BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 ...
30
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam
melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya atau
memperbanyak teori-teori yang digunakan untuk mengkaji penelitian yang
dilakukan. Dari penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan penelitian
dengan judul yang sama seperti judul penelitian yang ditulis. Namun penulis
mengangkat beberapa penelitian sebagai referensi dalam memperkaya atau
memperbanyak bahan kajian pada penelitian penulis. Berikut adalah
penelitian terdahulu yang menjadi acuan dan referensi peneliti dalam
melakukan sebuah penelitian:
Pertama, itu dilakukan oleh Yolla Gusef dalam tesisnya yang berjudul
Adaptasi Kehidupan Sosial Mantan Tahanan di Masyarakat. Penelitian ini
didasarkan pada bagaimana adaptasi mantan narapidana dalam kehidupan
sosial dan pandangan masyarakat tentang keberadaan mantan narapidana
dalam kehidupan mereka. Dalam penelitian ini, metode kualitatif yang
digunakan dengan subjek penelitian ini adalah mantan narapidana yang telah
dijatuhi hukuman lebih dari lima tahun dan menggunakan teknik pemilihan
informan purposive. Jenis penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan
untuk menjelaskan fenomena sosial yang terjadi. Hasil penelitian tentang
adaptasi sosial mantan narapidana, dapat disimpulkan bahwa dalam
beradaptasi dengan komunitas mantan narapidana berbeda, baik dari
31
kejahatan yang telah mereka lakukan maupun di daerah atau lingkungan
tempat tinggal mereka. Mantan terpidana kasus pembunuhan, dia berusaha
keras untuk mengembalikan kepercayaan rakyat, dengan menjadi lebih baik
dan lebih sopan atau dengan menunjukkan kepada mereka bahwa dia benar-
benar telah berubah. Dalam mantan narapidana perampokan, dalam
masyarakat, lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan. Mereka lebih
dominan bergaul di luar lingkungannya. Serta mantan narapidana dengan
kasus laka dan kemudian tidak memiliki kesulitan dalam beradaptasi,
masyarakat memberikan dukungan untuk dapat hidup lebih baik. Berbeda
dengan mantan narapidana dalam kasus narkoba (residivis), ia lebih dominan
dalam bersosialisasi di luar lingkungannya. Upaya yang dia lakukan untuk
dapat mendaur ulang dengan masyarakat adalah untuk berpartisipasi dalam
kegiatan sosial.
Kedua, dilakukan oleh Raudhatul Mahmudah yang dilakukan di Desa
Batu Kecil Kecil, Kecamatan Kuok, Kabupaten Kampar. Penelitian ini
berjudul Interaksi Mantan Narapidana di Tengah Masyarakat (Studi Mantan
Narapidana di Desa Batu Step Kecil, Kabupaten Kuok, Kabupaten Kampar).
Masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana interaksi mantan
narapidana di masyarakat dan pandangan orang-orang di sana terhadap
mantan narapidana tersebut. Pengambilan sampel dalam penelitian dengan
judul ini adalah dengan teknik purposive. Total populasi 100 orang, sampel
40 orang yang telah ditentukan kriteria. Menggunakan informan penelitian
melalui informan kunci sebanyak 3 narapidana. Penulis menggunakan metode
deskriptif kuantitatif. Instrumen data adalah observasi, wawancara, kuesioner,
32
dokumentasi. Dari penelitian yang dilakukan oleh penulis, penulis menarik
kesimpulan bahwa interaksi mantan narapidana di tengah-tengah masyarakat
setelah bebas mengalami kesulitan diterima kembali di masyarakat. Opini
publik tentang mantan narapidana selalu buruk dan memberikan label
kriminal kepada mantan narapidana.
Ketiga, yang dilakukan oleh Wahyu Dwi Lestari, Dasim Budimansyah,
dan Wilodati. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pali Provinsi Sumatra
Selatan, tepatnya di Kecamatan Talang Ubi dengan judul Pola Adaptasi
Mantan Narapidana Dalam Kehidupan Bermasyarakat. Penelitian ini di latar
belakangi oleh pemberian stigma kepada mantan narapidana yang
menimbulkan kecanggungan narapidana tersebut untuk bermasyarakat. Agar
dapat diterima, mantan narapidana perlu melakukan adaptasi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui interaksi, perubahan, dampak dari adaptasi, dan
tipologi adaptasinya dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan cara observasi,
wawancara dan studi dokumentasi. Temuan penelitian ini yaitu pertama,
interaksinya untuk mengubah stigma dengan menunjukan sikap ramah dan
aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Kedua, perubahan positifnya yaitu
bertambahnya keimanan, peka terhadap masyarakat dan meninggalkan
kebiasaan buruknya. Ketiga, dampak adaptasinya yaitu perubahan respon
masyarakat, hilangnya stigma, memiliki peran, dan hidup tenang. Kelima,
tipologi adaptasi dipengaruhi keluarga, lingkungan, kejahatan, dan cara
mengubah stigma.
33
Keempat, dilakukan oleh Nanang Ardhyansa dengan judul Sikap
Masyarakat Terhadap Mantan Tahanan di Desa Gaten, Dabag Dusun, Desa
Condongcatur, Kabupaten Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan berdasarkan sikap masyarakat yang
cenderung menolak keberadaan mantan narapidana di Desa Gaten, Dabag
Dusun, Desa Condongcatur, Kabupaten Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini adalah penelitian hukum
deskriptif kualitatif yang diperoleh dari data primer, data sekunder, dan data
tersier. Data primer diambil dari wawancara. Sedangkan data sekunder
diperoleh dari data yang secara tidak langsung menyediakan informasi yang
mendukung sumber data primer dalam bentuk undang-undang, buku yang
terkait dengan penelitian ini, dan bahan hukum tersier dalam bentuk kamus,
artikel, dan situs web. Hasil penelitian ini menyadari bahwa pertama, faktor-
faktor yang menyebabkan sikap negatif masyarakat Kampung Gaten, Dabag
Dusun, Desa Condongcatur, Kabupaten Depok, Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Provinsi Yogyakarta terhadap mantan narapidana yang kembali 3
(tiga), pertama , sikap mantan narapidana yang tertutup atau jarang
bersosialisasi, kedua masyarakat cenderung individualistis atau apatis
terhadap keberadaan mantan narapidana, ketiga ada stigma sosial di
masyarakat bahwa seseorang telah melakukan kejahatan maka kemudian dia
akan melakukan lagi. Solusi untuk mengubah sikap penolakan masyarakat di
Kampung Gaten, Dabag Dusun, Desa Condongcatur, Kabupaten Depok,
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap pengembalian
mantan narapidana adalah 4 (empat), yaitu konseling programatik pertama
34
untuk masyarakat khususnya Kampung Gaten, Dabag Dusun, Desa
Condoncatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Provinsi Yogyakarta bahwa tahanan tidak selalu jahat, baik menggunakan
atau memanfaatkan Bapas (Lembaga Pemasyarakatan) untuk berkolaborasi
dengan masyarakat secara masif untuk mengoreksi tahanan. , tiga pendekatan
struktural dan emosional yang secara rutin dilakukan oleh pejabat Kampung
Gaten, Desa Condongcatur, Kabupaten Depok, Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Provinsi Yogyakarta dari mantan narapidana, keempat untuk
menciptakan acara yang memanfaatkan mantan narapidana, misalnya
pelatihan atau lokakarya .
Kelima, sebuah studi yang dilakukan oleh Edy Prabowo Saputra dengan
judul Integrasi Bekas Komunitas yang Tahan Setelah Bebas dari Lembaga
Pemasyarakatan. Dalam penelitian, masalah yang disajikan adalah integrasi
mantan narapidana ke masyarakat, penelitian ini membuat mereka dapat
diterima di masyarakat dan tidak melakukan kejahatan lagi, dan melihat
hambatan apa yang dirasakan oleh mantan narapidana. Dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan teori interaksi sosial
yang dalam berbagai faktor dilihat sebagai imitasi, sugesti, identifikasi, dan
simpati. Dalam penelitian ini, dijelaskan bahwa integrasi mantan narapidana
telah dimulai ketika mendekati kebebasan dari fasilitas pemasyarakatan
sebenarnya merupakan langkah positif yang dapat diperoleh oleh mantan
narapidana, dari masyarakat desa dan masyarakat dalam penelitian, karena
proses Memadukan mantan narapidana membutuhkan peran masyarakat
35
dalam hal penerimaan dan upaya yang dilakukan oleh mantan narapidana
untuk mencoba memasuki kembali komunitas tempat mereka tinggal.
Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Zainul Akhyar, Harpani
Matnuh dan Muhammad Najibuddin dengan judul Persepsi Masyarakat
Terhadap Mantan Narapidana di Desa Benua Jingah Kecamatan Barabai,
Kabupaten Hulu Sungai Tengah, penelitian ini berfokus pada melihat
diskriminasi dan stigma yang diberikan oleh masyarakat terhadap masyarakat.
Kehadiran mantan narapidana di lingkungannya. Kemudian penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi
dan teori yang digunakan adalah teori stigma yang dikembangkan oleh Erving
Goffman. Studi ini memperoleh data temuan dalam bentuk pandangan
masyarakat tentang mantan napi dengan hal negatif, kemudian diskriminasi
oleh masyarakat dengan menyoroti dari perspektif negatif dalam semua
bentuk kegiatan dan perilaku sehingga mantan napi merasa dikucilkan dari
lingkungan masyarakat. Stigma yang nampak pada mantan narapidana dalam
penelitian ini adalah karena kehadiran mantan narapidana ternyata bukan
orang yang baik tetapi benar-benar mabuk, tidak ada pertobatan dan tidak
hanya bahwa narapidana dalam percakapannya sulit dipercaya karena mereka
tidak konsisten. Inilah yang menyebabkan orang merasa khawatir.
Ketujuh, penelitian yang dilakukan oleh Usman Efendi dengan judul
Proses Pelabelan Mantan Tahanan di Komunitas Desa Limo, Depok. Tesis ini
menganalisis proses pelabelan mantan narapidana di masyarakat, khususnya
mantan narapidana kasus narkoba dan pencurian di Kelurahan Limo, Depok.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dimana
36
pengumpulan datanya dengan metode wawancara. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menunjukkan bahwa mantan narapidana mendapatkan pelabelan
yang berbeda dari masing-masing komunitas dan setelah pelabelan itu mulai
memudar dengan penyesuaian mantan narapidana sehingga penerimaan
publik akan terjadi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
pelabelan yang dikembangkan oleh Howard Becker, teori ini mengatakan
bahwa perilaku menyimpang dibagi menjadi dua yaitu perilaku menyimpang
primer dan sekunder. Perilaku menyimpang utama sebagai seseorang yang
melakukan penyimpangan kecil atau tidak menyadarinya, tetapi ketika
tindakan berkembang dan menerima dukungan dari orang atau kelompok
yang mengarah pada tindakan kriminal atau pelanggaran hukum disebut
perilaku menyimpang sekunder dan fokus teori pelabelan adalah
penyimpangan sekunder perilaku. Hasil penelitian ini melabeli mantan
narapidana dalam bentuk ucapan-ucapan seperti anak-anak yang ceroboh,
pemabuk dan penyebutan nama-nama dengan tanda seru untuk mantan
narapidana narkoba, sementara mantan narapidana pencurian seperti rubah
dan misterius. Pelabelan adalah dalam bentuk sikap yang diberikan oleh
publik seperti khawatir ketika meminjamkan sepeda motor kepada mantan
narapidana pencurian sementara mantan narapidana narkotika adalah aturan
ketat dari keluarga. Setelah pelabelan mulai memudar ke mantan narapidana,
penerimaan masyarakat muncul dengan mengundang mantan narapidana
untuk dapat bergabung dan aktif dalam organisasi pemuda dan belajar di
lingkungan.
37
Kedelapan, penelitian yang dilakukan oleh Dwi Ayu Kurniawati
berjudul Stigma sebagai Ketidakadilan pada Mantan Narapidana Perempuan
di Masyarakat Surabaya. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa
kehidupan mantan narapidana perempuan setelah dibebaskan dari penjara
sering mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, yang membuatnya sulit
untuk diterima kembali di lingkungan sosial. Adanya fenomena ini, perlu
dicermati stigma masyarakat sebagai ketidakadilan dan bagaimana hal itu
ditafsirkan pada mantan narapidana wanita. Penelitian ini menggunakan teori
keadilan sosial dari Mauriane Adams, teori stigma dan dramaturgi dari Erving
Goffman dengan metode kualitatif dan paradigma fakta sosial. Hasil dari
penelitian ini adalah bahwa setelah dibebaskan dari penjara banyak mantan
napi perempuan mengalami stigma sebagai ketidakadilan yang diperoleh dari
komunitas mulai dari anggota keluarga, tetangga, dan komunitas yang lebih
luas. Perilaku ketidakadilan yang diperoleh oleh mantan narapidana
perempuan dalam kasus lotere, pembunuhan dan penjual bayi dan keluarga
mereka, antara lain: stereotip negatif sebagai mantan tahanan perempuan,
marginalisasi di dunia ekonomi dan sosial dan bekerja di mana masyarakat
sering membatasi interaksi sosial dengan mantan perempuan - tahanan dan
keluarga mereka, dan dominasi politik yang dirasakan oleh mantan
narapidana wanita adalah bahwa dalam kehidupan sehari-hari mereka belum
mendapatkan hak sebagai individu karena keterbatasan yang dipaksakan oleh
masyarakat. Sementara itu, mantan narapidana perempuan dalam kasus
narkoba karena mereka bermigrasi jauh dari orang tua mereka dan
masyarakat yang tahu dan mengalami perubahan di rumah mereka, hanya
38
memperoleh ketidakadilan dari dominasi politik karena pendapat yang
terbatas dan marjinalisasi ekonomi karena lowongan terbatas setelah menjadi
perempuan mantan narapidana Bagi mantan narapidana perempuan yang
menafsirkan stigma negatif yang diberikan oleh masyarakat berlebihan karena
bagi perempuan mantan narapidana hukuman di penjara cukup untuk
memberikan hukuman baginya. Namun, keberadaan berbagai stigma sebagai
ketidakadilan yang didapat membuatnya banyak melakukan tindakan positif
di masyarakat untuk mendapatkan kembali kepercayaan dan pindah hidup
agar memiliki kehidupan yang lebih baik, terutama bagi keluarganya.
Kesembilan, penelitian yang dilakukan oleh Anjar Izzulhaq berjudul
Stigmatisasi Mantan Tahanan Penyalahgunaan Cannabis di Lingkungan
Serang. Dalam penelitian ini, kehidupan mantan narapidana yang
menggunakan ganja setelah dibebaskan dari penjara sering menerima stigma
buruk dari masyarakat, yang membuatnya sulit untuk diterima kembali di
lingkungan sosial. Keberadaan fenomena ini perlu dipelajari stigma
masyarakat sebagai ketidakadilan dan bagaimana hal itu ditafsirkan pada
mantan narapidana. Penelitian ini menggunakan teori stigma dan dramaturgi
Erving Goffman. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan data
kualitatif. Penambangan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara
dan beberapa data sekunder yang mendukung penelitian ini, seperti buku,
browsing, internet, dan penelitian sebelumnya, dengan metode kualitatif dan
paradigma fakta sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mantan
narapidana dan keluarga mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari
orang-orang yang memiliki stigma bahwa mereka cacat sosial karena perilaku
39
kriminal yang telah dilakukannya. Stigma sebagai ketidakadilan dialami oleh
mantan narapidana yang menggunakan ganja bermula dari status seorang napi
yang terdaftar setelah dibebaskan dari penjara. Dalam perkembangan lain,
dalam proses menafsirkan mantan narapidana perempuan atas ketidakadilan
yang dialami. Mulai dari proses pembentukan konsep diri dan dikembangkan
dengan adaptasi. Ini memunculkan pemikiran baru tentang tanggapan tahanan
perempuan terhadap ketidakadilan yang mereka alami. Namun, keberadaan
berbagai stigma sebagai ketidakadilan yang diperoleh membuatnya banyak
tindakan positif di masyarakat untuk mendapatkan kembali kepercayaan dan
melanjutkan hidup yang lebih baik, terutama bagi keluarganya.
Adapun fokus penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini yaitu terkait
dengan upaya penyesuaian diri yang dilakukan oleh mantan narapidana di
lingkungan masyarakat tempat ia tinggal dalam menanggapi stigma negatif
yang melekat pada diri seorang mantan narapidana ketika keluar dari
Lembaga Permasyarakatan.
Tabel 2. Penelitian Terdahulu
No. Judul & Penulisan Hasil Penelitian Relevansi
1. Adaptasi Kehidupan
Sosial Mantan Nara-
pidana dalam Masya-
rakat.
Yolla Gusef (2011)
Dalam beradaptasi de-
ngan komunitas man-
tan narapidana tersebut
berbeda-beda, baik da-
ri tindakan kriminal
yang pernah mereka
lakukan dan juga di
daerah atau lingkungan
tempat mereka tinggal.
Persamaan:
Melihat penelitian ini de-
ngan penelitian yang
akan dilakukan oleh pe-
nulis adalah mengenai
tema upaya yang akan di-
lakukan oleh mantan
narapidana setelah keluar
dari lapas untuk mengu-
bah stigma negatif yang
muncul di masyarakat.
Peneliti dengan Yolla
Gusef sama-sama meng-
40
gunakan jenis penelitian
kualitatif dengan meng-
gunakan teknik purpo-
sive.
Perbedaan:
Peneliti menggunakan
pendekatan studi kasus,
sedangkan peneliti Yolla
Gusef menggunakan pen-
dekatan deskriptif.
Lokasi penelitian dengan
peneliti. Lokasi peneliti
di Kecamatan Klakah,
Kabupaten Lumajang.
Subjek dari Yolla Gusef
memiliki kriteria mantan
narapidana yang terpi-
dana di atas lima tahun,
sedangkan untuk peneliti
tidak ada kriteria harus
mantan narapidana yang
terpidana di atas lima
tahun.
2. Interaksi Mantan
Narapidana di tengah
Masyarakat (Studi
Tentang Mantan Na-
rapidana di Desa
Batu Langkah Kecil
Kecamatan Kuok Ka-
bupaten Kampar).
Raudhatul
Mahmudah (Februari
2017)
Interaksi mantan nara-
pidana di tengah-
tengah masyarakat se-
telah bebas mengalami
kesulitan untuk diteri-
ma lagi di masyarakat.
Pandangan publik ten-
tang mantan narapi-
dana selalu buruk dan
memberikan label kri-
minal kepada mantan
narapidana.
Persamaan:
Sama-sama untuk
mengubah pandangan
dari masyarakat terhadap
mantan narapidana di
lingkungan dimana ia
tinggal.
Perbedaan:
Lokasi penelitian, di
mana lokasi yang dila-
kukan oleh Raudhatul
Mahmudah berada di
Desa Batu Langkah Kecil
Kecamatan Kuok Kabu-
paten Kampar, sedang-
kan peneliti mengambil
lokasi di Kecamatan Kla-
kah, Kabupaten Luma-
jang.
3. Pola Adaptasi Man-
tan Narapidana Da-
Pemberian stigma ke-
pada mantan narapi-Persamaan:
Sama-sama ingin me-
41
lam Kehidupan Ber-
masyarakat.
Wahyu Dwi Lestari,
Dasim Budimansyah,
dan Wilodati
dana yang menim-
bulkan suatu kecang-
gungan dari narapi-
dana tersebut untuk
bermasyarakat. Agar
dapat diterima, mantan
narapidana perlu mela-
kukan suatu adaptasi.
rubah pandangan masya-
rakat terhadap mantan
narapidana di lingkungan
tempat ia tinggal.
Perbedaan:
Lokasi penelitian, di
mana lokasi yang dila-
kukan oleh Wahyu Dwi
Lestar, dkk di Kabupaten
Pali Provinsi Sumatra
Selatan, tepatnya di Ke-
camatan Talang Ubi, se-
dangkan peneliti me-
ngambil lokasi di Ke-
camatan Klakah, Kabu-
paten Lumajang.
4. Sikap Masyarakat
Terhadap Mantan
Narapidana Di Kam-
pung Gaten Dusun
Dabag Desa Con-
dongcatur Kecamatan
Depok Kabupaten
Sleman Provinsi
Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Nanang Ardhyansa
(2018)
Sikap masyarakat yang
cenderung menolak
keberadaan mantan
narapidana di Kam-
pung Gaten, Kecama-
tan Depok, Kabupaten
Sleman, Provinsi Da-
erah Istimewa Yogya-
karta.
Persamaan:
Metode penelitian yang
digunakan oleh Nanang
Ardhyansa dengan pene-
liti sama-sama menggu-
nakan jenis penelitian
kualitatif dengan pe-
ngumpulan data meng-
gunakan cara observasi
di lokasi, wawancara dan
dokumentasi.
Perbedaan:
Peneliti menggunakan
pendekatan studi kasus,
sedangkan Nanang
Ardhyansa menggunakan
pendekatan secara des-
kriptif.
Di penelitian yang di-
lakukan oleh Nanang
Ardhyansa, sikap mantan
narapidana yang tertutup
atau jarang bersosialisasi,
sedangkan di lokasi yang
akan peneliti melakukan
penelitian mantan nara-
pidana lebih terbuka dan
bersosialisasi dengan
lingkungan masyarakat,
42
tetapi ada salah satu
mantan narapidana yang
kurang bersosialisasi de-
ngan masyarakat tempat
ia tinggal.
5. Integrasi Mantan Na-
rapidana Dalam
Masyarakat Setelah
Bebas Dari Lembaga
Pemasyarakatan.
Edy Prabowo
Saputra (2010)
Integrasi yang di la-
kukan oleh mantan na-
rapidana memiliki pe-
nerimaan yang baik
maupun negatif dari
masyarakat setempat.
Persamaan:
Metode penelitian yang
digunakan oleh Edy
Prabowo Saputra dengan
peneliti sama-sama
menggunakan jenis pene-
litian kualitatif dengan
pengumpulan data meng-
gunakan cara observasi
di lokasi, wawancara dan
studi dokumentasi.
Perbedaan:
Peneliti menggunakan
pendekatan studi kasus,
sedangkan Nanang
Ardhyansa menggunakan
pendekatan secara des-
kriptif.
Lebih menjelaskan bah-
wa integrasi yang dila-
kukan oleh mantan nara-
pidana beragam dan tidak
membahas mengenai
strategi penyesuaian diri
mantan narapidana.
Teori yang digunakan
oleh Edy Prabowo
Saputra menggunakan te-
ori interaksi sosial, se-
dangkan peneliti meng-
gunakan teori stigma dari
Erving Goffman.
6. Persepsi Masyarakat
Terhadap Mantan
Narapidana Di Desa
Benua Jingah Keca-
matan Barabai Kabu-
paten Hulu Sungai
Tengah.
Dijelaskan bahwa ma-
ntan narapidana men-
dapatkan diskriminasi
oleh masyarakat, be-
rupa meyoroti dari su-
dut pandang yang ne-
gatif dengan segala
Persamaan:
Penilaian yang diberikan
oleh masyarakat terhadap
mantan narapidana.
Perbedaan:
Peneliti menggunakan
pendekatan studi kasus,
43
Zainul Akhyar,
Harpani Matnuh dan
Muhammad
Najibuddin (2014)
bentuk perilaku dari
mantan narapidana.
sedangkan Nanang
Ardhyansa menggunakan
pendekatan secara des-
kriptif.
Lebih menjelaskan ter-
hadap diskrimininasi
kepada mantan narapi-
dana, namun tidak men-
jelaskan bagaimana upa-
ya penyesuaian diri yang
dilakukan oleh mantan
narapidana.
7. Proses Labeling
Mantan Narapidana
Di Masyarakat Kelu-
rahan Limo, Depok.
Usman Efendi (2018)
Memberi label pada
mantan narapidana da-
lam bentuk komentar
seperti anak-anak yang
ceroboh, pemabuk dan
menyebutkan nama de-
ngan tanda seru untuk
mantan narapidana
narkoba, sementara
mantan narapidana
pencurian seperti
rubah dan misterius.
Persamaan:
Memudar dengan adanya
upaya penyesuaian diri
dari mantan narapidana
sehingga akan terjadi pe-
nerimaan masyarakat.
Teknik pengumpulan da-
ta yang dilakukan oleh
memiliki kesamaan.
Perbedaan:
Teori yang dipakai oleh
Usman Efendi adalah te-
ori Labelling dari
Howard Becker, peneliti
menggunakan teori loo-
king glass self dari Char-
les Horton Cooley dan
teori stigma dari Erving
Goffman.
Peneli menggunakan
pendekatan studi kasus,
sedangkan Nanang
Ardhyansa menggunakan
pendekatan secara des-
kriptif.
8. Stigma Sebagai
Suatu Ketidakadilan
Pada Mantan Nara-
pidana Perempuan Di
Masyarakat
Surabaya.
Mantan narapidana
perempuan dan kelu-
arga mendapatkan per-
lakuan kurang baik
dari masyarakat yang
mempunyai stigma
bahwa dirinya adalah
Persamaan:
Sama-sama menggali in-
formasi kepada mantan
narapidana.
Menggunakan jenis pe-
nelitian kualitatif.
44
Dwi Ayu Kurniawati
(2016)
perempuan cacat sosial
karena perilaku pidana
yang pernah dilaku-
kannya. Perlakuan ter-
sebut berupa distere-
otipe, disubordinasi,
dimarginalisasi, dan di
dominasi. Sedangkan,
bagi mantan narapi-
dana perempuan me-
maknai hal tersebut se-
bagai proses untuk
menjadi pribadi yang
lebih baik. Mereka ke-
mudian melakukan
adaptasi kembali di
masyarakat dengan
melakukan perbuatan
baik atau pindah tem-
pat tinggal untuk men-
dapatkan lingkungan
baru yang dapat mene-
rimanya tampa stigma
negatif.
Sama-sama mengguna-
kan Teori Stigma dari
Erving Goffman.
Perbedaan:
Menggunakan paradigma
fakta sosial.
Dalam penelitian dari
Dwi Ayu Kurniawati
menggunakan tiga teori
keadilan sosial dari
Mauriane Adams, teori
stigma dan dramaturgi
dari Erving Goffman.
Namun peneliti meng-
gunakan teori looking
glass self dari C.H
Cooley dan teori stigma
dari Erving Goffman.
9. Stigmatisasi Pada
Mantan Narapidana
Penyalahgunaan
Ganja di Lingkungan
Serang.
Anjar Izzulhaq
(2019)
Mantan narapidana
dan keluarga menda-
patkan perlakuan ku-
rang baik dari masya-
rakat yang mem-
punyai stigma bahwa
dirinya adalah seorang
cacat sosial karena
perilaku pidana yang
pernah dilakukannya.
Persamaan:
Sama-sama mengkaji
stigma negatif masya-
rakat terhadap mantan
narapidana.
Sama-sama mengguna-
kan teori stigma dari
Erving Goffman.
Sama-sama mengguna-
kan jenis penelitian kua-
litatif.
Sama-sama mengguna-
kan pengumpulan data
seperti observasi, wa-
wancara dan dokumen-
tasi.
Perbedaan:
Menggunakan paradigma
fakta sosial.
45
Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Anjar
Izzulhaq menggunakan
teori stigma dan dra-
maturgi dari Erving
Goffman, sedangkan pe-
neliti menggunakan teori
looking glass self dari C.
H. Cooley dan teori
stigma dari Erving
Goffman.
2.2 Tinjauan Pustaka
2.2.1 Upaya
Setiap kegiatan atau tindakan yang diambil tentunya harus ada upaya
atau perlakuan tertentu, ini dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dan
agar apa yang diinginkan atau direncanakan dapat tercapai dengan
maksimal dan sesuai dengan apa yang diinginkan. Upaya adalah suatu
tindakan yang dilakukan seseorang, untuk mencapai apa yang diinginkan
atau merupakan sebuah strategi. Upaya adalah aspek dinamis dalam
posisi (status) sesuatu. Jika seseorang melakukan hak dan kewajibannya
sesuai dengan posisinya, maka dia berusaha. Upaya dijelaskan sebagai
upaya (suatu kondisi) dari suatu cara, juga dapat disebut sebagai suatu
kegiatan yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk
menjaga hal-hal agar tidak meluas atau muncul (Poerwadarminta, 1991:
1131).
Upaya-upaya ini juga harus dilakukan terus menerus sehingga
masalah dapat diselesaikan atau dapat mencapai tujuan dan sasaran yang
diharapkan. Dengan upaya ini, diharapkan berbagai kendala yang
menghambat tujuan dapat diatasi. Jadi dapat menyimpulkan bahwa upaya
46
adalah tindakan yang dilakukan seseorang,untuk mencapai apa yang
diinginkan yang dilakukan secara sistematis, terencana, terarah dan
berkesinambungan. Baik dari segi upaya mencegah sesuatu yang
membawa bahaya, upaya mempertahankan atau mempertahankan kondisi
yang kondusif atau baik, sehingga kondisi tidak terjadi yang tidak baik,
dan upaya mengembalikan seseorang yang bermasalah kepada seseorang
yang mampu menyelesaikan masalahnya.
2.2.2 Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri sebagai suatu kemampuan individu untuk diterima
di dalam kelompok atau lingkungannya, karena ia memperlihatkan sikap
serta tingkah laku yang menyenangkan (Hurlock, 1999:278). Menurut
Yusuf (2007:210) penyesuaian diri adalah kegiatan atau tingkah laku
individu pada hakikatnya merupakan cara memenuhi kebutuhan, apa
yang penting untuk dapat memenuhi kebutuhan individu ini secara
individual harus dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan semua
kemungkinan yang ada di lingkungan, disebut sebagai proses
penyesuaian. Situasi dalam kehidupan selalu berubah. Individu
mengubah tujuan dalam hidupnya seiring dengan perubahan yang akan
terjadi di dalam lingkungannya. Berdasarkan konsep penyesuaian diri
sebagai proses, penyesuaian diri yang efektif dapat diukur dengan
mengetahui bagaimana kemampuan individu menghadapi lingkungan
yang senantiasa berubah. Penyesuaian diri mencakup adanya suatu
respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu berusaha keras
agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya
47
kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan
keharmonisan antara diri sendiri dengan lingkungannya.
Menurut Mustafa Fahmi (1997:26) penyesuaian diri pada dasarnya
memiliki dua aspek yaitu:
a) Penyesuaian pribadi
Penyesuaian pribadi adalah suatu kemampuan individu
untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan
yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya.
Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak
adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggung jawab,
dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya.
Kehidupan kejiwaannya, ditandai dengan tidak adanya
kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah,
rasa tidak puas, rasa keluhan, dan keluhan yang dialaminya.
Sebaliknya kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan
kegoncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan
terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya jarak
antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh
lingkungan. Jarak inilah yang menjadi yang menjadi sumber
terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut
dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus
melakukan penyesuaian diri.
48
b) Penyesuaian sosial
Setiap individu hidup dalam masyarakat yang terdapat
proses saling mempengaruhi. Dari proses tersebut timbul pola
kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan,
hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk
mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup.
Dalam psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses
penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi pada lingkup
hubungan sosial tempat individu hidup dan interaksi dengan
orang lain. Dalam hal ini, individu dan komunitas benar-
benar berdampak pada komunitas.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek
penyesuaian diri sebagai berikut:
a. Penyesuaian pribadi
Kemampuan untuk menerima diri sendiri baik kelebihan
dan kekurangan pada dirinya serta dapat menerima kenyataan
sehingga tercapai suatu hubungan yang harmonis diantara
dirinya dengan lingkungan sekitarnya.
b. Penyesuaian sosial
Kemampuan individu dalam berhubungan dengan orang
lain, bersimpati pada orang lain, menghargai orang lain,
berpartisipasi dalam kelompok, serta mampu bersosialisasi
sesuai dengan norma yang ada, sehingga individu mampu
49
menjalin hubungan sosial dengan baik dan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Menurut Mulyani (2008:56) penentu-penentu penyesuaian diri dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kondisi-kondisi fisik, termasuk didalamnya keturunan,
konstitusi fisik, susunan saraf, kelenjar, dan sistem otot,
kesehatan, dan penyakit.
b. Perkembangan dan kematangan, khususnya kematangan
intelektual, sosial, moral, dan emosional.
c. Penentu psikologis, termasuk didalamnya pengalaman,
belajarnya, pengondisian, penentu diri (self-determination),
frustrasi, dan konflik.
d. Kondisi lingkungan, khususnya keluarga dan sekolah.
e. Penentu kultural, termasuk agama.
Secara keseluruhan kepribadian mempunyai fungsi sebagai adanya
penentu primer terhadap penyesuaian diri. Penentu berarti faktor yang
mendukung, mempengaruhi, atau menimbulkan efek pada suatu proses
penyesuaian diri. Secara sekunder proses penyesuaian diri ditentukan
oleh faktor-faktor yang menentukan kepribadian itu sendiri baik internal
ataupun eksternal. Penentu penyesuaian identik dengan adanya faktor-
faktor yang mengatur perkembangan dan terbentuknya pribadi secara
bertahap.
50
Sunarto dan B. Agung Hartono dalam Isna Busyrah Hanun
(2013:17-18) ungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian,
yaitu:
a. Kondisi Fisik
Kondisi fisik meliputi keturunan, kondisi fisik, sistem
saraf, sistem kelenjar dan otot, kesehatan, penyakit, dan
sebagainya. Penyesuaian kualitas yang baik hanya dapat
diperoleh dan dipertahankan dalam kesehatan fisik yang baik.
b. Perkembangan dan kematangan, terutama kematangan
intelektual, sosial, moral dan emosional.
Penyesuaian pada setiap individu akan bervariasi sesuai
dengan tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapai.
c. Penentu Psikologis
Ada begitu banyak faktor psikologis yang memengaruhi
proses penyesuaian, termasuk pengalaman, pembelajaran,
kebutuhan, penentuan nasib sendiri, frustrasi, dan konflik.
d. Keadaan Lingkungan
Lingkungan yang damai, penuh penerimaan, pengertian
dan mampu memberikan perlindungan kepada para
anggotanya adalah lingkungan yang akan memudahkan
proses penyesuaian.
51
e. Penentu Budaya
Lingkungan budaya di mana individu berada dan
berinteraksi akan menentukan pola penyesuaian mereka.
Berdasarkan penjelasan di atas, faktor-faktor yang
mempengaruhi penyesuaian adalah faktor fisik,
perkembangan dan kematangan, psikologis, lingkungan dan
budaya.
Sugeng Hariyadi (1995:106) menyebutkan bahwa penyesuaian diri
yang positif yaitu:
a) Terima dan pahami diri Anda apa adanya.
b) Menerima dan mengevaluasi secara objektif realitas
lingkungan di luar diri sendiri.
c) Bertindak sesuai dengan potensi, kemampuan, dan realitas
mereka sendiri.
d) Bertindak secara dinamis, fleksibel dan tidak kaku sehingga
menimbulkan rasa aman, tidak dihantui oleh kecemasan dan
ketakutan.
e) Menghormati sesama manusia dan mampu bertindak
toleransi.
f) Lebih terbuka dan dapat menerima umpan balik.
g) Memiliki stabilitas psikologis, terutama stabilitas emosi.
h) Dapat bertindak sesuai dengan norma yang berlaku dan
selaras dengan hak dan kewajiban.
52
2.2.3 Mantan Narapidana
Mantan narapidana adalah individu yang telah pernah berbuat
melanggar norma-norma yang sedang berlaku di masyarakat dan telah
selesai untuk menjalankan hukuman atau sanksi yang dijatuhkan kepada
ia. Mantan narapidana adalah seseorang yang pernah di hukum dan
menjalani hukuman di Lembaga Permasyarakatan namun sudah selesai
menjalani hukuman atau sanksi yang diberikan berdasarkan keputusan
pengadilan (Azani, 2012). Menurut Yudobusono (1995) menegaskan
bahwa mantan narapidana adalah individu yang sudah pernah berbuat
melanggar norma yang berlaku di masyarakat dan telah selesai menjalani
hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Menurut Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (1982) mantan narapidana
adalah terpidana yang telah menjadi pidana hilang kemerdekaan di
Lembaga Permasyarakatan.
Jika kita melihat dalam undang-undang di Indonesia bahwa itu
tidak secara implisit diatur secara khusus berkaitan dengan pembentukan
mantan narapidana tetapi selain itu, pemulihan hak dan kebebasan orang
yang telah menjalani hukuman atau yang sering kita sebut mantan
narapidana adalah tujuan sistem pidana. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Koreksi. Pemulihan hak-hak dan
kebebasan ini digunakan agar mantan narapidana setelah menjalani
hukuman dapat secara aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat
hidup layak sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab,
53
sebagaimana tujuan Pasal 2 UU No. 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, yang berbunyi:
“Sistem pemasyarakatan diselanggarakan
dalam rangka membentuk warga binaan
pemasyarakatan agar menjadi manusia
seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki
diri, dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar
sebagai warga yang baik dan bertangungjawab”.
Bahwa untuk mencapai tujuan pidana tersebut, Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengembangkan fungsi
pembinaan atau penjagaan. Fungsi ini secara jelas dinyatakan dalam
Pasal 3 yang berbunyi:
“Sistem Pemasyarakatan bertujuan untuk
menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar
dapat berinteraksi secara sehat dengan
masyarakat sehingga dapat berperan kembali
sebagai anggota masyarakat yang bebas dan
bertanggungjawab”.
Hal ini harus menjadi fokus utama negara tentang cara membuat
sistem sehingga mantan narapidana dapat diterima kembali oleh
masyarakat dan dapat memainkan peran aktif dalam pembangunan, dan
sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
Tentang Urusan Pemasyarakatan Sebagai Fungsi Koreksi.
Hak dan kewajiban seorang mantan narapidana hakikatnya yaitu
setiap manusia secara jelas memiliki Hak Asasi Manusia (HAM) yang
54
sama, begitu juga dengan mantan narapidana yaitu hak untuk hidup, hak
untuk bebas dari rasa takut, hak untuk bekerja, hak untuk mendapatkan
pendidikan, hak untuk mendapatkan persamaan di mata hukum, hak
untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya dan sebagainya.
Perlindungan HAM bagi warga negara Indonesia sudah jelas tetapi ada
pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh institusi maupun pribadi,
dari pelanggaran yang ringan hingga berat. Contohnya menghadapi
mantan narapidana, ada yang mencibir, menghina hingga mengucilkan
para mantan narapidana. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia di dalam pasal 3 ayat (3) menegaskan bahwa:
“Setiap orang berhak atas perlindungan
hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia
tanpa diskriminasi.”
Mantan narapidana memiliki hak dan martabat seperti manusia
pada umumnya. Hak mereka tercabut dan terampas saat menjalani
hukuman di penjara. Hak mantan narapidana sudah dikembalikan secara
utuh setelah menjalani masa hukuman. Dalam pasal Undang-Undang
Dasar tahun 1945 pasal 29 ayat 2 diatur perihal keyakinan beragama dari
tiap warga negara yaitu negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama
dan kepercayaannya itu (Isna Busyrah Hanun, 2013:31-32). Sedangkan
kewajiban mantan narapidana adalah (Isna Busyrah Hanun, 2013:33-34):
a) Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1)
Undang-Udang Dasar 1945 berbunyi:
55
“Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya”.
b) Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
“Setiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam upaya pembelaan negara”.
c) Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J ayat
1 mengatakan:
“Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain”.
d) Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
Undang-Undang Pasal 28J ayat 2 menyatakan:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis”.
e) Wajib ikut serta dalam usaha mempertahanan dan keamanan
negara. Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan:
“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib
ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan Negara”.
Jadi kewajiban mantan narapidana sama dengan kewajiban
masyarakat pada umumnya yaitu wajib menaati hukum dan
56
pemerintahan, wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara, wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain, wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan wajib ikut serta
dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara.
2.2.4 Masyarakat
Masyarakat adalah kesatuan yang tetap dari orang-orang yang
hidup di daerah tertentu dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok,
berdasarkan kebudayaan yang sama untuk mencapai kepentingan yang
sama. Ciri-ciri masyarakat antara lain, yaitu:
a. Memiliki wilayah dan batas yang jelas.
Masyarakat pada umumnya memiliki wilayah yang sama
dengan batas geografis yang jelas. Batas-batas sering menjadi
panduan bagi pengamat luar untuk mengetahui jenis kelompok
etnis atau bangsa yang mendiami daerah tertentu.
b. Merupakan satu kesatuan penduduk.
Setiap orang di komunitas adalah unit populasi, juga
disebut unit demografis. Seperti itu dapat dibenarkan, dengan
pemahaman bahwa mereka bukan kategori sosial belaka (yang
hanya berada dalam pikiran si pengamat) karena mereka
sebagai kumpulan yang tetap saling mengadakan hubungan dan
kerja sama.
57
c. Terdiri atas kelompok-kelompok fungsional yang heterogen.
Dalam pengertian sosiologis semua kelompok sosial adalah
kelompok fungsional. Kata kelompok fungsional juga
dimaksudkan untuk membedakan pengertian kelompok
fungsional dari kelompok kategorial.
d. Melaksanakan fungsi umum.
Masyarakat adalah unit organisasi yang mengembangkan
fungsi yang paling umum atau tugas tertinggi di lingkungannya
sendiri, yaitu bekerja berdasarkan kepentingan bersama (bonum
commune).
e. Memiliki kebudayaan yang sama.
Unsur penting yang memungkinkan masyarakat untuk
menjadi organisme terintegrasi adalah budaya yang sama, serta
pola berpikir dan berperilaku sama dari semua warga
negaranya. Pola kelakuan sama hanya merupakan satu bagian
dari khazanah kebudayan yang sama disebut adat istiadat.
Perbedaan kebudayaan daerah dari wilayah yang berlainan
situasi dan kondisinya tidak akan menjadi penghalang
persatuan karena dengan kemauan bersama mereka dapat
membuat satu wadah yang sama, yang lebih tinggi dari nilai-
nilai budaya yang disepakati bersama (D. Hendropuspito OC,
1989: 73-78).
58
2.2.5 Stigma Negatif
Stigma adalah karakteristik negatif yang melekat dalam diri
seseorang karena pengaruh lingkungannya (KBBI). Menurut Castro dan
Farmer (2005) menjelaskan stigma adalah sesuatu yang dapat mendorong
seseorang untuk memiliki prasangka pemikiran, perilaku, dan / atau
tindakan oleh pemerintah, masyarakat, pengusaha, penyedia layanan
kesehatan, kolega, teman, dan keluarga. Stigma membatasi pendidikan,
pekerjaan, perumahan, dan perawatan kesehatan. Stigma dapat dialami
sebagai rasa malu atau bersalah, atau dapat secara luas dinyatakan
sebagai diskriminasi. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kepercayaan
diri, kehilangan motivasi, menarik diri dari kehidupan sosial,
menghindari pekerjaan, interaksi dalam kesehatan dan kehilangan
perencanaan masa depan.
Menurut Surgeon General Satcher (dalam Teresa, 2010)
menyatakan stigma adalah peristiwa atau fenomena yang mencegah
seseorang dari mendapatkan perhatian, mengurangi seseorang untuk
mendapatkan peluang dan interaksi sosial. Link dan Phelan (dalam
Teresa, 2010) juga menjelaskan bahwa stigma adalah pemikiran dan
kepercayaan yang salah. Dari berbagai definisi stigma, definisi stigma
adalah pemikiran yang salah dan keyakinan dan fenomena yang terjadi
ketika individu diberi label, stereotip, dipisahkan dan mengalami
diskriminasi sehingga mempengaruhi individu secara keseluruhan.
Menurut Jones (dalam Link, Yang, Phelan & Collins, 2001)
mengidentifikasi dimensi stigma yang terdiri dari enam dimensi, yaitu:
59
1. Concealability, menunjukkan atau mendeteksi karakteristik
individu lain. Dapat disembunyikan bervariasi tergantung
pada sifat stigma. Individu yang mampu menyembunyikan
kondisi mereka biasanya sering melakukan stigma.
2. Course, menunjukkan stigma yang reversibel atau
ireversibel. Individu yang mengalami kondisi ireversibel
cenderung mendapatkan sikap negatif lebih dari yang lain.
3. Disruptiveness, menunjukkan tanda-tanda yang diberikan
oleh orang lain kepada individu yang mengakibatkan
ketegangan atau menghambat interaksi interpersonal.
4. Aesthetic, mencerminkan persepsi seseorang tentang
sesuatu yang menarik atau mengasyikkan.
5. Origin, mengacu pada bagaimana kondisi muncul yang
menyebabkan stigma.
6. Peril, mengacu pada perasaan bahaya atau ancaman yang
dialami orang lain. Ancaman dalam pengertian ini bisa
merujuk pada bahaya fisik atau perasaan tidak nyaman.
Parker dan Aggleton (2003) menekankan ada 4 tingkatan
bagaimana stigmatisasi terjadi pada berbagai tingkatan, yaitu:
1) Diri
Berbagai mekanisme internal dibuat sendiri, yang disebut
stigmatisasi diri.
60
2) Masyarakat
Gosip, pelecehan dan keterasingan di tingkat budaya dan
masyarakat.
3) Lembaga
Perlakuan istimewa atau diskriminasi dalam institusi.
4) Struktur
Lembaga yang lebih luas seperti kemiskinan, rasisme dan
kolonialisme terus mendiskriminasi kelompok tertentu.
Hermawati (2005:23) mengatakan bahwa proses pemberian
stigma oleh masyarakat terjadi melalui tiga tahap, yaitu:
1. Proses interpretasi
Tidak semua pelanggaran norma yang terjadi di masyarakat
mendapat stigma dari masyarakat, tetapi hanya pelanggaran
norma yang ditafsirkan oleh masyarakat sebagai perilaku
menyimpang yang bisa menimbulkan stigma.
2. Proses pendefinisian
Orang yang dianggap perilaku menyimpang, setelah tahap
pertama dilakukan dimana interpretasi perilaku
menyimpang terjadi, maka selanjutnya adalah proses
pendefinisian orang yang menyimpang perilaku oleh
masyarakat.
61
3. Perilaku diskriminasi
Tahap selanjutnya setelah proses kedua dilakukan, maka
masyarakat memberikan perlakuan diskriminatif.
Van Brakel dalam Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016)
mengungkapkan ada 5 tipe stigma sebagai berikut:
a. Public stigma, dimana sebuah reaksi masyarakat umum
yang memiliki keluarga atau teman yang sakit fisik ataupun
mental.
b. Structural stigma, dimana sebuah institusi, hukum, atau
perusahaan yang menolak orang berpenyakitan.
c. Self-stigma, dimana menurunnya harga dan kepercayaan
diri seseorang yang memiliki penyakit.
d. Feltorperceived stigma, dimana orang dapat merasakan
bahwa ada stigma terhadap dirinya dan takut berada di
lingkungan komunitas.
e. Experienced stigma, dimana seseorang pernah mengalami
diskriminasi dari orang lain.
2.3 Tinjauan Teori
Peneliti menggunakan 2 teori sekaligus yaitu Teori Looking Glass Self
dari Charles Horton Cooley dan Teori Stigma dari Erving Goffman. Saling
ketergantungan organik antara individu dan masyarakat diungkapkan dalam
analisis Colley tentang pengembangan "i" atau konsep diri seseorang.
Menurut Cooley, manusia dilahirkan dengan perasaan perasaan diri yang
62
belum jelas dan terbentuk. Proses komunikasi itu sendiri tergantung pada
pemahaman simpatik antara satu individu dan individu lainnya.
Konsep diri (self) sendiri sebenarnya lahir oleh Charles Horton Cooley
yang akhirnya menjadi konsep kunci yang dikembangkan dalam
interaksionisme simbolik oleh George Herbert Mead. Cooley menjelaskan
bahwa konsep cermin diri (Looking Glass Self) sebagai suatu imajinasi yang
agak defenitif mengenai bagaimana diri seseorang yakni melakukan suatu
gagasan yang ia sediakan kemudian muncul dalam pemikiran tertentu dan
semacam perasaan diri seseorang yang ditentukan oleh suatu sikap terhadap
hubungan dari pikiran dan perasaan dengan pikiran orang lain. Jadi, dalam
imajinasi kita merasakan dalam pikiran orang lain beberapa pemikiran
tentang penampilan, sikap, tujuan, perbuatan, karakter, teman-teman kita, dan
berbagai hal yang dapat dipengaruhi olehnya (Jalaludin Rakhmat, 2007:99).
Menurut Charles Horton Cooley kita melakukannya dengan
membayangkan diri kita sendiri sebagai orang lain dalam benak kita. Cooley
menyebut gejala ini sebagai Looking Glass Self (cermin diri), seakan-akan
kita menaruh cermin di depan kita untuk bisa menilai apa yang kita lakukan
itu sudah sesuai atau tidak. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita
akan tampak pada orang lain, kita juga melihat sekilas diri kita seperti dalam
cermin tersebut. Misalnya, kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita
membayangkan bagaimana orang lain akan menilai penampilan kita. Kita
pikir mereka menganggap kita mungkin tidak menarik. Ketiga, kita
mengalami perasaan bangga atau kecewa, orang mungkin merasa sedih
ataupun malu.
63
Dalam teori ini, kita tampaknya meletakkan cermin di depan kita dan
membayangkan bagaimana orang lain akan menilai penampilan kita atau
kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam refleksi atau pandangan
orang lain (Grifin, 2012: 60). Konsep diri seseorang juga dipengaruhi oleh
apa yang diyakini oleh individu, yang dipikirkan orang tentang diri mereka
sendiri. Cermin mencerminkan evaluasi yang dibayangkan orang lain tentang
seseorang. Kaca cermin muncul dari interaksi simbolik antara individu dan
berbagai kelompok. Kelompok dicirikan sebagai tatap muka (hubungan tatap
muka), ketentuan relatif dan hubungan dekat pada tingkat tinggi di antara
sejumlah kecil anggota yang menghasilkan interaksi individu dan kelompok.
Ini dilakukan dengan coba-coba (Cooley, 1902).
Cooley melaporkan bagaimana perasaan diri berkembang dalam
kaitannya dengan interpretasi individu dari realitas fisik dan sosial mereka.
Hal-hal yang merekam objek diambil dalam diri mereka dengan perasaan diri
dan sosial dalam dua pengertian. Pertama artinya dilengkapi dengan bahasa
dan budaya yang sama, yang kedua adalah pembentukan konsep diri dan
evaluasi subyektif. Pemikiran dasar dari teori cermin diri ialah suatu konsep
diri seseorang terbentuk karena dipengaruhi oleh keyakinan dari individu
bahwa orang lain berpendapat mengenai dirinya (Saliyo, 2012). Lebih lanjut
lagi konsep diri yang di kemukakan oleh Cooley dalam teori Looking Glass
Self ialah menggambarkan dari perkembangan diri melalui media cermin,
dimana cermin memantulkan apa yang ada di depannya sehingga seseorang
dapat melihat dirinya seperti apa. Terdapat tiga unsur dalam Loooking Glass
Self (Wayne, 1992) yaitu:
64
1. Seseorang dapat membayangkan bagaimana dirinya tampak bagi
orang lain disekitarnya.
2. Seseorang menafsirkan respon dari orang lain.
3. Seseorang mengembangkan suatu konsep diri. Dimana seseorang
akan menginterprestasikan respon dari orang lain terhadap dirinya
sendiri.
Gambar 4 : Kerangka Teori Looking Glass Self dari Charles Horton
Cooley
C.H. Cooley dalam (Ritzer dan Goodman, 2007:295) menggambarkan
imajinasi diri seseorang yang muncul dalam pikiran yang ditentukan oleh
sikap terhadap hubungan pikiran dan perasaan dengan pikiran orang lain
Looking Glass Self
Konsep Diri
Menggambarkan dari perkembangan
diri melalui media cermin
Kita
membayangkan
bagaimana
seharusnya
penilaian mereka
terhadap tampilan
ini
Kita
membayangkan
perasaan diri,
sebagai akibat dari
bayangan kita
terhadap penilaian
orang lain
Kita
membayangkan
bagaimana ia
tampak dimata
orang lain
65
melalui suatu proses sosial. Proses refleksi diri menurut Cooley (1902) dibagi
menjadi tiga komponen yang membagi proses cermin diri menjadi tiga fase
yaitu:
1. Diri akan membayangkan penampilan dan kepribadian yang akan
dilihat orang lain.
2. Aktor diri membayangkan bagaimana penampilan mereka benar-
benar dihargai oleh orang lain yang mereka temui.
3. Diri memiliki perasaan untuk mengembangkan konsep diri sebagai
bentuk tanggapan orang lain terhadapnya seperti perasaan bangga
atau malu (Umiarso dan Elbadiansyah, 2014: 143).
Itu berarti bahwa diri tergantung pada bagaimana orang lain menilai diri
mereka sendiri. Ketika diri berpikir bahwa dalam penilaian orang lain
penampilan dan kepribadian mereka berguna, konsep diri akan meningkat,
sedangkan sebaliknya ketika diri menilai bahwa penilaian orang lain tentang
penampilan dan kepribadian mereka tidak baik, konsep diri akan berkurang.
Singkatnya, konsep diri dapat dijelaskan sebagai pemikiran aktor tentang
pemikiran orang lain tentang dirinya.
Dengan begitu, aktor membutuhkan balasan dari orang lain dalam
bentuk simbol yang kemudian digunakan sebagai identitas olehnya. Pikiran
orang lain yang paling berpengaruh pada pembentukan konsep diri ini adalah
orang-orang yang dianggap penting dan memiliki hubungan dekat (orang lain
yang signifikan) seperti suami, orang tua, dan anak-anak (Umiarso dan
Elbadiansyah, 2014: 119). Konsep ini Cooley menolak untuk memisahkan
66
antara kesadaran diri dan konteks sosial. Bagi Cooley, keduanya memiliki
hubungan yang kuat dan saling mempengaruhi, bahwa seseorang memiliki
kesadaran akan dirinya sendiri melalui interaksi sosial yang telah dilalui.
Kesadaran adalah dalam bentuk pikiran tentang diri sendiri yang terhubung
dengan pikiran orang lain tentang diri sendiri. Seperti cermin, seseorang
mendapatkan refleksinya melalui pantulan gambar di cermin. Demikian juga
dalam konsep The Looking Glass Self, seseorang melihat dirinya dalam
pemikiran orang lain sebagai refleksi melalui interaksi sosial yang terjadi di
antara mereka.
Menurut Cooley ada sejumlah varian dalam hubungan antara perasaan
diri masing-masing individu. Dalam proses sosialisasi di masyarakat,
perasaan takut dan rendah diri sering muncul, terutama jika kita berinteraksi
dengan orang lain. Ini karena kita sering berpikir tentang bagaimana orang
lain menilai dan mengevaluasi pilihan sikap yang kita buat. Inilah yang
disebut Cooley bahwa seseorang berkembang melalui interaksi dengan
menempatkan orang lain sebagai cermin dirinya.
Stigma merupakan tanda-tanda yang dibuat pada tubuh seseorang untuk
diperlihatkan dan menginformasikan kepada masyarakat bahwa orang-orang
yang mempunyai tanda-tanda tersebut merupakan seorang buruh, criminal,
atau seorang pengkhianat. Tanda-tanda ini merupakan ekspresi
penyimpangan dan status moral yang buruk dimiliki oleh seseorang
(Goffman, 1963: 1) dan penjelasan berikut:
67
a. Self
Goffman mendefinisikan dirinya sebagai kode yang membuat
pemahaman tentang semua kegiatan individu dan memberikan
dasar untuk pengorganisasian. Diri yang dapat dipahami tentang
individu yang terlihat di tempat yang diambilnya dalam organisasi
dalam aktivitas sosialnya, adalah penegasan dari pernyataan sikap
individu. Namun, orang-orang terpaksa oleh masyarakat untuk
menunjukkan bentuk "Dia dapat bekerja" atau dengan kata lain
mencoba membuat diri mereka diterima oleh masyarakat (Lemert
dan Branaman, 1997).
Self sangat berhubungan dengan pemikiran seorang individu
yaitu bagaimana ia memandang dan memaknai dirinya, termasuk
kontribusi pemikiran dari orang lain yang membentuk sebuah
pemikiran atas “kedirian” seorang. Hal ini berhubungan dengan
pengalaman dan interaksi yang dialami individu dengan orang lain
dalam kehidupan sosialnya. Berkenaan dengan pembentukan diri
dalam individu, ada dua komponen dalam pemikiran Goffman
yaitu pertama, diri adalah produk dari penampilan individu orang
lain dan bukan oleh individu itu sendiri, tetapi dalam bagaimana ia
diidentifikasi oleh orang lain. Identitas diri atau ego-identitas
perasaan subyektif seseorang untuk situasi yang dialami dan
kesinambungan dan karakter itu sendiri terpisah dari identitas
pribadi. Identifikasi diri individu dapat dikatakan berkaitan erat
dengan berbagai pengalaman sosial yang mereka alami. Intinya
68
adalah bahwa diri bukan hanya produk dari penampilan seseorang
dalam kehidupan sehari-hari, diri juga dapat diatur sedemikian rupa
tergantung di mana kita berada. Self menurut Goffman, secara
simulutan merupakan produk dari penampilan dramatic, objek dari
social ritual, dan sebuah tempat mengatur strategi layaknya
permainan (Lemert dan Branaman, 1997).
b. Identitas
Goffman membagi identitas berdasarkan dua pandangan yang
kemudian diberi istilah identitas sosial virtual (virtual social
identity) dan identitas sosial aktual (aktual social identity). Identitas
sosial virtual adalah identitas yang terbentuk dari karakter yang kita
asumsikan atau kita pikirkan orang yang disebut penokohan.
Sementara identitas sosial sebenarnya adalah identitas yang
terbentuk dari karakter yang terbukti (Goffman, 1963:2). Goffman
juga membagi identitas menjadi dua berdasarkan sikap atau
aktifitas aktor yaitu:
1. Virtual social identity, dalam kehidupan sosialnya.
2. Self dari individu mampu menampilkan dan dapat diterima
oleh orang lain dengan melihat status sosial dan
kemampuan atau sumber daya dimana individu tersebut
dapat mengaksesnya.
69
c. Stigma
Stigma adalah konsep yang ditemukan oleh Goffman di mana
seseorang atau individu diasingkan, dihapus, didiskualifikasi, atau
ditolak dari penerimaan sosial. Sedangkan dalam istilah sosiologis,
stigma muncul dari proses interaksi yang melibatkan orang ke
individu yang menerima stigma dari masyarakat. Stigma adalah
bentuk reaksi sosial dari masyarakat terhadap perilaku individu.
Dalam konsep stigma, Goffman mendefinisikan stigma sebagai situasi
individu yang didiskualifikasi dari penerimaan sosial penuh atau situasi yang
tidak menerima penerimaan penuh. Orang yang mengalaminya disebut.
Stigma dan stigmatisasi adalah tanda-tanda yang terlibat dalam menunjukkan
orang dalam dan orang luar dan meningkatkan ketidakberdayaan sosial dan
ketidakadilan. Jika setiap individu memiliki sifat yang dapat menghancurkan
identitas permanen dan menghalangi partisipasi penuh mereka dalam
masyarakat, ia dapat melahirkan stigma.
Goffman menggunakan konsep stigma untuk menggambarkan suatu
proses di mana orang tertentu secara moral dianggap tidak berharga atau
dengan kata lain stigma adalah sikap, perlakuan, atau perilaku orang yang
memandang perilaku tertentu. Goffman menyebutkan apabila seseorang
mempunyai atribut yang membuatnya berbeda dari orang-orang yang berada
dalam kategori yang sama dengan dia (seperti menjadi lebih buruk, berbahaya
atau lemah), maka dia akan diasumsikan sebagai orang yang ternodai. Atribut
inilah yang disebut dengan stigma (Goffman,1963:3). Jadi istilah stigma itu
70
mengacu kepada atribut-atribut yang sangat memperburuk citra seseorang.
Goffman (1963:4) menyebutkan 3 tipe stigma yang diberikan terhadap
seseorang, yaitu:
1. Abominations of the body (ketimpangan fisik)
Stigma yang berhubungan dengan kecacatan pada tubuh
seseorang (cacat fisik). Misalnya, orang-orang yang cacat
tubuhnya diberikan julukan khusus seperti si pincang, buntung
dan bisu.
2. Blemishes of individual character (cacat karakter individu)
Stigma yang berhubungan dengan kerusakan-kerusakan karakter
individu, misalnya orang-orang yang mempunyai karakter
individual tercela. Contohnya, homo sexuality, bunuh diri,
pemabuk, pemerkosa, ketagihan dan pecandu. Ketimpangan
karakter, seperti gangguan mental.
3. Tribal stigmas
Stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan agama.
Contohnya, keturunan Ahmadiyah, anak teroris.
Sosiolog Erving Goffman mendefinisikan stigma merupakan sebagai
proses dinamis dari devaluasi yang secara signifikan mendiskredit seorang
individu di mata individu lainnya. Kesenjangan antara bagaimana seharusnya
orang, “identitas sosial maya”, dengan bagaimana sebenarnya orang tersebut,
“identitas sosial aktual”. Siapa pun yang memiliki kesenjangan antara kedua
identitas tersebut mendapatkan stigma. Stigma memusatkan perhatian kepada
71
interaksi dramaturgis antara orang-orang yang mendapatkan stigma dengan
orang-orang yang normal. Sifat interaksi tersebut tergantung pada salah satu
di antara stigma yang melekat pada individu.
Pada kasus stigma yang didiskreditkan, aktor berasumsi bahwa
perbedaan diketahui oleh anggota udien atau dapat mereka buktikan
(misalnya, seorang lumpuh atau orang kehilangan kakinya). Stigma yang
dapat didiskreditkan adalah yang membedakannya tidak diketahui anggota
audien atau tidak dapat mereka persepsi (misalnya, seseorang yang menjalani
operasi anus buatan atau seorang homo seksual yang berubah menjadi suka
lawan jenis). Bagi seseorang dengan stigma yang didiskreditkan, masalah
dramaturgisnya adalah mengatur tarik ulur yang ditimbulkan oleh fakta
bahwa orang mengetahui masalah tersebut. Bagi seseorang dengan stigma
yang dapat didiskreditkan, masalah dramaturgisnya terletak pada pengaturan
informasi sedemikian rupa sehingga masalah tersebut tetap tidak diketahui
audiens (Nurhadi, 2014:403-404). Menurut Erving Goffman (1963:42) ada
beberapa penyebab terjadinya stigma, antara lain:
a) Takut
Ketakutan adalah penyebab umum, dalam kasus kusta,
misalnya, tampak takut akan konsekuensi yang akan diperoleh
jika dikontrak, bahkan para penderita cenderung takut akan
konsekuensi sosial dari pengungkapan kondisi aktual. Ketakutan
dapat menyebabkan stigma di antara anggota masyarakat atau di
antara petugas kesehatan.
72
b) Tidak Menarik
Beberapa kondisi dapat menyebabkan seseorang dianggap
tidak menarik, terutama dalam budaya kecantikan fisik yang
sangat dihargai. Dalam hal ini, kelainan wajah, alis menghilang,
hidung rontok, seperti yang terjadi pada kasus lanjut kusta akan
ditolak oleh masyarakat karena terlihat berbeda.
c) Kegelisahan
Kecacatan akibat kusta membuat penderitanya tidak nyaman,
mereka mungkin tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan
orang-orang dengan kondisi yang mereka alami sehingga
mereka cenderung menghindari lingkungan masyarakat.
d) Asosiasi
Stigma oleh asosiasi juga dikenal sebagai stigma simbolik,
hal ini terjadi ketika kondisi kesehatan dikaitkan dengan kondisi
yang tidak menyenangkan seperti pekerja seks komersial,
pengguna narkoba, orientasi seksual tertentu, kemiskinan, atau
kehilangan pekerjaan. Nilai dan keyakinan dapat memanikan
peran yang kuat dalam menciptakan atau mempertahankan
stigma, misalnya keyakinan tentang penyebab kondisi seperti
keyakinan bahwa kusta adalah kutukan Tuhan atau disebabkan
oleh dosa-dosa dalam kehidupan sebelumnya.
e) Kebijakan atau Undang-Undang
Ini biasanya terlihat ketika penderita dirawat di tempat yang
73
berbeda dan pada waktu-waktu khusus dari rumah sakit, seperti
klinik kusta, klinik untuk penyakit menular seksual.
f) Kurangnya Kerahasiaan
Pengungkapan kondisi seseorang yang tidak diinginkan dapat
disebabkan oleh cara penanganan hasil tes yang sengaja
dilakukan oleh petugas kesehatan, ini mungkin sama sekali tidak
diinginkan seperti pengiriman pengingat surat atau kunjungan
petugas kesehatan pada kendaraan yang ditandai dengan logo
gram .
Erving Goffman menyebutkan dua tipe orang yang terstigmatisasi yaitu
the discredited and discreditable. The discredited adalah orang yang tampak
berbeda dari orang ideal orang pada umumnya. Misalnya ideal tidak memiliki
guruan seksual atau lesbian. Ketika seseorang diketahui penyimpangan yang
dilakukan oleh orang lain maka dia disebut membenci. Sementara yang the
discreditable adalah orang yang berbeda atau menyimpang dari norma ideal
namun perbedaan atau penyimpangan belum diketahui oleh orang lain. Ketika
penyimpangan dikenal oleh orang lain maka diaakan ditolak dari Asosiasi
atau pergaulan. Karakter stigma menurut Lawrene Blume (2002) yaitu:
1. Orang membedakan dengan label yang berbeda
2. Budaya mendominasi karakteristik yang tidak diinginkan
3. Orang yang berlabel ditempatkan dalam kategori yang berbeda
untuk mencapai beberapa derajat pemisah “kami” dengan
mereka
4. Label status yang dialami berkaitan dengan pengalaman
74
kehilangan dan diskriminasi banyak mengarah ke hasil yang
tidak setara.
Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) stigma mengacu
pada pemikiran dari Goffman (1961), komponen-komponen dari stigma
sebagai berikut:
1. Pelabelan
Pelabelan adalah pembedaan dan memberikan label atau penamaan
berdasarkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki anggota masyarkat
tersebut (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Sebagian
besar perbedaan individu tidak dianggap relevan secara sosial, namun
beberapa perbedaan yang diberikan dapat menonjol secara sosial.
Pemilihan karakteristik yang menonjol dan penciptaan label bagi
individu atau kelompok merupakan sebuah prestasi sosial yang perlu
dipahami sebagai komponen penting dari stigma. Berdasarkan
pemaparan di atas, labeling adalah penamaan berdasarkan perbedaan
yang dimiliki kelompok tertentu.
2. Stereotip
Stereotip adalah kerangka berpikir atau aspek kognitif yang terdiri
dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan
traits tertentu (Baron & Byrne, 2003). Menurut Rahman (2013)
stereotip adalah kepercayaan tentang karakteristik tertentu dari
anggota kelompok tertentu. Stereotip adalah komponen kognitif yang
merupakan kepercayaan tentang atribut pribadi yang dimiliki oleh
orang-orang dalam kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu
75
(Taylor, Peplau, & Sears, 2009).
3. Pemisahan
Pemisahan adalah pemisahan "kita" (sebagai pihak yang tidak
memiliki stigma atau pemberi stigma) dengan "mereka" (kelompok
yang mendapat stigma). Hubungan antara label dan atribut negatif
akan menjadi pembenaran ketika individu yang diberi label percaya
bahwa dia memang berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa proses
pemberian stereotip berhasil (Scheid & Brown, 2010).
4. Diskriminasi
Diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan orang lain karena
keanggotaan mereka dalam suatu kelompok (Rahman, 2013). Menurut
Taylor, Peplau, dan Sears (2009), diskriminasi adalah komponen
perilaku yang merupakan perilaku negatif terhadap individu karena
individu tersebut adalah anggota kelompok tertentu.
Menurut Crocker, dkk. (dalam Major & O'Brien, 2005) stigma terjadi karena
individu memiliki beberapa atribut dan karakteristik identitas sosial mereka
tetapi akhirnya devaluasi terjadi dalam konteks tertentu. Menurut Link dan
Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) stigma terjadi ketika beberapa
komponen yang saling terkait muncul. Komponen-komponennya, yaitu:
1) Komponen pertama adalah individu yang membedakan dan memberi
label perbedaan yang dimiliki oleh individu tersebut
2) Komponen kedua adalah munculnya kepercayaan dari budaya
individu terhadap karakteristik individu atau kelompok lain dan
76
menimbulkan stereotip.
3) Komponen ketiga adalah menempatkan individu atau kelompok yang
telah diberi label untuk individu atau kelompok dalam kategori yang
berbeda sehingga terjadi pemisahan.
4) Komponen keempat adalah bahwa individu yang dicap menderita
diskriminasi.
Mekanisme stigma menurut Major & O’Brien (2005), yaitu :
1. Adanya perlakukan negatif dan diskriminasi secara langsung
Mekanisme stigma yang pertama yaitu adanya perlakukan negatif
dan diskriminasi secara langsung, artinya terdapat pembatasan pada
akses kehidupan dan diskriminasi secara langsung sehingga
berdampak pada status sosial, psychological well-being dan kesehatan
fisik.
2. Proses konfirmasi terhadap harapan atau self fullfilling prophecy
Stigma menjadi sebuah proses melalui konfirmasi harapan atau self
fullfilling prophecy. Persepsi negatif, stereotipe dan harapan bisa
mengarahkan individu untuk berperilaku sesuai dengan stigma yang
diberikan sehingga berpengaruh pada pikiran, perasaan dan perilaku
individu tersebut.
3. Munculnya stereotip secara otomatis
Stigma dapat menjadi sebuah proses melalui aktivitas stereotip
otomatis secara negatif pada suatu kelompok.
4. Terjadinya proses ancaman terhadap identitas dari individu
77
Gambar 5 : Kerangka Teori Stigma dari Erving Goffman
Konsep stigma dalam penelitian ini adalah bahwa mantan narapidana
yang didiskualifikasi dari penerimaan sosial yang lengkap atau situasi yang
tidak menerima penerimaan yang lengkap. Dengan kata lain, konsep stigma
adalah untuk menggambarkan situasi di mana mantan narapidana kebanyakan
tidak dapat diterima oleh masyarakat sekitarnya karena adanya stigma negatif
yang melekat pada seorang mantan narapidana ketika seorang mantan
narapidana keluar dari Lembaga Permasyarakatan. Dalam lingkungan
masyarakat, terdapat mantan narapidana yang melakukan suatu tindakan yang
sama yaitu melanggar suatu ketentuan norma yang ada di dalam masyarakat,
sehingga membuat ia kembali harus menanggungjawabkan suatu
STIGMA
Ketimpangan
Fisik
Cacat Karakter
Individu
Tribal Stigma
Mantan Narapidana
Cacat Sosial
Stigma Negatif
Reaksi Sosial
Dikucilkan
Diskriminasi
Penyesuaian Diri
78
perbuatannya di Lembaga Permasyarakatan. Sehingga, masyarakat
kebanyakan menganggap bahwa seorang mantan narapidana akan selalu
menjadi seorang yang akan terus melanggar aturan atau norma yang ada di
masyarakat. Realitasnya, tidak semua mantan narapidana ketika sudah
dikembalikan ke lingkungan masyarakatnya akan melakukan suatu
pelanggaran norma yang sama. Ironisnya, kebanyakan lapisan masyarakat
menilai sama bahwa seorang mantan narapidana yang sudah melakukan masa
hukumannya di Lembaga Permasyarakatan akan kembali melakukan suatu
kesalahan.
Mantan narapidana didiskualifikasi dari kehidupan sosial, mereka
mengalami stigmatisasi individu. Dikucilkan bahkan sampai di diskriminasi
dari yang lainnya sehingga seorang mantan narapidana harus terus berusaha
untuk dapat menentukan suatu strategi menyesuaikan diri dengan identitas
sosial masyarakat dimana mantan narapidan tinggal. Mantan narapidana
sendiri harus bisa menghadapi hinaan setiap harinya yang direfleksikan
kembali kepada mereka. Bagi mantan narapidana yang bebas atau kehabisan
penjara (penjara) tidak mudah untuk kembali dan dapat berbaur dengan
komunitas. Meskipun sudah bebas, mantan narapidana atau tahanan masih
dianggap oleh masyarakat sebagai cacat sosial dan pemborosan masyarakat
karena perilaku kriminal yang telah dilakukan di masyarakat. Kondisi ini
karena ketidakadilan yang dicontohkan oleh mantan narapidana,
ketidakadilan timbul karena pengaruh tindakan pidana dilakukan oleh mantan
monak. Jadi mantan mundur diperoleh stigma negatif masyarakat. Stigma
negatif yang diberikan pada mantan narapidana pada dasarnya sebagai
79
konsekuensinya atau hasil dari mantan narapidana. Pada dasarnya kondisinya
bukan kondisi normal. Ketidakadilan yang dialami mantan narapidana di awal
adalah kegagalan mantan narapidana sendiri untuk dapat menyesuaikan diri
saat kembali di masyarakat, untuk menghilangkan stigma negatif yang
menempel padanya di tempat ia tinggal.