BAB II TEORI TENTANG PENDIDIKAN INTELEKTUAL ANAK ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of BAB II TEORI TENTANG PENDIDIKAN INTELEKTUAL ANAK ...
19
BAB II
TEORI TENTANG PENDIDIKAN INTELEKTUAL ANAK
A. Pengertian Pendidikan Intelektual Anak
Pendidikan secara etimologi berasal dari kata didik yang berarti proses
pengubahan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui pendidikan dan latihan. Istilah pendidikan ini
semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie yag berarti bimbingan
yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan kata education yang berarti pengembangan atau
bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini dikenal dengan kata tarbiyah
dengan kata kerjanya rabba-yurobbi-tarbiyatan yang berarti “mengasuh,
mendidik, dan memelihara”. (Abdul Rachman Shaleh, 2005 : 1-2)
Pendidikan dalam arti luas mencakup seluruh proses hidup dan
segenap bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal,
non formal maupun informal, sampai dengan suatu taraf kedewasaan tertentu.
Pengertian pendidikan menurut para ahli, J.J. Rousseau arti pendidikan
merupakan memberi kita pembekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak,
akan tetapi kita membutuhkan pada waktu dewasa. Sedangkan arti pendidikan
menurut Driyarkara yaitu pemanusaian manusia muda atau pengangkatan
manusia muda ke taraf insani.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pada bab I tentang ketentuan umum Pasal 1 ayat (1)
disebutkan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan Negara.
Adapun pendidikan secara terminology, banyak pakar yang
memberikan pengertian secara berbeda, antara lain Langeveld mengatakan,
20
“Pendidikan adalah suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa
kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan. (Burhanudin
Salam, 1997 : 3-4) Sementara itu, John Dewey mengatakan, “Pendidikan
adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan yang fundamental secara
intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia. Dalam konteks
yang sama Ki Hajar Dewantara mengatakan, “Pendidikan adalah menuntut
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang setinggi-tingginya.
Dari pengertian-pengertian pendidikan di atas dapat disimpulkan
bahwa pendidikan adalah usaha secara sadar yang dilakukan seseorang
dengan sengaja untuk menyiapkan peserta didik menuju kedewasaan,
berkecakapan tinggi, berkepribadian atau berakhlak mulia dan kecerdasan
berpikir melalui bimbingan dan latihan. Orang tersebut tunduk dan patuh
kepada Tuhan dengan cara menjalankan ajaran-ajarannya. Agama juga
membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dilaksanakan akan menjadi
utang bagi para penganutnya. Paham kewajiban dan kepatuhan ini selanjutnya
membawa pula pada paham adanya balasan. Yang menjalankan kewajiban
dan yang patuh akan mendapatkan balasan yang baik dari Tuhan, sedangkan
bagi yang tidak menjalankan kewajiban dan yang tidak patuh akan mendapat
balasan yang tidak menyenangkan.
Definisi intelektual adalah akal budi atau inteligensi yang berarti
kemampuan untuk meletakkan hubungan-hubungan dari proses berpikir.
Selanjutnya dikatakan bahwa orang yang intelligent adalah orang yang dapat
menyelesaikan persoalan dalam tempo yang lebih singkat, memahami
masalah lebih cepat dan cermat, serta mampu bertindak cepat. (Mohammad
Asrori, 2009 : 48)
Menurut kamus Webster New World Dictionary of the American
Language, dalam (Sunarto dan Hartono, 2006 : 99) istilah intellect berarti:
21
1) Kecakapan untuk berpikir, mengamati atau mengerti; kecakapan untuk
mengamati hubungan-hubungan, dan sebagainya. Dengan demikian
kecakapan berbeda dari kemauan dan perasaan.
2) Kecakapan mental yang besar,sangat intellegence, dan
3) Pikiran atau inteligensi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian
intelektual yaitu akal budi atau inteligensi yang berarti kemampuan untuk
meletakkan hubungan dari proses berpikir, kemampuan untuk melakukan
pemikiran yang bersifat abstrak atau tidak bisa di lihat (abstraksi), serta
berpikir logis dan cepat sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri
terhadap situasi baru. Orang yang intelligent adalah orang yang dapat
menyelesaikan persoalan dalam waktu yang lebih singkat, memahami
masalahnya lebih cepat dan cermat serta mampu bertindak cepat.
Istilah intelek berasal dari bahasa Inggris intellect yang menurut
Chaplin (1981) diartikan sebagai: pertama, kognitif, proses berpikir, daya
menghubungkan, kemampuan menilai, dan kemampuan mempertimbangkan;
dan kedua, kemampuan mental atau inteligensi. Menurut Mahfudin
Shalahudin (1989) dinyatakan bahwa “intelek” adalah akal budi atau
inteligensi yang berarti kemampuan untuk meletakkan hubungan dari proses
berpikir. Selanjutnya, dikatakan bahwa orang yang intelligent adalah orang
yang dapat menyelesaikan persoalan dalam waktu yang lebih singkat,
memahami masalahnya lebih cepat dan cermat, serta mampu bertindak cepat.
Istilah inteligensi, semula berasal dari bahasa Latin intelligere yang
berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (Bimo Walgito,
1981). Menurut William Stern, salah seorang pelopor dalam penelitian
inteligensi, mengatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan untuk
menggunakan secara tepat alat-alat bantu dan pikiran guna menyesuaikan diri
terhadap tuntutan-tuntutan baru (Kartini Kartono, 1984). Sedangkan Leis
Hedison Terman berpendapat bahwa inteligensi adalah kesanggupan untuk
22
belajar secara abstrak (Patty F, 182). Di sini Terman membedakan antara
concrete ability, yaitu kemampuan yang berhubungan dengan hal-hal yang
bersifat konkret dan abstract ability, yaitu kemampuan yang berhubugan
dengan hal-hal yang bersifat abstrak. Orang dikatakan inteligen, menurut
Terman, jika orang tersebut mampu berpikir abstrak dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian
intelek tidak berbeda dengan pengertian inteligensi yang memiliki arti
kemampuan untuk melakukan abstraksi, serta berpikir logis dan cepat
sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru.
Jean Piaget mendefiniskan intellect adalah akal budi berdasarkan
aspek-aspek kognitifnya, khususnya proses berpikir yang lebih tinggi (Bybee
dan Sund, 1982). Sedangkan intelligence atau inteligensi menurut Jean Piaget
diartikan sama dengan kecerdasan, yaitu seluruh kemampuan berpikir dan
bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang kompleks seperti
berpikir, mempertimbangkan, mengaalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan
menyelesaikan persoalan-persoalan. Jean Piaget mengatakan bahwa
inteligensi adalah seluruh kemungkinan koordinasi yang memberi struktur
kepada tingkah laku suatu organisme sebagai adaptasi mental terhadap situasi
baru. Dalam arti sempit, inteligensi seringkali diartikan sebagai inteligensi
operasional, termasuk pula tahapan-tahapan yang sejak dari periode
sensorimotoris sampai dengan operasional formal. (Mohammad Ali dan
Mohammad Asrori, 2008 : 27)
Bahwasanya pengertian intelektual sama halnya dengan pengertian
inteligensi yang artinya kemampuan anak berpikir secara logis atau dapat
diterima akal sehingga intelektual anak dapat berkembangan dan dapat
menyesuaikan dirinya dengan situasi-situasi yang baru.
Istilah intelek berasal dari bahasa Inggris intellect yang diartikan
pertama yaitu sebagai kognitif. Zulrizka Iskandar (2012 : 23-24), kognitif ini
merupakan proses sentral atau proses mental yang mengantarai peristiwa-
23
peristiwa yang terjadi di luar diri seseorang dengan yang terjadi di dalam diri
manusia. Festinger pada tahun 1957 mengidentifikasi elemen kognitif sebagai
kognisi, dan didefinisikan olehnya sebagai sesuatu yang diketahui oleh
seseorang mengenai dirinya sendiri, tingkah lakunya, dan lingkungan di
sekitar. Kognitif merupakan pengetahuan yang dimiliki seseorang, dan
prosesnya, maka di dalam kognitif tersebut akan memiliki struktur. Struktur
kognitif sebagai pengorganisasian atribut yang dimiliki individu dan
digunakan untuk mengidentifikasi dan membedakan suatu objek atau
kejadian. Struktur kognitif sangat berperan dalam proses belajar, persepsi,
dan proses psikologis lainnya.
Psikologi kognitif merupakan sebuah cabang ilmu yang relatif masih
baru, hanya baru sedikit melebihi setengah abad usianya. Setelah dasawarsa
pertama pada tahun 1900-an, aliran behaviorisme mendominasi cara berpikir
para psikolog eksperimen. Para pengikut aliran behaviorisme seperti B.F.
Skinner yang percaya bahwa pandangan yang melihat pikiran manusia seperti
sebuah kotak hitam sebaiknya menjadi pembahasan bagi para filsuf,
sementara perilaku yang dapat dilihat adalah fokus yang lebih sesuai untuk
psikologi. Pada periode 1950-an, situasi mulai berubah. Di satu sisi,
kemunculan komputer menyediakan cara baru untuk memahami cara kerja
pikiran manusia. Bila kita dapat “melihat” apa yang dilakukan komputer-
komputer secara internal, maka mungkin kita dapat menggunakan hasil
pengamatan ini untuk mempelajari proses-proses mental manusia. Demikian
adanya, ilmu komputer dan gagasan mengenai kecerdasan buatan (artificial
intelligence-AI) merupakan motivator-motivator utama dalam kemunculan
ilmu tentang pikiran manusia. (Laura A. King, 2010 : 04)
Beberapa pengertian intelektual atau inteligensi menurut para ahli,
diantaranya: (Syamsu Yusuf LN, 2012 : 106)
1) C.P. Chaplin (1975) mengartikan intelektual atau inteligensi itu sebagai
kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru
secara cepat dan efektif.
24
2) Anita E. Woolfolk (1995) mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama,
intelektual atau inteligensi itu meliputi tiga pengertian, yaitu (1)
kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh;
dan (3) kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru
atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya, Woolfolk mengemukakan
inteligensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk
memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan
masalah dan beradaptasi dengan lingkungan.
3) Binet (Sumadi S., 1984) menyatakan bahwa sifat hakikat intelektual atau
inteligensi itu ada tiga macam, yaitu (a) kecerdasan untuk menetapkan dan
mempertahankan (memperjuangkan) tujuan tertentu. Semakin cerdas
seseorang, akan semakin cakaplah dia membuat tujuan sendiri,
mempunyai inisiatif sendiri tidak menunggu perintah saja; (b) kemampuan
untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan tersebut;
(c) kemampuan untuk melakukan otokritik, kemampuan untuk belajar dari
kesalahan yang telah dibuatnya.
4) Raymon Cattel dkk. (Kimble dkk., 1980) mengklasifikasikan intelektual
atau inteligensi ke dalam dua kategori, yaitu (a) “Fluid Inteligence”, yaitu
tipe kemampuan analisis kognitif yang relatif tidak dipengaruhi oleh
pengalaman belajar sebelumnya; (b) “Crystallized Inteligence”, yaitu
keterampilan-keterampilan atau kemampuan nalar (berpikir) yang
dipengaruhi oleh pengalaman belajar sebelumnya.
Jadi, intelektual adalah kemampuan untuk memperoleh berbagai
informasi berfikir abstrak, menalar, serta bertindak secara efisien dan efektif.
Intelektual merupakan kemampuan yang dibawa individu sejak lahir.
Intelektual akan berkembang bila lingkungan memungkinkan dan kesempatan
tersedia.
Menurut Ramayulis (2004 : 94), kecerdasan intelektual (intuitif), yaitu
kecerdasan qalbu yang berkaitan dengan penerimaan dan pembenaran
pengetahuan yang bersifat intuitif-ilabiah seperti wahyu (untuk para rasul dan
nabi) dan ilham atau firasat (untuk manusia bisa yang salih). Adanya sifat
25
intuitif-ilabiah ini sebagai pembeda dengan kecerdasan intelektual yang
ditimbulkan oleh akal pikiran yang bersifat irasional-insaniah.
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan
proses kognitif seperti berpikir, daya menghubungkan dan menilai atau
mempertimbangkan sesuatu. Atau, kecerdasan yang berhubungan dengan
strategi pemecahan masalah dengan menggunakan logika. Melalui tes IQ
(intelligence quotient) tingkat kecerdasan intelektual seseorang dapat
dibandingkan dengan orang lain. Dengan kehadiran konsep baru tentang
kecerdasan maka IQ tidak lagi bermakna intelligence quotient melainkan
intelektual quotient. Kecerdasan intelektual ini dari segi kuantitas tidak bisa
dikembangkan karena ia merupakan pembawaan sejak lahir namun
kualitasnya dapat dikembangkan. (Ramayulis, 2004 : 86)
Menurut Kohnstam kualitas kecerdasan intelektual dapat
dikembangkan dengan beberapa syarat, yaitu di antaranya:
1. Bahwa pengembangan tersebut hanya sampai batas kemampuan, dan tidak
dapat melebihinya. Setiap orang mempunyai batas kemampuan yang
berbeda; dan
2. Bahwa pengembangan tersebut tergantung kepada cara berpikir yang
metodis. (Ramayulis, 2004 : 86)
Berdasarkan kedua syarat kualitas kecerdasan intelektual dapat berkembang
setiap orangnya hanya sampai pada batas kemampuan anak dengan berbagai
perbedaan cara berpikir anak tersebut.
Tinggi rendahnya kecerdasan intelektual seseorang dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu:
a) Pembawaan, yaitu kesanggupan yang dibawa semenjak lahir dan setiap
orang tidak ada yang sama;
b) Kematangan, yaitu saat munculnya daya intelek yang siap untuk
dikembangkan mencapai puncaknya (masa peka);
c) Lingkungan, yaitu faktor luar yang mempengaruhi intelegensi pada masa
perkembangannya; dan
d) Minat, yaitu motor penggerak dalam perkembangan intelegensi.
26
Kecerdasan intelektual anak disini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor
pembawaan, kematangan, lingkungan, dan minat agar kecerdasan intelektual
pada anak dapat berkembang secara baik.
Melalui tes IQ (Intelegence Quotient) tingkat kecerdasan seseorang
dapat ditentukan. IQ dapat diperoleh melalui pembagian usia mental (mental
age) dan usia kronologis (chronological age) lalu diperlakukan dengan angka
100 rumusnya sebagai berikut: (Ramayulis, 2004 : 87)
Menurut Desmita (2011 : 53), bukunya yang berjudul “Psikologi
Perkembangan Peserta Didik” mengemukakan bahwasannya Inteligensi
adalah salah satu kemampuan mental, pikiran atau intelektual dan merupakan
bagian dari proses-proses kognitif pada tingkatan yang lebih tinggi. Secara
umum inteligensi dapat dipahami sebagai kemampuan untuk beradaptasi
dengan situasi yang baru secara cepat dan efektif, kemampuan untuk
menggunakan konsep yang abstrak secara efektif, dan kemampuan untuk
memahami hubungan dan mempelajarinya dengan cepat.
Dalam buku mereka yang berjudul Human Ability, Spearman dan
Wynn Jones mengemukakan adanya suatu konsepsi lama mengenai suatu
kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia dengan
gagasan abstrak yang universal, untuk dijadikan sumber tunggal pengetahuan
sejati. Kekuatan demikian dalam bahasa Yunani disebut nous, sedangkan
penggunaan kekuatan termaksud disebut noesis. Kemudian kedua istilah
tersebut dalam bahasa Latin dikenal sebagai intellectus dan intelligentia. Pada
gilirannya, dalam bahasa Inggris masing-masing diterjemahkan sebagai
intellect dan intelligence. Ternyata, transisi bahasa tersebut membawa pula
perubahan makna. Intelligence, yang dalam bahasa Indonesia kita sebut
inteligensi, semula berarti penggunaan kekuatan intelektual secara nyata,
27
akan tetapi kemudian diartikan sebagai suatu kekuatan lain (Spearman dan
Wynn Jones, 1951).
Berbagai definisi yang dirumuskan oleh para ahli memang
menampakkan adanya pergeseran arah seperti disebutkan oleh Spearman dan
Jones, namun selalu mengandung pengertian bahwa inteligensi merupakan
kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu. (Saifudin Azwar, 1996 :
1-2) Masyarakat umum mengenal inteligensi sebagai istilah yang
menggambarkan kecerdasan, kepintaran, ataupun kemampuan untuk
memecahkan problem yang dihadapi. Gambaran tentang anak yang
berinteligensi tinggi adalah gambaran mengenai siswa yang pintar, siswa
yang selalu naik kelas dengan nilai baik, atau siswa yang jempolan di
kelasnya. Bahkan gambaran ini meluas pada citra fisik, yaitu citra anak yang
wajahnya bersih, berpakaian rapi, matanya bersinar, atau berkacamata.
Sebaliknya, gambaran anak yang berinteligensi rendah membawa citra
seseorang yang lamban berfikir, sulit mengerti, prestasi belajarnya rendah,
dan mulut lebih banyak menganga disertai tatapan mata bingung.
Pandangan awam sebagaimana digambarkan di atas, walaupun tidak
memberikan arti yang jelas tentang inteligensi namun pada umumnya tidak
berbeda jauh dari makna inteligensi sebagaimana yang dimaksudkan oleh
para ahli. Apapun definisinya, makna inteligensi memang mendeskripsikan
kepintaran dan kebodohan. Pada umumnya, para ahli menerima pengertian
akan inteligensi sebagaimana istilah tersebut digunakan oleh orang awam.
Definisi pendidikan intelektual ialah pendidikan yang bermaksud
mengembangkan daya-daya pikir (kecerdasan) anak-anak dan menambah
pengetahuan anak-anak. Pendidikan intelektual itu tidak hanya menambah
pengetahuan anak-anak saja. Pendidikan intelektual juga merupakan syarat
atau dasar untuk melaksanakan macam-macam atau segi-segi pendidikan
yang lain, seperti pendidikan ketuhanan, pendidikan kesusilaan, pendidikan
keindahan, dan pendidikan kemasyarakatan. Pendidikan intelektual terutama
28
bermaksud mengembangkan kecerdasan anak-anak dan menambah
pengetahuannya.
Tugas pendidikan intelektual mempunyai dua tugas yang penting,
yaitu:
1) Pembentukan Fungsional
Yang dimaksud dengan pendidikan fungsional atau pembentukan formal
ialah mengembangkan fungsi-fungsi jiwa, seperti pengamatan, ingatan,
fantasi, berpikir, kemauan, dan sebagainya. Dalam pendidikan intelektual
dikatakan pembentukan formal jika yang diutamakan ialah
mengembangkan fungsi-fungsi jiwa. Fungsi-fungsi jiwa anak itu dapat
dilatih dan dikembangkan, umpamanya dengan membiasakan anak-anak
memusatkan perhatian kepada suatu pelajaran, belajar mengamati dengan
baik dan teliti, melatih ingatan dan fantasinya dan yang terpenting ialah
melatih fungsi berpikirnya.
2) Pembentukan Material
Pendidikan intelektual disebut pembentukan material jika di dalamnya
bermaksud menambah ilmu pengetahuan atau bahan-bahan (materi) yang
dibutuhkan di dalam kehidupan manusia seperti tanggapan-tanggapan,
pengertian-pengertian, pengetahuan-pengetahuan siap, dan keterampilan-
keterampilan yang penting bagi kehidupan. Pembentukan material dapat
kita bagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Menambah pengetahuan: seperti dalam mengajarkan sejarah, ilmu
bumi, ilmu hayat, bahasa, matematika, fisika, dan sebagainya.
b. Melatih keterampilan: seperti dalam pelajaran membaca, menulis,
menggambar, pekerjaan tangan, dan lain sebagainya.
(https://www.scribd.com/doc/22558726/Pendidikan-Intelektual-Hadits-
Tarbawi.diunduh pada tanggal 16 Agustus 2016 pada 13.46 wib.)
Menurut Jhon Locke yang pendapatnya dikutip oleh Diah Ayuningsih
(2011 : 11) adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-
rangsangan yang berasal dari lingkungan. Augustinus yang dipandang sebagai
peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak tidaklah
29
sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk
menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih
mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan
yang memaksa.
Anak sebagai orang yang memiliki pikiran, perasaan, sikap dan minat
berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasan. Haditono (1992 :
13) berpendapat bahwa anak merupakan makhluk yang membutuhkan
pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, selain itu
anak bagian dari keluarga dan keluarga memberi kesempatan kepada sang
anak untuk belajar tingkah laku yang penting dalam kehidupan bersama.
Sementara itu ada yang berpendapat anak adalah makhluk yang sedang dalam
tarap perkembangan yang mempunyai perasaan, pikiran, kehendak sendiri,
yang kesemuanya itu menjadi totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur
yang berlainan pada tiap fase-fase perkembangannya.
Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa anak
merupakan makhluk sosial yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang,
dan tempat bagi perkembangannya, anak juga mempunyai perasaan, pikiran
dan kehendak tersendiri yang merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta
struktur yang berlainan pada tiap fase-fase perkembangan pada masa kanak-
kanak (anak).
Menurut Desmita dalam buku yang berjudul Psikologi Perkembangan
(2012 : 153), bahwasannya pada masa pertengahan dan akhir anak-anak
merupakan kelanjutan dalam masa awal anak-anak yang telah dipaparkan
dalam Bab 5. Periode ini berlangsung dari usia 6 tahun hingga tiba saatnya
individu menjadi matang secara seksual. Permulaan masa pertengahan dan
akhir anak-anak ini ditandai dengan masuknya anak ke kelas satu sekolah
dasar. Bagi sebagian besar anak, hal ini merupakan perubahan besar dalam
pola kehidupannya. Sebab, masuk kelas satu merupakan peristiwa penting
30
bagi anak yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap, nilai,
dan perilaku.
Sampai dengan usia sekitar 6 tahun terlihat badan anak bagian atas
berkembang lebih lambat daripada bagian bawah. Anggota-anggota badan
relative masih pendek, kepala dan perut relative masih besar. Selama masa
akhir anak-anak, tinggi bertumbuh sekitar 5 hingga 6% dan berat bertambah
sekitar 10% setiap tahun. Pada usia 6 tahun tinggi rata-rata anak adalah 46
inci dengan berat 22,5 kg. Kemudian pada usia 12 tahun tinggi anak
mencapai 60 inci dan berat 80 hingga 42,5 kg (Mussen, Conger & Kagan,
1969). Jadi, pada masa ini peningkatan berat badan anak lebih banyak
daripada panjang badannya. Pertumbuhan fisik selama ini, di samping
memberikan kemampuan bagi anak-anak untuk berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas baru, tetapi juga dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan
dan kesulitan-kesulitan secara fisik dan psikologis bagi mereka.
Psikologi anak (child psychology) ini secara khusus mempelajari
bagian perkembangan pada anak yang dimulai dari perkembangan masa
konsepsi, prenatal serta kelahiran seorang bayi sampai usia 12 tahun. Dalam
konsep ilmu psikologis anak, yang dimaksud dengan anak ialah mereka yang
sedang berada dalam perkembangan masa prenatal, lahir, bayi, atitama (anak
tiga tahun pertama), altama (anak lima tahun pertama), dan anak tengah (usia
6-12 tahun). Secara khusus Psikologi Anak dapat pula dibagi menjadi tiga
bagian yaitu, sebagai berikut:
1) Psikologi perkembangan anak tiga tahun pertama (psikologi atitama),
2) Psikologi perkembangan anak lima tahun pertama (psikologi altama),
3) Psikologi perkembangan anak (psikologi anak usia sekolah 6-12 tahun).
Ciri khusus perkembangan anak ialah perkembangan aspek-aspek psikis yang
bersifat progresif, cepat dan mudah diamati secara kuantitatif maupun
kualitatif. (Agoes Dariyo, 2011 : 8)
Berdasarkan uraian diatas, bahwasannya untuk mempelajari
bagaimana perkembangan anak yang dimulai dari perkembangan masa
31
konsepsi, prenatal serta kelahiran seorang bayi sampai usia 12 tahun. Dapat
berkembang secara aspek psikis dan dapat diamati secara kuantitatif dan
kualitatif.
Dalam membahas tujuan pendidikan anak, tentu tidak dapat lepas dari
tujuan pendidikan islam yaitu untuk mencapai tujuan hidup muslim.
Sebagaimana ungkapan Chabib Thoha bahwa tujuan pendidikan, secara
umum adalah untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan
kesadaran manusia sebagai makhluk Allah SWT. Agar mereka tumbuh dan
berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-
Nya. (Chabib Thoha, 1996 : 100)
B. Perkembangan Pendidikan Intelektual
Perkembangan manusia sepanjang hidup akan mengalami siklus dari
sejak masa janin di kandungan hingga lahir, tumbuh menjadi bayi, anak-anak,
remaja, dewasa dan terakhir pada fase kematian. Untuk dapat menjalani
dengan baik, agar seorang individu mencapai kebahagiaan lahir batin di dunia
dan akhirat, diperlukan pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan
orang tua maupun pendidikan sekolah formal akan mampu mempengaruhi
perkembangan kepribadian yang baik. Demikian pula, perkembangan fisik,
kognitif maupun psikososial manusia sejak lahir hingga dewasa akan dapat
dijadikan dasar-dasar penerapan strategi pengajaran dan pendidikan agar
mampu memaksimalkan potensinya dengan baik. (Agoes Dariyo, 2011 : 11)
Berdasarkan uraian diatas, pendidikan formal maupun non formal itu
sangatlah penting bagi seorang individu atau seorang anak di usia yang sudah
memasuki dunia pendidikan, agar perkembangan fisik dan kognitif mendjadi
dasar penerapan strategi pengajaran dan pendidikan yang mampu
memaksimalkan potensi dengan baik dan seorang individu atau anak ini akan
mencapai kebahagiaan lahir batin di dunia dan akhirat.
32
Pemerintah maupun semua warga masyarakat sangat memperhatikan
pendidikan formal, namun seringkali kurikulum pembelajaran di sekolah
tidak sesuai dengan perkembangan anak. Beban materi pelajaran terlalu
banyak dan sulit dicerna oleh anak-anak. Akibatnya anak menjadi stress, dan
kurang bermain. Padahal dunia anak adalah dunia bermain. Oleh karena itu,
seorang psikolog perkembangan akan dapat berperan memberi pemikiran dan
pandangan secara ilmiah untuk membuat dan merancang pendidikan anak
yang manusiawi. Artinya beban pelajaran disesuaikan dengan tahap
perkembangan anak. (Agoes Dariyo, 2011 : 16)
Bahwasannya kemampuan intelektual anak di usia 6-12 tahun ini
tidaklah sama dengan orang dewasa, karena dalam kemampuan anak di usia
6-12 tahun sangatlah terbatas. Dilihat pada zaman sekarang dunia pendidikan
khususnya di sekolah seringkali kurikulum pembelajarannya tidak sesuai
dengan perkembangan anak, sehingga anak tersebut mudah stress dan
kurangnya bermain. Disini seorang psikolog perkembangan akan berperan
untuk memberikan pandangan secara ilmiah untuk merancang pendidikan
anak yang manusiawi, artinya beban mata pelajaran di sekolah dapat
disesuaikan dengan kemampuan perkembangan intelektual anak.
Perkembangan intelek sering juga dikenal didunia psikologi maupun
pendidikan dengan istilah perkembangan kognitif. Berbicara mengenai
perkembangan intelek atau kognitif, seringkali tidak dapat dipisahkan dari
seorang pelopor psikologi kognitif yang bernama Jean Piaget. Dan memang
merupakan seorang ahli psikologi yang memberikan sumbangan sangat besar
dalam psikologi kognitif atau berpikir. Hasil pemikiran dan temuan-temuan
penelitian Jean Piaget yang dilakukan secara serius terhadap tiga orang
anaknya secara longitudinal bertahun-tahun, sampai saat ini intelek atau
perkembangan berpikir manusia, Piaget-lah ahli psikologi yang memelopori
pembahasan berpikir manusia dengan menyusun tahapan-tahapan atau
tingkatan kemampuan berpikir manusia sehingga dapat diketahui kemampuan
33
berpikir manusia sesuai dengan perkembangan umur mereka. (Mohammad
Ali dan Mohammad Asrori, 2008 : 26)
Perkembangan kognitif manusia merupakan proses psikologi yang di
dalamnya melibatkan proses memperoleh, menyusun, dan menggunakan
pengetahuan, serta kegiatan mental seperti berpikir, menimbang, mengamati,
mengingat, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan memecahkan
persoalan yang berlangsung melalui interaksi dengan lingkungan.
Jean Piaget tidak sependapat dengan pandangan yang mengatakan
bahwa kecerdasan adalah faktor bawaan, yang berarti manusia tinggal
menerima perbedaan-perbedaan yang ada. Pandangan seperti ini dianggap
akan membawa pengaruh kurang positif atau bahkan negatif terhadap proses
pendidikan dan upaya pengembangan kemampuan berpikir anak.
Berdasarkan penelitiannya yang dilakukan secara serius dengan cara
mengobservasi secara partisipan dalam jangka waktu lama, Jean Piaget
mendapati bahwa anak pada umur tertentu mengalami kesulitan untuk
mengerti hal-hal yang sederhana. Misalnya, seorang anak kecil ternyata
mengalami kesulitan untuk memahami mengapa air yang banyaknya sama
apabila dituangkan dari gelas pendek besar ke gelas tinggi kecil ternyata
hasilnya sama dan tidak tumpah.
Perkembangan kehidupan intelektual pada abad pertengahan
setidaknya didominasi oleh tiga kekuatan besar, yaitu Latin, Yunani, dan
Islam. Ketiga kekuatan tersebut berlangsung secara parsial dan saling
mencurigai antara satu dengan yang lain. Terutama ketika Kristen Yunani dan
Kristen Latin berada dalam hegemoni kekuatan dogmatik kepausan,
menyebabkannya mengalami stagnan. Kedua kelompok ini telah memisahkan
diri dari warisan Helenistik. Hanya beberapa daerah cendekiawan Nestorian
mampu membebaskan belenggu tersebut, seperti cendikiawan Nestorian di
wilayah Timur dan di wilayah kekuasaan Islam, Sisilia dan Spanyol.
Sementara Islam, melalui motivasi normatifnya telah menggugah umat untuk
34
senantiasa mengembangkan kebudayaannya. Pluralisme inilah yang
menyebabkan Islam lebih inklusif dalam menerima kebudayaan di luar Islam.
Transformasi ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan para
cendekiawan muslim abad pertengahan diadopsi, serta bahkan kemudian
menjadi bahan rujukan utama cendekiawan Eropa era sesudahnya. Dengan
usaha genius para cendekiawan muslim tersebut, sesungguhnya Eropa (Barat)
dalam mengembangkan peradabannya. Telah berhutang budi yang demikian
besar terhadap warisan ilmu pengetahuan cendekiawan muslim abad
pertengahan. Melalui persentuhan ekspansi yang dilakukan umat Islam, baik
dari masa Rasulullah sampai pada masa pemerintahan Bani Abasiah, telah
menyebabkan terjadinya persentuhan antara kebudayaan Islam dengan
kebudayaan lokal. Persentuhan inilah yang kemudian telah membentuk
sebuah paradigma baru bagi pengembangan intelektualitas dan peradaban
umat Islam. (Samsul Nizar, 2005 : 20-21)
Minat yang demikian besar untuk mempelajari Neo Platonisme dan
Aristotelianisme dengan pewarnaan normatif Islam telah menjadi
cendekiawan muslim mampu menguasai dinamika intelektual dan
kebudayaan dunia abad pertengahan. Persentuhan kebudayaan Islam dengan
kebudayaan klasik, paling tidak terjadi melalui jalur penterjemahan karya-
karya klasik. Karya-karya klasik tersebut kemudian diulas oleh para
cendekiawan muslim dengan menggunakan kaidah-kaidah normatif Islam. Di
sini terlihat begitu inklusifitas Islam terhadap kebudayaan lokal yang telah
memiliki peradaban tinggi. Proses ini telah terlaksana sejak masa
pemerintahan Bani Umayah dan mendapatkan momentumnya pada masa
pemerintahan Bani Abasiah. Dinamika intelektualitas yang diperlihatkan
umat Islam waktu itu bukan saja secara kolektif atau karena faktor penguasa
belaka, akan tetapi juga tumbuh secara individual. Kesemua inilah yang
kemudian membuat pertumbuhan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dunia
Islam menjadi demikian maju dan bahkan menjadi mercusuar kebudayaan
dunia. (Samsul Nizar, 2005 : 21-22)
35
Menurut Sarlito W. Sarwono (2011 : 88), mengatakan bahwasannya
hampir semua orang tua di Indonesia mengharapkan anaknya pandai di
sekolah. Mereka yang mampu ingin anaknya menjadi sarjana. Seakan-akan
dengan modal kepandaian seseorang dijamin akan berhasil dalam hidupnya.
Kepandaian sering kali diartikan angka rapor yang tinggi, apalagi
kalau bisa masuk “ranking” 10 besar. Tetapi, baik-buruknya angka rapor
tidak selalu disebabkan oleh kepandaian (yang dalam bahasa psikologinya
dinamakan, inteligensi), karena hal tersebut tergantung juga pada berbagai
faktor lain, seperti cara guru mengajar, lingkungan sekolah, hasrat belajar
anak, kreativitas, dan lain-lain. Bahkan, dalam bidang-bidang lain di luar
sekolah pun prestasi seseorang selalu merupakan hasil perpaduan antara
berbagai faktor termasuk inteligensi. Inteligensi itu sendiri oleh David
Wechsler (1958) didefinisikan sebagai “keseluruhan kemampuan individu
untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai
lingkungan secara efektif”.
Jadi, menurut Sarlito W. Sarwono (2011 : 89), pada dasarnya
inteligensi itu memang mengandung unsur pikiran atau rasio. Makin banyak
unsur rasio yang harus digunakan dalam suatu tindakan atau tingkah laku,
makin berinteligensi tingkah laku tersebut. Kita ambil contoh, seorang anak
kecil berusia 4 tahun sedang bermain di taman bunga. Ia melihat bunga-bunga
berwarna-warni, lari mengerja kupu-kupu, mencium bunga-bunga itu, dan
sebagainya. Tindakan-tindakan itu masih berkadar inteligensi yang rendah
karena unsur rasionya juga rendah. Tetapi anak yang lebih besar, misalnya
sudah berusia 7 tahun, ia menghitung berapa macam bunga yang ada di taman
itu dan apa saja warnanya. Tindakan ini sudah lebih berinteligensi daripada
tindakan anak kecil tadi. Anak yang sudah SMP mungkin sudah dapat
menyebutkan warna bunga-bunga itu satu per satu dan tergolong rumpun apa
berikut nama Latinnya. Sedangkan, seorang insinyur pertanian mampu
mengadakan perkawinan silang antara bunga-bunga tersebut untuk
mendapatkan warna-warna bunga tertentu atau untuk mendapat jenis bunga
36
yang ukurannya sangat besar atau jumlahnya lebih banyak dalam areal tanam
yang terbatas, dan sebagainya. Jelaslah bahwa tindakan-tindakan yang
terakhir ini adalah yang paling berinteligensi di antara tindakan sebelumnya.
Karakteristik anak usia 6-12 tahun menurut Desmita (2012 : 35-36),
bahwasannya usia rata-rata anak Indonesia saat masuk sekolah dasar 6 tahun
dan selesai pada usia 12 tahun. Kalau mengacu pada pembagian tahapan
perkembangan anak, berarti anak usia sekolah berada dalam dua masa
perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah (6-9 tahun), dan masa kanak-
kanak akhir (10-12 tahun). Anak-anak usia sekolah ini memiliki karakteristik
yang berbeda dengan anak-anak yang usianya lebih muda. Ia senang bermain,
senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan
atau melakukan sesuatu secara langsung. Oleh sebab itu, guru hendaknya
mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur permainan,
mengusahakan siswa berpindah atau bergerak, bekerja atau belajar dalam
kelompok, serta memberikan kesempatan untuk terlibat langsung dalam
pembelajaran. Menurut Havighurst, tugas perkembangan anak usia 6-12
tahun (sekolah dasar) meliputi:
1) Menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permaianan dan
aktivitas fisik.
2) Membina hidup sehat.
3) Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok.
4) Belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin.
5) Belajar membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi
dalam masyarakat.
6) Memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berpikir efektif.
7) Mengembangkan kata hati, moral dan nilai-nilai.
8) Mencapai kemandirian pribadi.
Tahap perkembangan intelektual (antara umur 6/7 tahun–12/13
tahun), masa perkembangan intelektual ini meliputi masa siap sekolah, dan
37
masa anak bersekolah (umur 7-12 tahun). Beberapa ciri pribadi anak masa
kini antara lain sebagai berikut: (Djaali, 2014 : 27-28)
1) Kritis dan realistis;
2) Banyak ingin tahu dan suka belajar;
3) Ada perhatian terhadap hal-hal yang praktis dan konkret dalam kehidupan
sehari-hari;
4) Mulai timbul minat terhadap bidang-bidang pelajaran tertentu;
5) Sampai umur 11 tahun anak suka minta bantuan kepada orang dewasa
dalam menyelesaikan tugas belajar;
6) Mendambakan angka raport yang tinggi tanpa memikirkan tingkat prestasi
belajarnya;
7) Setelah umur 11 tahun, anak mulai ingin bekerja sendiri dalam
menyelesaikan tugas belajarnya;
8) Anak suka berkelompok dan memilih teman sebaya dalam bermain dan
belajar;
9) Masa Pueral (umur 11/12 tahun). Beberapa ciri pribadi anak masa pueral
antara lain mempunyai harga diri yang kuat, ingin berkuasa dan menjadi
juara, tingkah lakunya sering berorientasi kepada orang lain, suka
bersaing, suka bergaya tetapi penakut, dan suka memerankan tokoh besar.
Menurut Syamsu Yusuf (2012 : 178-179), pada usia sekolah dasar (6-
12 tahun) anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual, atau
melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau
kemampuan kognitif (seperti membaca, menulis, dan menghitung). Sebelum
masa ini, yaitu masa prasekolah, daya pikir anak masih bersifat imajinatif,
berangan-angan (berkhayal), sedangkan pada usia SD daya pikirnya sudah
berkembang kearah berpikir konkret dan rasional (dapat diterima akal). Piaget
menanamkannya sebagai masa operasi konkret, masa berakhirnya berpikir
khayal dan mulai berpikir konkret (berkaitan dengan dunia nyata). Periode ini
ditandai dengan tiga kemampuan atau kecakapan baru, yaitu
mengklasifikasikan (mengelompokkan), menyusun, atau mengasosiasikan
38
(menghubungkan atau menghitung) angka-angka atau bilangan. Kemampuan
yang berkaitan dengan perhitungan (angka), seperti menambah, mengurangi,
mengalikan, dan membagi. Di samping itu, pada akhir masa ini anak sudah
memiliki kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang
sederhana.
Pertumbuhan pada masa sekolah dasar, permulaan pendidikan formal
bukan hanya menambah kesempatan untuk meningkatkan perkembangan
sosialnya, tetapi juga akan menimbulkan kemampuan untuk menyesuaikan
diri, sehingga dapat mendorong untuk bertingkah laku sesuai dengan yang
diinginkan oleh masyarakat. Salah satu jalan pemecahannya terletak kepada
bimbingan guru yang terampil dan yang simpatik. Anak yang berumur antara
6-12 tahun biasanya memperlihatkan penyesuaian diri yang luar biasa
terhadap lingkungan sosialnya yang selalu berubah. Pada umur 6 tahun anak
tersebut mengalami kebingungan karena taraf kesadaran sosial dan
kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan pola sosial yang diterima di
sekolah berbeda dengan pengalaman yang diterima sebelumnya seperti
tingkat perkembangan fisiknya, tingkat ketajaman mental, dan tipenya.
(Djaali, 2014 : 54)
Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi
dasar diberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola
pikir atau daya nalarnya. Kepada anak sudah dapat diberikan dasar-dasar
keilmuan, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Di samping itu, kepada
anak diberikan juga pengetahuan-pengetahuan tentang manusia, hewan,
lingkungan alam sekitar dan sebagainya. Untuk mengembangkan daya
nalarnya dengan melatih anak untuk mengungkapkan pendapat, gagasan atau
penilaiannya terhadap berbagai hal, baik yang dialaminya maupun peristiwa
yang terjadi di lingkungannya. Misalnya, yang berkaitan dengan materi
pelajaran, tata tertib sekolah, pergaulan yang baik dengan teman sebaya atau
orang lain dan sebagainya. Dalam rangka mengembangkan kemampuan anak,
maka sekolahlah dalam hal ini guru seyogianya memberikan kesempatan
kepada anak untuk mengemukakan pertanyaan, memberikan komentar atau
39
pendapatnya tentang materi pelajaran yang dibacanya atau dijelaskan guru,
membuat karangan, menyusun laporan (hasil study tour atau diskusi
kelompok).
Adapun tugas-tugas perkembangan pada masa sekolah usia 6-12 tahun
yaitu, sebagai berikut. (Syamsu Yusuf, 2012 : 69-71)
a. Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan.
Melalui pertumbuhan fisik dan otak, anak belajar dan berlari semakin
stabil, makin mantap dan cepat. Pada masa sekolah anak sudah sampai
pada taraf penguasaan otot, sehingga sudah dapat berbaris, melakukan
senam pagi dan permainan-permainan ringan, seperti sepak bola, loncat
tali, berenang, dan sebagainya.
b. Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai
makhluk biologis. Hakikat tugas ini ialah (1) mengembangkan kebiasaan
untuk memelihara badan, meliputi kebersihan, keselamatan diri, dan
kesehatan; (2) mengembangkan sikap positif terhadap jenis kelaminnya
(pria atau wanita) dan juga menerima dirinya (baik rupa wajahnya maupun
postur tubuhnya) secara positif.
c. Belajar bergaul dengan teman-teman sebaya. Yakni belajar menyesuaikan
diri dengan lingkungan dan situasi yang baru serta teman-teman
sebayanya. Pergaulan anak di sekolah atau teman sebayanya mungkin
diwarnai perasaan senang, karena secara kebetulan temannya itu berbudi
baik, tetapi mungkin juga diwarnai oleh perasaan baik senang karena
teman sepermainannya suka mengganggu atau nakal.
d. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya. Apabila
anak sudah masuk sekolah, perbedaan jenis kelamin akan semakin tampak.
Dari segi permainan umpamanya akan tampak bahwa anak laki-laki tidak
akan memperbolehkan anak perempuan mengikuti permainannya yang
khas laki-laki, seperti main kelereng, main bola, dan layang-layang.
e. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung.
Salah satu sebab masa usia 6-12 tahun disebut masa sekolah karena
pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohaninya sudah cukup matang
40
untuk menerima pengajaran. Untuk dapat hidup dalam masyarakat yang
berbudaya, paling sedikit anak harus tamat sekolah dasar (SD), karena dari
sekolah dasar anak sudah memperoleh keterampilan dasar dalam
membaca, menulis, dan berhitung.
f. Belajar mengembangkan konsep sehari-hari. Apabila kita telah melihat
sesuatu, mendengar, mengecap, mencium, dan mengalami, tinggallah
suatu ingatan pada kita. Ingatan mengenai pengamatan yang telah lalu itu
disebut konsep (tanggapan). Demikianlah kita mempunyai tanggapan
tentang ayah, ibu, rumah, pakaian, buku, sekolah, dan juga mengenai
gerak-gerik yang dilakukan, seperti berbicara, berjalan, berenang, dan
menulis. Bertambahnya pengalaman akan menambah perbendaharaan
konsep pada anak. Tak perlu diuraikan lagi bahwa dalam kehidupan
sangat banyak konsep yang dibutuhkan. Semakin bertambah pengetahuan,
semakin bertambah pula konsep yang diperoleh. Tugas sekolah yaitu
menanamkan konsep-konsep yang jelas dan benar. Konsep-konsep itu
meliputi kaidah-kaidah atau ajaran agama (moral), ilmu pengetahuan, adat
istiadat, dan sebagainya. Untuk mengembangkan tugas perkembangan
anak ini, maka guru dalam mendidik atau mengajar di sekolah sebaiknya
memberikan bimbingan kepada anak untuk:
1) Banyak melihat, mendengar, dan mengalami sebanyak-banyaknya
tentang sesuatu yang bermanfaat untuk peningkatan ilmu dan kehidupan
bermasyarakat.
2) Banyak membaca buku-buku atau media cetak lainnya. Semakin
dipahami konsep-konsep tersebut, semakin mudah untuk
memperbincangkannya dan semakin mudah pula bagi anak untuk
mempergunakannya pada waktu berpikir.
g. Mengembangakan kata hati. Hakikat tugas ini ialah mengembangkan
sikap dan perasaan yang berhubungan dengan norma-norma agama. Hal
ini menyangkut penerimaan dan penghargaan terhadap peraturan agama
(moral) disertai dengan perasaan senang untuk melakukan atau tidak
melakukannya. Tugas perkembangan ini berhubungan dengan masalah
41
benar salah, boleh tidak boleh, seperti jujur itu baik, bohong itu buruk, dan
sebagainya.
h. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi. Hakikat tugas ini
ialah untuk dapat menjadi orang yang berdiri sendiri, dalam arti dapat
membuat rencana, berbuat untuk masa sekarang dan masa yang akan
dating bebas dari pengaruh orang tua dan orang lain.
i. Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial dan
lembaga-lembaga. Hakikat tugas ini ialah mengembangkan sikap sosial
yang demokratis dan menghargai hak orang lain. Umpamanya,
mengembangkan sikap tolong menolong, sikap tenggang rasa, mau
bekerjasama dengan orang lain, toleransi terhadap pendapat orang lain dan
menghargai hak orang lain.
Seiring dengan masuknya anak ke sekolah dasar, maka kemampuan
kognitif atau intelektualnya turut mengalami perkembangan yang pesat.
Karena dengan masuknya sekolah, berarti dunia dan minat anak bertambah
luas, dan dengan meluasnya minat maka bertambah pula pengertian tentang
manusia dan objek-objek yang sebelumnya kurang berarti bagi anak. Dalam
keadaan normal, pikiran anak usia sekolah berkembang secara berangsur-
angsur. Kalau pun masa sebelumnya daya pikir anak masih bersifat imajinatif
dan egosentris, maka pada usia sekolah dasar ini daya pikir anak berkembang
ka arah berpikir konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat
kuat, sehingga anak benar-benar berada dalam suatu stadium belajar. (Agoes
Dariyo, 2011 : 156)
Menurut teori kognitif Piaget, pemikiran anak-anak usia sekolah dasar
disebut pemikiran operasional konkrit (concrete operational thought).
Menurut Piaget, operasi adalah hubungan-hubungan logis di antara konsep-
konsep atau skema-skema. Sedangkan operasi konkrit adalah aktivitas mental
yang difokuskan pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa nyata atau konkrit
dapat diukur.
Pada masa ini anak sudah mengembangkan pikiran logis. Ia mulai
mampu memahami operasi dalam sejumlah konsep, seperti 5 : 6 = 30, 30 : 6
42
= 5 (Johnson dan Medinnus, 1974). Dalam upaya memahami alam sekitarnya,
mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari
pancaindera, karena ia mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan
apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan antara
yang bersifat sementara dengan ang bersifat menetap. Misalnya, mereka akan
tahu bahwa air dalam gelas besar pendek dipindahkan ke dalam gelas yang
kecil tinggi, jumlahnya akan tetap sama karena tidak satu tetes pun yang
tumpah. Hal ini adalah karena mereka tidak lagi mengandalkan persepsi
penglihatannya, melainkan sudah mampu menggunakan logikanya. Mereka
dapat mengukur, menimbang, dan menghitung jumlahnya, sehingga
perbedaan yang nyata tidak “membodohkan” mereka. (Agoes Dariyo, 2011 :
156)
Menurut Piaget, anak-anak pada masa konkrit operasinal ini telah
mampu menyadari konservasi, yakni kemampuan anak untuk berhubungan
dengan sejumlah aspek yang berbeda secara serempak (Johnson dan
Medinnus, 1974). Hal ini adalah karena pada masa ini anak telah
mengembangkan tiga macam proses yang disebut dengan operasi-operasi,
yaitu negasi, resiprokasi, dan identitas.
Negasi (negotion). Pada masa ini pra-operasional anak hanya melihat
keadaan permulaan dan akhir dari deretan benda, yaitu pada mulanya
keadaannya sama dan pada akhirnya keadaannya menjadi tidak sama. Anak
tidak melihat apa yang terjadi di antaranya. Tetapi, pada masa konkrit
operasional, anak memahami proses apa yang terjadi di anatara kegiatan itu
dan memahami hubungan-hubungan antara keduanya. Pada deretan benda-
benda, anak bisa melalui kegiatan mentalnya mengembalikan atau
membatalkan perubahan yang terjadi sehingga bisa menjawab bahwa jumlah
benda-benda adalah tetap sama. Hubungan timbal balik (resiprokasi). Ketika
anak melihat bagaimana deretan dari benda-benda itu diubah, anak
mengetahui bahwa deretan benda-benda bertambah panjang tetapi tidak rapat
lagi dibandingkan dengan deretan lain. Karena anak mengetahui hubungan
timbal balik antara panjang dan kurang rapat atau sebaliknya kurang panjang
43
tetapi lebih rapat, maka anak tahu pula bahwa jumlah benda-benda yang ada
pada kedua deretan itu sama. Identitas, anak pada masa konkrit operasional
sudah bisa mengenal satu persatu benda-benda yang ada pada deretan-deretan
itu. Anak bisa menghitung, sehingga meskipun benda-benda dipindahkan,
anak dapat mengetahui bahwa jumlahnya akan tetap sama. (Agoes Dariyo,
2011 : 157)
Setelah mampu mengkonservasi angka, maka anak bisa
mengkonservasikan dimensi-dimensi lain, seperti isi dan panjang.
Kemampuan anak melakukan operasi-operasi mental dan kognitif ini
memungkinkannya mengadakan hubungan yang lebih luas dengan dunianya.
Operasi yang terjadi dalam diri anak memungkinkan pula untuk mengetahui
suatu perbuatan tanpa melihat bahwa perbuatan tersebut ditunjukkan. Jadi,
anak telah memiliki struktur kognitif yang memungkinkannya dapat berpikir
untuk melakukan suatu tindakan, tanpa ia sendiri bertindak secara nyata.
Hanya saja, apa yang dipikirkan oleh anak masih terbatas pada hal-hal yang
ada hubungannya dengan sesuatu yang konkrit, suatu realitas secara fisik,
benda-benda yang benar-benar nyata. Sebaliknya, benda-benda atau
peristiwa-peristiwa yang tidak ada hubungannya secara jelas dan konkrit
denga realitas, masih sulit dipikirkan oleh anak.
Keterbatasan lain yang terjadi dalam kemampuan berpikir konkrit
anak ialah egosentrisme. Artinya, anak belum mampu membedakan antara
perbuatan-perbuatan dan objek-objek yang secara langsung dialami dengan
perbuatan-perbuatan dan objek-objek yang hanya ada dalam pikirannya.
Misalnya, ketika kepada anak diberikan soal, ia tidak akan mulai dari sudut
objeknya, melainkan ia akan mulai dari dirinya sendiri. Egosentrisme pada
anak terlihat dari ketidakmampuan anak untuk melihat pikiran dan
pengalaman sebagai dua gejala yang masing-masing berdiri sendiri. (Agoes
Dariyo, 2011 : 158)
Adapun beberapa pendapat dari para ahli psikologi perkembangan
mengenai pendidikan intelektual atau cara berpikir anak, yaitu diantaranya
sebagai berikut:
44
a. Teori Jean Piaget
Menurut teori Jean Piaget seorang ahli psikologi dalam bukunya yang
berjudul “Pengantar Psikologi” (Malcolm Hardy Steve Heyes, 1988 : 56),
mengatakan bahwasannya Piaget ini tertarik pada bagaimana cara seorang
anak memahami dunianya. Dia mengamati perilaku si anak lalu menghasilkan
teori yang menekankan bahwa anak-anak memiliki cara berpikir yang
berbeda dengan orang dewasa. Dinyatakannya, bahwa anak-anak mengalami
beberapa tahap perkembangan kognitif mereka (yakni perkembangan
mengenai pola berpikir, ingatan, persepsi, dan lain-lain). Urutan tahap ini
tidak berubah-ubah, dan masing-masing tahap memiliki pola berpikir yang
berbeda-beda. Teori ini tidak hanya berhubungan dengan masalah
pematangan, karena meskipun anak-anak bergerak dari tahap yang satu ke
tahap berikutnya seiring dengan semakin dewasanya mereka, perkembangan
anak pun tergantung pada interaksinya dengan lingkungan. Anak-anak yang
berada di lingkungan yang mendukung ke aktifannya akan mengalami
perkembangan yang lebih cepat daripada mereka yang berada di lingkungan
yang tidak mendukung.
Perkembangan intelektual anak berlangsung melalui perkembangan
yang diacu Piaget sebagai skema (schemata). Piaget tidak menyinggung
mengenai bentuk skema yang terjadi di dalam otak, namun yang dibahas
adalah bentuk skema yang merupakan penggambaran internal mengenai
kegiatan fisik atau mental, sehingga skema dapat dianggap sebagai kumpulan
kaidah mengenai bagaimana caranya berinteraksi dengan lingkungan.
Seorang anak yang memiliki skema tertentu akan terdorong untuk
menggunakannya. Piaget menekankan, bahwa aktivitas di dalam
menggunakan skema inilah yang membawa anak ke arah hubungannya
dengan lingkungan, sehingga menghasilkan perkembangan kognitif. Jalan
yang ditempuh anak di dalam interaksinya dengan lingkungan tergantung
pada skema yang dimilikinya. Motivasi untuk mengulang kegiatan yang
berhubungan dengan skema dapat dilihat terutama sekali pada anak-anak
yang berusia beberapa bulan, yang mengayun-ayunkan kakinya sehingga
45
menyebabkan bergeraknya semua benda di dalam kereta bayi. Perbuatannya
itu akan diulangnya tanpa henti. Sedangkan pada usia sepuluh bulan anak
mulai dapat menjatuhkan mainan keluar dari tempat tidur sesering yang
dikembalikan kepadanya oleh orang dewasa. (Malcolm Hardy Steve Heyes,
1988 : 57)
Anak-anak mengerti dunianya melalui skemanya, sehingga anak yang
berusia tiga tahun mengerti bahwa mainan mobil-mobilan itu menarik, namun
tidak demikian halnya bagi bayi berusia empat bulan, karena mainan tersebut
tidak dapat diisap atau dibunyikan. Proses pemahaman dunia melalui skema
yang dimiliki anak disebut asimilasi (assimilation). Asimilasi mengenai
sesuatu hal melalui skema yang dimiliki membuat semakin banyak hal di
dunia yang dapat diingat oleh anak-anak, meskipun dalam beberapa kasus,
pencocokan sesuatu dengan jaringan kerja mental yang dimiliki anak
mengakibatkan anak tersebut berperilaku aneh di mata orang dewasa. Anak
yang berusia empat tahun, misalnya, memiliki sekumpulan skema mengenai
angka-angka yang berbeda dengan yang dimiliki orang dewasa, skema ini
sedemikian rupa sehingga pada saat kepada seorang anak ditanyakan, baris
manakah yang memiliki lebih banyak titik, anak pun menjawab bahwa baris
atas memiliki lebih banyak titik.
Anak mendapat umpan balik dari lingkungannya dengan maksud
supaya dia dapat memperbaiki persepsinya. Manakala dia memperoleh
pengalaman bahwa skema yang dimilikinya tidak sebanding dengan umpan
baliknya, dia dikatakan mengalami ketidakseimbangan (disequilibrium).
Misalnya, beberapa mainan akan berbunyi pada saat digenggam oleh anak-
anak yang pada bulan-bulan pertamanya sedang belajar mengenai skema
menggenggam dan mengisap mainan. Struktur mental yang mereka miliki
tidak dapat menghadapi kejadian ini, dan inilah yang dinamakan
ketidakseimbangan, yang menyebabkan berubahnya skema, sehingga skema
dapat mengimbangi rangsangan baru tersebut. Skema baru, yang
memungkinkan anak dapat menggunakan mainan sebagai alat bunyi-
bunyikan, telah terbentuk, dan kali ini terjadilah keseimbangan. Anak-anak
46
tersebut sekarang telah mampu mengasimilasikan benda ke dalam skema
barunya dan dapat menentukan mainan mana yang dapat dibunyikan dan
mana yang tidak. Keseimbangan ini hanya bersifat sementara, karena
kejadian kontinu berikutnya akan membentuk rangsangan yang lebih baru
pada diri anak, dan proses perubahan struktur mental, yang diistilahkan
sebagai akomodasi (accomodation), pun berlangsung. Apabila kepada anak
hanya diharapkan informasi dan pengalaman yang dapat diasimilasikan
dengan mudah, tidak akan terjadi akomodasi, dan perkembangan anak pun
akan terhambat. Di lain pihak, akomodasi pun tidak akan terjadi apabila
pengalaman yang dihadapkan terlalu asing bagi anak, sehingga anak pun
tidak dapat memahaminya. (Malcolm Hardy Steve Heyes, 1988 : 57)
Asimilasi informasi ke dalam skema dan akomodasi skema untuk
melayani adanya pengalaman baru berlangsung melalui beberapa tahap
perkembangan, dan pada masing-masing tahap terdapat organisasi skema
yang semakin kompleks. (Malcolm Hardy Steve Heyes, 1988 : 58) Jean
Piaget (Bybee dan Sund, 1982) membagi perkembangan intelektual atau
kognitif menjadi empat tahapan dan karakteristik, sebagai berikut.
(Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2008 : 27-29)
1. Tahap Sensori-Motoris
Tahap ini dialami pada usia 0-2 tahun. Pada tahap ini, anak berada
dalam suatu masa pertumbuhan yang ditandai oleh kecenderungan-
kecenderungan sensori-motoris yang sangat jelas. Segala perbuatan
merupakan perwujudan dari proses pematangan aspek sensori-motoris
tersebut.
Menurut Piaget (Bybee dan Sund, 1982: 27), pada tahap ini interaksi
anak dengan lingkungannya, termasuk orang tuanya, terutama dilakukan
melalui perasaan dan otot-ototnya. Interaksi ini terutama diarahkan oleh
sensasi-sensasi dari lingkungannya. Dalam melakukan interaksi dengan
lingkungannya, termasuk juga dengan orang tuanya, anak
mengembangkan kemampuannya untuk mempersepsi, melakukan
47
sentuhan-sentuhan, melakukan berbagai gerakan, dan secara perlahan-
lahan belajar mengoordinasikan tindakan-tindakannya.
Setiap tahapan memiliki karakteristik tersendiri sebagai perwujudan
kemampuan intelektual individu sesuai dengan tahap perkembangannya.
Tahap sensori-motoris ini ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai
berikut. (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2008 : 31)
a) Segala tindakannya masih bersifat naluriah.
b) Aktivitas pengalaman didasarkan terutama pada pengalaman indra.
c) Individu baru mampu melihat dan meresapi pengalaman, tetapi belum
mampu untuk mengategorikan pengalaman.
d) Individu mulai belajar menangani objek-objek konkret melalui skema-
skema sensori-motorisnya.
Sebagai upaya lebih memperjelas karakteristik tahap sensori-motoris
ini, Piaget (Bybee dan Sund, 1982) merinci lagi tahap sensori-motoris ke
dalam enam fase dan setiap fase memiliki karakteristik tersendiri.
1) Fase pertama (0-1 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu
individu mampu bereaksi secara refleks, individu mampu
menggerakgerakkan anggotaa badan meskipun belum terkoordinir, dan
individu mampu mengasimilasi dan mengakomodasikan berbagai pesan
yang diterima dari lingkungannya.
2) Fase kedua (1-4 bulan) memiliki karakteristik bahwa individu mampu
memperluas skema yang dimilikinya berdasarkan hereditas.
3) Fase ketiga (4-8 bulan) memiliki karakteristik bahwa individu mulai
dapat memahami hubungan antara perlakuannya terhadap benda dengan
akibat yang terjadi pada benda itu.
4) Fase keempat (8-12 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu
individu mampu memahami bahwa benda tetap ada meskipun untuk
sementara waktu hilang dan akan muncul lagi di waktu lain, individu
mulai mampu mencoba sesuatu, dan individu mampu menentukan
tujuan kegiatan tanpa tergantung kepada orang tua.
5) Fase kelima (12-18 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu
individu mulai mampu untuk meniru, dan individu mampu untuk
48
melakukan berbagai percobaan terhadap lingkungannya secara lebih
lancar.
6) Fase keenam (18-24 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu
individu mulai mampu untuk mengingat dan berpikir, individu mampu
untuk berpikir dnegan menggunakan symbol-simbol bahasa sederhana,
individu mampu berpikir untuk memechkan masalah sederhana sesuai
dengan tingkat perkembangannya, dan individu mampu memahami diri
sendiri sebagai individu yang sedang berkembang. (Mohammad Ali dan
Mohammad Asrori, 2008 : 32)
2. Tahap Praoperasional
Tahap ini berlangsung pada usia 2-7 tahun. Tahap ini disebut juga
tahap intuisi sebab perkembangan kognitifnya memperlihatkan
kecenderungan yang ditandai oleh suasana intuitif. Artinya, semua
perbuatan rasionalnya tidak didukung oleh pemikiran tetapi oleh unsur
perasaan, kecenderungan alamiah, sikap-sikap yang diperoleh dari orang-
orang bermakna, dan lingkungan sekitarnya.
Pada tahap ini, menurut Piaget (Bybee dan Sund, 1982 : 29), anak
sangat bersifat egosentris sehingga seringkali mengalami masalah dalam
berinteraksi dengan lingkungannya, termasuk dengan orang tuanya. Dalam
berinteraksi dengan orang lain, anak cenderung sulit untuk dapat
memahami pandangan orang lain dan lebih banyak mengutamakan
pandangannya sendiri. Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, ia masih
sulit untuk membaca kesempatan atau kemungkinan-kemungkinan karena
masih punya anggapan bahwa hanya ada satu kebenaran atau peristiwa
dalam setiap situasi.
Pada tahap ini, anak tidak selalu ditentukan oleh pengamatan indrawi
saja, tetapi juga pada intuisi. Anak mampu menyimpan kata-kata serta
menggunakannya, terutama yang berhubungan erat dengan kebutuhan
mereka. Pada masa ini anak siap untuk belajar bahasa, membaca, dan
menyanyi. Ketika kita menggunakan bahasa yang benar untuk berbicara
49
pada anak, akan mempunyai akibat sangat baik pada perkembangan bahasa
mereka. Cara belajar yang memegang peran pada tahap ini ialah intuisi.
Intuisi membebaskan mereka dari berbicara semaunya tanpa
menghiraukan pengalaman konkret dan paksaan dari luar. Sering kita lihat
anak berbicara sendiri dengan benda-benda yang ada di sekitarnya,
misalnya pohon, anjing, kucing, dan sebagainya, yang menurut mereka
benda-benda tersebut dapat mendengar dan berbicara. Peristiwa semacam
ini baik untuk melatih diri anak menggunakan kekayaan bahasanya. Piaget
menyebut tahap ini sebagai collective monologue, pembicara yang
egosentris dan sedikit hubungan dengan orang lain. (Mohammad Ali dan
Mohammad Asrori, 2008 : 28)
Tahap praoperasional ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai
berikut. (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2008 : 32)
a) Individu telah mengombinasikan dan mentransformasikan berbagai
informasi.
b) Individu telah mampu mengemukakan alasan-alasan dalam menyatakan
ide-ide.
c) Individu telah mengerti adanya hubungan sebab akibat dalam suatu
peristiwa konkret, meskipun logika hubungan sebab akibat belum tepat.
d) Cara berpikir individu bersifat egosentris ditandai oleh tingkah laku,
yaitu berpikir imajinatif, berbahasa egosentris, memiliki aku yang
tinggi, menampakkan dorongan ingin tahu yang tinggi, dan
perkembangan bahasa mulai pesat.
Berdasarkan uraian diatas, pada tahap praoperasional yang ditandai
dengan karakteristik disini bahwasannya seorang individu atau anak ini
mampu berpikir secara logis dan konkret, sehingga anak dapat
mentransformasikan berbagai info, mengemukakan berbagai alasan dan
idenya, serta anak tersebut dapat berkembang pesat dengan baik.
3. Tahap Operasional Konkret
Tahap ini berlangsung anatara usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, anak
mulai menyesuaikan diri dengan realitas konkret dan sudah mulai
berkembang rasa ingin tahunya. Pada tahap ini, menurut Piaget (Bybee dan
Sund, 1982), interaksinya dengan lingkungan, termasuk dengan orang
tuanya, sudah semakin berkurang. Anak sudah dapat mengamati,
50
menimbang, mengevaluasi, dan menjelaskan pikiran-pikiran orang lain
dalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif.
Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubugan fungsional
karena mereka sudah menguji coba suatu permasalahan. Cara berpikir
anak yang masih bersifat konkret menyebabkan mereka belum mampu
menangkap yang abstrak atau melakukan abstraksi tentang sesuatu yang
konkret. Di sini sering terjadi kesulitan anatara orang tua dan guru.
Misalnya, orang tua ingin menolong anak mengerjakan pekerjaan rumah,
tetapi memakai cara yang berbeda dengan cara yang dipakai oleh guru
sehingga anak tidak setuju. Sementara seringkali anak lebih percaya
terhadap apa yang dikatakan oleh gurunya ketimbang orang tuanya.
Akibatnya, kedua cara tersebut baik yang diberikan oleh guru maupun
orang tuanya sama-sama tidak dimengerti oleh anak. (Mohammad Ali dan
Mohammad Asrori, 2008 : 29)
Tahap operasional konkret ditandai dengan karakteristik menonjol
bahwa segala sesuatu dipahami sebagaimana yang tampak saja atau
sebagaimana kenyataan yang mereka alami. Jadi, cara berpikir individu
belum menangkap yang abstrak meskipun cara berpikirnya sudah tampak
sistematis dan logis. Dalam memahami konsep, individu sangat terikat
kepada proses mengalami sendiri. Artinya, mudah memahami konsep
kalau pengertian konsep itu dapat diamati atau melakukan sesuatu yang
berkaitan dengan konsep tersebut. (Mohammad Ali dan Mohammad
Asrori, 2008 : 32)
Berdasarkan uraian diatas, pada karakteristik di tahap operasional
konkret ini bahwa sesuatu yang telah dipahaminya sebagaimana dalam
keadaan yang tampak serta nyata mereka alami, sehingga cara berpikirnya
sudah logis dan sistematis pada anak tersebut.
51
4. Tahap Operasional Formal
Tahap ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun ke atas. Pada masa ini,
anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaannya
yang merupakan hasil dari berpikir logis. Aspek perasaan dan moralnya
juga telah berkembang sehingga dapat mendukung penyelesaian tugas-
tugasnya.
Pada tahap ini, menurut Piaget (Bybee dan Sund, 1982), interaksinya
dengan lingkungan sudah amat luas, menjangkau banyak teman sebayanya
dan bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa.
Kondisi seperti ini tidak jarang menimbulkan masalah dalam interaksinya
dengan orang tua. Namun, sebenarnya secara diam-diam mereka juga
masih mengharapkan perlindungan dari orang tua karena belum
sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Jadi, pada tahap
ini ada semacam tarik-menarik antara ingin bebas dengan ingin dilindungi.
Karena pada tahap ini anak sudah mulai mampu mengembangkan
pikiran formalnya, mereka juga mulai mampu mencapai logika dan rasio
serta dapat menggunakan abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka
mengerti. Melibatkan mereka dalam suatu kegiatan akan lebih
memberikan akibat yang positif bagi perkembangan kognitifnya.
Misalnya, menulis puisi, lomba karya ilmiah, lomba menulis cerpen, dan
sejenisnya. (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2008 : 29)
Tahap operasional formal ditandai dengan karakteristik menonjol
sebagai berikut. (Mohammad Ali & Mohammad Asrori, 2008 : 32-33)
a) Individu dapat mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan
abstraksi.
b) Individu mulai mampu berpikir logis dengan objek-objek yang abstrak.
c) Individu mulai mampu memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat
hipotetis.
d) Individu bahkan mulai mampu membuat perkiraan (forecasting) di
masa depan.
52
e) Individu mulai mampu untuk mengintrospeksi diri sendiri sehingga
kesadaran diri sendiri tercapai.
f) Individu mulai mampu membayangkan peranan-peranan yang akan
diperankan sebagai orang dewasa.
g) Individu mulai mampu untuk menyadari diri mempertahankan
kepentingan masyarakat di lingkungannya dan seseorang dalam
masyarakat tersebut.
Kesimpulannya dari ahli psikologi yang bernama Jean Piaget ini
mengemukakan, bahwa kemampuan belajar berkembang lebih dewasa
dengan melalui empat tahap utama, yaitu tahap sensorimotor, tahap
praoperasi, tahap operasi konkret, dan tahap operasi formal, serta dengan
jalan pembentukan dan perluasan struktur kognitif yang dinamakan skema.
Masa remaja memang merupakan masa transisi yakni masa peralihan
dari masa kanak-kanak memasuki pada kehidupan masa dewasa. banyak
perubahan yang dialami dalam diri remaja, yaitu meliputi perubahan aspek
fisiologis, psikologis maupun sosialisasinya. Masa perubahan tersebut
merupakan suatu fenomena tersendiri yang memacu para ahli dari berbagai
bidang disiplin ilmu untuk mengkajinya secara mendalam. (Agoes Dariyo,
2004 : 45)
b. Teori Jerome Bruner
Menurut teori Jean Piaget seorang ahli psikologi dalam bukunya yang
berjudul “Pengantar Psikologi” (Malcolm Hardy Steve Heyes, 1988 : 61),
mengatakan bahwasannya dasar pemikiran Bruner, yang mengarah kepada
perkembangan intelektual, sangat mirip dengan dasar pemikiran Piaget, tetapi
ada beberapa perbedaan yang penting dan cukup mendasar. Studi Piaget
terutama berkenaan dengan penjelasan mengenai apakah yang terjadi, dia
menjelaskan mengenai mekanisme apa yang terjadi di dalam perkembangan
intelektual, terutama dalam rangka menjernihkan penjelasan mengenai hal
apa yang terjadi itu sendiri. Bruner, di lain pihak, diliputi banyak pertanyaan
53
kepada dirinya sendiri mengenai bagaimana dan mengapa perkembangan
intelektual itu terjadi. Sementara Piaget menganggap bahwa proses
pematangan yang terjadi merupakan faktor yang paling utama sedangkan
kebudayaan dan pendidikan merupakan faktor penunjang, maka Bruner justru
menempatkan kedua faktor terakhir tersebut sebagai faktor yang paling
utama. Bruner tidak menyetujui pandangan Piaget, yang menyatakan bahwa
motivator utama atau pengaruh utama terhadap pertumbuhan intelektual
adalah biologi, karena Bruner berpendapat bahwa apabila perkembangan
biologi „menekan‟ seseorang ke arah perilaku yang lebih dapat menyesuaikan
diri, maka lingkungan pun akan „menarik‟ orang tersebut ke arah yang sama.
Di sini Bruner menekankan bahwa dia hanya melakukan studi
terhadap anak tanpa menguji pengalaman mereka, dan lingkungannya pun
dibatasi untuk memberikan gambaran yang tidak lengkap. Piaget hanya
menyatakan, bahwa perkembangan intelektual melibatkan interaksi antara
seseorang dengan lingkungannya, sedangkan Bruner lebih menekankan
penguatan kemampuan anak, dan menganggap bahwa lingkungan anaklah
yang bertindak sebagai penguat.
Akan tetapi, sama halnya dengan Piaget, Bruner pun yakin bahwa
perkembangan pada diri anak itu sendirilah yang memainkan peranan aktif di
dalam perkembangan anak, meskipun keluarga, sistem pendidikan, dan teman
main anak tersebut secara nyata juga mempengaruhi perkembangan anak,
namun anak membuat sendiri perasaan dunianya (sense of the world).
Bahwasannya persepsi merupakan proses konstruktif aktif, dan informasi
indera yang masih mentah, kita mengumpulkan dan menggambarkan hasil
tentang apa yang sebenarnya ada di sana. Sebagaimana kita memproses
rangsangan dan menyiapkan interaksinya, maka demikian Bruner
berpendapat, kita pun mengembangkan kemampuan kognitif kita agar supaya
mengerti dan dapat lebih berhasil berinteraksi dengan lingkungan kita.
54
Untuk dapat mengendalikan lingkungan, kita telah belajar untuk
menduganya, dan supaya kita mampu melakukannya, kita telah memilih pola-
pola yang terandalkan yang paling awal berupa ketetapan-ketetapan di dalam
kejadian yang mempengaruhi kita. Dengan demikian, kita telah belajar untuk
menggambarkan dan mengorganisasikan pengalaman-pengalaman kita secara
internal. Bruner sangat tertarik tentang bagaimana kita mengembangkan
kemampuan untuk menggambarkan lingkungan kita secara internal dan
menggunakan informasi ini untuk menduga apa yang akan terjadi di masa
mendatang. Bruner telah mengidentifikasi tiga tipe penggambaran yang
diyakininya sebagai dasar perkembangan kognitif. Ketiga tipe ini akan
membentuk penggambaran yang muncul pada diri manusia. Tipe
penggambaran ini kemudian dibandingkan dengan tahap-tahap perkembangan
yang dikemukakan Piaget, yaitu tahap perkembangan Piaget menguraikan
hal-hal apa yang dapat dilakukan anak secara biologis, sedangkan tipe
penggambaran Bruner lebih menekankan pada adanya perubahan
penggambaran atau pendugaan lingkungan oleh seseorang. (Malcolm Hardy
Steve Heyes, 1988 : 61-64)
1) Penggambaran Enaktif. Tipe penggambaran yang pertama kali muncul
pada diri anak diistilahkan Bruner sebagai penggambaran enaktif (enactive
representation). Suatu cara yang berguna untuk mengingat penggambaran
ini adalah dengan menganggap penggambaran ini sebagai „motor‟ atau
sebagai „ingatan otot‟.
2) Penggambaran Ikonik. Tipe penggambaran yang kedua diistilahkan
sebagai penggambaran ikonik (iconic representation), „ikon‟ berarti
„kesamaan‟. Anak di dalam tahap ini mengembangkan kemampuan untuk
menyimpan citra, baik itu citra visual, pendengaran, maupun perasaan
sentuhan, yang menggambarkan secara tepat rangsangan yang mencapai
organ-organ inderanya. Metode penggambaran ini merupakan cara yang
sangat baik untuk menyimpan informasi mengenai lingkungan, meskipun
demikian ada pula kelemahannya.
55
3) Penggambaran Simbolik. Masalah-masalah di dalam penggambaran
enaktif dan penggambaran ikonik ialah bahwa kedua tipe penggambaran
tersebut secara relative kurang fleksibel, penggambaran enaktif hanya
memungkinkan anak menginterpretasikan lingkungan dalam bentuk pola
motor, sedangkan penggambaran ikonik hanya memungkinkan anak
menggambarkan lingkungannya dalam bentuk citra bak-foto (photograph-
like). Oleh karena lingkungan berubah secara tetap, maka kedua tipe
penggambaran tersebut, yang hanya berguna untuk pergerakan individu
atau citra tertentu, tidak dapat mengkodekan informasi lingkungan secara
efektif dalam rangka pembuatan pendugaan. Oleh karenanya,
penggambaran simbolik (symbolic representation) dapat mengatasi
masalah tersebut dengan menggunakan simbol, sebagaimana dikesankan
oleh nama penggambaran ini. Sebuah simbol adalah sesuatu yang
menggambarkan sesuatu yang lain, misalnya saling berjabat tangan antara
kita dengan seseorang yang kita jumpai, semula hal ini dimaksudkan
melambangkan bahwa kita tidak akan menyerang orang tersebut .
Kesimpulannya dari ahli psikologi yang bernama Jerome Bruner ini
mengemukakan, bahwa pandangan Bruner sama dengan pandangan Piaget,
tetapi Bruner menjelaskan adanya tiga cara utama pada system penyimpanan
dan penggunaan atau penggambaran informasi lingkungan, yaitu
penggambaran enaktif, penggambaran ikonik, penggambaran simbolik.
Penggambaran simbolik merupakan metode yang paling fleksibel, tetapi
membutuhkan penggunaan bahasa di dalam pengkategorian informasi. Oleh
karena itu Bruner lebih menekankan kepentingan bahasa daripada Piaget.
c. Teori Sigmund Freud
Freud (Sujiono, 2010) mengungkapkan bahwa anak-anak bergerak
melalui langkah-langkah yang berbeda dengan tujuan untuk mencapai
kepuasan yang berasal dari sumber berbeda, dimana mereka juga harus
menyeimbangkan keadaan tersebut dengan harapan orangtua. Konflik yang
56
timbul antara kebutuhan dan kepuasan dan penindasan dapat berguna untuk
memuaskan dan juga menciptakan ketertarikan. Mekanisme pertahanan diri
diciptakan untuk tujuan agar dapat berhubungan dengan ketertarikan.
Kebanyakan orang belajar untuk mengendalikan perasaan mereka dan juga
berusaha agar dapat diterima di dalam lingkungan sosial serta untuk
mengintegrasikan diri mereka. Freud memandang manusia sebagai mahluk
biologi yang kompleks, baik dalam hal sosial, emosional dan juga sebagai
suatu organisme yang dapat berpikir.
Sigmund Freud (Dariyo, 2007) mengajukan 5 tahap perkembangan
psikoseksual manusia yaitu: (http://elicious-edu.blogspot.co.id/p/psikologi-
perkembangan-anak.html.diunduh pada tanggal 02/05/2016 pukul 07.51
WIB.)
1) Masa oral (0-1,5 tahun)
Masa oral ialah masa perkembangan bayi yang ditandai dengan
kecendrungan perilaku untuk memusatkan kepuasan fisiologis pada bagian
mulut (oral). Anak biasanya senang mengisap ibu jari, menggigit dan
merusak dengan mulut. Yang menjadi sasaran pemuasan pada masa ini
adalah mulut sendiri dan memilih benda-benda ke mulut, selain iu digigit
dengan keras.
2) Masa anal (1,5-3 tahun)
Masa perkembangan anak usia 1,5-3 tahun yang ditandai dengan
kecenderungan perilaku untuk memusatkan kepuasan fisiologis pada
bagian anus (dubur). Anak senanng memeriksa dan memainkan duburnya
serta memperlihat duburnya. Sasaran pemuasan pada masa anak adalah
memilih beda dan menyentuhnya atau memasukan ke dalam duburnya.
3) Masa phalic (3-5 tahun)
Ditandai dengan kecenderungan perilaku anak usia 3-5 tahun untuk
mencari kedekatan emosional dengan orangtua lawan jenisnya dan
menjauhi orangtua yang sesama jenisnya. Anak laki-laki akan mencari
perhatian, perlindungan dan kasih sayang dari ibunya dan menjauhi
ayahnya, hal ini dikenal dengan istilah kompleks oidipus. Anak wanita
57
akan mencari kasih sayang dari ayah dan menjauhi ibunya. Hal ini
dinamakan kompleks elekstra. Pada masa ini anak senang menyentuh,
memegang, melihat dan menunjukan alat kelaminnya. Sasaran dari
pemuasan masa ini adalah ditujukan pada orangtuanya.
4) Masa latency (6-12 tahun)
Masa ini ditandai dengan kecenderungan perilaku menekan dorongan
libido seksual ke dalam alam bawah sadar dan meningkatkan
keterampilan-keterampilan kognitif dan keterampilan sosial agar dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya. Cara pemuasan dalam
masa ini adalah represi, reaksi-formasi, sublimasi dan kecenderungan
kasih sayang.
5) Masa genital (13 tahun ke atas)
Masa remaja yang ditandai dengan kecenderungan perilaku untuk
memusatkan perhatian pada kepuasan genital. Cara pemuasan pada masa
ini adalah mengurangi cara-cara waktu masa kanak-kanak dan munculnya
cara orang dewasa dalam memperoleh pemuasan. Sementara itu sasaran
dalam pemuasan masa ini adalah menyenangi diri sendiri (narcism) atau
oedipus object choice nya. Yang menjadi objek pemuasan mungkin diri
sendiri, sejenis dan homosexual.
1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Intelektual atau
Kognitif
Mengenai faktor yang mempengaruhi perkembangan intelektual
individu ini terjadi perbedaan pendapat di antara para penganut psikologi.
Kelompok psikometrika radikal berpendapat bahwa perkembangan
intelektual individu sekitar 90% ditentukan oleh faktor hereditas dan
pengaruh lingkungan, termasuk di dalamnya pendidikan, hanya memberikan
kontribusi sekitar 10% saja. Kelompok ini memberikan bukti bahwa individu
yang memiliki hereditas intelektual unggul, pengembangannya sangat mudah
meskipun dengan intervensi lingkungan yang tidak maksimal. Adapun
58
individu yang memiliki hereditas intelektual rendah seringkali intervensi
lingkungan sulit dilakukan meskipun sudah secara maksimal.
Sebaliknya, kelompok penganut pedagogis radikal amat yakin bahwa
intervensi lingkungan, termasuk pendidikan, justru memiliki andil sekitar 80-
85%, sedangkan hereditas hanya memberikan kontribusi 15-20% terhadap
perkembangan intelektual individu. Syaratnya adalah memberikan
kesempatan rentang waktu yang cukup bagi individu untuk mengembangakan
intelektualnya secara maksimal. (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori,
2008 : 33)
Tanpa mempertentangkan kedua kelompok radikal itu, perkembangan
intelektual sebenarnya dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu hereditas dan
lingkungan. Pengaruh kedua faktor itu pada kenyataannya tidak terpisah
secara sendiri-sendiri melainkan seringkali merupakan resultan dari interaksi
keduanya. Pengaruh faktor hereditas dan lingkungan terhadap perkembangan
intelektual itu dapat dijelaskan berikut ini. (Mohammad Ali dan Mohammad
Asrori, 2008 : 34-35)
a. Faktor Hereditas
Semenjak dalam kandungan, anak telah memiliki sifat-sifat yang
menentukan daya kerja intelektualnya. Secara potensial anak telah
membawa kemungkinan, apakah akan menjadi kemampuan berpikir
setaraf normal, di atas normal, atau di bawah normal. Namun, potensi ini
tidak akan berkembang atau terwujud secara optimal apabila lingkungan
tidak memberi kesempatan untuk berkembang. Oleh karena itu, peranan
lingkungan sangat menentukan perkembangan intelektual anak.
b. Faktor Lingkungan
Ada dua unsur lingkungan yang sangat penting peranannya dalam
memengaruhi perkembangan intelektual anak, yaitu keluarga dan sekolah.
1) Keluarga
Intervensi yang paling penting dilakukan oleh keluarga atau orang tua
adalah memberikan pengalaman kepada anak dalam berbagai bidang
kehidupan sehingga anak memiliki informasi yang banyak yang
59
merupakan alat bagi anak untuk berpikir. Cara-cara yang digunakan,
misalnya memberi kesempatan kepada anak untuk merealisasikan ide-
idenya, menghargai ide-ide tersebut, memuaskan dorongan
keingintahuan anak dengan jalan seperti menyediakan bacaan, alat-alat
keterampilan, dan alat-alat yang dapat mengembangkan daya kreativitas
anak. Memberi kesempatan atau pengalaman tersebut akan menuntut
perhatian orang tua.
2) Sekolah
Sekolah adalah lembaga formal yang diberi tanggung jawab untuk
meningkatkan perkembangan anak termasuk perkembangan berpikir
anak. Dalam hal ini, guru hendaknya menyadari bahwa perkembangan
intelektual anak terletak di tangannya. Beberapa cara di antaranya
adalah sebagai berikut.
a) Menciptakan interaksi atau hubungan yang akrab dengan peserta
didik. Dengan hubungan yang akrab tersebut, secara psikologis
peserta didik akan merasa aman sehingga segala masalah yang
dialaminya secara bebas dapat dikonsultasikan dengan guru mereka.
b) Memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk berdialog
dengan orang-orang yang ahli dan berpengalaman dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan, sangat menunjang perkembangan
intelektual anak. Membawa para peserta didik ke objek-objek
tertentu, seperti objek budaya dan ilmu pengetahuan, sangat
menunjang perkembangan intelektual peserta didik.
c) Menjaga dan meningkatkan pertumbuhan fisik anak, baik melalui
kegiatan olahraga maupun menyediakan gizi yang cukup, sangat
penting bagi perkembangan berpikir peserta didik. Sebab jika peserta
didik terganggu secara fisik, perkembangan intelektualnya juga akan
terganggu.
d) Meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik, baik melalui
media cetak maupun dengan menyediakan situasi yang
memungkinkan para peserta didik berpendapat atau mengemukakan
60
ide-idenya. Hal ini sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan
intelektual peserta didik.
2. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Intelektual atau Kognitif
Menurut Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2008 : 35),
bahwasannya secara hereditas, individu memiliki potensi yang dapat
menyebabkan perbedaan dalam perkembangan berpikir mereka. Berkembang
atau tidaknya potensi tersebut tergantung pada lingkungan. Ini berarti bahwa
apakah anak akan mempunyai kemampuan berpikir normal, di atas normal,
atau di bawah normal sangat tergantung pada lingkungan.
Manusia memiliki perbedaan satu sama lain dalam berbagai aspek,
antara lain dalam bakat, minat, kepribadian, keadaan jasmani, keadaan social,
dan juga inteligensinya. Perbedaan itu akan tampak jika diamati dalam proses
belajar mengajar di dalam kelas. Ada peserta didik yang cepat, ada yang
lambat, dan ada pula yang sedang dalam penguasaan materi pelajaran. Ada
siswa yang tingkah lakunya baik dan ada pula siswa yang kurang baik.
Perbedaan individual dalam perkembangan intelektual menunjuk
kepada perbedaan dalam kemampuan dan kecepatan belajar. Perbedaan-
perbedaan individual peserta didik akan tercermin pada sifat-sifat atau cirri-
ciri mereka dalam kemampuan, keterampilan, sikap dan kebiasaan belajar,
serta kualitas proses dan hasil belajar baik dari segi ranah kognitif, afektif,
dan psikomotor.
3. Membantu Perkembangan Intelektual dan Implikasinya bagi
Pendidikan
Ikhtiar pendidikan, khususnya melalui proses pembelajaran, guna
mengembangkan kemampuan intelektual peserta didik adalah kesadaran
pendidik terhadap kemampuan intelektual setiap peserta didik harus dipupuk
dan dikembangkan agar potensi yang dimiliki setiap individu terwujud sesuai
dengan perbedaan masing-masing. Menurut Conny Semiawan (1984),
penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif bagi pengembangan
61
kemampuan intelektual anak yang di dalamnya menyangkut keamanan
psikologis dan kebebasan psikologis merupakan faktor yang sangat penting.
Kondisi psikologis yang perlu diciptakan agar peserta didik merasa
aman secara psikologis sehingga mampu mengembangkan kemampuan
intelektualnya adalah sebagai berikut. (Mohammad Ali dan Mohammad
Asrori, 2008 : 36-37)
a. Pendidik menerima peserta didik secara positif sebagaimana adanya tanpa
syarat (unconditional positive regard). Artinya, apa pun keberadaan
peserta didik dengan segala kekuatan dan kelemahannya harus diterima
dengan baik, sertaa memberi kepercayaan padanya bahwa pada dasarnya
setiap peserta didik memiliki kemampuan intelektual yang dikembangkan
secara maksimal.
b. Pendidik menciptakan suasana di mana peserta didik tidak merasa terlalu
dinilai oleh orang lain. Memberi penilaian terhadap peserta didik dengan
berlebihan dapat dirasakan sebagai ancaman sehingga menimbulkan
kebutuhan akan pertahanan diri. Memang kenyataannya, pemberian
penilaian tidak dapat dihindarkan dalam situasi sekolah, tetapi paling tidak
harus diupayakan agar penilaian tidak mencemaskan peserta didik,
melainkan menjadi sarana yang dapat mengembangkan sikap kompetitif
secara sehat.
c. Pendidik memberikan pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran,
perasaan, dan perilaku peserta didik; dapat menempatkan diri dalam situasi
peserta didik; serta melihat sesuatu dari sudut pandang mereka (empathy).
Dalam suasana seperti ini, peserta didik akan merasa aman untuk
mengembangkan dan mengemukakan pemikiran atau ide-idenya.
d. Menerima remaja secara positif sebagaimana adanya tanpa syarat
(unconditional positive regard). Artinya, apa pun adanya remaja itu
dengan segala kekuatan dan kelemahannya harus diterima dengan baik,
serta memberi kepercayaan bahwa pada dasarnya setiap remaja memiliki
kemampuan intelektual yang dapat dikembangkan secara maksimal.
62
e. Memahami pemikiran, perasaan, dan perilaku remaja; menempatkan diri
dalam situasi remaja; serta melihat sesuatu dari sudut pandang mereka
(empathy). Dalam suasana seperti ini remaja akan merasa aman untuk
mengembangkan dan mengemukakan pemikiran atau ide-idenya.
f. Memberikan suasana psikologis yang aman bagi remaja untuk
mengemukakan pikiran-pikirannya sehingga terbiasa berani
mengembangkan pemikirannya sendiri. Di sini berusaha menciptakan
keterbukaan (openness), kehangatan (warmness), dan kekonkretan
(concreteness).
Anak atau remaja akan merasakan kebebasan psikologis jika orang tua
dan guru memberi kesempatan kepadanya untuk mengungkapkan pikiran atau
perasaannya. Sebagai makhluk sosial, mengungkapkan pikiran dan perasaan
dalam tindakan yang merugikan orang lain atau merugikan lingkungan
tidaklah dibenarkan. Hidup dalam masyarakat menuntut untuk mengikuti
aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku.
Teori Jean Piaget mengenai pertumbuhan kognitif sangat erat dan
penting hubungannya dengan umur serta perkembangan moral. Konsep
tersebut menunjukkan bahwa aktivitas adalah sebagai unsure pokok dalam
pertumbuhan kognitif. Pengalaman belajar yang aktif cenderung untuk
memajukan pertumbuhan kognitif, sedangkan pengalaman belajar yang pasif
dan hanya menikmati pengalaman orang lain saja akan mempunyai
konsekuensi yang minimal terhadap pertumbuhan kognitif termasuk
perkembangan intelektual.
Penting bagi pendidik untuk mengetahui isi dan ciri-ciri dari setiap
tahap perkembangan kognitif peserta didiknya sehingga dapat mengambil
keputusan tindak edukatif yang tepat. Dengan demikian, dapat dihasilkan
peserta didik yang memahami pengalaman belajar yang diterimanya.
Menyesuaikan system pengajaran dengan kebutuhan peserta didik merupakan
jalan untuk meninggalkan prinsip lama, yaitu guru tinggal menunggu sampai
peserta didik siap sendiri, kemudian baru diberi pelajaran. Sekarang tidak
demikian keadaannya.
63
Model pendidikan yang aktif adalah model yang tidak menunggu
sampai peserta didik siap sendiri, tetapi sekolahlah yang mengajar lingkungan
belajar sedemikian rupa sehingga dapat memberi kemungkinan maksimal
pada peserta didik untuk berinteraksi. Dengan lingkungan yang penuh
rangsangan untuk belajar tersebut, proses pembelajaran yang aktif akan
terjadi sehingga mampu membawa peserta didik untuk maju ke taraf atau
tahap berikutnya.
C. Hubungan Pendidikan Intelektual dengan Tingkah Laku
Inteligensi menurut Piaget merupakan pernyataan dari tingkah laku
adaptif yang terarah kepada kontak dengan lingkungan dan kepada
penyusunan pemikiran (Bybee dan Sund, 1982). Piaget memposisikan subjek
sebagai pihak yang aktif dalam interaksi adaptif antara organisme atau terjadi
hubungan dialektis antara organisme dengan lingkungannya. Apa yang
dikatakan oleh Piaget ini kenyataannya memang benar, sebab organisme tidak
pernah terpisah dari lingkungannya dan juga tidak semacam penerima yag
pasif. Interaksi antara organisme dengan lingkungannya lebih bersifat
interaksi timbal balik. Hanya dalam bentuk interaksinya juga, setiap
perubahan tingkah laku adalah merupakan hasil dialektis pengaruh timbal
balik antara organisme dan lingkungannya. Karena pandangannya yang
demikian itu, teori Piaget tentang inteligensi atau kognitif disebut juga dengan
teori interaksionisme (interactionism theory).
Piaget memiliki pandangan dasar bahwa setiap organisme memiliki
kecenderungan inheren untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Inteligensi sebagai bentuk khusus dari penyesuaian organisme baru dapat
diketahui berkat dua proses yang saling mengisi, yaitu yang disebut dengan
istilah asimilasi dan akomodasi. Organisme sebagai suatu sistem dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena kemampuan
mengakomodasi struktur kognitifnya sedemikian rupa sehingga objek yang
baru itu dapat ditangkap dan dipahami secara memadai. Asimilasi adalah
64
suatu proses individu memasukkan dan menggabungkan pengalaman-
pengalaman denga struktur psikologis yang telah ada pada diri individu.
Struktur psikologis dalam diri individu ini disebut dengan istilah skema yang
berarti kerangka mental individu yang digunakan untuk menafsirkan segala
sesuatu yang dilihat atau didengarnya. Skema mampu menyusun pengamatan-
pengamatan dan tingkah laku sehingga terjadilah suatu rangkaian tindakan
fisik dan mental untuk dapat memahami lingkungannya.
Sangat boleh jadi dalam perkembangan selama kurun waktu tertentu
berbagai pengalaman baru tidak sesuai lagi dengan struktur psikologis dalam
diri individu dan tidak dapat diaimilasikan ke dalam skema-skema yang telah
ada. Oleh sebab itu, skema harus diubah, diperluas, dan disesuaikan dengan
fakta-fakta yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman baru. Proses
penyesuaian skema dengan fakta-fakta yang diperoleh melalui pengalaman-
pengalaman baru ini dikenal dengan istilah akomodasi. Dengan demikian,
proses asimilasi dan akomodasi merupakan dua proses yang berlawanan. Jika
dalam asimilasi proses yang terjadi adalah menyesuaikan pengalaman-
pengalaman baru yang diperolehnya dengan struktur skema yang ada dalam
diri individu, sedangkan akomodasi merupakan proses penyesuaian skema
dalam diri individu dengan fakta-fakta baru yang diperoleh melalui
pengalaman dari lingkungannya. (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori,
2008 : 30)
Menurut Desmita (2011 : 220), bahwasannya pada masa usia sekolah
dipandang sebagai masa untuk pertama kalinya anak memulai kehidupan
sosial mereka yang sesungguhnya. Bersamaan dengan masuknya anak ke
sekolah dasar, maka terjadilah perubahan hubungan anak dengan orangtua.
Perubahan tersebut di antaranya disebabkan adanya peningkatan penggunaan
waktu yang dilewati anak-anak bersama teman-teman sebayanya. Sekalipun
tidak lagi menjadi subjek tunggal dalam pergaulan anak, orangtua tetap
menjadi bagian penting dalam proses ini, karena mereka yang menjadi figure
sentra dalam kehidupan anak. Untuk itu, orangtua harus menuntut anak untuk
65
menjadi bagian dari lingkungan sosial yang lebih luas. Teladan perilaku yang
baik (seperti disiplin dan bermoral) dapat mempertajam pemahaman anak
terhadap tuntutan masyarakat yang dihadapinya kelak. Melalui proses ini,
anak akan semakin memahami kebutuhan dan perasaannya, sekaligus
kebutuhan dan perasaan orang lain.
Sesuai dengan perkembangan kognitifnya yang semakin matang,
maka pada usia sekolah, anak secara berangsur-angsur lebih banyak
mempelajari mengenai sikap-sikap dan motivasi orang tuanya, serta
memahami aturan-aturan keluarga, sehingga mereka menjadi lebih mampu
untuk mengendalikan tingkah lakunya. Perubahan ini mempunyai dampak
yang besar terhadap kualitas hubungan antara anak-anak usia sekolah dan
orangtua mereka (dalam Seifert dan Hoffnung, 1994). Dalam hal ini, orang
tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka
berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan pada tahun-tahun awal
kehidupan mereka. Beberapa kendali dialihkan dari orang tua kepada
anaknya, walaupun prosesnya secara bertahap dan merupakan koregulasi.
Dengan demikian, meskipun terjadinya pengurangan pengawasan dari
orang tua terhadap anaknya selama usia sekolah dasar, bukan berarti orang
tua sama sekali melepaskan mereka. Sebaliknya, orang tua masih terus
memonitor usaha-usaha yang dilakukan anak dalam memelihara diri mereka,
sekalipun secara tidak langsung. Perubahan-perubahan ini berperan dalam
pembentukan stereotip pengasuhan dari orang tua sepanjang usia sekolah
dasar. Dalam hal ini, orang tua memandang pengasuhan hanya meliputi
mengurus masalah makanan, atau penerapan beberapa aturan saja. Stereotip
pengasuhan demikian jelas tidak mempertimbangkan aktivitas orang tua dan
anak yang masih sering dilakukan secara bersama-sama, seperti berbelanja
atau menonton televisi bersama-sama. (Desmita, 2011 : 221)
Berdasarkan uraian diatas, bahwasannya pendidikan anak dalam
keluarga itu sangatlah penting dan yang paling diutamakan dari pendidikan di
sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Orang tua disini harus berperan
aktif dalam memperhatikan perubahan-perubahan yang ada dalam sikap anak