Bab 2 teori
Transcript of Bab 2 teori
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Gempa Bumi
Gempa bumi adalah getaran yang dirasakan dipermukaan bumi
yang disebabkan oleh gelombang-gelombang seismik dari dari
sumber gempa di dalam lapisan kulit bumi. Gempa bumi
disebabkan oleh adanya aktivitas tektonik, yaitu pergeseran
lempeng lempeng tektonik secara mendadak yang mempunyai
kekuatan dari yang sangat kecil hingga yang sangat besar.
Gempa bumi ini banyak menimbulkan kerusakan atau bencana alam
di bumi, getaran gempa bumi yang kuat mampu menjalar
keseluruh bagian bumi. Seperti diketahui bahwa kulit bumi
terdiri dari lempeng lempeng tektonik yang terdiri dari
lapisan lapisan batuan.
Elastic Rebound Theory menyatakan bahwa gempa bumi adalah
gejala alam yang disebabkan oleh pelepasan energi regangan
elastis batuan (Shaw dkk, 1992). Adanya regangan (stress) dan
tarikan (strain) pada lempeng bumi yang terjadi terus-menerus
menyebabkan dukungan pada bahan untuk mencapai batas maksimal
dan mulai mengalami pergeseran dan secara tiba-tiba terjadi
patahan. Pergerakan antar lempeng yang berbatasan jika saling
bergerak relatif terhadap sesamanya, maka akan menimbulkan
stress disepanjang batasan lempang-lempeng. Gesekan antar
lempeng yang elastis dapat menimbulkan energi elastisitas.
Apabila terjadi terus-menerus dalam jangka panjang energi
elstisitas akan terakumulasi. Pada saat waktunya tiba dimana
elastisitas batuan sudah maksimum, energi yang terakumulasi
5
akan dilepas secara tiba-tiba dalam bentuk gelombang elastis
yang menjalar kesegala arah dan akan sampai di permukaan
bumi.
2.2 Magnitudo Gempa Bumi
Magnitude Gempa bumi sebagai skala kekuatan relatif hasil
dari pengukuran fase amplitude. Magnitude merupakan suatu
besaran energi yang dilepas untuk gempa dari pusatnya
(Fulki,2011). Pelepasan energi ini berbentuk gelombang yang
menjalar ke permukaan dan bagian dalam bumi. Dalam
penjalarannya energi ini mengalami pelemahan karena absorbsi
dari batuan yang dilaluinya, sehingga energi yang sampai ke
stasiun pencatat kurang dapat menggambarkan energi gempa di
hiposenter. Terdapat perbedaan besaran magnitude gempa antara
BMKG, USGS, dan GEOFON yang umumnya dirilis secara otomatis
karena masing-masing menggunakan software yang berbeda dan
menggunakan pengukuran jenis magnitude yang berbeda pula.
Bahkan USGS sendiri kerap menggunakan tipe magnitude yang
berbeda pada wilayah gempa yang berbeda. Hasil penentuan
besar magnitude yang dilakukan secara manual juga dapat
berbeda dikarenakan penentuan parameter-parameter yang
diinput oleh seorang analisis dapat berbeda (BMKG, 2012).
2.2.1 Magnitudo Lokal / Skala Richter (SR)
Pertama kali diperkenalkan oleh Richter di awal tahun
1930-an dengan menggunakan data kejadian gempa di daerah
California yang direkam oleh Seismograf Woods-Anderson.
Menurutnya dengan mengetahui jarak episenter ke seismograf
dan mengukur amplitude maksimum dari sinyal yang tercatat di
seismograf maka dapat dilakukan pendekatan untuk mengetahui
6
besarnya gempa bumi yang terjadi. (USGS, 2002). SR awalnya
hanya dibuat untuk gempa di daerah California Selatan. Dalam
perkembangannya, SR banyak diadopsi untuk gempa-gempa di
wilayah lain. SR sebetulnya hanya cocok dipakai untuk gempa-
gempa dekat dengan magnitudo gempa di bawah 6,0. Di atas
magnitudo itu, perhitungan dengan teknik SR menjadi tidak
representatif lagi. Magnitude lokal mempunyai rumus empiris
sebagai berikut:
ML = log a + 3 log - 2.92 (1.1)
Dengan a = amplitude getaran tanah (m), = jarak Stasiunpencatat ke sumber gempabumi (km) dengan ¿ 600 km.
2.2.2Magnitude Body (MB)
Terbatasnya penggunaan magnitudo lokal untuk jarak tertentu
membuat dikembangkannya tipe magnitude yang bisa digunakan
secara luas. Salah satunya adalah magnitude body (Body-Wave
Magnitude). Magnitudo ini didefinisikan berdasarkan catatan
amplitudo dari gelombang P yang menjalar melalui bagian dalam
bumi. Secara umum dirumuskan dengan persamaan :
MB = log ( a / T ) + Q ( h, ) (1.2)
Dengan a = amplitudo getaran (m), T = periode getaran
(detik) dan Q ( h, ) = koreksi jarak dan kedalaman h
yang didapatkan dari pendekatan empiris.
2.2.3Magnitudo Surface (MS)
Selain Magnitude body dikembangkan pula Ms, Magnitude
permukaan (Surface-wave Magnitude). Magnitude tipe ini
didapatkan sebagai hasil pengukuran terhadap gelombang
permukaan (surface waves). Untuk jarak delta lebih besar 600
km seismogram periode panjang (long-period seismogram) dari
7
gempa bumi dangkal didominasi oleh gelombang permukaan.
Gelombang ini biasanya mempunyai periode sekitar 20 detik.
Amplitudo gelombang permukaan sangat tergantung pada jarak
delta dan kedalaman sumber gempa. Gempa dalam tidak
menghasilkan gelombang permukaan, karena itu persamaan MS
tidak memerlukan koreksi kedalaman. Magnitude permukaan
mempunyai persamaan:
Ms = log a + log + (1.3)
Dengan a = amplitude maksimum dari pergeseran tanah
horisontal pada periode 20 detik, = Jarak (km), dan
adalah koefisien dan konstanta yang didapatkan dengan
pendekatan empiris. Persamaan ini digunakan hanya untuk gempa
dengan kedalaman sekitar 60 km. Hubungan antara Ms dan mb
dapat dinyatakan dalam persamaan :
MB = 2.5 + 0.63 Ms atau Ms = 1.59 mb – 3.97
(1.4)
2.2.4 Magnitudo Moment (Mw)
Berdasarkan Teori Elastik Rebound diperkenalkan istilah
momen seismik (seismic moment) dapat diestimasi dari dimensi
pergeseran bidang sesar atau dari analisis karakteristik
gelombang gempa yang direkam di stasiun pencatat khususnya
dengan seismograf periode bebas (broadband seismograph).
Mo = µ D A (1.5)
Dengan Mo = momen seismik, µ = rigiditas, D = pergeseran
rata-rata bidang sesar, A = area sesar.Secara empiris
hubungan antara momen seismik dan magnitude permukaan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
8
log Mo = 1.5 Ms + 16
Mw = ( log Mo / 1.5 ) – 10.73 (1.6)
Dengan Mw = magnitude momen, Mo = momen seismik. Meskipun
dapat menyatakan jumlah energi yang dilepaskan di sumber
gempabumi dengan lebih akurat, namun pengukuran magnitude
momen lebih komplek dibandingkan pengukuran magnitude ML, MS
dan MB. Karena itu penggunaannya juga lebih sedikit
dibandingkan penggunaan ketiga magnitude lainnya
2.2.5 Magnitudo Durasi (MD)
Lee dan Stewart, (1981) sejak tahun 1972, studi mengenai
kekuatan gempa dikembangkan pada penggunaan durasi sinyal
gempa untuk menghitung magnitude bagi kejadian gempa lokal,
maka diperkenalkan Magnitudo Durasi (Duration Magnitude) yang
merupakan fungsi dari total durasi sinyal seismik. Magnitude
durasi sangat berguna dalam kasus sinyal yang sangat besar
amplitudonya (off-scale) yang mengaburkan jangkauan dinamis
sistem pencatat sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan
pembacaan apabila dilakukan estimasi menggunakan ML
(Konomori, 1982). Magnitudo Durasi (MD) untuk suatu stasiun
pengamat persamaannya adalah :
MD = a1 + a2 log + a3 + a4 h (1.7)
Dengan MD = magnitudo durasi, = durasi sinyal (detik), =
jarak episenter (km), h = kedalaman hiposenter (km) dan
a1,a2,a3, dan a4 adalah konstante empiris. Di Indonesia
khususnya BMKG dalam melakukan perhitungan magnitude,
biasanya menggunakan megnitudo lokal dan body. Sehingga perlu
9
adanya konversi untuk itu Gutenberg telah membuat hubungan
dari mangnitudo-magnitudo gempa bumi sebagai berikut:
Mb=0.56Ms+29
Mb=1.7+0.8ML−0.01ML2 (1.8)
Sehingga didapatkan hubungan
Ms=0.8ML−0.01ML2−1.20.56 (1.9)
Ms=Mb−290.56
.
2.3 Deformasi
Deformasi didefinisikan sebagai transformasi suatu benda
dari suatu referensi awal ke kondisi saat ini. Transformasi
benda ini mencakup distori atau perubahan bentuk benda, serta
pergerakan benda kaku (rigid motions) dimana tidak terdapat
perubahan bentuk dari benda. Penyebab dari deformasi bisa
diasumsikan berasal dari gaya ekternal seperti tegangan
(stress). Pengaruh tegangan terhadap batuan tergantung pada
cara bekerja atau sifat tegangannnya dan sifat fisik batuan
yang terkena tegangan. Dalam membahas batuan ada dua bentuk
stress yaitu Uniform Stress dan differential Stress. Kedua bentuk stress
ini yang menyebabkan terdeformasinya litosfer diakibatkan
oleh gaya-gaya tektonik yang bekerja sepanjang waktu. Batuan
yang terkena stress mengalami regangan atau perubahan bentuk
dan atau volume dalam keadaan padat yang disebut strain
(regangan).
a) Uniform Stress
Uniform Stress menekan dengan besaran yang sama dari segala
arah. Dalam batuan dinamakan confining stress karena
10
setiap tubuh batuan dalam litosfir dibatasi oleh batuan
disekitarnya dan ditekan secara merata (uniform) oleh
berat batuan diatasnya.
b) Differential Stress
Differential Stress menekan tidak dari semua jurusan dengan
besaran yang sama. Dalam sistem ortogonal dapat diuraikan
menjadi stress utama, yang maksimum, yang menengah dan
yang paling kecil besarannya. Differential Stress ini yang
mendeformasi batuan dan dikenal 3 jenis differential
stress, yaitu: tensional stress, compression stress dan shear stress.
a) Tensional stress, arahnya berlawanan pada satu bidang, dan
sifatnya menarik batuan.
b) Compressional stress arahnya berhadapan, memampatkan atau
menekan batuan.
c) Shear stress bekerja berlawanan arah, tidak dalam satu
bidang, yang menyebabkan pergeseran dan translasi.
2.3.1 Tahapan Deformasi
Deformasi dapat diartikan sebagai perubahan kedudukan
atau pergerakan suatu titik pada suatu benda secara absolut
maupun relatif. Dikatakan titik bergerak absolut apabila
dikaji dari perilaku gerakan titik itu sendiri dan dikatakan
relatif apabila gerakan itu dikaji dari titik yang lain.
Ketika suatu batuan dikenakan tekanan dengan besar tertentu,
maka batuan itu akan mengalami tiga tahap deformasi, yaitu :
11
a) Elastic deformation adalah deformasi sementara tidak permanen
atau dapat kembali kebentuk awal (reversible). Begitu stress
hilang, batuan kembali kebentuk dan volume semula. Seperti
karet yang ditarik akan melar tetapi jika dilepas akan
kembali ke panjang semula. Elastisitas ini ada batasnya
yang disebut elastic limit, yang apabila dilampaui batuan
tidak akan kembali pada kondisi awal. Di alam tidak pernah
dijumpai batuan yang pernah mengalami deformasi elastis
ini, karena tidak meninggalkan jejak atau bekas, karena
kembali ke keadaan semula, baik bentuk maupun volumenya.
b) Ductile deformation merupakan deformasi dimana limit elastic
dilampaui dan perubahan bentuk dan volume batuan tidak
kembali.
c) Fracture tejadi apabila batas atau limit elastic dan ductile
deformation dilampaui. Deformasi rekah (fracture deformation)
dan lentur (ductile deformation) adalah sama, menghasilkan
regangan (strain) yang tidak kembali ke kondisi semula.
12
Gambar 2. Kurva stress-strain memperlihatkan deformasi elastik,dan limit
elastis menandai dimulainya deformasi ducktile (shaw dkk, 1999).
2.3.2 Deformasi pada Kerak Bumi
Deformasi yang terjadi di kerak bumi dinamakan dengan
tektonik. Di dalam skala yang lebih luas deformasi kerak bumi
menyatakan evolusi dari struktur dan bentang alam sebagai
fungsi dari waktu. Dalam skala yang global deformasi kerak
bumi mempelajari asal usul dari benua dan cekungan samudra.
Dalam skala lokal, deformasi kerak bumi, mempelajari
pergerakan sesar aktif, perubahan bentuk gunung berapi
(Pratiwi dkk, 2012).
Skala waktu dari deformasi kerak bumi memiliki variasi
yang luas. Seperti diperlukan waktu milyaran tahun untuk
sebuah kontinen terbentuk, jutaan tahun untuk proses
pembentukan samudra, beberapa ribu tahun untuk terbentuknya
bukit dan pegunungan, beberapa tahun untuk pergerakan
lempeng, beberapa bulan untuk pembentukan kawah gunung
berapi, beberapa hari untuk proses letusan gunung api,
beberapa menit perdetik untuk proses gempa bumi (Tsapanos,
2001).
Gempa bumi Aceh pada 26 Desember 2004, merupakan salah satu
gempa bumi terlama yang tercatat dalam sejarah pengamatan
gempa modern. Gempa ini berlangsung selama 600 detik. Dalam
waktu "hanya" 10 menit, lempeng bumi sepanjang 1300 km
mengalami deformasi plastik dan seluruh permukaan bumi
mengalami deformasi elastik (Adzkia, 2011). Proses tektonik
yang mengakibatkan deformasi pada kerak bumi dalam rentang
13
waktu yang signifikan bagi peradaban manusia disebut
dengan aktif tektonik.
2.4 Gelombang Seismik
Metode seismik secara refleksi mendasar pada gelombang
seismik yang merambat dari sumber getaran menuju ke dalam
lapisan-lapisan bumi kemudian menerima kembali pantulan
gelombang dari bidang batas menggunakan alat penerima
(geophone) di permukaan bumi. Gelombang akan menjalar ke
segala arah dengan sumber getaran sebagai pusatnya, sehingga
terbentuklah muka gelombang (wave front).
Gambar 3. Gelombang seismik.
Secara sederhana penjalaran gelombang dibawah permukaan
bisa digambarkan melalui dua komponen utama yaitu muka
gelombang dan berkas sinar (raypart). Muka gelombang adalah
geometri dari gangguan seismik, yang digambarkan sebagai
bentuk lingkaran dalam 2 dimensi atau bentuk bola dalam 3
dimensi dan mempunyai jarak tertentu dari sumber. Sedangkan
berkas sinar merupakan arah penjalaran gelombang dan
mempunyai geometri yang tegak lurus terhadap muka gelombang.
2.4.1 Sifat dan Jenis Gelombang Seismik
14
Gelombang seismik merambat melewati batuan dalam bentuk
gelombang elastis yang mengirim energi menjadi pergerakan
pertikel batuan. Gelombang elastis dapat dibagi menjadi dua
yaitu gelombang tubuh (body wave) dan gelombang permukaan
(surface wave).
a. Gelombang tubuh (body wave)
Body wave merupakan gelombang yang energinya dikirim
melalui medium didalam bumi. Berdasarkan gerakan
partikel mediumnya, body wave dibagi menjadi dua, yaitun
gelombang P (pressure) dan gelombang S (shear). Gelombang
P juga disebut gelombang kompresi, gerakan partikelnya
searah dengan arah penjalaran gelombang. Gelombang S
dikenal juga sebagai gelombang sekunder yang
kecepatannya lebih rendah dari gelombang P, gelombang
ini transversal yang memiliki gerak pertikel tegak lurus
terhadap arah penjalaran gelombang. Jika arah gerakan
partikel adalah bidang horizontal, maka gelombang
tersebut disebut gelombang S Horizontal (SH) dan jika
vertikal, maka gelombang S Vertikal (SV).
Gambar 4. Gelombang P dan gelombang S.
b. Gelombang permukaan (surface wave)
Gelombang permukaan merupakan gelombang yang memiliki
magnitudo yang besar dan frekuensi rendah yang menjalar
15
pada permukaan yang bebas (free surface). Berdasarkan pada
gerakan partikel mediumnya, gelombang permukaan dibagi
menjadi dua yaitu gelombang Rayleigh dan gelombang Love.
Gambar 5. Gelombang love dan gelombang Rayleigh.
Gelombang Rayleigh atau dikenal dengan Ground Roll
merupakan gelombang permukaan yang gerak partikelnya
kombinasi gerakan partikel gelombang P dan S, yaitu
berbentuk ellips. Sumbu mayornya tegak lurus dengan
permukaan dan sumbu minor sejajar dengan arah
penjalarannya. Kecepatan gelombang Rayleigh tergantung
pada konstanta elstik dekat permukaan dan nilainya
selalu lebih kecil dari pada gelombang S (SV).
Sedangkan gelombang Love merupakan gelombang permukaan
dalam bentuk gelombang transversal. Gerakan partikelnya
mirip dengan gelombang S. kecepatan penjarannya
tergantung pada panjang gelombang dan variasi di
sepanjang permukaan.
2.4.2 Persamaan Gelombang Seismik
Dasar teori yang digunakan dalam pengamatan gempa adalah
16
persamaan gelombang elastik untuk media yang homogen
isotropik yang dapat ditulis (Lee, 1981):
ρ ∂2ui∂t2
=(⋋+μ) ∂θ∂xi+μ∇2ui(2.1)
Dimana :
i = 1,2,3
θ=Σ ∂Uj∂Xj
=∂u∂x
+∂v∂y
+∂w∂y
(2.2)
ρ = densitas
Uj = vektor tegangan komponen ke i
Xj = komponen sumbu koordinat ke i
t = waktu
λ = konstante Lame
μ = modulus rigiditas
laplacian=∇2=∂2
∂x+∂2
∂y+∂2
∂z (2.3)
Untuk bangun tiga dimensi, secara lengkap persamaan (1.1)
dapat ditulis sebagai berikut:
ρ ∂2u∂t2
=(⋋+μ )∂θ∂x+μ∇2u(2.4)
ρ ∂2v∂t2=(⋋+μ ) ∂θ∂y+μ∇2v(2.5)
ρ ∂2w∂t2=(⋋+μ ) ∂θ∂z+μ∇2w(2.6)
Jika ketiga persamaan tersebut terakhir dideferensiasi
terhadap x , y dan z dan kemudian hasilnya di jumlahkan
diperoleh persamaan :
17
∂2θ∂t2
=(⋋+2μ)
ρ ∇2θ(2.7)
Persamaan (2.7) merupakan persamaan gerak gelombang yang
merambat dengan kecepatan :
Vp=√⋋+2μρ
(2.8)
Gelombang tersebut dalam Seismologi dikenal sebagai gelombang
longitudinal, gelombang dilatasi , gelombang kompresi atau
gelombang Primer (P). Jika persamaan (2.5) dan ( 2.6 )
masing-masing dideferensiasikan terhadap z dan y dan kemudian
hasilnya dikurangkan diperoleh persamaan :
ρ ∂∂t2 (∂w∂y−
∂v∂z )=μ∇2(∂w∂y−
∂v∂z )(2.9)
Dengan mensubstitusikan komponen x pada persamaan rotasi
benda :
w=∂w∂y
−∂v∂z
(3.1)
ke persamaan (2.8a ) didapat persamaan :
∂2w∂t2=
μρ ∇
2w(3.2)
Persamaan ( 2.8b) ini menyatakan persamaan gerak gelombang
shear, gelombang rotasi, gelombang transversal, atau
gelombang sekunder (S) yang merambat dengan kecepatan :
Vs=√μρ (3.3)
Untuk model kerakbumi dengan lapisan sederhana persamaan
gelombang yang dibiaskan adalah sebagai berikut:
18
Waktu jalar gelombang pada kasus media N lapisan dengan
ketebalan masing-masing lapisan h1, h2, h3, . . . , hn ,
dengan kecepatan masing-masing v1, v2, . . . , vn dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
Gambar 6. Lintasan gelombang bias beberapa lapisan dengan sumber
di permukaan (Sunardi, 2009).
T1=xv1
(3.4)
T2=xv1
+2h1cosi12
v2(3.5)
T3=xv3
+2h1cosi13
v1+2h2cosi23
v2(3.6)
Tk=xvk
+2∑i=1
k−1 2hicosiikvk
(3.7)
(EX¿¿co)k=2vkvk−1
vkvk−1 [∑i=1
k−1 hi(vk2−vi
2)1 /2
vkvi−∑
i=1
k−2 hi(vk−12 −vi2)1/2
vk−1vi ](3.8)¿
19
N1
N2
N3
Perpanjangan garis 1/v2 dan 1/v3 akan memotong sumbu T
di titik τ i 1 dan τ i 2, yang disebut intercept time (waktu
tunda). Sedangkan proyeksi titik potong garis 1/v1 dan 1/v2
serta 1/v2 dan 1/v3 ke sumbu X disebut jarak cross over
pertama, EXco1, dan jarak cross over kedua, Exco2. Untuk
menentukan struktur kerak bumi di bawah permukaan dapat
dipergunakan salah satu metode dari metode waktu tunda
(Intercept time) atau metode jarak cross over. Dengan metode
waktu tunda didapat persamaan:
Tb=xv2
+2h¿¿
Akan memotong sumbu T dan disebut Intercept time atau waktu
tunda (τ i )
τi=2h1 ¿¿
dan kedalaman lapisan pertama dan kedua kerak bumi model
sederhana diformulakan:
h1=τi
2v2v1¿¿¿
h2=12
¿
Sedang dengan metode jarak Cross Over akan didapat persamaan-
persamaan sebagai berikut:
Ti=Xv1
(4.4)
Tb=Xv2
+2h1
v2v1[v¿¿32−v1
2]1 /2(4.5)¿
Titik potong kedua persamaan tersebut di atas di titik (Xco1,
T1) dengan T1 = Tb20
Jadi
(EX¿¿co)k=EXco
v2+2h1
v2v1[v¿¿22−v1
2]1/2(4.6)¿¿
h1=EXco
v2
(v¿¿2−v1)
(v¿¿22−v12)1/2(4.7)¿
¿
Atau kedalaman lapisan pertama dapat ditulis:
h1=Xco
2(v¿¿2+v1)[v¿¿22−v12]1/2(4.8)¿ ¿
sedang kedalaman lapisan kedua adalah:
h2=Xco
2(v¿¿3+v2)¿1 /2−h1¿¿¿¿
2.5 B-Value
Banyak ahli menyatakan bahwa b-value bergantung pada
karakter tektonik dan tingkat stress atau struktur material
suatu wilayah ( Tsapanos, 2001).
Log N = a - bM, atau N = 10a-bM. (5.1)
N adalah jumlah gempa bumi, M adalah magnitudo gempa bumi, a
dan b adalah konstanta real yang bernilai positif. Konstanta
a menggambarkan aktivitas seismik dan b menggambarkan
karakteristik tekanan yang dialami oleh medium. Sampai saat
ini belum ada metode yang mampu menandingi keakuratan dari
formula empiris tersebut terkait kemampuannya dalam
menjelaskan masalah sesismisitas dengan lebih baik
(Madlazim,2013).
Variasi b-value suatu wilayah berhubungan dengan
heterogenitas struktur dan distribusi stress wilayah tersebut
(Farell dkk, 2009). b-value dapat diperkirakan dengan cara
statistik, Distribusi gempa bumi untuk suatu rentang besar
21
magnitudo dapat digambarkan oleh hubungan frekuensi-magnitudo
(Frequency- Magnitude Distribution / FMD) dengan rumus: log N = a –
Bm (Gutenberg & Richter, 1944) di mana N adalah jumlah
Gempa bumi dengan magnitudo M, a adalah konstanta
produktivitas gempa bumi, dan b adalah konstanta distribusi
gempa bumi.
Secara empiris harga b-value dapat menggambarkan keadaan
seismotektonik suatu wilayah yang terlihat dari frekuensi
relatif gempa besar dan gempa kecil yang terjadi (Nuannin,
2006). Jika suatu wilayah secara beraturan menghasilkan gempa
kecil dan jarang menghasilkan gempa besar maka kurva
frekuensi-magnitudo akan semakin tajam dan gradien kurva (b-
value) akan lebih besar dibandingkan dengan wilayah yang
jarang menghasilkan gempa kecil namun sesekali melepaskan
gempa besar.
2.6 Hubungan B-Value dan Stress
Parameter fundamental yang mempengaruhi besar b-value
adalah akumulasi stress yang bekerja pada batuan, b-value rendah
berasosiasi dengan shear stress tinggi, begitu pula sebaliknya
(Nuannin, 2006). Berdasarkan konsep ini b-value bisa dijadikan
sebagai alat ukur stress. Bagian sesar dengan b-value rendah
dapat dikatakan sebagai daerah asperities yaitu daerah yang
mempunyai stress tinggi dengan besar b-value pada asperities yaitu
0.4 – 0.7. Sementara daerah creeping yaitu daerah sesar yang
aktif mengalami slip dan tidak mengakumulasi stress, memiliki b-
value bernilai lebih dari 1.2 (Farell dkk, 2009).
22
Jika terjadi penurunan b-value setelah terjadi gempa besar
dan berlanjut hingga lebih dari 2 tahun, hal itu menandakan
masih berlangsungnya akumulasi stress maka kemungkinan besar
akan kembali terjadi gempa besar pada wilayah yang sama.
Semakin lambat penurunan b-value, atau semakin landai kurva
penurunan b-value, maka gempa bumi yang akan terjadi
berkemungkinan memiliki magnitudo makin kecil. Hasil
penelitian Nuannin (2006) menunjukkan bahwa gempa-gempa besar
dalam skala medium-term sering didahului dengan peningkatan b-
value sampai nilai 2,36 kemudian diikuti penurunan sampai di
bawa nilai 1 dalam beberapa bulan sebelum kejadian gempa bumi
mega besar tahun 2004 di Sumatra. Penelitian yang dilakukan
Sunardi (2009) baik dengan katalog regional maupun global
menemukan bahwa b-value dari gempa-gempa pendahuluan turun
sampai 50 % sebelum kejadian gempa utama.
23