instruksi dari pusat, jadi DPR

menganggap biarlah pertarungan ini hanya terjadi di pusat saja.

Ada Positif dan negatifnya jika kita perhatikan pada

perubahan UUMD3 ini. Partai pemenang itu identiknya partai calon

presiden yang menang, ketika partai pemenang itu duduk sebagai

ketua DPR baik itu Pusat/Provinsi/Kab/Kota akan lebih

memuluskan koordinasi antar pemerintah legislatif dan eksekutif.

Negatifnya, dikhawatirkan akan ada penyalahgunaan kekuasaan

pemerintah eksskutif dan legislatif berada di satu partai, sehingga

tidak ada check and balances dan hal itu tidak ada kontrol,

semacam memuluskan keinginan dari eksekutif dan parlemen.

Berdasarkan politik yang sehat pemilihan ketua itu harus

dipilih, namun hal itu apakah menjamin bahwa ketika dipilih bisa

melakukan pengawasan yang maksimal. Kedua, kalaupun

ditetapkan tinggal menguatkan fungsi legislasi, penganggaran dan

pengawasannya.

Ali menjelaskan bahwa pemilihan berdasarkan voting itu

mencedarai kedaulatan rakyat, hal itu tidak menjadi ukuran. Karena

dalam posisi apapun mereka adalah wakil rakyat, tidak harus

menjadi ketua dan wakil-wakilnya. Ketika kebijakan tersebut tidak

pro rakyat, rakyat bisa mengajukan gugatan atau protes. Politik itu

dinamis, bagaimana si pemenang ini bisa mengkosolidasikan

71

seluruh partai, kalau bisa maka akan muncul kekuatan absolut

sehingga harus ada oposisi yang selalu mengkritisinya.

Menurut Adde Rosi:

“Adanya revisi terhadap UU MD3 ini, mengenai apa yang

terjadi didalamnya, itu semua merupakan bagain dari hasil

dinamika demokrasi yang ada di DPR RI melalui saluran

permusyawarahan yang memang diatur didalamnya. Jadi

bukan sesuatu yang tabuh bagi DPR untuk melakukan

perubahan, ketika melihat suatu aturan atau undang-

undang memang sudah tidak sejalan dengan alam dan

waktunya.” 9

Bila DPRD provinsi mengikuti UUMD3, maka konstalasi

politik yang ada di parlemen akan lebih berwarna seperti yang ada

di pusat. Kepentingan antara parlemen yang ada di pusat dan di

daerah memiliki kewengan yang berbeda-beda sehingga tidak bisa

di samaratakan. Perubahan tersebut merupakan strategi politik,

dimana politik itu adalah suatu cara bagaimana kita meraih peluang,

pucuk kepeminpinan, kepercayaan masyarakat dan sekeliling agar

tujuan kita bisa tercapai.

Adde menjelaskan menjadi anggota dewan perwakilan

rakyat itu adalah amanah rakyat, perubahan yang terjadi di pusat itu

bentuk dari kepentingan politik. Kalau sudah membawa nama

daerah, tidak melihat daerah mana yang kita wakili, walaupun ada

dapilnya. Seluruh Indonesia harus terwakili kalau kita menjadi

anggota dewan pusat. Jadi, walaupun yang menjadi ketuanya bukan

9 Wawancara dengan Adde Rosi (Wakil DPRD Provinsi Banten Periode

2014-2019), tanggal 11 September 2017.

72

dari partai kursi terbanyak, hal itu tidak menyalahi mandat rakyat,

mereka tetap menjalankan amanat rakyat, mendengar aspirasi

rakyat. Mekanisme yang ditempuh sama.

Muflikhah menegaskan:

“Ada atau tidaknya revisi UU MD3 adalah aturan yang

harus saya jalankan. Sebagai pelaksana dari adanya sebuah

revisi Undang-undang tersebut siap melaksanakan aturan

yang memang di keluarkan oleh pusat, bukan untuk

melakukan perlawanan atau diskusi berkaitan adanya revisi

tersebut.” 10

Ada dua pendekatan yang bisa kita lihat dengan adanya

perubahan Undang-undang ini. Pertama, secara personality adanya

perubahan UUMD3 dipengaruhi faktor kepentingan untuk

menempati posisi tententu. Artinya, seorang politisi akan

diuntungkan karena hasil perjuangan politik politisi akan terbayar

ketika dia terpilih menjadi anggota DPR dan mendapat penghargaan

sebagai orang yang terpilih menjadi unsur pimpinan DPR.

Kedua, dengan adanya perubahan ini akan memperkuat

posisi politik dari anggota atau kelompok politik tersebut sehingga

untuk melakukan sebuah perubahan aturan akan lebih muda.

Namun, belum tentu partai pemenang pemilu atau partai pemilik

suara kursi mayoritas, juga memiliki kader dengan suara terbanyak.

Secara Politik, perubahan itu akan menghasilkan dampak,

baik langsung maupun tidak langsung terhadap perorangan ataupun

10

Wawancara dengan Muflikhah (Wakil DPRD Provinsi Banten Periode

2014-2019), tanggal 16 Juli 2017.

73

kelembagaan dalam hal ini anggota DPRD maupun Partai

pengusungnya.

Jika dianalisis dari jawaban kelima pimpinan DPRD, ada

yang setuju dengan adanya perubahan undang-undang MD3

tersebut dan adapula yang menolaknya. Berikut klasifikasinya:

Tabel 6

Klasifikasi pendapat pimpinan DPRD tentang perubahan UUMD3

NO. Nama

Pimpinan

Nama

Partai Menolak Menerima Alasan

1. Asep

Rahmatullah

PDI-P Mencederai kontek

demokrasi rakyat. Sebab

rakyat sudah memilih siapa

yang ingin merka jadikan

pemimpinnya. Namun tidak

terlaksana karena adanya

hasil voting.

2. Adde Rosi Golkar Walaupun yang menjadi

ketua DPRD bukan dari

partai pemenang terbanyak,

hal itu tidak menyalahi

mandat rakyat. Mereka

yang terpilih tetap

menjalankan amanat rakyat

dan menjalankan tugas dan

fungsi nantinya.

3. Ali Zamroni Gerindra Jika ada pendapat yang

mengatakan bahwa

pemilihan berdasarkan

voting itu mencedarai

kedaulatan rakyat, hal itu

tidak menjadi ukuran.

Karena dalam posisi

apapun mereka adalah

wakil rakyat, tidak harus

menjadi ketua dan wakil-

wakilnya. Ketika kebijakan

74

tersebut tidak pro rakyat,

rakyat bisa mengajukan

gugatan atau protes. Sebab

politik itu dinamis.

4. Muflikhah PPP Ada atau tidaknya revisi

UU MD3 sebagai anggota

DPRD dan juga sebagai

lembaga pelaksana dari

adanya sebuah revisi

Undang-undang tersebut

harus siap melaksanakan

aturan yang memang di

keluarkan oleh pusat.

5. Nur‟aeni Demokrat Jika untuk pembelajaran

demokrasi atau politik,

perubahan UUMD3 akan

menimbulkan berbagai

macam pandangan seperti

Tidak konsisten dan

mencederai demokrasi

yang seharusnya Undang-

undang berlaku tanpa

pengecualiaan. Selain itu

Tidak mendidik secara

demokrasi dan dampak

pemilihan seperti itu

menimbulkan efek money

politic sehingga munculnya

korupsi.

Meskipun tidak berpengaruh pada susunan dan

kedudukan pimpinan dewan di DPRD Provinsi Banten, namun

pandangan anggota dewan DPRD Provinsi Banten dari kelima

partai yang di wawancarai memiliki persamaan pandangan

mengenai perubahan UUMD3 tersebut baik dari partai-partai yang

menolak atau menerima perubahnnya.

75

C. Pandangan Islam tentang Pemilihan Pimpinan

Keberadaan seorang pemimpin sangatlah mutlak diperlukan

dalam sebuah negara, karena pemimpin merupakan faktor penentu

dalam menjalankan perintahan yang diembannya, dan keberadaan

pemimpin tidak terlepas dari syarat-syarat yang menunjangnya dan

tidak terlepas dari dukungan umat atau masyarakat wilayah.

Pengangkatan atau pemilihan kepala negara sangat penting

demi terorganisirnya sebuah perintah, karena tidak akan tercipta sebuah

negara tanpa adanya seorang atau diangkatnya seorang pemimpin.

Berangkat dari permasalahn tersebut, banyak para ulama yang berbeda

pendapat dalam proses pemilihan atau pengangkatan seorang kepala

negara.

Dari beberapa pendapat pendapat para ulama seperti Al-

Baqilani, Al-Mawardi, Ibnu Hazm, Golongan Asy‟ari, al-kamal bin

Hamam dan al-Kamal bin Abi Syarif dan Al-„Iezy dan Sayyid Syarif

al-Jurjani tentang cara pengangkatan atau pemilihan kepala negara

mengatakan pada dasarnya keberadaan seorang pemimpin layak

diperlukan melalui proses pemilihan dan pengangkatan tetapi ada

metode-metode tertentu dalam cara pengangkatan. Cara-cara tersebut

meliputi; pembaiatan atau penunjukan langsung kepala negara, tetapi

banyak silang pendapat diantara mereka tentang adanya nash rasulullah

atas terpilihnya pemimpin setelah beliau wafat.11

Dalam Cara pemilihan kepala negara dikenal ahlul halli wal

aqdi, mereka yang berwenang mengikat dan melepaskan yakni para

ulama, cendekiawan dan pemuka masyarakat atau disebut juga ahl al

11

B. Syafuri, Pemikiran Politik dalam Islam, (Serang, FSEI Press, 2010),

h.68

76

iktiya. Tugasnya antara lain memilih khalifah, imam, kepala negara

secara langsung.

Jika kita mengamati secara seksama sifat dasar pembentukan

masyarakat islam pada periode awal, akan kita dapatkan bahwa para

khilafah telah menerapkan prinsip-prinsip bermusyawarah secara benar

dengan menyelenggarakan pemilihan “Ahlus Syura”, merupakan wakil-

wakil rakyat.

Dalam Hadits panjang dari „Irbath bin Sariah ra, Sabda

Rasulullah saw,

“....maka wajib atas kalian berpegangan pada sunnahku

dan sunnah para al-khulafa’ ar-rasyidin setelahku. Gigitlah

(peganglah)ia dengan gigigeraham; dan hati-hati kalian dari

perkara-perkara yang baru sebabsetiap perkara yang baru itu

adalah bid’ah...”.12

Dalam sitem Demokrasi yang dilakukan di Indonesia dalam

pemilihan Kepala negara atau Presiden, pemungutan suara atau biasa

disebut dengan voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau

organisasi-organisasi baik dalam sebuah negara maupun dalam sebuah

perkumpulan biasa, di dalam mengambil sebuah sikap atau dalam

memilih seorang pimpinan dan lain-lain. Sistem ini dirasa baik, karena

semua permasalahan diselesaikan dengan cara mengambil suara

mayoritas atau dengan pemungutan suara itu. Dengan pemungutan

suara secara otomatis siapa saja / masyarakat umum bisa dilibatkan di

sini. Padahal kan banyak diantara masyarakat yang kurang paham. Dan

dalam memilih seorang pemimpin umat pun cara itulah yang

12 Rapung Samuddin, Fiqh Demokrasi: Menguak Kekeliruan Haramnya

Umat Terlibat Pemilu dan Politik, h. 90

77

digunakan, walaupun orang itu tidak tahu apa dan bagaimana kriteria

seorang pemimpin umat menurut konsep Islam.

Pemungutan suara atau voting boleh digunakan dalam

pengambilan sebuah sikap atau keputusan, tapi tidak untuk menentukan

pemimpin umat. Sebab, ini menyangkut kehidupan berbangsa dan

bernegara yang cakupannya sangat luas. Voting dibolehkan dalam

pengambilan sebuah keputusan atau sikap, karena pada zaman Nabi

Muhammad SAW banyak sekali bentuk praktek voting di zaman nabi

Muhammad SAW, yang intinya memang menggunakan jumlah suara

sebagai penentu dalam pengambilan keputusan. 13

Sedangkan dalam Islam metode pemungutan suara ini tidak

dibenarkan (penentuan seorang pemimpin ummat), yang digunakan

adalah metode musyawarah (syuro) dan mengajarkan bahwa kedaulatan

itu bukan berada di tangan manusia, tetapi berada di tangan Allah SWT

dan Rasul-Nya dan berpegang teguh kepada Al-Qur‟an dan Hadits.

Voting memang bukan jalan satu-satunya dalam musyawarah. Boleh

dibilang voting itu hanya jalan ke luar terakhir dari sebuah deadlock

musyawarah.

Sebelum voting diambil, seharusnya ada brainstorming, atau

ibda’ur-ra’yi. Dari sana akan dibahas dan diperhitungkan secara eksak

faktor keuntungan dan kerugiannya. Tentu dengan mengaitkan dengan

semua faktor yang ada.

Secara umum demokrasi dan syura berbeda dari segi konsep,

asal dan aplikasinya dalam kehidupan bernegara. Namun, jika dikaji

lebih dalam akan tersikap beberapa sisi yang nampak mirip pada kedua

13

Abdul Ghaffar Aziz, islam Politik: Pro dan Kontra, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1993), h.124

78

aturan tersebut. Sebagimana diungkapkan oleh Syaikh Abdul Hamid al-

Jum‟ah dalam risalahnya al-ahzab fi al-islam, diantaranya:

a. Pencalonan kepala negara dan proses pemilihannya berasal dari

rakyat.

b. Menolak seluruh bentuk kekuasaan mutlak, diktator dan

theokrasi (menurut pemahaman Barat).

c. Pengakuan akan (kebolehan) berbilangnya partai-partai.

Kendati untuk syura harus sesuai dengan aturan syariat

sedangkan demokrasi berjalan sesuai dengan hukum demokrasi.

d. Penyerahan kebebasan umum apalagi urusan as-siyasah

(pengaturan) dibawah peraturan dan undang-undang umum.

e. Hak bagi rakyat untuk memilih dan menentukan wakil mereka

untuk menyalurkan aspirasi.

f. Tidak diakuinya perkara-perkara yang dapat mendatangi fitnah

(bagi negara) atau revolusi; demikian pula cara-cara kekerasan

hukum yang dilakukan pihak penguasa.

g. Ada keterlibatan antara penguasa dan rakyat dalam persoalan

(pengawasan) hukum.

Adapun sisi-sisi perbedaan anatar kedua aturan diatas, sebagai

berikut:

a. Sumber dan sandaran demokrasi rakyat, sedangkan sumber dari

pijakan syura adalah wahyu ilahi.

b. Kedaulatan dan kekuasaan menurut demokrasi berada di tangan

rakyat, sedangkan syura, kedaulatan milik hukum syariat dan

kekuasaan di serahkan pada rakyat.

c. Aturan dan undang-undang demokrasi tergantung pikiran

manusia (rakyat) yang rentan salah dan berubah, sedangkan

79

syura berpijak pada hukum syariat, yakni al-Quran, as-sunnah,

ijma‟, qiyas dan sebagainya.

d. Kebebasan dalam pengertian demokrasi (kebanyakan) sifatnya

tidak terbatas melainkan jika mengganggu kebebasan orang

lain, sedangkan kebebasan dalam sistem syura tidak boleh

keluar dari batas norma-norma kemuliaan serta akhlak islami.

e. Hukum demokrasi dalam artian benar atau salah tegak atas

pijakan suara mayoritas secara mutlak, sedangkan hukum dalam

syura tegak atas dalil-dalil syariat, dan tidak mutlak pada suara

mayoritas.14

14 Rapung Samuddin, Fiqh Demokrasi: Menguak Kekeliruan Haramnya

Umat Terlibat Pemilu dan Politik, h. 172