BAB II TEORI TENTANG PENDIDIKAN INTELEKTUAL ANAK ...

48
19 BAB II TEORI TENTANG PENDIDIKAN INTELEKTUAL ANAK A. Pengertian Pendidikan Intelektual Anak Pendidikan secara etimologi berasal dari kata didik yang berarti proses pengubahan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pendidikan dan latihan. Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie yag berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini dikenal dengan kata tarbiyah dengan kata kerjanya rabba-yurobbi-tarbiyatan yang berarti “mengasuh, mendidik, dan memelihara”. (Abdul Rachman Shaleh, 2005 : 1-2) Pendidikan dalam arti luas mencakup seluruh proses hidup dan segenap bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal, non formal maupun informal, sampai dengan suatu taraf kedewasaan tertentu. Pengertian pendidikan menurut para ahli, J.J. Rousseau arti pendidikan merupakan memberi kita pembekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkan pada waktu dewasa. Sedangkan arti pendidikan menurut Driyarkara yaitu pemanusaian manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf insani. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada bab I tentang ketentuan umum Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Adapun pendidikan secara terminology, banyak pakar yang memberikan pengertian secara berbeda, antara lain Langeveld mengatakan,

Transcript of BAB II TEORI TENTANG PENDIDIKAN INTELEKTUAL ANAK ...

19

BAB II

TEORI TENTANG PENDIDIKAN INTELEKTUAL ANAK

A. Pengertian Pendidikan Intelektual Anak

Pendidikan secara etimologi berasal dari kata didik yang berarti proses

pengubahan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha

mendewasakan manusia melalui pendidikan dan latihan. Istilah pendidikan ini

semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie yag berarti bimbingan

yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam

bahasa Inggris dengan kata education yang berarti pengembangan atau

bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini dikenal dengan kata tarbiyah

dengan kata kerjanya rabba-yurobbi-tarbiyatan yang berarti “mengasuh,

mendidik, dan memelihara”. (Abdul Rachman Shaleh, 2005 : 1-2)

Pendidikan dalam arti luas mencakup seluruh proses hidup dan

segenap bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal,

non formal maupun informal, sampai dengan suatu taraf kedewasaan tertentu.

Pengertian pendidikan menurut para ahli, J.J. Rousseau arti pendidikan

merupakan memberi kita pembekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak,

akan tetapi kita membutuhkan pada waktu dewasa. Sedangkan arti pendidikan

menurut Driyarkara yaitu pemanusaian manusia muda atau pengangkatan

manusia muda ke taraf insani.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, pada bab I tentang ketentuan umum Pasal 1 ayat (1)

disebutkan bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa dan Negara.

Adapun pendidikan secara terminology, banyak pakar yang

memberikan pengertian secara berbeda, antara lain Langeveld mengatakan,

20

“Pendidikan adalah suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa

kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan. (Burhanudin

Salam, 1997 : 3-4) Sementara itu, John Dewey mengatakan, “Pendidikan

adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan yang fundamental secara

intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia. Dalam konteks

yang sama Ki Hajar Dewantara mengatakan, “Pendidikan adalah menuntut

segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan

sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan

yang setinggi-tingginya.

Dari pengertian-pengertian pendidikan di atas dapat disimpulkan

bahwa pendidikan adalah usaha secara sadar yang dilakukan seseorang

dengan sengaja untuk menyiapkan peserta didik menuju kedewasaan,

berkecakapan tinggi, berkepribadian atau berakhlak mulia dan kecerdasan

berpikir melalui bimbingan dan latihan. Orang tersebut tunduk dan patuh

kepada Tuhan dengan cara menjalankan ajaran-ajarannya. Agama juga

membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dilaksanakan akan menjadi

utang bagi para penganutnya. Paham kewajiban dan kepatuhan ini selanjutnya

membawa pula pada paham adanya balasan. Yang menjalankan kewajiban

dan yang patuh akan mendapatkan balasan yang baik dari Tuhan, sedangkan

bagi yang tidak menjalankan kewajiban dan yang tidak patuh akan mendapat

balasan yang tidak menyenangkan.

Definisi intelektual adalah akal budi atau inteligensi yang berarti

kemampuan untuk meletakkan hubungan-hubungan dari proses berpikir.

Selanjutnya dikatakan bahwa orang yang intelligent adalah orang yang dapat

menyelesaikan persoalan dalam tempo yang lebih singkat, memahami

masalah lebih cepat dan cermat, serta mampu bertindak cepat. (Mohammad

Asrori, 2009 : 48)

Menurut kamus Webster New World Dictionary of the American

Language, dalam (Sunarto dan Hartono, 2006 : 99) istilah intellect berarti:

21

1) Kecakapan untuk berpikir, mengamati atau mengerti; kecakapan untuk

mengamati hubungan-hubungan, dan sebagainya. Dengan demikian

kecakapan berbeda dari kemauan dan perasaan.

2) Kecakapan mental yang besar,sangat intellegence, dan

3) Pikiran atau inteligensi.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian

intelektual yaitu akal budi atau inteligensi yang berarti kemampuan untuk

meletakkan hubungan dari proses berpikir, kemampuan untuk melakukan

pemikiran yang bersifat abstrak atau tidak bisa di lihat (abstraksi), serta

berpikir logis dan cepat sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri

terhadap situasi baru. Orang yang intelligent adalah orang yang dapat

menyelesaikan persoalan dalam waktu yang lebih singkat, memahami

masalahnya lebih cepat dan cermat serta mampu bertindak cepat.

Istilah intelek berasal dari bahasa Inggris intellect yang menurut

Chaplin (1981) diartikan sebagai: pertama, kognitif, proses berpikir, daya

menghubungkan, kemampuan menilai, dan kemampuan mempertimbangkan;

dan kedua, kemampuan mental atau inteligensi. Menurut Mahfudin

Shalahudin (1989) dinyatakan bahwa “intelek” adalah akal budi atau

inteligensi yang berarti kemampuan untuk meletakkan hubungan dari proses

berpikir. Selanjutnya, dikatakan bahwa orang yang intelligent adalah orang

yang dapat menyelesaikan persoalan dalam waktu yang lebih singkat,

memahami masalahnya lebih cepat dan cermat, serta mampu bertindak cepat.

Istilah inteligensi, semula berasal dari bahasa Latin intelligere yang

berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (Bimo Walgito,

1981). Menurut William Stern, salah seorang pelopor dalam penelitian

inteligensi, mengatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan untuk

menggunakan secara tepat alat-alat bantu dan pikiran guna menyesuaikan diri

terhadap tuntutan-tuntutan baru (Kartini Kartono, 1984). Sedangkan Leis

Hedison Terman berpendapat bahwa inteligensi adalah kesanggupan untuk

22

belajar secara abstrak (Patty F, 182). Di sini Terman membedakan antara

concrete ability, yaitu kemampuan yang berhubungan dengan hal-hal yang

bersifat konkret dan abstract ability, yaitu kemampuan yang berhubugan

dengan hal-hal yang bersifat abstrak. Orang dikatakan inteligen, menurut

Terman, jika orang tersebut mampu berpikir abstrak dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian

intelek tidak berbeda dengan pengertian inteligensi yang memiliki arti

kemampuan untuk melakukan abstraksi, serta berpikir logis dan cepat

sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru.

Jean Piaget mendefiniskan intellect adalah akal budi berdasarkan

aspek-aspek kognitifnya, khususnya proses berpikir yang lebih tinggi (Bybee

dan Sund, 1982). Sedangkan intelligence atau inteligensi menurut Jean Piaget

diartikan sama dengan kecerdasan, yaitu seluruh kemampuan berpikir dan

bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang kompleks seperti

berpikir, mempertimbangkan, mengaalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan

menyelesaikan persoalan-persoalan. Jean Piaget mengatakan bahwa

inteligensi adalah seluruh kemungkinan koordinasi yang memberi struktur

kepada tingkah laku suatu organisme sebagai adaptasi mental terhadap situasi

baru. Dalam arti sempit, inteligensi seringkali diartikan sebagai inteligensi

operasional, termasuk pula tahapan-tahapan yang sejak dari periode

sensorimotoris sampai dengan operasional formal. (Mohammad Ali dan

Mohammad Asrori, 2008 : 27)

Bahwasanya pengertian intelektual sama halnya dengan pengertian

inteligensi yang artinya kemampuan anak berpikir secara logis atau dapat

diterima akal sehingga intelektual anak dapat berkembangan dan dapat

menyesuaikan dirinya dengan situasi-situasi yang baru.

Istilah intelek berasal dari bahasa Inggris intellect yang diartikan

pertama yaitu sebagai kognitif. Zulrizka Iskandar (2012 : 23-24), kognitif ini

merupakan proses sentral atau proses mental yang mengantarai peristiwa-

23

peristiwa yang terjadi di luar diri seseorang dengan yang terjadi di dalam diri

manusia. Festinger pada tahun 1957 mengidentifikasi elemen kognitif sebagai

kognisi, dan didefinisikan olehnya sebagai sesuatu yang diketahui oleh

seseorang mengenai dirinya sendiri, tingkah lakunya, dan lingkungan di

sekitar. Kognitif merupakan pengetahuan yang dimiliki seseorang, dan

prosesnya, maka di dalam kognitif tersebut akan memiliki struktur. Struktur

kognitif sebagai pengorganisasian atribut yang dimiliki individu dan

digunakan untuk mengidentifikasi dan membedakan suatu objek atau

kejadian. Struktur kognitif sangat berperan dalam proses belajar, persepsi,

dan proses psikologis lainnya.

Psikologi kognitif merupakan sebuah cabang ilmu yang relatif masih

baru, hanya baru sedikit melebihi setengah abad usianya. Setelah dasawarsa

pertama pada tahun 1900-an, aliran behaviorisme mendominasi cara berpikir

para psikolog eksperimen. Para pengikut aliran behaviorisme seperti B.F.

Skinner yang percaya bahwa pandangan yang melihat pikiran manusia seperti

sebuah kotak hitam sebaiknya menjadi pembahasan bagi para filsuf,

sementara perilaku yang dapat dilihat adalah fokus yang lebih sesuai untuk

psikologi. Pada periode 1950-an, situasi mulai berubah. Di satu sisi,

kemunculan komputer menyediakan cara baru untuk memahami cara kerja

pikiran manusia. Bila kita dapat “melihat” apa yang dilakukan komputer-

komputer secara internal, maka mungkin kita dapat menggunakan hasil

pengamatan ini untuk mempelajari proses-proses mental manusia. Demikian

adanya, ilmu komputer dan gagasan mengenai kecerdasan buatan (artificial

intelligence-AI) merupakan motivator-motivator utama dalam kemunculan

ilmu tentang pikiran manusia. (Laura A. King, 2010 : 04)

Beberapa pengertian intelektual atau inteligensi menurut para ahli,

diantaranya: (Syamsu Yusuf LN, 2012 : 106)

1) C.P. Chaplin (1975) mengartikan intelektual atau inteligensi itu sebagai

kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru

secara cepat dan efektif.

24

2) Anita E. Woolfolk (1995) mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama,

intelektual atau inteligensi itu meliputi tiga pengertian, yaitu (1)

kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh;

dan (3) kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru

atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya, Woolfolk mengemukakan

inteligensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk

memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan

masalah dan beradaptasi dengan lingkungan.

3) Binet (Sumadi S., 1984) menyatakan bahwa sifat hakikat intelektual atau

inteligensi itu ada tiga macam, yaitu (a) kecerdasan untuk menetapkan dan

mempertahankan (memperjuangkan) tujuan tertentu. Semakin cerdas

seseorang, akan semakin cakaplah dia membuat tujuan sendiri,

mempunyai inisiatif sendiri tidak menunggu perintah saja; (b) kemampuan

untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan tersebut;

(c) kemampuan untuk melakukan otokritik, kemampuan untuk belajar dari

kesalahan yang telah dibuatnya.

4) Raymon Cattel dkk. (Kimble dkk., 1980) mengklasifikasikan intelektual

atau inteligensi ke dalam dua kategori, yaitu (a) “Fluid Inteligence”, yaitu

tipe kemampuan analisis kognitif yang relatif tidak dipengaruhi oleh

pengalaman belajar sebelumnya; (b) “Crystallized Inteligence”, yaitu

keterampilan-keterampilan atau kemampuan nalar (berpikir) yang

dipengaruhi oleh pengalaman belajar sebelumnya.

Jadi, intelektual adalah kemampuan untuk memperoleh berbagai

informasi berfikir abstrak, menalar, serta bertindak secara efisien dan efektif.

Intelektual merupakan kemampuan yang dibawa individu sejak lahir.

Intelektual akan berkembang bila lingkungan memungkinkan dan kesempatan

tersedia.

Menurut Ramayulis (2004 : 94), kecerdasan intelektual (intuitif), yaitu

kecerdasan qalbu yang berkaitan dengan penerimaan dan pembenaran

pengetahuan yang bersifat intuitif-ilabiah seperti wahyu (untuk para rasul dan

nabi) dan ilham atau firasat (untuk manusia bisa yang salih). Adanya sifat

25

intuitif-ilabiah ini sebagai pembeda dengan kecerdasan intelektual yang

ditimbulkan oleh akal pikiran yang bersifat irasional-insaniah.

Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan

proses kognitif seperti berpikir, daya menghubungkan dan menilai atau

mempertimbangkan sesuatu. Atau, kecerdasan yang berhubungan dengan

strategi pemecahan masalah dengan menggunakan logika. Melalui tes IQ

(intelligence quotient) tingkat kecerdasan intelektual seseorang dapat

dibandingkan dengan orang lain. Dengan kehadiran konsep baru tentang

kecerdasan maka IQ tidak lagi bermakna intelligence quotient melainkan

intelektual quotient. Kecerdasan intelektual ini dari segi kuantitas tidak bisa

dikembangkan karena ia merupakan pembawaan sejak lahir namun

kualitasnya dapat dikembangkan. (Ramayulis, 2004 : 86)

Menurut Kohnstam kualitas kecerdasan intelektual dapat

dikembangkan dengan beberapa syarat, yaitu di antaranya:

1. Bahwa pengembangan tersebut hanya sampai batas kemampuan, dan tidak

dapat melebihinya. Setiap orang mempunyai batas kemampuan yang

berbeda; dan

2. Bahwa pengembangan tersebut tergantung kepada cara berpikir yang

metodis. (Ramayulis, 2004 : 86)

Berdasarkan kedua syarat kualitas kecerdasan intelektual dapat berkembang

setiap orangnya hanya sampai pada batas kemampuan anak dengan berbagai

perbedaan cara berpikir anak tersebut.

Tinggi rendahnya kecerdasan intelektual seseorang dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu:

a) Pembawaan, yaitu kesanggupan yang dibawa semenjak lahir dan setiap

orang tidak ada yang sama;

b) Kematangan, yaitu saat munculnya daya intelek yang siap untuk

dikembangkan mencapai puncaknya (masa peka);

c) Lingkungan, yaitu faktor luar yang mempengaruhi intelegensi pada masa

perkembangannya; dan

d) Minat, yaitu motor penggerak dalam perkembangan intelegensi.

26

Kecerdasan intelektual anak disini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor

pembawaan, kematangan, lingkungan, dan minat agar kecerdasan intelektual

pada anak dapat berkembang secara baik.

Melalui tes IQ (Intelegence Quotient) tingkat kecerdasan seseorang

dapat ditentukan. IQ dapat diperoleh melalui pembagian usia mental (mental

age) dan usia kronologis (chronological age) lalu diperlakukan dengan angka

100 rumusnya sebagai berikut: (Ramayulis, 2004 : 87)

Menurut Desmita (2011 : 53), bukunya yang berjudul “Psikologi

Perkembangan Peserta Didik” mengemukakan bahwasannya Inteligensi

adalah salah satu kemampuan mental, pikiran atau intelektual dan merupakan

bagian dari proses-proses kognitif pada tingkatan yang lebih tinggi. Secara

umum inteligensi dapat dipahami sebagai kemampuan untuk beradaptasi

dengan situasi yang baru secara cepat dan efektif, kemampuan untuk

menggunakan konsep yang abstrak secara efektif, dan kemampuan untuk

memahami hubungan dan mempelajarinya dengan cepat.

Dalam buku mereka yang berjudul Human Ability, Spearman dan

Wynn Jones mengemukakan adanya suatu konsepsi lama mengenai suatu

kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia dengan

gagasan abstrak yang universal, untuk dijadikan sumber tunggal pengetahuan

sejati. Kekuatan demikian dalam bahasa Yunani disebut nous, sedangkan

penggunaan kekuatan termaksud disebut noesis. Kemudian kedua istilah

tersebut dalam bahasa Latin dikenal sebagai intellectus dan intelligentia. Pada

gilirannya, dalam bahasa Inggris masing-masing diterjemahkan sebagai

intellect dan intelligence. Ternyata, transisi bahasa tersebut membawa pula

perubahan makna. Intelligence, yang dalam bahasa Indonesia kita sebut

inteligensi, semula berarti penggunaan kekuatan intelektual secara nyata,

27

akan tetapi kemudian diartikan sebagai suatu kekuatan lain (Spearman dan

Wynn Jones, 1951).

Berbagai definisi yang dirumuskan oleh para ahli memang

menampakkan adanya pergeseran arah seperti disebutkan oleh Spearman dan

Jones, namun selalu mengandung pengertian bahwa inteligensi merupakan

kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu. (Saifudin Azwar, 1996 :

1-2) Masyarakat umum mengenal inteligensi sebagai istilah yang

menggambarkan kecerdasan, kepintaran, ataupun kemampuan untuk

memecahkan problem yang dihadapi. Gambaran tentang anak yang

berinteligensi tinggi adalah gambaran mengenai siswa yang pintar, siswa

yang selalu naik kelas dengan nilai baik, atau siswa yang jempolan di

kelasnya. Bahkan gambaran ini meluas pada citra fisik, yaitu citra anak yang

wajahnya bersih, berpakaian rapi, matanya bersinar, atau berkacamata.

Sebaliknya, gambaran anak yang berinteligensi rendah membawa citra

seseorang yang lamban berfikir, sulit mengerti, prestasi belajarnya rendah,

dan mulut lebih banyak menganga disertai tatapan mata bingung.

Pandangan awam sebagaimana digambarkan di atas, walaupun tidak

memberikan arti yang jelas tentang inteligensi namun pada umumnya tidak

berbeda jauh dari makna inteligensi sebagaimana yang dimaksudkan oleh

para ahli. Apapun definisinya, makna inteligensi memang mendeskripsikan

kepintaran dan kebodohan. Pada umumnya, para ahli menerima pengertian

akan inteligensi sebagaimana istilah tersebut digunakan oleh orang awam.

Definisi pendidikan intelektual ialah pendidikan yang bermaksud

mengembangkan daya-daya pikir (kecerdasan) anak-anak dan menambah

pengetahuan anak-anak. Pendidikan intelektual itu tidak hanya menambah

pengetahuan anak-anak saja. Pendidikan intelektual juga merupakan syarat

atau dasar untuk melaksanakan macam-macam atau segi-segi pendidikan

yang lain, seperti pendidikan ketuhanan, pendidikan kesusilaan, pendidikan

keindahan, dan pendidikan kemasyarakatan. Pendidikan intelektual terutama

28

bermaksud mengembangkan kecerdasan anak-anak dan menambah

pengetahuannya.

Tugas pendidikan intelektual mempunyai dua tugas yang penting,

yaitu:

1) Pembentukan Fungsional

Yang dimaksud dengan pendidikan fungsional atau pembentukan formal

ialah mengembangkan fungsi-fungsi jiwa, seperti pengamatan, ingatan,

fantasi, berpikir, kemauan, dan sebagainya. Dalam pendidikan intelektual

dikatakan pembentukan formal jika yang diutamakan ialah

mengembangkan fungsi-fungsi jiwa. Fungsi-fungsi jiwa anak itu dapat

dilatih dan dikembangkan, umpamanya dengan membiasakan anak-anak

memusatkan perhatian kepada suatu pelajaran, belajar mengamati dengan

baik dan teliti, melatih ingatan dan fantasinya dan yang terpenting ialah

melatih fungsi berpikirnya.

2) Pembentukan Material

Pendidikan intelektual disebut pembentukan material jika di dalamnya

bermaksud menambah ilmu pengetahuan atau bahan-bahan (materi) yang

dibutuhkan di dalam kehidupan manusia seperti tanggapan-tanggapan,

pengertian-pengertian, pengetahuan-pengetahuan siap, dan keterampilan-

keterampilan yang penting bagi kehidupan. Pembentukan material dapat

kita bagi menjadi dua bagian yaitu:

a. Menambah pengetahuan: seperti dalam mengajarkan sejarah, ilmu

bumi, ilmu hayat, bahasa, matematika, fisika, dan sebagainya.

b. Melatih keterampilan: seperti dalam pelajaran membaca, menulis,

menggambar, pekerjaan tangan, dan lain sebagainya.

(https://www.scribd.com/doc/22558726/Pendidikan-Intelektual-Hadits-

Tarbawi.diunduh pada tanggal 16 Agustus 2016 pada 13.46 wib.)

Menurut Jhon Locke yang pendapatnya dikutip oleh Diah Ayuningsih

(2011 : 11) adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-

rangsangan yang berasal dari lingkungan. Augustinus yang dipandang sebagai

peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak tidaklah

29

sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk

menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan

pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih

mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan

yang memaksa.

Anak sebagai orang yang memiliki pikiran, perasaan, sikap dan minat

berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasan. Haditono (1992 :

13) berpendapat bahwa anak merupakan makhluk yang membutuhkan

pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, selain itu

anak bagian dari keluarga dan keluarga memberi kesempatan kepada sang

anak untuk belajar tingkah laku yang penting dalam kehidupan bersama.

Sementara itu ada yang berpendapat anak adalah makhluk yang sedang dalam

tarap perkembangan yang mempunyai perasaan, pikiran, kehendak sendiri,

yang kesemuanya itu menjadi totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur

yang berlainan pada tiap fase-fase perkembangannya.

Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa anak

merupakan makhluk sosial yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang,

dan tempat bagi perkembangannya, anak juga mempunyai perasaan, pikiran

dan kehendak tersendiri yang merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta

struktur yang berlainan pada tiap fase-fase perkembangan pada masa kanak-

kanak (anak).

Menurut Desmita dalam buku yang berjudul Psikologi Perkembangan

(2012 : 153), bahwasannya pada masa pertengahan dan akhir anak-anak

merupakan kelanjutan dalam masa awal anak-anak yang telah dipaparkan

dalam Bab 5. Periode ini berlangsung dari usia 6 tahun hingga tiba saatnya

individu menjadi matang secara seksual. Permulaan masa pertengahan dan

akhir anak-anak ini ditandai dengan masuknya anak ke kelas satu sekolah

dasar. Bagi sebagian besar anak, hal ini merupakan perubahan besar dalam

pola kehidupannya. Sebab, masuk kelas satu merupakan peristiwa penting

30

bagi anak yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap, nilai,

dan perilaku.

Sampai dengan usia sekitar 6 tahun terlihat badan anak bagian atas

berkembang lebih lambat daripada bagian bawah. Anggota-anggota badan

relative masih pendek, kepala dan perut relative masih besar. Selama masa

akhir anak-anak, tinggi bertumbuh sekitar 5 hingga 6% dan berat bertambah

sekitar 10% setiap tahun. Pada usia 6 tahun tinggi rata-rata anak adalah 46

inci dengan berat 22,5 kg. Kemudian pada usia 12 tahun tinggi anak

mencapai 60 inci dan berat 80 hingga 42,5 kg (Mussen, Conger & Kagan,

1969). Jadi, pada masa ini peningkatan berat badan anak lebih banyak

daripada panjang badannya. Pertumbuhan fisik selama ini, di samping

memberikan kemampuan bagi anak-anak untuk berpartisipasi dalam berbagai

aktivitas baru, tetapi juga dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan

dan kesulitan-kesulitan secara fisik dan psikologis bagi mereka.

Psikologi anak (child psychology) ini secara khusus mempelajari

bagian perkembangan pada anak yang dimulai dari perkembangan masa

konsepsi, prenatal serta kelahiran seorang bayi sampai usia 12 tahun. Dalam

konsep ilmu psikologis anak, yang dimaksud dengan anak ialah mereka yang

sedang berada dalam perkembangan masa prenatal, lahir, bayi, atitama (anak

tiga tahun pertama), altama (anak lima tahun pertama), dan anak tengah (usia

6-12 tahun). Secara khusus Psikologi Anak dapat pula dibagi menjadi tiga

bagian yaitu, sebagai berikut:

1) Psikologi perkembangan anak tiga tahun pertama (psikologi atitama),

2) Psikologi perkembangan anak lima tahun pertama (psikologi altama),

3) Psikologi perkembangan anak (psikologi anak usia sekolah 6-12 tahun).

Ciri khusus perkembangan anak ialah perkembangan aspek-aspek psikis yang

bersifat progresif, cepat dan mudah diamati secara kuantitatif maupun

kualitatif. (Agoes Dariyo, 2011 : 8)

Berdasarkan uraian diatas, bahwasannya untuk mempelajari

bagaimana perkembangan anak yang dimulai dari perkembangan masa

31

konsepsi, prenatal serta kelahiran seorang bayi sampai usia 12 tahun. Dapat

berkembang secara aspek psikis dan dapat diamati secara kuantitatif dan

kualitatif.

Dalam membahas tujuan pendidikan anak, tentu tidak dapat lepas dari

tujuan pendidikan islam yaitu untuk mencapai tujuan hidup muslim.

Sebagaimana ungkapan Chabib Thoha bahwa tujuan pendidikan, secara

umum adalah untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan

kesadaran manusia sebagai makhluk Allah SWT. Agar mereka tumbuh dan

berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-

Nya. (Chabib Thoha, 1996 : 100)

B. Perkembangan Pendidikan Intelektual

Perkembangan manusia sepanjang hidup akan mengalami siklus dari

sejak masa janin di kandungan hingga lahir, tumbuh menjadi bayi, anak-anak,

remaja, dewasa dan terakhir pada fase kematian. Untuk dapat menjalani

dengan baik, agar seorang individu mencapai kebahagiaan lahir batin di dunia

dan akhirat, diperlukan pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan

orang tua maupun pendidikan sekolah formal akan mampu mempengaruhi

perkembangan kepribadian yang baik. Demikian pula, perkembangan fisik,

kognitif maupun psikososial manusia sejak lahir hingga dewasa akan dapat

dijadikan dasar-dasar penerapan strategi pengajaran dan pendidikan agar

mampu memaksimalkan potensinya dengan baik. (Agoes Dariyo, 2011 : 11)

Berdasarkan uraian diatas, pendidikan formal maupun non formal itu

sangatlah penting bagi seorang individu atau seorang anak di usia yang sudah

memasuki dunia pendidikan, agar perkembangan fisik dan kognitif mendjadi

dasar penerapan strategi pengajaran dan pendidikan yang mampu

memaksimalkan potensi dengan baik dan seorang individu atau anak ini akan

mencapai kebahagiaan lahir batin di dunia dan akhirat.

32

Pemerintah maupun semua warga masyarakat sangat memperhatikan

pendidikan formal, namun seringkali kurikulum pembelajaran di sekolah

tidak sesuai dengan perkembangan anak. Beban materi pelajaran terlalu

banyak dan sulit dicerna oleh anak-anak. Akibatnya anak menjadi stress, dan

kurang bermain. Padahal dunia anak adalah dunia bermain. Oleh karena itu,

seorang psikolog perkembangan akan dapat berperan memberi pemikiran dan

pandangan secara ilmiah untuk membuat dan merancang pendidikan anak

yang manusiawi. Artinya beban pelajaran disesuaikan dengan tahap

perkembangan anak. (Agoes Dariyo, 2011 : 16)

Bahwasannya kemampuan intelektual anak di usia 6-12 tahun ini

tidaklah sama dengan orang dewasa, karena dalam kemampuan anak di usia

6-12 tahun sangatlah terbatas. Dilihat pada zaman sekarang dunia pendidikan

khususnya di sekolah seringkali kurikulum pembelajarannya tidak sesuai

dengan perkembangan anak, sehingga anak tersebut mudah stress dan

kurangnya bermain. Disini seorang psikolog perkembangan akan berperan

untuk memberikan pandangan secara ilmiah untuk merancang pendidikan

anak yang manusiawi, artinya beban mata pelajaran di sekolah dapat

disesuaikan dengan kemampuan perkembangan intelektual anak.

Perkembangan intelek sering juga dikenal didunia psikologi maupun

pendidikan dengan istilah perkembangan kognitif. Berbicara mengenai

perkembangan intelek atau kognitif, seringkali tidak dapat dipisahkan dari

seorang pelopor psikologi kognitif yang bernama Jean Piaget. Dan memang

merupakan seorang ahli psikologi yang memberikan sumbangan sangat besar

dalam psikologi kognitif atau berpikir. Hasil pemikiran dan temuan-temuan

penelitian Jean Piaget yang dilakukan secara serius terhadap tiga orang

anaknya secara longitudinal bertahun-tahun, sampai saat ini intelek atau

perkembangan berpikir manusia, Piaget-lah ahli psikologi yang memelopori

pembahasan berpikir manusia dengan menyusun tahapan-tahapan atau

tingkatan kemampuan berpikir manusia sehingga dapat diketahui kemampuan

33

berpikir manusia sesuai dengan perkembangan umur mereka. (Mohammad

Ali dan Mohammad Asrori, 2008 : 26)

Perkembangan kognitif manusia merupakan proses psikologi yang di

dalamnya melibatkan proses memperoleh, menyusun, dan menggunakan

pengetahuan, serta kegiatan mental seperti berpikir, menimbang, mengamati,

mengingat, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan memecahkan

persoalan yang berlangsung melalui interaksi dengan lingkungan.

Jean Piaget tidak sependapat dengan pandangan yang mengatakan

bahwa kecerdasan adalah faktor bawaan, yang berarti manusia tinggal

menerima perbedaan-perbedaan yang ada. Pandangan seperti ini dianggap

akan membawa pengaruh kurang positif atau bahkan negatif terhadap proses

pendidikan dan upaya pengembangan kemampuan berpikir anak.

Berdasarkan penelitiannya yang dilakukan secara serius dengan cara

mengobservasi secara partisipan dalam jangka waktu lama, Jean Piaget

mendapati bahwa anak pada umur tertentu mengalami kesulitan untuk

mengerti hal-hal yang sederhana. Misalnya, seorang anak kecil ternyata

mengalami kesulitan untuk memahami mengapa air yang banyaknya sama

apabila dituangkan dari gelas pendek besar ke gelas tinggi kecil ternyata

hasilnya sama dan tidak tumpah.

Perkembangan kehidupan intelektual pada abad pertengahan

setidaknya didominasi oleh tiga kekuatan besar, yaitu Latin, Yunani, dan

Islam. Ketiga kekuatan tersebut berlangsung secara parsial dan saling

mencurigai antara satu dengan yang lain. Terutama ketika Kristen Yunani dan

Kristen Latin berada dalam hegemoni kekuatan dogmatik kepausan,

menyebabkannya mengalami stagnan. Kedua kelompok ini telah memisahkan

diri dari warisan Helenistik. Hanya beberapa daerah cendekiawan Nestorian

mampu membebaskan belenggu tersebut, seperti cendikiawan Nestorian di

wilayah Timur dan di wilayah kekuasaan Islam, Sisilia dan Spanyol.

Sementara Islam, melalui motivasi normatifnya telah menggugah umat untuk

34

senantiasa mengembangkan kebudayaannya. Pluralisme inilah yang

menyebabkan Islam lebih inklusif dalam menerima kebudayaan di luar Islam.

Transformasi ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan para

cendekiawan muslim abad pertengahan diadopsi, serta bahkan kemudian

menjadi bahan rujukan utama cendekiawan Eropa era sesudahnya. Dengan

usaha genius para cendekiawan muslim tersebut, sesungguhnya Eropa (Barat)

dalam mengembangkan peradabannya. Telah berhutang budi yang demikian

besar terhadap warisan ilmu pengetahuan cendekiawan muslim abad

pertengahan. Melalui persentuhan ekspansi yang dilakukan umat Islam, baik

dari masa Rasulullah sampai pada masa pemerintahan Bani Abasiah, telah

menyebabkan terjadinya persentuhan antara kebudayaan Islam dengan

kebudayaan lokal. Persentuhan inilah yang kemudian telah membentuk

sebuah paradigma baru bagi pengembangan intelektualitas dan peradaban

umat Islam. (Samsul Nizar, 2005 : 20-21)

Minat yang demikian besar untuk mempelajari Neo Platonisme dan

Aristotelianisme dengan pewarnaan normatif Islam telah menjadi

cendekiawan muslim mampu menguasai dinamika intelektual dan

kebudayaan dunia abad pertengahan. Persentuhan kebudayaan Islam dengan

kebudayaan klasik, paling tidak terjadi melalui jalur penterjemahan karya-

karya klasik. Karya-karya klasik tersebut kemudian diulas oleh para

cendekiawan muslim dengan menggunakan kaidah-kaidah normatif Islam. Di

sini terlihat begitu inklusifitas Islam terhadap kebudayaan lokal yang telah

memiliki peradaban tinggi. Proses ini telah terlaksana sejak masa

pemerintahan Bani Umayah dan mendapatkan momentumnya pada masa

pemerintahan Bani Abasiah. Dinamika intelektualitas yang diperlihatkan

umat Islam waktu itu bukan saja secara kolektif atau karena faktor penguasa

belaka, akan tetapi juga tumbuh secara individual. Kesemua inilah yang

kemudian membuat pertumbuhan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dunia

Islam menjadi demikian maju dan bahkan menjadi mercusuar kebudayaan

dunia. (Samsul Nizar, 2005 : 21-22)

35

Menurut Sarlito W. Sarwono (2011 : 88), mengatakan bahwasannya

hampir semua orang tua di Indonesia mengharapkan anaknya pandai di

sekolah. Mereka yang mampu ingin anaknya menjadi sarjana. Seakan-akan

dengan modal kepandaian seseorang dijamin akan berhasil dalam hidupnya.

Kepandaian sering kali diartikan angka rapor yang tinggi, apalagi

kalau bisa masuk “ranking” 10 besar. Tetapi, baik-buruknya angka rapor

tidak selalu disebabkan oleh kepandaian (yang dalam bahasa psikologinya

dinamakan, inteligensi), karena hal tersebut tergantung juga pada berbagai

faktor lain, seperti cara guru mengajar, lingkungan sekolah, hasrat belajar

anak, kreativitas, dan lain-lain. Bahkan, dalam bidang-bidang lain di luar

sekolah pun prestasi seseorang selalu merupakan hasil perpaduan antara

berbagai faktor termasuk inteligensi. Inteligensi itu sendiri oleh David

Wechsler (1958) didefinisikan sebagai “keseluruhan kemampuan individu

untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai

lingkungan secara efektif”.

Jadi, menurut Sarlito W. Sarwono (2011 : 89), pada dasarnya

inteligensi itu memang mengandung unsur pikiran atau rasio. Makin banyak

unsur rasio yang harus digunakan dalam suatu tindakan atau tingkah laku,

makin berinteligensi tingkah laku tersebut. Kita ambil contoh, seorang anak

kecil berusia 4 tahun sedang bermain di taman bunga. Ia melihat bunga-bunga

berwarna-warni, lari mengerja kupu-kupu, mencium bunga-bunga itu, dan

sebagainya. Tindakan-tindakan itu masih berkadar inteligensi yang rendah

karena unsur rasionya juga rendah. Tetapi anak yang lebih besar, misalnya

sudah berusia 7 tahun, ia menghitung berapa macam bunga yang ada di taman

itu dan apa saja warnanya. Tindakan ini sudah lebih berinteligensi daripada

tindakan anak kecil tadi. Anak yang sudah SMP mungkin sudah dapat

menyebutkan warna bunga-bunga itu satu per satu dan tergolong rumpun apa

berikut nama Latinnya. Sedangkan, seorang insinyur pertanian mampu

mengadakan perkawinan silang antara bunga-bunga tersebut untuk

mendapatkan warna-warna bunga tertentu atau untuk mendapat jenis bunga

36

yang ukurannya sangat besar atau jumlahnya lebih banyak dalam areal tanam

yang terbatas, dan sebagainya. Jelaslah bahwa tindakan-tindakan yang

terakhir ini adalah yang paling berinteligensi di antara tindakan sebelumnya.

Karakteristik anak usia 6-12 tahun menurut Desmita (2012 : 35-36),

bahwasannya usia rata-rata anak Indonesia saat masuk sekolah dasar 6 tahun

dan selesai pada usia 12 tahun. Kalau mengacu pada pembagian tahapan

perkembangan anak, berarti anak usia sekolah berada dalam dua masa

perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah (6-9 tahun), dan masa kanak-

kanak akhir (10-12 tahun). Anak-anak usia sekolah ini memiliki karakteristik

yang berbeda dengan anak-anak yang usianya lebih muda. Ia senang bermain,

senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan

atau melakukan sesuatu secara langsung. Oleh sebab itu, guru hendaknya

mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur permainan,

mengusahakan siswa berpindah atau bergerak, bekerja atau belajar dalam

kelompok, serta memberikan kesempatan untuk terlibat langsung dalam

pembelajaran. Menurut Havighurst, tugas perkembangan anak usia 6-12

tahun (sekolah dasar) meliputi:

1) Menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permaianan dan

aktivitas fisik.

2) Membina hidup sehat.

3) Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok.

4) Belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin.

5) Belajar membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi

dalam masyarakat.

6) Memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berpikir efektif.

7) Mengembangkan kata hati, moral dan nilai-nilai.

8) Mencapai kemandirian pribadi.

Tahap perkembangan intelektual (antara umur 6/7 tahun–12/13

tahun), masa perkembangan intelektual ini meliputi masa siap sekolah, dan

37

masa anak bersekolah (umur 7-12 tahun). Beberapa ciri pribadi anak masa

kini antara lain sebagai berikut: (Djaali, 2014 : 27-28)

1) Kritis dan realistis;

2) Banyak ingin tahu dan suka belajar;

3) Ada perhatian terhadap hal-hal yang praktis dan konkret dalam kehidupan

sehari-hari;

4) Mulai timbul minat terhadap bidang-bidang pelajaran tertentu;

5) Sampai umur 11 tahun anak suka minta bantuan kepada orang dewasa

dalam menyelesaikan tugas belajar;

6) Mendambakan angka raport yang tinggi tanpa memikirkan tingkat prestasi

belajarnya;

7) Setelah umur 11 tahun, anak mulai ingin bekerja sendiri dalam

menyelesaikan tugas belajarnya;

8) Anak suka berkelompok dan memilih teman sebaya dalam bermain dan

belajar;

9) Masa Pueral (umur 11/12 tahun). Beberapa ciri pribadi anak masa pueral

antara lain mempunyai harga diri yang kuat, ingin berkuasa dan menjadi

juara, tingkah lakunya sering berorientasi kepada orang lain, suka

bersaing, suka bergaya tetapi penakut, dan suka memerankan tokoh besar.

Menurut Syamsu Yusuf (2012 : 178-179), pada usia sekolah dasar (6-

12 tahun) anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual, atau

melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau

kemampuan kognitif (seperti membaca, menulis, dan menghitung). Sebelum

masa ini, yaitu masa prasekolah, daya pikir anak masih bersifat imajinatif,

berangan-angan (berkhayal), sedangkan pada usia SD daya pikirnya sudah

berkembang kearah berpikir konkret dan rasional (dapat diterima akal). Piaget

menanamkannya sebagai masa operasi konkret, masa berakhirnya berpikir

khayal dan mulai berpikir konkret (berkaitan dengan dunia nyata). Periode ini

ditandai dengan tiga kemampuan atau kecakapan baru, yaitu

mengklasifikasikan (mengelompokkan), menyusun, atau mengasosiasikan

38

(menghubungkan atau menghitung) angka-angka atau bilangan. Kemampuan

yang berkaitan dengan perhitungan (angka), seperti menambah, mengurangi,

mengalikan, dan membagi. Di samping itu, pada akhir masa ini anak sudah

memiliki kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang

sederhana.

Pertumbuhan pada masa sekolah dasar, permulaan pendidikan formal

bukan hanya menambah kesempatan untuk meningkatkan perkembangan

sosialnya, tetapi juga akan menimbulkan kemampuan untuk menyesuaikan

diri, sehingga dapat mendorong untuk bertingkah laku sesuai dengan yang

diinginkan oleh masyarakat. Salah satu jalan pemecahannya terletak kepada

bimbingan guru yang terampil dan yang simpatik. Anak yang berumur antara

6-12 tahun biasanya memperlihatkan penyesuaian diri yang luar biasa

terhadap lingkungan sosialnya yang selalu berubah. Pada umur 6 tahun anak

tersebut mengalami kebingungan karena taraf kesadaran sosial dan

kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan pola sosial yang diterima di

sekolah berbeda dengan pengalaman yang diterima sebelumnya seperti

tingkat perkembangan fisiknya, tingkat ketajaman mental, dan tipenya.

(Djaali, 2014 : 54)

Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi

dasar diberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola

pikir atau daya nalarnya. Kepada anak sudah dapat diberikan dasar-dasar

keilmuan, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Di samping itu, kepada

anak diberikan juga pengetahuan-pengetahuan tentang manusia, hewan,

lingkungan alam sekitar dan sebagainya. Untuk mengembangkan daya

nalarnya dengan melatih anak untuk mengungkapkan pendapat, gagasan atau

penilaiannya terhadap berbagai hal, baik yang dialaminya maupun peristiwa

yang terjadi di lingkungannya. Misalnya, yang berkaitan dengan materi

pelajaran, tata tertib sekolah, pergaulan yang baik dengan teman sebaya atau

orang lain dan sebagainya. Dalam rangka mengembangkan kemampuan anak,

maka sekolahlah dalam hal ini guru seyogianya memberikan kesempatan

kepada anak untuk mengemukakan pertanyaan, memberikan komentar atau

39

pendapatnya tentang materi pelajaran yang dibacanya atau dijelaskan guru,

membuat karangan, menyusun laporan (hasil study tour atau diskusi

kelompok).

Adapun tugas-tugas perkembangan pada masa sekolah usia 6-12 tahun

yaitu, sebagai berikut. (Syamsu Yusuf, 2012 : 69-71)

a. Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan.

Melalui pertumbuhan fisik dan otak, anak belajar dan berlari semakin

stabil, makin mantap dan cepat. Pada masa sekolah anak sudah sampai

pada taraf penguasaan otot, sehingga sudah dapat berbaris, melakukan

senam pagi dan permainan-permainan ringan, seperti sepak bola, loncat

tali, berenang, dan sebagainya.

b. Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai

makhluk biologis. Hakikat tugas ini ialah (1) mengembangkan kebiasaan

untuk memelihara badan, meliputi kebersihan, keselamatan diri, dan

kesehatan; (2) mengembangkan sikap positif terhadap jenis kelaminnya

(pria atau wanita) dan juga menerima dirinya (baik rupa wajahnya maupun

postur tubuhnya) secara positif.

c. Belajar bergaul dengan teman-teman sebaya. Yakni belajar menyesuaikan

diri dengan lingkungan dan situasi yang baru serta teman-teman

sebayanya. Pergaulan anak di sekolah atau teman sebayanya mungkin

diwarnai perasaan senang, karena secara kebetulan temannya itu berbudi

baik, tetapi mungkin juga diwarnai oleh perasaan baik senang karena

teman sepermainannya suka mengganggu atau nakal.

d. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya. Apabila

anak sudah masuk sekolah, perbedaan jenis kelamin akan semakin tampak.

Dari segi permainan umpamanya akan tampak bahwa anak laki-laki tidak

akan memperbolehkan anak perempuan mengikuti permainannya yang

khas laki-laki, seperti main kelereng, main bola, dan layang-layang.

e. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung.

Salah satu sebab masa usia 6-12 tahun disebut masa sekolah karena

pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohaninya sudah cukup matang

40

untuk menerima pengajaran. Untuk dapat hidup dalam masyarakat yang

berbudaya, paling sedikit anak harus tamat sekolah dasar (SD), karena dari

sekolah dasar anak sudah memperoleh keterampilan dasar dalam

membaca, menulis, dan berhitung.

f. Belajar mengembangkan konsep sehari-hari. Apabila kita telah melihat

sesuatu, mendengar, mengecap, mencium, dan mengalami, tinggallah

suatu ingatan pada kita. Ingatan mengenai pengamatan yang telah lalu itu

disebut konsep (tanggapan). Demikianlah kita mempunyai tanggapan

tentang ayah, ibu, rumah, pakaian, buku, sekolah, dan juga mengenai

gerak-gerik yang dilakukan, seperti berbicara, berjalan, berenang, dan

menulis. Bertambahnya pengalaman akan menambah perbendaharaan

konsep pada anak. Tak perlu diuraikan lagi bahwa dalam kehidupan

sangat banyak konsep yang dibutuhkan. Semakin bertambah pengetahuan,

semakin bertambah pula konsep yang diperoleh. Tugas sekolah yaitu

menanamkan konsep-konsep yang jelas dan benar. Konsep-konsep itu

meliputi kaidah-kaidah atau ajaran agama (moral), ilmu pengetahuan, adat

istiadat, dan sebagainya. Untuk mengembangkan tugas perkembangan

anak ini, maka guru dalam mendidik atau mengajar di sekolah sebaiknya

memberikan bimbingan kepada anak untuk:

1) Banyak melihat, mendengar, dan mengalami sebanyak-banyaknya

tentang sesuatu yang bermanfaat untuk peningkatan ilmu dan kehidupan

bermasyarakat.

2) Banyak membaca buku-buku atau media cetak lainnya. Semakin

dipahami konsep-konsep tersebut, semakin mudah untuk

memperbincangkannya dan semakin mudah pula bagi anak untuk

mempergunakannya pada waktu berpikir.

g. Mengembangakan kata hati. Hakikat tugas ini ialah mengembangkan

sikap dan perasaan yang berhubungan dengan norma-norma agama. Hal

ini menyangkut penerimaan dan penghargaan terhadap peraturan agama

(moral) disertai dengan perasaan senang untuk melakukan atau tidak

melakukannya. Tugas perkembangan ini berhubungan dengan masalah

41

benar salah, boleh tidak boleh, seperti jujur itu baik, bohong itu buruk, dan

sebagainya.

h. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi. Hakikat tugas ini

ialah untuk dapat menjadi orang yang berdiri sendiri, dalam arti dapat

membuat rencana, berbuat untuk masa sekarang dan masa yang akan

dating bebas dari pengaruh orang tua dan orang lain.

i. Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial dan

lembaga-lembaga. Hakikat tugas ini ialah mengembangkan sikap sosial

yang demokratis dan menghargai hak orang lain. Umpamanya,

mengembangkan sikap tolong menolong, sikap tenggang rasa, mau

bekerjasama dengan orang lain, toleransi terhadap pendapat orang lain dan

menghargai hak orang lain.

Seiring dengan masuknya anak ke sekolah dasar, maka kemampuan

kognitif atau intelektualnya turut mengalami perkembangan yang pesat.

Karena dengan masuknya sekolah, berarti dunia dan minat anak bertambah

luas, dan dengan meluasnya minat maka bertambah pula pengertian tentang

manusia dan objek-objek yang sebelumnya kurang berarti bagi anak. Dalam

keadaan normal, pikiran anak usia sekolah berkembang secara berangsur-

angsur. Kalau pun masa sebelumnya daya pikir anak masih bersifat imajinatif

dan egosentris, maka pada usia sekolah dasar ini daya pikir anak berkembang

ka arah berpikir konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat

kuat, sehingga anak benar-benar berada dalam suatu stadium belajar. (Agoes

Dariyo, 2011 : 156)

Menurut teori kognitif Piaget, pemikiran anak-anak usia sekolah dasar

disebut pemikiran operasional konkrit (concrete operational thought).

Menurut Piaget, operasi adalah hubungan-hubungan logis di antara konsep-

konsep atau skema-skema. Sedangkan operasi konkrit adalah aktivitas mental

yang difokuskan pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa nyata atau konkrit

dapat diukur.

Pada masa ini anak sudah mengembangkan pikiran logis. Ia mulai

mampu memahami operasi dalam sejumlah konsep, seperti 5 : 6 = 30, 30 : 6

42

= 5 (Johnson dan Medinnus, 1974). Dalam upaya memahami alam sekitarnya,

mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari

pancaindera, karena ia mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan

apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan antara

yang bersifat sementara dengan ang bersifat menetap. Misalnya, mereka akan

tahu bahwa air dalam gelas besar pendek dipindahkan ke dalam gelas yang

kecil tinggi, jumlahnya akan tetap sama karena tidak satu tetes pun yang

tumpah. Hal ini adalah karena mereka tidak lagi mengandalkan persepsi

penglihatannya, melainkan sudah mampu menggunakan logikanya. Mereka

dapat mengukur, menimbang, dan menghitung jumlahnya, sehingga

perbedaan yang nyata tidak “membodohkan” mereka. (Agoes Dariyo, 2011 :

156)

Menurut Piaget, anak-anak pada masa konkrit operasinal ini telah

mampu menyadari konservasi, yakni kemampuan anak untuk berhubungan

dengan sejumlah aspek yang berbeda secara serempak (Johnson dan

Medinnus, 1974). Hal ini adalah karena pada masa ini anak telah

mengembangkan tiga macam proses yang disebut dengan operasi-operasi,

yaitu negasi, resiprokasi, dan identitas.

Negasi (negotion). Pada masa ini pra-operasional anak hanya melihat

keadaan permulaan dan akhir dari deretan benda, yaitu pada mulanya

keadaannya sama dan pada akhirnya keadaannya menjadi tidak sama. Anak

tidak melihat apa yang terjadi di antaranya. Tetapi, pada masa konkrit

operasional, anak memahami proses apa yang terjadi di anatara kegiatan itu

dan memahami hubungan-hubungan antara keduanya. Pada deretan benda-

benda, anak bisa melalui kegiatan mentalnya mengembalikan atau

membatalkan perubahan yang terjadi sehingga bisa menjawab bahwa jumlah

benda-benda adalah tetap sama. Hubungan timbal balik (resiprokasi). Ketika

anak melihat bagaimana deretan dari benda-benda itu diubah, anak

mengetahui bahwa deretan benda-benda bertambah panjang tetapi tidak rapat

lagi dibandingkan dengan deretan lain. Karena anak mengetahui hubungan

timbal balik antara panjang dan kurang rapat atau sebaliknya kurang panjang

43

tetapi lebih rapat, maka anak tahu pula bahwa jumlah benda-benda yang ada

pada kedua deretan itu sama. Identitas, anak pada masa konkrit operasional

sudah bisa mengenal satu persatu benda-benda yang ada pada deretan-deretan

itu. Anak bisa menghitung, sehingga meskipun benda-benda dipindahkan,

anak dapat mengetahui bahwa jumlahnya akan tetap sama. (Agoes Dariyo,

2011 : 157)

Setelah mampu mengkonservasi angka, maka anak bisa

mengkonservasikan dimensi-dimensi lain, seperti isi dan panjang.

Kemampuan anak melakukan operasi-operasi mental dan kognitif ini

memungkinkannya mengadakan hubungan yang lebih luas dengan dunianya.

Operasi yang terjadi dalam diri anak memungkinkan pula untuk mengetahui

suatu perbuatan tanpa melihat bahwa perbuatan tersebut ditunjukkan. Jadi,

anak telah memiliki struktur kognitif yang memungkinkannya dapat berpikir

untuk melakukan suatu tindakan, tanpa ia sendiri bertindak secara nyata.

Hanya saja, apa yang dipikirkan oleh anak masih terbatas pada hal-hal yang

ada hubungannya dengan sesuatu yang konkrit, suatu realitas secara fisik,

benda-benda yang benar-benar nyata. Sebaliknya, benda-benda atau

peristiwa-peristiwa yang tidak ada hubungannya secara jelas dan konkrit

denga realitas, masih sulit dipikirkan oleh anak.

Keterbatasan lain yang terjadi dalam kemampuan berpikir konkrit

anak ialah egosentrisme. Artinya, anak belum mampu membedakan antara

perbuatan-perbuatan dan objek-objek yang secara langsung dialami dengan

perbuatan-perbuatan dan objek-objek yang hanya ada dalam pikirannya.

Misalnya, ketika kepada anak diberikan soal, ia tidak akan mulai dari sudut

objeknya, melainkan ia akan mulai dari dirinya sendiri. Egosentrisme pada

anak terlihat dari ketidakmampuan anak untuk melihat pikiran dan

pengalaman sebagai dua gejala yang masing-masing berdiri sendiri. (Agoes

Dariyo, 2011 : 158)

Adapun beberapa pendapat dari para ahli psikologi perkembangan

mengenai pendidikan intelektual atau cara berpikir anak, yaitu diantaranya

sebagai berikut:

44

a. Teori Jean Piaget

Menurut teori Jean Piaget seorang ahli psikologi dalam bukunya yang

berjudul “Pengantar Psikologi” (Malcolm Hardy Steve Heyes, 1988 : 56),

mengatakan bahwasannya Piaget ini tertarik pada bagaimana cara seorang

anak memahami dunianya. Dia mengamati perilaku si anak lalu menghasilkan

teori yang menekankan bahwa anak-anak memiliki cara berpikir yang

berbeda dengan orang dewasa. Dinyatakannya, bahwa anak-anak mengalami

beberapa tahap perkembangan kognitif mereka (yakni perkembangan

mengenai pola berpikir, ingatan, persepsi, dan lain-lain). Urutan tahap ini

tidak berubah-ubah, dan masing-masing tahap memiliki pola berpikir yang

berbeda-beda. Teori ini tidak hanya berhubungan dengan masalah

pematangan, karena meskipun anak-anak bergerak dari tahap yang satu ke

tahap berikutnya seiring dengan semakin dewasanya mereka, perkembangan

anak pun tergantung pada interaksinya dengan lingkungan. Anak-anak yang

berada di lingkungan yang mendukung ke aktifannya akan mengalami

perkembangan yang lebih cepat daripada mereka yang berada di lingkungan

yang tidak mendukung.

Perkembangan intelektual anak berlangsung melalui perkembangan

yang diacu Piaget sebagai skema (schemata). Piaget tidak menyinggung

mengenai bentuk skema yang terjadi di dalam otak, namun yang dibahas

adalah bentuk skema yang merupakan penggambaran internal mengenai

kegiatan fisik atau mental, sehingga skema dapat dianggap sebagai kumpulan

kaidah mengenai bagaimana caranya berinteraksi dengan lingkungan.

Seorang anak yang memiliki skema tertentu akan terdorong untuk

menggunakannya. Piaget menekankan, bahwa aktivitas di dalam

menggunakan skema inilah yang membawa anak ke arah hubungannya

dengan lingkungan, sehingga menghasilkan perkembangan kognitif. Jalan

yang ditempuh anak di dalam interaksinya dengan lingkungan tergantung

pada skema yang dimilikinya. Motivasi untuk mengulang kegiatan yang

berhubungan dengan skema dapat dilihat terutama sekali pada anak-anak

yang berusia beberapa bulan, yang mengayun-ayunkan kakinya sehingga

45

menyebabkan bergeraknya semua benda di dalam kereta bayi. Perbuatannya

itu akan diulangnya tanpa henti. Sedangkan pada usia sepuluh bulan anak

mulai dapat menjatuhkan mainan keluar dari tempat tidur sesering yang

dikembalikan kepadanya oleh orang dewasa. (Malcolm Hardy Steve Heyes,

1988 : 57)

Anak-anak mengerti dunianya melalui skemanya, sehingga anak yang

berusia tiga tahun mengerti bahwa mainan mobil-mobilan itu menarik, namun

tidak demikian halnya bagi bayi berusia empat bulan, karena mainan tersebut

tidak dapat diisap atau dibunyikan. Proses pemahaman dunia melalui skema

yang dimiliki anak disebut asimilasi (assimilation). Asimilasi mengenai

sesuatu hal melalui skema yang dimiliki membuat semakin banyak hal di

dunia yang dapat diingat oleh anak-anak, meskipun dalam beberapa kasus,

pencocokan sesuatu dengan jaringan kerja mental yang dimiliki anak

mengakibatkan anak tersebut berperilaku aneh di mata orang dewasa. Anak

yang berusia empat tahun, misalnya, memiliki sekumpulan skema mengenai

angka-angka yang berbeda dengan yang dimiliki orang dewasa, skema ini

sedemikian rupa sehingga pada saat kepada seorang anak ditanyakan, baris

manakah yang memiliki lebih banyak titik, anak pun menjawab bahwa baris

atas memiliki lebih banyak titik.

Anak mendapat umpan balik dari lingkungannya dengan maksud

supaya dia dapat memperbaiki persepsinya. Manakala dia memperoleh

pengalaman bahwa skema yang dimilikinya tidak sebanding dengan umpan

baliknya, dia dikatakan mengalami ketidakseimbangan (disequilibrium).

Misalnya, beberapa mainan akan berbunyi pada saat digenggam oleh anak-

anak yang pada bulan-bulan pertamanya sedang belajar mengenai skema

menggenggam dan mengisap mainan. Struktur mental yang mereka miliki

tidak dapat menghadapi kejadian ini, dan inilah yang dinamakan

ketidakseimbangan, yang menyebabkan berubahnya skema, sehingga skema

dapat mengimbangi rangsangan baru tersebut. Skema baru, yang

memungkinkan anak dapat menggunakan mainan sebagai alat bunyi-

bunyikan, telah terbentuk, dan kali ini terjadilah keseimbangan. Anak-anak

46

tersebut sekarang telah mampu mengasimilasikan benda ke dalam skema

barunya dan dapat menentukan mainan mana yang dapat dibunyikan dan

mana yang tidak. Keseimbangan ini hanya bersifat sementara, karena

kejadian kontinu berikutnya akan membentuk rangsangan yang lebih baru

pada diri anak, dan proses perubahan struktur mental, yang diistilahkan

sebagai akomodasi (accomodation), pun berlangsung. Apabila kepada anak

hanya diharapkan informasi dan pengalaman yang dapat diasimilasikan

dengan mudah, tidak akan terjadi akomodasi, dan perkembangan anak pun

akan terhambat. Di lain pihak, akomodasi pun tidak akan terjadi apabila

pengalaman yang dihadapkan terlalu asing bagi anak, sehingga anak pun

tidak dapat memahaminya. (Malcolm Hardy Steve Heyes, 1988 : 57)

Asimilasi informasi ke dalam skema dan akomodasi skema untuk

melayani adanya pengalaman baru berlangsung melalui beberapa tahap

perkembangan, dan pada masing-masing tahap terdapat organisasi skema

yang semakin kompleks. (Malcolm Hardy Steve Heyes, 1988 : 58) Jean

Piaget (Bybee dan Sund, 1982) membagi perkembangan intelektual atau

kognitif menjadi empat tahapan dan karakteristik, sebagai berikut.

(Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2008 : 27-29)

1. Tahap Sensori-Motoris

Tahap ini dialami pada usia 0-2 tahun. Pada tahap ini, anak berada

dalam suatu masa pertumbuhan yang ditandai oleh kecenderungan-

kecenderungan sensori-motoris yang sangat jelas. Segala perbuatan

merupakan perwujudan dari proses pematangan aspek sensori-motoris

tersebut.

Menurut Piaget (Bybee dan Sund, 1982: 27), pada tahap ini interaksi

anak dengan lingkungannya, termasuk orang tuanya, terutama dilakukan

melalui perasaan dan otot-ototnya. Interaksi ini terutama diarahkan oleh

sensasi-sensasi dari lingkungannya. Dalam melakukan interaksi dengan

lingkungannya, termasuk juga dengan orang tuanya, anak

mengembangkan kemampuannya untuk mempersepsi, melakukan

47

sentuhan-sentuhan, melakukan berbagai gerakan, dan secara perlahan-

lahan belajar mengoordinasikan tindakan-tindakannya.

Setiap tahapan memiliki karakteristik tersendiri sebagai perwujudan

kemampuan intelektual individu sesuai dengan tahap perkembangannya.

Tahap sensori-motoris ini ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai

berikut. (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2008 : 31)

a) Segala tindakannya masih bersifat naluriah.

b) Aktivitas pengalaman didasarkan terutama pada pengalaman indra.

c) Individu baru mampu melihat dan meresapi pengalaman, tetapi belum

mampu untuk mengategorikan pengalaman.

d) Individu mulai belajar menangani objek-objek konkret melalui skema-

skema sensori-motorisnya.

Sebagai upaya lebih memperjelas karakteristik tahap sensori-motoris

ini, Piaget (Bybee dan Sund, 1982) merinci lagi tahap sensori-motoris ke

dalam enam fase dan setiap fase memiliki karakteristik tersendiri.

1) Fase pertama (0-1 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu

individu mampu bereaksi secara refleks, individu mampu

menggerakgerakkan anggotaa badan meskipun belum terkoordinir, dan

individu mampu mengasimilasi dan mengakomodasikan berbagai pesan

yang diterima dari lingkungannya.

2) Fase kedua (1-4 bulan) memiliki karakteristik bahwa individu mampu

memperluas skema yang dimilikinya berdasarkan hereditas.

3) Fase ketiga (4-8 bulan) memiliki karakteristik bahwa individu mulai

dapat memahami hubungan antara perlakuannya terhadap benda dengan

akibat yang terjadi pada benda itu.

4) Fase keempat (8-12 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu

individu mampu memahami bahwa benda tetap ada meskipun untuk

sementara waktu hilang dan akan muncul lagi di waktu lain, individu

mulai mampu mencoba sesuatu, dan individu mampu menentukan

tujuan kegiatan tanpa tergantung kepada orang tua.

5) Fase kelima (12-18 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu

individu mulai mampu untuk meniru, dan individu mampu untuk

48

melakukan berbagai percobaan terhadap lingkungannya secara lebih

lancar.

6) Fase keenam (18-24 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu

individu mulai mampu untuk mengingat dan berpikir, individu mampu

untuk berpikir dnegan menggunakan symbol-simbol bahasa sederhana,

individu mampu berpikir untuk memechkan masalah sederhana sesuai

dengan tingkat perkembangannya, dan individu mampu memahami diri

sendiri sebagai individu yang sedang berkembang. (Mohammad Ali dan

Mohammad Asrori, 2008 : 32)

2. Tahap Praoperasional

Tahap ini berlangsung pada usia 2-7 tahun. Tahap ini disebut juga

tahap intuisi sebab perkembangan kognitifnya memperlihatkan

kecenderungan yang ditandai oleh suasana intuitif. Artinya, semua

perbuatan rasionalnya tidak didukung oleh pemikiran tetapi oleh unsur

perasaan, kecenderungan alamiah, sikap-sikap yang diperoleh dari orang-

orang bermakna, dan lingkungan sekitarnya.

Pada tahap ini, menurut Piaget (Bybee dan Sund, 1982 : 29), anak

sangat bersifat egosentris sehingga seringkali mengalami masalah dalam

berinteraksi dengan lingkungannya, termasuk dengan orang tuanya. Dalam

berinteraksi dengan orang lain, anak cenderung sulit untuk dapat

memahami pandangan orang lain dan lebih banyak mengutamakan

pandangannya sendiri. Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, ia masih

sulit untuk membaca kesempatan atau kemungkinan-kemungkinan karena

masih punya anggapan bahwa hanya ada satu kebenaran atau peristiwa

dalam setiap situasi.

Pada tahap ini, anak tidak selalu ditentukan oleh pengamatan indrawi

saja, tetapi juga pada intuisi. Anak mampu menyimpan kata-kata serta

menggunakannya, terutama yang berhubungan erat dengan kebutuhan

mereka. Pada masa ini anak siap untuk belajar bahasa, membaca, dan

menyanyi. Ketika kita menggunakan bahasa yang benar untuk berbicara

49

pada anak, akan mempunyai akibat sangat baik pada perkembangan bahasa

mereka. Cara belajar yang memegang peran pada tahap ini ialah intuisi.

Intuisi membebaskan mereka dari berbicara semaunya tanpa

menghiraukan pengalaman konkret dan paksaan dari luar. Sering kita lihat

anak berbicara sendiri dengan benda-benda yang ada di sekitarnya,

misalnya pohon, anjing, kucing, dan sebagainya, yang menurut mereka

benda-benda tersebut dapat mendengar dan berbicara. Peristiwa semacam

ini baik untuk melatih diri anak menggunakan kekayaan bahasanya. Piaget

menyebut tahap ini sebagai collective monologue, pembicara yang

egosentris dan sedikit hubungan dengan orang lain. (Mohammad Ali dan

Mohammad Asrori, 2008 : 28)

Tahap praoperasional ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai

berikut. (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2008 : 32)

a) Individu telah mengombinasikan dan mentransformasikan berbagai

informasi.

b) Individu telah mampu mengemukakan alasan-alasan dalam menyatakan

ide-ide.

c) Individu telah mengerti adanya hubungan sebab akibat dalam suatu

peristiwa konkret, meskipun logika hubungan sebab akibat belum tepat.

d) Cara berpikir individu bersifat egosentris ditandai oleh tingkah laku,

yaitu berpikir imajinatif, berbahasa egosentris, memiliki aku yang

tinggi, menampakkan dorongan ingin tahu yang tinggi, dan

perkembangan bahasa mulai pesat.

Berdasarkan uraian diatas, pada tahap praoperasional yang ditandai

dengan karakteristik disini bahwasannya seorang individu atau anak ini

mampu berpikir secara logis dan konkret, sehingga anak dapat

mentransformasikan berbagai info, mengemukakan berbagai alasan dan

idenya, serta anak tersebut dapat berkembang pesat dengan baik.

3. Tahap Operasional Konkret

Tahap ini berlangsung anatara usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, anak

mulai menyesuaikan diri dengan realitas konkret dan sudah mulai

berkembang rasa ingin tahunya. Pada tahap ini, menurut Piaget (Bybee dan

Sund, 1982), interaksinya dengan lingkungan, termasuk dengan orang

tuanya, sudah semakin berkurang. Anak sudah dapat mengamati,

50

menimbang, mengevaluasi, dan menjelaskan pikiran-pikiran orang lain

dalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif.

Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubugan fungsional

karena mereka sudah menguji coba suatu permasalahan. Cara berpikir

anak yang masih bersifat konkret menyebabkan mereka belum mampu

menangkap yang abstrak atau melakukan abstraksi tentang sesuatu yang

konkret. Di sini sering terjadi kesulitan anatara orang tua dan guru.

Misalnya, orang tua ingin menolong anak mengerjakan pekerjaan rumah,

tetapi memakai cara yang berbeda dengan cara yang dipakai oleh guru

sehingga anak tidak setuju. Sementara seringkali anak lebih percaya

terhadap apa yang dikatakan oleh gurunya ketimbang orang tuanya.

Akibatnya, kedua cara tersebut baik yang diberikan oleh guru maupun

orang tuanya sama-sama tidak dimengerti oleh anak. (Mohammad Ali dan

Mohammad Asrori, 2008 : 29)

Tahap operasional konkret ditandai dengan karakteristik menonjol

bahwa segala sesuatu dipahami sebagaimana yang tampak saja atau

sebagaimana kenyataan yang mereka alami. Jadi, cara berpikir individu

belum menangkap yang abstrak meskipun cara berpikirnya sudah tampak

sistematis dan logis. Dalam memahami konsep, individu sangat terikat

kepada proses mengalami sendiri. Artinya, mudah memahami konsep

kalau pengertian konsep itu dapat diamati atau melakukan sesuatu yang

berkaitan dengan konsep tersebut. (Mohammad Ali dan Mohammad

Asrori, 2008 : 32)

Berdasarkan uraian diatas, pada karakteristik di tahap operasional

konkret ini bahwa sesuatu yang telah dipahaminya sebagaimana dalam

keadaan yang tampak serta nyata mereka alami, sehingga cara berpikirnya

sudah logis dan sistematis pada anak tersebut.

51

4. Tahap Operasional Formal

Tahap ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun ke atas. Pada masa ini,

anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaannya

yang merupakan hasil dari berpikir logis. Aspek perasaan dan moralnya

juga telah berkembang sehingga dapat mendukung penyelesaian tugas-

tugasnya.

Pada tahap ini, menurut Piaget (Bybee dan Sund, 1982), interaksinya

dengan lingkungan sudah amat luas, menjangkau banyak teman sebayanya

dan bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa.

Kondisi seperti ini tidak jarang menimbulkan masalah dalam interaksinya

dengan orang tua. Namun, sebenarnya secara diam-diam mereka juga

masih mengharapkan perlindungan dari orang tua karena belum

sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Jadi, pada tahap

ini ada semacam tarik-menarik antara ingin bebas dengan ingin dilindungi.

Karena pada tahap ini anak sudah mulai mampu mengembangkan

pikiran formalnya, mereka juga mulai mampu mencapai logika dan rasio

serta dapat menggunakan abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka

mengerti. Melibatkan mereka dalam suatu kegiatan akan lebih

memberikan akibat yang positif bagi perkembangan kognitifnya.

Misalnya, menulis puisi, lomba karya ilmiah, lomba menulis cerpen, dan

sejenisnya. (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2008 : 29)

Tahap operasional formal ditandai dengan karakteristik menonjol

sebagai berikut. (Mohammad Ali & Mohammad Asrori, 2008 : 32-33)

a) Individu dapat mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan

abstraksi.

b) Individu mulai mampu berpikir logis dengan objek-objek yang abstrak.

c) Individu mulai mampu memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat

hipotetis.

d) Individu bahkan mulai mampu membuat perkiraan (forecasting) di

masa depan.

52

e) Individu mulai mampu untuk mengintrospeksi diri sendiri sehingga

kesadaran diri sendiri tercapai.

f) Individu mulai mampu membayangkan peranan-peranan yang akan

diperankan sebagai orang dewasa.

g) Individu mulai mampu untuk menyadari diri mempertahankan

kepentingan masyarakat di lingkungannya dan seseorang dalam

masyarakat tersebut.

Kesimpulannya dari ahli psikologi yang bernama Jean Piaget ini

mengemukakan, bahwa kemampuan belajar berkembang lebih dewasa

dengan melalui empat tahap utama, yaitu tahap sensorimotor, tahap

praoperasi, tahap operasi konkret, dan tahap operasi formal, serta dengan

jalan pembentukan dan perluasan struktur kognitif yang dinamakan skema.

Masa remaja memang merupakan masa transisi yakni masa peralihan

dari masa kanak-kanak memasuki pada kehidupan masa dewasa. banyak

perubahan yang dialami dalam diri remaja, yaitu meliputi perubahan aspek

fisiologis, psikologis maupun sosialisasinya. Masa perubahan tersebut

merupakan suatu fenomena tersendiri yang memacu para ahli dari berbagai

bidang disiplin ilmu untuk mengkajinya secara mendalam. (Agoes Dariyo,

2004 : 45)

b. Teori Jerome Bruner

Menurut teori Jean Piaget seorang ahli psikologi dalam bukunya yang

berjudul “Pengantar Psikologi” (Malcolm Hardy Steve Heyes, 1988 : 61),

mengatakan bahwasannya dasar pemikiran Bruner, yang mengarah kepada

perkembangan intelektual, sangat mirip dengan dasar pemikiran Piaget, tetapi

ada beberapa perbedaan yang penting dan cukup mendasar. Studi Piaget

terutama berkenaan dengan penjelasan mengenai apakah yang terjadi, dia

menjelaskan mengenai mekanisme apa yang terjadi di dalam perkembangan

intelektual, terutama dalam rangka menjernihkan penjelasan mengenai hal

apa yang terjadi itu sendiri. Bruner, di lain pihak, diliputi banyak pertanyaan

53

kepada dirinya sendiri mengenai bagaimana dan mengapa perkembangan

intelektual itu terjadi. Sementara Piaget menganggap bahwa proses

pematangan yang terjadi merupakan faktor yang paling utama sedangkan

kebudayaan dan pendidikan merupakan faktor penunjang, maka Bruner justru

menempatkan kedua faktor terakhir tersebut sebagai faktor yang paling

utama. Bruner tidak menyetujui pandangan Piaget, yang menyatakan bahwa

motivator utama atau pengaruh utama terhadap pertumbuhan intelektual

adalah biologi, karena Bruner berpendapat bahwa apabila perkembangan

biologi „menekan‟ seseorang ke arah perilaku yang lebih dapat menyesuaikan

diri, maka lingkungan pun akan „menarik‟ orang tersebut ke arah yang sama.

Di sini Bruner menekankan bahwa dia hanya melakukan studi

terhadap anak tanpa menguji pengalaman mereka, dan lingkungannya pun

dibatasi untuk memberikan gambaran yang tidak lengkap. Piaget hanya

menyatakan, bahwa perkembangan intelektual melibatkan interaksi antara

seseorang dengan lingkungannya, sedangkan Bruner lebih menekankan

penguatan kemampuan anak, dan menganggap bahwa lingkungan anaklah

yang bertindak sebagai penguat.

Akan tetapi, sama halnya dengan Piaget, Bruner pun yakin bahwa

perkembangan pada diri anak itu sendirilah yang memainkan peranan aktif di

dalam perkembangan anak, meskipun keluarga, sistem pendidikan, dan teman

main anak tersebut secara nyata juga mempengaruhi perkembangan anak,

namun anak membuat sendiri perasaan dunianya (sense of the world).

Bahwasannya persepsi merupakan proses konstruktif aktif, dan informasi

indera yang masih mentah, kita mengumpulkan dan menggambarkan hasil

tentang apa yang sebenarnya ada di sana. Sebagaimana kita memproses

rangsangan dan menyiapkan interaksinya, maka demikian Bruner

berpendapat, kita pun mengembangkan kemampuan kognitif kita agar supaya

mengerti dan dapat lebih berhasil berinteraksi dengan lingkungan kita.

54

Untuk dapat mengendalikan lingkungan, kita telah belajar untuk

menduganya, dan supaya kita mampu melakukannya, kita telah memilih pola-

pola yang terandalkan yang paling awal berupa ketetapan-ketetapan di dalam

kejadian yang mempengaruhi kita. Dengan demikian, kita telah belajar untuk

menggambarkan dan mengorganisasikan pengalaman-pengalaman kita secara

internal. Bruner sangat tertarik tentang bagaimana kita mengembangkan

kemampuan untuk menggambarkan lingkungan kita secara internal dan

menggunakan informasi ini untuk menduga apa yang akan terjadi di masa

mendatang. Bruner telah mengidentifikasi tiga tipe penggambaran yang

diyakininya sebagai dasar perkembangan kognitif. Ketiga tipe ini akan

membentuk penggambaran yang muncul pada diri manusia. Tipe

penggambaran ini kemudian dibandingkan dengan tahap-tahap perkembangan

yang dikemukakan Piaget, yaitu tahap perkembangan Piaget menguraikan

hal-hal apa yang dapat dilakukan anak secara biologis, sedangkan tipe

penggambaran Bruner lebih menekankan pada adanya perubahan

penggambaran atau pendugaan lingkungan oleh seseorang. (Malcolm Hardy

Steve Heyes, 1988 : 61-64)

1) Penggambaran Enaktif. Tipe penggambaran yang pertama kali muncul

pada diri anak diistilahkan Bruner sebagai penggambaran enaktif (enactive

representation). Suatu cara yang berguna untuk mengingat penggambaran

ini adalah dengan menganggap penggambaran ini sebagai „motor‟ atau

sebagai „ingatan otot‟.

2) Penggambaran Ikonik. Tipe penggambaran yang kedua diistilahkan

sebagai penggambaran ikonik (iconic representation), „ikon‟ berarti

„kesamaan‟. Anak di dalam tahap ini mengembangkan kemampuan untuk

menyimpan citra, baik itu citra visual, pendengaran, maupun perasaan

sentuhan, yang menggambarkan secara tepat rangsangan yang mencapai

organ-organ inderanya. Metode penggambaran ini merupakan cara yang

sangat baik untuk menyimpan informasi mengenai lingkungan, meskipun

demikian ada pula kelemahannya.

55

3) Penggambaran Simbolik. Masalah-masalah di dalam penggambaran

enaktif dan penggambaran ikonik ialah bahwa kedua tipe penggambaran

tersebut secara relative kurang fleksibel, penggambaran enaktif hanya

memungkinkan anak menginterpretasikan lingkungan dalam bentuk pola

motor, sedangkan penggambaran ikonik hanya memungkinkan anak

menggambarkan lingkungannya dalam bentuk citra bak-foto (photograph-

like). Oleh karena lingkungan berubah secara tetap, maka kedua tipe

penggambaran tersebut, yang hanya berguna untuk pergerakan individu

atau citra tertentu, tidak dapat mengkodekan informasi lingkungan secara

efektif dalam rangka pembuatan pendugaan. Oleh karenanya,

penggambaran simbolik (symbolic representation) dapat mengatasi

masalah tersebut dengan menggunakan simbol, sebagaimana dikesankan

oleh nama penggambaran ini. Sebuah simbol adalah sesuatu yang

menggambarkan sesuatu yang lain, misalnya saling berjabat tangan antara

kita dengan seseorang yang kita jumpai, semula hal ini dimaksudkan

melambangkan bahwa kita tidak akan menyerang orang tersebut .

Kesimpulannya dari ahli psikologi yang bernama Jerome Bruner ini

mengemukakan, bahwa pandangan Bruner sama dengan pandangan Piaget,

tetapi Bruner menjelaskan adanya tiga cara utama pada system penyimpanan

dan penggunaan atau penggambaran informasi lingkungan, yaitu

penggambaran enaktif, penggambaran ikonik, penggambaran simbolik.

Penggambaran simbolik merupakan metode yang paling fleksibel, tetapi

membutuhkan penggunaan bahasa di dalam pengkategorian informasi. Oleh

karena itu Bruner lebih menekankan kepentingan bahasa daripada Piaget.

c. Teori Sigmund Freud

Freud (Sujiono, 2010) mengungkapkan bahwa anak-anak bergerak

melalui langkah-langkah yang berbeda dengan tujuan untuk mencapai

kepuasan yang berasal dari sumber berbeda, dimana mereka juga harus

menyeimbangkan keadaan tersebut dengan harapan orangtua. Konflik yang

56

timbul antara kebutuhan dan kepuasan dan penindasan dapat berguna untuk

memuaskan dan juga menciptakan ketertarikan. Mekanisme pertahanan diri

diciptakan untuk tujuan agar dapat berhubungan dengan ketertarikan.

Kebanyakan orang belajar untuk mengendalikan perasaan mereka dan juga

berusaha agar dapat diterima di dalam lingkungan sosial serta untuk

mengintegrasikan diri mereka. Freud memandang manusia sebagai mahluk

biologi yang kompleks, baik dalam hal sosial, emosional dan juga sebagai

suatu organisme yang dapat berpikir.

Sigmund Freud (Dariyo, 2007) mengajukan 5 tahap perkembangan

psikoseksual manusia yaitu: (http://elicious-edu.blogspot.co.id/p/psikologi-

perkembangan-anak.html.diunduh pada tanggal 02/05/2016 pukul 07.51

WIB.)

1) Masa oral (0-1,5 tahun)

Masa oral ialah masa perkembangan bayi yang ditandai dengan

kecendrungan perilaku untuk memusatkan kepuasan fisiologis pada bagian

mulut (oral). Anak biasanya senang mengisap ibu jari, menggigit dan

merusak dengan mulut. Yang menjadi sasaran pemuasan pada masa ini

adalah mulut sendiri dan memilih benda-benda ke mulut, selain iu digigit

dengan keras.

2) Masa anal (1,5-3 tahun)

Masa perkembangan anak usia 1,5-3 tahun yang ditandai dengan

kecenderungan perilaku untuk memusatkan kepuasan fisiologis pada

bagian anus (dubur). Anak senanng memeriksa dan memainkan duburnya

serta memperlihat duburnya. Sasaran pemuasan pada masa anak adalah

memilih beda dan menyentuhnya atau memasukan ke dalam duburnya.

3) Masa phalic (3-5 tahun)

Ditandai dengan kecenderungan perilaku anak usia 3-5 tahun untuk

mencari kedekatan emosional dengan orangtua lawan jenisnya dan

menjauhi orangtua yang sesama jenisnya. Anak laki-laki akan mencari

perhatian, perlindungan dan kasih sayang dari ibunya dan menjauhi

ayahnya, hal ini dikenal dengan istilah kompleks oidipus. Anak wanita

57

akan mencari kasih sayang dari ayah dan menjauhi ibunya. Hal ini

dinamakan kompleks elekstra. Pada masa ini anak senang menyentuh,

memegang, melihat dan menunjukan alat kelaminnya. Sasaran dari

pemuasan masa ini adalah ditujukan pada orangtuanya.

4) Masa latency (6-12 tahun)

Masa ini ditandai dengan kecenderungan perilaku menekan dorongan

libido seksual ke dalam alam bawah sadar dan meningkatkan

keterampilan-keterampilan kognitif dan keterampilan sosial agar dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya. Cara pemuasan dalam

masa ini adalah represi, reaksi-formasi, sublimasi dan kecenderungan

kasih sayang.

5) Masa genital (13 tahun ke atas)

Masa remaja yang ditandai dengan kecenderungan perilaku untuk

memusatkan perhatian pada kepuasan genital. Cara pemuasan pada masa

ini adalah mengurangi cara-cara waktu masa kanak-kanak dan munculnya

cara orang dewasa dalam memperoleh pemuasan. Sementara itu sasaran

dalam pemuasan masa ini adalah menyenangi diri sendiri (narcism) atau

oedipus object choice nya. Yang menjadi objek pemuasan mungkin diri

sendiri, sejenis dan homosexual.

1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Intelektual atau

Kognitif

Mengenai faktor yang mempengaruhi perkembangan intelektual

individu ini terjadi perbedaan pendapat di antara para penganut psikologi.

Kelompok psikometrika radikal berpendapat bahwa perkembangan

intelektual individu sekitar 90% ditentukan oleh faktor hereditas dan

pengaruh lingkungan, termasuk di dalamnya pendidikan, hanya memberikan

kontribusi sekitar 10% saja. Kelompok ini memberikan bukti bahwa individu

yang memiliki hereditas intelektual unggul, pengembangannya sangat mudah

meskipun dengan intervensi lingkungan yang tidak maksimal. Adapun

58

individu yang memiliki hereditas intelektual rendah seringkali intervensi

lingkungan sulit dilakukan meskipun sudah secara maksimal.

Sebaliknya, kelompok penganut pedagogis radikal amat yakin bahwa

intervensi lingkungan, termasuk pendidikan, justru memiliki andil sekitar 80-

85%, sedangkan hereditas hanya memberikan kontribusi 15-20% terhadap

perkembangan intelektual individu. Syaratnya adalah memberikan

kesempatan rentang waktu yang cukup bagi individu untuk mengembangakan

intelektualnya secara maksimal. (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori,

2008 : 33)

Tanpa mempertentangkan kedua kelompok radikal itu, perkembangan

intelektual sebenarnya dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu hereditas dan

lingkungan. Pengaruh kedua faktor itu pada kenyataannya tidak terpisah

secara sendiri-sendiri melainkan seringkali merupakan resultan dari interaksi

keduanya. Pengaruh faktor hereditas dan lingkungan terhadap perkembangan

intelektual itu dapat dijelaskan berikut ini. (Mohammad Ali dan Mohammad

Asrori, 2008 : 34-35)

a. Faktor Hereditas

Semenjak dalam kandungan, anak telah memiliki sifat-sifat yang

menentukan daya kerja intelektualnya. Secara potensial anak telah

membawa kemungkinan, apakah akan menjadi kemampuan berpikir

setaraf normal, di atas normal, atau di bawah normal. Namun, potensi ini

tidak akan berkembang atau terwujud secara optimal apabila lingkungan

tidak memberi kesempatan untuk berkembang. Oleh karena itu, peranan

lingkungan sangat menentukan perkembangan intelektual anak.

b. Faktor Lingkungan

Ada dua unsur lingkungan yang sangat penting peranannya dalam

memengaruhi perkembangan intelektual anak, yaitu keluarga dan sekolah.

1) Keluarga

Intervensi yang paling penting dilakukan oleh keluarga atau orang tua

adalah memberikan pengalaman kepada anak dalam berbagai bidang

kehidupan sehingga anak memiliki informasi yang banyak yang

59

merupakan alat bagi anak untuk berpikir. Cara-cara yang digunakan,

misalnya memberi kesempatan kepada anak untuk merealisasikan ide-

idenya, menghargai ide-ide tersebut, memuaskan dorongan

keingintahuan anak dengan jalan seperti menyediakan bacaan, alat-alat

keterampilan, dan alat-alat yang dapat mengembangkan daya kreativitas

anak. Memberi kesempatan atau pengalaman tersebut akan menuntut

perhatian orang tua.

2) Sekolah

Sekolah adalah lembaga formal yang diberi tanggung jawab untuk

meningkatkan perkembangan anak termasuk perkembangan berpikir

anak. Dalam hal ini, guru hendaknya menyadari bahwa perkembangan

intelektual anak terletak di tangannya. Beberapa cara di antaranya

adalah sebagai berikut.

a) Menciptakan interaksi atau hubungan yang akrab dengan peserta

didik. Dengan hubungan yang akrab tersebut, secara psikologis

peserta didik akan merasa aman sehingga segala masalah yang

dialaminya secara bebas dapat dikonsultasikan dengan guru mereka.

b) Memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk berdialog

dengan orang-orang yang ahli dan berpengalaman dalam berbagai

bidang ilmu pengetahuan, sangat menunjang perkembangan

intelektual anak. Membawa para peserta didik ke objek-objek

tertentu, seperti objek budaya dan ilmu pengetahuan, sangat

menunjang perkembangan intelektual peserta didik.

c) Menjaga dan meningkatkan pertumbuhan fisik anak, baik melalui

kegiatan olahraga maupun menyediakan gizi yang cukup, sangat

penting bagi perkembangan berpikir peserta didik. Sebab jika peserta

didik terganggu secara fisik, perkembangan intelektualnya juga akan

terganggu.

d) Meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik, baik melalui

media cetak maupun dengan menyediakan situasi yang

memungkinkan para peserta didik berpendapat atau mengemukakan

60

ide-idenya. Hal ini sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan

intelektual peserta didik.

2. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Intelektual atau Kognitif

Menurut Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2008 : 35),

bahwasannya secara hereditas, individu memiliki potensi yang dapat

menyebabkan perbedaan dalam perkembangan berpikir mereka. Berkembang

atau tidaknya potensi tersebut tergantung pada lingkungan. Ini berarti bahwa

apakah anak akan mempunyai kemampuan berpikir normal, di atas normal,

atau di bawah normal sangat tergantung pada lingkungan.

Manusia memiliki perbedaan satu sama lain dalam berbagai aspek,

antara lain dalam bakat, minat, kepribadian, keadaan jasmani, keadaan social,

dan juga inteligensinya. Perbedaan itu akan tampak jika diamati dalam proses

belajar mengajar di dalam kelas. Ada peserta didik yang cepat, ada yang

lambat, dan ada pula yang sedang dalam penguasaan materi pelajaran. Ada

siswa yang tingkah lakunya baik dan ada pula siswa yang kurang baik.

Perbedaan individual dalam perkembangan intelektual menunjuk

kepada perbedaan dalam kemampuan dan kecepatan belajar. Perbedaan-

perbedaan individual peserta didik akan tercermin pada sifat-sifat atau cirri-

ciri mereka dalam kemampuan, keterampilan, sikap dan kebiasaan belajar,

serta kualitas proses dan hasil belajar baik dari segi ranah kognitif, afektif,

dan psikomotor.

3. Membantu Perkembangan Intelektual dan Implikasinya bagi

Pendidikan

Ikhtiar pendidikan, khususnya melalui proses pembelajaran, guna

mengembangkan kemampuan intelektual peserta didik adalah kesadaran

pendidik terhadap kemampuan intelektual setiap peserta didik harus dipupuk

dan dikembangkan agar potensi yang dimiliki setiap individu terwujud sesuai

dengan perbedaan masing-masing. Menurut Conny Semiawan (1984),

penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif bagi pengembangan

61

kemampuan intelektual anak yang di dalamnya menyangkut keamanan

psikologis dan kebebasan psikologis merupakan faktor yang sangat penting.

Kondisi psikologis yang perlu diciptakan agar peserta didik merasa

aman secara psikologis sehingga mampu mengembangkan kemampuan

intelektualnya adalah sebagai berikut. (Mohammad Ali dan Mohammad

Asrori, 2008 : 36-37)

a. Pendidik menerima peserta didik secara positif sebagaimana adanya tanpa

syarat (unconditional positive regard). Artinya, apa pun keberadaan

peserta didik dengan segala kekuatan dan kelemahannya harus diterima

dengan baik, sertaa memberi kepercayaan padanya bahwa pada dasarnya

setiap peserta didik memiliki kemampuan intelektual yang dikembangkan

secara maksimal.

b. Pendidik menciptakan suasana di mana peserta didik tidak merasa terlalu

dinilai oleh orang lain. Memberi penilaian terhadap peserta didik dengan

berlebihan dapat dirasakan sebagai ancaman sehingga menimbulkan

kebutuhan akan pertahanan diri. Memang kenyataannya, pemberian

penilaian tidak dapat dihindarkan dalam situasi sekolah, tetapi paling tidak

harus diupayakan agar penilaian tidak mencemaskan peserta didik,

melainkan menjadi sarana yang dapat mengembangkan sikap kompetitif

secara sehat.

c. Pendidik memberikan pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran,

perasaan, dan perilaku peserta didik; dapat menempatkan diri dalam situasi

peserta didik; serta melihat sesuatu dari sudut pandang mereka (empathy).

Dalam suasana seperti ini, peserta didik akan merasa aman untuk

mengembangkan dan mengemukakan pemikiran atau ide-idenya.

d. Menerima remaja secara positif sebagaimana adanya tanpa syarat

(unconditional positive regard). Artinya, apa pun adanya remaja itu

dengan segala kekuatan dan kelemahannya harus diterima dengan baik,

serta memberi kepercayaan bahwa pada dasarnya setiap remaja memiliki

kemampuan intelektual yang dapat dikembangkan secara maksimal.

62

e. Memahami pemikiran, perasaan, dan perilaku remaja; menempatkan diri

dalam situasi remaja; serta melihat sesuatu dari sudut pandang mereka

(empathy). Dalam suasana seperti ini remaja akan merasa aman untuk

mengembangkan dan mengemukakan pemikiran atau ide-idenya.

f. Memberikan suasana psikologis yang aman bagi remaja untuk

mengemukakan pikiran-pikirannya sehingga terbiasa berani

mengembangkan pemikirannya sendiri. Di sini berusaha menciptakan

keterbukaan (openness), kehangatan (warmness), dan kekonkretan

(concreteness).

Anak atau remaja akan merasakan kebebasan psikologis jika orang tua

dan guru memberi kesempatan kepadanya untuk mengungkapkan pikiran atau

perasaannya. Sebagai makhluk sosial, mengungkapkan pikiran dan perasaan

dalam tindakan yang merugikan orang lain atau merugikan lingkungan

tidaklah dibenarkan. Hidup dalam masyarakat menuntut untuk mengikuti

aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku.

Teori Jean Piaget mengenai pertumbuhan kognitif sangat erat dan

penting hubungannya dengan umur serta perkembangan moral. Konsep

tersebut menunjukkan bahwa aktivitas adalah sebagai unsure pokok dalam

pertumbuhan kognitif. Pengalaman belajar yang aktif cenderung untuk

memajukan pertumbuhan kognitif, sedangkan pengalaman belajar yang pasif

dan hanya menikmati pengalaman orang lain saja akan mempunyai

konsekuensi yang minimal terhadap pertumbuhan kognitif termasuk

perkembangan intelektual.

Penting bagi pendidik untuk mengetahui isi dan ciri-ciri dari setiap

tahap perkembangan kognitif peserta didiknya sehingga dapat mengambil

keputusan tindak edukatif yang tepat. Dengan demikian, dapat dihasilkan

peserta didik yang memahami pengalaman belajar yang diterimanya.

Menyesuaikan system pengajaran dengan kebutuhan peserta didik merupakan

jalan untuk meninggalkan prinsip lama, yaitu guru tinggal menunggu sampai

peserta didik siap sendiri, kemudian baru diberi pelajaran. Sekarang tidak

demikian keadaannya.

63

Model pendidikan yang aktif adalah model yang tidak menunggu

sampai peserta didik siap sendiri, tetapi sekolahlah yang mengajar lingkungan

belajar sedemikian rupa sehingga dapat memberi kemungkinan maksimal

pada peserta didik untuk berinteraksi. Dengan lingkungan yang penuh

rangsangan untuk belajar tersebut, proses pembelajaran yang aktif akan

terjadi sehingga mampu membawa peserta didik untuk maju ke taraf atau

tahap berikutnya.

C. Hubungan Pendidikan Intelektual dengan Tingkah Laku

Inteligensi menurut Piaget merupakan pernyataan dari tingkah laku

adaptif yang terarah kepada kontak dengan lingkungan dan kepada

penyusunan pemikiran (Bybee dan Sund, 1982). Piaget memposisikan subjek

sebagai pihak yang aktif dalam interaksi adaptif antara organisme atau terjadi

hubungan dialektis antara organisme dengan lingkungannya. Apa yang

dikatakan oleh Piaget ini kenyataannya memang benar, sebab organisme tidak

pernah terpisah dari lingkungannya dan juga tidak semacam penerima yag

pasif. Interaksi antara organisme dengan lingkungannya lebih bersifat

interaksi timbal balik. Hanya dalam bentuk interaksinya juga, setiap

perubahan tingkah laku adalah merupakan hasil dialektis pengaruh timbal

balik antara organisme dan lingkungannya. Karena pandangannya yang

demikian itu, teori Piaget tentang inteligensi atau kognitif disebut juga dengan

teori interaksionisme (interactionism theory).

Piaget memiliki pandangan dasar bahwa setiap organisme memiliki

kecenderungan inheren untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Inteligensi sebagai bentuk khusus dari penyesuaian organisme baru dapat

diketahui berkat dua proses yang saling mengisi, yaitu yang disebut dengan

istilah asimilasi dan akomodasi. Organisme sebagai suatu sistem dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena kemampuan

mengakomodasi struktur kognitifnya sedemikian rupa sehingga objek yang

baru itu dapat ditangkap dan dipahami secara memadai. Asimilasi adalah

64

suatu proses individu memasukkan dan menggabungkan pengalaman-

pengalaman denga struktur psikologis yang telah ada pada diri individu.

Struktur psikologis dalam diri individu ini disebut dengan istilah skema yang

berarti kerangka mental individu yang digunakan untuk menafsirkan segala

sesuatu yang dilihat atau didengarnya. Skema mampu menyusun pengamatan-

pengamatan dan tingkah laku sehingga terjadilah suatu rangkaian tindakan

fisik dan mental untuk dapat memahami lingkungannya.

Sangat boleh jadi dalam perkembangan selama kurun waktu tertentu

berbagai pengalaman baru tidak sesuai lagi dengan struktur psikologis dalam

diri individu dan tidak dapat diaimilasikan ke dalam skema-skema yang telah

ada. Oleh sebab itu, skema harus diubah, diperluas, dan disesuaikan dengan

fakta-fakta yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman baru. Proses

penyesuaian skema dengan fakta-fakta yang diperoleh melalui pengalaman-

pengalaman baru ini dikenal dengan istilah akomodasi. Dengan demikian,

proses asimilasi dan akomodasi merupakan dua proses yang berlawanan. Jika

dalam asimilasi proses yang terjadi adalah menyesuaikan pengalaman-

pengalaman baru yang diperolehnya dengan struktur skema yang ada dalam

diri individu, sedangkan akomodasi merupakan proses penyesuaian skema

dalam diri individu dengan fakta-fakta baru yang diperoleh melalui

pengalaman dari lingkungannya. (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori,

2008 : 30)

Menurut Desmita (2011 : 220), bahwasannya pada masa usia sekolah

dipandang sebagai masa untuk pertama kalinya anak memulai kehidupan

sosial mereka yang sesungguhnya. Bersamaan dengan masuknya anak ke

sekolah dasar, maka terjadilah perubahan hubungan anak dengan orangtua.

Perubahan tersebut di antaranya disebabkan adanya peningkatan penggunaan

waktu yang dilewati anak-anak bersama teman-teman sebayanya. Sekalipun

tidak lagi menjadi subjek tunggal dalam pergaulan anak, orangtua tetap

menjadi bagian penting dalam proses ini, karena mereka yang menjadi figure

sentra dalam kehidupan anak. Untuk itu, orangtua harus menuntut anak untuk

65

menjadi bagian dari lingkungan sosial yang lebih luas. Teladan perilaku yang

baik (seperti disiplin dan bermoral) dapat mempertajam pemahaman anak

terhadap tuntutan masyarakat yang dihadapinya kelak. Melalui proses ini,

anak akan semakin memahami kebutuhan dan perasaannya, sekaligus

kebutuhan dan perasaan orang lain.

Sesuai dengan perkembangan kognitifnya yang semakin matang,

maka pada usia sekolah, anak secara berangsur-angsur lebih banyak

mempelajari mengenai sikap-sikap dan motivasi orang tuanya, serta

memahami aturan-aturan keluarga, sehingga mereka menjadi lebih mampu

untuk mengendalikan tingkah lakunya. Perubahan ini mempunyai dampak

yang besar terhadap kualitas hubungan antara anak-anak usia sekolah dan

orangtua mereka (dalam Seifert dan Hoffnung, 1994). Dalam hal ini, orang

tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka

berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan pada tahun-tahun awal

kehidupan mereka. Beberapa kendali dialihkan dari orang tua kepada

anaknya, walaupun prosesnya secara bertahap dan merupakan koregulasi.

Dengan demikian, meskipun terjadinya pengurangan pengawasan dari

orang tua terhadap anaknya selama usia sekolah dasar, bukan berarti orang

tua sama sekali melepaskan mereka. Sebaliknya, orang tua masih terus

memonitor usaha-usaha yang dilakukan anak dalam memelihara diri mereka,

sekalipun secara tidak langsung. Perubahan-perubahan ini berperan dalam

pembentukan stereotip pengasuhan dari orang tua sepanjang usia sekolah

dasar. Dalam hal ini, orang tua memandang pengasuhan hanya meliputi

mengurus masalah makanan, atau penerapan beberapa aturan saja. Stereotip

pengasuhan demikian jelas tidak mempertimbangkan aktivitas orang tua dan

anak yang masih sering dilakukan secara bersama-sama, seperti berbelanja

atau menonton televisi bersama-sama. (Desmita, 2011 : 221)

Berdasarkan uraian diatas, bahwasannya pendidikan anak dalam

keluarga itu sangatlah penting dan yang paling diutamakan dari pendidikan di

sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Orang tua disini harus berperan

aktif dalam memperhatikan perubahan-perubahan yang ada dalam sikap anak

66

dan melakukan pengontrolan dalam tingkah laku anak disepanjang usia 6-12

tahun yang sudah memasuki sekolah dasar, agar anak tersebut dapat terdidik

dengan baik dalam pendidikan keluarga maupun pendidikan di sekolah dan

lingkungan masyarakat sekitar.