BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 ...

50
30 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya atau memperbanyak teori-teori yang digunakan untuk mengkaji penelitian yang dilakukan. Dari penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan penelitian dengan judul yang sama seperti judul penelitian yang ditulis. Namun penulis mengangkat beberapa penelitian sebagai referensi dalam memperkaya atau memperbanyak bahan kajian pada penelitian penulis. Berikut adalah penelitian terdahulu yang menjadi acuan dan referensi peneliti dalam melakukan sebuah penelitian: Pertama, itu dilakukan oleh Yolla Gusef dalam tesisnya yang berjudul Adaptasi Kehidupan Sosial Mantan Tahanan di Masyarakat. Penelitian ini didasarkan pada bagaimana adaptasi mantan narapidana dalam kehidupan sosial dan pandangan masyarakat tentang keberadaan mantan narapidana dalam kehidupan mereka. Dalam penelitian ini, metode kualitatif yang digunakan dengan subjek penelitian ini adalah mantan narapidana yang telah dijatuhi hukuman lebih dari lima tahun dan menggunakan teknik pemilihan informan purposive. Jenis penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena sosial yang terjadi. Hasil penelitian tentang adaptasi sosial mantan narapidana, dapat disimpulkan bahwa dalam beradaptasi dengan komunitas mantan narapidana berbeda, baik dari

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 ...

30

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam

melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya atau

memperbanyak teori-teori yang digunakan untuk mengkaji penelitian yang

dilakukan. Dari penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan penelitian

dengan judul yang sama seperti judul penelitian yang ditulis. Namun penulis

mengangkat beberapa penelitian sebagai referensi dalam memperkaya atau

memperbanyak bahan kajian pada penelitian penulis. Berikut adalah

penelitian terdahulu yang menjadi acuan dan referensi peneliti dalam

melakukan sebuah penelitian:

Pertama, itu dilakukan oleh Yolla Gusef dalam tesisnya yang berjudul

Adaptasi Kehidupan Sosial Mantan Tahanan di Masyarakat. Penelitian ini

didasarkan pada bagaimana adaptasi mantan narapidana dalam kehidupan

sosial dan pandangan masyarakat tentang keberadaan mantan narapidana

dalam kehidupan mereka. Dalam penelitian ini, metode kualitatif yang

digunakan dengan subjek penelitian ini adalah mantan narapidana yang telah

dijatuhi hukuman lebih dari lima tahun dan menggunakan teknik pemilihan

informan purposive. Jenis penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan

untuk menjelaskan fenomena sosial yang terjadi. Hasil penelitian tentang

adaptasi sosial mantan narapidana, dapat disimpulkan bahwa dalam

beradaptasi dengan komunitas mantan narapidana berbeda, baik dari

31

kejahatan yang telah mereka lakukan maupun di daerah atau lingkungan

tempat tinggal mereka. Mantan terpidana kasus pembunuhan, dia berusaha

keras untuk mengembalikan kepercayaan rakyat, dengan menjadi lebih baik

dan lebih sopan atau dengan menunjukkan kepada mereka bahwa dia benar-

benar telah berubah. Dalam mantan narapidana perampokan, dalam

masyarakat, lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan. Mereka lebih

dominan bergaul di luar lingkungannya. Serta mantan narapidana dengan

kasus laka dan kemudian tidak memiliki kesulitan dalam beradaptasi,

masyarakat memberikan dukungan untuk dapat hidup lebih baik. Berbeda

dengan mantan narapidana dalam kasus narkoba (residivis), ia lebih dominan

dalam bersosialisasi di luar lingkungannya. Upaya yang dia lakukan untuk

dapat mendaur ulang dengan masyarakat adalah untuk berpartisipasi dalam

kegiatan sosial.

Kedua, dilakukan oleh Raudhatul Mahmudah yang dilakukan di Desa

Batu Kecil Kecil, Kecamatan Kuok, Kabupaten Kampar. Penelitian ini

berjudul Interaksi Mantan Narapidana di Tengah Masyarakat (Studi Mantan

Narapidana di Desa Batu Step Kecil, Kabupaten Kuok, Kabupaten Kampar).

Masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana interaksi mantan

narapidana di masyarakat dan pandangan orang-orang di sana terhadap

mantan narapidana tersebut. Pengambilan sampel dalam penelitian dengan

judul ini adalah dengan teknik purposive. Total populasi 100 orang, sampel

40 orang yang telah ditentukan kriteria. Menggunakan informan penelitian

melalui informan kunci sebanyak 3 narapidana. Penulis menggunakan metode

deskriptif kuantitatif. Instrumen data adalah observasi, wawancara, kuesioner,

32

dokumentasi. Dari penelitian yang dilakukan oleh penulis, penulis menarik

kesimpulan bahwa interaksi mantan narapidana di tengah-tengah masyarakat

setelah bebas mengalami kesulitan diterima kembali di masyarakat. Opini

publik tentang mantan narapidana selalu buruk dan memberikan label

kriminal kepada mantan narapidana.

Ketiga, yang dilakukan oleh Wahyu Dwi Lestari, Dasim Budimansyah,

dan Wilodati. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pali Provinsi Sumatra

Selatan, tepatnya di Kecamatan Talang Ubi dengan judul Pola Adaptasi

Mantan Narapidana Dalam Kehidupan Bermasyarakat. Penelitian ini di latar

belakangi oleh pemberian stigma kepada mantan narapidana yang

menimbulkan kecanggungan narapidana tersebut untuk bermasyarakat. Agar

dapat diterima, mantan narapidana perlu melakukan adaptasi. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui interaksi, perubahan, dampak dari adaptasi, dan

tipologi adaptasinya dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan cara observasi,

wawancara dan studi dokumentasi. Temuan penelitian ini yaitu pertama,

interaksinya untuk mengubah stigma dengan menunjukan sikap ramah dan

aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Kedua, perubahan positifnya yaitu

bertambahnya keimanan, peka terhadap masyarakat dan meninggalkan

kebiasaan buruknya. Ketiga, dampak adaptasinya yaitu perubahan respon

masyarakat, hilangnya stigma, memiliki peran, dan hidup tenang. Kelima,

tipologi adaptasi dipengaruhi keluarga, lingkungan, kejahatan, dan cara

mengubah stigma.

33

Keempat, dilakukan oleh Nanang Ardhyansa dengan judul Sikap

Masyarakat Terhadap Mantan Tahanan di Desa Gaten, Dabag Dusun, Desa

Condongcatur, Kabupaten Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa

Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan berdasarkan sikap masyarakat yang

cenderung menolak keberadaan mantan narapidana di Desa Gaten, Dabag

Dusun, Desa Condongcatur, Kabupaten Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini adalah penelitian hukum

deskriptif kualitatif yang diperoleh dari data primer, data sekunder, dan data

tersier. Data primer diambil dari wawancara. Sedangkan data sekunder

diperoleh dari data yang secara tidak langsung menyediakan informasi yang

mendukung sumber data primer dalam bentuk undang-undang, buku yang

terkait dengan penelitian ini, dan bahan hukum tersier dalam bentuk kamus,

artikel, dan situs web. Hasil penelitian ini menyadari bahwa pertama, faktor-

faktor yang menyebabkan sikap negatif masyarakat Kampung Gaten, Dabag

Dusun, Desa Condongcatur, Kabupaten Depok, Kabupaten Sleman, Daerah

Istimewa Provinsi Yogyakarta terhadap mantan narapidana yang kembali 3

(tiga), pertama , sikap mantan narapidana yang tertutup atau jarang

bersosialisasi, kedua masyarakat cenderung individualistis atau apatis

terhadap keberadaan mantan narapidana, ketiga ada stigma sosial di

masyarakat bahwa seseorang telah melakukan kejahatan maka kemudian dia

akan melakukan lagi. Solusi untuk mengubah sikap penolakan masyarakat di

Kampung Gaten, Dabag Dusun, Desa Condongcatur, Kabupaten Depok,

Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap pengembalian

mantan narapidana adalah 4 (empat), yaitu konseling programatik pertama

34

untuk masyarakat khususnya Kampung Gaten, Dabag Dusun, Desa

Condoncatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa

Provinsi Yogyakarta bahwa tahanan tidak selalu jahat, baik menggunakan

atau memanfaatkan Bapas (Lembaga Pemasyarakatan) untuk berkolaborasi

dengan masyarakat secara masif untuk mengoreksi tahanan. , tiga pendekatan

struktural dan emosional yang secara rutin dilakukan oleh pejabat Kampung

Gaten, Desa Condongcatur, Kabupaten Depok, Kabupaten Sleman, Daerah

Istimewa Provinsi Yogyakarta dari mantan narapidana, keempat untuk

menciptakan acara yang memanfaatkan mantan narapidana, misalnya

pelatihan atau lokakarya .

Kelima, sebuah studi yang dilakukan oleh Edy Prabowo Saputra dengan

judul Integrasi Bekas Komunitas yang Tahan Setelah Bebas dari Lembaga

Pemasyarakatan. Dalam penelitian, masalah yang disajikan adalah integrasi

mantan narapidana ke masyarakat, penelitian ini membuat mereka dapat

diterima di masyarakat dan tidak melakukan kejahatan lagi, dan melihat

hambatan apa yang dirasakan oleh mantan narapidana. Dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan teori interaksi sosial

yang dalam berbagai faktor dilihat sebagai imitasi, sugesti, identifikasi, dan

simpati. Dalam penelitian ini, dijelaskan bahwa integrasi mantan narapidana

telah dimulai ketika mendekati kebebasan dari fasilitas pemasyarakatan

sebenarnya merupakan langkah positif yang dapat diperoleh oleh mantan

narapidana, dari masyarakat desa dan masyarakat dalam penelitian, karena

proses Memadukan mantan narapidana membutuhkan peran masyarakat

35

dalam hal penerimaan dan upaya yang dilakukan oleh mantan narapidana

untuk mencoba memasuki kembali komunitas tempat mereka tinggal.

Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Zainul Akhyar, Harpani

Matnuh dan Muhammad Najibuddin dengan judul Persepsi Masyarakat

Terhadap Mantan Narapidana di Desa Benua Jingah Kecamatan Barabai,

Kabupaten Hulu Sungai Tengah, penelitian ini berfokus pada melihat

diskriminasi dan stigma yang diberikan oleh masyarakat terhadap masyarakat.

Kehadiran mantan narapidana di lingkungannya. Kemudian penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi

dan teori yang digunakan adalah teori stigma yang dikembangkan oleh Erving

Goffman. Studi ini memperoleh data temuan dalam bentuk pandangan

masyarakat tentang mantan napi dengan hal negatif, kemudian diskriminasi

oleh masyarakat dengan menyoroti dari perspektif negatif dalam semua

bentuk kegiatan dan perilaku sehingga mantan napi merasa dikucilkan dari

lingkungan masyarakat. Stigma yang nampak pada mantan narapidana dalam

penelitian ini adalah karena kehadiran mantan narapidana ternyata bukan

orang yang baik tetapi benar-benar mabuk, tidak ada pertobatan dan tidak

hanya bahwa narapidana dalam percakapannya sulit dipercaya karena mereka

tidak konsisten. Inilah yang menyebabkan orang merasa khawatir.

Ketujuh, penelitian yang dilakukan oleh Usman Efendi dengan judul

Proses Pelabelan Mantan Tahanan di Komunitas Desa Limo, Depok. Tesis ini

menganalisis proses pelabelan mantan narapidana di masyarakat, khususnya

mantan narapidana kasus narkoba dan pencurian di Kelurahan Limo, Depok.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dimana

36

pengumpulan datanya dengan metode wawancara. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk menunjukkan bahwa mantan narapidana mendapatkan pelabelan

yang berbeda dari masing-masing komunitas dan setelah pelabelan itu mulai

memudar dengan penyesuaian mantan narapidana sehingga penerimaan

publik akan terjadi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori

pelabelan yang dikembangkan oleh Howard Becker, teori ini mengatakan

bahwa perilaku menyimpang dibagi menjadi dua yaitu perilaku menyimpang

primer dan sekunder. Perilaku menyimpang utama sebagai seseorang yang

melakukan penyimpangan kecil atau tidak menyadarinya, tetapi ketika

tindakan berkembang dan menerima dukungan dari orang atau kelompok

yang mengarah pada tindakan kriminal atau pelanggaran hukum disebut

perilaku menyimpang sekunder dan fokus teori pelabelan adalah

penyimpangan sekunder perilaku. Hasil penelitian ini melabeli mantan

narapidana dalam bentuk ucapan-ucapan seperti anak-anak yang ceroboh,

pemabuk dan penyebutan nama-nama dengan tanda seru untuk mantan

narapidana narkoba, sementara mantan narapidana pencurian seperti rubah

dan misterius. Pelabelan adalah dalam bentuk sikap yang diberikan oleh

publik seperti khawatir ketika meminjamkan sepeda motor kepada mantan

narapidana pencurian sementara mantan narapidana narkotika adalah aturan

ketat dari keluarga. Setelah pelabelan mulai memudar ke mantan narapidana,

penerimaan masyarakat muncul dengan mengundang mantan narapidana

untuk dapat bergabung dan aktif dalam organisasi pemuda dan belajar di

lingkungan.

37

Kedelapan, penelitian yang dilakukan oleh Dwi Ayu Kurniawati

berjudul Stigma sebagai Ketidakadilan pada Mantan Narapidana Perempuan

di Masyarakat Surabaya. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa

kehidupan mantan narapidana perempuan setelah dibebaskan dari penjara

sering mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, yang membuatnya sulit

untuk diterima kembali di lingkungan sosial. Adanya fenomena ini, perlu

dicermati stigma masyarakat sebagai ketidakadilan dan bagaimana hal itu

ditafsirkan pada mantan narapidana wanita. Penelitian ini menggunakan teori

keadilan sosial dari Mauriane Adams, teori stigma dan dramaturgi dari Erving

Goffman dengan metode kualitatif dan paradigma fakta sosial. Hasil dari

penelitian ini adalah bahwa setelah dibebaskan dari penjara banyak mantan

napi perempuan mengalami stigma sebagai ketidakadilan yang diperoleh dari

komunitas mulai dari anggota keluarga, tetangga, dan komunitas yang lebih

luas. Perilaku ketidakadilan yang diperoleh oleh mantan narapidana

perempuan dalam kasus lotere, pembunuhan dan penjual bayi dan keluarga

mereka, antara lain: stereotip negatif sebagai mantan tahanan perempuan,

marginalisasi di dunia ekonomi dan sosial dan bekerja di mana masyarakat

sering membatasi interaksi sosial dengan mantan perempuan - tahanan dan

keluarga mereka, dan dominasi politik yang dirasakan oleh mantan

narapidana wanita adalah bahwa dalam kehidupan sehari-hari mereka belum

mendapatkan hak sebagai individu karena keterbatasan yang dipaksakan oleh

masyarakat. Sementara itu, mantan narapidana perempuan dalam kasus

narkoba karena mereka bermigrasi jauh dari orang tua mereka dan

masyarakat yang tahu dan mengalami perubahan di rumah mereka, hanya

38

memperoleh ketidakadilan dari dominasi politik karena pendapat yang

terbatas dan marjinalisasi ekonomi karena lowongan terbatas setelah menjadi

perempuan mantan narapidana Bagi mantan narapidana perempuan yang

menafsirkan stigma negatif yang diberikan oleh masyarakat berlebihan karena

bagi perempuan mantan narapidana hukuman di penjara cukup untuk

memberikan hukuman baginya. Namun, keberadaan berbagai stigma sebagai

ketidakadilan yang didapat membuatnya banyak melakukan tindakan positif

di masyarakat untuk mendapatkan kembali kepercayaan dan pindah hidup

agar memiliki kehidupan yang lebih baik, terutama bagi keluarganya.

Kesembilan, penelitian yang dilakukan oleh Anjar Izzulhaq berjudul

Stigmatisasi Mantan Tahanan Penyalahgunaan Cannabis di Lingkungan

Serang. Dalam penelitian ini, kehidupan mantan narapidana yang

menggunakan ganja setelah dibebaskan dari penjara sering menerima stigma

buruk dari masyarakat, yang membuatnya sulit untuk diterima kembali di

lingkungan sosial. Keberadaan fenomena ini perlu dipelajari stigma

masyarakat sebagai ketidakadilan dan bagaimana hal itu ditafsirkan pada

mantan narapidana. Penelitian ini menggunakan teori stigma dan dramaturgi

Erving Goffman. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan data

kualitatif. Penambangan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara

dan beberapa data sekunder yang mendukung penelitian ini, seperti buku,

browsing, internet, dan penelitian sebelumnya, dengan metode kualitatif dan

paradigma fakta sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mantan

narapidana dan keluarga mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari

orang-orang yang memiliki stigma bahwa mereka cacat sosial karena perilaku

39

kriminal yang telah dilakukannya. Stigma sebagai ketidakadilan dialami oleh

mantan narapidana yang menggunakan ganja bermula dari status seorang napi

yang terdaftar setelah dibebaskan dari penjara. Dalam perkembangan lain,

dalam proses menafsirkan mantan narapidana perempuan atas ketidakadilan

yang dialami. Mulai dari proses pembentukan konsep diri dan dikembangkan

dengan adaptasi. Ini memunculkan pemikiran baru tentang tanggapan tahanan

perempuan terhadap ketidakadilan yang mereka alami. Namun, keberadaan

berbagai stigma sebagai ketidakadilan yang diperoleh membuatnya banyak

tindakan positif di masyarakat untuk mendapatkan kembali kepercayaan dan

melanjutkan hidup yang lebih baik, terutama bagi keluarganya.

Adapun fokus penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini yaitu terkait

dengan upaya penyesuaian diri yang dilakukan oleh mantan narapidana di

lingkungan masyarakat tempat ia tinggal dalam menanggapi stigma negatif

yang melekat pada diri seorang mantan narapidana ketika keluar dari

Lembaga Permasyarakatan.

Tabel 2. Penelitian Terdahulu

No. Judul & Penulisan Hasil Penelitian Relevansi

1. Adaptasi Kehidupan

Sosial Mantan Nara-

pidana dalam Masya-

rakat.

Yolla Gusef (2011)

Dalam beradaptasi de-

ngan komunitas man-

tan narapidana tersebut

berbeda-beda, baik da-

ri tindakan kriminal

yang pernah mereka

lakukan dan juga di

daerah atau lingkungan

tempat mereka tinggal.

Persamaan:

Melihat penelitian ini de-

ngan penelitian yang

akan dilakukan oleh pe-

nulis adalah mengenai

tema upaya yang akan di-

lakukan oleh mantan

narapidana setelah keluar

dari lapas untuk mengu-

bah stigma negatif yang

muncul di masyarakat.

Peneliti dengan Yolla

Gusef sama-sama meng-

40

gunakan jenis penelitian

kualitatif dengan meng-

gunakan teknik purpo-

sive.

Perbedaan:

Peneliti menggunakan

pendekatan studi kasus,

sedangkan peneliti Yolla

Gusef menggunakan pen-

dekatan deskriptif.

Lokasi penelitian dengan

peneliti. Lokasi peneliti

di Kecamatan Klakah,

Kabupaten Lumajang.

Subjek dari Yolla Gusef

memiliki kriteria mantan

narapidana yang terpi-

dana di atas lima tahun,

sedangkan untuk peneliti

tidak ada kriteria harus

mantan narapidana yang

terpidana di atas lima

tahun.

2. Interaksi Mantan

Narapidana di tengah

Masyarakat (Studi

Tentang Mantan Na-

rapidana di Desa

Batu Langkah Kecil

Kecamatan Kuok Ka-

bupaten Kampar).

Raudhatul

Mahmudah (Februari

2017)

Interaksi mantan nara-

pidana di tengah-

tengah masyarakat se-

telah bebas mengalami

kesulitan untuk diteri-

ma lagi di masyarakat.

Pandangan publik ten-

tang mantan narapi-

dana selalu buruk dan

memberikan label kri-

minal kepada mantan

narapidana.

Persamaan:

Sama-sama untuk

mengubah pandangan

dari masyarakat terhadap

mantan narapidana di

lingkungan dimana ia

tinggal.

Perbedaan:

Lokasi penelitian, di

mana lokasi yang dila-

kukan oleh Raudhatul

Mahmudah berada di

Desa Batu Langkah Kecil

Kecamatan Kuok Kabu-

paten Kampar, sedang-

kan peneliti mengambil

lokasi di Kecamatan Kla-

kah, Kabupaten Luma-

jang.

3. Pola Adaptasi Man-

tan Narapidana Da-

Pemberian stigma ke-

pada mantan narapi-Persamaan:

Sama-sama ingin me-

41

lam Kehidupan Ber-

masyarakat.

Wahyu Dwi Lestari,

Dasim Budimansyah,

dan Wilodati

dana yang menim-

bulkan suatu kecang-

gungan dari narapi-

dana tersebut untuk

bermasyarakat. Agar

dapat diterima, mantan

narapidana perlu mela-

kukan suatu adaptasi.

rubah pandangan masya-

rakat terhadap mantan

narapidana di lingkungan

tempat ia tinggal.

Perbedaan:

Lokasi penelitian, di

mana lokasi yang dila-

kukan oleh Wahyu Dwi

Lestar, dkk di Kabupaten

Pali Provinsi Sumatra

Selatan, tepatnya di Ke-

camatan Talang Ubi, se-

dangkan peneliti me-

ngambil lokasi di Ke-

camatan Klakah, Kabu-

paten Lumajang.

4. Sikap Masyarakat

Terhadap Mantan

Narapidana Di Kam-

pung Gaten Dusun

Dabag Desa Con-

dongcatur Kecamatan

Depok Kabupaten

Sleman Provinsi

Daerah Istimewa

Yogyakarta.

Nanang Ardhyansa

(2018)

Sikap masyarakat yang

cenderung menolak

keberadaan mantan

narapidana di Kam-

pung Gaten, Kecama-

tan Depok, Kabupaten

Sleman, Provinsi Da-

erah Istimewa Yogya-

karta.

Persamaan:

Metode penelitian yang

digunakan oleh Nanang

Ardhyansa dengan pene-

liti sama-sama menggu-

nakan jenis penelitian

kualitatif dengan pe-

ngumpulan data meng-

gunakan cara observasi

di lokasi, wawancara dan

dokumentasi.

Perbedaan:

Peneliti menggunakan

pendekatan studi kasus,

sedangkan Nanang

Ardhyansa menggunakan

pendekatan secara des-

kriptif.

Di penelitian yang di-

lakukan oleh Nanang

Ardhyansa, sikap mantan

narapidana yang tertutup

atau jarang bersosialisasi,

sedangkan di lokasi yang

akan peneliti melakukan

penelitian mantan nara-

pidana lebih terbuka dan

bersosialisasi dengan

lingkungan masyarakat,

42

tetapi ada salah satu

mantan narapidana yang

kurang bersosialisasi de-

ngan masyarakat tempat

ia tinggal.

5. Integrasi Mantan Na-

rapidana Dalam

Masyarakat Setelah

Bebas Dari Lembaga

Pemasyarakatan.

Edy Prabowo

Saputra (2010)

Integrasi yang di la-

kukan oleh mantan na-

rapidana memiliki pe-

nerimaan yang baik

maupun negatif dari

masyarakat setempat.

Persamaan:

Metode penelitian yang

digunakan oleh Edy

Prabowo Saputra dengan

peneliti sama-sama

menggunakan jenis pene-

litian kualitatif dengan

pengumpulan data meng-

gunakan cara observasi

di lokasi, wawancara dan

studi dokumentasi.

Perbedaan:

Peneliti menggunakan

pendekatan studi kasus,

sedangkan Nanang

Ardhyansa menggunakan

pendekatan secara des-

kriptif.

Lebih menjelaskan bah-

wa integrasi yang dila-

kukan oleh mantan nara-

pidana beragam dan tidak

membahas mengenai

strategi penyesuaian diri

mantan narapidana.

Teori yang digunakan

oleh Edy Prabowo

Saputra menggunakan te-

ori interaksi sosial, se-

dangkan peneliti meng-

gunakan teori stigma dari

Erving Goffman.

6. Persepsi Masyarakat

Terhadap Mantan

Narapidana Di Desa

Benua Jingah Keca-

matan Barabai Kabu-

paten Hulu Sungai

Tengah.

Dijelaskan bahwa ma-

ntan narapidana men-

dapatkan diskriminasi

oleh masyarakat, be-

rupa meyoroti dari su-

dut pandang yang ne-

gatif dengan segala

Persamaan:

Penilaian yang diberikan

oleh masyarakat terhadap

mantan narapidana.

Perbedaan:

Peneliti menggunakan

pendekatan studi kasus,

43

Zainul Akhyar,

Harpani Matnuh dan

Muhammad

Najibuddin (2014)

bentuk perilaku dari

mantan narapidana.

sedangkan Nanang

Ardhyansa menggunakan

pendekatan secara des-

kriptif.

Lebih menjelaskan ter-

hadap diskrimininasi

kepada mantan narapi-

dana, namun tidak men-

jelaskan bagaimana upa-

ya penyesuaian diri yang

dilakukan oleh mantan

narapidana.

7. Proses Labeling

Mantan Narapidana

Di Masyarakat Kelu-

rahan Limo, Depok.

Usman Efendi (2018)

Memberi label pada

mantan narapidana da-

lam bentuk komentar

seperti anak-anak yang

ceroboh, pemabuk dan

menyebutkan nama de-

ngan tanda seru untuk

mantan narapidana

narkoba, sementara

mantan narapidana

pencurian seperti

rubah dan misterius.

Persamaan:

Memudar dengan adanya

upaya penyesuaian diri

dari mantan narapidana

sehingga akan terjadi pe-

nerimaan masyarakat.

Teknik pengumpulan da-

ta yang dilakukan oleh

memiliki kesamaan.

Perbedaan:

Teori yang dipakai oleh

Usman Efendi adalah te-

ori Labelling dari

Howard Becker, peneliti

menggunakan teori loo-

king glass self dari Char-

les Horton Cooley dan

teori stigma dari Erving

Goffman.

Peneli menggunakan

pendekatan studi kasus,

sedangkan Nanang

Ardhyansa menggunakan

pendekatan secara des-

kriptif.

8. Stigma Sebagai

Suatu Ketidakadilan

Pada Mantan Nara-

pidana Perempuan Di

Masyarakat

Surabaya.

Mantan narapidana

perempuan dan kelu-

arga mendapatkan per-

lakuan kurang baik

dari masyarakat yang

mempunyai stigma

bahwa dirinya adalah

Persamaan:

Sama-sama menggali in-

formasi kepada mantan

narapidana.

Menggunakan jenis pe-

nelitian kualitatif.

44

Dwi Ayu Kurniawati

(2016)

perempuan cacat sosial

karena perilaku pidana

yang pernah dilaku-

kannya. Perlakuan ter-

sebut berupa distere-

otipe, disubordinasi,

dimarginalisasi, dan di

dominasi. Sedangkan,

bagi mantan narapi-

dana perempuan me-

maknai hal tersebut se-

bagai proses untuk

menjadi pribadi yang

lebih baik. Mereka ke-

mudian melakukan

adaptasi kembali di

masyarakat dengan

melakukan perbuatan

baik atau pindah tem-

pat tinggal untuk men-

dapatkan lingkungan

baru yang dapat mene-

rimanya tampa stigma

negatif.

Sama-sama mengguna-

kan Teori Stigma dari

Erving Goffman.

Perbedaan:

Menggunakan paradigma

fakta sosial.

Dalam penelitian dari

Dwi Ayu Kurniawati

menggunakan tiga teori

keadilan sosial dari

Mauriane Adams, teori

stigma dan dramaturgi

dari Erving Goffman.

Namun peneliti meng-

gunakan teori looking

glass self dari C.H

Cooley dan teori stigma

dari Erving Goffman.

9. Stigmatisasi Pada

Mantan Narapidana

Penyalahgunaan

Ganja di Lingkungan

Serang.

Anjar Izzulhaq

(2019)

Mantan narapidana

dan keluarga menda-

patkan perlakuan ku-

rang baik dari masya-

rakat yang mem-

punyai stigma bahwa

dirinya adalah seorang

cacat sosial karena

perilaku pidana yang

pernah dilakukannya.

Persamaan:

Sama-sama mengkaji

stigma negatif masya-

rakat terhadap mantan

narapidana.

Sama-sama mengguna-

kan teori stigma dari

Erving Goffman.

Sama-sama mengguna-

kan jenis penelitian kua-

litatif.

Sama-sama mengguna-

kan pengumpulan data

seperti observasi, wa-

wancara dan dokumen-

tasi.

Perbedaan:

Menggunakan paradigma

fakta sosial.

45

Dalam penelitian yang

dilakukan oleh Anjar

Izzulhaq menggunakan

teori stigma dan dra-

maturgi dari Erving

Goffman, sedangkan pe-

neliti menggunakan teori

looking glass self dari C.

H. Cooley dan teori

stigma dari Erving

Goffman.

2.2 Tinjauan Pustaka

2.2.1 Upaya

Setiap kegiatan atau tindakan yang diambil tentunya harus ada upaya

atau perlakuan tertentu, ini dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dan

agar apa yang diinginkan atau direncanakan dapat tercapai dengan

maksimal dan sesuai dengan apa yang diinginkan. Upaya adalah suatu

tindakan yang dilakukan seseorang, untuk mencapai apa yang diinginkan

atau merupakan sebuah strategi. Upaya adalah aspek dinamis dalam

posisi (status) sesuatu. Jika seseorang melakukan hak dan kewajibannya

sesuai dengan posisinya, maka dia berusaha. Upaya dijelaskan sebagai

upaya (suatu kondisi) dari suatu cara, juga dapat disebut sebagai suatu

kegiatan yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk

menjaga hal-hal agar tidak meluas atau muncul (Poerwadarminta, 1991:

1131).

Upaya-upaya ini juga harus dilakukan terus menerus sehingga

masalah dapat diselesaikan atau dapat mencapai tujuan dan sasaran yang

diharapkan. Dengan upaya ini, diharapkan berbagai kendala yang

menghambat tujuan dapat diatasi. Jadi dapat menyimpulkan bahwa upaya

46

adalah tindakan yang dilakukan seseorang,untuk mencapai apa yang

diinginkan yang dilakukan secara sistematis, terencana, terarah dan

berkesinambungan. Baik dari segi upaya mencegah sesuatu yang

membawa bahaya, upaya mempertahankan atau mempertahankan kondisi

yang kondusif atau baik, sehingga kondisi tidak terjadi yang tidak baik,

dan upaya mengembalikan seseorang yang bermasalah kepada seseorang

yang mampu menyelesaikan masalahnya.

2.2.2 Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri sebagai suatu kemampuan individu untuk diterima

di dalam kelompok atau lingkungannya, karena ia memperlihatkan sikap

serta tingkah laku yang menyenangkan (Hurlock, 1999:278). Menurut

Yusuf (2007:210) penyesuaian diri adalah kegiatan atau tingkah laku

individu pada hakikatnya merupakan cara memenuhi kebutuhan, apa

yang penting untuk dapat memenuhi kebutuhan individu ini secara

individual harus dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan semua

kemungkinan yang ada di lingkungan, disebut sebagai proses

penyesuaian. Situasi dalam kehidupan selalu berubah. Individu

mengubah tujuan dalam hidupnya seiring dengan perubahan yang akan

terjadi di dalam lingkungannya. Berdasarkan konsep penyesuaian diri

sebagai proses, penyesuaian diri yang efektif dapat diukur dengan

mengetahui bagaimana kemampuan individu menghadapi lingkungan

yang senantiasa berubah. Penyesuaian diri mencakup adanya suatu

respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu berusaha keras

agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya

47

kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan

keharmonisan antara diri sendiri dengan lingkungannya.

Menurut Mustafa Fahmi (1997:26) penyesuaian diri pada dasarnya

memiliki dua aspek yaitu:

a) Penyesuaian pribadi

Penyesuaian pribadi adalah suatu kemampuan individu

untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan

yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya.

Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak

adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggung jawab,

dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya.

Kehidupan kejiwaannya, ditandai dengan tidak adanya

kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah,

rasa tidak puas, rasa keluhan, dan keluhan yang dialaminya.

Sebaliknya kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan

kegoncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan

terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya jarak

antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh

lingkungan. Jarak inilah yang menjadi yang menjadi sumber

terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut

dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus

melakukan penyesuaian diri.

48

b) Penyesuaian sosial

Setiap individu hidup dalam masyarakat yang terdapat

proses saling mempengaruhi. Dari proses tersebut timbul pola

kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan,

hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk

mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup.

Dalam psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses

penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi pada lingkup

hubungan sosial tempat individu hidup dan interaksi dengan

orang lain. Dalam hal ini, individu dan komunitas benar-

benar berdampak pada komunitas.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek

penyesuaian diri sebagai berikut:

a. Penyesuaian pribadi

Kemampuan untuk menerima diri sendiri baik kelebihan

dan kekurangan pada dirinya serta dapat menerima kenyataan

sehingga tercapai suatu hubungan yang harmonis diantara

dirinya dengan lingkungan sekitarnya.

b. Penyesuaian sosial

Kemampuan individu dalam berhubungan dengan orang

lain, bersimpati pada orang lain, menghargai orang lain,

berpartisipasi dalam kelompok, serta mampu bersosialisasi

sesuai dengan norma yang ada, sehingga individu mampu

49

menjalin hubungan sosial dengan baik dan mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Menurut Mulyani (2008:56) penentu-penentu penyesuaian diri dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

a. Kondisi-kondisi fisik, termasuk didalamnya keturunan,

konstitusi fisik, susunan saraf, kelenjar, dan sistem otot,

kesehatan, dan penyakit.

b. Perkembangan dan kematangan, khususnya kematangan

intelektual, sosial, moral, dan emosional.

c. Penentu psikologis, termasuk didalamnya pengalaman,

belajarnya, pengondisian, penentu diri (self-determination),

frustrasi, dan konflik.

d. Kondisi lingkungan, khususnya keluarga dan sekolah.

e. Penentu kultural, termasuk agama.

Secara keseluruhan kepribadian mempunyai fungsi sebagai adanya

penentu primer terhadap penyesuaian diri. Penentu berarti faktor yang

mendukung, mempengaruhi, atau menimbulkan efek pada suatu proses

penyesuaian diri. Secara sekunder proses penyesuaian diri ditentukan

oleh faktor-faktor yang menentukan kepribadian itu sendiri baik internal

ataupun eksternal. Penentu penyesuaian identik dengan adanya faktor-

faktor yang mengatur perkembangan dan terbentuknya pribadi secara

bertahap.

50

Sunarto dan B. Agung Hartono dalam Isna Busyrah Hanun

(2013:17-18) ungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian,

yaitu:

a. Kondisi Fisik

Kondisi fisik meliputi keturunan, kondisi fisik, sistem

saraf, sistem kelenjar dan otot, kesehatan, penyakit, dan

sebagainya. Penyesuaian kualitas yang baik hanya dapat

diperoleh dan dipertahankan dalam kesehatan fisik yang baik.

b. Perkembangan dan kematangan, terutama kematangan

intelektual, sosial, moral dan emosional.

Penyesuaian pada setiap individu akan bervariasi sesuai

dengan tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapai.

c. Penentu Psikologis

Ada begitu banyak faktor psikologis yang memengaruhi

proses penyesuaian, termasuk pengalaman, pembelajaran,

kebutuhan, penentuan nasib sendiri, frustrasi, dan konflik.

d. Keadaan Lingkungan

Lingkungan yang damai, penuh penerimaan, pengertian

dan mampu memberikan perlindungan kepada para

anggotanya adalah lingkungan yang akan memudahkan

proses penyesuaian.

51

e. Penentu Budaya

Lingkungan budaya di mana individu berada dan

berinteraksi akan menentukan pola penyesuaian mereka.

Berdasarkan penjelasan di atas, faktor-faktor yang

mempengaruhi penyesuaian adalah faktor fisik,

perkembangan dan kematangan, psikologis, lingkungan dan

budaya.

Sugeng Hariyadi (1995:106) menyebutkan bahwa penyesuaian diri

yang positif yaitu:

a) Terima dan pahami diri Anda apa adanya.

b) Menerima dan mengevaluasi secara objektif realitas

lingkungan di luar diri sendiri.

c) Bertindak sesuai dengan potensi, kemampuan, dan realitas

mereka sendiri.

d) Bertindak secara dinamis, fleksibel dan tidak kaku sehingga

menimbulkan rasa aman, tidak dihantui oleh kecemasan dan

ketakutan.

e) Menghormati sesama manusia dan mampu bertindak

toleransi.

f) Lebih terbuka dan dapat menerima umpan balik.

g) Memiliki stabilitas psikologis, terutama stabilitas emosi.

h) Dapat bertindak sesuai dengan norma yang berlaku dan

selaras dengan hak dan kewajiban.

52

2.2.3 Mantan Narapidana

Mantan narapidana adalah individu yang telah pernah berbuat

melanggar norma-norma yang sedang berlaku di masyarakat dan telah

selesai untuk menjalankan hukuman atau sanksi yang dijatuhkan kepada

ia. Mantan narapidana adalah seseorang yang pernah di hukum dan

menjalani hukuman di Lembaga Permasyarakatan namun sudah selesai

menjalani hukuman atau sanksi yang diberikan berdasarkan keputusan

pengadilan (Azani, 2012). Menurut Yudobusono (1995) menegaskan

bahwa mantan narapidana adalah individu yang sudah pernah berbuat

melanggar norma yang berlaku di masyarakat dan telah selesai menjalani

hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Menurut Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (1982) mantan narapidana

adalah terpidana yang telah menjadi pidana hilang kemerdekaan di

Lembaga Permasyarakatan.

Jika kita melihat dalam undang-undang di Indonesia bahwa itu

tidak secara implisit diatur secara khusus berkaitan dengan pembentukan

mantan narapidana tetapi selain itu, pemulihan hak dan kebebasan orang

yang telah menjalani hukuman atau yang sering kita sebut mantan

narapidana adalah tujuan sistem pidana. Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Koreksi. Pemulihan hak-hak dan

kebebasan ini digunakan agar mantan narapidana setelah menjalani

hukuman dapat secara aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat

hidup layak sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab,

53

sebagaimana tujuan Pasal 2 UU No. 12 tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, yang berbunyi:

“Sistem pemasyarakatan diselanggarakan

dalam rangka membentuk warga binaan

pemasyarakatan agar menjadi manusia

seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki

diri, dan tidak mengulangi tindak pidana

sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan

masyarakat, dapat aktif berperan dalam

pembangunan, dan dapat hidup secara wajar

sebagai warga yang baik dan bertangungjawab”.

Bahwa untuk mencapai tujuan pidana tersebut, Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengembangkan fungsi

pembinaan atau penjagaan. Fungsi ini secara jelas dinyatakan dalam

Pasal 3 yang berbunyi:

“Sistem Pemasyarakatan bertujuan untuk

menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar

dapat berinteraksi secara sehat dengan

masyarakat sehingga dapat berperan kembali

sebagai anggota masyarakat yang bebas dan

bertanggungjawab”.

Hal ini harus menjadi fokus utama negara tentang cara membuat

sistem sehingga mantan narapidana dapat diterima kembali oleh

masyarakat dan dapat memainkan peran aktif dalam pembangunan, dan

sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

Tentang Urusan Pemasyarakatan Sebagai Fungsi Koreksi.

Hak dan kewajiban seorang mantan narapidana hakikatnya yaitu

setiap manusia secara jelas memiliki Hak Asasi Manusia (HAM) yang

54

sama, begitu juga dengan mantan narapidana yaitu hak untuk hidup, hak

untuk bebas dari rasa takut, hak untuk bekerja, hak untuk mendapatkan

pendidikan, hak untuk mendapatkan persamaan di mata hukum, hak

untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya dan sebagainya.

Perlindungan HAM bagi warga negara Indonesia sudah jelas tetapi ada

pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh institusi maupun pribadi,

dari pelanggaran yang ringan hingga berat. Contohnya menghadapi

mantan narapidana, ada yang mencibir, menghina hingga mengucilkan

para mantan narapidana. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia di dalam pasal 3 ayat (3) menegaskan bahwa:

“Setiap orang berhak atas perlindungan

hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia

tanpa diskriminasi.”

Mantan narapidana memiliki hak dan martabat seperti manusia

pada umumnya. Hak mereka tercabut dan terampas saat menjalani

hukuman di penjara. Hak mantan narapidana sudah dikembalikan secara

utuh setelah menjalani masa hukuman. Dalam pasal Undang-Undang

Dasar tahun 1945 pasal 29 ayat 2 diatur perihal keyakinan beragama dari

tiap warga negara yaitu negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama

dan kepercayaannya itu (Isna Busyrah Hanun, 2013:31-32). Sedangkan

kewajiban mantan narapidana adalah (Isna Busyrah Hanun, 2013:33-34):

a) Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1)

Undang-Udang Dasar 1945 berbunyi:

55

“Segala warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan

dan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan

itu dengan tidak ada kecualinya”.

b) Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat

(3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:

“Setiap warga negara berhak dan wajib ikut

serta dalam upaya pembelaan negara”.

c) Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J ayat

1 mengatakan:

“Setiap orang wajib menghormati hak asasi

manusia orang lain”.

d) Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan

Undang-Undang Pasal 28J ayat 2 menyatakan:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,

setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan

yang ditetapkan dengan undang-undang dengan

maksud untuk menjamin pengakuan serta

penghormatan atas hak kebebasan orang lain

dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,

keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu

masyarakat demokratis”.

e) Wajib ikut serta dalam usaha mempertahanan dan keamanan

negara. Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

menyatakan:

“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib

ikut serta dalam usaha pertahanan dan

keamanan Negara”.

Jadi kewajiban mantan narapidana sama dengan kewajiban

masyarakat pada umumnya yaitu wajib menaati hukum dan

56

pemerintahan, wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara, wajib

menghormati hak asasi manusia orang lain, wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan wajib ikut serta

dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara.

2.2.4 Masyarakat

Masyarakat adalah kesatuan yang tetap dari orang-orang yang

hidup di daerah tertentu dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok,

berdasarkan kebudayaan yang sama untuk mencapai kepentingan yang

sama. Ciri-ciri masyarakat antara lain, yaitu:

a. Memiliki wilayah dan batas yang jelas.

Masyarakat pada umumnya memiliki wilayah yang sama

dengan batas geografis yang jelas. Batas-batas sering menjadi

panduan bagi pengamat luar untuk mengetahui jenis kelompok

etnis atau bangsa yang mendiami daerah tertentu.

b. Merupakan satu kesatuan penduduk.

Setiap orang di komunitas adalah unit populasi, juga

disebut unit demografis. Seperti itu dapat dibenarkan, dengan

pemahaman bahwa mereka bukan kategori sosial belaka (yang

hanya berada dalam pikiran si pengamat) karena mereka

sebagai kumpulan yang tetap saling mengadakan hubungan dan

kerja sama.

57

c. Terdiri atas kelompok-kelompok fungsional yang heterogen.

Dalam pengertian sosiologis semua kelompok sosial adalah

kelompok fungsional. Kata kelompok fungsional juga

dimaksudkan untuk membedakan pengertian kelompok

fungsional dari kelompok kategorial.

d. Melaksanakan fungsi umum.

Masyarakat adalah unit organisasi yang mengembangkan

fungsi yang paling umum atau tugas tertinggi di lingkungannya

sendiri, yaitu bekerja berdasarkan kepentingan bersama (bonum

commune).

e. Memiliki kebudayaan yang sama.

Unsur penting yang memungkinkan masyarakat untuk

menjadi organisme terintegrasi adalah budaya yang sama, serta

pola berpikir dan berperilaku sama dari semua warga

negaranya. Pola kelakuan sama hanya merupakan satu bagian

dari khazanah kebudayan yang sama disebut adat istiadat.

Perbedaan kebudayaan daerah dari wilayah yang berlainan

situasi dan kondisinya tidak akan menjadi penghalang

persatuan karena dengan kemauan bersama mereka dapat

membuat satu wadah yang sama, yang lebih tinggi dari nilai-

nilai budaya yang disepakati bersama (D. Hendropuspito OC,

1989: 73-78).

58

2.2.5 Stigma Negatif

Stigma adalah karakteristik negatif yang melekat dalam diri

seseorang karena pengaruh lingkungannya (KBBI). Menurut Castro dan

Farmer (2005) menjelaskan stigma adalah sesuatu yang dapat mendorong

seseorang untuk memiliki prasangka pemikiran, perilaku, dan / atau

tindakan oleh pemerintah, masyarakat, pengusaha, penyedia layanan

kesehatan, kolega, teman, dan keluarga. Stigma membatasi pendidikan,

pekerjaan, perumahan, dan perawatan kesehatan. Stigma dapat dialami

sebagai rasa malu atau bersalah, atau dapat secara luas dinyatakan

sebagai diskriminasi. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kepercayaan

diri, kehilangan motivasi, menarik diri dari kehidupan sosial,

menghindari pekerjaan, interaksi dalam kesehatan dan kehilangan

perencanaan masa depan.

Menurut Surgeon General Satcher (dalam Teresa, 2010)

menyatakan stigma adalah peristiwa atau fenomena yang mencegah

seseorang dari mendapatkan perhatian, mengurangi seseorang untuk

mendapatkan peluang dan interaksi sosial. Link dan Phelan (dalam

Teresa, 2010) juga menjelaskan bahwa stigma adalah pemikiran dan

kepercayaan yang salah. Dari berbagai definisi stigma, definisi stigma

adalah pemikiran yang salah dan keyakinan dan fenomena yang terjadi

ketika individu diberi label, stereotip, dipisahkan dan mengalami

diskriminasi sehingga mempengaruhi individu secara keseluruhan.

Menurut Jones (dalam Link, Yang, Phelan & Collins, 2001)

mengidentifikasi dimensi stigma yang terdiri dari enam dimensi, yaitu:

59

1. Concealability, menunjukkan atau mendeteksi karakteristik

individu lain. Dapat disembunyikan bervariasi tergantung

pada sifat stigma. Individu yang mampu menyembunyikan

kondisi mereka biasanya sering melakukan stigma.

2. Course, menunjukkan stigma yang reversibel atau

ireversibel. Individu yang mengalami kondisi ireversibel

cenderung mendapatkan sikap negatif lebih dari yang lain.

3. Disruptiveness, menunjukkan tanda-tanda yang diberikan

oleh orang lain kepada individu yang mengakibatkan

ketegangan atau menghambat interaksi interpersonal.

4. Aesthetic, mencerminkan persepsi seseorang tentang

sesuatu yang menarik atau mengasyikkan.

5. Origin, mengacu pada bagaimana kondisi muncul yang

menyebabkan stigma.

6. Peril, mengacu pada perasaan bahaya atau ancaman yang

dialami orang lain. Ancaman dalam pengertian ini bisa

merujuk pada bahaya fisik atau perasaan tidak nyaman.

Parker dan Aggleton (2003) menekankan ada 4 tingkatan

bagaimana stigmatisasi terjadi pada berbagai tingkatan, yaitu:

1) Diri

Berbagai mekanisme internal dibuat sendiri, yang disebut

stigmatisasi diri.

60

2) Masyarakat

Gosip, pelecehan dan keterasingan di tingkat budaya dan

masyarakat.

3) Lembaga

Perlakuan istimewa atau diskriminasi dalam institusi.

4) Struktur

Lembaga yang lebih luas seperti kemiskinan, rasisme dan

kolonialisme terus mendiskriminasi kelompok tertentu.

Hermawati (2005:23) mengatakan bahwa proses pemberian

stigma oleh masyarakat terjadi melalui tiga tahap, yaitu:

1. Proses interpretasi

Tidak semua pelanggaran norma yang terjadi di masyarakat

mendapat stigma dari masyarakat, tetapi hanya pelanggaran

norma yang ditafsirkan oleh masyarakat sebagai perilaku

menyimpang yang bisa menimbulkan stigma.

2. Proses pendefinisian

Orang yang dianggap perilaku menyimpang, setelah tahap

pertama dilakukan dimana interpretasi perilaku

menyimpang terjadi, maka selanjutnya adalah proses

pendefinisian orang yang menyimpang perilaku oleh

masyarakat.

61

3. Perilaku diskriminasi

Tahap selanjutnya setelah proses kedua dilakukan, maka

masyarakat memberikan perlakuan diskriminatif.

Van Brakel dalam Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016)

mengungkapkan ada 5 tipe stigma sebagai berikut:

a. Public stigma, dimana sebuah reaksi masyarakat umum

yang memiliki keluarga atau teman yang sakit fisik ataupun

mental.

b. Structural stigma, dimana sebuah institusi, hukum, atau

perusahaan yang menolak orang berpenyakitan.

c. Self-stigma, dimana menurunnya harga dan kepercayaan

diri seseorang yang memiliki penyakit.

d. Feltorperceived stigma, dimana orang dapat merasakan

bahwa ada stigma terhadap dirinya dan takut berada di

lingkungan komunitas.

e. Experienced stigma, dimana seseorang pernah mengalami

diskriminasi dari orang lain.

2.3 Tinjauan Teori

Peneliti menggunakan 2 teori sekaligus yaitu Teori Looking Glass Self

dari Charles Horton Cooley dan Teori Stigma dari Erving Goffman. Saling

ketergantungan organik antara individu dan masyarakat diungkapkan dalam

analisis Colley tentang pengembangan "i" atau konsep diri seseorang.

Menurut Cooley, manusia dilahirkan dengan perasaan perasaan diri yang

62

belum jelas dan terbentuk. Proses komunikasi itu sendiri tergantung pada

pemahaman simpatik antara satu individu dan individu lainnya.

Konsep diri (self) sendiri sebenarnya lahir oleh Charles Horton Cooley

yang akhirnya menjadi konsep kunci yang dikembangkan dalam

interaksionisme simbolik oleh George Herbert Mead. Cooley menjelaskan

bahwa konsep cermin diri (Looking Glass Self) sebagai suatu imajinasi yang

agak defenitif mengenai bagaimana diri seseorang yakni melakukan suatu

gagasan yang ia sediakan kemudian muncul dalam pemikiran tertentu dan

semacam perasaan diri seseorang yang ditentukan oleh suatu sikap terhadap

hubungan dari pikiran dan perasaan dengan pikiran orang lain. Jadi, dalam

imajinasi kita merasakan dalam pikiran orang lain beberapa pemikiran

tentang penampilan, sikap, tujuan, perbuatan, karakter, teman-teman kita, dan

berbagai hal yang dapat dipengaruhi olehnya (Jalaludin Rakhmat, 2007:99).

Menurut Charles Horton Cooley kita melakukannya dengan

membayangkan diri kita sendiri sebagai orang lain dalam benak kita. Cooley

menyebut gejala ini sebagai Looking Glass Self (cermin diri), seakan-akan

kita menaruh cermin di depan kita untuk bisa menilai apa yang kita lakukan

itu sudah sesuai atau tidak. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita

akan tampak pada orang lain, kita juga melihat sekilas diri kita seperti dalam

cermin tersebut. Misalnya, kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita

membayangkan bagaimana orang lain akan menilai penampilan kita. Kita

pikir mereka menganggap kita mungkin tidak menarik. Ketiga, kita

mengalami perasaan bangga atau kecewa, orang mungkin merasa sedih

ataupun malu.

63

Dalam teori ini, kita tampaknya meletakkan cermin di depan kita dan

membayangkan bagaimana orang lain akan menilai penampilan kita atau

kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam refleksi atau pandangan

orang lain (Grifin, 2012: 60). Konsep diri seseorang juga dipengaruhi oleh

apa yang diyakini oleh individu, yang dipikirkan orang tentang diri mereka

sendiri. Cermin mencerminkan evaluasi yang dibayangkan orang lain tentang

seseorang. Kaca cermin muncul dari interaksi simbolik antara individu dan

berbagai kelompok. Kelompok dicirikan sebagai tatap muka (hubungan tatap

muka), ketentuan relatif dan hubungan dekat pada tingkat tinggi di antara

sejumlah kecil anggota yang menghasilkan interaksi individu dan kelompok.

Ini dilakukan dengan coba-coba (Cooley, 1902).

Cooley melaporkan bagaimana perasaan diri berkembang dalam

kaitannya dengan interpretasi individu dari realitas fisik dan sosial mereka.

Hal-hal yang merekam objek diambil dalam diri mereka dengan perasaan diri

dan sosial dalam dua pengertian. Pertama artinya dilengkapi dengan bahasa

dan budaya yang sama, yang kedua adalah pembentukan konsep diri dan

evaluasi subyektif. Pemikiran dasar dari teori cermin diri ialah suatu konsep

diri seseorang terbentuk karena dipengaruhi oleh keyakinan dari individu

bahwa orang lain berpendapat mengenai dirinya (Saliyo, 2012). Lebih lanjut

lagi konsep diri yang di kemukakan oleh Cooley dalam teori Looking Glass

Self ialah menggambarkan dari perkembangan diri melalui media cermin,

dimana cermin memantulkan apa yang ada di depannya sehingga seseorang

dapat melihat dirinya seperti apa. Terdapat tiga unsur dalam Loooking Glass

Self (Wayne, 1992) yaitu:

64

1. Seseorang dapat membayangkan bagaimana dirinya tampak bagi

orang lain disekitarnya.

2. Seseorang menafsirkan respon dari orang lain.

3. Seseorang mengembangkan suatu konsep diri. Dimana seseorang

akan menginterprestasikan respon dari orang lain terhadap dirinya

sendiri.

Gambar 4 : Kerangka Teori Looking Glass Self dari Charles Horton

Cooley

C.H. Cooley dalam (Ritzer dan Goodman, 2007:295) menggambarkan

imajinasi diri seseorang yang muncul dalam pikiran yang ditentukan oleh

sikap terhadap hubungan pikiran dan perasaan dengan pikiran orang lain

Looking Glass Self

Konsep Diri

Menggambarkan dari perkembangan

diri melalui media cermin

Kita

membayangkan

bagaimana

seharusnya

penilaian mereka

terhadap tampilan

ini

Kita

membayangkan

perasaan diri,

sebagai akibat dari

bayangan kita

terhadap penilaian

orang lain

Kita

membayangkan

bagaimana ia

tampak dimata

orang lain

65

melalui suatu proses sosial. Proses refleksi diri menurut Cooley (1902) dibagi

menjadi tiga komponen yang membagi proses cermin diri menjadi tiga fase

yaitu:

1. Diri akan membayangkan penampilan dan kepribadian yang akan

dilihat orang lain.

2. Aktor diri membayangkan bagaimana penampilan mereka benar-

benar dihargai oleh orang lain yang mereka temui.

3. Diri memiliki perasaan untuk mengembangkan konsep diri sebagai

bentuk tanggapan orang lain terhadapnya seperti perasaan bangga

atau malu (Umiarso dan Elbadiansyah, 2014: 143).

Itu berarti bahwa diri tergantung pada bagaimana orang lain menilai diri

mereka sendiri. Ketika diri berpikir bahwa dalam penilaian orang lain

penampilan dan kepribadian mereka berguna, konsep diri akan meningkat,

sedangkan sebaliknya ketika diri menilai bahwa penilaian orang lain tentang

penampilan dan kepribadian mereka tidak baik, konsep diri akan berkurang.

Singkatnya, konsep diri dapat dijelaskan sebagai pemikiran aktor tentang

pemikiran orang lain tentang dirinya.

Dengan begitu, aktor membutuhkan balasan dari orang lain dalam

bentuk simbol yang kemudian digunakan sebagai identitas olehnya. Pikiran

orang lain yang paling berpengaruh pada pembentukan konsep diri ini adalah

orang-orang yang dianggap penting dan memiliki hubungan dekat (orang lain

yang signifikan) seperti suami, orang tua, dan anak-anak (Umiarso dan

Elbadiansyah, 2014: 119). Konsep ini Cooley menolak untuk memisahkan

66

antara kesadaran diri dan konteks sosial. Bagi Cooley, keduanya memiliki

hubungan yang kuat dan saling mempengaruhi, bahwa seseorang memiliki

kesadaran akan dirinya sendiri melalui interaksi sosial yang telah dilalui.

Kesadaran adalah dalam bentuk pikiran tentang diri sendiri yang terhubung

dengan pikiran orang lain tentang diri sendiri. Seperti cermin, seseorang

mendapatkan refleksinya melalui pantulan gambar di cermin. Demikian juga

dalam konsep The Looking Glass Self, seseorang melihat dirinya dalam

pemikiran orang lain sebagai refleksi melalui interaksi sosial yang terjadi di

antara mereka.

Menurut Cooley ada sejumlah varian dalam hubungan antara perasaan

diri masing-masing individu. Dalam proses sosialisasi di masyarakat,

perasaan takut dan rendah diri sering muncul, terutama jika kita berinteraksi

dengan orang lain. Ini karena kita sering berpikir tentang bagaimana orang

lain menilai dan mengevaluasi pilihan sikap yang kita buat. Inilah yang

disebut Cooley bahwa seseorang berkembang melalui interaksi dengan

menempatkan orang lain sebagai cermin dirinya.

Stigma merupakan tanda-tanda yang dibuat pada tubuh seseorang untuk

diperlihatkan dan menginformasikan kepada masyarakat bahwa orang-orang

yang mempunyai tanda-tanda tersebut merupakan seorang buruh, criminal,

atau seorang pengkhianat. Tanda-tanda ini merupakan ekspresi

penyimpangan dan status moral yang buruk dimiliki oleh seseorang

(Goffman, 1963: 1) dan penjelasan berikut:

67

a. Self

Goffman mendefinisikan dirinya sebagai kode yang membuat

pemahaman tentang semua kegiatan individu dan memberikan

dasar untuk pengorganisasian. Diri yang dapat dipahami tentang

individu yang terlihat di tempat yang diambilnya dalam organisasi

dalam aktivitas sosialnya, adalah penegasan dari pernyataan sikap

individu. Namun, orang-orang terpaksa oleh masyarakat untuk

menunjukkan bentuk "Dia dapat bekerja" atau dengan kata lain

mencoba membuat diri mereka diterima oleh masyarakat (Lemert

dan Branaman, 1997).

Self sangat berhubungan dengan pemikiran seorang individu

yaitu bagaimana ia memandang dan memaknai dirinya, termasuk

kontribusi pemikiran dari orang lain yang membentuk sebuah

pemikiran atas “kedirian” seorang. Hal ini berhubungan dengan

pengalaman dan interaksi yang dialami individu dengan orang lain

dalam kehidupan sosialnya. Berkenaan dengan pembentukan diri

dalam individu, ada dua komponen dalam pemikiran Goffman

yaitu pertama, diri adalah produk dari penampilan individu orang

lain dan bukan oleh individu itu sendiri, tetapi dalam bagaimana ia

diidentifikasi oleh orang lain. Identitas diri atau ego-identitas

perasaan subyektif seseorang untuk situasi yang dialami dan

kesinambungan dan karakter itu sendiri terpisah dari identitas

pribadi. Identifikasi diri individu dapat dikatakan berkaitan erat

dengan berbagai pengalaman sosial yang mereka alami. Intinya

68

adalah bahwa diri bukan hanya produk dari penampilan seseorang

dalam kehidupan sehari-hari, diri juga dapat diatur sedemikian rupa

tergantung di mana kita berada. Self menurut Goffman, secara

simulutan merupakan produk dari penampilan dramatic, objek dari

social ritual, dan sebuah tempat mengatur strategi layaknya

permainan (Lemert dan Branaman, 1997).

b. Identitas

Goffman membagi identitas berdasarkan dua pandangan yang

kemudian diberi istilah identitas sosial virtual (virtual social

identity) dan identitas sosial aktual (aktual social identity). Identitas

sosial virtual adalah identitas yang terbentuk dari karakter yang kita

asumsikan atau kita pikirkan orang yang disebut penokohan.

Sementara identitas sosial sebenarnya adalah identitas yang

terbentuk dari karakter yang terbukti (Goffman, 1963:2). Goffman

juga membagi identitas menjadi dua berdasarkan sikap atau

aktifitas aktor yaitu:

1. Virtual social identity, dalam kehidupan sosialnya.

2. Self dari individu mampu menampilkan dan dapat diterima

oleh orang lain dengan melihat status sosial dan

kemampuan atau sumber daya dimana individu tersebut

dapat mengaksesnya.

69

c. Stigma

Stigma adalah konsep yang ditemukan oleh Goffman di mana

seseorang atau individu diasingkan, dihapus, didiskualifikasi, atau

ditolak dari penerimaan sosial. Sedangkan dalam istilah sosiologis,

stigma muncul dari proses interaksi yang melibatkan orang ke

individu yang menerima stigma dari masyarakat. Stigma adalah

bentuk reaksi sosial dari masyarakat terhadap perilaku individu.

Dalam konsep stigma, Goffman mendefinisikan stigma sebagai situasi

individu yang didiskualifikasi dari penerimaan sosial penuh atau situasi yang

tidak menerima penerimaan penuh. Orang yang mengalaminya disebut.

Stigma dan stigmatisasi adalah tanda-tanda yang terlibat dalam menunjukkan

orang dalam dan orang luar dan meningkatkan ketidakberdayaan sosial dan

ketidakadilan. Jika setiap individu memiliki sifat yang dapat menghancurkan

identitas permanen dan menghalangi partisipasi penuh mereka dalam

masyarakat, ia dapat melahirkan stigma.

Goffman menggunakan konsep stigma untuk menggambarkan suatu

proses di mana orang tertentu secara moral dianggap tidak berharga atau

dengan kata lain stigma adalah sikap, perlakuan, atau perilaku orang yang

memandang perilaku tertentu. Goffman menyebutkan apabila seseorang

mempunyai atribut yang membuatnya berbeda dari orang-orang yang berada

dalam kategori yang sama dengan dia (seperti menjadi lebih buruk, berbahaya

atau lemah), maka dia akan diasumsikan sebagai orang yang ternodai. Atribut

inilah yang disebut dengan stigma (Goffman,1963:3). Jadi istilah stigma itu

70

mengacu kepada atribut-atribut yang sangat memperburuk citra seseorang.

Goffman (1963:4) menyebutkan 3 tipe stigma yang diberikan terhadap

seseorang, yaitu:

1. Abominations of the body (ketimpangan fisik)

Stigma yang berhubungan dengan kecacatan pada tubuh

seseorang (cacat fisik). Misalnya, orang-orang yang cacat

tubuhnya diberikan julukan khusus seperti si pincang, buntung

dan bisu.

2. Blemishes of individual character (cacat karakter individu)

Stigma yang berhubungan dengan kerusakan-kerusakan karakter

individu, misalnya orang-orang yang mempunyai karakter

individual tercela. Contohnya, homo sexuality, bunuh diri,

pemabuk, pemerkosa, ketagihan dan pecandu. Ketimpangan

karakter, seperti gangguan mental.

3. Tribal stigmas

Stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan agama.

Contohnya, keturunan Ahmadiyah, anak teroris.

Sosiolog Erving Goffman mendefinisikan stigma merupakan sebagai

proses dinamis dari devaluasi yang secara signifikan mendiskredit seorang

individu di mata individu lainnya. Kesenjangan antara bagaimana seharusnya

orang, “identitas sosial maya”, dengan bagaimana sebenarnya orang tersebut,

“identitas sosial aktual”. Siapa pun yang memiliki kesenjangan antara kedua

identitas tersebut mendapatkan stigma. Stigma memusatkan perhatian kepada

71

interaksi dramaturgis antara orang-orang yang mendapatkan stigma dengan

orang-orang yang normal. Sifat interaksi tersebut tergantung pada salah satu

di antara stigma yang melekat pada individu.

Pada kasus stigma yang didiskreditkan, aktor berasumsi bahwa

perbedaan diketahui oleh anggota udien atau dapat mereka buktikan

(misalnya, seorang lumpuh atau orang kehilangan kakinya). Stigma yang

dapat didiskreditkan adalah yang membedakannya tidak diketahui anggota

audien atau tidak dapat mereka persepsi (misalnya, seseorang yang menjalani

operasi anus buatan atau seorang homo seksual yang berubah menjadi suka

lawan jenis). Bagi seseorang dengan stigma yang didiskreditkan, masalah

dramaturgisnya adalah mengatur tarik ulur yang ditimbulkan oleh fakta

bahwa orang mengetahui masalah tersebut. Bagi seseorang dengan stigma

yang dapat didiskreditkan, masalah dramaturgisnya terletak pada pengaturan

informasi sedemikian rupa sehingga masalah tersebut tetap tidak diketahui

audiens (Nurhadi, 2014:403-404). Menurut Erving Goffman (1963:42) ada

beberapa penyebab terjadinya stigma, antara lain:

a) Takut

Ketakutan adalah penyebab umum, dalam kasus kusta,

misalnya, tampak takut akan konsekuensi yang akan diperoleh

jika dikontrak, bahkan para penderita cenderung takut akan

konsekuensi sosial dari pengungkapan kondisi aktual. Ketakutan

dapat menyebabkan stigma di antara anggota masyarakat atau di

antara petugas kesehatan.

72

b) Tidak Menarik

Beberapa kondisi dapat menyebabkan seseorang dianggap

tidak menarik, terutama dalam budaya kecantikan fisik yang

sangat dihargai. Dalam hal ini, kelainan wajah, alis menghilang,

hidung rontok, seperti yang terjadi pada kasus lanjut kusta akan

ditolak oleh masyarakat karena terlihat berbeda.

c) Kegelisahan

Kecacatan akibat kusta membuat penderitanya tidak nyaman,

mereka mungkin tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan

orang-orang dengan kondisi yang mereka alami sehingga

mereka cenderung menghindari lingkungan masyarakat.

d) Asosiasi

Stigma oleh asosiasi juga dikenal sebagai stigma simbolik,

hal ini terjadi ketika kondisi kesehatan dikaitkan dengan kondisi

yang tidak menyenangkan seperti pekerja seks komersial,

pengguna narkoba, orientasi seksual tertentu, kemiskinan, atau

kehilangan pekerjaan. Nilai dan keyakinan dapat memanikan

peran yang kuat dalam menciptakan atau mempertahankan

stigma, misalnya keyakinan tentang penyebab kondisi seperti

keyakinan bahwa kusta adalah kutukan Tuhan atau disebabkan

oleh dosa-dosa dalam kehidupan sebelumnya.

e) Kebijakan atau Undang-Undang

Ini biasanya terlihat ketika penderita dirawat di tempat yang

73

berbeda dan pada waktu-waktu khusus dari rumah sakit, seperti

klinik kusta, klinik untuk penyakit menular seksual.

f) Kurangnya Kerahasiaan

Pengungkapan kondisi seseorang yang tidak diinginkan dapat

disebabkan oleh cara penanganan hasil tes yang sengaja

dilakukan oleh petugas kesehatan, ini mungkin sama sekali tidak

diinginkan seperti pengiriman pengingat surat atau kunjungan

petugas kesehatan pada kendaraan yang ditandai dengan logo

gram .

Erving Goffman menyebutkan dua tipe orang yang terstigmatisasi yaitu

the discredited and discreditable. The discredited adalah orang yang tampak

berbeda dari orang ideal orang pada umumnya. Misalnya ideal tidak memiliki

guruan seksual atau lesbian. Ketika seseorang diketahui penyimpangan yang

dilakukan oleh orang lain maka dia disebut membenci. Sementara yang the

discreditable adalah orang yang berbeda atau menyimpang dari norma ideal

namun perbedaan atau penyimpangan belum diketahui oleh orang lain. Ketika

penyimpangan dikenal oleh orang lain maka diaakan ditolak dari Asosiasi

atau pergaulan. Karakter stigma menurut Lawrene Blume (2002) yaitu:

1. Orang membedakan dengan label yang berbeda

2. Budaya mendominasi karakteristik yang tidak diinginkan

3. Orang yang berlabel ditempatkan dalam kategori yang berbeda

untuk mencapai beberapa derajat pemisah “kami” dengan

mereka

4. Label status yang dialami berkaitan dengan pengalaman

74

kehilangan dan diskriminasi banyak mengarah ke hasil yang

tidak setara.

Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) stigma mengacu

pada pemikiran dari Goffman (1961), komponen-komponen dari stigma

sebagai berikut:

1. Pelabelan

Pelabelan adalah pembedaan dan memberikan label atau penamaan

berdasarkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki anggota masyarkat

tersebut (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Sebagian

besar perbedaan individu tidak dianggap relevan secara sosial, namun

beberapa perbedaan yang diberikan dapat menonjol secara sosial.

Pemilihan karakteristik yang menonjol dan penciptaan label bagi

individu atau kelompok merupakan sebuah prestasi sosial yang perlu

dipahami sebagai komponen penting dari stigma. Berdasarkan

pemaparan di atas, labeling adalah penamaan berdasarkan perbedaan

yang dimiliki kelompok tertentu.

2. Stereotip

Stereotip adalah kerangka berpikir atau aspek kognitif yang terdiri

dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan

traits tertentu (Baron & Byrne, 2003). Menurut Rahman (2013)

stereotip adalah kepercayaan tentang karakteristik tertentu dari

anggota kelompok tertentu. Stereotip adalah komponen kognitif yang

merupakan kepercayaan tentang atribut pribadi yang dimiliki oleh

orang-orang dalam kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu

75

(Taylor, Peplau, & Sears, 2009).

3. Pemisahan

Pemisahan adalah pemisahan "kita" (sebagai pihak yang tidak

memiliki stigma atau pemberi stigma) dengan "mereka" (kelompok

yang mendapat stigma). Hubungan antara label dan atribut negatif

akan menjadi pembenaran ketika individu yang diberi label percaya

bahwa dia memang berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa proses

pemberian stereotip berhasil (Scheid & Brown, 2010).

4. Diskriminasi

Diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan orang lain karena

keanggotaan mereka dalam suatu kelompok (Rahman, 2013). Menurut

Taylor, Peplau, dan Sears (2009), diskriminasi adalah komponen

perilaku yang merupakan perilaku negatif terhadap individu karena

individu tersebut adalah anggota kelompok tertentu.

Menurut Crocker, dkk. (dalam Major & O'Brien, 2005) stigma terjadi karena

individu memiliki beberapa atribut dan karakteristik identitas sosial mereka

tetapi akhirnya devaluasi terjadi dalam konteks tertentu. Menurut Link dan

Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) stigma terjadi ketika beberapa

komponen yang saling terkait muncul. Komponen-komponennya, yaitu:

1) Komponen pertama adalah individu yang membedakan dan memberi

label perbedaan yang dimiliki oleh individu tersebut

2) Komponen kedua adalah munculnya kepercayaan dari budaya

individu terhadap karakteristik individu atau kelompok lain dan

76

menimbulkan stereotip.

3) Komponen ketiga adalah menempatkan individu atau kelompok yang

telah diberi label untuk individu atau kelompok dalam kategori yang

berbeda sehingga terjadi pemisahan.

4) Komponen keempat adalah bahwa individu yang dicap menderita

diskriminasi.

Mekanisme stigma menurut Major & O’Brien (2005), yaitu :

1. Adanya perlakukan negatif dan diskriminasi secara langsung

Mekanisme stigma yang pertama yaitu adanya perlakukan negatif

dan diskriminasi secara langsung, artinya terdapat pembatasan pada

akses kehidupan dan diskriminasi secara langsung sehingga

berdampak pada status sosial, psychological well-being dan kesehatan

fisik.

2. Proses konfirmasi terhadap harapan atau self fullfilling prophecy

Stigma menjadi sebuah proses melalui konfirmasi harapan atau self

fullfilling prophecy. Persepsi negatif, stereotipe dan harapan bisa

mengarahkan individu untuk berperilaku sesuai dengan stigma yang

diberikan sehingga berpengaruh pada pikiran, perasaan dan perilaku

individu tersebut.

3. Munculnya stereotip secara otomatis

Stigma dapat menjadi sebuah proses melalui aktivitas stereotip

otomatis secara negatif pada suatu kelompok.

4. Terjadinya proses ancaman terhadap identitas dari individu

77

Gambar 5 : Kerangka Teori Stigma dari Erving Goffman

Konsep stigma dalam penelitian ini adalah bahwa mantan narapidana

yang didiskualifikasi dari penerimaan sosial yang lengkap atau situasi yang

tidak menerima penerimaan yang lengkap. Dengan kata lain, konsep stigma

adalah untuk menggambarkan situasi di mana mantan narapidana kebanyakan

tidak dapat diterima oleh masyarakat sekitarnya karena adanya stigma negatif

yang melekat pada seorang mantan narapidana ketika seorang mantan

narapidana keluar dari Lembaga Permasyarakatan. Dalam lingkungan

masyarakat, terdapat mantan narapidana yang melakukan suatu tindakan yang

sama yaitu melanggar suatu ketentuan norma yang ada di dalam masyarakat,

sehingga membuat ia kembali harus menanggungjawabkan suatu

STIGMA

Ketimpangan

Fisik

Cacat Karakter

Individu

Tribal Stigma

Mantan Narapidana

Cacat Sosial

Stigma Negatif

Reaksi Sosial

Dikucilkan

Diskriminasi

Penyesuaian Diri

78

perbuatannya di Lembaga Permasyarakatan. Sehingga, masyarakat

kebanyakan menganggap bahwa seorang mantan narapidana akan selalu

menjadi seorang yang akan terus melanggar aturan atau norma yang ada di

masyarakat. Realitasnya, tidak semua mantan narapidana ketika sudah

dikembalikan ke lingkungan masyarakatnya akan melakukan suatu

pelanggaran norma yang sama. Ironisnya, kebanyakan lapisan masyarakat

menilai sama bahwa seorang mantan narapidana yang sudah melakukan masa

hukumannya di Lembaga Permasyarakatan akan kembali melakukan suatu

kesalahan.

Mantan narapidana didiskualifikasi dari kehidupan sosial, mereka

mengalami stigmatisasi individu. Dikucilkan bahkan sampai di diskriminasi

dari yang lainnya sehingga seorang mantan narapidana harus terus berusaha

untuk dapat menentukan suatu strategi menyesuaikan diri dengan identitas

sosial masyarakat dimana mantan narapidan tinggal. Mantan narapidana

sendiri harus bisa menghadapi hinaan setiap harinya yang direfleksikan

kembali kepada mereka. Bagi mantan narapidana yang bebas atau kehabisan

penjara (penjara) tidak mudah untuk kembali dan dapat berbaur dengan

komunitas. Meskipun sudah bebas, mantan narapidana atau tahanan masih

dianggap oleh masyarakat sebagai cacat sosial dan pemborosan masyarakat

karena perilaku kriminal yang telah dilakukan di masyarakat. Kondisi ini

karena ketidakadilan yang dicontohkan oleh mantan narapidana,

ketidakadilan timbul karena pengaruh tindakan pidana dilakukan oleh mantan

monak. Jadi mantan mundur diperoleh stigma negatif masyarakat. Stigma

negatif yang diberikan pada mantan narapidana pada dasarnya sebagai

79

konsekuensinya atau hasil dari mantan narapidana. Pada dasarnya kondisinya

bukan kondisi normal. Ketidakadilan yang dialami mantan narapidana di awal

adalah kegagalan mantan narapidana sendiri untuk dapat menyesuaikan diri

saat kembali di masyarakat, untuk menghilangkan stigma negatif yang

menempel padanya di tempat ia tinggal.